KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

14
1 APAKAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DI INDONESIA SELAMA INI EFEKTIF 1 Tulus Tambunan Pusat Studi Industri, UKM dan Persaingan Usaha Universitas Trisakti PERAN UKM Sudah umum diakui bahwa usaha kecil (UK) 2 dan usaha menengah (UM), atau umum disebut UKM mempunyai peran yang sangat penting di dalam perekonomian Indonesia. Selama ini peran yang selalu disebut pertama adalah UKM menyerap banyak tenaga kerja sehingga mengurangi jumlah pengangguran dan berarti selanjutnya mengurangi tingkat kemiskinan di dalam negeri. Peran lainnya yang juga sering disebut adalah sumbangan dari kelompok usaha tersebut terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB), yang memang menunjukkan peningkatan setiap tahun. Selain itu, dalam beberapa tahun belakangan ini, tepatnya setelah krisis ekonomi Asia 1997/98, UKM mulai sering disebut mempunyai peran lain yang juga tidak kalah penting, yakni potensinya sebagai salah satu motor penggerak perkembangan/pertumbuhan ekspor, khususnya manufaktur. Namun demikian, untuk peran yang satu ini, UKM Indonesia masih relatif lemah dibandingkan usaha besar (UB) seperti yang dapat dilihat di Tabel 1, maupun dibandingkan UKM di banyak negara sedang berkembang (NSB) lainnya di Asia, termasuk China, Thailand dan Malaysia (Tambunan, 2009a). Tabel 1: Nilai Ekspor Non-migas Indonesia menurut Skala Usaha, 2006-2007 Tahun Unit Skala Usaha UK UM UKM UB Total 2006 Rp miliar US$ miliar % 30.365 3.501 5,00 91.946 10.602 15,15 122.311 14.103 20,15 484.775 55.896 79,85 607.086 69.998 100,00 2007 Rp miliar US$ miliar % 35.508 4.129 4,98 107.314 12.479 15,04 142.822 16.607 20,02 570.594 66.349 79,98 713.416 82.957 100,00 Sumber: BPS (Berita Resmi Statistik, No. 28/05/Th XI, 30 Mei 2008). UKM Indonesia juga hingga saat ini masih lemah dalam kegiatan subcontracting dengan UB, termasuk dengan perusahaan-perusahaan asing di dalam negeri. UKM Indonesia pada umumnya belum siap dalam hal teknologi dan sumber daya manusia (SDM) sebagai subkontraktor-subkontraktor yang kompetitif. Di sektor industri manufaktur, kebanyakan UKM Indonesia adalah unit-unit produksi yang membuat barang-barang jadi yang sederhana dengan kandungan teknologi rendah. Jumlah UKM yang membuat komponen-komponen mesin atau otomotif di Indonesia masih relatif sangat sedikit (Tambunan, 2010). PERMASALAHAN UTAMA UKM Perkembangan UKM di NSB dihalangi oleh banyak hambatan. Hambatan-hambatan tersebut (atau intensitasnya) bisa berbeda di satu daerah dengan di daerah lain atau antara perdesaan dan perkotaan, atau antar sektor, atau antar sesama perusahaan di sektor yang sama. Namun demikian, ada sejumlah persoalan yang umum untuk semua UKM di negara manapun juga, khususnya di dalam kelompok NSB. Rintangan- rintangan yang umum tersebut termasuk keterbatasan modal kerja maupun investasi, kesulitan-kesulitan 1 Workshop, BPPT, 8 April 2010. 2 Termasuk usaha mikro (UMI), yakni skala usaha paling kecil berdasarkan aset awal (tidak termasuk tanah dan bangunan) dan omset rata-rata per tahun (menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2008 mengenai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah), maupun berdasarkan jumlah pekerja, yakni kurang dari 5 orang (menurut definisi Biro Pusat Statistik/BPS).

Transcript of KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

Page 1: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

1

APAKAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DI

INDONESIA SELAMA INI EFEKTIF1

Tulus Tambunan

Pusat Studi Industri, UKM dan Persaingan Usaha

Universitas Trisakti

PERAN UKM

Sudah umum diakui bahwa usaha kecil (UK)2dan usaha menengah (UM), atau umum

disebut UKM mempunyai peran yang sangat penting di dalam perekonomian Indonesia. Selama

ini peran yang selalu disebut pertama adalah UKM menyerap banyak tenaga kerja sehingga

mengurangi jumlah pengangguran dan berarti selanjutnya mengurangi tingkat kemiskinan di

dalam negeri. Peran lainnya yang juga sering disebut adalah sumbangan dari kelompok usaha

tersebut terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB), yang memang menunjukkan

peningkatan setiap tahun. Selain itu, dalam beberapa tahun belakangan ini, tepatnya setelah krisis

ekonomi Asia 1997/98, UKM mulai sering disebut mempunyai peran lain yang juga tidak kalah

penting, yakni potensinya sebagai salah satu motor penggerak perkembangan/pertumbuhan

ekspor, khususnya manufaktur. Namun demikian, untuk peran yang satu ini, UKM Indonesia

masih relatif lemah dibandingkan usaha besar (UB) seperti yang dapat dilihat di Tabel 1, maupun

dibandingkan UKM di banyak negara sedang berkembang (NSB) lainnya di Asia, termasuk

China, Thailand dan Malaysia (Tambunan, 2009a).

Tabel 1: Nilai Ekspor Non-migas Indonesia menurut Skala Usaha, 2006-2007 Tahun Unit Skala Usaha

UK UM UKM UB Total

2006

Rp miliar

US$ miliar

%

30.365

3.501

5,00

91.946

10.602

15,15

122.311

14.103

20,15

484.775

55.896

79,85

607.086

69.998

100,00

2007 Rp miliar

US$ miliar

%

35.508

4.129

4,98

107.314

12.479

15,04

142.822

16.607

20,02

570.594

66.349

79,98

713.416

82.957

100,00

Sumber: BPS (Berita Resmi Statistik, No. 28/05/Th XI, 30 Mei 2008).

UKM Indonesia juga hingga saat ini masih lemah dalam kegiatan subcontracting dengan

UB, termasuk dengan perusahaan-perusahaan asing di dalam negeri. UKM Indonesia pada

umumnya belum siap dalam hal teknologi dan sumber daya manusia (SDM) sebagai

subkontraktor-subkontraktor yang kompetitif. Di sektor industri manufaktur, kebanyakan UKM

Indonesia adalah unit-unit produksi yang membuat barang-barang jadi yang sederhana dengan

kandungan teknologi rendah. Jumlah UKM yang membuat komponen-komponen mesin atau

otomotif di Indonesia masih relatif sangat sedikit (Tambunan, 2010).

PERMASALAHAN UTAMA UKM

Perkembangan UKM di NSB dihalangi oleh banyak hambatan. Hambatan-hambatan tersebut (atau intensitasnya) bisa berbeda di satu daerah dengan di daerah lain atau antara perdesaan dan perkotaan, atau

antar sektor, atau antar sesama perusahaan di sektor yang sama. Namun demikian, ada sejumlah persoalan

yang umum untuk semua UKM di negara manapun juga, khususnya di dalam kelompok NSB. Rintangan-rintangan yang umum tersebut termasuk keterbatasan modal kerja maupun investasi, kesulitan-kesulitan

1Workshop, BPPT, 8 April 2010.

