KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata
description
Transcript of KecapIkan_Anastasya_13700084_B2_UnikaSoegijapranata
Acara IV
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun Oleh:
Nama : Anastasya Gumelar
NIM : 13.70.0084
Kelompok : B2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples, panci, kain
saring, dan pengaduk kayu.
1.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim
papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.
1.2. Metode
1
Tulang dan kepala ikan sebanyak 50 gram dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam toples
Kemudian ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%
Diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari
Setelah itu ditambahkan 300 ml air dan diaduk
Hasil fermentasi kemudian disaring, lalu filtrat direbus selama 30 menit sampai mendidih (selama perebusan ditambahkan bumbu seperti 50 g bawang putih, 50 g garam, dan 1 butir gula kelapa)
2
Setelah mendidih kecap dibiarkan agak dingin, lalu dilakukan penyaringan kedua
Kecap ikan yang telah jadi diamati secara sensoris yang meliputi warna, rasa, dan
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ikan
Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)B1 Enzim papain 0,2% ++ +++ +++ ++ 5,5B2 Enzim papain 0,4% +++++ +++++ +++ +++ 6,0B3 Enzim papain 0,6% +++++ +++++ ++ ++ 5,0B4 Enzim papain 0,8% ++++ ++++ ++ ++ 4,5B5 Enzim papain 1% ++++ ++++ ++ +++ 5,9
Keterangan:Warna : + : tidak coklat gelap++ : kurang coklat gelap +++ : agak coklat gelap ++++ : coklat gelap+++++ : sangat coklat gelapRasa+ : sangat tidak asin++ : kurang asin+++ : agak asin++++ : asin+++++ : sangat asin
Aroma : + : sangat tidak tajam++ : kurang tajam+++ : agak tajam++++ : tajam+++++ : sangat tajam
Penampakan :+ : sangat cair++ : cair+++ : agak kental++++ : kental+++++ : sangat kental
Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa setiap kelompok menambahkan enzim papain yang
memiliki konsentrasi berbeda-beda dalam pembuatan kecap ikan. Pada parameter warna
semua kecap ikan yang dihasilkan memiliki warna agak coklat gelap dan coklat gelap kecuali
pada kelompok B1 yang berwarna kurang coklat gelap. Pada parameter rasa kecap asin yang
memiliki tingkat keasinan paling rendah adalah pada kelompok B1. Aroma yang dihasilkan
untuk semua kelompok sama yaitu kecap ikan dengan aroma yang agak tajam dan tajam.
Salinitas tertinggi ada pada kelompok B2. Sedangkan untuk penampakan kecap asin yang
dihasilkan, kelompok B1, B3 dan B4 menghasilkan kecap asin yang cair. Kelompok B2 dan
B5 menghasilkan kecap asin yang memiliki karakteristik yang agak kental.
3
3. PEMBAHASAN
Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan kecap ikan pada kloter B adalah tulang
ikan yang diperoleh dari ikan bawal. Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), kecap ikan
adalah kecap yang dihasilkan dari fermentasi sari ikan atau hasil fermentasi produk
sampingan dari sisa produk pengolahan ikan, dalam praktikum ini digunakan bahan
sampingan dari pembuatan surimi yaitu tulang ikan bawal.
Kecap ikan pada umumnya dapat dibuat dari produk samping pengolahan ikan yang
tidak terpakai. Kecap ikan bisa digunakan sebagai bahan penyedap rasa, biasanya
berwarna coklat serta berwujud cair, pada umumnya sering dimanfaatkan di daerah Asia
Tenggara. Oleh karena itu untuk setiap negara memiliki istilah nama yang berbeda-beda
untuk penyebutan kecap ikan. Jika dibandingkan dengan kecap biasa, kecap ikan
memiliki kelebihan karena memiliki campuran asam amino dan merupakan hasil produk
dari aktivitas degradasi protein (Mueda, 2015).
