KEDUDUKAN BADAN USAHA MILIK DESA DALAM UPAYA …digilib.unila.ac.id/57631/3/SKRIPSI TANPA BAB...
Transcript of KEDUDUKAN BADAN USAHA MILIK DESA DALAM UPAYA …digilib.unila.ac.id/57631/3/SKRIPSI TANPA BAB...
KEDUDUKAN BADAN USAHA MILIK DESA DALAM UPAYA MENINGKATKAN
PEREKONOMIAN DESA
(Studi Di BUMDes Swadesa Artha Mandiri Desa Wonomarto Kabupaten Lampung
Utara)
(Skripsi)
Oleh
INDAH CINTIA
BAGIAN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK
KEDUDUKAN BADAN USAHA MILIK DESA DALAM UPAYA MENINGKATKAN
PEREKONOMIAN DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN
2014 TENTANG DESA
(Studi Di BUMDes Swadesa Artha Mandiri Desa Wonomarto Kabupaten Lampung
Utara)
Oleh
INDAH CINTIA
Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut BUMDes merupakan salah satu alternatif
untuk meningkatkan ekonomi di pedesaan. BUMDes merupakan lembaga usaha desa yang
dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa
dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. Tetapi sayangnya kedudukan
BUMDes belum sepenuhnya diatur secara lengkap dalam peraturan perundang-undangan
yang ada. Permasalahan lain yang lebih kompleks adalah dalam hal Implikasi BUMDes
dalam upaya meningkatkan perekonomian desa. Penelitian ini menggunakan tipe dan jenis
penelitian normatif empiris . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
kedudukan BUMDes Swadesa Artha Mandiri di desa wonmarto dan juga untuk mengetahui
Implikasi yang diberikan terhadap Pendapatan Asli Desa. Hasil penelitian meunjukkan bahwa
walaupun masih baru, BUMDes Swadesa Artha Mandiri merupakan salah satu BUMDes
yang pengelolaannya sudah baik di Kabupaten Lampung Utara sehingga menjadi rujukan
desa lain untuk berkunjung. Proses pengelolaan BUMDes berjalan dengan baik dan sesuai
dengan dengan tujuan didirikannya BUMDes.
Kata Kunci: BUMDes, Kedudukan , Implikasi
ABSTRACT
THE POSITION OF BUMDES IN AN EFFORT TO IMPROVE THE VILLAGE
ECONOMY BASED ON LAW NUMBER 6 YEAR 2014 ABOUT VILLAGE
(Study In The BUMDes Swadesa Artha Mandiri Wonomarto Village North Lampung
Regency)
BY
INDAH CINTIA
Badan Usaha Milik Desa thereafter called BUMDes is an alternative to improve the rural
economy. BUMDes is lembaga usaha desa (Village Business Institutions) that managed by
the community and government of the village for the effort to strengthen the village‟s
economy and it formed based on the needs and potential of the village. Unfortunately,
however. The position of BUMDes had not been governed completely in existing legislation.
Another more complex problem is in terms of the implications of village planning in an effort
to improve the village economy. This study uses types and types of empirical normative
research. This study aims to find out how the position of the BUMDes Swadesa Artha
Mandiri in the wonomarto village an also knows the implications given to the income on the
village original income. The results of the study indicate that event thougt it is still new,
BUMDes Swadesa Artha Mandiri is one of the BUMDes whose management is already good
in North Lampung Regency, so that it becomes another village reference for visits. The
management Process of BUMDes is going well in accordance with the objectives of the
establishment of BUMDes.
Keyword : BUMDes, Position, Implication
KEDUDUKAN BADAN USAHA MILIK DESA DALAM UPAYA MENINGKATKAN
PEREKONOMIAN DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN
2014 TENTANG DESA
(Studi Di BUMDes Swadesa Artha Mandiri Desa Wonomarto Kabupaten Lampung
Utara)
Oleh
INDAH CINTIA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
pada
Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Kotabumi Lampung Utara pada tanggal 19 Juni Tahun
1998, merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Sutiono dan Ibu
Soleha. Penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada
tahun 2015 melalui jalur SBMPTN dan mendapatkan beasiswa
Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) sebanyak dua kali selama kuliah.
Riwayat Pendidikan penulis secara berurutan yaitu di SDN 6 Mulang Maya Kabupaten
Lampung Utara (2006 s.d. 2011), SMPN 8 Kotabumi Kabupaten lampung Utara (2011 s.d.
2013), SMAN 4 Kotabumi Kabupaten Lampung Utara dengan mengambil jurusan IPA (2013
s.d. 2015) dan Fakultas Hukum Universitas Lampung (2015 s.d. 2019). Pada tahun 2017,
penulis memilih untuk mengambil minat hukum ketatanegaraan di Bagian Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Semasa kuliah penulis sempat aktif di beberapa Lembaga Kemahasiswaan intra dan
organisasi di luar kampus, antara lain Anggota Bidang Alumni Dan Kerjasama UKM-F Pusat
Studi Bantuan Hukum (PSBH) FH Unila, Ketua Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Lampung, Anggota Himpunan Mahasiswa Lampung Utara.
Penulis dapat dihubungi melalui alamat surat elektronik di [email protected].
Motto
“Memang benar yang namanya Mutiara akan berkilau setelah ia digosok, walaupun ia
jatuh kekubangan air sekalipun, yang namanya mutiara tetap mutiara”
“Seseorang itu adalah dia, yang baik agamanya dan juga ilmunya”
Armen Yasir,S.H., M.Hum.-
”Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan yang mukmin datang kepadamu untuk
mengadakan bai„at (janji setia), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa
pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-
anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki
mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji
setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang”
(Qs. Al Mumtahanah : 12)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
Kedua orang tua,
Mamah Soleha binti Suganda, Bapak Sutiono bin Hasan AS
Adikku Tersayang Iyan Suwendi dan Intan Sukma Adelia
Sahabat Seperjuangan di kampus
Masyarakat Desa Yang Ada Di Lampung Utara
Almamater tercinta,
Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung
SANWACANA
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Alhamdulillahirabbil „Alamin, penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT
pencipta alam semesta dan sekaligus pengatur segala sesuatu yang ada di dalamnya yang
telah memberikan rahmat, taufiq, dan Inayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini pada waktu yang diharapkan.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang
telah membimbing manusia dari jalan yang bathil menuju jalan yang haq dan yang terang
benderang ini.
Penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini tanpa adanya do‟a, dukungan, arahan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis ingin menyampaikan permohonan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua saya Mamah Soleha dan Bapak Sutiono, Adek Iyan dan Adek Intan,
semuanya merupakan Keluarga penulis yang jasanya tak bisa dituliskan dan
terbalaskan;
2. Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung
beserta para Wakil Dekan: Prof. Dr. I Gede Arya Bagus Wiranata, S.H., M.H. selaku
Wakil Dekan Bidang Akademik, Dr. Hamzah, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan
Bidang Umum dan Keuangan, dan Sri Sulastuti, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan
Bidang Kemahasiswaan dan Alumni;
3. Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara, Terima
kasih bimbingannya;
4. Ibu Dr. Chandra Perbawati,S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang telah membimbing
penulis sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan
masukkan serta bantuan baik materil maupun non materil yang telah diberikan selama
ini;
5. Ibu Martha Riananda, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah berbagi ilmunya,
sehingga skripsi dapat terselesaikan sesuai dengan kaidah penulisan yang seharusnya,
Terima kasih atas masukan dan arahan yang telah diberikan;
6. Ibu Dr. Yusnani Hasyimzoem, S.H., M.Hum. selaku dosen Penguji, terima kasih atas
kritik, saran, dan masukkan yang diberikan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik;
7. Bapak Ade Arif Firmansyah, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang selalu memberi
arahan mengenai sistematika penulisan yang baik dan nasihatnya sebagai seorang
dosen yang tak pernah akan penulis lupakan;
8. Dosen-dosen di Bagian Hukum Tata Negara: Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H. selaku
Ketua Bagian, Ibu Martha Riananda, S.H., M.H. selaku Sekretaris Bagian, Ibu Siti
Khoiriah, S.H.I, M.H., Bapak Rudy, S.H., LL.M., LL.D. ,Bapak M. Iwan Satriawan,
S.H., M.H., Bapak Ahmad Saleh, S.H., M.H., Ibu Yulia Neta, S.H., M.H. Bapak
Yusdiyanto, S.H., M.H., Bapak Muhtadi, S.H., M.H., Bapak Zulkarnain Ridlwan,
S.H., M.H, Bapak Yhannu Setyawan,S.H., M.H. dan Ibu Malicia Evendia, S.H.,
M.H. dan yang terakhir Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum. (terimakasih sudah pernah
menjadi pembimbing skripsiku pak, pesanmu, nasehatmu, kata-katamu akan selalu
kuingat sampai kapanpun) Terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan semasa
penulis mengambil mata kuliah pada Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
9. Masyarakat yang ada di desa Wonomarto;
10. Teman-teman seangkatan penulis di Fakultas Hukum Universitas Lampung: Lismarini
Dewi, Meldha Latiefah azka, Endah Dwi Luciana, Ardestian Sulistiani, Fitri
Liliandini, Mak Widya, Zahria Humairoh, dan Fitri Almunawaroh;
11. Teman-teman seangkatan dengan penulis di Fakultas Hukum Universitas Lampung:
Khalimatus Sa‟diah, Himmah A‟la Rufaida, Livia Sefany, Madinar, Vera Monica,
Sintya eka, Yossie maysita, Diah Puji Lestari;
12. Teman-teman HIMA HTN: Lismarini Dewi, Chaidir Ali, Kusmanto, M. Hadiyan
Rasyadi, M. Mujib, Erwin Gumara, Kharisma Arif, Decky Adendy, Feri Kurniawan,
M. Habibi, Eva Nopitasari, Adriansyah;
13. Kakak-Kakak HIMA HTN: Kak Utia Meylina Umar , Kak Rudy Wijaya, Kak Anis
Musana, kak Prisma, kak sandi, kak teta, kak iqbal, kak yudi, kak aryanto, bang
hendi, kak tia nurhawa, dan kak jajang;
14. Adik-adik HIMA HTN: Yeti yuniarsih, Rika Septiana, Maria, Tahta Rona Ya‟Cub,
Ganiviantara, Madon, Fizal, Ricky, Ismi, Nuril, Amin, Eza dan Musthafa Azhom,
Chandra Dio Divanie;
15. Keluarga besar KKN Unila Periode I Tahun 2018 di Pekon Siliwangi Kecamatan
Sukoharjo Kabupaten Pringsiwe: Kakek dan Nenek selaku pemilik rumah tinggal, Pak
Kades dan Pak Carik Pekon Siliwangi dan temen-temen KKN : Galleh Saputri, Chika
Tania, Nirmawati Situmorang, Maulana Adrian, Frengki, Aldi Riski Wibowo dan
Luthfi . Semoga silaturrahmi kita terjalin sampai akhir hayat masing-masing;
16. Sahabat Perjuangan SMP Hodijah Maha Putri, Sandi Ervanie, Adi, Reni, Aang, Yuk
tia, Nisa, Helda, Wahyu, Bung egi, dan Rosita semoga kita sukses dan persahabatan
terus berlanjut selamanya;
17. Sahabat Perjuangan SMA Yuliza Citra, Rika dianti, Eka, Mak dwi, Maryati, Devi,
Karni, Semoga selalu terjalin silaturahmi selamanya diantara kita;
18. Civitas Akademika Fakultas Hukum Unila khususnya: Pak Marjiyono, S.Pd., Bang
Opal, Bang Aziz, Bang Mad, Babe Sunarto, yang telah banyak membantu penulis
selama kuliah;
19. Dewan guru SDN 6 Mulang Maya, SMPN 8 Kotabumi dan SMAN 4 Kotabumi, yang
telah menempa penulis selama di sekolah, tanpa proses yang diberikan, penulis belum
tentu bisa melanjutkan jenjang pendidikan tinggi;
20. Seluruh pihak yang telah membantu penulis baik dalam pengerjaan skripsi ini maupun
membantu semasa kuliah yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis sadar bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan baik substansi
maupun teknik penyajian, karenanya, penulis membuka kritik dan saran serta
penyempurnaan terhadap skripsi ini agar menjadi karya ilmiah yang lebih baik.
