KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

21
MAKALAH KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL Disusun oleh: Nama : Yanny Dwi Hastuty.R.S NIM : 201114042 PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SURAKARTA SURAKARTA 2013

Transcript of KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

Page 1: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

MAKALAH

KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

Disusun oleh:

Nama : Yanny Dwi Hastuty.R.S

NIM : 201114042

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SURAKARTA

SURAKARTA

2013

Page 2: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Neraca pembayaran merupakan catatan sistematis mengenai transaksi

ekonomi antara penduduk suatu negara dan penduduk negara lainnya dalam

periode tertentu. Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) kebijaksanaan

neraca pembayaran diarahkan pada tercapainya sasaran pembangunan bidang

ekonomi, yaitu seperti yang digariskan dalam GBHN 1993, yakni terciptanya

perekonomian yang mandiri dan andal sebagai usaha bersama atas asas

kekeluargaan, berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan

UUD 1945 dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang merata, pertumbuhan

yang tinggi, stabilitas nasional yang mantap, bercirikan industri kuat dan maju,

pertanian tangguh, koperasi sehat dan kuat, serta perdagangan maju dengan

sistem distribusi mantap, didorong oleh kemitraan usaha yang kukuh antara badan

usaha koperasi, negara, dan swasta serta pendayagunaan sumber daya alam yang

optimal.

Kebijaksanaan bidang pinjaman luar negeri melengkapi kebutuhan

pembiayaan pembangunan dalam negeri, dan diarahkan untuk menjaga kestabilan

perkembangan neraca pembayaran secara keseluruhan. Kebijaksanaan kurs devisa

diarahkan untuk mendorong ekspor nonmigas dan mendukung kebijaksanaan

moneter dalam negeri.

Page 3: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

BAB II

PERMASALAHAN

2.1 Permasalahan Pembayaran Internasioanal

Transaksi-transaksi pembayaran antar daerah tidak dijumpai masalah-

masalah seperti yang dijumpai dalam pembayaran internasional, oleh kerena

semua daerah kekuasaaan sebuah negara menggunakan mata uang yang sama.

Pembayaran menggunakan cek atau giro hanya merupakan pemindah bukuan

bank saja dari saldo kredit pembayaran ke saldo kredit penerma pembayaran.

Pembayaran antar negara tidak demikian, misalnya seorang importir

Indonesia membeli sejumlah barang dari ekportir di Amerika. Transaksi jual beli

ini pelaksanaan pembanyaran lebih kompleks dibandingkan dengan pembayaran

transaksi jual beli antara dua orang penduduk yang tinggal pada suatu negara

yang sama. Hal ini di sebabkan karena mata uang yang berlaku di Amerika

berbeda dengan mata uang yang berlaku di Indonesia.

Pembayaran dapat terjadi dengan mata uang negara ketiga, misalnya

dengan membeli barang dari Jepang dapat membayarnya dengan dolar Amerika

sehingga sebelum mengadakan transaksi pembelian barang-barang dari Jepang

harus terlabih dahulu memperhitungkan kurs-kurs devisa yang memungkinkan

untuk membandingkan nilai barang tersebut dinyatakan dalam dolar Amerika,

dalam yen dan dalam rupiah. Masalah-masalah semacam inilah yang

menyebabkan pembayaran internasional berbeda dengan pembayaran dalam

negeri.

Page 4: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kebijakan Pembayaran Internasional

a) Kebijakan ini meliputi tindakan/kebijakan pemerintah rekening modal

(Modal di Luar Sektor Moneter): menyangkut lalu lintas modal masuk dan

keluar.

b) Tindakan/ kebijakan pemerintah:

Penghapusan pembatasan penanaman modal asing (PMA): di bidang

perkebunan kelapa sawit, perdagangan eceran dan grosir.

Pengesahan kerangka kerja sama investasi antar ASEAN

Mengundangkan UU No. 24/1999 tentang lalu lintas Devisa dan Sistem

Nilai Tukar

Peraturan BI, PBI No.1/9/PBI/1999: ketentuan mengenai kewajiban

pelaporan lalu lintas (kegiatan) devisa melalui Bank dan LKBB.

