KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

22
- Yusril Ihza Mahendra - http://yusril.ihzamahendra.com - KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM Posted By Yusril Ihza Mahendra On January 31, 2008 @ 11:11 am In Politik | 81 Comments Bismillah ar-Rahman ar-Rahim Tidaklah mudah bagi saya untuk sepenuhnya bersikap netral dan obyektif membahas kebijakan Orde Baru terhadap Masyumi dan Islam, sebagaimana yang diminta oleh Republika, apalagi waktu yang diberikan untuk menulisnya sangatlah terbatas, kurang dari sehari. Karena itu, saya menuliskan artikel ini hanya berdasarkan ingatan saya belaka.Saya katakan sukar untuk bersikap netral dan obyektif karena sedikit-banyaknya saya terlibat dalam episode sejarah itu, baik langsung maupun tidak langsung. Ketika saya berumur hampir lima tahun, saya menyaksikan ayah saya dan sejumlah tokoh Masyumi lokal, menurunkan papan nama partai itu, karena mereka dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno, pada akhir tahun 1960. Soekarno menerbitkan

Transcript of KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

Page 1: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

- Yusril Ihza Mahendra - http://yusril.ihzamahendra.com -

KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

Posted By Yusril Ihza Mahendra On January 31, 2008 @ 11:11 am In

Politik | 81 Comments

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim

Tidaklah mudah bagi saya untuk sepenuhnya bersikap netral dan

obyektif membahas kebijakan Orde Baru terhadap Masyumi dan Islam,

sebagaimana yang diminta oleh Republika, apalagi waktu yang

diberikan untuk menulisnya sangatlah

terbatas, kurang dari sehari. Karena

itu, saya menuliskan artikel ini hanya

berdasarkan ingatan saya belaka.Saya

katakan sukar untuk bersikap netral

dan obyektif karena sedikit-banyaknya

saya terlibat dalam episode sejarah itu,

baik langsung maupun tidak langsung.

Ketika saya berumur hampir lima

tahun, saya menyaksikan ayah saya

dan sejumlah tokoh Masyumi lokal,

menurunkan papan nama partai itu,

karena mereka dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno,

pada akhir tahun 1960. Soekarno menerbitkan Keppres Nomor

200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan

Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan

pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika

dalam tempoh seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri,

maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah

Page 2: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya

Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik

membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.

Apa yang ada di kepala orang Masyumi waktu itu ialah Soekarno mulai

menjadi diktator dan negara makin bergerak ke arah kiri. Dalam

perhitungan mereka, tanpa Masyumi, maka kekuatan PKI akan

semakin besar dan sukar dibendung. PNI sebagai representasi

kelompok nasionalis, telah dintrik dan diintervensi oleh kekuatan kiri

melalui kelompok Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Kendatipun

memiliki basis massa yang besar, elit politisi NU dibawah pimpinan

Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri, takkan kuat menghadapi Soekarno

dan PKI sendirian. Apalagi, makin nampak kecenderungan akomodatif

NU untuk menerima posisi representasi kelompok agama dalam poros

Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), suatu hal yang ditentang

keras oleh Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi memang dihadapkan pada

dilema dengan Keppres 200/1960 itu. Menolak melaksanakan

pembubaran diri, berarti secara hukum, partai itu akan dinyatakan

sebagai partai terlarang. Karena itu, mereka memilih alternatif yang

juga tidak menyenangkan yakni membubarkan diri, dengan harapan

suatu ketika partai itu akan hidup kembali, jika situasi politik telah

berubah. Prawoto sendiri mengatakan, Keppres 200/1960 itu ibarat

vonis mati dengan hukuman gantung, sementara eksekusinya

dilakukan oleh si terhukum itu sendiri. Memang terasa menyakitkan.

Meskipun Masyumi telah membubarkan diri, dan tokoh-tokohnya yang

terlibat dalam PRRI telah memenuhi panggilan amnesti umum dan

mereka menyerah, namun perlakuan terhadap mereka tetap saja jauh

dari hukum dan keadilan. Tokoh-tokoh Masyumi yang menyerah itu,

Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Boerhanoeddin Harahap

Page 3: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

ditangkapi. Bahkan mereka yang tidak terlibat PRRI seperti Prawoto,

Mohamad Roem, Yunan Nasution, Isa Anshary, Kasman Singodimedjo,

Buya Hamka dan yang lain, juga ditangkapi tanpa alasan yang jelas.