Bandar Lampung, Juni 2019
Penulis
Indah Cintia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
PERNYATAAN
RIWAYAT HIDUP
MOTTO
PERSEMBAHAN
SANWACANA
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Permasalahan ................................................................................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 8
a. Tujuan Penelitian....................................................................................... 8
b. Manfaat Penelitian..................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kedudukan ................................................................................ 10
B. Pemerintahan Desa...................................................................................... 10
C. Kelembagaan Desa...................................................................................... 29
D. Kewenangan Desa ....................................................................................... 30
E. Peraturan Desa ............................................................................................ 34
F. Otonomi Desa ............................................................................................. 36
G. Badan Usaha Milik Desa ............................................................................ 44
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe dan Jenis Penelitian ............................................................................ 55
B. Pendekatan Masalah ................................................................................... 55
C. Sumber Data ............................................................................................... 56
D. Teknik Pengumpulan Data dan Metode Pengolahan Data dan Bahan ..........
Hukum ......................................................................................................... 57
E. Analisis Data .............................................................................................. 59
BAB IV PEMBAHASAN
A. Sejarah BUMDes dan Kehadiran Undang Undang No. 6 Tahun 2014 .........
tentang Desa ............................................................................................... 60
B. Penyelengaraan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan ................................................................. 65
C. Kedudukan Badan Usaha Milik Desa Dalam Meningkatkan Perekonomian `
di Desa ........................................................................................................ 81
D. Implikasi Terhadap Pendapatan Asli Desa ................................................. 89
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................................. 91
B. Saran ........................................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Profil Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Swadesa Artha
Mandiri .................................................................................................. 64
Tabel 2. PADes Desa Wonomarto ........................................................................ 65
Tabel 3. Matriks Pengaturan BUMDes ................................................................. 69
Tabel 4. Skema Pembagian Kewenangan Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Desa terhadap Desa dalam Perpres Nomor 12 Tahun
2015 tentang Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi ........................ 73
Tabel 5. Perbedaan Perusahaan dan Badan Usaha ................................................ 74
Tabel 6. Jenis Usaha Yang sedang Berjalan Pada Tahun 2017.............................. 84
Tabel 7. Kegiatan Usaha Pada Tahun 2018 ........................................................... 85
Tabel 8. Penyertaan Modal dari Pemerintahan Desa ............................................. 85
Tabel 9. Omset Usaha BUMDes Swadesa Artha Mandiri ..................................... 86
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Mitra Kerja BUMDes Swadesa Artha Mandiri .................................. 78
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bergesernya arah pembangunan yang semula dimulai dari daerah otonom tingkat
kabupaten/kota yang dirasa tidak memberikan kemajuan signifikan terhadap
pembangunan nasional, hal ini menjadi pertimbangan perlunya pengaturan ulang
terkait visi dan misi pembangunan nasional. Menjawab permasalahan tersebut,
diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang
dimulainya babak baru pembangunan nasional dari satuan pemerintahan paling
dekat dengan masyarakat yaitu Desa.1
Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka,
bersatu, dan berkedaulatan rakyat. Titik berat pembangunan diletakkan pada
bidang ekonomi yang merupakan penggerak utama pembangunan seiring dengan
kualitas sumber daya manusia dan didorong secara saling memperkuat, saling
terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang-bidang lainnya yang
1 Pembangunan nasional dari desa tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa yang bertujuan memperkuat kemandirian desa dalam mewujudkan keadilan yang merata.
Lihat Sugiayanto, Urgensi dan Kemandirian Desa dalam Presfektif Undang-Undang No 6 Tahun
2014, Yogyakarta: Deepublish, 2017, hlm. 12.
2
dilaksanakan selaras, serasi dan seimbang guna keberhasilan pembangunan di
bidang ekonomi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan
nasional. Bertitik tolak pada pembangunan tersebut, maka pemerintah dan rakyat
Indonesia mempunyai kewajiban untuk menggali, mengolah dan membina potensi
yang ada tersebut guna mencapai masyarakat yang adil dan makmur sesuai
dengan Undang Undang Dasar 1945.
BUMDes dalam operasionalisasinya ditopang oleh lembaga moneter desa (unit
pembiayaan) sebagai unit yang melakukan transaksi keuangan berupa kredit
maupun simpanan. Jika kelembagaan ekonomi kuat dan ditopang kebijakan yang
memadai, pertumbuhan ekonomi yang disertai pemerataan distribusi aset kepada
rakyat secara luas akan mampu menanggulangi berbagai permasalahan ekonomi
di pedesaan.
Untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan langkah strategis dan taktis guna
mengintegrasikan potensi, kebutuhan pasar, dan penyusunan desain lembaga
tersebut ke dalam suatu perencanaan, disamping itu perlu memperhatikan potensi
lokalistik serta dukungan kebijakan (good will) dari pemerintahan di atasnya
untuk mengatasi rendahnya surplus kegiatan ekonomi desa disebabkan
kemungkinan tidak berkembangnya sektor ekonomi di wilayah pedesaan. Hal ini
akan mengakibatkan terjadinya integrasi sistem dan struktur pertanian dalam arti
luas, usaha perdagangan, dan jasa yang terpadu akan dapat dijadikan sebagai
pedoman dalam tata kelola lembaga.2
2 Gabriela Hanny Kususma dan Nurul Purnamasari, BUMDes: Kewirausaan Sosial yang
Berkelanjutan. (Jogjakarta:Penabulu Fundation,2016) hlm.2
3
Permasalahan yang timbul dalam pembangunan desa melalui pendirian BUMDes
muncul ketika pembentukan BUMDes hanya berorientasi pada segi kuantitas.
Padahal dana yang dialokasikan untuk desa sekitar Rp. 20 Triliun yang dibagi
pada 74 ribu desa, sehingga tiap desa akan menerima Rp 240 Juta,3 belum
termasuk Alokasi Dana Desa (ADD) dari Kabupaten, sementara jumlah BUMDes
Tahun 2017 mencapai 18.446 unit.4 Tidak hanya orientasi kuantitas yang menjadi
persoalan, tolok ukur sumber daya baik manusia maupun jenis usaha juga menjadi
permasalahan. Hal ini penting untuk diteliti, melihat kegagalan Koperasi Unit
Desa pada masa sebelum BUMDes banyak dibentuk.5 Pembentukan BUMDes
harus mempertimbangkan aspek pembangunan daerah yang terangkum dalam
RPJMD dan sinergitas tiap kecamatan, sehingga tiap kecamatan bisa saling
mendukung. Pembangunan BUMDes yang tidak memperhatikan aspek kualitas,
berpotensi menyebabkan kerugian dalam pengelolaan keuangan desa, dan tentu
saja pendirian BUMDes tidak memiliki implikasi apapun dalam pembangunan
Desa.
Pada saat ini pengaturan mengenai BUMDes diatur dalam Undang-undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 87 yang menyatakan desa dapat mendirikan
BUMDes yang dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotong-royongan.
Kekeluargaan dan kegotongroyongan yang dimaksud disini adalah cara
3 Detik News, “Tingkatkan Perekonomian Desa, 74 Ribu Desa Bakal Terima Dana Rp 1,4 Miliar”,
www.news.detik.com diakses pada 26 Januari 2019. 4 Harian Kompas, “Jumlah BUMDes Mencapai 18.446 Unit”, www.ekonomi.kompas.com diakses
pada 26 Januari 2019. 5 Kegagalan Koperasi Unit Desa banyak disebabkan oleh lemahnya pengelolaan KUD tersebut.
KUD dalam pembentukan awal digagas untuk membangkitkan atau menjadi penyokong usaha
pertanian dan program-program pemerintah dalam rangka pemberdayaan desa, namun karena
kesalahan dalam pembinaannya, akhirnya koperasi malah menjadi momok bagi masyarakat. Lihat
Soedarsono Hadisapoetro, Badan Usaha Unit Desa dan Pembinaannya, dalam Pemikiran dan
Permasalahan Ekonomi Indonesia Setengah Abad Terakhir: Buku 3 (1966-1982) Paruh Pertama
Ekonomi Orde Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hlm. 95.
4
masyarakat beserta aparatur desa dalam menyelenggarakan. BUMDes dapat
menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum. Pengaturan
lebih lanjut mengenai BUMDes diatur dalam Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan Dan Pengelolaan, Dan Pembubaran
Badan Usaha Milik Desa.6
Dasar penyelenggaraan BUMDes didasarkan pada kebutuhan dan potensi,
sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat didesa. Berkenaan dengan
perencanaan dan pendiriannya, BUMDes dibangun atas prakarsa (inisiasi)
masyarakat desa tersebut, serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif,
partisipatif dan transparansi. Selain itu pengelolaan BUMDes harus dilakukan
secara profesional dan mandiri oleh masyarakat desa .7
BUMDes pada dasarnya merupakan bentuk konsolidasi atau penguatan terhadap
lembaga-lembaga ekonomi desa dan merupakan instrumen pendayagunaan
ekonomi lokal dengan berbagai ragam jenis potensi, yang bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa melalui pengembangan
usaha ekonomi mereka, serta memberikan sumbangan bagi pendapatan asli desa
yang memungkinkan desa mampu melaksanakan pembangunan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara optimal. Tujuan pendirian BUMDes antara lain
dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Desa. Berangkat dari cara pandang
ini, jika pendapatan asli desa dapat diperoleh dari BUMDes, maka kondisi itu
6 Zulkarnain Ridwan, “Payung Hukum Pembentukan BUMDes,” Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum
Vol 7, No.3(September-Desember, 2013), hlm. 35 7 Departemen Pendidikan Nasional Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (Pkdsp), 2007,
Buku Panduan Pendirian Dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), Jakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya, Hlm. 3
5
akan mendorong setiap pemerintah desa memberikan dukungan dalam merespon
pendirian BUMDes. BUMDes sebagai badan hukum, dibentuk berdasarkan tata
perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan kesepakatan yang
terbangun di masyarakat desa. Dengan demikian, bentuk BUMDes dapat beragam
di setiap desa di Indonesia. Ragam bentuk ini sesuai dengan karakteristik lokal,
potensi, dan sumber daya yang dimiliki masing-masing desa. Pengaturan lebih
lanjut tentang BUMDes diatur melalui peraturan daerah (Perda).
Di beberapa kabupaten telah banyak desa yang mempunyai BUMDes, ada yang
secara mandiri mengembangkan potensi ekonomi desa yang ada, ada juga yang
didorong oleh pemerintah kabupaten setempat dengan diberikan stimulan
permodalan awal dari APBD kabupaten melalui dana hibah dengan status dana
milik masyarakat desa dan menjadi saham dalam BUMDes.
Saat ini belum banyak BUMDes yang berkembang dengan baik. Penyebab
utamanya antara lain adalah tidak dikelolanya BUMDes secara profesional.
Undang-undang desa sudah membuka pintu untuk menggerakkan perekonomian
di desa. Akan tetapi harus kita sadari bahwa desa memerlukan peningkatan
keahlian dan ketrampilan dalam mengurus Badan Usaha Milik Desa oleh
masyarakat desa.
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi baru saja
mengumumkan, memasuki Juli 2018 lalu, jumlah Badan Usaha Milik Desa di
seluruh Indonesia mencapai 35 Ribu dari 74.910 desa diseluruh bumi nusantara.
Jumlah itu lima kali lipat dari target Kementrian Desa yang hanya mematok 5000
6
BUMDes. Masalahnya, Hingga sampai saat ini, berbagai data menyebutkan
bahwa sebagian besar BUMDes masih sebatas berdiri dan belum memiliki
aktivitas usaha yang menghasilkan. Sebagian lagi malah layu sebelum
berkembang karena masih „sedikitnya‟ pemahaman BUMDes pada sebagian besar
perangkat pemerintahan di Desa sejak disahkannya UU Desa No. 6 Tahun 2014.8
BUMDes ramai dibicarakan dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini, yaitu sejak
diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). UU
Desa berlandaskan pada ketentuan pasal-pasal yang tercantum dalam UUD 1945
yang terkait dengan pemerintahan daerah, namun yang paling khusus terkait
dengan keberadaan desa (meskipun tidak secara eksplisit tersebut dalam isi pasal)
adalah pada Pasal 18 B ayat (2) UUD 1954 yaitu: Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Berkaitan dengan pemerintahan daerah, maka pemahaman tentang desa tidak bisa
terlepas dari peraturan yang terkait dengan pemerintahan daerah, yaitu yang
diundangkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Dalam undang-undang
ini, desa disebut secara definitif dan keberadaan Bumdes sudah diakui, yaitu
disebut dalam Pasal 213: (1) Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa
sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa; (2) Badan usaha milik desa
sebagaimana dimaksud ayat (1) berpedoman pada peraturan perundang-
8 http://www.berdesa.com/informasi-lengkap-tentang-bumdes-yang-harus-anda-ketahui/. Diakses
pada tanggal 28 Februari 2019 jam 17.55 wib.
7
undangan; (3) Badan usaha milik desa sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat
melakukan pinjaman sesuai peraturan perundang-undangan.
BUMDes yang didirikan dengan tujuan sebagai penopang dan penguat ekonomi
desa adalah BUMDes Swadesa Artha Mandiri Desa Wonomerto Kecamatan
Kotabumi Utara yang mewakili Kabupaten Lampung Utara dalam Lomba
BUMDes tingkat Provinsi Lampung Tahun 2018 dan BUMDes Abung Tengah.
