KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA REPUBLIK …
Transcript of KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA REPUBLIK …
KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA REPUBLIK
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FIKIH SIYASAH
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum (S.H) pada Program Sarjana Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
ABDUL JABBAR RIDHO
NIM: 11160453000032
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M / 1442 H
ii
KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA REPUBLIK
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FIKIH SIYASAH
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
ABDUL JABBAR RIDHO
NIM: 11160453000032
Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si.
NIP. 197812302001122002
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/ 1442 H
iii
iv
v
ABSTRAK
Abdul Jabbar Ridho, NIM. 11160453000032, “KEBIJAKAN
PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF FIKIH SIYASAH”, Program Studi Hukum Tata Negara
(Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2020/1442 H. Skripsi ini bertujuan untuk
mengetahui perspektif Fikih Siyasah dalam aspek maslahat terhadap pengambilan keputusan pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Pemindahan Ibu kota NKRI yang tidak
diatur secara tegas dalam UUD RI menimbulkan fleksibilitas yang tinggi dalam mengatur pemindahan ibu kota tersebut. Sehingga, perlu dilakukan analisis
mendalam mengenai kebijakan tersebut, khususnya dalam perspektif fikih siyasah pada aspek maslahat.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan
pendekatan perundang-undangan (statute approach), Pendekatan Konseptual dan Pendekatan Historis. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
bahan hukum primer, dan sekunder serta didukung oleh bahan non hukum yang relevan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa faktor-faktor utama yang
melatarbelakangi pemindahan Ibu Kota Jakarta, yaitu kepadatan perkotaan (terdiri dari kepadatan penduduk, kepadatan gedung dan bangunan, kepadatan
kegiatan pembangunan perkotaan, kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor), bencana banjir, ancaman ROB (banjir air laut pasang). dan, eksploitasi (pengambilan) air tanah secara berlebihan. Sementara itu, ditinjau dari perspektif
fikih siyasah, pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan dapat dijalankan demi kemaslahatan bagi bangsa. Presiden selaku kepala negara mempunyai hak dan wewenang untuk mengambil kebijakan politik untuk kepentingan bangsa
dan negara. Dalam hal pengambilan kebijakan pemindahan ibu kota, demi meraih kemaslahatan bangsa, pemerintah harus mengambil langkah-langkah
strategis dalam meraih kemaslahatan pemindahan ibu kota ini dengan berbagai macam jaminan yang akan diberikan pemerintah kepada masyarakat Kalimantan sebagai pribumi ibu kota baru dan menjamin keberlangsungan flora dan fauna
Kalimantan serta menjamin keberlangsungan hutan tropis Kalimantan sebagai paru-paru dunia.
Kata Kunci : Pemindahan Ibu Kota NKRI, Maslahat, Fikih
Siyasah.
Pembimbing : Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si.
Daftar Pustaka : Dari tahun 1990 sampai 2020
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt. berkat
nikmat, anugerah dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FIKIH SIYASAH”.
Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad
saw. yang telah memimpin umat Islam menuju jalan yang diridhai Allah
swt. Dalam penyelesaian skripsi ini, tak luput peran pihak-pihak yang
senantiasa sabar dan setia membantu, membimbing serta mendoakan.
Sehingga dengan rasa hormat, penulis ingin mengucapakan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis., Lc, MA, Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah);
4. Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi Hukum
Tata Negara (Siyasah), Dosen Penasihat Akademik penulis, serta
Dosen Pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta kesabaran yang luar biasa
dalam membimbing penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini;
5. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Rasa terima
kasih dan hormat atas segala ilmu, pengalaman, bimbingan, dan arahan
yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan Strata
Satu (S1);
vii
6. Pimpinan dan seluruh pengurus Perpustakaan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak memberi kontribusi
berupa literasi dan pustaka sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik;
7. Keluarga penulis, terutama Ayahanda Ir. Aris Iswadi dan Ibunda Ratu
Ifat Fatinah. Kakak penulis, Aisyah Raisa Medina. Serta adik-adik
penulis, Jasmine Sarah Lutfiah dan Aziz Ersyad Selamat. Mereka yang
selalu memberikan doa, motivasi, dan kasih sayang penuh kepada
penulis sehingga mampu menyelesaikan pendidikan strata satu (S1);
8. Rekan-rekan penulis, Lili Dwi Yulianto, Usamah Al-Fatih, M.
Ramadhan, Yogi, Fikri, Dodi, Ka Aby, Ka Muthi, komandan Muclas
dan sang murobbi penulis ka Riski Suranto yang telah banyak
memotivasi serta menghibur penulis dalam menyelesaikan studi ini;
9. Keluarga besar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2016 khususnya sahabat Siyasah selama kuliah Reza Raenaldi, Andi
Adriansah, Ahmad Adin Nugroho, Ahmad Ubaedillah, Rendro
Prasetyan Winanta, Fahmi Azis, Rendra Trinanda Putra, Noer
Fadhillah Rais As-soevel, Fakhriansyah dan Fahriza Hafidz yang telah
memberikan hiburan serta memberikan makna arti persahabatan sedari
penulis kuliah sampai dengan saat ini;
10. Para pihak-pihak lain yang turut terlibat dalam penulisan skripsi ini.
Semoga Allah swt., membalas kebaikan rekan-rekan semua.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Jakarta, 15 Oktober 2020 M/ 1442 H
Abdul Jabbar Ridho NIM. 11160453000032
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................iv
ABSTRAK...............................................................................................................v
KATA PENGANTAR ...........................................................................................vi
ABSTRAK...............................................................................................................v
KATA PENGANTAR ...........................................................................................vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah .........................................8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .....................................................................9
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu..........................................................11
E. Metode Penelitian........................................................................................13
F. Sistematika Penulisan..................................................................................17
BAB II KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA DALAM ISLAM...........19
A. Konsep Maslahat dalam Islam ....................................................................19
B. Sejarah Pemindahan Ibu Kota dalam Islam ................................................26
1. Masa al-Khulafa’ al-Rasyidun.................................................................26
2. Masa Dinasti Umaiyah ............................................................................27
3. Masa Dinasti Abbasiyah ..........................................................................28
4. Masa Turki Utsmani ................................................................................29
C. Ibu Kota dalam Sistem Pemerintahan Islam ...............................................29
BAB III PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA REPUBLIK INDONESIA 33
ix
A. Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo dalam Pemindahan Ibu Kota Jakarta
33
B. Latar Belakang Pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia............36
C. Urgensi Pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia........................40
D. Gagasan dan Polemik Pemindahan Ibu Kota Jakarta ke Kalimantan .........43
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA PERSPEKTIF FIKIH SIYASAH……...50
A. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Pemindahan Ibu Kota Jakarta.........50
B. Analisis Kebijakan Pemerintah dalam pemindahan Ibu Kota Negara
Republik Indonesia .............................................................................................63
BAB V PENUTUP ................................................................................................82
A. Kesimpulan..................................................................................................82
B. Saran-Saran .................................................................................................83
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................84
LAMPIRAN ..........................................................................................................88
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibu kota (a capital; capital city; political capital) merupakan sebuah kota
yang dirancang sebagai pusat pemerintahan suatu negara; secara fisik ibu kota
negara umumnya difungsikan sebagai pusat perkantoran dan tempat berkumpul
para pimpinan pemerintahan. Ibu kota berasal dari bahasa Latin caput yang berarti
kepala (head) kemudian dikaitkan dengan kata capitol yang berarti letak
bangunan pusat pemerintahan utama dilakukan. Ibu kota merupakan pusat
ekonomi, budaya atau intelektual.1
Dalam perannya sebagai pusat pemerintahan, ibu kota umumnya
difungsikan sebagai pusat kekuasaan politik dan ekonomi sehingga ibu kota
memiliki peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak
negara yang menjadikan satu kota besar dalam negaranya menjadi ibu kota
sebagai cerminan keunikan dari sisi kehidupan bermasyarakat, berekonomi,
berbudaya, berbangsa dan bernegara, sehingga ibu kota memiliki peranan penting
dalam memperkenalkan karakter dan identitas suatu negara.
Ibu kota identik dengan sebutan kota multifungsi yang mempunyai misi
diplomatik, pusat pemerintahan dan pusat ekonomi yang sangat berkembang, ke-
identikan ini menjadikan ibu kota sebagai kota tujuan urbanisasi.2 Negara-negara
di dunia membangun ibu kotanya dengan cara yang berbeda-beda, dengan
melanjutkan kota yang menjadi ibu kota di masa lalu atau membangun ibu kota
baru di kota yang berbeda.
1 H. M Yahya, Pemindahan Ibu Kota Negara Maju dan Sejahtera (Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat), (Universitas Merdeka Malang, 2018), h. 25.
2 Ecky Agassi, “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pemiindahan Ibu kota
Negara”, (Skripsi S-1 Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor, 2013), h. 1.
2
Sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia memiliki ibu kota yang
menjadi pusat dari fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sebagian kecil
negara lain memisahkan pusat eksekutif, legislatif, dan yudikatifnya ke kota yang
berbeda seperti Belanda (Amsterdam dan The Hague), Afrika Selatan (Pretoria,
Bloemfontein, dan Cape Town), Bolivia (La Paz dan Sucre), Swaziland (Lobamba
dan Mbabane), Malaysia (Kuala Lumpur dan Putrajaya), dan Sri Lanka (Colombo
dan Sri Jayawardenapura Kotte).1
Ada banyak jenis ibu kota, yaitu pertama ibu kota klasik, London dan Paris:
bekas pusat pemerintahan nasional yang kuat, bekas pusat kekuasaan kolonial,
dengan arsitektur representatif yang kuat, dan mendominasi perkotaan hierarki
negara masing-masing. Kedua ada ibu kota yang lebih heterogen, keduanya kota
dominan dari negara yang lebih lemah (seperti Montevideo atau Jakarta), atau
sederhana, berorientasi administrative ibu kota negara kuat (mis., Ottawa,
Canberra). Ketiga ada ibu kota hibrida dengan karakteristik yang kontradiktif - ibu
kota yang khas dengan sejarah spesifik negara mereka dan pembangunan, seperti
Berlin dan Washington.2
Ada tiga faktor penting yang membedakan pengembangan ibu kota, yaitu
ukuran dan struktur pemerintahan; kondisi ekonomi suatu negara; dan waktu dari
pembentukan ibu kota terhadap pembentukan politik dan pembangunan ekonomi
negara.3
Mengelola ibu kota bukanlah hal yang mudah karena ibu kota adalah kota
utama dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik sehingga kesalahan
1 Ecky Agassi, “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pemiindahan Ibu kota
Negara”, (Skripsi S-1 Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor, 2013), h. 1.
2 Scott Campbell, The Enduring Importance of National Capital Cities in the Global Era
(Working Paper: Urban and Regional Planning Program), (College of Architecture and Urban
Planning University of Michigan, 2003), h. 6.
3 Scott Campbell, The Enduring Importance of National Capital Cities in the Global Era
(Working Paper: Urban and Regional Planning Program), (College of Architecture and Urban
Planning University of Michigan, 2003), h. 7.
3
pengelolaan berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan. Dampak demografi
dan ekonomi yang tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik akan
menimbulkan berbagai masalah perkotaan. Masalah yang timbul akibat kesalahan
pengelolaan ibu kota antara lain terjadinya sentralisasi ekonomi dan politik,
ketimpangan ekonomi, buruknya sistem transportasi, tingginya angka kemiskinan,
pengangguran, serta timbulnya konflik horizontal.4
Untuk mengatasi berbagai permasalahan ibu kota, salah satu solusi yang
bisa dilakukan sebuah negara adalah dengan memindahkan ibu kotanya. Tetapi
sebelum itu dilakukan perlu ada analisis kuat dari berbagai aspek bidang, dari
aspek keruangan, ekologis dan kewilayahan serta dampak sosial, ekonomi, dan
politik, menghasilkan suatu pemikiran bahwa pemindahan ibu kota merupakan
suatu keharusan, tetapi dengan tenggang waktu, atau ibu kota negara tetap di suatu
daerah tetapi pemindahan beberapa departemen dan pusat-pusat kegiatan
dialihkan ke luar daerah tadi.
Pemindahan ibu kota, bersamaan dengan pembangunan negara dan bangsa,
telah menjadi bagian penting dari pembentukan negara-negara pascakolonial. Ada
perdebatan nasional dan proyek-proyek besar tentang masalah ini di banyak
negara - mulai dari Indonesia, Malaysia, Sri Lanka dan Pakistan di Asia; Pantai
Gading, Tanzania, Malawi dan Zimbabwe di Afrika; Brasil, Argentina dan Kosta
Rika di Amerika Selatan. Bahkan di Afrika Selatan ada perdebatan tentang
konsolidasi pusat eksekutif dan legislatif yang saat ini dibagi antara Pretoria /
Tshwane dan Cape Town, dengan memindahkan Parlemen ke Pretoria. Namun,
seiring waktu hanya beberapa negara yang telah melakukan relokasi aktual dan
sebagian besar proyek telah ditunda tanpa batas waktu. Namun demikian, dua
perkembangan telah menarik dari pemindahan ibu kota kembali ke ranah publik
dan akademik. Pertama, perkembangan kota yang pesat, integrasi negara-negara
pascakolonial ke dalam sistem internasional, dan pertumbuhan perdagangan antar
4 Ecky Agassi, “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pemiindahan Ibu kota
Negara”, (Skripsi S-1 Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor, 2013), h. 2.
4
negara telah menciptakan tantangan baru bagi ibu kota, terutama di negara
berkembang. Selain itu, pemanasan global telah menciptakan risiko baru bagi
beberapa ibu kota, contohnya adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir
yang melanda Jakarta, Indonesia. Kedua, kemajuan teknologi komunikasi dan
informasi telah secara signifikan mengurangi biaya pemindahan ibu kota.
Akibatnya, sekitar tiga puluh negara saat ini mempertimbangkan proyek
pemindahan ibu kota, termasuk Korea Selatan, Sudan Selatan, Jepang, Filipina,
Indonesia dan Federasi Rusia.5
Ibu kota mempunyai fungsi strategi, ibu kota selalu menjadi target utama
dalam situasi peperangan, karena dengan menguasai ibu kota biasanya menjadi
jaminan menguasai sebagian besar kekuatan musuh atau penentang, paling tidak
menurunkan moral untuk mengalahkan musuh (militer). Seperti yang terjadi di
China pada masa lalu, di mana pemerintahan tersentralisir dengan sedikit
fleksibilitas pada tingkat provinsi, suatu Dinasti dapat runtuh dengan ambruknya
ibu kota. Oleh sebab itu Dinasti Ming memindahkan Ibu kota Nanjing ke Beijing
dengan tujuan agar dapat mengontrol musuh yang berasal dari Mongols dan
Manchus.6
Dalam sejarah, Islam pernah beberapa kali memindahkan ibu kota. Pertama,
khalifah Ali bin Abi Thalib pernah memindahkan Ibu kota dari Madinah ke Kufah.
Kedua, khalifah Muawiyah bani Umayah pernah memindahkan Ibu kota dari
Kufah ke Damaskus. Dan terakhir saat bani abbas yang menjadi khalifah yaitu
khalifah al-saffah memindahkan ibu kota dari Kufah ke Hasyimiyah lalu
dipindahkan lagi oleh khalifah al-Mansur bin Abbas ke Baghdad.7 Dari sini dapat
dilihat bahwa pasti ada alasan-alasan pertimbangan tertentu bagi para khalifah
5 Denys Reva “Capital City Relocation and National Security: The Cases Of Nigeria And
Kazakhstan,” Mini-Dissertation Master Of Secutity Studies (MSS), Department of Political
Sciences University Of Pretoria Faculty Of Humanities, 2016, h. 1.
6 Sutikno, Perpindahan Ibu Kota Negara Suatu Keharusan Atau Wacana (Pusat Studi
Bencana), (Universitas Gadjah Mada, 2007), h. 4.
7 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), h. 97.
5
dalam mengambil keputusan memindahkan ibu kota kala itu. Sebagai gambaran
pemindahan ibu kota pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun yaitu pada masa
pemerintahan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, pada awal masa jabatannya sebagai
khalifah. Pada saat itu posisi khalifah ‘Ali sangat tidak diuntungkan. Situasi
politik terpecah, kondisi Madinah yang chaos dengan ambisi lawan-lawan
politiknya serta sulitnya menjalankan pemerintahan, menjadikan khalifah ‘Ali
memilih untuk memindahkan ibu kota ke Kufah. 8 Di sini ‘Ali mendapatkan
dukungan penuh oleh rakyat. Langkah khalifah ‘Ali dalam mengambil keputusan
pemindahan ibu kota ini demi mengamankan kedudukannya sebagai khalifah
sekaligus memperlancar jalannya pemerintahan.
Peristiwa pemindahan ibu kota negara telah banyak dilakukan oleh beberapa
negara, dengan alasan yang beragam. Contoh berikut ini memberikan gambaran
bahwa pemindahan ibu kota negara merupakan peristiwa yang tidak tabu dan
dilaksanakan dengan tujuan memecahkan permasalahan demi kebaikan maupun
kemajuan bangsa dan negara. Sebagai salah satu contohnya, pertama, Brasilia ibu
kotanya terletak di pedalaman, karena ibu kota lama Rio Jenairo sudah terlalu
padat. Kedua, pemerintah Korea Selatan pada tahun 2004 ibu kotanya pindah dari
Seoul ke Sejong, meskipun Seoul itu berarti ibu kota dalam bahasa Korea. Ketiga,
ibu kota tradisional yang secara ekonomi memudar akibat kota pesaingnya, seperti
Nanjing yang memudar oleh Shanghai. Keempat, akibat menurunnya suatu dinasti
atau budaya, akhirnya ibu kota yang ada menjadi pudar dan kalah pamor seperti
yang terjadi di Babilon dan Cahokia.9
Sejak Perang Dunia II berakhir, beberapa negara di dunia banyak yang telah
memindahkan ibu kotanya dengan beragam pertimbangan. Terdapat tiga
8 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, h. 87.
9 H. M Yahya, Pemindahan Ibu Kota Negara Maju dan Sejahtera (Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat), (Universitas Merdeka Malang, 2018), h. 21-22.
6
pertimbangan umum pemindahan ibu kota, yaitu: pertimbangan politik,
pertimbangan sosio-ekonomi dan pertimbangan fisik.10
Pemindahan ibu kota di NKRI sangat dimungkinkan karena di dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan Amandemennya tidak diatur
secara tegas. Dalam UUD 1945 Bab II Pasal 2 ayat (2) tertulis: “Majelis
Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota
negara.” Dalam konstitusi tersebut tidak ada pasal yang menyebutkan dimana dan
bagaimana ibu kota negara diatur. Disini dapat dilihat bahwa terdapat fleksibilitas
dalam mengatur termasuk memindah ibu kota negara. Dalam pemindahan ibu kota
negara, tentu sangat diperlukan alasan yang kuat dan mendasar tentang efektifitas
fungsinya.11
Di Indonesia, gagasan wacana untuk memindahkan ibu kota telah lama dan
telah berulangkali muncul, yakni ketika timbul kejadian kritis akibat faktor sosial,
ekonomi politik, lingkungan dan bencana yang sejatinya timbul karena ketidak
seriusan pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Wacana ini timbul
dilatarbelakangi oleh berbagai permasalahan Jakarta yang sangat kompleks.
Pembangunan Jakarta sebagai ibu kota berdampak pada pembangunan ekonomi
yang terlalu memusat sehingga menimbulkan adanya sentralisasi ekonomi
nasional. Hal ini menyebabkan Jakarta semakin dipadati oleh para pendatang dari
berbagai daerah yang berharap dapat memperbaiki kehidupan ekonominya
sehingga menyebabkan tingginya arus urbanisasi. Besarnya jumlah penduduk
yang ditambah dengan tingginya arus urbanisasi menyebabkan timbulnya
berbagai masalah demografi di Jakarta.12
10 Deden Rukmana, Pemindahan Ibu kota Negara (Artikel Asisten profesor dan koordinator
program studi perencanaan dan studi perkotaan di Savannah State University, AS.
11 H. M Yahya, Pemindahan Ibu Kota Negara Maju dan Sejahtera, h. 22.
12 Ecky Agassi, “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pemiindahan Ibu kota
Negara”, (Skripsi S-1 Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor, 2013), h. 2.
7
Walaupun wacana pemindahan ibu kota sudah lama digaungkan, namun
baru pada bulan Agustus pada tanggal 26 tahun 2019 presiden Joko Widodo
memutuskan sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di sebagian
Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru
pengganti Jakarta. Keputusan pengeluaran kebijakan ini tentu mendapat berbagai
macam respon dari berbagai kalangan yang menilai memindahkankan ibu kota
tidak akan banyak membantu memperbaiki pertumbuhan ekonomi, baik secara
kuantitas maupun secara kualitas belum lagi dalam pelaksanaannya memerlukan
biaya yang sangat besar, kiranya jikalau dikatakan pemindahan ibu kota ini demi
pemerataan pembangunan nasional sepertinya tidak tepat karena seharusnya yang
menjadi prioritas pemerintah yaitu membangun dan mensejahterakan daerah-
daerah tertinggal yang seharusnya diberi perhatian lebih, maka dari itu kiranya
keputusan yang dikeluarkan harus dikaji lagi lebih dalam dari berbagai aspek yang
ada agar jelas tujuannya tidak hanya sebagai kebijakan yang bersifat represif.
Akan sangat menarik apabila kajian terkait pemindahan ibu kota Indonesia
diwarnai juga oleh konsep-konsep yang datang konsep-konsep Islam dari kajian
fiqih siyasah. Di samping itu, agar hukum tata negara Indonesia mampu
menyesuaikan dan membuka diri menerima unsur-unsur luar yang penting,
termasuk terkait dengan penyerapan hukum tata negara Islam melalui doktrin
fiqih siyasah. Dengan mempertimbangkan konsep kemaslahatan yang menjadi
acuan dalam legislasi hukum Islam. Semua dilakukan untuk masyarakat demi
tercapainya kemaslahatan bersama. Konsep yang lebih banyak manafaatnya untuk
keberlangsungan pemerintahan dan negara harus dipilih demi kebaikan semua
pihak.
Dengan berbagai urgensi dan ketertarikan terhadap fenomena tersebut,
peneliti mencoba melakukan studi analisis dan observasi langsung dengan judul
KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA REPUBLIK
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FIKIH SIYASAH.
8
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berpijak dari latar belakang masalah yang ada maka dapat diidentifikasi
masalah-masalah sebagai berikut :
a. Pemindahan Ibu kota NKRI yang tidak diatur secara tegas dalam UUD RI
menimbulkan fleksibilitas yang tinggi dalam mengatur pemindahan ibu
kota tersebut. Sehingga, perlu dilakukan analisis mendalam mengenai
kebijakan tersebut, khususnya dalam perspektif fikih siyasah.
b. Pemindahan ibu kota dinilai kurang efisien dari segi biaya, pindahnya ibu
kota tentunya akan memerlukan biaya yang tidak sedikit, bahkan bisa jadi
lebih banyak dibandingkan mempebaiki ibu kota lama. Pembangunan
infrastruktur di ibu kota baru bisa menjadi masalah baru bagi Indonesia
nantinya.
c. Pemindahan ibu kota membutuhkan waktu yang tidak sedikit, prosesnya
tentu panjang. Berbagai aspek seperti bencana alam, lingkungan bahkan
tata kota harus diperhatikan. Selama proses tersebut, penyelesaian
masalah-masalah pemerintahan yang seharusnya menjadi fokus
pemerintah dapat menjadi tidak efektif.
d. Adanya sentralisasi dalam sistem perekonomian di Jakarta saat ini,
menimbulkan masalah kesenjangan sosial di daerah-daerah lainnya,
khususnya di luar pulau Jawa. Untuk itu, pemindahan ibu kota dari Jakarta
salah satunya bertujuan untuk menyelesaikan masalah pemerataan
ekonomi di Indonesia
e. Kondisi fisik Jakarta saat ini memiliki berbagai keterbatasan. Berbagai
masalah timbul akibat urbanisasi dan kepadatan penduduk di Jakarta
seperti, kemacetan dan banjir. Keterbatasan ini membuat Jakarta tidak lagi
dapat menjalankan fungsinya sebagai ibu kota dengan optimal.
