KEHAMILAN DENGAN ASMA BRONKHIAL

download KEHAMILAN DENGAN ASMA BRONKHIAL

If you can't read please download the document

Transcript of KEHAMILAN DENGAN ASMA BRONKHIAL

Definisi asma The American Thoracic Society (1962): adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhad ap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang lu as dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil s uatu pengobatan. Gibbs dkk (1992) mendefinisikan sebagai suatu gangguan inflamasi kronik pada saluran napas yang b anyak diperankan oleh terutama sel mast dan eosinofil. Asma bronkiale merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering dijumpai p ada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil menderita asma. Ef ek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner et al dalam suatu peneliti an yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma menemukan bahwa 29% kas us membaik dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti sebelum terjadin ya kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya d engan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada persalinan. Mabie dkk (1 992) melaporkan peningkatan 18 kali lipat resiko eksaserbasi pada persalinan den gan seksio sesarea dibandingkan dengan pervaginam. Asma bronkiale merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya kepekaan sal uran trakeobronkial terhadap berbagai rangsangan. Pada serangan asma terjadi bro nkospasme, pembengkakan mukosa dan peningkatan sekresi saluran nafas, yang dapat hilang secara spontan atau dengan pengobatan. Gejala klinik yang klasik berupa batuk, sesak nafas, dan mengi (wheezing), serta bisa juga disertai nyeri dada. Serangan asma umumnya berlangsung singkat dan ak an berakhir dalam beberapa menit sampai jam, dan setelah itu penderita kelihatan sembuh secara klinis. Pada sebagian kecil kasus terjadi keadaan yang berat, yan g mana penderita tidak memberikan respon terhadap terapi (obat agonis beta dan t eofilin), hal ini disebut status asmatikus. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita tidakl ah sama, bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada kehamila n pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai usai keh amilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan akan berkurang pada akhir kehamilan. Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan beratnya s erangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jik a tidak segera diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin, berupa a bortus, persalinan prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur keham ilan. Angka kesakitan dan kematian perinatal tergantung dari tingkat penanganan asma. Gordon et al menemukan bahwa angka kematian perinatal meningkat 2 kali lipat pad a kehamilan dengan asma dibandingkan kontrol, akan tetapi dengan penanganan pend erita dengan baik, angka kesakitan dan kematian perinatal dapat ditekan mendekat i angka populasi normal. SISTEM PERNAFASAN SELAMA KEHAMILAN Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang disebabkan o leh perubahan hormonal dan faktor mekanik. Perubahan-perubahan ini diperlukan un tuk mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan ja nin, plasenta dan uterus. Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas sebelum hamil yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari 450 cc me

njadi 600 cc, yang menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi permenit selama kehamilan antara 19-50 %. Peningkatan volume tidal ini diduga disebabkan oleh ef ek progesteron terhadap resistensi saluran nafas dan dengan meningkatkan sensiti fitas pusat pernapasan terhadap karbondioksida. Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah pertengah an kedua kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan turunnya kapasitas resi du fungsional, yang merupakan volume udara yang tidak digunakan dalam paru, sebe sar 20%. Selama kehamilan normal terjadi penurunan resistensi saluran napas sebe sar 50%. Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kimia dan gas dara h. Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan pCO2 menjadi 30 mm Hg, s edangkan pO2 tetap berkisar dari 90-106 mmHg, sebagai penurunan pCO2 akan terjad i mekanisme sekunder ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq /L, sehingga pH darah tidak mengalami perubahan. Secara anatomi terjadi peningkatan sudut subkostal dari 68,5 103,5 selama kehamila n. Perubahan fisik ini disebabkan karena elevasi diafragma sekitar 4 cm dan peni ngkatan diameter tranversal dada maksimal sebesar 2 cm. Adanya perubahan-perubah an ini menyebabkan perubahan pola pernapasan dari pernapasan abdominal menjadi t orakal yang juga memberikan pengaruh untuk memenuhi peningkatan konsumsi oksigen maternal selama kehamilan. Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti terbukti oleh peningka tan konsumsi oksigen. Selama melahirkan, konsumsi O2 dapat meningkat 20-25 %. Bi la fungsi paru terganggu karena penyakit paru, kemampuan untuk meningkatkan kons umsi oksigen terbatas dan mungkin tidak cukup untuk mendukung partus normal, seb agai konsekuensi fetal distress dapat terjadi. PATOFISIOLOGI Pada asma terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh spasme ot ot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental. Penyem pitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventil asi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas di tingk at alveoli. Akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosi s pada tingkat lanjut. Meskipun asma secara primer dianggap sebagai penyakit sal uran pernapasan, sebenarnya semua aspek fungsi pernapasan terpengaruh pada suatu serangan akut, sebagai tambahan pada beberapa penderita juga dijumpai adanya hi pertensi pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan pada elektrokardiografi. Timbulnya serangan asma disebabkan terjadinya reaksi antigen antibodi pada permu kaan sel mast paru, yang akan diikuti dengan pelepasan berbagai mediator kimia u ntuk reaksi hipersentifitas cepat. Terlepasnya mediator-mediator ini menimbulkan efek langsung cepat pada otot polos saluran nafas dan permiabilitas kapiler bro nkus. Mediator yang dilepaskan meliputi bradikinin, leukotrien C,D,E, prostaglan din PGG2, PGD2a, PGD2, dan tromboksan A2. Mediator-mediator ini menimbulkan reak si peradangan dengan bronkokonstriksi, kongesti vaskuler dan timbulnya edema, di samping kemampuan mediator-mediator ini untuk menimbulkan bronkokontriksi, leuk otrien juga meningkatkan sekresi mukus dan menyebabkan terganggunya mekanisme tr anspor mukosilia. Pada asma dengan kausa non alergenik terjadinya bronkokontriksi tampaknya dipera ntarai oleh perubahan aktifitas eferen vagal yang mana terjadi ketidak seimbanga n antara tonus simpatis dan parasimpatis. Saraf simpatis dengan reseptor beta-2 menimbulkan bronkodilatasi, sedangkan saraf parasimpatis menimbulkan bronkokontr iksi. GAMBARAN KLINIS Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengi (wheezing) dan pada sebagian penderita disertai rasa nyeri di dada. Tetapi ada yang hanya disertai b atuk tanpa sesak. Dengan demikian ada derajat asma :

1. Tingkat pertama : secara klinis normal, tetapi asma timbul jika ada faktor pe ncetus. 2. Tingkat kedua : penderita asma tidak mengeluh dan pada pemeriksaan fisik tanp a kelainan tetapi fungsi parunya menunjukkan obstruksi jalan nafas. Disini banya k ditemukan pada penderita yang baru sembuh dari serangan asma 3. Tingkat ketiga : penderita tidak ada keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik ma upun maupun fungsi paru menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas. 4. Tingkat keempat : penderita mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas berbunyi.Pa da pemeriksaan fisik maupun spirometri akan dijumpai tanda-tanda obstruksi jalan napas. 5. Tingkat kelima : adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medik b erupa serangan akut asma yang berat, bersifat refrakter terhadap pengobatan yang biasa dipakai. Scoggin membagi perjalanan klinis asma sebagai berikut : 1. Asma akut intermiten : Diluar serangan, tidak ada gejala sama sekali. Pemeriksaan fungsi paru tanpa pro vokasi tetap normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam status asmatikus dan dalam pengobatannya sangat jarang memerlukan kortikosteroid. Faktor-faktor yang mencetuskan serangan sering berupa : a. Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus. b. Kegiatan jasmani (exercises induced ashtma) c. Lingkungan pekerjaan (occupational asthma) d. Obat-obat (drug induced asthma) e. Tidak jelas 2. Asma akut dan status asmatikus: Serangan asma dapat demikian beratnya sehingga penderita segera mencari pertolon gan. Bila serangan asma akut tidak dapat diatasi dengan obat-obat adrenergik bet a dan teofilin disebut status asmatikus. 3. Asma kronik persisten (asma kronik): Pada asma kronik selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan napas, sehingga diperlukan pengobatan yang terus menerus. Hal tersebut disebabkan oleh karena sa luran nafas penderita terlalu sensitif selain adanya faktor pencetus yang terusmenerus. PENGARUH PERUBAHAN HORMONAL SELAMA KEHAMILAN Keadaan hormonal selama kehamilan sangat berbeda dengan keadaan tidak hamil dan mengalami perubahan selama perjalanan kehamilan. Perubahan-perubahan ini akan me mberikan pengaruh terhadap fungsi paru. Progesteron tampaknya memberikan pengaru h awal dengan meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan terjadiny a hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan. Leb ih lanjut dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Pengaruh total progest eron selama kehamilan karena peningkatannya yang mencapai 50-100 kali dari keada an tidak hamil, masih diperdebatkan dengan adanya berbagai temuan klinis yang te rbuka diperdebatkan. Selama kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data yang menunjukk an bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya kapasitas difusi pada jalinan ka piler karena meningkatnya jumlah sekresi asam mukopolisakarida perikapiler. Estr ogen memberikan pengaruh terhadap asma selama kehamilan.dengan menurunkan kliren s metabolik glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol. Estrogen juga mempotensiasi relaksasi bronkial yang diinduksi oleh isoproterenol. Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, demikian pula kadar tota l kortisol plasma. Peningkatan kadar kortisol ini seharusnya memberikan perbaika n terhadap keadaan penderita asma, akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian . Tampaknya beberapa wanita hamil refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi p

