KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM
Transcript of KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM
- Yusril Ihza Mahendra - http://yusril.ihzamahendra.com -
KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM
Posted By Yusril Ihza Mahendra On January 31, 2008 @ 11:11 am In
Politik | 81 Comments
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim
Tidaklah mudah bagi saya untuk sepenuhnya bersikap netral dan
obyektif membahas kebijakan Orde Baru terhadap Masyumi dan Islam,
sebagaimana yang diminta oleh Republika, apalagi waktu yang
diberikan untuk menulisnya sangatlah
terbatas, kurang dari sehari. Karena
itu, saya menuliskan artikel ini hanya
berdasarkan ingatan saya belaka.Saya
katakan sukar untuk bersikap netral
dan obyektif karena sedikit-banyaknya
saya terlibat dalam episode sejarah itu,
baik langsung maupun tidak langsung.
Ketika saya berumur hampir lima
tahun, saya menyaksikan ayah saya
dan sejumlah tokoh Masyumi lokal,
menurunkan papan nama partai itu,
karena mereka dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno,
pada akhir tahun 1960. Soekarno menerbitkan Keppres Nomor
200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan
pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika
dalam tempoh seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri,
maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah
Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya
Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik
membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Apa yang ada di kepala orang Masyumi waktu itu ialah Soekarno mulai
menjadi diktator dan negara makin bergerak ke arah kiri. Dalam
perhitungan mereka, tanpa Masyumi, maka kekuatan PKI akan
semakin besar dan sukar dibendung. PNI sebagai representasi
kelompok nasionalis, telah dintrik dan diintervensi oleh kekuatan kiri
melalui kelompok Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Kendatipun
memiliki basis massa yang besar, elit politisi NU dibawah pimpinan
Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri, takkan kuat menghadapi Soekarno
dan PKI sendirian. Apalagi, makin nampak kecenderungan akomodatif
NU untuk menerima posisi representasi kelompok agama dalam poros
Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), suatu hal yang ditentang
keras oleh Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi memang dihadapkan pada
dilema dengan Keppres 200/1960 itu. Menolak melaksanakan
pembubaran diri, berarti secara hukum, partai itu akan dinyatakan
sebagai partai terlarang. Karena itu, mereka memilih alternatif yang
juga tidak menyenangkan yakni membubarkan diri, dengan harapan
suatu ketika partai itu akan hidup kembali, jika situasi politik telah
berubah. Prawoto sendiri mengatakan, Keppres 200/1960 itu ibarat
vonis mati dengan hukuman gantung, sementara eksekusinya
dilakukan oleh si terhukum itu sendiri. Memang terasa menyakitkan.
Meskipun Masyumi telah membubarkan diri, dan tokoh-tokohnya yang
terlibat dalam PRRI telah memenuhi panggilan amnesti umum dan
mereka menyerah, namun perlakuan terhadap mereka tetap saja jauh
dari hukum dan keadilan. Tokoh-tokoh Masyumi yang menyerah itu,
Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Boerhanoeddin Harahap
ditangkapi. Bahkan mereka yang tidak terlibat PRRI seperti Prawoto,
Mohamad Roem, Yunan Nasution, Isa Anshary, Kasman Singodimedjo,
Buya Hamka dan yang lain, juga ditangkapi tanpa alasan yang jelas.
Bertahun-tahun mereka mendekam dalam tahanan di Jalan
Keagungan, Jakarta, tanpa proses hukum. Ini terang suatu bentuk
pelanggaran HAM yang dilakukan Sukarno. Tokoh utama PSI, Sutan
Sjahrir bahkan mendekam dalam penjara di sebuah pulau di lautan
Hindia, di sebelah selatan daerah Banten. Dalam kondisi tahanan yang
buruk, Sjahrir sakit, sampai akhirnya wafat walau mendapat perawatan
di Swiss. Tokoh PSI yang lain, Soebadio Sastrosatomo dan Hamid
Algadri juga ditahan. Perlakuan terhadap anak-anak dan keluarga
orang Masyumi di masa itu hampir sama saja dengan perlakuan
keluarga PKI di masa Orde Baru. Ketika itu PKI sedang jaya. Ketika
mereka sedang jaya, mereka juga membantai orang-orang Masyumi di
Madiun tahun 1948, dan menculik dan menghilangkan paksa orang-
orang Masyumi di Jawa Barat dan tempat-tempat lain. Hendaknya
sejarah jangan melupakan semua peristiwa ini. Di era Reformasi
sekarang, banyak aktivis HAM hanya berbicara tentang orang-orang
PKI pasca G 30 S yang menjadi korban pembantaian Orde Baru, tetapi
mereka melupakan orang-orang Masyumi yang menjadi korban
pembantaian dan penghilangan paksa PKI, ketika mereka masih jaya-
jayanya.
