Kebutuhan Spiritual Pada Pasien Kanker...kritis, seperti kanker, pasien memunculkan kebutuhan yang...
Transcript of Kebutuhan Spiritual Pada Pasien Kanker...kritis, seperti kanker, pasien memunculkan kebutuhan yang...
Kebutuhan Spiritual Pada Pasien Kanker
Penulis
Dr. Ni Ketut Putri Ariani, SpKJ
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya monograf
ini bisa diselesaikan yang berjudul “Kebutuhan Spiritual Pada Pasien Kanker”.
Penyusunan monograf ini adalah suatu upaya untuk memperluas dan memperdalam
ilmu pengetahuan di bidang psikiatri paliatif yang diharapkan dapat memberi
manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari sempurna
sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari seluruh pembaca. Atas
masukannya penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Hormat saya,
Denpasar, November 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 4
2.1 Definisi .. ................................................................................................................... 4
2.2 Efek menguntungkan dari agama dan spiritual ......................................................... 5
2.3 Spiritual dan Agama ................................................................................................. 6
2.4 Efek Budaya pada spiritual seseorang ...................................................................... 7
2.5 Efek perjalanan pribadi tentang spiritual individu .................................................... 7
2.6 Memberikan perawatan spiritual ............................................................................. 10
2.7 Pembahasan............................................................................................................. 14
RINGKASAN ................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………..21
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Spiritualitas manusia adalah aspek penting dari keberadaan manusia dan
dapat membawa manusia untuk mengalami transendensi dan konsistensi dengan
keberadaan hal-hal yang lebih kuat dari dirinya, atau menemukan ikatan dengan
orang lain. Apapun caranya, spiritualitas mewujudkan keterhubungan vertikal
(dengan kekuatan yang lebih tinggi), dan horizontal (dengan manusia lain), di luar
“diri sendiri.” Pengalaman ini memberikan arahan dalam hidup dan makna untuk
kematian. Spiritualitas seseorang lebih tampak pada saat ia sedang membutuhkan
sesuatu dan saat krisis. Krisis ini dapat berupa penyakit, keluhan sakit, kehilangan,
dan kekurangan (Simha, 2013).
Sekarang ini, kanker dianggap sebagai salah satu masalah kesehatan yang
paling penting di seluruh dunia. Menurut perkiraan World Health Organization
pada tahun 2012, 14,1juta kasus kanker baru telah dilaporkan. Terdapat 1,7juta
kematian akibat kanker setiap tahun di Eropa, dan diperirakan bahwa prevalensi
kanker akan menjadi dua kali lipat hingga 2020. Diagnosis kanker dapat
menyebabkan munculnya perasaan takut, cemas, depresi, dan putus asa, dan dapat
menyebabkan keraguan dalam melakukan rencana-rencana masa depan. Kanker
dapat secara signifikan meningkatkan kebutuhan spiritual pasien. Karena harga diri
dan keyakinan spiritual terancam dan hubungan personal terganggu karena
2
kurangnya kepercayaan diri, mekanisme yang sebelumnya adaptif menjadi tidak
cukup. Perawatan di rumah sakit dapat memicu perasaan kesepian dan pada
akhirnya krisis spiritual muncul pada mereka. Krisis ini dapat menyebabkan
ketidakseimbangan pada pikiran, tubuh, dan jiwa. Dalam menghadapi penyakit
kritis, seperti kanker, pasien memunculkan kebutuhan yang khusus, yang paling
penting adalah kebutuhan spiritual. Pasien-pasien ini bergantung pada aspek
spiritual, dan penyesuaian spiritual adalah metode terkuat yang mereka gunakan
untuk menghadapi penyakitnya. Kecenderungan kearah agama, keyakinan, dan
sumber-sumber spiritual dapat digunakan sebagai pendekatan psikososial yang
adaptif pasca diagnosis (Simha,2013).
Menurut filosofi perawatan Florence Nightingale, spiritualitas merupakan
bagian tak terpisahkan dari manusia dan merupakan sumber terdalam dan terkuat
untuk penyembuhan. Karenanya, salah satu tanggung jawab perawat adalah untuk
memperhatikan dimensi spiritual dari perawatan dan memberikan suasana yang
menyembuhkan untuk pasien. Sebagai bagian dari suatu perawatan holistik,
penyedia layanan perlu memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mendeteksi
kebutuhan spiritual pasien dan memberikan perawatan yang tidak sekedar
memenuhi kebutuhan fisik; karena ketika menghadapi diagnosis, perubahan status
penyakit, atau masalah-masalah pada akhir kehidupan, pasien kanker dapat lebih
berisiko mengalami stres spiritual. Karenanya, perhatian terhadap kebutuhan
spiritual merupakan bagian yang diperlukan dari perawatan holistik dalam
keperawatan. Meskipun begitu, sebagian besar pasien tidak menerima perawatan
spiritual yang diperlukan oleh pelaku rawat, dan respons terhadap kebutuhan
3
spiritual pasien kanker cenderung minimal atau terabaikan. Kegagalan untuk
memenuhi kebutuhan spiritual berhubungan dengan penurunan kualitas perawatan,
kepuasan pasien, dan kualitas hidup (Hatamipour, 2015).