2Termasuk usaha mikro (UMI), yakni skala usaha paling kecil berdasarkan aset awal (tidak termasuk tanah dan

bangunan) dan omset rata-rata per tahun (menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2008 mengenai Usaha Mikro,

Kecil dan Menengah), maupun berdasarkan jumlah pekerja, yakni kurang dari 5 orang (menurut definisi Biro Pusat

Statistik/BPS).

Page 2: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

2

dalam pemasaran, distribusi dan pengadaan bahan baku dan input lainnya, keterbatasan akses ke informasi

mengenai peluang pasar dan lainnya, keterbatasan pekerja dengan keahlian tinggi (kualitas SDM rendah)

dan kemampuan teknologi, biaya transportasi dan enerji yang tinggi; keterbatasan komunikasi, biaya tinggi

akibat prosedur administrasi dan birokrasi yang kompleks khususnya dalam pengurusan ijin usaha, dan ketidakpastian akibat peraturan-peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang tidak jelas atau

tak menentu arahnya.

Survei BPS 2003 dan 2005 terhadap usaha mikro (UMI) dan usaha kecil (UK) di industri manufaktur menunjukkan permasalahan-permasalahan klasik dari kelompok usaha ini di Indonesia (Tabel

2). Seperti yang dapat dilihat, permasalahan utama yang dihadapi sebagian besar dari responden adalah

keterbatasan modal dan kesulitan pemasaran. Walaupun banyak skim-skim kredit khusus bagi pengusaha kecil, sebagian besar dari responden terutama yang berlokasi di pedalaman/perdesaan tidak pernah

mendapatkan kredit dari bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya. Mereka tergantung sepenuhnya

pada uang/tabungan mereka sendiri, uang/bantuan dan dari saudara/kenalan atau dari sumber-sumber

informal untuk mendanai kegiatan produksi mereka. Alasannya bisa macam-macam; ada yang tidak pernah dengar atau menyadari adanya skim-skim khusus tersebut, ada yang pernah mencoba tetapi ditolak karena

usahanya dianggap tidak layak untuk didanai atau mengundurkan diri karena ruwetnya prosedur

administrasi, atau tidak bisa memenuhi persyaratan-persyaratan termasuk penyediaan jaminan, atau ada banyak pengusaha kecil yang dari awalnya memang tidak berkeinginan meminjam dari lembaga-lembaga

keuangan formal.

Dalam hal pemasaran, UKM pada umumnya tidak punya sumber-sumber daya untuk mencari, mengembangkan atau memperluas pasar-pasar mereka sendiri. Sebaliknya, mereka sangat tergantung pada

mitra dagang mereka (misalnya pedagang keliling, pengumpul, atau trading house) untuk memasarkan

produk-produk mereka, atau tergantung pada konsumen yang datang langsung ke tempat-tempat produksi

mereka atau, walaupun persentasenya kecil sekali, melalui keterkaitan produksi dengan UB lewat sistem subcontracting.

Tabel 2: Problem-problem utama yang dihadapi UMI dan UK manufaktur di Indonesia,

2003 & 2005 UK UMI Total UK & UMI

2003 2005 2003 2005 2003 2005

Tidak ada problem 46.485

(19,48)*

95.396

(41,43)

627.650

(25,21)

1.229.953

(52,93)

674.135

(24,71)

1.325.349

(51,89)

Punya problem

-Bahan baku

-Pemasaran

-Modal

-Transportasi/Distribusi

-Energi

-Biaya tenaga kerja

-Lainnya

192.097

(80,52)

20.362 (10,60)

77.175

(40,18)

71.001

(39,96)

5.027

(2,62)

40.605

(2,4)

2.335

(1,22) 11.592

(6,04)

134.851

(58,57)

32.998 (24,47)

44.020

(32,64)

48.173

(35,72)

2.397

(1,77)

690

(0,51)

1.052

(0,78) 5.521

(4,09)

1.862.468

(74,79)

400.915 (21,53)

552.231

(29,65)

643.628

(34,56)

49.918

(2,68)

50.815

(2,73)

14.315

(0,77) 150.646

(8,09)

1.093.819

(47.07)

248.904 (22.76)

366.623

(33,52)

350.224

(32,02)

24.157

(2,20)

2.374

(0,22)

13.015

(1,19) 88.522

(8,09)

2.054.565

(75,29)

421.277 (20,50)

629.406

(30,63)

714.629

(34,78)

54.945

(2,67)

55.420

(2,7)

16.650

(0,81) 162.238

(7,90)

1.228.670

(48,11)

281.902 (22,94)

410.643

(33,42)

398.397

(32,43)

.26.554

(2,16)

3.064

(0,25)

14.067

(1,14) 94.043

(7,65)

Total UK & UMI 238.582

(100,00)

230.247

(100,00)

2.490.118

(100,00)

2.323.772

(100,00)

2.728.700

(100,00)

2.554.019

(100,00)

Keterangan: * = persentase distribusi

Sumber: BPS

Hal yang menarik dari hasil survei ini adalah bahwa walaupun sudah bukan rahasia lagi bahwa

penyebab utama rendahnya produktivitas di UKM di Indonesia (dan di NSB pada umumnya) adalah keterbatasan teknologi dan SDM, Tabel 2 menunjukkan bahwa UMI dan UK yang disurvei tidak menyebut

keterbatasan teknologi dan SDM sebagai salah satu permasalahan serius mereka. Seperti yang telah

Page 3: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

3

dijelaskan sebelumnya, hal ini bisa karena mereka tidak sadar bahwa produktivitas mereka rendah (karena

memang tidak mudah mengukurnya). Biasanya saat mereka menghadapi kesulitan pemasaran karena

produk-produk yang mereka buat tidak kompetitif dibandingkan produk-produk yang sama buatan UB atau

impor, mereka akan gampang mengatakan ada distorsi pasar. Padahal hal itu bisa karena daya saing dari produk-produk mereka memang rendah dan ini disebabkan karena rendahnya teknologi atau kualitas SDM

mereka.

Semua kendala tersebut di atas secara bersama menjadi penyebab relatif lebih buruknya kinerja UKM dibandingkan kinerja UB. Walaupun sumbangan UKM terhadap pembentukan atau pertumbuhan

PDB tidak jelek, namun itu tidak harus berarti kualitas dari sumbangan tersebut bagus. Yang dimaksud

kualitas dari sumbangan tersebut adalah tingkat produktivitas. Pertanyaannya: apakah peningkatan output yang dihasilkan oleh UKM lebih dikarenakan kenaikkan tingkat produktivitas atau semata-mata karena

jumlah UKM yang banyak dan terus bertambah setiap tahunnya?