Bertahun-tahun mereka mendekam dalam tahanan di Jalan

Keagungan, Jakarta, tanpa proses hukum. Ini terang suatu bentuk

pelanggaran HAM yang dilakukan Sukarno. Tokoh utama PSI, Sutan

Sjahrir bahkan mendekam dalam penjara di sebuah pulau di lautan

Hindia, di sebelah selatan daerah Banten. Dalam kondisi tahanan yang

buruk, Sjahrir sakit, sampai akhirnya wafat walau mendapat perawatan

di Swiss. Tokoh PSI yang lain, Soebadio Sastrosatomo dan Hamid

Algadri juga ditahan. Perlakuan terhadap anak-anak dan keluarga

orang Masyumi di masa itu hampir sama saja dengan perlakuan

keluarga PKI di masa Orde Baru. Ketika itu PKI sedang jaya. Ketika

mereka sedang jaya, mereka juga membantai orang-orang Masyumi di

Madiun tahun 1948, dan menculik dan menghilangkan paksa orang-

orang Masyumi di Jawa Barat dan tempat-tempat lain. Hendaknya

sejarah jangan melupakan semua peristiwa ini. Di era Reformasi

sekarang, banyak aktivis HAM hanya berbicara tentang orang-orang

PKI pasca G 30 S yang menjadi korban pembantaian Orde Baru, tetapi

mereka melupakan orang-orang Masyumi yang menjadi korban

pembantaian dan penghilangan paksa PKI, ketika mereka masih jaya-

jayanya.

Sebab itulah, ketika Orde Lama runtuh pasca Gerakan 30 September

1965, ada secercah harapan di kalangan keluarga besar Masyumi agar

mereka hidup dan berkiprah kembali. Presiden Soekarno yang

dianggap berbuat sewenang-wenang kepada Masyumi dengan

dukungan PKI, dicabut kekuasaannya oleh MPRS pada tahun 1967.

Sama seperti Soekarno yang membubarkan Masyumi, Soeharto juga

Page 4: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

membubarkan PKI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPRS.

MPRS bahkan mengamanatkan kepada Pejabat Presiden Soeharto

untuk mengambil langkah hukum yang tegas kepada mantan Presiden

Soekarno. Namun amanat MPRS itu tak pernah dilaksanakan Soeharto

sampai akhir hayat Bung Karno dengan alasan “mikul dhuwur mendem

jero”. Orde Baru di bawah kepemimpinan Jendral Soeharto mendapat

dukungan luas dari umat Islam, dan kedua sayap politik Islam, baik

kubu eks Masyumi maupun kubu NU. Dukungan mereka berikan

karena sikap tegas Soeharto kepada Komunisme dan langkah-langkah

nyatanya untuk memperbaiki ekonomi yang ketika itu sangat morat-

marit. Di akhir kekuasaan Soekarno, rakyat hidup mulai kelaparan dan

compang-camping akibat inflasi yang tak terkendali. Tiap hari rakyat

hanya disuguhi pidato-pidato dan slogan-slogan berapi-api untuk

mengobarkan semangat “Revolusi yang belum selesai” dan kegiatan

menentang Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme), tanpa upaya

sungguh-sungguh untuk memperbaiki nasib rakyat yang sudah lama

menderita.

Kebanyakan orang-orang Masyumi itu berpikir strukturalis dan bahkan

cenderung formalis. Tak lama sesudah tokoh-tokoh Masyumi

dikeluarkan dari tahanan, mereka

mulai bergerak untuk

merehabilitasi partai itu. Partai

adalah alat untuk mencapai

tujuan. Karena itu, keberadaan

Masyumi adalah keharusan.

Dukungan untuk merehabilitasi

Masyumi juga datang dari

Persahi. Para ahli hukum mengeluarkan statemen yang ditandatangani

Page 5: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

Dr. Wirjono Prodjokiduro, agar Masyumi direhabilitasi, karena partai itu

adalah korban kesewenang-wenangan Orde Lama. Padahal Wirjono

pula, yang ketika menjadi Ketua Mahkamah Agung, memberikan fatwa

kepada Soekarno tentang keabsahan alasan hukum untuk

membubarkan Masyumi berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres)

Nomor 7 Tahun 1959 tentang Penyederhanaan dan Pembubaran Partai

Politik. Penpres itu sendiri sangat kontroversial, karena tidak ada dasar

hukum keberadaannya. Prawoto Mangkusasmito mengatakan bahwa

Penpres itu adalah langkah sepihak Presiden Soekarno untuk

menyeleksi mana partai yang mendukung Revolusi pro Nasakom dan

mana yang menentangnya.