3.2 Modal Diluar Sektor Moneter

Modal diluar sektor moneter disebut Neraca Modal karena menyangkut

transaksi modal, yaitu lalu lintas modal yang terdiri dari : lalu lintas modal

pemerintah dan lalu lintas modal swasta.

Transaksi modal meliputi penanaman modal langsung, utang – piutang

jangka panjang maupun jangka pendek, baik yang dilakukan pemerintah maupun

oleh swasta.

Page 5: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

Lalu lintas modal pemerintah selama tahun 1997-1999 mengalami saldo

positif karena penerimaan pinjaman pemerintah meningkat dan pelunasan

pinjaman menurun akibat krisis ekonomi.

Lalu lintas modal swasta menghasilkan saldo negatif karena penanaman

modal langsung (investor) menurun drastis akibat capital flight, sedang, lainnya

(pelunasan/angsuran utang LN ) melonjak tinggi akibat jatuh tempo.

3.3 Penghapusan Pembatasan Penanaman Modal Asing (PMA)

3.3.1 Ketentuan Umum

Pertama, Ketentuan Umum tentang penanaman modal asing adalah

kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik

Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan

modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal

dalam negeri. Ketentuan tersebut di atas berarti tidak penting prosentase

pemilikan saham asing dalam perusahaan joint venture (patungan). Perusahaan

asing yang menjadi pemegang saham minoritas, perusahaan joint venture

tersebut tetap diklasifikasikan PMA, bahkan bila asing hanya mempunyai 5%.

Kedua, perusahaan joint venture yang saham asingnya sampai 95%,

tetap perusahaan Indonesia. Sebabnya adalah perusahaan joint venture tersebut

berbentuk Perseroan Terbatas, didirikan menurut hukum Indonesia, tunduk pada

hukum Indonesia, dalam hal ini UU Perseroan Terbatas dan undang-undang

lainnya.

Page 6: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

3.3.2 Pembatasan Penanaman Modal Asing

Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 memuat daftar bidang usaha

yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dibidang

penanaman modal, mencakup berbagai bidang usaha. Misalnya, disektor

komunikasi dan informatika penyelenggaraan jaringan telekomunikasi yang

tetap, kepemilikan modal asing maksimal 49%. Begitu juga penyelenggaraan

jaringan telekomunikasi berbasis radio, dengan teknologi circuit switched atau

packet switched, kepemilikan modal asing maksimal 49%.

1. Penanaman modal tidak langsung atau portofolio merupakan penanaman

modal yang dilakukan dengan cara membeli saham Perseroan Terbatas

melalui Bursa Efek tidak termasuk dalam ruang lingkup UU No. 25 Tahun

2007 tentang Penanaman Modal. Pemikiran tersebut didasari latar belakang

kebijakan penanaman modal di Indonesia, khususnya mengenai penanaman

modal langsung dan tidak langsung yang pernah diberlakukan sebelumnya.

Misalnya, Keputusan Presiden R.I. No. 17 Tahun 1986 tentang Persyaratan

Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing

Untuk Diberikan Perlakuan Yang Sama Seperti Perusahaan Penanaman

Modal Dalam Negeri, Pasal 2 menyebutkan:

“Perusahaan Modal Asing:

Minimal 75% (tujuh puluh lima persen) yang sahamnya dimiliki oleh

Negara dan/atau swasta nasional.

Page 7: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

Minimal 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dijual melalui pasar

modal.

Minimal 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara

dan/atau swasta nasional dan yang dijual melalui pasar modal, dengan

ketentuan bahwa saham yang ditawarkan untuk dijual melalui pasar

modal tersebut minimal 20% (dua puluh persen), diberikan perlakuan

sama seperti perusahaan yang dibentuk dalam rangka Undang-Undang

No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.”

