KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

20
Acara IV KECAP IKAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun Oleh: Nama : Anastasya Gumelar NIM : 13.70.0084 Kelompok : B2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

description

praktikum kecap ikan dimulai pada hari senin 21 setember 2015 dengan asdos Michelle Darmawan, praktikum dimulai pada pukul 15.00 di laboratorium Rekayasa Pangan FTP Unika Soegijapranata. praktikum terakhir pada hari Jumat tanggam 25 Sept 2015 karena proses pembuatan kecap ikan memerlukan fermentasi dengan waktu 4 hari lamanya.

Transcript of KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

Page 1: KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

Acara IV

KECAP IKAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun Oleh:

Nama : Anastasya Gumelar

NIM : 13.70.0084

Kelompok : B2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples, panci, kain

saring, dan pengaduk kayu.

1.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim

papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.

1.2. Metode

1

Tulang dan kepala ikan sebanyak 50 gram dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam toples

Kemudian ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%

Diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Setelah itu ditambahkan 300 ml air dan diaduk

Hasil fermentasi kemudian disaring, lalu filtrat direbus selama 30 menit sampai mendidih (selama perebusan ditambahkan bumbu seperti 50 g bawang putih, 50 g garam, dan 1 butir gula kelapa)

Page 3: KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

2

Setelah mendidih kecap dibiarkan agak dingin, lalu dilakukan penyaringan kedua

Kecap ikan yang telah jadi diamati secara sensoris yang meliputi warna, rasa, dan

Page 4: KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ikan

Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)B1 Enzim papain 0,2% ++ +++ +++ ++ 5,5B2 Enzim papain 0,4% +++++ +++++ +++ +++ 6,0B3 Enzim papain 0,6% +++++ +++++ ++ ++ 5,0B4 Enzim papain 0,8% ++++ ++++ ++ ++ 4,5B5 Enzim papain 1% ++++ ++++ ++ +++ 5,9

Keterangan:Warna : + : tidak coklat gelap++ : kurang coklat gelap +++ : agak coklat gelap ++++ : coklat gelap+++++ : sangat coklat gelapRasa+ : sangat tidak asin++ : kurang asin+++ : agak asin++++ : asin+++++ : sangat asin

Aroma : + : sangat tidak tajam++ : kurang tajam+++ : agak tajam++++ : tajam+++++ : sangat tajam

Penampakan :+ : sangat cair++ : cair+++ : agak kental++++ : kental+++++ : sangat kental

Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa setiap kelompok menambahkan enzim papain yang

memiliki konsentrasi berbeda-beda dalam pembuatan kecap ikan. Pada parameter warna

semua kecap ikan yang dihasilkan memiliki warna agak coklat gelap dan coklat gelap kecuali

pada kelompok B1 yang berwarna kurang coklat gelap. Pada parameter rasa kecap asin yang

memiliki tingkat keasinan paling rendah adalah pada kelompok B1. Aroma yang dihasilkan

untuk semua kelompok sama yaitu kecap ikan dengan aroma yang agak tajam dan tajam.

Salinitas tertinggi ada pada kelompok B2. Sedangkan untuk penampakan kecap asin yang

dihasilkan, kelompok B1, B3 dan B4 menghasilkan kecap asin yang cair. Kelompok B2 dan

B5 menghasilkan kecap asin yang memiliki karakteristik yang agak kental.

3

Page 5: KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

3. PEMBAHASAN

Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan kecap ikan pada kloter B adalah tulang

ikan yang diperoleh dari ikan bawal. Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), kecap ikan

adalah kecap yang dihasilkan dari fermentasi sari ikan atau hasil fermentasi produk

sampingan dari sisa produk pengolahan ikan, dalam praktikum ini digunakan bahan

sampingan dari pembuatan surimi yaitu tulang ikan bawal.

Kecap ikan pada umumnya dapat dibuat dari produk samping pengolahan ikan yang

tidak terpakai. Kecap ikan bisa digunakan sebagai bahan penyedap rasa, biasanya

berwarna coklat serta berwujud cair, pada umumnya sering dimanfaatkan di daerah Asia

Tenggara. Oleh karena itu untuk setiap negara memiliki istilah nama yang berbeda-beda

untuk penyebutan kecap ikan. Jika dibandingkan dengan kecap biasa, kecap ikan

memiliki kelebihan karena memiliki campuran asam amino dan merupakan hasil produk

dari aktivitas degradasi protein (Mueda, 2015).

Selama proses pembuatan kecap ikan dibutuhkan mikroba yang dapat menghasilkan

enzim protease, yang dihasilkan akan bermanfaat untuk mengurangi waktu produksi

serta dapat memaksimalkan produktivitas bahan yang digunakan. Mikroba yang yang

digunakan adalah golongan mikroba yang tahan dalam kondisi garam tinggi (salt

tolerant), sedangkan pada umumnya enzim yang memiliki aktivitas proteolitik tinggi

justru tidak tahan pada kondisi garam tinggi, atau tidak bersifat salt tolerant. Sifat

enzim yang salt tolerant ini sangat penting karena garam dapat menghambat kerja

enzim jika enzim itu tidak tahan terhadap kondisi garam yang tinggi (Sayed, 2010).

Salah satu mikroba penghasil enzim protease yang dapat tahan terhadap garam adalah

Aspergillus oryzae yang sering digunakan dalam pembuatan kecap kedelai (Vietman &

Tran, 2006). Oleh karena itu selama proses pembuatan kecap ikan juga dapat digunakan

bahan alami yang dihasilkan oleh mikroba penghasil protease.

Arbianto (1985) juga menjelaskan bahwa kecap ikan merupakan larutan ekstraksi yang

diperoleh dari proses fermentasi ikan, dan hasil ekstraksi inilah yang nantinya akan

digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kecap. Selama proses fermentasi terjadi

proses penguraian protein yang terkandung dalam ikan menjadi komponen yang lebih

4

Page 6: KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

5

sederhana yaitu peptida dan asam amino. Kualitas dalam pembuatan kecap ikan sangat

ditentukan oleh kualitas ikan yang dijadikan bahan dan kualitas garam yang

ditambahkan saat proses pembuatan kecap ikan.

Prescott dan Dunn’s (1981) menyatakan, garam yang digunakan selama proses

fermentasi berfungsi untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang tidak

diinginkan. Sedangkan Fardiaz (1967) dalam teorinya mengatakan bahwa fungsi

penggunaan garam adalah sebagai penarik air dan jaringan dari ikan serta

menghilangkan mikroba yang tidak bermanfaat untuk proses fermentasi sehingga hanya

mikroba-mikroba yang berguna dalam fermentasi sajalah yang dapat hidup.

Kecap ikan memiliki aroma yang khas, yang disebabkan karena adanya asam lemak

rantai pendek, sedangkan aroma yang hampir mirip dengan ammonia dapat dikarenkan

adanya senyawa amida atau amina yang dihasilkan oleh asam glutamat. Sebenarnya

penilaian kualitas kecap ikan yang dihasilkan berdasarkan kandungan protein yang

terkandung dalam kecap ikan tersebut. Sedangkan rasa, aroma, dan warna merupakan

penilaian yang didasarkan oleh selera dari tiap konsumen dan sangat tergantung pada

bumbu yang ditambahkan selama pembuatan kecap ikan, namun rasa, aroma, dan warna

dari kecap ikan dapat berperan penting karena sangat mempengaruhi tingkat kesukaan

atau penerimaan konsumen terhadap suatu produk kecap ikan yang ada (Dougan dan

Howard, 1975). Selama proses fermentasi berlangsung terjadi reaksi-reaksi biodegradasi

dari jaringan ikat yang ada sehingga terbentuk senyawa-senyawa yang memiliki berat

molekul yang rendah. Hal ini disebabkan karena adanya aktivitas enzimatis yang

dihasilkan oleh mikroba yang ada (Leon, 1979).

Pada praktikum ini pembuatan kecap ikan diawali dengan pemisahan bagian daging

ikan bawal dengan tulang dan ekor ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan

kecap ikan. Afrianto & Liviawaty (1989) menyatakan bahwa ikan yang baik digunakan

sebagai bahan dasar sebaiknya masih segar, sehingga dapat menghasilkan kecap ikan

dengan kualitas yang baik pula. Pada praktikum ini fermentasi dilakukan secara

enzimatis, yaitu dengan bantuan enzim papain. Kecap ikan dapat dibuat secara

tradisional yaitu melalui proses fermentasi, namun cara fermentasi ini membutuhkan

waktu yang lebih lama. Oleh karena itu dikembangkan pembuatan kecap ikan secara

Page 7: KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

6

enzimatis yang membutuhkan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan proses

