KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM
-
Upload
selvia-wellyanti -
Category
Documents
-
view
170 -
download
1
Transcript of KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM
1
APAKAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DI
INDONESIA SELAMA INI EFEKTIF1
Tulus Tambunan
Pusat Studi Industri, UKM dan Persaingan Usaha
Universitas Trisakti
PERAN UKM
Sudah umum diakui bahwa usaha kecil (UK)2dan usaha menengah (UM), atau umum
disebut UKM mempunyai peran yang sangat penting di dalam perekonomian Indonesia. Selama
ini peran yang selalu disebut pertama adalah UKM menyerap banyak tenaga kerja sehingga
mengurangi jumlah pengangguran dan berarti selanjutnya mengurangi tingkat kemiskinan di
dalam negeri. Peran lainnya yang juga sering disebut adalah sumbangan dari kelompok usaha
tersebut terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB), yang memang menunjukkan
peningkatan setiap tahun. Selain itu, dalam beberapa tahun belakangan ini, tepatnya setelah krisis
ekonomi Asia 1997/98, UKM mulai sering disebut mempunyai peran lain yang juga tidak kalah
penting, yakni potensinya sebagai salah satu motor penggerak perkembangan/pertumbuhan
ekspor, khususnya manufaktur. Namun demikian, untuk peran yang satu ini, UKM Indonesia
masih relatif lemah dibandingkan usaha besar (UB) seperti yang dapat dilihat di Tabel 1, maupun
dibandingkan UKM di banyak negara sedang berkembang (NSB) lainnya di Asia, termasuk
China, Thailand dan Malaysia (Tambunan, 2009a).
Tabel 1: Nilai Ekspor Non-migas Indonesia menurut Skala Usaha, 2006-2007 Tahun Unit Skala Usaha
UK UM UKM UB Total
2006
Rp miliar
US$ miliar
%
30.365
3.501
5,00
91.946
10.602
15,15
122.311
14.103
20,15
484.775
55.896
79,85
607.086
69.998
100,00
2007 Rp miliar
US$ miliar
%
35.508
4.129
4,98
107.314
12.479
15,04
142.822
16.607
20,02
570.594
66.349
79,98
713.416
82.957
100,00
Sumber: BPS (Berita Resmi Statistik, No. 28/05/Th XI, 30 Mei 2008).
UKM Indonesia juga hingga saat ini masih lemah dalam kegiatan subcontracting dengan
UB, termasuk dengan perusahaan-perusahaan asing di dalam negeri. UKM Indonesia pada
umumnya belum siap dalam hal teknologi dan sumber daya manusia (SDM) sebagai
subkontraktor-subkontraktor yang kompetitif. Di sektor industri manufaktur, kebanyakan UKM
Indonesia adalah unit-unit produksi yang membuat barang-barang jadi yang sederhana dengan
kandungan teknologi rendah. Jumlah UKM yang membuat komponen-komponen mesin atau
otomotif di Indonesia masih relatif sangat sedikit (Tambunan, 2010).
PERMASALAHAN UTAMA UKM
Perkembangan UKM di NSB dihalangi oleh banyak hambatan. Hambatan-hambatan tersebut (atau intensitasnya) bisa berbeda di satu daerah dengan di daerah lain atau antara perdesaan dan perkotaan, atau
antar sektor, atau antar sesama perusahaan di sektor yang sama. Namun demikian, ada sejumlah persoalan
yang umum untuk semua UKM di negara manapun juga, khususnya di dalam kelompok NSB. Rintangan-rintangan yang umum tersebut termasuk keterbatasan modal kerja maupun investasi, kesulitan-kesulitan
1Workshop, BPPT, 8 April 2010.
2Termasuk usaha mikro (UMI), yakni skala usaha paling kecil berdasarkan aset awal (tidak termasuk tanah dan
bangunan) dan omset rata-rata per tahun (menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2008 mengenai Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah), maupun berdasarkan jumlah pekerja, yakni kurang dari 5 orang (menurut definisi Biro Pusat
Statistik/BPS).
2
dalam pemasaran, distribusi dan pengadaan bahan baku dan input lainnya, keterbatasan akses ke informasi
mengenai peluang pasar dan lainnya, keterbatasan pekerja dengan keahlian tinggi (kualitas SDM rendah)
dan kemampuan teknologi, biaya transportasi dan enerji yang tinggi; keterbatasan komunikasi, biaya tinggi
akibat prosedur administrasi dan birokrasi yang kompleks khususnya dalam pengurusan ijin usaha, dan ketidakpastian akibat peraturan-peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang tidak jelas atau
tak menentu arahnya.
Survei BPS 2003 dan 2005 terhadap usaha mikro (UMI) dan usaha kecil (UK) di industri manufaktur menunjukkan permasalahan-permasalahan klasik dari kelompok usaha ini di Indonesia (Tabel
2). Seperti yang dapat dilihat, permasalahan utama yang dihadapi sebagian besar dari responden adalah
keterbatasan modal dan kesulitan pemasaran. Walaupun banyak skim-skim kredit khusus bagi pengusaha kecil, sebagian besar dari responden terutama yang berlokasi di pedalaman/perdesaan tidak pernah
mendapatkan kredit dari bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya. Mereka tergantung sepenuhnya
pada uang/tabungan mereka sendiri, uang/bantuan dan dari saudara/kenalan atau dari sumber-sumber
informal untuk mendanai kegiatan produksi mereka. Alasannya bisa macam-macam; ada yang tidak pernah dengar atau menyadari adanya skim-skim khusus tersebut, ada yang pernah mencoba tetapi ditolak karena
usahanya dianggap tidak layak untuk didanai atau mengundurkan diri karena ruwetnya prosedur
administrasi, atau tidak bisa memenuhi persyaratan-persyaratan termasuk penyediaan jaminan, atau ada banyak pengusaha kecil yang dari awalnya memang tidak berkeinginan meminjam dari lembaga-lembaga
keuangan formal.
Dalam hal pemasaran, UKM pada umumnya tidak punya sumber-sumber daya untuk mencari, mengembangkan atau memperluas pasar-pasar mereka sendiri. Sebaliknya, mereka sangat tergantung pada
mitra dagang mereka (misalnya pedagang keliling, pengumpul, atau trading house) untuk memasarkan
produk-produk mereka, atau tergantung pada konsumen yang datang langsung ke tempat-tempat produksi
mereka atau, walaupun persentasenya kecil sekali, melalui keterkaitan produksi dengan UB lewat sistem subcontracting.