Permasalahannya adalah ada pada perbedaan dari kedua BUMDes tersebut yaitu
ketidak suksesannya BUMDes Abung Tengah dalam menjalankan BUMDes, jika
melihat kedudukannya BUMDes Abung Tengah ada di tingkat Kecamatan dan
BUMDes Swadesa Artha Mandiri ada di tingkat desa, jika melihat kedudukannya
seharusnya BUMDes Abung tengah lebih maju akan tetapi malah sebaliknya.
Tetapi dalam hal ini fokus penelitian penulis di BUMDes Swadesa Artha Mandiri
yang ada di tingkat desa yaitu desa wonomarto kabupaten Lampung Utara.
kehadiran BUMdes ini diharapkan desa menjadi lebih mandiri dan masyarakatnya
pun menjadi lebih sejahtera. Tetapi mengingat BUMDes masih termasuk hal baru
dalam keberadaannya, maka tak pelak dalam praktik, beberapa kendala Muncul
justru terkait dalam pengelolaan BUMDes Swadesa Artha Mandiri..
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka saya tertarik untuk mengambil
penelitian dengan judul “Kedudukan Badan Usaha Milik Desa Dalam Upaya
Meningkatkan Perekonomian Desa Berdasarkan Undang-Undang No. 06
Tahun 2014 Tentang Desa ( Studi Di BUMdes Swadesa Artha Mandiri)”
8
B. Permasalahan
Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana Kedudukan Badan Usaha Milik Desa dalam Upaya Meningkatkan
Perekonomian desa di Desa Wonomarto?
2. Bagaimana Implikasi Badan Usaha Milik Desa Terhadap Pendapatan Asli
Desa (PADes) di Desa Wonomarto?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk melihat Bagaimana Kedudukan BUMDes Dalam Meningkatkan
Perekonomian Desa di Desa Wonomarto.
2. Untuk Mengetahui Implikasi BUMDes Terhadap Pendapatan Asli Desa
(PADes) di Desa Wonomarto.
b. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Secara akademis
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan serta memberikan kontribusi yang
berarti dan bermanfaat bagi pembangunan ilmu hukum khususnya hukum Tata
Negara dalam bidang pemerintahan desa melalui program BUMDes.
9
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat serta kontribusi
bagi pemerintah, pemerintah daerah dan pemerintah desa khususnya
masyarakat untuk penyelenggaraan BUMDes .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kedudukan
Makna Kedudukan Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
kedudukan yang berasal dari kata duduk. Pengertian Kedudukan Dalam hal ini
adalah berarti status, keadaan tingkatan suatu lebaga badan usaha, dan
sebagainya.9
B. Pemerintahan Desa
a. Pengertian Desa
Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Desa yaitu
kesatuan masyarakat Hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan , kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun 2014 Tentang Desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan hak
9 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Diakses pada tanggal 3 SApril 2019 pukul 09.37 WIB.
11
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.10
Sebutan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum baru dikenal pada masa
kolonial Belanda. Desa pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yang
dikelola secara otonom tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan struktur yang
lebih tinggi.11
Dalam beberapa konteks bahasa, daerah-daerah di Indonesia banyak yang
menyebutkan “desa” dalam ragam bahasa yang lainnya, namun tetap sama artinya
desa, misal di masyarakat lampung dikenal dengan sebutan tiyuh atau pekon.
Namun jika dilihat secara etimologis kata desa berasal dari bahasa sansekerta,
yaitu “deca”, seperti dusun, desi, negara, negeri, negari, nagaro, negory
(nagarom), yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran, tanah leluhur,
yang merujuk pada satu kesatuan hidup dengan satu kesatuan norma serta
memiliki batas yang jelas.12
Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 menyatakan bahwa Desa
adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
10
Emi Haryati, “Pelan Kepala Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa” ejournal Ilmu
Pemerintah, 3 (4) 2015: 1914-1927, hlm. 3-4. 11
Rudi. Hukum Pemerintahan Daerah,(Bandar Lampung:PKKPUU,2013), hlm. 82 12
Didik Sukrino, Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa, (Malang:Setara Press, 2012), hlm.59
12
A.W Wijaya mengartikan desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung
di bawah camat dan berhak menjalankan rumah tangganya sendiri dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.13
Menurut H.A.W Widjaja Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa.
Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.14
Ciri-ciri desa secara umum antara lain:15
a. Desa umumnya terletak di atau sangat dekat dengan pusta wilayah usaha
tani (sudut panadang ekonomi);
b. Dalam wilayahnya itu perekonomian merupakan kegiatan ekonomi
dominan;
c. Faktor-faktor penguasaan tanah menentukan corak kehidupam
masyarakatnya;
d. Tidak seperti dikota ataupun kota besar yang penduduknya merupakan
pendatang populasi penduduk desa lebih bersifat “terganti oleh
sendirinya;
e. Kontrol sosial lebih bersifat informal dan interaksi antar warga desa
lebih bersifat personal dalam bentuk tatap muka; dan
13
Nurmayani, Hukum Administrasi Daerah, (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2009),
hlm.92 14
H.A.W Widjaja, Otonomi Desa, (Jakarta: Penerbit PT RajaGarafindo Pesada, 2003), hlm.3 15
Wasistiono, Sadu, dan tahir, M. Irawan, Prospek Pengembangan Desa, (Bandung: Fokusmedia,
2006), hlm.16.
13
f. Mempunyai tingkat homogenitas yang realtif tinggi dan ikatan sosial
yang relatif lebih ketat dari pada kota.
Pengaturan Desa pada Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
berdasarkan asas-asas rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan,
kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian,
partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan keberlanjutan. Hal itu tercantum dalam
pasal (3) Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Asas-asas pengaturan
desa pasal (3) dan pengertiannya yaitu :
a) Rekognisi adalah pengakuan terhadap hak asal usul
b) Subsidaritas adalah penetapan kewenangan berskala local dan pengambilan
keputusan secara local untuk kepentingan masyarakat desa.
c) Keberagaman adalah pengakuan dan penghormatan terhadap system nilai
yang berlaku dimasyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan system
nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
d) Kebersamaan adalah semangat untuk berperan aktif dan bekerjasama dalam
prinsip saling menghargai anatara kelembagaan ditingkat desa dan unsur
masyarakat desa dalam membangun desa.
e) Kegotong-royongan adalah kebiasaan tolong menolong untuk membangun
desa.
f) Kekeluargaan adalah kebiaaan masyarakat desa sebagai bagian dari
satu kesatuan keluarga besar masyarakat desa
g) Musyawarah adalah proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan masyarakat desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang
berkepentingan.
14
h) Demokrasi adalah system pengorganisasian masyarakat dea dalam suatu
system pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat desa atau dengan
persetujuan masyarakat desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata dan dijamin.
i) Kemandirian adalah suatu proses yang dlakukan oleh pemerintahan desa dan
masyarakat desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi
kebutuhannya dengan kemampuan sendiri.
j) Partisipasi adalah turut berperan aktif dalam suatu kegiatan.
k) Kesetaraan adalah kesamaan dalan kedudukan dan peran.
l) Pemberdayaan adalah upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat desa melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang
sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa.
m) Keberlanjutan adalah suatu proses yang dilakukan secara
terkordinasi,terintegrasi,danberkesinambungan,dalammerencanakan dan
melaksanakan program pembangunan desa.16
Desa merupakan bisa jadi awal permulaan dalam pembagunan daerah yang
mempunyai potensi tersendiri yang dapat di gali serta dikembangkan sehingga
desa tidak dianggap sebagai tempat yang terbelakang, terpencil, tertinggal, dan
kumuh. Tidak sedikit desa yang mempunyai sumber daya alam yang berkualitas
yang dapat dijadikan sumber pendapatan desa.
16
Afriniko, Politik Hukum Otonomi Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014
Tentang desa. Jurnal. JOM Fakultas Hukum. Pekanbaru. 2015. hlm. 9-10.
15
b. Pemerintahan Desa
Pemerintah desa menurut sumber saparin (2009) dalam bukunya “ tata
Pemerintahan Dan Administrasi Desa” menyatakan Bahwa : Pemerintahan desa
adalah merupakan simbol formal daripada kesatuan masyarakat desa.
Pemerintahan desa diselenggrakan dibawah pimpinan kepala desa beserta para
pembantunnya (perangkat desa), mewakili masyarakat desa guna hubungan keluar
maupun kedalam masyarakat ang bersangkutan”.17
Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. 18
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan asas:
a. kepastian hukum;
b. tertib penyelenggaraan pemerintahan;
c. tertib kepentingan umum;
d. keterbukaan;
e. proporsionalitas;
f. profesionalitas;
g. akuntabilitas;
h. efektivitas dan efisiensi;
i. kearifan lokal;
j. keberagaman; dan
k. partisipatif.
17
Suhana, Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintah,
Artikel E-Journal, Tanjung Pinang, 2014,hlm.7. 18
Ketentuan Umum PP Nomor 43 tahun 2014 tentang Desa
16
Pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan
Desa (BPD). Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kepala
desa dan perangkat desa sebagai unsure penyelenggara pemerintahan desa. Kepala
Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa. Sedangkan BPD adalah lembaga yang merupkan perwujudan
demokrasi dalam penyelenggraan pemerintahan desa sebagai unsur peneyelenggra
pemerintahan desa. Mengenai susunan organisasi dan tata kerja pemrintahan desa
ditetapkan dengan peraturan desa. Peraturan Desa adalah peraturan
perundangundangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan
disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.19
Perangkat desa bertugas membantu kepala desa dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya. Dengan demikian, perangkat desa bertanggung jawab kepada
kepala desa. perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya.
Perangkat desa lainnya terdiri dari:
a. sekretaris desa;
b. pelaksana teknis lapangan;
c. unsur kewilayahan.
Keberadaan desa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum memberi pemahaman
yang mendalam bahwa institusi desa bukan hanya sebagai entitas administratif
belaka tetapi juga entitas hukum yang harus dihargai, diistimewakan, dilestarikan,
dan dilindungi dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Hal ini yang kemudian
19
Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 6 tahun 2014
17
tertuang dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan: “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan
undang-undang”. Berdasarkan bunyi Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 tersebut maka
desa diartikan bukan saja sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, tetapi juga
sebagai hierarki pemerintahan yang terendah dalam NKRI. Istilah pemerintahan
dan pemerintah sendiri dalam masyarakat secara umum diartikan sama, di mana
kedua kata tersebut diucapkan bergantian (pemerintah atau pemerintahan).
Sebutan kedua kata atau istilah tersebut menunjuk pada penguasa atau pejabat.
Mulai dari Presiden hingga Kepala Desa, artinya semua orang yang memegang
jabatan disebutlah pemerintah atau pemerintahan, tetapi orang yang bekerja di
dalam lingkungan pemerintah atau pemerintahan disebut orang pemerintahan.
Desa, atau udik, menurut definisi "universal", adalah sebuah aglomerasi
permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah
pembagian wilayah administratif di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala
Desa. Sebuah desa merupakan kumpulan dari beberapa unit pemukiman kecil
yang disebut kampung (Banten, Jawa Barat) atau dusun (Yogyakarta) atau banjar
(Bali) atau jorong (Sumatera Barat). Kepala Desa dapat disebut dengan nama lain
misalnya Kepala Kampung atau Petinggi di Kalimantan Timur, Klèbun di
Madura, Pambakal di Kalimantan Selatan, dan Kuwu di Cirebon, Hukum Tua di
Sulawesi Utara.20
20 https://id.wikipedia.org/wiki/Desa diunduh 2 Maret 2019 Pukul 10:56 WIB
18
Desa berasal dari bahasa Sansekerta dhesi yang berarti “tanah kelahiran”. Desa
identik dengan kehidupan agraris dan kesederhanaannya. Ada beberapa
istilah desa, misalnya gampong (Aceh), kampung (Sunda), nagari (Padang),
wanus (Sulawesi Utara), dan huta (Batak).21
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Desa adalah kesatuan wilayah yang
dihuni oleh sejulah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri
(dikepalai oleh seorang Kepala Desa) atau desa merupakan kelompok rumah di
luar kota yang merupakan satu kesatuan.
Beberapa ahli juga memberikan pendapat terkait dengan pengertian desa, R.
Bintarto berpendapat bahwa Desa adalah suatu perwujudan geografis yang
ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis sosial ekonomis, politis, dan kultural
yang terdapat di situ dalam hubungan dan pengaruh timbal-balik dengan daerah-
daerah lain.22
Menurut P. J. Bournen, Desa adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan
bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal,
kebanyakan yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan, dan
sebaginya usaha-usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam.
Dan dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat,
ketaatan, dan kaidah-kaidah sosial.23
I Nyoman Beratha, Desa atau dengan nama aslinya yang setingkat yang
merupakan kesatuan masyarakat hukum berdasarkan susunan asli adalah suatu
21
http://www.pengertianahli.com/2014/03/pengertian-ciri-jenis-desa.html diunduh 11 Januari
2016 Pukul 11:02 WIB 22
Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Erlangga,
Jakarta, hal. 4. 23
Loc. Cit.