9
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
penulis membatasi masalah yang akan dibahas agar pembahasannya lebih
jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Penelitian ini
difokuskan pembahasannya mengenai analisis Fikih Siyasah dalam aspek
maslahat terhadap pengambilan kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara
Republik Indonesia di Jakarta ke Kalimantan Timur.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang dikemukakan
di atas, maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa saja faktor-faktor yang melatarbelakangi pemindahan Ibu Kota
Jakarta?
b. Bagaimana kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia di
Jakarta ke Kalimantan Timur menurut perspektif Fikih Siyasah dalam
aspek maslahat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakanya penelitian mengenai analisis pemindahan ibu kota
negara republik Indonesia dalam perspektif fikih siyasah adalah sebagai
berikut:
a. Mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi pemindahan Ibu Kota
Negara Republik Indonesia.
b. Mengetahui perspektif Fikih Siyasah dalam aspek maslahat terhadap
pengambilan keputusan pemindahan Ibu Kota Negara Republik
Indonesia.
10
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian yang berjudul pemindahan
ibu kota negara republik Indonesia perpektif fikih siyasah adalah sebagai
berikut:
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk penelitian lebih
lanjut guna menambah wawasan dan pengetahuan di bidang politik,
hukum, dan keislaman mengenai pemindahan ibu kota negara republik
Indonesia perpektif fikih siyasah.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
praktis kepada semua pihak yang terkait dalam penelitian ini,
diantaranya:
1) Sebagai masukan kepada Presiden Republik Indonesia yang
memiliki wewenang dalam mengambil keputusan pemidahan ibu
kota negara agar mempertibangkan secara rinci berbagai aspek
perlu atau tidaknya pemindahan ibu kota dan agar segera dibuat
payung hukum tentang aturan pemindahan ibu kota baru dan juga
agar segera bekerja sama dengan DPR untuk membuat aturan
baru terhadap ibu kota yang lama agar jelas kedudukannya.
2) Sebagai masukan kepada civitas akademika Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya program
studi Hukum Tata Negara (Siyasah) agar terlibat aktif
memberikan masukan terhadap kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh lembaga negara.
3) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan referensi
dalam bidang politik dan pemerintahan bagi mahasiswa/i hukum
tata negara.
4) Penelitian ini secara pribadi menjadi salah satu bentuk
implementasi dari ilmu pengetahuan yang diperoleh peneliti
11
selama mengikuti program perkuliahan sarjana di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam rangka mendukung penelitian ini, peneliti telah berusaha melakukan
penelusuran terhadap berbagai karya ilmiah baik dalam bentuk buku, jurnal, dan
sebagainya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Adapun hasil
penelusuran yang didapatkan oleh peneliti sebagai berikut:
1. “When Capital Cities Move: The Political Geography Of Nation And State
Building”, oleh Edward Schatz, Kellog Institute. Jurnal ini membahas
mengenai pemindahan Ibu Kota di Kazakhstan yang menunjukkan bahwa
langkah ini dirancang untuk mengatasi tantangan pembangunan bangsa dan
negara yang sangat akut.13
2. “Pemindahan Ibu Kota Negara Maju dan Sejahtera”, oleh H. M Yahya,
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat Universitas Merdeka Malang. Jurnal
ini membahas wacana untuk memindahkan ibu kota Indonesia yang telah
berulang kali muncul dengan berbagai analisis berbagai pendekatan.14
3. “Reasons for Relocating Capital Cities and Their Implications,” oleh Erik
Illmann, skripsi Faculty Of Social Sciences Institute of Political Studies
Charles University In Prague. Skripsi ini membahas Skripsi ini membahas
proses relokasi ibu kota. Tujuannya adalah untuk menciptakan tipologi
alasan, mengapa ibu kota pindah.15
4. “Pemindahan Ibukota Negara,” Deden Rukmana, Jurnal Asisten profesor
dan koordinator program studi perencanaan dan studi perkotaan di Savannah
13 https://kellogg.nd.edu/sites/default/files/old_files/ documents/ 303.pdf, diakses pada 15
Oktober 2019, Pukul 18.56 WIB.
14 http://e-journal.iain-palangkaraya.ac.id/ index.php/jsam/article /view/779, diakses pada
13 Maret 2020, Pukul 2.19 WIB.
15 https://is.cuni.cz/webapps/zzp/download/130148196, diakses pada 15 Desember 2019,
Pukul 2.19 WIB.
12
State University, AS. Jurnal ini membahas ide pemindahan ibu kota negara
republik Indonesia dari segi aspek perencanaan penataan ruang kota.16
5. “Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibu Kota
Negara,” oleh Ecky Agassi mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas
Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini membahas
tentang Pemindahan ibukota yang didesain dan dieksekusi dengan baik
dapat menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan ibukota negara.17
6. “Perpindahan Ibu Kota Negara Suatu Keharusan atau Wacana,”oleh
Sutikno, jurnal Fakultas Geografi Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah
Mada. Jurnal ini membahas tentang dari wacana hingga keharusan dalam
pemindahan ibu kota negara republic Indonesia.18
7. “Capital City Relocation and National Security: The Cases Of Nigeria and
Kazakhstan,” oleh Denys Reva A mini-dissertation submitted in partial
fulfilment of the requirements for the degree Master Of Security Studies in
the Department of Political Sciences at the University Of Pretoria Faculty
Of Humanities. Disertasi ini membahas tentang Studi ini mengembangkan
kerangka kerja yang menganalisis relokasi ibu kota - perhubungan
keamanan nasional, untuk menilai dampak keseluruhan proyek, serta
manfaat dan kelemahan spesifik untuk keamanan.19
Adapun penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini
fokus pada perspektif Fikih Siyasah terutama pada aspek maslahat dalam
pengambilan kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
16 https://tataruang.atrbpn.go.id /Bullet in/upload/data_artikel/ edisi5i.pdf, diakses pada 10
Maret 2020, Pukul 22.56 WIB.
17 https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/ 123456789/67919/ 1/H13eag.pdf, diakses
pada 15 Oktober 2019, Pukul 19.57 WIB.
18 http://repositori.kemdikbud.go.id/1128/, diakses pada 15 Desember 2019, Pukul 2.08
WIB.
19 https://repository.up.ac.za/bitstream/handle/2263/60413/Reva_Capital_2016.pdf?Sequen
ce=1&isAllowed=y, diakses pada 15 Desember 2019, Pukul 5.13 WIB.
13
E. Metode Penelitian
Untuk membantu memudahkan dalam penyusunan skripsi ini, maka disusun
metode20 penelitan sebagai petunjuk dalam mengarahkan penelitian skripsi ini,
atau dengan kata lain sebagai cara dalam mencari data yang akan digunakan untuk
memecahkan suatu masalah dalam skripsi ini, antara lain sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam skripsi ini, penelitian yang dilakukan merupakan penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum
yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah,
filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup materi, dan
konsistensi. 21 Dalam literatur lain disebutkan bahwa penelitian hukum
normatif terdiri dari: penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian
terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum,
sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.22 Sedangkan penelitian
empiris atau sosiologis terdiri atas penelitian terhadap identifikasi hukum,
dan penelitian terhadap efektivitas hukum.23
Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara mengkaji hukum
tertulis yang bersifat mengikat dari segala aspek yang kaitannya dengan
pokok bahasan yang diteliti. Penelitian hukum empiris dilakukan dengan
cara mengkaji fenomena empirik yaitu pengambilan kebijakan pemindahan
Ibu Kota Negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan yang dikaji
dengan perspektif Fikih Siyasah dalam aspek maslahat melalui berbagai
20 Metode adalah suatu cara atau jalan sehubungan dengan usaha ilmiah, metode
menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi
sasaran ilmu yang bersangkutan dalam Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:
UI Press, 2015), h. 5.
21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: UI Presss, 1990), h. 15.
22 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,
2003), h. 41.
23 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 12.
14
macam referensi dan dokumen berupa buku bacaan, jurnal yang relevan,
skripsi, thesis, dan data dari internet.
2. Pendekatan Penelitian24
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai
berikut:
a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Aprroach)
Pendekatan ini dilakukan dengan mengkaji peraturan
perundang-undangan yang bersangkut paut dengan pemindahan Ibu
Kota Negara Republik Indonesia yaitu Peraturan Presiden Nomor 18
Tahun 2020 tentang Rencana Pembagunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2020-2024 Lampiran II Proyek Prioritas Strategis.
Peraturan tersebut kemudian dijadikan acuan dalam menganalisis data.
b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Aprroach)
Dalam pendekatan ini peneliti beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum ketatanegaraan dan
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin ketatanegaraan Islam
terutama pada konsep maslahat fikih siyasah dalam pengambilan
kebijakan seorang pemimpin. Dengan pemahaman terhadap doktrin-
doktrin tersebut peneliti akan mampu membangun argumentasi dalam
memecahkan permasalahan yang sedang ditangani.
c. Pendekatan Historis
Pendekatan ini dilakukan untuk peneliti membuat rekonstruksi
masa lampau dengan mengumpulkan, memverifikasi, dan
menganalisis serta menyintesiskan bukti atau fakta yang ada dengan
teliti sehingga mendapatkan gambaran yang tepat pada masa
lampau.25
24 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 133-177.
25 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif &Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Kencana, 2014), h.328.
15
3. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikategorikan sebagai
berikut:
a. Sumber Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas atau kewenangan tertentu.
Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim.26
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan hukum primer
antara lain:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Terutama pasal 2 ayat (2), pasal 32G ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia sebelum.
2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan
Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta Sebagai Ibu kota
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terutama pasal 4, pasal 5
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan
Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta Sebagai Ibu kota
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia. Terutama pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia.
4) Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana
Pembagunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024
Lampiran II Proyek Prioritas Strategis.
26 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181-195.
16
b. Sumber Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupkan dokumen-dokumen
resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-
kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, komentar-komentar (respon) atas
putusan pengadilan.27
Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan
adalah skripsi, tesis, jurnal/artikel, buku dan lain-lain. Sebagaimana
termaktub dalam poin D penelitian ini yakni Tinjauan (Review) Kajian
Terdahulu. Selain itu peneliti juga menggunakan kamus ensiklopedi
hukum, berita, kasus-kasus hukum yang pernah terjadi sebelumnya,
sehingga penelitian yang dilakukan memiliki kajian pustaka yang
relevan dan memumpuni.
c. Bahan Non-Hukum
Bahan-bahan non hukum dalam penetian hukum dapat berupa
buku-buku mengenai ilmu politik, ekonomi, sosiologi, filsafat,
kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non hukum sepanjang
semua itu memiliki relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan
non hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas
wawasan bagi peneliti, namun yang harus digarisbawahi bahwa bahan
non hukum ini tidak boleh lebih dominan dibanding bahan hukum
primer dan sekunder.28
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa bahan non
hukum antara lain: buku-buku politik dan sosiologi di perpustakaan
serta kamus bahasa asing yang tersedia di perpustakaan.
27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181-195.
28 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 204-208.
17
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan Studi pustaka (library research) yaitu mencari bahan-bahan
kajian di perpustakaan untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan
penelitian. Teknik ini dilakukan dengan cara mempelajari buku atau bahan
bacaan lainnya yang berhubungan atau terkait dengan judul, penelitian ini
guna untuk mendapatkan petunjuk yang mendukung penelitian.
5. Metode Analisis Data
Data yang telah diperoleh kemudian diklasifikasikan menurut pokok
bahasan masing-masing, maka selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis
data bertujuan untuk menginterprestasikan data yang sudah disusun secara
sistematis yaitu dengan memberikan penjelasan. Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu menguraikan
data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak
tumpang tindih, dan efektif, sehingga dapat memudahkan peneliti dalam
menganalisis dan mengolah data.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum 2017.
F. Sistematika Penulisan
Agar lebih mudah dalam memahami penelitian ini, maka peneliti menyusun
sistematika penulisannya sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, pada bab ini penullis memaparkan latar belakang
penelitian, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
18
Bab II Kajian Teoritis dan Konsep, bab ini menjelaskan mengenai konsep
Maslahat dalam Islam, sejarah pemindahan Ibu Kota dalam Islam, dan konsep Ibu
Kota dalam sistem pemerintahan Islam.
Bab III Pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia, pada bab ini
penulis menyajikan bahasan tentang kebijakan pemerintahan Joko Widodo dalam
pemindahan Ibu Kota Jakarta, latar belakang pemindahan Ibu Kota Negara
Republik Indonesia, urgensi pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia,
serta gagasan dan polemik pemindahan Ibu Kota Jakarta ke Kalimantan.
Bab IV Analisis Kebijakan Pemindahan Ibu Kota Negara Republik
Indonesia Perspektif Fikih Siyasah, pada bab ini berisi faktor-faktor yang
melatarbelakangi pemindahan Ibu Kota Jakarta serta analisis Perspektif Fikih
Siyasah khususnya pada aspek maslahat terhadap pengambilan kebijakan
pemerintah dalam pemindahan Ibu Kota Negara Repubik Indonesia.
Bab V penutup, pada bab ini peneliti memberikan kesimpulan dari hasil
penelitian dan saran terhadap penelitian ini.
19
BAB II
KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA DALAM ISLAM
A. Konsep Maslahat dalam Islam
Maslahat merupakan metode atau konsep yang sering dijadikan sandaran
oleh ulama dalam proses berijtihad dalam menyelesaikan atau menetapkan
permasalahan hukum Islam kontemporer dengan menekankan pada kemaslahatan
dan meniadakan mafsadah. Maslahat (al-maslahah) secara etimologis dapat
berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, dan
kepatutan. Kata maslahat (al-maslahah) dilawankan dengan kata mafsadah (al-
mafsadah) yang artinya kerusakan. 1 Secara terminologis, al-maslahah adalah
kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah untu hamba-hambanya, baik berupa
pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa atau diri mereka, pemeliharaan
kehormatan diri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun
berupa pemeliharaan harta kekayaan mereka.2
Menurut Imam al-Ghazali, pada dasarnya (secara Bahasa ‘urf), kata
maslahah menunjuk pengertian meraih manfaat atau menghindarkan
kemudaratan. 3 Dalam arti terminologis-syar’i menurut al-Ghazali, yaitu
memelihara dan mewujudkan tujuan Syara’ yang berupa memelihara agama, jiwa,
akal budi, keturunan, dan harta kekayaan. Ditegaskan lagi oleh al-Ghazali bahwa
setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut
dikualifikasikan sebagai maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat
mengganggu dan merusak kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadah; maka,
mencegah dan menghilangkan sesuatu yang demikian dikualifikasi sebagai
maslahah. 4
1 Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum Vol
12, no. 2 (Desember 2014): h. 314.
2 Asm awi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2013) h. 128.
3 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) h. 305.
4 Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum Vol
12, no. 2 (Desember 2014): h. 314.
20
Menurut ‘Izz al-Dîn ‘Abd al-Salâm dalam pandangannya, maslahah itu
identik dengan al-khair (kebajikan), al-naf‘ (kebermanfaatan), al-husn (kebaikan).
Sementara menurut Najm al-Dîn al-Tûfi, makna maslahah dapat ditinjau dari segi
‘urfi dan syar’i. Dari segi ‘urfi, maslahah adalah sebab yang membawa kepada
kebaikan dan kemanfaatan, seperti perniagaan yang merupakan sebab yang
membawa kepada keuntungan, sedangkan dari segi syar’i, maslahah adalah sebab
yang membawa kepada tujuan al-Syâri’, baik yang menyangkut ibadah maupun
muamalah. Tegasnya, maslahah masuk dalam cakupan maqâsid al-syarî‘ah.1
Maslahat merupakan istilah yang paling populer jika berbicara mengenai
hukum Islam. Hal tersebut disebabkan karena merealisasikan kemaslahatan
merupakan tujuan syara’ (maqâsid syarî’ah) dari ditetapkannya hukum Islam
secara keseluruhan. Tida ada syariat yang berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis
kecuali di dalamnya terdapat kemaslahatan yang hakiki dan berlaku secara
umum.2
Dalam setiap aturan hukumnya, al-Syâri’ mentransmisikan maslahah
sehingga lahir kebaikan/kemanfaatan dan terhindar dari keburukan atau
kerusakan, yang pada akhirnya terealisasinya kemakmuran dan kesejahteraan di
muka bumi serta keaslian pengabdian kepada Allah. Karena, maslahat
sesungguhnya adalah memelihara dan memperhatikan tujuan-tujuan Syara‘ berupa
kebaikan dan kemanfaatan yang dikehendaki oleh Syara‘, bukan oleh hawa nafsu
manusia. Norma hukum yang terdapat dalam teks-teks Syariah (nusûs al-syarî‘ah)
pasti mewujudkan maslahat, sehingga tidak ada maslahat di luar petunjuk teks
Syariah; maka, tidaklah benar pemikiran yang menyatakan maslahat harus
diprioritaskan jika berlawanan dengan teks Syariah. Dan maslahat pada
hakikatnya adalah sumbu peredaran dan perubahan hukum Islam, di mana
interpretasi atas teks Syariah dapat bertumpu padanya.3
1 Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum Vol
12, no. 2 (Desember 2014): h. 314.
2 Sapiudin Shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017) h.225.
3 Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum Vol
12, no. 2 (Desember 2014): h. 316.
21
Sehubungan dengan relasi maslahah dan ijtihad, Muhammad Abu Zahra
mendefinisikan ijtihad yaitu “Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqh
dalam menetapkan (istinbat) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan
dari dalilnya secara terperinci.”4 Ijtihad bisa diartikan sebagai upaya pengerahan
segala kemampuan denag bersungguh-sungguh untuk memperoleh atau
menetapkan hukum terhadap suatu masalah atau kasus yang tidak ditegaskan
secara rinci oleh nash Syara‘ dan Ijmâ’ ulama, yang pada intinya bertujuan
mewujudkan maslahah (jalb al-maslahah) dan menghindari atau menghilangkan
mafsadah (daf‘u al-mafsadah).
Hukum-hukum Syariah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kategori: (1)
hukum-hukum yang bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah secara langsung,
dan (2) hukum-hukum yang bersumber kepada ijtihad, tanpa bersandar secara
langsung kepada al-Qur’an dan Sunnah; dan yang terakhir inilah yang merupakan
hukum-hukum yang dibentuk di atas fondasi maslahah. Akan tetapi, kedua
kategori hukum itu sama-sama bertujuan merealisasi maslahah; dan sebagian
maslahah itu berubah dan berkembang lantaran perubahan/perkembangan zaman
dan faktor lainnya.5
Konsep maslahah sebagai inti maqâsid al-syarî‘ah merupakan alternatif
terbaik untuk pengembangan metode-metode ijtihad, di mana al-Qur’an dan
Sunnah harus dipahami melalui metode-metode ijtihad dengan memberi
penekanan pada dimensi maslahah. Konsep maslahah merupakan wahana bagi
perubahan hukum. Melalui konsep ini para ulama fikih memiliki kerangka kerja
untuk menangani masalah hukum, yang inheren di dalam sistem hukum yang
didasarkan kepada nass Syara‘ (al-Qur’an dan Hadis), yang nota bene
mengandung fondasi materiil hukum yang terbatas mengenai urusan kehidupan
dalam situasi lingkungan yang terus berubah. Dengan demikian, konsep maslahah
4 Sapiudin Shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017) h.253.
5 Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum Vol
12, no. 2 (Desember 2014): h. 317.
22
memberi legitimasi bagi aturan hukum baru dan memungkinkan para ulama fikih
mengelaborasi konteks masalah yang tidak ditegaskan oleh nash Syara‘.6
Para ulama ushul fiqh membagi maslahat dari berbagai segi tinjauan yang
berbeda, yaitu: segi tingkatan atau kepentingan atau kekuatan substansi maslahat,
segi kandungan atau batasan maslahat, segi berubah atau tidaknya maslahat, dan
segi ada tidaknya ketegasan jastifikasi syara’ terhadap keberadaan atau legalitas
maslahat. Dari segi tingkatan atau kepentingan atau kekuatan substansinya, al-
Ghazali membagi maslahat menjadi tiga, maslahah dharuriyah, maslahah
hajiyah, maslahah tahsiniyyah.7 Pembagian tingkatan ini pada dasarnya merujuk
pada skala prioritas dalam maslahat, yaitu:
1. Maslahah Dharuriyah (kemaslahatan primer), yaitu kemaslahatan
memelihara kelima unsur pokok yang keberadaannya bersifat mutlak dan
tidak bisa diabaikan.8 Kelima unsur pokok ini yaitu:
a. Memelihara agama. Jika agama tidak ada dan manusia dibiarkan begitu
saja, maka akan muncul masyarakat jahiliah, dan manusia hidup dengan
penuh kekacauan. Karena itu, beriman, shalat, puasa, zakat, dan haji
disyariatkan untuk memelihara keberadaan agama. Dan disyariatkan
pula hukuman yang mengancam eksistensi agama, seperti hukuman
mati bagi orang yang murtad dan memerangi orang yang tidak mau
bayar zakat.
b. Memelihara jiwa. Jika eksistensi jiwa tidak dijamin, maka kehidupan
manusia menjadi tidak berarti lagi. Hak hidup merupakan hak paling
asasi bagi setiap manusia. Untuk menjamin eksistensi jiwa maka
disyariatkan hukuman-hukuman seperti qishas dan diyat terhadap
pembunuh.
6 Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum Vol
12, no. 2 (Desember 2014): h. 318.
7 Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum Vol
12, no. 2 (Desember 2014): h. 320.
8 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) h. 309.
23
c. Memelihara akal. Akal merupakan daya pikir seseorang dalam
menjalani kehidupannya, jika akal tidak terpelihara maka kita tidak
mengenal yang namanya dunia manusia, yang ada dunia binatang.
Untuk mencegah terancamnya eksistensi akal, disyariatkan hukuman
had bagi peminum khamr, karena meminum khamr itu bisa merusak
akal dan hidup manusia.
d. Memelihara keturunan. Berketurunan juga merupakan masalah pokok
bagi manusia dalam rangka memelihara kelangsungan manusia di muka
bumi ini. Untuk pememeliharaan keturunan tersebut Allah
mensyariatkan nikah dengan segala hak dan kewajiban yang
diakibatkannya, serta hukuman had bagi pelaku zina.
e. Memelihara harta. manusia tidak bisa tanpa harta. Oleh sebab itu, harta
merupakan sesuatu yang dharuri (pokok) dalam kehidupan manusia.
Untuk mendapatkannya disyariatkan berbagai ketentuan dalam jual beli
waris dan lainnya, dan untuk menghindari ancaman keberadaan harta
disyariatkan pula hukuman had bagi pencuri dan perampok.
