Kegiatan Pemberian Kredit Bank

21
________________________________________________________________________ KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 1 Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau A. PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR KREDIT (BANK) DAN PEMBIAYAAN Dalam bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan memperoleh barang dengan membayar cicilan atau angsuran di kemudian hari atau memperoleh pinjaman uang yang pembayarannya dilakukan di kemudian hari dengan cara membayar angsuran atau cicilan sesuai dengan perjanjian. Artinya kredit dapat berbentuk uang atau barang. Baik kredit berbentuk uang maupun barang dalam hal pembayarannya dengan menggunakan metode angsuran atau cicilan tertentu (Kasmir, 200: 72). Kata “kredit” berasal dara bahasa Latin creditus yang merupakan bentuk past participle dari kata credere (lihat pula credo dan creditum, yang berarti to trust atau faith. Kata trust itu sendiri berarti “kepercayaan” (Munir Fuady, 1996: 5 dan D. Gandaprawira, 1992: 1). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiam kata kredit kata kredit antara lain diartikan: 1) Pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian mengangsur, 2) Pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang disizinkan oleh bank atau badan lain. Secara yuridis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menggunakan dua istilah yang berbeda, namun mengandung makna yang sama untuk pengertian kredit. Kedua istilah itu, yaitu pertama, kata “kredit”, istilah yang digunakan pada bank konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya, dan kedua, kata “pembiayaan” berdasarkan Prinsip Syariah, istilah yang digunakan pada bank syariah. Pengertian kredit disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

Transcript of Kegiatan Pemberian Kredit Bank

Page 1: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 1Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

A. PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR KREDIT (BANK) DAN

PEMBIAYAAN

Dalam bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan memperoleh barang

dengan membayar cicilan atau angsuran di kemudian hari atau memperoleh

pinjaman uang yang pembayarannya dilakukan di kemudian hari dengan

cara membayar angsuran atau cicilan sesuai dengan perjanjian. Artinya

kredit dapat berbentuk uang atau barang. Baik kredit berbentuk uang

maupun barang dalam hal pembayarannya dengan menggunakan metode

angsuran atau cicilan tertentu (Kasmir, 200: 72).

Kata “kredit” berasal dara bahasa Latin creditus yang merupakan

bentuk past participle dari kata credere (lihat pula credo dan creditum,

yang berarti to trust atau faith. Kata trust itu sendiri berarti “kepercayaan”

(Munir Fuady, 1996: 5 dan D. Gandaprawira, 1992: 1).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiam kata kredit kata kredit antara

lain diartikan:

1) Pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian mengangsur,

2) Pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang disizinkan oleh

bank atau badan lain.

Secara yuridis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menggunakan

dua istilah yang berbeda, namun mengandung makna yang sama untuk

pengertian kredit. Kedua istilah itu, yaitu pertama, kata “kredit”, istilah

yang digunakan pada bank konvensional dalam menjalankan kegiatan

usahanya, dan kedua, kata “pembiayaan” berdasarkan Prinsip Syariah,

istilah yang digunakan pada bank syariah.

Pengertian kredit disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 11

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

Page 2: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 2Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

pinjam-meminjam atara bank dengan pihak lain yang mewajibkan

pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu

dengan pemberian bunga.

Sementara itu pengertian pembiayaan disebutkan dalam ketentuan

Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu:

Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang

atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan

pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut

setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

Kemudian pengertian pembiayaan tersebut lebih diperjelas lagi dalam

ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007

yang menyatakan sebagai berikut:

Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang

dapat dipersamakan denga itu dalam:

a. transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas Akad

Mudharabah dan/atau Musyarakah;

b. transaksi sewa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah

atau Akad Ijaah dengan opsi perpindahan hak milik (Ijarah

Muntahiyah bit Tamlik);

c. transaksi jual beli yang didasarkan antara lain atas Akad

Murabahah, Salam, dan Istishna;

d. transaksi pinjaman yang didasarkan antara lain atas Akad

Qardh; dan

e. transaksi multijasa yang didasarkan antara lain atas Akad

Ijarah atau Kafalah.

