Kedudukan Pengadilan Pajak Terkait Eksistensinya Sebagai Lembaga Yudisial Di Indonesia

45
KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK TERKAIT EKSISTENSINYA SEBAGAI LEMBAGA YUDISIAL DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang sangat potensial untuk pembiayaan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pertahanan dan pembangunan nasional dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Penting dan strategisnya peran sektor perpajakan dalam penyelenggaraan pemerintah dapat dilihat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Rancangan APBN setiap tahun yang disampaikan pemerintah, yaitu terjadinya peningkatan persentase sumbangan perolehan pajak bagi APBN dari tahun ke tahun. 1 1 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hal. 11. 1

description

analisis kedudukan pengadilan pajak

Transcript of Kedudukan Pengadilan Pajak Terkait Eksistensinya Sebagai Lembaga Yudisial Di Indonesia

KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK TERKAIT EKSISTENSINYA SEBAGAI LEMBAGA YUDISIAL DI INDONESIA

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang sangat potensial untuk pembiayaan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pertahanan dan pembangunan nasional dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa.Penting dan strategisnya peran sektor perpajakan dalam penyelenggaraan pemerintah dapat dilihat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Rancangan APBN setiap tahun yang disampaikan pemerintah, yaitu terjadinya peningkatan persentase sumbangan perolehan pajak bagi APBN dari tahun ke tahun.[footnoteRef:2] [2: Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hal. 11.]

Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 bahwa, Segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak. Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya Wealth of Nations mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan pajak yang lazim dikenal dengan four canons taxation atau sering disebut The Four Maxim dengan uraian sebagai berikut:[footnoteRef:3] [3: C. Goedhart, Garis-garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Terjemahan : Ratmoko, Djembatan, 1973, hal 216. Dalam H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), hal. 41-42. ]

1. Equality (asas persamaan)Asas ini menekankan bahwa pada warga negara atau wajib pajak tiap negara seharusnya memberikan sumbangannya kepada negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing, yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka terima di bawah perlindugan negara. Yang dimaksud dengan keuntungan di sini adalah besar kecilnya pendapatan yang diperoleh di bawah perlindunga negara. Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara wajib pajak.2. Certainty (asas kepastian)Asas ini menekankan bahwa bagi wajib pajak, harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran pajak. Dalam asas ini kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subjek dan objek pajak.3. Conveniency of Payment (asas menyenangkan)Pajak seharusnya dipungut pada waktu dengan cara yang paling menyenangkan bagi wajib pajak, misalnya : pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap para petani, sebaiknya dipungut pada saat mereka memperoleh uang, yaitu pada saat panen.4. Low Cost of Collection (asas efisiensi)Asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak disesuaikan dengan kebutuhan Anggaran Belanja Negara.Walaupun pajak dipungut oleh negara berdasarkan asas equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan), pada kenyataannya sering kali masih terjadi sengketa pajak. Terjadinya Sengketa Pajak atau Bea dan Cukai diawali dengan adanya ketidaksamaan persepsi atau perbedaan pendapat antara :[footnoteRef:4] [4: Atep Adya Barata, Memahami Prosedur Beracara Di Pengadilan Pajak, (Jakarta: Sociadana, LP3AB-IBTA 2002), hal. 5. ]

1. Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak (aparat Direktoral Jenderal Pajak) atas penetapan Pajak terutang untuk Pajak-Pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak; atau2. Wajib Pajak dengan Kepala Daerah/Kepala Dinas Pendapatan Daerah (aparat Dinas Pendapatan Daerah) setempat (Propinsi/Kabupaten/Kota) atas penetapan Pajak terutang untuk Pajak-Pajak daerah; atau 3. Orang (perseorangan atau Badan Hukum)/Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Bea dan Cukai (aparat Direktoral Jenderal Bea dan Cukai) atas penetapan bea masuk, cukai, dan sanksi administrasinya, serta Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor, Pajak Pertambahan Nilai Impor, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Impor.

Prinsip pemungutan perpajakan yang dianut Indonesia adalah self assessment, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggungjawab kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Prinsip ini memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak dituangkan dalam bentuk pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) di bidang pajak. Surat Pemberitahuan Tahunan dibuat pada setiap akhir masa pajak atau akhir tahun pajak, secara periodik. Atas dasar prinsip self assessment tersebut petugas pajak mempunyai wewenang untuk meneliti dan memeriksa kebenaran pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak, seperti ditentukan dalam pasal 17 dan pasal 17A UU KUP. Adapun hasil dari penelitian atau pemeriksaan yang bersifat administratif, dapat diterbitkan Ketetapan/Keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), dan Surat Tagihan Pajak (STP).[footnoteRef:5] [5: Ibid., hal. 20-21. ]

Penerimaan negara dari sektor perpajakan merupakan salah satu penerimaan negara yang perlu ditingkatkan dan dikelola secara bijak dan adil, agar tercapai kemandirian pembiayaan bernegara dan melepaskan diri dari keterikatan utang luar negeri. Akan tetapi, pada kenyataannya upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan lebih mudah untuk dilaksanakan dibandingkan dengan upaya meningkatkan keadilannya. Masyarakat selaku Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara pemerintah (instansi perpajakan) dengan pihak Wajib Pajak. Perpajakan erat kaitannya dengan proses pembuatan keputusan, yang mempunyai beberapa kemungkinan dan perkiraan/prediksi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang mempunyai banyak cabang. Hal ini disebut sebagai evaluasi dan merupakan proses yang lebih kompleks. Pembentukan suatu sistem peradilan pajak yang berkaitan dengan sengketa/perselisihan (contentieus), akan didahului oleh penciptaan sistem, paradigma atau proses desain sistem. Pada kenyataannya, terdapat suatu perbedaan yang signifikan antara teori sistem dan aplikasinya. Untuk menjembatani, diperlukan suatu pendekatan sistem yang dapat digunakan sebagai alat dan teknik untuk mencapai tujuan tersebut. Teori sistem berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan struktur, proses, perilaku, interaksi, fungsi dan lainnya dari institusi.[footnoteRef:6] [6: Luthan, Fred, Organisational Behavior, McGrawiHill Inc. New York, 7th Edition, 1998, p. 464-498. Dalam Rukiah Komariah dan Ali Purwito, Pengadilan Pajak (Proses Banding Sengketa Pajak, Pabean, dan Cukai), (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal. 9-10. ]

Namun, sebesar apapun usaha pemerintah untuk menyelaraskan beban pajak yang harus dipikul oleh Wajib Pajak dengan keadilannya, tetap saja terjadi sengketa di antara pemerintah (instansi perpajakan) dengan Wajib Pajak. Untuk itu, diperlukan adanya suatu lembaga penyelesaian perselisihan pajak di Indonesia.Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa di bidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman baru yang telah mencabut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman lama.Dalam pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Artinya, pengadilan pajak merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman dan berada di bawah Mahkamah Agung karena menjalankan fungsi yudisial. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.

Kemudian Pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan bahwa :(1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. (2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.Sedangkan dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 2002 menjelaskan bahwa Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Selanjutnya ayat 2 menyebutkan Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Dengan demikian, Pengadilan Pajak memiliki dua Pembina yakni Mahkamah Agung dan Departemen Keuangan. Artinya, terdapat perbedaan pengaturan pembinaan antara norma yang dimaksud dalam UU No. 48 Tahun 2009 dengan UU No. 14 Tahun 2002. Penempatan pembinaan di dua lingkungan institusi yang berbeda tersebut menimbulkan perdebatan secara konseptual dan independensi pengadilan dipertanyakan. Hal ini juga menimbulkan keraguan terhadap independensi hakim di lingkungan pengadilan pajak. Sistem pembinaan yang mendua seperti itu kiranya patut dicermati karena meskipun menurut sementara tidak mengurangi kemandirian hakim dalam menjalankan fungsi peradilan, namun menurut Yahya Harahap pendapat tersebut mengandung kekeliruan dan ketidakbenaran dengan alasan:[footnoteRef:7] [7: M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 32. Dalam bagian buku tersebut diajukan kritik mengenai sistem pembinaan yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 yang mengandung dualism, seperti juga yang terjadi dalam Pengadilan Pajak.]

1. Menempatkan badan peradilan di bawah eksekutif dalam hal ini departemen meskipun yang ditempatkan di bawahnya hanya organisatoris, administratif dan finansial, sistem seperti ini baik langsung atau tidak langsung merupakan simbol pengakuan yurdis bahwa badan peradilan berada di bawah departemen yang bersangkutan. Lebih lanjut, simbol tersebut memberi aba-aba peringatan kepada para hakim mengenai batas otonomi kebebasan mereka, bahwa dalam menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan mereka berada di bawah kontrol pihak departemen. Oleh karena itu, meskipun secara teoritis yang dibina dan diawasi departemen hanya administratif, personal dan finansial, namun daya pengaruh simbol yang terkandung di dalamnya menimbulkan efek politik dan psikologis yang sangat luas terhadap otonomi kemandirian kebebasan hakim, dan juga berdampak luas terhadap nilai loyalitas para hakim itu sendiri, dalam bentuk kebimbangan, apakah harus loyal kepada fungsi dan kewenangan kekuasaan kehakiman atau mesti loyal kepada kebijaksanaan departemen yang bersangkutan.2. Sistem dualisme yang ada sekarang ini menimbulkan kesulitan dan hambatan terhadap upaya sumbangan konsep dan program pengawasan dan pembinaan yang komprehensif dan integratif.

B. Rumusan Masalah1. Bagaimanakah implikasi perbedaan pengaturan pembinaan Pengadilan Pajak yang berada di lingkungan Mahkamah Agung dan di lingkungan Kementerian Keuangan?2. Bagaimana independensi Pengadilan Pajak dengan perbedaan pembinaan yang berada di lingkungan Mahkamah Agung dan di lingkungan Kementerian Keuangan?

C. Kerangka TeoriDalam menganalisa dualisme pembinaan di pengadilan pajak ini, penulis hendak menggunakan teori pemisahan kekuasaan (separation of powers) dengan check and balances dan the principle of judicial independence. Hal ini untuk melihat letak secara konseptual dari pengadilan pajak dan efek yang terjadi pada organisasi dan kinerjanya.Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menentukan, Negara Indonesia ialah negara hukum. Konsepsi negara hukum atau rechtssaat, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip negara hukum adalah the rule of law, not of man.[footnoteRef:8] [8: Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal. 297. ]

Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu :[footnoteRef:9] [9: Ibid., hal. 304.]

1) Perlindungan hak asasi manusia;2) Pembagian kekuasaan;3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang;4) Peradilan tata usaha negara.Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 13 pokok negara hukum (rechtsstaat) yang berlaku di zaman modern sekarang, sebagai pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai negara hukum (the rule of law, ataupun rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, yaitu :[footnoteRef:10] [10: Ibid., hal. 309-310.]

1) Supremasi hukum (supremacy of law);2) Persamaan dalam hukum (equality before the law);3) Asas legalitas (due process of law);4) Adanya pembatasan kekuasaan berdasarkan undang-undang dasar;5) Berfungsinya organ-organ negara yang independen dan saling mengendalikan;6) Prinsip peradilan bebas dan tidak memihak;7) Tersedianya upaya peradilan Tata Usaha Negara;8) Tersedianya upaya peradilan tata usaha negara (constitutional adjudication);9) Adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia;10) Bersifat demokratis (democratic rule of law atau democratische rechsstaat) sehingga pembentukan hukum yang bersifat demokratis dan partisipatoris dapat terjamin;11) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechsstaat);12) Adanya pers yang bebas dan prinsip pengelolaan kekuasaan negara yang transparan dan akuntabel dengan efektifnya mekanisme kontrol sosial yang terbuka;13) Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.Dalam konsep bernegara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), erat kaitannya dengan pembahasan mengenai prinsip pemisahan negara (separation of power). Seperti yang ditulis dan dikembangkan oleh Montesquieu yang dikenal dengan Teori Trias Politica dalam buku The Spirit of the Laws yang merupakan penyempurnaan dari ajaran John Locke dengan bukunya Lespirit de droit atau kalau diterjemahkan menjadi jiwa undang-undang.[footnoteRef:11] [11: Rukiah Komariah dan Ali Purwito, Pengadilan Pajak (Proses Banding Sengketa Pajak, Pabean, dan Cukai), (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006) hal. 5.]

Untuk menghindari tindakan sewenang-wenang penguasa, kekuasaan negara menurut Montesquieu dipisahkan dalam tiga kekuasaan, yaitu :[footnoteRef:12] [12: Safri Nugraha, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), cet. I, hal. 23.]

1. Kekuasaan Legislatif, yaitu pembuat undang-undang (La puissance leglistative);2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan pemerintahan (La puissance executive);3. Kekuasaan peradilan (La puissance de juge), kekuasaan mempertahankan keadilan berdasarkan undang-undang. Dalam prinsip ini terdapat pemisahan kekuasaan yang sangat ketat dan tegas yang menyebabkan masing-masing pusat kekuasaan tersebut menjadi dominan akan teritorial kekuasaannya. Sehingga muncul perkembangan terhadap prinsip ini yang terjadi di Amerika Serikat yaitu, check and balances. Menurut Charles O. Jones, sistem pemisahan kekuasaan dengan prinsip checks and balances menggambarkan kenyataan yakni, setiap kekuasaan saling mengontrol dan mengimbangi satu sama lain.[footnoteRef:13] [13: Lihat Jimly Asshiddiqie, op.,cit, hal.317.]

Jadi, prinsip pemisahan kekuasaan dengan checks and balances dimaksudkan sebagai prinsip-prinsip yang dapat mencegah konsentrasi kekuasaan di bawah satu tangan atau organ dan mencegah adanya campur tangan antara badan/organ negara, sehingga masing-masing dapat menjalankan tugas fungsinya sebagaimana yang diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan.[footnoteRef:14] Setelah perubahan pertama sampai dengan keempat, UUD 1945 telah resmi dan tegas menganut prinsip pemisahan kekuasaan dengan checks and balances. [14: Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung Republik Indonesia (Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 72.]

Pemisahan kekuasaan juga terkait dengan independensi peradilan. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu menghendaki bahwa para hakim dapat bekerja secara independen dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Bahkan, dalam memahami dan menafsirkan undang-undang dasar dan undang-undang, hakim harus independen dari pendapat dan bahkan dari kehendak politik para perumus undang-undang dasar dan undang-undang itu sendiri ketika perumusan dilakukan. Meskipun anggota parlemen dan presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat mencerminkan kedaulatan rakyat dalam menentukan kebijakan kenegaraan, tetapi kata akhir dalam memahaminya tetap berada di tangan para hakim.[footnoteRef:15] [15: Jimly Asshiddiqie, op.,cit, hal. 523.]

Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan (judicial system), yaitu : (i) the principle of judicial independence, dan (ii) the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem di semua negara yang disebut hukum modern atau modern constitutional state.[footnoteRef:16] [16: Ibid., hal. 530.]

Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Di samping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sistem penggajian, dan pemberhentian para hakim.[footnoteRef:17] [17: Ibid.]

BAB IIPEMBAHASAN

A. Sejarah institusi Peradilan PajakSejarah institusi atau lembaga yang berfungsi menyelesaikan sengketa perpajakan dimulai dari Majelis Pertimbangan Pajak (selanjutnya disebut MPP), Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (selanjutnya disebut BPSP) hingga ke Pengadilan Pajak.Majelis Petimbangan Pajak (MPP) telah hadir sejak adanya Staatsblad Nomor 707 tanggal 11 Desember 1915 tetapi masih belum dapat dikatakan sebagai badan peradilan yang independen karena berkedudukan langsung dibawah Gouverneur General di mana ketuanya adalah Directeur van Financien (sama dengan Menteri Keuangan). Demi terciptanya proses peradilan yang independen dalam menyelesaikan sengketa perpajakan, maka pada tahun 1927 di adakanlah perombakan dan penyempurnaan ordonansi sehingga lahirlah Ordonnantietot Regeling van het Beroep in Belastingzaken, Stbld. No. 29 Tahun 1927 dengan nama Raad van Beroep Voor Belastingzaken atau biasa disebut Raad van Beroep. MPP adalah sebuah badan peradilan administrasi bidang perpajakan, oleh karenanya pengambilan sumpah oleh badan eksekutif dinilai tidak sesuai, sehingga ordonansi mengenai pendirian MPP perlu diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1959 (L.N No. 13 Tahun 1959) khususnya pasal 4 di mana kata-kata Gouverneur der Provincie West Java diganti dengan kata-kata Ketua Mahkamah Agung.[footnoteRef:18] [18: Hadi Buana, Peradilan Pajak Sebagai Sistem Penyelesaian Sengketa Pajak Di Indonesia, (Jakarta: IND HILL CO, 2012), hal. 122-123. ]

MPP diberikan wewenang untuk memeriksa dan memutus permohonan banding atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak. Penyelesaian sengketa pajak ini meliputi selain pajak-pajak negara (pemerintah pusat), juga pajak-pajak daerah. Struktur organisasi MPP, telah memenuhi sebagai suatu organisasi, yaitu dengan dibantu oleh Sekretariat yang mengepalai kesekretariatan dan kegiatan administrasi yuridis dan umum, seperti diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1986. Dengan adanya majelis tersebut, banyak sengketa pajak yang telah dapat diselesaikan, sehingga kebenaran, keadilan dan pengakan hukum di bidan perpajakan mulai dirasakan oleh masyarakat, khususnya para pelaku bisnis.[footnoteRef:19] [19: Rukiah Komariah dan Ali Purwito, op.,cit, hal. 38.]

Untuk memberikan warna yang lebih jelas bagi institusi penyelesaian sengketa pajak, melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997, dibentuk suatu badan semacam peradilan yakni Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Badan ini mempunyai kewenangan yang lebih luas dan dimaksudkan menggantikan kedudukan Majelis Pertimbangan Pajak yakni selain memeriksa dan memutus masalah sengketa pajak, juga pabean dan cukai. Meskipun bukan berbentuk pengadilan, tetapi forum pemeriksaan dan pemutus sengketa, terdiri atas Ketua dan anggota (berjumlah tiga orang), bertindak sebagai hakim. Putusannya berbentuk putusan Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Pajak atau BPSP. Dengan adanya perluasan peradilan termaksud. Anggota-anggota BPSP selain berasal dari pajak, para ahli perpajakan (konsultan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat), pengusaha, juga ahli-ahli di bidang kepabeanan dan cukai. Hal ini dilakukan sehubungan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Undang-Undang Nomor 11 tentang Cukai. Bidang sengketa di bidang pabean dan cukai selama ini diselesaikan melalui dan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Keputusannya bersifat final dan segera dapat dilaksanakan. Sedangkan upaya hukum ke tingka yang lebih tinggi, tidak dimungkinkan, sehingga dirasakan bahwa kekuasaan birokrasi terlalu luas dan orang yang melakukan kegiatan kepabeanan tidak mempunyai hak untuk membela diri. Guna mendukung dan mengantisipasi timbulnya sengketa di bidang ini, unsur kepabeanan dan cukai mulai dimasukkan dalam peradilan pajak. Tentang kedudukan BPSP saat itu, ada yang mengusulkan untuk disubordinasikan kepada Mahkamah Agung, disebabkan BPSP sebagai lembaga peradilan, belum berpuncak kepada Mahkamah Agung. Atas usulan ini, muncul pemikiran untuk memisahkan antara putusan-putusan yang bersifat umum dan yang bersifat khusus atau teknis tertentu. Masalah sengketa pajak yang mempunyai corak, sifat, dan karakteristik sendiri dapat diserahkan kepada suatu peradilan khusus. Sedangkan sengketa atas keputusan dalam lingkup administrasi negara yang lain tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Setelah melalui perbincangan dan perdebatan yang sangat ketat baik di masyarakat, antara para pakar maupun para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, akhirnya pada tahun 2002 Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189 Tahun 2002.[footnoteRef:20] [20: Ibid., hal. 38-41.]

B. Pemikiran pembentukan Pengadilan PajakAdanya kebebasan bagi wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dan Peradilan Pajak merupakan suatu sarana atas kemungkinan penyelesaian sengketa pajak yang adil berdasarkan kebenaran dengan prosedur yang cepat, murah, dan sederhana.[footnoteRef:21] [21: Ibid., hal. 16.]

Pendekatan sistim dari perundang-undangan yang ada, seperti sistim kenegaraan, administrasi negara (termasuk tata usaha negara), Mahkamah Agung, serta kekuasaan kehakiman dan lainnya, akan merupakan dasar filosofis dari sistim manajemen Pengadilan Pajak Nasional, yang diharapkan akan dapat mengelola dengan baik masalah-masalah yang ada dan pada akhirnya menghasilkan solusi-solusi yang diperlukan.[footnoteRef:22] [22: Rukiah Komariah dan Ali Purwito, op.,cit, hal. 12-13. ]

Idealnya sebuah Pengadilan Pajak memiliki visi penegak keadilan berdasarkan Undang-undang. Karenanya ia sewajarnya mempunyai misi menyelamatkan pungutan pajak yang diperintahkan Undang-undang dan sebaliknya membersihkan kas negara pajak dari pungutan yang tidak diperintahkan atau berdasarkan Undang-undang, singkatnya Pengadilan Pajak itu sewajarnya memiliki misi to save the only legal tax artinya hanya menyematkan pemungutan atau penerimaan pajak sebagaimana yang diatur dengan Undang-undang dengan perkataan lain tidak menolelir ada perampokan oleh Negara (robbery by the state).Kekhususan dan karakteristik tersendiri dari pajak, menyebabkan pemerintah berusaha memisahkan antara Kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan khusus perpajakan yang berfungsi untuk menjembatani hubungan antara publik (kebanyakan dari dunia usaha) dan aparat perpajakan. Badan ini akan merupakan tempat dimana para wajib pajak dapat memperoleh hak-haknya kembali dan mendapatkan kebenaran dan keadilan. Sebagai realisasi dari wacana tersebut, dibentuk suatu peradilan yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa pajak yang terjadi dalam masyarakat dalam lingkup pengadilan tata usaha negara.[footnoteRef:23] [23: Ibid., hal. 7. ]

Pola dasar pemikiran atas pembentukan Pengadilan pajak disusun berlandaskan :[footnoteRef:24] [24: Ibid., hal. 24.]

a. Karakterisitik perpajakan, perpajakan mempunyai ciri dan corak tersendiri dan berbeda dengan kasus-kasus dalam pengadilan lainnya. Penekanan dalam pengadilan pajak adalah pada kepatuhan dan keadilan bagi wajib pajak dalam mempertahankan apa yang menjadi hak-haknya;b. Pandangan mikro, permasalahan pajak merupakan suatu hal yang sifatnya mikro dan khusus/tertentu serta mempunyai bidang tersendiri dalam suatu lingkup yang lebih besar (makro), yaitu keuangan negara;c. Interdependensi, artinya terjadi keterkaitan dan ketergantungan, yaitu antara pemungutan pajak yang merupakan perwujudan pengabdian masyarakat dan tidak terlepas dari peran serta wajib pajak di satu pihak. Di lain pihak, tanpa adanya wajib pajak dan peran serta mereka untuk membayar pajak, pemungutan pajak tidak akan terlaksana. Sifat interdependensi ini diwujudkan di dalam sistem pengadilan pajak nasional yang bersifat pengabdian dan pengawasan atas pelaksanaan keputusan yang diambil oleh birokrat/eksekutif, dan berdasarkan keadilan dan kebenaran.

Dengan dibentuknya Pengadilan Pajak telah terjadi perubahan mendasar dalam penyelesaian Sengketa Pajak dan merupakan babak baru hukum positif di Indonesia yang melandasi keberadaan lembaga/badan Peradilan Pajak di Indonesia. Babak baru tersebut bukan semata-mata penggantian istilah lembaga Peradilan Pajak menjadi Pengadilan Pajak, namun hal yang mendasar yaitu menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yang merupakan kekhususan dari Pengadilan Pajak, yaitu :1. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain; 2. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan; 3. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak Terutang dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak Terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai akibatnya jenis putusan Pengadilan Pajak, di samping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar. Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang merupakan kekhususan dari Pengadilan Pajak, antara lain sebagai berikut :1. Pengadilan Pajak berkedudukan di Ibukota Negara; 2. Pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedang pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan; 3. Proses penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak dalam acara pemeriksaannya hanya mewajibkan kehadiran Terbanding atau Tergugat, sedangkan Pemohon Banding atau Penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali apabila dipanggil oleh Hakim atas dasar alasan yang cukup jelas;4. Proses seleksi penerimaan Hakim dilaksanakan oleh Departemen Keuangan dengan melibatkan Mahkamah Agung; 5. Pengadilan Pajak selain menjadi bagian integral dari kekuasaan kehakiman juga merupakan bagian integral dari proses penerimaan negara yang bermuara di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); 6. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak; 7. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.Pembentukan Pengadilan Pajak tunduk kepada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, dengan pertimbangan, antara lain disebutkan bahwa :[footnoteRef:25] [25: Ibid., hal. 41-42.]

Peningkatan jumlah wajib pajak diimbangi dengan pemahaman para wajib pajak akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan. Kesadaran dan pemahaman ini menyebabkan tidak dapat dihindarkan timbulnya sengketa pajak. Sebaliknya aparat fiskus yang semakin sadar akan pelaksanaan pemerintahan yang baik dan bersih, teliti dan hati-hati (good governance) dalam menjalankan tugasnya. Sengketa pajak memerlukan suatu penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana, oleh karena itu memerlukan wadah untuk memfasilitasi sengketa yang terjadi. BPSP, meskipun sudah komprehensif dan mempunyai cakupan lebih luas, tetapi belum menunjukkan sebagai suatu badan peradilan yang dapat memeriksa dan memutus sengketa yang mempunyai kekuatan hukum tetap.Mengingat hal-hal di atas, dipandang perlu untuk membentuk suatu pengadilan pajak yang selaras dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Sebagai negara berdasarkan atas hukum, prinsip penting yang harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen ialah penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka. Dibutuhkan suatu pengadilan yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman Indonesia.Maka pada tahun 2002 lahirlah Undang-Undang 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Undang-undang ini lah yang menjadi dasar dari penyelesaian sengketa pajak melalui mekanisme pengadilan. Pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dimuat pengertian mengenai Pengadilan Pajak, yaitu:Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa Pajak.Dalam pengertian di atas terdapat unsur-unsur sebagai berikut :(1) Pengadilan Pajak adalah suatu badan peradilan khusus, di mana kekhususan ini ditunjukkan dengan bidang yang menjadi kewenangan untuk meemriksa dan memutuskan, yakni mengenai sengketa perpajakan saja;(2) Melaksanakan kekuasaan kehakiman, berarti setaraf dengan badan peradilan lainnya yang telah ditentukan, sesuai dengan peraturan perundang-unangan yang ada;(3) Pengadilan yang mempunyai kekhususan, di bidang fiskal, karena mempunyai corak, sifat dan karakteristik tersendiri. Meskipun demikian Pengadilan Pajak masih dalam lingkup Pengadilan Tata Usaha Negara. C. Implikasi perbedaan pengaturan pembinaan Pengadilan Pajak yang berada di lingkungan Mahkamah Agung dan di lingkungan Kementerian Keuangan

Seiring adanya perubahan dalam ketatanegaraan yaitu diamandemennya UUD 1945, tepatnya sejak amandemen pertama, UUD 1945 telah secara resmi dan tegas menganut prinsip pemisahan kekuasaan, sehingga tidak ada lagi lembaga negara yang superior, tetapi justru semua lembaga negara kedudukannya sederajat dan dibedakan pada fungsi dan tugas sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Prinsip pemisahan kekuasaan dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai suatu kekuasaan yang dijalankan memiliki kekuasaan yang melebihi badan (organ) lainnya, tetapi harus seimbang dan saling mengawasi, jadi dapat dibuat kerjasama antar lembaga kekuasaan negara, misalnya antara parlemen dengan pemerintah (Presiden) dalam pembuatan suatu undang-undang.Berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, pembinaan teknisnya berada di bawah Mahkamah Agung sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangannya menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan.Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 2002 menjelaskan bahwa Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Selanjutnya ayat 2 menyebutkan Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.

Kementrian KeuanganMahkamah Agung

Pengadilan Pajak

Perbedaan penempatan pembinaan ke dalam kedua institusi sebagaimana disebutkan di atas, hendaknya perlu ditinjau dari beberapan peraturan yang berkaitan dengan hal tersebut, beberapa peraturan tersebut antara lain, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU tentang Mahkamah Agung.Kemudian dalam pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa : (1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. (2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.Pasal 32 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung disebutkan bahwa :(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. (3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua badan peradilan yang berada di bawahnya. (4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya.Dari beberapa peraturan di atas jelas terlihat terdapat perbedaan pengaturan antara pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 32 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dengan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Bahwa UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung menyebutkan organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung sedangkan UU Pengadilan Pajak menyebutkan berbeda bahwa pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan (sekarang disebut kementerian keuangan). Perbedaan pengaturan oleh kedua peraturan di atas menunjukkan adanya ketidakselarasan untuk pengaturan hal yang sama, dengan kata lain memunculkan suatu konflik norma.[footnoteRef:26] Baik UU Kekuasan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung (perubahan II) merupakan hasil produk undang-undang terbaru yang menggantikan undang-undang yang lama atau dibandingkan dengan UU Pengadilan pajak yang belum direvisi kedua undang-undang tersebut muncul belakangan. Kondisi inilah menurut penulis yang memungkinkan adanya perbedaan pengaturan atau perbedaan makna yang terdapat dalam kedua peraturan yang berbeda namun mengatur hal yang sama. Baik UU Kekuasan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, maupun UU Pengadilan Pajak berdasarkan hirarki peraturan perundang-undangan berada dalam strata yang sama atau setara kedudukannya, namun bila dilihat dari karakteristik dari undang-undang ini menunjukkan perbedaan yang jelas, bahwa UU Kekuasaan Kehakiman secara muatan dan tujuan pengaturannya menjadi lebih tinggi dari UU Pengadilan Pajak karena pengadilan pajak merupakan bagian dari penyelenggara kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dari kontruksi di atas menunjukkan telah terjadi konflik norma yaitu, antara norma umum dengan norma khusus. [26: Undang-undang merupakan produk lembaga legislatif sebagai hasil dari kegiatan kristalisasi, formalisasi, atau legislasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik mayoritas (Lihat dalam Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, Ed. Revisi, Cet. III. 2010), hal. 5) Oleh kenyataan itu, menyebabkan tujuan hukum tereduksi oleh kepentingan elit politik semata, sehingga memunculkan norma yang saling bertentangan, tidak sesuai, tidak selaras satu sama lain.]