Tidak terpeliharanya kelima unsur pokok tersebut dalam tingkat
dharuriyah akan berakibat fatal, akan terjadi kerusakan dan kebinasahan
serta kehancuran dalam hidup manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Kebutuhan dharuriyah ini menepati peringkat tertinggi dan utama
dibanding dua maslahat lainnya yaitu hajiyah dan tahsiniyah. Maka tidak
dibenarkan memelihara kebutuhan hajiyah dan tahsiniyah bila akan
memusnahkan kebutuhan dharuriyah.9
2. Maslahah Hajiyah (kemaslahatan sekunder), yaitu susuatu yang
diperlukan seseorang untuk memudahkannya menjalani hidup dan
menghilangkan kesulitan dalam rangka memelihara lima unsur pokok di
atas.10 Jika kebutuhan peringkat kedua ini tidak terpenuhi, maka tidak akan
9 Sapiudin Shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017) h.226.
10 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) h. 310.
24
mengakibatkan kehancuran dan kemusnahan bagi kehidupan manusia,
tetapi akan membawa kesulitan dan kesempitan.11
3. Maslahah Tahsiniyyah (kemaslahatan tersier), yaitu memelihata kelima
unsur pokok di atas dengan cara meraih dan menetapkan hal-hal yang
pantas dan layak dari kebiasaan-kebiasaan hidup yang baik, serta
menghindarkan sesuatu yang dipandang sebaliknya oleh akal sehat. 12
Apabila kebutuhan tingkat ketiga ini tidak terpenuhi, maka tidak akan
menimbulkan kemusnahan hidup manusia, akan tetapi kehidupan manusia
dipandang tidak layak menurut ukuran akal dan fitrah manusia. Perkara
yang terkait kebutuhan ini yaitu terkait dengan akhlak mulia dan adat yang
baik.13
Sementara itu, dilihat dari segi kandungan atau batasan maslahat atau
hubungannya dengan umat atau individu tertentu, Abû Bakr Ismail Muhammad
Miqa membagi dua kategori maslahah. Pertama, maslahah ‘ammah, yakni
maslahah yang pemeliharaannya menentukan kebaikan dan kesejahteraan segenap
masyarakat atau sebagian besar masyarakat, tanpa melihat pada satuan-satuan
individu dari mereka. Kedua, maslahah khassah, yakni maslahah yang
pemeliharaannya menentukan kebaikan dan kesejahteraan yang bersifat
individual, dari yang bersifat individual ini akan mengarah kepada kebaikan dan
kesejahteraan yang bersifat kolektif (publik).14
Sedangkan jika dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahat, Mushtafa
al-Syalabi membaginya kepada dua bagian maslahah. Pertama, maslahah al-
tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berbah sampai akhir
11 Sapiudin Shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017) h.226.
12 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) h. 311.
13 Sapiudin Shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017) h.227.
14 Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum
Vol 12, no. 2 (Desember 2014): h. 321.
25
zaman.15 Misalnya kewajiban ritual ibadah, seperti salat, puasa, zakat, dan haji.16
Kedua, maslahah al-mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berbubah-ubah
sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subyek hukum.17 Kemaslahatan ini
berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan, seperti dalam
masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lainnya.18
Selanjutnya, jika dilihat dari segi ada tidaknya ketegasan jastifikasi syara’
terhadap keberadaan atau legalitas maslahat, menurut al-Ghazali terbagi menjadi
tiga: (1) Maslahah Al-Mu’tabaroh, yaitu kemaslahatan yang mendapat ketegasan
justifikasi syara’ terhadap penerimaannya atau didukung oleh syara’. Dalam artian
adanya dalil khusus yang menjadikan dasar bentuk dan jenis dari kemaslahatan
tersebut. (2) Maslahah Al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang mendapat ketegasan
justifikasi syara’ terhadap penolakannya atau ditolak oleh syara’, karena
bertentangan dengan ketentuan syara’. (3) Maslahah Al-Mursalah, yaitu
kemaslahatan yang keberadaannya tidak mendapat ketegasan justifikasi syara’
atau tidak didukung syara’, dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil
yang rinci. Muhammad Muslehuddin melihat bahwa kategorisasi maslahah
dengan trilogi maslahah mu‘tabarah - maslahah mulgah - maslahah mursalah
tetap harus mempertimbangkan dimensi kepentingan masyarakat dan realitas
sosial yang terus berubah sehingga hukum Islam (Syariah) harus bergerak seiring
sejalan dengan perubahan realitas sosial yang terjadi, yang pada gilirannya
fleksibilitas hukum Islam (Syariah) dapat dipertahankan.19
15 Muskana Pasaribu, Maslahat Dan Perkembangannya Sebagai Dasar Penetapan Hukum
Islam, Jurnal Justitia Vol 1, no. 4 (Desember 2014): h. 355.
16 Muhammad Ali Rusdi, Maslahat sebagai Metode Ijtihad Dan Tujuan Utama Hukum
islam, Jurnal Syariah dan Hukum Diktum Vol 15, no. 2 (Desember 2017): h. 160.
17 Muskana Pasaribu, Maslahat Dan Perkembangannya Sebagai Dasar Penetapan Hukum
Islam, Jurnal Justitia Vol 1, no. 4 (Desember 2014): h. 355.
18 Muhammad Ali Rusdi, Maslahat sebagai Metode Ijtihad Dan Tujuan Utama Hukum
islam, Jurnal Syariah dan Hukum Diktum Vol 15, no. 2 (Desember 2017): h. 160.
19 Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum
Vol 12, no. 2 (Desember 2014): h. 320.
26
B. Sejarah Pemindahan Ibu Kota dalam Islam
Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, pemindahan ibu kota pernah beberapa
kali terjadi, berikut sejarahnya:
1. Masa al-Khulafa’ al-Rasyidun
Pemindahan ibu kota pada masa ini terjadi ketika masa pemerintahan
kalifah ‘Ali bin Abi Thalib, yaitu pada awal masa jabatannya sebagai
khalifah. Pada saat itu posisi khalifah ‘Ali sangat tidak diuntungkan, situasi
politik yang terpecah dan hanya sebagian kelompok umat Islam yang
berbaiat kepadanya.20 Oposisi pertama kali terhadap khalifah ‘Ali dimulai
terang-terangan oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir dengan latar belakang
pribadi masing-masing, sehubungan dengan penentangannya terhadap
khalifah ‘Ali, mereka sepakat untuk menuntut khalifah agar menghukum
pembunuh Utsman.21 Sedangkan di Syam, Muawiyah pun turut menuntut
balas kepada ‘Ali atas kematian Usman, sampai-sampai Muawiyah
mengangat dirinya sebagai khalifah tandingan di Syam. Namun walau
demikian, ‘Ali dianggap sah menduduki posisi khalifah karena didukung
oleh sebagian besar rakyat.22
Sebenarnya khalifah ‘Ali ingin menghindari pertikaian dan
mengajukan perundingan perdamaian kepada Aisyah, Thalhah dan Zubair,
namun upayanya penyelesaiannya sulit dicapai. Kontak senjata pun tak
terelakkan, munculah peperangan pada tahun 36 H yang dikenal dengan
nama “Perang Jamal” (Perang Unta) karena dalam pertempuran tersebut
Aisyah istri Nabi saw. mengendarai unta. Dalam pertempuran ini 20.000
20 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008) h.27.
21 Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2018) h. 110.
22 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), h. 85.
27
kaum muslimin gugur, Thalhah dan Zubair terbunuh ketika melarikan diri,
sedangkan Aisyah dikembalikan ke Madinah.23
Melihat kondisi Madinah yang chaos dengan ambisi lawan-lawan
politiknya serta sulitnya menjalankan pemerintahan, khalifah ‘Ali
memindahkan ibu kota ke Kufah.24 Di sini ‘Ali mendapatkan dukungan
penuh oleh rakyat. Sementara itu di Syam, Muawiyah telah bersiap untuk
menghadapi ‘Ali. Dalam mengahadapi Muawiyah, ‘Ali sempat mengadakan
perundingan untuk berdamai namun ditolak, akhirnya timbul peperanagn di
Siffin pada bulan Safar tahun 37 H/656.25 Banyak korban berjatuhan dari
kedua belah pihak. Pada akhirnya peperangan dihentikan dan diadakanlah
tahkim antara kedua belah pihak. Dalam tahkim ini menghasilkan keputusan
yang timpang, ‘Ali diturunkan jabatannya, sedangkan Muawiyah diangkat
menjadi khalifah.
2. Masa Dinasti Umaiyah
Setelah peperangan melawan ‘Ali, di Syam kedudukan Muawiyah
semakin kukuh didukung oleh penduduknya. Ia pun mulai membenahi
negara merangkul kembali tokoh-tokoh yang pernah dipecat oleh Ali dalam
jabatan gubernur, seperti mengangkat Al-Mughirah bin Syu’bah menjadi
gubernur Kufah dengan tugas khusus menumpas perlawanan pendukung Ali
yang masih setia. Serta melakukan berbagai macam kebijakan politik.26
Salah satu kebijakan politik Muawiyah yaitu memindahkan ibu kota
kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa sebagai
gubernur sebelumnya. 27 Alasan Muawiyah memilih kota ini sebagai ibu
23 Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2018) h. 111.
24 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, h. 87.
25 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, h. 87.
26 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), h. 90.
27 Linda Firdawaty, Negara Islam Pada Periode Klasik, h.75.
28
kota karena kota ini merupakan kampung halaman kedua baginya, serta
merupakan basis Muawiyah dalam mendapatkan dukungan rakyat. Selain
jauh dari pusat oposisi di Kufah, Damaskus terletak di antara daerah-daerah
kekuasaan bani Umaiyah.28 Kebijakan ini merupakan keputusan yang tepat
bagi Muawiyah untuk mengamankan kedudukannya sebagai khalifah dan
mengamankan berjalannya roda pemerintahan.
3. Masa Dinasti Abbasiyah
Pemindahan ibu kota pada masa kekuasaan Bani Abbas terjadi
beberapa kali. Pada mulanya, pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah ada di
kufah, amun kota ini dinilai kurang aman, karena Kufah merupakan basis
pendukung Syiah yang sangat pro kepada ‘Ali.29 Oleh karena itu, khalifah
pertama pada masa bani Abbas ini yaitu Abu Abbas al-Saffah 30
memindahkan ibu kota ke Hasyimiyah, namun ternyata di sini juga belum
aman dari oposisi Syiah, karena jaraknya masih relatif dekat dengan
Kufah.31
Lalu pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur, ibu
kota dipindahkan ke Baghdad. 32 Kebijakan ini sangatlah tepat karena
posisinya yang strategis terletak di delta sungai Tigris. Baghdad juga
merupakan pust kebudayaan tertua (Babylonia) dalam sejarah peradaban
manusia. Dari sinilah khalifah al-Manshur melakukan konsolidasi
memantapkan bangunan kerajaannya dan meletakkan dasar-dasar
28 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, h. 90.
29 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, h. 97.
30 “Al-Saffah” adalah gela r yang diberikannya sendiri kepada dirinya ketika ia berpidato di
Kufah. Gelar in i dimaksudkannya untuk memadamkan pemberontakan kaum reaksioner dan sisa-
sisa Bani Umaiyah yang masih tertinggal, demi mempertahankan dan memperkuat kedudukannya.
(Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Juz. 3, h. 22-23). Al-Saffah juga berarti dermawan,
karena ia memberikan hadiah kepada penduduk Kufah yang membaiatnya. Lihat Ibn Atsir, Al-
Kamil fi al-Tarikh, (Beirut: Dar al-Shadir, 1965), h. 413.
31 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, h. 97.
32 Munawir Haris, Situasi Politik Pemerintahan Dinasti Umayyah Dan Abbasiyah, h. 402.
29
pemerintahan.33 Membuat semacam Lembaga eksekutif dan yudikatif serta
menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator dari
kementrian yang ada.34
Dan pada masa pemerintahan khalifah Al-Mu’tashim ibu kota
dipindahkan dari Baghdad ke Samara. Dengan berbagai macam tujuan,
pertama sebagai tempat tinggal/istana baru kalifah, kedua sabagai hadiah
untuk Asynas yaitu seorang komandan tantara yang berkebangsaan Turki,
serta ketiga untuk menampung orang-orang Turki yang tidak tertampung di
Baghdad sebab mereka sering melakukan kerusuhan dan perkelahian.35
4. Masa Turki Utsmani
Pada masa kepemimpinan Orhan, Kesultanan Utsmani menguasai kota
Bursa dan menjadikannya sebagai ibu kota kesultanan. Lalu ketika Orhan
wafat, ia digantikan oleh putranya yang dikenal dengan Murad I. pada masa
Murad I ini ibu kota dipindahkan dari Bursa ke Edirne dengan tujuan
memusatkan perhatiannya ke Eropa, hasilnya Murad I berhasil menguasai
kota Sofia. Terakhir, ibu kota dipindahkan ke Konstantinopel oleh Mehmed
II setelah ditaklukan.36
C. Ibu Kota dalam Sistem Pemerintahan Islam
Dalam ketatanegaraan Islam, ibu kota pertama yaitu Madinah sebagai
negara sekaligus ibu kota. Dalam literatur tidak banyak yang menyebutkan seperti
apa bentuk ibu kota dalam sistem ketatenegaraan Islam. Dalam literatur yang
ditemukan hanya menyebutkan bahwa ibu kota menjadi tempat isana khalifah
33 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, h. 98.
34 A Najili Aminullah, Dinasti Bani abbasiyah, Politik, Peradaban dan Intelektual, h. 21.
35 Mundzirin Yusuf, Khalifah Al-Mu’Tashim: Kajian Awal Mundurnya Daulah Abbasiyah,
h. 132.
36 M. Affan, Kesultanan Utsmani: (1300-1517): Jalan Panjang Menuju Kekhalifahan, h.
106 dan 118.
30
sekaligus sebagai pusat pemerintahan Islam dan apabila istana khalifah di
pindahkan berarti pindah juga pusat pemerintahan Islam.Dari kenyataan sejarah
yang panjang sejak abad ke-7 hingga abad ke-21 M, umat Islam telah
mempraktikan beragam bentuk kehidupan politik meliputi bentuk negara dan
sistem pemerintahan. Jika dilihat dari kenyataan sejarah, umat Islam telah
mempraktikan bentuk negara kesatuan dan negara federal:37
1. Negara Kesatuan
Negara kesatuan ialah bentuk negara di mana wewenang kekuasaan
tertinggi dipusatkan di pusat. Pemerintah pusat mempunyai wewenang
untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan
hak otonomi, tetapi pada akhirnya kekuasaan tertinggi terletak pada
pemerintah pusat. Dalam sejarah praktik politik umat Islam, sejak zaman
Rasulullah hingga al-Khulafa al-Rasyidun jelas tampak bahwa Islam
dipraktekkan di dalam ketatanegaraan sebagai negara kesatuan, di mana
kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat, gubernur-gubernur dan
panglima-panglima diangkat serta diberhentikan oleh khalifah. Hal ini
berlangsung sampai runtuhnya Daulah Umawiyah di Damaskus.38
Negara kesatuan Islam yang berbentuk republik dalam sejarah Islam
awal kemudian dirubah oleh Muawiyyah menjadi negara kesatuan Islam
yang berbentuk monarki (kerajaan) di mana kepala negara tidak lagi
dipilih oleh rakyat melainkan berdasarkan keturunan. Dalam kehidupan
kenegaraan sekarang, dua model ketatanegaraan ini oleh umat Islam
dipraktikkan di beberapa negara. Bentuk negara kesatuan Islam yang
berbentuk republik telah dipraktekkan Republik Islam Iran yang beraliran
Syiah dan Republik Islam Pakistan, Republik Irak, dan Republik
Afghanistan yang beraliran Sunni. Sedangkan bentuk negara kesatuan
Islam yang berbentuk monarki dipraktikkan oleh Arab Saudi, Jordania,
37 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008) h. 202.
38 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008) h. 198-200.
31
Uni Emirat Arab, dan lainnya di mana pergantian kekuasaan tidak
ditentukan oleh suara rakyat melainkan keturunan penguasa.39
Model negara kesatuan Islam yang di praktekkan oleh masyarakat
Muslim zaman sekarang tidak lagi dalam bentuk negara yang wilayahnya
berskala internasional seperti pada masa dinasti-dinasti Islam masa lalu,
melainkan dalam bentuk negara bangsa (nation-state). Kini, umat Islam
mempraktikkan negara kesatuan Islam dalam bentuk negara bangsa
(nation-state) sebagai respon terhadap konteks negara-negara yang
berkembang di masa sekarang.
2. Negara Federal
Sekalipun terdapat perbedaan antara negara federa satu sama lain,
pasti ada satu prinsip yang sama, yaitu bahwa soal-soal yang menyangkut
negara dalam keseluruhannya diserahkan kekuaaan federal. Dalam hal-hal
tertentu seperti mengadakan perjanjian internasonal atau mencetak uang,
pemerintah federal bebas dari bagian-bagian dan dalam bidang itu
pemerintah federal mempunyai kekuasaan yang tertinggi. Tetapi untuk
soal-soal yang menyangkut negara bagian dan tidak termasuk kepentingan
nasional, diserahkan pada kekuasaan negara bagian.
Dalam praktis sejarah politik umat Islam, sejak mulai lahir di zaman
nabi sampai pada zaman al-Khulafa al-Rasyidun, Dinasti Umayah dan
permulaan Abbasiyah, negara Islam masih berbentuk kesatuan. Baru di
zaman Khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H / 789-809 M), di mulai
rencana pembentukan negara federasi. Kemudian pada 184 H menyetujui
berdirinya negara Aglabiyah di Tunis yang didirikan oleh Ibrahim bin
Aglab. Negara ini berdiri selama satu abad lebih, dari 184 H / 800 M
sampai 296 H / 908 M.40
39 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008) h. 201.
40 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008) h. 202-203.
32
Rencana ini dilanjutkan kembali oleh Khalifah Ma’mun (198-218 H /
813-833 M. Diperintahkan kepada wazir tercakap bernama Tahit bin
Husen untuk mendirikan suatu negara bagian sebagai percobaan (model)
di Khurasan dengan nama Thahiriyah. Percobaan ini sangat penting, bukan
saja karena kepala negaranya orang pilihan yang ditunjuk dari pusat, tapi
lebih lagi karena daerah percobaan itu dilakukan di Khurasan tempat
tumbuh dan berdiriinya organisasi Abbasiyah yang pertama.41
Adapun sistem pemerintahan yang pernah dipraktikkan dalam Islam sangat
terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing umat. Dlam
rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, umat
Islam pernah mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan yang meliputi sistem
pemerintahan khilafah (khilafah berdasarkan syura dan khilafah berdasarkan
monarki), imamah, monarki, dan sistem pemerintahan demokrasi. Negara-negara
Islam saat ini menggunakan berbagai macam sistem pemerintahan dalam
mengurus negaranya, ada yang menggunakan sistem presindensil, monarki
absolut dan monarki konstitusional, dan ada pula yang menggunakan sistem
pemerintahan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dianggap modern.
Walaupun umat Islam dari masa ke masa menggunakan berbagai macam bentuk
dan sistem pemerintahan yang pernah di gunakan, kedudukan ibu kota dalam
Islam pasti menjadi kota utama pusat pemerintahan, perekonomian, politik,
budaya, pembanguan, dan pusat-pusat lainnya.
41 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008) h. 204.
33
BAB III
PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
A. Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo dalam Pemindahan Ibu Kota Jakarta
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan berasal dari kata “bijak”
yang artinya selalu menggunakan akal budinya, pandai, dan mahir. Apabila
diformulasikan dengan imbuhan ke- dan -an, maka akan berarti sebagai suatu
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang
pemerintahan, organisasi, dan sebagainya).1
Dalam berbagai literatur, kebijakan publik didefinisikan secara beragam,
karena dalam suatu disiplin ilmu terdapat perspektif atau cara pandang yang
bervariasi. Mengikuti definisi dari Thomas Dye (1975) misalnya, hampir semua
yang diputuskan atau tidak diputuskan oleh pemerintah termasuk dalam definisi
sebagai kebijakan (Whatever governments choose to do or not to do). Friedrich
(2007) mengatakan bahwa kebijakan adalah keputusan yang diusulkan oleh
individu, kelompok atau pemerintah yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu
permasalahan. Sejalan dengan Friedrich, Sharkansky (1970) mendefinisikan
kebijakan sebagai tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.2
Dari definisi-definisi tersebut dapat dilihat bahwa kebijakan publik merupakan
salah satu instrumen pemerintah untuk mencapai suatu tujuan.
Shafritz dan Russel (1997) menjelaskan proses pembuatan kebijakan
sebagai sebuah siklus. Dimulai dari pertama, penetapan agenda kebijakan (agenda
setting) dimana masalah-masalah publik diindentifikasi menjadi masalah
kebijakan. Kedua, memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan kebijakan.
Ketiga, melaksanakan kebijakan (implementasi). Keempat evaluasi kebijakan
(baik berupa program atau kegiatan) beserta dampaknya.
1 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kebijakan, diakses pada 22 Agustus 2020 Pukul 00.13
WIB.
2 Erna Irawati dan Ambar Widaningrum, “Modul I: Konsep dan Studi Kebijakan Publik”
(dalam modul Pelatihan Analisis Kebijakan, Lembaga Administrasi Negara 2015), h.11.
34
Kelima melakukan umpan balik, yakni memutuskan apakah kebijakan tersebut
akan diteruskan, direvisi atau dihentikan.1
Dari perspektif demokrasi, kebijakan publik yang akan diimplementasikan
harus mendapatkan dukungan dari publik, yang bisa digali dengan berbagai
metode aspirasi, seperti dengar pendapat atau konsultasi publik, diskusi kelompok
terfokus, dan sebagainya. Informasi dari publik sangat penting karena realitasnya
kemampuan wawasan, pengetahuan dan penguasaan pembuat kebijakan tentang
masalah-masalah publik kadangkala terbatas. Selain itu, dapat dikatakan bahwa
keterlibatan publik yang lebih tinggi dalam proses pembentukan kebijakan,
semakin tinggi rasa memiliki dan dukungan publik untuk kebijakan, sehingga
mendorong penerapan dan penegakan kebijakan yang efektif. Partisipasi
pemangku kepentingan dan konsultasi publik ini penting untuk meningkatkan
transparansi, membangun kepercayaan publik dan mengurangi risiko
implementasi. Dengan kata lain, kebijakan publik dibuat untuk kepentingan
publik yang luas, bukan hanya untuk menjaga kepentingan para pembuat
kebijakan atau kelompok tertentu.2
Pemindahan Ibu kota Indonesia sudah dari lama digaungkan dari awal
kemerdekaan dan setiap kali berganti presiden, negeri ini terus diberi gagasan
pemindahan ibu kota yang pada akhirnya tidak juga terealisasi. Baru pada saat
pemerintahan Presiden Joko Widodo pada senin, 26 Agustus 2019 tahun lalu,
Presiden Joko Widodo mengumumkan hasil kajian pemerintah mengenai lokasi
pemindahan ibu kota baru Republik Indonesia. Melalui serangkaian kajian selama
tiga tahun belakangan, Presiden menetapkan dua wilayah di Provinsi Kalimantan
Timur sebagai lokasi pembangunan ibu kota baru, yaitu sebagian Kabupaten
Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara.3
1 Erna Irawati dan Ambar Widaningrum, “Modul I: Konsep dan Studi Kebijakan Publik”
(dalam modul Pelatihan Analisis Kebijakan, Lembaga Administrasi Negara 2015), h.15.