Pemahaman perawat tentang kebutuhan spiritual pasien dapat
mempengaruhi hubungan dan perawatan spiritual dari pasien. Ketidakpastian dalam
memahami konsep spiritualitas dan tanggung jawab perawat yang ambigu untuk
memberikan perawatan spiritual dianggap sebagai suatu masalah etik. Mengingat
bahwa pengalaman pasien dan penyedia layanan dapat berperan penting dalam
menjelaskan perawatan spiritual dalam keperawatan, dan karena mengenali
kebutuhan spiritual dianggap sebagai suatu unsur penting dalam memberikan
perawatan yang berbudaya, penting untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
baik tentang karakteristik kebutuhan spiritual. Dengan mempertimbangkan
religiusitas, dimensi agama dapat lebih penting dalam penilaian kesehatan spiritual,
yang membutuhkan penelitian lebih lanjut. Menurut kode etik di sebagian besar
universitas, perawat diharapkan memberikan perawatan berdasarkan kebutuhan
fisik, psikologis, sosial spiritual dan status pasien, dan berperan aktif dalam
memenuhi kebutuhan spiritual mereka. Meskipun ada kebutuhan untuk
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pasien yang tidak terpenuhi, sejauh ini baru
ada sedikit studi untuk menjelaskan kebutuhan spiritual pasien kanker (Hatamipour,
2015) .
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Akar kata dari “spirit” adalah nafas (Latin: spiritus) dan mudah untuk
membayangkan bagaimana hal tersebut berkaitan dengan esensi kehidupan, ketika
kita meninggal, nafas meninggalkan kita (Ganeva,1998).
Tradisi filosofi/teologi barat
Di dunia barat, spirit merupakan komponen ketiga dari manusia selain
badan dan jiwa. Spirit atau nafas merupakan yang memberikan kehidupan kepada
badan. Jiwa atau pikiran (psyche), istilah tersebut diartikan sebagai bagian penting
yang tidak berwujud dari manusia, menyatu secara sementara dengan tubuh
manusia. Tradisi barat lebih mengutamakan jiwa daripada spirit.
Tradisi filosofi/teologi timur
Guru spiritual timur berbagi minat yang sama, meskipun penekanan mereka
pada kesadaran menyebabkan kecenderungan mereka untuk berbicara tentang
"diri", atman. Teks Weda awal menghubungkan antara atman dengan nafas
kehidupan (prana). Dalam Upanishad, atman menjadi kesadaran, esensi manusia
yang melampaui tubuh dan pengalaman. Buddhist "non-self" menyoroti antar
kesejahteraan semua kondisi kesadaran.
5
Pemisahan spiritualitas dan kedokteran sekuler
Pemisahan spiritualitas dari praktek modern, kedokteran sekuler berawal
dari abad ke 18. Terdapat pencerahan tentang perdebatan mengenai asal
pengetahuan dan agama. Keberhasilan dan dominasi berikutnya metode ilmiah
telah meninggalkan sedikit tempat untuk jiwa (Ganeva, 1998).
Permusuhan Freud terhadap agama dan pengalaman mistik diambil sebagai
dukungan lebih lanjut untuk menolak bahasa jiwa sebagai ketinggalan zaman.
Namun, dalam penciptaan nama "psikoanalisis", Freud membuat referensi sadar
untuk mitoseros dan jiwa. Profesional kesehatan harus jelas tentang konsep yang
mereka gunakan dan definisi yang efektif diperlukan untuk konteks kontemporer
agar dapat memahami akar teologis-filosofis ide-ide tersebut.
