KEHIDUPAN PEREMPUAN PELAKU SALON ”PLUS” DI … filesalon plus di wilayah Yogyakarta, yaitu...

25
KEHIDUPAN PEREMPUAN PELAKU SALON ”PLUS” DI WILAYAH YOGYAKARTA INTISARI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun oleh Dwi Ratnawati 04320329 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2009

Transcript of KEHIDUPAN PEREMPUAN PELAKU SALON ”PLUS” DI … filesalon plus di wilayah Yogyakarta, yaitu...

KEHIDUPAN PEREMPUAN PELAKU SALON ”PLUS”

DI WILAYAH YOGYAKARTA

INTISARI

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk

Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Derajat Sarjana S-1 Psikologi

Disusun oleh

Dwi Ratnawati

04320329

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2009

NASKAH PUBLIKASI

KEHIDUPAN PEREMPUAN PELAKU SALON ”PLUS”

DI WILAYAH YOGYAKARTA

Telah Disetujui Pada Tanggal

______________________________________

Dosen Pembimbing

Sonny Andrianto, S.Psi., M.Si

KEHIDUPAN PEREMPUAN PELAKU SALON “PLUS”

DI WILAYAH YOGYAKARTA

Dwi Ratnawati

Sonny Andrianto, S. PSi, M.Si

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bertujuan untuk mengkaji kehidupan pelacuran yaitu dari proses dari mereka berkenalan sampai bersentuhan dengan dunia pelacuran.

Jenis penelitian bersifat deskriptif, dengan metode pendekatan kualitatif dimana penelitian ini terbatas pada pengungkapan suatu masalah atau peristiwa sebagaimana adanya dan sekadar untuk mengungkapkan fakta sehingga hasilnya adalah ditekankan pada penggambaran secara obyektif atau apa adanya tentang obyek yang diteliti.

Subjek penelitian ini yang digunakan pada penelitian ini adalah perempuan pelaku salon plus. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara nonprobalitias sampling menggunakan metode snow ball sampling. Snow ball sampling merupakan metode sampling dimana responden awal dipilih berdasarkan metode probabilitas kemudian responden awal diminta untuk memberikan informasi mengenai rekan-rekan lainnya sehingga diperoleh lagi responden tambahan.

Terdapat beberapa dimensi yang faktor-faktor melatar belakangi pelacuran dalam praktek salon plus di wilayah Yogyakarta, yaitu alasan utama mengapa salon tersebut menyediakan layanan plus adalah ekonomi meskipun terdapat beberapa faktor pendorong lain misalkan rasa sakit hati terhadap perkawinan yang gagal, hubungan mereka dengan sesama pegawai umumnya diwarnai persaingan. Hal ini dilihat dari upaya untuk memamerkan pelanggan setia serta barang yang telah mereka miliki. Sementara hubungan mereka dengan lingkungan masyarakat sekitar umumnya sangat terbatas. Mereka beranggapan bahwa masyarakat menilai rendah pekerjaan mereka sehingga membatasi kepercayaan diri untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Cara mereka untuk menarik pelanggan sangat berbeda satu dengan yang lain. Salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan antara pekerja dengan pekerja salon plus lainnya dalam hal menarik pelanggan adalah usia. Dapat dikatakan bahwa semakin menarik potensi yang dimiliki oleh PSK dalam menarik pelanggan untuk menikmati jasanya maka semakin sedikit intensitas penggunaan komunikasi verbalnya. Sebagai seorang pekerja salon plus, baik pada responden satu dan dua menyatakan bahwa masing-masing dari mereka menyadari bahwa mereka tidak mungkin selamanya bisa bekerja.

Kata Kunci : Pelacuran, Perempuan, Salon Plus, Yogyakarta

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Bangsa Indonesia dewasa ini tengah giat-giatnya melaksanakan pembangunan disegala

bidang. Salah satu dari komponen pembangunan tersebut adalah kaum perempuan. Struktur

sosial selama ini memposisikan perempuan sebagai objek pembangunan karenanya,

perempuan selalu tertinggal. Salah satu hambatannya adalah stereotipe tentang perempuan,

yang menempatkan perempuan selalu dalam posisi nomor dua. Posisi perempuan sebagai

posisi nomor dua di masyarakat lebih dirasakan apabila perempuan tersebut dianggap tidak

dapat menjalankan peranannya. Salah satu sebab perempuan tersebut tidak dapat

menjalankan peranan di dalam masyarakat adalah sebagai pelaku pelacuran.

Pelacuran merupakan gejala sosial yang berlangsung dalam sejarah umat manusia yang

panjang karena berbagai faktor yang berkaitan menyebabkan gejala ini ada dari waktu ke

waktu, faktor-faktor yang mendorong terjadinya pelacuran terletak baik pada aspek kodrati

manusiawi terutama yang berhubungan dengan Bio-psikologis, khususnya nafsu seksual

manusia baik itu Pria ataupun Wanita. Serta faktor-faktor luar yang mempengaruhi seperti

faktor sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang terjalin sedemikian rupa sehingga

drama pelacuran atau Postitusi ada terus dari waktu ke waktu sepanjang sejarah manusia.

Secara tepatnya pentas pelacuran dianggap mulai ada sejak adanya norma hukum perkawinan

(Soedjono, 1977).

Arti kata pelacur sendiri adalah: penyerahan diri seorang wanita kepada banyak pria

tanpa pilih-pilih untuk memuaskan nafsu yang bersangkutan, yang mana untuk perbuatan

tersebut si pria memberikan imbalan (Soedjono,1977) dari pengertian diatas dapat

disimpulkan arti pelacuran adalah suatu perbuatan yang di dalamnya terlibat beberapa wanita

dalam suatu peristiwa untuk memuaskan nafsu pria, yang mana untuk perbuatan tersebut si

pria memberikan imbalan dan ini pun dapat disebut juga dengan prostitusi. Tetapi seiring

waktu berjalan yang melakukan profesi ini bukan hanya wanita, pria pun banyak yang

menggeluti profesi ini yang disebut dengan Gigolo.