Sebab itulah, ketika Orde Lama runtuh pasca Gerakan 30 September
1965, ada secercah harapan di kalangan keluarga besar Masyumi agar
mereka hidup dan berkiprah kembali. Presiden Soekarno yang
dianggap berbuat sewenang-wenang kepada Masyumi dengan
dukungan PKI, dicabut kekuasaannya oleh MPRS pada tahun 1967.
Sama seperti Soekarno yang membubarkan Masyumi, Soeharto juga
membubarkan PKI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPRS.
MPRS bahkan mengamanatkan kepada Pejabat Presiden Soeharto
untuk mengambil langkah hukum yang tegas kepada mantan Presiden
Soekarno. Namun amanat MPRS itu tak pernah dilaksanakan Soeharto
sampai akhir hayat Bung Karno dengan alasan “mikul dhuwur mendem
jero”. Orde Baru di bawah kepemimpinan Jendral Soeharto mendapat
dukungan luas dari umat Islam, dan kedua sayap politik Islam, baik
kubu eks Masyumi maupun kubu NU. Dukungan mereka berikan
karena sikap tegas Soeharto kepada Komunisme dan langkah-langkah
nyatanya untuk memperbaiki ekonomi yang ketika itu sangat morat-
marit. Di akhir kekuasaan Soekarno, rakyat hidup mulai kelaparan dan
compang-camping akibat inflasi yang tak terkendali. Tiap hari rakyat
hanya disuguhi pidato-pidato dan slogan-slogan berapi-api untuk
mengobarkan semangat “Revolusi yang belum selesai” dan kegiatan
menentang Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme), tanpa upaya
sungguh-sungguh untuk memperbaiki nasib rakyat yang sudah lama
menderita.
Kebanyakan orang-orang Masyumi itu berpikir strukturalis dan bahkan
cenderung formalis. Tak lama sesudah tokoh-tokoh Masyumi
dikeluarkan dari tahanan, mereka
mulai bergerak untuk
merehabilitasi partai itu. Partai
adalah alat untuk mencapai
tujuan. Karena itu, keberadaan
Masyumi adalah keharusan.
Dukungan untuk merehabilitasi
Masyumi juga datang dari
Persahi. Para ahli hukum mengeluarkan statemen yang ditandatangani
Dr. Wirjono Prodjokiduro, agar Masyumi direhabilitasi, karena partai itu
adalah korban kesewenang-wenangan Orde Lama. Padahal Wirjono
pula, yang ketika menjadi Ketua Mahkamah Agung, memberikan fatwa
kepada Soekarno tentang keabsahan alasan hukum untuk
membubarkan Masyumi berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres)
Nomor 7 Tahun 1959 tentang Penyederhanaan dan Pembubaran Partai
Politik. Penpres itu sendiri sangat kontroversial, karena tidak ada dasar
hukum keberadaannya. Prawoto Mangkusasmito mengatakan bahwa
Penpres itu adalah langkah sepihak Presiden Soekarno untuk
menyeleksi mana partai yang mendukung Revolusi pro Nasakom dan
mana yang menentangnya.
Namun keinginan tokoh-tokoh Masyumi untuk merehabilitasi partainya
segera menghadapi tembok penghalang yang kukuh. Soeharto dan
para jendral pemegang kendali Orde Baru, ternyata cenderung
bersikap anti ideologi. Mereka bukan saja anti Komunis, tetapi juga anti
Islam yang ditransformasikan sebagai ideologi dan kekuatan politik.