2 Erna Irawati dan Ambar Widaningrum, “Modul I: Konsep dan Studi Kebijakan Publik”
(dalam modul Pelatihan Analisis Kebijakan, Lembaga Administrasi Negara 2015), h.16.
3 https://setneg.go.id/baca/index/penajam_paser_utara_dan_kutai_kartanegara_ibu_kota_b
aru, diakses pada 22 Agustus 2020 Pukul 00.13 WIB.
35
Alasan utama pemerintah dalam pemindahan ibu kota ini yaitu pertama,
beban Jakarta saat ini sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis,
pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa, dan juga airport (bandar
udara) dan pelabuhan laut yang terbesar di Indonesia. Kedua, beban Jakarta dan
beban Pulau Jawa yang semakin berat dalam hal kepadatan penduduk, kemacetan
lalu lintas yang sudah terlanjur parah, dan polusi udara dan air yang harus segera
ditangani. 4
Alasan pemerintah menetapkan Provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi
pembangunan ibu kota baru yaitu pertama, risiko bencana minimal, baik bencana
banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, gunung berapi, dan tanah longsor.
Kedua, lokasinya yang strategis, berada di tengah-tengah Indonesia. Ketiga,
lokasinya berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang, yaitu
Balikpapan dan Samarinda. Keempat, telah memiliki infrastruktur yang relatif
lengkap. Dan yang kelima, telah tersedia lahan yang dikuasai pemerintah seluas
180.000 hektare.
Pemerintah menegaskan bahwa dalam pembangunan ibu kota baru ini bukan
satu-satunya upaya pemerintah dalam mengurangi kesenjangan Pulau Jawa dan
luar Jawa. Karena selain itu pemerintah juga akan membangun industrialisasi di
luar Jawa berbasis hilirisasi sumber daya alam. Dan ibu kota lama yaitu Jakarta
akan tetap menjadi prioritas pembangunan dan terus dikembangkan menjadi kota
bisnis, kota keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa berskala regional dan
global seperti kota Kuala Lumpur dan Seoul. Dan rencana Pemprov DKI Jakarta
untuk melakukan urban regeneration tetap terus dijalankan dan pembahasannya
sudah pada level teknis dan siap dieksekusi.5
Belum ada produk hukum atau regulasi terkait keputusan penetapan
pembangunan ibu kota baru yang di keluarkan oleh pemerintah. Rencananya
4 https://setkab.go.id/pemindahan-ibu-kota-26-agustus-2019-di istana-negara-provinsi-dki-
jakarta/, diakses pada 22 Agustus 2020 Pukul 00.24 WIB.
5 https://setkab.go.id/pemindahan-ibu-kota-26-agustus-2019-di-istana-negara-provinsi-dki-
jakarta/, diakses pada 22 Agustus 2020 Pukul 00.24 WIB.
36
pemerintah akan membuat regulasi berbarengan dengan penyusunan omnibuslaw
yang sampai sekarang belum kunjung selesai pembahasannya oleh DPR karena
banyak pasal karet dalam susunan omnibuslaw tersebut sehingga banyak
masyarakat yang menolak dan juga karena terkendala adanya situasi darurat
pandemi Corona yang sedang melanda dunia.
B. Latar Belakang Pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia
Pemerintah akan memindahkan ibu kota dari DKI Jakarta ke sebagian
Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara,
Provinsi Kalimantan Timur. Wacana pemindahan ibu kota ini mulanya muncul di
era kepemimpinan Presiden Soekarno, bahkan sudah muncul sejak era kolonial.
Pada era kolonial tepatnya pada era Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman
Willem Daendels (1762-1818), ia ingin memindahkan ibu kota dari Batavia
(Jakarta) ke Surabaya. Ada dua alasan penting Daendels ingin memindahkan ibu
kota ke Surabaya.
Pertama, alasan kesehatan, karena di Batavia (Jakarta) banyak sumber
penyakit. Batavia (Jakarta) pada saat itu sempat dijuluki sebagai “Ratu dari
Timur,” namun seiring waktu terkenal sebagai kuburan orang-orang Belanda
karena banyaknya penyakit malaria dan kolera yang menjadi penyebab kematian
orang-orang Belanda. Penilaian lain terhadap Jakarta datang dari Hendrik Freek
Tillema, ahli kesehatan dari Belanda. Hendrik saat itu telah menyatakan Batavia
(Jakarta) sebagai tempat yang tak layak sebagai pusat pemerintahan, berdasarkan
fakta bahwa Jakarta sebagai salah satu kota pelabuhan yang pada umumnya
berhawa panas, tidak sehat, mudah terjangkit wabah. Dia lantas mengusulkan
Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda, yang kemudian mulai dilaksanakan
oleh Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921) pada 1920.
Kedua, alasan pertahanan, di Surabaya terdapat benteng dan pelabuhan. Namun
rencana itu gagal di tengah jalan.6
6 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190429081114-20-390452/sejarah-pemindah
an-ibu-kota-sejak-era-hindia-belanda, diakses pada 25 Juli 2020 Pukul 23.54 WIB.
37
Sejarah perencanaan pemindahan ibu kota sebagai pusat pemerintahan
berlanjut di masa kemerdekaan. Dilihat dari segi ketatanegaraan, tindakan hukum
pemindahan ibu kota merupakan suatu kebijakan hukum yang sangat futuristik
dan sangat berpengaruh penting bagi masa depan Republik Indonesia.
Pemindahan ibu kota pasca kemerdekaan sudah pernah dilakukan, namun dalam
konteks keadaan darurat negara. Dalam sejarah, Ibu kota Indonesia pernah
beberapa kali berpindah ke Yogyakarta dan Bukittinggi sebagai ibu kota
pemerintahan darurat kala itu.
Pertama, pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta ketika terjadi
Agresi Militer ke-I Belanda pada tanggal 29 September 1945, berselang setelah
lima bulan deklarasi kemerdekaan RI. Prosesnya, pada 2 Januari 1946 Sultan HB
IX mengirim kurir utusan ke Jakarta dan menyarankan agar ibu kota NKRI
dipindahkan ke Yogyakarta. Dan pada 4 Januari 1946, Presiden Soekarno
memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta untuk pertama kalinya. Alasan yang
paling mendasar pada saat itu adalah karena Jakarta telah jatuh ke tangan Belanda.
Sementara Yogyakarta dinilai paling siap dari sisi ekonomi, politik, dan
keamanan.7
Pada 1947 pemerintah membentuk Panitya Agung yang bertugas
menyelidiki dan merencanakan penempatan ibu kota negara. Presiden Sukarno
termasuk salah satu anggota Panitya Agung. Panitya Agung ini dibentuk di
tengah-tengah kekacauan yang terjadi di Jakarta akibat pendudukan oleh pasukan
Belanda. Dari Panitya Agung inilah muncul sejumlah daerah selain Jakarta yang
ditimbang layak menjadi ibu kota negara. Daerah itu antara lain Bandung,
Malang, Surabaya, Surakarta, hingga Kabupaten Temanggung dan Magelang.8
Namun, Agresi Militer belanda ke-II pada 19 Desember 1948
mengakibatkan jatuhnya Yogyakarta sebagai ibu kota NKRI ke tangan Belanda.
7 https://www.liputan6.com/regional/read/4055085/menengokperjalanansejarahibukotari#:
~:text=Pertama%2C%20perpindahan%20ibu%20kota%20dari,kota%20NKRI%20dipindahkan%2
0ke%20Yogyakarta., diakses pada 25 Juli 2020 Pukul 23.36 WIB.
8 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190429081114-20-390452/sejarah-pemindaha
n-ibu-kota-sejak-era-hindia-belanda, diakses pada 25 Juli 2020 Pukul 23.54 WIB.
38
Selanjutnya Presiden Soekarno memberikan surat kuasa kepada Safruddin
Prawiranegara yang berada di Bukit Tinggi untuk mendirikan pemerintahan
darurat kala itu. Pada 22 Desember 1948, Syarifudin Parwiranegara
mengumumkan bedirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di
Bukittinggi Sumatera Barat. Maka Bukittinggi menjadi ibu kota pemerintahan
darurat.9 Setelah Bukit Tinggi, ibu kota juga sempat berpindah-pindah secara
rahasia pada masa pemerintahan darurat Republik Indonesia (PDRI). Tetapi
hingga revolusi selesai dan pemerintahan kembali ke Jakarta, tidak ada kejelasan
terkait rencana penetapan ibu kota negara yang baru.
Berkaca pada sejarah yang ada, keputusan pemindahan ibu kota yang saat
ini dilakukan pemerintahan Jokowi dianggap telah memenuhi 2 unsur penting
yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorongnya yaitu seperti
kemacetan yang kita bisa bayangkan 40 tahun lagi jadinya akan seperti apa,
kemudian banjir, tenggelamnya Jakarta Utara karena kenaikan air laut 2 cm yang
terus meningkat, bahkan sampai ada yang meramal tahun 2050, 90% Jakarta Utara
akan tenggelam. Belum lagi faktor-faktor yang lain seperti kepadatan penduduk,
polusi udara dan air yang semakin hari semakin parah. Itu yang menjadikan itu
faktor pendorong.10
Terkait perjalanan Jakarta sebagai ibu kota dalam konteks ketatanegaraan.
Secara historis, penamaan Daerah Khusus Ibukota pertama kali tertuang dalam
Penetapan Presiden Republik Indonesia (Perpres) No. 2 Tahun 1961 Tentang
Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Dalam konsideransnya dalam
muatan menimbang, Presiden Soekarno menyatakan Jakarta Raya sebagai Ibu
Kota Negara dijadikan kota indoktrinasi, kota teladan, dan kota cita-cita bagi
seluruh bangsa Indonesia. Sehingga harus perlu memenuhi syarat-syarat minimum
dari kota internasional sesegera mungkin, dan untuk itu Jakarta Raya harus
9 9 https://www.liputan6.com/regional/read/4055085/menengokperjalanansejarahibukotari#:
~:text=Pertama%2C%20perpindahan%20ibu%20kota%20dari,kota%20NKRI%20dipindahkan%2
0ke%20Yogyakarta., diakses pada 25 Juli 2020 Pukul 23.36 WIB.
10 https://www.cnbcindonesia.com/news/20190824170134-4-94393/sejarah-mencatat-terny
ata-ibu-kota-ri-pernah-pindah, diakses pada 25 Juli 2020 Pukul 23.15 WIB.
39
diberikan kedudukan yang khusus sebagai daerah yang dikuasai langsung oleh
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi.
Landasan yuridis berikutnya adalah UU No. 10 Tahun 1964 tentang
Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya Tetap sebagai Ibu Kota Negara
Republik Indonesia Dengan Nama Jakarta. Undang-undang ini juga hanya berisi
dua pasal yang menyatakan “Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya dinyatakan
tetap sebagai Ibu kota Negara Republik ndonesia dengan nama JAKARTA”
dalam pasal satu. Dan dalam pasal dua yang menyatakan “Undang-undang ini
mulai berlaku pada hari diundangkannya dan mempunyai daya surut sampai
tanggal 22 Juni 1964.” Daya surutnya yaitu sejak Presiden Soekarno
mengumumkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota
Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.
Pada konsiderans UU No. 10 Tahun 1964 ini tertera bahwa penegasan ini
diperlukan karena merupakan kota pencetusan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Juga pusat penggerak segala kegiatan,
serta merupakan kota pemersatu dari pada seluruh aparat, revolusi dan penyebar
ideologi Pancasila ke seluruh dunia.
Landasan yuridis berikutnya yaitu UU No. 11 Tahun 1990 tentang Susunan
Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakart. Setelah
presiden Soeharto mengeluarkan landasan yuridis ini maka status kedua UU
sebelumnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam konsideransnya
disebutkan Jakarta sebagai Ibu kota Negara Republik Indonesia memiliki
kedudukan dan peranan yang penting, baik dalam mendukung dan memperlancar
penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia maupun dalam
membangun masyarakatnya yang sejahtera, dan mencerminkan citra budaya
bangsa Indonesia.
Kemudian Presiden Habibie saat reformasi tahun 1998, mengubah kembali
payung hukum DKI Jakarta melalui UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Propinsi Daerah khusus Ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta, UU ini
mempertegas kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi Jakarta karena statusnya
sebagai Ibu kota negara.
40
Terakhir pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diubah kembali
payung hukum DKI Jakarta melalui UU No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan
Propinsi Daerah khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Terkait Keputusan Pemerintah mengenai pemindahan ibu kota dari DKI
Jakarta ke sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten
Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Belum ada landasan yuridis yang
di keluarkan oleh pemerintah, karena memindakan ibu kota sudah otomastis
banyak sekali UU yang harus di revisi atau bahkan di ubah keseluruhannya, dan
ini merupakan proses panjang serta jalan panjang dalam sejarah pemindahan Ibu
Kota Negara Republik Indonesia.
C. Urgensi Pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia
Mengelola ibu kota bukanlah hal yang mudah karena ibu kota adalah kota
utama dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik sehingga kesalahan
pengelolaan berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan. Dampak demografi
dan ekonomi yang tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik akan
menimbulkan berbagai masalah perkotaan. Masalah yang timbul akibat kesalahan
pengelolaan ibu kota antara lain terjadinya sentralisasi ekonomi dan politik,
ketimpangan ekonomi, buruknya sistem transportasi, tingginya angka kemiskinan,
pengangguran, serta timbulnya konflik horizontal.11
Untuk mengatasi berbagai permasalahan ibu kota, salah satu solusi yang
bisa dilakukan sebuah negara adalah dengan memindahkan ibu kotanya. Tetapi
sebelum itu dilakukan perlu ada analisis kuat dari berbagai aspek bidang, dari
aspek keruangan, ekologis dan kewilayahan serta dampak sosial, ekonomi, dan
politik, menghasilkan suatu pemikiran bahwa pemindahan ibu kota merupakan
suatu keharusan.
11 Ecky Agassi, “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pemiindahan Ibu kota
Negara”, (Skripsi S-1 Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor, 2013), h. 2.
41
Pemindahan ibu kota, bersamaan dengan pembangunan negara dan bangsa,
telah menjadi bagian penting dari pembentukan negara-negara pascakolonial. Ada
perdebatan nasional dan proyek-proyek besar tentang masalah ini di banyak
negara, mulai dari Indonesia, Malaysia, Sri Lanka dan Pakistan di Asia; Pantai
Gading, Tanzania, Malawi dan Zimbabwe di Afrika; Brasil, Argentina dan Kosta
Rika di Amerika Selatan. Bahkan di Afrika Selatan ada perdebatan tentang
konsolidasi pusat eksekutif dan legislatif yang saat ini dibagi antara
Pretoria/Tshwane dan Cape Town, dengan memindahkan Parlemen ke Pretoria.
Namun, seiring waktu hanya beberapa negara yang telah melakukan relokasi
aktual dan sebagian besar proyek telah ditunda tanpa batas waktu. Namun
demikian, dua perkembangan telah menarik dari pemindahan ibu kota kembali ke
ranah publik dan akademik. Pertama, perkembangan kota yang pesat, integrasi
negara-negara pascakolonial ke dalam sistem internasional, dan pertumbuhan
perdagangan antar negara telah menciptakan tantangan baru bagi ibu kota,
terutama di negara berkembang. Selain itu, pemanasan global telah menciptakan
risiko baru bagi beberapa ibu kota, contohnya adalah meningkatnya frekuensi dan
intensitas banjir yang melanda Jakarta, Indonesia. Kedua, kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi telah secara signifikan mengurangi biaya pemindahan
ibu kota. Akibatnya, sekitar tiga puluh negara saat ini mempertimbangkan proyek
pemindahan ibu kota, termasuk Korea Selatan, Sudan Selatan, Jepang, Filipina,
Indonesia dan Federasi Rusia.12
Sejak Perang Dunia II berakhir, beberapa negara di dunia banyak yang telah
memindahkan ibu kotanya dengan beragam pertimbangan. Terdapat tiga
pertimbangan umum pemindahan ibu kota, yaitu: pertimbangan politik,
pertimbangan sosio-ekonomi dan pertimbangan fisik.13
12 Denys Reva “Capital City Relocation And National Security: The Cases Of Nigeria And
Kazakhstan,” Mini-Dissertation Master Of Secutity Studies (MSS), Department of Political
Sciences University Of Pretoria Faculty Of Humanities, 2016, h. 1.
13 Deden Rukmana, Pemindahan Ibu kota Negara (Artikel Asisten profesor dan koordinator
program studi perencanaan dan studi perkotaan di Savannah State University, AS.
42
Pemindahan ibu kota di NKRI sangat dimungkinkan karena di dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan Amandemennya tidak diatur
secara tegas. Dalam UUD 1945 Bab II Pasal 2 ayat (2) tertulis: “Majelis
Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota
negara.” Dalam konstitusi tersebut tidak ada pasal yang menyebutkan dimana dan
bagaimana ibu kota negara diatur. Di sini dapat dilihat bahwa terdapat fleksibilitas
dalam mengatur termasuk memindahkan Ibu kota negara.
Pemindahan ibu kota NKRI merupakan suatu keharusan, karena di ibu kota
yang sekarang yaitu Jakarta timbul berbagai macam permasalahan yang sangat
kompleks, berbagai macam kejadian kritis akibat faktor sosial, ekonomi, politik,
lingkungan dan bencana yang sejatinya timbul karena ketidak seriusan pemerintah
dalam melaksanakan tugasnya. Pembangunan Jakarta sebagai ibu kota juga turut
berdampak pada pembangunan ekonomi yang terlalu memusat sehingga
menimbulkan adanya sentralisasi ekonomi nasional. Hal ini menyebabkan Jakarta
semakin dipadati oleh para pendatang dari berbagai daerah yang berharap dapat
memperbaiki kehidupan ekonominya sehingga menyebabkan tingginya arus
urbanisasi. Besarnya jumlah penduduk yang ditambah dengan tingginya arus
urbanisasi menyebabkan timbulnya berbagai masalah demografi di Jakarta.14
Dengan berbagai fakta yang ada, didapat kecenderungan bahwa dalam
analisis garis besar aspek keruangan, ekologis, serta dampak sosial, ekonomi, dan
politik, menunjukkan bahwa pemindahan ibu kota merupakan suatu keharusan
yang harus dilakukan pemerintah demi mengurangi beban Jakarta sebagai pusat
pemerintahan dan pusat bisnis yang sudah terlampau tinggi, serta menciptakan
pemerataan ekonomi dan pembangunan di negara ini, dan juga demi menciptakan
ibu kota yang baik bagi kelangsungan pemerintahan Indonesia.
14 Ecky Agassi, “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pemiindahan Ibu kota
Negara”, (Skripsi S-1 Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor, 2013), h. 2.
43
D. Gagasan dan Polemik Pemindahan Ibu Kota Jakarta ke Kalimantan
Jakarta adalah kota metropolitan yang super sibuk karena predikatnya
sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia menjadikannya memiliki gelar
Daerah Khusus Ibu Kota (DKI). Kemacetan, kepadatan penduduk, kapadatan
pembangunan, banjir kiriman, banjir rob, pencemaran udara dan air dan
permasalahan lainnya yang timbul di kawasan ibu kota yang semakin lama
semakin parah. Salah satu solusi untuk membenahi itu semua adalah
memindahkan ibu kota ke tempat lain. Akibat munculnya pemasalahan-
permasalahan ibu kota ini timbulah berbagai macam gagasan pemindahan ibu kota
negara ke tempat lain yang lebih kondusif dan luas.
Gagasan wacana pemindahan Ibu Kota sudah muncul sejak era
Pemerintahan Soekarno, Orde Baru, Reformasi, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, dan era Presiden Joko Widodo, bahkan sudah muncul sejak era
kolonial. Pada era kolonial tepatnya pada era Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Herman Willem Daendels (1762-1818), ia ingin memindahkan ibu kota dari
Batavia (Jakarta) ke Surabaya. Ada dua alasan penting Daendels ingin
memindahkan ibu kota ke Surabaya.
Pertama, alasan kesehatan, karena di Batavia (Jakarta) banyak sumber
penyakit. Batavia (Jakarta) pada saat itu sempat dijuluki sebagai “Ratu dari
Timur,” namun seiring waktu terkenal sebagai kuburan orang-orang Belanda
karena banyaknya penyakit malaria dan kolera yang menjadi penyebab kematian
orang-orang Belanda. Penilaian lain terhadap Jakarta datang dari Hendrik Freek
Tillema, ahli kesehatan dari Belanda. Hendrik saat itu telah menyatakan Batavia
(Jakarta) sebagai tempat yang tak layak sebagai pusat pemerintahan, berdasarkan
fakta bahwa Jakarta sebagai salah satu kota pelabuhan yang pada umumnya
berhawa panas, tidak sehat, mudah terjangkit wabah. Dia lantas memberi usulaan
agar Bandung yang menjadi ibu kota Hindia Belanda, yang kemudian mulai
dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921)
44
pada 1920. Kedua, alasan pertahanan, di Surabaya terdapat benteng dan
pelabuhan. Namun rencana itu gagal di tengah jalan.15
Pada era Presiden Soekarno, gagasan wacana pemindahan ibu kota dari
Jakarta ke Palangkaraya muncul pada tahun 1950-an, yaitu pada saat meresmikan
pembangunan Kota Palangkaraya pada Tahun 1957, Presiden Soekarno
mewacanakan rencana pemindahan lokasi ibu kota ke daerah tersebut.
Palangkaraya adalah kota baru yang dibangun dengan membuka hutan di pinggir
sungai Kahayan, Kalimantan Tengah. Keseriusan Presiden Soekarno pada saat itu
dalam membangun kota Palangkaraya dibuktikan dengan mendatangkan ahli
perencana kota dari Rusia untuk mendesain Kota Palangkaraya sebagai calon Ibu
Kota Negara Republik Indonesia. Keseriusan tersebut menjadikan tata bangunan
Kota Palangkaraya tampak rapi, jalan dominan lurus, rumah-rumah di tepi jalan
dibuat masuk ke dalam, sehingga bila sewaktu-waktu jalan dilebarkan, pemerintah
tidak perlu menggusur warga, apalagi lahan yang tersedia masih mencukupi.16
Walau demikian seriusnya gagasan ini, pada praktiknya tidak terealisasi karena
perekonomian Indonesia yang terpuruk di awal tahun 1960-an menghambat
keberlanjutan wacana tersebut.17
Pada era Presiden Soeharto yaitu masa Orde Baru, gagasan wacana
pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia seakan sirna karena pada saat
itu pemerintah lebih memfokuskan pembangunan di Jawa dengan menjadikan
Jakarta sebagai pusat pemerintahan serta pusat bisnis. Akibatnya, Kota Jakarta
menjadi pusat urbanisasi nasional. Palangkaraya bukan hanya satu-satunya
alternatif lokasi pemindahan ibu kota yang pernah dikaji oleh pemerintah
Indonesia. Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto juga mewacanakan
pemindahan lokasi Ibu Kota Negara ke Jonggol melalui Keppres Nomor 1 Tahun
15 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190429081114-20-390452/sejarah-pemindaha
n-ibu-kota- sejak-era-hindia-belanda, diakses pada 25 Juli 2020 Pukul 23.54 WIB.
16 Wesley Liano Hutasoit, Analisa Pemindahan Ibu Kota Negara (Jurnal Dedikasi Volume
19, Nomer 2), (Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda , Desember 2018), h. 119.