Pelacuran merupakan profesi tertua didunia, peristiwa ini sudah dikenal sejak ratusan

tahun sebelum Masehi (Soedjono,1977). Banyak istilah untuk menyebutkan Profesi tersebut

seperti: WTS (wanita tuna susila), penjaja cinta, Wanita penghibur dan sebagainya, tetapi

saat ini yang sering digunakan Media-media massa seperti koran, majalah dan Televisi

adalah PSK (pekerja seks komersil). Istilah ini pertama kali digunakan oleh kelompok

Feminist menurut Surat kabar harian SINAR pada tahun 1994 (Endang, 1997).

Praktek pelacuran tidak dapat dipisahkan dari konteks sistem norma dan nilai

budaya masyarakat yang memberikan peluang bagi praktek pelacuran untuk hidup dan

berkembang. Sesungguhnya, pelacuran merupakan perbuatan terlarang dan dianggap sebagai

perbuatan hina oleh segenap anggota masyarakat. Praktek pelacuran dapat memberikan

pengaruh demoralisasi kepada lingkungan, khususnya anak-anak muda remaja pada masa

puber. Aktivitas pelacur dapat merusak sendi-sendi moral, susila, hokum dan agama,

terutama sekali menggoyahkan norma perkawinan sehingga menyimpang dari adat

kebiasaan, norma, hokum dan agama. Namun demikian, “mata pencaharian “ pelacuran

selalu ada, bahkan tidak mungkin diberantas dari muka bumi (Kartono, 1999). Dengan

demikian, pelacuran merupakan ancaman terhadap sex morality, kehidupan rumah tangga,

kesehatan, kesejahteraan kaum wanita, dan bahkan menjadi problem bagi pemerintah lokal.

Bagi si pelaku sendiri atau bagi pelacur ternyata juga membawa efek yang juga

merugikan tidak hanya bagi kesehatan fisik namun juga kesehatan jiwa. Kondisi hidup yang

membawa kehidupan si pelacur dalam situasi dimana terjadi penyimpangan sebagai bagian

dari pelanggaran kebiasaan atau aturan yang dilaksanakan suatu masyarakat. Aturan yang

dilaksanakan dalam masyarakat adalah hubungan badan yang dilakukan antara laki-laki dan

perempuan harus dilakukan di bawah lembaga perkawinan. Hubungan yang dilakukan di luar

nikah dan diantaranya adalah praktek pelacuran secara psikologis disebut dengan tidak

bersih, tidak baik untuk keseimbangan jiwa dan mengganggu kebersihan jiwa (Kartono,

1992). Secara langsung sebenarnya praktek pelacuran tidak menimbulkan kondisi gangguan

psikotik bagi pelakunya namun terdapat beberapa kondisi yang mengiringi pelaksanaan

prakatek pelacuran tersebut dan dapat mendorong timbulnya gangguan psikotik.

Pertama, tidak sesuainya dan tidak terpenuhinya harapan yang dimiliki oleh perempuan

pelaku pelacuran. Banyak faktor yang menyebabkan perempuan melakukan pelacuran

misalkan ekonomi, rumah tangga dan pacar. Penyebab lain yang menjadi alasan perempuan

melakukan pelacuran adalah faktor salah pergaulan dan pemenuhan hasrat seksual (Khauly,

1997). Faktor tersebut bisa menjadi pendorong perempuan untuk melakukan praktek

pelacuran apabila tidak dapat memenuhi dan pada akhirnya memilih jalan singkat untuk

memenuhinya. Tidak terpenuhinya atau tidak sesuainya harapan seseorang dengan kenyataan

serta diiringi dengan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhinya dapat menjadi faktor

pendorong timbulnya gangguan psikotik (Kartono, 2000)

Kedua, adalah rasa malu dan takut tidak dapat diterima oleh masyarakat dengan baik.

Hal ini disebabkan rendahnya pleacur di mata masyarakat. Rendahnya posisi pleacur dapat

merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama, terutama sekali menggoyahkan

perkawinan sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma, hukum dan agama (Kartono,

1999). Akibatnya timbul ketakutan bagi para perempuan pelaku pelacuran tidak akan

diterima dengan baik oleh masyarakat. Rendahnya posisi pelacur di mata masyarakat ini

menyebabkan perempuan yang menjadi pelacur menjadi sangat tertutup dan

menyembunyikan diri bahkan kepada anggota keluarga terdekat.

Kondisi yang tidak sesuai dengan harapan serta ketakutan untuk diterima dengan baik

di tengah masyarakat dapat menjadi kondisi yang menyebabkan penyimpangan tingkah laku.

Menurut Kartono (2000) ketidaksesuaian dan ketidakmampuan individu dapat menyebabkan

konflik yang menyebabkan terjadinya gangguan psikotik

Di samping itu kehidupan pelacur yang keras menimbulkan berbagai tekanan dalam

kehidupannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Prabowo (2005) terhadap kehidupan

pelacur di Pasar Kembang Yogyakarta memperlihatkan bahwa pelacur terbagi menjadi dua

kategori: perempuan yang melacurkan dan perempuan yang dilacurkan. Mereka

meninggalkan rumah dan hidup di tempat pelacuran karena suasana yang tidak nyaman

seperti kekerasan yang dialami dan keacuhan keluarga terhadap anak. Pada umumnya

perempuan pelaku pelacuran berasal dari keluarga miskin yang tidak memperhatikan

pentingnya pendidikan bagi anak. Hubungan anak dengan keluarga terputus begitu anak

meninggalkan rumah, begitu juga dengan pendidikan pelacur perempuan yang terputus

begitu mereka keluar dari ikatan keluarga. Rendahnya tingkat pendidikan, terputusnya

hubungan mereka dengan keluarga, serta kehidupan sosial yang cenderung bebas dan keras

kerap menjadikan anak sangat permisif terhadap hubungan seksual bebas (Sukma, 2003).