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa perusahaan modal asing yang

menjual sahamnya 51% melalui pasar modal atau dalam hal 51% sahamnya

dimiliki Negara dan/atau swasta nasional dan 20% dijual melalui pasar modal,

maka sahamnya yang dijual di pasar modal dianggap sebagai saham milik

investor dalam negeri sehingga diberikan perlakuan sama dengan penanaman

modal dalam negeri atau dengan kata lain berada di luar rezim ketentuan

perundang-undangan tentang penanaman modal asing. Konsekuensi dari

kebijakan-kebijakan tersebut maka perusahaan modal asing tersebut dapat

masuk pula pada bidang-bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal

dalam negeri dan tertutup atau terbatas bagi penanaman modal asing.

Hal ini berbeda bila perusahaan asing tersebut membeli saham tidak

melalui pasar modal. Keputusan Menteri Negeri Negara Penggerak Dana

investasi/Ketua BKPM No. 15/SK/1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Page 8: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka

Penanaman Modal Asing tanggal 29 Juli 1994, Pasal 17 menyatakan:

Pelaksanaan pembelian saham perusahaan penanaman modal asing dan/atau

warga Negara asing dimaksud, dapat dilakukan melalui pemilikan langsung

dan/atau pasar modal dalam negeri.

Pembelian saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang

dilakukan melalui pemilikan langsung, hanya dapat dilaksanakan apabila

bidang usaha yang akan dibeli sahamnya tersebut pada saat pembelian

saham terbuka bagi penanaman modal asing."

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa kebijakan penanaman modal Indonesia pada masa lalu hingga saat ini,

sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

secara konsisten telah menerapkan perbedaan antara penanaman modal

langsung dan penanaman modal tidak langsung atau penanaman modal melalui

pasar modal (portofolio), dan secara konsisten pula telah memberikan

pengecualian bagi penanam modal asing yang melakukan penanaman modal

tidak langsung untuk dapat memasuki bidang usaha yang terbuka bagi

penanaman modal dalam negeri serta tidak tunduk pada ketentuan mengenai

pembatasan bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal asing.

2. Penanaman modal tidak langsung atau portofolio meliputi seluruh

pembelian saham yang dilakukan di Bursa Efek tanpa ada perbedaan antara

saham perusahaan terbuka yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali

Page 9: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

dan masyarakat. Sebutan pemegang saham pengendali diatur berdasarkan

peraturan pasar modal. Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal tidak menyentuh masalah perbedaan pemegang saham

masyarakat dan pemegang saham pengendali sebagaimana diatur dalam

peraturan pasar modal.

3. PT. PMA yang seluruh sahamnya telah dicatatkan di Bursa Efek (company

listing) tidak terikat pada pembatasan kepemilikan saham oleh pihak asing

sebagaimana diatur dalam peraturan penanaman modal.

Konsisten dengan pengertian penanaman modal tidak langsung atau

penanaman modal melalui pasar modal (portofolio) sebagaimana disebutkan

dalam butir 1 di atas, maka PT. PMA yang seluruh sahamnya telah dicatatkan di

Bursa Efek (company listing), berdasarkan peraturan pada waktu yang lalu

sebagaimana tersebut dalam butir 1, tidak tunduk pada ketentuan mengenai

pembatasan bidang usaha yang tertutup dan/atau terbuka dengan pembatasan

bagi penanaman modal asing sebagaimana diatur dalam peraturan penanaman

modal dan dapat memasuki bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal

dalam negeri. Contoh, bahwa apabila suatu bidang usaha terbuka bagi

kepemilikan asing maksimum sebesar 51%, maka suatu PT. PMA yang telah

melakukan company listing tidak tunduk pada pembatasan kepemilikan asing

pada bidang tersebut dan lebih dari 51% sahamnya dapat dimiliki oleh

pemegang saham asing sepanjang perolehan sahamnya dilakukan melaui Bursa

Efek.

Page 10: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

Pertanyaan utama adalah apakah Daftar Negatif Investasi sebagai

peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman

Modal berlaku juga terhadap investasi melalui Pasar Modal? Jika review

menyimak Pasal 2 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman

Modal dengan tegas menyatakan ketentuan dalam undang-undang ini berlaku

bagi penanaman modal disemua sektor di wilayah Negara Republik Indonesia.

Penjelasan Pasal 2 menyatakan, bahwa yang dimaksud “penanaman modal di

semua sektor di wilayah Negara Republik Indonesia” adalah penanaman modal

langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio.