eningkatan kadar dalam serum 2-3 kali lipat. Hal ini mungkin disebabkan terjadin ya kompetisi pada reseptor glukoortikoid oleh progesteron, deoksikortikosteron d an aldosteron yang semuanya meningkat selama kehamilan. Semua tipe prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama kehamilan, teruta ma menjelang persalinan aterm. Meskipun dijumpai adanya peningkatan kadar matabo lit prostalandin PGF 2x yang merupakan suatu bronkokonstriktor kuat, dalam serum sebesar 10%-30%, hal ini tidak selalu memberikan pengaruh buruk pada penderita asma selama persalinan. Pada jaringan janin ditemukan histamin dalam konsentrasi tinggi. Sebagai respon terhadap stimulus ini maka plasenta menghasilkan histaminase (diaminoksidase) da lam jumlah besar mencapai 1000 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak hamil. Penelitian dewasa ini belum membuktikan perubahan biokkimiawi ini dengan pengaru h klinik yang ditimbulkannya. DIAGNOSIS ASMA BRONKIALE Diagnosis asma tidak sulit, terutama bila dijumpai gejala yang klasik seperti se sak nafas, batuk dan mengi. Serangan asma dapat timbul berulang-ulang dengan mas a remisi diantaranya. Serangan dapat cepat hilang dengan pengobatan, tetapi kada ng-kadang dapat pula menjadi kronik sehingga keluhan berlangsung terus menerus. Adanya riwayat asma sebelumnya, riwayat penyakit alergik seperti rinitis alergik , dan keluarga yang menderita penyakit alergik, dapat memperkuat dugaan penyakit asma. Selain hal-hal di atas, pada anamnesa perlu ditanyakan mengenai faktor pe ncetus serangan. Penemuan pada pemerikasaan fisik penderita asma tergantung dari derajat obstruks i jalan nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, takikardi, pernapa san cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada penderita asma dalam serangan. Dal am praktek tidak sering ditemukan kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma, tet api banyak pula penderita yang bukan asma menimbulkan mengi sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang penting dalam asma adalah sebagai berikut : 1. Spirometri untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversibel. 2. Cara yang paling cepat dan sederhana untuk diagnosis asma adalah melihat resp on pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah p emberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Pen ingkatan FEV1 atau FVC sebanyak > 20% menunjukkan diagnosis asma. Pemeriksaan sp irometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis, tetapi juga penting untu k menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. 3. Tes provokasi bronkial untuk menunjukkan adanya hiperreaktifitas bronkus. Jik a pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperreaktifitas bronk us harus dilakukan tes provokasi histamin, metakolin, alergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin bahkan inhalasi dengan aquadestilata. Penuru nan FEV1 sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi adalah bermakna. 4. Pemeriksaan tes kulit 5. Tujuan tes kulit yaitu menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam tu buh. Tes ini hanya menyokong anamnesa, karena alergen yang menunjukkann tes kuli t yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma; sebaliknya tes kulit yang n egatif tidak selalu berarti tidak ada faktor kerentanan kulit. 6. Pemerikasaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam serum. 7. Kegunaan pemeriksaan IgE total tidak banyak dan hanya untuk menyokong adanya penyakit atopi. 8. Pemerikasaan radiologi 9. Pada umumnya pemeriksaan foto dada penderita asma adalah normal. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila ada kecurigaan proses patalogik di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis dll. 10. Analisa gas darah 11. Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat. Pada keadaan tersebut dapat terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asi

dosis respiratorik. 12. Pemeriksaan eosinofi dalam darah 13. Pada penderita asma jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat. Sel ain dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortkost eroid yang diperlukan penderita asma, jumlah eosinofil total dalam darah dapat m embantu untuk membedakan asma dari bronkitis kronik. 14. Pemeriksaan sputum: disamping untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charco t, spiral Churschmann. PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP ASMA Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak dapat d isuga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai 60%-70% w anita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma. Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan mengalami a sma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan mereka yang de ngan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan berikutnya. Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan akan memperbu ruk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan kadar IgE yang me nurun akan membaik keadaannya selama kehamilan. Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau pada saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan faktor h ormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin, sebagai fakt or yang memberikan pengaruh. Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbul nya eksaserbasi serangan asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalina n berlangsung pervaginam. PENGARUH ASMA TERHADAP KEHAMILAN Pengaruh asma terhadap kehamilan bervariasi tergantung derajat berat ringannya a sma tersebut. Asma terutama jika berat bisa secara bermakna mempengaruhi hasil a khir kehamilan, beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan insidensi abo rtus, elahiran prematur, janin dengan berat badan lahir rendah, dan hipoksia neo natus. Beratnya derajat serangan asma sangat mempengaruhi hal ini, terdapat kore lasi bermakna antara fungsi paru ibu dengan berat lahir janin. Angka kematian pe rinatal meningkat dua kali lipat pada wanita hamil dengan asma dibandingkan kelo mpok kontrol. Asma berat yang tidak terkontrol juga menimbulkan resiko biasanya dihubungkan dengan terjadinya status asmatikus, gancam jiwa seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, kor jantung, serta kelemahan otot dengan gagal nafas. Angka dari 40% jika penderita memerlukan ventilasi mekanik. bagi ibu, kematian ibu dan komplikasi yang men pulmonale akut, aritmia kematian menjadi lebih

Asma dalam kehamilan juga dihubungkan dengan terjadinya sedikit peningkatan insi densi preeklampsia ringan, dan hipoglikemia pada janin, terutama pada ibu yang m enderita asma berat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan penanganan penderita secara intensi f, akan mengurangi serangan akut dan status asmatikus, sehingga hasil akhir keha milan dan persalinan dapat lebih baik. PENANGANAN ASMA SELAMA KEHAMILAN DAN PERSALINAN Dasar-dasar Penanganan Penanganan penderita asma selama kehamilan bertujuan untuk menjaga ibu hamil sed apat mungkin bebas dari gejala asma, walauoun demikian eksaserbasi akut selalu t ak dapat dihindari.