Hubungan pelacur perempuan terhadap pelanggannya terbagi menjadi dua, hubungan

antara pelacur dan pelanggan dan hubungan suka sama suka layaknya hubungan pacaran,

hubungan yang kedua adalah hubungan antara anak jalanan dengan laki-laki dalam

komunitas pengguna jasa pelacuran. Dari dua kategori pelanggan tersebut, perempuan

mendapatkan imbalan uang, barang dan perlindungan terhadap jasa seksual mereka.

Kehidupan di tempat pelacuran yang serba gratis karena selalu bergantung pada teman dan

pacar memperkecil pengeluaran mereka terhadap kebutuhan sehari-hari termasuk kebutuhan

mereka akan gaya hidup yang juga merupakan aktualisasi diri mereka. Sehubungan dengan

kesehatan reproduksi mereka, pelacur melakukan aborsi dan sering terserang oleh penyakit

menular seksual karena berganti-ganti pasangan. Kehidupan di tempat pelacuran yang keras

juga menimbulkan kekerasan terhadap perempuan yang dilacurkan, seperti kekerasan fisik

dan seksual yang seringkali dilakukan oleh sesama pelacur, germo dan pengguna jasa

pelacur, di samping oleh aparat keamanan.

Apabila dikaitkan dengan kondisi pelacuran salon plus maka praktek ini merupakan

kedok untuk menghidupkan pelacuran di tengah masyarakat Yogyakarta. Banyak praktek

yang secara lugas melakukannya seperti pelacuran di pasar Kembang namun ada yang

terselubung seperti praktek salon plus di berbagai jalan di Yogyakarta. Praktek salon plus ini

terungkap dalam artikel berbagai surat kabar diantaranya Detikcom dan Kedaulatan Rakyat.

Pengungkapan praktek pelacuran dengan memakai kedok belum pernah dikaji sebelumnya.

Pelacuran yang dilakukan dengan kedok salon plus tentunya akan memiliki perbedaan dalam

hal kajian kehidupan pelacuran. Proses dari mereka berkenalan dengan dunia pelacuran

kemudian bersentuhan dengan dunia pelacuran serta apa saja yang telah dialami selama

menjadi pelacur. Oleh karenanya peneliti tertarik untuk mengkaji penelitian dengan judul :

“Kehidupan Perempuan Pelaku Pelacuran Salon Plus di Wilayah Yogyakarta”

A. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini yang digunakan pada penelitian ini adalah perempuan pelaku

salon plus. Kerangka sampling atau sampel frame adalah pelaku salon plus di wilayah

Yogyakarta. Pemilihan sampling frame ini dikarenakan wilayah Yogyakarta diketahui

banyak terdapat pelaku salon plus. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara

nonprobalitias sampling menggunakan metode snow ball sampling. Snow ball sampling

merupakan metode sampling dimana responden awal dipilih berdasarkan metode

probabilitas (misalnya simple random sampling) kemudian responden awal diminta untuk

memberikan informasi mengenai rekan-rekan lainnya sehingga diperoleh lagi responden

tambahan. Dengan demikian semakin lama kelompok responden makin membesar

(Tjiptono dan Santoso, 2004).

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian bersifat deskriptif, dengan metode pendekatan kualitatif dimana

penelitian ini terbatas pada pengungkapan suatu masalah atau peristiwa sebagaimana

adanya dan sekadar untuk mengungkapkan fakta sehingga hasilnya adalah ditekankan pada

penggambaran secara obyektif atau apa adanya tentang obyek yang diteliti.

Tentang metode kualitatif ini didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati. Ciri-Ciri pokok metode deskriptif: (Bogman dan Taylor,1993)

1. Memusatkan perhatian pada masalah yang ada, pada saat penelitian di lakukan atau

masalah-masalah yang bersifat aktual

2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya,

diiringi dengan interpretasi yang rasional

Ada beberapa hal mengapa dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian

kualitatif, yaitu (1) fenomena perempuan pelaku salon plus hanya dapat dijelaskan dengan

baik secara ekploratoris karena variabel-variabelnya belum diketahui dan lebih

mementingkan konteks, (2) lingkup penelitian ini yang tidak luas, hanya pada perempuan

pelaku salon plus (3) penelitian ini bukanlah suatu uji teori melainkan mengungkapkan

sesuatu yang mendalam.

Sedangkan penggunaan metode deskriptif dimaksudkan karena penelitian ini

memusatkan perhatian pada masalah perempuan pelaku salon plus, serta pada saat

penelitian di lakukan atau masalah-masalah yang ditemukan di lapangan bersifat aktual.

Oleh karena itu penelitian ini berusaha menggambarkan fakta-fakta tentang perempuan

pelaku salon plus sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi yang rasional

(Poerwanti, 2000)

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Observasi

Teknik Observasi yang dilakukan adalah observasi tidak berpartisipasi, yaitu kegiatan

pengumpulan data yang bersifat non verbal di mana peneliti tidak berperan ganda sebagai

peneliti maupun pelaku kegiatan. Peneliti berperan sebagai pengamat belaka atau tidak ikut

serta sebagai aktor yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan.(Slamet, 2006) Dengan

observasi ini diperoleh data mengenai sikap perempuan pelaku salon plus.

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis tentang fenomena-

fenomena yang diselidiki (Soetrisno Hadi,1993) Metode ini digunakan untuk mengetahui

kehidpan perempuan pelaku salon plus di wilayah Yogyakarta.

2. Wawancara (interview)

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua

pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang

memberikan jawaban, seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (dalam Moloeng,

2007). Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai

tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh

pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan

topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal

yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dalam Poerwandari, 1998).