17 https://www.theindonesianinstitute.com/wp-content/uploads/2019/09/MENYOAL-PEMI
NDAHAN-IBU-KOTA_VUNNY_PENELITI-SOSIAL-TII_TIF-57.pdf, diakses pada 25 Juli 2020
Pukul 18.54 WIB.
45
1997 Tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai Kota
Mandiri.18
Pada era Presiden BJ Habibie yaitu pasca reformasi, Presiden BJ Habibie
juga pernah mewacanakan kemungkinan pemindahan Ibu Kota dari DKI Jakarta
ke Sidrap, Sulawesi Selatan. Alasan Habibie, daerah ini juga bisa dianggap berada
di tengah-tengah wilayah Indonesia.19
Pada era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), awal munculnya
gagasan wacana pemindahan ibu kota negara pada masa pemerintahannya yaitu
pada saat kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2007 menyusul
banjir besar yang melanda Jakarta pada bulan Februari 2007. Pasalnya, Jakarta
dianggap tidak mampu mengatasi masalah banjir dan kemacetan lalu lintas yang
akan mengganggu peran Jakarta sebagai ibu kota negara. Bahkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mulai membicarakan gagasan wacana pemindahan ibu kota
negara dari Jakarta ketika menghadiri Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah
Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya pada awal Desember 2009.
Menurut Presiden SBY, beban fungsi pelayanan dan kelayakan Jakarta sebagai
ibu kota negara semakin berat. Pembahasan pemindahan ibu kota negara harus
dikaji dari berbagai aspek dan tidak hanya melihat faktor kemacetan di Jakarta
sebagai alasan pemindahan ibu kota negara, tetapi juga dilihat sebagai upaya
strategis untuk mendistribusikan pembangunan secara merata.20
Pada awal September 2010, Presiden SBY mengemukakan keseriusannya
dalam gagasan wacana pemindahan ibu kota negara dengan pembentukan tim
kecil yang ditugaskan untuk mengkaji ide pemindahan ibu kota negara. Hasil dari
kajian pemindahan ibu kota yaitu muncul tiga skenario dalam pemindahan ibu
kota negara, yaitu pertama, tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota negara
18 Wesley Liano Hutasoit, Analisa Pemindahan Ibu Kota Negara (Jurnal Dedikasi Volume
19, Nomer 2), (Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, Desember 2018), h. 119-120.
19 Wesley Liano Hutasoit, Analisa Pemindahan Ibu Kota Negara (Jurnal Dedikasi Volume
19, Nomer 2), (Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda , Desember 2018), h. 120.
20 Deden Rukmana, Pemindahan Ibu kota Negara (Artikel Asisten profesor dan koordinator
program studi perencanaan dan studi perkotaan di Savannah State University, AS.
46
dan dilakukan pembenahan terhadap semua permasalahan; kedua, memindahkan
pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru yang tetap berada di pulau Jawa;
ketiga, memindahkan ibu kota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di
luar pulau Jawa.
Pada era Presiden Joko Widodo tampaknya melebihkan usaha mewujudkan
gagasan lama Presiden Soekarno untuk memindahkan Ibu Kota Negara Republik
Indonesia dari Jakara ke Palangkaraya. Bukan sekadar alasan politis tapi sudah
saatnya keruwetan Kota Jakarta saat ini, terutama menyangkut transportasi dan
lingkungan hidupnya, hanya bisa diurai dengan memecah konsentrasi kegiatan
nasional ke luar Jakarta, terutama luar Jawa. 21 Dan pada akhirnya pada 26
Agustus 2019 lalu, Presiden Joko Widodo mengumumkan hasil kajian pemerintah
mengenai lokasi pemindahan ibu kota baru Republik Indonesia. Melalui
serangkaian kajian selama tiga tahun belakangan, Presiden menetapkan dua
wilayah di Provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi pembangunan ibu kota baru,
yaitu sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai
Kartanegara.22
Pemindahan ibu kota bukan perkara mudah. Pemindahan ibu kota
membutuhkan rentang waktu yang cukup lama untuk menyiapkan berbagai
macam penujang infrastruktur dasar untuk pusat pemerintahan. Infrastruktur dasar
tersebut seperti pengadaan jalan, transportasi, energi listrik, hingga air bersih.
Walaupun gagasan pemindahan ibu kota sudah sejak lama digaungkan dari
gagasan ini timbul bebagai macam polemik, ada yang pro dan ada juga yang
kontra terhadap gagasan tersebut, walau pada akhirnya terealisasi juga walaupun
dalam prosesnya masih dalam tahapan perjalanan yang panjang.
Gagasan wacana pemindahan ibu kota ini menuai banyak polemik di
masyarakat, sebagai contoh ada yang pro dan ada yang kontra terhadap banjir di
Jakarta, bagi yang terkena banjir berpendapat menginginkan ibu kota pindah, bagi
21 Wesley Liano Hutasoit, Analisa Pemindahan Ibu Kota Negara (Jurnal Dedikasi Volume
19, Nomer 2), (Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, Desember 2018), h. 120.
22 https://setneg.go.id/baca/index/penajam_paser_utara_dan_kutai_kartanegara_ibu_kota_b
aru, diakses pada 22 Agustus 2020 Pukul 00.13 WIB.
47
yang tidak terdampak berpendapat tidak menginginkan ibu kota dipindahkan.
Beberapa polemik yang di temukan sebagai berikut.
Pertama, terkait Regulasi. Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Amanat
Nasional (PAN) Yandri Susanto mengatakan, pemindahan ibu kota negara baru
bisa dilakukan apabila undang-undang (UU) tentang pemindahan ibu disahkan. Ia
menegaskan, apabila pemerintah tetap melakukan pembangunan sebelum
disahkannya UU, maka pembangunan itu adalah ilegal. Dana yang digunakan
dalam pembangunan ibu kota itu dinilai ilegal, karena tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara hukum. Ia mengatakan dalam prosesnya,
pemindahan ibu kota tidak boleh prematur. Ia mengatakan, pemerintah harus
mengajukan regulasi dan naskah akademik yang berisi tinjauan teknis, filosofis,
sosial politik dan anggaran. Tak hanya itu, menurut Yandri, ada banyak UU yang
harus direvisi total sebelum pemerintah memulai pembangunan di Kalimantan
Timur. Sebagai contoh, UU masalah DKI Jakarta yang pastinya harus duibah
yaitu UU no 29 tahun 2007, masalah UU ASN, mengenai posisi aset negara yang
ada di Jakarta. Karena itu, menurutnya masih belum saatnya dilakukan
pemindahan ibu kota.23
Kedua, Ibu Kota Pindah Saat Kemiskinan Masih Tinggi. Achmad Hafidz
Tohir selaku Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
menanyakan bagaimana urgensi pemindahan ibu kota yang dicanangkan
pemerintah. Padahal, menurutnya, kemiskinan di Indonesia yang masih tinggi.24
Ketiga, Anggaran Secara terpisah. Edhy Prabowo selaku Ketua Fraksi Partai
Gerindra menegaskan pihaknya tidak setuju dengan rencana pemerintah
melibatkan pihak swasta terkait skema pendanaan pembangunan ibu kota baru
Indonesia di Provinsi Kalimantan Timur. Menurutnya seluruh pembiayaan
23 https://nasional.kompas.com/read/2019/08/28/09453621/polemik -pemindahan-ibu-kota-
soal-regulasi-hingga-dugaan-deal-politik-jokowi?page=all, diakses pada 26 Juli 2020 pukul 00.43
WIB.
24 https://www.merdeka.com/uang/5-pro-dan-kontra-rencana-pemindahan-ibu-kota-preside
n-jokowi.html, diakses pada 26 Juli 2020 pukul 01.12 WIB.
48
pembangunan ibu kota di Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara
harus berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurutnya, sebaiknya pihak swasta tidak ikut sertakan daam skema pembiayaan
pembangunan ibu kota negara.25
Keempat, Pemindahan Ibu Kota Dikritik Karena Keuangan Negara Tengah
Sulit. Fadli Zon selaku Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menilai
wacana pemindahan Ibu Kota tidak masuk akal. Menurutnya, keuangan negara
sedang dalam masa sulit, kecuali jika kita ada kelebihan anggaran dana yang
memang dipersiapkan.26
Kelima, Dugaan Kompensasi Politik. Jaringan Advokasi Tambang
(JATAM) menduga ada kompensasi politik bagi Prabowo Subianto pasca-Pilpres
2019 di balik rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur.27 Seperti pada
pemberitaan, pemerintah menetapkan sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan
sebagian Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur sebagai lokasi pembangunan ibu
kota baru Republik Indonesia. Dan perlu diketahui, sebagian besar lahan di
Kabupaten Penajam Paser Utara, khususnya di Kecamatan Sepaku, dikuasai oleh
PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan ITCI Kartika Utama. Kedua perusahaan itu
disebut milik Prabowo dan Hashim Djojohadikusumo sebagai komisaris utama.
Keenam, Jakarta Tak Lagi Mumpuni. Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, menuturkan ada banyak
pertimbangan kenapa ibu kota harus dipindahkan dari Jakarta. Salah satunya
terkait faktor daya dukung. Kemudian faktor persebaran penduduk juga turut
menjadi pertimbangan utama pemindahan ibu kota. Faktor berikutnya yaitu
pemerataan pembangunan nasional. Dia menyatakan, berpindahnya ibu kota akan
25 https://nasional.kompas.com/read/2019/08/28/09453621/polemik -pemindahan-ibu-kota-
soal-regulasi-hingga-dugaan-deal-politik-jokowi?page=all, diakses pada 26 Juli 2020 pukul 00.43
WIB.
26 https://www.merdeka.com/uang/5-pro-dan-kontra-rencanapemindahan-ibu-kota-presiden
-jokowi.html, diakses pada 26 Juli 2020 pukul 01.12 WIB.
27 https://nasional.kompas.com/read/2019/08/28/09453621/polemik -pemindahan-ibu-kota-
soal-regulasi-hingga-dugaan-deal-politik-jokowi?page=all, diakses pada 26 Juli 2020 pukul 00.43
WIB.
49
menjadi salah satu instrumen pembangunan infrastruktur di wilayah lain yang saat
ini sedang diusung pemerintah.28
Ketujuh, Dunia Usaha Bergairah Saat Ibu Kota Pindah. Ketua Umum
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menyebut bahwa
pemindahan ibu kota dari Jakarta ke luar Jawa akan membawa dampak positif,
khususnya bagi dunia usaha. 29 Dengan terealisasinya pemindahan pusat
pemerintahan, otomatis akan menciptakan satu kota metropolitan baru.
Kedelapan, Rencana Pemindahan Ibu Kota Dinanti Investor. Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menyebut rencana
pemindahan ibukota dapat menjadi angin segar dan membawa sentimen positif
bagi para investor jika sudah terealisasi.30 Dia menjelaskan, perkiraan budgeting
anggaran pemindahan ibu kota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa sekitar Rp 466
triliun dapat menjadi kesempatan bagi para investor. Karena anggaran dana
pemindahan tersebut dapat diperoleh dan dipenuhi dari berbagai skema
pembiayaan, tidak hanya mengandalkan APBN. Sumber pendanaan pemindahan
ibu kota bisa didapat melalui skema kerja sama pemerintah badan usaha (KPBU),
BUMN, dan swasta murni. Hal tersebut tentu akan dipandang sebagai kesempatan
emas bagi para investor.
28 https://www.merdeka.com/uang/5-pro-dan-kontra-rencana-pemindahan-ibu-kota-preside
n-jokowi.html, diakses pada 26 Juli 2020 pukul 01.12 WIB.
29 https://www.merdeka .com/uang/5-pro-dan-kontra-rencana-pemindahan-ibu-kota-preside
n-jokowi.html, diakses pada 26 Juli 2020 pukul 01.12 WIB.
30 https://www.merdeka.com/uang/5-pro-dan-kontra-rencana-pemindahan-ibu-kota-preside
n-jokowi.html, diakses pada 26 Juli 2020 pukul 01.12 WIB.
50
BAB IV
ANALISIS KEBIJAKAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA PERSPEKTIF FIKIH SIYASAH
A. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Pemindahan Ibu Kota Jakarta
Faktor-faktor yang melatarbelakangi dilakukannya pemindahan Ibu Kota
Jakarta yaitu:
1. Kepadatan Perkotaan
Kota merupakan konsentrasi penduduk dalam berbagai kegiatan
ekonomi, sosial, administrasi pemerintahan, serta politik. Semakin besar
suatu kota akan semakin banyak dan intensif berbagai kegiatan perkotaan.
Semakin banyak dan intensif berbagai kegiatan perkotaan, akan
menimbulkan berbagai macam kepadatan perkotaan, meliputi:1
a. Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk menjadi salah satu tolak ukur sebagai kriteria
besarnya suatu kota. Semakin banyak jumlah penduduk perkotaan maka
semakin besar pula suatu kota. Jumlah penduduk perkotaan terus
bertambah dari waktu ke waktu dengan tingkat pertumbuhan yang
tinggi setiap tahunnya, yang bermukim di atas lahan perkotaan yang
terbatas luasnya, maka akan menimbulkan kepadatan penduduk per
kilometer perseginya.
Jumlah penduduk perkotaan akan terus bertambah semakin
banyak, membutuhkan pelayanan fasilitas perkotaan yang semakin
banyak pula jumlahnya dan jenisnya, seperti tersedianya perumahan,
transportasi umum, lapangan kerja, rekreasi, dan fasilitas perkotaan
lainnnya. Pada realitanya, kebutuhan masyarakat perkotaan jauh lebih
besar dibanding dengan fasilitas perkotaan yang tersedia, hal ini akan
mengakibatkan ketidakseimbangan, kekurangan, ketimpangan, hal ini
1 Rahardjo Adisasmita dan Sakti Adji Adisasmita, Logika Pemindahan Ibu Kota Jakarta,
(Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011), h. 84.
51
dapat mengakibatkan timbulnya hal-hal negatif atau kemafsadatan.
Kurang tersedianya rumah-rumah layak huni akan menyebabkan
muncul dan berkembangnya permukiman kumuh di perkotaan.
Kehidupan penduduk di pemukiman kumuh pastinya sangat padat, tidak
sehat, tidak nyaman, dan sering terjadi kebakaran dan mafsadah
lainnya. Kurang tersedianya lapangan pekerjaan akan mengakibatkan
bertambahnya angka pengangguran dan kemiskinan dan dapat juga
mengakibatkan timbulnya kejahatan serta konflik sosial di masyarakat.
Kurang tersedianya fasilitas transportasi angkutan umum perkotaan
akan mengurangi aksesibilitas dan mobilitas penduduk perkotaan, yang
nantinya akan berpengaruh terhadap kelancaran kegiatan ekonomi,
sosial, dan adminnistrasi pemerintahan. Kurang tersedianya sarana
rekreasi bagi masyarakat perkotaan akan mempengaruhi semangat kerja
dan berkurangnya kinerja masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa tingkat kepadatan penduduk yang tinggi
dan kurang tersedianya fasilitas/sarana pelayanan ekonomi dan fasilitas
pelayanan sosial, serta fasilitas perkotaan lainnya, merupakan faktor
yang dapat menghambat laju pencapaian pertumbuhan perkotaan dan
tingkat kesejahteraan masyarakat perkotaan yang optimal, oleh karena
itu harus diatasi dengan berbagai upaya dari pemrintah, diantaranya
adalah melarang masuknya penduduk pendatang baru yang tidak
memiliki jaminan memperoleh pekerjaan, yang berarti membatasi arus
urbanisasi yang mana sangat sulit untuk dilakukan mengingat bahwa
setiap tahun arus urbanisasi pasti bertambah tinggi. Upaya lain yang
dapat ditempuh oleh pemerintah adalah memindahkan ibu kota ke
tempat/daerah lain yang masih minim penduduk dan banyak lapangan
pekerjaan yang menanti, dengan upaya ini dapat memindahkan laju
urbanisasi dari ibu kota lama yang sudah padat menuju ibu kota baru
yang masih minim penduduknya.
Kepadatan penduduk yang tinggi karena jumlah penduduk terlalu
banyak, membutuhkan tersedianya berbagai fasilitas perumahan dalam
52
jumlah banyak, pengambilan air bawah tanah dalam volume yang
sangat besar, dampaknya akan menurunkan permukaan tanah
perkotaan, walaupun dirasa sedikit demi sedikit, tetapi dalam jangka
panjang akan berakibat sangat besar dan akan berpengaruh terhadap
stabilitas kehidupan perkotaan. Dalam hal ini perlunya hifz nafs
(penjagaan jiwa) karena penyediaan perumahan, air besih, pekerjaan
merupakan kebutuhan pokok manusia, dalam maqashid al-syariah
terdapat pada tingkat dharuriyah (kemaslahatan primer). Perlu
diketahui jika tidak terpeliharanya salah satu dari kelima unsur pokok
dalam dalam tingkat dharuriyah akan berakibat fatal, akan terjadi
kerusakan dan kebinasahan serta kehancuran dalam hidup manusia baik
di dunia maupun di akhirat. Kebutuhan dharuriyah ini menepati
peringkat tertinggi dan utama dibanding dua maslahat lainnya yaitu
hajiyah dan tahsiniyah. Maka tidak dibenarkan memelihara kebutuhan
hajiyah dan tahsiniyah bila akan memusnahkan kebutuhan dharuriyah.2
Maka dari itu perlunya tindakan tegas pemerintah dalam menangani
kepadatan penduduk ini salah satunya dengan cara pemindahan ibu kota
Jakarta, agar mengurangi laju urbanisasi masyarakat Indonesia yang
ingin merubah nasib di perantauan.
b. Kepadatan Gedung dan Bangunan
Kota super sibuk yang besar, jumlah penduduk yang banyak,
berbagai kegiatan ekonomi, sosial, dan administrasi pemerintahan juga
banyak membutuhkan gedung-gedung dan bangunan (rumah, kantor,
toko, pasar, bank, hotel, apartemen, pabrik/industry, terminal, dan
bangunan lainnya penunjang kegiatan perkotaan) dalam jumlah yang
banyak pula. Gedung-gedung dan bangunan tersebut dibangun di atas
ruang kota yang sudah sangat terbatas luasnya, bila pembangunan
gedung-gedung dan bangunan berlangsung semakin banyak, akan
2 Sapiudin Shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017) h.226.
53
berdampak pada kepadatan gedung dan bangunan yang semakin tinggi
dan banyak, pembangunan rumah-rumah bertingkat bertambah banyak,
untuk mengatasi keterbatasan lahan perkotaan yang tersedia, ruang
terbuka perkotaan bertambah sempit, paru-paru perkotaan menjadi
sempit dan terbatas.3
Pembangunan gedung-gedung dan bangunan bertingkat tinggi
dalam jumlah yang besar akan mengakibatkan beban yang sangat berat
terhadap daya dukung lahan, yang terdiri dari lapisan tanah mulai dari
yang lunak sampai yang keras dan lapisan batu-batuan di bawahnya.
Bila beban gedung dan bangunan sangat berat, akan berdampak sangat
buruk bila terjadi goncangan gempa, guncangan akibat gempa akan
mengakibatkan gedung-gedung retak, bangunan menjadi tidak kokoh
dan miring beberapa derajat, dan bahkan dapat mengakibatkan
robohnya gedung dan bangunan yang terkena guncangan gempa.
Arus urbanisasi yang semakin tinggi di Jakarta mengakibatkan
terjadinya kepadatan penduduk yang menimbulkan efek domino
terhadap kebutuhan fasilitas perumahan dalam jumlah banyak, maka
pembangunan perumahan meningkat. Untuk memanfaatkan lahan
perkotaan yang relatif terbatas, maka dibangunlah apartemen (rumah
susun sewa) bertingkat tinggi. Dengan pembangunan rumah susun sewa
bertingkat tinggi ini membuat daya tampung yang lebih besar pada luas
lahan tertentu, yaitu bisa sampai lima atau sampai tujuh kali atau lebih
luas lantai hunian. Alih-alih dibangunnya gedung-gedung dan
apartemen (rumah susun sewa) bertingkat tinggi ini dengan tujuan
membuat daya tampung yang lebih besar pada luas lahan tertentu dan
pengendalian kepadatan penduduk dan pemenuhan kebutuhan
perumahan penduduk, timbul ancaman jika terjadi gempa yang dapat
membuat bangunan menjadi tidak kokoh dan miring beberapa derajat,
dan bahkan dapat mengakibatkan robohnya gedung dan bangunan yang
3 Rahardjo Adisasmita dan Sakti Adji Adisasmita, Logika Pemindahan Ibu Kota Jakarta,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 86.
54
terkena guncangan gempa dan ini semua dapat mengancam eksistensi
pemeliharaan jiwa manusia (hifz nafs) yang merupakan tingkatan dari
maqashid a--dharuriyah, perlu diketahui bahwasannya pulau jawa
(termasuk Jakarta) merupakan jalur lintasan ring of fire. Maka langkah
pemerintah dalam memindahkan dan menetapkan Kalimantan timur
sebagai lokasi ibu kota baru merupakan suatu tindakan pencegahan
(preventif), karena menutup atau mencegah terjadinya mafsadah
(kerusakan) pada ibu kota baru akibat bencana alam yang akan
mengancam di kemudian hari. Salah satu pencegahan terjadinya al-
mafsadah (kerusakan) adalah dengan cara menutup jalan yang
memungkinkan kemafsadatan tersebut dengan sadd adz-dzari’ah, dan
ini merupakan salah satu metode dalam berijtihad. Makna dari sadd
adz-dzari’ah adalah mencegah sesuatu perbuatan agar tidak sampai
menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika ia akan menimbulkan
mafsadah. Pencegahan terhadap mafsadah dilakukan karena ia bersifat
terlarang.4
Demikianlah gambaran kota Jakarta sebagai ibu kota negara dan
ibu kota pemerintahan, yang berfungsi pula sebagai pusat
peradagangan, pusat industri, pusat pendidikan, pusat kesehatan, pusat
keuangan dan perbankan, dan lainnya. Jakarta merupakan kota
metropolitan (berpenduduk sekitar 10 juta jiwa), satu-satunya di
Indonesia. Maka dari itu dalam pembangunan gedung dan bangunan di
kota-kota besar, harus mengikuti RUTR/Kota yang telah ditetapkan,
harus dihindari penyalahgunaan dan kesemrawutan pembangunan, yang
berakibat buruk pada salah arah pembangunan.
c. Kepadatan Kegiatan Pembangunan Perkotaan
Di kota-kota besar terdapat berbagai kegiatan yang dilakukan
penduduk perkotaan dalam bidang ekonomi (perdagangan, pemasaran
4 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) h. 236.
55
industry, keuangan, perbankan, dan jasa perkotaan lainnya), dalam
bidang sosial (seperti pendidikan, kesehatan, dan interaksi social
lainnya), dan dalam bidang administrasi pemerintahan (birokrasi,
pembangunan daerah, layanan publik, dan administrasi pemerintahan
lainnya). Berbagai kegiatan perkotaan tersebut melibatkan peran serta
sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya modal, sumber
daya teknologi, sumber daya kelembagaan, dan sumber daya lainnya
untuk melakukan produksi, menghasilkan barang dan jasa, untuk
memenuhi kebutuhan manusia.5
Kota-kota besar biasanya berfungsi sebagai pusat perdagangan,
pusat jasa transportasi, dan ada juga yang berfungsi sebagai pusat
kegiatan industri dan sebagai ibu kota pemerintahan. Jakarta memiliki
semua fungsi yang disebutkan di atas. Jakarta merupakan kota
metropolitan super sibuk yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa,
memiliki berbagai jenis kegiatan perkotaan yang intensif.