Pengertian yang sama kembali juga dirumuskan dalam ketentuan

Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.

Page 3: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 3Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang

dipersamakan dengan itu berupa:

a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah atau

musyarakah;

b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli

dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang Muraba, Salam, dan

Istishna;

d. transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk Qardh; dan

e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk Ijarah untuk

transaksi multijasa.

Apabila ditelusuri pengertian kredit itu lebih lanjut, maka dapat

ditemukan unsur-unsur yang terkandung dalam makna kredit tersebut, yaitu:

1. kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi

yang diberikannya kepada nasabah peminjam dana yang akan

dilunasinya sesuai dengan diperjanjikan pada waktu tertentu;

2. waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentu antara pemberian dan

pelunasan kreditnya, jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih

dahulu disetujui atau disepakati bersama antara pihak bank dan

nasabah peminjam dana;

3. prestasi dan kontraprestasi, yaitu adanya objek tertentu berupa prestasi

dan kontraprestasi pada saat persetujuan atau kesepakatan pemberian

kredit yang dituangkan dalam perjanjian kredit antara bank dan

nasabah peminjam dana, yaitu berupa uang atau tagihan yang diukur

dengan uang dan buanga atau imbalan, atau bahkan tanpa imbalan

bagi bank syariah;

4. resiko, yaitu adanya resiko yang mungkin akan terjadi selama jangka

waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk

mengamankan pemberian kredit dan menutup kemungkinan terjadinya

Page 4: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 4Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

wanprestasi dari nasabah peminjam dana, diadakanlah pengikatan

jaminan (agunan).

B. PRINSIP-PRINSIP DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK

Pemberian kredit oleh bank tersebut merupakan unsur yang terbesar dari

aktiva bank, yang sebagai asset utama serta sekaligus menentukan maju

mundurnya bank yang bersangkutan dalam menjalankan fungsi dan

usahanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Disamping

menjalankan fungsi pengerahan dana masyarakat, bank juga menjalankan

fungsi sebagai lembaga kredit sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 huruf

b dan Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam

kenyataanya, kredit yang diberikan bank tadi sebagian besar tidak dapat

dikembalikan secara utuh oleh nasabah debiturnya, yang membawa resiko

usaha bagi bank yang bersangkutan, akhirnya menimbulkan kredit-kredit

macet (dubious).

Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan

oleh bank mengandung suatu resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank

harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mencegah,

mengurangi dan menetralisir terjadinya resiko tersebut, maka dunia

perbankan diharuskan untuk melaksanakan prinsip prudential banking atau

prinsip kehati-hatian bagi bank.

Berdasarkan prinsip kehati-hatian ini, maka bank dalam memberikan

kredit tersebut harus memperhatikan jaminan pemberian kredit atau

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dalam arti keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi

kewajibannya sesuai dengan yang duperjanjikan. Dengan adanya keyakinan

tersebut, bank berharap banyak agar kredit yang diberikannya kepada

nasabah debitur tidak menjadi kredit bermasalah, atau bahkan menjadi

kredit macet dikemudian hari.

Page 5: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 5Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, dalam

melakukan pemberian kredit, bank diwajibkan untuk memperhatikan asas-

asas perkreditan yang sehat dan nprinsip kehati-hatian. Ketentuan dalam

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menetapkan, bahwa:

(1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan

berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan

kemampuan serta kesanggupa Nasabah Debitur untuk melunasi

utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai

dengan yang diperjanjikan.

(2) Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman

perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Oleh karena itu, sebelum menentukan kredit, bank harus melakukan

penilaian yang saksama terhadap unsur-unsur pokok yang menjadi tolak

ukur dalam pemberian kredit, yang lazim disebut dengan the five C of credit

analysis atau prisnsip 5 C’s, meliputi:

1. Penilaian watak/kepribadian (character)

Penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan iktikad

baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya,

sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari.

2. Penilaian kemampuan (capacity)

Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang

usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa

usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat,

sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu

melunasi atau mengembalikan pinjamannya.