19
“badan hukum” dan adalah pula “Badan Pemerintahan”, yang merupakan bagian
wilayah kecamatan atau wilayah yang melingkunginya.24
H. Unang Soenardjo, Desa adalah suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat
dan hukum adat yang menetap dalam suatu wilayah yang tertentu batas-batasnya;
memiliki ikatan lahir dan batin yang sangat kuat, baik karena seketurunan maupun
karena sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial dan keamanan;
memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama; memiliki kekayaan dalam
jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.25
Berdasarkan pada pengertian di atas maka dapat ditarik pemahaman bahwa Desa
adalah suatu wilayah yang didiami oleh sejumlah penduduk yang saling mengenal
atas dasar hubungan kekerabatan dan/atau kepentingan politik, sosial, ekonomi,
dan keamanan yang dalam pertumbuhannya menjadi kesatuan masyarakat hukum
berdasarkan adat sehingga tercipta ikatan lahir batin antara masing-masing
warganya, umumnya warganya hidup dari pertanian, mempunyai hak mengatur
rumah tangga sendiri, dan secara administratif berada di bawah pemerintahan
Kabupaten/Kota.
a. Sejarah Pembentukan Desa
Dilihat dari sejarahnya, desa sudah dikenal sejak zaman kerajaankerajaan
Nusantara sebelum kedatangan Belanda. Pada zaman tersebut Desa adalah
wilayah-wilayah yang mandiri di bawah taklukan kerajaan pusat. Dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan, kerajaan pusat hanya menuntut loyalitas desa.
Sedangkan bagaimana desa menyelenggarakan pemerintahannya, kerajaan pusat
24
Loc. Cit. 25
Loc. Cit.
20
tidak mengatur melainkan menyerahkannya kepada desa yang bersangkutan untuk
mengatur dan mengurusnya sesuai dengan adat istiadat dan tata caranya sendiri.26
Tulisan pada prasasti Himad-Walandit menunjukkan bahwa desa pada zaman
kerajaan Kediri-Jenggala memiliki status swatantera (otonomi). Dengan demikian,
sejak dahulu desa mempunyai hak mengatur rumah tangganya
sendiri/swatantera/otonomi. Berdasarkan prasasti dan piagam yang diketemukan
kemudian pada 1880 di Penanjangan Tengger, Jawa Timur, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:27
a) Bahwa desa sebagai lembaga pemerintahan terendah telah ada sejak dahulu
kala dan bukan import dari luar Indonesia, bahkan murni bersifat Indonesia;
b) Bahwa nampaknya desa adalah tingkat yang berada langsung di bawah
kerajaan. Dengan kata lain, pada waktu itu terdapat sistem pemerintahan di
daerah, dua tingkat;
c) Bahwa masyarakat Indonesia sejak dahulu telah mengenal sistem-sistem
pemerintahan di daerah, dan yang sekarang menjadi hakekat dari asasasas
penyelenggaraan pemerintahan; misalnya, swatantera (yaitu yang disebut
sekarang sebagai otonomi atau hak untuk mengurus dan mengatur urusan
rumah tangganya sendiri). Demikian pula ada jabatanjabatan atau pembagian
tugas, misalnya samget (ahli adat), raja dikira, pamget, jayapatra (hakim),
patih, dyaksa (jaksa), dan sebagainya;
d) Bahwa terdapat jenis-jenis desa antara lain Desa Keramat, Desa Perdikan, dan
sebagainya dengan hak-hak khusus.
26
Ibid., hal. 4-5. 27
Ibid., hal. 5.
21
b. Sejarah Pemerintahan Desa
Sejarah pemerintahan desa di Indonesia sudah ada sejak pemerintahan Kolonial
Belanda dibuktikan dengan adanya Perundang-undangan yang mengatur tentang
Desa pada zaman tersebut. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang
Desa sudah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perkembangan
zaman dan kebutuhan.
Sejak tahun 1906 hingga 1 Desember 1979 Pemerintahan Desa di Indonesia diatur
oleh Perundang-undangan yang dibuat oleh penjajah Kolonial Belanda. Pada
tahun 1965 sudah ada UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja tetapi dengan
dikeluarkannya UU No. 6 Tahun 1969 yang menyatakan tidak berlakunya
berbagai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
maka UU No. 19 Tahun 1965 dalam prakteknya tidak berlaku walaupun secara
yuridis Undang-undang tersebut masih berlaku hingga terbentuknya Undang-
undang yang baru yang mengatur tentang Pemerintahan Desa, baru setelah 34
tahun merdeka Negara Indonesia memiliki Undang-undang Pemerintahan Desa
yang dibuat sendiri.28
c. Tujuan Desa
Pemerintah Negara Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
28
Daeng Sudirwo, 1981, Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah dan Pemerintahan Desa,
Angkasa, Bandung, hal. 41.
22
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang
merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia.
Desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu
dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis
sehingga dapat menciptakan landasan yang kukuh dalam melaksanakan
pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera. Dengan demikian, tujuan ditetapkannya pengaturan Desa dalam
Undang-Undang ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
a) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan
keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia;
c) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
d) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk
pengembangan potensi dan aset Desa guna kesejahteraan bersama;
e) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka,
serta bertanggung jawab;
23
f) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna
mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
g) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan
masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari
ketahanan nasional;
h) memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan
pembangunan nasional; dan memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek
pembangunan
c. Keuangan Desa
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan
uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban tersebut menimbulkan
pendapatan, belanja, pembiayaan yang perlu diatur dalam pengelolaan keuangan
desa yang baik. Siklus pengelolaan keuangan desa meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penata uasahaan, pelapran dan pertanggung jawab dengan
periodesasi 1 (satu) tahun anggaran, terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai 31
Desember.29
Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa
didanai dari anggaran pendapatan dan belanja desa, bantuan pemerintah dan
bantuan pemerintah daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang
diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari anggaran pendapatan dan
29
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 2015. Petunjuk Bimbingan &
Konsultasi Pengelolaan keuangan Desa. Jakarta. Hlm. 33
24
belanja daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh
pemerintah desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Sumber
pendapatan desa terdiri atas :
a) Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil
swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli
desa yang sah;
b) Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c) Bagian hasil dari pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d) Alokasi Dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang
diterima Kabupaten/Kota;
e) Bantuan Keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga dan
g) Lain-lain pendapatan Desa yang sah.
Dalam hal sumber pendapatan Desa, dari tujuh sumber pendapat Desa
sebagaimana telah diatur pada pasal 72 ayat (1) UU Desa, ada dua tipe jika dilihat
dari sisi kepastian memperolehnya. Tipe Peratama adalah sumber pendapatan
yang sifatnya pasti diterima oleh Desa karena merupakan hak desa, mencakup
Pendapatan Asli Desa, Dana Desa, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi
daerah Kabupaten/Kota dan Alokasi Dana Desa. Jika Haknya tidak diberikan,
maka desa bisa menuntut kepada pemerintah Kabupaten/Kota maupun pemerintah
pusat. Tipe Kedua adalah sumber Pendapatan yang sifatnya tidak pasti, yang
terdiri dari bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, hibah
25
dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga dan lain-lain pendapatan
desa yang sah. Untuk tipe kedua ini, Desa tidak bisa menuntut jika suatu saat
pihak yang memberikan menghentikan bantuannya kepada desa.
Alokasi dana Desa (ADD) sebagai bantuan stimulan atau perangsang untuk
mendorong dalam membiayai program penyelenggaraan pemerintahan desa,
pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan
masyarakat ( Permendesa No. 5 Tahun 2015). Selain itu terdapat peraturan
Menteri dalam negeri Republik Indonesia No, 113 tahun 2014 tentang
pengelolaan keuangan desa.30
UU Desa menentukan bahwa Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan
pengelolaan Keuangan Desa. Dalam Melaksanakan Kekuasaan, Kepala Desa
menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat desa yang ditunjuk begitu
juga Menurut Permendagri No 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan
Desa, Kepala Desa (Kades) merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan desa dan mewakili Pemerintah Desa dalam kepemilikan kekayaan milik
desa yang dipisahkan.31
a) Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ( APBDes ) terdiri atas bagian
pendapatan desa, belanja desa dan pembiayaan. Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa (RAPBDes) dibahas dalam musyawarah perencanaan
pembangunan desa. Kepala desa bersama Badan Permusyawaratan Desa
30
Masyiah Kholmi,” Akuntabilitas Pengelolaan Dana Alokasi desa : Study Kaus Di desa Kedung
Betik Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang”, ejornal Ekonomi Bisnis, Universitas
Muhammadiyah Malang. Vol. 07. No.02 Bulan Juni 2016, Hlm. 143-152 31
Armen Yasir, Hukum Pemerintahan Desa. (Bandar Lampung:Universitas Lampung,2017),
hlm.141-142.
26
menetapkan APBDes setiap tahun dengan Peraturan Desa. Pedoman penyusunan
APBDes, perubahan APBDes, perhitungan APBDesa, dan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBDes ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.
Penyelenggaraan pemerintah desa yang output nya berupa pelayanan publik,
pembangunan, dan perlindungan masyarakat harus disusun perencanaannya setiap
tahun dan dituangkan dalam APBDes. Dalam APBDes inilah terlihat apa yang
akan dikerjakan pemerintah desa dalam tahun berjalan.
Pemerintah desa wajib membuat APBDes. Melalui APBDes kebijakan desa yang
dijabarkan dalam berbagai program dan kegiatan sudah ditentukan anggarannya.
Dengan demikian, kegiatan pemerintah desa berupa pemberian pelayanan,
pembangunan, dan perlindungan kepada warga dalam tahun berjalan sudah
dirancang anggarannya sehingga sudah dipastikan dapat dilaksanakan.
Tanpa APBDes, pemerintah desa tidak dapat melaksanakan program dan kegiatan
pelayanan publik. Berikut Struktur APBDes:
1) Pendapatan Desa
Pendapatan desa meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa yang
merupakan hak desa dalam 1 tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali
oleh desa. Pendapatan desa terdiri atas:
a. Pendapatan asli desa (PADes);
b. Bagi hasil pajak kabupaten/ kota;
c. Bagian dari retribusi kabupaten/ kota;
d. Alokasi dana desa (ADD);
e. Bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
27
kabupaten/ kota, dan desa lainnya;
f. Hibah;
g. Sumbangan pihak ketiga
2) Belanja desa
Belanja desa meliputi semua pengeluaran dan rekening desa yang merupakan
kewajiban desa dalam 1 tahun anggaran yang tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh desa. Belanja desa terdiri atas: Belanja langsung
yang terdiri atas:
a. Belanja pegawai;
b. Belanja barang dan jasa;
c. Belanja modal.
Belanja tidak langsung yang terdiri atas:
a. Belanja pegawai/ penghasilan tetap;
b. Belanja subsidi;
c. Belanja hibah (pembatasan hibah);
d. Belanja bantuan sosial;
e. Belanja bantuan keuangan;
f. Belanja tak terduga.
3) Pembiayaan Desa
Pembiayaan desa meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan desa
terdiri dari:
28
Penerimaan pembiayaan, yang mencakup:
a. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya;
b. Pencairan dana cadangan;
c. Hasil penjualan kekayaan desa yang dipisahkan;
d. Penerimaan pinjaman.
Pengeluaran pembiayaan yang mencakup:
a. Pembentukan dana cadangan;
b. Penyertaan modal desa;
c. Pembayaran utang.
d. Pendapatan Asli Desa
Menurut ketentuan Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Pasal 71 Ayat (1) Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang
dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Pasal 72 Ayat (1),
disebutkan sumber pendapatan desa berasal dari:
a) pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan
partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa;
b) alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c) bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d) alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang
diterima Kabupaten/Kota;
e) bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f) hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
29
g) lain-lain pendapatan Desa yang sah.