Namun keinginan tokoh-tokoh Masyumi untuk merehabilitasi partainya

segera menghadapi tembok penghalang yang kukuh. Soeharto dan

para jendral pemegang kendali Orde Baru, ternyata cenderung

bersikap anti ideologi. Mereka bukan saja anti Komunis, tetapi juga anti

Islam yang ditransformasikan sebagai ideologi dan kekuatan politik.

Slogan terkenal Orde Baru sejak kelahirannya ialah “melaksanakan

Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”. Mereka

mempunyai tafsir sendiri terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang

kemudian dijadikan doktrin dan pijakan ideologis Orde Baru. Dalam

komunikasi politik yang dibangunnya, Orde Baru mengatakan bahwa

mereka tidak berorientasi ideologi. Mereka ingin membangun. Mereka

cenderung “anti politik” dan mengedepankan langkah pragmatis untuk

menyelesaikan persoalan sosial ekonomi yang amat berat. Kekuatan

politik baru muncul dibalik Orde Baru, yakni militer dan teknokrat

pragmatis, sebagiannya berorientasi ideologis kepada PSI dan

kalangan politisi dan teknokrat non Muslim. Sebagai mesin politik,

mereka mereorganisasi Sekber Golkar menjadi Golongan Karya

Page 6: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

(Golkar), yang mereka katakan bukan partai politik seperti halnya

partai-partai yang lain.

Meskipun menolak rehabilitasi Masyumi, namun Orde Baru dibawah

kepemimpinan Jendral Soeharto sedia berkompromi untuk mewadahi

kelompok eks Masyumi, dengan memberi peluang kepada mereka

mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).Namun penguasa Orde

Baru menolak eks tokoh-tokoh Masyumi memimpin partai itu.

Jangankan Natsir dan Prawoto, Mohamad Roem yang dikenal sangat

moderat, diplomatis dan kompromis juga ditolak. Djarnawi

Hadikusuma, tokoh muda Muhammadiyah yang dikukuhkan menjadi

Ketua Parmusi juga terganjal, sampai akhirnya dengan dukungan

penguasa, partai itu dikomandani oleh Jailani Naro yang tak begitu

jelas akar keterlibatannya dalam gerakan politik Islam di masa lalu.

Itulah awal keterlibatan kekuasaan dalam mengintervensi suatu

kekuatan politik. Sejak itu, hampir tidak ada partai yang sepenuhnya

independen dan berdaulat. Setiap calon pimpinan sebuah partai,

memerlukan “restu” atau persetujuan penguasa. Intervensi

kekuasaan, baik terang-terangan maupun secara terselubung melalui

operasi intelejens, selalu membayangi setiap partai dan gerakan politik

manapun juga. Bahkan lebih jauh dari itu, setiap organisasi – termasuk

organisasi sosial, kepemudaan dan profesi — gerakan kampus bahkan

sampai ke mesjid-mesjid tidak sunyi dari pantauan intelejens. Orde

Baru melakukan rekayasa sosial dan politik yang efektif melaluiDwi

Fungsi ABRI. TNI dan POLRI bukan saja kekuatan pertahanan dan

keamanan, tetapi juga kekuatan sosial dan politik. TNI dan POLRI

mendapat jatah kursi di DPR, MPR dan DPRD. TNI melalui Kodam,

Kodim dan Koramil, aktif memantau semua gerakan politik, bahkan

Page 7: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

melakukan intervensi terhadap semua kegiatan itu, demi menjaga

“stabilitas nasional” untuk kelangsungan pembangunan.

Meskipun telah menghirup udara bebas, tokoh-tokoh inti Masyumi

secara perlahan mulai tersingkir dari panggung politik, sejalan dengan

menguatnya Orde Baru. Mohammad Natsir dan rekan-rekannya

mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan mulai

memusatkan perhatian mereka ke bidang dakwah, sambil tetap

bersikap kritis kepada Pemerintah Orde Baru. Dulu kita berpolitik,

sekarang kita berdakwah. Nanti hasilnya akan sama saja, kata Natsir

kepada saya suatu ketika.Natsir mungkin benar. Dakwah Islam akan

makin meluas dan tak terbendung, justru ketika kiprah politik mereka

menghadapi hambatan. Natsir dan kawan-kawannya mulai menyadari

bahwa mereka mulai tua. Mereka mulai berpikir untuk membangun

kesadaran keagamaan kepada masyarakat menuju masa depan.

Mereka perlu menyiapkan generasi penerus bangsa yang dilandasi

semangat dan komitmen Keislaman. Untuk itu dakwah dalam arti

seluas-luasnya, terutama di kampus-kampus, harus dilaksanakan

dengan sungguh-sungguh.

Orde Baru merancang format politik dan pembangunan Indonesia ke

depan secara sistematik dan terencana. CSIS (Center for Strategic and

International Studies) menjadi salah satu lembaga kajian yang tersohor

dalam merumuskan dan memback-up konsep-konsep pembangunan

Orde Baru dengan berbagai rekayasanya. Buku Ali Moertopo yang

berjudul “Akselerasi Modernisasi 25 Tahun” yang diterbitkan CSIS

adalah salah satu “buku sakti” yang memuat perencanaan itu. Dari

buku itu saja suda tergambar bahwa Presiden Soeharto telah

dirancang untuk menjadi Presiden minimal 5 periode, atau lima kali

Pelita (Pembangunan Lima Tahun) sampai saatnya Indonesia tinggal

Page 8: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

landas dalam pembangunan ekonomi. Dalam rekayasa politik, partai-

partai dikelompokkan berdasarkan program, bukan lagi berdasarkan

ideologi. Akhirnya partai-partai Islam berfusi dengan tekanan

penguasa ke dalam Partai Persatuan Pembangunan, dan partai-partai

nasionalis, Kristen dan Katolik ke dalam Partai Demokrasi Indonesia.

Sejak itu selalu dikatakan bahwa di negara kita ini ada dua partai

politik dan satu Golongan Karya. Golongan Karya (Golkar) meskipun

memenuhi segala syarat dan rukun – kalau menggunakan istilah fikih –

untuk disebut sebagai partai politik, menolak menyebut dirinya

sebagai partai.

Pancasila menjadi satu-satunya ideologi bagi semua kekuatan politik

dan UUD 1945 menjadi landasan operasionalnya dengan tafsiran khas

Orde Baru. Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila,

kata Ali Moertopo, bukanlah tuhan sebagaimana dipahami agama,

melainkan tuhan dalam makna politik. Proses sekularisasi Pancasila

mulai dicanangkan. Konsepsi ideologis keagamaan mulai dipinggirkan.

Namun pada saat bersamaan, secara bertahap konsepsi mistis-

Kejawaan mulai menguat, dan berujung dengan munculnya Eka

Prasetya Pancakarsa sebagai pedoman pelaksanaan Pancasila melalui

Ketetapan MPR tahun 1978, meskipun ditentang keras oleh PPP.

Sekularisme dan Javanisme seakan menemukan titik temu dan saling

mendukung. Kebatinan Jawa mendapat baju baru yang dinamai Aliran

Kepercayaan, sehingga terkesan mendapat legitimasi konstitusional di

dalam Pasal 29 UUD 1945. Status Aliran Kepercayaan hampir-hampir

mendapat perlakuan setara dengan agama. Soeharto, Ali Moertopo

dan Sudjono Humardani berada di balik semua ini. Zahid Hussein,

salah seorang pejabat di Sekretariat Negara, menjadi operator

penyebar-luasannya.

Page 9: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

Orang-orang eks Masyumi dan para pengikutnya sangat khawatir

dengan sekularisasi Pancasila dan menguatnya Aliran Kepercayaan ini.

Di mata mereka, dibalik semua ini ada grand-design untuk

mengelaminir Islam dengan berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan

luar, dan kepentingan agama tertentu yang memanfaatkan Soeharto

dan Orde Baru. Kelompok ini bukan saja memegang posisi-posisi

strategis militer, tetapi juga menguasai pos-pos penting di bidang

perekonomian dalam berbagai kabinet Orde Baru. Di kalangan eks

Masyumi ada anggapan bahwa militer telah dijauhkan dari Islam.

Maraden Panggabean, Soedomo dan Benny Moerdani yang semuanya

non Muslim, memainkan peranan penting dan menentukan. Di masa

itu ada kesan, bahwa perwira militer yang taat menjalankan agama

Islam, sulit untuk mendapatkan promosi. Susilo Bambang Yudhoyono

ketika masih perwira menengah juga mengalami nasib yang sama. Dia

dianggap sebagai perwira yang taat menjalankan agama Islam,

sehingga beberapa kali promosinya dihambat Benny Moredani.

Demikian pula Radius Prawiro, Sumarlin, Adrianus Mooy, dan Sudrajat

Djiwandono  yang semuanya non-Muslim, cukup lama menduduki

posisi kunci pos-pos ekonomi kabinet  Orde Baru. Arsitek utama

ekonomi Orde Baru, Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana, meskipun

Muslim, dikenal sangat jauh dari Islam.

Orang-orang eks Masyumi berpikir bahwa jika Aliran Kepercayaan

diformalkan, dan seluruh orang Jawa Abangan dikelompokkan sebagai

penganut Aliran Kepercayaan dan bukan Muslim, maka Islam di

Indonesia bukan saja akan menjadi minoritas dalam politik dan

ekonomi, tetapi juga minoritas dalam jumlah. Indonesia tak dapat lagi

menyatakan dirinya sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di

dunia. Kekhwatiran ini terasa di mana-mana. Kegiatan dakwah makin

Page 10: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

gencar dilaksanakan, terutama di kampus-kampus dan kantor-kantor

pemerintah untuk mengimbangi kecenderungan anti Islam dalam

kebijakan Orde Baru. Istilah Ekstrim Kanan (Islam iedologis) dan

Ekstrim Kiri (Komunis) menjadi istilah umum yang selalu dikatakan

sebagai bahaya laten yang akan memecah-belah persatuan dan

kesatuan bangsa.

Dakwah yang luar biasa gencarnya itu akhirnya mendorong pula suatu

perubahan. Secara politik Islam dikalahkan, namun kesadaran

keislaman terasa makin menguat di mana-mana. Kesempatan

pendidikan yang luas yang diberikan oleh Orde Baru telah membuka

peluang anak-anak Muslim, dan lebih khusus lagi, anak-anak orang

Masyumi untuk menempuh pendidikan. Tanpa disadari jumlah mereka

sangat besar. Mereka mulai mengisi jajaran birokrasi, militer dan

kekuatan politik yang secara resminya sebenarnya was-was dengan

Islam Ideologis dan gerakan politik Islam. Anak-anak orang Masyumi

seperti Feisal Tanjung dan Syarwan Hamid mulai menanjak karier

militernya. Akbar Tanjung dan Abdul Gafur menjadi tokoh muda Golkar

dan Ridwan Saidi menjadi muda tokoh PPP. Di kampus-kampus muncul

kaum intelektual yang berasal dari anak-anak orang Masyumi.

Keadaan ini mulai menggeser peranan intelektual yang dulunya selalu

diklaim dan didominasi oleh orang-orang PSI.

Meskipun telah lahir kekuatan baru Islam yang berwajah non politik,

namun tekanan terhadfap Islam terus berlangsung, terutama ketika

Dr. Daoed Joesoef — salah seorang tokoh CSIS — diangkat menjadi

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dia sangat tersohor dengan

konsep NKK/BKK dan mengeliminir unsur Islam dalam pendidikan

nasional kita. Saya masih ingat suatu ketika, Professor Slamet Imam

Santoso dan Professor Selo Sumardjan mengatakan kepada saya

Page 11: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

kekecewaannya dengan terhadap sikap Pemerintah Orde Baru yang

mereka nilai menekan Islam. “Lha, walau saya ini cuma Islam

abangan, yang nggak pernah solat, tetapi kalau Islam itu dimacem-

macemin, saya juga tidak rela”, kata Professor Selo suatu ketika.

Sebagai orang Islam, kata Prof. Selo, “saya merasa tersinggung

dengan kebijakan ini”. Saya sangat heran dengan ucapan Prof. Selo,

karena selama kami menjadi mahasiswa kami tak pernah merasa

beliau dekat dan mempunyai perhatian terhadap Islam.

Prof. Slamet Imam Santoso juga begitu jengkel dengan kebijakan anti

Islam Menteri Pendidikan Daoed Joesoef. Beliau bersama-sama Prof.

Rasjidi dan Prof. Osman Raliby mengambil inistaif menatar dosen-

dosen Agama Islam di UI agar mampu mengajarkan Islam dalam

bahasa yang dimengerti oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Gejala

serupa nampaknya terjadi di mana-mana. Saya sendiri, yang berlatar

belakang pendidikan hukum dan filsafat ikut direkrut untuk

mengajarkan Agama Islam dengan pendekatan yang lebih intelektual.

Prof. Slamet bersedia memberikan ceramah Agama Islam menjelang

solat tarawih di Mesjid Arief Rachman Hakiem UI, walau beliau sendiri

tidak ikut tarawih. Sambil bercanda Prof Slamet mengatakan kepada

saya “Jelek-jelek Slamet ini dulunya pendukung Masyumi”. Beliau

bercerita, suatu ketika diajak oleh Dr. Sudarsono – ayah Juwono

Sudarsono – untuk mendukung PSI dengan alasan partai itu didukung

kaum intelektual. Pak Slamet bilang, saya menolak, saya lebih senang

mendukung Masyumi. Masyumi juga intelektual, tapi merakyat.

Puncak dari sikap anti Islam ideologis dan poltis dari Orde Baru adalah

tatkala terjadinya Peristiwa Tanjung Priok yang menyebabkan sejumlah

aktivis Islam dibawah pimpinan Amir Biki dibunuh tentara. Pasca

peristiwa itu, sejumlah aktivis Islam termasuk AM Fatwa dan Abdul

Page 12: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

Kadir Jaelani ditangkapi. Abdullah Hehamahuwa dan saya sempat

dikejar-kejar tanpa kami tahu apa sebabnya. Sebelum itu berbagai

operasi intelejens dibawah komando Benny Moerdani telah

merekayasa berbagai gerakan ekstrim seperti Komando Jihad dan

pembajakan pesawat terbang Woyla. Suasana sangat mencekam. Saya

sendiri ketika itu bekerja di lembaga riset LIPPM yang dipimpin Anwar

Harjono. Mohammad Nastsir setiap hari datang berkantor ke lembaga

ini. Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem dan Boerhanoeddin

Harahap juga sering datang. Pergaulan saya dengan mereka sangat

dekat, sehingga sayapun sering dituduh sebagai ekstrim kanan.

Setelah mereka ikut menandatangani Petisi 50, banyak pula tokoh-

tokoh lain seperti Ali Sadikin dan Hoegeng sering datang. Sejak tahun

1978, kami tegas menentang asas tunggal Pancasila dan P4.

Mohammad Natsir memerintahkan saya menyusun argumentasi

menolak asas tunggal dan P4. Tulisan saya itu dijadikan bahan

berbagai organiasi Islam, termasuk Kongres HMI di Medan yang

akhirnya menolak asas tunggal. Sampai P4 dihentikan di masa

Presiden Habibie, saya tak pernah mau ikut penataran P4. Ini sama

sekali tidak berarti kami menolak Pancasila sebagai falsafah negara.

Kami menolak tafsiran sepihak Orde Baru terhadap Pancasila.

Tak ada yang menyangsikan bahwa sikap anti Islam ideologis dan

politis di bawah Orde Baru ini tanpa arahan, atau paling tidak di bawah

pengetahuan Presiden Soeharto. Soeharto sendiri berasal dari

kalangan Jawa Abangan, walau di masa kecil pernah belajar di sekolah

Muhammadiyah dan aktif belajar mengaji serta tidur di mesjid di

kampungnya. Namun pemahaman Soeharto terhadap agama

tergolong minim, begitu juga ketaatannya dalam menjalankan ibadah

agama. Sampai akhir dekade tahun 1980-an, rakyat tak pernah tahu

Page 13: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

apakah beliau mengerjakan solat Jum’at apa tidak. Tak pernah beliau

nampak pergi menunaian solat Jum’at di Masjid Baiturrahim di Istana

Negara atau mesjid lainnya. Walau begitu, Soeharto selalu

mengucapkan salam baik di awal maupun di akhir pidatonya,

meskipun di dalam teks pidatonya, ucapan salam itu tidak ada.

Soeharto dan Ibu Tien hanya nampak menghadiri acara Nuzul Qur’an

di Istana negara, dan peringatan Isra Mi’raj dan Nuzul Qur’an di Mesjid

Istiqlal. Dalam ucapan lisannya sehari-hari Soeharto lebih banyak

mengutip mutiara-mutiara falsafah Jawa – terutama Ronggowarsito –

daripada merujuk kepada khazanah ajaran Islam.

Kesadaran Soeharto terhadap Islam mulai tumbuh ketika usianya kian

senja. Dalam Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1985,

tanpa diduga Soeharto mengatakan bahwa dia bersyukur pernah

mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Padahal kata-kata itu tidak

ada dalam teks pidato resminya yang disiapkan Mensesneg Moerdiono.

Warga Muhammadiyah seolah mendapat angin segar. Saya

mendengar sejak itu ada pengajian agama Islam yang dilakukan diam-

diam di rumah Soeharto. Pelan-pelan Soeharto mulai menampakkan

sosok keislamannya. Dia mendukung upaya Munawir Sadjzali untuk

menciptakan UU Peradilan Agama pada tahun 1989, dan kemudian

mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam. Dua

hal semacam ini hampir mustahil terjadi di awal maupun di

pertengahan usia Orde Baru. Di masa itu, setiap pembicaraan

mengenai hukum Islam dan lembaga-lembaganya, dengan mudah

akan dituduh untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta.

Dalam usia yang menjelang tua, Soeharto mulai menyadari bahwa

Islam di Indonesia adalah kekuatan yang tak mungkin diabaikan,

apalagi harus ditekan dan dipinggirkan. Orang Jawa, betapun abangan,

Page 14: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

adalah Muslim. Secara gradual, orang Abangan akan berangsur-angsur

menjadi “santri” dengan kesadarannya sendiri. Hasil pembangunan

sosial, pendidikan dan ekonomi telah menyebabkan mobilitas vertikal

anak-anak Islam dalam jumlah yang besar. Masyumi boleh dihadang,

namun anak-anak keluarga Masyumi – seperti telah saya katakan –

muncul di kampus-kampus sebagai akademisi yang handal dan

berpengaruh. Di kalangan militer, anak-anak orang Masyumi telah

menjadi perwira tinggi, demikian pula di jajaran birokrasi. Generasi tua

Masyumi memang mulai surut ke belakang, namun anak-anak mereka,

termasuk anak-anak ideologisnya mulai muncul ke permukaan. Mereka

membawa kesadaran baru tentang Islam. Tidak selalu berwajah politik,

kadangkala lebih bersifat kultural dan intelektual. Namun dampak dari

semua ini ke dalam politik akan terasa juga.

Menghadapi fenomena baru yang terjadi di akhir dekade 80-an dan

awal 90, Soeharto mulai mendekat dan mengakomodasi Islam, walau

tetap hati-hati pada kemunculan kekuatan ideologis dan politisnya. Dia

merestui kelahiran ICMI dan memberi kesempatan kepada BJ Habibie

untuk memimpin organisasi itu. Dia pergi haji, suatu hal yang tak

terbayangkan akan dilakukannya. Soeharto juga mendirikan Yayasan

Amal Bhakti Muslim Pancasila untuk mendukung pembangunan masjid

di seluruh pelosok tanah air. Dia juga mendukung berdirinya Bank

Muamalat, sebagai simbol bahwa Islam mulai merambah ke bidang

ekonomi. Perubahan arah politik Orde Baru di saat menjelang akhir

keruntuhannya, tentu menimbulkan ketidaksenangan kelompok-

kelompok sekular-pragmatis dan kelompok-kelompok non Muslim,

yang selama ini telah memanfaatkan Orde Baru untuk keuntungan

mereka sendiri. Keadaan ini, sebenarnya adalah suatu evolusi sosial

yang tak terhindari. Semakin tua, Soeharto semakin menyadari

Page 15: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

kenyataan bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Soeharto mulai

sembahyang Jum’at di Mesjid Baiturrahim, suatu hal yang tak pernah

terjadi sebelumnya. Di luar dirinya, dia menyaksikan tumbuhnya

kekuatan baru Islam yang lebih segar, tidak berwajah terlalu politis

seperti yang dikhawatirkannya, namun potensinya untuk memberikan

warna keislaman pada wajah keindonesiaan cukup besar dan

potensial.

Saya sendiri hampir tidak percaya ketika di akhir tahun 1994, saya

direkrut oleh Sekretariat Negara, lembaga yang di masa itu terasa

menakutkan, dan terkesan sangat jauh dari Islam. Sebagai anak

Masyumi yang selalu dicurigai sebagai ekstrim kanan yang kritis

terhadap Orde Baru dan mantan aktivis mahasiswa yang diskors oleh

Menteri Daoed Joesof, tentu merasa heran dengan tawaran ini. Saya

merasa perlu berkonsultasi dengan Anwar Harjono sebelum menerima

tawaran itu, dan beliau mengatakan terima saja dengan mengucapkan

Bismillah. Moerdiono, Mensesneg ketika itu mengatakan kepada saya

bahwa Presiden Soeharto suatu ketika mengatakan kepadanya

bahwa“Yusril itu, orangnya Natsir”. Moerdiono mengiyakan, tetapi dia

juga mengatakan kepada Presiden Soeharto bahwa saya masih muda

danbekerja secara profesional. Saya menyaksikan perubahan

kebijakan Orde Baru terhadap Islam. Pada dasarnya saya tak

memusuhi seseorang dan kelompok, tetapi bisa saja menentang

kebijakannya yang tidak saya setujui. Karena itu jika kebijakan

berubah dan prilaku juga berubah, saya merasa tak cukup alasan lagi

untuk terus menentang.

Sedikit banyak, saya ikut memberikan warna Islam pada ucapan dan

kebijakan yang dijalankan Pemerintah saat itu. Pancasila yang semula

ditafsirkan sangat dekat dengan Kebatinan Jawa, secara perlahan

Page 16: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

mulai bergeser ke arah penafsiran yang sejalan dengan asas-asas

Islam. Bersamaan dengan itu, proses demokratisasi juga harus

didorong. Walau saya menyadari bahwa jika demokratisasi berjalan,

maka sendi-sendi Orde Baru yang justru dibangun dan ditopang

dengan pemerintahan semi-otoriter, pelan-pelan akan menjadi

kekuatan yang akan meruntuhkan dirinya dari dalam. Hal ini lumrah

jika terjadi, karena kekuatan yang didukung dengan cara-cara tidak

demokratis, mustahil akan bertahan jika cara-cara yang demokratis

mulai dilaksanakan.

Namun perubahan kebijakan Orde Baru terhadap Islam terjadi pada

saat-saat akhir menjelang keruntuhannya. Krisis moneter yang terjadi

pada tahun 1997, meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian

nasional. Keruntuhan ekonomi, dengan sendirinya akan berimbas pada

keruntuhan kekuatan politik yang memerintah. Dalam situasi itu,

menjelang Pemilu 1997, Presiden Soeharto telah menyinggung

kemungkinan dirinya “lengser keprabon, madeg pandito”, yakni

mengundurkan diri dan hidup menjadi orang bijak. Namun para

pendukung setianya tetap menginginkan dia bertahan. Presiden

Soeharto yang sudah terlalu lama berkuasa, mulai meragukan

kemampuan pemimpin penerus, apakah mampu melanjutkan segala

kebijakan yang telah dilakukannya. Sementara para pendukung setia,

juga menggantungkan nasib dan posisinya pada kepemimpinannya.

Ketika dipilih kembali tahun 1997, Soeharto mulai salah melangkah.

Dia mengangkat Siti Hardiyanti Indra Rukmana putrinya sendiri dan

Bob Hasan sebagai menteri. Langkah ini menuai kritik dan

menunjukkan tindakan yang mulai kurang bijaksana. Dari seorang

jendral yang cerdas dan ahli strategi, di masa tua Soeharto mulai

Page 17: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

kurang hati-hati. Bagaimanapun juga, usia akan menggerogoti

manusia.

Dalam suasana krisis ekonomi dan politik yang mulai mengancam

stabilitas pemerintahannya, para aktivis Reformasi mulai mengecam

segala kesalahan kebijakannya, terutama terkait dengan maraknya

KKN di masa pemerintahannya. Dalam situasi krisis yang makin dalam,

kerusuhan terjadi di berbagai tempat, satu demi satu Presiden

Soeharto mulai ditinggalkan para pendukungnya yang setia. Akhirnya

dia seperti sendirian, ketika Saadillah Mursyid dan saya menemuinya

padamalam tanggal 20 Mei 1998, dan Presiden Soeharto mengatakan

akan berhenti keesokan harinya, setelah berbagai upaya untuk

membentuk pemerintahan transisi – termasuk pembentukan Komite

Reformasi dan mempercepat Pemilu – gagal mendapat sambutan.

Sejumlah menteri menyatakan mundur dan tidak bersedia duduk

dalam kabinet baru.Posisi Soeharto terdesak. Inilah titik akhir

perjalanan Orde Baru dan titik akhir karier Soeharto. Namun bukan titik

akhir perjalanan Islam sebagai kekuatan sosial dan politik di tanah air.

Islam telah, sedang dan tetap akan memainkan peranannya dalam

perjalanan sejarah bangsa dan negara kita, kini dan mendatang, baik

dalam bentuk formal ideologis dan politis maupun dalam bentuknya

yang lain.

Wallahu’alam bissawwab.

Catatan:

Tulisan ini dibuat atas permintaan Harian Republika dan telah dimuat

oleh koran itu. Saya merevisi beberapa bagian, sebelum diposting di

blog ini.

Page 18: KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM