kejang demam

34
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kejang Demam 2.1.1 Definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38 C) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Kejang diserta demam pada bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam 1 . Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. 2 2.1.2 Epidemiologi Di Amerika Serikat, kejang demam terjadi pada 2-5% anak usia 6 bulan hingga 5 tahun. Diantaranya, sekitar 70-75% hanya mengalami kejang demam sederhana, yang lainnya sekitar 20-25% mengalami kejang demam kompleks, dan sekitar 5% mengalami kejang demam simtomatik. Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki 3 . Kejang demam tergantung pada usia, dan jarang terjadi sebelum usia 9 bulan dan setelah usia 5 tahun. Puncak terjadinya kejang demam yaitu pada usia 14 sampai 18 bulan, dan angka kejadian mencapai 3 sampai 4 persen anak usia dini 3 . Di Indonesia sendiri, kejadian 5

description

kejang demam

Transcript of kejang demam

BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejang Demam

2.1.1 Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38 C) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Kejang diserta demam pada bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam 1. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. 22.1.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kejang demam terjadi pada 2-5% anak usia 6 bulan hingga 5 tahun. Diantaranya, sekitar 70-75% hanya mengalami kejang demam sederhana, yang lainnya sekitar 20-25% mengalami kejang demam kompleks, dan sekitar 5% mengalami kejang demam simtomatik. Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki 3. Kejang demam tergantung pada usia, dan jarang terjadi sebelum usia 9 bulan dan setelah usia 5 tahun. Puncak terjadinya kejang demam yaitu pada usia 14 sampai 18 bulan, dan angka kejadian mencapai 3 sampai 4 persen anak usia dini 3. Di Indonesia sendiri, kejadian kejang demam pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun hampir 2 - 5% 1.

Peningkatan resiko terjadinya kejang demam berulang terdapat pada anak dengan kejang demam sederhana sebelumnya, hal ini terjadi pada sepertiga kasus. Kejang demam sederhana yang terjadi pada anak dengan usia kurang dari 12 bulan, 50 persennya memiliki kemungkinan kejang yang kedua. Setelah usia 12 bulan turun menjadi 30 persen 3.

Anak dengan kejang sederhana meningkatkan resiko terhadap epilepsi. Angka kejadian epilepsi pada usia 25 tahun mencapai 2,4 persen, dimana hal ini meningkatkan resiko menjadi dua kali lipat dibanding populasi umum 3.

Tidak terdapat literatur yang mendukung hipotesis bahwa kejang demam sederhana dapat menyebabkan penurunan intelegensi (contohnya, disebabkan oleh ketidak mampuan belajar) atau di hubungkan dengan peningkatan angka kematian 3.

2.1.3 Faktor Resiko Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit 4.

Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (1) riwayat kejang demam dalam keluarga; (2) usia kurang dari 18 bulan; (3) temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin sering berulang; dan (4) lamanya demam. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (1) adanya gangguan perkembangan neurologis; (2) kejang demam kompleks; (3) riwayat epilepsi dalam keluarga; dan (4) lamanya demam 1.

2.1.4 EtiologiSemua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih 5.2.1.5 Klasifikasi

Umumnya kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Kriteria untuk penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya 2.

Studi epidemiologi membagi kejang demam menjadi 3 bagian yaitu: kejang demam sederhana, kejang demam kompleks, dan kejang demam berulang 6. Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit, bersifat fokal parsial 1 sisi kejang umum didahului kejang fokal dan berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang demam sederhana ialah kejang demam yang berlangsung kurang dari 15 menit, bersifat umum serta tidak berulang dalam 24 jam 1. Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu episode demam. Epilepsi ialah kejang tanpa demam yang terjadi lebih dari satu kali 5.2.1.6 Patofisiologi

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.

Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.

Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi 7.

2.1.7 Manifestasi Klinis

Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam diikuti hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood) yang berlangsung beberapa jam sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24 jam ditemukan pada 16% paisen 5

Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39C atau lebih. Kejang khas yang menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang memerlukan pengamatan menyeluruh 8.2.1.8 Diagnosis

Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang demam antara lain:

1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis ke arah kejang demam, seperti:

- Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab demam diluar susunan saraf pusat.

- Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39 C.

- Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang adalah usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif normal, riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa kejang demam komlpeks 4.

2. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:

- Suhu tubuh mencapai 39C.

- Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang.

- Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang tergantung pada jenis kejang.

- Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.

- Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar 4.

3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium

Pada kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi maupun laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik neurologi berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan aktivitas EEG kurang mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks lebih sering menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari 5.

2.1.9 Diagnosis banding

Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan cairan serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiperesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan kejang demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat, dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam 5.

2.1.10 Penatalaksanaan

Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:

1. Pengobatan fase akutSeringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan kepalanya apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secra teratur, diberikan oksiegen, kalau perlu dilakukan intubasi. Awasi keadaan vital sperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam adalah pilihan utama dengan pemberian secara intravena atau intrarektal 5.

2. Mencari dan Mengobati Penyebab Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai meningitis atau apabila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering mengalami meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan utuk mencari penyebab 5.

3. Pengobatan Profilaksis Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang merupakan pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga. Bila kejang demam berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan otak yang menetap (cacat).

Ada 3 upaya yang dapat dilakukan:

- Profilaksis intermitten, pada waktu demam.

- Profilaksis terus-menerus, dengan obat antikonvulsan tiap hari

- Mengatasi segera bila terjadi kejang.

Profilaksis intermitten Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik kerena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan sacara oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/ hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk, dan hipotonia 5.

Profilaksis terus- menerus dengan antikonvulasan tiap hari Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dengan kadar darah sebesar 16 mgug/ml dalam darh menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulanggnya kejang demam. Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis kejang demam adalah asam valproat yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan efek fenobarbital tetapi kadang-kadang menunjukkan efek samping hepatotoksik. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg BB/hari. Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjandinya epilepsi di kemudian hari 5.

Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria yang dapat dipakai untuk pemberian terapi rumat. Profilaksis tiap hari dapat diberi pada keadaan berikut:

1. Bila terdapat kelainan perkembangan neurologi (misalnya cerebral palsy, retardasi mental, mikrosefali).

2. Bila kejang demam berlangsung lama dari 15 menit, bersifat fokal, atau diikuti kelainan neurologis sepintas atau menetap.

3. Terdapat riwayat kejang-tanpa-demam yang bersifat genetik pada orang tua atau saudara kandung.

2.2 Diare 2.2.1 Definisi

Diare akut adalah buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 1 minggu 1. Diare dengan karakteristik peningkatan frekuensi dan/atau perubahan konsistensi, dapat disertai atau tanpa gejala dan tanda seperti mual, muntah, demam atau sakit perut yang berlangsung selama 3 7 hari 9.

2.2.2 Epidemiologi

Setiap tahun diperikirakan lebih dari satu milyar kasus diare di dunia dengan 3,3 juta kasus kematian sebagai akibatnya. Diperkirakan angka kejadian di negara berkembang berkisar 3,5 7 episode per anak pertahun dalam 2 tahun pertama kehidupan dan 2 5 episode per anak per tahun dalam 5 tahun pertama kehidupan. Hasil survei oleh Departemen Kesehatan diperoleh angka kesakitan diare tahun 2000 sebesar 301 per 1000 penduduk angka ini meningkat bila dibanding survei pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk. Diare masih merupakan penyebab utama kematian bayi dan balita. Diare merupakan penyebab kematian pada 42% bayi dan 25,2% pada anak usia 1-4 tahun 1. 2.2.3 Klasifikasi

Diare dibagi menjadi 2 berdasarkan patofisiologinya yaitu10: 1. Diare sekresi, yang dapat disebabkan oleh infeksi virus, kuman patogen dan apatogen; saraf, hawa dingin, alergi dan defisiensi imun terutama IgA sekretorik.

2. Diare osmotik, yang dapat disebabkan oleh malabsorpsi makanan, kekurangan kalori protein (KKP), atau bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.

Selain itu, berdasarkan lama diare diare dapat dibagi menjadi:

1. Diare Akut

: terjadi kurang dari 7 hari.

