KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER … · Sukarela di Pembangkit Listrik Tenaga Air,...
Transcript of KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER … · Sukarela di Pembangkit Listrik Tenaga Air,...
KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BERBASIS SUKARELA
DI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA AIR
ZAKIYAH
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2012
ii
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa Disertasi Perlindungan dan
Pengelolaan Sumber Daya Air Berbasis Sukarela di Pembangkit Listrik Tenaga
Air adalah karya penulis dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
akhir Disertasi.
Bogor, Januari 2012Zakiyah
P062040151
iii
ZAKIYAH, Protection Policy and Management of Water Resources Based on Voluntary Approach in Hydropower Plants, Supervised by SURJONO H. SUTJAHJO, BUNASOR SANIM and SUNARYA.
ABSTRACT
The main objective of this research was to formulate a voluntary-based environmental management and protection policy at PLTA Saguling, Cirata, Tanggari I dan II. The changes of land use was analyzed based on data image from the satellite of Landsat-7 ETM. The results indicated that the area of forest at up watershed of PLTA Saguling (17.12%) and of Cirata (18.87%) in 2001decreased by respectively 5.62% and 5.03% in 2007. The decrease was only 0.0021% each year at PLTA Tanggari. The quality of water (inlet-outlet) was described based on the T-test statistics that indicated there was no significant change (α=0.005). The activity of PLTA did not add the load of water contamination. The level of interests and power of the stakeholders was analyzed using stakeholder analysis in which indicated that PLTA was the key stakeholder.The result of legal review required PLTA to conduct the conservation of water resources in accordance with the present regulations. Values of the environment services of those water resources were approached by TEV showed that the value of PLTA Saguling was Rp 885.95 billions; PLTA Cirata was Rp 1,669.50 billions; PLTA Tanggari was Rp 252.88 billions. The alternative policy wasanalyzed using AHP showed incentive and disincentive policies as priority. The dynamic model designed with the Powersim showed the projection of several options of the future. A conceptual model of policy that indicated the relationships of stakeholders, operational systems, financial supports, and policy implication in order to reach the goals of water resources protection and management based on voluntary approach at PLTA.
Keywords: voluntary approach, protection policy and management of water resources, hydropower plant, conceptual model of voluntary policy.
iv
ZAKIYAH, Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Sumberdaya Air Berbasis Sukarela di Pembangkit Listrik Tenaga Air, dibawah bimbingan SURJONO H.SUTJAHJO, BUNASOR SANIM and SUNARYA.
RINGKASAN
Kebijakan berbasis sukarela dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan merupakan respon pragmatis organisasi (firma) atas kebutuhan publik pada lingkungan hidup yang bersih dengan cara fleksibel (Higley et al 2001). Pragmatis dalam suatu kebijakan tidak identik dengan oportunistik dan praktis-isme, namun mengacu pada keharusan bahwa setiap ide merujuk pada konsekuensi implementasinya, etis dan strategis untuk kepentingan publik bukan elite (Nugroho 2011). Pendekatan sering disebut swa-regulasi, inisiatif sukarela, kode sukarela, environmental charters, penjanjian sukarela, pengaturan lingkungan negosiasi. Secara taksonomi pendekatan ini dikelompokkan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu (1) komitmen unilateral yang dibuat oleh pencemar, (2) Perjanjian negosiasi antara institusi dan pihak yang berwenang, dan (3) skema sukarela publik yang dikembangkan oleh lembaga publik. ISO 14001 menjadi salah satu tool yang digunakan PLTA untuk menetapkan kebijakan dan pengelolaan sumberdaya air sehingga pemanfaatannya tetap menjaga kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk merumuskan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Tujuan spesifik penelitian yaitu untuk: (1) menganalisis kondisi perubahan penggunaan lahan dan kualitas sumberdaya air yang dimanfaatkan PLTA; (2) menganalisis tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder, serta landasan regulasi terkaitpengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA; (3) menganalisis nilaijasa lingkungan yang diberikan sumberdaya air PLTA secara berkelanjutan; dan (4) merumuskan model kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.
Kegiatan pengumpulan data penelitian di empat PLTA yaitu PLTA Saguling, PLTA Cirata, PLTA Tanggari I dan PLTA Tanggari II yang di laksanakan selama 14 bulan. Pemenuhan regulasi dilakukan dengan pendekatan deskriptif atas parameter kualitas air pada inlet dan outlet PLTA kurun waktu 2005 – 2010. Selain itu analis perubahan lahan DAS hulu dengan GIS based landsat image. Akseptasi stakeholder dianalisis dengan analisis stakeholder atas dasar justifikasi pakar. Regulasi saat ini ditinjau dengan legal review. Nilai jasa lingkungan dihitung dengan pendekatan Total Economic Value (TEV). Sedangkan pemilihan alternatif kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela dengan metode Analytical Hierarchy Process. Model dinamik dibangun berdasarkan basis data dan basis knowledge. Semua hasil analisis disintesis menjadi sebuah model konseptual kebijakan.
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik sumberdaya air berupa kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air yang dimanfaatkan PLTA saat ini menurun signifikan karena dipengaruhi perubahan penggunaan lahan pada DAS hulu PLTA. Perubahan penggunaan lahan terjadi pada DAS hulu PLTA Cirata dan Saguling (DAS Citarum) di Provinsi Jawa Barat, maupun DAS hulu PLTA
v
Tanggari I dan II (DAS Tondano) di Provinsi Sulawesi Utara dengan menganalisis citra satelit pada tahun 2001 dan tahun 2007.
Luas hutan pada DAS Waduk Saguling menurun pesat dari 38.139,80 ha (17,12%) pada tahun 2001 menjadi hanya 12.531 ha (5,62%) pada tahun 2007. Sementara pada DAS Waduk Cirata, luas hutan juga menurun pesat dari 87.817 ha (18,87%) pada tahun 2001 menjadi hanya 23.392 ha (5,03%) pada tahun 2007. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari hutan terutama menjadi perkebunan. Hasil interpretasi yang berbeda terjadi pada DAS Tondano, dengan luas hutan sebesar 18.323 ha pada tahun 2001 berubah menjadi sekitar 18.098 ha pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan terjadinya pengurangan luas hutan hanya sekitar 0,0021% setiap tahunnya.
Kualitas air waduk di lokasi studi, secara umum masih memenuhi peraturan pemerintah No. 82 Tahun 2001 (Kelas 4) yang berlaku untuk keperluan operasional PLTA. Hasil uji-T menunjukkan tidak ada perubahan nyata (α=0,005) kualitas air inlet dan outlet PLTA. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan PLTA tidak menambah beban pencemaran air. PLTA harus tetap menjaga kelestarian sumberdaya air sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2004 secara sukarela, guna mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
Akseptasi stakeholder merupakan hal sangat krusial dalam penerapan Sistem Manajemen Lingkungan di PLTA. PLTA belum memberi peluang yang cukup bagi stakeholder terkait untuk memberi input baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan sistem manajemen lingkungan dan melaksanakan komunikasi aktif dengan stakeholder kunci seperti Kementerian Kehutanan, PLN (Persero), Perhutani/HTI, Dinas LH, Dinas Kehutanan, Dinas PU, Perusahaan pengguna lainnya dan masyarakat. Selain itu masih terdapat stakeholderpendukung (sekunder) dan stakeholder eksternal yang bisa diajak bekerja sama dan diberdayakan untuk mendukung program perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela.
Terkait dengan pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku, PLTA berkomitmen untuk melakukan konservasi sumberdaya air sesuai dengan konsepsi yang terdapat dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya air, PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dan Kepmen LH Nomor KEP-02/MENKLH/I/1988 tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan.
Penerapan SML di PLTA memiliki nilai ekonomi jasa lingkungan yang cukup besar baik ditinjau dari nilai guna (use value), maupun nilai bukan guna (non-use value). Besar nilai ekonomi total (TEV) per tahun dari penerapan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA (1) Saguling mencapai Rp 885,95 milyar; (2) Cirata mencapai Rp 1.669,50 milyar; (3) Tanggari mencapai Rp 252,88 milyar..
Alternatif desain kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela pada PLTA yang diprioritaskan adalah insentif dan disinsentif. Faktor yang paling berpengaruh untuk melaksanakan alternatif di atas adalah tekanan pemerintah. Peran pemerintah sangat besar untuk implementasi kebijakan pendekatan sukarela ini. Kebijakan insentif dan disinsentif merupakan toolregulasi yang fundamental untuk mencapai tujuan perlindungan lingkungan berbasis sukarela. Namun demikian untuk tujuan kontinuitas PLTA, pengakuan
vi
publik dan liabilitas lingkungan diperlukan alternatif desain kebijakan penguatan infrastruktur kelembagaan dan institusional.
Model dinamik perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA bisa didesain berdasarkan basis data dan basis pengetahuan (knowledge). Kinerja sumberdaya air PLTA menjadi basis data pemodelan lingkungan (perubahan penggunaan lahan, kualitas, dan kuantitas air) serta nilai guna jasa lingkungan. Pemilihan kebijakan prioritas menggunakan AHP, hasil analisis stakeholder dan perhitungan nilai bukan guna jasa lingkungan menjadi basis knowledge pemodelan. Model dinamik mampu memperlihatkan proyeksi pilihan-pilihan kondisi di masa depan yang bisa dijadikan penunjang penetapan kebijakan terkait perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela.
Berdasarkan sistem input output dalam pengelolaan sumberdaya air terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh aspek kepentingan lingkungan hidup, kepentingan ekonomi, dan kepentingan sosial, serta aspek operasional. Kebijakan dalam aspek operasional terdiri dari: (1) program pemenuhan regulasi; (2) program penataan kelembagaan; serta (3) program implementasi insentif dan disinsentif. Kebijakan dalam aspek sosial terdiri dari: (1) program peningkatan komunikasi eksternal; dan (2) program pemberdayaan masyarakat. Kebijakan dalam aspek ekonomi terdiri dari: (1) program peningkatan nilai jasa lingkungan sumberdaya air. Kebijakan dalam aspek lingkungan terdiri dari: (1) program perbaikan penggunaan lahan; dan (2) program peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya air.
Pengembangan infrastruktur kelembangaan dan institusional pendekatan sukarela kelihatannya dapat meningkatkan pengakuan masyarakat termasuk investor. Independensi lembaga dan transparansi pelaksanaan perlu dikembangkan termasuk memberi ruang bagi stakeholder dalam pengembangan infrastuktur ini. Sementara dari sisi pendanaan, pengelola PLTA berperan aktif sebagai leadingsektor secara operasional menyisihkan sebagain keuntungannya untuk pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan. Mekanisme yang digunakan melalui biaya sukarela (Corporate Sosial Responsibility – CSR) maupun skema pengelolaan nilai jasa lingkungan lainnya berdasarkan kesadaran dan partisipasi semua pihak.
Keywords: pendekatan sukarela, perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air, Pembangkit Listrik Tenaga Air, model konseptual kebijakan sukarela.
vii
©Hak cipta milik IPB, tahun 2012Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB.
viii
KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BERBASIS SUKARELA
DI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA AIR
ZAKIYAH
DisertasiSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor Pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2012
ix
Penguji pada ujian tertutup : Dr. Ir. Etty Riani, MS
Dr. Ir. M. Yanuar Jarwadi Purwanto, MS.
Penguji pada ujian terbuka : Dr. Albert Napitupulu, SE., MSi.
Dr. Zulkifli Rangkuti, SE., MM., MSi.
x
Judul Disertasi : Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Air Berbasis Sukarela di Pembangkit Listrik Tenaga Air
Nama : Zakiyah
NIM : P062040151
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. Ketua
Prof. Dr. Bunasor Sanim, M.Sc. Drs. Sunarya, Ph.D Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah,M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 7 Januari 2012 Tanggal Lulus : .....................
xi
PRAKATA
Seiring dengan meluasnya konteks pembangunan berkelanjutan yang mengkaitkan korporasi dengan isu sosial dan lingkungan hingga penggunaan sumberdaya dan teknologi, memunculkan pendekatan kebijakan perlindungan lingkungan berbasis sukarela (voluntary approach) untuk membangun perilaku industri dalam mengurangi polusi. Suatu pendekatan yang melengkapi pendekatan berbasis hukum dan paradigma ekonomi yang telah dikenal sebelumnya. Fleksibilitas yang ditawarkan menjadikan konsep ini sangat diminati karena perusahaan dapat merespon dengan cepat kebutuhan stakeholder akan perlindungan lingkungan melalui berbagai inovasi sesuai dengan skala dan kondisi mereka tanpa mengabaikan perundang-undangan dan kewajiban yang terkait bagi dirinya. Sekilas esensi ini menjadi bagian penting dari disertasi yang berjudul “Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Sumberdaya Air Berbasis Sukarela di PLTA”.
Dalam proses pembuatan disertasi tidak terlepas dari proses diskusi akademik yang intensif dengan para pembimbing yakni : Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS (Ketua), Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc. (anggota) dan Drs. Sunarya, Ph.D (anggota). Para pembimbing telah memberikan masukan berupa kritik dan saran terhadap disertasi dan memberi pengayaan terhadap perkembangan intelektual penulis. Oleh karenanya tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana,MS selaku Ketua Program StudiPengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas dukungan, motivasi dan pelayanan akademik yang baik selama masa studi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di IPB. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Badan Standardisasi Nasional yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Manajemen PLTA Saguling, Manajemen PLTA Cirata, Manajemen PLTA Tanggari I, dan Manajemen PLTA Tanggari II yang telah menerima penulis untuk melakukan penelitian. Akhirnya penulis juga menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta atas dorongan dan doanya yang tidak pernah putus siang-malam.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, pengembangan kebijakan perlindungan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang.
Bogor, Januari 2012
Zakiyah
xii
RIWAYAT HIDUP
Zakiyah dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Oktober 1964 dari pasangan H. Marzuki dan Hj. Maswa. Anak kesepuluh dari dua belas bersaudara ini menikah dengan Prof. Dr. Dwi Purwoko, MS dan dikaruniai putri yang bernama Nabila.
Pendidikan sarjana diselesaikan di Institut Teknologi Bandung Jurusan Kimia. Pendidikan Strata 2 di selesaikan pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ipwija. Kemudian melanjutkan Strata 3 di Institut Pertanian Bogor, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Kini penulis bekerja di Badan Standardisasi Nasional (BSN). Sebelum bergabung di BSN, penulis bekerja di Pusat Standardisasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Selama bekerja penulis pernah menjadi peneliti LIPI dan pernah dipercaya sebagai Kepala Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN dan Direktur Akreditasi Lembaga Sertifikasi Komite Akreditasi Nasional (KAN). Saat ini penulis menjadi Management Representative BSN, dan di tingkat regional menjadi Quality Manager for Pacific Accredition Cooperation (PAC). Penulis juga menjadi salah satu anggota (expert) di ISO/CASCO WG 30 bidang Conformity Assessment - Personnel Certification System.
Salah satu tulisan yang dimuat di jurnal terakreditasi terkait dengan disertasi ini adalah Akseptasi stakeholder terhadap program lingkungan berbasis ISO 14001: studi kasus PLTA pada Majalah Berita Iptek (BIPT) LIPI edisi 49 Tahun 2011.
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xvi
DAFTAR TABEL ..........................................................................................xviii
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xix
I. PENDAHULUAN........................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .........................................................................................1
1.2. Kerangka Pemikiran.................................................................................4
1.3. Perumusan Masalah..................................................................................6
1.4. Tujuan Penelitian ...................................................................................10
1.5. Manfaat Penelitian .................................................................................10
1.6. Novelty (Kebaruan)................................................................................10
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 12
2.1. Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan............................13
2.2. Kebijakan Perlindungan Lingkungan Pendekatan Sukarela.....................17
2.3. Sistem Manajemen Lingkungan..............................................................20
2.3.1. Komitmen dan Kebijakan Lingkungan........................................22
2.3.2. Tinjauan Lingkungan Awal.........................................................23
2.3.3. Perencanaan Kebijakan Lingkungan ...........................................23
2.3.4. Implementasi Kebijakan Lingkungan..........................................25
2.3.5. Pengukuran dan Evaluasi ............................................................26
2.3.6. Audit dan Tinjauan Manajemen ..................................................26
2.3.7. Komunikasi dan Pelaporan Lingkungan......................................27
2.4. Sumberdaya Air dan Pemanfaatanya ......................................................27
2.4.1. Jasa Lingkungan Sumberdaya Air...............................................36
2.4.2. Metode Valuasi Ekonomi............................................................39
2.4.3. Metode Valuasi Kontingensi (Contingent Valuation Method) .....40
2.4.4. Metode Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method) .............41
2.4.5. Perhitungan Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA.................42
2.5. Pendekatan Sistem .................................................................................45
xiv
III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 48
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................48
3.2. Tahapan Penelitian .................................................................................50
3.3. Penentuan Responden.............................................................................53
3.3.1. Responden Pakar ........................................................................53
3.3.2. Responden Valuasi Ekonomi ......................................................53
3.4. Jenis dan Sumber Data ...........................................................................54
3.5. Metode Pengumpulan Data.....................................................................54
3.6. Metode Analisis Data .............................................................................56
3.6.1. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan .......................................56
3.6.2. Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) .............................56
3.6.3. Analisis Legal Review.................................................................57
3.6.4. Analisis Stakeholder ...................................................................57
3.6.5. Analytical Hierarchy Process (AHP) ..........................................59
3.6.6. Analisis Kebijakan......................................................................63
3.6.7. Analisis Sistem Dinamik.............................................................64
3.6.8. Verifikasi dan Validasi ...............................................................64
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 66
4.1. Gambaran Umum PLTA ........................................................................66
4.1.1. PLTA Saguling dan Cirata di Provinsi Jawa Barat ......................66
4.1.2. PLTA Tanggari I dan II di Provinsi Sulawesi Utara ...................69
4.2. Perubahan Penggunaan Lahan di Wilayah PLTA....................................70
4.2.1. Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Citarum ......................70
4.2.2. Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Tondano .....................77
4.3. Kualitas Air Sungai di Wilayah PLTA....................................................81
4.3.1. Kualitas Air Sungai di PLTA Saguling dan Cirata ......................82
4.3.2. Kualitas Air Sungai di PLTA Tanggari I dan II ...........................85
4.4. Institusi dan Regulasi Terkait Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA.........89
4.4.1. Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA..............90
4.4.2. Tinjauan Regulasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA .........................................................................................94
4.5. Nilai Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA ......................................97
xv
4.5.1. Nilai Ekonomi Total Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA Saguling dan Cirata di Provinsi Jawa Barat ......................98
4.5.2. Nilai Ekonomi Total Jasa Lingkungan Sumberdaya AirPLTA Tanggari I dan II di Provinsi Sulawesi Utara .................. 106
4.6. Prioritas Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA ...................... 109
4.6.1. Struktur AHP dan Nilai Eigen................................................... 110
4.6.2. Kontribusi Peran Setiap Level................................................... 113
4.6.3. Pengembangan Keputusan Alternatif Kebijakan ....................... 116
4.7. Model Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA............................ 119
4.7.1. Sub-model Sosial...................................................................... 122
4.7.2. Sub-model Lingkungan............................................................. 123
4.7.3. Sub-model Ekonomi ................................................................. 124
4.7.4. Skenario Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA........................... 127
4.7.5. Validasi Model ......................................................................... 129
4.8. Model Konseptual Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA....... 131
4.9. Implikasi Kebijakan ............................................................................. 134
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 138
5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 138
5.2. Saran.................................................................................................... 140
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 144
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran kebijakan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.................................................... 6
2. Perumusan masalah perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. ........................................................................... 8
3. Model sistem manajemen lingkungan (Sumber: ISO 2004). ........................ 21
4. Komponen SML dan interaksinya (Sumber: Cheremisinoff 2006) .............. 22
5. Nilai ekonomi total ekosistem air (Kamer 2005). ........................................ 39
6. Metode valuasi lingkungan (Sumber: Rianse 2010)..................................... 40
7. Diagram input-output model perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela .................................................................................... 46
8. Lokasi penelitian : (a) DAS PLTA Saguling dan (b) DAS PLTA Cirata di Propinsi Jawa Barat..................................................................................... 49
9. Lokasi penelitian PLTA Tanggari di Propinsi Sulawesi Utara ..................... 50
10. Tahapan pelaksanaan penelitian .................................................................. 52
11. Tingkat pengaruh dan kepentingan berbagai stakeholder............................. 58
12. Desain struktur hierarki analitik kebijakan perlindungan dan
pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. ............................................ 60
13. Citra satelit pada DAS Citarum: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007 ............ 71
14. Penggunaan lahan DAS Saguling: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007. ........ 72
15. Penggunaan lahan DAS Cirata: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.............. 73
16. Citra satelit pada DAS Tondano: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007 ........... 78
17. Penggunaan lahan DAS Tondano pada tahun 2001...................................... 78
18. Penggunaan lahan DAS Tondano pada tahun 2007...................................... 79
19. Nilai median konsentrasi COD di PLTA Tanggari I tahun 2005-2010 ......... 88
20. Nilai median konsentrasi COD di PLTA Tanggari II 2005-2010 ................. 88
21. Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya ..................................................................... 91
22. Struktur AHP dan nilai eigen pada hirarki model disain
kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.................................................................................................... 112
23. Kontribusi faktor terhadap alternatif kebijakan.......................................... 113
24. Kontribusi aktor terhadap alternatif kebijakan. .......................................... 114
xvii
25. Kontribusi tujuan terhadap alternatif kebijakan. ........................................ 115
26. Pengambilan keputusan dengan cara histogram dalam penetapan
kebijakan perlindungan lingkungan sukarela di PLTA.............................. .116
27. Pengambilan keputusan dengan cara scatter plot dalam
penetapan kebijakan perlindungan lingkungan sukarela di PLTA ...............117
28. Diagram simpul kausal (causal loop) model pengelolaan sumberdaya air
di PLTA.................................................................................................. ..120
29. Stock flow diagram model pengelolaan sumberdaya air PLTA
berbasis sukarela ........................................................ ...............................121
30. Hasil simulasi jumlah penduduk................................................................ 122
31. Hasil simulasi perubahan penggunaan lahan ............................................. 123
32. Hasil simulasi nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air ........................ 125
33. Hasil simulasi nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air ............... 126
34. Hasil simulasi skenario penggunaan lahan................................................ 128
35. Perbandingan jumlah penduduk aktual dan simulasi.................................. 130
36. AME dari hasil validasi jumlah penduduk aktual dan simulasi .................. 131
37. Model konseptual pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela.... 133
xviii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ................................15
2. Matriks rangkuman metode penelitian ........................................................55
3. Matriks perbandingan berpasangan berdasarkan skala Saaty ......................61
4. Nilai indeks random ...................................................................................62
5. Perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Saguling...........................74
6. Perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata ..............................75
7. Perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano.......................................80
8. Hasil uji T kualitas air di PLTA Saguling ..................................................82
9. Hasil uji T kualitas air di PLTA Cirata ........................................................83
10. Hasil uji T kualitas air di PLTA Tanggari I .................................................86
11. Hasil uji T kualitas di PLTA Tanggari II .....................................................87
12. Matrik analisis stakeholder perlindungan sumberdaya air di PLTA .............90
13. Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Saguling ........ 103
14. Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Cirata............. 106
15. Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Tanggari I dan II............................................................................................................... 108
16. Nilai kontribusi faktor dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela .................................... 113
17. Nilai kontribusi aktor dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela .................................... 114
18. Nilai kontribusi tujuan dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela .............................................................. 115
19. Nilai alternatif kebijakan perlindungan lingkungan sukarela...................... 116
20. Hasil simulasi Hasil simulasi perubahan penggunaan lahan....................... 124
21. Hasil simulasi nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air ......................... 125
22. Hasil simulasi nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air ............... 126
23. Hasil simulasi nilai total jasa lingkungan sumberdaya air .......................... 127
24. Hasil simulasi skenario perubahan penggunaan lahan................................ 129
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kualitas Air Rata-rata Inlet dan Oulet di PLTA Saguling Tahun 2005-2010 ...........................................................................................................15
2. Kualitas Air Rata-rata Inlet dan Oulet di PLTA Cirata Tahun 2005-2010 ...55
3. Kualitas Air Rata-rata Inlet dan Oulet di PLTA Tanggari I Tahun 2005-2010 ...........................................................................................................61
4. Kualitas Air Rata-rata Inlet dan Oulet di PLTA Tanggari II Tahun 2005-2010 ...........................................................................................................62
5. Dinamika Sebaran Kualitas Air Inlet dan Oulet di PLTA Saguling Tahun 2005-2010...................................................................................................74
6. Dinamika Sebaran Kualitas Air Inlet dan Oulet di PLTA Cirata Tahun 2005-2010 ..................................................................................................75
7. Dinamika Sebaran Kualitas Air Inlet dan Oulet di PLTA Tanggari I Tahun 2005-2010 .......................................................................................80
8. Dinamika Sebaran Kualitas Air Inlet dan Oulet di PLTA Tanggari IITahun 2005-2010 ......................................................................................82
9. Rincian Nilai Ekonomi Total (TEV) Jasa Lingkungan Sumberdaya Air ...... 83
10. Model Perlindungan dan Pengelolaan Sumberdaya air di PLTA Berbasis Sukarela......................................................................................................86
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konsep pembangunan berkelanjutan yang menekankan perlunya
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkesinambungan untuk
memenuhi kebutuhan antar generasi, mendorong dilakukannya penggunaan
sumberdaya secara efisien. Oleh karena itu dikembangkan sejumlah kebijakan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang menguraikan prinsip dan
instrumen lingkungan sebagai acuan semua pihak yang berkepentingan (WCED
1987).
Kebijakan lingkungan yang awalnya dikembangkan dengan pendekatan
command and control dan hanya menjadi domain regulator, selanjutnya
menggunakan pendekatan baru yang lebih lentur untuk membangun perilaku
industri dalam mengurangi polusi (Hart 1997). Hal ini disebabkan berkembangnya
konteks pembangunan berkelanjutan yang mengkaitkan penggunaan sumberdaya
dan teknologi yang digunakan oleh perusahaan dengan isu sosial dan lingkungan.
Pendekatan ini disebut dengan pendekatan sukarela (voluntary approach) (Higley
et al. 2001; Potoski & Prakash 2003).
Kebijakan perlindungan lingkungan berbasis sukarela memberi kelenturan
kepada organisasi (industri, perusahaan, firma) untuk meningkatkan kinerja
lingkungan sesuai dengan aktivitas yang mereka lakukan (Barde 2000). Organisasi
dapat mengambil tindakan dengan segera untuk menyelesaikan masalah
lingkungan yang dihadapi, tanpa menunggu adanya aturan legislasi atau
ketentuan pajak terlebih dahulu (OECD 2003).
Pendekatan ini diyakini mampu memberi manfaat bagi masyarakat, industri
dan pemerintah. Masyarakat memperoleh manfaat berupa lingkungan hidup yang
baik; organisasi dapat menekan biaya melalui penggunaan sumberdaya secara
efisien; dan pemerintah juga dapat mengurangi kegiatan pemantauan yang
akhirnya menurunkan beban administrasi maupun biaya penegakan hukum
(Potoski 2003; Uchida 2004).
2
Salah satu tool yang banyak diacu oleh organisasi untuk memperagakan
komitmen mereka terhadap perlindungan lingkungan sekaligus untuk memenuhi
peraturan perundang-undangan adalah standar sistem manajemen lingkungan yang
diterbitkan oleh International Organization for Standardization (ISO). Beberapa
penelitian dan kajian mengenai penerapan standar ini menunjukkan bahwa
organisasi dapat mengurangi polusi secara progresif dan memenuhi peraturan
perundangan-undangan yang lebih baik (Dasgupta et al. 2000); menghemat biaya
dan mencegah isu lingkungan yang tidak diharapkan (Wesly & Rogoff 2008);
membangun corporate image (Yusoff et al. 2010); dan program sukarela berbasis
standar mampu mendorong terciptanya rantai nilai korporasi multinasional antara
perusahaan dan pemasok (Prakash et al. 2006).
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebagai salah satu pihak yang
memanfaatkan sumberdaya air dalam kegiatan industrinya, sangat tergantung pada
ketersediaan sumberdaya air baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Oleh
karena itu, PLTA berkepentingan untuk melakukan berbagai tindakan
perlindungan lingkungan. Saat ini, tindakan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air di banyak PLTA masih banyak terpola pada ketentuan yang
terdapat di dalam aturan legislasi dan cenderung terbatas pada penyampaian
laporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana
pemantauan lingkungan (RPL). Pengelolaan sumberdaya air oleh PLTA perlu
dilakukan dengan pendekatan sukarela, karena PLTA dapat mengkreasikan
tindakan perlindungan dan pengelolaan sumber daya air sesuai dengan keperluan
dan tanggungjawabnya. Selaku pemanfaat sumberdaya air, PLTA selain harus
memperhatikan persyaratan teknis juga memiliki tanggungjawab untuk menjaga
fungsi sumberdaya air setelah digunakannya agar tetap bisa dimanfaatkan oleh
pihak lain. Sumberdaya air harus dikelola sebagai sumberdaya yang terbatas dan
vulnarable, serta sumberdaya alam yang bernilai ekonomi.
Menurut Sanim (2011), UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
secara eksplisit merupakan kontrak sosial antara pemerintah dan warga negaranya,
serta menjamin akses setiap orang ke sumber air untuk mendapatkan air.
Sumberdaya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, serta ekonomi yang
diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Hal ini menunjukkan bahwa
3
pemanfaataan dan peruntukan sumberdaya air lebih diprioritaskan untuk
kepentingan umum dari pada kepentingan individu. Fungsi lingkungan hidup
menempatkan sumberdaya sebagai bagian dari ekosistem, dan tempat
kelangsungan hidup flora dan fauna. Sedangkan fungsi ekonomi lebih
menekankan pada pendayagunaan air untuk menunjang kehidupan usaha.
Komitmen untuk mencegah terjadinya pencemaran, mengharuskan PLTA
untuk memastikan bahwa bahan baku (material) yang digunakannya memenuhi
ketentuan teknis maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. PLTA
juga harus memastikan air yang dilepaskan ke badan sungai tidak mengurangi
fungsinya untuk dimanfaatkan pihak lainnya. Selain itu daya air yang dikonversi
menjadi energi listrik berasal dari air sungai yang tergolong barang publik yang
tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama
(global common/common resources) dan memiliki nilai intrinsik yang harus
diasumsikan terbatas dan langka (Sanim 2011).
Berdasarkan paparan di atas, perlu dilakukan penelitian perlindungan dan
pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Inisiatif pengendalian
aspek lingkungan dari pemanfaatan sumberdaya air untuk mencegah dampak
negatif lingkungan, tidak hanya memberi manfaat bagi PLTA tetapi juga bagi
ekosistem dan stakeholder lainnya. PLTA harus memahami secara baik kondisi
sumberdaya air, serta pandangan dan tekanan stakeholder dalam pengembangan
kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. Selain
itu, nilai jasa lingkungan sumberdaya air perlu dihitung guna meningkatkan
pemahaman pentingnya nilai ekonomi sumberdaya air. Penelitian ini diharapkan
dapat memberi gambaran kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air
berbasis sukarela di PLTA secara jelas untuk dipertimbangkan dalam
pengambilan kebijakan yang bisa mendorong pencapaian tujuan pembangunan
berkelanjutan.
Penelitian dirancang terhadap PLTA yang telah mendapat sertifikat ISO
14001 yang berada di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa dengan karakteristik
tekanan populasi penduduk, kebutuhan energi listrik, kapasitas produksi, dan jenis
bendung yang relatif berbeda. PLTA Saguling dan Cirata di Provinsi Jawa Barat
menjadi objek penelitian mewakili PLTA di Pulau Jawa, sementara PLTA
4
Tanggari I dan II di Provinsi Sulawesi Utara menjadi objek penelitian mewakili
PLTA di luar Pulau Jawa.
PLTA Saguling dan Cirata berada pada wilayah dengan tekanan populasi
dan kebutuhan energi tinggi, sehingga relatif berada pada lingkungan dengan
tingkat perubahan penggunaan lahan yang tinggi juga. Selain itu, PLTA ini
memiliki kapasitas produksi yang cukup besar dan berada pada waduk yang
memiliki bendungan buatan dengan genangan relatif luas. Sementara PLTA
Tanggari I dan II berada pada wilayah dengan tekanan penduduk dan kebutuhan
energi yang relatif lebih rendah, sehingga berada pada lingkungan dengan tingkat
perubahan penggunaan lahan yang lebih rendah juga. PLTA ini juga merupakan
PLTA yang tidak berada di waduk, tetapi langsung di badan sungai dengan
mengalirkan langsung air sungai (run off river) ke dalam instalasi pembangkitan,
serta memiliki kapasitas produksi yang lebih kecil. Perbedaan karakteristik
tersebut diperkirakan memberikan perilaku sumberdaya alam yang relatif berbeda,
sehingga perlu dikaji pendekatan perlindungan dan pengelolaan lingkungannya.
1.2. Kerangka Pemikiran
Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air menyatakan
bahwa “Sumberdaya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan
ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras”. Pengelolaan
sumberdaya air perlu mempertimbangkan prinsip pendekatan holistik, yang
mengkaitkan pembangunan sosial dan ekonomi dengan perlindungan ekosistem
alam; pendekatan partisipasi yang melibatkan para pengguna, perencana dan
pembuat keputusan; serta mengakui hak asasi manusia untuk memperoleh akses
terhadap air dan sanitasi yang bersih dengan harga yang tinggi. Inisiatif sukarela
dalam perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air dapat memperkuat dan
mempercepat tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan, karena bergeraknya
semua komponen atau stakeholder secara sukarela untuk melindungi sumberdaya
air.
Meskipun secara teoritis total volume air di permukaan bumi relatif tetap,
dan air akan selalu ada karena air bersirkulasi secara berkesinambungan dari bumi
ke atmosfir dan kembali ke bumi ini relatif tetap. Namun ketersediaan air pada
5
tempat yang sesuai sepanjang waktu baik kuantitas maupun kualitas yang
memadai akan terancam jika dalam pengelolaannya tidak mengindahkan prinsip
pelestarian (Cunningham et al. 1999; Titienberg 2003) dan pertimbangan ekonomi
(Sanim 2011).
Pemanfaatan sumberdaya air yang tidak dikendalikan secara bijaksana dapat
menurunkan kemampuan sumberdaya tersebut dalam memberikan jasa
lingkungannya. Pemanfaatan sumberdaya air dan perubahan penggunaan lahan di
wilayah hulu menghasilkan dinamika kuantitas dan kualitas air. Tidak hanya
PLTA yang memperoleh implikasi dari kerusakan sumberdaya air tetapi juga
pemanfaat air sungai lainnya.
Secara umum, saat ini kondisi sumberdaya air pada PLTA di Jawa Barat
(Saguling dan Cirata) serta PLTA di Sulawesi Utara (Tanggari I dan II) terancam
oleh menurunnya kualitas dan kuantitas air akibat adanya perubahan penggunaan
lahan pada DAS hulu PLTA (Gambar 1). Untuk mengantisipasi hal tersebut dan
mendukung tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan, perlu dilakukan
pengelolaan sumberdaya air secara komprehensif. Pengelolaan yang bersifat
komprehensif ini diharapkan mampu mendorong kebijakan yang bisa mendukung
perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air oleh PLTA berbasis sukarela.
Kondisi tersebut mendorong pengelola PLTA untuk meningkatkan
kepedulian terhadap pencapaian kinerja lingkungan melalui berbagai
pengendalian dampak lingkungan yang diakibatkannya sesuai dengan kebijakan
dan tujuan lingkungan mereka. Inisiatif sukarela dan pemenuhan amanat regulasi
tentang sumberdaya air diharapkan mampu menjadi solusi terhadap permasalahan
yang mengancam kelestarian sumberdaya air di PLTA.
Pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela ini bisa diterapkan PLTA
dengan melakukan komunikasi eksternal dengan seluruh pihak terkait
(stakeholder) untuk secara aktif bersama-sama melakukan program yang
mendukung pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan. Program-program
tersebut antara lain perbaikan kelembagaan dan pelaksanaan regulasi berbasis
sukarela. Kelembagaan yang kuat dengan dasar regulasi diharapkan mampu
berperan melakukan perbaikan kondisi lingkungan, khususnya penggunaan lahan
pada DAS hulu PLTA guna meningkatkan perbaikan kualitas dan kuantitas
6
sumberdaya air. Selain itu, perlu dilakukan inventarisasi, sosialisasi, edukasi dan
diseminasi tentang pentingnya nilai ekonomi jasa lingkungan sumberdaya air.
Gambar 1 Kerangka pemikiran kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.
Implementasi semua program tersebut diharapkan mampu mendukung
perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air dalam kerangka mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan perumusan model
kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela oleh
PLTA melalui kajian yang mendalam dan komprehensif.
1.3. Perumusan Masalah
Air merupakan barang yang sangat esensial bagi keberlangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lainnya di planet ini. Air berfungsi penting bagi
budidaya pertanian, industri pembangkit tenaga listrik dan transportasi dan fungsi
sosial lainnya, dan semuanya berharap air memiliki nilai yang sangat tinggi
(Sanim 2011). Seiring dengan bertambahkanya penduduk dan pembangunan
ekonomi, maka permintaan air menjadi terus meningkat. Sementara pasokan air
7
semakin kritis. Hal ini membawa konsekuensi fungsi dari air sering terganggu
(Fauzi 2004).
Pada sisi lain, pemanfaatan air sungai oleh banyak pihak (industri, rumah
tangga dan pertanian) membawa dampak terhadap kualitas air. Umumnya
keluaran air yang berasal dari lokasi kegiatan tersebut langsung masuk ke dalam
daerah aliran sungai tanpa adanya suatu penyangga, baik berupa pengolahan
limbah rumah tangga, industri maupun pertanian. Jumlah keseimbangan bahan
juga berkontribusi pada tingkat polusi yang akan ditimbulkan oleh kegiatan
tersebut (Tjokrokusumo et al. 2000).
Pemanfaatan lahan di daerah hulu atau kawasan greenbelt, atau
penggundulan hutan berpengaruh terhadap infiltrasi dan aliran permukaan. Tanpa
adanya tetumbuhan di atas permukaan tanah, air akan mengalir lebih cepat secara
signifikan. Aliran dari lahan gundul umumnya lebih banyak membawa sedimen
(Indarto 2010). Erosi yang terjadi dengan adanya aliran permukaan yang terbawa
oleh sungai akhirnya masuk ke dalam waduk dan terendapkan pada dasar waduk,
lebih lanjut akan mempengaruhi debit air yang masuk. Permasalahan lain pada
sungai atau waduk adalah banyak sampah organik dan non organik baik dari
kegiatan KJA maupun perubahan fungsi lahan.
Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sangat tergantung pada ketersediaan
sumberdaya air dimana sumber air tersebut berada sehingga layak dalam jangka
panjang dan bisa mendukung kontinuitas operasional pembangkit tersebut (Afandi
2010). Ketersediaan air sungai yang masuk dan keluar dari aliran sungai sangat
mempengaruhi kontinuitas produksi listrik yang dihasilkannya. Korosi pada
instalasi pembangkit tenaga listrik sangat dipengaruhi oleh menurunnya kualitas
air dari faktor lingkungan di sekitar (fisika, kimia dan biologi). Korosi pada
instalasi pembangkit tenaga listrik telah terlihat pada turbin, pemutar poros,
radiator dan sistem pendingin yang terbuat dari logam. Apabila ini terjadi maka
biaya pemeliharaan semakin tinggi dan operasional pembangkit menjadi
terganggu (Putra 2010). Alur rumusan masalah dalam pengelolaan sumberdaya
air di PLTA tersebut disajikan dalam Gambar 2.
8
Gambar 2 Perumusan masalah perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.
PLTA yang diteliti memanfaatkan aliran air (pasokan air dari air permukaan
dan air tanah) Sungai Citarum di Jawa Barat untuk PLTA Saguling dan PLTA
Cirata, dan aliran Sungai Tondano di Sulawesi Utara untuk PLTA Tanggari I dan
Tanggari II. Dalam kegiatan PLTA, energi potensial dari dam atau air terjun
diubah menjadi energi mekanik dengan bantuan turbin, dan selanjutnya menjadi
energi listrik dengan bantuan generator.
Keberadaan air sungai atau waduk menempati posisi sentral untuk
menjamin ketersediaan air dan sumber energi untuk pembangkit listrik guna
memenuhi kebutuhan dan menjamin aktivitas sosial, ekonomi dan pembangunan.
Pemanfaatan air oleh PLTA sebagai bahan baku untuk menghasilkan listrik, akan
memberikan dampak negatif jika pengelolaannya tidak mengindahkan
pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Sebagai salah satu aktor dalam
9
pemanfaatan sumberdaya air, keempat PLTA yang diteliti mengambil tindakan
perlindungan lingkungan secara proaktif melalui penerapan sistem manajemen
lingkungan. Suatu sistem yang menawarkan fleksibilitas yang bertanggungjawab
bagi perusahaan untuk menetapkan kebijakan dan program lingkungan sesuai
dengan sifat dan karakteristik PLTA, dan menggunakan pendekatan Plan–Do–
Check–Action (PDCA) untuk memperoleh hasil dan memberi keuntungan dalam
konteks sosial ekonomi secara optimal
PLTA yang telah menerapkan basis sukarela melakukan tindakan
perlindungan sumberdaya air secara terprogram agar tidak terjadi penurunan
kualitas air dan mempertahankan ketersediaan air yang dibutuhkannya. Kualitas
air harus memenuhi peraturan perundangan yang ditetapkan pemerintah dan
ketetapan lain yang berlaku. Pemanfaatan sumberdaya air yang memiliki banyak
fungsi, memberi karakteristik unik bagi PLTA dalam penetapan program
lingkungannya. Program lingkungan PLTA tidak bisa berdiri sendiri, PLTA perlu
mempertimbangkan masukan dan tanggapan stakeholder. Akseptabilitas
stakeholder akan mempercepat pencapaian target dan tujuan lingkungan PLTA.
Hal ini bisa didukung dengan melakukan inventarisasi dan perhitungan, serta
peningkatan pemahaman semua stakeholder tentang pentingnya nilai valuasi
ekonomi jasa lingkungan yang berasal dari pemanfaatan air. Dengan demikian
dari waktu ke waktu, perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air yang
dilakukannya akan memberikan benefit kepada PLTA dan lingkungan hidup
secara berkelanjutan.
Dari uraian diatas, permasalahan penelitian dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi perubahan penggunaan lahan, serta pengaruhnya terhadap
kualitas dan kuantitas sumberdaya air yang dimanfaatkan PLTA ?
2. Bagaimana tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder, serta landasan
regulasi terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA ?
3. Berapa besar nilai jasa lingkungan yang diberikan sumberdaya air PLTA secara
berkelanjutan ?
4. Bagaimana model kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air
berbasis sukarela di PLTA ?
