Kebudayaan Ngelawar Masyarakat Hindu Di Desa Kaliakah Serta Hubungannya Dengan Perilaku Masyarakat
-
Upload
adi-suryadi-putra -
Category
Documents
-
view
454 -
download
0
Transcript of Kebudayaan Ngelawar Masyarakat Hindu Di Desa Kaliakah Serta Hubungannya Dengan Perilaku Masyarakat
KEBUDAYAAN NGELAWAR MASYARAKAT HINDU DI DESA
KALIAKAH SERTA HUBUNGANNYA DENGAN PERILAKU
MASYARAKAT
NAMA: I PUTU ADI SURYADI PUTRA
NIM: 0820025026
Program Studi Imu Kesehatan Masyarakat
Fakultas kedokteran Universitas Udayana
2010
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bersama masyarakat hindu bali merupakan salah satu
masyarakat yang sangat kaya akan pouduk kebudayaan baik kebudayaan fisik maupun
kebudayaan yang berupa adat istiadat, disamping masyarakat yang religius masyarakat bali juga
sangat kental dengan gotong royong baik dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan
beragama mereka. Menurut Peter Beger kebudayaan adalah produk manusia, dimana produk ini
lalu menjadi kenyataan objektif yang kembali mempengaruhi manusia yang menghasilkannya.
Salah satu hasil kebudayaan fisik masyarakat bali adalah berupa makanan tradisional
yang kita kenal dengan nama lawar, sampai sekarang asal nama serta asal makanan ini tidak
diketahui secara pasti sehingga masyarakat bali sudah menganggap bahwa lawar merupakan
milik seluruh masyarakat bali. Hampir seluruh masyarakat bali tahu dan bisa mengolah lawar
yang mana dalam perkembangannya lawar bukan lagi sekedar sarana upacara keagamaan
maupun hidangan keluarga saja, tetapi sudah berkembang ke bidang ekonomi masyarakat
dimana sudah banhyak muncul baik warung tradisional maupun yang menjual lawar sebagai
menu utama mereka.
Lawar biasanya digunakan sebagai sarana upacara-upacara hari besar agama hindu
seperti galungan, kuningan maupun upacara keagamaan lainnya, masyarakat pada umumnya
akan bergotong royong atau dalam bahasa bali disebut dengan ngerama. Di daerah asal saya desa
Kaliakah, kecamatan Negara, ngelawar merupakan kegiatan rutin masyarakat setiap hari-hari
besar keagamaan maupun piodalan –piodalan disekitar desa Kaliakah seperti hari raya galungan
dan kuningan maupun piodalan di pura desa, pura puseh serta pura dang kahyangan lainya yang
ada diwilayah desa Kaliakah.
Penulis memilih kebudayaan ngelawar karena masyarakat cenderung mengetahui lawar
hanya sebatas produk kebudayaan yang berupa makanan tradisional, tetapi mereka kurang
menyadari akan pengaruh serta peranan lawar dalam perilaku masyarakat bali. Seperti yang
terjadi di desa Kaliakah, kecamatan Negara, dimana terjadi sebuah kasus yang secara langsung
mempengaruhi perilaku masyarakat desa Kaliakah dalam melaksanakan kebudayaan ngelawar
mereka.