Tabel 2: Problem-problem utama yang dihadapi UMI dan UK manufaktur di Indonesia,
2003 & 2005 UK UMI Total UK & UMI
2003 2005 2003 2005 2003 2005
Tidak ada problem 46.485
(19,48)*
95.396
(41,43)
627.650
(25,21)
1.229.953
(52,93)
674.135
(24,71)
1.325.349
(51,89)
Punya problem
-Bahan baku
-Pemasaran
-Modal
-Transportasi/Distribusi
-Energi
-Biaya tenaga kerja
-Lainnya
192.097
(80,52)
20.362 (10,60)
77.175
(40,18)
71.001
(39,96)
5.027
(2,62)
40.605
(2,4)
2.335
(1,22) 11.592
(6,04)
134.851
(58,57)
32.998 (24,47)
44.020
(32,64)
48.173
(35,72)
2.397
(1,77)
690
(0,51)
1.052
(0,78) 5.521
(4,09)
1.862.468
(74,79)
400.915 (21,53)
552.231
(29,65)
643.628
(34,56)
49.918
(2,68)
50.815
(2,73)
14.315
(0,77) 150.646
(8,09)
1.093.819
(47.07)
248.904 (22.76)
366.623
(33,52)
350.224
(32,02)
24.157
(2,20)
2.374
(0,22)
13.015
(1,19) 88.522
(8,09)
2.054.565
(75,29)
421.277 (20,50)
629.406
(30,63)
714.629
(34,78)
54.945
(2,67)
55.420
(2,7)
16.650
(0,81) 162.238
(7,90)
1.228.670
(48,11)
281.902 (22,94)
410.643
(33,42)
398.397
(32,43)
.26.554
(2,16)
3.064
(0,25)
14.067
(1,14) 94.043
(7,65)
Total UK & UMI 238.582
(100,00)
230.247
(100,00)
2.490.118
(100,00)
2.323.772
(100,00)
2.728.700
(100,00)
2.554.019
(100,00)
Keterangan: * = persentase distribusi
Sumber: BPS
Hal yang menarik dari hasil survei ini adalah bahwa walaupun sudah bukan rahasia lagi bahwa
penyebab utama rendahnya produktivitas di UKM di Indonesia (dan di NSB pada umumnya) adalah keterbatasan teknologi dan SDM, Tabel 2 menunjukkan bahwa UMI dan UK yang disurvei tidak menyebut
keterbatasan teknologi dan SDM sebagai salah satu permasalahan serius mereka. Seperti yang telah
3
dijelaskan sebelumnya, hal ini bisa karena mereka tidak sadar bahwa produktivitas mereka rendah (karena
memang tidak mudah mengukurnya). Biasanya saat mereka menghadapi kesulitan pemasaran karena
produk-produk yang mereka buat tidak kompetitif dibandingkan produk-produk yang sama buatan UB atau
impor, mereka akan gampang mengatakan ada distorsi pasar. Padahal hal itu bisa karena daya saing dari produk-produk mereka memang rendah dan ini disebabkan karena rendahnya teknologi atau kualitas SDM
mereka.
Semua kendala tersebut di atas secara bersama menjadi penyebab relatif lebih buruknya kinerja UKM dibandingkan kinerja UB. Walaupun sumbangan UKM terhadap pembentukan atau pertumbuhan
PDB tidak jelek, namun itu tidak harus berarti kualitas dari sumbangan tersebut bagus. Yang dimaksud
kualitas dari sumbangan tersebut adalah tingkat produktivitas. Pertanyaannya: apakah peningkatan output yang dihasilkan oleh UKM lebih dikarenakan kenaikkan tingkat produktivitas atau semata-mata karena
jumlah UKM yang banyak dan terus bertambah setiap tahunnya?
Produktivitas bisa dalam arti total produktivitas dari semua sumber atau faktor produksi yang
digunakan (tenaga kerja, modal, enerji dan input lainnya), atau parsial dari masing-masing dari faktor-faktor produkti tersebut. Misalnya, produktivitas tenaga kerja. Dengan cara sederhana, tingkat
produktivitas tenaga kerja dapat dikaji dengan menghitung rasio nilai tambah terhadap jumlah tenaga
kerja, Gambar 1 dan Gambar 2 membuktikan bahwa memang productivitas tenaga kerja di UKM jauh lebih kecil daripada di UB. Di dalam kelompok UKM itu sendiri, produktivitas tenaga kerja di UMI dan
UK (sebut UMK) lebih rendah dibandingkan UM (usaha menengah). Memang, sudah banyak literatur
mengenai UKM di NSB yang menunjukkan bahwa salah satu ciri utama dari UKM di NSB, yang membedakan mereka dari UKM di negara-negara maju (NM), adalah rendahnya tingkat produktivitasnya.
Khusus di industri manufaktur, berdasarkan data BPS untuk periode 2001-2005, produktivitas tenaga kerja
di UM dan UB pada tahun 2005 tercatat sebesar Rp 257,58 juta per pekerja, sedangkan di UMK hanya
sebanyak Rp 19,83 juta per pekerja. Pada tahun 2001, produktivitas tenaga kerja di kelompok usaha pertama tersebut tercatat sebanyak Rp 167,70 juta dibandingkan hanya sekitar Rp 10,98 juta di kelompok usaha
kedua itu (Gambar 2).
Gambar 1: Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja di UMK, UM dan UB di Semua Sektor
Ekonomi, (Rp/pekerja)
Sumber: BPS
Gambar 2: Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja di Industri Manufaktur Menurut
Kelompok Usaha (juta rupiah per pekerja)
Sumber: BPS
4
Alternatif lainnya untuk mengukur tingkat kesejahteraan di UKM adalah dengan menghitung
tingkat produktivitas unit usaha, yakni nilai output atau nilai tambah per unit usaha, seperti yang
ditunjukkan oleh tiga gambar berikut untuk, masing-masing, UMK, UM dan UB. Dapat dilihat bahwa di
dalam kelompok UKM, tingkat produktivitas unit usaha dari UMK lebih rendah daripada UM. Meskipun produktivitas unit usaha dari UMK terus meningkat secara konsisten, nilainya masih tetap kecil, terutama
dibandingkan dengan UB yang mencapai triliun rupiah per perusahaan (Tambunan, 2009b).
Selain nilai output/tambah per unit usaha, tingkat produktivitas usaha bisa juga diukur oleh rata-rata nilai penjualan/omset per hari per usaha. Nilai omset adalah nilai keseluruhan atas barang dan jasa
yang diperdagangkan. Data BPS menunjukkan bahwa UMI memiliki nilai omset rata-rata per hari per unit
usaha jauh lebih rendah dibandingkan UK, apalagi dibandingkan UM. Sedangkan rasio yang sama di kedua sub-kelompok usaha tersebut lebih tinggi daripada rata-rata UKM (Gambar 6).