10
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk merumuskan kebijakan
perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Untuk
mencapai tujuan umum tersebut terdapat tujuan spesifik penelitian yaitu:
1. Menganalisis kondisi perubahan penggunaan lahan dan kualitas sumberdaya air
yang dimanfaatkan PLTA;
2. Menganalisis tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder, serta landasan
regulasi terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA;
3. Menganalisis nilai jasa lingkungan yang diberikan sumberdaya air PLTA
secara berkelanjutan;
4. Merumuskan model kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air
berbasis sukarela di PLTA.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA memiliki nilai strategis dalam
pembangunan berkelanjutan. Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:
1. Menjadi acuan dalam penyusunan dan perencanaan pemanfaatan sumberdaya
air secara efektif, berkeadilan dan berkelanjutan;
2. Sebagai pertimbangan pengambil keputusan dalam merumuskan dan
menetapkan aturan maupun kebijakan perlindungan lingkungan;
3. Memperbanyak khasanah ilmiah di bidang perlindungan lingkungan dengan
pendekataan sukarela.
1.6. Novelty (Kebaruan)
Desain perlindungan lingkungan selama ini masih menggunakan pendekatan
mandatori (command and control) dimana peran regulator sangat dominan dan
adanya keterbatasan ruang inovasi bagi perusahaan untuk melakukan perbaikan
lingkungan. Sementara dalam penelitian ini menghasilkan desain kebijakan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang berbeda dari pendekatan
mandatori. Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem (system approach)
yang menggabungkan tiga aspek secara bersama yaitu: (1) aspek perbaikan
11
karakteristik sumberdaya air; (2) aspek perbaikan kelembagaan dan pemenuhan
regulasi; serta (3) aspek pemahaman nilai ekonomi jasa lingkungan sumberdaya
air melalui komunikasi eksternal dengan pendekatan sukarela. Ketiga aspek ini
menjadi pilar utama dalam desain model kebijakan berbasis sukarela yang
mendudukkan peran perusahaan dan stakeholder secara bijaksana dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan ekonomi seringkali menghadapi trade-off antara pemenuhan
kebutuhan pembangunan dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan.
Ketersediaan sumberdaya alam yang terbatas menyebabkan penyediaan barang
dan jasa tidak akan bisa dilakukan secara terus menurus (Fauzi 2004). Isu
keberlanjutan sudah dimulai tahun 1798 ketika Malthus mengkhawatirkan
ketersedian lahan akibat ledakan penduduk Inggris tumbuh pesat. Kemudian
semakin menjadi perhatian saat Meadow menyimpulkan dalam buku the Limit to
Growth bahwa pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi oleh ketersediaan
sumberdaya alam (Meadow 1972).
Generasi kini yang memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan
memiliki kewajiban moral untuk menyisakan layanan sumberdaya alam untuk
generasi mendatang, yaitu dengan tidak mengekstraksi sumberdaya alam yang
menghilangkan kesempatan generasi mendatang untuk menikmati layanan yang
sama. Keanekaragaman hayati yang dimiliki sumberdaya alam memiliki nilai
ekologi yang sangat tinggi sehingga aktivitas ekonomi perlu memperhatikan
fungsi ekologi tersebut. Pemanfaatan sumberdaya alam perlu memberi manfaat
dan kesejahteraan antar generasi ( Perman et al. dalam Fauzi 2004).
Paradigma pembangunan berkelanjutan yang mengkaitkan hubungan tujuan
ekosistem, ekonomi dan sosial, menghendaki manusia untuk selalu
mempertimbangkan resiko lingkungan, memberi value sumberdaya alam dan
biaya sosial yang akan ditanggung masyarakat dan lingkungan ketika sumberdaya
alam tersebut akan dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan ekonomi. Konsepsi
pembangunan berkelanjutan ini diperluas oleh World Business Council on
Sustainable Development yang mengkaitkan peran korporasi dengan isu sosial,
lingkungan, dan politik dengan memberi peluang kepada stakeholder untuk
mendiskusikan penyelesaian problem pembangunan berkelanjutan secara bersama
(Demirag et al. 2005).
PLTA merupakan salah satu kegiatan yang mengggunakan sumberdaya air
perlu mengkaitkan aktivitasnya dengan paradigma pembangunan berkelanjutan.
13
PLTA perlu memposisikan air sebagai sumberdaya alam yang terbatas dan
memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya air harus diikuti
dengan upaya mencegah terjadinya kelangkaan air atau terbatasnya fungsi
sumberdaya air.
PLTA bekerja dengan cara merubah energi potensial (dari dam atau air
terjun) menjadi energi mekanik dengan bantuan turbin dan dari energi mekanik
menjadi energi listrik dengan bantuan generator. Komponen dasar PLTA berupa
dam, turbin, generator dan transformator. Dam berfungsi untuk menampung air
dalam jumlah besar karena turbin memerlukan pasokan air yang cukup dan stabil.
Untuk menggerakkan turbin agar bisa berputar harus memiliki debit air 0,004 –
0,01 m3/detik dan ketinggian air 10 - 22 meter dari permukaan turbin. Turbin air
mempunyai fungsi untuk mengkonversi energi potensial air menjadi energi
mekanik. Air akan memukul sudu-sudu dari turbin sehingga turbin berputar
berupa putaran poros. Perputaran turbin dihubungkan ke generator dengan
bantuan poros dan gerbox. Generator berfungsi mengkonversi energi mekanik
berupa putaran poros turbin menjadi energi listrik. Transformator digunakan
untuk mentransformasikan tegangan (V) yang dihasilkan generator dan
selanjutnya didistribusikan ke konsumen.
2.1. Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Perlindungan lingkungan dan sumberdaya alam disadari sangat penting
untuk mencapai kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari Undang
Undang Dasar 1945 yang menegaskan penggunaan sumberdaya alam untuk
kemakmuran rakyat generasi sekarang dan mendatang. Kemudian Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1982 menegaskan perlunya pengelolaan lingkungan
hidup dilandasi oleh kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh. Untuk
itu, lingkungan hidup wajib dikembangkan dan dilestarikan kemampuannya agar
tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bangsa dan rakyat Indonesia serta
makhluk lainnya, demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
Menyadari pentingnya kontribusi dan meningkatnya kesadaran masyarakat
terhadap perlindungan lingkungan, dilakukan penyempurnaan atas UU Nomor 4
Tahun 1982 menjadi UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
14
Hidup.UU ini memantapkan tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup. Seiring dengan perlunya jaminan atas kepastian hukum dan
perlindungan hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat, sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem,
maka pada tahun 2009 UU Nomor 23 Tahun 1997 tersebut disempurnakan
menjadi UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam UU Nomor 32
Tahun 2009, didefinisikan sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Lingkungan
hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, keadaan dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain.
Asas untuk melaksanakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
terdiri atas tanggung jawab negara, kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan
keseimbangan, keterpaduan, manfaat, kehati-hatian, keadilan, ekoregion,
keanekaragaman hayati, pencemar membayar, partisipatif, kearifan lokal, tata
kelola pemerintahan yang baik; dan otonomi daerah. Adapun penjelasan maksud
dari setiap asas tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambaran di atas menunjukkan telah terjadinya pergeseran dalam
pengembangan kebijakan perlindungan lingkungan dari mengatur pola hubungan
antara pemerintah dan industri hingga memberi perlindungan kepada setiap
individu untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Awal tahun
tujuh puluhan, kebijakan lingkungan difokuskan pada pengembangan prinsip
lingkungan yang didesain sebagai landasan kebijakan lingkungan pada dunia
usaha dan pengakuan internasional, dan pengembangan instrumen lingkungan
untuk keperluan implementasi kebijakannya. Kebijakan perlindungan lingkungan
umumnya ditetapkan langsung oleh pemerintah. Penetapan baku mutu
15
lingkungan, standar emisi, perizinan, pemberian lisensi, pajak, pembebanan biaya
(pollution charges) digunakan sebagai instrumen (Barde 2000).
Tabel 1 Asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
Asas Maksud asas
Tanggung jawab negara a) Negara menjamin pemanfaatan sumberdaya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan.
b) Negara menjamin hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
c) Negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Kelestarian dan keberlanjutan
Setiap orang memikul kewajiban dan tanggungjawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.
Keserasian dan keseimbangan
Pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem.
Keterpaduan Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait.
Manfaat Segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya.
Kehati-hatian Ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Keadilan Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi maupun lintas gender.
Ekoregion Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumberdaya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat dan kearifan lokal.
Keanekaragaman hayati Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk mempertaruhkan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
16
Tabel 1 lanjutan
Asas Maksud asasPencemar membayar Setiap penanggungjawab yang usaha dan/atau kegiatannya
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.
Partisipatif Setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kearifan lokal Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Tata kelola pemerintahan yang baik
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
Otonomi daerah Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragamaan daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber : UU No. 32/2009
Untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan, terdapat tiga pendekatan
kebijakan lingkungan yang digunakan secara umum yaitu pendekatan negosiasi
langsung dengan pihak yang bermasalah, pendekatan hukum (command and
control) dan pendekatan ekonomi-mekanisme pasar.
Pendekatan negosiasi langsung merupakan cara yang paling sederhana
untuk menciptakan efisiensi. Pendekatan ini dapat berjalan dengan baik apabila
hak kepemilikan telah didefinisikan dengan jelas. Ketidakjelasan hak kepemilikan
akan memungkinkan timbulnya konflik kepentingan (Coase dalam Yakin 2004).
Pendekatan hukum atau dikenal dengan command and control approach
merupakan pendekatan yang paling umum digunakan oleh lembaga pemerintah.
Pemerintah menetapkan standar baku untuk proses, peralatan, dan emisi yang
harus ditaati oleh pencemar dan mewajibkan perusahaan untuk melakukan
tindakan perlindungan lingkungan. Jika perusahaan tidak memenuhi atau
melanggar akan dikenai denda di pengadilan. Pelaksanaan kebijakan ini
memerlukan ketentuan dan persyaratan administratif, ketersediaan infrastruktur,
dan biaya yang sangat besar. Umumnya biaya perlindungan lingkungan diiringi
17
dengan menaikkan harga produk, sehingga konsumen ikut terbebani secara tidak
langsung (Barde 2000; Thomas 2003). Meskipun pendekatan hukum merupakan
alat efektif untuk mencegah kerusakan lingkungan, pendekatan ini hanya
memungkinkan terjadinya interaksi pemerintah dan industri, belum
memperhatikan kekuatan masyarakat serta pasar (Afsah et al. 1996).
Pendekatan paradigma ekonomi atau sering disebut market instruments
berargumen bahwa degradasi lingkungan terjadi akibat pasar tidak memberi nilai
(value) atas jasa lingkungan. Kelangkaan tidak dihargai sebagai aset yang harus
digunakan secara efisien. Pendekatan ini memasukkan konsep ekonomi seperti
pembebanan pajak atau ongkos atas jumlah polusi per unit waktu yang dapat
diserap. Pasar yang didalamnya ada masyarakat dan konsumen menjadi aktor
untuk memberi tekanan perlunya perlindungan lingkungan atas pengelolaan dan
produk perusahaan. Perusahaan menggunakan sumberdaya alam secara efisien
dan menerapkan teknologi terbaik untuk mengendalikan pencemaran. Pendekatan
ini dinilai lebih mampu mendorong pencegahan polusi yang lebih fleksibel dan
ekonomis (Barde 2000).
2.2 Kebijakan Perlindungan Lingkungan Pendekatan Sukarela
Pendekatan hukum dan mekanisme pasar dinilai memiliki kelemahan secara
substansial untuk perlindungan lingkungan. Pembatasan regulasi dapat
mengurangi kemampuan perusahan untuk merespon dengan cepat tantangan baru
di bidang pengembangan proses produksi dan produk. Sementara regulator
menjadi lebih terbebani biaya. Ketidaklenturan dan tingginya biaya administrasi
yang ditemui saat penerapan pendekatan di atas, memunculkan bentuk kebijakan
baru yang dilandasi dengan pendekatan sukarela (OECD 2003, Arimura et al.
2007).
Pendekatan sukarela (voluntary approaches) bukanlah produk intervensi
pemerintah atau teori ekonomi. Ia merupakan respon pragmatis atas kebutuhan
cara yang lebih fleksibel untuk melindungi perhatian publik terhadap lingkungan
yang bersih (Higley et al. 2001). Perusahaan dapat mengambil tindakan dengan
segera untuk menyelesaikan masalah lingkungan yang dihadapi, tanpa menunggu
adanya aturan legislasi atau ketentuan pajak (OECD 2003). Pendekatan ini
18
dimaksudkan untuk lebih responsif membangun perilaku industri dalam
mengurangi Polusi (Higley et al. 2001; Potoski & Prakash 2003). Pendekatan
sukarela sering disebut sebagai “generasi mendatang dalam kebijakan
lingkungan” (Esty et al. 1997).
Sebagai instrumen kebijakan, inisiatif sukarela semakin luas digunakan oleh
pemerintah maupun organisasi non pemerintah terutama di Eropa. Perkembangan
pendekatan ini didorong oleh kepentingan publik dan meningkatnya kesadaran
produsen, konsumen dan shareholder terhadap pembangunan berkelanjutan dan
sekaligus menjadi tindakan yang membedakan proses produksi dan produk
mereka di pasar (APEC 2005).
Inisiatif sukarela merupakan pelengkap (complement) yang penting dalam
kebijakan dan tindakan yang diregulasikan (regulatory action) baik di bidang
sosial maupun lingkungan. Ia dapat didesain oleh perusahaan/industri dan
diimplementasikan oleh berbagai stakeholder, termasuk pemerintah, serikat
dagang dan lembaga swadaya masyarakat (APEC 2005). Beberapa istilah inisiatif
sukarela antara lain skema sertifikasi, perjanjian sukarela (voluntary agreement),
aturan pelaksanaan (code of conduct), audit lingkungan dan sosial, skema tangung
jawab sosial korporasi dan skema perdagangan yang fair (Higley et al. 2001).
Tindakan inisiatif perlindungan lingkungan yang dilakukan disesuaikan
dengan kebijakan dan tata kelola yang baik (good governance) yang dianut
perusahaan, industri atau sektor. Tindakan ini harus memperhatikan penciptaan
hubungan yang lebih kooperatif antara pemerintah, industri dan partisipasi pihak
ketiga lainnya. Peningkatan kinerja lingkungan dapat melebihi (beyond) ketentuan
dan peraturan perundang-undangan ditetapkan oleh pemerintah dan bisa menjadi
alternatif legislasi (RNMISD 1998; Higley et al. 2001).
Di beberapa negara, program ini berkembang dengan baik karena
pemerintah mengintervensi desain dan implementasinya melalui penyediaan
sarana seperti insentif keuangan, bantuan teknis, hak pemantauan, maupun dengan
menetapkan regulasi yang memaksa mereka untuk berpartisipasi. Kolaborasi
dengan stakeholder (non-industri) dan mekanisme pemantauan sangat diperlukan
untuk menjaga kredibilitas dan memberi benefit kepada seluruh aktor yang terlibat
dalam inisiatif ini (RNMISD 1998).
19
Secara taksonomi pendekatan sukarela dibagi ke dalam tiga kelompok
utama, yaitu komitmen unilateral yang dibuat oleh pencemar, perjanjian resmi
yang dinegosiasi antara industri dengan pihak yang berwenang, dan skema
sukarela publik yang dikembangkan oleh badan lingkungan (RNMISD 1998;
Higley et al. 2001).
Komitmen unilateral merupakan program peningkatan lingkungan yang
dibangun oleh perusahaan dan dikomunikasikan kepada stakeholder-nya. Sebagai
contoh program “Responsible Care” yang diinisiasi oleh Industri Kimia Canada
merupakan tipe ini. Setiap peserta harus mengirimkan rencana lingkungannya
untuk diverifikasi pemenuhannya oleh komite eksternal. Komite Eksternal terdiri
atas para ahli di bidang industri dan wakil masyarakat. Hasil monitoring
disampaikan kepada publik. Contoh lain adalah penerapan sistem manajemen
lingkungan (SML) di perusahaan untuk meningkatkan kinerja lingkungan (Higley
et al. 2001). SML juga digunakan sebagai tool oleh negara negara Organization
foe Economic Co-operation and Development (OECD) untuk memberi bantuan
teknis dan pengakuan publik dalam kebijakan lingkungan (Uchida 2004).
Pada skema sukarela publik, pihak yang berwenang menetapkan
seperangkat standar mengenai proses dan prosedur yang harus diikuti, atau target
yang harus dicapai. Perusahaan setuju untuk memenuhi target tersebut. Contoh
penerapan skema ini adalah kesesuaian dengan standar Eco-management and
Auditing Scheme (EMAS) Uni Eropa. Perusahaan harus memiliki kebijakan
lingkungan, meninjau aspek lingkungan di semua lokasi, menetapkan dan
menerapkan program lingkungan, serta melakukan tinjauan kebijakan dan
memverifikasi pemenuhan persyaratan tersebut (RNMISD 1998; Higley et al.
2001).
Perjanjian negosiasi dilakukan antara perusahaan dengan pihak yang
berwenang (pemerintah) untuk memenuhi target lingkungan yang ditetapkan
dalam periode waktu tertentu. Dalam perjanjian negosiasi ini kedua pihak
berperan aktif (RNMISD 1998; Higley et al. 2001).
Pendekatan berbasis sukarela juga memiliki kelemahan, yaitu jika
perusahaan tidak memiliki sistem pengendalian lingkungan yang tepat dapat
memungkinkan adanya Free-riding yang akan memanfaatkan peluang untuk tidak
20
memasukkan kewajiban perusahaan untuk memenuhi persyaratan regulasi atau
kewajiban pajak maupun tindakan kolektif yang sudah dipersyaratkan. Selain itu
perusahaan bisa melakukan negosiasi dalam proses perumusan dan penerapan
regulasi untuk keuntungan mereka. Ketiadaan regulasi akan menyebabkan
masyarakat menanggung biaya sosial atau lingkungan. Bila hal ini terjadi, maka
pendekatan sukarela memberi risiko akan terjadinya pelaksanaan regulasi menurut
keinginan mereka (regulatory capture) (RNMISD 1998).
Keterbukaan dan transparansi sangat krusial untuk mengurangi kelemahan
pendekatan sukarela, sehingga stakeholder/masyarakat dapat berpartisipasi dan
memberi umpan balik. Keterlibatan stakeholder memberi peluang tercapainya
tujuan dan sasaran lingkungan yang melebihi peraturan yang ditetapkan. Selain
itu, untuk menjamin efektivitas diperlukan sistem pemantauan dan pencegahan,
serta struktur kelembagaan pendekatan sukarela (RNMISD 1998).
Pemantauan dapat dilakukan oleh pemerintah atau lembaga independen.
Hasil pemantauan disampaikan kepada pihak berwenang dan publik secara
terbuka. Hasil pemantauan ini menjadi informasi bagi pemerintah untuk
memfasilitasi tindakan perbaikan yang diperlukan. Sanksi dapat diberikan apabila
terdapat ketidaksesuaian dengan isi perjanjian sukarela. Bentuk sanksi bisa
melalui pencabutan subsidi atau dikeluarkan dari para pihak yang berperanserta.
Sanksi perlu dicantumkan dalam perundang-undangan atau dimasukkan dalam
perjanjian tersebut.
Semua inisiatif sukarela harus mengatur liabilitas untuk menanggung ganti
rugi atas kerugian yang diterima oleh pihak lain. Perusahaan yang terbukti
melakukan kerusakan secara sengaja atau lalai dapat dikenakan aturan liabilitas
ini. Situasi yang berbeda dapat terjadi jika kerusakan terjadi meskipun perusahaan
telah memenuhi seluruh perjanjian sukarela. Dalam hal ini pihak pemerintah perlu
segera meninjau perjanjian dan mencari solusi yang efektif.
2.3 Sistem Manajemen Lingkungan
Salah satu tool untuk melaksanakan tindakan sukarela diperkenalkannya
standar Sistem Manajemen Lingkungan (SML). Secara tipikal, SML terdiri atas
21
penetapan, implementasi dan tinjauan kebijakan lingkungan yang diarahkan untuk
mengurangi dampak lingkungan akibat operasi yang dilakukan perusahaan (ISO
2004; Arimura et al. 2007).
Metodologi implementasi sistem manajemen lingkungan dilakukan dengan
Plan-Do-Check-Act (PDCA) suatu model yang mengikuti sistem manajemen yang
dikenal dengan Siklus Deming seperti disajikan dalam Gambar 3.
Gambar 3 Model sistem manajemen lingkungan (Sumber: ISO 2004).
Standar didefinisikan sebagai suatu dokumen, yang ditetapkan melalui
konsensus dan disahkan oleh badan yang diakui, memuat aturan, panduan atau
karakteristik kegiatan atau hasilnya yang dapat digunakan secara umum dan
berulang, yang bertujuan untuk mencapai tingkat keteraturan yang optimum
dalam konteks tertentu. Standar juga sering digunakan oleh pemerintah untuk
menetapkan regulasi teknis untuk keperluan intervensi pasar guna melindungi
masyarakat dan konsumennya dari produk yang tidak aman, tidak sehat dan
rusaknya lingkungan hidup (ISO/IEC 2002).
Secara umum ada tujuh komponen utama dalam SML yaitu komitmen dan
kebijakan lingkungan, tinjauan lingkungan awal, perencanaan kebijakan
lingkungan, penerapan kebijakan lingkungan, pengukuran dan evaluasi, audit dan
tinjauan, dan komunikasi lingkungan eksternal (Chereminisoff 2006). Ketujuh
komponen dan interaksinya dilustrasikan pada Gambar 4.
22
Gambar 4 Komponen SML dan interaksinya (Sumber: Cheremisinoff 2006)
2.3.1 Komitmen dan Kebijakan Lingkungan
Penerapan sistem manajemen lingkungan harus memperoleh komitmen
manajemen puncak. Tanpa komitmen resmi, suatu sistem tidak akan memiliki
kredibilitas dan tidak efektif (Lessem 1989). Kebijakan merupakan suatu deklarasi
yang ditandatangi oleh manajemen puncak organisasi bahwa perlindungan
lingkungan menjadi prioritas organisasi. Manajemen puncak perlu menyediakan
sumberdaya termasuk finansial yang diperlukan (ISO 2004; BSN 2005,
Cheremisinoff 2006).
Kebijakan lingkungan yang merupakan keseluruhan maksud dan arah
organisasi mengenai kinerja lingkungan memberikan kerangka untuk menetapkan
tindakan dan penentuan tujuan serta sasaran lingkungan (ISO 2004, BSN 2005).
Kebijakan lingkungan memuat komitmen untuk mencegah polusi, memenuhi
peraturan regulasi lingkungan dan aturan yang berlaku, menerapkan proses
perbaikan berkelanjutan. Manajemen puncak harus memastikan bahwa kebijakan
tersebut diimplementasikan di seluruh organisasi. (ISO 2004, BSN 2005).
Kebijakan lingkungan harus relevan dengan sifat, skala, dan dampak
lingkungan dari kegiatan, produk dan jasa organisasi. Dengan demikian kebijakan
lingkungan diformulasikan sesuai dengan kebutuhan organisasi dan merefleksikan
realitas situasi lingkungan organisasi (ISO 2004, BSN 2005).
23
Komitmen untuk memenuhi peraturan perundang-undangan lingkungan
yang berlaku dan persyaratan lainnya yang diikuti organisasi, bukan berarti
organisasi wajib memenuhi seluruh regulasi dalam waktu bersamaan. Organisasi
disyaratkan untuk memiliki rencana atau cara untuk memastikan pemenuhan
seluruh peraturan perundang-undangan yang ditetapkan tersebut termasuk yang
terdapat dalam perjanjian sukarela jika ada.
Kebijakan lingkungan juga harus memberi kerangka untuk menetapkan dan
meninjau sasaran dan target lingkungan. Kebijakan lingkungan juga harus
didokumentasikan, diimplementasikan, dipelihara dan dikomunikasikan kepada
seluruh pegawai. Implementasi dapat diperagakan melalui instruksi, sasaran dan
target, rencana strategik, dan program lingkungan.
Hal penting lainnya, dalam kebijakan lingkungan harus tersedia bagi publik
dan pihak yang berkepentingan. Kebijakan harus ditinjau untuk memastikan
kesesuaiannya dengan perubahan (internal maupun eksternal) yang mempengaruhi
organisasi, misalnya adanya perubahan penggunaan sumberdaya, teknologi
produksi, ketentuan regulasi, budaya dan norma yang berlaku (Gabel dan Folme
2000).
2.3.2 Tinjauan Lingkungan Awal
Tinjauan lingkungan awal (TLA) merupakan langkah awal sebelum
perusahaan dapat merencanakan dan menerapkan kebijakan lingkungan.
Perusahaan melalukan tinjauan yang lengkap terkait isu/aspek lingkungan
perusahaan. TLA akan menghasilkan karakteritik baseline perusahaan dalam
mengelola isu lingkungan, yang dapat digunakan sebagai basis untuk
mengidentifikasi deficiency atau area yang tidak sesuai (noncompliance). Atas
dasar ini, perusahaan melakukan inisiatif untuk menghilangkan kesenjangan yang
ada.
2.3.3 Perencanaan Kebijakan Lingkungan
Perencanaan yang baik memerlukan pengetahuan interaksi antara
perusahaan dengan lingkungan dan publik. Organisasi perlu memahami peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan kewajiban yang ada di dalamnya. Program
24
sebaiknya menetapkan target dan sasaran lingkungan secara spesifik dan jelas,
menetapkan cara dan sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai hasil serta
waktu pelaksanaannya.
Elemen penting dalam perencanaan sistem manajemen lingkungan yaitu
identifikasi aspek lingkungan, evaluasi resultansi dampak lingkungan,
pertimbangan persyaratan perundang-undangan, penetapan sasaran dan target,
serta program lingkungan.
Aspek lingkungan merupakan unsur kegiatan atau produk atau jasa
organisasi yang dapat berinteraksi dengan lingkungan. Dampak lingkungan adalah
setiap perubahan pada lingkungan, baik yang merugikan atau bermanfaat,
keseluruhannya ataupun sebagian disebabkan oleh aspek lingkungan organisasi.
Identifikasi aspek lingkungan dalam lingkup sistem manajemen lingkungan
dilakukan pada aspek yang dapat dikendalikan dan yang dapat dipengaruhi (ISO
2004, BSN 2005).
Kriteria untuk mengevaluasi aspek lingkungan antara lain isu lingkungan
dan peraturan perundang-undangan, tingkat pengendalian organisasi terhadap
aspek lingkungan; sifat sumberdaya alam yang digunakan (terbaharui atau tidak);
ketersediaan aturan dan praktek organisasi, dan pandangan para pihak yang
berkepentingan (ISO 2004, Gilbert 1998).
Persyaratan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan aspek
lingkungan organisasi perlu diidentifikasi dan ditentukan bagaimana persyaratan
tersebut diterapkan. Persyaratan peraturan perundang-undangan dapat mencakup
skala nasional dan internasional; atau peraturan pemerintahan daerah (Ritchie
1997). Tujuan dan sasaran lingkungan perlu mempertimbangkan persyaratan
perundang-undangan, aspek lingkungan penting, pilihan teknologi, keuangan,
persyaratan operasional dan bisnis; serta pandangan pihak yang berkepentingan.
Program manajemen lingkungan merupakan peta lintasan (roadmap)
perusahaan yang akan diikuti menuju pencapaian tujuan dan target lingkungan.
Program memuat memuat langkah aksi, jadwal, sumberdaya, tanggungjawab yang
diperlukan, dan jangka waktu untuk mencapai tujuan, sasaran dan kebijakan
lingkungan.
25
2.3.4 Implementasi Kebijakan Lingkungan
Penerapan sistem manajemen lingkungan (SML) akan berhasil bila
manajemen dan pegawai memahami program keseluruhan, fungsi dan
tanggungjawabnya, menggunakan instruksi kerja, merekam dan mengendalikan
dokumen. Perusahaan harus mengembangkan kemampuan dan mekanisme yang
diperlukan untuk mencapai kebijakan, tujuan, dan sasaran lingkungan (Ritchie
1997; ISO 2004). Terdapat tujuh elemen dalam prinsip ini, yaitu sumber daya,
peran, tanggung jawab dan kewenangan; kompetensi, pelatihan dan kesadaran;
komunikasi; dokumentasi; pengendalian dokumen; pengendalian dokumen,
pengendalian operasional, dan kesiagaan dan tanggap darurat (Ritchie 1997; ISO
2004).
Sumber daya, peran, tanggung jawab untuk menerapkan, memelihara dan
meningkatkan sistem manajemen lingkungan perlu dipastikan. Sumberdaya
termasuk sumberdaya manusia dan keterampilan khusus, sarana operasional,
teknologi dan sumberdaya keuangan. Kebutuhan sumberdaya diidentifikasi pada
setiap fungsi dan tingkat organisasi, serta memperhatikan keseimbangan antara
kebutuhan dengan pencapaian sasaran kinerja lingkungan.
Organisasi harus memastikan setiap orang yang bertugas untuk atau atas
nama organisasi yang pekerjaan berpotensi menyebabkan dampak lingkungan
penting, mempunyai kompetensi (pendidikan, pelatihan atau pengalaman) yang
memadai. Organisasi perlu memberikan pelatihan mengenai aspek lingkungan dan
sistem manajemen lingkungan termasuk value dan kebijakan lingkungan
organisasi. Pelatihan sangat menentukan keberhasilan dan efektifitas penerapan
SML. Identifikasi kebutuhan pelatihan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi
kesenjangan pengetahuan dan kompetensi karyawan yang diperlukan untuk
membangun SML (ISO 2004, BSN 2005).
Aspek lingkungan dan SML perlu dikomunikasikan dengan pihak internal
maupun dengan pihak eksternal guna menangapi kepentingan mereka terkait
dengan aspek dan dampak lingkungan operasi organisasi. Komunikasi juga perlu
dilakukan dengan pihak otoritas publik mengenai perencanaan situasi darurat dan
isu lainnya yang sesuai. Komunikasi eksternal perlu mempertimbangkan
26
pandangan dan kepentingan semua pihak yang berkepentingan (ISO 2004, BSN
2005).
Dokumentasi SML mencakup kebijakan, tujuan dan sasaran lingkungan.
Dokumentasi perlu dikendalikan, termasuk kemutakhiran dan aksesibilitas
dokumen tersebut. Penggunaan dokumen yang salah atau sudah tidak berlaku
dapat membawa ketidakefektifan penerapan SML. Pengendalian operasional perlu
ditetapkan pada operasi yang terkait dengan aspek lingkungan penting yang telah
teridentifikasi. Evaluasi perlu dilakukan untuk memastikan bahwa operasi berjalan
dalam mengendalikan atau mengurangi dampak negatif lingkungan (ISO 2004,
BSN 2005).
2.3.5 Pengukuran dan Evalusi
Kegiatan pengukuran dan pemeriksaan perlu dilakukan untuk mengetahui
adanya defisiensi dan selanjutnya organisasi mengambil langkah untuk melakukan
tindakan perbaikan dan pencegahan yang dibutuhkan sehingga defisiensi
(ketidaksesuian) tidak terulang kembali. Kegiatan ini merupakan bagian dari
perbaikan berkelanjutan yang disyaratkan standar.
Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan, organisasi perlu memastikan
peralatan pemantauan dan peralatan pengukuran guna memperoleh data yang
benar. Begitupun halnya dengan komitmen manajemen untuk menataati
persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku perlu dievaluasi
penaatannya. Bila teridentifikasi adanya ketidaktaatan atau defisiensi maka
organisasi harus melaksanakan tindakan perbaikan dan tindakan pencegahan.
2.3.6 Audit dan Tinjauan Manajemen
Audit internal SML harus dilakukan organisasi untuk mengetahui tingkat
efektifiktas penerapan SML pada jangka waktu yang direncanakan. Hasil audit
diinformasikan kepada manajemen. Manajemen puncak harus meninjau SML
pada jangka waktu tertentu, untuk memelihara kesesuaian, kecukupan dan
efektivitas sistem yang berkelanjutan. Tinjauan manajemen harus mengkaji
peluang perbaikan dan keperluan untuk melakukan perubahan sistem manajemen
lingkungan, kebijakan lingkungan, tujuan dan sasaran lingkungan. Keluaran
27
tinjauan manajemen harus memuat setiap keputusan dan tindakan yang diambil
untuk menindaklanjuti perubahan kebijakan, tujuan dan sasaran lingkungan serta
unsur lain sistem manajemen lingkungan, sesuai dengan komitmen perbaikan
berkelanjutan.
2.3.7 Komunikasi dan Pelaporan Lingkungan
Peran komunikasi lingkungan sangat penting, baik di lingkungan internal
maupun eksternal organisasi. Peran ini bertujuan menyampaikan maksud dan
kepentingan manajemen puncak mengenai keputusan yang dibuat. Komunikasi
dan pelaporan merupakan elemen kunci dalam praktek sistem manajemen
lingkungan dan menjadi bukti sah bahwa perusahaan beroperasi secara
berrtanggung jawab (Cheremisinoff 2006).
Persyaratan ISO 14001 pada klausul 4.4.3 butir b mewajibkan perusahaan
untuk melakukan komunikasi kepada stakeholder yang terkait guna
menyampaikan aspek lingkungan dan sistem manajemen lingkungan mereka.
Pemangku kepentingan sebagai kelompok atau individu yang dapat
mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu.
Stakeholder sebaiknya mencakup shareholder, legislator dan regulator,
masayarakat setempat, pemasok, konsumen, kelompok lingkungan termasuk
LSM, dan analis keuangan (Bryson 2003)..
Komunikasi dengan stakeholder sebaiknya dilakukan secara reguler dan
memiliki tujuan yang jelas, sehingga dapat diperoleh kesepahaman untuk
melakukan tindakan bersama. Komunikasi harus menjadi strategi yang tidak
sekedar menyampaikan laporan. Strategi komunikasi perlu memperhatikan
kepentingan stakeholder, mempercepat kerjasama, tercipta risk-sharing, dan
memberikan penyelesaian yang saling menguntungkan (Cheremisinoff 2006).
2.4 Sumberdaya Air dan Pemanfaatannya
Air merupakan sumberdaya alam yang sangat vital bagi semua makhluk di
muka bumi ini. Manusia tidak dapat bertahan hidup bila tidak ada air. Air
memiliki multi fungsi baik untuk kegiatan ekonomi, lingkungan maupun sosial.
28
Sumberdaya air didefinisikan sebagai air, sumber air, dan daya air yang
terkandung didalamnya. Air adalah semua air yang terdapat pada, diatas, ataupun
di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air
tanah, air hujan dan air laut yanga berada di darat. Sumber air adalah tempat atau
wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah. Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air pada
sumber air yang dapat memberikan manfaat atau kerugian bagi kehidupan
manusia dan lingkungannya (UU No.7/2004).
Air tergolong sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun,
namun kepemilikan bersama (global commons atau common services). Implikasi
yang dengan jelas terlihat adalah adanya berbagai kepentingan yang berbeda
dalam memanfaatakan sumberdaya air. Pemanfaatan sumberdaya air yang tidak
menghiraukan pelestariannya akan membawa dampak (eksternalitas) negatif
terhadap lingkungan maupun sumberdaya itu sendiri.
Eksternalitas negatif atau dampak lingkungan akan muncul bila satu
variabel yang dikontrol oleh suatu pihak ekonomi tertentu terganggu fungsi
utilitasnya oleh pihak lainnya. Eksternalitas juga dapat diartikan sebagai dampak
yang dirasakan pihak ketiga yang diakibatkan oleh suatu kegiatan transaksi
kegiatan ekonomi tertentu. Bila residu melebihi kemampuan media lingkungan
untuk melakukan daur ulang, maka akan menimbulkan pencemaran. Kenyataan
yang ada, air sebagai unsur yang sangat vital dan seharusnya diberi nilai tinggi
belum sepenuhnya dimanfaataan secara optimal (Fauzi 2004).
Konferensi Internasional tentang Air dan Lingkungan, di Dublin Irlandia,
tanggal 31 Januari 1992, merekomendasikan perlunya setiap instrumen
pembangunan berkelanjutan dikaitkan dengan strategi pengelolaan sumberdaya air
secara integral. Sumberdaya air perlu dikelola sebagai sumberdaya yang terbatas
dan vulnarable, sebagai sumberdaya alam dan ekonomi. Statemen Dublin tentang
Air dan Pembangunan Berkelanjutan (Dublin Statement on Water and Sustainable
Development), atau dikenal dengan Dublin Principles”, mengakui meningkatnya
kelangkaan air sebagai akibat adanya perbedaan kepentingan dalam penggunaan
air dan penggunaan air yang berlebih. Air juga sebagai sumberdaya alam yang
29
terbatas dan memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu diperlukan tindakan nyata
untuk mengurangi kelangkaan air pada tingkat lokal, regional dan internasional.
Empat prinsip yang dihasilkan dalam konferensi tersebut sebagai landasan
dalam pengelolaan air yaitu :
Prinsip 1: Air bersih (fresh water) merupakan sumberdaya yang terbatas dan vulnerable, dan penting untuk kelangsungan hidup, pembangunan dan lingkungan.
Prinsip 1 memiliki makna air untuk kelangsungan hidup, maka sumberdaya air
perlu dikelola secara efektif melalui pendekatan holistik yang mengkaitkan
pembangunan sosial dan ekonomi dengan perlindungan ekosistem alam.
Pengelolaan sumberdaya air yang efektif berkaitan dengan lahan dan air
disepanjang area tangkapan atau air tanah (groundwater aquifer).
Prinsip 2: Pengembangan dan pengelolaan air sebaiknya didasarkan padapendekatan partisipatori, yang melibatkan pengguna, perencana, dan pengambil keputusan di semua tingkatan.
Pendekatan partisipatori ditunjukkan untuk meningkatkan kesadaran (awarness)
akan pentingnya air bagi pengambil keputusan dan masyarakat umum. Prinsip 2
memiliki arti bahwa keputusan pengembangan dan pengelolaan air berasal dari
bottom up yang dilakukan melalui mekanisme konsultasi publik dan melibatkan
semua stakeholder dalam perencanaan dan implementasinya.
Prinsip 3: Peran Perempuan sebagai bagian sentral dalam pengaturan, pengelolaan dan perlindungan air.
Peran perempuan sebagai penyedia dan pengguna dan pelindung air dalam
lingkungan hidup jarang dilibatkan dalam pengaturan kelembagaan,
pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air. Akseptasi dan implementasi
prinsip ini mensyaratkan kebijakan yang memperhatikan kebutuhan khusus
perempuan, mengikutsertakan dan memberdayakan perempuan dalam program
sumberdaya air di semua tingkatan, termasuk pada tingkat pengambilan keputusan
dan implementasinya, sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Prinsip 4: Air memiliki nilai ekonomi bagi semua penggunanya dan sebaiknya diakui sebagai barang ekonomi.
30
Prinsip ini mengakui pentingnya hak dasar semua makhluk hidup untuk memiliki
akses terhadap air bersih dan sanitasi dengan harga yang tidak ternilai (affordable
price). Kegagalan masa lalu yang tidak mengakui adanya nilai ekonomi air telah
menyebabkan penggunaan sumberdaya air diiringi dengan kerusakan lingkungan
dan menghadirkan limbah. Konservasi dan perlindungan sumberdaya air dikelola
sebagai barang ekonomi yang perlu dikelola secara efisien.
Prinsip-prinsip diatas juga telah tercermin dalam UU No. 7 Tahun 2004.
Menurut Sanim (2011), UU No 7/2004 secara eksplisit merupakan kontrak sosial
antara pemerintah dan warga negaranya, serta menjamin akses setiap orang ke
sumber air untuk mendapatkan air. Sumberdaya air mempunyai fungsi sosial,
lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara
selaras. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan dan peruntukan sumberdaya air
lebih diprioritaskan untuk kepentingan umum dari pada kepentingan individu.
Fungsi lingkungan hidup menempatkan sumberdaya sebagai bagian dari
ekosistem, dan tempat kelangsungan hidup flora dan fauna. Sedangkan fungsi
ekonomi lebih menekankan pada pendayagunaan air untuk menunjang kehidupan
usaha.
Air memiliki nilai intrinsik yang tinggi nilainya dan pemanfaatannya
memiliki nilai tambah karena dari ekstraksi sampai pemanfaatan langsung untuk
konsumsi memerlukan biaya yang cukup substansial (Fauzi 2004). Dua
pandangan mengenai pemanfaatan sumberdaya air yaitu pandangan
anthopocentrisme dan pandangan ecosentrisme.
Pandangan anthopocentrisme mengedepankan kepentingan manusia di atas
kepentingan elemen alam lainnya. Kebutuhan konsumsi merupakan faktor utama
yang mempengaruhi perilaku pemanfaat sumberdaya alam dan menjadi cenderung
destruktif. Pada paham ini, manusia sebagai konsumen sekaligus produsen. Disisi
lain, pasar sebagai satu satunya lembaga pengatur alokasi sumberdaya alam.
Pandangan ecosentrisme melihat faktor ekonomi setara dengan ekologi.
Setiap ekosistem (manusia, hewan, tumbuhan) memiliki hak yang sama dalam
memperjuangkan kepentingannya. Benda-benda yang ada di alam memiliki
intrincsic value yang tidak dapat dinilai secara konvensional oleh piranti
31
ekonomi. Pemanfaatan sumberdaya air harus diperlakukan secara ramah
lingkungan, serta derajat manusia ditentukan oleh derajat “persahabatan” manusia
dengan alam termasuk dalam hal konsumsi, produksi dan distribusi. Dalam hal ini
kelembagaan politik, kelembagaan masyarakat dan pasar juga penting (Sanim
2011).
Pemanfaatan sumberdaya alam memberi eksternalitas positif maupun
negatif bagi manusia, oleh karena itu penting untuk mengetahui seberapa besar
sumberdaya dapat diekstraksi sehingga memberi manfaat yang sebesar-besarnya
kepada masyarakat. Dari sudut ekonomi, efisiensi atas alokasi sumberdaya
dilakukan dengan efisiensi teknis dan efisiensi alokasi. Efisiensi teknis
mensyaratkan penggunaan input dan biaya seminimal mungkin untuk
menghasilkan output yang besar. Efisiensi alokasi menyatakan bahwa input yang
digunakan untuk menghasilkan barang yang paling menguntungkan konsumen.
Bila transaksi dan alokasi sumberdaya tidak memperhitungkan dampak
lingkungan yang ditimbulkan, maka alokasi dianggap tidak efisien.
Menurut UU No. 7 Tahun 2004 bahwa segala bentuk pemanfaatan air perlu
dibarengi dengan perlindungan terhadap sumberdaya air. Konservasi sumberdaya
air ditujukan untuk menjaga kelangsungan dan keberadaan daya dukung, daya
tampung, dan daya fungsi sumberdaya air. Konservasi sumberdaya air harus
dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumberdaya air,
pengawetan air, pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, yang
mengacu pada pola pengelolaan sumberdaya air yang ditetapkan pada setiap
wilayah sungai.
Dalam pemanfaatan sumber air sungai, keseimbangan ekosistem antara
wilayah hulu dan hilir sebagai neraca lingkungan hidup dalam aktivitas ekonomi
dan pelestarian lingkungan perlu mendapat perhatian yang sejajar dan selaras dari
seluruh stakeholder yang terkait. Untuk tetap mempertahankan multifungsi
sumberdaya air, maka pemanfaatan sumber daya air perlu diikuti dengan cara
terbaik termasuk manajemen lingkungan (Sutopo 2011).