3. Penilaian terhadap modal (capital)

Page 6: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 6Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara

menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan dating, sehingga dapat

diketahui kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang

pembiayaan proyek atau usaha calon debitur yang bersangkutan.

4. Penilaian terhadap agunan (collateral)

Bank wajib meminta agunan tambahan dengan maksud jika calon

debitur tidak dapat melunasi kreditnya, maka agunan tambahan

tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian

kredit atau pembiayaan yang tersisa.

5. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of

economy)

Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luarnegeri,

baik masa lalu maupun yang akan dating, sehingga masa depan

pemasaran dari hasilo proyek atau usaha calon debitur yang

dibiayainya dapat pula diketahui.

Bank dalam memberikan kredit, selain menerapkan prinsip 5 C, juga

hendaknya menerapkan prinsip lainnya yang dinamakan dengan prinsip 5P

yang terdiri atas:

1. Party (Para Pihak)

Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap

pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus memperoleh

suatu “kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur.

Bagaimana karakter, kemampuan, dan sebagainya

2. Purpose (Tujuan)

Harus apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal positif yang benar-

benar dapat menaikan income perusahaan dan harus pula diawasi agar

kredit tersebut benar-benar diperuntukkan untuk tujuan seperti

diperjanjikan dalam suatu perjanjian kredit.

3. Payment (Pembayaran)

Page 7: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 7Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Harus dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberian kredit nanti,

debitur punya sumber pendapatan, dan apakah pendapatan tersebut

mencukupi untuk membayar kembali kreditnya.

4. Prifitability (Perolehan Laba)

Kreditor harus beratisipasi apakah laba yang akan diperoleh oleh

perusahaan lebih besar daripada bunga pinjaman dan apakah

pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kredit, cash flow,

dan sebagainya.

5. Protection (Perlindungan)

Perlindungan dari kelompok perusahaan, atau jaminan dari holding,

atau jaminan pribadi pemilik perusahaan penting diperhatikan.

Terutama untuk berjaga-jaga sekiranya hal-hal di luar scenario atau di

luar prediksi semula (Munir Fuady, 1996: 24-26).

Selain menggunakan prinsip pemberian kredit di atas, bank dalam

memberikan kredit juga menggunakan prinsip 3 R, yaitu:

1. Returns (Hasil yang Diperoleh)

Hasil yang diperoleh debitur, dalam hal ini ketika kredit telah

dimanfaatkan dan dapat diantisipasi oleh calon kreditor. Artinya

perolehan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta

bunga, ongkos-ongkos, di samping membayar keperluan perusahaan

yang lain sepertu untuk cash flow, kredit lain jika ada, dan sebagainya.

2. Repayment (Pembayaran Kembali)

Harus dipertimbangkan apakah kemampuan bayar debitur bisa matchdengan schedule pembayaran kembali dari kredit yang akan diberikanbank. Ini juga merupakan hal yang tidak boleh diabaikan.

3. Risk Bearing Ability (Kemampuan Menanggung Resiko)

Hal lain yang perlu diperhatikan juga sejauh mana terdapatnya

kemampuan debitur untuk menanggung resiko. Misalnya dalam hal

terjadi hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jika

dapat menyebabkan timbulnya kredit macet. Untuk itu, harus

diperhitungkan apakah misalnya jaminan dan/atau asuransi barang

Page 8: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 8Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

atau kredit sudah cukup aman untuk menutupi resiko tersebut (Munir

Fuady, 1996: 25-27).

Disamping prinsip-prinsip di atas, beberapa prinsip lain dalam hal

pemberian kredit yang berhubungan dengan debitur yang mesti diperhatikan

oleh suatu bank, yaitu:

1. Prinsip Matching

Dalam hal ini harus match antara pinjaman dengan asset perseroan,

jangan sekali-kali memberikan suatu pinjaman berjangka waktu

pendek untuk kepentingan pembiayaan/investasi yang berjangka

panjang. Karena hal tersebut mengakibatkan terjadi mismatch.