2. Diare Kronis: terjadi lebih dari 2 minggu tanpa infeksi 3. Diare persisten: terjadi lebih dari 2 minggu dengan penyebab infeksi

2.2.4 Etiologi

Penyebab diare akut pada anak secara garis besar dapat disebabkan oleh gastroenteritis, keracunan makanan karena antibiotika dan infeksi sistemik. Etiologi diare pada 25 tahun yang lalu sebagian besar belum diketahui, akan tetapi kini, telah lebih dari 80% penyebabnya diketahui. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada anak dan bayi.Penyebab utama oleh virus yang terutama ialah Rotavirus (40 60%) sedangkan virus lainya ialah virus Norwalk, Astrovirus, Cacivirus, Coronavirus, Minirotavirus.Bakteri yang dapat menyebabkan diare adalah Aeromonas hydrophilia, Bacillus cereus, Campylobacter jejuni, Clostridium difficile, Clostridium perfringens, E coli, Pleisiomonas, Shigelloides, Salmonella spp, Staphylococus aureus, vibrio cholerae dan Yersinia enterocolitica, Sedangkan penyebab diare oleh parasit adalah Balantidium coli, Capillaria phiplippinensis, Cryptosporodium, Entamoba hystolitica, Giardia lambdia, Isospora billi, Fasiolopsis buski, Sarcocystis suihominis, Strongiloides stercorlis, dan Trichuris trichiura. Sebuah studi tentang maslah diare akut yang terjadi karena infeksi pada anak di bawah 3 tahun di Cina, India, Meksiko, Myanmar, Burma dan Pakistan, hanya tiga agen infektif yang secara konsisten atau secara pokok ditemukan meningkat pada anak penderita diare. Agen ini adalah Rotavirus, Shigella spp dan E. Coli enterotoksigenik. Rotavirus jelas merupakan penyebab diare akut yang paling sering diidentifikasi pada anak dalam komunitas tropis dan iklim sedang. Diare dapat disebabkan oleh alergi atau intoleransi makanan tertentu seperti susu, produk susu, makanan asing terdapat individu tertentu yang pedas atau tidak sesuai kondisi usus dapat pula disebabkan oleh keracunan makanan dan bahan-bahan kimia. Beberapa macam obat, terutama antibiotika dapat juga menjadi penyebab diare. Antibiotika akan menekan flora normal usus sehingga organisme yang tidak biasa atau yang kebal antibiotika akan berkembang bebas. Di samping itu sifat farmakokinetik dari obat itu sendiri juga memegang peranan penting. Diare juga berhubungan dengan penyakit lain misalnya malaria, schistosomiasis, campak atau pada infeksi sistemik lainnya misalnya, pneumonia, radang tenggorokan, dan otitis media.

2.2.5 Patofisiologi

Menurut patofisiologinya diare dibedakan dalam beberapa kategori yaitu diare osmotik, sekretorik dan diare karena gangguan motilitas usus. Diare osmotik terjadi karena terdapatnya bahan yang tidak dapat diabsorpsi oleh usus akan difermentasi oleh bahteri usus sehingga tekanan osmotik di lumen usus meningkat yang akan menarik cairan. Diare sekretorik terjadi karena toxin dari bakteri akan menstimulasi c AMP dan cGMP yang akan menstimulasi sekresi cairan dan elektrolit. Sedangkan diare karena gangguan motilitas usus terjadi akibat adanya gangguan pada kontrol otonomik,misal pada diabetik neuropathi, post vagotomi, post reseksi usus serta hipertiroid.Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang masuk melalui makanan dan minuman sampai ke enterosit, akan menyebabkan infeksi dan kerusakan villi usus halus. Enterosit yang rusak diganti dengan yang baru yang fungsinya belum matang, villi mengalami atropi dan tidak dapat mengabsorpsi cairan dan makanan dengan baik, akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan meningkatkan motilitasnya sehingga timbul diare.

Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis terjadinya diare oleh Salmonella, Shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bekteri ini dapat menembus (invasi) sel mukosa usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik.Toksin shigella juga dapat masuk ke dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri. 2.2.6 Manifestasi Klinis

Diare dapat menimbulkan gejala dan sifat berbeda sesuai dengan agen penyebab diare. Adapun beberapa karakteristik diare akibat agen penyebab adalah:

GejalaRotavirusShigellaSalmonellaETECEIECKholera

Masa Tunas (jam)12 7224 486 726 726 72 48 72

Panas++++++-++-

Mual, muntahSeringJarang Sering---

Nyeri PerutTenesmusTenesmus, krampTenesmus, kolik+Tenesmus, krampKramp

Nyeri kepala-++---

Lama sakit5 7 hari> 7 hari 3 7 hari 2 3 hari Variasi 3 hari

Sifat tinja

Volume Sedang Sedikit Sedikit Banyak Sedikit Banyak

Frekuensi5 10 x> 10 xSering Sering Sering Terus-menerus

Konsistensi Cair Lembek Lembek Cair Lembek Cair

Lendir ------

Darah-SeringKadang -+-

Bau Langu +/-Busuk+TidakAmis

Warna Kuning-ijoMerah-ijoKehijauanTak berwarna Merah-ijoCucian beras

Leukosit -++-+-

Lain-lainAnoreksiKejang +/-Sepsis +/-MeteorismusInfeksi +/-

Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit dan sering disertai dengan asidosis metabolik karena kehilangan basa. Dehidrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan elektrolit. Dehidrasi ringan bila penurunan berat badan kurang dari 5%,dehidrasi sedang bila penurunan berat badan antara 5%-10% dan dehidrasi berat bila penurunan lebih dari 10%.Derajat Dehidrasi

Berdasarkan konsentrasi Natrium plasma tipe dehidrasi dibagi 3 yaitu : dehidrasi hiponatremia ( < 130 mEq/L ), dehidrasi iso-natrema ( 130 150 mEq/L ) dan dehidrasi hipernatremia ( > 150 mEq/L ). Pada umunya dehidrasi yang terjadi adalah tipe iso-natremia (80%) tanpa disertai gangguan osmolalitas cairan tubuh, sisanya 15 % adalah diare hipernatremia dan 5% adalah diare hiponatremia.Kehilangan bikarbonat bersama dengan diare dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan anion gap yang normal (8-16 mEq/L), biasanya disertai hiperkloremia. Selain penurunan bikarbonat serum terdapat pula penurunan pH darah kenaikan pCO2. Hal ini akan merangsang pusat pernapasan untuk meningkatkan kecepatan pernapasan sebagai upaya meningkatkan eksresi CO2 melalui paru (pernapasan Kussmaul) Untuk pemenuhan kebutuhan kalori terjadi pemecahan protein dan lemak yang mengakibatkan meningkatnya produksi asam sehingga menyebabkan turunnya nafsu makan bayi. Keadaan dehidrasi berat dengan hipoperfusi ginjal serta eksresi asam yang menurun dan akumulasi anion asam secara bersamaan menyebabkan berlanjutnya keadaan asidosis.Kadar kalium plasma dipengaruhi oleh keseimbangan asam basa, sehingga pada keadaan asidosis metebolik dapat terjadi hipokalemia. Kehilangan kalium juga melalui cairan tinja dan perpindahan K+ ke dalam sel pada saat koreksi asidosis dapat pula menimbulkan hipokalemia. Kelemahan otot merupakan manifestasi awal dari hipokalemia, pertama kali pada otot anggota badan dan otot pernapasan. Dapat terjadi arefleks, paralisis dan kematian karena kegagalan pernapasan. Disfungsi otot harus menimbulkan ileus paralitik, dan dilatasi lambung. EKG mnunjukkan gelombang T yang mendatar atau menurun dengan munculnya gelombang U. Pada ginjal kekurangan K+ mengakibatkan perubahan vakuola dan epitel tubulus dan menimbulkan sklerosis ginjal yang berlanjut menjadi oliguria dan gagal ginjal.

3 PenatalaksanaanPenggantian cairan dan elektrolit merupakan elemen yang penting dalam terapi efektif diare akut. Beratnya dehidrasi secara akurat dinilai berdasarkan berat badan yang hilang sebagai persentasi kehilangan total berat badan dibandingkan berat badan sebelumnya sebagai baku emas.Pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral atau parateral. Pemberian secara oral dapat dilakukan untuk dehidrasi ringan sampai sedang dapat menggunakan pipa nasogastrik, walaupun pada dehidrasi ringan dan sedang. Bila diare profus dengan pengeluaran air tinja yang banyak (> 100 ml/kgBB/hari) atau muntah hebat (severe vomiting) sehingga penderita tak dapat minum sama sekali, atau kembung yang sangat hebat (violent meteorism) sehingga upaya rehidrasi oral tetap akan terjadi defisit maka dapat dilakukan rehidrasi parenteral walaupun sebenarnya rehidrasi parenteral dilakukan hanya untuk dehidrasi berat dengan gangguan sirkulasi. Keuntungan upaya terapi oral karena murah dan dapat diberikan dimana-mana. AAP merekomendasikan cairan rehidrasi oral (ORS) untuk rehidrasi dengan kadar natrium berkisar antara 75-90 mEq/L dan untuk pencegahan dan pemeliharaan dengan natrium antara 40-60mEq/L. Anak yang diare dan tidak lagi dehidrasi harus dilanjutkan segera pemberian makanannya sesuai umur.

1. Dehidrasi Ringan Sedang

Rehidrasi pada dehidrasi ringan dan sedang dapat dilakukan dengan pemberian oral sesuai dengan defisit yang terjadi namun jika gagal dapat diberikan secara intravena sebanyak : 75 ml/kg bb/3jam. Pemberian cairan oral dapat dilakukan setelah anak dapat minum sebanyak 5 ml/kgbb/jam. Biasanya dapat dilakukan setelah 3-4 jam pada bayi dan 1-2 jam pada anak. Penggantian cairan bila masih ada diare atau muntah dapat diberikan sebanyak 10ml/kgbb setiap diare atau muntah.

Secara ringkas kelompok Ahli gastroenterologi dunia memberikan 9 pilar yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan diare akut dehidrasi ringan sedang pada anak, yaitu :

1) Menggunakan CRO (Cairan rehidrasi oral)

2) Cairan hipotonik

3) Rehidrasi oral cepat 3 4 jam

4) Realiminasi cepat dengan makanan normal

5) Tidak dibenarkan memberikan susu formula khusus

6) Tidak dibenarkan memberikan susu yang diencerkan

7) ASI diteruskan

8) Suplemen dengan CRO (CRO rumatan)

9) Anti diare tidak diperlukan

2. Dehidrasi Berat

Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan anak dan menunjukkan gangguan tanda-tanda vital tubuh (somnolen-koma, pernafasan Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi) memerlukan pemberian cairan elektrolit parenteral. Penggantian cairan parenteral menurut panduan WHO diberikan sebagai berikut :

Usia 12 bln: 30ml/kgbb/1/2-1jam, selanjutnya 70ml/kgbb/2-2 jam

Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi kebutuhan penderita akan kalori, namun hal ini tidaklah menjadi masalah besar karena hanya menyangkut waktu yang pendek. Apabila penderita telah kembali diberikan diet sebagaimana biasanya . Segala kekurangan tubuh akan karbohidrat, lemak dan protein akan segera dapat dipenuhi. Itulah sebabnya mengapa pada pemberian terapi cairan diusahakan agar penderita bila memungkinkan cepat mendapatkan makanan / minuman sebagai biasanya bahkan pada dehidrasi ringan sedang yang tidak memerlukan terapi cairan parenteral makan dan minum tetap dapat dilanjutkan.Pemilihan Jenis Cairan

Cairan Parenteral dibutuhkan terutama untuk dehidrasi berat dengan atau tanpa syok, sehingga dapat mengembalikan dengan cepat volume darahnya, serta memperbaiki renjatan hipovolemiknya. Cairan Ringer Laktat (RL) adalah cairan yang banyak diperdagangkan dan mengandung konsentrasi natrium yang tepat serta cukup laktat yang akan dimetabolisme menjadi bikarbonat. Namun demikian kosentrasi kaliumnya rendah dan tidak mengandung glukosa untuk mencegah hipoglikemia. Cairan NaCL dengan atau tanpa dekstrosa dapat dipakai, tetapi tidak mengandung elektrolit yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup. Jenis cairan parenteral yang saat ini beredar dan dapat memenuhi kebutuhan sebagai cairan pengganti diare dengan dehidrasi adalah Ka-EN 3B. Sejumlah cairan rehidrasi oral dengan osmolaliti 210 268 mmol/1 dengan Na berkisar 50 75 mEg/L, memperlihatkan efikasi pada diare anak dengan kolera atau tanpa kolera.Komposisi cairan Parenteral dan Oral :

Komposisi elektrolit pada diare akut :

Sumber : Ditjen PPM dan PLP, 1999

Mengobati Etiologi Diare

Tidak ada bukti klinis dari anti diare dan anti motilitis dari beberapa uji klinis. Obat anti diare hanya simtomatis bukan spesifik untuk mengobati kausa, tidak memperbaiki kehilangan air dan elektrolit serta menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Antibiotik yang tidak diserap usus seperti streptomisin, neomisin, hidroksikuinolon dan sulfonamid dapat memperberat yang resisten dan menyebabkan malabsorpsi. Sebagian besar kasus diare tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotika oleh karena pada umumnya sembuh sendiri (self limiting). Antibiotik hanya diperlukan pada sebagian kecil penderita diare misalnya kholera shigella, karena penyebab terbesar dari diare pada anak adalah virus (Rotavirus). Kecuali pada bayi berusia di bawah 2 bulan karena potensi terjadinya sepsis oleh karena bakteri mudah mengadakan translokasi kedalam sirkulasi, atau pada anak/bayi yang menunjukkan secara klinis gajala yang berat serta berulang atau menunjukkan gejala diare dengan darah dan lendir yang jelas atau segala sepsis. Anti motilitis seperti difenosilat dan loperamid dapat menimbulkan paralisis obstruksi sehingga terjadi bacterial overgrowth, gangguan absorpsi dan sirkulasi.

Beberapa antimikroba yang sering dipakai antara lain :1. Kolera :

Tetrasiklin 50mg/kg/hari dibagi 4 dosis (2 hari)

Furasolidon 5mg/kg/hari dibagi 4 dosis (3 hari)

2. Shigella :

Trimetroprim 5-10mg/kg/hari

Sulfametoksasol 25mg/kg/hari Diabgi 2 dosis (5 hari)

Asam Nalidiksat : 55mg/kg/hari dibagi 4 (5 hari)

3. Amebiasis:

Metronidasol 30mg/kg/hari dibari 4 dosis 9 5-10 hari)

Untuk kasus berat : Dehidro emetin hidrokhlorida 1-1,5 mg/kg (maks 90mg)(im) s/d 5 hari tergantung reaksi (untuk semua umur)

4. Giardiasis :

Metronidasol 15mg.kg/hari dibagi 4 dosis ( 5 hari )

Probiotik

Probiotik merupakan bakteri hidup yang mempunyai efek yang menguntungkan pada host dengan cara meningkatkan kolonisasi bakteri probiotik didalam lumen saluran cerna sehingga seluruh epitel mukosa usus telah diduduki oleh bakteri probiotik melalui reseptor dalam sel epitel usus. Dengan mencermati penomena tersebut bakteri probiotik dapat dipakai dengan cara untuk pencegahan dan pengobatn diare baik yang disebabkan oleh Rotavirus maupun mikroorganisme lain, speudomembran colitis maupun diare yang disebabkan oleh karena pemakaian antibiotika yang tidak rasional rasional (antibiotic associated diarrhea) dan travellerss diarrhea.Terdapat banyak laporan tentang penggunaan probiotik dalam tatalaksana diare akut pada anak. Hasil meta analisa Van Niel dkk menyatakan lactobacillus aman dan efektif dalam pengobatan diare akut infeksi pada anak, menurunkan lamanya diare kira-kira 2/3 lamanya diare, dan menurunkan frekuensi diare pada hari ke dua pemberian sebanyak 1 2 kali. Kemungkinan mekanisme efekprobiotik dalam pengobatan diare adalah : Perubahan lingkungan mikro lumen usus, produksi bahan anti mikroba terhadap beberapa patogen, kompetisi nutrien, mencegah adhesi patogen pada anterosit, modifikasi toksin atau reseptor toksin, efektrofik pada mukosa usus dan imunno modulasi.Mikronutrien