Kegiatan pembangkitan listrik tenaga air memerlukan ketersediaan
sumberdaya air yang memadai dimana sumber air berada, sehingga operasional
pembangkit layak dalam jangka panjang. Ketersediaan air sungai yang masuk dan
32
keluar dari aliran sungai sangat mempengaruhi kontinuitas produksi listrik yang
dihasilkannya. Ketersediaan air yang dibutuhkan oleh PLTA harus ditinjau dari
aspek kuantitas maupun kualitas air. Volume air yang terbatas akan mengurangi
jumlah produksi listrik yang seharusnya dapat diproduksi oleh PLTA. Sementara
kualitas air yang buruk akan mempengaruhi kemampuan PLTA untuk
memproduksi listrik, karena adanya dampak (eksternalitas) negatif yang diterima
oleh PLTA akibat menurunnya kualitas air tersebut. Peralatan pembangkit (turbin,
pemutar poros, radiator dan sistem pendingin) akan terkorosi dengan cepat dan
menggangu operasional pembangkit (Sutopo 2011).
Pada sisi lain, pemanfaatan air sungai oleh banyak pihak (industri, rumah
tangga dan pertanian) membawa dampak terhadap kualitas air. Umumnya
keluaran air yang berasal dari lokasi kegiatan tersebut langsung masuk ke dalam
daerah aliran sungai tanpa adanya suatu penyangga, baik berupa pengolahan
limbah rumah tangga, industri maupun pertanian. Jumlah keseimbangan bahan
juga berkontribusi pada tingkat polusi yang akan ditimbulkan oleh kegiatan
tersebut (Tjokrokusumo et al. 2000).
Kualitas air suatu perairan pada prinsipnya merupakan pencerminan kualitas
lingkungan. Air merupakan medium bagi hidupnya jasad perairan. Oleh karena itu
kualitas air ini akan mempengaruhi dan menentukan kemampuan hidup jasad
perairan tersebut. Kelayakan suatu perairan sebagai lingkungan hidup dipengaruhi
oleh sifat fisika kimia perairan tersebut (Krismono et al. 1987; Kartamihardja et
al. 1987). Beberapa parameter kimia dan fisika yang mempengaruhi kualitas air
antara lain suhu, padatan, derajat keasaman, alkalinitas, oksigen terlarut, besi,
nitrogen dan phosfat.
Suhu berfungsi memperlihatkan aktifitas kimiawi dan biologis (Ginting
2008). Perubahan suhu di suatu perairan yang mengalir sebaiknya tidak lebih dari
2,80C dan untuk perairan yang tergenang tidak lebih dari 1,70C dari suhu normal
(NTAC 1968, Pescod 1973 dalam Krismono et al. 1987). Suhu yang dikeluarkan
suatu limbah cair harus merupakan suhu alami (Ginting 2008).
Padatan secara umum diklasifikasi ke dalam dua golongan besar yaitu
padatan terlarut dan padatan tersuspensi. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel
koloid dan partikel biasa. Jenis padatan terlarut maupun tersuspensi dapat bersifat
33
organis maupun anorganis tergantung dari mana sumber limbah. Zat padat
tersuspensi yang mengandung zat organik umumnya terdiri dari protein dan
bakteri (Ginting 2008).
Derajat keasaman (pH) air merupakan salah satu faktor lingkungan yang
sangat berhubungan dengan susunan spesies dan proses hidupnya. Toleransi pH
sangat bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut,
alkalinitas dan adanya berbagai anion dan kation. Air yang memiliki pH rendah
membuat air menjadi korosif terhadap bahan-bahan kontruksi besi yang kontak
dengan air. Sedangkan alkalinitas air ditentukan senyawa karbonat, garam
hidroksida, kalsium, magnesium dan natrium dalam air. Tingginya zat-zat ini
mengakibatkan air sulit berbuih. Penggunaan air untuk pipa pendingin selalu
diupayakan dengan kesadahan rendah untuk mencegah terjadinya kerak (Ginting
2008),
Biological oxigen demand (BOD) merupakan kebutuhan oksigen bagi
sejumlah bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi) semua zat organik yang
terlarut maupun sebagai tersuspensi dalam air menjadi bahan organik yang lebih
sederhana. Nilai BOD merupakan jumlah bahan organik yang dikonsumsi bakteri.
Aktifnya bakteri menguraikan bahan organik bersamaan dengan habisnya oksigen.
Hal ini berimplikasi dengan berkurangnya oksigen yang dibutuhkan oleh biota
lain dan lebih lanjut biota tersebut tidak dapat hidup. Chemical oxigen demand
(COD) merupakan sejumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat
organis dan anorganis. Angka COD menunjukkan ukuran bagi pencemaran air
oleh zat anorganik.
Oksigen terlarut berlawanan dengan keadaan BOD. Semakin tinggi BOD
semakin rendah oksigen terlarut. Keadaan oksigen terlarut dalam air dapat
menunjukkan tanda-tanda kehidupan ikan dan biota dalam perairan. Kemampuan
air untuk mengadakan pemulihan secara alami banyak tergantung pada
tersedianya oksigen terlarut. Angka oksigen terlarut yang tinggi menunjukkan
keadaan air yang semakin baik. Adanya arus turbulensi pada sungai membuat
kandungan oksigen dalam air semakin tinggi. Lumut dan ganggang menjadi
sumber oksigen karena proses fotosentesis melalui bantuan sinar matahari
(Ginting 2008)
34
Besi umumnya terdapat di sungai dalam jumlah yang sangat kecil. Pada
sungai yang tidak tercemar, besi berada dalam bentuk feri karena oksigen cukup
tersedia. Kandungan besi di perairan bagi kehidupan jasad perairan tidak boleh
lebih dari 0,02 ppm (Krismono et al. 1987). Besi yang teroksidasi dalam air
berwarna kecoklatan dan tidak larut mengakibatkan penggunaan air menjadi
terbatas. Umumnya dalam buangan limbah industri kandungan besi berasal dari
korosi pipa air mineral logam sebagai hasil reaksi elektro kimia yang terjadi pada
perubahan air yang mengandung padatan larut yang mempengaruhi sifat
menghantarkan listrik dan hal ini akan mempercepat terjadinya korosi (Ginting
2008).
Sementara nitrogen hampir seluruhnya berasal dari atmosfir dan sebagian
kecil berasal dari metabolisme perairan. Nitrogen salah satu unsur penting bagi
pertumbuhan tanaman dan berperan dalam membentuk dan memelihara protein,
yang merupakan bagian dari jasad-jasad hidup. Sumber senyawa nitrogen di
waduk juga berasal dari pemasukan air yang membawa kandungan nitrogen yang
berasal dari limbah pertanian, rumah tangga, dan industri. Dalam keadaan aerob
dengan bantuan bakteri, ammonia diubah menjadi nitrit dan nitrat, dimana nitrat
dapat digunakan oleh tumbuhan hijau terutama algae serta produsen primer
lainnya ( Krimono et al. 1987; Kartamihardja et al. 1987).
Kandungan phosfat yang tinggi menyebabkan suburnya algae dan
organisme lainnya atau dikenal dengan eutropikasi. Pengukuran kandungan
phosfat dalam air limbah berfungsi untuk mencegah tingginya kadar phosfat yang
dapat menyebabkan tumbuhan dalam air berkurang jenisnya yang akhirnya tidak
merangsang pertumbuhannya. Kesuburan tanaman akan menghalangi kelancaran
arus air.
Ketersediaan sumber daya air sangat dipengaruhi oleh kegiatan pemanfaatan
lahan di daerah hulu atau kawasan greenbelt. Penggundulan hutan berpengaruh
terhadap infiltrasi dan aliran permukaan. Tanpa adanya tetumbuhan di atas
permukaan tanah, air akan mengalir lebih cepat secara signifikan. Aliran dari
lahan gundul umumnya lebih banyak membawa sedimen. Erosi yang terjadi
dengan adanya aliran permukaan yang terbawa oleh sungai akhirnya masuk ke
35
dalam waduk dan terendapkan pada dasar waduk, lebih lanjut akan mempengaruhi
debit air yang masuk (Indarto 2010).
Kerusakan lingkungan di wilayah hulu merupakan keuntungan ekonomi
yang hilang karena adanya biaya yang ditimbulkan untuk perbaikan keadaan
semula. Sebaliknya perbaikan kualitas lingkungan merupakan keuntungan
ekonomi karena terhindarnya biaya yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan.
Perkiraan nilai kerusakan lingkungan memerlukan penilaian moneter untuk
menggambarkan nilai sosial dari perbaikan kondisi lingkungan atau biaya sosial
dari kerusakan lingkugan (Pearce et al. 1964 dalam Sutopo 2011).
Konservasi sumberdaya air meliputi kegiatan perlindungan dan pelestarian
air, pengawetan air serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran
air. Dalam pelaksanaan konservasi sumberdaya air terdapat tiga hal penting yang
perlu dipahami yaitu: pertama, kelangsungan sumberdaya air yang ditandai
dengan terjaganya keberlanjutan keberadaan air dan sumber air termasuk potensi
yang terkandung di dalamnya. Kedua, daya dukung sumberdaya air adalah untuk
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Ketiga, daya
tampung air yang berkaitan dengan kemampuan air dan sumberdaya air untuk
menyerap zat, energi dan komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya.
Perlindungan dan pelestarian sumberdaya air dapat dilakukan secara
vegetatif maupun sipil teknis dengan pendekatan sosial, ekonomi dan budaya.
Secara vegetatif melalui penanaman pohon yang sesuai pada daerah tangkapan
air/sempadan air. Sedangkan sipil teknis dilakukan dengan rekayasa teknik seperti
pembangunan penahan sedimen, pembuatan teras dan penguatan tebing sumber
air (Sanim 2011).
Perlindungan dan pelestarian sumberdaya air dengan pendekatan vegetatif
ini sangat terkait dengan upaya pencegahan terjadinya aliran permukaan yang
besar. Permukaan tanah yang gundul akan menyebabkan air mengalir dengan
cepat dan menurunkan kemampuan infiltrasi air hujan ke dalam tanah. Jika air
tidak dapat terinfiltrasi ke dalam tanah akan mengurangi penyimpanan dan
memperbesar aliran permukaan. Aliran permukaan yang besar akan membawa
36
partikel tanah menuju bada-badan perairan seperti sungai dan waduk (Indarto
2010).
2.4.1 Jasa Lingkungan Sumberdaya Air
Sumberdaya air memiliki multi fungsi dan manfaat yang sangat besar baik
dari sisi ekologi, ekonomi maupun sosial, secara kuantitatif maupun kualitatif.
Semua ini dapat terus berlangsung bila sumberdaya air terpelihara sesuai
fungsinya. Namun, kebutuhan komersial yang lebih tinggi menyebabkan
pemanfaatan sumberdaya air cenderung merusak ekosistem yang ada. Saat ini,
penilaian ekosistem jasa sumberdaya air masih menekankan pada keuntungan
finansial dan mengabaikan nilai intrinsik ekosistem sumberdaya air dalam
mendukung kehidupan jangka panjang.
Ketersediaan air yang berfluktuasi, permintaan air yang terus meningkat dan
kelangkaan air bersih menyebabkan informasi mengenai nilai air sangat
dibutuhkan bagi pengambil keputusan guna mengambil langkah pengembangan,
konservasi maupun alokasi sumberdaya air. Penilaian terhadap nilai sumberdaya
air juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran terhadap kebutuhan dan
manfaat konservasi sumberdaya air dan hubungannya dengan pembangunam
ekonomi.
Pemberian nilai kuantitatif terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh
sumberdaya alam dan lingkungan baik atas dasar nilai pasar maupun nilai pasar
disebut sebagai valuasi ekonomi. Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu
alat ekonomi yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi
nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh sumber daya alam dan
lingkungan. Untuk mengestimasi nilai sumber daya alam dan lingkungan, manfaat
dan biaya, digunakan satuan moneter sebagai patokan penghitungan yang
dianggap sesuai. Pengukuran terhadap keuntungan dan kerugian bertujuan untuk
memperlihatkan bagaimana pentingnya nilai sumberdaya alam dan lingkungan.
Meskipun ada keraguan terhadap pemberian nilai uang untuk mengukur nilai
instrinsik sumberdaya air misalnya, namun pilihan harus diambil dalam konteks
kelangkaan sumber daya tersebut. Oleh karena itu, satuan moneter sebagai
patokan pengukuran merupakan ukuran kepuasan untuk suatu tindakan.
37
Perhitungan moneter terhadap nilai yang diberikan oleh sumberdaya alam
diharapkan dapat meningkatkan kepedulian yang kuat terhadap sumberdaya alam
dan dapat dijadikan dukungan terhadap keberpihakan terhadap kualitas
lingkungan (Rianse 2010).
Analisis ekonomi terhadap dampak lingkungan dari kegiatan dan kebijakan
dikembangkan oleh Pigou (1920) dan Hicks (1939). Mereka menyatakan bahwa
kebijakan dan kegiatan sebaiknya didasarkan pada perubahan yang dihasilkan
dalam kesejahteraan sosial yang merupakan jumlah dari kesejahteraan individu.
Kesejahteraan individu diukur dengan keinginan pembayar (WTP) seseorang
terhadap perubahan yang dihasilkan dari kegiatan atau kebijakan tersebut.
Nilai ekonomi total (TEV) sumberdaya lingkungan dapat dihitung sebagai
jumlah dari empat komponen utama yaitu: nilai guna (use value), nilai guna tidak
langsung (indirect use value), nilai pilihan (option value) dan nilai bukan guna
(non use value).
• Use value mengacu pada manfaat yang diterima orang dari penggunaan
sumberdaya lingkungan secara langsung. Use value adalah nilai yang diperoleh
dari pemanfaatan aktual lingkungan pada aliran produksi dan konsumsi. Use
value dikelompokkan ke dalam Direct Use value dan Indirect use value.
Direct use value pada sumberdaya air di bagi menjadi marketed output dan
unpriced benefits. Marketed output merupakan output yang langsung dapat
dikonsumsi misalnya hasil panen, ikan, energi terbarukan, industri, kayu.
Sedangkan unpriced benefit seperti rekreasi, lansekap, pemandangan yang
indah (estetika).
• Indirect use value mengacu pada manfaat yang berasal dari jasa yang
pengguna peroleh secara tidak langsung dan seringkali dalam waktu yang
lama. Indirect use value ditentukan oleh manfaat yang berasal dari jasa-jasa
lingkungan dalam mendukung aliran produksi dan konsumsi (Munasinghe
1993). Misalnya, mengendalikan banjir, fungsi wetland sebagai penyaring
polusi, penyimpan karbon dan keragaman ekologi. Indirect use value sering
juga disebut ecological function (Kamer; 2005)
Option value mengacu pada keinginan membayar para pengguna terhadap
perlindungan lingkungan yang akan digunakan di masa depan. Sebagai contoh
38
manfaat perlindungan waduk karena untuk keperluan sumber air minum
penduduk setempat di masa depan. Pernyataan preferensi (kesediaan
membayar) untuk konservasi sistem lingkungan atau komponen sistem
berhadapan dengan beberapa kemungkinan pemanfaatan oleh individu di hari
kemudian. Option value oleh beberapa pakar ekonomi lingkungan juga
dimasukkan ke dalam non-use value.
• Non-use value mencerminkan apa yang orang akan bayar untuk melindungi
sumberdaya yang mereka tidak akan pernah menggunakannya. Non-use value
dikaitkan dengan nilai intrinsik yang dimiliki sumberdaya yaitu terkait dengan
nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (existence value). Nilai
intrinsik berhubungan dengan kesediaan orang untuk membayar positif,
meskipun orang tersebut tidak bermaksud dan tidak berkeinginan untuk
memanfaatkannya. Nilai warisan berhubungan dengan kesediaan membayar
untuk melindungi manfaat lingkungan bagi generasi mendatang. Nilai ini
bukanlah nilai penggunaan untuk individu penilai, tetapi merupakan potensi
penggunaan atau bukan penggunaan di masa datang (Turner et al. 1994). Nilai
keberadaan berkenaan dengan adanya kepuasan atas keberadaan sumber daya,
meskipun penilai tidak ada keinginan untuk memanfaatkannya. Dalam konteks
sumberdaya air ini, beberapa orang mungkin memiliki keinginan untuk
menjaga lingkungan agar spesies akuatik yang dilindungi atau langka dapat
hidup bebas di air sungai yang mengalir, dan tidak berkaitan dengan
penggunaan langsung maupun tidak langsung, saat ini atau di masa depan.
Secara matematis Total Economic Value (TEV) dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
TEV = UV +NUV =(DUV+IUV+OV+(XV+BV)
Keterangan :TEV = total economic value (nilai ekonomi total);UV = use value (nilai guna);NUV = non use value (nilai bukan guna);DUV = direct use value (nilai guna langsung);IUV = indirect use value (nilai guna tidak langsung);OV = option value (nilai pilihan);
BV = bequest value (nilai warisan);XV = existence value (nilai penggunaan pasif/nilai keberadaan);
39
Nilai ekonomi total ekosistem air yang dihasilkan, oleh Kamer (2005)
digambarkan sebagaimana terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Nilai ekonomi total ekosistem air (Kamer 2005).
2.4.2 Metode Valuasi Ekonomi
Para ekonom lingkungan mengembangkan seperangkat metode untuk
mengestimasi nilai ekonomi atas jasa lingkungan yang diberikan oleh ekosistem
air yang tidak memiliki “harga” dan tidak diperdagangkan. Dua kategori utama
yang digunakan yaitu : metode preferensi tertentu (stated preference methods) dan
metode preferensi terbuka (revealed preference methods). Metode preferensi
tertentu, nilai ekonomi diperoleh dari nilai survei yang diberikan oleh individu
terhadap jasa ekosistem non pasar. Metode preferensi terbuka mengacu pada hasil
observasi terhadap beberapa pilihan yang individu menetapkan perkiraaan
(dugaan) nilai atas sumberdaya yang mereka gunakan. Namun demikian, disadari
Direct UseValue
Marketed outputs- Hasil
panen - Ikan- Kayu- Energi
terbarukan
- Industri
Unpriced benefits
- Rekreasi- Landscape- Estetika
Benefits
- Pengendali banjir
- Penyimpan karbon
- Penyimpan air
- Asimilasi limbah
- Keragaman ekologi
Benefits
Nilai dari pengetahuan untuk mempertahan-kan keberadaan didasarkan pada moral dan keyakinan
Total Economic Value
Use Value Non-use Value
Ecological function value
Option Value Bequest Value
Existence Value
Benefits
- Obat-obatan masa depan
- Kolam plasma potensial
- Pilihan rekreasi
Benefits
Manafaat yang tersisa untuk generasi masa depan
tidak ada metode yang tepat
untuk setiap situasi valuasi
Adanya berbagai
akademik, pemerintah, non pe
lingkungan ini, mulai dari
survei dan pilihan model ekonometrik
Berbagai metode yang tercakup dalam kedua pendekatan ini
Gambar 6.
Gambar 6 Metode valuasi lingkungan
2.4.3 Metode Valuasi Kontingensi
Contingent valuation method
sumberdaya alam (SDA
langsung kepada konsumen tentang nilai manfaat SDA dan lingkungan yang
mereka rasakan. Teknik CVM dilakukan dengan survei melalui wawancara
langsung dengan responden yang memanfaatkan SDA lingkungan yang dimaksud.
Metode ini diharapkan dapat m
SDA dengan mengemukakan kesanggupan untuk membayar (
WTP) yang dinyatakan dalam bentuk nilai uang.
didasarkan pada kesediaan konsumen membayar perbaikan atau kesediaan
dak ada metode yang tepat untuk mengestimasi nilai ekonomi jasa lingkungan
tuk setiap situasi valuasi (Rianse 2010).
Adanya berbagai kepentingan dari sudut pandang yang berlainan dari sisi
akademik, pemerintah, non pemerintah, juga mempengaruhi valuasi ekonomi
lingkungan ini, mulai dari perdebatan isu metodologi, pilihan metode, desain
survei dan pilihan model ekonometrik hingga perhatian etika (Foster 1997).
Berbagai metode yang tercakup dalam kedua pendekatan ini disajikan
aluasi lingkungan (Sumber: Rianse 2010)
aluasi Kontingensi (Contingent Valuation Method)
gent valuation method (CVM) merupakan metode valuasi
SDA) dan lingkungan dengan cara menanyakan secara
langsung kepada konsumen tentang nilai manfaat SDA dan lingkungan yang
mereka rasakan. Teknik CVM dilakukan dengan survei melalui wawancara
langsung dengan responden yang memanfaatkan SDA lingkungan yang dimaksud.
ini diharapkan dapat menentukan preferensi responden terhadap barang
gemukakan kesanggupan untuk membayar (Willingness to pay
WTP) yang dinyatakan dalam bentuk nilai uang. Teknik penilaian manfaat,
didasarkan pada kesediaan konsumen membayar perbaikan atau kesediaan
40
untuk mengestimasi nilai ekonomi jasa lingkungan
sudut pandang yang berlainan dari sisi
valuasi ekonomi
perdebatan isu metodologi, pilihan metode, desain
Foster 1997).
disajikan pada
(CVM) merupakan metode valuasi
yakan secara
langsung kepada konsumen tentang nilai manfaat SDA dan lingkungan yang
mereka rasakan. Teknik CVM dilakukan dengan survei melalui wawancara
langsung dengan responden yang memanfaatkan SDA lingkungan yang dimaksud.
erensi responden terhadap barang
illingness to pay -
Teknik penilaian manfaat,
didasarkan pada kesediaan konsumen membayar perbaikan atau kesediaan
41
menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam
sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar (Hufschmidt et al. 1987).
Kesediaan membayar atau kesediaan menerima merefleksikan preferensi
individu., kesediaan membayar dan kesediaan menerima adalah ”bahan mentah”
dalam penilaian ekonomi. Pearce dan Moran (1994) menyatakan kesediaan
membayar dari rumah tangga ke–i untuk perubahan dari kondisi lingkungan awal
(Q0) menjadi kondisi lingkungan yang lebih baik (Q1) dapat disajikan dalam
bentuk fungsi, sebagai berikut:
WTP i= f(Q1 – Q0, P0wn,I, Psub,I, Si,)
Keterangan :
WTPi = kesediaan membayar dari rumah tangga ke iPown = harga dari penggunaan sumber daya lingkunganPsub,i, = harga subtitusi untuk penggunaan sumber daya lingkunganSi, = karakteristik social ekonomi rumah tangga ke i
2.4.4. Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)
Pendekatan biaya perjalanan merupakan suatu cara untuk menilai barang
yang tidak memiliki harga. Rekreasi di luar merupakan contoh yang dapat
digunakan untuk barang-barang yang tidak memiliki harga. Kebanyakan
pendekatan ini menggunakan contoh pemanfaatan fasilitas rekreasi diluar yang
dianggap sebagai barang lingkungan yang dipertimbangkan. Karena para pemakai
tempat rekreasi ini sering tidak membayar atau tidak membayar tarif masuk
nominal, pendapatan yang dikumpulkan untuk membayar pasilitas ini bukannya
merupakan indikator. Keputusan pendekatan biaya perlu diambil sehubungan
dengan penyediaan sumber daya untuk melestarikan tempat yang ada atau
menciptakan yang baru.
Makin jauh tempat tinggal seseorang yang dapat memanfaatkan fasilitas
tersebut, makin berkurang harapan pemanfaatan tempat (barang lingkungan)
tersebut. Pemakai barang yang memiliki tempat tinggal yang lebih dekat dengan
tempat rekreasi diharapkan lebih banyak memanfaatkan barang lingkungan,
ditinjau dari faktor harga misalnya biaya perjalanan yang dikeluarkan lebih rendah
dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh pemakai yang jauh tempat
42
tinggalnya dari barang lingkungan tersebut. Dalam kaitannya surplus konsumen,
maka para pemakai yang datang dari tempat yang terjauh dengan biaya perjalanan
yang termahal dianggap memiliki surplus konsumen paling rendah (atau tidak
sama sekali). Sebaliknya, yang bertempat tinggal lebih dekat dengan biaya
perjalan lebih rendah akan memiliki surplus konsumen yang lebih besar.
Biaya perjalanan dapat berpengaruh terhadap tingkat kunjungan dalam
melakukan rekreasi, sebagai mana dituliskan persamaan berikut:
Q = f(TC, X1, …Xn)
Keterangan:Q = tingkat kunjungan (banyaknya pengunjung dari zona I tiap 1000
penduduk para zona iTC = biaya perjalanan X1,..Xn = variabel sosial ekonomi (penghasilan, tingkat, dan variable lain yang
sesuai
2.4.5 Perhitungan Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA
A. Nilai Guna Langsung (Direct Use Value) Sumberdaya Air PLTA
Nilai Potensi Benefit Listrik
Potensi benefit (keuntungan) dari produksi listrik merupakan keuntungan
yang diperoleh dari besarnya energi listrik yang dihasilkan dikalikan dengan
harga jualnya, kemudian dikurangi komponen biaya produksinya. Potensi
benefit produksi listrik bisa dihitung melalui persamaan berikut:
Potensi benefit = nilai produksi – biaya produksi
Nilai Potensi Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA
Nilai ekonomi usaha KJA di sekitar PLTA dihitung dari jumlah maksimum
KJA sesuai daya dukung lingkungan pada wilayah genangan/badan air
dikalikan dengan jumlah produksi ikan dan harga jualnya. Hal ini bisa
dihitung dengan rumus nilai ekonomi ikan sebagai berikut :
Nilai ekonomi ikan = ∑ KJA x produksi ikan per petak x harga ikan per
petak
43
Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata
Nilai ekowisata di sekitar PLTA, terutama pada daerah genangan
(waduk/bendung) dihitung dari besarnya biaya perjalanan wisata yang
dikeluarkan oleh setiap pengunjung yang datang pada setiap tahunnya. Nilai
ekonomi ekowisata di sekitar PLTA dapat dihitung dengan persamaan:
Nilai ekowisata = rata-rata pengunjung/tahun x biaya perjalanan wisata
B. Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value) Sumberdaya Air PLTA
Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon)
Jumlah karbon yang ditimbun dalam tanaman seperti pohon-pohonan sangat
tergantung pada jenis dan sifat pohon itu sendiri. Proses penimbunannya
disebut sebagai proses sekuestrasi (carbon sequestration) yaitu proses
penyimpanan karbon di dalam tanaman yang sedang tumbuh. Tanaman atau
pohon di hutan dianggap berfungsi sebagai tempat penimbunan atau
pengendapan karbon (rosot karbon atau carbon sink). Dibandingkan dengan
berbagai jenis tanaman umumnya pohon-pohon kayu merupakan penyerap
karbon yang paling besar. Nilai ekonomi penyerapan karbon dapat dihitung
berdasarkan besarnya kandungan karbon yang tersimpan di dalam vegetasi
hutan yang dikonversikan dalam nilai finansial. Menurut Brown dan Peaece
(1994) dalam Widada (2004), hutan alam primer, hutan sekunder, dan hutan
terbuka memiliki kemampuan menyimpan masing-masing karbon sebesar
283 ton per hektar, 194 ton per hektar, dan 115 ton per hektar. Setiap 1 ton
karbon dapat dihargai dengan nilai finansial yang berkisar antara $1 US
sampai $28 US (Soemarwoto 2001). Untuk menghindari penilaian yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka nilai finansial yang diambil adalah
nilai tengah dari yang ditetapkan oleh Soemarwoto yaitu sebesar $19 US per
ton. Nilai ekonomi penyerapan karbon di sekitar PLTA, dapat dihitung
dengan persamaan:
Nilai ekonomi serapan karbon = luas hutan (ha) x harga karbon/ha
Nilai Cadangan Air Tanah
Nilai cadangan air tanah dihitung dari volume air yang masuk ke dalam
tanah, dikurangi volume yang terbuang dari permukaan. Volume input
44
dihasilkan dari luas DAS dikalikan dengan curah hujan rata-rata sebagai
inputannya. Sementara volume yang terbuang dihasilkan dari penguapan
rata-rata di seluruh permukaan DAS ditambah dengan air yang mengalir di
permukaan (run off).
Nilai Cadangan Air Waduk
Cadangan air yang tergenang di hulu waduk atau di hulu sungai merupakan
pemasok air utama bagi pembangkit listrik. Jika cadangan air ini tergantikan
oleh sedimentasi yang masuk ke badan air/waduk, maka akan terjadi
kehilangan potensi air sebagai sumber pembangkit. Nilai ekonomi
cadangan air ini sebanding dengan besarnya harga volume air yang bisa
membangkitkan energi listrik.
C. Nilai Bukan Guna (Non-Use Value) Sumberdaya Air PLTA
Nilai Pilihan (Option Value)
Nilai pilihan waduk adalah nilai pemanfaatan sumberdaya waduk untuk
pemanfaatan di masa yang akan datang. Nilai pilihan waduk dihitung sama
dengan dengan nilai keberadaan di atas yaitu menggunakan metode
Contingent Valuation Method (CVM) yang didasarkan pada seberapa besar
seseorang atau masyarakat mau membayar (willingness to pay) untuk
melindungi sumberdaya waduk. Nilai pilihan ini dihitung berdasarkan
bagaimana manfaat sumberdaya alam yang terkandung dalam waduk dapat
dipertahankan sehingga dapat dimanfaatkan untuk masa yang akan datang.
Untuk mengumpulkan data berkaitan dengan nilai pilihan ini, disebarkan
kuisioner kepada responden. Nilai pilihan waduk dihitung berdasarkan nilai
manfaat (WTP) dikalikan dengan jumlah penduduk di wilayah penelitian.
Nilai Pilihan Kelestarian Waduk
Nilai kelestarian waduk juga dihitung dengan metode Contingent Valuation
Method (CVM). Nilai kelestarian waduk dihitung berdasarkan pentingnya
dilestarikan kawasan waduk terutama untuk mempertahankan fungsinya
sebagai kawasan konservasi air untuk operasional PLTA dan kebutuhan air
bagi masyarakat sekitar. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan
kuisioner terhadap responden. Informasi yang ingin digali dalam kuisioner
45
dituangkan dalam bentuk pertanyaan. Nilai kelestarian waduk dihitung
berdasarkan nilai kelestarian (WTP) dikalikan dengan jumlah kepala
keluarga di wilayah penelitian.
D. Nilai Ekonomi Total (TEV)
Nilai ekonomi total perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA
merupakan jumlah dari keseluruhan nilai guna langsung dan nilai guna tidak
langsung dengan rumus seperti di bawah ini.
TEV = [NPL+NPTL]
NT = [{NProd.Listrik + NEP.ikan + NEEkowisata + NEPenghijaua + NC
Air Tanah + NC Air Waduk } + {NPel+NPil}]
Keterangan:
TEV = Total Economic Value
NPL = Nilai Penggunaan Langsung
NPTL = Nilai Penggunaan Tak Langsung
N E P.Ikan = Nilai Ekonomi Produksi Ikan Keramba Jaring Apung
NE Ekowisata = Nilai Ekonomi Ekowisata
NE Penghijauan = Nilai Ekonomi Pengijauan (serapan karbon)
NC Air tanah = Nilai Cadangan Air Tanah
NC Air Waduk = Nilai Cadangan Air Waduk
NPel = Nilai Pelestarian
NPil = Nilai Pilihan
2.5 Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem adalah pendekatan terpadu yang memandang suatu objek
atau masalah yang kompleks dan bersifat antar disiplin sebagai bagian dari sistem.
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisa organisatoris yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisa (Marimin 2005).
Sementara sistem sendiri adalah suatu gugus dari elemen yang saling
berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari
46
tujuan-tujuan (Manetsch & Park 1979 dalam Eriyatno 1999). Pendekatan sistem
memiliki dua hal umum sebagai tandanya, yaitu (1) dalam semua faktor penting
yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan
(2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membentuk keputusan secara rasional
(Marimin 2005).
Sistem yang diberi abstrak dan deskripsi yang disederhanakan memudahkan
penggunaan model untuk menentukan usaha-usaha penelitian atau menguraikan
garis besar suatu masalah untuk pengkajian yang lebih mendetail (Odum 1993).
Representasi umum berbagai kaitan tersebut bisa digambarkan dalam sebuah
diagram input-output. Diagram tersebut merepresentasikan input lingkungan,
input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta
manajemen pengendalian. Sedangkan parameter rancangan sistem dipresentasikan
sebagai kotak gelap (black box) pada tengah diagram, yang menunjukkan
terjadinya proses transformasi input menjadi output (Gambar 7).
Gambar 7 Diagram input-output model perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.
Analisis terhadap cara berfikir sistemik bisa dilakukan dengan analisis
47
sistem dinamik. Dalam analisis sistem dinamik, gambaran keadaan dunia nyata
(real world) disimplifikasi dalam sebuah model. Model tersebut dapat
disimulasikan untuk menggambarkan prilaku sistem (Kurniawan 2010). Hal ini
bisa digunakan untuk mencari berbagai kombinasi yang bisa memenuhi tujuan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan PLTA berbasis sukarela.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di PLTA yang telah memperoleh sertifikat ISO 14001
yaitu PLTA Cirata dan PLTA Saguling yang berada di Provinsi Jawa Barat,
PLTA Tanggari I dan PLTA Tanggari II yang berada di Provinsi Sulawesi Utara.
Penelitian dilaksanakan selama 14 (empat belas) bulan. Objek penelitian di
Provinsi Jawa Barat terdiri dari PLTA Saguling dan PLTA Cirata. Sehingga lokasi
wilayah penelitian yang dikaji terhadap DAS (daerah aliran sungai) Waduk
Saguling dan DAS Waduk Cirata (Gambar 8). Sementara objek penelitian di
Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari PLTA Tanggari I dan PLTA Tanggari II.
Lokasi wilayah penelitian disajikan pada Gambar 9 yang merupakan wilayah
DAS Tondano yang melingkupi DAS PLTA Tanggari I dan II.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan desain model kebijakan
dan strategi perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di
PLTA. Tidak semua PLTA di Indonesia menerapkan sistem manajemen
lingkungan ISO 14001, sehingga teknik sampling yang digunakan adalah
purposive sampling. Dari 55 PLTA yang ada di Indonesia, berdasarkan data yang
diperoleh dari Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan yang
terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), Januari 2011, terdapat 6
PLTA yang telah disertifikasi berdasarkan ISO 14001 (telah diadopsi Indonesia
menjadi SNI ISO 14001). Kemudian dari 6 PLTA tersertifikasi ISO 14001,
peneliti mengambil PLTA yang memanfaatkan sumberdaya air yang berasal dari
aliran sungai yang mengikuti pola kaskade. Dari 6 PLTA ada sebanyak 4 PLTA
yang memenuhi yaitu air dari daerah aliran sungai yaitu PLTA Saguling, PLTA
Cirata, PLTA Tanggari I dan PLTA Tanggari II. Sehingga penelitian dilakukan
terhadap 4 PLTA tersebut.
49
(a)
(b)
Gambar 8 Lokasi penelitian: (a) DAS PLTA Saguling dan (b) DAS PLTA Ciratadi Provinsi Jawa Barat.
50
Gambar 9 Lokasi penelitian PLTA Tanggari di Provinsi Sulawesi Utara.
3.2. Tahapan Penelitian
Penelitian ini dirancang dalam empat tahapan yang bertujuan untuk
mengkaji berbagai permasalahan yang terkait (Gambar 10). Pada tahap awal
dilakukan kajian terhadap data sekunder yang terdapat di perpustakaan umum dan
instansi yang terkait dengan kegiatan penilaian dan perlindungan lingkungan
terkait kualitas dan kuantitas sumber daya air pensuplai PLTA. Pada tahap ini
dilakukan kajian deskriptif mengenai implementasi sistem manajemen lingkungan
dalam perlindungan lingkungan dan pemenuhan persyaratan lingkungan yang
51
berlaku terkait dengan pengendalian aspek lingkungan penting PLTA. Keempat
PLTA yang diteliti menetapkan pemanfaatan sumberdaya air merupakan aktivitas
yang memiliki aspek lingkungan penting.
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan kajian deskriptif terhadap
pemenuhan persyaratan perundang-undangan lingkungan terkait sumberdaya air.
Peneliti mengumpulkan data sekunder kualitas air sungai sebelum dan sesudah
dimanfaatkan PLTA, mulai dari tahun 2005 hingga tahun 2010. Selain itu,
dilakukan analisis perubahan penggunaan lahan (landuse change) berdasarkan
data citra satelit di sekitar DAS di mana PLTA berada. Hal ini dilakukan dengan
bantuan perangkat lunak SIG (sistem informasi geografis) yang diklarifikasi
dengan data lapangan melalui observasi. Kedua langkah analisis ini mampu
menggambarkan kondisi aktual lingkungan dan sumber daya air terkait PLTA
yang dikaji.
Tahap kedua, melakukan kajian terhadap regulasi (legal review) terkait
pengelolaan sumberdaya air PLTA. Pada tahap ini juga dilakukan kajian terhadap
akseptasi stakeholder terhadap program sistem manajemen lingkungan. Kajian
dilakukan untuk mengetahui tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder
terhadap program lingkungan PLTA.
Tahap ketiga melakukan kajian program sistem manajemen lingkungan
PLTA dalam rangka konservasi sumberdaya air untuk melestarikan fungsi
sumberdaya air. Manfaat lingkungan dianalisis dengan pendekatan Nilai Ekonomi
Total (Total Economic Value -TEV) .
Tahap terakhir, dilakukan kajian kebijakan prioritas menggunakan AHP
(analitycal hierarchy process), serta analisis kebijakan guna menggambarkan
kebijakan aktual yang ada, serta prioritas pengelolaan sumber daya air PLTA.
Semua hasil analisis di atas menjadi bahan perumusan model dinamik kebijakan
pengelolaan sumberdaya air PLTA. Proyeksi kebijakan ke depan berdasarkan
kondisi aktual yang ada bisa disimulasikan dalam model dinamik tersebut. Hal ini
akan menjadi bahan rumusan pengembangan kebijakan perlindungan dan
pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela dan skenario penerapannya.
52
Gambar 10 Tahapan pelaksanaan penelitian.
53
3.3 Penentuan Responden
3.3.1 Responden Pakar
Responden untuk keperluan kajian akseptasi stakeholder merupakan para
pakar yang mewakili struktur stakeholder PLTA yang berasal dari wakil
pemerintah, asosiasi/profesi di bidang penilaian kesesuaian, wakil shareholder
wakil masyarakat, dan wakil konsumen. Sementara responden pakar untuk AHP
merupakan para pakar yang mengetahui seluk beluk pengelolaan sumberdaya air
berbasis sukarela di PLTA.
Dasar pertimbangan dalam pemilihan pakar digunakan kriteria sebagai
berikut :
a. Keberadaan dan kesedian pakar/responden untuk dimintakan pendapat.
b. Memiliki kredibilitas sebagai ahli pada substansi yang diteliti.
c. Memiliki pengalaman dalam bidangnya.
d. Keterwakilan stakeholder.
Berdasarkan hal ini, maka pakar yang dimintakan pandangannya minimal
berjumlah 5 responden.
3.3.2 Responden Valuasi Ekonomi
Analisisis TEV bertujuan untuk mengetahui seberapa besar benefit dari
penerapan kebjakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA
dilihat dari value yang dapat diperoleh dari ekosistem yang dilindungi. Value yang
diperoleh bisa berupa use value maupun non-use value sebagai output dari
program manajemen lingkungan. Kedua value ini dapat dirasakan baik secara
langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat di sekitar PLTA, baik
masyarakat di hulu, sepanjang aliran sungai maupun di hilir sungainya. Maka dari
itu, dalam analisis TEV ini, responden yang akan menjadi target analisis adalah
masyarakat yang berada di sekitar PLTA yang tinggal di sepanjang daerah aliran
sungai. Tentunya tidak semua warga diikutkan menjadi target survei dalam
analisis TEV ini, karena warga yang berada di daerah yang sama dengan
karakteristik lingkungan yang hampir sama akan memiliki pola pikir dan kondisi
yang sama akibat dari program lingkungan ini. Secara statistik, dalam teori
pengambilan sampel untuk suatu survei, perlu mengambil minimal 30 responden
54agar hasil penelitian bisa dikatakan valid. Maka dari itu, pada saat survei, penulis
mengambil sebanyak 30 responden dari masing-masing PLTA untuk menjadi
responden dalam penelitian analisis TEV ini. Sehingga jumlah responden yang
menjadi target sampel dalam penelitian ini sebanyak 4 x 30 responden yaitu 120
responden.
3.4 Jenis dan Sumber Data
Data penelitian yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer
dan sekunder, yang meliputi data kualitas air PLTA, program perlindungan dan
pengelolaan sumberdaya air di PLTA, pendapat pakar, persepsi masyarakat,
stakeholder, dan data kelembagaan. Jenis dan sumber data yang dianalisis secara
ringkas disajikan matriks rangkuman metode penelitian pada Tabel 2.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran dan observasi langsung
terhadap data-data yang terkait dengan kebijakan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Dalam tahap implementasi rancangan,
data yang akurat diperoleh melalui (1) studi literatur, (2) observasi lapangan (3)
kuisioner survei pakar (expert survey methods). Penggunaan ketiga metode ini
dapat saling menutupi kelemahan/melengkapi informasi yang dibutuhkan
sehingga dalam menangkap realitas masalah lebih bisa diandalkan (Eriyatno dan
Sofyar, 2007). Dalam penelitian ini, data sekunder diperoleh dari penelusuran
data-data yang terkait dengan kebijakan pemerintah. Data primer diperoleh
melalui observasi langsung dan wawancara melalui pengisian kuesioner tentang
karakteristik sosial ekonomi, masyarakat yang memanfaatkan keberadaan PLTA
serta melalui diskusi dengan pihak terkait seperti pihak instansi pemerintah, pihak
PLTA, Perguruan Tinggi dan masyarakat.