Gambar 3: Produktivitas Unit Usaha dari Kelompok UMK (juta rupiah)
Sumber: BPS
Gambar 4: Produktivitas Unit Usaha dari Kelompok UM (milyar rupiah)
Sumber: BPS
Gambar 5: Produktivitas Unit Usaha dari Kelompok UB (triliun rupiah)
Sumber: BPS
5
Gambar 6: Rata-rata Nilai Omset/hari/unit usaha dari UKM menurut Sub-Kelompok
Usaha, 2006 (ribu Rp)
Sumber: BPS
APAKAH KEBIJAKAN UKM EFEKTIF?
Sudah sejak awal era Orde Baru hingga sekarang pemerintah Indonesia begitu banyak
menjalankan berbagai macam program untuk mendorong perkembangan dan pertumbuhan
UKM. Hampir semua tipe atau bentuk intervensi pemerintah untuk mendukung pembangunan
UKM sudah dicoba sejak era Orde Baru sampai sekarang. Tipe-tipe tersebut termasuk kredit
bersubsidi, seperti kredit untuk petani-petani kecil dan koperasi-koperasi desa (KUD), kredit
skala kecil (KIK, KMKP, KUK), dan kredit untuk unit-unit desa (KUPEDES); pengembangan
bank-bank pembangunan perdesaan untuk membiayai kegiatan-kegiatan ekonomi skala kecil
(BKD); pelatihan-pelatihan SDM seperti dalam teknik produksi, manajemen umum (MS/MUK),
sistem-sistem kualitas manajemen ISO-9000, dan kewirausahaan (CEFE, AMT); pemberian
bantuan untuk pengawasan kualitas total dan pengembangan teknologi; penyediaan akses ke
internet (WARSI); penyediaan input-input bersubsidi; fasilitasi; pendirian koperasi untuk UK
manufaktur (KOPINKRA) di sentra-sentra; pembangunan infrastruktur dan lokasi-lokasi khusus
bagi UK manufaktur (industrial estates atau Lingkungan Industri Kecil/LIK), program-program
kemitraan terutama skim Bapak-Angkat; klinik-klinik konsultansi bisnis kecil (KKB); pendirian
Dewan Pendukung Ekspor Indonesia (DPE); pendirian fasilitas-fasilitas pelayanan umum di
sentra-sentra (UPT); dan pelaksanaan sebuah sistem inkubator untuk mendukung pengembangan
pengusaha-pengusaha baru.
Hingga saat ini belum pernah ada suatu evaluasi yang komprehensif terhadap hasil-hasil
dari semua program yang pernah atau sedang dilakukan oleh pemerintah untuk membantu UKM.
Walaupun ada upaya-upaya yang pernah dilakukan oleh sejumlah lembaga/peneliti untuk
mengkaji keberhasilan program-program pengembangan UKM dari pemerintah. Misalnya,
Lembaga Penelitian SMERU yang mencoba memetakan program-program paling penting untuk
UK dan UMI di Indonesia selama periode 1997-2003, baik dari pemerintah maupun yang
diberikan oleh pihak swasta (SMERU, 2004). Walaupun hasilnya tidak terlalu bisa menjawab
apakah kebijakan UKM selama ini efektif. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 3, hasil pemetaan
dari SMERU tersebut menunjukkan bahwa selama periode tersebut ada 64 lembaga yang
melaksanakan program-program pengembangan UK dan UMI. Dari 594 program yang
teridentifikasi, dua pertiganya adalah dari pemerintah.3Lainnya, sekitar 18% diselenggarakan
oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga-lembaga donor sebanyak 8%,
bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya sekitar 5%, 2% dari perusahaan-perusahaan
swasta (UB), dan sisanya oleh badan-badan lain. Menurut laporannya, pada saat proses pemetaan
pemerintah masih menjalankan sebanyak 127 program.
3Skala dari setiap program bervariasi yang sangat tergantung pada jumlah dana, waktu, dan skop geografi.
6
Tabel 3: Jumlah dari lembaga dan program pengembangan UK dan UMI, 1997-2003
Lembaga Jumlah Program
Jumlah Masih berjalan
Jumlah %
Pemerintah
Bank/lembaga
keuangan
Perusahaan swasta
Lembaga donor
LSM
Lainnya
Total
13
7
10
8
20
6
64
388
31
12
46
109
8
594
127
25
12
15
79
8
266
32,7
80,7
100,0
32,6
72,5
100,0
44,8
Sumber: SMERU (2004).
Selanjutnya, Tabel 4 memperlihatkan tipe bantuan yang diberikan oleh program-program
tersebut. Jumlah dari kegiatan-kegiatan di dalam setiap program juga bervariasi, tetapi umumnya
berkisar dari satu sampai tiga. Dalam jumlah keseluruhannya, tipe-tipe yang paling umum adalah
pemberian pelatihan (22,9%), bantuan modal/kredit (17,3%), fasilitasi (16,1%), dan
diseminasi/introduksi teknologi-teknologi baru (15,2%). Data di tabel yang sama juga
menunjukkan bahwa dari semua lembaga-lembaga pelaksana tersebut, lembaga-lembaga
pemerintah memainkan peran paling menonjol (50,9%), diikuti oleh LSM (29,4%) dan lembaga-
lembaga donor (10,1%). Lembaga-lembaga pemerintah adalah yang paling umum untuk
memperkenalkan teknologi-teknologi baru (27,9%) dan memberikan pelatihan (21,1%),
sedangkan lembaga-lembaga lainnya kebanyakan memberi bantuan permodalan. Berdasarkan
pada tipe dari kegiatan, pelatihan adalah yang paling banyak diselenggarakan oleh lembaga-
lembaga pemerintah (46,9%) dan LSM (37,2%). Bantuan modal lebih banyak diberikan oleh
LSM lokal dan internasional (50,3%), disusul kemudian oleh lembaga-lembaga pemerintah
(15,5%) dan perbankan (14,9%). Fasilitasi lebih banyak diberikan oleh LSM (52,4%) dan
pemerintah (35,7%).