2. Prinsip Kesamaan Valuta

Penggunaan dana yang di dapatkan dari suatu kredit sedapat-dapatnya

haruslah digunakan untuk membiayai atau investasi dalam mata uang

yang sama, sehingga resiko nilai valuta dapat dihindari.

3. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dan Modal

Harus ada hubungan yang prudent antara jumlah pinjaman dan

besarnya modal. Jika pinjaman terlalu besar disebut high gearing,

sebaliknya jika pinjaman kecil disebut low gearing. Post permodalan

earning yang akan didapat oleh perusahaan tidak fixed, sedangkan

cost terhadap suatu pinjaman relative tetap. Oleh karena itu,

kelangsungan suatu perusahaan akan terancam jika antara jumlah

pinjaman dengan besarnya modal tidak reasonable.

4. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dan Aset

Alternative lain untuk menekan resiko adalah dengan

memperbandingkan antara besarnya pinjaman dengan aset, yang juga

dikenal dengan gearing ratio.

Page 9: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 9Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Ada pula prinsip penilaian kredit yang disebut dengan istilah studi

kelayakan. Studi kelayakan digunakan terutama untuk kredit dalam jumlah

relative besar. Penilaian ini meliputi:

1. Aspek Hukum

Menilai keabsahan dan keaslian dokumen-dokumen atau surat-surat

yang dimiliki oleh calon debitur, seperti akta notaris, izin usaha atau

sertifikat tanah dan dokumen atau surat lainnya.

2. Aspek Pasar dan Pemasaran

Menilai prospek usaha nasabah sekarang dan yang akan dating.

3. Aspek Keuangan

Menilai kemampuan calon nasabahnya dalam membiayai dan

mengelola usahanya.

4. Aspek Operasi/Teknis

Menilai tata letak ruangan, lokasi usaha dan kapasitas produksi usaha

yang tercermin dari sarana dan prasarana yang dimilikinya.

5. Aspek Manajemen

Menilai sumber daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan, baik

dari segi kuantitas maupun segi kualitas.

6. Aspek Ekonomi/Sosial

Menilai dampak ekonomi dan social yang ditimbulkan dengan adanya

usaha terutama terhadap masyarakat, apakah lebih benefit atau cost

atau sebaliknya.

7. Aspek AMDAL

Menilai dampak lingkungan yang akan timbul dengan adanya suatu

usaha, kemudian cara-cara pencegahan terhadap dampak tersebut

(Kasmir, 2000: 94-95).

C. PENGERTIAN, KEGUNAAN, DAN FUNGSI JAMINAN KREDIT

(BANK) DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK

1. Pengertian Jaminan Kredit (Bank) dan Perbedaan dengan

Agunan (Bank)

Page 10: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 10Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Pengertian kata “jaminan (kredit)” dalam perspektif Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimanan telah diubah dengan undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998 berbeda dengan makna kata “jaminan

(kredit)” dalam perpektif Hukum Jaminan. Makna “jaminan” dalam

perpektif Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 lebih luas

dibandingkan dengan makna “jaminan” yang selama ini keta kenal.

Disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998, bahwa:

Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan

berdasrkan analisis yang mendalam atas iktikad dan

kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk

melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud

sesuai dengan yang diperjanjikan.

Sementara itu dalam penjelasan atas Pasal 8 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain dinyatakan:

Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian

kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah

diperoleh keuakinan, agunan dapat hanya berupa barang,

proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang

bersangkutan.

Dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 dihubungkan dengan Penjelasannya, diketahui bahwa

makna kata “jaminan” tidak sama dengan makna kata “agunan”,

karena agunan hanyalah salah satu unsur dari pemberian kredit. Dalam

hal ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menggunakan istilah

“jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Page 11: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 11Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

Syariah”, yang dimaknai atau berwujud “keyakinan atas kemampuan

dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya

sesuai dengan yang diperjanjikan”. Padahal selama ini yang dimaksud

dengan “jaminan (pemberian) kredit atau pembiayaan dengan Prinsip

Syariah adalah agunan”, yang dalam hal ini umumnya “berwujud

benda tertentu” yang bernilai ekonomis duna dipakai sebagai

pelunasan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah jika

nasabah debiturnya wanprestasi (badingkan Rachmadi Usaman, 2001:

281-282).

