Kejang Demam

16

Click here to load reader

description

Tinjauan Pustaka kejang demam

Transcript of Kejang Demam

Page 1: Kejang Demam

Kejang Demam

A. Definisi

Ada dua definisi kerja yang telah dipublikasikan tentang kejang demam. Definisi

kejang demam menurut National Institutes of Health Consensus Conference adalah

kejadian kejang pada bayi dan anak, yang biasanya terjadi antara usia 3 bulan sampai 5

tahun, berhubungan dengan demam tanpa adanya bukti-bukti infeksi atau sebab yang jelas

di intrakranial. Kejang yang disertai demam pada anak yang sebelumnya menderita kejang

tanpa demam tidak termasuk dalam kategori ini. Sedangkan definisi menurut International

League Against Epilepsy Commision on Epidemiology and Prognosis adalah kejang yang

terjadi pada anak-anak setelah usia 1 bulan, berhubungan dengan demam dan penyakit

yang tidak disebabkan karena infeksi pada susunan saraf pusat, tanpa adanya kejang pada

masa neonatal sebelumnya atau kejang tanpa provokasi sebelumnya. Kejang demam

kebanyakan disertai infeksi virus dibandingkan bakteri, umumnya terjadi pada 24 jam

pertama sakit dan berhubungan dengan infeksi saluran nafas akut, seperti faringitis dan

otitis media, pneumonia, infeksi saluran kemih, serta gangguan gastroenteritis.

Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan

kejang demam kompleks. Yang termasuk kejang demam sederhana apabila :

1. Kejang bersifat umum

2. Lama bangkitan kejang berlangsung kurang dari 15 menit

3. Dalam waktu 24 jam atau selama periode demam tidak ada bengkitan kejang

berulang

Sedangkan yang termasuk kejang demam kompleks apabila :

1. Lama bangkitan kejang berlangsung lebih dari 15 menit

2. Manifestasi kejang bersifat fokal

3. Didapatkan bangkitan kejang berulang dalam kurun waktu 24 jam

4. Didapatkan abnormalitas status neurologi

5. Didapatkan riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudaranya

Livingstone membagi kejang demam menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan

epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Sebagian besar kejang demam (63%) berupa kejang

demam sederhana dan 35% berupa kejng demam kompleks.(42-45)

Pendapat para ahli tentang umur penderita saat terjadi bangkitan kejang demam

tidak sama. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berumur

antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun. Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP)

umur termuda bangkitan kejang demam 6 bulan.

Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak. Berkisar

2% - 5% anak di bawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari

1

Page 2: Kejang Demam

90% penderita kejang demam terjadi pada anak berumur di bawah 5 tahun. Terbanyak

bangkitan kejang demam terjadi pada anak berumur antara umur 6 bulan sampai dengan 22

bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada umur 18 bulan.

Insidensi kejang demam di berbagai negara berbeda. Insidensi di Amerika Serikat

insiden kejang demam berkisar antara 2%-5% pada anak umur kurang dari 5 tahun. Di Asia

angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan sekitar 80%-90% dari seluruh

kejang demam adalah kejang demam sederhana. Di Jepang angka kejadian kejang demam

adalah sebesar 9%-10%. Bahkan di kepulauan Mariana (Guam), telah dilaporkan insidensi

kejang demam yang lebih besar, rnencapai 14 %.

Prognosis kejang demam bersifat benigna, tetapi berkisar 25%-50% kejang demam

akan mengalami bangkitan kejang demam berulang, 4% penderita kejang demam dapat

mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi dan angka kematian

berkitar 0,64-0,75%. Insiden epilepsi akibat kejang demam berkisar antara 2%-5% dan

meningkat hingga 9%-13% bila terdapat faktor risiko berupa riwayat keluarga dengan

epilepsi, perkembangan abnormal sebelum kejang demam pertama, atau mengalami kejang

demam kompleks.