Tabel 4: Proporsi dari program-program pengembangan UK dan UMI berdasarkan tipe
kegiatan dan lembaga pelaksana (%)
Pemerintah Bank UB Lembaga
donor
LSM Lainnya Total
Bantuan modal
Pelatihan
Fasilitasi
Informasi
Fasilitas
Promosi
Diseminasi/introduksi
tekonolgi baru
Panduan
Lainnya
Jumlah tipe kegiatan
5,3
21,1
11,3
1,9
16,2
3,0
27,9
4,3
9,0
531
52,9
13,7
9,8
7,8
2,0
3,9
0,0
0,0
9,8
51
25,0
22,2
19,4
2,8
5,6
13,9
0,0
0,0
11,1
36
21,0
19,0
7,6
3,8
8,6
6,7
6,7
0,0
26,7
105
29,6
29,0
28,7
1,6
1,0
1,0
1,3
0,7
7,2
307
28,6
21,4
0,0
21,4
0,0
7,1
0,0
0,0
21,4
14
17,3
22,9
16,1
2,6
9,7
3,3
15,2
2,4
10,5
1044
Sumber: lihat Tabel 3
7
Selain program-program tersebut di atas, Indonesia juga punya Undang-undang UKM,
dan departemen khusus yang menangani UKM, yakni Kementerian Koperasi dan UKM. Bahkan
di dalam UU Penanaman Modal ada pasal-pasal khusus mengenai UKM, dan dalam beberapa
tahun belakangan ini pemerintah SBY membuat skim kredit baru yakni Kredit Usaha Rakyat
(KUR). Juga KPPU mengecualikan UK di dalam UU Persaingan Sehat-nya. Dalam singkat kata,
UKM di Indonesia betul-betul di buat seperti anak emas.
Selama ini dalam mengukur keberhasilan program pengembangan UKM, pemerintah
biasanya memakai ukuran jumlah perusahaan/produsen atau pekerja yang mengikuti program
tersebut. Dengan cara ini, hasil sebenarnya dari suatu program UKM tidak pernah terkaji secara
komprehensif. Dengan kata lain, banyaknya yang berpartisipasi atau meningkatnya jumlah
peserta dari suatu program pelatihan, misalnya, yang diselenggarakan oleh Kementerian
Koperasi dan UKM, memang memberi suatu indikasi positif. Tetapi, efektivitas dari program
tersebut tidak bisa dilihat dari jumlah peserta, melainkan harus diukur oleh hasil konkrit dari
mengikuti program tersebut. Jadi, program tersebut dikatakan membuahkan hasil jika semua
peserta merasa puas (dalam arti, pelatihan yang diberikan benar-benar sesuai apa yang
diinginkan oleh peserta) dan mereka bisa selanjutnya mengembangkan sendiri apa yang telah
dipelajari sampai akhirnya hasil riilnya muncul, misalnya dalam bentuk produksi atau omset
penjualan mereka meningkat atau mereka akhirnya bisa menjadi eksportir-eksportir yang andal
yang sebelum mengikuti pelatihan tersebut mereka hanya menjual ke pasar-pasar lokal.4
Ada beberapa studi yang walaupun tidak semuanya secara eksplisit mengkaji kinerja dari
program-program pengembangan UKM di Indonesia, dapat memberikan suatu indikasi
mengenai tingkat efektivitas dari program-program tersebut. Sebagian besar dari studi-studi
tersebut menyimpulkan bahwa program-program pemerintah yang (pernah) ada pada umumnya
tidak terlalu berhasil, khususnya dalam hal pengembangan kemampuan teknis.5Misalnya,
program Bapak-Angkat (BA) yang bermaksud menciptakan keterkaitan-keterkaitan produksi
antara UKM dan UB (termasuk PMA), tetapi tingkat partisipasinya sangat rendah dan tidak
merata. (Tabel 5).6Khususnya pengusaha-pengusaha di perdesaan atau yang berlokasi di daerah-
daerah yang relatif terisolasi dari perkotaan atau pusat-pusat administrasi pemerintahan sulit
sekali terjangkau oleh program tersebut.
4 Lagipula, efektivitas dari suatu program harus dilihat dari perspektif lebih luas atau nasional atau dilihat dari
sudut keuntungan sosial, bukan hanya semata-mata dari keuntungan pribadi; dan ini artinya keuntungan-keuntungan
dari suatu program harus dibandingkan dengan biaya-biaya dari melaksanakan program tersebut untuk menentukan
besarnya keuntungan sosial neto. Keuntungan yang dimaksud di paragraf sebelumnya (misalnya dalam bentuk
kenaikkan omset penjualan) adalah keuntungan pribadi (walaupun ini juga harus dibandingkan dengan ”biaya”
pribadi yang harus dikeluarkan untuk mengikuti program tersebut), sedangkan dalam mengukur keuntungan sosial,
biaya-biaya baik aktual maupun alternatif (kesempatan yang hilang) harus dihitung. Dan pendekatan ini untuk mengukur manfaat dari suatu program pengembangan UKM pada umumnya tidak dilakukan (Dierman, 2004). 5 Untuk diskusi secara eksplisit atau implisit mengenai dampak positif dari program-program pengembangan UKM
dari pemerintah di Indonesia, lihat misalnya Klapwijk (1997), Sandee (1995), Sandee dkk. (2000, 2002), van
Dierman (2004), dan Sato (2000). 6 Di dalam skim BA ini, yang diperkenalkan dan dilaksanakan secara nasional pada bulan Februari 1992, semua
BUMN diharuskan (UB swasta dihimbau untuk berpartisipasi) membantu UKM dengan modal, pelatihan, bantuan
teknis, pemasaran, pengadaan bahan baku, dan banyak lainnya. Misalnya, dalam hal pemasaran, perusahaan-perusahaan induk (BA) menyediakan fasilitas-fasilitas promosi bagi UKM binaan mereka seperti pameran
perdagangan dan study tour atau berperan sebagai perantara antara UKM sebagai penjual dengan calon pembeli
(misalnya dalam bentuk sebuah trading house). Dalam hal teknologi, perusahaan-perusahaan BA memberi bantuan
keuangan bagi UKM binaan mereka untuk membeli mesin-mesin baru atau memberi mereka pelatihan-pelatihan
teknis atau pendampingan oleh teknisi-teknisi selama proses inovasi
8
Tabel 5: Persentase dari UK dan UMI Manufaktur yang terlibat/tidak terlibat di dalam
program BA dan menurut jenis fasilitas yang didapat, 2000 (a) dan 2003 (b)
Tidak terlibat
(% total) Terlibat (% total)
Tipe fasilitas (% total perusahaan yang terlibat)*
modal/ kredit
Pengadaan bahan baku
Pemasaran Bantuan teknis & pelatihan
Lainnya
(a) (b) (a) (b) (a) (b) (a) (b) (a) (b) (a) (b) (a) (b)
Total UK & UMI UMI UK
95,5 95,5 95,5
87,9 88,9 77,7
4,5 4,5 4,5
12,1 11,1 22,3
40,5 42,2 40,2
21,5 22,02 18,9
54,8 29,4 59,8
47,3 48,7 39,9
53,5 53,2 53,6
52,9 50,8 63,2
4,4 5,1 4,3
3,1 2,7 5,5
0,6 0,0 0,7
2,4 2,6 1,03
Catatan: * = satu perusahaan bisa mendapatkan lebih dari satu jenis fasilitas
Source: BPS (SUSI: Profile Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum.Indonesia Tahun 2000, 2003).