Produktivitas bisa dalam arti total produktivitas dari semua sumber atau faktor produksi yang

digunakan (tenaga kerja, modal, enerji dan input lainnya), atau parsial dari masing-masing dari faktor-faktor produkti tersebut. Misalnya, produktivitas tenaga kerja. Dengan cara sederhana, tingkat

produktivitas tenaga kerja dapat dikaji dengan menghitung rasio nilai tambah terhadap jumlah tenaga

kerja, Gambar 1 dan Gambar 2 membuktikan bahwa memang productivitas tenaga kerja di UKM jauh lebih kecil daripada di UB. Di dalam kelompok UKM itu sendiri, produktivitas tenaga kerja di UMI dan

UK (sebut UMK) lebih rendah dibandingkan UM (usaha menengah). Memang, sudah banyak literatur

mengenai UKM di NSB yang menunjukkan bahwa salah satu ciri utama dari UKM di NSB, yang membedakan mereka dari UKM di negara-negara maju (NM), adalah rendahnya tingkat produktivitasnya.

Khusus di industri manufaktur, berdasarkan data BPS untuk periode 2001-2005, produktivitas tenaga kerja

di UM dan UB pada tahun 2005 tercatat sebesar Rp 257,58 juta per pekerja, sedangkan di UMK hanya

sebanyak Rp 19,83 juta per pekerja. Pada tahun 2001, produktivitas tenaga kerja di kelompok usaha pertama tersebut tercatat sebanyak Rp 167,70 juta dibandingkan hanya sekitar Rp 10,98 juta di kelompok usaha

kedua itu (Gambar 2).

Gambar 1: Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja di UMK, UM dan UB di Semua Sektor

Ekonomi, (Rp/pekerja)

Sumber: BPS

Gambar 2: Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja di Industri Manufaktur Menurut

Kelompok Usaha (juta rupiah per pekerja)

Sumber: BPS

Page 4: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

4

Alternatif lainnya untuk mengukur tingkat kesejahteraan di UKM adalah dengan menghitung

tingkat produktivitas unit usaha, yakni nilai output atau nilai tambah per unit usaha, seperti yang

ditunjukkan oleh tiga gambar berikut untuk, masing-masing, UMK, UM dan UB. Dapat dilihat bahwa di

dalam kelompok UKM, tingkat produktivitas unit usaha dari UMK lebih rendah daripada UM. Meskipun produktivitas unit usaha dari UMK terus meningkat secara konsisten, nilainya masih tetap kecil, terutama

dibandingkan dengan UB yang mencapai triliun rupiah per perusahaan (Tambunan, 2009b).

Selain nilai output/tambah per unit usaha, tingkat produktivitas usaha bisa juga diukur oleh rata-rata nilai penjualan/omset per hari per usaha. Nilai omset adalah nilai keseluruhan atas barang dan jasa

yang diperdagangkan. Data BPS menunjukkan bahwa UMI memiliki nilai omset rata-rata per hari per unit

usaha jauh lebih rendah dibandingkan UK, apalagi dibandingkan UM. Sedangkan rasio yang sama di kedua sub-kelompok usaha tersebut lebih tinggi daripada rata-rata UKM (Gambar 6).

Gambar 3: Produktivitas Unit Usaha dari Kelompok UMK (juta rupiah)

Sumber: BPS

Gambar 4: Produktivitas Unit Usaha dari Kelompok UM (milyar rupiah)

Sumber: BPS

Gambar 5: Produktivitas Unit Usaha dari Kelompok UB (triliun rupiah)

Sumber: BPS

Page 5: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

5

Gambar 6: Rata-rata Nilai Omset/hari/unit usaha dari UKM menurut Sub-Kelompok

Usaha, 2006 (ribu Rp)

Sumber: BPS

APAKAH KEBIJAKAN UKM EFEKTIF?

Sudah sejak awal era Orde Baru hingga sekarang pemerintah Indonesia begitu banyak

menjalankan berbagai macam program untuk mendorong perkembangan dan pertumbuhan

UKM. Hampir semua tipe atau bentuk intervensi pemerintah untuk mendukung pembangunan

UKM sudah dicoba sejak era Orde Baru sampai sekarang. Tipe-tipe tersebut termasuk kredit

bersubsidi, seperti kredit untuk petani-petani kecil dan koperasi-koperasi desa (KUD), kredit

skala kecil (KIK, KMKP, KUK), dan kredit untuk unit-unit desa (KUPEDES); pengembangan

bank-bank pembangunan perdesaan untuk membiayai kegiatan-kegiatan ekonomi skala kecil

(BKD); pelatihan-pelatihan SDM seperti dalam teknik produksi, manajemen umum (MS/MUK),

sistem-sistem kualitas manajemen ISO-9000, dan kewirausahaan (CEFE, AMT); pemberian

bantuan untuk pengawasan kualitas total dan pengembangan teknologi; penyediaan akses ke

internet (WARSI); penyediaan input-input bersubsidi; fasilitasi; pendirian koperasi untuk UK

manufaktur (KOPINKRA) di sentra-sentra; pembangunan infrastruktur dan lokasi-lokasi khusus

bagi UK manufaktur (industrial estates atau Lingkungan Industri Kecil/LIK), program-program

kemitraan terutama skim Bapak-Angkat; klinik-klinik konsultansi bisnis kecil (KKB); pendirian

Dewan Pendukung Ekspor Indonesia (DPE); pendirian fasilitas-fasilitas pelayanan umum di

sentra-sentra (UPT); dan pelaksanaan sebuah sistem inkubator untuk mendukung pengembangan

pengusaha-pengusaha baru.

Hingga saat ini belum pernah ada suatu evaluasi yang komprehensif terhadap hasil-hasil

dari semua program yang pernah atau sedang dilakukan oleh pemerintah untuk membantu UKM.

Walaupun ada upaya-upaya yang pernah dilakukan oleh sejumlah lembaga/peneliti untuk

mengkaji keberhasilan program-program pengembangan UKM dari pemerintah. Misalnya,

Lembaga Penelitian SMERU yang mencoba memetakan program-program paling penting untuk

UK dan UMI di Indonesia selama periode 1997-2003, baik dari pemerintah maupun yang

diberikan oleh pihak swasta (SMERU, 2004). Walaupun hasilnya tidak terlalu bisa menjawab

apakah kebijakan UKM selama ini efektif. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 3, hasil pemetaan

dari SMERU tersebut menunjukkan bahwa selama periode tersebut ada 64 lembaga yang

melaksanakan program-program pengembangan UK dan UMI. Dari 594 program yang

teridentifikasi, dua pertiganya adalah dari pemerintah.3Lainnya, sekitar 18% diselenggarakan

oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga-lembaga donor sebanyak 8%,

bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya sekitar 5%, 2% dari perusahaan-perusahaan

swasta (UB), dan sisanya oleh badan-badan lain. Menurut laporannya, pada saat proses pemetaan

pemerintah masih menjalankan sebanyak 127 program.

3Skala dari setiap program bervariasi yang sangat tergantung pada jumlah dana, waktu, dan skop geografi.

Page 6: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

6

Tabel 3: Jumlah dari lembaga dan program pengembangan UK dan UMI, 1997-2003

Lembaga Jumlah Program

Jumlah Masih berjalan

Jumlah %

Pemerintah

Bank/lembaga

keuangan

Perusahaan swasta

Lembaga donor

LSM

Lainnya

Total

13

7

10

8

20

6

64

388

31

12

46

109

8

594

127

25

12

15

79

8

266

32,7

80,7

100,0

32,6

72,5

100,0

44,8

Sumber: SMERU (2004).