Selama proses pembuatan kecap ikan dibutuhkan mikroba yang dapat menghasilkan
enzim protease, yang dihasilkan akan bermanfaat untuk mengurangi waktu produksi
serta dapat memaksimalkan produktivitas bahan yang digunakan. Mikroba yang yang
digunakan adalah golongan mikroba yang tahan dalam kondisi garam tinggi (salt
tolerant), sedangkan pada umumnya enzim yang memiliki aktivitas proteolitik tinggi
justru tidak tahan pada kondisi garam tinggi, atau tidak bersifat salt tolerant. Sifat
enzim yang salt tolerant ini sangat penting karena garam dapat menghambat kerja
enzim jika enzim itu tidak tahan terhadap kondisi garam yang tinggi (Sayed, 2010).
Salah satu mikroba penghasil enzim protease yang dapat tahan terhadap garam adalah
Aspergillus oryzae yang sering digunakan dalam pembuatan kecap kedelai (Vietman &
Tran, 2006). Oleh karena itu selama proses pembuatan kecap ikan juga dapat digunakan
bahan alami yang dihasilkan oleh mikroba penghasil protease.
Arbianto (1985) juga menjelaskan bahwa kecap ikan merupakan larutan ekstraksi yang
diperoleh dari proses fermentasi ikan, dan hasil ekstraksi inilah yang nantinya akan
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kecap. Selama proses fermentasi terjadi
proses penguraian protein yang terkandung dalam ikan menjadi komponen yang lebih
4
5
sederhana yaitu peptida dan asam amino. Kualitas dalam pembuatan kecap ikan sangat
ditentukan oleh kualitas ikan yang dijadikan bahan dan kualitas garam yang
ditambahkan saat proses pembuatan kecap ikan.
Prescott dan Dunn’s (1981) menyatakan, garam yang digunakan selama proses
fermentasi berfungsi untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang tidak
diinginkan. Sedangkan Fardiaz (1967) dalam teorinya mengatakan bahwa fungsi
penggunaan garam adalah sebagai penarik air dan jaringan dari ikan serta
menghilangkan mikroba yang tidak bermanfaat untuk proses fermentasi sehingga hanya
mikroba-mikroba yang berguna dalam fermentasi sajalah yang dapat hidup.
Kecap ikan memiliki aroma yang khas, yang disebabkan karena adanya asam lemak
rantai pendek, sedangkan aroma yang hampir mirip dengan ammonia dapat dikarenkan
adanya senyawa amida atau amina yang dihasilkan oleh asam glutamat. Sebenarnya
penilaian kualitas kecap ikan yang dihasilkan berdasarkan kandungan protein yang
terkandung dalam kecap ikan tersebut. Sedangkan rasa, aroma, dan warna merupakan
penilaian yang didasarkan oleh selera dari tiap konsumen dan sangat tergantung pada
bumbu yang ditambahkan selama pembuatan kecap ikan, namun rasa, aroma, dan warna
dari kecap ikan dapat berperan penting karena sangat mempengaruhi tingkat kesukaan
atau penerimaan konsumen terhadap suatu produk kecap ikan yang ada (Dougan dan
Howard, 1975). Selama proses fermentasi berlangsung terjadi reaksi-reaksi biodegradasi
dari jaringan ikat yang ada sehingga terbentuk senyawa-senyawa yang memiliki berat
molekul yang rendah. Hal ini disebabkan karena adanya aktivitas enzimatis yang
dihasilkan oleh mikroba yang ada (Leon, 1979).
Pada praktikum ini pembuatan kecap ikan diawali dengan pemisahan bagian daging
ikan bawal dengan tulang dan ekor ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan
kecap ikan. Afrianto & Liviawaty (1989) menyatakan bahwa ikan yang baik digunakan
sebagai bahan dasar sebaiknya masih segar, sehingga dapat menghasilkan kecap ikan
dengan kualitas yang baik pula. Pada praktikum ini fermentasi dilakukan secara
enzimatis, yaitu dengan bantuan enzim papain. Kecap ikan dapat dibuat secara
tradisional yaitu melalui proses fermentasi, namun cara fermentasi ini membutuhkan
waktu yang lebih lama. Oleh karena itu dikembangkan pembuatan kecap ikan secara
6
enzimatis yang membutuhkan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan proses
fermentasi secara tradisional (Karim dan Hassan, 1987). Untuk mendapatkan kecap ikan
dengan waktu yang lebih singkat, maka penting melakukan penambahan enzim dalam
proses pembuatan kecap ikan. Pada praktikum kali ini, enzim yang digunakan adalah
enzim papain. Menurut Daryono dan Muhidin (1974) papain merupakan endopeptidase
yang memiliki kestabilan yang lebih baik jika dibandingkan dengan enzim protease
lainnya. Enzim papain relatif lebih tahan terhadap suhu tinggi, pelarut organik, dan
reagen yang dapat mendenaturasi enzim. Enzim papain stabil pada pH 5 dan mulai
mengalami kerusakan jika berada pada pH kurang dari 3 atau lebih dari 11.