B. Faktor Resiko

Kejang demam terkait dengan tiga unsur yaitu umur, demam dan predisposisi,

Beberapa hal yang berpengaruh pada kejadian kejang demam, yaitu :

(1) Usia

Usia terjadinya kejang demam berkisar antara 6 bulan-5 tahun. Insiden

bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada umur 18 bulan. Usia tersebut terkait

dengan fase perkembangan otak yaitu masa developmental window. Masa

developmental window merupakan masa perkembangan otak fase organisasi yaitu

pada waktu anak berumur kurang dari 2 tahun. Pada masa perkembangan otak

(developmental window) keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat

baik ionotropik meliputi N methyl D aspartate (NMDA) dan Amino 3 hydroxy 5 methyl 4

isoxazole proprionic acid (AMPA) maupun metabotropik sebagai reseptor eksitator

padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga

mekanisme eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. Eksitability membrane sel,

pengangkut dan reseptor neurotransmiter, reseptor neuropeptid, neuromodulator peptid,

pintu kanal ion dan mekanisme homeostasis ion selalu berubah selama perkembangan

otak dan sejalan dengan pertambahan umur. Pada otak yang belum matang regulasi

ion Na+, K+, dan Ca++ belum sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan repolarisasi

2

Page 3: Kejang Demam

paska depolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron. Sehingga pada masa

developmental window merupakan masa yang rawan terjadinya kejang demam.

(2) Suhu Badan

Kenaikan suhu tubuh tersering disebabkan oleh infeksi terutama virus (80%),

pada infeksi terjadi karena reaksi dari lipopolisakarida bakteri, serpian protein dari

lekosit dan degenerasi jaringan terhadap thermostat hipothalamus. Interleukin-1 dan

prostagladin sebagai pirogen endogen berperan terhadap kenaikan suhu di otak dan

eksitabilitas neuron serta nilai ambang kejang. Perubahan kenaikan temperatur tubuh

berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan

suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP.

Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme

karbohidrat 10-15 %, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan

peningkatan kebutuhan glukose dan oksigen.

Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksi jaringan termasuk jaringan

otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Kreb normal, satu molukul glukose akan

menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan hipoksi jaringan metabolisme berjalan

anaerob, satu molukul glukose hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada

keadaan hipoksi akan kekurangan energi, hal ini akan menggangu fungsi normal pompa

Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel glia. Ke dua hal tersebut mengakibatkan

masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel.

Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas

membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan masuknya ion Na+ ke

dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab

demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel.

Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan

perubahan potensial memban sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan

depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi

inhibisi terganggu.

Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar

38,9o C – 39,9oC ( 40-56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37o C – 38,9o C

sebanyak 11% penderita dan sebanyak 20 % penderita kejang demam terjadi pada

suhu tubuh di atas 40o C.

3

Page 4: Kejang Demam

(3) Riwayat kehamilan dan persalinan

a. Faktor-faktor prenatal

Faktor-faktor prenatal yang berpengaruh terhadap terjadinya kejang demam antara

lain umur ibu saat hamil, kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi, kehamilan

primipara atau multipara, paparan asap rokok saat kehamilan.

Umur ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan

dilahirkan. Umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat

mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan

di antaranya adalah hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan

di antaranya adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat

menyebabkan prematuritas, lahir dengan berat badan kurang, penyulit persalinan

dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia.

Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan

rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga

mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.

Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30

tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak, mendapatkan angka

penyebab karena eklamsia sebesar (9%). Asfiksia disebabkan adanya hipoksia pada

bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan

aliran darah ke placenta berkurang, sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan

intrauterin dan BBLR.

Insiden kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar

disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan, demikian juga

pada multipara. Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi

kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan

atau udem otak. Keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak dengan kejang

sebagai manifestasi klinisnya.

Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti ilmiah

menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan risiko kerusakan

janin. Dampak lain dari merokok pada saat hamil adalah terjadinya placenta previa.

Placenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau

persalinan dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesaria. Keadaan ini dapat

menyebabkan trauma lahir yang berakibat teriadinya kejang.

b. Faktor-faktor natal

Faktor natal yang menjadi faktor risiko untuk terjadinya kejang demam antara

lain adalah prematuritas, asfiksia, berat badan lahir rendah, dan partus lama. Pada

4

Page 5: Kejang Demam

asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemia di jaringan otak. Keadaan ini

dapat menimbulkan bangkitan kejang, baik pada stadium akut dengan frekuensi

tergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia

berlangsung. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na

intraseluler sehingga terjadi edema otak. Daerah yang sensitif terhadap hipoksia

adalah inti-inti pada batang otak, talamus, dan kollikulus inferior, sedangkan terhadap

iskemia adalah "watershead area" yaitu daerah parasagital hemisfer yang mendapat

vaskularisasi paling sedikit.

