KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PROFESI GURUfkip.unsri.ac.id/userfiles/file/PLPG 2016/13_ BHS INDONESIA...
Transcript of KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PROFESI GURUfkip.unsri.ac.id/userfiles/file/PLPG 2016/13_ BHS INDONESIA...
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PROFESI GURU
Materi Pendidikan dan Latihan Profesi Guru
Tahun 2012
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2012
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP i
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PROFESI GURU
3 Jam Pelajaran
Pengarah
Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd
Penanggung Jawab
Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd
Tim Penyusun
Dra. Dian Mahsunah, M.Pd
Dian Wahyuni, SH, M.Ed
Drs. Arif Antono
Dra. Santi Ambarukmi, M.Ed
Editor
Prof. Dr. Sudarwan Danim
BAHAN AJAR PLPG
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP ii
SAMBUTAN
KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DAN PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Marilah kita bersama-sama memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulisan bahan untuk mata ajar Kebijakan
Pengembangan Profesi Guru dapat diselesaikan. Bahan ajar ini dikembangkan dari rambu-
rambu struktur kurikulum Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) tahun 2012.
Kehadiran bahan ajar ini diharapkan menjadi penguat bagi peserta PLPG untuk memenuhi
standar kompetensi lulusan yang telah dirumuskan.
Substansi bahan ajar ini berkaitan dengan kebijakan pembinaan dan pengembangan
profesi guru di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya tentang
peningkatan kompetensi, penilaian kinerja, pengembangan karir, perlindungan dan
penghargaan, serta etika profesi guru. Substansi sajian ini diharapkan dapat menginspirasi
peserta PLPG untuk memahami secara lebih mendalam dan mengaplikasikan secara baik hal-
hal yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud.
Kami menyadari sepenuhnya, bahwa pencapaian standar kompetensi lulusan bagi
peserta PLPG merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan guru yang profesional, yang
mampu mengelola proses pembelajaran yang bermutu. Hal ini menjadi bagian integral dari
upaya mentransformasi visi Badan Pengembangan SDMPK daミ PMP, yaitu さterseleミggaraミya layanan prima untuk membentuk SDM pendidikan dan kebudayaan yang profesional dan
berマartabat serta peミjaマiミaミ マutu peミdidikaミ yaミg terstaミdarざ マeミjadi realitas.
Kami yakin dan percaya bahwa substansi bahan ajar ini sangat relevan bagi peserta
PLPG untuk memahami dan kemudian mengaplikasi-kan aneka kebijakan dalam
pengembangan profesi guru. Kami mengucap-kan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi dalam penyusunan bahan ajar ini. Mudah-mudahan kehadiran bahan ajar ini
dapat mengoptimasi peserta PLPG untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran
pada satuan pendidikan tempatnya menjalankan tugas-tugas profesional.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP iii
PENGANTAR
KEPALA PUSAT PENGEMBANGAN PROFESI PENDIDIK
BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DAN
PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Sertifikasi guru merupakan amanat Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru mengharuskan bahwa guru
profesional memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1 atau Diploma IV dan
bersertifikat pendidik. Salah satu pola sertifikasi guru dalam jabatan adalah Pendidikan dan
Pelatihan Profesi Guru (PLPG) yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki
program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Salah satu mata ajar dalam PLPG tahun 2012 adalah Kebijakan Pengembangan Profesi
Guru. Bahan ajar ini ditulis dan dikembangkan bersama oleh Tim Pusat Pengembangan Profesi
Pendidik dengan editor Prof. Dr. Sudarwan Danim dari rambu-rambu struktur kurikulum PLPG
tahun 2012. Kehadiran bahan ajar ini diharapkan menjadi sumber belajar dan penguat bagi
peserta PLPG untuk memenuhi standar kompetensi lulusan yang telah disepakati oleh
pengembang sesuai dengan regulasi yang ada.
Secara keseluruhan, substansi bahan ajar ini berkaitan dengan kebijakan pembinaan dan
pengembangan profesi guru di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
khususnya tentang peningkatan kompetensi, penilaian kinerja, pengembangan karir,
perlindungan dan penghargaan, serta etika profesi guru. Substansi sajian ini diharapkan dapat
menginspirasi peserta PLPG untuk memahami secara lebih mendalam dan mengaplikasikan
secara baik hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan profesi guru sebagaimana
dimaksud.
Kami menyadari sepenuhnya, bahwa pencapaian standar kompetensi lulusan bagi
peserta PLPG merupakan prasyarat untuk mewujudkan guru yang profesional, yang mampu
mengelola proses pembelajaran yang bermutu. Kami yakin dan percaya bahwa substansi
bahan ajar ini sangat relevan bagi peserta PLPG untuk memahami dan kemudian
mengaplikasikan aneka kebijakan dalam pengembangan profesi guru.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi
dalam penyusunan bahan ajar ini. Mudah-mudahan kehadiran bahan ajar ini dapat
mengoptimasi peserta PLPG untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran di
sekolahnya.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP iv
DAFTAR ISI
Hal.
SAMBUTAN ii
PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Standar Kompetensi 2
C. Deskripsi Bahan Ajar 2
D. Langkah-langkah Pembelajaran 3
BAB I KEBIJAKAN UMUM PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN GURU 4
A. Latar Belakang 4
B. Empat Tahap Mewujudkan Guru Profesional 6
C. Alur Pengembangan Profesi dan Karir 8
D. Kebijakan Pembinaan dan Pengembangan 10
E. Kebijakan Pemerataan Guru 12
BAB II PENINGKATAN KOMPETENSI 16
A. Esensi Peningkatan Kompetensi 16
B. Prinsip-Prinsip Peningkatan Kompetensi dan Karir 17
C. Jenis Program 19
D. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan 20
E. Uji Kompetensi 27
Latihan dan Renungan 31
BAB III PENILAIAN KINERJA 32
A. Latar Belakang 32
B. Pengertian 32
C. Persyaratan 34
D. Prinsip-prinsip Pelaksanaan 34
E. Aspek yang Dinilai 35
F. Prosedur Pelaksanaan 36
G. Konversi Nilai Hasil PK Guru ke Angka Kredit 40
H. Penilai PK Guru 42
I. Sanksi 43
J. Tugas dan Tanggung Jawab 43
Latihan dan Renungan 45
BAB IV PENGEMBANGAN KARIR 46
A. Ranah Pengembangan Guru 46
B. Ranah Pengembangan Karir 48
C. Kenaikan Pangkat 52
Latihan dan Renungan 55
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP v
BAB V PERLINDUNGAN DAN PENGHARGAAN 56
A. Pengantar 56
B. Definisi 57
C. Perlindungan Atas Hak-hak Guru 58
D. Jenis-jenis Upaya Perlindungan Hukum bagi Guru 61
E. Asas Pelaksanaan 64
F. Penghargaan dan Kesejahteraan 64
G. Tunjangan Guru 71
Latihan dan Renungan 75
BAB VI ETIKA PROFESI 76
A. Profesi Guru sebagai Panggilan Jiwa 76
B. Definisi 78
C. Guru dan Keanggotaan Organisasi Profesi 78
D. Esensi Kode Etik dan Etika Profesi 79
E. Rumusan Kode Etik Guru Indonesia 80
F. Pelanggaran dan Sanksi 85
Latihan dan Renungan 86
REFLEKSI AKHIR 87
ACUAN 91
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada peradaban bangsa mana pun, termasuk Indonesia, profesi guru bermakna strategis karena
penyandangnya mengemban tugas sejati bagi proses kemanusiaan, pemanusiaan, pencerdasan,
pembudayaan, dan pembangun karakter bangsa. Makna strategis guru sekaligus meniscayakan
pengakuan guru sebagai profesi. Lahirnya Undang-undang (UU) No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, merupakan bentuk nyata pengakuan atas profesi guru dengan segala dimensinya. Di dalam
UU No. 14 Tahun 2005 ini disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sebagai implikasi dari UU No. 14 Tahun 2005, guru harus menjalani proses sertifikasi untuk
mendapatkan Sertifikat Pendidik. Guru yang diangkat sejak diundangkannya UU ini, menempuh
program sertifikasi guru dalam jabatan, yang diharapkan bisa tuntas sampai dengan tahun 2015.
Pada spektrum yang lebih luas, pengakuan atas profesi guru secara lateral memunculkan
banyak gagasan. Pertama, diperlukan ekstrakapasitas untuk menyediakan guru yang profesional
sejati dalam jumlah yang cukup, sehingga peserta didik yang memasuki bangku sekolah tidak
terjebak pada ngarai kesia-siaan akibat layanan pendidikan dan pembelajaran yang buruk.
Kedua, regulasi yang implementasinya taat asas dalam penempatan dan penugasan guru agar
tidak terjadi diskriminasi akses layanan pendidikan bagi mereka yang berada pada titik-titik terluar
wilayah negara, di tempat-tempat yang sulit dijangkau karena keterisolasian, dan di daerah-daerah
yang penuh konflik.
Ketiga, komitmen guru untuk mewujudkan hak semua warga negara atas pendidikan yang
berkualitas melalui pendanaan dan pengaturan negara atas sistem pendidikan.
Keempat, meningkatkan kesejahteraan dan status guru serta tenaga kependidikan lainnya
melalui penerapan yang efektif atas hak asasi dan kebebasan profesional mereka.
Kelima, menghilangkan segala bentuk diskriminasi layanan guru dalam bidang pendidikan dan
pembelajaran, khususnya yang berkaitan dengan jender, ras, status perkawinan, kekurangmampuan,
orientasi seksual, usia, agama, afiliasi politik atau opini, status sosial dan ekonomi, suku bangsa, adat
istiadat, serta mendorong pemahaman, toleransi, dan penghargaan atas keragaman budaya
komunitas.
Keenam, mendorong demokrasi, pembangunan berkelanjutan, perdagangan yang fair, layanan
sosial dasar, kesehatan dan keamanan, melalui solidaritas dan kerjasama di antara anggota
organisasi guru di mancanegara, gerakan organisasi kekaryaan internasional, dan masyarakat
madani.
Beranjak dari pemikiran teoritis di atas, diperlukan upaya untuk merumuskan kebijakan dan
pengembangan profesi guru. Itu sebabnya, akhir-akhir ini makin kuat dorongan untuk melakukan kaji
ulang atas sistem pengelolaan guru, terutama berkaitan dengan penyediaan, rekruitmen,
pengangkatan dan penempatan, sistem distribusi, sertifikasi, peningkatan kualifikasi dan kompetensi,
penilaian kinerja, uji kompetensi, penghargaan dan perlindungan, kesejahteraan, pembinaan karir,
pengembangan keprofesian berkelanjutan, pengawasan etika profesi, serta pengelolaan guru di
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 2
daerah khusus yang relevan dengan tuntutan kekinian dan masa depan. Untuk tujuan itu,
Kementerian Pendidikan dan kebudayaan selalu berusaha untuk menyempurnakan kebijakan di
bidang pembinaan dan pengembangan profesi guru.
B. Standar Kompetensi
Substansi material Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) dituangkan ke dalam rambu-rambu
struktur kurikulum yang menggambarkan standar kompetensi lulusan. Berkaitan dengan mata ajar
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru, kompetensi lulusan PLPG yang diharapkan disajikan berikut
ini.
1. Memahami kebijakan umum pembinaan dan pengembangan profesi guru di lingkungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
2. Memahami esensi, prinsip, jenis program pengembangan keprofesian guru secara
berkelanjutan, serta uji kompetensi guru dan dampak ikutanya.
3. Memahami makna, persyaratan, prinsip-prinsip, tahap-tahap pelaksanaan, dan konversi nilai
penilaian kinerja guru.
4. Memahami esensi dan ranah pembinaan dan pengembangan guru, khususnya berkaitan dengan
keprofesian dan karir.
5. Memahami konsep, prinsip atau asas, dan jenis-jenis penghargaan dan perlindungan kepada
guru, termasuk kesejahteraannya.
6. Memahami dan mampu mengaplikasikan esensi etika profesi guru dalam pelaksanaan proses
pendidikan dan pembelajaran secara profesional, baik di kelas, di luar kelas, maupun di
masyarakat.
C. Deskripsi Bahan Ajar
Seperti dijelaskan di muka, bahwa substansi material Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG)
dituangkan ke dalam rambu-rambu struktur kurikulum yang menggambarkan standar kompetensi
lulusan. Berkaitan dengan mata ajar Kebijakan Pengembangan Profesi Guru, deskripsi umum bahan
ajarnya disajikan berikut ini.
1. Pengantar ringkas. Mengulas serba sekilas mengenai kebijakan umum pembinaan dan
pengembangan profesi guru di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
2. Peningkatan kompetensi guru. Materi sajian terutama berkaitan dengan esensi, prinsip, jenis
program pengembangan keprofesian guru secara berkelanjutan, serta uji kompetensi guru dan
dampak ikutanya.
3. Penilaian kinerja guru. Materi sajian terutama berkaitan dengan makna, persyaratan, prinsip,
tahap-tahap pelaksanaan, dan konversi nilai penilaian kinerja guru.
4. Pengembangan karir guru. Materi sajian terutama berkaitan dengan esensi dan ranah
pembinaan dan pengembangan guru, khususnya berkaitan dengan keprofesian dan karir.
5. Perlindungan dan penghargaan guru. Materi sajian terutama berkaitan dengan konsep, prinsip
atau asas, dan jenis-jenis penghargaan dan perlindungan kepada guru, termasuk
kesejahteraannya.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 3
6. Etika profesi guru. Materi sajian terutama berkaitan dengan esensi etika profesi guru dalam
pelaksanaan proses pendidikan dan pembelajaran secara profesional, baik di kelas, di luar kelas,
maupun di masyarakat.
D. Langkah-langkah Pembelajaran
Bahan ajar Kebijakan Pengembangan Profesi Guru ini dirancang untuk dipelajari oleh peserta PLPG,
sekali guru menjdi acuan dalam proses pembelajaran bagi pihak-pihak yang tergamit di dalamnya.
Selama proses pembelajaran akan sangat dominan aktivitas pelatih dan peserta PLPG. Aktivitas
peserta terdiri dari aktivitas individual dan kelompok. Aktivitas individual peserta mengawali akivitas
kelompok. Masing-masing aktivitas dimaksud disajikan dalam gambar.
Langkah-langkah aktivitas pembelajaran di atas tidaklah rijid. Namun demikian, melalui
aktivitas itu diharapkan peserta PLPG mampu memahami secara relatif luas dan mendalam tentang
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru, khususnya di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 4
BAB I
KEBIJAKAN UMUM PEMBINAAN DAN
PENGEMBANGAN GURU
Materi sajian pada Bab I ini berupa pengantar umum yang mengulas serba
sekilas mengenai kebijakan umum pembinaan dan pengembangan profesi
guru di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sajian materi
ini dimaksudkan sebagai pengantar materi utama yang disajikan pada bab-
bab berikutnya, yaitu peningkatan kompetensi, penilaian kinerja,
pengembangan karir, perlindungan dan penghargaan, serta etika profesi.
A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang mengalami kecepatan dan percepatan luar
biasa, memberi tekanan pada perilaku manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan
hidupnya. Di bidang pendidikan, hal ini memunculkan kesadaran baru untuk merevitalisasi kinerja
guru dan tenaga kependidikan dalam rangka menyiapkan peserta didik dan generasi muda masa
depan yang mampu merespon kemajuan IPTEK, serta kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Peserta didik dan generasi muda sekarang merupakan manusia Indonesia masa depan yang
hidup pada era global. Globalisasi memberi penetrasi terhadap kebutuhan untuk mengkreasi model-
model dan proses-proses pembelajaran secara inovatif, kreatif, menyenangkan, dan transformasional
bagi pencapaian kecerdasan global, keefektifan, kekompetitifan, dan karakter bangsa. Negara-negara
yang berhasil mengoptimasi kecerdasan, menguasai IPTEK, keterampilan, serta karakter bangsanya
akan menjadi pemenang. Sebaliknya, bangsa-bangsa yang gagal mewujudkannya akan menjadi
pecundang.
Aneka perubahan era globalisasi, agaknya menjadi ciri khas yang berjalan paling konsisten.
Manusia modern menantang, mencipta, sekaligus berpotensi diterpa oleh arus perubahan.
Perubahan peradaban ini menuntut pertaruhan dan respon manusia yang kuat agar siap menghadapi
tekanan internal dan eksternal, serta menunjukkan eksistensi diri dalam alur peradaban.
Pada era globalisasi, profesi guru bermakna strategis, karena penyandangnya mengemban
tugas sejati bagi proses kemanusiaan, pemanusiaan, pencerdasan, pembudayaan, dan pembangun
karakter bangsa. Esensi dan eksistensi makna strategis profesi guru diakui dalam realitas sejarah
pendidikan di Indonesia. Pengakuan itu memiliki kekuatan formal tatkala tanggal 2 Desember 2004,
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mencanangkan guru sebagai profesi. Satu tahun kemudian,
lahir Undang-undang (UU) No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sebagai dasar legal
pengakuan atas profesi guru dengan segala dimensinya.
Metamorfosis harapan untuk melahirkan UU tentang Guru dan Dosen telah menempuh
perjalanan panjang. Pencanangan Guru sebagai Profesi oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
menjadi salah satu akselerator lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 itu. Di dalam UU ini disebutkan bahwa
guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 5
Pascalahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, diikuti dengan beberapa
produk hukum yang menjadi dasar implementasi kebijakan, seperti tersaji pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Milestone Pengembangan Profesi Guru
Aneka produk hukum itu semua bermuara pada pembinaan dan pengembangan profesi guru,
sekaligus sebagai pengakuan atas kedudukan guru sebagai tenaga profesional. Pada tahun 2012 dan
seterusnya pembinaan dan pengembangan profesi guru harus dilakukan secara simultan, yaitu
mensinergikan dimensi analisis kebutuhan, penyediaan, rekruitmen, seleksi, penempatan,
redistribusi, evaluasi kinerja, pengembangan keprofesian berkelanjutan, pengawasan etika profesi,
dan sebagainya. Untuk tujuan itu, agaknya diperlukan produk hukum baru yang mengatur tentang
sinergitas pengelolaan guru untuk menciptakan keselarasan dimensi-dimensi dan institusi yang
terkait.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 6
B. Empat Tahap Mewujudkan Guru Profesional
Kesadaran untuk menghadirkan guru dan tenaga kependidikan yang profesional sebagai sumber daya
utama pencerdas bangsa, barangkali sama tuanya dengan sejarah peradaban pendidikan. Di
Indonesia, khusus untuk guru, dilihat dari dimensi sifat dan substansinya, alur untuk mewujudkan
guru yang benar-benar profesional, yaitu: (1) penyediaan guru berbasis perguruan tinggi, (2) induksi
guru pemula berbasis sekolah, (3) profesionalisasi guru berbasis prakarsa institusi, dan (4)
profesionalisasi guru berbasis individu atau menjadi guru madani.
Berkaitan dengan penyediaan guru, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan
Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru telah menggariskan bahwa penyediaan guru
menjadi kewenangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan, yang dalam buku ini disebut sebagai
penyediaan guru berbasis perguruan tinggi. Menurut dua produk hukum ini, lembaga pendidikan
tenaga kependidikan dimaksud adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan
mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.
Guru dimaksud harus memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1/D-IV dan
bersertifikat pendidik. Jika seorang guru telah memiliki keduanya, statusnya diakui oleh negara
sebagai guru profesional. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun PP No. 74 tentang
Guru, telah mengamanatkan bahwa ke depan, hanya yang berkualifikasi S1/D-IV bidang
kependidikan dan nonkependidikan yang memenuhi syarat sebagai guru. Itu pun jika mereka telah
menempuh dan dinyatakan lulus pendidikan profesi. Dua produk hukum ini menggariskan bahwa
peserta pendidikan profesi ditetapkan oleh menteri, yang sangat mungkin didasari atas kuota
kebutuhan formasi.
Khusus untuk pendidikan profesi guru, beberapa amanat penting yang dapat disadap dari dua
produk hukum ini. Pertama, calon peserta pendidikan profesi berkualifikasi S1/D-IV. Kedua, sertifikat
pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik
yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan ditetapkan oleh pemerintah. Ketiga,
sertifikasi pendidik bagi calon guru harus dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
Keempat, jumlah peserta didik program pendidikan profesi setiap tahun ditetapkan oleh
Menteri. Kelima, program pendidikan profesi diakhiri dengan uji kompetensi pendidik. Keenam, uji
kompetensi pendidik dilakukan melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai dengan standar
kompetensi.
Ketujuh, ujian tertulis dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup penguasaan: (1)
wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan
kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar; (2) materi pelajaran
secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi mata pelajaran, kelompok mata pelajaran,
dan/atau program yang diampunya; dan (3) konsep-konsep disiplin keilmuan, teknologi, atau seni
yang secara konseptual menaungi materi pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program
yang diampunya. Kedelapan, ujian kinerja dilaksanakan secara holistik dalam bentuk ujian praktik
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 7
pembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan
sosial pada satuan pendidikan yang relevan.
Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2008 mengisyaratkan bahwa ke depan
hanya seseorang yang berkualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1 atau D-IV dan memiliki
sertifikat peミdidiklah yaミg さlegalざ direkruit sebagai guru. Jika regulasi ini dipatuhi secara taat asas,
harapannya tidak ada alasan calon guru yang direkruit untuk bertugas pada sekolah-sekolah di
Indonesia berkualitas di bawah standar. Namun demikian, ternyata setelah mereka direkruit untuk
menjadi guru, yang dalam skema kepegawaian negara untuk pertama kali berstatus sebagai calon
pegawai negeri sipil (PNS) guru, mereka belum bisa langsung bertugas penuh ketika menginjakkan
kaki pertama kali di kampus sekolah. Melainkan, mereka masih harus memasuki fase prakondisi yang
disebut dengan induksi.
Ketika menjalani program induksi, diidealisasikan guru akan dibimbing dan dipandu oleh
mentor terpilih untuk kurun waktu sekitar satu tahun, agar benar-benar siap menjalani tugas-tugas
profesional. Ini pun tentu tidak mudah, karena di daerah pinggiran atau pada sekolah-sekolah yang
nun jauh di sana, sangat mungkin akan menjadi tidak jelas guru seperti apa yang tersedia dan
bersedia menjadi mentor sebagai tandem itu. Jadi, sunggupun guru yang direkruit telah memiliki
kualifikasi minimum dan sertifikat pendidik, yang dalam produk hukum dilegitimasi sebagai telah
memiliki kewenangan penuh, masih diperluan program induksi untuk memposisikan mereka menjadi
guru yang benar-benar profesional.
Pada banyak literatur akademik, program induksi diyakini merupakan fase yang harus dilalui
ketika seseorang dinyatakan diangkat dan ditempatkan sebagai guru. Program induksi merupakan
masa transisi bagi guru pemula (beginning teacher) terhitung mulai dia petama kali menginjakkan
kaki di sekolah atau satuan pendidikan hingga benar-benar layak dilepas untuk menjalankan tugas
pendidikan dan pembelajaran secara mandiri.
Kebijakan ini memperoleh legitimasi akademik, karena secara teoritis dan empiris lazim
dilakukan di banyak negara. Sehebat apapun pengalaman teoritis calon guru di kampus, ketika
menghadapi realitas dunia kerja, suasananya akan lain. Persoalan mengajar bukan hanya berkaitan
dengan materi apa yang akan diajarkan dan bagaimana mengajarkannya, melainkan semua
subsistem yang ada di sekolah dan di masyarakat ikut mengintervensi perilaku nyata yang harus
ditampilkan oleh guru, baik di dalam maupun di luar kelas. Di sinilah esensi progam induksi yang
tidak dibahas secara detail di dalam buku ini.
Ketika guru selesai menjalani proses induksi dan kemudian secara rutin keseharian
menjalankan tugas-tugas profesional, profesionalisasi atau proses penumbuhan dan pengembangan
profesinya tidak berhenti di situ. Diperlukan upaya yang terus-menerus agar guru tetap memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum serta kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Di sinilah esensi pembinaan dan pengembangan profesional guru.
Kegiatan ini dapat dilakukan atas prakarsa institusi, seperti pendidikan dan pelatihan, workshop,
magang, studi banding, dan lain-lain adalah penting. Prakarsa ini menjadi penting, karena secara
umum guru pemula masih memiliki keterbatasan, baik finansial, jaringan, waktu, akses, dan
sebagainya.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 8
C. Alur Pengembangan Profesi dan Karir
Saat ini, pengakuan guru sebagai profesi dan tenaga profesional makin nyata. Pengakuan atas
kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi mengangkat martabat dan peran guru sebagai
agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Aktualitas tugas dan fungsi
penyandang profesi guru berbasis pada prinsip-prinsip: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan
idealisme; (2) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan
akhlak mulia; (3) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang
tugas; (4) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (5) memiliki tanggung
jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai
dengan prestasi kerja; (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara
berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai
kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Saat ini penyandang profesi guru telah mengalami perluasan perspektif dan pemaknaannya.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, sebutan guru mencakup: (1)
guru -- baik guru kelas, guru bidang studi/mata pelajaran, maupun guru bimbingan dan konseling
atau konselor; (2) guru dengan tugas tambahan sebagai kepala sekolah; dan (3) guru dalam jabatan
pengawas, seperti tertuang pada Gambar 1.2. Dengan demikian, diharapkan terjadi sinergi di dalam
pengembangan profesi dan karir profesi guru di masa depan.
Telah lama berkembang kesadaran publik bahwa tidak ada guru, tidak ada pendidikan formal.
Telah muncul pula kesadaran bahwa tidak ada pendidikan yang bermutu, tanpa kehadiran guru yang
profesional dengan jumlah yang mencukupi. Pada sisi lain, guru yang profesional nyaris tidak berdaya
tanpa dukungan tenaga kependidikan yang profesional pula. Paralel dengan itu, muncul pranggapan,
jangan bermimpi menghadirkan guru yang profesional, kecuali persyaratan pendidikan,
kesejahteraan, perlindungan, dan pemartabatan, dan pelaksanaan etika profesi mereka terjamin.
Selama menjalankan tugas-tugas profesional, guru dituntut melakukan profesionalisasi atau
proses penumbuhan dan pengembangan profesinya. Diperlukan upaya yang terus-menerus agar
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 9
guru tetap memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum serta
kemajuan IPTEK. Di sinilah esensi pembinaan dan pengembangan profesional guru. Kegiatan ini dapat
dilakukan atas prakarsa institusi, seperti pendidikan dan pelatihan, workshop, magang, studi
banding, dan lain-lain. Prakarsa ini menjadi penting, karena secara umum guru masih memiliki
keterbatasan, baik finansial, jaringan, waktu, akses, dan sebagainya.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008 membedakan antara pembinaan dan
pengembangan kompetensi guru yang belum dan yang sudah berkualifikasi S-1 atau D-IV.
Pengembangan dan peningkatan kualifikasi akademik bagi guru yang belum memenuhi kualifikasi S-1
atau D-IV dilakukan melalui pendidikan tinggi program S-1 atau program D-IV pada perguruan tinggi
yang menyelenggarakan program pendidikan tenaga kependidikan dan/atau program pendidikan
nonkependidikan yang terakreditasi.
Pengembangan dan peningkatan kompetensi bagi guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik
dilakukan dalam rangka menjaga agar kompetensi keprofesiannya tetap sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dan/atau olah raga. Pengembangan
dan peningkatan kompetensi dimaksud dilakukan melalui sistem pembinaan dan pengembangan
keprofesian guru berkelanjutan yang dikaitkan dengan perolehan angka kredit jabatan fungsional.
Pembinaan dan pengembangan keprofesian guru meliputi pembinaan kompetensi-kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Sementara itu, pembinaan dan pengembangan karier
meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Upaya pembinaan dan pengembangan karir
guru ini harus sejalan dengan jenjang jabatan fungsional mereka. Pola pembinaan dan
pengembangan profesi dan karir guru tersebut, sebagaimana disajikan pada Gambar 1.3., diharapkan
dapat menjadi acuan bagi institusi terkait dalam melaksanakan pembinaan profesi dan karir guru.
Pengembangan profesi dan karir diarahkan untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru
dalam rangka pelaksanaan proses pendidikan dan pembelajaran di kelas dan di luar kelas. Inisiatif
meningkatkan kompetensi dan profesionalitas ini harus sejalan dengan upaya untuk memberikan
penghargaan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan terhadap guru.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 10
Seperti telah dijelaskan di atas, PP No. 74 Tahun 2005 tentang Guru mengamanatkan bahwa
terdapat dua alur pembinaan dan pengembangan profesi guru, yaitu: pembinaan dan
pengembangan profesi, dan pembinaan dan pengembangan karir. Pembinaan dan pengembangan
profesi guru meliputi pembinaan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud dilakukan melalui jabatan
fungsional.
Semua guru memiliki hak yang sama untuk mengikuti kegiatan pembinaan dan pengembangan
profesi. Program ini berfokus pada empat kompetensi di atas. Namun demikian, kebutuhan guru
akan program pembinaan dan pengembangan profesi beragam sifatnya. Kebutuhan dimaksud
dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu pemahaman tengtang konteks pembelajaran,
penguatan penguasaan materi, pengembangan metode mengajar, inovasi pembelajaran, dan
pengalaman tentang teori-teori terkini.
Kegiatan pembinaan dan pengembangan profesi dapat dilakukan oleh institusi pemerintah,
lembaga pelatihan (training provider) nonpemerintah, penyelenggara, atau satuan pendidikan. Di
tingkat satuan pendidikan, program ini dapat dilakukan oleh guru pembina, guru inti, koordinator
guru kelas, dan sejenisnya yang ditunjuk dari guru terbaik dan ditugasi oleh kepala sekolah. Analisis
kebutuhan, perumusan tujuan dan sasaran, desain program, implementasi dan layanan, serta
evaluasi program pelatihan dapat ditentukan secara mandiri oleh penyelenggara atau
memodifikasi/mengadopsi program sejenis.
Pembinan dan pengembangan karir guru terdiri dari tiga ranah, yaitu penugasan, kenaikan
pangkat, dan promosi. Sebagai bagian dari pengembangan karir, kenaikan pangkat merupakan hak
guru. Dalam kerangka pembinaan dan pengembangan, kenaikan pangkat ini termasuk ranah
peningkatan karir. Kenaikan pengkat ini dilakukan melalui dua jalur. Pertama, kenaikan pangkat
dengan sistem pengumpulan angka kredit. Kedua, kenaikan pangkat karena prestasi kerja atau
dedikasi yang luar biasa.
D. Kebijakan Pembinaan dan Pengembangan
Untuk menjadi guru profesional, perlu perjalanan panjang. Dengan demikian, kenijakan pembinaan
dan pengmbangan profesi guru harus dilakukan secara kontinyu, dengan serial kegiatan tertentu.
Diawali dengan penyiapan calon guru, rekruitmen, penempatan, penugasan, pengembangan profesi
dan karir (lihat Gambar 1.4), hingga menjadi guru profesional sejati, yang menjalani profesionalisasi
secara terus-menerus. Merujuk pada alur berpikir ini, guru profesional sesungguhnya adalah guru
yang di dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya bersifat otonom, menguasai kompetensi
secara komprehensif, dan daya intelektual tinggi.
Pengembangan keprofesian guru adakalanya diawali dengan penilaian kinerja dan uji
kompetensi. Untuk mengetahui kinerja dan kompetensi guru dilakukan penilaian kinerja dan uji
kompetensi. Atas dasar itu dapat dirumuskan profil dan peta kinerja dan kompetensinya. Kondisi
nyata itulah yang menjadi salah satu dasar peningkatan kompetensi guru. Dengan demikian, hasil
penilaian kinerja dan uji kompetensi menjadi salah satu basis utama desain program peningkatan
kompetensi guru.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 11
Penilaian kinerja guru (teacher performance appraisal) merupakan salah satu langkah untuk
merumuskan program peningkatan kompetensi guru secara efektif dan efisien. Hal ini sesuai dengan
amanat yang tertuang pada Permenneg PAN dan RB No. 16 Tahun 2009. Penilaian kinerja
dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan guru yang sebenarnya dalam melaksanakan
pembelajaran. Berdasarkan penilaian kinerja ini juga akan diketahui tentang kekuatan dan
kelemahan guru-guru, sesuai dengan tugasnya masing-masing, baik guru kelas, guru bidang studi,
maupun guru bimbingan konseling. Penilaian kinerja guru dilakukan secara periodik dan sistematis
untuk mengetahui prestasi kerjanya, termasuk potensi pengembangannya
Disamping keharusan menjalani penilaian kinerja, guru-guru pun perlu diketahui tingkat
kompetensinya melalui uji kompetensi. Uji kompetensi dimaksudkan untuk memperoleh informasi
tentang kondisi nyata guru dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Berdasarkan hasil uji
kompetensi dirumuskan profil kompetensi guru menurut level tertentu, sekaligus menentukan
kelayakannya. Dengan demikian, tujuan uji kompetensi adalah menilai dan menetapkan apakah guru
sudah kompeten atau belum dilihat dari standar kompetensi yang diujikan. Dengan demikian,
kegiatan peningkatan kompetensi guru memiliki rasional dan pertimbangan empiris yang kuat.
Penilaian kinerja dan uji kompetensi guru esensinya berfokus pada keempat kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru.
Kebijakan pembinaan dan pengembangan profesi guru dengan segala cabang aktifitasnya perlu
disertai dengan upaya memberi penghargaan, perlindungan, kesejateraan, dan pemartabatan guru.
Karena itu, isu-isu yang relevan dengan masa depan manajemen guru, memerlukan formulasi yang
sistemik dan sistematik terutama sistem penyediaan, rekruitmen, pengangkatan dan penempatan,
sistem distribusi, sertifikasi, peningkatan kualifikasi, penilaian kinerja, uji kompetensi, penghargaan
dan perlindungan, kesejahteraan, pembinaan karir, pengembangan keprofesian berkelanjutan,
pengawasan etika profesi, serta pengelolaan guru di daerah khusus.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 12
E. Kebijakan Pemerataan Guru
Hingga kini masih muncul kesenjangan pemerataan guru antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan
antarjenis pendidikan, antarkabupaten/kota, dan antarprovinsi. Hal tersebut menunjukkan betapa
rumitnya persoalan yang berkaitan dengan penataan dan pemerataan guru di negeri tercinta ini.
Pemerintah berupaya mencari solusi terbaik untuk memecahkan persoalan rumitnya penataan
dan pemerataan guru tersebut dengan menetapkan Peraturan Bersama Lima Menteri, yaitu
Mendiknas, Menneg PAN dan RB, Mendagri, Menkeu, dan Menag tentang Penataan dan Pemerataan
Guru Pegawai Negeri Sipil. Peraturan ini ditandatangani tanggal 3 Oktober 2011 dan mulai efektif
tanggal 2 Januari 2012. Dalam peraturan bersama ini antara lain dinyatakan, bahwa untuk menjamin
pemerataan guru antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan,
antarkabupaten/kota, dan/atau antarprovinsi dalam upaya mewujudkan peningkatan dan
pemerataan mutu pendidikan formal secara nasional dan pencapaian tujuan pendidikan nasional,
guru pegawai negeri sipil dapat dipindahtugaskan pada satuan pendidikan di kabupaten/kota, dan
provinsi lain.
1. Kebijakan dan Pemerataan Guru
Dalam Peraturan bersama Mendiknas, Menneg PAN dan RB, Mendagri, Menkeu, dan Menag tentang
Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil, tanggal 3 Oktober 2011 dan mulai efektif
tanggal 2 Januari 2012 secara eksplisit menyatakan bahwa:
a. Kebijakan standardisasi teknis dalam penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan
pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan secara nasional ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan Nasional. Demikian juga Menteri Pendidikan Nasional mengkoordinasikan dan
memfasilitasi pemindahan untuk penataan dan pemerataan guru PNS pada provinsi yang
berbeda berdasarkan data pembanding dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Dalam
memfasilitasi penataan dan pemerataan PNS di daerah dan kabupaten/kota, Menteri
Pendidikan Nasional berkoordinasi dengan Menteri Agama.
b. Menteri Agama berkewajiban membuat perencanaan, penataan, dan pemerataan guru PNS
antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan yang menjadi tanggung
jawabnya.
c. Menteri Dalam Negeri berkewajiban untuk mendukung pemerintah daerah dalam hal
penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis
pendidikan untuk memenuhi standardisasi teknis yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan
Nasional serta memasukkan unsur penataan dan pemerataan guru PNS ini sebagai bagian
penilaian kinerja pemerintah daerah.
d. Menteri Keuangan berkewajiban untuk mendukung penataan dan pemerataan guru PNS
antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan sebagai bagian dari
kebijakan penataan PNS secara nasional melalui aspek pendanaan di bidang pendidikan
sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
e. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mendukung
penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis
pendidikan melalui penetapan formasi guru PNS.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 13
f. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya membuat perencanaan
penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis
pendidikan yang menjadi tanggung jawab masing-masing.
2. Kewenangan Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota
a. Dalam pelaksanaan kegiatan penataan dan pemerataan guru, gubernur bertanggung jawab
dan wajib melakukan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan,
antarjenjang, dan antarjenis pendidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah provinsi yang kelebihan atau kekurangan guru PNS.
b. Bupati/walikota bertanggung jawab dan wajib melakukan penataan dan pemerataan guru
PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan di satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang kelebihan dan kekurangan guru
PNS.
c. Gubernur mengkoordinasikan dan memfasilitasi pemindahan guru PNS untuk penataan dan
pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan di
wilayah kerjanya sesuai dengan kewenangannya.
d. Bupati/Walikota mengkoordinasikan dan memfasilitasi pemindahan guru PNS untuk
penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis
pendidikan di wilayah kerjanya sesuai dengan kewenangannya.
e. Gubernur mengkoordinasikan dan memfasilitasi pemindahan guru PNS antarsatuan
pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan
kewenangannya untuk penataan dan pemerataan antarkabupaten/kota dalam satu wilayah
provinsi.
f. Penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis
pendidikan didasarkan pada analisis kebutuhan dan persediaan guru sesuai dengan kebijakan
standardisasi teknis yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
g. Analisis kebutuhan disusun dalam suatu format laporan yang dikirimkan kepada Menteri
Pendidikan Nasional dan Menteri Agama sesuai dengan kewenangannya masing-masing dan
diteruskan ke Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, dan Menteri Keuangan.
Dalam kerangka pemerataan guru, diperlukan pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dan
evaluasi merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dalam kegiatan penataan dan pemerataan
guru, khususnya guru PNS. Oleh karena itu secara bersama-sama Menteri Pendidikan Nasional,
Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menneg PAN dan RB, dan Menteri Keuangan wajib
memantau dan mengevaluasi pelaksanaan penataan dan pemerataan guru sesuai dengan
kewenangan masing-masing.Sedangkan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penataan dan
pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarpendidikan di kabupaten/kota
dilakukan oleh gubernur sesuai dengan masing-masing wilayahnya.
Termasuk dalam kerangka ini, diperlukan juga pembinaan dan pengawasan. Norma-norma
umum pembinaan dan pengawasan disajikan berikut ini.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 14
1. Secara Umum, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan penataan dan pemerataan
guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan dilaksanakan oleh
Menteri Dalam Negeri.
2. Secara teknis, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan penataan dan pemerataan guru
PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan di pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
3. Menteri Agama melaksanakan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan penataan dan
pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan pada
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah di lingkungan Kementerian Agama.
4. Gubernur melaksanakan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan penataan dan
pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan di
pemerintah kabupaten/kota.
Dari mana pendanaannya? Pendanaan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan
pendidikan, antarjenjang, antarjenis pendidikan, atau antarprovinsi pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dibebankan pada APBN, dan penataan dan pemerataan guru PNS
antarsatuan pendidikan, antarjenjang, atau antarjenis pendidikan antarkabupaten/kota dalam satu
provinsi pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dibebankan pada
APBD provinsi. Sedangkan pendanaan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan,
antarjenjang, atau antarjenis pendidikan antarkabupaten/kota, atau antarprovinsi pada satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota dibebankan pada APBD
kabupaten/kota.
Pelaksanaan pelaporan penataan dan pemerataan guru disajikan berikut ini.
1. Bupati/Walikota membuat usulan perencanaan penataan dan pemerataan guru PNS
antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan di wilayahnya dan
menyampaikannya kepada Gubernur paling lambat bulan Februari tahun berjalan. Kemudian
Gubernur mengusulkan perencanaan seperti tersebut di atas, dan perencanaan penataan
dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan
di wilayahnya kepada Menteri Pendidikan Nasional melalui Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikan (LPMP) dan Menteri Agama sesuai dengan kewenangannya masing-masing paling
lambat bulan Maret tahun berjalan.
2. Bupati/Walikota membuat laporan pelaksanaan penataan dan pemerataan guru PNS
antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan di wilayahnya dan
menyampaikannya kepada Gubernur paling lambat bulan April tahun berjalan. Kemudian
Gubernur melaporkan pelaksanaan penataan dan pemerataan guru PNS kepada Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan
Menteri Agama sesuai dengan kewenangannya masing-masing paling lambat bulan Mei
tahun berjalan dan diteruskan ke Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri Keuangan.
3. Menteri Agama menyampaikan informasi tentang perencanaan dan pelaksanaan penataan
dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan
di wilayah kerjanya dan menyampaikannya kepada Menteri Pendidikan Nasional, Menteri
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 15
Keuangan, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
paling lambat bulan Mei tahun berjalan.
4. Berdasarkan laporan pelaksanaan penataan dan pemerataan guru PNS dan informasi dari
Kementerian Agama tersebut di atas, Menteri Pendidikan Nasional melakukan evaluasi dan
menetapkan capaian penataan dan pemerataan guru PNS secara nasional paling lambat
bulan Juli tahun berjalan.
5. Hasil evaluasi disampaikan oleh Menteri Pendidikan Nasional kepada Menteri Keuangan,
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri
Dalam Negeri untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.
Sanksi bagi pihak-pihak yang tidak melaksanakan kebijakan ini adalah sebagai berikut:
1. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menghentikan sebagian atau seluruh bantuan finansial
fungsi pendidikan dan memberikan rekomendasi kepada Kementerian terkait sesuai dengan
kewenangannya untuk menjatuhkan sanksi kepada Bupati/Walikota atau Gubernur yang
tidak melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan penataan dan pemerataan guru
PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, atau antarjenis pendidikan di daerahnya.
2. Atas dasar rekomendasi tersebut di atas, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi menunda pemberian formasi guru PNS kepada Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Atas dasar rekomendasi tersebut di atas, Menteri Keuangan dapat melakukan penundaan
penyaluran dana perimbangan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Atas dasar rekomendasi tersebut di atas, Menteri Dalam Negeri memberikan penilaian
kinerja kurang baik dalam penyelenggaraan urusan penataan dan pemerataan guru PNS
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 16
BAB II
PENINGKATAN KOMPETENSI
Topik ini berkaitan dengan peningkatan kompetensi guru. Materi sajian
terutama berkaitan dengan esensi, prinsip, jenis program pengembangan
keprofesian guru secara berkelanjutan, serta uji kompetensi guru dan
dampak ikutanya. Peserta PLPG diminta mengikuti materi pembelajaran
secara individual, melaksanakan diskusi kelompok, menelaah kasus,
membaca regulasi yang terkait, mengerjakan latihan, dan melakukan
refleksi.
A. Esensi Peningkatan Kompetensi
Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), baik sebagai substansi materi ajar maupun piranti
penyelenggaraan pembelajaran, terus berkembang. Dinamika ini menuntut guru selalu meningkatkan
dan menyesuaikan kompetensinya agar mampu mengembangkan dan menyajikan materi pelajaran
yang aktual dengan menggunakan berbagai pendekatan, metoda, dan teknologi pembelajaran
terkini. Hanya dengan cara itu guru mampu menyelenggarakan pembelajaran yang berhasil
mengantarkan peserta didik memasuki dunia kehidupan sesuai dengan kebutuhan dan tantangan
pada zamannya. Sebaliknya, ketidakmauan dan ketidakmampuan guru menyesuaikan wawasan dan
kompetensi dengan tuntutan perkembangan lingkungan profesinya justru akan menjadi salah satu
faktor penghambat ketercapaian tujuan pendidikan dan pembelajaran.
Hingga kini, baik dalam fakta maupun persepsi, masih banyak kalangan yang meragukan
kompetensi guru baik dalam bidang studi yang diajarkan maupun bidang lain yang mendukung
terutama bidang didaktik dan metodik pembelajaran. Keraguan ini cukup beralasan karena didukung
oleh hasil uji kompetensi yang menunjukkan masih banyak guru yang belum mencapai standar
kompetensi yang ditetapkan. Uji kompetensi ini juga menunjukkan bahwa masih banyak guru yang
tidak menguasai penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Uji-coba studi video terhadap
sejumlah guru di beberapa lokasi sampel melengkapi bukti keraguan itu. Kesimpulan lain yang cukup
mengejutkan dari studi tersebut di antaranya adalah bahwa pembelajaran di kelas lebih didominasi
oleh ceramah satu arah dari guru dan sangat jarang terjadi tanya jawab. Ini mencerminkan betapa
masih banyak guru yang tidak berusaha meningkatkan dan memutakhirkan profesionalismenya.
Reformasi pendidikan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Undang Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menuntut
reformasi guru untuk memiliki tingkat kompetensi yang lebih tinggi, baik kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional, maupun sosial.
Akibat dari masih banyaknya guru yang tidak menguasai kompetensi yang dipersyaratkan
ditambah dengan kurangnya kemampuan untuk menggunakan TIK membawa dampak pada siswa
paling tidak dalam dua hal. Pertama, siswa hanya terbekali dengan kompetensi yang sudah usang.
Akibatnya, produk sistem pendidikan dan pembelajaran tidak siap terjun ke dunia kehidupan nyata yang
terus berubah.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 17
Kedua, pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru juga kurang kondusif bagi tercapainya
tujuan secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan karena tidak didukung oleh penggunaan
teknologi pembelajaran yang modern dan handal. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa substansi
materi pelajaran yang harus dipelajari oleh anak didik terus berkembang baik volume maupun
kompleksitasnya.
Sebagaimana ditekankan dalam prinsip percepatan belajar (accelerated learning),
kecenderungan materi yang harus dipelajari anak didik yang semakin hari semakin bertambah
jumlah, jenis, dan tingkat kesulitannya, menuntut dukungan strategi dan teknologi pembelajaran
yang secara terus-menerus disesuaikan pula agar pembelajaran dapat dituntaskan dalam interval
waktu yang sama.
Sejatinya, guru adalah bagian integral dari subsistem organisasi pendidikan secara menyeluruh.
Agar sebuah organisasi pendidikan mampu menghadapi perubahan dan ketidakpastian yang menjadi
ciri kehidupan modern, perlu mengembangkan sekolah sebagai sebuah organisasi pembelajar. Di
antara karakter utama organisasi pembelajar adalah mencermati perubahan internal dan eksternal
yang diikuti dengan upaya penyesuaian diri dalam rangka mempertahankan eksistensinya.
B. Prinsip-Prinsip Peningkatan Kompetensi dan Karir
1. Prinsip-prinsip Umum
Secara umum program peningkatan kompetensi guru diselenggarakan dengan menggunakan
prinsip-prinsip seperti berikut ini.
a. Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
b. Satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
c. Suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan guru yang berlangsung sepanjang hayat.
d. Memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas guru dalam
proses pembelajaran.
e. Memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan
dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
2. Prinsip-pinsip Khusus
Secara khusus program peningkatan kompetensi guru diselenggarakan dengan menggunakan
prinsip-prinsip seperti berikut ini.
a. Ilmiah, keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam kompetensi dan
indikator harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
b. Relevan, rumusannya berorientasi pada tugas dan fungsi guru sebagai tenaga pendidik
profesional yakni memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
c. Sistematis, setiap komponen dalam kompetensi jabatan guru berhubungan secara
fungsional dalam mencapai kompetensi.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 18
d. Konsisten, adanya hubungan yang ajeg dan taat asas antara kompetensi dan indikator.
e. Aktual dan kontekstual, yakni rumusan kompetensi dan indikator dapat mengikuti
perkembangan Ipteks.
f. Fleksibel, rumusan kompetensi dan indikator dapat berubah sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan jaman.
g. Demokratis, setiap guru memiliki hak dan peluang yang sama untuk diberdayakan melalui
proses pembinaan dan pengembangan profesionalitasnya, baik secara individual maupun
institusional.
h. Obyektif, setiap guru dibina dan dikembangkan profesi dan karirnya dengan mengacu kepada
hasil penilaian yang dilaksanakan berdasarkan indikator-indikator terukur dari kompetensi
profesinya.
i. Komprehensif, setiap guru dibina dan dikembangkan profesi dan karirnya untuk mencapai
kompetensi profesi dan kinerja yang bermutu dalam memberikan layanan pendidikan dalam
rangka membangun generasi yang memiliki pengetahuan, kemampuan atau kompetensi,
mampu menjadi dirinya sendiri, dan bisa menjalani hidup bersama orang lain.
j. Memandirikan, setiap guru secara terus menerus diberdayakan untuk mampu meningkatkan
kompetensinya secara berkesinambungan, sehingga memiliki kemandirian profesional dalam
melaksanakan tugas dan fungsi profesinya.
k. Profesional, pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru dilaksanakan dengan
mengedepankan nilai-nilai profesionalitas.
l. Bertahap, dimana pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru dilaksanakan
berdasarkan tahapan waktu atau tahapan kualitas kompetensi yang dimiliki oleh guru.
m. Berjenjang, pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru dilaksanakan secara
berjenjang berdasarkan jenjang kompetensi atau tingkat kesulitan kompetensi yang ada pada
standar kompetensi.
n. Berkelanjutan, pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru dilaksanakan sejalan
dengan perkembangan ilmu pentetahuan, teknologi dan seni, serta adanya kebutuhan
penyegaran kompetensi guru;
o. Akuntabel, pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru dapat
dipertanggungjawabkan secara transparan kepada publik;
p. Efektif, pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru harus mampu
memberikan informasi yang bisa digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan yang tepat
oleh pihak-pihak yang terkait dengan profesi dan karir lebih lanjut dalam upaya peningkatan
kompetensi dan kinerja guru.
q. Efisien, pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru harus didasari
atas pertimbangan penggunaan sumberdaya seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil
yang optimal.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 19
C. Jenis Program
Peningkatan kompetensi guru guru dilaksanakan melalui berbagai strategi dalam bentuk pendidikan
dan pelatihan (diklat) dan bukan diklat, antara lain seperti berikut ini.
1. Pendidikan dan Pelatihan
a. Inhouse training (IHT). Pelatihan dalam bentuk IHT adalah pelatihan yang dilaksanakan secara
internal di KKG/MGMP, sekolah atau tempat lain yang ditetapkan untuk menyelenggarakan
pelatihan. Strategi pembinaan melalui IHT dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa sebagian
kemampuan dalam meningkatkan kompetensi dan karir guru tidak harus dilakukan secara
eksternal, tetapi dapat dilakukan oleh guru yang memiliki kompetensi kepada guru lain yang
belum memiliki kompetensi. Dengan strategi ini diharapkan dapat lebih menghemat waktu
dan biaya.
b. Program magang. Program magang adalah pelatihan yang dilaksanakan di institusi/industri
yang relevan dalam rangka meningkatkan kompetensi professional guru. Program magang ini
terutama diperuntukkan bagi guru kejuruan dan dapat dilakukan selama priode tertentu,
misalnya, magang di industri otomotif dan yang sejenisnya. Program magang dipilih sebagai
alternatif pembinaan dengan alasan bahwa keterampilan tertentu khususnya bagi guru-guru
sekolah kejuruan memerlukan pengalaman nyata.
c. Kemitraan sekolah. Pelatihan melalui kemitraan sekolah dapat dilaksanakan bekerjasama
dengan institusi pemerintah atau swasta dalam keahlian tertentu. Pelaksanaannya dapat
dilakukan di sekolah atau di tempat mitra sekolah. Pembinaan melalui mitra sekolah
diperlukan dengan alasan bahwa beberapa keunikan atau kelebihan yang dimiliki mitra dapat
dimanfaatkan oleh guru yang mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kompetensi
profesionalnya.
d. Belajar jarak jauh. Pelatihan melalui belajar jarak jauh dapat dilaksanakan tanpa
menghadirkan instruktur dan peserta pelatihan dalam satu tempat tertentu, melainkan
dengan sistem pelatihan melalui internet dan sejenisnya. Pembinaan melalui belajar jarak
jauh dilakukan dengan pertimbangan bahwa tidak semua guru terutama di daerah terpencil
dapat mengikuti pelatihan di tempat-tempat pembinaan yang ditunjuk seperti di ibu kota
kabupaten atau di propinsi.
e. Pelatihan berjenjang dan pelatihan khusus. Pelatihan jenis ini dilaksanakan di P4TK dan atau
LPMP dan lembaga lain yang diberi wewenang, di mana program pelatihan disusun secara
berjenjang mulai dari jenjang dasar, menengah, lanjut dan tinggi. Jenjang pelatihan disusun
berdasarkan tingkat kesulitan dan jenis kompetensi. Pelatihan khusus (spesialisasi)
disediakan berdasarkan kebutuhan khusus atau disebabkan adanya perkembangan baru
dalam keilmuan tertentu.
f. Kursus singkat di LPTK atau lembaga pendidikan lainnya. Kursus singkat di LPTK atau lembaga
pendidikan lainnya dimaksudkan untuk melatih meningkatkan kompetensi guru dalam
beberapa kemampuan seperti melakukan penelitian tindakan kelas, menyusun karya ilmiah,
merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran, dan lain-lain sebagainya.
g. Pembinaan internal oleh sekolah. Pembinaan internal ini dilaksanakan oleh kepala sekolah
dan guru-guru yang memiliki kewenangan membina, melalui rapat dinas, rotasi tugas
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 20
mengajar, pemberian tugas-tugas internal tambahan, diskusi dengan rekan sejawat dan
sejenisnya.
h. Pendidikan lanjut. Pembinaan profesi guru melalui pendidikan lanjut juga merupakan
alternatif bagi pembinaan profesi guru di masa mendatang. Pengikutsertaan guru dalam
pendidikan lanjut ini dapat dilaksanakan dengan memberikan tugas belajar, baik di dalam
maupun di luar negeri, bagi guru yang berprestasi. Pelaksanaan pendidikan lanjut ini akan
menghasilkan guru-guru pembina yang dapat membantu guru-guru lain dalam upaya
pengembangan profesi.
2. Kegiatan Selain Pendidikan dan Pelatihan
a. Diskusi masalah pendidikan. Diskusi ini diselenggarakan secara berkala dengan topik sesuai
dengan masalah yang di alami di sekolah. Melalui diskusi berkala diharapkan para guru dapat
memecahkan masalah yang dihadapi berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah
ataupun masalah peningkatan kompetensi dan pengembangan karirnya.
b. Seminar. Pengikutsertaan guru di dalam kegiatan seminar dan pembinaan publikasi ilmiah
juga dapat menjadi model pembinaan berkelanjutan profesi guru dalam meningkatkan
kompetensi guru. Melalui kegiatan ini memberikan peluang kepada guru untuk berinteraksi
secara ilmiah dengan kolega seprofesinya berkaitan dengan hal-hal terkini dalam upaya
peningkatan kualitas pendidikan.
c. Workshop. Workshop dilakukan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi
pembelajaran, peningkatan kompetensi maupun pengembangan karirnya. Workshop dapat
dilakukan misalnya dalam kegiatan menyusun KTSP, analisis kurikulum, pengembangan
silabus, penulisan RPP, dan sebagainya.
d. Penelitian. Penelitian dapat dilakukan guru dalam bentuk penelitian tindakan kelas,
penelitian eksperimen ataupun jenis yang lain dalam rangka peningkatan mutu
pembelajaran.
e. Penulisan buku/bahan ajar. Bahan ajar yang ditulis guru dapat berbentuk diktat, buku
pelajaran ataupun buku dalam bidang pendidikan.
f. Pembuatan media pembelajaran. Media pembelajaran yang dibuat guru dapat berbentuk
alat peraga, alat praktikum sederhana, maupun bahan ajar elektronik (animasi
pembelajaran).
g. Pembuatan karya teknologi/karya seni. Karya teknologi/seni yang dibuat guru dapat berupa
karya teknologi yang bermanfaat untuk masyarakat dan atau pendidikan dan karya seni yang
memiliki nilai estetika yang diakui oleh masyarakat.
D. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
Penetapan Permenneg PAN dan RB Nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya, dilatarbelakangi bahwa guru memiliki peran strategis dalam meningkatkan proses
pembelajaran dan mutu peserta didik. Perubahan mendasar yang terkandung dalam Permenneg PAN
dan RB Nomor 16 tahun 2009 dibandingkan dengan regulasi sebelumnya, di antaranya dalam hal
penilaian kinerja guru yang sebelumnya lebih bersifat administratif menjadi lebih berorientasi
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 21
praktis, kuantitatif, dan kualitatif, sehingga diharapkan para guru akan lebih bersemangat untuk
meningkatkan kinerja dan profesionalitasnya. Dalam Permenneg PAN dan RB ini, jabatan fungsional
terdiri dari empat jenjang, yaitu Guru Pertama, Guru Muda, Guru Madya, dan Guru Utama.
Setiap tahun, guru harus dinilai kinerjanya secara teratur melalui Penilaian Kinerja Guru (PK Guru)
dan wajib mengikuti Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). PKB tersebut harus
dilaksanakan sejak guru memiliki golongan kepangkatan III/a dengan melakukan pengembangan diri,
dan sejak golongan kepangkatan III/b guru wajib melakukan publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif.
Untuk naik dari golongan kepangkatan IV/c ke IV/d guru wajib melakukan presentasi ilmiah. Gambar
2.1. menunjukkan keterkaitan antara PKB, PK Guru, dan pengembangan karir guru.
PKB dikembangkan atas dasar profil kinerja guru sebagai perwujudan hasil PK Guru dan
didukung dengan hasil evaluasi diri. Apabila hasil PK Guru masih berada di bawah standar
kompetensi yang ditetapkan atau berkinerja rendah, maka guru diwajibkan untuk mengikuti program
PKB yang diorientasikan sebagai pembinaan untuk mencapai kompetensi standar yang disyaratkan.
Sementara itu, guru yang hasil penilaian kinerjanya telah mencapai standar kompetensi yang
disyaratkan, maka kegiatan PKB diarahkan kepada pengembangan kompetensi agar dapat memenuhi
tuntutan masa depan dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya sesuai dengan kebutuhan sekolah
dalam rangka memberikan layanan pembelajaran yang berkualitas kepada peserta didik.
Dalam Permenneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009, PKB diakui sebagai salah satu unsur
utama yang diberikan angka kredit untuk pengembangan karir guru dan kenaikan pangkat/jabatan
fungsional guru, selain kegiatan pembelajaran/pembimbingan dan tugas tambahan lain yang relevan
dengan fungsi sekolah/madrasah. Kegiatan PKB diharapkan dapat menciptakan guru yang
profesional, yang bukan hanya sekadar memiliki ilmu pengetahuan yang luas, tetapi juga memiliki
kepribadian yang matang. Dengan kepribadian yang prima dan penguasaan IPTEK yang kuat, guru
diharapkan terampil dalam menumbuhkembangkan minat dan bakat peserta didik sesuai dengan
bidangnya.
Secara umum, keberadaan PKB bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di
sekolah/madrasah yang berimbas pada peningkatan mutu pendidikan. Secara khusus, tujuan PKB
disajikan berikut ini.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 22
1. Meningkatkan kompetensi guru untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan.
2. Memutakhirkan kompetensi guru untuk memenuhi kebutuhan guru dalam memfasilitasi proses
belajar peserta didik dalam memenuhi tuntutan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni di
masa mendatang.
3. Mewujudkan guru yang memiliki komitmen kuat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya
sebagai tenaga profesional.
4. Menumbuhkan rasa cinta dan bangga sebagai penyandang profesi guru.
5. Meningkatkan citra, harkat, dan martabat profesi guru di masyarakat.
Manfaat PKB bagi peserta didik yaitu memperoleh jaminan kepastian mendapatkan pelayanan
dan pengalaman belajar yang efektif untuk meningkatkan potensi diri secara optimal, sehingga
mereka memiliki kepribadian kuat dan berbudi pekerti luhur untuk berperan aktif dalam
pengembangan iImu pengetahuan, teknologi dan seni sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Bagi guru hal ini dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta memiliki
kepribadian yang kuat sesuai dengan profesinya; sehingga selama karirnya mampu menghadapi
perubahan internal dan eksternal dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik menghadapi
kehidupan di masa datang.
Dengan PKB untuk guru, bagi sekolah/madrasah diharapkan mampu menjadi sebuah
organisasi pembelajaran yang efektif; sehingga sekolah/madrasah dapat menjadi wadah untuk
peningkatan kompetensi, dedikasi, dan komitmen guru dalam memberikan layanan pendidikan yang
berkualitas kepada peserta didik. Bagi orang tua/masyarakat, PKB untuk guru bermakna memiliki
jaminan bahwa anak mereka di sekolah akan memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas
sesuai kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Bagi pemerintah,PKB untuk guru dimungkinkan
dapat memetakan kualitas layanan pendidikan sebagai dasar untuk menyusun dan menetapkan
kebijakan pembinaan dan pengembangan profesi guru dalam menunjang pembangunan pendidikan;
sehingga pemerintah dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang cerdas, kompetitif dan
berkepribadian luhur.
PKB adalah bentuk pembelajaran berkelanjutan untuk memelihara dan meningkatkan standar
kompetensi secara keseluruhan, mencakup bidang-bidang yang berkaitan dengan profesi guru.
Dengan demikian, guru secara profesional dapat memelihara, meningkatkan, dan memperluas
pengetahuan dan keterampilannya untuk melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu.
Pembelajaran yang bermutu diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
pemahaman peserta didik.
PKB mencakup kegiatan-kegiatan yang didesain untuk meningkatkan pengetahuan,
pemahaman, dan keterampilan guru. Kegiatan dalam PKB membentuk suatu siklus yang mencakup
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan refleksi. Gambar 2.2 menunjukkan siklus kegiatan PKB bagi
guru. Melalui siklus kegiatan pengembangan keprofesian guru secara berkelanjutan, diharapkan guru
akan mampu mempercepat pengembangan pengetahuan dan keterampilan untuk peningkatan
karirnya.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 23
Kegiatan PKB untuk pengembangan diri dapat dilakukan di sekolah, baik oleh guru secara
mandiri, maupun oleh guru bekerja sama dengan guru lain dalam satu sekolah. Kegiatan PKB melalui
jaringan sekolah dapat dilakukan dalam satu rayon (gugus), antarrayon dalam kabupaten/kota
tertentu, antarprovinsi, bahkan dimungkinkan melalui jaringan kerjasama sekolah antarnegara serta
kerjasama sekolah dan industri, baik secara langsung maupun melalui teknologi informasi. Kegiatan
PKB melalui jaringan antara lain dapat berupa: kegiatan KKG/MGMP; pelatihan/seminar/lokakarya;
kunjungan ke sekolah lain, dunia usaha, industri, dan sebagainya; mengundang nara sumber dari
sekolah lain, komite sekolah, dinas pendidikan, pengawas, asosiasi profesi, atau dari instansi lain
yang relevan.
Jika kegiatan PKB di sekolah dan jaringan sekolah belum memenuhi kebutuhan pengembangan
keprofesian guru, atau guru masih membutuhkan pengembangan lebih lanjut, kegiatan ini dapat
dilaksanakan dengan menggunakan sumber kepakaran luar lainnya. Sumber kepakaran lain ini dapat
disediakan melalui LPMP, P4TK, Perguruan Tinggi atau institusi layanan lain yang diakui oleh
pemerintah, atau institusi layanan luar negeri melalui pendidikan dan pelatihan jarak jauh dengan
memanfaatkan jejaring virtual atau TIK.
Dalam kaitannya dengan PKB ini, beberapa jenis pengembangan kompetensi dapat dilakukan
oleh guru dan di sekolah mereka sendiri. Beberapa program dimaksud disajikan berikut ini.
1. Dilakukan oleh guru sendiri:
a. menganalisis umpan balik yang diperoleh dari siswa terhadap pelajarannya;
b. menganalisis hasil pembelajaran (nilai ujian, keterampilan siswa, dll);
c. mengamati dan menganalisis tanggapan siswa terhadap kegiatan pembelajaran;
d. membaca artikel dan buku yang berkaitan dengan bidang dan profesi; dan
e. mengikuti kursus atau pelatihan jarak jauh.
2. Dilakukan oleh guru bekerja sama dengan guru lain:
a. mengobservasi guru lain;
b. mengajak guru lain untuk mengobservasi guru yang sedang mengajar;
c. mengajar besama-sama dengan guru lain (pola team teaching);
d. bersamaan dengan guru lain membahas dan melakukan investigasi terhadap permasalahan
yang dihadapi di sekolah;
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 24
e. membahas artikel atau buku dengan guru lain; dan
f. merancang persiapan mengajar bersama guru lain.
3. Dilakukan oleh sekolah :
a. training day untuk semua sumber daya manusia di sekolah (bukan hanya guru);
b. kunjungan ke sekolah lain; dan
c. mengundang nara sumber dari sekolah lain atau dari instansi lain.
Satu hal yang perlu diingat dalam pelaksanaan pengembangan keprofesian berkelanjutan
harus dapat mematuhi prinsip-prinsip seperti berikut ini.
1. Setiap guru di Indonesia berhak mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri. Hak tersebut
perlu diimplementasikan secara teratur, sistematis, dan berkelanjutan.
2. Untuk menghindari kemungkinan pengalokasian kesempatan pengembangan yang tidak merata,
proses penyusunan program PKB harus dimulai dari sekolah. Sekolah wajib menyediakan
kesempatan kepada setiap guru untuk mengikuti program PKB minimal selama tujuh hari atau
40 jam per tahun. Alokasi tujuh hari tersebut adalah alokasi minimal. Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota dan/ atau sekolah berhak menambah alokasi waktu jika dirasakan perlu,
termasuk penyediaan anggaran untuk kegiatan PKB.
3. Guru juga wajib berusaha mengembangkan dirinya semaksimal mungkin dan secara
berkelanjutan. Alokasi waktu tujuh hari per tahun sebenarnya tidak cukup, sehingga guru harus
tetap berusaha pada kesempatan lain di luar waktu tujuh hari tersebut. Keseriusan guru untuk
mengembangkan dirinya merupakan salah satu hal yang diperhatikan dan dinilai di dalam
kegiatan proses pembelajaran yang akan dievaluasi kinerja tahunannya.
4. Proses PKB bagi guru harus dimulai dari guru sendiri. Sebenarnya guru tidak bisa
けdikembangkaミげ oleh orang lain jika dia belum siap untuk berkembang. Pihak-pihak yang
mendapat tugas untuk membina guru perlu menggali sebanyak-banyaknya dari guru tersebut
(tentang keinginannya, kekhawatirannya, masalah yang dihadapinya, pemahamannya tentang
proses belajar-mengajar, dsb) sebelum memberikan masukan/saran.
5. Untuk mencapai tujuan PKB yang sebenarnya, kegiatan PKB harus melibatkan guru secara aktif
sehingga betul-betul terjadi perubahan pada dirinya, baik dalam penguasaan materi,
pemahaman konteks, keterampilan, dan lain-lain. Jenis pelatihan tradisional -- yaitu ceramah
yang dihadiri oleh peserta dalam jumlah besar tetapi tidak melibatkan mereka secara aktif -- perlu
dihindari.
Berdasarkan analisis kebutuhan dan ketentuan yang berlaku serta praktik-praktik
pelaksanaannya, perlu dikembangkan mekanisme PKB yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
guru untuk meningkatkan profesionalismenya. Analisis kebutuhan dan ketentuan tersebut mencakup
antara lain:
1. Setiap guru berhak menerima pembinaan berkelanjutan dari seorang guru yang berpengalaman
dan telah mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan (guru pendamping).
2. Guru pendamping tersebut berasal dari sekolah yang sama dengan guru binaannya atau dipilih
dari sekolah lain yang berdekatan, apabila di sekolahnya tidak ada guru pendamping yang
memenuhi kompetensi.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 25
3. Setiap sekolah mempunyai seorang koordinator PKB tingkat sekolah, yaitu seorang guru yang
berpengalaman. Sekolah yang mempunyai banyak guru boleh membentuk sebuah tim PKB untuk
membantu Koordinator PKB, sedangkan sekolah kecil dengan jumlah guru yang terbatas,
terutama sekolah dasar, sangat dianjurkan untuk bekerja sama dengan sekolah lain di sekitarnya.
Dengan demikian, seorang Koordinator PKB bisa mengkoordinasikan kegiatan PKB di beberapa
sekolah.
4. Setiap Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menunjuk dan menetapkan seorang Koordinator PKB
tingkat kabupaten/kota (misalnya pengawas yang bertanggung jawab untuk gugus sekolah
tertentu).
5. Sekolah, KKG/MGMP serta Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota harus merencanakan kegiatan PKB
dan mengalokasikan anggaran untuk kegiatan tersebut. Kegiatan PKB harus sejalan dengan visi
dan misi sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan.
6. Sekolah berkewajiban menjamin bahwa kesibukan guru dengan tugas tambahannya sebagai Guru
Pembina atau sebagai Koordinator PKB tingkat sekolah maupun dalam mengikuti kegiatan PKB
tidak mengurangi kualitas pembelajaran siswa.
PKB perlu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai standar kompetensi
dan/atau meningkatkan kompetensinya agar guru mampu memberikan layanan pendidikan secara
profesional. Pencapaian dan peningkatan kompetensi tersebut akan berdampak pada peningkatan
keprofesian guru dan berimplikasi pada perolehan angka kredit bagi pengembangan karir guru.
Dalam Permenneg PAN dan RB Nomor 16 tahun 2009, terdapat tiga unsur kegiatan guru dalam PKB
yang dapat dinilai angka kreditnya, yaitu: pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif.
1. Pengembangan Diri
Pengembangan diri pada dasarnya merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan guru melalui kegiatan pendidikan dan latihan fungsional dan kegiatan kolektif guru
yang dapat meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesian guru. Dengan demikian, guru akan
mampu melaksanakan tugas utama dan tugas tambahan yang dipercayakan kepadanya. Tugas
utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan, sedangkan tugas
tambahan adalah tugas lain guru yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah, seperti tugas
sebagai kepala sekolah, wakil kepala sekolah, kepala laboratorium, dan kepala perpustakaan.
Diklat fungsional termasuk pada kategori diklat dalam jabatan yang dilaksanakan untuk
mencapai persyaratan kompetensi yang sesuai dengan jenis dan jenjang jabatan fungsional
masing-masing. Dalam Permendiknas Nomor 35 Tahun 2010 dinyatakan bahwa diklat fungsional
adalah kegiatan guru dalam mengikuti pendidikan atau pelatihan yang bertujuan untuk
meningkatkan keprofesian guru yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu.
Kegiatan kolektif guru adalah kegiatan guru dalam mengikuti pertemuan ilmiah atau
mengikuti kegiatan bersama yang dilakukan guru, baik di sekolah maupun di luar sekolah, dan
bertujuan untuk meningkatkan keprofesian guru yang bersangkutan. Beberapa contoh bentuk
kegiatan kolektif guru antara lain: (1) lokakarya atau kegiatan bersama untuk menyusun
dan/atau mengembangkan perangkat kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan/atau media
pembelajaran; (2) keikutsertaan pada kegiatan ilmiah (seminar, koloqium, workshop, bimbingan
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 26
teknis, dan diskusi panel), baik sebagai pembahas maupun peserta; (3) kegiatan kolektif lainnya
yang sesuai dengan tugas dan kewajiban guru.
Beberapa contoh materi yang dapat dikembangkan dalam kegiatan pengembangan diri,
baik dalam diklat fungsional maupun kegiatan kolektif guru, antara lain: (1) penyusunan RPP,
program kerja, dan/atau perencanaan pendidikan; (2) penyusunan kurikulum dan bahan ajar; (3)
pengembangan metodologi mengajar; (4) penilaian proses dan hasil pembelajaran peserta didik;
(5) penggunaan dan pengembangan teknologi informatika dan komputer (TIK) dalam
pembelajaran; (6) inovasi proses pembelajaran; (7) peningkatan kompetensi profesional dalam
menghadapi tuntutan teori terkini; (8) penulisan publikasi ilmiah; (9) pengembangan karya
inovatif; (10) kemampuan untuk mempresentasikan hasil karya; dan (11) peningkatan
kompetensi lain yang terkait dengan pelaksanaan tugas-tugas tambahan atau tugas lain yang
relevan dengan fungsi sekolah/madrasah.
Pelaksanaan berbagai kegiatan pengembangan diri ini harus berkualitas, dikoordinasikan
dan dikendalikan oleh Koordinator PKB di sekolah secara sistematik dan terarah sesuai
kebutuhan. Kegiatan pengembangan diri yang berupa diklat fungsional harus dibuktikan dengan
surat tugas, sertifikat, dan laporan deskripsi hasil pelatihan yang disahkan oleh kepala sekolah.
Sementara itu, kegiatan pengembangan diri yang berupa kegiatan kolektif guru harus dibuktikan
dengan surat keterangan dan laporan per kegiatan yang disahkan oleh kepala sekolah. Jika guru
mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah, laporan dan bukti fisik pendukung tersebut
harus disahkan oleh kepala dinas pendidikan Kabupaten/Kota/Provinsi.
Hasil diklat fungsional dan kegiatan kolektif guru ini perlu didesiminasikan kepada guru-
guru yang lain, minimal di sekolahnya masing-masing, sebagai bentuk kepedulian dan wujud
kontribusi dalam peningkatan kualitas pendidikan. Kegiatan ini diharapkan dapat mempercepat
proses peningkatan dan pengembangan sekolah secara utuh/menyeluruh. Guru bisa
memperoleh penghargaan berupa angka kredit tambahan sesuai perannya sebagai
pemrasaran/nara sumber.
2. Publikasi Ilmiah
Publikasi ilmiah adalah karya tulis ilmiah yang telah dipublikasikan kepada masyarakat sebagai
bentuk kontribusi guru terhadap peningkatan kualitas proses pembelajaran di sekolah dan
pengembangan dunia pendidikan secara umum. Publikasi ilmiah mencakup 3 (tiga) kelompok,
yaitu:
a. Presentasi pada forum ilmiah. Dalam hal ini guru bertindak sebagai pemrasaran dan/atau
nara sumber pada seminar, lokakarya, koloqium, dan/atau diskusi ilmiah, baik yang
diselenggarakan pada tingkat sekolah, KKG/MGMP, kabupaten/kota, provinsi, nasional,
maupun internasional.
b. Publikasi ilmiah berupa hasil penelitian atau gagasan ilmu bidang pendidikan formal.
Publikasi dapat berupa karya tulis hasil penelitian, makalah tinjauan ilmiah di bidang
pendidikan formal dan pembelajaran, tulisan ilmiah populer, dan artikel ilmiah dalam
bidang pendidikan. Karya ilmiah ini telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah tertentu atau
minimal telah diterbitkan dan diseminarkan di sekolah masing-masing. Dokumen karya
ilmiah disahkan oleh kepala sekolah dan disimpan di perpustakaan sekolah. Bagi guru yang
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 27
mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah, karya ilmiahnya harus disahkan oleh
kepala dinas pendidikan setempat.
c. Publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan/atau pedoman guru. Buku yang
dimaksud dapat berupa buku pelajaran, baik sebagai buku utama maupun buku pelengkap,
modul/diktat pembelajaran per semester, buku dalam bidang pendidikan, karya
terjemahan, dan buku pedoman guru. Buku termaksud harus tersedia di perpustakaan
sekolah tempat guru bertugas. Keaslian buku harus ditunjukkan dengan pernyataan
keaslian dari kepala sekolah atau dinas pendidikan setempat bagi guru yang mendapatkan
tugas tambahan sebagai kepala sekolah.
3. Karya Inovatif
Karya inovatif adalah karya yang bersifat pengembangan, modifikasi atau penemuan baru
sebagai bentuk kontribusi guru terhadap peningkatan kualitas proses pembelajaran di sekolah
dan pengembangan dunia pendidikan, sains/teknologi, dan seni. Karya inovatif ini dapat berupa
penemuan teknologi tepat guna, penemuan/peciptaan atau pengembangan karya seni,
pembuatan/modifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum, atau penyusunan standar, pedoman,
soal dan sejenisnya pada tingkat nasional maupun provinsi.
Kegiatan PKB yang mencakup ketiga komponen tersebut harus dilaksanakan secara
berkelanjutan, agar guru dapat selalu menjaga dan meningkatkan profesionalismenya, tidak
sekadar untuk pemenuhan angka kredit. Oleh sebab itu, meskipun angka kredit seorang guru
diasumsikan telah memenuhi persyaratan untuk kenaikan pangkat dan jabatan fungsional
tertentu, guru tetap wajib melakukan kegiatan PKB.
E. Uji Kompetensi
Untuk mengetahui kompetensi seorang guru, perlu dilakukan uji kompetensi. Uji kompetensi
dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang kemampuan guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran. Berdasarkan hasil uji kompetensi, dirumuskan profil kompetensi guru menurut level
tertentu yang sekaligus menentukan kelayakan dari guru tersebut. Dengan demikian, tujuan uji
kompetensi adalah menilai dan menetapkan apakah guru sudah kompeten atau belum dilihat dari
standar kompetensi yang diujikan.
Kegiatan peningkatan kompetensi guru memiliki rasional dan pertimbangan empiris yang kuat,
sehingga bias dipertanggungjawabkan baik secara akademik, moral, maupun keprofesian. Dengan
demikian, disamping hasil penilaian kinerja, uji kompetensi menjadi salah satu basis utama desain
program peningkatan kompetensi guru. Uji kompetensi esensinya berfokus pada keempat
kompetensi yang harus dimiliki oleh guru seperti yang telah dijelaskan di atas, yaitu kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan kompetensi profesional.
1. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru berkenaan dengan
karakteristik peserta didik dilihat dari berbagai aspek seperti fisik, moral, sosial, kultural,
emosional, dan intelektual. Hal tersebut berimplikasi bahwa seorang guru harus mampu
menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik karena peserta didik
memiliki karakter, sifat, dan interes yang berbeda. Berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum,
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 28
seorang guru harus mampu mengembangkan kurikulum di tingkat satuan pendidikan masing-
masing dan disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
Guru harus mampu mengoptimalkan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan
kemampuannya di kelas, dan harus mampu melakukan penilaian terhadap kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan. Kemampuan yang harus dimiliki guru berkenaan dengan
aspek-aspek yang diamati, yaitu:
a. Penguasaan terhadap karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural,
emosional dan intelektual.
b. Penguasaan terhadap teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
c. Mampu mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang
diampu.
d. Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik.
e. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan
kegiatan pengembangan yang mendidik.
f. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimiliki.
g. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
h. Melakukan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, memanfaatkan hasil penilaian dan
evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
i. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
2. Kompetensi Kepribadian
Pelaksanaan tugas sebagai guru harus didukung oleh suatu perasaan bangga akan tugas yang
dipercayakan kepadanya untuk mempersiapkan kualitas generasi masa depan bangsa.
Walaupun berat tantangan dan rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas, guru harus
tetap tegar dalam melaksakan tugas sebagai seorang pendidik. Pendidikan adalah proses yang
direncanakan agar semua berkembang melalui proses pembelajaran. Guru sebagai pendidik
harus dapat mempengaruhi ke arah proses itu sesuai dengan tata nilai yang dianggap baik dan
berlaku dalam masyarakat.
Tata nilai termasuk norma, moral, estetika, dan ilmu pengetahuan, mempengaruhi perilaku
etik peserta didik sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat. Penerapan disiplin yang baik
dalam proses pendidikan akan menghasilkan sikap mental, watak dan kepribadian peserta didik
yang kuat. Guru dituntut harus mampu membelajarkan peserta didiknya tentang disiplin diri,
belajar membaca, mencintai buku, menghargai waktu, belajar bagaimana cara belajar,
mematuhi aturan/tata tertib, dan belajar bagaimana harus berbuat. Semuanya itu akan berhasil
apabila guru juga disiplin dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Guru harus mempunyai
kemampuan yang berkaitan dengan kemantapan dan integritas kepribadian seorang guru.
Aspek-aspek yang diamati adalah:
a. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.
b. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik
dan masyarakat.
c. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.
d. Menunjukan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa
percaya diri.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 29
e. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
3. Kompetensi Sosial
Guru di mata masyarakat dan peserta didik merupakan panutan yang perlu dicontoh dan
merupkan suri tauladan dalam kehidupanya sehari-hari. Guru perlu memiliki kemampuan sosial
dengan masyarakat, dalam rangka pelaksanaan proses pembelajaran yang efektif. Dengan
kemampuan tersebut, otomatis hubungan sekolah dengan masyarakat akan berjalan dengan
lancar, sehingga jika ada keperluan dengan orang tua peserta didik, para guru tidak akan
mendapat kesulitan.
Kemampuan sosial meliputi kemampuan guru dalam berkomunikasi, bekerja sama,
bergaul simpatik, dan mempunyai jiwa yang menyenangkan. Kriteria kinerja guru dalam
kaitannya dengan kompetensi sosial disajikan berikut ini.
a. Bertindak objektif serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras,
kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
b. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
c. Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki
keragaman sosial budaya.
d. Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau
bentuk lain.
4. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru dalam perencanaan dan
pelaksanaan proses pembelajaran. Guru mempunyai tugas untuk mengarahkan kegiatan belajar
peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itu guru dituntut mampu
menyampaikan bahan pelajaran. Guru harus selalu meng-update, dan menguasai materi
pelajaran yang disajikan. Persiapan diri tentang materi diusahakan dengan jalan mencari
informasi melalui berbagai sumber seperti membaca buku-buku terbaru, mengakses dari
internet, selalu mengikuti perkembangan dan kemajuan terakhir tentang materi yang disajikan.
Dalam menyampaikan pembelajaran, guru mempunyai peranan dan tugas sebagai
sumber materi yang tidak pernah kering dalam mengelola proses pembelajaran. Kegiatan
mengajarnya harus disambut oleh peserta didik sebagai suatu seni pengelolaan proses
pembelajaran yang diperoleh melalui latihan, pengalaman, dan kemauan belajar yang tidak
pernah putus.
Keaktifan pesertadidik harus selalu diciptakan dan berjalan terus dengan menggunakan
metode dan strategi mengajar yang tepat. Guru menciptakan suasana yang dapat mendorong
pesertadidik untuk bertanya, mengamati, mengadakan eksperimen, serta menemukan fakta dan
konsep yang benar. Karena itu guru harus melakukan kegiatan pembelajaran menggunakan
multimedia, sehingga terjadi suasana belajar sambil bekerja, belajar sambil mendengar, dan
belajar sambil bermain, sesuai kontek materinya.
Guru harus memperhatikan prinsip-prinsip didaktik metodik sebagai ilmu keguruan.
Misalnya, bagaimana menerapkan prinsip apersepsi, perhatian, kerja kelompok, dan prinsip-
prinsip lainnya. Dalam hal evaluasi, secara teori dan praktik, guru harus dapat melaksanakan
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 30
sesuai dengan tujuan yang ingin diukurnya. Jenis tes yang digunakan untuk mengukur hasil
belajar harus benar dan tepat. Diharapkan pula guru dapat menyusun butir soal secara benar,
agar tes yang digunakan dapat memotivasi pesertadidik belajar.
Kemampuan yang harus dimiliki pada dimensi kompetensi profesional atau akademik
dapat diamati dari aspek-aspek berikut ini.
a. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata
pelajaran yang diampu.
b. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/ bidang
pengembangan yang diampu.
c. Mengembangkan materi pelajaran yang diampu secara kreatif.
d. Mengembangkan keprofesian secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif
e. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan
mengembangkan diri.
Seperti dijelaskan di atas, untuk mengetahui kompetensi guru dilakukan uji kompetensi. Melalui
uji kompetensi guru dapat dirumuskan profil kompetensinya. Kondisi nyata itulah yang menjadi
dasar peningkatan kompetensi guru. Dengan demikian, hasil uji kompetensi menjadi basis utama
desain program peningkatan kompetensi guru.
Uji kompetensi dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang penguasaan materi
pembelajaran setiap guru. Berdasarkan hasil uji kompetensi dirumuskan profil kompetensi guru
menurut level tertentu, sekaligus menentukan kelayakannya. Dengan demikian, tujuan uji
kompetensi adalah menilai dan menetapkan apakah guru sudah kompeten atau belum dilihat dari
standar kompetensi yang diujikan. Pelaksanaan uji kompetensi dilakukan dengan menggunakan
prinsip-prinsip seperti berikut ini.
a. Valid, yaitu menguji apa yang seharusnya dinilai atau diuji dan bukti-bukti yang dikumpulkan
harus mencukupi serta terkini dan asli.
b. Reliabel, yaitu uji komptensi bersifat konsisten, dapat menghasilkan kesimpulan yang relatif
sama walaupun dilakukan pada waktu, tempat dan asesor yang berbeda.
c. Fleksibel, yaitu uji kompetensi dilakukan dengan metoda yang disesuikan dengan kondisi peserta
uji serta kondisi tempat uji kompetensi.
d. Adil, yaitu uji kompetensi tidak boleh ada diskriminasi terhadap guru, dimana mereka harus
diperlakukan sama sesuai dengan prosedur yang ada dengan tidak melihat dari kelompok mana
dia berasal.
e. Efektif dan efisien, yaitu uji kompetensi tidak mengorbankan sumber daya dan waktu yang
berlebihan dalam melaksanakan uji kompetensi sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan. Uji
kompetensi sebisa mungkin dilaksanakan di tempat kerja atau dengan mengorbankan waktu
dan biaya yang sedikit.
Uji kompetensi dilakukan dengan strategi tertentu. Strategi uji kompetensi dilakukan seperti
berikut ini.
1. Dilakukan secara kontinyu bagi semua guru, baik terkait dengan mekanisme sertifikasi maupun
bersamaan dengan penilaian kinerja.
2. Dapat dilakukan secara manual (offline), online, atau kombinasinya.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 31
3. Memberi perlakauan khusus untuk jenis guru tertentu, misalnya guru produktif, normatif, guru
TK/LB, atau melalui tes kinerja atau performance test.
4. Dimungkinkan penyediaan bank soal yang memenuhi validitas dan reliabilitas tertentu, khusus
untuk ranah pengetahuan.
5. Sosialisasi pelaksanaan program dan materi uji kompetensi
Latihan dan Renungan
1. Apa esensi peningkatan kompetensi guru?
2. Sebutkan jenis-jenis kompetensi yang harus dimiliki oleh guru?
3. Buatlah penjelasan ringkas mengenai keterkaitan masing-masing jenis kompetensi guru!
4. Sebutkan beberapa prinsip peningkatan kompetensi guru1
5. Apa yang dimaksud dengan pengembangan keprofesian guru secara berkelanjutan?
6. Sebutkan jenis-jenis program peningkatan kompetensi guru!
7. Apa esensi uji kompetensi guru?
8. Apa dampak ikutan hasil uji kompetensi bagi guru?
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 32
BAB III
PENILAIAN KINERJA
Topik ini berkaitan dengan penilaian kinerja guru. Materi sajian terutama
berkaitan dengan makna, persyaratan, prinsip, tahap-tahap pelaksanaan,
dan konversi nilai penilaian kinerja guru. Peserta PLPG diminta mengikuti
materi pembelajaran secara individual, melaksanakan diskusi kelompok,
menelaah kasus, membaca regulasi yang terkait, menjawab soal latihan,
dan melakukan refleksi.
A. Latar Belakang
Guru adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas, fungsi, dan peran penting dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru profesional mampu berpartisipasi dalam pembangunan
nasional untuk mewujudkan insan Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan YME, unggul dalam
IPTEK, memiliki jiwa estetis, etis, berbudi pekerti luhur, dan berkepribadian.
Masa depan masyarakat, bangsa dan negara, sebagian besar ditentukan oleh guru. Karena
itu, profesi guru perlu dikembangkan secara terus menerus dan proporsional menurut jabatan
fungsional guru. Agar fungsi dan tugas yang melekat pada jabatan fungsional guru dilaksanakan
sesuai dengan aturan yang berlaku, maka diperlukan penilaian kinerja guru (PK Guru) yang
menjamin terjadinya proses pembelajaran yang berkualitas di semua jenjang pendidikan.
Pelaksanaan PK Guru dimaksudkan untuk mewujudkan guru yang profesional, karena harkat
dan martabat suatu profesi ditentukan oleh kualitas layanan profesi guru. Untuk memberi pengakuan
bahwa setiap guru adalah seorang profesional di bidangnya dan sebagai penghargaan atas prestasi
kerjanya, maka PK Guru harus dilakukan terhadap guru di semua satuan pendidikan formal yang
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Guru yang dimaksud tidak
terbatas pada guru yang bekerja di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi juga mencakup guru yang bekerja di satuan pendidikan di
lingkungan Kementerian Agama.
Hasil PK Guru dapat dimanfaatkan untuk menyusun profil kinerja guru sebagai masukan
dalam penyusunan program PKB. Hasil PK Guru juga merupakan dasar penetapan perolehan angka
kredit guru dalam rangka pengembangan karir guru sebagaimana diamanatkan dalam Permenneg
PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jika
semua ini dapat dilaksanakan dengan baik dan obyektif, maka cita‐Iita pemerintah untuk
マeミghasilkaミ ざiミsaミ yaミg Ierdas komprehensif dan berdaya saiミg tiミggiざ lebih Iepat direalisasikan.
B. Pengertian
Menurut Permenneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009, PK Guru adalah penilaian dari tiap butir
kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karir, kepangkatan, dan jabatannya.
Pelaksanaan tugas utama guru tidak dapat dipisahkan dari kemampuannya dalam penguasaan
pengetahuan, penerapan pengetahuan dan keterampilan, sebagai kompetensi yang dibutuhkan
sesuai amanat Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 33
Penguasaan kompetensi dan penerapan pengetahuan serta keterampilan guru, sangat
menentukan tercapainya kualitas proses pembelajaran atau pembimbingan peserta didik, dan
pelaksanaan tugas tambahan yang relevan bagi sekolah/madrasah, khususnya bagi guru dengan
tugas tambahan. Sistem PK Guru adalah sistem penilaian yang dirancang untuk mengidentifikasi
kemampuan guru dalam melaksanakan tugasnya melalui pengukuran penguasaan kompetensi yang
ditunjukkan dalam unjuk kerjanya.
Sebelum mengikuti PK Guru, seorang guru harus mengikuti uji kompetensi. Berdasarkan hasil
uji kompetensi ini, guru akan dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: (1) guru yang sudah
mencapai standar kompetensi minimal yang ditetapkan, dan (2) guru yang belum memiliki standar
kompetensi minimmal yang ditetapkan.
Guru yang sudah mencapai standar kompetensi minimum yang ditetapkan diberi kesempatan
untuk mengikuti PK Guru. Sebaliknya, guru yang belum mencapai standar minimum yang ditetapkan,
diharuskan mengikuti pendidikan dan pelatihan (Diklat) melalui multimode, untuk kemudian
mengikuti uji kompetensi.
Jika hasil uji kompetensi memenuhi persyaratan, guru yang bersangkutan diberi peluang
mengikuti PK Guru. Fokus utama PK Guru adalah (1) disiplin guru (kehadiran, ethos kerja), (2)
efisiensi dan efektivitas pembelajaran (kapasitas transformasi ilmu ke siswa), (3) keteladanan guru
(berbicara, bersikap dan berperilaku), dan (4) motivasi belajar siswa.
Guru yang sudah mengikuti PK Guru, akan dihitung angka kredit yang diperoleh atas kinerjanya
pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi
sekolah/madrasah yang dilakukannya pada tahun tersebut. Kegiatan penilaian kinerja dilakukan
setiap tahun sebagai bagian dari proses pengembangan karir dan promosi guru untuk kenaikan
pangkat dan jabatan fungsionalnya.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 34
SM : Standar Minimal
PKB : Pembinaan Keprofesian Berkelanjutan
PK : Penilaian Kinerja
UJI
KOMPETENSI N ˂ SM N ≥ SM
PKB
DIKLAT PENGEMBANGAN
N ˂ SM N ≥ SM
GURU
PROFESIONAL
1. KENAIKAN PANGKAT/ JABATAN
2. PROMOSI
3. TUNJANGAN PROFESI
PKINTERNALLY & EKSTERNALLY
DRIVEN
DIKLAT DASAR
DIKLAT LANJUTAN
INDIKATOR UTAMA
No. INDIKATOR
1. Disiplin Guru (waktu, nilai,
kehadiran, ethos kerja)
2. Efisiensi dan Efektivitas pembelajaran (Kapasitas transformasi ilmu ke siswa)
3. Keteladanan Guru (berbicara, bersikap dan berperilaku)
4. Motivasi Belajar Siswa
DAMPAK
No INDIKATOR
1. Hasil Belajar Siswa (Nilai Rapor, UN dan Hasil Tes Standar Lainnya)
2. Karya Prestatif Siswa dalam berbagai kompetisi Lokal, Nasional dan Internasional
3. Kesinambungan Prestasi Siswa di PT atau bekerja melalui Penelusuran Alumni.
4. Rekognisi Pihak Eksternal terhadap kualitas Siswa
Pembinaan karier dan kepangkatan
Memastikan guru melaksanakan tugas profesional
Menjamin bahwa guru memberi layanan pendidikanyang berkualitas
(KEPASTIAN, KEMANFAATAN dan KEADILAN)
PKPKB
UK
Hasil PK Guru diharapkan dapat bermanfaat untuk menentukan berbagai kebijakan yang terkait
dengan peningkatan mutu dan kinerja guru sebagai ujung tombak pelaksanaan proses pendidikan
dalam menciptakan insan yang cerdas, komprehensif, dan berdaya saing tinggi. PK Guru merupakan
acuan bagi sekolah/madrasah untuk menetapkan pengembangan karir dan promosi guru. Bagi
guru, PK Guru merupakan pedoマaミ uミtuk マeミgetahui uミsur‐uミsur kiミerja yaミg diミilai daミ merupakan sarana untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan individu dalam rangka memperbaiki
kualitas kinerjanya, khususnya pada empat fokus utama, seperti disebutkan di atas.
C. Persyaratan
Persyaratan penting dalam sistem PK Guru yaitu harus valid, reliabel, dan praktis.
1. Sistem PK Guru dikatakan valid bila aspek yang dinilai benar-benar mengukur komponen-
komponen tugas guru dalam melaksanakanpembelajaran, pembimbingan, dan/atau tugas lain
yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah.
2. Sistem PK Guru dikatakan reliabel atau mempunyai tingkat kepercayaan tinggi jika proses yang
dilakukan memberikan hasil yang sama untuk seorang guru yang dinilai kinerjanya oleh siapapun
dan kapan pun.
3. Sistem PK Guru dikatakan praktis bila dapat dilakukan oleh siapapun dengan relatif mudah,
dengan tingkat validitas dan reliabilitas yang sama dalam semua kondisi tanpa memerlukan
persyaratan tambahan.
D. Prinsip Pelaksanaan
Priミsip‐priミsip utaマa dalaマ pelaksanaan PK Guru adalah sebagai berikut.
1. Sesuai dengan prosedur dan mengacu pada peraturan yang berlaku.
2. Menilai kinerja yang dapat diamati dan dipantau, yang dilakukan guru dalam melaksanakan
tugasミya sehari‐hari, yaitu dalaマ マelaksaミakan kegiatan pembelajaran, pembimbingan,
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 35
dan/atau tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah meliputi:
a. disiplin guru (kehadiran, ethos kerja),
b. efisiensi dan efektivitas pembelajaran (kapasitas transformasi ilmu ke siswa),
c. keteladanan guru (berbicara, bersikap dan berperilaku), dan
d. motivasi belajar siswa.
3. Penilai, guru yang dinilai, dan unsur yang terlibat dalam proses harus memahami semua
dokumen yang terkait dengan sistem penilaian. Guru dan penilai harus memahami pernyataan
kompetensi dan indikator kinerjanya secara utuh, sehingga keduanya mengetahui tentang aspek
yang dinilai serta dasar dan kriteria yang digunakan dalam penilaian.
4. Diawali dengan penilaian formatif di awal tahun dan penilaian sumatif di akhir tahun dengan
マeマperhatikaミ hal‐hal berikut. a. Obyektif sesuai dengan kondisi nyata guru dalam melaksanakan tugas sehari‐hari. b. Memberlakukan syarat, ketentuan, dan prosedur standar kepada semua guru yang dinilai.
c. Dapat dipertanggungjawabkan.
d. Bermanfaat bagi guru dalam rangka peningkatan kualitas kinerjanya secara berkelanjutan
dan sekaligus pengembangan karir profesinya.
e. Memungkinkan bagi penilai, guru yang dinilai, dan pihak lain yang berkepentingan, untuk
memperoleh akses informasi atas penyelenggaraan penilaian tersebut.
f. Mudah tanpa mengabaikaミ priミsip‐priミsip laiミミya. g. Berorientasi pada tujuan yang telah ditetapkan.
h. Tidak hanya terfokus pada hasil, namun juga perlu memperhatikan proses, yakni bagaimana
guru dapat mencapai hasil tersebut.
i. Periodik, teratur, dan berlangsung secara terus menerus selama seseorang menjadi guru.
j. Boleh diketahui oleh pihak‐pihak terkait yaミg berkepentingan.
E. Aspek yang Dinilai
Seperti telah dijelaskan di muka, guru sebagai pendidik profesional mempunyai tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Selain tugas utamanya tersebut, guru juga diマuミgkiミkaミ マeマiliki tugas‐tugas laiミ yang
relevan dengan fungsi sekolah/madrasah. Oleh karena itu, dalam penilaian kinerja guru beberapa
subunsur yang perlu dinilai adalah sebagai berikut.
1. Penilaian kinerja yang terkait dengan pelaksanaan proses pembelajaran bagi guru mata
pelajaran atau guru kelas, khususnya berkaitan dengan, (1) disiplin guru (kehadiran, ethos
kerja), (2) efisiensi dan efektivitas pembelajaran (kapasitas transformasi ilmu ke siswa), (3)
keteladanan guru (berbicara, bersikap dan berperilaku), dan (4) motivasi belajar siswa.
2. Penilaian kinerja dalam melaksanakan proses pembimbingan bagi guru Bimbingan Konseling
(BK)/Konselor meliputi kegiatan merencanakan dan melaksanakan pembimbingan,
mengevaluasi dan menilai hasil bimbingan, menganalisis hasil evaluasi pembimbingan, dan
melaksanakan tindak lanjut hasil pembimbingan. Seperti halnya guru mata pelajaran, fokus
utama PK bagi guru Bimbingan Konseling (BK)/Konselor juga mencakup (1) disiplin guru
(kehadiran, ethos kerja), (2) efisiensi dan efektivitas pembelajaran (kapasitas transformasi ilmu
ke siswa), (3) keteladanan guru (berbicara, bersikap dan berperilaku), dan (4) motivasi belajar
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 36
siswa.
3. Kinerja yang terkait dengan pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi
sekolah/madrasah. Pelaksanaan tugas tambahan ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu tugas
tambahan yang mengurangi jam mengajar tatap muka dan yang tidak mengurangi jam mengajar
tatap muka. Tugas tambahan yang mengurangi jam mengajar tatap muka meliputi: (1) menjadi
kepala sekolah/madrasah per tahun; (2) menjadi wakil kepala sekolah/madrasah per tahun; (3)
menjadi ketua program keahlian/program studi atau yang sejenisnya; (4) menjadi kepala
perpustakaan; atau (5) menjadi kepala laboratorium, bengkel, unit produksi, atau yang
sejenisnya. Tugas tambahan yang tidak mengurangi jam mengajar tatap muka dikelompokkan
menjadi dua, yaitu tugas tambahan minimal satu tahun (misalnya menjadi wali kelas, guru
pembimbing program induksi, dan sejenisnya) dan tugas tambahan kurang dari satu tahun
(misalnya menjadi pengawas penilaian dan evaluasi pembelajaran, penyusunan kurikulum, dan
sejenisnya).
Penilaian kinerja guru dalam melaksanakan tugas tambahan yang mengurangai jam
mengajar tatap muka dinilai dengan menggunakan instrumen khusus yang dirancang
berdasarkan kompetensi yang dipersyaratkan untuk melaksanakan tugas tambahan tersebut.
Tugas tambahan lain yang tidak mengurangi jam mengajar guru dihargai langsung sebagai
perolehan angka kredit sesuai ketentuan yang berlaku.
F. Prosedur Pelaksanaan
PK Guru dilakukan dua kali setahun, yaitu pada awal tahun ajaran (penilaian formatif) dan akhir
tahun ajaran (penilaian sumatif), khususnya untuk pertamakalinya. PK Guru formatif digunakan
untuk menyusun profil kinerja guru dan harus dilaksanakan dalam kurun waktu 6 (enam) minggu di
awal tahun ajaran. Berdasarkan profil kinerja guru ini dan hasil evaluasi diri yang dilakukan oleh guru
secara mandiri, sekolah/madrasah menyusun rencana PKB. Bagi guru‐guru deミgaミ PK Guru di bawah standar, maka program PKB diarahkan untuk pencapaian standar kompetensi tersebut.
Sementara itu, bagi guru‐guru deミgaミ PK Guru yaミg telah マencapai atau di atas standar,
program PKB diorientasikan untuk meningkatkan atau memperbaharui pengetahuan, keterampilan,
dan sikap dan perilaku keprofesiannya. PK Guru sumatif digunakan untuk menetapkan perolahan
angka kredit guru pada tahun tersebut. PK Guru sumatif juga digunakan untuk menganalisis
kemajuan yang dicapai guru dalam pelaksanaan PKB, baik bagi guru yang nilainya masih di bawah
standar, telah mencapai standar, atau melebihi standar kompetensi yang ditetapkan. PK Guru
sumatif harus sudah dilaksanakan 6 (enam) minggu sebelum penetapan angka kredit seorang guru.
Secara spesifik terdapat perbedaan prosedur pelaksanaan PK Guru pembelajaran atau
pembimbingan dengan prosedur pelaksanaan PK Guru untuk tugas tambahan yang relevan dengan
fungsi sekolah/madrasah. Meskipun demikian, secara umum kegiatan penilaian PK Guru di tingkat
sekolah dilaksanakan dalam 4 (empat) tahapan sebagaimana berikut.
1. Tahap Persiapan
Dalam tahap persiapan, hal‐hal yang harus dilakukan oleh penilai maupun guru yang akan
dinilai, yaitu:
a. memahami Pedoman PK Guru, terutama tentang sistem yang diterapkan dan posisi PK Guru
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 37
dalam kerangka pembinaan dan pengembangan profesi guru;
b. memahami pernyataan kompetensi guru yang telah dijabarkan dalam bentuk indikator
kinerja;
c. memahami penggunaan instrumen PK Guru dan tata cara penilaian yang akan dilakukan,
termasuk cara mencatat semua hasil pengamatan dan pemantauan, serta mengumpulkan
dokumen dan bukti fisik lainnya yang memperkuat hasil penilaian; dan
d. memberitahukan rencana pelaksanaan PK Guru kepada guru yang akan dinilai sekaligus
menentukan rentang waktu jadwal pelaksanaannya.
2. Tahap Pelaksanaan
Beberapa tahapan PK Guru yang harus dilalui oleh penilai sebelum menetapkan nilai untuk
setiap kompetensi, yaitu:
a. Sebelum pengamatan. Pertemuan awal antara penilai dengan guru yang dinilai sebelum
dilakukan pengamatan dilaksanakan di ruang khusus tanpa ada orang ketiga. Pada
pertemuan ini, penilai mengumpulkan dokumen pendukung dan melakukan diskusi tentang
berbagai hal yang tidak mungkin dilakukan pada saat pengamatan. Semua hasil diskusi,
wajib dicatat dalam format laporan dan evaluasi per kompetensi sebagai bukti penilaian
kinerja. Untuk pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah
dapat dicatat dalam lembaran lain karena tidak ada format khusus yang disediakan untuk
proses pencatatan ini.
b. Selama pengamatan. Selama pengamatan di kelas dan/atau di luar kelas, penilai wajib
mencatat semua kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran
atau pembimbingan, dan/atau dalam pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan
fungsi sekolah/madrasah. Dalam konteks ini, penilaian kinerja dilakukan dengan
menggunakan instrumen yang sesuai uミtuk マasiミg‐マasiミg peミilaiaミ kiミerja. Uミtuk マeミilai guru yang melaksanakan proses pembelajaran atau pembimbingan, penilai menggunakan
instrumen PK Guru pembelajaran atau pembimbingan.
Pengamatan kegiatan pembelajaran dapat dilakukan di kelas selama proses tatap
muka tanpa harus mengganggu proses pembelajaran. Pengamatan kegiatan pembimbingan
dapat dilakukan selama proses pembimbingan baik yang dilakukan dalam kelas maupun di
luar kelas, baik pada saat pembimbingan individu maupun kelompok. Penilai wajib mencatat
semua hasil pengamatan pada format laporan dan evaluasi per kompetensi tersebut atau
lembar lain sebagai bukti penilaian kinerja. Jika diperlukan, proses pengamatan dapat
dilakukan lebih dari satu kali untuk memperoleh informasi yang akurat, valid dan konsisten
tentang kinerja seorang guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran atau
pembimbingan.
Dalam proses penilaian untuk tugas tambahan yang relevan dengan fungsi
sekolah/madrasah, data dan informasi dapat diperoleh melalui pencatatan terhadap semua
bukti yang teridentifikasi di tempat yang disediakan pada マasiミg‐マasiミg kriteria peミilaiaミ. Bukti‐bukti iミi dapat diperoleh melalui pengamatan, wawancara dengan pemangku
kepentingan pendidikan (guru, komite sekolah, peserta didik, dunia usaha dan dunia industri
mitra).
c. Setelah pengamatan. Pada pertemuan setelah pengamatan pelaksanaan proses
pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 38
sekolah/madrasah, penilai dapat mengklarifikasi beberapa aspek tertentu yang masih
diragukan. Penilai wajib mencatat semua hasil pertemuan pada format laporan dan evaluasi
per kompetensi tersebut atau lembar lain sebagai bukti penilaian kinerja. Pertemuan
dilakukan di ruang khusus dan hanya dihadiri oleh penilai dan guru yang dinilai. Untuk
penilaian kinerja tugas tambahan, hasilnya dapat dicatat pada Format Penilaian Kinerja
sebagai deskripsi penilaian kinerja.
3. Tahap Penilaian
a. Pelaksanaan penilaian
Pada tahap ini penilai menetapkan nilai untuk setiap kompetensi dengan skala nilai 1, 2,
3, atau 4. Sebelum pemberian nilai tersebut, penilai terlebih dahulu memberikan skor 0,
1, atau 2 pada マasiミg‐マasiミg indikator untuk setiap kompetensi. Pemberian skor ini
harus didasarkan kepada catatan hasil pengamatan dan pemantauan serta bukti‐bukti berupa dokumen lain yang dikumpulkan selama proses PK Guru. Pemberian nilai untuk
setiap kompetensi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut.
1) Pemberian skor 0, 1, atau 2 untuk マasiミg‐マasiミg iミdikator setiap koマpeteミsi. Pemberian skor ini dilakukan dengan cara membandingkan rangkuman catatan hasil
pengamatan dan pemantauan di lembar format laporan dan evaluasi per
kompetensi dengan indikator kiミerja マasiミg‐マasiミg kompetensi
2) Nilai setiap kompetensi kemudian direkapitulasi dalam format hasil penilaian kinerja
guru untuk mendapatkan nilai total PK Guru. Untuk penilaian kinerja guru dengan
tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah, nilai untuk setiap
kompetensi direkapitulasi ke dalam format rekapitulasi penilaian kinerja untuk
mendapatkan nilai PK Guru. Nilai total ini selanjutnya dikonversikan ke dalam skala
nilai sesuai Permenneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009.
3) Berdasarkan hasil konversi nilai PK Guru ke dalam skala nilai sesuai dengan
Permenneg PAN dan RB Nomor 16 tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya, selanjutnya dapat ditetapkan sebutan dan persentase angka
kreditnya sebagaimana tercantum dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Konversi Nilai Kinerja Hasil PK Guru ke persentase Angka Kredit
Nilai Hasil PK Guru Sebutan Persentase
Angka kredit
91 – 100 Amat baik 125%
76 – 90 Baik 100%
61 – 75 Cukup 75%
51 – 60 Sedang 50%
≤ 50 Kurang 25%
4) Setelah melaksanakan penilaian, penilai wajib memberitahukan kepada guru yang
dinilai tentang nilai hasil PK Guru berdasarkan bukti catatan untuk setiap
kompetensi. Penilai dan guru yang dinilai melakukan refleksi terhadap hasil PK Guru,
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 39
sebagai upaya untuk perbaikan kualitas kinerja guru pada periode berikutnya.
5) Jika guru yang dinilai dan penilai telah sepakat dengan hasil penilaian kinerja, maka
keduanya menandatangani format laporan hasil penilaian kinerja guru tersebut.
Format ini juga ditandatangani oleh kepala sekolah.
6) Khusus bagi guru yang mengajar di dua sekolah atau lebih (guru multi
sekolah/madrasah), maka penilaian dilakukan di sekolah/madrasah induk. Meskipun
demikian, penilai dapat melakukan pengamatan serta mengumpulkan data
dan informasi dari sekolah/madrasah lain tempat guru mengajar atau membimbing.
b. Pernyataan Keberatan terhadap Hasil Penilaian
Keputusan penilai terbuka untuk diverifikasi. Guru yang dinilai dapat mengajukan
keberatan terhadap hasil penilaian tersebut. Keberatan disampaikan kepada Kepala
Sekolah dan/atau Dinas Pendidikan, yang selanjutnya akan menunjuk seseorang yang
tepat untuk bertindak sebagai moderator. Dalam hal ini moderator dapat mengulang
pelaksanaan PK Guru untuk kompetensi tertentu yang tidak disepakati atau mengulang
penilaian kinerja secara menyeluruh. Pengajuan usul penilaian ulang harus dicatat
dalam laporan akhir. Dalam kasus ini, nilai PK Guru dari moderator digunakan sebagai
hasil akhir PK Guru. Penilaian ulang hanya dapat dilakukan satu kali dan moderator hanya
bekerja untuk kasus penilaian tersebut.
4. Tahap Pelaporan
Setelah nilai PK Guru formatif dan sumatif diperoleh, penilai wajib melaporkan hasil PK Guru
kepada pihak yang berwenang untuk menindaklanjuti hasil PK Guru tersebut. Hasil PK
Guru formatif dilaporkan kepada kepala sekolah/koordinator PKB sebagai masukan untuk
merencanakan kegiatan PKB tahunan. Hasil PK Guru sumatif dilaporkan kepada tim penilai
tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, atau tingkat pusat sesuai dengan kewenangannya.
Laporan PK Guru sumatif ini digunakan oleh tim penilai tingkat kabupaten/kota, provinsi,
atau pusat sebagai dasar perhitungan dan penetapan angka kredit (PAK) tahunan yang
selanjutnya dipertimbangkan untuk kenaikan pangkat dan jabatan fungsional guru. Laporan
mencakup: (1) laporan dan evaluasi per kompetensi sesuai format; (ii) rekap hasil PK Guru
sesuai format; dan (iii) dokumen pendukung lainnya.
Guru dengan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah dan
mengurangi beban jam mengajar tatap muka, dinilai dengan menggunakan dua instrumen,
yaitu: (i) instrumen PK Guru pembelajaran atau pembimbingan; dan (ii) instrumen PK Guru
pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah. Hasil PK Guru
pelaksanaan tugas tambahan tersebut akan digabungkan dengan hasil PK Guru
pelaksanaan pembelajaran atau pembimbingan sesuai persentase yang ditetapkan dalam
aturan yang berlaku.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 40
G. Konversi Nilai Hasil PK Guru ke Angka Kredit
Nilai kinerja guru hasil PK Guru perlu dikonversikan ke skala nilai menurut Permenneg PAN dan RB
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Hasil konversi ini
selanjutnya digunakan untuk menetapkan sebutan hasil PK Guru dan persentase perolehan angka
kredit sesuai pangkat dan jabatan fungsional guru. Sebelum melakukan pengkonversian hasil PK Guru
ke angka kredit, tim penilai harus melakukan verifikasi terhadap hasil PK Guru. Kegiatan verifikasi ini
dilaksanakan dengan menggunakan berbagai dokumen (Hasil PK Guru yang direkapitulasi dalam
Format Rekap Hasil PK Guru, catatan hasil pengamatan, studi dokumen, wawancara, dan
sebagainya yang ditulis dalam Format Laporan dan Evaluasi per kompetensi beserta dokumen
pendukungnya) yang disampaikan oleh sekolah untuk pengusulan penetapan angka kredit. Jika
diperlukan dan dimungkinkan, kegiatan verifikasi hasil PK Guru dapat mencakup kunjungan ke
sekolah/madrasah oleh tim penilai tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau pusat.