Pembuatan kecap ikan dilakukan dengan mengambil bagian tulang, kepala, dan ekor
ikan kemudian dihaluskan dan diambil sebanyak ± 50 gram. Menurut Lay (1994)
penghalusan bahan dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah proses pencampuran
dengan bahan-bahan lain sehingga dapat membentuk adonan yang homogen. Adonan
yang sudah halus lalu dimasukkan ke dalam toples dan ditambahkan enzim papain
dengan konsentrasi berbeda-beda pada masing-masing kelompok untuk mendapatkan
perbandingan hasil (kelompok B1 = 0,2% ; kelompok B2 = 0,4%; kelompok B3 =
0,6%; kelompok B4 = 0,8% dan kelompok B5 = 1%). Lay (1994) juga mengatakan
bahwa enzim papain adalah golongan enzim protease yang dapat memecah ikatan
peptida pada substrat dalam kondisi tertentu. Proses hidrolisis yang berlangsung akan
memecah ikatan peptida yang panjang, karena itu proses fermentasi kecap dapat
berlangsung dalam waktu yang lebih singkat. Selain dapat mempercepat proses
pemecahan protein, enzim papain juga dapat mempertajam rasa pada kecap ikan yang
dihasilkan serta dapat meningkatkan nilai protein pada kecap ikan yang dihasilkan.
Oleh karena itu penggunaan enzim papain ini sudah sesuai karena dapat mempercepat
proses fermentasi kecap dan menghasilkan kecap dengan kualitas yang baik (Afrianto &
Liviawaty, 1989).
Lalu proses pembuatan kecap ikan dilanjutkan dengan inkubasi selama 4 hari dalam
kondisi toples yang tertutup rapat, lalu setelah diinkubasi 3 hari toples dibuka dan
adonan ditambah air sebanyak 250 ml lalu diaduk dan disaring dengan menggunakan
kain saring dan diambil cairannya (ekstrak). Fukada et. al. (2014), menjelaskan bahwa
7
selama penyimpanan, enzim yang ada akan secara perlahan-lahan menghidrolisa protein
ikan. Moeljanto (1992) juga menambahkan, proses katabolisme yang terjadi selama
fermentasi kecap ikan akan menguraikan senyawa-senyawa kompleks yang terkandung
pada jaringan ikan menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana karena adanya
bantuan enzim protease atau dari mikroorganisme sehingga selama 4 hari diinkubasi
akan terbentuk warna, aroma dan rasa yang berbeda dibandingkan sebelum diinkubasi.
Penyaringan menggunakan kain saring bertujuan untuk memisahkan cairan
(filtrat/ekstrak) yang terbentuk dari hasil fermentasi dengan padatan atau kotoran.