Selanjutnya, Tabel 4 memperlihatkan tipe bantuan yang diberikan oleh program-program

tersebut. Jumlah dari kegiatan-kegiatan di dalam setiap program juga bervariasi, tetapi umumnya

berkisar dari satu sampai tiga. Dalam jumlah keseluruhannya, tipe-tipe yang paling umum adalah

pemberian pelatihan (22,9%), bantuan modal/kredit (17,3%), fasilitasi (16,1%), dan

diseminasi/introduksi teknologi-teknologi baru (15,2%). Data di tabel yang sama juga

menunjukkan bahwa dari semua lembaga-lembaga pelaksana tersebut, lembaga-lembaga

pemerintah memainkan peran paling menonjol (50,9%), diikuti oleh LSM (29,4%) dan lembaga-

lembaga donor (10,1%). Lembaga-lembaga pemerintah adalah yang paling umum untuk

memperkenalkan teknologi-teknologi baru (27,9%) dan memberikan pelatihan (21,1%),

sedangkan lembaga-lembaga lainnya kebanyakan memberi bantuan permodalan. Berdasarkan

pada tipe dari kegiatan, pelatihan adalah yang paling banyak diselenggarakan oleh lembaga-

lembaga pemerintah (46,9%) dan LSM (37,2%). Bantuan modal lebih banyak diberikan oleh

LSM lokal dan internasional (50,3%), disusul kemudian oleh lembaga-lembaga pemerintah

(15,5%) dan perbankan (14,9%). Fasilitasi lebih banyak diberikan oleh LSM (52,4%) dan

pemerintah (35,7%).

Tabel 4: Proporsi dari program-program pengembangan UK dan UMI berdasarkan tipe

kegiatan dan lembaga pelaksana (%)

Pemerintah Bank UB Lembaga

donor

LSM Lainnya Total

Bantuan modal

Pelatihan

Fasilitasi

Informasi

Fasilitas

Promosi

Diseminasi/introduksi

tekonolgi baru

Panduan

Lainnya

Jumlah tipe kegiatan

5,3

21,1

11,3

1,9

16,2

3,0

27,9

4,3

9,0

531

52,9

13,7

9,8

7,8

2,0

3,9

0,0

0,0

9,8

51

25,0

22,2

19,4

2,8

5,6

13,9

0,0

0,0

11,1

36

21,0

19,0

7,6

3,8

8,6

6,7

6,7

0,0

26,7

105

29,6

29,0

28,7

1,6

1,0

1,0

1,3

0,7

7,2

307

28,6

21,4

0,0

21,4

0,0

7,1

0,0

0,0

21,4

14

17,3

22,9

16,1

2,6

9,7

3,3

15,2

2,4

10,5

1044

Sumber: lihat Tabel 3

Page 7: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

7

Selain program-program tersebut di atas, Indonesia juga punya Undang-undang UKM,

dan departemen khusus yang menangani UKM, yakni Kementerian Koperasi dan UKM. Bahkan

di dalam UU Penanaman Modal ada pasal-pasal khusus mengenai UKM, dan dalam beberapa

tahun belakangan ini pemerintah SBY membuat skim kredit baru yakni Kredit Usaha Rakyat

(KUR). Juga KPPU mengecualikan UK di dalam UU Persaingan Sehat-nya. Dalam singkat kata,

UKM di Indonesia betul-betul di buat seperti anak emas.

Selama ini dalam mengukur keberhasilan program pengembangan UKM, pemerintah

biasanya memakai ukuran jumlah perusahaan/produsen atau pekerja yang mengikuti program

tersebut. Dengan cara ini, hasil sebenarnya dari suatu program UKM tidak pernah terkaji secara

komprehensif. Dengan kata lain, banyaknya yang berpartisipasi atau meningkatnya jumlah

peserta dari suatu program pelatihan, misalnya, yang diselenggarakan oleh Kementerian

Koperasi dan UKM, memang memberi suatu indikasi positif. Tetapi, efektivitas dari program

tersebut tidak bisa dilihat dari jumlah peserta, melainkan harus diukur oleh hasil konkrit dari

mengikuti program tersebut. Jadi, program tersebut dikatakan membuahkan hasil jika semua

peserta merasa puas (dalam arti, pelatihan yang diberikan benar-benar sesuai apa yang

diinginkan oleh peserta) dan mereka bisa selanjutnya mengembangkan sendiri apa yang telah

dipelajari sampai akhirnya hasil riilnya muncul, misalnya dalam bentuk produksi atau omset

penjualan mereka meningkat atau mereka akhirnya bisa menjadi eksportir-eksportir yang andal

yang sebelum mengikuti pelatihan tersebut mereka hanya menjual ke pasar-pasar lokal.4

Ada beberapa studi yang walaupun tidak semuanya secara eksplisit mengkaji kinerja dari

program-program pengembangan UKM di Indonesia, dapat memberikan suatu indikasi

mengenai tingkat efektivitas dari program-program tersebut. Sebagian besar dari studi-studi

tersebut menyimpulkan bahwa program-program pemerintah yang (pernah) ada pada umumnya

tidak terlalu berhasil, khususnya dalam hal pengembangan kemampuan teknis.5Misalnya,

program Bapak-Angkat (BA) yang bermaksud menciptakan keterkaitan-keterkaitan produksi

antara UKM dan UB (termasuk PMA), tetapi tingkat partisipasinya sangat rendah dan tidak

merata. (Tabel 5).6Khususnya pengusaha-pengusaha di perdesaan atau yang berlokasi di daerah-

daerah yang relatif terisolasi dari perkotaan atau pusat-pusat administrasi pemerintahan sulit

sekali terjangkau oleh program tersebut.

4 Lagipula, efektivitas dari suatu program harus dilihat dari perspektif lebih luas atau nasional atau dilihat dari

sudut keuntungan sosial, bukan hanya semata-mata dari keuntungan pribadi; dan ini artinya keuntungan-keuntungan

dari suatu program harus dibandingkan dengan biaya-biaya dari melaksanakan program tersebut untuk menentukan

besarnya keuntungan sosial neto. Keuntungan yang dimaksud di paragraf sebelumnya (misalnya dalam bentuk

kenaikkan omset penjualan) adalah keuntungan pribadi (walaupun ini juga harus dibandingkan dengan ”biaya”

pribadi yang harus dikeluarkan untuk mengikuti program tersebut), sedangkan dalam mengukur keuntungan sosial,

biaya-biaya baik aktual maupun alternatif (kesempatan yang hilang) harus dihitung. Dan pendekatan ini untuk mengukur manfaat dari suatu program pengembangan UKM pada umumnya tidak dilakukan (Dierman, 2004). 5 Untuk diskusi secara eksplisit atau implisit mengenai dampak positif dari program-program pengembangan UKM

dari pemerintah di Indonesia, lihat misalnya Klapwijk (1997), Sandee (1995), Sandee dkk. (2000, 2002), van