Terselenggaranya berbagai kegiatan perkotaan, pada satu pihak
menimbulkan dampak positif, yaitu terwujudnya efisiensi dalam
kegiatan usaha dan berusaha, yang berpeluang meningkatkan usahanya
menjadi usaha yang lebih besar. Di lain pihak, terjadinya persingan
yang kurang sehat antar kegiatan usaha yang berdampak negatif, yaitu
perusahaan kecil yang tidak mampu bersaing harus keluar dari pasar,
yang berarti kerugian besar yang dialami oleh maksyarakat usaha kecil.
Persaingan yang tidak sehat akan menjadikan usaha yang kuat
bertambah kuat dan yang lemah akan keluar. Oleh karena itu perlunya
pemerintah membuat regulasi yang mengatur dan memiliki rasa
berkeadilan untuk kedua belah pihak, antar pengusaha besar dan kecil.
Kepadatan kegiatan usaha di perkotaan yang sangat parah akan
berdampak negatif secara luas, seperti munculnya berbagai pasar kaget,
pasar tumpah, pedagang kaki lima, yang menempatkan kegiatan
5 Rahardjo Adisasmita dan Sakti Adji Adisasmita, Logika Pemindahan Ibu Kota Jakarta,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 88.
56
usahanya di pinggir jalan besar sampai pada badan jalan, yang
dampaknya dapat menggangu lalu lintas dan menimbulkan kepadatan
dan kemacetan lalu lintas. Dilarang dan digusur di suatu tempat, akan
muncul yang baru di tempat-tempat lain. Susah diatur dan dikendalikan,
membuat koa Jakarta menjadi makin semrawut.
Dalam maqashid al-syariah, hal ini masuk ke dalam hifz mall
(pemeliharaan harta). Salah satu langkah pemerintah dalam mengatasi
permasalahan tersebut yaitu dengan cara mebuat aturan baru tentang
pasar atau mebuat pasar baru atau bahkan memindahkan ibu kota dari
Jakarta dengan tujuan pemerataan ekonomi sehingga pengusaha-
pengusaha kecil dapat berkembang di lokasi ibu kota baru.
d. Kepadatan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor
Di kota Jakarta, dan kota-kota besar lainnya, terdapat
kecenderungan bahwa jumlah kendaraan bermotor bertambah setiap
tahunnya dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi (di atas 10 persen),
sedangkan prasarana yang tersedia terbatas, pembangunan jalan baru
sangat lambat pertambahannya (hanya 0,05 persen), hal ini dipastikan
akan mengakibatkan kepadatan lalu lintas bertambah tinggi, dan pada
beberapa ruas jalan akan meningkat menjadi kemacetan lalu lintas.6
Terdapat dua kepentingan mengenai masalah kendaraan bermotor,
yaitu kepentingan sistem transportasi perkotaan dan kepentingan
industri perkaitan kendaraan bermotor. Tujuan dari adanya sistem
transportasi perkotaan adalah mewujudkan pelayanan kegiatan
transportasi perkotaan yang efisien, aman, berkapasitas mencukupi,
bertanggungjawab, terjangkau oleh masyarakat, dan nyaman,
sedangkan sasaran dan tujuan industri perakitan kendaraan bermotor
6 Rahardjo Adisasmita dan Sakti Adji Adisasmita, Logika Pemindahan Ibu Kota Jakarta,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 88.
57
patinya yaitu mencapai produksi dan pemasaran yang tinggi. Ada efek
domino jika diadakannya pengurangan produksi serta pemasaran
kendaraan bermotor, yaitu jika mengurangi produksi perakitan
kendaraan bermotor berarti mengurangi tenaga kerja yang digunakan
atau memutuskan hubungan kerja (PHK), yang akan menambah
penganguran di masyarakat, dan patinya penganguran bertambah berarti
pula kemiskinan masyarakat.
Permasalahan ini sudah lama di bahas oleh pemerintah sebagai
pemangku kuasa, namun tidak ada penyelesainan secara tuntas sampai
saat ini. Pada kenyataannya banyak upaya yang dapat dilakukan oleh
pemerintah, misalnya pertama melarang kendaraan bermotor yang
berumur lebih dari lima tahun (umur ekonomi) beroperasi di jalan
perkotaan. Kedua pemerintah pusat dapat membuat aturan dalam
memberi izin usaha kepada industri perakitan kendaraan bermotor agar
dikaitkan dengan kuota produksi yang ditetapkan berdasar kebutuhan
penggunaan jalan di perkotaan, dengan demikian tidak akan timbul
masalah akibat jumlah kendaraan bermotor yang berlebihan berlalu
lintas di jalan perkotaan. Ketiga pemerintah dapat membuat aturan
tentang mengenakan pajak kendaraan bermotor yang relatif tinggi
kepada mobil dan kendaraan bermotor baru, yang tujuannya untuk
membatasi masyarakat membeli mobil dan kendaraan bermotor baru.
2. Bencana Banjir
Kota Jakarta terdiri dari 13 sungai dan selalu mengalami banjir
kiriman dari daerah selatan (Bogor dan sebagian Jawa Barat), karena
keadaan hutannya sudah mengalami kerusakan. Keadaan sungai mengalami
menyempitan dan pendangkalan, karena pemukiman penduduk di bantaran
sungai bertambah banyak, membuang sampah dan kotoran seenaknya,
sehingga merusak lingkungan sungai, menurunkan daya tampung air,
sedangkan air yang datang dari daerah selatan cenderung bertambah besar,
maka air sungai meluap, menggenangi daerah sekitar, yang diakibatkan oleh
58
air kiriman dari selatan dengan volume yang sangat besar, sehingga di sebut
banjir kiriman ditambah curah hujan yang sangat tinggi.7
Banyak tempat di kota Jakarta yang permukaan tanahnya lebih rendah
dari permukaan laut, sehingga sangat berpotensi terendam air (banjir).
Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan banjir di wilayah Jakarta
yang dirasa sangat merugikan, yaitu; pertama, penurunan permukaan tanah
di banyak bagian wilayah Jakarta disebabkan oleh beban yang sangat berat
dari gedung dan bangunan bertingkat tinggi yang jumlahnya sudah sangat
banyak serta eksploitasi air tanah yang berlebihan oleh gedung-gedung dan
bangunan bertingkat tadi. Kedua, permukaan laut meningkat sekitar 2 cm
setiap tahun akibat pemanasan global yang mana akan mengakibatkan
ancaman banjir rob. Ketiga, curah hujan dan banjir kiriman dari daerah
selatan bertambah besar dan banyak membawa sampah yang dapat
mengakibatkan tersumbatnya aliran air dan terjadilah banjir. Keempat yaitu
diperparah oleh kapasitas banjir kanal (Timur dan Barat) yang terbatas daya
tampungnya, kapasitas drainase dan irigasi yang buruk, serta kapasitas daya
tampung sungai-sungai yang menurun karena mengalami penyempitan serta
pendangkalan yang diakibatkan oleh perilaku buang sampah sembarangan
ke sungai. Dan dapat dikatakan terdapat tiga ancaman banjir yang dihadapi
kota Jakarta, yaitu banjir yang datang dari arah selatan (Bogor dan daerah
lain), curah hujan yang sangat tinggi, dan banjir rob dari laut akibat
pemanasan global.
Selain daerah yang terkena dampak banjir di Jakarta yang bertambah
luas yang sudah hampir meliputi seluruh kota, terdapat pula kecenderungan
bertambah tingginya genangan air banjir setiap tahunnya. Manusia sejatinya
membutuhkan konsumsi air, tetapi apabila air yang melanda suatu daerah
dalam volume yang sangat besar seperti banjir, akan mengakibatkan
kerugian besar, kerusakan harta benda, dan bahkan menelan korban jiwa,
yang harus ditanggung oleh masyarakat, itu semua membahayakan
7 Rahardjo Adisasmita dan Sakti Adji Adisasmita, Logika Pemindahan Ibu Kota Jakarta,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 92.
59
eksistensi manusia. Dalam maqashid al-syariah, hal ini masuk ke dalam hifz
mall (pemeliharaan harta) dan hifz nafs (pemeliharaan jiwa). Maka dari itu
sudah semestinya pemerintah membuat kebijakan yang mengatur dengan
tegas tentang penanganan banjir ini agar tidak membahayakan eksistensi
manusia di muka bumi, jika eksistensi manusia terancam, salah satunya hifz
mall (pemeliharaan harta) atau hifz nafs (pemeliharaan jiwa) akan
mengakibatkan kerusakan atau kemafsadatan.
Nampaknya masalah air merupakan faktor yang sangat penting, yang
menimbukan bencana perkotaan selama beberapa tahun lalu sampai
sekarang ini. Dari sini dapat dilihat bahwa pemindahan ibu kota merupakan
suatu keharusan, bukan hanya memperhatikan kerugian yang didapat seperti
yang disebutkan tadi melainkan jika suatu saat terjadi banjir yang sudah
menggenangi seluruh Jakarta, otomatis segala macam kegiatan perkotaan
bahkan pemerintahan negara terhambat bahkan bisa berhenti seketika, hal
ini sangat perlu diberi perhatian lebih mengingat ibu kota merupakan kota
utama yang menjadi identitas suatu bangsa serta merupakan kota yang
mengatur segala macam kegiatan kenegaraan yang ada.
3. Ancaman ROB (Banjir Air Laut Pasang)
Telah diketahui secara luas, bahwa lapisan ozon (lapisan udara di atas
bumi) banyak yang robek (berlubang), sehingga terjadi pemanasan bumi
secara langsung ke bumi, menyebabkan es di kutub utara banyak yang
meleleh, yang kemudian akan meningkatkan air permukaan laut. Dampak
pemanasan bumi cukup luas, di antaranya permukaan laut bertambah tinggi
dan perubahan iklim dan cuaca tidak menentu lagi. Bertambah tingginya
permukaan laut akan membuat pulau-pulau kecil di dunia yang permukaan
daratnya relatif rendah akan tenggelam.8
Air laut mengalami pasang dan surut. Rob adalah sebutan air laut saat
sedang pasang dan permukaan laut bertambah tinggi yang akan
8 Rahardjo Adisasmita dan Sakti Adji Adisasmita, Logika Pemindahan Ibu Kota Jakarta,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 94.
60
menggenangi daratan pantai yang memiliki permukaan yang lebih rendah.
Banjir Rob menggenangi daratan pantai yang permukaan tanahnya lebih
rendah. Ancaman banjir rob akan sangat dahsyat pada masa depan, karena
tinggi permukaan laut akan meningkat sekitar 2 cm setiap tahun dan
diperkirakan akan terus bertambah dari waktu ke waktu. Banjir rob yang
pertama kali melanda kota Jakarta yang pertama kalinya terjadi pada akhir
tahun 2006 dan awal tahun 2007, yang menggenangi sebagian besar kota
Jakarta, terutama di Jakarta Utara, bahkan melanda jalan menuju ke bandar
udara internasional Soekarno-Hatta dan menggenangi landasan pacu bandar
udara, sehingga melumpuhkan kegiatan penerbangan di bandar udara
internasional secara total selama beberapa hari lamanya.
4. Eksploitasi (Pengambilan) Air Tanah Secara Berlebihan
Pembangunan perkotaan yang sangat massif dan intensif, yang
ditunjukkan oleh pembangunan gedung dan bangunan permanen, meliputi
rumah penduduk yang sangat banyak jumlahnya, karena jumlah penduduk
perkotaan bertambah terus, di samping itu terdapat banyak gedung-gedung
bertingkat tinggi (seperti hotel, apartemen, kantor-kantor pemerintah dan
swasta, dan lainnya, demikian pula industri besar) semuanya bangunan itu
tentunya membutuhkan air dalam volume besar, cara yang paling mudah
serta murah adalah membangun instalasi yang menyedot air tanah dalam
volume yang sangat besar. Pengambilan air tanah dalam volume yang
sangat besar, dampaknya akan menurunkan permukaan tanah secara
meyakinkan. Di Jakarta dan sekitarnya banyak gedung-gedung bertingkat
tinggi, yang melakukan penyedotan air bawah tanah dalam volume yang
sangat besar, maka tidak diherankan permukaan tanah di Jakarta mengalami
penurunan yang cukup berarti. 9
Pembangunan gedung-gedung bertingkat, perumahan dan pemukiman
penduduk yang permanen dan tersebar di seluruh bagian kota dalam jumlah
9 Rahardjo Adisasmita dan Sakti Adji Adisasmita, Logika Pemindahan Ibu Kota Jakarta,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 96-97.
61
besar menunjukan keberhasilan pembangunan perkotaan besar yang nyata
pada satu pihak, tetapi di lain pihak menimbulkan dampak negatif, yaitu
penurunan permukaan tanah yang nyata pula, karena pengambilan
(eksploitasi) air tanah yang sangat besar dari pembangunan bangunan-
bangunan tadi. Dampak negatif tersebut akan terakumulasi dan dalam
jangka panjang akan dirasakan sangat mengerikan terhadap
keberlangsungan dan keberlanjutan perkembangan kehidupan perkotaan.
Gedung-gedung bertingkat tinggi beserta industri besar membutuhkan
konsumsi air dalam jumlah besar pula, yang dipenuhi dengan cara menyedot
air dari bawah tanah. Pangambilan air bawah tanah hotel besar, perusahaan
besar, dan industri besar serta rumah tangga secara keseluruhan terhadap
total persediaan air tanah yaitu sekitar 70 persen, angka ini sangat tinggi,
melebihi ambang batas, harus ditekan secara bertahap, yaitu 60 persen, 50
persen, dan bila memungkinkan menjadi 30 persen, dan idealnya lebih
rendah dari 30 persen.
Upaya pemerintah dalam mengurangi eksploitasi air tanah dapat
dilakukan dengan cara; pertama, membuat larangan terhadap hotel besar,
perusahaan besar, dan industri besar melakukan pengambilan air tanah, atau
membatasi dalam besaran tertentu dan menggunakan pembayaran yang
sangat tinggi, sebagai upaya yang tegas dan kosekuen untuk mengendalikan
pengambilan air tanah secara besar-besaran. Kedua, melakukan penyulingan
air bekas, air sungai dan air banjir menjadi air bersih untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Ketiga, menambah jumlah dan memperbesar
kapasitas instalasi air minum (perusahaan air minum). Dan terakhir,
membuat peraturan perundang-undangan tentang larangan pengambilan air
tanah secara berlebihan (Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah).
Eksploitasi pengambilan air tanah secara berlebih selama bertahun-
tahun akan menimbulkan dampak yang sangat mengerikan, di Jakarta sangat
banyak gedung bertingkat tinggi yang masih bandel menyedot air tanah
dalam volume yang sangat besar yang selama ini dilakukan karena
kurangnya pendisiplinan pemerintah terhadap pelarangan hal tersebut. Bila
62
eksploitasi air tanah berlangsung secara terus-menerus, maka tidak mustahil
seluruh daerah di Jakarta akan berada di bawah permukaan air laut.
Dari ke-empat faktor yang di sebutkan di atas, jika dilihat dari kaca
mata fikih siyasah terutama pada aspek maslahat, pemindahan ibu kota
merupakan suatu keharusan bagi Indonesia cepat atau lambat demi
menghindarkan kemafsadatan yang akan menimpa sewaktu-waktu jika terus
kota Jakarta dibebankan sebagai ibu kota, jika kota Jakarta terus di
bebankan sewaktu-waktu akan timbul bencana perkotaan yang nantinya
akan menghambat total kegiatan kenegaraan yang akan berefek domino dan
berakibat pada lumpuhnya kegiatan bernegara yang mana akan merugikan
seluruh rakyat Indonesia bukan hanya Jakarta. Pemindahan ibu kota ini juga
merupakan salah satu ikhtiar pemerintah meraih maslahat dengan
menormalisasi kota Jakarta agar terhindar dari berbagai macam bencana
yang akan melanda dan menjadi salah satu upaya pemerintah dalam
pemerataan pembangunan, serta menghapus istilah Jawa Sentris.
Selain itu, pemindahan ibu kota merupakan karya besar, multi aspek,
multi disiplin, multi sector, lintas departemental, dan untuk jangka waktu
yang sangat panjang. Membangun ibu kota negara dan pemerintahan bukan
untuk 10 tahun atau 20 tahun, tetap untuk 100 tahun, 200 tahun atau lebih.
Karena untuk kepentingan jangka waktu yang sangat panjang (satu abad,
dua abad atau bahkan lebih), maka diperlukan pertimbangan yang cerdas,
tepat, serta secara menyeluruh dan tidak terkesan buru-buru. 10
10 Rahardjo Adisasmita dan Sakti Adji Adisasmita, Logika Pemindahan Ibu Kota Jakarta,
(Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011), h. 99.
63
B. Analisis Kebijakan Pemerintah dalam pemindahan Ibu Kota Negara
Republik Indonesia
Pada 26 agustus tahun 2019 lalu, Presiden Joko Widodo mengumumkan
hasil kajian pemerintah mengenai lokasi pemindahan ibu kota baru Republik
Indonesia. Melalui serangkaian kajian selama tiga tahun belakangan, Presiden
menetapkan dua wilayah di Provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi
pembangunan ibu kota baru, yaitu sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan
sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara.1 Pemindahan ibu kota ini juga masuk
ke dalam salah satu Proyek Prioritas Strategis Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024.
Di Indonesia, pengambilan kebijakan pemindahan ibu kota ini merupakan
salah satu wewenang dari kekuasaan eksekutif yaitu Presiden. Presiden memiliki
hak prerogatif dalam menentukan kebijakan, termasuk soal pemindahan ibu kota.
Namun dalam pelaksanaannya tidak hanya melibatkan Presiden, tetapi turut
melibatkan seluruh jajaran pemerintahan serta DPR sebagai pemegang kekuasaan
legislatif yang nantiya bertugas menyusun peraturan tentang ibu kota baru.
Dalam Fikih Siyasah, Presiden sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan masuk ke dalam Sulthah Tanfidziyyah (kekuasaan eksekutif) yang
bertugas melaksanakan undang-undang. Di sini negara memiliki kewenangan
untuk menjabarkan dan mengaktualisasikan perundang-undangan yang telah
dirumuskan tersebut. Dalam hal ini, negara melakukan kebijaksanaan baik yang
berhubungan dengan dalam negeri, maupun yang menyangkut dengan hubungan
sesama negara (hubungan internasional). Pelaksana tertinggi kekuasaan ini adalah
pemerintah (kepala negara) dibantu oleh para pembantunya (kabinet atau dewan
menteri) yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan situasi yang
1 https://setneg.go.id/baca/index/penajam_paser_utara_dan_kutai _kartanegara_ibu_kota_
baru, diakses pada 22 Agustus 2020 pukul 00.13 WIB.
64
berbeda antara satu negara dengan negara Islam lainnya. Sebagaimana halnya
kebijaksanaan legislatif yang tidak boleh menyimpang dari semangat nilai-nilai
ajaran Islam, kebijaksanaan politik kekuasaan eksekutif juga harus sesuai dengan
semangat nash dan kemaslahatan.1
Kepala negara dan pemerintah diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian
dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan kepala negara untuk
memimpin umat wajib menurut ijma’. Jika kepemimpinan negara ini kewajiban,
maka kewajiban itu gugur atas orang lain, jika tidak ada seorang pun yang
menjabatnya maka kewajiban ini dibebankan kepada dua kelompok manusia.
Pertama adalah orang-orang yang mempunyai wewenang memilih kepala negara
bagi umat Islam, kedua adalah orang-orang yang mempunyai kompetensi untuk
memimpin negara sehingga mereka menunjuk salah seorang dari mereka yang
memangku jabatan itu.2
Kewajiban-kewajiban yang harus diemban kepala negara itu meliputi semua
kewajiban umum baik yang berkenaan dengan tugas-tugas keagamaan maupun
kemasyarakatan, yang terdapat dalam Alquran dan sunnah Rasullullah seperti
mempertahankan agama, menegakkan keadilan atau menyelesaikan perselisihan
pihak yang bersengketa melalui penerapan hukum, mencegah kerusuhan dan
melindungi hak-hak rakyat, melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad,
mengatur perokonomian negara dan membagi rampasan perang, dan sebagainya.
Kewajiban utama dari seorang imam adalah mempraktikan totalitas syari’ah
didalam umat dan menegakkan institusi-institusi yang menyerukan kebajikan dan
mencegah kejahatan.
Disamping itu, wewenang imam atau kepala negara adalah:
1. Menegakkan hukum dan bertindak juga sebagai juru bicara bagi masyarakat
di luar wilayahnya.
1 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), h. 137.
2 Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Sejarah Islam,
(jakarta; Gema Insani, 2000). h 16-17
65
2. Imam menegakkan hukum yang mengatur hubungan antara umat baik pada
masa perang maupun masa perdamaian.
3. Mengeluarkan perintah perang.
4. Memberlakukan hukum di wilayah-wilayah yang baru diduduki .
5. Menghukum umat islam dan non islam dalam wilayahnya apabila mereka
terbukti melanggar hukum.
6. Memutuskan kapan jihad dilakukan atau kapan jihad harus dihentikan.
7. Menyarankan kapan umat Islam menerima dan menyetujui perdamaian.
Semua kewenangan ini bukan tanpa ada pembatasannya. Imam harus
menjalankannya dalam batas-batas hukum tertentu, dengan memenuhi sasaran dan
tujuan hukum dengan pihak musuh.3
Dalam hal pengambilan kebijakan pemerintah dalam memindahan ibu kota,
alasan utama pemerintah yaitu pertama, beban Jakarta saat ini sudah terlalu berat
sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan
pusat jasa, dan juga airport (bandar udara) dan pelabuhan laut yang terbesar di
Indonesia. Kedua, beban Jakarta dan beban Pulau Jawa yang semakin berat dalam
hal kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas yang sudah terlanjur parah, dan
polusi udara dan air yang harus segera ditangani. 4
Dalam Fikih Siyasah, pengambilan keputusan atau kebijakan seorang
pemimpin hendaknya memerhatikan aspek maslahat terhadap apa yang menjadi
kebijakan/keputusan. Seperti dalam kaidah fikih siyasah:
مام ف تصر اعية على الأ ط الر ل من وأ حةبالأمصأ
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung
kepada kemaslahatan”5
3 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), h. 137.
4 https://setkab.go.id/pemindahan-ibu-kota-26-agustus-2019-di-istana-negara-provinsi-dki-
jakarta/, diakses pada 22 Agustus 2020 pukul 00.24 WIB.
5 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fkih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 147.
66
Kaidah ini menerangkan bahwa seorang pemimpin dalam mengeluarkan
kebijakan atau memutuskan sesuatu harus berorientasi kepada kemaslahatan
rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keinginan keluarganya
atau kelompoknya. Kaidah ini juga dikuatkan oleh surat an-Nisa ayat 58.
ا يعظ ك مأ به ان ا بالأع دأل ان الل نعم ت مأ بيأن الناس انأ تحأ ك م وأ ى اهألها واذا حكمأ ن ت ال م ك مأ انأ ت ؤد وا الأ ر ان الل ي أأم
الل كان سميأعا بصيأرا
Artinya: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang
memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha
Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)
Banyak contoh yang berhubungan dengan kaidah tersebut yaitu setiap
kebijakan yang maslahat dan manfaat bagi rakyat maka itulah yang harus
direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai serta dievaluasi
kemajuannya. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan
memudharatkan rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-
upaya pembangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani, membuka lapangan
kerja yang padat padat karya, melindungi hutan lindung, menjaga lingkungan,
mengangkat pegawai-pegawai yang amanah dan professional, dan sebagainya.
