Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sesuatu yang mesti ada dalam hidup dan kehidupan dan ia adalah way of live, suatu jalan hidup manusia. Dan ada asumsi life is education and eduction is life dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup islami yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan sesuai dengan masuknya ke Indonesia. Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan datangnya para penyebar agama melalui jalur perdagangan. Para penyebar agama yang notabene sebagai pedagang tersebut, telah melakukan hubungan dan komunikasi dengan para pribumi di Bandar-bandar yang didatangi oleh pedagang, dengan membawa nilai-nilai islam dalam hidup dan kehidupannya, sehingga banyak dari warga pribumi yang memeluk agama Islam. Islam tidak hanya dalam teori-teori saja, namun diaplikasikan oleh para penyebar agama dan berkembang untuk menanamkan agama kepada anak keturunannya. Pendidikan sebagai sarana untuk mengkristalisasikan nilai-nilai agama pada generasi baru yang akan menggantikan para praktisi-praktisi pada zamannya. Pendidikan Islam yang berkembang dari awal masuknya ke Indonesia, telah membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Pesantren merupakan sarana pendidikan Islam yang pertama ada di Indonesia. Pendidikan Islam telah berlangsung lama dan telah mampu mengambil hati para masyarakat, sehingga penduduk Indonesia hampir 100 % 1

description

pendidikan Agama Islam

Transcript of Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

Page 1: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan sesuatu yang mesti ada dalam hidup dan kehidupan dan ia adalah way of live, suatu jalan hidup manusia. Dan ada asumsi life is education and eduction is life dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup islami yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam.

Pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan sesuai dengan masuknya ke Indonesia. Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan datangnya para penyebar agama melalui jalur perdagangan. Para penyebar agama yang notabene sebagai pedagang tersebut, telah melakukan hubungan dan komunikasi dengan para pribumi di Bandar-bandar yang didatangi oleh pedagang, dengan membawa nilai-nilai islam dalam hidup dan kehidupannya, sehingga banyak dari warga pribumi yang memeluk agama Islam. Islam tidak hanya dalam teori-teori saja, namun diaplikasikan oleh para penyebar agama dan berkembang untuk menanamkan agama kepada anak keturunannya. Pendidikan sebagai sarana untuk mengkristalisasikan nilai-nilai agama pada generasi baru yang akan menggantikan para praktisi-praktisi pada zamannya.

Pendidikan Islam yang berkembang dari awal masuknya ke Indonesia, telah membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Pesantren merupakan sarana pendidikan Islam yang pertama ada di Indonesia. Pendidikan Islam telah berlangsung lama dan telah mampu mengambil hati para masyarakat, sehingga penduduk Indonesia hampir 100 % menganut agama Islam, hal ini merupakan  salah satu jasa dari pendidikan. Waktu  tetap berjalan dan pendidikan Islam telah menempati posisi kedua setelah pendidikan umum. Pendidikan umum atau sekuler telah berkembang dari politik etis yang dilakukan oleh pihak penjajah sebagai balas jasa atas kebaikan-kebaikan yang telah diambil  dari bangsa Indonesia.

Lalu bagaimana perhatian pemerintah terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Dalam hal ini, kami kelompok satu akan membahas apa pengertian pendidikan agama Islam, urgensi dan ruang lingkup serta kebijakan pemerintah terhadap Pendidikan agama Islam.

1

Page 2: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung setidak –tidaknya tercakup dalam 8 pengertian, yaitu al-tarbiyah al diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al- din (pengajaran agama), ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islami (pengajaran keislaman), tarbiyah al- muslimin (pendidikan orang-orang islam), al tarbiyah fi al- islam (pendidikan dalam islam), al tarbiyah ‘indza al muslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam), dan al tarbiyah al-islamiyah (pendidikan Islam).[1]

Dalam GBPP PAI di sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa/ peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan dengan memperthatikan tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional[2]. Dan menurut Abdul Rahman Shaleh dalam bukunya pendidikan agama dan keagamaan menyatakan pendidikan Islam merupakan usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggungjawab sebagai khalifah Allah di bumi dalam pengabdian kepada Allah.[3]

B. Tujuan Pendidikan Agama Islam

Visi dasar pendidikan nasional adalah bagaimana agar manusia Indonesia cerdas dan memiliki keunggulan dalam segala bidang. Dan bila ditelaah visi pendidikan nasional yang dirumuskan dalam Renstra Depdiknas. Pertama, cerdas spiritual (olah Hati) dirumuskan dengan beraktualisasi diri  melalui hati/ kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul.

Kedua, cerdas emosional dan social (olah rasa). Beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensivitas dan apresiasi akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya. Beraktualisasi diri melalui interaksi social yang membina dan memupuk hubungan timbal balik, demokrasi, empatik dan simpatik, menjunjung tinggi hak asasi manusia,eria dan percaya diri, menghargai kebinekaa dalam bermasyarakat dan bernegara serta berwawasan serta kesadaran akan hak dan kewajiban warga Negara.