Pengobatan yang harus diusahakan adalah : 1. Menghindari terjadinya gangguan pernapasan melalui pendidikan terhadap pender ita, menghindari pemaparan terhadap alergen, dan mengobati gejala awal secara te pat. 2. Menghindari terjadinya perawatan di unit gawat darurat karena kesulitan perna pasan atau status asmatikus, dengan melakukan intervensi secara awal dan intensi f. 3. Mencapai suatu persalinan aterm dengan bayi yang sehat, di samping melindungi keselamatan ibu. 4. Dalam penanganan penderita asma diperlukan individualisasi penanganan, karena penanganan suatu kasus mungkin berbeda dengan kasus asma yang lain, dalam memul ai suatu perawatan obstetri terhadap wanita hamil dengan asma perlu diperhatikan beberapa prinsip tertentu yaitu : 5. Mendeteksi dan mengeliminasi faktor pemicu timbulnya serangan asma pada pende rita tertentu. 6. Menghentikan merokok, baik untuk alasan obstetrik maupun pulmonal 7. Mendeteksi dan mengatasi secara awal jika diduga adanya infeksi pada saluran nafas, seperti bronkitis, sinusitis. 8. Pembahasan antara ahli kebidanan dan ahli paru, untuk mengetahui masalah-masa lah yang potensial dapat timbul, rencana penanganan umum termasuk penggunaan oba t-obatan. 9. Pertimbangan untuk mengurangi dosis pengobatan, tetapi masih dalam kerangka r espon pengobatan yang baik. 10. Melakukan penelitian fungsi paru dasar, juga penentuan gas darah khususnya p ada penderita asma berat. Obat-obat anti asma yang sering digunakan Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan asma secara garis besar dapat dibagi d alam 5 kelompok utama yaitu beta adrenergik, methylxanthine, glukokortikoid, cro molyn sodium dan anti kolinergik, di samping itu terdapat obat-obat lain yang se ring digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita asma seperti ekspektoran d an antibiotik. a. Beta adrenergik agonis Dalam golongan ini epinefrin merupakan obat yang paling sering digunakan. Epinefrin menstimulasi reseptor beta-2 menyebabkan bronkodilatasi, tetapi juga m enstimulasi reseptor alfa dan beta-1 yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi perifer dan takikardia baik pada ibu maupun janin, juga menyebabkan fetal distre s, ini merupakan kelemahan teoritis penggunaan epinefrin dalam kehamilan, untung nya epinefrin mempunyai waktu paruh pendek dan belum ada laporan yang menunjukka n adanya efek jangka panjang terhadap janin pada penggunaannya dalam kehamilan. Terbutalin merupakan beta agonis yang sering digunakan untuk terapi tokolitik pa da persalinan prematur. Dalam pengobatan asma dosisnya sebaiknya dikurangi pada saat mendekati aterm, meskipun tidak terdapat laporan yang menunjukkan adanya pe nundaan bermakna dalam onset persalinan normal, bila obat ini digunakan sebagai terapi inti asma standar. 2. Methylxanthine (Teofilin) Teofilin dengan berbagai garamnya termasuk dalam golongan ini. Mekanisme teofili n menimbulkan bronkodilatasi tidak jelas, diduga melalui inhibisi kompetitif ter hadap enzim fosfodiesterase, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar s iklik AMP karena degradasinya yang menurun. Aminofilin merupakan suatu garam die tileniamin dari teofilin dan merupakan satu-satunya obat golongan xanthin yang d apat diberikan secara parenteral 3. Glukokortikoid Kortikosteroid digunakan sejak lama untuk pengobatan asma. Kortikosteroid bukan merupakan bronkodilator, tetapi bermanfaat dalam mengarungi inflamasi pada salur an napas. Umumnya disepakati memberikan steroid seawal mungkin pada penderita de ngan serangan asma akut berat. Pemakaian kortikosteroid selama kehamilan tidak m