fermentasi secara tradisional (Karim dan Hassan, 1987). Untuk mendapatkan kecap ikan

dengan waktu yang lebih singkat, maka penting melakukan penambahan enzim dalam

proses pembuatan kecap ikan. Pada praktikum kali ini, enzim yang digunakan adalah

enzim papain. Menurut Daryono dan Muhidin (1974) papain merupakan endopeptidase

yang memiliki kestabilan yang lebih baik jika dibandingkan dengan enzim protease

lainnya. Enzim papain relatif lebih tahan terhadap suhu tinggi, pelarut organik, dan

reagen yang dapat mendenaturasi enzim. Enzim papain stabil pada pH 5 dan mulai

mengalami kerusakan jika berada pada pH kurang dari 3 atau lebih dari 11.

Pembuatan kecap ikan dilakukan dengan mengambil bagian tulang, kepala, dan ekor

ikan kemudian dihaluskan dan diambil sebanyak ± 50 gram. Menurut Lay (1994)

penghalusan bahan dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah proses pencampuran

dengan bahan-bahan lain sehingga dapat membentuk adonan yang homogen. Adonan

yang sudah halus lalu dimasukkan ke dalam toples dan ditambahkan enzim papain

dengan konsentrasi berbeda-beda pada masing-masing kelompok untuk mendapatkan

perbandingan hasil (kelompok B1 = 0,2% ; kelompok B2 = 0,4%; kelompok B3 =

0,6%; kelompok B4 = 0,8% dan kelompok B5 = 1%). Lay (1994) juga mengatakan

bahwa enzim papain adalah golongan enzim protease yang dapat memecah ikatan

peptida pada substrat dalam kondisi tertentu. Proses hidrolisis yang berlangsung akan

memecah ikatan peptida yang panjang, karena itu proses fermentasi kecap dapat

berlangsung dalam waktu yang lebih singkat. Selain dapat mempercepat proses

pemecahan protein, enzim papain juga dapat mempertajam rasa pada kecap ikan yang

dihasilkan serta dapat meningkatkan nilai protein pada kecap ikan yang dihasilkan.

Oleh karena itu penggunaan enzim papain ini sudah sesuai karena dapat mempercepat

proses fermentasi kecap dan menghasilkan kecap dengan kualitas yang baik (Afrianto &

Liviawaty, 1989).

Lalu proses pembuatan kecap ikan dilanjutkan dengan inkubasi selama 4 hari dalam

kondisi toples yang tertutup rapat, lalu setelah diinkubasi 3 hari toples dibuka dan

adonan ditambah air sebanyak 250 ml lalu diaduk dan disaring dengan menggunakan

kain saring dan diambil cairannya (ekstrak). Fukada et. al. (2014), menjelaskan bahwa

Page 8: KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

7

selama penyimpanan, enzim yang ada akan secara perlahan-lahan menghidrolisa protein

ikan. Moeljanto (1992) juga menambahkan, proses katabolisme yang terjadi selama

fermentasi kecap ikan akan menguraikan senyawa-senyawa kompleks yang terkandung

pada jaringan ikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana karena adanya

bantuan enzim protease atau dari mikroorganisme sehingga selama 4 hari diinkubasi

akan terbentuk warna, aroma dan rasa yang berbeda dibandingkan sebelum diinkubasi.

Penyaringan menggunakan kain saring bertujuan untuk memisahkan cairan

(filtrat/ekstrak) yang terbentuk dari hasil fermentasi dengan padatan atau kotoran.

Filtrat tersebut kemudian dididihkan lalu ditambahkan bumbu yang telah dicincang

halus, setelah itu dilakukan pengamatan secara sensori yang meliputi warna, aroma, rasa

serta penampakan dan juga dilakukan uji untuk mengetahui tingkat salinitas dengan

menggunakan alat hand refractometer. Dalam pernyataannya Fachruddin (1997)

mengatakan bahwa bawang putih dapat memperpanjang umur simpan dari kecap ikan

karena terdapat senyawa allicin yang mampu membunuh bakteri dan karena sifat

antimikroba yang dimiliki oleh bawang putih. Gula jawa sendiri berfungsi untuk

memberikan flavor yang spesifik pada kecap ikan serta memberikan warna coklat

karamel pada kecap dan juga akan dapat meningkatkan viskositas secara umum

(Kasmidjo, 1990). Sedangkan fungsi penambahan garam sendiri adalah bertujuan untuk