1.2. Rumusan Masalah
Kasus ini terjadi pada pertengahan bulan April 2008 di wilayah dusun Pangkung Buluh,
desa Kaliakah, dimana seorang peternak babi yang sekaligus pemilik warung makan lawar bali
yang bernama I Ketut Deren, menemukan seekor babi miliknya mati secara tiba-tiba, karena
beliau menganggap kematian babinya tersebut biasa-biasa saja beliau kemudian memotong babi
tersebut yang selanjutnya hendak dijual sebagai lauk di warung lawar bali milik beliau,tetapi
dalam proses tersebut beliau menemukan sejenis cacing disebagian hati babi yang mati tersebut,
babi milik masyarakat lain pun ada yang mati secara mendadak. Dari kejadian tersebut
masyarakat disana mulai takut untuk mengkonsumsi bahan makanan yang berasal dari daging
babi, terutama lawar yang sebagian besar menggunakan daging dan darah babi yang tidak
dimasak sampai matang. Disini penulis ingin membahas ”Bagaimana kebudayaan ngelawar
masyarakat desa Kaliakah sebelum kasus ini terjadi?” dan ”Upaya-upaya apa yang masyarakat
desa Kaliakah lakukan untuk menanggulangi keresahan oleh kasus ini?”.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kebudayaan ngelawar masyarakat hindu di desa Kaliakah
Kehidupan manusia tidak akan lepas dari kebudayaan, selain karena kebudayaan
merupakan hasil budi dan karya mereka, itu juga disebabkan karena kebudayaan secara
langsung kembali mempengaruhi manusia yang menghasilkannya. Salah satu contoh kebudayaan
masyarakat bali adalah budaya ngelawar, lawar adalah makanan tradisional bali yang sudah
sangat terkenal di daerah bali karena disamping sebagai sesaji serta hidangan dalam upacara
agama, lawar juga telah dijual secara luas di rumah-rumah makan dengan merek lawar bali.
Karena saking terkenalnya lawar tersebut, sehingga hampir seluruh daerah di bali mengenal
makanan tradisional ini, termasuk di desa kaliakah, kecamatan Negara. Dari observasi serta
wawancara saya dengan Ida Bagus Gede purnasa selaku bendesa adat desa Kaliakah. beliau
menyatakan di desa Kaliakah lawar biasanya digunakan sebagai sarana upacara agama baik
pecaruan maupun upacara dewa yadnya lainnya, khusus apabila ada piodalan atau karya di pura
para krama pria akan khusus bertugas untuk menyiapkan makanan untuk para krama adat yang
tidak ikut bekerja di dapur atau pebat. Di desa Kaliakah bahan pembuatan lawar tidak jauh beda
dengan daerah-daerah lain, yaitu daging yang dicincang, sayuran, sejumlah bumbu dan
kelapadan. Lawar pun jenisnya sangat bervariasi tergantung dari daging serta yang sayuran yang
digunakan, selain itu berdasarkan warnanya yaitu, lawar merah bila warna lawarnya merah,
lawar putih bila warna lawarnya putih dan ada lawar yang bernama lawar pademara, yaitu sejenis
lawar yang dibuat dari campuran dari beberapa jenis lawar. Terkadang di desa Kaliakah warga
menambahkan darah dari hewan yang dianggap menambah cita rasa dari lawar tersebut, bahkan
masyarakat menggunakan daging yang setengah matang dalam proses pengolahan lawar.
Padahal menurut Prof.Dr Nur Nasry Noor.M. dalam bukunya yang berjudul epidemiologi
penyakit menular menyatakan salah satu cara penularan suatu penyakit adaalah melalui
makanan (Food Borne Disease) yang salah satu contohnya melalui daging hewan seperti
trichinosis dan taenia solium yang berasal dari daging babi. Tetapi masyarakat beranggapan
bahwa bumbu-bumbu pada lawar mampu menetralisir bakteri serta penyakit yang mungkin
timbulkan dari penggunaan daging serta darah dalam pengolahan lawar. Namun apakah hanya
dengan menggunakan bumbu-bumbu masyarakat sudah mampu terbebas dari penyakit-penyakit
yang mungkin timbul dari daging yang setengah matang serta darah yang mentah? Asumsi
masyarakat tersebut tidak sepenuhnya dapat dipertanggung jawabkan karena belum ada
penelitian yang khusus meneliti zat-zat yang terkandung dalam bumbu yang dianggap mampu
menetralisir bakteri serta parasit yang terdapat dalam daging dan darah hewan.