Dasar pemikiran pengunaan mikronutrien dalam pengobatan diare akut didasarkan kepada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel seluran cerna selama diare. Seng telah dikenali berperan di dalam metallo enzymes, polyribosomes, selaput sel, dan fungsi sel, juga berperan penting di dalam pertumbuhan sel dan fungsi kekebalan. Sazawal S dkk melaporkan pada bayi dan anak lebih kecil dengan diare akut, suplementasi seng secara klinis penting dalam menurunkan lama dan beratnya diare. Strand menyatakan efek pemberian seng tidak dipengaruhi atau meningkat bila diberikan bersama dengan vitamin A. Pengobatan diare akut dengan vitamin A tidak memperlihatkan perbaikan baik terhadap lamanya diare maupun frekuensi diare. Bhandari dkk mendapatkan pemberian vitamin A 60 mg dibanding dengan plasebo selama diare akut dapat menurunkan beratnya episode dan risiko menjadi diare persisten pada anak yang tidak mendapatkan ASI tapi tidak demikian pada yang mendapat ASI.

Mencegah / Menanggulangi Gangguan Gizi

Amatlah penting untuk tetap memberikan nutrisi yang cukup selama diare, terutama pada anak dengan gizi yang kurang. Minuman dan makanan jangan dihentikan lebih dari 24 jam, karena pulihnya mukosa usus tergantung dari nutrisi yang cukup.Bila tidak makalah ini akan merupakan faktor yang memudahkan terjadinya diare kronik. Pemberian kembali makanan atau minuman (refeeding) secara cepat sangatlah penting bagi anak dengan gizi kurang yang mengalami diare akut dan hal ini akan mencegah berkurangnya berat badan lebih lanjut dan mempercepat kesembuhan. Air susu ibu dan susu formula serta makanan pada umumnya harus dilanjutkan pemberiannya selama diare penelitian yang dilakukan oleh Lama more RA dkk menunjukkan bahwa suplemen nukleotida pada susu formula secara signifikan mengurangi lama dan beratnya diare pada anak oleh karena nucleotide adalah bahan yang sangat diperlukan untuk replikasi sel termasuk sel epitel usus dan sel imunokompeten. Pada anak lebih besar makanan yang direkomendasikan meliputi tajin (beras, kentang, mi, dan pisang) dan gandum (beras, gandum, dan cereal). Makanan yang harus dihindarkan adalah makanan dengan kandungan tinggi, gula sederhana yang dapat memperburuk diare seperti minuman kaleng dan sari buah apel. Juga makanan tinggi lemak yang sulit ditoleransi karena karena menyebabkan lambatnya pengosongan lambungPemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa diberikan pada penderita yang menunjukkan gejala klinik dan laboratorium intoleransi laktosa. Intoleransi laktosa berspektrum dari yang ringan sampai yang berat dan kebanyakan adalah tipe yang ringan sehingga cukup memberikan formula susu biasanya diminum dengan pengenceran oleh karena intoleransi laktosa ringan bersifat sementara dan dalam waktu 2 3 hari akan sembuh terutama pada anak gizi yang baik. Namun bila terdapat intoleransi laktosa yang berat dan berkepanjangan tetap diperlukan susu formula bebas laktosa untuk waktu yang lebih lama. Untuk intoleransi laktosa ringan dan sedang sebaiknya diberikan formula susu rendah laktosa. Sabagaimana halnya intoleransi laktosa, maka intoleransi lemak pada diare akut sifatnya sementara dan biasanya tidak terlalu berat sehingga tidak memerlukan formula khusus. Pada situasi yang memerlukan banyak energi seperti pada fase penyembuhan diare, diet rendah lemak justru dapat memperburuk keadaan malnutrisi dan dapat menimbulkan diare kronik