Tetapi hal ini tidak hanya dialami oleh program BA; bantuan-bantuan pemerintah lainnya
juga banyak yang tidak mencakup semua UKM yang ada. Data SUSI (BPS) menunjukkan bahwa
hanya sekitar 1 persen atau kurang dari UK dan UMI yang ada yang pernah mendapatkan
bantuan dari pemerintah (Gambar 7). Juga, cakupannya sangat berat ke Jawa dan Bali, yakni dari
481.714 UK dan UMI non-pertanian yang menerima bantuan pada tahun 2003, 71 persennya
berlokasi di wilayah tersebut.
Pada tahun 2005, Bank Pembangunan Asia (ADB PPTA Project) melakukan suatu studi
untuk mengkaji sejauh mana hasil dari upaya-upaya pemerintah dan swasta selama ini dalam
membantu UKM non-pertanian. Berdasarkan surveinya, penelitian tersebut menemukan bahwa
walaupun pemerintah dan swasta telah melakukan berbagai macam program, hasilnya tidak
memuaskan. Ditemukan hanya ada beberapa jalur komunikasi antara lembaga-lembaga
pemerintah dan UKM, dan banyak sekali pengusaha UKM (bahkan sebagian besar dari jumlah
responden) yang tidak mengetahui adanya pelayanan-pelayanan publik untuk pengembangan
bisnis (yang umum dikenal dengan business development services, atau BDS). Ini jelas masalah
keterbatasan informasi; bisa kesalahan dari pihak pemberi pelayanan atau dari pihak UKM itu
sendiri; atau dua-duanya. Namun demikian, sering juga ditemui pengusaha-pengusaha UKM
(khususnya UK dan UMI) yang tidak menyadari kemungkinan-kemungkinan pengembangan
teknologi, atau kalau mereka mengetahui ada pelayanan-pelayanan publik yang bisa membantu
mereka dalam hal itu, banyak dari mereka yang tidak terlalu bersemangat menggunakannya atau
tidak mampu membayarnya. Selain itu, penelitian tersebut juga melaporkan bahwa sering kali
lembaga-lembaga pemberi pelayanan seperti BDS tidak mengetahui apa sebenarnya yang
dibutuhkan oleh pengusaha-pengusaha UKM, karena BDS tidak menjalin suatu jaringan kerja
yang baik dengan mereka. Akibatnya, pelayanan yang disediakan oleh BDS tidak sesuai dengan
kebutuhan riil dari pengusaha-pengusaha UKM (Tambunan, 2007).
Klapwijk (1997) memberi alasan rendahnya tingkat partisipasi dari pengusaha-pengusaha
UKM di dalam program-program pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah sebagai
berikut in view of the wide definition of small industry employed by the Ministry, much of the
promotion efforts may have bypassed the smallest enterprises that are most in need of
assistance……. The extension officers generally have little technical or business experience, and
training or other technical facilities have been largely provided according to the directions of
central planners, rather than having been adapted to local needs. (page 65). Jadi, masalahnya
bukan hanya kurangnya informasi, tetapi juga banyak pengusaha kecil tidak melihat manfaat
langsung dari bantuan-bantuan yang diberikan oleh pemerintah.
9
Gambar 7: Proporsi dari UK dan UMI yang menerima bantuan dari pemerintah menurut
wilayah, 2003 (% dari total UK dan UMI di dalam wilayah).
0.98
1.28
3.3
0.44
2.13
0.98
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Sumate
ra
Java &
Bali
Nusa Tenggara
Kalimanta
n
Sulawesi
Malu
ku &
Papua
%
Sumber: BPS (SUSI 2003).
Masalah rendahnya kualitas dari materi pelatihan yang diberikan, dalam arti banyak yang
tidak efektif dalam meningkatkan kapabilitas teknologi atau teknik produksi dari pengusaha-
pengusaha yang dilatih, juga ditemukan oleh Sandee dkk. (2000,2002) dari hasil penelitiannya di
kluster industri genteng di Boyolali (Jawa Tengah). Ia mengatakan bahwa materi serta informasi
lainnya yang diberikan tidak selalu sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pengusaha-
pengusaha di kluster tersebut.
Bantuan penting lainnya dari pemerintah selama ini, khususnya pada era Soeharto, yang
sebenarnya sangat berguna bagi pengembangan atau difusi teknologi antar perusahaan di sentra-
sentra UKM yang dibina pemerintah di seluruh Indonesia adalah Unit Pelayanan Teknis (UPT).
Unit-unit ini menyediakan berbagai macam mesin dan laboratorium (walaupun tidak semua UPT
punya laboratorium) dan juga berbagai macam pelatihan bagi semua UKM di dalam sentra-
sentra binaan pemerintah tersebut, dan dikelola oleh teknisi-teknisi dari Departemen
Perindustrian yang khusus dilatih untuk mengelolanya dan membantu UKM. Van Diermen
(2004) menyimpulkan bahwa hasil dari keberadaan UPT pada umumnya buruk. Unit-unit
tersebut tidak berhasil memberikan pelayanan-pelayanan secara efektif; bahkan banyak
perusahaan di luar sentra yang menggunakannya, yang sebenarnya hanya untuk UKM di dalam
sentra. Ada beberapa masalah di dalam pengoperasian UPT yang diidentifikasi oleh van Dierman
sebagai berikut: (i) tipe-tipe pelayanan yang diberikan sangat supply oriented bukan didasarkan
pada kebutuhan riil dari pengusaha; (ii) kebanyakan dari mesin-mesin dan peralatan-peralatan
yang ada sudah tua dan tidak diganti dengan yang baru. Awalnya, unit-unit tersebut dipasok
dengan mesin-mesin dan peralatan-peralatan berteknologi modern. Namun, setelah beberapa
tahun, terutama setelah krisis ekonomi 1997/1998, keterbatasan dana membuat pemerintah tidak
sanggup mengganti mesin-mesin dan peralatan-peralatannya yang sudah tua dengan yang baru
sesuai perubahan teknologi dan kebutuhan pasar; (iii) pelayanan yang diberikan tidak
diskriminatif, dalam arti semua termasuk UB dari luar sentra juga bisa mendapatkan semua
fasilitas yang disediakan oleh UPT; (iv) teknisi-teknisi dari departemen yang menjalankan UPT
sering kali kurang mendapatkan pelatihan-pelatihan yang sesuai untuk bisa memahami
kebutuhan UKM yang sebenarnya; dan (v) karena diselenggarakan oleh pemerintah, yang
terkenal dengan birokrasinya, tidak ada fleksibilitas yang cukup di dalam sistem pelayanan yang
bisa menyesuaikan dengan perubahan kebutuhan-kebutuhan dari UKM, kemungkinan besar
akibat salah satunya struktur birokrasi yang kaku dari UPT.