2.2. Upaya-upaya apa yang masyarakat desa Kaliakah lakukan untuk menanggulangi
keresahan oleh kasus ini.
Seperti yang penulis singgung dalam rumusan masalah di atas, kasus penemuan cacing
hati pada hati babi yang mati tersebut menimbulkan keresahan di sebagian masyarakat desa
Kaliakah. Dimana masyarakat mulai takut untuk mengkonsumsi bahan makanan yang berasal
dari daging babi karena takut tertular penyakit yang menyebabkan babi tersebut mati. Disamping
itu seminggu sebelum penemuan babi yang mati tersebut, ada piodalan di pura dalem di desa
Kaliakah, dimana dalam upacaranya menggunakan daging babi yang cukup banyak sebagai
sarana upacaranya, baik itu babi guling, lawar serta sarana lainnya yang hampir sebagian besar
dikonsumsi oleh krama desa adat selesai piodalan. Menurut teori sistem umum (Grand Theory)
masyarakat dusun Pangkung Buluh desa Kaliakah menglami konflik dimana latent pattern-
maintenance atau mempertahankan kesinambungan pengolahan lawar dengan mencampurkan
daging serta darah yang mentah mengalami benturan dengan fakta bahwa ternyata sebagian
ternak babi mereka mati karena penyakit cacing pita.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut kepala desa, bendesa adat beserta dinas peternakan
kabupaten jembrana melakukan penyuluhan serta inovasi-inovasi untuk menanggulangi masalah
tersebut.
Menurut teori adopsi inovasi dari Rogers ada empat tahap dalam proses pembuatan
keputusan. Adapun tahap-tahap yang dilalui masyarakat desa Kaliakah adalah
1.Tahap memahami pengetahuan (knowledge)
Pada tahap ini dinas peternakan dan dinas kesehatan kabupaten jembrana dengan bantuan kepala
desa I Nyoman Angrawiasa mengumpulkan semua peternak babi di dusun Pangkung Buluh
untuk berkumpul di balai dusun, di sana petugas dari dinas peternakan menerangkan bahwa
penyakit yang menyebabkan ternak babi mereka mati adalah Fasciologis yang disebabkan oleh
cacing hati (fasciola gigantica). Penyakit ini menyebabkan pertambahan bobot ternak menjadi
terganggu, hati tidak layak konsumsi dan dapat menyebabkan kematian baik pada hewan ternak
maupun manusia yang mengkonsumsi daging tersebut. Penyakit ini disebarkan oleh siput air
tawar (Lymnea rubiginosa) sebagai induk semang, siput ini berkembangbiak di lahan berair
seperti sawah maupun parit.
2. Tahan bujukan atau meningkatkan motivasi (persuation)
Pada tahap ini petugas dinas kesehatan dan dinas peternakan melakukan penyuluhan serta
menerangkan cara-cara mengatasi penyakit Fasciologis seperti tidak membiarkan hewan ternak
untuk berkeliaran, terutama di tempat-tempat yang digenangi air karena siput air tawar yang
merupakan induk semang dari cacing tersebut banyak hidup, di samping itu larva-larva cacing
hati banyak terdapat pada tanaman air, kerena babi bisa tertular oleh penyakit Fasciologis
apabila memakan tanaman air tersebut. Petugas kesehatan juga menawarkan pengecekan serta
vaksinnasi untuk semua ternak babi agar penyakit ini tidak lebih menyebar, selain itu petugas
dinas kesehatan juga menyarankan agar semua ternak dikandangkan kemudian petugas juga
menghimbau masyarakat yang mengkonsumsi daging babi agar lebih selektif serta selalu
memastikan daging dalam keadaan matang sebelum dikonsumsi.
3.Tahap pengambilan keputusan (Decision)
Pada tahap ini masyarakat bersama para tetua adat serta kepala dusun melukukan rapat di
balai dusun guna membahas keputusan yang akan diambil dalam menyikapi peristiwa ini.