enyebabkan meningkatnya resiko komplikasi baik pada janin maupun ibu. 4. Cromolyn Sodium Cromolyn sodium bukan merupakan bronkodilator, efek terapeutik utamanya adalah i nhibisi terhadap degranulasi sel mast, sehingga mencegah terjadinya pelepasan me diator kimia untuk reaksi anafilaksis. Cromolyn berguna baik untuk asma alergik maupun non alergik. 5. Anti Kolinergik Obat antikolenergik seperti atropin sulfat dapat memberikan efek bronkodilatasi ada penderita asma, tetapi penggunaannya menjadi terbatas karena efek samping ya ng tidak diinginkan. Golongan antikolinergik yang lebih sering digunakan adalah ipratropium bromida, terbukti efektif dan kurang menimbulkan efek yang tidak dii nginkan. Efek penggunaan obat anti asma dalam kehamilan terhadap janin Umumnya obat-obat anti asma yang biasanya dipergunakan relatif aman penggunaannya selama kehamilan , jarang dijumpai adanya efek teratogenik pada janin akibat penggunaan obat anti asma. Penanganan asma kronik pada kehamilan Dalam penanganan penderita asma dengan kehamilan, dan tidak dalam serangan akut, diperlukan adanya kerja sama yang baik antara ahli kebidanan dan ahli paru. Usa ha-usaha melalui edukasi terhadap penderita dan intervensi melalui pengobatan di lakukan untuk menghindari timbulnya serangan asma yang berat. Adapun usaha penanganan penderita asma kronik meliputi : 1. Bantuan psikologik menenangkan penderita bahwa kehamilannya tidak akan memper buruk perjalanan klinis penyakit, karena keadaan gelisah dan stres dapat memacu timbulnya serangan asma. 2. Menghindari alergen yang telah diketahui dapat menimbulkan serangan asma 3. Desensitisasi atau imunoterapi, aman dilakukan selama kehamilan tanpa adanya peningkatan resiko terjadinya prematuritas, toksemia, abortus, kematian neonatus , dan malformasi kongenital, akan tetapi efek terapinya terhadap penderita asma belum diketahui jelas. 4. Diberikan dosis teofilin per oral sampai tercapai kadar terapeutik dalam plas ma antara 10-22 mikrogram/ml, biasa dosis oral berkisar antara 200-600 mg tiap 8 -12 jam. 5. Dosis oral teofilin ini sangat bervariasi antara penderita yang satu dengan y ang lainnya. 6. Jika diperlukan dapat diberikan terbulatin sulfat 2,5-5 mh per oral 3 kali se hari, atau beta agonis lainnya. 7. Tambahkan kortikosteroid oral, jika pengobatan masih belum adekuat gunakan pr ednison dengan dosis sekecil mungkin. 8. Pertimbangan antibiotika profilaksis pada kemungkinan adanya infeksi saluran nafas atas. 9. Cromolyn sodium dapat dipergunakan untuk mencegah terjadinya serangan asma, d engan dosis 20-40 mg, 4 kali sehari secara inhalasi. Penanganan serangan asma akut pada kehamilan Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus secara cepat dinilai beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan perawat diruang unit perawa tan intensif dengan tetap memonitor keadaan janin dalam kandungan. Penanganan serangan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut: 1. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan pO2 70-80 mm Hg. Janin sangat rentan terhadap keadaan hipoksia. 2. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan penderit a Berikan cairan intravena, biasanya penderita mengalami kekurangan cairan, cair an yang digunakan biasanya ringer laktat atau normal saline.

3. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dos is 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma sebesar 10-20 mikrogram/ml. 4. Jika diperlukan pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan dosis 0,25 mg 5. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading dose, tiap 4 jam atau setelah loading dose dilanjutkan dengan infus 0,5 mg/kgBB/jam 6. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi yang menyerta i 7. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasus-kasus ya ng mengancam kehidupan. 8. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60 menit dengan terapi infeksi (obat agonis beta & teofilin) disebut status asmatikus, pada kead aan ini penderita ini harus ditangani di unit perawatan intensif Selama kehamila n pertimbangan untuk intubasi lebih awal diperlukan jika fungsi pernapasan ibu t erus menurun, meskipun dilakukan penanganan yang intensif. Melakukan intubasi da n ventilasi mekanis. Penanganan asma dalam persalinan Pada kehamilan dengan asma yang terkontrol baik, tidak diperlukan suatu interven si obstetri awal. Pertumbuhan janin harus dimonitor dengan ultrasonografi dan pa rameter-parameter klinik, khususnya pada penderita-penderita dengan asma berat a tau yang steroid dependen, karena mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk mengalami masalah pertumbuhan janin. Onset spontan persalinan harus diperbolehk an, intervensi preterm hanya dibenarkan untuk alasan obstetrik. Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka persal inan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani komplikasi p ernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita memberat gejala asma nya pada waktu persalinan. Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus hidrokortis on 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila mendapat se rangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan penanganan serangan aku t dalam kehamilan seperti telah diuraikan di atas. Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk p enderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio s esarea. Jika dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipil ih anestesi regional daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme yang berat. Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam, memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps akan berm anfaat. Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan uterotonika lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang dapat menimb ulkan terjadinya bronkospapasme yang berat. Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau morfin yang melepas histamin. Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, m aka sebaiknya anestesi cara spinal. Penanganan asma post partum Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan. Perjalanan da n penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis setelah post part um. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan deng an penyakitnya ini.

Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam sete lah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini dalam air sus u ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pa da janin. sumber 1. Wiknjosastro, Hanifa, 2002, Ilmu kebidanan, Jakarta : YBPSP 2. Prawirohardjo, S, 2002. Ilmu Kebidanan.Jakarta : YBSP 3. Cunningham, F.Gary et.al, 2006, Obstetri William Edisi 21 vol 1 dan 2. Jakart a : EGC 4. http://www.emir-fakhrudin.com 5. http://bidanshop.blogspot.com