Pendekatan wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

wawancara dengan menggunakan petunjuk umum. Jenis waancara ini mengharuskan

pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan, tidak

perlu untuk ditanyakan secara berurutan.(Patton dalam Moloeng, 2007)

D. Metode Analisis Data

Analisis merupakan proses pemecahan, pemisahan, atau penguraian materi penelitian

menjadi bagian-bagian, elemen-elemen, atau unit-unit kecil. Dengan data (fakta) yang telah

di pecah secara sistematis tersebut, peneliti menyeleksi, mengklasifikasikan serta

menuyusun pola yang dapat diintrepretasikan menjadi suatu kesimpulan masalah

(Jorgensen dalam Poerwandari, 1998). Sehingga langkah pertama dalam analisis dilakukan

adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh atau koding. Koding yang

dilakukan terdiri dari tiga langkah. Langkah pertama, peneliti menyusun transkrip verbatim

(kata demi kata), kedua melakukan penomoran pada data yang diperoleh agar diperoleh

suatu kronologi, ketiga memberikan nama pada setiap kelompok data yang dikoding.

Setelah langkah-langkah di atas peneliti berusaha untuk menganalisis data yang

dikumpulkan dengan cara mencari pola, tema, hubungan persamaan hal-hal yang sering

muncul dan lain sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat

tentatif, akan tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus

menerus, dan setiap kesimpulan senantiasa dilakukan verifikasi selama berlangsungnya

penelitian.

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode wawancara tidak terstruktur. Sutopo (2002)

berpendapat bahwa wawancara tidak terstruktur dapat dikatakan pertanyaan dan

jawabannya diserahkan atau ebrada pada orang yang diwawancarai. Wawancara tidak

terstruktur dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat open-ended dan mengarah pada

kedalaman informasi serta dilakukan dengan cara yang tidak formal.

Hasil wawancara kemudian dibuat kode-kode atau tema-tema. Koding dimaksudkan

untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap sehingga data dapat

memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 1997). Selanjutnya

peneliti membuat penomoran pada baris-baris pada hasil transkrip hasil wawancara yang

kemudian memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. Sebagai

contoh kode W1S1, Brs 6-9 yang artinya transkrip wawancara sesi pertama dengan subjek

pertama pada halaman baris ke enam sampai baris ke sembilan.

Berikut hasil wawancara dengan subjek yang telah dikelompokkan berdasarkan

informasi yang harus diungkap dalam wawancara

1. Deskripsi Subjek

Penelitian ini melibatkan tiga orang subjek yang memiliki karakteritik sesuai dengan

karakteristik subjek yang telah ditentukan. Untuk lebih jelasnya tentang subjek tersebut,

berikut peneliti sajikan deskripsi keempat subjek tersebut.

a. Secara umum gambaran responden satu (Khanza) adalah sebagai berikut:

Nama Subjek : Khanza

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Usia : 24 tahun

Pendidikan : Mahasiswi

Pekerjaan : Chapster Salon

Berdasarkan wawancara dengan informan, Kz adalah perempuan periang, cerewet

dan suka bercanda. Sesekali ia terlihat kemayu tetapi karena pembawaannya yang

dewasa maka dikostnya ia sering dijadikan tempat curhat oleh teman - temannya. Ia

tipikal orang yang mudah beradaptasi, pembawaannya yang cerewet membuatnya

cepat akrab dengan orang lain walaupun dengan orang yang baru dikenal. Sedangkan

apabila dilihat dari penampilan fisik adalah tinggi sekitar 160 cm, tubuh langsing,

rambut bergelombang sebahu dengan kulit sawo matang, hidung mancung.

b. Secara umum gambaran responden dua (Indri) adalah sebagai berikut :

a. Nama Subjek : Indri

b. Jenis Kelamin : Perempuan

c. Agama : Islam

d. Usia : 21 tahun

e. Pendidikan : SMA

f. Pekerjaan : Chapster Salon

Berdasarkan wawancara dengan subjek pertama, Indri (nama samaran) adalah

seorang wanita yang bekerja sebagai PSK yang berusia 21 tahun. Indri berasal dari

daerah jawa timur dan bekerja sebagai PSK sejak usia 20 tahun..

Sebagai PSK Indri dapat dikatakan cukup menarik, karena ia mempunyai berat badan

kira-kira 45 Kg dan tinggi kurang lebih 165 cm, kulitnya berwarna hitam manis dan

rambut pendek sebahu dengan model jaman sekarang. Wajah Putri berbentuk bulat

tanpa ada bekas jerawat sehingga dapat dikategorikan cantik. Selama pengamatan

Indri dalam mencari calon pengguna jasanya biasanya berkaos ketat satu warna

apakah itu hitam polos, pink atau merah. Sedangkan bawahan yang dipakainya

hampir tidak pernah menggunakan celana sepanjang mata kaki, celana yang sering

digunakannya adalah celana “setengah tiang” atau rok mini

c. Secara umum gambaran responden tiga (Putri) adalah sebagai berikut:

a. Nama Subjek : Putri

b. Jenis Kelamin : Perempuan

c. Agama : Islam

d. Usia : 35 tahun

e. Pendidikan : SMA

f. Pekerjaan : Pemilik salon

Berdasarkan wawancara Responden satu, Putri (nama samaran) adalah seorang

wanita yang berasal daerah Ciamis, Jawa Barat. Saat ini Putri telah berusia 35 tahun.

Namun Putri pertama kali berprofesi sebagai pekerja seks saat usianya 16 tahun,

yaitu sekitar tahun 1990-an. Putri adalah seorang istri (mempunyai suami) yang

mengalami persoalan psikologis dalam hidupnya. Alasan Putri menjadi PSK, selain

karena terdesak kebutuhan ekonomi, Putri merasa frustasi dengan kondisi kodrati

wanitanya yang tidak sempurna, yaitu mandul atau tidak bisa memiliki keturunan.

Putri sebenarnya sudah berusaha untuk lima kali menikah, namun selama

pernikahannya tersebut Putri tidak mampu memberikan keturunan bagi suaminya

yang menikahinya. Karena kegagalannya dalam membina dan memberikan

keturunan bagi keluarga dan suaminya itulah kehidupan keluarga Putri tidak bisa

berjalan secara harmonis dan Putri merasa tidak berarti sebagai seorang istri hingga

lari memilih jalan menjadi PSK. Saat ini Putri tinggal di daerah Sleman sehingga

dalam bekerjanya Putri selalu diantar-jemput oleh suaminya yang mana suaminya

tersebut adalah mantan pelanggannya.

Sebenarnya dalam hal ekonomi putri serba berkecukupan, karena suaminya yang saat

ini adalah mempunyai berbagai macam usaha dan ia anak pejabat yang cukup

terpandang didaerah Sleman. Tetapi suaminya yang selalu “kasar” padanya dan

merasa dalam keluarga besar suaminya selalu dipergunjingkan sebagai wanita yang

tidak baik, selalu keluar malam, tertutup dan tidak dapat memberikan keturunan,

karena ia mengaku bekerja sebagai waitres disebuah tempat bermain Bilyar.

Karena faktor tersebut, Putri dalam berkomunikasi tidak terlalu agresif apabila

ia telah telah memenuhi “target” dan untuk memenuhi kebutuhannya dalam hari itu,

kecuali pada calon pengguna jasanya yang berusia muda, demikianlah yang

dikatakan oleh Putri:

Putri yang telah memasuki usia kepala tiga memiliki tubuh yang masih

menarik, dengan berat badan 45 Kg dan tinggi kurang lebih 170 cm, kulitnya

berwarna putih kusam dan rambut sebahu. Selama pengamatan Putri dalam mencari

calon pengguna jasanya selalu berkaos ketat dan bercelana panjang.

2. Latar Belakang

Latar belakang yang ditanyakan kepada responden menyangkut asal daerah, awal

mula berkenalan dengan pekerjaan di salon plus, dan lama bekerja di salon plus. Hal ini

tidak menutup kemungkinan adanya data lain yang masuk menurut pembicaraan dari

masing-masing responden.

Dalam wawancara yang dilakukan terhadap responden satu diketahui bahwa

responden pertama berasal dari Yogyakarta yang datang ke Yogyakarta untuk

meneruskan kuliah. Responden satu tinggal di kota Yogayakarta sudah hampir 4,5 tahun

namun bekerja sebagai pegawai di di salon plus selama 2,5 tahun. Awal mula

berkenalan bekerja sebagai pegawai salo plus dikenalkan dengan teman kost.

Sedangkan dalam wawancara yang dilakukan dengan responden dua diketahui bahwa

responden dua berasal dari Surabaya. Tidak diketahui lama tinggal di Yogayakarta

namun dari keterangan teman responden diketahui bahwa dia sudah satu tahun menjadi

PSK. Responden dua menjalani pekerjaannya sebagai PSK bahkan sejak tinggal di

Surabaya (sebelum berada di Yogyakarta). Awal mula berkenalan dengan pekerjaaan

sebagai pegawai salon plus diperkenalkan dengan teman. Dalam wawancara yang

dilakukan terhadap responden tiga diketahui bahwa reponden tiga merupakan pemilik

usaha yang berasal dari Ciamis, Jawa Barat. Bertempat tinggal di Yogyakarta selama 15

tahun namun tidak diketahui lama bekerja sebagai PSK atau sebagai pemilik salon plus

di Yogyakarta. Demikian pula dengan awal mula berkenalan dengan salon plus.

3. Alasan Responden Untuk Bekerja Di Salon Plus

Alasan yang ditanyakan pada responden adalah alasan serta hal yang

melaterbelakangi yang kemudian mendorong responden menjadi pegawai atau pemilik

salon plus. Pegawai atau pemilik tidak hanya menyangkuta aktivitas seperti halnya

pegawai salon kecantikan pada umumnya nmun menyangkut kegiatan pelacurannya.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden satu diketahui bahwa

alasan responden untuk bekerja di salon plus adalah mencari tambahan uang

menyelesaikan pendidikan tinggi di Yogyakarta. Kesulitan keuangan untuk

menyelesaikan pendidikan dan menghidupi diri sendiri disebabkan ayahnya yang

berperan sebagai kepal keluarga mengalami kebangkrutan.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden dua diketahui bahwa

alasan bekerja sebagai pegawai salon plus Yogyakarta adalah alasan sakit hati setelah

mengalami perceraian. Responden dua merasa bahwa perkawinan hanya memberikan

sakit hati, maka dia lebih senang mendapat uang serta tidak dikekang dengn menjalani

prostitusi. Perkawinan terdahulu didasari oleh niat untuk membantu ekonomi orang tua.

Kemudian bekerja menjadi pegawai toko di Surabaya, namun karena dirasakan

pendapatannya tidak mencukupi maka dia menjadi PSK. Setelah diajak dan dibujuk

oleh temannya bahwa persaingan antar PSK tidak seketat di Surabaya maka responden

dua pindah dan bertempat tinggal di Yogyakarta.

Berdasarkan wawancara terhadap responden tiga diketahui bahwa alasan dia menjadi

pemilik salon plus dan bekerja sebagai PSK disebabkan rasa sakit hati karena dianggap

keluarga tidak dapat memberikan keturunan.

4. Tanggapan Lingkungan Terhadap Pekerjaan Di Salon Plus

Tanggapan lingkungan yang ditanyakan pada respoden adalah tanggapan dari

keluarga dan masyarakat sekitar termasuk ikut terlibatnya mereka dalam kegiatan sosial

baik di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan wawancara dengan responden satu dapat diketahui bahwa tanggapan

dari masyarakat terhadap pekerjaan respoden umumnya bersifat sinis terutama dari

kalangan wanita. Hal ini terlihat dari tetangga yang melewati tempat ini biasanya

kemudian berubah menjadi sinis. Pandangan sinis ini sebenarnya datang dari penilaian

negatif terhadap pekerjaan di salon plus yang memang menjalankan pelacuran.

Responden sebenarnya malu pada tetangga namun kemudian oleh responden satu

menanggapi dengan sikap diam saja serta menyerahkan penilain pada masing-masing

individu. Responden juga jarang terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan seperti

kegiatan tujuhbelasan atau kegiatan pengajian kampung

Sementara tanggapan dari keluarga responden satu karena tidak tahu. Responden

satu menutupi bahwa dirinya menafkahi dan membiayai kuliahnya dengan menjadi

pegawai salon plus.

Berdasarkan wawancara terhadap respoden satu diketahui bahwa tanggapan

masyarakat terhadap dirinya tidak diketahui. Karena tidak ada data yang menyebutkan

hubunganya dengan masyarakat sekitar. Namun responden dua menyebutkan bahwa

keluarganya tidak akan perduli pada pekerjaaannya. Selama ini memang keluarganya

belum mengetahui pekerjaan yang dilakukan oleh respoden dua namun apabila keluarga

mengetahui bukan menjadi persoalan karena yang penting adalah dapat mencukupi

kebutuhan ekonomi mereka.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap respoden tiga mengenai tanggapan

masyarakat terhadap kegiatan di salon plus tidak memebrikan tanggapan apapun.

Meskipun sebenarnya tetangga mengetahui bahwa salon tersebut menjalankan kegiatan

pelacuran. Hal ini diketahui bahwa sebagian penduduk ada yang menjadi pelangga di

salon plus tersebut. Tanggapan masyarakat terhitung tidak diketahui dengan jelas karena

respoden tiga jarang berinteraksi dengan tetangga dan mengikuti kegiatan

kemasyarakat. Namun untuk mencegah adanya benturan dengan masyarakat sekitar,

responden tiga sengaja memilih lokasi salon plus yang agak jauh dari kawasan

pemukiman penduduk.

Sedangkan tanggapan keluarga terhadap aktivitas yang dilakukan responden tiga

hanya mendiamkan saja. Bahkan suami yang membiayai dirinya untuk membuka usaha

salon plus ini. Responden tiga sudah lama tidak berhubungan dengan keluarga dekat

sedangkan responden tiga juga tidak memiliki keturunan sehingga keluarga yang

tertinggal adalah suaminya saja. Hal ini dapat diketahui dari wawancara di bawah ini:

5. Perasaan Ketika Bekerja Di Salon Plus

Wawancara yang dilakukan terhadap respoden menyangkut dalam tema perasaan ketika bekerja di

salon plus meliputi tanggapan respoden terhadap kegiatan yang dijalankan dalam salon plus, dan

tanggapan terhadap dirinya sendiri.

Berdasarkan wawancara terhadap respoden satu dapat diketahui bahwa perasaan responden satu ketika

bekerja sebagai pegawai salon plus merasa malu dan tidak percaya diri. Sedangkan tanggapan perasaan

terhadap dirinya sendiri merasa bangga bahwa dia bisa memenuhi uang kuliah dan menafkahi dirinya

sendiri tanpa tergantung pada orang tua meskipun terpaksa melakukan pelacuran.

Berdasarkan wawancara terhadap responden dua dapat diketahui bahwa tanggapan terhadap pekerjaan

sebagai pegawai salon plus tidak merasa malu ataupun merasa rendah diri. Dia merasa bahwa rejeki orang

bisa didapat dari mana saja dan apabila rejekinya berasal dari kegiatan pelacuran bukan menjadi masalah.

Sedangkan tanggapan dirinya sendiri merasa bangga karena bisa membantu orang tua dan menyekolahkan

anak-anak.

Berdasarkan wawancara terhadap responden dua dapat diketahui bahwa tanggapan terhadap pekerjaan

sebagai pemilik salon plus merasa malu karena tanggapan orang lain bahwa kegiatan pelacuran

memalukan dan rendahan.Sedangkan juga tidak memandang dirinya dengan rendah karena bagi dirinya,

dia tidak menyusahkan orang lain.

6. Karakteristik Pelanggan Di Salon Plus

Wawancara yang dilakukan terhadap respoden mengenai tema karakteristik pelanggan adalah

mengenai asal dan pekerjaan pelanggan, cara pendekatan serta banyak kunjungan. Baik responden satu,

dua maupun tiga sama-sama bekerja di satu salon sehingga karakteristik dilihat dari asal dan pekerjaan

pelanggan tidak terlalu berbeda namun setiap responden menggunakan cara yang berbeda untuk

melakukan pendekatan.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden satu mengenai karakteristik pelanggan di

salon plus berasal dari pegawai negeri sedangkan dari teman-teman kuliah tidak ada. Sedangkan dari

tetangga ada yang pernah menjadi pelanggan salon plus. Dalam sehari dia minimal melayani dua orang

tamu. Dalam sistem pekerjaan tidak dikenal adanya jumlah minimal karena jumlah tamu seluruhnya

tergantung dari kunjungan. Awal mula dilakukan dengan memberikan service dalam kegiatan perawatan

tubuh seperti dalam salon pada umum misalkan dicreambath atau mau dipijit. Apabila pelanggan merasa

tertarik maka pelanggan umumnya melakukan penawaran dalam kegiatan pelacuran maka transaksi

terjadi.

Responden satu dalam menarik perhatian pelanggan dengan mengutamakan penampilan tubuh dan wajah

dengan melakukan perawatan rutin sehingga mampu memperlihatkan penampilan senantiasa segar.

Responden satu merasa bahwa dirinya masih muda sehingga lebih banyak menggunakan pendekatan

komunikasi non verbal.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden dua diketahui bahwa pendekatan

menggunakan pendekatan non verbal dengan menggunakan kelebihan penampilan yang berusia

muda.Pertama dia menggunakan bahasa isyarat dengan mata (lirikan) kemudian mendekati dengan

mengajak mengobrol. Responden dua juga sudah bisa membedakan antara pelanggan yang berniat serius

(melakukan penawaran pelacuran) dan tidak. Apabila dirasa bahwa tamunya tidak berniat serius,

responden dua tidak melakukan pendekatan lebih jauh. Penampilannya juga dilengkapi dengan asesoris

dan selalu menggunakan baju ketat. Hal ini disebabkan untuk menonjolkan bentuk tubuhnya. Responden

dua juga tidak pernah mencari pelanggan di luar salon karena merasa sudah terikat dengan pemilik salon.