Sutan Remy Sjahdeini tidak sependapat dengan dipakainay

istilah “jaminan pemberian kredit” tersebut oleh Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998). Dengan diberikannya pengertian

“jaminan (pemberian) kredit” sama dengan “keyakinan bank

kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan

diperjanjikan”, maka arti dari “jaminan (pemberian) kredit” itu telah

bergeser, sehingga tidak sesuai lagi dengan pengertiannya yang lazim

dikenal selama ini (Sutan Remy Sjahdeini, 1993a: 20).

Demikian pula dari Penjelasa atas Pasal 8 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah membedakan antara

pengertian “agunan” dan “jaminan”. Dalam Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1967 tidak dikenal istilah “agunan”, yang ada istilah

“jaminan”.

Ini berarti, bahwa “jaminan (pemberian) kredit” yang dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) bukanlah

jaminan kredit yang selama ini dikenal dengan sebutan collateral

sebagai bagian daripada 5 C’s. Istilah colletereal oleh Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 (sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) diartikan dengan “agunan”

(bandingkan Sutan Remy Sjahdeini, 1993a: 20).

Page 12: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 12Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

2. Kegunaan dan Fungsi Jaminan Kredit (Bank) dalam Pemberian

Kredit (Bank)

Adapun kegunaan jaminan kredit tersebut, yaitu:

a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat

pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji,

yaitu untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah

ditetapkan dalam perjanjian;

b. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk

membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk

meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri

sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-

kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat

diperkecil.

c. Memberikan dorangan kepada debitur untuk memenuhi janjinya,

khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-

syarat yang telah disetujui agar debitur dan/atau pihak ketiga

yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan ayng telah

dijaminkan kepada bank (Bank Indonesia, 1994: 3 dan Thomas

Suyatno, et.al, 1995: 88).

D. PEMBATASAN DAN LARANGAN DALAM PEMBERIAN KREDIT

BANK

Pemberian yang hanya terkonsentrasikan pada hanya beberaba nasabah

mengandung resiko tinggi, karena kehidupan bank hanya akan bergantung

pada beberapa nasabah tersebut. Resiko ini lebih besar lagi kalau kredit

tersebut diberikan pada perusahaan-perusahaan orang dalam, karena pada

umumnya kredit yang demikian ini diberikan secara kurang wajar, artinya

penilaian kreditnya dilakukan kurang objektif, persyaratan biasanya lebih

longgar dibandingkan kredit lainnya, dan pada saat perusahaan grup orang

dalam tersebut mengalami kesulitan, bank tidak mampu bertindak secara

Page 13: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 13Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

tegas. Untuk mencegah pemberian kredit yang berlebihan tersebut di

beberapa negara diatur secara tegas, bahkan dalam undang-undang.

Mengingat terdapat hubungan yang signifikan antara kegagalan usha

bank dengan konsentrasi penyediaan dana, maka bank dilarang untuk

memberikan penyediaan dana yang mengakibatkan pelanggaran batas

maksimum pemberian kredit (BMPK).

BMPK ini merupakan sarana pengawasan penyaluran kredit bank.

BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan

oleh modal bank, yang diberikan kepada peminjam atau sekelompok

peminjam tertentu.

Bank Indonesia (BI) diberikan wewenang untuk menetapkan BMPK

untuk masing-masing peminjam atau sekelompok peminjam, termasuk

perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11 ayat

(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,

maka ketentuan BMPK dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu:

1. Jenis BMPK 30% (tiga puluh oersen)

BI dapat menetapkan BMPK yang lebih rendah dari 30% dari modal

bank, tetapi tidak boleh melebihi 30% dari modal bank yang

bersangkutan. BMPK ini ditujukan kepad apeminjam, sekelompok

peminjam, termasuk perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang

sama dengan bank yang bersangkutan.