Bayi dengan berat badan lahir rendah ( BBLR ) adalah bayi yang lahir dengan

berat kurang dari 2500 gram. BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak

dan perdarahan intraventrikuler. iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi

dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan

hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode

perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan

selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan pada bayi dengan BBLR < 2500

gram dapat terjadi perdarahan intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi

komplikasi neurologi dengan manifestasi kejang.

Pada bayi prematur, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna

sehingga sebelum berfungsi dengan baik. Perdarahan intraventikuler terjadi pada

50% bayi prematur. Hal ini disebabkan karena sering menderita apnea, asfiksia berat

dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini

menyebabkan aliran darah ke otak bertambah. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap

serangan lebih dari 20 detik maka, kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang

permanen lebih besar. Daerah yang rentan terhadap kerusakan antara lain di

hipokampus. Oleh karena itu setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan

eksitabilitas neuron, serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya

menimbulkan kerusakan yang lebih luas.

Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1

jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan Kala II : 1,5 jam.

Sedangkan pada multigravida, kala I: 7 jam dan kala II : 1-5 jam. Persalinan yang

sukar dan lama meningkatkan risiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin.

Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan hipoksi dapat berupa kejang

5

Page 6: Kejang Demam

a) Gangguan perkembangan otak

Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu:

1) neurulasi

2) perkembangan prosensefali

3) proliferasi neuron

4) migrasi neural

5) organisasi

6) mielinisasi.

Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi

neural. Fase perkembangan organisai dan mielinisasi masih berlanjut sampai

tahun-tahun pertama paska natal. Fase perkembangan otak merupakan fase

yang rawan apabila mengalami gangguan, terutama fase perkembangan

organisasi akan berakibat terjadi developental delayed dan bangkitan kejang.

b) Infeksi berulang

Seringnya mengalami infeksi merupakan faktor risiko untuk terjadi kejang

demam. Penderita pengunjung day care atau dititipkan pada penitipan anak

lebih sering terkena infeksi dibandingkan anak yang tinggal dirumah. Kejang

demam sebagian besar (80%) disebabkan infeksi virus, sedangkan karena

bakteri jarang. Beberapa peneliti melaporkan infeksi virus yang ditemukan pada

penderita kejang demam seperti Human Herpes Virus 6, enterovirus dan virus

Influenza A Sydney variant (H3N2). Peneliti lain menemukan bangkitan kejang

demam karena penyakit-penyakit Shigellosis 19,7%, Faringitis 38%, Otitis media

23%, Pneumonia 15%, Gastroenteritis 7%, Roseola infantum 5%, penyakit

bukan karena infeksi 12% (pasca imunisasi MMR dan DPT).

c) Faktor genetik

Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang

demam, Tetapi nampaknya pewarisan gen secara autosomal dominan paling

banyak ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% -

80% dengan mutasi gen pada kromosom 19p dan 8q13-21.

Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita

kejang demam mempunyai nsiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar

20 % - 22%. Dan apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai

riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan

kejang demam meningkat menjadi 59-64%, tetapi sebaliknya apabila kedua

orangnya tidak mempunyai riwayat pemah menderita kejang demam maka risiko

6

Page 7: Kejang Demam

terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh

ibu dibandingkan ayah, yaitu 27% berbanding 7%. Pada anak dengan kejang

demam yang pertama, risiko untuk terjadi kejang demam pada saudara

kandungnya berkisar 10%-45%.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bahtera T (2007) terhadap 148 anak