2.2 Efek menguntungkan dari agama dan spiritualitas
Beberapa penelitian melaporkan adanya pengurangan angka kematian pada
orang yang beragama dan berspiritual. Salah satu penelitian di Amerika Serikat
yang menghadiri pelayanan agama mingguan didapatkan :
-53% lebih kecil kemungkinannya untuk mati dari penyakit koroner daripada yang
tidak
- 53% lebih kecil kemungkinannya untuk mati dari bunuh diri
-74% lebih kecil kemungkinannya untuk mati dari sirosis
6
Komunitas agama nampaknya memberikan perlindungan dari efek isolasi
sosial. Agama memberikan dan menguatkan keluarga dan jaringan sosial,
memberikan rasa memiliki, dan kepercayaan diri dan menawarkan dukungan
spiritual dimasa sulit. Sebuah penelitian yang dilakukan Bernadi et al.
memperlihatkan bahwa doa Rosario dan yoga mantra memiliki efek pada ritme
autonomik kardiovaskuler. Pembacaan Rosario dan juga yoga mantra,
memperlambat respirasi sampai 6/menit dan ditingkatkannya variabilitas denyut
jantung dan meningkatnya sensitivitas barorefleks yang merupakan kekuatan dan
prediktor bebas dari prognosis yang buruk dari penyakit jantung. Spiritualitas
mampu membuat tenang, meningkatkan konsentrasi, dan menciptakan rasa
kesejahteraan dengan cara mengurangi adrenalin dan kadar kortisol serta
meningkatkan kadar endorphin (Edwards, 2010).
2.3 Spiritualitas dan agama
Dalam istilah kontemporer, spiritualitas semakin banyak digunakan
berlawanan dengan agama, biasanya dalam bentuk kelembagaan dan sering dengan
kesimpulan bahwa spiritual lebih otentik daripada yang religius.
Dua hal tersebut sangat erat terkait, tapi sementara itu adalah mungkin untuk
otentik spiritual tanpa agama, sulit untuk menjadi otentik agama tanpa spiritual.
Untuk alasan ini, agama dapat dilihat sebagai salah satu cara di mana orang
mengekspresikan spiritualitas mereka, tetapi itu tidak berarti satu-satunya cara
(Ross L, 2010).
Pendapat tentang perlunya membedakan spiritualitas dan religiusitas
didukung secara empiris oleh penelitian Woods dan Ironson (1999). Mereka
7
menemukan perbedaan antara orang spiritual dan orang yang religius. Subyek yang
menyatakan dirinya sebagai seorang religius cenderung melihat sisi spiritualitasnya
yang berhubungan dengan institusi, tradisi, dan tindakan-tindakan. Sedangkan
subyek yang menyatakan diri mereka sebagai seorang spiritual memandang
spiritualitas mereka sebagai alat untuk menjadi saling berkaitan dengan makna
transenden. Spiritualitas kemudian digambarkan sebagai sebuah bentuk hubungan
manusia dengan dimensi yang lebih tinggi (The Higher Power) dan Tuhan di dalam
dirinya. Agama lebih merupakan sebuah sistem keyakinan dengan sekumpulan
dogma religius (Narayanasamy, 2007).
2.4 Efek budaya pada spiritualitas seseorang
Spiritualitas individu dibentuk oleh budaya di mana mereka tinggal. Oleh
karena itu,bahasa, makanan, pakaian, struktur sosial dan adat istiadat dibentuk oleh
keyakinan dan praktik keagamaan, seperti di Katolik Roma, Hindu, atau negara-
negara Muslim, spiritualitas akan diekspresikan melalui bentuk-bentuk budaya, dan
perawatan spiritual yang efektif akan bertujuan untuk mendukung ekspresi bentuk
dari budaya/agama tersebut.
Dalam budaya Barat yang sekuler, di mana keyakinan dan nilai-nilai yang
ditransmisikan dalam rumah dan / atau komunitas iman, spiritualitas menemukan
ekspresi dalam berbagai bentuk, belum tentu religius. Perawatan spiritual yang
efektif akan memahami bahwa kebutuhan rohani adalah hal yang sangat penting
dibandingkan dengan agama ( Narayanasamy, 2007).
8
2.5 Efek perjalanan pribadi tentang spiritualitas individual
Spiritualitas juga dibentuk oleh perjalanan hidup individu, pengalaman
yang mereka miliki dan pertemuan mereka dengan orang lain. Young (2007) juga
menjelaskan bahwa proses penuaan adalah suatu langkah yang penting dalam
perjalanan spiritual dan pertumbuhan spiritual seseorang. Orang-orang yang
memiliki spiritualitas berjuang mentransendensikan beberapa perubahan dan
berusaha mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang hidup mereka dan
maknanya ( Puchalski, 2009).