Menurut penjelasan dari undang-undang Nomor 6 tahun 2014 Pasal 72 Ayat (1)
haruf a Yang dimaksud dengan “Pendapatan Asli Desa” adalah pendapatan yang
berasal dari kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala
lokal Desa. Yang dimaksud dengan “hasil usaha” termasuk juga hasil BUMDes
dan tanah bengkok.32
C. Kelembagaan Desa
Lembaga atau Institution merupakan wadah mengembangkan tugas dan fungsi
tertentu dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, keberadaan
“Lembaga Desa” merupakan wadah untuk mengembangkan tugas dan fungsi
pemerintahan desa ( dimana tugas dan fungsi pemerintahan desa merupakan
uraian lebih lanjut dari wewenang desa) untuk ,encapai tujuan penyelenggaraan
pemerintahan desa. Tujuan Pemerintah desa adalah meningkatkan kesejahteraan
masayarakat, sehingga tugas pemerintah ( termasuk Pemerintah desa ) adalah
pemberian pelayanan (services), pemberdayaan (empowermwent), serta
pembangunan (development) yang seluruhnya di abadikan bagi kepentingan
masyarakat.33
Jenis-Jenis Lembaga Desa menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, yang ditindak lanjuti dengan PP No 72 Tahun 2005 tentang
Desa, terdapat 3 (tiga) lembaga desa yaitu: (a) Pemerintah Desa ( Kepala Desa
32
Okta Rosalinda LPD, Pengelolaan Dana Alokasi Desa (ADD) Dalam Menunjang Pembangunan
Pedesaan, 2014 , hlm.6 33
Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat
Desa. Modul Pegangan Peserta Pelatihan Bagi Pelatih Menejemen Pemerintah Desa. Hlm.109
30
dan Perangkat Desa; (b) Badan Permusyawaratan Desa; dan (c) Lembaga
Kemasyarakatan.
Di desa dibentuk juga bebarapa lembaga kemasyarakatan. Lembaga
permasyarakatan ditetapkan oleh peraturan desa. pembentukaannya berpedoman
pada peraturan perundang undangan. Tugas lembaga tersebut adalah membantu
pemerintah desa dan memberdayakan masyarakat desa. misalnya, Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Pertahanan Sipil (Hansip), Pemberdayaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan Karang Taruna. Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD) merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam
pembangunan desa yang memadukan kegiatan pemerintahan desa yang dilakukan
secara gotong royong.
Pengurus LKMD umumnya tokoh masyarakat setempat. Pembentukan LKMD
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa berdasarkan musyawarah anggota
masyarakat. Fungsi LKMD adalah membantu adalah membantu pemerintah desa
dalam merencanakan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan desa. selain
itu, LKMD memberikan masukan kepada BPD dalam proses perencanaan
pembangunan desa.
D. Kewenangan Desa
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah harus memiliki legitimasi
wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Menurut H.D. Stout, bahwa
wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan,
yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan
31
perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di
dalam hubungan hukum publik.34
Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini,
sehingga F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyebutkan sebagai konsep inti
dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Adminstrasi Negara yang di dalamnya
terkandung hak dan kewajiban. Kewenangan disebut juga “kekuasaan formal”,
yaitu kekuasaan yang diberikan atau berasal dari Undang-undang atau legislative
dari kekuasaan eksekutif atau adminstrasi yang bersifat utuh atau bulat.
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau
tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban
(rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri
(zelfbesturen). Kewajiban secara horisontal berarti kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Sedangkan kewajiban
vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib
ikatan pemerintahan Negara secara keseluruhan.
Apabila ada suatu ketentuan hukum atau aturan hukum yang merupakan
perwujudan dari keputusan penguasa yang ternyata secara hukum, atau secara
yuridis tidak dapat dicari dasar hukumnya kepada suatu ketentuan hukum atau
34
Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, PT. RajaGravindo Persada,
Jakarta, hal. 98.
32
aturan hukum yang lebih tinggi, atau kewenangan yang lebih tinggi, maka akan
terdapat dua kemungkinan, yaitu:35
a) bahwa ketentuan hukum atau aturan hukum tersebut bukan merupakan
ketentuan hukum atau aturan hukum yang sah, oleh karena itu tidaklah
mempunyai kekuatan berlaku, juga kekuatan mengikat;
b) bahwa ketentuan hukum atau aturan hukum tersebut merupakan ketentuan
hukum atau aturan hukum yang tertinggi dalam tata-hukum Negara yang
bersangkutan.
Dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa juga diatur mandat dan kewenangan
desa antara lain kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal
berskala Desa, kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Serta kewenangan lain yang
ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, dalam aturan sebelumnya kewenangan pemerintahan yang menjadi
kewenangan desa mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan
hak asal–usul desa, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, tugas pembantuan
dari pemerintah, pemerintah provinsi dan atau pemerintah Kabupaten/Kota,
urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan
kepala desa. Dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, kewenangan desa
meliputi:
35
Ibid., hal. 106-107
33
a. kewenangan berdasarkan hak asal-usul;
b. kewenangan lokal berkala desa;
c. kewenangan yang ditugaskan pemerintahan daerah provinsi, pemerintah
kota/kabupaten; dan
d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Berkenaan dengan kewenangan-kewenangan tersebut, Pemerintah Desa juga
berwenang untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) yang
dikelola dengan semangat kekeluargaan dan gotong-royong. BUM Desa itu bisa
bergerak di bidang ekonomi, pedagangan, pelayanan jasa maupun pelayanan
umum lainnya sesuai ketentuan umum peraturan perundangundangan.
Dalam penjelasan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, disebutkan bahwa
BUM Desa ini secara spesifik tidak bisa disamakan dengan badan hukum seperti
perseroan terbatas, CV atau koperasi karena tujuan dibentuknya adalah untuk
mendayagunakan segala potensi ekonomi, sumber daya alam dan sumber daya
manusia untuk kesejahteraan masyarakat desa.
Dengan kata lain, orientasi BUM Desa tidak hanya berorientasi pada keuntungan
keuangan. Melainkan juga mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat
desa. Sumber pendanaan BUM Desa juga dibantu oleh pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, pemerintah daerah Kabupaten/Kota, dan pemerintah desa.
Pemerintah mendorong BUM Desa dengan memberikan hibah dan atau akses
permodalan, melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar, dan
memprioritaskan BUM Desa dalam pengelolaan sumber daya alam di desa.
34
Jadi kewenangan desa adalah kewenangan yang dimiliki desa, meliputi
kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan
pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan
masyarakat desa, berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul dan adat istiadat
desa.36
Yang dimaksud dengan kewenangan berdasarkan hak asal-usul adalah hak yang
merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa masyarakat desa, sesuai
dengan perkembangan kehidupan masyarakat.37
Artinya bahwa kewenangan
tersebut merupakan kewenangan yang dimiliki desa, bukan karena pemberian dari
pemerintah pusat, melainkan kewenangan yang bersifat otonom hasil dari rahim
riwayat desa tersebut.
E. Peraturan Desa
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 7 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa disebutkan bahwa, Peraturan Desa adalah peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati
bersama Badan Permusyawaratan Desa. 38
yang merupakan kerangka hukum dan
kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa,
peraturan desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki
desa dalam mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
36
Tim Visi Yustisia, 2015, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan
Terkait, Visimedia, Jakarta, hal. 10. 37
Ibid. 38
Pasal 1 Angka 7 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
35
Peraturan desa yang dibuat oleh pemerintah desa untuk mengelola kegiatan
kegiatan yang penting dan strategis desa, kegiatan-kegiatan tersebut antara lain,
penetapan anggaran, penerimaan dan pengeluaran, keuangan desa, dan penyewaan
tanah kas desa, dan lain-lainnya.
Tata cara penyusunan Peraturan Desa diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2014
tentang desa Pasal 83:
1. Rancangan peraturan Desa diprakarsai oleh Pemerintah Desa.
2. Badan Permusyawaratan Desa dapat mengusulkan rancangan peraturan Desa
kepada pemerintah desa.
3. Rancangan peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa untuk mendapatkan masukan
4. Rancangan peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
oleh kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawaratan Desa.
Pasal 84:
1. Rancangan peraturan Desa yang telah disepakati bersama disampaikan oleh
pimpinan Badan Permusyawaratan Desa kepada kepala Desa untuk ditetapkan
menjadi peraturan Desa paling lambat 7 (tujuh) Hari terhitung sejak tanggal
kesepakatan.
2. Rancangan peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
ditetapkan oleh kepala Desa dengan membubuhkan tanda tangan paling
lambat 15 (lima belas) Hari terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan
Desa dari pimpinan Badan Permusyawaratan Desa.
36
3. Peraturan Desa dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat sejak diundangkan dalam lembaran Desa dan berita Desa oleh
sekretaris Desa.
4. Peraturan Desa yang telah diundangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan kepada bupati/walikota sebagai bahan pembinaan dan
pengawasan paling lambat 7 (tujuh) Hari setelah diundangkan.
5. Peraturan Desa wajib disebarluaskan oleh Pemerintah Desa.
Peraturan Desa (Perdes) berbasis masyarakat berarti setiap Perdes harus relevan
dengan konteks kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, Perdes
yang dibuat bukan sekadar merumuskan keinginan elite desa atau hanya untuk
menjalankan instruksi dari pemerintah supra desa. Secara substansi, prinsip
dasarnya bahwa Perdes lebih bersifat membatasi yang berkuasa dan sekaligus
melindungi rakyat yang lemah.
Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan Peraturan desa harus sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan dilarang bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan desa
memberikan ketegasan tentang membatasi yang berkuasa dan akuntabilitas
pemerintah desa dan BPD dalam mengelola pemerintahan Desa.
F. Otonomi Desa
Menurut Widjaja (2003) Otonomi Desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan
utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah, sebaliknya pemerintah
berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki desa tersebut.39
39
Wayan Carwiaka, Pelaksanaan Otonomi Desa , 2013, hlm.4
37
Juliantara (2003) menerangkan bahwa otonomi desa bukanlah sebuah kedaulatan
melainkan pengakuan adanya hak untuk mengatur urusan rumah tangganya
sendiri dengan dasar prakarsa dari masyarakat. Otonomi dengan sendirinya dapat
menutup pintu intervensi institusi diatasnya.40
Gagasan utama desentralisasi pembangunan adalah menempatkan desa sebagai
entitas yang otonom dalam pengelolaan pembangunan. Dengan demikian,
perencanaan desa dari bawah keatas (bottom up) juga harus diwujudkan menjadi
village self planning, sesuai dengan batas-batas kewenagan yang dimiliki oleh
desa. Desentralisasi pembangunan identik dengan membuat perencanaan
pembangunan cukup sampai desa saja. Desa oleh kerananya mempunyai
kemandirian dalam perencanaan pembangunan tanpa intruksi dan intervensi
pemerintah supradesa. Disinilah kemudian peran Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) atau yang disebut dengan nama lain, sebagai lembaga yang merupakan
perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemrintahan desa sebagai unsure
penyelenggara pemerintahan desa. BPD inilah yang harus menjadi roda penggerak
otonomi desa.41
Otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan
pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati
otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat
melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata,
40
Ibid 41
Naskah Akademik RUU Desa, Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan Direktorat Jendral
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri 2007. 11
38
memiliki kekayaan,harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka
pengadilan.42
Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh
daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang
dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan
berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama lainnya,
yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem
Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Landasan pemikiran
yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi
asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Otonomi desa mengandung prinsip keleluasaan (discretionary), kekebalan
(imunitas) dan kapasitas (capacity). Keterpaduan antara keleluasaan dan kapasitas
melahirkan kemandirian desa, yakni kemandirian mengelola sumberdaya lokal
sendiri yang sesuai dengan preferensi masyarakat lokal. Kemandirian merupakan
kekuatan atau sebagai sebuah prakondisi yang memungkinkan proses peningkatan
kualitas penyelenggaran pemerintahan desa, pembangunan desa, pengembangan
prakarsa dan potensi lokal, pelayanan publik dan kualitas hidup masyarakat desa
secara berkelanjutan. Untuk membangun otonomi desa, desentralisasi harus
didorong sampai ke level desa dimana distribusi kewenangan tidak hanya berhenti
pada pemerintah daerah saja tetapi perlu juga ditribusi kewenangan hingga pada
42
H.A.W Widjaja,…Op.Cit., hlm 165
39
tingkat desa. kewenangan ideal yang harus dimiliki oleh desa untuk mendorong
terwujudnya otonomi desa, yaitu sebagai berikut:43
1. Hak dan kewenangan untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan
pemerintah daerah yang menyangkut tentang desa. Produk kebijakan
pemerintah desa idealnya lahir dari sebuah proses yang melibatkan desa,
kebijakan tentang penyusunan alokasi anggaran untuk desa dalam APBD dan
serta kebijakan tentang program pembangunan kabupaten yang menyangkut
tentang desa harus selalu melibatkan partisipasi desa. Pelibatan desa disini
tidak hanya sekedar pemerintah desa saja namun juga harus melibatkan
komponen masyarakat lainnya. Dengan dilibatkannya masyarakat maka
desentralisasi desa tidak hanya sebuah proses transfer kewenangan antar unit
pemerintahan (intergovernmental relation) tetapi juga merupakan sebuah
proses yang membuka ruang bagi masyarakat untuk terlibat di dalamnya.
Sehingga desentralisasi desa tidak hanya merupakan sebuah konsep yang
diinisiasi oleh pihak negara (state), namun menempatkan masyarakat (society)
sebagai bagian utama dari bergulirnya desentralisasi desa.