Pada prinsipnya seluruh peraturan mulai dari peraturan yang paling tinggi sampai peraturan yang terendah, antar peraturan yang setara atau sederajat sekalipun merupakan satu kesatuan integral yang saling mengisi dan tidak boleh bertentangan satu sama lain atau bersifat hirarki komplementer.Terkait bahwa pengadilan pajak merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, perlu melihatnya juga dari berbagai peraturan yang ada, yaitu :Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen IV, yang berbunyi : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian dalam Pasal 25 ayat (1) nya, bahwa Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.Pasal 1 angka 8 nya juga menyebutkan bahwa Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.Selanjutnya dalam Pasal 27 nya disebutkan bahwa :(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. (2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang. Dalam penjelasan ayat (1) Pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.Pasal 1 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan, bahwa : Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Selain itu, Pasal 9A Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyebutkan Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang. Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengkhususan adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak. Kemudian dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian sangat jelas bahwa ketiga undang-undang itu memasukan Pengadilan Pajak dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.Dari beberapa peraturan di atas jelas terlihat bahwa pengadilan pajak merupakan bagian dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, juga berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung karena salah satu badan peradilan yang berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung adalah Peradilan Tata Usaha Negara. Penempatan pembinaan pengadilan pajak ke dalam dua institusi ditinjau pula dari sudut pandang prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa prinsip ini mencegah konsentrasi kekuasaan di bawah satu tangan atau organ dan mencegah adanya campur tangan antara badan/organ negara, sehingga masing-masing dapat menjalankan tugas fungsinya sebagaimana yang diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan. Pemisahan kekuasaan ini dibagi ke dalam tiga, yaitu: kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Mahkamah Agung merupakan lembaga yudikatif sedangkan kementrian keuangan merupakan lembaga eksekutif. Dilihat dari fungsinya, UU Pengadilan Pajak merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan ranah atau wilayah kekuasaan yudikatif. Artinya, secara konseptual pembinaan yang ditempatkan di satu sisi di Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif dan di sisi lain pembinaan ditempatkan di Kementerian Keuangan sebagai lembaga eksekutif tidak konsisten atau menciptakan kontradiksi. Seharusnya berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan terdapat pemisahan yang tegas antara lembaga yudikatif dan eksekutif, dengan kata lain untuk seluruh pembinaan di pengadilan pajak menjadi satu atap atau dilaksanakan oleh satu intitusi saja dalam hal ini Mahkamah Agung. Indonesia sebagai negara hukum atau rechsstaat, terdapat pemisahan kekuasaan yang tegas dan menjalankan hukum secara konsekuen. Namun, dengan adanya pengaturan yang berbeda atas penempatan pembinaan pengadilan pajak ke dalam dua institusi perspektif tertentu, hal ini dapat dianggap inkonstitusional sehingga membuka peluang untuk melakukan judicial review[footnoteRef:27] di Mahkamah Konstitusi dan jika dinyatakan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi dalam hal ini Undang-Undangan Dasar 1945 akan menghasilkan konsekuensi yuridis timbulnya ketidakpastian hukum yang tentu saja merugikan masyarakat banyak serta legalitas Pengadilan Pajak kemudian akan dipertanyakan keabsahannya. Dampak selanjutnya adalah sengketa pajak menjadi terbengkalai. [27: Mekanisme Judicial Review yang dikenal atau berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia adalah : (1) Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman, Pasal 31 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), (2) Pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar 1945 (konstitusi) dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 29 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi). ]

D. Independensi Pengadilan Pajak dengan perbedaan pembinaan yang berada di lingkungan Mahkamah Agung dan di lingkungan Kementerian Keuangan

Sebagai sebuah lembaga peradilan, yang tujuannya adalah menegakkan keadilan berdasarkan rule of law, sehingga perlu adanya kemandirian dan ketidakberpihakan dalam memutus suatu perkara. Namun, Pengadilan Pajak struktur dan kedudukannya dinilai tidak independen.Kekuasaan kehakiman dan peradilan dalam pandangan Moh. Mahfud M.D adalah Kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugas-tugasnya, sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Oleh karena itu, badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain atau kekuasaan pemerintah.[footnoteRef:28] [28: Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, ( Bandung: P.T. Alumni, 2008), hal. 120.]

Pengadilan pajak sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman seharusnya kaidah-kaidahnya menyesuaikan dengan UU Kekuasaan Kehakiman.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini termuat dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen IV, yang berbunyi : Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan sebagai upaya untuk memperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated justice system).[footnoteRef:29] Yang dimaksudkan disini juga terkait segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap yaitu Mahkamah Agung. [29: Ketentuan Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN 5076.]

Prof. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka harus dipahami sebagai terbebas dari pengaruh kekuasaan lain yakni, eksekutif dan legislatif, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini sebagai perwujudan dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dianut oleh negara hukum.[footnoteRef:30] [30: Lihat Jimly Asshddiqie op.,cit, hal. 512.]