1 Muhaimin, paradigma pendidikan islam; upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah, (Bandung, Rosda, 2001),  hal. 362 Ibid, hal. 753 Abdul Rachman Shaleh, pendidikan agama dan keagamaan; visi, missi dan aksi, (Jakarta, GEmawindu, 2000), hal.  2

2

Page 3: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

Ketiga, cerdas intelektual (olah pikir). Beraktualisasi  diri melalui olah piker untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Aktualisasi insane intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif.

Keempat, kompetitif berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan dan bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangunan dan pembinaan jejaring,bersahabat dengan perubahan, produktif, sadar mutu, berorientasi global, pembelajaran spanjang hayat.[4]

Adapun secara umum, pendidikan agama Islam bertujuan  untuk “Meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peseerta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara[5]. Dari tujuan tersebut diatas dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu:

1. Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam2. Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik

terhadap ajaran agama Islam3. Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam

menjalankan  ajaran Islam dan4. Dimensi pengamalannya, dalam arti bagaimana  ajaran Islam yang telah diimani,

pahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakkan dan mengamalkan, dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Singkatnya dari uraian diatas adalah agar siswa/ peserta didik memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah swt dan berakhlak mulia.[6]

C. Urgensi Pendidikan Agama Islam

Proses pendidikan merupakan kesatuan antara teori dan praktik pendidikan. Praksis pendidikan yang merupakan kesatuan antarteori dan praktik meliputi unsur-unsur  sebagai berikut: dalam lingkup teori dirumuskan gambaran manusia mengenai visi, misi dan program-program pelaksanaan untuk mewujudkan visi dan misi tersebut. Disamping aspek-aspek teoritis terdapat aspek pelaksanaan atau praktik dari tindakan pendidikan.[7]

4 Sudjarwo dan Basrowi, pranata dan system pendidikan, (Kediri, Jenggala Pustaka Utama, 2008), hal. 865 Muhaimin, paradigm pendidikan islam; upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah, (Bandung, Rosda, 2001),  hal. 78

6 Muhaimin, paradigm pendidikan islam; upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah, (Bandung, Rosda, 2001),  hal. 78

3

Page 4: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

Agama Islam adalah agama samawi, agama yang datang dari langit merupakan wahyu dari Allah swt untuk kehidupan umat manusia. Perlu banyak pemikiran agar nilai-nilkai ilahiyah dapt dijustifikasi/ diamalkan oleh umat manusia sebagai pedoman dan dasar dalam hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu pembelajaran agama Islam adalah suatu upaya membuat peserta didik dapat belajar, butuh belajar, terdorong belajar, mau belajar dan tertarik untuk terus-menerus mempelajari agama Islam, baik untuk kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama yang benar maupun mempelajari Islam sebagai pengetahuan.[8]

M. Tholhah Hasan mengatakan, bahwa tujuan makro pendidikan Islam dapat dipadatkan menjadi  tiga macam, yaitu:

1. Untuk meyelamatkan dan melindungi fitrah manusia2. Untuk mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia3. Untuk menyelaraskan perjalanan fitrah  mukhallaqah (fitrah yang diciptakan oleh

Allah swt pada manusia, yang berupa naluri, potensi jismiyah, nafsiyah, aqliyah, dan qolbiyah) dengan rambu-rambu fitrah munazzalah (fitrah yang diturunkan oleh Allah swt sebagai acuan hidup, yaitu agama) dalam semua aspek kehidupan, sehingga manusia dapat lestari hidup di atas jalur yang benar, atau di atas jalur “As-Shirath al Mustaqim”.[9]

D. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam

Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan ketiga hubungan manusia dengan dirinya sendiri, serta hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungannya. Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam juga identik dengan aspek-aspek Pengajaran Agama Islam karena materi yang terkandung didalamnya merupakan perpaduan yang saling melengkapi satu dengan yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya.

Cakupan tersebut setidaknya menggambarkan bahwa ruang lingkup Pendidikan Agama Islam diharapkan dapat mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya. Masing-masing mata pelajaran tersebut saling terkait dan saling melengkapi. Al-Qur'an merupakan sumber utama ajaran Islam, dalam arti ia merupakan sumber akidah-akhlak, syari’ah/fikih (ibadah, muamalah), sehingga kajiannya berada di setiap unsur tersebut. Akidah (usuluddin) atau keimanan merupakan akar atau pokok agama. Syariah/fikih (ibadah, muamalah) dan akhlak berti-tik tolak dari akidah, yakni sebagai manifestasi dan konsekuensi dari akidah (keimanan dan keyakinan hidup). Syari’ah/fikih merupakan sistem norma (aturan) yang mengatur

7 H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan sebagai kebijakan public, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hal. 1378 Muhaimin, paradigm pendidikan islam; upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah, (Bandung, Rosda, 2001),  hal. 1839 Muhaimin, rekonstruksi pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 255

4

Page 5: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan dengan makhluk lainnya. Akhlak merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup manusia, dalam arti bagaimana sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (ibadah dalam arti khas) dan hubungan manusia dengan manusia dan lainnya (muamalah) itu menjadi sikap hidup dan kepribadian hidup manusia dalam menjalankan sistem kehidupannya (politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kekeluargaan, kebudayaan/seni, iptek, olahraga/kesehatan, dan lain-lain) yang dilandasi oleh akidah yang kokoh. Sejarah Kebudayaan Islam merupakan perkembangan perjalanan hidup manusia muslim dari masa ke masa dalam usaha beribadah, bermuamalah,dan berakhlak serta dalam mengembangkan sistem kehidupannya yang dilandasi oleh akidah.[10]

Dalam mencapai tujuan, pendidikan  agama Islam pada dasarnya mencakup tujuh unsur pokok, yaitu al-qur’an-hadis, keimanan, syari’ah, ibadah, mu’amalah,, akhlak dan tarikh Sejarah Islam) yang menekankan pada perkembangan politik

E. Peran KH Wahid Hasyim Dalam Pendidikan

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa KH wahid hasyim selain sebagai salah satu ulama dan putra ulama al-maghfurlah hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari serta kecintaanya dalam dunia pendidikan, beliau juga dikenal sebagai seorang tradisionalis nahdlatul ulama yang  reformis, populis, modernis serta progresif [11]. dalam dunia  pendidikan di Indonesia.  Kecintaan Beliau juga tidak sekedar pada  ilmu yang bersifat personal, melainkan aplikatifnya disetiap otoritas-otoritasnya. Sebelum, maupun saat menjabat menjadi menteri agama. Sehingga melalui otoritasnya, mampu mengangkat pendidikan pesantren yang selalu di anak tirikan dari pendidikan umum, sehingga kesan dikotomi-dualisme pendidikan sesaat mulai di patahkan melalui kebijakan-kebijakanya.

F. Otoritas Sebelum Menjadi Kamenag RI

Sebelum menjabat menjadi kepala menteri agama RI, KH Wachid Hasyim terkenal dengan kharismatiknya dalam keilmuanya. Di antara kebijakanya:

1. KH Wahicd Hasyim selalu mengusulkan dan berusaha merevisi kurikulum pesantren tebuireng, yang pada saat itu masih dipimpin ayahnya. Dalam merevisi dengan memadukan serta mengkolaborasikanya, bukan semata memudarkan melainkan melengkapi suatu keilmuan antara ilmu umum dan ilmu agama sehingga KH wahid hasyim mempunyai harapan, keilmuan ini mampu di komplementerkan, sehingga khasanah keislaman mampu di terapkan dalam ranah aplikatif dalam menjalankan dan mengkomando ilmu-ilmu umum.

2. Selain mengusulkan sebuah reformasi kurikulum, KH Wahid Hasyim juga mengusulkan perlunya pengajaran yang ada di pesantren tidak sebatas pada system klasikal. Namun perlunya dekontruksi-rekontruksi ulang untuk meningkatkan mutu kualitas output dari pesantren menggunakan sistematika pelajaran secara tutorial.

10 http://sitikhadijahibrahim.blogspot.com/2013/08/tujuan-dan-ruang-lingkup-pendidikan_12.html11 Mohammad rifai, wachid hasyim, ( cet 1, yogyakarta: Ar-ruz media, 2009), hal. 9

5

Page 6: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

3. Pada tahun 1936, Kiai Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam. Ia juga mendirikan taman bacaan (Perpustakaan Tebuireng) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku. Perpustakaan ini juga berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain sebagainya. Ini merupakan terobosan pertama yang dilakukan pesantren manapun di Indonesia.

4. Saat pemimpin Masyumi, Ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang aktif membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Tahun 1944, ia ikut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (UIN) di Jakarta yang dipimpin oleh KH wahid hasyim[12].

5. Pada  tahun 1935, KH Wahid Hasyim mendirikan  Madrasah Nidzamiyah, dimana 70 persen kurikulum berisi materi pelajaran umum,  dan akhirnya di ridhoi oleh sang ayah.

6. Pada saat KH wahid hasyim menjabat ketua MIAI, beliau melakukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk mencabut status Guru Ordonantie tahun 1925 yang sangat membatasi aktivitas guru-guru agama. Bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan PVPN (Asosiasi Pegawai Pemerintah), MIAI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia sebagai komite Nsional yang menuntut Indonesia berparlemen.

G. Otoritas Saat Menjabat Menteri Agama RI

Kebijakan KH wahid hasyim dalam memajukan dan mengintegrasikan pendidikan di Indoensia sebelum menjadi menteri agama, masih banyak sekali yang perlu kita renungkan. Kita analisis, untuk kembali mengeavaluasi sebuah kurikulum antara pendidikan islam dan pendidikan umum. Selain otoritasnya yang begitu brilliant, otoritas yuridis pada saat menjabat menteri agama juga membuat pengaruh signifikansi sekali pada pendidikan yang ada di Indonesia. Di antaranya:

1. Mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta.

2. Mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta.

3. Mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga.

4. Pada  tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN, serta mendirikan wadah Panitia

12 Mustofa dan abdulloh aly, sejarah pendidikan islam di Indonesia,(Cet 2, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hal. 102

6

Page 7: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

Haji Indonesia (PHI). Kyai  Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.