2. Kewenangan untuk menentukan kebijakan yang berkaitan dengan urusan
urusan internal desa. Melalui prinsip subsidiarity, bagi desa-desa yang mampu
mengurus urusan-urusan internalnya diberikan kewenangan untuk mengurusi
urusan-urusan internal desa. Adapun urusan-urusan internal desa antara lain
adalah: penentuan model rekruitmen kepemimpinan desa, penentuan
pelembagaan demokrasi desa, penentuan mekanisme pertanggung jawaban
pemerintah desa kepada masyarakat, pengelolaan wilayah desa, pengelolaan
43
Abdur Rozaki dkk, Prakarsa Desa dan Otonomi Desa, (Yogyakarta: IRE PRESS, 2005) hlm. 73
40
pembangunan desa serta pengelolaan anggaran desa. Kewenangan
menjalankan urusan internal desa harus dibarengi dengan pemberian
keleluasaan kepada desa untuk menterjemahkan pedoman dari kabupaten
berdasarkan konteks lokalitas dan kesepakatan masyarakat.
3. Kewenangan untuk mengelola pelayanan publik dasar.
4. Kewenangan untuk mengelola dana perimbangan yang berasal dari DAU.
Kewenangan ini harus didahului dengan adanya komitmen dari kabupaten
untuk memberikan persentase yang proporsional kepada desa atau DAU yang
diterima kabupaten. Sebesar apapun transfer fungsi dan kekuasaan kepada
desa namun kalau tidak ditopang dengan transfer “alat” untuk menjalankan
fungsi dan kekuasaan yang dimilikinya tidakakan mendorong proses otonomi
desa. Oleh karena itu desa perlu untuk mendapatkan prosentase yang
proporsional terhadap DAU yang diterima oleh kabupaten untuk mendorong
munculnya kemandirian pengelolaan kehidupan rumah tangganya.
5. Kewenangan mengelola sumber daya ekonomi yang berada di tingkat desa.
Desa baik secara sendiri ataupun dengan bekerjasama dengan pihak luar
punya keleluasaan mengelola dan mengoptimalkan sumber daya alam yang
tersedia di desa. Berkaitan dengan sumber pendapatan daerah yang berada di
tingkat desa dan sudah dikelola oleh kabupaten, maka desa idealnya
dialokasikan persentase yang proporsional dari perolehan keuntungan
pengelolaan sumber pendapatan daerah yang berdara di tingkat desa dimana
penentuannya dibicarakan secara bersama dan terbuka antara pemerintah
kabupaten dan pemerintah desa. Jika desa dianggap telah memungkinkan
41
untuk mengelola secara mandiri, kabupaten hendaknya memfasilitasi proses
transfer pengelolaan sumber daya dari kabupaten kepada desa.
6. Kewenangan untuk menolak program-program tugas pembantuan dari
pemerintah di atasnya yang disertai dengan pembiayaan, sarana, prasrana dan
tidak sesuai dengan daya dukung desa dan kehendak masyarakat setempat.
Kewenangan ini harus disertai dengan munculnya komitmen dari kabupaten
untuk tidak melakukan penilaian negatif atas penolakan pelaksanaan program
pembantuan yang dilakukan desa.
Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha menjelaskan sebagai berikut :
a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi
oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada
“kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang.
b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti
sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa depan.
Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan
hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk
tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan
pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang
pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya kepada desa.
Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan
tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi
42
desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan
kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas,
persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan
dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.44
Otonomi desa atau disebut dengan nama lain berdasarkan amanat Pasal 18B ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945 setidaknya harus melingkupi pada tiga aras hak
asal-usul, yaitu: pengakuan terhadap susunan asli; pengakuan terhadap sisten
norma/pranata sosial yang dimiliki dan berlaku; serta, pengakuan terhadap basis
basis material yakni ulayat serta asset-aset kekayaan desa (property right). Dengan
demikian, sebenarnya otonomi desa ini bisa diimplementasikan dengan baik
dalam kerangka desa adat, bukan desa administratif. 45
Gagasan otonomi desa sebenarnya mempunyai relevansi (tujuan dan manfaat)
sebagai berikut:46
a. Memperkuat kemandirian desa sebagai basis kemandirian NKRI;
b. Memperkuat posisi desa sebagai subyek pembangunan;
c. Mendejkatkan perencanaan pembangunan kemasyarakat;
d. Memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan;
e. Menciptakan efisiensi pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan
kebutuhan lokal;
44
H.A.W Widjaja,…Op.Cit., hlm 166 45
Naskah Akademik RUU Desa, Op.Cit 46
Ibid.
43
f. Menggairakkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat desa;
g. Memperbaiki kepercayaan, tanggung jawab dan tantangan bagi desa untuk
membangkitkan prakarsa dan potensi desa;
h. Menempa kapasitas desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan;
i. Membuka arena pembelajaran yang sangat berharga bagi pemrintah desa,
lembaga-lembaga desa dan masyarakat;
j. Merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat.
Kewenangan-kewenangan yang dimiliki desa mendorong agar desa bisa lebih
mandiri, kreatif dan inovatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya yaitu dengan membangkitkan prakarsa dan potensi-potensi sumber
daya yang ada. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, desa berkewajiban
untuk dapat meningkatkan pembangunan, pelayanan publik serta melaksanakan
pengelolaan keuangan desa secara baik, transparansi, dan akuntabel.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 18 disebutkan bahwa,
“Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan adat istiadat Desa. Selanjutnya pada Pasal 19 menjelaskan
”Kewenangan Desa meliputi: kewenangan berdasarkan hak asal usul; kewenangan
lokal berskala Desa; kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota”. Pelaksanaan
kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa
sebagaimana diatur dan diurus oleh Desa. Pelaksanaan kewenangan yang
ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah
44
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diurus oleh Desa.
Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Penugasan disertai biaya.
Dari penjelasan diatas otonomi desa adalah desa yang mempunyai wewenang
tersendiri untuk mengatur, membangun dan mengembangkan segala kegiatan-
kegiatan yang ada didesa, sehingga tidak ada campur tangan dari pemerintahan
pusat. Tugas dari Pemerintah puat adalah memberikan modal dan membantu
mengarahkan sesuai kebutuhan yang ada didesa tersebut.
Jadi Pemerintah Desa tidak harus manggantungkan harapanya ke Pemerintah
Pusat untuk segala keperluan maupun bantuan yang ada. Akan tetapi desa harus
mandiri, kreatif, untuk mengelola sumber daya yang ada didesa.
G. Badan Usaha Milik Desa
a. Definisi Badan Usaha Milik Desa
Menurut Pasal 1 Angka (6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Badan Usaha
Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUMDes, adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset,
jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar besarnya kesejahteraan
masyarakat Desa.
BUMDes menurut Undang-undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa didirikan
antara lain dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Desa. Berangkat dari cara
45
pandang ini, jika pendapatan asli desa dapat diperoleh dari BUMDes, maka
kondisi itu akan mendorong setiap Pemerintah Desa memberikan “goodwill”
dalam merespon pendirian BUMDes. Sebagai salah satu lembaga ekonomi yang
beroperasi dipedesaan, BUMDes harus memiliki perbedaan dengan
lembagaekonomi pada umumnya. Ini dimaksudkan agar keberadaan dan kinerja
BUMDes mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan
kesejahteraan warga desa. Disamping itu, supaya tidak berkembang sistem usaha
kapitalistis di pedesaan yang dapat mengakibatkan terganggunya nilai-nilai
kehidupan bermasyarakat.47
Sebagai salah satu lembaga ekonomi yang beroperasi dipedesaan, BUMDes harus
memiliki perbedaan dengan lembaga ekonomi pada umumnya. Ini dimaksudkan
agar keberadaan dan kinerja BUMDes mampu memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan warga desa. Disamping itu, supaya
tidak berkembang sistem usaha kapitalistis di pedesaan yang dapat mengakibatkan
terganggunya nilai-nilai kehidupan bermasyarakat.
Terdapat 7 (tujuh) ciri utama yang membedakan BUMDes dengan lembaga
ekonomi komersial pada umumnya yaitu:48
1. Badan usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelola secara bersama;
2. Modal usaha bersumber dari Anggaran Dana Desa (ADD) dan dari
masyarakat melalui penyertaan modal (saham atau andil);
47
Departemen Pendidikan Nasional Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (PKDSP). Buku
Panduan Pendirian dan Pengelolaan Badan Usaha MIlik Desa (BUMDes), (Fakultas Ekonomi:
Universitas Brawijaya, 2007), hlm. 4. 48
Departemen Pendidikan Nasional Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan
(PKDSP)…,Op.Cit.
46
3. Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya
lokal (local wisdom);
4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi dan hasil informasi
pasar;
5. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
anggota (penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa (village
policy);
6. Difasilitasi oleh Pemerintah, Pemprov, Pemkab, dan Pemdes;
7. Pelaksanaan operasionalisasi dikontrol secara bersama (Pemdes, BPD,
anggota).
BUMDes sebagai suatu lembaga ekonomi modal usahanya dibangun atas inisiatif
masyarakat dan menganut asas mandiri. Ini berarti pemenuhan modal usaha
BUMDes harus bersumber dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak menutup
kemungkinan BUMDes dapat mengajukan pinjaman modal kepada pihak luar,
seperti dari Pemerintah Desa atau pihak lain, bahkan melalui pihak ketiga. Ini
sesuai dengan peraturan per undang-undangan (UU 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 213 ayat 3). Penjelasan ini sangat penting untuk
mempersiapkan pendirian BUMDes, karena implikasinya akan bersentuhan
dengan pengaturannya dalam Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Desa
(Perdes).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan BUMDes adalah suatu badan yang didirikan atau dibentuk secara bersama
47
oleh masyarakat dan pemerintah desa dan pengelolaannya dilakukan oleh
pemerintah desa dan masayrakat dalam rangka memperolah keuntungan bersama
sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Desa.
b. Tujuan dan fungsi Badan Usaha Milik Desa
Empat tujuan utama pendirian BUMDes adalah:
1. Meningkatkan perekonomian desa;
2. Meningkatkan pendapatan asli desa;
3. Meningkatkan pengolahan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
4. Menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi pedesaan.
Pendirian dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa adalah merupakan
perwujudan dari pengelolaan ekonomi produktif desa yang dilakukan secara
kooperatif, partisipatif, emansipatif, transparansi, akuntabel, dan sustainable..
Oleh karena itu, perlu upaya serius untuk menjadikan pengelolaan badan usaha
tersebut dapat berjalan secara efektif, efisien, profesional dan mandiri Untuk
mencapai tujuan BUMDes dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan
(produktif dan konsumtif) masyarakat melalui pelayanan distribusi barang dan
jasa yang dikelola masyarakat dan Pemdes. Pemenuhan kebutuhan ini diupayakan
tidak memberatkan masyarakat, mengingat BUMDes akan menjadi usaha desa
yang paling dominan dalam menggerakkan ekonomi desa. Lembaga ini juga
dituntut mampu memberikan pelayanan kepada non anggota (di luar desa) dengan
menempatkan harga dan pelayanan yang berlaku standar pasar. Artinya terdapat
mekanisme kelembagaan/tata aturan yang disepakati bersama, sehingga tidak
menimbulkan distorsi ekonomi di pedesaan disebabkan usaha yang dijalankan
oleh BUMDes. Dinyatakan di dalam undang-undang bahwa BUMDes dapat
48
didirikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Apa yang dimaksud dengan
”kebutuhan dan potensi desa” adalah: 49
a. Kebutuhan masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok;
b. Tersedia sumberdaya desa yang belum dimanfaatkan secara optimal terutama
kekayaan desa dan terdapat permintaan di pasar;
c. Tersedia sumberdaya manusia yang mampu mengelola badan usaha sebagai
aset penggerak perekonomian masyarakat;
d. Adanya unit-unit usaha yang merupakan kegiatan ekonomi warga masyarakat
yang dikelola secara parsial dan kurang terakomodasi.
BUMDes merupakan wahana untuk menjalankan usaha didesa. Apa yang
dimaksud dengan “usaha desa” adalah jenis usaha yang meliputi pelayanan
ekonomi desa antra lain:
a. Usaha jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air, listrik desa, dan usaha
sejenis lainnya;
b. Penyaluran Sembilan bahan pokok ekonomi desa;
c. Perdagangan hasi pertanian meliputi tanman pangan, perkebunan, peternakan
perikanan dan agrobisnis;
d. Industri dan kerajinan rakyat.
Keterlibatan pemerintah desa sebagai penyerta modal terbesar BUMDes atau
sebagai pendiri bersama masyarakat diharapkan mampu memenuhi Standar
Pelayanan Minimal (SPM), yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan
(proteksi) atas intervensi yang merugikan dari pihak ketiga (baik dari dalam
49
Helmei Willy Amanda, Strategi Pembangunan Desa dalam Meningkatkan Pendapatan Asli
Desa Melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Universitas Negeri Surabaya. Hlm.3
49
maupun luar desa). Demikian pula, pemerintah desa ikut berperan dalam
pembentukan BUMDes sebgai badan hukum yang berpijak pada tat aturan
perundangan yang berlaku, serta sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di
masyarakat desa.