Hal ini memang tidak secara tertulis namun secara etika sesama pegawai salon plus sudah saling

mengetahui dan menaati. Apabila ada pelanggan maka seluruh pegawai di salon plus wajib menyetorkan

bagian kepada Mami selaku pemilik salon.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan responden tiga dapat diketahui bahwa responden tiga

lebih banyak pendekatan terhadap pelanggan menggunakan komunikasi verbal. Biasanya dengan

menggoda pelanggan dengan guyonan apalagi terhadap calon pelanggan yang berusia masih muda karena

pelanggan muda masih malu-malu. Hal ini disadari dari penampilan dirinya yang sudah tidak lagi muda.

Dia juga menggunakan wewangian sebagi penarik perhatian pelanggan Sedangkan patokan jumlah

pelanggan yang dilayani terserah hatinya, namun apabila pelanggan yang masih muda maka

diprioritaskan.

7. Interaksi dengan Sesama Pegawai Salon Plus

Wawancara yang dilakukan terhadap responden mengenai tema interaksi dengan sesama pegawai

salon plus adalah persaingan diantara mereka dan cara mereka untuk menghadapi persaingan tersebut.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden satu diketahui bahwa responden satu merasa

terancam dengan adanya pegawai baru karena umumnya pegawai baru berusia lebih muda dibandingkan

dirinya sehingga penampilannya masih terlihat segar. Perasaan ini bisa terlihat dari rasa iri. Untuk

menghadapi persaingan dengan teman sesama pegawai salon plus yang lebih muda, respoden satu

mengandalkan perawatan tubuh dan wajah sehingga tetap terlihat segar.

Dalam wawancara terhadap responden dua mengenai interaksi dengan sesama teman pegawai salon

plus, responden dua tidak merasa terancam karena merasa dirinya masih berusia muda. Hal ini akan

menunjang penampilannya yang akan selalu terlihat segar.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden tiga mengenai interaksi dengan sesama

pegawai salon plus mengakui bahwa adanya persaingan. Hal ini terlihat dari persaingan barang yang

dimiliki misalkan perhiasan emas dan HP. Umumnya mereka juga mengunggulkan adanya pelanggan

yang dianggap royal atau berusia masih muda. Semakin banyak pelanggan dianggap royal atau berusia

muda yang setia terhadap mereka, maka makin dipandang lebih diantara sesama pegawai salon plus.

8. Rencana Masa Depan Responden

Wawancara yang dilakukan terhadap responden mengenai tema masa depan adalah rencana setelah

tidak lagi bekerja di salon plus.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden satu mengenai rencana masa depan maka

responden satu menyatakan abhwa dirinya setelah lulus kuliah akan keluar dari pekerjaan ini dan

berpindah ke pekerjaan lain.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden dua diketahui bahwa belum ada rencana

kapan dan bagaimana setelah keluar dari pekerjaan. Responden dua hanya setelah keluar dari pekerjaan

sebagai pegawai salon plus berencana untuk menikah meskipun belum mengetahui kriteria suami.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh suatu konsep teoritis mengenai kehidupan

perempuan pekerja salon plus di wilayah Yogayakarta dari subjek penelitian. Setelah menjabarkan temuan

penelitian berupa tema-tema ke dalam sub kategori dan kategori maka selanjuutanya dilakukan pembahasan

mengenai kehidupan wanita pelaku salon plus di wilayah Yogyakarta.

Dalam wawancara dengan responden dikeatahui bahwa alasan utama mengapa salon tersebut

menyediakan layanan plus adalah ekonomi. Penghasilan yang mereka peroleh dari jasa menyalon, tidak

seberapa besar jumlahnya. Akan tetapi jika mereka menerima tamu yang meminta pelayanan seks, jumlah

insentif yang mereka terima dari tamu cukup besar. Rata-rata per-hari mereka mendapat kunjungan tamu

diperkirakan antara 2 sampai 4 orang. Hal inilah yang diungkapkan oleh respoden satu dan dua yang

berstatus sebagai pekerja salon plus. Ditambah dengan tidak adanya ketrampilan sehingga kemampuan

mendapatkan penghasilan menjadi terbatas. Bahkan ini terjadi pada kalangan mahasiswa (responden satu)

yang berstatus mahasiswa, ketika dihadapkan dengan hilangnya sumber ekonomi dari orang tua; namun

karena tidak mempunyai ketrampilan sehingga menjadi pekerja di salon plus.

Alasan lain yang melatar belakang para perempuan terjun menjadi pekerja salon plus adalah rasa sakit

hati terhadap perkawinan yang gagal. Hal ini dapat ditemui dari pernyataan responden dua dan tiga yang

masing-masing mempunyai rasa sakit hati akibat perkawinan gagal. Responden dua merasa kecewa karena

sang suami sering melakukan kekerasan rumah tangga sedangkan responden tiga merasa kecewa karena tidak

mempunyai keturunan sehingga dianggap rendah oleh keluarga dan mantan suami.

Menurut Khauly (1997) banyak faktor yang menyebabkan perempuan melakukan pelacuran misalkan

ekonomi, rumah tangga dan pacar. Penyebab lain yang menjadi alasan perempuan melakukan pelacuran

adalah faktor salah pergaulan dan pemenuhan hasrat seksual Faktor tersebut bisa menjadi pendorong

perempuan untuk melakukan praktek pelacuran apabila tidak dapat memenuhi dan pada akhirnya memilih

jalan singkat untuk memenuhinya. Tidak terpenuhinya atau tidak sesuainya harapan seseorang dengan

kenyataan serta diiringi dengan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhinya dapat menjadi faktor

pendorong timbulnya gangguan psikotik (Kartono, 2000)

Hubungan mereka dengan sesama pegawai umumnya diwarnai persaingan. Hal ini dilihat dari upaya

untuk memamerkan pelanggan setia serta barang yang telah mereka miliki. Mereka merasa

”lebih”dibandingkan dengan sesama pegawai salon plus apabila mempunyai pelanggan setia yang muda dan

ekonomi mapan sehingga royal terhadap pegawai salon plus. Hal lain yang umumnya mereka lakukan adalah

memamerkan barang-barang yang mereka miliki yaitu perhiasan emas dan HP.