Untuk semua program-program pengembangan UKM, van Dierman (2004)
menyimpulkan bahwa hanya sebagian kecil yang hasilnya dapat dikatakan positif, seperti
10
misalnya skim-skim kredit mikro. Menurutnya, banyak program pemerintah akhirnya menjadi
tidak efektif karena kebijaksanaan-kebijaksanaan makro yang mungkin tidak disengaja namun
menimbulkan ekstra biaya atau hambatan-hambatan bagi UKM, yang membuat banyak UKM,
khususnya UMI dan UK beroperasi diluar ekonomi formal. Ia selanjutnya menegaskan bahwa
sebenarnya, kebijaksanaan-kebijaksanaan makro yang menciptakan suatu lingkungan usaha yang
baik, yang tidak “anti” UKM, seperti pertumbuhan ekonomi atau peningkatan pendapatan yang
pesat dan kerja pasar output maupun input yang tidak terdistorsi jauh lebih penting (atau
dampaknya jauh lebih nyata) terhadap UKM daripada program-program khusus untuk UKM.
Berdasarkan penelitian mereka terhadap kluster industri mebel di Jepara (Jawa Tengah),
Sandee dkk. (2000) memberi suatu kesimpulan bahwa intervensi publik lebih besar
kontribusinya terhadap keberhasilan suatu kluster. Sedangkan kalau hanya mengandalkan skim-
skim bantuan khusus bagi UKM tanpa memperhatikan lingkungan lebih luas yang sangat
dipengaruhi oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan publik, tidak akan ada hasilnya atau hasilnya akan
kecil. Pengalaman dari keberhasilan kluster industri mebel tersebut menunjukkan bahwa suatu
paket pembangunan yang komprehensif, termasuk penyediaan suatu fasilitas pelayanan umum
(seperti UPT) untuk pengeringan kayu, pelatihan ekspor, dan dukungan untuk berpartisipasi
didalam pameran-pameran perdagangan internasional, dan didukung oleh investasi public seperti
pembangunan/perbaikan infrastruktur regional (seperti jaringan telepon, jalan raya, dan fasilitas
peti kemas) sangat menolong pengusaha-pengusaha di kluster itu mengembangkan pasar ekspor
mereka secara bertahap.
Sedangkan suatu studi lapangan yang pernah dilakukan oleh Sato (2000) di sejumlah
kluster di industri pengerjaan logam dan mesin di Jawa (seperti di Ceper dan Sidoarjo)
menyimpulkan bahwa keberhasilan pembangunan dari kluster-kluster tersebut dicapai selama itu
tanpa dukungan dari pemerintah yang signifikan. Tanggapannya mengenai efektivitas dari
bantuan-bantuan pemerintah kepada UKM di Indonesia juga didukung oleh temuan dari
Tambunan (1998) dari studinya di kluster industri mebel rotan di Padang (Sumatra Barat). Ia
menyimpulkan bahwa upaya-upaya pemerintah mendukung UKM selama itu kurang efektif.
Salah satu alasannya adalah tidak adanya suatu koordinasi yang baik antar departemen. Banyak
sentra UKM yang mendapat pelatihan-pelatihan dari badan-badan pemerintah lokal seperti
kantor-kantor wilayah dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menegkop &
UKM), Departemen Perindustrian, perguruan tinggi negeri (PTN), dan Balai Latihan Kerja dari
Departemen Tenaga Kerja. Namun demikian, banyak diantara mereka yang memberikan materi-
materi pelatihan yang relatif sama, dan tidak ada upaya-upaya serius untuk berkoordinasi agar
program-program yang mereka berikan tidak tumpang tindih atau sama.
Juga peran dari lembaga-lembaga R&D milik pemerintah dan PTN dalam membantu
perkembangan teknologi di UKM masih jauh dari optimal. Padahal, bukti dibanyak negara
menunjukkan bahwa lembaga-lembaga seperti ini bisa memberikan konstribusi sangat besar
terhadap peralihan atau penyebaran teknologi dan pengetahuan, khususnya bagi perusahaan-
perusahaan di sektor manufaktur, lewat berbagai cara seperti publikasi-publikasi baik yang
sifatnya sangat ilmiah maupun pengetahuan umum, paten dan jasa konsultansi (Agrawal, 2001).
Di Indonesia, lembaga-lembaga R&D publik terdiri dari 12 tingkat nasional dan beberapa
pusat R&D pada tingkat regional dari Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI),
Departemen Perindustrian, dan pusat-pusat penelitian dari lembaga-lembaga penelitian
pemerintah non-departemen, terutama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
Lembaga Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Namun demikian, pusat-pusat R&D dari
BPPT lebih banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan sertifikasi produk, pelatihan dan pengujian
untuk perusahaan-perusahaan manufaktur, terutama BUMN dan UKM, daripada kegiatan-
kegiatan R&D dalam arti yang sebenarnya. Banyak penelitinya yang kurang terlatih, dan sering
tidak menyadari perkembangan-perkembangan teknologi terkini di bidang-bidang mereka
11
masing-masing. Juga banyak peralatan laboratorium yang sudah tua karena pusat-pusat tersebut
kekurangan dana, terutama sejak krisis ekonomi 1997/98 (Tambunan, 2010).
Sebenarnya, lembaga-lembaga R&D pemerintah non-departemen, khususnya LIPI dan
BPPT, lebih baik pendanaannya. Walaupun dari perspektif internasional atau sesuai kebutuhan
yang sebenarnya, masih jauh dari mencukupi. Juga dibandingkan dengan lembaga-lembaga
R&D dari departemen-departemen, LIPI dan BPPT mempunyai peralatan yang lebih modern dan
peneliti yang lebih berkualitas; banyak dari mereka yang mendapatkan pelatihan atau pendidikan
tinggi di luar negeri. Bahkan boleh dikatakan bahwa diantara lembaga-lembaga tersebut,
termasuk departemen, BPPT merupakan lembaga yang memimpin dalam mendukung
pengembangan teknologi di UKM. Program-programnya mencakup banyak sektor, mulai dari
pengembangan teknologi tepat guna di sektor industri manufaktur, enjinir, hortikultura,
perikanan, teknologi pupuk-bio, hingga teknologi daur ulang sisa-sisa produksi. BPPT juga
mendirikan banyak sentra-sentra seperti Center for Technology Policy Assessment (P2KT),
Center for Development of Regional Comparative Advantages and Society Capacity Upgrading
(PUDPKM), dan Center for Development of Appropriate Technology (PTTG). BPPT
memberikan bantuan teknis kepada banyak kelompok UKM di banyak wilayah di dalam negeri,
termasuk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Bengkulu, Banda Aceh, Sumatera Barat,
Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan banyak lagi. Dalam kegiatannya, BPPT bekerjasama
erat tidak hanya dengan Menteri IPTEK, tetapi juga dengan universitas-universitas setempat
seperti ITB (Bandung), Universitas Negeri Malang (Malang), Institut Teknologi 10 November
(Surabaya), Universitas Negeri Mataram (Mataram), Universitas Negeri Bengkulu (Kota
Bengkulu), Universitas Negeri Sam Ratulangi (Menado), Universitas Negeri Haluoleo (Kendari),
Universitas Negeri Hasanudin (Makasar), dan Universitas Negeri Padang (Padang).