yang menderita kejang demam, didapatkan adanya hubungan mutasi gen pintu

kanal voltase ion Natrium (channelopathy) dengan umur, suhu, jarak waktu

antara mulai demam sampai timbul bangkitan kejang, jenis kejang demam saat

bangkitan kejang demam pertama, riwayat keluarga (first degree relative) pernah

menderita kejang demam. Mutasi gen pintu kanal voltase ion Natrium subunit α

(SCNIA) mengakibatkan terjadi pergantian asam amino argenin bersifat polar

oleh asam amino alanin yang bersifat non polar dan terjadi kodon stop. Adanya

kodon stop mengakibatkan deretan asam amino penyusun pintu kanal voltase

ion natrium lebih pendek. Pergantian asam amino argenin bersifat polar oleh

asam amino alanin bersifat non polar dan kodon stop mengakibatkan fungsi

pintu voltase kanal ion natrium terganggu. Mutasi gen pintu kanal voltase ion

Natrium sub unit α (SCNIA) mempunyai risiko 3,5 kali terjadi kejang demam

berulang sedangkan mutasi gen pintu kanal voltase ion Natrium sub unit β

(SCNIB) mempunyai risiko 2,8 kali terjadi kejang demam berulang.

d) kadar seng

Seng (Zn) merupakan antagonis N metil-D-aspartat (NMDA) sehingga kadar

seng yang rendah dapat mengaktivasi reseptor NMDA dan berperan dalam

pengaturan eksitabilitas jalur sistem saraf pusat. Penelitian oleh Burhanoglu

(1996) mendapatkan adanya penurunan kadar seng serum dan cairan

serebrospinal pada penderita kejang demam. Sebaliknya, konsentrasi tembaga,

magnesium, dan protein tidak mengalami penurunan.. Sedangkan penelitian

Ganesh dan Janakiraman di India tahun 2005-2006 mendapatkan adanya

hubungan antara kadar seng serum dengan kejang demam.

C. Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan

suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak

terpenting adalah glukosa yang diperoleh dari proses oksidasi dan dipecah menjadi

CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam

adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel

neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K+ dan sangat sulit dilalui oleh ion Na+ dan

7

Page 8: Kejang Demam

elektrolit-elektrolit lain kecuali ion Cl-, akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi

dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron keadaan sebaliknya. Karena

perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel, maka terdapat perbedaan

potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Konsentrasi ion K+ dan Na +

intrasel dan ekstrasel selalu dipertahankan tetap oleh Na+- K+ATPase. Perubahan

keseimbangan potensial membran bisa terjadi karena adanya :

1. Perubahan konsentrasi ion intraseluler dan ekstraseluler .

2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran

listrik dari sekitarnya.

3. Perubahan fisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau kelainan genetik.

Potensial aksi adalah aktivitas listrik mendadak sel neuron. Potensial aksi terjadi akibat

perubahan potensial membran. Perubahan permeabilitas membran sel mengakibatkan

terjadi difusi ion melewati membran sel sehingga terjadi perubahan konsentrasi ion intra

dan ekstra sel. Adanya potensial aksi berpengaruh terhadap pintu voltase kanal ion

pada membran sel. Ion-ion natrium sekarang dapat mengadakan difusi masuk ke dalam

sel neuron atau akson. Masuknya ion-ion natrium yang bermuatan listrik positif ke

dalam sel neuron atau akson menyebabkan membran tersebut menjadi positif di dalam

dan negatif di luar, sehingga dengan demikian terjadi suatu keadaan yang sebaliknya

dari keadaan istirahat dan peristiwa ini disebut depolarisasi. Depolarisasi yang

berlebihan ini dapat disebabkan karena gangguan produksi energi yang diperlukan

untuk mempertahankan potensial membran (misalnya kondisi hipoksemia, iskemia,

hipoglikemia), ketidakseimbangan neurotransmiter eksitator dan inhibitor, serta interaksi

antara kalsium dan magnesium dengan membran saraf yang menyebabkan hambatan

pergerakan natrium sehingga terjadi peningkatan ion natrium yang masuk ke dalam sel

dan depolarisasi.67, Potensial aksi yang terjadi akan dihantarkan sampai ke ujung

akson. Adanya potensial aksi pada ujung akson mengakibatkan visikel di ujung akson

pecah dan terlepas neurotrasmiter keluar ke celah sinaps. Neurotrasmiter di celah

sinaps ditangkap oleh reseptor yang sesuai, terletak pada membran sel postsinapsis.