Slogan terkenal Orde Baru sejak kelahirannya ialah “melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”. Mereka
mempunyai tafsir sendiri terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang
kemudian dijadikan doktrin dan pijakan ideologis Orde Baru. Dalam
komunikasi politik yang dibangunnya, Orde Baru mengatakan bahwa
mereka tidak berorientasi ideologi. Mereka ingin membangun. Mereka
cenderung “anti politik” dan mengedepankan langkah pragmatis untuk
menyelesaikan persoalan sosial ekonomi yang amat berat. Kekuatan
politik baru muncul dibalik Orde Baru, yakni militer dan teknokrat
pragmatis, sebagiannya berorientasi ideologis kepada PSI dan
kalangan politisi dan teknokrat non Muslim. Sebagai mesin politik,
mereka mereorganisasi Sekber Golkar menjadi Golongan Karya
(Golkar), yang mereka katakan bukan partai politik seperti halnya
partai-partai yang lain.
Meskipun menolak rehabilitasi Masyumi, namun Orde Baru dibawah
kepemimpinan Jendral Soeharto sedia berkompromi untuk mewadahi
kelompok eks Masyumi, dengan memberi peluang kepada mereka
mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).Namun penguasa Orde
Baru menolak eks tokoh-tokoh Masyumi memimpin partai itu.
Jangankan Natsir dan Prawoto, Mohamad Roem yang dikenal sangat
moderat, diplomatis dan kompromis juga ditolak. Djarnawi
Hadikusuma, tokoh muda Muhammadiyah yang dikukuhkan menjadi
Ketua Parmusi juga terganjal, sampai akhirnya dengan dukungan
penguasa, partai itu dikomandani oleh Jailani Naro yang tak begitu
jelas akar keterlibatannya dalam gerakan politik Islam di masa lalu.
Itulah awal keterlibatan kekuasaan dalam mengintervensi suatu
kekuatan politik. Sejak itu, hampir tidak ada partai yang sepenuhnya
independen dan berdaulat. Setiap calon pimpinan sebuah partai,
memerlukan “restu” atau persetujuan penguasa. Intervensi
kekuasaan, baik terang-terangan maupun secara terselubung melalui
operasi intelejens, selalu membayangi setiap partai dan gerakan politik
manapun juga. Bahkan lebih jauh dari itu, setiap organisasi – termasuk
organisasi sosial, kepemudaan dan profesi — gerakan kampus bahkan
sampai ke mesjid-mesjid tidak sunyi dari pantauan intelejens. Orde
Baru melakukan rekayasa sosial dan politik yang efektif melaluiDwi
Fungsi ABRI. TNI dan POLRI bukan saja kekuatan pertahanan dan
keamanan, tetapi juga kekuatan sosial dan politik. TNI dan POLRI
mendapat jatah kursi di DPR, MPR dan DPRD. TNI melalui Kodam,
Kodim dan Koramil, aktif memantau semua gerakan politik, bahkan
melakukan intervensi terhadap semua kegiatan itu, demi menjaga
“stabilitas nasional” untuk kelangsungan pembangunan.
Meskipun telah menghirup udara bebas, tokoh-tokoh inti Masyumi
secara perlahan mulai tersingkir dari panggung politik, sejalan dengan
menguatnya Orde Baru. Mohammad Natsir dan rekan-rekannya
mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan mulai
memusatkan perhatian mereka ke bidang dakwah, sambil tetap
bersikap kritis kepada Pemerintah Orde Baru. Dulu kita berpolitik,
sekarang kita berdakwah. Nanti hasilnya akan sama saja, kata Natsir
kepada saya suatu ketika.Natsir mungkin benar. Dakwah Islam akan
makin meluas dan tak terbendung, justru ketika kiprah politik mereka
menghadapi hambatan. Natsir dan kawan-kawannya mulai menyadari
bahwa mereka mulai tua. Mereka mulai berpikir untuk membangun
kesadaran keagamaan kepada masyarakat menuju masa depan.
Mereka perlu menyiapkan generasi penerus bangsa yang dilandasi
semangat dan komitmen Keislaman. Untuk itu dakwah dalam arti
seluas-luasnya, terutama di kampus-kampus, harus dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh.