Hal yang sama ternyata diungkapkan dalam wawancara dengan salah satu responden pelanggan salon

plus. Berdasarkan wawancara tersebut diketahui bahwa hubungan pelacur perempuan terhadap pelanggannya

terbagi menjadi dua, hubungan antara pelacur dan pelanggan dan hubungan suka sama suka layaknya

hubungan pacaran, hubungan yang kedua adalah hubungan antara pelaku salon plus dengan laki-laki dalam

komunitas pengguna jasa pelacuran. Dari dua kategori pelanggan tersebut, perempuan mendapatkan imbalan

uang, barang dan perlindungan terhadap jasa seksual mereka. Kehidupan di tempat pelacuran yang serba

gratis karena selalu bergantung pada teman dan pacar memperkecil pengeluaran mereka terhadap kebutuhan

sehari-hari termasuk kebutuhan mereka akan gaya hidup yang juga merupakan aktualisasi diri mereka. Oleh

karenanya dalam kehidupan di dalam salon plus sering terjadi persaingan dalam memiliki perhiasan. Dalam

perkembangannya persaingan tersebut tidak hanya berbentuk perhiasan namun juga barang elektronik

khususnya HP.

Sementara hubungan mereka dengan lingkungan masyarakat sekitar umumnya sangat terbatas. Mereka

beranggapan bahwa masyarakat menilai rendah pekerjaan mereka sehingga membatasi kepercayaan diri

untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Baik pada responden satu, dua dan tiga mengungkapkan hal yang

sama. Padahal sebagian warga masyarakat ternyata juga menggunakan jasa sebagai pegawai salon plus.

Hubungan mereka dengan masyarakat sekitar terkesan memberikan batasan. Hal ini terlihat dari tidak adanya

pekerja salon plus yang mengikuti kegiatan atau bahkan berbincang-bincang dengan masyarakat lingkungan

sekitar.

Rasa kepercayaan diri yang kurang serta tidak diterima oleh masyarakat sebenarnya merupakan

penghalang si pelaku salon plus dalam berinteraksi dan keikutsertaan dalam kehidupan bersosialisasi dengan

masyarakat. Kondisi yang tidak sesuai dengan harapan serta ketakutan untuk diterima dengan baik di tengah

masyarakat dapat menjadi kondisi yang menyebabkan penyimpangan tingkah laku. Menurut Kartono (2000)

ketidaksesuaian dan ketidakmampuan individu dapat menyebabkan konflik yang menyebabkan terjadinya

gangguan psikotik

Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pelacur adalah makhluk sosial, maka sudah barang tentu

peranan soaial sangat penting bagi tigkah lakunya. Dalam masyarakat setiap individu mengadakan interaksi

sosial. Gerungan (1966) mengatakan bahwa ”interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih

individu di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, merubah, memperbaiki kelakuan individu yang

lain”.

Sementara cara mereka untuk menarik pelanggan sangat berbeda satu dengan yang lain. Berdasarkan

wawancara dengan responden yang menjadi pelanggan di salon plus tersebut diketahui bahwa salah satu

faktor yang menyebabkan perbedaan antara pekerja dengan pekerja salon plus lainnya dalam hal menarik

pelanggan adalah usia. Pekerja salon plus yang lebih muda usianya umumnya menggunakan pendekatan non

verbal yaitu dengan mengandalkan bentuk fisik yang masih mencerminkan kemudaan sementara pada pekerja

salon plus yang sudah berumur umumnya menggunakan pendekatan verbal. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa semakin menarik potensi yang dimiliki oleh PSK dalam menarik pelanggan untuk

menikmati jasanya maka semakin sedikit intensitas penggunaan komunikasi verbalnya.

Sebagai seorang pekerja salon plus, baik pada responden satu dan dua menyatakan bahwa masing-

masing dari mereka menyadari bahwa mereka tidak mungkin selamanya bisa bekerja. Mereka mempunyai

rencana untuk keluar dari pekerjaan ini. Perbedaannya adalah responden satu menargetkan setelah lulus

kuliah akan berhenti bekerja sebagai seorang pekerja salon plus sedangkan pada responden dia menyetakan

dia tidak mempunyai target pasti untuk menentukan kapan berhenti menjadi salon plus.

Sehubungan dengan kesehatan reproduksi mereka, pelacur melakukan aborsi dan sering terserang oleh

penyakit menular seksual karena berganti-ganti pasangan. Kehidupan di tempat pelacuran yang keras juga

menimbulkan kekerasan terhadap perempuan yang dilacurkan, seperti kekerasan fisik dan seksual yang

seringkali dilakukan oleh sesama pelacur, germo dan pengguna jasa pelacur, di samping oleh aparat

keamanan. Berdasarkan hal tersebut maka bagi si pelaku sendiri atau bagi pelacur ternyata juga membawa

efek yang juga merugikan tidak hanya bagi kesehatan fisik namun juga kesehatan jiwa. Kondisi hidup yang

membawa kehidupan si pelacur dalam situasi dimana terjadi penyimpangan sebagai bagian dari pelanggaran

kebiasaan atau aturan yang dilaksanakan suatu masyarakat. Aturan yang dilaksanakan dalam masyarakat

adalah hubungan badan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan harus dilakukan di bawah lembaga

perkawinan. Hubungan yang dilakukan di luar nikah dan diantaranya adalah praktek pelacuran secara

psikologis disebut dengan tidak bersih, tidak baik untuk keseimbangan jiwa dan mengganggu kebersihan jiwa

(Kartono, 1992).