Neurotransmiter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan disimpan

dalam gelembung sinaptik pada ujung akson. Zat kimia ini dilepaskan dari akson

terminal melalui eksositosis dan juga direabsorbsi untuk daur ulang. Neurotransmiter

merupakan cara komunikasi antar neuron. Setiap neuron melepaskan satu transmiter.

Zat-zat kimia ini menyebabkan perubahan permeabilitas sel neuron, sehingga neuron

menjadi lebih atau kurang dapat menyalurkan impuls, tergantung dari jenis

neurotransmiter tersebut. Terdapat 50 jenis neurotransmiter yang telah ditemukan.

Neurotransmitter di dalam susunan saraf pusat meliputi monoamin (noradrenalin,

dopamin, dan serotonin), asetilkolin, α-aminobutyric acid (GABA), neuropeptida

8

Page 9: Kejang Demam

(vasipresin, oksitosin), dan berbagai ”releasing factors” yang dikeluarkan oleh

hipotalamus, enkefalin, endorfin, dan zat P. Pada umumnya prostaglandin tidak

dimasukkan kelompok neurotransmitter tetapi dipandang sebagai mediator sinaptik.

berdasarkan fungsinya dibagi 2, yaitu eksitator (asam glutamat, asetilkolin, serotonin)

dan inhibitor (Gamma Aminobutyric Acid /GABA, glisin). Pengaturan fungsi

neurotransmiter berperan penting dalam menimbulkan kejang dan pencegahan

bangkitan kejang.56, Glutamat merupakan neurotransmiter eksitasi utama dalam otak.

Hipertermi menyebabkan peningkatan yang cepat dari konsentrasi glutamat

ekstraseluler. Glutamat dapat berperan sebagai reseptor ionotropik dan metabotropik.

Tiga dari fungsi ionotropik glutamat berhubungan dengan kanal ion, di antaranya

reseptor AMPA (alfa-amino-3-hidroksi-5-metil-4 isoksasol propionat) yang berperan

sebagai pengatur masuknya ion natrium ke dalam sel, reseptor NMDA (N metil-D-

aspartat) sebagai pengatur influks ion kalsium dan natrium, serta kainate yang berperan

sebagai pengatur masuknya ion natrium ke dalam sel.

GABA merupakan neurotransmiter yang paling banyak dipelajari. GABA disintesis oleh

asam glutamat dekarboksilase, suatu enzim yang dipengaruhi suhu. Suatu penelitian

menggunakan tikus muda yang dipanaskan otaknya dengan menggunakan radiasi infra

merah untuk menimbulkan kejang dan didapatkan bahwa antagonis GABA baik yang

bersifat antagonis reseptor GABA maupun penghambat sintesis GABA dapat

menurunkan ambang kejang, sedangkan agonis GABA meningkatkan ambang kejang.

Peneliti menyimpulkan bahwa hasil ini mendukung hipotesis bahwa pengurangan

aktivitas sistem GABAergik menyebabkan kejang demam. Fenobarbital merupakan

modulator reseptor GABA sehingga obat ini digunakan sebagai profilaksis kejang

demam.

D. Hubungan Besi dengan Kejang Demam

Otak cukup sensitif terhadap defisiensi besi dalam makanan dan menggunakan

banyak mekanisme untuk mengatur arus zat besi secara homostatik. Besi dibutuhkan

untuk mielinisasi medula spinalis dan substansia alba pada girus-girus serebelar di otak

dan merupakan kofakor bagi sejumlah enzim yang terlibat dalam sintesis

neurotransmiter. Selain itu, defisiensi besi menyebabkan perubahan pada berbagai

proses metabolik yang dapat mengganggu fungsi otak, di antaranya termasuk

metabolisme neurotransmiter, sintesis protein, organogenesis, dan lain-lain. Bukti

peranan besi pada metabolisme neurotransmiter telah diselidiki oleh para peneliti. besi

sangat penting untuk beberapa enzim yang terlibat dalam sintesis neurotransmiter,

termasuk triptofan hidroksilase (serotonin) dan tirosin hidroksilase (norepinefrin/NE dan

dopamin). Selain itu, besi adalah kofaktor untuk ribonukleotida reduktase, dan sangat

9

Page 10: Kejang Demam

penting untuk fungsi sejumlah reaksi transfer elektron yang berhubungan dengan

metabolisme lipid maupun metabolisme energi otak. Besi berhubungan dengan aktivitas

monoamin oksidase, suatu enzim yang sangat penting untuk laju degradasi normal dari

neurotransmiter-neurotransmiter ini.