55
Tabel 2 Matriks rangkuman metode penelitian
TujuanMetode Pengumpulan Data
Parameter Metode Analisis Data OutputPrimer Sekunder
Menganalisis kondisi perubahan penggunaan lahan dan kualitas sumberdaya air yang dimanfaatkan PLTA
Ground check point (GCP) landuse
Data citra satelit
Data kualitas SD Air
Perubahan penggunaan lahan
Parameter fisika air
Parameter kimia air
Observasi
Analisis SIG
Analisis Deskriptif
Peta penggunaan lahan
Grafik kualitas air
Menganalisis tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder, serta landasan regulasi terkaitpengelolaan sumberdaya airberbasis sukarela di PLTA
Kuisioner Dokumen peraturan
dan perundangan terkait
Tingkat kepentingan & pengaruh stakeholder
Pemetaan regu
lasi
Analisis Stakeholder
Legal review
Pemetaan stakeholder
Gambaran regulasi terkait saat ini
Menganalisis nilai jasa lingkungan yang diberikan sumberdaya air PLTA secara berkelanjutan
Kuisioner Data produksi listrik
Data potensi perikanan
Data wisata
Data potensi serapan karbon
Data Curah hujan
Data laju sedimentasu
Data limpasan permukaan
Kapasitas power listrik
Biaya produksi listrik
Produksi budidaya ikan
Biaya produksi budidaya ikan
Jumlah penduduk
Jumlah pengunjung wisata
Biaya perjalanan wisata
Luas lahan penghijauan
Nilai simpanan karbon
Luas DAS
Analisis valuasi ekonomi
Nilai ekonomi total (TEV) jasa lingkungan
Merumuskan model kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA
Kuisioner Kompilasi data
Struktur hierarki
Aspek lingkungan
Aspek ekonomi
Aspek Sosial
Sintesa hasil analisis
AHP
Analisis Sistem Dinamik
Analisis kebijakan
Prioritas kebijakan
Model dinamik
Model konseptual kebijakan
563.6 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, digunakan tujuh teknik analisis utama yaitu analisis
kualitas air, analisis perubahan penggunaan lahan, nilai manfaat konservasi
sumberdaya air oleh PLTA dapat dinilai melalui Nilai Ekonomi Total (NET),
legal review, analisis stakeholder, AHP (Analytical Hierarchy Process dan
analisis sistem dinamik.
3.6.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan diteliti untuk melihat besarnya tekanan
penduduk dan aktifitasnya terhadap penggunaan lahan pada wilayah yang
mempengaruhi sumberdaya air PLTA. Analisis perubahan penggunaan lahan
dilakukan terhadap perubahan penggunaan lahan pada tahun 2001 hingga tahun
2007. Data yang digunakan adalah citra satelit Landsat-7 ETM+ yang
diinterpretasi penggunaan lahannya. Perubahan penggunaan lahan bisa dikaji
menggunakan kombinasi metode penginderaan jauh (analisis citra digital), SIG
dan pemodelan (Weng 2002; Wu et al. 2006; Azo’car 2007).
Analisis citra digital adalah kegiatan penguraian dan atau penelaahan data
serta hubungan antar komponen data itu sendiri, dalam hal ini adalah nilai
kecerahan (brightness value, BV) atau nilai digital (digital number, DN) (Jaya
2006). Data citra digital setiap tahun perekaman akan diuraikan menjadi nilai
digital yang akan dibandingkan perubahannya secara temporal. Hasil analisis
didigitasi dan dianalisis perubahan luasan spasialnya dengan perangkat sistem
informasi geografis (SIG) (Kurniawan 2010). Menurut Prahasta (2002),
perangkat ini bisa digunakan untuk menyimpan, memperbaharui, menganalisis
dan menyajikan kembali semua bentuk informasi spasial tersebut.
3.6.2 Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value)
Total Economic Value (TEV) yaitu analisis kebijakan untuk menilai
manfaat lingkungan secara ekonomis dengan menggabungkan unsur dari berbagai
disiplin ilmu yang bersifat deskriptif, valuatif, dan normatif. Dalam konsep
penilaian nilai ekonomi total, nilai lingkungan tidak hanya bergantung pada nilai
pemanfaatan langsung, namun juga pada seluruh fungsi sumberdaya lain yang
57
memberi nilai (ekonomis dan non ekonomis) yang setinggi-tingginya. Model ini
bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaataan sumberdaya yang dapat
diukur secara nyata berdasarkan tolok ukur nilai moneter. Secara generik model
TEV dirumuskan sebagai berikut :
TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (XV + BV)
Keterangan :
UV = Use valueNUV = Non use valueDUV = Direct use valueIUV = Indirect use valueOV = Option valueEV = Existensi valueBV = Bequest value
Penggunaan TEV dalam penelitian ini dikaitkan pada penilaian manfaat dan
biaya lingkungan atas penerapan sistem manajemen lingkungan berbasis sukarela
(voluntary) dalam mendukung kebijakan perlindungan lingkungan.
3.6.3. Analisis Legal Review
Metoda yang digunakan untuk menelaah regulasi adalah metode legal
review yang merupakan pendukung dalam analisis kebijakan (policy analysis).
Analisis legal review dilakukan untuk mengkaji restriksi dan peluang yang bisa
dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dan kondisi yang diharapkan dari aspek
legal (Hermawan et al. 2005). Analisis ini dilakukan terhadap berbagai regulasi
terkait pengelolaan sumberdaya air secara umum dan pengelolaan sumberdaya air
di wilayah sekitar PLTA. Hal ini dilakukan untuk memberikan landasan regulasi
serta peluang perbaikannya di masa mendatang dalam menerapkan kebijakan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan sumberdaya air berbasis sukarela secara
berkelanjutan
3.6.4. Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder adalah sistem pengumpulan informasi dari individu
atau sekelompok orang yang berpengaruh dalam memutuskan, mengelompokkan
58informasi dan menilai kemungkinan konflik yang terjadi antara kelompok-
kelompok berkepentingan dengan areal dimana akan dilakukan trade-off (Brown
et al. 2001). Analisis stakeholder dilakukan dengan mengidentifikasi aktivitas
stakeholder kunci dan melakukan penilaian terhadap tingkat pengaruh dan
kepentingan stakeholder dalam program perlindungan lingkungan PLTA berbasis
sukarela. Peran stakeholder digambarkan dalam bentuk hubungan dengan
aktivitas yang direncanakan, mengemukakan masalah, mengidentifikasi
kepentingan dan pengaruh setiap stakeholder, mengidentifikasi hubungan yang
akan dibangun antar stakeholder, dan usaha/tindakan bersama (koalisi) guna
mencapai sasaran bersama yang kooperatif.
Alat analisis yang digunakan adalah ”stakeholder grid” dengan bantuan
perangkat lunak komputer program Microsoft Excel XLSTAT 7.1 yang telah
dimodifikasi menjadi software Analisis Stakeholder. Stakeholder dikategorikan
menurut kepentingan dan pengaruhnya dalam perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela di perusahaan listrik pembangkit tenaga air
(PLTA). Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder diilustrasikan pada
Gambar 11.
Gambar 11 Tingkat pengaruh dan kepentingan pada stakeholder.
Tingkat Pengaruh
59
Tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder diberi skor
berdasarkan justifikasi pakar dan dikelompokkan menurut jenis indikatornya
kemudian disandingkan sehingga membentuk koordinat. Selanjutnya
diterjemahkan ke dalam klasifikasi stakeholder. Posisi pada kuadran dapat
menggambarkan ilustrasi mengenai posisi dan peranan yang dimainkan oleh
masing-masing stakeholder.
Pengelompokan stakeholder tergantung pada tingkat kepentingan dan
pengaruhnya terhadap proses pengambilan keputusan, yakni: primary
stakeholders, secondary stakeholders, dan external stakeholders (Gambar 11).
a. Primary stakeholders, dimana tingkat kepentingan tinggi dengan pengaruh
yang rendah dalam proses (penentuan kebijakan);
b. Secondary stakeholders, dimana tingkat kepentingan dan pengaruh dalam
proses (penentuan kebijakan) dengan proporsi sama;
c. External stakeholders, dimana tingkat kepentingan rendah dengan pengaruh
yang tinggi dalam proses (penentuan kebijakan).
3.6.5 Analytical Hierarchy Process (AHP)
Penggunaan AHP dimaksudkan untuk membantu pengambilan keputusan
memilih strategi terbaik dengan cara: (1) mengamati dan meneliti ulang tujuan
dan alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini
kebijakan yang baik; (2) membandingkan secara kuantitatif dari segi
biaya/ekonomis, manfaat dan resiko dari setiap alternatif; (3) memilih alternatif
terbaik untuk diimplementasikan, dan (4) membuat strategi secara optimal,
dengan menentukan prioritas kegiatan. Tahapan AHP dimulai dengan yang
bersifat umum, yaitu menjabarkan ke dalam sub tujuan yang lebih rinci yang
dapat menjelaskan apa yang dimaksud dalam tujuan umum. Penjabaran terus
dilakukan hingga diperoleh tujuan yang bersifat operasional. Pada setiap hierarki
dilakukan proses evaluasi atas alternatif. Tahap terpenting dari AHP adalah
melakukan penilaian perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) guna
mengetahui tingkat kepentingan suatu kriteria terhadap kriteria lain. Penilaian
dilakukan dengan membandingkan sejumlah kombinasi elemen yang ada pada
setiap hierarki sehingga dapat dilakukan penilaian kuantitatif untuk mengetahui
60besarnya nilai setiap elemen. Penilaian perbandingan berpasangan dilakukan
melalui pendapat pakar.
Prinsip kerja AHP adalah: (1) penyusunan hierarki, (2) penilaian kriteria dan
alternatif, (3) penentuan prioritas, (4) konsistensi logis. Proses perbandingan
berpasangan dilakukan pada setiap level (Gambar 12), yaitu level 1 (goal) , level 2
(faktor), level 3 (aktor), level 4 (tujuan), dan level 5 (alternatif).
Menurut Saaty (1994) bahwa tahapan analisa data dengan AHP adalah
sebagai berikut :
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah;
2. Membuat struktur hierarki yang dimulai dengan penentuan tujuan umum, sub-
sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkat kriteria yang
paling bawah. Penyusunan hierarki dilakukan melalui diskusi mendalam
dengan pakar yang mengetahui persoalan yang sedang dikaji. Adapun struktur
hierarki disain kebijakan perlindungan lingkungan berbasis sukarela di PLTA
seperti pada Gambar 12.
Gambar 12 Desain struktur proses hierarki analitik kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.
3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh
relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya,
perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan dengan
menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya,
61
Untuk mengkuantifikasi data kualitatif digunakan nilai skala 1-9, Skala
perbandingan secara berpasangan seperti Tabel 3.
Tabel 3 Matrik perbandingan berpasangan berdasarkan skala Saaty
Tingkat Kepentingan
Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan
3 Elemen kunci satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lainnya
Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya
5 Elemen yang satu lebih penting dari pada elemen yang lainnya
Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen yang lainnya
Stau elemen dengan didukung dan didominasi terlihat dalam praktek
9 Nilai-nilai antara dua pertimbangan yang berdekatan
Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
2,4,6,8 Nilai diberikan jika ada dua kompromi antara dua pilihan
Sumber : Saaty (1993).
4. Melakukan pengolahan perbandingan berpasangan. Pengolahan dilakukan
untuk menyusun prioritas setiap elemen dalam hierarki terhadap sasaran
utama.
Jika NPpq didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada
tingkat ke-q terhadap sasaran utama, maka :
NPpq =
Keterangan
p = 1,2,....,r
T = 1,2,.....,sNPpq = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap
sasaran utama
S
t
qxNPTtqtNPHpq1
)1()1,(
62NPHpq = Nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-qNPTt = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat q-1
5. Mengisi konsistensi judgment stakeholder dengan menghitung Consistency
Ratio. Nilai konsistensi yang dianggap baik adalah < 0,1 Jika tidak konsisten
(nilainya > 0,1) maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Consistency
Ratio merupakan parameter yang digunakan untuk memeriksa apakah
perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh pakar telah dilakukan dengan
konsekuen atau tidak (Marimin, 2004). Nilai Consistency Ratio dihitung
dengan rumus :
CR =
Dimana : CI = Indeks konsistensi RI = Indeks Random
CI = (p – n) / (n – 1)
Dimana : p = rata-rata Consistensy Vector n = Banyak alternatif
Sedangkan RI merupakan nilai random indeks sebagaimana yang
ditetapkan oleh Oarkridge laboratory (Marimin 2004) seperti pada Tabel 4.
Tabel 4 Nilai indeks random
N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56
Setelah diperoleh alternatif kebijakan sebagai kebijakan prioritas yang
perlu diterapkan dalam pengembangan PLTA berbasis sukarela, selanjutnya
disusun skenario kegiatan sebagai program-program yang dapat dilakukan untuk
masa yang akan datang. Penyusunan skenario dilakukan dengan menggunakan
metode analisis sistem dinamik.
3.6.6 Analisis Kebijakan
RI
CI
63
Kebijakan merupakan perangkat pedoman yang memberikan arah terhadap
pelaksanaan strategi pembangunan dan berfungsi untuk memberikan rumusan
mengenai berbagai pilihan tindakan dan prioritas agar dapat mencapai tujuan
pembangun dengan efektif (Suharto 2008). Kebijakan dapat dinyatakan dalam
berbagai bentuk: 1) instrumen legal (hukum), seperti peraturan perundangan, 2)
instrumen ekonomi, seperti kebijakan fiskal, subsidi dan harga, 3) petunjuk,
arahan ataupun ketetapan, 4) pernyataan politik, dan 5) kebijakan dapat
dituangkan dalam garis-garis besar arah pembangunan, strategi, maupun program.
Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh proses pembuatannya dan
implementasinya (Djogo et al. 2003).
Kebijakan publik adalah apapun yang akan dilakukan atau tidak dilakukan
oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut dan apa
akibat dari tindakan tersebut terkait dengan suatu isu atau persoalan publik (Dye
1992). Pengertian ini mengandung makna bahwa kebijakan publik dibuat oleh
badan pemerintah, baik pusat maupun daerah dan kebijakan publik menyangkut
pilihan.
Analisis kebijakan didefinisikan oleh Dunn (2003) sebagai suatu bentuk
analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi yang relevan untuk dapat
memberikan landasan bagi para pengambil kebijakan dalam membuat suatu
keputusan yang terkait dengan masalah-masalah publik. Dalam analisis kebijakan,
kata analisis digunakan dalam pengertian yang luas, termasuk penggunaan intuisi
dan pengungkapan pendapat serta mencakup tidak hanya pengujian kebijakan
dengan memilah-milahkannya ke dalam sejumlah komponen melainkan juga
perancangan dan sintesis alternatif-alternatif baru. Analisis kebijakan juga
didefinisikan sebagai aktifitas yang produknya adalah saran yang dapat digunakan
oleh pengambil keputusan untuk pembuatan kebijakan publik (Weimer & Vining
1989).
Dalam melakukan analisis kebijakan diperlukan identifikasi masalah
kebijakan dan kebutuhan masyarakat penerima, mengevaluasi respon pemerintah
terhadap masalah, pengembangan alternatif kebijakan, rekomendasi, implementasi
dan evaluasi kebijakan (Hogwood & Gunn 1984; Soebarsono 2008). Dunn (2003)
64menyebutkan analisis kebijakan dapat dilakukan dengan menggunakan 3
pendekatan, yaitu pendekatan prospektif, retrospektif dan integratif.
3.6.7 Analisis Sistem Dinamik
Analisis model dinamik dilakukan terhadap variabel-variabel yang telah
teridentifikasi yang meliputi aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Analisis model
dinamik dilakukan melalui 2 tahap, yaitu pembuatan diagram sebab akibat dan
diagram alir. Diagram simpal kausal menunjukkan hubungan antar variabel dalam
proses sistem yang dikaji. Prinsip dasar pembuatannya adalah suatu proses
sebagai sebab yang akan menghasilkan keadaan, atau sebaliknya suatu keadaan
sebagai sebab akan menghasilkan proses. Sedangkan diagram alir dibuat
berdasarkan persamaan model dinamik yang mencakup variabel keadaan (level),
aliran (rate), auxiliary, dan konstanta (constant). Variabel tersebut berupa
lambang-lambang yang digunakan dalam pembuatan model dengan menggunakan
piranti lunak Powersim. Model yang dikembangkan selanjutnya digunakan
sebagai alat simulasi. Simulasi ini dilakukan setelah uji validitas dan hasil
pengujian menunjukkan adanya kesesuaian atau keabsahan antara hasil simulasi
dengan data empiris (Sushil 1993; Muhammadi et al. 2001). Analisis dan simulasi
sistem dinamik dilakukan dengan bantuan program powersim studio 2005E untuk
memproyeksikan kecenderungan kondisi perlindungan dan pengelolaan sumber
daya air PLTA.
3.6.8 Verifikasi dan Validasi
Verifikasi model dilakukan sebagai proses uji sahih untuk mengetahui
berbagai kelemahan maupun kekurangan, serta identifikasi berbagai persoalan
yang harus diantisipasi dalam kaitan penerapan kebijakan yang dihasilkan
(Eriyatno & Sofyar 2007). Verifikasi diartikan sebagai menyatakan kebenaran,
ketepatan atau kenyataan (to establish the truth, accuracy or reality), sedangkan
kata valid didefinisikan sebagai mendapatkan hasil kesimpulan yang benar,
berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan (Hartrisari 2007)
Keabsahan suatu hasil simulasi dapat dilakukan melalui tiga pendekatan.
Setiap pendekatan memerlukan tim pengembangan model yang melakukan
65
verifikasi dan validasi sebagai bagian dari proses pengembangan model.
Pendekatan yang digunakan untuk menentukan suatu model yang valid dalam
kajian ini disebut sebagai independent verification and validation (IV and V).
Pendekatan ini menggunakan pihak ketiga (independent) untuk memutuskan
validitas suatu model (Sargent 1998).
Validitas adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan yang ditunjukkan
dengan sejauh mana model dapat menirukan fakta (Muhammadi et al. 2001).
Sementara validasi model menurut Sargent (1998) memiliki berbagai teknik untuk
melaksanakannya. Kajian ini memanfaatkan face validity terhadap para pakar
guna memeriksa kesesuaian antara prilaku model dengan prilaku sistem yang
diwakilinya. Validasi soft system dilakukan terhadap beberapa pakar yang dipilih
secara purposif mewakili keahlian memahami sinergitas konvensi internasional
bidang lingkungan hidup dan implementasinya. Validasi dilakukan secara face
validity terhadap para pakar guna memeriksa kesesuaian antara perilaku model
hasil kajian dengan perilaku sistem yang diwakilinya.
Untuk model dinamik, kinerja beberapa variabel dilakukan dengan uji
statistik. Uji statistik dimaksudkan untuk melihat penyimpangan antara keluaran
simulasi dengan data aktual. Pengujian statistik meliputi uji penyimpangan rata-
rata absolut (AME), penyimpangan variasi absolut (AVE), saringan Kalman (KF),
koefisien diskrepansi (U-Theils) dan Durbin Watson (DW) (Barlas 1998).
Absolute means error (AME) adalah penyimpangan antara nilai rata-rata
simulasi terhadap data aktual. Sedangkan absolute variation error (AVE) adalah
penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap data aktual. U-Theils adalah
koefisien diskrepansi antara nilai simulasi dengan data aktual. U-Theils dapat
menggambarkan ada tidaknya penyimpangan yang menonjol. Batas
penyimpangan yang dapat diterima untuk AME, AVE dan U-Theils adalah antara
5-10%.
66
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum PLTA
4.1.1 PLTA Saguling dan Cirata di Propinsi Jawa Barat
Guna memanfaatkan debit air yang dialirkan Sungai Citarum, sungai
terpanjang dan terbesar di provinsi Jawa Barat luas 1.448.279,25 ha, pemerintah
membuat tiga bendungan dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di sungai
ini yaitu PLTA Saguling, PLTA Cirata, dan PLTA Ir. H. Djuanda (PLTA
Jatiluhur). Pengoperation ketiga waduk ini diintegrasikan dalam satu pola operasi
yang disebut “Pola operasi waduk kaskade Citarum” dengan pendekatan equal
sharing yang dilakukan setiap bulan Oktober oleh ketiga pengelola waduk, yaitu
Perum Jasa Tirta II (Waduk Jatiluhur), PT Pembangkit Jawa Bali (Waduk Cirata),
dan PT Indonesia Power (Waduk Saguling). PLTA yang menjadi objek penelitian
adalah PLTA Saguling dan PLTA Cirata.
A. PLTA Saguling
PLTA Saguling adalah salah satu unit bisnis pembangkitan di bawah PT.
Indonesia Power. PLTA Saguling yang mulai beroperasi tahun 1986 memiliki visi
menjadi perusahaan publik dengan kinerja kelas dunia dan bersahabat dengan
lingkungan. Misi PLTA Saguling melakukan usaha dalam bidang
ketenagalistrikan dan mengembangkan usaha-usaha lainnya yang berkaitan,
berdasarkan kaidah industri dan niaga yang sehat, guna menjamin keberadaan dan
pengembangan perusahaan dalam jangka panjang.
UPB Saguling mengelola 29 mesin pembangkit yang tersebar di Jawa Barat
dengan total kapasitas terpasang 797,36 MW. Keuntungan PLTA ini antara lain
waktu pengoperasian relatif lebih cepat (15 menit), biaya produksi lebih murah
karena menggunakan air, rotasi turbin rendah dan tidak mengeluarkan panas
sehingga peralatan jarang mengalami kerusakan. PLTA juga ramah lingkungan,
karena tidak adanya proses pembakaran sehingga tidak ada limbah bekas
pembakaran yang ditimbulkan. Dam (waduk) bertindak cultivation multifungsi,
seperti pengendalian banjir dan sistem irigasi sawah.
67
PLTA Saguling memanfaatkan air Sungai Citarum yang terbagi atas 11 sub
DAS. Tujuh diantara Sub Das tersebut mempengaruhi pola aliran Sungai Citarum
baik kuantitas maupun kualitasnya yaitu Sub DAS Citarik, Sub DAS Cirasea, Sub
DAS Cihaur, Sub DAS Ciminyak, Sub DAS Cisangkuy, Sub DAS Ciwidey, dan
Sub DAS Cikapundung. Sungai ini bermata air utama di Gunung Wayang, di
selatan Bandung pada ketinggian 2.182 m, dan bermuara ke Laut Jawa di daerah
Tanjung Karawang. Luas DAS sekitar 6.080 km2 dan panjang sungai sekitar 270
km (Marganingrum 2007).
Pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan diintegrasikan ke dalam
sistem manajemen perusahaan. Program penghijauan ditetapkan dalam road map
tahun 2003-2016. PLTA Saguling melibatkan masyarakat sekitar lokasi
pembangkitan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan sekaligus
sebagai bentuk partisipasi perusahaan membantu meningkatkan taraf hidup
masyarakat setempat.
PLTA bekerjasama dengan Kabupaten Bandung Barat menghimpun
kepedulian 56 perusahaan untuk berpartisipasi pada program penghijauan Dinas
Lingkungan Kabupaten dan melakukan kerjasama dengan Perhutani Kabupaten
pada acara Tepung Lawung. Kerjasama juga dilakukan dengan masyarakat
pendidikan lingkungan untuk memberikan pelatihan dan pendampingan kepada
masyarakat di Kabupaten Bandung mengenai kelestarian lingkungan DAS sebagai
sumber kehidupan masyarakat sekitar DAS dan keberlangsungan operasional
Waduk Saguling.
B. PLTA Cirata
PT. Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) adalah anak perusahaan PT. PLN
(Persero) yang mengelola PLTA Cirata. PLTA Cirata beroperasi pada akhir
September 1988. Visi PT.PJB adalah menjadi perusahaan pembangkit tenaga
listrik Indonesia yang terkemuka dengan standar kelas dunia. Misi: (1)
Memproduksi tenaga listrik yang handal dan berdaya saing. (2) Meningkatkan
kinerja secara berkelanjutan melalui implementasi tata kelola pembangkitan dan
sinergi business partner dengan metoda best practice dan ramah linngkungan, (3)
68
Mengembangkan kepasitas dan kapabilitas SDM yang mempunyai kompetensi
teknik dan manjerial yang unggul serta berwawasan bisnis.
Dalam menjalankan bisnisnya, PT. PJB menerapkan tiga pilar strategis yaitu
pengelolaan aset (asset management), sistem manajemen SDM (human capital),
dan teknologi informasi sebagai business enabler. Tiga pilar strategis dijabarkan
ke dalam 10 sistem manajemen best practice yang antara lain: Manajemen aset,
Manajemen Risiko, Manajemen Mutu ISO 9001, Manajemen Lingkungan ISO
14001, dan K3 OHSAS 18000, Good Corporate Governance (GCG), Manajemen
Teknologi Informasi, Knowlegde Management, Manajemen SDM Berbasis
Kompetensi, Manajemen Baldrige, dan Manajemen House Keeping 5S.
Unit Pembangkitan Cirata berlokasi di Desa Cadas, Kecamatan Tegal Waru
Plered Purwakarta. PLTA terbesar di Asia Tenggara dengan bangunan Power
House 4 lantai di bawah tanah. Waduk Cirata memiliki luas 62 km2 dengan
elevasi muka air banjir 223 m, elevasi muka air normal 220 m dan elevasi muka
air rendah 205 m. Volume air waduk sebesar 2.165 juta meter3 dan efektif waduk
796 juta m3.
PLTA Cirata mengoperasikan 8 x 126 MW atau 1008 MW dan mampu
memproduksi listrik rata-rata sebesar 1.428 juta kilowatt jam per tahun yang
disalurkan melalui transmisi tegangan ekstra tinggi 500 KV ke sistem interkoneksi
Jawa Bali . Kemampuan memproduksi listrik PLTA ini setara dengan kemampuan
pembangkit termal yang menggunakan BBM 428 ton .Untuk menghasilkan energi
listrik sebesar 1.428 GWh, di operasikan 8 buah turbin dengan kapasitas masing–
masing 120.000 KW dengan putaran 187,5 RPM. Adapun tinggi air jatuh efektif
untuk memutar turbin 112,5 meter dengan debit air maksimum 135 m3/detik.
Penerapan sistem manajemen lingkungan di unit pembangkitan Cirata,
merupakan bagian tak terpisahkan dari proses produksi yang diwujudkan dalam
bentuk upaya pengelolaan lingkungan yang terencana, terintegrasi pada semua
bidang kegiatan dengan melibatkan seluruh komponen dalam manajemen unit
pembangkitan Cirata untuk kepentingan masyarakat, tuntutan pasar serta akrab
lingkungan dan sejalan dengan visi perusahaan yang ingin menjadikan perusahaan
ini peduli lingkungan.
69
4.1.2 PLTA Tanggari I dan II di Propinsi Sulawesi Utara
Energi listrik di Sulawesi Utara bersumber dari sistem pembangkitan PLTA
Tonsea Lama, PLTA Tanggari I, PLTA Tanggari II, PLTD Manado dan PLTD
Bitung. PLTA yang menjadi objek penelitian adalah PLTA Tanggari I dan II.
Kedua PLTA ini menggunakan sumber energi gravitasi “air terjun” Sungai
Tondano yang bersumber dari Danau Tondano dengan hulunya Desa Tolour dan
bermuara di Pantai Manado. Panjang Sungai Tondano hampir 40 km. Tahun 2006
Manajemen puncak PLTA Tanggari I dan Tanggari II memutuskan untuk
menerapkan sistem manajemen lingkungan pada pengelolaan dan pengoperasian
PLTA.
PLTA Tanggari I berlokasi di Desa Tanggari termasuk Kecamatan
Airmadidi Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Terletak pada
124º 56’ 11” BT dan 1º 21’ 26” LU. PLTA Tanggari I dibangun pada tahun 1984
dan beroperasi pada tahun 1987. PLTA Tanggari I memiliki dua unit mesin,
dengan kapasitas daya terpasang sebesar 18 MW.
PLTA Tanggari II berlokasi di Desa Tanggari Kecamatan Airmadidi
Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Terletak pada 124º 56’ 49”
BT dan 1º 22’ 16” LU. PLTA Tanggari II dibangun pada tahun 1995 dan mulai
beroperasi pada tahun 1998. PLTA Tanggari II mampu membangkitkan tenaga
listrik dengan kapasitas daya terpasang sebesar 19 MW dengan tegangan sebesar
13.2 KV. Tipe pambangkit run off river (aliran langsung), dengan headrace tunnel
yang mempunyai panjang 800 meter, diameter 2.6 meter, tinggi jatuh 103 meter,
dan debit maksimum sebesar 16,5 m3/detik.
Apabila Sungai Tondano sudah tidak mampu menyalurkan debit air sebesar
16 m3/s pada saat permukaan Danau Tondano mencapai elevasi 629,27 (Low
lower Level/LWL), maka pengoperasian PLTA menjadi terganggu. Pendangkalan
dasar sungai sejak mulut danau hingga pintu pengambilan (intake) PLTA Tonsea
lama baik yang ditimbulkan oleh bahan sedimen maupun tumbuhan ganggang
yang tumbuh subur sepanjang 2 - 3 kilometer di hulu sungai mempengaruhi
pengoperasian PLTA Tanggari. Debit air terus berkurang dapat menggangggu
perputaran turbin.
70
Sungai Tondano mulai dari mulut danau hingga PLTA Tonsea lama
melewati tengah kota Manado. Hampir di sepanjang tepi sungai telah dihuni oleh
penduduk. Tidak mengherankan Sungai Tondano juga merupakan tempat
pembuangan sampah baik oleh pemukim maupun oleh pasar kota. Sampah yang
diperkirakan 5 – 6 ton per hari sangat terasa gangguannya dalam pengoperasian
turbin.
Danau Tondano sejak dahulu merupakan sumber ikan tawar bagi penduduk.
Kini perkembangan nelayan meningkat dan penggunaan sistem “keramba” untuk
meningkatkan volume tanggakan ikan. Sistem keramba menggunakan tepian
danau untuk dijadikan tempat pemeliharaan ikan yang diberi makanan tertentu
(pellet dsb). Kondisi ini menyebabkan kadar nitrogen dalam air yang mendorong
pertumbuhan gulma air.
PLTA Tanggari juga mengalami permasalahan pasokan air akibat waktu
tempuh air dari Tonsea Lama sampai intake PLTA Tanggari. Lamanya waktu
tempuh disebabkan oleh kondisi dasar sungai yang terlalu banyak hambatan
berupa batuan dan sampah buangan disamping profil sungai yang tidak teratur.
4.2 Perubahan Penggunaan Lahan di Wilayah PLTA
4.2.1 Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Citarum
Analisis perubahan penggunaan lahan (landuse change) DAS dari citra
satelit 2001 dan 2007. Citra satelit yang digunakan adalah citra Landsat ETM 7.
Secara umum hasil analisis perubahan penggunaan lahan memperlihatkan adanya
perubahan tutupan dan peruntukan lahan pada DAS Citarum di Jawa Barat. Peta
penutupan dan penggunaan lahan berdasarkan citra satelit dan hasil analisisnya
pada wilayah DAS Citarum tersebut ditampilkan dalam Gambar 13 berikut.
71
(a) (b)Gambar 13 Citra satelit pada DAS Citarum: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.
Gambar 13 menunjukkan penutupan lahan berdasarkan citra satelit pada
tahun 2001 (a) dan 2007 (b) di wilayah DAS Citarum. DAS Citarum sendiri
meliputi DAS Citarum hulu di mana terdapat DAS Waduk Saguling dan DAS
Citarum hilir di mana DAS Waduk Cirata berada. Guna memudahkan pemahaman
selanjutnya, dalam peta penggunaan lahan kedua DAS ini dipisahkan menjadi
DAS Waduk Saguling (hulu) dan DAS Waduk Cirata (hilir), meskipun keduanya
merupakan satu sistem DAS yang berhubungan secara langsung. DAS Waduk
Saguling merupakan bagian dari DAS Waduk Cirata yang berada di bagian hulu.
Gambar 14 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS Saguling pada
tahun 2001 dan 2007 berdasarkan hasil interpretasi citra satelit. Sementara
Gambar 15 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS Cirata pada tahun 2001
dan 2007. Perbedaan penggunaan lahan pada tahun 2001 dan 2007 menjadi dasar
analisis perubahan lahan di DAS Citarum yang menjadi daerah tangkapan air
Waduk Saguling dan Cirata. Penggunaan lahan yang ditampilkan dalam kedua
peta tersebut terdiri dari berbagai kelas penutupan atau liputan lahan (land cover),
antara lain tutupan hutan, permukiman, sawah, semak belukar, tanah terbuka,
rawa, perkebunan, pertanian dan badan air (waduk), serta tutupan awan.
72
(a)
(b)
Gambar 14 Penggunaan lahan DAS Saguling: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.
73
(a)
(b)
Gambar 15 Penggunaan lahan DAS Cirata: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.
74
Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa luas DAS Waduk Saguling yang
berada pada wilayah paling hulu Sungai Citarum kurang lebih meliputi wilayah
seluas 222.830 ha. Sementara luas DAS Waduk Cirata meliputi wilayah sekitar
465.286 ha, di mana DAS Waduk Saguling tercakup di dalamnya. Hasil analisis
terhadap perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Saguling disajikan
dalam Tabel 5.
Tabel 5 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Saguling
Jenis Penggunaan
Lahan
Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn)
Hutan 38.139,80 17,12 12.531,77 5,62 (25.608,03) (4.268,01) (11,19)
Permukiman 39.782,58 17,85 41.458,90 18,61 1.676,32 279,39 0,70
Sawah 64.940,11 29,14 65.007,33 29,17 67,22 11,20 0,02
Semak belukar 1.060,72 0,48 30.604,91 13,73 29.544,19 4.924,03 464,22
Lahan terbuka 1.867,27 0,84 190,95 0,09 (1.676,32) (279,39) (14,96)
Pertanian lahan kering
72.864,11 32,70 43.252,87 19,41 (29.611,24) (4.935,21) (6,77)
Perkebunan 2.300,34 1,03 27.908,94 12,52 25.608,60 4.268,10 185,54
Rawa 521,49 0,23 520,81 0,23 (0,68) (0,11) (0,02)
Badan air 1.353,58 0,61 1.353,52 0,61 (0,06) (0,01) (0,00)
Total 222.830,00 100,00 222.830,00 100,00
Tabel 5 di atas menunjukkan terjadinya dinamika perubahan penggunaan
lahan pada DAS Waduk Saguling selama kurun waktu 6 tahun dari tahun 2001
hingga tahun 2007. Luas hutan di bagian hulu waduk pada tahun 2001 sebesar
38.139,80 ha atau sebesar 17,12% dari luas DAS. Luasan hutan berubah menjadi
hanya 5,62% atau sekitar 12.531 ha pada tahun 2007, sehingga diperkirakan
terjadi pengurangan luas hutan 11,19% setiap tahunnya. Hal ini disebabkan
terjadinya perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi berbagai penggunaan
lahan lainnya, terutama menjadi perkebunan. Luas perkebunan meningkat pesat
sekitar 185% setiap tahunnya, dari luas sekitar 2.300 ha pada tahun 2001 menjadi
sekitar 25.608 ha yang hampir seluruhnya berasal dari konversi terhadap hutan.
Sementara penggunaan lahan lainnya yang mengalami pengurangan adalah lahan
terbuka yang berkisar seluas 1.867 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 190 ha saja
75
pada tahun 2007. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan
terbuka pada tahun 2001 ini berubah menjadi lahan permukiman pada tahun 2007.
Penggunaan lahan lainnya yang mengalami pertumbuhan cukup pesat
adalah semak belukar yang tumbuh sekitar 462% setiap tahunnya, dari seluas
1.060 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 29.544 ha pada tahun 2007. Semak
belukar ini sebagian besar berasal dari lahan pertanian kering yang berubah dari
luas sekitar 72.864 ha pada tahun 2001 yang menyusut menjadi 43.252 ha pada
tahun 2007. Sementara penggunaan lahan lainnya relatif berubah secara perlahan,
seperti permukiman (0,7% per tahun), sawah dan rawa (0,02% per tahun), serta
relatif tidak berubah, seperti badan air (0,0007% per tahun).
Sementara Tabel 6 menunjukkan terjadinya dinamika perubahan
penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata pada kurun waktu yang sama.
Hampir sebagian luas DAS Waduk Cirata sebenarnya merupakan DAS Waduk
Saguling, yang berada di hulu Waduk Cirata. Hal ini menunjukkan dinamika
perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata, sebagian merupakan
sumbangan dari perubahan yang terjadi pada DAS Waduk saguling.
Tabel 6 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata
Jenis Penutupan Lahan
Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn)
Hutan 87.817,72 18,87 23.392,37 5,03 (64.425,35) (10.737,56) (12,23)
Permukiman 48.489,76 10,42 55.233,83 11,87 6.744,07 1.124,01 2,32
Sawah 135.217,40 29,06 135.348,93 29,09 131,53 21,92 0,02
Semak belukar 3.259,97 0,70 70.056,67 15,06 66.796,70 11.132,78 341,50
Lahan terbuka 6.935,02 1,49 190,95 0,04 (6.744,07) (1.124,01) (16,21)
Pertanian lahan kering 135.677,20 29,16 68.749,14 14,78 (66.928,06) (11.154,68) (8,22)
Perkebunan 34.523,69 7,42 98.949,60 21,27 64.425,91 10.737,65 31,10
Rawa 840,08 0,18 839,81 0,18 (0,27) (0,04) (0,01)
Badan air 11.534,08 2,48 11.533,88 2,48 (0,20) (0,03) (0,00)
Awan 991,08 0,21 990,82 0,21 (0,26) (0,04) (0,00)
Total 465.286,00 100,00 465.286,00 100,00 - - -
Hutan pada wilayah DAS Waduk Cirata memiliki luas sekitar 87.817 ha
atau sebesar 18,87% dari luas DAS pada tahun 2001. Luasan hutan berubah
menjadi hanya 5,03% atau sekitar 23.392 ha pada tahun 2007, sehingga
76
diperkirakan terjadi pengurangan luas hutan 12,23% setiap tahunnya. Seperti
halnya pada DAS Waduk Saguling, perubahan penggunaan lahan dari hutan
menjadi berbagai penggunaan lahan lainnya, terutama disebabkan konversi
terhadap lahan perkebunan. Hal ini mendorong peningkatan luas lahan
perkebunan dari luas sekitar 34.523 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 98.949
ha, atau meningkat sekitar 12,23% setiap tahunnya. Penggunaan lahan lainnya
yang mengalami pengurangan adalah lahan terbuka yang berkisar seluas 6.935 ha
pada tahun 2001 menjadi sekitar 190 ha saja pada tahun 2007. Hasil analisis
spasial menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan terbuka pada tahun 2001 ini
berubah menjadi lahan permukiman pada tahun 2007.
Seperti pada DAS Waduk saguling, semak belukar pada DAS Waduk Cirata
mengalami pertumbuhan cukup pesat dari sekitar 3.259 ha pada tahun 2001
menjadi sekitar 66.796 ha pada tahun 2007, atau tumbuh sekitar 341% setiap
tahunnya. Semak belukar ini sebagian besar berasal dari lahan pertanian kering
yang berubah dari luas sekitar 135.677 ha pada tahun 2001 yang menyusut
menjadi 68.749 ha pada tahun 2007. Penggunaan lahan lainnya relatif berubah
secara perlahan, seperti sawah (0,02% per tahun) dan rawa (0,01% per tahun),
serta relatif tidak berubah, seperti badan air (0,0007% per tahun). Sementara
permukiman di bagian hilir memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif lebih tinggi
dibandingkan bagian hulu (DAS Waduk Saguling). Hal ini terlihat dari tingkat
pertumbuhan permukiman secara keseluruhan di DAS Cirata sebesar 2,32% setiap
tahun, atau lebih tinggi dari DAS Waduk Saguling (0,7% per tahun).
Secara umum pengurangan luas hutan bisa meningkatkan laju degradasi
lahan, karena tutupan hutan bisa mencegah terjadinya peningkatan laju erosi dan
sedimentasi (Indriyanto 2008). Menurut PPSDAL UNPAD (2008), tingkat erosi
di DAS Citarum Hulu pada tahun 2001 sekitar 2,20 mm/tahun dan sedimentasi
4.296.268 m3/tahun. Pada tahun 2007, tingkat erosi meningkat menjadi 2,23
mm/tahun dan laju sedimentasi meningkat menjadi 4.315.404 m3/tahun.
Tingkat erosi dan laju sedimentasi yang tinggi dapat mengancam
keberlanjutan Waduk Saguling dan Waduk Cirata yang memasok air ke PLTA.
Sesuai perencanaan waduk, tingkat erosi dan laju sedimentasi yang diperbolehkan
secara berturut yaitu 2,10 mm/tahun dan 4.000.000 m3/tahun. Berdasarkan
77
prediksi PPSDAL UNPAD (2008), peningkatan sedimentasi akan mengurangi
kemampuan waduk untuk menampung air sebab sedimen akan terakumulasi baik
di dead storage dan life storage waduk. Peningkatan sedimen ini akan
mengurangi fungsi waduk sebagai penampung air.
Hutan dapat mempertahankan debit air sungai sehingga tidak akan banjir
pada musim hujan dan tidak akan kekeringan pada musim kemarau (Indriyanto
2008). Air dari Waduk Saguling berasal dari Sungai Cikapundung, Sungai
Cikeruh, Sungai Citarik, Sungai Cisangkuy, Sungai Ciwidey dan Sungai Cisarea.
Berdasarkan data tahun 1990-2010, debit air sungai sangat berfluktuasi. Debit air
minimum dan maksimum sungai ke Waduk Saguling yaitu 4,08 - 66,92 m3/dtk
dan 141,46 - 306,39 m3/dtk (PLTA Saguling 2011). Waduk Cirata memperoleh
air dari Sungai Cisokan, Sungai Cibalagung, Sungai Cimeta, Sungai Cikundul dan
Sungai Citarum. Debit minimum dan maksimum air sungai ke Waduk Cirata yaitu
31,18 - 103,02 m3/dtk dan 205,21- 488,66 m3/dtk (PLTA Cirata 2011).
4.2.2 Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Tondano
Gambar 16 menunjukkan penutupan lahan berdasarkan citra satelit pada
tahun 2001 (a) dan 2007 (b) di wilayah DAS PLTA Tanggari dan II (DAS
Tondano). Gambar 17 dan 18 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS
Tondano pada tahun 2001 dan 2007 berdasarkan hasil interpretasi citra satelit.
Perbedaan penggunaan lahan pada tahun 2001 dan 2007 menjadi dasar analisis
perubahan lahan di DAS Tondano yang menjadi daerah tangkapan air PLTA
Tanggari I dan II.
Seperti pada peta penggunaan lahan DAS Citarum, penggunaan lahan yang
ditampilkan dalam kedua peta penggunaan lahan DAS Tondano juga terdiri dari
berbagai kelas penutupan lahan. Penggunaan lahan tersebut terdiri dari tutupan
hutan, permukiman, sawah, semak belukar, tanah terbuka, rawa, perkebunan,
pertanian dan badan air (waduk), serta tutupan awan. Penggunaan lahan
berdasarkan analisis terhadap citra satelit tersebut ditampilkan dalam peta
penggunaan lahan pada tahun 2001 dan tahun 2007. Perbedaan luas penggunaan
lahan antara kedua tahun tersebut menjadi dasar dalam memperkirakan terjadinya
perubahan penggunaan lahan di DAS Tondano setiap tahunnya.
78
(a) (b)Gambar 16 Citra satelit pada DAS Tondano: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.
Gambar 17 Penggunaan lahan DAS Tondano pada tahun 2001.
79
Gambar 18 Penggunaan lahan DAS Tondano pada tahun 2007.
Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa luas DAS Tondano di mana
PLTA Tanggari I dan II berada meliputi wilayah seluas 24.708 ha. Penampakan
tutupan lahan melalui citra satelit menunjukkan bahwa sebagian besar wilayahnya
tertutup oleh vegetasi (hijau). Sementara pemukiman (merah) tersebar di
beberapa wilayah, terutama terkonsentrasi di wilayah pesisir pantai pada bagian
utara lokasi studi dan di pesisir Danau Tondano yang ada di bagian selatan lokasi
studi. Hasil analisis terhadap perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano
yang mempengaruhi PLTA Tanggari I dan II disajikan dalam Tabel 7.