Konsep maslahat ini sejalan dengan teori kegunaan (utility theory) orang-
orang barat yang dipopulerkan oleh tulisan-tulisan Jeremy Bentham dan John
Stuart Mill. Bentham mengatakan dalam tulisannya bahwa tujuan hukum harus
berguna bagi individu masyakat demi mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya.6
Menurut teori utilitariaisme suatu tindakan dianggap baik jika tindakan tersebut
membawa manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Dalam Utilitarianism-nya
Mill menulis kredo utilitarianisme yang berbunyi, “Bertindaklah sedemikian rupa
sehingga tindakan tersebut mendatangkan jumlah terbesar kebahagiaan dari
6 Frederikus Fios, Keadilan Hukum Jeremy Bentham dan Relevansinya Bagi Praktik
Hukum Kontemporer, h. 302.
67
jumlah terbesar orang yang terkena dampak dari tindakan tersebut!” (The greatest
happiness of the greatest number) (Brooks & Dunn, 2011).7
Terdapat dua jenis utilitarianisme yakni utilitarianisme perbuatan dan
utilitarianisme peraturan. Tindakan CEO untuk meminta bonus bagi kepentingan
pribadi merupakan contoh bagi utilitarianisme perbuatan. Sementara
utilitarianisme peraturan menandaskan bahwa suatu norma, peraturuan, atau
hukum baik secara moral jika norma atau peraturan tersebut mendatangkan
kebahagiaan sebanyak mungkin orang yang terkena dampak dari peraturan
tersebut.8 Utilitarisme memberikan suatu pesan filosofis mendasar bahwa semua
tindakan dan keadaan harus ditentukan arah dan akibat-akibatnya ke masa depan,
termasuk penerapan hukum kepada seseorang subjek terhukum.9
Dalam kaitannya dengan kebijakan pemindahan ibu kota, yaitu kebijakan ini
memberikan pemerintah peluang untuk menghindari kemafsadatan dan meraih
kemaslahatan. Dengan memindahkan ibu kota berarti, pertama mengurangi beban
Jakarta sebagai pusat pemerintahan yang saat ini terpusat di Jakarta mulai dari
Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta kantor-kantor Lembaga
pemerintahan lainnya yang ada di Jakarta. Kedua mengurangi pusat bisnis,
keuangan, perdagangan dan pusat jasa, dengan adanya ibu kota baru pastinya
pusat-pusat bisnis, keuangan, perdagangan, dan pusat jasa beralih atau setidaknya
berkurang sentralisasinya tidak hanya bertumpu di Jakarta tetapi juga di ibu kota
baru. Ketiga, mengurangi beban Jakarta dan beban Pulau Jawa yang semakin berat
dalam hal kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas yang sudah terlanjur parah,
serta polusi udara dan air, dengan kebijakan pemindahan ibu kota ini otomatis
akan ada tujuan baru arus urbanisasi keluar Pulau Jawa yaitu yang nantinya jadi
ibu kota baru. Hal ini dapat mengurangi kepadatan penduduk di Jakarta serta
7 Urbanus Ura Weruin, Teori-Teori Etika dan Sumbangan Pemikiran Para Filsuf Bagi
Etika Bisnis, h. 316.
8 Urbanus Ura Weruin, Teori-Teori Etika dan Sumbangan Pemikiran Para Filsuf Bagi
Etika Bisnis, h. 317.
9 Frederikus Fios, Keadilan Hukum Jeremy Bentham dan Relevansinya Bagi Praktik
Hukum Kontemporer, h. 300.
68
dapat juga mengurangi atau setidaknya menekan kemacetan lalu lintas di Jakarta,
dan juga tentunya jika ibu kota pindah dan gedung-gedung pencakar langit di ibu
kota dialih fungsikan serta kendaraan operasional pemerintahan ataupun
perusahaan di alihkan ke ibu kota baru pastinya akan menekan polusi udara, air
dan juga suara hingar bingar ibu kota. Pengurangan beban Jakarta ini dapat
membawa kemaslahatan bagi Jakarta serta dapat menolak atau menghindari
kemafsadatan yang akan menimpa Jakarta sewaktu-waktu jika terus dibebankan
dalam berbagai macam hal.
Keputusan pengambilan kebijakan memindahkan ibu kota ini jika dilihat
dari segi tingkatan atau kepentingan atau kekuatan substansi maslahat, masuk ke
dalam Maslahah Hajiyah (kemaslahatan sekunder), yaitu susuatu yang diperlukan
seseorang untuk memudahkannya menjalani hidup dan menghilangkan kesulitan
dalam rangka memelihara lima unsur pokok. 10 Kelima unsur pokok ini yaitu:
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan,
memelihara harta. Masuk ke dalam tingkatan hajiyah (kemaslahatan sekunder)
karena pemindahan ibu kota ini bertujuan untuk mengurangi beban Jakarta
sebagai ibu kota serta memudahkan menjalani hidup dan menghilangkan kesulitan
pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan jika sewaktu-waktu terjadi
bencana perkotaan yang akan melanda jika ibu kota terus menerus berada di
Jakarta. Jika kebutuhan peringkat kedua ini tidak terpenuhi, maka tidak akan
mengakibatkan kehancuran dan kemusnahan bagi kehidupan manusia, tetapi akan
membawa kesulitan dan kesempitan. 11
Alasan pemerintah menetapkan Provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi
pembangunan ibu kota baru yaitu pertama, risiko bencana alam minimal, baik
bencana banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, gunung berapi, dan tanah
longsor. Kedua, lokasinya yang strategis, berada di tengah-tengah kepulauan
Indonesia. Ketiga, lokasinya berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah
berkembang, yaitu Balikpapan dan Samarinda. Keempat, telah memiliki
10 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) h. 310.
11 Sapiudin Shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017) h.226.
69
infrastruktur yang relatif lengkap. Dan yang kelima, telah tersedia lahan yang
dikuasai pemerintah seluas 180.000 hektare.
Penentuan lokasi ibu kota baru di Kalimantan timur jika dihat dari segi
tingkatan atau kepentingan atau kekuatan substansinya yang tingkatan ini pada
dasarnya merujuk pada skala prioritas dalam maslahat, masuk dalam kategori
Maslahah Hajiyah (kemaslahatan sekunder), yaitu sesuatu yang diperlukan
seseorang untuk memudahkannya menjalani hidup dan menghilangkan kesulitan
dalam rangka memelihara lima unsur pokok. Masuk ke dalam kategori ini karena
lokasi ibu kota baru yang berada di Kalimantan Timur ini lokasinya berdekatan
dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang, yaitu Balikpapan dan
Samarinda. Dan juga telah memiliki infrastruktur yang relatif lengkap. Serta telah
tersedia lahan yang dikuasai pemerintah seluas 180.000 hektare. Hal ini
memudahkan pemerintah dalam pembangunan serta memudahkan pemerintah
dalam menjalankan roda pemerintahan di ibu kota baru. Jika lokasinya tidak se-
setrategis Kalimantan Timur mukin akan membawa kesuliatn dan kesempitan
pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.
Jika dilihat dari segi kandungan atau batasan maslahat atau hubungannya
dengan umat atau individu tertentu, Abû Bakr Ismail Muhammad Miqa membagi
dua kategori maslahah. Pertama, maslahah ‘ammah, yakni maslahah yang
pemeliharaannya menentukan kebaikan dan kesejahteraan segenap masyarakat
atau sebagian besar masyarakat, tanpa melihat pada satuan-satuan individu dari
mereka. Kedua, maslahah khassah, yakni maslahah yang pemeliharaannya
menentukan kebaikan dan kesejahteraan yang bersifat individual, dari yang
bersifat individual ini akan mengarah kepada kebaikan dan kesejahteraan yang
bersifat kolektif (publik).12 Dalam pemindahan serta penentuan lokasi ibu kota
baru ini dikategorikan sebagai maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum),
dikarenakan ibu kota ini menyangkut pada kepentingan seluruh Warga Negara
Indonsia. Penentuan lokasi ibu kota baru di Kalimantan Timur dinilai sudah
12 Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum
Vol 12, no. 2 (Desember 2014): h. 321.
70
sangat adil karena berada di tengah-tengah Indonesia dan penetuan lokasi ini turut
menghapus istilah Jawa Sentris.
Selanjutnya, kebijakan pemindahan ibu kota ini masuk ke dalam kategori
maslahah al-mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai
dengan perubahan tempat, waktu, dan subyek hukum. 13 Kemaslahatan ini
berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan, seperti dalam
masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lainnya.14
Pemindahan ibu kota merupakan suatu keniscayaan yang akan terealisasikan cepat
atau lambat seriring berjalannya waktu.
Kemudian, jika dilihat dari segi ada atau tidaknya ketegasan jastifikasi
syara’ terhadap keberadaan atau legalitas maslahat, pemindahan ibu kota termasuk
kedalam kategori maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya
tidak mendapat ketegasan justifikasi syara’ atau tidak didukung syara’, dan tidak
pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Dengan kata lain
pengambilan kebijakan pemindahan ibu kota ini tidak ada dalil khusus/tertentu
yang membenarkan atau menolak/menggugurkannya.
Langkah pemerintah dalam menetapkan Kalimantan Timur sebagai lokasi
ibu kota baru dan bukan di Pulau jawa merupakan suatu tindakan pencegahan
(preventif), karena menutup atau mencegah terjadinya mafsadah (kerusakan) pada
ibu kota baru akibat bencana alam yang mengancam. Dapat diketahui
bahwasannya Kalimantan Timur relatif lebih aman dari gempa bumi dan bukan
merupakan wiayah lintasan ring of fire seperti Pulau Jawa dan pulau-pulau
lainnya di Indonesia. Salah satu pencegahan terjadinya al-mafsadah (kerusakan)
adalah dengan cara menutup jalan yang memungkinkan kemafsadatan tersebut
dengan sadd adz-dzari’ah, dan ini merupakan salah satu metode dalam berijtihad.
Makna dari sadd adz-dzari’ah adalah mencegah sesuatu perbuatan agar tidak
13 Muskana Pasaribu, Maslahat Dan Perkembangannya Sebagai Dasar Penetapan Hukum
Islam, Jurnal Justitia Vol 1, no. 4 (Desember 2014): h. 355.
14 Muhammad Ali Rusdi, Maslahat sebagai Metode Ijtihad Dan Tujuan Utama Hukum
islam, Jurnal Syariah dan Hukum Diktum Vol 15, no. 2 (Desember 2017): h. 160.
71
sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika ia akan menimbulkan
mafsadah. Pencegahan terhadap mafsadah dilakukan karena ia bersifat terlarang.15
Dari segi historis ketatanegaraan Islam, pemindahan ibu kota sering terjadi
seiring dengan bergantinya pemegang kekuasaan serta perubahan kondisi tempat
dan waktu. Mulai dari masa kepemimpinan al-Khulafa al-Rasyidun yaitu khalifah
‘Ali; masa kepemimpinan Dinasti Umaiyah yaitu khalifah Muawiyah; masa
Dinasti Abbasiyah yaitu khalifah Abu Abbas al-Saffah mereka semua
memindahkan ibu kota untuk mengamankan jalannya roda pemerintahan Islam
serta mengamankan posisinya sebagai khalifah dari oposisi-oposisi yang ada kala
itu.
Pada masa Dinasti Abbasiyah ada sekitar tiga kali ibu kota dipindahkan,
pertama dari Kufah ke Hasyimiyah oleh khalifah Abu Abbas al-Saffah. Kedua
dari Hasyimiyah ke Baghdad oleh khalifah Abu Ja’far al-Manshur karena
posisinya yang strategis terletak di delta sungai Tigris. Baghdad juga merupakan
pust kebudayaan tertua (Babylonia) dalam sejarah peradaban manusia. Dari
sinilah khalifah al-Manshur melakukan konsolidasi memantapkan bangunan
kerajaannya dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan. 16 Membuat semacam
Lembaga eksekutif dan yudikatif serta menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada. 17 Dan yang
ketiga memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Samara yaitu pada masa
pemerintahan khalifah Al-Mu’tashim dengan tujuan sebagai tempat tinggal/istana
baru kalifah, sabagai hadiah untuk Asynas yaitu seorang komandan tantara yang
berkebangsaan Turki, serta untuk menampung orang-orang Turki yang tidak
tertampung di Baghdad sebab mereka sering melakukan kerusuhan dan
perkelahian.18
15 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) h. 236.
16 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, h. 98.
17 A Najili Aminullah, Dinasti Bani abbasiyah, Politik, Peradaban dan Intelektual, h. 21.
18 Mundzirin Yusuf, Khalifah Al-Mu’Tashim: Kajian Awal Mundurnya Daulah Abbasiyah,
h. 132.
72
Pada masa kepemimpinan Orhan, Kesultanan Utsmani menguasai kota
Bursa dan menjadikannya sebagai ibu kota kesultanan. Lalu ketika Orhan wafat,
ia digantikan oleh putranya yang dikenal dengan Murad I. pada masa Murad I ini
ibu kota dipindahkan dari Bursa ke Edirne dengan tujuan memusatkan
perhatiannya ke Eropa, hasilnya Murad I berhasil menguasai kota Sofia. Terakhir,
ibu kota dipindahkan ke Konstantinopel oleh Mehmed II setelah ditaklukan.19
Dari sejarah ketatanegaraan Islam diatas dapat dikatakan bahwa ada tiga
alasan utama pemindahan ibu kota dalam Islam, pertama mengamankan posisi
kepemimpinan dan mengamankan jalannya roda pemerintahan, kedua
membangun peradaban baru, ketiga menepati kota-kota yang telah ditaklukan oleh
pemerintahan Islam. Ketiga hal ini merupakan maslahat, karena dengan
mengamankan posisi kepemimpinan akan berefek pada aman pula pemerintahan
Islam yang artinya kesejahteraan umat terpelihara. Membangun peradaban baru
merupakan maslahat karena akan membawa kesejateraan bagi masa depan umat.
Menepati kota-kota yang telah ditaklukan oleh pemerintahan Islam merupakan
maslahat juga karena dengan menepati kota-kota yang baru ditaklukan, umat
Islam dapat lebih mudah dalam menyebarkan risalah dakwah dan lebih leluasa
dalam beraktifitas serta dapat membangun peradaban baru di kota tersebut sebagai
rencana kesejahteraan umat di masa depan.
Sama halnya dengan pemindahan ibu kota dalam sejarah Islam, pemerintah
Indonesia meindahkan ibu kota dengan berbagai rencana yang mengacu pada
kemaslahatan rakyat Indonesia seperti meningkatkan pembangunan Kawasan
Timur Indonesia untuk pemerataan wilayah, mendorong percepatan pengurangan
kesenjangan dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah di luar Pulau
Jawa terutama Kawasan Timur Indonesia, memberikan akses yang merata bagi
seluruh wilayah NKRI dan mengurangi beban Pulau Jawa, itu semua tertuang
dalam Proyek Prioritas Strategis Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024. Maka dapat dikatakan Peraturan Presiden
Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembagunan Jangka Menengah Nasional
19 M. Affan, Kesultanan Utsmani: (1300-1517): Jalan Panjang Menuju Kekhalifahan, h.
106 dan 118.
73
Tahun 2020-2024 Lampiran II Proyek Prioritas Strategis terutama tentang
pemindahan ibu kota sudah sesuai dengan konsep maslahat dalam pengambilan
kebijakan seorang pemimpin.
Namun walaupun sudah sesuai dengan konsep maslahat dalam pengambilan
kebijakan seorang pemimpin, dalam realisasinya kebijakan pemindahan ibu kota
dari Jakarta ke Kalimantan tidak semulus dan semudah yang di bayangkan.
Banyak penolakan-penolakan terjadi, mulai dari penolakan warga Jakarta jika ibu
kota dipindahkan sampai penolakan yang digencarkan oleh warga Kalimantan
sebagai lokasi ibu kota baru nantinya.
Alasan-alasan penolakan pemindahan ibu kota yaitu pertama, alasan
pemerintah memindahkan ibu kota tidak masuk akal dan keliru. Ada beberapa
alasan yang menjadi latar belakang pertimbangan pemerintah dalam mengambil
kebijakan pemindahan ibu kota. Salah satunya yaitu dari banjir, kemacetan hingga
ancaman tenggelamnya Jakarta. Logikanya kalau DKI Jakarta rusak, harus
diperbaiki. Tapi ini menjadi alasan untuk pindah. Jakarta macet, Jakarta terendam,
rusak, harus pindah. Keputusan pemerintah dalam memindahkan ibu kota di
tengah berbagai masalah yang melanda Jakarta terkesan seperti lari dan abai dari
tanggung jawab. Seharusnya pemerintah menyelesaikan masalah-masalah tersebut
ketimbang memilih untuk memindahkan ibu kota.20
Kedua, biaya perpindahan ibu kota yang tidak sedikit, yaitu mencapai
Rp466 triliun dan 19 persen yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Hal tersebut tentu saja akan berdampak serius kepada
keuangan negara yang masih mengalami beberapa persoalan, yaitu realisasi
penerimaan negara sangat rendah karena penurunan harga minyak dunia.21 Tidak
hanya itu, dalam skema pembiayaan pemindahan ibu kota yang mana
menghabiskan dana sekitar Rp. 466,98 triliun ini bukan hanya membebankan
APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) dan KPBU (kerjasama
20 https://www.cnbcindonesia.com/news/20190826085752-4-94513/ jokowi-pindahkan-ibu-
kota-4-ekonom-senior-ini-tak-setuju, diakses pada 11 Oktober 2020 pukul 00.24 WIB.
21 https://nasional.republika.co.id/berita/pylsvx377/pks-ungkap-delapan-alasan-tolak-pemin
dahan-ibu-kota, diakses pada 11 Oktober 2020 pukul 00.24 WIB.
74
pemerintah dan badan usaha) tetapi juga melibatkan pihak swasta yang mana itu
sangat menghawatirkan. Mengkhawatirkan karna jika pihak swasta ikut turut
dalam pembangunan ibu kota baru ini akan menimbulkan acaman bagi kedaulatan
NKRI dan itu merupakan kemafsadatan. Seharusnya dalam membangun pusat-
pusat pemerintahan pemerintah tidak usah melibatkan pihak swasta yang hanya
berorientasi pada keuntungan semata.
Ketiga, dari sisi sumber daya manusia (SDM) sebagai pendukung
berjalannya ibu kota baru yaitu para aparatur negara yang akan ikut terdampak
dari pemindahan ibunkota. Banyaknya jumlah aparatur sipil negara (ASN) sebagai
penggerak ibu kota yang mencapai dua juta orang kemungkinan besar satu juta di
antaranya harus terdampak ikut berpindah dengan rencana pemindahan ibu kota
negara. Hal ini akan menjadi permasalahan mikro, karena pemindahan ASN
tersebut tentunya kemungkinan besar akan dibarengi dengan pemindahan
keluarganya juga yang nantinya akan membutuhkan fasilitas-fasilitas pendukung
kehidupan, seperti hunian, sekolah, rumah sakit dan sebagainya.22
Keempat, dari sisi pertahanan dan ketahanan negara, pemerintah harus
mempertimbangkan posisi Kalimantan Timur yang berdekatan secara geografis
dengan Laut Tiongkok Selatan yang saat ini sedang terjadi sengketa perairan
antara Tiongkok dengan beberapa negara Asia lainnya. Pemerintah harus turut
memperhitungkan perkembangan situasi politik regional dan global pada saat ini.
Sementara itu, alat utama sistem persenjataan dan infrastruktur pertahanan
Indonesia masih banyak terdapat di Pulau Jawa, sehingga akan membutuhkan
biaya yang sangat besar untuk memindahkannya ke Kalimantan Timur. Selain itu
pemerintah juga perlu memperhatikan ketersediaannya fasilitas infrastruktur
pendukung di bidang pertahanan di Kalimantan Timur untuk menunjang
kebutuhan pertahanan dan berjalannya roda pemerintahan.23
22 https://nasional.republika.co.id/berita/pylsvx377/pks-ungkap-delapan-alasan-tolak-pemin
dahan-ibu-kota, diakses pada 11 Oktober 2020 pukul 00.24 WIB.
23 https://nasional.republika.co.id/berita/pylsvx377/pks-ungkap-delapan-alasan-tolak-pemin
dahan-ibu-kota, diakses pada 11 Oktober 2020 pukul 00.24 WIB.
75
Kelima, pemindahan ibu kota negara diyakini akan mencerabut kehidupan
sosial masyarakat adat di Tanah Bumbu, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi
Kalimantan Selatan. Proyek pemindahan ibu kota menjadi semacam bom waktu
bagi kehidupan masyarakat adat. Budaya Dayak akan hilang seiring masuknya
pembangunan ibu kota negara di Tanah Bumbu. Proyek ibu kota pasti
menggusur masyarakat adat. Saat ini saja, warga adat sudah tergusur dan kerap
berkonflik dengan perusahaan tambang batu bara dan perkebunan sawit.
Terlebih, masyarakat merasa tidak mampu bersaing dengan para pendatang.24
Walaupun sudah diketahui bahwa Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian
di Kabupaten Kutai Kartanegara Propinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu
kota baru yang akan dibangun, dampak pembangunannya bukan hanya di
Kalimantan Timur melaikan ke seluruh Pulau Kalimantan akan signifikan.
Keenam, pemindahan ibu kota akan mengancam seluruh masyarakat adat di
dataran Kalimantan. Khususnya suku Dayak, mereka terancam kehilangan tempat
tinggal dan mata pencaharian. Hutan tropis yang rimbun dapat di tebang secara
besar-besaran untuk membuka lahan sebagai tempat pembangunan ibu kota baru.
Ribuan penduduk asli juga kemungkinan besar akan dipindahkan dari tanah adat
leluhur mereka di pulau Kalimantan ketika area hutan yang luas dibuka untuk
membuka jalan bagi pembangunan ibu kota baru Indonesia. Penduduk asli Dayak
yang tinggal di Kalimantan telah berjuang selama puluhan tahun dalam
perjuangan untuk melindungi tanah dan hutan tradisional mereka dari
penebangan, pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Orang Dayak telah
menjadi korban terus-menerus dari degradasi lingkungan, dan langkah
pemindahan ibu kota ke Kalimantan ini secara fisik akan menghancurkan lebih
banyak lingkungan mereka.25
Kondisi fisik Jakarta karena polusi dan kepadatan yang berlebihan bukanlah
suatu alasan untuk pindah ke halaman belakang orang lain di mana hal yang sama
24 https://nasional.tempo.co/read/1224789/masyarakat-adat-menolak-pemindahan-ibu-kota-
negara-ke-tanah-bumbu/full&view=ok, diakses pada 11 Oktober 2020 pukul 00.31 WIB.
25 https://www.matamatapolitik.com/pemindahan-ibu-kota-indonesia-bahayakan-masyaraka
t-adat-news/, diakses pada 11 Oktober 2020 pukul 00.52 WIB.
76
kemungkinan akan terjadi. Harus ada edukasi luas untuk memahami dampaknya.