Pengkonversian hasil PK Guru ke Angka Kredit adalah tugas Tim Penilai Angka Kredit kenaikan
jabatan fungsional guru di tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau pusat. Penghitungan angka kredit
dapat dilakukan di tingkat sekolah, tetapi hanya untuk keperluan estimasi perolehan angka kredit
guru. Angka kredit estimasi berdasarkan hasil perhitungan PK Guru yang dilaksanakan di sekolah,
selanjutnya dicatat dalam format penghitungan angka kredit yang ditanda‐taミgaミi oleh penilai, guru
yang diミilai daミ diketahui oleh kepala sekolah. Bersaマa‐sama dengan angka angka kredit dari unsur
utama lainnya (pengembangan diri, publikasi ilmiah dan karya inovatif) dan unsur penunjang, hasil
perhitungan PK Guru yang dilakukan oleh tim penilai tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau pusat
akan direkap dalam daftar usulan penetapan angka kredit (DUPAK) untuk proses penetapan angka
kredit kenaikan jabatan fungsional guru.
1. Konversi nilai PK Guru bagi guru tanpa tugas tambahan yang relevan dengan fungsi
sekolah/madrasah.
Konversi nilai PK Guru ke angka kredit dilakukan berdasarkan Tabel 3.4. Berdasarkan Permenneg
PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009, perolehan angka kredit untuk pembelajaran atau
pembimbingan setiap tahun bagi guru diperhitungkan dengan menggunakan rumus tertentu.
Seorang Guru yang akan dipromosikan naik jenjang pangkat dan jabatan fungsionalnya setingkat
lebih tinggi, dipersyaratkan harus memiliki angka kredit kumulatif minimal sebagai berikut.
Tabel 3.4. Persyaratan Angka Kredit untuk Kenaikan Pangkat dan Jabatan Fungsional Guru
Jabatan Guru Pangkat
dan Golongan Ruang
Persyaratan Angka Kredit kenaikan
pangkat dan jabatan
Kumulatif
minimal
Kebutuhan
Per jenjang
Guru Pertama Penata Muda, III/a
Penata Muda Tingkat I, III/b
100
150
50
50
Guru Muda Penata, III/c
Penata Tingkat I, III/d
200
300
100
100
Guru Madya
Pembina, IV/a
Pembina Tingkat I, IV/b
Pembinaan Utama Muda, IV/c
400
550
700
150
150
150
Guru Utama Pembina Utama Madya, IV/d
Pembina Utama, IV/e
850
1.050
200
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 41
Keterangan: (1) Angka kredit kumulatif minimal pada kolom 3 adalah jumlah angka
kredit minimal yang dimiliki untuk masing‐masing jenjang jabatan/pangkat; dan (2)
Angka kredit pada kolom 4 adalah jumlah peningkatan minimal angka kredit yang
dipersyaratkan untuk kenaikan pangkat/jabatan setingkat lebih tinggi.
2. Konversi nilai PK Guru dengan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah
yang mengurangi jam mengajar tatap muka guru.
Hasil akhir nilai kinerja guru dengan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi
sekolah/madrasah (Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Kepala Laboratorium, Kepala
Perpustakaan, dan sejenisnya) yang mengurangi jam mengajar tatap muka diperhitungkan
berdasarkan prosentase nilai PK Guru pembelajaran/pembimbingan dan prosentase nilai PK
Guru pelaksanaan tugas tambahan tersebut.
a. Untuk itu, nilai hasil PK Guru Kelas/Mata Pelajaran atau PK Guru Bimbingan dan
Konseling/Konselor, atau PK Guru dengan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi
sekolah/madrasah perlu diubah terlebih dahulu ke skala 0 ‐ 100.
b. Masiミg‐マasiミg hasil koミ┗ersi ミilai kiミerja guru untuk unsur pembelajaran/ pembimbingan
dan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah, kemudian
dikategorikan ke dalam Amat Baik (125%), Baik(100%), Cukup (75%), Sedang (50%), atau
Kurang (25%) sebagaimana diatur dalam Permenneg PAN dan RB No. 16 Tahun 2009.
c. Angka kredit per tahun マasiミg‐マasiミg unsur pembelajaran/ pembimbingan dan tugas
tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah yang diperoleh oleh guru dihitung
menggunakan rumus tertentu.
d. Angka kredit unsur pembelajaran/pembimbingan dan angka kredit tugas tambahan yang
relevan dengan fungsi sekolah/madrasah dijumlahkan sesuai prosentasenya untuk
memperoleh total angka kredit dengan perhitungan sebagai berikut:
1) Guru dengan tugas tambahan sebagai kepala sekolah total angka kreditnya = 25% angka
kredit pembelajaran/pembimbingan + 75 angka kredit tugas tambahan sebagai kepala
sekolah.
2) Guru dengan tugas tambahan sebagai wakil kepala sekolah total angka kreditnya =
50% angka kredit pembelajaran/pembimbingan + 50% Angka Kredit Tugas Tambahan
sebagai Wakil Kepala Sekolah.
3) Guru dengan tugas tambahan sebagai kepala perpustakaan/
laboratorium/bengkel, atau ketua program keahlian; total angka kredit = 50% angka
kredit pembelajaran/pembimbingan + 50% Angka Kredit Tugas Tambahan sebagai
Pustakawan/Laboran.
3. Konversi nilai PK Guru dengan tugas tambahan lain yang relevan dengan fungsi
sekolah/madrasah tetapi tidak mengurangi jam mengajar tatap muka guru
Angka kredit tugas tambahan bagi guru dengan tugas tambahan lain yang tidak mengurangi jam
mengajar tatap muka, langsung diperhitungkan sebagai perolehan angka kredit guru pada
periode tahun tertentu. Banyaknya tugas tambahan untuk seorang guru maksimum dua tugas
per tahun. Angka kredit kumulatif yang diperoleh diperhitungkan sebagai berikut.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 42
a. Tugas yang dijabat selama satu tahun (misalnya menjadi wali kelas, tim kurikulum,
pembimbing guru pemula, dan sejenisnya). Angka kredit kumulatif yang diperoleh = Angka
Kredit Hasil PK Guru selama setahun + 5% Angka Kredit Hasil PK Guru selama setahun x
banyaknya tugas temporer yang diberikan selama setahun.
b. Tugas yang dijabat selama kurang dari satu tahun atau tugas‐tugas sementara (misalnya
menjadi pengawas penilaian dan evaluasi, membimbing peserta didik dalam kegiatan
ekstrakurikuler, menjadi pembimbing penyusunan publikasi ilmiah dan karya inovatif, dan
sejenisnya). Angka kredit kumulatif yang diperoleh = Angka Kredit Hasil PK Guru selama
setahun + 2% Angka Kredit Hasil PK Guru selama setahun x banyaknya tugas temporer yang
diberikan selama setahun.
H. Penilai PK Guru
1. Kriteria Penilai
Penilaian kinerja guru dilakukan oleh Kepala Sekolah. Apabila Kepala Sekolah tidak dapat
melaksanakan sendiri (misalnya karena jumlah guru yang dinilai terlalu banyak), maka Kepala
Sekolah dapat menunjuk Guru Pembina atau Koordinator PKB sebagai penilai. Penilaian
kinerja Kepala Sekolah dilakukan oleh Pengawas Sekolah. Penilai harus memiliki kriteria
sebagai berikut.
a. Menduduki jabatan/pangkat paling rendah sama dengan jabatan/pangkat guru/kepala
sekolah yang dinilai.
b. Memiliki Sertifikat Pendidik.
c. Memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dan menguasai bidang tugas Guru/Kepala
Sekolah yang akan dinilai.
d. Memiliki komitmen yang tinggi untuk berpartisipasi aktif dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran.
e. Memiliki integritas diri, jujur, adil, dan terbuka.
f. Memahami PK Guru dan dinyatakan memiliki keahlian serta mampu untuk menilai kinerja
Guru/Kepala Sekolah.
Dalam hal Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, Guru Pembina, dan Koordinator PKB
memiliki latar belakang bidang studi yang berbeda dengan guru yang akan dinilai maka
penilaian dapat dilakukan oleh Kepala Sekolah dan/atau Guru Pembina/Koordinator PKB dari
Sekolah lain atau oleh Pengawas Sekolah dari kabupaten/kota lain yang sudah memiliki
sertifikat pendidik dan memahami PK Guru.
2. Masa Kerja
Masa kerja tim penilai kinerja guru ditetapkan oleh Kepala Sekolah atau Dinas Pendidikan
paling lama tiga (3) tahun. Kinerja penilai dievaluasi secara berkala oleh Kepala Sekolah atau
Dinas Pendidikan dengaミ マeマperhatikaミ priミsip‐priミsip peミilaiaミ yaミg berlaku. Uミtuk sekolah yang berada di daerah khusus, penilaian kinerja guru dilakukan oleh Kepala Sekolah
dan/atau Guru Pembina setempat. Jumlah guru yang dapat dinilai oleh seorang penilai
adalah 5 sampai dengan 10 guru per tahun.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 43
I. Sanksi
Penilai dan guru akan dikenakan sanksi apabila yang bersangkutan terbukti マelaミggar priミsip‐priミsip pelaksanaan PK Guru, sehingga menyebabkan Penetapan Angka Kredit (PAK) diperoleh dengan cara
melawan hukum. Sanksi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Diberhentikan sebagai guru atau kepala sekolah dan/atau pengawas sekolah.
2. Bagi penilai, wajib mengembalikan seluruh tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan semua
penghargaan yang pernah diterima sejak yang bersangkutan melakukan proses PK Guru.
3. Bagi guru wajib mengembalikan seluruh tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan semua
penghargaan yang pernah diterima sejak yang bersangkutan memperoleh dan mempergunakan
PAK yang dihasilkan dari PK Guru.
J. Tugas dan Tanggung Jawab
Setiap pihak terkait memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan PK Guru.
Penetapan tugas dan tanggung jawab tersebut sesuai dengan semangat otonomi daerah serta
mengutamakan priミsip‐priミsip efisieミsi, keterbukaaミ, daミ akuミtabilitas. Keterkaitaミ tugas dan
tanggung jawab pihak‐pihak yaミg terlibat dalam pelaksanaan PK Guru, mulai dari tingkat pusat
sampai dengan sekolah. Konsekuensi dari adanya keterkaitan tersebut, menuntut agar pihak‐ pihak yang terlibat dalam pelaksanaan PK Guru melakukan koordinasi. Tugas dan tanggung jawab
マasiミg‐マasiミg pihak dirinci berikut ini.
1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
a. Menyusun dan mengembangkan raマbu‐rambu pengembangan kegiatan PK Guru.
b. Menyusun prosedur operasional standar pelaksanaan PK Guru.
c. Menyusun instrumen dan perangkat lain untuk pelaksanaan PK Guru.
d. Mensosialisasikan, menyeleksi dan melaksanakan TOT penilai PK Guru tingkat pusat.
e. Memantau dan mengevaluasi kegiatan PK Guru.
f. Menyusun laporan hasil pemantauan dan evaluasi PK Guru secara nasional.
g. Menyampaikan laporan hasil pemantauan dan evaluasi PK Guru kepada Dinas Pendidikan
dan sekolah sebagai umpan balik untuk ditindak lanjuti.
h. Meミgkoordiミasi daミ マeミsosialisasikaミ kebijakaミ‐kebijakan terkait PK Guru.
2. Dinas Pendidikan Provinsi dan LPMP
a. Menghimpun data profil guru dan sekolah yang ada di daerahnya berdasarkan hasil PK Guru
di sekolah.
b. Mensosialisasikan, menyeleksi, dan melaksanakan TOT untuk melatih penilai PK Guru tingkat
Kabupaten/Kota.
c. Menetapkan dan mengesahkan tim penilai PK Guru yang berada di bawah kewenangan
provinsi dalam bentuk Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi.
d. Melaksanakan pendampingan kegiataミ PK Guru di sekolah‐sekolah yaミg ada di bawah kewenangannya.
e. Menyediakan pelayanan konsultasi pelaksanaan kegiatan PK Guru yang ada di bawah
kewenangannya.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 44
f. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan PK Guru di sekolah‐sekolah yaミg ada di bawah kewenangannya.
g. Dinas Pendidikan Provinsi bersama‐saマa deミgan LPMP membuat laporan hasil pemantauan
dan evaluasi kegiatan PK Guru dan mengirimkannya kepada sekolah, Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, dan/atau Kemdiknas, cq. unit yang menangani Pendidik.
3. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
a. Menghimpun dan menyediakan data profil guru dan sekolah yang ada di wilayahnya
berdasarkan hasil PK Guru di sekolah.
b. Mensosialisasikan dan melalui koordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi dan LPMP
melatih penilai PK Guru tingkat Kabupaten/Kota.
c. Membantu pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan PK Guru di sekolah‐sekolah yaミg ada di wilayahnya.
d. Melaksanakan pendampingan kegiatan dan pengelolaan PK Guru di sekolah‐sekolah yang ada
di wilayahnya.
e. Menetapkan dan mengesahkan tim penilai PK Guru bagi guru yang berada di bawah
kewenangannya dalam bentuk Keputusan Kepala Dinas.
f. Mengetahui dan menyetujui program kerja pelaksanaan PK Guru yang diajukan sekolah.
g. Menyediakan pelayanan konsultasi dan penyelesaian konflik dalam pelaksanaan kegiatan PK
Guru di sekolah‐sekolah yaミg ada di daerahミya. h. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan PK Guru untuk menjamin pelaksanaan
yang efektif, efisien, obyektif, adil, akuntabel, dan sebagainya.
i. Meマbuat laporaミ hasil peマaミtauaミ daミ e┗aluasi kegiataミ PK Guru di sekolah‐ sekolah yaミg ada di wilayahnya dan mengirimkannya kepada sekolah, dan/atau LPMP dengan tembusan
ke Dinas Pendidikan Provinsi masing‐マasiミg.
4. UPTD Dinas Pendidikan
a. Menghimpun dan menyediakan data profil guru dan sekolah yang ada di kecamatan
wilayahnya berdasarkan hasil PK Guru di sekolah.
b. Membantu pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan PK Guru di wilayah kecamatannya.
c. Melaksanakan pendampingan kegiatan dan pengelolaan PK Guru di wilayah kecamatannya.
d. Menetapkan dan mengesahkan penilai PK Guru dalam bentuk Keputusan penetapan sebagai
penilai.
e. Menyediakan pelayanan konsultasi dalam pelaksanaan kegiatan PK Guru yang ada di
daerahnya.
f. Memantau dan mengevaluasi serta melaporkan pelaksanaan kegiatan PK Guru di tingkat
kecamatan untuk disampaikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
5. Satuan Pendidikan
a. Memilih dan mengusulkan penilai untuk pelaksanaan PK Guru
b. Meミyusuミ prograマ kegiataミ sesuai deミgaミ ‘aマbu‐‘ambu Penyelenggaraan PK Guru dan
prosedur operasional standar penyelenggaraan PK Guru.
c. Mengusulkan rencana program kegiatan ke UPTD atau Dinas Kabupaten/Kota.
d. Melaksanakan kegiatan PK Guru sesuai program yang telah disusun secara efektif, efisien,
obyektif, adil, akuntabel, dsb.
e. Memberikan kemudahan akses bagi penilai untuk melaksanakan tugas.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 45
f. Melaporkan kepada UPTD atau Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota jika terjadi permasalahan
dalam pelaksanaan PK Guru.
g. Membuat laporan pertanggungjawaban kegiatan, administrasi, keuangan (jika ada) dan
pelaksanaan program.
h. Membuat rencana tindak lanjut program pelaksanaan PK Guru untuk tahun berikutnya.
i. Membantu tim pemantau dan evaluasi dari tingkat pusat, LPMP, Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, UPTD Dinas Pendidikan Kabupaten di Kecamatan, dan Pengawas Sekolah.
j. Membuat laporan kegiatan PK Guru dan mengirimkannya kepada Tim penilai tingkat
kabupaten/kota, provinsi, atau nasional sesuai kewenangannya sebagai dasar penetapan
angka kredit (PAK) tahunan yang diperlukan untuk kenaikan pangkat dan jabatan fungsional
guru. Tim Penilai untuk menghitung dan menetapkan angka kredit, terlebih dahulu
melakukan verifikasi terhadap berbagai dokumen hasil PK Guru. Pada kegiatan verifikasi jika
diperlukan dan memang dibutuhkan tim penilai dapat mengunjungi sekolah. Sekolah juga
menyampaikan laporan tersebut kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan/atau ke
UPTD Pendidikan Kecamatan.
k. Merencanakan program untuk memberikan dukungan kepada guru yang memperoleh hasil
PK Guru di bawah standar yang ditetapkan.
Latihan dan Renungan
1. Mengapa penilaian kinerja guru perlu dilakukan secara kontinyu?
2. Apa tujuan utama penilaian kinerja guru?
3. Sebutkan dan jelaskan secara ringkat tiga persyaratan penilaian kinerja guru!
4. Sebutkan dan jelaskan secara ringkas prinsip-prinsip penilaian kinerja guru!
5. Sebutkan tahap-tahap penilaian kinerja guru!
6. Apa yang Anda ketahui tentang konversi nilai kredit dalam kerangka penilaian kinerja guru?
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 46
BAB IV
PENGEMBANGAN KARIR
Topik ini berkaitan dengan pengembangan karir guru. Materi sajian
terutama berkaitan dengan esensi dan ranah pembinaan dan
pengembangan guru, khususnya berkaitan dengan keprofesian dan karir.
Peserta PLPG diminta mengikuti materi pembelajaran secara individual,
melaksanakan diskusi kelompok, menelaah kasus, membaca regulasi yang
terkait, menjawab soal latihan, dan melakukan refleksi.
A. Ranah Pengembangan Guru
Tugas utama guru sebagai pendidik profesional adalah mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal. Tugas
utama itu akan efektif jika guru memiliki derajat profesionalitas tertentu yang tercermin dari
kompetensi, kemahiran, kecakapan, atau keterampilan yang memenuhi standar mutu dan norma etik
tertentu.
Secara formal, guru profesional harus memenuhi kualifikasi akademik minimum S-1/D-IV dan
bersertifikat pendidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Guru-guru yang memenuhi
kriteria profesional inilah yang akan mampu menjalankan fungsi utamanya secara efektif dan efisien
untuk mewujudkan proses pendidikan dan pembelajaran sejalan dengan tujuan pendidikan nasional,
yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggungjawab.
Di dalam UU Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dibedakan antara pembinaan dan
pengembangan kompetensi guru yang belum dan yang sudah berkualifikasi S-1 atau D-IV, seperti
disajikan pada Gambar 4.1. Pengembangan dan peningkatan kualifikasi akademik bagi guru yang
belum memenuhi kualifikasi S-1 atau D-IV dilakukan melalui pendidikan tinggi program S-1 atau
program D-IV pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan tenaga
kependidikan dan/atau program pendidikan nonkependidikan.
Pengembangan dan peningkatan kompetensi bagi guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik
dilakukan dalam rangka menjaga agar kompetensi keprofesiannya tetap sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan/atau olah raga (PP Nomor 74 Tahun
2008). Pengembangan dan peningkatan kompetensi dimaksud dilakukan melalui sistem pembinaan
dan pengembangan keprofesian guru berkelanjutan yang dikaitkan dengan perolehan angka kredit
jabatan fungsional.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 47
Kegiatan pengembangan dan peningkatan profesional guru yang sudah memiliki sertifikat
pendidik dimaksud dapat berupa: kegiatan kolektif guru yang meningkatkan kompetensi dan/atau
keprofesian, pendidikan dan pelatihan, pemagangan, publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau
gagasan inovatif, karya inovatif, presentasi pada forum ilmiah, publikasi buku teks pelajaran yang
lolos penilaian oleh BSNP, publikasi buku pengayaan, publikasi buku pedoman guru, publikasi
pengalaman lapangan pada pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus, dan/atau
penghargaan atas prestasi atau dedikasi sebagai guru yang diberikan oleh pemerintah atau
pemerintah daerah.
Pada sisi lain, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa
terdapat dua alur pembinaan dan pengembangan profesi guru, yaitu: pembinaan dan
pengembangan profesi, dan pembinaan dan pengembangan karir, seperti disajikan pada Gambar
4.2. Pembinaan dan pengembangan profesi guru meliputi pembinaan kompetensi pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesional. Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana
dimaksud dilakukan melalui jabatan fungsional.
Pembinaan dan pengembangan karir meliputi: (1) penugasan, (2) kenaikan pangkat, dan (3)
promosi. Upaya pembinaan dan pengembangan karir guru ini harus sejalan dengan jenjang jabatan
PEMBINAAN DAN
PENGEMBANGAN PROFESI GURU
PROFESI
KARIR
GURU PROFESIONAL DENGAN
AKSESIBILITAS PENGEMBANGAN
KARIR
Gambar 4.2. Jenis Pembinaan dan Pengembangan Profesi Guru
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 48
fungsional guru. Pola pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru tersebut diharapkan
dapat menjadi acuan bagi institusi terkait di dalam melaksanakan tugasnya.
Pengembangan profesi dan karir tersebut diarahkan untuk meningkatkan kompetensi dan
kinerja guru dalam rangka pelaksanaan proses pendidikan dan pembelajaran di kelas dan di luar
kelas. Upaya peningkatan kompetensi dan profesionalitas ini harus sejalan dengan upaya
memberikan penghargaan, peningkatan kesejahteraan, dan perlindungan terhadap guru. Kegiatan ini
menjadi bagian intergral dari pengembangan keprofesian guru secara berkelanjutan.
B. Ranah Pengembangan Karir
Pembinaan dan pengembangan profesi guru merupakan tanggungjawab pemerintah, pemerintah
daerah, penyelenggara satuan pendidikan, asosiasi profesi guru, serta guru secara pribadi. Secara
umum kegiatan itu dimaksudkan untuk memotivasi, memelihara, dan meningkatkan kompetensi
guru dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran, yang berdampak pada
peningkatan mutu hasil belajar siswa. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembinaan dan
pengembangan karir guru terdiri dari tiga ranah, yaitu: penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.
1. Penugasan
Guru terdiri dari tiga jenis, yaitu guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru bimbingan dan
konseling atau konselor. Dalam rangka melaksanakan tugasnya, guru melakukan kegiatan pokok
yang mencakup: merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan
yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru.
Kegiatan penugasan guru dalam rangka pembelajaran dapat dilakukan di satu sekolah
sebagai satuan administrasi pangkalnya dan dapat juga bersifat lintas sekolah. Baik bertugas
pada satu sekolah atau lebih, guru dituntut melaksanakan tugas pembelajaran yang diukur
dengan beban kerja tertentu, yaitu:
a. Beban kerja guru paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling
banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan
pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
b. Pemenuhan beban kerja paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling
banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu dilaksanakan dengan
ketentuan paling sedikit 6 (enam) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satuan
pendidikan tempat tugasnya sebagai guru tetap.
c. Guru bimbingan dan konseling atau konselor wajib memenuhi beban mengajar yang setara,
yaitu jika mengampu bimbingan dan konseling paling sedikit 150 (seratus lima puluh) peserta
didik per tahun pada satu atau lebih satuan pendidikan.
d. Guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan
inklusi atau pendidikan terpadu wajib memenuhi beban mengajar yang setara, yaitu jika
paling sedikit melaksanakan 6 (enam) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
e. Menteri dapat menetapkan ekuivalensi beban kerja untuk memenuhi ketentuan beban kerja
dimaksud, khusus untuk guru-guru yang: bertugas pada satuan pendidikan layanan khusus,
berkeahlian khusus, dan/atau dibutuhkan atas dasar pertimbangan kepentingan nasional.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 49
Agar guru dapat melaksanakan beban kerja yang telah ditetapkan tersebut secara efektif,
maka harus dilakukan pengaturan tugas guru berdasarkan jenisnya. Pengaturan tugas guru
tersebut dilakukan dengan melibatkan individu dan/atau institusi dengan ketentuan sebagai
berikut.
a. Penugasan sebagai Guru Kelas/Mata Pelajaran
1) Kepala sekolah/madrasah mengupayakan agar setiap guru dapat memenuhi beban kerja
paling sedikit 24 jam tatap muka per minggu. Apabila pada satuan administrasi
pangkalnya guru tidak dapat memenuhi beban kerja tersebut, kepala sekolah/madrasah
melaporkan kepada Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota atau Kantor
Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
2) Dinas Pendidikan Provinsi/Kanwil Kementerian Agama mengatur penugasan guru yang
belum memenuhi beban mengajar paling sedikit 24 jam tatap muka per minggu ke
satuan pendidikan yang ada dalam lingkungan kewenangannya.
3) Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota
mengatur penugasan guru yang belum memenuhi beban mengajar paling sedikit 24 jam
tatap muka per minggu ke satuan pendidikan yang ada dalam lingkungan
kewenangannya.
4) Pimpinan instansi pusat di luar Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian
Agama mengatur penugasan guru yang belum memenuhi beban mengajar paling sedikit
24 jam tatap muka per minggu ke satuan pendidikan yang ada dalam lingkungan
kewenangannya.
5) Apabila pengaturan penugasan guru pada butir 2), 3), dan 4) belum terpenuhi, instansi
terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing berkoordinasi untuk mengatur
penugasan guru pada sekolah/madrasah lain, baik negeri maupun swasta.
6) Berdasarkan hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada butir 5), instansi terkait sesuai
kewenangan masing-masing memastikan bahwa setiap guru wajib memenuhi beban
mengajar paling sedikit 6 jam tatap muka pada satuan administrasi pangkal guru dan
menugaskan guru pada sekolah/madrasah lain, baik negeri maupun swasta untuk dapat
memenuhi beban mengajar paling sedikit 24 jam tatap muka per minggu.
7) Instansi terkait sesuai kewenangan masing-masing wajib memastikan bahwa guru yang
bertugas di daerah khusus, berkeahlian khusus, dan guru yang dibutuhkan atas dasar
pertimbangan kepentingan nasional apabila beban kerjanya kurang dari 24 jam tatap
muka per minggu dapat diberi tugas ekuivalensi beban kerja sesuai dengan kondisi
tempat tugas guru yang bersangkutan setelah mendapat persetujuan Menteri
Pendidikan Nasional.
b. Penugasan sebagai Guru Bimbingan dan Konseling
1) Kepala sekolah/madrasah mengupayakan agar setiap guru bimbingan dan konseling
dapat memenuhi beban membimbing paling sedikit 150 peserta didik per tahun. Apabila
pada satuan administrasi pangkalnya guru tidak dapat memenuhi beban membimbing
tersebut, kepala sekolah/madrasah melaporkan kepada dinas Pendidikan Provinsi/
Kabupaten/Kota atau Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 50
2) Dinas Pendidikan Provinsi/Kanwil Kementerian Agama mengatur penugasan guru
bimbingan dan konseling yang belum memenuhi beban membimbing bimbingan dan
konseling paling sedikit 150 peserta didik per tahun ke satuan pendidikan yang ada
dalam lingkungan kewenangannya.
3) Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota
mengatur penugasan guru bimbingan dan konseling yang belum memenuhi beban
membimbing paling sedikit 150 peserta didik per tahun ke satuan pendidikan yang ada
dalam lingkungan kewenangannya.
4) Pimpinan instansi pusat di luar Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian
Agama mengatur penugasan guru bimbingan dan konseling yang belum memenuhi
beban membimbing paling sedikit 150 peserta didik per tahun ke satuan pendidikan
yang ada dalam lingkungan kewenangannya.
5) Apabila pengaturan penugasan guru bimbingan dan konseling pada butir 2), 3), dan 4)
belum terpenuhi, instansi terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing
berkoordinasi untuk mengatur penugasan guru bimbingan dan konseling pada
sekolah/madrasah lain, baik negeri maupun swasta.
6) Berdasarkan hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada butir 5), instansi terkait sesuai
kewenangan masing-masing memastikan bahwa setiap guru bimbingan dan konseling
wajib memenuhi beban membimbing paling sedikit 40 peserta didik pada satuan
administrasi pangkal guru dan menugaskan guru bimbingan dan konseling pada
sekolah/madrasah lain, baik negeri maupun swasta untuk dapat memenuhi beban
membimbing paling sedikit 150 peserta didik per tahun.
Instansi terkait sesuai kewenangan masing-masing wajib memastikan bahwa guru yang
bertugas di daerah khusus, berkeahlian khusus, dan guru yang dibutuhkan atas dasar
pertimbangan kepentingan nasional, apabila beban mengajarnya kurang dari 24 jam tatap
muka per minggu atau sebagai guru bimbingan dan konseling yang membimbing kurang dari
150 peserta didik per tahun dapat diberi tugas ekuivalensi beban kerja sesuai dengan kondisi
tempat tugas guru yang bersangkutan setelah mendapat persetujuan kementerian
pendidikan. Hal ini masih dalam proses penelaahan yang saksama. Guru berhak dan wajib
mengembangkan dirinya secara berkelanjutan sesuai dengan perkembangan IPTEKS. Kepala
sekolah/madrasah wajib memberi kesempatan secara adil dan merata kepada guru untuk
mengikuti kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan.
c. Guru dengan Tugas Tambahan
1) Guru dengan tugas tambahan sebagai kepala satuan pendidikan wajib mengajar paling
sedikit 6 (enam) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu atau membimbing 40 (empat
puluh) peserta didik bagi kepala satuan pendidikan yang berasal dari guru bimbingan
dan konseling atau konselor.
2) Guru dengan tugas tambahan sebagai wakil kepala satuan pendidikan wajib mengajar
paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu atau membimbing
80 (delapan puluh) peserta didik bagi wakil kepala satuan pendidikan yang berasal dari
guru bimbingan dan konseling atau konselor.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 51
3) Guru dengan tugas tambahan sebagai ketua program keahlian wajib mengajar paling
sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
4) Guru dengan tugas tambahan sebagai kepala perpustakaan satuan pendidikan wajib
mengajar paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
5) Guru dengan tugas tambahan sebagai kerja kepala laboratorium, bengkel, atau unit
produksi satuan pendidikan wajib mengajar paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka
dalam 1 (satu) minggu.
6) Guru yang ditugaskan menjadi pengawas satuan pendidikan, pengawas mata pelajaran,
atau pengawas kelompok mata pelajaran wajib melakukan tugas pembimbingan dan
pelatihan profesional guru dan pengawasan yang ekuivalen dengan paling sedikit 24
(dua puluh empat) jam pembelajaran tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
7) Guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan wajib melaksanakan
tugas sebagai pendidik, dengan ketentuan berpengalaman sebagai guru
sekurangkurangnya delapan tahun atau kepala sekolah sekurang-kurangnya 4 (empat)
tahun, memenuhi persyaratan akademik sebagai guru sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, memiliki Sertifikat Pendidik, dan melakukan tugas pembimbingan
dan pelatihan profesional Guru dan tugas pengawasan.
Pada sisi lain, guru memiliki peluang untuk mendapatkan penugasan dalam aneka jenis. Di
dalam PP No. 74 Tahun 2008 disebutkan bahwa guru yang diangkat oleh pemerintah atau
pemerintah daerah dapat ditempatkan pada jabatan struktural sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Penempatan guru pada jabatan struktural dimaksud dapat
dilakukan setelah yang bersangkutan bertugas sebagai guru paling singkat selama delapan
tahun. Guru yang ditempatkan pada jabatan struktural itu dapat ditugaskan kembali sebagai
guru dan mendapatkan hak-hak guru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Guru yang ditempatkan pada jabatan struktural kehilangan haknya untuk memperoleh
tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan. Hak-hak
guru dimaksud berupa tunjangan profesi dan tunjangan fungsional diberikan sebesar tunjangan
profesi dan tunjangan fungsional berdasarkan jenjang jabatan sebelum guru yang bersangkutan
ditempatkan pada jabatan struktural.
2. Promosi
Kegiatan pengembangan dan pembinaan karir yang kedua adalah promosi. Promosi dimaksud dapat
berupa penugasan sebagai guru pembina, guru inti, instruktur, wakil kepala sekolah, kepala sekolah,
pengawas sekolah, dan sebagainya. Kegiatan promosi ini harus didasari atas pertimbangan prestasi
dan dedikasi tertentu yang dimiliki oleh guru.
Peraturan Pemerintah No. 74 tentang Guru mengamanatkan bahwa dalam melaksanakan
tugas keprofesian, guru berhak mendapatkan promosi sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
Promosi dimaksud meliputi kenaikan pangkat dan/atau kenaikan jenjang jabatan fungsional.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 52
C. Kenaikan Pangkat
Dalam rangka pengembangan karir guru, Permenneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 telah
menetapkan 4 (empat) jenjang jabatan fungsional guru dari yang terrendah sampai dengan yang
tertinggi, yaitu Guru Pertama, Guru Muda, Guru Madya, dan Guru Utama. Penjelasan tentang jenjang
jabatan fungsional guru dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi beserta jenjang
kepengkatan dan persyaratan angka kredit untuk kenaikan pangkat dan jabatan tersebut telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Kenaikan pangkat dan jabatan fungsional guru dalam rangka pengembangan karir merupakan
gabungan dari angka kredit unsur utama dan penunjang ditetapkan sesuai dengan Permenneg PAN
dan BR Nomor 16 Tahun 2009. Tugas-tugas guru yang dapat dinilai dengan angka kredit untuk
keperluan kenaikan pangkat dan/atau jabatan fungsional guru mencakup unsur utama dan unsur
penunjang. Unsur utama kegiatan yang dapat dinilai sebagai angka kredit dalam kenaikan pangkat
guru terdiri atas: (a) pendidikan, (b) pembelajaran/pembimbingan dan tugas tambahan dan/atau
tugas lain yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah, dan (c) pengembangan keprofesian
berkelanjutan (PKB).
1. Pendidikan
Unsur kegiatan pendidikan yang dapat dinilai sebagai angka kredit dalam kenaikan pangkat guru
terdiri atas:
a. Mengikuti pendidikan formal dan memperoleh gelar/ijazah.
Angka kredit gelar/ijazah yang diperhitungkan sebagai unsur utama tugas guru dan sesuai
dengan bidang tugas guru, yaitu:
1) 100 untuk Ijazah S-1/Diploma IV;
2) 150 untuk Ijazah S-2; atau
3) 200 untuk Ijazah S-3.
Apabila seseorang guru mempunyai gelar/ijazah lebih tinggi yang sesuai dengan sertifikat
pendidik/keahlian dan bidang tugas yang diampu, angka kredit yang diberikan adalah sebesar
selisih antara angka kredit yang pernah diberikan berdasarkan gelar/ijazah lama dengan
angka kredit gelar/ijazah yang lebih tinggi tersebut. Bukti fisik yang dijadikan dasar penilaian
adalah fotokopi ijazah yang disahkan oleh pejabat yang berwenang, yaitu dekan atau ketua
sekolah tinggi atau direktur politeknik pada perguruan tinggi yang bersangkutan.
b. Mengikuti pelatihan prajabatan dan program induksi.
Sertifikat pelatihan prajabatan dan program induksi diberi angka kredit 3. Bukti fisik
keikutsertaan pelatihan prajabatan yang dijadikan dasar penilaian adalah fotokopi surat tanda
tamat pendidikan dan pelatihan (STTPP) prajabatan yang disahkan oleh kepala
sekolah/madrasah yang bersangkutan. Bukti fisik keikutsertaan program induksi yang
dijadikan dasar penilaian adalah fotokopi sertifikat program induksi yang disahkan oleh kepala
sekolah/madrasah yang bersangkutan.
2. Pengembangan Profesi
Berdasarkan Permenneg PAN dan RB No. 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya yang dimaksudkan pengembangan keprofesian berkelanjutan adalah
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 53
pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, bertahap,
berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalitasnya. Guru Pertama dengan pangkat Penata
Muda golongan ruang III/a sampai dengan Guru Utama dengan pangkat Pembina Utama golongan
ruang IV/e wajib melaksanakan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan, yaitu
pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan/atau pengembangan karya inovatif.
Jenis kegiatan untuk pengembangan keprofesian berkelanjutan meliputi pengembangan diri
(diklat fungsional dan kegiatan kolektif guru), publikasi ilmiah (hasil penelitian atau gagasan
inovatif pada bidang pendidikan formal, dan buku teks pelajaran, buku pengayaan dan pedoman
guru), karya inovatif (menemukan teknologi tepat guna; menemukan atau menciptakan karya
seni; membuat atau memodifikasi alat pelajaran; dan mengikuti pengembangan penyusunan
standar, pedoman, soal, dan sejenisnya).
Persyaratan atau angka kredit minimal bagi guru yang akan naik jabatan/pangkat dari
subunsur pengembangan keprofesian berkelanjutan untuk masing-masing pangkat/golongan
adalah sebagai berikut:
a. Guru golongan III/a ke golongan III/b, subunsur pengembangan diri sebesar 3 (tiga) angka
kredit.
b. Guru golongan III/b ke golongan III/c, subunsur pengembangan diri sebesar 3 (tiga) angka
kredit, dan subunsur publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif sebesar 4 (empat) angka kredit.
c. Guru golongan III/c ke golongan III/d, subunsur pengembangan diri sebesar 3 (tiga) angka
kredit, dan subunsur publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif sebesar 6 (enam) angka kredit.
d. Guru golongan III/d ke golongan IV/a, subunsur pengembangan diri sebesar 4 (empat) angka
kredit dan subunsur publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif sebesar 8 (delapan) angka kredit.
Bagi guru golongan tersebut sekurang-kurangnya mempunyai 1 (satu) laporan hasil penelitian
dari subunsur publikasi ilmiah.
e. Guru golongan IV/a ke golongan IV/b, subunsur pengembangan diri sebesar 4 (empat) angka
kredit dan subunsur publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif sebesar 12 (dua belas) angka
kredit. Bagi guru golongan tersebut, sekurang-kurangnya mempunyai 1 (satu) laporan hasil
penelitian dan 1 (satu) artikel yang dimuat di jurnal yang ber-ISSN.
f. Guru golongan IV/b ke golongan IV/c, subunsur pengembangan diri sebesar 4 (empat) angka
kredit dan subunsur publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif sebesar 12 (dua belas) angka
kredit. Bagi guru golongan tersebut, sekurang-kurangnya mempunyai 1 (satu) laporan hasil
penelitian dan 1 (satu) artikel yang dimuat di jurnal yang ber-ISSN.
g. Guru golongan IV/c ke golongan IV/d, subunsur pengembangan diri sebesar 5 (lima) angka
kredit dan subunsur publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif sebesar 14 (empat belas) angka
kredit. Bagi guru golongan tersebut, sekurang-kurangnya dari subunsur publikasi ilmiah
mempunyai 1 (satu) laporan hasil penelitian dan 1 (satu) artikel yang dimuat di jurnal yang ber
ISSN serta 1 (satu) buku pelajaran atau buku pendidikan yang ber ISBN.
h. Guru golongan IV/d ke golongan IV/e, subunsur pengembangan diri sebesar 5 (lima) angka
kredit dan subunsur publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif sebesar 20 (dua puluh) angka
kredit. Bagi guru golongan tersebut, sekurang-kurangnya dari subunsur publikasi ilmiah
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 54
mempunyai 1 (satu) laporan hasil penelitian dan 1 (satu) artikel yang dimuat di jurnal yang ber
ISSN serta 1 (satu) buku pelajaran atau buku pendidikan yang ber ISBN.
i. Bagi Guru Madya, golongan IV/c, yang akan naik jabatan menjadi Guru Utama, golongan IV/d,
selain membuat PKB sebagaimana pada poin g diatas juga wajib melaksanakan presentasi
ilmiah.
3. Unsur Penunjang
Unsur penunjang tugas guru adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang guru untuk
mendukung kelancaran pelaksanaan tugas utamanya sebagai pendidik. Unsur penunjang tugas
guru meliputi berbagai kegiatan seperti berikut ini.
a. Memperoleh gelar/ijazah yang tidak sesuai dengan bidang yang diampunya.
Guru yang memperoleh gelar/ijazah, namun tidak sesuai dengan bidang yang diampunya
diberikan angka kredit sebagai unsur penunjang dengan angka kredit sebagai berikut.
1) Ijazah S-1 diberikan angka kredit 5;
2) Ijazah S-2 diberikan angka kredit 10; dan
3) Ijazah S-3 diberikan angka kredit 15.
Bukti fisik yang dijadikan dasar penilaian adalah fotokopi ijazah yang disahkan oleh pejabat
yang berwenang, yaitu dekan atau ketua sekolah tinggi atau direktur politeknik pada
perguruan tinggi yang bersangkutan. Surat keterangan belajar/surat ijin belajar/surat tugas
belajar dari kepala dinas yang membidangi pendidikan atau pejabat yang menangani
kepegawaian serendah-rendahnya Eselon II. Bagi guru di lingkungan Kementerian Agama,
surat keterangan belajar/surat ijin belajar/surat tugas belajar tersebut berasal dari pejabat
yang berwenang serendah-rendahnya Eselon II.
b. Melaksanakan kegiatan yang mendukung tugas guru
Kegiatan yang mendukung tugas guru yang dapat diakui angka kreditnya harus sesuai dengan
kriteria dan dilengkapi dengan bukti fisik. Kegiatan tersebut di antaranya:
1) Membimbing siswa dalam praktik kerja nyata/praktik industri/ekstrakurikuler dan yang
sejenisnya
2) Sebagai pengawas ujian, penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar tingkat
nasional.
3) Menjadi pengurus/anggota organisasi profesi
4) Menjadi anggota kegiatan pramuka dan sejenisnya
5) Menjadi tim penilai angka kredit
6) Menjadi tutor/pelatih/instruktur/pemandu atau sejenisnya.
c. Memperoleh penghargaan/tanda jasa
Penghargaan/tanda jasa adalah tanda kehormatan yang diberikan oleh pemerintah atau
negara asing atau organisasi ilmiah atau organisasi profesi atas prestasi yang dicapai seorang
guru dalam pengabdian kepada nusa, bangsa, dan negara di bidang pendidikan. Tanda jasa
dalam bentuk Satya Lencana Karya Satya adalah penghargaan yang diberikan kepada guru
berdasarkan prestasi dan masa pengabdiannya dalam waktu tertentu. Penghargaan lain yang
diperoleh guru karena prestasi seseorang dalam pengabdiannya kepada nusa, bangsa, dan
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 55
negara di bidang pendidikan/kemanusiaan/kebudayaan. Prestasi kerja tersebut dicapai
karena pengabdiannya secara terus menerus dan berkesinambungan dalam waktu yang relatif
lama. Guru yang mendapat penghargaan dalam lomba guru berprestasi tingkat nasional,
diberikan angka kredit tambahan untuk kenaikan jabatan/pangkat.
Latihan dan Renungan
1. Apa perbedaan utama antara pengembangan keprofesian dan pengembangan karir guru?
2. Mengapa pengembangan keprofesian guru dikaitkan dengan jabatan fungsionalnya?
3. Apa perbedaan utama pengembangan guru yang belum S1/D-IV dan belum bersertifikat
pendidik dengan yang sudah memilikinya?
4. Sebutkan jenis-jenis pengembangan karir guru!
5. Apa perbedaan utama pengembangan keprofesian berbasis lembaga dengan yang berbasis
individu?
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 56
BAB V
PERLINDUNGAN DAN PENGHARGAAN
Topik ini berkaitan dengan perlindungan dan penghargaan guru. Materi
sajian terutama berkaitan dengan konsep, prinsip atau asas, dan jenis-
jenis penghargaan dan perlindungan kepada guru, termasuk
kesejahteraannya. Peserta PLPG diminta mengikuti materi pembelajaran
secara individual, melaksanakan diskusi kelompok, menelaah kasus,
membaca regulasi yang terkait, menjawab soal latihan, dan melakukan
refleksi.
A. Pengantar
Jumlah guru yang banyak dengan sebaran yang sangat luas merupakan potensi bagi mereka untuk
mendidik anak bangsa di seluruh Indonesia secara nyaris tanpa batas akses geografis, sosial,
ekonomi, dan kebudayaan. Namun demikian, kondisi ini yang menyebakan sebagian guru
terbelenggu dengan fenomena sosial, kultural, psikologis, ekonomis, kepegawaian, dan lain-lain.
Fenomena ini bersumber dari apresiasi dan pencitraan masyarakat terhadap guru belum
begitu baik, serta perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan kesejahteraan, dan
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja bagi mereka belum optimum. Sejarah pendidikan di
Indonesia menunjukkan bahwa perlakuan yang cenderung diskriminatif terhadap sebagian guru telah
berlangsung sejak zaman pemerintah kolonial Belanda. Hal ini membangkitkan kesadaran untuk
terus mengupayakan agar guru mempunyai status atau harkat dan martabat yang jelas dan
mendasar. Hasilnya antara lain adalah terbentuknya Undang-Undang (UU) Nomomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen.
Diundangkannya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan langkah maju
untuk mengangkat harkat dan martabat guru, khususnya di bidang perlindungan hukum bagi mereka.
Materi perlindungan hukum terhadap guru mulai mengemuka dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. UU ini diperbaharui dan kemudian diganti dengan UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penjabaran pelaksanaan perlindungan hukum bagi guru itu
pernah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan. Di
dalam PP ini perlindungan hukum bagi guru meliputi perlindungan untuk rasa aman, perlindungan
terhadap pemutusan hubungan kerja, dan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
Sejak lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2008, dimensi perlindungan guru
mendapatkan tidik tekan yang lebih kuat. Norma perlindungan hukum bagi guru tersebut di atas
kemudian diperbaharui, dipertegas, dan diperluas spektrumnya dengan diundangkannya UU No. 14
tahun 2005. Dalam UU ini, ranah perlindungan terhadap guru meliputi perlindungan hukum,
perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Termasuk juga di
dalamnya perlindungan atas Hak atas Kekayaan Intelektual atau HaKI.
Sepanjang berkaitan dengan hak guru atas beberapa dimensi perlindungan sebagaimana
dimaksudkan di atas, sampai sekarang belum ada rumusan komprehensif mengenai standar operasi
dan prosedurnya. Atas dasar itu, perlu dirumuskan standar yang memungkinkan terwujudnya
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 57
perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta
perlindungan atas Hak atas Kekayaan Intelektual atau HaKI bagi guru.
B. Definisi
1. Perlindungan bagi guru adalah usaha pemberian perlindungan hukum, perlindungan
profesi, dan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta perlindungan HaKI yang
diberikan kepada guru, baik berstatus sebagai PNS maupun bukan PNS.
2. Perlindungan hukum adalah upaya melakukan perlindungan kepada guru dari tindak
kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlindungan hukum atau
perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi
atau pihak lain.
3. Perlindungan profesi adalah upaya memberi perlindungan yang mencakup perlindungan
terhadap PHK yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian
imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam penyampaian pandangan, pelecehan
terhadap profesi dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam
melaksanakan tugas.
4. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) kepada guru mencakup perlindungan
terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja,
bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
5. Perlindungan HaKI adalah pengakuan atas kekayaan intelektual sebagai karya atau prestasi
yang dicapai oleh guru dengan cara melegitimasinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
6. Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat dan disepakati bersama antara
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan dengan guru.
7. Kesepakatan kerja bersama merupakan kesepakatan yang dibuat dan disepakati bersama
secara tripartit, yaitu penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, guru, dan Dinas
Pendidikan atau Dinas Ketenagakerjaan pada wilayah administratif tempat guru bertugas.
8. Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan secara cuma-cuma dalam bentuk
konsultasi hukum oleh LKHB mitra, asosiasi atau organisasi profesi guru, dan pihak lain
kepada guru.
9. Advokasi adalah upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka pemberian perlindungan
hukum, perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta
perlindungan HaKI bagi guru. Advokasi umumnya dilakukan melalui kolaborasi beberapa
lembaga, organisasi, atau asosiasi yang memiliki kepedulian dan semangat kebersamaan
untuk mencapai suatu tujuan.
10. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa guru berdasarkan perundingan yang
melibatkan guru LKBH mitra, asosiasi atau organisasi profesi guru, dan pihak lain sebagai
mediator dan diterima oleh para pihak yang bersengketa untuk membantu mencari
penyelesaian yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Mediator tidak
mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 58
C. Perlindungan Atas Hak-hak Guru
Berlandaskan UUD 1945 dan UU No 9 tahun 1999 Pasal 3 ayat 2 tentang Hak Asasi Manusia (HAM),
bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil
serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Sesuai dengan politik
hukum UU tersebut, bahwa manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketakwaan dan tanggung
jawab untuk kesejahteraan umat manusia. Oleh pencipta-Nya, manusia dianugerahi hak asasi untuk
menjamin keberadaan harkat dan martabat, kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungan.
Bahwa hak asasi manusia, termasuk hak-hak guru, merupakan hak dasar yang secara koderati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu hak-hak manusia,
termasuk hak-hak guru harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan
melaksanakan deklarasi universal tentang hak asasi manusia yang ditetapkan oleh PBB serta berbagai
instrumen internasional lainnya mengenai HAM yang telah diterima oleh Indonesia. Di samping hak
asasi manusia juga dikenal kewajiban dasar manusia yang meliputi: (1) kepatuhan terhadap
perundang-undangan, (2) ikut serta dalam upaya pembelaan negara, (3) wajib menghormati hak-hak
asasi manusia, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya, sebagai wujud tuntutan reformasi (demokrasi, desentralisasi, dan HAM), maka hak asasi
manusia dimasukkan dalam UUD 1945.
Salah satu hak guru adalah hak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak
atas kekayaan intelektual. Pada Pasal 39 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bagian
7 tentang Perlindungan, disebutkan bahwa banyak pihak wajib memberikan perlindungan kepada
guru, berikut ranah perlindungannya seperti berikut ini.
1. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan
wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
2. Perlindungan tersebut meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi dan perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Perlindungan hukum mencakup perlindungan terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan
diskriminatif, diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang
tua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain.
4. Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap PHK yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam penyampaian
pandangan, pelecehan terhadap profesi dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat
menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
5. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja mencakup perlindungan terhadap resiko
gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam,
kesehatan lingkungan kerja dan/atau resiko lain.
Berdasarkan amanat Pasal 39 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen seperti
disebutkan di atas, dapat dikemukakan ranah perlindungan hukum bagi guru. Frasa perlindungan
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 59
hukum yang dimaksudkan di sini mencakup semua dimensi yang terkait dengan upaya mewujudkan
kepastian hukum, kesehatan, keamanan, dan kenyamanan bagi guru dalam menjalankan tugas-tugas
profesionalnya.
1. Perlindungan hukum
Semua guru harus dilindungi secara hukum dari segala anomali atau tindakan semena-mena dari
yang mungkin atau berpotensi menimpanya dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Perlindungan hukum dimaksud meliputi perlindungan yang muncul akibat tindakan dari peserta
didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain, berupa:
a. tindak kekerasan,
b. ancaman, baik fisik maupun psikologis
c. perlakuan diskriminatif,
d. intimidasi, dan
e. perlakuan tidak adil
2. Perlindungan profesi
Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hukubungan kerja (PHK) yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar,
pembatasan dalam penyampaian pandangan, pelecehan terhadap profesi dan
pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas. Secara
rinci, subranah perlindungan profesi dijelaskan berikut ini.
a. Penugasan guru pada satuan pendidikan harus sesuai dengan bidang keahlian, minat, dan
bakatnya.
b. Penetapan salah atau benarnya tindakan guru dalam menjalankan tugas-tugas profesional
dilakukan dengan mempertimbangkan pendapat Dewan Kehormatan Guru Indonesia.
c. Penempatan dan penugasan guru didasari atas perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama.
d. Pemberian sanksi pemutusan hubungan kerja bagi guru harus mengikuti prosedur
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau perjanjian kerja atau
kesepakatan kerja bersama.
e. Penyelenggara atau kepala satuan pendidikan formal wajib melindungi guru dari praktik
pembayaran imbalan yang tidak wajar.
f. Setiap guru memiliki kebebasan akademik untuk menyampaikan pandangan.
g. Setiap guru memiliki kebebasan untuk:
mengungkapkan ekspresi,
mengembangkan kreatifitas, dan
melakukan inovasi baru yang memiliki nilai tambah tinggi dalam proses pendidikan dan
pembelajaran.
h. Setiap guru harus terbebas dari tindakan pelecehan atas profesinya dari peserta didik,
orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
i. Setiap guru yang bertugas di daerah konflik harus terbebas dari pelbagai ancaman, tekanan,
dan rasa tidak aman.
j. Kebebasan dalam memberikan penilaian kepada peserta didik, meliputi:
substansi,
prosedur,
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 60
instrumen penilaian, dan
keputusan akhir dalam penilaian.
k. Ikut menentukan kelulusan peserta didik, meliputi:
penetapan taraf penguasaan kompetensi,
standar kelulusan mata pelajaran atau mata pelatihan, dan
menentukan kelulusan ujian keterampilan atau kecakapan khusus.
l. Kebebasan untuk berserikat dalam organisasi atau asosiasi profesi, meliputi:
mengeluarkan pendapat secara lisan atau tulisan atas dasar keyakinan akademik,
memilih dan dipilih sebagai pengurus organisasi atau asosiasi profesi guru, dan
bersikap kritis dan obyektif terhadap organisasi profesi.
m. Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan formal, meliputi:
akses terhadap sumber informasi kebijakan,
partisipasi dalam pengambilan kebijakan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan
formal, dan
memberikan masukan dalam penentuan kebijakan pada tingkat yang lebih tinggi atas
dasar pengalaman terpetik dari lapangan.
3. Perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja mencakup perlindungan terhadap resiko
gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam,
kesehatan lingkungan kerja, dan/atau resiko lain. Beberapa hal krusial yang terkait dengan
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk rasa aman bagi guru dalam bertugas,
yaitu:
a. Hak memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas harus
mampu diwujudkan oleh pengelola satuan pendidikan formal, pemerintah dan pemerintah
daerah.
b. Rasa aman dalam melaksanakan tugas, meliputi jaminan dari ancaman psikis dan fisik dari
peserta didik, orang tua/wali peserta didik, atasan langsung, teman sejawat, dan masyarakat
luas.
c. Keselamatan dalam melaksanakan tugas, meliputi perlindungan terhadap:
resiko gangguan keamanan kerja,
resiko kecelakaan kerja,
resiko kebakaran pada waktu kerja,
resiko bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau
resiko lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai
ketenagakerjaan.
d. Terbebas dari tindakan resiko gangguan keamanan kerja dari peserta didik, orang tua peserta
didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
e. Pemberian asuransi dan/atau jaminan pemulihan kesehatan yang ditimbulkan akibat:
kecelakaan kerja,
kebakaran pada waktu kerja,
bencana alam,
kesehatan lingkungan kerja, dan/atau
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 61
resiko lain.
f. Terbebas dari multiancaman, termasuk ancaman terhadap kesehatan kerja, akibat:
bahaya yang potensial,
kecelakaan akibat bahan kerja,
keluhan-keluhan sebagai dampak ancaman bahaya,
frekuensi penyakit yang muncul akibat kerja,
resiko atas alat kerja yang dipakai, dan
resiko yang muncul akibat lingkungan atau kondisi tempat kerja.
4. Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual
Pengakuan HaKI di Indonesia telah dilegitimasi oleh peraturan perundang-undangan, antara lain
Undang-Undang Merk, Undang-Undang Paten, dan Undang-Undang Hak Cipta. HaKI terdiri dari
dua kategori yaitu: Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Hak Kekayaan Industri meliputi Paten,
Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas
Tanaman. Bagi guru, perlindungan HaKI dapat mencakup:
a. hak cipta atas penulisan buku,
b. hak cipta atas makalah,
c. hak cipta atas karangan ilmiah,
d. hak cipta atas hasil penelitian,
e. hak cipta atas hasil penciptaan,
f. hak cipta atas hasil karya seni maupun penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni, serta sejenisnya, dan;
g. hak paten atas hasil karya teknologi
Seringkali karya-karya guru terabaikan, dimana karya mereka itu seakan-akan menjadi
seakan-akan makhluk tak bertuan, atau paling tidak terdapat potensi untuk itu. Oleh karena itu,
dimasa depan pemahaman guru terhadap HaKI ini harus dipertajam.
D. Jenis-jenis Upaya Perlindungan Hukum bagi Guru
1. Konsultasi
Ketika menghadapi masalah dari sisi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan
ketenagakerjaan, dan perlindungan HaKI, guru dapat berkonsultasi kepada pihak-pihak yang
kompeten. Konsultasi itu dapat dilakukan kepada konsultan hukum, penegak hukum, atau pihak-
pihak lain yang dapat membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh guru tersebut.
Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang
disebut dengan klien, dengan pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan
pendapatnya kepada klien untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya. Konsultan
hanya bersifat memberikan pendapat hukum, sebagaimana diminta oleh kliennya. Keputusan
mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun
adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.
Misalnya, seorang guru berkonsultasi dengan pengacara pada salah satu LKBH, penegak
hukum, orang yang ahli, penasehat hukum, dan sebagainya berkaitan dengan masalah
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 62
pembayaran gaji yang tidak layak, keterlambatan pembayaran gaji, pemutusan hubungan kerja
secara sepihak, dan lain-lain. Pihak-pihak yang dimintai pendapat oleh guru ketika berkonsultasi
tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan, melainkan sebatas memberi
pendapat atau saran, termasuk saran-saran atas bentuk-bentuk penyelesaian sengketa atau
perselisihan.
2. Mediasi
Ketika menghadapi masalah dari sisi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan
ketenagakerjaan, dan perlindungan HaKI dalam hubungannya dengan pihak lain, seperti
munculnya sengketa antara guru dengan penyelenggara atau satuan pendidikan, pihak-pihak lain
yang dimintai bantuan oleh guru seharusnya dapat membantu memediasinya.
Merujuk pada Pasal 6 ayat 3 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999, atas kesepakatan
tertulis para pihak, sengketa atau perbedaan pendapat antara guru dengan
penyelenggara/satuan pendidikan dapat diselesaikan melalui baミtuaミ さseoraミg atau lebih peミasehat ahliざ マaupuミ マelalui seoraミg マediator. Kesepakataミ peミyelesaiaミ seミgketa atau perbedaan pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk
dilaksanakan dengan iktikad baik. Kesepakatan tertulis antara guru dengan
penyelenggara/satuan pendidikan wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilakasanakan dalam
waktu lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran. Mediator dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu: (1) mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak, dan mediator yang ditujuk
oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para
pihak.
3. Negosiasi dan Perdamaian
Ketika menghadapi masalah dari sisi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan
ketenagakerjaan, dan perlindungan HaKI dalam hubungannya dengan pihak lain, seperti
munculnya sengketa antara guru dengan penyelenggara atau satuan pendidikan,
penyelenggara/satuan pendidikan harus membuka peluang negosiasi kepada guru atau
kelompok guru.
Menurut Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, pada dasarya para pihak,
dalam hal ini penyelenggara/satuan pendidikan dan guru, berhak untuk menyelesaikan sendiri
sengket yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya
dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui para pihak. Negosiasi mirip dengan perdamaian
yang diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata, dimana perdamaian itu
adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan
atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah
timbulnya suatu perkara. Persetujuan harus dibuat secara tertulis dan tidak di bawah ancaman.
Namun demikian, dalam hal ini ada beberapa hal yang membedakan antara negosiasi dan
perdamaian. Pada negosiasi diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan
penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan di
antara para pihak yang bersengketa. Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah
satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 63
perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan maupun setelah sidang peradilan
dilaksanakan. Pelaksanaan perdamaian bisa di dalam atau di luar pengadilan.
4. Konsiliasi dan perdamaian
Ketika menghadapi masalah dari sisi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan
ketenagakerjaan, dan perlindungan HaKI dalam hubungannya dengan pihak lain, seperti
munculnya sengketa antara guru dengan penyelenggara atau satuan pendidikan,
penyelenggara/satuan pendidikan harus membuka peluang konsiliasi atau perdamaian.
Seperti pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di atas, konsiliasi pun
tidak dirumuskan secara jelas dalam Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Konsiliasi atau
perdamaian merupakan suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau
suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan. Untuk mencegah
dilaksanakan proses litigasi, dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam
maupun di luar pengadilan, konsiliasi atau perdamaian tetap dapat dilakukan, dengan
pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
5. Advokasi Litigasi
Ketika menghadapi masalah dari sisi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan
ketenagakerjaan, dan perlindungan HaKI dalam hubungannya dengan pihak lain, misalnya ketika
terjadi sengketa antara guru dengan penyelenggara atau satuan pendidikan, pelbagai pihak yang
dimintai bantuan atau pembelaan oleh guru seharusnya dapat memberikan advokasi litigasi.
Banyak guru masih menganggap bahwa advokasi litigasi merupakan pekerjaan pembelaan
hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan
dengan praktik beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang
sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi litigasi merupakan
urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktik hukum
semata.
Pandangan semacam itu tidak selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin
pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata
advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain berarti pengacara hukum atau
pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian bahasa Inggris,
maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas. Advocate bisa berarti menganjurkan,
memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa
diartikaミ マelakukaミ けperubahaミげ seIara terorganisir dan sistematis.
6. Advokasi Nonlitigasi
Ketika menghadapi masalah dari sisi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan
ketenagakerjaan, dan perlindungan HaKI dalam hubungannya dengan pihak lain, misalnya ketika
terjadi sengketa antara guru dengan penyelenggara atau satuan pendidikan, pelbagai pihak yang
dimintai bantuan atau pembelaan oleh guru seharusnya dapat memberikan advokasi nonlitigasi.
Dengan demikian, disamping melalui litigasi, juga dikenal alternatif penyelesaian sengketa di
luar pengadilan yang lazim disebut nonlitigasi. Alternatif penyelesaian sengketa nonlitigasi adalah
suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengenyampingkan
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 64
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui
peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran
dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban
dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap
(unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistis (formalistic) dan
terlampau teknis (technically). Dalam Pasal (1) angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999, disebutkan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan
penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
E. Asas Pelaksanaan
Pelaksanaan perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan K3, dan perlindungan HaKI
bagi guru dilakukan dengan menggunakan asas-asas sebagai berikut:
1. Asas unitaristik atau impersonal, yaitu tidak membedakan jenis, agama, latar budaya, tingkat
pendidikan, dan tingkat sosial ekonomi guru.
2. Asas aktif, dimana inisiatif melakukan upaya perlindungan dapat berasal dari guru atau
lembaga mitra, atau keduanya.
3. Asas manfaat, dimana pelaksanaan perlindungan hukum bagi guru memiliki manfaat bagi
peningkatan profesionalisme, harkat, martabat, dan kesejahteraan mereka, serta
sumbangsihnya bagi kemajuan pendidikan formal.
4. Asas nirlaba, dimana upaya bantuan dan perlindungan hukum bagi guru dilakukan dengan
menghindari kaidah-kaidah komersialisasi dari lembaga mitra atau pihak lain yang peduli.
5. Asas demokrasi, dimana upaya perlindungan hukum dan pemecahan masalah yang dihadapi
oleh guru dilakukan dengan pendekatan yang demokratis atau mengutamakan musyawarah
untuk mufakat.
6. Asas langsung, dimana pelaksanaan perlindungan hukum dan pemecahan masalah yang
dihadapi oleh guru terfokus pada pokok persoalan.
7. Asas multipendekatan, dimana upaya perlindungan hukum bagi guru dapat dilakukan dengan
pendekatan formal, informal, litigasi, nonlitigasi, dan lain-lain.
F. Penghargaan dan Kesejahteraan
Sebagai tenaga profesional, guru memiliki hak yang sama untuk mendapatkan penghargaan dan
kesejahteraan. Penghargaan diberikan kepada guru yang berprestasi, berprestasi luar biasa,
berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus.
Penghargaan kepada guru dapat diberikan pada tingkat satuan pendidikan, desa/kelurahan,
kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, dan/atau internasional. Penghargaan itu beragam
jenisnya, seperti satyalancana, tanda jasa, bintang jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial,
piagam, jabatan fungsional, jabatan struktural, bintang jasa pendidikan, dan/atau bentuk
penghargaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 65
Pada sisi lain, peraturan perundang-undangan mengamanatkan bahwa pemerintah kabupaten
wajib menyediakan biaya pemakaman dan/atau biaya perjalanan untuk pemakaman guru yang gugur
di daerah khusus. Guru yang gugur dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran di daerah
khusus, putera dan/atau puterinya berhak mendapatkan beasiswa sampai ke perguruan tinggi dari
Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Kesejahteraan guru menjadi perhatian khusus pemeritah, baik berupa gaji maupun
penghasilan lainnya. Guru memiliki hak atas gaji dan penghasilan lainya. Gaji adalah hak yang
diterima oleh guru atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan dalam
bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di luar gaji pokok,
guru pun berhak atas tunjangan yang melekat pada gaji.
Gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji bagi guru yang diangkat oleh pemerintah dan
pemerintah daerah diberikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan peraturan
penggajian yang berlaku. Gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji bagi guru yang diangkat
oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberikan berdasarkan perjanjian
kerja dan/atau kesepakatan kerja bersama. Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru dalam
bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesian yang ditetapkan dengan prinsip
penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru sebagai pendidik profesional.
Ringkasnya, guru yang memenuhi persyaratan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 14
Tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2008, serta peraturan lain yang menjadi ikutannya, memiliki hak
atas aneka tunjangan dan kesejahteraan lainnya. Tunjangan dan kesejahteraan dimaksud mencakup
tunjangan profesi, tunjangan khusus, tunjangan fungsional, subsidi tunjangan fungsional, dan
maslahat tambahan. Khusus berkaitan dengan jenis-jenis penghargaan dan kesejahteraan guru
disajikan berikut ini.
1. Penghargaan Guru Berprestasi
Pemberian penghargaan kepada guru berprestasi dilakukan melalui proses pemilihan yang ketat
secara berjenjang, mulai dari tingkat satuan pendidikan, kecamatan dan/atau kabupaten/kota,
provinsi, maupun nasional. Pemilihan guru berprestasi dimaksudkan antara lain untuk
mendorong motivasi, dedikasi, loyalitas dan profesionalisme guru, yang diharapkan akan
berpengaruh positif pada kinerja dan prestasi kerjanya. Prestasi kerja tersebut akan terlihat
dari kualitas lulusan satuan pendidikan sebagai SDM yang berkualitas, produktif, dan
kompetitif.
Pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh untuk memberdayakan guru,
terutama bagi mereka yang berprestasi. Seperti disebutkan di atas, Undang-Undang No. 14
Tahun 2005 mengamanatkan bahwa ざGuru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau
bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaanざ.
Secara historis pemilihan guru berprestasi adalah pengembangan dari pemberian
predikat keteladanan kepada guru melalui pemilihan guru teladan yang berlangsung sejak tahun
1972 hingga tahun 1997. Selama kurun 1998-2001, pemilihan guru teladan dilaksanakan
hanya sampai tingkat provinsi. Setelah dilakukan evaluasi dan mendapatkan masukan-
masukan dari berbagai kalangan, baik guru maupun pengelola pendidikan tingkat
kabupaten/kota/provinsi, maka pemilihan guru teladan diusulkan untuk ditingkatkan kualitasnya
menjadi pemilihan guru berprestasi.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 66
Frasa さguru berprestasiざ bermakna さprestasi dan keteladaミaミざ guru. Sebutan guru
berprestasi mengandung makna sebagai guru unggul/mumpuni dilihat dari kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Guru berprestasi merupakan guru yang
menghasilkan karya kreatif atau inovatif antara lain melalui: pembaruan (inovasi) dalam
pembelajaran atau bimbingan; penemuan teknologi tepat guna dalam bidang pendidikan;
penulisan buku fiksi/nonfiksi di bidang pendidikan atau sastra Indonesia dan sastra
daerah; penciptaan karya seni; atau karya atau prestasi di bidang olahraga. Mereka juga
merupakan guru yang secara langsung membimbing peserta didik hingga mencapai prestasi
di bidang intrakurikuler dan/atau ekstrakurikuler.
Pemilihan guru berprestasi dilaksanakan pertama kali pada tahun 2002.
Penyelenggaraan pemilihan guru berprestasi dilakukan secara bertingkat, dimulai dari tingkat
satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan tingkat nasional. Secara umum
pelaksanaan pemilihan guru berprestasi berjalan dengan lancar sesuai dengan kriteria yang
telah ditetapkan. Melalui pemilihan guru berprestasi ini telah terpilih guru terbaik untuk jenjang
Taman-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas, atau
yang sederajat.
Sistem penilaian untuk menentukan peringkat guru berprestasi dilakukan secara ketat,
yaitu melalui uji tertulis, tes kepribadian, presentasi karya akademik, wawancara, dan
penilaian portofolio. Guru yang mampu mencapai prestasi terbaik melalui beberapa jenis teknik
penilaian inilah yang akan memperoleh predikat sebagai guru berprestasi tingkat nasional.
2. Penghargaan bagi Guru SD Berdedikasi di Daerah Khusus/Terpencil
Guru yang bertugas di daerah khusus, mendapat perhatian serius dari pemerintah. Oleh
karena itu, sejak beberapa tahun terakhir ini, pemberian penghargaan kepada mereka
dilakukan secara rutin baik pada peringatan Hari Pendidikan Nasional maupun pada
peringatan lainnya.
Tujuan penghargaan ini antara lain, pertama, mengangkat harkat dan martabat guru atas
dedikasi, prestasi, dan pengabdian profesionalitasnya sebagai pendidik bangsa dihormati dan
dihargai oleh masyarakat, pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kedua,
memberikan motivasi pada guru untuk meningkatkan prestasi, pengabdian, loyalitas dan
dedikasi serta darma baktinya pada bangsa dan negara melalui pelaksanaan kompetensinya
secara profesional sesuai kualifikasi masing-masing.
Ketiga, meningkatkan kesetiaan dan loyalitas guru dalam melaksanakan
pekerjaan/jabatannya sebagai sebuah profesi, meskipun bekerja di daerah yang terpencil
atau terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah perbatasan
dengan negara lain; daerah yang mengalami bencana alam; bencana sosial; atau daerah yang
berada dalam keadaan darurat lain yang mengharuskan menjalani kehidupan secara prihatin.
Pemberian penghargaan kepada guru yang bertugas di Daerah Khusus/Terpencil
bukanlah merupakan suatu kegiatan yang bersifat seremoni belaka. Penghargaan ini secara
selektif dan kompetitif diberikan kepada d ua orang guru sekolah dasar (SD) Daerah Khusus
dari seluruh provinsi di Indonesia.
Masing-masing Dinas Pendidikan Provinsi diminta dan diharuskan menyeleksi dan
mengirimkan dua orang guru daerah khusus, terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan yang
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 67
berdedikasi tinggi untuk diberi penghargaan, baik yang berstatus sebagai guru pegawai negeri
sipil (Guru PNS) maupun guru bukan PNS. Untuk dapat menerima penghargaan, guru SD
berdedikasi yang bertugas di Daerah Khusus/Terpencil harus memenuhi kriteria umum dan
khusus. Kriteria umum dimaksud antara lain beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa; setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; memiliki
moralitas,kepribadian dan kelakuan yang terpuji; dapat dijadikan panutan oleh siswa, teman
sejawat dan masyarakat sekitarnya; dan mencintai tugas dan tanggungjawabnya.
Kriteria khusus bagi guru SD Daerah Khusus untuk memperoleh penghargaan
antara lain, pertama, dalam melaksanakan tugasnya senantiasa menunjukkan dedikasi
luar biasa, pengabdian, kecakapan, kejujuran, dan kedisiplinan serta mempunyai
komitmen yang tinggi dalam melaksanakan fungsi- fungsi profesionalnya dengan segala
keterbatasan yang ada di daerah terpencil. Kedua, tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin
tingkat sedang atau tingkat berat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, melaksanakan tugas sebagai guru di daerah khusus/terpencil sekurang-kurangnya
selama lima tahun secara terus menerus atau selama delapan tahun secara terputus-putus.
Keempat, berusia minimal 40 tahun dan belum pernah menerima penghargaan yang
sejenis di tingkat nasional. Kelima, responsif terhadap persoalan-persoalan yang aktual dalam
masyarakat. Keenam, dengan keahlian yang dimilikinya membantu dalam memecahkan masalah
sosial sehingga usahanya berupa sumbangan langsung bagi penanggulangan masalah-
masala tersebut.
Ketujuh, menunjukkan kepemimpinan dalam kepeloporan serta integritas
kepribadiannya dalam mengamalkan keahliannya dalam masyarakat. Kedelapan,
menyebarkan dan meneruskan ilmu dan keahlian yang dimilikinya kepada masyarakat dan
menunjukkan hasil nyata berupa kemajuan dalam masyarakat.
3. Penghargaan bagi Guru PLB/PK Berdedikasi
Penghargaan bagi guru Pendidikan Luar Biasa/Pendidikan Khusus (PLB/PK) berdedikasi
dilakukan sejak tahun 2004. Penghargaan ini diberikan kepada guru dengan maksud untuk
mendorong motivasi, dedikasi, loyalitas dan profesionalisme guru PLB/PK, yang diharapkan akan
berpengaruh positif pada kinerja dan prestasi kerjanya. Guru PLB/PK berdedikasi adalah guru
yang memiliki dedikasi dan kinerja melampaui target yang ditetapkan satuan Pendidikan
Khusus mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional; dan/atau
menghasilkan karya kreatif atau inovatif yang diakui baik pada tingkat daerah, nasional
dan/atau internasional; dan/atau secara langsung membimbing peserta didik yang
berkebutuhan khusus sehingga mencapai prestasi di bidang intrakurikuler dan/atau
ekstrakurikuler.
Seleksi pemilihan guru berdedikasi tingkat nasional di laksanakan di Jakarta. Mereka
berasal dari seluruh provinsi di Indonesia. Pemilihan guru PLB/PK berdedikasi ini
dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Pemberian penghargaan ini
diharapkan dapat mendorong guru PLB/PK dalam meningkatkan kemampuan profesional yang
diperlukan untuk membantu mempersiapkan SDM yang マeマiliki さkelaiミaミざ tertentu untuk siap
menghadapi tantangan kehidupan masa depannya.
Dalam penetapan calon guru PLB/PK yang berdedikasi untuk diberi penghargaan, kriteria
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 68
dedikasi dan prestasi yang menonjol bersifat kualitatif. Kriteria tersebut dapat dijadikan acuan
atau pertimbangan dasar, sehingga guru PLB/PK berdedikasi yang terpilih untuk menerima
penghargaan benar-benar layak dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Kriteria dedikasi dan prestasi dimaksud meliputi pelaksanaan tugas, hasil
pelaksanaan tugas, dan sifat terpuji. Dimensi pelaksanaan tugas mencakup, pertama,
konsisten dalam membuat persiapan mengajar yang standar bagi anak berkebutuhan khusus.
Kedua, kecakapan dalam melaksanakan pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus. Ketiga,
keterampilan mengelola kelas sehingga tercipta suasana tertib. Keempat, kemampuan
melaksanakan komunikasi yang efektif di kelas. Kelima, konsisten dalam melaksanakan
evaluasi dan analisis hasil belajar peserta didik berkebutuhan khusus. Keenam, objektivitas
dalam memberikan nilai kepada peserta didik berkebutuhan khusus.
Dimensi kemampuan menunjukkan hasil pelaksanaan tugas secara baik mencakup,
pertama, penemuan metode/pendekatan yang inovatif, pengembangan/pengayaan materi
dan/atau alat peraga baru dalam khusus. Kedua, dampak sosial/ budaya/ ekonomi/
lingkungan terhadap proses belajar mengajar yang dirasakan atas penemuan
metode/pendekatan yang inovatif, pengembangan/pengayaan materi dan/atau alat peraga baru
dalam pembelajaranb agi anak berkebutuhan khusus. Ketiga, kemampuan memprakarsai suatu
kegiatan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Keempat, memiliki sifat inovatif dan
kreatif dalam memanfaatkan sumber/alat peraga yang ada di lingkungan setempat untuk
kelancaran kegiatan belajar mengajar bagi anak berkebutuhan khusus. Kelima, mampu
menghasilkan peserta didik yang terampil sesuai dengan tingkat kemampuan menurut jenis
kebutuhan peserta didik.
Dimensi memiliki sifat terpuji antara lain mencakup kemampuan menyampaikan
pendapat, secara lisan atau tertulis; kesediaan untuk mendengar/menghargai pendapat
orang lain; sopan santun dan susila; disiplin kerja; tanggung jawab dan komitmen terhadap
tugas; kerjasama; dan stabilitas emosi. Dimensi memiliki jiwa pendidik mencakup beberapa
hal. Pertama, menyayangi dan mengayomi peserta didik berkebutuhan khusus. Kedua,
memberikan bimbingan secara optimal kepada peserta didik berkebutuhan khusus. Ketiga,
mampu mendeteksi kelemahan belajar peserta didik berkebutuhan khusus.
Pemilihan guru berprestasi serta pemberian penghargaan kepada guru SD di Daerah
Khusus dan guru PLB/PK berdedikasi seperti disebutkan di atas merupakan agenda tahunan.
Namun demikian, meski sifatnya kegiatan tahunan, program ini bukanlah sebuah kegiatan yang
bersifat seremonial belaka. Pelembagaan program ini merupakan salah satu bukti kuatnya
perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap profesi guru. Tentu saja, di masa datang,
kualitas dan kuantitas pemberian penghargaan kepada guru berprestasi dan berdedikasi senantiasa
perlu ditingkatkan.
4. Penghargaan Tanda Kehormatan Satyalancana Pendidikan
Sejalan dengan disahkannya Undang–Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
guru berprestasi dan berdedikasi memiliki hak atas penghargaan sesuai dengan prestasi dan
dedikasinya. Penghargaan tersebut diberikan kepada guru pada satuan pendidikan atas
dasar pengabdian, kesetiaan pada lembaga, berjasa pada negara, maupun menciptakan karya
yang luar biasa.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 69
Kriteria guru yang berhak menerima penghargaan Satyalancana Pendidikan,
meliputi persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan umum antara lain warga
negara Indonesia; berakhlak dan berbudi pekerti baik; serta mempunyai nilai dalam DP3
amat baik untuk unsur kesetiaan dan sekurang-kurangnya bernilai baik untuk unsur lainnya.
Persyaratan khusus meliputi, pertama, diutamakan yang bertugas/pernah bertugas di
tempat terpencil atau tertinggal sekurang-kurangnya selama lima tahun terus menerus atau
selama delapan tahun terputus-putus. Kedua, diutamakan yang bertugas/pernah bertugas di
daerah perbatasan, konflik, dan bencana sekurang- kurangnya selama 3 tahun terus menerus
atau selama 6 tahun terputus-putus. Ketiga, diutamakan yang bertugas selain di daerah khusus
sekurang-kurangnya selama 8 tahun terus menerus dan bagi kepala sekolah sekurang-
kurangnya bertugas 2 tahun. Keempat, berprestasi dan/atau berdedikasi luar biasa dalam
melaksanakan tugas sekurang-kurangnya mendapat penghargaan tingkat nasional. Kelima,
berperan aktif dalam kegiatan organisasi/asosiasi profesi guru, kegiatan kemasyarakatan dan
pembangunan di berbagai sektor. Keenam, tidak pernah memiliki catatan pelanggaran atau
menerima sanksi sedang dan berat menurut peraturan perundang-undangan.
5. Penghargaan bagi Guru yang Berhasil dalam Pembelajaran
Tujuan lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran atau lomba sejenis dapat memotivasi
guru untuk lebih meningkatkan profesionalismenya, khususnya dalam kemampuan
perancangan, penyajian, penilaian proses dan hasil pembelajaran atau proses bimbingan
kepada siswa; dan meningkatkan kebiasaan guru dalam mendokumentasikan hasil
kegiatan pengembangan profesinya secara baik dan benar. Lomba keberhasilan guru dalam
pembelajaran atau sejenisnya dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Pertama, sosialisasi
melalui berbagai media, antara lain penyusunan dan penyebaran poster dan leaflet. Kedua,
penerimaan naskah. Ketiga, melakukan seleksi, baik seleksi administrasi maupun seleksi
terhadap materi yang ditulis.
Para finalis melaksanakan presentasi dan wawancara di hadapan dewan juri yang memiliki
keahlian di bidang masing-masing. Sejalan dengan itu, aktivitas yang dilakukan adalah sebagai
berikut: penyusunan pedoman lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran atau sejenisnya
tingkat nasional; penilaian naskah lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran atau
sejenisnya tingkat nasional; penilaian penentuan nominasi pemenang lomba keberhasilan
guru dalam pembelajaran atau sejenisnya tingkat nasional; penentuan pemenang lomba
keberhasilan guru dalam pembelajaran atau sejenisnya tingkat nasional; dan pemberian
penghargaan pemenang lomba tingkat nasional.
Hasil yang dicapai dalam lomba tersebut adalah terhimpunnya berbagai pengalaman guru
dalam merancang, menyajikan, dan menilai pembelajaran atau bimbingan dan konseling yang
secara nyata mampu meningkatkan proses dan hasil belajar siswa, sehingga dapat
dimanfaatkan oleh rekan guru yang memerlukan dicetak dalam bentuk buku yang berisi
model-model keberbasilan dalam pembelajaran sebagai publikasi.
6. Penghargaan Guru Pemenang Olimpiade
Era globalisasi menuntut SDM yang bermutu tinggi dan siap berkompetisi, baik pada tataran
nasional, regional, maupun internasional. Sejalan dengan itu, guru-guru bidang studi yang
termasuk dalam skema Olimpiade Sains Nasional (OSN) merupakan salah satu diterminan utama
peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran. Kegiatan OSN untuk Guru (ONS Guru)
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 70
merupakan salah satu wahana untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran mata
pelajaran yang tercakup dalam kerangka OSN.
Olimpiade Sains Nasional (OSN) untuk Guru merupakan wahana bagi guru
menumbuhkembangkan semangat kompetisi dan meningkatkan kompetensi profesional atau
akademik untuk memotivasi peningkatan kompetensinya dalam rangka mendorong mutu proses
dan luaran pendidikan. Tujuannya adalah (1) menumbuhkan budaya kompetitif yang sehat di
kalangan guru; (2) meningkatkan wawasan pengetahuan, motivasi, kompetensi,
profesionalisme, dan kerja keras untuk mengembangkan IPTEK; (3) membina dan
mengembangkan kesadaran ilmiah untu mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi
masa kini dan yang akan datang; (4) mengangkat status guru sebagai penyandang profesi yang
terhormat, mulia, bermartabat, dan terlindungi; dan (5) membangun komitmen mutu guru dan
peningkatan mutu pendidikan dan pembelajaran secara lebih merata.
Kegiatan OSN Guru dilaksanakan secara berjenjang, mulai dari di tingkat kabupaten/kota,
tingkat provinsi, sampai dengan tingkat nasional. Hadiah dan penghargaan diberikan kepada
peserta OSN Guru sebagai motivasi untuk meningkatkan kegiatan pembelajaran dan kegiatan
pendidikan lainnya. Hadiah bagi para pemenang tingkat kabupaten/kota dan tingkat provinsi
pengaturannya diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Kepada pemenang di tingkat nasional diberi hadiah dan penghargaan dari
kementerian pendidikan.
7. Pembinaan dan Pemberdayaan Guru Berprestasi dan Guru Berdedikasi
Guru memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam membimbing peserta didik
ke arah kedewasaan, kematangan dan kemandirian, sehingga guru sering dikatakan
sebagai ujung tombak pendidikan. Untuk melaksanakan tugasnya, seorang guru tidak hanya
memiliki kemampuan teknis edukatif, tetapi juga harus memiliki kepribadian yang dapat
diandalkan sehingga menjadi sosok panutan bagi siswa, keluarga maupun masyarakat.
Selaras dengan kebijaksanaan pembangunan yang meletakkan pengembangan sumber
daya manusia sebagai prioritas pembangunan nasional, kedudukan dan peran guru semakin
bermakna strategis dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam
menghadapi era global. Untuk itu, kemampuan profesional guru harus terus menerus
ditingkatkan.
Prestasi yang telah dicapai oleh para guru berprestasi perlu terus dijaga dan
dikembangkan, serta diimbaskan kepada guru lainnya. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut
dari pelaksanaan pemilihan guru berprestasi, perlu dilaksanakan pembinaan dan
pemberdayaannya agar pengetahuan dan wawasan mereka selalu berkembang sesuai dengan
kemajuan ipteks.
Program kerjasama peningkatan mutu pendidik antarnegara Asia, dalam hal ini dengan
The Japan Foundation, misalnya, merupakan kelanjutan program-program yang telah dilaksanakan
sebelumnya. Program kerjasama ini dilaksanakan untuk memberikan penghargaan kepada
guru berprestasi dengan memberikan pengalaman dan wawasan tentang penyelenggaraan
pendidikan dan budaya di negara maju seperti Jepang untuk dijadikan bahan pembanding dan
diimplementasikan di tempat tugas mereka.Kontinuitas pelaksanaan program kerjasama ini
sangat penting, karena sangat bermanfaat bagi para guru untuk meningkatkan
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 71
pengetahuannya dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
8. Penghargaan Lainnya
Penghargaan lainnya untuk guru dilakukan melalui program kerjasama pendidikan antarnegara,
khususnya bagi mereka yang berprestasi. Kerjasama antarnegara ini dilakukan, baik di kawasan
Asia maupun di kawasan lainnya. Kerjasama antarnegara bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman dan saling pengertian antaranggotanya.
Melalui kerjasama ini, guru-guru berprestasi yang terpilih diberi kesempatan untuk
mengikuti pelatihan singkat bidang keahlian atau teknologi pembelajaran, studi kebudayaan,
studi banding, dan sejenisnya. Kerjasama ini antara lain telah dilakukan dengan negara-negara
Asean, Jepang, Australia, dan lain-lain.
Penghargaan lainnya yang diberikan kepada guru adalah Anugerah Konstitusi tingkat
nasional bagi guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) untuk semua jenis dan jenjang. Penerima
penghargaan ini adalah guru-guru PKn terbaik yang diseleksi secara berjenjang mulai dari tingkat
sekolah, kabupaten/kota, provinsi, sampai ke tingkat nasional.
G. Tunjangan Guru
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa dalam
melaksanakan tugas keprofesian guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup
minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum
tersebut meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa
tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait
dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Pemenuhan hak guru untuk memperoleh penghasilan didasari atas pertimbangan prestasi dan
pengakuan atas profesionalitasnya. Dengan demikian, penghasilan dimaksud merupakan hak yang
diterima oleh guru dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesian yang
ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru sebagai
pendidik profesional.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan tonggak
sejarah bagi peningkatan kesejahteraan guru di Indonesia. Menyusul lahirnya UU ini,
pemerintah telah mengatur beberapa sumber penghasilan guru selain gaji pokok, yaitu tunjangan
yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan
tunjangan khusus.
1. Tunjangan Profesi
Guru profesional dituntut oleh undang-undang memiliki kualifikasi akademik tertentu dan
empat kompetensi yaitu pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional atau akademik.
Sertifikasi guru merupakan proses untuk memberikan sertifikat pendidik kepada mereka.
Sertifikat pendidik dimaksud merupakan pengakuan negara atas derajat keprofesionalan guru.
Seiring dengan proses sertifikasi inilah, pemerintah memberikan tunjangan profesi
kepada guru. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen yang menamanatkan bahwa さPemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 72
yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakatざ.
Pemberian tunjangan profesi diharapkan akan mampu mendorong dan memotivasi guru
untuk terus meningkatkan kompetensi dan kinerja profesionalnya dalam melaksanakan tugas
di sekolah sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pengarah, pelatih, dan penilai peserta
didiknya.
Besarnya tunjangan profesi ini setara dengan satu kali gaji pokok guru yang diangkat oleh
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada
tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Guru yang sudah bersertifikat akan menerima
tunjangan profesinya jika guru yang bersangkutan mampu membuktikan kinerjanya yaitu
dengan mengajar 24 jam tatap muka per minggu dan persyaratan lainnya.
Guru akan menerima tunjangan profesi sampai yang bersangkutan berumur 60 tahun.
Usia ini adalah batas pensiun bagi PNS guru. Setelah berusia 60 tahun guru tetap berhak
mengajar di manapun, baik sebagai guru tidak tetap maupun guru tetap yayasan untuk sekolah
swasta, dan menyandang predikat guru bersertifikat, namun tidak berhak lagi atas
tunjangan profesi. Meski guru memiliki lebih dari satu sertifikat profesi pendidik, mereka hanya
berhak atas さsatuざ tunjangan profesi.
Tunjangan profesi diberikan kepada semua guru yang telah memiliki sertifikat pendidik dan
syarat lainnya, dengan cara pembayaran tertentu. Hal ini bermakna, bahwa guru bukan PNS pun
akan mendapat tunjangan yang setara dengan guru PNS dengan kualifikasi akademik, masa kerja,
serta kompetensi yang setara atau ekuivalen. Bagi guru bukan PNS, tunjangan profesi akan
dibayarkan setelah yang bersangkutan disesuaikan jenjang jabatan dan kepangkatannya melalui
impassing.Tunjangan profesi tersebut dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen.
3. Tunjangan Fungsional
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 17 ayat (1)
mengamanatkan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan tunjangan fungsional
kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah. Pasal 17 ayat (2) mengamanatkan bahwa subsidi tunjangan fungsional
diberikan kepada guru yang bertugas di sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Sehingga dalam pelaksanaannya, tunjangan fungsional dan subsidi tunjangan fungsional ini
dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan
dan belanja daerah (Pasal 17 ayat (3).
Besarnya tunjangan fungsional yang diberikan untuk guru PNS seharusnya sesuai
dengan jenjang jabatan fungsional yang dimiliki. Namun saat ini baru diberikan tunjangan
tenaga kependidikan berdasarkan pada golongan/ruang kepangkatan/jabatannya. Khusus
mengenai besarnya subsidi tunjangan fungsional bagi guru bukan PNS, agaknya memerlukan aturan tersendiri,
berikut persyaratannya.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 73
4. Tunjangan Khusus
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru
dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor
merupakan komitmen Pemerintah untuk terus mengupayakan peningkatan kesejahteraan
guru dan dosen, di samping peningkatan profesionalismenya. Sesuai dengan amanat
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 18, disebutkan bahwa
guru yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan ditugaskan di di daerah
khusus berhak memperoleh tunjangan khusus yang diberikan setara dengan satu kali gaji pokok
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Mengingat tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada guru di Daerah
Khusus, sasaran dari program ini adalah guru yang bertugas di daerah khusus. Berdasarkan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dimaksudkan dengan
Daerah Khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang, daerah dengan kondisi
masyarakat adat yang terpencil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah yang
mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat
lain.
a. Daerah terpencil atau terbelakang adalah daerah dengan faktor geografis yang relatif sulit
dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan,
pesisir, dan pulau-pulau terpencil; dan daerah dengan faktor geomorfologis lainnya yang
sulit dijangkau oleh jaringan transportasi maupun media komunikasi, dan tidak
memiliki sumberdaya alam.
b. Daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil adalah daerah yang mempunyai
tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta tidak
dilibatkan dalam kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan
yang mengakibatkan daerah belum berkembang.
c. Daerah perbatasan dengan negara lain adalahbagian dari wilayah negara yang terletak pada
sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah
negara di darat maupun di laut kawasan perbatasan berada di kecamatan; dan pulau kecil
terluar dengan luas area kurang atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi)
yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut
kepulauan sesuai dengan hukum Internasional dan Nasional.
d. Daerah yang mengalami bencana alam yaitu daerah yang terletak di wilayah yang terkena
bencana alam (gempa, longsor, gunung api, banjir, dsb) yang berdampak negatif terhadap
layanan pendidikan dalam waktu tertentu.
e. Daerah yang mengalami bencana sosial dan konflik sosial dapat menyebabkan
terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi yang membahayakan
guru dalam melaksanakan tugas dan layanan pendidikan dalam waktu tertentu.
f. Daerah yang berada dalam keadaan darurat lain adalah daerah dalam keadaan yang
sukar/sulit yang tidak tersangka-sangka mengalami bahaya, kelaparan dan sebagainya yang
memerlukan penanggulangan dengan segera.
Tunjangan khusus yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok guru yang diangkat oleh
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 74
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada
tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
Peミetapaミ Daerah Khusus iミi ruマit daミ teミtatif adaミya. “ebagai さkatup peミgaマaミざ sejak tahun 2007, pemerintah memberikan bantuan kesejateraan untuk guru
yang bertugas di Daerah Khusus atau Daerah Terpencil di 199 kabupaten di Indonesia. Sampai
tahun 2010 tunjangan tersebut mencapai Rp 1.350.000 per bulan.
Harapan yang ingin dicapai dari pemberian tunjangan khusus ini adalah selain
meningkatkan kesejahteraan guru sebagai kompensasi daerah yang ditempati sangat sulit, juga
memotivasi guru untuk tetap mengajar di sekolah tersebut. Pada sisi lain, pemberian tunjangan
ini bisa sebagai insentif bagi guru baru untuk bersedia mengajar di Daerah Khusus ini. Belum
terpenuhinya jumlah guru di daerah terpencil diharapkan juga semakin mudah dilakukan
dengan insentif tunjangan khusus ini.
5. Maslahat Tambahan
Salah satu komponen penghasilan yang diberikan kepada guru dalam rangka implementasi
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah pemberian maslahat
tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip
penghargaan atas dasar prestasi (Pasal 15 ayat 1). Maslahat tambahan merupakan tambahan
kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan,
beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi
putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen.
Maslahat tambahan merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh guru dari
pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 ayat (2),
dimana pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan bagi
guru. Tujuan pemberian maslahat tambahan ini adalah untuk: (1) memberikan
penghargaan terhadap prestasi, dedikasi, dan keteladanan guru dalam melaksanakan tugas; (2)
memberikan penghargaan kepada guru sebelum purna tugas terhadap pengabdiannya dalam
dunia pendidikan; dan (3) memberikan kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih
baik dan bermutu kepada putra/putri guru yang memiliki prestasi tinggi. Dengan demikian,
pemberian maslahat tambahan akan bermanfaat untuk: (i) mengangkat citra, harkat, dan
martabat profesi guru; (2) memberikan rasa hormat dan kebanggaan kepada penyandang
profesi guru; (3) merangsang guru untuk tetap memiliki komitmen yang konsisten terhadap
profesi guru hingga akhir masa bhakti; dan (4) meningkatnya motivasi guru dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya sebagai tenaga profesional.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 75
Latihan dan Renungan
1. Apa yang dimaksud dengan perlindungan hukum bagi guru, dan berikan contohnya?
2. Apa yang dimaksud dengan perlindungan profesi bagi guru, dan berikan contohnya?
3. Apa yang dimaksud dengan perlindungan K3 bagi guru, dan berikan contohnya?
4. Apa yang dimaksud dengan perlindungan HaKI bagi guru, dan berikan contohnya?
5. Sebutkan beberapa jenis penghargaan yang diberikan kepada guru!
6. Sebutkan beberara jenis tunjangan yang diterima oleh guru!
7. Apa yang dimaksud dengan pemberian kesejahteraan dan penghargaan kepada guru atas dasar
prestasi kerja?
8. Sebutkan beberapa alasan, mengapa guru yang bertugas di Daerah Khusus/Terpencil perlu
diberi tunjangan khusus?
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 76
BAB VI
ETIKA PROFESI
Topik ini berkaitan dengan etika profesi guru. Materi sajian terutama
berkaitan dengan esensi etika profesi guru dalam pelaksanaan proses
pendidikan dan pembelajaran secara profesional, baik di kelas, di luar
kelas, maupun di masyarakat. Peserta PLPG diminta mengikuti materi
pembelajaran secara individual, melaksanakan diskusi kelompok, menelaah
kasus, membaca regulasi yang terkait, menjawab soal latihan, dan
melakukan refleksi.
A. Profesi Guru sebagai Panggilan Jiwa
Sebelum era sekarang, telah lama profesi guru di Indonesia dipersepsi oleh masyarakat sebagai
さprofesi kelas duaざ. Idealnya, pilihaミ seseoraミg uミtuk マeミjadi guru adalah さpaミggilaミ jiwaざ uミtuk memberikan pengabdian pada sesama manusia dengan mendidik, mengajar, membimbing, dan
melatih, yang diwujudkan melalui proses belajar-mengajar serta pemberian bimbingan dan
pengarahan kepada siswa agar mencapai kedewasaan masing-masing. Dalam kenyataannya, menjadi
guru tidak cukup sekadar untuk memenuhi panggilan jiwa, tetapi juga memerlukan seperangkat
keterampilan dan kemampuan khusus.
Guru adalah profesi yang terhormat. Howard M. Vollmer dan Donald L. Mills (1966)
mengatakan bahwa profesi adalah sebuah jabatan yang memerlukan kemampuan intelektual khusus,
yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan pelatihan yang bertujuan untuk menguasai keterampilan
atau keahlian dalam melayani atau memberikan advis pada orang lain, dengan memperoleh upah
atau gaji dalam jumlah tertentu.
Guru profesional memiliki arena khusus untuk berbagi minat, tujuan, dan nilai-nilai
profesional serta kemanusiaan mereka. Dengan sikap dan sifat semacam itu, guru profesional
memiliki kemampuan melakukan profesionalisasi secara terus-menerus, memotivasi-diri,
mendisiplinkan dan meregulasi diri, mengevaluasi-diri, kesadaran-diri, mengembangkan-diri,
berempati, menjalin hubungan yang efektif. Guru profesional adalah pembelajar sejati dan
menjunjung tinggi kode etik dalam bekerja. Menurut Danim (2010) secara akademik guru profesional
bercirikan seperti berikut ini.
1. Mumpuni kemampuan profesionalnya dan siap diuji atas kemampuannya itu.
2. Memiliki kemampuan berintegrasi antarguru daミ keloマpok laiミ yaミg さseprofesiざ deミgaミ mereka melalui kontrak dan aliansi sosial.
3. Melepaskan diri dari belenggu kekuasaan birokrasi, tanpa menghilangkan makna etika kerja dan
tata santun berhubunngan dengan atasannya.
4. Memiliki rencana dan program pribadi untuk meningkatkan kompetensi, dan gemar melibatkan
diri secara individual atau kelompok seminat untuk merangsang pertumbuhan diri.
5. Berani dan mampu memberikan masukan kepada semua pihak dalam rangka perbaikan mutu
pendidikan dan pembelajaran, termasuk dalam penyusunan kebijakan bidang pendidikan.
6. Siap bekerja secara tanpa diatur, karena sudah bisa mengatur dan mendisiplinkan dirinya.
7. Siap bekerja tanpa diseru atau diancam, karena sudah bisa memotivasi dan mengatur dirinya.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 77
8. Secara rutin melakukan evaluasi-diri untuk mendapatkan umpan balik demi perbaikan-diri.
9. Memiliki empati yang kuat.
10. Mampu berkomunikasi secara efektif dengan siswa, kolega, komunitas sekolah, dan masyarakat.
11. Menunjung tinggi etika kerja dan kaidah-kaidah hubungan kerja.
12. Menunjung tinggi Kode Etik organisasi tempatnya bernaung.
13. Memiliki kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust), dalam makna tersebut mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
14. Adanya kebebasan diri dalam beraktualisasi melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan
berbagai ragam perspektif.
Dari sisi pandang lain, dapat dijelaskan bahwa suatu profesi mempunyai seperangkat elemen
inti yang membedakannya dengan pekerjaan lainnya. Seseorang penyandang profesi dapat disebut
profesional manakala elemen-elemen inti itu sudah menjadi bagian integral dari kehidupannya.
Danim (2010) merangkum beberapa hasil studi para ahli mengenai sifat-sifat atau karakteristik-
karakteristik profesi seperti berikut ini.
a. Kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan. Pendidikan dimaksud adalah
jenjang pendidikan tinggi. Termasuk dalam kerangka ini, pelatihan-pelatihan khusus yang
berkaitan dengan keilmuan yang dimiliki oleh seorang penyandang profesi.
b. Memiliki pengetahuan spesialisasi. Pengetahuan spesialisasi adalah sebuah kekhususan
peミguasaaミ bidaミg keilマuaミ terteミtu. “iapa saja bisa マeミjadi さguruざ, akaミ tetapi guru yaミg sesungguhnya memiliki spesialisasi bidang studi (subject matter) dan penguasaan metodologi
pembelajaran.
c. Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien.
Pengetahuan khusus itu bersifat aplikatif, dimana aplikasi didasari atas kerangka teori yang jelas
dan teruji. Makin spesialis seseorang, makin mendalam pengetahuannya di bidang itu, dan
makin akurat pula layanannya kepada klien. Dokter umum, misalnya, berbeda pengetahuan
teoritis dan pengalaman praktisnya dengan dokter spesialis. Seorang guru besar idealnya
berbeda pengetahuan teoritis dan praktisnya dibandingkan dengan dosen atau tenaga akademik
biasa.
d. Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau communicable. Seorang guru harus
mampu berkomunikasi sebagai guru, dalam makna apa yang disampaikannya dapat dipahami
oleh peserta didik.
e. Memiliki kapasitas mengorganisasikan kerja secara mandiri atau self-organization. Istilah
mandiri di sini berarti kewenangan akademiknya melekat pada dirinya. Pekerjaan yang dia
lakukan dapat dikelola sendiri, tanpa bantuan orang lain, meski tidak berarti menafikan bantuan
atau mereduksi semangat kolegialitas.
f. Mementingkan kepentingan orang lain (altruism). Seorang guru harus siap memberikan layanan
kepada anak didiknya pada saat bantuan itu diperlukan, apakah di kelas, di lingkungan sekolah,
bahkan di luar sekolah. Di dunia kedokteran, seorang dokter harus siap memberikan bantuan,
baik dalam keadaan normal, emergensi, maupun kebetulan, bahkan saat dia sedang istirahat
sekalipun.
g. Memiliki kode etik. Kode etik ini merupakan norma-norma yang mengikat guru dalam bekerja.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 78
h. Memiliki sanksi dan tanggungjawab komunita. Maミakala terjadi さマalpraktikざ, seoraミg guru harus siap menerima sanksi pidana, sanksi dari masyarakat, atau sanksi dari atasannya. Ketika
bekerja, guru harus memiliki tanggungjawab kepada komunita, terutama anak didiknya. Replika
tanggungjawab ini menjelma dalam bentuk disiplin mengajar, disiplin dalam melaksanakan
segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas-tugas pembelajaran.
i. Mempunyai sistem upah. Sistem upah yang dimaksudkan di sini adalah standar gaji. Di dunia
kedokteran, sistem upah dapat pula diberi makna sebagai tarif yang ditetapkan dan harus
dibayar oleh orang-orang yang menerima jasa layanan darinya.
j. Budaya profesional. Budaya profesi, bisa berupa penggunaan simbol-simbol yang berbeda
dengan simbol-simbol untuk profesi lain.
B. Definisi
Berbicara mengenai Kode Etik Guru dan etika profesi guru dengan segala dimensinya tidak terlepas
dengan dimensi organisasi atau asosiasi profesi guru dan kewenangannya, Kode Etik Gutu itu sendiri,
Dewan Kehormatan Guru, pembinaan etika profesi guru, dan lain-lain. Oleh karena itu, beberapa
frasa yang terkait dengan ini perlu didefinisikan.
1. Organisasi atau asosiasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan
dan diurus oleh guru atau penyandang profesi sejenis untuk mengembangkan profesionalitas
anggotanya.
2. Kewenangan organisasi atau asosiasi profesi guru adalah kekuatan legal yang dimilikinya dalam
menetapkan dan menegakkan kode etik guru, melakukan pembinaan dan pengembangan
profesi guru, dan memajukan pendidikan nasional.
3. Kode Etik Guru adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia
sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik,
anggota masyarakat, dan warga negara.
4. Dewan Kehormatan Guru adalah perangkat kelengkapan organisasi atau asosiasi profesi guru
yang dibentuk untuk menjalankan tugas dalam memberikan saran, pendapat, pertimbangan,
penilaian, penegakkan, dan pelanggaran disiplin organisasi dan etika profesi guru.
5. Pedoman sikap dan perilaku adalah nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang baik
dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas
profesionalnya untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik, serta pergaulan sehari-hari di dalam dan di luar sekolah.
6. Pembinaan etika profesi adalah proses kerja yang dilakukan secara sistematis untuk
menciptakan kondisi agar guru berbuat sesuai dengan norma-norma yang dibolehkan dan
menghindari norma-norma yang dilarang dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah,
serta menjalani kehidupan di masyarakat.
C. Guru dan Keanggotaan Organisasi Profesi
Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa guru wajib
menjadi anggota organisasi atau asosiasi profesi. Pembentukan organisasi atau asosiasi profesi
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 79
dimaksud dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Konsekuensi logis dari amanat
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa guru wajib:
1. Menjadi anggota organisasi atau asosiasi profesi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
2. Menjunjung tinggi nama dan kehormatan organisasi serta Kode Etik Guru dan Ikrar atau Janji
Guru yang ditetapkan oleh organisasi atau asosiasinya masing-masing.
3. Mematuhi Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta peraturan-peraturan dan disiplin
yang ditetapkan oleh organisasi atau asosiasinya masing-masing.
4. Melaksanakan program organisasi atau asosiasi profesi guru secara aktif.
5. Memiliki nomor registrasi sebagai anggota organisasi atau asosiasi profesi guru dimana dia
terdaftar sebagai anggota.
6. Memiliki Kartu Anggota organisasi atau asosiasi profesi dimana dia terdaftar sebagai anggota.
7. Mematuhi peraturan dan disiplin organisasi atau asosiasi profesi dimana dia terdaftar sebagai
anggota.
8. Melaksanakan program, tugas, serta misi organisasi atau asosiasi profesi dimana dia terdaftar
sebagai anggota.
9. Guru yang belum menjadi anggota organisasi atau asosiasi profesi guru harus memilih organisasi
atau asosiasi profesi guru yang pembentukannya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
D. Esensi Kode Etik dan Etika Profesi
Guru Indonesia harus menyadari bahwa jabatan guru adalah suatu profesi yang terhormat,
terlindungi, bermartabat, dan mulia. Karena itu, ketika bekerja mereka harus menjunjung tinggi etika
profesi. Mereka mengabdikan diri dan berbakti untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta
menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil,
makmur, dan beradab.
Guru Indonesia selalu tampil secara profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Mereka memiliki
kehandalan yang tinggi sebagai sumber daya utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional,
yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Penyandang profesu guru adalah insan yang layak ditiru dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, khususnya oleh peserta didik. Dalam melaksankan tugas, mereka harus
berpegaミg teguh pada priミsip さing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri
handayani”. Untuk itu, pihak-pihak yang berkepentingan selayaknya tidak mengabaikan peranan
guru dan profesinya, agar bangsa dan negara dapat tumbuh sejajar dengan dengan bangsa lain di
negara maju, baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Dalam melaksanakan tugas profesinya, guru Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa perlu
ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia (KEGI) sebagai pedoman bersikap dan berperilaku yang
mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru sebagai pendidik
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 80
putera-puteri bangsa. KEGI yang tercermin dalam tindakan nyata itulah yang disebut etika profesi
atau menjalankan profesi secara beretika.
Di Indonesia, guru dan organisasi profesi guru bertanggungjawab atas pelaksanaan KEGI. Kode
Etik harus mengintegral pada perilaku guru. Disamping itu, guru dan organisasi guru berkewajiban
mensosialisasikan Kode Etik dimaksud kepada rekan sejawat, penyelenggara pendidikan, masyarakat,
dan pemerintah. Bagi guru, Kode Etik tidak boleh dilanggar, baik sengaja maupun tidak.
Dengan demikian, sebagai tenaga profesional, guru bekerja dipandu oleh Kode Etik. Kode Etik
profesi guru dirumuskan dan disepakati oleh organisasi atau asosiasi profesi guru. Kode Etik
dimaksud merupakan standar etika kerja bagi penyandang profesi guru. Di dalam UU No. 14 Tahun
2005 teミtaミg Guru daミ Doseミ disebutkaミ bahwa さGuru マeマbeミtuk orgaミisasi atau asosiasi profesi yaミg bersifat iミdepeミdeミ.ざ Orgaミisasi atau asosiasi profesi guru berfungsi untuk memajukan profesi,
meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan
pengabdian kepada masyarakat.
Sejalan dengan itu UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa
guru wajib menjadi anggota organisasi atau asosiasi profesi. Pembentukan organisasi atau asosiasi
profesi dimaksud dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada sisi lain UU No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa untuk menjaga dan meningkatkan
kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesian, organisasi atau asosiasi
profesi guru membentuk Kode Etik. Kode Etik dimaksud berisi norma dan etika yang mengikat
perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesian.
E. Rumusan Kode Etik Guru Indonesia
Ketika melaksanakan tugas profesinya, guru Indonesia harus menyadari sepenuhnya, bahwa Kode
Etik Guru (KEG), Kode Etik Guru Indonesia (KEGI), atau nama lain sesuai dengan yang disepakati oleh
organisasi atau asosiasi profesi guru, merupakan pedoman bersikap dan berperilaku yang
mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika jabatan guru. Dengan demikian, guru harus
menyadari bahwa jabatan mereka merupakan suatu profesi yang terhormat, terlindungi,
bermartabat, dan mulia. Di sinilah esensi bahwa guru harus mampu memahami, menghayati,
mengamalkan, dan menegakkan Kode Etik Guru dalam menjalankan tugas-tugas profesional dan
menjalani kehidupan di masyarakat.
Ketaatasasan guru pada Kode Etik akan mendorong mereka berperilaku sesuai dengan norma-
norma yang dibolehkan dan menghindari norma-norma yang dilarang oleh etika profesi yang
ditetapkan oleh organisasi atau asosiasi profesinya selama menjalankan tugas-tugas profesional dan
kehidupan sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Dengan demikian, aktualisasi diri guru
dalam melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran secara profesional, bermartabat, dan
beretika akan terwujud. Dampak ikutannya adalah, proses pendidikan dan pembelajaran yang
memenuhi kriteria edukatif berjalan secara efektif dan efisien di sekolah.
Kode Etik Guru dibuat oleh organisasi atau asosiasi profesi guru. Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI), misalnya, telah membuat Kode Etik Guru yang disebut dengan Kode Etik Guru
Indonesia (KEGI). KEGI ini merupakan hasil Konferensi Pusat PGRI Nomor V/Konpus II/XIX/2006
tanggal 25 Maret 2006 di Jakarta yang disahkan pada Kongres XX PGRI No. 07/Kongres/XX/PGRI/2008
tanggal 3 Juli 2008 di Palembang. KEGI ini dapat menjadi Kode Etik tunggal bagi setiap orang yang
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 81
menyandang profesi guru di Indonesia atau menjadi referensi bagi organisasi atau asosiasi profesi
guru selain PGRI untuk merumuskan Kode Etik bagi anggotanya.
KEGI versi PGRI seperti disebutkan di atas telah diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional
(sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) bersama Pengurus Besar Persatuan Guru
Republik Indonesia (PB-PGRI) tahun 2008. Dalam kata pengantar penerbitan publikasi KEGI dari pihak
keマeミteriaミ disebutkaミ bahwa さseマua guru di Iミdoミesia dapat memahami, menginternalisasi, dan
マeミuミjukkaミ perilaku kesehariaミ sesuai deミgaミ ミorマa daミ etika yaミg tertuaミg dalaマ KEGI iミi.ざ Berikut ini disajikan substansi esensial dari KEGI yang ditetapkan oleh PGRI sebagaimana dimaksud.
Sangat mungkin beberapa organisasi atau asosiasi profesi guru selain PGRI telah memuat rumusan
Kode Etik Guru yang sudah disepakati. Kalau memang demikian, itu pun selayaknya menjadi acuan
guru dalam menjalankan tugas keprofesian.
1. Hubungan Guru dengan Peserta Didik
a. Guru berperilaku secara profesional dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, serta mengevaluasi proses dan hasil
pembelajaran.
b. Guru membimbing peserta didik untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan hak-hak
dan kewajibannya sebagai individu, warga sekolah, dan anggota masyarakat.
c. Guru mengakui bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik secara individual dan
masing-masingnya berhak atas layanan pembelajaran.
d. Guru menghimpun informasi tentang peserta didik dan menggunakannya untuk
kepentingan proses kependidikan.
e. Guru secara perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus harus berusaha
menciptakan, memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan
sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi peserta didik.
f. Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan
menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan.
g. Guru berusaha secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan yang dapat
mempengaruhi perkembangan negatif bagi peserta didik.
h. Guru secara langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk membantu peserta
didik dalam mengembangkan keseluruhan kepribadiannya, termasuk kemampuannya
untuk berkarya.
i. Guru menjunjung tinggi harga diri, integritas, dan tidak sekali-kali merendahkan martabat
peserta didiknya.
j. Guru bertindak dan memandang semua tindakan peserta didiknya secara adil.
k. Guru berperilaku taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi kebutuhan dan hak-hak
peserta didiknya.
l. Guru terpanggil hati nurani dan moralnya untuk secara tekun dan penuh perhatian bagi
pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 82
m. Guru membuat usaha-usaha yang rasional untuk melindungi peserta didiknya dari kondisi-
kondisi yang menghambat proses belajar, menimbulkan gangguan kesehatan, dan
keamanan.
n. Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi peserta didiknya untuk alasan-alasan yang tidak
ada kaitannya dengan kepentingan pendidikan, hukum, kesehatan, dan kemanusiaan.
o. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesionalnya kepada peserta
didik dengan cara-cara yang melanggar norma sosial, kebudayaan, moral, dan agama.
p. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesional dengan peserta
didiknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.
2. Hubungan Guru dengan Orangtua/Wali Siswa
a. Guru berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif dan efisien dengan orangtua/wali
siswa dalam melaksanakan proses pendidikan.
b. Guru memberikan informasi kepada orangtua/wali secara jujur dan objektif mengenai
perkembangan peserta didik.
c. Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada orang lain yang bukan
orangtua/walinya.
d. Guru memotivasi orangtua/wali siswa untuk beradaptasi dan berpartisipasi dalam
memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan.
e. Guru bekomunikasi secara baik dengan orangtua/wali siswa mengenai kondisi dan kemajuan
peserta didik dan proses kependidikan pada umumnya.
f. Guru menjunjung tinggi hak orangtua/wali siswa untuk berkonsultasi denganya berkaitan
dengan kesejahteraan, kemajuan, dan cita-cita anak atau anak-anak akan pendidikan.
g. Guru tidak boleh melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan orangtua/wali siswa
untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.
3. Hubungan Guru dengan Masyarakat
a. Guru menjalin komunikasi dan kerjasama yang harmonis, efektif, dan efisien dengan
masyarakat untuk memajukan dan mengembangkan pendidikan.
b. Guru mengakomodasikan aspirasi masyarakat dalam mengembangkan dan meningkatkan
kualitas pendidikan dan pembelajaran.
c. Guru peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
d. Guru bekerjasama secara arif dengan masyarakat untuk meningkatkan prestise dan martabat
profesinya.
e. Guru melakukan semua usaha untuk secara bersama-sama dengan masyarakat berperan
aktif dalam pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan peserta didiknya.
f. Guru mememberikan pandangan profesional, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, hukum,
moral, dan kemanusiaan dalam berhubungan dengan masyarakat.
g. Guru tidak boleh membocorkan rahasia sejawat dan peserta didiknya kepada masyarakat.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 83
h. Guru tidak boleh menampilkan diri secara ekslusif dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Hubungan Guru dengan Sekolah dan Rekan Sejawat
a. Guru memelihara dan meningkatkan kinerja, prestasi, dan reputasi sekolah.
b. Guru memotivasi diri dan rekan sejawat secara aktif dan kreatif dalam melaksanakan proses
pendidikan.
c. Guru menciptakan suasana sekolah yang kondusif.
d. Guru menciptakan suasana kekeluargaan di didalam dan luar sekolah.
e. Guru menghormati rekan sejawat.
f. Guru saling membimbing antarsesama rekan sejawat.
g. Guru menjunjung tinggi martabat profesionalisme dan hubungan kesejawatan dengan
standar dan kearifan profesional.
h. Guru dengan berbagai cara harus membantu rekan-rekan juniornya untuk tumbuh secara
profesional dan memilih jenis pelatihan yang relevan dengan tuntutan profesionalitasnya.
i. Guru menerima otoritas kolega seniornya untuk mengekspresikan pendapat-pendapat
profesional berkaitan dengan tugas-tugas pendidikan dan pembelajaran.
j. Guru membasiskan-diri pada nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan dalam setiap
tindakan profesional dengan sejawat.
k. Guru memiliki beban moral untuk bersama-sama dengan sejawat meningkatkan keefektifan
pribadi sebagai guru dalam menjalankan tugas-tugas profesional pendidikan dan
pembelajaran.
l. Guru mengoreksi tindakan-tindakan sejawat yang menyimpang dari kaidah-kaidah agama,
moral, kemanusiaan, dan martabat profesionalnya.
m. Guru tidak boleh mengeluarkan pernyataan-pernyataan keliru berkaitan dengan kualifikasi
dan kompetensi sejawat atau calon sejawat.
n. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan
marabat pribadi dan profesional sejawatnya.
o. Guru tidak boleh mengoreksi tindakan-tindakan profesional sejawatnya atas dasar pendapat
siswa atau masyarakat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
p. Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi sejawat kecuali untuk pertimbangan-
pertimbangan yang dapat dilegalkan secara hukum.
q. Guru tidak boleh menciptakan kondisi atau bertindak yang langsung atau tidak langsung akan
memunculkan konflik dengan sejawat.
5. Hubungan Guru dengan Profesi
a. Guru menjunjung tinggi jabatan guru sebagai sebuah profesi.
b. Guru berusaha mengembangkan dan memajukan disiplin ilmu pendidikan dan bidang studi
yang diajarkan.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 84
c. Guru terus menerus meningkatkan kompetensinya.
d. Guru menunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas
profesional dan bertanggungjawab atas konsekuensinya.
e. Guru menerima tugas-tugas sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan
integritas dalam tindakan-tindakan profesional lainnya.
f. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan
martabat profesionalnya.
g. Guru tidak boleh menerima janji, pemberian, dan pujian yang dapat mempengaruhi
keputusan atau tindakan-tindakan profesionalnya.
h. Guru tidak boleh mengeluarkan pendapat dengan maksud menghindari tugas-tugas dan
tanggungjawab yang muncul akibat kebijakan baru di bidang pendidikan dan pembelajaran.
6. Hubungan Guru dengan Organisasi Profesi
a. Guru menjadi anggota organisasi profesi guru dan berperan serta secara aktif dalam
melaksanakan program-program organisasi bagi kepentingan kependidikan.
b. Guru memantapkan dan memajukan organisasi profesi guru yang memberikan manfaat bagi
kepentingan kependidikan.
c. Guru aktif mengembangkan organisasi profesi guru agar menjadi pusat informasi dan
komunikasi pendidikan untuk kepentingan guru dan masyarakat.
d. Guru menunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas
organisasi profesi dan bertanggungjawab atas konsekuensinya.
e. Guru menerima tugas-tugas organisasi profesi sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif
individual, dan integritas dalam tindakan-tindakan profesional lainnya.
f. Guru tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang dapat merendahkan
martabat dan eksistensi organisasi profesinya.
g. Guru tidak boleh mengeluarkan pendapat dan bersaksi palsu untuk memperoleh keuntungan
pribadi dari organisasi profesinya.
h. Guru tidak boleh menyatakan keluar dari keanggotaan sebagai organisasi profesi tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Hubungan Guru dengan Pemerintah
a. Guru memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan program pembangunan bidang
pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945, UU Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Undang-Undang Tentang Guru dan Dosen, dan ketentuan perundang-undangan
lainnya.
b. Guru membantu program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan yang berbudaya.
c. Guru berusaha menciptakan, memelihara dan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
d. Guru tidak boleh menghindari kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah atau satuan
pendidikan untuk kemajuan pendidikan dan pembelajaran.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 85
e. Guru tidak boleh melakukan tindakan pribadi atau kedinasan yang berakibat pada kerugian
negara.
F. Pelanggaran dan Sanksi
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Kode Etik Guru merupakan pedoman sikap dan perilaku yang
bertujuan menempatkan guru sebagai profesi terhormat, mulia, dan bermartabat yang dilindungi
undang-undang. Kode Etik Guru, karenanya, berfungsi sebagai seperangkat prinsip dan norma moral
yang melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesional guru dalam hubungannya dengan peserta
didik, orangtua/wali siswa, sekolah dan rekan seprofesi, organisasi atau asosiasi profesi, dan
pemerintah sesuai dengan nilai-nilai agama, pendidikan, sosial, etika, dan kemanusiaan. Untuk
tujuan itu, Kode Eik Guru dikembangkan atas dasar nilai-nilai dasar sebagai sumber utamanya, yaitu:
(1) agama dan Pancasila; (2) kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional; dan (3)
nilai jatidiri, harkat, dan martabat manusia yang meliputi perkembangan kesehatan jasmaniah.
emosional, intelektual, sosial, dan spiritual.
Pada sisi lain UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa untuk
menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesian,
organisasi atau asosiasi profesi guru membentuk Kode Etik. Kode Etik dimaksud berisi norma dan
etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesian.
Setiap pelanggaran adalah perilaku menyimpang dan/atau tidak melaksanakana KEGI dan
ketentuan perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan profesi guru. Guru yang melanggar KEGI
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku pada organisasi profesi atau
menurut aturan negara.
Tentu saja, guru tidak secara serta-merta dapai disanksi karena tudingan melanggar Kode Etik
profesinya. Pemberian sanksi itu berdasarkan atas rekomendasi objektif. Pemberian rekomendasi
sanksi terhadap guru yang melakukan pelanggaran terhadap KEGI merupakan wewenang Dewan
Kehormatan Guru Indonesia (DKGI). Pemberian sanksi oleh DKGI sebagaimana harus objektif, tidak
diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan
perundang-undangan.
Rekomendasi DKGI wajib dilaksanakan oleh organisasi profesi guru. Tentu saja, istilah wajib ini
normatif sifatnya. Sanksi dimaksud merupakan upaya pembinaan kepada guru yang melakukan
pelanggaran dan untuk menjaga harkat dan martabat profesi guru. Selain itu, siapapun yang
mengetahui telah terjadi pelanggaran KEGI wajib melapor kepada DKGI, organisasi profesi guru, atau
pejabat yang berwenang. Tentu saja, setiap pelanggar dapat melakukan pembelaan diri dengan/atau
tanpa bantuan organisasi profesi guru dan/atau penasehat hukum menurut jenis pelanggaran yang
dilakukan dihadapan DKGI.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 86
Latihan dan Renungan
1. Apa esensi etika profesi guru?
2. Sebutkan karakteristik utama profesi guru!
3. Mengapa guru harus memiliki komitmen terhadap Kode Etik?
4. Mengapa UU No. 14 Tahun 2005 mewajibkan guru menjadi anggota organisasi profesi?
5. Apa implikasi kewajiban menjadi anggota organisasi profesi bagi guru?
6. Apa peran DKGI dalam kerangka penegakan Kode Etik Guru?
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 87
REFLEKSI AKHIR
Materi sajian pada bagian ini berupa refleksi akhir Sajian materi ini
dimaksudkan sebagai penutup dan refleksi atas materi utama yang
disajikan pada bab-bab sebelumnya. Oleh karena kebijakan pembinaan
dan pengembangan guru senantiasa bermetamorfosis, peserta PLPG yang
sudah dinyatakan lulus sekalipun diharapkan tetap mengikuti
perkembangan kebijakan lanjutan.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Aktualitas
fungsi pendidikan memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Guru memegang peranan yang sangat strategis dalam kerangka menjalankan fungsi dan
mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana disebutkan di atas. Peserta didik sekarang
merupakan manusia masa depan yang diharapkan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, terampil,
berwatak dan berkarakter kebangsaan, serta menjadi insan agamais.
Peran guru nyaris tidak bisa digantikan oleh yang lain, apalagi di dalam masyarakat yang
multikultural dan multidimensional, dimana peran teknologi untuk menggantikan tugas-tugas guru
masih sangat minim. Kalau pun teknologi pembelajaran tersedia mencukupi, peran guru yang
sesungguhnya tidak akan tergantikan. Sejarah pendidikan di Indonesia telah mencatatkan bahwa
profesi guru sebagai profesi yang disadari pentingnya dan diakui peran strategisnya bagi
pembangunan masa depan bangsa.
Pembinaan dan pengembangan profesi guru harus sejalan dengan kegiatan sejenis bagi tenaga
kependidikan pada umumnya. Dilihat dari sisi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, profesi guru sesungguhnya termasuk dalam spektrum profesi kependidikan itu sendiri.
Frasa さteミaga kepeミdidikaミざ iミi saミgat dikeミal baik seIara akadeマik マaupuミ regulasi.
Dari persepektif ketenagaan, frasa ini mencakup dua ranah, yaitu pendidik dan tenaga
kependidkan. Pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) merupakan dua jeミis さprofesiざ atau pekerjaaミ yang saling mengisi. Pendidik, dalam hal ini guru, dengan derajat profesionalitas tingkat tinggi sekali
pun nyaris tidak berdaya dalam bekerja, tanpa dukungan tenaga kependidikan. Sebaliknya, tenaga
kependidikan yang profesional sekali pun tidak bisa berbuat banyak, tanpa dukungan pendidik atau
guru yang profesional sebagai aktor langsung di dalam dan di luar kelas, termasuk di laboratoium
sekolah.
Kareミaミya, ketika berbiIara マeミgeミai さprofesi kepeミdidikaミざ, seマua oraミg akan melirik pada
esensi dan eksistensi PTK itu sendiri. Merujuk pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Tenaga
kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang
penyelenggaraan pendidikan, di mana di dalamnya termasuk pendidik. Pendidik adalah tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor,
instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 88
menyelenggarakan pendidikan. Dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
guru yang tadinya masuk ke dalam さruマpuミ peミdidikざ, kiミi telah マeマiliki defiミisi terseミdiri.
Secara lebih luas tenaga kependidikan yang dimaksudkan di sini adalah sebagaimana
termaktub UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yaitu: (1) tenaga kependidikan terdiri atas
tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang
pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar, dan penguji; (2) tenaga pendidik terdiri atas
pembimbing, pengajar, dan pelatih; dan (3) pengelola satuan pendidikan terdiri atas kepala sekolah,
direktur, ketua, rektor, dan pimpinan satuan pendidikan luar sekolah. Termasuk dalam jenis tenaga
kependidikan adalah pengelola sistem pendidikan, seperti kepala kantor dinas pendidikan di tingkat
provinsi atau kabupaten/kota. Jika mau diperluas, tenaga kependidikan sesungguhnya termasuk
tenaga administratif bidang pendidikan, dimana mereka berfungsi sebagai subjek yang menjalankan
fungsi mendukung pelaksanaan pendidikan.
Dengan demikian, secara umum tenaga kependidikan itu dapat dibedakan menjadi empat
kategori yaitu: (1) tenaga pendidik, terdiri atas pembimbing, penguji, pengajar, dan pelatih; (2)
tenaga fungsional kependidikan, terdiri atas penilik, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang
kependidikan, dan pustakawan; (3) tenaga teknis kependidikan, terdiri atas laboran dan teknisi
sumber belajar; (4) tenaga pengelola satuan pendidikan, terdiri atas kepala sekolah, direktur, ketua,
rektor, dan pimpinan satuan pendidikan luar sekolah; dan (5) tenaga lain yang mengurusi masalah-
masalah manajerial atau administratif kependidikan.
Dalam kaitannya dengan pembinaan dan pengembangan guru, telah muncul beberapa
harapan ke depan. Pertama, perhitungan guru melalui Sensus Data Guru sangat diperlukan
untuk merencanakan kebutuhan guru dan sebagai bahan pertimbangan kebijakan proyeksi
pemenuhan guru di masa mendatang. Hasil perhitungan dan rencana pemenuhan guru per
kabupaten/kota perlu diterbitkan secara berkala dalam bentuk buku yang dipublikasikan minimal
setiap tiga tahun.
Kedua, memperhitungkan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan (supply and
demand) atau keseimbangan antara kebutuhan guru dan produksi guru. Hal ini dimaksudkan agar
tidak terjadi kelebihan guru dan rasio guru:murid dapat di pertahankan secara efektif dan optimal.
Pada kondisi riil di sekolah sebenarnya terjadi kelebihan guru sehingga guru-guru honor yang ada di
sekolah merasa teraniaya/ termarjinalisasi/tak terurus.
Ketiga, merealisasikan pemerataan guru yang efektif dan efisien di semua satuan pendidikan
di kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi. Apalagi jika Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri
tentang Pemindahan Guru PNS yang masih dalam proses penyelesaian telah terbit, maka
berangsur-angsur akan terjadi pemerataan guru. Guru yang berlebih di satu kabupaten/kota
dipindahkan ke kabupaten/kota lainnya yang kekurangan. Keempat, menghitung dengan tepat dan
cermat kebutuhan fiskal negara terkait dengan agenda kesejahteraan guru yaitu pemberian
tunjangan profesi guru, tunjangnan khusus, maslahat tambahan, dan lain-lain.
Kelima, pengembangan karier guru pascasertifikasi. Berdasarkan Permenneg PAN dan RB
Nomor 16 Tahun 2009, ada empat aktivitas pengembangan karir guru pascasertifikasi guru, yaitu:
penilaian kinerja guru, peningkatan guru berkinerja rendah, pengembangan keprofesian guru
berkelanjutan, dan pengembangan karier guru.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 89
Pada sisi lain, akhir-akhir ini makin kuat dorongan untuk melakukan kaji ulang atas sistem
pengelolaan guru, terutama berkaitan dengan penyediaan, rekruitmen, pengangkatan dan
penempatan, sistem distribusi, sertifikasi, peningkatan kualifikasi, penilaian kinerja, uji kompetensi,
penghargaan dan perlindungan, kesejahteraan, pembinaan karir, pengembangan keprofesian
berkelanjutan, serta pengelolaan guru di daerah khusus yang relevan dengan tuntutan kekinian dan
masa depan. Untuk tujuan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyusun masterplan
pembinaan dan pengembangan profesi guru. Beranjak dari isu-isu di atas, beberapa hal berikut ini
memerlukan perhatian dan priotitas utama.
1. Menindaklanjuti masterplan pembinaan dan pengembangan profesi guru.
2. Melaksanakan kesepakatan implementasi sistem manajemen guru secara komprehensif
berkaitan dengan:
a. Melakukan koordinasi dalam penyediaan guru dengan mempertimbangkan kebutuhan
satuan pendidikan.
b. Merekrut guru berdasarkan asesmen kebutuhan dan standar kompetensi yang telah
ditetapkan.
c. Mengangkat dan menempatkan guru berdasarkan kualifikasi akademik dan bidang
keahlian yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan.
d. Menata dan mendistribusikan guru antarsatuan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan
sebagai bagian dari kebijakan penataan guru secara nasional melalui aspek pendanaan
bidang pendidikan.
e. Memfasilitasi sertifikasi guru dengan menerapkan asas obyektifitas, transparan dan
akuntabel.
f. Memfasilitasi peningkatan kualifikasi akademik guru dengan menerapkan asas
obyektifitas, transparan dan akuntabel
g. Menerapkan sistem penilaian kinerja guru secara berkelanjutan sesuai dengan standar
yang ditetapkan.
h. Memberikan penghargaan bagi guru sesuai dengan prestasi dan dedikasinya dan
memberikan perlindungan hukum, profesi, ketenagakerjaan, dan hak atas kekayaan
intektual.
i. Meningkatkan kesejahteraan guru sesuai dengan kemampuan daerah.
j. Memfasilitasi pembinaan dan pengembangan keprofesian dan karir guru.
3. Menindaklanjuti regulasi mengenai guru kedalam peraturan daerah/peraturan gubernur/
peraturan bupati/peraturan walikota
Manajemen guru masa depan menuntut pertimbangan dan perumusan kebijakan yang
sistemik dan sistematik. Manajemen guru sebagaimana dimaksud terutama berkaitan dengan
penyediaan, rekruitmen, pengangkatan dan penempatan, sistem distribusi, sertifikasi, peningkatan
kualifikasi, penilaian kinerja, uji kompetensi, penghargaan dan perlindungan, kesejahteraan,
pembinaan karir, pengembangan keprofesian berkelanjutan, serta pengelolaan guru di daerah
khusus yang relevan dengan tuntutan kekinian dan masa depan.
Dalam kaitannya dengan substansi manajemen guru sebagaimana dijelaskan di muka,
beberapa hal perlu diberi catatan khusus. Perlu ditetapkan standar mahasiswa calon guru. Standar
dimaksud berupa kemampuan intelektual, kepribadian, minat, bakat, ciri-ciri fisik, dan sebagainya.
Penentuan standar ini ditetapkan oleh institusi penyedia calon guru dan/atau difilter melalui seleksi
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 90
calon peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG). Dengan demikian, ke depan hanya seseorang dengan
karakteristik tertentulah yang akan direkruit sebagai calon guru.
Perencanaan kebutuhan guru harus dilakukan secara cermat dan komprehensif, sesuai dengan
karakteristik satuan pendidikan, bidang keahlian, dan sebaran sekolah. Dalam kaitannya dengan
rekruitmen calon guru, sudah seharusnya menjadi kebijakan nasional yang tersentralisasi. Demikian
juga pembinaan dan pengembangan keprofesian dan karirnya. Atas dasar itu, kiranya diperlukan
regulasi baru atau merevitalisasi manajemen guru yang mampu mensinergikan lembaga penyedia,
pengguna, dan pemberdayaannya.
Pada tataran menjalankan tugas keprofesian keseharian, guru Indonesia bertanggungjawab
mengantarkan peserta didiknya untuk mencapai kedewasaan sebagai calon pemimpin bangsa pada
semua bidang kehidupan. Dalam melaksanakan tugas profesinya itu, guru Indonesia mestinya
menyadari sepenuhnya bahwa perlu ditetapkan KEGI sebagai pedoman bersikap dan berperilaku
yang mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru sebagai pendidik
putera-puteri bangsa.
Untuk menegakkan Kode Etik itu, organisasi profesi guru membentuk Dewan kehormatan yang
keanggotaan serta mekanisme kerjanya diatur dalam anggaran dasar organisasi profesi guru. Dewan
Kehormatan Guru (DKG) dimaksud dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan
memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru. Rekomendasi
dewan kehormatan profesi guru harus objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan
anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan.
Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 91
ACUAN
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009
tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Pendidikan Nasional.
Peraturan Bersama Mendiknas, Menneg PAN dan RB, Mendagri, Menkeu, dan Menag tentang
Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil, tanggal 3 Oktober 2011
Peoduk hukum yang berkaitan dengan Penilaian Kinerja, Pengembangan Keprofesian Guru
Berkelanjutan, Sertifikasi Guru, dan Uji Kompetensi Guru
Sudarwan Danim, Profesionalisasi dan Kode Etik Guru, Bandung, Alfabeta, Bandung, 2010
Sudarwan Danim, Pengembangan Profesi Guru: Dari Induksi ke Profesional Madani, Media
Perhalindo, Jakarta, 2011.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Vollmer dan Mills, Professionalization, Jossey Bass, New York, 1982
DESAIN INDUK GERAKAN LITERASI SEKOLAH
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAHKEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Cetakan 1: Maret 2016
Diterbitkan oleh:
Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Penyunting:
Pangesti Wiedarti, M.Appl.Ling., Ph.D.
Prof. Dr. Kisyani-Laksono
Penanggung Jawab:
Yudistira W. Widiasana, M.Si.
Sekretariat:
Satriyo Wibowo, M.A.
Katman, M.A.
Desain Sampul:
Wien Muldian, S.S.
Layout:
Kambali
Penyusun:
Pangesti Wiedarti, M.Appl.Ling., Ph.D. (081328175350)
Prof. Dr. Kisyani-Laksono (08123167348)
Pratiwi Retnaningdyah, Ph.D. (082140591164)
Soie Dewayani, Ph.D. (082117522572)
Wien Muldian, S.S. (0811889829)
Dr. Susanti Sufyadi (082119172202)
Dwi Renya Roosaria, S.H. (0818801304)
Dr. Dewi Utama Faizah (082298521251)
Sulastri, M.Si. (081310101524)
Nilam Rahmawan, S.Psi. (085777925527)
Endang Sadbudhy Rahayu, M.B.A. (085776147844)
R. Achmad Yusuf SA, M.Ed. (08129732414)
Billy Antoro, S.Pd. (081284096776)
Pelindung:
Hamid Muhammad, Ph.D
Pengarah:
Dr. Thamrin Kasman
Drs. Wowon Widaryat, M.Si.
Dr. Supriano, M.Ed.
Drs. Purwadi Sutanto, M.Si.
Drs. M. Mustaghirin Amin, M.B.A.Ir. Sri Renani Pantjastuti, M.P.A.
DESAIN INDUK
GERAKAN LITERASI SEKOLAH
Alamat:
Bagian Perencanaan dan Penganggaran
Sekretariat Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah
Gedung E lantai 5 Kompleks Kemendikbud
Jl. Jenderal Sudirman Senayan, Jakarta 10270
Telp./Faks : (021) 5725613
E-mail: [email protected]
ISBN: 978-602-1389-15-7
iDesain Induk Gerakan Literasi Sekolah
KATA SAMBUTAN
Keterampilan membaca berperan penting dalam kehidupan kita karena
pengetahuan diperoleh melalui membaca. Oleh karena itu, keterampilan ini harus
dikuasai peserta didik dengan baik sejak dini.
Dalam konteks internasional, pemahaman membaca tingkat sekolah dasar (kelas
IV) diuji oleh Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEA-the
International Association for the Evaluation of Educational Achievement) dalam
Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan setiap
lima tahun (sejak tahun 2001). Selain itu, PIRLS berkolaborasi dengan Trends
in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) menguji kemampuan
matematika dan sains peserta didik sejak tahun 2011. Pada tingkat sekolah
menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik (selain matematika
dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi
(OECD—Organization for Economic Cooperation and Development) dalam
Programme for International Student Assessment (PISA).
Uji literasi membaca mengukur aspek memahami, menggunakan, dan mereleksikan hasil membaca dalam bentuk tulisan. Dalam PIRLS 2011 International Results in
Reading, Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor
428 dari skor rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, uji literasi membaca dalam
PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57
dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan
peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor rata-
rata OECD 496) (OECD, 2013). Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA
2009 dan 2012. Data PIRLS dan PISA, khususnya dalam keterampilan memahami
bacaan, menunjukkan bahwa kompetensi peserta didik Indonesia tergolong
rendah.
Rendahnya keterampilan tersebut membuktikan bahwa proses pendidikan belum
mengembangkan kompetensi dan minat peserta didik terhadap pengetahuan.
Praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah selama ini juga memperlihatkan
bahwa sekolah belum berfungsi sebagai organisasi pembelajaran yang menjadikan
semua warganya sebagai pembelajar sepanjang hayat.
iiDesain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Untuk mengembangkan sekolah sebagai organisasi pembelajaran, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS
adalah upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah (guru, peserta
didik, orang tua/wali murid) dan masyarakat, sebagai bagian dari ekosistem
pendidikan.
GLS memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti sebagaimana dituangkan
dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Salah
satu kegiatan di dalam gerakan tersebut adalah “kegiatan 15 menit membaca
buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai”. Kegiatan ini dilaksanakan
untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan
membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi
nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan
sesuai tahap perkembangan peserta didik.
Terobosan penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di
bidang pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga
satuan pendidikan. Pelibatan orang tua peserta didik dan masyarakat juga menjadi
komponen penting dalam GLS.
Desain Induk ini disusun guna memberi arahan strategis bagi kegiatan literasi
di lingkungan satuan pendidikan dasar dan menengah. Pelaksanaan GLS akan
melibatkan unit kerja terkait di Kemendikbud dan juga pihak-pihak lain yang
peduli terhadap pentingnya literasi. Kerja sama semua pemangku kepentingan di
bidang pendidikan sangat diperlukan untuk melaksanakan gerakan bersama yang
terintegrasi dan efektif.
Jakarta, Januari 2016
iiiDesain Induk Gerakan Literasi Sekolah
KATA SAMBUTAN i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR BAGAN v
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Landasan Filosoi dan Landasan Hukum 4C. Tujuan 5
D. Sasaran 5
BAB II KONSEP DASAR 7
A. Literasi 7
B. Komponen Literasi 7
C. Literasi di Sekolah 8
D. Ihwal Literasi di Sekolah 10
BAB III PELAKSANAAN LITERASI DI SEKOLAH 17
A. Rancangan Program Literasi di Sekolah 17
B. Peran Pemangku Kepentingan 18
C. Tahapan Pengembangan Literasi di Sekolah 26
D. Strategi 30
E. Peningkatan Kapasitas 32
F. Target Pencapaian 33
BAB IV MONITORING DAN EVALUASI 39
A. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 39
B. Dinas Pendidikan Provinsi 40
C. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota 40
D. Satuan Pendidikan 41
BAB V PENUTUP 43
GLOSARIUM 44
REFERENSI 45
LAMPIRAN 47
DAFTAR ISI
ivDesain Induk Gerakan Literasi Sekolah
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pihak yang berperan aktif dalam 10
pelaksanaan komponen literasi
Tabel 2.2 Ekosistem Sekolah yang Literat 14
Tabel 3.1 Fokus Kegiatan dalam Tahapan 29
Literasi Sekolah
Tabel 3.2 Ekosistem Sekolah yang Diharapkan 34
pada Setiap Jenjang Pendidikan
Tabel 3.3 Peta Kompetensi Literasi Sekolah 35
(Warsnop, 2000)
Tabel 3.4 Keterampilan Reseptif, Kegiatan, Jenis 36
Bacaaan, dan Sarana Prasarana
Pendukungnya
vDesain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Bagan 3.1 Struktur Organisasi Kerja Sama di 17
Lingkungan Internal dan Eksternal
Kemendikbud
Bagan 3.2 Pemangku Kepentingan GLS Dikdas 19
Bagan 3.3 Pemangku Kepentingan GLS Dikmen 23
Bagan 3.4 Tahapan Pelaksanaan GLS 27
Bagan 3.5 Strategi Pelaksanaan Gerakan 31
Literasi Sekolah
DAFTAR BAGAN
viDesain Induk Gerakan Literasi Sekolah
1Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang berhasil mengurangi
angka buta huruf. Data UNDP tahun 2014 mencatat bahwa tingkat kemelekhurufan
masyarakat Indonesia mencapai 92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8%
untuk kategori remaja. Capaian ini sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia
telah melewati tahapan krisis literasi dalam pengertian kemelekhurufan. Meskipun
demikian, tantangan yang saat ini dihadapi adalah rendahnya minat baca.
Selain ketersediaan buku di seluruh Indonesia belum memadai, pemerintah juga
menghadapi rendahnya motivasi membaca di kalangan peserta didik. Hal ini
memprihatinkan karena di era teknologi informasi, peserta didik dituntut untuk
memiliki kemampuan membaca dalam pengertian memahami teks secara analitis,
kritis, dan relektif.Masyarakat global dituntut untuk dapat mengadaptasi kemajuan teknologi
dan keterbaruan/kekinian. Deklarasi Praha (Unesco, 2003) mencanangkan
pentingnya literasi informasi (information literacy), yaitu kemampuan untuk
mencari, memahami, mengevaluasi secara kritis, dan mengelola informasi menjadi
pengetahuan yang bermanfaat untuk pengembangan kehidupan pribadi dan
sosialnya.
Dalam era global ini, literasi informasi menjadi penting. Deklarasi Alexandria
pada tahun 2005 (sebagaimana dirilis dalam www.unesco.org) menjelaskan bahwa
literasi informasi adalah:
“kemampuan untuk melakukan manajemen pengetahuan dan
kemampuan untuk belajar terus-menerus. Literasi informasi merupakan
kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan saat informasi
diperlukan, mengidentiikasi dan menemukan lokasi informasi yang diperlukan, mengevaluasi informasi secara kritis, mengorganisasikan
dan mengintegrasikan informasi ke dalam pengetahuan yang sudah ada,
memanfaatkan serta mengkomunikasikannya secara efektif, legal, dan etis.”
2Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Kebutuhan literasi di era global ini menuntut pemerintah untuk menyediakan
dan memfasilitasi sistem dan pelayanan pendidikan sesuai dengan UUD 1945,
Pasal 31, Ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-
undang. ” Ayat ini menegaskan bahwa program literasi juga mencakup upaya
mengembangkan potensi kemanusiaan yang mencakup kecerdasan intelektual,
emosi, bahasa, estetika, sosial, spiritual, dengan daya adaptasi terhadap
perkembangan arus teknologi dan informasi. Upaya ini sejalan dengan falsafah
yang dinyatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan harus melibatkan
semua komponen masyarakat (keluarga, pendidik profesional, pemerintah,
dll.) dalam membina, menginspirasi/memberi contoh, memberi semangat, dan
mendorong perkembangan anak.
Literasi tidak terpisahkan dari dunia pendidikan. Literasi menjadi sarana peserta
didik dalam mengenal, memahami, dan menerapkan ilmu yang didapatkannya
di bangku sekolah. Literasi juga terkait dengan kehidupan peserta didik, baik di
rumah maupun di lingkungan sekitarnya.
Sayangnya, hasil tes Progress International Reading Literacy Study (PIRLS)
tahun 2011 yang mengevaluasi kemampuan membaca peserta didik kelas IV
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan
skor 428, di bawah nilai rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, survei yang
mengevaluasi kemampuan peserta didik berusia 15 tahun dilakukan oleh
Programme for International Student Assessment (PISA) yang mencakup membaca,
matematika, dan sains. Peserta didik Indonesia berpartisipasi dalam PISA 2009 dan
2012 yang keduanya diikuti oleh 65 negara peserta. Khusus dalam kemampuan
membaca, Indonesia yang semula pada PISA 2009 berada pada peringkat ke-57
dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), ternyata pada PISA 2012 peringkatnya
menurun, yaitu berada di urutan ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496)
(OECD, 2013). Data ini selaras dengan temuan UNESCO (2012) terkait kebiasaan
membaca masyarakat Indonesia, bahwa hanya satu dari 1.000 orang masyarakat
Indonesia yang membaca. Kondisi demikian ini jelas memprihatinkan karena
kemampuan dan keterampilan membaca merupakan dasar bagi pemerolehan
pengetahuan, keterampilan, dan pembentukan sikap peserta didik.
Permasalahan ini menegaskan bahwa pemerintah memerlukan strategi
khusus agar kemampuan membaca peserta didik dapat meningkat dengan
mengintegrasikan/menindaklanjuti program sekolah dengan kegiatan dalam
keluarga dan masyarakat. Hal ini untuk memastikan keberlanjutan intervensi
kegiatan literasi sekolah sebagai sebuah gerakan literasi sekolah (GLS) agar
3Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
dampaknya dapat dirasakan di masyarakat.
GLS dikembangkan berdasarkan sembilan agenda prioritas (Nawacita) yang
terkait dengan tugas dan fungsi Kemendikbud, khususnya Nawacita nomor 5, 6, 8,
dan 9. Butir Nawacita yang dimaksudkan adalah (5) meningkatkan kualitas hidup
manusia dan masyarakat Indonesia; (6) meningkatkan produktivitas rakyat dan
daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit
bersama bangsa-bangsa Asia lainnya; (8) melakukan revolusi karakter bangsa; (9)
memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Empat butir Nawacita tersebut terkait erat dengan komponen literasi
sebagai modal pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, produktif
dan berdaya saing, berkarakter, serta nasionalis. Untuk dapat mengembangkan
Nawacita, diperlukan pengembangan strategi pelaksanaan literasi di sekolah
yang berdampak menyeluruh dan sistemik. Dalam hal ini, sekolah: a)
sebaiknya tumbuh sebagai sebuah organisasi yang mengembangkan warganya
sebagai individu pembelajar; b) perlu memiliki struktur kepemimpinan
yang juga terkait dengan lembaga lain di atasnya, serta sumber daya yang
meliputi sumber daya manusia, keuangan, serta sarana dan prasarana; dan
c) memberikan layanan pendidikan dalam bentuk pembelajaran di dalam kelas
dan berbagai kegiatan lain di luar kelas yang menunjang pembelajaran dan tujuan
pendidikan.
Dengan memperhatikan karakteristik sekolah sebagai sebuah organisasi akan
mempermudah pelaksana program untuk mengidentiikasi sasaran agar perlakuan dapat diberikan secara menyeluruh (whole school approach).
4Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
B. Landasan Filosoi dan Landasan Hukum
1. Landasan Filosoi
Sumpah Pemuda butir ketiga (3) menyatakan, “menjunjung bahasa persatuan
bahasa Indonesia yang memiliki makna pengakuan terhadap keberadaan ratusan
bahasa daerah yang memiliki hak hidup dan peluang penggunaan bahasa asing
sesuai dengan keperluannya.”
a. Butir ini menegaskan pentingnya pembelajaran berbahasa dalam pendidikan
nasional.
b. Konvensi PBB tentang Hak Anak pada tahun 1989 tentang pentingnya
penggunaan bahasa ibu. Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa,
khususnya mikrokultur-mikrokultur tertentu perlu difasilitasi dengan bahasa
ibu saat mereka memasuki pendidikan dasar kelas rendah (kelas I, II, III).
c. Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang kecakapan literasi dasar dan
kecakapan perpustakaan yang efektif merupakan kunci bagi masyarakat
yang literat dalam menghadapi derasnya arus informasi teknologi. Lima
komponen yang esensial dari literasi informasi itu adalah basic literacy,
library literacy, media literacy, technology literacy, dan visual literacy.
2. Landasan Hukum
a. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat 3: “Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Perpustakaan.
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU
Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
5Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman
bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara
dan Bahasa Daerah.
h. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2007 tentang
Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
(SD/MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).
i. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
j. Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015-2019.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan
ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah agar
mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat.
2. Tujuan Khusus
a. Menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah.
b. Meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat.
c. Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah
anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan.
d. Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku
bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca.
D. Sasaran
Sasaran gerakan literasi sekolah adalah ekosistem sekolah pada jenjang
pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
6Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
7Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
BAB IIKONSEP DASAR
A. Literasi
Kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis.
Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga
mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga
bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa,
dan budaya (UNESCO, 2003).
Deklarasi UNESCO itu juga menyebutkan bahwa literasi informasi terkait
pula dengan kemampuan untuk mengidentiikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan
mengomunikasikan informasi untuk mengatasi berbagai persoalan. Kemampuan-
kemampuan itu perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk berpartisipasi
dalam masyarakat informasi, dan itu bagian dari hak dasar manusia menyangkut
pembelajaran sepanjang hayat.
B. Gerakan Literasi Sekolah
GLS merupakan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat
partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah,
tenaga kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua/wali murid
peserta didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat
yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll.), dan pemangku
kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
GLS adalah gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen.
Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca
peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca (guru
membacakan buku dan warga sekolah membaca dalam hati, yang disesuaikan
dengan konteks atau target sekolah). Ketika pembiasaan membaca terbentuk,
selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan, dan pembelajaran (disertai
tagihan berdasarkan Kurikulum 2013). Variasi kegiatan dapat berupa perpaduan
8Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
pengembangan keterampilan reseptif maupun produktif.
Dalam pelaksanaannya, pada periode tertentu yang terjadwal, dilakukan
asesmen agar dampak keberadaan GLS dapat diketahui dan terus-menerus
dikembangkan.
GLS diharapkan mampu menggerakkan warga sekolah, pemangku
kepentingan, dan masyarakat untuk bersama-sama memiliki, melaksanakan, dan
menjadikan gerakan ini sebagai bagian penting dalam kehidupan.
C. Komponen Literasi
Literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, namun mencakup
keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk
cetak, visual, digital, dan auditori. Di abad 21 ini, kemampuan ini disebut sebagai
literasi informasi.
Clay (2001) dan Ferguson (www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf) menjabarkan
bahwa komponen literasi informasi terdiri atas literasi dini, literasi dasar, literasi
perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Dalam konteks
Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap
selanjutnya. Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Literasi Dini [Early Literacy (Clay, 2001)], yaitu kemampuan untuk menyimak,
memahami bahasa lisan, dan berkomunikasi melalui gambar dan lisan yang
dibentuk oleh pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan sosialnya di
rumah. Pengalaman peserta didik dalam berkomunikasi dengan bahasa ibu
menjadi fondasi perkembangan literasi dasar.
2. Literasi Dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan,
berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan
kemampuan analisis untuk memperhitungkan (calculating), mempersepsikan
informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi
(drawing) berdasarkan pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.
3. Literasi Perpustakaan (Library Literacy), antara lain, memberikan
pemahaman cara membedakan bacaan iksi dan noniksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal, memahami Dewey Decimal System
sebagai klasiikasi pengetahuan yang memudahkan dalam menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan pengindeksan,
9Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
hingga memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang
menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi
masalah.
4. Literasi Media (Media Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui
berbagai bentuk media yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik
(media radio, media televisi), media digital (media internet), dan memahami
tujuan penggunaannya.
5. Literasi Teknologi (Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami
kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware),
peranti lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan
teknologi. Berikutnya, kemampuan dalam memahami teknologi untuk
mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam praktiknya,
juga pemahaman menggunakan komputer (Computer Literacy) yang di
dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan
dan mengelola data, serta mengoperasikan program perangkat lunak.
Sejalan dengan membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi
saat ini, diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang
dibutuhkan masyarakat.
6. Literasi Visual (Visual Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara
literasi media dan literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan
dan kebutuhan belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audio-
visual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi visual yang
tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak, auditori, maupun digital
(perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu dikelola dengan baik.
Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan yang benar-
benar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.
10Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Pihak yang berperan aktif dalam pelaksanaan komponen literasi dipaparkan
pada Tabel 2.1 berikut.
NO KOMPONEN LITERASI
PIHAK YANG BERPERAN AKTIF
1. Literasi usia dini Orang tua dan keluarga, guru/PAUD, pamong/pengasuh
2. Literasi dasar Pendidikan formal
3. Literasi perpustakaan Pendidikan formal
4. Literasi teknologi Pendidikan formal dan keluarga
5. Literasi media Pendidikan formal, keluarga, dan lingkungan sosial (tetangga/masyarakat sekitar)
6. Literasi visual Pendidikan formal, keluarga, dan lingkungan sosial (tetangga/masyarakat sekitar)
Literasi yang komprehensif dan saling terkait ini memampukan seseorang
untuk berkontribusi kepada masyarakatnya sesuai dengan kompetensi dan
perannya sebagai warga negara global (global citizen).
Dalam pendidikan formal, peran aktif para pemangku kepentingan, yaitu
kepala sekolah, guru sebagai pendidik, tenaga kependidikan, dan pustakawan
sangat berpengaruh untuk memfasilitasi pengembangan komponen literasi peserta
didik. Agar lingkungan literasi tercipta, diperlukan perubahan paradigma semua
pemangku kepentingan
Selain itu, diperlukan juga pendekatan cara belajar-mengajar yang
mengembangkan komponen-komponen literasi ini. Kesempatan peserta didik
terpajan dengan kelima komponen literasi akan menentukan kesiapan peserta
didik berinteraksi dengan literasi visual.
D. Ihwal Literasi di Sekolah
Mengacu pada metode pembelajaran Kurikulum 2013 yang menempatkan
peserta didik sebagai subjek pembelajaran dan guru sebagai fasilitator, kegiatan
literasi tidak lagi berfokus pada peserta didik semata. Guru, selain sebagai fasilitator,
juga menjadi subjek pembelajaran. Akses yang luas pada sumber informasi, baik
di dunia nyata maupun dunia maya dapat menjadikan peserta didik lebih tahu
daripada guru. Oleh sebab itu, kegiatan peserta dalam berliterasi semestinya
tidak lepas dari kontribusi guru, dan guru sebaiknya berupaya menjadi fasilitator
yang berkualitas. Guru dan pemangku kebijakan sekolah merupakan igur teladan
11Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
literasi di sekolah.
Dalam konteks sekolah, subjek dalam kegiatan literasi adalah peserta didik,
pendidik, tenaga kependidikan (pustakawan, pengawas), dan kepala sekolah.
Semua komponen warga sekolah ini berkolaborasi dalam Tim Literasi Sekolah (TLS)
di bawah koordinasi kepala sekolah dan dikuatkan dengan SK kepala sekolah. TLS
bertugas untuk membuat perencanaan, pelaksanaan, dan asesmen program. TLS
dapat memastikan terciptanya suasana akademik yang kondusif, yang mampu
membuat seluruh anggota komunitas sekolah antusias untuk belajar.
1. Prinsip-prinsip Literasi Sekolah
Menurut Beers (2009), praktik-praktik yang baik dalam gerakan literasi
sekolah menekankan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan
yang dapat diprediksi.
Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca dan menulis saling
beririsan antartahap perkembangan. Memahami tahap perkembangan
literasi peserta didik dapat membantu sekolah untuk memilih strategi
pembiasaan dan pembelajaran literasi yang tepat sesuai kebutuhan
perkembangan mereka.
b. Program literasi yang baik bersifat berimbang
Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang menyadari bahwa
tiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu,
strategi membaca dan jenis teks yang dibaca perlu divariasikan dan
disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Program literasi yang bermakna
dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan bacaan kaya ragam teks,
seperti karya sastra untuk anak dan remaja.
c. Program literasi terintegrasi dengan kurikulum
Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab
semua guru di semua mata pelajaran sebab pembelajaran mata pelajaran
apapun membutuhkan bahasa, terutama membaca dan menulis. Dengan
demikian, pengembangan profesional guru dalam hal literasi perlu diberikan
kepada guru semua mata pelajaran.
12Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
d. Kegiatan membaca dan menulis dilakukan kapanpun
Misalnya, ‘menulis surat kepada presiden’ atau ‘membaca untuk ibu’
merupakan contoh-contoh kegiatan literasi yang bermakna.
e. Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan
Kelas berbasis literasi yang kuat diharapkan memunculkan berbagai kegiatan
lisan berupa diskusi tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan
diskusi ini juga perlu membuka kemungkinan untuk perbedaan pendapat
agar kemampuan berpikir kritis dapat diasah. Peserta didik perlu belajar
untuk menyampaikan perasaan dan pendapatnya, saling mendengarkan,
dan menghormati perbedaan pandangan.
f. Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran terhadap
keberagaman
Warga sekolah perlu menghargai perbedaan melalui kegiatan literasi di
sekolah. Bahan bacaan untuk peserta didik perlu mereleksikan kekayaan budaya Indonesia agar mereka dapat terpajan pada pengalaman
multikultural.
2. Strategi Membangun Budaya Literasi Sekolah
Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam pengembangan budaya
literasi, Beers, dkk. (2009) dalam buku A Principal’s Guide to Literacy Instruction,
menyampaikan beberapa strategi untuk menciptakan budaya literasi yang positif
di sekolah.
a. Mengkondisikan lingkungan isik ramah literasi Lingkungan isik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga
sekolah. Oleh karena itu, lingkungan isik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya
literasi sebaiknya memajang karya peserta didik dipajang di seluruh area
sekolah, termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu, karya-
karya peserta didik diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik. Selain itu, peserta didik dapat mengakses
buku dan bahan bacaan lain di Sudut Baca di semua kelas, kantor, dan
area lain di sekolah. Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta
didik akan memberikan kesan positif tentang komitmen sekolah terhadap
13Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
pengembangan budaya literasi.
b. Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model
komunikasi dan interaksi yang literat
Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan
interaksi seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat dikembangkan dengan
pengakuan atas capaian peserta didik sepanjang tahun. Pemberian
penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera setiap minggu untuk
menghargai kemajuan peserta didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai
bukan hanya akademik, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik. Dengan
demikian, setiap peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperoleh
penghargaan sekolah. Selain itu, literasi diharapkan dapat mewarnai semua
perayaan penting di sepanjang tahun pelajaran. Ini bisa direalisasikan
dalam bentuk festival buku, lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh
buku cerita, dan sebagainya. Pimpinan sekolah selayaknya berperan aktif
dalam menggerakkan literasi, antara lain dengan membangun budaya
kolaboratif antarguru dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap
orang dapat terlibat sesuai kepakaran masing-masing. Peran orang tua
sebagai relawan gerakan literasi akan semakin memperkuat komitmen
sekolah dalam pengembangan budaya literasi.
c. Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik
yang literat
Lingkungan isik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan
literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi waktu yang cukup
banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan
kegiatan membaca dalam hati dan guru membacakan buku dengan nyaring
selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang
kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan untuk
mengikuti program pelatihan tenaga kependidikan untuk peningkatan
pemahaman tentang program literasi, pelaksanaan, dan keterlaksanaannya.
14Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Tabel 2.2 di bawah ini mencantumkan beberapa parameter yang dapat
digunakan sekolah untuk membangun budaya literasi sekolah yang baik.
Tabel 2.2 Ekosistem Sekolah yang Literat
a. Lingkungan Fisik
1) Karya peserta didik dipajang di sepanjang lingkungan sekolah, termasuk koridor dan kantor (kepala sekolah, guru, administrasi, bimbingan konseling).
2) Karya peserta didik dirotasi secara berkala untuk memberi kesempatan yang seimbang kepada semua peserta didik.
3) Buku dan materi bacaan lain tersedia di pojok-pojok baca di semua ruang kelas.
4) Buku dan materi bacaan lain tersedia juga untuk peserta didik dan orang tua/pengunjung di kantor dan ruangan selain ruang kelas.
5) Kantor kepala sekolah memajang karya peserta didik dan buku bacaan untuk anak.
6) Kepala sekolah bersedia berdialog dengan warga sekolah.
b. Lingkungan Sosial dan Afektif
1) Penghargaan terhadap prestasi peserta didik (akademik dan nonakademik) diberikan secara rutin (tiap minggu/bulan). Upacara hari Senin merupakan salah satu kesempatan yang tepat untuk pemberian penghargaan mingguan.
2) Kepala sekolah terlibat aktif dalam pengembangan literasi.
3) Merayakan hari-hari besar dan nasional dengan nuansa literasi, misalnya merayakan Hari Kartini dengan membaca surat-suratnya.
4) Terdapat budaya kolaborasi antarguru dan staf, dengan mengakui kepakaran masing-masing.
5) Terdapat waktu yang memadai bagi staf untuk berkolaborasi dalam menjalankan program literasi dan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaannya.
6) Staf sekolah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam menjalankan program literasi.
c. Lingkungan Akademik
1) Terdapat TLS yang bertugas melakukan asesmen dan perencanaan. Bila diperlukan, ada pendampingan dari pihak eksternal.
2) Disediakan waktu khusus dan cukup banyak untuk pembelajaran dan pembiasaan literasi: membaca dalam hati (sustained silent reading), membacakan buku dengan nyaring (reading aloud), membaca bersama (shared reading), membaca terpandu (guided reading), diskusi buku, bedah buku, presentasi (show-and-tell presentation).
3) Waktu berkegiatan literasi dijaga agar tidak dikorbankan untuk kepentingan lain.
4) Disepakati waktu berkala untuk TLS membahas pelaksanaan gerakan literasi sekolah.
5) Buku iksi dan noniksi tersedia dalam jumlah cukup banyak di sekolah. Buku cerita iksi sama pentingnya dengan buku berbasis ilmu pengetahuan.
15Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
6 Ada beberapa buku yang wajib dibaca oleh warga sekolah.
7) (Ada kesempatan pengembangan profesional tentang literasi yang diberikan untuk staf, melalui kerja sama dengan institusi terkait (perguruan tinggi, dinas pendidikan, dinas perpustakaan, atau berbagi pengalaman dengan sekolah lain).
8) Seluruh warga sekolah antusias menjalankan program literasi, dengan tujuan membangun organisasi sekolah yang suka belajar.
(cf. Beers dkk., 2009).
Aspek-aspek tersebut adalah karakteristik penting dalam pengembangan
budaya literasi di sekolah. Dalam pelaksanaannya, sekolah dapat mengadaptasinya
sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah. Guru dan pimpinan sekolah perlu bekerja
sama untuk mengimplementasikan strategi tersebut.
16Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
17Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
BAB IIIPELAKSANAAN LITERASI
DI SEKOLAH
A. Rancangan Program Literasi Sekolah
Kesuksesan program literasi sekolah membutuhkan partisipasi aktif semua
unit kerja di lingkungan internal Kemendikbud (Permendikbud Nomor 11 Tahun
2015) dan juga kolaborasi dengan lembaga di luar Kemendikbud. Pelaksanaan
program literasi di semua satuan pendidikan melibatkan semua pemangku
kepentingan, meliputi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pada
lingkup internal Kemendikbud, kolaborasi literasi melibatkan, antara lain Badan
Bahasa, LPMP, Balitbang (Puskurbuk dan Puspendik), dan Pustekkom, sedangkan
pada lingkup eksternal Kemendikbud melibatkan, antara lain kementerian lain,
perguruan tinggi, Perpusnas, Perpusda, Ikapi, lembaga donor, dunia usaha dan
industri, dan lain-lain. Struktur organisasi kerja sama tersebut digambarkan pada
bagan berikut ini.
Bagan 3.1 Struktur Organisasi Kerja Sama di Lingkungan Internal dan Eksternal Kemendikbud
18Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Di samping itu, kegiatan literasi sekolah membutuhkan partisipasi semua
pemangku kepentingan di tingkat pemerintahan, dari tingkat pemerintah pusat,
LPMP, dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan di tingkat
sekolah. Di tingkat satuan pendidikan, yang menerima perlakuan (intervensi) adalah
kepala sekolah, pengawas, guru, TLS, dan masyarakat (termasuk dunia usaha dan
industri). Perlakuan yang akan diberikan kepada setiap unsur akan berbeda sesuai
dengan peran dan kapasitasnya dalam pendidikan terkait dengan kebijakan yang
berlaku. Dari unsur masyarakat dapat dilibatkan, antara lain, lembaga masyarakat
di bidang pendidikan, kebudayaan, perpustakaan masyarakat, taman bacaan
masyarakat, dan para tokoh masyarakat. Pelibatan dari dunia industri dapat berupa
program pendidikan yang merupakan implementasi dari Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan (Corporate Social Responsibility). Kesuksesan program literasi sekolah
dapat dicapai apabila masing-masing pemangku kepentingan memiliki kapasitas
yang memadai untuk melaksanakan program literasi sesuai dengan perannya.
B. Peran Pemangku Kepentingan
1. Pemangku Kepentingan GLS Dikdas
Peran pemangku kepentingan GLS Dikdas dipaparkan pada Bagan 3.2
sebagai berikut.
19Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Bagan 3.2 Pemangku Kepentingan GLS Dikdas
20Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Kegiatan literasi dapat berjalan dengan optimal dengan kolaborasi antara
semua elemen pemerintah dan masyarakat. Lembaga pemerintah dan masya-
rakat memiliki peran sebagai berikut.
a. Kemendikbud
• Membuat kebijakan literasi. • Menjabarkan desain induk pelaksanaan GLS.• Menyusun panduan pelaksanaan, petunjuk teknis, dan semua dokumen
pendukung pelaksanaan GLS.
• Melaksanakan sosialisasi GLS kepada dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota, satuan pendidikan, dan masyarakat.
• Merancang dan melaksanakan pelatihan literasi untuk warga sekolah dan masyarakat.
• Melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan GLS di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan.
• Membuat rencana tindak lanjut GLS berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan GLS.
b. LPMP
• Melaksanakan pemetaan awal data kebutuhan literasi sekolah GLS.• Berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota
untuk pelaksanaan GLS.
• Merencanakan dan melaksanakan pendampingan dan pelatihan kepada warga sekolah untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam
memberikan pelayanan pendidikan terutama pelaksanaan pembelajaran
yang mampu meningkatkan kemampuan literasi peserta didik.
• Melaksanakan supervisi pelaksanaan GLS. • Melaksanakan pemetaan akhir data kebutuhan literasi sekolah dan GLS.• Melaporkan hasil pemetaan akhir ke Ditjen Dikdasmen Kemendikbud.• Melakukan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan GLS di
satuanpendidikantingkat provinsi dan lingkungan dinas pendidikan
kabupaten/kota.
• Membuat rencana tindak lanjut berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan GLS.
21Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
c. Dinas Pendidikan Provinsi
• Melakukan kompilasi analisis kebutuhan dan mengkaji isu-isu strategis yang terkait dengan kemampuan literasi guru dan peserta didik di wilayah
masing-masing.
• Membuat kebijakan daerah untuk mendukung pelaksanaan GLS.• Melakukan sosialisasi konsep, program, dan kegiatan GLS kepada Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi masing-masing.
• Melakukan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan GLS di tingkat provinsi dan lingkungan dinas pendidikan kabupaten/kota.
• Membuat rencana tindak lanjut berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan GLS.
d. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
• Melakukan analisis kebutuhan dan mengkaji isu-isu strategis yang terkait dengan kemampuan literasi guru dan peserta didik di wilayah masing-
masing.
• Membuat kebijakan daerah untuk mendukung pelaksanaan GLS.• Melakukan sosialisasi konsep, program, dan kegiatan GLS di satuan
pendidikan di kabupaten/kota masing-masing.
• Merencanakan dan melaksanakan pendampingan dan pelatihan kepada warga sekolah untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam
memberikan pelayanan pendidikan terutama pelaksanaan pembelajaran
yang mampu meningkatkan kemampuan literasi peserta didik.
• Memantau serta memastikan ketersediaan buku referensi dan buku pengayaan, dan sarana yang mendukung program GLS.
• Melakukan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan GLS di tingkat kabupaten/kota, satuan pendidikan, dan masyarakat.
• Membuat rencana tindak lanjut berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan GLS.
e. Satuan Pendidikan
• Mengidentiikasi kebutuhan sekolah dengan mengacu pada kondisi pemenuhan indikator Standar Pelayanan Minimal.
• Melaksanakan tahapan kegiatan GLS yang meliputi pembiasaan, pengembangan dan pembelajaran.
• Melaksanakan pelatihan guru untuk meningkatkan kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang mampu
meningkatkan kemampuan literasi peserta didik.
22Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
• Memanfaatkan sarana dan prasarana sekolah dengan maksimal untuk memfasilitasi pembelajaran.
• Mengelola perpustakaan sekolah dengan baik.• Menginventarisasi semua prasarana yang dimiliki sekolah (salah satunya
buku).
• Menciptakan ruang-ruang baca yang nyaman bagi warga sekolah.• Melaksanakan kegiatan 15 menit membaca sebelum pembelajaran bagi
seluruh warga sekolah.
• Mengawasi dan mewajibkan peserta didik membaca sejumlah buku sastra dan menyelesaikannya dalam kurun waktu tertentu.
• TLS mendukung dan terlibat aktif dalam kegiatan GLS. • Merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang melibatkan orang tua
dan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap literasi
agar perlakuan yang diberikan kepada peserta didik di sekolah bisa
ditindaklanjuti di dalam keluarga dan di tengah masyarakat.
• Merencanakan dan atau bekerja sama dengan pihak lain yang melaksanakan berbagai kegiatan GLS.
• Melakukan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan program dan kegiatan GLS yang dilaksanakan.
• Membuat rencana tindak lanjut berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan GLS.
f. Masyarakat
• Ikut terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan GLS untuk meningkatkan kemampuan literasi warga sekolah.
• Menyelenggarakan gerakan publik, antara lain gerakan membacakan buku untuk anak, gerakan mengumpulkan buku anak dan menyalurkannya ke
taman-taman bacaan, dan gerakan untuk menghidupkan taman-taman
bacaan di ruang publik yang ramah anak.
2. Pemangku Kepentingan GLS Dikmen
Peran pemangku kepentingan GLS Dikmen dipaparkan pada Bagan 3.3
sebagai berikut.
23Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Bagan 3.3 Pemangku Kepentingan GLS Dikmen
24Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
a. Kemendikbud
• Membuat kebijakan literasi. • Menjabarkan desain induk pelaksanaan GLS.• Menyusun panduan pelaksanaan, petunjuk teknis, dan semua dokumen
pendukung pelaksanaan GLS.
• Melaksanakan sosialisasi GLS kepada dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota, satuan pendidikan, dan masyarakat.
• Merancang dan melaksanakan pelatihan literasi untuk warga sekolah dan masyarakat.
• Melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan GLS di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan.
• Membuat rencana tindak lanjut GLS berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan GLS.
b. LPMP
• Melaksanakan pemetaan awal data kebutuhan literasi sekolah GLS.• Berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota
untuk pelaksanaan GLS.
• Merencanakan dan melaksanakan pendampingan dan pelatihan kepada warga sekolah untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam
memberikan pelayanan pendidikan terutama pelaksanaan pembelajaran
yang mampu meningkatkan kemampuan literasi peserta didik.
• Melaksanakan supervisi pelaksanaan GLS. • Melaksanakan pemetaan akhir data kebutuhan literasi sekolah dan GLS.• Melaporkan hasil pemetaan akhir ke Ditjen Dikdasmen Kemendikbud.• Melakukan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan GLS di satuan
pendidikan tingkat provinsi dan lingkungan dinas pendidikan kabupaten/
kota.
• Membuat rencana tindak lanjut berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan GLS.
c. Dinas Pendidikan Provinsi
• Melakukan kompilasi analisis kebutuhan dan mengkaji isu-isu strategis yang terkait dengan kemampuan literasi guru dan peserta didik di wilayah
masing-masing.
• Membuat kebijakan daerah untuk mendukung pelaksanaan GLS.• Melakukan sosialisasi konsep, program, dan kegiatan GLS di satuan
pendidikan di kabupaten/kota masing-masing.
25Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
• Merencanakan dan melaksanakan pendampingan dan pelatihan kepada warga sekolah untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam
memberikan pelayanan pendidikan terutama pelaksanaan pembelajaran
yang mampu meningkatkan kemampuan literasi peserta didik.
• Memantau serta memastikan ketersediaan buku referensi dan buku pengayaan, dan sarana yang mendukung program GLS.
• Melakukan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan GLS di tingkat provinsi dan satuan pendidikan menengah.
• Membuat rencana tindak lanjut berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan GLS.
d. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
• Berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi untuk mendukung pelaksanaan GLS di tingkat satuan pendidikan menengah.
e. Satuan Pendidikan
• Mengidentiikasi kebutuhan sekolah dengan mengacu pada kondisi pemenuhan standar nasional pendidikan.
• Melaksanakan tahapan kegiatan GLS yang meliputi pembiasaan, pengembangan dan pembelajaran.
• Melaksanakan pelatihan guru untuk meningkatkan kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang mampu
meningkatkan kemampuan literasi peserta didik.
• Memanfaatkan sarana dan prasarana sekolah dengan maksimal untuk memfasilitasi pembelajaran.
• Mengelola perpustakaan sekolah dengan baik.• Menginventarisasi semua prasarana yang dimiliki sekolah (salah satunya
buku).
• Menciptakan ruang-ruang baca yang nyaman bagi warga sekolah.• Melaksanakan kegiatan 15 menit membaca sebelum pembelajaran bagi
seluruh warga sekolah.
• Mengawasi dan mewajibkan peserta didik membaca sejumlah buku sastra dan menyelesaikannya dalam kurun waktu tertentu.
• TLS mendukung dan terlibat aktif dalam kegiatan GLS. • Merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang melibatkan orang tua
dan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap literasi
agar perlakuan yang diberikan kepada peserta didik di sekolah bisa
ditindaklanjuti di dalam keluarga dan di tengah masyarakat.
26Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
• Merencanakan dan atau bekerja sama dengan pihak lain yang melaksanakan berbagai kegiatan GLS.
• Melakukan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan program dan kegiatan GLS yang dilaksanakan.
• Membuat rencana tindak lanjut berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan GLS.
f. Masyarakat
• Ikut terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan GLS untuk meningkatkan kemampuan literasi warga sekolah.
• Menyelenggarakan gerakan publik, antara lain gerakan membacakan buku untuk anak, gerakan mengumpulkan buku anak dan menyalurkannya ke
taman-taman bacaan, dan gerakan untuk menghidupkan taman-taman
bacaan di ruang publik yang ramah anak.
C. Tahapan Pelaksanaan GLS
Program GLS dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan
kesiapan sekolah di seluruh Indonesia. Kesiapan ini mencakup kesiapan kapasitas
sekolah (ketersediaan fasilitas, bahan bacaan, sarana, prasarana literasi), kesiapan
warga sekolah, dan kesiapan sistem pendukung lainnya (partisipasi publik,
dukungan kelembagaan, dan perangkat kebijakan yang relevan).
Untuk memastikan keberlangsungannya dalam jangka panjang, GLS dilaksana-
kan dengan peta seperti yang digambarkan pada Bagan 3.4 berikut.
27Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Bagan 3.4 Tahapan Pelaksanaan GLS
TAHAPAN PELAKSANAAN GLS
1. Penumbuhan minat bacamelalui kegiatan 15 menit membaca(Permendikbud No. 23 Tahun 2015).
2. Meningkatkan kemampuan literasimelalui kegiatan menanggapi
buku pengayaan.
3. Meningkatkan kemampuan literasi disemua mata pelajaran: menggunakanbuku pengayaan dan strategimembaca di semua mata pelajaran.
PEMBIASAAN
PENGEMBANGAN
PEMBELAJARAN
1
2
3
28Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
1. Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang
menyenangkan di ekosistem sekolah
Pembiasaan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat terhadap bacaan dan
terhadap kegiatan membaca dalam diri warga sekolah. Penumbuhan minat
baca merupakan hal fundamental bagi pengembangan kemampuan literasi
peserta didik.
2. Tahap ke-2: Pengembangan minat baca untuk
meningkatkan kemampuan literasi
Kegiatan literasi pada tahap ini bertujuan mengembangkan kemampuan
memahami bacaan dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi,
berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif melalui
kegiatan menanggapi bacaan pengayaan (Anderson & Krathwol, 2001).
3. Tahap ke-3: Pelaksanaan pembelajaran berbasis literasi
Kegiatan literasi pada tahap pembelajaran bertujuan mengembangkan
kemampuan memahami teks dan mengaitkannya dengan pengalaman
pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara
kreatif melalui kegiatan menanggapi teks buku bacaan pengayaan dan
buku pelajaran (cf. Anderson & Krathwol, 2001). Dalam tahap ini ada
tagihan yang sifatnya akademis (terkait dengan mata pelajaran). Kegiatan
membaca pada tahap ini untuk mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013
yang mensyaratkan peserta didik membaca buku nonteks pelajaran yang
dapat berupa buku tentang pengetahuan umum, kegemaran, minat khusus,
atau teks multimodal, dan juga dapat dikaitkan dengan mata pelajaran
tertentu sebanyak 6 buku bagi siswa SD, 12 buku bagi siswa SMP, dan 18
buku bagi siswa SMA/SMK. Buku laporan kegiatan membaca pada tahap
pembelajaran ini disediakan oleh wali kelas.
Pada Tabel 3.1 berikut dipaparkan tahap dan kegiatan literasi sekolah.
29Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Tabel 3.1 Fokus Kegiatan dalam Tahapan Literasi Sekolah
TAHAPAN KEGIATAN
PEMBIASAAN(belum ada tagihan)
1. Lima belas menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran melalui kegiatan membacakan buku dengan nyaring (read aloud) atau seluruh warga sekolah membaca dalam hati (sustained silent reading).
2. Membangun lingkungan isik sekolah yang kaya literasi, antara lain: (1) menyediakan perpustakaan sekolah, sudut baca, dan area baca yang nyaman; (2) pengembangan sarana lain (UKS, kantin, kebun sekolah); dan (3) penyediaan koleksi teks cetak, visual, digital, maupun multimodal yang mudah diakses oleh seluruh warga sekolah; (4) pembuatan bahan kaya teks (print-rich materials)
PENGEMBANGAN(ada tagihan sederhana untuk penilaian non-akademik)
1. Lima belas menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran melalui kegiatan membacakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati, membaca bersama, dan/atau membaca terpandu diikuti kegiatan lain dengan tagihan non-akademik, contoh: membuat peta cerita (story map), menggunakan graphic organizers, bincang buku.
2. Mengembangkan lingkungan isik, sosial, afektif sekolah yang kaya literasi dan menciptakan ekosistem sekolah yang menghargai keterbukaan dan kegemaran terhadap pengetahuan dengan berbagai kegiatan, antara lain: (a) memberikan penghargaan kepada capaian perilaku positif, kepedulian sosial, dan semangat belajar peserta didik; penghargaan ini dapat dilakukan pada setiap upacara bendera Hari Senin dan/atau peringatan lain; (b) kegiatan-kegiatan akademik lain yang mendukung terciptanya budaya literasi di sekolah (belajar di kebun sekolah, belajar di lingkungan luar sekolah, wisata perpustakaan kota/daerah dan taman bacaan masyarakat, dll.)
3. Pengembangan kemampuan literasi melalui kegiatan di perpustakaan sekolah/perpustakaan kota/daerah atau taman bacaan masyarakat atau sudut baca kelas dengan berbagai kegiatan, antara lain: (a) membacakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati membaca bersama (shared reading), membaca terpandu (guided reading), menonton ilm pendek, dan/atau membaca teks visual/digital (materi dari internet); (b) peserta didik merespon teks (cetak/visual/digital), iksi dan noniksi, melalui beberapa kegiatan sederhana seperti menggambar, membuat peta konsep, berdiskusi, dan berbincang tentang buku.
30Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
TAHAPAN KEGIATAN
PEMBELAJARAN(ada tagihan akademik)
1. Lima belas menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran melalui kegiatan membacakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati, membaca bersama, dan/atau membaca terpandu diikuti kegiatan lain dengan tagihan non-akademik dan akademik.
2. Kegiatan literasi dalam pembelajaran, disesuaikan dengan tagihan akademik di kurikulum 2013.
3. Melaksanakan berbagai strategi untuk memahami teks dalam semua mata pelajaran (misalnya, dengan menggunakan graphic organizers).
4. Menggunakan lingkungan isik, sosial afektif, dan akademik disertai beragam bacaan (cetak, visual, auditori, digital) yang kaya literasi di luar buku teks pelajaran untuk memperkaya pengetahuan dalam mata pelajaran.
Dalam tahap pembelajaran, semua mata pelajaran sebaiknya menggunakan
ragam teks (cetak/visual/digital) yang tersedia dalam buku-buku pengayaan atau
informasi lain di luar buku pelajaran. Guru diharapkan bersikap kreatif dan proaktif
mencari referensi pembelajaran yang relevan.
D. Strategi
1. Strategi Umum
Peningkatan kapasitas di semua lini, mulai dari tingkat pusat, provinsi,
kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan, dapat dilakukan melalui pelaksanaan
GLS di lingkungan satuan pendidikan dasar dan menengah mulai dari SD, SMP,
SMA, SMK, dan SLB (SDLB, SMPLB, SMALB) dengan strategi, antara lain:
a. menggulirkan dan menggelorakan gerakan literasi di sekolah;
b. menyiapkan kebijakan pimpinan dari pusat sampai daerah dengan program
GLS yang jelas, terukur, dan dapat dilaksanakan hingga ke tingkat satuan
pendidikan;
c. meningkatkan kapasitas sekolah untuk mengembangkan kemampuan
literasi warga sekolah, melalui:
1) sarana prasarana/lingkungan sekolah, perpustakaan, dan buku
31Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
2) sumber daya manusia (pengawas, kepala sekolah, guru, pustakawan,
komite sekolah)
d. menyemai gerakan literasi akar rumput;
e. meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya GLS;
f. memberikan apresiasi atas capaian literasi berupa pemberian penghar-
gaan literasi (Adiliterasi); dan
g. melaksanakan monitoring dan evaluasi untuk peningkatan berkelanjutan
bagi GLS.
2. Strategi Pelaksanaan
Strategi pelaksanaan dapat dipaparkan pada Bagan 3.5 berikut.
Bagan 3.5 Strategi Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah
Kapasitas Warga Sekolah
Perencanaan dan Penganggaranyang Baik Berdasarkan
Analisis Kebutuhan
Idealnya Mencapai StandarNasional Pendidikan,Minimal Memenuhi Pelayanan Standar
Minimal
Pelatihan dan Pendampingan
1. Pelaksanaan Pembelajaran2. Pembiasaan3. Pengelolaan Sarana dan Prasarana
Pelatihan Kepsek
Pelatihan Guru
Sosialisasi Komite Sekolah
Pustakawan
Pelatihan TenagaKependidikan
Sosialisasi
Pel
aks
anaan G
LS
Kemendikbud, Dinas Pendidikan Provinsi,Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
Kapasitas PemangkuKepentingan
Ketersediaan Sarana dan Prasarana
Tanggung JawabPemda dan Sekolah
32Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Di tingkat sekolah, kesuksesan GLS ditentukan oleh adanya dukungan
pemerintah daerah dalam melakukan sosialisasi, meningkatnya peran dan
kapasitas warga sekolah (kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, pustakawan,
dan Komite Sekolah). Peningkatan kapasitas ini dapat dilakukan melalui pelatihan
dan pendampingan. Selain itu, keberlangsungan program GLS juga ditentukan
oleh ketersediaan sarana dan prasarana sekolah yang menunjang kegiatan GLS.
E. Peningkatan Kapasitas
Peningkatan kapasitas di semua lini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan:
1. Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan dengan tujuan agar program dan kebijakan GLS
tersampaikan ke publik secara masif dan efektif. Semua lapisan masyarakat
dapat dengan mudah mengakses informasi penting seputar kegiatan literasi.
Masyarakat perlu dilibatkan dalam kegiatan sosialisasi tersebut. Oleh karena itu,
kegiatan sosialisasi sebaiknya dikemas semenarik mungkin untuk memikat minat
masyarakat.
2. Lokakarya
Lokakarya diperlukan untuk menyamakan persepsi dan menentukan langkah
bersama dalam gerakan literasi. Forum ini mengundang sejumlah pihak terkait
dan berkompeten untuk membahas berbagai persoalan dari sudut pandang ilmiah
mengenai problematika literasi dan cara terbaik penanganannya. Lokakarya dapat
menghasilkan rekomendasi dan kesepakatan di bidang literasi yang mengikat
semua pihak untuk menjalankannya secara konsisten.
3. Pendampingan
Pendampingan adalah upaya untuk memastikan keberlangsungan program
literasi sekolah terus-menerus dilaksanakan. Pendampingan dilakukan melalui dua
cara, yaitu pendampingan teknis dan pendampingan operasional.
a) Pendampingan teknis berupa penguatan kapasitas guru dan tenaga
kependidikan melalui pelatihan-pelatihan dan semiloka, serta peningkatan
minat baca dan kemampuan literasi guru.
33Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
b) Pendampingan operasional diberikan dalam bentuk saran-saran kegiatan,
perbaikan program, pemecahan masalah, dan/atau petunjuk langsung
yang diberikan sebagai bagian dari kegiatan harian GLS. Pendampingan
operasional biasanya berupa kunjungan ke sekolah untuk melihat langsung
pelaksanaan GLS dan berdiskusi dengan kepala sekolah, pendidik, dan
tenaga kependidikan termasuk pustakawan.
Idealnya, pendampingan teknis dan pendampingan operasional diberikan
oleh orang yang sama. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar materi-materi
yang diberikan dalam kegiatan pendampingan teknis dapat diimplementasikan
dalam kegiatan harian sekolah. Akan tetapi, seandainya hal ini tidak mungkin
dilakukan, pendampingan operasional dapat diberikan oleh pengawas, anggota
tim LPMP, atau anggota Satgas GLS.
4. Penyediaan Sarana dan Prasarana serta Pendanaan
Agar berjalan efektif dan komprehensif, gerakan literasi membutuhkan
dukungan sarana dan prasarana yang memadai. Dukungan ini dapat berupa
dokumen, infrastruktur, program, dan produk pendukung lainnya. Alokasi anggaran
yang memadai sangat penting untuk mendukung GLS.
Penyediaan sarana dan prasarana dapat berasal dari pemerintah pusat,
provinsi, kabupaten/kota, CSR, dan pemangku kepentingan lainnya. Adapun dana
pelaksanaan GLS dapat disediakan dari dana bantuan operasional sekolah (BOS).
F. Target Pencapaian
Program literasi sekolah diharapkan dapat menciptakan ekosistem sekolah
yang literat, yang akhirnya, menumbuhkan budi pekerti peserta didik. Ekosistem
sekolah yang literat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
a) menyenangkan dan ramah anak, sehingga menumbuhkan semangat
warganya dalam belajar;
b) semua warganya menunjukkan empati, peduli, dan menghargai sesama;
c) menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan;
d) memampukan warganya untuk cakap berkomunikasi dan dapat berkon-
tribusi kepada lingkungan sosialnya; dan
e) mengakomodasi partisipasi seluruh warga dan lingkungan eksternal
sekolah.
34Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Ekosistem sekolah yang diharapkan di setiap jenjang dipaparkan pada Tabel
3.2 berikut.
Tabel 3.2 Ekosistem Sekolah yang Diharapkan pada Setiap Jenjang Pendidikan
SD Ekosistem SD yang literat adalah kondisi yang menanamkan dasar-dasar sikap dan perilaku empati sosial dan cinta kepada pengetahuan.
SMP Ekosistem SMP yang literat adalah kondisi yang memungkinkan pengembangan sikap kritis, kreatif, perilaku empati sosial, dan cinta kepada pengetahuan.
SMA Ekosistem SMA yang literat adalah kondisi yang memungkinkan pengembangan sikap kritis, kreatif, inovatif, berjiwa wirausaha, perilaku empati sosial, dan cinta kepada pengetahuan.
SMK Ekosistem SMK yang literat adalah kondisi yang memungkinkan pengembangan sikap kritis, kreatif, inovatif, berjiwa wirausaha, perilaku empati sosial, cinta kepada pengetahuan, dan siap kerja.
SLB Ekosistem SLB yang literat adalah kondisi yang memungkinkan pengembangan sikap dan perilaku yang baik, berempati sosial, terampil, dan mandiri.
Kemampuan literasi ditumbuhkan secara berkesinambungan pada satuan
pendidikan SD, SMP, dan SMA/SMK, dan SLB. Perkembangan teknologi dan media
menuntut kemampuan literasi peserta didik yang terintegrasi, dengan fokus kepada
aspek kreativitas, kemampuan komunikasi, kemampuan berpikir kritis, dan satu
hal yang penting adalah kemampuan untuk menggunakan media secara aman
(media safety) seperti yang dipaparkan pada Tabel 3.3 berikut.
35Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Tabel 3.3 Peta Kompetensi Literasi Sekolah (Warsnop, 2000)
Jenjang Komunikasi Berpikir Kritis Keamanan Media (Media Safety)
SD/SDLB kelas
rendah
Mengartikulasikan empati terhadap tokoh cerita
Memisahkan fakta dan iksi
Mampu menggunakan teknologi dengan bantuan/pendampingan orang dewasa
SD/SDLB kelas tinggi
Mempresentasikan cerita dengan efektif
Mengetahui jenis tulisan dalam media dan tujuannya
Mengetahui batasan unsur dan aturan kegiatan sesuai konten
SMP/ SMPLB
Bekerja dalam tim, mendiskusikan informasi dalam media
Menganalisis dan mengelola informasi dan memahami relevansinya
Memahami etika dalam menggunakan teknologi dan media sosial
SMA/ SMK/ SMALB
Mempresentasikan analisis dan mendiskusikannya
Menganalisis stereotip/ideologi dalam media
Memahami landasan etika dan hukum/aturan teknologi
Kompetensi berjenjang di atas dicapai melalui kegiatan yang relevan di
satuan pendidikan SD/SDLB, SMP/SMPLB, dan SMA/SMK/SMLB. Fokus kegiatan di
tiap-tiap jenjang perlu melibatkan aspek-aspek menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis yang didukung oleh jenis bacaan dan sarana/prasarana yang sesuai
dengan kegiatan di setiap jenjang.
Keterampilan reseptif (menyimak dan membaca) disajikan pada Tabel 3.4
berikut ini. Adapun keterampilan produktif (berbicara dan menulis) tidak disajikan
karena bergantung pada target tiap sekolah.
36Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Tabel 3.4 Keterampilan Reseptif, Kegiatan, Jenis Bacaaan, dan Sarana Prasarana Pendukungnya
Jenjang Menyimak Membaca Kegiatan Jenis Bacaan
Sarana & Prasarana
SD kelas rendah
Menyimak cerita untuk menumbuh-kan empati
Mengenali dan membuat inferensi, prediksi, terhadap gambar
Membacakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati
Buku cerita bergambar, buku tanpa teks, buku dengan teks sederhana, baik iksi maupun noniksi
Sudut Buku Kelas, Perpustakaan, Area Baca
SD kelas tinggi
Menyimak (lebih lama) untuk memahami isi bacaan
Memahami isi bacaan dengan berbagai strategi (mengenali jenis teks, membuat inferensi, koneksi dengan pengalaman/ teks lain, dll)
Memba-cakan buku dengan nyaring, membaca dalam hati
Buku cerita bergambar, buku bergambar kaya teks, buku novel pemula, baik dalam bentuk cetak/digital/visual
Sudut Buku Kelas, Perpustakaan, Area Baca
SMP Menyimak untuk memahami makna implisit dari cerita/pen-dapat penulis
Memahami isi bacaan dengan berbagai strategi (mengenali jenis teks, membuat inferensi, koneksi dengan pengalaman/teks lain, dll.
Membacakan buku dengan nyaring, membaca senyap
Semua jenis teks cetak/visual/digital yang sesuai dengan peruntukan usia SMP
Sudut Buku Kelas, Perpustakaan, Area Baca
37Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Jenjang Menyimak Membaca Kegiatan Jenis Bacaan
Sarana & Prasarana
SMA/SMK Menyimak cerita dan melakukan analisis kritis terhadap tujuan/ pendapat penulis
Mengembang- kan pemahaman terhadap bacaan menurut tujuan penulisan, konteks, dan ideologi dalam penulisannya
Memba-cakan buku dengan nyaring, membaca senyap
Semua jenis teks cetak/ visual/digital yang sesuai dengan peruntukan usia SMA/SMK
Sudut Buku Kelas, Perpustakaan, Area Baca
38Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
39Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
BAB IVMONITORING DAN EVALUASI
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara berjenjang
oleh semua pemangku kepentingan sesuai dengan perannya dalam strategi
pelaksanaan literasi pada tiap jenjang pendidikan. Selain itu, monitoring dan
evaluasi juga dilakukan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Pasal 2 dan Pasal 3).
Masing-masing pemangku kepentingan melaksanakan monitoring dan
evaluasi dengan jangkauan yang berbeda sebagai berikut:
A. Kementerian Pendidikan danKebudayaan
Melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program di tingkat
provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan. Dalam struktur Kemendikbud,
unit yang melaksanakan monitoring dan evaluasi terkait GLS adalah Direktorat
Teknis dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan.
Hal yang dimonitor dan dievaluasi meliputi:
1. keefektifan sosialisasi di tingkat provinsi, kabupaten/kota, satuan pendidikan
dan masyarakat;
2. pemahaman dan dukungan pemangku kepentingan tingkat provinsi,
kabupaten/kota, satuan pendidikan dan masyarakat terhadap konsep GLS;
3. keefektifan kegiatan pelatihan guru terutama dampak pelatihan terhadap
kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran
yang mampu meningkatkan kemampuan literasi peserta didik.
Hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi akan dijadikan masukan untuk
memperbaiki pelaksanaan program di tahap berikutnya, terutama terkait dengan
desain induk pelaksanaan GLS pada tiap jenjang pendidikan, rencana, model, dan
40Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
pelaksanaan sosialisasi pada semua pemangku kepentingan dan pelatihan guru.
B. Dinas Pendidikan Provinsi
Melaksanakan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan program dan
kegiatan literasi di tingkat provinsi dan di lingkungan dinas pendidikan kabupaten/
kota.
Hal yang dimonitor dan dievaluasi, meliputi:
1. apabila ada kebijakan daerah terkait GLS, maka perlu dilakukan monitoring
dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan tersebut (terhadap program
dan kegiatan yang dijabarkan merujuk kebijakan tersebut);
2. dampak pelaksanaan sosialiasi kepada pemangku kepentingan tingkat
provinsi dan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota di wilayahnya
masing-masing; dan
3. dampak pelaksanaan kegiatan-kegiatan terkait GLS di tingkat provinsi
terhadap kemampuan literasi warga sekolah.
Hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi akan dijadikan masukan untuk
memperbaiki pelaksanaan program di tahap berikutnya, terutama terkait dengan
pelaksanaan program dan kegiatan untuk mengimplementasikan kebijakan pusat
dan kebijakan daerah, pelaksanaan sosialisasi pemangku kepentingan tingkat
provinsi dan dinas pendidikan kabupaten/kota.
C. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
Melaksanakan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan program dan
kegiatan GLS di tingkat kabupaten/kota, satuan pendidikan, dan masyarakat.
Hal yang dimonitor dan dievaluasi meliputi:
1. apabila ada kebijakan daerah terkait GLS, maka perlu dilakukan monitoring
dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan tersebut (terhadap program
dan kegiatan yang dijabarkan merujuk kebijakan tersebut);
2. dampak pelaksanaan sosialisasi terhadap pemahaman dan dukungan
pemangku kepentingan tingkat kabupaten/kota, satuan pendidikan, dan
41Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
masyarakat;
3. efektivitas kegiatan pendampingan pelatihan guru terutama dampak
pelatihan terhadap kemampuan guru dalam merencanakan dan
melaksanakan pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan
literasi peserta didik; dan
4. dilaksanakannya kegiatan 15 menit membaca setiap hari (dapat disesuaikan
dengan kondisi sekolah); terbentuknya TLS; dan dilaksanakannya kegiatan
untuk meningkatkan kesadaran orang tua peserta didik terhadap GLS.
Hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi akan dijadikan masukan untuk
memperbaiki pelaksanaan program di tahap berikutnya, terutama terkait dengan
pelaksanaan program dan kegiatan untuk mengimplementasikan kebijakan pusat
dan kebijakan daerah, pelaksanaan sosialisasi pemangku kepentingan tingkat
kabupaten/kota, satuan pendidikan, dan masyarakat.
D. Satuan Pendidikan
Melaksanakan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan program dan
kegiatan literasi di sekolah masing-masing.
Hal yang dimonitoring dan dievaluasi meliputi:
1. pemenuhan indikator SPM Dikdas dan efektivitas upaya pemenuhan-
nya terutama ketersediaan 10 judul buku referensi dan 100 judul buku
pengayaan dan prasarana lain, serta pengelolaan dan pemanfaatannya;
2. keefektifan pelaksanaan pelatihan guru untuk meningkatkan kemampuan
guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang mampu
meningkatkan kemampuan literasi peserta didik;
3. keefektifan dan dampak pemanfaatan sarana dan prasarana sekolah dengan
maksimal untuk memfasilitasi pembelajaran;
4. keefektifan dan dampak pengelolaan perpustakaan sekolah dengan baik
terhadap pembelajaran dan kemampuan literasi warga sekolah;
5. keefektifan dan dampak pelaksanaan inventarisasi semua prasarana yang
dimiliki sekolah (salah satunya buku) terhadap pelayanan sekolah;
6. keefektifan dan dampak adanya ruang-ruang baca terhadap kemampuan
literasi warga sekolah dan budaya sekolah;
7. keefektifan dan dampak pelaksanaan kegiatan 15 menit membaca sebelum
42Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
pembelajaran terhadap minat dan budaya baca warga sekolah;
8. keefektifan dan dampak pembentukan TLS dalam pelaksanaan berbagai
kegiatan GLS yang dilaksanakan sekolah;
9. keefektifan dan dampak pelaksanaan kegiatan yang melibatkan orang tua
dan masyarakat dengan melihat tindakan yang diberikan kepada peserta
didik oleh orang tua dan masyarakat untuk menindaklanjuti perlakuan yang
diterima peserta didik di sekolah; dan
10. keefektifan dan dampak pelaksanaan kegiatan yang dilakukan dengan pihak
lain terhadap kemampuan literasi warga sekolah.
43Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
BAB VPENUTUP
Desain Induk GLS ini diharapkan dapat memberikan fondasi dan arahan
konseptual untuk memahami bagaimana sebaiknya GLS dilaksanakan, mulai dari
tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan.
Desain induk ini diharapkan berkembang secara kreatif dan inovatif dari
tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota hingga masyarakat pegiat literasi.
Untuk mendukung desain induk ini dilengkapi dengan panduan praktis dalam
bentuk media: cetak, elektronik, dan digital (infograis, poster, dan videograis) untuk memandu guru, tenaga kependidikan, kepala sekolah, warga sekolah dan
pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan kegiatan GLS.
Akhir kata, terbitnya Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah Pendidikan Dasar
dan Menengah ini diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas kepada
semua pihak untuk berperan aktif dalam menyukseskan GLS.
Pertanyaan terkait pelaksanaan GLS dapat dikirimkan melalui e-mail:
Untuk keperluan diskusi melalui e-mail, dipersilakan bergabung dengan milis
GLS-Kemendikbud:
http://groups.yahoo.com/group/GLS-Kemendikbud
44Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
GLOSARIUM
Graphic Organizer: Peta konsep pemahaman dari bacaan yang disajikan dalam
bentuk diagram atau bagan.
Membaca bersama (shared reading): Pendidik membaca buku nyaring bersama-
sama dengan peserta didik dan meneruskannya dengan diskusi untuk
meningkatkan pemahaman mereka terhadap bacaan.
Membaca dalam hati (sustained silent reading): Membaca buku secara mandiri
tanpa bersuara.
Membacakan nyaring (read aloud): Pendidik membacakan buku kepada anak
dengan volume suara yang dapat didengar oleh peserta didik.
Membaca terpandu (guided reading): Pendidik membimbing peserta didik
membaca, baik secara individual ataupun dalam kelompok kecil, untuk
meningkatkan pemahaman mereka terhadap bacaan.
Peta cerita: Peta pemahaman terhadap struktur dan elemen-elemen cerita yang
disajikan dalam bentuk diagram atau bagan.
45Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
REFERENSI
Beers, C. S., Beers, J. W., & Smith, J. O. (2009). A Principal’s Guide to Literacy
Instruction. New York: Guilford Press.
Clay, M. M. (2001). Change Over Time in Children’s Literacy Development.
Portsmouth: Heinemann.
Ferguson, B. Information Literacy. A Primer for Teachers, Librarians, and other
Informed People. www.bibliotech.us/ pdfs/InfoLit.pdf
Kemendikbud. 2013. Permendikbud No.23 Tahun 2013 tentang Standar
Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar.
Mullis, I. V. S., Martin, M. O., Foy, P., & Drucker, K. T. (2012). PIRLS 2011
International Results in Reading.
http://doi.org/10.1097/01.tp.0000399132.51747.71
OECD. (2014). PISA 2012 Results in Focus. Programme for International Student
Assessment, 1–44.
http://doi.org/10.1787/9789264208070-en
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 43
Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi
Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara
dan Bahasa Daerah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2007 tentang Standar
Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/
MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).
46Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan 2015-2019.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning
Organization. New York: Currency Doubleday.
Warsnop, C. M. (2000). Media Literacy through Critical Thinking. Washington
State Center for Excellence in Media Literacy.
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat 3.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Perpustakaan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Unesco. 2003. The Prague Declaration. “Towards an Information Literate
Society.”
Unesco. 2005. Beacons of The Information Society. “The Alexandria Proclamation
On Information Literacy and Lifelong Learning”.
Unesco. 2006. Literacy for Life. Education for All Global Monitoring Report.
47Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2015
TENTANG
PENUMBUHAN BUDI PEKERTI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa setiap sekolah seharusnya menjadi tempat yang
nyaman dan inspiratif bagi siswa, guru, dan/atau
tenaga kependidikan;
b. bahwa pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah
adalah cerminan dari nilai-nilai Pancasila dan seharusnya
menjadi bagian proses belajar dan budaya
setiap sekolah;
c. bahwa pendidikan karakter seharusnya menjadi gerakan
bersama yang melibatkan pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat, dan/atau orang tua;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang
Penumbuhan Budi Pekerti;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Siste
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003
48Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5105) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 112,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5157);
3. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi
Kementerian Negara;
4. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan;
5. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 mengenai Pem-
bentukan Kabinet Indonesia Kerja Periode 2014-2019;
Pasal 2
PBP bertujuan untuk:
1. menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan bagi siswa,
guru, dan tenaga kependidikan;
2. menumbuhkembangkan kebiasaan yang baik sebagai bentuk pendidikan karak-
ter sejak di keluarga, sekolah, dan masyarakat;
3. menjadikan pendidikan sebagai gerakan yang melibatkan pemerintah, peme-
rintah daerah,masyarakat, dan keluarga; dan/atau
4. menumbuh kembangkan lingkungan dan budaya belajar yang serasi antara
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Pasal 3
Pelaksana PBP adalah sebagai berikut:
a. siswa;
b. guru;
c. tenaga kependidikan;
d. orang tua/wali;
e. komite sekolah;
f. alumni; dan/atau
g. pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pembelajaran di sekolah.
49Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Pasal 4
(1) PBP dilaksanakan sejak hari pertama masuk sekolah untuk jenjang sekolah
dasar atau sejak hari pertama masuk sekolah pada MOPDB untuk jenjang
sekolah menengah pertama, sekolahmenengah atas, sekolah menengah
kejuruan, dan sekolah pada jalur pendidikan khusus.
(2) PBP dilaksanakan melalui kegiatan pada MOPDB, pembiasaan, interaksi dan
komunikasi, serta kegiatan saat kelulusan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) PBP dilaksanakan:
a. dalam bentuk kegiatan umum, harian, mingguan, bulanan, tengah tahunan,
dan/atau tahunan;
b. melalui interaksi dan komunikasi antara sekolah, keluarga, dan/atau masya-
rakat.
(4) Pelaksanaan PBP yang melibatkan pihak terkait di luar sekolah disesuaikan
dengan kondisi sekolah dan mengikuti Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
(1) Pemantauan dan evaluasi kegiatan MOPDB dilaksanakan pada awal tahun
pelajaran baru olehpemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Pemantauan dan evaluasi kegiatan pembiasaan serta interaksi dan komunikasi
di sekolah dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun oleh
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pemantauan dan evaluasi kegiatan saat kelulusan dilaksanakan pada akhir
tahun pelajaran oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 6
Pembiayaan atas penyiapan PBP bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan/atau
c. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
50Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Pasal 7
Penumbuhan Budi Pakerti pada satuan pendidikan anak usia dini dan pendidikan
masyarakat agar menyesuaikan dengan kondisi masing-masing.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 21Tahun 2015 tentang Gerakan Pembudayaan Karakter di
Sekolah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
51Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 2015
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA,
TTD.
ANIES BASWEDAN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Juli 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA;
TTD
YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1072
Salinan sesuai dengan aslinya,
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
TTD
Ani Nurdiani Azizah
NIP. 195812011986032001
52Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
SALINAN
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIKI NDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2015
TENTANG
PENUMBUHAN BUDI PEKERTI
A. Pengantar
Pembudayaan Budi Pekerti yang selanjutnya disingkat PBP adalah kegiatan
pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah yang dimulai berjenjang dari mulai
sekolah dasar; untuk jenjang SMP,SMA/SMK, dan sekolah pada jalur pendidikan
khusus dimulai sejak dari masa orientasi peserta didik baru sampai dengan
kelulusan.
Dasar pelaksanaan PBP didasarkan pada pertimbangan bahwa masih
terabaikannya implementasi nilai-nilai dasar kemanusiaan yang berakar dari
Pancasila yang masih terbatas pada pemahaman nilai dalam tataran konseptual,
belum sampai mewujud menjadi nilai aktual dengan card yang menyenangkan di
lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Pelaksanaan PBP didasarkan pada nilai-nilai dasar kebangsaan dan
kemanusiaan yang meliputi pembiasaan untuk menumbuhkan:
a. internalisasi sikap moral dan spiritual, yaitu mampu menghayati hubungan
spiritual dengan Sang Pencipta yang diwujudkan dengan sikap moral untuk
menghormati sesama mahluk hidup dan alam sekitar;
b. keteguhan menjaga semangat kebangsaan dan kebhinnekaan untuk merekat-
kan persatuan bangsa, yaitu mampu terbuka terhadap perbedaan bahasa,
suku bangsa, agama, dan golongan, dipersatukan oleh keterhubungan untuk
mewujudkan tindakan bersama sebagai satu bangsa, satu tanah air dan
berbahasa bersama bahasa Indonesia;
c. interaksi sosial positif antara peserta didik dengan igur orang dewasa di lingkungan sekolah dan rumah, yaitu mampu dan mau menghormati guru,
kepala sekolah, tenaga kependidikan,warga masyarakat di lingkungan sekolah,
dan orang tua;
d. interaksi sosial positif antar peserta didik, yaitu kepedulian terhadap kondisi isik
53Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
dan psikologis antar teman sebaya, adik kelas, dan kakak kelas;
e. memelihara lingkungan sekolah, yaitu melakukan gotong-royong untuk menjaga
keamanan,ketertiban, kenyamanan, dan kebersihan lingkungan sekolah;
f. penghargaan terhadap keunikan potensi peserta didik untuk dikembangkan,
yaitu mendorong peserta didik gemar membaca dan mengembangkan minat
yang sesuai dengan potensi bakatnya untuk memperluas cakrawala kehidupan
di dalam mengembangkan dirinya sendiri;
g. penguatan peran orang tua dan unsur masyarakat yang terkait, yaitu melibatkan
peran aktif orang tua dan unsur masyarakat untuk ikut bertanggung jawab
mengawal kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah.
B. Metode Pelaksanaan
Metode pelaksanaan kegiatan PBP untuk semua jenjang pendidikan
disesuaikan dengan tahapan usia perkembangan peserta didik yang berjenjang
dari mulai sekolah dasar; untuk jenjang SMP,SMA/SMK, dan sekolah pada jalur
pendidikan khusus dimulai sejak dari masa orientasi peserta didik baru sampai
dengan kelulusan.
1) Sekolah Dasar
Metode pelaksanaan kegiatan PBP untuk jenjang pendidikan sekolah dasar
masih merupakan masa transisi dari masa bermain di pendidikan anak usia
dini (taman kanak-kanak akhir) memasuki situasi sekolah formal. Metode
pelaksanaan dilakukan dengan mengamati dan meniru perilaku positif guru dan
kepala sekolah sebagai contoh langsung di dalam membiasakan keteraturan
dan pengulangan. Guru berperan juga sebagai pendamping untuk mendorong
peserta didik belajar mandiri sekaligus memimpin teman dalam aktivitas
kelompok, yaitu: bermain, bernyanyi, menari, mendongeng, melakukan
simulasi, bermain peran di dalam kelompok.
2) Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas/Kejuruan/Khusus
Metode pelaksanaan kegiatan PBP untuk jenjang SMP, SMA/SMK, dan sekolah
pada jalur pendidikan khusus dilakukan dengan kemandirian peserta didik
membiasakan keteraturan dan pengulangan, yang dimulai sejak dari masa
orientasi peserta didik baru, proses kegiatan ekstra kurikuler, intra kurikuler,
sampai dengan lulus.
54Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
C. Jenis Kegiatan
Jenis kegiatan PBP untuk semua jenjang pendidikan didasarkan pada tujuh
nilai-nilai dasar kemanusiaan yang tercantum pada poin A, yaitu jenis kegiatan
yang mengandung nilai-nilai internalisasi sikap moral dan spiritual; keteguhan
menjaga semangat kebangsaan dan kebhinnekaan untuk merekatkan persatuan
bangsa; memelihara lingkungan sekolah, yaitu melakukan gotong-royong untuk
menjaga keamanan, ketertiban, kenyamanan, dan kebersihan lingkungan sekolah;
interaksi sosial positif antar peserta didik; interaksi social positif antara peserta
didik dengan igur orang dewasa; penghargaan terhadap keunikan potensi peserta didik untuk dikembangkan; dan penguatan peran orang tua dan unsur masyarakat
yang terkait.
D. Cara Pelaksanaan
Seluruh pelaksanaan kegiatan PBP bersifat konstekstual, yaitu disesuaikan
dengan nilai-nilai muatan lokal daerah pada peserta didik sebagai upaya untuk
memperkuat nilai-nilai kemanusiaan. Seluruh pelaksanaan kegiatan PBP yang
melibatkan peserta didik dipimpin oleh seorang peserta didik secara bergantian
sebagai bagian dari penumbuhan karakter kepemimpinan.
E. Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Waktu pelaksanaan kegiatan PBP dapat dilakukan berdasarkan aktivitas
harian, mingguan, bulanan, tengah tahunan, dan akhir tahun; dan penentuan
waktunya dapat disesuaikan dengan kebutuhan konteks lokal di daerah masing-
masing.
55Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
F. Kegiatan Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti di Sekolah melalui pembiasaan-pembiasaan:
I. Menumbuhkembangkan Nilai-nilai Moral dan Spiritual
Mewujudkan nilai-nilai moral dalam perilaku sehari-hari. Nilai moral diajarkan
pada siswa, lalu guru dan siswa mempraktekkannya secara rutin hingga menjadi
kebiasaan dan akhirnya bisa membudaya.
Kegiatan wajib:
Guru dan peserta didik berdoa bersama sesuai dengan keyakinan masing-
masing, sebelum dan sesudah hari pembelajaran, dipimpin oleh seorang peserta
didik secara bergantian dibawah bimbingan guru.
Contoh-contoh pembiasaan baik yang dapat dilakukan oleh sekolah:
1. Contoh-contoh pembiasaan umum:
Membiasakan untuk menunaikan ibadah bersama sesuai agama dan
kepercayaannya baik dilakukan di sekolah maupun bersama masyarakat;
2. Contoh-contoh pembiasaan periodik:
Membiasakan perayaan Hari Besar Keagamaan dengan kegiatan yang
sederhanadan hikmat.
II. Menumbuhkembangkan Nilai-nilai Kebangsaan dan
Kebhinnekaan
Menumbuhkan rasa cinta tanah air dan menerima keberagaman sebagai
anugerah untuk bangsa Indonesia. Anugerah yang harus dirasakan dan disyukuri
sehingga manfaatnya bisa terasa dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan wajib:
1. Melaksanakan upacara bendera setiap hari Senin dengan mengenakan seragam
atau pakaian yang sesuai dengan ketetapan sekolah.
2. Melaksanakan upacara bendera pada pembukaan MOPDB untuk jenjang SMP,
56Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
SMA/SMK,dan sekolah pada jalur pendidikan khusus yang setara SMP/SMA/
SMK dengan peserta didik bertugas sebagai komandan dan petugas upacara
serta kepala sekolah/wakil bertindak sebagai inspektur upacara.
3. Sesudah berdoa setiap memulai hari pembelajaran, guru dan peserta didik
menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan/atau satu lagu wajib
nasional atau satu lagu terkini yang menggambarkan semangat patriotisme
dan cinta tanah air.
4. Sebelum berdoa saat mengakhiri hari pembelajaran, guru dan peserta didik
menyanyikan.
5. Satu lagu daerah (lagu-lagu daerah seluruh Nusantara).
Contoh-contoh pembiasaan baik yang dapat dilakukan oleh sekolah:
1. Contoh-contoh pembiasaan umum:
Mengenalkan beragam keunikan potensi daerah asal siswa melalui berbagai
mediadan kegiatan.
2. Contoh-contoh pembiasaan periodik:
Membiasakan perayaan Hari Besar Nasional dengan mengkaji atau
mengenalkan pemikiran dan semangat yang melandasinya melalui berbagai
media dan kegiatan.
III. Mengembangkan Interaksi Positif Antara Peserta Didik dengan
Guru dan Orang tua
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara sekolah, peserta didik dan
orang tua. Interaksi positif antara tiga pihak tersebut dibutuhkan untuk membangun
persepsi positif, saling pengertian dan saling dukung demi terwujudnya pendidikan
yang efektif.
Kegiatan wajib:
Sekolah mengadakan pertemuan dengan orang tua siswa pada setiap tahun
ajaran baru untuk mensosialisasikan: (a) visi; (b) aturan; (c) materi; dan (d)
rencana capaian belajar siswa agar orang tua turut mendukung keempat poin
tersebut.
Contoh-contoh pembiasaan baik yang dapat dilakukan oleh sekolah:
57Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
1. Contoh-contoh pembiasaan umum:
• Memberi salam, senyum dan sapaan kepada setiap orang di komunitas sekolah.• Guru dan tenaga kependidikan datang lebih awal untuk menyambut kedatangan
peserta didik sesuai dengan tata nilai yang berlaku.
2. Contoh-contoh pembiasaan periodik:
• Membiasakan peserta didik (dan keluarga) untuk berpamitan dengan orang tua/wali/penghuni rumah saat pergi dan lapor saat pulang, sesuai kebiasaan/
adat yang dibangun masing-masing keluarga.
• Secara bersama peserta didik mengucapkan salam hormat kepada guru se-belum pembelajaran dimulai, dipimpin oleh seorang peserta didik secara
bergantian.
IV. Mengembangkan Interaksi Positif Antar Peserta Didik
Peserta didik hadir di sekolah bukan hanya belajar akademik semata, tapi
juga belajar bersosialisasi. Interaksi positif antar peserta didik akan mewujudkan
pembelajaran dari rekan(peer learning) sekaligus membantu siswa untuk belajar
bersosialisasi.
Kegiatan wajib:
Membiasakan pertemuan di lingkungan sekolah dan/atau rumah untuk belajar
kelompok yang diketahui oleh guru dan/atau orang tua.
Contoh-contoh pembiasaan baik yang dapat dilakukan oleh sekolah:
1. Contoh-contoh pembiasaan umum:
Gerakan kepedulian kepada sesama warga sekolah dengan menjenguk warga
sekolah yang sedang mengalami musibah, seperti sakit, kematian, dan lainnya.
2. Contoh-contoh pembiasaan periodik:
Membiasakan siswa saling membantu bila ada siswa yang sedang mengalami
musibah atau kesusahan.
58Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
V. Merawat Diri dan Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah akan mempengaruhi warga sekolah baik dari aspek
isik, emosi, maupun kesehatannya. Karena itu penting bagi warga sekolah untuk menjaga keamanan, kenyamanan, ketertiban, kebersihan dan kesehatan
lingkungan sekolah serta diri.
Kegiatan wajib:
Melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan sekolah dengan membentuk
kelompok lintas kelas dan berbagi tugas sesuai usia dan kemampuan siswa.
Contoh-contoh pembiasaan baik yang dapat dilakukan oleh sekolah:
1. Contoh-contoh pembiasaan umum:
• Membiasakan penggunaan sumber daya sekolah (air, listrik, telepon, dsb) secara eisien melalui berbagai kampanye kreatif dari dan oleh siswa.
• Menyelenggarakan kantin yang memenuhi standar kesehatan.• Membangun budaya peserta didik untuk selalu menjaga kebersihan di bangku
nya masing-masing sebagai bentuk tanggung jawab individu maupun kebersih-
an kelas dan lingkungan sekolah sebagai bentuk tanggung jawab bersama.
2. Contoh-contoh pembiasaan periodik:
• Mengajarkan simulasi antri melalui baris sebelum masuk kelas, dan pada saat bergantian memakai fasilitas sekolah.
• Peserta didik melaksanakan piket kebersihan secara beregu dan bergantian regu.
• Menjaga dan merawat tanaman di lingkungan sekolah, bergilir antar kelas.• Melaksanakan kegiatan bank sampah bekerja sama dengan dinas kebersihan
setempat.
VI. Mengembangkan Potensi Diri Peserta Didik Secara Utuh
Setiap siswa mempunyai potensi yang beragam. Sekolah hendaknya
memfasilitasi secara optimal agar siswa bisa menemukenali dan mengembangkan
potensinya.
59Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
Kegiatan wajib:
1. Menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain
buku mata pelajaran (setiap hari).
2. Seluruh warga sekolah (guru, tenaga kependidikan, siswa) memanfaatkan wak-
tu sebelum memulai hari pembelajaran pada hari-hari tertentu untuk kegiatan
olah isik seperti senam kesegaran jasmani, dilaksanakan secara berkala dan rutin, sekurang-kurangnya satu kali dalam seminggu.
Contoh-contoh pembiasaan baik yang dapat dilakukan oleh sekolah:
1. Contoh-contoh pembiasaan umum:
• Peserta didik membiasakan diri untuk memiliki tabungan dalam berbagai bentuk (rekening bank, celengan, dan lainnya).
• Membangun budaya bertanya dan melatih peserta didik mengajukan perta-nyaan kritis dan membiasakan siswa mengangkat tangan sebagai isyarat akan
mengajukan pertanyaan;
• Membiasakan setiap peserta didik untuk selalu berlatih menjadi pemimpin dengan cara memberikan kesempatan pada setiap siswa tanpa kecuali, untuk
memimpin secara bergilir dalam kegiatan-kegiatan bersama/berkelompok;
2. Contoh-contoh pembiasaan periodik:
Siswa melakukan kegiatan positif secara berkala sesuai dengan potensi
dirinya.
VII. Pelibatan Orang Tua dan Masyarakat di Sekolah
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Karena itu, sekolah hendaknya
melibatkan orang tua dan masyarakat dalam proses belajar. Keterlibatan ini
diharapkan akan berbuah dukungan dalam berbagai bentuk dari orang tua dan
masyarakat.
Kegiatan wajib:
Mengadakan pameran karya siswa pada setiap akhir tahun ajaran dengan
mengundang orang tua dan masyarakat untuk memberi apresiasi pada siswa.
Contoh-contoh pembiasaan baik yang dapat dilakukan dan/atau didukung
oleh sekolah:
60Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
1. Contoh-contoh pembiasaan umum:
Orang tua membiasakan untuk menyediakan waktu 20 menit setiap
malam untuk bercengkerama dengan anak mengenai kegiatan di sekolah.
2. Contoh-contoh pembiasaan periodik:
• Masyarakat bekerja sama dengan sekolah untuk mengakomodasi kegiatan ke-relawanan oleh peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah yang ada
di lingkungan sekitar sekolah.
• Masyarakat dari berbagai profesi terlibat berbagi ilmu dan pengalaman kepada siswadi dalam sekolah.
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA,
TTD.
ANIES BASWEDAN
Salinan sesuai dengan aslinya.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
TTD.
Ani Nurdiani Azizah
NIP.195812011986032001
61Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
LAMPIRAN 2
Hasil PISA (Programme International Student Assesment) 2012
http://www.theguardian.com/news/datablog/2013/dec/03/pisa-results-country-
best-reading-maths-science
PISA Result 2012
Ranking Country name Maths, mean score PISA
2012
Reading, mean score PISA 2012
Science, mean score
in PISA 2012
0 OECD average 494 496 501
1 Shanghai-China 613 570 580
2 Singapore 573 542 551
3 Hong Kong-China 561 545 555
4 Taiwan 560 523 523
5 S.Korea 554 536 538
6 Macau-China 538 509 521
7 Japan 536 538 547
8 Liechtenstein 535 516 525
9 Switzerland 531 509 515
10 Netherlands 523 511 522
11 Estonia 521 516 541
12 Finland 519 524 545
13 Canada 518 523 525
14 Poland 518 518 526
15 Belgium 515 509 505
16 Germany 514 508 524
17 Vietnam 511 508 528
18 Austria 506 490 506
19 Australia 504 512 521
20 Ireland 501 523 522
21 Slovenia 501 481 514
22 Denmark 500 496 498
23 New Zealand 500 512 516
24 Czech Republic 499 493 508
62Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
PISA Result 2012
Ranking Country name Maths, mean score PISA
2012
Reading, mean score PISA 2012
Science, mean score
in PISA 2012
25 France 495 505 499
26 UK 494 499 514
27 Iceland 493 483 478
28 Latvia 491 489 502
29 Luxembourg 490 488 491
30 Norway 489 504 495
31 Portugal 487 488 489
32 Italy 485 490 494
33 Spain 484 488 496
34 Russian Federation 482 475 486
35 Slovak Republic 482 463 471
36 USA 481 498 497
37 Lithuania 479 477 496
38 Sweden 478 483 485
39 Hungary 477 488 494
40 Croatia 471 485 491
41 Israel 466 486 470
42 Greece 453 477 467
43 Serbia 449 446 445
44 Turkey 448 475 463
45 Romania 445 438 439
46 Cyprus 440 449 438
47 Bulgaria 439 436 446
48 UAE 434 442 448
49 Kazakhstan 432 393 425
50 Thailand 427 441 444
51 Chile 423 441 445
52 Malaysia 421 398 420
53 Mexico 413 424 415
54 Montenegro 410 422 410
55 Uruguay 409 411 416
56 Costa Rica 407 441 429
57 Albania 394 394 397
63Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
PISA Result 2012
Ranking Country name Maths, mean score PISA
2012
Reading, mean score PISA 2012
Science, mean score
in PISA 2012
58 Brazil 391 410 405
59 Argentina 388 396 406
60 Tunisia 388 404 398
61 Jordan 386 399 409
62 Colombia 376 403 399
63 Qatar 376 388 384
64 Indonesia 375 396 382
65 Peru 368 384 373
Cetak italic adalah negara-negara Asia yang menduduki peringkat atas,
sementara Indonesia berada di peringkat bawah.
64Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
LAMPIRAN 3
SATGAS GERAKAN LITERASI SEKOLAH KEMENDIKBUD
No Nama Institusi
1 Pangesti Wiedarti, M.Appl.Ling., Ph.D. (Ketua)
Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta
2 Wien Muldian, S.S. (Wakil Ketua) Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud
3 Dr. Susanti Sufyadi(Sekretaris)
Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar
Anggota
4 Dr. Dewi Utama Faizah Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar
5 Dwi Renya Roosaria, S.H. Reading Bugs-Komunitas Read Aloud Indonesia
6 Prof. Dr. Kisyani-Laksono Prodi Sastra Indonesia, Fakutas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya
7 Pratiwi Retnaningdyah, Ph.D. Prodi Sastra Inggris, Fakultas Bhasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya
8 Soie Dewayani, Ph.D. Yayasan Litara Bandung
9 Lanny Anggraini, S.Pd., M.A. Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar
10 Waluyo, S.S, M.A. Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar
11 Dra. Mujiyem, M.M. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama
12 Dra. Ninik Purwaning Setyorini, M.A. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama
13 Sulastri, S.Pd., M.Si. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama
14 Umi Syarifah Hidayati, S.Pd. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama
65Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
No Nama Institusi
15 Drs. Sutrianto, M.Pd. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas
16 Samsul Hadi, S.Si., M.A.Ed. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas
17 Nilam Rahmawan, S.Psi. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas
18 Drs. Heri Fitriono, M.A. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas
19 Ir. Nur Widyani, M.M. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
20 Mochamad Widiyanto, S.Pd., M.T. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
21 Dra.Endang Sadbudhy Rahayu, M.B.A. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
22 Hendro Kusumo, S.T., M.B.A. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
23 Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd. Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus
24 R. Achmad Yusuf SA, S.E., M.Ed. Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus
25 Rika Rismayati, S.Sos. Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus
26 Dr. Yasep Setiakarnawijaya, M.Kes. Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus
27 Yudistira Wahyu Widiasana, M.Si. Sekretariat Ditjen Dikdasmen
28 Satriyo Wibowo, M.A. Sekretariat Ditjen Dikdasmen
29 Katman, M.A. Sekretariat Ditjen Dikdasmen
30 Billy Antoro, S.Pd. Sekretariat Ditjen Dikdasmen
66Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah
4-1
BAB IV PENELITIAN TINDAKAN KELAS
1. Tujuan
Setelah selesai mempelajari materi ini, peserta dapat a. menjelaskan dasar hukum pelaksanaan PTK oleh guru. b. mengidentifikasi karakteristik penelitian tindakan kelas c. membedakan penelitian tindakan kelas dengan penelitian kelas d. menjelaskan manfaat penelitian tindakan kelas. e. menjelaskan keterbatasan dan persyaratan penelitian tindakan kelas f. menjelaskan cara-cara mengidentifikasi masalah g. merinci langkah-langkah untuk merencanakan perbaikan h. menjelaskan langkah-langkah melaksanakan PTK i. mendeskripsikan teknik untuk merekam dan menganalisis data j. menjelaskan langkah-langkah merencanakan tindak lanjut k. membuat proposal penelitian tindakan kelas l. menjelaskan sistematika sebuah laporan PTK. m. membedakan karya ilmiah penelitian dan nonpenelitian. n. merumuskan bagian-bagian tertentu dari sebuah artikel.
2. Uraian Materi
KONSEP DASAR PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Salah satu ciri guru yang berhasil (efektif) adalah bersifat reflektif. Guru yang demikian selalu belajar dari pengalaman, sehingga dari hari ke hari kinerjanya menjadi semakin baik (Arends, 2002). Di dalam melakukan refleksi, guru harus memiliki kemandirian dan kemampuan menafsirkan serta memanfaatkan hasil-hasil pengalaman membelajarkan, kemajuan belajar mengajar, dan informasi lainnya bagi penyempurnaan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar secara berkesinambungan.. Di sinilah letak arti penting penelitian tindakan kelas bagi guru. Kemajuan dan perkembangan IPTEKS yang demikian pesat harus diantisipasi melalui penyiapan guru-guru yang memiliki kemampuan meneliti, sekaligus mampu memperbaiki proses pembelajarannya.
Beberapa alasan lain yang mendukung pentingnya penelitian tindakan kelas sebagai langkah yang tepat untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu pendidikan, antara lain: (1) guru berada di garis depan dan terlibat langsung dalam proses tindakan perbaikan mutu pendidikan; (2) guru terlibat dalam pembentukan pengetahuan yang merupakan hasil penelitiannya, dan (3) melalui PTK guru menyelesaikan masalah, menemukan jawab atas masalahnya, dan dapat segera diterapkan untuk melakukan perbaikan.
1. Pengertian PTK
4-2
Berdasarkan berbagai sumber seperti Mettetal (2003); Kardi (2000), dan Nur (2001) Penelitian tindakan kelas (PTK) atau classroom action research (CAR) didefinisikan sebagai penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi meningkat. Dalam model penelitian ini, si peneliti (guru) bertindak sebagai pengamat (observer) sekaligus sebagai partisipan.
Dengan demikian PTK tidaklah sekedar penyelesaian masalah, melainkan juga terdapat misi perubahan dan peningkatan. PTK bukanlah penelitian yang dilakukan terhadap seseorang, melainkan penelitian yang dilakukan oleh praktisi terhadap kinerjanya untuk melakukan peningkatan dan perubahan terhadap apa yang sudah mereka lakukan. PTK bukanlah semata-mata menerapkan metode ilmiah di dalam pembelajaran atau sekedar menguji hipotesis, melainkan lebih memusatkan perhatian pada perubahan baik pada peneliti (guru) maupun pada situasi di mana mereka bekerja.
Dengan mengikuti alur berpikir itu, PTK menjadi penting bagi guru karena membantu mereka dalam hal: memahami lebih baik tentang pembelajarannya, mengembangkan keterampilan dan pengetahuan, sekaligus dapat melakukan tindakan untuk meningkatkan belajar siswanya. Saat seorang guru melaksanakan PTK berarti guru telah menjalankan misinya sebagai guru professional, yaitu (1) membelajarkan, (2) melakukan pengembangan profesi berupa penulisan karya ilmiah dari hasil PTK, sekaligus (3) melakukan ikhtiar untuk peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran sebagai bagian tanggungjawabnya. 2. Prinsip-Prinsip PTK
Prinsip-prinsip yang mendasari pelaksanaan PTK adalah sebagai berikut. a. PTK merupakan kegiatan nyata yang dilaksanakan di dalam situasi rutin. Oleh
karena itu peneliti PTK (guru) tidak perlu mengubah situasi rutin/alami yang terjadi. Jika PTK dilakukan di dalam situasi rutin hasil yang diperoleh dapat digunakan secara langsung oleh guru tersebut.
b. PTK dilakukan sebagai kesadaran diri untuk memperbaiki kinerja peneliti (guru) yang bersangkutan. Guru melakukan PTK karena menyadari adanya kekurangan di dalam kinerja dan karena itu ingin melakukan perbaikan.
c. Pelaksanaan PTK tidak boleh mengganggu komitmennya sebagai pengajar. Oleh karena itu, guru hendaknya memperhatikan tiga hal. Pertama, guru perlu menyadari bahwa dalam mencobakan sesuatu tindakan pembelajaran yang baru, selalu ada kemungkinan hasilnya tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Kedua, siklus tindakan dilakukan dengan selaras dengan keterlaksanaan kurikulum secara keseluruhan, khususnya dari segi pembentukan kompetensi yang dicantumkan di dalam Standar Isi, yang sudah dioperasionalkan ke dalam bentuk silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Ketiga, penetapan siklus tindakan dalam PTK mengacu pada penguasaan kompetensi yang ditargetkan
4-3
pada tahap perencanaan. Jadi pedoman siklus PTK bukan ditentukan oleh ketercukupan data yang diperoleh peneliti, melainkan mengacu kepada seberapa jauh tindakan yang dilakukan itu sudah dapat memperbaiki kinerja yang menjadi alasan dilaksanakan PTK tadi.
d. PTK dapat dimulai dengan melakukan analisis SWOT, yang dilakukan dengan menganalisis kekuatan (S=Strength) dan kelemahan (W=Weaknesses) yang dimiliki, dan factor eksternal (dari luar) yaitu peluang atau kesempatan yang dapat diraih ( O=Opprtunity), maupun ancaman (T=Treath). Empat hal tersebut bisa dipandang dari sudut guru yang melaksanakan maupun siswa yang dikenai tindakan.
e. Metode pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang berlebihan dari guru sehingga berpeluang mengganggu proses pembelajaran. PTK sejauh mungkin menggunakan prosedur pengumpulan data yang dapat ditangani sendiri oleh guru dan ia tetap aktif berfungsi sebagai guru yang bertugas secara penuh. Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknik-teknik perekaman yang cukup sederhana, namun dapat menghasilkan informasi yang cukup berarti dan dapat dipercaya.
f. Metode yang digunakan harus cukup reliabel, sehingga memungkinkan guru mengidentifikasi serta merumuskan hipotesis secara cukup meyakinkan, mengembangkan strategi yang dapat diterapkan pada situasi kelasnya, serta memperoleh data yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis yang dikemukakannya. Oleh karena itu, meskipun pada dasarnya memperbolehkan kelonggaran, namun penerapan asas-asas dasar tetap harus dipertahankan.
g. Masalah penelitian yang dipilih guru seharusnya merupakan masalah yang cukup merisaukannya. Pendorong utama pelaksanaan PTK adalah komitmen profesional untuk memberikan layanan yang terbaik kepada siswa.
h. Dalam menyelenggarakan PTK, guru harus selalu bersikap konsisten, memiliki kepedulian tinggi terhadap prosedur etika yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal ini penting ditekankan karena selain melibatkan anak-anak manusia, PTK juga hadir dalam suatu konteks organisasional, sehingga penyelenggaraannya harus mengindahkan tata-krama kehidupan berorganisasi.
i. Meskipun kelas merupakan cakupan tanggung jawab seorang guru, namun dalam pelaksanaan PTK sejauh mungkin harus digunakan classroom-exceeding perspective, dalam arti permasalahan tidak dilihat terbatas dalam konteks kelas dan/atau mata pelajaran tertentu, melainkan dalam perspektif misi sekolah secara keseluruhan.
3. Karakteristik PTK
Karakteristik PTK dapat diidentifikasi, yaitu sebagai berikut. a. Self-reflective inquiry, PTK merupakan penelitian reflektif, karena dimulai dari refleksi diri yang dilakukan oleh guru. Untuk melakukan refleksi, guru berusaha bertanya kepada diri sendiri, misalnya dengan mengajukan pertanyaan berikut. (1) Apakah penjelasan saya terlampau cepat?
4-4
(2) Apakah saya sudah memberi contoh yang memadai? (3) Apakah saya sudah memberi kesempatan bertanya kepada siswa? (4) Apakah saya sudah memberi latihan yang memadai? (5) Apakah hasil latihan siswa sudah saya beri balikan? (6) Apakah bahasa yang saya gunakan dapat dipahami siswa? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, guru akan dapat memperkirakan penyebab dari masalah yang dihadapi dan akan mencoba mencari jalan keluar untuk memperbaiki atau meningkatkan hasil belajar siswa. b. Penelitian tindakan kelas bertujuan untuk memperbaiki proses dan hasil pembelajaran secara beretahap dan bersiklus. Pola siklusnya adalah: perencanaan-
pelaksanaan-observasi-refleksi-revisi, yang dilanjutkan dengan perencanaan-pelaksanaan-observasi-refleksi (yang sudah direvisi) dan seterusnya secara berulang. 4. Perbedaan Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian Kelas
Penelitian tindakan kelas berbeda dengan penelitian kelas (classroom research). PTK termasuk salah satu jenis penelitian kelas karena penelitian tersebut dilakukan di dalam kelas. Penelitian kelas adalah penelitian yang dilakukan di dalam kelas, mencakup tidak hanya PTK, tetapi juga berbagai jenis penelitian yang dilakukan di dalam kelas, misalnya penelitian tentang bentuk interaksi siswa atau penelitian yang meneliti proporsi berbicara antara guru dan siswa saat pembelajaran berlangsung. Jelas dalam penelitian kelas seperti ini, kelas dijadikan sebagai obyek penelitian. Penelitian dilakukan oleh orang luar, yang mengumpulkan data. Sementara itu PTK dilakukan oleh guru sendiri untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di kelas yang menjadi tugasnya. Perbedaan Penelitian Tindakan Kelas dan penelitian kelas ditunjukkan pada Tabel 1. Pada Tabel 2 ditunjukkan pula perbedaan PTK dengan penelitian formal atau penelitian pada umumnya yang biasa dilakukan oleh peneliti.
Tabel 1. Perbandingan PTK dan Penelitian Kelas
No. Aspek Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian Kelas
1 Peneliti Guru Orang luar
2 Rencana penelitian
Oleh guru (mungkin dibantu orang luar)
Oleh peneliti
3 Munculnya masalah
Dirasakan oleh guru Dirasakan oleh orang luar/peneliti
4 Ciri utama Ada tindakan untuk perbaikan yang berulang
Belum tentu ada tindakan perbaikan
5 Peran guru Sebagai guru dan peneliti Sebagai guru (subyek penelitian)
6 Tempat penelitian Kelas Kelas
7 Proses Oleh guru sendiri atau Oleh peneliti
4-5
pengumpulan data
bantuan orang lain
8 Hasil penelitian Langsung dimanfaatkan oleh guru, dan dampaknya dapat dirasakan oleh siswa
Menjadi milik peneliti, belum tentu dimanfaatkan oleh guru
Tabel 2. Perbedaan Karakteristik PTK dan Penelitian Formal
No.
Dimensi Penelitian Tindakan Kelas Penelitian Formal
1 Motivasi Perbaikan Tindakan Kebenaran
2 Sumber masalah
Diagnosis status Induktif-deduktif
3 Tujuan Memperbaiki atau menyelesaikan masalah lokal
Mengembangkan, menguji teori, menghasilkan pengetahuan
4 Peneliti yang terlibat
Pelaku dari dalam (guru) memerlukan sedikit pelatihan untuk dapat melakukan
Orang luar yang berminat, memerlukan pelatihan yang intensif untuk dapat melakukan
5 Sampel Kasus khusus Sampel yang representatif
6 Metode Longgar tetapi berusaha obyektif-jujur-tidak memihak (impartiality)
Baku dengan obyektivitas dan ketidakberpihakan yang terintegrasi (build in objectivity and impartiality))
7 Penafsiran hasil Penelitian
Untuk memahami praktek melalui refleksi oleh praktisi
pendeskripsian, mengabstraksi, penyimpulan dan pembentukan teori oleh ilmuwan.
8 Hasil Akhir
Siswa belajar lebih baik (proses dan produk)
Pengetahuan, prosedur atau materi yang teruji
9. Generalisasi
Terbatas atau tidak dilakukan
Dilakukan secara luas pada populasi
Sumber : Fraenkel, 2011,p.595
5. Manfaat dan Keterbatasan PTK
Penelitian tindakan kelas mempunyai manfaat yang cukup besar, baik bagi guru, pembelajaran, maupun bagi sekolah. Manfaat PTK bagi guru antara lain sebagai berikut. a) PTK dapat dijadikan masukan untuk memperbaiki pembelajaran yang dikelolanya; b) Guru dapat berkembang secara profesional, karena dapat menunjukkan bahwa ia mampu menilai dan memperbaiki pembelajaran yang dikelolanya melalui PTK; c) PTK meningkatkan rasa percaya diri guru; d) PTK memungkinkan guru secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan.
4-6
Manfaat bagi pembelajaran/siswa, PTK bermanfaat untuk meningkatkan proses dan hasil belajar siswa, di samping guru yang melaksanakan PTK dapat menjadi model bagi para siswa dalam bersikap kritis terhadap hasil belajarnya. Bagi sekolah, PTK membantu sekolah untuk berkembang karena adanya peningkatan/kemajuan pada diri guru dan proses pendidikan di sekolah tersebut.
Keterbatasan PTK terutama terletak pada validitasnya yang tidak mungkin melakukan generalisasi karena sasarannya hanya kelas dari guru yang berperan sebagai pengajar dan peneliti. PTK memerlukan berbagai kondisi agar dapat berlangsung dengan baik dan melembaga. Kondisi tersebut antara lain, dukungan semua personalia sekolah, iklim yang terbuka yang memberikan kebebasan kepada para guru untuk berinovasi, berdiskusi, berkolaborasi, dan saling mempercayai di antara personalia sekolah, dan juga saling persaya antara guru dengan siswa. Birokrasi yang terlampau ketat merupakan hambatan bagi PTK.
Latihan
Setelah mempelajari uraian dan contoh di atas, cobalah Anda kerjakan latihan berikut bersama teman-teman Anda! 1. Rumuskan pengertian penelitian tindakan kelas dengan kata-kata Anda
sendiri! 2. Coba identifikasi masalah yang sering Anda hadapi dalam mengelola
pembelajaran. Diskusikan dengan teman-teman Anda, bagaimana cara terbaik untuk memecahkan masalah tersebut, kemudian lakukan analisis apakah cara yang Anda temukan tersebut dapat disebut sebagai penelitian tindakan kelas? Berikan argumentasi, mengapa kelompok Anda berpendapat seperti itu?
3. Melakukan refleksi berarti memantulkan kembali pengalaman yang sudah Anda jalani, sehingga Anda dapat melihat kembali apa yang sudah terjadi. Menurut Anda, apa gunanya seorang guru melakukan refleksi?
4. Di antara karakteristik PTK yang telah diuraikan dalam kegiatan belajar ini, yang mana menurut Anda yang paling penting, yang benar-benar membedakannya dengan penelitian formal? Berikan alasan atas Jawaban Anda.
4-7
PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN PTK
1. Perencanaan dan pelaksanaan PTK PTK dilaksanakan melalui proses pengkajian berdaur, yang terdiri atas 4 tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi (Gambar 1). Hasil refleksi terhadap tindakan yang dilakukan akan digunakan kembali untuk merevisi rencana, jika ternyata tindakan yang dilakukan belum berhasil memperbaiki praktek atau belum berhasil menyelesaikan masalah yang menjadi kerisauan guru.
Gambar 1. Tahap-tahap dalam Pelaksanaan PTK
Setelah menetapkan focus penelitian, selanjutnya dilakukan perencanaan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan untuk perbaikan. Rencana akan menjadi acuan dalam melaksanakan tindakan. Pelaksanaan tindakan adalah merupakan realisasi dari rencana yang telah dibuat. Tanpa tindakan, rencana hanya merupakan angan-angan yang tidak pernah menjadi kenyataan. Selanjutnya, agar tindakan yang dilakukan dapat diketahui kualitas dan keberhasilannya perlu dilakukan pengamatan. Berdasarkan pengamatan ini akan dapat ditentukan hal-hal yang harus segera diperbaiki agar tujuan yang telah dirumuskan dapat tercapai. Pengamatan dilakukan selama proses tindakan berlangsung. Langkah berikutnya adalah refleksi, yang dilakukan setelah tindakan berakhir. Pada tahap refleksi, peneliti: (1) merenungkan kembali apa yang telah dilakukan dan apa dampaknya bagi proses belajar siswa, (2) merenungkan alasan melakukan suatu tindakan dikaitkan dengan dampaknya,dan (3) mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari tindakan yang dilakukan.
2. Mengidentifikasi Masalah Suatu rencana PTK diawali dengan adanya masalah yang dirasakan atau
disadari oleh guru. Guru merasa ada sesuatu yang tidak beres di dalam kelasnya, yang jika tidak segera diatasi akan berdampak bagi proses dan hasil belajar siswa. Masalah yang dirasakan guru pada tahap awal mungkin masih kabur, sehingga guru perlu merenungkan atau melakukan refleksi agar masalah tersebut menjadi semakin jelas. Setelah permasalahan-permasalahan diperoleh melalui proses identifikasi, selanjutnya guru melakukan analisis terhadap
4-8
masalah-masalah tersebut untuk menentukan urgensi penyelesaiannya. Dalam hubungan ini, akan ditemukan permasalahan yang sangat mendesak untuk diatasi, atau yang dapat ditunda penyelesaiannya tanpa mendatangkan kerugian yang besar. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih permasalahan PTK adalah sebagai berikut: (1) permasalahan harus betul-betul dirasakan penting oleh guru sendiri dan siswanya, (2) masalah harus sesuai dengan kemampuan dan/atau kekuatan guru untuk mengatasinya, (3) permasalahan memiliki skala yang cukup kecil dan terbatas, (4) permasalahan PTK yang dipilih terkait dengan prioritas-prioritas yang ditetapkan dalam rencana pengembangan sekolah.
Agar mampu merasakan dan mengungkapkan adanya masalah seorang guru dituntut jujur pada diri sendiri dan melihat pembelajaran yang dikelolanya sebagai bagian penting dari pekerjaannya. Berbekal kejujuran dan kesadaran guru dapat mengajukan pertanyaan berikut pada diri sendiri. 1) Apa yang sedang terjadi di kelas saya? 2) Masalah apa yang ditimbulkan oleh kejadian itu? 3) Apa pengaruh masalah tersebut bagi kelas saya? 4) Apa yang akan terjadi jika masalah tersebut tidak segera diatasi? 5) Apa yang dapat saya lakukan untuk mengatasi masalah tersebut atau
memperbaiki situasi yang ada? Jika setelah menjawab pertanyaan tersebut guru sampai pada kesimpulan
bahwa ia memang menghadapi masalah dalam bidang tertentu, berarti ia sudah berhasil mengidentifikasi masalah. Langkah berikutnya adalah menganalisis dan merumuskan masalah.
3. Menganalisis dan Merumuskan Masalah Setelah masalah teridentifikasi, guru perlu melakukan analisis sehingga dapat
merumuskan masalah dengan jelas. Analisis dapat dilakukan dengan refleksi yaitu mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri, mengkaji ulang berbagai dokumen seperti pekerjaan siswa, daftar hadir, atau daftar nilai, atau bahkan mungkin bahan pelajaran yang telah disiapkan. Semua ini tergantung pada jenis masalah yang teridentifikasi. Sebuah masalah pada umumnya dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya, yang menggambarkan sesuatu yang ingin diselesaikan atau dicari jawabannya melalui penelitian tindakan kelas. Contoh rumusan masalah: Apakah pendekatan konseptual dapat meminimalisasi miskonsepsi siswa pada mata pelajaran IPA SD Klampis? Selanjutnya, masalah perlu dijabarkan atau dirinci secara operasional agar rencana perbaikannya dapat lebih terarah. Sebagai misal untuk masalah: Tugas dan bahan belajar yang bagaimana yang dapat meningkatkan motivasi siswa? dapat dijabarkan menjadi sejumlah pertanyaan sebagai berikut. a. Bagaimana frekuensi pemberian tugas yang dapat meningkatkan motivasi
siswa?; b. Bagaimana bentuk dan materi tugas yang memotivasi?; c. Bagaimana syarat bahan belajar yang menarik?;
4-9
d. Bagaimana kaitan materi bahan belajar dengan tugas yang diberikan?; Dengan terumuskannya masalah secara operasional, Anda sudah mulai
dapat membuat rencana perbaikan atau rencana PTK.
4. Merencanakan Perbaikan Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, guru perlu membuat
rencana tindakan atau yang sering disebut dengan rencana perbaikan. Langkah-langkah dalam menyusun rencana perbaikan adalah sebagai berikut. a. Rumuskan cara perbaikan yang akan ditempuh dalam bentuk hipotesis
tindakan. Hipotesis tindakan adalah dugaan guru tentang cara yang terbaik untuk
mengatasi masalah. Dugaan atau hipotesis ini dibuat berdasarkan kajian dari berbagai teori, kajian hasil penelitian yang pernah dilakukan dalam masalah yang serupa, diskusi dengan teman sejawat atau dengan pakar, serta refleksi pengalaman sendiri sebagai guru. Berdasarkan hasil kajian tersebut, guru menyusun berbagai alternatif tindakan. Contoh hipotesis tindakan: Penggunaan concept mapping dan penekanan operasi dasar dapat meningkatkan pemahaman konsep Matematika Siswa Kelas VI SDN Ketintang.
b. Analisis kelayakan hipotesis tindakan Setelah menetapkan alternatif hipotesis yang terbaik, hipotesis ini masih perlu
dikaji kelayakannya dikaitkan dengan kemungkinan pelaksanaannya. Kelayakan hipotesis tindakan didasarkan pada hal-hal berikut. 1) Kemampuan dan komitmen guru sebagai pelaksana. Guru harus bertanya
pada diri sendiri apakah ia cukup mampu melaksanakan rencana perbaikan tersebut dan apakah ia cukup tangguh untuk menyelesaikannya?
2) Kemampuan dan kondisi fisik siswa dalam mengikuti tindakan tersebut; Misalnya jika diputuskan untuk memberi tugas setiap minggu, apakah siswa cukup mampu menyelesaikannya.
3) Ketersediaan prasarana atau fasilitas yang diperlukan. Apakah sarana atau fasilitas yang diperlukan dalam perbaikan dapat diadakan oleh siswa, sekolah, ataukah oleh guru sendiri.
4) Iklim belajar dan iklim kerja di sekolah. Dalam hal ini, guru perlu mempertimbangkan apakah alternatif yang dipilihnya akan mendapat dukungan dari kepala sekolah dan personil lain di sekolah.
5. Melaksanakan PTK
Setelah meyakini bahwa hipotesis tindakan atau rencana perbaikan sudah layak, kini guru perlu mempersiapkan diri untuk pelaksanaan perbaikan. a. Menyiapkan Pelaksanaan
Ada beberapa langkah yang perlu disiapkan sebelum merealisasikan rencana tindakan kelas.
Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran dalam bentuk skenario tindakan yang akan dilaksanakan. Skenario mencakup langkah-langkah
4-10
yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam kegiatan tindakan atau perbaikan. Terkait dengan rencana pelaksanaan pembelajaran, guru tentu perlu menyiapkan berbagai bahan seperti tugas belajar yang dibuat sesuai dengan hipotesis yang dipilih, media pembelajaran, alat peraga, dan buku-buku yang relevan.
Menyiapkan fasilitas atau sarana pendukung yang diperlukan, misalnya gambar-gambar, meja tempat mengumpulkan tugas, atau sarana lain yang terkait.
Menyiapkan cara merekam dan menganalisis data yang berkaitan dengan proses dan hasil perbaikan. Dalam hal ini guru harus menetapkan apa yang harus direkam, bagaimana cara merekamnya dan kemudian bagaimana cara menganalisisnya. Agar dapat melakukan hal ini, guru harus menetapkan indikator keberhasilan. Jika indikator ini sudah ditetapkan, guru dapat menentukan cara merekam dan menganalisis data.
Jika perlu, untuk memantapkan keyakinan diri, guru perlu mensimulasikan pelaksanaan tindakan. Dalam hal ini, guru dapat bekerjasama dengan teman sejawat atau berkolaborasi dengan dosen LPTK.
b. Melaksanakan Tindakan Setelah persiapan selesai, kini tiba saatnya guru melaksanakan tindakan dalam kelas yang sebenarnya.
Pekerjaan utama guru adalah mengajar. Oleh karena itu, metode penelitian yang sedang dilaksanakan tidak boleh mengganggu komitmen guru dalam mengajar. Ini berarti, guru tidak boleh mengorbankan siswa demi penelitian yang sedang dilaksanakannya. Tambahan tugas guru sebagai peneliti harus disikapi sebagai tugas profesional yang semestinya memberi nilai tambah bagi guru dan pembelajaran yang dikelolanya.
Cara pengumpulan atau perekaman data jangan sampai terlalu menyita waktu pembelajaran di kelas. Esensi pelaksanaan PTK memang harus disertai dengan observasi, pengumpulan data, dan interpretasi yang dilakukan oleh guru.
Metode yang diterapkan haruslah reliabel atau handal, sehingga memungkinkan guru mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi kelasnya.
Masalah yang ditangani guru haruslah sesuai dengan kemampuan dan komitmen guru.
Sebagai peneliti, guru haruslah memperhatikan berbagai aturan dan etika yang terkait dengan tugas-tugasnya, seperti menyampaikan kepada kepala sekolah tentang rencana tindakan yang akan dilakukan, atau
4-11
menginformasikan kepada orang tua siswa jika selama pelaksanaan PTK, siswa diwajibkan melakukan sesuatu di luar kebiasaan rutin.
PTK harus mendapat dukungan dari seluruh masyarakat sekolah. c. Observasi dan Interpretasi
Pelaksanaan tindakan dan observasi/interpretasi berlangsung simultan. Artinya, data yang diamati saat pelaksaanaan tindakan tersebut langsung diinterpretasikan, tidak sekedar direkam. Jika guru memberi pujian kepada siswa, yang direkam bukan hanya jenis pujian yang diberikan, tetapi juga dampaknya bagi siswa yang mendapat pujian. Apa yang harus direkam dan bagaimana cara merekamnya harus ditentukan secara cermat terlebih dahulu.
Salah satu cara untuk merekam atau mengumpulkan data adalah dengan observasi atau pengamatan. Hopkins (1993) menyebutkan ada lima prinsip dasar atau karakteristik kunci observasi, yaitu:
Perencanaan Bersama Observasi yang baik diawali dengan perencanaan bersama antara
pengamat dengan yang diamati, dalam hal ini teman sejawat yang akan membantu mengamati dengan guru yang akan mengajar. Perencanaan bersama ini bertujuan untuk membangun rasa saling percaya dan menyepakati beberapa hal seperti fokus yang akan diamati, aturan yang akan diterapkan, berapa lama pengamatan akan berlangsung, bagaimana sikap pengamat kepada siswa, dan di mana pengamat akan duduk.
Fokus Fokus pengamatan sebaiknya sempit/spesifik. Fokus yang sempit atau
spesifik akan menghasilkan data yang sangat bermanfaat begi perkembangan profesional guru.
Membangun Kriteria Observasi akan sangat membantu guru, jika kriteria keberhasilan atau
sasaran yang ingin dicapai sudah disepakati sebelumnya.
Keterampilan Observasi Seorang pengamat yang baik memiliki minimal 3 keterampilan, yaitu: (1) dapat menahan diri untuk tidak terlalu cepat memutuskan dalam menginterpretasikan satu peristiwa; (2) dapat menciptakan suasana yang memberi dukungan dan menghindari terjadinya suasana yang menakutkan guru dan siswa; dan (3) menguasai berbagai teknik untuk menemukan peristiwa atau interaksi yang tepat untuk direkam, serta alat/instrumen perekam yang efektif untuk episode tertentu. Di dalam suatu observasi, hasil pengamatan berupa fakta atau deskripsi, bukan pendapat atau opini. Dilihat cara melakukan kegiatannya, ada empat jenis observasi yang dapat dipilih, yaitu: observasi terbuka, pengamat tidak menggunakan lembar observasi, melainkan hanya menggunakan kertas kosong untuk merekam proses pembelajaran yang diamati. Observasi terfokus secara khusus
4-12
ditujukan untuk mengamati aspek-aspek tertentu dari pembelajaran. Observasi terstruktur menggunakan instrumen observasi yang terstruktur dengan baik dan siap pakai, sehingga pengamat hanya tinggal membubuhkan tanda cek (V) pada tempat yang disediakan. Observasi
sistematik dilakukan lebih rinci dalam hal kategori data yang diamati.
Balikan (Feedback) Hasil observasi yang direkam secara cermat dan sistematis dapat dijadikan dasar untuk memberi balikan yang tepat. Syarat balikan yang baik: (i) diberikan segera setelah pengamatan, dalam berbagai bentuk misalnya diskusi; (ii) menunjukkan secara spesifik bagian mana yang perlu diperbaiki, bagian mana yang sudah baik untuk dipertahankan; (iii) balikan harus dapat memberi jalan keluar kepada orang yang diberi balikan tersebut.
d. Analisis Data Agar data yang telah dikumpulkan bermakna sebagai dasar untuk mengambil keputusan, data tersebut harus dianalisis atau diberi makna. Analisis data pada tahap ini agak berbeda dengan interpretasi yang dilakukan pada tahap observasi. Analisis data dilakukan setelah satu paket perbaikan selesai diimplementasikan secara keseluruhan. Jika perbaikan ini direncanakan untuk enam kali pembelajaran, maka analisis data dilakukan setelah pembelajaran tuntas dilaksanakan. Dengan demikian, pada setiap pembelajaran akan diadakan interpretasi yang dimanfaatkan untuk melakukan penyesuaian, dan pada akhir paket perbaikan diadakan analisis data secara keseluruhan untuk menghasilkan informasi yang dapat menjawab hipotesis perbaikan yang dirancang guru. Analisis data dapat dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama, data diseleksi, difokuskan, jika perlu ada yang direduksi karena itu tahap ini sering disebut sebagai reduksi data. Kemudian data diorganisaskan sesuai dengan hipotesis atau pertanyaan penelitian yang ingin dicari jawabannya. Tahap kedua, data yang sudah terorganisasi ini dideskripsikan sehingga bermakna, baik dalam bentuk narasi, grafik, maupun tabel. Akhirnya, berdasarkan paparan atau deskripsi yang telah dibuat ditarik kesimpulan dalam bentuk pernyataan atau formula singkat.
e. Refleksi Saat refleksi, guru mencoba merenungkan mengapa satu kejadian berlangsung dan mengapa hal seperti itu terjadi. Ia juga mencoba merenungkan mengapa satu usaha perbaikan berhasil dan mengapa yang lain gagal. Melalui refleksi, guru akan dapat menetapkan apa yang telah dicapai, serta apa yang belum dicapai, serta apa yang perlu diperbaiki lagi dalam pembelajaran berikutnya.
f. Perencanaan Tindak Lanjut Sebagaimana yang telah tersirat dalam tahap analisis data dan refleksi, hasil atau kesimpulan yang didapat pada analisis data, setelah melakukan refleksi digunakan untuk membuat rencana tindak lanjut. Jika ternyata tindakan
4-13
perbaikan belum berhasil menjawab masalah yang menjadi kerisauan guru, maka hasil analisis data dan refleksi digunakan untuk merencanakan kembali tindakan perbaikan, bahkan bila perlu dibuat rencana baru. Siklus PTK
berakhir, jika perbaikan sudah berhasil dilakukan. Jadi, suatu siklus dalam PTK sebenarnya tidak dapat ditentukan lebih dahulu berapa banyaknya.
(Kemmis dan Mc. Taggart dikutip Wardani dkk, 2004, p.4.9) 6. Cara Membuat Proposal
Proposal adalah suatu perencanaan yang sistematis untuk melaksanakan penelitian termasuk PTK. Di dalam proposal terdapat komponen dan langkah yang harus dilakukan dalam melaksanakan PTK. Selain itu, proposal juga memiliki kegunaan sebagai usulan untuk pengajuan dana kepada instansi atau sumber yang dapat mendanai penelitian. Proposal terdiri dari dua bagian, bagian pertama merupakan identitas proposal, sedangkan bagian kedua merupakan perencanaan penelitian yang berisi tentang desain penelitian, dan langkah-langkah pelaksanaan. Pembahasan proposal akan dibagi menjadi 3 langkah, yaitu mengenai format proposal, cara membuat proposal, dan cara menilai proposal (Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999). a. Format Proposal
Pada umumnya format proposal penelitian, baik penelitian formal maupun PTK sudah baku. Salah satu format proposal yang ada saat ini adalah yang dikembangkan oleh Tim Pelatih Proyek PGSM sebagai berikut. Halaman Judul (kulit luar) Berisi judul PTK, nama peneliti dan lembaga, serta tahun proposal itu dibuat.
4-14
Halaman Pengesahan Berisi identitas peneliti dan penelitian yang akan dilakukan, yang ditandatangani oleh ketua peneliti dan ketua/kepala lembaga yang mengesahkan. Di perguruan tinggi yang mengesahkan proposal penelitian adalah Ketua Lembaga Penelitian dan Dekan. Kerangka Proposal 1. Judul Penelitian 2. Bidang Ilmu 3. Kategori Penelitian 4. Data Peneliti:
Nama lengkap dan gelar
Golongan/pangkat/NIP
Jabatan fungsional
Jurusan
Institusi 5. Susunan Tim Peneliti
Jumlah
Anggota 6. Lokasi Penelitian 7. Biaya Penelitian 8. Sumber Dana
b. Perencanaan PTK
Berdasarkan format proposal tersebut di atas, tugas peneliti selanjutnya adalah mengembangkan rancangan (desain) PTK. Rancangan tersebut adalah: 1) Judul
Judul PTK dinyatakan dengan jelas dan mencerminkan tujuan, yaitu mengandung maksud, kegiatan atau tindakan, dan penyelesaian masalah.
2) Latar Belakang Berisi informasi tentang pentingnya penelitian dilakukan, mengapa Anda tertarik dengan masalah ini? Apakah masalah tersebut merupakan masalah riil yang Anda hadapi sehari-hari? Apakah ada manfaatnya apabila diteliti dengan PTK? Untuk ini perlu didukung oleh kajian literatur atau hasil-hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan baik oleh Anda sendiri maupun orang lain.
3) Permasalahan Masalah dalam PTK harus diangkat dari pengalaman sehari-hari. Anda perlu mengkaji masalah tersebut, melakukan analisis, dan jika perlu menanyakan kepada para siswa Anda tentang masalah tersebut. Setelah Anda yakin dengan masalah tersebut, rumuskan ke dalam bentuk kalimat yang jelas. Biasanya rumusan masalah dibuat dalam bentuk kalimat Tanya.
4-15
4) Cara Penyelesaian Masalah Penyelesaian masalah dilakukan setelah Anda melakukan analisis dan pengkajian terhadap masalah yang akan diteliti, sehingga ditemukan cara pemecahannya. Untuk menemukan cara pemecahan terhadap suatu masalah, Anda dapat melakukannya dengan mengacu pada pengalaman Anda selama ini, pengalaman teman Anda, mencari dalam buku literatur dan hasil penelitian, atau dengan berkonsultasi dan berdiskusi dengan teman sejawat atau para pakar. Cara penyelesaian masalah yang Anda tentukan atau pilih harus benar-benar “applicable”, yaitu benar-benar dapat dan mungkin Anda laksanakan dalam proses pembelajaran.
5) Tujuan dan manfaat PTK Berdasarkan masalah serta cara penyelesaiannya, Anda dapat merumuskan tujuan PTK. Rumuskan tujuan ini secara jelas dan terarah, sesuai dengan latar belakang masalah dan mengacu pada masalah dan cara penyelesaian masalah. Sebutkan pula manfaat dari PTK ini, yaitu nilai tambah atau dampak langsung atau pengiring terhadap kemampuan siswa Anda.
6) Kerangka Teoritis dan Hipotesis Dalam bagian ini, Anda diminta untuk memperdalam atau memperluas pengetahuan teoritis Anda berkaitan dengan masalah penelitian yang akan diteliti. Hal ini dapat dilakukan dengan mempelajari buku-buku dan hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah tersebut. Kajian teoritis ini sangat berguna untuk memperkaya Anda dengan variabel yang berkaitan dengan masalah tersebut. Selain itu, Anda juga akan memperoleh masukan yang dapat membantu Anda dalam melaksanakan PTK, terutama dalam merumuskan hipotesis.
7) Rencana Penelitian Mencakup penataan penelitian, faktor-faktor yang diselidiki, rencana kegiatan (persiapan, implementasi, observasi dan interpretasi, analisis, dan refleksi), data dan cara pengumpulan data, dan teknik analisis data penelitian.
8) Jadwal Penelitian Jadwal penelitian berisi bentuk aktivitas terkait dengan penelitian dan rancangan waktu kapan dilaksanakan dan dalam jangka berapa lama. Untuk membuat jadwal penelitian Anda harus menginventarisasi jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan dimulai dari awal perencanaan, penyusunan proposal sampai dengan selesainya penulisan laporan. Jadwal PTK umumnya ndisusun dalam bentuk bar chart.
9) Rencana Anggaran Cantumkan anggaran yang akan digunakan dalam PTK Anda, terutama jika PTK ini dibiayai oleh sumber dana tertentu. Rencana biaya meliputi kegiatan sebagai berikut: persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan laporan. Pada tiap-tiap tahapan diuraikan jenis-jenis pengeluaran yang
4-16
dilakukan serta berapa banyak alokasi dana yang disediakan untuk tiap-tiap kegiatan.
Latihan Setelah mengkaji dengan cermat semua uraian untuk memantapkan pemahaman Anda, kerjakan latihan berikut.
1. Langkah-langkah PTK merupakan satu siklus yang berulang sampai tujuan perbaikan yang dirancang dapat terwujud. Coba gambarkan siklus tersebut dengan cara Anda sendiri dan jelaskan kapan siklus tersebut dapat berakhir.
2. Tahap observasi dan interpretasi merupakan satu tahap yang dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Coba diskusikan dengan teman Anda mengapa kedua tahap tersebut harus dilakukan bersamaan dan mengapa observasi harus disertai dengan interpretasi.
3. Agar observasi dapat dimanfaat secara efektif, berbagai prinsip dan aturan harus diikuti. Pilih tiga aturan yang menurut Anda paling penting dan jelaskan mengapa aturan tersebut harus diikuti.
4. Analisis data akan membantu guru melakukan refleksi. Beri alasan yang mendukung pendapat tersebut disertai sebuah contoh.
5. Apa yang dikerjakan guru berdasarkan hasil analisis data dan refleksi? Jelaskan jawaban Anda dengan contoh.
Tugas: Susunlah sebuah proposal PTK untuk menyelesaikan masalah yang Anda hadapi di sekolah Anda masing-masing. Gunakan format proposal PTK seperti yang sudah dijelaskan di dalam modul ini.
PENULISAN KARYA ILMIAH
Di dalam modul ini, karya tulis ilmiah yang akan dibahas terdiri dari dua macam, yaitu laporan hasil penelitian khususnya laporan penelitian tindakan kelas dan artikel ilmiah yang ditulis berdasarkan hasil penelitian dan nonpenelitian. 1. Laporan Penelitian Tindakan Kelas.
Laporan PTK merupakan pernyataan formal tentang hasil penelitian, atau hal apa saja yang memerlukan informasi yang pasti, yang dibuat oleh seseorang atau badan yang diperintahkan atau diharuskan untuk melakukan hal itu. Ada beberapa jenis laporan misalnya rapor sekolah, laporan hasil praktikum, dan hasil tes laboratorium. Sedangkan laporan PTK termasuk jenis laporan lebih tinggi penyajiannya. Tujuan menulis laporan secara sederhana adalah untuk mencatat, memberitahukan, dan merekomendasikan hasil penelitian. Dalam penelitian, laporan merupakan laporan hasil penelitian yang berupa temuan baru dalam bentuk teori, konsep, metode, dan prosedur, atau permasalahan yang perlu dicarikan cara pemecahannya. Namun untuk mengimplementasikannya memerlukan waktu yang
4-17
cukup panjang. Hasil penelitian formal dipublikasikan melalui seminar, pengkajian ulang, analisis kebijakan, pendiseminasian dan sebagainya, yang memerlukan waktu cukup lama, sehingga pada saat dilakukan implementasi, temuan tersebut sudah kedaluwarsa dan tidak sesuai lagi.
Laporan PTK perlu dibuat oleh para peneliti untuk beberapa kepentingan antara lain sebagai berikut.
a) Sebagai dokumen penelitian, dan dapat dimanfaatkan oleh guru atau dosen untuk diajukan sebagai bahan kenaikan pangkat/pengembangan karir.
b) Sebagai sumber bagi peneliti lain atau peneliti yang sama dalam memperoleh inspirasi untuk melakukan penelitian lainnya.
c) Sebagai bahan agar orang atau peneliti lain dapat memberikan kritik dan saran terhadap penelitian yang dilakukan.
d) Sebagai acuan dan perbandingan bagi peneliti untuk mengambil tindakan dalam menangani masalah yang serupa atau sama.
Sistematika laporan merupakan bagian yang sangat mendasar dalam sebuah laporan, karena akan merupakan kerangka berpikir yang dapat memberikan arah penulisan, sehingga memudahkan anda dalam menulis laporan. Sistematika atau struktur ini harus sudah anda persiapkan sebelum penelitian dilakukan, yaitu pada saat anda menulis proposal. Setelah PTK selesai dilakukan, anda mulai melihat kembali struktur tersebut untuk dilakukan perbaikan dan penyempurnaan sesuai dengan pengalaman anda dalam melakukan PTK, serta data informasi yang sudah dikumpulkan dan dianalisis. Pada dasarnya, laporan PTK hampir sama dengan laporan jenis penelitian lainnya. Meskipun begitu, setiap institusi bisa saja menetapkan format tersendiri yang bisa berbeda dengan format dari institusi lain. Format yang ditetapkan oleh Lembaga Penelitian Unesa, misalnya, bisa berbeda dari format yang digunakan oleh Ditjendikti atau Universitas Terbuka. Apabila PTK yang anda lakukan memperoleh pendanaan dari institusi tertentu, maka sistematika laporan juga perlu disesuaikan dengan format yang telah ditentukan oleh pihak pemberi dana penelitian. Namun bila dibandingkan satu sama lain, sebenarnya setiap format menyepakati beberapa komponen yang dianggap perlu dicantumkan dan dijelaskan. Sistematika laporan PTK di bawah ini merupakan modifikasi dari berbagai sumber: Halaman Judul
Judul laporan PTK yang baik mencerminkan ketaatan pada rambu-rambu seperti: gambaran upaya yang dilakukan untuk perbaikan pembelajaran, tindakan yang diambil untuk merealisasikan upaya perbaikan pembelajaran, dan setting penelitian. Judul sebaiknya tidak lebih dari 15 kata.
Lembar Pengesahan Gunakan model lembar pengesahan yang ditetapkan oleh institusi terkait. Kata Pengantar Abstrak
Abstrak sebaiknya ditulis tidak lebih dari satu halaman. Komponen ini merupakan intisari penelitian, yang memuat permasalahan, tujuan, prosedur
4-18
pelaksanaan penelitian/tindakan, hasil dan pembahasan, serta simpulan dan saran.
Daftar Isi Bab I Pendahuluan
Bab ini memuat unsur latar belakang masalah, data awal tentang permasalahan pentingnya masalah diselesaikan, identifikasi masalah, analisis dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta definisi istilah bila dianggap perlu. Urutan penyajian bisa disusun sebagai berikut: A. Latar Belakang Masalah (data awal dalam mengidentifikasi masalah,
analisis masalah, dan pentingnya masalah untuk diselesaikan) B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Definisi Operasional (bila perlu)
Bab II Kajian Pustaka
Kajian Pustaka menguraikan teori terkait dan temuan penelitian yang relevan yang memberi arah ke pelaksanaan PTK dan usaha peneliti membangun argumen teoritik bahwa dengan tindakan tertentu dimungkinkan dapat meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan dan pembelajaran, bukan untuk membuktikan teori. Bab ini diakhiri dengan pertanyaan penelitian dan atau hipotesis. Urutan penyajian yang bisa digunakan adalah sebagai berikut A. Kajian Teoritis B. Penelitian-penelitian yang relevan (bila ada) C. Kajian Hasil Diskusi (dengan teman sejawat, pakar pendidikan, peneliti) D. Hasil Refleksi Pengalaman Sendiri sebagai Guru E. Perumusan Hipotesis Tindakan
Bab III Pelaksanaan Tindakan dan Observasi
Bab ini berisi unsur-unsur seperti deskripsi lokasi, waktu, mata pelajaran, karakteristik siswa di sekolah sebagai subjek penelitian. Selain itu, bab ini juga menyajikan gambaran tiap siklus: rancangan, pelaksanaan, cara pemantauan beserta jenis instrumen, usaha validasi hipotesis dan cara refleksi. Tindakan yang dilakukan bersifat rasional dan feasible serta collaborative. Urutan penyajian bisa disusun sebagai berikut: A. Subjek Penelitian (Lokasi, waktu, mata pelajaran, kelas, dan karakteristik
siswa) B. Deskripsi per Siklus (rencana, pelaksanaan, pengamatan/pengumpulan
data/instrument, refleksi) Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab IV menyajikan uraian tiap-tiap siklus dengan data lengkap, mulai dari perencanaan, pelaksanaan pengamatan dan refleksi yang berisi penjelasan tentang aspek keberhasilan dan kelemahan yang terjadi. Perlu ditambahkan
4-19
hal yang mendasar yaitu hasil perubahan (kemajuan) pada diri siswa, lingkungan, guru sendiri, motivasi dan aktivitas belajar, situasi kelas, hasil belajar. Kemukakan grafik dan tabel secara optimal, hasil analisis data yang menunjukkan perubahan yang terjadi disertai pembahasan secara sistematik dan jelas. A. Deskripsi per siklus (data tentang rencana, pengamatan, refleksi),
keberhasilan dan kegagalan, lengkap dengan data) B. Pembahasan dari tiap siklus
Bab V Simpulan dan Saran A. Simpulan B. Saran
Daftar Pustaka Lampiran 2. Artikel Ilmiah Kegiatan menyusun karya ilmiah, baik berupa laporan hasil penelitian maupun makalah nonpenelitian, merupakan kegiatan yang erat kaitannya dengan aktivitas ilmiah.
Beberapa kualifikasi yang diperlukan untuk dapat menulis karya ilmiah dengan baik antara lain adalah: a. Pengetahuan dasar tentang penulisan karya ilmiah, baik yang berkenaan dengan
teknik penulisan maupun yang berkenaan dengan notasi ilmiah. Di samping itu, keterampilan menggunakan bahasa tulis dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku
b. Memiliki wawasan yang luas mengenai bidang kajian keilmuan c. Pengetahuan dasar mengenai metode penelitian.
Artikel ilmiah adalah karya tulis yang dirancang untuk dimuat dalam jurnal atau buku kumpulan artikel yang ditulis dengan tata cara ilmiah dengan mengikuti pedoman atau konvensi yang telah disepakati atau ditetapkan. Artikel ilmiah bisa diangkat dari hasil penelitian lapang, hasil pemikiran dan kajian pustaka, atau hasil pengembangan proyek. Dari segi sistematika penulisan dan isi suatu artikel dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu artikel hasil penelitian dan artikel nonpenelitian. Secara umum, isi artikel hasil penelitian meliputi: judul artikel, nama penulis, abstrak dan kata kunci, pendahuluan, metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan saran, serta daftar rujukan. Sedangkan artikel nonpenelitian berisi judul, nama penulis, abstrak dan kata kunci, pendahuluan, bagian inti, penutup, dan daftar rujukan. Isi artikel penelitian diuraikan sebagai berikut: 1. Judul
Judul artikel berfungsi sebagai label yang menginformasikan inti isi yang terkandung dalam artikel secara ringkas. Pemilihan kata sebaiknya dilakukan dengan cermat agar selain aspek ketepatan, daya tarik judul bagi pembaca juga dipertimbangkan. Judul artikel sebaiknya tidak lebih dari 15 kata.
2. Nama Penulis
4-20
Nama penulis artikel ditulis tanpa gelar, baik gelar akademik maupun gelar lainnya. Nama lembaga tempat penulis bekerja biasanya ditulis di bawah nama penulis, namun boleh juga dituliskan sebagai catatan kaki di halaman pertama. Apabila penulis lebih dari dua orang, maka nama penulis utama saja yang dicantumkan di bawah judul, sedangkan nama penulis lainnya dituliskan dalam catatan kaki.
3. Abstrak dan Kata Kunci Abstrak dan kata kunci (key words) berisi pernyataan yang mencerminkan ide-ide atau isu-isu penting di dalam artikel. Untuk artikel hasil penelitian, prosedur penelitian (untuk penelitian kualitatif termasuk deskripsi tentang subjek yang diteliti), dan ringkasan hasil penelitian, tekanan diberikan pada hasil penelitian. Sedangkan untuk artikel nonpenelitian, abstrak berisi ringkasan isi artikel yang dituangkan secara padat, bukan komentar atau pengantar dari penyunting. Panjang abstrak 50-75 kata, dan ditulis dalam satu paragraf. Kata kunci adalah kata pokok yang menggambarkan daerah masalah yang dibahas dalam artikel atau istilah-istilah yang merupakan dasar pemikiran gagasan dalam karangan asli berupa kata tunggal atau gabungan kata. Jumlah kata kunci antara 3-5 kata. Perlu diingat bahwa kata kunci tidak diambil dari kata-kata yang sudah ada di dalam judul artikel. Kata kunci sangat bermanfaat bagi pihak lain yang menggunakan mesin penelusuran pustaka melalui jaringan internet untuk menemukan karya seseorang yang sudah dipublikasikan secara online.
4. Pendahuluan Pendahuluan tidak diberi judul, ditulis langsung setelah abstrak dan kata kunci. Bagian ini menyajikan kajian pustaka yang berisi paling sedikit tiga gagasan: (1) latar belakang masalah atau rasional penelitian, (2) masalah dan wawasan rencana pemecahan masalah, (3) rumusan tujuan penelitian (dan harapan tentang manfaat hasil penelitian). Sebagai kajian pustaka, bagian ini harus disertai rujukan yang dapat dijamin otoritas keilmuan penulisnya. Kajian pustaka disajikan secara ringkas, padat dan mengarah tepat pada masalah yang diteliti. Aspek yang dibahas dapat mencakup landasan teoretis, segi historis, atau segi lainnya yang dianggap penting. Latar belakang atau rasional hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga mengarahkan pembaca ke rumusan penelitian yang dilengkapi dengan rencana pemecahan masalah dan akhirnya ke rumusan tujuan. Apabila anda menulis artikel nonpenelitian, maka bagian pendahuluan berisi uraian yang mengantarkan pembaca pada topik utama yang akan dibahas. Bagian ini menguraikan hal-hal yang mampu menarik pembaca sehingga mereka tertarik untuk mengikuti bagian selanjutnya. Selain itu, bagian ini juga diakhiri dengan rumusan singkat tentang hal-hal yang akan dibahas.
5. Bagian Inti Bagian ini berisi 3 (tiga) hal pokok, yaitu metode, hasil, dan pembahasan. Pada bagian metode disajikan bagaimana penelitian dilaksanakan. Uraian disajikan dalam beberapa paragraf tanpa atau dengan subbagian. Yang disajikan pada
4-21
bagian ini hanyalah hal yang pokok saja. Isi yang disajikan berupa siapa sumber datanya (subjek atau populasi dan sampel), bagaimana data dikumpulkan (instrumen dan rancangan penelitian), dan bagaimana data dianalisis (teknik analisis data). Apabila di dalam pelaksanaan penelitian ada alat dan bahan yang digunakan, maka spesifikasinya perlu disebutkan. Untuk penelitian kualitatif, uraian mengenai kehadiran peneliti, subjek penelitian dan informan, beserta cara memperoleh data penelitian, lokasi dan lama penelitian, serta uraian tentang pengecekan keabsahan hasil penelitian (triangulasi) juga perlu dicantumkan. Bagian hasil adalah bagian utama artikel ilmiah. Bagian ini menyajikan hasil analisis data. Yang dilaporkan dalam bagian ini adalah hasil analisis saja, sedangkan proses analisis data misalnya perhitungan statistik, tidak perlu disajikan. Proses pengujian hipotesis, ternasuk pembandingan antara koefisien hasil perhitungan statistik dengan koefisien tabel, tidak perlu disajikan. Yang dilaporkan hanyalah hasil analisis dan hasil pengujian data. Hasil analisis dapat disajikan dalam bentuk grafik atau tabel untuk memperjelas penyajian hasil secara verbal, yang kemudian dibahas. Bagian terpenting dari artikel hasil penelitian adalah pembahasan. Dalam pembahasan disajikan: (1) jawaban masalah penelitian atau bagaimana tujuan penelitian dicapai, (2) penafsiran temuan penelitian, (3) pengintegrasian temuan penelitian ke dalam kumpulan penelitian yang telah mapan, dan (4) menyusun teori baru atau memodifikasi teori yang telah ada sebelumnya. Jawaban atas masalah penelitian hendaknya disajikan secara eksplisit. Penafsiran terhadap hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan logika dan teori-teori yang ada. Pengintegrasian temuan penelitian ke dalam kumpulan yang ada dilakukan dengan membandingkan temuan itu dengan temuan penelitian yang telah ada atau dengan teori yang ada, atau dengan kenyataan yang ada di lapangan. Pembandingan harus disertai rujukan. Jika penelitian ini menelaah teori (penelitian dasar), teori yang lama dapat dikonfirmasi atau ditolak sebagian atau seluruhnya. Penolakan sebagian dari teori harus disertai dengan modifikasi teori, dan penolakan terhadap seluruh teori harus disertai rumusan teori yang baru. Untuk penelitian kualitatif, bagian ini dapat pula memuat ide-ide peneliti, keterkaitan antara kategori-kategori dan dimensi-dimensi serta posisi temuan atau penelitian terhadap temuan dan teori sebelumnya. Untuk artikel nonpenelitian, bagian inti ini dapat sangat bervariasi bergantung pada topik yang dibahas. Yang perlu diperhatikan dalam bagian ini adalah pengorganisasian isi yang dapat berupa fakta, konsep, prosedur, atau prinsip. Isi yang berbeda memerlukan penataan dengan urutan yang berbeda pula.
6. Penutup Istilah penutup digunakan sebagai judul bagian akhir dari sebuah artikel nonpenelitian jika isinya berupa catatan akhir atau yang sejenisnya. Namun apabila bagian akhir berisi kesimpulan hasil pembahasan sebelumnya, maka istilah yang dipakai adalah kesimpulan. Pada bagian akhir ini dapat juga ditambahkan saran atau rekomendasi.
4-22
Untuk artikel hasil penelitian, bagian penutup berisi kesimpulan dan saran yang memaparkan ringkasan dari uraian yang disajikan pada bagian hasil dan pembahasan. Kesimpulan diberikan dalam bentuk uraian verbal, bukan numerikal. Saran disusun berdasarkan kesimpulan yang telah dibuat. Saran dapat mengacu pada tindakan praktis, atau pengembangan teoretis, atau penelitian lanjutan.
7. Daftar Rujukan/Pustaka Daftar rujukan berisi daftar dokumen yang dirujuk dalam penyusunan artikel. Semua bahan pustaka yang dirujuk yang disebutkan dalam batang tubuh artikel harus disajikan dalam daftar rujukan dengan urutan alfabetis. Gaya selingkung dalam menyusun daftar pustaka bisa bervariasi, bergantung pada disiplin ilmu yang menjadi payung artikel ilmiah anda atau jurnal yang akan memuat artikel anda. Bidang Pendidikan atau Psikologi sering menggunakan format APA (American Psychological Association), sedangkan disiplin ilmu Sejarah menggunakan Turabian Style atau Chicago Manual, dan bidang Bahasa dan Sastra menggunakan MLA (Modern Language Association). Apapun gaya yang anda gunakan, pastikan bahwa gaya penulisan anda konsisten dan sesuai dengan format yang ditetapkan oleh jurnal/media yang akan menampung tulisan anda. Untuk itu, anda perlu mencermati lebih dahulu format seperti apa yang harus anda ikuti sebelum mulai menulis/menyunting artikel ilmiah anda. Secara umum, yang dicantumkan dalam rujukan (berupa buku) adalah: nama pengarang, tahun penerbitan, judul, kota tempat penerbitan, dan nama penerbitnya.
Latihan
1. Bedakan artikel hasil penelitian dengan artikel nonpenelitian dari dimensi isi artikel.
2. Bagian terpenting dari artikel hasil penelitian adalah pembahasan. Apa saja yang seharusnya disajikan dalam pembahasan?
3. Berdasarkan prosedur pemecahan masalah, ada dua jenis makalah ilmiah, apa sajakah? Buatlah perbedaan antara keduanya.
4. Bagaimana aturan yang harus diikuti dalam menyusun Daftar Pustaka? 5. Jelaskan sistematika sebuah laporan PTK. 6. Diberikan informasi tentang hasil penelitian/kasus pembelajaran, peserta
dapat merumuskan bagian-bagian tertentu dari sebuah artikel.
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATERI PEDAGOGIK
BAB I
PENDAHULUAN
Prof. Dr. Sunardi, M.Sc
Dr. Imam Sujadi, M.Si
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen disebutkan
bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Gurulah yang menjadi ujung tombak pendidikan, sebab guru secara
langsung berupaya mempengaruhi, membina dan mengembangkan kemampuan
siswa agar menjadi manusia yang cerdas, terampil, dan bermoral tinggi. Guru
dituntut untuk memiliki kemampuan yang diperlukan sebagai pendidik dan pengajar.
Sebagai pengajar guru dituntut harus menguasai bahan ajar yang diajarkan dan
terampil dalam mengajarkannya. Cara mengajar seorang guru akan tercermin dalam
proses mengajar belajar.
Dalam proses mengajar belajar, penguasaan materi pelajaran dan cara
menyampaikannya merupakan syarat yang sangat essensial. Oleh karena itu proses
mengajar belajar harus diupayakan sebaik mungkin dan perlu mendapat perhatian
yang serius. Penguasaan guru terhadap materi pelajaran dan pengelolaan kelas
sangatlah penting, namun demikian belum cukup untuk menghasilkan pembelajaran
yang optimal. Komponen lain dalam pembelajaran yang sangat penting dikusai oleh
guru adalah tentang pemahaman mereka tentang karakteristik siswa yang diajarnya,
penguasaan terhadap teori-teori belajar agar dapat mengarahkan peserta didik
berpartisipasi secara intelektual dalam belajar, sehingga belajar menjadi bermakna
bagi siswa. Guru juga harus mampu merencanakan pembelajaran, memilih media
pembelajaran yang tepat, melaksanakan proses dan melakukan penilaian. Guru juga
perlu mengerti bagaimana seharusnya melakukan refleksi pembelajaran sehingga
guru dapat melakukan perbaikan terhadap proses pembelajaran yang telah
dilakukan.
2
B. Tujuan
Tujuan penyusunan bahan ajar kompetensi pedagogik ini adalah membantu guru
calon peserta PLPG mendapatkan sumber belajar untuk menambah wawasan para
guru tentang: (1) kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran, (2)
karakteristik siswa dan teori-teori belajar (3) pengelolaan kegiatan pembelajaran agar
lebih profesional di bidangnya sesuai dengan kurikulum yang berlaku, dan (4)
bagaimana melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan agar dapat
memperbaiki proses pembelajaran yang telah dilakukan.
C. Peta Kompetensi
Peta kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru sesuai dengan permendikbud
No16 tahun 2007 adalah sebagai berikut.
Standar Kompetensi Pedagogik Guru Mata Pelajaran di
SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK
No. KOMPETENSI INTI GURU KOMPETENSI GURU MATA PELAJARAN
1. Menguasai karakteristik
peserta didik dari aspek
fisik, moral, spiritual, sosial,
kultural, emosional, dan
intelektual.
1.1 Memahami karakteristik peserta didik yang berkaitan
dengan aspek fisik, intelektual, sosial-emosional,
moral, spiritual, dan latar belakang sosial-budaya.
1.2 Mengidentifikasi potensi peserta didik dalam mata
pelajaran yang diampu.
1.3 Mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik dalam
mata pelajaran yang diampu.
1.4 Mengidentifikasi kesulitan belajar peserta didik
dalam mata pelajaran yang diampu.
3
2. Menguasai teori belajar
dan prinsip-prinsip
pembelajaran
yang mendidik.
2.1 Memahami berbagai teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik terkait dengan mata
pelajaran yang diampu.
2.2 Menerapkan berbagai pendekatan, strategi, metode,
dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif
dalam mata pelajaran yang diampu.
3. Mengembangkan
kurikulum yang terkait
dengan mata
pelajaran yang diampu.
3.1 Memahami prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum.
3.2 Menentukan tujuan pembelajaran yang diampu.
3.3 Menentukan pengalaman belajar yang sesuai untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang diampu.
3.4 Memilih materi pembelajaran yang diampu yang
terkait dengan pengalaman belajar dan tujuan
pembelajaran.
3.5 Menata materi pembelajaran secara benar sesuai
dengan pendekatan yang dipilih dan karakteristik
peserta didik.
3.6 Mengembangkan indikator dan instrumen penilaian.
4. Menyelenggarakan
pembelajaran yang
mendidik.
4.1 Memahami prinsip-prinsip perancangan
pembelajaran yang mendidik.
4.2 Mengembangkan komponen-komponen rancangan
pembelajaran.
4.3 Menyusun rancangan pembelajaran yang lengkap,
baik untuk kegiatan di dalam kelas, laboratorium,
maupun lapangan.
4
4.4 Melaksanakan pembelajaran yang mendidik di kelas,
di laboratorium, dan di lapangan dengan
memperhatikan standar keamanan yang
dipersyaratkan.
4.5 Menggunakan media pembelajaran dan sumber
belajar yang relevan dengan karakteristik peserta
didik dan mata pelajaran yang diampu untuk
mencapai tujuan pembelajaran secara utuh.
4.6 Mengambil keputusan transaksional dalam
pembelajaran yang diampu sesuai dengan situasi
yang berkembang.
5
.
Memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi
Untuk kepentingan
pembelajaran.
5.1 Memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi dalam pembelajaran yang diampu.
6
.
Memfasilitasi
pengembangan potensi
peserta didik untuk
mengaktualisasikan
berbagai potensi yang
dimiliki.
6.1 Menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran
untuk mendorong peserta didik mencapai prestasi
secara optimal.
6.2 Menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran
untuk mengaktualisasikan potensi peserta didik,
termasuk kreativitasnya.
7
.
Berkomunikasi secara
efektif, empatik, dan
santun dengan peserta
didik.
7.1 Memahami berbagai strategi berkomunikasi yang
efektif, empatik, dan santun, secara lisan, tulisan,
dan/atau bentuk lain.
7.2 Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun
dengan peserta didik dengan bahasa yang khas dalam
interaksi kegiatan/permainan yang mendidik yang
terbangun secara siklikal dari (a) penyiapan kondisi
psikologis peserta didik untuk ambil bagian dalam
permainan melalui bujukan dan contoh, (b) ajakan
kepada peserta didik untuk ambil bagian, (c) respons
peserta didik terhadap ajakan guru, dan (d) reaksi
5
8
.
Menyelenggarakan
penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar.
8.1 Memahami prinsip-prinsip penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar sesuai dengan karakteristik
mata pelajaran yang diampu.
8.2 Menentukan aspek-aspek proses dan hasil belajar
yang penting untuk dinilai dan dievaluasi sesuai
dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu.
8.3 Menentukan prosedur penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar.
8.4 Mengembangkan instrumen penilaian dan
evaluasi proses dan hasil belajar.
8.5 Mengadministrasikan penilaian proses dan hasil
belajar secara berkesinambungan dengan
mengunakan berbagai instrumen.
8.6 Menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar
untuk berbagai tujuan.
8.7 Melakukan evaluasi proses dan hasil belajar.
9
.
Memanfaatkan hasil
penilaian dan evaluasi untuk
kepentingan pembelajaran.
9.1 Menggunakan informasi hasil penilaian dan
evaluasi untuk menentukan ketuntasan belajar
9.2 Menggunakan informasi hasil penilaian dan
evaluasi untuk merancang program remedial dan
pengayaan.
9.3 Mengkomunikasikan hasil penilaian dan evaluasi
kepada pemangku kepentingan.
9.4 Memanfaatkan informasi hasil penilaian dan
evaluasi pembelajaran untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran.
6
(Sumber: Permendikbud No. 16 Tahun 2007)
D. Ruang Lingkup
Penyusunan sumber belajar ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran ringkas
bagi guru tentang kompetensi pedagogik yang harus dikuasai Guru. Dalam sumber
belajar ini akan dibahas secara singkat 8 kegiatan pembelajaran dimana pada
masing-masing kegiatan pembelajaran akan diberikan Tujuan, Indikator Pencapaian
Kompetensi, Uraian Materi, Latihan, Umpan Balik dan Tindak Lanjut, serta Daftar
Pustaka yang bisa dirujuk untuk mempelajari lebih jauh uraian materi yang telah
diberikan.
Materi yang dibahas dalam sumber belajar ini tertuang dalam 8 kegiatan belajar
sebagai berikut ini.
Kegiatan Belajar 1 : Karakteristik Siswa
Kegiatan Belajar 2 : Teori Belajar
Kegiatan Belajar 3 : Kurikulum 2013
Kegiatan Belajar 4 : Desain Pembelajaran
Kegiatan Belajar 5 : Media Pembelajaran
Kegiatan Belajar 6 : Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan Belajar 7 : Penilaian dan Evaluasi Pembelajaran
Kegiatan Belajar 8 : Refleksi Pembelajaran dan PTK
10. Melakukan tindakan
reflektif untuk peningkatan
kualitas
pembelajaran.
10.1 Melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah
dilaksanakan.
10.2 Memanfaatkan hasil refleksi untuk perbaikan dan
pengembangan pembelajaran dalam mata pelajaran
yang diampu.
10.3 Melakukan penelitian tindakan kelas untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran dalam mata
pelajaran yang diampu.
7
E. Saran Cara Penggunaan Sumber Belajar
Sumber belajar ini secara khusus diperuntukkan bagi guru yang akan mengikuti
pendidikan dan pelatihan kompetensi guru (PLPG) setelah menempuh Ujian
Kompetensi Guru (UKG) atau sedang belajar mandiri secara individu atau dengan
teman sejawat.
Berikut ini beberapa saran dalam cara penggunaan dan pemanfaatan sumber belajar
ini.
1. Bacalah sumber belajar ini secara runtut, dimulai dari Pendahuluan, agar dapat
lebih mudah dan lancar dalam mempelajari kompetensi dan materi dalam sumber
belajar ini.
2. Materi di dalam sumber belajar ini lebih bersifat ringkas dan padat, sehingga
dimungkinkan untuk menelusuri literatur lain yang dapat menunjang penguasaan
kompetensi.
3. Setelah melakukan aktivitas membaca sumber belajar, barulah berusaha sekuat
pikiran, untuk menyelesaikan latihan dan/atau tugas yang ada. Jangan tergoda
untuk melihat kunci dan petunjuk jawaban. Kemandirian dalam mempelajari
sumber belajar ini akan menentukan seberapa jauh penguasaan kompetensi.
4. Setelah memperoleh jawaban atau menyelesaikan tugas, bandingkan dengan
kunci atau petunjuk jawaban.
5. Lakukan refleksi berdasarkan proses belajar yang telah dilakukan dan
penyelesaian latihan/tugas.. Hasil refleksi yang dapat terjadi antara lain
ditemukan beberapa bagian yang harus direviu dan dipelajari kembali, ada bagian
yang perlu dipertajam atau dikoreksi, dan lain lain.
6. Setelah mendapatkan hasil refleksi, rencanakan dan lakukan tindak lanjut yang
relevan.
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATERI PEDAGOGIK
BAB II
KARAKTERISTIK SISWA
Prof. Dr. Sunardi, M.Sc
Dr. Imam Sujadi, M.Si
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
1
KEGIATAN BELAJAR 1: KARAKTERISTIK SISWA
A. Tujuan
Modul ini disusun untuk menjadi bahan belajar bagi guru terkait materi
karakteristik siswa dalam program Guru Pembelajar. Tujuan belajar yang akan
dicapai adalah memahami tahap-tahap perkembangan siswa sehingga dapat
menyediakan materi pelajaran dan metode penyampaian yang sesuai dengan
karakteristik siswa sesuai dengan tahap perkembangannya
B. Indikator Pencapaian Kompetensi
1. Kompetensi Inti
Menguasai karakteristik siswa dari aspek fisik, moral, kultural, emosional, dan
intelektual
2. Kompetensi Guru Mata Pelajaran
a. Memahami karateristik siswa yang berkaitan dengan aspek fisik,
intelektual, sosial-emosional, moral, spiritual, dan latar belakang sosial
budaya sesuai dengan tahap perkembangannya
b. Menyiapkan dan materi pelajaran sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
c. Marancang kegiatan pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa
berdasarkan pada tahap perkembangannya.
C. Uraian Materi
Siswa sebagai subyek pembelajaran merupakan individu aktif dengan berbagai
karakteristiknya, sehingga dalam proses pembelajaranjh terjadi interaksi timbal
balik, baik antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa. Oleh
karena itu, salah satu dari kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru adalah
memahami karakteristik anak didiknya, sehingga tujuan pembelajaran, materi
yang disiapkan, dan metode yang dirancang untuk menyampaikannya benar-benar
sesuai dengan karakteristik siswanya.
Perbedaan karakteristik anak salah satunya dapat dipengaruhi oleh
perkembangannya. Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu
2
sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemkuan spermatozoid dengan sel telur
sampai dengan dewasa.
1. Metode dalam psikologi perkembangan
Ada dua metode yang sering dipakai dalam meneliti perkembangan manusia, yaitu
longitudinal dan cross sectional. Dengan metode longitudinal, peneliti mengamati
dan mengkaji perkembangan satu atau banyak orang yang sama usia dalam waktu
yang lama. Misalnya penelitan Luis Terman (dalam Clark, 1984) yang mengikuti
perkembangan sekelompok anak jenius dari masa prasekolah sampai masa
dewasa waktu mereka sudah mencapai karier dan kehidupan yang mapan.
Perbedaan karakteristik setiap saat itulah yangt diasumsikan sebagai tahap
perkembangan. Penelitian dengan metode longitudinal mempunyai kelebihan,
yaitu kesimpulan yang diambil lebih meyakinkan, karena membandingkan
karakteristik anak yangbvsama pada usia yang berbeda-beda, sehingga setiapo
perbedaan dapat diasumsiukan sebagai hasil perkembangan dan pertumbuhan.
Tetapi, metode ini memerlukan waktu sangat lama untuk mendapat hasil yang
sempurna.
Dengan metode cross sectional, peneliti mengamati dan mengkaji banyak anak
dengan berbagai usia dalam waktu yang sama. Misalnya, penelitian yang pernah
dilakukan oleh Arnold Gessel (dalam Nana Saodih Sukmadinata, 2009) yang
mempelajari ribuan anak dari berbagai tingkatan usia, mencatat ciri-ciri fisik dan
mentalnya, pola-pola perkembangan dan memampuannya, serta perilaku mereka.
Perbedaan karakteristik setiap kelompok itulah yang diasumsikan sebagai tahapan
perkembangan. Dengan pendekatan cross-sectional, proses penelitian tidak
memerlukan waktu lama, hasil segera dapat diketahui. Kelemahannya, peneliti
menganalisis perbedaan karakteristik anak-anak yang berbeda, sehingga
diperlukan kehati-hatian dalam menarik kesimpulan, bahwa perbedaan itu
semata-mata karena perkembangan.
2. Pendekatan dalam psikologi perkembangan
Manusia merupakan kesatuan antara jasmani dan rohani yang tidak dapat dipisah-
pisahkan. Manusia merupakan individu yang kompleks, terdiri dari banyak aspek,
termasuk jsamani, intelektual, emosi, moral, social, yang membentuk keunikan
3
pada setiap orang. Kajian perkembangan manuasi dapat menggunakan
pendekatan menyeluruh atau pendekatan khusus (Nana Sodih Sukmadinata,
2009). Menganalisis seluruh segi perkembangan disebut pendekatan menyeluruh
/ global. Segala segi perkembangan dideskripsikan dalam pendekatan ini, seperti
perkembangan fisik, motorik, social, intelektual, moral, intelektual, emosi, religi,
dsb.
Walaupun demikian, untuk mempermudah penelitian, pembahasan dapat
dilakukan per aspek perkembangan. Misalnya, ada peneliti yang memfokuskan
kajiannya pada perkambangan aspek fisik saja, aspek intelektual saja, aspek moral
saja, aspek emosi saja, dsb. Inilah yang dikenal dengan pendekatan khusus
(spesifik).
3. Teori perkembangan
Ada berbagai teori perkembangan. Dalam buku ini akan dibahas beberapa teori
yang sering menjadi acuan dalam bidang pendidikan, yaitu teori yang termasuk
teori menyeluruh / global ( Rousseau, Stanley Hall, Havigurst), dan teori yang
termasuk khusus / spesifik (Piaget, Kohlbergf, Erikson), seperti yang diuraikan
dalam Nana Saodih Sukmadinata (2009).
a. Jean Jacques Rousseau
Jean Jacques Rousseau merupakan ahli pendidikan beraliran liberal yang
menjadi pendorong pembelajaran discovery. Rousseau mulai mendakan
kajian pada 1800an. Menurutn Rousseau, perkembangan anak terbagi
menjadi empat tahap, yaitu
1) Masa bayi infancy (0-2 tahun).
Oleh Rousseau, usia antara 0-2 tahun adalah masa perkembangan fisik.
Kecepatan pertumbuhan fisik lebih dominan dibandingkan perkembangan
aspek lain, sehingga anak disebut sebagai binatang yang sehat.
2) Masa anak / childhood (2-12 tahun)
Masa antara 2-12 tahun disebut masa perkembangan sebagai manusia
primitive. Kecuali masih terjadi pertumbuhan fisik secara pesat, aspek lain
sebagai manusia juga mulai berkembang, misalnya kemampuan berbicara,
berfikir, intelektual, moral, dll.
4
3) Masa remaja awal / pubescence (12-15 tahun)
Masa usia 12-15, disebut masa remaja awal / pubescence, ditandai dengan
perkembangan pesat intelektual dan kemampuan bernalar juga disebut
masa bertualang.
4) Masa remaja / adolescence (15-25 tahun)
Usia 15-25 tahun disebut maswa remaja / adolescence. Pada masa ini
tejadi perkembangan pesat aspek seksual, social, moral, dan nurani, juga
disebut masa hidup sebagai manusia beradab.
b. Stanley Hall
Stanley Hall, seorang psikolog dari Amerika Serikat, merupakan salah satu
perintis kajian ilmiah tentang siklus hidup (life span) yang berteori bahwa
perubahan menuju dewasa terjadi dalam sekuens (urutan) yang universal
bagian dari proses evolusi, parallel dengan perkembangan psikologis, namun
demikian, factor lingkungan dapat mempengaruhi cepat lambatnya
perubahan tersebut. Misalnya, usia enam tahun adalah usia masuk sekolah di
lingkungan tertentu, tetapi ada yang memulai sekolah pada usia lebih lambat
di lingkungan yang lain. Konsekuensinya, irama perkembangan anak di kedua
lingkungan tersebut dapat berbeda. Stanley Hall membagi masa
perkembangan menjadi empat tahap, yaitu:
1) Masa kanak-kanak / infancy (0-4 tahun)
Pada usia-usia ini, perkembangan anak disamakan dengan binatang, yaitu
melata atau berjalan.
2) Masa anak / childhood (4-8 tahun)
Oleh Hall, masa ini disebut masa pemburu, anak haus akan pemahaman
lingkungannya, sehingga akan berburu kemanapun, mempelajari
lingkungan sekitarnya.
3) Masa puber / youth 8-12 tahun)
Pada masa ini anak tumbuh dan berkembang tetapi sebhagai makhluk yang
belum beradab. Banyak hal yang masih harus dipelajari untuk menjadi
5
makhluk yang beradab di lingkungannya, seperti yangt berkaitan dengan
social, emosi, moral, intelektual.
4) Masa remaja / adolescence (12 – dewasa)
Pada masa ini, anak mestinya sudah menjadi manusia beradab yang dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dunia yang selalu berubah.
Perspektif life span seperti yang dipelopori oleh Stanley Hall dkk. Dapat
dibuktikan pada tahap masa remaja sampai dewasa. Misalnya, pada
masyarakat tertentu yang masih terbelakang, anak justru cepat menjadi
dewasa. Karena pendidikan hanya tersedia sampai sekolah dasar,
masayrakat cenderung mulai bekerja dan berkeluarga dalam usia muda.
Sebaliknya, pada masyarakat yang semua warganegaranya mencapai
pendidikan tinggi, anak-anak menjadi dewasa pada usia yang lebih lanjut.
c. Robert J. Havigurst
Robert J. Havigurst dari Universitas Chicago mulai mengembangkan konsep
developmental task (tugas perkembangan) pada tahun 1940an, yang
menggabungkan antara dorongan tumbuh / berkembang sesuai dengan
kecepatan pertumbuhannya denga tantangan dan kesempatan yang diberikan
oleh lingkungannya. Havigurst menyusun tahap-tahap perkembangan menjadi
lima tahap berdasarkan problema yang harus dipecahkan dalam setiap fase.,
yaitu:
1) Masa bayi / infancy (0 – ½ tahun)
2) Masa anak awal / early childhood (2/3 – 5/7 tahun)
3) Masa anak / late childhood (5/7 tahun – pubesen)
4) Masa adolesense awal / early adolescence (pubesen – pubertas_)
5) Masa adolescence / late adolescence (pubertas – dewasa)
Menurut teori ini, dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap
perkembangan (developmental stages) Aada sepuluh tugas perkembangan
yang harus dikuasai anak pada setiap fase, yaitu:
1) Ketergantungan – kemandirian
2) Memberi – menerima kasih saying
3) Hubungan social
6
4) Perkembangan kata hati
5) Peran biososio dan psikologis
6) Penyesuaian dengan perubahan badan
7) Penguasaan perubahan badan dan motorik
8) Memahai dan mengendalikan lingkungan fisik
9) Pengembangan kemampuan konseptual dan sistem symbol
10) Kemampuan meolihat hubungan denganh alam semesta
Dikuasai atau tidaknya tugas perkembangan pada setiap fase akan
mempengaruhi penguasaan tugas-tugas pada fase berikutnaya.
d. Jean Piaget
Jean Piaget latar belakangnya adalah pakar biology dari Swiss yang hidup pada
tahun 1897 sampai tahun 1980 (Harre dan Lamb), 1988). Teri-teorinya
dikembangkan dari hasil pengamatan terhadap tiga orang anak kandungnya
sendiri, kebanyakan berdasarkan hasil pengamatan pembicaraanya dengan
anak atau antar anak-anak sendiri. Piaget lebih memfokuskan kajiannya dalam
aspek perkembangan kognitif anak dan mengelompokkannya dalam empat
tahap, yaitu:
1) Tahap sensorimotorik (0-2 tahun)
Tahap ini juga disebut masa discriminating dan labeling. Pada masa ini
kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak reflex, bahasa awal, dan
ruang waktu sekarang saja.
2) Tahap praoperasional (2-4 ahun)
Pada tahap praoperasional, atau prakonseptual, atau disebut juga dengan
masa intuitif, anak mulai mengembangkan kemampuan menerima stimulus
secara terbatas. Kemampuan bahasa mulai berkembang, pemikiran masih
statis, belum dapat berfikir abstrak, dan kemampuan persepsi waktu dan
ruang masih terbatas.
7
3) Tahap operasional konkrit (7-11 tahun)
Tahap ini juga disebut masa performing operation. Pada masa ini, anak
sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan,
menyusun, menderetkan, melipat, dan membagi.
4) Tahap operasonal formal (11-15 tahun)
Tahap ini juga disebut masa proportional thinking. Pada masa ini, anak
sudah mampu berfikir tingkat tinggi, seperti berfikir secara deduktif,
induktif, menganalisis, mensintesis, mampu berfikir secara abstrak dan
secara reflektif, serta mampu memecahkan berbagai masalah.
e. Lawrence Kohlberg
Mengacu kepada teori perkembangan Piaget yang berfokus pada
perkembangan kognitif, Kohlberg lebih berfokus pada kognitif moral atau
moral reasoning. Kemampuan kognitif moral seseorang dapat diukur dengan
menghadapkannya dengan dilemna moral hipotesis yang terkait dengan
kebenaran, keadilan, konflik terkait aturan dan kewajiban moral.
Manurut Kohlberg, perkembangan moral kognitif anak terbagi menjadi tiga
tahapan, yaitu:
1) Preconventional moral reasoning
a) Obidience and paunisment orientation
Pada tahap ini, orientasi anak masih pada konsekuensi fisik dari
perbuatan benar – salahnya, yaitu hukuman dan kepatuhan. Mereka
hormat kepada penguasa, penguasalah yang menetapkan aturan /
undang-undang, mereka berbuat benar untuk menghindari hukuman.
b) Naively egoistic orientation
Pada tahap ini, anak beorientasi pada instrument relative. Perbuatan
benar adalah perbuatan yang secara instrument memuaskan
keinginannya sendiri dan (kadang-kadang) juga orang lain.
Kepeduliannya pada keadilan / ketidakadilan bersifat pragmatic, yaitu
apakah mendatangkan keuntungan atau tidak.
8
2) Conventional moral reasoning
a) Good boy orientation
Pada tahap ini, orientasi perbuatan yang baik adalah yang
menyenangkan, membantu, atau diepakati oleh orang lain. Orientasi
ini juga disebut good / nice boy orientation. Anak patuh pada karakter
tertentu yang dianggap alami, cenderung mengembangkan niat baik,
menjadi anak baik, saling berhubungan baik, peduli terhadap orang
lain.
b) Authority and social order maintenance orientation
Pada tahap ini, orientasi anak adalah pada aturan dan hukum. Anak
menganggap perlunya menjaga ketertiban, memenuhi kewajiban dan
tugas umum, mencegah terjadinya kekacauan system. Hukum dan
perintah penguasa adalah mutlak dan final, penekanan pada kewajiban
dan tugas terkait dengan perannya yang diterima di masyarakat dan
public.
3) Post conventional moral reasoning
a) Contranctual legalistic orientation
Pada tahap ini, orientasi anak pada legalitas kontrak social. Anak mulai
peduli pada hak azasi individu, dan yang baik adalah yang disepakati
oleh mayoritas masyarakat. Anak menyadari bahwa nilai (benar/salah,
baik/buruk, suka/tidak sukad, dll) adalah relative, menyadari bahea
hukum adalah intrumen yang disetujui untuk mengatur kehidupan
masyarakat, dan itu dapat diubha melalui diskusi apabila hukum gagal
mengetur masyarakat.
b) Conscience or principle orientation
Pada tahap ini, orientasi adalah pada prinsip-prinsip etika yang bersifat
universal. Benar-salah harus disesuaikan dengan tuntutan prinsip-
prinsip etika yang bersifat ini sari dari etika universal. Aturan hukum
legal harus dipisahkan dari aturan moral. Masing-masing (kukum legal
dan moral) harus diakui terpisah, masing-masing mempunyai
9
penerapannya sendiri, tetapi tetap mengacu pada nilai-nilai etika /
moral.
f. Erick Homburger Erickson
Erickson merupakan salah seorang tokoh psikoanalisis pengikut Sigmund
Freud. Dia memusatkan kajiannya pada perkembangan psikososial anak.
Menurut Erickson (dalam Harre dan Lamb, 1988), dalam perkembangan, anak
melewati delapan tahap perkembangan (developmental stages), disebut siklus
kehidupan (life cycle) yang ditandai dengan adanya krisis psikososial tertentu.
Teori Erickson ini secara luas banyak diterima, karena menggambarkan
perkembangan manuasia mencakup seluruh siklus kehidupan dan mengakui
adanya interaksi antara individu dengan kontek social. Kedelapan tahap
tersebut digambarkan pada table 1.1.
Tabel 1.1: Perkembangan Psikososial Erickson
TAHAP USIA KRISIS PSIKOSOSIAL KEMAMPUAN
I 0-1 Basic trust vs mistrust Menerima, dan
sebaliknya, memberi
II 2-3 Autonomy vs shame and
doubt
Menahan atau
membiarkan
III 3-6 Initiative vs guilt Menjadikan (seperti)
permainan
IV 7-12 Industry vs inferiority Membuat atau
merangkai sesuatu
V 12-18 Identity vs role confusion Menjadi diri sendiri,
berbagi konsep diri
VI 20an Intimacy vs isolation Melepas dan
mencari jati diri
VII 20-50 Generativity vs stagnation Membuat,
memelihara
VII >50 Ego integrity vs despair
10
Pada tahap Basic trust vs mistrust (infancy – bayi), anak baru mulai mengenal
dunia, perhatian anak adalah mencari rasa aman dan nyaman. Lingkungan dan
sosok yang mampu menyediakan rasa nyaman / aman itulah yang dipercaya
oleh anak, sebalinya, yang menjadikan sebaliknya, cenderung tidak dipercaya.
Rasa aman dan nyaman ini terkait dengan kebutuhan primer seperti makan,
minum, pakaian, kasih sayang. Sosok ibu atau pengasuh biasanya sangat
dipercaya karena setiap mendatangkan kenyamanan. Sedangkan orang yang
dianggap asing akan ditolaknya.
Pada tahap Autonomy vs shame and doubt (toddler – masa bermain), anak
tidak ingin sepenuhnya tergantung pada orang lain. Aanak mulai mempunyai
keinginan dan kemauan sendiri. Dalam masa ini, orangtua perlu memberikan
kebebasan yang terkendali, karena apabila anak terlalu dikendalikan / didikte,
pada diri anak dapat tumbuh rasa selalu was-was, ragu-ragu, kecewa.
Pada tahap Initiative vs guilt (preschool – prasekolah), pada diri anak mulai
tumbuh inisiatif yang perlu difasilitasi, didorong, dan dibimbing oleh orang
dewasa disekitarnya. Anak mulai bertanggungjawab atas dirinya sendiri.
Berbagai aktifitas fisik seperti bermain, berlari, lompat, banyak dilakukan.
Kurangnya dukungan dari lingkungan, misalnya terlalu dikendalikan,
kurangnya fasilitas, sehingga inisiatifnya menjadi terkendala, pada diri anak
akan timbul rasa kecewa dan bersalah.
Pada tahap ini, Industry vs inferiority (schoolage – masa sekolah), anak
cenderung luar biasa sibuk melakukan berbagai aktifitas yang diharapkan
mempunyai hasil dalam waktu dekat. Keberhasilan dalam aktifitas ini akan
menjadikan anak merasa puas dan bangga. Sebaliknya, jika gagal, anak akan
merasa rendah diri. Oleh karena itu, anak memerlukan bmbngan dan fasilitasi
agar tidak gagal dan setiap aktifitasnya.
Pada tahap Identity vs role confusion (asolescence – remaja), anak dihadapkan
pada kondisi pencarian identittas diri. Jatidiri ini akan akan berpengaruh besar
pada masa depannya. Pengaruh lingkungan sangat penting. Lingkungan yang
baik akan menjadikan anak memiliki jati diri sebagai orang baik, sebaliknya
lingkunganh yang tidak baik anak membawanya menjadi pribadi yang kurang
11
baik. Orang tua harus menjamin bahwa anak berada dalam lingkungan yang
baik, sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi, misalnya menjadi
anggota geng anak nakal, anak jalanan, pemabuk, narkoba, dll., adalah
disebabkan karena anak keliru dalam membangun identitas diri.
Pada tahap Intimacy vs isolation (young adulthood – dewasa awal), anak mulai
menyadari bahwa meskipun dalam banyak hal memerlukan komunikasi
dengan masyarakat dan teman sebaya, dalam hal-hal tertentu, ada yang
memang harus bersifat privat. Ada hal-hal yang hanya dibicarakan dengan
orang tertentu, ada orang tertentu tempat mencurahkan isi hati, memerlukan
orang yang lebih dekat secara pribadi, termasuk pasangan lawan jenis.
Kegagalan pada tahp ini dapat mengakibatkan anak merasa terisolasi di
kehidupan masyarakat.
Tahap Generativity vs stagnation (middle adulthood – dewasa tengah-tengan)
menandai munculnya rasa tanggungjawab atas generasi yang akan datang.
Bentuk kepedulian ini tidak hanya dalam bentuk peran sebagai orangtua,
tetapi juga perhatian dan kepeduliannya pada anak-anak yang merupakan
generasi penerus. Ada rasa was-was akan generasi penerusnya
(keturunannya), seperti apakah mereka nanti, bahagiakah, terpenuhi
kebutuhannyakah? Atau akan stagnan, bertenti sama sekali.
Tahap ini, Ego integrity vs despair (later adulthood – dewasa akhir), adalah
tahap akhir dari siklus kehidupan. Individu akan melakukan introspeksi,
mereview kembali perjalanan kehidupan yang telah dilalui dari hari ke hari,
dari tahun ke tahun, dari karier satu ke karier lainnya. Yang pali ng diharapkan
adalah jika tidak ada penyesalan.
D. Daftar Pustaka
1. Clark, b. (1984). Growing Up Gifted. Boston, MA: . Prentice Hall.
2. Harre, R. & Lamb, R. (eds). (1988). The encyclopedic Dictionary of Psychology.
Cambridge, MA: MIT Press.
12
3. Sugiman, Sumardiyono, Marfuah (2016). Guru Pembelajar : Modul
Matematika SMP – Karakteristik Siswa . Jakarta: Dtjen Guru Dan Tenaga
Kependidikan.
4. Sukmadinata, N.S.(2009). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATERI PEDAGOGIK
BAB III
TEORI BELAJAR
Prof. Dr. Sunardi, M.Sc
Dr. Imam Sujadi, M.Si
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
1
KEGIATAN BELAJAR 2: TEORI BELAJAR
A. Tujuan
Peserta pelatihan dapat menjelaskan teori belajar dan mampu memberikan
contoh penerapannya dalam pembelajaran matematika.
B. Indikator Pencapaian Kompetensi
1. Mampu mendeskripsikan teori belajar behavioristik
2. Mampu mendeskripsikan teori belajar Vygotsky
3. Mampu mendeskripsikan teori belajar van Hiele
4. Mampu mendeskripsikan teori belajar Ausubel
5. Mampu mendeskripsikan teori belajar Bruner
6. Mampu menerapkan teori belajar dalam pembelajaran matematika
C. Uraian Materi
Dalam proses mengajar belajar, penguasaan seorang guru dan cara
menyampaikannya merupakan syarat yang sangat essensial. Penguasaan guru
terhadap materi pelajaran dan pengelolaan kelas sangatlah penting, namun
demikian belum cukup untuk menghasilkan pembelajaran yang optimal. Selain
menguasai materi matematika guru sebaiknya menguasai tentang teori-teori
belajar, agar dapat mengarahkan peserta didik berpartisipasi secara intelektual
dalam belajar, sehingga belajar menjadi bermakna bagi siswa. Hal ini sesuai
dengan isi lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas)
Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Guru yang menyebutkan bahwa penguasaan teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik menjadi salah satu unsur kompetensi pedagogik
yang harus dimiliki guru.
Jika seorang guru akan menerapkan suatu teori belajar dalam proses
belajar mengajar, maka guru tersebut harus memahami seluk beluk teori belajar
tersebut sehingga selanjutnya dapat merancang dengan baik bentuk proses
belajar mengajar yang akan dilaksanakan. Psikologi belajar atau disebut dengan
Teori Belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental)
2
siswa. Di dalamnya terdiri atas dua hal, yaitu: (1) uraian tentang apa yang terjadi
dan diharapkan terjadi padaintelektual anak, (2) uraian tentang kegiatan
intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu.
Terdapat dua aliran dalam psikologi belajar, yakni aliran psikologi tingkah laku
(behavioristic)dan aliran psikologi kognitif.
1. Teori belajar behavioristik
Psikologi belajar atau disebut juga dengan teori belajar adalah teori
yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) individu (Suherman, dkk:
2001: 30). Didalamnya terdapat dua hal, yaitu 1) uraian tentang apa yang terjadi
dan diharapkan terjadi pada intelektual; dan 2) uraian tentang kegiatan
intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu. Dikenal
dua teori belajar, yaitu teori belajar tingkah laku (behaviorism) dan teori belajar
kognitif. Teori belajar tingkah laku dinyatakan oleh Orton (1987: 38) sebagai
suatu keyakinan bahwa pembelajaran terjadi melalui hubungan stimulus
(rangsangan) dan respon (response). Berikut dipaparkan empat teori belajar
tingkah laku yaitu teori belajar dari Thorndike, Skinner, Pavlov, dan Bandura.
a. Teori Belajar dari Thorndike
Edward Lee Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan beberapa hukum
belajar yang dikenal dengan sebutan Law of effect. Belajar akan lebih
berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan
rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa timbul
sebagai akibat anak mendapatkan pujian atau ganjaran lainnya. Stimulus ini
termasuk reinforcement. Setelah anak berhasil melaksanakan tugasnya
dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul kepuasan diri sebagai
akibat sukses yang diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada
gilirannya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut
juga teori belajar koneksionisme.Pada hakikatnya belajar merupakan proses
pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil
atau hukum yang terkait dengan teori koneksionisme yaitu hukum kesiapan
3
(law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of
effect).
1) Hukum kesiapan (law of readiness) menjelaskan kesiapan seorang anak
dalam melakukan suatu kegiatan. Seorang anak yang mempunyai
kecenderungan untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu
kemudian melakukan kegiatan tersebut, maka tindakannya akan
melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-tindakan lain yang dia
lakukan tidak menimbulkan kepuasan bagi dirinya.
2) Hukum latihan (law of exercise) menyatakan bahwa jika hubungan
stimulus- respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin kuat,
sedangkan makin jarang hubungan stimulus-respon dipergunakan, maka
makin lemah hubungan yang terjadi. Hukum latihan pada dasarnya
menggunakan dasar bahwa stimulus dan respon akan memiliki
hubungan satu sama lain secara kuat, jika proses pengulangan sering
terjadi, makin banyak kegiatan ini dilakukan maka hubungan yang
terjadi akan bersifat otomatis. Seorang anak yang dihadapkan pada
suatu persoalan yang sering ditemuinya akan segera melakukan
tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu
sebelumnya.
3) Hukum akibat (law of effect) menjelaskan bahwa apabila asosiasi yang
terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka
asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti bahwa kepuasan yang
terlahir dari adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan bagi
anak, dan anak cenderung untuk berusaha melakukan atau meningkatkan
apa yang telah dicapainya itu.
Selanjutnya Thorndike mengemukakan hukum tambahan sebagai berikut:
1) Hukum reaksi bervariasi (law of multiple response)
Individu diawali dengan proses trial and error yang menunjukkan
bermacam- macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam
memecahkan masalah yang dihadapi.
4
2) Hukum sikap (law of attitude)
Perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus
dan respon saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri
individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
3) Hukum aktivitas berat sebelah (law of prepotency element)
Individu dalam proses belajar memberikan respons pada stimulus tertentu
saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
4) Hukum respon melalui analogi (law of response by analogy)
Individu dapat melakukan respons pada situasi yang belum pernah dialami
karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang
belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami
sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah
dikenal ke situasi baru. Semakin banyak unsur yang sama, maka transfer
akan semakin mudah.
5) Hukum perpindahan asosiasi (law of associative shifting)
Proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum
dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit
demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian
teorinya, Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar antara lain:
1) Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak
cukup untuk memperkuat hubungan stimulus-respons, sebaliknya tanpa
pengulangan belum tentu akan memperlemah hubungan stimulus-respons.
2) Hukum akibat (law of effect) direvisi, karena dalam penelitiannya lebih
lanjut ditemukan bahwa hanya sebagian saja dari hukum ini yang benar. Jika
diberikan hadiah (reward) maka akan meningkatkan hubungan stimulus-
respons, sedangkan jika diberikan hukuman (punishment) tidak berakibat apa-
apa.
5
3) Syarat utama terjadinya hubungan stimulus-respons bukan kedekatan,
tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respons.
4) Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada
individu lain.
Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-
hari adalah bahwa:
1) Untuk menjelaskan suatu konsep, guru sebaiknya mengambil contoh
yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat
peraga dari alam sekitar akan lebih dihayati.
2) Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice) akan lebih
cocok untuk penguatan dan hafalan. Dengan penerapan metode tersebut
siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga respon yang
diberikan pun akan lebih banyak.
3) Hierarkis penyusunan komposisi materi dalam kurikulum merupakan hal
yang penting.Materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar
sesuai dengan tingkat kelas, dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang
lebih mudah sebagai akibat untuk dapat menguasai materi yang lebih
sukar. Dengan kata lain topik (konsep) prasyarat harus dikuasai dulu agar
dapat memahami topik berikutnya.
b. Teori Belajar Pavlov
Pavlov terkenal dengan teori belajar klasik. Pavlov mengemukakan
konsep pembiasaan (conditioning). Terkait dengan kegiatan belajar
mengajar, agar siswa belajar dengan baik maka harus dibiasakan. Misalnya,
agar siswa mengerjakan soal pekerjaan rumah dengan baik, biasakanlah
dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau memberi nilai terhadap hasil
pekerjaannya.
6
c. Teori Belajar Skinner
Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan
mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar. Terdapat
perbedaan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran merupakan respon
yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang sifatnya
subjektif, sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan
meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah pada hal-hal
yang dapat diamati dan diukur.
Skinner menyatakan bahwa penguatan terdiri atas penguatan positif dan
penguatan negatif. Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jika
penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku anak dalam
melakukan pengulangan perilakunya itu. Dalam hal ini penguatan yang
diberikan pada anak memperkuat tindakan anak, sehingga anak semakin
sering melakukannya. Contoh penguatan positif diantaranya adalah pujian
yang diberikan pada anak. Sikap guru yang bergembira pada saat anak
menjawab pertanyaan, merupakan penguatan positif pula. Untuk mengubah
tingkah laku anak dari negatif menjadi positif, guru perlu mengetahui
psikologi yang dapat digunakan untuk memperkirakan (memprediksi) dan
mengendalikan tingkah laku anak. Guru di dalam kelas mempunyai tugas
untuk mengarahkan anak dalam aktivitas belajar, karena pada saat
tersebut, kontrol berada pada guru, yang berwenang memberikan instruksi
ataupun larangan pada anak didiknya.
Penguatan akan berbekas pada diri anak. Mereka yang mendapat pujian
setelah berhasil menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan biasanya
akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat.
Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi anak untuk
rajin belajar dan mempertahankan prestasi yang diraihnya. Penguatan seperti
ini sebaiknya segera diberikan dan tak perlu ditunda-tunda. Karena
penguatan akan berbekas pada anak, sedangkan hasil penguatan diharapkan
positif, maka penguatan yang diberikan tentu harus diarahkan pada
7
respon anak yang benar. Janganlah memberikan penguatan atas respon anak
jika respon tersebut sebenarnya tidak diperlukan.
Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang efektivitas
pencapaian tujuan) harus segera diberi penguatan positif agar respon
tersebut lebih baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan.
Sebaliknya jika respon siswa kurang atau tidak diharapkan sehingga tidak
menunjang tujuan pengajaran, harus segera diberi penguatan negatif agar
respon tersebut tidak diulangi lagi dan berubah menjadi respon yang
sifatnya positif. Penguatan negatif ini bisa berupa teguran, peringatan, atau
sangsi (hukuman edukatif).
d. Teori belajar Bandura
Bandura mengemukakan bahwa siswa belajar melalui meniru. Pengertian
meniru di sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang
dilakukan oleh orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru
berbicara sopan santun dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar,
tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematik, maka
siswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun
menirunya. Dengan demikian guru harus menjadi manusia model yang
profesional.
Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks
otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori
belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan
prinsip modifikasi perilaku.Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) dari
Bandura didasarkan pada tiga konsep, yaitu:
1) Reciprocal determinism
Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk
interaksi timbal-balik yang terus menerus antara kognitif, tingkah laku,
dan lingkungan. Orang menentukan/mempengaruhi tingkahlakunya
8
dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh
kekuatan lingkungan itu.
2) Beyond reinforcement
Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada
reinforcement. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-
pilah untuk direforse satu persatu, bisa jadi orang malah tidak belajar
apapun. Menurutnya, reinforcement penting dalam menentukan apakah
suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-
satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu
hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya.
Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, berarti
tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.
3) Self-regulation/cognition
Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau
ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep
bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri
sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara
mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, dan mengadakan
konsekuensi bagi bagi tingkah lakunya sendiri.
Prinsip dasar belajar sosial (social learning) adalah:
1) Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan
(imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
2) Dalam hal ini, seorang siswa mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian
cara orang/sekelompok orang yang mereaksi/merespon sebuah stimulus
tertentu.
3) Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan
terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya: guru/orang tuanya.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan
moral siswa ditekankan pada perlunya pembiasaan merespons (conditioning)
dan peniruan (imitation).
9
Teori belajar sosial memiliki banyak implikasi untuk penggunaan di dalam
kelas, yaitu:
1) Siswa sering belajar hanya dengan mengamati orang lain, yaitu guru.
2) Menggambarkan konsekuensi perilaku yang dapat secara efektif meningkatkan
perilaku yang sesuai dan menurunkan yang tidak pantas. Hal ini dapat
melibatkan berdiskusi dengan pelajar tentang imbalan dan konsekuensi dari
berbagai perilaku.
3) Modeling menyediakan alternatif untuk membentuk perilaku baru untuk
mengajar. Untuk mempromosikan model yang efektif, seorang guru harus
memastikan bahwa empat kondisi esensial ada, yaitu perhatian, retensi,
motor reproduksi, dan motivasi
4) Guru dan orangtua harus menjadi model perilaku yang sesuai dan berhati-
hati agar mereka tidak meniru perilaku yang tidak pantas,
5) Siswa harus percaya bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas-
tugas sekolah. Sehingga sangat penting untuk mengembangkan rasa
efektivitas diri untuk siswa. Guru dapat meningkatkan rasa efektivitas diri
siswa dengan cara menumbuhkan rasa percaya diri siswa, memperlihatkan
pengalaman orang lain menjadi sukses, danmenceritakan pengalaman
sukses guru atau siswa itu sendiri.
6) Guru harus membantu siswa menetapkan harapan yang realistis untuk prestasi
akademiknya. Guru harus memastikan bahwa target prestasi siswa tidak lebih
rendah dari potensi siswa yang bersangkutan.
7) Teknik pengaturan diri menyediakan metode yang efektif untuk meningkatkan
perilaku siswa.
2. Teori belajar Vygotsky
Menurut pandangan konstruktivisme tentang belajar, individu akan
menggunakan pengetahuan siap dan pengalaman pribadiyang telah dimilikinya
untuk membantu memahami masalah atau materi baru. King (1994)
menyatakan bahwa individu dapat membuat inferensi tentang informasi baru
itu, menarik perspektif dari beberapa aspek pada pengetahuan yang
10
dimilikinya, mengelaborasi materi baru dengan menguraikannya secara rinci, dan
menggeneralisasi hubungan antara materi baru dengan informasi yang telah ada
dalam memori siswa. Aktivitas mental seperti inilah yang membantu siswa
mereformulasi informasi baru atau merestrukturisasi pengetahuan yang telah
dimilikinya menjadi suatu struktur kognitif yang lebih luas/lengkap sehingga
mencapai pemahaman mendalam.
Lev Semenovich Vygotsky merupakan tokoh penting dalam konstruktivisme
sosial. Vygotsky menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu
konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Ada dua konsep penting dalam
teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat
perkembangan aktual (yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan
masalah secara mandiri) dan tingkat perkembangan potensial (yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa
atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu). Yang
dimaksud dengan orang dewasa adalah guru atau orang tua.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama
tahap- tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan
memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk,
dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah
pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan
siswa itu belajar mandiri.
Gambar 2.Tiga Tahap Pengkonstruksian Pengetahuan
11
Berdasarkan uraian di atas, Vygotsky menekankan bahwa pengkonstruksian
pengetahuan seorang individu dicapai melalui interaksi sosial. Proses
pengkonstruksian pengetahuan seperti yang dikemukakan Vygotsky paling tidak
dapat diilustrasikan dalam beberapa tahap seperti pada Gambar 2. Tahap
perkembangan aktual (Tahap I) terjadi pada saat siswa berusaha sendiri
menyudahi konflik kognitif yang dialaminya. Perkembangan aktual ini dapat
mencapai tahap maksimum apabila kepada mereka dihadapkan masalah
menantang sehingga terjadinya konflik kognitif di dalam dirinya yang memicu
dan memacu mereka untuk menggunakan segenap pengetahuan dan
pengalamannya dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Perkembangan potensial (Tahap II) terjadi pada saat siswa berinteraksi dengan
pihak lain dalam komunitas kelas yang memiliki kemampuan lebih, seperti
teman dan guru, atau dengan komunitas lain seperti orang tua. Perkembangan
potensial ini akan mencapai tahap maksimal jika pembelajaran dilakukan secara
kooperatif (cooperative learning) dalam kelompok kecil dua sampai empat
orang dan guru melakukan intervensi secara proporsional dan terarah. Dalam hal
ini guru dituntut terampil menerapkan teknik scaffolding yaitu membantu
kelompok secara tidak langsung menggunakan teknik bertanya dan teknik
probing yang efektif, atau memberikan petunjuk (hint) seperlunya.
Proses pengkonstruksian pengetahuan ini terjadi rekonstruksi mental yaitu
berubahnya struktur kognitif dari skema yang telah ada menjadi skema baru
yang lebih lengkap. Proses internalisasi (Tahap III) menurut Vygotsky merupakan
aktivitas mental tingkat tinggi jika terjadi karena adanya interaksi sosial. Jika
dikaitkan dengan teori perkembanga mental yang dikemukakan Piaget,
internalisasi merupakan proses penyeimbangan struktur-struktur internal dengan
masukan-masukan eksternal. Proses kognitif seperti ini, pada tingkat
perkembangan yang lebih tinggi diakibatkan oleh rekonseptualisasi terhadap
masalah atau informasi sedemikian sehingga terjadi keseimbangan
(keharmonisan) dari apa yang sebelumnya dipandang sebagai pertentangan atau
konflik. Pada level ini, diperlukan intervensi yang dilakukan secara sengaja oleh
12
guru atau yang lainnya sehingga proses asimilasi dan akomodasi berlangsung
dan mengakibatkan terjadinya keseimbangan (equilibrium).
Aplikasi pemikiran Vygotsky untuk mempelajari matematika menumbuhkan
pemahaman matematika dari koneksi pemikiran dengan bahasa matematika yang
baru dalam mengkreasipengetahuan.Mengkonstruksi pengetahuan merupakan
fokus yang krusial dari pembelajaran Matematika. Vygotsky percaya bahwa siswa
belajar untuk menggunakan bahasa baru dengan internalisasi pengetahuan dari
kata yang mereka katakan, pengembangan budaya siswa dari pengetahuan kata
dua proses fungsi. Pertama, pada tingkat sosial dan kedua, pada tingkat
individual dimana pengetahuan kata digeneralisasikan sebagai pemahaman.
Siswa menggunakandan menginternalisasikan kata-kata baru yang saat itu
diperoleh dari orang lain. Mereka selalu menemukan diri mereka
sendiri dalam Zona Pengembangan Proksimal (ZPD) sebagai pelajaran baru. ZPD
merupakan tempat pengetahuan seseorang di antara pengetahuan saat itu
dengan pengetahuan potensialnya.
3. Teori Belajar Van Hiele
Dalam pembelajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh van
Hiele (1954) yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam
geometri. van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan
penelitiandalam pembelajaran geometri. Penelitian yang dilakukan van Hiele
melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan
kognitif anak dalam memahami geometri. van Hielemenyatakan bahwa terdapat
5 tahap pemahaman geometri yaitu: pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi,
dan akurasi.
a) Tahap Visualisasi (Pengenalan)
Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu
keseluruhan (holistic). Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-
komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat
ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-
ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu bangun
13
bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri bangun
persegipanjang tersebut.
b) Tahap Analisis (Deskriptif)
Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-
ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah
terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan
mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh,
pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun
マerupakaミ persegipaミjaミg kareミa baミguミ itu さマeマpuミyai empat sisi, sisi-sisi
yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.ざ
c) Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional)
Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu
dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa
sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang
berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping
itu pada tingkat ini siswa sudah memahami pelunya definisi untuk tiap-tiap
bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara
bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa
sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang,
karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
d) Tahap Deduksi
Pada tingkat ini (1) siswa sudah dapat mengambil kesimpulan secara deduktif,
yakni menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus, (2) siswa mampu
memahami pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan
terorema-teorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai mampu menyusun
bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah
memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu
menggunakan proses berpikir tersebut.
14
Sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam
jajargenjang adalah 360° secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan
prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-motong
sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua
sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360° belum tuntas dan
belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada dasarnya
mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang sebenarnya. Jadi, mungkin
saja dapat keliru dalam mengukur sudut- sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu
pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada
matematika.
Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak
didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau
problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari
suatu sistem deduktif. Oleh karena itu, anak pada tahap ini belum dapat
マeミjawab pertaミyaaミ: さマeミgapa sesuatu itu perlu disajikaミ dalaマ beミtuk teoreマa atau dalil?ざ
e) Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan)
Pada tingkat ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-
prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Sudah memahami mengapa
sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa
betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan merupakan tahap
tertinggi dalam memahami geometri.
Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit, siswa
mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika
(termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang
konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan
adanya lebih dari satu geometri. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa
menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah,
maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini
15
siswa sudah memahami adanya geometri-geometri yang lain di samping
geometri Euclides.
Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam
memahami geometri, van Hiele juga mengemukakan bahwa terdapat tiga unsur
yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan
metode penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan
meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi
dari tahap yang sebelumnya.
Menurut van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-
tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya
tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki
suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan
siswa yang lain. Proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya
terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih
bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa. Bila
dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian
saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti.
Menurut van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah
tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang berada pada
tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk
memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan
melalui pengertian. Adapun fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan
belajar siswa dan peran guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan
itu. Fase-fase pembelajaran tersebut adalah: 1) fase informasi, 2) fase
orientasi, 3) fase eksplisitasi, 4) fase orientasi bebas, dan 5) fase integrasi.
Berdasar hasil penelitian di beberapa negara, tingkatan dari van Hiele berguna
untuk menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD sampai
Perguruan Tinggi.
Van de Walle (1990:270) membuat deskripsi aktivitas yang lebih sederhana
dibandingkan dengan deskripsi yang dibuat Crowley. Menurut Van de Walle
aktivitas pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap pertama adalah:
16
a. Aktivitas tahap 0 (visualisasi)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1) Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan untuk
memanipulasi.
2) Melibatkan berbagai contoh bangun-bangun yang bervariasi dan
berbeda sehingga sifat yang tidak relevan dapat diabaikan.
3) Melibatkan kegiatan memilih, mengidentifikasi dan mendeskripsikan
berbagai bangun, dan
4) Menyediakan kesempatan untuk membentuk, membuat, menggambar,
menyusun atau menggunting bangun.
b. Aktivitas tahap 1 (analisis)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1) Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama model-model yang
dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai sifat bangun.
2) Mulai lebih menfokuskan pada sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi
3) Mengklasifikasi bangun berdasar sifat-sifatnya berdasarkan nama
bangun tersebut.
4) Menggunakan pemecahan masalah yang melibatkan sifat-sifat bangun.
c. Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1) Melanjutkan pengklasifikasian model dengan fokus pada pendefinisian
sifat, membuat daftar sifat dan mendiskusikan sifat yang perlu dan
cukup untuk kondisi suatu bangun atau konsep.
2) Memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif informal, misalnya
semua, suatu, dan jika – maka, serta mengamati validitas konversi suatu
relasi.
3) Menggunakan model dan gambar sebagai sarana untuk berpikir dan
mulai mencari generalisasi atau kontra.
17
4. Teori Belajar Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Ausubel
memberi penekanan pada proses belajar yang bermakna. Teori belajar
Ausubel terkenal dengan belajar bermakna dan pentingnya pengulangan
sebelum belajar dimulai. Menurut Ausubel belajar dapat dikalifikasikan ke
dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau
materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau
penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagimana siswa dapat mengaitkan
informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada, yang meliputi fakta, konsep,
dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada
siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu
dalam bentuk final, maupun dengan bentuk belajar penemuan yang
mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi
yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan
informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya, dalam hal ini terjadi
belajar bermakna. Akan tetapi, siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba
menghafalkan informasi baru itu, tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep
yang telah ada dalam struktur kognitifnya, dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Menurut Ausubel & Robinson (dalam Dahar: 1989) kaitan antar kedua dimensi
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
18
Gambar 3. Bentuk-bentuk belajar (menurut Ausubel & Robinson, 1969)
Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru
pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. Dalam belajar bermakna informasi baru diasimilasikan pada
subsume-subsume yang telah ada. Ausubel membedakan antara belajar
menerima dengan belajar menemukan. Pada belajar menerima siswa hanya
menerima, jadi tinggal menghapalkannya, sedangkan pada belajar menemukan
konsep ditemukan oleh siswa, jadi siswa tidak menerima pelajaran begitu
saja. Selain itu terdapat perbedaan antara belajar menghafal dengan
belajar bermakna, pada belajar menghapal siswa menghafalkan materi yang
sudah diperolehnya, sedangkan pada belajar bermakna materi yang telah
diperoleh itu dikembangkannya dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih
dimengerti.
Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1988:116) prasyarat-prasyarat belajar
bermakna ada dua sebagai berikut. (1) Materi yang akan dipelajari harus
bermakna secara potensial; kebermaknaan materi tergantung dua faktor,
yakni materi harus memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang
relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. (2) Siswa yang akan
19
belajar harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna. Dengan
demikian mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna.
Prinsip-prinsip dalam teori belajar Ausubel
Menurut Ausubel faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah
apa yang sudah diketahui siswa. Jadi agar terjadi belajar bermakna, konsep
baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah
ada dalam struktur kognitif siswa. Dalam menerapkan teori Ausubel dalam
mengajar, terdapat konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan.
Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a.Pengaturan Awal (advance organizer). Pengaturan Awal mengarahkan para
siswa ke materi yang akan dipelajari dan mengingatkan siswa pada materi
sebelumnya yang dapat digunakanm siswa dalam membantu menanamkan
pengetahuan baru.
b.Diferensiasi Progresif. Pengembangan konsep berlangsung paling baik jika
unsur-unsur yang paling umum,paling inklusif dari suatu konsep diperkenalkan
terklebih dahulu, dan kemudian barudiberikan hal-hal yang lebih mendetail dan
lebih khusus dari konsep itu. Menurut Sulaiman (1988: 203) diferensiasi progresif
adalah cara mengembangkan pokok bahasan melalui penguraian bahan secara
heirarkhis sehingga setiap bagian dapat dipelajari secara terpisah dari satu
kesatuan yang besar.
c. Belajar Superordinat. Selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan
konsep dalam struktur kognitif (subsumsi), konsep itu tumbuh dan mengalami
diferensiasi. Belajar superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang
telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang
lebih luas, lebih inklusif.
d. Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif). Mengajar bukan hanya urutan
menurut diferensiasi progresif yang diperhatikan, melainkan juga harus
diperlihatkan bagaimana konsep-konsepbaru dihubungkan pada konsep-
konsep superordinat. Guru harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana
arti-arti baru dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya
20
yang lebih sempit, dan bagimana konsep-konsep yang tingkatannya lebih tinggi
sekarang mengambil arti baru.
Penerapan Teori Ausubel dalam Pembelajaran
Untuk menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, Dadang Sulaiman
(1988) menyarankan agar menggunakan dua fase, yakni fase perencanaan dan
fase pelaksanaan. Fase perencanaan terdiri dari menetapkan tujuan
pembelajaran, mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, membuat
struktur materi dan memformulasikan pengaturan awal. Sedangkan fase
pelaksanaan dalam pemebelajaran terdiri dari pengaturan awal, diferensiasi
progresif, dan rekonsiliasi integratif.
5. Teori Belajar Bruner
Jerome Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dari
Universitas Haevard, Amerika Serikat, yang telah mempelopori aliran psikologi
belajar kognitif yang memberikan dorrongan agar pendidikan memberikan
perhatian pada pentingnya pengembangan berpikir. Bruner banyak memberikan
pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia
belajar atau memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan
mentransformasikan pengetahuan. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap
manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Bruner dalam
teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses
pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat
dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait
antar konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan
struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan
memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi
yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami
dan diingat anak.
Menurut Bruner (dalam Hudoyo, 1990:48) belajar matematika adalah
belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat
21
di dalam materi yang dipelajari, serta mencari hubungan antara konsep-konsep
dan struktur- struktur matematika itu. Siswa harus dapat menemukan
keteraturan dengan cara mengotak-atik bahan-bahan yang berhubungan dengan
keteraturan intuitif yang sudah dimiliki siswa. Dengan demikian siswa dalam
belajar, haruslah terlibat aktif mentalnya agar dapat mengenal konsep dan
struktur dalam materi yang sedang dibicarakan. Dengan demikian materi yang
mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami oleh
anak.
Dalam bukunya (Bruner, 1960) mengemukakan empat tema pendidikan, yakni:
(1) Pentingnya arti struktur pengetahuan. Kurikulum hendaknya mementingkan
struktur pengetahuan, karena dalam struktur pengetahuan kita menolong para
siswa untuk melihat. (2) Kesiapan (readiness) untuk belajar. Menurut Bruner
(1966:29), kesiapan terdiri atas penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih
sederhana yang memungkinkan seorang untuk mncapai keterampilan-
keterampilan yang lebih tinggi. (3) Nilai intuisi dalam proses pendidikan. Intuisi
adalah teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif
tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-
formulasi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang sahih atau tidak, serta (4)
motivasi atau keinginan untuk belajar beserta cara-cara yang dimiliki para guru
untuk merangsang motivasi itu.
Belajar sebagai Proses Kognitif
Menurut Bruner dalam belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir
bersamaan. Ketiga proses tersebut adalah (1) memperoleh informasi baru, (2)
transformasi informasi, dan (3) menguji relevan informasi dan ketepatan
pengetahuan. Dalam belajar informasi baru merupakan penghalusan dari
informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi pengetahuan
seseorang memperlakukan pengetahuan agar cocok atau sesuai dengan tugas
baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan,
apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah menjadi bentuk lain.
22
Kita menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan dengan minilai apakah cara
kita memperlakukan pengetahuan itu cocok dengan tugas yang ada.
Bruner menyebut pandangannya tentang belajar atau pertumbuhan kognitif
sebagai konseptualisme instrumental . Pandangan ini berpusat pada dua prinsip,
yaitu: (1) pengetahuan seseorang tentang alam didasarkan pada model-model
tentang kenyataan yang dibangunnya dan (2) model-model semacam itu mula-
mula diadopsi dari kebudayaan seseorang, kemudian model-model itu diadaptasi
pada kegunaan bagi orang yang bersangkutan.
Pendewasaan pertumbuhan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang
menurut Bruner adalah sebagai berikut.
a. Pertumbuhan intelektual ditunjukkan oleh bertambahnya ketidak-
tergantungan respons dari sifat stimulus. Dalam hal ini ada kalanya seorang
anak mempertahankan suatu respons dalam lingkungan stimulus yang
berubah-ubah, atau belajar mengubah responnya dalam lingkungan stimulus
yang tidak berubah. Melalui pertumbuhan, seseorang memperoleh kebebasan
dari pengontrolan stimulus melalui proses-proses perantara yang mengubah
stimulus sebelum respons.
b. Pertumbuhan intelektual tergantung pada bagaimana seseorang
menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjdi suatu sistem simpanan (storage
system) yang sesuai dengan lingkungan. Sistem inilah yang memungkinkan
peningkatan kemampuan anak untuk bertindak di atas informasi yang
diperoleh pada suatu kesempatan. Ia melakukan ini dengan membuat
ramalan-ramalan, dan ektrapolasi-ekstrapolasi dari model alam yang
disimpannya.
c. Pertumbuhan intelektual menyangkut peningkatan kemampuan seseorang
untuk berkata pada dirinya sendiri atau pada orang lain, dengan
pertolongan kata-kata dan simbol-simbol, apa yang telah dilakukan atau apa
yang dilakukan.
Bruner (1966) mengemukakan bahwa terdapat tiga sistem keterampilan untuk
menyatakan kemampuan-kemampuan secara sempurna. Ketiga sistem
23
keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes of presents),
yaitu:
a. Cara penyajian enaktif
Cara penyajian enaktif adalah melalui tindakan, anak terlibat secara langsung
dalam memanipulasi (mengotak-atik )objek, sehingga bersifat manipulatif.
Anak belajar sesuatu pengetahuan secara aktif, dengan menggunakan benda-
benda konkret atau situasi nyata. Dengan cara ini anak mengetahui suatu aspek
dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. Cara ini terdiri atas
penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon motorik. Dalam
cara penyajian ini anak secara langsung terlihat.
b. Cara penyajian ikonik
Cara penyajian ikonik didasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan
disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik, yang dilakukan anak
berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek-objek yang
dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan
siswa dalam tahap enaktif. Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media
berpikir.
c. Cara penyajian simbolik
Cara penyajian simbolik didasarkan pada sistem berpikir abstrak, arbitrer, dan
lebih fleksibel. Dalam tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau
lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek
pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah mampu menggunakan
notasi tanpa ketergantungan terhadap objek lain.
Dari hasil penelitiannya Bruner mengungkapkan dalil-dalil terkait penguasaan
konsep-kosep oleh anak. Dalil-dalil tersebut adalah dalil-dalil penyusunan
(construction theorem), dalil notasi (notation theorem), dalil kekontrasan dan dalil
variasi (contrast and variation theorem), dalil pengaitan (connectivity theorem).
24
Menerapkan Metode Penemuan dalam Pembelajaran
Salah satu dari model-model instruksional kognitif yang paling berpengaruh adalah
model belajar penemuan Jerome Bruner (1966). Selanjutnya Bruner memberikan
arahan bagaimana peran guru dalam menerapkan belajar penemuan pada siswa,
sebagai berikut.
a. Merencanakan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para
siswa untuk memecahkan masalah. Guru hendaknya menggunakan sesuatu
yang sudah dikenal oleh siswa, kemudian guru mengemukakan sesuatu yang
berlawanan, sehingga terjadi konflik dengan pengalaman siswa. Akibatnya
timbullah masalah, yang akan merangsang siswa untuk menyelidiki masalah
itu, menyusun hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-konsep
atau prinsip-prinsip yang mendasari masalah tersebut.
b. Urutan pengajaran hendaknya menggunakan cara penyajian enaktif, ikonik,
kemudian simbolik karena perkembangan intelektual siswa diasumsikan
mengikuti urutan enaktif, ikonik, kemudian simbolik.
c. Pada saat siswa memcahkan masalah, guru hendaknya berperan sebagai
pembimbing atau tutor. Guru hendaknya tidak mengungkap terlebih dahulu
prinsip atau aturan yang akan dipelajari, guru hendaknya memberikan saran-
saran jika diperlukan. Sebagai tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik
pada saat yang tepat untuk perbaikan siswa.
d. Dalam menilai hasil belajar bentuk tes dapat berupa tes objektif atau tes
esay, karena tujuan-tujuan pembelajaran tidak dirumuskan secara mendetail.
Tujuan belajar penemuan adalah mempelajari generalisasi-generalisasi
dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi itu.
D. Daftar Pustaka
Bruner, J.S.1960. the Process of Education. Cambridge. Havard University Press.
Crowly, L. Mary. 1987. The van Hiele Model of The Development of Geometric
Thought. Learning and Teaching Geometry. K-12. pp. 1 – 16. NCTM, USA. Dahar,
Ratnawilis. 1996. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
25
Flavell, J. H. (1963). The Developmental Psychology of Jean Piaget. New York: D.
Van Nostrand Company.
Fuys, D., Geddes, d., and Tischler. 1988. The van Hiele Model Tinking in Geometry
among Adolescent. Journal for research in Mathematics Education.
Number 3. Volume XII.
Imam Sujadi, dkk. 2016. Teori Belajar, himpunan, dan Logika Matematika. Guru
Pembelajar Modul Matematika SMP. Jakarta: PPPPTK Kemdikbud.
Schunk, D. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective sixth edition.
Diterjemahkan oleh : Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Suherman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: JICA.
Sulaiman, Dadang. 1988. Teknologi/Metodologi Pengajaran. Jakarta:P2LPTK.
Sweller, J. (2004). Instructional Design Consequences of an Analogy
between Evolution by Natural Selection and Human Cognitive Architecture.
Instructional Science, 32(1-2), 9-31.
Taylor. 1993. Vygotskian Influences in Mathematics Education with Particular
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATERI PEDAGOGIK
BAB IV
KURIKULUM 2013
Prof. Dr. Sunardi, M.Sc
Dr. Imam Sujadi, M.Si
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
1
KEGIATAN BELAJAR 3 : KURIKULUM 2013
A. Tujuan
Setelah membaca sumber belajar ini diharapkan Guru mempunyai wawasan tentang
rasional dan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum khususnya kurikulum 2013
dengan tepat dan jelas, memahami tentang SKL, KI, dan KD pada tingkat satuan
pendidikan, serta mampu menganalisis keterkaitan SKL, KI, KD, dan indikator
pencapaian kompetensi
B. Indikator Pencapaian Kompetensi
Diharapkan setelah membaca modul ini guru dapat:
1. Menjelaskan rasional dan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum khususnya
kurikulum 2013 dengan tepat dan jelas
2. Menjelaskan pengertian SK, KI, dan KD.
3. Menganalisis keterkaitan SKL dengan KI dan KD.
4. Menganalisis kesesuaian indikator pembelajaran dengan KD.
C. Uraian Materi
Kurikulum sebagai satu kesatuan dari beberapa komponen pastilah ada memiliki
peran dan fungsi. Peran kurikulum yaitu:
a. Peran konservatif. Peran konservatif kurikulum adalah melestarikan berbagai
budaya sebagai warisan masa lalu.
b. Peran kreatif. Dalam peran kreatifnya, kurikulum harus mengandung hal-hal baru
sehingga dapat membantu siswa untuk dapat mengembangkan setiap potensi
yang dimilikinya agar dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat
yang senantiasa bergerak maju secara dinamis.
c. Peran kritis dan evaluatif. Kurikulum berperan untuk menyeleksi nilai dan budaya
mana yang perlu dipertahankan, dan mana yang harus dimiliki oleh siswa.
Sedangkan fungsi kurikulum yaitu:
a. Fungsi umum pendidikan. Maksudnya untuk mempersiapkan peserta didik agar
menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan baik.
2
b. Suplementasi. Kurikulum sebagai alat pendidikan harus dapat memberikan
pelayanan kepada setiap siswa.
c. Eksplorasi. Kurikulum harus dapat menemukan dan mengembangkan minat dan
bakat masing-masing siswa.
d. Keahlian. Kurikulum berfungsi untuk mengembangkan kemampuan anak sesuai
dengan keahliannya yang didasarkan atas minat dan bakat siswa.
Adapun prinsip pengembangan kurikulum, yaitu.
a. Relevansi. Kurikulum yang dikembangkan oleh sekolah harus memiliki kesesuaian
(relevansi) sehingga kurikulum tersebut bisa bermanfaat. Ada dua relevansi:
relevansi internal, yaitu kesesuaian antara setiap komponen (anatomi)
kurikulum; kedua relevansi eksternal, yaitu program kurikulum harus sesuai dan
mampu menjawab terhadap tuntutan dan perkembangan kehidupan
masyarakat.
b. Fleksibilitas. Kurikulum harus bisa diterapkan secara lentur disesuaikan dengan
karakteristik dan potensi setiap siswa, juga dinamika kehidupan masyarakat.
c. Kontinuitas. Isi program dan penerapan kurikulum di setiap sekolah harus
memberi bekal bagi setiap siswa untuk mengembangkan kemampuan dan
potensi yang dimilikinya secara berkesinambungan dan berkelanjutan
(kontinuitas). Setiap satuan pendidikan mengembangkan kurikulum dengan
membaca dan mengetahui bagaimana program kurikulum di satuan pendidikan
yang lainnya.
d. Efisiensi dan Efektivitas. Kurikulum harus memungkinkan setiap personil untuk
menerapkannya secara mudah dengan menggunakan biaya secara proporsional
dan itulah efisien. Penggunaan seluruh sumber daya baik piranti kurikulum,
sumber daya manusia maupun sumber finansial harus menjamin bagi
tercapainya tujuan atau membawa hasil secara optimal dan itulah makna dari
prinsip efektivitas
Kurikulum yang diberlakukan di Indonesia sejak Indonesia merdeka telah mengalami
beberapa kali perubahan. Kurikulum tersebut secara berturut turut diberlakukan di
3
Indonesia disesuaikan dengan tuntutan perubahan jaman. Kurikulum tyang telah
diberlakukan sampai saat ini adalah Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Kurikulum 1964,
Kurikulum 1968. Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004
(Kurikulum berbasis kompetensi/KBK), Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan/KTSP), dan saat ini diterapkan Kurikulum 2013 secara berjenjang.
Komponen terpenting implementasi kurikulum adalah pelaksanaan proses
pembelajaran yang diselenggarakan di dalam dan/atau luar kelas untuk membantu
peserta didik mencapai kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses
menyatakan bahwa proses pembelajaran menggunakan pendekatan atau metode
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. Di
antara pendekatan dan metode yang dianjurkan dalam Standar Proses tersebut
adalah pendekatan saintifik, inkuiri, pembelajaran berbasis masalah dan
pembelajaran berbasis projek pada semua mata pelajaran. Pendekatan/metode
lainnya yang dapat diimplementasikan antara lain pembelajaran kontekstual dan
pembelajaran kooperatif.
Walaupun banyak guru SMP di Indonesia telah mengenal metode-metode tersebut,
pengimplementasian metode-metode tersebut di kelas merupakan hal yang belum
biasa. Untuk mengimplementasikannya, guru memerlukan panduan operasional yang
memberikan gambaran utuh kegiatan-kegiatan pembelajaran operasional apa saja
yang dilaksanakan pada tahap pendahuluan, inti, dan penutup. Sehubungan dengan
hal tersebut, perlu diterbitkan panduan proses pembelajaran yang secara rinci
memberikan petunjuk operasional bagaimana metode-metode tersebut
diimplementasikan pada kegiatan belajar mengajar pada tahap pendahuluan, inti,
dan penutup.
Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan pengembangan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang telah dirintis pada tahun 2004 dan
Kurikulum 2006. Di dalam kerangka pengembangan kurikulum 2013, hanya 4 standar
yang berubah, yakni Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Proses, Standar Isi,
dan Standar Penilaian. Standar Kompetensi Lulusan adalah kriteria mengenai
kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan
4
keterampilan. Standar Isi adalah kriteria mengenai ruang lingkup materi dan tingkat
Kompetensi untuk mencapai Kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan
tertentu. Standar Proses adalah kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada
satu satuan pendidikan untuk mencapai SKL. Standar Penilaian Pendidikan adalah
kriteria mengenai mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar
peserta didik.
Pada Kurikulum 2013, penyusunan kurikulum dimulai dengan menetapkan SKL
berdasarkan kesiapan siswa, tujuan pendidikan nasional, dan kebutuhan. Setelah
kompetensi ditetapkan kemudian ditentukan kurikulumnya yang terdiri dari kerangka
dasar kurikulum dan struktur kurikulum. Satuan pendidikan dan guru tidak diberikan
kewenangan menyusun silabus, tetapi disusun pada tingkat nasional. Guru lebih
diberikan kesempatan mengembangkan proses pembelajaran tanpa harus dibebani
dengan tugas-tugas penyusunan silabus yang memakan waktu yang banyak dan
memerlukan penguasaan teknis penyusunan yang memberatkan guru.
Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Tantangan internal. Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi
pendidikan dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada 8
Standar Nasional Pendidikan yang meliputi SI, standar proses, SKL, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Tantangan
lainnya terkait perkembangan penduduk usia produktif Indonesia. Jumlah
penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035
pada saat angkanya mencapai 70%.
2. Tantangan eksternal. Tantangan eksternal antara lain terkait dengan arus
globalisasi dan berbagai isu yang terkait pendidikan. Tantangan eksternal juga
terkait dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas
teknosains serta mutu, investasi, dan transformasi bidang pendidikan.
Keikutsertaan Indonesia di dalam studi International Trends in International
Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Program for International Student
Assessment (PISA) sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak-
anak Indonesia tidak menggembirakan. Hal ini antara lain dikarenakan banyak
5
materi uji yang ditanyakan tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia.
Kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik sebagai berikut.
1. Mengembangkan keseimbangan antara sikap spiritual dan sosial, pengetahuan
dan keterampilan, serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan
masyarakat;
2. Menempatkan sekolah sebagai bagian dari masyarakat yang memberikan
pengalaman belajar agar peserta didik mampu menerapkan apa yang dipelajari
di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber
belajar;
3. Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap,
pengetahuan, dan keterampilan;
4. Mengembangkan kompetensi yang dinyatakan dalam bentuk Kompetensi Inti
kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran;
5. Mengembangkan Kompetensi Inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing
elements) Kompetensi Dasar. Semua KD dan proses pembelajaran dikembangkan
untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam KI;
6. Mengembangkan Kompetensi Dasar berdasar pada prinsip akumulatif, saling
memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antar-mata pelajaran dan
jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal).
Dalam kurikulum 2013, proses pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik,
yaitu pembelajaran yang mendorong siswa lebih mampu dalam mengamati,
menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi/menalar, dan mengomunikasikan.
Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara soft skills serta hard
skills siswa yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Model pembelajaran yang diperlukan adalah yang memungkinkan terbudayakannya
keIapakaミ berpikir saiミs, terkeマbaミgkaミミya さsense of inquiryざ daミ keマaマpuaミ berpikir kreatif siswa. Model pembelajaran harus mampu menghasilkan kemampuan
untuk belajar, bukan saja diperolehnya sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan
sikap, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana hal itu diperoleh siswa.
Penguatan materi pada Kurikulum 2013 dilakukan dengan pengurangan materi yang
tidak relevan serta pendalaman dan perluasan materi yang relevan bagi peserta didik.
6
Juga menambahkan materi yang dianggap penting dalam perbandingan
internasional, serta penguatan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Cakupan
materi di SMP meliputi bilangan rasional, real, pengenalan aljabar, himpunan,
geometri dan pengukuran (termasuk transformasi, bangun tidak beraturan), dan
statistika dan peluang (termasuk metode statistik sederhana.
Secara umum, perbaikan Kurikulum 2013 bertujuan agar selaras antara ide, desain,
dokumen, dan pelaksanaannya. Secara khusus, perbaikan Kurikulum 2013 bertujuan
menyelaraskan KI-KD, silabus, pedoman mata pelajaran, pembelajaran, penilaian,
dan buku teks.
Perbaikan tersebut dilaksanakan berdasarkan prinsip perbaikan kurikulum sebagai
berikut.
1. Keselarasan
Dokumen KI-KD, Silabus, Buku Teks Pelajaran, Pembelajaran, dan Penilaian Hasil
Belajar harus selaras dari aspek kompetensi dan lingkup materi.
2. Mudah Dipelajari
Lingkup kompetensi dan materi yang dirumuskan dalam KD mudah dipelajari
oleh peserta didik sesuai dengan tingkat perkembangan psikologis dan aspek
pedagogis.
3. Mudah Diajarkan
Lingkup kompetensi dan materi yang dirumuskan pada KD mudah diajarkan oleh
guru sesuai dengan gaya belajar peserta didik, karakteristik mata pelajaran,
karakteristik kompetensi, dan sumber belajar yang ada di lingkungan.
4. Terukur
Kompetensi dan materi yang diajarkan terukur melalui indikator yang mudah
dirumuskan dan layak dilaksanakan.
5. Bermakna untuk Dipelajari
Kompetensi dan materi yang diajarkan mempunyai kebermaknaan bagi peserta
didik sebagai bekal kehidupan.
Di dalam kerangka pengembangan kurikulum 2013, terdapat 4 standar yang
berubah, yakni Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Proses, Standar Isi, dan
7
Standar Penilaian.
1. Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
Berdasarkan analisis kebutuhan, potensi, dan karakteristik sosial, ekonomi, dan
budaya daerah, maka ditetapkan SKL sebagai kriteria kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. SKL sebagai
acuan utama pengembangan ketujuh standar pendidikan lainnya. SKL terdiri 3
ranah yaitu sikap, pengetahuan dan ketrampilan. Ranah sikap mencakup 4
elemen yaitu proses, individu, sosial, dan alam. Ranah pengetahuan mencakup 3
elemen yaitu proses, obyek, dan subyek, sedangkan ranah ketrampilan terbagi 3
elemen yaitu proses, abstrak, dan kongkrit. Setiap elemen digunakan kata-kata
operasional yang berbeda. Selanjutnya SKL diterjemahkan kedalam Kompetensi
Inti yang berada dibawahnya.
Standar Kompetensi Lulusan terdiri atas:
a. Dimensi Sikap. Manusia yang memiliki pribadi yang beriman, berakhlak
mulia, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial, alam sekitar, serta dunia dan peradabannya, yang
dicapai melalui: menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan
mengamalkan.
b. Dimensi Pengetahuan. Manusia yang memiliki pribadi yang menguasai ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan berwawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban, yang dicapai melalui: mengetahui,
memahami, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi.
c. Dimensi Keterampilan. Manusia yang memiliki pribadi yang berkemampuan
pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret,
yang dicapai melalui: mengamati; menanya; mencoba dan mengolah;
menalar; mencipta; menyajikan dan mengomunikasikan
Perumusan kompetensi lulusan antarsatuan pendidikan mempertimbangkan
gradasi setiap tingkatan satuan pendidikan dan memperhatikan kriteria sebagai
berikut: perkembangan psikologis anak, lingkup dan kedalaman materi,
kesinambungan, dan fungsi satuan pendidikan.
8
Tabel. 1. Lulusan SD/MI/SDLB/Paket A; SMP/MTs/SMPLB/Paket B; dan
SMA/MA/SMALB/Paket C memiliki kompetensi pada dimensi sikap
SD/MI/SDLB/
Paket A
SMP/MTs/SMPLB/
Paket B
SMA/MA/SMALB/
Paket C
RUMUSAN
Memiliki perilaku yang
mencerminkan sikap:
1. beriman dan bertakwa
kepada Tuhan YME,
2. berkarakter, jujur, dan
peduli,
3. bertanggungjawab,
4. pembelajar sejati
sepanjang hayat, dan
5. sehat jasmani dan
rohani
sesuai dengan
perkembangan anak di
lingkungan keluarga,
sekolah, masyarakat dan
lingkungan alam sekitar,
bangsa, dan negara.
Memiliki perilaku yang
mencerminkan sikap:
1. beriman dan bertakwa
kepada Tuhan YME,
2. berkarakter, jujur, dan
peduli,
3. bertanggungjawab
4. pembelajar sejati
sepanjang hayat, dan
5. sehat jasmani dan
rohani
sesuai dengan
perkembangan anak di
lingkungan keluarga,
sekolah, masyarakat dan
lingkungan alam sekitar,
bangsa, negara, dan
kawasan regional.
Memiliki perilaku yang
mencerminkan sikap:
1. beriman dan bertakwa
kepada Tuhan YME,
2. berkarakter, jujur, dan
peduli,
3. bertanggungjawab,
4. pembelajar sejati
sepanjang hayat, dan
5. sehat jasmani dan
rohani
sesuai dengan
perkembangan anak di
lingkungan keluarga,
sekolah, masyarakat dan
lingkungan alam sekitar,
bangsa, negara, kawasan
regional, dan
internasional.
Tabel 2. Lulusan SD/MI/SDLB/Paket A; SMP/MTs/ SMPLB/Paket B; dan SMA/MA/
SMALB/Paket C memiliki kompetensi pada dimensi pengetahuan.
SD/MI/SDLB/
Paket A
SMP/MTs/SMPLB/
Paket B
SMA/MA/SMALB/
Paket C
RUMUSAN
9
Memiliki pengetahuan
faktual, konseptual,
prosedural, dan
metakognitif pada tingkat
dasar berkenaan dengan:
1. ilmu pengetahuan,
2. teknologi,
3. seni, dan
4. budaya.
Mampu mengaitkan
pengetahuan di atas
dalam konteks diri sendiri,
keluarga, sekolah,
masyarakat dan
lingkungan alam sekitar,
bangsa, dan negara.
Memiliki pengetahuan
faktual, konseptual,
prosedural, dan
metakognitif pada tingkat
teknis dan spesifik
sederhana berkenaan
dengan:
1. ilmu pengetahuan,
2. teknologi,
3. seni, dan
4. budaya.
Mampu mengaitkan
pengetahuan di atas
dalam konteks diri sendiri,
keluarga, sekolah,
masyarakat dan
lingkungan alam sekitar,
bangsa, negara, dan
kawasan regional.
Memiliki pengetahuan
faktual, konseptual,
prosedural, dan
metakognitif pada tingkat
teknis, spesifik, detil, dan
kompleks berkenaan
dengan:
1. ilmu pengetahuan,
2. teknologi,
3. seni,
4. budaya, dan
5. humaniora.
Mampu mengaitkan
pengetahuan di atas
dalam konteks diri sendiri,
keluarga, sekolah,
masyarakat dan
lingkungan alam sekitar,
bangsa, negara, serta
kawasan regional
dan internasional.
Tabel 3. Istilah pengetahuan Faktual, Konseptual, Prosedural, dan Metakognitif .
PENJELASAN SD/MI/SDLB/
Paket A
SMP/MTs/SMPLB/
Paket B
SMA/MA/SMALB/
Paket C
Faktual Pengetahuan dasar
berkenaan dengan
ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan
budaya terkait dengan
Pengetahuan teknis
dan spesifik tingkat
sederhana berkenaan
dengan ilmu
pengetahuan,
Pengetahuan teknis
dan spesifik, detail
dan kompleks
berkenaan dengan
ilmu pengetahuan,
10
diri sendiri, keluarga,
sekolah, masyarakat
dan lingkungan alam
sekitar, bangsa, dan
negara.
teknologi, seni, dan
budaya terkait dengan
masyarakat dan
lingkungan alam
sekitar, bangsa,
negara, dan kawasan
regional.
teknologi, seni, dan
budaya terkait dengan
masyarakat dan
lingkungan alam
sekitar, bangsa,
negara, kawasan
regional, dan
internasional.
Konseptual Terminologi/
istilah yang
digunakan, klasifikasi,
kategori, prinsip, dan
generalisasi
berkenaan dengan
ilmu pengetahuan,
teknologi, seni dan
budaya terkait dengan
diri sendiri, keluarga,
sekolah, masyarakat
dan lingkungan alam
sekitar, bangsa, dan
negara.
Terminologi/
istilah dan klasifikasi,
kategori, prinsip,
generalisasi dan teori,
yang digunakan
terkait dengan
pengetahuan teknis
dan spesifik tingkat
sederhana berkenaan
dengan ilmu
pengetahuan,
teknologi, seni, dan
budaya terkait dengan
masyarakat dan
lingkungan alam
sekitar, bangsa,
negara, dan kawasan
regional. masyarakat
dan lingkungan alam
sekitar, bangsa,
negara, dan kawasan
regional.
Terminologi/
istilah dan klasifikasi,
kategori, prinsip,
generalisasi,
teori,model, dan
struktur yang
digunakan terkait
dengan pengetahuan
teknis dan spesifik,
detail dan kompleks
berkenaan dengan
ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan
budaya terkait dengan
masyarakat dan
lingkungan alam
sekitar, bangsa,
negara, kawasan
regional, dan
internasional.
11
Prosedural Pengetahuan tentang
cara melakukan
sesuatu atau kegiatan
yang berkenaan
dengan ilmu
pengetahuan,
teknologi, seni, dan
budaya terkait dengan
diri sendiri, keluarga,
sekolah, masyarakat
dan lingkungan alam
sekitar, bangsa dan
negara.
Pengetahuan tentang
cara melakukan
sesuatu atau kegiatan
yang terkait dengan
pengetahuan teknis,
spesifik, algoritma,
metode tingkat
sederhana berkenaan
dengan ilmu
pengetahuan,
teknologi, seni, dan
budaya terkait dengan
masyarakat dan
lingkungan alam
sekitar, bangsa,
negara, dan kawasan
regional. kawasan
regional.
Pengetahuan tentang
cara melakukan
sesuatu atau kegiatan
yang terkait dengan
pengetahuan teknis,
spesifik, algoritma,
metode, dan kriteria
untuk menentukan
prosedur yang sesuai
berkenaan dengan
ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan
budaya, terkait
dengan masyarakat
dan lingkungan alam
sekitar, bangsa,
negara, kawasan
regional, dan
internasional. sekitar,
bangsa, negara,
kawasan regional, dan
internasional.
Metakognitif Pengetahuan tentang
kekuatan dan
kelemahan diri sendiri
dan menggunakannya
dalam mempelajari
ilmu pengetahuan,
teknologi, seni dan
budaya terkait dengan
diri sendiri, keluarga,
Pengetahuan tentang
kekuatan dan
kelemahan diri sendiri
dan menggunakannya
dalam mempelajari
pengetahuan teknis
dan spesifik tingkat
sederhana berkenaan
dengan ilmu
Pengetahuan tentang
kekuatan dan
kelemahan diri sendiri
dan menggunakannya
dalam mempelajari
pengetahuan teknis,
detail, spesifik,
kompleks, kontekstual
dan kondisional
12
sekolah, masyarakat
dan lingkungan alam
sekitar, bangsa dan
negara.
pengetahuan,
teknologi, seni, dan
budaya terkait dengan
masyarakat dan
lingkungan alam
sekitar, bangsa,
negara, dan kawasan
regional.
berkenaan dengan
ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan
budaya terkait dengan
masyarakat dan
lingkungan alam
sekitar, bangsa,
negara, kawasan
regional, dan
internasional.
Tabel 4. Lulusan SD/MI/SDLB/Paket A; SMP/MTs/SMPLB/Paket B; dan SMA/MA/
SMALB/Paket C memiliki kompetensi pada dimensi keterampilan.
SD/MI/SDLB/
Paket A
SMP/MTs/SMPLB/
Paket B
SMA/MA/SMALB/
Paket C
RUMUSAN
Memiliki keterampilan
berpikir dan bertindak:
1. kreatif,
2. produktif,
3. kritis,
4. mandiri,
5. kolaboratif, dan
6. komunikatif
melalui pendekatan ilmiah
sesuai dengan tahap
perkembangan anak yang
relevan dengan tugas yang
diberikan
Memiliki keterampilan
berpikir dan bertindak:
1. kreatif,
2. produktif,
3. kritis,
4. mandiri,
5. kolaboratif, dan
6. komunikatif
melalui pendekatan
ilmiah sesuai dengan
yang dipelajari di satuan
pendidikan dan sumber
lain secara mandiri
Memiliki keterampilan
berpikir dan bertindak:
1. kreatif,
2. produktif,
3. kritis,
4. mandiri,
5. kolaboratif, dan
6. komunikatif
melalui pendekatan ilmiah
sebagai pengembangan
dari yang dipelajari di
satuan pendidikan dan
sumber lain secara
mandiri
13
2. Kompetensi Inti (KI)
Kompetensi inti (KI) merupakan standar penilaian yang harus dimiliki secara
berbeda pada setiap tingkatan dan kelas. KI merupakan komponen penilaian
yang akan dapat mengejawantahkan/mewujudkan isi dari SKL. Isi KI harus
mencerminkan harapan dari SKL Kompetensi inti (KI) terdiri dari KI-1 sampai
dengan KI-4. Rumusan setiap KI berbeda sesuai dengan aspeknya. Untuk
mencapai kemampuan yang terdapat di dalam KI perlu diterjemahkan kedalam
KD yang sesuai dengan aspek pada setiap KI.
KI merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai SKL yang harus dimiliki
seorang peserta didik pada setiap tingkat kelas atau program yang menjadi
landasan pengembangan Kompetensi Dasar. Rumusan KI meliputi:
a. Kompetensi Inti-1 (KI-1) untuk kompetensi inti sikap spiritual;
b. Kompetensi Inti-2 (KI-2) untuk kompetensi inti sikap sosial;
c. Kompetensi Inti-3 (KI-3) untuk kompetensi inti pengetahuan;
d. Kompetensi Inti-4 (KI-4) untuk kompetensi inti keterampilan.
KI berfungsi sebagai unsur pengorganisasi (organising element) KD. Sebagai
unsur pengorganisasi, KI merupakan pengikat untuk organisasi vertikal dan
organisasi horizontal KD. Organisasi vertikal KD adalah keterkaitan KD satu kelas
dengan kelas di atasnya sehingga memenuhi prinsip belajar yaitu terjadi suatu
akumulasi yang berkesinambungan antarkompetensi yang dipelajari peserta
didik. Organisasi horizontal adalah keterkaitan antara KD satu mata pelajaran
dengan KD dari mata pelajaran yang berbeda dalam satu kelas yang sama
sehingga saling memperkuat.
Uraian tentang KI untuk jenjang SMP/MTs dapat dilihat pada tabel berikut.
KOMPETENSI INTI
KELAS VII
KOMPETENSI INTI
KELAS VIII
KOMPETENSI INTI
KELAS IX
1. Menghargai dan
menghayati ajaran
1. Menghargai dan
menghayati ajaran
1. Menghargai dan
menghayati ajaran
14
KOMPETENSI INTI
KELAS VII
KOMPETENSI INTI
KELAS VIII
KOMPETENSI INTI
KELAS IX
agama yang dianutnya agama yang dianutnya agama yang
dianutnya
2. Menghargai dan
menghayati perilaku
jujur, disiplin, tanggung
jawab, peduli (toleransi,
gotong royong), santun,
percaya diri, dalam
berinteraksi secara
efektif dengan
lingkungan sosial dan
alam dalam jangkauan
pergaulan dan
keberadaannya
2. Menghargai dan
menghayati perilaku
jujur, disiplin, tanggung
jawab, peduli (toleransi,
gotong royong), santun,
percaya diri, dalam
berinteraksi secara
efektif dengan
lingkungan sosial dan
alam dalam jangkauan
pergaulan dan
keberadaannya
2. Menghargai dan
menghayati perilaku
jujur, disiplin,
tanggungjawab,
peduli (toleransi,
gotong royong),
santun, percaya diri,
dalam berinteraksi
secara efektif dengan
lingkungan sosial dan
alam dalam
jangkauan pergaulan
dan keberadaannya
3. Memahami pengetahuan
(faktual, konseptual, dan
prosedural) berdasarkan
rasa ingin tahunya
tentang ilmu
pengetahuan, teknologi,
seni, budaya terkait
fenomena dan kejadian
tampak mata
3. Memahami dan
menerapkan
pengetahuan (faktual,
konseptual, dan
prosedural) berdasarkan
rasa ingin tahunya
tentang ilmu
pengetahuan, teknologi,
seni, budaya terkait
fenomena dan kejadian
tampak mata
3. Memahami dan
menerapkan
pengetahuan (faktual,
konseptual, dan
prosedural)
berdasarkan rasa
ingin tahunya tentang
ilmu pengetahuan,
teknologi, seni,
budaya terkait
fenomena dan
kejadian tampak
mata
4. Mencoba, mengolah, 4. Mengolah, menyaji, dan 4. Mengolah, menyaji,
15
KOMPETENSI INTI
KELAS VII
KOMPETENSI INTI
KELAS VIII
KOMPETENSI INTI
KELAS IX
dan menyaji dalam ranah
konkret (menggunakan,
mengurai, merangkai,
memodifikasi, dan
membuat) dan ranah
abstrak (menulis,
membaca, menghitung,
menggambar, dan
mengarang) sesuai
dengan yang dipelajari di
sekolah dan sumber lain
yang sama dalam sudut
pandang/teori
menalar dalam ranah
konkret (menggunakan,
mengurai, merangkai,
memodifikasi, dan
membuat) dan ranah
abstrak (menulis,
membaca, menghitung,
menggambar, dan
mengarang) sesuai
dengan yang dipelajari di
sekolah dan sumber lain
yang sama dalam sudut
pandang/teori
dan menalar dalam
ranah konkret
(menggunakan,
mengurai, merangkai,
memodifikasi, dan
membuat) dan ranah
abstrak (menulis,
membaca,
menghitung,
menggambar, dan
mengarang) sesuai
dengan yang
dipelajari di sekolah
dan sumber lain yang
sama dalam sudut
pandang/teori
Kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) dan kompetensi inti sikap sosial (KI-2)
dicapai melalui pembelajaran tidak langsung (indirect teaching), yaitu:
keteladanan, pembiasaan, dan budaya sekolah dengan memperhatikan
karakteristik mata pelajaran serta kebutuhan dan kondisi peserta didik.
Penumbuhan dan pengembangan kompetensi sikap dilakukan sepanjang proses
pembelajaran berlangsung dan dapat digunakan sebagai pertimbangan guru
dalam mengembangkan karakter peserta didik lebih lanjut.
3. Kompetensi Dasar (KD)
Kompetensi dasar pada Kurikulum 2013 SMP/MTs berisi kemampuan dan
muatan pembelajaran untuk mata pelajaran pada SMP/MTs yang mengacu pada
kompetensi inti. Kompetensi dasar dirumuskan untuk mencapai kompetensi inti.
16
Rumusan kompetensi dasar dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik
dan kemampuan peserta didik, dan kekhasan masing-masing mata pelajaran.
Kompetensi dasar untuk Mata Pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti dan
Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan meliputi empat
kelompok sesuai dengan pengelompokan kompetensi inti sebagai berikut.
a. Kelompok 1: kelompok KD sikap spiritual dalam rangka menjabarkan KI-1;
b. Kelompok 2: kelompok KD sikap sosial dalam rangka menjabarkan KI-2;
c. Kelompok 3: kelompok KD pengetahuan dalam rangka menjabarkan KI-3;
d. Kelompok 4: kelompok KD keterampilan dalam rangka menjabarkan KI-4.
Kompetensi dasar yang berkenaan dengan sikap spiritual (mendukung KI-1) dan
sikap sosial (mendukung KI-2) ditumbuhkan melalui pembelajaran tidak langsung
(indirect teaching) yaitu pada saat peserta didik belajar tentang pengetahuan
(mendukung KI-3) dan keterampilan (mendukung KI-4). Pembelajaran langsung
berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut KD yang dikembangkan dari
KI-3 dan KI-4. Keduanya, dikembangkan secara bersamaan dalam suatu proses
pembelajaran dan menjadi wahana untuk mengembangkan KD pada KI-1 dan KI-
2. Pembelajaran KI-1 dan KI-2 terintegrasi dengan pembelajaran KI-3 dan KI-4.
4. Indikator
Indikator pencapaian kompetensi (IPK) merupakan penanda pencapaian KD yang
ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. IPK dikembangkan sesuai dengan karakteristik
siswa, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam
kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Dalam
mengembangkan IPK perlu mempertimbangkan: (a) tuntutan kompetensi yang
dapat dilihat melalui kata kerja yang digunakan dalam KD; (b) karakteristik mata
pelajaran, siswa, dan sekolah; (c) potensi dan kebutuhan siswa, masyarakat, dan
lingkungan/daerah.
Dalam mengembangkan pembelajaran dan penilaian, terdapat dua rumusan
indikator, yaitu: indikator pencapaian kompetensi yang terdapat dalam RPP, dan
17
indikator penilaian yang digunakan dalam menyusun kisi-kisi dan menulis soal
yang dikenal sebagai indikator soal.
Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK) memiliki kedudukan yang sangat strategis
dalam mengembangkan pencapaian kompetensi dasar. IPK berfungsi sebagai
berikut:
a. Pedoman dalam mengembangkan materi pembelajaran.
Pengembangan materi pembelajaran harus sesuai dengan indikator yang
dikembangkan. IPK yang dirumuskan secara cermat dapat memberikan arah
pengembangan materi pembelajaran yang efektif sesuai dengan karakteristik
mata pelajaran, potensi dan kebutuhan siswa, sekolah, serta lingkungan.
b. Pedoman dalam mendesain kegiatan pembelajaran.
Pengembangan desain pembelajaran hendaknya sesuai IPK yang dikembangkan,
karena IPK dapat memberikan gambaran kegiatan pembelajaran yang efektif
untuk mencapai kompetensi. IPK yang menuntut kompetensi dominan pada
aspek prosedural menunjukkan agar kegiatan pembelajaran dilakukan tidak
dengan strategi ekspositori melainkan lebih tepat dengan strategi discovery-
inquiry.
c. Pedoman dalam mengembangkan bahan ajar.
Bahan ajar perlu dikembangkan oleh guru guna menunjang pencapaian
kompetensi siswa. Pemilihan bahan ajar yang efektif harus sesuai tuntutan IPK
sehingga dapat meningkatkan pencapaian kompetensi secara maksimal.
d. Pedoman dalam merancang dan melaksanakan penilaian hasil belajar.
Indikator menjadi pedoman dalam merancang, melaksanakan, serta
mengevaluasi hasil belajar. Rancangan penilaian memberikan acuan dalam
menentukan bentuk dan jenis penilaian, serta pengembangan indikator
penilaian.
Pengembangan IPK harus mengakomodasi kompetensi yang tercantum dalam
KD. IPK dirumuskan dalam bentuk kalimat dengan kata kerja operasional.
Rumusan IPK sekurang-kurangnya mencakup dua hal yaitu tingkat kompetensi
18
dan materi yang menjadi media pencapaian kompetensi. Kata kerja operasional
pada IPK pencapaian kompetensi aspek pengetahuan dapat mengacu pada
ranah kognitif taksonomi Bloom, aspek sikap dapat mengacu pada ranah afektif
taksonomi Bloom, aspek keterampilan dapat mengacu pada ranah psikomotor
taksonomi Bloom.
IPK pada Kurikulum 2013 untuk KD yang diturunkan dari KI-1 dan KI-2
dirumuskan dalam bentuk perilaku umum yang bermuatan nilai dan sikap yang
gejalanya dapat diamati sebagai dampak pengiring dari KD pada KI-3 dan KI-4.
IPK untuk KD yang diturunkan dari KI-3 dan KI-4 dirumuskan dalam bentuk
perilaku spesifik yang dapat diamati dan terukur.
5. Silabus Mata Pelajaran
Silabus mata pelajaran merupakan pedoman dalam menyusun rencana kegiatan
pembelajaran pada setiap mata pelajaran yang mencakup kompetensi dasar,
materi pembelajaran, dan kegiatan pembelajaran. Hubungan logis antar-
berbagai komponen dalam silabus dari setiap mata pelajaran merupakan langkah
yang harus dipersiapkan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Silabus
mata pelajaran juga dapat dijadikan pedoman dalam menyusun buku siswa yang
memuat materi pelajaran, aktivitas peserta didik, dan evaluasi.
Kompetensi dasar merupakan kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh
peserta didik setelah kegiatan pembelajaran baik kompetensi pengetahuan
maupun keterampilan. Materi pembelajaran yang diturunkan dari kompetensi
dasar berisi materi-materi pokok pada setiap mata pelajaran. Kegiatan
pembelajaran merupakan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam
pembelajaran, dapat dilakukan melalui pendekatan saintifik, pembelajaran
berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran penemuan, atau
pembelajaran penyelidikan, termasuk pembelajaran kooperatif sesuai dengan
karakteristik mata pelajaran dan kompetensi yang akan dicapai dalam
pembelajaran tersebut.
19
Silabus disusun dengan format dan penyajian/penulisan yang sederhana
sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan oleh guru. Penyederhanaan format
dimaksudkan agar penyajiannya lebih efisien, tidak terlalu banyak halaman
namun lingkup dan substansinya tidak berkurang, serta tetap
mempertimbangkan tata urutan materi dan kompetensinya. Penyusunan silabus
ini dilakukan dengan prinsip keselarasan antara ide, desain, dan pelaksanaan
kurikulum, kemudahan bagi guru dalam mengajar, kemudahan bagi peserta didik
dalam belajar, keterukuran pencapaian kompetensi, kebermaknaan, dan
kebermanfaatan untuk dipelajari sebagai bekal untuk kehidupan dan kelanjutan
pendidikan peserta didik.
Komponen silabus mencakup kompetensi dasar, materi pembelajaran, dan
kegiatan pembelajaran. Uraian pembelajaran yang terdapat dalam silabus
merupakan alternatif kegiatan belajar berbasis aktivitas. Pembelajaran tersebut
merupakan alternatif dan inspirasi bagi guru dalam mengembangkan berbagai
model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik dan mata
pelajaran.
Kompetensi sikap spiritual dan sompetensi sikap sosial dicapai melalui
pembelajaran tidak langsung (indirect teaching) pada pembelajaran kompetensi
pengetahuan dan kompetensi keterampilan melalui keteladanan, pembiasaan,
dan budaya sekolah dengan memperhatikan karakteristik mata pelajaran, serta
kebutuhan dan kondisi peserta didik. Penumbuhan dan pengembangan
kompetensi sikap dilakukan sepanjang proses pembelajaran berlangsung, dan
dapat digunakan sebagai pertimbangan guru dalam mengembangkan karakter
peserta didik lebih lanjut.
6. Keterkaitan antara SKL, KI-KD, dan Silabus
Standar kompetensi kulusan adalah kriteria mengenai kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
20
Kompetensi inti merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai standar
kompetensi lulusan yang harus dimiliki seorang peserta didik pada setiap
tingkat kelas atau program yang menjadi landasan pengembangan kompetensi
dasar. Kompetensi inti mencakup: sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan,
dan keterampilan yang berfungsi sebagai pengintegrasi muatan pembelajaran,
mata pelajaran atau program dalam mencapai standar kompetensi lulusan.
Kompetensi dasar adalah kemampuan untuk mencapai kompetensi inti yang
harus diperoleh peserta didik melalui pembelajaran. Dalam setiap rumusan
kompetensi dasar terdapat unsur kemampuan berpikir dan materi.
Standar kompetensi lulusan adalah muara utama pencapaian yang dituju semua
mata pelajaran pada jenjang tertentu. Sedangkan kompetensi inti adalah pijakan
pertama pencapaian yang dituju semua mata pelajaran pada tingkat kompetensi
tertentu. Penjabaran kompetensi inti untuk tiap mata pelajaran tersaji dalam
rumusan kompetensi dasar.
Alur pencapaian kompetensi lulusan, kompetensi inti, dan kompetensi dasar
melalui proses pembelajaran dan penilaian adalah sebagai berikut.
(1) Kompetensi inti (KI-3 dan KI-4) memberikan arah tingkat kompetensi
pengetahuan dan keterampilan minimal yang harus dicapai peserta didik.
(2) Kompetensi dasar dari KI-3 adalah dasar pengembangan materi
pembelajaran, sedangkan kompetensi dasar dari KI-4 mengarahkan
keterampilan dan pengalaman belajar yang perlu dilakukan peserta didik.
Dari sinilah pendidik dapat mengembangkan proses belajar dan cara
penilaian yang diperlukan melalui pembelajaran langsung.
(3) Dari proses belajar dan pengalaman belajar, peserta didik akan memperoleh
pembelajaran tidak langsung berupa pengembangan sikap sosial dan
spiritual yang relevan dengan berpedoman pada kompetensi dasar dari KI-2
dan KI-1.
(4) Rangkaian dari KI-KD sampai dengan penilaian tertuang dalam silabus,
kecuali untuk tujuan pembelajaran, tidak diwajibkan dicantumkan baik
dalam RPP maupun dalam Silabus.
21
Gambar 2. Keterkaitan SKL, KI dan KD dalam Pembelajaran dan Penilaian
Pada bagian ini akan diberikan contoh analisis keterkaitan KI dan KD dengan indikator
pencapaian kompetensi dan materi pembelajaran pada topik kekongruenan dan
kesebangunan.
KI1-
KD1*)
KI2-
KD2*)
KI3-KD-
3
KI4-KD-
4
S
K
L
Materi
Pem-
bela-
jaran
Kegiatan
Pembela-
jaran
S
K
L
KETERKAITAN SKL, KI, DAN KD DALAM PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN
S I L A B U S
IPK*)
IPK*)
IPK
IPK
*) UNTUK MAPEL:
PENDIDIKAN AGAMA DAN BUDI
PEKERTI PENDIDIKAN
PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN.
Penilaian
Sikap*) Pengeta
huan Keteram-
pilan
22
Kompetensi Inti
Kompetensi
Dasar
Indikator Pencapaian
Kompetensi
Materi
Pembelajaran
1. Memahami dan
menerapkan
pengetahuan
(faktual,
konseptual, dan
prosedural)
berdasarkan rasa
ingin tahunya
tentang ilmu
pengetahuan,
teknologi, seni,
budaya terkait
fenomena dan
kejadian tampak
mata
3.6 Memaham
i konsep
kesebanguna
n dan
kekongruena
n geometri
melalui
pengamatan
3.6.1. Menjelaskan
syarat kongruen
dua bangun
segibanyak
(polygon).
3.6.2. Menentukan sisi-
sisi dan sudut-sudut
yang bersesuaian
pada dua bangun
datar yang kongruen
3.6.3. Menentukan
panjang sisi dan besar
sudut yang belum
diketahui pada dua
bangun yang
kongruen
3.6.4. Menjelaskan
syarat-syarat dua
segitiga yang
kongruen.
3.6.5. Membuktikan dua
segitiga kongruen
3.6.6. Menyelesaikan
masalah yang
berkaitan dengan
Topik:
Kekongruenan
dan
Kesebangunan
Sub Topik:
Kekongruenan
Bangun Datar
Kekongruenan
Dua Segitiga
Kesebangunan
Bangun Datar
Kesebangunan
Dua Segitiga
3.6.8. Menentukan sisi- sisi dan sudut-sudut yang bersesuaian pada dua bangun yang sebangun 3.6.9. Menentukan panjang sisi yang belum diketahui dari dua bangun sebangun 3.6.10. Menjelaskan syarat-syarat dua segitiga yang sebangun 3.6.11. Menentukan sisi- sisi dan sudut-sudut yang bersesuaian pada dua segitiga yang sebangun 3.6.12 Menentukan panjang sisi yang belum diketahui dari dua segitiga sebangun
23
4 Mengolah, menyaji, dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori
4.5. Menyelesa ikan permasalahan nyata hasil pengamatan yang terkait penerapan kesebangunan dan kekongruenan
4.5.1. Memilih srategi yang tepat dalam menyelesaikan masalah nyata yang berkaitan dengan kekongruenan dan kesebangunan. 4.5.2. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kekongruenan dan kesebangunan.
Pengembangan Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK) dan Materi Pembelajaran
Pengembangan indikator dan materi pembelajaran merupakan merupakan 2
kemampuan yang harus dikuasai seorang guru sebelum mengembangkan RPP dan
melaksanakan pembelajaran. Melalui pemahaman keterkaitan kompetensi (SKL-KI-
KD), maka pendidik yang mengampu mata pelajaran Matematika dapat merumuskan
indikator pencapaian kompetensi pengetahuan terkait dengan dimensi pengetahuan
dan dimensi proses kognitif serta indikator keterampilan berkaitan tidak hanya
keterampilan bertindak tetapi juga keterampilan berpikir yang juga dikatakan sebagai
keterampilan abstrak dan konkret.
Pada Kurikulum 2013, penyusunan kurikulum dimulai dengan menetapkan SKL
berdasarkan kesiapan siswa, tujuan pendidikan nasional, dan kebutuhan. Setelah
kompetensi ditetapkan kemudian ditentukan kurikulumnya yang terdiri dari kerangka
dasar kurikulum dan struktur kurikulum. Satuan pendidikan dan guru tidak diberikan
kewenangan menyusun silabus, tetapi disusun pada tingkat nasional. Guru lebih
diberikan kesempatan mengembangkan proses pembelajaran tanpa harus dibebani
dengan tugas-tugas penyusunan silabus yang memakan waktu yang banyak dan
memerlukan penguasaan teknis penyusunan yang memberatkan guru. Kurikulum 2013
dikembangkan berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Tantangan internal. Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi
pendidikan dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada 8
24
Standar Nasional Pendidikan yang meliputi SI, standar proses, SKL, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Tantangan
lainnya terkait perkembangan penduduk usia produktif Indonesia. Jumlah
penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035
pada saat angkanya mencapai 70%.
2. Tantangan eksternal. Tantangan eksternal antara lain terkait dengan arus
globalisasi dan berbagai isu yang terkait pendidikan. Tantangan eksternal juga
terkait dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas
teknosains serta mutu, investasi, dan transformasi bidang pendidikan.
Keikutsertaan Indonesia di dalam studi International Trends in International
Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Program for International Student
Assessment (PISA) sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak-
anak Indonesia tidak menggembirakan. Hal ini antara lain dikarenakan banyak
materi uji yang ditanyakan tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia.
Kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik sebagai berikut.
1. Mengembangkan keseimbangan antara sikap spiritual dan sosial, pengetahuan
dan keterampilan, serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan
masyarakat;
2. Menempatkan sekolah sebagai bagian dari masyarakat yang memberikan
pengalaman belajar agar peserta didik mampu menerapkan apa yang
dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai
sumber belajar;
3. Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap,
pengetahuan, dan keterampilan;
4. Mengembangkan kompetensi yang dinyatakan dalam bentuk Kompetensi Inti
kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran;
5. Mengembangkan Kompetensi Inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing
elements) Kompetensi Dasar. Semua KD dan proses pembelajaran
dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam KI;
25
6. Mengembangkan Kompetensi Dasar berdasar pada prinsip akumulatif, saling
memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antar-mata pelajaran dan
jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal).
Dalam kurikulum 2013, proses pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik,
yaitu pembelajaran yang mendorong siswa lebih mampu dalam mengamati,
menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi/ menalar, dan
mengomunikasikan. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara soft
skills serta hard skills siswa yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan,
dan pengetahuan. Model pembelajaran yang diperlukan adalah yang memungkinkan
terbudayakannya kecapakan berpikir sains, terkembangkannya さsense of inquiryざ dan
kemampuan berpikir kreatif siswa. Model pembelajaran harus mampu menghasilkan
kemampuan untuk belajar, bukan saja diperolehnya sejumlah pengetahuan,
keterampilan, dan sikap, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana hal itu
diperoleh siswa.
Penguatan materi pada Kurikulum 2013 dilakukan dengan pengurangan materi
yang tidak relevan serta pendalaman dan perluasan materi yang relevan bagi peserta
didik. Juga menambahkan materi yang dianggap penting dalam perbandingan
internasional, serta penguatan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Cakupan
materi di SMP meliputi bilangan rasional, real, pengenalan aljabar, himpunan,
geometri dan pengukuran (termasuk transformasi, bangun tidak beraturan), dan
statistika dan peluang (termasuk metode statistik sederhana).
D. Daftar Pustaka
Anglin, W. S. 1994. Mathematics: A Concise History and Philosophy. New York:
Springer-Verlag.
Boyer, Carl B. 1968. A History of Mathematics. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Cooke, R. 1997. The History of Mathematics. A Brief Cource. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
26
Sumardyono. 2003. Sejarah Topik Matematika Sekolah. Seri Paket Pembinaan
Penataran. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika
(PPPG Matematika)
Sumardyono. 2004. Karakteristik Matematika dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Matematika. Seri Paket Pembinaan Penataran. Yogyakarta:
Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika (PPPG Matematika)
Sumardyono. 2012. Sejarah dan Filsafat Matematika. Modul Diklat Pasca UKA.
Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Matematika (PPPPTK Matematika)
Tim Penyusun. 2016. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 Tahun
2016. Jakarta: Direktorat PSMP.
Yogi Anggraena. 2016. Kurikulum Matematika 1 dan Aljabar 1. Bahan ajar diklat.
Jakarta: Kemdikbud PPPPTK
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATERI PEDAGOGIK
BAB V
DESAIN PEMBELAJARAN
Prof. Dr. Sunardi, M.Sc
Dr. Imam Sujadi, M.Si
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
1
KEGIATAN BELAJAR 4: DESAIN PEMBELAJARAN
A. Tujuan
Setelah membaca sumber belajar ini diharapkan Guru mempunyai wawasan tentang
desain pembelajaran. Diantaranya mengetahui pengertian dan langkah-langkah
pembelajaran dengan pendekatan saintifik, pembelajaran Problem-based Learning,
pembelajaran Project-based Learning, Inquiry, Discovery Learning, serta menerapkan
pendekatan dan model-model pembelajaran yang sesuai dengan KD
B. Indikator Pencapaian Kompetensi
Setelah membaca sumber belajar ini diharapkan Guru dapat:
1. Menjelaskan pengertian dan langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan
saintifik
2. Menjelaskan pengertian dan langkah-langkah pembelajaran Problem-based
Learning
3. Menjelaskan pengertian dan langkah-langkah pembelajaran Project-based
Learning
4. Menjelaskan pengertian dan langkah-langkah Inquiry
5. Menjelaskan pengertian dan langkah-langkah Discovery Learning
6. Menerapkan pendekatan dan model-model pembelajaran yang sesuai dengan KD
C. Uraian Materi
1. Pendekatan saintifik (dalam pembelajaran) dan metode saintifik
Pada Permendikbud No.ヱヰン tahuミ ヲヰヱヴ diミyatakaミ bahwa さPeマbelajaraミ pada Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik atau pendekatan berbasis
proses keilmuan. Pendekatan saintifik dapat menggunakan beberapa strategi
seperti pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran merupakan suatu bentuk
pembelajaran yang memiliki nama, ciri, sintak, pengaturan, dan budaya, misalnya
Discovery Learning, Project-based Learning, Problem-based Learning, Inquiry
learningざ.
Pada kalimat di atas tersua tiga istilah yang disusun secara hirarkis, yakni
pendekatan, strategi, dan model. Dalam beberapa buku teks pembelajaran,
2
istilah pendekatan diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang (perspektif)
terhadap proses pembelajaran (Sanjaya, 2007: 127). Dalam ranah pendidikan
bahasa, Douglas Brown (2001: 14) yang merujuk pendapat Edward Anthony
(1963), juga menyatakan tiga komponen hirarkis yang kurang lebih sama yakni
pendekatan, metode, dan teknik. Di sini pendekatan dipandang sebagai
seperangkat asumsi atau prinsip tentang bahasa dan pembelajaran bahasa. Dua
istilah di bawahnya yakni metode dan teknik, kurang lebih mempunyai
kedudukan yang sejajar dengan istilah strategi dan model dalam Permendikbud.
Pendekatan saintifik disebut juga pendekatan berbasis proses keilmuan. Artinya,
proses untuk memperoleh pengetahuan (ilmiah) secara sistematis. Dalam
konteks ini, tidak sulit untuk menyatakan bahwa pendekatan saintifik ini berakar
pada metode ilmiah (saintific method), sebuah konsep yang menekankan ilmu
pengetahuan lebih sebagai kata kerja ketimbang kata benda. Metode saintifik
sendiri merupakan prosedur atau proses, yakni langkah-langkah sistematis yang
perlu dilakukan untuk memperoleh pengetahuan (ilmiah) yang didasarkan pada
persepsi inderawi dan melibatkan uji hipotesis serta teori secara terkendali
(Sudarminta, 2002 : 164). Karena pengamatan inderawi biasanya mengawali
maupun mengakhiri proses kerja ilmiah, maka cara kerja atau proses ilmiah
sering juga disebut lingkaran atau siklus empiris.
Pendekatan saintifik sangat relevan dengan teori belajar Bruner, Piaget, dan
Vygotsky berikut ini. Teori belajar Bruner disebut juga teori belajar penemuan.
Ada empat hal pokok yang berkaitan dengan teori belajar Bruner (dalam Carin &
Sund, 1975). Pertama, individu hanya belajar dan mengembangkan pikirannya
apabila ia menggunakan pikirannya. Kedua, dengan melakukan proses kognitif
dalam proses penemuan, peserta didik akan memperoleh sensasi dan kepuasan
intelektual yang merupakan suatu penghargaan intrinsik. Ketiga, satu-satunya
cara agar seseorang dapat mempelajari teknik-teknik dalam melakukan
penemuan adalah ia memiliki kesempatan untuk melakukan penemuan.
Keempat, dengan melakukan penemuan, retensi ingatan peserta didik akan
3
menguat. Empat hal di atas bersesuaian dengan proses kognitif yang diperlukan
dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik.
Berdasarkan teori Piaget, belajar berkaitan dengan pembentukan dan
perkembangan skema (jamak skemata). Skema adalah suatu struktur mental
atau struktur kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi
dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya (Baldwin, 1967). Skema tidak pernah
berhenti berubah. Skemata seorang anak akan berkembang menjadi skemata
orang dewasa. Proses yang menyebabkan terjadinya perubahan semata disebut
dengan adaptasi.
Proses terbentuknya adaptasi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya
seseorang mengintegrasikan stimulus, yang dapat berupa persepsi, konsep,
hukum, prinsip, atau pengalaman baru, ke dalam skema yang sudah ada di dalam
pikirannya. Asimilasi terjadi jika ciri-ciri stimulus tersebut cocok dengan ciri-ciri
skema yang telah ada. Apabila ciri-ciri stimulus tidak cocok dengan ciri-ciri skema
yang telah ada, seseorang akan melakukan akomodasi.
Akomodasi dapat berupa pembentukan skema baru yang cocok dengan ciri-ciri
rangsangan yang ada atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok
dengan ciri-ciri stimulus yang ada. Dalam pembelajaran diperlukan adanya
penyeimbangan atau ekuilibrasi antara asimilasi dan akomodasi. Apabila pada
seseorang akomodasi lebih dominan dibandingkan asimilasi, ia akan memiliki
skemata yang banyak tetapi kualitasnya cenderung rendah. Sebaliknya, apabila
asimilasi lebih dominan dibandingkan akomodasi, seseorang akan memiliki
skemata yang tidak banyak, tetapi cenderung memiliki kualitas yang tinggi.
Keseimbangan atau ekuilibrasi antara asimilasi dan akomodasi diperlukan untuk
perkembangan intelek seseorang, menuju ke tingkat yang lebih tinggi.
Piaget (Carin & Sund, 1975) menyatakan bahwa pembelajaran yang bermakna
tidak akan terjadi kecuali peserta didik dapat beraksi secara mental dalam
bentuk asimilasi dan akomodasi terhadap informasi atau stimulus yang ada di
4
sekitarnya. Bila hal ini tidak terjadi, guru dan peserta didik hanya akan terlibat
dalam belajar semu (pseudo-learning) dan informasi yang dipelajari cenderung
mudah terlupakan.
Proses kognitif yang dibutuhkan dalam rangka mengonstruk konsep, hukum,
atau prinsip dalam skema seseorang melalui tahapan mengamati, merumuskan
masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik,
menganalisis data, menarik kesimpulan yang terjadi dalam pembelajaran dengan
pendekatan saintifik selalu melibatkan proses asimilasi dan akomodasi. Oleh
karena itu, teori belajar Piaget sangat relevan dengan pendekatan saintifik.
Vygotsky (Nur dan Wikandari, 2000:4) menyatakan bahwa pembelajaran terjadi
apabila peserta didik bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum
dipelajari, tetapi tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan,
atau tugas itu berada dalam zone of proximal development, yaitu daerah yang
terletak antara tingkat perkembangan anak saat ini, yang didefinisikan sebagai
kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman
sebaya yang lebih mampu.
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang mengacu pada teori Vygotsky
menerapkan apa yang disebut dengan scaffolding (perancahan). Perancahan
mengacu kepada bantuan yang diberikan teman sebaya atau orang dewasa yang
lebih kompeten. Artinya, sejumlah besar dukungan diberikan kepada anak
selama tahap-tahap awal pembelajaran, yang kemudian bantuan itu semakin
dikurangi untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil
tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu melakukannya
sendiri. (Nur, 1998:32).
2. Tujuan Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik
Tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah sebagai berikut.
a. Meningkatkan kemampuan intelektual, khususnya kemampuan berpikir
tingkat tinggi peserta didik,
5
b. Membentuk kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah
secara sistematik,
c. Memperoleh hasil belajar yang tinggi,
d. Melatih peserta didik dalam mengkomunikasikan ide-ide, khususnya dalam
menulis karya ilmiah, serta
e. Mengembangkan karakter peserta didik.
3. Prinsip Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik
Prinsip-prinsip pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah sebagai berikut.
a. Berpusat pada peserta didik yaitu kegiatan aktif peserta didik secara fisik dan
mental dalam membangun makna atau pemahaman suatu konsep,
hukum/prinsip
b. Membentuk students’ self concept yaitu membangun konsep berdasarkan
pemahamannya sendiri.
c. Menghindari verbalisme,
d. Memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengasimilasi dan
mengakomodasi konsep, hukum, dan prinsip,
e. Mendorong terjadinya peningkatan kecakapan berpikir peserta didik,
f. Meningkatkan motivasi belajar peserta didik,
g. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melatih kemampuan
dalam komunikasi, serta
h. Memungkinkan adanya proses validasi terhadap konsep, hukum, dan prinsip
yang dikonstruksi peserta didik dalam struktur kognitifnya.
i. Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengonstruksi konsep, hukum,
atau prinsip,
j. Melibatkan proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan
intelektual, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik.
4. Langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik
Secara umum pembelajaran dengan pendekatan saintifik dilakukan melalui
sejumlah langkah sebagai berikut.
6
a. Melakukan pengamatan terhadap aspek-aspek dari suatu fenomena untuk
mengidentifikasi masalah
b. Merumuskan pertanyaan berkaitan dengan masalah yang ingin diketahui dan
menalar untuk merumuskan hipotesis atau jawaban sementara berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki,
c. Mencoba/mengumpulkan data atau informasi dengan berbagai teknik,
d. Mengasosiasi/menganalisis data atau informasi untuk menarik kesimpulan,
e. Mengkomunikasikan kesimpulan,
f. Mencipta.
Hasil yang diperoleh dari pembelajaran dengan pendekatan saintifik berupa
konsep, hukum, atau prinsip yang dikonstruk oleh peserta didik dengan bantuan
guru. Pada kondisi tertentu, data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan
tidak mungkin diperoleh secara langsung oleh peserta didik karena kadang-kadang
data tersebut perlu dikumpulkan dalam waktu yang lama. Dalam hal ini guru dapat
memberikan data yang dibutuhkan untuk kemudian dianalisis oleh peserta didik.
5. Contoh Kegiatan Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik
Kegiatan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup.
Kegiatan pendahuluan bertujuan untuk menciptakan suasana awal pembelajaran
yang efektif yang memungkinkan peserta didik dapat mengikuti proses
pembelajaran dengan baik. Sebagai contoh, ketika memulai pembelajaran, guru
menyapa anak dengan nada bersemangat dan gembira, mengecek kehadiran para
peserta didik, menyampaikan tujuan pembelajaran dan kegiatan pembelajaran
yang akan dilakukan.
Kegiatan inti merupakan kegiatan utama dalam proses pembelajaran karena
terkait langsung dengan pencapaian tujuan pembelajaran. Kegiatan inti dalam
pendekatan saintifik ditujukan untuk memperoleh konsep, hukum, atau prinsip
oleh peserta didik dengan bantuan guru melalui langkah-langkah kegiatan yang
diberikan di muka. Pada akhir kegiatan inti validasi terhadap konsep, hukum, atau
prinsip yang telah dikonstruk oleh peserta didik dilakukan.
7
Kegiatan penutup ditujukan untuk beberapa hal pokok. Pertama, pengayaan
materi pelajaran yang dikuasai peserta didik. Pengayaan dapat dilakukan dengan
memberikan tugas kepada peserta didik membaca buku-buku pelajaran atau
sumber informasi lainnya untuk memantapkan pemahaman materi yang telah
dibelajarkan atau memahami materi lain yang berkaitan. Guru juga dapat meminta
peserta didik mengakses sumber-sumber dari internet, baik berupa animasi
maupun video yang berkaitan dengan materi yang telah dibelajarkan. Dalam hal
ini, sebaiknya guru memberikan situs-situs internet yang berkaitan dengan materi
pelajaran yang telah dibelajarkan. Pengayaan dapat juga dilakukan dengan
meminta peserta didik melakukan percobaan di rumah, yang berkaitan dengan
materi yang telah dibelajarkan, yang dapat dilakukan dengan aman. Kedua, guru
dapat memberikan kegiatan remedi apabila ada peserta didik yang belum
mencapai kompetensi yang diharapkan. Selain itu, guru dapat memberi PR dan
memberitahuhan materi/ kompetensi berikutnya yang akan dipelajari.
Beberapa buku teks menyatakan terdapat empat atau lima langkah dalam metode
ilmiah. Salah satunya seperti yang dikemukakan oleh Gay, Mills, dan Airasian
(2012: 6) yang mengemukakan 5 langkah metode ilmiah yakni :
a. Mengidentifikasi masalah. Pada tahap ini boleh dikata muncul sebuah situasi
yakni situasi masalah yang dapat muncul sebagai hasil dari pengamatan
terhadap feミoマeミa atau gejala yaミg さマeミarikざ atau yaミg さaミehざ. Ada bagiaミ dari perstiwa atau fenomena itu yang belum dapat dijelaskan secara masuk
akal. Maka perlu menetapkan atau merumuskan apa masalah yang ingin
dipecahkan.
b. Merumuskan hipotesis. Hipotesis atau jawaban sementara ini bersifat tentatif,
yang diduga dapat menjawab permasalahan di atas. Hipotesis berfungsi untuk
memprediksi atau menjelaskan sebab-sebab dari masalah yang telah
dirumuskan. Dikatakan sementara karena hipotesis ini dapat dibentuk
berdasarkan akal sehat, dugaan murni, spekulasi, imajinasi, maupun asumsi
tertentu. Dalam kesempatan tertentu kegiatan ini mencakup pula studi
kepustakaan.
8
c. Mengumpulkan data. Langkah ini dimaksudkan untuk mengumpulkan fakta
atau data sebanyak mungkin dari lapangan dengan teknik-teknik tertentu
misalnya wawancara, kuesioner, observasi, dan sebagainya. Data merupakan
fakta yang sudah diolah dan disajikan dalam bentuk dan cara yang sistematis.
Bentuknya dapat berupa statistik, gambar, tabel, grafik, dan dokumen-
dokumen. Sedangkan fakta biasanya sering disebut data mentah. Fakta atau
data inilah yang harus diolah pada langkah berikutnya.
d. Menganalisis data. Langkah ini dimaksudkan pertama-tama untuk menjawab
masalah yang telah ditetapkan pada langkah awal. Dengan kata lain untuk
membuktikan apakah hipotesis yang dirumuskan sebelumnya benar atau
tidak.
e. Menarik simpulan.
Lima langkah inilah yang dijadikan sudut pandang atau asumsi dasar
(=pendekatan) pembelajaran seperti yang dimaksudkan dalam Permendikbud No.
103 Tahun 2014. Sebagai sebuah pendekatan pembelajaran, pendekatan saintifik
terdiri atas lima langkah kegiatan belajar yakni mengamati (observing), menanya
(questioning), mengumpulkan informasi/mencoba (experimenting), menalar atau
mengasosiasi (associating), mengomunikasikan (communicating).
Mengamati. Siswa menggunakan panca indranya untuk mengamati fenomena
yang relevan dengan apa yang dipelajari. Fenomena yang diamati pada mata
pelajaran satu dan lainnya berbeda. Misalnya, untuk mata pelajaran IPA, siswa
mengamati pelangi, untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, mendengarkan
percakapan. Contoh untuk mata pelajaran bahasa Indonesia adalah membaca
teks, untuk prakarya adalah mencicipi iga bakar, dan untuk mata pelajaran IPS
adalah mengamati banjir, dan lain-lainnya. Fenomena dapat diamati secara
langsung maupun melalui media audio visual. Hasil yang diharapkan adalah siswa
mendapatkan pengetahuan faktual, pengalaman, dan serangkaian informasi yang
belum diketahui (gap of knowledge). Membantu siswa menginventarisasi segala
sesuatu yang belum diketahui (gap of knowledge). Agar kegiatan mengamati
dapat berlangsung baik, sebelumnya guru perlu menemukan fenomena yang
9
diamati, merancang, mempersiapkan, menunjukkan, atau menyediakan sumber
belajar yang relevan dengan KD atau materi pembelajaran yang akan diamati
oleh siswa.
Menanya. Siswa merumuskan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat mencakup yang menghendaki
jawaban tentang pengetahuan faktual, konseptual, maupun prosedural, sampai
ke pertanyaan yang bersifat hipotetik. Hasil kegiatan ini adalah serangkaian
pertanyaan siswa terutama yang mengarah ke atau relevan dengan indikator-
indikator KD yang sudah dirumuskan. Guru Membantu siswa merumuskan
pertanyaan berdasarkan daftar hal-hal yang perlu/ingin diketahui agar dapat
melakukan/menciptakan sesuatu. Misalnya, guru membantu siswa dengan
merumuskan pertanyaan pancingan terkait dengan apa yang sedang diamati.
Mengumpulkan informasi/mencoba. Siswa mengumpulkan data melalui berbagai
teknik, misalnya: melakukan eksperimen; mengamati objek/kejadian/aktivitas;
wawancara dengan nara sumber; membaca buku pelajaran, dan sumber lain di
antaranya kamus, ensiklopedia, media masa, buku pintar, atau serangkaian data
statistik. Guru menyediakan sumber-sumber belajar, lembar kerja (worksheet),
media, alat peraga/peralatan eksperimen, dan sebagainya. Guru juga
membimbing dan mengarahkan siswa untuk mengesi lembar kerja, menggali
informasi tambahan yang dapat dilakukan secara berulang-ulang sampai siswa
memperoleh informasi atau data yang dibutuhkan. Hasil kegiatan ini adalah
serangkaian data atau informasi yang relevan dengan serangkaian KD.
Menalar/mengasosiasi. Siswa mengolah informasi yang sudah dikumpulkan.
Dalam langkah ini siswa memecah, memilah dan memilih informasi,
mengklasifikasikan, atau menghitung dengan cara tertentu untuk menjawab
pertanyaan. Pada langkah ini guru mengarahkan agar siswa dapat
mengidentifikasi, mengklasifikasi, atau menghubung-hubungkan data/informasi
yang diperoleh. Hasil akhir dari tahap ini adalah simpulan-simpulan yang
merupakan jawaban atas pertanyaan yang dirumuskan.
10
Mengomunikasikan. Siswa menyampaikan simpulan hasil analisis secara lisan,
tertulis, atau menyampaikan melalui media lain. Pada kegiatan ini, siswa dapat
juga memajang/memamerkan hasilnya di ruang kelas, atau mengunggah (upload)
di blog yang dimiliki. Guru memberikan umpan balik, memberikan penguatan,
serta memberikan penjelasan/informasi lebih luas. membantu peserta didik untuk
menentukan butir-butir penting dan simpulan yang akan dipresentasikan, baik
dengan atau tanpa memanfaatkan teknologi informasi.
Karena sudut pandang atau asumsi dasar (pendekatan)-nya berupa langkah-
langkah operasional yang berurutan, maka yang disebut pendekatan (saintifik)
dalam pembelajaran dengan mudah dipahami sebagai sebuah sintak yang dapat
digunakan sebagai praksis pembelajaran. Dengan kata lain istilah さpeミdekataミざ
menjadi identik dengan さマodelざ, seperti model Discovery Learning, Project-based
Learning, Problem-based Learning, Inquiry learning seperti yang termaktub dalam
Permendikbud No. 103 tahun 2014. Paparan berikut akan menitikberatkan pada
apa dan bagaimana model-model tersebut.
6. Model-model Pembelajaran
f. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-based Learning)
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning), selanjutnya
disingkat PBM, mula-mula dikembangkan di sekolah kedokteran, McMaster
University Medical School di Hamilton, Canada pada 1960-an (Barrows, 1996).
PBM dikembangkan sebagai respon atas fakta bahwa mahapeserta didik
mengalami kesulitan di tahun pertama perkuliahan, seperti pada mata kuliah
Anatomi, Biokimia, dan Fisiologi. Mereka tidak termotivasi menempuh mata
kuliah-mata kuliah tersebut karena tidak melihat relevansinya dengan profesi
mereka kelak. Selain itu, juga didapati fakta bahwa para dokter muda yang
baru lulus dari sekolah kedokteran itu memiliki pengetahuan yang sangat
kaya, tetapi kurang memiliki keterampilan memadai untuk memanfaatkan
pengetahuan tersebut dalam praktik sehari-hari. Atas dasar itu, para pengajar
merancang pembelajaran yang mendasarkan pada masalah atau kasus aktual.
Pembelajaran dimulai dengan penyajian masalah klinis yang dapat
11
diselesaikan dengan menggunakan pengetahuan medis yang relevan.
Perkembangan selanjutnya, PBM secara lebih luas diterapkan di berbagai
mata kuliah di perguruan tinggi dan di berbagai mata pelajaran di sekolah.
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah pembelajaran yang
menggunakan masalah nyata sehari-hari (otentik) yang bersifat terbuka
(open-ended) untuk diselesaikan oleh peserta didik dalam rangka
mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan
masalah, keterampilan sosial, keterampilan untuk belajar mandiri, dan
membangun atau memperoleh pengetahuan baru. Pemilihan masalah nyata
tersebut dilakukan atas pertimbangan kesesuaiannya dengan pencapaian
kompetensi dasar.
Contoh masalah nyata yang dapat digunakan dalam Pembelajaran Berbasis
Masalah dalam pembelajaran matematika: Dalam keadaan darurat seseorang
harus diselamatkan melalui pintu jendela yang tingginya 4m dengan
menggunakan tangga. Dengan pertimbangan keselamatan, tangga tersebut
harus ditempatkan minimum 1m dari dasar bangunan. Berapa panjang tangga
yang mungkin?
Tujuan utama PBM adalah mengembangkan keterampilan menyelesaikan
masalah, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan untuk
belajar mandiri, dan membentuk atau memperoleh pengetahuan baru.
Prinsip-prinsip PBM adalah sebagai berkut.
a. Penggunaan masalah nyata (otentik)
b. Berpusat pada peserta didik (student-centered)
c. Guru berperan sebagai fasilitator
d. Kolaborasi antarpeserta didik
e. Sesuai dengan paham konstruktivisme yang menekankan peserta didik
untuk secara aktif memperoleh pengetahuannya sendiri.
Secara umum, berikut langkah-langkah PBM yang mengadaptasi dari
pendapat Arends (2012) dan Fogarty (1997).
12
Kegiatan pembelajaran terdiri atas tiga tahap, yaitu pendahuluan, inti, dan
penutup. Tahap-tahap orientasi terhadap masalah, organisasi belajar,
penyelidikan individual maupun kelompok, dan pengembangan dan penyajian
hasil penyelesaian masalah merupakan tahap inti pembelajaran. Tahap
analisis dan evaluasi proses penyelesaian masalah merupakan tahap penutup.
Tabel 1. Langkah-Langkah Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahap Deskripsi
Tahap 1
Orientasi terhadap
masalah
Guru menyajikan masalah nyata kepada peserta didik.
Tahap 2
Organisasi belajar
Guru memfasilitasi peserta didik untuk memahami
masalah nyata yang telah disajikan, yaitu
mengidentifikasi apa yang mereka ketahui, apa yang
perlu mereka ketahui, dan apa yang perlu dilakukan
untuk menyelesaikan masalah. Peserta didik berbagi
peran/tugas untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Tahap 3
Penyelidikan
individual maupun
kelompok
Guru membimbing peserta didik melakukan
pengumpulan data/informasi (pengetahuan, konsep,
teori) melalui berbagai macam cara untuk menemukan
berbagai alternatif penyelesaian masalah.
Tahap 4
Pengembangan dan
penyajian hasil
penyelesaian
masalah
Guru membimbing peserta didik untuk menentukan
penyelesaian masalah yang paling tepat dari berbagai
alternatif pemecahan masalah yang peserta didik
temukan. Peserta didik menyusun laporan hasil
penyelesaian masalah, misalnya dalam bentuk
gagasan, model, bagan, atau Power Point slides.
Tahap 5
Analisis dan
evaluasi proses
Guru memfasilitasi peserta didik untuk melakukan
refleksi atau evaluasi terhadap proses penyelesaian
masalah yang dilakukan.
13
Tahap Deskripsi
penyelesaian
masalah
g. Pembelajaran Berbasis Projek (Project-based Learning)
Pembelajaran Berbasis Projek (PBP) adalah kegiatan pembelajaran yang
menggunakan projek/kegiatan sebagai proses pembelajaran untuk mencapai
kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Penekanan pembelajaran
terletak pada aktivitas-aktivias peserta didik untuk menghasilkan produk
dengan menerapkan keterampilan meneliti, menganalisis, membuat, sampai
dengan mempresentasikan produk pembelajaran berdasarkan pengalaman
nyata. Produk yang dimaksud adalah hasil projek dalam bentuk desain, skema,
karya tulis, karya seni, karya teknologi/prakarya, dan lain-lain. Pendekatan ini
memperkenankan pesera didik untuk bekerja secara mandiri maupun
berkelompok dalam menghasilkan produk nyata.
Pembelajaran Berbasis Projek merupakan model pembelajaran yang
menggunakan projek sebagai langkah awal dalam mengintegrasikan
pengetahuan dan keterampilan baru berdasarkan pengalaman nyata. PBP
dilakukan secara sistematik yang mengikutsertakan peserta didik dalam
pembelajaran sikap, pengetahuan, dan keterampilan melalui investigasi
dalam perancangan produk. PBP merupakan pendekatan pembelajaran yang
inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang
kompleks. Pelaksanaan pembelajaran berbasis projek memberi kesempatan
peserta didik berpikir kritis dan mampu mengembangkan kreativitasnya
melalui pengembangan inisiatif untuk menghasilkan produk nyata berupa
barang atau jasa.
Pada PBP, peserta didik terlibat secara aktif dalam memecahkan masalah
dalam bentuk suatu projek. Peserta didik aktif mengelola pembelajarannya
dengan bekerja secara nyata yang menghasilkan produk riil. PBP dapat
mereduksi kompetisi di dalam kelas dan mengarahkan peserta didik lebih
14
kolaboratif daripada bekerja sendiri-sendiri. Di samping itu PBP dapat juga
dilakukan secara mandiri melalui bekerja mengkonstruk pembelajarannya
melalui pengetahuan serta keterampilan baru, dan mewujudkannya dalam
produk nyata.
Pembelajaran Berbasis Projek merupakan metode pembelajaran yang
berfokus pada peserta didik dalam kegiatan pemecahan masalah terkait
dengan projek dan tugas-tugas bermakna lainnya. Pelaksanaan PBP dapat
memberi peluang pada peserta didik untuk bekerja mengkonstruk tugas yang
diberikan guru yang puncaknya dapat menghasilkan produk karya peserta
didik. Tujuan Pembelajaran Berbasis Projek (PBP) adalah sebagai berikut:
a. Memperoleh pengetahuan dan ketrampilan baru dalam pembelajaran
b. Meningkatkan kemampuan peserta didik dalam pemecahan masalah
projek.
c. Membuat peserta didik lebih aktif dalam memecahkan masalah projek
yang kompleks dengan hasil produk nyata berupa barang atau jasa.
d. Mengembangkan dan meningkatkan keterampilan peserta didik dalam
mengelola sumber/bahan/alat untuk menyelesaikan tugas/projek.
e. Meningkatkan kolaborasi peserta didik khususnya pada PBP yang bersifat
kelompok.
Prinsip-prinsip pembelajaran berbasis projek adalah sebagai berikut.
a. Pembelajaran berpusat pada peserta didik yang melibatkan tugas-tugas
projek pada kehidupan nyata untuk memperkaya pembelajaran.
b. Tugas projek menekankan pada kegiatan penelitian berdasarkan suatu
tema atau topik yang telah ditentukan dalam pembelajaran.
c. Tema atau topik yang dibelajarkan dapat dikembangkan dari suatu
kompetensi dasar tertentu atau gabungan beberapa kompetensi dasar
dalam suatu mata pelajaran, atau gabungan beberapa kompetensi dasar
antarmata pelajaran. Oleh karena itu, tugas projek dalam satu semester
dibolehkan hanya satu penugasan dalam suatu mata pelajaran.
15
d. Penyelidikan atau eksperimen dilakukan secara otentik dan menghasilkan
produk nyata yang telah dianalisis dan dikembangkan berdasarkan
tema/topik yang disusun dalam bentuk produk (laporan atau hasil karya).
Produk tersebut selanjutnya dikomunikasikan untuk mendapat tanggapan
dan umpan balik untuk perbaikan produk.
e. Pembelajaran dirancang dalam pertemuan tatap muka dan tugas mandiri
dalam fasilitasi dan monitoring oleh guru. Pertemuan tatap muka dapat
dilakukan di awal pada langkah penentuan projek dan di akhir
pembelajaran pada langkah penyusunan laporan dan presentasi/publikasi
hasil projek, serta evaluasi proses dan hasil projek.
Dalam PBP, peserta didik diberikan tugas dengan mengembangkan tema/topik
dalam pembelajaran dengan melakukan kegiatan projek yang realistik. Di
samping itu, penerapan pembelajaran berbasis projek ini mendorong
tumbuhnya kreativitas, kemandirian, tanggung jawab, kepercayaan diri, serta
berpikir kritis dan analitis pada peserta didik. Secara umum, langkah-langkah
Pembelajaran Berbasis Projek (PBP) dapat dijelaskan sebagai berikut.
Bagan 1. Langkah-Langkah Pembelajaran Berbasis Projek
Diadaptasi dari Keser & Karagoca (2010)
Berikut disajikan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada setiap langkah
PBP.
3. Penyusunan
Jadwal Pelaksanaan
Projek
2. Perancangan
langkah-langkah
penyelesaian
projek
1. Penentuan
Projek
5. Penyusunan
laporan dan
presentasi/publikas
i hasil projek
4. Penyelesaian
projek dengan
fasilitasi dan
monitoring guru
16
a. Penentuan projek
Pada langkah ini, peserta didik menentukan tema/topik projek bersama guru.
Peserta didik diberi kesempatan untuk memilih/menentukan projek yang akan
dikerjakannya baik secara kelompok ataupun mandiri dengan catatan tidak
menyimpang dari tema.
Pada bagian ini, peserta didik memilih tema/topik untuk menghasilkan produk
(laporan observasi/penyelidikan, rancangan karya seni, atau karya
keterampilan) dengan karakteristik mata pelajaran dengan menekankan
keorisinilan produk. Penentuan produk juga disesuaikan dengan kriteria tugas,
dengan mempertimbangkan kemampuan peserta didik dan
sumber/bahan/alat yang tersedia.
b. Perancangan langkah-langkah penyelesaian projek
Peserta didik merancang langkah-langkah kegiatan penyelesaian projek dari
awal sampai akhir beserta pengelolaannya. Kegiatan perancangan projek ini
berisi perumusan tujuan dan hasil yang diharapkan, pemilihan aktivitas untuk
penyelesaian projek, perencanaan sumber/bahan/alat yang dapat mendukung
penyelesaian tugas projek, dan kerja sama antaranggota kelompok.
Pada kegiatan ini, peserta didik mengidentifikasi bagian-bagian produk yang
akan dihasilkan dan langkah-langkah serta teknik untuk menyelesaikan
bagian-bagian tersebut sampai dicapai produk akhir.
c. Penyusunan jadwal pelaksanaan projek
Peserta didik dengan pendampingan guru melakukan penjadwalan semua
kegiatan yang telah dirancangnya.Berapa lama projek itu harus diselesaikan
tahap demi tahap. Peserta didik menyusun tahap-tahap pelaksanaan projek
dengan mempertimbangkan kompleksitas langkah-langkah dan teknik
penyelesaian produk serta waktu yang ditentukan guru.
d. Penyelesaian projek dengan fasilitasi dan monitoring guru
Langkah ini merupakan pelaksanaan rancangan projek yang telah dibuat.
Peserta didik mencari atau mengumpulkan data/material dan kemudian
17
mengolahnya untuk menyusun/mewujudkan bagian demi bagian sampai
dihasilkan produk akhir.
Aktivitas yang dapat dilakukan dalam kegiatan projek di antaranya dengan: a)
membaca, b) membuat disain, c) meneliti, d) menginterviu, e) merekam, f)
berkarya, g) mengunjungi objek projek, dan/atau h) akses internet. Guru
bertanggung jawab membimbing dan memonitor aktivitas peserta didik dalam
melakukan tugas projek mulai proses hingga penyelesaian projek. Pada
kegiatan monitoring, guru membuat rubrik yang akan dapat merekam
aktivitas peserta didik dalam menyelesaikan tugas projek.
e. Penyusunan laporan dan presentasi/publikasi hasil projek
Hasil projek dalam bentuk produk, baik itu berupa produk karya tulis, disain,
karya seni, karya teknologi/prakarya, dan lain-lan dipresentasikan dan/atau
dipublikasikan kepada peserta didik yang lain dan guru atau masyarakat dalam
bentuk presentasi, publikasi (dapat dilakukan di majalah dinding atau
internet), dan pameran produk pembelajaran.
f. Evaluasi proses dan hasil projek
Guru dan peserta didik pada akhir proses pembelajaran melakukan refleksi
terhadap aktivitas dan hasil tugas projek. Proses refleksi pada tugas projek
dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Pada tahap evaluasi,
peserta didik diberi kesempatan mengemukakan pengalamannya selama
menyelesaikan tugas projek yang berkembang dengan diskusi untuk
memperbaiki kinerja selama menyelesaikan tugas projek. Pada tahap ini juga
dilakukan umpan balik terhadap proses dan produk yang telah dilakukan.
Proses pembelajaran berbasis projek meliputi tahap-tahap pendahuluan,
kegiatan inti, dan penutup. Langkah-langkah PBP secara keseluruhan berada
dalam tahap kegiatan inti. Dengan demikian tahap kegiatan inti meliputi
kegiatan menemukan tema/topik projek, kegiatan merancang langkah
penyelesaian projek, menyusun jadwal projek,proses penyelesaian projek
dengan difasilitasi dan dimonitor oleh guru, penyusunan laporan dan
18
presentasi/publikasi hasil projek, dan evaluasi proses dan hasil kegiatan
projek.
Tabel 2. Langkah-Langkah Pembelajaran Berbasis Projek
Langkah-langkah Deskripsi
Langkah -1
Penentuan projek
Guru bersama dengan peserta didik
menentukan tema/topik projek
Langkah -2
Perancangan langkah-
langkah penyelesaian
projek
Guru memfasilitasi Peserta didik untuk
merancang langkah-langkah kegiatan
penyelesaian projek beserta pengelolaannya
Langkah -3
Penyusunan jadwal
pelaksanaan projek
Guru memberikan pendampingan kepada
peserta didik melakukan penjadwalan semua
kegiatan yang telah dirancangnya
Langkah -4
Penyelesaian projek
dengan fasilitasi dan
monitoring guru
Guru memfasilitasi dan memonitor peserta
didik dalam melaksanakan rancangan projek
yang telah dibuat
Langkah -5
Penyusunan laporan dan
presentasi/publikasi hasil
projek
Guru memfasilitasi Peserta didik untuk
mempresentasikan dan mempublikasikan hasil
karya
Langkah -6
Evaluasi proses dan hasil
projek
Guru dan peserta didik pada akhir proses
pembelajaran melakukan refleksi terhadap
aktivitas dan hasil tugas projek
h. Pembelajaran Inkuiri
Inkuiri merupakan proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan
penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuaan bukanlah
sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan
19
sendiri. Belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak
terjadi secara mekanis. Melalui proses mental itulah, diharapkan peserta didik
berkembang secara utuh baik intelektual, mental, emosi, maupun pribadinya.
Oleh karena itu dalam proses perencanaan pembelajaran, guru bukanlah
mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat menemukan sendiri
materi yang harus dipahaminya. Pembelajaran adalah proses memfasilitasi
kegiatan penemuan (inquiry) agar peserta didik memperoleh pengetahuan
dan keterampilan melalui penemuannya sendiri (bukan hasil mengingat
sejumlah fakta).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran inkuiri adalah
pembelajaranyang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan yang
meliputi sikap, pengetahuan,dan keterampilan peserta didik untuk mencari
dan menyelidiki sesuatu (benda, manusiaatau peristiwa), secara sistematis,
kritis, logis, dan analitis.
Karakteristik dari Pembelajaran Inkuiri:
1) Menekankan kepada proses mencari dan menemukan.
2) Pengetahuan dibangun oleh peserta didik melalui proses pencarian.
3) Peran guru sebagai fasilitator dan pembimbing peserta didik dalam
belajar.
4) Menekankan pada proses berpikir kritis dan analitis untuk merumuskan
kesimpulan.
Tabel 3. Langkah-Langkah Pembelajaran Inkuiri
Tahap Deskripsi
Tahap 1
Orientasi
Guru mengondisikan agar peserta didik siap
melaksanakan proses pembelajaran, menjelaskan
topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan dapat
tercapai oleh peserta didik, menjelaskan pokok-pokok
kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik
20
Tahap Deskripsi
untuk mencapai tujuan, menjelaskan pentingnya topik
dan kegiatan belajar, hal ini dapat dilakukan dalam
rangka memberikan motivasi belajar peserta didik.
Tahap 2
Merumuskan
masalah
Guru membimbing dan memfasilitasi peserta didik
untuk merumuskan dan memahami masalah nyata
yang telah disajikan.
Tahap 3
Merumuskan
hipotesis
Guru membimbing peserta didik untuk
mengembangkan kemampuan berhipotesis dengan
cara menyampaikan berbagai pertanyaan yang dapat
mendorong peserta didik untuk dapat merumuskan
jawaban sementara atau dapat merumuskan berbagai
perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu
permasalahan yang dikaji.
Tahap 4
Mengumpulkan
data
Guru membimbing peserta didik dengan cara
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
mendorong peserta didik untuk berpikir mencari
informasi yang dibutuhkan.
Tahap 5
Menguji hipotesis
Guru membimbing peserta didik dalam proses
menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai
dengan data dan informasi yang diperoleh
berdasarkan pengumpulan data. Yang terpenting
dalam menguji hipotesis adalah mencari tingkat
keyakinan peserta didik atas jawaban yang diberikan.
Tahap 6
Merumuskan
kesimpulan
Guru membimbing peserta didik dalam proses
mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan
hasil pengujian hipotesis. Untuk mencapai kesimpulan
yang akurat sebiknya guru mempu menunjukkan pada
peserta didik data mana yang relevan.
21
i. Pembelajaran Menemukan (Discovery Learning)
Pembelajaran menemukan (Discovery Learning), adalah Pembelajaran untuk
menemukan konsep, makna, dan hubungan kausal melalui pengorganisasian
pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik.
Tiga ciri utama belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan
memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan
menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada peserta didik; (3) kegiatan
untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.
Karakteristik dari pembelajaran menemukan (Discovery Learning):
5) Peran guru sebagai pembimbing.
6) Peserta didik belajar secara aktif sebagai seorang ilmuwan.
7) Bahan ajar disajikan dalam bentuk informasi dan peserta didik melakukan
kegiatan menghimpun, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis,
serta membuat kesimpulan.
Tabel 4. Langkah-Langkah Pembelajaran Menemukan (Discovery Learning)
Tahap Deskripsi
Tahap 1
Persiapan
Guru Menentukan tujuan pembelajaran, identifikasi
karakteristik peserta didik (kemampuan awal, minat,
gaya belajar, dan sebagainya)
Tahap 2
Stimulasi/pemberian
rangsangan
Guru dapat memulai kegiatan PBM dengan
mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan
aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada
persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap
ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi
belajar yang dapat mengembangkan dan membantu
peserta didik dalam mengeksplorasi bahan
Tahap 3
Identifikasi masalah
Guru Mengidentifikasi sumber belajardan memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk
mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda
22
Tahap Deskripsi
masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam
bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
pertanyaan masalah)
Tahap 4
Mengumpulkan data
Guru Membantu peserta didik mengumpulan dan
mengeksplorasi data.
Tahap 5
Pengolahan data
Guru membimbing peserta didik dalam kegiatan
mengolah data dan informasi yang telah diperoleh
para peserta didik baik melalui wawancara, observasi,
dan sebagainya
Tahap 6
Pembuktian
Guru membimbing peserta didik melakukan
pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan
benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan dengan
temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil
Tahap 7
Menarik kesimpulan
Guru membimbing peserta didik merumuskan prinsip
dan generalisasi hasil penemuannya.
D. Daftar Pustaka
Anglin, W. S. 1994. Mathematics: A Concise History and Philosophy. New York:
Springer-Verlag.
Courant, Richart & Robbins, Herbert. 1981. What is Mathematics, An Elementary
Approach To Ideas and Methods. New York: Oxford University Press.
Sumardyono. 2004. Karakteristik Matematika dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Matematika. Seri Paket Pembinaan Penataran. Yogyakarta: Pusat
Pengembangan Penataran Guru Matematika (PPPG Matematika)
Sumardyono. 2012. Sejarah dan Filsafat Matematika. Modul Diklat Pasca UKA.
Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Matematika (PPPPTK Matematika)
23
Yogi Anggraena. 2016. Kurikulum Matematika 1 dan Aljabar 1. Guru Pembelajar
Modul Matematika SMP. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika (PPPPTK Matematika)
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATERI PEDAGOGIK
BAB VI
MEDIA PEMBELAJARAN
Prof. Dr. Sunardi, M.Sc
Dr. Imam Sujadi, M.Si
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
1
KEGIATAN BELAJAR 5 : MEDIA PEMBELAJARAN
A. Tujuan
Tujuan belajar yang ingin dicapai adalah peserta dapat:
1. Menyebutkan perbedaan media pembelajaran dengan media pada umumnya,
2. menyebutkan macam-macam media pembelajaran beserta contohnya baik
menurut bentuk maupun fungsinya,
3. menyebutkan perbedaan media pembelajaran yang merupakan alat peraga manipulatif
dengan yang bukan.
B. Indikator Pencapaian Kompetensi
Setelah mengikuti sesi ini, peserta pelatihan akan dapat:
1. Membedakan media dan media pembelajaran
2. Membedakan macam-macam media pembelajaran
3. Membedakan media pembelajaran yang merupakan alat peraga manipulatif
dengan yang bukan.
C. Uraian Materi
Proses pembelajaran tentunya akan dapat dilaksanakan dengan lebih baik apabila telah
dirancang dengan baik pula. Selain itu, guru perlu memerluas wawasan tentang berbagai
pendekatan, model, metode, maupun strategi pembelajaran. Pembelajaran perlu dibuat
agar siswa dapat membangun pengetahuannya sehingga pembelajaran dapat berpusat
pada siswa. Oleh sebab itu, guru perlu mencari cara lain dalam mengajar agar lebih
efektif. Menurut Forsyth, Jolliffe, & Stevens (2004:
69), さlearning is an active process. In order to learn a person has to take part in various
learning activities. Interaction is an essential element of learningざ. Peミdapat tersebut memberi pengertian bahwa belajar merupakan suatu proses aktif. Untuk belajar,
seseorang perlu mengambil bagian dalam berbagai aktivitas belajar. Interaksi merupakan
unsur penting dalam belajar. Akibatnya, seseorang perlu berinteraksi secara langsung
dengan apa yang sedang dipelajarinya. Keterlibatan pebelajar dalam aktivitas secara aktif
dapat membantunya untuk belajar. Kegiatan belajar seharusnya dirancang agar bervariasi
agar memungkinkan pebelajar untuk mendapatkan pengalaman yang bervariasi pula.
2
Pernyataan-pernyataan tersebut sejalan dengan Piaget yang berpendapat bahwa belajar
merupakan suatu proses pengonstruksian dimana seseorang membangun pengetahuan
melalui interaksi dengan lingkungan (Arends, 2012: 330; Kryiacou, 2009: 24).
Menurut Piaget, siswa usia SMP sudah dapat melakukan operasi formal dimana anak
sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal abstrak sehingga
penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Akan tetapi, Brunner
mengungkapkan dalam teorinya bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi
kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Dalil ini menyatakan bahwa
manipulasi benda-benda diperlukan dalam pengonstruksian pemahaman siswa
(Suherman, et al., 2001: 43 - 45). Hal ini didukung oleh pernyataan Boggan, Harper,
dan Whitmire (2010: 5) bahwa siswa pada segala tingkat pendidikan dan kemampuan
akan mendapat keuntungan dari penggunaan alat peraga manipulatif. Dengan kata lain,
penggunaan alat peraga manipulatif dapat berpengaruh positif terhadap kualitas
pembelajaran.
Selain media pembelajaran berupa media fisik alat peraga, terdapat pula media
pembelajaran ICT. Media tersebut memanfaatkan potensi perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi dalam mengefektifkan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Terdapat hubungan yang positif antara penggunaan teknologi
dengan prestasi belajar seperti yang terjadi di Singapura jika teknologi digunakan secara
tepat. Hal tersebut berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat di mana tidak
terdapat hubungan di antara keduanya (Alsafran & Brown, 2012: 1). Artinya, belum tentu
siswa yang mendapat pembelajaran yang menggunakan teknologi, dalam hal ini
komputer, selalu mendapat prestasi yang baik jika tidak digunakan secara tepat.
Penggunaan alat tersebut baik media fisik alat peraga maupun media ICT dapat
dilakukan pada semua tingkat pendidikan, bukan hanya di Sekolah Dasar saja. Bahkan,
siswa baik yang berkemampuan tinggi, sedang, maupun rendah akan mendapat
keuntungan jika mendapat pembelajaran dengan menggunakan alat peraga maupun
media ICT. Keuntungan ini mungkin saja dalam aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotor. Media pembelajaran dapat digunakan sebagai jembatan siswa dalam
memahami konsep abstrak dari obyek matematika melalui pemanipulasian benda-
3
benda nyata baik secara individu, kelompok, maupun klasikal. Oleh sebab itu penggunaan
media pembelajaran baik media fisik berupa alat peraga maupun media ICT dalam
pembelajaran matematika perlu dipelajari oleh para guru.
1. Pengertian Media Pembelajaran
Media merupakan kata jamak dari medium yang berasal dari bahasa latin yang berarti
さaミtaraざ yaitu segala sesuatu yaミg マeマbawa iミforマasi aミtara suマber iミforマasi daミ penerima (Smaldino, et al., 2005: 9). Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa segala
sesuatu yang dapat menjembatani informasi antara sumber informasi dan penerima
dapat dikatakan sebagai media. Pendapat lain mengatakan bahwa media diartikan
sebagai alat fisik dari komunikasi antara lain buku, modul cetak, teks terprogram,
komputer, slide/pita presentasi, film, pita video, dan sebagainya (Gagne & Briggs,
1979: 175). Dengan kata lain, media merupakan benda fisik yang dapat menjadi
penghubung komunikasi dari sumber informasi kepada orang lain yang melihat,
membaca, atau menggunakannya. Benda tersebut dapat berbentuk cetak maupun
noncetak.
Newby, et al. (2006: 308) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan pemilihan dan
pengaturan informasi, kegiatan, metode, dan media untuk membantu siswa mencapai
tujuan belajar yang telah direncanakan. Dalam pembelajaran terjadi pengaturan siswa
untuk dapat belajar melalui kegiatan yang akan dilaksanakan, pemilihan metode dan
media yang akan digunakan, serta adanya target pengetahuan atau kemampuan yang
akan diperoleh setelah mengikuti serangkaian kegiatan. Semua hal tersebut dilakukan
atau digunakan agar dapat membantu siswa untuk mencapai target berupa tujuan belajar
yang telah direncanakan sebelum pembelajaran dilaksanakan.
Media yang digunakan untuk menyampaikan pesan guna mencapai suatu tujuan
pembelajaran didefinisikan sebagai media pembelajaran (Smaldino, et al., 2005: 9).
Dengan demikian, media pembelajaran adalah segala alat yang dapat membantu
tercapainya tujuan pembelajaran. Senada dengan definisi tersebut, Newby, et al. (2006:
308) mendefinisikan media pembelajaran sebagai saluran dari komunikasi yang
membawa pesan dengan tujuan yang berkaitan den gan pembelajaran yang dapat berupa
cara atau alat lain yang dengannya informasi dapat disampaikan atau dialami siswa.
4
Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa media pembelajaran juga dapat berupa cara
atau alat untuk berkomunikasi dengan siswa. Segala sesuatu yang digunakan sebagai
penyampai pesan pembelajaran diidentifikasi sebagai media pembelajaran. Dengan kata
lain, media pembelajaran membantu siswa dalam mendapat atau membangun informasi
atau pengetahuan.
Dari beberapa pendapat tersebut, media dapat diartikan sebagai alat fisik komunikasi
yang berfungsi menyampaikan informasi (pengetahuan) dari sumber ke penerima
informasi. Adapun media pembelajaran merupakan alat atau perantara untuk
memfasilitasi komunikasi dari sumber belajar ke siswa dan mendukung proses belajar
guna mencapai tujuan belajar.
2. Macam Media Pembelajaran
Menurut bentuknya, media yang digunakan dalam belajar dan pembelajaran secara
umum dibedakan menjadi media cetak dengan noncetak serta media audio dengan
nonaudio. Secara lebih spesifik, media dapat berupa antara lain teks, audio, visual, media
bergerak, obyek/media yang dapat dimanipulasi (media manipulatif), dan manusia.
Media teks merupakan jenis media yang paling umum digunakan. Media ini berupa
karakter huruf dan bilangan yang disajikan dalam buku, poster, tulisan di papan tulis, dan
sejenisnya (Smaldino, et al., 2005: 9; Newby, et al., 2006: 21).
Media audio meliputi segala sesuatu yang dapat didengar misalnya suara seseorang,
musik, suara mesin, dan suara-suara lainnya.
Media visual meliputi berbagai bagan, gambar, foto, grafik baik yang disajikan dalam
poster, papan tulis, buku, dan sebagainya.
Media bergerak merupakan media yang berupa gambar bergerak misalnya video/film
dan animasi.
Adapun media manipulatif adalah benda tiga dimensi yang dapat disentuh dan digunakan
dengan tangan oleh siswa.
5
Manusia juga dapat berperan sebagai media pembelajaran. Siswa dapat belajar dari guru,
siswa yang lain, atau orang lain.
Adapun menurut fungsinya, Suherman, et al. (2001: 200) mengelompokkan media
menjadi dua bagian yaitu:
pembawa informasi (ilmu pengetahuan)
alat untuk menanamkan konsep
Contoh media sebagai pembawa informasi yaitu papan tulis, kapur, spidol, jangka,
mistar, komputer/laptop, dan LCD Proyektor. Terkadang media ini digolongkan sebagai
sarana atau alat bantu. Adapun contoh media yang sekaligus alat penanaman konsep
misalnya alat peraga matematika, lembar kerja, bahkan kapur pun selain merupakan
pembawa informasi dapat pula menjadi alat penanaman konsep operasi bilangan bulat
atau model bangun ruang tabung.
3. Pengertian Alat Peraga
Gerakan fisik merupakan salah satu dasar dalam belajar. Untuk belajar secara efektif,
siswa harus ikut berpartisipasi dalam kegiatan, bukan hanya sebagai penonton.
Manipulasi peralatan yang digunakan dalam pembelajaran harus dapat mengabstraksikan
suatu ide atau model. Kontak dengan benda nyata dapat membantu pemahaman
terhadap ide-ide abstrak. Van Engen menegaskan peran sensory learning dalam
pembentukan konsep. Reaksi terhadap dunia benda konkret merupakan dasar darimana
struktur ide-ide abstrak muncul (Jackson & Phillips, 1973: 302). Lebih lanjut, guru perlu
merancang aktivitas belajar yang memanfaatkan benda fisik, memfasilitasi terjadinya
interaksi sosial, dan memberi kesempatan siswa untuk berpikir, memberi alasan, dan
membentuk kesadaran akan pentingnya matematika, bukan hanya diceritakan oleh guru
(Burns, 2007: 32). Benda fisik dalam pernyataan ini dapat diartikan sebagai benda
yang dapat membantu siswa dalam membangun pengetahuan.
Alat peraga merupakan istilah dari Bahasa Indonesia yang terdiri dua kata yaitu さalatざ daミ さperagaざ sehiミgga seIara harfiah alat peraga adalah alat yaミg diguミakaミ uミtuk memperagakan. Dalam konteks pembelajaran matematika, alat peraga matematika
adalah alat yang memperagakan konsep dan prinsip matematika. Maksud dari
6
さマeマperagakaミざ dalaマ koミteks iミi adalah マeミjadikaミ koミsep daミ priミsp マateマatika jelas secara visual, atau konkrit (dapat disentuh), atau bekerja pada suatu konteks.
Dalaマ マedia peマbelajaraミ, terdapat pula istilah さhands-onmaterialsざ yaミg dapat
diartikan sebagai material atu benda yang dapat dipegang. Istilah ini dapat pula diartikan
sebagai alat (peraga) manipulative karena dapat dioperasikan (dimanipulasi)
menggunakan tangan untuk memperagakan suatu hal. Menurut Posamentier, Smith, dan
Stepelman (2010: 6), hand-on materials atau alat peraga manipulatif adalah benda nyata
yang memungkinkan siswa dapat menyelidiki, menyusun, memindah, mengelompokkan,
mengurutkan, dan menggunakannya ketika mereka menemui konsep model dan soal-
soal matematika. Alat peraga manipulatif di sini dapat dimaknai sebagai alat yang
digunakan untuk membantu siswa memahami matematika melalui benda nyata yang
tidak hanya dapat digunakan oleh guru saja, tetapi juga siswa. Siswa dapat menyentuh,
mengontrol, dan mengoperasikan alat peraga manipulatif tersebut dalam rangka
mempelajari benda itu sendiri atau membantu mempelajari hal lain yang terkait
dengannya. Alat peraga manipulatif membantu penyelidikan dalam pembelajaran.
Alat peraga berupa model dalam kaitannya dengan media mengacu pada representasi
konkret konstruksi mental atau ide-ide (Johnson, Berger, & Rising, 1973: 235).
Representasi konkret dari konstruksi mental atau ide dapat diartikan sebagai gambar atau
benda nyata yang dapat menggambarkan obyek atau konsep abstrak, di mana kedua hal
ini ada dalam matematika.
Salah satu tipe media yang memfasilitasi untuk melakukan gerakan fisik untuk belajar
adalah alat peraga manipulatif. Media ini berupa benda tiga dimensi yang dapat disentuh
maupun dikontrol oleh pebelajar ketika belajar (Smaldino, et al., 2005: 9, 214). Lebih
lanjut, alat peraga manipulatif mengacu pada benda-benda konkret yang, ketika
digunakan siswa dan guru, dapat memberikan kesempatan siswa untuk mencapai tujuan
tertentu (Jackson & Phillips, 1973: 301). Dengan belajar menggunakan media tersebut
diharapkan dapat mempermudah siswa dalam mengonstruksi pemahamannya.
Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa alat peraga manipulatif
adalah media berupa benda nyata tiga dimensi yang dapat menggambarkan secara
konkret suatu obyek, ide, model, atau konsep abstrak dan memungkinkan untuk
7
digerakkan atau dimanipulasi secara fisik dalam kaitannya dengan pembentukan
konsep bagi penggunanya, dalam hal ini siswa.
4. Fungsi Alat Peraga
Menurut Pujiati dan Hidayat (2015: 32), secara umum fungsi alat peraga adalah:
a. memudahkan memahami konsep matematika yang abstrak
b. menjadi sumber konkrit untuk mempelajari satu atau lebih konsep matematika
c. memotivasi siswa untuk menyukai pelajaran matematika
Secara lebih khusus, alat peraga dapat dikelompokkan menurut fungsinya sebagai
berikut.
a. Alat peraga sebagai model
Dalam hal ini, alat peraga berfungsi untuk membantu dalam memvisualkan atau
mengkonkretkan (physical) konsep matematika. Menurut Smaldino, et al. (2005: 214 –
215), model merupakan benda tiga dimensi yang berupa representasi dari benda nyata.
Dengan demikian, model merupakan suatu benda yang mirip atau dapat menggambarkan
benda lainnya.
Contoh alat peraga jenis ini antara lain adalah model bangun ruang padat dan model
bangun ruang rangka. Kegunaan alat peraga jenis ini adalah untuk memodelkan ataupun
menunjukkan bentuk bangun yang sesungguhnya.
b. Alat peraga sebagai jembatan
Alat peraga ini bukan merupakan wujud konkrit dari konsep matematika, tetapi
merupakan sebuah cara yang dapat ditempuh untuk memperjelas pengertian suatu
konsep matematika. Beberapa contoh penggunaan alat peraga jenis ini adalah
adalah kuadrat lengkap Al-Khwarizmi, model
8
Pythagoras, jumlah sudut bangun datar.
Gambar 1. Alat Peraga Pembuktian Teorema Pythagoras
c. Alat peraga untuk mendemonstrasi konsep/prinsip
Dalam hal ini, alat peraga digunakan untuk memperagakan konsep matematika sehingga
dapat dilihat secara jelas (terdemonstrasi) karena suatu mekanisme teknis yang dapat
dilihat (visible) atau dapat disentuh (touchable).
Gambar 2. Penemuan Rumus Volum Limassama dengan Sepertiga Volum Balok Selain
media pembelajaran matematika berupa alat peraga matematika, juga terdapat alat yang
juga digunakan dalam pembelajaran matematika tetapi bukan merupakan alat peraga
karena bukan merupakan model, jembatan, dan tidak memperagakan konsep/prinsip
matematika tertentu. Alat tersebut yaitu:
a. Alat bantu untuk menerampilkan konsep-konsep matematika
9
Media pembelajaran ini secara jelas dimaksudkan agar siswa lebih terampil dalam
mengingat, memahami atau menggunakan konsep- konsep matematika. Jenis alat ini
biasanya berbentuk permainan ringan dan memiliki penyelesaian yang rutin (tetap).
Gambar 3. Kartu Permainan Bilangan
b. Alat yang merupakan aplikasi konsep/prinsip matematika
Jenis media pembelajaran ini tidak secara langsung tampak berkaitan dengan suatu
konsep, tetapi ia dibentuk dari konsep matematika tersebut. Contoh alat ini yaitu alat
bantu pengukuran misalnya klinometer untuk mengukur sudut elevasi dan depresi antara
pengamat dan suatu obyek yang dapat digunakan untuk memperkirakan tinggi obyek
tersebut .
Gambar 4. Seorang Siswa sedang Menggunakan Klinometer
10
c. Alat sebagai sumber masalah untuk belajar
Media pembelajaran yang digolongkan ke dalam jenis ini adalah alat yang menyajikan
suatu masalah yang tidak bersifat rutin atau teknis tetapi membutuhkan kemampuan
problem-solving yang heuristik dan bersifat investigatif. Contoh alat ini adalah permainan
menara hanoi yaitu permainan menemukan langkah yang paling sedikit dalam
memindahkan semua cakram dari tiang A (awal) ke tiang C (akhir) dengan bantuan
tiang B (tengah). Selain menemukan cara yang efektif untuk memindah cakram
(menyelesaikan masalah), pola bilangan akan terbentuk jika permainan ini dilakukan
beberapa kali dengan banyak cakram yang berbeda dan berurutan yang diperoleh
dari banyak langkah minimal yang diperlukan.
Gambar 5. Alat Permainan Menara Hanoi
D. Daftar Pustaka
Bell, H. (1978). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School). Dubuque,
Iowa: Wim. C. Brown Company Publisher.
Cooney, Davis Anderson. (1975). Dynamics of Teaching Secondary School
Mathematics. Boston:Hougton Mifflin Company.
Departemen Pendidikan Nasional. (2004). Pedoman Memilih dan Menyusun bahan
Ajar.Jakarta: Direktorat Sekolah menengah Pertama,
Novak. J.D. (1986). Learning How to Learn. Melbourne: The Press Syndicate of
University of Cambridge.
Nanang Priatna. 2016. Pemanfaatan Media dan Pengembangan Materi
Pembelajaran. Bahan ajar diklat. Jakarta: Kemdikbud PPPPTK
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATERI PEDAGOGIK
BAB VII
PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN
PEMBELAJARAN
Prof. Dr. Sunardi, M.Sc
Dr. Imam Sujadi, M.Si
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
1
KEGIATAN BELAJAR 6: PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan
Tujuan belajar yang ingin dicapai adalah peserta dapat:
1. Menjelaskan landasan hukum penyusunan RPP
2. Menjelaskan Pengertian RPP
3. Menjelaskan Prinsip Penyusunan RPP
4. Menjelaskan Komponen dan Sistematika RPP
5. Mengidentifikasi langkah penyusunan RPP
6. Menuliskan isi setiap komponen dalam sistematika RPP
7. Menyusun RPP untuk serangkaian KD berdasarkan Kurikulum 2013
B. Indikator Pencapaian Kompetensi
Setelah mengikuti sesi ini, peserta pelatihan akan dapat:
1. Menjelaskan landasan hukum penyusunan RPP
2. Menjelaskan Pengertian RPP
3. Menjelaskan Prinsip Penyusunan RPP
4. Menjelaskan Komponen dan Sistematika RPP
5. Mengidentifikasi langkah penyusunan RPP
6. Menuliskan isi setiap komponen dalam sistematika RPP
7. Menyusun RPP untuk serangkaian KD berdasarkan Kurikulum 2013
C. Uraian Materi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1
angka 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Standar Proses adalah kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satuan
pendidikan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan. Standar Proses
dikembangkan mengacu pada Standar Kompetensi lulusan dan Standar Isi yang
2
telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi pesertadidik untuk berpartisipasi
aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran,
pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan.
Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi maka prinsip
pembelajaran yang digunakan:
1. dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu;
2. dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka
sumber belajar;
3. dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan
pendekatan ilmiah;
4. dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi;
5. dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu;
6. dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran
dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi;
7. dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif;
8. peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan
keterampilan mental (softskills);
9. pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta
didik sebagai pembelajar sepanjang hayat;
10. pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing
ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan
3
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut
wuri handayani);
11. pembelajaran yang berlangsung di rumah di sekolah, dan di masyarakat;
12. pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa
saja adalah peserta didik, dan di mana saja adalah kelas;
13. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas pembelajaran; dan
14. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik.
Terkait dengan prinsip di atas, dikembangkan standar proses yang mencakup
perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian
hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran.
KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN
Karakteristik pembelajaran pada setiap satuan pendidikan terkait erat pada Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan memberikan
kerangka konseptual tentang sasaran pembelajaran yang harus dicapai. Standar Isi
memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang
diturunkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi.
Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup
pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk
setiap satuan pendidikan.
Ketiga ranah kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis)
yang berbeda. Sikap diperoleh マelalui aktivitas さマeミeriマa, マeミjalaミkaミ, マeミghargai, マeミghayati, daミ マeミgaマalkaミざ. Peミgetahuaミ diperoleh マelalui aktivitas さマeミgiミgat, マeマahaマi, マeミerapkaミ, マeミgaミalisis, マeミgevaluasi, マeミIiptaざ. Keteraマpilaミ diperoleh マelalui aktivitas さmengamati, menanya,
マeミIoba, マeミalar, マeミyaji, daミ マeミIiptaざ. Karaktersitik koマpeteミsi beserta perbedaan lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik standar
proses. Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik
antar mata pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan
4
pembelajaran berbasis penyingkapan/ penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk
mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan karya kontekstual, baik
individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan pendekatan
pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based
learning).
Rincian gradasi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai berikut
Sikap Pengetahuan Keterampilan
Menerima Mengingat Mengamati
Menjalankan Memahami Menanya
Menghargai Menerapkan Mencoba
Menghayati Menganalisis Menalar
Mengamalkan Mengevaluasi Menyaji
- - Mencipta
Karakteristik proses pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik kompetensi.
Pembelajaran tematik terpadu di SD/MI/SDLB/Paket A disesuaikan dengan tingkat
perkembangan peserta didik.
Karakteristik proses pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik kompetensi.
Pembelajaran tematik terpadu di SMP/ MTs/ SMPLB/ Paket B disesuaikan dengan
tingkat perkembangan peserta didik. Proses pembelajaran di SMP/MTs/SMPLB/Paket
B disesuaikan dengan karakteristik kompetensi yang mulai memperkenalkan mata
pelajaran dengan mempertahankan tematik terpadu pada IPA dan IPS.
Karakteristik proses pembelajaran di SMA/ MA/ SMALB/ SMK/ MAK/ Paket C/ Paket C
Kejuruan secara keseluruhan berbasis mata pelajaran, meskipun pendekatan tematik
masih dipertahankan.
Standar Proses pada SDLB, SMPLB, dan SMALB diperuntukkan bagi tuna netra, tuna
rungu, tuna daksa, dan tuna laras yang intelegensinya normal.
Secara umum pendekatan belajar yang dipilih berbasis pada teori tentang taksonomi
tujuan pendidikan yang dalam lima dasawarsa terakhir yang secara umum sudah
5
dikenal luas. Berdasarkan teori taksonomi tersebut, capaian pembelajaran dapat
dikelompokkan dalam tiga ranah yakni: ranah kognitif, affektif dan psikomotor.
Penerapan teori taksonomi dalam tujuan pendidikan di berbagai negara dilakukan
secara adaptif sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengadopsi taksonomi
dalam bentuk rumusan sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Proses pembelajaran sepenuhnya diarahkan pada pengembangan ketiga ranah
tersebut secara utuh/holistik, artinya pengembangan ranah yang satu tidak bisa
dipisahkan dengan ranah lainnya. Dengan demikian proses pembelajaran secara utuh
melahirkan kualitas pribadi yang sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
PERENCANAAN PEMBELAJARAN
Desain Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran dirancang dalam bentuk Silabus dan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengacu pada Standar Isi. Perencanaan
pembelajaran meliputi penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan
penyiapan media dan sumber belajar, perangkat penilaian pembelajaran, dan
skenario pembelajaran. Penyusunan Silabus dan RPP disesuaikan pendekatan
pembelajaran yang digunakan.
a. Silabus
Silabus merupakan acuan penyusunan kerangka pembelajaran untuk setiap bahan
kajian mata pelajaran. Silabus paling sedikit memuat:
1) Identitas mata pelajaran (khusus SMP/MTs/SMPLB/Paket B dan
SMA/MA/SMALB/SMK/MAK/Paket C/ Paket C Kejuruan);
2) Identitas sekolah meliputi nama satuan pendidikan dan kelas;
3) Kompetensi inti, merupakan gambaran secara kategorial mengenai
kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus
dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas dan mata
pelajaran;
4) kompetensi dasar, merupakan kemampuan spesifik yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang terkait muatan atau mata pelajaran;
6
5) tema (khusus SD/MI/SDLB/Paket A);
6) materi pokok, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan
ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian
kompetensi;
7) pembelajaran, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pendidik dan peserta didik
untuk mencapai kompetensi yang diharapkan;
8) penilaian, merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk
menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik;
9) alokasi waktu sesuai dengan jumlah jam pelajaran dalam struktur kurikulum
untuk satu semester atau satu tahun; dan
10) sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam sekitar
atau sumber belajar lain yang relevan.
11) Silabus dikembangkan berdasarkan Standar Kompetensi lulusan dan Standar
Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan pola
pembelajaran pada setiap tahun ajaran tertentu. Silabus digunakan sebagai
acuan dalam pengembangan rencana pelaksanaan pembelajaran.
b. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan pembelajaran
tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus
untuk mengarahkan kegiatan embelajaran peserta didik dalam upaya mencapai
Kompetensi Dasar (KD). setiap pendidik pada satuan pendidikan berkewajiban
menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, efisien, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. RPP disusun berdasarkan KD
atau subtema yang dilaksanakan kali pertemuan atau lebih.
Komponen RPP terdiri atas:
1) identitas sekolah yaitu nama satuan pendidikan;
2) identitas mata pelajaran atau tema/subtema;
7
3) kelas/semester;
4) materi pokok;
5) alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan
beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang
tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai;
6) tujuan pembelajaran yang dirumuskan berdasarkan KD, dengan menggunakan
kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan;
7) kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi;
8) materi pembelajaran, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang
relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator
ketercapaian kompetensi;
9) metode pembelajaran, digunakan oleh pendidik untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai KD yang
disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan KD yang akan dicapai;
10) media pembelajaran, berupa alat bantu proses pembelajaran untuk
menyampaikan materi pelajaran;
11) sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam sekitar,
atau sumber belajar lain yang relevan;
12) langkah-langkah pembelajaran dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti,
dan penutup; dan
13) penilaian hasil pembelajaran.
c. Prinsip Penyusunan RPP
Dalam menyusun RPP hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Perbedaan individual peserta didik antara lain kemampuan awal, tingkat
intelektual, bakat, potensi, minat, motivasi belajar, kemampuan sosial, emosi,
gaya belajar, kebutuhan khusus,kecepatan belajar, latar belakang budaya,
norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.
2) Partisipasi aktif peserta didik.
8
3) Berpusat pada peserta didik untuk mendorong semangat belajar,
motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, inovasi dan kemandirian.
4) Pengembangan budaya membaca dan menulis yang dirancang untuk
mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan
berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan.
5) Pemberian umpan balik dan tindak lanjut RPP memuat rancangan program
pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi.
6) Penekanan pada keterkaitan dan keterpaduan antara KD, materi
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi,
penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar.
7) Mengakomodasi pembelajaran tematik-terpadu, keterpaduan lintas mata
pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.
8) Penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi, sistematis,
dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.
d. Komponen dan Sistematika RPP
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 103 Tahun 2014 Tentang
Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah menentukan
komponen dan sistematika RPP adalah sebagai berikut :
Komponen RPP
1) Identitas, yang meliputi sekolah, mata pelajaran, kelas/semester, dan alokasi
waktu yang ditetapkan.
2) Kompetensi Inti (KI).
3) Kompetensi Dasar (KD).
4) Indikator Pencapaian Kompetensi.
5) Materi Pembelajaran.
6) Kegiatan Pembelajaran.
7) Penilaian, Pembelajaran Remedial, dan Pengayaan.
8) Media/alat, Bahan, dan Sumber Belajar.
Sistematika RPP
9
Komponen-komponen yang sudah disebutkan di atas secara operasional
diwujudkan dalam bentuk format berikut ini.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Sekolah : _________________________________________
Mata pelajaran : _________________________________________
Kelas/Semester : _________________________________________
Alokasi Waktu : _________________________________________
A. Kompetensi Inti (KI)
B. Kompetensi Dasar
1. KD pada KI-1
2. KD pada KI-2
3. KD pada KI-3
4. KD pada KI-4
C. Indikator Pencapaian Kompetensi
1. Indikator KD pada KI - 1
2. Indikator KD pada KI - 2
3. Indikator KD pada KI - 3
4. Indikator KD pada KI - 4
D. Materi Pembelajaran
(Dapat berasal dari buku teks pelajaran dan buku panduan guru, sumber
belajar lain berupa muatan lokal, materi kekinian, konteks pembelajaran dari
lingkungan sekitar yang dikelompokkan menjadi materi untuk pembelajaran
reguler, pengayaan, dan remedial).
E. Kegiatan Pembelajaran
1. Pertemuan Pertama: (...JP)
a. Kegiatan Pendahuluan
b. Kegiatan Inti
Mengamati
Menanya
Mengumpulkan informasi/mencoba
Menalar/mengasosiasi
Mengomunikasikan
c. Kegiatan Penutup
2. Pertemuan Kedua: (...JP)
10
a. Kegiatan Pendahuluan
b. Kegiatan Inti
Mengamati
Menanya
Mengumpulkan informasi/mencoba
Menalar/mengasosiasi
Mengomunikasikan
c. Kegiatan Penutup
3. Pertemuan seterusnya.
F. Penilaian, Pembelajaran Remedial dan Pengayaan
1. Teknik penilaian
2. Instrumen penilaian
a. Pertemuan Pertama
b. Pertemuan Kedua
c. Pertemuan seterusnya
3. Pembelajaran Remedial dan Pengayaan
Pembelajaran remedial dilakukan segera setelah kegiatan penilaian.
G. Media/alat, Bahan, dan Sumber Belajar
1. Media/alat
2. Bahan
3. Sumber Belajar
d. Langkah-Langkah Penyusunan RPP
1) Mengkaji Silabus, dengan cara memperhatikan isi silabus di antaranya
memperhatikan KI serta pasangan KD3 dan KD4, mencermati materi
pembelajaran untuk mengidentifikasi materi prasarat materi regular dan
materi pengayaan yang mendukung tercapainya kompetensi, megidentifikasi
kegiatan pembelajaran yang akan tertuang dalam RPP, serta mencermati
alokasi waktu yang akan digunakan untuk menyusun RPP.
2) Mencantumkan identitas sekolah, mata pelajaran, kelas/semester, dan alokasi
waktu.
3) Mencantumkan KI-1, KI-2, KI-3, dan KI-4 seperti yang tercantum dalam
Permendikbud tentang KI KD Tahun 2016.
4) Mengidentifikasi dan menuliskan serangkaian kompetensi dasar (KD) yang
dapat diambil dari silabus.
5) Mengembangkan indikator pencapaian kompetensi.
11
Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan memperhatikan beberapa
ketentuan berikut:
1) Indikator pencapaian kompetensi meliputi indikator pengetahuan, dan
keterampilan.
2) Setiap KD dari KI- 3 dan KI-4 dikembangkan sekurang-kurangnya dalam dua
indikator pencapaian kompetensi.
3) Rumusan indikator pencapaian kompetensi untuk KD yang diturunkan dari KI-
3 dan KI-4, sekurang-kurangnya mencakup kata kerja operasional (dapat
diamati dan diukur) dan materi pembelajaran.
4) Indikator pencapaian kompetensi pengetahuan dijabarkan dari Kompetensi
Dasar (KD-3) yang merupakan jabaran dari Kompetensi Inti (KI-3) di setiap
mata pelajaran. Penyusunan instrumen penilaian ditentukan oleh kata kerja
operasional yang ada di dalam KD dan indikator pencapaian kompetensi yang
dirumuskan. Kata kerja operasional pada indikator pencapaian kompetensi
juga dapat digunakan untuk penentuan item tes (pertanyaan/soal), seperti
dicontohkan pada tabel berikut (Morrison, et.al., 2011):
Tabel Kata Kerja Operasional
Tujuan yang Diukur Kata Kerja yang Biasa Digunakan
Kemampuan mengingat
menyebutkan
memberi label
mencocokkan
memberi nama
membuat urutan
memberi contoh
menirukan
memasangkan
Kemampuan memahami membuat penggolongan
menggambarkan
membuat ulasan
menjelaskan
mengekspresikan
mengenali ciri
menunjukkan
menemukan
membuat laporan
12
Tujuan yang Diukur Kata Kerja yang Biasa Digunakan
mengemukakan
membuat tinjauan
memilih
menceritakan
Kemampuan menerapkan
pengetahuan (aplikasi)
menerapkan
memilih
mendemonstrasikan
memperagakan
menuliskan penjelasan
membuat penafsiran
menuliskan operasi
mempraktikkan
menuliskan rancangan persiapan
membuat jadwal
membuat sketsa
membuat pemecahan masalah
menggunakan
Kemampuan menganalisis menuliskan penilaian
membuat suatu perhitungan
membuat suatu pengelompokan
menentukan kategori yang dipakai
membandingkan
membedakan
membuat suatu diagram
membuat inventarisasi
memeriksa
melakukan pengujian
Kemampuan mengevaluasi membuat suatu penilaian
menuliskan argumentasi atau alasan
menjelaskan apa alasan memilih
membuat suatu perbandingan
menjelaskan alasan pembelaan
menuliskan prakiraan
meramalkan apa yang akan terjadi
Kemampuan merancang mengumpulkan
menyusun
membuat disain (rancangan)
merumuskan
membuat usulan bagaimana mengelola
mengatur
merencanakan
membuat suatu persiapan
13
Tujuan yang Diukur Kata Kerja yang Biasa Digunakan
membuat suatu usulan
menulis ulasan
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
a. Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran
1) Alokasi Waktu Jam Tatap Muka Pembelajaran
a) SD/MI : 35 menit
b) SMP/MTs : 40 menit
c) SMA/MA : 45 menit
d) SMK/MAK : 45 menit
2) Rombongan belajar
Jumlah rombongan belajar per satuan pendidikan dan jumlah maksimum
peserta didik dalam setiap rombongan belajar dinyatakan
No Satuan
Pendidikan
Jumlah Rombongan
Belajar
Jumlah Maksimum Peserta
Didik Per Rombongan Belajar
1 SD/MI 6-24 28
2 SMP/MTs 3-33 32
3 SMA/MA 3-36 36
4 SMK 3-72 36
5 SDLB 6 5
6 SMPLB 3 8
7 SMALB 3 8
3) Buku Teks Pelajaran
Buku teks pelajaran digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
pembelajaran yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan peserta
didik.
14
4) Pengelolaan Kelas dan Laboratorium
a) Guru wajib menjadi teladan yang baik bagi peserta didik dalam
menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya serta
mewujudkan kerukunan dalam kehidupan bersama.
b) Guru wajib menjadi teladan bagi peserta didik dalam menghayati dan
mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong
royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif dan proaktif dan
menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan
sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan
bangsa dalam pergaulan dunia.
c) Guru menyesuaikan pengaturan tempat duduk peserta didik dan
sumber daya lain sesuai dengan tujuan dan karakteristik proses
pembelajaran.
d) Volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus
dapat didengar dengan baik oleh peserta didik.
e) Guru wajib menggunakan kata-kata santun, lugas dan mudah
dimengerti oleh peserta didik.
f) Guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan dan
kemampuan belajar peserta didik.
g) Guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, dan
keselamatan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran.
h) Guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respons dan
hasil belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.
i) Guru mendorong dan menghargai peserta didik untuk bertanya dan
mengemukakan pendapat.
j) Guru berpakaian sopan, bersih, dan rapi.
k) Pada tiap awal semester, guru menjelaskan kepada peserta didik
silabus mata pelajaran; dan
l) Guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai dengan
waktu yang dijadwalkan.
15
b. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP, meliputi kegiatan
pendahuluan, inti dan penutup.
1) Kegiatan Pendahuluan
Dalam kegiatan pendahuluan, guru wajib:
a) menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses
pembelajaran;
b) memberi motivasi belajar peserta didik secara kontekstual sesuai manfaat
dan aplikasi materi ajar dalam kehidupan sehari-hari, dengan
memberikan contoh dan perbandingan lokal, nasional dan
internasional, serta disesuaikan dengan karakteristik dan jenjang peserta
didik;
c) mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan
sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;
d) menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan
dicapai; dan
e) menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai
silabus.
2) Kegiatan Inti
Kegiatan inti menggunakan model pembelajaran, metode pembelajaran,
media pembelajaran, dan sumber belajar yang disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. Pemilihan pendekatan tematik
dan /atau tematik terpadu dan/atau saintifik dan/atau inkuiri dan
penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang menghasilkan karya
berbasis pemecahan masalah (project based learning) disesuaikan dengan
karakteristik kompetensi dan jenjang pendidikan.
a) Sikap
Sesuai dengan karakteristik sikap, maka salah satu alternatif yang dipilih
adalah proses afeksi mulai dari menerima, menjalankan, menghargai,
16
menghayati, hingga mengamalkan. Seluruh aktivitas pembelajaran
berorientasi pada tahapan kompetensi yang mendorong peserta didik
untuk melakuan aktivitas tersebut.
b) Pengetahuan
Pengetahuan dimiliki melalui aktivitas mengetahui, memahami,
menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, hingga mencipta. Karakteritik
aktivititas belajar dalam domain pengetahuan ini memiliki perbedaan dan
kesamaan dengan aktivitas belajar dalam domain keterampilan. Untuk
memperkuat pendekatan saintifik, tematik terpadu, dan tematik sangat
disarankan untuk menerapkan belajar berbasis penyingkapan/penelitian
(discovery/inquiry learning). Untuk mendorong peserta didik menghasilkan
karya kreatif dan kontekstual, baik individual maupun kelompok,
disarankan yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project
based learning).
c) Keterampilan
Keterampilan diperoleh melalui kegiatan mengamati, menanya, mencoba,
menalar, menyaji, dan mencipta. Seluruh isi materi (topik dan sub topik)
mata pelajaran yang diturunkan dari keterampilan harus mendorong
peserta didik untuk melakukan proses pengamatan hingga penciptaan.
Untuk mewujudkan keterampilan tersebut perlu melakukan
pembelajaran yang menerapkan modus belajar berbasis
penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning) dan pembelajaran
yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based
learning).
3) Kegiatan Penutup
Dalam kegiatan penutup, guru bersama peserta didik baik secara individual
maupun kelompok melakukan refleksi untuk mengevaluasi:
a) seluruh rangkaian aktivitas pembelajaran dan hasil-hasil yang diperoleh
untuk selanjutnya secara bersama menemukan manfaat langsung maupun
tidak langsung dari hasil pembelajaran yang telah berlangsung;
17
b) memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;
c) melakukan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pemberian tugas, baik
tugas individual maupun kelompok; dan
d) menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk pertemuan
berikutnya.
PENILAIAN PROSES DAN HASIL PEMBELAJARAN
1. Teknik penilaian
Teknik penilaian dipilih sesuai dengan tuntutan kompetensi dasar. Penilaian
sikap dilakukan dengan menggunakan teknik observasi, penilaian diri, dan
penilaian antar teman. Teknik observasi merupakan teknik utama, penilaian
diri dan penilaian antar teman diperlukan sebagai teknik penunjang untuk
konfirmasi hasil penilaian observasi oleh guru. Penilaian pengetahuan
menggunakan teknik penilaian tes tertulis, penugasan dan portofolio (sebagai
bahan guru mendeskripsikan capaian pengetahuan di akhir semester).
Penilaian keterampilan menggunakan teknik penilaian kinerja, projek, dan
portofolio.
2. Instrumen penilaian
Instrumen penilaian adalah alat yang dipakai untuk melakukan penilaian
peserta didik. Instrumen penilaian dirancang untuk aspek sikap, pengetahuan
dan keterampilan pada setiap pertemuan, sehingga akan tertulis instrumen
untuk pertemuan pertama, pertemuan kedua, pertemuan ketiga, dan
seterusnya. Instrumen penilaian sikap yang utama adalah jurnal yang
digunakan untuk mencatat perilaku yang sangat baik dan/atau kurang baik
yang berkaitan dengan indikator dari sikap spiritual dan sikap sosial.
Instrumen penilaian untuk pengetahuan dan keterampilan disesuaikan
dengan teknik penilaian yang dipilih. Rancangan instrumen penilaian dapat
disajikan dalam lampiran-lampiran yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari
RPP.
18
3. Pembelajaran Remedial dan Pengayaan
Pada bagian ini direncanakan pelaksanaan pembelajaran remedial dan
pengayaan. Pembelajaran remedial pada dasarnya mengubah strategi atau
metode pembelajaran untuk KD yang sama. Bentuknya dapat berupa
pembelajaran ulang, bimbingan perorangan, pemanfaatan tutor sebaya, dan
lain-lain. Pembelajaran pengayaan berupa perluasan dan/atau pendalaman
materi dan/atau kompetensi. Strategi pembelajaran pengayaan dapat dalam
bentuk tugas mengerjakan soal-soal dengan tingkat kesulitan lebih tinggi,
meringkas buku-buku referensi dan mewawancarai nara sumber. Peserta
didik yang belum berhasil mencapai ketuntasan belajar, diberi kesempatan
mengikuti pembelajaran remedial yang dilakukan setelah suatu kegiatan
penilaian (bukan di akhir semester) baik secara individual, kelompok, maupun
kelas. Bagi peserta didik yang berhasil mencapai atau melampaui ketuntasan
belajar dapat diberi program pengayaan sesuai dengan waktu yang tersedia
baik secara individual maupun kelomok.
PENGAWASAN PROSES PEMBELAJARAN
Pengawasan proses pembelajaran dilakukan melalui kegiatan pemantauan,
supervisi, evaluasi, pelaporan, serta tindak lanjut secara berkala dan
berkelanjutan. Pengawasan proses pembelajaran dilakukan oleh kepala satuan
pendidikan dan pengawas.
1. Prinsip Pengawasan
Pengawasan dilakukan dengan prinsip objektif dan transparan guna
peningkatan mutu secara berkelanjutan.
2. Sistem dan Entitas Pengawasan
Sistem pengawasan internal dilakukan oleh kepala sekolah, pengawas, dan
dinas pendidikan dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan.
a. Kepala Sekolah, Pengawas dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan
melakukan pengawasan dalam rangka peningkatan mutu.
b. Kepala Sekolah dan Pengawas melakukan pengawasan dalam bentuk
supervisi akademik dan supervise manajerial.
19
3. Proses Pengawasan
a. Pemantauan
Pemantauan proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran. Pemantauan dilakukan
melalui antara lain, diskusi kelompok terfokus, pengamatan, pencatatan,
perekaman, wawancara, dan dokumentasi.
b. Supervisi
Supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran yang dilakukan melalui
antara lain, pemberian contoh pembelajaran di kelas, diskusi, konsultasi,
atau pelatihan.
c. Pelaporan
Hasil kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasi proses pembelajaran
disusun dalam bentuk laporan untuk kepentingan tindak lanjut
pengembangan keprofesionalan pendidik secara berkelanjutan.
4. Tindak Lanjut
Tindak lanjut hasil pengawasan dilakukan dalam bentuk:
a. Penguatan dan penghargaan kepada guru yang menunjukkan kinerja yang
memenuhi atau melampaui standar; dan
b. pemberian kesempatan kepada guru untuk mengikuti program
pengembangan keprofesionalan berkelanjutan.
D. Daftar Pustaka
Permendikbud No. 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar
dan Pendidikan Menengah.
Permendikbud No. 53 Tahun 2015 Tentang Penilaian Hasil Belajar Oleh Pendidik
dan Satuan Pendidikan Pada Pendidikan Dasar dan menengah.
Tim Penyusun. 2016. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 Tahun
2016. Jakarta: Direktorat PSMP.
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATERI PEDAGOGIK
BAB VIII
PENILAIAN DAN EVALUASI PEMBELAJARAN
Prof. Dr. Sunardi, M.Sc
Dr. Imam Sujadi, M.Si
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
1
KEGIATAN BELAJAR 7: PENILAIAN DAN EVALUASI PEMBELAJARAN
A. Tujuan
Tujuan belajar yang ingin dicapai adalah peserta dapat:
1. menjelaskan pengertian penilaian, pengukuran, dan evaluasi dalam
pembelajaran
2. menjelaskan tujuan, fungsi, dan prinsip-prinsip penilaian dalam proses
pembelajaran
3. mengidentifikasi jenis instrumen dan teknik penilaian proses dan hasil belajar
pada kompetensi sikap spiritual dan sosial
4. mengidentifikasi jenis instrumen dan teknik penilaian proses dan hasil belajar
pada kompetensi pengetahuan dan keterampilan.
B. Indikator Pencapaian Kompetensi
Setelah mengikuti sesi ini, peserta pelatihan akan dapat:
1. Menjelaskan pengertian penilaian, pengukuran, dan evaluasi dalam pembelajaran
2. menjelaskan jenis dan bentuk penilaian
3. menjelaskan pengertian tes dan nontes
4. membedakan penilaian, pengukuran, evaluasi, dan tes
5. menjelaskan tujuan, fungsi, dan prinsip-prinsip penilaian dalam proses
pembelajaran
6. menjelaskan ketuntasan belajar dalam pembelajaran
7. mengidentifikasi jenis instrumen dan teknik penilaian proses dan hasil belajar
pada kompetensi sikap spiritual dan sosial
8. mengidentifikasi jenis instrumen dan teknik penilaian proses dan hasil belajar
pada kompetensi pengetahuan dan keterampilan.
C. Uraian Materi
Mutu pembelajaran dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah sistem
penilaian (assesment) yang dilakukan oleh guru. Setiap penilaian didasarkan pada tiga
elemen mendasar yang saling berhubungan, yaitu: aspek prestasi yang akan dinilai
(kognisi), tugas-tugas yang digunakan untuk mengumpulkan bukti tentang prestasi
2
siswa (observasi), dan metode yang digunakan untuk menganalisis bukti yang
dihasilkan dari tugas-tugas (interpretasi) (NRC: 2001).
Berdasarkan Permendikbud No. 81A tahun 2013 istilah penilaian (assesment) terdiri
dari tiga kegiatan, yakni pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Ketiga istilah tersebut
memiliki makna yang berbeda, walaupun memang saling berkaitan. Pengukuran
adalah kegiatan membandingkan hasil pengamatan dengan suatu kriteria atau
ukuran. Penilaian adalah proses mengumpulkan informasi/ bukti melalui pengukuran,
menafsirkan, mendeskripsikan, dan menginterpretasi bukti-bukti hasil pengukuran.
Evaluasi adalah proses mengambil keputusan berdasarkan hasil-hasil penilaian.
Berdasarkan Permendikbud No. 53 tahun 2015 penilaian hasil belajar oleh pendidik
adalah proses pengumpulan informasi/bukti tentang capaian pembelajaran peserta
didik dalam kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial, kompetensi pengetahuan,
dan kompetensi keterampilan yang dilakukan secara terencana dan sistematis,
selama dan setelah proses pembelajaran. Penilaian dilakukan melalui observasi,
penilaian diri, penilaian antar peserta didik, ulangan, penugasan, tes praktek,
proyek, dan portofolio yang disesuaikan dengan karakteristik kompetensi.
Berdasarkan Permendikbud No. 23 Tahun 2016 Standar Penilaian Pendidikan adalah
kriteria mengenai lingkup, tujuan, manfaat, prinsip, mekanisme, prosedur, dan
instrumen penilaian hasil belajar peserta didik yang digunakan sebagai dasar dalam
penilaian hasil belajar peserta didik pada pendidikan dasar dan pendidikan
menengah. Penilaian adalah merupakan pengumpulan dan pengolahan informasi
untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Pembelajaran adalah proses
interaksi antar peserta didik, antara peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar. Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk
mengukur pencapaian Kompetensi Peserta Didik secara berkelanjutan dalam proses
Pembelajaran untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar Peserta Didik.
3
1. Penilaian Pembelajaran
Aspek yang dinilai dalam penilaian matematika meliputi pemahaman konsep
(comprehension), melakukan prosedur, representasi dan penafsiran, penalaran
(reasoning), pemecahan masalah dan sikap. Penilaian dalam aspek representasi
melibatkan kemampuan untuk menyajikan kembali suatu permasalahan atau
obyek matematika melalui hal-hal berikut: memilih, menafsirkan,
menerjemahkan, dan menggunakan grafik, tabel, gambar, diagram, rumus,
persamaan, maupun benda konkret untuk memotret permasalahan sehingga
menjadi lebih jelas. Penilaian dalam aspek penafsiran meliputi kemampuan
menafsirkan berbagai bentuk penyajian seperti tabel, grafik, menyusun model
matematika dari suatu situasi.
Penilaian aspek penalaran dan bukti meliputi identifikasi contoh dan bukan
contoh, menyusun dan memeriksa kebenaran dugaan (conjecture), menjelaskan
hubungan, membuat generalisasi, menggunakan contoh kontra, membuat
kesimpulan, merencanakan dan mengkonstruksi argumen-argumen matematis,
menurunkan atau membuktikan kebenaran rumus dengan berbagai cara.
Penilaian pemecahan masalah dalam matematika merupakan proses untuk
menilai kemampuan menerapkan pengetahuan matematika yang telah diperoleh
sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal, baik dalam konteks
matematika maupun di luar matematika.
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilaksanakan dalam bentuk penilaian
autentik dan non-autentik. Penilaian autentik merupakan pendekatan utama
dalam penilaian hasil belajar oleh pendidik. Penilaian Autentik adalah bentuk
penilaian yang menghendaki peserta didik menampilkan sikap, menggunakan
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pembelajaran dalam
melakukan tugas pada situasi yang sesungguhnya. Bentuk penilaian autentik
mencakup: (1) penilaian berdasarkan pengamatan, (2) tugas ke lapangan, (3)
portofolio, (4) projek, (5) produk, (6) jurnal, (7) kerja laboratorium, dan (8) unjuk
kerja, serta (9) penilaian diri. Penilaian diri merupakan teknik penilaian sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan sendiri oleh peserta didik secara
4
reflektif. Bentuk penilaian non-autentik mencakup: (1) tes, (2) ulangan, dan (3)
ujian.
2. Fungsi dan Tujuan Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik
Secara umum, penilaian hasil belajar oleh pendidik dilaksanakan untuk
memenuhi fungsi formatif dan sumatif dalam penilaian. Secara lebih khusus
penilaian hasil belajar oleh pendidik berfungsi untuk:
a. memantau kemajuan belajar;
b. memantau hasil belajar; dan
c. mendeteksi kebutuhan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan.
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan dalam bentuk ulangan,
pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang diperlukan. Penilaian hasil
belajar oleh pendidik digunakan untuk:
a. mengukur dan mengetahui pencapaian kompetensi Peserta Didik;
b. memperbaiki proses pembelajaran; dan
c. menyusun laporan kemajuan hasil belajar harian, tengah semester, akhir
semester, akhir tahun. dan/atau kenaikan kelas.
3. Prinsip-prinsip Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik
Prinsip umum penilaian hasil belajar oleh pendidik meliputi: sahih, objektif, adil,
terpadu, terbuka, holistik dan berkesinambungan, sistematis, akuntabel,
dan edukatif.
a. Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan
kemampuan yang diukur.
b. Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang
jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.
b. Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta
didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama,
suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
5
c. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen
yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
d. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar
pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
e. Holistik/menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh
pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan
berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan
kemampuan peserta didik.
f. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap
dengan mengikuti langkah-langkah baku.
g. Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian
kompetensi yang ditetapkan.
h. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi
teknik, prosedur, maupun hasilnya.
Prinsip khusus untuk penilaian autentik meliputi:
a. materi penilaian dikembangkan dari kurikulum;
b. bersifat lintas muatan atau mata pelajaran;
b. berkaitan dengan kemampuan peserta didik;
c. berbasis kinerja peserta didik;
d. memotivasi belajar peserta didik;
e. menekankan pada kegiatan dan pengalaman belajar peserta didik;
f. memberi kebebasan peserta didik untuk mengkonstruksi responnya;
g. menekankan keterpaduan sikap, pengetahuan, dan keterampilan;
h. mengembangkan kemampuan berpikir divergen;
i. menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembelajaran;
j. menghendaki balikan yang segera dan terus menerus;
k. menekankan konteks yang mencerminkan dunia nyata;
l. terkait dengan dunia kerja;
m. menggunakan data yang diperoleh langsung dari dunia nyata; dan
n. menggunakan berbagai cara dan instrument.
6
4. Lingkup dan Sasaran Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik
Lingkup penilaian hasil belajar oleh pendidik mencakup kompetensi sikap
spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi
keterampilan. Sasaran penilaian hasil belajar oleh pendidik terhadap kompetensi
sikap spiritual dan kompetensi sikap sosial meliputi tingkatan sikap: menerima,
menanggapi, menghargai, menghayati, dan mengamalkan nilai spiritual dan nilai
sosial. Sasaran penilaian hasil belajar oleh pendidik terhadap kompetensi
pengetahuan meliputi tingkatan kemampuan mengetahui, memahami,
menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi pengetahuan faktual,
pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan
metakognitif.
Sasaran penilaian hasil belajar oleh pendidik terhadap kompetensi keterampilan
mencakup keterampilan abstrak dan keterampilan konkrit. Keterampilan abstrak
merupakan kemampuan belajar yang meliputi: mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi/ mencoba, menalar/mengasosiasi, dan
mengomunikasikan. Keterampilan konkrit merupakan kemampuan belajar yang
meliputi: meniru, melakukan, menguraikan, merangkai, memodifikasi, dan
mencipta.
5. Skala Penilaian dan Ketuntasan
Penilaian hasil belajar oleh pendidik untuk kompetensi sikap, kompetensi
pengetahuan, dan kompetensi keterampilan menggunakan skala penilaian.
Predikat untuk sikap spiritual dan sikap sosial dinyatakan dengan A = sangat baik,
B = baik, C = cukup, dan D = kurang. Skala penilaian untuk kompetensi
pengetahuan dan kompetensi keterampilan diperoleh dengan cara merata-
ratakan hasil pencapaian kompetensi setiap KD selama satu semester. Nilai akhir
selama satu semester pada rapor ditulis dalam bentuk angka 0 – 100 dan
predikat serta dilengkapi dengan deskripsi singkat kompetensi yang menonjol
bedasarkan pencapaian KD selama satu semester.
Ketuntasan belajar merupakan tingkat minimal pencapaian kompetensi sikap,
kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan meliputi: (1) ketuntasan
7
penguasaan substansi; dan (2) ketuntasan belajar dalam konteks kurun waktu
belajar. Kriteria ketuntasan minimal kompetensi sikap ditetapkan dengan
predikat B = baik. Skor rerata untuk ketuntasan kompetensi pengetahuan dan
keterampilan disesuaikan dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) masing-
masing kelas/ satuan pendidikan.
6. Instrumen Penilaian
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilaksanakan dengan menggunakan
instrumen penilaian. Dalam Permendikbud Nomor 53 Tahun 2015 dinyatakan
bahwa instrument penilaian harus memenuhi persyaratan: (1) substansi yang
merepresentasikan kompetensi yang dinilai; (2) konstruksi yang memenuhi
persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrumen yang digunakan; dan (3)
penggunaan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif sesuai dengan tingkat
perkembangan peserta didik. Penilaian hasil belajar peserta didik dalam
pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan teknik penilaian tes dan
nontes. Tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang
digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi,
kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Teknik
penilaian tes terdiri dari tes tulis, tes lisan, tes praktek. Penilaian dengan teknik
tes tulis dapat menggunakan: (1) soal obyektif, (2) soal isian, dan (3) soal
uraian/terbuka. Penilaian dengan teknik tes lisan menggunakan daftar
pertanyaan lisan. Teknik nontes biasanya digunakan untuk mengevaluasi bidang
sikap atau keterampilan.
Penilaian Kompetensi Ranah Sikap dalam Pembelajaran Matematika SMP/MTs
Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui observasi, penilaian diri,
peミilaiaミ さteマaミ sejawatざ (peer evaluation) oleh peserta didik dan jurnal.
Instrumen yang digunakan untuk observasi, penilaian diri, dan penilaian
antarpeserta didik adalah daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang
disertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa catatan pendidik.
Penilaian Kompetensi Ranah Pengetahuan dalam Pembelajaran Matematika
SMP/MTs
8
Pendidik menilai kompetensi pengetahuan melalui tes tulis, tes lisan,
dan penugasan. Instrumen tes tulis berupa soal pilihan ganda, isian, jawaban
singkat, benar-salah, menjodohkan, dan uraian. Instrumen uraian dilengkapi
pedoman penskoran. Kompetensi ranah pengetahuan dalam pembelajaran
matematika dimaknai sebagai perilaku yang diharapkan dari peserta didik ketika
mereka berhadapan dengan konten matematika, dan dapat terdiri atas domain:
(1) pemahaman, (2) penyajian dan penafsiran, (3) penalaran dan pembuktian.
Penilaian Kompetensi Ranah Keterampilan dalam Pembelajaran Matematika
SMP/MTs
Pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu
penilaian yang menuntut peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi
tertentu dengan menggunakan tes praktik, projek, dan penilaian portofolio.
Instrumen yang digunakan berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale)
yang dilengkapi rubrik.
a. Tes praktik adalah penilaian yang menuntut respon berupa keterampilan
melakukan suatu aktivitas atau perilaku sesuai dengan tuntutan kompetensi.
b. Projek adalah tugas-tugas belajar (learning tasks) yang meliputi kegiatan
perancangan, pelaksanaan, dan pelaporan secara tertulis maupun lisan
dalam waktu tertentu.
c. Penilaian portofolio adalah penilaian yang dilakukan dengan cara menilai
kumpulan seluruh karya peserta didik dalam bidang tertentu yang bersifat
reflektif-integratif untuk mengetahui minat, perkembangan, prestasi,
dan/atau kreativitas peserta didik dalam kurun waktu tertentu. Karya
tersebut dapat berbentuk tindakan nyata yang mencerminkan kepedulian
peserta didik terhadap lingkungannya.
7. Prosedur Penilaian
Prosedur penilaian dimaksudkan sebagai langkah-langkah terurut yang harus
ditempuh dalam melaksanakan penilaian. Langkah-langkah tersebut merupakan
9
tahapan dari kegiatan permulaan sampai kegiatan akhir dalam rangka
pelaksanaan penilaian.
Pelaksanaan penilaian diawali dengan pendidik merumuskan indikator
pencapaian kompetensi pengetahuan dan keterampilan yang dijabarkan dari
Kompetensi Dasar (KD) pada mata pelajaran matematika. Indikator pencapaian
kompetensi untuk KD pada KI-3 dan KI-4 dirumuskan dalam bentuk perilaku
spesifik yang dapat terukur dan/atau diobservasi. Indikator pencapaian
kompetensi dikembangkan menjadi indikator soal yang diperlukan untuk
penyusunan instrumen penilaian. Indikator tersebut digunakan sebagai rambu-
rambu dalam penyusunan butir soal atau tugas. Instrumen penilaian memenuhi
persyaratan substansi/materi, konstruksi, dan bahasa.
Persyaratan substansi merepresentasikan kompetensi yang dinilai, persyaratan
konstruksi memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrumen yang
digunakan, dan persyaratan bahasa adalah penggunaan bahasa yang baik dan
benar serta komunikatif sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.
Indikator pencapaian pengetahuan dan keterampilan merupakan ukuran,
karakteristik, atau ciri-ciri yang menunjukkan ketercapaian suatu KD tertentu dan
menjadi acuan dalam penilaian KD mata pelajaran. Setiap Indikator pencapaian
kompetensi dapat dikembangkan menjadi satu atau lebih indicator soal
pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan untuk mengukur pencapaian sikap
digunakan indikator penilaian sikap yang dapat diamati.
Menurut Suharsimi (2006) langkah-langkah dalam penyusunan tes adalah:
a. Menentukan tujuan mengadakan tes
b. Membuat pembatasan terhadap bahan yang akan diteskan
c. Menderetkan semua Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK) yang
memuat aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan
d. Menyusun tabel spesifikasi yang memuat pokok materi dan aspek-aspek
yang akan diukur
e. Menuliskan butir-butir soal sesuai Indikator Pencapaian Kompetensi
10
D. Daftar Pustaka
Nanang Priatna. 2016. Pemanfaatan Media dan Pengembangan Materi
Pembelajaran. Bahan ajar diklat. Jakarta: Kemdikbud PPPPTK
Tim Penyusun. 2016. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 Tahun
2016. Jakarta: Direktorat PSMP.
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATERI PEDAGOGIK
BAB XIX
REFLEKSI PEMBELAJARAN DAN PTK
Prof. Dr. Sunardi, M.Sc
Dr. Imam Sujadi, M.Si
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
1
KEGIATAN BELAJAR 8 : REFLEKSI PEMBELAJARAN DAN PTK
A. Tujuan
Setelah mengikuti kegiatan belajar ini diharapkan peserta memiliki pemahaman dan
keterampilan dasar mengenai:
1. Konsep kegiatan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan.
3. Pengertian, karakteristik, dan prinsip-prinsip PTK.
4. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas.
B. Indikator Pencapaian Kompetensi
1. Menjelaskan konsep dan definisi kegiatan reflektif terhadap pembelajaran yang
telah dilaksanakan
2. Menjelaskan teknik-teknik refleksi dalam pembelajaran
3. Melakukan reflektsi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan.
4. Menjelaskan pengertian penelitian tindakan kelas
5. Menjelaskan karakteristik penelitian tindakan kelas
6. Menjelaskan prinsip-prinsip penelitian tindakan kelas
C. Uraian Materi
Refleksi pembelajaran merupakan kegiatan evaluasi diri bagi seorang guru dalam
melihat kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Evaluasi diri guru dalam
melaksanakan pembelajaran dapat berupa (1) penilaian tertulis maupun lisan oleh
peserta didik (siswa) terhadap gurunya, (2) penilaian atau observasi pelaksanaan
pembelajaran oleh teman sejawat, dan (3) evaluasi diri guru dengan melakukan
analisis hasil tes tertulis, lisan maupun penugasan terhadap siswa yang diampunya.
Refleksi pembelajaran perlu dilakukan guru dalam upaya untuk mengetahui
kekurangan dan kelemahan dari pembelajaran yang telah dilaksanakan. Dengan
mengetahui kekurangan dan kelemahan dalam melaksanakan pembelajaran, guru
dapat memperbaiki pembelajaran berikutnya.
Kegiatan refleksi pembelajaran menjadi sangat perlu dilakukan, karena selama ini
sebagian besar guru kurang mengetahui seberapa jauh keberhasilan pembelajaran
yang telah dilaksanakan. Permasalahan yang terjadi pada seorang guru antara lain
2
bahwa guru merasa kurang berhasil dalam melaksanakan pembelajaran apabila
sebagian besar siswanya mendapat nilai kurang dalam suatu tes atau ujian,
sebaliknya merasa bangga atau berhasil apabila sebagian besar siswa mendapat nilai
tinggi dari tes atau ujian. Permasalahan lain yang sering dihadapi guru adalah kurang
memahami bahwa sering terjadi miskonsepsi, penurunan motivasi, dan minat
belajar rendah saat proses pembelajaran berlangsung.
Dari uraian permasalahan di atas maka diperlukan bahan referensi berupa modul
yang diharapkan dapat digunakan guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran,
dengan melakukan refleksi pembelajaran serta melakukan penelitian tindakan kelas
(PTK).
1. Kegiatan Refleksi dalam Pembelajaran
Dalam setiap kegiatan pembelajaran guru seharusnya memulai dari (1) kegiatan
menyusun perencanaan, kemudian (2) melaksanakan pembelajaran, (3)
melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan, dan (4)
tindak lanjut.
Keempat kegiatan ini dilaksanakan secara terus menerus sehingga pada akhirnya
guru mendapatkan kepuasan dalam mengajar dan siswa mendapatkan kepuasan
dalam belajar. Yang terjadi pada umumnya dalam pembelajaran adalah guru
kurang memahami adanya miskomunikasi atau miskonsepsi antara guru dan
siswa.
Guru merasa apa yang disampaikan telah jelas dan dapat diterima dengan baik
oleh siswa, sementara siswa belum dan bahkan tidak mengetahui dan memahami
apa yang dijelaskan oleh guru. Hal ini terjadi pada guru yang
melaksanakan pembelajaran konvensional dengan tahapan pembelajaran, (1)
menjelaskan konsep, (2) menjelaskan latihan soal, (3) memberikan soal latihan,
dan (4) ulangan harian. Pada tahap selesai menjelaskan konsep matematika
biasaミya guru bertaミya kepada para siswa さsudah jelas aミak-anak?, sebagian kecil
siswa マeミjawab さsudah pak/bu guruざ, tetapi sebagian besar siswa tidak
menjawab. Dengan jawaban siswa tersebut tanpa ekspresi guru melanjutkan ke
tahapan berikutnya yaitu memberikan dan menjelaskan contoh-contoh soal, dan
dilanjutkan memberikan soal-soal latihan. Apa yang terjadi setelah guru berkeliling
3
mengamati siswa mengerjakan soal tersebut hanya sebagian kecil yang dengan
lancar dapat menyelesaikan soal-soal yang diberikan. Dan pada akhirnya nilai
ulangan harian hanya sebagian kecil yang mendapat nilai di atas KKM. Dari uraian
di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa perlu adanya kegiatan
introspeksi diri dalam pelaksanaan pembelajaran, apakah pembelajaran yang kita
laksanakan sudah efektif sehingga terjadi proses belajar pada siswa atau belum.
Kegiatan tersebut berupa refleksi terhadap pembelajaran yang kita laksanakan.
Ada beberapa pengertian kegiatan reflektif dalam pembelajaran, (1) Kegiatan
refleksi pembelajaran adalah sebuah kegiatan yang dilakukan dalam proses belajar
mengajar berupa penilaian tertulis maupun lisan (umumnya tulisan) oleh anak
didik kepada guru, berisi ungkapan kesan, pesan, harapan serta kritik membangun
atas pembelajaran yang diterimanya, (2) Kegiatan refleksi pembelajaran sebagai
suatu kegiatan yang dilakukan dalam proses belajar mengajar pada prinsipnya
merupakan kegiatan menilai pendidik oleh peserta didik, (3) Kegiatan refleksi
pembelajaran merupakan kegiatan penilaian (evaluasi) proses dan hasil belajar
siswa dalam rangka untuk memperoleh balikan terhadap proses belajar
mengajar, dan (4) Kegiatan refleksi pembelajaran merupakan kegiatan
mendiagnosis kesulitan belajar siswa dalam rangka perbaikan proses
pembelajaran.
Penilaian tersebut dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan oleh
peserta didik kepada pendidiknya. Penilaian dari peserta didik dapat berisi
ungkapan curahan hatinya yang berupa kesan, pesan, harapan serta kritikan
yang bersifat membangun atas proses belajar mengajar yang diterimanya sejak
awal hingga akhir proses tersebut. Oleh karena itu, apa pun hasil kegiatan reflektif
ini seharusnya diterima dengan bijaksana dan berani memperbaiki diri ke depan
jika hasilnya kurang disukai peserta didik. Manusia adalah tempatnya salah,
sehingga peserta didik dan pendidik yang sama-sama manusia juga dapat berbuat
salah. Oleh sebab itu, maka kegiatan reflektif menjadi sangat penting, apalagi
dalam perkembangan jaman saat ini yang penuh dengan tantangan menghadapi
pengaruh globalisasi yang membawa pada perubahan sikap peserta didik maupun
pendidik dalam memaknai proses belajar mengajar yang ideal.
4
Dalam kegiatan reflektif, guru dapat mengidentifikasi karakteristik belajar setiap
peserta didik di kelasnya dan guru dapat memastikan bahwa semua peserta didik
mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan
pembelajaran, dengan demikian tidak dapat disanggah, bahwa refleksi dalam
pendidikan itu sangat penting, tetapi memang lebih penting lagi adalah untuk
melakukannya.
Mengapa refleksi itu penting dan seharusnya dilakukan oleh guru? Karena melalui
refleksi dapat diperoleh informasi positif tentang bagaimana cara guru
meningkatkan kualitas pembelajarannya sekaligus sebagai bahan observasi untuk
mengetahui sejauh mana tujuan pembelajaran itu tercapai. Selain itu, melalui
kegiatan ini dapat tercapai kepuasan dalam diri peserta didik yaitu memperoleh
wadah yang tepat dalam menjalin komunikasi positif dengan guru.
Dari dua pengertian kegiatan refleksi pembelajaran di atas, dapat disimpulkan
bahwa refleksi pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dirancang oleh guru
untuk memperoleh umpan balik (balikan) dari suatu pembelajaran yang telah
dilaksanakan, dengan tujuan memperbaiki pembelajaran yang akan dilakukan.
Teknik Kegiatan Refleksi Pembelajaran
Adapun teknik kegiatan refleksi pembelajaran antara lain (1) penilaian guru oleh
peserta didik, (2) evaluasi proses dan hasil belajar, (3) diagnosis kesulitan belajar,
dan (4) penilaian guru oleh teman sejawat. Tiga yang pertama akan dibahas di
bawah ini.
a. Penilaian guru oleh peserta didik
Kegiatan ini dilakukan dalam proses belajar mengajar berupa penilaian tertulis
maupun lisan (umumnya tulisan) oleh anak didik kepada guru, berisi
ungkapan kesan, pesan, harapan serta kritik membangun atas pembelajaran
yang dilakukan oleh guru. Alat penilaian (instrumen) disusun oleh guru dan
diberikan kepada semua peserta didik atau sebagian (sampel). Ada 3 aspek
penilaian guru oleh peserta didik yaitu (1) ungkapan kesan peserta didik
terhadap pembelajaran yang telah dirancang dan dilaksanakan oleh guru, (2)
pesan dan harapan peserta didik terhadap guru pada pelaksanaan
5
pembelajaran yang akan datang, dan (3) kritik membangun peserta didik
terhadap guru dan pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Ungkapan kesan peserta didik terhadap pembelajaran terdiri dari kesan positif
dan kesan negative. Kesan positif misalnya: guru menjelaskan konsep dengan
bahasa yang jelas dan menarik, berpenampilan menarik, menggunakan media
pembelajaran yang menarik, dan sebagainya. Sedang kesan negatif antara
lain: penjelasan dan suara guru tidak jelas, guru berpakaian kurang rapi,
tulisan kurang jelas sulit dibaca dan sebagainya. Berikut contoh instrumen
penilaian guru oleh peserta didik.
Berikaミ taミda √ pada koloマ さYAざ atau さTIDAKざ pada tabel berikut, sesuai dengan kesan
Anda, setelah Anda mengikuti pembelajaran.
Tabel 1. Instrumen penilaian guru oleh peserta didik.
NO
ASPEK PENILAIAN
PENILAIAN KETERANGAN
YA TIDAK
Kesan Anda setelah mengikuti
pembelajaran
1
Guru menjelaskan materi menggunakan bahasa yang mudah diterima
2
Guru menjelaskan materi mudah diterima
3
Guru mengatur tempat duduk sesuai keinginan siswa
4 Guru memberikan motivasi belajar
5
Guru kurang memperhatikan siswa yang kurang pandai
6
Guru kurang memberikan kesempatan siswa untuk bertanya
7
Guru kurang memberikan kesempatan menjawab bagi siswa yang kurang pandai
8 Penampilan guru kurang menarik
9 Guru sering marah kepada siswa
10
Guru kurang dalam memberikan latihan soal
6
Selanjutnya tuliskan pesan-pesan dan kritik membangun Anda terhadap
guru, supaya pembelajaran yang akan datang lebih baik.
Pesan:
………………………………………………………………………………………………..………………………………………………………………………………………………................................................... Kritik Membangun:
………………………………………………………………………………………………..……………………………………………………………………………………………………..............................................
b. Evaluasi Pembelajaran
Ditinjau dari bahasa, evaluasi terjemahan dari kata evaluation yang
diterjeマahkaミ deミgaミ さpeミilaiaミざ, sehiミgga aミtara peミilaiaミ daミ evaluasi dapat dipandang sebagai dua istilah yang semakna. Istilah lain evaluasi dapat
diartikan suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari suatu
obyek. Evaluasi pembelajaran merupakan suatu proses berkelanjutan tentang
pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai keputusan-keputusan
yang dibuat dalam merancang suatu sistem pembelajaran. Pengertian
tersebut di atas mempunyai implikasi- implikasi sebagai berikut:
1) Evaluasi adalah suatu proses yang dilaksanakan terus menerus sebelum,
pada saat, dan sesudah pembelajaran
2) Proses evaluasi senantiasa diarahkan ke tujuan tertentu yakni untuk
mendapatkan jawaban-jawaban tentang bagaimana memperbaiki
pembelajaran.
3) Evaluasi menuntut penggunaan alat ukur yang akurat dan bermakna untuk
mengumpulkan informasi yang dibutuhkan guna membuat keputusan.
Evaluasi pembelajaran mempunyai beberapa tujuan, antara lain:
1) Menentukan angka kemajuan atau hasil belajar siswa
2) Penempatan siswa ke dalam situasi pembelajaran yang tepat dan serasi
dengan tingkat kemampuan, minat serta karakteristik yang dimiliki.
7
3) Mengenal latar belakang siswa (psikis, fisik dan lingkungan) yang berguna
bagi penempatan maupun penentuan penyebab kesulitan belajar siswa
dan juga berfungsi sebagai masukan guru bimbingan konseling.
4) Sebagai umpan balik bagi guru yang pada saatnya dapat digunakan dalam
menyusun program remedial dan pengayaan.
Evaluasi pembelajaran mempunyai fungsi sebagai berikut:
1) Alat pengukur pencapaian tujuan pembelajaran
2) Alat mendiagnostik kesulitan belajar siswa.
3) Alat penempatan siswa sesuai minat dan bakat siswa.
Dilihat dari jenisnya, penilaian terdiri atas beberapa macam yakni penilaian
formatif, penilaian sumatif, penilaian diagnostik, penilaian selektif dan
penilaian penempatan. Penilaian formatif adalah penilaian yang dilaksanakan
pada akhir program belajar mengajar untuk melihat tingkat keberhasilan
proses belajar mengajar itu sendiri. Penilaian formatif berorientasi pada
proses, yang akan memberikan informasi kepada guru apakah program atau
proses belajar mengajar masih perlu diperbaiki. Penilaian sumatif adalah
penilaian yang dilaksanakan pada akhir unit program misalnya penilaian yang
dilaksanakan pada akhir caturwulan, akhir semester atau akhir tahun. Tujuan
penilaian ini adalah untuk mengetahui hasil yang dicapai oleh para siswa,
yakni seberapa jauh siswa telah mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam
kurikulum. Penilaian ini berorientasi pada produk/hasil. Penilaian diagnostik
adalah penilaian yang bertujuan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan
siswa serta faktor-faktor penyebabnya. Pelaksanaan penilaian semacam ini
biasanya bertujuan untuk keperluan bimbingan belajar, pengajaran remedial,
menemukan kasus-kasus, dan lain-lain. Penilaian selektif adalah penilaian
yang dilaksanakan dalam rangka menyeleksi atau menyaring. Memilih siswa
untuk mewakili sekolah dalam lomba-lomba tertentu termasuk jenis penilaian
selektif. Untuk kepentingan yang lebih luas penilaian selektif misalnya seleksi
penerimaan mahasiswa baru atau seleksi yang dilakukan dalam rekrutmen
tenaga kerja. Penilaian penempatan adalah penilaian yang bertujuan untuk
8
mengetahui keterampilan prasyarat yang diperlukan bagi suatu program
belajar dan penguasaan belajar seperti yang diprogramkan sebelum memulai
kegiatan belajar untuk program itu. Dengan kata lain penilaian ini berorientasi
pada kesiapan siswa untuk menghadapi program baru dan kecocokan
program belajar dengan kemampuan yang telah dimiliki siswa
Seperti telah diuraikan di atas bahwa penilaian formatif adalah penilaian yang
dilaksanakan pada akhir program belajar mengajar untuk melihat tingkat
keberhasilan proses belajar mengajar itu sendiri. Penilaian formatif
berorientasi pada proses, yang akan memberikan informasi kepada guru
apakah program atau proses belajar mengajar masih perlu diperbaiki. Jenis
penilaian ini yang dapat digunakan guru sebagai suatu kegiatan reflektif
pembelajaran, sesuai dengan fungsinya bahwa penilaian formatif dapat
digunakan untuk melihat keberhasilan proses pembelajaran dan bisa
memberikan informasi apakah pembelajaran perlu perbaikan atau tidak.
Dengan kata lain penilaian formatif dapat digunakan sebagai bahan reflektif
pembelajaran untuk mendeteksi kesulitan belajar yang disebabkan oleh faktor
pedagogis.
Kesulitan belajar yang disebabkan oleh faktor pedagogis adalah kesulitan
belajar siswa, yang sering dijumpai adalah faktor kurang tepatnya guru
mengelola pembelajaran dan menerapkan metodologi. Misalnya guru masih
kurang memperhatikan kemampuan awal yang dimiliki siswa, guru langsung
masuk ke materi baru. Ketika terbentur kesulitan siswa dalam pemahaman,
guru mengulang pengetahuan dasar yang diperlukan. Kemudian melanjutkan
lagi materi baru yang pembelajarannya terpenggal. Jika ini berlangsung dan
bahkan tidak hanya sekali dalam suatu tatap muka, maka akan muncul
kesulitan umum yaitu kebingun gan karena tidak terstrukturnya bahan ajar
yang mendukung tercapainya suatu kompetensi. Ketika menerangkan bagian-
bagian bahan ajar yang menunjang tercapainya suatu kompetensi bisa saja
sudah jelas, namun jika secara keseluruhan tidak dikemas dalam suatu
struktur pembelajaran yang baik, maka kompetensi dasar dalam
penguasaan materi dan penerapannya tidak selalu dapat diharapkan berhasil.
9
Dengan kata lain, struktur pelajaran yang tertata secara baik akan
memudahkan siswa, paling tidak mengurangi kesulitan belajar siswa. Kejadian
yang dialami siswa daミ seriミg マuミIul マeミurut guru adalah: さKetika dijelaskaミ マeミgerti, ketika マeミgerjakaミ seミdiri tidak bisaざ. Jika guru マeミaミggapiミya hanya dengan menyatakan: memang hal itu yang sering dikemukakan siswa
kepada saya, berarti guru tersebut tidak merasa tertantang
profesionalismenya untuk mencari penyebab utama, menemukan, dan
mengatasi masalahnya. Kesulitan itu dapat terjadi karena guru kurang
memberikan latihan yang cukup di kelas dan memberikan bantuan kepada
yang memerlukan, meskipun ia sudah berusaha keras menjelaskan materinya.
Hal ini terjadi karena guru belum menerapkan hakekat belajar matematika,
yaitu bahwa belajar matematika hakekatnya berpikir dan mengerjakan
matematika. Berpikir ketika mendengarkan penjelasan guru, mempunyai
implikasi bahwa tanya jawab merupakan salah satu bagian penting dalam
belajar matematika. Dengan tanya jawab ini proses diagnosis telah diawali.
Ini berarti diagnostic teaching, pembelajaran dengan senantiasa sambil
mengatasi kesulitan siswa telah dilaksanakan dan hal ini yang dianjurkan.
Secara umum, cara guru memilih metode, pendekatan dan strategi dalam
pembelajaran akan berpengaruh terhadap kemudahan atau kesulitan siswa
dalam belajar siswa. Perasaan lega atau bahkan sorak sorai pada saat bel
berbunyi pada akhir jam pelajaran matematika adalah salah satu indikasi
adanya beban atau kesulitan siswa yang tak tertahankan. Jika demikian maka
guru perlu introspeksi pada system pembelajaran yang dijalankannya,
bentuk instrospeksi sebaiknya berupa kegiatan reflektif dengan menganalisis
hasil tes formatif yang telah dilaksanakan.
c. Diagnosis Kesulitan Belajar
Kegiatan lain dalam refleksi pembelajaran dengan cara mendiagnosis
kesulitan belajar siswa. Dengan mengetahui kesulitan belajar, guru dapat
memperbaiki strategi pembelajaran sesuai dengan karakteristik dan hasil
analisis kesulitan tersebut. Pada dasarnya ada kesamaan antara profesi
10
seorang guru dan profesi seorang dokter, seorang dokter dalam menetapkan
jenis penyakit dan jenis obat yang akan diberikan, melalui kegiatan diagnosa
terhadap pasiennya. Kegiatan dokter dalam mendiagnosa pasien biasanya
melalui wawancara dan dokumen kemajuan pemeriksaan sebelumnya.
Sedangkan seorang guru dalam menetapkan jenis kesulitan belajar peserta
didik salah satunya dapat melalui kegiatan penilaian atau tes.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) diagnosis mempunyai arti (1)
penentuan jenis penyakit dengan cara meneliti (memeriksa) gejala-gejalanya.
(2) pemeriksaan terhadap suatu hal. Demikian pula halnya pekerjaan guru.
Sebelum memberikan pembelajaran perbaikan (pembelajaran remidi), guru
perlu terlebih dahulu mencari penyebab kesulitan belajar siswanya atau
mendiagnosis kesulitan siswa dalam belajar. Beberapa referensi maupun
pengalaman mengelola pembelajaran menunjukkan bahwa kesulitan belajar
belajar siswa disebabkan oleh beberapa faktor.
Tingkat dan jenis sumber kesulitannya beragam. Mengutip Brueckner dan
Bond, dalam Rahmadi (2004: 6) mengelompokkan sumber kesulitan itu
menjadi lima faktor, yaitu:
1) Faktor Fisiologis. Yang dimaksud kesulitan belajar siswa yang dapat
ditimbulkan oleh faktor fisiologis, yaitu kesulitan belajar yang disebabkan
karena gangguan fisik seperti gangguan penglihatan, pendengaran,
gangguan sistem syaraf dan lain-lain.Dalam hubungannya dengan faktor-
faktor di atas, umumnya guru matematika tidak memiliki kemampuan
atau kompetensi yang memadai untuk mengatasinya. Yang dapat
dilakukan guru hanyalah memberikan kesempatan kepada siswa yang
memiliki gangguan dalam penglihatan atau pendengaran tersebut untuk
duduk lebih dekat ke meja guru. Selebihnya, hambatan belajar tersebut
hendaknya diatasi melalui kerjasama dengan pihak yang memiliki
kompetensi dalam mengatasi kesulitan siswa seperti tersebut di atas,
misalnya dengan guru SLB. Sementara pemerintah sudah membuka
program sekolah insklusi dengan pengawasan dan pembimbingan dari
guru-guru SLB.
11
2) Faktor Sosial. Lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah
sangat berpengaruh terhadap motivasi belajar matematika siswa,
suatu keluarga yang tercipta suasana kondusif dalam belajar akan
menjadikan anak termotivasi tinggi dalam belajar dan nyaris tidak
ada kesulitan belajar. Demikian juga pergaulan siswa di masyarakat
dan di sekolah yang mengutamakan suasana belajar yang kondusif
maka siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi pula.
3) Faktor Emosional. Siswa akan cepat emosi, mudah tersinggung,
mudah marah, dapat menghambat belajarnya, keadaan siswa
seperti tersebut diatas disebabkan oleh masalah-masalah sebagai
berikut: siswa mengkonsumsi minuman keras, ekstasi dan
sejenisnya, siswa kurang tidur, ada masalah keluarga sehingga
siswa sulit untuk melupakannya, dan sebagainya.
4) Faktor Intelektual. Siswa yang mengalami kesulitan belajar
disebabkan oleh faktor intelektual, umumnya kurang berhasil dalam
menguasai konsep, prinsip, atau algoritma, walaupun telah
berusaha mempelajarinya. Siswa yang mengalami kesulitan
mengabstraksi, menggeneralisasi, berpikir deduktif dan mengingat
konsep-konsep maupun prinsip-prinsip biasanya akan selalu
merasa bahwa matematika itu sulit. Siswa demikian biasanya
juga mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah terapan
atau soal cerita. Untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan
belajar matematika karena faktor intelektual dengan memberikan
waktu lebih lama dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh
guru. Karena pada dasarnya siswa tersebut butuh waktu lebih lama
dalam berfikir, dan menyelesaikan tugas dibanding siswa-siswa yang
lain.
5) Faktor Pedagogis. Faktor lain yang menyebabkan siswa kesulitan
belajar adalah faktor pedagogis yaitu faktor kurang tepatnya guru
mengelola pembelajaran dan menerapkan metodologi. Misalnya
guru masih kurang memperhatikan kemampuan awal yang dimiliki
12
siswa, guru langsung masuk ke materi baru. Ketika menerangkan
bagian-bagian bahan ajar yang menunjang tercapainya suatu
kompetensi bisa saja sudah jelas, namun jika secara keseluruhan
tidak dikemas dalam suatu struktur pembelajaran yang baik, maka
kompetensi dasar dalam penguasaan materi dan penerapannya
tidak selalu dapat diharapkan berhasil. Secara umum, cara guru
memilih metode, pendekatan dan strategi dalam pembelajaran
akan berpengaruh terhadap kemudahan atau kesulitan siswa dalam
belajar. Perasaan lega atau bahkan sorak sorai pada saat bel
berbunyi pada akhir jam pelajaran matematika adalah salah satu
indikasi adanya beban atau kesulitan siswa yang tak tertahankan.
Jika demikian maka guru perlu introspeksi pada sistem
pembelajaran yang dilaksanakan.
2. Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
a. Empat jenis penelitian tindakan kelas, yaitu:
1) Penelitian Tindakan Kelas Diagnostik. PTK diagnostik ialah penelitian
yang dirancang dengan menuntun peneliti ke arah suatu tindakan. Dalam
hal ini peneliti mendiagnosa dan mendalami situasi yang terdapat di
dalam latar penelitian. Sebagai contohnya ialah apabila peneliti berupaya
menangani perselisihan, pertengkaran, konflik yang dilakukan antar siswa
yang terdapat di suatu sekolah atau kelas.
2) Penelitian Tindakan Kelas Partisipan. PTK partisipan ialah apabila orang
yang akan melaksanakan penelitian terlibat langsung dalam proses
penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa penyusunan
laporan. Dengan demikian, sejak perencanan panelitian peneliti
senantiasa terlibat, selanjutnya peneliti memantau, mencacat, dan
mengumpulkan data, lalu menganalisa data serta berakhir dengan
melaporkan hasil panelitiannya. PTK partisipasi dapat juga dilakukan di
sekolah seperti halnya contoh pada butir di atas. Hanya saja, di sini
peneliti dituntut keterlibatannya secara langsung dan terus-menerus
13
sejak awal sampai berakhir penelitian. Jenis ini yang biasanya dilakukan
guru saat ini.
3) Penelitian Tindakan Kelas Empiris. Penelitian dilakukan dengan cara
merencanakan, mencatat pelaksanaan dan mengevaluasi pelaksanaan
dari luar arena kelas, jadi dalam penelitian jenis ini peneliti harus
berkolaborasi dengan guru yang melaksanakan tindakan di kelas.
4) Penelitian Tindakan Kelas Eksperimental (Chein, 1990). PTK eksperimental
diselenggarakan dengan peneliti (guru) berupaya menerapkan berbagai
macam pendekatan, model, metode atau strategi pembelajaran secara
efektif dan efisien di dalam suatu kegiatan belajar-mengajar. Di dalam
kaitannya dengan kegiatan belajar-mengajar, dimungkinkan terdapat
lebih dari satu strategi atau teknik yang ditetapkan untuk mencapai
suatu tujuan instruksional. Dengan diterapkannya PTK ini diharapkan
peneliti dapat menentukan cara mana yang paling efektif dalam rangka
untuk mencapai tujuan pengajaran.
b. Model Penelitian Tindakan Kelas
Pada modul ini dikenalkan tiga model penelitian tindakan kelas yaitu,
1) Model Penelitian Tindakan Kelas menurut Kurt Lewin
Kurt Lewin menyatakan bahwa dalam satu siklus pada penelitian tindakan
kelas terdiri dari empat langkah, yakni: (1) Perencanaan (planning), (2) aksi
atau tindakan (acting), (3) Observasi (observing), dan (4) refleksi (reflecting)
Berikut skematis model penelitian tindakan kelas manurut Kurt Lewin
Gambar 1. Rancangan Penelitian Tindakan Model Kurt Lewin
2) Model Penelitian Tindakan Kelas Menurut Kemmis & McTaggart
Model yang dikemukakan Kemmis & Taggart merupakan pengembangan
lebih lanjut dari model Kurt Lewin. Secara mendasar tidak ada perbedaan
14
yang prinsip antara keduanya. Model ini banyak dipakai karena sederhana
dan mudah dipahami. Rancangan Kemmis & Taggart dapat mencakup
sejumlah siklus, masing-masing terdiri dari tahap-tahap: perencanaan
(plan), pelaksanaan dan pengamatan (act & observe), dan refleksi
(reflect). Tahapan-tahapan ini berlangsung secara berulang- ulang, sampai
tujuan penelitian tercapai. Dituangkan dalam bentuk gambar, rancangan
Kemmis & McTaggart akan tampak sebagai berikut:
Gambar 2. Model PTK menurut Kemmis & McTaggart
3) Model Penelitian Tindakan Kelas menurut John Elliot
Apabila dibandingkan dua model yang sudah diutarakan di atas, yaitu
Model Kurt Lewin dan Kemmis-McTaggart, PTK Model John Elliot ini
tampak lebih detail dan rinci.
15
Gambar 3. Model PTK menurut John Elliot
Dari ketiga model di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) penelitian tindakan
kelas terdiri dari beberapa siklus (minimum tiga siklus), dan (2) setiap siklus
terdiri dari beberapa langkah yaitu (a) perencanaan, (b) pelaksanaan, (c)
pengamatan/ observasi, dan (d) refleksi, namun sebetulnya kegiatan
pelaksanaan dan pengamatan dilakukan secara bersamaan. Sehingga alur
model penelitian tindakan kelas dapat disederhanakan sebagai berikut:
16
c. Tahap Penelitian Tindakan Kelas (Siklus Penelitian)
1) Tahap Perencanaan Tindakan
Pada tahap ini peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa,di mana,
kapan, dan bagaimana penelitian dilakukan. Penelitian sebaiknya
dilakukan secara kolaboratif, sehingga dapat mengurangi unsur
subyektivitas. Karena dalam penelitian ini ada kegiatan pengamatan
terhadap diri sendiri, yakni pada saat menerapkan pendekatan, model
atau metode pembelajaran sebagai upaya menyelesaikan masalah
pada saat praktik penelitian. Dalam kegiatan ini peneliti perlu juga
menjelaskan persiapan-persiapan pelaksanaan penelitian seperti: rencana
pelaksanaan pembelajaran, instrumen pengamatan (observasi) terhadap
proses belajar siswa maupun instrumen pengamatan proses pembelajaran.
17
2) Tahap Pelaksanaan Tindakan
Pada tahap ini berupa kegiatan implementasi atau penerapan perencanaan
tindakan di kelas yang menjadi subyek penelitian. Pada kegiatan
implementasi ini guru (peneliti) harus taat atas perencanaan yang telah
disusun. Yang perlu diingat dalam implementasi atau praktik penelitian ini
berjalan seperti biasa pada saat melaksanakan pembelajaran sebelum
penelitian, tidak boleh dibuat-buat yang menyebabkan pembelajaran
menjadi kaku. Dan kolaborator disarankan melakukan pengamatan secara
obyektif sesuai dengan kondisi pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti.
Hal ini penting mengingat penelitian tindakan mempunyai tujuan
memperbaiki proses pembelajaran.
3) Tahap Pengamatan (observasi)
Pada tahap pengamatan ini ada dua kegiatan yang diamati yaitu, kegiatan
belajar siswa, dan kegiatan pembelajaran. Pengamatan terhadap proses
belajar siswa dapat dilakukan sendiri oleh guru pelaksana (peneliti)
sambil melaksanakan pembelajaran, sedang pengamatan terhadap proses
pembelajaran tentu tidak bisa dilakukan sendiri oleh guru pelaksana. Untuk
itu guru pelaksana (peneliti) minta bantuan teman sejawat (kolaborator)
melakukan pengamatan, dalam hal ini kolaborator melakukan pengamatan
berdasar pada instrumen yang telah disusun oleh peneliti. Hasil
pengamatan kolaborator nantinya akan bermanfaat atau akan digunakan
oleh peneliti sebagai bahan refleksi untuk perbaikan pembelajaran
berikutnya.
4) Tahap Refleksi
Kegiatan refleksi ini dilaksanakan ketika kolaborator sudah selesai
melakukan pengamatan terhadap peneliti pada saat melaksanakan
pembelajaran, kemudian berhadapan dengan peneliti untuk mendiskusikan
hasil pengamatan dalam peneliti melakukan implementasi rancangan
tindakan. Inilah inti dari penelitian tindakan, yaitu ketika kolaborator
mengatakan kepada peneliti tentang hal-hal yang dirasakan sudah berjalan
baik dan bagian mana yang belum. Dari hasil refleksi dapat digunakan
18
sebagai bahan pertimbangan dalam merancang kegiatan (siklus)
berikutnya. Jadi pada intinya kegiatan refleksi adalah kegiatan evaluasi,
analisis, pemaknaan, penjelasan, penyimpulan dan identifikasi tindak lanjut
dalam perencanaan siklus selanjutnya.
Keempat tahap dalam penelitian tindakan tersebut adalah unsur untuk
membentuk sebuah siklus, yaitu satu putaran kegiatan beruntun, dari
tahap penyusunan rancangan sampai dengan refleksi, yang tidak lain
adalah evaluasi. Apabila dikaitkan dengan "bentuk tindakan" sebagaimana
disebutkan dalam uraian ini, maka yang dimaksud dengan bentuk
tindakan adalah siklus tersebut. Jadi bentuk penelitian tindakan tidak
pernah merupakan kegiatan tunggal tetapi selalu berupa rangkaian
kegiatan yang akan kembali ke asal, yaitu dalam bentuk siklus.
d. Tahapan Penyusunan Proposal Penelitian Tindakan kelas
Ada beberapa langkah penyusunan proposal penelitian tindakan kelas, antara
lain : (1) menentukan judul penelitian, (2) menyusun latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, (3) menentukan teori
pendukung, kerangka berfikir dan hipotesis tindakan, (4) menentukan metode
penelitian, dan (5) menyusun instrumen penelitian. Adapun langkah-
langkahnya sebagai berikut:
1) Menentukan/menyusun judul penelitian,
Guru dalam menyusun penelitian tindakan kelas harus bertolak dari
permasalahan yang terjadi di kelas, yang terdiri dari permasalahan guru
maupun permasalahan siswa. Permasalahan terjadi karena adanya
kesenjangan antara idealisme dari harapan yang diinginkan dengan
kenyataan yang ada dan terjadi dalam pembelajaran di kelas. Adapun
ketentuan dalam menentukan masalah sebagai berikut: (1) instrospeksi
diri bahwa ada masalah dalam pembelajaran di kelas, (2) menuliskan
masalah, (3) mengidentifikasi masalah yang esensial (4) menentukan
alternatif solusi dari masalah yang teridentifikasi, (5) merumuskan
masalah, dan (6) menuliskan judul penelitian tindakan kelas.
a) Contoh masalah belajar dan mengajar matematika di kelas
19
Sebagian besar siswa kurang menyukai mata pelajaran matematika.
Minat belajar matematika rendah
Siswa mengantuk saat pelajaran matematika pada jam terakhir
Sebagian besar siswa belum memahami luas permukaan bangun
ruang
Nilai rata-rata ulangan harian matematika selalu kurang dari KKM
Sebagian besar siswa tidak mengerjakan PR
Guru belum menguasai strategi pembelajaran yang inovatif.
Alat peraga matematika di sekolah kurang tersedia.
b) Menentukan masalah yang esensial untuk diteliti
Dari masalah-masalah di atas dapat dipilih masalah yang esensial
(mudah dilaksanakan, murah biaya pelaksanaan, mudah mencari
kajian teori, mendesak untuk diselesaikan). Dari beberapa masalah di
atas yang kurang esensial antara lain: siswa mengantuk saat pelajaran
matematika pada jam terakhir. Masalah ini dikatakan kurang esensial
untuk diteliti karena dapat dipecahkan masalahnya dengan memindah
jam pelajaran tidak jam terakhir. Adapun masalah yang esensial
マisalミya dipilih さNilai rata-rata ulangan harian matematika selalu
kuraミg dari KKMざ. Hal iミi terjadi diduga guru マasih マeミgguミakaミ pendekatan pembelajaran konvensional, karena keterbatasan
pengetahuannya dalam penggunaan strategi pembelajaran yang
inovatif. Masalah tersebut dapat dituliskan dengan kalimat yang
koマuミikatif sebagai berikut さprestasi belajar マateマatika reミdahざ
c) Menentukan alternatif solusi
Mencermati masalah teridentifikasi di atas, solusi yang dipilih antara
lain : penggunaan pendekatan atau model pembelajaran seperti telah
diuraikan pada bagian pertama. Misalnya memilih model kooperatif
tipe STAD.
20
d) Perumusan Masalah
Rumusan masalah dari masalah dan solusi terpilih di atas adalah:
i. Bagaimana menerapkan model kooperatif STAD yang dapat
meningkatkan prestasi belajar matematika?
ii. Apakah dengan menerapkan model kooperatif STAD dapat
meningkatkan prestasi belajar matematika?
e) Penulisan judul penelitian tindakan kelas
Dari perumusan masalah di atas dapat diturunkan judul penelitian
yaitu さPENINGKATAN PRE“TA“I BELAJAR OPERA“I HITUNG BENTUK ALJABAR MELALUI PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE STAD BAGI
SISWA KELAS VII SMP N 2 KARANGTALUNざ, atau さUPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR OPERASI HITUNG BENTUK
ALJABAR MELALUI PENERAPAN MODEL KOOPERATIF STAD BAGI
SISWA KELAS VII SMP N 2 KARANGTALUN.
2) Menyusun Bab Pendahuluan
Bab pendahuluan (Bab I) terdiri dari (1) latar belakang masalah, (2)
perumusan masalah, (3) tujuan penelitian, dan (4) manfaat penelitian,
dengan uraian sebagai berikut:
a) Latar Belakang Masalah
Pada bagian ini terdiri dari 3 komonen, pertama mendeskripsikan
bagaimana ideal/seharusnya siswa belajar matematika dan bagaimana
idealnya/seharusnya guru melaksnakan pembelajaran matematika,
kedua mendeskripsikan permasalahan nyata di kelas terkait
dengan prestasi belajar matematika rendah, dan ketiga
mendeskripsikan bagaimana solusi dari permasalahan pada bagian
kedua.
b) Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan kalimat pertanyaan yang terdiri
dari (1) pertanyaan bagaimana menerapkan solusi dalam
21
pembelajaran yang dapat menyelesaikan masalah, dan (2)
pertanyaan apakah dapat diselesaikan masalah tersebut dangan solusi
terpilih. Contoh perumusan masalah dari judul di atas:
i. Bagaimana menerapkan model kooperatif STAD yang dapat
meningkatkan prestasi belajar matematika?
ii. Apakah dengan menerapkan model kooperatif STAD dapat
meningkatkan prestasi belajar matematika?
Hal yang prinsip yang perlu dicamkan dalam perumusan masalah PTK
adalah bahwa masalah PTK tidak terfokus pada pertanyaa apakah
namun lebih pada pertanyaan bagaimana, karena PTK berorientasi
pada tindakan bukan hasil. Dengan memahami dan mendapatkan
bagaimana menerapkannya itu, maka masalah serupa dapat teratasi
dan bersifat spesifik sesuai karakteristik kelas atau siswa yang
dihadapi.
c) Tujuan Penelitian
Tujuan utama dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas adalah
peningkatan mutu pembelajaran yang akan berujung pada
peningkatan mutu pendidikan. Oleh sebab itu tujuan penelitian ini
harus sesuai dengan rumusan masalah yang ada. Untuk itu tujuan
penelitian yang sesuai dengan rumusan masalah di atas adalah :
i. Untuk mengetahui bagaimana penerapan model kooperatif STAD
sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar matematika.
ii. Untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar matematika
melalui penerapan model kooperatif STAD.
d) Manfaat penelitian,
Hasil penelitian tindakan kelas tidak bisa digeneralisasi, maka manfaat
penelitian ini hanya ada manfaat praktis, tidak ada manfaat
teoritisyang pada umumnya hanya ditulis sebagai manfaat manfaat
penelitian. Diharapkan penelitian bermanfaat bagi siswa sebagai
22
subyek penelitian, bagi guru/teman sejawat sebagai acuan guru lain
dalam menulis penelitian, dan bagi lembaga dalam hal ini sekolah.
3) Menyusun Bab Pendahuluan
Bab Kajian Teori (Bab II) umumnya memuat: (1) kajian teori, (2) kerangka
berfikir dan (3) hipotesis tindakan dengan penjelasan sebagai berikut:
a) Kajian Teori.
Teori yang dikaji dalam penelitian tindakan kelas terdiri dari (1) teori
dari variabel masalah dan (2) teori dari variabel solusi. Dari judul
peミelitiaミ tiミdakaミ kelas さPENINGKATAN PRE“TA“I BELAJAR OPERA“I HITUNG BENTUK ALJABAR MELALUI PENERAPAN MODEL KOOPERATIF
TIPE STAD BAGI SISWA KELAS VII SMP N 2 KARANGTALUNざ, teori yang dikaji antara lain: (1) belajar, (2) operasi hitung bentuk aljabar, (3)
prestasi belajar, dan (4) model kooperatif STAD.
b) Kerangka Berfikir
Kerangka berpikir merupakan alur berpikir yang disusun secara singkat
untuk menjelaskan bagaimana sebuah penelitian tindakan kelas
dilakukan dari awal , proses pelaksanaan, hingga akhir. Kerangka
berpikir dapat disusun dalam bentuk kalimat-kalimat atau
digambarkan sebagai sebuah diagram. Cara Menulis Kerangka Berpikir
dalam bentuk Rumusan Kalimat-Kalimat.
Rumuskan kondisi saat ini (sebelum PTK dilaksanakan), secara
singkat.
Rumuskan tindakan yang akan dilakukan, secara singkat.
Rumuskan hasil akhir yang anda harapkan, juga secara singkat.
Susun ketiga komponen di atas dalam sebuah paragraf yang padu.
Contoh alur kerangka berfikir pada penelitian tindakan kelas:
23
c) Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan mencerminkan dugaan sementara atau prediksi
perubahan yang akan terjadi pada subyek penelitian apabila dikenai
suatu tindakan. Hipotesis tindakan pada PTK umumnya dalam bentuk
kecenderungan atau keyakinan pada proses dan hasil belajar yang
akan muncul setelah suatu tindakan dilakukan. Hipotesis tindakan
berupa kalimat pernyataan yang seolah-olah menjawab rumusan
masalah yang telah ditetapkan sebelumnya.
Coミtoh hipotesis tiミdakaミ: さMelalui peミerapaミ マodel kooperatif learning tipe STAD dapat meningkatkan prestasi belajar operasi hitung
beミtuk aljabarざ.
4) Menyusun Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian dibentuk dari beberapa komponen berikut: (1)
seting penelitian, (2) prosedur penelitian, (3) teknik pengumpulan data, (4)
teknik analisis data, (5) indicator kinerja, dan (6) jadwal penelitian.
Penjelasan secara dari enam komponen tersebut adalah sebagai berikut:
a) Seting penelitian
24
Seting penelitian terdiri dari tiga komponen yaitu : (1) tempat
penelitian, (2) waktu penelitian, dan (3) subyek penelitian. Tempat
penelitian menyebutkan/ mendeskripsikan kelas dan satuan
pendidikan dimana penelitian dilakukan, waktu penelitian
menyebutkan mulai dan sampai bulan apa penelitian dilakukan, dan
subyek penelitian menyebutkan jumlah siswa yang menjadi
sasaran/subyek penelitian.
b) Prosedur Penelitian
Yang perlu dideskripsikan dalam prosedur penelitian adalah (1) jenis
dan model PTK, dan (2) siklus penelitian. Adapun penjelasannya adalah
sebagai berikut:
i. Jenis dan Model Penelitian
Jenis penelitian tindakan kelas ini adalah penelitian tindakan kelas
partisipan yaitu peneliti terlibat langsung dalam proses penelitian
sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa penyusunan
laporan. Misal model penelitian yang diambil adalah model Kurt
Lewin.
ii. Siklus Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan beberapa siklus setiap siklus
terdiri dari empat tahapan yaitu (1) Perencanaan (planning), (2)
Pelaksanaan (acting), (3) Pengamatan (observing), dan (4) refleksi
(reflecting). Adapun rincian keempat tahapan tersebut sebagai
berikut:
(1). Perencanaan (planning)
Perencanaan pada penelitian ini terdiri dari (1) rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) tiga kompetensi dasar (KD),
yaitu KD ヱ teミtaミg ……, KD ヲ teミtaミg …. Daミ KD ン teミtaミg, (ヲ) lembar kerja siswa (LKS), dan (3) instrumen tes, observasi
kegiatan belajar siswa dan instrumen observasi kegiatan
pembelajaran.
25
(2). Pelaksanaan (acting)
Penelitian dilaksanakan minimum tiga siklus dengan satu siklus
minimum tiga kali pertemuan, siklus pertama KD 1, siklus
kedua KD 2, siklus ketiga KD 3 dan seterusnya. Adapun
pelaksanaan proses pembelajaran menerapkan model
kooperatif learning tipe STAD dengan langkah-langkah sebagai
berikut: …………….
(3). Pengamatan (Observing)
Pengamatan dilaksanakan selama dan sesudah pembelajaran
berlangsung dengan menggunakan instrumen sebagai berikut :
(1) instrumen observasi kegiatan belajar siswa, yang
dilaksanakan oleh peneliti selama proses belajar berlangsung
dengan sasaran siswa, (2) instrumen observasi kegiatan
pembelajaran, dilaksanakan oleh kolaborator (teman sejawat)
selama proses pembelajaran berlangsung dengan sasaran guru
(peneliti), dan (3) instrumen tes, dilaksanakan setiap akhir
siklus.
(4). Refleksi (reflecting)
Kegiatan refleksi dilaksanakan setelah pelaksanaan
pembelajaran berlangsung dengan tujuan untuk menemukan
kekurangan dan permasalahan dalam pelaksanaan
pembelajaran. Hasil refleksi akan digunakan untuk perbaikan
pembelajaran pada siklus berikutnya. Kegiatan refleksi berupa
diskusi antara peneliti dengan kolaborator dengan
memperhatikan hasil analisis data hasil pengamatan
kolaboratot saat pembelajaran, dan juga hasil pengamatan
peneliti terhadap proses belajar siswa serta hasil tes.
c) Teknik Pengumpulan Data
26
Pada bagian ini perlu dideskripsikan (1) instrument penelitian yang akan
dipakai untuk memperoleh data, dan (2) jenis data yang akan diperoleh,
berikut contoh instrument dan data penelitian.
i. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian terdiri dari (1) instrumen pengamatan proses
belajar siswa dengan skala penilaian (1-4), (2) instrumen pengamatan
kegiatan pembelajaran dengan skala penilaian (1-4), dan (3) intrumen
tes berupa tes pilihan ganda dan uraian dengan skala penilaian (1-100).
ii. Data Penelitian
Mengacu instrument penelitian di atas, maka data penelitian terdiri
dari (1) data kualitatif hasil pengamatan menggunakan instrumen (1)
dan (2) di atas, dengan ketentuan bahwa : 4 : sangat baik, 3 : baik, 2 :
cukup dan 1 : kurang dan (2) data kuantitatif hasil tes hasil belajar
siswa dengan skala penilaian (1-100).
d) Teknik Analisis Data
Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif
kualitatif terhadap data penelitian tindakan kelas dengan
tahapan sebagai berikut: menyeleksi, menyederhanakan,
mengklasifikasi, memfokuskan, mengorganisasi (mengaitkan gejala
secara sistematis dan logis), membuat abstraksi atas kesimpulan
makna hasil analisis. Model analisis kualitatif yang terkenal adalah
model Miles & Hubberman (1992: 20) yang meliputi : reduksi data
(memilah data penting, relevan, dan bermakna dari data yang tidak
berguna), sajian deskriptif (narasi, visual gambar, tabel) dengan alur
sajian yang sistematis dan logis, penyimpulan dari hasil yg disajikan
(dampak PTK dan efektivitasnya). Model analisis ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
27
Gambar 5. Teknik Analisis Data
e) Indikator Kinerja
Seperti telah diuraikan di depan bahwa penelitian tindakan kelas
merupakan penelitian yang pelaksanaannya terdiri dari beberapa
tahapan (siklus) disarankan minimum tiga siklus. Untuk menandai
berakhirnya siklus penelitian diperlukan adanya indikator kinerja.
Indikator kinerja ditetapkan peneliti sesuai dengan permasalahan yang
ingin diselesaikan/ditingkatkan, misalnya masalah yang ingin
diselesaikan dan ditingkatkan dalam penelitian adalah motivasi belajar,
maka indikator kinerja yang ditetapkan menunjukkan persentase
minimal yang yang ditunjukkan siswa setelah mengikuti pembelajaran.
Misalnya: indikator kinerja dalam penelitian ini adalah (1) keaktifan
siswa dalam mengikuti pembelajaran minimal 70 %, dan (2) jumlah
siswa yang mencapai KKM minimal 75 %.
f) Jadwal Penelitian
Berbeda dengan waktu penelitian yang hanya disebutkan rentang
waktu awal sampai akhir penelitian, maka jadwal penelitian
disebutkan secara rinci mulai minggu keberapa bulan apa mulai
menyusun proposal sampai akhir penyusunan laporan penelitian.
Contoh:
NO.
KEGIATAN
BULAN
Januari Februari Maret April
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1
Penyusunan
Proposal
Penelitian
28
2
Praktik Penelitian 3
Penyusunan
Laporan
Penelitian
g) Daftar Pustaka
Memuat semua sumber pustaka yang digunakan dalam penelitian
dengan menggunakan sistem penulisan yang telah dibakukan secara
konsisten.
h) Lampiran
Berisi rencana pelaksanaan pembelajaran, materi/bahan ajar,
penilaian, dan semua instrumen penelitian, sampel jawaban siswa,
dokumen/foto kegiatan, ijin penelitian, serta bukti lain yang dipandang
perlu.
D. Daftar Pustaka
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Arikunto, S. (2011). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Hermawan, H. (2006). Model-Model Pembelajaran Inovatif. Bandung: CV Citra
Praya.
LPMP NTB. (2012). Bahan Ajar Kompetensi Pedagogik. Mataram: Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan NTB.
Sumardi, dkk. 2016. Refleksi, PTK, dan Pengembangan Keprofesian Guru. Bahan
ajar diklat. Jakarta: Kemdikbud PPPPTK
Taniredja, T., Faridli, E. M., & Harmianto, S. (2011). Model-Model Pembelajaran
Inovatif. Bandung: Alfabeta.
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN
BAHASA INDONESIA
BAB I
BERBAGAI ALIRAN LINGUISTIK
Drs. Azhar Umar, M.Pd
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
1
BAB I
BERBAGAI ALIRAN LINGUISTIK
A. Tujuan
Setelah mempelajari sumber belajar ini, guru diharapkan dapat memahami
dan mengembangkan materi pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan aliran-
aliran linguistik struktural, deskriptif, dan fungsional.
B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi
Kompetensi Guru Mata
Pelajaran Indikator Pencapaian Kompetensi
Memahami konsep, teori, dan
materi berbagai aliran linguistik
yang terkait dengan
pengembangan materi
pembelajaran bahasa.
1. Mengidentifikasi teori linguistik struktural
yang terkait dengan pembelajaran materi
fonologi bahasa Indonesia dengan tepat.
2. Mengidentifikasi teori linguistik strutural
yang terkait dengan pengembangan
materi kelas-kata bahasa Indonesia
dengan tepat.
3. Mengidentifikasi teori linguistik deskriptif
yang terkait dengan pengembangan
materi kelas kata bahasa Indonesia
dengan tepat
4. Mengidentifikasi teori linguistik
fungsional yang terkait dengan materi
pembelajaran sintaksis bahasa Indonesia
dengan tepat.
5. Mengidentifikasi teori linguistik struktural
yang terkait dengan materi pembelajaran
morfologi bahasa Indonesia dengan
tepat.
2
6. Mengidentifikasi teori linguistik struktural
yang terkait dengan materi pembelajaran
sintaksis bahasa Indonesia dengan tepat.
7. Mengidentifikasi teori linguistik
fungsional yang terkait dengan materi
pembelajaran morfologi bahasa
Indonesia dengan tepat.
8. Mengidentifikasi teori linguistic deskriptif
yang terkait dengan materi pembelajaran
morfologi bahasa Indonesia dengan
tepat.
9. Mengidentifikasi materi pembelajaran
morfologi bahasa Indonesia berdasarkan
aliran deskriptif dengan tepat.
10. Mengidentifikasi materi pembelajaran
fonologi bahasa Indonesia berdasarkan
aliran deskriptif dengan tepat.
11. Mengidentifikasi materi pembelajaran
kelas kata bahasa Indonesia berdasarkan
aliran fungsional dengan tepat.
C. Uraian Materi
1. Aliran Linguistik Struktural
1.1 Konsep dan Objek Telaah
Linguistik struktural adalah pendekatan dalam penyelidikan bahasa yang
menganggap bahasa sebagai sistem yang bebas (Kridalaksana, 2008: 146). Aliran
linguistik struktural lahir di Perancis pada awal abad XX bersamaan dengan
diluncurkannya buku ”Course de linguistiケue Generale” karya Ferdinand de
Saussure pada tahun 1916. Saussure memandang bahasa sebagai suatu struktur
3
sehingga pendiriannya dipandang sebagai linguistik struktural atau structural
linguistics. Melalui bukunya itu, Saussure memaparkan pandangan-pandangannya
mengenai: (1) telaah sinkronik dan diakronik bahasa, (2) pembedaan langue dan
parole, (3) pembedaan signifiant dan signifie, serta (4) hubungan sintagmatik dan
paradigmatik (Endang, 2016: 4).
Telaah sinkronik bahasa tidak lain adalah telaah bahasa dalam kurun waktu
tertentu. Kata sinkronik sendiri berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti
けdeミgaミげ atau けbersaマaげ daミ khronos yaミg berarti けwaktuげ. Di dalaマ telaah
sinkronik, setiap bahasa dianalisis tanpa memperhatikan perkembangnnya pada
masa lampau. Bahasa Indonesia, misalnya, dapat dianalisis tanpa mempedulikan
perkembangannya dari bahasa Melayu Klasik. Yang tampak dalam analisis
sinkronik adalah apa yang lazim disebut struktur, misalnya hubungan antara
imbuhan dan kata dasar, hubungan antar-bunyi, hubungan antar-bagian kalimat
dan sebagainya.
Telaah diakronik adalah telaah bahasa sepanjang waktu atau penyelidikan
teミtaミg perkeマbaミgaミ suatu bahasa. Kata けdiakroミikげ berasal dari bahasa Yuミaミi
dia yaミg berマakミa けマelaluiげ daミ khronos yaミg berマakミa けwaktuげ. “eIara
sederhana, kata diakronik dapat diartikan sebagai studi antarwaktu. Apabila telah
diakronik dilakukan terhadap bahasa Indonesia, maka akan tampak bahwa bahasa
Indonesia sekarang berbeda dari bahasa Melayu Klasik atau Melayu Kuno yang
merupakan cikal bakalnya. Bahasa Melayu Kuno memiliki awalan mar- yang
kemudian berubah menjadi me- dan ber- di dalam bahasa Melayu Klasik dan
bahasa Indonesia sekarang.
Untuk membandingkan telaah sinkronik dan diakronik terhadap bahasa,
Saussure memberikan ilustrasi berikut. Kalau kita membelah batang tumbuh-
tumbuhan dari atas ke bawah, maka akan tampak struktur tertentu. Kalau batang
yang sama kita potong secara horisontal, maka akan tampak juga suatu struktur,
tetapi berlainan sekali dari struktur hasil belahan vertikal di atas. Penampang
lintang hasil memotong batang dapat kita bandingkan dengan struktur sinkronik,
4
sedangkan penampang bujur hasil membelah batang dapat kita sejajarkan dengan
struktur diakronik (Verhaar, 1981: 6-7).
Langue adalah keseluruhan sistem tanda yang bersifat abstrak yang berfungsi
sebagai alat komunikasi verbal antar-anggota suatu masyarakat bahasa. Karena
berbasis masyarakat bahasa, dengan demikian, langue mengacu kepada bahasa
tertentu, seperti bahasa Indonesia, bahasa Aceh, bahasa Sunda, dan lain-lain.
Langue bersifat sosial karena kehadirannya merupakan konvensi atau kesepakatan
di antara sekelompok pemakai bahasa. Karena bersifat sosial, individu pemakai
bahasa tidak dapat mengubah atau memengaruhi perkembangn langue sesuka
hati.
Parole merupakan realitas fisik bahasa yang berbeda wujudnya pada satu
individu dengan individu lain dalam masyarakat bahasa yang sama. Parole
berwujud lebih konkret dan berciri individual. Sebagaimana dikemukakan Oka dan
Suparno (1994: 60), parole terjadi dari pilihan perorangan yang jumlahnya tidak
terbatas; banyak sekali pengucapan dan kombinasi-kombinasi baru. Jika kajian
ilmiah diarahkan kepada parole, pemerian terhadapnya akan menjadi dan bersifat
takterbatas.
Signifiant adalah citra dari bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul
dalam alam pikiran , sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang
ada dalam pikiran kita. Dengan kata lain, signifiant adalah pelambang, sedangkan
signifie adalah sesuatu atau hal yang dilambangkan. Tidak terdapat hubungan
yang logis atau rasional antara signifiant dengan signifie. Tidak dapat dijelaskan
secara rasional mengapa himpunan bunyi /k/, /u/, /d/, /u/Hubungan keduanya
bersifat arbitrer atau mana suka.
Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat
dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan, dan bersifat linear. Dengan
demikian, hubungan sintagmatik merupakan relasi antar-unsur bahasa yang hadir
di dalam satu tuturan. Di dalam tuturan itu, unsur-unsur yang berelasi diucapkan.
Di dalam bahasa tulis, unsur-unsur itu juga dituliskan. Karena semua unsur yang
berelasi atau berhubungan itu hadir, maka disebutlah hubungannya dengan
5
hubungan sintagmatik. Sintagma adalah satuan yang terdapat dalam tuturan yang
terbentuk dari dua unsur secara horizontal. Apabila sebuah tuturan dapat
disimbolkan dengan XY, tuturan tersebut mengandung sintagma yang terdiri atas X
dan Y. Di dalam bahasa Indonesia, pada tataran fonologi, misalnya, terdapat bunyi-
bunyi /b/, /a/, /t/, dan /u/. Hubungan sintagmatik antara bunyi-bunyi tersebut
dapat melahirkan macam-macam bentuk, seperti batu, buta, atau buat.
Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat
dalam tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang
bersangkutan. Unsur-unsur yang tidak hadir itu merupakan unsur yang
diasosiasikan. Kata-kata kekerabatan, misalnya, memiliki hubungan-hubungan
asosiatif. Pilihlah kata kekerabatan saudara sebagai contoh. Ketika digunakan, kata
ini memiliki asosiasi atau berparadigma dengan kata-kata adik, kakak, paman, dan
sebagainya (Oka dan Suparno, 1994: 77). Padahal, kata-kata yang disebutkan
terakhir ini tidak hadir di dalam tuturan atau tulisan.
Aliran linguistik struktural sangat berkembang di Amerika pada 1930-an yang
kemudian melahirkan Tata Bahasa Struktural Amerika (TSA). TSA dipelopori oleh
Charles F. Hockett, Edward Sapir, dan Leonard Bloomfield. Di antara tokoh-tokoh
ini, Bloomfield-lah yang paling berpengaruh dan menentukan arah TSA. Bloomfield
sudah mencetuskan pikiran-pikirannya mengenai TSA melalui bukunya An
Introduction to Linguistic Science. Ia pun pernah menuangkan pikiran-pikirannya
melalui majalah Langue tentang ilmu bahasa umum dan bahasa-bahasa tertentu
yang sangat berpengaruh pada zamannya. Namun demikian, puncak ide
Bloomfield yang sesungguhnya tertuang di dalam bukunya Language yang terbit
pada tahun 1933.
TSA yang dipelopori Bloomfield beranjak dari psikologi behaviorisme dan
logika positivisme yang tumbuh dominan di Amerika sejak 1920. Menurut
penganut behaviorisme, tingkah laku manusia bisa diterangkan berdasarkan
situasi-situasi eksternal – bebas dari faktor-faktor internal. Pengaruh behaviorisme
tampak sekali ketika Bloomfield memberikan uraian tentang pemakaian bahasa
6
yang dipandangnya sebagai bentuk tingkah laku inter-relatif antara stimulus-
respons.
Sementara itu, menurut logika positivisme, sebuah teori hanya dapat
dianggap benar atau salah semata-mata setelah diujikan pada data kajian secara
konkret. Dengan kata lain, sebuah teori hanya dapat dibenarkan setelah ia teruji
secara empirik. Itulah sebabnya, dalam kajian bahasa, Bloomfield sangat
memerhatikan ujaran atau korpus bahasa karena hal itulah yang empirik, paling
objektif, dan mudah diamati secara langsung. Bagi Bloomfield, yang tidak dapat
dijelaskan secara objektif harus ditangguhkan pengkajiannya. Pandangan inilah
yang mendasari mengapa pengkajian TSA lebih banyak dilakukan terhadap
fonologi, sedikit terhadap morfologi, dan amat sedikit mengenai sintaksis. TSA
tidak memberi perhatian sama sekali terhadap semantik (Alwasilah,1985:47). Bagi
penganut TSA, semantik merupakan studi yang paling tidak objektif dan tidak
mudah diamati secara langsung.
TSA berpendirian, penelitian bahasa harus mampu menggambarkan bahasa
sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya (Oka dan Suparno,
1994:297). Pikiran ini sejalan dengan logika positivisme yang dianut TSA yang
sangat mengutamakan keterujian empirik sebuah kajian. Yang dimasudkan dengan
bahasa sebagaimana adanya tidak lain adalah bahasa sebagaiman ia dipakai secara
objektif-empirik oleh pemakai bahasa. Karena itulah, Bloomfield pernah
mengatakan bahwa bukti-bukti material dalam ujaran langsung sangatlah penting.
Itu pula sebabnya, Bloomfiled selalu mengumpulkan data kebahasaan dari
informan.
Dalam pengumpulan data kebahasaan itu, menurut Bloomfield (dalam
Wasilah, 1985:79), keilmuan linguistik bergerak mengikuti tahapan-tahapan
berikut:
(1) observasi
(2) laporan observasi
(3) pernyataan hipotesis
(4) penghitungan
7
(5) prediksi, dan
(6) uji coba prediksi melalui observasi lanjut
Dari tahapan pengumpulan data bahasa di atas dapat ditegaskan bahwa TSA
memusatkan perhatiannya pada pendeskripsian dan pengklasifikasian data
performansi (performance) atau parole bahasa. Performance adalah tampilan
bahasa dalam wujudnya yang ril, atau bahasa sebagaimana ia digunakan untuk
berkomunikasi (Simanjuntak, 1987:113). Ini sejalan dengan ide dasar TSA yang
menegaskan bahwa totalitas ujaran yang mungkin dihasilkan oleh satu masyarakat
ujaran merupakan bahasa masyarakat ujaran itu (Bloomfield, 1939:13).
Dalam pendeskripsian data performansi bahasa itu, TSA melakukan analisis
formal (analisis bentuk bahasa) dengan struktur bahasa sebagai sasaran kajiannya.
Pengkajian struktur bahasa ini dilakukan melalui penggunaan prinsip analisis unsur
bawahan langsung (immediate constituent), yakni unsur yang secara langsung
merupakan bagian dari suatu bentuk yang lebih besar. Dalam penerapan unsur
bawahan langsung ini digunakan teknik segmentasi. Satu unsur bahasa
disegmentasikan secara bertahap atau hirarkis sehingga diperoleh satuan-satuan
pembentuknya. Lebih jelas mengenai analisis unsur bawahan langsung dapat
dilihat dari analisis kalimat berikut ini.
Anisah sudah belajar mengaji.
Kalimat di atas terdiri atas dua unsur langsung, yakni Anisah dan sudah belajar
mengaji. Satuan sudah belajar mengaji terdiri atas dua unsur langsung yang lebih
kecil, yakni sudah belajar dan mengaji. Satuan sudah belajar terdiri atas dua unsur
bawahan langsung juga, yakni sudah dan belajar.
1.2 Tata Bahasa Struktural
Tata bahasa struktural mengkaji dua aspek penting struktur bahasa, masing-
masing morfologi dan sintaksis (Ramlan, dalam Rusyana dan Samsuri (ed.), 1983:
8
33). Kedua struktur bahasa tersebut akan dibicarakan lebih lanjut pada bahagian
berikut.
1.2.1 Morfologi
Morfologi adalah cabang tata bahasa yang membicarakan seluk-beluk
pembentukan kata. Berdasarkan bentuknya, menurut tata bahasa struktural, kata
dapat dibedakan atas dua golongan, masing-masing kata asal dan kata kompleks.
Kata asal adalah kata yang belum mengalami proses morfologis (afiksasi,
reduplikasi, dan pemajemukan), seperti datang, lari, duduk. Kata kompleks adalah
kata yang telah mengalami proses morfologis. Karena telah mengalami proses
morfologis, kata kompleks dapat dikelompokkan atas tiga golongan, masing-
masing kata (1) kata berimbuhan, (2) kata ulang, dan (3) kata majemuk.
Kata berimbuhan adalah kata yang dibentuk melalui proses afiksasi. Afiksasi
dapat berupa prefiksasi atau peマberiaミ awalaミ, seperti kata けdibuaミgげ ふdi +
buaミgぶ, iミfiksasi atau peマberiaミ sisipaミ, seperti kata けgelembuミgげ ふgeマbuミg + el),
sufiksasi atau peマberiaミ akhiraミ, seperti kata けマakaミanげ ふマakaミ + an), dan
konfiksasi atau gabuミgaミ iマbuhaミ, kata けpertalianげ ふper + tali + an).
Kata ulang adalah kata yang dibentuk melalui proses reduplikasi atau
perulangan. Reduplikasi dapat berupa reduplikasi seluruh, seperti tampak pada
kata minum-minum; reduplikasi sebagian, seperti kata tetangga (dari bentuk asal
tangga-tangga); reduplikasi yang berkombinasi dengan afiks, seperti terlihat pada
kata kemerah-merahan (dari bentuk asal merah-merah + ke-an), dan reduplikasi
dengan variasi fonem, seperti pada kata bolak-balik.
Kata majemuk atau komposisi adalah kata yang dibentuk melalui proses
pemajemukan atau penggabungan dua kata yang membentuk makna baru, seperti
jaksa agung, rumah makan, rumah sakit, daya tahan, kambing hitam, dan
sebagainya. Konstruksi ini harus dibedakan dari frasa yang kebetulan merupakan
gabungan beberapa kata juga. Perbedaan keduanya terdapat pada keketatan
hubungan antar-kata yang membangunnya. Hubungan antar-kata di dalam frasa
lebih longgar daripada komposisi atau kata majemuk sehingga dapat disisipkan
kata-kata laiミ di aミtaraミya. Misalミya, frasa けruマah putihげ マasih マuミgkiミ disisipkaミ
9
kata けyaミgげ di aミtaraミya sehiミgga マeミjadi けruマah yaミg putihげ Tidak deマikiaミ
halミya deミgaミ koミstruksi koマposisi けruマah sakitげ. Di aミtara kedua kata yaミg
membangun konstruksi itu tidak dapat disisipkan kata-kata lain lagi.
Kata kompleks dapat terbentuk melalui berbagai tahapan atau tingkatan. Ada
kalanya, kata kompleks terbentuk melalui satu tahapan atau tingkatan saja, seperti
kata kompleks pakaian. Kata ini berasal dari bentuk asal pakai yang mendapat afiks
–an. Jadi, kata kompleks pakaian terbentuk melalui satu tahapan saja. Berbeda
halnya dengan kata berpakaian yang terbentuk melalui dua tahapan, yakni pakai +
-an (pakaian) + ber- (berpakaian). Pada bentuk berpakaian, kata pakaian menjadi
bentuk dasarnya, sedangkan kata pakai menjadi bentuk asalnya. Tahapan atau
tingkatan pembentukan kata berpakaian dapat digambarkan sebagai berikut:
ber- pakai -an
Ada juga di antara kata kompleks yang terbentuk melalui tiga tahapan atau
tingkatan, seperti kata berkepemimpinan dan berkepribadian.
1.2.2 Sintaksis
Bagian tata bahasa struktural lainnya adalah sintaksis yang membicarakan
seluk-beluk frasa dan kalimat. Karena itu, pembicaraan pada bidang ini terdiri atas
dua bagian besar, yakni frasa dan kalimat.
1.2.2.1 Frasa
Yang dimaksud dengan frasa adalah bentuk linguistik yang terdiri atas dua
kata atau lebih yang tidak memlebihi satu batas fungsi dalam kalimat, seperti
subjek, predikat, objek, maupun keterangan. Contoh-contoh frasa, misalnya, pintu
baru, sedang makan, rumah paman, dan lain-lain. Bentuk bahasa yang sudah
membentuk fungsi subjek dan predikat sekaligus tidak bisa lagi disebut sebagai
frasa, melainkan kalimat.
10
Menurut tata bahasa struktural, pernentuan frasa dapat dilakukan dengan
menggunakan prinsip unsur langsung (UL). Penerapannya dapat diamati pada
contoh kalimat berikut.
Ia lulusan Akbid di kota Medan.
Dari diagram di atas diketahui bahwa kalimat Ia lulusan Akbid di kota Medan terdiri
atas UL ia dan UL lulusan Akbid di kota Medan. Selanjutnya, frasa lulusan Akbid di
kota Medan terdiri atas UL lulusan Akbid dan UL di kota Medan. Satuan di kota
Medan terdiri atas UL di dan UL kota Medan. Dengan demikian, berdasarkan
prinsip unsur langsung, dari kalimat di atas diperoleh frasa-frasa berikut:
(a) lulusan Akbid di kota Medan
(b) Akbid di kota Medan
(c) di kota Medan
(d) kota Medan
Frasa kota Medan merupakan satuan frasa yang paling kecil karena terdiri atas dua
kata saja, yakni kota dan Medan.
Konstruksi frasa, menurut tata bahasa struktural, memiliki tipe yang khas.
Ada konstruksi frasa yang unsur langsung pembentuknya tidak memiliki posisi yang
setara; atau salah satu unsur langsung pembentuknya memiliki posisi yang lebih
dominan daripada unsur langsung lainnya dalam frasa tersebut sehingga salah satu
unsur langsung pembentuknya dapat mewakili atau memiliki fungsi yang sama
dengan semua unsur langsungnya. Tetapi ada juga konstruksi frasa yang semua
11
unsur langsung pembentuknya memiliki posisi yang setara; atau salah satu unsur
langsung pembentuknya tidak memiliki posisi yang lebih dominan daripada unsur
langsung lainnya dalam frasa tersebut sehingga salah satu unsur langsung
pembentuknya tidak dapat mewakili atau tidak memiliki fungsi yang sama dengan
semua unsur langsungnya. Tipe frasa yang pertama, yang salah satu unsur
langsungnya dapat mewakili unsur-unsur langsung yang lain di dalam frasa itu,
lazim disebut frasa endosentris. Tipe frasa yang kedua, yang salah satu unsur
langsungnya tidak dapat mewakili unsur-unsur langsung yang lain di dalam frasa
itu, lazim disebut frasa eksosentris. Lebih lanjut mengenai kedua tipe frasa di atas
dapat diamati pada contoh-contoh frasa berikut:
(1) petani muda
(2) sawah dan lading
(3) di rumah.
Frasa (1) memiliki fungsi yang sama dengan salah satu unsur langsungnya, yakni
petani. Dengan kata lain, unsur langsung petani memiliki posisi yang lebih dominan
daripada unsur langsung muda sehingga kata petani dapat mewakili frasa tersebut.
Tidak sama halnya dengan frasa (2) dan (3). Frasa-frasa yang disebut terakhir ini
tidak memiliki fungsi yang sama dengan salah satu unsur langsungnya. Dengan
kata lain, tidak ada unsur langsung frasa yang memiliki posisi yang lebih dominan
daripada unsur langsung lainnya di dalam frasa tersebut. Masing-masing unsur
langsung pembentuk frasa tersebut memiliki posisi yang setara. Untuk
mendapatkan gambaran yang jelas, perhatikanlah penggunaan frasa-frasa di atas
di dalam kalimat-kalimat berikut.
(4) Ia seorang petani muda.
Ia petani.
Jadi, kata petani bisa mewakili petani muda.
(5) Putri memiliki sawah dan ladang.
Putri memiliki sawah.
Putri memiliki ladang.
12
Jadi, masing-masing kata sawah dan ladang tidak bisa mewakili frasa
sawah dan ladang.
(6) Nona sedang di rumah.
Nona sedang di. (x)
Nona sedang rumah. (x)
Jadi, unsur-unsur langsung di maupun rumah tidak bisa mewakili
frasa di rumah.
Dari deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa frasa (1) tergolong tipe frasa
endosentrik karena salah satu unsur langsung frasa dapat berfungsi mewakili frasa
tersebut. Frasa (2) dan (3) tergolong tipe frasa eksosentrik karena salah satu unsur
langsung frasa tidak dapat berfungsi mewakili frasa tersebut.
Konstruksi frasa endosentrik dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan
yang lebih kecil, masing-masing (1) konstruksi endosentrik-atributif, (2) konstruksi
endosentrik-koordinatif, dan (3) konstruksi endosentrik-apositif. Satu frasa
termasuk ke dalam golongan konstruksi endosentrik-atributif apabila frasa itu
memiliki fungsi yang sama dengan salah satu unsur langsungnya. Unsur langsung
yang fungsinya sama dengan frasa itu disebut unsur pusat dan yang tidak sama
disebut atribut. Frasa petani muda pada contoh di atas tergolong ke dalam
konstruksi endosentrik-atributif. Unsur pusatnya adalah petani dan atributnya
adalah muda.
Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi endosentrik-koordinatif
apabila frasa itu memiliki fungsi yang sama dengan semua unsur langsungnya.
Frasa sawah dan ladang pada contoh di atas tergolong ke dalam konstruksi
endosentrik-koordinatif. Tidak terdapat unsur langsung frasa yang menjadi unsur
pusat frasa.
Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi endosentrik-apositiff
apabila frasa itu memiliki fungsi yang sama dengan semua unsur langsungnya,
tetapi sekaligus kata kedua memberi keterangan kepada kata pertama. Frasa di
13
rumah pada contoh di atas tergolong ke dalam konstruksi endosentrik-apositif.
Unsur langsung rumah memiliki fungsi yang setara dengan unsur langsung di,
tetapi sekaligus memberi keterangan kepada unsur langsung di.
Konstruksi frasa eksosentrik dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan
yang lebih kecil, masing-masing (1) konstruksi eksosentrik-objektif dan (2)
konstruksi eksosentrik-direktif. Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi
eksosentrik-objektif apabila frasa itu terdiri atas kata kerja yang diikuti oleh kata
lain sebagai objeknya. Contoh-contoh berikut ini, menurut tata bahasa struktural,
tergolong frasa yang memiliki konstruksi eksosentrik-objektif.
(7) mengecap kehidupan kota
(8) memenuhi jiwa
(9) memiliki cita-cita.
Kata-kata pertama pada setiap frasa di atas merupakan kelas kata kerja, dan kata-
kata berikutnya merupakan objek dari kata kerja tersebut.
Satu frasa termasuk ke dalam golongan konstruksi eksosentrik-direkktif
apabila frasa itu terdiri atas direktor atau penanda diikuti kata atau frasa lain
sebagai aksisnya. Contoh-contoh berikut ini, menurut tata bahasa struktural,
tergolong frasa yang memiliki konstruksi eksosentrik-direktif.
(10) di sawah
(11) di atas pematang
(12) karena keterbelakangan mental.
Semua unsur langsung awal pada frasa-frasa di atas merupakan direktor atau
penanda.
1.2.2.2 Kalimat
Sebagaimana telah dikemukakan, aspek kedua dari pembahasan sisntaksis
adalah kalimat. Kalimat, sebagaimana luas disepakati di kalangan penganut tata
14
bahasa struktural, adalah sebuah bentuk ketatabahasaan yang maksimal yang
tidak merupakan bagian dari sebuah konstruksi ketatabahasaan yang lebih besar
dan lebih luas (Pateda, 1988: 87).
Untuk pemahaman lebih luas mengenai dimensi-dimensi kalimat, baiklah
menyimak ilustrasi berikut. Bila dua orang atau lebih sedang terlibat dalam satu
percakapan, maka akan terlihat bahwa setiap kalimat yang mereka ucapkan
merupakan rangsangan bagi pihak lain untuk memberikan jawaban. Jawaban
dimaksud mungkin hadir dalam bentuk yang beragam, seperti lisan, tindakan, atau
cara-cara lain yang menunjukkan adanya perhatian.
Jika A, マisalミya, マeミguIapkaミ さMau ke マaミa, Aミda?ざ, マaka si B akaミ
マeマberikaミ jawabaミ lisaミ さKe sekolahざ. Jika A マeミguIapkaミ さJaミgaミ pergi!ざ
sebagai rangsangan, maka B mungkin tidak akan memberikan jawaban lisan,
melainkan melakukan tindakan tidak pergi sebagai jawaban. Jika A mengucapkan
さAyahku pergi keマariミざ, マaka B tidak harus マeマberikaミ jawabaミ berupa lisaミ
maupun tindakan. Cukuplah bagi B berdiam diri atau sekedar menganggukan
kepala yang menandakan dirinya memiliki perhatian atas pernyataan A.
Berdasarkan iliustrasi mengenai rangsangan dan jawaban (stimulus dan
respons) dalam percakapan antara A dan B di atas, penganut tata bahasa struktural
membagi kalimat atas tiga golongan, yakni (1) kalimat yang memerlukan jawaban
lisan, (2) kalimat yang memerlukan jawaban tindakan, dan (3) kalimat yang
memerlukan jawaban berupa perhatian. Yang termasuk golongan (1) adalah
kalimat-kalimat tanya dan kalimat-kaliマat seperti さ“elaマat pagiざ, さ“elaマat siaミgざ,
dan sebagainya. Yang termasuk golongan (2) adalah kalimat-kalimat perintah,
permintaan, dan ajakan. Yang termasuk golongan (3) adalah kalimat berita.
Selain berdasarkan rangsangan dan jawaban, kalimat dapat pula dibedakan
berdasarkan banyaknya klausa yang menjadi unsurnya sehingga didapatkanlah
kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri
atas satu klausa atau konstruksi yang hanya terdiri atas subjek (S) dan predikat (P)
saja, seperti:
15
(1) Ia cekatan sekali.
(2) Mobil itu mahal harganya.
Kalimat (1) hanya berisi satu klausa, yang dibangun oleh kata ia sebagai S dan
cekatan sekali sebagai P. Begitu juga halnya dengan kalimat (2), hanya terdiri atas S
(mobil itu) dan P (mahal harganya).
Kalimat majemuk adalah kalimat yang sekurang-kurangnya terdiri atas dua
klausa atau kalimat yang terdiri atas sekurang-kurangnya dua konstruksi subjek
(S) dan predikat (P), seperti:
(3) Waktu dia datang ke mari, saya sedang berlibur di Bali.
(4) Anton dan Mirna tidak kuliah hari ini.
Kalimat (3) berisi dua klausa, masing-masing:
(a) dia datang ke mari
(b) saya sedang berlibur di Bali.
Klausa (a) dibangun oleh S (dia) dan P (datang), sedangkan klausa (b) dibangun
oleh S (saya) dan P (sedang berlibur).
Begitu juga halnya dengan kalimat (4), terdiri atas dua klausa, masing-masing:
(c) Anton tidak kuliah
(d) Mirna tidak kuliah.
Klausa (c) dibangun oleh S (Anton) dan P (tidak kuliah), sedangkan klausa (d)
dibangun oleh S (Mirna) dan P (tidak kuliah).
1.3 Penggolongan Kata
Persoalan penggolongan atau pengkelasan kata perlu dibicarakan di dalam
tata bahasa struktural karena hal ini berhubungan dengan struktur frasa dan
kalimat sebagaimana telah dibicarakan pada bagian terdahulu. Golongan atau
kelas kata dalam tata bahasa struktural tidsk ditentukan berdasarkan makna,
melainkan ditentukan secara gramatis, berdasarkan sifat atau perilaku kata di
16
dalam frasa atau kalimat. Jadi, kata yang memiliki sifat atau perilaku yang sama
membentuk satu golongan atau kelas kata. Berdasarkan pemikiran ini, kata bahasa
Indonesia dapat digolongkan atau dikelaskan menjadi (1) kata nomina, (2) ajektiva,
dan (3) partikel (Ramlan, dalam Rusyana dan Samsuri (ed), 1983: 33).
Kata nomina (N) adalah semua kata yang dapat menduduki tempat objek,
dan apabila kata itu dinegatifkan, maka dinegatifkan dengan kata bukan. Jenis kata
ini dapat dibedakan atas tiga golongan atau kelas, masing-masing kata benda (Bd),
kata ganti (Gt), dan kata bilangan (Bil). Termasuk golongan kata benda, di
antaranya, adalah petani, guru, harimau, meja, dan rumah. Termasuk kata ganti
adalah saya, kita, Putri, Medan, itu, ini, dan sebagainya. Contoh kata bilangan, di
antaranya, adalah satu, lima belas, dan kesatu.
Kata ajektiva (A) adalah semua kata yang tidak dapat menduduki tempat
objek, dan bila dinegatifkan harus menggunakan kata tidak. Kelas kata ini dapat
juga dinegatifkan dengan kata bukan apabila dipertentangkan dengan keadaan
lain, misalnya: Ia bukan menulis, melainkan menggambar.
Jenis kata ini dapat dibedakan atas dua golongan atau kelas, masing-masing
kata sifat (Sf) dan kata kerja (Kj). Kata sifat adalah kata ajektiva yang dapat
didahului oleh kata agak, sangat, dan lebih, seperti sakit, tinggi, dan rajin. Kata
kerja adalah kata ajektiva yang dapat didahului oleh kata boleh, seperti bekerja,
lari, dan tidur.
Kata partikel (P) adalah semua kata yang tidak termasuk golongan nomina
dan ajektiva. Kata ini dibedakan menjadi kata penjelas (Ps), kata keterangan (Kt),
kata penanda (Pn), kata perangkai (Pr), kata Tanya (Ta), dan kata seru (Sr). Kata
penjelas (Ps) adalah kata yang di dalam frasa selalu berfungsi sebagai atribut dalam
konstruksi endosentrik yang atributif, seperti suatu, semua, paling, lebih, boleh,
harus, sedang, dan sebagainya. Kata keterangan (Kt) adalah kata yang selalu
berfungsi sebagai keterangan bagi klausa, seperti kemarin, tadi, dahulu, dan
sebagainya. Kata penanda (Pn) adalah kata yang menjadi direktor dalam konstruksi
eksosentrik yang direktif, seperti di, dari, ke, karena, bahwa, dan sebagainya. Kata
perangkai (Pr) adalah kata yang berfungsi sebagai koordinator dalam konstruksi
endosentrik yang koordinatif, seperti dan, atau, tetapi. Kata tanya (Tn) adalah kata
yang berfungsi membentuk kalimat tanya, seperti mengapa, bagaimana, berapa.
17
Kata seru (Sr) adalah kata yang tidak memiliki sifat sebagai partikel yang lain,
seperti heh, nih.
Golongan atau kelas kata di atas masih dapat dirinci menjadi golongan atau
kelas kata yang lebih kecil lagi. Kata benda (Bd), misalnya, berdasarkan kata
petunjuk satuan yang dipakai, dapat digolongkan menjadi (1) kata benda
manusiawi, yakni kata benda yang menggunakan kata orang sebagai penunjuk
satuan, seperti petani, guru, mahasiswa, (2) kata benda wewani, yakni kata benda
yang menggunakan kata ekor sebagai penunjuk satuan, seperti merpati, harimau,
(3) kata benda lainnya, yakni kata benda yang tidak menggunakan kata orang dan
ekor sebagai penunjuk satuan, seperti rumah, meja, bunga.
Kata kerja, berdasarkan kemungkin memiliki objek dan kemungkinan
dipasifkan, dapat digolongkan menjadi (1) kata kerja yang tidak dapat diikuti objek,
seperti menggeliat, berangkat, pergi, (2) kata kerja yang diikuti objek dan dapat
dipasifkan, seperti membangunkan, menjemput, (3) kata kerja yang dapat diikuti
dua objek, seperti memberikan, membelikan, (4) kata kerja yang dapat diikuti
onjek, tetapi tidak dapat dipasifkan, seperti berdagang, berjudi.
Di samping penggolongan kata, dijumpai pula penggolongan frasa yang
sejalan dengan penggolongan kata, seperti frasa benda, frasa bilangan, frasa sifat,
frasa kerja, frasa keterangan, dan frasa penanda. Frasa benda adalah frasa yang
pusatnya berupa kata benda atau kata ganti, seperti rumah itu, mereka itu, rumah
bagus. Frasa bilangan adalah frasa yang pusatnya berupa kata bilangan, seperti
dua buah, lima ekor. Frasa sifat adalah frasa yang pusatnya berupa kata sifat,
seperti sangat lelah, kaya sekali, tidak sakit. Frasa kerja adalah frasa yang
pusatnya berupa kata kerja, seperti akan lari, tidak pergi. Frasa keterangan adalah
frasa yang pusatnya berupa kata keterangan, seperti tadi malam, kemarin siang.
Frasa penanda adalah frasa yang pusatnya berupa kata penanda, seperti:
- di pada di rumah,
- karena pada karena harta,
- kalau pada kalau tidak hujan.
1.4 Keunggulan Aliran Struktural
Aliran struktural memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut:
18
a. Aliran ini sukses membedakan konsep grafem dan fonem.
b. Metode drill and practice membentuk keterampilan berbahasa
berdasarkan kebiasaan.
c. Kriteria kegramatikalan berdasarkan keumuman sehingga mudah diterima
masyrakat awam.
d. Level kegramatikalan sistematis: mulai dari morfem, kata, frase, klausa,
dan kalimat.
e. Berpijak pada fakta, tidak mereka-reka data.
1.5 Kelemahan Aliran Struktural
Aliran struktural memiliki beberapa kelemahan berikut:
a. Bidang morfologi dan sintaksis dipisahkan secara tegas.
b. Metode drill and practice sangat memerlukan ketekunan, kesabaran, dan
sangat menjemukan.
c. Proses berbahasa merupakan proses rangsang-tanggap yang berlangsung
secara fisis dan mekanis. Padahal, manusia bukan mesin.
d. Kegramatikalan berdasarkan kriteria keumumam sehingga kaidah yang
salah pun bisa benar jika dianggap umum.
e. Faktor historis sama sekali tidak diperhitungkan dalam analisis bahasa.
f. Objek kajian terbatas sampai level kalimat, tidak menyentuh aspek
komunikatif.
g. Terlalu mendalkan struktu permukaan bahasa, mengabaikan struktur
dalam.
2. Aliran Linguistik Deskriptif
2.1 Konsep Linguistik Deskriptif
Tidak dapat disangkal bahwa bahasa sebagai sarana komunikasi manusia
bersifat dinamis, selaras dengan dinamika yang dialami oleh penuturnya. Dapatlah
dipastikan bahwa bahasa yang hidup dalam satu kurun waktu tertentu
berkemungkinan memiliki ciri-ciri struktural, bahkan kosa kata, yang tidak lagi
persis sama dengan keadaan bahasa itu pada kurun waktu yang lain, meskipun
19
perbedaan tersebut selalu tidak tajam. Bahasa-bahasa mengalami evolusi
mengikuti perkembangan masyarakat pendukungnya.
Kemungkinan berevolusinya bahasa ini membawa pengaruh terhadap kajian
atau studi linguistik. Sekurang-kurangnya, ada dua macam studi linguistik yang
muncul untuk merespons keadaan ini. Pertama, studi linguistik yang hanya
memusatkan perhatian kepada objek bahasa yang ril, yang hidup dan digunakan
penuturnya pada kurun waktu tertentu. Kedua, studi linguistik yang memusatkan
perhatian kepada objek fase evolusi bahasa. Studi linguistik yang pertama
mendorong munculnya aliran linguistik deskriptif dalam pengkajian bahasa,
sedangkan studi linguistik yang kedua mendorong munculnya aliran linguistik
komparatif.
Linguistik deskriptif lahir pada pengujung abad XIX di Amerika dengan tokoh
utamanya Franz Boas. Ide aliran linguistik ini muncul karena Boas dan rekan-
rekannya berhadapan dengan masalah-masalah praktis untuk menghasilkan
bentuk atau struktur yang ada dalam berbagai bahasa yang diucapkan penuturnya.
Aliran linguistik deskriptif bertujuan merumuskan teori linguistik yang abstrak
sebagai alat untuk menyelesaikan deskripsi bahasa-bahasa tertentu dengan praktis
dan sukses. Karena itulah, linguistik deskriptif berhubungan dengan pemerian dan
analisis tentang cara-cara bahasa beroperasi dan digunakan oleh kelompok
penutur tertentu pada waktu tertentu (Robins dalam Alwasilah, 1985: 110).
Studi deskriptif ini tidak memuat acuan banding kepada pemerian bahasa
pada periode sebelumnya. Tidak pula memuat studi acuan kepada bahasa lain
pada periode yang sama. Menurut Sudaryanto (1988: 62), istilah deskriptif
menyarankan bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata berdasarkan pada
fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-
penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang
biasa dikatakan. Bahwa perian yang deskriptif itu tidak mempertimbangkan benar
salahnya penggunaan bahasa oleh penutur, hal itu memang merupakan cirinya
yang pertama dan terutama. Berikut adalah ide-ide Boas tentang ciri
struktural suatu bahasa : (1) kategori gramatikal, setiap bahasa memiliki sistem
20
gramatikal dan sistem fonetik masing-masing. Sistem fonetik digunakan sesuai
dengan kebutuhan makna oleh karena itu, unit dasar bahasa adalah kalimat, (2)
pronomina kata ganti, tidak ada orang pertama jamak, karena kata ganti itu tidak
tetap, dan (3) verba memiliki sifat arbitrari dan berkembang tidak merata pada
berbagai bahasa.
2.2 Keunggulan Aliran Linguistik Deskriptif
Aliran linguistik deskriptif memiliki beberapa keunggulan berikut:
(a) memerikan bahasa Indian dengan cara yang baru secara sinkronis.
(b) menolak aliran linguistik mentalistik karena tidak sejalan dengan iklim filsafat
yang berkembang pada masa itu, yaitu behaviorisme.
(c) sudah mengelompokkan kategori gramatikal, verbal, dan pronomina kata
ganti.
(d) terjalinnya hubungan yang baik antar sesama linguis.
(e) mimiliki cara kerja yang sangat menekankan pada pentingnya data yang
objektif untuk memerikan suatu bahasa.
2.3 Kelemahan Aliran Linguistik Deskriptif
Aliran deskriptif memiliki kekurangan karena sama sekali tidak
memperhatikan aspek makna atau semantik. Karena sangat dipengaruhi oleh
psikologi behaviorisme, aliran ini lebih cenderung menganalisis fakta-fakta bahasa
secara objektif dan nyata, terutama fonologi dan morfologi. Makna diabaikan
karena dianggap sangat subjektif, tidak konkret.
3. Aliran Linguistik Fungsional
3.1 Konsep Aliran Linguistik Fungsional
Secara umum, aliran linguistik fungsional dipahami sebagai gerakan linguistik
yang beranggapan bahwa struktur fonologis, gramatikal, dan semantik ditentukan
oleh fungsi yang dijalankannya di dalam masyarakat (Kridalaksana, 2008: 68).
Aliran yang dipelopori oleh Roman Jakobson dan Andre Martinet ini memiliki
peranan penting dalam sejarah perkembangan linguistik, terutama dalam upaya
21
menjembatani kesenjangan yang terbentang antara linguistik struktural Amerika
dan linguistik struktural Eropa. Linguistik struktural Eropa banyak dipengaruhi oleh
gagasan fungsi-fungsi linguistik yang menjadi ciri khas aliran Praha.
Jejak aliran fungsional sebenarnya sudah terlihat pada masa berkembangnya
aliran Praha. Trubeckoj, seorang tokoh aliran Praha, telah berupaya mewujudkan
gagasaミ fuミgsioミal iミi. Melalui tulisaミミya, ia perミah マeミgatakaミ さ…the phonemes
is first of all a functional concept, which must be defined according to its functionざ
ふ… fonem-fonem merupakan hal utama dari seluruh konsep fungsional yang harus
mengacu kepada fungsinya) (dalam Samsuri, 1988: 28). Trubeckoj sudah berupaya
membatasi fonem menurut fungsinya. Fungsi inilah yang mendasari gagasan
fungsional Jakobson dan Martinet.
Gagasan fungsi bahasa menempati kedudukan penting karya-karya Jakobson.
Jakobson tidak hanya memasukkan unsur-unsur yang istimewa, tetapi juga
memasukkan fungsi aktivitas bahasa – hal yang juga pernah dikemukakan oleh Karl
Buhler dengan konsepsi yang berbeda. Menurut Jakobson, ada enam fungsi bahasa
manusia, yakni fungsi-fungsi ekspresif, konatif, denotatif, fatik, metalinguistik, dan
puitik. Keenam fungsi bahasa manusia ia gambarkan sebagai berikut:
Enam Fungsi Bahasa
denotative (inferensial)
ekspresif fatik konatif
metalinguistik
puitik
Fungsi ekspresif berpusat pada pembicara yang ditunjukkan oleh penggunaan
interjeksi-interjeksi. Fungsi konatif berpusat pada pendengar yang ditunjukkan
oleh unsure-unsur vokatif dan imperative. Fungsi denotatif berpusat pada konteks,
yang ditunjukkan oleh penggunaan pernyataan-pernyataan faktual dalam pelaku
ketiga dan dalam suasana hati indikatif. Fungsi fatik berpusat pada kontak yang
ditunjukkan oleh adanya jalur yang tidak terputus antara pembicara dan
22
pendengar. Misalnya, dalam pembicaraan melalui telefon, kata-kata けhello,
ya..ya…, heehげ diguミakaミ uミtuk マeマbuat jelas bahwa seseoraミg マasih
mendengarkan dan menunjukan jalur percakapan tidak terputus. Fungsi
metalinguistik berpusat pada kode yang berupa bahasa pengantar ilmu
pengetahuan, biasanya berisi rumus-rumus atau lambang tertentu. Fungsi puitik
berpusat pada pesan.
Enam fungsi bahasa ini dihubungkan atau disejajarkan Jakobson dengan
enam faktor bahasa di sisi lainnya. Keenam faktor bahasa tersebut adalah:
Enam Faktor Bahasa
Konteks (context)
Pembicara pesan (message) pendengar
Hubungan (contact)
Kode (code)
3.2 Pentingnya Kajian Diakronik
Jakobson adalah orang pertama yang mengatakan pentingnya studi fonologi
diakronik. Ia mendeskripsikan evolusi fonologis bahasa Rusia. Uraiannya ini
dikaitkan dengan masalah-masalah fonologi historis. Metode kerja Jakobson ini
bertentangan dengan dikotomi sinkronik – diakronik yang dikemukakan Saussure.
Menurut Saussure, kedua studi itu seharusnya dipisahkan. Tetapi Jakobson
mendapat dukungan dari hasil diskusi sejumlah ahli di Hague yang menyatakan
bahwa dikotomi Saussure itu harus dibatasi, dan sejarah bahasa jangan dikerdilkan
ke dalam kajian perubahan yang terisolasi, melainkan harus dikaji dalam sistem
bahasa itu sendiri (Samsuri, 1988: 30).
Jakobson menyatakan dengan tegas bahwa tidak akan ada kajian sinkronik
tanpa adanya kajian diakronik. Sekali lagi, pendapatnya berbeda atau
bertentangan dengan rezim Saussure yang mengatakan bahwa kajian diakronik
mempraanggapkan kajian sinkronik. Menurut Jakobson, perubahan bahasa
merupakan bagian dari sistem bahasa, dalam bentuk kecenderungan stilistik (ciri
khas orang muda dan tua atau ciri khas kaum tradisional dan modern) dan
23
kecenderungan modifikasi dari tuturan individu. Gagasan ini terus muncul dalam
pikiran Jakobson, diperbaiki dan disesuaikan selaras dengan perkembangan
teorinya. Sinkroni tidak harus dipahami secara statis, melainkan harus dipahami
secara dinamis. Aspek sinkromik filem, misalnya, bukanlah ragangan atau
seperangkat ragangan yang masing-masing dinilai secara terpisah, melainkan harus
dinilai secara serentak. Sebaliknya, gambar yang mengiklankan filem, yang berupa
sebuah poster, bersifat statis. Jika gambar tersebut dibiarkan berlama-lama di
sebuah bioskop, dan tentu saja mengalami banyak perubahan (misalnya
gambarnya menjadi buram, cahaya pudar, dan sebagainya), maka tidak ada yang
dapat mencegah siapa pun untuk mengkajinya sebagai sebuah karya diakronik
yang statis.
Penafsiran perubahan, kata Jakobson, harus bersifat teleologis (segala
sesuatu dirancang untuk memenuhi tujuan tertentu) dalam pengertian tujuan,
bukan dalam pengertian sebab. Sebab-sebab akhir perubahan bahasa harus terus-
menerus dicari. Sebuah simpulan sistematis dari teori ini ditemukan di dalam esai
Jakobsoミ yaミg berjudul さPrinzipien der Historichen Phonologie” yang terbit pada
tahun 1931.
Selain hal di atas, Jakobson juga memberi sumbangan yang penting bagi
penderita afasia (gejala kehilangan kemampuan menggunakan maupun
memahami kata-kata karena suatu penyakit otak) dan bagi bahasa anak. Gangguan
afasia dibagi Jakobson ke dalam dua kelompok, yakni:
(1) similarity disorders yang mempengaruhi seleksi dan subtitusi item dengan
stabilitas kombinasi dan konstektur yang bersifat relatif dan
(2) contiguity disorders yang seleksi dan subtitusinya secara relatif normal,
sedangkan kombinasi rusak dan tidak gramatikal, urutan kata kacau, hilangnya
infleksi dan preposisi, konjungsi, dan sebagainya.
Jakobson melihat semua ini sebagai sebuah dikotomi yang merupakan ciri khas
proses simbolik apapun.
Kesungguhan pada kajian dikotomi, untuk menafsirkan fakta bahasa dalam
hubungan dwimatra (binary), sangat menonjol pada setiap aspek gagasan
Jakobson. Siapa pun dapat melihat ketidaksepakatannya dengan ciri linear
significant Saussure. Menurut Jakobson, unsur bahasa itu dapat birsifat simultan.
24
Ciri pembeda, yang terjadi simultan dengan cirri yang lain, berkaitan dengan
batasan Sauusure tentang opositif dan diferensial. Yang merupakan ciri khas
Jakobson bukanlah analisis fonem ke dalam ciri distingtif, melainkan ciri dwimatra.
Fonem bagi Sauussure bukan unsur opositif. Fonem itu tidak dikaitkan dengan
opositnya, tetapi dikaitkan dengan ciri distingtifnya. Fonem ditandai oleh ada atau
tidaknya kualitas yang diberikan.
Jakobson juga menekankan pentingnya korelasi-korelasi fonologis sebagai
untaian perbedaan-perbedaan arti yang terpisah. Menurut buku Jakobson dan
Halle Fundamentals of Language, 1956, fonologi memiliki ciri-ciri expressive,
configurative, dan distinctive. Eexpressive meletakkan tekanan pada bagian ujaran
yang berbeda atau pada ujaran yang berbeda; menyarankan sikap emosi
pembicara . Configurative, menandai bagian ujaran ke dalam satuan-satuan
gramatikal dengan memisahkan ciri kulminatifnya satu persatu, atau dengan
memisahkan batasannya (ciri-ciri demarkatif). Distinctive bertindak untuk
memperinci satuan-satuan linguistik, ciri-ciri itu terjadi secara serempak dalam
untaian yang berujud fonem. Fonem-fonem dirangkaikan ke dalam urutan. Pola
dasar urutan serupa itu berujud suku kata. Dalam setiap suku kata terdapat bagian
yang lebih nyaring yang berupa puncak. Puncak itu berisi dua fonem atau lebih,
maka salah satu darinya adalah puncak fonem atau puncak suku kata. Andre
Maertinet, tokoh penting linguistic fungsional lainnya, mengembangkan teori-teori
mengenai fonologi deskriptif, fonologi diakronis, dan sintaksis. Pandangan
linguistik umumnya merupakan sumbangan pemikiran penting bagi linguistik
modern. Fonologi sebagai fonetik fungsional harus berdasarkan fakta-fakta dasar
atau mengetahui fungsi-fungsi perbedaan bunyi bahasa sebagaimana mestinya.
Martinet mencurahkan perhatian pada fonologi diakronis dengan mencoba
membuat deskripsi murni. Fonologisasi dan defonologisasi direkam, disertai
keterangan tentang perubahan-perubahan menurut prinsip-prinsip umum. Kriteria
interpretasi dasar diberikan oleh dua unsur yang berlawanan: (1) efisiensi dalam
komunikasi, dan (2) tendensi pada upaya yang minimum. Ia juga menyatakan,
analisis fonem ke dalam ciri-ciri distingtif, yang mengungkapkan adanya korelasi-
korelasi sebuah fonem yang terintegrasi dalam untaian korelatif, akan menjadi
25
stabil. Selain itu, dikembangkan pula artikulasi rangkap yang menarik dan
menggarisbawahi pada fungsi sintaksis sebagai gagasan yang sentral.
Gagasannya ini berupa kelanjutan wawasan fungsional yang telah disarankan
oleh Sekolah Praha. Fungsi-fungsi bahasa dan fungsi-fungsi unsur linguistik sebagai
suatu sistem unsur-unsur atau struktur unsur-unsur dipelajari untuk menjelaskan
perbedaan bahasa dengan sistem tanda buatan yang mungkin distrukturkan dalam
suatu cara yang sama, tetapi tak dapat memiliki fungsi-fungsi yang sama seperti
bahasa. Pandangan struktural itu dapat dirujukkan kembali dengan pandangan
fungsional, tetapi hal itu bagi Martinet adalah pelengkap logisnya. Pilihan nama
fungsional sebagai pengganti struktural, menunjukkan bahwa aspek fungsional
paling membuka pikiran, dan hal itu tidak mesti dipelajari secara terpisah dari yang
lain.
Kemunculan aliran fungsional dalam bidang linguistik merupakan kontribusi
dari berbagai bidang ilmu di antaranya adalah antropologi, sosiologi, dan psikologi
yang menganut strukturalisme. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh besar Saussure
hingga Chomsky. Fungsionalisme dalam kajian ini kemudian lebih dikenal dengan
sebutan Struktural Fungsional. Fungsionalisme adalah gerakan dalam linguistik
yang berusaha menjelaskan fenomena bahasa dengan segala manifestasinya dan
beranggapan bahwa mekanisme bahasa dijelaskan dengan konseuensi-
konsekuensi yang muncul kemudian dari mekanisme itu sendiri. Wujud bahasa
sebagai sistem komunikasi manusia tidak dapat dipisahkan dari tujuan berbahasa,
sadar atau tidak sadar. Konsep utama dalam fungsionalisme ialah fungsi bahasa
dan fungsi dalam bahasa. Sikap fungsionalistis terhadap fungsi bahasa sebagai
berikut.
a. Analisis bahasa mulai dari fungsi ke bentuk.
b. Sudut pandang pembicara menjadi perspektif analisis.
c. Deskripsi yang sistematis dan menyeluruh tentang hubungan antara fungsi dan
bentuk.
d. Pemahaman atas kemampuan komunikatif sebagai tujuan analisis bahasa.
e. Perhatian yang cukup pada bidang interdisipliner, misalnya sosiolinguistik dan
penerapan linguistik pada masalah praktis, misalnya pembinaan bahasa.
26
3.3 Keunggulan Aliran Linguistik Fungsional
Aliran lingustik fungsional memiliki keunggulan-keunggulan sebagai berikut.
a. Pada khasanah kebahasaan, linguistik Fungsional sangat mempengaruhi tata
bahasa dalam perkembangan linguistik sebelumnya, sekaligus membuka
cakrawala baru agar aspek fungsional menjadi pertimbangan penelitian bahasa.
Dengan menelurkan istilah fungsional, praktis landasan yang digunakan dalam
melihat bahasa (tataran fonologi, morfem, dan sintaksis) adalah fungsi.
Keunggulan lain aliran ini adalah: kita dapat mengetahui bahwa setiap fonem
(bunyi) itu memiliki fungsi, sehingga dapat membedakan arti. Setiap monem
(istilah Martinet) yang diartikulasikan memiliki isi dan ekspresi. Dengan begitu
dapat dilihat fungsinya. Kemudian pada tataran yang lebih besar, yaitu
sintaksis, aliran ini menekankan pada fungsi preposisi dan struktur kalimat.
Maksudnya, unsur linguistik dalam sebuah kalimat dapat dijelaskan dengan
merujuk pada fungsi sehingga ditemukan pemahaman logis yang utuh. Jadi,
aliran ini telah berhasil melihat setiap komponen bahasa berdasarkan fungsi
dan menginspirasi gagasan adanya relasi antara struktur dan fungsi bahasa.
b. Dalam dunia sastra, gagasan Jakobson tentang enam fungsi bahasa menjadi
pijakan dalam menelaah karya sastra. Idenya tersebut melahirkan istilah model
komunikasi sastra, yang memusatkan pada pesan yang terkandung dalam karya
sastra. Model ini banyak diadopsi untuk menggali fungsi bahasa dalam wacana
baik wacana ilmiah maupun nonilmiah, sastra maupun nonsastra.
3.4 Kelemahan Aliran Linguistik Fungsional
Aliran lingustik fungsional memiliki kelemahan-kelenahab sebagai berikut.
a. Gagasan fungsional tidak menyentuh secara mendalam komponen makna dalam
pengkajian bahasa. Pada tataran sintaksis, hanya disebutkan adanya fungsi
dalam setiap struktur bahasa, namun tidak menjelaskan terminologi apa saja
yang tercakup di dalamnya. Selanjutnya, bagaimana menyusun kalimat yang
benar berdasarkan fungsi pun tidak jelas. Demikian halnya pada tataran fonologi
dan morfologi. Jadi, kelemahan aliran ini adalah tidak mampu menguraikan
27
fungsi unsur linguistik lebih rinci, khsususnya .pada tataran sintaksis. Dalam
struktur kalimat, gagasan aliran ini tidak menjelaskan komponen apa saja yang
tercakup dalam aspek fungsional. Sebagaimana kita ketahui, ada fungsi lain
dalam kalimat yaitu fungsi semantis dan fungsi pragmatis.
b. Sementara dalam dunia sastra, fungsi bahasa yang dinyatakan oleh Jakobson,
ketika diterapkan dalam menganalisis karya sastra memiliki kekurangan. Model
komunikasi sastra Jakobson tidak memperhatikan potensi kebahasaan yang lain
seperti mengabaikan relevansi sosial budaya. Padahal, sosial budaya memainkan
peranan penting dalam memahami makna bahasa, terlebih dalam karya sastra
karena di dalamnya melibatkan aspek sosio cultural yang sangat kental.
Mengacu pada model komunikasi sastra, karya sastra hanya bertumpu pada
pesan yang disampaikan, padahal pemahaman karya sastra sangat bergantung
pada pemahaman pembaca. Adanya unsur keterkaitan intertektualitas dan
intratekstualitas dalam memahami karya sastra perlu diperhatikan karena setiap
karya sastra tidak ada yang berdiri sendiri.
D. Aktivitas Pembelajaran
Aktivitas pembelajaran dilakukan dengan mekanisme tertentu melalui
tahapan berikut:
(1) Pengantar Instruktur
Instruktur membuka pertemuan dan menyampaikan materi yang akan
dibahas atau didiskusikan. Instruktur dapat membentuk kelompok-
kelompok diskusi peserta bila diperlukan.
(2) Curah Pendapat
a. Instruktur meminta peserta pelatihan melakukan curah pendapat
tentang aliran linguistik struktural, deskriptif, dan fungsional dalam
kelompok peserta 3 – 4 orang.
b. Instruktur kemudian merangkum hasil curah pendapat secara pleno dan
menuliskannya pada slide power point.
(3) Diskusi Mengelaborasi Kompetensi
28
a. Peserta diminta mendiskusikan/mengelaborasi tujuan, kompetensi ,dan
indikator pencapaian kompetensi (IPK) terkait materi pembelajaran Aliran-
aliran Linguistik.
b. Instruktur mengimbau peserta pelatihan untuk berbagi pendapat tentang
tujuan, kompetensi, dan IPK (instruktur meminta seorang peserta
untuk menulis hasil diskusi mereka dengan menggunakan power
point)
c. Instruktur bersama peserta menyelaraskan tujuan, kompetensi, dan IPK
hasil diskusi dengan tujuan yang telah dipersiapkan oleh instruktu
(4) Mengisi Lembar Kerja (LK)
a. Peserta (dalam kelompok peserta 3-4 orang) diminta mengisi LK yang
telah dipersiapkan. Instruktur membimbing peserta mengisi LK (instruktur
dapat menayangkan informasi yang telah disiapkan).
b. LK dapat berupa pertanyaan atau penugasan yang berorientasi kepada
tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan.
c. Peserta kembali merampungkan LK sampai tuntas dibimbing oleh
instruktur (catatan : peserta dapat menuntaskan lembar kerja diluar jam
pelatihan).
(5) Menyajikan hasil LK
a. Presentasi hasil pengisisan LK oleh 5 orang guru yang ditunjuk oleh
instruktur (penunjukan secara acak oleh instruktur
disepakati sebelumnya bersama peserta).
b. Setiap peserta lainnya mengisi pedoman observasi.
(6) Refleksi
Instruktur bersama-sama dengan peserta melakukan refleksi/kaji ulang
atas seluruh rangkai pembelajaran yang telah dilakukan; mengapresiasi
hasil-hasil yang telah dicapai atau yang belum tercapai; mengevaluasi
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar.
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN
BAHASA INDONESIA
BAB II
HAKIKAT BAHASA DAN
PEMEROLEHAN BAHASA
Drs. Azhar Umar, M.Pd
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
1
BAB II
HAKIKAT BAHASA DAN PEMEROLEHAN BAHASA
A. Tujuan
Setelah mempelajari sumber belajar ini, guru diharapkan memiliki
pemahaman terhadap konsep hakikat bahasa, hakikat pemerolehan bahasa, dan
jenis-jenis pemerolehan bahasa dengan baik
B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi
Kompetensi Guru Indikator Pencapaian Kompetensi
Memahami hakikat bahasa dan
pemerolehan bahasa.
2.1 Mengidentifikasi konsep hakikat bahasa.
2.2 Mengidentifikasi konsep pemerolehan
bahasa (fonologi)
2.3 Mengidentifikasi konsep pemerolehan
bahasa (morfologi).
2.4 Mengidentifikasi konsep pemerolehan
bahasa (sintaksis).
2.5 Mengidentifikasi konsep pemerolehan
bahasa (semantic)
2.6 Mengidentifikasi konsep pemerolehan
bahasa (pragmatik).
2.7 Membedakan pemerolehan dan
pembelajaran bahasa
2.8 Menentukan tahapan pemerolehan
bahasa anak
2.9 Mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi pemerolehan bahasa
2
C. Uraian Materi
1. Hakikat Bahasa
Menurut Keraf (1984: 16), bahasa adalah alat komunikasi antar-anggota
masyarakat, berupa lambang bunyi suara, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Meskipun batasan bahasa yang dikemukakan Keraf ini terlihat sangat sederhana,
apa yang menjadi hakikat bahasa dan lambang bunyi suara itu tidaklah serta merta
dapat dipahami dan disepakati dengan mudah oleh semua pihak. Untuk
mempermudah pemahaman kita mengenai hal tersebut, baiklah kita simak
ilustrasi berikut ini.
Bila seorang asing berbicara dalam bahasa yang tidak kita pahami, yang
terdengar kepada kita hanyalah bunyi yang berselang-seling yang rumit sekali.
Dalam waktu yang relatif lama, barulah bunyi-bunyi tersebut dapat kita beda-
bedakan. Bunyi-bunyi dan urutannya akan semakin jelas kepada kita karena ia
berulang. Apabila kita akhirnya memahami bahasa tersebut, maka tampaklah
kepada kita bahwa ada aturan-aturan yang menguasai pemakaian bunyi dan
urutan-urutannya itu.
Di dalam bahasa Inggeris, misalnya, tidak terdapat bunyi (ny) seperti yang
terdapat di dalam bahasa Indonesia nyinyir atau nyonya. Bunyi (ng) di dalam
bahasa asing itu tidak pernah terdapat di awal kata, seperti yang terdapat di dalam
kata bahasa Indonesia ngeri, misalnya. Sebaliknya, ada juga urutan-urutan bunyi di
dalam bahasa Inggeris, seperti (spl) atau (spr), yang terdapat di dalam kata-kata
splash dan spring, yang tidak terdapat di dalam bahasa Indonesia.
Di dalam bahasa Inggeris terdapat kata-kata majemuk, seperti flower garden
atau bus station, yang kata keduanya merupakan pokok dan kata pertama
menjelaskan kata kedua. Di dalam bahasa Indonesia terjadi hal yang sebaliknya.
Kata-kata majemuk seperti stasiun bus atau kebun bunga, justru kata-kata
pertamanyalah yang menjadi pokok, sedangkan kata kedua menjadi penjelas kata
pertama.
Dari contoh-contoh di atas, dan banyak lagi contoh lainnya yang dapat
dikemukakan di sini, jelaslah bahwa tiap bahasa memiliki aturan-aturannya sendiri
yang menguasai hal-hal bunyi dan urutan-urutanny, hal-hal kata dan susunannya,
3
dan sebagainya. Dapatlah disimpulkan bahwa bahasa itu sesungguhnya adalah
kumpulan pola-pola, kumpulan kaidah-kaidah yang kemudian disebut sistem. Jadi,
bahasa adalah sistem unsur-unsur dan kaidah-kaidah.
Bila pertama kali kita melihat sebuah benda, dan orang yang memahami
beミda itu マeミyebutミya deミgaミ けjaマげ, maka urutan bunyi /j/, /a/, dan /m/ kita
asosiasikan dengan benda tersebut. Kemudian, meskipun benda tersebut tidak
lagi berada di hadapan kita, bila kita mendengar seseorang mengucapkan urutan
bunyi itu, maka kita akan serta-merta mengasosiasikannya dengan benda tersebut.
Demikianlah, terjadinya proses asosiasi antara bunyi-bunyi (baik berupa kata
maupun kalimat) dengan sesuatu (benda maupun konsep) menunjukkan
ketinggiasn akal budi manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Urutan bunyi
/j/, /a/, dan /m/ itu, dalam pikiran manusia, ternyata adalah lambang-lambang
yaミg berdiri uミtuk sesuatu yaミg laiミ yaミg dapat diteraミgkaミ sebagai さ“esuatu yaミg
terdiri atas berbagai roda kecil yang digerakkan oleh beberapa per, yang
ditempatkan di dalam sebuh kotak besar atau kecil, dan yang fungsinya untuk
マeミuミjukkaミ waktu.ざ “eperti diketahui, sesuatu yaミg berdiri uミtuk sesuatu yaミg
lain disebut tanda. Dengan demikian jelaslah bahwa bahasa itu sesungguhnya
adalah sistem tanda.
Tidak terdapat hubungan logis atau rasional antara bunyi-bunyi bahasa
dengan sesuatu yang dilambangkannya. Untuk menjelaskan hal ini, ambillah
konsep K sebagai kasus. K adalah binatang berkaki empat, berkuku satu dan
banyak dijinakkan untuk keperluan manusia, baik untuk membantunya sebagai
binatang poenarik maupun untuk hiburan di dalam pacuan. Orang Indonesia
menyebut konsep K ini dengan urutan bunyi [k-u-d-a]; orang Inggeris menyebutnya
[h-o-r-s-e], dan orang Jawa menyebutnya dengan [j-a-r-a-n]. Sekiranya ada
hubungan yang rasional atau logis antara bunyi-bunyi dengan bendanya, tentulah
tidak akan ada perbedaan urutan bunyi di dalam bahasa-bahasa di dunia ini untuk
konsep yang sama, seperti contoh-contoh yang telah diberikan di atas. Jadi
jelaslah, tidak ada hubungan yang rasional dan logis antara bunyi-bunyi sebagai
lambang dengan sesuatu yang dilambangkannya. Dengan kata-kata lain, urutan
bunyi dalam satu bahasa bersifat mana suka atau arbitrer.
4
Kecil pula kemungkinan bagi seseorang untuk mengganti urutan bunyi dalam
bahasanya untuk sebuah konsep yang sudah ada. Betapa pun diktatornya
kekuasaan seseorang di suatu tempat, tidak mungkin baginya mengganti urutan
bunyi [k-u-d-a], untuk konsep yang telah dikemukakan di atas, dengan urutan
bunyi lain, misalnya menjadi [k-r-a-u]. Jika pun dimungkinkan, maka penggantian
urutan bunyi bahasa itu haruslah mendapat persetujuan atau kesepakatan
sejumlah besar masyarakat pemakai bahasa. Dari deskripsi di atas dapatlah
disimpulkan bahwa urutan-urutan bunyi itu mestilah mencapai sifat konvensional
untuk dapat dianggap sebagai kata-kata di dalam bahasa itu. Sifat inilah yang
menentukan, baik perubahan arti maupun hidup dan matinya kata-kata dalam satu
bahasa.dapatlah disimpu;lkan bahwa
Dari seluruh paparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa hakikat bahasa itu
dicirikan oleh empat hal, yakni (1) bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia, (2) bahasa adalah sistem tanda, (3) bahasa itu arbitrer/mana
suka, dan (4) bahasa bersifat konvensional (lihat Samsuri, 1981: 9-12)
2. Pemerolehan Bahasa
2.1 Konsep Pemerolehan Bahasa
Simanjuntak (1987: 157) mengatakan, proses pemerolehan bahasa adalah
proses-proses yang berlaku di dalam otak seorang kanak-kanak (bayi) sewaktu
memperoleh bahasa ibundanya. Ditambahkan Simanjuntak bahwa proses itu
berlangsung tanpa disadari oleh kanak-kanak itu sendiri. Kiparsky mengajukan
batasan yang lebih kompleks lagi. Menurut Kiparsky (dalam Tarigan, 1985: 243).
pemerolehan bahasa atau language acquisition adalah suatu proses yang
digunakan anak-anak untuk menyesuaikan seperangkan hipotesis yang makin
bertambah rumit, atau pun teori-teori yang masih terpendam, dengan ucapan-
ucapan orang tuanya sampai dia memilih, berdasrkan suatu ukuran atau takaran
penilaian, tata bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa
tersebut. Kanak-kanak melihat dengan pandangan yang cerah akan kenyataan-
kenyataan bahasa yang dipelajarinya dengan melihat tata bahasa asli orang
tuanya, serta pembaharuan-pembaharuan yang telah mereka perbuat, sebagai
tata bahasa tunggal. Kemudian, dia menyusun atau membangun suatu tata bahasa
5
yang baru serta yang disederhanakan dengan pembaharuan-pembaharuan yang
dibuatnya sendiri.
Berbicara mengenai pemerolehan bahasa, kita tidak dapat melepaskan diri
dari berbicara mengenai alat pemerolehan bahasa (language acquisition device
atau LAD). LAD merupakan alat hipotetis yang – berdasarkan input data linguistik
primer suatu bahasa – menghasilkan output yang terdiri atas tata bahasa yang
adekuat secara deskriptif bagi bahasa tersebut. Skema ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
Peralatan pemerolehan bahasa haruslah merupakan keberdikarian bahasa
(language independent), yaitu mampu memelajari setiap bahasa manusia yang
mana saja dan harus menyediakan serta menetapkan suatu batasan pengertian
atau gagasaミ けbahasa マaミusiaげ ふChoマsky dalaマ Tarigaミ, ヱΓΒ5: 2ヴヴぶ. Ada yaミg
mengatakan bahwa LAD adalah sejenis kotak hitam atau black box di dalam otak
manusia.
Dari wacana di atas dapat ditarik simpulan adanya suatu model pemerolehan
(acquisition model) bahasa. Yang dimaksud dengan model pemerolehan adalah
suatu siasat yang digunakan anak-anak untuk menyusun tata bahasa yang tepat
bagi bahasanya – untuk memelajari bahasanya – berdasarkan suatu sampel data
linguistik utama yang terbatas.
2.2 Pemerolehan Bahasa Anak
Para ahli umumnya setuju bahwa penelitian mengenaai pemerolehan bahasa
kanak-kanak sangat perlu dilakukan dan dikembangkan. Setidaknya, ada tiga
alasan penelitian tersebut penting dilakukan, yakni:
(1) bahwa hal itu sendiri memang menarik,
Data linguistik
primer
Sistem LAD Tata bahasa
6
(2) hasil-hasil dari telaah pemerolehan bahasa dapat memancarkan cahaya terang
pada aneka rona masalah pendidikan dan pengobatan, seperti pengobatan
afasia, hambatan ujaran, dan perkembangan kognitif,
(3) bahwa selama telaah pemerolehan bahasa dapat memperkuat atau
memperlemah kategori-kategori kesemestaan yang telah dipatokkan oleh
teori-teori linguistik dengan suatu dasar mentalis secara eksplisit, maka jelas
bahwa fenomemna pemerolehan bahasa itu relevan dengan perkembangan
toeri linguistik.
Memang banyak linguis dan nonlinguis yang telah mengadakan telaah
mengenai pemerolehan bahasa tanpa membuat suatu upaya nyata untuk
membatasi serta menetapkan bagimana hasil-hasil telaah mereka dapat
diterapkan, dan tanpa keinginan untuk membuktikan sesuatu mengenai hakikat
bahasa. Hasil pendekatan yang agak kausal ini merupakan hasil observasi yang
sudah pasti cenderung menjadi bersifat anekdot dan karena itu merupakan sifat
yang tidak sistematis. Tambahan lagi, kurangnya teori pemerolehan bahasa yang
logis yang berarti bahwa mata rantai antara data dengan apa kita sebut sebagai
さfakta-faktaざ peマerolehaミ bahasa itu suミgguh-sungguh sangat lemah dan kurang
mempersatukan. Misalnya adalah: sukar melukiskan -- apalagi menjelaskan fakta-
fakta perkembangan ujaran yang lamban – dengan tepat apa yang wajar.
Sayangnya , kita sulit sekali mengetahui hal-hal yang membangun serta menunjang
perkembangan ujaran yang normal. Hal ini sebagian ada sangkut-pautnya dengan
kesukaran-kesukaran praktis yang banyak sekali terlibat dalam penelaahan ujaran
kanak-kanak, tetapi juga ada kaitannya dengan kenyataan bahwa belum ada teori
linguistic yang tersedia yang menyajikan peralatan-peralatan yang cukup terperinci
untuk memudahkan atau memungkinkan kita melukiskan fakta-fakta atau
mendaftarkannya secara luas mencakup banyak hal.
Walaupun di atas telah dikemukakan pentingnya penelitian terhadap
pemerolehan bahasa anak, namun kita tidak dapat menutup mata akan adanya
kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi dalam penelitian tersebut. Berikut ini
dikemukakan beberapa indikasi atau petunjuk kesulitan-kesulitan praktis dan
teoritis yang terlibat dalam penelitian pemerolehan bahasa. Pertama, sukar
7
meneliti data input, yaitu jumlah dan hakikat ujaran (data linguistic primer) yang
harus diungkap oleh anak-anak selama masa dua atau tiga tahun.
Kedua, sulit menelaah data output (ucapan-ucapan yang dihasilkan anak).
Biasanya, kita memerlukan sejumlah informasi yang situasional untuk menentukan
マakミa uIapaミ seoraミg aミak. Misalミya saja, uIpaミ seoraミg aミak さIbu airざ yaミg
マuミgkiミ berarti けibu マeミgaマbil airげ atau けibu マiミuマ airげ, daミ sebagaiミya.
Haruskah kita hanya dengan mengatakan bahwa ucapan itu terdiri atas nomina +
nomina saja?
Ketiga, sulit menelaah hubungan input – output. Hal ini teutama disebabkan
oleh kenyataan bahwa mungkin ada kesenjangan waktu antara apa yang didengar
oleh anak-anak dengan apa yang diucapkannya.
Keempat, sungguh sulit menguji kompetensi anak-anak serta memisahkan
variabel-variabel performansinya. Bagaimana kita mengetahui bahwa anak-anak
sudah membuat suatu kesalahan dari kompetensi yang seharusnya ? Anak-anak
merupakan komponen yang sangat sulit diuji.
Pada bagian terdahulu sudah disinggung mengenai model pemerolehan atau
acquisition model. Sekarang, kita menelaah apa sajakah yang terlibat dalam
konstruksi atau penyusunan model pemerolehan bahasa. Seorang anak yang
mampu belajar bahasa haruslah memiliki:
(1) teknik untuk menggambarkan tanda-tanda inpu,
(2) cara menggambarkan informasi structural mengenai tanda-tanda ini,
(3) metode untuk menentukan apa yang dinyatakan secara tidak langsung atau
diimplikasikan oleh setiap hipotesis serupa itu menghenai setiap kalimat,
(4) metode untuk memilih salah satu dari hipotesis-hipotesis yang sesuai dengan
data linguistic utama tertentu (Tarigan, 1985: 243-247).
2.3 Teori Pemerolehan Bahasa Anak
Teori pemerolehan bahasa pada anak meliputi teori behaviorisme,
nativisme, kognitivisme, dan interaksionisme.
8
2.3.1 Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati
langsung dalam hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response).
Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi (R) yang tepat terhadap
rangsangan/stimulus (S). Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika mendapat
penguatan (reinforcement). Pada saat ini, anak belajar bahasa pertamanya.
Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah
pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata
tersebut. Apabila suatu ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia
tidak akan mendapatkan kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi
seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan
dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama pada anak.
Berikut ini adalah beberapa prinsip behaviorisme:
(1) Teori belajar behaviorisme ini bersifat empiris, didasarkan pada data yang
dapat diamati.
(2) Kaum behavioaris menganggap bahwa (a) proses belajar pada manusia
sama dengan proses belajar pada binatang, (b) manusia tidak mempunyai
potensi bawaan untuk belajar bahasa, (c) pikiran anak merupakan tabula
rasa yang akan diisi dengan asosiasi S-R, (d) semua prilaku
merupakan respon terhadap stimulus dan perilaku terbentuk dalam
rangkaian asosiatif.
(3) Belajar bagi kaum behavioris adalah pembentukan hubungan asosiatif antara
stimulus dan respon yang berulang-ulang sehingga terbentuk kebiasaan.
Pembentukan kebiasaan ini disebut pengondisian.
(4) Pengondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan asosiasi antara S-R.
(5) Bahasa adalah perilaku manusia yang kompleks di antara perilaku-perilaku
lain.
(6) Anak menguasai bahasa melalui peniruan.
(7) Perkembangan bahasa seseorang ditentukan oleh frekuensi dan intensitas
latihan yang disodorkan.
9
B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal
Behavior (1957) yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini. Menurut
aliran ini, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu
organisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain,
dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu
akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan
ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement (penguatan) yang cocok,
perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.
Banyak kritikan diarahkan terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan bahwa
toeri yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak bisa menjelaskan
kalimat-kalimat baru yang diucapkan untuk pertama kali dan inilah yang kita
kerjakan setiap hari. Bower dan Hilgard juga menentang aliran ini dengan
mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak mendukung aliran ini.
Aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat disederhanakan
menjadi hubungan stimulus-respons. Hal tersebut tidaklah benar karena tidak
semua perilaku merupakan respons dari satu stimulus. Beberapa hasil penelitian
membuktikan bahwa sejumlah orang yang mendapatkan stimulus yang sama tidak
serta merta melahirkan respons yang sama. Terdapat variabel-variabel lain yang
memengaruhi reaksi atau respons seseorang terhadap satu stimulus.
2.3.2 Teori Nativisme
Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat
dikuasai oleh manusia, Binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia.
Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku
berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik). Setiap bahasa memiliki pola
perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal) dan lingkungan
memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat
dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak
dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari
orang dewasa.
10
Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga
mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melalui peniruan. Nativisme
juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat
untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat LAD). Mengenai
bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan
oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di
lingkungan Melayu, sudah dapat dipastikan bahwa bahasa Melayu akan menjadi
bahasa pertamanya.
Semua anak yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan oleh
masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak memperoleh
bahasa. Deミgaミ kata laiミ, LAD tidak マeミdapat さマakaミaミざ sebagaiマaミa biasaミya
(Baradja, 1990:33). Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai
bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD
juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan
bunyi bahasa.
2.3.3 Teori Kognitivisme
Aliran kognitivisme berawal dari pernyataan Jean Piaget (1926) yang
berbuミyi さLogical thinking underlies both linguistic and nonlinguistic
developマents.” (Pikiran logis membawahi perkembangan linguistik dan
nonlinguistik). Pernyataan ini memancing para ahli psikologi kognitif menerangkan
pertumbuhan kemampuan berbahasa. Mereka menilai penjelasan Chomsky
tentang hal itu belum memuaskan.
Teori Kognitivisme menjelaskan bahwa bahasa bukanlah suatu ciri alamiah
yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal
dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa
harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di
dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan
perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223).Hal ini tentu saja berbeda dengan
pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari
perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks,
11
abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus
diperoleh secara alamiah.
Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah
perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk
keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai usia anak 18 bulan, bahasa dianggap
belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya. Anak hanya mengenal
benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat
mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai
menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir
dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang
diucapkan anak.
2.3.4 Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan
hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajar dengan lingkungan bahasa.
Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan interaksi antara masukan (input)
dengan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki
LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat
menguasai bahasa tertentu secara otomatis.
Dalam pemerolehan bahasa pertama, anak sangat dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan
berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan
oleh berbagai penemuan, seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia
mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu
kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk., 2006: 2-
3). Akan tetapi, yang tidak boleh dilupakan adalah lingkungan yang juga
merupakan faktor yang memengaruhi kemampuan berbahasa si anak. Banyak
penemuan yang telah membuktikan hal ini.
12
2.4 Jenis-jenis Pemerolehan Bahasa
Darjowidjojo (2003: 244) membagi jenis-jenis pemerolehan bahasa dalam
empat tataran, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Di samping itu,
ada bahasan pula mengenai pemerolehan pragmatik, yakni bagaimana anak
memeroleh kelayakan dalam berujar. Berikut ini penjelasan tentang berbagai jenis
pemerolehan bahasa di atas.
2.4.1 Pemerolehan Fonologi
Pada waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20 % dari otak
dewasanya. Ini berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70%. Karena
perbedaan inilah, maka binatang sudah dapat melakukan banyak hal segera
setelah lahir, sedangkan manusia hanya bisa menangis dan menggerak-gerakkan
badannya. Pada umur sekitar 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi
yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Bunyi-bunyi ini belum dapat
dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Proses
mengeluarkan bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing, yang telah diterjemahkan
menjadi けdekutanげ (Dardjowidjojo 2012:244). Anak mendekutkan bermacam-
macam bunyi yang belum jelas identitasnya. Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai
mencampur konsonan dengan vocal sehingga membentuk apa yang dalam bahasa
Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan menjadi けcelotehanげ.
Celotehan dimulai dengan konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial
hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/, dengan demikian strukturnya
adalah KV.
2.4.2 Pemerolehan Morfologi
Afiksasi bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek morfologi yang
kompleks. Hal ini terjadi karena satu kata dapat berubah maknanya karena proses
afiksasi (prefiks, sufiks, simulfiks). Misalnya, kata satu dapat berubah menjadi:
bersatu, menyatu, kesatu, satuan, satukan, disatukan, persatuan, kesatuan,
kebersatuan, mempersatukan, dan seterusnya. Zuhdi dan Budiasih (1997)
menyatakan bahwa anak-anak mempelajari morfem mula-mula bersifat hapalan.
13
Hal ini kemudian diikuti dengan membuat simpulan secara kasar tentang bentuk
dan makna morfem. Akhirnya, anak membentuk kaidah. Proses yang rumit ini
dimulai pada periode prasekolah dan terus berlangsung sampai pada masa
adolesen.
2.4.3 Pemerolehan Semantik
Menurut beberapa ahli psikologi perkembangan, kanak-kanak memperoleh
makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu demi
satu sampai semua fitur semantik dikuasai, seperti yang dikuasai oleh orang
dewasa (Mc.Neil, 1970, Clark, 1997). Clark secara umum menyimpulkan
perkembangan pemerolehan semantik ini ke dalam empat tahap. Pertama, tahap
penyempitan makna kata. Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu
setengah tahun (1,0 – 1,6). Pada tahap ini, kanak-kanak menganggap satu benda
tertentu yang disebut けgukgukげ hanyalah anjing yang dipelihara di rumah saja, tidak
termasuk yang berada di luar rumah. Kedua, tahap generalisasi berlebihan. Tahap
ini berlangsung antara usia satu setengah tahun hingga dua tahun setengah (1,6 –
2,6). Pada tahap ini, anak-anak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata
secara berlebihan. Jadi, yang dimaksud dengan anjing atau けgukgukげ adalah semua
binatang berkaki empat. Ketiga, tahap medan semantik. Tahap ini berlangsung
antara usia dua setengah tahun sampai usia lima tahun (2,6 – 5,0). Pada tahap ini,
kanak-kanak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu
medan semantik. Pada mulanya, proses ini berlangsung jika makna kata-kata yang
digeneralisasi secara berlebihan semakin sedikit -- setelah kata-kata baru untuk
benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak.
Umpamanya, kalau pada utamanya, kata anjing berlaku untuk semua binatang
berkaki empat, namun setelah mereka mengenal kata kuda, kambing, harimau
maka kata anjing berlaku untuk anjing saja. Kelima, tahap generalisasi. Tahap ini
berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun. Pada tahap ini, kanak-kanak
telah mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa
benda-benda itu mempunyai fitur-fitur semantik yang sama. Pengenalan seperti ini
semakin sempurna ketika usia kanak-kanak itu semakin bertambah. Jadi, ketika
14
berusia antara lima tahun sampai tujuh tahun, misalnya, mereka telah mengenal
apa yang dimaksud dengan hewan.
2.4.4 Pemerolehan Sintaksis
Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu
kata atau bagian kata. Kata ini, bagi anak, sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi
dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata dari seluruh kalimat itu. Yang
menjadi pertanyaan adalah: kata mana yang dipilih? Seandainya anak itu bernama
Fajri dan yang ingin dia sampaikan adalah Fajri mau makan, apakah dia akan
memilih kata jri (untuk Fajri), mau (untuk mau), ataukah kan (untuk makan)? Dari
tiga kata pada kalimat Fajri mau makan, yang baru adalah kan. Karena itulah anak
memilih kan, dan bukan jri, atau mau. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa
dalam ujaran yang dinamakan ujaran satu kata atau USK (one word utterance),
anak tidak sembarangan saja memilih kata itu; dia akan memilih kata yang
memberikan informasi baru.
Dari segi sintaktiknya, USK sangatlah sederhana karena memang hanya terdiri
dari satu kata saja, bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya sebagian
saja dari kata itu. Di samping ciri ini, USK juga mempunyai ciri-ciri yang lain. Pada
awalnya, USK hanya terdiri dari KV saja. Bila kata itu KVK, maka K yang kedua
dilesapkan. Kata mobil, misalnya, akan disingkat menjadi /bi/. Pada
perkembangannya kemudian, konsonan akhir ini mulai muncul. Pada umur 2,0
tahun, misalnya, Echa menamakan ikan sebagai /tan/, persis sama dengan kata
bukan.
Pada awal USK juga tidak ada gugus konsonan. Semua gugus yang ada di awal
atau akhir kalimat disederhanakan menjadi satu konsonan saja. Kata putri (untuk
Eyang putri) diucapkan oleh Echa mula-mula sebagai Eyang /ti/. Ciri lain dari USK
adalah bahwa kata-kata dari kategori sintaktik utama (content words), umumnya
nomina, verba, adjektiva, dan mungkin juga adverbia. Tidak ada kata fungsi,
seperti dari, atau ke. Di samping itu, kata-katanya selalu dari kategori sini dan kini.
Tidak ada yang merujuk kepada yang tidak ada di sekitar atau pun ke masa lalu dan
masa depan. Anak pun juga dapat menyatakan negasi nggak, pengulangan lagi,
dan habisnya sesuatu.
15
Sekitar umur 2,0 tahun, anak mulai mengeluarkan ujaran dua kata atau UDK
(Two Word Utterance). Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga
seolah-olah dua kata itu terpisah. Untuk menyatakan bahwa lampunya telah
マeミyala. EIha マisalミya, bukaミ マeミgatakaミ /laマpuミala/ さlaマpu ミyalaざ tapi
/lampu // nala/. Jadi, berbeda dengan USK, UDK, secara sintaksis, lebih kompleks
tetapi semantiknya makin lebih jelas (Dardjowidjojo, 2003: 265)
2.4.5 Pemerolehan Pragmatik
Jakobson menyatakan bahwa pemerolehan pragmatik anak dipengaruhi oleh
lingkungannya. Di dalam pemerolehan pragmatik, anak tidak hanya berbahasa,
melainkan juga memperoleh tindak berbahasa. Dardjowidjojo (2003: 266)
membagi pemerolehan pragmatik dalam dua teori, masing-masing (1)
Pemerolehan niat komunikatif dan (2) Pemerolehan kemampuan percakapan. Pada
minggu-minggu pertama sesudah lahir, anak mulai menunjukkan niat
komunikatifnya dengan tersenyum, menoleh bila dipanggil, menggapai bila diberi
sesuatu, dan memberikan sesuatu kepada orang lain.
Pemerolehan kemampuan percakapan di tandai dengan struktur percakapan yang
terdiri atas tiga komponen, yaitu (1) pembukaan, (2) giliran, dan (3) penutup. Bila
orang tua menyapanya, atau anak-anak yang menyapa terlebih dahulu, itulah
tanda bahwa percakapan akan dimulai. Pada tahap giliran, akan terjadi pemberian
respons, dan pada bagian penutup, tidak mustahil pula bahwa pertanyaan tadi
tidak terjawab karena anak lalu pergi saja meninggalkan orang tuanya atau beralih
ke kegiatan lain.
D. Aktivitas Pembelajaran
Aktivitas pembelajaran dilakukan dengan mekanisme tertentu melalui tahap-
tahap pembelajaran berikut:
(1) Pengantar Instruktur
Instruktur membuka pertemuan dan menyampaikan materi yang akan dibahas
atau didiskusikan. Instruktur dapat membentuk kelompok-kelompok diskusi
peserta bila diperlukan.
16
(2) Curah Pendapat
a. Instruktur meminta peserta pelatihan melakukan curah pendapat tentang
hakikat bahasa dan pemerolehan bahasa dalam kelompok peserta
3 – 4 orang.
b. Instruktur kemudian merangkum hasil curah pendapat secara pleno
dan menuliskannya pada slide power point.
(3) Diskusi Mengelaborasi Kompetensi
a. Peserta diminta mendiskusikan/mengelaborasi tujuan, kompetensi ,dan
indikator pencapaian kompetensi (IPK) terkait materi pembelajaran
hakikat bahasa dan pemerolehan bahasa.
b. Instruktur mengimbau peserta pelatihan untuk berbagi pendapat tentang
tujuan, kompetensi, dan IPK (instruktur meminta seorang peserta untuk
menulis hasil diskusi mereka dengan menggunakan power point)
c. Instruktur bersama peserta menyelaraskan tujuan, kompetensi, dan IPK
hasil diskusi dengan tujuan yang telah dipersiapkan oleh instruktur.
(4) Mengisi Lembar Kerja (LK)
a. Peserta (dalam kelompok peserta 3-4 orang) diminta mengisi LK yang telah
dipersiapkan. Instruktur membimbing peserta mengisi LK (instruktur dapat
menayangkan informasi yang telah disiapkan).
b. LK dapat berupa pertanyaan atau penugasan yang berorientasi kepada
tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan.
c. Peserta kembali merampungkan LK sampai tuntas dibimbing oleh instruktur
(catatan : peserta dapat menuntaskan lembar kerja diluar jam pelatihan).
(5) Menyajikan hasil LK
a. Presentasi hasil pengisisan LK oleh 5 orang guru yang ditunjuk oleh
instruktur (penunjukan secara acak oleh instruktur disepakati sebelumnya
bersama peserta).
b. Setiap peserta lainnya mengisi pedoman observasi.
(6) Refleksi
Instruktur bersama-sama dengan peserta melakukan refleksi/kaji ulang
atas seluruh rangkai pembelajaran yang telah dilakukan; mengapresiasi
17
hasil-hasil yang telah dicapai atau yang belum tercapai; mengevaluasi
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar.
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN
BAHASA INDONESIA
BAB III
KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN RAGAM
BAHASA INDONESI
Drs. Azhar Umar, M.Pd
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
1
BAB III
KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN RAGAM BAHASA INDONESIA
A. Tujuan
Setelah mempelajari sumber belajar ini, guru diharapkan dapat memahami
kedudukan, fungsi, dan ragam bahasa Indonesia.
B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi
Kompetensi Guru Indikator Pencapaian Kompetensi
3. Memahami kedudukan, fungsi,
dan ragam bahasa Indonesia
3.1 Mengidentifikasi kedudukan bahasa
Indonesia dengan tepat.
3.2 Mengidentifikasi fungsi bahasa
Indonesia sebagai alat pemersatu.
3.3 Mengidentifikasi jenis ragam
tingkat keformalan (beku/ frozen
style)
3.4 Mengidentifikasi jenis ragam tingkat
keformalan (formal)
3.5 Mengidentifikasi jenis ragam tingkat
keformalan (informal)
3.6 Mengidentifikasi jenis ragam tingkat
keformalan (akrab)
C. Uraian Materi
1. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
1.1 Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia yang dipakai sekarang berasal dari bahasa Melayu. Bahasa
tersebut sejak lama digunakan sebagai bahasa perantara (lingua franca) atau
bahasa pergaulan, tidak hanya di Kepulauan Nusantara, tetapi juga di hampir
2
seluruh Asia Tenggara. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya prasasti-prasasti
kuno yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu.
Secara resmi, bahasa Indonesia dikumandangkan pada peristiwa Sumpah
Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Peresmian nama bahasa Indonesia tersebut
bermakna politis sebab bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat perjuangan oleh
kaum nasionalis yang sekaligus bertindak sebagai perencana bahasa untuk
mencapai negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Peresmian nama itu juga
menunjukan bahwa sebelum peristiwa Sumpah Pemuda itu nama bahasa
Indonesia sudah ada. Fakta sejarah menunjukkan bahwa sebelum tahun 1928 telah
ada gerakaミ kebaミgsaaミ yaミg マeミgguミakaミ ミaマa さIミdoミesiaざ daミ deミgaミ
sendirinya pada mereka telah ada suatu konsep tentang bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu, sebagai salah satu bahasa di kepulauan nusantara, sudah
sejak lama digunakan sebagai bahasa perhubungan. Sejak abad ke-7 Masehi,
bahasa Melayu, atau lebih tepatnya disebut bahasa Melayu kuno yang menjadi
cikal bakalnya, telah digunakan sebagai bahasa perhubungan pada zaman kerajaan
Sriwijaya. Selain sebagai bahasa perhubungan, pada zaman itu bahasa Melayu
berfungsi sebagai bahasa kebudayaan, bahasa perdagangan, dan sebagai bahasa
resmi kerajaan. Bukti-bukti sejarah, seperti prasasti Kedukan Bukit di Palembang
bertahun 684, prasasti Kota Kapur di Bangka Barat bertahun 686 , prasasti Karang
Brahi antara Jambi dan Sungai Musi bertahun 688 yang bertuliskan Prae-Nagari
dan berbahasa Melayu kuno, memperkuat dugaan di atas. Selain itu, prasasti
Gandasuli di Jawa Tengah bertahun 632 dan prasasti Bogor bertahun 942 yang
berbahasa Melayu Kuno menunjukan bahwa bahasa tersebut tidak saja dipakai di
Sumatra, tetapi juga dipakai di Jawa. Beberapa alasan lain yang mendorong
dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan adalah (1) bahasa
Indonesia sudah merupakan lingua franca, yakni bahasa perhubungan antaretnis di
Indonesia, (2) walaupun jumlah penutur aslinya tidak sebanyak penutur bahasa
Jawa, Sunda, atau bahasa Madura, bahasa Melayu memiliki daerah penyebaran
yang sangat luas dan yang melampaui batas-batas wilayah bahasa lain, (3) bahasa
Melayu masih berkerabat dengan bahasa-bahasa nusantara lain sehingga tidak
dianggap sebagai bahasa asing lagi, (4) Bahasa Melayu mempunyai sistem yang
sederhana sehingga relatif mudah dipelajari, (5) faktor psikologis, yaitu adanya
3
kerelaan dan keinsafan dari penutur bahasa Jawa dan Sunda, serta penutur
bahasa-bahasa lain, untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, (6)
bahasa Melayu memiliki kesanggupan untuk dapat dipakai sebagai bahasa
kebudayaan dalam arti yang luas.
1.2 Kedudukan Bahasa Indoensia
Bahasa Indonesia mempunyai dua kedudukan yang sangat penting, yaitu
sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nsional, bahasa
Indonesia di antaranya berfungsi mempererat hubungan antarsuku di Indonesia.
Fungsi ini, sebelumnya, sudah ditegaskan di dalam butir ketiga ikrar Sumpah
Pemuda 1928 yang berbunyi さKaマi putra dan putri Indonesia マenjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia”.
Kata けマeミjuミjuミgげ dalaマ KBBI aミtara laiミ berarti けmemuliakanげ, けmenghargaiげ,
dan けmenaatiげ (nasihat, perintah, dan sebaginya.). Ikrar ketiga dalam Supah
Pemuda tersebut menegaskan bahwa para pemuda bertekad untuk memuliakan
bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Pernyataan itu tidak saja merupakan
peミgakuaミ さberbahasa satuざ, tetapi マerupakaミ perミyatakaミ tekad kebahasaan
yang menyatakan bahwa kita, bangsa Indonesia, menjunjung tinggi bahasa
persatuan, yaitu bahasa Indonesia (Halim dalam Arifin dan Tasai, 1995: 5). Ini
berarti pula bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional yang
kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dikukuhkan
sehari setelah kemerdekaan RI dikumandangkan atau seiring dengan
diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1945. Bab XV Pasal 36 dalam UUD 1945
menegaskan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Sebagai bahasa negara,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa dalam penyelenggaraan administrasi
negara, seperti bahasa dalam penyeelenggaraan pendidikan dan sebagainya.
1.3 Fungsi Bahasa Indonesia
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai: (1) Lambang kebanggaan kebangsaan, 2) Lambang identitas nasional, 3)
4
Alat penghubung antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, 4) Alat
pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi
Sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, bahasa Indonesia mencerminkan
nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Atas dasar
kebanggaan ini, bahasa Indonesia kita pelihara dan kita kembangkan, serta rasa
kebanggaan memakainya senantiasa kita bina. Pada fungsi ini, bahasa Indonesia
kita junjung di samping bendera dan lambang negara kita.
Di dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus memiliki
identitasnya sendiri pula sehingga ia serasi dengan lambang kebangsaan kita yang
lain. Bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya hanya apabila masyarakat
pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga tidak
bergantung padai unsur-unsur bahasa lain.
Berkat adanya bahasa nasional, kita dapat berhubungan satu dengan yang
lain sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar
belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan. Kita dapat bepergian
dari pelosok yang satu ke pelosok yang lain di tanah air dengan hanya
memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya alat komunikasi.
Selain fungsi-fungsi di atas, bahasa Indonesia juga harus berfungsi sebagai
alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang
sosial budaya dan bahasa yang berbeda-beda ke dalam satu kesatuan kebangsaan
yang bulat. Di dalam fungsi ini, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai-bagai
suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan
tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial
budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Lebih dari itu,
dengan bahasa nasional itu, kita dapat meletakkan kepentingan nasional jauh di
atas kepentingan daerah atau golongan.
Pada bagian terdahulu, secara sepntas, sudah dikatakan bahwai dalam
kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (1)
bahasa resmi kenegaraan, 2) bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, 3) alat
perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan, dan 4) Alat pengembangan kebudayaan, ilmu
pengetahuan dan teknologi
5
Sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa Indonesia dipakai di dalam segala
upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik dalam bentuk lisan maupun
tulisan. Termasuk ke dalam kegiatan-kegiatan itu adalah penulisan dokumen-
dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya,
serta pidato-pidato kenegaraan.
Pada fungsi kedua ini, bahasa Indonesia dijadikan sebagai pengantar di
lembaga-lembaga pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Meskipun lembaga-lembaga pendidikan tersebut tersebar di daerah-daerah,
mereka harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Memang
ada pengecualian untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas-kelas rendah sekolah
dasar di daerah-daerah. Mereka diizinkan menggunakan bahasa daerah sebagai
pengantar.
Di dalam hubungannya dengan fungsi ketiga di atas, yakni alat perhubungan
pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan, bahasa Indonesia dipakai bukan saja sebagai alat komunikasi
timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja sebagai alat
perhubungan antardaerah dan antarsuku, melainkan juga sebagai alat
perhubungan di dalam masyarakat yang sama latar belakang sosial budaya dan
bahasanya.
Sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi,
bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan kita membina dan
mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciri-
ciri dan identitasnya sendiri, yang membedakannya dari kebudayaan daerah. Pada
waktu yang sama, bahasa Indonesia kita pergunakan sebagai alat untuk
menyatakan nilai-nilai social budaya nasional kita (Halim dalam Arifin dan Tasai,
1995: 11-12).
2. Ragam Bahasa
2.1 Pengertian Ragam Bahasa
Sebagi gejala sosial, pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-
faktor kebahasaan, tetapi juga oleh faktor-faktor nonkebahasaan, antara lain
6
faktor lokasi geografis, waktu, sosiokultural, dan faktor situasi. Faktor-faktor di atas
mendorong timbulnya perbedaan-perbedaan dalam pemakaian bahasa. Perbedaan
tersebut akan tampak dalam segi pelafalan, pemilihan kata, dan penerapan kaidah
tata bahasa. Perbedaan atau varian dalam bahasa, yang masing-masing
menyerupai pola umum bahasa induk, disebut ragam bahasa.
Ragam bahasa yang berhubungan dengan faktor daerah atau letak geografis
disebut dialek. Bahasa Melayu dialek Langkat, misalnya, berbeda dengan bahasa
Melayu dialek Batubara, walaupun keduanya satu bahasa. Demikian pula halnya
dengan bahasa Aceh dialek Aceh Besar berbeda dengan bahasa Aceh dialek Pasai
yang digunakan sebagaian besar masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara, atau
berbeda juga dengan bahasa Aceh dialek Pidie di Kabupaten Pidie. Di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), saat ini, sekurang-kurangnya hidup 6 dialek,
masing-masing dialek Aceh Besar, Pidie, Peusangan, Pasai, Aceh Timur, dan Aceh
Barat (lihat Sulaiman dkk., 1983:5).
Selain ragam di atas, ada lagi ragam bahasa yang berkaitan dengan
perkembangan waktu yang lazim disebut kronolek. Misalnya, bahasa Melayu masa
Kerajaan Sriwijaya berbeda dengan bahasa Melayu masa Abdullah bin Abdul Kadir
Munsji, dan berbeda pula dengan bahasa Melayu Riau sekarang.
Ragam bahasa yang berkaitan dengan golongan sosial para penuturnya
disebut dialek sosial. Faktor-faktor sosial yang memengaruhi pemakaian bahasa,
antara lain, adalah tingkat pendidikan, usia, dan tingkat sosial ekonomi. Bahasa
golongan buruh, bahasa golongan atas (bangsawan dan orang-orang berada), dan
bahasa golongan menengah (orang-orang terpelajar) akan memperlihatkan
perbedaan dalam berbagai bidang. Dalam bidang tata bunyi, misalnya, bunyi /f/
dan gugus konsonan akhir /-ks/ sering terdapat dalam ujaran kaum yang
berpendidikan, seperti pada bentuk fadil, fakultas, film, fitnah, dan kompleks. Bagi
orang yang tidak dapat menikmati pendidikan formal, bentuk-bentuk tersebut
sering diucapkan padil, pakultas, pilm, pitnah, dan komplek. Demikian pula,
uミgkapaミ さapaミya, doミg?ざ daミ さtriマsざ yaミg disebut bahasa prokeマ seriミg
diidentikkan dengan bahasa anak-anak muda.
Demikianlah ragam-ragam bahasa itu tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat penutur bahasa. Satu hal yang perlu mendapat catatan bahwa semua
7
ragam bahasa tersebut tetaplah merupakan bahasa yang sama. Dikatakan
demikian karena masing-masing penutur ragam bahasa sesungguhnya dapat
memahami ragam bahasa lainnya (mutual intelligibility). Bila pada suatu ketika
saling pengertian di antara masing-masing penutur ragam tidak terjadi lagi, maka
ketika itu pula masing-masing bahasa yang mereka pakai gugur statusnya sebagai
ragam bahasa. Dengan pernyataan lain, ragam-ragam bahasa itu sudah berubah
menjadi bahasa baru atau bahasa mandiri.
2.2 Keberagaman Bahasa Indonesia
Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut berpengaruh pada
timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang beraneka
macam itu masih tetap disebut さbahasa Iミdoミesiaざ kareミa マasiミg-masing berbagi
intisari bersama yang umum.
2.2.1 Ragam Bahasa Menurut Daerah
Ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Bahasa
yang luas wilayah pemakaiannya selalu mengenal logat. Masing-masing logat
dapat dipahami secara timbal balik oleh penuturnya, sekurang-kurangnya oleh
penutur logat yang daerahnya berdampingan. Jika di dalam wilayah pemakaiannya,
individu atau sekelompok orang tidak mudah berhubungan, misalnya karena
tempat keadiamannya dipisahkan oleh pegunungan, selat, atau laut, maka lambat
laun tiap logat dapat mengalami perkembangan sendiri-sendiri yang selanjutnya
semakin sulit dimengerti oleh penutur ragam lainnya. Pada saat itu, ragam-ragam
bahasa tumbuh menjadi bahasa yang berbeda.
2.2.2 Ragam Bahasa Menurut Pendidikan Formal
Ragam bahasa Indonesia menurut pendidikan formal, menunjukkan
perbedaan yang jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak. Tata
bunyi bahasa Indonesia golongan penutur yang kedua itu berbeda dengan
fonologi kaum terpelajar. Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/, misalnya,
8
sering tidak terdapat dalam ujaran orang yang tidak bersekolah atau hanya
berpendidikan rendah.
2.2.3 Ragam Bahasa Menurut Sikap Penutur
Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa
Indonesia yang masing-masing, pada asasnya, tersedia bagi tiap pemakai bahasa.
Ragam ini, yang dapat disebut langgam atau gaya, pemilihannya bergantung pada
sikap penutur atau penulis terhadap orang yang diajak berbicara atau penbacanya.
Sikapnya itu dipengaruhi, antara lain, oleh usia dan kedudukan orang yang disapa,
tingkat keakraban antarpenutur, pokok persoalan yang hendak disampaikan, dan
tujuan penyampaian informasinya. Ketika berbicara dengan seseorang yang
berkedudukan lebih tinggi, penutur akan menggunakan langgam atau gaya
berbahasa yang berbeda daripada ketika dirinya berhadapan dengan seseorang
yang berkedudukan lebih rendah. Begitu juga halnya ketika berbicara dengan
seseorang yang usianya lebih muda atau tua, penutur tentulah akan menggunakan
langgam atau gaya bertutur yang berbeda.
2.2.4 Ragam Bahasa Menurut Jenis Pemakaiannya
Menurut jenis pemakaiannya, ragam bahasa dapat dirinci menjadi tiga
macam, masing-masing (1) berdasarkan pokok persoalannya, (2) berdasarkan
media pembicaraan yang digunakan, dan (3) berdasarkan hubungan
antarpembicara. Berdasarkan pokok persoalannya, ragam bahasa dibedakan
menjadi ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa jurnalistik, ragam bahasa
ilmiah, ragam bahasa sastra, dan ragam bahasa sehari-hari.
Berdasarkan media pembicaraan, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam
lisan (ragam bahasa cakapan, ragam bahasa pidato, ragam bahasa kuliah, dan
ragam bahasa panggung), ragam tulis (ragam bahasa teknis, ragam bahasa
undang-undang, ragam bahasa catatan, dan ragam bahasa surat).
Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibedakan menjadi ragam
bahasa resmi, ragam bahasa santai, ragam bahasa akrab, ragam baku dan ragam
takbaku. Situasi resmi, yang menuntut pemakaian ragam baku, tercermin dalam
9
situasi berikut ini: (1) komunikasi resmi, yakni dalam surat-menyurat resmi, surat-
menyurat dinas, pengumuman-pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi-
instansi resmi, penamaan dan peristilahan resmi, perundang-undangan, dan
sebagainya; (2) wacana teknis, yakni dalam laporan resmi dan karya ilmiah; (3)
pembicaraan di depan umum, yakni dalam ceramah, kuliah, khotbah, dan
sebagainya; dan (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati.
Ragam bahasa baku merupakan ragam orang yang berpendidikan. Kaidah-
kaidah ragam baku paling lengkap pemeriannya jika dibandingkan dengan ragam
bahasa yang lain. Ragam ini tidak saja ditelaah dan diperikan, tetapi juga diajarkan
di sekolah. Ragam inilah yang dijadikan tolok bandingan bagi pemakaian bahasa
yang benar. Ragam bahasa baku memiliki sifat kemantapan dinamis yang berupa
kaidah dan aturan yang tetap. Kebakuannya itu tidak dapat berubah setiap saat.
Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaannya. Sifat
kecendekiaan ini terwujud di dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa yang
lebih besar lainnya yang mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur,
logis, dan masuk akal. Proses pencendekiaan bahasa baku ini amat penting bila
masyarakat penutur memang mengidealisasikan bahasa Indonesia berkemampuan
menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Hingga saat ini, untuk
hal yang disebutkan terakhir, masyarakat Indonesia masih sangat bergantung
kepada bahasa asing.
Bahasa baku mendukung beberapa fungsi, di antaranya adalah (a) fungsi
pemersatu dan (b) fungsi pemberi kekhasan Bahasa baku memperhubungkan
semua penutur berbagai dialek bahasa itu. Dengan demikian, bahasa baku
mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan
proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyarakat itu. Fungsi
pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku membedakan bahasa itu dari
bahasa yang lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan
kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Hal itu terlihat pada
penutur bahasa Indonesia.
Untuk mendukung pemantapan fungsi bahasa baku diperlukan sikap tertentu
dari para penutur terhadap bahasa baku. Setidak-tidaknya, sikap terhadap bahasa
baku mengandung tiga dimensi, yaitu (1) sikap kesetiaan bahasa, (2) sikap
10
kebanggaan bahasa, dan (3) sikap kesadaran akan norma atau kaidah bahasa. Setia
terhadap bahasa baku bermakna selalu atau senantiasa kukuh untuk menjaga atau
memelihara bahasa tersebut dari pengaruh-pengaruh bahasa lain secara
berlebihan, terutama bahasa asing. Bangga terhadap bahasa baku tercermin di
dalam perasaan senang dan tidak sungkan menggunakan bahasa baku di dalam
situasi-situasi yang mengharuskan penggunaan ragam bahasa tersebut. Kesadaran
akan norma bahasa baku terlihat di dalam kesungguhan untuk memahami dan
menggunakan kaidah-kaidah bahasa tersebut dengan setepat-tepanya dalam
rangka pengungkapan nalar yang logis.
Dalam konteks bahasa baku di atas, perlu pula disinggung sekilas mengenai
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pengaitan ini penting agar
tidak timbul kerancuan pemahaman mengenai keduanya. Pada peringatan ke-87
hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1995, di Jakarta, Kepala Negara menekankan
pentingnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Akhir-akhir ini, dampak
seruaミ tersebut seマakiミ terasa. “logaミ さGunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar” pada kain rentang dapat kita temukan di mana-mana. Namun,
gencarnya pemasyarakatan ungkapan tersebut belum tentu diikuti pemahaman
yang benar tentang maknanya. Karena itu, pada bagian ini akan dijelaskan makna
serta kriteria bahasa yang baik dan bahasa yang benar tersebut. Kriteria yang
dipakai untuk menentukan bahasa Indonesia yang benar adalah kaidah bahasa.
Kaidah-kaidah bahasa yang dimaksudkan tersebut meliputi aspek (1) tata bunyi, (2)
tata kata dan tata kalimat, (3) tata istilah, (4) tata ejaan, dan (5) tata makna. Benar
tidaknya bahasa Indonesia yang kita gunakan bergantung pada benar tidaknya
pemakaian kaidah bahasa. .
Kriteria pemakaian bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahasa
dengan konteks, peristiwa, atau keadaan yang dihadapi. Orang yang mahir memilih
ragam bahasa dianggap berbahasa dengan baik. Bahasanya membuahkan efek
atau hasil karena sesuai dengan tuntutan situasi. Pemilihan ragam yang cocok
merupakan tuntutan komunikasi yang tak bisa diabakan begitu saja. Pemanfaatan
ragam bahasa yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis
pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat.
11
Dari deskripsi di atas dapatlah dipastikan bahwa istilah bahasa baku tidak
sepenuhnya sepengertian dengan bahasa yang baik dan benar. Bahasa baku hanya
terkait dengan bahasa yang benar.
D. Aktivitas Pembelajaran
Aktivitas pembelajaran dilakukan dengan mekanisme tertentu melalui tahap-
tahap pembelajaran berikut:
(1) Pengantar Instruktur
Instruktur membuka pertemuan dan menyampaikan materi yang akan dibahas
atau didiskusikan. Instruktur dapat membentuk kelompok-kelompok diskusi
peserta bila diperlukan.
(2) Curah Pendapat
a. Instruktur meminta peserta pelatihan melakukan curah pendapat
tentang kedudukan, fungsi, dan ragam bahasa Indonesia dalam
kelompok peserta 3 – 4 orang.
b. Instruktur kemudian merangkum hasil curah pendapat secara pleno
dan menuliskannya pada slide power point.
(3) Diskusi Mengelaborasi Kompetensi
a. Peserta diminta mendiskusikan/mengelaborasi tujuan, kompetensi, dan
indikator pencapaian kompetensi (IPK) terkait materi pembelajaran
kedudukan, fungsi, dan ragam bahasa Indonesia.
b. Instruktur mengimbau peserta pelatihan untuk berbagi pendapat tentang
tujuan, kompetensi, dan IPK (instruktur meminta seorang peserta untuk
menulis hasil diskusi mereka dengan menggunakan power point)
c. Instruktur bersama peserta menyelaraskan tujuan, kompetensi, dan IPK
hasil diskusi dengan tujuan yang telah dipersiapkan oleh instruktur.
(4) Mengisi Lembar Kerja (LK)
a. Peserta (dalam kelompok peserta 3-4 orang) diminta mengisi LK yang telah
dipersiapkan. Instruktur membimbing peserta mengisi LK (instruktur
dapat menayangkan informasi melalui perangkat power point yang
telah disiapkan).
b. LK dapat berupa pertanyaan atau penugasan yang berorientasi
12
kepada tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan.
c. Peserta kembali merampungkan LK sampai tuntas dibimbing oleh instruktur
(catatan : peserta dapat menuntaskan lembar kerja diluar jam pelatihan).
(5) Menyajikan hasil LK
a. Presentasi hasil pengisisan LK oleh 5 orang guru yang ditunjuk oleh
instruktur (penunjukan secara acak oleh instruktur disepakati sebelumnya
bersama peserta).
b. Setiap peserta lainnya mengisi pedoman observasi
(6) Refleksi
Instruktur bersama-sama dengan peserta melakukan refleksi/kaji ulang
atas seluruh rangkai pembelajaran yang telah dilakukan; mengapresiasi
hasil-hasil yang telah dicapai atau yang belum tercapai; mengevaluasi
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar.
1
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN
BAHASA INDONESIA
BAB IV
KAIDAH BAHASA INDONESIA
Drs. Azhar Umar, M.Pd
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
2
BAB IV
KAIDAH BAHASA INDONESIA
A. Tujuan
Setelah mempelajari sumber belajar ini, guru diharapkan dapat memahami
dan mengaplikasikan kaidah-kaidah bahasa Indonesia sebagai rujukan penggunaan
bahasa Indonesia yang baik dan benar.
B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi
Kompetensi Guru Mata
Pelajaran Indikator Pencapaian Kompetensi
1.4 Menguasai kaidah bahasa
Indonesia sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar.
1. Mengaplikasikan kaidah ejaan
sebagai rujukan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
2. Mengaplikasikan kaidah morfologi
sebagai rujukan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar
(menulis)
3. Mengaplikasikan kaidah sintaksis
sebagai rujukan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar
(berbicara).
4. Mengaplikasikan kaidah semantik
sebagai rujukan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar
(berbicara)...
5. Mengaplikasikan kaidah pragmatik
sebagai rujukan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar
(berbicara).
3
C. Uraian Materi
1. Kaidah Ejaan
Kaidah ejaan adalah keseluruhan peraturan tentang bagaimana
menggunakan lambang-lambang bunyi bahasa dan bagaimana hubungan antara
lambang-lambang tersebut (pemisahan dan penggabungannya). Secara teknis,
kaidah ejaan dan tanda baca adalah aturan-aturan mengenai penulisan huruf,
penulisan kata, dan penulisan tanda baca.
Seperti diketahui bahwa kaidah ejaan mengatur penggunaan beragam
lambang kebahasaan yang berdimensi luas. Pembahasan menyeluruh mengenai
kaidah ejaan tersebut tidak mungkin dilakukan pada bagian ini. Pembahasan
dibatasi pada kaidah-kaidah ejaan yang sangat produktif penggunaannya di dalam
masyarakat.
1.1 Penulisan Huruf
Pada bagian ini akan dideskripsikan kaidah-kaidah yang berlaku mengenai
pemakaian huruf dalam bahasa Indonesia, yakni pemakaian huruf kapital dan
huruf miring.
1.1.1 Huruf Kapital
Istilah huruf kapital sering juga diganti dengan huruf besar. Huruf ini dipakai
sebagai huruf pertama:
(a) kata pada awal kalimat
(b) petikan langsung (yang utuh)
(c) dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan suci, termasuk
kata ganti untuk Tuhan,
(d) nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang
(Mahaputera Yamin, Sultan Hasanuddin, Haji Amir)
(e) nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang (Wakil Presiden Yusuf
Kalla, Jenderal Tito Karnavian)
(f) nama orang
4
(g) nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa
(h) nama tahun, bulan, hari raya, dan peristiwa sejarah
(i) nama khas dalam geografi
(j) nama badan resmi, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama
dokumen resmi
(k) nama semua kata dalam judul buku, majalah, surat kabar, kecuali kata partikel,
seperti di, ke, dari, untuk, yang, dan yang tidak terletak pada posisi awal
(l) singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan
(m) kata penunjuk hubungan kekerabatan, seperti bapak, ibu, adik, paman yang
dpakai sebagai kata ganti sapaan
1.1.2 Huruf Miring
Huruf miring adalah huruf yang posisinya dimiringkan dalam cetakan.
Huruf miring dipakai untuk:
(a) menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam
karangan;
Contoh: Dia mendengar berita itu dari Kompas.
(b) menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata atau kelompok kata;
Contoh: Seluruh karyawan diwajibkan menghadiri acara tersebut.
(c) menuliskan kata atau ungkapan asing, kata nama ilmiah, kecuali yang
telah disesuaikan ejaannya.
Contoh: Hari-harinya padat dengan facebook.
1.2 Penulisan Kata
Kaidah penulisan kata meliputi kaidah penggabungan kata, penulisan
kata ganti kau, ku, mu, dan nya, kata depan di, ke dan dari, kata turunan,
serta singkatan dan akronim.
1.2.1 Gabungan Kata
Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang dapat menimbulkan
kesalahan pengertian bisa diberi tanda hubung untuk menegaskan
pertaliannya.
5
Contoh: alat pandang-dengar
Buku sejarah-lama (sebagai imbangan buku sejarah moderen).
1.2.2 Kata ganti ku, kau, mu, dan nya
Kata ganti ku, kau, mu, dan nya ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinya.
(1) a. Ketidakjujuran tidak kusukai.
b. Ketidakjujuran tidak aku sukai.
(2) a. Lawan harus kaukalahkan dengan cara yang sportif.
b. Lawan harus engkau kalahkan dengan cara yang sportif.
(3) a. Aku tahu, buku itu milikmu.
b. Aku tahu, buku itu milik kamu.
1.2.3 Kata Turunan
Jika bentuk dasar berupa gabungan kata dan sekaligus mendapat
awalan dan akhiran, kata-kata itu ditulis serangkai.
Contoh: (1) tidak adil + ke-an ....................... ketidakadilan
Partikel per yaミg berarti けマulaiげ, けtiapげ, daミ けdeマiげ ditulis terpisah
Contoh: (1) a. Mereka masuk satu per satu.
b. Mereka masuk satu persatu (x)
(2) a. Harganya Rp 3.000,00 per helai.
b. Harganya Rp 3.000,00 perhelai (x).
(3) Gaji naik per 1 April.
1.2.4 Singkatan dan Akronim
Singkatan nama orang, gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti
dengan tanda titik (.).
Contoh: M. Amin, Drs., Prof., Kol.
Singkatan yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf
kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik (.).
Contoh: MPR
6
Singkatan umum terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti tanda titik.
Contoh: dst., dsb., dkk., dto.
Akronim adalah singkatan yang terdiri atas gabungan huruf awal,
gabungan suku kata, atau gabungan huruf dan suku kata yang diperlakukan
sebagai kata, seperti:
Contoh: ABRI, PASI, SIM
Akabri, Bappenas
Akronim yang bukan nama diri/lembaga ditulis sebagai berikut:
pemilu, rapim, tilang
2. Kaidah Morfologi (Pembentukan Kata)
2.1 Kaidah Kata Imbuhan
Kata berimbuhan adalah kata yang telah mengalami proses
pengimbuhan (afiksasi). Imbuhan atau afiks adalah satuan bahasa yang
digunakan dalam bentuk dasar untuk menghasilkan suatu kata. Hasil dari
proses pengimbuhan itulah yang kemudian membentuk kata baru yang
disebut kata berimbuhan.
Imbuhan dalam bahasa Indonesia jumlahnya bermacam-macam.
Secara garis besar imbuhan tersebut dibagi ke dalam empat jenis, yakni
prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks. Prefiks atau awalan adalah imbuhan yang
diikatkan di depan bentuk dasar.
Contoh:
me(N)- → マeマbaIa, マeミulis, マeミyapa
ber- → berjalaミ, berbiIara, berマalaマ
di- → dibaIa, ditulis, disapa
ter- → terbawa, terマakaミ, teriミdak
pe(N)- → peミjual, pembeli, penulis
per- → peraミak, peristri
se- → sekelas, setara, seIaミgkir
ke- → kepada, kekasih, kedua
maha- → マahakuasa, マahaaguミg, マahakuasa
7
Infiks atau sisipan adalah imbuhan yang diikatkan di tengah bentuk
dasar.
Contoh:
-el-, → geletar, telunjuk
-em- → geマetar
-er- → geマertak, seruliミg, gerigi
Sufiks atau akhiran adalah imbuhan yang diikatkan di belakang bentuk
dasar.
Contoh:
-kaミ → taミaマkaミ, baIakaミ, leマbarkaミ
-aミ → tulisaミ, baIaミ, leマparaミ
-i → akhiri, jajaki, tulisi
-ミya → agakミya, rupaミya
-waミ → rupawaミ, hartawaミ, ilマuwaミ
Konfiks adalah imbuhan yang dilekatkan di depan-belakang bentuk
dasar secara bersamaan.
Contoh:
ke-aミ → keaマaミaミ, kesatuaミ, kebetulaミ
pe(N)-aミ → peミaミaマaミ, peマahaマaミ, peミyesuaiaミ
per-aミ → perusahaan, persawahan, pertokoan
ber-aミ → berhaマburaミ, bersaマaaミ, bersalaマaミ
se-ミya → selaマa-lamanya, sejauh-jauhnya
2.2 Kaidah Kata Ulang
Kata ulang (reduplikasi) adalah kata yang mengalami proses
perulangan, baik sebagian atau pun seluruhnya dengan disertai perubahan
bunyi atau pun tidak. Kata ulang memiliki beberapa makna, di antaranya,
adalah makna けHaミyak takteミtuげ, seperti contoh berikut.
batu-batu negara-negara
buku-buku orang-orang
kuda-kuda pohon-pohon
8
makanan-makanan peraturan-peraturan
menteri-menteri rumah-rumah
Ada juga kata ulang yang bermakna けHaミyak daミ HerマaIaマ-マaIaマげ,
seperti contoh berikut:
bau-bauan, dedaunan
bibit-bibitan, lauk-pauk
buah-buahan, pepohonan
bumbu-bumbuan, sayur-mayur
bunyi-bunyian, tanam-tanaman
Makna kata ulang lainnya adalah けマeミyerupai daミ HerマaIaマ-
マaIaマげ, seperti contoh berikut ini:
kuda-kuda mobil-mobilan
kuda-kudaan orang-orangan
kucing-kucingan robot-robotan
langit-langit rumah-rumahan
mata-mata siku-siku.
Makna kata ulang berikutnya adalah けagak atau マeleマahkaミ
sesuatuげ yang disebut pada kata dasar
Contoh:
kebarat-baratan , malu-malu
kehijau-hijauan, pening-pening
keinggris-inggrisan, sakit-sakitan
kekanak-kanakan, tidur-tiduran
kekuning-kuningan
Kata ulang bisa pula bermakna ‘Iミteミsitas kualitatifげ, seperti
terlihat pada contoh berikut ini:
keras-keras, segiat-giatnya
kuat-kuat, setinggi-tingginya
Di samping itu, kata ulang dapat bermakna けiミteミsitas kuaミtitatifげ,
seperti contoh berikut:
9
bercakap-cakap, manggut-manggut
berlari-lari, mengangguk-angguk
berputar-putar, mondar-mandir
bolak-balik, tersenyum-senyum
menggeleng-gelengkan, tertawa-tawa
Kata-kata ulang di dalam contoh berikut ini memperlihatkan
makna けkolektifげ
dua-dua, kedua-duanya
empat-empat, ketiga-tiganya
Terakhir, kata ulang dapat bermakna けsaliミgげ, seperti yang tampak
pada contoh-contoh di bawah ini.
berpandang-pandangan, pukul-pukulan
bersalam-salaman tendang-menendang
lempar-lemparan, tolong-menolong
2.3 Kaidah Kata Majemuk
Kata majemuk sering didefinisikan sebagai gabungan dua kata atau
lebih yang membentuk makna baru. Dalam definisi seperti ini, konstruksi kata
majemuk tidak dapat dibedekan dari konstruksi idiom. Padahal, konstruksi
yang benar-benar menimbulkan makna baru adalah idiom. Perhatikanlah
dengan cermat beberapa konstruksi di bawah ini.
(1) rumah makan, matahari,
(2) kambing hitam.
Makna semua konstruksi yang terdapat pada (1) masih berhubungan dengan
salah satu makna unsur yang membangunnya. Makna konstruksi rumah
makan, misalnya, masih berhubungan dengan makna rumah. Begitu juga
dengan makna konstruksi matahari masih berhubungan dengan hari. Artinya,
gabungan kata itu tidak menimbulkan makna baru sama sekali. Konstruksi
seperti inilah yang lazim dan dapat disebut sebagai kata majemnuk.
Tidak demikian halnya dengan makna konstruksi kambing hitam.
Makna konstruksi itu tidak berhubungan sama sekali dengan kambing
10
maupun hitam. Dengan kata lain, gabungan kata kambing dan hitam
sungguh-sungguh menimbulkan makna baru. Konstruksi seperti ini lazim
disebut sebagai idiom.
Kata majemuk dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis
berdasarkan jenis kata utama yang membentuk konstruksinya. Dengan
begitu, dikenallah kata-kata mejemuk jenis kata kerja, kata sifat, dan kata
benda.. Kata majemuk jenis kata kerja dapat dilihat pada contoh-contoh
berikut:
adu domba, membanting stir
adu argument, memikat hati
berbadan dua, memberi hati
maju mundur, mengambil hati
Kata majemuk jenis kata benda dapat dilihat di dalam contoh-
contoh berikut ini:
air terjun, darah daging
anak emas, harga diri
anak didik, jalan damai
Contoh-contoh di bawah ini termasuk kata majemuk jenis kata sifat.
besar kepala, lanjut usia
darah tinggi, lemah lembut
keras kepala, ringan tangan
lurus hati, tua bangka.
3. Kaidah Sintaksis
3.1 Pengertian Sintaksis
Menurut Kridalaksana (2008: 222), sintaksis adalah ilmu yang
mengatur hubungan kata dengan kata, atau satuan-satuan yang lebih besar,
atau antara satuan-satuan yang lebih besar itu dalam bahasa. Verhaar (1981:
70) mengatakan, sintaksis adalah bidang ilmu yang menyelidiki semua
hubungan antarkata (atau antarfrasa) dalam satuan kalimat. Lebih rinci, Keraf
11
(1984: 137) menjelaskan bahwa sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang
mempelajari dasar-dasar dan proses-proses pembentukan kalimat dalam satu
bahasa.
Dari berbagai pengertian sintaksis di atas dapat disimpulkan bahwa
sintaksis adalah cabang ilmu tata bahasa yang mengkaji hubungan kata/frasa
dengan kata/frasa di dalam kalimat.
3.2 Hakikat Kalimat
Kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang
mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahsaan. Dalam wujud
lisan, kalimat diiringi oleh alunan titi nada, disela oleh jeda, diakhiri
oleh intonasi selesai, dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan
adanya perpaduan atayu asimilasi bunyi. Dalam wujud tulisan, kalimat
dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda
tanya, atau tanda seru.
Jika diamati lebih teliti, kalimat terdiri atas bagian inti dan bukan inti.
Bagian kalimat yang tidak dapat dihilangkan adalah bagian inti, sedangkan
yang dapat dihilangkan adalah bagian bukan inti. Perhatikanlah contoh kalimat
berikut ini.
(a) Kami kemarin sore mendatangi pertemuan itu.
Kalimat di atas terdiri atas empat bagian, masing-masing kami, kemarin
sore, mendatangi, dan pertemuan itu. Dari keempat bagian kalimat ini,
hanya bagian kemarin sore yang dapat dihilangkan tanpa mengganggu
esensi makna kalimat itu. Bagian kalimat lainnya tidak dapat
dihilangkan. Dengan demikian, kita hanya dapat menerima kalimat (b) di
bawah ini, tetapi harus menolak kalimat (c), (d), dan (e).
(b) Kami mendatangi pertemuan itu.
(c) Kami kemarin sore pertemuan itu. (X)
(d) Kami kemarin sore mendatangi. (X)
(e) Kemarin sore mendatangi pertemuan itu. (X)
12
Dari paparan di atas dapatlah diketahui bahwa bagian kemarin
sore bukanlah bagian inti kalimat, sedangkan bagian lainnya dalam
kalimat tersebut merupakan bagian inti.
3.3 Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk
Pada kalimat (a) di atas, bagian-bagian inti kalimat merupakan
satu kesatuan. Penghilangan salah satu bagian saja dari ketiga bagian inti
itu akan meruntuhkan identitas sisanya sebagai kalimat, sebagaimana terbukti
pada kalimat-kalimat (b), (c), dan (d) di atas. Kalimat yang terdiri atas satu
kesatuan bagian inti, baik dengan maupun tanpa bagian bukan inti, disebut
kalimat tunggal. Kalimat-kalimat (a) dan (b) di atas adalah contoh kalimat
tunggal.
Kalimat dapat pula terdiri atas lebih dari satu kesatuan bagian inti,
baik dengan maupun tanpa bagian bukan inti. Kalimat seperti ini disebut
kalimat majemuk. Dengan kata lain, jika dilihat dari sudut pembentukannya,
kalimat majemuk dapat dikatakan berasal dari dua atau lebih kalimat
tunggal. Dalam hal ini, kalimat-kalimat tunggal yang bersangkutan dapat
dipandang sebagai unsure yang disebut klausa. Lebih jauh mengenai klausa
dapat dilihat pada contoh berikut ini.
(f) Nona sedang belajar dan adiknya membersihkan tempat
tidur.
Kalimat (f) dibentuk dari dua kesatuan bagian inti, masing-masing (f1)
Nona sedang belajar dan (f2) Adiknya membersihkan tempat tidur.
Kedua kesatuan bagian itu tersebut digabung dengan menggunakan
konjungsi dan. Dengan demikian, kalimat (f) adalah kalimat majemuk
yang mengandung dua buah klausa, masing-masing (f1) dan (f2).
3.4 Subjek, Predikat, Objek, Pelengkap, dan Keterangan
Kalimat tunggal, yang terdiri atas dua konstituen atau bagian, jika
dilihat dari aspek fungsi sintaksisnya, selalu berupa subjek dan predikat.
Dengan demikian, subjek dan predikat merupakan unsur minimal yang harus ada
13
pada sebuah kalimat. Subjek adalah bagian kalimat yang tentangnya
さdibiIarakaミざ oleh predikat. “ubjek lazimnya berada di depan predikat.
Di dalam bahasa Indonesia, subjek mudah dikenali karena
tidak mungkin berupa kategori pronomina introgatif (kata ganti tanya).
Kalimat berikut ini terdiri atas dua konstituen: kawannya dan pulang.
(g) Kawannya pulang.
Konstituen pulang merupakan pusat dan verba itu sekaligus menjadi
predikat kalimat. Kata pulang menjadi predikat karena kata tersebut
さマeマbiIarakaミざ tiミdak kawannya. Konstituen pendamping kawannya
merupakan subjek kalimat.
Di samping subjek dan predikat, ada lagi fungsi-fungsi kalimat
lainnya yang disebut objek, pelengkap, dan keterangan. Objek adalah
bagian kalimat yang langsung dikenai tindakan predikat. Objek dapat
dikenali dengan dua cara: (1) melihat jenis predikat kalimat dan (2)
memperhatikan ciri khas objek. Jika predikat kalimat bersifat aktif transitif,
maka dapat dipastikan bahwa kalimat tersebut memiliki objek yang
posisinya langsung berada di depan unsur predikat tersebut. Selain itu,
objek memiliki ciri khas tertentu yang dapat menjadi subjek dalam
kalimat pasif. Lebih jelas, perhatikanlah kalimat berikut.
(h) Morten menundukkan Icuk.
Konstituen Icuk sebagai objek muncul karena dituntut oleh predikat
transitif menundukkan. Bahwa Icuk berfungsi sebagai objek semakin
jelas dengan memperhatikan kalimat pasif (i) di bawah ini.
(i) Icuk ditundukkan Morten.
Kata Icuk, yang sebelumnya berfungsi sebagai objek kalimat aktif (h), kini
berfungsi sebagai subjek pada kalimat pasif (i).
Pelengkap adalah bagian kalimat berupa nomina, verba, atau ajektiva
yang berada di belakang verba semitransitif, dan dapat didahului oleh
preposisi. Orang sering mencampuradukkan konsep objek dengan pelengkap
karena memang keduanya memiliki kemiripan. Baik objek maupun pelengkap
sering berwujud nomina atau kata benda, dan keduanya sering menempati
14
posisi yang sama di dalam kalimat, yakni di belakang verba. Perhatikanlah
kedua kalimat berikut ini.
(j) Putri mendagangkan pakaian muslimah di Petisah.
(k) Putri berdagang pakaian muslimah di Petisah.
Pada kedua contoh kalimat di atas tampak bahwa pakaian muslimah adalah
nomina dan berdiri di belakang verba mendagangkan dan berdagang. Namun
demikian, fungsi nomina dimaksud berbeda pada kedua kalimat tersebut.
Pada kalimat (j), nomina pakaian muslimah berfungsi sebagai objek,
sedangkan pada kalimat (k) befungsi sebagai pelengkap. Perbedaan fungsi
nomina ini ditetapkan setelah melihat jenis predikat masing-masing kalimat.
Pada kalimat (j), nomina pakaian muslimah terletak di belakang predikat
transitif, sedangkan pada kalimat (k), nomina itu terletak di belakang predikat
semitransitif.
Kalimat (j), karena berpredikat transitif, dapat dipasifkan menjadi (l)
berikut ini:
(l) Pakaian muslimah didagangkan Putri di Petisah
Pada kalimat pasif (l), nomina pakaian muslimah -- yang sebelumnya
berfungsi sebagai objek kalimat aktif (j) – berfungsi sebagai subjek.
Sementara itu, kalimat (k), karena berpredikat semitransitif, tidak dapat
dipasifkan.
Fungsi kalimat selanjutnya adalah keterangan. Keterangan merupakan
satu-satunya fungsi dalam kalimat yang tidak termasuk unsur inti. Dengan
pernyataan lain, fungsi keterangan dalam kalimat berkategori bukan unsur
inti. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, unsur bukan inti dalam kalimat
dapat dihilangkan, tanpa mengubah esensi makna kalimat. Unsur bukjan inti
adalah unsur yang memberikan keterangan tambahan kepada unsur inti.
Perhatikanlah kalimat (m) dan (n) berikut ini.
(m) Soraya memotong rambutnya.
(n) Soraya memotong rambutnya di kamar.
Kalimat (m) terdiri atas tiga unsur inti, masing-masing Soraya, memotong,
dan rambutnya. Tanpa tambahan unsur lain pun, kalimat (m) sudah
menyampaikan makna atau pesan yang utuh.
15
Unsur di kamar pada (n) adalah keterangan yang sifatnya mana suka,
tetapi memberikan makna tambahan pada kalimat (n). Wujud keterangan
dapat berupa nomina tunggal seperti kamar, atau nomina yang berpreposisi,
seperti di kamar.
Makna keterangan di dalam kalimat ditentukan oleh perpaduan
unsur-unsur yang terdapat di dalam kalimat. Dengan demikian ditemukanlah,
マisalミya, けマakミa teマpatげ uミtuk kata di kamar pada kalimat (n). Berikut ini
adalah aneka ragam makna unsur keterangan di dalam kalimat.
A. keterangan tempat : di jembatan
ke Medan
dari Aceh
B. keterangan waktu : kemarin
tadi pagi
bulan yang lalu
tahun 1945
C. keterangan alat : dengan gunting
dengan cangkul
D. keterangan tujuan : agar sehat
supaya sembuh
E. keterangan penyerta : dengan adik saya
bersama ibu
F. keterangan cara : secara hukum
dengan hati-hati
G. keterangan similatif : bagaikan dewi
seperti angin
H. keterangan sebab : karena perempuan itu
sebab kecerobohannya
I. keterangan saling : satu sama lain.
(lihat: Moeliono dan Soenjono Dardjowidjojo (ed), 1988: 254-266)
4. Kaidah Semantik
4.1 Konsep Semantik
16
Menurut Keraf (1984: 129), semantik adalah bagian tata bahasa yang
meneliti makna dalam bahasa tertentu; mencari asal mula dan
perkembangan dari suatu kata. Ditambahkan Keraf, di dalam semantik hanya
dibicarakan tentang makna kata dan perkembangan makna kata.
Kridalaksana (2008: 216) mengatakan, semantik adalah sistem dan
penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada
umumnya.
Dua batasan mengenai semantik di atas menyebutkan bahwa fokus
kajian semantik tidak lain adalah makna kata dalam satu bahasa. Simpulan ini
ditegaskan juga oleh Oka dan Suparno (1994: 229) bahwa semantik, yang
diadaptasi dari istilah bahasa Inggeris semantics, merupakan salah satu
disiplin kajian bahasa yang mengkaji makna. Para ahli bahasa memberikan
pengertian semantic sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari
hubungan antara tanda-tanda linguiostik atau tanda-tanda lingual dengan
hal-hal yang ditandainya (makna).
Semantic sebagai teori berlaku untuk semua bahasa, tetapi sebagai
terapan untuk suatu bahasa, semantic hanya berlaku untuk bahasa yang
bersangkutan. Dengan pernyataan terakhir ini berarti bahwa analisis
semantik untuk sebuah bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja. Hal ini
dapat dipahami karena setiap bahasa memiliki caranya sendiri dalam
pembentukan makna sejalan dengan kekhasan masyarakatnya. Pada sistem
makna bahasa Inggeris, misalnya, terdapat satu kata rice yang di dalam
bahasa Iミdoミesia dapat berarti けpadiげ, けberasげ, atau けミasiげ.
Di dalam bahasa Jawa terdapat pemilahan yang lebih rumit lagi. Padi
yang masih bertangkai disebut pari; padi yang sudah lepas dari tangkainya
disebut gabah; isi padi yang utuh disebut beras; isi padi yang pecah-pecah
dan berbentuk kecil disebut menir; dan beras yang sudah dimasak disebut
sega.
Demikianlah, makna itu unik pada tiap masyarakat bahasa. Keunikan
tersebut dimungkinkan terjadi karena makna tidak dapat dilepaskan begitu
saja dari sistem budaya dan lingkungan masyarakat bersangkutan.
17
4.2 Jenis-jenis Makna
Makna kata berarti maksud atau arti suatu kata atau isi suatu
pembicaraan. Makna suatu kata dapat kita ketahui dari kamus. Namun
demikian, makna kata bisa mengalami perubahan yang disebabkan oleh
penggunaannya dalam kalimat serta situasi penggunaannya. Perhatikan,
misalnya, kata pintar. Dalaマ kaマus, kata itu berマakミa けpaミdaiげ, けIakapげ,
けIerdikげ, けbaミyak akalげ, atau けマahir マelakukaミ sesuatuげ. Kata itu akaミ
berubah-ubah makananya apabila sudah digunakan dalam kalimat. Berikut
contohnya.
(a) El-Islami termasuk anak pintar (pandai). di sekolahnya.
(b) Cobalah bertanya kepada orang pintar (dukun) untuk penyakitmu
itu..
(c) Pintar (bodoh) sekali kamu ini, ya. Makanya, jangan menonton
terlalu malam (bodoh).
Kata pintar dalam kalimat (a) masih sesuai dengan makna dalam kamus. Kata
itu berarti けpaミdaiげ. Akaミ tetapi, kata itu sudah マeミgalaマi perubahaミ マakミa
ketika digunakan dalam kalimat berikutnya. Perubahan-perubahan tersebut
disebabkan oleh konteks kalimat (b) dan situasi penggunaannya (c). Karena
digunakan pada anak yang nilainya jelek serta penuturnya yang bernada
marah, maka pandai dalam kalimat itu bukaミミya berマakミa けpiミtarげ. Akaミ
tetapi, sebalikミya, kata itu justru berマakミa けbodohげ.
Berdasarkan contoh di atas, untuk mengetahui makna suatu kata
tidak cukup dengan hanya menggunakan kamus. Kita harus pula
memperhatikan kalimat serta situasi penggunaan kata itu. Dengan cara
demikian, pemahaman kita terhadap suatu kata akan lebih tepat atau
mendekati maksud yang diinginkan oleh pembicara atau penulisnya.
Makna kata dapat dikelompokkan atas beberapa jenis. Syarif dkk.
(2016: 71) mengelompokkan makna kata atas 14 jenis, yakni (1) makna
denotasi-konotasi, (2) makna kana umum-kata khusus, (3) sinonim, (4)
antonym, (5) homonim, (6) homograf, (7) homofon, (8) polisemi, (9)
perluasan makna, (10), (11), (12), (13, dan (14).
18
4.2.1. Makna Denotasi dan Makna Konotasi
Makna kata terbagi atas dua bagian, masing-masing makna denotasi
dan makna konotasi. Makna denotasi adalah makna yang tidak mengalami
perubahan apapun dari makna asalnya; sedangkan makna konotasi adalah
makna yang telah mengalami penambahan-penambahan dari makna asalnya.
Contoh:
ibu guru -- ibu jari
tangan panjang -- panjang tangan
kepala besar -- besar kepala
Kelompok kata pada lajur kiri memiliki makna yang sesuai dengan
kamus. Sebaliknya, makna kelompok kata pada lajur kanan sudah
menyimpang dari makna kamus. Makna kelompok kata pada lajur kiri disebut
makna denotatif, sedangkan makna kelompok kata pada lajur kanan disebut
makna konotatif
4.2.2 Makna Kata Umum-Makna Kata Khusus
Kata umum adalah kata yang ruang lingkupnya meliputi bagian
bagian dari kata lainnya. Sementara itu, kata khusus adalah kata yang
cakupannya lebih sempit dan merupakan bagian atau anggota dari kata
lainnya. Lebih lanjut, perhatikanlah deskripsi di bawah ini.
Kata Umum Kata Khusus
1. buah mangga
pepaya
apel
duku
2. bunga mawar
melati
tulip
anggerek
19
4.2.3 Sinonim
Sinonim adalah kata-kata yang sama atau hampir sama
maknanya, tetapi bentuk katanya berbeda.
Contoh:
hewan - binatang
pintar - pandai
berita - kabar
hutan – rimba
4.2.4 Antonim
Antonim adalah kata-kata yang berbeda atau berlawanan
maknanya.
Contoh
siang - malam
tinggi - pendek
awal - akhir
4.2.5 Hominim
Homonim adalah kata-kata yang bentuk dan cara
pelafalannya sama, tetapi memiliki makna yang berbeda.
Contoh:
genting : 1. gawat, 2. atap
bisa : 1. racun, 2. dapat
4.2.6 Homograf
Homograf adalah kata yang tulisannya sama tetapi
pelafalan dan maknanya berbeda. Contoh:
a. seri I = berseri-seri, gembira
20
seri II = bermain seri, seimbang
b. teras I = pejabat teras, inti
teras II = teras rumah, bagian halaman
4.2.7 Homofon
Homofon adalah kata yang cara pelafalannya sama, tetapi
penulisan dan maknanya berbeda.
Contoh:
a. kol I = sayur kol, tanaman
kol II = naik colt, kendaraan
b. bang I = Bang Ahmad, kakak
bang II = bunga bank, lembaga penyimanan uang
4.2.8 Polisemi
Polisemi adalah kata yang memiliki banyak makna.
Contoh: jatuh, sakit.
1) Ari jatuh dari bangku.
Rupanya ia jatuh hati pada jejaka itu.
2) Nenek dibawa ke dokter karena sakit.
Bangsa ini sedang sakit.
4.2.9 Perluasan Makna
Perluasan makna (generalisasi), terjadi apabila cakupan
makna suatu kata lebih luas dari makna asalnya.
Contoh Kata Makna Asal Makna Baru
berlayar Mengarungi lautan
dengan kapal layar
Mengarungi lautan
berbagai jenis kapal
Ibu Emak nyonya
4.2.10 Penyempitan Makna
Penyempitan makna (spesialisasi), terjadi apabila makna
21
suatu kata lebih sempit cakupannya daripada makna asalnya.
Contoh Kata Makna Asal Makna Baru
ulama Orang-orang yang
berilmu
Pemuka agama Islam
sarjana cendekiawan Gelar universitas
4.2.11 Ameliorasi
Ameliorasi adalah perubahan makna kata yang nilai rasanya
lebih tinggi daripada kata lain yang sudah ada sebelumnya.
Kata Baru Kata Lama
isteri Bini
pembantu Babu
4.2.12 Peyorasi
Peyorasi adalah perubahan makna kata yang nilainya menjadi
lebih rendah daripada makna sebelumnya.
Contoh Kata Makna Asal Makna Baru
fundamentalisme Orang yang
berpegang teguh
pada prinsip
Orang yang hidup
eksklusif;
mengutamakan
kekerasan
gerombolan Orang-orang yang
berkumpul
Pengacau
4.2.13 Sinestesia
Sinestesia adalah perubahan makna kata akibat pertukaran tanggapan
antara dua indra yang berlainan.
22
Contoh Kata Makna Asal Makna Baru
suaranya indah indera penglihatan indera pendengaran
sikapnya kasar indera peraba Indera penglihatan
4.2.14 Asosiasi
Asosiasi adalah perubahan makna kata yang terjadi karena persamaan
sifat.
Contoh Kata Makna Asal Makna Baru
amplop wadah untuk surat Suap
buaya Jenis binatang buas orang jahat
D. Aktivitas Pembelajaran
Aktivitas pembelajaran dilakukan dengan mekanisme tertentu
melalui tahap-tahap pembelajaran berikut:
(1) Pengantar Instruktur
Instruktur membuka pertemuan dan menyampaikan materi yang akan
dibahas atau didiskusikan. Instruktur dapat membentuk kelompok-
kelompok diskusi peserta bila diperlukan.
(2) Curah Pendapat
a. Instruktur meminta peserta pelatihan melakukan curah pendapat
tentang kaidah bahasa Indonesia dalam kelompok peserta 3 – 4
orang.
b. Instruktur kemudian merangkum hasil curah pendapat secara pleno
dan menuliskannya pada slide power point.
(3) Diskusi Mengelaborasi Kompetensi
23
a. Peserta diminta mendiskusikan/mengelaborasi tujuan, kompetensi,
dan indikator pencapaian kompetensi (IPK) terkait materi
pembelajaran kaidah bahasa Indonesia.
b. Instruktur mengimbau peserta pelatihan untuk berbagi pendapat
tentang tujuan, kompetensi, dan IPK (instruktur meminta seorang
peserta untuk menulis hasil diskusi mereka dengan menggunakan
power point)
c. Instruktur bersama peserta menyelaraskan tujuan, kompetensi, dan
IPK hasil diskusi dengan tujuan yang telah dipersiapkan oleh
instruktur.
(4) Mengisi Lembar Kerja (LK)
a. Peserta (dalam kelompok peserta 3-4 orang) diminta mengisi LK
yang telah dipersiapkan. Instruktur membimbing peserta mengisi
LK (instruktur dapat menayangkan informasi melalui perangkat
power point yang telah disiapkan).
b. LK dapat berupa pertanyaan atau penugasan yang berorientasi
kepada tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan.
c. Peserta kembali merampungkan LK sampai tuntas dibimbing oleh
instruktur (catatan : peserta dapat menuntaskan lembar kerja
diluar jam pelatihan).
(5) Menyajikan hasil LK
a. Presentasi hasil pengisisan LK oleh 5 orang guru yang ditunjuk oleh
instruktur (penunjukan secara acak oleh instruktur disepakati
sebelumnya bersama peserta).
b. Setiap peserta lainnya mengisi pedoman observasi
(6) Refleksi
Instruktur bersama-sama dengan peserta melakukan refleksi/kaji ulang
atas seluruh rangkai pembelajaran yang telah dilakukan;
mengapresiasi hasil-hasil yang telah dicapai atau yang belum tercapai;
mengevaluasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar.
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016
MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN
BAHASA INDONESIA
BAB V
TEORI DAN GENRE SASTRA INDONESIA
Drs. Azhar Umar, M.Pd
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2016
1
BAB V
TEORI DAN GENRE SASTRA INDONESIA
A. Tujuan
Setelah mempelajari sumber belajar ini, guru diharapkan dapat
memahami teori dan genre sastra Indonesia, baik dalam wujud puisi, prosa,
maupun drama dengan baik.
B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi
Kompetensi Guru Mata
Pelajaran Indikator Pencapaian Kompetensi
1. Memahami teori dan
genre sastra Indonesia.
1. Mengidentifikasi teori struktural
berdasarkan cuplikan naskah cerpen
yang disajikan.
2. Mengidentifikasi pantun dengan tepat
berdasarkan ciri-cirinya
3. 3. Mengidentifikasi gurindam dengan
tepat berdasarkan ciri-cirinya
4. Mengidentifikasi syair dengan tepat
berdasarkan ciri-cirinya
5. Mengidentifikasi genre puisi dengan
tepat.
6. Mengidentifikasi genre (prosa) dengan
tepat.
7. Mengidentifikasi genre drama dengan
tepat.
2. Mengapresiasi karya
sastra secara reseptif
dan produktif.
1. Mengapresiasi puisi Indonesia (puisi
lama: pantun)
2. Mengapresiasi puisi Indonesia (puisi
lama: gurindam)
3. Mengapresiasi puisi Indonesia (puisi
baru: soneta)
4. Mengapresiasi prosa Indonesia (Prosa
lirik: Kaba Minangkabau).
5. Mengapresiasi prosa Indonesia
2
(prosa lama: hikayat)
6. Mengapresiasi prosa Indonesia
(prosa lama: dongeng)
7. Mengapresiasi prosa Indonesia (prosa
baru: novel)
8. Mengapresiasi prosa Indonesia (prosa
baru: cerpen)
9. Mengapresiasi teks drama Indonesia
C. Uraian Materi
1. Teori dan Genre Puisi Indonesia.
Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani poeima yang
berarti けマeマbuatげ atau poeisis けpeマbuataミげ, daミ dalaマ bahasa Iミggris
disebut poem dan poetry. Puisi diartikaミ けマeマbuatげ daミ けpeマbuataミげ kareミa
lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri
yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik
fisik maupun batiniah.
Dengan mengutip pendapat Mc. Caulay dan Hudson, Aminuddin
(1987: 134) mengungkapkan bahwa puisi adalah salah satu produk sastra
yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk
membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan
garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya. Rumusan
pengertian puisi di atas, sementara ini, dapatlah diterima karena kita
seringkali diajuk oleh suatu ilusi tentang keindahan, terbawa dalam suatu
angan-angan, sejalan dengan keindahan penataan unsur bunyi, penciptaan
gagasan, maupun suasana tertentu sewaktu membaca puisi.
Puisi adalah karya sastra yang imajinatif. Bahasa sastra bersifat
konotatif karena banyak menggunakan makna kias dan makna lambang
(majas). Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih
bersifat konotatif. Bahasanya lebih memiliki kemungkinan banyak makna. Hal
ini disebabkan adanya pengkonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan
3
bahasa di dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi juga padat.
Keduanya bersenyawa secara padu.
Deskripsi di atas seluruhnya berkenaan dengan bentuk fisik dan
bentuk batin puisi. Bentuk fisik puisi adalah bahasa atau struktur, sedangkan
bentuk batin puisi adalah isi atau tema. Marjorie Boulton (1979: 17 dan 129)
menyebut kedua unsur pembentuk puisi itu dengan bentuk fisik (physical
form) dan bentuk mental (mental form).
Struktur puisi pada dasarnya mempunyai dua unsur yang sama
dengan unsur puisi menurut Marjorie di atas, yaitu unsur fisik dan unsur
batin. Unsur fisik puisi berkaitan dengan bentuk, sedangkan unsur batinnya
berkaitan dengan isi dan makna. Menurut Herman J. Waluyo (2008: 76),
struktur fisik yang disebut juga dengan metode puisi terdiri dari (1) diksi, (2)
pengimajian, (3) kata konkret, (4) bahasa figurasi atau majas, (5) versifikasi,
dan (6) tata wajah atau tipografi. Struktur fisik atau metode puisi tersebut
juga dipengaruhi oleh penyimpangan penggunaan bahasa atau sintaksis.
Adapun struktur batin adalah struktur yang berhubungan dengan tema,
perasaan, nada dan suasana, amanat atau pesan.
1.1 Ragam Puisi Berdasarkan Bentuk dan Isi
Ditinjau dari bentuk maupun isinya, puisi dapat dikelompokkan ke
dalam berbagai ragam berikut: (1) puisi naratif, (2) puisi lirik, (3) Puisi
deskriptif, (4) puisi fisikal, (5) puisi platonic, (6) puisi metafisikal, (7) puisi
subjektif, (8) puisi objektif, (9) puisi konkret, (10) puisi diafan, (11) puisi
prismptis, (12) puisi parnasian, (13) puisi inspiratif, (14) puisi pamphlet, (15)
puisi demonstrasi, dan (16) puisi alegori.
Puisi naratif adalah puisi yang di dalamnya terkandung suatu cerita,
dengan pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu
yang menjalin cerita tersebut. Termasuk ke dalam jenis puisi ini adalah apa
yang biasa disebut dengan balada yang dibedakan antara folk ballad, dengan
literary ballad. Balada merupakan ragam puisi yang berkisah tentang
kehidupan manusia dengan segala macam sifat pengasihnya, kecemburuan,
kedengkian, ketakutan, kepedihan, dan keriangannya. Jenis puisi lain yang
4
termasuk dalam puisi naratif adalah poetic tale sebagai puisi yang berisi
dongeng-dongeng rakyat.
Puisi lirik adalah puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya
dengan segala macam endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin
yang melingkupinya. Jenis puisi lirik umumnya paling banyak terdapat di
dalam khazanah sastra moderen Indonesia, seperti tampak dalam puisi-puisi
Chairil Anwar, Sapardi Djokodamono, Goenawan Mohammad, dan lain-
lainnya (Aminuddin, 1987: 135).
Puisi deskriptif adalah puisi yang mencoba memberi kesan terhadap
keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatian
oleh penyair. Jenis puisi yang dapat diklasifikasikan ke dalam puisi deskriptif,
misalnya, puisi satire, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionistik. Satire juga
merupakan puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap
suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau meyatakan keadaan
sebaliknya.
Puisi fisikal bersifat realistis, artinya menggambarkan kenyataan apa
adanya. Yang dilukiskan adalah kenyataan dan bukan gagasan. Hal-hal yang
dilihat, didengar, atau dirasakan merupakan obyek ciptaannya. Puisi-puisi
naratif, ballada, puisi yang bersifat impresionistis, dan juga puisi dramatis
biasanya merupakan puisi fisikal.
Puisi platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang
bersifat spiritual atau kejiwaan. Puisi-puisi ide atau cita-cita dapat
dimasukkan ke dalam klasifikasi puisi platonik. Puisi-puisi religius dan didaktik
juga dapat dikategorikan sebagai puisi platonik yang mengungkap nilai
spiritual dan pendidikan secara eksplisit.
Puisi metafisikal adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak
pembaca merenungkan kehidupan dan merenungkan Tuhan.
Puisi subyektif juga disebut puisi personal, yakni puisi yang
mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair
sendiri.
Puisi obyektif berarti puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri
penyair itu sendiri. Puisi obyektif disebut juga puisi impersonal. Puisi naratif
5
dan deskriptif kebanyakan adalah puisi obyektif, meskipun juga ada beberapa
yang subyektif.
Puisi konkret sangat terkenal dalam dunia perpuisian Indonesia sejak
tahun 1970. X.J. Kennedy dalam Herman J. Waluyo (2008:159) menyebut
puisi jenis ini sebagai bersifat visual yang dapat dihayati keindahan bentuknya
dari sudut penglihatan (poems for the eye).
Puisi diafan, atau puisi polos, adalah puisi yang kurang sekali
menggunakan pengimajian, kata konkret dan bahasa figuratif, sehingga
puisinya mirip dengan bahasa sehari-hari. Puisi yang demikian akan sangat
mudah dihayati maknanya.
Puisi prismptis adalah puisi yang berupaya menyelaraskan
kemampuan menciptakan majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian
sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah menafsirkan makna
puisinya, namun tidak juga terlalu gelap.
Puisi parnasian adalah puisi dari sekelompok penyair Perancis pada
pertengahan akhir abad 19 yang menunjukkan sifat atau nilai keilmuan. Puisi
parnasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan, bukan
didasari oleh inspirasi atau adanya mood dalam jiwa penyair.
Puisi inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion. Penyair
benar-benar masuk ke dalam suasana yang hendak dilukiskan. Suasana batin
penyair benar-benar terlibat ke dalam puisi itu.
Puisi demonstrasi mengacu kepada puisi-puisi Taufiq Ismpil dan
mereka yang oleh Jassin disebut Angkatan 66. Puisi ini merupakan hasil
refleksi demonstrasi para mahasiswa dan pelajar – KAMI-KAPPI- sekitar tahun
1966. Menurut Subagio Sastrowardojo, puisi-puisi demonstrasi 1966 bersifat
kekitaan, artinya melukiskan perasaan kelompok bukan perasaan individu.
Puisi pamfet juga berbasis protes sosial. Disebut puisi pamfet karena
bahasanya adalah bahasa pamfet. Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak
puas kepada keadaan. Munculnya kata-kata yang berisi protes secara
spontan tanpa protes pemikiran atau perenungan yang mendalam.
Puisi alegori adalah puisi yang sering mengungkapkan cerita yang
isinya dimaksudkan untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti dan
6
agama. Jenis alegori yang terkenal ialah parable yang juga disebut dongeng
perumpamaan. Di dalam kitab suci banyak dijumpai dongeng-dongeng
perumpamaan yang maknanya dapat dicari di balik kata-kata yang tersurat.
1.2 Jenis-jenis Puisi
1.2.1 Puisi Lama
Puisi lama adalah puisi yang terikat oleh aturan-aturan. Karena itu,
puisi lama biasanya bersifat anonim (merupakan puisi rakyat yang tidak
dikenal nama pengarangnya); disampaikan secara lisan dari individu ke
individu lain; merupakan sastra lisan; terikat aturan jumlah baris tiap bait,
jumlah suku kata maupun rima. Termasuk ke dalam puisi lama adalah
pantun, gurindam, dan syair.
1.2.1.1 Pantun
Pantun pada mulanya adalah senandung atau puisi rakyat yang
dinyanyikan. Dalam kesusastraan, pantun pertama kali muncul dalam Sejarah
Melayu dan hikayat-hikayat populer yang sezaman. Kata pantun sendiri
mempunyai asal-usul yang cukup panjang dengan persamaan dari bahasa
Jawa yaitu kata parik yang berarti pari, artinya paribasa atau peribahasa
dalam bahasa Melayu. Arti ini juga berdekatan dengan umpama dan seloka
yang berasal dari India.
Menurut H. Overbeck, yang terpengaruh oleh pendapat Abdullah
Munsyi, pasangan atau dua baris pertama pada pantun memang tidak
mempunyai arti; tidak memiliki hubungan pikiran sama sekali, atau hanya
untuk menjadi penentu sanjak {rima} pada pasangan atau dua baris kedua
pantun. Pantun adalah puisi Melayu asli yang cukup mengakar dan
membudaya dalam masyarakat.
Pantun memiliki ciri-ciri bentuk sebagai berikut: (1) Setiap bait terdiri
atas empat baris, (2) Baris pertama dan kedua berfungsi sebagai sampiran,
(3) Baris ketiga dan keempat merupakan isi, (4) Bersajak a – b – a – b, (5)
Setiap baris terdiri atas 8 – 12 suku kata, dan (5) Berasal dari daerah atau
masyarakat Melayu (Indonesia).
7
Contoh Pantun:
(1) Ada pepaya ada mentimun (a)
Ada mangga ada salak (b)
Daripada duduk melamun (a)
Mari kita membaca sajak (b)
1.2.1.2 Gurindam
Gurindam adalah puisi lama yang berasal dari Tamil (India) . Gurindam
memiliki cirri-ciri sebagai berikut: (1) Setiap bait terdiri dari dua baris, (2)
Sajak akhir berirama a – a, b – b, c – c, dan seterusnya; (3) Berasal dari Tamil
(India); (4) Isinya merupakan nasihat, yakni menjelaskan atau menampilkan
situasi sebab akibat; dan (5) Bersifat mendidik.
Contoh Gurindam
Kurang pikir kurang siasat (a)
Tentu dirimu akan tersesat (a)
Barang siapa tinggalkan sembahyang (b)
Bagai rumah tiada bertiang ( b )
Jika suami tiada berhati lurus (c)
Istri pun kelak menjadi kurus ( c )
1.2.1.3 Syair
Syair adalah puisi lama yang berasal dari Arab. Ciri – ciri syair adalah
sebagai berikut: (1) Setiap bait terdiri dari empat baris; (2) Setiap baris terdiri
dari 8 – 12 suku kata; (3) Bersajak a – a – a – a; dan (4) Semua baris
merupakan isi, tidak memiliki sampiran.
Contoh Syair :
Pada zaman dahulu kala (a)
Tersebutlah sebuah cerita (a)
Sebuah negeri yang aman sentosa (a)
Dipimpin sang raja nan bijaksana (a)
Negeri bernama Pasir Luhur (a)
8
Tanahnya luas lagi subur (a)
Rakyat teratur hidupnya makmur (a)
Rukun raharja tiada terukur (a)
Raja bernama Darmalaksana (a)
Tampan rupawan elok parasnya (a)
Adil dan jujur penuh wibawa (a)
Gagah perkasa tiada tandingnya (a)
1.2.2 Puisi Baru
Puisi baru adalah puisi yang lebih bebas daripada puisi lama, baik
dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima. Di antara jenis puisi baru
adalah soneta. Soneta adalah puisi yang terdiri atas: (1) empat belas baris; (2)
empat bait yang dibangun oleh dua quatrain dan dua terzina; (3) dua
quatrain merupakan sampiran dan merupakan satu kesatuan yang disebut
oktaf; (4) dua terzina merupakan isi dan merupakan satu kesatuan yang
disebut sextet; (5) bagian sampiran biasanya berupa gambaran alam; (6)
sextet yang berisi curahan atau jawaban atau simpulan dari apa yang
dilukiskan dalam octav; (7) voltayang merupakan peralihan dari octav ke
sextet; (8) koda yang merupakan penambahan baris pada soneta; (9)
sembilan hingga empat belas suku kata dalam tiap baris; dan (10) rima akhir
a-b-b-a, a-b-b-a, c-d-c, dan d-c-d.
Contoh soneta
Gembala
Perasaan siapa takkan nyala (a)
Melihat anak berelagu dendang(b)
Seorang saja ditengah padang(b)
Tiada berbaju buka kepala (a)
Beginilah nasib anak gembala (a)
Berteduh dibawah kayu nan rindang (b)
Semenjak pagi meninggalkan kandang (b)
Pulang kerumah di senja kala (a)
Jauh sedikit sesayup sampai (a)
9
Terdengar olehku bunyi serunai (a)
Melagukan alam nan molek permai (a)
Wahai gembala di segara hijau (c)
Mendengarkan puputmu menurutkan kerbau (c)
Maulah aku menurutkan dikau (c)
1.2.3 Puisi Kontemporer
Kata kontemporer secara umum bermakna masa kini, sesuai dengan
perkembangan zaman, atau selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman. Puisi kontemporer dapat diartikan sebagai puisi yang lahir dalam
kurun waktu terakhir. Puisi kontemporer berusaha lari dari ikatan
konvensional puisi pada umumnya. Puisi kontemporer seringkali memakai
kata-kata yang kurang memerhatikan kesantunan bahasa; memakai kata-kata
kasar, ejekan, dan lain-lain. Pemakaian kata-kata simbolik atau lambang
intuisi, gaya bahasa, irama, dan sebagainya dianggap tidak begitu penting
lagi.
Puisi kontemporer pernah sangat popular di Indonesia pada
dasawarsa 1980-an. Penyair-penyair tanah air yang pernah malang melintang
dan menjadi pelopor puisi kontemporer di Indonesia, di antaranya, adalah
Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dan Hamid Jabbar. Sutardji terkenal
dengan tiga kumpulan puisinya, yakni O, Amuk, dan O Amuk Kapak. Ibrahim
Sattah popular dengan kumpulan puisinya Hai Ti. Sedangkan Hamid Jabbar
masyhur dengan kumpulan puisinya Wajah Kita.
Puisi kontemporer tidak tampil dalam bentuk yang benar-benar
seragam di antara para penyairnya. Ada beberapa bentuk puisi kontemporer.
Yang paling menonjol di antaranya adalah puisi mantra. Puisi mantra adalah
puisi yang mengambil sifat-sifat mantra. Sutardji Calzoum Bachri adalah
orang yang pertama memperkenalkan puisi mantra dalam puisi kontemporer.
Puisi mantra memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) tidak dihadirkan
untuk dipahami pembaca, melainkan disajikan untuk menimbulkan efek atau
akibat tertentu; (2) berfungsi sebagai penghubung manusia dengan dunia
misteri; (3) mengutamakan efek atau akibat berupa kemanjuran dan
10
kemanjuran itu terletak pada perintah. Contoh puisi (kontemporer) mantra
adalah sebagai berikut:
Shang Hai
ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
sembilu jarakMu menancap nyaring
(Sutardji Calzoum Bachri dalam O Amuk Kapak, 1981)
2. Teori dan Genre Prosa Indonesia
Slamet Mulyana mengemukakan, istilah prosa berasal dari bahasa
latin oratio provorsa yang berarti けucapan langsung bahasa percakapanげ
sehingga prosa berarti bahasa bebas, bercerita, dan ucapan langsung. Kata
prosa diambil dari bahasa Inggris, prose, yang berarti けbahasa tertulis atau
tulisanげ. H.B. Jasin mengemukakan, prosa itu pengucapan dan
pemikiran bahasa dalam karangan ilmu pengetahuan. Prosa ditulis
berdasarkan pikiran dan menjauhi segala yang mungkin menggerakkan
perasaan. Prosa semacam ini sering disebut sebagai prosa ilmiah. Namun
demikian, ada juga prosa yang bersifat sastra. Prosa jenis ini haruslah
memenuhi syarat kesenyawaan yang harmonis antara bentuk dan isi,
kesatuan yang serasi antara pikiran dan perasaan.
Prosa sastra disebut juga dengan istilah prosa fiksi. Kata fiksi berasal
dari fiction (bahasa Inggeris) yang berarti けrekaanげ. Dengan demikian,
11
dapatlah disimpulkan bahwa prosa fiksi adalah cerita rekaan dimana tokoh,
peristiwa dan latar di dalamnya bersifat imajiner.
Sudjiman, (1984:17) menyebut prosa fiksi ini dengan istilah ceritera
rekaan, yaitu kisahan yang mempunyai tokoh, lakuan, dan alur yang
dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi, dalam ragam prosa. Prosa, sebagai
salah satu bentuk cipta sastra, mendukung fungsi sastra pada umumnya.
Fungsi prosa adalah untuk memperoleh keindahan, pengalaman, nilai-nilai
moral yang terkandung dalam cerita, dan nilai-nilai budaya yang luhur. Selain
itu, prosa dapat pula mengembangkan cipta, rasa, serta membantu
pengebangan pembelajaran (secara tidak langsung).
Prosa sebagai salah satu bentuk karya sastra, sering menbimbulkan
masalah dalam mengajarkannya. Hal ini muncul karena cerita yang ditulis
dalam bentuk prosa pada umumnya panjang. Masalah ini tentu saja dapat
memengaruhi proses pembelajaran prosa karena bimbingan apresiasi yang
menyangkut teks enggan diberikan. Seperti halnya puisi, prosa pun sebaiknya
dinikmati oleh siswa secara utuh agar fungsi prosa benar-benar terwujud.
Secara umum, prosa dikelompokkan atas prosa lama dan prosa baru.
Paparan mengenai kedua kelompok prosa tersebut dapat dilihat pada bagian
berikut.
2.1 Prosa Lama
Prosa lama adalah karya sastra yang berbentuk cerita atau narasi;
berbeda dengan pantun, gurindam, dan sebagainya. Disebut prosa lama
karena produk sastra ini selalu bersifat anonim (tanpa nama penulis), sangat
statis, dan selalu dianggap milik bersama. Karena dianggap milik bersama,
hampir semua produk prosa lama disebut cerita rakyat
Cerita rakyat merupakan sastra lisan yang berkembang di masyarakat,
terutama pada masa lalu. Cerita rakyat adalah cerita yang pada dasarnya
disampaikan oleh seseorang kepada orang lain melalui penuturan lisan, yakni
penciptaan, penyebaran, dan pewarisannya dilakukan secara lisan melalui
tutur kata satu orang ke orang lainnya di kalangan masyarakat
12
pendukungnya secara turun–temurun dari satu generasi ke generasi. Cerita
rakyat terdiri dari berbagai versi, biasanya tidak diketahui pengarangnya
(anonim).
William R. Bascom dalam James Danandjaja (2007 : 50) membagi
cerita rakyat ke dalam tiga kelompok, yaitu mite, legenda, dan dongeng. Di
sisi lain, ada juga ahli sastra yang memasukkan hikayat ke dalam kelompok
cerita rakyat. Di dalam buku sumber belajar ini, hanya akan dibahas lebih
lanjut mengenai dongeng dan hikayat.
2.1.1 Dongeng
Menurut Sudjiman (1986: 15), dongeng adalah cerita tentang makhluk
khayali. Makhluk khayali yang menjadi tokoh-tokoh cerita semacam itu
biasanya ditampilkan sebagai tokoh yang memiliki kebijaksanaan untuk
mengatur masalah manusia dengan segala macam cara. Bascom dalam James
Danandjaja ( 2007: 50) menyatakan bahwa dongeng adalah cerita prosa
rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi oleh yang mempunyai cerita,
dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Dongeng merupakan
cerita yang tidak benar-benar terjadi terutama pada zaman dahulu.
Kebanyakan orang beranggapan bahwa dongeng adalah cerita
mengenai makhluk peri. Kenyataannya, banyak dongeng yang tidak
menceritakan kehidupan para peri. Sejumlah dongeng bercerita tentang isi
dan plot cerita yang wajar.
Beberapa ahli sastra lama membagi dongeng atas empat golongan
besar, yakni: (1) dongeng binatang, (2) dongeng biasa, (3) lelucon dan
anekdot, dan (4) dongeng berumus.
Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi binatang. Binatang-
binatang ini digambarkan sebagai sosok yang pintar berbicara dan berakal
budi seperti manusia. Jenis binatang yang selalu dilibatkan di dalam cerita
dongeng, antara lain, anjing, rubah, kelinci, buaya, harimau, gajah, dan kancil.
Di Indonesia, cerita dongeng yang melibatkan kancil sebagai tokoh cerita
sangat banyak jumlahnya. Di dalam cerita-cerita itu, kancil selalu
digambarkan sebagai sosok binatang yang cerdas dan baik budi. Sementara
13
itu, sebagai tokoh lawan dari binatang yang cerdas dan baik budi, dihadirkan
sosok binatang yang pandir yang selalu menjadi bulan-bulanan binatang yang
cerdik dan cerdas tadi. Dalam berbagai cerita dongeng, sosok hewan seperti
ini, misalnya, beruang, buaya, harimau, dan sebagainya.
Dongeng biasa adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia, dan
biasanya berupa kisah suka-duka seseorang. Di Indonesia, dongeng biasa
yaミg saミgat popular bertipe さCiミderellaざ. Doミgeミg bertipe iミi relati┗e baミyak
juマlahミya, seperti さBawaミg Putih daミ Bawaミg Merahざ ふJakartaぶ, さ“i Melati
daミ KeIubuミgざ ふJawa Tiマurぶ, daミ sebagaiミya.
Lelucon dan anekdot merupakan dongeng-dongeng yang dapat
menggelikan hati sehingga menimbulkan tawa bagi yang mendengar maupun
yang menceritakan. Anekdot menyangkut kisah fiktif lucu seorang atau
beberapa orang tokoh yang benar-benar ada. Sedangkan lelucon menyangkut
kisah fiktif lucu kolektif, seperti suku bangsa dan ras. Misalnya kisah lucu
Albert Enstein di sebut anekdot, sedangkan kisah lucu orang Israel disebut
lelucon.
Dongeng-dongeng berumus merupakan dongeng yang, oleh Antti
Aarne dan Stith Thompson (dalam KSG Unimed, 2013: 316), disebut formula
tales. Struktur dongeng ini terdiri atas pengulangan-pengulangan. Subbentuk
dongeng berumus adalah dongeng yang bertimbun dongeng untuk
mempermainkan orang, dan tidak memiliki akhir.
Dongeng, yang juga disebut dongeng berantai, ini adalah cerita yang
dibentukdengan menambah keterangan lebih rinci pada setiap pengulangan
inti cerita. Simaklah dongeng berumus beikut ini:
Alkisah, di suatu lorong pada suatu hari, seorang nyonya lari
terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor tikus kecil. Tikus kecil
lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor kucing. Kucing lari
terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor anjing. Anjing lari
terbirit-birit ketakutan karena diburu seorang pemabuk Israel.
Pemabuk Israel lari terbirit-birit ketakutan karena diburu polisi.
Polisi lari terbirit-birit ketakutan karena diburu MOZAD.
14
2.1.2 Hikayat
Hikayat adalah jenis prosa lama yang berkisah tentang riwayat hidup
seorang tokoh. Riwayat hidup tokoh yang diceritakan adakalanya realistis,
dengan sumber informasi dan data terpercaya. Tetapi, ada juga hikayat yang
sumber penceritaannya bercampur baur antara fakta dan fiksi atau opini
penulisnya.
Hikayat berisi cerita kebaikan dan kemuliaan sang tokoh pada masa
hidupミya. さHikayat Nabi Idrisざ, マisalミya, berisi Ierita マeミgeミai kejujuraミミya,
kesalehannya, kepatuhannya beribadah kepada Allah, menjauhi semua
larangan Allah, dan sama sekali tidak mau merampas hak orang lain (lihat
Djamaris dkk., 1985: 7). Karena berbicara mengenai kebaikan dan kemuliaan
seorang tokoh, maka hikayat ditulis untuk berfungsi sebagai pemberi
wawasan, nasihat, pedoman hidup, dan inspirasi kepada pembaca. Dengan
membaca hikayat, seseorang diharapkan dapat mengubah dan memperbaiki
kualitas hidupnya pada masa depan.
2.2 Prosa Baru
Prosa baru adalah karya sastra yang berbentuk cerita atau narasi juga,
sama dengan prosa lama. Disebut prosa baru karena produk sastra ini tidak
lagi bersifat anonim (tanpa nama penulis). Penulis prosa baru sudah sangat
sadar akan hak-hak individualnya dan karena itu merasa memiliki wewenang
untuk mencantumkan namanya pada karya prosa yang mereka tulis. Dengan
demikian, karya-karya prosa yang mereka tulis tidak dapat lagi dianggap
sebagai milik bersama masyarakat, melainkan milik individu penulis.
Selain itu, prosa baru sudah memperlihatkan semangat yang dinamis,
baik dalam hal isi atau tema maupun bentuknya. Para penulis prosa baru
sudah memiliki keberanian menuliskan sesuatu yang berbeda dan bahkan
menentang hal-hal yang menjadi kebiasan umum. Isi atau tema prosa baru
sudah bersifat masyarakat sentris. Semua perubahan ini dimungkinkan
karena para penulis prosa baru mulai mendapat pengaruh yang kuat dari
15
perkembangan sastra Barat. Kenyataan ini jauh berbeda dari karakteristik
prosa lama yang isi atau temanya selalu disebut bersifat istana sentris, yakni
berorientasi kepada kepentingan penguasa.
Sebagai karya sastra, prosa baru hadir dalam berbagai bentuk, seperti
cerpen, novel, dan drama. Paparan mengenai bentuk-bentuk prosa baru
tersebut dapat dilihat pada bagian berikut.
2.2.1 Cerita Pendek
Cerita pendek, atau sering disingkat dengan cerpen, adalah suatu
bentuk prosa naratif fiktif. Berapa ukuran panjang atau pendek yang
dimaksud memang tidak ada aturan baku yang dianut maupun kesepakatan
di antara pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe, dalam Burhan
Nurgiantoro (1995: 11), menyatakan bahwa cerita pendek adalah sebuah
cerita yang selesai dibaca sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah jam
sampai dua jam.
Untuk menentukan panjang pendeknya cerpen, khususnya berkaitan
dengan jumlah kata yang digunakan, berikut ini dikemukakan beberapa
pendapat. Menurut Staton cerpen biasanya menggunakan 15.000 kata atau
setara dengan lebih kurang 50 halaman. Sedangkan Notosusanto menyatakan
bahwa jumlah kata yang digunakan di dalam cerpen sekitar 5.000 kata atau
kira-kira 17 halaman kuarto dengan spasi rangkap (lihat KSG Unimed, 2013:
292).
Cerita pendek, selain kependekannya ditunjukkan oleh jumlah
penggunaan kata yang relative terbatas, peristiwa dan isi cerita yang disajikan
juga sangat pendek. Peristiwa yang disajikan memang singkat, tetapi
mengandung kesan yang dalam. Isi cerita memang pendek karena
mengutamakan kepadatan ide. Karena itu, peristiwa dan isi cerita dalam
cerpen relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan roman atau novel.
Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya
dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novel. Karena
singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik
sastra, seperti tokoh, plot, tema, bahasa, dan insight, secara lebih luas
16
dibandingkan dengan fiksi lain yang lebih panjang. Disyaratkan oleh H.B.
Jassin bahwa cerita pendek haruslah memiliki bagian perkenalan, pertikaian,
dan penyelesaian (Korrie Layun Rampan, 1995: 10).
Ciri-ciri cerita pendek, menurut Stanton (2007: 76), adalah: (1)
haruslah berbentuk padat, (2) realistik, (3) alur yang mengalir dalam cerita
bersifat fragmentaris dan cenderung inklusif. Sedangkan menurut Guntur
Tarigan, cirri-ciri cerpen adalah: (1) singkat, padu, dan intensif (brevity, unity,
dan intensity), (2) memiliki unsur utama berupa adegan, tokoh, dan gerak
(scene, character, dan action), (3) bahasanya tajam, sugestif, dan menarik
perhatian (incisive, suggestive, dan alert), (4) mengandung impresi pengarang
tentang konsepsi kehidupan, (5) menimbulkan efek tunggal dalam pikiran
pembaca, (6) mengandung detil dan insiden yang benar-benar terpilih, (7)
memiliki pelaku utama yang menonjol dalam cerita, dan (8) menyajikan kebulatan
efek dan kesatuan emosi.
Berdasarkan berbagai batasan dan ciri cerita pendek di atas, dapat
disimpulkan bahwa cerita pendek adalah bentuk prosa fiktif naratif yang
habis dibaca sekali duduk, serta mengandung konflik dramatik. Cerita pendek
adalah cerita fiksi bentuk prosa yang singkat yang unsur ceritanya berpusat
pada satu peristiwa pokok sehingga jumlah dan pengembangan pelaku
terbatas, dan keseluruhan cerita memberi kesan tunggal.
2.2.1.1 Unsur Intrinsik Cerita Pendek
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra.
Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya
sastra; unsur-unsur yang yang secara faktual akan dijumpai jika orang
membaca karya sastra.
Unsur intrinsik cerpen dapat dikelompokkan ke dalam enam bagian, masing-
masing: (1) tema, (2) alur, (3) penokohan atau perwatakan, (4) latar, (5) sudut
pandang atau point of view, dan (6) amanat. Pembahasan terhadap unsur-
unsur intrinsik pembangun cerita pendek yang telah disampaikan di atas
diuraikan sebagai berikut.
17
Tema. Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita atau
gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya. Tema menjadi dasar
pengembangan seluruh cerita sehingga bersifat menjiwai keseluruhan cerita.
Tema suatu karya sastra letaknya tersembunyi dan harus dicari sendiri oleh
pembaca. Pengarang karya sastra tidak akan secara gamblang mengatakan
apa yang menjadi inti permasalahan hasil karyanya, walaupun kadang-
kadang terdapat kata-kata atau kalimat kunci dalam salah satu bagian karya
sastra. Melalui kalimat kunci itu pengarang seolah-olah merumuskan apa
yang sebenarnya menjadi pokok permasalahan.
Ada beberapa cara untuk menafsirkan tema menurut Stanton (2007:
44), yakni: (1) harus memperhatikan detil yang menonjol dalam cerita rekaan,
(2) tidak terpengaruh oleh detil cerita yang kontradiktif, (3) tidak sepenuhnya
bergantung pada bukti-bukti implisit, kadang-kadang harus yang eksplisit
juga, (4) tema itu dianjurkan secara jelas oleh cerita yang bersangkutan. Perlu
ditambahkan di sini bahwa faktor pengarang dengan pandangan-
pandangannya turut menentukan tema karyanya. Penokohan. Penokohan
merupakan salah satu unsur dalam cerita yang menggambarkan keadaan
lahir maupun batin seseorang atau pelaku. Setiap manusia mempunyai
karakter yang berbeda-beda. Karena cerpen pada dasarnya menceritakan
manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya, maka setiap tokoh
dalam cerita akan memiliki watak yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Melalui karakter tokoh cerita, pembaca mengikuti jalan cerita
sehingga maksud cerita akan menjadi lebih jelas.
Istilah tokoh merujuk pada orang atau pelaku cerita. Watak,
perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh.
Penokohan dan karakterisasi sering disamakan artinya dengan karakter dan
perwatakan. Penokohan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu
dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiantoro, 1995: 165).
Jadi yang dimaksud dengan penokohan atau karakteristik adalah ciri-
ciri jiwa seseorang tokoh dalam suatu cerita. Seluruh pengalaman yang
dituturkan dalam cerita kita ikuti berdasarkan tingkah laku dan pengalaman
18
yang dipelajari melalui pelakunya. Melalui perilaku ilmiah pembaca mengikuti
jalannya seluruh cerita dan berdasarkan karakter, situasi cerita dapat
dikembangkan.
Plot atau Alur. Plot atau alur adalah urutan peristiwa yang merupakan
dasar terciptanya sebuah cerita. Alur bisa tampak apabila pengarang mampu
membangun saling hubung antara tema, pesan, dan amanat dalam cerita.
Cerita bergerak dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Masing-masing
peristiwa itu disusun secara runtut, utuh dan saling berhubungan sehingga
membangun plot. Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan banyak
orang menganggap sebagai unsur yang terpenting. Plot dapat mempermudah
pemahaman seseorang tentang suatu cerita. Tanpa plot, pembaca akan
kesulitan memahami suatu cerita.
Plot karya fiksi yang kompleks sulit dipahami hubungan kaosalitas
antarperistiwanya. Akibatnya, cerita sulit dipahami. Dalam suatu cerita biasanya
dituliskan berbagai peristiwa dalam urutan tertentu. Peristiwa yang diurutkan itulah
yang disebut alur atau plot.
Plot biasanya dikelompokkan atas tiga tahap, yakni awal-tengah-akhir.
Tahap awal sering disebut juga dengan tahap perkenalan. Tahap ini berisi
informasi-informasi penting yang berhubungan dengan berbagai hal yang
akan dikisahkan berikutnya. Tahap tengah, atau tahap pertikaian,
menampilkan konflik atau pertentangan yang sudah mulai dimunculkan pada
tahap sebelumnya. Tahap akhir, atau tahap peleraian, menampilkan adegan
tertentu akibat klimaks. Pada bagian ini, dimunculkan akhir dari cerita.
Latar (setting). Latar, atau biasa disebut dengan setting, merujuk
kepada pengertian tempat¸ hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar memberikan kesan realistis kepada
pembaca. Latar dibedakan dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan
sosial. Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa, latar waktu
berhubungan dengan masalah kapan peristiwa terjadi, dan latar sosial
mengacu kepada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat dalam cerita.
19
Sudut Pandang (point of view). Sudut pandang, atau point of view,
adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana
untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, dalam
Burhan Nurgiantoro, 1995: 248). Dengan demikian, sudut pandang pada
hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih
pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang
dikemukakan dalam karya fiksi, memang milik pengarang. Namun, semuanya
itu, dalam karya fiksi, disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kaca mata
tokoh cerita (Burhan Nurgiantoro, 1995: 248). Sudut pandang atau point
of view penceritaan dapat dibedakan atas tiga macam, masing-masing: (1)
sudut pandang orang pertama; pengarang sebagai aku (gaya akuan) Dalam
hal ini, pengarang dapat bertindak sebagai omnicient (serba tahu) dan dapat
juga sebagai limited (terbatas), (2) pengarang sebagai orang ketiga (gaya
diaan). Dalam hal ini, pengarang dapat bertindak sebagai omniscient (serba
tahu) dan dapat juga bertindak limited (terbatas), (3) point of view gabungan,
artinya pengarang menggunakan gabungan dari gaya bercerita pertama dan
kedua.
Gaya. Gaya dapat diartikan sebagai gaya pengarang dalam bercerita
atau gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam karyanya. Keduanya
saling berhubungan, yaitu gaya seorang pengarang dalam bercerita akan
terlihat juga dalam bahasa yang digunakannya.
Gaya bahasa adalah ekspresi personal, keseluruhan respons,
pengarang terhadap persitiwa-peristiwa melalui media bahasa, seperti: jenis
bahasa yang digunakan, kata-kata, sifat atau ciri khas imajinasi, struktur, dan
irama kalimat-kalimatnya. Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni (2008:
41), gaya pengarang satu dengan yang lainnya berbeda. Karena itu, bahasa
karya sastra bersifat ideocyncratic, artinya sangat individual. Perbedaan gaya
itu disebabkan oleh perbedaan pemikiran dan kepribadian.
Amanat. Amanat adalah suatu ajaran moral yang ingin disampaikan
pengarang. Panuti Sujiman (1988: 51) menyatakan bahwa amanat adalah
gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan
20
pengarang kepada pembaca. Menurut Suharianto (1982: 71), amanat dapat
disampaikan secara tersurat dan tersirat. Tersurat artinya pengarang
menyampaikan langsung kepada pembaca melalui kalimat, baik berupa
keterangan pengarang atau pun berbentuk dialog pelaku. Seorang
pengarang, dalam karyanya, tidak hanya sekedar ingin memgungkapkan
gagasannya, tetapi juga mempunyai maksud tertentu atau pesan tertentu
yang ingin disampaikan kepada pembaca. Pesan tertentu itulah yang disebut
amanat.
Amanat dalam sebuah karya sastra biasanya mencerminkan
pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-
nilai kebenaran dan berbagai hal yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca. Amanat dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang
berhubungan dengan hal tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan
ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.
2.2.2 Novel
Novel merupakan salah satu jenis fiksi. Novel dan cerita pendek
merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan
dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan
fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi juga berlaku untuk novel (Burhan
Nurgiantoro, 1995: 9).
Herman J. Waluyo (2002: 37) mengemukakan bahwa novel
mempunyai ciri: (1) ada perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa
episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama tidak
sampai meninggal. Di dalam novel tidak dituntut kesatuan gagasan, impresi,
emosi dan setting seperti dalam cerita pendek.
Secara etimilogis, kata novel berasal dari kata novellus yang berarti
けbaruげ. Jadi, novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru.
Novel adalah satu genre sastra yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun
yang secara fungsional memiliki keterjalinan. Untuk membangun totalitas
makna dengan media bahasa sebagai penyampai gagasan pengarang tentang
hidup dan seluk-beluk kehidupan manusia.
21
Telaah struktur novel dalam konteks ini akan dilakukan dengan
pendekatan intertekstualitas. Dalam pendekatan intertekstualitas, penulis
menekankan bahwa struktur novel terdiri dari unsur instrinsik dan unsur
ekstrinsik.
2.2.2.1 Unsur Intrinsik
Unsur-unsur instrinsik novel terdiri atasi (1) tema, (2) plot atau alur,
(3) penokohan, (4) perwatakan atau karakterisasi, (5) setting atau latar, dan
(6) sudut pandang atau point of view. Unsur-unsur ekstrinsik novel terdiri atas:
(1) biografi pengarang, (2) karya-karya pengarang, (3) proses kreatif
pengarang, dan (4) unsur sosial budaya.
Tema adalah gagasan dasar umum sebuah karya novel. Gagasan dasar
umum inilah yang tentunya telah ditemukan sebelumnya oleh pengarang dan
dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain, cerita
teミtuミya akaミ さsetiaざ マeミgikuti gagasaミ dasar uマuマ yaミg telah ditetapkaミ
sebelumnya sehingga berbagai peristiwa konflik dan pemilihan berbagai
unsur instrinsik yang lain, seperti penokohan, pelataran, dan
penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan dasar umum
tersebut.
Alur Cerita atau Plot, menurut Lukman Ali (1978: 120), adalah
sambung sinambung peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat yang tidak
hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting adalah
mengapa hal itu terjadi. Alur cerita terdiri dari tiga bagian, yaitu: (1) alur
awal, terdiri atas paparan (eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan
penggawatan (rising action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaiaan (conflict),
perumitan (complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3)
alur akhir, terdiri dari peleraian (falling action) dan penyelesaian
(denouement). konflik cerita yang berasal dari peristiwa-peristiwa yang
terjadi sebelumnya. Falling action adalah peredaan konflik cerita. Konflik
yang telah mencapai puncak, akhirnya menurun karena sudah ada tanda-
tanda adanya penyelesaian pertikaian. Denouement adalah penyelesaian
22
yang dipaparkan oleh pengarang dalam mengakhiri penyelesaian konflik yang
terjadi.
Penokohan dan Perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat.
Penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih
tokohnya serta memberi nama tokoh dalam cerita. Perwatakan berhubungan
dengan karakteristik atau bagaimana watak tokoh-tokoh itu. Keduanya
berkaitan dengan tokoh-tokoh dalam cerita novel. Membicarakan
perwatakan, Mochtar Lubis (1981: 18) memasukkannya dalam teknik cerita
dengan menyebut sebagai gambaran rupa atau pribadi atau watak pelakon
(character delineation).
Setting atau Latar berfungsi memperkuat pematutan dan faktor
penentu bagi kekuatan plot, begitu kata Marjeric Henshaw (dalam Herman J.
Waluyo, 2002: 198). Abrams membatasi setting sebagai tempat terjadinya
peristiwa dalam cerita (1977: 157). Dalam setting, menurut Harvy (1966:
304), faktor waktu lebih fungsional daripada faktor alam. Wellek mengatakan
bahwa setting berfungsi untuk mengungkapkan perwatakan dan kemauan
yang berhubungan dengan alam dan manusia (Wellek, 1962: 220). Herman J.
Waluyo mengatakan bahwa setting adalah tempat kejadian cerita (2009: 34).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa
setting cerita berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Waktu dapat
berarti siang dan malam, tanggal, bulan, dan tahun; dapat pula berarti di
dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga di kota mana, di
negeri mana dan sebagainya. Unsur setting lain yang tidak dapat dipisahkan
adalah hasil budaya masa lalu, alat transportasi, alat komunikasi, warna lokal
dan daerah, dan lain-lain.
Setting berfungsi: (1) mempertegas watak pelaku; (2) memberikan
tekanan pada tema cerita; (3) memperjelas tema yang disampaikan; (4)
metafora bagi situasi psikis pelaku; (5) sebagai atmosfir (kesan); (6)
memperkuat posisi plot Point of View atau Sudut Pandang mengacu
kepara cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan
yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
23
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah
karya fiksi kepada pembaca.
Nurgiyantoro (2009: 256-266) menyebutkan, ada tiga jenis sudut
paミdaミg, yaitu: ふヱぶ sudut paミdaミg persoミa ketiga: さdiaざ yaミg terdiri dari: ふaぶ
さdiaざ Mahatahu; ふbぶ さdiaざ terbatas, さdiaざ sebagai peミgaマat; ふ2ぶ sudut
paミdaミg persoミa pertaマa さakuざ yaミg terdiri dari ふaぶ さakuざ tokoh utaマa, daミ
ふbぶ さakuざ tokoh taマbahaミ; ふンぶ sudut paミdaミg Iaマpuran. Sudut pandang
campuran ini dapat terjadi antara sudut pandang persona ketiga dengan
tekミik さdiaざ マahatahu daミ さdiaざ sebagai peミgaマat, persoミa pertaマa deミgaミ
tekミik さakuざ sebagai tokoh utaマa, daミ さakuざ taマbahaミ, bahkaミ dapat
berupa Iaマpuraミ aミtara persoミa pertaマa daミ persoミa ketiga, aミtara さaku
daミ さdiaざ sekaligus.
2.2.2.2 Unsur Ekstrinsik Novel dan Cerpen
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar teks novel, tetapi
memberi pengaruh yang tidak kalah kuatnya terhadap isi novel dan cerpen
daripada unsur intrinsik. Beberapa ahli sastra mengatakan bahwa unsur
ekstrinsik bahkan lebih menentukan dimensi isi karya novel dan cerpen.
Unsur ekstrinsik mencakup: (1) latar belakang masyarakat, (2) latar
belakang seorang pengarang, dan (3) nilai-nilai yang terkandung di dalam
novel. Latar belakang masyarakat sangat berpengaruh pada penulisan novel
dan cerpen. Latar belakang masyarakat tersebut bisa berupa, antara lain,
kondisi politik, idiologi negara, kondisi sosial, dan juga kondisi perekonomian
masyarakat.
Latar belakang seorang pengarang terdiri atas biografi pengarang, kondisi
psikologis pengarang , aliran sastra yang dimiliki penulis, dan minatnya terhadap
sesuatu sangatlah mempengaruhi terbentuknya sebuah cerpen atau novel. Riwayat
hidup sang penulis mempengaruhi jalan pikir penulis atau sudut pandang mereka
tentang suatu. Faktor riwayat hidup ini mempengaruhi gaya bahasa dan genre
khusus seorang penulis novel/cerpen. Kondisi psikologis merupakan mood atau
motivasi seorang penulis ketika menulis cerita. Mood atau psikologis seorang penulis
ikut mempengaruhi apa yang ada di dalam cerita mereka, misalnya jika mereka
24
sedang sedih atau gembira mereka akan membuat suatu cerita sedih atau gembira
pula. Aliran sastra merupakan さagamaざ bagi seorang penulis dan setiap penulis
memiliki aliran sastra yng berbeda-beda. Hal ini sangat memengaruhi gaya
penulisan dan genre cerita yang biasa diusung oleh sang penulis di dalam karya-
karyanya. Nilai-nilai yang terkandung di dalam cerpen/novel, seperti nilai agama,
nilai social, nilai moral, dan nilai budaya, turut menentukan arah karya penulis.
2.2.3 Prosa Lirik
Prosa Lirik adalah salah satu bentuk karya sastra dalam ragam prosa
yang ditulis dan diungkapkan dengan menggunakan unsur-unsur puisi.
Meskipun bahasanya berirama, dan pencitraannya seperti puisi, tetapi ikatan
antarkata dalam sebuah kalimat, atau hubungan antarkalimat dalam sebuah
paragraf (secara sintaksis) lebih mendekati bentuk prosa.
Suroso (dalam Mudini dkk, 2016;77) menuliskan bahwa prosa lirik adalah
karangan berbentuk prosa yang berisi curahan perasaan seperti puisi. Ciri-ciri prosa
lirik: (1) Ikatan kalimatnya berbentuk prosa, (2) terdapat irama yang selaras dengan
perasaan yang terkandung di dalamnya. (3) bersifat liris; curahan perasaan. (4) tidak
terdapat sajak di dalamnya. Kalaupun ada sajak, hanya kebetulan saja, (5) tidak
untuk membawakan berita, tetapi berisikan lukisan perasaan tertentu yang
dikandung pengarang. (6) karangan disusun paragraf demi paragraf seperti prosa
biasa, dan (7) prosa lirik terdapat dalam kesusastraan baru.
Contoh Prosa Lirik:
Berselisih
(Karya Amir Hamzah)
Berselisih kami, ia dua berjalan, aku seperti selamanya
seorang diri. Adiknya yang dipimpinnya itu menoleh-noleh ke
belakang, matanya berkilat-kilat melihat segala berwarna warni,
putar-rimutar, kelap- kumilap di tepi jalan itu.
Ya, panjang-jinjing, lembut-lemah, kudungnya, tertudung-
singkap, diusap- usap angin, ditolak-tolakkan anak rambutnya.
Berhenti ia, payung bertulis, dihujam agak tipis, dipanas agak kecil,
dilihat, dipulung- pulungnya, ditawarnya, kemahalan ...
25
Terhenti aku, kakiku enggan terus, di hadapanku berdiri
perempuan tua, sanggulnya merangkum kuntum, layu belum,
kembang tak jadi. Bertanya beliau. Menoleh ia ke belakang, kulihat
matanya seketika, rasaku bercermin pada air yang jernih, dangkal
entahkan dalam, kelopak matanya yang segan terbuka, enggan
bertemu itu, melayap-hinggap semangatku serasa bermimpi,
mendaduhkan hatiku yang rusuh-resah ini...
Di manakah aku telah melihatnya? Kutandai muka dan rupa,
bangun dan anggunnya, kukenal seluk-bentuk tubir bibirnya ...
Aduh hatiku, terasa ada, terkatakan tidak.
3 . Teori dan Genre Drama Indonesia
3.1 Pengertian Drama
Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti
けberbuatげ, けberlakuげ, atau けbertiミdakげ. Jadi, secara literal, drama berarti
けperbuatanげ atau けtiミdakaミげ. Naマuミ deマikiaミ, sebagai istilah di dalaマ duミia
sastra, drama pada awalnya diartikan sebagai kualitas komunikasi, situasi,
action (segala yang terlihat di pentas) yang menimbulkan perhatian,
kehebatan (acting), dan ketegangan pada para pendengar/penonton. Dalam
perkembangan selanjutnya, kata drama mengacu kepada bentuk karya
sastra yang berusaha mengungkapkan perihal kehidupan manusia melalui
gerak percakapan di atas panggung, atau suatu karangan yang disusun dalam
bentuk percakapan dan yang dapat dipentaskan. Oleh karena itu, dalam
naskah drama selain percakapan pelaku, berisi pula petunjuk gerak atau
penjelasan mengenai gerak-gerik dan tindakan pelaku, peralatan yang
dibutuhkan, penataan pentas atau panggung, musik pengiring, dan
sebagainya.
Ciri khas drama adalah naskahnya berbentuk percakapan atau dialog.
Dialog bahkan disebut-sebut sebagai hal yang paling membedakan drama
dari karya fiksi lainnya, seperti cerpen dan novel (KSG Unimed, 2013: 265).
Dialog menjadi bagian awal yang langsung terlihat berbeda dari teks fiksi
26
lainnya. Artinya, teks drama lebih dominan bagian dialognya dibandingkan
dengan teks fiksi lainnya.
Dalam menyusun dialog, pengarang harus memperhatikan
pembicaraan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehari-hari dan pantas untuk
diucapkan di atas panggung. Ragam bahasa dalam dialog tokoh-tokoh drama
adalah bahasa lisan yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis. Pilihan
kata (diksi) pun dipilih sesuai dengan dramatic action dari plat out. Diksi
berhubungan dengan irama lakon, artinya panjang pendeknya kata-kata
dalam dialog berpengaruh terhadap konflik yang dibawakan lakon.
Dialog dalam sebuah drama pun harus estetis atau memiliki
keindahan bahasa. Namun, nilai estetis tersebut tidak boleh mengganggu
makna yang terkandung dalam naskah. Selain itu, dialog harus hidup. Artinya,
dialog harus dapat mewakili tokoh yang dibawakan. Untuk itu, observasi di
lapangan perlu dilakukan oleh penulis untuk membantu menulis dialog
drama agar realistis.
Pementasan drama haruslah mengandung unsur keindahan atau
estetika. Kualitas kedua unsur drama di atas terutama bergantung pada: (1)
naskah lakon; (2) aktor dan aktris pendukungnya; (3) pola pengagendaan
atau mis en scene; (4) tata artistik; (5) tata rias ; (6) tata busana; (7) tata
cahaya; (8) tata suara; (9) tata musik; dan (10) tata gerak.
Drama dibangun oleh unsur-unsur tema, plot, tokoh, karakter, latar,
dan amanat serta unsur bahasa yang berbentuk dialog. Unsur-unsur ini akan
dibahas lebih lanjut pada bagian berikut ini.
3.1.1 Tema
Tema merupakan dasar atau inti cerita. Suatu cerita harus mempunyai
tema atau dasar, dan dasar inilah yang paling penting dari seluruh cerita.
Cerita yang tidak memiliki dasar tidak ada artinya sama sekali atau tidak
berguna (Lubis, 1981: 15). Tema sebagai central idea and sentral purpose
merupakan ide dan tujuan sentral (Stanton, 1965: 16). Tema dapat timbul
dari keseluruhan cerita, sehingga pemahaman antara seorang penikmat
dengan penikmat lain tidak sama (Jones, 12968: 31). Ada pula yang
27
berpendapat bahwa tema merupakan arti dan tujuan cerita (Kenny, 1966:
88).
Menurut Nurgiyantoro (1995: 70), tema dapat dipandang sebagai
gagasan dasar umum sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang
tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang dan dipergunakan
untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain cerita harus mengikuti
gagasan utama dari suatu karya sastra.
Pendapat di atas dapat menggambarkan simpulan bahwa: (1) tema
merupakan dasar suatu cerita rekaan; (2) tema harus ada sebelum pengarang
mulai dengan ceritanya; (3) tema dalam cerita atau novel tidak ditampilkan
secara eksplisit, tetapi tersirat di dalam seluruh cerita; dan (4) dalam satu
cerita atau novel terdapat tema dominan atau tema sentral dan tema-tema
kecil lainnya. 3.1.2 Plot atau Plot
Plot atau plot adalah rangkaian cerita yang dibentuk dalam tahapan-
tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang utuh. Plot disusun
tidak lepas dari tema. Jalan cerita yang disusun atau dijalin tidak boleh
meloncat ke lain tema. Tiap-tiap kejadian akan berhubungan sehingga
seluruh cerita merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Lubis (1981: 18) menyampaikan cara memulai dan menyusun cerita
yang disampaikan oleh Tasrif yang dibagi menjadi lima tahapan, yakni
penggambaran situasi awal (exposition), peristiwa mulai bergerak menuju
krisis diwarnai dengan konflik-konflik (complication), keadaan mulai
memuncak (rising action), keadaan mencapai puncak penggawatan (klimaks),
kemudian pengarang memberikan pemecahan atau jalan keluar
permasalahan sehingga cerita berakhir (denouement). Cara memulai dan
menyusun cerita seperti di atas dinamakan plot atau dramatic conflict.
3.1.2 Penokohan dan Perwatakan
Esten (dalam Kelan, 2005: 14) menyatakan bahwa penokohan adalah
permasalahan bagaimana cara menampilkan tokoh: bagaimana membangun
dan mengembangkan watak tokoh-tokoh tersebut dalam sebuah karya fiksi?
28
Jadi antara pengertian tokoh dan penokohan memiliki makna yang berbeda.
Tokoh berbentuk suatu individu, sedangkan penokohan adalah proses
menampilkan individu tersebut dalam cerita.
Dalam proses penciptaan pemeranan, sang aktor atau aktris harus
memunyai daya cipta yang tinggi untuk mencoba semaksimal mungkin
menjadi tokoh yang diperankan. Ia harus sanggup menjiwai peran yang
dipegangnya, sehingga ia (seperti) benar-benar merupakan sang tokoh
dengan apa adanya dalam pementasan lakon tersebut. Pada penampilan
imajinasinya, tokoh juga dibantu oleh laku, pakaian yang dikenakan, dan rias.
Semua unsur tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan harus saling mendukung,
sehingga mampu mewujudkan karakter dari tokoh seperti yang dikehendaki
dalam lakon yang bersangkutan.
Untuk menggambarkan karakter seorang tokoh, pengarang dapat
menggunakan teknik sebagai berikut. (1) Teknik analitik: karakter tokoh
diceritakan secara langsung oleh pengarang; (2) Teknik dramatik, yaitu teknik
karakter tokoh dikemukakan melalui: (a) penggambaran fisik dan perilaku
tokoh; (b) penggambaran lingkungan kehidupan tokoh; (c) penggambatran
ketatabahasaan tokoh; (d) pengungkapan jalan pikiran tokoh; dan (e)
penggambaran oleh tokoh lain. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Waluyo
(2009: 30) yang menuliskan bahwa penggambaran watak tokoh
mempertimbangkan tiga dimensi watak, yaitu dimensi psikis (kejiwaan),
dimensi fisik (jasmpniah), dimensi sosiologis (latar belakang kekayaan,
pangkat, dan jabatan)
Tokoh dan penokohan adalah unsur yang vital dan pembangun dari
dalam yang tidak dapat dikesampingkan kedudukannya. Nurgiyantoro (2000:
164) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai tokoh dan perwatakannya
dengan berbagai citra dalam jati dirinya. Dalam berbagai hal, penokohan bisa
lebih menarik perhatian orang daripada berurusan dengan plot.
29
3.1.3 Amanat
Amanat merupakan unsur cerita yang berhubungan erat dengan
tema. Amanat akan berarti apabila ada dalam tema, sedangkan tema akan
sempurna apabila di dalamnya ada amanat sebagai pemecah jalan keluar
bagi tema tersebut. Sudjiman (dalam Alwi, 1998: 08) manyatakan bahwa
amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat
terdapat pada sebuah karya sastra secara implisit atau eksplisit. Amanat
dinyatakan secara implisit jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan
dalam tingkah laku menjelang cerita berakhir. Sementara itu, amanat
dilukiskan secara eksplisit apabila pengarang pada tengah atau akhir cerita
menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan, dan
sebagainya.
Pengertian amanat yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa amanat merupakan pesan yang disampaikan pengarang, baik secara
implisit atau eksplisit kepada pembaca. Di dalam drama, ada amanat yang
langsung tersurat, tetapi pada umumnya sengaja disembunyikan secara
tersirat dalam naskah drama yang bersangkutan. Hanya penonton yang
profesional yang mampu menemukan amanat implisit tersebut.
Cerita drama yang sudah dipanggungkan disebut dengan teater. Oleh
karena itu, pembicaraan drama kerap dikaitkan dengan teater. Tak ayal,
terkadang orang menyebut drama sebagai teater dan sebaliknya, teater
dikatakan dengan drama. Kedua hal ini tetap berbeda. Perbedaan tersebut
dapat dilihat dari tabel berikut.
3.2 Jenis Drama atau Teater
3.2.1 Tragedi
Boulton (1958:147) menjelaskan, drama tragedi adalah sebuah
permainan dengan akhir yang menyedihkan, biasanya setidaknya terdapat
satu kematian, tindakan dan pikiran dibuat secara serius dan dengan
30
menghormati hak pribadi manusia. Sementara itu, Massofa (2009)
menuliskan bahwa drama tragedi adalah perbuatan yang menampilkan sang
tokoh dalam kesedihan, kemuraman, keputusasaan, kehancuran, dan
kematian.
Senada dengan pendapat di atas, Wiyanto (2002:08) menjelaskan
bahwa drama tragedi adalah drama yang penuh kesedihan. Pelaku utama
dari awal hingga akhir pertunjukan selalu sia-sia (gagal) dalam
memperjuangkan nasibnya yang jelek. Beberapa pendapat di atas dapat
menjelaskan pengertian bahwa drama tragedi adalah drama yang bersifat
ringan yang menggambarkan kedukaan atau kesedihan yang dialami oleh
tokoh.
3.2.2 Melodrama
Boulton (1958: 148) memaparkan bahwa melodrama adalah
hubungan yang rendah dari sebuah tragedi. Ini mungkin tentang kesedihan
atau akhir yang menyenangkan, meskipun berakhir menyedihkan seperti
tumpukan mayat atau teriakan orang gila akan menjadi pelengkap sensasi
pertunjukan yang mungkin lebih mengharukan. Hal ini dikenal sebagai tragedi
yang sebenarnya dengan penggambaran karakter seseorang yang kasar dan
mungkin baik atau jahat secara realistis.
Sementara itu, Massofa (2009) menjelaskan bahwa melodrama
adalah perbuatan tragedi yang berlebihan. Melodrama juga dapat masuk ke
dalam cerita yang mengharukan ketika ditampilkan untuk menggambarkan
simpati. Ditambahkan oleh Wiyanto (2002:09) bahwa melodrama adalah
drama yang dialognya diucapkan dengan iringan melodi atau musik.
Beberapa pendapat para ahli di atas dapat menyimpulkan bahwa
melodrama adalah drama musikal yang sarat dengan kesedihan yang
terkadang sangat berlebihan dan menguras empati penonton.
31
3.2.3 The Heroic Play (Drama Heroik)
Boulton (1958: 148) menjabarkan bahwa drama heroik adalah jenis
tragedi berlebihan dalam model Inggris pada zaman Dryden. Drama ini
berkaitan dengan tema cinta dan keberanian yang tinggi. Ada bagian adegan
yang mengejutkan dari plot cerita yang aneh dan upaya itu dilakukan untuk
menghasilkan sesuatu yang lebih besar dari tragedi tradisional. Keinginan
untuk menciptakan sensasi yang kuat sehingga menjadi risiko dari sebuah
reaksi penolakan, tetapi bentuk itu sekarang telah punah.
Farce menurut Massofa (2009) disebutkan sebagai istilah yakni
komedi yang dilebih-lebihkan. Drama farce/heroik ini bisa dikatakan drama
yang berlebihan dalam mengekspresikan perilaku tokoh maupun keberanian
mengeksplor tema, sehingga menimbulkan dampak yang terkadang di luar
dugaan penonton, karena dikemas secara unik dan luar biasa.
3.2.4 Drama Masalah/Problem Play
Boulton (1958: 149) menjelaskan bahwa kegunaan istilah ini untuk
diterapkan pada jenis permainan yang menyenangkan dari masalah sosial atau
moral tertentu sehingga membuat orang berpikir cerdas. Secara alami hal ini
biasanya berkaitan dengan dilema hidup manusia yang menyakitkan. Jenis
permainan ini bermaksud mengajukan pertanyaan yang baik dan menyediakan
jawaban atau meninggalkan peradaban untuk menemukan sesuatu.
3.2.5 Komedi (Comedy)
Boulton (1958: 150) menyatakan bahwa fungsi penting dari komedi adalah
untuk menghibur. Hiburan dapat dimulai dari senyum tenang lalu kemudian tertawa
terbahak-bahak. Komedi dapat menjadi sangat hebat atau sangat sederhana, tetapi
juga dapat menenangkan hati manusia, seperti Yello┘ Sands and The Farマer’s Wife
karya Eden Philpott; atau kecerdasan yang bijaksana seperti The Provok’d Wife atau
The Way of The World. Penggunaan komedi dapat disesuaikan dengan jenis-jenis
drama yang mengikutinya. Sementara itu, Massofa (2009), mendeskripsikan drama
32
komedi adalah lakon ringan yang menghibur, menyindir, penuh seloroh, dan
berakhir dengan kebahagiaan.
Koestler berpendapat bahwa humor adalah motivator agresif. Sebenarnya
humor adalah bentuk kekhawatiran, pertahanan diri atau menyerang mendadak
(tiba-tiba) dan tertawa lebar. Evolusi biologis manusia, katanya, telah jatuh di
belakang mental yang berbahaya. Emosi agresif-defensif turun dari neurobiologis
lapisan dalam dan memiliki ketekunan yang lebih besar dan dari dalam diri disebut
evolusioner kemudian berkembang penalaran yang lebih fleksibel. Oleh karena itu
peristiwa mental secara tiba-tiba dengan dua matriks biasa tidak kompatibel, akan
tetapi emosi bisa tidak mengikuti dengan cepat seperti itu dan begitu ketegangan
psikologis menemukan solusi dalam tawa, yaitu di sepanjang channel paling
perlawanan.
D. Aktivitas Pembelajaran
Aktivitas pembelajaran dilakukan dengan mekanisme tertentu
melalui tahap-tahap pembelajaran berikut:
(1) Pengantar Instruktur
Instruktur membuka pertemuan dan menyampaikan materi yang akan
dibahas atau didiskusikan. Instruktur dapat membentuk kelompok-
kelompok diskusi peserta bila diperlukan.
(2) Curah Pendapat
a. Instruktur meminta peserta pelatihan melakukan curah pendapat
tentang teori dan genre sastra Indonesia dalam kelompok peserta
3 – 4 orang.
b. Instruktur kemudian merangkum hasil curah pendapat secara pleno
dan menuliskannya pada slide power point.
(3) Diskusi Mengelaborasi Kompetensi
a. Peserta diminta mendiskusikan/mengelaborasi tujuan, kompetensi,
dan indikator pencapaian kompetensi (IPK) terkait materi
pembelajaran teori dan genre sastra Indonesia.
b. Instruktur mengimbau peserta pelatihan untuk berbagi pendapat
tentang tujuan, kompetensi, dan IPK (instruktur meminta seorang
33
peserta untuk menulis hasil diskusi mereka dengan menggunakan
power point)
c. Instruktur bersama peserta menyelaraskan tujuan, kompetensi, dan
IPK hasil diskusi dengan tujuan yang telah dipersiapkan oleh
instruktur.
(4) Mengisi Lembar Kerja (LK)
a. Peserta (dalam kelompok peserta 3-4 orang) diminta mengisi LK
yang telah dipersiapkan. Instruktur membimbing peserta mengisi
LK (instruktur dapat menayangkan informasi melalui perangkat
power point yang telah disiapkan).
b. LK dapat berupa pertanyaan atau penugasan yang berorientasi
kepada tujuan atau kompetensi yang telah ditetapkan.
c. Peserta kembali merampungkan LK sampai tuntas dibimbing oleh
instruktur (catatan : peserta dapat menuntaskan lembar kerja di
luar jam pelatihan).
(5) Menyajikan hasil LK
a. Presentasi hasil pengisisan LK oleh 5 orang guru yang ditunjuk oleh
instruktur (penunjukan secara acak oleh instruktur disepakati
sebelumnya bersama peserta).
b. Setiap peserta lainnya mengisi pedoman observasi
(6) Refleksi
Instruktur bersama-sama dengan peserta melakukan refleksi/kaji ulang
atas seluruh rangkai pembelajaran yang telah dilakukan;
mengapresiasi hasil-hasil yang telah dicapai atau yang belum tercapai;
mengevaluasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar.
1
KISI-KISI MATERI PLPG
MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA
No
Kompe-
tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
1 Pedagogik Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek
fisik, moral, spiritual,
sosial, kultural, emosional, dan
intelektual
1.1 Memahami karakteristik peserta didik yang berkaitan
dengan aspek fisik, intelektual,
sosial-emosional, moral, spiritual, dan latar belakang
sosial- budaya
Mengidentifikasi karakteristik perkembangan
sosial-emosional peserta
didik.
2 Pedagogik Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek
fisik, moral, spiritual,
sosial, kultural,
emosional, dan intelektual
1.2 Mengidentifikasi potensi peserta didik dalam mata
pelajaran yang diampu
Menemukenali potensi peserta didik dalam
pembelajaran Bahasa
Indonesia
3 Pedagogik Menguasai karakteristik
peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual,
sosial, kultural,
emosional, dan
intelektual
1.3 Mengidentifikasi bekal-ajar
awal peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu
Menemukenali skema
kognitif awal peserta didik dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia
4 Pedagogik Menguasai karakteristik
peserta didik dari aspek
fisik, moral, spiritual, sosial, kultural,
emosional, dan
intelektual
1.4 Mengidentifikasi kesulitan
belajar peserta didik dalam
mata pelajaran yang diampu
Menganalisis kesulitan
belajar yang dialami oleh
peserta didik berdasarkan gaya belajar
5 Pedagogik 2. Menguasai teori belajar dan prinsip-
prinsip pembelajaran
yang mendidik
2.1 Memahami berbagai teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik
terkait dengan mata pelajaran
yang diampu
Menganalisis berbagai pendekatan, metode, dan
teknik pembelajaran yang
mendidik dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia
6 Pedagogik 2. Menguasai teori
belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran
yang mendidik
2.2 Menerapkan berbagai
pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang
mendidik secara kreatif dalam
mata pelajaran yang diampu.
Menerapkan berbagai
pendekatan, strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yag mendidik
dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia
7 Pedagogik 3.Mengembangkan
kurikulum yang terkait
dengan mata pelajaran yang diampu
3.1 Memahami prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum.
Mengidentifikasi prinsip-
prinsip pengembangan
kurikulum
8 Pedagogik 3.Mengembangkan
kurikulum yang terkait
dengan mata pelajaran yang diampu
3.2 Menentukan tujuan
pembelajaran yang diampu
Merumuskan tujuan
pembelajaran Bahasa
Indonesia
9 Pedagogik 3.Mengembangkan 3.3 Menentukan pengalaman Mengidentifikasi
2
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
kurikulum yang terkait
dengan mata pelajaran yang diampu
belajar yang sesuai untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang diampu
pengalaman belajar peserta
didik dengan materi yang yang sesuai untuk mencapai
tujuan pembelajaran
Bahasa Indonesia
9 Pedagogik 3.Mengembangkan kurikulum yang terkait
dengan mata pelajaran
yang diampu
3.3 Menentukan pengalaman belajar yang sesuai untuk
mencapai tujuan pembelajaran
yang diampu
Mengidentifikasi pengalaman belajar peserta
didik dengan materi yang
yang sesuai untuk mencapai
tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia
9 Pedagogik 3.Mengembangkan
kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran
yang diampu
3.3 Menentukan pengalaman
belajar yang sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran
yang diampu
Mengidentifikasi
pengalaman belajar peserta didik dengan materi yang
yang sesuai untuk mencapai
tujuan pembelajaran
Bahasa Indonesia
10 Pedagogik 3.Mengembangkan
kurikulum yang terkait
dengan mata pelajaran yang diampu
3.4 Memilih materi
pembelajaran yang diampu
yang terkait dengan pengalaman belajar dan tujuan
pembelajaran
Menerapkan materi
pembelajaran Bahasa
Indonesia yang terkait dengan pengalaman belajar
dan tujuan pembelajaran
11 Pedagogik 3.Mengembangkan
kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran
yang diampu
3.5 Menata materi
pembelajaran secara benar sesuai dengan pendekatan
yang dipilih dan karakteristik
peserta didik
Mengorganisasi materi
pembelajaran Bahasa Indonesia sesuai dengan
pendekatan yang dipilih dan
karakteristik peserta didik
12 Pedagogik 3.Mengembangkan kurikulum yang terkait
dengan mata pelajaran
yang diampu
3.6 Mengembangkan indikator dan instrumen penilaian.
Merumuskan indikator dan instrumen penilaian
13 Pedagogik 4.Menyelenggarakan
pembelajaran yang
mendidik
4.1 Memahami prinsip-prinsip
perancangan pembelajaran
yang mendidik
Menjelaskan Memahami
prinsip-prinsip perancangan
pembelajaran bahasa
Indonesia yang mendidik
14 Pedagogik 4.Menyelenggarakan
pembelajaran yang
mendidik
4.2 Mengembangkan
komponen-komponen
rancangan pembelajaran
Mengembangkan
komponen-komponen
rancangan pembelajaran
15 Pedagogik 4.Menyelenggarakan
pembelajaran yang
mendidik
4.3 Menyusun rancangan
pembelajaran yang lengkap,
baik untuk kegiatan di dalam
kelas, laboratorium, maupun lapangan
Menyusun rancangan
pembelajaran Bahasa
Indonesia yang lengkap,
baik untuk kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas
16 Pedagogik 4.Menyelenggarakan
pembelajaran yang
mendidik
4.4 Melaksanakan
pembelajaran yang mendidik di
kelas, di laboratorium, dan di lapangan dengan
memperhatikan standar
keamanan yang dipersyaratkan
Menerapkan pembelajaran
Bahasa Indonesia di dalam
kelas dan di luar kelas
17 Pedagogik 4.Menyelenggarakan 4.5 Menggunakan media Memanfaatkan media
3
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
pembelajaran yang
mendidik
pembelajaran dan sumber
belajar yang relevan dengan karakteristik peserta didik dan
mata pelajaran yang diampu
untuk mencapai tujuan
pembelajaran secara utuh
pembelajaran dan sumber
belajar yang relevan dengan karakteristik peserta didik
dan mata pelajaran Bahasa
Indonesia untuk mencapai
tujuan pembelajaran secara utuh
18 Pedagogik 4.Menyelenggarakan
pembelajaran yang
mendidik
4.6 Mengambil keputusan
transaksional dalam
pembelajaran yang diampu sesuai dengan situasi yang
berkembang
Mengelola situasi dan
kondisi yang berkembang di
dalam kelas
19 Pedagogik 5. Memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk
kepentingan
pembelajaran
5.1 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
dalam pembelajaran yang
diampu
Memanfaatkan TIK dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia
20 Pedagogik 6. Memfasilitasi
pengembangan potensi
peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang
dimiliki
6.1 Menyediakan berbagai
kegiatan pembelajaran untuk
mendorong peserta didik mencapai prestasi secara
optimal.
Menerapkan berbagai
kegiatan pembelajaran
Bahasa Indonesia untuk mendorong peserta didik
mencapai prestasi secara
optimal
21 Pedagogik 6. Memfasilitasi pengembangan potensi
peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimiliki
6.2 Menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran untuk
mengaktualisasikan potensi
peserta didik, termasuk kreativitasnya
Menerapkan berbagai kegiatan pembelajaran
untuk mengaktualisasikan
potensi peserta didik
22 Pedagogik 7. Berkomunikasi secara
efektif, empatik, dan santun dengan peserta
didik
7.1 Memahami berbagai
strategi berkomunikasi yang efektif, empatik, dan santun,
secara lisan, tulisan, dan/atau
bentuk lain
Menerapkan berbagai
strategi berkomunikasi yang efektif, empatik, dan santun,
secara lisan, tulisan,
dan/atau bentuk lain
23 Pedagogik 7. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan
santun dengan peserta
didik
7.2 Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun
dengan peserta didik dengan
bahasa yang khas dalam interaksi kegiatan/permainan
yang mendidik yang terbangun
secara siklikal dari (a) penyiapan kondisi psikologis
peserta didik untuk ambil
bagian dalam permainan
melalui bujukan dan contoh, (b) ajakan kepada peserta
didik untuk ambil bagian, (c)
respons peserta didik terhadap ajakan guru, dan (d) reaksi
guru terhadap respons peserta
didik, dan seterusnya
Menerapkan komunikasi secara efektif, empatik, dan
santun dengan peserta didik
dalam pembelajaran Bahasa Indonesia
4
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
24 Pedagogik 8.Menyelenggarakan
penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar
8.1 Memahami prinsip-prinsip
penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar sesuai
dengan karakteristik mata
pelajaran yang diampu.
Menjelaskan prinsip-prinsip
penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar
sesuai dengan karakteristik
mata pelajaran Bahasa
Indonesia
25 Pedagogik 8.Menyelenggarakan
penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar
8.2 Menentukan aspek-aspek
proses dan hasil belajar yang
penting untuk dinilai dan
dievaluasi sesuai dengan karakteristik mata pelajaran
yang diampu
Menganalisis aspek-aspek
proses dan hasil belajar
yang penting untuk dinilai
dan dievaluasi sesuai dengan karakteristik mata
pelajaran Bahasa Indonesia
26 Pedagogik 8.Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar
8.3 Menentukan prosedur penilaian dan evaluasi proses
dan hasil belajar
Menerapkan prosedur penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar
Bahasa Indonesia
27 Pedagogik 8.Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar
8.4 Mengembangkan instrumen penilaian dan
evaluasi proses dan hasil
belajar
Mengembangkan instrumen penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar
Bahasa Indonesia
28 Pedagogik 8.Menyelenggarakan
penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar
8.5 Mengadministrasikan
penilaian proses dan hasil
belajar secara
berkesinambungan dengan mengunakan berbagai
instrumen
Membuat laporan/rapor
hasil penilaian proses dan
hasil belajar Bahasa
Indonesia secara berkesinambungan dengan
mengunakan berbagai
instrumen
29 Pedagogik 8.Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar
8.6 Menganalisis hasil penilaian proses dan hasil
belajar untuk berbagai tujuan
Menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar
Bahasa Indonesia untuk
berbagai tujuan
30 Pedagogik 8.Menyelenggarakan
penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar
8.7 Melakukan evaluasi proses
dan hasil belajar
Mengevaluasi proses dan
hasil belajar Bahasa
Indonesia
31 Pedagogik 9. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi
untuk kepentingan
pembelajaran
9.1 Menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi
untuk menentukan ketuntasan
belajar
Menerapkan data hasil belajar peserta didik untuk
menentukan KKM Bahasa
Indonesia
32 Pedagogik 9. Memanfaatkan hasil
penilaian dan evaluasi
untuk kepentingan
pembelajaran
9.2 Menggunakan informasi
hasil penilaian dan evaluasi
untuk merancang program
remedial dan pengayaan
Memanfaatkan data hasil
belajar peserta didik untuk
merancang program
remedial dan pengayaan
33 Pedagogik 9. Memanfaatkan hasil
penilaian dan evaluasi
untuk kepentingan
pembelajaran
9.3 Mengomunikasikan hasil
penilaian dan evaluasi kepada
pemangku kepentingan
Menyampaikan hasil
penilaian dan evaluasi
kepada orang tua/wali
peserta didik
34 Pedagogik 9. Memanfaatkan hasil
penilaian dan evaluasi
untuk kepentingan pembelajaran
9.4 Memanfaatkan informasi
hasil penilaian dan evaluasi
pembelajaran untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran
Memanfaatkan informasi
hasil penilaian dan evaluasi
pembelajaran untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran Bahasa
5
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
Indonesia
35 Pedagogik 10. Melakukan tindakan reflektif untuk
peningkatan kualitas
pembelajaran
10.1 Melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang
telah dilaksanakan
Melakukan refleksi terhadap pembelajaran Bahasa
Indonesia yang telah
dilaksanakan
36 Pedagogik 10. Melakukan tindakan reflektif untuk
peningkatan kualitas
pembelajaran
10.2 Memanfaatkan hasil refleksi untuk perbaikan dan
pengembangan pembelajaran
dalam mata pelajaran yang
diampu
Memanfaatkan hasil refleksi untuk perbaikan dan
pengembangan
pembelajaran Bahasa
Indonesia
37 Pedagogik 10. Melakukan tindakan
reflektif untuk
peningkatan kualitas pembelajaran
10.3 Melakukan penelitian
tindakan kelas untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran dalam mata
pelajaran yang diampu
Menerapkan PTK untuk
meningkatkan kualitas
dalam pembelajaran Bahasa Indonesia
1 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami konsep, teori, dan materi berbagai aliran
linguistik yang terkait
dengan pengembangan materi pembelajaran
bahasa.
Mengidentifikasi teori linguistik strutural yang
terkait dengan
pengembangan materi kelas kata bahasa
Indonesia dengan tepat.
2 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami konsep, teori, dan
materi berbagai aliran linguistik
yang terkait dengan pengembangan materi
pembelajaran bahasa.
Mengidentifikasi teori
linguistik deskriptif yang
terkait dengan
pengembangan materi
kelas kata bahasa
Indonesia dengan tepat.
3 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami konsep, teori, dan materi berbagai aliran linguistik
yang terkait dengan
pengembangan materi pembelajaran bahasa.
Mengidentifikasi materi
pembelajaran fonologi
bahasa Indonesia
berdasarkan aliran
struktural dengan tepat.
4 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami konsep, teori, dan
materi berbagai aliran linguistik yang terkait dengan
pengembangan materi
pembelajaran bahasa.
Mengidentifikasi materi
pembelajaran sintaksis
bahasa Indonesia
berdasarkan aliran
fungsional dengan tepat.
5 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
Memahami konsep, teori, dan materi berbagai aliran linguistik
yang terkait dengan
pengembangan materi
Mengidentifikasi materi
pembelajaran sintaksis
bahasa Indonesia
berdasarkan aliran
6
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
pelajaran yang diampu.
pembelajaran bahasa.
struktural dengan tepat.
6 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami konsep, teori, dan
materi berbagai aliran linguistik
yang terkait dengan pengembangan materi
pembelajaran bahasa.
Mengidentifikasi materi
pembelajaran morfologi
bahasa Indonesia
berdasarkan aliran
struktural dengan tepat.
7 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami konsep, teori, dan materi berbagai aliran linguistik
yang terkait dengan
pengembangan materi pembelajaran bahasa.
Mengidentifikasi materi
pembelajaran morfologi
bahasa Indonesia
berdasarkan aliran
fungsional dengan tepat.
8 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami konsep, teori, dan
materi berbagai aliran linguistik
yang terkait dengan pengembangan materi
pembelajaran bahasa.
Mengidentifikasi materi
pembelajaran morfologi
bahasa Indonesia
berdasarkan aliran deskriptif
dengan tepat.
9 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami konsep, teori, dan materi berbagai aliran linguistik
yang terkait dengan
pengembangan materi pembelajaran bahasa.
Mengidentifikasi materi
pembelajaran morfologi
bahasa Indonesia
berdasarkan aliran deskriptif
dengan tepat.
10 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami konsep, teori, dan
materi berbagai aliran linguistik
yang terkait dengan pengembangan materi
pembelajaran bahasa.
Mengidentifikasi materi
pembelajaran fonologi
bahasa Indonesia
berdasarkan aliran deskriptif
dengan tepat.
11 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami konsep, teori, dan materi berbagai aliran linguistik
yang terkait dengan
pengembangan materi pembelajaran bahasa.
Mengidentifikasi materi
pembelajaran kelas kata
bahasa Indonesia
berdasarkan aliran
fungsional dengan tepat.
12 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
Memahami hakikat bahasa
dan pemerolehan bahasa.
Mengidentifikasi konsep
hakikat bahasa.
7
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
13 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami hakikat bahasa
dan pemerolehan bahasa.
Mengidentifikasi konsep
pemerolehan fonologi.
14 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami hakikat bahasa dan
pemerolehan bahasa.
Mengidentifikasi konsep
pemerolehan bahasa
morfologi.
15
Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami hakikat bahasa dan
pemerolehan bahasa.
Mengidentifikasi konsep
pemerolehan bahasa
sintaksis
16 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami hakikat bahasa
dan pemerolehan bahasa.
Mengidentifikasi konsep
pemerolehan bahasa
semantik.
17 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami hakikat bahasa
dan pemerolehan bahasa.
Mengidentifikasi konsep
pemerolehan bahasa
pragmatik.
18 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami hakikat bahasa dan
pemerolehan bahasa.
Membedakan pemerolehan
dan pembelajaran bahasa
8
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
19 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami hakikat bahasa dan
pemerolehan bahasa.
Membedakan pemerolehan
dan pembelajaran bahasa
20 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami hakikat bahasa dan pemerolehan bahasa.
Menentukan tahapan
pemerolehan bahasa anak
21 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami hakikat bahasa dan
pemerolehan bahasa.
Menentukan tahapan
pemerolehan bahasa anak
22 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami hakikat bahasa dan pemerolehan bahasa.
Mengidentifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi
pemerolehan bahasa
23 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami kedudukan, fungsi,
dan ragam bahasa Indonesia.
Menngidentifikasi
kedudukan bahasa
Indonesia dengan tepat.
24 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami kedudukan, fungsi,
dan ragam bahasa Indonesia.
Mengidentifikasi kedudukan
bahasa Indonesia dengan
tepat.
25 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami kedudukan, fungsi,
dan ragam bahasa Indonesia.
Mengidentifikasi fungsi
bahasa Indonesia sebagai
alat pemersatu.
9
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
26 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami kedudukan, fungsi, dan ragam bahasa Indonesia.
Mengidentifikasi fungsi
bahasa Indonesia sebagai
alat pemersatu.
27 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami kedudukan, fungsi,
dan ragam bahasa Indonesia.
Mengidentifikasi entukan
jenis ragam tingkat
keformalan (beku/ frozen
style)
28 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami kedudukan, fungsi,
dan ragam bahasa Indonesia.
Mengidentifikasi jenis
ragam tingkat keformalan
(beku/ frozen style)
29 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami kedudukan, fungsi,
dan ragam bahasa Indonesia.
Mengidentifikasi jenis
ragam tingkat keformalan
(formal)
30 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami kedudukan, fungsi,
dan ragam bahasa Indonesia.
Mengidentifikasi jenis
ragam tingkat keformalan
(formal)
31 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami kedudukan, fungsi,
dan ragam bahasa Indonesia.
Mengidentifikasi jenis
ragam tingkat keformalan
(informal)
32 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
Memahami kedudukan, fungsi,
dan ragam bahasa Indonesia.
Mengidentifikasi jenis
ragam tingkat keformalan
(informal)
10
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
pelajaran yang diampu.
33 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami kedudukan, fungsi,
dan ragam bahasa Indonesia.
Mengidentifikasi jenis
ragam tingkat keformalan
(akrab)
34 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami kedudukan, fungsi, dan ragam bahasa Indonesia.
Mengidentifikasi jenis
ragam tingkat keformalan
(akrab)
35 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Menguasai kaidah bahasa
Indonesia sebagai rujukan
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Mengaplikasikan kaidah
ejaan dan tanda baca
sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar.
36 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Menguasai kaidah bahasa Indonesia sebagai rujukan
penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
Mengaplikasikan kaidah
morfologi sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar (menulis).
37 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Menguasai kaidah bahasa
Indonesia sebagai rujukan penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
Mengaplikasikan kaidah
morfologi sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar (berbicara).
38 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Menguasai kaidah bahasa Indonesia sebagai rujukan
penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
Mengaplikasikan kaidah
sintaksis sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar (berbicara)..
39 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
Menguasai kaidah bahasa
Indonesia sebagai rujukan penggunaan bahasa Indonesia
Mengaplikasikan kaidah
sintaksis sebagai rujukan
11
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
yang baik dan benar.
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar (menulis).
40 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Menguasai kaidah bahasa
Indonesia sebagai rujukan
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Mengaplikasikan kaidah
semantik sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar (berbicara)...
41 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Menguasai kaidah bahasa
Indonesia sebagai rujukan penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
Mengaplikasikan kaidah
semantik sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar (menulis).
42 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Menguasai kaidah bahasa
Indonesia sebagai rujukan
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Mengaplikasikan kaidah
pragmatik sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar (berbicara).
43 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Menguasai kaidah bahasa
Indonesia sebagai rujukan penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
Mengaplikasikan kaidah
pragmatik sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar (menulis).
44 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Menguasai kaidah bahasa
Indonesia sebagai rujukan
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Mengaplikasikan kaidah
ejaan dan tanda baca
sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar.
45 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Menguasai kaidah bahasa Indonesia sebagai rujukan
penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
Mengaplikasikan kaidah
morfologi sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar (menulis).
12
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
46 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Menguasai kaidah bahasa
Indonesia sebagai rujukan penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
Mengaplikasikan kaidah
morfologi sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar (berbicara).
47 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Menguasai kaidah bahasa Indonesia sebagai rujukan
penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
Mengaplikasikan kaidah
sintaksis sebagai rujukan
penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar (berbicara)..
48 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami teori dan genre
sastra Indonesia.
Mengidentifikasi teori
struktural berdasarkan
cuplikan naskah cerpen
yang disajikan.
49 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami teori dan genre sastra Indonesia.
Mengidentifikasi pantun
yang tepat berdasarkan ciri-
cirinya
50 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami teori dan genre
sastra Indonesia.
Mengidentifikasi syair yang
tepat berdasarkan ciri-
cirinya
51 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami teori dan genre
sastra Indonesia.
Mengidentifikasi syair yang
tepat berdasarkan ciri-
cirinya
52 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami teori dan genre
sastra Indonesia.
Mengidentifikasi genre
(prosa) yang tepat.
13
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
53 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami teori dan genre sastra Indonesia.
Mengidentifikasi genre (prosa) yang tepat.
54 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami teori dan genre
sastra Indonesia.
Mengidentifikasi genre
(puisi) yang tepat.
55 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami teori dan genre
sastra Indonesia.
Mengidentifikasi genre
(puisi) yang tepat.
56 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami teori dan genre
sastra Indonesia.
Mengidentifikasi genre
(drama) yang tepat.
57 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Memahami teori dan genre
sastra Indonesia.
Mengidentifikasi genre
(drama) yang tepat.
58 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Mengapresiasi karya sastra
secara reseptif dan produktif.
Mengapresiasi puisi
Indonesia (puisi lama:
pantun)
59 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
Mengapresiasi karya sastra
secara reseptif dan produktif.
Mengapresiasi puisi
Indonesia (puisi lama:
pantun)
14
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
pelajaran yang diampu.
60 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Mengapresiasi karya sastra
secara reseptif dan produktif.
Mengapresiasi puisi
Indonesia (puisi lama:
gurindam)
61 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Mengapresiasi karya sastra secara reseptif dan produktif.
Mengapresiasi puisi
Indonesia (puisi
baru:Soneta)
62 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Mengapresiasi karya sastra
secara reseptif dan produktif.
Mengapresiasi prosa
Indonesia (Prosa lirik: Kaba
Minangkabau).
63 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Mengapresiasi karya sastra secara reseptif dan produktif.
Mengapresiasi prosa
Indonesia (prosa
lama: hikayat)
64 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Mengapresiasi karya sastra
secara reseptif dan produktif.
Mengapresiasi prosa
Indonesia (prosa
lama: dongeng)
65 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Mengapresiasi karya sastra secara reseptif dan produktif.
Mengapresiasi prosa
Indonesia (prosa baru:
novel)
66 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
Mengapresiasi karya sastra
secara reseptif dan produktif.
Mengapresiasi prosa
Indonesia (prosa baru:
15
No
Kompe-tensi
Utama
Standar Kompetensi Guru (SKG)
Kompetensi Inti Guru (KI) Kompetensi Guru Mata
Pelajaran (KD)
Indikator Pencapaian
Kompetensi (IPK)
a b C D E
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
cerpen)
67 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Mengapresiasi karya sastra
secara reseptif dan produktif.
Menulis prosa Indonesia
(prosa baru: cerpen)
68 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Mengapresiasi karya sastra
secara reseptif dan produktif.
Menulis prosa Indonesia
(prosa baru: cerpen)
69 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Mengapresiasi karya sastra
secara reseptif dan produktif.
Mengapresiasi teks drama
Indonesia
70 Profesional Menguasai materi,
struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang
mendukung mata
pelajaran yang diampu.
Mengapresiasi karya sastra
secara reseptif dan produktif.
Mengapresiasi teks drama
Indonesia