Pembahasan Pasal 2 ini di Dewan Perwakilan Rakyat adalah sederhana saja,

bahwa pengertian penanaman modal tidak langsung atau portofolio adalah

investasi melalui Pasar Modal. Tidak ada pengertian lain. Begitu juga tentang

penanaman modal langsung (direct investment) adalah penanaman modal yang

tunduk pada Undang-Undang Penanaman Modal yang kemudian menjadi

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007.

Pada waktu yang lalu “Indonesianisasi Saham” termasuk bila

perusahaan asing “go public” di Pasar Modal Indonesia dan pembelinya juga

investor dari negara lain. Pernah pula keluar Peraturan Menteri Keuangan No.

1055/KMK.013/1989 yang membatasi kepemilikan asing di Pasar Modal hanya

sampai 49%. Peraturan tersebut tidak bertahan lama.

Page 11: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

3.4 Pengesahan Kerangka Kerja Sama Investasi Antar ASEAN

Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967,

negara-negara anggota telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu

agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerjasama ekonomi

difokuskan pada program-program pemberian preferensi perdagangan

(preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling

melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah negara-negara anggota

maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects

Plan (1976), Preferential Trading Arrangement (1977), ASEAN Industrial

Complementation scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme

(1983), dan Enhanced Preferential Trading arrangement (1987). Pada dekade 80-

an dan 90-an, ketika negara-negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan

upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara

anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan

saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi

kawasan. Pada KTT ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 telah ditandatangani

Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation sekaligus

menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1

Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai

mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan impikasi dalam bentuk

pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, dan

perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan. Dalam

Page 12: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

perkembangannya, AFTA tidak hanya difokuskan pada liberalisasi perdagangan

barang, tetapi juga perdagangan jasa dan investasi.

KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 menyepakati pembentukan

komunitas ASEAN yang salah satu pilarnya adalah Komunitas Ekonomi ASEAN

(AEC). AEC bertujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang

ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan

perpindahan barang modal secara lebih bebas.

KTT ke-10 ASEAN di Vientiene tahun 2004 antara lain menyepakati

Vientiane Action Program (VAP) yang merupakan panduan untuk mendukung

implementasi pencapaian AEC di tahun 2020.

ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) di Kuala Lumpur bulan

Agustus 2006 menyetujui untuk membuat suatu cetak biru (blueprint) untuk

menindaklanjuti pembentukan AEC dengan mengindentifikasi sifat-sifat dan

elemen-elemen AEC pada tahun 2015 yang konsisten dengan Bali Concord II dan

dengan target-target dan timelines yang jelas serta pre-agreed flexibility untuk

mengakomodir kepentingan negara-negara anggota ASEAN.

KTT ke-12 ASEAN di Cebu bulan Januari 2007 telah menyepakati

”Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community

by 2015”. Konteks tersebut, para Menteri Ekonomi ASEAN telah

menginstruksikan Sekretariat ASEAN untuk menyusun ”Cetak Biru ASEAN

Economic Community (AEC)”. Cetak Biru AEC tersebut berisi rencana kerja

strategis dalam jangka pendek, menengah dan panjang hingga tahun 2015 menuju

terbentuknya integrasi ekonomi ASEAN.

Page 13: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

Pelaksanaan rencana kerja strategis tersebut dijabarkan lebih lanjut

melalui priority actions yang pencapaiannya dievaluasi dan dimonitor dengan

menggunakan score card. Dukungan berupa kemauan politik, koordinasi dan

mobilisasi sumber daya, pengaturan pelaksanaan, peningkatan kemampuan

(capacity building) dan penguatan institusi, serta peningkatan konsultasi antara

pemerintah dan sektor swasta. Pelaksanaan rencana kerja strategis tersebut juga

akan didukung dengan program pengembangan sumber daya manusia dan

kegiatan penelitian serta pengembangan di masing-masing negara.

Pada KTT ASEAN Ke-13 di Singapura, bulan Nopember 2007, telah

disepakati Blueprint for the ASEAN Economic Community (AEC Blueprint) yang

akan digunakan sebagai peta kebijakan (roadmap) guna mentransformasikan

ASEAN menjadi suatu pasar tunggal dan basis produksi, kawasan yang

kompetitif dan terintegrasi dengan ekonomi global. AEC Blueprint juga akan

mendukung ASEAN menjadi kawasan yang berdaya saing tinggi dengan tingkat

pembangunan ekonomi yang merata serta kemiskinan dan kesenjangan sosial-

ekonomi yang makin berkurang. Sebagai upaya untuk memfasilitasi perdagangan

di tingkat nasional dan ASEAN sebagaimana tertuang dalam AEC Blueprint

2015, Indonesia telah melakukan peluncuran National Single Window (NSW)

dalam kerangka ASEAN Single Window (ASW) pada tanggal 17 Desember 2007.

Menurut rencana ASW akan diimplementasikan pada tahun 2009.

Page 14: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

3.5 Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1) Lalu Lintas Devisa adalah perpindahan aset dan kewajiban financial antara

penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiba

finansial luar negeri antar penduduk;

2) Devisa adalah aset dan kewajiban finansial yang digunakan dalam transaksi

internasional;

3) Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili

atau berencana berdomisili di Indonesia sekurangkurangnya 1 (satu) tahun,

termasuk perwakilan dan staf diplomatic Republik Indonesia di luar negeri;

4) Sistem Nilai Tukar adalah sistem yang digunakan untuk pembentukan harga

mata uang rupiah terhadap mata uang asing.

Pasal 2

1) Setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan Devisa.

2) Penggunaan Devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk keperluan

transaksi di dalam negeri, wajib memperhatikan ketentuan mengenai alat

pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang

Bank Indonesia.

Pasal 3

1) Bank Indonesia berwenang meminta keterangan dan data mengenai kegiatan

Lalu Lintas Devisa yang dilakukan oleh Penduduk.

Page 15: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

2) Setiap Penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan

Lalu Lintas Devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak

lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia

Pasal 4

1) Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian, Bank Indonesia menetapkan

ketentuan atas berbagai jenis transaksi Devisa yang dilakukan oleh bank.

2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dengan Peraturan Bank Indonesia.

Pasal 5

1) Bank Indonesia mengajukan Sistem Nilai Tukar untuk ditetapkan oleh

Pemerintah.

2) Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan Sistem

Nilai Tukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan

dengan Peraturan Bank Indonesia.

3.6 Kewajiban Pelaporan Lalu Lintas Devisa Melalui Bank Dan LKBB

Pasal 1

Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan :

1) Lalu Lintas Devisa adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara

penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan Aset dan Kewajiban

Finansial Luar Negeri antar penduduk;

Page 16: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

2) Aset dan Kewajiban Finansial Luar Negeri adalah aset dan kewajiban

finansial terhadap bukan penduduk, antara lain dalam bentuk simpanan,

surat-surat berharga dan pinjaman baik dalam valuta asing maupun rupiah;

3) Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili

atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun,

termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri;

4) Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;

5) Lembaga Keuangan Non Bank meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas,

modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang

menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.

Pasal 2

Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank wajib menyampaikan keterangan dan

data kepada Bank Indonesia mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang

dilakukannya secara lengkap, benar dan tepat waktu.

Pasal 3

Keterangan dan data yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia.

Pasal 4

1) Keterangan dan data yang wajib dilaporkan oleh Bank sebagaimana dimaksud

pada Pasal 2 meliputi:

Page 17: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

a. Perpindahan devisa melalui Bank baik untuk kepentingan Bank maupun

nasabah, yaitu transaksi:

Penerimaan dari dan pembayaran ke luar negeri baik dalam rupiah

maupun valuta asing;

Penerimaan dari dan pembayaran kepada bukan penduduk di dalam

negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing;

Penerimaan dan pembayaran di dalam negeri antar penduduk dalam

valuta asing.

b. Posisi aset dan kewajiban finansial luar negeri Bank.

2) Bank wajib meminta keterangan dan data kepada nasabah yang melakukan

kegiatan lalu lintas devisa melalui Bank dimaksud.