Seseorang yang sedang dihadapkan dengan kematian sendiri memiliki
dampak spiritual yang mendalam, yang pada dasarnya dapat mengganggu
keyakinan dan nilai-nilai yang telah lama diyakini. Ini mungkin tidak dengan
sendirinya menjadi hal yang buruk dan pasien mungkin datang untuk menghargai
jenis kebebasan perspektif yang membawa perubahan. Namun penderitaan
seseorang juga dapat dipicu oleh evaluasi kembali keyakinan seseorang , hal
tersebut dapat menjengkelkan bagi pengasuh, profesional, dan keluarga, dan orang
yang mengalami keraguan, konflik, dan kebingungan yang terjadi dengan
disintegrasi keyakinan yang ada, mungkin perlu dukungan sensitif untuk
menemukan tempat reintegrasi.
Penyakit yang mengancam jiwa dapat membangunkan kembali
kepercayaan aktif pada mereka yang tidak memiliki hubungan afiliasi tertentu
dengan kelompok agama. Tetapi kebangkitan ini dapat mempertahankan atau
mengancam tergantung pada bagaimana individu memandang itu (puchalski,
2009).
9
Penelitian tentang keyakinan dan kematian yang baik
Asumsi yang mendasari banyak literatur tentang spiritualitas, yaitu bahwa
penyakit terminal mengintensifkan pasien mencari makna, tidak memiliki
dukungan empiris. Namun, ada beberapa penelitian yang mendukung bukti anekdot
bahwa dalam penyakit terminal, yang penting adalah tidak begitu banyak pasien
percaya terhadap sesuatu, namun kekuatan keyakinan mereka yang paling penting.
McClain-Jacobson et al. menemukan bahwa keyakinan akan adanya
kehidupan setelah kematian dikaitkan dengan rendahnya tingkat putus asa pada
akhir kehidupan (keinginan untuk mati, keputusasaan, keinginan bunuh diri), tapi
tidak dikaitkan dengan tingkat depresi atau kecemasan, dan menyimpulkan bahwa
spiritualitas memiliki efek yang jauh lebih kuat pada fungsi psikologis daripada
keyakinan akhirat.
Smith et al. melihat hubungan lengkung yang signifikan antara sudut
pandang pasien tentang kematian dan ketakutan mereka yang sebenarnya tentang
kematian, menunjukkan bahwa keyakinan yang sebenarnya merupakan faktor
penentu yang kurang kritis tentang takut kematian namun yang menentukan adalah
kepastian dengan keyakinan yang ada.
Penelitian lain juga telah membuktikan bahwa penderita kanker serviks
yang memiliki tingkat spiritualitas rendah cenderung lebih depresif daripada
penderita kanker serviks dengan tingkat spiritualitas baik. Penelitian Hallstead dan
Hull terhadap 10 perempuan dengan non-Hodgkin’s lymphoma, kanker payudara
dan kanker ovarium memberikan gambaran bahwa penderita kanker dapat melawan
keadaan sakitnya dengan mencoba meningkatkan penerimaan dan keyakinan
10
bahwa hidup dengan kanker adalah bagian hidup yang harus dijalaninya tetapi disisi
lain mereka merasakan hidupnya menjadi tidak pasti.
Sebaliknya Nagai-Jaconsen & Burkhart mengatakan bahwa pemenuhan
kebutuhan spiritual merupakan bentuk pelaksanaan pelayanan keperawatan bagi
penderita penyakit terminal. Penelitian lain yang mendukung tema penelitian ini
adalah hasil penelitian Narayanasamy mengungkapkan bahwa spiritual dapat
menjadi mekanisme koping dan faktor yang berkontribusi penting terhadap proses
pemulihan klien. Bussing, Fischer, Ostermann dan Matthiessen dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa pasien kanker yang memiliki sandaran sumber
religius yang kuat akan mengantarkan pasien tersebut pada prognosis yang lebih
baik dari yang diperkirakan. Penelitian yang dilakukan oleh Balboni,
Vanderwerker, Block, Paulk dan Lathan diketahui bahwa 96% dari orang dewasa
di Amerika Serikat yang mengalami kanker mengungkapkan kepercayaannya
terhadap Tuhan dan 70% diantaranya mengungkapkan bahwa agama adalah salah
satu yang paling dibutuhkan (Simha, 2013).
Temuan menunjukkan mayoritas tidak mencari kenyamanan atau konversi
agama sebagai respon terhadap tantangan penyakit terminal, bahkan ketika hal ini
dipandang sebagai sesuatu yang diinginkan. Peserta walaupun tidak aktif
terinspirasi untuk menjadi religius sebagai akibat dari penyakit mereka, mereka
mengadakan sejumlah perspektif spiritual.