2. Jenis BMPK 10% (sepuluh persen)

BI dapat menetapkan BMPK yang lebih rendah dari 10% dari modal

bank, tetapi tidak boleh melebihi 10% dari modal bank yang

bersangkutan. BMPK ini ditujukan kepada:

a. Pemegang saham yang bersangkutan;

b. Anggota dewan Komisaris;

c. Anggota Direksi;

Page 14: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 14Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

d. Keluarga dari pihak pemegang saham yang bersangkutan.

Anggota dewan Komisaris, dan anggota dewan Direksi;

e. Pejabat bank lainnya; dan

f. Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan

dari pihak-pihak pemegang saham yang bersangkutan, anggota

dewan Komisaris, anggota Direksi, keluarga pemegang saham

yang bersangkutan, dan pejabat bank lainnya.

Disebutkan dalam ketentuan pasal 11 ayat (4A) Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998, bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan

berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum

pemberian kredit (BMPK) atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.

Bang dinyatakan melakukan pelanggaran larangan terhadap ketentuan

BMPK apabila pada saatnya pemberiannya saldo kredit atau pembiayaan

berdasarkan Prinsip Syariah tersebut melampaui batas maksimum yang

telah ditetapkan Bank Indonesia (BI). Pelanggaran terhadak ketentuan

BMPK tersebut selain dapat dikenakan sanksi, juga dapat diperhitungkan

dalam penilaian tingkat kesehatan bank.

Ketentuan mengenai BMPK ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian

Kredit Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank

Indonesia Nomor 7/13/PBI/2006.

1. Ketentuan BMPK bagi Bank Umum

Ketentuan BMPK bagi Bank Umum diatur lebih lanjut:

a. BMPK kepada Pihak Terkait

Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan

bank ditetapkan paling tinggi 10% dari modal bank.

b. BMPK kepada Pihak Tidak Terkait

BMPK ditetapkan paling tinggi 20% dari modal bank.

Sedangkan penyediaan dana kepada satu kelompok peminjam

yang bukan merupakan pihak terkait ditetapkan paling tinggi

25% dari modal bank.

Page 15: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 15Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

c. Penyediaan dana oleh bank dikategorikan seabgai Pelampauan

BMPK apabila disebabkan oleh hal-hal dikarenakan penurunan

modal bank, penurunan nilai tukar, perubahan nilai wajar,

penggabungan usaha dan/atau perubahan struktur kepengurusan

yang menyebabkan perubahan pihak terkait dan/atau kelompok

peminjam; dan perubahan ketentuan.

d. Terhadap Pelampauan BMPK dan Pelanggaram BMPK, bank

diwajibkan menyusun dan menyampaikan rencana tindak

(action plan) kepada BI. Action plan dimaksud wajib memuat

paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian pelanggaran

BMPK dan/atau pelampauan BMPK serta target waktu

penyelesaian.

2. Ketentuan BMPK bagi BPR

Ketentuan BMPK bagi BPR diatur lebih lanjut:

a. BMPK kepada Pihak Terkait

BMPK ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 10% dari modal

bank.

b. BMPK kepada Pihak Tidak Terkait

BMPK ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 20% dari modal

bank.

c. Terhadap pelampuan BMPK,bank diwajibkan untuk menyusun

dan menyampaikan action plan kepada Bank Indonesia, dan

selain itu juga dikenakan sangsi dalam penilaian tingkat

kesehatan.

d. Terhadap pelanggaran BMPK, dapat dikenakan sanksi dalam

penilaian tingkat kesehatan dan diancam dengan sanksi pidana.