LIPI juga sangat aktif lewat IPTEKDA-nya dalam mendukung pengembangan UKM di
semua sektor dan di semua wilayah di tanah air. Tujuan utama dari IPTEKDA LIPI adalah
mendukung pengembangan kapasitas UKM dengan memberi berbagai macam bantuan, termasuk
pendanaan, teknologi, pelatihan dan pendampingan, dan bahan baku. Selama periode 1998-2004,
ada 317 program (Table 6). Hingga saat ini peralihan teknologi dari LIPI kepada UKM
mencakup teknologi minuman dan makanan, teknologi rekayasa untuk produk-produk kerajinan,
teknologi untuk air bersih, teknologi untuk pengembangan produk-produk berbasis logam, dan
teknologi untuk pengembangan perikanan dan peternakan.
Namun demikian, masih sangat kurang laporan-laporan mengenai hasil-hasil dari semua
kegiatan-kegiatan tersebut. Misalnya, BPPT dan LIPI belum pernah mengeluarkan laporan
tahunan tidak hanya mengenai program-program yang sudah atau sedang dilakukan tetapi juga
hasilnya. Pertanyaan disini adalah: apakah UKM yang telah dibantu oleh BPPT dan LIPI
menunjukkan suatu kemajuan dalam kinerjanya, misalnya dari hanya melayani pasar lokal
sekarang setelah dibantu oleh BPPT atau LIPI sudah bisa melakukan ekspor?
Tabel 6: Persentase Distribusi Program IPTEKDA-LIPI menurut Wilayah, 1998-2004
Wilayah Jumlah %
Jawa Tengah
Jawa Timur
D.I. Yogyakarta
Jawa Barat & Banten
Luar Jawa
Jumlah (28 provinsi)
36
56
7
111
107
317
11,36
17,67
2,20
35,0
33,75
100,0
Source: P2E-LIPI 2005.
12
Memang tidak mudah melakukan suatu evaluasi mengenai efektivitas suatu program.
Karena dua sisi harus dilihat sekaligus dan dibandingkan, yakni sisi pengeluaran/biaya dengan
hasil. Dalam sisi biaya, juga harus dilihat biaya alternatifnya. Misalnya, suatu program UKM
dengan biaya Rp 1 juta dan UKM yang dibantu bisa menaikkan omsetnya sebesar Rp 2 juta.
Maka secara langsung dapat dikatakan bahwa program tersebut sangat efektif. Namun apabila
Rp 1 juta tersebut digunakan untuk membangun jalan raya yang akibat adanya jalan raya tersebut
UKM di wilayah sekitarnya bisa menaikkan omsetnya sebesar Rp 3 juta, maka program UKM
tersebut kurang efektif, karena biaya alternatifnya lebih besar dari hasilnya (3 juta > 2 juta).
PARADIGMA HARUS BERUBAH
Fakta selama ini menunjukkan bahwa UKM Indonesia sampai sekarang masih relatif lemah
dalam banyak hal, termasuk masih lebih terpusat pada produksi berteknologi rendah seperti
makanan, pakaian jadi, meubel, dan kerajinan, jika dibandingkan dengan UKM di negara-negara
lain seperti Korea Selatan, Thailand, Jepang, dll. Jika melihat pameran produk-produk UKM di
Senayan setiap tahun dalam rangka hari ulang tahun Koperasi, barang-barang yang dihasilkan
oleh UKM Indonesia hanya itu-itu saja, kebanyakan kerajinan dan produk-produk dari kayu
seperti meubel. Sedangkan melihat pameran-pameran serupa di luar negeri, apalagi di negara-
negara maju, produk-produk UKM-nya mencakup mulai dari elektronik hingga komponen-
komponen untuk pesawat terbang hingga roket NASA di Amerika Serikat.
Apa penyebabnya? Jawabannya sederhana. Selama ini UKM dilihat sebagai salah satu
alat untuk meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan. Di setiap seminar atau
lokakarya yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pemerintah, pidato pembukaan dari
Menteri atau Dirjen selalu diawali dengan pernyataan berikut:” UKM sangat penting karena
menyerap banyak kesempatan kerja……..”. Sedangkan di luar negeri, khususnya di negara-
negara yang UKM-nya sudah sangat maju, pernyataannya adalah sebagi berikut: “UKM sangat
penting karena berperan sebagai sumber inovasi, sebagai industri pendukung, sebagai vendor,
sebagai sumber pertumbuhan UB lewat subcontracting, sebagai pendorong peningkatan daya
saing, dan lain-lain. Jadi peran UKM di mata pemerintah di Indonesia memang berbeda daripada
di NM. UKM di Indonesia lebih dianggap sebagai “alat” kebijakan kesempatan kerja dan
pengurangan kemiskinan daripada sebagai sumber inovasi dan daya saing ekonomi. Hal ini bisa
dilihat, misalnya, di BAPPENAS, dimana masalah UKM ditangani oleh Bidang Kemiskinan,
Ketenagakerjaan dan UKM. Sebenarnya UKM harus satu bidang dengan misalnya peningkatan
ekspor dan daya saing, bukan dengan masalah kesempatan kerja dan kemiskinan.
Dalam kata lain, kebijakan UKM selama ini di Indonesia lebih berorientasi sosial (yakni
mendorong pertumbuhan UKM untuk meningkatkan kesempatan kerja atau mengurangi
kemiskinan), bukan berorientasi pasar dan daya saing (yakni meningkatkan ekspor, pangsa pasar
domestik, dan daya saing nasional), dan ini yang menyebabkan UKM Indonesia tetap lemah.