2.6 Memberikan perawatan spiritual
11
Sebelum memulai perawatan spiritual yang efektif , profesional harus
mengetahui dan memahami tingkat kesadaran pasien yang melibatkan pemeriksaan
keyakinan pribadi dan nilai-nilai, dikombinasikan dengan sikap positif terhadap
kesehatan rohani. Sebuah kesadaran tentang prasangka dan penyimpangan diri akan
memastikan bahwa klien ditangani secara sensitif, nilai-nilai dan kepercayaan tidak
dibebankan kepada orang lain, terutama tentang spiritual. Kesadaran diri membantu
mencegah pembentukan penilaian atau mencoba untuk mengubah keyakinan
sendiri atau budaya. Dalam sebuah makalah yang banyak dikutip tentang rasa sakit
rohani, Cicely Saunders menulis bahwa meskipun pekerjaan yang sangat membuat
tertekan, pasien sangat sakit dan mungkin tidak ada semangat untuk hidup , kita
harus tetap tekun dalam merawatnya. Dia akan menunjukkan bahwa perawatan
spiritual pada suatu waktu terkait secara eksplisit untuk apa yang kita katakan dan
mereka akan mengetahui bahwa kita peduli dengan mereka. Ini didasarkan tidak
hanya dalam apa yang dikatakan, melainkan dalam apa yang harus dilakukan.
Istilah ' paliatif ' mencakup beberapa hal yaitu apa yang dapat anda lakukan ketika
tidak ada yang lain bisa dilakukan.
Membaca Kitab Suci merupakan salah satu bagian dari intervensi spiritual
yang dapat digunakan untuk mengatasi penyakit-penyakit yang kronis. Belajar
Alkitab dalam berbagai fasilitas perawatan sangat penting karena dapat
menyediakan interaksi dan pembelajaran lebih lanjut mengenai iman seseorang,
dapat menyediakan interaksi sosial dan dukungan, dan dapat mendatangkan
kenyamanan. Bacaan Kitab Suci dapat menjadi sebuah sumber kenyamanan dan
kekuatan untuk orang-orang percaya (Ross L, 2010).
12
Perawatan rohani adalah relevan dalam semua aspek perawatan pasien dan
mungkin memberi dukungan yang baik selama pengobatan seperti radioterapi,
penyediaan makanan dan privasi serta kesempatan untuk berdoa atau tertawa dan
lain lain sesuai dengan keinginan pasien.
Kebutuhan spiritual akan ditangani dengan menawarkan perawatan praktis
dengan cara merespon pasien sebagai individu yang terpadu yang mengalami hidup
dan mati dalam setiap aspek keberadaan mereka.
Keterampilan komunikasi yang baik. Empati dan aktif mendengarkan, di
mana pasien diterima tanpa syarat. Mampu melepaskan diri dari keegoisan anda
sendiri dan berkonsentrasi pada kepercayaan anda (Ganeva, 1998).
Beberapa mikro dan makro skill/ teknik konseling yang harus dimiliki
konselor dalam melaksanakan kegiatan konseling kepada klien antara lain:
a. Sikap menerima tanpa syarat dengan penuh kasih dan penghargaan terhadap
klien, dalam setiap keluhan, cerita dan keadaan.
b. Bersikap lemah lembut, mendukung keadaan klien dan selalu dalam posisi
mengalah.
c. Bersikap rendah hati dan bersedia mendengarkan keluhan dengan memberi
perhatian yang lebih disaat konseling berlangsung.
d. Bersikap sabar dan tabah dalam membimbing keadaan klien, bersikap sebagai
orang tua dan dapat menjadi tranference yang baik dalam pemindahan konflik yang
dihadapinya.
e. Selalu tersenyum, bersahabat dan hangat mulai dari fase opening konseling
sampai fase closing.
13
f. Bersikap rela/ tulus dalam membimbing dan memberikan konseling pada klien
dan siap setiap saat jika dibutuhkan sebagai support dalam situasi kritis.
g. Bersikap terbuka dalam hubungan terapeutik konseling yang dibangun.
h. Perhatian-perhatian dan mengemukakannya di setiap pertemuan konseling dalam
bentuk ucapan dukungan dan penghargaan di setiap keberhasilan atau perubahan
lebih baik yang terjadi.
Kemudian beberapa hal yang perlu dihindari oleh seorang konselor dalam
proses hubungan/ proses konseling adalah:
a. Menerima info sepihak
b. Kesimpulan tergesa-gesa
c. Terburu-buru
d. Campur tangan terlalu jauh
e. Tidak dapat menyimpan rahasia
f. Layanan tidak seimbang
g. Mudah menghakimi
h. Memaksa konseling
i. Meminta konseling melakukan banyak hal
j. Menangani seluruh masalah klien
Membantu pasien untuk berhadapan dengan masalah di masa lalunya, masalah di
masa sekarang, dan masalah yang akan dihadapi di masa depan.
Kemampuan untuk mendorong harapan dan memberikan strategi untuk
mendukung atau mengembalikan harapan dalam beberapa cara adalah yang paling
penting. Harapan merupakan perasaan optimis, hasrat dan keinginan. R De Palo
14
menyatakan harapan adalah dasar dari aspek spiritual. Harapan yang rendah dan
keputusasaan berpotensi menyebabkan masalah spiritual.
2.7 Pembahasan
Satu kebutuhan manusia yang penting adalah kontak dengan orang lain.
Hubungan dianggap sebagai dimensi sosial dari kebutuhan spiritual, yang
diekspresikan dalam bentuk cinta, perasaan memiliki, dan kontak dengan orang
lain. Pada studi yang dilakukan Bussing dan Koenig, satu masalah yang dialami
oleh pasien kanker adalah komunikasi dengan keluarga dan teman (Simha,2013).
Pasien kanker menghabiskan sejumlah besar energi untuk berhadapan
dengan diagnosis, terapi, dan perasaan tidak stabil karena adanya kemungkinan
relaps, kematian, komplikasi, dan masalah-masalah finansial, dan sering mencapai
titik di mana mereka merasa bahwa mereka berada posisi yang tidak pasti dan
sangat putus asa. Kanker menyebabkan hilangnya harapan dan mimpi-mimpi dan
mempengaruhi tidak hanya tubuh tetapi juga jiwa dan menyebabkan munculnya
gangguan-gangguan seperti kesepian, depresi, dan kegagalan adaptasi. Anggota
keluarga memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan spiritual dan
memberikan harapan dan kedamaian untuk pasien dengan kanker. Anggota
keluarga cenderung mengkhawatirkan ketenangan pasien dan memberikan fasilitas
untuknya dan melaporkan adanya perubahan mendadak dalam bentuk apapun. Pada
studi ini, peserta menilai doa dari orang lain sebagai sesuatu yang sangat penting.
Pasien juga menginginkan doa dari orang lain untuk diri mereka dan menganggap
hasilnya positif. Pada studi ini, peserta berharap orang lain memperlakukannya
15
secara normal dan tidak terus-menerus bicara tentang sakitnya. Berbagai studi telah
menunjukkan bahwa salah satu dimensi koping dengan penyakit adalah sikap orang
dan perasaan kasihan terhadap pasien, yang menyebabkan pasien malah jadi
menyembunyikan penyakitnya terhadap orang lain. Beberapa pasien tidak
menginginkan perhatian dan keramahan berlebihan dan mengharapkan perilaku
normal dari orang lain (Simha, 2013)
Pada suatu studi yang dilakukan oleh Rahnama et al., peserta menyebutkan
sudah adanya hubungan yang tepat dengan tim medis, termasuk perawat. Meskipun
tugas perawat adalah untuk memperlakukan pasien dengan hormat, karena studi ini
dilakukan di Iran dan india, latar belakang agama mereka mungkin membantu
perawat dalam memberikan pasien perawatan dengan penuh hormat. Studi-studi
telah menunjukkan bahwa di Iran dan india, perawat memiliki sikap spiritual
terhadap profesi mereka, percaya pada adanya imbalan spiritual untuk
pekerjaannya, dan karena sikap religiusnya, melakukan pekerjaannya untuk
membuat Tuhan senang.
Pasien cenderung punya keinginan untuk menghabiskan sebagian waktu
sendiri untuk berdoa pada Tuhan. Mereka percaya bahwa mereka bisa mendapatkan
kedamaian dengan cara ini. Selain itu, Galek et al. melaporkan adanya keperluan
untuk kedamaian sebagai salah satu kebutuhan emosional dari pasien-pasien
dengan kanker.Rahnama et al. percaya bahwa salah satu kebutuhan pasien adalah
untuk mendapatkan atmosfer yang dipenuhi sukacita dan kedamaian. Mereka
menyimpulkan bahwa pasien membutuhkan waktu untuk sendiri untuk
mengembangkan hubungan dengan Tuhan dan untuk berpikir tentang kepercayaan
16
spiritual mereka. Grant et al. memeriksa pandangan perawat tentang spiritualitas
dan jenis dan waktu dari perlakuan spiritual di mana hampir semua perawat percaya
bahwa spiritualitas memberikan kedamaian dalam diri pasien.