Selain pembatasan dalam BMPK, diatur pula pembatasan dalam

pemberian kredit berupa larangan dalam pemberian kredit. Dalam Surat

Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/70/KEP/DIR dan Surat

Edaran Bank Indonesia Nomor 23/3/UKU masing-masing tanggal 28

Pebruari 1991 telah mengatur pembatasan pemberian kredit untuk

Page 16: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 16Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

pembelian dan pemilikan saham oleh bank. Disebutkan, bahwa bank tidak

diperkenankan atau dilarang:

a. Memberikan kredit untuk membiayai pembelian saham atau modal

kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, kecuali untuk pembelian

kredit investasi, untuk pembiayaan barang modal (aktiva

tetap/bergerak) yang diperlukan oleh perusahaan yang melakukan

kegiatan jual beli saham atau pembelian obligasi yang diperdagangkan

di pasar modal;

b. Memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai penyertaan

Pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi dalam rangka

pengawasa dan pembinaan bank oleh Bank Indonesai (BI).

Ketentuan tersebut disempurnakan lagi dengan SK Direksi BI Nomor

24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran BI Nomor 24/1/UKU masing-masing

tanggal 12 Agustus 1991 tentang kredit pada perusahaan sekuritas dan

kredit dengan agunan saham. Disebutkan beberapa hal yang berkaitan

dengan pembatasan dalam pemberian kredit Bank untuk jual beli saham,

yaitu:

a. Bank dilarang memberikan kredit dengan agunan pokok dan agunan

tambahan berupa saham perusahaan lain;

b. Bank dilarang memberikan kredit kepada perorangan atau perusahaan

yang bukan perusahaan sekuritas untuk jual beli saham, kecuali

pemberian kredit kepada koperasi dalam rangka pemberian saham

bank yang bersangkutan.

E. PEMBERIAN KREDIT BANK BERDASARKAN PEDOMAN

PERKREDITAN BANK

Dalam kaitan dengan kegiatan usaha memberikan kredit, nak diwajibkan

untuk memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan

berdasarkan Prisnsip Syariah. Kewajiban ini disebutkan dalam ketentuan

Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa bnk umum

wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan

Page 17: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 17Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia (BI).

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 dihubungkan dengan Penjelasannya, maka hal-hal lainnya yang

perlu diperhatikan oleh bank dalam pemberian kredit, yaitu:

a. Pemberian kredit atau pembiayaan syariah harus dibuat dalam bentuk

perjanjian tertulis;

b. Bank harus mempunyai keyakinan atas kemampuan serta

kesanggupan nasabh debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian

yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan

prospek usaha dari nasabah debitur;

c. Bank wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang telah disusunya sendiri;

d. Bank wajib memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan

persyaratan pemberian kredit atau pembiayaan syariah;

e. Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan syariah dengan

persyaratan berbeda kepada nasabah debitur dan/atau pihak-pihak

terafiliasi.

Selain itu bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan

berdasarkan Prisnsip Syariah juga harus pula memperhatikan hasil AMDAL

bagi perusahaan berskala besar dan/atau beresiko tinggi agar proyek yang

dibiayai tetap menjaga kelesterian lingkungan.

Sebelumnya Bank Indonesia pernah mengeluarkan Surat Keputusan

Direksi Bank Indonesia Nomor 27/127/KEP/DIR tangal 31 Maret 1995

perihal Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan

Bank bagi Bank Umum. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa bank umum

wajib memiliki Kebijaksanaan Perkreditan Bank (KPB) secara tertulis dan

wajib disetujui oleh dewan Komisaris bank, yang minimal harus memuat

semua aspek yang telah ditetapkan dalam Pedoman Penyusunan

Kebijaksanaan Perkreditan Bank.

Page 18: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 18Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

KPB dimaksud minimal meuat dan mengatur hal-hal pokok

sebagaimana ditetaokan dalam PPKPB, sebagai berikut:

a. Prinsip kehati-hatian dalam pekreditan;

b. Organisasi dan manajemen perkreditan;

c. Kebijaksanaan persetujuan kredit;

d. Dokumentasi dan administrasi kredit;

e. Pengawasan kredit;

f. Penyelesaian kredit bermasalah.

Adapun tujuan dari KPB ini untuk mengoptimalkanpendapatan dan

mengendalikan risiko bank dengan cara menerapkan asas-asas perkredtian

yang sehat. Selain itu, dengan penerapan dan pelaksanaan KPB secara

konsekuen dan konsisten, diharapkan bank dapat terhindar dari

kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak yang tidak

bertanggung jawab dalam pemberian kredit.