Orde Baru merancang format politik dan pembangunan Indonesia ke
depan secara sistematik dan terencana. CSIS (Center for Strategic and
International Studies) menjadi salah satu lembaga kajian yang tersohor
dalam merumuskan dan memback-up konsep-konsep pembangunan
Orde Baru dengan berbagai rekayasanya. Buku Ali Moertopo yang
berjudul “Akselerasi Modernisasi 25 Tahun” yang diterbitkan CSIS
adalah salah satu “buku sakti” yang memuat perencanaan itu. Dari
buku itu saja suda tergambar bahwa Presiden Soeharto telah
dirancang untuk menjadi Presiden minimal 5 periode, atau lima kali
Pelita (Pembangunan Lima Tahun) sampai saatnya Indonesia tinggal
landas dalam pembangunan ekonomi. Dalam rekayasa politik, partai-
partai dikelompokkan berdasarkan program, bukan lagi berdasarkan
ideologi. Akhirnya partai-partai Islam berfusi dengan tekanan
penguasa ke dalam Partai Persatuan Pembangunan, dan partai-partai
nasionalis, Kristen dan Katolik ke dalam Partai Demokrasi Indonesia.
Sejak itu selalu dikatakan bahwa di negara kita ini ada dua partai
politik dan satu Golongan Karya. Golongan Karya (Golkar) meskipun
memenuhi segala syarat dan rukun – kalau menggunakan istilah fikih –
untuk disebut sebagai partai politik, menolak menyebut dirinya
sebagai partai.
Pancasila menjadi satu-satunya ideologi bagi semua kekuatan politik
dan UUD 1945 menjadi landasan operasionalnya dengan tafsiran khas
Orde Baru. Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila,
kata Ali Moertopo, bukanlah tuhan sebagaimana dipahami agama,
melainkan tuhan dalam makna politik. Proses sekularisasi Pancasila
mulai dicanangkan. Konsepsi ideologis keagamaan mulai dipinggirkan.
Namun pada saat bersamaan, secara bertahap konsepsi mistis-
Kejawaan mulai menguat, dan berujung dengan munculnya Eka
Prasetya Pancakarsa sebagai pedoman pelaksanaan Pancasila melalui
Ketetapan MPR tahun 1978, meskipun ditentang keras oleh PPP.
Sekularisme dan Javanisme seakan menemukan titik temu dan saling
mendukung. Kebatinan Jawa mendapat baju baru yang dinamai Aliran
Kepercayaan, sehingga terkesan mendapat legitimasi konstitusional di
dalam Pasal 29 UUD 1945. Status Aliran Kepercayaan hampir-hampir
mendapat perlakuan setara dengan agama. Soeharto, Ali Moertopo
dan Sudjono Humardani berada di balik semua ini. Zahid Hussein,
salah seorang pejabat di Sekretariat Negara, menjadi operator
penyebar-luasannya.
Orang-orang eks Masyumi dan para pengikutnya sangat khawatir
dengan sekularisasi Pancasila dan menguatnya Aliran Kepercayaan ini.
Di mata mereka, dibalik semua ini ada grand-design untuk
mengelaminir Islam dengan berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan
luar, dan kepentingan agama tertentu yang memanfaatkan Soeharto
dan Orde Baru. Kelompok ini bukan saja memegang posisi-posisi
strategis militer, tetapi juga menguasai pos-pos penting di bidang
perekonomian dalam berbagai kabinet Orde Baru. Di kalangan eks
Masyumi ada anggapan bahwa militer telah dijauhkan dari Islam.
Maraden Panggabean, Soedomo dan Benny Moerdani yang semuanya
non Muslim, memainkan peranan penting dan menentukan. Di masa
itu ada kesan, bahwa perwira militer yang taat menjalankan agama
Islam, sulit untuk mendapatkan promosi. Susilo Bambang Yudhoyono
ketika masih perwira menengah juga mengalami nasib yang sama. Dia
dianggap sebagai perwira yang taat menjalankan agama Islam,
sehingga beberapa kali promosinya dihambat Benny Moredani.
Demikian pula Radius Prawiro, Sumarlin, Adrianus Mooy, dan Sudrajat
Djiwandono yang semuanya non-Muslim, cukup lama menduduki
posisi kunci pos-pos ekonomi kabinet Orde Baru. Arsitek utama
ekonomi Orde Baru, Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana, meskipun
Muslim, dikenal sangat jauh dari Islam.
Orang-orang eks Masyumi berpikir bahwa jika Aliran Kepercayaan
diformalkan, dan seluruh orang Jawa Abangan dikelompokkan sebagai
penganut Aliran Kepercayaan dan bukan Muslim, maka Islam di
Indonesia bukan saja akan menjadi minoritas dalam politik dan
ekonomi, tetapi juga minoritas dalam jumlah. Indonesia tak dapat lagi
menyatakan dirinya sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di
dunia. Kekhwatiran ini terasa di mana-mana. Kegiatan dakwah makin
gencar dilaksanakan, terutama di kampus-kampus dan kantor-kantor
pemerintah untuk mengimbangi kecenderungan anti Islam dalam
kebijakan Orde Baru. Istilah Ekstrim Kanan (Islam iedologis) dan
Ekstrim Kiri (Komunis) menjadi istilah umum yang selalu dikatakan
sebagai bahaya laten yang akan memecah-belah persatuan dan
kesatuan bangsa.
Dakwah yang luar biasa gencarnya itu akhirnya mendorong pula suatu
perubahan. Secara politik Islam dikalahkan, namun kesadaran
keislaman terasa makin menguat di mana-mana. Kesempatan
pendidikan yang luas yang diberikan oleh Orde Baru telah membuka
peluang anak-anak Muslim, dan lebih khusus lagi, anak-anak orang
Masyumi untuk menempuh pendidikan. Tanpa disadari jumlah mereka
sangat besar. Mereka mulai mengisi jajaran birokrasi, militer dan
kekuatan politik yang secara resminya sebenarnya was-was dengan
Islam Ideologis dan gerakan politik Islam. Anak-anak orang Masyumi
seperti Feisal Tanjung dan Syarwan Hamid mulai menanjak karier
militernya. Akbar Tanjung dan Abdul Gafur menjadi tokoh muda Golkar
dan Ridwan Saidi menjadi muda tokoh PPP. Di kampus-kampus muncul
kaum intelektual yang berasal dari anak-anak orang Masyumi.
Keadaan ini mulai menggeser peranan intelektual yang dulunya selalu
diklaim dan didominasi oleh orang-orang PSI.
Meskipun telah lahir kekuatan baru Islam yang berwajah non politik,
namun tekanan terhadfap Islam terus berlangsung, terutama ketika
Dr. Daoed Joesoef — salah seorang tokoh CSIS — diangkat menjadi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dia sangat tersohor dengan
konsep NKK/BKK dan mengeliminir unsur Islam dalam pendidikan
nasional kita. Saya masih ingat suatu ketika, Professor Slamet Imam
Santoso dan Professor Selo Sumardjan mengatakan kepada saya
kekecewaannya dengan terhadap sikap Pemerintah Orde Baru yang
mereka nilai menekan Islam. “Lha, walau saya ini cuma Islam
abangan, yang nggak pernah solat, tetapi kalau Islam itu dimacem-
macemin, saya juga tidak rela”, kata Professor Selo suatu ketika.
Sebagai orang Islam, kata Prof. Selo, “saya merasa tersinggung
dengan kebijakan ini”. Saya sangat heran dengan ucapan Prof. Selo,
karena selama kami menjadi mahasiswa kami tak pernah merasa
beliau dekat dan mempunyai perhatian terhadap Islam.
Prof. Slamet Imam Santoso juga begitu jengkel dengan kebijakan anti
Islam Menteri Pendidikan Daoed Joesoef. Beliau bersama-sama Prof.
Rasjidi dan Prof. Osman Raliby mengambil inistaif menatar dosen-
dosen Agama Islam di UI agar mampu mengajarkan Islam dalam
bahasa yang dimengerti oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Gejala
serupa nampaknya terjadi di mana-mana. Saya sendiri, yang berlatar
belakang pendidikan hukum dan filsafat ikut direkrut untuk
mengajarkan Agama Islam dengan pendekatan yang lebih intelektual.
Prof. Slamet bersedia memberikan ceramah Agama Islam menjelang
solat tarawih di Mesjid Arief Rachman Hakiem UI, walau beliau sendiri
tidak ikut tarawih. Sambil bercanda Prof Slamet mengatakan kepada
saya “Jelek-jelek Slamet ini dulunya pendukung Masyumi”. Beliau
bercerita, suatu ketika diajak oleh Dr. Sudarsono – ayah Juwono
Sudarsono – untuk mendukung PSI dengan alasan partai itu didukung
kaum intelektual. Pak Slamet bilang, saya menolak, saya lebih senang
mendukung Masyumi. Masyumi juga intelektual, tapi merakyat.
Puncak dari sikap anti Islam ideologis dan poltis dari Orde Baru adalah
tatkala terjadinya Peristiwa Tanjung Priok yang menyebabkan sejumlah
aktivis Islam dibawah pimpinan Amir Biki dibunuh tentara. Pasca
peristiwa itu, sejumlah aktivis Islam termasuk AM Fatwa dan Abdul
Kadir Jaelani ditangkapi. Abdullah Hehamahuwa dan saya sempat
dikejar-kejar tanpa kami tahu apa sebabnya. Sebelum itu berbagai
operasi intelejens dibawah komando Benny Moerdani telah
merekayasa berbagai gerakan ekstrim seperti Komando Jihad dan
pembajakan pesawat terbang Woyla. Suasana sangat mencekam. Saya
sendiri ketika itu bekerja di lembaga riset LIPPM yang dipimpin Anwar
Harjono. Mohammad Nastsir setiap hari datang berkantor ke lembaga
ini. Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem dan Boerhanoeddin
Harahap juga sering datang. Pergaulan saya dengan mereka sangat
dekat, sehingga sayapun sering dituduh sebagai ekstrim kanan.
Setelah mereka ikut menandatangani Petisi 50, banyak pula tokoh-
tokoh lain seperti Ali Sadikin dan Hoegeng sering datang. Sejak tahun
1978, kami tegas menentang asas tunggal Pancasila dan P4.
Mohammad Natsir memerintahkan saya menyusun argumentasi
menolak asas tunggal dan P4. Tulisan saya itu dijadikan bahan
berbagai organiasi Islam, termasuk Kongres HMI di Medan yang
akhirnya menolak asas tunggal. Sampai P4 dihentikan di masa
Presiden Habibie, saya tak pernah mau ikut penataran P4. Ini sama
sekali tidak berarti kami menolak Pancasila sebagai falsafah negara.
Kami menolak tafsiran sepihak Orde Baru terhadap Pancasila.
Tak ada yang menyangsikan bahwa sikap anti Islam ideologis dan
politis di bawah Orde Baru ini tanpa arahan, atau paling tidak di bawah
pengetahuan Presiden Soeharto. Soeharto sendiri berasal dari
kalangan Jawa Abangan, walau di masa kecil pernah belajar di sekolah
Muhammadiyah dan aktif belajar mengaji serta tidur di mesjid di
kampungnya. Namun pemahaman Soeharto terhadap agama
tergolong minim, begitu juga ketaatannya dalam menjalankan ibadah
agama. Sampai akhir dekade tahun 1980-an, rakyat tak pernah tahu
apakah beliau mengerjakan solat Jum’at apa tidak. Tak pernah beliau
nampak pergi menunaian solat Jum’at di Masjid Baiturrahim di Istana
Negara atau mesjid lainnya. Walau begitu, Soeharto selalu
mengucapkan salam baik di awal maupun di akhir pidatonya,
meskipun di dalam teks pidatonya, ucapan salam itu tidak ada.
Soeharto dan Ibu Tien hanya nampak menghadiri acara Nuzul Qur’an
di Istana negara, dan peringatan Isra Mi’raj dan Nuzul Qur’an di Mesjid
Istiqlal. Dalam ucapan lisannya sehari-hari Soeharto lebih banyak
mengutip mutiara-mutiara falsafah Jawa – terutama Ronggowarsito –
daripada merujuk kepada khazanah ajaran Islam.
Kesadaran Soeharto terhadap Islam mulai tumbuh ketika usianya kian
senja. Dalam Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1985,
tanpa diduga Soeharto mengatakan bahwa dia bersyukur pernah
mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Padahal kata-kata itu tidak
ada dalam teks pidato resminya yang disiapkan Mensesneg Moerdiono.
Warga Muhammadiyah seolah mendapat angin segar. Saya
mendengar sejak itu ada pengajian agama Islam yang dilakukan diam-
diam di rumah Soeharto. Pelan-pelan Soeharto mulai menampakkan
sosok keislamannya. Dia mendukung upaya Munawir Sadjzali untuk
menciptakan UU Peradilan Agama pada tahun 1989, dan kemudian
mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam. Dua
hal semacam ini hampir mustahil terjadi di awal maupun di
pertengahan usia Orde Baru. Di masa itu, setiap pembicaraan
mengenai hukum Islam dan lembaga-lembaganya, dengan mudah
akan dituduh untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Dalam usia yang menjelang tua, Soeharto mulai menyadari bahwa
Islam di Indonesia adalah kekuatan yang tak mungkin diabaikan,
apalagi harus ditekan dan dipinggirkan. Orang Jawa, betapun abangan,
adalah Muslim. Secara gradual, orang Abangan akan berangsur-angsur
menjadi “santri” dengan kesadarannya sendiri. Hasil pembangunan
sosial, pendidikan dan ekonomi telah menyebabkan mobilitas vertikal
anak-anak Islam dalam jumlah yang besar. Masyumi boleh dihadang,
namun anak-anak keluarga Masyumi – seperti telah saya katakan –
muncul di kampus-kampus sebagai akademisi yang handal dan
berpengaruh. Di kalangan militer, anak-anak orang Masyumi telah
menjadi perwira tinggi, demikian pula di jajaran birokrasi. Generasi tua
Masyumi memang mulai surut ke belakang, namun anak-anak mereka,
termasuk anak-anak ideologisnya mulai muncul ke permukaan. Mereka
membawa kesadaran baru tentang Islam. Tidak selalu berwajah politik,
kadangkala lebih bersifat kultural dan intelektual. Namun dampak dari
semua ini ke dalam politik akan terasa juga.
Menghadapi fenomena baru yang terjadi di akhir dekade 80-an dan
awal 90, Soeharto mulai mendekat dan mengakomodasi Islam, walau
tetap hati-hati pada kemunculan kekuatan ideologis dan politisnya. Dia
merestui kelahiran ICMI dan memberi kesempatan kepada BJ Habibie
untuk memimpin organisasi itu. Dia pergi haji, suatu hal yang tak
terbayangkan akan dilakukannya. Soeharto juga mendirikan Yayasan
Amal Bhakti Muslim Pancasila untuk mendukung pembangunan masjid
di seluruh pelosok tanah air. Dia juga mendukung berdirinya Bank
Muamalat, sebagai simbol bahwa Islam mulai merambah ke bidang
ekonomi. Perubahan arah politik Orde Baru di saat menjelang akhir
keruntuhannya, tentu menimbulkan ketidaksenangan kelompok-
kelompok sekular-pragmatis dan kelompok-kelompok non Muslim,
yang selama ini telah memanfaatkan Orde Baru untuk keuntungan
mereka sendiri. Keadaan ini, sebenarnya adalah suatu evolusi sosial
yang tak terhindari. Semakin tua, Soeharto semakin menyadari
kenyataan bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Soeharto mulai
sembahyang Jum’at di Mesjid Baiturrahim, suatu hal yang tak pernah
terjadi sebelumnya. Di luar dirinya, dia menyaksikan tumbuhnya
kekuatan baru Islam yang lebih segar, tidak berwajah terlalu politis
seperti yang dikhawatirkannya, namun potensinya untuk memberikan
warna keislaman pada wajah keindonesiaan cukup besar dan
potensial.
Saya sendiri hampir tidak percaya ketika di akhir tahun 1994, saya
direkrut oleh Sekretariat Negara, lembaga yang di masa itu terasa
menakutkan, dan terkesan sangat jauh dari Islam. Sebagai anak
Masyumi yang selalu dicurigai sebagai ekstrim kanan yang kritis
terhadap Orde Baru dan mantan aktivis mahasiswa yang diskors oleh
Menteri Daoed Joesof, tentu merasa heran dengan tawaran ini. Saya
merasa perlu berkonsultasi dengan Anwar Harjono sebelum menerima
tawaran itu, dan beliau mengatakan terima saja dengan mengucapkan
Bismillah. Moerdiono, Mensesneg ketika itu mengatakan kepada saya
bahwa Presiden Soeharto suatu ketika mengatakan kepadanya
bahwa“Yusril itu, orangnya Natsir”. Moerdiono mengiyakan, tetapi dia
juga mengatakan kepada Presiden Soeharto bahwa saya masih muda
danbekerja secara profesional. Saya menyaksikan perubahan
kebijakan Orde Baru terhadap Islam. Pada dasarnya saya tak
memusuhi seseorang dan kelompok, tetapi bisa saja menentang
kebijakannya yang tidak saya setujui. Karena itu jika kebijakan
berubah dan prilaku juga berubah, saya merasa tak cukup alasan lagi
untuk terus menentang.
Sedikit banyak, saya ikut memberikan warna Islam pada ucapan dan
kebijakan yang dijalankan Pemerintah saat itu. Pancasila yang semula
ditafsirkan sangat dekat dengan Kebatinan Jawa, secara perlahan
mulai bergeser ke arah penafsiran yang sejalan dengan asas-asas
Islam. Bersamaan dengan itu, proses demokratisasi juga harus
didorong. Walau saya menyadari bahwa jika demokratisasi berjalan,
maka sendi-sendi Orde Baru yang justru dibangun dan ditopang
dengan pemerintahan semi-otoriter, pelan-pelan akan menjadi
kekuatan yang akan meruntuhkan dirinya dari dalam. Hal ini lumrah
jika terjadi, karena kekuatan yang didukung dengan cara-cara tidak
demokratis, mustahil akan bertahan jika cara-cara yang demokratis
mulai dilaksanakan.
Namun perubahan kebijakan Orde Baru terhadap Islam terjadi pada
saat-saat akhir menjelang keruntuhannya. Krisis moneter yang terjadi
pada tahun 1997, meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian
nasional. Keruntuhan ekonomi, dengan sendirinya akan berimbas pada
keruntuhan kekuatan politik yang memerintah. Dalam situasi itu,
menjelang Pemilu 1997, Presiden Soeharto telah menyinggung
kemungkinan dirinya “lengser keprabon, madeg pandito”, yakni
mengundurkan diri dan hidup menjadi orang bijak. Namun para
pendukung setianya tetap menginginkan dia bertahan. Presiden
Soeharto yang sudah terlalu lama berkuasa, mulai meragukan
kemampuan pemimpin penerus, apakah mampu melanjutkan segala
kebijakan yang telah dilakukannya. Sementara para pendukung setia,
juga menggantungkan nasib dan posisinya pada kepemimpinannya.
Ketika dipilih kembali tahun 1997, Soeharto mulai salah melangkah.
Dia mengangkat Siti Hardiyanti Indra Rukmana putrinya sendiri dan
Bob Hasan sebagai menteri. Langkah ini menuai kritik dan
menunjukkan tindakan yang mulai kurang bijaksana. Dari seorang
jendral yang cerdas dan ahli strategi, di masa tua Soeharto mulai
kurang hati-hati. Bagaimanapun juga, usia akan menggerogoti
manusia.
Dalam suasana krisis ekonomi dan politik yang mulai mengancam
stabilitas pemerintahannya, para aktivis Reformasi mulai mengecam
segala kesalahan kebijakannya, terutama terkait dengan maraknya
KKN di masa pemerintahannya. Dalam situasi krisis yang makin dalam,
kerusuhan terjadi di berbagai tempat, satu demi satu Presiden
Soeharto mulai ditinggalkan para pendukungnya yang setia. Akhirnya
dia seperti sendirian, ketika Saadillah Mursyid dan saya menemuinya
padamalam tanggal 20 Mei 1998, dan Presiden Soeharto mengatakan
akan berhenti keesokan harinya, setelah berbagai upaya untuk
membentuk pemerintahan transisi – termasuk pembentukan Komite
Reformasi dan mempercepat Pemilu – gagal mendapat sambutan.
Sejumlah menteri menyatakan mundur dan tidak bersedia duduk
dalam kabinet baru.Posisi Soeharto terdesak. Inilah titik akhir
perjalanan Orde Baru dan titik akhir karier Soeharto. Namun bukan titik
akhir perjalanan Islam sebagai kekuatan sosial dan politik di tanah air.
Islam telah, sedang dan tetap akan memainkan peranannya dalam
perjalanan sejarah bangsa dan negara kita, kini dan mendatang, baik
dalam bentuk formal ideologis dan politis maupun dalam bentuknya
yang lain.
Wallahu’alam bissawwab.
Catatan:
Tulisan ini dibuat atas permintaan Harian Republika dan telah dimuat
oleh koran itu. Saya merevisi beberapa bagian, sebelum diposting di
blog ini.