Pengaturan lebih lanjut mengenai BUMDes diatur melalui Peraturan Daerah
(Perda) setelah memperhatikan peraturan di atasnya. Melalui mekanisme self help
dan member-base, maka BUMDes juga merupakan perwujudan partisipasi
masyarakat desa secara keseluruhan, sehingga tidak menciptakan model usaha
yang dihegemoni oleh kelompok tertentu ditingkat desa. Artinya, tata aturan ini
terwujud dalam mekanisme kelembagaan yang solid. Penguatan kapasitas
kelembagaan akan terarah pada adanya tata aturan yang mengikat seluruh
anggota. Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa tujuan
pendirian BUMDes adalah sebagai suatu badan usaha yang dapat memberdayakan
berbagai potensi usaha masyarakat di desa, mendukung pelaksanaan
pembangunan di desa dan menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan
ekonomi pedesaan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa upaya pengembangan
dan pengelolaan BUMDes harus dilaksanakan dengan langkah-langkah yang
terencana serta terpadu antara satu dengan yang lainnya dalam rangka mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan uraian diatas maka penulis
menyimpulkan bahwa tujuan pendirian BUMDes adalah sebagai suatu badan
usaha yang dapat memberdayakan berbagai potensi usaha masyarakat desa,
50
mendukung pelaksanaan pembangunan di desa dan menjadi lokomotif ekonomi
desa serta pemerataan ekonomi pedesaan.50
c. Dasar Hukum Badan Usaha Milik Desa
Pengaturan mengenai pendirian BUMDes diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yaitu sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 87 sampai Pasal
90;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 132 sampai
Pasal 142;
3. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman Tata Tertib Dan
Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa Pasal 88 dan Pasal 89.
4. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang pendirian, pengurusan dan
pengelolaan, dan pembubaran Badan Usaha Milik Desa.
d. Prinsip pengelolaan Badan Usaha Milik Desa
1. Prinsip Umum Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa :
a) Pengelolaan BUMDes harus diljalankan dengan menggunakan prinsip
kooperatif, partisipatif, emansipatif, transparansi, akuntable, dan sustainable,
dengan mekanisme member-base dan self help yang dijalankan secara
profesional, dan mandiri. Berkenaan dengan hal itu, untuk membangun
BUMDes diperlukan informasi yang akurat dan tepat tentang karakteristik ke-
50
H.M. Si, Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah Persfektif Teoritik.
(Malanh:Averroes Press,2007),Hlm 9
51
lokal-an, termasuk ciri sosial-budaya masyarakatnya dan peluang pasar dari
produk (barang dan jasa) yang dihasilkan.
b) BUMDes sebagai badan usaha yang dibangun atas inisiatif masyarakat dan
menganut asas mandiri, harus mengutamakan perolehan modalnya berasal dari
masyarakat dan Pemdes. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan
BUMDes dapat memperoleh modal dari pihak luar, seperti dari Pemerintah
Kabupaten atau pihak lain, bahkan dapat pula melakukan pinjaman kepada
pihak ke tiga, sesuai peraturan perundang-undangan. Pengaturan lebih lanjut
mengenai BUMDes tentunya akan diatur melalui Peraturan Daerah (Perda).
c) BUMDes didirikan dengan tujuan yang jelas. Tujuan tersebut, akan direalisir
diantaranya dengan cara memberikan pelayanan kebutuhan untuk usaha
produktif terutama bagi kelompok miskin di pedesaan, mengurangi praktek
ijon (rente) dan pelepasan uang, menciptakan pemerataan kesempatan
berusaha, dan meningkatkan pendapatan masyarakat desa. Hal penting lainnya
adalah BUMDes harus mampu mendidik masyarakat membiasakan
menabung, dengan cara demikian akan dapat mendorong pembangunan
ekonomi masyarakat desa secara mandiri.
d) Pengelolaan BUMDes, diprediksi akan tetap melibatkan pihak ketiga yang
tidak saja berdampak pada masyarakat desa itu sendiri, tetapi juga masyarakat
dalam cakupan yang lebih luas (kabupaten). Oleh sebab itu, pendirian
BUMDes yang diinisiasi oleh masyarakat harus tetap mempertimbangkan
keberadaan potensi ekonomi desa yang mendukung, pembayaran pajak di
desa, dan kepatuhan masyarakat desa terhadap kewajibannya. Kesemua ini
menuntut keterlibatan pemerintah kabupaten.
52
e) Diprediksi bahwa karakteristik masyarakat desa yang perlu mendapat
pelayanan utama BUMDes adalah:
a. masyarakat desa yang dalam mencukupi kebutuhan hidupnya berupa pangan,
sandang dan papan, sebagian besar memiliki matapencaharian disektor
pertanian dan melakukan kegiatan usaha ekonomi yang bersifat usaha
informal;
b. masyarakat desa yang penghasilannya tergolong sangat rendah, dan sulit
menyisihkan sebagian penghasilannya untuk modal pengembangan usaha
selanjutnya;
c. masyarakat desa yang dalam hal tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya
sendiri, sehingga banyak jatuh ke tangan pengusaha yang memiliki modal
lebih kuat;
d. masyarakat desa yang dalam kegiatan usahanya cenderung diperburuk oleh
sistem pemasaran yang memberikan kesempatan kepada pemilik modal untuk
dapat menekan harga, sehingga mereka cenderung memeras dan menikmati
sebagian besar dari hasil kerja masyarakat desa. Atas dasar prediksi tersebut,
maka karakter BUMDes sesuai dengan ciri-ciri utamanya, prinsip yang
mendasari, mekanisme dan sistem pengelolaanya.
Secara umum pendirian BUMDes dimaksudkan untuk:
a. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (standar pelayanan minimal),
agar berkembang usaha masyarakat di desa.
b. Memberdayakan desa sebagai wilayah yang otonom berkenaan dengan usaha-
usaha produktif bagi upaya pengentasan kemiskinan, pengangguran dan
peningkatan PADes.
53
c. Meningkatkan kemandirian dan kapasitas desa serta masyarakat dalam
melakukan penguatan ekonomi di desa.
e. Prinsip Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa
Prinsip-prinsip pengelolaan BUMDes penting untuk dielaborasi atau diuraikan
agar difahami dan dipersepsikan dengan cara yang sama oleh pemerintah desa,
anggota (penyerta modal), BPD, Pemkab, dan masyarakat. Terdapat 6 (enam)
prinsip dalam mengelola BUMDes yaitu:
1) Kooperatif, Semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes harus mampu
melakukan kerjasama yang baik demi pengembangan dan kelangsungan hidup
usahanya.
2) Partisipatif. Semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes harus bersedia
secara sukarela atau diminta memberikan dukungan dan kontribusi yang dapat
mendorong kemajuan usaha BUMDes.
3) Emansipatif. Semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes harus
diperlakukan sama tanpa memandang golongan, suku, dan agama.
4) Transparan. Aktivitas yang berpengaruh terhadap kepentingan masyarakat
umum harus dapat diketahui oleh segenap lapisan masyarakat dengan mudah
dan terbuka.
5) Akuntabel. Seluruh kegiatan usaha harus dapat dipertanggung jawabkan secara
teknis maupun administratif.
6) Sustainabel. Kegiatan usaha harus dapat dikembangkan dan dilestarikan oleh
masyarakat dalam wadah BUMDes.
54
Terkait dengan implementasi Alokasi Dana Desa (ADD), maka proses penguatan
ekonomi desa melalui BUMDes diharapkan akan lebih berdaya. Hal ini
disebabkan adanya penopang yakni dana anggaran desa yang semakin besar.
Sehingga memungkinkan ketersediaan permodalan yang cukup untuk pendirian
BUMDes. Jika ini berlaku sejalan, maka akan terjadi peningkatan PADesa yang
selanjutnya dapat digunakan untuk kegiatan pembangunan desa. Hal utama yang
penting dalam upaya penguatan ekonomi desa adalah memperkuat kerjasama
(cooperatif), membangun kebersamaan/menjalin kerekatan disemua lapisan
masyarakat desa. Sehingga itu menjadi daya dorong (steam engine) dalam upaya
pengentasan kemiskinan, pengangguran, dan membuka akses pasar. Dalam
pembangunan desa dilakukan uaha yang intensif dengan tujuan dan kecendrungan
memberikan fokus perhatian kepada kelompok maupun daerah tertentu, melalui
penyampaian pelayanan, bantuan dan informasi kepada masyarakat desa.51
arena
masyarakat Desa mempunyai banyak aspek, usaha pembangunan desa bersifat
menyeluruh semestinya juga meliputi keseluruhan aspek tersebut.52
51
Soetomo, Pembangunan Masyarakat, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006) Hlm.159 52
Ibid
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe dan Jenis Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan jenis penelitian normatif-empiris. Penelitian
hukum normatif yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari aspek
teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi,
penjelasan umum dari pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat sesuatu
undang-undang tetapi tidak mengikat aspek terapan dan implementasinya.53
Penelitian empiris adalah penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai
perilaku anggota masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarakat.54
B. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan untuk menjawab permasalahan untuk
mengkaji Fungsi Badan Usaha Milik Desa Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa Berdasarkan UU No 6 Tahun 2014 tentang desa serta masalah-masalah yang
dihadapi di dalamnya.
53
Abdulkadir Muhamad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
hlm. 101 54
Ibid, hlm. 155
56
C. Sumber Data
Data adalah semua informasi yang terkait dengan tujuan penelitian. Data yang
digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan fokus penelitian.55
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat,56
yang
didapatkan melalui observasi dan pengamatan terhadap peristiwa in concreto serta
wawancara dengan masyarakat.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka57
yang
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier
sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer:
1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa;
4) Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang pendirian, pengurusan dan
pengelolaan, dan pembubaran Badan Usaha Milik Desa.
5) Peraturan Desa Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Badan Usaha
Milik Desa ( BUMDes ) Desa Wonomarto Tahun 2016.
2. Bahan Hukum Sekunder, antara lain:
a. Doktrin atau pendapat ahli;
b. Buku-buku dalam lingkup ilmu hukum;
55
Muhammad Idrus, METODE PENELITIAN ILMU SOSIAL. (Yogyakarta:Erlangga,2009). Hlm.
61 56
Soerjono Soekanto. Ibid. Hlm. 12. 57
Loc.cit.
57
c. Jurnal ilmiah dan hasil penelitian baik dalam lingkup ilmu hukum maupun di
luar lingkup ilmu hukum (sejarah, budaya, dan sebagainya); dan
d. Halaman internet dengan author yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Bahan hukum tersier,
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder, misalnya data statistik, kamus hukum, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, dan kamus bahasa daerah.
D. Teknik Pengumpulan Data dan Metode Pengolahan Data dan Bahan
Hukum
a. Teknik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum
Pengumpulan data dilakukan dengan studi kasus terkait Pentingnya Badan Usaha
Milik Desa Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan masalah masalah
yang dihadapi. Kemudian pengumpulan dan bahan hukum dilakukan dengan studi
pustaka yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan
tersier yang relevan dengan permasalahan. Studi pustaka dilakukan melalui tahap-
tahap identifikasi pustaka dan identifikasi bahan hukum yang diperlukan.
b. Metode Pengolahan Data dan Bahan Hukum
Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka pengolahan data dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Identifikasi Data
Indentifikasi Data yaitu mencari dan menetapkan data yang berhubungan dengan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
2) Editing
58
Editing adalah yaitu meneliti kembali data yang diperoleh dari keterangan para
responden maupun dari kepustakaan, hal ini perlu untuk mengetahui apakah data
tersebut sudah cukup dan dapat dilakukan.
3) Klasifikasi Data
Klasifikasi Data yaitu menyusun data yang diperoleh secara sistematis sehingga
data tersebut siap untuk dianalisis.
4) Sistematisasi Data
Sistematisasi Data yaitu penyusunan data secara teratur sehingga dalam data
tersebut dapat dianalisis menurut susunan yang benar dan tepat.