BAB III

PEMBAHASAN

Kejang sering terjadi pada anak, dan merupakan keluhan utama yang sering yang menyebabkan orang tua membawa anaknya ke rumah sakit atau ke tenaga medis untuk mendapatkan pertolongan. Kejang pada anak dapat disebabkan oleh banyak faktor, dan yang paling sering adalah kejang yang ditimbulkan karena adanya peningkatan suhu atau yang disebut dengan kejang demam. Pada kasus ini, pasien dibawa ke rumah sakit karena kejang, yang dari anamnesis didapat bahwa kejang didahului oleh periode demam tinggi sebelumnya. Hal ini penting diketahui untuk membedakan kejang yang disebabkan oleh kelainan pada sistem saraf pusat ataupun kejang yang disebabkan demam, yang tidak berkaitan dengan abnormalitas sistem saraf pusat. Selain itu, perlu juga ditanyakan riwayat kejang pada usia kurang dari satu bulan, karena adanya kejang pada usia kurang dari satu bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Diagnosis kejang demam pada kasus ini, ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis didapatkan bahwa kejang pada kasus ini didahului oleh demam tinggi, tidak terdapat defisit neurologis sebelum dan setelah kejang, tidak terdapat gangguan perkembangan anak sebelum kejang, tidak terdapat gangguan kesadaran setelah anak kejang. Dari segi usia, pasien masih masuk dalam kelompok umur yang sering mengalami kejang demam.

Dari anamnesis juga didapatkan gambaran saat kejang, yaitu kejang terjadi pada seluruh tubuh disertai mata mendelik ke atas, terjadi paling lama sekitar 10 menit. Kejang yang bersifat kejang umum dan lamanya tidak lebih dari 15 menit menunjukkan gambaran kejang demam sederhana.

Setelah ditegakkan diagnosis kejang demam, maka dapat ditentukan pula perencanaan lanjutan berupa pemeriksaan lanjutan dan pengobatan yang diperlukan. Mengingat usia pasien sudah lebih dari 18 bulan, sehingga pemeriksaan CSF dengan pungsi lumbal tidak lagi dianjurkan.

Pemberian diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/8 jam pada kasus ini, digunakan sebagai profilaksis timbulnya kejang selama periode demam (2-3 hari). Anak juga diberikan diazepam (sebaiknya per rektal dengan diazepam gel) dengan dosis 0,5 mg/kgBB tiap kali kejang. Selain itu, anak juga diberikan antipiretik berupa paracetamol oral dengan dosis 10-15mg/KgBB/kali. Walaupun antipiretik dikatakan tidak efektif untuk mencegah terjadinya kejang pada anak, namun pemberian antipiretik ini dapat membantu dalam mengurangi ketidaknyamanan pasien.

Kejang demam harus dicari penyebabnya, demam pada pasien ini diduga diakibatkan oleh adanya proses infeksi, didukung oleh adanya defekasi abnormal berupa peningkatatan frekuensi BAB serta konsistensinya menjadi cair, serta terdapat lendir. Belum diketahui secara pasti mikroorganisme penyebab infeksi tersebut. Sehingga pada pasien ini diberikan antibiotik spektrum luas yaitu cefotaxime dengan dosis anak usia 1 tahun hingga 12 tahun, 50-180 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi.Pasien juga mengeluh adanya vomitus sebanyak dua kali. Perlu dilakukan penanganan terhadap vomitus agar tidak menyebabkan defisit cairan pada pasien. Untuk mengatasi vomitus dapat diberikan ondansetron dengan dosis 0.13/kgBB.

DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI. 2006. Panduan Pelayanan Medik. IDAI: Jakarta.

2. Lumbantobing, S.M. 2007. Kejang Demam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

3. Baumann, Robert. 2010. Febrile Seizures. Emedicine.Updated: Jan 8, 2010

4. Dewanto, Suwono, Puyanto, Turana, 2009. Kejang pada Anak. EGC: Jakarta.

5. Soetomenggolo, 2000. Kejang Demam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

6. Behrmann, Kliegman, Arvin. 2000. Kejang Demam. EGC: Jakarta.

7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2002. Kejang Demam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

8. Nelson, Waldo.E.MD., dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 3. EGC: Jakarta.

PAGE 26