Statmen otoritas di atas baru sebatas yang nampak dalam bentuk formalitasnya. Kebijakan yang sudah bertahun-tahun mengendap serta mengakar bumi pertiwi mulai hilang. Sehingga perlunya dikembhalikam saebuah tatannan formulasi kehidupan dalam cerminann pendidikan yang satu padu dalam satu system yang seimbang. Jika kita tarik garis besarnya, deskriptif analisis kebijakan dari KH Wahid hasyim mengacu kepada dua garis besarnya, di antaranya planning melalui kurikulum dan proses melalui metode. Kebijakan tidak berangkat dari kegelisahan, atas sebuah realitas untuk lebih dikomplementarkan maupun substitusikan melalui otoritas yang lebih tepat dan bijaksana.

H. Analisis Kurikulum, Pemikiran KH Wahid Hasyim

kurikulum ditinjau dari makna leksikalnya, berarti “currrere” yang berarti jarak tempuh lari yang berasal dari bahasa yunani[13].secara aksiologiny, kurikulum bukan sebatas pada sempitnya makna dalam cabang olahraga. Makna kurikulum dalam dunia pendidikan sebagai framework, planning yang tersurat jelas dengan berisi komponen-komponen sebagaiamana standar-standar dalam mencapai pendidikan yang diharapkan.

Pada dasarnya, kurikulum memiliki dua dimensi pokok, dimensi vision dan strucuture (wiles,1989). Vision dalam kurikulum adalah hasil dugaan manusia yang meletakan dunia dalam konsep yang nyata. Artinya menginterprestasikan urgensi pendidikan dengan kenyataan-kenyataan yang mudah di persepsikan oleh peserta didik karena banyaknya konsep mengenai urgensi pendidikan yang beragam. Sehingga dalam hal inimakna vision secara aplikatif-kontekstual. Secara makna strutture tersendiri, kurikulum adalah mengorganisir secara sistematis berbagai komponen kurikulum kedalam pengalaman-pengalaman belajar, sehingga dengan mudah dapat di implementasikan dan di evaluasi hasilnya[14]. Sehingga pencapaian kurikulum secara visions maupun structure tidak lepas dari rangkuman rencana dasar dalam pendidikan, baik rencana tersurat dalam sistemasisasi structure dalam standar proses[15], standar isi[16], Standar pengelolaan[17], Standar pembiayaan[18], Standar penilaian pendidikan[19]. dan tidak lupa rencana visions kurikulum dalam dunia pendidikan, berupa Standar pendidik dan tenaga kependidikan[20], Standar sarana dan

13 Ahmad dkk, Pengembangan kurikulum, (cet 1, bandung: pustaka setia, 1998), hal. 9

14 Muhaimin dkk, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi di perguruan tinggi islam, (cet 1, yogyakarta: pustaka pelajar,2005), hal 615 Republik Indonesia, permendiknas no 41 tahun 2007 tentang standar proses, pengelompokan ini tidak lepas structure kurikulum yang memuat juklak dan jukni pelaksanaan pada standar proses.16 Republik Indonesia, permendiknas no 22 tahun 2006 tentang standar isi.17 Republik Indonesia, permendiknas no 19 tahun 2007 tentang standar pengelolaan 18 Republik Indonesia, permendiknas no 48 tahun 2008 tentang standar pendanaan 19 Republik Indonesia, permendiknas no 20 tahun 2007 tentang standar penilaian20 Republik Indonesia, permendiknas no 16 tahun 2007 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan atau standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru.

7

Page 8: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

prasarana[21] serta standar kompetensi lulusan[22]. Secara tidak langsung, bentuk standarisasi pada kurikulum KTSP, kesemuanya telah di aplikasikan melalui otoritas pendidikan yang tawarkan oleh KH wahid hasyim, diantaranya pada kebijakan pra muapun saat menjabat menjadi menteri agama RI.  Yaitu:

Pertama, tentang usulan KH Wahid Hasyim atas perombakan kurikulum pesantren tebuireng dengan menyisipkan pendidikan umum, selain sisi sebagai memenuhi standarisasi lulusan bagi para santri yang cakap dan mandiri, juga sebagai bentuk aktualisasi kebijakan KH Wahid Hasyim dalam standarisasi isi dalam dunia pendidikan, sehingga terciptanya keseimbangan (tawazun) ilmu-ilmu naqliyah san aqliyah.

Kedua, tentang kebijakan beliau tentang system transformasi pembelajaran yang beliau ajukan dengan melengkapi system pembelajaran klasikal dengan tutorial. Walau belum menjabat sebagai menteri agama, beliau mampu menerapkan system tutorial disamping berjalanya system klasikal dalam pembelejaran khususnya di pesantren tebu ireng, sehingga secara tidak langsung sistematika standard proses yang sering kita sebut sebagai metode (kaifiyah), dapat di aplikasikan secara konstektul pada saat itu.

Ketiga, peran serta beliau dalam dunia pendidikan juga turut andil dalam pendirian universitas, maupun sekolah guru agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, Salatiga.dan Yogyakarta, serta Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN. Karena saat itu beliau menyadari bahwa letak keberhasilan dalam dunia pendidikan tidak terlepas pada kuantitas berupa bangunan fisik, namun yang lebih utama terletak apda kualitas, melalui peningkatan-peningkatan keilmuan.sehingga mampu mengaktualisasikan prinsip standarisasi kualifikasi pendidikan dan kompetensi guru.