F. PENGGOLONGAN KREDIT BANK BERDASARKAN KUALITAS

AKTIVA PRODUKTIF BANK

Dalam rangka mengelola resiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian,

bank wajib menjaga kualitas aktiva dan wajib membentuk penyisihan dan

penghapusan aktiva. Oleh karena itu, aset yang dinilai kualitasnya

mencakup aktiva produktif dan aktiva nonproduktif.

Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan sejumlah Peraturan Bank

Indonesia berkenaan dengan penilaian kualitas aktiva produktif perbankan,

yaitu:

1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian

Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana telah diubah berturut-turut

dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 dan Peraturan

Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007;

2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas

Aktiva Produktif dan Penyisihan Penghapusan Aktifa Produktif Bank

Perkreditan Rakyat.

Page 19: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 19Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian

Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha

Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007.

4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tentang Penilaian

Kualitas Aktiva Bank Perkreditan Rakyat Syariah.

Dalam penetapan kualitas kredit, Bank Umum wajib memperhatikan

factor-faktor penilaian sebagai berikut:

1. Prospek usaha, yang meliputi penilaian terhadap komponen-

komponen:

a. Potensi pertumbuhan usaha;

b. Kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan;

c. Kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;

d. Dukungan dari grup atau afiliasi; dan

e. Upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara

lingkungan hidup.

2. Kinerja (Performance) debitur, meliputi penilaian terhadap

komponen-komponen

a. Perolehan laba;

b. Struktur permodalan;

c. Arus kas; dan

d. Sensitivitas terhadap risiko pasar.

3. Kemampuan membayar debitur, meliputi penilaian terhadap

komponen-komponen:

a. Ketetapan pembayaran pokok dan bunga;

b. Ketersediaan keakuratan informasi keuangan debitur;

c. Kelengkapan dokumentasi kredit;

d. Kepatuhan terhadap perjanjian kredit;

e. Kesesuaian penggunaan dana; dan

f. Kewajaran sumber pembayaran kewajiban.

Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis

terhadap factor-faktor penilaian sebagaimana dimaksud di atas dengan

Page 20: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 20Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

mempertimbangkan komponen-komponen yang terdapat dalam masing-

masing faktor penilaian dan mempertimbangkan pula:

1. Signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan

komponen, serta

2. Relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap debitur yang

bersangkutan.

Berdasarkan penilaian sebagaimana di sebutkan di atas, maka kualitas

kredit dapat ditetapkan menjadi:

1. Lancar,

2. Dalam Perhatian Khusus,

3. Kurang Lancar,

4. Diragukan, atau

5. Macet.

Menurut ketentuan Bank Indonesia di atas, bahwa kualitas suatu surat

berharga yang diakui berdasarkan nilai pasar ditetapkan memiliki kualitas

lancar sepanjang memenuhi persyaratan:

1. Aktif diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia;

2. Terdapat informasi nilai pasar secara transparan;

3. Kupon atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah dan

waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan

4. Belum jatuh tempo.

Terhadap surat berharga yang tidak memenuhi persyaratan sebagai

surat berharga yang aktif diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia

dan/atau terdapat informasi nilai pasar surat berharga yang bersangkutan

secara transparan atau surat berharga yang diakui berdasarkan harga

perolehan ditetapkan sebagai berikut:

1. Lancar, apabila:

a. Memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi;

b. Kupon atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah

dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan

c. Belum jatuh tempo.

Page 21: Kegiatan Pemberian Kredit Bank

________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 21Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau

2. Kurang Lancar, apabila:

a. Memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi;

b. Terdapat penundaan pembayaran kupon atau kewajiban lain

yang sejenis; dan

c. Belum jatuh tempo.

atau

a. Memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di bawah

peringkat investasi.

b. Tidak terdapat penundaan pembayaran kupon atau kewajiban

lain yang sejenis; dan

c. Belum jatuh tempo.

3. Macet, apabila surat berharga tidak memenuhi kriteria di atas.