memberikan efek preservasi atau pengawetan karena garam dapat menurunkan aw

(water activity) dan juga menurunkan kelarutan oksigen sehingga dapat menyeleksi

keberadaan mikroorganisme. Garam dapat mengganggu keseimbangan ionik sel karena

terjadinya peningkatan proton dalam sel. Sel dari mikroorganisme harus mengeluarkan

energi yang lebih banyak untuk mengkompensasi aliran proton yang disebabkan oleh

keberadaan garam, sehingga pertumbuhan sel dapat terhambat (Tanasupawat et. al.,

2008). Selain itu, garam juga dapat mempengaruhi karakteristik sensori dari kecap ikan

terutama rasa karena garam akan membuat kecap ikan lebih terasa asin (Astawan &

Astawan, 1988). Lee (2014), berpendapat bahwa untuk mengukur padatan terlarut maka

dapat menggunakan alat hand refractometer yang terukuran dengan satuan obrix (derajat

brix). Brix sendiri memiliki pengertian zat padat yang terlarut (satuan gram) setiap 100

gram larutan. Brix pada praktikum ini digunakan untuk mengukur salinitas (kadar

garam) pada kecap ikan. Pengujian dilakukan dengan cara mengencerkan 1 ml kecap

Page 9: KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

8

ikan yang dihasilkan dengan 9 ml aquades kemudian campuran tersebut diteteskan pada

hand refractometer dan diamati skala yang ada. Salinitas dari kecap ikan yang

dihasilkan dinyatakan dalam persen (%) dengan perhitungan sebagai berikut :

Salinitas (% )=hasil pengukuran1000

x 100 %

Berdasarkan hasil praktikum, dapat dilihat bahwa tiap kelompok memberikan perlakuan

berbeda pada masing-masing bahan. Kelompok 1 memberi penambahan enzim papain

sebesar 0,2%, kelompok 2 menambahkan enzim papain sebesar 0,4%, kelompok 3

menambahkan enzim papain sebesar 0,6%, kelompok 4 menambahkan enzim papain

sebesar 0,8% dan kelompok 5 menambahkan enzim papain sebesar 1%. Dengan adanya

perlakuan yang berbeda tersebut, produk kecap ikan yang dihasilkan pun memiliki

perbedaan sifat dari segi sensoris maupun salinitasnya.

Dari hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa warna yang dihasilkan pada setiap

kelompok rata-rata berwarna kurang coklat gelap. Rasa yang dihasilkan yaitu berkisar

dari agak asin hingga sangat asin dan tentunya akan mempengaruhi obrix yang

dihasilkan. Pada kelompok B2 dan B3 terlihat nilai obrix tertinggi dan hal tersebut

terkait dengan rasa asin yang ternyata paling asin (sangat asin) dibandingkan dengan

kelompok lainnya. Namun pada kelompok B1, B4 dan 5 nilai salinitas yang dihasilkan

tidak sebanding dengan tingkat keasinan yang ada. Seharusnya semakin tinggi nilai

salinitas maka semakin asin rasa kecap ikan yang dihasilkan. Ketidaksesuaian ini dapat

dikarenakan penilaian panelis yang bersifat subjektif berkaitan dengan indera perasanya.

Rasa asin yang muncul pada kecap ikan biasanya berasal dari enzim papain dengan

konsentrasi tinggi sehingga mengakibatkan lebih banyak protein yang terurai menjadi

peptida, pepton serta asam amino lain yang dapat menimbulkan rasa asin pada kecap

ikan. Rasa kecap ikan yang khas dikarenakan adanya asam glutamat yang berasal dari

hidrolisa protein. Seharusnya semakin banyak enzim papain yang digunakan maka

senyawa turunan protein yang dihasilkan akan semakin menimbulkan rasa dan flavor

kuat (Astawan & Astawan, 1988).

Sedangkan untuk penampakan kecap asin yang dihasilkan berkisar dari cair hingga agak

kental. Menurut Sayed (2010), jurrnal kecap ikan pada umumnya memiliki penampakan

Page 10: KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

9

yang encer/sangat cair. Jika dibandingkan teori dengan hasil pengamatan yang ada

maka, semua kelompok belum sesuai dengan teori yang ada hal ini dapat terjadi karena

perbedaan cara pengadukan selama pemasakan, penyaringan, dan terlalu banyak bumbu

yang ditambahkan.

Page 11: KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

4. KESIMPULAN

Kecap ikan dapat dibuat dengan bantuan enzim protease untuk mengurangi waktu

produksi serta meningkatkan produktivitas bahan (fermentasi kecap ikan secara

enzimatis).

Kualitas kecap ikan yang dihasilkan ditentukan oleh kualitas ikan, kualitas garam,

dan kualitas bumbu yang digunakan.

Penghalusan bahan bertujuan untuk mempermudah proses pencampuran dengan

bahan-bahan lain sehingga dapat membentuk adonan yang homogen.

Enzim papain adalah golongan enzim protease yang dapat memecah ikatan

peptida pada substrat dalam kondisi tertentu dan dapat meningkatkan nilai protein

yang terkandung dalam kecap ikan yang dihasilkan..

Penyaringan dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan filtrat yang terbentuk

dari hasil fermentasi dengan padatan atau kotoran.

Gula jawa berperan dalam memberikan flavor spesifik pada kecap asin dan

menyebabkan warna kecap menjadi coklat karamel serta meningkatkan viskositas.

Garam dapat memberi efek pengawetan karena dapat menurunkan aw (water

activity).

Derajat brix yang terbaca pada hand refractometer digunakan untuk mengukur

salinitas (kadar garam) pada kecap ikan.

Semakin banyak konsentrasi enzim papain yang digunakan maka kecap asin yang

dihasilkan akan semakin memiliki rasa dan aroma yang kuat.

Semarang, 29 September 2014

Praktikan, Asisten Dosen

- Michelle Darmawan

Anastasya Gumelar

(13.70.0084)

10

Page 12: KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E dan Liviawaty, W. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Dougan, J and G. G. Howard. 1975. Some Flavoring Constituents of Fermented Fish Sauce. Journal of Food Agriculture. 26 : 887-894.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Fardiaz, S. (1976). Pengaruh Penggaraman Pembuatan Ikan Peda. Bulletin Teknologi Hasil Pertanian. 16 : 9.

Fukuda, Tsubasa; Manabu Furushita; Tsuneo Shiba dan Kazuki Harada. (2014). Fish Fermented Technology by Filamentous Fungi. Journal of National Fisheries University, 62 (4) 163-169.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lee, Jung Min; Dong Chul Lee dan Sang Moo Kim. (2013). The Effects of Koji and Histidine on The Formation of Histamine in Anchovy Sauce and The Growth Inhibitor of Histamine Degrading Bacteria with Preservative. American Journal of Advanced Food Science and Technology. 2013, 1: 25-36.

Leon, S. Y. (1979). Tropical food in the far east, Di dalam G. E. Tuglett dan G. Chara Lambaous. Chemistry and Nutrition. Vol 2. Academic Press, New York.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Mueda, Rose T. (2015). Physico-Chemical and Color Characteristics of Salt-Fermented Fish Sauce from Anchovy Stolephorus commersonii. ACCL, Bioflux, 2015, Vol 8, Issue 4.

Prescott dan Dunn’s. 1981. Industrial Microbiology. MCGraw Hill Book Company, New York.

Tanasupawat, Somboon; Sirilak Namwong; Takuji Kudo dan Takasshi Itoh. (2008). Identification of Halophilic Bacteria from Fish Sauce (Nam-Pla) in Thailand. Journal of Culture Collections. Vol 6, 2008-2009, pp. 69-75.

Vietman, L. V. and Tran Thi Anh Tuyet. (2006). Characterization of Protease From Aspergillus Oryzae Surface Culture and Application In Fish Sauce Processing. Department of Food Technology, University of Technology, VNU-HCM.

11

Page 13: KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus:Salinitas (% )=hasil pengukuran1000

x 100 %

Kelompok B1

Hasil pengukuran = 30

Salinitas (% )= 551000

x100 %=5,5 %

Kelompok B2

Hasil pengukuran = 60

Salinitas (% )= 601000

x100 %=6,0 %

Kelompok B3

Hasil pengukuran = 50

Salinitas (% )= 501000

x100 %=5,0 %

Kelompok B4

Hasil pengukuran = 45

Salinitas (% )= 451000

x100 %=4,5 %

Kelompok B5

Hasil pengukuran = 59

Salinitas (% )= 591000

x100 %=5,9 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal

12