Pengadilan Pajak dua atap berimplikasi pada kinerja Pengadilan Pajak itu sendiri dan menimbulkan beberapa permasalahan terkait rekrutmen hakim, pengawasan dan pembinaan hakim dan sumber daya pendukungnya, serta pengejawantahan prinsip transparansi dan keterbukaan informasi publik. Dengan demikian, Pengadilan Pajak seharusnya diperbaharui untuk menjadi institusi satu atap dan mutlak sebagai lembaga peradilan yang independen, dimana pembinaan teknis peradilan sekaligus organisasi, administrasi, dan keuangan menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung. Konstruksi Pengadilan Pajak sebagai satu atap merujuk pada sebuah perancangan tersendiri Pengadilan Pajak di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan khusus.Peran pengawasan yang tumpang tindih antara Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial, berpotensi menimbulkan penolakan pengawasan pada setiap instansi yang akan mengawasi atas dasar kewenangan instansi pengawasan. Dengan beradanya pembinaan di satu sisi di Mahkamah Agung (sebagai lembaga yudikatif) dan di sisi lain di Kementerian Keuangan (sebagai lembaga eksekutif) akan mempengaruhi independen pengadilan pajak karena di wilayah tersebut menimbulkan kotradiksi yakni, Kementerian Keuangan yang menjalankan fungsi eksekutif dan ketika terjadi sengketa pajak menjalankan fungsi yudikatif. Padahal kedua lembaga tersebut seharusnya terpisah untuk menjalankan fungsi saling mengontrol atau mengawasi. Dalam keadaan yang demikian memunculkan kondisi untuk mengawasi institusi sendiri.Bahwa terhadap seluruh pembinaan baik teknis maupun organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah Agung. maka Pengadilan Pajak sebagai badan yang menjalankan kewenangan peradilan di bidang perpajakan harus disesuaikan dengan konstruksi yuridis yang mengharuskan Pengadilan Pajak berada di bawah Mahkamah Agung, baik dari segi pembinaan teknis yudisial maupun pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan. Hal ini juga selaras dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pada prinsipnya seluruh peraturan mulai dari peraturan yang paling tinggi sampai peraturan yang terendah, antar peraturan yang setara atau sederajat sekalipun merupakan satu kesatuan integral yang saling mengisi dan tidak boleh bertentangan satu sama lain atau bersifat hirarki komplementer. Perbedaan pengaturan antara pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 32 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung dengan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyebutkan berbeda bahwa pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Kementerian Keuangan menunjukkan adanya ketidakselarasan untuk pengaturan hal yang sama, dengan kata lain memunculkan suatu konflik norma.Dilihat dari fungsinya, UU Pengadilan Pajak merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan ranah atau wilayah kekuasaan yudikatif. Artinya, secara konseptual pembinaan yang ditempatkan di satu sisi di Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif dan di sisi lain pembinaan ditempatkan di Kementerian Keuangan sebagai lembaga eksekutif tidak konsisten atau menciptakan kontradiksi. Seharusnya berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan terdapat pemisahan yang tegas antara lembaga yudikatif dan eksekutif, dengan kata lain untuk seluruh pembinaan di pengadilan pajak menjadi satu atap atau dilaksanakan oleh satu intitusi saja dalam hal ini Mahkamah Agung.

2. Pengadilan Pajak struktur dan kedudukannya dinilai tidak independen. Pengadilan Pajak dua atap berimplikasi pada kinerja Pengadilan Pajak itu sendiri dan menimbulkan beberapa permasalahan terkait rekrutmen hakim, pengawasan dan pembinaan hakim dan sumber daya pendukungnya, serta pengejawantahan prinsip transparansi dan keterbukaan informasi publik. Dengan demikian, Pengadilan Pajak seharusnya diperbaharui untuk menjadi institusi satu atap dan mutlak sebagai lembaga peradilan yang independen, dimana pembinaan teknis peradilan sekaligus organisasi, administrasi, dan keuangan menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung.

B. SaranDalam menghindari konfilk norma dan mewujudkan prinsip pemisahan kekuasaan dengan check and balance serta prinsip independensi tersebut sudah seharusnya perlu diadakan revisi terhadap UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan pajak guna kepentingan keadilan dan kepastian hukum.

Daftar Pustaka

A. BukuAtep Adya Barata. Memahami Prosedur Beracara Di Pengadilan Pajak. Jakarta: Sociadana, LP3AB-IBTA 2002. H. Bohari. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.Hadi Buana. Peradilan Pajak Sebagai Sistem Penyelesaian Sengketa Pajak Di Indonesia. Jakarta: IND HILL CO, 2012. Iriyanto A. Baso Ence. Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi. Bandung: P.T. Alumni, 2008.Jimly Asshiddiqie. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007. M. Yahya Harahap. Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers, Ed. Revisi, Cet. III. 2010. Rukiah Komariah dan Ali Purwito. Pengadilan Pajak (Proses Banding Sengketa Pajak, Pabean, dan Cukai). Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.Safri Nugraha. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat, 2008.Zainal Arifin Hoesein. Judicial Review Di Mahkamah Agung Republik Indonesia (Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009.

B. Peraturan Perundang-UndanganUndang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN 5076.Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, LN Tahun 1985 Nomor 73, TLN No. 3316.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, LN Tahun 2004 Nomor 9, TLN Nomor 4359Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, LN Tahun 2009 Nomor 3, TLN Nomor 4958.Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, LN Tahun 2002 Nomor 27, TLN Nomor 4189.Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, LN Tahun 2003 Nomor 98, TLN Nomor 4316.

11