Masyarakat sebagian besar setuju dengan vaksinasi yang dilakukan dinas peternakan, mereka
pun sebagian besar sudah mulai mengandangan ternak serta bersedia mengikuti peninjauan
berkala oleh petugas dinas kesehatan, tetapi masyarakat masih takut untuk mengkonsumsi lawar
apabila belum ada keputusan berupa awag-awig yang mengatur pengolahan lawar di dusun
Pangkung Buluh. Ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa bumbu dalam masakan
lawar mampu menetralisir penyakit, namun tidak sedikit masyarakat dusun Pangkung Buluh
yang masih takut untuk mengkonsumsi lawar. Untuk menengahi masalah tersebut bendesa adat
yang mewakili kepala desa bersama kepal dusun membuat awig-awig sementara, di mana dalam
awig-awig ini diatur bahwa lawar merah yang mengandung darah babi dilarang dikonsumsi
untuk sementara, kemudian untuk semua pengolahan lawar diharapkan daging dimasak terlebih
dahulu sebelum diolah menjadi lawar, awig-awig ini berlaku sampai semua ternak babi
dinyatakan bebas dari cacing hati.
4.Tahap penguatan atau cofirmation
Pada tahap ini petugas dinas peternakan bersama dinas kesehatan melakukan
pengawasan terhadap peternak babi di desa Kaliakah, di samping itu bendesa adat selalu
menghimbau dan mengawasi proses pengolahan lawar di masyarakat,terutama apabila ada
upacara manusa yadnya yang diselenggarakan anggota masyarakat, hal ini dilakukan beliau agar
masyarakat terbiasa untuk melaksanakan awig-awig yang disepakati bersama tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian di atas penulis dapat simpulkan bahwa kebudayaan ngelawar di desa
Kaliakah hampir sama dengan kebudayan ngelawar di daerah lain di Bali, yaitu lawar biasanya
digunakan sebagai sarana upacara agama baik pecaruan maupun upacara dewa yadnya dan
khusus apabila ada piodalan atau karya di pura para krama pria akan khusus bertugas untuk
menyiapkan makanan untuk para krama adat yang tidak ikut bekerja di dapur atau pebat terutama
dalam mengolah lawar, hal ini dikarenakan laki-laki dianggap lebih ahli serta memiliki
kedudukan sosioal yang lebih tinggi di masyarakat bali, namun karena terjadinya kasus tersebut
yang kemudian menimbulkan keresahan di masyarakat, maka untuk menangani masalah tersebut
dibuatlah awig-awig di mana dalam awig-awig ini diatur bahwa lawar merah yang mengandung
darah babi dilarang dikonsumsi serta daging wajib dimasak terlebih dahulu sebelum diolah
menjadi lawar. Sehingga secara langsung awig-awig yang mengatur pengolahan lawar di desa
Kaliakah akan mempengaruhi perilaku masyarakat desa Kaliakah baik dalam memelihara hewan
ternak, menjaga kebersihan lingkungan maupun dalam proses pengolahan lawar itu sendiri.
3.2. Saran
Masyarakat hendaknya selalu menjaga kebudayaan yang merupakan ciri khas serta
identitas dari suatu masyarakat, untuk itu masyrakat perlu menjaga serta melestarikannya, namun
disamping itu masyarakat diharapkan mampu memilah aspek-aspek kebudayaan yang
berdampak negatif bagi perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri,khusus untuk kebudayaan
ngelawar masyarakat hendaknya mampu memilih serta mengurangi perilaku yang beresiko
terhadap kesehatan mereka. Masyarakat juga wajib menjaga perilaku yang sehat baik dalam
menjaga kebersihan diri sendiri, lingkungan maupun ternak mereka terutama ternak babi, yang
mana di Bali merupakan hewan yang banyak diternakan untuk sarana upacara dan pemenuhan
kebutuhan ekonomi masyarakat.