Filtrat tersebut kemudian dididihkan lalu ditambahkan bumbu yang telah dicincang
halus, setelah itu dilakukan pengamatan secara sensori yang meliputi warna, aroma, rasa
serta penampakan dan juga dilakukan uji untuk mengetahui tingkat salinitas dengan
menggunakan alat hand refractometer. Dalam pernyataannya Fachruddin (1997)
mengatakan bahwa bawang putih dapat memperpanjang umur simpan dari kecap ikan
karena terdapat senyawa allicin yang mampu membunuh bakteri dan karena sifat
antimikroba yang dimiliki oleh bawang putih. Gula jawa sendiri berfungsi untuk
memberikan flavor yang spesifik pada kecap ikan serta memberikan warna coklat
karamel pada kecap dan juga akan dapat meningkatkan viskositas secara umum
(Kasmidjo, 1990). Sedangkan fungsi penambahan garam sendiri adalah bertujuan untuk
memberikan efek preservasi atau pengawetan karena garam dapat menurunkan aw
(water activity) dan juga menurunkan kelarutan oksigen sehingga dapat menyeleksi
keberadaan mikroorganisme. Garam dapat mengganggu keseimbangan ionik sel karena
terjadinya peningkatan proton dalam sel. Sel dari mikroorganisme harus mengeluarkan
energi yang lebih banyak untuk mengkompensasi aliran proton yang disebabkan oleh
keberadaan garam, sehingga pertumbuhan sel dapat terhambat (Tanasupawat et. al.,
2008). Selain itu, garam juga dapat mempengaruhi karakteristik sensori dari kecap ikan
terutama rasa karena garam akan membuat kecap ikan lebih terasa asin (Astawan &
Astawan, 1988). Lee (2014), berpendapat bahwa untuk mengukur padatan terlarut maka
dapat menggunakan alat hand refractometer yang terukuran dengan satuan obrix (derajat
brix). Brix sendiri memiliki pengertian zat padat yang terlarut (satuan gram) setiap 100
gram larutan. Brix pada praktikum ini digunakan untuk mengukur salinitas (kadar
garam) pada kecap ikan. Pengujian dilakukan dengan cara mengencerkan 1 ml kecap
8
ikan yang dihasilkan dengan 9 ml aquades kemudian campuran tersebut diteteskan pada
hand refractometer dan diamati skala yang ada. Salinitas dari kecap ikan yang
dihasilkan dinyatakan dalam persen (%) dengan perhitungan sebagai berikut :
Salinitas (% )=hasil pengukuran1000
x 100 %
Berdasarkan hasil praktikum, dapat dilihat bahwa tiap kelompok memberikan perlakuan
berbeda pada masing-masing bahan. Kelompok 1 memberi penambahan enzim papain
sebesar 0,2%, kelompok 2 menambahkan enzim papain sebesar 0,4%, kelompok 3
menambahkan enzim papain sebesar 0,6%, kelompok 4 menambahkan enzim papain
sebesar 0,8% dan kelompok 5 menambahkan enzim papain sebesar 1%. Dengan adanya
perlakuan yang berbeda tersebut, produk kecap ikan yang dihasilkan pun memiliki
perbedaan sifat dari segi sensoris maupun salinitasnya.
Dari hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa warna yang dihasilkan pada setiap
kelompok rata-rata berwarna kurang coklat gelap. Rasa yang dihasilkan yaitu berkisar
dari agak asin hingga sangat asin dan tentunya akan mempengaruhi obrix yang
dihasilkan. Pada kelompok B2 dan B3 terlihat nilai obrix tertinggi dan hal tersebut
terkait dengan rasa asin yang ternyata paling asin (sangat asin) dibandingkan dengan
kelompok lainnya. Namun pada kelompok B1, B4 dan 5 nilai salinitas yang dihasilkan
tidak sebanding dengan tingkat keasinan yang ada. Seharusnya semakin tinggi nilai
salinitas maka semakin asin rasa kecap ikan yang dihasilkan. Ketidaksesuaian ini dapat
dikarenakan penilaian panelis yang bersifat subjektif berkaitan dengan indera perasanya.
Rasa asin yang muncul pada kecap ikan biasanya berasal dari enzim papain dengan
konsentrasi tinggi sehingga mengakibatkan lebih banyak protein yang terurai menjadi
peptida, pepton serta asam amino lain yang dapat menimbulkan rasa asin pada kecap
ikan. Rasa kecap ikan yang khas dikarenakan adanya asam glutamat yang berasal dari
hidrolisa protein. Seharusnya semakin banyak enzim papain yang digunakan maka
senyawa turunan protein yang dihasilkan akan semakin menimbulkan rasa dan flavor
kuat (Astawan & Astawan, 1988).
Sedangkan untuk penampakan kecap asin yang dihasilkan berkisar dari cair hingga agak
kental. Menurut Sayed (2010), jurrnal kecap ikan pada umumnya memiliki penampakan
9
yang encer/sangat cair. Jika dibandingkan teori dengan hasil pengamatan yang ada
maka, semua kelompok belum sesuai dengan teori yang ada hal ini dapat terjadi karena
perbedaan cara pengadukan selama pemasakan, penyaringan, dan terlalu banyak bumbu
yang ditambahkan.