Masyarakat adat di Kalimantan Timur akan kehilangan tanah dan mata
pencaharian mereka untuk membuka jalan bagi pembangunan ibu kota baru
tersebut. Relokasi pemukiman bukanlah solusi yang terbaik, karena jika relokasi
pemukiman menjadikan mereka tidak akan dapat mencari nafkah jika mereka
dikeluarkan dari tanah tradisional mereka.
Ketujuh, melihat pemindahan ibu kota dari sisi sengketa lahan. Sebelum
pemerintah mewacanakan sampai memutuskan akan memindahkan ibu kota ke
Kalimantan, masyarakat Kalimantan sudah sering berkonflik memperebutkan
lahan dengan perusahaan tambang dan perkebunan sawit yang memiliki konsensi.
Sebagian besar warga adat memang tidak memiliki sertifikat untuk membuktikan
hak kepemilikan tanah mereka. Masyarakat Kalimantan bukannya terbantu
dengan pemindahan ibu kota, justru akan semakin diberatkan dengan melawan
dua raksasa berupa perusahaan dan negara dalam kompetisi memperebutkan
lahan. Itu semua akan menjadi beban yang baru bagi masyarakat, yang kemarin
mereka melawan perusahaan, sekarang mereka melawan perusahaan dan negara.
Pada akhirnya tanah mereka akan lebih mudah dirampas dan diambil oleh
perusahaan ataupun negara. 26 Selama bertahun-tahun sengketa perebutan lahan
terjadi di perkampungan adat mereka. Penyebabnya adalah saling klaim lahan
adat, transmigrasi, dan pembukaan hutan untuk perkebunan sawit. Tanah yang
diakuinya dimiliki secara turun-temurun semakin sempit dan terkepung desa
transmigrasi serta lahan perusahaan berlabel hak guna usaha (HGU). Mayoritas
warga Dayak saat ini mendapatkan penghasilan dengan menjual hasil kebun.
Sebagian kecil dari mereka, terutama para pemuda, bekerja sebagai operator
mesin berat di perusahaan perkebunan sawit. Dulunya mereka bisa mencari
binatang buruan, madu, rotan, sirap, damar. Hutan itu tempat hidup mereka.
Sekarang semua sudah punah karena hutan dibabat habis demi kepentingan
segelintir orang yang dibantu oleh para penguasa-penguasa zhalim.
26 https://manado.tribunnews.com/2020/03/07/warga -adat-dayak-paser-menjerit-tolak-ibu-
kota-dipindahkan-muda-mereka-dirampas-diambil-tanahnya?page=3, diakses pada 11 Oktober
2020 pukul 00.38 WIB.
77
Kedelapan, pemindahan ibu kota ke Kalimantan mengancam kelestarian
flora dan fauna endemik disana. Dapat diketahui jika membangun ibu kota di
Kalimantan yang wilayahnya dipenuhi dengan hutan tempat berbagai macam
flora dan fauna yang ada, pembukaan lahannya past i menebang, membabat habis
hutan bahkan sampai membumi hanguskan hutan demi efisiensi pembukaan
lahan. Tindakan ini dapat mengancam bahkan sampai dapat membunuh berbagai
macam flora dan fauna yang ada. Dengan membuka hutan sudah pasti akan
membabat habis flora (tumbuhan) yang ada dan mengusir, menagkap, memburu,
sampai mebunuh fauna (hewan) yang ada di dalamnya. Flora (tumbuhan) langka
di Kalimantan Timur yang terancam hilang akibat menyusutnya luas hutan
akibat dampak pembangunan berskala besar dari pemindahan ibu kota yaitu
Anggrek Hitam, Pohon Ulin, Tengkawang Tungkul, itu semua mengalami
punurunan jumlah yang sangat pesat yang menjadikannya terancam punah.
Fauna (hewan) langka Kalimantan yang terancam punah akibat penurunan
jumlah yang sangat pesat akibat pembukaan hutan yaitu, beruang madu,
orangutan, bekantan, Kucing Merah Kalimantan, Surili berkepala putih , bukan
hanya fauna darat yang terancam kepunahannya tetapi fauna air juga yaitu pesut
Mahakam dan penyu yang ada di perairan Kalimantan. Flora dan fauna ini perlu
di jaga kelestariannya, Kalimantan sebagai pulau dengan julukan “paru-paru
dunia” yang di dalamnya terdapat hutan tropis yang lebat seharusnya tidak
diganggu dan terus dilestarikan sebagai pusat rehabilitasi satwa.
Kesembilan, jika dilihat dari dampak lingkungan pindahanya ibu kota ke
Kalimantan akan merusak alam di sana. Pulau Kalimantan termasuk Kalimantan
Timur selama ini dikenal sebagai "paru-paru dunia" karena luasnya hutan tropis di
pulau tersebut mencapai 40,8 juta hektare dan Kalimantan Timur menyumbang
12,6 juta hektare. Meskipun konsep yang ditawarkan pemerintah dalam
pembangunan ibu kota baru ini adalah forest city seperti di London, namun belum
ada konsep yang utuh yang ditawarkan pemerintah untuk mewujudkan hal
tersebut.27 Kabarnya para pejabat pemerintahan telah menyisihkan 180.000 hektar
27 https://nasional.republika.co.id/berita/pylsvx377/pks-ungkap-delapan-alasan-tolak-pemin
dahan-ibu-kota, diakses pada 11 Oktober 2020 pukul 00.24 WIB
78
(445.000 hektar) tanah pemerintah di Kalimantan Timur untuk pembangunan ibu
kota baru. Hal itu berarti pembukaan sejumlah besar hutan utuh dan lahan gambut
untuk pembangunan ibu kota baru yang nantinya akan membawa dampak buruk
terhadap eksistensi ekosistem dan sumber daya air di sana. Di daerah yang sudah
berada di bawah tekanan parah dari deforestasi, menghancurkan lahan gambut
akan melepaskan sejumlah besar emisi. Lahan gambut yang dikeringkan sangat
rentan terhadap kebakaran, dengan dampak lingkungan, ekonomi dan kesehatan
yang serius. Artinya pembukaan sejumlah besar hutan utuh dan lahan gambut
untuk pembangunan ibu kota baru akan mengudang terjadinya bencana alam yang
tadinya tidak ada menjadi ada. Maka dari itu perlunya penilaian dampak
lingkungan serta langkah-langkah mitigasi dan adaptasi harus disediakan untuk
masa depan. Pemerintah harus memperhatikan betul dampak yang akan terjadi
jika pembukaan hutan besar-besaran dilakukan, karena bukan hanya Kalimantan
atau Indonesia saja yang akan merasakan dampak pemusnahan hutan tersebut,
melaikan seluruh dunia akan merasakan dampaknya, salah satunya yaitu
perubahan iklim dunia secara drastis yang akan mengguncang keadaan dunia.
Kesepuluh, Warga adat Dayak Paser di Kabupaten Penajam Paser Utara
(PPU), cemas lahan yang mereka tinggali secara turun-temurun bakal tergusur
oleh pembangunan ibu kota baru yang ditargetkan menampung 1,5 juta orang. 28
Ada empat desa komunitas adat Dayak Paser di wilayah yang ditunjuk Presiden
Joko Widodo menjadi pusat pemerintahan baru, yaitu Desa Sepaku, Desa Semoi
Dua, Desa Maridan, dan Desa Mentawir. Ibu kota baru tidak ada bedanya dengan
alih fungsi hutan demi perkebunan kelapa sawit dan pengolahan kayu. Artinya,
pemindahan ibu kota ini kembali berpotensi menghilangkan hutan yang menjadi
sumber penghidupan mereka, dari pangan, papan, hingga persembahan untuk
ritual sakral adat warga Dayak Paser. Barbagai alasan penolakan ini tidak berlaku
jika pemerintah menjamin tatanan adat, situs dan hak-hak Warga adat Dayak,
mereka ingin daerahnya ramai, tapi bukan berarti menderita dan hanya menjadi
penonton.
28 https://www.bbc.com/indonesia/indonesia -49591240, diakses pada 11 Oktober 2020
pukul 00.24 WIB
79
Menyimpulkan dari berbagai uraian di atas, dalam perspektif fikih siyasah,
pemindahan ibu kota ke Kalimantan jika dilihat dari kondisi Jakarta sebagai ibu
kota saat ini merupakan bentuk meraih kemaslahatan dan menghindarkan dari
kemafsadatan. Lain hal jika dilihat dari kondisi Kalimantan saat ini yang mana
pemindahan ibu kota ini banyak membawa kerusakan atau kemafsadatan, pertama
mencerabut kehidupan sosial masyarakat adat dan dapat menghilangkan
kelestarian budaya Dayak seiring masuknya pembangunan ibu kota negara.
Kedua, Mereka terancam kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian,
ribuan penduduk asli juga kemungkinan besar akan dipindahkan dari tanah adat
leluhur mereka. Ketiga, masyarakat Kalimantan bukannya terbantu dengan
pemindahan ibu kota, justru akan semakin diberatkan dengan melawan dua
raksasa berupa perusahaan dan negara dalam kompetisi memperebutkan lahan.
Keempat, pemindahan ibu kota ke Kalimantan mengancam kelestarian flora dan
fauna endemik disana. Kelima, pindahanya ibu kota ke Kalimantan akan merusak
alam di sana yang dikenal sebagai "paru-paru dunia", apabila ini rusak dampaknya
bukan hanya mendatangakan bencana di Kalimantan atau Indonesia, melaikan
akan merubah iklim dunia dalam sekala global. Kemafsadatan ini sangat harus
dihindari bahkan harus di tutup jalannya.
Dalam fikih siyasah, terdapat kaidah لى منأ جلأب الأمصالح ء الأ مفاسد أوأ yang درأ
artinya “menghilangkan mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat.” Dari
uraian diatas dengan merujuk pada kaidah fikih ini dapat dikatakan bahwa
kemaslahatan Kalimantan sebagai paru-paru dunia dan sebagai pusat rehabilitasi
satwa serta kebudayaan harus lebih dahulu dijaga. Menutup atau mencegah
kemafsadatan dari pemindahan ibu kota ke Kalimantan lebih baik ketimbang
mengabil kemaslahatan untuk pemindahan ibu kota Jakarta.
Namun, jika pemerintah tetep bersikukuh dalam pemindahan ibu kota ini,
maka pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis dalam menangani
penolakan-penolakan yang terjadi dengan berbagai macam jaminan yang akan
diberikan pemerintah kepada masyarakat Kalimantan sebagai pribumi ibu kota
baru dan menjamin keberlangsungan flora dan fauna Kalimantan serta menjamin
keberlangsungan hutan tropis Kalimantan sebagai paru-paru dunia.
80
Langkah-langkah strategis ini dapat dilakukan dengan membuat UU
tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat. Itu penting agar
eksistensi adat tak pudar sering pemindahan Ibu kota negara ke Kaltim.
Memfasilitasi pemetaan wilayah adat di PPU terutama di daerah calon ibu kota
negara. Menyelesaikan konflik-konflik agraria, lahan antara masyarakat adat
Paser dan PPU dengan perusahaan. Melibatkan utusan masyarakat adat Paser dan
PPU dalam seluruh penentuan kebijakan ibu kota negara baik dalam persiapan
maupun selama proses pembangunan. Pembangunan ibu kota negara haruslah
bercita rasa nusantara dalam bingkai Pancasila dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika dengan tidak meninggalkan kearifan lokal, budaya, dan adat istiadat
setempat. Menjamin bidang ketenagakerjaan, pemerintah daerah dan pusat
memperhatikan keseimbangan agar masyarakat adat Paser dan PPU agar
berkontribusi untuk pembangunan daerah dan bangsanya.
Selanjutnya pemerintah juga harus menyusun langkah strategis nasional
berkaitan dengan dampak lingkungan akibat pembangunan ibu kota terhadap
ekosistem pelestarian kearifan lokal hutan sebagai paru-paru dunia agar di
tanami kembali lahan-lahan gundul akibat pertambangan batu bara serta relokasi
flora dan fauna endemik pulau Kalimantan.
Dengan dilaksanakannya langkah-langkah strategis ini, akan berdampak
pada diterimanya kebijakan pemindahan ibu kota oleh masyarakat Kalimantan,
serta efektifnya pembangunan ibu kota baru dan pastinya meminimalisir
kerusakan lingkungan hutan dan menjaga flora dan fauna tetap lestari. Kebijakan
pemindahan ibu kota ini juga menjadi salah satu instrumen pemerintah dalam
langkah pemerataan ekonomi, mengikisi sedikit demi sedikit ketimpangan antara
pulau jawa dan luar jawa, pemerataan pembangunan, pemerataan bonus demografi
yang akan di alami Indonesia beberapa tahun kedepan, dan pastinya dapat
membuka lapangan pekerjaan baru di lokasi ibu kota baru. Artinya kebijakan ini
berorientasi pada kemaslahatan untuk masa depan seluruh rakyat Indonesia.
Kebijakan Pemindahan Ibu Kota ini juga menjadi cikal bakal terbentuknya
UU tentang ibu kota yang sampai sekarang masih rancu dan hanya bergantung
pada UU no 29 tahun 2007 tentang DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia.
81
Artinya dengan terbentukya UU tersebut manjadi jelas tentang kepastian hukum
pengaturan ibu kota.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis mengambil
kesimpulan bahwa:
1. Faktor-faktor yang melatarbelakangi pemindahan Ibu Kota Jakarta, yaitu
pertama, kepadatan perkotaan yang terdiri dari; kepadatan penduduk,
kepadatan gedung dan bangunan, kepadatan kegiatan pembangunan
perkotaan, kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor. Kedua, bencana banjir.
Ketiga, ancaman ROB (banjir air laut pasang). Keempat, eksploitasi
(pengambilan) air tanah secara berlebihan. Dengan melihat faktor tersebut
memperlihatkan betapa mengerikannya kondisi fisik kota Jakarta, sudah
begitu rapuh, keropos, terlalu padat dan sesak, terlalu semrawut, dan tidak
nyaman, demi menghindari kemafsadatan dan meraih kemaslahatan
bersama, perlu adanya pemindahan ibu kota untuk mengindari bencana-
bencana yang kiranya dapat melanda di masa yang akan datang.
2. Ditinjau dari perspektif fikih siyasah, pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke
Kalimantan dapat dijalankan demi kemaslahatan bagi bangsa. Presiden
selaku kepala negara mempunyai hak dan wewenang untuk mengambil
kebijakan politik untuk kepentingan bangsa dan negara. Dalam hal
pengambilan kebijakan pemindahan ibu kota, demi meraih kemaslahatan
bangsa, pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis dalam
meraih kemaslahatan pemindahan ibu kota ini dengan berbagai macam
jaminan yang akan diberikan pemerintah kepada masyarakat Kalimantan
sebagai pribumi ibu kota baru dan menjamin keberlangsungan flora dan
fauna Kalimantan serta menjamin keberlangsungan hutan tropis Kalimantan
sebagai paru-paru dunia.
Selain itu, berdasarkan atas pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis
mengambil kesimpulan bahwa Pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia
akan memberikan akibat hukum terhadap kekhususan yang dimiliki oleh Jakarta,
83
dan pastinya akan dirubahnya UU Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan
Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan
Republik Indonesia, serta akan munculnya produk hukum baru berupa UU yang
mengatur lebih spesifik tentang ibu kota negara.
B. Saran-Saran
1. Bagi pemerintah Indonesia, agar pemindahan ibu kota ini berjalan lancar
perlu segera dibuat aturan hukumya bersama dengan DPR, dan hendaknya
Pemerintah Indonesia membuat kebijakan yang medatangkan kemaslahatan
bukan hanya untuk ibu kota baru atau ibu kota yang ditinggalkan, melaikan
juga kota-kota yang bersebelahan dengan Jakarta perlu juga diberi perhatian
lebih, serta agar pemerintah Indonesia lebih memperhatikan kehidupan
warga adat di Kalimantan dan dampak lingkungan dalam pemindahan ibu
kota ini.
2. Bagi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indoneisa (DPR-RI) selaku wakil
rakyat agar selalu mengawasi kinerja pemerintah serta membuat kebijakan
yang berorientasi kepada kemaslahatan rakyat atau kebijakan yang
menghidarkan terjadinya kemafsadatan supaya Indonesia menjadi negara
yang sejahtera.
3. Bagi masyarakat Indonesia, diharapkan untuk selalu mengawasi kinerja
pemerintah dalam pengambilan kebijakan, agar kebijakan yang diambil
tidak akan merugikan rakyat Indonesia dan agar mendatangkan
kemaslahatan bagi rakyat. Bagaimanapun rakyat merupakan salah satu
komponen negara yang dapat melakukan chek and balance atas
pemerintahan yang sedang berlangsung.
84
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Adisasmita, Rahardjo dan Sakti Adji Adisasmita. Logika Pemindahan Ibu Kota
Jakarta. Yogyakarta: Garaha Ilmu. 2011.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah. 2018.
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2013.
Ayuni, Khelda dan Abd. Rais Asman. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media. 2016.
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2011.
Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana. 2014. Hassan, Hassan Ibrahim. Tarikh al-Islam al-Siyasah wa al-Ijtima’I. Kairo:
Maktabah al Nahdhah. 1976.
Ibn al-Atsir. Al-Kamil fi al-Tarikh. Beirut: Dar al-Shadir. Jilid 5. 1965. Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta:
Prenademedia Group. 2016.
Mawardi, Al-Imam. Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan Dalam Sejarah
Islam. Jakarta: Gema Insani. 2000.
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2014.
Shiddiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2017.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: UI Press. 1990.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.
Syarif, Ibnu Mujar dan Khamami Zada. Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran
politik Islam. Jakarta: Erlangga. 2008.
85
JURNAL
Artikel Asmawi. Konseptualisasi Teori Maslahah. Jurnal Salam Filsafat dan
Budaya Hukum Vol 12, no. 2, Desember 2014.
Artikel Frederikus Fios. Keadilan Hukum Jeremy Bentham dan Relevansinya
Bagi Praktik Hukum Kontemporer. Humaniora. Vol. 3, No. 01, April
2012.
Artikel H. M Yahyaa. Pemindahan Ibu Kota Negara Maju dan Sejahtera. Jurnal
Studi Agama dan Masyarakat Vol. 14, No. 01, Juni 2018.
Artikel Munawir Haris. Situasi Politik Pemerintahan Dinasti Umayyah dan
Abbasiyah. Tasamuh: Jurnal Studi Islam. Vol. 10, No. 2, September 2018.
Artikel Linda Firdawaty. Negara Islam Pada Periode Klasik. ASAS, Vol. 7, No.1,
Januari 2015.
Artikel Wesley Liano Hutasoit. Analisis Pemindahan Ibu Kota Negara. Dedikasi,
Vol. 19, No. 2, Desember 2018
Artikel A. Najili Aminullah. Dinasti Bani Abbasiyah, Politik, Peradaban dan
Intelektual.
Artikel Muhammad Ali Rusdi. Maslahat Sebagai Metode Ijtihad Dan Tujuan
Utama Hukum Islam. Syariah dan Hukum Diktum, Vol. 15, No.2,
Desember 2017.
Artikel Mundzirin Yusuf. Khalifah Al-Mu’tashim: Kajian Awal Mundurnya
Daulah Abbasiyah.
Artikel Muskana Pasaribu. Maslahat Dan Perkembangannya Sebagai Dasar
Penetapan Hukum Islam. Justitia, Vol. 1, No.4, Desember 2014.
Artike M. Affan. Kesultanan Utsmani (1300-1517): Jalan Panjang Menuju
Kekhalifahan. Tamaddun Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2018.
Artike Urbanus Ura Weruin. Teori-Teori Etika dan Sumbangan Pemikiran Para
Filsuf Bagi Etika Bisnis. Jurnal Muara Ilmu Ekonomi dan Bisnis. Vol. 3,
No. 2, Oktober 2019.
Edward Schatz. When Capital Cities Move: The Political Geography Of Nation
And State Building. Working Paper. Kellog Insititute, Februar 2003.
Scott Campbell, The Enduring Importance of National Capital Cities in the Global Era. Working Paper: Urban and Regional Planning Program. College of
Architecture and Urban Planning University of Michigan. 2003.
86
Skripsi Ecky Agassi “Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibu
Kota Negara,” Skripsi Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen Institut Pertanian Bogor
Artikel Sutikno. Perpindahan Ibu Kota Negara Suatu Keharusan Atau Wacana.
Pusat Studi Bencana. Universitas Gadjah Mada. 2007.
Deden Rukmana, Pemindahan Ibu kota Negara. Artikel Asisten profesor dan koordinator program studi perencanaan dan studi perkotaan di Savannah
State University. AS.
Mini-Dissertation Denys Reva “Capital City Relocation and National Security:
The Cases Of Nigeria Aand Kazakhstan,” Mini-Dissertation Master Of Security Studies MSS). Department of Political Sciences University Of
Pretoria Faculty Of Humanities. 2016.
PERATURAN:
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1961 Tentang
Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1964 Tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya Tetap Sebagai Ibu Kota Negara
Republik Indonesia Dengan Nama Jakarta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1990 Tentang Sususnan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Negara Republik Indonesia
Jakarta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Negara Republik
Indonesia Jakarta
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai Naskah
Pembantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini)
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibu kota Jakarta Sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terutama pasal 4, pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta
Sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Terutama pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembagunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 Lampiran II Proyek Prioritas
Strategis.
87
WEB SITE
https://kellogg.nd.edu/sites/default/files/oldfiles/documents/303.pdf, diakses pada
15 Oktober 2019, Pukul 18.56 WIB.
http://e-journal.iain-palangkaraya.ac.id/ index.php/jsam/article /view/779, diakses
pada 13 Maret 2020, Pukul 2.19 WIB.
https://is.cuni.cz/webapps/zzp/download/130148196, diakses pada 15 Desember
2019, Pukul 2.19 WIB.
https://tataruang.atrbpn.go.id/Bulletin/upload/data_artikel/edisi5i.pdf diakses pada
22 Agustus 2020 Pukul 00.43 WIB.
https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/67919/1/H13eag.pdf,
diakses pada 15 Oktober 2019, Pukul 19.57 WIB.
http://repositori.kemdikbud.go.id/1128/, diakses pada 15 Desember 2019, Pukul
2.08 WIB
https://repository.up.ac.za/bitstream/handle/2263/60413/Reva_Capital_2016.pdf?Sequen ce=1&isAllowed=y, diakses pada 15 Desember 2019, Pukul 5.13
WIB
https://quran.kemenag.go.id/sura/4/58, diakses pada 15 Oktober 2019, Pukul
19.55 WIB.
https://www.ksi-indonesia.org/old/document/material/Modul-Pelatihan-Analis-
Kebijakan.pdf, diakses pada 15 Oktober 2019, Pukul 19.37 WIB.
https://setneg.go.id/baca/index/penajam_paser_utara_dan_kutai_kartanegara_ibu_
kota_baru, diakses pada 22 Agustus 2020 Pukul 00.13 WIB.
https://setkab.go.id/pemindahan-ibu-kota-26-agustus-2019-di istana-negara-
provinsi-dki-jakarta/, diakses pada 22 Agustus 2020 Pukul 00.24 WIB.
https://www.theindonesianinstitute.com/wpcontent/uploads/2019/09/MENYOAL-PEMINDAHAN-IBU-KOTA_VUNNY_PENELITI-SOSIAL-TII_TIF-
57.pdf, diakses pada 15 Desember 2019, Pukul 5.13 WIB
88
LAMPIRAN
Peta Adat Ibu Kota Baru