Keempat, tentang kebijakan beliau dalam Mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta. Secara tidak langsung, sisitematika perencanaan, yang mampu dimaknai secara holistic dengan kaitanya pada standarisasi sarana prasana menjadi simpul ke pastian kebijakanya. Karena tentunya, pada setiap kebijakan yang di ambil, tidak semata mata tanpa perencenaan dan pemberian akomodatif dalam bidang pendidikan.

Dari cerminan kurikulum diatas dapat kita analisis, bahwa setiap otoritas yang di deklarasikan beliau. Baik sebelum maupun seaat menjadi menteri agama. Segala, acuan  otoritasnya dalam dunia pendidikan tidak lepas dari sistemasisasi kebijakan pendidikan yang masih di pegang pemerintah berupa komponen-komponen dalam mengoperasionalkan pendidikan di Indonesia. Karena pengaruh politk, kebijkan yang ditempuh beliau,sesaat kabur setelah beliau tidak menjabat sebagai menteri agama,

21 Republik Indonesia, permendiknas no 24 tahun 2007  tentang sarana dan prasarana.22 Republik Indonesia, permendiknas no 23 tahun 2006 tentang komptensi lulusan

8

Page 9: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

karena labilnya politik kebijakan yang mudah di anulir. Tentunya, sistematika dalam setiap kebijakan beliau dalam mengintegrasikan kurikulum pendidikan pesantren dan umum. Pada dasarnya aplikasi penerapan kurikulum yang berbeda visionya, sehingga mampu bersifat komplementer, contoh kecil dalam pendidikan pesantren,structure  kurikulum  secara universal mengacu pada

a) activity curriculum yang acuanya didasarkan pada empat impuls kemanusiaan[23]

b) Core curriculum yang menekankan pendekatan kurikulum kepada social centered[24].

c) Kurikulum muatan local, yang menekankan program kurikulum aplikatif pada lingkungan alam, social, kultur budaya pembangunan daerah, sebagaimana yang tertuang didalam SK mendikbud No. 0412/ U / 1987[25].

Sedangkan pada pendidikan umum, penekanan structure kurikulum terletak pada :

a) Subject matter curriculum yang menekankan pada teoritis normative dari idealisme mata pelajaran yang diberikan secara terpisah[26] satu sama lainya, sehingga tiada relevansinya.

b) Correleated curriculum yang menekankan pada teoritis normative dari idealisme yang saling berhubungan dua atau tiga mata pelajaran[27], atau di relevansikan disetiap pembelajaran, dengan kata lain lintas kurikulum.

c) Broad field curriculum, kurikulum yang dipelopori oleh Thomas Huxley pada tahun 1969. kurikulum ini menekankan pada teoritis normative dari idealisme mata pelajaran yang sejenis[28]

Dari berbagai jenis pengorganisasian kurikulum di atas, pada hakekatnya telah di integrasikan secara universal oleh beliau KH wahid hasyim, melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat pasti melalui kebijakan yuridis disaat menjabat menteri agama, maupun kebijakan mikro-penfasiran sesaat sebelum menjabat menjadi menteri agama. Sehingga, dengan penilaian pendidikan yang aplikatif pada KH wahid hasyim mampu meningkatkan dan mendekatkan nilai-nilai filosofis pendidikan yang terintegrasi antara pendidikan islam dan umum. Bukit konkretnya, terletak pada kekaguman pada rekan-rekanya  KH Wahid Hasyim, di antaranya: chaerul saleh, isa anhsari (aktivis persis), R mustajab soemowiligdo( walikota Surabaya waktu itu), murtadijah (wakil ketua PB muslimat NU) dan tamar jaja yang merasa iri, karena kekagumanya, walaupun beliau tidak mengenyam pendidikan sekolah belanda. Namun secara kualitas mampu di atas para pelajar sekolah belanda.

23 Ahmad dkk, op.cit., hal 13324 Ahmad dkk, op.cit., hal 139

25 Ahmad dkk, op.cit., hal 14526 Ahmad dkk, op.cit., hal 12527 Ahmad dkk, op.cit., hal 13128 Ahmad dkk, op.cit., hal 132

9

Page 10: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

I. Analisis Metode Pendidikan KH Wahid Hasyim

Metode adalah cara, strategi yang bersifat aplikatif  sesuai kultur budaya yang ada disekitar atau lebih familiarnya, metode dapat di kategorikan sebagai tatacara dalam menilai dan memahami pola pendidikan. Metode pada hakekatnya tidak bisa lepas dengan kurikulum, tanpa kurikulum isi dari metode tidak ada yang perlu di aplikasikan, jika kita analogikan, sebagaimana seorang memanah, anak panah sebagai kurikulum, busur panah sebagai sarana prasarana dan metode adalah cara maupun gaya memanah sesuai “kesukaan” pemanah (peserta didik), untuk mencapai suatu sasaran (cita-cita) yang diharapkan si pemanah. Berbicara tentang metode yang tidak lain dengan analogi diatas (anak panah), gaya dalam pembelajaran yang ditawarkan KH wahid hasyim bersifat integratef antara gaya klasikal (pesantren) dengan gaya pendidikan umum (tutorial). Inilah salah satu kebijakan beliau tentang metode yang tersurat menjadi kebijakan awal dalam menawarkan konsep metode pendidikan di pesantren ayahnya (tebuireng).