4. KESIMPULAN
Kecap ikan dapat dibuat dengan bantuan enzim protease untuk mengurangi waktu
produksi serta meningkatkan produktivitas bahan (fermentasi kecap ikan secara
enzimatis).
Kualitas kecap ikan yang dihasilkan ditentukan oleh kualitas ikan, kualitas garam,
dan kualitas bumbu yang digunakan.
Penghalusan bahan bertujuan untuk mempermudah proses pencampuran dengan
bahan-bahan lain sehingga dapat membentuk adonan yang homogen.
Enzim papain adalah golongan enzim protease yang dapat memecah ikatan
peptida pada substrat dalam kondisi tertentu dan dapat meningkatkan nilai protein
yang terkandung dalam kecap ikan yang dihasilkan..
Penyaringan dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan filtrat yang terbentuk
dari hasil fermentasi dengan padatan atau kotoran.
Gula jawa berperan dalam memberikan flavor spesifik pada kecap asin dan
menyebabkan warna kecap menjadi coklat karamel serta meningkatkan viskositas.
Garam dapat memberi efek pengawetan karena dapat menurunkan aw (water
activity).
Derajat brix yang terbaca pada hand refractometer digunakan untuk mengukur
salinitas (kadar garam) pada kecap ikan.
Semakin banyak konsentrasi enzim papain yang digunakan maka kecap asin yang
dihasilkan akan semakin memiliki rasa dan aroma yang kuat.
Semarang, 29 September 2014
Praktikan, Asisten Dosen
- Michelle Darmawan
Anastasya Gumelar
(13.70.0084)
10
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E dan Liviawaty, W. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.
Dougan, J and G. G. Howard. 1975. Some Flavoring Constituents of Fermented Fish Sauce. Journal of Food Agriculture. 26 : 887-894.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.
Fardiaz, S. (1976). Pengaruh Penggaraman Pembuatan Ikan Peda. Bulletin Teknologi Hasil Pertanian. 16 : 9.
Fukuda, Tsubasa; Manabu Furushita; Tsuneo Shiba dan Kazuki Harada. (2014). Fish Fermented Technology by Filamentous Fungi. Journal of National Fisheries University, 62 (4) 163-169.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lee, Jung Min; Dong Chul Lee dan Sang Moo Kim. (2013). The Effects of Koji and Histidine on The Formation of Histamine in Anchovy Sauce and The Growth Inhibitor of Histamine Degrading Bacteria with Preservative. American Journal of Advanced Food Science and Technology. 2013, 1: 25-36.
Leon, S. Y. (1979). Tropical food in the far east, Di dalam G. E. Tuglett dan G. Chara Lambaous. Chemistry and Nutrition. Vol 2. Academic Press, New York.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mueda, Rose T. (2015). Physico-Chemical and Color Characteristics of Salt-Fermented Fish Sauce from Anchovy Stolephorus commersonii. ACCL, Bioflux, 2015, Vol 8, Issue 4.
Prescott dan Dunn’s. 1981. Industrial Microbiology. MCGraw Hill Book Company, New York.
Tanasupawat, Somboon; Sirilak Namwong; Takuji Kudo dan Takasshi Itoh. (2008). Identification of Halophilic Bacteria from Fish Sauce (Nam-Pla) in Thailand. Journal of Culture Collections. Vol 6, 2008-2009, pp. 69-75.
Vietman, L. V. and Tran Thi Anh Tuyet. (2006). Characterization of Protease From Aspergillus Oryzae Surface Culture and Application In Fish Sauce Processing. Department of Food Technology, University of Technology, VNU-HCM.
11
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:Salinitas (% )=hasil pengukuran1000
x 100 %
Kelompok B1
Hasil pengukuran = 30
Salinitas (% )= 551000
x100 %=5,5 %
Kelompok B2
Hasil pengukuran = 60
Salinitas (% )= 601000
x100 %=6,0 %
Kelompok B3
Hasil pengukuran = 50
Salinitas (% )= 501000
x100 %=5,0 %
Kelompok B4
Hasil pengukuran = 45
Salinitas (% )= 451000
x100 %=4,5 %
Kelompok B5
Hasil pengukuran = 59
Salinitas (% )= 591000
x100 %=5,9 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
12