Jika jumlah UKM di Indonesia meningkat setiap tahun, pembuat kebijakan UKM merasa puas
karena berarti jumlah kesempatan kerja juga meningkat. Jadi fokus dari kebijakan UKM yang
berorientasi sosial tersebut lebih pada kuantitas, bukan kualitas. Pembuat kebijakan UKM di
Indonesia tidak terlalu peduli terhadap rendahnya produktivitas dan kualitas produk yang dibuat
UKM. Bagi pembuat kebijakan UKM, yang terpenting adalah kelompok usaha tersebut tetap
eksis dan jumlahnya terus bertambah. Oleh karenanya, tidak heran kenapa kebijakan UKM di
Indonesia lebih difokuskan pada pemberian kredit, bukan, misalnya, memberikan berbagai
macam fasilitas agar UKM bisa melakukan inovasi atau R&D, atau program-program yang
mendorong kerjasama antara UB dan UKM atau antara perguruan tinggi dan UKM untuk
peralihan teknologi. Juga tidak heran kenapa kredit UKM di Indonesia lebih untuk modal kerja
bukan untuk membiayai kegiatan R&D/inovasi.
13
Sudah waktunya paradigma mengenai peranan UKM di Indonesia berubah. Memang
pengangguran dan kemiskinan adalah dua masalah serious di Indonesia. Namun ini bukan
tanggung jawab UKM. UKM tidak beda dengan UB, dalam arti kedua kelompok usaha tersebut
adalah kegiatan bisnis yang mencari keuntungan sebanyak mungkin, bukan sebuah organisasi
sosial yang sengaja didirikan semata-mata untuk menciptakan kesempatan kerja. Di semua buku
teks mengenai definisi pengusaha atau kewirausahaan dikatakan bahwa seorang usahawan
adalah orang yang inovatif, kreatif, dan lain-lain yang mencari keuntungan…..; tidak dikatakan
adalah orang-orang yang ingin menciptakan kesempatan kerja. Andai kata UKM Indonesia
menjadi lebih padat modal karena menggunakan banyak mesin yang membuat ekspornya dan
pangsa pasar domestiknya meningkat tajam, sehingga tidak menciptakan banyak kersempatan
kerja, apakah berarti UKM sekarang menjadi tidak penting di Indonesia?
Implikasi dari perubahan paradigma dari orientasi sosial ke orientasi pasar dan daya saing
adalah bahwa kebijakan UKM harus menekankan sejumlah prinsip dasar, diantaranya sebagai
berikut. Pertama, bisnis adalah bisnis: jika seseorang membuka usaha sendri namun terpaksa
tutup karena kalah bersaing, biarkan saja, namanya bisnis, dan bisnis selalu berurusan dengan
persaingan. UKM jangan dipaksa bertahan jika memang barangnya tidak lagi disukai oleh
konsumen. Kedua, hanya UKM yang memiliki potensi pasar karena punya keuggulan komparatif
dan kompetitif yang perlu dibantu oleh pemerintah; jadi prinsipnya adalah “picking the winners”.
Ketiga, penekanan bantuan harus pada pengembangan teknologi dan inovasi. Keempat,
pemberian kredit tidak merupakan komponen terpenting. Uang ada dimana-mana dan akan
datang dengan sendirinya jika seseorang menunjukkan kemampuannya untuk membuat sesuatu
yang akan laku keras di pasar. Bill Gate dari Microsoft, dan banyak lagi contoh orang-orang
yang berhasil dari nol, sudah membuktikannya. Buktikan dulu kemampuan inovasi baru dapat
dana bantuan. Terakhir, bantua pada UKM tidak bersifat protektif. UKM yang bisa maju hanya
UKM yang bersaing bebas dalam kondisi pasar non-deskriminasi. Sama seperti setiap pelajar di
sekolah yang punya hak yang sama (misalnya dapat pelajaran tambahan) dan saling bersaing
secara bebas dan adil, yang pada akhirnya ada yang tinggal kelas dan ada yang naik kelas.
Daftar Pustaka
Agrawal Ajay (2001), “University-to-industry knowledge transfer: literature review and
unanswered questions”, International Journal of Management Review, 3(4): 370-85.
Dierman, Peter van (2004), “ The Economic Policy Environment for Small Rural Enterprises in
Indonesia”, dalam Thomas R. Leinbach (ed.), The Indonesian Rural Economy Mobility, Work
and Enterprise, Singapore: ISEAS: 95-117. Sandee, Henry (1995), “Innovation Adoption in Rural Industry: Technological Change in Roof Tile Clusters
in Central Java, Indonesia”, disertasi PhD tidak dipublikasi, Vrije Universiteit, Amsterdam. Sandee, Henry, Roos Kities Andadari dan Sri Sulandjari (2000), “Small Firm Development during Good
Times and Bad: The Jepara Furniture Industry”, dalam C. Manning dan P. van Dierman (ed.), Indonesia
in Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis, Indonesia Assessment Series, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, Canberra, dan Institute of Southeast Asian
Studies, Singapore: 184-98.
Sandee, Henry, B. Isdijoso, dan Sri Sulandjari (2002), SME clusters in Indonesia: An analysis of growth dynamics and employment conditions, Jakarta: International Labor Office (ILO).
Sato, Yuri (2000), “Linkage Formation by Small Firms: The Case of a Rural Cluster in Indonesia”, Bulletin
of Indonesian Economic Studies, 36(1):137-66.
Klapwijk, Martin (1997), “Rural Industry Clusters in Central Java, Indonesia. An Empirical
Assessment of their Role in Rural Industrialization”, disertasi PhD tidak dipublikasi, Tinbergen
Institute Research Series No.153, Vrije Universiteit Amsterdam.
14
SMERU (2004), “Mapping Assistance Programs to Strengthen Microbusinesses”, Smeru News,
no.10, April-Juni, Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.
Tambunan, Tulus T.H. (2007), Perkembangan Industri Nasional Sejak Orde Baru Hingga
Pascakrisis, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.
Tambunan, Tulus T.H. (2009a), UMKM di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia
Tambunan, Tulus T.H. (2009b), “Main Factors Determining Competitiveness and Successful
Small and Medium Enterprises in Indonesia”, research report, December, Jakarta:
International Labour Organisation.
Tambunan, Tulus T.H. (2010), “Technology and Skill Upgrading in Manufacturing Small and
Medium Enterprises (SMEs) with A Reference to the Roles of Government, Large
Enterprises, Universities and Public R&D Institutes: A Comparative Study Between Japan
and Indonesia”, research report, March, Tokyo: The Sumitomo Foundation. Thee, Kian Wie (1998), Determinants of Indonesia’s Industrial Technology Development, dalam Hill dan
Thee (ed.): 117-35.