Selain peran biokimiawi dari zat besi, ada beberapa pengamatan lainnya yang

sangat penting: 1) besi terletak bersama-sama dengan neuron-neuron dopaminergik di

otak, 2) dopamin dan norepinefrin ekstrasel meningkat di otak tikus yang mengalami

defisiensi besi, namun neutrotransmiter lainnya tidak berubah; 3) karena konsentrasi

besi otak berkurang akibat pembatasan besi dalam makanan, terjadi penurunan

kepadatan reseptor D2 dan D1 dan transporter dopamin di striatum; 4) hilangnya besi

otak akibat defisiensi besi dalam makanan bersifat spesifik menurut bagian-bagian otak

dan menimbulkan efek yang heterogen terhadap neurobiologi dopamin, yaitu di bagian-

bagian otak yang tak mengalami penurunan konsentrasi besi, tidak terjadi perubahan

biologi dopamin, dan 5) efek defisiensi besi pada dopamin otak tidak disebabkan oleh

anemianya sendiri, karena anemia hemolitik tanpa defisiensi besi tidak menimbulkan

kelainan-kelainan pada neurobiologi dopamin seperti ini.

Metabolisme serotonin maupun norepinefrin juga berubah pada defisiensi besi di

otak. Kepadatan transporter serotonin lebih rendah secara bermakna pada mencit-

mencit yang mengalami defisiensi besi, sedangkan mikrodialisis in vivo pada tikus

memberikan bukti penurunan laju pengambilan norepinefrin. Penelitian Beard J (2003)

tentang toleransi dingin dan termoregulasi menunjukkan bahwa wanita dan tikus yang

kekurangan zat besi mengalami peningkatan kadar norepinefrin plasma. Hal ini sesuai

dengan penguraian norepinefrin yang lebih cepat dari cadangan di sistem saraf tepi dan

menunjukkan efek dari defisiensi besi terhadap mekanisme pengambilan monoamin.

Penting untuk diketahui bahwa transporter serotonin, norepinefrin dan dopamin

semuanya adalah anggota dari keluarga kotransporter Na+ yang sama dan

menunjukkan karakteristik regulasi dan translokasi yang sama.

Batra dkk (2002) membuktikan bahwa perubahan pada reseptor dopamin, yaitu

5HT (serotonin) yang mengikuti defisiensi besi diperantarai oleh perubahan

perkembangan saraf dan defisiensi besi fase awal juga telah terbukti mempengaruhi

metabolisme GABA pada tikus dewasa.(16)

Penelitian mittal dkk (2002) melaporkan bahwa defisiensi besi fase awal pada

hewan coba telah menunjukkan penurunan bermakna pada kadar GABA di otak dan

asam glutamat-L. Enzim-enzim untuk biosintesis GABA dan L-glutamate like glutamate

decarboxylase dan glutamate transaminase juga berkurang.(36)

10

Page 11: Kejang Demam

Riwayat penyulit dalam kehamilan maupun persalinan

Ketidakseimbangan neurotransmiter Eksitasi > inhibisi

Faktor genetik

Suhu badan

Infeksi berulang

Gangguan perkembangan otak

kejang demam

Peningkatan asam glutamatPenurunan GABAergik

Reseptor GABA tidak berfungsiChannelopathy

Mutasi gen :γ 2 GABASCNIA dan SCNIB

Peningkatan eksitabilitasPenurunan kadar natrium dan kalsium darahInhibisi turun

Nilai ambang kejang menurun

Kadar seng ↓

Reseptor NMDA

Usia Pematangan otak belum sempurna

Eksitabilitas ↑

Kadar besi ↓

Gangguan mielin

11