5) Penarikan Kesimpulan
Penarikan Kesimpulan yaitu langkah selanjutnya setelah data telah
tersusun secara sistematis, kemudian dilanjutkan dengan penarikan suatu
kesimpulan yang bersifat umum dan yang bersifat khusus.
c. Metode Perolehan Data Lapangan
Data lapangan dalam penelitian ini didapat dengan melakukan observasi lapangan
serta wawancara dengan responden di Desa Wonomarto. Adapun dalam penelitian
ini, responden berjumlah 10 orang , yang masing-masing mewakili segmen
berbeda dalam struktur Pemerintahan Desa dan Struktur Badan Usaha Milik Desa
di Desa Wonomarto. Kesepuluh responden tersebut yakni:
1. Kepala Desa : Waskito Yusika
2. Ketua BUMDes : Ucuk Samsudin
Anggota BUMDes : Maharani ( Sekretaris BUMDes )
59
E. Analisis Data
Menurut Bogdan, Analisis Data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-
bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan
kepada orang lain. Analisis dilakukan dengan mengorganisasikan data,
menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun, memilih mana
yang penting yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah
dipahami diri sendiri dan orang lain.58
Data yang sudah terkumpul dan tersusun secara sistematis kemudian dianalisis
dengan metode kualitatif, yaitu megungkapkan dan memahami kebenaran
masalah dan pembahasan dengan menafsirkan data yang diperoleh dari hasil
penelitian, lalu data tersebut di uraikan dalam bentuk kalimat- kalimat yang
disusun secara terperinci dan sistematis.59
58
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Cv Alfabeta,2015). Hlm.334-335 59
Ibid
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kedudukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Swadesha Artha Mandiri di desa
Wonomarto, Kecamatan Kotabumi Utara, Kabupaten Lampung Utara, Lampung
dalam upaya meningkatkan perekonomian masyarakat desa. Dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan Desa Nomor
9 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) maka
kedudukan BUMDes baik secara asal usul desa maupun kedudukan dalam
struktur pemerintahan desa Dalam pengelolaannya mencakup beberapa aspek
seperti pengelolaan anggaran dan pembangunan desa yang berdasarkan pada
prakarsa desa dan masyarakat desa. Sehingga kebutuhan desa yang terdiri dari
masyarakat desa dapat dipenuhi oleh pemerintah desa.
Jika dibandingkan BUMDes Swadesha Artha Mandiri yang ada didesa
Wonomarto dengan BUMDes yang ada di Abung Tengah maka lebih unggul
BUMDes Swadesa Artha Mandiri. Jika dilihat dari pendapatan asli desa pertahun
masing masing walaupun lingkupnya berbeda yang satu ada pada tingkat desa
yang satu ada pada tingkat kecamatan akan tetapi BUMDes yang ada didesa
wonomarto memiliki keunggulan lebih karna beberapa faktor yaitu pertama,
BUMDes didesa Wonomarto untuk pengembangan unit wisata desa BUMDes
didesa wonomarto akses jalannya lebih mudah berbeda dengan unit usaha wisata
92
yang dikelola BUMDes abung tengah yang posisinya jauh dari kota. Kedua,
BUMDes yang ada di desa wonomarto lebih banyak unit usaha desanya tidak
hanya mengandalkan wisata akan tetapi ada unit usaha Bank Desa, Pasar Desa,
dan Toko Desa berbeda dengan BUMDes yang ada di abung tengah yang
beberapa desanya hanya memiliki unit usaha dibidang wisata dan pertanian saja.
Jadi BUMDes Swadesa Artha Mandiri yang ada di Desa Wonomarto yang
memiliki PADes sebesar Rp.19.000.000.00,- lebih unggul dari BUMDes yang
ada di abung tengah yang memiliki PADes sebesar Rp. 12.000.000.00,- pertahun.
2. Implikasi yang diberikan dari pembentukan dan pendirian BUMDes Swadesa
Artha Mandiri adalah meningkatnya Pendapatan Asli Desa (PADes) yang
sebelum dibentuk dan didirikannya BUMDes PADes desa Wonomarto hanya
Rp.3.900.000.00,- meningkat menjadi Rp.19.000.000.00,- Pertahun. Tidak hanya
itu implikasi yang diberikan juga terhadap masyarakat desa dimana masyarakat
bisa lebih mandiri, kreatif, dan inovatif dalam pemgembangan ekonomi desa.
Masyarakat sudah tidak lagi susah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
tidak harus jauh-jauh pergi kekota karna di desa pun BUMDes sudah menyiapkan
keperluan tersebut.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka peneliti dapat memberikan saran sebagai
berikut:
1. Pemerintah perlu memberikan pelatihan kepada pengelola BUMDes baik
pemerintah desa maupun pemerintah daerah agar masyarakat yang ada didesa
memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menunjang berkembangnya
93
BUMDes yang dikelola. Dengan memberikan dana hibah sebagai modal usaha
kepada BUMDes.
2. BUMDes Swadesa Artha Mandiri menambah mitra yang dapat melengkapi unit
usaha BUMDes. Semakin banyak mitra yang bekerjasama maka semakin besar
pula peluang keberhasilan BUMDes. Mitra tersebut dapat berupa penanaman
modal dari perusahaan-perusahaan atau bentuk kerjasama dalam membentuk
suatu unit usaha baru.
3. BUMDes Swadesa Artha Mandiri dapat mencari modal yang lainnya, seperti
penyebaran proposal kepada perusahaan-perusahaan, mencari dana hibah dari
perusahaan pemerintah atau swasta. Karena apabila hanya dengan modal dari
penyertaan dana pemerintah desa wonomarto saja akan menyulitkan BUMDes
membagi modal.
4. BUMDes Swadesa Artha Mandiri memiliki website tersendiri untuk memudahkan
proses promosi dan juga masyarakat dapat dengan mudah mengetahui mengenai
berbagai kegiatan BUMDes, memperkenalkan BUMDes secara lebih luas, agar
pengelolaan BUMDes semakin maju mengikuti perkembangan zaman yang
modern ini, adanya transparansi dan memperluas cakupan pemasaran tentunya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Alamsyah Nandang, 2017, Teori dan Praktek kewenangan,Yogyakarta: Pandiva
Buku
Ali Chidir, 2015, Badan Hukum, Alumni, Bandung.
Atmosudirdjo Prajudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 2015. Petunjuk
Bimbingan& Konsultasi Pengelolaan keuangan Desa. Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan
(PKDSP), 2007, Buku Panduan Pendirian dan Pengelolaan Badan
Usaha MIlik Desa (BUMDes). Fakultas Ekonomi: Universitas
Brawijaya.
HR Ridwan, 2013, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: PT.
Raja Gravindo Persada.
Hadisapoetro Soedarsono, 2005, Badan Usaha Unit Desa dan Pembinaannya,
dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi Indonesia Setengah Abad
Terakhir: Buku 3 (1966-1982) Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru,
Yogyakarta: Kanisius.
Helmei Willy Amanda, Strategi Pembangunan Desa dalam Meningkatkan
Pendapatan Asli Desa Melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Universitas Negeri Surabaya.
Huda Ni‟Matul, 2015, Hukum Pemerintahan Desa, Malang: Setara Press.
Idrus Muhammad, 2009, METODE PENELITIAN ILMU SOSIAL.
Yogyakarta:Erlangga.
Kartika Sari Elsi, Advendi Simangunsong, 2008, Hukum Dalam Ekonomi,
Jakarta: Grasindo.
95
Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat Desa. Modul Pegangan Peserta Pelatihan Bagi Pelatih
Menejemen Pemerintah Desa. Carwiaka Wayan, 2013, Pelaksanaan
Otonomi Desa.
Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat Desa. Modul Pegangan Peserta Pelatihan Bagi Pelatih
Menejemen Pemerintah Desa.
Kususma , Gabriela Hanny dan Nurul Purnamasari. 2016, BUMDes: Kewirausaan
Sosial yang Berkelanjutan. Jogjakarta:Penabulu Fundation.
Maryunani, 2008, Pembangunan Bumdes dan Pemerdayaan Pemerintah Desa,
Bandung: CV Pustaka Setia.
M Fuad, et al, 2006, Pengantar Bisnis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
M. Hadjon Philipus, 1997, “tentang Wewenang”, YURIDIKA, No.5&6 Tahun
XII, September – Desember.
Nurcholis Hanif, 2011, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
Jakarta, Erlangga.
Nurmayani, 2009, Hukum Administrasi Daerah, Bandar Lampung: Universitas
Lampung.
R. Ali Rido, 2004, Badan Hukum dan kedudukan Badan Hukum Perseroan,
Perkumpulan, Koperasi, Yayasan dan Wakaf, Bandung: Alumni.
Ridwan Zulkarnain, 2013 ,“Payung Hukum Pembentukan BUMDes,” Fiat Justitia
Jurnal Ilmu Hukum.
_____,2007, Departemen Pendidikan Nasional Pusat Kajian Dinamika Sistem
Pembangunan (Pkdsp), Buku Panduan Pendirian Dan Pengelolaan Badan
Usaha Milik Desa (Bumdes), Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya.
Rudi, 2013, Hukum Pemerintahan Daerah. Bandar Lampung:PKKPUU.
Rozaki Abdur dkk, 2005, Prakarsa Desa dan Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE
PRESS.
Rosalinda Okta LPD, 2014, Pengelolaan Dana Alokasi Desa (ADD) Dalam
Menunjang Pembangunan Pedesaan.
Salim andi Agus, Ganjong, 2007, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan
Hukum, Bogor: Gahalia Indonesia.
96
Safi‟i H.M., 2007, Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah
Persfektif Teoritik. Malang:Averroes Press.
Shadily Hassan, 1989, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: PT.Bina
Aksara.
Soetomo, 2006, Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (1982). Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers.
Soetomo, 2006, Pembangunan Masyarakat, Strategi dan Aksi Percepatan
Pembangunan Daerah. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Samugyo Ibnu Redjo.
Syafrudin Ateng dan Suprin Na‟a, 2010, Republik Desa (Pergulatan Hukum
Tradisional dan Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa),
Bandung : PT. Alumni.
Sugiayanto, 2017, Urgensi dan Kemandirian Desa dalam Presfektif Undang-
Undang No 6 Tahun 2014, Yogyakarta: Deepublish.
Sukrino Didik, 2012, Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa. Malang:Setara
Press.
Sugiyono, 2015, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Cv Alfabeta.
Syafrudin Ateng dan Suprin Na‟a, 2010, Republik Desa (Pergulatan Hukum
Tradisional dan Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa), Bandung :
PT. Alumni.
Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Tim Visi Yustisia, 2015, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
dan Peraturan Terkait, Jakarta :Visimedia.
Tutik Titik Triwulan, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia,
Jakarta : Prestasi Pustaka Karya.
Wasistiono, Sadu, dan tahir, M. Irawan, 2006, Prospek Pengembangan Desa.
Bandung: Fokusmedia.
Widjaja H.A.W, 2003, Otonomi Desa. Jakarta: PT Raja Garafindo Pesada.
Yasir Armen, 2017, Hukum Pemerintahan Desa. Bandar Lampung:Universitas
Lampung.
Zainal, Nining Haslida. 20018, Tugas dan Fungsi. Jakarta:PT Rajawali.
97
Jurnal:
Afriniko, 2015, Politik Hukum Otonomi Desa Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 6 tahun 2014 Tentang desa. Jurnal. JOM Fakultas Hukum.
Pekanbaru.
Haryati Emi, 2015, “Pelan Kepala Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa” ejournal Ilmu Pemerintah, 3 (4), 1914-1927.
Kholmi Masyiah,” Akuntabilitas Pengelolaan Dana Alokasi desa : Study Kaus Di
desa Kedung Betik Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang”, ejornal
Ekonomi Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang. Vol. 07. No.02
Bulan Juni 2016, Hlm. 143-152.
LPD, Okta Rosalinda, 2014, Pengelolaan Dana Alokasi Desa (ADD) Dalam
Menunjang Pembangunan Pedesaan.
Suhana, Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan
Pemerintah, Artikel E-Journal, Tanjung Pinang, 2014,hlm.7.
Suhana, 2014, Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Desa dalam
Penyelenggaraan Pemerintah, Artikel E-Journal, Tanjung Pinang.
Study Kaus Di desa Kedung Betik Kecamatan Kesamben Kabupaten
Jombang”, ejornal Ekonomi Bisnis, Universitas Muhammadiyah
Malang. Vol. 07. No.02.
Yulianita Ana, Analisis Sektor Keunggulan dan Pengeluaran Pemerintah di
Kabupaten Ogan Komering Ilir. Journal of Economic And
Development. Hal: 70-85.
RUU Dan Undang-Undang:
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa.
Permendesa Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Badan Usaha Milik Desa
Peraturan Desa Nomor 9 Tahun 2016
98
Sumber Lainnya:
Detik News, “Tingkatkan Perekonomian Desa, 74 Ribu Desa Bakal Terima Dana
Rp 1,4 Miliar”, www.news.detik.com diakses pada 26 Januari 2019.
Harian Kompas, “Jumlah BUMDes Mencapai 18.446 Unit”,
www.ekonomi.kompas.com diakses pada 26 Januari 2019.
http://www.pengertianahli.com/2014/03/pengertian-ciri-jenis-desa.com diunduh
11 Januari 2019 Pukul 11:02 WIB.
http://www.berdesa.com/informasi-lengkap-tentang-bumdes-yang-harus-anda-
ketahui/. Diakses pada tanggal 28 Februari 2019 jam 17.55 wib.