80
Tabel 7 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano
Jenis Penutupan Lahan
Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn)
Hutan 18.323,83 74,16 18.098,12 73,25 (225,71) (37,62) (0,0021)
Permukiman 2.000,39 8,10 2.198,62 8,90 198,23 33,04 0,0165
Sawah 1.739,37 7,04 1.739,38 7,04 0,01 0,00 0,000001
Semak belukar 794,91 3,22 796,41 3,22 1,50 0,25 0,0315
Lahan terbuka 789,03 3,19 551,05 2,23 (237,98) (39,66) (0,0503)
Bayangan Awan 18,90 0,08 17,40 0,07 (1,50) (0,25) (1,3228)
Badan air 15,85 0,06 15,56 0,06 (0,29) (0,05) (0,0030)
Awan 1.026,59 4,15 1.292,33 5,23 265,74 44,29 0,0431
Total 24.708,87 100,00 24.708,87 100,00
Perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano selama kurun waktu 6
tahun dari tahun 2001 hingga tahun 2007 relatif tidak terlalu dinamis. Hal ini
dilihat dari sedikitnya prosentase perubahan penggunaan lahan setiap tahunnya.
Hasil analisis penggunaan lahan terhadap data citra satelit menunjukkan bahwa
pada tahun 2001, sebagian besar wilayah DAS Tondano ditutupi oleh hutan seluas
74,16% dari luas DAS secara keseluruhan. Selain hutan, wilayah ini juga
ditempati oleh permukiman (8,1%), sawah (7,04%), semak belukar (3,22%), lahan
terbuka (3,19%), badan air (0,06%), serta selebihnya ditutupi awan dan bayangan
awan. Penggunaan lahan pada tahun 2001 ini tidak berbeda jauh dengan
penggunaan lahan pada tahun 2007, sehingga bisa disimpulkan perubahan
penggunaan lahan yang terjadi di wilayah ini relatif kecil.
Luas hutan di DAS Tondano pada tahun 2001 sebesar 18.323 ha berubah
menjadi sekitar 18.098 ha pada tahun 2007, sehingga diperkirakan terjadi
pengurangan luas hutan hanya sekitar 0,0021% setiap tahunnya. Luas
permukiman relatif meningkat sekitar 0,0165% setiap tahunnya, dari luas sekitar
2.000 ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 2.198 ha pada tahun 2007. Sementara
penggunaan lahan lainnya relatif berubah secara perlahan, seperti sawah
(0,000001% per tahun), semak belukar (0,0315 per tahun) dan lahan terbuka (-
0,0503% per tahun).
Jenis tanah di perbukitan sekitar danau Tonado adalah latosol sehingga
jumlah erosi diduga atas dasar curah hujan. Tingkat erosi di DAS Tondano pada
tahun 1992 telah mencapai 0,213 ton/ha di lahan bervegetasi, serta sebesar 24,932
81
ton/ha di lahan terbuka tanpa vegetasi. Sementara erosi yang masih dapat
ditoleransi sebesar 11,0 ton/ha. Jadi lahan harus tertutup vegetasi untuk
menghindari bahaya erosi (DPE 1992).
Sungai yang bermuara di Danau Tondano adalah Sungai Noogan, Sungai
Panasen, Sungai Ema. Kondisi debit air minimum Sungai Tondano yang masuk
ke PLTA saat ini berkisar 4,005 – 20,324 m3/dtk dan maksimum berkisar 53,351 -
181,225 m3/dtk. PLTA Tanggari I dan II hanya akan beroperasi jika debit air
Sungai Tondano minimum 16 m3/dtk. Debit Sungai Tondano dipengaruhi musim.
Wilayah Manado, Tondano, dan Airmadidi memiliki iklim dengan nisbah bulan
kering (bulan dengan curah hujan < 60 mm) berkisar 0 % – 14,30 %. Faktor lain
yang mempengaruhi debit air adanya rumput air di tepian danau sampai sejauh
500 meter dari danau dan erosi dari wilayah sekitarnya. Hal ini merupakan
sumber pendangkalan yang menghambat laju air (DPE 1992).
4.3 Kualitas Air Sungai di Wilayah PLTA
Kualitas air suatu perairan mencerminkan kualitas lingkungan. Kualitas air
waduk sangat dipengaruhi kualitas lingkungan catchment area di wilayah hulu,
perubahan penutupan lahan dan penggunaannya. Kualitas air ini akan
mempengaruhi dan menentukan kemampuan hidup jasad perairan tersebut dan
proses teknis/produksi pembangkit listrik. Kelayakan suatu perairan sebagai
lingkungan hidup dipengaruhi oleh sifat fisika kimia perairan tersebut (Krismono
et al. 1987; Kartamihardja et al. 1987). Data-data yang berkaitan dengan
karakteristik fisik dan kimia yang berpengaruh terhadap PLTA meliputi suhu,
TDS, TSS, Fe, COD, DO, H2S, pH, NO3-2, dan PO4
-3. Analisis kualitas air sungai
pada empat PLTA menggunakan uji T berpasangan dan metode deksriptif dengan
membandingkan kualitas air di wilayah PLTA dengan baku mutu kualitas air
kelas 4 (PP No.82/2001). Uji T dilakukan untuk mengetahui apakah ada
perbedaan kualitas air di inlet dan outlet PLTA. Bilamana nilai P < 0,05 maka H0
ditolak (Siregar 2004).
4.3.1 Kualitas air PLTA Saguling dan Cirata
82
Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA dilihat pada Tabel
8. Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Saguling menunjukkan bahwa secara
umum kualitas air di outlet sama dengan kualitas air di inlet. Perbedaan secara
nyata (α=0,05) pada kualitas air di inlet dan outlet berdasarkan hasil uji T hanya
terlihat pada BOD pada tahun 2005, TSS pada tahun 2008, dan pH tahun 2008
dan tahun 2009.
Tabel 8 Hasil uji T kualitas air di PLTA Saguling
Parameter P-Value SagulingTahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010Suhu 0,560 0,396 0,426 0,787 0,166 0,076TDS 0,288 0,117 0,220 0,058 0,102 0,079TSS 0,620 0,409 0,365 0,031 0,112 0,191pH 0,433 0,213 0,453 0,021 0,005 0,199H2S 0,391 0,291 0,395 0,221 0,132 0,391NO3
-2 0,517 0,600 0,850 0,224 0,155 0,672PO4
-3 0,561 0,074 0,637 0,672 0,804 0,342DO - - 0,103 0,885 0,240 0,184COD 0,081 0,833 0,596 0,211 0,467 0,436BOD 0,039* 0,621 0,951 0,146 0,871 0,714Fe 0,275 0,155 0,078 0,473 0,537 0,116
Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data
Konsentrasi nilai rata-rata median TSS (3 mg/L) dan pH (7,1) di oulet lebih
rendah dibandingkan dengan TSS (4 mg/L) dan pH (7.9) di inlet pada tahun 2008.
Konsentrasi BOD di outlet (7,85 mg/L) lebih rendah dibandingkan dengan
konsentrasi rata-rata median BOD (8,75) di inlet pada tahun 2005 (Lampiran 1).
Walaupun ada parameter pada tahun yang berbeda tersebut menunjukkan adanya
perbedaan nyata (α=0,05) namun hal tersebut tidak menggambarkan hasil
keseluruhan tentang kualitas air waduk. Dari Tabel 8 hanya sekitar 6,25 % data
yang menunjukkan ada perbedaan nyata. Kualitas air yang tidak berbeda nyata
secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA
menunjukkan bahwa PLTA Saguling dalam kegiatan operasionalnya tidak
menurunkan kualitas air.
Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Cirata secara
umum menunjukkan kualitas air di PLTA Cirata di outlet sama dengan kualitas air
di inlet. Perbedaan secara nyata (α=0,05) kualitas air di inlet dan outlet hanya
terlihat pada konsentrasi TDS pada tahun 2010 dan phosfat pada tahun 2009.
83
Tabel 9 Hasil uji T kualitas air di PLTA Cirata
Parameter P-Value Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010Suhu 0,391 0,406 0,467 0,989 0,074 0,134TDS 0,116 0,759 0,217 0,163 0,110 0,007TSS 0,225 0,401 0,886 0,372 0,375 0,577pH 0,532 0,118 0,623 0,139 0,097 0,059H2S 0,391 - 0,227 0,333 0,459 0,193NO3
- 0,381 0,198 0,759 0,310 0,627 0,284PO4-3_ 0,103 0,153 0,571 0,722 0,034 0,470DO 0,861 0,779 0,373 0,192 0,018 0,832COD 0,960 0,904 0,207 0,781 0,080 0,638BOD 0,892 0,378 0,348 0,692 0,096 0,521Fe 0,319 0,389 0,735 0,428 0,108 0,541
Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data
Konsentrasi rata-rata median TDS (150 mg/L) di outlet Cirata pada tahun
2010 lebih tinggi dibandingkan konsentrasi TDS (112 mg/L) di inlet. Konsentrasi
phosfat (0,26 mg/L) di outlet lebih tinggi dibandingkan di inlet (0,23 mg/L) pada
2009 sebagaimana tertera pada Lampiran 2. Walaupun terdapat dua parameter
pada tahun yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata namun hal
tersebut tidak menggambarkan hasil keseluruhan tentang kualitas air waduk atau
hanya sekitar 3,08 % data yang menunjukkan ada perbedaan nyata. Dengan
demikian kualitas air tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan
sesudah dimanfaatkan oleh PLTA Cirata. Hal ini menunjukkan bahwa PLTA
Cirata dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air.
Analisis hasil uji T memperlihatkan secara statistik kualitas air (kelas IV) di
inlet dan outlet PLTA Saguling dan PLTA Cirata tidak berbeda nyata (α=0,05).
Proses konversi energi potensial air sungai menjadi energi mekanik kemudian
energi listrik di pembangkit tidak ada indikasi adanya tambahan material dalam
kegiatan konversi energi tersebut. Sehingga air yang keluar dari turbin
pembangkit listrik tenaga air tidak menambah beban lingkungan. Air yang keluar
dari turbin PLTA bukan merupakan sisa kegiatan PLTA (Penjelasan pasal 38 ayat
1 dari PP Nomor 82/2001).
Berdasarkan data sebaran kualitas air di Waduk Saguling dan Citara secara
keseluruhan masih di bawah ambang batas dari baku mutu untuk Kelas 4 (PP
No.82/2001), kecuali untuk parameter Biological Oxygen Demand (BOD).
84
Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis merupakan
jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat
diurai oleh mikroorganisma. Dinamika kualitas air inlet di Waduk Saguling untuk
parameter BOD tahun 2005, tahun 2007 hingga tahun 2010 adalah kurang baik.
Sebaran konsentrasi BOD telah melewati ambang batas dari baku mutu untuk
Kelas 4 (Lampiran 5). Hal tersebut juga terjadi di waduk di PLTA Cirata.
Dinamika kualitas air BOD di waduk di Cirata telah melewati ambang baku mutu
Kelas 4 dari PP No. 82/2001 pada tahun 2005, 2006, dan 2008 (Lampiran 6).
Perairan yang memiliki nilai BOD yang tinggi tidak cocok bagi kepentingan
perikanan dan pertanian.
PLTA harus memperhatikan dinamika kualitas air baik di inlet dan outlet,
sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA. Sesuai dengan komitmen
manajemen puncak untuk selalu memenuhi ketentuan yang berlaku dan mencegah
terjadinya polusi dan kerusakan lingkungan yang diikuti dengan melakukan
perbaikan secara berkelanjutan. Evaluasi kualitas air terhadap pemenuhan regulasi
(audit internal maupun tinjauan manajemen) tidak hanya difokuskan dampak
kualitas air terhadap operasional PLTA, PLTA sebagai pemanfaat sumberdaya
perlu memperhatikan keseimbangan ekosistem antara wilayah hulu dan hilir baik
dalam aspek ekonomi dan pelestarian lingkungan sehingga multifungsi air tetap
dapat dipertahankan. Konsentrasi Fe meskipun tidak ditetapkan persyaratan baku
mutunya dalam PP No. 82/2001, Fe yang teroksidasi di dalam air berwarna
kecoklatan dan tidak dapat larut dapat mengakibatkan penggunaan air menjadi
terbatas untuk keperluan fungsi lainnya.
Selain itu diketahui bahwa air yang terdapat pada waduk di PLTA
Saguling dan Cirata digunakan juga untuk aktivitas lain seperti untuk kegiatan
budidaya keramba jaring apung (KJA). Aktivitas KJA merupakan salah satu
bentuk untuk mengurangi dampak sosial ekonomi saat pendirian PLTA dan
pembangunan waduk dengan jumlah maksimum yang ditetapkan. Sisa limbah
pakan ikan dari kegiatan KJA akan menurunkan kualitas air waduk. Peningkatan
kontentrasi nitrat dan phosfat dapat terjadi karena masuknya bahan pencemar
yang mengandung unsur N dan P seperti dari pakan ikan. Limbah yang berasal
dari KJA (tahun 1996-2000) di Waduk Saguling mengandung 1.359.028 kg N dan
85
214.059 kg P, dan di Waduk Cirata mengandung 6.611.787 kg N dan 1.041.417
kg P (Garno 2002). Sementara peningkatan jumlah KJA terus meningkat hingga
berjumlah 7209 petak unit pada tahun 2010 di Waduk Saguling dan sebanyak
51418 unit di Waduk Cirata. Jumlah ini telah melewati kapasitas daya dukung
waduk. Daya dukung Waduk Saguling hanya dapat menampung 4514 unit petak
KJA (Maulana 2010), sedangkan daya dukung Waduk Cirata dapat menampung
sebanyak 24000 unit petak KJA (Hapsari 2010).
Hal penting lainnya adalah keberlangsungan fungsi waduk juga tergantung
pada kondisi keadaan lahan di sekitar daerah tangkapan air (DTA). Berbagai
penggunaan lahan sebagaimana diuraikan dalam analisis perubahan penutupan
lahan lahan dapat menghasilan berbagai bahan pencemar atau limbah yang akan
mengalir ke perairan waduk. Hal ini dapat memberikan dampak negatif terhadap
lingkungan perairan waduk.
Adanya dinamika kualitas air di kedua waduk tersebut menunjukkan bahwa
PLTA tidak bisa berhenti melakukan pengendalian terhadap kualitas air yang akan
dimanfaatkannya meskipun secara statistik kualitas air waduk di wilayah PLTA
Saguling dan Cirata masih sesuai untuk keperluan operasional PLTA. Pendekatan
sukarela untuk perlindungan lingkungan dan sumberdaya air perlu ditunjukkan
dengan adanya konsistensi untuk mempertahankan kualitas air dan melebihi
(beyond) ketentuan dan persyaratan yang berlaku atau yang ditetapkan pihak
yang berwenang. Selain itu, keberlanjutan sumberdaya air juga berarti
keberlanjutan operasional PLTA itu sendiri. Walaupun pelestarian kualitas air
inlet PLTA, terutama di bagian hulu, di luar kendali manajemen PLTA,
manajemen PLTA harus mengkomunikasikan kepada stakeholder terkait yang
memanfaatkan dan/atau berkepentingan terhadap sumberdaya air waduk.
4.3.2 Kualitas Air PLTA Tanggari I dan II
Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Tanggari I dapat
dilihat pada Tabel 10. Hasil uji T menunjukkan bahwa secara umum kualitas air di
outlet sama dengan kualitas air di inlet. Perbedaan secara nyata (α=0,05) pada
kualitas air di inlet dan outlet berdasarkan hasil uji T hanya terlihat pada
konsentrasi BOD pada tahun 2006 dan COD pada tahun 2009.
86
Tabel 10 Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Tanggari I
Parameter P-Value Tanggari I2005 2006 2007 2008 2009 2010
Suhu 0,500 0,252 0,224 - 0,151 0,675TDS 0,500 1,000 0,055 0,143 0,116 0,779TSS 0,305 0,642 0,295 0,062 0,387 0,170pH - 0,391 0,090 0,238 0,209 0,570H2S - - 0,393 - 0,541 -NO3
-2 0,063 0,391 0,483 0,236 0,478 0,313PO4
-3 - 0,391 - - - 0,807DO - - - - - -COD 0,514 0,206 0,248 0,134 0,013* -BOD 0,823 0,048* 0,340 0,204 0,379 -Fe - 0,100 0,346 - 0,232 0,604
Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data
Pada tahun 2005, konsentrasi rata-rata median BOD ( 5,93 mg/L) di oulet
lebih rendah dibandingkan dengan BOD (6,01 mg/L) di inlet. Sedangkan
konsentrasi rata-rata median COD (11,35 mg/L) di outlet lebih tinggi
dibandingkan dengan COD (10,40 mg/L) di inlet pada tahun 2009 sebagaimana
tertera pada Lampiran 3. Walaupun dua parameter yang pada tahun yang berbeda
tersebut menunjukkan adanya perbedaan nyata namun hal tersebut tidak
menggambarkan hasil keseluruhan tentang kualitas air waduk atau hanya sekitar
4,35 % data di wilayah PLTA Tanggari I yang menunjukkan ada perbedaan nyata
(α=0,05). Kualitas air di Tanggari I tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05)
sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA, menunjukkan bahwa
PLTATanggari I dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air
sungat yang dimanfaatkannya .
Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Tanggari II dapat
dilihat pada Tabel 11. Hasil uji T menunjukkan bahwa secara umum kualitas air di
PLTA Tanggari II di outlet sama dengan kualitas air di inlet. Berdasarkan hasil
uji T perbedaan secara nyata (α=0,05) kualitas air di inlet dan outlet hanya terlihat
pada suhu dan COD pada tahun 2006, dan pH, BOD, NO3-2 pada tahun 2008.
Tabel 11 Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Tanggari II
Parameter P-Value 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Suhu 0,156 0,036 0,346 0,706 0,443 0,878TDS 0,070 0,008 0,241 0,202 0,456 0,626
87
TSS - 0,071 0,387 - 0,313 0,082pH 0,500 0,474 - 0,005 0,092 0,339H2S - - - - 0,421 -NO3
-2 0,698 0,718 - 0,002 0,171 0,949PO4
-3 - - - - - 0,252DO - - - - - -COD 0,358 0,121 0,123 0,237 0,391 -BOD 0,218 0,383 0,689 0,036 0,391 -Fe - 0,252 0,929 - 0,656 0,064
Ket: nilai P < 0,05 maka H0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data
Konsentrasi rata-rata median pada tahun 2006 COD (25,85 mg/L) di oulet
Tanggari II adalah lebih tinggi dibandingkan COD (22,5 mg/L) di inlet.
Sementara pada tahun 2008, konsentrasi rata-rata median di outlet Tanggari II
untuk NO3-2, BOD dan pH lebih rendah dibandingkan di inlet sebagaimana
terlihat pada Lampiran 4. Dengan demikian Kualitas air di Tanggari II secara
umum tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah
dimanfaatkan oleh PLTA. Hal ini menunjukkan bahwa PLTA dalam kegiatan
operasionalnya tidak menurunkan kualitas air sungai yang dimanfaatkannya.
Secara keseluruhan kualitas air di inlet PLTA Tanggari I dan Tanggari II
masih di bawah ambang batas dari baku mutu untuk Kelas 4 dari PP No.82/2001
sebagaimana ditunjukkan pada Lampiran 7 dan 8. Namun demikian dinamika
kualitas air parameter COD dan Fe di PLTA Tanggari I dan Tanggari II
cenderung lebih tinggi di wilayah outlet dibandingkan di wilayah inlet meskipun
tetap masih di bawah baku mutu untuk Kelas 4 (PP No.82/2001). Adanya
kecenderungan konsentrasi COD dan Fe yang selalu lebih tinggi di wilayah outlet
dibandingkan dengan di inlet perlu di evaluasi lebih lanjut oleh manajemen PLTA.
Dinamika konsentrasi COD di outlet Tanggari I dan II (Gambar 19 dan 20) juga
cenderung lebih tinggi dibandingkan di wilayah inlet mungkin disebabkan adanya
aktivitas pemakaian bahan pelumas dalam pemeliharaan peralatan pembangkit
yang relatif tua (tahun 1984 dan tahun 1987). Kenaikan konsentrasi besi
kemungkinan terjadi karena adanya korosi pada mesin yang sudah relatif lama
(berumur kurang lebih 26 tahun). Konsentrasi Fe yang melebihi 0,3 ppm dapat
menyebabkan air bersifat toksik (Krismono et al. 1987, Kartamihardjo et al. 1987).
88
Gambar 19 Nilai median konsentrasi COD inlet-outlet di PLTA Tanggari I
tahun 2005-2010.
Gambar 20 Nilai median konsentrasi COD inlet-outlet di PLTA Tanggari IItahun 2005-2010.
Selain itu air sungai Tondano juga digunakan untuk aktivitas lainnya. Oleh
karena itu PLTA tetap harus memperhatikan kelestarian sumberdaya air tersebut
sehingga multifungsi sumberdaya air tetap terpelihara. Keberlanjutan sumberdaya
air juga berarti keberlanjutan operasional PLTA.
4.4 Institusi dan Regulasi Terkait Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
Mengacu pada kebijakan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya air,
PLTA melakukan serangkaian program lingkungan dengan melakukan
perlindungan terhadap sumberdaya air secara berkelanjutan. Titik fokus kegiatan
0
5
10
15
20
25
2005 2006 2007 2008 2009 2010
CO
D (
mg/
L)
Tahun
COD_in
COD_out
0
5
10
15
20
25
30
2005 2006 2007 2008 2009 2010
COD
(mg/
L)
Tahun
COD_in
COD_out
89
konservasi sumberdaya air yang dilakukan PLTA yaitu pertama untuk menahan
aliran permukaan (run-off) yang sebesar-besarnya dan memberi kesempatan
selama-lamanya air untuk masuk ke dalam tanah (infiltrasi) atau tertahan di muka
tanah di daerah aliran sungai bagian hulu. Serangkian program lingkungan untuk
melindungi sumberdaya air secara berkelanjutan dilakukan melalui program
penghijauan di wilayah Green Belt Waduk PLTA hingga daerah batas konstruksi.
Pengelolaan vegetasi ini mempengaruhi waktu dan penyebaran aliran air,
sehingga wilayah yang ditanami dapat menyimpan air selama musin hujan dan
melepaskannya pada musim kemarau (Asdak, 2010). Kemampuan vegetasi
menangkap butir air hujan sehingga energi kinetik terserap dalam tanaman dan
tidak langsung ke tanah juga akan untuk memperkecil laju erosi (Suripin, 2001).
PLTA Saguling menanam 963.175 pohon di areal seluas 1.403 ha
sebagaimana ditetapkan Roadmad Program Penghijauan tahun 2003-2016. Jenis
pohon yang ditanam adalah pohon buah-buahan, kopi, aren dan jarak. PLTA
Cirata mulai tahun 2003 hingga 2011 (dikelola oleh BPWC) telah menanam
sebanyak 210.120 pohon dengan jenis tanaman buah-buhan, aren dan kayuan
seperti mahoni, mindi, angsana, karet dan trambesi. PLTA Tanggari I dan II
memiliki program 10.000 pohon per tahun.
Penghijauan di wilayah DAS (Green Belt) Waduk PLTA belum
menunjukkan pencapaian tujuan konservasi sumberdaya air secara signifikan
dibandingkan dengan penurunan daya dukung lingkungan akibat tingginya
perubahan tutupan di wilayah hulu PLTA. Untuk mencapai tujuan perlindungan
sumberdaya alam dan lingkungan, pendekatan voluntari memberi fleksibilitas
untuk mengembangkan cara untuk mencapai perlindungan lingkungan yang tentu
saja memperhitungan aspek ekonomi dan sosial dan secara teknis dapat dilakukan.
Pengendalian kualitas maupun kuantitas air sungai (waduk) tidak bisa
dikendalikan sendiri. Pemanfaataan sumberdaya air yang notabene sebagai barang
publik meminta PLTA perlu memahami perspektif dan concern stakeholder yang
memiliki kepentingan terhadap ekosistem dan sumberdaya air. Selain itu, strategi
dan teknik operasional pelaksanaannya harus mengacu pada regulasi yang telah
ditetapkan. Pemetaan tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder dijadikan
sebagai dasar membangun kelembagaan terkait pengelolaan sumberdaya air
90
PLTA. Sementara tinjauan regulasi (legal review) dijadikan dasar pelaksanaan
pengelolaan sumberdaya air PLTA yang taat aturan.
4.4.1 Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
Stakeholder yang teridentifikasi terkait dengan pengelolaan sumberdaya air
PLTA meliputi Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum,
Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Perhutani/HTI, PLN, Dinas
Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Perusahaan Pengguna, Masyarakat,
Pemerintah Daerah, Investor, P3B dan LSM. Hasil justifikasi pakar mengenai
tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pencapaian program
pengelolaan sumberdaya air di PLTA ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12 Matrik analisis stakeholder perlindungan sumberdaya air di PLTA
Pemangku kepentinganTingkat
KepentinganTingkat
PengaruhKementerian Kehutanan Tinggi TinggiKementerian Pekerjaan Umum Tinggi TinggiPerhutani/HTI Tinggi TinggiKementerian ESDM Tinggi TinggiKementerian Kelautan dan Perikanan PLNKementerian Lingkungan Hidup (KLH)PLTA
TinggiTinggiTinggiTinggi
TinggiTinggiTinggiTinggi
Dinas Kehutanan Dinas Pekerjaan UmumKementerian PertanianDPRD
TinggiTinggiTinggiRendah
RendahRendahRendahTinggi
Perusahaan pengguna Tinggi RendahMasyarakat Tinggi RendahPemerintah Daerah Rendah TinggiInvestor Rendah TinggiLSMP3B
RendahRendah
Rendah Rendah
Sumber : data primer dari justifikasi pakar
Hasil pendapat pakar mengenai besarnya tingkat kepentingan dan pengaruh
masing-masing stakeholder dipetakan dalam empat kuadaran yaitu kuadaran I, II,
III, dan IV yang menunjukan posisi kepentingan dan pengaruh masing-masing
stakeholder. Melalui pemetaan ini, dapat diketahui peran masing-masing
91
stakeholder. Adapun posisi setiap
digambarkan seperti pada Gambar
Gambar 21 Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya
Gambar 21 menunjukkan
kepentingan (stakeholder) terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.
Ketiga kelompok pemangku kepentingan tersebut adalah
stakeholder sekunder dan stakeholder
stakeholders) atau stakeholder
pengaruh yang relatif lebih rendah dalam proses
Stakeholder sekunder (secondary stakeholders
pengaruh dalam proses penentuan kebijakan
Sementara stakeholder ekternal (
Masyarakat
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
0.00 1.00
Kep
enti
ngan
Stakeholders Primer
Stakeholders Sekunder
Stakeholders Eksternal
Adapun posisi setiap stakeholder berdasarkan hasil pemetaan
Gambar 21.
Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya.
menunjukkan bahwa terdapat 3 kelompok pemangku
terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.
Ketiga kelompok pemangku kepentingan tersebut adalah stakeholder primer,
stakeholder eksternal. Stakeholder primer (primary
stakeholder kunci memiliki tingkat kepentingan tinggi dengan
relatif lebih rendah dalam proses penentuan kebijakan
econdary stakeholders) memiliki tingkat kepentingan dan
pengaruh dalam proses penentuan kebijakan dengan proporsi relatif sama
ekternal (external stakeholders) memiliki tingkat
PLN (Persero)
PLTA
Kementerian ESDM
Kemenhut
Kementerian PU
Kementan KLH
Pemda
DPRD
Dinas PU
Dishut
Dinas LH
Masyarakat
Perusahaan Pengguna
LSM P3B
Kementerian KP
Perhutani
Investor
2.00 3.00 4.00 5.00
Pengaruh
Stakeholders
Stakeholders
Stakeholders
berdasarkan hasil pemetaan
Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat
terdapat 3 kelompok pemangku
terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.
primer,
rimary
tingkat kepentingan tinggi dengan
penentuan kebijakan.
ngan dan
sama.
tingkat
92
kepentingan relatif lebih rendah dengan pengaruh yang tinggi dalam proses
penentuan kebijakan.
Stakeholder kunci terdiri dari Kementerian Kehutanan, PLN (Persero),
PLTA, Perhutani/HTI, Dinas LH, Dinas Kehutanan, Dinas PU, Perusahaan
Pengguna dan masyarakat. Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menjadi pihak
yang memiliki pengaruh dan tingkat kepentingan tertinggi. Hal ini diterkait
mungkinkan karena aspek pengelolaan sumberdaya air sangat dekat dengan
wilayah hulu DAS yang sebagian besar merupakan kawasan hutan yang menjadi
tupoksi Kemenhut. Kemenhut menjadi pihak yang paling berpengaruh dalam
proses penyusunan kebijakan strategis terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA,
karena output kebijakan Kemenhut mampu menjangkau semua pihak terkait.
Pada kelompok tengah stakeholder primer (kunci), PLTA menjadi pihak
yang paling berkepentingan, sehingga harus menjadi pihak yang proaktif pada
tataran operasional. PLTA perlu melakukan komunikasi eksternal dan kerjasama
dengan stakeholder kunci lain agar program perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air PLTA tercapai. Stakeholder yang memenuhi kriteria tersebut
yaitu Kemenhut, PLN dan Perhutani di tataran pusat, serta Dinas LH, Dinas
Kehutanan, Dinas PU, perusahaan pengguna, dan masyarakat pada tataran daerah.
Sementara masyarakat menjadi pihak kunci yang berkepentingan, tetapi
memiliki pengaruh yang relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
merupakan pihak kunci yang lebih banyak menerima dampak kebijakan
pengelolaan sumberdaya air. Oleh karena itu, setiap proses penyusunan dan
pengambilan kebijakan tetap harus melibatkan masyarakat yang akan menjadi
objek penerima dampak di tataran hilir pelaksanaan kebijakan. PLTA harus
melibatkan masyarakat agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan
kebijakan pada tataran operasional. Program lingkungan yang tidak melibatkan
masyarakat tidak akan berhasil. Mereka banyak bergantung pada sumberdaya
alam di wilayah ini untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kepentingan
masyarakat lebih dipengaruhi oleh kebutuhan mereka akan kelestarian
sumberdaya untuk menopang hidup mereka. Masyarakat sebagian besar bersedia
lahannya dijadikan lahan untuk rehabilitasi (Sundawati & Sanudin 2009).
93
Kementerian PU, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Lingkungan Hidup menjadi
institusi pusat yang bisa mendukung program pengelolaan sumberdaya air
berbasis sukarela. Hal ini disebabkan, semua institusi pusat ini berada pada
kuadran stakeholder sekunder. Pada kuadran ini juga terdapat DPRD dan Pemda
sebagai lembaga daerah yang bisa mendukung keberhasilan program. Sementara
pihak swasta yang berada pada kuadran ini adalah pihak investor. Kelompok ini
penting untuk mendukung program konservasi SDA namum perlu pemberdayaan
dalam tataran operasional. PLTA harus mengajak dan meminta dukungan pihak-
pihak tersebut. Pemda dan investor patut diajak kerjasama dalam tataran
operasional. Pemda berperan sebagai fasilitator dan pemberian izin yang terkait
dengan program lingkungan. Investor meskipun memiliki tingkat kepentingan
yang rendah namun penting diperhatikan karena memiliki tingkat pengaruh dalam
pembentukan opini green product PLTA di pasar internasional.
LSM dan Pusat Penyaluran dan pengatur Beban (P3B) memiliki tingkat
kepentingan dan pengaruh yang relatif rendah dalam konservasi sumberdaya air.
PLTA perlu memperhatikan kebutuhan P3B terkait dengan kebutuhan energi
listrik yang dibuutuhkan. LSM dapat diajak untuk membantu memberikan
advokasi dan pelatihan kepada masyarakat.
PLTA perlu mengembangkan upaya untuk membangun potensi kolaborasi
yang dapat dikembangkan dari stakeholder ini. Upaya konservasi sumberdaya air
tidak dapat dikerjakan sendiri, tetapi membutuhkan upaya bersama dari berbagai
pihak. Sebagai pihak yang memanfaatkan sumberdaya air, PLTA perlu
mengetahui tipikal dan concern masing-masing stakeholder guna menetapkan
kunci keberhasihan. Secara umum stakeholder memiliki perhatian lebih pada
kredibilitas dan kemudahan aksesibilitas data, dan ingin mengetahui apakah
tujuan pengelolaan sumberdaya air PLTA sesuai dengan strategi lingkungan
mereka. Komunikasi eksternal perlu dilakukan lebih intensif dengan pemangku
kepentingan guna keberhasilan program lingkungan PLTA dan memperoleh
akseptasi mereka.
4.4.2 Tinjauan Regulasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
94
Peraturan perundang-undangan yang diacu oleh ke-empat PLTA dalam
melakukan perlindungan sumberdaya air pada tahap operasional adalah Undang-
undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, PP
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air, dan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Nomor KEP-02/MENKLH/I/1988 tentang Penetapan Baku Mutu
Lingkungan. Selain itu, terkait pengelolaan dan perlindungan kawasan yang lebih
luas (DAS hulu PLTA), PLTA juga harus megacu pada UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.
Secara umum UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air terdiri dari
3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak
air. Hal ini menunjukkan bahwa untuk melakukan pengelolaan waduk dengan
melakukan konservasi, pemanfaatan, pengendalian daya rusak air. Berdasarkan
UU ini, penetapan kebijakan pengelolaan sumberdaya air berada pada pemerintah
sesuai dengan wilayah penyebarannya. Wilayah sungai yang melintasi provinsi
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, wilayah sungai yang melintasi
kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, dan wilayah sungai
yang hanya ada di kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Sementara PP Nomor 42 Tahun 2008,
memberikan kewenangan kepada Dinas pada tingkat provinsi untuk membantu
wadah koordinasi pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai-sungai lintas
kabupaten/kota dalam penyusunan rancangan pola pengelolaan sumberdaya air.
Hal ini sejalan dengan arahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota
yang mengatur kewenangan otonomi daerah. Pengelolaan DAS Citarum di mana
PLTA Saguling dan Cirata berada yang melintasi dua kabupaten, menurut UU 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan tanggung jawab pemerintah
95
provinsi. Sementara DAS Tondano di mana PLTA Tanggari I dan II berada dalam
satu kabupaten yang sama.
Sebagai langkah antisipasi, UU Nomor 7 Tahun 2009 ini juga melarang
berbagai pihak untuk melakukan kegiatan yang bisa mengakibatkan daya rusak air.
Selain itu, UU ini juga memberi peluang kepada masyarakat untuk terlibat dalam
proses penentuan kebijakan terkait pengelolaan sumberdaya air sekaligus
memperoleh manfaat dari pengelolaannya. Berbagai peran masyarakat terhadap
pengelolaan lingkungan juga diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 yang tentu
saja terkait dengan pengelolaan sumberdaya air sebagai salah satu aspek dari
lingkungan.
Kebijakan lain terkait pengelolaan sumber daya air adalah pengelolaan
kualitas air dan pengendalian pencemaran yang diatur dalam PP Nomor 82 Tahun
2001 dan PP No 42 Tahun 2008. Pengelolaan kualitas air tersebut dilakukan
dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumberdaya
air. Perbaikan kualitas air pada sumber air dan prasarana sumberdaya air sendiri
diatur untuk dilakukan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai wewenang dan
tanggung jawabnya. Sementara itu, penerapan konsep daya dukung dan daya
tampung lingkungan perlu diimplementasikan dalam pengelolaan sumberdaya air,
karena merupakan bagian dari aspek lingkungan. Hal ini ditegaskan dalam UU
Nomor 32 Tahun 2009.
Pengelolaan yang terkait kawasan lindung dan budidaya yang berada pada
wilayah PLTA diatur dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU ini
mengatur juga tentang pembangunan berkelanjutan dengan mendefinisikan
keberlanjutan dalam konteks penataan ruang adalah diselenggarakan dengan
menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung
lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Selain itu,
kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan,
termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan
setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan.
Terkait dengan pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
PLTA berkomitmen untuk melakukan konservasi sumberdaya air sesuai dengan
konsepsi yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
96
Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dan
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP-
02/MENKLH/I/1988 tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Konservasi air
ditujukan untuk meningkatkan volume air, meningkatkan efisiensi penggunaannya,
memperbaiki kualitas sesuai dengan peruntukkannya, dan menjaga keberlanjutan
kemampuan sumberdaya air untuk mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya.
Gambaran berbagai hal tentang perlindungan dan pengelolaan sumberdaya
air dari aspek regulasi tersebut harus menjadi acuan dalam melakukan
implementasi kebijakan. Kondisi saat ini pada empat PLTA yang diteliti, masih
terjadi penurunan kualitas air akibat pemanfaatannya sebagai pembangkit tenaga
listrik. Hal ini terlihat dari hasil analisis deskriptif kualitas air pada inlet dan outlet
PLTA yang masih menunjukkan adanya penurunan kualitas air setelah
dimanfaatkan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan regulasi yang melarang
kegiatan yang bisa menyebabkan daya rusak air, termasuk penurunan kualitasnya.
Selain itu, pada sisi pengelolaan masih terjadi konflik kepentingan dan
lemahnya koordinasi antar berbagai stakeholder terkait sumberdaya air. Hal ini
bisa menghambat pencapaian pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan.
Masyarakat dan pihak swasta lainnya yang diberi peluang untuk mendapat
manfaat dari sumberdaya air juga masih melakukan kegiatan yang tidak sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Salah satunya pemanfaatan badan air
waduk/genangan untuk kegiatan budidaya ikan KJA. Saat ini, sudah terjadi
pemanfaatan Waduk Cirata dam Saguling untuk budidaya ikan KJA yang
melampaui batas daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Selain itu, ada
juga pemanfaatan waduk untuk budidaya ikan KJA yang tidak sesuai zonasi
peruntukannya.
Berbagai kesenjangan antara regulasi yang harus ditaati dengan kondisi saat
ini di lapangan menjadi gap yang harus dikurangi hingga dihilangkan. Hal ini
bisa dilakukan dengan melakukan penaatan terhadap berbagai peraturan yang
97
telah ditetapkan, serta inisiatif sukarela dari stakeholder guna
mengimplementasikan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air.
4.5 Nilai Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA
Perusahaan akan mengembangkan suatu program, bila benefit yang
diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Benefit akibat perlindungan
dan pengelolaan sumberdaya air diperoleh dari jasa yang diberikan ekosistem air
yang terlindungi. Jasa ekosistem memberikan use value dan non -use value. Use
value terdiri atas direct use value, indirect use value dan option value. Non-use
value terkait dengan existence value.
Nilai ekonomi dari akibat perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air
mempertimbangkan seluruh value yang dikandung dari program tersebut jarang
sekali dihitung. Berkaitan dengan program pelestaraian sumberdaya air di PLTA,
dilakukan analisis valuasi ekonomi akibat program lingkungan dengan mengambil
kasus di PLTA Saguling.
Analisis data menggunakan pendekatan Total Economic Value (TEV) yaitu
analisis kebijakan untuk menilai manfaat lingkungan secara ekonomis dengan
menggabungkan unsur dari berbagai disiplin ilmu yang bersifat deskriptif, valuatif
dan normatif. Nilai lingkungan tidak hanya bergantung pada nilai pemanfaatan
langsung, namun juga pada seluruh fungsi sumberdaya lain yang memberi nilai
(ekonomis dan non ekonomis) yang setinggi-tingginya.
Model ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaataan
sumberdaya yang dapat diukur secara nyata berdasarkan tolok ukur nilai moneter.
Potensi benefit use value dihitung dari market output yang langsung terkait
dengan PLTA yaitu nilai produksi listrik, market output tidak langsung dengan
PLTA akibat dampak positif dari program lingkungan yang dilakukan PLTA,
yaitu nilai produksi ikan, unprices benefit dihitung dari nilai ekowisata, serta
ecological function value dihitung dari potensi nilai karbon dari program
penghijauan, cadangan air tanah, dan cadangan air waduk. Sedangkan non-use
terdiri atas option value, bequest value dan existence value yang dinilai melalui
nilai pasar.
98
4.5.1 Nilai Ekonomi Total Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA Sagulingdan Cirata di Provinsi Jawa Barat
Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA di Provinsi Jawa
Barat terdiri dari nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung
(indirect use value), dan nilai bukan guna (non-use value). Nilai guna langsung
terdiri dari nilai produksi listrik, nilai produksi ikan, dan nilai ekowisata.
Sementara nilai guna tidak langsung yang juga merupakan nilai fungsi ekologis
(ecological function value) terdiri dari nilai serapan karbon, nilai cadangan air
tanah, dan nilai cadangan air waduk. Sementara nilai bukan guna terdiri dari nilai
pilihan dan nilai kelestarian.
A. PLTA Saguling
Nilai Guna Langsung
Nilai Produksi Listrik
Nilai produksi listrik merupakan keuntungan yang bisa diperoleh dari
penjualan energi listrik yang diproduksi oleh PLTA. Nilai keuntungan ini
ditentukan oleh jumlah produksi listrik yang bisa dijual dikurangi biaya
produksinya. Produksi listrik PLTA Saguling setiap tahunnya sebesar 2.158
GWh. Berdasarkan statistik listrik PLN, harga jual rata-rata per kWh
sebesar Rp 591,11 dengan biaya produksi Rp 463, maka bisa diperoleh
keuntungan sebesar Rp 276.008.200.000 atau Rp 276 milyar setiap
tahunnya.
Nilai Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA
Nilai ekonomi produksi ikan yang berasal dari usaha keramba jaring apung
(KJA) merupakan keuntungan yang bisa diperoleh dari penjualan ikan hasil
budidaya setiap tahunnya. Nilai keuntungan ini ditentukan oleh jumlah KJA,
jumlah produksi ikan, harga jual ikan, dan biaya usaha budidaya yang
dikeluarkan. Berdasarkan data pada Waduk Saguling terdapat 4.514 unit
KJA (Maulana 2010) dengan rata-rata produksi 2 ton per tahun ikan mas
dan ikan nila setiap unitnya. Harga jual ikan mas berkisar sebesar Rp 14.000
per kg dan harga jual ikan nila sebesar Rp 15.000 per kg. Jika biaya
produksi yang dikeluarkan Rp 28.731.610.000 per unit KJA setiap
99
tahunnya, maka bisa diperoleh keuntungan sebesar Rp 233.080.390.000 atau
Rp 233,08 milyar setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata
Nilai ekonomi ekowisata di Waduk Saguling dihitung dari besarnya biaya
perjalanan wisata yang dikeluarkan oleh setiap pengunjung yang datang
setiap tahunnya. Pengunjung yang datang umumnya wisatawan transit ke
wilayah ini dan rata rata hanya berkunjung 1 kali dalam setahun. Biaya
Pengeluaran terdiri atas biaya transportasi dan biaya akomodasi dan
konsumsi. Dari hasil kuesioner diperoleh bahwa biaya rata rata transportasi
sebesar Rp 116.000,- dan biaya akomodasi dan konsumsi sebesar Rp
33.000,-. Jadi biaya Pengeluaran sebesar Rp. 149.000,-/orang.