Samson dan Zerter menangkap poin bahwa pada pasien kanker, kesiapan
untuk membantu orang lain meningkatkan makna dan harapan dalam kehidupan
mereka dan memberi harapan untuk orang lain, Pada studi yang dilakukan oleh
Stephenson et al. (2003) yang berjudul “The experience of spirituality in
hospitalized patients”, mereka menyimpulkan bahwa lebih dari 93% pasien dengan
kanker percaya bahwa spiritualitas membantu mereka menguatkan harapannya.
Peneliti menekankan pentingnya hubungan dengan Tuhan sebagai aspek
spiritualitas yang dapat memberikan harapan, optimisme, dan kekuatan dalam diri
untuk beradaptasi dengan stress ( Hatamipour, 2015).
Kesehatan spiritual akan memberikan hidup yang bertujuan dan penuh
makna. Kehidupan pasien-pasien ini akan berubah dari kehidupan material menjadi
kehidupan spiritual. Alasan hidup seseorang merupakan bagian dari tujuan
eksistensialnya yang didapat dari hidupnya, dan bagian ini sendiri menyusun
dimensi spiritual dalam hidup. Pada studi yang juga dilakukan oleh Rahnama,
peserta mengalami perubahan pada nilai-nilai dalam bentuk adanya lebih banyak
apresiasi untuk berkah yang diberikan oleh Tuhan, berkurangnya perhatian
terhadap urusan duniawi, dan meningkatnya perhatian terhadap dunia lain setelah
kematian, mendapatkan pandangan yang positif tentang hidup dan masa depan.
Pada studi yang dilakukan Samson dan Zerter, pengalaman pasien kanker juga
menunjukkan bahwa transformasinya mengarahkan pada perubahan-perubahan
17
pada nilai-nilai dan prioritas dan mereka menemukan perspektif baru dalam hidup.
Semua perubahan ini mengarahkan individu ke posisi di mana hidupnya menjadi
bermakna dan berguna untuk orang lain. Pada studi ini, sejumlah pasien merasa
dapat menghadapi penyakitnya, menerimanya, dan puas dengan nasibnya karena
sebagian besar pasien kanker memiliki kepercayaan religius bahwa mereka
menjadi sakit karena kehendak Tuhan dan bahwa sakitnya adalah takdir yang telah
digariskan. Beberapa percaya bahwa penyakitnya adalah ujian dari Tuhan untuk
menguji keimanan mereka. Meskipun begitu, jika keterlibatan Tuhan dianggap
sebagai sesuatu yang negatif, misalnya, dianggap bahwa Tuhan memberikan
penyakit sebagai hukuman untuk dosa-dosa, pasien dapat mengalami stres yang
lebih tinggi. Taleghani et al. menemukan bahwa sebagian besar pasien yang mereka
kaji percaya bahwa penyakitnya merupakan ujian dari Tuhan, dan bahwa mereka
harus berupaya untuk melewati ujian ini, yang sejalan dengan hasil dari studi ini
(Hatamipour, 2015)
Kepercayaan pada Tuhan dan permohonan dukungan-Nya pada sebagian
besar pasien adalah lebih kuat dibanding sebelumnya. Rahnama et al. menyatakan
bahwa sumber daya spiritual dan religius dapat mengarahkan pada sensasi umum
berupa harapan dan optimism terhadap hidup. McClain et al. juga menyebutkan
bahwa kesejahteraan spiritual dapat mencegah kemunculan kekecewaan pada akhir
kehidupan pada pasien-pasien yang kematiannya sudah dekat. Rahnama et al.
menyimpulkan bahwa peserta memiliki sensasi adanya kekuatan, harapan,
kedamaian, dan kepercayaan diri melalui hubungan dengan Tuhan dan kepercayaan
keagamaan.
18
Kebutuhan spiritual lain yang dibahas secara garis besar dalam tema
transendensi adalah hubungan dengan Tuhan. Peserta menyatakan bahwa sejak
awitan penyakit, hubungan mereka lebih dekat dengan Tuhan dan pemuka agama.
Agama memiliki peran yang kuat. Peneliti menekankan pentingnya hubungan
dengan Tuhan sebagai aspek spiritualitas yang dapat memberikan sejumlah
harapan, optimisme, dan kekuatan dalam diri untuk beradaptasi dengan stres. Pada
beberapa studi , berdoa, termasuk mengucapkan kalimat doa dan melakukan ritual
agama, menyusun kebutuhan dasar dari pasien-pasien dengan kanker. Spiritualitas
dengan ritual agama, misalnya sembahyang, berperan penting dalam membantu
menerima penyakit. Sembahyang berperan penting dalam menghadapi kanker dan
membantu pasien memperbaiki kesehatan spiritualnya ketika mereka sakit.
Pelaksanaan ritual agama oleh peserta adalah sangat kuat. Mereka meminta pemuka
agama untuk berdoa untuk kedamaian atau kesembuhan penyakit mereka. Karena
kondisi budaya di beberapa daerah cenderung religius, mereka cenderung lebih
bergantung pada agama untuk mengadapi situasi-situasi kritis. Meskipun begitu,
pada studi ini, beberapa pasien tidak datang ke tempat-tempat ibadah karena
perubahan fisiknya dan cara orang yang tidak biasa saat memandang mereka.
Peserta pada studi yang dilakukan oleh Taleghani et al. juga percaya bahwa
kesadaran orang lain tentang penyakit mereka adalah suatu masalah dan
mempengaruhi kesejahteraan mereka (Simha, 2013).
Studi ini menunjukkan bahwa pasien mencari bantuan dari spiritualitas
untuk menerima atau berhadapan dengan penyakitnya. Karena pemahaman
terhadap persepsi dan kebutuhan spiritual pasien dengan kanker oleh staf medis
19
dapat memiliki nilai yang penting, temuan-temuan dari studi ini dapat membantuk
memprioritaskan perawatan pasien kanker dan cara perawatan dan interaksi dengan
mereka. Mengingat pentingnya pemahaman kebutuhan spiritual pasien oleh staf
medis, perlunya rencana yang sesuai untuk intervensi, dan jumlah pasien dengan
kanker yang semakin bertambah, hasil studi ini dapat berguna, terutama untuk
perawat, untuk dapat berkomunikasi secara sesuai dengan pasien. Selain itu, hasil
studi ini dapat digunakan oleh peneliti, manajer, dan perencana untuk memahami
kebutuhan pasien kanker dengan lebih baik dan melakukan perencanaan berbasis
bukti yang sesuai. Studi ini dapat direplikasi di lokasi lain dan pada kondisi budaya
yang berbeda. Sementara itu, studi ini juga dapat dilakukan dengan lebih banyak
pasien kanker dengan jenis kanker yang lebih banyak pula, berdasarkan jender,
usia, jenis kanker, tahapan kanker, dsb., dan kebutuhan spiritual menurut topik di
atas dapat diselidiki dan dilaporkan (Simha, 2013).
BAB III
RINGKASAN
Studi ini mengkonfirmasi bahwa terdapat fokus-fokus spiritual yang
dilaporkan oleh pasien yang menerima perawatan paliatif. Penjelasan kualitatif
memberikan ide yang baik tentang pengalaman ini dan bagaimana pasien
menghadapinya.
20
Perlu dikembangkan suatu pengukuran atau metode untuk mengevaluasi
fokus spiritual secara sistematik dan merencanakan metode-metode konseling
untuk membantu pasien menghadapi masalah-masalah yang dimilikinya secara
efektif.
Observasi juga menyarankan bahwa model ala barat untuk spiritualitas
tampaknya tidak sepenuhnya berlaku pada latar India maupun Iran. Studi ini
mengidentifikasi tantangan-tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan
perawatan paliatif di India dan Iran, karena tidak semua aspek model barat dapat
ditransfer. Observasi ini juga menunjukkan perlunya pelatihan yang cukup training
untuk perawatan spiritual pada latar perawatan paliatif (Simha, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Edwards A, Pang N, Shiu V, Chan C. The understanding of spirituality and the potential
role of spiritual care in end-of-life and palliative care: A meta-study of qualitative
research. Palliat Med. 2010;24:753–70. [PubMed]
Geneva: World Health Organisation; 1998. World Health Organisation. WHOQOL and
spirituality, religiousness and personal beliefs: Report on WHO consultation.
21
Hatamipour K.,Rassouli M.,Yaghmale F. Spiritual Needs Of Cancer Patients : A
Qualitative Study. Indian J Paliative Care. 2015 ; 11: 5-12
Narayanasamy A. Palliative care and spirituality. Indian J Palliat Care. 2007;13:32–41.
Puchalski C, Ferrell B, Virani R, Otis-Green S, Baird P, Bull J, et al. Improving the quality
of spiritual care as a dimension of palliative care: The report of the Consensus
Conference. J Palliat Med. 2009;12:885–904. [PubMed]
Ross L. Why the increasing interest in spirituality within healthcare? In: McSherry W, Ross
L, editors. Spiritual assessment in healthcare practice. Cumbria: M and K
Publishing; 2010. p. 10.
Simha s.,Noble s.,chaturvedi S.K.,Spiritual Concerns In Hindu Cancer Patients
Undergoing Palliative Care : A Qualitative Study. Indian J Paliative Care. 2013;
14: 12-19.
22