Dierman (2004), dan Sato (2000). 6 Di dalam skim BA ini, yang diperkenalkan dan dilaksanakan secara nasional pada bulan Februari 1992, semua

BUMN diharuskan (UB swasta dihimbau untuk berpartisipasi) membantu UKM dengan modal, pelatihan, bantuan

teknis, pemasaran, pengadaan bahan baku, dan banyak lainnya. Misalnya, dalam hal pemasaran, perusahaan-perusahaan induk (BA) menyediakan fasilitas-fasilitas promosi bagi UKM binaan mereka seperti pameran

perdagangan dan study tour atau berperan sebagai perantara antara UKM sebagai penjual dengan calon pembeli

(misalnya dalam bentuk sebuah trading house). Dalam hal teknologi, perusahaan-perusahaan BA memberi bantuan

keuangan bagi UKM binaan mereka untuk membeli mesin-mesin baru atau memberi mereka pelatihan-pelatihan

teknis atau pendampingan oleh teknisi-teknisi selama proses inovasi

Page 8: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

8

Tabel 5: Persentase dari UK dan UMI Manufaktur yang terlibat/tidak terlibat di dalam

program BA dan menurut jenis fasilitas yang didapat, 2000 (a) dan 2003 (b)

Tidak terlibat

(% total) Terlibat (% total)

Tipe fasilitas (% total perusahaan yang terlibat)*

modal/ kredit

Pengadaan bahan baku

Pemasaran Bantuan teknis & pelatihan

Lainnya

(a) (b) (a) (b) (a) (b) (a) (b) (a) (b) (a) (b) (a) (b)

Total UK & UMI UMI UK

95,5 95,5 95,5

87,9 88,9 77,7

4,5 4,5 4,5

12,1 11,1 22,3

40,5 42,2 40,2

21,5 22,02 18,9

54,8 29,4 59,8

47,3 48,7 39,9

53,5 53,2 53,6

52,9 50,8 63,2

4,4 5,1 4,3

3,1 2,7 5,5

0,6 0,0 0,7

2,4 2,6 1,03

Catatan: * = satu perusahaan bisa mendapatkan lebih dari satu jenis fasilitas

Source: BPS (SUSI: Profile Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum.Indonesia Tahun 2000, 2003).

Tetapi hal ini tidak hanya dialami oleh program BA; bantuan-bantuan pemerintah lainnya

juga banyak yang tidak mencakup semua UKM yang ada. Data SUSI (BPS) menunjukkan bahwa

hanya sekitar 1 persen atau kurang dari UK dan UMI yang ada yang pernah mendapatkan

bantuan dari pemerintah (Gambar 7). Juga, cakupannya sangat berat ke Jawa dan Bali, yakni dari

481.714 UK dan UMI non-pertanian yang menerima bantuan pada tahun 2003, 71 persennya

berlokasi di wilayah tersebut.

Pada tahun 2005, Bank Pembangunan Asia (ADB PPTA Project) melakukan suatu studi

untuk mengkaji sejauh mana hasil dari upaya-upaya pemerintah dan swasta selama ini dalam

membantu UKM non-pertanian. Berdasarkan surveinya, penelitian tersebut menemukan bahwa

walaupun pemerintah dan swasta telah melakukan berbagai macam program, hasilnya tidak

memuaskan. Ditemukan hanya ada beberapa jalur komunikasi antara lembaga-lembaga

pemerintah dan UKM, dan banyak sekali pengusaha UKM (bahkan sebagian besar dari jumlah

responden) yang tidak mengetahui adanya pelayanan-pelayanan publik untuk pengembangan

bisnis (yang umum dikenal dengan business development services, atau BDS). Ini jelas masalah

keterbatasan informasi; bisa kesalahan dari pihak pemberi pelayanan atau dari pihak UKM itu

sendiri; atau dua-duanya. Namun demikian, sering juga ditemui pengusaha-pengusaha UKM

(khususnya UK dan UMI) yang tidak menyadari kemungkinan-kemungkinan pengembangan

teknologi, atau kalau mereka mengetahui ada pelayanan-pelayanan publik yang bisa membantu

mereka dalam hal itu, banyak dari mereka yang tidak terlalu bersemangat menggunakannya atau

tidak mampu membayarnya. Selain itu, penelitian tersebut juga melaporkan bahwa sering kali

lembaga-lembaga pemberi pelayanan seperti BDS tidak mengetahui apa sebenarnya yang

dibutuhkan oleh pengusaha-pengusaha UKM, karena BDS tidak menjalin suatu jaringan kerja

yang baik dengan mereka. Akibatnya, pelayanan yang disediakan oleh BDS tidak sesuai dengan

kebutuhan riil dari pengusaha-pengusaha UKM (Tambunan, 2007).

Klapwijk (1997) memberi alasan rendahnya tingkat partisipasi dari pengusaha-pengusaha

UKM di dalam program-program pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah sebagai

berikut in view of the wide definition of small industry employed by the Ministry, much of the

promotion efforts may have bypassed the smallest enterprises that are most in need of

assistance……. The extension officers generally have little technical or business experience, and

training or other technical facilities have been largely provided according to the directions of

central planners, rather than having been adapted to local needs. (page 65). Jadi, masalahnya

bukan hanya kurangnya informasi, tetapi juga banyak pengusaha kecil tidak melihat manfaat

langsung dari bantuan-bantuan yang diberikan oleh pemerintah.

Page 9: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

9

Gambar 7: Proporsi dari UK dan UMI yang menerima bantuan dari pemerintah menurut

wilayah, 2003 (% dari total UK dan UMI di dalam wilayah).

0.98

1.28

3.3

0.44

2.13

0.98

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

Sumate

ra

Java &

Bali

Nusa Tenggara

Kalimanta

n

Sulawesi

Malu

ku &

Papua

%

Sumber: BPS (SUSI 2003).

Masalah rendahnya kualitas dari materi pelatihan yang diberikan, dalam arti banyak yang

tidak efektif dalam meningkatkan kapabilitas teknologi atau teknik produksi dari pengusaha-

pengusaha yang dilatih, juga ditemukan oleh Sandee dkk. (2000,2002) dari hasil penelitiannya di

kluster industri genteng di Boyolali (Jawa Tengah). Ia mengatakan bahwa materi serta informasi

lainnya yang diberikan tidak selalu sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pengusaha-

pengusaha di kluster tersebut.

Bantuan penting lainnya dari pemerintah selama ini, khususnya pada era Soeharto, yang

sebenarnya sangat berguna bagi pengembangan atau difusi teknologi antar perusahaan di sentra-

sentra UKM yang dibina pemerintah di seluruh Indonesia adalah Unit Pelayanan Teknis (UPT).

Unit-unit ini menyediakan berbagai macam mesin dan laboratorium (walaupun tidak semua UPT

punya laboratorium) dan juga berbagai macam pelatihan bagi semua UKM di dalam sentra-

sentra binaan pemerintah tersebut, dan dikelola oleh teknisi-teknisi dari Departemen

Perindustrian yang khusus dilatih untuk mengelolanya dan membantu UKM. Van Diermen

(2004) menyimpulkan bahwa hasil dari keberadaan UPT pada umumnya buruk. Unit-unit

tersebut tidak berhasil memberikan pelayanan-pelayanan secara efektif; bahkan banyak

perusahaan di luar sentra yang menggunakannya, yang sebenarnya hanya untuk UKM di dalam

sentra. Ada beberapa masalah di dalam pengoperasian UPT yang diidentifikasi oleh van Dierman

sebagai berikut: (i) tipe-tipe pelayanan yang diberikan sangat supply oriented bukan didasarkan

pada kebutuhan riil dari pengusaha; (ii) kebanyakan dari mesin-mesin dan peralatan-peralatan

yang ada sudah tua dan tidak diganti dengan yang baru. Awalnya, unit-unit tersebut dipasok

dengan mesin-mesin dan peralatan-peralatan berteknologi modern. Namun, setelah beberapa

tahun, terutama setelah krisis ekonomi 1997/1998, keterbatasan dana membuat pemerintah tidak

sanggup mengganti mesin-mesin dan peralatan-peralatannya yang sudah tua dengan yang baru

sesuai perubahan teknologi dan kebutuhan pasar; (iii) pelayanan yang diberikan tidak

diskriminatif, dalam arti semua termasuk UB dari luar sentra juga bisa mendapatkan semua

fasilitas yang disediakan oleh UPT; (iv) teknisi-teknisi dari departemen yang menjalankan UPT

sering kali kurang mendapatkan pelatihan-pelatihan yang sesuai untuk bisa memahami

kebutuhan UKM yang sebenarnya; dan (v) karena diselenggarakan oleh pemerintah, yang

terkenal dengan birokrasinya, tidak ada fleksibilitas yang cukup di dalam sistem pelayanan yang

bisa menyesuaikan dengan perubahan kebutuhan-kebutuhan dari UKM, kemungkinan besar

akibat salah satunya struktur birokrasi yang kaku dari UPT.

Untuk semua program-program pengembangan UKM, van Dierman (2004)

menyimpulkan bahwa hanya sebagian kecil yang hasilnya dapat dikatakan positif, seperti

Page 10: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

10

misalnya skim-skim kredit mikro. Menurutnya, banyak program pemerintah akhirnya menjadi

tidak efektif karena kebijaksanaan-kebijaksanaan makro yang mungkin tidak disengaja namun

menimbulkan ekstra biaya atau hambatan-hambatan bagi UKM, yang membuat banyak UKM,

khususnya UMI dan UK beroperasi diluar ekonomi formal. Ia selanjutnya menegaskan bahwa

sebenarnya, kebijaksanaan-kebijaksanaan makro yang menciptakan suatu lingkungan usaha yang

baik, yang tidak “anti” UKM, seperti pertumbuhan ekonomi atau peningkatan pendapatan yang

pesat dan kerja pasar output maupun input yang tidak terdistorsi jauh lebih penting (atau

dampaknya jauh lebih nyata) terhadap UKM daripada program-program khusus untuk UKM.

Berdasarkan penelitian mereka terhadap kluster industri mebel di Jepara (Jawa Tengah),

Sandee dkk. (2000) memberi suatu kesimpulan bahwa intervensi publik lebih besar

kontribusinya terhadap keberhasilan suatu kluster. Sedangkan kalau hanya mengandalkan skim-

skim bantuan khusus bagi UKM tanpa memperhatikan lingkungan lebih luas yang sangat

dipengaruhi oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan publik, tidak akan ada hasilnya atau hasilnya akan

kecil. Pengalaman dari keberhasilan kluster industri mebel tersebut menunjukkan bahwa suatu

paket pembangunan yang komprehensif, termasuk penyediaan suatu fasilitas pelayanan umum

(seperti UPT) untuk pengeringan kayu, pelatihan ekspor, dan dukungan untuk berpartisipasi

didalam pameran-pameran perdagangan internasional, dan didukung oleh investasi public seperti

pembangunan/perbaikan infrastruktur regional (seperti jaringan telepon, jalan raya, dan fasilitas

peti kemas) sangat menolong pengusaha-pengusaha di kluster itu mengembangkan pasar ekspor

mereka secara bertahap.

Sedangkan suatu studi lapangan yang pernah dilakukan oleh Sato (2000) di sejumlah

kluster di industri pengerjaan logam dan mesin di Jawa (seperti di Ceper dan Sidoarjo)

menyimpulkan bahwa keberhasilan pembangunan dari kluster-kluster tersebut dicapai selama itu

tanpa dukungan dari pemerintah yang signifikan. Tanggapannya mengenai efektivitas dari

bantuan-bantuan pemerintah kepada UKM di Indonesia juga didukung oleh temuan dari

Tambunan (1998) dari studinya di kluster industri mebel rotan di Padang (Sumatra Barat). Ia

menyimpulkan bahwa upaya-upaya pemerintah mendukung UKM selama itu kurang efektif.

Salah satu alasannya adalah tidak adanya suatu koordinasi yang baik antar departemen. Banyak

sentra UKM yang mendapat pelatihan-pelatihan dari badan-badan pemerintah lokal seperti

kantor-kantor wilayah dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menegkop &

UKM), Departemen Perindustrian, perguruan tinggi negeri (PTN), dan Balai Latihan Kerja dari

Departemen Tenaga Kerja. Namun demikian, banyak diantara mereka yang memberikan materi-

materi pelatihan yang relatif sama, dan tidak ada upaya-upaya serius untuk berkoordinasi agar

program-program yang mereka berikan tidak tumpang tindih atau sama.

Juga peran dari lembaga-lembaga R&D milik pemerintah dan PTN dalam membantu

perkembangan teknologi di UKM masih jauh dari optimal. Padahal, bukti dibanyak negara

menunjukkan bahwa lembaga-lembaga seperti ini bisa memberikan konstribusi sangat besar

terhadap peralihan atau penyebaran teknologi dan pengetahuan, khususnya bagi perusahaan-

perusahaan di sektor manufaktur, lewat berbagai cara seperti publikasi-publikasi baik yang

sifatnya sangat ilmiah maupun pengetahuan umum, paten dan jasa konsultansi (Agrawal, 2001).

Di Indonesia, lembaga-lembaga R&D publik terdiri dari 12 tingkat nasional dan beberapa

pusat R&D pada tingkat regional dari Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI),

Departemen Perindustrian, dan pusat-pusat penelitian dari lembaga-lembaga penelitian

pemerintah non-departemen, terutama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan

Lembaga Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Namun demikian, pusat-pusat R&D dari

BPPT lebih banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan sertifikasi produk, pelatihan dan pengujian

untuk perusahaan-perusahaan manufaktur, terutama BUMN dan UKM, daripada kegiatan-

kegiatan R&D dalam arti yang sebenarnya. Banyak penelitinya yang kurang terlatih, dan sering

tidak menyadari perkembangan-perkembangan teknologi terkini di bidang-bidang mereka

Page 11: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

11

masing-masing. Juga banyak peralatan laboratorium yang sudah tua karena pusat-pusat tersebut

kekurangan dana, terutama sejak krisis ekonomi 1997/98 (Tambunan, 2010).

Sebenarnya, lembaga-lembaga R&D pemerintah non-departemen, khususnya LIPI dan

BPPT, lebih baik pendanaannya. Walaupun dari perspektif internasional atau sesuai kebutuhan

yang sebenarnya, masih jauh dari mencukupi. Juga dibandingkan dengan lembaga-lembaga

R&D dari departemen-departemen, LIPI dan BPPT mempunyai peralatan yang lebih modern dan

peneliti yang lebih berkualitas; banyak dari mereka yang mendapatkan pelatihan atau pendidikan

tinggi di luar negeri. Bahkan boleh dikatakan bahwa diantara lembaga-lembaga tersebut,

termasuk departemen, BPPT merupakan lembaga yang memimpin dalam mendukung

pengembangan teknologi di UKM. Program-programnya mencakup banyak sektor, mulai dari

pengembangan teknologi tepat guna di sektor industri manufaktur, enjinir, hortikultura,

perikanan, teknologi pupuk-bio, hingga teknologi daur ulang sisa-sisa produksi. BPPT juga

mendirikan banyak sentra-sentra seperti Center for Technology Policy Assessment (P2KT),

Center for Development of Regional Comparative Advantages and Society Capacity Upgrading

(PUDPKM), dan Center for Development of Appropriate Technology (PTTG). BPPT

memberikan bantuan teknis kepada banyak kelompok UKM di banyak wilayah di dalam negeri,

termasuk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Bengkulu, Banda Aceh, Sumatera Barat,

Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan banyak lagi. Dalam kegiatannya, BPPT bekerjasama

erat tidak hanya dengan Menteri IPTEK, tetapi juga dengan universitas-universitas setempat

seperti ITB (Bandung), Universitas Negeri Malang (Malang), Institut Teknologi 10 November

(Surabaya), Universitas Negeri Mataram (Mataram), Universitas Negeri Bengkulu (Kota

Bengkulu), Universitas Negeri Sam Ratulangi (Menado), Universitas Negeri Haluoleo (Kendari),

Universitas Negeri Hasanudin (Makasar), dan Universitas Negeri Padang (Padang).

LIPI juga sangat aktif lewat IPTEKDA-nya dalam mendukung pengembangan UKM di

semua sektor dan di semua wilayah di tanah air. Tujuan utama dari IPTEKDA LIPI adalah

mendukung pengembangan kapasitas UKM dengan memberi berbagai macam bantuan, termasuk

pendanaan, teknologi, pelatihan dan pendampingan, dan bahan baku. Selama periode 1998-2004,

ada 317 program (Table 6). Hingga saat ini peralihan teknologi dari LIPI kepada UKM

mencakup teknologi minuman dan makanan, teknologi rekayasa untuk produk-produk kerajinan,

teknologi untuk air bersih, teknologi untuk pengembangan produk-produk berbasis logam, dan

teknologi untuk pengembangan perikanan dan peternakan.

Namun demikian, masih sangat kurang laporan-laporan mengenai hasil-hasil dari semua

kegiatan-kegiatan tersebut. Misalnya, BPPT dan LIPI belum pernah mengeluarkan laporan

tahunan tidak hanya mengenai program-program yang sudah atau sedang dilakukan tetapi juga

hasilnya. Pertanyaan disini adalah: apakah UKM yang telah dibantu oleh BPPT dan LIPI

menunjukkan suatu kemajuan dalam kinerjanya, misalnya dari hanya melayani pasar lokal

sekarang setelah dibantu oleh BPPT atau LIPI sudah bisa melakukan ekspor?

Tabel 6: Persentase Distribusi Program IPTEKDA-LIPI menurut Wilayah, 1998-2004

Wilayah Jumlah %

Jawa Tengah

Jawa Timur

D.I. Yogyakarta

Jawa Barat & Banten

Luar Jawa

Jumlah (28 provinsi)

36

56

7

111

107

317

11,36

17,67

2,20

35,0

33,75

100,0

Source: P2E-LIPI 2005.

Page 12: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

12

Memang tidak mudah melakukan suatu evaluasi mengenai efektivitas suatu program.

Karena dua sisi harus dilihat sekaligus dan dibandingkan, yakni sisi pengeluaran/biaya dengan

hasil. Dalam sisi biaya, juga harus dilihat biaya alternatifnya. Misalnya, suatu program UKM

dengan biaya Rp 1 juta dan UKM yang dibantu bisa menaikkan omsetnya sebesar Rp 2 juta.

Maka secara langsung dapat dikatakan bahwa program tersebut sangat efektif. Namun apabila

Rp 1 juta tersebut digunakan untuk membangun jalan raya yang akibat adanya jalan raya tersebut

UKM di wilayah sekitarnya bisa menaikkan omsetnya sebesar Rp 3 juta, maka program UKM

tersebut kurang efektif, karena biaya alternatifnya lebih besar dari hasilnya (3 juta > 2 juta).

PARADIGMA HARUS BERUBAH

Fakta selama ini menunjukkan bahwa UKM Indonesia sampai sekarang masih relatif lemah

dalam banyak hal, termasuk masih lebih terpusat pada produksi berteknologi rendah seperti

makanan, pakaian jadi, meubel, dan kerajinan, jika dibandingkan dengan UKM di negara-negara

lain seperti Korea Selatan, Thailand, Jepang, dll. Jika melihat pameran produk-produk UKM di

Senayan setiap tahun dalam rangka hari ulang tahun Koperasi, barang-barang yang dihasilkan

oleh UKM Indonesia hanya itu-itu saja, kebanyakan kerajinan dan produk-produk dari kayu

seperti meubel. Sedangkan melihat pameran-pameran serupa di luar negeri, apalagi di negara-

negara maju, produk-produk UKM-nya mencakup mulai dari elektronik hingga komponen-

komponen untuk pesawat terbang hingga roket NASA di Amerika Serikat.

Apa penyebabnya? Jawabannya sederhana. Selama ini UKM dilihat sebagai salah satu

alat untuk meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan. Di setiap seminar atau

lokakarya yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pemerintah, pidato pembukaan dari

Menteri atau Dirjen selalu diawali dengan pernyataan berikut:” UKM sangat penting karena

menyerap banyak kesempatan kerja……..”. Sedangkan di luar negeri, khususnya di negara-

negara yang UKM-nya sudah sangat maju, pernyataannya adalah sebagi berikut: “UKM sangat

penting karena berperan sebagai sumber inovasi, sebagai industri pendukung, sebagai vendor,

sebagai sumber pertumbuhan UB lewat subcontracting, sebagai pendorong peningkatan daya

saing, dan lain-lain. Jadi peran UKM di mata pemerintah di Indonesia memang berbeda daripada

di NM. UKM di Indonesia lebih dianggap sebagai “alat” kebijakan kesempatan kerja dan

pengurangan kemiskinan daripada sebagai sumber inovasi dan daya saing ekonomi. Hal ini bisa

dilihat, misalnya, di BAPPENAS, dimana masalah UKM ditangani oleh Bidang Kemiskinan,

Ketenagakerjaan dan UKM. Sebenarnya UKM harus satu bidang dengan misalnya peningkatan

ekspor dan daya saing, bukan dengan masalah kesempatan kerja dan kemiskinan.

Dalam kata lain, kebijakan UKM selama ini di Indonesia lebih berorientasi sosial (yakni

mendorong pertumbuhan UKM untuk meningkatkan kesempatan kerja atau mengurangi

kemiskinan), bukan berorientasi pasar dan daya saing (yakni meningkatkan ekspor, pangsa pasar

domestik, dan daya saing nasional), dan ini yang menyebabkan UKM Indonesia tetap lemah.

Jika jumlah UKM di Indonesia meningkat setiap tahun, pembuat kebijakan UKM merasa puas

karena berarti jumlah kesempatan kerja juga meningkat. Jadi fokus dari kebijakan UKM yang

berorientasi sosial tersebut lebih pada kuantitas, bukan kualitas. Pembuat kebijakan UKM di

Indonesia tidak terlalu peduli terhadap rendahnya produktivitas dan kualitas produk yang dibuat

UKM. Bagi pembuat kebijakan UKM, yang terpenting adalah kelompok usaha tersebut tetap

eksis dan jumlahnya terus bertambah. Oleh karenanya, tidak heran kenapa kebijakan UKM di

Indonesia lebih difokuskan pada pemberian kredit, bukan, misalnya, memberikan berbagai

macam fasilitas agar UKM bisa melakukan inovasi atau R&D, atau program-program yang

mendorong kerjasama antara UB dan UKM atau antara perguruan tinggi dan UKM untuk

peralihan teknologi. Juga tidak heran kenapa kredit UKM di Indonesia lebih untuk modal kerja

bukan untuk membiayai kegiatan R&D/inovasi.

Page 13: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

13

Sudah waktunya paradigma mengenai peranan UKM di Indonesia berubah. Memang

pengangguran dan kemiskinan adalah dua masalah serious di Indonesia. Namun ini bukan

tanggung jawab UKM. UKM tidak beda dengan UB, dalam arti kedua kelompok usaha tersebut

adalah kegiatan bisnis yang mencari keuntungan sebanyak mungkin, bukan sebuah organisasi

sosial yang sengaja didirikan semata-mata untuk menciptakan kesempatan kerja. Di semua buku

teks mengenai definisi pengusaha atau kewirausahaan dikatakan bahwa seorang usahawan

adalah orang yang inovatif, kreatif, dan lain-lain yang mencari keuntungan…..; tidak dikatakan

adalah orang-orang yang ingin menciptakan kesempatan kerja. Andai kata UKM Indonesia

menjadi lebih padat modal karena menggunakan banyak mesin yang membuat ekspornya dan

pangsa pasar domestiknya meningkat tajam, sehingga tidak menciptakan banyak kersempatan

kerja, apakah berarti UKM sekarang menjadi tidak penting di Indonesia?

Implikasi dari perubahan paradigma dari orientasi sosial ke orientasi pasar dan daya saing

adalah bahwa kebijakan UKM harus menekankan sejumlah prinsip dasar, diantaranya sebagai

berikut. Pertama, bisnis adalah bisnis: jika seseorang membuka usaha sendri namun terpaksa

tutup karena kalah bersaing, biarkan saja, namanya bisnis, dan bisnis selalu berurusan dengan

persaingan. UKM jangan dipaksa bertahan jika memang barangnya tidak lagi disukai oleh

konsumen. Kedua, hanya UKM yang memiliki potensi pasar karena punya keuggulan komparatif

dan kompetitif yang perlu dibantu oleh pemerintah; jadi prinsipnya adalah “picking the winners”.

Ketiga, penekanan bantuan harus pada pengembangan teknologi dan inovasi. Keempat,

pemberian kredit tidak merupakan komponen terpenting. Uang ada dimana-mana dan akan

datang dengan sendirinya jika seseorang menunjukkan kemampuannya untuk membuat sesuatu

yang akan laku keras di pasar. Bill Gate dari Microsoft, dan banyak lagi contoh orang-orang

yang berhasil dari nol, sudah membuktikannya. Buktikan dulu kemampuan inovasi baru dapat

dana bantuan. Terakhir, bantua pada UKM tidak bersifat protektif. UKM yang bisa maju hanya

UKM yang bersaing bebas dalam kondisi pasar non-deskriminasi. Sama seperti setiap pelajar di

sekolah yang punya hak yang sama (misalnya dapat pelajaran tambahan) dan saling bersaing

secara bebas dan adil, yang pada akhirnya ada yang tinggal kelas dan ada yang naik kelas.

Daftar Pustaka

Agrawal Ajay (2001), “University-to-industry knowledge transfer: literature review and

unanswered questions”, International Journal of Management Review, 3(4): 370-85.

Dierman, Peter van (2004), “ The Economic Policy Environment for Small Rural Enterprises in

Indonesia”, dalam Thomas R. Leinbach (ed.), The Indonesian Rural Economy Mobility, Work

and Enterprise, Singapore: ISEAS: 95-117. Sandee, Henry (1995), “Innovation Adoption in Rural Industry: Technological Change in Roof Tile Clusters

in Central Java, Indonesia”, disertasi PhD tidak dipublikasi, Vrije Universiteit, Amsterdam. Sandee, Henry, Roos Kities Andadari dan Sri Sulandjari (2000), “Small Firm Development during Good

Times and Bad: The Jepara Furniture Industry”, dalam C. Manning dan P. van Dierman (ed.), Indonesia

in Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis, Indonesia Assessment Series, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, Canberra, dan Institute of Southeast Asian

Studies, Singapore: 184-98.

Sandee, Henry, B. Isdijoso, dan Sri Sulandjari (2002), SME clusters in Indonesia: An analysis of growth dynamics and employment conditions, Jakarta: International Labor Office (ILO).

Sato, Yuri (2000), “Linkage Formation by Small Firms: The Case of a Rural Cluster in Indonesia”, Bulletin

of Indonesian Economic Studies, 36(1):137-66.

Klapwijk, Martin (1997), “Rural Industry Clusters in Central Java, Indonesia. An Empirical

Assessment of their Role in Rural Industrialization”, disertasi PhD tidak dipublikasi, Tinbergen

Institute Research Series No.153, Vrije Universiteit Amsterdam.

Page 14: KEBIJAKAN PENGEMBANGAN UKM

14

SMERU (2004), “Mapping Assistance Programs to Strengthen Microbusinesses”, Smeru News,

no.10, April-Juni, Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.

Tambunan, Tulus T.H. (2007), Perkembangan Industri Nasional Sejak Orde Baru Hingga

Pascakrisis, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.

Tambunan, Tulus T.H. (2009a), UMKM di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia

Tambunan, Tulus T.H. (2009b), “Main Factors Determining Competitiveness and Successful

Small and Medium Enterprises in Indonesia”, research report, December, Jakarta:

International Labour Organisation.

Tambunan, Tulus T.H. (2010), “Technology and Skill Upgrading in Manufacturing Small and

Medium Enterprises (SMEs) with A Reference to the Roles of Government, Large

Enterprises, Universities and Public R&D Institutes: A Comparative Study Between Japan

and Indonesia”, research report, March, Tokyo: The Sumitomo Foundation. Thee, Kian Wie (1998), Determinants of Indonesia’s Industrial Technology Development, dalam Hill dan

Thee (ed.): 117-35.