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan diperoleh data bahwa rata-
rata pengunjung yang datang ke waduk Saguling pada hari-hari biasa
(Senin-Jumat) berkisar 10 orang, sedangkan pada hari libur seperti hari
Sabtu dan Minggu dapat mencapai 20 orang pengunjung. Dari data tersebut
diketahui jumlah pengunjung rata-rata 4 orang per hari atau 1.460
pengunjung per tahun. Nilai ekonomi wisata di sekitar Waduk Saguling
yaitu sebesar Rp. 149.000 x 1.460 pengunjung = Rp 217, 54 juta = Rp.
0,217 milyar setiap tahunnya.
Nilai Guna Tidak Langsung
Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon)
Nilai ekonomi penyerapan karbon dapat dihitung berdasarkan besarnya
kandungan karbon yang tersimpan di dalam vegetasi hutan yang
dikonversikan dalam nilai finansial. Menurut Brown dan Peaece (1994)
dalam Widada (2004), hutan alam primer, hutan sekunder, dan hutan
terbuka memiliki kemampuan menyimpan masing-masing karbon sebesar
283 ton per hektar, 194 ton per hektar, dan 115 ton per hektar. Setiap 1 ton
karbon dapat dihargai dengan nilai finansial yang berkisar antara $1 US
sampai $28 US (Soemarwoto, 2001). Berdasarkan data ini, maka nilai
ekonomi penyerapan karbon di kawasan hutan sekitar Waduk Saguling
dapat dihitung. Untuk menghindari penilaian yang terlalu tinggi atau terlalu
100
rendah, maka nilai finansial yang diambil adalah nilai tengah dari yang
ditetapkan oleh Soemarwoto yaitu sebesar $19 US per ton.
Nilai ekonomi penyerapan karbon di sekitar Waduk Saguling , dapat
dihitung dengan asumsi sebagai berikut
1. Luas kawasan hutan di sekitar Waduk Saguling 1.403 hektar dimana
keseluruhan merupakan hutan sekunder.
2. Satu hektar hutan sekunder di kawasan hutan sekitar Waduk Saguling
menyimpan karbon sebesar menyimpan karbon sebesar 194,00 ton
karbon.
3. Nilai karbon sebesar $US 19 per ton dimana untuk $US 1 = Rp 9.425,85
Adapun nilai ekonomi serapan karbon di kawasan Waduk Saguling adalah =
1403 ha x 194,00 ton x $US 19 x Rp. 9425,85 = Rp 35,57 milyar setiap
tahunnya.
Nilai Cadangan Air Tanah
Jumlah cadangan air tanah di DAS Saguling pada dasarnya merupakan
sumber utama bagi air permukaan yang mengalir di Sungai Citarum hulu.
Secara tidak langsung air ini juga menjadi pemasok utama pembangkit
listrik PLTA Saguling. Sehingga cadangan air tanah ini memiliki potensi
ekonomi setara dengan jumlah pembangkitan energi listrik yang bisa
dihasilkannya. Besarnya potensi tersebut bisa dihitung dari volume air input
yang berasal dari curah hujan di seluruh DAS, dikurangi yang mengalir di
air permukaan (run off) dan penguapan yang terjadi di seluruh permukaan
DAS.
Berdasarkan data diketahui bahwa luas DAS Waduk Saguling adalah
222.830 ha, dengan rata-rata curah hujan sebesar 3.378 mm/tahun dan rata-
rata penguapan sebesar 1.116 mm/tahun, serta debit air permukaan sebesar
108 m3/detik. Volume cadangan air tanah dihitung dari volume input curah
hujan dikali luas DAS, dikurangi volume output penguapan dikali luas DAS
dan aliran permukaan. Setiap m3 cadangan air tanah ini berpotensi
menghasilkan energi listrik senilai Rp 202. Hasil perhitungan menunjukkan
volume cadangan air tanah tersebut bernilai sebesar Rp 330.174.373.200
atau Rp 330,17 milyar setiap tahunnya.
101
Nilai Cadangan Air Waduk
Seperti hanya cadangan air tanah, air yang tergenang dalam waduk juga
berpotensi untuk dikonversi menjadi energi listrik senilai Rp 202/m3.
Potensi ini bisa hilang jika volume air di waduk mengalami pengurangan
akibat sedimentasi. Sehingga volume sedimentasi yang masuk ke dalam
waduk berpotensi menghilangkan nilai ekonomi cadangan air waduk.
Besarnya nilai ekonomi cadangan air waduk sebanding dengan banyaknya
sedimen yang masuk ke waduk setiap tahunnya. Berdasarkan data PT
Indonesia Power (2010) diketahui rata-rata volume sedimen yang masuk ke
dalam Waduk Saguling sebesar 4,2 juta m3 setiap tahunnya. Sehingga nilai
cadangan air waduk yang hilang sebesar Rp 848,4 juta setiap tahunnya.
Nilai Bukan Guna
Nilai Pilihan
Nilai pilihan waduk adalah nilai pemanfaatan sumberdaya waduk untuk
pemanfaatan dimasa yang akan datang. Nilai pilihan waduk dihitung sama
dengan dengan nilai keberadaan di atas yaitu menggunakan metode
Contingent Valuation Method (CVM) yang didasarkan pada seberapa besar
seseorang atau masyarakat mau membayar (willingness to pay) untuk
melindungi sumberdaya waduk. Nilai pilihan ini dihitung berdasarkan
bagaimana manfaat sumberdaya alam yang terkandung dalam waduk dapat
dipertahankan sehingga dapat dimanfaatkan untuk masa yang akan datang.
Untuk mengumpulkan data berkaitan dengan nilai pilihan ini, disebarkan
kuisioner kepada responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden menyatakan bahwa
Waduk perlu dipertahankan manfaat yang terkandung di dalamnya terutama
untuk pemanfaatan dimasa yang akan datang. Terkait dengan kesediaan
membayar agar manfaat SDA dalam hutan sekitar waduk tetap
dipertahankan, sekitar 50% menyatakan bersedia membayar dan sisanya
(50%) menyatakan tidak bersedia membayar.
Adapun besar biaya yang bersedia dibayarkan untuk mempertahankan
manfaat Waduk Saguling adalah sekitar 75 % bersedia membayar sebesar
Rp. 5.000,- dan hanya sekitar 25 % bersedia membayar sebesar Rp. 10.000,-.
102
Dari kisaran kesediaan membayar tersebut, jika dirata-ratakan maka dapat
diketahui besaran kesediaan membayar setiap responden yaitu sebesar Rp.
12.500,00/orang
Berdasarkan data di atas, dihitung nilai pilihan waduk yaitu nilai manfaat
(WTP) dikalikan dengan jumlah penduduk di wilayah penelitian.
Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk di sekitar waduk sebanyak
618.479 jiwa, sehingga nilai pilihan Waduk Saguling = Rp 12.500 x
618.479 jiwa = Rp 7.730.987.500 atau Rp 7,73 milyar.
Nilai Kelestarian Waduk
Nilai kelestarian waduk juga dihitung dengan metode Contingent Valuation
Method (CVM). Nilai kelestarian waduk dihitung berdasarkan pentingnya
dilestarikan kawasan waduk terutama untuk mempertahankan fungsinya
sebagai kawasan konservasi air untuk operasional PLTA dan kebutuhan air
bagi masyarakat sekitar. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan
kuisioner untuk 120 responden. Informasi yang ingin digali dalam kuisioner
dituangkan dalam bentuk pertanyaan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden
menyatakan bahwa waduk perlu dilestarikan untuk mempertahankan
fungsinya sebagai kawasan konservasi air dan pemenuhan kebutuhan air
bagi masyarakat. Berkaitan dengan kesediaan membayar untuk melestarikan
fungsi Waduk, sekitar 62,5 % menyatakan bersedia membayar dan 37,2 %
menyatakan tidak bersedia membayar.
Adapun besar biaya yang bersedia dibayarkan untuk melestarikan Waduk
adalah sekitar 37,5 % bersedia membayar sebesar Rp. 5.000, sekitar 12,5 %
bersedia membayar sebesar Rp. 10.000 dan sekitar 12,5 % bersedia
membayar sebesar Rp. 15.000 serta sisanya yaitu sekitar 37,3 % tidak
bersedia membayar. Dari kisaran kesediaan membayar tersebut, jika dirata-
ratakan maka dapat diketahui besaran kesediaan membayar setiap responden
yaitu sebesar Rp. 15.000,00/orang .
Berdasarkan data di atas, dapat dihitung nilai kelestarian waduk yaitu nilai
kelestarian (WTP) dikalikan dengan jumlah kepala keluarga di wilayah
penelitian. Jumlah kepala keluarga sebanyak diasumsikan ¼ dari jumlah
103
penduduk atau setiap keluarga rata-rata terdiri dari 4 orang. Nilai
Pelestarian Waduk = Rp 15.000,00 x (35.638 jiwa/4) = Rp 2.319.296.250
2,31 milyar setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Total
Nilai ekonomi total perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA
Saguling merupakan jumlah dari keseluruhan nilai guna langsung, nilai guna
tidak langsung, dan nilai bukan guna disajikan dalam Tabel 13.
Berdasarkan hasil penelitian seperti diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa
perlindungan dan pengeloaan sumberdaya air di PLTA dengan studi kasus di
PLTA Saguling memiliki nilai ekonomi yang cukup besar terkait pemanfaatan
jasa lingkungan waduk. Nilai ekonomi ini dihitung dari perbaikan sistem
perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA dan perbaikan hubungan
antara perusahaan (PLTA) dengan masyarakat sekitar sebagai manfaat utama
yang diperoleh PLTA Saguling.
Tabel 13 Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Saguling
No Parameter Jumlah (Rp)1 Nilai Benefit Listrik 276.008.200.0002 Nilai Keuntungan Ikan 233.080.390.0003 Nilai Ekowisata 217.540.000
Nilai Guna Langsung 509.306.130.0004 Nilai Serapan Karbon 35.577.531.4945 Nilai Potensi Cadangan Air 330.174.373.2006 Nilai Potensi Kelestarian Air 848.400.000
Nilai Guna Tidak Langsung 366.600.304.6947 Option Value 7.730.987.5008 Preservation Value 2.319.296.250
Nilai Bukan Guna 10.050.283.750Nilai Ekonomi Total 885.956.718.444
Besar nilai ekonomi total (Total Economic Value) dari pengelolaan
sumberdaya air di PLTA Saguling mencapai Rp. 885.956.718.444 atau sekitar
Rp. 0,885 triliyun.
B. PLTA Cirata
104
Nilai Guna Langsung
Nilai Produksi Listrik
Berdasarkan perhitungan yang sama, maka potensi nilai ekonomi produksi
listrik PLTA Cirata yang bisa diperoleh sebesar Rp 182.385.400.000 atau
Rp 182,38 milyar setiap tahunnya. Nilai ini diperoleh karena PLTA Cirata
memproduksi rata-rata energi listrik sebesar 1.426 GWh setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA
Sementara potensi nilai ekonomi produksi ikan PLTA Cirata dipengaruhi
oleh daya dukung waduk terhadap jumlah KJA maksimum yang bisa
diusahakan, yaitu sejumlah 24.000 unit (Hapsari 2010). Jumlah ini
memungkinkan diperolehnya nilai ekonomi produksi budidaya perikanan
sebesar Rp 1.239.240.000.000 atau Rp 1,23 triliun setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata
Jmlah kunjungan wisatawan sebanyak 17.516 setiap tahun ke lokasi sekitar
PLTA Cirata berkontribusi terhadap nilai ekonomi kegiatan ekowista.
Berdasarkan jumlah wisatawan tersebut, maka potensi nilai ekonomi yang
bisa diperoleh dari kegiatan ekowisata di sekitar PLTA Cirata sebesar Rp
2.627.400.000 atau Rp 2,62 milyar setiap tahunnya.
Nilai Guna Tidak Langsung
Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon)
Luasan lahan yang telah direboisasi seluas 525 ha di sekitar PLTA Cirata
menghasilkan potensi nilai ekonomi penyerapan sebesar Rp 18.250.856.732
atau Rp 18,25 milyar setiap tahunnya.
Nilai Cadangan Air Tanah
DAS Waduk Cirata yang merupakan perluasan dari DAS Waduk Saguling
memiliki cadangan air tanah yang lebih banyak. DAS Cirata mencakup
wilayah seluas 465.286 ha dengan curah hujan rata-rata 2.557 mm/tahun
dan penguapan rata-rata 1.116 mm/tahun. Berdasarkan kondisi tersebut,
diperoleh potensi nilai ekonomi cadangan air tanah PLTA Cirata sebesar Rp
222.230.744.400 atau Rp 222,23 milyar setiap tahunnya.
Nilai Cadangan Air Waduk
105
Waduk Cirata yang berada di hilir Waduk Saguling tentu saja menerima
erosi dan sedimentasi yang lebih besar. Hal ini disebabkan luas DAS yang
lebih besar, sehingga perhitungan potensi nilai ekonomi cadangan air waduk
PLTA Cirata menghasilkan nilai sebesar Rp 961.520.000 atau Rp 0,96
milyar setiap tahunnya.
Nilai Bukan Guna
Nilai Pilihan
Jumlah penduduk di sekitar Waduk Cirata yang berjumlah sebesar 234.322
jiwa berpengaruh terhadap besarnya nilai pilihan. Berdasarkan perhitungan
potensi nilai pilihan PLTA Cirata sebesar Rp 2.929.025.000 atau Rp 2,92
milyar setiap tahunnya.
Nilai Kelestarian Waduk
Jumlah penduduk tersebut berkontribusi juga terhadap banyaknya kepala
keluarga (KK) yang bermukim di sekitar Waduk Cirata. Hal ini
menghasilkan perhitungan potensi nilai ekonomi kelestarian waduk PLTA
Cirata sebesar Rp 878.707.500 atau Rp 0,87 milyar setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Total
Nilai ekonomi total perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA
Cirata merupakan jumlah dari keseluruhan nilai guna langsung, nilai guna tidak
langsung, dan nilai bukan guna disajikan dalam Tabel 14.
Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa perlindungan dan pengeloaan
sumberdaya air di PLTA dengan studi kasus di PLTA Cirata juga memiliki
nilai ekonomi yang cukup besar terkait pemanfaatan jasa lingkungan waduk.
Nilai ekonomi ini dihitung dari perbaikan sistem perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air PLTA dan perbaikan hubungan antara perusahaan (PLTA)
dengan masyarakat sekitar sebagai manfaat utama yang diperoleh PLTA Cirata.
Besar nilai ekonomi total dari pengelolaan sumberdaya air di PLTA Cirata
mencapai Rp. 1.669.503.653.632 atau sekitar Rp. 1,66 triliyun.
Tabel 14 Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Cirata
No Parameter Jumlah (Rp)1 Nilai Benefit Listrik 182.385.400.000
106
2 Nilai Keuntungan Ikan 1.239.240.000.0003 Nilai Ekowisata 2.627.400.000
Nilai Guna Langsung 1.424.252.800.0004 Nilai Serapan Karbon 18.250.856.7325 Nilai Potensi Cadangan Air 222.230.744.4006 Nilai Potensi Kelestarian Air 961.520.000
Nilai Guna Tidak Langsung 241.443.121.1327 Option Value 2.929.025.0008 Preservation Value 878.707.500
Nilai Bukan Guna 3.807.732.500Nilai Ekonomi Total 1.669.503.653.632
4.5.2 Nilai Ekonomi Total Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTATanggari I dan Tanggari II di Provinsi Sulawesi Utara
Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA di Provinsi
Sulawesi Utara terdiri dari nilai NET PLTA Tanggari I dan II. Berbeda dengan
PLTA di Provinsi Jawa Barat, PLTA di Provinsi Sulawesi Utara hampir seluruh
parameternya memiliki fungsi ekonomi secara bersama. Fungsi ekonomi jasa
lingkungan yang dihitung terpisah hanya nilai produksi listrik masing-masing
PLTA. Sehingga nilai ekonomi total PLTA Tanggari I dan II merupakan jumlah
nilai ekonomi produksi listrik masing-masing PLTA ditambah nilai ekonomi
parameter lainnya secara bersama-sama. Persamaan dan teknik perhitungan yang
digunakan sama dengan yang dilakukan pada PLTA di Provinsi Jawa Barat.
Nilai Guna Langsung
Nilai Produksi Listrik
Berdasarkan perhitungan, potensi nilai ekonomi produksi listrik PLTA
Tanggari I yang bisa diperoleh sebesar Rp 1.164.350.440 atau Rp 1,16
milyar setiap tahunnya. Sementara potensi nilai ekonomi produksi listrik
PLTA Tanggari II adalah sebesar Rp 1.391.374.859 atau Rp 1,39 milyar
setiap tahunnya. Sehingga total nilai produksi listrik untuk PLTA Tanggari
I dan II adalah sebesar Rp 2.555.725.299 atau Rp 2,55 milyar per tahunnya.
Nilai Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA
Potensi nilai ekonomi produksi ikan PLTA Tanggari I dan II dengan
keberadaan KJA sebanyak 6000 unit. Hal ini menghasilkan potensi nilai
107
ekonomi produksi ikan sebesar Rp 235.350.000.000 atau Rp 0,23 triliun
setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata
Potensi nilai ekonomi yang bisa diperoleh dari kegiatan ekowisata di sekitar
PLTA Tanggari I dan II sebesar Rp 9.317.430.000 atau Rp 9,31 milyar
setiap tahunnya. Hal ini diperoleh berdasarkan rata-rata jumlah wisatawan
yang berkunjung sebanyak 34.509 orang setiap tahunnya. Selain itu, hal ini
diperoleh dari besarnya pengeluaran wisatawan yang berupa biaya
transportasi dan biaya akomodasi selama melakukan kunjungan wisata.
Nilai Guna Tidak Langsung
Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon)
Saat ini di sekitar PLTA Tanggari I dan II telah dilakukan penghijauan
seluas 125 ha. Luas areal penghijauan tersebut menghasilkan potensi nilai
ekonomi penyerapan karbon di sekitar PLTA Tanggari I dan II sebesar Rp
4.342.960.388 atau Rp 4,34 milyar setiap tahunnya.
Nilai Cadangan Air Tanah
Potensi nilai ekonomi cadangan air tanah PLTA Tanggari I dan II berada
pada DAS Tondano seluas 24.708 ha. DAS seluas ini dengan tingkat curah
hujan tahunan rata-rata sebesar 1.936 mm menghasilkan potensi ekonomi
cadangan air tanah senilai Rp 481.745.760 atau Rp 0,48 milyar setiap
tahunnya.
Nilai Cadangan Air Sungai
Sementara cadangan air sungai yang menjadi potensi ekonomi PLTA
Tanggari I dan II senilai Rp 404.000.000 atau Rp 0,40 milyar setiap
tahunnya.
Nilai Bukan Guna
Nilai Pilihan
Nilai pilihan pada PLTA Tanggari I dan II dihitung dari rata-rata WTP
sebesar Rp 12.500 dikalikan dengan jumlah penduduk di sekitar PLTA.
Hasil perhitungan menunjukkan potensi nilai pilihan sebesar Rp
331.975.000 atau Rp 0,33 milyar setiap tahunnya.
108
Nilai Kelestarian Waduk
Berdasarkan perhitungan yang sama dengan nilai pilihan, tetapi terhadap
jumlah KK di sekitar PLTA Tanggari I dan II diperoleh nilai ekonomi
kelestarian menurut penduduk diperoleh sebesar Rp 99.592.500 atau Rp
0,09 milyar setiap tahunnya.
Nilai Ekonomi Total
Nilai ekonomi total perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA
Tanggari I dan II disajikan dalam Tabel 15.
Tabel 15 Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Tanggari I dan II
No Parameter Jumlah (Rp)1 Nilai Benefit Listrik 2.555.725.2992 Nilai Keuntungan Ikan 235.350.000.0003 Nilai Ekowisata 9.317.430.000
Nilai Guna Langsung 247.223.155.2994 Nilai Serapan Karbon 4.342.960.3885 Nilai Potensi Cadangan Air 481.745.7606 Nilai Potensi Kelestarian Air 404.000.000
Nilai Guna Tidak Langsung 5.228.706.148 7 Option Value 331.975.0008 Preservation Value 99.592.500
Nilai Bukan Guna 431.567.500Nilai Ekonomi Total 251.492.054.088
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa perlindungan dan pengeloaan
sumberdaya air di PLTA dengan studi kasus di PLTA Tanggari I dan II juga
memiliki nilai ekonomi yang relatif besar terkait pemanfaatan jasa lingkungan
sumberdaya air, meskipun tidak sebesar PLTA di Provinsi Jawa Barat. Hal ini
disebabkan kapasitas produksi listrik dan potensi ekonomi lainnya yang
memiliki skala lebih kecil. Nilai ekonomi total dari pengelolaan sumberdaya
air di PLTA Tanggari I dan II mencapai Rp. 251.492.054.088 atau sekitar Rp.
0,25 triliyun.
109
4.6 Prioritas Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
Upaya penyelamatan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama,
sebab fenomena ini menyentuh semua lapisan masyarakat dan institusi dan
kehidupan selanjutnya. Kesadaran akan pentingnya kualitas lingkungan juga
merupakan tanggungjawab global, sehingga berbagai kesepakatan dunia
dilakukan untuk meningkatkan kinerja lingkungan.
Tekanan konsumen, tekanan pemerintah dan kekuatan pasar dan
kepentingan individu organisasi terhadap perlindungan lingkungan memotivasi
penerapan sistem manajemen lingkungan (Uchida 2004). Perlindungan
lingkungan berbasis pendekatan sukarela semakin diminati oleh pengambil
keputusan sebagai tool untuk mengajak pencemar berpartisipasi dalam
perlindungan lingkungan (Segerson & Thomas, 1998). Kehadiran kebijakan
sukarela untuk mengurangi ketidakfleksibelan kebijakan mandatori dapat menjadi
salah satu alternatif yang bersinergi dalam mempercepat perlindungan lingkungan.
Kebijakan perlindungan berbasis sukarela perlu dirumuskan untuk implementasi
ke depan, mengingat dalam penerapannya banyak pihak yang terkait.
Untuk merumuskan desain kebijakan ini menggunakan teknik analisis
hirarki proses (AHP). Teknik AHP umumnya dikembangkan untuk memecahkan
persoalan yang tidak terstruktur dan komplek dalam kerangka berfikir yang
terorganisir sehingga pengambilan keputusan yang efektif dan menyeluruh dapat
dilakukan.
4.6.1 Struktur AHP dan Nilai Eigen
Dalam merumuskan desain kebijakan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA, terlebih dahulu disusun hierarki
kebijakan untuk mendukung pengambilan keputusan desain kebijakan tersebut.
Hierarki kebijakan tersebut disusun berdasarkan justifikasi pakar dimana pakar
menetapkan lima level hierarki yaitu :
Level pertama merupakan fokus kebijakan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.
Level kedua merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi/memotivasi
perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA yang
110
terdiri atas tekanan pemerintah, tekanan global, tekanan masyarakat, tekanan
pembeli dan kepentingan PLTA.
Level ketiga adalah aktor yang berperan dalam pengembangan kebijakan
perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA
antara lain pemerintah, masyarakat, pembeli, investor, dan industri
Level keempat adalah tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan
kebijakan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA terdiri
atas perlindungan lingkungan, kontinuitas PLTA, pengakuan publik, dan
liabilitas lingkungan.
Level kelima adalah alternatif kebijakan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA yang meliputi penguatan
infrastruktur kelembagaan dan institusional, pemberian insentif dan disinsentif,
peningkatan nilai lingkungan internal.
Setiap elemen pada setiap level selanjutnya diboboti oleh pakar dengan
menggunakan nilai bobot seperti yang telah ditetapkan oleh Saaty (1993).
Pengolahan data untuk menentukan elemen prioritas dalam pengambilan
keputusan kebijakan perlindungan lingkungan berbasis sukarela menggunakan
software Criterium Decision Plus (CDP) versi 3,0.
Hasil sintesis menghasilkan nilai eigen (bobot) untuk setiap pilihan yang
ada di dalam struktur AHP. Untuk memudahkan dalam interpretasi hasil terhadap
nilei eigen maka nilai tersebut dimasukkan dalam struktur AHP secara kumulatif
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 22.
Hasil sistesis AHP atas pendapat pakar menunjukkan bahwa faktor yang
berperan memotivasi pengembangan dan implementasi kebijakan sukarela
(voluntari) di PLTA adalah tekanan pemerintah dengan nilai eigen 0,462.
Kemudian tekanan global dengan bobot 0,198. Sedangkan tekanan masyarakat,
kepentingan PLTA dan tekanan pembeli memiliki nilai eigen masing sebesar
0.143; 0,111 dan 0,087.
111
Gambar 22 Struktur AHP dan nilai eigen pada hirarki model disain kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.
112
4.6.2 Konstribusi Peran Setiap Level
Konstribusi peran dari masing masing level yaitu level faktor, level aktor
dan level tujuan kemudian dianalisis terhadap pengembangan kebijakan
perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA sebagai
berikut:
Pertama, konstribusi peran faktor dalam disain insentif dan disinsentif
kebijakan Perlindungan lingkungan berbasis sukarela, pakar melihat bahwa faktor
yang paling berpengaruh adalah tekanan pemerintah (0,201), tekanan global
(0,087), tekanan masyarakat (0,063), kepentingan PLTA (0,048) dan tekanan
pembeli (0,038). Nilai konstribusi faktor dalam menetapkan alternatif kebijakan
perlindungan lingkungan berbasis sukarela ditunjukkan pada Tabel 16 dan
Gambar 23.
Tabel 16 Nilai kontribusi faktor dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela
Alternatif kebijakan
Nilai Konstribusi Faktor
Tekanan Pemerintah
Tekanan Global
Tekanan Masyarakat
Kepentingan
PLTA
Tekanan Pembeli
Insentif & Disinsentif 0,201 0,087 0,063 0,048 0,038Penguatan Infrastruktur kelembagaan
0,172 0,073 0,053 0,042 0,032
Peningkatan Nilai Lingkungan Internal
0,088 0,038 0,028 0,021 0,017
sumber : hasil analisis, 2011
Gambar 23 Kontribusi faktor terhadap alternatif kebijakan.
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
Insentif & Disinsentif Penguatan Inf kelembagaan Peningkatan Nilai Ling Internal
T. Pemerintah
T. Global
T. Masyarakat
K. PLTA
T. Pembeli
Contributions to Perlindungan Lingk Berbasis Sukarela fromLevel:Faktor
113
Kedua, kontribusi peran aktor dalam disain kebijakan perlindungan
lingkungan berbasis sukarela bahwa pemerintah, pembeli, perusahaan lain dan
PLTA lebih mengutamakan alternatif insentif dan disinsentif dengan nilai masing
masing sebesar 0,188; 0,057; 0,037 dan 0,021. Sedangkan masyarakat dan
investor lebih cenderung menginginkan penguatan infrastruktur kelembagaan dan
institusional dengan nilai masing-masing 0,102 dan 0,051. Adapun nilai
konstribusi peran aktor hasil analisis pendapat pakar secara rinci disajikan pada
Tabel 17 dan Gambar 24.
Tabel 17 Nilai kontribusi aktor dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela
Alternatif kebijakan
Nilai Kontribusi AktorPemerintah Masyarakat Pembeli Investor Perusahaan
lainnyaPLTA
Insentif & Disinsentif 0,188 0,087 0,057 0.048 0,037 0,021
Penguatan Infrastruktur kelembagaan
0,139 0,102 0,045 0,051 0,021 0,014
Peningkatan Nilai Lingkungan Internal
0,082 0,038 0,025 0,021 0,016 0,008
sumber : hasil analisis, 2011
Gambar 24 Kontribusi aktor terhadap alternatif kebijakan.
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
Insentif & Disinsentif Penguatan Inf kelembagaan Peningkatan Nilai Ling Internal
Pemerintah
Masyarakat
Pembeli
Investor
Perusahaan lain
PLTA
Contributions to Perlindungan Lingk Berbasis Sukarela fromLevel:Aktor
114
Ketiga, berbagai tujuan yang diharapkan dalam mendisain kebijakan
perlindungan dan pengelolaan sumber daya air adalah perlindungan lingkungan,
liabilitas lingkungan, kontinuitas PLTA, dan pengakuan publik. Hasil analisis
atas justifikasi pakar menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan perlindungan
lingkungan memerlukan kebijakan insentif dan disintentif. Sedangkan untuk
mencapai tujuan kuntinuitas PLTA, pengakuan publik dan liabilitas lingkungan
yang paling diperlukan adalah penguatan infrastruktur kelembagaan. Adapun hasil
analisis secara rinci seperti pada Tabel 18 dan Gambar 25.
Tabel 18 Nilai kontribusi tujuan dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela
Alternatif Kebijakan
Nilai Kontribusi TujuanPerlindungan Lingkungan
Kontinuitas PLTA
Pengakuan Publik
Liabilitas Lingkungan
Insentif & Disinsentif 0,317 0,052 0,041 0,026
Penguatan Infrastruktur kelembagaan
0,033 0,116 0,122 0,102
Peningkatan Nilai Lingkungan Internal
0,145 0,017 0,018 0,011
Sumber : hasil analisis, 2011
Gambar 25 Kontribusi tujuan terhadap alternatif kebijakan.
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
Insentif & Disinsentif Penguatan Inf kelembagaanPeningkatan Nilai Ling Internal
Perlind. Lingkungan
Kuntinuitas PLTA
Pengakuan Publik
Liabilitas Lingkungan
Contributions to Perlindungan Lingk Berbasis Sukarela from Level:Tujuan
115
4.6.3 Pengembangan Keputusan Alternatif Kebijakan
Hasil sintesis AHP menetapkan bahwa alternatif kebijakan yang paling
tinggi untuk dipilih adalah kebijakan insentif dan disinsentif. Hal ini terlihat dari
nilai bobot yang lebih besar dibandingkan dengan alternatif lainnya yaitu sebesar
0,436. Alternatif selanjutnya adalah penguatan infrastruktur kelembagaan dan
institusional dengan nilai bobot 0,372 dan iikuti dengan peningkatan nilai
lingkungan internal dengan bobot 0,080.
Nilai dan ranking alternatif kebijakan ditunjukkan pada Tabel 19.
Sedangkan gambaran secara menyeluruh antar pilihan kebijakan yang ada
ditunjukkan pada grafis histogram. Nilai skor keputusan tertinggi ditunjukkan
dengan diagram batang terpanjang yaitu insentif dan disinsentif. Gambaran
menyeluruh antar pilihan kebijakan dalam bentuk grafis histogram ditunjukkan
pada Gambar 26, sedangkan dalam bentuk scatter plot pada Gambar 27.
Tabel 19 Nilai alternatif kebijakan perlindungan lingkungan sukarela
Level Alternatif Bobot Ranking
Insentif & disinsentif 0,436 I
Penguatan infrastruktur kelembagaan 0,372 II
Peningkatan nilai lingkungan internal 0,192 III
Konsistensi ratio = 0,080Sumber : hasil analisis, 2011
Gambar 26 Pengambilan keputusan dengan cara histogram dalam penetapan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.
116
Gambar 27 Pengambilan keputusan dengan cara scatter plot dalam penetapan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.
Analisa di atas memperlihatkan bahwa kebijakan terbaik dalam desain
pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis
sukarela di PLTA adalah dengan menerapkan kebijakan memberikan insentif dan
disinsentif dibandingkan dengan kebijakan pengembangan infrastuktur
kelembangaan dan institusional, dan penguatan valuasi lingkungan internal.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebagaimana diuraikan di
atas, dapat disimpulkan bahwa alternatif desain kebijakan perlindungan dan
pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela pada kasus PLTA adalah insentif
dan disinsentif (0,436), diikuti penguatan infrastruktur kelembagaan dan
institusional (0,372) dan Penguatan nilai lingkungan internal (0,192). Untuk
memperkuat instensif dan disintentif, maka faktor yang paling berpengaruh adalah
tekanan pemerintah (0,462) dibandingkan dengan tekanan global (0,198), tekanan
masyarakat (0,143), kepentingan PLTA (0,111) dan tekanan pembeli (0,087).
Pemerintah, pembeli, perusahaan dan PLTA lebih mengutamakan alternatif
insentif dan disinsentif dalam desain kebijakan, sedangkan masyarakat dan
investor cenderung menginginkan penguatan infrastruktur kelembagaan dan
institusional. Kebijakan insentif dan disinsentif merupakan tool regulasi yang
fundamental untuk mencapai perlindungan lingkungan berbasis sukarela.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Decision Score
Peningkatan Nilai Ling Internal
Insentif & Disinsentif
Penguatan Inf kelembagaan
117
Penguatan infrastruktur kelembagaan dan isntitusional diperlukan untuk mencapai
tujuan kuntinuitas PLTA, pengakuan publik dan liabilitas lingkungan.
Hasil di atas memperlihatkan faktor yang paling mempengaruhi PLTA
untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air secara sukarela
adalah tekanan pemerintah. Daya tekan masyarakat dan pembeli belum banyak
mempengaruhi organisasi (PLTA) untuk melaksanakan program perlindungan
sukarela. Hal ini dimungkinkan tekanan pemerintah telah terdiskripsikan dalam
suatu tata aturan legislasi secara jelas dan dapat menjadi acuan organisasi (PLTA)
untuk melaksanakan suatu tindakan. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian
Uchida (2004) yang menyebutkan bahwa tekanan pemerintah memotivasi
perusahaan di Jepang untuk mengembangkan perlindungan lingkungan. Tekanan
pemerintah dalam bentuk regulasi dan penyelenggaraannya merupakan dorongan
utama praktek perlindungan lingkungan sumberdaya alam (Delmas et al. 2004).
Pemerintah juga masih menjadi aktor utama untuk mendukung pencapaian
tujuan perlindungan lingkungan sumberdaya air. Sektor swasta masih belum
menjadi aktor utama untuk menggulirkan program perlindungan berbasis sukarela.
Konsepsi pendekatan sukarela yang menekankan upaya proaktif perusahaan untuk
merespon ketentuan regulasi, kebutuhan masyarakat dan pasar yang kemudian
diterjemahkan dalam perencanaan strategisnya belum sepenuhnya dipahami.
Keputusan penerapan inisiatif sukarela sangat penting untuk dipahami oleh
pengambil keputusan dalam organisasi. Benefit inisiatif sukarela belum
diterjemahkan secara luas oleh perusahaan dalam kontek sosial ekonomi yang
lebih luas. Sehingga keuntungan tidak hanya terkait dengan peningkatan efisiensi
penggunaan sumberdaya dan proses produksi, serta corporate image. Perbaikan
sumberdaya air yang dilakukan juga berkontribusi terhadap kesejahteraan
masyarakat dan dapat meningkatkan keterlibatan perusahaan untuk memberikan
input terhadap penyempurnaan regulasi saat ini untuk pelaksanaan yang lebih baik
(Lyon et al. 1998).
Peran pemerintah dan tekanan regulasi yang tinggi dalam pengembangan
kebijakan sukarela saat ini, bisa digunakan untuk penyusunan program bersama
antara pemerintah dan perusahaan dalam bentuk perjanjian negosiasi. Regulasi
menjadi landasan untuk pengembangan kebijakan sukarela dan sebagai target
118
lingkungan yang harus disetujui oleh perusahaan dalam periode waktu tertentu.
Perjanjian ini juga dapat digunakan sebagai acuan untuk mempromosikan
program insentif dan disinsentif untuk mencapai tujuan perlindungan lingkungan
dan pembangunan berkelanjutan.
4.7 Model Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
Secara umum dari aspek lingkungan, PLTA sangat bergantung dengan
kualitas dan kuantitas sumberdaya air yang menjadi pasokan bagi pembangkitan
energi listriknya. Sementara kuantitas air sangat bergantung dari sumbernya di
bagian hulu PLTA. Keberadaan dan kontinuitas kuantitas air ini sangat
dipengaruhi kondisi penutupan dan penggunaan lahan di hulu PLTA. Perubahan
penggunaan lahan akan sangat berpengaruh terhadap karakteristik air permukaan
dan air bawah permukaan yang bisa diserap lahan. Hal ini akan berpengaruh
secara langsung terhadap kuantitas dan kontinuitas air pasokan bagi PLTA.
Selain itu, kinerja PLTA juga masih dipengaruhi oleh kualitas air yang akan
dialirkan ke dalam turbin pembangkit listrik. Kualitas air akan sangat
berpengaruh terhadap mesin pembangkitan yang dialiri air. Sifat kimia yang
korosif dan cemaran sedimen bisa mempengaruhi kinerja dan usia teknis mesin
pembangkit listrik.
Aspek sosial yang terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA adalah
hubungan antara pengelola PLTA dengan semua stakeholder terkait. Hubungan
ini terkait komunikasi yang terjalin antar stakeholder serta kolaborasi dalam
melakukan pengelolaan yang berbasis sukarela.
Selain aspek sosial, terdapat juga aspek ekonomi baik dari pengelolaan
PLTA, maupun dari jasa lingkungan sumberdaya air yang bisa dimanfaatkan oleh
semua stakeholder. Pengelola PLTA bisa mendapatkan manfaat ekonomi dengan
mengkonversi tenaga air menjadi tenaga listrik yang bisa dijual kepada lembaga
penyalur tenaga listrik kepada konsumen. Selisih antara biaya yang dikeluarkan
untuk pembangkitan dengan nilai energi listrik yang dihasilkan bisa menjadi
keuntungan pengelola PLTA. Sementara jasa lingkungan sumberdaya air bisa
bersifat langsung maupun tidak langsung. Manfaat jasa lingkungan air, antara lain
sebagai sarana ekowisata, budidaya perikanan, dan manfaat ekologis lainnya.
119
Ketiga aspek terkait pengelolaan PLTA dan interaksinya tersebut
disimplifikasi menjadi model dinamik pengelolaan sumberdaya air PLTA. Model
dinamik ini mencakup sub-model sosial terkait aspek stakeholder, sub-model
lingkungan terkait kualitas air dan perubahan penggunaan lahan, dan sub-model
nilai ekonomi jasa lingkungannya. Untuk memahami sistem tersebut dilakukan
simplifikasi awal melalui diagram lingkar sebab-akibat (causal loop), seperti
disajikan pada Gambar 28. Gambar tersebut menunjukkan setiap sub-model
memiliki keterkaitan sebab-akibat.
Gambar 28 Diagram simpul-kausal (causal loop) model pengelolaan sumberdaya air PLTA.
Semua sub-model tersebut ditransformasi menjadi stock flow diagram (SFD)
sebagai penjabaran causal loop di atas disajikan dalam Gambar 29. Perilaku sub-
model dijabarkan dalam aliran energi dan informasi dalam SFD dengan
pendekatan matematis. Penyusunan SFD dan pendekatan matematisnya dilakukan
dengan bantuan perangkat lunak Powesim Studio 2005E.
Model dirancang berdasarkan hasil pembahasan berbagai aspek pada bab-
bab sebelumnya. Aspek yang mendasari rancang bangun model adalah basis data
dan basis knowledge (pengetahuan pakar dan stakeholder) yang telah dibahas
sebelumnya.
120
Gambar 29 Stock flow diagram model pengelolaan sumberdaya air PLTAberbasis sukarela.
Basis data terutama diterapkan pada elemen-elemen yang menyangkut
kondisi fisik lingkungan dan nilai ekonomi langsung terkait pengelolaan PLTA.
Elemen tersebut terdiri dari perubahan penggunaan lahan dan kuantitas
sumberdaya air, serta nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air. Sementara basis
knowledge diterapkan pada nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air dan
sistem keterkaitan berbagai elemen pengelolaan dari berbagai aspek berdasarkan
persepsi pakar dan stakeholder.
Model terbagi atas beberapa sub-model, yaitu sub-model sosial, sub-model
lingkungan dan sub-model ekonomi. Berbagai asumsi diterapkan untuk
memenuhi kelengkapan model secara keseluruhan, sehingga bisa dilakukan
simulasi terhadap model tersebut. Model ini dibangun berdasarkan data dan
knowledge di sekitar PLTA Saguling, karena memiliki basis data terlengkap untuk
semua sub-model yang dibangun. Simulasi model dilakukan terhadap data aktual
sejak tahun 2001 dan proyeksinya antara tahun 2010 hingga tahun 2021.
121
Tampilan menu model pengelolaan sumber daya air PLTA berbasis sukarela
dibuat guna memudahkan alur simulasi yang akan dilakukan. Menu model
tersebut menampilkan judul dengan hyperlink pada setiap sub-menu yang akan
ditampilkan dalam simulasi.
4.7.1 Sub-model Sosial
Sub-model sosial dibangun berdasarkan pertumbuhan penduduk yang terjadi
di sekitar PLTA. Selain itu sub-model ini terkait dengan sub-model ekonomi,
khususnya penyisihan dana CSR oleh perusahaan yang ditujukan untuk
pemberdayaan masyarakat. Dinamika pendanaan CSR tersebut diprediksi akan
mempengaruhi indeks pemberdayaan masyarakat.
Hasil simulasi model terhadap komponen sosial menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan jumlah penduduk. Penduduk sekitar PLTA berjumlah sekitar
717.770 jiwa pada tahun 2011 dan akan meningkat terus hingga mencapai jumlah
sekitar 833.001 jiwa pada tahun 2021 (Gambar 30).
Peningkatan jumlah penduduk tersebut akan memberikan tekanan terhadap
penggunaan sumberdaya alam yang ada di sekitar PLTA. Salah satunya adalah
meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemenuhan kehidupan penduduk.
Kebutuhan tersebut antara lain lahan untuk permukiman yang terus meningkat
seiiring meningkatnya jumlah penduduk. Penggunaan lahan untuk permukiman
ini akan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di sekitar PLTA.
Gambar 30 Hasil simulasi jumlah penduduk.
Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210
300,000
600,000
Tahun
Pe
nd
ud
uk
122
Hasil simulasi dinamika pendanaan CSR (corporate social responsibility)
dan indeks pemberdayaan masyarakat menunjukkan kaitan yang sangat signifikan.
Penurunan nilai CSR secara langsung akan menekan indeks pemberdayaan
masyarakat.
4.7.2 Sub-model Lingkungan
Sub-model lingkungan terutama direpresentasikan oleh aspek penggunaan
lahan pada DAS hulu PLTA. Hasil simulasi penggunaan lahan menunjukkan luas
lahan semak belukar meningkat secara pesat dari 1.060 ha pada tahun 2001
menjadi seluas 108.141 ha pada tahun 2011, tetapi akan melambat
pertumbuhannya hingga mencapai luas sekitar 110.989 ha pada tahun 2021. Hal
ini merupakan konversi terhadap berbagai penggunaan lahan lainnya, terutama
lahan terbuka dan pertanian lahan kering. Peningkatan luas perkebunan juga
berkembang pesat dari 2.300 ha pada tahun 2001 menjadi seluas 31.007 ha pada
tahun 2021. Peningkatan luas perkebunan ini terutama menurunkan luasan hutan
secara signifikan. Semula lahan terbuka meningkat pada tahun 2001 hingga tahun
2006, tetapi menurun drastis hingga diperkirakan habis menjadi lahan terbangun
pada tahun 2011. Penggunaan lahan yang relatif kecil perubahannya adalah
sawah dan permukiman. Hasil simulasi perubahan penggunaan lahan secara
lengkap disajikan pada Gambar 31 dan Tabel 20.
Gambar 31 Hasil simulasi perubahan penggunaan lahan.
Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210
50,000
100,000
Hutan
Permukiman
Pertanian Lahan Kering
Sawah
Lahan Terbuka
Semak
Perkebunan
Tahun
Lu
as (
ha
)
123
Tabel 20 Hasil simulasi perubahan penggunaan lahan.
Sumber : hasil analisis, 2011
Hasil simulasi penggunaan lahan tersebut juga akan mempengaruhi kondisi
sumberdaya air yang terkonservasi pada lahan tersebut. Perubahan penggunaan
lahan akan mengubah karakteristik air permukaan dan bawah permukaan.
Perubahan karakteristik sumberdaya air juga akan mempengaruhi nilai jasa
lingkungan yang dihasilkannya. Hal ini disebabkan jasa lingkungan sumberdaya
air dipengaruhi kualitas, kuantitas dan kontinuitas air yang dimanfaatkan.
4.7.3 Sub-model Ekonomi
Sub model ekonomi direpresentasikan oleh nilai ekonomi jasa lingkungan
sumber daya air PLTA berbasis sukarela. Nilai total jasa lingkungan terbagi atas
nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use
value) dan nilai bukan guna (non-use value). Nilai guna langsung jasa lingkungan
terdiri dari nilai keuntungan produksi listrik dan budidaya ikan, dan nilai
ekowisata. Nilai guna tidak langsung terdiri dari nilai serapan karbon, nilai
cadangan air tanah, dan nilai cadangan air waduk/sungai. Sementara nilai bukan
guna jasa lingkungan terdiri dari nilai pilihan dan nilai kelestarian.
Hasil simulasi nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air disajikan pada
Gambar 32. Nilai keuntungan dari produksi listrik, produksi budidaya ikan dan
ekowisata diperkirakan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Hal ini
disebabkan terjadinya degradasi sumberdaya alam yang berakibat pada kerusakan
sumberdaya air secara langsung. Menurunnya kuantitas, kualitas, dan kontinuitas
sumberdaya air akan menurunkan nilai produksi listrik dan budidaya ikan secara
langsung. Selain itu, kerusakan sumberdaya alam secara keseluruhan juga akan
mengurangi nilai ekowisata di sekitar kawasan PLTA. Secara ekonomis, hal ini
akan menurunkan nilai guna langsung dari jasa lingkungan sumberdaya air dari
Rp 511 miliar pada tahun 2011 menjadi Rp 505 miliar pada tahun 2021.
Time Hutan Permukiman Sawah Semak Lahan Terbuka Pertanian Lahan Kering Perkebunan
Jan 01, 2001
Jan 01, 2006
Jan 01, 2011
Jan 01, 2016
Jan 01, 2021
38,139.80
15,114.14
5,989.47
2,373.52
940.59
39,782.58
40,762.82
41,767.22
42,796.36
43,850.86
64,940.11
64,998.58
65,057.10
65,115.67
65,174.29
1,060.72
17,409.69
108,141.82
110,670.05
110,989.86
8,452.20
14,993.78
0.00
0.00
0.00
66,280.20
49,240.84
40,694.02
37,307.06
35,964.87
2,300.00
18,435.76
26,529.34
29,736.68
31,007.70
124
Gambar 32 Hasil simulasi nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air.
Sementara nilai guna tak langsung mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun meskipun pada kisaran pertumbuhan yang relatif kecil. Hal ini disebabkan
nilai cadangan air tanah dan cadangan air waduk dihitung secara rata-rata per
tahun, sehingga tidak mengalami peningkatan nilai dari tahun ke tahun. Hal yang
mendorong pertumbuhan hanya berasal dari peningkatan nilai serapan karbon
yang bergantung dari peningkatan harga karbon dari tahun ke tahun. Secara
keseluruhan. Nilai guna setiap jasa lingkungan disajikan secara lengkap pada dan
Tabel 21.
Tabel 21 Hasil simulasi nilai guna langsung (a) dan tidak langsung (b) jasa lingkungan sumberdaya air
(a)
(b)Sumber: hasil analisis, 2011
Hasil simulasi nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air disajikan
Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210
100,000,000,000
200,000,000,000
300,000,000,000
400,000,000,000
500,000,000,000
Benefit Listrik
Benefit Ikan
Nilai Ekowisata
Nilai Guna Langsung
Nilai Serapan Karbon
Nilai Air Tanah
Nilai Air Waduk
Nilai Guna Tak-Langsung
Tahun
Nila
i Ek
on
om
i (R
p)
Time Benefit Listrik Benefit Ikan Nilai Ekowisata Nilai Guna Langsung
Jan 01, 2001
Jan 01, 2006
Jan 01, 2011
Jan 01, 2016
Jan 01, 2021
280,948,440,280.44
279,763,437,467.97
278,583,432,838.31
277,408,405,309.80
276,238,333,889.69
233,080,390,000.00
231,976,102,124.16
230,876,471,986.35
229,781,479,940.88
228,691,106,424.89
217,540,000.00
228,636,726.30
240,299,497.16
252,557,186.55
265,440,141.29
514,246,370,280.44
511,968,176,318.42
509,700,204,321.82
507,442,442,437.23
505,194,880,455.87
Time Nilai Serapan Karbon Nilai Air Tanah Nilai Air Waduk Nilai Guna Tak-Langsung
Jan 01, 2001
Jan 01, 2006
Jan 01, 2011
Jan 01, 2016
Jan 01, 2021
35,577,531,494.40
37,392,343,158.36
39,299,728,456.23
41,304,409,573.70
43,411,349,575.40
330,174,373,200.00
330,174,373,200.00
330,174,373,200.00
330,174,373,200.00
330,174,373,200.00
848,400,000.00
848,400,000.00
848,400,000.00
848,400,000.00
848,400,000.00
366,600,304,694.40
368,415,116,358.36
370,322,501,656.23
372,327,182,773.70
374,434,122,775.40
125
pada Gambar 33. Nilai bukan guna jasa lingkungan cenderung akan terus
meningkat dari Rp 11 miliar pada tahun 2011 menjadi Rp 13 miliar pada tahun
2021. Hal ini disebabkan nilai jasa lingkungan pilihan dan kelestarian juga
cenderung meningkat terus. Nilai bukan guna setiap jasa lingkungan disajikan
secara lengkap pada dan Tabel 22.
Gambar 33 Hasil simulasi nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air.
Tabel 22 Hasil simulasi nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air
Sumber : hasil analisis, 2011
Secara keseluruhan nilai total ekonomi (total economic value – TEV) tetap
meningkat karena adanya peningkatan nilai guna dan nilai bukan guna. TEV
diperkirakan akan meningkat dari Rp 894 miliar pada tahun 2011 menjadi Rp 895
miliar pada tahun 2021. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ekonomi total sebagian
besar disumbang oleh nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air. Hasil simulasi
nilai guna, nilai bukan guna, dan nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya
air disajikan pada Tabel 23.
Hasil simulasi nilai jasa lingkungan sumberdaya air menunjukkan bahwa air
Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210
5,000,000,000
10,000,000,000
Nilai Pilihan
Nilai Kelestarian
Nilai Bukan Guna
Tahun
Nila
i E
ko
no
mi (
Rp
)
Time Nilai Pilihan Nilai Kelestarian Nilai Bukan Guna
Jan 01, 2001
Jan 01, 2006
Jan 01, 2011
Jan 01, 2016
Jan 01, 2021
7,730,987,500.00
8,328,469,167.98
8,972,126,611.51
9,665,528,479.40
10,412,519,219.95
2,319,296,250.00
2,498,540,750.39
2,691,637,983.45
2,899,658,543.82
3,123,755,765.99
10,050,283,750.00
10,827,009,918.37
11,663,764,594.96
12,565,187,023.23
13,536,274,985.94
126
bisa sangat bernilai ekonomis tinggi dari aspek lingkungan, meskipun tidak
seluruhnya secara langsung dalam bentuk uang tunai. Meskipun demikian
penggunaan langsung jasa lingkungan air, seperti pembangkit produksi listrik,
produksi budidaya ikan, dan pemanfaatan oleh industri bisa mendukung
perlindungan dan pengelolaannya. Adanya penyisihan keuntungan produksi
listrik dan budidaya ikan secara sukarela dalam bentuk CSR diharapkan mampu
mendukung program perlindungan sumberdaya air. Oleh karena itu, nilai
ekonomi jasa lingkungan sumberdaya air ini harus disosialisasikan dan
didiseminasikan kepada seluruh stakeholder untuk meningkatkan pemahaman
tentang pentingnya nilai ekonomi sumberdaya air.
Tabel 23 Hasil simulasi nilai total jasa lingkungan sumberdaya air
Sumber : hasil analisis, 2011
Sesuai dengan asumsi penyisihan dana perusahaan sebesar 2% dari dana
keuntungan bersih, maka dari produksi listrik dan budidaya ikan diperkirakan
dapat menghasilkan dana CSR sebesar Rp 15 milyar per tahunnya. Dana ini bisa
digunakan untuk mendukung pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air dalam
berbagai program aksi. Program-program tersebut antara lain untuk konservasi
wilayah DAS hulu PLTA melalui penghijauan, sosialisasi konservasi,
pemberdayaan masyarakat, penurunan beban pencemar dan lain sebagainya.
4.7.4 Skenario Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
Degradasi lahan akan terus berlangsung jika dibiarkan seperti kondisi yang
ada saat ini. Jika program perlindungan dan pengelolaan lingkungan bisa
diimplementasikan, maka akan ada perbaikan lingkungan. Skenario disusun
terhadap perbaikan penggunaan lahan sebagai hulu masalah dalam pengelolaan
sumberdaya air. Skenario dibuat terdiri dari skenario saat ini (existing), skenario
moderat, dan skenario optimis.
Time Nilai Guna Langsung Nilai Guna Tak-Langsung Nilai Bukan Guna TEV
Jan 01, 2001
Jan 01, 2006
Jan 01, 2011
Jan 01, 2016
Jan 01, 2021
514,246,370,280
511,968,176,318
509,700,204,322
507,442,442,437
505,194,880,456
368,767,413,200
370,692,769,177
372,716,337,660
374,843,128,472
377,078,406,989
10,050,283,750
10,827,009,918
11,663,764,595
12,565,187,023
13,536,274,986
893,064,067,230
893,487,955,414
894,080,306,576
894,850,757,932
895,809,562,431
127
Skenario existing merupakan proyeksi kondisi aktual jika tidak dilakukan
intervensi. Skenario moderat merupakan proyeksi existing dengan pencapaian
perbaikan kondisi lingkungan pada tingkat sedang. Sementara skenario optimis
dibangun dengan asumsi bisa terjadi pencapaian perbaikan lingkungan yang
cukup baik.
Skenario disimulasikan terhadap sub-model lingkungan terutama pada aspek
perubahan penggunaan lahan. Kondisi eksisting menunjukkan adanya penurunan
luas hutan sebesar 16,9% per tahun dan peningkatan luas lahan perkebunan
sebesar 51,5% per tahunnya. Jika program reboisasi yang dapat menahan laju
penggundulan hutan sebesar 10% pada skenario moderat dan sebesar 15% pada
skenario optimis, maka akan terjadi perbaikan kondisi lingkungan. Hasil simulasi
dengan asumsi tersebut disajikan pada Gambar 34 dan Tabel 24.
Skenario dilakukan terutama terhadap perubahan penggunaan lahan hutan
dan perkebunan yang berdasarkan interpretasi spasial saling mempengaruhi.
Hasil simulasi dengan beberapa skenario tersebut menunjukkan bahwa masih
terjadi laju pengurangan luas hutan, tetapi terjadi pengurangan secara signifikan
pada skenario moderat dan lebih besar lagi pada skenario optimis. Hal ini juga
berimplikasi pada pengurangan laju pertumbuhan lahan perkebunan yang
dibangun dari konversi lahan hutan.
Gambar 34 Hasil simulasi skenario penggunaan lahan.
Jan 01, 2001 Jan 01, 2006 Jan 01, 2011 Jan 01, 2016 Jan 01, 20210
10,000
20,000
30,000
Hutan
Mod_Hutan
Opt_Hutan
Perkebunan
Mod_Perkebunan
Opt_ Perkebunan
Tahun
Lu
as (
ha
)
128
Jika bisa dilakukan pengurangan laju konversi hutan menjadi lahan
perkebunan sebesar 10% setiap tahunnya, maka laju pengurangan hutan akan
berkurang menjadi sekitar 6,9% dari kondisi awal sebesar 16,9% setiap tahunnya.
Hal ini akan berimplikasi pada pengurangan laju pertumbuhan lahan perkebunan
dari hasil konversi hutan.
Tabel 24 Hasil simulasi skenario perubahan penggunaan lahan
Kondisi eksisting saat ini diperkirakan akan mengurangi luas hutan dari
5.989 ha pada tahun 2011 menjadi hanya 940 ha pada tahun 2021. Skenario
moderat diprediksikan mampu mempertahankan hutan menjadi 2.615 ha hingga
tahun 2021. Sementara skenario optimis diperkirakan mampu mempertahankan
hutan hingga 4.977 ha pada tahun 2021. Hal ini berimplikasi pada berkurangnya
pertumbuhan luas perkebunan yang seharusnya mencapai 31.007 pada tahun 2021,
diprediksikan akan menjadi 29.522 ha pada skenario moderat dan menjadi 27.427
ha pada skenario optimis.
4.7.5 Validasi Model
Simulasi model sebelumnya diuji dengan melakukan validasi terhadap
struktur dan kinerja outputnya. Validasi dilakukan untuk mendapatkan hasil
kesimpulan yang benar berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan
(Hartrisari 2007) terhadap model pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.
Menurut Muhammadi et al. (2001), validasi dilakukan melalui perbandingan
validasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku
kinerja model sesuai dengan data empiris.
Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan
sifat kesalahan dapat digunakan: 1) absolute mean error (AME) adalah
penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai
Time Hutan Mod_Hutan Opt_Hutan Perkebunan Mod_Perkebunan Opt_ Perkebunan
Jan 01, 2001
Jan 01, 2006
Jan 01, 2011
Jan 01, 2016
Jan 01, 2021
38,139.80
15,114.14
5,989.47
2,373.52
940.59
38,139.80
15,114.14
5,989.47
3,739.28
2,615.39
38,139.80
15,114.14
5,989.47
4,977.25
4,977.25
2,300.00
18,435.76
26,529.34
29,736.68
31,007.70
2,300.00
18,435.76
26,529.34
28,525.26
29,522.15
2,300.00
18,435.76
26,529.34
27,427.18
27,427.18
129
actual, 2) absolute variation error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi
(variance) simuasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima
adalah antara 1 -10%.
Validasi yang digunakan dalam simulasi model pengelolaan sumberdaya air
berbasis sukarela di PLTA adalah AME. Validasi ini dilakukan dengan memakai
persamaan seperti di bawah ini.
AME = %100xA
AS ;
N
SiS
N
AiA
S, A dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual, dan interval waktu
pengamatan. Validasi dilakukan terhadap dengan membandingkan besarnya
jumlah penduduk hasil simulasi model dengan data jumlah penduduk aktual.
Validasi berupa perbandingan jumlah pendududuk aktual dan simulasi disajikan
pada Gambar 35.
Gambar 35 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan simulasi.
Berdasarkan hasil perbandingan tersebut terlihat bahwa perilaku model
pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA memenuhi batas toleransi
yang ditentukan. Hasil uji validasi berdasarkan jumlah penduduk (Gambar 36)
menunjukkan bahwa, AME menyimpang setiap tahunnya sebesar antara 0,1%
01 02 03 04 05 06550,000
600,000
650,000
Penduduk Simulasi
Penduduk Aktual
Tahun
Jum
lah
Pe
ndu
duk
(ji
wa
)
130
hingga 3,1% atau rata-rata sebesar 1,83% untuk pertambahan penduduk dari data
aktual. Batas penyimpangan variabel pada parameter AME adalah <10%, yang
menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan perubahan-perubahan
yang terjadi secara aktual pada sistem yang dimodelkan.
Gambar 36 AME dari hasil validasi jumlah penduduk aktual dan simulasi.
4.8 Model Konseptual Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA
Pengelolaan sumberdaya air PLTA perlu didukung adanya institusi
pengelola atau lembaga pengelolanya (manager), kebijakan atau tata cara
pengelolaannya (management), serta anggaran yang menunjang kelancaran
pengelolaanya (money). Secara institusional telah dilakukan analisis stakeholder
untuk mendukung sistem kelembagaan terkait pengelolaan sumberdaya air
berbasis sukarela. Sistem pengelolaan diadaptasi dari hasil analisis kinerja
sumberdaya air dan penggunaan lahan sekitar PLTA. Selain itu, sistem
pengelolaan akan dilandasi regulasi yang sudah ada, yaitu regulasi pemerintah
(UU sumberdaya air) pada tataran strategis dan tren pengelolaan lingkungan
global yang menekankan kesukarelaan (voluntary). Mekanisme ini akan tercapai
secara optimal jika bisa dikomunikasikan kepada semua stakeholder oleh PLTA
(komunikasi eksternal). Sementara pendanaan bisa dikembangkan dari nilai jasa
lingkungan sumberdaya air. Pendanaan bisa dikelola terkait dengan keuntungan
01 02 03 04 05 060
5
10
AME Penduduk
Batas AME
Tahun
AM
E (
%)
131
penggunaan sumberdaya air secara langsung oleh PLTA, melalui skema biaya
pengelolaan lingkungan dan sosial secara sukarela (CSR). Sumberdaya ekonomi
lain yang bisa diberdayakan adalah penggunaan langsung dan tidak langsung.
Berdasarkan hasil analisis stakeholder diketahui bahwa secara strategis
Kementerian Kehutanan diharapkan mampu menjadi pendorong perumusan dan
penetapan kebijakan formal yang bisa melindungi DAS hulu sebagai wilayah
yang menjadi sumber dari air yang memasok PLTA. Sementara PLTA
diharapkan mampu menjadi leading sector pada tataran operasional dengan
berperan aktif dalam mendorong dan bekerja sama dengan stakeholder lain untuk
mencapai keberhasilan pengelolaan sumberdaya air.
Kebijakan pengelolaan akan dituangkan dalam bentuk model konseptual
pengelolaan yang terdiri dari penentuan pengelola kawasan dan penyusunan
sistem pengelolaannya yang memenuhi prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Berdasarkan sistem manajemen lingkungan (SML) dalam
pengelolaan sumberdaya air terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh
masing-masing aspek. Aspek-aspek tersebut terdiri dari kepentingan lingkungan
hidup, kepentingan ekonomi, dan kepentingan sosial. Selain itu diperlukan aspek
operasional sebagai langkah awal dalam mendorong kebijakan pada ketiga aspek
lainnya. Aspek lingkungan hidup menginginkan terciptanya pelestarian
lingkungan dan tercapainnya upaya peningkatan kualitas dan kuantitas, serta
kontinuitas sumberdaya air. Aspek ekonomi mengharapkan adanya pemanfaatan
sumberdaya air yang menguntungkan, serta tercapainya efisiensi dan efektivitas
kerja institusi pengelola. Sementara aspek sosial bertujuan terwujudnya
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, serta terciptanya komunikasi dan
kolaborasi berbagai pihak terkait.
Setiap kepentingan sektor tersebut bisa dielaborasi menjadi sebuah sistem
pengelolaan yang menjaga kesetimbangan setiap kepentingan, sehingga tercipta
sebuah optimalisasi pengelolaan yang bisa mewadahi semua tujuan tanpa saling
meniadakan antar sektor. Hal ini bisa diwujudkan secara operasional dalam
bentuk strategi kebijakan yang terintegrasi untuk mendorong semua pencapaian
tersebut. Kebijakan operasional ini diwujudkan dalam berbagai bentuk program
yang merupakan bagian dari empat aspek (Gambar 37).
132
Gambar 37 Model konseptual pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela.
Kebijakan dalam aspek operasional terdiri dari: (1) program pemenuhan
regulasi; (2) program penataan kelembagaan; serta (3) program implementasi
insentif dan disinsentif. Kebijakan dalam aspek sosial terdiri dari: (1) program
peningkatan komunikasi eksternal; dan (2) program pemberdayaan masyarakat.
Kebijakan dalam aspek ekonomi terdiri dari: (1) program peningkatan nilai jasa
lingkungan sumberdaya air. Kebijakan dalam aspek lingkungan terdiri dari: (1)
program perbaikan penggunaan lahan; dan (2) program peningkatan kualitas dan
kuantitas sumberdaya air. Setiap program saling terkait satu sama lain, sehingga
pencapaian masing-masing program akan berpengaruh terhadap efektivitas
133
pencapaian tujuan pengelolaan secara keseluruhan.
Tekanan pemerintah memiliki pengaruh besar untuk pengembangan
kebijakan perlindungan lingkungan sukarela. Pemerintah dapat memiliki daya
tawar tinggi untuk mendorong perusahaan menerapkan sistem manajemen
lingkungan. Kebijakan insentif seperti penurunan pajak atau subsidi penguatan
kapasitas bagi perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang baik.
Disinsentif dapat dikembangkan melalui mekanisme pengaturan liabilitas
lingkungan. Tentu saja kebijakan insentif dan disinsentif diperkuat dengan
perjanjian voluntary sebagaimana dilakukan di banyak negara seperti Negara Uni
Eropa.
Pengembangan infrastruktur kelembagaan dan institusional pendekatan
sukarela kelihatannya dapat meningkatkan pengakuan masyarakat termasuk
investor. Independensi lembaga dan transparansi pelaksanaan perlu dikembangkan
dalam infrastuktur termasuk memberi ruang bagi stakeholder dalam
pengembangan infrastuktur ini.
Sementara dari sisi pendanaan, pengelola PLTA berperan aktif sebagai
leading sektor secara operasional menyisihkan sebagain keuntungannya untuk
pengelolaan secara berkelanjutan. Mekanisme yang digunakan melalui biaya
sukarela (Corporate Sosial Responsibility – CSR) maupun skema pengelolaan
nilai jasa lingkungan lainnya berdasarkan kesadaran dan partisipasi semua pihak.
4.9 Implikasi Kebijakan
Hasil analisis statistik dan analisis spasial menunjukkan bahwa terjadi
dinamika kualitas air dan penggunaan lahan di lokasi dan sekitar PLTA.
Implementasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis
sukarela bisa diterapkan guna mencapai keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya
air di PLTA tersebut. Berdasarkan analisis stakeholder, terdapat berbagai pihak
(stakeholder) yang berkepentingan dengan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Kondisi penggunaan lahan dan
kualitas air menjadi dasar penyusunan kebijakan perlindungan dan pengelolaan
yang akan dijalankan oleh stakeholder terkait di lapangan. Selain itu, kebijakan
dan pengelola yang akan terlibat harus memenuhi regulasi yang sesuai dengan
134
hasil legal review terhadap regulasi terkait perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela. Kebijakan tersebut dilengkapi dengan berbagai
prioritas kebijakan berdasarkan pandangan para pakar (knowledge based) yang
diperoleh dari hasil proses hirarki analitik (AHP). Hasil berbagai analisis tersebut
dijadikan sintesa untuk menyusun kebijakan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela. Implementasi kebijakan ini akan berimplikasi
terhadap berbagai aspek yang perlu dikaji secara cermat dan komprehensif.
Implikasi penerapan kebijakan tersebut mendorong perlunya penyusunan
strategi untuk memperkuat sistem yang telah dirancang guna meningkatkan
efektivitas pencapaian tujuan. Manajemen konsensus perlu dilakukan secara
implementatif dalam menentukan keputusan bersama berdasarkan kesepakatan
antar pihak guna mencapai tujuan bersama. Hal ini untuk mengeliminasi
ketidaksetaraan, ego sektoral dan konflik kepentingan di antara para pihak yang
terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA. Pemberdayaan masyarakat guna
meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar PLTA menjadi fokus utama dalam
menjalankan kebijakan pengelolaan sumberdaya air. Penyusunan tahapan
program dan penanggung jawabnya secara jelas dan transparan berdasarkan
kesepakatan akan menghasilkan implementasi yang optimal saat pelaksanaannya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah arti penting sumberdaya air sebagai
bagian dari ekosistem yang menyeluruh di wilayah PLTA. Meskipun visi dan misi
utama pengelola PLTA adalah memproduksi listrik sesuai target yang telah
dicanangkan, tetapi perlu diingat dampak dari eksploitasi sumberdaya air tersebut.
Pemahaman tentang dampak lingkungan bisa membawa pengelolaan ke arah yang
lebih berkelanjutan dengan memperhatikan aspek-aspek lainnya yang terkait.
Produksi yang berlimpah untuk meningkatkan nilai ekonomi juga harus
memperhatikan aspek lainnya, seperti aspek sosial dan lingkungan. Keuntungan
pada aspek ekonomi harus bisa mendorong perbaikan aspek lainnya, seperti
pemberdayaan masyarakat pada aspek sosial dan perbaikan kondisi penggunaan
lahan pada aspek lingkungan.
Selain implikasi strategis yang bersifat umum tersebut, perlu juga dilakukan
perumusan implikasi kebijakan operasional yang sesuai dengan karakteristik
masing-masing lokasi PLTA. Meskipun secara umum terjadi degradasi lahan dan
135
kelemahan pengelolaan pada semua lokasi PLTA, tetapi karakteristik besaran
kerusakan dan sistem pengelolaan yang ada pada setiap lokasi berbeda satu sama
lain. Hal ini akan menjadi landasan implikasi kebijakan secara lebih operasional
dan teknis untuk setiap lokasi PLTA.
Perubahan penggunaan lahan yang masif pada lokasi PLTA di Jawa Barat
(Saguling dan Cirata) memberikan implikasi kebijakan yang lebih mengarah pada
teknis rehabilitasi lahan terutama pada DAS hulu PLTA. Program-program yang
mengarah pada perbaikan kondisi lahan harus didorong secara aktif baik oleh
aktor kunci di pemerintahan pusat (Kemenhut), maupun aktor kunci di tataran
operasional (PLTA). Penggalakan rehabilitasi lahan melalui kegiatan reboisasi
guna menambah luasan lahan bervegetasi, terutama hutan akan sangat mendukung
perbaikan lahan dan mengurangi ancaman erosi dan sedimentasi ke dalam Waduk
Saguling dan Cirata. Pengurangan ancaman erosi dan sedimentasi akan
meningkatkan umur teknis waduk dan efektifitas pembangkitan listrik. Selain itu,
hal ini akan meningkatkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air yang
menjadi pasokan air bagi PLTA Saguling dan Cirata.
Sementara perubahan penggunaan lahan pada DAS hulu PLTA Tanggari I
dan II juga terjadi seperti di Jawa Barat. Namun besaran perubahan lahannya
masih dalam tahap perkembangan dan belum semasif yang terjadi di Jawa Barat.
Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang bisa mendorong pencegahan perubahan
penggunaan lahan dari lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun. Penegakan
aturan dan pengetatan ijin pembangunan pada kawasan lindung yang menjadi
daerah resapan air pada DAS hulu PLTA perlu terus digalakan. Selain itu,
komunikasi eksternal dengan masyarakat pada bagian DAS hulu perlu
diintensifkan untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya konservasi lahan
terhadap keberadaan sumberdaya air. Hal lain yang bisa dilakukan adalah
mendorong kegiatan reboisasi lahan sebagai langkah perbaikan terhadap kondisi
yang ada.
Perbaikan kualitas sumberdaya air juga bisa dilakukan secara internal oleh
jajaran PLTA, melalui peningkatan kinerja operasional PLTA secara keseluruhan.
Untuk PLTA Saguling dan Cirata bisa dilakukan dengan meningkatkan sistem
operasional pembangkitan listrik, baik dengan mengoptimalkan teknologi dari
136
peralatan yang ada, maupun dengan meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia
sebagai pengelolanya. Hal ini diharapkan akan memperbaiki tingkat kualitas air
yang masuk ke dalam sistem PLTA dan dialirkan lagi pada badan air alaminya.
Indikator perbaikan bisa dimonitor pada perbandingan parameter-parameter
kualitas air yang masuk ke dalam inlet dan yang keluar dari outlet PLTA.
Sementara kondisi pada PLTA Tanggari I dan II yang menggunakan
peralatan yang relatif lebih tua, diperlukan berbagai peremajaan guna
meningkatkan kinerja peralatan PLTA. Peningkatan kapasitas sumberdaya
manusia secara mendasar perlu dilakukan terhadap pengelola PLTA. Hal ini
disebabkan sumberdaya pengelola PLTA relatif belum secara optimal memahami
arti penting perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela
terkait kepentingannya sebagai pengelola PLTA.
Berdasarkan hasil analisis nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya
air diperoleh karakteristik setiap PLTA yang berbeda secara signifikan. Pada
PLTA Saguling nilai ekonomi hasil budidaya perikanan dan ekowisata relatif
kecil dibandingkan nilai ekonomi lainnya. Sementara pada PLTA Cirata, serta
PLTA Tanggari I dan II, nilai ekonomi hasil budidaya perikanan dan ekowisata
relatif lebih menonjol dibandingkan nilai ekonomi lainnya. Hal ini menunjukkan
bahwa PLTA Saguling belum menjadi lokasi budidaya ikan dan tujuan wisata
yang relatif besar. Kondisi ini disebabkan karena letak dan akses ke PLTA
Saguling relatif tidak mudah untuk kegiatan budidaya ikan dan wisata. Selain itu
luas genangan Waduk Saguling relatif kecil karena berada pada daerah genangan
dataran tinggi dengan karakteristik jurang sempit sebagai daerah genangannya.
Kebalikannya dengan PLTA Saguling, PLTA Cirata serta Tanggari I dan II
memiliki karakteristik genangan dan akses yang mendukung kegiatan budidaya
perikanan dan ekowisata.
Implikasinya KJA pada Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II
berkembang secara masif dengan jumlah relatif besar. Selain itu kedua lokasi
PLTA ini banyak dikunjungi wisatawan dan bersinergi dengan aktifitas budidaya
ikan KJA. Oleh karena itu, kebijakan yang harus didorong adalah pengelolaan
aktifitas KJA dan ekowisata yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II. Mengingat jumlah KJA yang
137
relatif besar, pada Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II perlu
pemantauan dan pemberian ijin usaha KJA yang sesuai daya dukung dan daya
tampung, serta sesuai dengan zonasi pengelolaan waduk.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap perlindungan
dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Karakteristik sumberdaya air berupa kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air
yang dimanfaatkan PLTA saat ini menurun secara signifikan karena
dipengaruhi perubahan penggunaan lahan pada DAS hulu PLTA.
a. Perubahan penggunaan lahan sangat signifikan terjadi pada DAS hulu PLTA
Cirata dan Saguling (DAS Citarum) di Provinsi Jawa Barat. Luas hutan
pada DAS Waduk Saguling menurun pesat dari 38.139,80 ha (17,12%) pada
tahun 2001 menjadi hanya 12.531 ha (5,62%) pada tahun 2007. Selain itu,
pada DAS Waduk Cirata, luas hutan juga menurun pesat dari 87.817 ha
(18,87%) pada tahun 2001 menjadi hanya 23.392 ha (5,03%) pada tahun
2007. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari hutan
terutama menjadi perkebunan. Hal ini akan berakibat negatif terhadap
kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air yang menjadi pasokan
utama air bagi PLTA. Sementara pada DAS hulu PLTA Tanggari I dan II
(DAS Tondano) di Provinsi Sulawesi Utara, relatif tidak terjadi perubahan
penggunaan lahan yang masif. Pada DAS Tondano hutan seluas 18.323 ha
pada tahun 2001 berubah menjadi sekitar 18.098 ha pada tahun 2007. Hal
ini menunjukkan terjadinya pengurangan luas hutan pada DAS Tondano
hanya sekitar 0,0021% setiap tahunnya. Namun hal ini juga cepat atau
lambat bisa berakibat negatif juga terhadap kualitas, kuantitas dan
kontinuitas sumberdaya air yang menjadi pasokan utama air bagi PLTA.
b. Kualitas air waduk di lokasi studi, secara umum masih sesuai dengan
ketentuan kualitas air (Kelas 4) yang berlaku untuk keperluan operasional
PLTA. Hasil uji-T menunjukkan indikasi bahwa kegiatan PLTA tidak
menambah beban pencemaran air. Meskipun demikian, PLTA harus tetap
menjaga kelestarian sumberdaya air sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun
139
2004 secara sukarela, guna mendukung pencapaian tujuan pembangunan
berkelanjutan.
2. Kondisi institusi dan regulasi terkait program lingkungan PLTA dipengaruhi
dinamika stakeholder dan regulasi yang sudah ada saat ini.
a. PLTA menjadi pihak yang paling berkepentingan, sehingga harus menjadi
pihak yang proaktif pada tataran operasional. Sementara pada tataran
strategis, pihak kunci yang paling berperan secara riil masih ada pada
pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan), sehingga PLTA masih
memerlukan dorongan pemerintah. Guna mencapai tujuan perlindungan dan
pengelolaan sumberdaya air secara sukarela, PLTA harus melaksanakan
komunikasi aktif dengan stakeholder kunci (Kementerian Kehutanan, PLN
(Persero), PLTA, Perhutani/HTI, Dinas LH, Dinas Kehutanan, Dinas PU,
Perusahaan Pengguna dan masyarakat), serta stakeholder pendukung
lainnya.
b. Perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air bisa diimplementasikan
berdasarkan peraturan perundangan yang sudah ada saat ini. Hal ini bisa
diperkuat dengan adanya inisiatif sukarela dari PLTA, sehingga tidak terus
menerus menunggu adanya dukungan regulasi dan dorongan pihak lain guna
mengimplementasikan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya
air secara berkelanjutan.
3. Sumberdaya air pada dasarnya memiliki nilai ekonomi jasa lingkungan yang
besar baik ditinjau dari nilai guna (use value), maupun nilai bukan gunanya
(non-use value). Besar nilai ekonomi total (TEV) per tahun dari jasa
lingkungan sumberdaya air di PLTA: (1) Saguling mencapai Rp 885,95 milyar;
(2) Cirata mencapai Rp 1.669,50 milyar; (3) Tanggari mencapai Rp 252,88
milyar. Peningkatan pemahaman terhadap nilai-nilai tersebut diharapkan
mampu meningkatkan kesadaran semua pihak untuk memanfaatkan air secara
bijak. Kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis
sukarela bisa menjadi faktor penting dalam melestarikan dan meningkatkan
nilai-nilai jasa lingkungan sumberdaya air di wilayah PLTA.
4. Model kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis
sukarela di PLTA bisa didesain berdasarkan analisis data situasional, pemilihan
140
alternatif kebijakan prioritas, maupun model hasil analisis sistem dinamik.
a. Alternatif desain kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air
PLTA berbasis sukarela yang menjadi prioritas saat ini adalah insentif dan
disinsentif. Tekanan pemerintah masih menjadi faktor yang paling
berpengaruh dalam implementasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela. Pencapaian tujuan berupa kontinuitas
PLTA, pengakuan publik dan liabilitas lingkungan memerlukan penguatan
infrastruktur kelembagaan dan institusional.
b. Model dinamik perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis
sukarela di PLTA bisa didesain berdasarkan basis data dan basis knowledge
(pengetahuan). Pemodelan kinerja sumberdaya air PLTA didasarkan data
perubahan penggunaan lahan dan kualitas air, serta nilai guna jasa
lingkungan. Pemilihan kebijakan prioritas menggunakan AHP, hasil
analisis stakeholder dan perhitungan nilai bukan guna jasa lingkungan
menjadi basis knowledge pemodelan. Model dinamik mampu
memperlihatkan proyeksi pilihan-pilihan kondisi di masa depan yang bisa
dijadikan penunjang penetapan kebijakan dalam perlindungan dan
pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela.
c. Berdasarkan sistem input-output dalam pengelolaan sumberdaya air,
terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu kepentingan lingkungan
hidup, kepentingan ekonomi, dan kepentingan sosial. Selain itu diperlukan
aspek operasional sebagai langkah awal dalam mendorong kebijakan pada
ketiga aspek lainnya. Salah satu mekanisme yang bisa digunakan untuk
mendukung optimalisasi perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air bisa
melalui mekanisme subsidi perusahaan (Corporate Sosial Responsibility –
CSR), maupun skema pengelolaan nilai jasa lingkungan lainnya berdasarkan
kesadaran dan partisipasi semua pihak.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap
pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela, maka disusun rekomendasi
sebagai berikut:
141
1. Perlu segera ditetapkan kebijakan strategis hingga operasional untuk
mengendalikan perubahan penggunaan lahan pada DAS Citarum dan Tondano
guna mengurangi laju degradasi sumberdaya alam. Hal ini diharapkan akan
meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas sumberdaya air sekaligus
mendukung kinerja PLTA Cirata dan Saguling, serta PLTA Tanggari I dan II.
Stakeholder kunci pada tataran operasional (PLTA) dan strategis (Kemenhut)
diharapkan mampu melakukan implementasi dan mendorong stakeholder
lainnya dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA
berbasis sukarela di lapangan. Guna menghasilkan implikasi yang efektif,
stakeholder diharapkan mampu mengidentifikasi secara detail permasalahan
dan kebutuhan yang harus diselesaikan guna mendukung pencapaian tujuan
perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela.
2. Komunikasi dan koordinasi antar seluruh stakeholder terkait perlu dilakukan
untuk mendorong keberhasilan tujuan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Implementasi konsep sukarela
(voluntary) perlu terus disosialisasikan dan didiseminasikan kepada semua
pihak sebagai bagian komplemen (pelengkap) regulasi yang ada guna
mendorong keberhasilan tujuan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air
PLTA berbasis sukarela.
3. Perlu peningkatan pemahaman semua pihak tentang arti penting nilai ekonomi
jasa lingkungan sumberdaya air PLTA melalui komunikasi eksternal yang
intensif. Beberapa nilai pendekatan dalam penentuan nilai ekonomi total dalam
perhitungan mendatang bisa menggunakan data yang lebih akurat sesuai
dengan standar yang telah disepakati secara umum, seperti harga karbon sesuai
skema kesepakatan internasional. Berbagai nilai jasa lingkungan terkait
sumberdaya air di luar penelitian ini, diharapkan bisa diteliti lebih lanjut,
contohnya nilai serapan karbon dari vegetasi air dan nilai ekologisnya sebagai
penyerap pencemaran.
4. Penetapan kebijakan masa kini dan masa mendatang perlu dilakukan dengan
memperhatikan sistem penunjang keputusan yang dibuat berdasarkan model
dinamik dan model konseptual perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air
PLTA berbasis sukarela. Implementasi mekanisme insentif dan disinsentif
142
diperlukan untuk mendukung tercapainya tujuan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air berbasis sukarela.
144
DAFTAR PUSTAKA
Afsah S, Laptante, Wheeler. 1996. Controlling Industrial Pollution: a New Paradigm. http://www.worldbank.org/nipr/newappr.htm. [2 Januari 2005].
Afandi AN.2010. Operasi Sistem Tenaga Listrik Berbasis EDSA. Yogyakarta : Penerbit Gava Media.
[APEC] Asia-Pacific Economic Cooperation. 2005. The Role of Voluntary Initiatives in Sustainable Production, Trade and Consumption in the APEC Region. APEC Workshop. Santiago. 26-27 September 2005.
Arimura TH, Akira H, Hajima K. 2007. Is A Voluntary Approach an Effective Environmental Policy Instrument? A Case for Environmetal Management System. Washington : Resource for the Future.
Asdak C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Manada University Press.
Azo´car, G. et al. 2007. Urbanization Patterns & Their Impacts on Social Restructuring of Urban Space in Chilean Mid-cities. Land Use Policy 24: 199–211.
Barde NP. 2000. Environmental Policy and Policy Instruments. in Foliner H and Gabel HLl . editors. Principles of Environmental and Resource Economics A Guide for Students and Decicion Makers. 2nd Ed. USA : Edwars Elgar Publishing.
Barlas Y. 1998. A Behavior Validity Testing Software (BTS). http:/www.ie.boun.edu.tr/labs/sesdyn.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat. 2010. Kabupaten Bandung Barat Dalam Angka 2010.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Purwakarta. 2010. Kabupaten Purwakarta Dalam Angka 2010.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Minahasa Utara. 2010. Kabupaten Minahasa Utara Dalam Angka 2010.
Brown K, Tompkins E, Adger WN. 2001. Trade-Off Analysis forParticipatoryCoastal Zone Decision Making. ODG DEA.Csserge.UEA Norwich.
Bryson JM. 2003. What to Do When Stakeholers Matter A guide to Stakeholder Identificatication and Analysis Technique. Washington DC:The Georgetown University Public Policy Institute.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional.2005. SNI 19-14001-2005 Sistem manajemen lingkungan – Persyaratan dan panduan penggunaannya. Jakarta: BSN.
Cascio J, Woodside, Mitchell. 1996. ISO 14000 Guide The New International Environmental Management Standards. New York: Mc.Graw-Hill.
145
Chereminisoff NP, Motasem BH. 2006. Beyond Compliance The Refinery Manager’s Guide to ISO 14001 Implementation. Houston: Gulf Publishing Company.
Cunningham B, Nigel B, Walter W, Catriona F. 2003. A Sustainability Assessment of a Biolubricant. J.Industrial Ecology 7 (3-4) : 179-192.
Dasgupta S, Hettige H, Wheeler D. 2000. Who Improves Environmental Performance? Evidence from Mexican Industry. J Env Econ Mng. 30:39-66.
deLeon P, Jorge ER, editor. 2010. Voluntary Environmental Programs A Policy Perspective. United Kingdom: Lexington Books.
Delmas M. 2001. Stakeholders and Competitive Advantage: The case of ISO 14001. J.Production and Operations Management 10 (3) : 343 - 358.
Demirag, Istem. Editor. 2005. Corporate Social Responsibility, Accountability and Governance: Global Perspectives. Sheffield UK : Greenleaf Publishing.
Djogo T, Sunaryo, Suharjito D, Sirait M. 2003. Kelembagaan dan KebijakanDalam Pengembangan Agroforestri. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF).
DPE [Departemen Pertambangan dan Energi] .1992. Studi Evaluasi Lingkungan PLTA Tonsea Lama Tanggari : Laporan Akhir. Jakarta: Departemen Pertambangan dan Energi-Perusahaan Umum Listrik Negara.
Dunn W. 2003. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjahmada Press.
Dye TR. 1992. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall.
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem; Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press.
Eriyatno, Sofyar F.2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk Pascasarjana. Bogor: IPB Press.
Esty DC, Chertaw MR. editor.1997. Thinking Ecologically : An Introduction. The Next Generation of Environmental Policy. Yele University Press. New Haven.
Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fletcher A, Guthrie J, Steane P, Roos G, Pike S. 2003. Mapping stakeholder perceptions for the a third sector organization. J. Intellectual Capital. 4(4): 505-527.
Ginting P.2008. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Jakarta: Penerbit Yrama Widya.
Hapsari A. 2010. Dampak kegiatan Keramba Jaring Apung terhadap Kualitas Air Waduk Cirata yang dapat Mempengaruhi Keandalan Unit Pembangkit.
Hart S, Gautain A. 1996. Does it pay to be green? An Empirical Examination of the Relationship between Emission Reduction & Firm Performance. Business Strategy and Environment. hlm.30-37
146
Hartrisari. 2007. Sistem dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. Bogor: Seameo Biotrop.
Hermawan TT, Affianto, Susanti A, Soraya E, Wardhana W dan Riyanto S. 2005. Pemanfaatan Ruang dan Lahan di Taman Nasional Gunung Ciremai: SuatuRancangan Model. Bogor: Pustaka Latin.
Higley CJ, Francois C, editor.2001. Environmental Voluntary Approaches : Research Insights for Policymakers. The International Policy Workshop on the Use of Voluntary Approaches; Brussels, 1 Februari 2001. Paris: Centre d’economie industrielle. 2001. hlm. 1-78.
Hicks JR. 1939. Value and Capital : An Inquiry into Some Fundamental Principle of Economic Theory. Oxport: Clarendon Press.
Hogwood BW, Gunn LA. 1984. Policy Analysis for the Real World. New York: Oxford Univ Press.
Hufschmidt 1987. Lingkungan Sistem Alami dan Pengembangan : Pedoman Penilaian Ekonomis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
[ISO] International Organization for Standardization. 2004. ISO 14001:2004 Environmental Management Systems - Requirements with Guidance for Use. Geneva: ISO.
Indarto.2010. Hidrologi Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi. Jakarta : Grafika Offset
Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Jakarta:Bumi Aksara.
Jaya INS.2002. Penginderaan Jauh Satelit untuk Kehutanan Laboratorium Inventarisasi Hutan Bogor. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Kamer, Pearl M. 2005. Placing an Economic Value on the Services of Public Library in Suffolk Country. New York. http://sels.suffolk lib.ny.us/pdf/ library study. Pdf. ( 29 Juni 2007)
Khana M.2001. Non-mandatory Approaches to Environmental Protection. J. Economic Surveys 15:291-324.
Kismartini. 2010. Analisis Trade-Off Sebagai Alat Analisis Kebijakan Publik(didownload dari internet)
Kodoatie RJ, Roestam S. 2010. Tata Ruang Air. Yogyakarta: Andi Yogyakarta
Krismono, Didik WHT, Atmadja H, Siti N, Chairulwan Umar. 1987. PenelitianLimno Biologis Waduk Saguling pada Tahap Post-inundasi. Bull. PenelitianPerikanan Darat. 6(3):1-31.
Kurniawan R.2010. Sistem Pengolahan Kawasan Kards Maros Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan Secara Berkelanjutan. [Disertasi]. Bogor: SekolahPascasarjana IPB.
Lessem R. 1989. Global management principle. UK: Prentice Hall International.
Lyon TP, John WM. 1998. Voluntary Approaches to Environmental Regulation : A Survey . Kelly School of Business. Bloomington : Indiana University.
147
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Marimin. 2005. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Bogor: IPB Press.
Maulana R. 2010. Kajian Status Tropik dan Daya Dukung Perairan bagi Kegiatan Budidaya Keramba Jaring Apung di Waduk Saguling, Jawa Barat[tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Meadows D, Randers J. Meadows. 1972. Limits to Growth. New York : Universe Books.
Mitchell RK, Agie BR, Wood DJ.1997. Toward Theory of Stakeholder Identification and Salience: Defining the Principle of Who and What Really Counts. J. Academy of Management Review 22(4):853-888.
Muhammadi, Aminullah E, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta: UMJ Press.
Munasinghe M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development . World Bank Paper No.3. The World Bank. Washington DC.
Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar ekologi. Ed ke-3. Yogyakarta: Gajah MadaUniversity Press.
[OECD] Organisation for Economic Co-operation and Development. 2003. Voluntary Approaches for Environmental Policy: Effectiveness, Effeciency and Usage in Policy Mixes. Paris : OECD Publication Services.
[PJB] Pembangkitan Jawa Bali Unit Pembangkitan Cirata. 2010. Data Air Masuk PLTA Cirata tahun 1988-2010 (dokumen arsip PLTA Cirata). Kabupaten Purwakarta.
[PJB] Pembangkitan Jawa Bali Unit Pembangkitan Cirata. 2011. Database Kualitas Air PLTA Cirata (dokumen arsip PLTA Cirata). Kabupaten Purwakarta.
[PJB] Pembangkitan Jawa Bali Unit Pembangkitan Cirata. 2011. Penanaman Penghijauan di Kawasan PLTA Cirata (dokumen arsip PLTA Cirata).Kabupaten Purwakarta.
[PLTA] Pembangkit Listrik Tenaga Air Saguling. 2010. Data Air Masuk UBP PLTA Saguling 1986 -2010 (dokumen arsip PLTA Saguling). Kabupaten Bandung Barat.
[PLTA] Pembangkit Listrik Tenaga Air Saguling. 2011. Database Kualitas Air UBP Saguling (dokumen arsip PLTA Saguling). Kabupaten Bandung Barat.
[PLTA] Pembangkit Listrik Tenaga Air Saguling. 2011. Road map Penghijauan di PLTA Saguling (dokumen arsip PLTA Saguling).Kabupaten Bandung Barat.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara. 1989. Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKL & RPL) PLTA Saguling. Jakarta: PLN.
148
[PLN] Perusahaan Listrik Negara. 2010. Statistik Listrik PLN 2005-2009. Jakarta: PLN.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara Wilayah Suluttenggo. 2005. Laporan RKL dan RPL Pengoperasian PLTA Tanggari I Tahun 2005. Kabupaten Minahasa Utara.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara Wilayah Suluttenggo. 2006. Laporan RKL dan RPL Pengoperasian PLTA Tanggari I Tahun 2006. Kabupaten Minahasa Utara.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara Wilayah Suluttenggo. 2007. Laporan RKL dan RPL Pengoperasian PLTA Tanggari I Tahun 2007. Kabupaten Minahasa Utara.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara Wilayah Suluttenggo. 2008. Laporan RKL dan RPL Pengoperasian PLTA Tanggari I Tahun 2008. Kabupaten Minahasa Utara.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara Wilayah Suluttenggo. 2009. Laporan RKL dan RPL Pengoperasian PLTA Tanggari I Tahun 2009. Kabupaten Minahasa Utara.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara Wilayah Suluttenggo. 2010. Laporan RKL dan RPL Pengoperasian PLTA Tanggari I Tahun 2010. Kabupaten Minahasa Utara.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara Wilayah Suluttenggo. 2005. Laporan RKL dan RPL Pengoperasian PLTA Tanggari II Tahun 2005. Kabupaten Minahasa Utara.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara Wilayah Suluttenggo. 2006. Laporan RKL dan RPL Pengoperasian PLTA Tanggari II Tahun 2006. Kabupaten Minahasa Utara.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara Wilayah Suluttenggo. 2007. Laporan RKL dan RPL Pengoperasian PLTA Tanggari II Tahun 2007. Kabupaten Minahasa Utara.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara Wilayah Suluttenggo. 2008. Laporan RKL dan RPL Pengoperasian PLTA Tanggari II Tahun 2008. Kabupaten Minahasa Utara.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara Wilayah Suluttenggo. 2009. Laporan RKL dan RPL Pengoperasian PLTA Tanggari II Tahun 2009. Kabupaten Minahasa Utara.
[PLN] Perusahaan Listrik Negara Wilayah Suluttenggo. 2010. Laporan RKL dan RPL Pengoperasian PLTA Tanggari II Tahun 2010. Kabupaten Minahasa Utara.
PPSDAL UNPAD 2008. Laporan Kajian Erosi dan Sedimentasi Waduk Saguling.Bandung: PPSDAL UNPAD
Pearce D, Markandya, A, Barbier, E. 1989. Blueprint for a Green Economy. Earthscan. London.
149
Pearce D, Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUCN- The World Conservation Union. London. UK.
Pigou. 1920. The Economics of Welfare. London: Macmillan and Co.
Praharsa E.2005. Sistem Informasi Geografis. Bandung : CV Informatika Bandung.
Prakash A, Potoski. 2006. Racing to the bottom?: trade, environmental governance, and ISO 14001. Am J Pol Sci.50:2.
Rianse U.2010. Agroforestri Solusi Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bandung : Alfabeta, CV
[RNMISD] The Research Network on Market Based Instruments for Sustainable Development. 1998. Environmental Policy Research Brief. Number 1.Voluntary Approach for the Improvement of Environmental Performance.
Russo MV, 2002. Institutional Change and Theories of Organizational Strategy: ISO 14001 and Toxic Emissions in the Electronics Industry. Academy of Management Proceedings.
Sanim B. 2011. Sumberdaya Air dan Kesejahteraan Publik Suatu Tinjauan Teoritis dan Kajian Praktis. Bogor: IPB Press.
Sargent RG. 1998. Validation and Verification of Simulation Models. Dalam : Mdeiros DJ, Watson EF, Carson JF, Manivannan MS, editor. Proceeding Soft the 1998 Winter Simulation Conference; Washington, 13-16 Dec 1998. SanDiego : IEEE, ACM, Soc Comp Sim Int. hlm 121-130.
Segerson K ,Thamas JM. 1998. Voluntary Environmental Agreements : Good or Bad News for Environmental Protection?. J Env Econ Mng. 36: 109-130.
Siregar S. 2004. Statistik Terapan untuk Penelitian. Jakarta :Grasindo.
Soebarsono AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soemarwoto O. 2001. Peluang Berbisnis Lingkungan Hidup di Pasar Globaluntuk Pembangunan Berkelanjutan. Makalah Seminar untuk Kebijakan Perlindungan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan di Era Reformasi dalam Menghadapi KTT Rio +10. Jakarta.8 Februari 2001.
Suharto ES. 2008. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis MengkajiMasalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sundawati S, Sanudin. 2009. Analisis pemangku kepentingan dalam upaya pemulihan ekosistem tangkapan air danau toba. JMHT XV(3) : 102-108
Suripin 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi offset
Sushil. 1993. System dynamics: A Practical Approach for Managerial Problems. New Delhi: Wiley Eastern Ltd.
Sutopo MF.2011. Pengembangan Kebijakan Pembayaran Jasa Lingkungan dalam Pengelolaan Air Minum (Studi Kasus DAS Cisadane Hulu). Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
150
Thomas, K.L. 2003. An Evaluation of Valuntary Instruments for Environemntal Management : Comparing the Regulation of Toxic Substancec in Canada and the United States. Disertation in Political Science. McMaster University.
Tietenberg T, Wheeler D. 1998. Empowering the Community Information Strategies for Pollution Control. http://www.worldbank.org/nipr/newappr.html. [ 2 Januari 2005].
Tjokrokusumo SW. 2000. Biomonitoring Lahan Perairan untuk Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk Serbaguna secara Berkelanjutan. Prosiding semiloka nasional pengelolaan dan pemanfaatan danau dan waduk. Universitas Padjajaran. Bandung.
Turner BL, Meyer WB, Skole DL. 1994. Global land use/land cover change: towards an integrated study. Ambio 23(1):91-95.
Uchida T. 2004. Voluntary Approaches to Environmental Protection. A Discussion Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor Philosophy in the Andrew Young School of Policy Studies of Georgia State University. United States: Georgia State University.
Weimer DL, Vining AR. 1989. Policy Analysis: Concept and Practice. New York: Prentice-Hall Int.
Yakin A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan; Teori dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta : Akademi Pressindo.
Yusoff H, Glen L. 2010. International Differences on Corporate Environmental Disclosure Practices : A Comparison Between Malaysia and Australia. School of Commerce University of South Australia.
Weng, Q. 2002. Land use change analysis in the Zhujiang Delta of China using satellite remote sensing, GIS and stochastic modelling. J Env Mng. 64:273–284.
[WCED] World Commission on Environmental Development. 1987. Our Common Future. World Conference on Environment and Development. Oxford : Oxford University Press.
Widada. 2004. Nilai Manfaat Ekonomi dan Pemanfaatan Taman NasionalGunung Halimun bagi Masyarakat. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wu, Bing Xu, Le Mang. 2006. Monitoring and predicting land use change in Beijing using remote sensing and GIS. Landscape and Urban Planning78:322–333.
_____.2010. Seri Perundang tentang Lingkungan Hidup. Jakarta :Pustaka Yustisia.
_____.2009. Undang-undang Pemerintah Daerah. Jakarta : Asa Mandiri.
_____.2010. Kumpulan Peraturan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2010. Jakarta : Harvasindo.
151
_____.2010. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Bandung : Citra Umbara.
149
L A M P I R A N
150
151
Lampiran 1. Kualitas Air Rata-rata Median inlet dan outlet di PLTA Saguling Tahun 2005 -2010
Parameter SatuanTahun ke - Baku Mutu
Kelas IVPP
No.82/2001
2005 2006 2007 2008 2009 2010
INLET
Suhu 0C 27,3 27,2 26,5 26,6 27,2 27,3 Deviasi 5
TDS mg/L 267 168 187,5 160 100,97 142,2 2000
TSS mg/L 10,5 10,5 15 4 6 8,7 400
Fe mg/L 0.13 0,09 0,07 0 0,18 0,46 (-)
COD mg/L 19,60 17,23 29,67 18,75 20,19 16,47 100
BOD mg/L 8,75 9.46 10,60 9,72 12,73* 8,92 12
DO mg/L 0* 0* 2,6 3,85 4,32 3,3 >0
H2S mg/L 0,077 0,154 0,003 0,002 0.01 0 (-)
pH - 7,6 7,4 7,6 7,9 8,3 7,7 5 -9
NO3- mg/L 1,4 1,99 0,64 1,15 2,61 2,65 20
PO4-3_ mg/L 0,21 0,21 0,14 0,16 0,23 0,20 5
OUTLET
Suhu 0C 26.85 26.6 26.05 26.6 26.5 26.7 Deviasi 5
TDS mg/L 227 197 204 174 115 17.5 2000
TSS mg/L 9 14 14.5 3 47 26 400
Fe mg/L 0.1 0.15 0.13 0.02 0.20 0.93 (-)
COD mg/L 16.98 17.44 18.43 14.58 15.25 20.42 100
BOD mg/L 7.85 9.79 12.25* 6.37 12.63* 11.72 12
DO mg/L 0 0 1.93 3.2 1.5 2.1 >0
H2S mg/L 0.285 0.009 0 0.176 0.078 0 (-)
pH - 7.2 7.3 7.4 7.1 7.1 7.2 5 -9
NO3-2 mg/L 1.81 2.14 0.75 0.69 4.72 2.42 20
PO4-3 mg/L 0.25 0.19 0.11 0.22 0.30 0.24 5
Keterangan : *: melewati baku mutu; (-) : tidak ada dipersyaratkan; -:tidak ada dataSumber : diolah dari laporan PLTA Saguling Tahun 2005 -2010
152
Lampiran 2. Kualitas Air Rata-rata Median inlet dan outlet di PLTA Cirata Tahun 2005 -2010
Parameter SatuanTahun ke - Baku Mutu
Kelas IVPP
No. 82/2001
2005 2006 2007 2008 2009 2010
INLET
Suhu 0C 27,9 27,5 27,9 28,2 28,3 27,7 Deviasi 5
TDS mg/L 160 146 15,7 123 75 112 2000
TSS mg/L 17,2 15,8 7,2 3,6 7,4 3,6 400
Fe mg/L 0,34 0,23 0,2 0,07 0,04 0,27 (-)
COD mg/L 18,84 23,60 16,3 17,42 14.22 16,83 100
BOD mg/L 10,44 14,36 * 8,5 8,82 8,85 10,94 12
DO mg/L 5,65 5,17 3,50 3,72 3.77 3,77 >0
H2S mg/L - - - 0,009 0,005 0,057 (-)
pH - 7,7 7,2 7,5 7,6 7,7 7,6 5 -9
NO3-2 mg/L 0.03 0,04 0,6 1,23 2,03 1,53 20
PO4-3 mg/L 0,35 0,32 0,20 0,32 0,23 0,27 5
OUTLET
Suhu 0C 25,8 28 27,5 28,3 27,3 27,5 Deviasi 5
TDS mg/L 129 142 167 141 101 150 2000
TSS mg/L 70,3 14 11,6 4 12,1 2,4 400
Fe mg/L 4,36 0,38 0,20 0,06 0,33 0,05 (-)
COD mg/L 18,04 23,44 13,70 15,57 10,72 13,66 100
BOD mg/L 9,49 15,85* 6,70 8,97 6,28 8,08 12
DO mg/L 7,2 5,5 3.1 4,6 2,1 2 >0
H2S mg/L 0 0 0 0 0 0,002 (-)
pH - 7,4 7,4 7,4 7,3 7,4 7 5 -9
NO3-2 mg/L 0,52 0,17 0,60 1,61 1,38 3,45 20
PO4-3 mg/L 0,02 0,11 0,3 0,35 0,26 0,26 5
Keterangan : *: melewati baku mutu; (-) : tidak ada dipersyaratkan; -:tidak ada dataSumber : diolah dari laporan PLTA Cirata Tahun 2005 -2010
153
Lampiran 3. Kualitas Air Rata-rata Median inlet dan outlet di PLTA Tanggari I Tahun 2005 -2010
Parameter Satuan Tahun ke - Baku Mutu Kelas IV
2005 2006 2007 2008 2009 2010 PP No.82/2001
INLET TANGGARI I
Suhu 0C 24.0 26.0 29.8 28.5 28.1 27.4 Deviasi 5
TDS mg/L 128 121 214 301 299 62 2000
TSS mg/L 12.4 12.2 8.4 18.0 24.9 51.6 400
Fe mg/L 0.28 0.24 0.46 0.01 2.65 0.02 (-)
COD mg/L 18.01 19.90 7.15 9.41 10.40 - 100
BOD mg/L 6.01 6.60 1.00 2.37 2.95 - 12
DO mg/L - - - - - - >0
H2S mg/L 0 - - - 0.002 - (-)
pH - 6.7 6.9 6.7 7.5 7.0 7.2 5 -9
NO3-2 mg/L 1.06 0.50 3.74 3.51 5.50 0.92 20
PO4-3_ mg/L 0.00 0.00 - - - 0.13 5
OUTLET TANGGARI I
Suhu 0C 24.5 26.0 30.0 29.3 28.6 27.3 Deviasi 5
TDS mg/L 132 122 159 368 312 63 2000
TSS mg/L 11.1 11.8 18.8 28.5 26.4 69.6 400
Fe mg/L 0.36 0.30 0.16 0.00 3.40 0.02 (-)
COD mg/L 18.45 20.25 15.45 11.26 11.35 - 100
BOD mg/L 5.93 7.00 2.55 2.72 2.74 - 12
DO mg/L - - - - - - >0
H2S mg/L - - - - 0.002 - (-)
pH - 6.7 6.9 7.2 7.2 6.9 7.3 5 -9
NO3-2 mg/L 0.86 0.61 4.12 4.41 5.42 1.10 20
PO4-3 mg/L 0.00 0.00 - - - 0.14 5
Keterangan : *: melewati baku mutu; (-) : tidak ada dipersyaratkan; -: tidak ada data
Sumber : diolah dari laporan PLTA TANGGARI I Tahun 2005 -2010
154
Lampiran 4. Kualitas Air Rata-rata Median inlet dan outlet di PLTA Tanggari II Tahun 2005 -2010
Parameter SatuanTahun ke - Baku Mutu
Kelas IVPP
No.82/2001
2005 2006 2007 2008 2009 2010
PLTA TANGGARI II
Suhu 0C 29.8 25.4 29.7 29.4 29.3 27.6 Deviasi 5
TDS mg/L 115 121 182 317 203 123 2000
TSS mg/L 12.4 12.9 6.2 20.9 18.9 16.0 400
Fe mg/L 0.00 0.32 0.14 - 2.70 0.02 (-)
COD mg/L 15.60 22.50 6.10 11.00 0.00 - 100
BOD mg/L 3.33 8.45 2.30 2.25 0.00 - 12
DO mg/L - - - - - - >0
H2S mg/L - - 0.001 - 0.0015 - (-)
pH - 6.9 6.9 7.0 7.4 7.2 7.3 5 -9
NO3- mg/L 0.66 0.50 - 5.37 4.80 1.20 20
PO4-3_ mg/L - 0.16 - - - 0.08 5
OUTLET PLTA TANGGARI II
Suhu 0C 29.9 26.7 29.8 29.7 30.1 27.3 Deviasi 5
TDS mg/L 111 119 162 318 221 123 2000
TSS mg/L 16.0 16. 5 18.4 21.5 17.9 17. 5 400
Fe mg/L 0.00 0.32 0.15 3.10 0.03 (-)
COD mg/L 10.99 25.85 17.65 12.18 0.00 - 100
BOD mg/L 2.05 8.85 2.00 3.48 0.00 - 12
DO mg/L - - - - - >0
H2S mg/L 0 - 0.001 - 0.002 0 (-)
pH - 6.7 6.9 7.2 7.6 7.1 7.3 5 -9
NO3- mg/L 0.56 0.50 - 6.01 5.85 1.25 20
PO4-3_ mg/L - 0.21 - - - 0.06 5
Keterangan : *: melewati baku mutu; (-) : tidak ada dipersyaratkan; -: tidak ada dataSumber : diolah dari laporan PLTA TANGGARI II Tahun 2005 -2010
155
Lampiran 5 Dinamika Sebaran Kualitas Air inlet dan outlet di PLTA Saguling Tahun 2005-2010
Parameter Satuan
Tahun ke- Baku mutu
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Kelas IV PP
no.82/2001Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks.
INLET
Suhu 0C 26.3 27.9 26.2 27.7 25.8 27 26 26.8 26.9 27.6 26.9 27.3 Deviasi 5
TDS mg/L 153 268 148 257 170 260 141 179 92 143.7 122.3 158.7 2000
TSS mg/L 9 26.5 9 13 3.2 54 2.5 7.3 2.8 9.56667 4.3 12.9 400
Fe mg/L 0.03 0.42 0.04 0.18 0 0.13 0 0.41 0 0.469 0.05 0.861 (-)
COD mg/L 8.89 31.88 15 20.72 12.19 34.5 11.52 26.23 16.83 24.66 13.21 16.91 100
BOD mg/L 4.49 16.94 6.85 11.3 6.77 21.35 5.44 15.01 12.3 14.53 8.78 12.33 12
DO mg/L 0 0 0 0 2.3 4.4 2.03 4.1 2.3 4.5 2.4 4.6 >0
H2S mg/L 0 0.289 0.027 1.216 0 0.091 0.0009 0.4 0 0.081 0 0.045 (-)
pH - 6. 9 8.6 7.3 8.6 0 7.9 7.4 8 8.1 8.4 7.3 8.3 5-9
NO3- mg/L 0.002 3.041 0.663 4.498 0.416 1.301 0.613 3.53 1.69 2.76 1.61 3.45 20
PO4-3 mg/L 0.075 0.251 0.048 0.29 0.112 0.16 0.13 0.53 0.163 0.29 0.165 0.313 5
OUTLET
Suhu 0C 25.8 27.5 25.5 27.5 26 26.6 25.6 27.9 25.9 27.3 26.2 26.9 Deviasi 5
TDS mg/L 144 300 148 270 170 310 169 205 108 188 127 178 2000
TSS mg/L 7 40.6 8 25 3 37 2.2 5.8 3.2 58 7.7 70 400
Fe mg/L 0.04 0.25 0.09 0.16 0 0.19 0 0.029 0 0.243 0 1.544 (-)
COD mg/L 4.94 23.19 14.52 22.91 15.3 31 13.74 15.3 13.03 29.96 10.04 29.85 100
BOD mg/L 2.72 15.3 6.53 13.5 8.75 15.54 5.77 6.56 10.42 17.98 4.52 17.91 12
DO mg/L 0 0 0 0 0.4 2.1 2.8 5 0.7 5.6 1.8 2.4 >0
H2S mg/L 0 334 0 0.08 0 1 0.038 0.352 0.02 0.095 0 0.094 (-)
pH - 7.1 7.6 6.6 7.7 6.9 7.6 7.1 7.6 7.0 7.4 6.8 7.3 5-9
NO3- mg/L 0.001 3.043 0.448 4.688 0.488 0.897 0.46 2.3 1.38 5.981 0.92 3.911 20
PO4-3 mg/L 0.021 0.29 0.017 0.287 0.053 0.207 0.06 0.536 0.049 0.342 0.217 0.283 5Keterangan : * = melewati baku mutu, ** = lebig rendah dari baku mutu, (-) = tidak ada persyaratan; - : tidak ada data
156
Lampiran 6 Dinamika Sebaran Kualitas Air inlet dan outlet di PLTA Cirata Tahun 2005-2010
Parameter Satuan
Tahun ke- Baku mutu
2005 2006 2007 2008 2009 2010Kelas IV
PP no.82/2001Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks.
INLET
Suhu 0C 27.9 27.9 27. 28 26. 7 28.6 28.0 28.4 27.1 28.8 28.4 30.1 Deviasi 5
TDS mg/L 120 169 124 166.667 141 160 88 142 68 87.6 106 149 2000
TSS mg/L 9.3 26.5 11. 7 20.0 2.5 30.0 0.92 7.87 4.07 15.0 2.000 9.13 400
Fe mg/L 0.15 0.46 0.19 0.36 0.00 0.31 0.00 0.15 0.03 0.09 0.23 0.41 (-)
COD mg/L 14.49 24.39 19.55 26.01 14.24 19.65 14.44 19.73 11.05 16.23 14.26 17.9 100
BOD mg/L 5.80 13.90 8.20 16.39 6.68 11.593 5.78 12.36 6.97 10.49 6.76 11.3 12
DO mg/L 4.67 6.52 4.30 6.52 3.03 3.98 3.26 4.10 3.17 4.10 3.53 4.33 >0
H2S mg/L 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.125 0.000 0.161 0.002 0.150 0.000 0.168 (-)
pH - 7.1 8.5 6.7 7.4 7.4 7.8 7.3 7.7 7.5 7.9 7.3 7.8 5-9
NO3- mg/L 0.000 3.041 0.025 0.092 0.411 0.750 0.489 1.303 1.150 3.067 0.460 1.687 20
PO4-3 mg/L 0.219 0.485 0.150 0.573 0.144 0.219 0.173 0.483 0.181 0.358 0.254 0.354 5
OUTLET
Suhu 0C 25.8 25.8 26.5 30.5 27.0 27.9 27.1 29.3 27.000 28.0 27.4 27.900 Deviasi 5
TDS mg/L 58 165 113 164 157 180 118 170 87. 147 135 185 2000
TSS mg/L 19.0 30,8 10.0 30,8 3.2 18. 3.4 8.6 2.4 36. 1.8 15. 400
Fe mg/L 0.15 54.68 0.14 54.68 0.16 0.34 0.005 0.39 0.054 0.69 0.023 0.47 (-)
COD mg/L 10.96 30.16 14.02 30.16 9.71 19.03 5.03 27.08 8.04 12.62 7.92 20.19 100
BOD mg/L 4.20 18.40 8.84 18.50 5.34 11.40 4.02 18.95 5.53 8.83 4.75 10.92 12
DO mg/L 1.78 8.80 1.90 7.2 0.20 4.24 3.80 7.30 1.50 3.40 1.70 6.70 >0
H2S mg/L 0.00 0.033 0.000 0.0 0.010 0.010 0.000 0.000 0.030 0.030 0.002 0.127 (-)
pH - 7.1 7.7 6.8 7.8 7.3 8.0 7.2 7.5 6.8 7.9 6.9 7.2 5-9
NO3- mg/L 0.000 2.810 0.058 0.58 0.575 0.692 0.488 5.061 1.150 7.281 1.150 3.911 20
PO4-3 mg/L 0.000 0.283 0.042 0.18 0.035 0.299 0.036 0.495 0.193 0.374 0.055 0.369 5
Keterangan : * = melewati baku mutu, ** = lebig rendah dari baku mutu, (-) = tidak ada persyaratan; - : tidak ada data
157
Lampiran 7 Dinamika Sebaran Kualitas Air inlet dan outlet di PLTA Tanggari I Tahun 2005-2010
Parameter Satuan
Tahun ke- Baku mutu
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Kelas IV PP
no.82/2001Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks.
INLET
Suhu 0C 24 24 24 28.2 27.1 31.2 - - 27.5 30.1 27.1 27.7 Deviasi 5
TDS mg/L 126 130 104 157 122 361 121 342 13 310 3.1 177 2000
TSS mg/L 9.6 15.1 10.2 12.5 7.78 21.49 2.2 22 13.2 30.3 1.8 120 400
Fe mg/L 0.28 0.28 0.01 0.28 0 0.96 0.01 0.01 0.68 3.1 0.01 0.04 (-)
COD mg/L 6.41 29.6 8 29.6 5.02 8 5.2 10.8 10.11 10.8 - - 100
BOD mg/L 2.12 9.9 2.1 9.9 1 4.01 1.4 2.8 2.5 3.1 - - 12
DO mg/L 0 0 - - 0 0 - - - - - - >0
H2S mg/L 0 0 - - 0.001 3.44 0 0 0.0001 0.004 0 0 (-)
pH - 6.5 6.9 6.79 7.5 6.16 7.1 7.2 7.81 6.7 7.2 7.06 8.72 5-9
NO3- mg/L 1 1.12 0.2 0.9 0.8 4.86 0.03 4.56 4.11 5.78 0.8 1.2 20
PO4-3 mg/L - - 0.21 0.21 - - - - - - 0.09 0.18 5
OUTLET
Suhu 0C 24 25 24 28.1 30.01 31.9 - - 28 30.2 27.04 27.5 Deviasi 5
TDS mg/L 130 134 107 153 120 240 365 371 27.8 369 3.9 174 2000
TSS mg/L 9 13.2 9.1 13.2 6.8 124.6 26 31 25.8 30 2.2 142 400
Fe mg/L 0.36 0.36 0 0.36 0 0.93 0 0 2.5 3.4 0.02 0.07 (-)
COD mg/L 6.39 30.5 9.7 30.5 4.2 42 11.21 11.3 11.21 11.4 - - 100
BOD mg/L 1.76 10.1 2.8 10.1 1.8 45 2.72 2.72 2.72 2.75 - - 12
DO mg/L 0 0 - - - - - - - - - - >0
H2S mg/L 0 0 - - 0.021 0.021 - - 0.0001 0.01 0 0 (-)
pH - 6.5 6.9 6.8 7.5 6.7 7.64 7.01 7.4 6.67 7.1 7.2 8.65 5-9
NO3- mg/L 0.82 0.9 0.5 0.9 0.5 5 4.3 4.51 5.28 5.81 0.72 2.9 20
PO4-3 mg/L - - 0.26 0.26 - - - - - - 0.06 0.2 5
Keterangan : * = melewati baku mutu, ** = lebig rendah dari baku mutu, (-) = tidak ada persyaratan; - : tidak ada data
158
Lampiran 8 Dinamika Sebaran Kualitas Air inlet dan outlet di PLTA Tanggari II Tahun 2005-2010
Parameter Satuan
Tahun ke- Baku mutu
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Kelas IV PP
no.82/2001Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks.
INLET
Suhu 0C 29.8 29.8 24 28.3 28.1 30.1 - - 28.4 30.1 27.2 28.1 Deviasi 5
TDS mg/L 107 123 107 152.5 122.03 240 119 371 32 372 119 172 2000
TSS mg/L 11.2 13.6 10.3 13.6 5.2 20.4 3.1 26 12.1 25 2.3 31.1 400
Fe mg/L 0 0 0.01 0.38 0 0.79 - - 0.7 5.2 0.003 0.03 (-)
COD mg/L 14.79 16.4 10 31 4.03 15 5.2 12.4 11.8 11.8 - - 100
BOD mg/L 2.44 4.21 2.1 9.8 1.2 4.4 1.9 2.8 3.1 3.1 - - 12
DO mg/L - - - - - - - - - - - - >0
H2S mg/L 0 0 0 0 0.001 0.001 - - 0.0001 0.04 0 0 (-)
pH - 6.8 6.9 6.3 7.7 - - 7.2 7.6 6.9 7.3 7.1 8.64 5-9
NO3- mg/L 0.21 1.1 0.25 1.1 - - 4.72 6.01 3.7 5.8 0.96 1.5 20
PO4-3 mg/L - - 0.16 0.16 - - - - - - 0 0.1 5
OUTLET
Suhu 0C 29.9 29.9 26 28.3 27.2 29.9 - - 28.2 30.1 27.2 28 Deviasi 5
TDS mg/L 104 118 104 149 120 236 120 361 60 360 120 171 2000
TSS mg/L 14.4 17.6 12.1 17.6 6.5 20.1 4.8 25.7 13.2 23.2 1.7 30.2 400
Fe mg/L 0 0 0 0.38 0 0.9 - - 3.1 4.2 0.03 0.05 (-)
COD mg/L 7.28 14.7 13 38.5 6.4 22 11.9 12.8 12.4 12.4 - - 100
BOD mg/L 1.62 2.48 2.8 10.9 1.2 3.8 2.15 3.9 3.7 3.7 - - 12
DO mg/L - - - - - - - - - - - - >0
H2S mg/L 0 0 - - 0.001 0.001 - - 0.001 0.004 0 0 (-)
pH - 6.5 6.9 6.4 7.5 - - 7.3 7.8 6.7 7.2 7.12 8.61 5-9
NO3- mg/L 0.3 0.82 0.35 0.9 - - 5.51 6.51 4.2 6.2 0.93 1.4 20
PO4-3 mg/L - - 0.21 0.21 - - - - - - 0 0.1 5Keterangan : * = melewati baku mutu, ** = lebig rendah dari baku mutu, (-) = tidak ada persyaratan; - : tidak ada data
159
Lampiran 9. Rincian Total Economic Value (TEV) Jasa Lingkungan Sumberdaya Air di PLTA
Parameter Saguling Cirata Tanggari I Tanggari II
Power 2.158.000.000 1.426.000.000 9.103.600 10.878.615
Harga Jual 591,11 591,11 591,11 591,11
Potensi keuntungan listrik 1.275.615.380.000 842.922.860.000 5.381.228.996 6.430.458.113
Biaya per kWh 463 463 463 463
Biaya listrik 999.607.180.000 660.537.460.000 4.216.878.556 5.039.083.254
Nilai Benefit Listrik 276.008.200.000 182.385.400.000 1.164.350.440 1.391.374.859
Jumlah KJA 4.514 24.000 6.000 -
Ikan Mas 2.000 2.000 2.000 -
Ikan Nila 2.000 2.000 1.000 -
Harga Ikan Mas 14.000 14.000 15.000 -
Harga Ikan Nila 15.000 15.000 12.500 -
Nilai Ikan 261.812.000.000 1.392.000.000.000 255.000.000.000 -
Biaya Benih 1.482.000 1.482.000 1.100.000 -
Biaya Pakan 4.500.000 4.500.000 1.825.000 -
Biaya Obat 234.000 234.000 50.000 -
Biaya Lain 149.000 149.000 300.000 -
Biaya Produksi 28.731.610.000 152.760.000.000 19.650.000.000 -
Nilai Keuntungan Ikan 233.080.390.000 1.239.240.000.000 235.350.000.000 -
Jumlah Pengunjung 1.460 17.516 34.509 -
Biaya Transport 116.000 120.000 200.000 -
Biaya Akomodasi 33.000 30.000 70.000 -
Nilai Ekowisata 217.540.000 2.627.400.000 9.317.430.000 -
Luas Penghijauan (ha) 1.024 525 125 -
Simpan karbon/ha 194 194 194 -
Nilai Karbon/ton 179.091 179.091 179.091 -
Nilai Karbon 35.577.531.494 18.250.856.732 4.342.960.388 -
Luas DAS 2.228.300.000 4.652.860.000 247.080.000 -
Rata-rata curah hujan 3,378 2,557 1,936 -
Debit air (inlet PLTA) 3.405.888.000 5.739.552.000 315.360.000 -
Penguapan 1,116 1,087 0,650
Harga air (energi) 202 202 202 -
Nilai Cadangan Air Tanah 330.174.373.200 222.230.744.400 481.745.760 -
Sedimentasi 4.200.000 4.760.000 2.000.000 -
Harga air (energi) 202 202 202 -
Nilai Cadangan Air Waduk 848.400.000 961.520.000 404.000.000 -
Jumlah Penduduk 618.479 234.322 26.558 -
WTP 12.500 12.500 12.500 -
Option Value 7.730.987.500 2.929.025.000 331.975.000 -
Jumlah KK 154.620 58.581 6.640 -
WTP 15.000 15.000 15.000 -
Preservation Value 2.319.296.250 878.707.500 99.592.500 -
Nilai Guna Langsung 509.306.130.000 1.424.252.800.000 245.831.780.440 1.391.374.859
Nilai Guna Tidak Langsung 366.600.304.694 241.443.121.132 5.228.706.148 -
Nilai Bukan Guna 10.050.283.750 3.807.732.500 431.567.500 -
TEV 885.956.718.444 1.669.503.653.632 251.492.054.088 1.391.374.859
Jabar 2.555.460.372.077 Tanggari Sulut 252.883.428.946
160
Lampiran 10. Model Perlindungan dan Pengelolaan Sumberdaya Air di PLTA Berbasis Sukarela
TAMPILAN MODEL
Model Perlindungan dan Pengelolaan Sumberdaya Air di PLTA Berbasis SukarelaModel Perlindungan dan Pengelolaan Sumberdaya Air di PLTA
161
PERSAMAAN MODEL
NO PARAMETER NILAI / PERSAMAAN
1 AME Penduduk ABS(((Penduduk - 'Penduduk Aktual') / 'Penduduk Aktual') * 100) + (0 * 'Batas AME')
2 Batas AME 10
3 Benefit Ikan 'Nilai Ikan Total' - 'Biaya Produksi Ikan'
4 Benefit Listrik 'Nilai Listrik' - 'Biaya Listrik'
5 Biaya Akomodasi 33000
6 Biaya KJA 6365000
7 Biaya Listrik 'Power Listrik' * 'Biaya Produksi Listrik'
8 Biaya Produksi Ikan 'Jumlah KJA' * 'Biaya KJA'
9 Biaya Produksi Listrik 235
10 Biaya Transportasi 116000
11 Debit air 83.6 * 3600
12 eg 0.94
13 FP_Debit air 0.005 * FP_Hutan
14 FP_Hutan - 0.111
15 FP_Nilai Karbon 0.07
16 FP_Penduduk 0.015
17 FP_Pengunjung 0.01
18 FP_Permukiman 0.262 - ('Indeks Pemberdayaan Masyarakat' / 10)
19 FP_Produksi Ikan 'FP_Debit air'
20 FP_Sawah -0.00018
21 FP_Semak 0.75
22 H_efektif 631.27
23 Harga Air Energi 202
24 Harga Ikan Mas 14000
25 Harga Ikan Nila 15000
26 Harga Listrik 591,11
27 Hutan MAX(38139.8,0)
28 Indeks Pemberdayaan Masyarakat
('Kinerja Lingkungan PLTA' * 35000) / Penduduk
29 Input 2283000000 * 3.378
30 Jumlah KJA 4514
162
31 K_power 1.251765
32 Kapasitas Serapan Karbon
194
33 Kinerja Lingkungan PLTA
= 'CSR Listrik' / 15000000000
34 konstanta 9.81
35 Kurs US$ 9425,85
36 Lahan Terbuka MAX((MIN(('Luas DAS' - (Hutan + Permukiman+ Sawah + Semak + 'Luas Waduk Cirata' + 'Luas Waduk Saguling')),('Luas DAS' - Hutan -Permukiman - Sawah - Semak - 'Luas Waduk Cirata' - 'Luas Waduk Saguling'))), 0)
37 LP_Debit air 'Debit air' * 'FP_Debit air'
38 LP_Hutan Hutan * FP_Hutan
39 LP_Nilai Karbon 'Nilai Karbon' * 'FP_Nilai Karbon'
40 LP_Penduduk Penduduk * FP_Penduduk
41 LP_Pengunjung Pengunjung * FP_Pengunjung
42 LP_Permukiman LPermukiman * FP_Permukiman
43 LP_Produksi Ikan 'Produksi Ikan' * 'FP_Produksi Ikan'
44 LP_Sawah Sawah * FP_Sawah
45 LP_Semak LSemak * FP_Semak
46 LPermukiman 39782.58
47 LSemak 1060.72
48 Luas DAS 222830
49 Luas Penghijauan 1024
50 Luas Waduk Cirata 9814.12
51 Luas Waduk Saguling 13508.88
52 Nilai Air Tanah (Input - Output) * 'Harga Air Energi'
53 Nilai Air Waduk Sedimentasi * 'Harga Air Energi'
54 Nilai Bukan Guna 'Nilai Pilihan' + 'Nilai Kelestarian'
55 Nilai Ekowisata Pengunjung * ('Biaya Akomodasi' + 'Biaya Transportasi')
56 Nilai Guna 'Benefit Listrik' + 'Benefit Ikan' + 'Nilai Ekowisata' + 'Nilai Serapan Karbon' + 'Nilai Air Tanah' + 'Nilai Air Waduk'
57 Nilai Ikan Mas 'Jumlah KJA' * 'Produksi Ikan' * 'Harga Ikan Mas'
163
58 Nilai Ikan Nila 'Jumlah KJA' * 'Produksi Ikan' * 'Harga Ikan Nila'
59 Nilai Ikan Total 'Nilai Ikan Mas' + 'Nilai Ikan Nila'
60 Nilai Karbon 19 * 'Kurs US$'
61 Nilai Kelestarian Penduduk * 'WTP Kelestarian'
62 Nilai Listrik 'Power Listrik' * 'Harga Listrik'
63 Nilai Pilihan Penduduk * 'WTP Pilihan' / 4
64 Nilai Serapan Karbon 'Luas Penghijauan' * 'Kapasitas Serapan Karbon' * 'Nilai Karbon'
65 Penduduk Aktual IF(TIME<2011,(GRAPH(TIME,2001,1,{618479,636798,650051,667392,670640,676320,692699,719785,736943,744181})),Penduduk)
66 Pengunjung 1460
67 Permukiman MIN(LPermukiman,('Luas DAS' - (Hutan + Sawah + Semak + 'Luas Waduk Cirata' + 'Luas Waduk Saguling')))
68 Power Listrik (konstanta * H_efektif * eg * 'Debit air') * K_power
69 Produksi Ikan 2000
70 Sawah 64940.11
71 Sedimentasi 4200000
72 Semak MAX((MIN(LSemak,('Luas DAS' - (Hutan + LPermukiman + Sawah + 'Luas Waduk Cirata' + 'Luas Waduk Saguling')))),0)
73 TEV 'Nilai Guna' + 'Nilai Bukan Guna'
74 WTP Kelestarian 15000
75 WTP Pilihan 12500