Jika kita analisa menggunakan paradigma deduktif, tutorial adalah metode yang sering teraplikasikan di sekolah umum saat itu, lepas dari pengatasnamakan bahwa metode ini milik sekolah umum. Secara hakekatnya metode ini memiliki kelebihan serta kekuranganya, diantaranya:

Bahwa metode tutorial adalah metode penguasaan, pemahaman dan analisa dari setiap mata pelajaran, sehingga kelebihan metode adalah keaktifan peserta didik sangat menentukan signifkansi keilmuan dan perkembangan intelektual dari peserta didik, sehingga dalam metode ini lebih menekankan pada system diskusi. Namun titik kelemahanya bahwa tidak sepenuhnya metode ini dapat di aplikatifkan jika metode pembelajaran masih pada traf doktrnisme ketauhidan pada peserta didik yang masih di bawah umur, yang erat menggunakan metode pedagogic, sehingga seharusnya metode yang diaplikatifkan adalah metode klasikal. Sehingga dari sini dapat kita analisis, bahwa metode yang menjadi konsep tawaran KH wahid Hasyim adalah bersifat komplementer-mutualisme , bukan substitusi –parasitisme maupun komensalisme. Sehingga dengan kecerdasan qalbu-spiritual  dan ‘aql- rasional beliau mampu menerapkan otoritas komplementer dari setiap metode yang di tawarkan di pesantren tebu ireng, yang tidak lain milik ayahnya al maghfurlah hadratus KH  Hasyim as’ayari (pendiri NU).

J. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Agama Islam           

Pendidikan agama Islam untuk umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. sebelum itu pendidikan agama sebagai ganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing daerah. Pada bulan tersebut dikeluarkanlah peraturan bersama dua menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang

10

Page 11: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

menetapkan bahwa pendidikan agama dimulai  pada kelas IV SR (Sekolah Rakyat) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan Indonesia belum mantap, sehingga SKB dua menteri tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama sejak kelas I SR. Pemerintah membentuk Majlis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari departemen Agama. Tugasnya adalah ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.

Pada tahun 1950 di mana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951, Nomor: 1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), Nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama), yang isinya adalah:

1. Pendidikan agama mulai diberikan di kelas IV Sekolah Rakyat.2. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama mulai

diberikan pada kelas I SR, dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya dimulai pada kelas IV SR.

3. Di sekolah lanjutan pertama atau tingkat atas, pendidikan agama diberikan sebanyak dua jam dalam seminggu.

4. Pendidikan agama diberikan pada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua atau wali.

5. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.

Untuk menyempurnakan kurikulumnya, maka dibentuk panitia yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dar Pindok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.

Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek di bidang mental, agama, dan kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk budaya asing (Bab II, Pasal II: I).

Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah rendah sampai universitas. Dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid/ murid dewasa tidak menyatakan keberatannya”.

Pada tahun 1966, MPRS melakukan sidang, suasana pada waktu itu adalah membersihkan sisa-sisa mental G-30 S/ PKI. Dalam keputusannya di bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan yaitu dengan menghilangkan kalimat terakhir dari

11

Page 12: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

keputusan yang terdahulu. Denan demikian maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib para siswa mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.29

Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa  pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.

Pendidikan Islam di Indonesia mengalami banyak sekali perubahan sejak masa awal kemerdekaan sampai akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini. Perubahan yang terjadi melputi aspek kelembagaan, yaitu mulai  manajemen pendidikan dan pembelajaran di bawah otoritas penuh seorang kyai sampai pada model manajemen terkini. Disamping itu terjadi perubahan pada system pendidikan  yang diterapkan. Perubahan tersebut antara lain ditandai oleh perubahan pola dan model pendidikan pesantren salafiyah yang sepenuhnya diarahkan  pada tafaqquh fiddin,  kepada bentuk madrasah ala Indonesia,  yaitu sekolah yang memasukkan kurikulum umum di luar pengetahuan agama, sampai kepada bentuk sekolah Islam unggulan. Selain itu juga terjadi perubahan pada kurikulum yang menjadi inti pemikiran  dan transfer  ilmu dilembaga pendidikan Islam. Perubahan juga terjadi pada aspek metode pembelajaran serta kompetensi guru yang mengajar.30

Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan agama juga dapat dilihat dalam PP 55 TAHUN 2007  Pasal 5; ayat 1-9: yang berbunyi:

1) Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan.2) Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan peserta

didik.3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran

agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.

5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif,  kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab.

6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.

29 http://mpiuika.wordpress.com.kebijakan-pendidikan-islam .14 Februari 2015

30 Nurhayati Djamas, dinamika Pendidikan Islam di Indonesia pascakemerdekaan, Jakarta: Rajawalipress, 2009, h.194

12

Page 13: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.

8) Satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan.9) Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan materi, jam

pelajaran, dan kedalaman materi.

Paparan ayat-ayat dari pasal 5 UU no 55 tahun 2007, merupakan perhatian pemerintah terhadap agama yang ada di Negara Indonesia dalam memberikan kebijakan-kebijakan terhadap pembinaan dan pengajaran serta pendidikan agama bagi masyarakat Indonesia yang menjadi syarat bahwa bangsa Indonesia harus meyakini kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan dasar Negara yang termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila.Demikian pula kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan pendidikan agama Islam, yang melingkupi kebanyakan masyarakat Indonesia, dapat dilihat dari UU no. 55 Tahun 2007 pada pasal 14; ayat 1,2,3:

1) Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.2) Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada

jalur formal, nonformal, dan informal.3) Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program

pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal.

Adapun kebijakan pemerintah terhadap pendidikan agama Islam untuk jalur formal dapat dilihat dari pasal 15;pasal 16; ayat 1, 2, 3 dan pasal 17; ayat 1, 2, 3, 4  pasal 18; ayat 1, 2 pasal 19; ayat 1, 2 dan pasal 20; ayat 1, 2, 3, 4 :

Pasal 15

Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pasal 16

1) Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.

2) Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.

3) Penamaan satuan pendidikan diniyah dasar dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.

Pasal 17

1) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun.

13

Page 14: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

2) Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar.

3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah pertama, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah dasar atau yang sederajat.

4) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat.

Pasal 18

1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar.

2) Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.

Pasal 19

1) Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.

2) Ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.

Pasal 20

1) Pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, vokasi, dan profesi berbentuk universitas, institut, atau sekolah tinggi.

2) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan untuk setiap program studi pada perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia.

3) Mata kuliah dalam kurikulum program studi memiliki beban belajar yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks).

4) Pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.

Walaupun demikian pendidikan agama Islam masih dianggap sebagai pendidikan alternatif, merupakan pilihan kedua setelah pendidikan umum/ sekuler. Hal ini karena masih banyak masyarakat yang memandang pendidikan agama Islam dengan sebelah mata, salah satunya adalah prospek ke depan, apa dan mau kemana lulusan institusi pendidikan Islam?  Mampukah lulusan ini mengejar lulusan sekolah umum/ sekuler yang telah menguasai saint dan teknologi?

14

Page 15: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

Bila kita telaah sesungguhnya perkembangan pendidikan agama Islam, cukup  mengalami kemajuan (walaupun tidak dikatakan lambat), dengan dibuktikan telah banyak putra bangsa yang mendapatkan gelar doktor dan profesor, dan institusi perguruan tinggi Islam telah mengintegrasikan diri dengan umum, seperti adanya 6 IAIN yang telah berubah menjadi UIN. Sehingga diharapkan para lulusan UIN akan menjadi ilmuwan-ilmuwan yang dapat diandalkan dengan dibarengi dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Yang dalam hidup dan kehidupannya  nilai-nilai Islam dapat diaplikasikan dan apresiasikan dalam masyarakat dan menjadi tauladan bagi umat manusia.

15

Page 16: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pendidikan sangat penting bagi kehidupan. Pendidikan merubah budaya dan peradaban umat manusia. Pembicaraan seputar Islam dan pendidikan tetap menarik dan tak ada habis-habisnya selagi sejarah umat manusia masih ada. Pendidikan Islam sering manjadi perbincangan dalam skala besar maupun kecil, dimeja makan maupun di seminar-seminar, tetap tidak membuat jenuh yang mendiskusikannya, karena senantiasa berkembang dan akan selalu eksis, terutama terkait dengan upaya membangun sumber daya manusia muslim.

2. Pendidikan Islam sebagai sub dari pendidikan Nasional yang mencita-citakan terwujudnya insan kamil atau orang Islam yang saleh ritual dan saleh sosial, secara implisit akan mencerminkan ciri kualitas manusia indonesia seutuhnya sebagaimana yang digambarkan dalam tujuan pendidikan Nasional.

3. Pemerintah telah banyak memberikan fasilitas, walaupun dari sisi lain masih kurang mengena. Namun telah kita rasakan dari berbagai kebijakan-kebijakan yang ada, baik itu berupa SKB maupun UU tentang pendidikan agama dan keagamaan. Inilah kesempatan bagi umat beragama lebih khusus lagi umat Islam untuk memanfaatkan dan mengaplikasikan kebijakan-kebijakan yang telah disediakan.

4. Analisa pertama tentang peran KH Wahid Hasyim, secara teoritis tersurat dalam setiap peran dan kebijakan yang sudah penulis cantumkan di atas. Pada dasarnya, peran serta KH Wahid Hasyim dalam dunia pendidikan adalah sebagai paromoter yang bersifat tawasuth-tawazun dalam merespon realita dikotomi pendidikan, sehingga dengan bekal yang dimiliki oleh beliau yang mempunyai tekad dalam menyaktukan dua dikotomi yang mensekulerasi ilmu umum, dengan cara mengislamisasi ilmu sebagaimana ulama faruqi, maupun dengan metode pengambilan theory qurani dengan merelevansikan dan mengitegrasikanya.

5. Karakteristik kebijakan dari pemikiran KH wahid hasyim dalam pendidikan berpola sentrifugal. Maksud dari pola ini, bahwa secara tidak langsung KH Wahid Hasyim memadukan nilai-nilai yang ada di dalam pendidikan islam dengan nilai-nilai umum yang bersifat keluar. Sehingga pola pengajaran yang di tawarkan oleh KH Wahid Hasyim baik dari segi kurikulum dan metodenya tidak sebatas pada dogmanisme, namun di relevansikan dengan dinamika perubahan zaman.

6. Pola karakteristik kedua, berdasarkan studi yang dilakukanya, model atau metode yang di terapkan KH Wahid Hasyim dalam bidang pendidikan berupa interpaternisasi, maksudnya bahwa, pendidikan islam di Indonesia tidak

16

Page 17: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

didasarkan  pada sebatas pengembangan hukum-hukum yang bersifat ibadah mahdoh, namun perlunya relevansinya dalam produktifitas ibadah ghoiru mahdoh. Semisal dalam penetapan suatu hukum dalam pendidikan islam tidak sebatas pada textualitas seperti haram memakan daging babi, namun bisa direlevansikan dengan hukum muamalah seperti dosa besar atau haram jikalau melanggar rambu-rambu lalu lintas.

7. Pola pendidikan ketiga, berdasarkan analisa penulis, bahwa karakteristik dari pendidikan islam perlunya adanya suatu lintas kurikulum, baik kurikulum umum maupun islam. Hal ini di yakini beliau ketika aplikatif penerapanya melalui usulan kepada ayahnya di pesantren tebuireng. Value di dalamnya mengandung sebuah hidden kurikulum dengan mengaplikasikan ilmu islam, melalui pendidikan umum. Semisal pada mata pelajaran ilmu social, di pendidik dalam metodenya mengaitkan pola pendidikan social menggunakan ilmu islam sebagaimana ta’awanu (tolong menolong), sehingga tidak terasa, hal ini bisa menjadi hidden curriculum yang terinternalisasi kedalam roh setiap peserta didik, sehingga membawa spiritual kepribadian keagamaan yang mampu di aktualisasikand di lapangan.

B. Saran

1. Berdasarkan karya ilmiah yang penulis paparkan dan relevansikan dengan pola pemikiran analisa kritis sintesis, penulis mempunyai masukan dalam setiap kebijakan maupun dalam setiap lembaga operasional pendidikan. Diantaranya:

2. Dengan adanya pemikiran KH wahid hasyim yang telah mampu menginternalisasikan nilai dengan cara mengintegrasikan ilmu. Penulis berharap hal ini mampu di jadikan uswah, maupun pemikiran awal dalam membiaskan dikotomi keilmuan. Sehingga diharapkan, keilmuan ini mampu di aktualisasikan dalam ranah praksis-operasional di setiap lembaga pendidikan.

3. Kedua, bagi para kaum yudikatif yang mempunyai kebijakan dalam setiap operasionalnya, seharusnya setiap pengambil kebijakan melihat dan mengkritis kembali dan mengevaluasi setiap kebijakan yang mengandung intimidatif-diskrimanatif, karena kebijkan yang demikain merupakan kebijakan penjajah belanda dan jepang yang telah lama mendengungkan hegemoni pendidikan islam.

C. Kritik

Melalui karya ilmiah ini, tentunya penulis sangat meyadari, bahwa masih banyak kekurangan penulis dalam menyusunya. Baik yang bersifat keilmuan, tata bahasa maupun setiap dinamika diksi intelektual. Oleh karena itu, saya selaku penulis mengharap sekali kritik kontruktif dari  pembaca. Sehingga kedepan, kesalahan yang ada mampu di perbaiki kembali demi kemaslahatan bersama.

17

Page 18: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad dkk, Pengembangan kurikulum, cet 1, bandung: pustaka setia, 1998

http://sitikhadijahibrahim.blogspot.com/2013/08/tujuan-dan-ruang-lingkup-pendidikan_12.html

http://mpiuika.wordpress.com.kebijakan-pendidikan-islam .14 Februari 2015

Mohammad rifai, wachid hasyim, cet 1, yogyakarta: Ar-ruz media, 2009

Mustofa dan abdulloh aly, sejarah pendidikan islam di Indonesia, Cet 2, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Bandung, Rosda, 2001

________, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2009

Muhaimin dkk, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi di perguruan tinggi islam, cet 1, yogyakarta: pustaka pelajar,2005

Nurhayati Djamas, dinamika Pendidikan Islam di Indonesia pascakemerdekaan, Jakarta: Rajawalipress, 2009

Republik Indonesia, permendiknas

Shaleh , Abdul Rachman, pendidikan Agama Dan Keagamaan; Visi, Missi Dan Aksi, Jakarta, GEmawindu, 2000

Sudjarwo dan Basrowi, Pranata Dan System Pendidikan,Kediri, Jenggala Pustaka Utama, 2008

Tilaar,H.A.R. dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; Pengantar Untuk Memahami  Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Sebagai Kebijakan Public,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008

18

Page 19: Kebijakan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Studi Kebijakan Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu :

Prof. DR. H. Abd. Haris, MA

Oleh :SUKRON AMIN

YUYUN HANDOKOZAINURI

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAMPASCA SARJANA UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI

TEBUIRENG JOMBANG2015

19