Kebijakan Publik Dalam Perspektif Etika Administrasi Cikal
-
Upload
cikal-nusantara -
Category
Documents
-
view
121 -
download
6
Transcript of Kebijakan Publik Dalam Perspektif Etika Administrasi Cikal
![Page 1: Kebijakan Publik Dalam Perspektif Etika Administrasi Cikal](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082404/5571fa394979599169919f81/html5/thumbnails/1.jpg)
Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia
(bukan sebagai dosen, fransiskan, tukang becak). Bidang moral adalah bidang
kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikkannya sebagai manusia. Norma-norma
moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan
manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai
pelaku peran tertentu dan terbatas.
Hukum adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat
karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum
adalah norma yang tidak dibiarkan untuk dilanggar. Orang yang melanggar hukum
pasti dikenai hukuman sebagai sanksi.
Terdapat hubungan erat antara moral dan hukum; keduanya saling
mengandaikan dan sama-sama mengatur perilaku manusia. Hukum membutuhkan
moral. Hukum tidak berarti banyak kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa
moralitas, hukum adalah kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh
mutu moralnya. Karena itu, hukum harus selalu diukur dengan norma moral.
Produk hukum yang bersifat imoral tidak boleh tidak harus diganti bila dalam
masyarakat kesadaran moral mencapai tahap cukup matang.
Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-
awang kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat dalam
bentuk salah satunya adalah hukum. Dengan demikian, hukum bisa meningkatkan
dampak sosial dari moralitas. "Menghormati milik orang lain" misalnya merupakan
prinsip moral yang penting. Ini berarti bukan saja tidak boleh mengambil dompet
orang lain tanpa izin, melainkan juga milik dalam bentuk lain termasuk milik
intelektual, hal-hal yang ditemukan atau dibuat oleh orang lain (buku, lagu,
komposisi musik, merk dagang dsb).
Hal ini berlaku karena alasan etis, sehingga selalu berlaku, juga bila tidak
ada dasar hukum. Tetapi justru supaya prinsip etis ini berakar lebih kuat dalam
masyarakat, kita mengadakan persetujuan hukum tentang hak cipta, pada taraf
internasional, seperti konvensi Bern (1889).
Namun perbedaan di antara keduanya perlu tetap dipertahankan dan tidak
semua norma moral dapat serta perlu dijadikan norma hukum. Kendati pemenuhan
![Page 2: Kebijakan Publik Dalam Perspektif Etika Administrasi Cikal](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082404/5571fa394979599169919f81/html5/thumbnails/2.jpg)
tuntutan moral mengandaikan pemenuhan tuntutan hukum, keduanya tidak dapat
disamakan begitu saja. Kenyataan yang paling jelas membuktikan hal itu adalah
terjadinya konflik antara keduanya.
Di bawah ini akan ditunjukkan beberapa poin penting perihal perbedaan
antara moral dan hukum.
Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dituliskan dan
secara kurang lebih sistematis disusun dalam kitab undang-undang.
Karena itu norma yuridis mempunyai kepastian lebih besar dan
bersifat lebih objektif. Sebaliknya norma moral bersifat lebih subjef
dan akibatnya lebih banyak diganggu oleh diskusi-diskusi yang
mencari kejelasan tentang apa yang dianggap etis atau tidak etis.
Tentu saja di bidang hukum pun terdapat banyak diskusi dan
ketidakpastian tetapi di bidang moral ketidakpastian ini lebih besar
karena tidak ada pegangan tertulis.
Hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan
moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Itulah perbedaan
antara moralitas dan legalitas (bdk Kant). Niat batin tidak termasuk
jangkauan hukum. Sebaliknya dalam konteks moralitas sikap batin
sangat penting. Orang yang hanya secara lahiriah memenuhi norma-
norma moral berlaku "legalistis". Sebab, legalisme adalah sikap
memenuhi norma-norma etis secara lahiriah saja tanpa melibatkan
diri dari dalam.
Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi yang
berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat
dipaksakan; orang yang melanggar hukum akan mendapat
sanksi/hukuman. Tetapi norma-norma etis tidak dapat dipaksakan.
Menjalankan paksaan dalam bidang etis tidak efektif juga. Sebab
paksaan hanya dapat menyentuh bagian luar saja, sedangkan
perbuatan-perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya
sanksi dalam bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang
karena menuduh si pelaku tentang perbuatannya yang kurang baik.
Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas
kehendak negara. Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal
![Page 3: Kebijakan Publik Dalam Perspektif Etika Administrasi Cikal](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082404/5571fa394979599169919f81/html5/thumbnails/3.jpg)
dari negara seperti hukum adat maka hukum itu harus diakui oleh
negara seupaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada
norma-norma moral yang melampaui para individu dan masyarakat.
Dengan cara demokratis ataupun cara lain masyarakat dapat
mengubah hukum tetapi tidak pernah masyarakat mengubah atau
membatalkan suatu norma moral. Masalah etika tidak dapat
diputuskan dengan suara terbanyak.
Berhadapan dengan latar belakang pemikiran di atas kita lantas bertanya
apakah karena persoalan moral dan hukum yang begitu erat kaitannya sehingga
kasus Soeharto tidak bisa tuntas di mejahijau. Bapak Pembangunan di satu sisi
(persoalan moral) dan koruptor (yang harus dipecahkan secara hukum)
membingungkan seluruh warga bangsa ini untuk menentukan Soeharto sebagai
penjahat atau orang baik? Sulit memang jika ini menjadi dilema politik bangsa ini.