3) Nasabah yang melakukan kegiatan lalu lintas devisa melalui Bank wajib

memberikan keterangan dan data kepada Bank yang bersangkutan.

Pasal 5

Keterangan dan data yang wajib dilaporkan oleh Lembaga Keuangan Non Bank

sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 meliputi:

a. Perpindahan devisa dalam rangka transaksi:

1. Penempatan, pembayaran serta penerimaan antara Lembaga Keuangan

2. Non Bank dengan bukan penduduk baik dalam Rupiah maupun valuta

asing;

b. Posisi aset dan kewajiban finansial luar negeri Lembaga Keuangan Non Bank.

Page 18: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

Pasal 6

Dalam hal keterangan dan data yang disampaikan diragukan kebenarannya, Bank

Indonesia dapat meneliti kebenaran keterangan dan data tersebut, termasuk

meminta bukti pembukuan, catatan dan dokumen yang berkaitan dengan

kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2.

Pasal 7

Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank, atas permintaan Bank Indonesia, wajib

memberikan kesempatan bagi pemeriksaan pembukuan, catatan dan dokumen

yang ada padanya.

Pasal 8

Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank wajib memberikan bantuan yang

diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala pembukuan, catatan,

dokumen dan penjelasan yang disampaikan oleh yang bersangkutan.

Pasal 9

1) Keterlambatan penyampaian laporan dikenakan sanksi administratif berupa

denda sebagai berikut:

a. Bagi Bank sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah);

b. Bagi Lembaga Keuangan Non Bank sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta

Rupiah); untuk setiap hari keterlambatan.

2) Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank yang tidak menyampaikan laporan

dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagai berikut :

a. Bagi bank sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah);

Page 19: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

b. Bagi Lembaga Keuangan Non Bank sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh

juta Rupiah); ditambah dengan denda keterlambatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

Pasal 10

Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank yang menyampaikan laporan secara

tidak lengkap dan atau tidak benar dikenakan sanksi administratif berupa denda

sebagai berikut:

a. Bagi Bank paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah);

b. Bagi Lembaga Keuangan Non Bank paling banyak sebesar Rp20.000.000,00

(dua puluh juta Rupiah).

Pasal 11

Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4

selama 6 (enam) periode berturut-turut atau paling lama 6 (enam) bulan dapat

dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha bank.

Pasal 12

Bagi Lembaga Keuangan Non Bank yang tidak menyampaikan laporan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 selama 6 (enam) periode berturut-turut atau

paling lama 6 (enam) bulan, Bank Indonesia merekomendasikan sanksi

administratif berupa pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada instansi yang

berwenang.

Pasal 13

Pengaturan lebih lanjut dari ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan

ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.

Page 20: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kebijakan Pembayaran Internasional Meliputi:

a) Kebijakan ini meliputi tindakan/kebijakan pemerintah rekening modal

(Modal di Luar Sektor Moneter): menyangkut lalu lintas modal masuk dan

keluar.

b) Tindakan/ kebijakan pemerintah:

Penghapusan pembatasan penanaman modal asing (PMA): di bidang

perkebunan kelapa sawit, perdagangan eceran dan grosir.

Pengesahan kerangka kerja sama investasi antar ASEAN.

Mengundangkan UU No. 24/1999 tentang lalu lintas Devisa dan Sistem

Nilai Tukar.

Peraturan BI, PBI No.1/9/PBI/1999: ketentuan mengenai kewajiban

pelaporan lalu lintas (kegiatan) devisa melalui Bank dan LKBB.

4.2 Saran

a) Kebijakan pemerintah harus dijalankan bagi semua pihak agar neraca

pembayaran tetap surplus.

b) Bagi yang melanggar dikenakan sanksi hukum yang setimpal agar jera sesuai

dengan undang-undang yang berlaku.

Page 21: KEBIJAKAN PEMBAYARAN INTERNASIONAL

DAFTAR PUSTAKA

Pemerintah Antisipasi Pelarian Modal, Jurnal Nasional, 26 Agustus 2009.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas

Devisa Dan Sistem Nilai Tukar.

UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Jurnal Nasional, 1 Agustus 2009.

UU Nomor 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar.