Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

118
1 KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN BIDANG PERSAMPAHAN & DRAINASE 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Menurunnya kinerja pengelolaan persampahan dalam beberapa tahun terakhir ini tidak lepas dari dampak perubahan tatanan pemerintahan di Indonesia dalam era reformasi, otonomi daerah serta krisis ekonomi yang telah melanda seluruh wilayah di Indonesia. Adanya perubahan kebijakan arah pembangunan infrastruktur perkotaan, menguatnya ego otonomi, menurunnya kapasitas pembiayaan daerah, menurunnya daya beli dan kepedulian masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan merupakan pemicu terjadinya degradasi kualitas lingkungan perkotaan termasuk masalah kebersihan kota. Penurunan kinerja tersebut ditunjukkan oleh berbagai hal seperti menurunnya kapasitas SDM karena banyaknya pergantian personil yang sebelumnya pernah terdidik dalam bidang persampahan melalui program training atau capacity building, tidak jelasnya organisasi pengelola sampah karena adanya perubahan kebijakan pola maksimal dan pola minimal suatu Dinas, menurunnya alokasi APBD bagi pengelolaan sampah, menurunnya penerimaan retribusi (secara nasional hanya dicapai 22 %), menurunnya tingkat pelayanan (tingkat pelayanan dari data BPS tahun 2000 hanya 32 % yang sebelumnya pernah mencapai 50 %), menurunnya kualitas TPA yang sebagian besar menjadi open dumping dan timbulnya friksi antar daerah / sosial, bahkan korban jiwa dalam kasus longsornya TPA Leuwigajah, tidak adanya penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat yang membuang sampah sembarangan dan lain-lain. Timbulnya pencemaran lingkungan disekitar TPA disebabkan karena tidak adanya proses pemilihan lokasi TPA yang layak dan tidak adanya alokasi lahan TPA dalam Rencana Tata Ruang Wilayah sehingga lokasi TPA yang ada saat ini tidak memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan standar nasional. Selain itu fasilitas TPA yang sangat minim terutama berkaitan dengan terbatasnya fasilitas perlindungan lingkungan (buffer zone, pengumpulan dan pengolahan leachate, ventilasi gas dan penutupan tanah) dan pengoperasian TPA cenderung dioperasikan secara open dumping. Larangan ijin mendirikan bangunan disekitar TPA juga tidak dilakukan sehingga lokasi TPA yang semula jauh dari permukiman menjadi sangat dekat. Masalah yang juga dilematis adalah kehadiran para pemulung yang jumlahnya cukup banyak (di TPA Bantar Gebang mencapai 5 ribu orang) sehingga menyulitkan pengoperasian TPA secara benar. Mengacu pada berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia serta adanya tuntukan pemenuhan komitmen Internasional seperti Agenda 21 mengenai pengurangan volume sampah yang dibuang ke TPA (3 R), Prinsip Dublin Rio, MDGs (millenium development goals) mengenai peningkatan separo jumlah masyarakat yang belum mendapatkan akses pelayanan pada tahun 2015, Kyoto Protocol mengenai mekanisme pembangunan bersih (CDM) dan lain-lain, menuntut adanya suatu kebijakan nasional yang tegas dan realistis

description

Materi disampaikan dalam Lokakarya Persampahan Berbasis Masyarakat di Jakarta tanggal 16-17 Januari 2008. Lokakarya diselenggarakan oleh Jejaring AMPL

Transcript of Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

Page 1: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

1

KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN BIDANG PERSAMPAHAN & DRAINASE

1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Menurunnya kinerja pengelolaan persampahan dalam beberapa tahun terakhir ini tidak lepas dari dampak perubahan tatanan pemerintahan di Indonesia dalam era reformasi, otonomi daerah serta krisis ekonomi yang telah melanda seluruh wilayah di Indonesia. Adanya perubahan kebijakan arah pembangunan infrastruktur perkotaan, menguatnya ego otonomi, menurunnya kapasitas pembiayaan daerah, menurunnya daya beli dan kepedulian masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan merupakan pemicu terjadinya degradasi kualitas lingkungan perkotaan termasuk masalah kebersihan kota. Penurunan kinerja tersebut ditunjukkan oleh berbagai hal seperti menurunnya kapasitas SDM karena banyaknya pergantian personil yang sebelumnya pernah terdidik dalam bidang persampahan melalui program training atau capacity building, tidak jelasnya organisasi pengelola sampah karena adanya perubahan kebijakan pola maksimal dan pola minimal suatu Dinas, menurunnya alokasi APBD bagi pengelolaan sampah, menurunnya penerimaan retribusi (secara nasional hanya dicapai 22 %), menurunnya tingkat pelayanan (tingkat pelayanan dari data BPS tahun 2000 hanya 32 % yang sebelumnya pernah mencapai 50 %), menurunnya kualitas TPA yang sebagian besar menjadi open dumping dan timbulnya friksi antar daerah / sosial, bahkan korban jiwa dalam kasus longsornya TPA Leuwigajah, tidak adanya penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat yang membuang sampah sembarangan dan lain-lain. Timbulnya pencemaran lingkungan disekitar TPA disebabkan karena tidak adanya proses pemilihan lokasi TPA yang layak dan tidak adanya alokasi lahan TPA dalam Rencana Tata Ruang Wilayah sehingga lokasi TPA yang ada saat ini tidak memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan standar nasional. Selain itu fasilitas TPA yang sangat minim terutama berkaitan dengan terbatasnya fasilitas perlindungan lingkungan (buffer zone, pengumpulan dan pengolahan leachate, ventilasi gas dan penutupan tanah) dan pengoperasian TPA cenderung dioperasikan secara open dumping. Larangan ijin mendirikan bangunan disekitar TPA juga tidak dilakukan sehingga lokasi TPA yang semula jauh dari permukiman menjadi sangat dekat. Masalah yang juga dilematis adalah kehadiran para pemulung yang jumlahnya cukup banyak (di TPA Bantar Gebang mencapai 5 ribu orang) sehingga menyulitkan pengoperasian TPA secara benar. Mengacu pada berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia serta adanya tuntukan pemenuhan komitmen Internasional seperti Agenda 21 mengenai pengurangan volume sampah yang dibuang ke TPA (3 R), Prinsip Dublin Rio, MDGs (millenium development goals) mengenai peningkatan separo jumlah masyarakat yang belum mendapatkan akses pelayanan pada tahun 2015, Kyoto Protocol mengenai mekanisme pembangunan bersih (CDM) dan lain-lain, menuntut adanya suatu kebijakan nasional yang tegas dan realistis

Page 2: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

1

PENANGANAN SAMPAH B3 RUMAH TANGGA I. PENDAHULUAN

Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga, dan mengandung bahan dan atau bekas kemasan suatu jenis bahan berbahaya dan/atau beracun disebut sampah bahan berbahaya beracun rumah tangga sampah (B3 RT), Jenis sampah ini walaupun dalam kuantitas atau konsentrasi yang sangat kecil akan tetapi mengandung bahan berbahaya beracun /B3 (PP No. 18 Tahun 1999 jo PP No. 85 Tahun 1999). Jenis sampah ini antara lain adalah batu baterai bekas, neon dan bohlam bekas, kemasan cat, kosmetik atau pelumas kendaraan yang umumnya mengandung bahan-bahan yang menyebabkan iritasi atau gangguan kesehatan lainnya seperti logam merkuri yang terkandung di dalam batu baterai pada umumnya. Dalam aktifitas rumah tangga di setiap perkotaan, masyarakat umumnya membuang sampah jenis ini secara tercampur dengan sampah rumahannya. Sampah B3 RT yang terbuang banyak dipulung oleh para pelaku daur ulang, untuk diambil kembali komponen-komponennya yang masih bernilai ekonomis. Kehadiran sampah B3 RT ini di dalam timbulan sampah kota relatif sangat kecil, namun sifat akumulatif sampah tersebut merupakan ancaman bagi lingkungan di sekitar tempat pembuangan akhir sampah. Bahaya yang ditimbulkannya adalah masuknya bahan-bahan yang berkatagori B3 tersebut ke dalam aliran air bawah tanah atau kontak langsung dengan manusia dan mahiuk hidup lainnya. Tingkat bahaya terbesar sudah barang tentu diterima oleh para pelaku daur ulang dan petugas sampah umumnya yang biasa bekerja tanpa peralatan pelindung. Pengelolaan secara terpadu dengan mengintegrasikan seluruh aspek pengelolaan merupakan prinsip dasar pengelolaan sampah saat ini. Demikian halnya dengan pengelolaan sampah B3 RT diperlukan pengembangan sistem terpadu dengan mengintegrasikan kelima sub sistem, yaitu: organisasi, pembiayaan, hukum, teknik operasi dan peran aktif masyarakat. Peran perangkat hukum menjadi penting mengingat sampah B3 merupakan sampah khusus yang memerlukan penanganan tersendiri. Faktor panting lainnya adalah peran serta aktif masyarakat. Di dalam pengelolaan sampah B3 RT kelompok strategis yang diperlukan peran aktifnya adalah produsen barang dan atau bahan B3, masyarakat konsumen sebagai penimbul sampah, pengelola sampah kota, dan pelaku daur ulang. Peran aktif Perguruan Tinggi diperlukan sebagai lembaga strategi yang berkemampuan untuk menjalankan fungsi pendukung sistem. Dukungan yang diperlukan terutama dalam upaya penyebaran pengetahuan dan informasi juga dalam pengembangan kajian dan atau penelitian teknologi tepat guna dalam upaya pengelolaan sampah B3 RT.

II. PERMASALAHAN UTAMA

- Jumlah sampah B3 RT dalam timbulan sampah kota tidak lebih dari 2%. Walaupun jumlahnya sangat kecil, dengan pola pembuangan akhir sampah saat

Page 3: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

2

ini di Indonesia, yaitu dengan metode pembuangan akhir di suatu lahan memungkinkan terjadinya akumulasi Bahan Berbahaya Beracun (B3).

- Akumulasi tersebut pada suatu saat akan mencapai tingkat konsentrasi tertentu. Dampak negatif yang mungkin terjadi yaitu pencemaran tanah dan air tanah yang berada di sekitar lahan pembuangan akhir.

III. KONSEP DASAR 1. Definisi Sampah Berbahaya, Beracun Rumah Tangga

- Limbah B3 adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup dan atau membahayakan kesehatan manusia.

- Peraturan tersebut menjelaskan, bahwa bekas kemasan bahan berbahaya dan beracun juga dikategorikan sebagai limbah B3. Sampah sejenis barang bekas B3 tersebut banyak dihasilkan dari aktifitas rumah tangga dan umumnya bersatu dengan sampah perkotaan Iainnya.

- ”Sampah yang berasal dari aktifitas rumah tangga, mengandung bahan dan/atau bekas kemasan suatu jenis bahan berbahaya dan/atau beracun, karena sifat kandungannya tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup dan atau membahayakan kesehatan manusia.”

2. Sumber, Jenis dan Karakteristik Sampah Bahan Berbahaya Beracun Rumah

Tangga Sampah B3 RT dikelompokkan berdasarkan jenis aktifitas rumah tangga, yaitu bahan dan/atau bekas kemasan produk dari : 1. Aktifitas dapur, seperti pembersih lantai, pengkilat logam dan pembersih oven. 2. Aktifitas kamar mandi, seperti pembersih kamar mandi, pembersih toilet dan obat

kadaluarsa. 3. Aktifitas garasi dan pembengkelan, seperti baterai, pembersih badan mobil dan

berbagai macam cat untuk mobil. 4. Aktifitas ruangan di dalam rumah, seperti cairan untuk mengkilapkan mebel,

cairan penghilang karat dan pengencer cat. 5. Aktifitas pertamanan, seperti cairan pembunuh jamur, cairan pembunuh gulma

dan racun tikus. Jenis dan karakteristik sampah B3 RT dari masing-masing sumber aktifitas dijelaskan dalam tabel berikut

Page 4: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

3

Tabel 1 Sumber dan Jenis Karakteristik Sampah B3 RT

Sumber Jenis Karakteristik

Kaleng aerosol Racun, korosif

Pembersih Racun, karsinogen Penyemprot hama Racun, mudah terbakar

Korosif Pembersih saluran Racun , karsinogen

Pembersih lantai Racun, karsinogen

Pengkilat kayu Racun, korosif

Pengkilat logam Racun, mudah terbakar

Pembersih jendela Racun, karsinogen

Dapur

Pembersih oven Racun, karsinogen

Pembersih mengandng alcohol Racun, rnudah terbakar

Pembersih kamar mandi Racun, korosif, karsinogen Obat untuk menghilangkan rambut

Racun,"Ailergen"

Pernbersih permanen Racun, karsinogen

Obat kadaluarsa I Racun

Pembersih toilet Racun, karsinogen

Kamar Mandi

Pembersih lantai dan bak mandi Racun, karsinogen, korosif, mudah terbakar

"Antifreeze" Racun, karsinogen, mudah terbakar

Oil perseneling Racun, mudah terbakar Dempul, cat, tinner untuk reparasi badan mobil

Racun, korosif, mudah terbakar

Baterai Racun , korosif

Minyak rem Racun, korosif, mudah terbakar

Cairan pembersih mobil Racun Solar, bensin, minyak tanah, pelumas

Racun, mudah terbakar

Pembersih badan mobil Racun

Garasi

Cairan pembersih kaca mobil Racun

Bekas penyemprot Racun , karsinogen

Cairan pelarut Racun, mudah terbakar

Lem Racun, mudah terbakar

Berbagai macam cat untuk mobil Racun, korosif, mudah terbakar

Cairan pelarut cat Racun., korosif,mudah terbakar

Bengkel

Cat dasar (meni) Racun, mudah terbakar

Cairan penghilang karat Racun , korosif

Pengencer cat Racun, korosif, mudah terbakar

Dalam Rumah Cairan untukmengkilapkan

mebel Racun, korosif, mudah terbakar

Cairan pembunuh jamur Racun , korosif, karsinogen

Cairan pembunuh gulma/rumput liar

Racun, rnuclah meledak

Cairan pembunuh serangga Racun, mudah meledak, karsinogen.

Taman

Racun tikus Racun, mudah terbakar

Page 5: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

4

Amunisi/bubuk amunisi Racun, mudah terbakar, mudah meledak

Cat untuk melukis Racun

Cairan pembersih kering Racun

Minyak senjata Racun, mudah terbakar, mudah meledak

Cairan untuk menyalakan rokok Racun, mudah terbakar, mudah meledak

Baterai Racun, mudah terbakar, koros- karsinogen

Kapur Barus Racun

Pemadam api untuk kebakaran yang telah tua

Racun, mudah terbakar

Bahan kimia untuk keperluan fotografi

Racun, mudah terbakar,

Lain-lain

Asam pembersih kolam renang Racun, mudah terbakar

3. Dasar Hukum Pengelolaan Sampah Bahan Berbahaya Beracun Rumah

Tangga 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 tahun 1999 jo PP No.85 tahun

1999.

2. Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan limbah B3 yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Bappedal

3. Petunjuk Teknis Tata Cara Pengelolaan Sampah 3 M, yang dikeluarkan oleh Puslitbang Teknologi Permukiman

4. Sistem Pengelolaan Sampah Bahan Berbahaya Beracun Rumah Tangga

a. Aspek Organisasi

- Diperlukan institusi yang bertanggung jawab atas pengelolaan sampah B3RT

(termasuk sampah kota) - Struktur organisasi yang ada di lingkungan kebersihan - Bekerjasama dengan pihak produsen b. Sub Sistem Hukum

Ketentuan pengelolaan sampah B3 RT

Masyarakat wajib memisahkan sampah B3-RT di rumah-rumah, ke dalam suatu wadah terpisah, dan selanjutnya diserahkan kepada petugas swakelola masing-masing RW,

Petugas swakelola, wajib mengumpulkan sampah B3-RT ke dalam wadah khusus di TPS terdekat atau di toko-toko tertentu yang ditunjuk sebagai pengumpul B3 RT untuk dikembalikan kepihak produsen atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku

c. Aspek Teknik

Pengelolaan sampah B3-RT pada dasarnya ditujukan untuk mengelola sampah B3-RT yang masuk ke dalam timbulan sampah kota, karena itu di dalam

Page 6: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

5

operasinya memerlukan pemilahan/pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan sementara dan pengolahan.

Pemilahan dan pewadahan adalah kegiatan memilah sampah B3 dari sampah organik dan anorganik oleh masyarakat di rumah-rumah, kemudian memasukkannya ke dalam kantong plastik atau wadah lain yang berbeda, sebelum diangkut oleh petugas pengumpul. P

Pengumpulan adalah kegiatan mengumpulkan sampah B3 RT dari rumah ke wadah penampungan sampah B3 RT di Tempat Penampungan Khusus.

Pengangkutan adalah kegiatan mengangkut sampah dari Tempat Penampungan Khusus ke Tempat Penyimpanan Sementara.

Penyimpanan sementara adalah kegiatan menyimpan sampah B3 yang diklasifikasikan berdasarkan jenisnya untuk sementara sebelum dikelola lebih lanjut oleh instansi yang berwenang atau produsen penghasil sampah B3.

d. Aspek Pembiayaan - Pelaksanaan operasional pengelolaan sampah B3-RT pada dasarnya memerlukan

biaya yang cukup besar. - Untuk menetapkan biaya pengelolaan sampah B3 per satuan unit pengelolaan

masih diperlukan pengkajian yang lebih mendalam, mengingat adanya kewajiban produsen dan konsumen untuk turut bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah B3-RT ini.

e. Aspek Peran Serta Masyarakat

Masyarakat konsumen, sebagai pemanfaat bahan dan atau barang, menimbulkan kehadiran sampah B3 RT dalam timbunan sampah

Produsen, penghasil produk yang mengandung bahan berbahaya beracun

Instansi pengelola kebersihan kota, yang selama ini berfungsi sebagai pengelola sampah perkotaan

Masyarakat pelaku daur ulang, mulai dari pemulung sampai pada tingkat Bandar atau bahkan pabrik

Pemerintah (Propinsi dan Daerah Kota/Kabupaten ), sebagai penentu kebijakan dan yang bertanggung jawab atas penataan hukum dan peraturan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang merniliki akses luas dalam upaya penyertaan masyarakat

Perguruan Tinggi dan atau lembaga Penelitian dan Pengkajian ilmiah sampah B3-RT, yang sampai saat ini masih belum banyak dilakukan

5. Peran Stakeholders

a. Masyarakat Konsumen

Mengurangi konsumsi produk yang mengandung bahan berbahaya beracun, dan lebih memilih produk ramah lingkungan,

Memperpanjang umur pakai suatu produk, Memahami, pentingnya upaya pengelolaan lingkungan yang disebabkan oleh

bahaya bahan-bahan berbahaya beracun. Hal ini dimaksudkan bahwa konsumen

Page 7: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

6

harus menyadari bila biaya pengelolaan lingkungan akan dibebankan terhadap harga jual suatu produk.

b. Produsen

Kewajiban produsen untuk senantiasa menyampaikan kandungan bahan

berbahaya beracun di dalam produknya Kewajiban produsen untuk melakukan upaya pengolahan produk pasca pakai

baik secara mandiri atau berkelompok Tanggung jawab produsen atas penanggulangan dan pemulihan lingkungan yang

diakibatkan oleh produk yang dihasilkannya c. Pengelola Sampah

Instansi pengelola sampah kota, harus didorong agar memiliki kemampuan untuk mengantisipasi bahaya yang disebabkan oleh terakumulasinya bahan berbahaya beracun di tempat-tempat pembuangan akhir sampah. sebagai instansi pengelola kebersihan kota, wajib mengupayakan tersedianya sarana-sarana khusus pengelolaan sampah B3-RT, misalnya dengan menyediakan wadah-wadah pengumpulan , sarana pengangkutan dan mengantisipasi kerjasama dengan pihak swasta dalam upaya pengolahannya. d. Pelaku Daur Ulang Keterlibatan para pelaku daur ulang sektor informal, yaitu para pemulung yang berada di tempat-ternpat pembuangan sementara dan akhir, perlu mendapat perhatian besar. Selama ini mereka telah melakukan pengumpulan sampah B3-RT dengan cara yang sangat membahayakan kesehatannya. Perlu dikembangkan mekanisme yang mampu mengangkat keberadaan dan memberdayakan mereka. e. LSM Banyak aspek pengelolaan yang melibatkan masyarakat, memerlukan kehadiran LSM. Diharapkan kehadiran LSM mampu menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat atas upaya pencegahan pengelolaan dan pengendalian serta pelestarian lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah B3-RT. Disamping itu, LSM dapat berfungsi sebagai kontrol terhadap kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan sampah B3-RT. f. Perguruan Tinggi

Bahaya sampah B3-RT sampai saat ini belum terbukti secara nyata bagi masyarakat umumnya, untuk itu masih diperlukan pengkajian identifikasi jenis dan tingkat bahaya dari setiap produk yang mengandung bahan berbahaya dan beracun. Oleh karena itu partisipasi Perguruan Tinggi sangat diharapkan untuk menjalankan fungsi tersebut. Demikian hal dalam upaya pengelolaannya, perguruan tinggi diharapkan dapat mengembangkan penelitian dan penerapan teknologi tepat guna. g. Pemerintah

Banyaknya kelompok strategis yang diharapkan akan mendukung terciptanya pengelolaan sampah B3-RT, tentunya memerlukan kehadiran sebuah lembaga yang

Page 8: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

7

berfungsi menginisiasi dan atau menjalankan fungsi koordinator yang akan mendorong agar setiap kelompok strategis tersebut dapat berperan sebagaimana harusnya. Fungsi ini sebaiknya dijalankan oleh Pemerintah Daerah setempat. Peran aktif pemerintah daerah (kota/kabupaten) dalam pengelolaan sampah B3-RT perlu dukungan kebijakan pemerintah. Penyerahan wewenang seutuhnya dari pusat ke daerah dalam pengelolaan sampah B3-RT perlu terus diupayakan.

G. METODE-METODE YANG DITERAPKAN

Pelaksanaan uji coba pengelolaan sampah B3-RT dilaksanakan dengan metoda yang disesuaikan dengan pola-pola pengelolaan sampah yang telah dijalankan di Kota Bandung. Tahapan operasi pengelolaan terdiri dari pemilahan dan pewadahan, pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan sementara. 1. Metode Pemilahan

Pemilahan dilakukan dengan mengelompokkan sampah dalam 3 jenis yaitu : Sampah organik yaitu sampah yang mudah membusuk, terdiri dari sisa-sisa

makanan, sapuan halaman, sisa buah-buahan Sampah anorganik, yaitu sampah yang sulit sekali membusuk misalnya plastik,

kaleng, karat, sisa bangunan, kertas pembungkus/kemasan. Sampah berbahaya beracun, yaitu terdiri dari bekas kemasan pestisida, parfum,

batu baterai, bola, lampu, lampu neon Pemilahan dapat dilakukan oleh : Setiap penghasil sampah di rumah-rumah dan atau sumber Pemulung di TPS ketika dilakukan proses pemilahan sampah bernilai ekonomis Petugas menarik gerobak, dilakukan di sumber atau di TPS

Pemilahan dilakukan tanpa peralatan khusus. Wadah yang dipergunakan disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. PD Kebersihan dalam upaya merangsang masyarakat, menyediakan sarana pewadahan berupa tong sampah yang diberi warna: Tong hijau, untuk sampah organik Tong kuning, untuk sampah an organik

Adapun sampah B3-RT tidak disediakan tempat khusus, masyarakat dibina untuk menyediakan wadah sendiri terpisah dengan kedua jenis sampah lainnya.

2. Metode Pengumpulan

Pengumpulan sampah B3-RT yaitu kegiatan pengumpulan sampah B3-RT dari rumah-rumah ke dalam wadah sampah B3-RT di tempat pengumpulan sementara sebelum diangkut ke tempat penyirnpanan sementara. Pengumpulan sampah B3-RT dilakukan setelah adanya proses pemilahan sampah. Sesuai dengan pola operasi pengelolaan sampah yang telah dilakukan, maka metoda pengumpulan sampah B3 RT adalah sebagai berikut : Metoda individual

Yaitu sampah B3 RT dari rumah-rumah dikumpulkan oleh petugas swakelola dan RT/RW, ke tempat pengumpulan lokasi khusus

Page 9: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

8

Metoda komunal

Yaitu sampah B3 RT dari rumah-rumah dikumpulkan masing-masing/individu ke tempat pengumpulan tanpa melalui petugas pengumpul

Pada kedua metoda diatas tidak ada peralatan khusus yang disediakan. Metoda pengumpulan yang diterapkan dapat dijelaskan pada gambar berikut

3. Metode Pengangkutan Pengangkutan sampah B3 RT adalah proses pemindahan sampah B3 RT yang terkumpul di tempat penampungan sementara B3 RT ke tempat penyimpanan sementara B3 RT dengan menggunakan kendaraan pengangkutan khusus. Proses pengangkutan sampah B3 RT dilakukan setelah sampah B3 RT terkumpul dari sumbernya di dalam wadah-wadah yang berada di tempat penampungan sementara. Didalam PP 18 Tahun 1999 dan didalam Keputusan Kepala Bapedal No.Kep/01/Bapedal/09/1995 belum ada ketentuan khusus mengenai tata cara pengangkutan sampah B3 RT, oleh karena itu pelaksanaan operasi pengangkutan disesuaikan dengan kondisi yang ada. Operasi pengangkutan dilaksanakan setelah terlebih dahulu dilakukan monitoring terhadap seluruh titik pengumpulan. Monitoring dilakukan dengan maksud memantau kuantitas sampah terkumpul. Armada pengangkutan dijalankan apabila berdasarkan hasil monitoring, terdapat banyak titik pengumpulan yang telah penuh. Didalam ujicoba ini tidak dilakukan pertimbangan ekonomis dalam proses pengangkutan. Berdasarkan pertimbangan bahwasannya dalam sekali route pengangkutan maksimal harus dapat terangkut seluruh wadah sampah yang ada di seluruli titik pengumpulan, maka pada ujicoba pengangkutan dilakukan dengan menggunakan truk standar ukuran 10 m3. Didalam satu kali pengangkutan, diperlukan 3 orang personil yang terdiri dari : 1 (satu) orang pengemudi 2 (dua) orang kernet yang dilengkapi dengan masker, sarung tangan dan topi

4. Metode Penyimpanan

Penyimpanan sampah B3 RT yaitu kegiatan penyimpanan sementara pasca pengumpulan. Sampah yang telah terkumpul, diangkut ke suatu tempat penyimpanan sementara. Proses penyimpanan berawal dari proses bongkar muat wadah-wadah sampah terangkut oleh kendaraan pengangkutan. Selanjutnya, dilakukan pemilahan sampah terkumpul berdasarkan jenisnya. Setelah dilakukan proses pencatan kuantitas terkumpul, sampah B3 RT di simpan dalam wadah dan tempat/rak sejenis. Diharapkan, dengan mengembangkan kerjasama dengan pihak produsen, maka tidak ada tindak lanjut pasca penyimpanan Keputusan Bapedal No.kep-01/Bapedal/09/1995, tempat penyimpanan sementara sampah B3 RT harus memiliki kriteria sebagai berikut :

Bangunan memiliki rancang bangun dan luas ruang penyimpanan yang sesuai dengan jenis, karakteristik dan jumlah limbah B3 yang dihasilkan.

Terlindung dari masuknya air hujan baik secara langsung maupun tidak langsung

Page 10: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

9

Dibuat tanpa plafon dan memiliki sistem ventilasi udara yang memadai untuk mencegah terjadinya akumulasi gas didalam ruang penyimpanan serta memasang kasa atau bahan lain

Untuk mencegah masuknya burung atau binatang kecil lainnya kedalam ruang penyimpanan

Memiliki sistem penerangan (lampu/cahaya matahari) yang memadai untuk operasional penggudangan atau insfeksi rutin, jika menggunakan lampu, maka lampu penerangan harus dipasang minimal 1 meter diatas kemasan dengan sakelar (stop contact) harus terpasang disisi luar bangunan Lantai bangunan harus kedap air, tidak bergelombang, kuat dan tidak retak. Lantai bagian dalam dibuat melandai turun kearah bagian penampungan dengan kemiringan maksimum 1%.

5. Metode Pengolahan

Pengolahan yang dapat dilakukan adalah upaya perolehan kembali bahan-bahan beracun berbahaya dari dalam barang dan atau kemasan. Sebagai contoh, kandungan karbon di dalam batu baterai bekas banyak dimanfaatkan sebagai suplemen bahan bakar, setelah kandungan logam merkuri dipisahkan. Logam merkuri yang dikategorikan bahan berbahaya ini seharusnya dikumpulkan menjadi satu dan dikelola sesual ketentuan pengolahan limbah B3. Partisipasi aktif para produsen atau para pelaku daur ulang yang selama ini telah mengembangkan upaya pemanfaatan sampah B3 RT sangat diharapkan pada pengolahan limbah tersebut. Pemanfaatan dan perolehan kembali bahan yang bernilai ekonomis dari sampah B3 RT selama ini banyak dilakukan oleh para pelaku daur ulang. Pola penanganan dilakukan secara tidak aman, sehingga membahayakan para pelakunya. Untuk itu diperlukan Standar Operation Procedure pengelolaan sampah B3 RT, bagi setiap pelaku pengelolaan.

6. Metode Monitoring

Monitoring adalah suatu kegiatan yang dimulai dari mengamati, mengawasi sampai mencermati pelaksanaan operasi pengelolaan sampah B3 RT. Monitoring dimaksudkan untuk mengetahui dan atau mengukur kinerja sistem yang diujicobakan. Kegiatan monitoring dilakukan secara berkala, setiap satu minggu sekali. Peralatan dan sumber daya yang diperlukan adalah : Petugas khusus yang telah mengetahui pola operasi pengelolaan, sebanyak 2

orang Peralatan pencatat informasi yaitu : form monitoring

Dari format yang telah diisi dapat diketahui lokasi mana yang harus segera dilakukan pengangkutan, apabila sudah diketahui lokasi mana yang harus segera diangkut segera hubungi petugas pengangkut untuk segera mengangkut tempat pengumpulan sampah B3 RT yang sudah penuh.

Page 11: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

10

Selain monitoring jenis dan kuantitas sampah B3 RT dilakukan pula monitoring terhadap program secara keseluruhan. Hal ini dimaksudkan sebagai pengumpulan informasi kelayakan sistem yang diujicobakan. Evaluasi dilaksanakan dengan maksud untuk melakukan penilaian terhadap kegiatan-kegiatan pada sistem pengelolaan sampah B3 RT. Indikator pengukuran keberhasilan adalah efektifitas dan efisiensi program. Evaluasi program atau kegiatan dilaksanakan setelah diperoleh kesimpulan dan keterangan yang ada pada format hasil monitoring. Dari hasil evaluasi ditentukan parameter-parameter kegiatan yang perlu diperbaiki.

H. KESIMPULAN (Hasil Uji Coba di Bandung) Kesimpulan yang diperoleh dari hasil evaluasi terhadap tolok ukur tersebut diuraikan sebagai berikut. 1. Kuantitas dan Kualitas Sampah Terkumpul

Sebagian besar wadah terisi sampah diluar kriteria sampah B3 RT dengan melakukan pengujian terhadap tingkat pengetahuan masyarakat disekitar lokasi secara acak, diperkirakan bahwa hal tersebut disebabkan karena masyarakat belum mengenal jenis-jenis sampah B3 RT.

2. Program Sosialisasi

Sosialisasi melalui kelompok binaan belum mengenai sasaran. Hal ini terjadi mengingat masaiah sampah B3 RT bukan rnerupakan pesan utama yang dibawa dalam media-media kampanye di lokasi tersebut. Dalam kelompok binaan, sosialisasi sampah B3 RT dilakukan secara khusus hanya di satu wilayah ujicoba yaitu di Kelurahan Tegalega. Masyarakat binaan di dua wilayah ujicoba 1ainnya (Kelurahan Merdeka dan Kelurahan Karang Pamulang) belum menunjukkan kesiapan menerima pesan pengelolaan sampah B3 RT. Oleh karena itu, pesan diarahkan terhadap pemaparan pengetahuan mengenal jenis-jenis sampah B3 RT. Demikian halnya di dalam program kampanye kota melalui radio dan buletin serta program sekolah, belum mampu meningkatkan efektifitas pengumpulan sampah B3 RT. Banyak faktor yang mungkin menjadi penyebab antara lain kejelasan informasi tentang jenis sampah B3 RT, ketersediaan sarana dan prasarana serta sebaran dari kelompok sasaran yang kurang terintegrasi dengan penempatan lokasi ujicoba. Kurangnya fokus sosialisasi terhadap pengelolaan sampah B3 RT, merupakan kelemahan utama dalam program ujicoba ini. Namun demikian, diperkirakan bahwa masih sangat rendahnya efektifitas pengumpulan sampah B3 RT juga dipengaruhi oleh kehadiran para pemulung yang secara langsung mengumpulkan sampah tersebut untuk dijual kembali. Wadah sampah yang dirancang sedemikian rupa dengan pintu terkunci, ternyata masih memungkinkan terjadinya pembongkaran kembali sampah-sampah yang telah terkumpul oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Page 12: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

11

3. Kapasitas Sistem

Tinjauan terhadap aspek ketersediaan sarana dan prasarana, sistem pengelolaan yang dikembangkan oleh PD. Kebersihan Bandung pada dasarnya sudah sangat lengkap. Akan tetapi kurangnya referensi saat pengembangan desain menyebabkan munculnya permasalahan saat operasi. Permasalahan yang muncul yaitu kurang sesuainya bentuk wadah yang disediakan dengan jenis sampah B3 RT terkumpul. Wadah pengumpulan tercampur bagi seluruh jenis sampah B3 RT, ternyata menyebabkan pecahnya jenis sampah seperti neon dan bohlam. Desain wadah yang disesuaikan dengan jenisnya merupakan alternatif pemecahan masalah. Disamping masih rendahnya sosialisasi, faktor lain yang menyebabkan kuantitas sampah terkumpul, yaitu faktor penempatan wadah. Kurang strategisnya penempatan menyebabkan tidak adanya masyarakat yang membuang sampah B3 RT kedalamnya. Akumulasi sampah B3 RT di tempat penyimpanan menjadi kekhawatiran besar pihak PD Kebersihan. Belum adanya hubungan kerjasama antar PD Kebersihan dan atau dengan para pelaku daur ulang dan atau produsen merupakan kendala utama. Oleh karena itu, kontrak dan bahkan hubungan kerjasama dengan pihak-pihak yang mungkin mengolah sampah B3 RT harus dilakukan sebelum ujicoba dikembangkan. Dalam hal inl pihak produsen dan para pelaku daur ulang harus dilibatkan sejak perencanaan. Keterlibatan seluruh kelompok strategis sejak awal perencanaan akan membuat sistem lebih terpadu. Diharapkan akan mampu meningkatkan efisiensi biaya pelaksanaan ujicoba, yaitu dari adanya bagi peran untuk mengantisipasi masalah tersebut. Terselenggaranya Lokakarya Pengelolaan sampah B3 RT yang dihadiri oleh seluruh komponen Kelompok Strategis merupakan terobosan guna keberlanjutan program. Lokakarya tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi dan berhasil merumuskan kesepakatan bersama antar kelompok strategis namun demikian tidak lanjut lokakarya tersebut belum terasa dampaknya hingga akhir tahun 2000. Akan lebih terukur dampaknya apabila lokakarya atau bagi peran tersebut disusun sebelum operasi pengelolaan diujicobakan.

4. Biaya Pengelolaan Sampah B3 RT

Efisiensi biaya pengelolaan menjadi faktor utama kesediaan sebuah instansi untuk turut serta dalam pengelolaan sampah B3 RT. Dari ujicoba oleh PD. Kebersihan terdapat indikasi adanya peningkatan biaya operasi pengelolaan sampah secara keseluruhan bila pengelolaan sampah B3 RT harus sepenuhnya dilakukan PD. Kebersihan. Hal ini tentunya menjadi kendala utama pihak pengelola kebersihan. Pengkajian terhadap mekanisme pasar dalam pengelolaan sampah B3 RT harus dilakukan guna terciptanya pengelolaan yang efektif dan efisien. - Program ujicoba teknik pengelolaan dilakukan dengan menempatkan wadah-

wadah pengumpulan di 16 lokasi. Lokasi dipilih dengan kriteria khusus. Pengumpulan dilakukan oleh masyarakat, pelaku daur ulang dan oleh para petugas kebersihan kota. Sampah B3 RT terkumpul diangkut untuk disimpan dalam sebuah gudang penyimpanan di TPA.

Page 13: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

12

- Dari hasil ujicoba pengelolaan sampah B3 RT diperoleh hasil bahwa jenis sampah B3 RT yang banyak terkumpul ketika ujicoba dilakukan adalah baterai bekas, botol bekas kemasan obat, kemasan kosmetik, dan bekas kemasan pelumas. Kuantitas sampah terkumpul masih relatif kecil.

- Satu wadah pengumpulan pada umumnya penuh dalam jangka waktu 1(satu) minggu bahkan hingga 1(satu) bulan.

- Kendala yang dihadapi pada pelaksanaan ujicoba ini muncul tidak saja dari dalam, kendala dari luar yang menjadi penentu keberhasilan dan keberlanjutan ujicoba, juga muncul ketika program berjalan, yaitu belum adanya hukum yang jelas.

- Aspek pembiayaan, merupakan kendala yang cukup penting an: diperhatikan. Ujicoba ini memerlukan biaya yang sangat besar (pengadaan sarana pengumpulan dan penyimpanan dan operasi pengelolaan).

- Secara teknis, efektifitas ujicoba yang diukur dengan indikator banyaknya sampah B3 RT terkumpul, dapat dikatakan masih sangat rendah. Banyak faktor yang menentukannya, berdasarkan evaluasi faktor sosialisasi dinilai merupakan faktor utama.

- Sosialisasi perlu dilakukan lebih khusus dengan sasaran seluruh kelompok strategis. Pelaksanaan ujicoba teknis operasi pengelolaan sebaiknya dilakukan setelah program sosialisasi berjalan. Sosialisasi harus diarahkan agar terbentuk kerjasama dan bagi peran yang tegas antar seluruh kelompok strategis. Dengan demikian, sistem terpadu yang di mulai sejak pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan bahkan sampah pengolahan dapat dilakukan dengan lebih efisien.

- Nilai positif yang telah diperoleh dengan melakukan ujicoba ini antara lain: Memperoleh data kuantitatif timbulan sampah B3 RT Memperoleh informasi tentang jenis dan karakteristik sampah B3 yang

ditimbulkan dari aktifitas rumah tangga umumnya , Memperoleh dasar-dasar teknik pengembangan sistim pengelolaan sampah

B3 RT, mulai dari operasi pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan, Mendapat gambaran secara kuantitatif, besarnya beban pengelola sampah

dalam melakukan pengelolaan, baik dari aspek teknis maupun dari aspek ekonomis,

Data-data akurat yang diperoleh dapat menjadi informasi pendukung, untuk mendorong agar pihak yang berwenang terhadap pengelolaan limbah B3 pada umumnya lebih memperhatikan masalah sampah B3 RT ini.

Page 14: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

1

ASPEK PERAN SERTA MASYARAKAT

A. PENDAHULUAN

Pembinaan masyarakat dalam pengelolaan sampah adalah dengan melakukan perubahan bentuk perilaku yang didasarkan pada kebutuhan atas kondisi lingkungan yang bersih yang pada akhirnya dapat menumbuhkan dan mengembangkan peran serta masyarakat dalam bidang kebersihan. Perubahan bentuk perilaku masyarakat dapat terwujud perlu ada usaha membangkitkan masyarakat dengan mengubah kebiasaan sikap dan perilaku terhadap kebersihan/sampah tidak lagi didasarkan kepada keharusan atau kewajibannya, tetapi Iebih didasarkan kepada nilai kebutuhan. Untuk mengubah kebiasaan tersebut, maka diperlukan pembinaan terhadap peran serta masyarakat yang dilakukan secara menyeluruh (kalangan pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan masyarakat biasa) dan terpadu (pengelola dan seluruh masyarakat). Pembinaan terhadap peran serta masyarakat harus dilakukan secara terus menerus, terarah, terencana dan berkesinambungan, serta dengan melibatkan berbagai unsur terkait.

B. KONSEP DASAR

Peran serta masyarakat dan sistem pengelolaan formal membentuk keseimbangan perilaku dalam sistem pengelolaan persampahan dan tidak mencampur-adukkan peran serta masyarakat kedalam peran institusi formal dalam aspek pengelolaan. Kebutuhan peran serta masyarakat tidak berarti dalam rangka menutupi kekurangan sistem formal. Peran serta masyarakat mempunyai proporsi peran tersendiri, demikian pula sistem formal pengelolaan sampah (LKMD, RT, RW).

C. KRITERIA PENINGKATAN PERAN SERTA MASYARAKAT

Kriteria yang perlu diperhatikan untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan membina peran serta masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan membina peran serta

masyarakat secara terarah diperlukan program yang dilaksanakan secara intensif dan berorientasi kepada penyebar luasan pengetahuan, penanaman kesadaran, peneguhan sikap dan pembentukan perilaku.

2. Produk perancangan program diharapkan dapat membentuk perilaku sebagai berikut: − masyarakat mengerti dan memahami masalah kebersihan lingkungan − masyarakat turut serta secara aktif dalam mewujudkan kebersihan

lingkungan − masyarakat bersedia mengikuti prosedur / tata cara pemeliharaan

kebersihan

Page 15: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

2

− masyarakat bersedia membiayai pengelolaan sampah − masyarakat turut aktif menularkan kebiasaan hidup bersih pada anggota

masyarkat lainnya − masyarakat aktif memberi masukan ( saran-saran ) yang membangun

D. STRATEGI PENINGKATAN PERAN SERTA MASYARAKAT

Pengembangan peran serta masyarakat dibidang kebersihan diterapkan dengan pendekatan secara edukatif dengan strategi 2 tahap, yaitu pengembangan petugas dan pengambangan masyarakat. Kunci pengembangan petugas ialah keterbukaan, dan pengembangan komunikasi timbal balik ( unsur petugas sendiri, antara petugas dan atau masyarakat dan atau anggota masyarakat ), horizontal maupun vertikal. Kunci pengembangan masyarakat ialah pengembangan kesamaan persepsi, antara masyarakat dan petugas. Suatu komunikasi dikatakan berhasil, bila menimbulkan umpan balik dan pesan yang diberikan. Isi adalah informasi, penjelasan dan penyuluhan, sedangkan umpan balik berupa ketentuan masyarakat untuk memenuhi kewajiban (membayar retribusi, memelihara kebersihan lingkungan dan dukungan moril kepada petugas kebersihan). Penjabaran strategi peningkatan peran serta masyarakat: 1. menyampaikan informasi, atau meneruskan informasi melalui media masa 2. membujuk dan menghukum, bertujuan untuk mempengaruhi (kepercayaan,

nilai, cara bertindak) pihak yang diajak berkomunikasi. Bila bujukan belum berhasil, dilakukan hukuman yang merupakan senjata terakhir untuk memaksa masyarakat berubah sikap.

3. mengadakan dialog. E. ASPEK YANG MENENTUKAN PERAN SERTA MASYARAKAT

Peningkatan peran serta masyarakat relatif akan berhasil bila memperhatikan aspek aspek berikut: 1. komunikasi, yang menumbuhkan pengertian yang berhasil 2. perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh

pengertian yang menumbuhkan kesadaran 3. kesadaran, yang didasarkan kepada perhitungan dan pertimbangan 4. antusiasme, yang menumbuhkan spontanitas 5. adanya rasa tanggung jawab, terhadap kepentingan bersama.

F. PROGRAM PENINGKATAN

Dalam penyusunan program peningkatan peran serta masyarakat dalam bidang persampahan, harus memuat komponen-komponen sebagai berikut:

Page 16: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

3

1. Teknis a. Individual

Peran serta masyarakat dapat dimulai dari skala individual rumah tangga yaitu dengan mereduksi timbulan sampah rumah tangga. Teknik reduksi sampah ini dikenal dengan nama metoda 3R (reduce, reuse, recycle). Sebagai contoh penerapan metoda 3R dalam kehidupan sehari-hari , misalnya :

1) Reduce − Untuk pembelian produk-produk, tidak perlu meminta bungkusan ganda,

sudah masuk kardus tidak perlu dibungkus lagi dengan kertas, kemudian masuk ke dalam kantong plastik.

− Memilih produk yang kemasannya cenderung menimbulkan sampah paling kecil / sedikit.

2) Reuse − Menghindari pemakaian produk sekali pakai, misal dengan pemakaian

baterai yang dapat diisi kembali (recharge), penggunaan pena / ballpoint yang dapat diisi lagi (refill).

− Menggunakan kembali botol-botol tempat minyak atau bahan makanan. − Menggunakan wadah yang dapat dipakai berulang kali. 3) Recycle − Memisahkan sampah basah ( organik, sampah dapur, sayur, sisa

makanan ) dengan sampah kering (anorganik, kertas, plastik, botol ). − Menjual atau menyumbangkan barang-barang yang tidak dipakai, kepada

orang yang memerlukan. − Pinjam meminjam atau sewa-menyewa barang-barang yang yang jarang

pemakaiannya, seperti meja kursi pesta.

b. Kelompok Secara berkelompok (komunal), masyarakat dapat ikut berperan dalam pengelolaan sampah pengolahan sampah skala lingkungan, misalnya : 1) Reduce − Memberi kemasan hanya untuk produk yang benar-benar memerlukan

bungkus atau kemasan, dan menghindari pemberian bungkus sebagai penghias.

− Menyediakan jaringan informasi dengan komputer, tanpa terlalu banyak kertas yang setelah dibaca akan dibuang.

2) Reuse − Memakai halaman belakang kertas untuk surat-surat di kantor. − Membudayakan pemakaian kantong belanja yang dapat digunakan

berulang-ulang. 3) Recycle − Pendirian UDPK ( Usaha Daur Ulang Dan Pembuatan Kompos ) , yang

akan sangat tinggi manfaatnya dalam mereduksi timbulan sampah. − Mengadakan tempat jual beli barang bekas.

Page 17: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

4

2. Pembiayaan Peran serta masyarakat dalam hal pembiayaan dipengaruhi oleh: a. Kemampuan masyarakat untuk membayar b. Kemauan untuk membayar tepat waktu c. Penerapan Perda tentang tarif

3. Pemecahan masalah

Masalah menipisnya peran serta masyarakat dipecahkan melalui : a. Penyuluhan: -memasyarakatkan Perda tentang kebersihan -memasyarakatkan aset kebersihan b. Insentif memberikan potongan iuran/retribusi bagi pemilahan sampah di

sumbernya c. Desinsentif : mengenakan denda bagi yang terlambat membayar iuran.

G. PENYULUHAN DAN BIMBINGAN

Penyuluhan dan bimbingan masyarakat merupakan alternatif yang dapat dipergunakan untuk mengajak masyarakat bersama pemerintah dalam upaya kebersihan / menanggulangi persampahan yang merupakan salah satu aspek dari pembangunan nasional. 1. Tujuan

Tujuan penyuluhan dan bimbingan masyarakat dalam bidang persampahan adalah tercipta dan terbinanya suatu masyarakat dinamis yang berperan serta secara aktif dalam menanggulangi masalah kebersihan dilingkungannya. Dalam menentukan tujuan yang penting diketahui adalah: a. jelas b. realistis c. bisa diukur

Tujuan penyuluhan terbagi kedalam tiga (3) bagian yaitu: a. tujuan jangka pendek, terciptanya suatu masyarakat yang mengerti,

memahami akan masalah kebersihan b. tujuan jangka menengah, terciptanya suatu masyarakar yang mempunyai

kesadaran akan kebersihan c. tujuan jangka panjang, terciptanya suatu masyarakat yang menjadikan

kebersihan sebagai suatu kebutuhan.

2. Sasaran Yang dimaksud dengan sasaran atau kelompok sasaran adalah individu ataupun kelompok yang akan diberi penyuluhan dan bimbingan. Sasaran yang diprioritaskan untuk dilakukan penyuluhan dan bimbingan masyarakat dalam bidang kebersihan dan persampahan adalah: a. Kelompok masyarakat yang kurang tanggap terhadap masalah

kebersihan. b. Kelompok masyarakat yang masih memiliki dan mengikuti adat istiadat

yang kurang mendukung upaya penanggulangan persampahan. c. Kelompok masyarakat yang masih keliru dalam praktek pelaksanaan

kegotong¬royongan dalam kebersihan. d. Kelompok masyarakat yang secara sosiokultural bersifat menyendiri.

Page 18: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

5

e. Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran kegiatan / program / proyek bidang kebersihan.

f. Kelompok masyarakat yang telah melaksanakan peran serta.

3. Materi Penyuluhan Materi penyuluhan kebersihan, adalah semua bahan topik yang akan disampaikan kepada masyarakat penerima penyuluhan kebersihan. Pemilihan materi hendaknya disesuaikan dengan waktu, tempat, bentuk kegiatan, masyarakat yang dihadapi serta target/sasaran yang hendak dicapai. Topik atau materi yang disampaikan adalah : a. Pengertian sampah, jenis- jenis sampah b. Memberikan petunjuk tata cara pengelolaan berbagai jenis sampah c. Cara membuang dan memusnahkan sampah d. Dampak, ancaman bila sampah dibiarkan berserakan e. Pentingnya membuang sampah pada tempatnya f. Hubungan antara kebersihan dan kesehatan g. Peraturan perundang-undangan yang berlaku h. Menerangkan tentang kebersihan institusi kebersiha, keorganisasian dan

manajemen, bentuk, jumlah personalia, luas wiiayah operasi, dan kapasitas pelayanannya

i. Masalah persampahan yang sering dijumpai oleh masyarakat j. Pentingnya peran serta masyarakat dalam menanggulangi masalah

kebersihan k. Jumlah biaya yang diperlukan dan sumber-sumbernya l. Retribusi, struktur tarif, dasar penyusunan kelas m. Alternatif peran serta masyarakat n. Pengelolaan komunal, swakelola dan sampah umum o. Saling mengingatkan antara sesama warga.

4. Metoda dan Teknik Penyuluhan a. Metode Penyuluhan, metode yang dapat dipergunakan dalam penyuluhan kebersihan:

1) Metode persuasif dan motivatif, adalah metoda dalam melaksanakan tugas sebagai penyuluh kebersihan, memberikan pengertian dan ajakan serta pesan-pesan, didasarkan atas kesadaran dan keinsyafan.

2) Metoda persuasif, selalu menjalin hubungan yang kuat atas dasar saling mengerti dan sating memberi bantuan serta dukungan antara penyuluh dan masyarakat sasaran

3) Metoda partisipatif, selalu menempatkan masyarakat sasaran sebagai subyek/pelaku aktif.

b. Teknik Penyuluhan, adalah tata cara penyampaikan pesan-pesan penyuluhan

kepada masyarakat yang menjadi sasaran penyuluhan. Teknik yang dipergunakan adalah penyuluhan lisan, tulisan dan penyuluhan peragaan.

1) Penyuluhan lisan, cara penyampaiannya dalam bahasa lisan, yang terdiri atas

penyuluhan lisan secara langsung dan lisan secara tidak langsung. Penyuluhan lisan secara langsung : • Penyuluh berhadapan langsung dengan kelompok penerima penyuluhan. • Tempat berlangsungnya kegiatan penyuluhan dipersiapkan terlebih dahulu. • Medianya adalah ceramah, khotbah, sarasehan / diskusi

Page 19: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

6

Penyuluhan lisan secara tidak langsung Penyuluh tidak berhadapan dengan kelompok penerima penyuluhan dalam tempat yang sama.

Penerima penyuluhan tidak dipersiapkan terlebih dahulu pada suatu tempat tertentu.

Medianya melalui siaraan radio (pidato, reportase, wawancara, sandiwara, obrolan, majalah udara, quis), melalui siaran televisi (sandiwara, reportase, wawancara, obrolan, slide).

2) Penyuluhan tulisan

Media penyuluhan dalam bahasa tulisan antara lain pembuatan brosur, leaflet, poster / pamflet.

3) Penyuluhan peragaan kebersihan

Media yang dipergunakan pameran pembangunan bidang kebersihan/persampahan. film, group kesenian tradisional (ludruk, lenong, calung, wayang, randai dan lain-lain).

c. Teknik Bimbingan Masyarakat

Bimbingan masyarakat merupakan kegiatan lanjut dari penyuluhan kebersihan untuk memberikan arah dan cara melaksanakan upaya kebersihan, dengan kegiatan yang dapat dilakukan adalah :

1) Pemberian Contoh

Program percontohan dapat berupa pemberian contoh oleh pimpinan formal dan informal dengan melakukan kegiatan kebersihan.

2) Pemberian hadiah Pemberian hadiah atau penghargaan atas prestasi kebersihan lingkungan dapat diberikan secara berjenjang mulai dari tingkat desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kotamadya, propinsi, dan penghargaan tertinggi pada tingkat nasional (Adipura ).

3) Pemberian kemudahan

Penyediaan sarana dan prasarana yang memberikan kemudahan untuk pembuang sampah secara baik dan benar.

4) Pendidikan

Masalah kebersihan ditanamkan sejak kecil melalui pendidikan formal (disekolah) dan non formal (Pramuka, dirumah).

5) Memperluas daerah bebas sampah

6) Pemberian ancaman Pemberian ancaman dikaitkan dengan peraturan yang

diterapkan dalam bentuk sangsi terhadap pelanggaran dan peraturan.

Page 20: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

1

ASPEK MANAJEMEN (INSTITUSI, PERATURAN DAN PEMBIAYAAN)

A. KELEMBAGAAN 1. UMUM

Sejalan dengan perkembangan kondisi sosial perekonomian suatu kota, kompleksitas permasalahan sampahpun akan meningkat, seperti meningkatnya produksi sampah dari tahun ke tahun, menurunnya kualitas lingkungan perkotaan karena penanganan sampah yang kurang memadai, kebutuhan biaya operasi dan pemeliharaan yang terus meningkat tanpa diimbangi dengan penerimaan retribusi yang memadai, kesulitan mendapatkan lahan TPA, teknis pengoperasian prasarana dan sarana persampahan yang juga memadai dan lain-lain Keandalan institusi pengelola adalah hal penting dalam mengatasi permasalahan tersebut di atas. Dengan demikian maka institusi pengelola persampahan merupakan kunci pokok dalam suatu sistem pengelolaan persampahan, karena melalui aspek ini aktifitas pengelolaan dapat diatur sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Organisasi pengelola sampah tersebut mempunyai tugas tidak hanya memberikan pelayanan kebersihan kota saja, tetapi juga mampu mengembangkan kapasitas dan potensi yang ada dalam rangka menciptakan kualitas lingkungan perkotaan yang bersih dan sehat. Hal-hal yang mempengaruhi kebutuhan akan bentuk institusi yang mengelola persampahan suatu kota adalah kategori kota, status kota dan jumlah penduduk. Makin besar suatu kota maka besaran produksi sampah yang harus dikelola akan makin banyak sehingga kebutuhan akan sarana prasarana persampahanpun akan meningkat. Kebutuhan dana otomatis juga meningkat sejalan dengan itu. Kompleksitas permasalahan akan semakin besar apabila tidak diimbangi dengan profesionalisme penanganan sampah. Mengacu pada kebijaksanaan dan strategi nasional pembangunan bidang persampahan serta ketentuan kelembagaan yang ada, yaitu Kepmendagri No. 80/1994, bahwa institusi pengelola persampahan untuk kota metropolitan dan kota besar pada prinsipnya diarahkan menjadi Perusahaan Daerah Kebersihan atau Dinas Kebersihan Pola Maksimal atau Dinas Kebersihan Pola Minimal atau Suku Dinas Kebersihan (Pola Maksimal) atau Suku Dinas Pekerjaan Umum (Pola Minimal).

2. PERMASALAHAN

Secara umum permasalahan yang ada pada instansi pengelola persampahan adalah sebagai berikut: a. Bentuk organisasi yang ada pada umumnya masih belum sesuai dengan

ketentuan yang berlaku, terlalu sederhana, belum sesuai dengan

Page 21: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

2

kewenangan pelayanan yang dibutuhkan kecuali untuk beberapa kotamadya saja masih belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku

b. Sebagian besar institusi pengelola persampahan adalah berbentuk Dinas, Suku Dinas atau Seksi dengan kewenangan yang terbatas

c. Masih kurangnya kerjasama antara instansi terkait seperti dengan Dinas Pasar dalam hal keterpaduan pengumpulan sampah pasar, Dinas PU dalam hal pengangkutan sampah saluran/sungai, PLN/PDAM dalam hal penarikan retribusi dan kerjasama dengan masyarakat dalam hal pengumpulan dan pengolahan sampah yang dilaksanakan oleh RT/RW atau LKMD

d. Struktur Organisasi kebanyakan belum sesuai dengan kapasitas dan beban kerja, belum menggambarkan siklus aktifitas tahapan pengelolaan, lingkup tugas belum jelas dan fungsi pembinaan masyarakt belum optimal

e. Tata laksana kerja pada umumnya belum dinyatakan secara jelas, termasuk prosedur penarikan retribusinya, demikian pula pencatatan administrasi rutin sering tidak ada

f. Tenaga ahli terbatas, penempatan personil kurang terencana, pemanfaatan kurang seimbang serta jenjang karir yang tidak jelas

g. Motivasi karyawan yang belum bersungguh, karena ada anggapan bahwa pekerjaan yang berkaitan dengan sampah adalah hal yang kurang bermanfaat dan kurang menarik.

Permasalahan yang lebih spesifik khususnya yang berkaitan dengan masalah pengelolaan aset persampahan adalah sebagai berikut:

a. Ketidakberhasilan pengelolaan UDPK di beberapa kota disebabkan oleh tidak adanya penugasan yang jelas terhadap upaya-upaya terobosan dalam pengurangan atau pemanfaatan sampah. Apabila pelaksanaan UDPK diserahkan kepada masyarakat, pada umumnya Pemda tidak melakukan pembinaan dan pengawasan yang memadai khususnya yang berkaitan dengan masalah pemasaran

b. Kendala dalam pengoperasian TPA pada umumnya lebih didominasi masalah teknis dan biaya, kalaupun ada yang berkaitan dengan masalah organisasi adalah kurangnya tenaga yang terampil dalam meningkatkan kondisi TPA secara lebih memadai.

3. UPAYA PENINGKATAN

Dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan persampahan disuatu kota ditinjau dari aspek organisasi, ada beberapa alternatif yang perlu dipertimbangkan sebagai berikut:

a. Peningkatan institusi secara menyeluruh sesuai dengan ketentuan Departemen Dalam Negeri (Keputusan Menteri Dalam Negeri No.80/1994 tentang Struktur Organisasi Daerah Tingkat II dan Surat Keputusan Dalam Negeri No.52/1996 tentang Struktur Organisasi Pemerintah Kota Administratif).

b. Peningkatan struktur organisasi Dinas/Suku Dinas yang ada sebagai upaya transisi yang mengarah pada struktur organisasi yang sesuai dengan ketentuan tersebut diatas sebelum melakukan perubahan institusi secara

Page 22: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

3

menyeluruh. Peningkatan tersebut sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan teknis operasionalnya.

c. Peningkatan kerja sama dengan instansi terkait dengan peran masing-masing yang lebih proporsional, seperti dengan Dinas Pasar, Dinas PU, PLN / PDAM, LKMD, Swasta dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan

d. Peningkatan tata laksana kerja dari masing-masing unit organisasi secara lebih jelas, realistis dan terukur.

e. Peningkatan kualitas personil melalui pelatihan baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, maupun oleh Pemerintah Daerah Tingkat I dibidang persampahan. Peningkatan kualitas personil ini sebaiknya dilakukan secara terencana dengan konsekuensi orang yang telah mengikuti pelatihan tidak dipindahkan ke bagian yang sama sekali tidak berhubungan dengan masalah pengelolaan persampahan. Pelatihan yang dapat diikuti adalah pelatihan untuk tingkat Kepala Dinas sampai kepada tingkat Pelaksana bahkan juga pelatihan tingkat lanjutan khusus untuk meningkatkan kualitas TPA.

f. Peningkatan aspek organisasi yang berkaitan dengan pengelolaan aset persampahan seperti pada fasilitas pengolahan persampahan skala lingkungan (UDPK, Insinerator) adalah dengan memberikan kewenangan khusus pada salah satu seksi (seperti Seksi Kebersihan) untuk melaksanakan kegiatan operasional secara sungguh-sungguh (apabila UDPK dilaksanakan sendiri oleh Pemda) atau melaksanakan pembinaan termasuk pelatihan kepada masyarakat bila pengoperasian fasilitas tersebut dilakukan oleh organisasi masyarakat, artinya Pemda bertanggung jawab juga dalam masalah pengendaliannya.

B. PEMBIAYAAN 1. UMUM

Aspek Pembiayaan dalam Sistem Pengelolaan Persampahan mempunyai peran penting dalam menjalankan roda operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana persampahan. Berbagai masalah penanganan sampah yang timbul pada umumnya disebabkan oleh adanya keterbatasan dana, seperti keterbatasan dana investasi peralatan, dana operasi dan pemeliharaan sehingga kualitas pelayanan sampah sangat ditentukan oleh harga satuan per meter 3 sampah. Besaran biaya satuan ini bahkan dapat digunakan sebagai indikator tingkat efisiensi atau keberhasilan pengelolaan sampah disuatu kota. Tanpa ditunjang dana yang memadai, akan sulit mewujudkan kondisi kota yang bersih dan sehat. Kebutuhan biaya pengelolaan sampah ini akan meningkat sejalan dengan tingkat pelayanan atau volume sampah yang harus dikelola. Pihak institusi pengelola persampahan dituntut untuk dapat merencanakan kebutuhan dana secara akurat setiap tahunnya agar roda pengelolaan dapat terus berjalan sesuai dengan tujuan utama, yaitu mewujudkan kota bersih dan sehat. Meskipun tanggung jawab pengelolaan persampahan sebenarnya ada pada pihak Pemda tingkat II (PP 14/1987), tetapi Pemerintah Pusat tetap memberikan bantuan sebagai wujud pembinaan. Sesuai dengan Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Pembangunan bidang Persampahan, bahwa untuk mencapai target tingkat pelayanan 60 % - 80 % pada Pelita VI, Pemerintah Pusat telah

Page 23: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

4

memberikan bantuan proyek berupa peralatan pengumpulan, pemindahan, pengangkutan dan alat berat untuk TPA. Bantuan ini bersifat stimulan sehingga Pemda diminta untuk dapat mengoperasikan, memelihara dan mengembangkannya. Selain itu Pemerintah Pusat juga memberikan bantuan teknis berupa Studi/Perencanaan dan Pedoman Teknis serta bantuan Pelatihan. Pada saat ini kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah dalam mengembangkan sistem pengelolaan sampah adalah tidak saja dana investasi yang terbatas tetapi juga keterbatasan biaya investasi, operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana persampahan tersebut, sehingga optimalisasi penggunaan peralatan yang ada kurang memadai.

2. PERMASALAHAN

Pada umumnya permasalahan yang berkaitan dengan aspek pembiayaan adalah sebagai berikut :

a. Adanya keterbatasan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan untuk kegiatan pengelolaan persampahan baik untuk investasi maupun biaya operasi dan pemeliharaan.

b. Realisasi penarikan retribusi masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh metoda penarikan yang belum memadai, kurangnya kesadaran masyarakat, serta kurangnya perhatian Pemerintah Daerah. Hasil penarikan retribusi tidak seluruhnya dapat dialokasikan untuk biaya pengelolaan persampahan.

c. Kurang siapnya sistem penarikan retribusi termasuk kesiapan aparat pelaksana dalam memberikan pelayanan yang memadai

d. Adanya kesan double retribusi yang sebenarnya adalah iuran pengumpulan sampah dan retribusi pengangkutan sampah (dari TPS ke TPA). Hal tersebut disebabkan karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat.

e. Besarnya tarif retribusi masih belum didasarkan pada tingkat kemampuan membayar masyarakat maupun besaran volume sampah yang dihasilkan oleh setiap penghasil sampah.

f. Sumber dana alternatif seperti dana masyarakat, hibah, pinjaman lunak maupun peran serta swata belum digali secara optimal.

Selain hal-hal tersebut diatas, contoh permasalahan yang berkaitan dengan biaya pengelolaan aset persampahan adalah sebagai berikut :

a. Keterbatasan biaya pemeliharaan gerobak sering mengakibatkan gerobak rusak (tidak terpakai) sebelum umur teknisnya habis.

b. Pengoperasia truck yang tidak efisien seperti penggunaan secara door to door, ritasi yang rendah ( < dari 3 rit / hari), tidak memiliki rute yang jelas, volume angkutan yang tidak sesuai dengan kapasitas truck dan lain-lain menyebabkan peningkatan biaya operasi dan pemeliharaan.Transfer Depo yang ada tidak dimanfaatkan, sehingga pola pengumpulan sampahnya menggunakan pola pengumpulan langsung dengan truk. Pola ini selain tidak efisien juga sangat mahal.

c. Pihak pengelola UDPK menghadapi kesulitan dalam memasarkan produk komposnya, sehingga pendapatannya tidak dapat menutupi biaya operasi dan pemeliharaan.

Page 24: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

5

d. Terbatashya biaya operasi dan pemeliharaan TPA, terutama dalam hal penyediaan biaya untuk tanah penutup dan pengoperasian alat berat.

e. Besarnya biaya pengoperasian Insinerator disebabkan karena banyaknya bahan bakar yang digunakan untuk membakar sampah (nilai kalor sampah rendah dan kadar air sampah tinggi).

3. UPAYA PENINGKATAN

Dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan persampahan, diperlukan langkah kongkrit terutama dari segi pembiayaannya, yaitu peningkatan alokasi biaya operasi dan pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan serta menggali dana dari masyarakat secara optimal melalui perbaikan sistem retribusi. a. Kebutuhan Biaya Operasi dan Pemeliharaan (OIP) Aset

Persampahan Untuk dapat menyusun rencana biaya operasi dan pemeliharaan Aset Persampahan, perlu diketahui komponen pembiayaannya itu sendiri serta perkiraan besarnya masing-masing komponen tersebut. Dengan perkiraan tersebut serta adanya potensi dana masyarakat, dapat diperkirakan berapa sebenarnya subsidi yang diperlukan guna penanganan operasi dan pemeliharaan tersebut. Biaya operasi dan pemeliharaan adalah biaya yang dibutuhkan untuk keperluan rutin, meliputi kebutuhab gaji upah, kebutuhan biaya operasi kendaraan (bahan bakar, oli dan lain-lain), kebutuhan biaya perawatan dan perbaikan (service, suku cadang dan lain-lain), pendidikan dan latihan rutin, pengendalian serta administrasi kantor / lapangan.

Komponen struktur pembiayaan menurut tahap pengelolaan adalah sebagai berikut :

1). Biaya O/P Pewadahan

Pada tahap pewadahan, biaya investasi dan pemeliharaannya disarankan dilakukan oleh masyarakat sendiri sebagai bentuk peran serta masyarakat.

2). Biaya O/P Pengumpulan

Biaya operasional dan pemeliharaan pengumpulan terdiri dari : − Biaya upah penarik gerobak − Biaya perlengkapan kerja seperti baju seragam, sepatu kerja dan lain-lain − Tunjangan kesehatan dan kesejahteraan − Biaya penggantian ban dan perbaikan gerobak

3). Biaya O/P Pemindahan (Transfer Depo)

Biaya operasional dan pemeliharaan pemindahan sampah terdiri dari : − Biaya upah personil − Biaya listrik dan air − Biaya peralatan penunjang − Biaya perawatan bangunan

4). Biaya O/P Pengangkutan

Biaya operasional dan pemeliharaan pengangkutan adalah : − Biaya personil (gaji / upah) untuk sopir dan crew

Page 25: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

6

− Biaya operasi (bahan bakar, oil) − Biaya peralatan bantu seperti baju seragam, sepatu kerja, sapu sekop

dan lain-lain − Biaya perawatan kendaraan seperti pencucian, pelumasan,

penggantian ban, perbaikan dan lain-lain.

5). Biaya O/P UDPK Biaya operasional dan pemeliharaan UDPK adalah : − Biaya personil (gaji/upah) − Biaya operasi (air, listrik dan lain-lain) − Biaya perlengkapan kerja seperti baju seragam, sepatu kerja, sekop,

Biaya pengepakan kompos − Biaya perawatan bangunan UDPK

6). Biaya O/P Insinerator

Biaya operasi dan pemeliharaan Insinerator terdiri dari : − Biaya gaji/upah − Biaya bahan bakar − Listrik − Biaya perwatan bangunan Insinerator

7). Biaya O/P TPA

Biaya operasional dan pemeliharaan TPA meliputi : − Biaya personil (petugas TPA dan operator alat berat) − Biaya bahan bakar alat berat − Biaya perawatan alat berat seperti pelurasan, pergantian suku.

cadang, dan lain-lain − Biaya penutupan tanah (tanah penutup) − Biaya penyemprotan insektisida − Biaya reklamasi lahan dan penghijauan di bekas TPA − Biaya perawatan dan perbaikan fasilitas TPA (jalan masuk, kantor,

saluran drainase, ventilasi gas, pengolahan lindi dan lain-lain) Listrik, air dan lain-lain

b. Peningkatan Retribusi

Dalam rangka melaksanakan pola pembiayaan cost recovery, upaya peningkatan biaya operasi dan pemeliharaan harus diikuti dengan perbaikan sistem penarikan retribusi. Perbaikan tersebut meliputi perbaikan tarif dan pola penarikan retribusi. Kedua hal tersebut akan sangat mendukung dalam penyediaan biaya pengelolaan persampahan suatu kota.

1). Tarif Retribusi. Retribusi merupakan salah satu bentuk nyata partisipasi masyarakat didalam membiayai program pengelolaan persampahan. Retribusi harus disiapkan dengan seksama serta mempunyai landasan yang kokoh, agar masyarakat dapat menerima kenyataan bahwa untuk hidup sehat diperlukan biaya dan masyarakat dapat percaya bahwa uang yang dibayarnya benar-benar digunakan untuk pengelolaan persampahan Komponen yang perlu diperhatikan dalam menyiapkan penentuan tarif. retribusi adalah sebagai berikut :

Page 26: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

7

− Kebutuhan biaya pengelolaan per tahun − Tingkat pelayanan / jumlah sampah yang dikelola − Jumlah timbulan sampah masing-masing sumber − Pengelompokan wajib retribusi − Pola subsidi silang − Kemampuan Pemda mensubsidi − Kemampuan dan kemauan masyarakat membayar retribusi (ditinjau dari

tingkat penghasilan masyarakat berpendapatan tinggi, menengah dan rendah serta urgensi pelayanan yang dituntut oleh masyarakat)

Pengelompokan wajib retribusi harus memperhatikan jenis aktifitas atau usaha apakah bersifat komersial atau sosial, dapat juga dilakukan pengelompokan kualitas seperti kelas atas, menengah dan rendah. Pengelompokan tersebut terdiri dari : − Kelompok Perumahan − Kelompok Komersial (toko, pasar, salon, bioskop, hotel, restoran dan lain-

lain) − Kelompok Fasilitas umum (perkantoran, sekolah, rumah sakit dan lain-

lain) − Kelompok Fasilitas sosial (tempat ibadah, panti asuhan dan lain-lain)

Pembedaan kelompok dan kelas tersebut didasarkan pada keinginan menerapkan konsep subsidi silang antar wajib retribusi, dengan prinsip produsen mensubsidi konsumen ataupun status ekonomi kuat mensubsidi yang lemah. Konsep subsidi silang adalah : − Mensubsidi, berarti tarif retribusi lebih besar dari rata-rata biaya satuan − Netral, berarti retribusi sama dengan rata-rata biaya satuan Disubsidi,

berarti retribusi lebih kecil dari rata-rata biaya satuan

Langkah-Iangkah perhitungan retribusi : − Tentukan jumlah penduduk kota − Tentukan jumlah penduduk yang dilayani − Tentukan pendapatan rata-rata rumah tangga per bulan (tinggi,

menengah dan rendah) − Tentukan timbulan sampah tiap sumber yang dilayani − Tentukan biaya pengelolaan per tahun − Tentukan efisiensi retribusi tertagih − Tentukan jumlah bobot pada masing-masing pelanggan (pembobotan

digunakan untuk subsidi silang). Pembobotan untuk pemukiman didasarkan pada pendapatan per KK dan untuk non permukiman didasarkan pada perperkiraan volume sampah per klasifikasi sumber. Untuk kelompok komersil disetarakan dengan goVngan perumahan tinggi, fasilitas umum setara dengan golongan menengah dan fasilitas sosial setara dengan golongan perumahan rendah.

− Tentukan tarif dasar dengan cara :

Tarif dasar = Biaya penqelolaan per bulan x 100 % (atau 80 %) Jumlah bobot retribusi

− Besarnya tarif retribusi dihitung dengan cara : tarif dasar dikaiikan dengan masing-masing bobotnya.

Page 27: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

8

2). Pola Penarikan Retribusi Metoda yang digunakan dalam penarikan retribusi adalah sebagai berkut: − Penarikan retribusi secara mandiri

Penarikan retribusi dilakukan langsung oleh petugas dari organisasi pengelola sampah.

− Bekerja sama dengan organisasi lain

Ada beberapa bentuk kerja sama, yaitu : 1. Kerja sama dengan RT/RW dan Kelurahan, caranya dikaitkan dengan

iuran keamanan 2. Kerja sama dengan PLN, dikaitkan dengan sistem pembayaran

rekening listrik. Pembayaran listrik dapat dilakukan setelah mamperlihatkan tanda bukti pembayaran retribusi sampah. Loket pembayaran dapat dilakukan di Bank, Kelurahan atau loket PLN.

3. Kerja sama dengan PDAM, dikaitkan dengan sistem pembayaran rekening air sepert halnya dengan PLN.

Page 28: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

1

PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU BERBASIS MASYARAKAT 1. Pendahuluan

Sampah pada dasarnya dihasilkan oleh atau merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Hukum termodinamika kedua menyatakan bahwa hakikatnya proses perubahan materi atau proses produksi apapun tidak ada yang berjalan effisien 100 persen. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah yang jumlah dan volumenya sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang atau material yang kita gunakan sehari – hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari gaya hidup dan jenis material yang kita konsumsi. Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tercantum dalam buku infrastruktur Indonasi (Bappenas, 2003), pada tahun 1995 perkiraan timbulan sampah di Indonesia mencapai 22,5 juta ton, dan meningkat lebih dua kali lipat pada tahun 2020 menjadi 53,7 juta ton. Sementara di kota besar di Indonesia diperkirakan timbulan sdampah perkapita berkisar antara 600 – 830 gram per hari. Sebagai ilustrasi betapa besarnya timbulan sampah yang dihasilkan, data beberapa kota besar di Indonesia dapat menjadi rujukan. Kota Jakarta setiap hari menghasilkan timbulan sampah sebesar 6.2 ribu ton, kota Bandung sebesar 2.1 ribu ton, Kota Surabaya sebeasar 1.7 ribu ton, dan kota Makasar 0.8 ribu ton (Damanhuri, 2002). Jumlah tersebut membutuhkan upaya yang tidak sedikit dalam penanganannya. Kompleksitas penanganan persampahan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya suatu kota, dalam hal ini sentralisasi kegiatan ekonomi maupun meluasnya wilayah perkotaan. Sentralisasi ini akan meningkatkan aktivitas ekonomi maupun meluasnya wilayah perkotaan.sentralisasi ini akan meningkatkan aktivitas ekonomi, yang menarik para pendatang lebih banyak dan menambah jumlah penduduk kota, sehingga kota akan menghadapi problem volume dan jenis sampah yang semakin meningkat. Perkembangan kota yang meluas akan menghadirkan tantangan bagi Pemerintah Kota dalam menyelenggarakan pelayanan yang mampu menjangkau seluruh lokasi permukiman secara efektif dan efisien. Untuk kota-kota besar dan metropolitan, persoalan menjadi semakin serius bila sudah menyentuh perencanaan lokasi bagi prasarana dan sarana pengolahan sampah, berkait dengan kelangkaan tanah diperkotaan, penolakan warga disekitar lokasi yang direncanakan, pembiayaan serta perlunya mekanisme kerjasama antar kota. Berdasarkan data diatas diperkirakan kebutuhan lahan TPA di Indonesia pada tahun 1995 adalah 675 Ha, dan meningkat menjadi 1.610 Ha pada tahun 2020. Berbeda dengan di daerah pedesaan dimana lahan yang tersedia masih luas dan sampahnya kebanyakan bersifat degradable atau mudah terurai sehingga persoalan sampah belum dipandang sebagai suatu problem, maka di perkotaan masalah persampahan merupakan sebuah tantangan yang akan menentukan sustainaibility lingkungan suatu kota. Kegagalan menangani problem persampahan ini akan meningkatkan resiko warga kota berhadapan dengan

Page 29: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

2

berbagai macam penyakit yang akan meningkatkan biaya sosisal untuk kesehatan. Selain itu sampah yang dibuang ke sungai dan saluran pembuangan berpotensi menimbulkan banjir. Kelompok pertama yang paling dirugikan adalah masyarakat miskin. Alasan tersebut menyebabkan Pemerintah Kota berkewajiban menyediakan sistem pengolahan sampah yang efektit, efisien dan terjangkau. Dalam visi kota yang berkelanjutan, manajemen persampahan yang terintegrasi akan mencakup klasifikasi limbah ke dalam organik dan non-organik, beracun dan tidak beracun, limbah buangan, limbah daur ulang dan kompos, dengan penekanan utama opersionalisasi prinsip-prinsip reduce, reuse, dan recycle (3R). Pengomposan sudah banyak dilakukan atau banyak dibicarakan dan direncanakan untuk dilakukan namun baru terlaksana dalam jumlah yang sangat terbatas. Di sisi lain dari manajemen sampah perkotaan, masyarakat telah melihat bahwa TPA yang ada tidak dikelola dengan baik. Operasional TPA secara open dumping masih dijalankan di hampir semua TPA di Indonesia. Disamping itu, masih terjadi pembakaran sampah untuk mengurangi timbunan sampah, dan tidak terkelolanya gas metan yang di hasilkan oleh timbunan sampah. Hal ini sebenarnya sangat bertentangan dengan semangat Protokol Kyoto yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, dimana pengurangan gas metan menjadi salah satu persyaratan . masalah lain yang timbul akibat pengelolaan TPA yang tidak persyaratan diantaranya adalah timbulnya bau, menurunnya kualitas air akibat pembuangan sampah ke sungai, merembesnya air lindi dari TPA ke air tanah dangkal dan air permukaan, pencemaran udara serta merebaknya dioxin yang bersifat karsinogen. Kesadaran masyarakat akan kebersihan sudah baik, tetapi baru terbatas hanya pada lingkungan kecil saja khususnya rumah. Rumah memang bebas dari sampah tetapi sampah tersebut tidak dibuang pada tempatnya yang benar seperti ke selokan, sungai, bahkan halaman kosong milik tetangga. Fenomena peduli kebersihan dalam lingkungan sendiri semata yang tergambar dalam fenomena NIMBY (Not In My Back Yard) sangat terasa disini. Jaka dibandingkan dengan kesediaan membayar pelayanan air minum, maka kesediaan membayar pengelolaan sampah relatif lebih rendah. Ini terjadi karena masyarakat tidak mengetahui sebenarnya seperti apa pengelolaan sampah itu berlangsung. Rendahnya tingkat pengorbanan masyarakat untuk memberikan kontribusinya berbanding terbalik dengan jumlah timbunan sampah, karenanya perlu dicari cara dan metoda yang tepat agar masyarakat tertarik dan mau bertanggung jawab dalam memecahkan permasalahan sampah yang ada disekitarnya salah satunya adalah dengan program pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat.

2. Pengertian

Pengelolaan Sampah Terpadu berbasis masyarakat adalah suatu pendekatan pengelolaan sampah yang didasarkan pada kebutuhan dan permintaan masyarakat, direncanakan, dilaksanakan (jika feasible), dikontrol dan dievaluasi bersama masyarakat.

Page 30: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

3

Dalam pengertian ini pemeran (penguasa, kekuatan) utama dalam pengelolaan sampah adalah masyarakat. Bukan pemerintah atau lembaga lainnya seperti LSM dan lain – lain. Pemerintah dan lembaga lainnya hanyalah sebagai motivator dan fasilitator. Fungsi motivator adalah memberikan dorongan agar masyarakat siap memikirkan dan mencari jalan keluar terhadap persoalan sampah yang mereka hadapi. Tetapi jika masyarakat belum siap, maka fungsi pemerintah atau lembaga lain adalah menyiapkan terlebih dahulu. Misalnya dengan melakukan pelatihan, study banding dan memperlihatkan contoh – contoh program yang sukses dan lain – lain. Fungsi fasilitator adalah memfasilitasi masyarakat untuk mencapai tujuan pengelolaan sampah secara baik dan berkesinambungan. Jika masyarakat mempunyai kelemahan dibidang teknik pemilahan dan pengomposan maka tugas fasilitator adalah memberikan kemampuan masyarakat dengan berbagai cara misalnya dengan memberikan pelatihan, begitu juga jika masyarakat lemah dalam hal pendanaan, maka tugas fasilitator adalah membantu mencari jalan keluar agar masyarakat mampu mendapat pendanaan yang dibutuhkan, tetapi harus dilakukan secara hati – hati jangan sampai membuat masyarakat tergantung.

3. Mengapa Berbasis Masyarakat

Produsen sampah utama adalah masyarakat, sehingga mereka harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka produksi (poluters must pay). Konsep penangan sampah yang baik adalah penanganan sampah yang dimulai di sumber. Semakin dekat dengan sumbernya maka semakin besar rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab orang untuk mengelola sampahnya. Misalnya jika sampah desa A dibuang ke desa B, secara sosial pasti akan ada penolakan oleh desa B, karena desa B tidak mempunyai sense of belonging terhadap sampah dari desa A. Oleh karena itu lebih baik sampah desa A dibuang dan dikelola sendiri oleh desa A. Sumber sampah yang berasal dari masyarakat, sebaiknya dikelola oleh masyarakat yang bersangkutan agar mereka bertanggung jawab terhadap sampahya sendiri, karena jika dikelola oleh pihak lain biasanya mereka kurang bertanggung jawab bahkan cenderung destruktif. Intinya adalah bagaimana mengarahkan kekuatan masyarakat (social capital) untuk memecahkan masalah sampah. Bukan untuk melawan program pengelolaan sampah. Sebab tidak jarang ditemukan program – program yang baik untuk masyarakat, karena tidak melibatkan masyarakat dihalangi, ditolak dan dirusak sendiri oleh masyarakat. Disamping itu kemampuan pemerintah baik dari sisi manajemen dan pendanaan masih sangat terbatas, misalnya kemampuan pemda kabupaten Tangerang dalam mengelola sampah hanya sebesar 30 persen. Jika tanggung jawab sampah hanya diserahkan pada pemerintah maka mustahil permasalahan sampah dapat terselesaikan secara baik dan berkelanjutan.

Page 31: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

4

Berbasis masyarakat bukan berarti dalam pengoperasiannya selalu harus dilakukan oleh masyarakat, tetapi boleh juga dilakukan oleh lembaga atau badan profesional yang mampu dan diberi mandat oleh masyarakat. Yang penting adalah apa yang layak dan realistis dilakukan untuk memecahkan masalah sampah yang dihadapi oleh masyarakat trersebut. Misalnya kalau secara realistis masyarakat tidak mampu dari sisi waktu dan manajemen untuk mengoperasikan maka jangan diserahkan pengeoperasiannya pada masyarakat. Lebih baik masyarakat didorong untuk mencari dan menunjuk lembaga profesional atau perorangan yang mampu dan dipercaya untuk mengoperasikan.

4. Bagaimana Pelaksananaannya

Dalam pelaksanaannya, pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat sangat beragam tergantung siapa yang mengambil inisistif, ditingkat mana kita mulai dan siapa saja (stakeholders) yang dilibatkan. Jika inisiatif datang dari LSM biasanya dimulai dari penentuan calon lokasi, kemudian dilanjutkan dengan proses berikutnya. Namun jika inisiatif datang dari pemerintah pusat, maka tahapannya tentu lebih panjang. Misalnya, jika inisiatifnya datang dari pemerintah pusat biasanya, ada beberapa tahapan yang biasa dilakukan antara lain: (1). Penentuan Calon Pemda (longlist). (2). Sosialisasi dan promosi program kepada pemerintah daerah. (3). Seleksi pemerintah daerah yang berminat (short list). (4). Penentuan calon lokasi masyarakat (long list lokasi masyarakat), (5). Sosialisasi ke masyarakat, (6). Seleksi masyarakat (short list masyarakat), (7). Pembentukan kelompok masyarakat. (8) Pelatihan dan Penyusunan rencana kerja masyarakat. (9). Pelaksanaan program, monitoring dan evaluasi program pada berbagai tingkatan (ditingkat masyarakat, ditingkat pemda dan ditingkat nasional). Penentuan calon pemda, biasanya didasarkan pada beberapa kriteria misalnya urgensi persoalan sampah yang ada, kemampuan APBD serta kerjasama. Sosialisasi kepada Pemda biasanya lebih ditekankan pada pemecahan masalah persampahan yang ada dikota tersebut, serta memperkenalkan pendekatan berbasis masyarakat, keuntungan dan kerugiannya, prosedur dan mekanisme pendanaannya baik sumber maupun sistem pencairan dana. Disamping itu diperkenalkan pula contoh – contoh praktek unggulan yang pernah dan sedang dilaksanakan. Dalam pelaksanaan program berbasis masyarakat umumnya pemda terbentur pada kepres no 80 atau yang sudah diperbaharui tentang sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah. Karena sampai saat ini belum ada pedoman umum tentang pelaksanaan proyek yang berbasis masyarakat, terutama yang nilainya diatas Rp 50 juta ke atas. Hal ini tentunya menjadi bahan diskusi dan pemikiran semua pihak dimasa mendatang. Walaupun begitu, program – program pembangunan yang berbasis masyarakat sudah banyak juga yang terlaksana, misalnya saja program SANIMAS, sanitasi berbasis masyarakat. Dalam seleksi pemda biasanya disusun suatu kriteria untuk menetapkan pemda yang berhak ikut dalam program tersebut, biasanya dilihat dari urgensi,

Page 32: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

5

permasalahan sampah yang dihadapi, kesediaan pemda untuk berkontribusi dan keseriusan pemda untuk memecahkan masalah tersebut dan lain – lain. Penentuan calon lokasi masyarakat biasanya ditentukan oleh pemda berdasarkan pada kepadatan penduduk dan permasalahan sampah yang dihadapi, dan kesediaan . Umumnya didaerah kumuh dan miskin. Setelah ditentukan calon lokasi, maka beberapa pemimpin formal dan informal dari calon lokasi tersebut diundang oleh pemda untuk diinformasikan tentang rencana pemda dalam program penanganan sampah. Dalam kesempatan ini diperkenalkan tentang kondisi persampahan yang ada. sistem penanganannya, keuntungan dan kerugiannya, teknologi yang diterapkan, kriteria calon masyarakat yang bisa ikut dalam program dan lain – lain. Dalam seleksi masyarakat biasanya disusun suatu kriteria antara lain: ketersediaan lahan untuk pengolahan sampah, adanya kelompok yang siap bertanggung jawab, kesiapan masyarakat untuk berkontribusi (minimal pada saat operasi dan maintenance) dan lain – lain. Setelah masyarakat diseleksi maka dilakukan pembentukan kelompok yang difasilitasi oleh fasilitator dari LSM dan atau Pemda. Ditetapkan pengurus (ketua, sekretaris, bendahara) dan anggota, serta disusun anggaran dasar kelompok. Didalam kelompok didiskusikan segala hal antara lain mengenai hak dan kewajiban kelompok. Alternatif teknologi yang akan digunakan, alternatif pengorganisasian, alternatif sumber dan pengelolaan keuangan, Alternatif penyebaran informasi program dan lain – lain. Semua hal yang didiskusikan didalam kelompok kemudian dituangkan dalam rencana kerja kelompok masyarakat atau yang sering dikenal dengan rencana kerja masyarakat. Rencana kerja masyarakat biasanya terdiri dari DED (detail engineering desain), RAB (rencana anggaran biaya) dan schedule pelaksanaan. Rencana kerja harus disetujui dan ditandatangani oleh pihak pihak yang bekerjasama. Setelah rencana kerja disusun maka dilaksanakan kegiatan konstruksi pembangunan tempat pegolahan sampah terpadu (jika opsi ini dipilih). Sebagai sarana pengurangan (reduce), penggunaan kembali (reuse) dan daur ulang (recycleable). Setelah dilaksanakan kontruksi dan pengoperasian maka dilakukan kontrol (monitoring) dan evaluasi. Biasanya untuk 3 bulan pertama evaluasi dilakukan secara intensif, minimal satu kali perminggu, namun setelah itu frekuensinya bisa dikurangi bisa menjadi satu bulan sekali, tergantung pada kebutuhan lapangan. Hal yang cukup penting dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah melakukan survey kepuasan pengguna (user satisfactory survey), hal ini biasanya dilakukan setahun sekali. Untuk melakukan survey dapat bekerjasama dengan mahasiswa yang sedang dan akan membuat skripsi.

Page 33: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

6

5. Siapa saja yang dilibatkan

Program pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat perlu melibatkan semua pihak yang terkait dan berkepentingan (stakeholders). Tetapi harus hati – hati sebab jika terlalu banyak yang terlibat bisa terjadi lebih banyak diskusi daripada bekerja. Perlu dilakukan analisa yang tepat mengenai fungsi dan peran stakeholder. Di Pemda perlu ada leading sektor yang bisa mengkoordinasikan dan memimpin program. Karena programnya berbasis masyarakat maka perlu ada fasilitator handal yang mampu memfasilitasi baik secara teknik maupun sosial. Biasanya teman – teman LSM mempunyai kemampuan dibidang ini.

6. Darimana Sumber Pembiayaannya

Sumber pembiayaan program pengelolaan sampah terpadu berasal dari patungan (share) dari berbagai pihak terutama dari masyarakat dan pemerintah daerah. Masyarakat biasanya hanya mapu berkontribusi antara 2 – 4 persen untuk investasi, dan 100 persen pada tahap operasi dan perawatan. Selebihnya merupakan dana pemda dan atau pemerintah pusat, swasta dan atau donor (jika ada). Program pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat merupakan sinergi kekuatan dana dari pemerintah daerah dipadukan dengan kekuatan sosial masyarakat (social capital) serta kekuatan teknologi dari para ahli (LSM, Universitas, konsultan dll).

Page 34: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

1

TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

A. UMUM 1. Pengertian TPA

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan, pemindahan/pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya. Karenanya diperlukan penyediaan fasilitas dan perlakuan yang benar agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan baik. Selama ini masih banyak persepsi keliru tentang TPA yang lebih sering dianggap hanya merupakan tempat pembuangan sampah. Hal ini menyebabkan banyak Pemerintah Daerah masih merasa saying untuk mengalokasikan pendanaan bagi penyediaan fasilitas di TPA yang dirasakan kurang prioritas disbanding dengan pembangunan sektor lainnya. Di TPA, sampah masih mengalami proses penguraian secara alamiah dengan jangka waktu panjang. Beberapa jenis sampah dapat terurai secara cepat, sementara yang lain lebih lambat; bahkan ada beberapa jenis sampah yang tidak berubah sampai puluhan tahun; misalnya plastik. Hal ini memberikan gambaran bahwa setelah TPA selesai digunakanpun masih ada proses yang berlangsung dan menghasilkan beberapa zat yang dapat mengganggu lingkungan. Karenanya masih diperlukan pengawasan terhadap TPA yang telah ditutup.

2. Metoda Pembuangan Sampah Pembuangan sampah mengenal beberapa metoda dalam pelaksanaannya yaitu: a. Open Dumping

Open dumping atau pembuangan terbuka merupakan cara pembuangan sederhana dimana sampah hanya dihamparkan pada suatu lokasi; dibiarkan terbuka tanpa pengamanan dan ditinggalkan setelah lokasi tersebut penuh. Masih ada Pemda yang menerapkan cara ini karena alasan keterbatasan sumber daya (manusia, dana, dll). Cara ini tidak direkomendasikan lagi mengingat banyaknya potensi pencemaran lingkungan yang dapat ditimbulkannya seperti: − Perkembangan vektor penyakit seperti lalat, tikus, dll − Polusi udara oleh bau dan gas yang dihasilkan − Polusi air akibat banyaknya lindi (cairan sampah) yang timbul − Estetika lingkungan yang buruk karena pemandangan yang kotor

b. Control Landfill Metoda ini merupakan peningkatan dari open dumping dimana secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam

Page 35: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

2

operasionalnya juga dilakukan perataan dan pemadatan sampah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukaan TPA. Di Indonesia, metode control landfill dianjurkan untuk diterapkan di kota sedang dan kecil. Untuk dapat melaksanakan metoda ini diperlukan penyediaan beberapa fasilitas diantaranya: Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan Saluran pengumpul lindi dan kolam penampungan Pos pengendalian operasional Fasilitas pengendalian gas metan Alat berat

c. Sanitary Landfill

Metode ini merupakan metode standar yang dipakai secara internsional dimana penutupan sampah dilakukan setiap hari sehingga potensi gangguan yang timbul dapat diminimalkan. Namun demikian diperlukan penyediaan prasarana dan sarana yang cukup mahal bagi penerapan metode ini sehingga sampai saat ini baru dianjurkan untuk kota besar dan metropolitan.

3. Persyaratan Lokasi TPA Mengingat besarnya potensi dalam menimbulkan gangguan terhadap lingkungan maka pemilihan lokasi TPA harus dilakukan dengan seksama dan hati-hati. Hal ini ditunjukkan dengan sangat rincinya persyaratan lokasi TPA seperti tercantum dalam SNI tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah; yang diantaranya dalam kriteria regional dicantumkan: − Bukan daerah rawan geologi (daerah patahan, daerah rawan longsor, rawan

gempa, dll) − Bukan daerah rawan hidrogeologis yaitu daerah dengan kondisi kedalaman

air tanah kurang dari 3 meter, jenis tanah mudah meresapkan air, dekat dengan sumber air (dalam hal tidak terpenuhi harus dilakukan masukan teknologi)

− Bukan daerah rawan topografis (kemiringan lahan lebih dari 20%) − Bukan daerah rawan terhadap kegiatan penerbangan di Bandara (jarak

minimal 1,5 – 3 km) − Bukan daerah/kawasan yang dilindungi

4. Jenis dan Fungsi Fasilitas TPA

Untuk dapat dioperasikan dengan baik maka TPA perlu dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang meliputi: a. Prasarana Jalan

Prasarana dasar ini sangat menentukan keberhasilan pengoperasian TPA. Semakin baik kondisi jalan ke TPA akan semakin lancar kegiatan pengangkutan sehingga efisiensi keduanya menjadi tinggi. Konstruksi jalan TPA cukup beragam disesuaikan dengan kondisi setempat sehingga dikenal jalan TPA dengan konstruksi: − Hotmix − Beton − Aspal − Perkerasan situ

Page 36: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

3

− Kayu Dalam hal ini TPA perlu dilengkapi dengan:

− Jalan masuk/akses; yang menghubungkan TPA dengan jalan umum yang telah tersedia

− Jalan penghubung; yang menghubungkan antara satu bagian dengan bagian lain dalam wilayah TPA

− Jalan operasi/kerja; yang diperlukan oleh kendaraan pengangkut menuju titik pembongkaran sampah

Pada TPA dengan luas dan kapasitas pembuangan yang terbatas biasanya jalan penghubung dapat juga berfungsi sekaligus sebagai jalan kerja/operasi.

b. Prasarana Drainase Drainase di TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan dengan tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah. Seperti diketahui, air hujan merupakan faktor utama terhadap debit lindi yang dihasilkan. Semakin kecil rembesan air hujan yang masuk ke timbunan sampah akan semakin kecil pula debit lindi yang dihasilkan yang pada gilirannya akan memperkecil kebutuhan unit pengolahannya. Secara teknis drainase TPA dimaksudkan untuk menahan aliran limpasan air hujan dari luar TPA agar tidak masuk ke dalam area timbunan sampah. Drainase penahan ini umumnya dibangun di sekeliling blok atau zona penimbunan. Selain itu, untuk lahan yang telah ditutup tanah, drainase TPA juga dapat berfungsi sebagai penangkap aliran limpasan air hujan yang jatuh di atas timbunan sampah tersebut. Untuk itu permukaan tanah penutup harus dijaga kemiringannya mengarah pada saluran drainase.

c. Fasilitas Penerimaan Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat pemeriksaan sampah yang datang, pencatatan data, dan pengaturan kedatangan truk sampah. Pada umumnya fasilitas ini dibangun berupa pos pengendali di pintu masuk TPA. Pada TPA besar dimana kapasitas pembuangan telah melampaui 50 ton/hari maka dianjurkan penggunaan jembatan timbang untuk efisiensi dan ketepatan pendataan. Sementara TPA kecil bahkan dapat memanfaatkan pos tersebut sekaligus sebagai kantor TPA sederhana dimana kegiatan administrasi ringan dapat dijalankan.

d. Lapisan Kedap Air Lapisan kedap air berfungsi untuk mencegah rembesan air lindi yang terbentuk di dasar TPA ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Untuk itu lapisan ini harus dibentuk di seluruh permukaan dalam TPA baik dasar maupun dinding. Bila tersedia di tempat, tanah lempung setebal + 50 cm merupakan alternatif yang baik sebagai lapisan kedap air. Namun bila tidak dimungkinkan, dapat diganti dengan lapisan sintetis lainnya dengan konsekuensi biaya yang relatif tinggi.

Page 37: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

4

e. Fasilitas Pengamanan Gas Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbon dioksida dan metan dengan komposisi hampir sama; disamping gas-gas lain yang sangat sedikit jumlahnya. Kedua gas tersebut memiliki potensi besar dalam proses pemanasan global terutama gas metan; karenanya perlu dilakukan pengendalian agar gas tersebut tidak dibiarkan lepas bebas ke atmosfer. Untuk itu perlu dipasang pipa-pipa ventilasi agar gas dapat keluar dari timbunan sampah pada titik-titik tertentu. Untuk ini perlu diperhatikan kualitas dan kondisi tanah penutup TPA. Tanah penutup yang porous atau banyak memiliki rekahan akan menyebabkan gas lebih mudah lepas ke udara bebas. Pengolahan gas metan dengan cara pembakaran sederhana dapat menurunkan potensinya dalam pemanasan global.

f. Fasilitas Pengamanan Lindi Lindi merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan pencemar khususnya zat organik sangat tinggi. Lindi sangat berpotensi menyebabkan pencemaran air baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu ditangani dengan baik. Tahap pertama pengamanan adalah dengan membuat fasilitas pengumpul lindi yang dapat terbuat dari: perpipaan berlubang-lubang, saluran pengumpul maupun pengaturan kemiringan dasar TPA; sehingga lindi secara otomatis begitu mencapai dasar TPA akan bergerak sesuai kemiringan yang ada mengarah pada titik pengumpulan yang disediakan. Tempat pengumpulan lindi umumnya berupa kolam penampung yang ukurannya dihitung berdasarkan debit lindi dan kemampuan unit pengolahannya. Aliran lindi ke dan dari kolam pengumpul secara gravitasi sangat menguntungkan; namun bila topografi TPA tidak memungkinkan, dapat dilakukan dengan cara pemompaan. Pengolahan lindi dapat menerapkan beberapa metode diantaranya: penguapan/evaporasi terutama untuk daerah dengan kondisi iklim kering, sirkulasi lindi ke dalam timbunan TPA untuk menurunkan baik kuantitas maupun kualitas pencemarnya, atau pengolahan biologis seperti halnya pengolahan air limbah.

g. Alat Berat Alat berat yang sering digunakan di TPA umumnya berupa: bulldozer, excavator dan loader. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dalam operasionalnya. Bulldozer sangat efisien dalam operasi perataan dan pemadatan tetapi kurang dalam kemampuan penggalian. Excavator sangat efisien dalam operasi penggalian tetapi kurang dalam perataan sampah. Sementara loader sangat efisien dalam pemindahan baik tanah maupun sampah tetapi kurang dalam kemampuan pemadatan. Untuk TPA kecil disarankan dapat memiliki bulldozer atau excavator, sementara TPA yang besar umumnya memiliki ketiga jenis alat berat tersebut.

Page 38: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

5

h. Penghijauan Penghijauan lahan TPA diperlukan untuk beberapa maksud diantaranya adalah: peningkatan estetika lingkungan, sebagai buffer zone untuk pencegahan bau dan lalat yang berlebihan. Untuk itu perencancaan daerah penghijauan ini perlu mempertimbangkan letak dan jarak kegiatan masyarakat di sekitarnya (permukiman, jalan raya, dll)

i. Fasilitas Penunjang Beberapa fasilitas penunjang masih diperlukan untuk membantu pengoperasian TPA yang baik diantaranya: pemadam kebakaran, mesin pengasap (mist blower), kesehatan/keselamatan kerja, toilet, dan lain lain.

B. TEKNIS OPERASIONAL TPA 1. Persiapan Lahan TPA

Sebelum lahan TPA diisi dengan sampah maka perlu dilakukan penyiapan lahan agar kegiatan pembuangan berikutnya dapat berjalan dengan lancar. Beberapa kegiatan penyiapan lahan tersebut akan meliputi:

− Penutupan lapisan kedap air dengan lapisan tanah setempat yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerusakan atas lapisan tersebut akibat operasi alat berat di atasnya. Umumnya diperlukan lapisan tanah setebal 50 cm yang dipadatkan di atas lapisan kedap air tersebut.

− Persediaan tanah penutup perlu disiapkan di dekat lahan yang akan dioperasikan untuk membantu kelancaran penutupan sampah; terutama bila operasional dilakukan secara sanitary landfill. Pelatakan tanah harus memperhatikan kemampuan operasi alat berat yang ada.

2. Tahapan Operasi Pembuangan

Kegiatan operasi pembuangan sampah secara berurutan akan meliputi: a. Penerimaan sampah di pos pengendalian; dimana sampah diperiksa, dicatat

dan diberi informasi mengenai lokasi pembongkaran.

b. Pengangkutan sampah dari pos penerimaan ke lokasi sel yang dioperasikan; dilakukan sesuai rute yang diperintahkan.

c. Pembongkaran sampah dilakukan di titik bongkar yang telah ditentukan dengan manuver kendaraan sesuai petunjuk pengawas.

d. Perataan sampah oleh alat berat yang dilakukan lapis demi lapis agar tercapai kepadatan optimum yang diinginkan. Dengan proses pemadatan yang baik dapat diharapkan kepadatan sampah meningkat hampir dua kali lipat.

e. Pemadatan sampah oleh alat berat untuk mendapatkan timbunan sampah yang cukup padat sehingga stabilitas permukaannya dapat diharapkan untuk menyangga lapisan berikutnya.

f. Penutupan sampah dengan tanah untuk mendapatkan kondisi operasi control atau sanitary landfill.

Page 39: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

6

3. Pengaturan Lahan

Seringkali TPA tidak diatur dengan baik. Pembongkaran sampah terjadi di sembarang tempat dalam lahan TPA sehingga menimbulkan kesan yang tidak baik; disamping sulit dan tidak efisiennya pelaksanaan pekerjaan perataan, pemadatan dan penutupan sampah tersebut. Agar lahan TPA dapat dimanfaatkan secara efisien, maka perlu dilakukan pengaturan yang baik yang mencakup: a. Pengaturan Sel

Sel merupakan bagian dari TPA yang digunakan untuk menampung sampah satu periode operasi terpendek sebelum ditutup dengan tanah. Pada sistem sanitary landfill, periode operasi terpendek adalah harian; yang berarti bahwa satu sel adalah bagian dari lahan yang digunakan untuk menampung sampah selama satu hari. Sementara untuk control landfill ssatu sel adalah untuk menampung sampah selama 3 hari, atau 1 minggu, atau operasi terpendek yang dimungkinkan. Dianjurkan periode operasi adalah 3 hari berdasarkan pertimbangan waktu penetasan telur lalat yang rata-rata mencapai 5 hari; dan asumsi bahwa sampah telah berumur 2 hari saat ada di TPS sehingga sebelum menetas perlu ditutup tanah agar telur/larva muda segera mati. Untuk pengaturan sel perlu diperhatikan beberapa faktor: − Lebar sel sebaiknya berkisar antara 1,5-3 lebar blade alat berat agar

manuver alat berat dapat lebih efisien − Ketebalan sel sebaiknya antara 2-3 meter. Ketebalan terlalu besar akan

menurunkan stabilitas permukaan, sementara terlalu tipis akan menyebabkan pemborosan tanah penutup

− Panjang sel dihitung berdasarkan volume sampah padat dibagi dengan lebar dan tebal sel.

Sebagai contoh bila volume sampah padat adalah 150 m3/hari, tebal sel direncanakan 2 m, lebar sel direncanakan 3 m, maka panjang sel adalah 150/(3x2) = 25 m Batas sel harus dibuat jelas dengan pemasangan patok-patok dan tali agar operasi penimbunan sampah dapat berjalan dengan lancar.

b. Pengaturan Blok Blok operasi merupakan bagian dari lahan TPA yang digunakan untuk penimbunan sampah selama periode operasi menengah misalnya 1 atau 2 bulan. Karenanya luas blok akan sama dengan luas sel dikalikan perbandingan periode operasi menengah dan pendek. Sebagai contoh bila sel harian berukuran lebar 3 m dan panjang 25 m maka blok operasi bulanan akan menjadi 30 x 75 m2 = 2.250 m2

c. Pengaturan Zona

Zona operasi merupakan bagian dari lahan TPA yang digunakan untuk jangka waktu panjang misal 1 – 3 tahun, sehingga luas zona operasi akan sama dengan luas blok operasi dikalikan dengan perbandingan periode operasi panjang dan menengah.

Page 40: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

7

Sebagai contoh bila blok operasi bulanan memiliki luas 2.250 m2 maka zona operasi tahunan akan menjadi 12 x 2.250 = 2,7 Ha.

4. Persiapan Sel Pembuangan Sel pembuangan yang telah ditentukan ukuran panjang, lebar dan tebalnya perlu dilengkapi dengan patok-patok yang jelas. Hal ini dimaksudkan untuk membantu petugas/operator dalam melaksanakan kegiatan pembuangan sehingga sesuai dengan rencana yang telah dibuat. − Beberapa pengaturan perlu disusun dengan rapi diantaranya: − Peletakan tanah penutup − Letak titik pembongkaran sampah dari truk − Manuver kendaraan saat pembongkaran

5. Pembongkaran Sampah

Letak titik pembongkaran harus diatur dan diinformasikan secara jelas kepada pengemudi truk agar mereka membuang pada titik yang benar sehingga proses berikutnya dapat dilaksanakan dengan efisien. Titik bongkar umumnya diletakkan di tepi sel yang sedang dioperasikan dan berdekatan dengan jalan kerja sehingga kendaraan truk dapat dengan mudah mencapainya. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa titik bongkar yang ideal sulit dicapai pada saat hari hujan akibat licinnya jalan kerja. Hal ini perlu diantisipasi oleh penanggungjawab TPA agar tidak terjadi. Jumlah titik bongkar pada setiap sel ditentukan oleh beberapa faktor: − Lebar sel − Waktu bongkar rata-rata − Frekuensi kedatangan truk pada jam puncak

Harus diupayakan agar setiap kendaraan yang datang dapat segera mencapai titik bongkar dan melakukan pembongkaran sampah agar efisiensi kendaraan dapat dicapai.

6. Perataan dan Pemadatan Sampah

Perataan dan pemadatan sampah dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi pemanfaatan lahan yang efisien dan stabilitas permukaan TPA yang baik. Kepadatan sampah yang tinggi di TPA akan memerlukan volume lebih kecil sehingga daya tampung TPA bertambah, sementara permukaan yang stabil akan sangat mendukung penimbunan lapisan berikutnya. Pekerjaan perataan dan pemadatan sampah sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan efisiensi operasi alat berat. − Pada TPA dengan intensitas kedatangan truk yang tinggi, perataan dan

pemadatan perlu segera dilakukan setelah sampah dibongkar. Penundaan pekerjaan ini akan menyebabkan sampah menggunung sehingga pekerjaan perataannya akan kurang efisien dilakukan.

− Pada TPA dengan frekuensi kedatangan truk yang rendah maka perataan dan pemadatan sampah dapat dilakukan secara periodik, misalnya pagi dan siang.

Page 41: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

8

Perataan dan pemadatan sampah perlu dilakukan dengan memperhatikan kriteria pemadatan yang baik: − Perataan dilakukan selapis demi selapis − Setiap lapis diratakan sampah setebal 20 cm – 60 cm dengan cara

mengatur ketinggian blade alat berat − Pemadatan sampah yang telah rata dilakukan dengan menggilas sampah

tersebut 3-5 kali − Perataan dan pemadatan dilakukan sampai ketebalan sampah mencapai

ketebalan rencana

7. Penutupan Tanah Penutupan TPA dengan tanah mempunyai fungsi maksud sebagai berikut: − Untuk memotong siklus hidup lalat, khususnya dari telur menjadi lalat − Mencegah perkembangbiakan tikus − Mengurangi bau − Mengisolasi sampah dan gas yang ada − Menambah kestabilan permukaan − Meningkatkan estetika lingkungan

Frekuensi penutupan sampah dengan tanah disesuaikan dengan metode/teknologi yang diterapkan. Penutupan sel sampah pada sistem sanitary landfill dilakukan setiap hari, sementara pada control landfill dianjurkan 3 kali sehari. Ketebalan tanah penutup yang perlu dilakukan adalah: − Untuk penutupan sel (sering disebut dengan penutup harian) adalah dengan

lapisan tanah padat setebal 20 cm − Untuk penutupan antara (setelah 2 - 3 lapis sel harian) adalah tanah padat

setebal 30 cm − Untuk penutup terakhir, yang dilakukan pada saat suatu blok pembuangan

telah terisi penuh, dilapisi dengan tanah padat setebal minimal 50 cm C. PEMELIHARAAN TPA 1. Umum

Pemeliharaan TPA dimaksudkan untuk menjaga agar setiap prasarana dan sarana yang ada selalu dalam kondisi siap operasi dengan unjuk kerja yang baik. Seperti halnya program pemeliharaan lazimnya maka sesuai tahapannya perlu diutamakan kegiatan pemeliharaan yang bersifat preventif untuk mencegah terjadinya kerusakan dengan melaksanakan pemeliharaan rutin. Pemeliharaan kolektif dimaksudkan untuk segera melakukan perbaikan kerusakan-kerusakan kecil agar tidak berkembang menjadi besar dan kompleks.

2. Pemeliharaan Alat Bermesin (Alat Berat, Pompa, dll)

Alat berat dan peralatan bermesin seperti pompa air lindi sangat vital bagi operasi TPA sehingga kehandalan dan unjuk kerjanya harus dipelihara dengan

Page 42: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

9

prioritas tinggi. Buku manual pengoperasian dan pemeliharaan alat berat harus selalu dijalankan dengan benar agar peralatan tersebut terhindar dari kerusakan. Kegiatan perawatan seperti penggantian minyak pelumas baik mesin maupun transmisi harus diperhatikan sesuai ketentuan pemeliharaannya. Demikian pula dengan pemeliharaan komponen seperti baterai, filter-filter, dan lain-lain tidak boleh dilalaikan ataupun dihemat seperti banyak dilakukan.

3. Pemeliharaan Jalan

Kerusakan jalan TPA umumnya dijumpai pada ruas jalan masuk dimana kondisi jalan bergelombang maupun berlubang yang disebabkan oleh beratnya beban truk sampah yang melintasinya. Jalan yang berlubang / bergelombang menyebabkan kendaraan tidak dapat melintasinya dengan lancar sehingga terjadi penurunan kecepatan yang berarti menurunnya efisiensi pengangkutan; disamping lebih cepat ausnya beberapa komponen seperti kopling, rem dan lain-lain. Keterbatasan dana dan kelembagaan untuk pemeliharaan seringkali menjadi kendala perbaikan sehingga kerusakan jalan dibiarkan berlangsung lama tanpa disadari telah menurunkan efisiensi pengangkutan. Hal ini sebaiknya diantisipasi dengan melengkapi manajemen TPA dengan kemampuan memperbaiki kerusakan jalan sekalipun bersifat temporer seperti misalnya perkerasan dengan pasir dan batu. Bagian lain yang juga sering mengalami kerusakan dan kesulitan adalah jalan kerja dimana kondisi jalan temporer tersebut memiliki kestabilan yang rendah; khususnya bila dibangun di atas sel sampah. Cukup banyak pengalaman memberi contoh betapa jalan kerja yang tidak baik telah menimbulkan kerusakan batang hidrolis pendorong bak pada dump truck; terutama bila pengemudi memaksa membongkar sampah pada saat posisi kendaraan tidak rata / horizontal. Jalan kerja di banyak TPA juga memiliki faktor kesulitan lebih tinggi pada saat hari hujan. Jalan yang licin menyebabkan truk sampah sulit bergerak dan harus dibantu oleh alat berat; sehingga keseluruhan menyebabkan waktu operasi pengangkutan di TPA menjadi lebih panjang dan pemanfaatan alat berat untuk hal yang tidak efisien. Sekali lagi perlu diperhatikan untuk memperbaiki kerusakan jalan sesegera mungkin sebelum menjadi semakin parah. Pengurugan dengan sirtu umumnya sangat efektif memperbaiki jalan yang bergelombang dan berlubang.

4. Pemeliharaan Lapisan Penutup

Lapisan penutup TPA perlu dijaga kondisinya agar tetap dapat berfungsi dengan baik. Perubahan temperatur dan kelembaban udara dapat menyebabkan timbulnya retakan permukaan tanah yang memungkinkan terjadinya aliran gas keluar dari TPA ataupun mempercepat rembesan air pada saat hari hujan. Untuk itu retakan yang terjadi perlu segera ditutup dengan tanah sejenis.

Page 43: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

10

Proses penurunan permukaan tanah juga sering tidak berlangsung seragam sehingga ada bagian yang menonjol maupun melengkung ke bawah. Ketidakteraturan permukaan ini perlu diratakan dengan memperhatikan kemiringan ke arah saluran drainase. Penanaman rumput dalam hal ini dianjurkan untuk mengurangi efek retakan tanah melalui jaringan akar yang dimiliki. Pemeriksaan kondisi permukaan TPA perlu dilakukan minimal sebulan sekali atau beberapa hari setelah terjadi hujan lebat untuk memastikan tidak terjadinya perubahan drastis pada permukaan tanah penutup akibat erosi air hujan.

5. Pemeliharaan Drainase

Pemeliharaan saluran drainase secara umum sangat mudah dilakukan. Pemeriksaan rutin setiap minggu khususnya pada musim hujan perlu dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan saluran yang serius. Saluran drainase perlu dipelihara dari tanaman rumput ataupun semak yang mudah sekali tumbuh akibat tertinggalnya endapan tanah hasil erosi tanah penutup TPA di dasar saluran. TPA di daerah bertopografi perbukitan juga sering mengalami erosi akibat aliran air yang deras. Lapisan semen yang retak atau pecah perlu segera diperbaiki agar tidak mudah lepas oleh erosi air; sementara saluran tanah yang berubah profilnya akibat erosi perlu segera dikembalikan ke dimensi semula agar dapat berfungsi mengalirkan air dengan baik.

6. Pemeliharaan Fasilitas Penanganan Lindi

Kolam penampung dan pengolah lindi seringkali mengalami pendangkalan akibat endapan suspensi. Hal ini akan menyebabkan semakin kecilnya volume efektif kolam yang berarti semakin berkurangnya waktu tinggal; yang akan berakibat pada rendahnya efisiensi pengolahan yang berlangsung. Untuk itu perlu diperhatikan agar kedalaman efektif kolam dapat dijaga. Lumpur endapan yang mulai tinggi melampaui dasar efektif kolam harus segera dikeluarkan. Alat berat excavator sangat efektif dalam pengeluaran lumpur ini. Dalam beberapa hal dimana ukuran kolam tidak terlalu besar juga dapat digunakan truk tinja untuk menyedot lumpur yang terkumpul yang selanjutnya dapat dibiarkan mengering dan dimanfaatkan sebagai tanah penutup sampah.

7. Pemeliharaan Fasilitas Lainnya Fasilitas-fasilitas lain seperti bangunan kantor / pos, garasi dan sebagainya perlu dipelihara sebagaimana lazimnya bangunan umum seperti kebersihan, pengecatan dan lain-lain.

Page 44: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

11

D. PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN TPA 1. Pengawasan Kegiatan Pembuangan

a. Tujuan Pengawasan dan Pengendalian Pengawasan dan pengendalian TPA dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa setiap kegiatan yang ada di TPA dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sbb: • Apakah sampah yang dibuang merupakan sampah perkotaan, dan bukan

jenis sampah yang lain? • Apakah volume dan berat sampah yang masuk TPA diukur dan dicatat

dengan baik? • Apakah sel pembuangan dan titik bongkar sudah ditentukan? • Apakah pengemudi sudah diarahkan ke lokasi yang benar? • Apakah truk membongkar sampah pada titik yang benar? • Apakah tanah penutup telah tersedia? • Apakah perataan dan pemadatan dilakukan sesuai rencana? • Apakah penutupan telah dilakukan dengan baik? • Apakah prasarana dan sarana dioperasikan dan dipelihara dengan baik?

b. Tata Cara Pengawasan dan Pengendalian

Pengawasan dilakukan dengan kegiatan pemeriksaan / pengecekan yang meliputi: • Pemeriksaan kedatangan sampah • Pengecekan rute pembuangan • Pengecekan operasi pembuangan • Pengecekan unjuk kerja fasilitas

Pengendalian TPA meliputi aktivitas untuk mengarahkan operasional pembuangan dan unjuk kerja setiap fasilitas sesuai fungsinya seperti: • Pemberian petunjuk operasi pembuangan bila petugas lapangan /

operator melaksanakan tidak sesuai dengan rencana • Pemeriksaan kualitas pengolahan leachate dan pemberian petunjuk cara

pengoperasian yang baik

2. Pendataan dan Pelaporan

a. Pendataan TPA Data-data TPA yang diperlukan akan mencakup: - Data kedatangan kendaraan pengangkut sampah dan volume sampah

yang diperlukan untuk mengetahui kapasitas pembuangan harian; yang akan digunakan untuk mengevaluasi perencanaan TPA yang telah disusun berkaitan dengan kapasitas tampung dan usia pakai TPA. Data ini dapat dikumpulkan di Pos Pengendali TPA dimana terdapat petugas yang secara teliti memeriksa, mengukur dan mencatat data tersebut dengan bantuan Form Kedatangan Truk.

- Data kondisi instalasi pengolahan lindi khususnya kualitas parameter pencemar untuk mengetahu efisiensi pengolahan lindi dan potensi pencemaran yang masih ada. Data ini diperoleh melalui pemeriksaan kualitas air lindi di laboratorium.

- Data operasi dan pemeliharaan alat berat yang merupakan data unjuk kerja alat berat dan pemantauan pemeliharaannya.

Page 45: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

12

b. Pelaporan

Data-data di atas perlu dirangkum dengan baik menjadi suatu laporan yang dengan mudah memberikan gambaran mengenai kondisi pengoperasian dan pemeliharaan TPA kepada para pengambil keputusan maupun perencana bagi pengembangan TPA lebih lanjut.

3. Pengendalian TPA

a. Pengendalian Lalat Perkembangan lalat dapat terjadi dengan cepat yang umumnya disebabkan oleh terlambatnya penutupan sampah dengan tanah sehingga tersedia cukup waktu bagi telur lalat untuk berkembang menjadi larva dan lalat dewasa. Karenanya perlu diperhatikan dengan seksama batasan waktu paling lama untuk penutupan tanah. Semakin pendek periode penutupan tanah akan semakin kecil pula kemungkinan perkembangan lalat. Dalam hal lalat telah berkembang banyak, dapat dilakukan penyemprotan insektisida dengan menggunakan mistblower. Tersedianya pepohonan dalam hal ini sangat membantu pencegahan penyebaran lalat ke lingkungan luar TPA.

b. Pencegahan Kebakaran / Asap Kebakaran/asap terjadi karena gas metan terlepas tanpa kendali dan bertemu dengan sumber api. Terlepasnya gas metan seperti telah dibahas sebelumnya sangat ditentukan oleh kondisi dan kualitas tanah penutup. Sampah yang tidak tertutup tanah sangat rawan terhadap bahaya kebakaran karena gas tersebar di seluruh permukaan TPA. Untuk mencegah kasus ini perlu diperhatikan pemeliharaan lapisan tanah penutup TPA.

c. Pencegahan Pencemaran Air Pencegahan pencemaran air di sekitar TPA perlu dilakukan dengan menjaga agar leachate yang dihasilkan di TPA dapat: - Terbentuk sesedikit mungkin; dengan cara mencegah rembesan air hujan

melalui konstruksi drainase dan tanah penutup yang baik; - Terkumpul pada kolam pengumpul dengan lancar; - Diolah dengan baik pada kolam pengolahan; yang kualitasnya secara

periodik diperiksa.

Page 46: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

1

PEWADAHAN, PENGUMPULAN DAN PENGANGKUTAN SAMPAH A. PEWADAHAN SAMPAH

1. Pendahuluan Pewadahan sampah adalah suatu cara penampungan sampah sebelum dikumpulkan, dipindahkan, diangkut dan dibuang ke tempat pembuangan akhir. Tujuan utama dari pewadahan adalah :

- Untuk menghindari terjadinya sampah yang berserakan sehingga mengganggu lingkungan dari kesehatan, kebersihan dan estetika

- Memudahkan proses pengumpulan sampah dan tidak membahayakan petugas pengumpulan sampah, baik petugas kota maupun dari lingkungan setempat.

Dalam operasi pengumpulan sampah, masalah pewadahan memegang peranan yang amat penting. Oleh sebab itu tempat sampah adalah menjadi tanggung jawab individu yang menghasilkan sampah (sumber sampah), sehingga tiap sumber sampah seyogyanya mempunyai wadah/tempat sampah sendiri. Tempat penyimpanan sampah pada sumber diperlukan untuk menampung sampah yang dihasilkannya agar tidak tercecer atau berserakan. Volumenya tergantung kepada jumlah sampah perhari yang dihasilkan oleh tiap sumber sampah dan frekuensi serta pola pengumpulan yang dilakukan. Untuk sampah komunal perlu diketahui/diperkirakan juga jumlah sumber sampah yang akan memanfaatkan wadah komunal secara bersama serta jumlah hari kerja instansi pengelola kebersihan perminggunya. Bila hari kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, kapasita penampungan komunal tersebut harus mampu menampung sampah yang dihasilkan pada hari minggu. Perhitungan kapasitasnya adalah jumlah sampah perminggu (7 hari) dibagi 6 (jumlah hari kerja perminggu).

2. Permasalahan Kapasitas, bentuk dan jenis bahan, pola pengumpulan mempunyai kaitan yang sangat erat satu dengan lainnya. Wadah sampah yang tidak sesuai akan dapat menghambat proses pengumpulan dan pengangkutan sampah khususnya waktu yang diperlukan dalam pembuangan sampah. Pembuatan sampah dengan tenaga manusia memerlukan wadah sampah yang berbeda dari pembuatan secara mekanis. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1988 ada suatu pasar yang baru dibangun dilengkapi dengan eberapa container besar kapasitas 8 m3 tetapi tidak disediakan kendaraan load, houl yang diperlukan (Arm Roll Truck). Akibatnya pasar tersebut bukan bersih indah, sebaliknya kotor dan bau karena sampah bertumpuk di luar dan dalam container yang sulit untuk dipindahkan/dimuatkan ke truck sampah. Di suatu kota lainnya ada yang membeli container metal 1 m3 seperti di Jakarta dalam jumlah yang banyak

Page 47: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

2

tetapi tidak mempunyai truck yang dilengkapi pemuat mekanis (lifter), sehingga menyulitkan operasi pengumpulan sampah.. Pada banyak lokasi perumahan-perumahan sering dijumpai kecenderungan pemilik rumah membuat bak-bak sampah permanen dari pasangan bata. Seperti diketahui, bahwa bak sampah permanen menghambat kecepatan operasi petugas pengumpul. Selain itu bak sampah permanen relatif lebih sulit dikontrol tingkat kebersihannya serta segi estetikanya juga kurang baik.

Agar tempat sampah ini dapat menunjang keberhasilan pengumpulan sampah, perlu didisain sedemikian sehingga cukup ringan dan memudahkan petugas kebersihan untuk mengambil/memindahkan sampahnya kedalam peralatan pengumpulan, cukup hygeniis dalam arti mengurangi kemungkinan kontak langsung antara sampah dengan petugas, tertutup untuk menghindari lalat serta bau, tahan lama, relatif cukup murah serta memperhatikan unsur estetika.

Wadah penyimpanan sampah tersebut ditempatkan sedemikian rupa, sehingga memudahkan bagi para petugas untuk mengambilnya dengan cepat.

3. Kriteria Pola penampungan bisa berbentuk : Individual, setiap rumah/toko dan bangunan lainnya memiliki wadah

sendiri, cocok untuk daerah pemukiman kelas menengah dan tinggi, pertokoan, perkantoran dan bangunan besar lainnya.

Komunal, tersedia 1 wadah yang dapat dimanfaatkan oleh beberapa rumah/bangunan cocok untuk daerah pemukiman kumuh dengan tingkat ekonomi rendah, rumah susun, pemukiman padat sekali ( yang menyulitkan proses operasi pengumpulan ).

Sarana pewadahan diarahkan untuk memperhatikan hal - hal berikut : a. Alat pewadahan yang disarankan untuk digunakan adalah tipe tidak

tertanam (dapat diangkat) untuk memudahkan operasi pengumpulan. b. Jenis wadah yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan

pengadaannya dapat berupa : 1).Tong sampah ( plastik, fiberglass, kayu, logam, bambu). 2).Kantong plastik.

c. Ukuran wadah minimal dapat mewadai timbulnya sampah selama 2 hari pada tiap tempat timbulan sampah ( untuk pemukiman 40 liter, sedangkan untuk komunal 100 liter - 1 m3).

d. Wadah mampu mengisolasi sampah dari lingkungan ( memiliki tutup ) e. Peruntukan wadah individual : toko, kantor, hotel, pemukiman high

incame , home industri. Di halaman muka (tidak diluar pagar) Mudah di ambil Sumber sampah besar ( hotel, restoran ) boleh dibelakang dengan alasan estetika dan kesehatan, dengan syarat menjamin kemudahan pengambilan.

f. Peruntukan wadah komunal : pedagang kaki lima, rumah susun, pemukiman low income. Tidak mengambil lahan trotoar ( harus ada lokasi khusus ).

Page 48: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

3

Tidak dipinggir jalan protokol. Sedekat mungkin dengan sumber sampah terbesar. Tidak pengganggu pemakai jalan.

4. Cara - Cara Pewadahan Sampah

a. Cara Pewadahan Sampah Rumah Tangga Sampah rumah tangga hendaknya dimasukkan kedalam tempat sampah yang tertutup, apalagi untuk sampah dari sisa - sisa makanan karena akan cepat membusuk yang dapat menimbulkan bau dan mengundang lalat serta menjadi media perkembanganl.

1. Tempat sampah pada pola pengumpulan individual

Pewadahan pada pola pengumpulan individual ( langsung / tidak langsung ), kapasitas wadah minimal dapat menampung sampah untuk 3 hari (+ 40 - 60 liter ), hal ini berkaitan dengan waktu pembusukan dan perkembangan lalat, masih cukup ringan untuk diangkat oleh orang dewasa sendirian ( dirumah atau petugas kebersihan ) serta efisiensi pengumputan ( pengumpulan dilakukan 2-3 hari sekali secara reguler ). Bila tempat sampah menggunakan kantong plastik bekas, ukuran dapat bervariasi, kecuali dibuat standar. Pada pemakaian bak sampah permanen dari pasangan bata atau lainnya (tidak dilanjutkan), sampah diharuskan dimasukkan dalam kantong plastik sehingga memudahkan sarta mempercepat proses pengumpulan.

2. Tempat sampah pada pola pengumpulan komunal

Kapasitas disesuaikan dengan kemudahan untuk membawa sampah tersebut (oleh penghasil sampah) ke tempat penampungan komunal (container besar, bak sampah, TPS). Kapasitas tersebut untuk menampung sampah maksimun 3 hari (cukup berat untuk membawanya sampai ke penampungan komunal yang jaraknya kira-kira 50 - 100 m dari rumah).

b. Cara Pewadahan Sampah Non Rumah Tangga

Prinsip kesehatan tetap dipertahankan (tertutup dll), sedangkan kapasitasnya tergantung aktifitas sumber sampah serta jenis / komposisi sampahnya. Perkantoran misalnya , sampah umumnya didominasi oleh kertas yang tidak mudah membusuk dan tidak berbau busuk. Kapasitas penyimpangan sampah dari perkantoran dapat diperhitungkan untuk menampung sampah sampai 1 minggu. Untuk jumiah sampahnya besar, pemakaian bin atau container besar dapat dipertimbangkan dan harus memperhatikan peralatan pengumpulan yang digunakan. Bila jumlah sampahnya dapat mencapai 6- 10 m3 perhari atau setelah 1 minggu, pemakaian container dari Arm roll truck dianjurkan. Sampah dari pasar setiap harinya berjumlah besar dan cepat membusuk, oleh karena itu pemakaian tempat sampah komunal dari container arm roll dianjurkan, sedangkan masing - masing toko atau kios dapat menggunakan kantong plastik, bin plastik atau keranjang dengan

Page 49: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

4

kapasitas 50-120 liter tergantung jumlah sampah yang diproduksi setiap harinya.

c. Cara Pewadahan Sampah Bagi Pejalan Kaki

Disepanjang daerah pertokoan atau taman dan tempat - tempat umum dapat dilakukan dengan menempatkan bin-bin sampah plastik. Sampah dari pejalan kaki ini umumnya terdiri dari pembungkus makanan atau lainnya yang tidak cepat membusuk. Kapasitas tempat sampah ini berkisar 50 - 120 liter.

5. Jenis Peralatan Dan Sumber Sampah

Sumber Sampah Jenis Peralatan - Daerah perumahan yang sudah teratur/belum teratur - Pasar - Pertokoan - Perkantoran/hotel - Tempat umum, jalan dan

taman

- Kantong plastik/kertas volume sesuai

yang ada - Bin plastik/tong volume 40-60 lt

dengan tutup - Bin/tong sampah, volume 50-60 lt

yang dipasang secara permanen - Bin/plastik, volume 120-240 lt ada

tutupnya dan memakai roda - Gerobak sampah, volume 1 m3 - Container dari Arm roll kapasitas 6-

10 m3 - Bak sampah isi variabel - Kantong plastik, volume bervariasi - Bin plastik/tong, volume 50-60 - Bin plastik, volume 120-240 Lt

dengan roda - Container volume 1 m3 beroda - Container besar volume 6-10 m3 - Bin plastik/tong volume 50-60 lt,

yang dipasang secara permanen - Bin plastik, volume 120-240 dengan

roda 6. Perhitungan Kapasitas dan Jumlah Pewadahan Sampah

Penetapan kapasitas (ukuran/volume) pewadahan sampah biasanya ditentukan berdasarkan :

- Jumlah penghuni dalam suatu rumah

- Tingkat hidup masyarakat

- Frekuensi pengambilan/pengumpulan sampah

- Cara pengumpulan (manual atau mekanis)

- Sistem pelayanan, individual atau komunal

Page 50: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

5

Contoh perhitungan tempat penyimpanan sampah Dibawah ini diberikan beberapa contoh perhitungan kebutuhan peralatan untuk penduduk kota dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa dan tingkat pelayanannya 60 %.

Laju timbulan sampah 3 lt/orang/hari, tiap rumah tangga mempunyai anggota keluarga 6 jiwa, frekuensi pelayanan 2 hari sekali (3 kali perminggu )

Jumlah penduduk kota 150.000 jiwa, dengan tingkat pelayanan 60 %. Jadi jumlah penduduk yang akan dilayanai = 60 x 150.000 jiwa = 90.000 jiwa.

Setiap rumah tangga mempunyai anggota keluarga 6 jiwa, maka kebutuhan tong sampah untuk rumah tangga = 90.000 = 15.000 buah

6

Tempat sampah ini harus disediakan sendiri, namun untuk mempercepat proses pengosongan oleh petugas maupun untuk kesehatan petugas, waktu proses pengumpulan sampah serta keindahan, tempat sampah tersebut dapat distandarisasi.

Frekuensi pelayanan diberikan setiap 2 hari sekali dan setiap orang menghasilkan 3 liter sampah perhari, maka dalam 2 hari setiap rumah tangga menghasilkan sampah sebanyak = 2 x 6 x 3 liter = 36 liter. Volume tong sampah dibulatkan = 40 liter. Bila frekuensi pelayanan 3 hari sekali, volume tong sampah = 3 x 6 x 3 liter = 54 liter, dibulatkan 60 liter.

B. PENGUMPULAN SAMPAH

1. Pendahuluan Yang dimaksud dengan sistem pengumpulan sampah adalah cara atau proses pengambilan sampah mulai dari tempat pewadahan/penampungan sampah dari sumber timbulan sampah sampai ketempat pengumpulan semantara/stasiun pamindahan atau sakaligus ke tempat pembuangan akhir (TPA).

Pengumpulan umumnya dilaksanakan oleh petugas kebersihan kota atau swadaya masyarakat (sumber sampah, badan swasta atau RT/RW).

Pengikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan sampah banyak ditentukan oleh tingkat kemampuan pihak kota dalam memikul beban masalah persampahan kotanya.

Dalam teknis operasional pengelolaan sampah biaya untuk kegiatan pengumpulan sampah dapat mencapai 40 % dari total biaya operasional. Karenanya perlu diupayakan suatu teknik pengumpulan yang efektif dan efisien, termasuk pertimbangan terhadap tempat penyimpanan sampah, agar biaya operasi dapat ditekan serendah mungkin.

2. Permasalahan Salah satu permasalahan di dalam aspek teknis operasional yang umumnya masih dijumpai adalah terbatasnya jumlah peralatan persampahan (termasuk

Page 51: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

6

didalamnya peralatan pengumpulan), pemeliharaan yang belum terencana dengan baik serta belum adanya metode operasi yang sesuai.

Pada hampir seluruh kota-kota besar dan sedang di Indonesia, dijumpai sisa-sisa sampah tidak terangkut yang disebabkan oleh belum efisiensinya cara-cara pengumpulan sampah yang diterapkan. Hali ini lebih jauh akan membawa dampak negative terhadap kesehatan masyarakat.

Pengumpulan sampah merupakan kegiatan yang padat karya dan proses yang paling mahal dibandingkan dengan proses-proses lain di dalam pengelolaan sampah. Pada kenyataannya biaya untuk pengumpulan terus meningkat dari waktu ke waktu dengan munculnya daerah-daerah kumuh yang harus dilayani sebagai akibat dari proses urbanisasi.

Secara lebih mendetail permasalahan-permasalahan yang umumnya dijumpai pada sistem pengumpulan ini adalah :

a. Penggunaan waktu kerja yang tidak efisien karena keterlambatan mulai bekerja, lamanya waktu memuat dan membongkar, hilangnya waktu dan lain-lain

b. Penggunaan kapasitas muat yang tidak tepat, misalnya terlalu penuh pada rit 1 dan kosong pada rit berikutnya. Muatan yang terlalu penuh membuat kendaraan cepat rusak.

c. Jenis pewadahan yang tidak tepat, tidak seragam dan standar sehingga memperlambat proses pengumpulan sampah oleh petugas pengumpul

d. Rute pelayanan yang belum optimum, sehingga tidak diperoleh penghematan waktu untuk operasi pengumpulan.

e. Tingkah laku petugas dan kerja sama masyarakat yang kurang baik, seperti misalnya kerjasama antara petugas dan masyarakat serta effisiensi kerja petugas kurang baik

f. Aksebilitas yang kurang baik, seperti misalnya jalan-jalan yang terlalu sempit, kondisi jalan yang rusak, kemacetan dan lain-lain.

3. Operasi Pengumpulan Sampah

Pada dasarnya pengumpulan sampah dapat dikelompokkan dalam 2 pola pengumpulan : a. Pola individual langsung

Pengumpulan dilakukan oleh petugas kebersihan yang mendatangi tiap-tiap bangunan/sumber sampah (door to door) dan langsung diangkut untuk dibuang di Tempat Pembuangan Akhir. Pola pengumpulan ini menggunakan kendaraan truck sampah biasa, dump truck atau compactor truck.

Sumber Sampah

Pengumpulan / pengangkutan

Pembuangan Akhir

Page 52: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

7

b. Pola individual tidak langsung

Daerah yang dilayani kedua cara tersebut diatas umumnya adalah lingkungan pemukiman yang sudah teratur, daerah pertokoan, tempat-tempat umum, jalan dan taman. Transfer Depo tipe I, tipe II atau tipe III, tergantung luas daerah yang dilayani dan tersedianya tanah lokasi,

c. Pola komunal langsung Pengumpulan sampah dilakukan sendiri oleh masing-masing penghasil sampah (rumah tangga, dll) ke tempat-tempat penampungan sampah komunal yang telah disediakan atau langsung ke truck sampah yang mendatangi titik pengumpulan (semacam jali-jali di jakarta)

d. Pola komunal tidak langsung Pengumpulan sampah dilakukan sendiri oleh masing-masing penghasil sampah (rumah tangga dll ) ke tempat-tempat yang telah disediakan/di tentukan (bin/tong sampah komunal ) atau langsung ke gerobak/becak sampah yang mangkal pada titik - titik pengumpulan komunal. Petugas kebersihan dengan gerobaknya kemudian mengambil sampah dari tempat - tempat pengumpulan komunal tersebut dan dibawa ke tempat penampungan sementara atau transfer depo sebelum diangkut ketempat pembuangan akhir dengan truck sampah. Bila tempat pengumpulan sampah tersebut berupa gerobak yang mangkal, petugas tinggal membawanya ke tempat penampungan sementara atau transfer depountuk dipindahkan sampahnya ke atas truck.

C. PENGANGKUTAN SAMPAH

1. Pendahuluan Pengangkutan, dimaksudkan sebagai kegiatan operasi yang dimulai dari titik pengumpulan terakhir dari suatu siklus pengumpulan sampai ke TPA pada pengumpulan dengan pola individual langsung, atau dari tempat pemindahan (Trasfer Depo, Trasfer Station), penampungan sementara (TPS, TPSS, LPS) atau tempat penampungan komunal sampai ke tempat

Sumber Sampah

Pengumpulan dan Pengangkutan

Pengangkutan

Pembuangan Akhir

Sumber Sampah

Wadah Komunal Pengangkutan

Pembuangan Akhir

Sumber Sampah

Wadah Komunal

Pengangkutan

Pembuangan Akhir

Pengumpulan, Pemindahan

Page 53: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

8

pengolahan/pembuangan akhir. Sehubungan dengan hal tersebut, metoda pengangkutan serta peralatan yang akan dipakai tergantung dari pola pengumpulan yang dipergunakan.

2. Pengangkutan Berdasarkan Pola Pengumpulan Sampah

a. Pengangkutan pada Pengumpulan dengan Pola Individual Langsung. Pengangkutan sampah untuk pengumpulan yang digunakan pola Individual Langsung, kendaraan yang digunakan untuk pengumpulan juga langsung digunakan untuk pengangkutan ke TPA.

Dari pool, kendaraan langsung menuju ke titik - titik pengumpulan (sumber sampah ) dan setelah penuh dari titik pengumpulan terakhir (dalam suatu rit atau trip). Setelah menurunkan sampah di TPA, kemudian kembali ke titik pengumpulan pertama untuk rit atau trip berikutnya, setelah penuh dari titik pengumpulan terakhir pada rit tersebut langsung menuju ke TPA demikian seterusnya dan akhirnya dari TPA langsung kembali ke pool.

b. Pengangkutan pada pengumpulan dengan "Pola Individual Langsung" Pengangkutan dari Transfer Depo tipe I dan tipe II, untuk pengumpulan sampah dengan pola individuai tidak langsung (menggunakan gerobak/becak sampah dan transfer depo tipe I atau II), angkutan sampahnya sebagai berikut: 1 Kendaraan angkutan keluar dari pool langsung menuju lokasi TD dan

sampah - sampah tersebut diangkut ketempat pembuangan akhir.

2 Dari TPA, kendaraan tersebut kembali ke TD untuk pengambilan / pengangkutan pada rit atau trip berikutnya. Path rit terakhir sesuai dengan yang ditentukan ,( jumlah sampah yang harus diangkut habis ) kendaraan tersebut langsung kembali ke pool.

3 Dapat terjadi setelah sampah di salah satu TD habis mengambil sampah dari TD lain atau dari TPS/TPSS /LPS.

4 Selain itu dapat diatur pula pengangkutannya bergantian dengan TD lain sehingga tidak ada waktu idle dari Dump Truck.

Hal ini dimungkinkan bila jarak TPA dekat ke TD sehingga waktu tempuh

Titik-titik pengumpul 1

2

3

Pool Kendaraan

TPA

Page 54: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

9

truck cukup singkat, sehingga bila langsung dari TPA menuju TD yang sama, kemungkinan akan menganggur menunggu gerobak yang sedang melakukan pengumpulan sampah dari rumah ke rumah (door to door). Denagn memperhitungkan waktu secara cukup cermat (waktu tempuh gerobak 1 trip dan waktu tempuh truk 1 trip). dapat disusun jadwal pengangkutan pada tiap TD.

c. Pengangkutan pada pengumpulan dengan "Pola Individual Langsung" Transfer Depo merupakan landasan container besar yang merupakan perlengkapan Armroll Truck. Disini gerobak tidak tergantung kepada datangnya truk untuk memindahkan sampah yang dikumpulkannya, karena container mangkal dilandasan tersebut.

1. Cara ke-1 (Sistem Container yang diganti)

Dari Pool, Armroll truck membawa container kosong (CO) menuju landasan container pertama (C1), menurunkan container kosong dan mengambil container penuh (C1) secara hidrolis, selanjutnya menuju TPA untuk menurunkan sampah. Dari TPA membawa container kosong (C1) menuju landasan landasan container ke - dua, menurunkan container (C1) kemudian mengambil container penuh (C2) untuk dibawa ke TPA, selanjutnya menuju kelandasan container berikutnya demikian seterusnya.

Setelah rit yang terakhir ( 4 s/d 6 rit/hari ), dari TPA bersama container terakhir (Cn) yang telah kosong kembali ke Pool. Pada cara ini pada TD/landasan container setiap saat selalu tersedia container ; sehingga gerobak tidak terikat pada waktu pemindahan karena menunggu container kembali dari TPA.

2. Cara ke–2 (Sistem Container yang dipindah)

Armroll truck tanpa container keluar dari pool langsung menuju lokasi container pertama (C1), untuk mengambil/mengangkut container pertama (C1) ke TPA. Dari TPA, kendaraan tersebut dengan container kosong (C1) kembali menuju lokasi container berikutnya (C2), menurunkan container yang kosong (C1) dan mengambil container yang berisi sampah (C2) untuk diangkut ke TPA demikian seterusnya.

Pada rit terakhir setelah container kosong ( Cn ) diletakkan pada

Transfer Depo 1

2

3 TPA

Pool Kendaraan

Page 55: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

10

lokasi kontainer pertama , kendaraan tersebut kembali ke pool. Pada lokasi container pertama, kendaraan tersebut kembali ke pool. Pada cara ini terdapat kekosongan container pada landasan container pertama sampai Armroll truck membawa container kosong yang terakhir ( Cn ) dari TPA ke landasan pertama. Pada landasan ke dua dan landasan terkhir tidak terjadi kekosongan container. Tentunya yang rawan adalah pada landasan pertama karena kemungkinan ada gerobak yang menurunkan sampah atau individu yang membuang sampah di landasan yang tidak ada containemya.

3. Cara ke-3 (Sistem Container yang diangkat) Pada cara ke-3 relatif sama dengan cara ke-2, hanya setelah container pertama (C1) dibawa ke TPA untuk dikosongkan kembalinya dari TPA tidak menuju ke lokasi landasan pertama, demikian pula container kedua (C2) dari TPA kembali ke landasan kedua demikian selanjutnya. Secara merata setiap landasan (TD-III) akan terjadi kekosongan container selama kegiatan pengangkutan dari landasan ke TPA darn kembali ke landasan yang sama.

4. Cara ke-4 (Sistem Container Tetap)

Sistem ini biasanya untuk container kecil serta alat angkut berupa truck compactor. Kendaraan keluar dari pool langsung menuju lokasi container pertama (C1) dan mengambil sampahnya untuk dituangkan ke dalam truck compactor dari meletakkan kembali container yang kosong itu ditempatnya semula, kemudian kendaraan langsung menuju lokasi container kedua (C2) mengambil sampahnya dan meninggalkan container dalam keadaan kosong dan seterusnya.

Page 56: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

1

SAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Permasalahan Masalah sampah sebagai hasil aktivitas manusia di daerah perkotaan memberikan tekanan yang besar terhadap lingkungan, terutama bila tidak sampai terangkut dan akhirnya terakumulasi di tempat-tempat terbuka maupun badan air. Selain itu sampah yang diamankan di TPA, ternyata tidak mampu mengamankan lingkungan sekitarnya akibat pengelolaan yang kurang baik. Permasalahannya antara lain adalah:

• Sampah yang dibuang di TPA 60-70% adalah materi organik yang mudah terurai.

Sampah organik akan terdekomposisi dan dengan adanya limpasan air hujan terbentuk leachate (lindi/air sampah) yang akan mencemari sumber daya air baik air tanah maupun permukaan sehingga mungkin saja sumur-sumur penduduk di sekitarnya ikut tercemar.

• Lindi yang terbentuk mengandung nilai BOD (Biological Oxygen Demand =

Kebutuhan Akan Oksigen Biologis) mencapai ribuan bahkan puluhan ribu ppm. Selain itu dalam lindi juga mengandung bibit penyakit patogen, seperti tifus, hepatitis, dan sebagainya.

• Lindi mungkin juga mengandung logam berat, mengingat sampah yang

diamankan di TPA tersebut masih tercampur antara sampah domestik B3 seperti batu baterai dengan sampah domestik biasa.

Proses dekomposisi yang terjadi di TPA bersifat anaerobik, sehingga terbentuk gas-gas berbahaya seperti metan, H2S, dan gas-gas merkaptan lainnya. Kebakaran yang sering terjadi di TPA, salah satu pencetusnya adalah karena keberadaan gas-gas tersebut yang kemudian disulut oleh hal-hal kecil seperti puntung rokok yang masih menyala.

Kebakaran yang biasanya sulit untuk dipadamkan, akan meluas dan menimbulkan asap disertai bau yang menyengat, sehingga menyebabkan gangguan pernapasan baik petugas maupun masyarakat sekitar.

Kepulan asap hasil pembakaran sampah harus dicermati, mengingat kemungkinan mengandung zat berbahaya lainnya yaitu dioksin, zat karsinogenik penyebab kanker yang merupakan hasil pembakaran tidak sempurna dari sampah plastik.

Selain masalah-masalah teknis seperti di atas, masalah non teknis pun menjadi kendala bagi pengelola sampah kota, antara lain:

Keterbatasan lahan, terutama bagi kota-kota raya dan besar, sering menimbulkan

masalah, karena itu sampah harus dibuang ke wilayah tetangga.

Page 57: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

2

Masalah kebersihan belum menjadi program prioritas di daerah. Hal ini berdampak pada alokasi biaya kebersihan yang masih sangat terbatas.

Masyarakat masih belum memahami bahwa masalah kebersihan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan masyarakat.

Hukum dan peraturan perundang-undangan belum dilaksanakan atau ditegakkan.

B. Paradigma Penanganan Sampah Semua permasalahan di atas terjadi akibat hampir semua pemerintah daerah di Indonesia, masih menganut paradigma lama penanganan sampah kota, yang menitikberatkan hanya pada pengangkutan dan pembuangan akhir. TPA dengan sistem lahan urug saniter (sanitary landfill) yang ramah lingkungan, ternyata tidak ramah dalam aspek pembiayaan, karena membutuhkan biaya yang tinggi untuk investasi, konstruksi, operasi dan pemeliharaan. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, sudah saatnya pemerintah daerah mau merubah pola pikir yang lebih bernuansa lingkungan. Konsep pengelolaan sampah yang terpadu sudah waktunya diterapkan, yaitu dengan meminimasi sampah serta maksimasi kegiatan daur-ulang dan pengomposan disertai dengan TPA yang ramah lingkungan. Paradigma baru yang diharapkan dapat mulai dilaksanakan adalah dari orientasi pembuangan sampah ke orientasi daur-ulang dan pengomposan. Melalui paradigma baru ini pengelolaan sampah tidak lagi merupakan satu rangkaian yang hanya berakhir di TPA (one-way street), tetapi lebih merupakan satu siklus yang sejalan dengan konsep ekologi. Energi baru yang dihasilkan dari hasil penguraian sampah maupun proses daur-ulang lainnya tidak hilang percuma. Berdasarkan perhitungan Direktorat Bintek-Dept. PU (1999), bila konsep pengelolaan sampah terpadu dengan strategi 3-M (mengurangi, menggunakan kembali, mendaur-ulang) dilaksanakan, maka sampah yang akan masuk ke TPA berupa residu hanya sebesar 15%. Sampah yang dapat dikomposkan ± 40%, didaur-ulang (20%), dan dibakar dengan menggunakan insinerator 25%. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan paradigma lama pengelolaan sampah.

Keberhasilan penerapan paradigma baru ini dapat tercapai tentu melalui koordinasi yang baik dengan instansi terkait seperti Dinas Pertamanan, Dinas Pasar, Bapedalda, Kelurahan, dsb. Masyarakat tentu saja harus terlibat aktif, misalnya dalam kegiatan pemilahan dan pengumpulan sampah di sumber.

Page 58: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

3

Gambar 1.1. Paradigma Lama Pengelolaan Sampah

Gambar 1.1. Paradigma Lama Penanganan Sampah

Gambar 1.2. Paradigma Baru Pengelolaan Sampah

Sumber Sampah

Pewadahan

Pengumpulan

dan Pemindahan

Pembuangan Akhir

Sumber Sampah

Pewadahan pemilahan dan pengolahan di rumah tangga : kompos, daur-

ulang

Pengumpulan, Pemindahan, pengolahan

skala kawasan: UDPK

Pengangkutan

Pembuangan Akhir

Pengolahan: -Daur-ulang -Kompos -Pembakaran -Pemadatan

Page 59: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

4

II. MINIMISASI SAMPAH

A. Definisi dan Manfaat Minimisasi limbah/sampah adalah upaya untuk mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas, dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi dengan reduksi dari sumber dan/atau pemanfaatan limbah.

Pada dasarnya minimisasi limbah/sampah merupakan bagian dari pengelolaan limbah dan dapat mengurangi penyebaran limbah di lingkungan, meningkatkan efisiensi produksi dan dapat memberikan keuntungan ekonomi, antara lain:

a. Mengurangi biaya pengangkutan ke pembuangan akhir; b. Mengurangi biaya pembuangan akhir; c. Meningkatkan pendapatan karena penjualan dan pemanfaatan limbah. Usaha minimisasi limbah di Indonesia telah dimulai di sektor industri pada tahun 1995 dengan membuat suatu komitmen nasional dalam penerapan strategi produksi bersih dalam proses industri. Walaupun demikian usaha serupa belum dimulai di sektor domestik/rumah tangga dan baru terbatas pada kegiatan pengumpulan dan sedikit daur-ulang. Salah satu bagian dari minimasi limbah yang perlu diperhatikan adalah limbah atau sampah padat yang dihasilkan dari pengemasan (packaging) karena jumlah yang dihasilkan akan semakin meningkat di masa mendatang. Upaya minimisasi limbah padat rumah tangga antara lain melalui kegiatan daur-ulang dan produksi kompos. Sangat disayangkan bahwa Pemerintah Daerah belum memiliki komitmen yang kuat mengenai minimisasi limbah rumah tangga. Komitmen ini sudah seharusnya dituangkan dalam kebijaksanaan Pemda dan diperkuat dengan peraturan daerah. Di tingkat Pusat kegiatan 3-M (Mengurangi, Menggunakan kembali, Mendaur-ulang) sudah dibakukan melalui kebijaksanaan, strategi dan dijabarkan dalam pelaksanaan kegiatan yang lebih konkrit. Pelaksanaan kegiatan tersebut antara lain berupa pemberian paket bantuan proyek perintisan UDPK (Usaha Daur-ulang dan Produksi Kompos) di 50 kota Dati II di Indonesia. Petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan tata cara tentang kegiatan 3-M sudah disusun dan disebarluaskan melalui diseminasi-diseminasi oleh Ditjen Cipta Karya Dept. PU. Tetapi harapan untuk dapat merangsang Pemda melakukan kegiatan pengomposan dan daur-ulang sehingga dapat mengefisienkan biaya pengelolaan sampah kota ternyata belum dapat tercapai.

B. Penanganan Sampah 3-R Penanganan sampah 3-R adalah konsep penanganan sampah dengan cara reduce/mengurangi (R1), reuse/menggunakan kembali (R2), dan recycle/mendaur-ulang sampah (R3) mulai dari sumbernya (Dit, Bintek DJCK, 1999). Penanganan sampah 3-R sangat penting untuk dilaksanakan dalam rangka pengelolaan sampah padat perkotaan yang efisien dan efektif sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya pengelolaan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan

Page 60: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

5

perhitungan di atas kertas, bila sampah kota dapat ditangani melalui konsep 3-R, maka sampah yang sampai yang akan sampai di TPA hanya ± 20% saja. Hal itu berarti akan sangat mengurangi biaya pengangkutan dan pembuangan akhir. Penanganan sampah 3-R akan lebih baik lagi bila dipadukan dengan siklus produksi dari suatu barang yang akan dikonsumsi.

Gambar 2.1. Potensi 3-M Dalam Pengelolaan Sampah (Bintek DJCK,1999)

Langkah-langkah pengerjaan penanganan sampah 3-R dapat disesuaikan dengan sumber penghasil sampah, seperti daerah perumahan, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan daerah komersial.

SAMPAH 100 %

Sampah Anorganik ± 28%

B3 ± 2%

Sampah Organik ± 70%

Pemanfaatan Lain ± 2%

Pengomposan ± 38%

Residu ± 30% Daur-ulang

± 20%

Pembakaran ± 25%

Residu ± 4%

Residu ± 2,5%

TPA

± 5% ± 10%

Page 61: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

6

Tabel 1,2, dan 3 berikut menjelaskan tentang upaya penanganan sampah 3-R di beberapa sumber sampah.

Tabel 2.1. Upaya 3-R di Daerah Perumahan dan Fasilitas Sosial

Penanganan

3-R

Cara Pengerjaan

R-1

Hindari pemakaian dan pembelian produk yang

menghasilkan sampah dalam jumlah besar Gunakan produk yang dapat diisi ulang Kurangi penggunaan bahan sekali pakai Jual atau berikan sampah yang telah terpilah kepada

pihak yang memerlukan.

R-2

Gunakan kembali wadah/kemasan untuk fungsi yang

sama atau fungsi lainnya Gunakan wadah/kantong yang dapat digunakan berulang-

ulang. Gunakan baterai yang dapat diisi kembali.

R-3

Pilih produk dan kemasan yang dapat didaur-ulang dan

mudah terurai Lakukan penanganan untuk sampah organik menjadi

kompos dengan berbagai cara yang telah ada (sesuai ketentuan) atau manfaatkan sesuai dengan kreatifitas masing-masing.

Lakukan penanganan sampah anorganik menjadi barang yang bermanfaat.

Page 62: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

7

Tabel 2.2. Upaya 3-Rdi Fasilitas Umum

Penanganan

3-R

Cara Pengerjaan

R-1

Gunakan kedua sisi kertas untuk penulisan dan fotokopi. Gunakan alat tulis yang dapat diisi kembali. Sediakan jaringan informasi dengan komputer (tanpa

kertas) Maksimumkan penggunaan alat-alat penyimpan elektronik

yang dapat dihapus dan ditulis kembali. Khusus untuk rumah sakit, gunakan insinerator untuk

sampah medis. Gunakan produk yang dapat diisi ulang. Kurangi penggunaan bahan sekali pakai.

R-2 Gunakan alat kantor yang dapat digunakan berulang-

ulang. Gunakan peralatan penyimpan elektronik yang dapat

dihapus dan ditulis kembali.

R-3

Olah sampah kertas menjadi kertas kembali. Olah sampah organik menjadi kompos.

Page 63: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

8

Tabel 2.3. Upaya 3-R di Daerah Komersial (Pasar, Pertokoan, Restoran,

Hotel)

Penanganan

3-R

Cara Pengerjaan

R-1

Berikan insentif oleh produsen bagi pembeli yang

mengembalikan kemasan yang dapat digunakan kembali. Berikan tambahan biaya bagi pembeli yang meminta

kemasan/bungkusan untuk produk yang dibelinya. Memberikan kemasan/bungkusan hanya pada produk yang

benar-benar memerlukannya. Sediakan produk yang kemasannya tidak menghasilkan

sampah dalam jumlah besar. Kenakan biaya tambahan untuk permintaan kantong plastik

belanjaan. Jual atau berikan sampah yang telah terpilah kepada yang

memerlukannya.

R-2

Gunakan kembali sampah yang masih dapat dimanfaatkan

untuk produk lain, seperti pakan ternak. Berikan insentif bagi konsumen yang membawa wadah

sendiri, atau wadah belanjaan yang diproduksi oleh swalayan yang bersangkutan sebagai bukti pelanggan setia.

Sediakan perlengkapan untuk pengisian kembali produk umum isi ulang (minyak, minuman ringan).

R-3

Jual produk-produk hasil daur-ulang sampah dengan lebih

menarik. Berilah insentif kepada masyarakat yang membeli barang

hasil daur-ulang sampah. Olah kembali buangan dari proses yang dilakukan sehingga

bermanfaat bagi proses lainnya, Lakukan penanganan sampah organik menjadi kompos atau

memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan. Lakukan penanganan sampah anorganik.

C. Daur-Ulang dan Pengomposan

Secara garis besar, sampah dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik dapat terurai secara alamiah karena banyak berasal dari sisa daun-daunan, buah-buahan, sayuran, dan sisa makanan

Page 64: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

9

lainnya. Sementara itu sampah anorganik berasal dari bahan sintetis yang sukar terurai. Kedua golongan sampah mempunyai potensi yang tinggi untuk didaur-ulang. Sampah organik didaur-ulang menjadi kompos, dan sampah anorganik didaur-ulang dalam proses selanjutnya pada industri daur-ulang.

Daur-ulang menggunakan prinsip 2-R dari 3-R yang ada yaitu menggunakan kembali (reuse) dan mendaur-ulang (recycle).

Menggunakan Kembali Barang-barang yang habis dipakai dan tidak bermanfaat lagi disebut sampah.

Anggapan ini berbeda bila benda-benda yang dianggap sampah karena sifat dan karakteristiknya dapat dimanfaatkan kembali tanpa melalui proses produksi. Sebagai contoh: berbagai jenis botol, perabotan rumah tangga, dan lainnya yang sudah tidak terpakai lagi. Melalui proses pencucian, perbaikan, maupun sedikit penggantian, benda-benda tersebut dapat digunakan kembali seperti semula. Dengan demikian fungsi benda-benda tersebut sebagai sampah menjadi tertunda. Sehingga pada saat itu jumlah sampah akan berkurang sebesar jumlah benda yang dapat dimanfaatkan kembali.

Mendaur-ulang Sampah didaur-ulang (recycled) untuk dijadikan bahan baku industri (raw

material) dalam proses produksi (reprocessing dan remanufacture). Dalam proses ini, sampah sudah mengalami perubahan baik bentuk maupun fungsinya. Sebagai contoh sampah plastik, karet, kertas, besi, tembaga, alumunium, dengan melalui proses mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi produk akhir yang dapat digunakan kembali.

Kegiatan daur-ulang dan pengomposan dengan sampah perkotaan sebagai bahan baku mempunyai banyak keuntungan dan dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Membantu meringankan beban pengelolaan sampah perkotaan. Komposisi sampah di Indonesia sebagian besar terdiri atas sampah organik,

sekitar 50% sampai 60% dapat dikomposkan sedangkan sampah anorganik sekitar 20% dapat didaur-ulang. Apabila hal ini dapat direalisasikan sudah tentu dapat membantu dalam pengelolaan sampah di perkotaan, yaitu :

Memperpanjang umur tempat pembuangan akhir (TPA), karena

semakin banyak sampah yang dapat dikomposkan, semakin sedikit sampah yang dikelola.

Meningkatkan efisiensi biaya pengangkutan sampah, disebabkan jumlah sampah yang diangkut ke TPA semakin berkurang.

Meningkatkan kondisi sanitasi di perkotaan. Semakin banyak sampah yang dibuat kompos, diharapkan semakin sedikit pula masalah kesehatan lingkungan masyarakat yang timbul. Dalam proses pengomposan, panas yang dihasilkan dapat mencapai

Page 65: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

10

600C, sehingga kondisi ini dapat memusnahkan mikroorganisme patogen yang terdapat dalam masa sampah.

b. Dari segi sosial kemasyarakatan, daur-ulang dan pengomposan dapat

meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah kota dan meningkatkan pendapatan keluarga.

c. Daur-ulang dan pengomposan berpotensi mengurangi pencemaran lingkungan perkotaan, karena jumlah sampah yang dibakar atau dibuang ke sungai menjadi berkurang. Selain itu aplikasi kompos pada lahan pertanian berarti mencegah pencemaran karena berkurangnya kebutuhan pemakaian pupuk buatan dan obat-obatan yang berlebihan.

d. Membantu melestarikan sumber daya alam. Pemakaian kompos pada

perkebunan akan meningkatkan kemampuan lahan kebun dalam menahan air, sehingga lebih menghemat kandungan air. Selain itu pemakaian humus sebagai media tanaman dapat digantikan oleh kompos, sehingga eksploatasi humus hutan dapat dicegah. Selain itu pemenuhan bahan baku pabrik dari hasil pemulungan sampah menyebabkan penggunaan bahan baku yang berasal dari alam menjadi berkurang dan dapat ditekan

e. Pengomposan juga berarti menghasilkan sumber daya baru dari sampah, yaitu kompos, yang kaya akan unsur hara mikro.

Page 66: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

1

PERENCANAAN UMUM

1. PENDAHULUAN

Kondisi krisis ekonomi secara nasional yang telah berlangsung sejak 1998, berdampak pula terhadap penurunan kondisi kebersihan diberbagai kota di Indonesia secara signifikan. Mengamati permasalahan penanganan sampah di lapangan seperti menumpuknya sampah di pinggir jalan (karena keterlambatan pengangkutan atau tidak terangkut ke TPA), rute dan jadwal pengangkutan yang tidak pasti, makin banyaknya TPA liar dan pembuangan sampah ke sungai karena tidak adanya pelayanan yang memadai, kondisi lokasi TPA yang tidak memenuhi persyaratan serta fasilitas yang minim dan operasi yang open dumping sehingga kecenderungan mencemari lingkungan sangat tinggi. Kondisi ini juga sangat dipengaruhi oleh keterbatasan dana operasi dan pemeliharaan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dan lemahnya penegakan hukum yang berkaitan dengan penerapan sangsi serta ketidak pedulian masyarakat akan perlunya menjaga kebersihan lingkungan. Lebih jauh terkesan bahwa penanganan persampahan tidak didasarkan pada perencanaan yang matang bahkan beberapa kota tidak memiliki dokumen perencanaan sama sekali. Berdasarkan UU 32 / 2005 tentang Pemerintah Daerah (perubahan UU No 22 / 1999), dinyatakan bahwa masalah persampahan telah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Daerah dan diwajibkan untuk menyelenggarakan penanganan persampahan termasuk TPA secara lebih memadai, untuk kondisi tertentu TPA regional juga wajib dilaksanakan. Berdasarkan PP 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yang merupakan amanat UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air, mengutamakan penanganan sampah dalam rangka perlindungan air baku air minum dan mensyaratkan dilakukannya metode pembuangan akhir sampah dengan metode lahan urug terkendali (kota sedang/kecil) dan lahan urug saniter (kota metropolitan dan besar) dengan mewajibkan zona penyangga di sekeliling TPA dan memantau kualitas hasil pengolahan leachate. Tanggung jawab Pemerintah Pusat terbatas hanya dalam hal penetapan pedoman perencanaan dan pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman serta penetapan standar prasarana dan sarana kawasan terbangun dan sistem manajemen konstruksi serta program-program stimulan untuk peningkatan kualitas TPA dan pemenuhan standar pelayanan minimal. Perencanaan persampahan merupakan langkah awal dalam melaksanakan pembangunan bidang persampahan yang seharusnya dimiliki oleh semua kota /kabupaten sebagai dasar pengelolaan baik untuk jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Perencanaan tersebut meliputi Master Plan yang dapat menggambarkan perencanaan penanganan sampah jangka panjang dari sumber sampai TPA termasuk skenario kelembagaan dan perkiraan biaya investasi, Studi Kelayakan untuk menilai kelayakan suatu kegiatan atau program penanganan sampah dari segi teknis, ekonomis dan layak lingkungan serta Perencanaan Detail yang mempersiapkan rencana pelaksanaan teknis.

Page 67: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

2

2. TAHAPAN PERENCANAAN

Perencanaan pengelolaan sampah harus dilakukan untuk jangka panjang dan layak secara teknis, ekonomis dan berwawasan lingkungan. Selain itu dapat dilaksanakan dengan mudah. Tahapan perencanaan dimulai dari rencana induk, studi kelayakan dan perencanaan teknis. Rencana induk, merupakan rencana garis besar yang menggambarkan arahan sistem pengelolaan sampah dalam 25 tahun kedepan. Studi Kelayakan, merupakan bagian dari rencana induk yang secara jelas akan diketahui kelayakannya, baik kelayakan teknis, ekonomi, lingkungan maupun sosial. Pada tahap ini secara bersamaan juga dilakukan studi pemilihan lokasi TPA dengan mengacu pada SNI atau metode lain dan studi AMDAL atau UKL/UPL Perencanaan teknis, merupakan rencana detail dengan mengacu pada rencana induk/studi kelayakan dan dilengkapi dengan gambar detail, spesifikasi teknis, SOP dan dokumen lain yang diperlukan (penjabaran RKL/RPL atau UKL/UPL) serta siap untuk dilakukan tahap pelaksanaan (penyediaan prasarana dan sarana).

Secara umum substansi untuk setiap tahap perencanaan adalah sebagai berikut :

3. KRITERIA PERENCANAAN 1) Aspek Institusi

Bentuk institusi adalah Perusahaan Daerah kebersihan, Dinas Kebersihan atau minimal Seksi Kebersihan.

Master Plan Identifikasi perumusan masalah Prioritas penanganan Skenario pengembangan (teknis, institusi dan finansial) Proyeksi kebutuhan Usulan program ( jangka pendek, menengah dan jangka panjang) Kriteria desain

Studi Kelayakan Review Skenario pengembangan Analisis (kelayakan teknis, ekonomi, lingkungan dan kelembagaan) Alternatif terpilih Rencana pengembangan

Perencanaan Teknis (DED) : Lingkup disain Pengukuran (topografi, geohidrologi dll) Peta-peta (skala 1 : 500) Design drawing Mechanical & electrical Estimasi biaya Revisi RKL/RPL Dokumen tender dan spesifikasi tekniss

Page 68: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

3

Struktur organisasi harus mencerminkan pola kerja yang jelas yang memiliki fungsi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian.

Tata laksana kerja cukup jelas mendefinisikan lingkup tugas, wewenang, tanggung jawab serta bentuk interaksi antar unit, komponen, antar institusi dan kerjasama antar kota (untuk kegiatan yang bersifat regional). Tata laksana kerja harus memperhatikan pengendalian otomatis, tingkat pembebanan yang merata, pendelegasian wewenang yang proporsional dan berimbang, birokrasi yang pendek dan penugasan yang jelas / terukur.

Kualitas SDM harus memiliki kemampuan manajemen dan teknik, jumlah personil 1 : 1000 jiwa yang dilayani

2) Aspek Teknis Operasional

Tingkat pelayanan disesuaikan dengan kondisi eksisting (dalam 5 tahun, pelayanan meningkat maksimal 2 kali) atau minimal 60 % (target MDGs 70 % pada tahun 2015).

Pewadahan individual berupa bin 40 lt atau kantong plastik dan disediakan oleh penghasil sampah sendiri, sedangkan wadah komunal dapat berupa TPS (volume > 1 m3), container dengan volume 6-8 m3

Pengumpulan dengan gerobak dilakukan door to door untuk daerah teratur dengan lebar jalan > 1m. Untuk daerah tidak teratur dapat dilakukan secara komunal . Pengumpulan door to door truck hanya dilakukan untuk daerah yang mempunyai sumber sampah besar (> 300 lt/hari) dan daerah terjal / curam. Perencanaan operasional perlu mempertimbangkan perencanaan rute/blok operasi, ritasi 3-4 kali/hari, periode pengumpulan tergantung pada kondisi daerah pelayanan (komposisi sampah, kapasitas kerja, disain peralatan dan kualitas pelayanan yang ingin diberikan), daerah pelayanan yang tertentu dan tetap, petugas pelaksana yang tetap dan dapat dipindahkan secara periodik serta pembebanan kerja yang merata (jumlah sampah, jarak tempuh dan kondisi daerah)

Pemindahan sampah dari gerobak ke truk dilakukan menggunakan transfer depo . Lokasi transfer depo harus dekat dengan daerah pelayanan (radius 500 M).

Pengangkutan sampah dari transfer depo ke TPA dilakukan dengan truk (dump truck, arm roll truck, compactor truck) kapasitas 7-12 m3, ritasi 3-5 rit / hari. Apabila jarak ke TPA > 30 km, sebaiknya menggunakan transfer station. Perencanaan operasional perlu mempertimbangkan perencanaan rute/blok operasi, ritasi 3-4 kali/hari, periode pengumpulan tergantung pada kondisi daerah pelayanan (komposisi sampah, kapasitas kerja, disain peralatan dan kualitas pelayanan yang ingin diberikan), daerah pelayanan yang tertentu dan tetap, petugas pelaksana yang tetap dan dapat dipindahkan secara periodik serta pembebanan kerja yang merata (jumlah sampah, jarak tempuh dan kondisi daerah)

Pengolahan sampah dilakukan dengan composting dan daur ulang yang diharapkan dapat mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA minimal 10-20 %. Penggunaan incinerator harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan kontinuitas operasional.

Pembuangan akhir sampah di lokasi yang sesuai dengan standar (SNI No03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA) dilakukan minimal

Page 69: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

4

controlled landfill dengan fasilitas yang terdiri dari jalan masuk (tipe jalan kelas 1 dengan lebar 6 m), saluran drainase (keliling TPA, dimensi disesuaikan dengan curah hujan dan luas TPA dll), kantor TPA / pos jaga (berfungsi sebagai kantor pengendali dan pencatatan sampah yang masuk ke TPA, dilengkapi dengan kamar mandi / WC), pagar (berupa pagar hidup atau menggunakan tanaman yang cepat tumbuh dan berdaun rimbun seperti angsana), lapisan dasar kedap air (lapisan tanah lempung tebal 30 cm kali 2 atau lapisan geomambrane/geotextile), jaringan pengumpul leachate (terletak didasar TPA, pipa berlubang yang dilindungi gravel), ventilasi gas (pipa berlubang dengan casing atau beronjong bambu dan dipasang secara bertahap sesuai ketebalan lapisan sampah, radius pipa gas 50 m), pengolahan leachate (terdiri dari kolam anaerob, fakultatif, maturasi dan land treatment serta kualitas efluen sesuai dengan standar yang berlaku yaitu nilai BOD 30 - 150 ppm), sumur uji (minimal 3 unit, sebelum lokasi penimbunan, di lokasi penimbunan dan sesudah lokasi penimbunan), alat berat (buldozer, exavator, wheel / track loader ), tanah penutup (tebal lapisan tanah penutup 20 - 30 cm dan penutup akhir 50 cm - 100 cm), sarana pendukung (air bersih, bengkel untuk perbaikan ringan dll). Masa pakai TPA minimal 5 - 10 tahun.

3) Aspek Pembiayaan

Biaya satuan investasi dan O/M tergantung pada pola teknis yang digunakan dengan struktur pembiayaan kira-kira 30 % pengupulan, 40 % pengangkutan dan 20 % pembaunangan akhir.

Tarif retribusi dihitung berdasarkan besarnya biya pengelolaan pertahun (investasi dan O/M), kemampuan subsidi pemerintah kota/kabupaten, kemampuan masyarakat membayar (willingness to pay,) subsidi silang, volume sampah setiap sumber atau wajib retribusi dan prinsip cost recovery. Peninjauan tarif dilaksanakan setiap 5 tahun.

Penarikan retribusi dilakukan berdasarkan sistem pengendalian yang efektif, pembagian wilayah penagihan, target, penagihan dilaksanakan setelah pelayanan diberikan secara teratur, menghindari terjadinya kesan double tarif dan struktur tarif disosialisasikan kepada masyarakat.

4) Aspek Peraturan Peraturan Daerah kebersihan harus meliputi pengaturan mengenai pembentukan

institusi pengelola, ketentuan penanganan sampah dari sumber sampai TPA termasuk mengenai penanganan sampai medis dan B3. Peraturan Daerah tersebut harus mempunyai jangka waktu berlaku yang terbatas, kesiapan terhadap upaya penegakannya termasuk pemberian insentif dan disinsentif serta mempunyai keluwesan tetapi tegas (tidak bermakna ganda).

5) Aspek PSM dan Swasta Bentuk peran masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat berupa kegiatan

sebagai berikut :

Turut menjaga kebersihan rumah dan lingkungannya

Turut terlibat aktif dalam program-program kebersihan seperti pengumpulan sampah, pengolahan sampah skala individual maupun skala komunal termasuk 3 R (reduce, reuse dan recycle) dan pemilahan sampah disumber

Page 70: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

5

Secara informal turut menerangkan arti kebersihan pada anggota masyarakat lainnya

Mengikuti tata cara kebersihan yang ditentukan oleh pemerintah kota/kabupaten

Membayar retribusi secara aktif

4. PROSES PERENCANAAN

4.1. Pengumpulan Data 1) Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data berkaitan dengan perencanaan sistem pengelolaan

persampahan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

Pengumpulan data sekunder, dilakukan dengan menggunakan data yang ada baik dari hasil studi yang berkaitan dengan perencanaan sampah (RUTR, land use, Air Bersih, dll), kebijakan dan renstra daerah, hasil penelitian (seperti komposisi / karakteristik sampah, timbulan sampah, topografi, penyelidikaan tanah, dll), BPS (jumlah penduduk, pendapatan masyarakat, dll), maupun NSPM persampahan.

Pengumpulan data primer, dilakukan dengan survey, sampling, analisa laboratorium dan lain-lain

2) Kebutuhan Data Data yang dibutuhkan untuk merencanakan sistem pengelolaan sampah adalah

sebagai berikut :

a. Data Kondisi Kota Data fisik kota, meliputi luas wilayah administrasi kota/ kabupaten, luas

wilayah urban, topografi wilayah, tata guna lahan, jaringan jalan, perumahan, daerah komersial (pasar, pertokoan, hotel, bioskop, restoran, dll), fasilitas umum (perkantoran, sekolah, taman, dll), fasilitas sosial (tempat ibadah, panti asuhan, dll). Data tersebut dilengkapi peta kota, tata guna lahan, topografi dan lain-lain.

Data kependudukan, meliputi jumlah penduduk per kelurahan, kepadatan penduduk administrasi, kepadatan penduduk urban, mata pencaharian, budaya masyarakat dan lain-lain. Dilengkapi peta kepadatan penduduk

Data kondisi sosial ekonomi, meliputi alokasi dana APBD dan anggaran kebersihan (3 tahun terakhir), data PDRB atau income penduduk (Rp/kk/bulan) dan lain-lain

b. Data Rencana Pengembangan Kota

Rencana pengembangan wilayah, meliputi rencana tata guna lahan, rencana pengembangan jaringan jalan, rencana pengembangan perumahan/permukiman baru, rencana pengembangan daerah komersial, kawasan industri, rencana pengembangan fasilitas umum (perkantoran, sekolah, rumah sakit, taman, dll) dan rencana pengembangan fasilitas sosial. Selain itu juga rencana alokasi lahan untuk TPA. Dilengkapi dengan peta rencana pengembangan wilayah, rencana tata guna lahan dll.

Page 71: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

6

c. Data Kondisi Sistem Pengelolaan Persampahan yang Ada

Aspek Institusi, meliputi bentuk institusi pengelola sampah, struktur organisasi, tata laksana kerja, jumlah personil baik ditingkat staf maupun operasional, pendidikan formal maupun training yang pernah diikuti di dalam dan luar negeri.

Aspek Teknis Operasional, meliputi daerah pelayanan, tingkat pelayanan, sumber sampah, komposisi dan karakterirstik sampah, pola operasi penanganan sampah dari sumber sampai TPA, sarana/prasarana persampahan yang ada termasuk fasilitas bengkel, kondisi pengumpulan (frekuensi pengumpulan, ritasi, jumlah petugas dll), pengangkutan (frekuensi, ritasi, daerah pelayanan, jumlah petugas dll), pengolahan (jenis pengolahan, kapasitas atau volume, daerah pelayanan, jumlah petugas dll), pembuangan akhir (luas, kondisi lokasi, fasilitas TPA, kondisi operasi, penutupan tanah, kondisi alat berat dll). Selain itu juga data mengenai penanganan sampai medis (incinerator, kapasitas, vol sampah medis dll) dan sampah industri/ B3 (jenis sampah, volume, metode pembuangan dll). Dilengkapi peta daerah pelayanan dan aliran volume sampah dari sumber sampai TPA yang ada saat ini.

Aspek Pembiayaan, meliputi biaya investasi dan biaya operasi/pemeliharaan (3 tahun terakhir), tarif retribusi, realisasi penerimaan retribusi termasuk iuran masyarakat untuk pengumpulan sampah (3 tahun terakhir) dan mekanisme penarikan retribusi

Aspek Peraturan, meliputi jenis perda yang ada, kelengkapan materi, penerapan sangsi dll

Aspek Peran Serta Masyarakat dan Swasta, meliputi program penyuluhan yang telah dilakukan oleh pemerintah kota / kab.

4.2. Pengolahan Data/Analisa

Analisa terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan persampahan meliputi :

Analisa kondisi kota, yaitu tinjauan terhadap aspek topografi kota dalam hal penentuan metode pengumpulan dan pembuangan akhir sampah, jaringan jalan dalam hal penentuan rute pengangkutan dan penentuan lokasi TPA, fasilitas kota dalam hal penentuan urgensi daerah pelayanan dan besarnya timbulan sampah, demografi dalam hal penentuan tingkat pelayanan dan timbulan sampah, pendapatan per kapita dalam hal penentuan kemampuan masyarakat membayar retribusi, APBD dalam hal kemampuan daerah mensubsidi anggaran kebersihan dan penentuan tarif retribusi, dan lain-lain.

Analisa rencana pengembangan kota, yaitu berkaitan dengan rencana pengembangan daerah pelayanan, penentuan lokasi TPA, rencana peruntukan lahan pasca TPA dan lain-lain.

Analisa kondisi pengelolaan sampah yang ada saat ini, yaitu berkaitan dengan kemungkinan peningkatan institusi pengelola sampah minimal dalam hal operasionalisasi struktur organisasi, peningkatan profesionalisasi SDM, peningkatan pelayanan yang aplikatif dalam periode perencanaan, peningkatan metode operasi penanganan sampah dari sumber sampai TPA yang terjangkau dan tidak mencemari lingkungan, peningkatan retribusi agar

Page 72: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

7

dapat mencapai cost recovery, peningkatan PSM agar secara bertahap dapat melaksanakan minimalisasi sampah / 3 R, kemungkinan peningkatan peran swasta dalam pengelolaan sampah dan lain-lain. Analisa dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti pendekatan sistem input / output, analisa hubungan sebab akibat, analisa SWOT, analisa deskripsi dan metode lain yang disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam analisa tersebut juga diproyeksikan jumlah penduduk yang akan mendapatkan pelayanan termasuk proyeksi timbulan sampah selama masa perencanaan.

4.3. Perancangan / Disain

a. Pengembangan Institusi Pengembangan institusi disesuaikan dengan hasil analisa terhadap kondisi yang ada dan sedapat mungkin mengacu pada kriteria perencanaan. Bentuk institusi Perusahaan Daerah dinilai cukup memadai untuk kota-kota yang memiliki permasalahan persampahan kompleks. Bentuk institusi lainnya disesuaikan dengan peraturan yang berlaku dengan tetap mengacu pada kriteria perencanaan

b. Pengembangan Aspek Teknis

Pengembangan aspek teknis, meliputi :

Pengembangan daerah pelayanan, dengan memperhatikan daerah yang saat ini sudah mendapatkan pelayanan, daerah dengan tingkat kepadatan tinggi, daerah kumuh dan rawan sanitasi, daerah komersial / pusat kota dan lain-lain sesuai kriteria. Pola pengembangan mengikuti pola rumah tumbuh dengan perkiraan timbulan sampah yang akan dikelola untuk jangka waktu perencanaan tertentu (berdasarkan hasil proyeksi). Pengembangan daerah pelayanan ini dilengkapi dengan peta (skala 1: 10.000)

Rencana Kebutuhan Sarana / Prasarana, dengan memperkirakan timbulan sampah dan tipikal daerah pelayanan serta pola operasional penanganan sampah dari sumber sampai TPA terpilih. Sarana / prasarana tersebut meliputi jumlah dan jenis pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengolahan, pengangkutan dan pembuangan akhir.

Rencana Pewadahan, meliputi jenis, jumlah dan lokasi pewadahan komunal maupun individual (wadah individual disediakan oleh masyarakat). Disain wadah sedemikian rupa (higienis, bertutup, tidak permanen, dengan volume disesuaikan volume sampah yang harus diwadahi untuk periode pengumpulan tertentu). Contoh disain wadah terlampir.

Rencana Pengumpulan, meliputi pola pengumpulan (pengumpulan individual langsung / tidak langsung dan komunal) untuk setiap daerah pelayanan sesuai dengan kriteria perencanaan. Disain gerobak / becak pengumpul sampah sedemikian rupa agar mudah mengoperasikannya serta sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Disain / spesifikasi teknis peralatan tersebut terlampir

Rencana Pemindahan, meliputi rencana lokasi di daerah pelayanan , daerah layanan, tipikal transfer depo dan gambar disain / spesifikasi teknis.

Page 73: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

8

Rencana Pengolahan, meliputi jenis pengolahan terpilih berdasarkan kelayakan dan komposisi/karakteristik sampah. UDPK (usaha daur ulang dan produksi kompos) skala kawasan (kapasitas 15 m3/hari) dapat menjadi salah satu pilihan. Sedangkan pilihan insinerator skala kota diprioritaskan untuk daerah yang tidak lagi memiliki lahan untuk TPA serta teknologi yang ramah lingkungan (bebas SOx, NOx, COx dan dioxin) serta memanfaatkan heat recovery. Pengurangan volume sampah secara keseluruhan minimal 10 - 20 %.

Rencana Pengangkutan, meliputi pola pengangkutan sampah (door to door truck dan pengangkutan dari transfer depo ke TPA), jumlah dan jenis truck. Selain itu juga dilengkapi peta rute pengangkutan sampah dari hasil time motion study (gambar dan spesifikasi truck dilampirkan).

Rencana Pembuangan Akhir, meliputi rencana lokasi sesuai dengan ketentuan teknis (SNI tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA) dengan luas yang dapat menampung sampah untuk masa 10 tahun dan fasilitas Sanitary Landfill (SLF) dan rencana pemanfaatan lahan pasca TPA. Disain fasilitas SLF tersebut meliputi jalan masuk, drainase, pagar (tanaman hidup berdaun rimbun, contoh angsana), pos jaga (kantor), zone pembuangan yang terdiri dari lapisan dasar kedap air, jaringan pengumpul lindi, pipa ventilasi gas, kolam penampung dan pengolahan lindi. Selain itu juga dilengkapi dengan fasilitas lain seperti air bersih, tanah penutup, alat berat (buldozer, landfill compactor, loader dan exavator) dan bengkel untuk perbaikan ringan. Disain masing2 fasilitas dilengkapi gambar (skala 1 : 500) dan spesifikasi teknis. Selain itu Disain TPA juga dilengkapi dengan SOP (standard operation procedure) untuk pembuangan sistem sel. Pasca TPA disesuaikan dengan rencana peruntukan lahan dan rekomendasi teknis

c. Pengembangan Aspek Pembiayaan

Pengembangan aspek pembiayaan meliputi :

Biaya investasi, meliputi biaya pengadaan sarana prasarana sesuai dengan pengembangan aspek teknis termasuk pembelian lahan transfer depo dan TPA serta penggantian peralatan yang sudah habis masa pakainya. Kebutuhan biaya investasi dihitung per tahun selama masa perencanaan

Biaya operasi dan pemeliharaan, meliputi biaya rutin belanja kantor (gaji, ATK, pemeliharaan kantor dll), biaya operasi dan pemeliharaan gerobak, truck, transfer depo, pembuatan kompos, daur ulang, incinerator dan pembuangan akhir. Kebutuhan biaya tersebut dihitung per tahun selama masa perencanaan.

Biaya satuan, meliputi biaya satuan yang dibutuhkan per kapita per tahun, biaya per m3 sampah, biaya per tahapan penanganan sampah (pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir)

Perhitungan retribusi, merupakan biaya yang akan dibebankan kepada para wajib retribusi (WR). Biaya tersebut adalah biaya pengelolaan per tahun (biaya investasi/tahun ditambah biaya O/M per tahun) di bagi dengan beban yang akan ditanggung oleh para WR. Struktur tarif yang dibagi berdasarkan kelas WR yaitu perumahan (HI, MI dan LI), komersial (pertokan, pasar, hotel, restoran, bioskop dll), fasilitas umum

Page 74: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

9

(perkantoran, sekolah, fasilitas kesehatan dll) dan fasilitas sosial (rumah ibadah, panti sosial, dll). Pembobotan dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, antara lain dapat dilakukan dengan perbandingan income dan volume sampah yang dihasilkan oleh setiap unit sumber sampah per hari. Sebagai contoh untuk kelas perumahan dapat mengambil bobot perbandingan income 1 : 3 : 6, sedangkan untuk kelas komersial bobot merupakan hasil perhitungan perbandingan jumlah sampah per unit dengan jumlah sampah perumahan high income (HI) dikalikan dengan dengan bobot kelas perumahan HI (dalam contoh adalah 6). Demikian pula dengan perhitungan bobot fasilitas umum yang disetarakan dengan kelas midle income (MI) dan bobot fasilitas sosial disetarakan dengan LI.

d. Pengembangan Aspek Peraturan

Perancangan aspek peraturan meliputi penyempurnaan peraturan daerah yang sudah ada berdasarkan hasil analisa atau pembuatan perda baru. Perda tersebut meliputi :

Perda Pembentukan Institusi, meliputi pembentukan organisasi pengelola persampahan, struktur organisasi dan tata laksana kerja termasuk pengaturan koordinasi antar instansi, antar kota dan kerja sama dengan swasta dan masyarakat (materi sesuai kriteria perencanaan)

Perda Ketentuan Umum dan Teknis Penanganan Sampah, meliputi ketentuan pengaturan penanganan sampah dari sumber sampai TPA termasuk ketentuan larangan pembakaran sampah secara terbuka, pembuangan ke bantaran sungai atau TPA liar. Selain itu juga adanya ketentuan yang jelas mengenai penyapuan jalan dan pembersihan saluran yang harus dilaksanakan oleh masyarakat serta ketentuan 3 R (reduksi sampah) dan metode pembuangan akhir sampah secara SLF atau CLF serta ketentuan mengenai peruntukan lahan pasca TPA

Perda Retribusi, meliputi ketentuan struktur tarif dan cara perhitungan serta metode penarikannya (kerjasama dengan instansi lain seperti PLN atau masyarakat atau swasta)

Perda Kemitraan, meliputi ketentuan pola kerjasama dengan swasta

Rencana penerapan perda yang didahului dengan sosialisasi dan uji coba dikawasan tertentu yang secara perlahan dikembangkan ke wilayah lain serta mempersiapkan pelaksanaan law enforcement

e. Pengembangan Aspek Peran Serta Masyarakat dan Swasta

Perancangan aspek peran serta masyarakat lebih dititik beratkan pada upaya peningkatan peran serta masyarakat sejak awal (dari perencanaan sampai pelaksanaan) terutama untuk pola yang berbasis masyarakat melalui berbagai cara seperti pembentuakan forum-forum lingkungan, konsultasi publik, sosialisasi, pendampingan, training dan lain-lain. Upaya ini harus diterapkan secara konsisten, terus menerus, terintegrasi dengan sektor lain yang sejenis dan masyarakat diberi kepercayaan untuk mengambil keputusan. Perancaangan aspek kemitraan yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan sampah terutama yang mempunyai nilai investasi tinggi dan membutuhkan penanganan yang lebih profesional meliputi pemilihan kegiatan yang secara teknis dan ekonomis layak dilakukan oleh swasta

Page 75: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

10

dengan metode atau pola kemitraan yang jelas dan terukur serta bersifat win-win solution.

5. PENUTUP

Dalam rangka melaksanakan sistem pengelolaan persampahan yang memadai, maka tahap perencanaan merupakan langkah penting yang selanjutnya harus digunakan sebagai acuan bagi para stakeholder dalam pembangunan bidang persampahan. Hasil perencanaan sangat tergantung pada tingkat keakuratan data, kecermatan analisa dan proses perancangan yang memadai termasuk kelengkapan dokumen perencanaan sepert gambar detail, spesifikasi teknis dan dokumen tender.

DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah

Page 76: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

11

2. Standar Nasional Indonesia (SNI) Bidang Persampahan. Departemen Pekerjaan Umum

3. Rancangan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana dan Prasarana Persampahan, tahun 2000

4. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan permukiman dan Pekerjaan Umum

5. MDGs Report Indonesia, Bappenas 2004

6. Agenda 21 Indonesia

7. Thobanoglous, G, Theisen, Integrated Solid Waste Management. Mc. Graw-Hill International Edition, 1933

8. Syed R. Qasim, Walter Chiang. Sanitary Landfill Leachate. Technomic Publishing Company, Inc, USA, 1994

Page 77: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

1

DASAR-DASAR SISTEM PENGELOLAAN PERSAMPAHAN I. Pendahuluan

Pengelolaan sampah suatu kota bertujuan untuk melayani sampah yang dihasilkan penduduknya, yang secara tidak langsung turut memelihara kesehatan masyarakat serta menciptakan suatu lingkungan yang bersih, baik dan sehat.

Pada awalnya, pemukiman seperti pedesaan memiliki kepadatan penduduk yang masih sangat rendah. Secara alami tanah / alam masih dapat mengatasi pembuangan sampah yang dilakukan secara sederhana (gali urug). Makin padat penduduk suatu pemukiman atau kota dengan segala aktivitasnya, sampah tidak dapat lagi diselesaikan di tempat; sampah harus dibawa keluar dari lingkungan hunian atau lingkungan lainnya. Permasalahan sampah semakin perlu untuk dikelola secara profesional.

Saat ini pengelolaan persampahan menghadapi banyak tekanan terutama akibat semakin besarnya timbulan sampah yang dihasilkan masyarakat baik produsen maupun konsumen. Hal ini menjadi semakin berat dengan masih dimilikinya paradigma lama pengelolaan yang mengandalkan kegiatan pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan; yang kesemuanya membutuhkan anggaran yang semakin besar dari waktu ke waktu; yang bila tidak tersedia akan menimbulkan banyak masalah operasional seperti sampah yang tidak terangkut, fasilitas yang tidak memenuhi syarat, cara pengoperasian fasilitas yang tidak mengikuti ketentuan teknis.

Pada akhirnya berbagai masalah tersebut akan bermuara pada rendahnya kuantitas dan kualitas pelayanan dan tidak diindahkannya perlindungan lingkungan dalam pengelolaan; yang bila tidak segera dilakukan perbaikan akan berdampak buruk terhadap kepercayaan dan kerjasama masyarakat yang sangat diperlukan untuk menunjang pelayanan publik yang mensejahterakan masyarakat.

Untuk dapat mengelola sampah pemukiman atau kota yang sampahnya semakin banyak dengan masalah yang kompleks, diperlukan adanya suatu system pengelolaan yang mencakup lembaga atau institusi yang dilengkapi dengan peraturan, pembiayaan / pendanaan, peralatan penunjang yang semuanya menjadikan suatu system, disamping kesadaran masyarakat yang cukup tinggi.

II. Pendekatan Sistem Pengelolaan Persampahan

Beberapa Prinsip dan Pertimbangan - Paradigma lama penanganan sampah secara konvensional yang bertumpu

pada proses pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir perlu diubah dengan mengedepankan proses pengurangan dan pemanfaatan sampah.

- Pengurangan dan pemanfaatan sampah secara signifikan dapat mengurangi

kebutuhan pengelolaan sehingga sebaiknya dilakukan di semua tahap yang memungkinkan baik sejak di sumber, TPS, Instalasi Pengolahan, dan TPA.

Page 78: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

2

- Pengurangan dan pemanfaatan sampah sejak sumber akan memberikan

dampak positif paling menguntungkan yang berarti peran serta masyarakat perlu dijadikan target utama

- Sampah B3 rumah tangga perlu mendapat perhatian dalam penanganannya

agar tidak mengganggu lingkungan maupun kualitas sampah dalam pengolahan di hilirnya.

- Karakteristik sampah dengan kandungan organik tinggi (70-80 %)

merupakan potensi sumber bahan baku kompos sebagai soil conditioner dan energi (gas metan) melalui proses dekomposisi secara anaerob

- Daur ulang oleh sektor informal sejauh memungkinkan diupayakan menjadi

bagian dari sistem pengelolaan sampah perkotaan - Insinerator sebaiknya hanya dilakukan untuk kota-kota yang memiliki

tingkat kesulitan tinggi dalam penyediaan lokasi TPA dan memiliki karakteristik sampah yang sesuai, serta menerapkan teknologi yang ramah lingkungan

- Tempat Pembuangan Akhir merupakan alternatif terakhir penanganan

sampah mengingat potensi dampak negatif yang tinggi. Pemanfaatan secara berulang sebaiknya diupayakan dengan memperhatikan kualitas produk “kompos” yang dihasilkan.

Pada dasarnya pengelolaan sampah ada 2 macam, yaitu pengelolaan/penanganan sampah setempat (individu) dan pengelolaan sampah terpusat untuk suatu lingkungan pemukiman atau kota.

a. Penanganan Setempat

Penanganan setempat dimaksudkan penanganan yang dilaksanakan sendiri oleh penghasil sampah dengan menanam dalam galian tanah pekarangannya atau dengan cara lain yang masih dapat dibenarkan.

Hal ini dimungkinkan bila daya dukung lingkungan masih cukup tinggi misalnya tersedianya lahan, kepadatan penduduk yang rendah, dll.

b. Pengelolaan Terpusat

Pengelolaan persampahan secara terpusat adalah suatu proses atau kegiatan penanganan sampah yang terkoordinir untuk melayani suatu wilayah / kota.

Pengelolaan sampah secara terpusat mempunyai kompleksitas yang besar karena cakupan berbagai aspek yang terkait. Aspek – aspek tersebut dikelompokkan dalam 5 aspek utama, yakni aspek institusi, hukum, teknis operasional, pembiayaan dan retribusi serta aspek peran serta masyarakat.

Page 79: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

3

III. Aspek Pengelolaan Sampah

3.1. Aspek Teknis Operasional 1) Komposisi Sampah

Komposisi fisik sampah mencakup prosentase dari komponen pembentuk sampah yang secara fisik dapat dibedakan antara sampah organik, kertas, plastik, logam dan lain-lain. Komposisi sampah ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan pilihan kelayakan pengolahan sampah khususnya daur ulang dan pembuatan kompos serta kemungkinan penggunaan gas landfill sebagai energi alternatif.

Sebagai gambaran pada umumnya negara-negara berkembang memiliki

komposisi organik yang lebih tinggi dari negara dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi. Komosisi sampah di Indonesia rata-rata mengandung organik yang cukup tinggi (70 – 80 %) dan anorganik 20 – 30 %

Tabel 1. Timbulan & komposisi sampah berbagai negara No Negara Timbulan

(kg/cap) Organik (%)

Kertas (%)

Plastik (%)

1 Thailand 0.65 46 20 21 2 Vietnam 0.7 55 3 Malaysia 0.76 48 30 9.8 4 Indonesia 0.6 60 2 2 5 Asia (rata2) 0.42 75 2 1 6 Eropa (rata2) 0.72 25.4 28.7 4.6 7 Japan 1.12 11.7 38.5 11.9 8 USA 1.97 12 43 5 Sumber : B.G. Yeoh, Municipal Solid Waste Generation and Composition, Asean Committee On Science & Technology, Sub Committee On Non Conventional Energy Research, 2006

2) Karakteristik Sampah Data mengenai karakteristik kimia sampah dapat dilakukan dengan cara analisa di laboratorium. Data ini erat kaitannya dengan komposisi fisiknya, apabila komposisi organiknya tinggi, maka biasanya kandungan airnya tinggi, nilai kalornya rendah, kadar abunya rendah, berat jenisnya tinggi. Karakteristik sampah di Indonesia rata-rata memiliki kadar air 60 %, nilai kalor 1000 – 1300 k.cal/kg, kadar abu 10 – 11 % dan berat jenis 250 kg/m3

Data ini penting dalam menentukan pertimbangan dalam memilih alternatif pengolahan sampah dengan cara pembakaran (insinerator). Sebagai contoh sampah yang memiliki kadar air tinggi (> 55 %), nilai kalor rendah (< 1300 kcal / kg), berat jenis tinggi (> 200 kg / m3) tidak layak untuk dibakar dengan insinerator.

3). Sumber Sampah

Ada beberapa kategori sumber sampah yang dapat digunakan sebagai acuan, yaitu:

Sumber sampah yang berasal dari daerah perumahan Sumber sampah yang berasal dari daerah komersial

Page 80: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

4

Sumber sampah yang berasal dari fasilitas umum Sumber sampah yang berasal dari fasilitas sosial

Klasifikasi kategori sumber sampah tersebut pada dasarnya juga dapat

menggambarkan klasifikasi tingkat perekonomian yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kemampuan masyarakat dalam membayar retribusi sampah dan menentukan pola subsidi silang.

Daerah Perumahan (rumah tangga) Sumber sampah didaerah perumahan dibagi atas :

Perumahan masyarakat berpenghasilan tinggi (High income) Perumahan masyarakat berpenghasilan menengah (Middle income) Perumahan masyarakat berpenghasilan rendah / daerah kumuh (Low income / slum area)

Daerah komersial.

Daerah komersial umumnya didominasi oleh kawasan perniagaan, hiburan dan lain-lain. Yang termasuk kategori komersial adalah pasar pertokoan hotel restauran bioskop salon kecantikan industri dan lain-lain Fasilitas umum

Fasilitas umum merupakan sarana / prasarana perkotaan yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Yang termasuk dalam kategori fasilitas umum ini adalah perkantoran, sekolah, rumah sakit, apotik, gedung olah raga, museum, taman, jalan, saluran / sungai dan lain-lain. Fasilitas sosial

Fasilitas sosial merupakan sarana prasarana perkotaan yang digunakan untuk kepentingan sosial atau bersifat sosial. Fasilitas sosial ini meliputi panti-panti sosial (rumah jompo, panti asuhan) dan tempat-tempat ibadah (mesjid, gereja pura, dan lain-lain)

Sumber lain

Dari klasifikasi sumber-sumber sampah tersebut, dapat dikembangkan lagi jenis sumber-sumber sampah yang lain sesuai dengan kondisi kotanya atau peruntukan tata guna lahannya. Sebagai contoh sampah yang berasal dari tempat pemotongan hewan atau limbah pertanian ataupun buangan dari instalasi pengolahan air limbah (sludge), dengan catatan bahwa sampah atau limbah tersebut adalah bersifat padat dan bukan kategori sampah B3. 4). Pola Operasional

Pola operasional penanganan sampah dari sumber sampai TPA dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pengumpulan, pemindahan, pengolahan, pengangkutan dan pembuangan akhir

Page 81: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

5

Diagram Operasional Penanganan Sampah

Pewadahan Wadah sampah individual (disumber) disediakan oleh setiap penghasil

sampah sendiri sedangkan wadah komunal dan pejalan kaki disediakan oleh pengelola dan atau swasta. spesifikasi wadah sedemikian rupa sehingga memudahkan operasionalnya, tidak permanen dan higienis. Akan lebih baik apabila ada pemisahan wadah untuk sampah basah dan sampah kering

Pengosongan sampah dari wadah individual dilakukan paling lama 2 hari sekali sedangkan untuk wadah komunal harus dilakukan setiap hari

Pengumpulan

Pengumpulan sampah dari sumber dapat dilakukan secara langsung dengan alat angkut (untuk sumber sampah besar atau daerah yang memiliki kemiringan lahan cukup tinggi) atau tidak langsung dengan menggunakan gerobak (untuk daerah teratur) dan secara komunal oleh mayarakat sendiri (untuk daerah tidak teratur)

Penyapuan jalan diperlukan pada daerah pusat kota seperti ruas jalan protokol, pusat perdagangan, taman kota dan lain-lain

Pemindahan

Pemindahan sampah dari alat pengumpul (gerobak) ke alat angkut (truk) dilakukan di trasnfer depo atau container untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan

Lokasi pemindahan haru dekat dengan daerah pelayanan atau radius ± 500 m

Pemindahan skala kota ke stasiun transfer diperlukan bila jarak ke lokasi TPA lebih besar dari 25 km

Sumber Sampah

Pengumpulan

Pengolahan Pemindahan

Pengangkutan

Pembuangan Akhir

Composting Daur Ulang Insinerasi

Page 82: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

6

Pengangkutan Pengangkutan secara langsung dari setiap sumber harus dibatasi pada

daerah pelayanan yang tidak memungkinkan cara operasi lainnya atau pada daerah pelayanan tertentu berdasarkan pertimbangan keamanan maupun estetika dengan memperhitungkan besarnya biaya operasi yang harus dibayar oleh pengguna jasa

Penetapan rute pengangkutan sampah harus didasarkan pada hasil survey time motion study untuk mendapatkan jalur yang paling efisien.

Jenis truk yang digunakan minimal dump truck yang memiliki kemampuan membongkar muatan secara hidrolis, efisien dan cepat

Penggunaan arm roll truck dan compactor truck harus mempertimbangkan kemampuan pemeliharaan

Pengolahan

Pengolahan sampah dimaksudkan untuk mengurangi volume sampah yang harus dibuang ke TPA serta meningkatkan efisiensi penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan

Teknologi pengolahan sampah dapat dilakukan melalui pembuatan kompos, pembakaran sampah secara aman (bebas COx, SOx, NOx dan dioxin), pemanfaatan gas metan dan daur ulang sampah. Khusus pemanfaatana gas metan TPA (landfill gas), dapat masuk dalam CDM (clean developmant mechanism) karena secara significan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca yang berpengaruh pada iklim global.

Skala pengolahan sampah mulai dari individual, komunal (kawasan), skala kota dan skala regional.

Penerapan teknologi pengolahan harus memperhatikan aspek lingkungan, dana, SDM dan kemudahan operasional

Pembuangan akhir

Pemilihan lokasi TPA harus mengacu pada SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA. Agar keberadaan TPA tidak mencemari lingkungan, maka jarak TPA ke badan air penerima > 100m, ke perumahan terdekat > 500 m, ke airport 1500 m (untuk pesawat propeler) dan 3000 m (untuk pesawat jet). Selain itu muka air tanah harus > 4 m, jenis tanah lempung dengan nilai K < 10-6 cm/det.

Metode pembuangan akhir minimal harus dilakukan dengan controlled landfill (untuk kota sedang dan kecil) dan sanitary landfill (untuk kota besar dan metropolitan) dengan “sistem sel”

Prasarana dasar minimal yang harus disediakan adalah jalan masuk, drainase keliling dan pagar pengaman (dapat berfungsi sebagai buffer zone)

Fasilitas perlindungan lingkungan yang harus disediakan meliputi lapisan dasar kedap air, jaringan pengumpul lindi, pengolahan lindi dan ventilasi gas / flaring atau landfill gas extraction untuk mngurangi emisi gas.

Fasilitas operasional yang harus disediakan berupa alat berat (buldozer, excavator, loader dan atau landfill compactor) dan stok tanah penutup

Penutupan tanah harus dilakukan secara harian atau minimal secara berkala dengan ketebalan 20 - 30 cm

Penyemprotan insektisida harus dilakukan apabila penutupan sampah tidak dapat dilakukan secara harian

Penutupan tanah akhir harus dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan bekas TPA

Page 83: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

7

Kegiatan pemantauan lingkungan harus tetap dilakukan meskipun TPA telah ditutup terutama untuk gas dan efluen leachate, karena proses dekomposisi sampah menjadi gas dan leahate masih terus terjadi sampai 25 tahun setelah penutupan TPA

Manajemen pengelolaan TPA perlu dikendalikan secara cermat dan membutuhkan tenaga terdidik yang memadai

Lahan bekas TPA direkomendasikan untuk digunakan sebagai lahan terbuka hijau.

3 . Aspek Institusi

Penyelenggara pembangunan prasarana dan sarana persampahan dapat dilakukan secara sendiri atau terpadu oleh Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, Swasta dan masyarakat

Bentuk institusi dan struktur organisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, secara umum bentuk institusi yang ada adalah perusahaan daerah kebersihan (PDK), dinas kebersihan (DK), dinas kebersihan dan pertamanan (DKP), seksi kebersihan dan lain-lain. Struktur organisasi sebaiknya mencerminkan kegiatan utama penangan sampah dari sumber sampei TPA termasuk memiliki bagian perencaan, retribusi, penyuluhan dan lain-lain.

Instansi pengelola persampahan sebaiknya memiliki pola kerja sama dengan instansi terkait termasuk PLN (untuk kerjasama penarikan retribusi) dan kerja sama antar kota untuk pola penangangan sampah secara regional dan kerja sama dengan masyarakat atau perguruan tinggi.

SDM sebaiknya memiliki keahlian bidang persampahan baik melalui pendidikan formal (ada staf yang memiliki latar belakang pendidikan teknik lingkungan, ekonomi, ahli manajemen dll) dan training bidang persampahan.

Kegiatan pengelolaan sampah yang tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat, menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah

Kegiatan sosialisasi atau penyuluhan harus dilaksanakan secara terpadu dan terus menerus dengan melibatkan instansi terkait, LSM dan perguruan tinggi

4. Aspek Pembiayaan

Sumber Pembiayaan

Pengelolaan persampahan dapat dibiayai dari swadaya masyarakat, investasi swasta dan APBN / APBD

Tata cara pembiayaan mengikuti ketentuan yang berlaku Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan pembangunan prasarana

dan sarana persampahan dalam bentuk dana maupun aset kepada masyarakat

Pembiayaan penyediaan dan pemeliharaan pewadahan individual menjadi tanggung jawab penghasil sampah

Tarif Retribusi Biaya untuk penyediaan prasarana dan sarana pengumpulan serta

pengelolaannya yang dilakukan oleh masyarakat sendiri dikenakan pada anggota masyarakat yang mendapat pelayanan dalam bentuk iuran (besarnya ditentukan melalui musyawarah dan mufakat) dan dikordinasikan dengan pihak instansi pengelola persampahan

Biaya untuk pengelolaan persampahan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah atau swasta untuk kepentingan masyarakat dibebankan kepada

Page 84: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

8

masyarakat dalam bentuk retribusi kebersihan. Biaya pengelolaan tersebut meliputi biaya investasi dan biaya operasi dan pemeliharaan

Penentuan tarif retribusi disusun berdasarkan asas keterjangkauan /willingness to pay (secara umum kemampuan masyarakat membayar retribusi adalah 1 -2 % dari income) dan subsidi silang dari masyarakat berpenghasilan tinggi ke masyarakat berpenghasilan rendah dan dari sektor komersial ke non komersial tanpa meninggalkan prinsip ekonomi / cost recovery (minimal 80 %, 20 % merupakan subsidi Pemerintah kota/kab untuk pembersihan fasilitas umum).

Mekanisme penarikan retribusi selain dilakukan langsung oleh instansi pengelola juga dapat dilakukan melalui kerjasama dengan PLN, PDAM, RT/RW dan lain-lain sesuai dengan kondisi daerah pelayanan.

5. Aspek Peraturan

Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan persampahan adalah UU No 7 / 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 32/2004 tentang Otonomi Daerah, UU No 33 / 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU No 23/1997 tentang Pokok-Pokok Lingkungan Hidup, UU No 24 /1992 tentang Penataan Ruang, UU No 23/1992 tentang Kesehatan, UU No 2/1992 Perumahan dan Permukiman

Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan dengan masalah persampahan adalah PP tentang Badan Layanan Umum, PP No 16 / 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum , PP No.27 tahun 1999 tentang Amdal, PP No. 18 jo 85/1999 tentang Limbah B3 dan PP 16/2005 tentang Pengembangan Sistem penyediaan Air Minum

Agenda 21 berkaitan dengan program optimaalisasi minimalisasi limbah secara bertahap sampai tahun 2020, Kyoto Protocol tentang CDM (clean development mechanism), MDGs tentang upaya pencapaian target pengurangan jumlah orang miskin dan akses terhadap air minum dan sanitasi (target 10 dan 11)

SNI yang berkaitan dengan pedoman persampahan adalah SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, SNI tentang Spesifikasi Controlled Landfill, SK SNI S-04-1992-03 tentang Spesifikasi Timbulan Sampah Kota Sedang dan Kota Kecil, SNI 03-3242-1994 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah Permukiman, SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA, SNI 19-3964-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah.

Pengaturan penyelenggaraan pembangunan bidang persampahan dilakukan melalui peraturan daerah (perda) yang pada umumnya terdiri dari perda pembentukan institusi, ketentuan umum kebersihan dan retribusi. Selain itu juga diperlukan perda yang mengatur mengenai peran serta swasta, penanganan limbah B3 / rumah sakit dan lain-lain.

6. Aspek Peran Serta Masyarakat dan Kemitraan

Peran Serta Masyarakat Peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan prasarana dan sarana

persampahan diperlukan sejak dari perencanaan sampai dengan operasi dan pemeliharaan

Peran serta masyarakat berkaitan dengan penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan dapat berupa usulan, saran, pertimbangan, keberatan

Page 85: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

9

serta bantuan lainnya atau pelaksanaan program 3R baik untuk skala individual maupun skala kawasan.

Peningkatan peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui pendidikan formal sejak dini, penyuluhan yang intenssif, terpadu dan terus menerus serta diterapkannya sistem insentif dan disinsentif

Masyarakat bertanggung jawab atas penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pewadahan dan atau meyelenggarakan pengumpulan / pengolahan sampah

Kemitraan

Pemerintah memberikan peluang kepada pihak swasta untuk menyelenggarakan pembangunan dan pengelolaan prasarana dan sarana persampahan serta dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif

Kemitraan dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh kegiatan sistem pembangunan persampahan, termasuk melakukan upaya pengendalian pencemaran lingkungan.

Pola kemitraan dapat dilakukan melalui studi kelayakan dengan memperhatikan keterjangkauan masyarakat, kemampuan Pemda, peluang usaha dan keuntungan swasta.

Kemitraan dapat dilakukan dengan sistem BOO, BOT, kontrak manajemen, kontrak konsesi dan lain-lain.

IV. DAMPAK PENCEMARAN AKIBAT SAMPAH

4.1. Potensi Dampak

Dalam kenyataannya banyak pengelola kebersihan menghadapi berbagai masalah dan kendala sehingga mereka tidak dapat menyediakan pelayanan yang baik sesuai dengan ketentuan teknis dan harapan masyarakat. Disana sini sering terjadi pencemaran akibat pengelolaan yang kurang baik sehingga menimbulkan berbagai masalah pencemaran selama pelaksanaan kegiatan teknis penanganan persampahan yang meliputi: pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir. Berbagai potensi yang menimbulkan berbagai dampak dapat meliputi :

a. Perkembangan vektor penyakit Wadah sampah merupakan tempat yang sangat ideal bagi pertumbuhan vektor penyakit terutama lalat dan tikus. Hal ini disebabkan dalam wadah sampah tersedia sisa makanan dalam jumlah yang besar. Tempat Penampungan Sementara / Container juga merupakan tempat berkembangnya vektor tersebut karena alasan yang sama. Sudah barang tentu akan menurunkan kualitas kesehatan lingkungan sekitarnya. Vektor penyakit terutama lalat sangat potensial berkembangbiak di lokasi TPA. Hal ini terutama disebabkan oleh frekwensi penutupan sampah yang tidak dilakukan sesuai ketentuan sehingga siklus hidup lalat dari telur menjadi larva telah berlangsung sebelum penutupan dilaksanakan. Gangguan akibat lalat umumnya dapat ditemui sampai radius 1-2 km dari lokasi TPA

b. Pencemaran Udara Sampah yang menumpuk dan tidak segera terangkut merupakan sumber bau tidak sedap yang memberikan efek buruk bagi daerah sensitif sekitarnya seperti permukiman, perbelanjaan, rekreasi, dan lain-lain. Pembakaran

Page 86: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

10

sampah seringkali terjadi pada sumber dan lokasi pengumpulan terutama bila terjadi penundaan proses pengangkutan sehingga menyebabkan kapasitas tempat terlampaui. Asap yang timbul sangat potensial menimbulkan gangguan bagi lingkungan sekitarnya. Sarana pengangkutan yang tidak tertutup dengan baik juga sangat berpotensi menimbulkan masalah bau di sepanjang jalur yang dilalui, terutama akibat bercecerannya air lindi dari bak kendaraan. Pada instalasi pengolahan terjadi berupa pelepasan zat pencemar ke udara dari hasil pembuangan sampah yang tidak sempurna; diantaranya berupa : partikulat, SO x, NO x, hidrokarbon, HCl, dioksin, dan lain-lain. Proses dekomposisi sampah di TPA secara kontinu akan berlangsung dan dalam hal ini akan dihasilkan berbagai gas seperti CO, CO2, CH4, H2S, dan lain-lain yang secara langsung akan mengganggu komposisi gas alamiah di udara, mendorong terjadinya pemanasan global, disamping efek yang merugikan terhadap kesehatan manusia di sekitarnya. Pembongkaran sampah dengan volume yang besar dalam lokasi pengolahan berpotensi menimbulkan gangguan bau. Disamping itu juga sangat mungkin terjadi pencemaran berupa asap bila sampah dibakar pada instalasi yang tidak memenuhi syarat teknis. Seperti halnya perkembangan populasi lalat, bau tak sedap di TPA juga timbul akibat penutupan sampah yang tidak dilaksanakan dengan baik. Asap juga seringkali timbul di TPA akibat terbakarnya tumpukan sampah baik secara sengaja maupun tidak. Produksi gas metan yang cukup besar dalam tumpukan sampah menyebabkan api sulit dipadamkan sehingga asap yang dihasilkan akan sangat mengganggu daerah sekitarnya.

c. Pencemaran Air Prasarana dan sarana pengumpulan yang terbuka sangat potensial menghasilkan lindi terutama pada saat turun hujan. Aliran lindi ke saluran atau tanah sekitarnya akan menyebabkan terjadinya pencemaran. Instalasi pengolahan berskala besar menampung sampah dalam jumlah yang cukup besar pula sehingga potensi lindi yang dihasilkan di instalasi juga cukup potensial untuk menimbulkan pencemaran air dan tanah di sekitarnya. Lindi yang timbul di TPA sangat mungkin mencemari lingkungan sekitarnya baik berupa rembesan dari dasar TPA yang mencemari air tanah di bawahnya. Pada lahan yang terletak di kemiringan, kecepatan aliran air tanah akan cukup tinggi sehingga dimungkinkan terjadi cemaran terhadap sumur penduduk yang trerletak pada elevasi yang lebih rendah. Pencemaran lindi juga dapat terjadi akibat efluen pengolahan yang belum memenuhi syarat untuk dibuang ke badan air penerima. Karakteristik pencemar lindi yang sangat besar akan sangat mempengaruhi kondisi badan air penerima terutama air permukaan yang dengan mudah mengalami kekurangan oksigen terlarut sehingga mematikan biota yang ada.

Page 87: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

11

d. Pencemaran Tanah Pembuangan sampah yang tidak dilakukan dengan baik misalnya di lahan kosong atau TPA yang dioperasikan secara sembarangan akan menyebabkan lahan setempat mengalami pencemaran akibat tertumpuknya sampah organik dan mungkin juga mengandung Bahan Buangan Berbahaya (B3). Bila hal ini terjadi maka akan diperlukan waktu yang sangat lama sampai sampah terdegradasi atau larut dari lokasi tersebut. Selama waktu itu lahan setempat berpotensi menimbulkan pengaruh buruk terhadap manusia dan lingkungan sekitarnya.

e. Gangguan Estetika Lahan yang terisi sampah secara terbuka akan menimbulkan kesan pandangan yang sangat buruk sehingga mempengaruhi estetika lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat terjadi baik di lingkungan permukiman atau juga lahan pembuangan sampah lainnya. Proses pembongkaran dan pemuatan sampah di sekitar lokasi pengumpulan sangat mungkin menimbulkan tumpahan sampah yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan gangguan lingkungan. Demikian pula dengan ceceran sampah dari kendaraan pengangkut sering terjadi bila kendaraan tidak dilengkapi dengan penutup yang memadai. Di TPA ceceran sampah terutama berasal dari kegiatan pembongkaran yang tertiup angin atau ceceran dari kendaraan pengangkut. Pembongkaran sampah di dalam area pengolahan maupun ceceran sampah dari truk pengangkut akan mengurangi estetika lingkungan sekitarnya Sarana pengumpulan dan pengangkutan yang tidak terawat dengan baik merupakan sumber pandangan yang tidak baik bagi daerah yang dilalui. Lokasi TPA umumnya didominasi oleh ceceran sampah baik akibat pengangkutan yang kurang baik, aktivitas pemulung maupun tiupan angin pada lokasi yang sedang dioperasikan. Hal ini menimbulkan pandangan yang tidak menyenangkan bagi masyarakat yang melintasi / tinggal berdekatan dengan lokasi tersebut.

f. Kemacetan Lalu lintas

Lokasi penempatan sarana / prasarana pengumpulan sampah yang biasanya berdekatan dengan sumber potensial seperti pasar, pertokoan, dan lain-lain serta kegiatan bongkar muat sampah berpotensi menimbulkan gangguan terhadap arus lalu lintas. Arus lalu lintas angkutan sampah terutama pada lokasi tertentu seperti transfer station atau TPA berpotensi menjadi gerakan kendaraan berat yang dapat mengganggu lalu lintas lain; terutama bila tidak dilakukan upaya-upaya khusus untuk mengantisipasinya. Arus kendaraan pengangkut sampah masuk dan keluar dari lokasi pengolahan akan berpotensi menimbulkan gangguan terhadap lalu lintas di sekitarnya terutama berupa kemacetan pada jam-jam kedatangan.

Page 88: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

12

Pada TPA besar dengan frekwensi kedatangan truck yang tinggi sering menimbulkan kemacetan pada jam puncak terutama bila TPA terletak berdekatan dengan jalan umum.

g. Gangguan Kebisingan

Kebisingan akibat lalu lintas kendaraan berat / truck timbul dari mesin-mesin, bunyi rem, gerakan bongkar muat hidrolik, dan lain-lain yang dapat mengganggu daerah-daerah sensitif di sekitarnya. Di instalasi pengolahan kebisingan timbul akibat lalu lintas kendaraan truk sampah disamping akibat bunyi mesin pengolahan (tertutama bila digunakan mesin pencacah sampah atau shredder). Kebisingan di sekitar lokasi TPA timbul akibat lalu lintas kendaraan pengangkut sampah menuju dan meninggalkan TPA; disamping operasi alat berat yang ada.

h. Dampak Sosial

Hampir tidak ada orang yang akan merasa senang dengan adanya pembangunan tempat pembuangan sampah di dekat permukimannya. Karenanya tidak jarang menimbulkan sikap menentang / oposisi dari masyarakat dan munculnya keresahan. Sikap oposisi ini secara rasional akan terus meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan dan taraf hidup mereka, sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan dampak ini dan mengambil langkah-langkah aktif untuk menghindarinya.

4.2. Resiko Lingkungan

Komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak akibat adanya kegiatan pembangunan sistem penyediaan air bersih akan mencakup: a. Geo-fisik-Kimia; yang meliputi: kuantitas dan kualitas air

tanah/permukaan, kualitas udara, kondisi tanah, dan kebisingan b. Biologis: baik keanekaragaman maupun kondisi flora/fauna c. Sosioekonomibudaya; yang meliputi: kependudukan, kesehatan

masyarakat, pola kehidupan masyarakat, mata pencaharian, estetika, kecemburuan masyarakat, persepsi masyarakat terhadap proyek, nilai jual tanah, situs sejarah, adat, dan lain-lain

d. Prasarana umum: jalan, saluran drainase, jaringan PLN/Telkom, perpipaan air bersih / air limbah, dll

V. PENUTUP

Sampah merupakan hasil sampingan dari kegiatan manusia sehari-hari. Jumlah sampah yang semakin besar memerlukan pengelolaan yang harus dilakukan secara bertanggung jawab.Selama tahapan penanganan sampah banyak kegiatan dan fasilitas yang bila tidak dilakukan / disediakan dengan benar akan menimbulkan dampak yang berpotensi mengganggu lingkungan.

Page 89: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

1

PENGELOLAAN TPA BERWAWASAN LINGKUNGAN I. UMUM

Lokasi TPA merupakan tempat pembuangan akhir sampah yang akan menerima segala resiko akibat pola pembuangan sampah terutama yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya pencemaram lindi (leachate) ke badan air maupun air tanah, pencemaran udara oleh gas dan efek rumah kaca serta berkembang biaknya vektor penyakit seperti lalat (Judith, 1996). Menurut Qasim (1994) dan Thobanoglous (1993), potensi pencemaran leachate maupun gas dari suatu landfill ke lingkungan sekitarnya cukup besar mengingat proses pembentukan leachate dan gas dapat berlangsung dalam waktu yang cukup lama yaitu 20 - 30 tahun setelah TPA ditutup. Dengan demikian maka perlu ada suatu upaya yang harus dilakukan untuk pengamanan pencemaran lingkungan. Upaya pengamanan lingkungan TPA diperlukan dalam rangka mengurangi terjadinya dampak potensial yang mungkin terjadi selama kegiatan pembuangan akhir berlangsung (dampak potensial dapat dilihat pada tabel 1). Upaya tersebut meliputi : Penentuan lokasi TPA yang memenuhi syarat (SNI No. 03-3241-1997 tentang Tata

Cara Pemilihan Lokasi TPA). Pembangunan fasilitas TPA yang memadai, pengoperasian TPA sesuai dengan

persyaratan dan reklamasi lahan bekas TPA sesuai dengan peruntukan lahan dan tata ruang .

Monitoring pasca operasi terhadap bekas lahan TPA. Selain itu perlu juga dilakukan perbaikan manajemen pengelolaan TPA secara lebih memadai terutama ketersediaan SDM yang handal serta ketersediaan biaya operasi dan pemeliharaan TPA.

Tabel 1. Dampak potensial kegiatan pembuangan akhir

Tahap

Pembangunan Kegiatan Prakiraan Dampak

Prakonstruksi Pemilihan lokasi TPA.

Perencanaan.

Pembebasan lahan.

Lokasi yang tidak memenuhi persyaratan akan mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat

Perencanaan yang tidak didukung oleh data yang akurat akan menghasilkan konsntruksi yang tidak memadai

Ganti rugi yang tidak memadai akan menimbulkan keresahan masyarakat

Konstruksi Mobilisasi alat berat & tenaga.

Pembersihan lahan.

Pekerjaan sipil

Meningkatkan polusi udara (debu, kebisingan)

Keresahan sosial apabila tenaga setempat tidak dimaanfaatkaan

Pengurangan tanaman

Pembuatan konstruksi yang tidak memenuhi persyaratan akan menyebabkan kebocoran lindi, gas dan lain-lain

Page 90: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

2

Operasi Pengangkutan.

Penimbunan dan pemadatan.

Penutupan tanah.

Ventilasi gas

Pengumpulan lindi dan pengolahan lindi

Pengangkutan sampah dalam keadaan terbuka dapat menyebabkan bau dan sampah berceceran di sepanjang jalan yang dilalui truk

Penimbunan sampah yang tidak beraturan dan pemadatan yang kurang baik menyebabkan masa pakai TPA lebih singkat

Penutupan tanah yang tidak memadai dapat menyebabkan bau, populasi lalat tinggi dan pencemaran udara

Ventilasi gas yang tidak memadai menyebabkan pencemaran udara, kebakaran dan bahaya asap

Lindi yang tidak terkumpul dan terolah dengan baik dapat menggenangi jalan dan mencemari badan air dan air tanah

Pasca operasi Reklamasi lahan

Pemantauan kualitas lindi dan gas

Reklamasi yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan apalagi digunakan untuk perumahan dapat membahayakan konstruksi bangunan dan kesehatan masyarakat

Tanpa upaya pemantauan yang memadai, maka akan menyulitkan upaya perbaikan kualitas lingkungan

2. TAHAPAN PENGAMANAN PENCEMARAN LINGKUNGAN TPA 2.1. TAHAP PRA KONSTRUKSI

1. Pemilihan Lokasi TPA Untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut yang diakibatkan oleh metode pembuangan akhir sampah yang tidak memadai seperti yang selalu terjadi di berbagai kota di Indonesia, maka langkah terpenting adalah memilih lokasi yang sesuai dengan persyaratan. Sesuai dengan SNI No. 03-3241-1997 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA, bahwa lokasi yang memenuhi persyaratan sebagai tempat pembuangan akhir sampah adalah :

Jarak dari perumahan terdekat 500 m Jarak dari badan air 100 m Jarak dari airport 1500 m (pesawat baling-baling) dan 3000 m (pesawat jet) Muka air tanah > 3 m Jenis tanah lempung dengan konduktivitas hidrolik < 10 -6 cm / det Merupakan tanah tidak produktif Bebas banjir minimal periode 25 tahun

Pemilihan lokasi TPA sebagai langkah awal dalam peningkatan metode pembuangan akhir sampah, perlu dilakukan secara teliti melalui tahapan studi yang komprehensif (feasibility study dan studi amdal). Sulitnya mendapatkan lahan yang memadai didalam

Page 91: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

3

kota, maka disarankan untuk memilih lokasi TPA yang dapat digunakan secara regional. Untuk lokasi TPA yang terlalu jauh (>25 km) dapat menggunakan sistem transfer station.

2. Survey dan pengukuran Lapangan

Data untuk pembuatan DED TPA harus meliputi : Jumlah sampah yang akan dibuang ke TPA Komposisi dan karakteristik sampah Data jaringan jalan ke lokasi TPA Jumlah alat angkut (truk)

Pengumpulan data tersebut dapat dilakukan secara langsung (primer) maupun tidak langsung (sekunder). Pengukuran lapangan dilakukan untuk mengetahui data kondisi lingkungan TPA seperti:

Topografi Karakteristik tanah, meliputi karakteristik fisik (komposisi tanah, konduktivitas

hidrolik, pH, KTK dan lain-lain) dan karakteristik kimia (komposisi mineral tanah, anion dan kation)

Sondir dan geophysic Kondisi air tanah, meliputi kedalaman muka air tanah, arah aliran air tanah, kualitas

air tanah (COD, BOD, Chlorida, Fe, Organik dan lain-lain) Kondisi air permukaan, meliputi jarak dari TPA, level air, fluktuasi level air musim

hujan dan kemarau, kualitas air sungai (BOD, COD, logam berat, chlorida, sulfat, pestisida dan lain-lain)

Lokasi mata air ( jika ada) termasuk debit. Kualitas lindi, meliputi BOD, COD, Chlorida, Logam berat, Organik dan lain-lain. Kualitas udara, meliputi kadar CH4, COx, SOx, NOx dan lain-lain. Jumlah penduduk yang tinggal disekitar TPA (radius < 500 m) Dan lain-lain

3. Perencanaan Perencanaan TPA berupa Detail Engineering Design (DED), harus dapat mengantisipasi terjadinya pencemaran lingkungan . Dengan demikian maka perencanaan TPA tersebut harus meliputi :

Disain site plan disesuaikan dengan kondisi lahan yang tersedia Disain fasilitas yang meliputi fasilitas umum (jalan masuk dan jalan operasi, saluran

drainase, kantor TPA, pagar), fasilitas perlindungan lingkungan (tanggul, lapisan dasar kedap air, jaringan pengumpul dan pengolah lindi, ventilasi gas, barrier, tanah penutup, sumur uji, alat berat dan lain-lain) dan fasilitas pendukung (air bersih, bengkel, jembatan timbang dan lain-lain)

Tahapan pembangunan disesuaikan dengan kemampuan pendanaan daerah untuk membangun suatu TPA sehingga dengan kondisi yang paling minimal TPA tersebut dapat berfungsi tanpa mencemari lingkungan.

Dokumen DED dilengkapi juga dengan gambar detail, SOP, dokumen tender, spesifikasi teknis, disain note dan lain-lain

Perpindahan atau pergeseran lokasi TPA harus diikuti oleh pembuatan DED pada lokasi baru (redisign).

4. Pembebasan lahan

Pembebasan lahan TPA perlu memperhatikan dampak sosial yang mungkin timbul seperti kurang memadainya ganti rugi bagi masyarakat yang tanahnya terkena proyek. Luas lahan yang dibebaskan minimal dapat digunakan untuk menampung sampah selama 5 tahun.

Page 92: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

4

5. Pemberian izin Pemberian izin lokasi TPA harus diikuti dengan berbagai konsekuensi seperti dilarangnya pembangunan kawasan perumahan atau industri pada radius < 500 m dari lokasi TPA, untuk menghindari terjadinya dampak negatif yang mungkin timbul dari berbagai kegiatan TPA

6. Sosialisasi Untuk menghindari terjadinya protes sosial atas keberadaan suatu TPA, perlu diadakan sosialisasi dan advokasi publik mengenai apa itu TPA, bagaimana mengoperasikan suatu TPA dan kemungkinan dampak negatif yang dapat terjadi namun disertai dengan rencana atau upaya pihak pengelola untuk menanggulangi masalah yang mungkin timbul dan tanggapan masyarakat terhadap rencana pembangunan TPA. Sosialisasi dilakukan secara bertahap dan jauh sebelum dilakukan perencanaan.

2.2. TAHAP KONSTRUKSI 2.2.1. Mobilisasi Tenaga dan Alat

1. Tenaga Kerja Tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang akan melaksanakan pekerjaan konstruksi TPA. Untuk tenaga profesional seperti tenaga supervisi, ahli struktur dan mandor harus direkrut sesuai dengan persyaratan kualifikasi, sedangkan untuk tenaga buruh atau tenaga keamanan dapat direkrut dari tenaga setempat (jika ada). Rekrutmen tenaga setempat adalah untuk menghindari terjadinya konflik atau kecemburuan sosial.

2. Alat

Mobilisasi peralatan konstruksi mungkin akan menimbulkan dampak kebisingan dan debu, namun sifatnya hanya sementara. Untuk itu agar dapat diusahakan mobilisasi atau demobilisasi alat berat dilakukan pada saat lalu lintas dalam keadaan sepi serta tidak melalui permukiman yang padat.

2.2.2. Pembersihan lahan (land clearing)

Pembersihan lahan akan menimbulkan dampak pengurangan jumlah tanaman dan debu sehingga perlu dilakukan penanaman pohon sebagai pengganti atau membuat green barrier yang memadai.

2.2.3. Pembangunan fasilitas umum

1. Jalan Masuk TPA Jalan masuk TPA akan digunakan oleh kendaraan pengangkut sampah dengan kapasitas yang cukup besar, sehingga kelas jalan dan lebar jalan perlu memperhatikan beban yang akan lewat serta antrian yang mungkin terjadi. Pengaturan lalu lintas untuk kendaraan yang akan masuk dan keluar TPA sedemikian rupa sehingga dapat menghindari antrian yang panjang karena dapat mengurangi efisiensi pengangkutan.

2. Kantor TPA

Kantor TPA berfungsi sebagai kantor pengendali kegiatan pembuangan akhir mulai dari penimbangan/ pencatatan sampah yang masuk (sumber, volume/berat, komposisi dan lain-lain), pengendalian operasi, pengaturan menajemen TPA dan lain-lain. Luas dan konstruksi bangunan kantor TPA perlu memperhatikan fungsi tersebut. Selain itu juga dapat dilengkapi dengan ruang laboratorium sederhana

Page 93: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

5

untuk analisis kualitas lindi maupun efluen lindi yang akan dibuang kebadan air penerima.

3. Drainase

Drainase keliling TPA diperlukan untuk menampung air hujan agar tidak masuk ke area timbunan TPA, selain untuk mencegah tergenangnya area timbunan sampah juga untuk mengurangi timbulan lindi.

4. Pagar TPA Pagar TPA selain berfungsi sebagai batas TPA dan keamanan TPA juga dapat berfungsi sebagai green barrier. Untuk itu maka pagar TPA sebaiknya dibuat dengan menggunakan tanaman hidup dengan jenis pohon yang rimbun dan cepat tumbuh seperti pohon angsana.

2.2.4. Pembangunan fasilitas perlindungan lingkungan 1. Lapisan Dasar Kedap Air

Lapisan dasar kedap air berfungsi untuk mencegah terjadinya pencemaran lindi terhadap air tanah. Untuk itu maka konstruksi dasar TPA harus cukup kedap, baik dengan menggunakan lapisan dasar geomembrane/geotextile maupun lapisan tanah lempung dengan kepadatan dan permeabilitas yang memadai (< 10-6 cm/det). Lapisan tanah lempung sebaiknya terdiri dari 2 lapis masing-masing setebal 30 cm. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya keretakan akibat kerusakan lapisan pertama karena terekspose cukup lama. Selain itu untuk menghindari terjadinya keretakan lapisan dasar tanah lempung, maka sebelum dilakukan peninmbunan sebaiknya lapisan dasar “terlindung” . Sebagai contoh dapat dilakukan penanaman rumput atau upaya lain yang cukup memadai.

2. Jaringan Pengumpul Lindi

Pipa jaringan pengumpul lindi di dasar TPA berfungsi untuk mengalirkan lindi yang terbentuk dari timbunan sampah ke kolam penampung lindi. Jaringan pengumpul lindi dapat berupa pipa PVC berlubang yang dilindungi oleh gravel. Tipe jaringan disesuaikan dengan kebutuhan seperti luas TPA, tingggi timbunan, debit lindi dan lain-lain. Sebagai contoh :

- Lapisan dasar kedap air (lempung)

Jarak aman dasar TPA dengan muka air tanah adalah > 3 m

Kemiringan dasar lahan kearah pengumpul lindi ± 1 %

Kolam penampung lindi

Page 94: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

6

Penampang melintang jaringan pengumpul lindi adalah sebagai berikut :

Lapisan sampah pertama

Lapisan tanah porous

Lapisan sirtu

Pipa PVC berlubangdan dilindungi gravel

3. Pengolahan Lindi Instalasi atau kolam pengolahan lindi berfungsi untuk menurunkan kadar pencemar lindi sampai sesuai dengan ketentuan standar efluen yang berlaku. Mengingat karakteristik lindi didominasi oleh komponen organik dengan nilai BOD rata-rata 2000 - 10.000 ppm (Qasim, 1994), maka pengolahan lindi yang disarankan minimal dengan proses pengolahan biologi (secondary treatment). Proses pengolahan lindi perlu memperhatikan debit lindi, karakteristik lindi dan badan air penerima tempat pembuangan efluen. Hal tersebut berkaitan dengan pemilihan proses pengolahan, penentuan kapasitas dan dimensi kolam serta perhitungan waktu detensi. Mengingat proses biologi akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan aktivitas mikroorganisme, maka pengkondisian dan pengendalian proses memegang peranan penting. Sebagai contoh kegagalan proses yang terjadi selama ini adalah karena tidak adanya upaya seeding dan aklimatisasi proses biologi, sehingga efisiensi proses tidak dapat diprediksi bahkan cenderung sangat rendah. Secara umum proses pengolahan lindi secara sederhana terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut :

Pengumpulan lindi, dilakukan di kolam pengumpul Proses anaerobik, dilakukan di kolam anaerob (kedalaman > 2m). Proses ini

diharapkan dapat menurunkan BOD sampai 60 % Proses fakultatif yang merupakan proses peralihan dari anaerobik, dilakukan di

kolam fakultatif. Proses ini diharapkan dapat menurunkan BOD sampai 70 % Proses maturasi atau stabilisasi, dilakukan di kolam maturasi dengan efisiensi

proses 80 % Land treatment, dilakukan dengan membuat lahan yang berfungsi sebagai

saringan biologi yang terdiri dari ijuk, pasir, tanah dan tanaman yang dapat menyerap bahan polutan.

Dalam kondisi efluen belum dapat mencapai nilai efluen yang diharapkan, maka dapat dilakukan proses resirkulasi lindi ke lahan timbunan sampah melalui pipa ventilasi gas. Adanya proses serupa “trickling filter”, diharapkan dapat menurunkan kadar BOD lindi.

4. Ventilasi Gas

Ventilasi gas berfungsi untuk mengalirkan gas dari timbunan sampah yang terbentuk karena proses dekomposisi sampah oleh aktivitas mikroorganisme. Tanpa adanya ventilasi yang memadai, akan dapat menyebabkan tingginya akumulasi gas di timbunan sampah sehingga sangat mudah terbakar. Gas yang mengalir dan keluar dari pipa ventilasi sebaiknya diolah sebagai biogas (di negara maju, gas dari landfill dimanfaatkan untuk menghasilkan tenaga listrik). Tetapi apabila tidak dilakukan pengolahan gas TPA, maka gas yang keluar dari pipa vent harus dibakar, hal tersebut untuk menghindari terjadinya dampak negatif terhadap pencemaran udara berupa efek rumah kaca (green house effect).

Page 95: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

7

Pemasangan pipa gas berupa pipa PVC berlubang (vertikal) yang dilindungi oleh casing yang diisi kerikil, harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan ketinggian lapisan sel sampah. Letak pipa gas agar berada pada jalur jaringan pipa lindi.

5. Green Barrier

Untuk mengantisipasi penyebaran bau dan populasi lalat yang tinggi, maka perlu dibuat green barrier berupa area pepohonan disekeliling TPA. Tebal green barrier kurang lebih 10 m (canopi). Pohon yang cepat tumbuh dan rimbun untuk memenuhi kebutuhan ini antara lain jenis pohon angsana.

6. Sumur Uji

Sumur uji diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran terhadap air tanah yang disebabkan oleh adanya rembesan lindi dari dasar TPA (dasar TPA tidak kedap, adanya retakan lapisan tanah, adanya kebocoran geomembran ).

2.2. 5. Pembangunan fasilitas pendukung

1. Sarana Air Bersih Air bersih di TPA diperlukan untuk pembersihan kendaraan pengangkut sampah (truck), alat berat, keperluan mandi cuci bagi petugas maupun pengunjung TPA. Selain itu apabila memungkinkan air bersih juga diperlukan untuk menyiram debu disekitar area penimbunan secara berkala untuk mengurangi polusi udara.

2. Bengkel Bengkel di TPA diperlukan untuk pemeliharaan alat berat serta memperbaiki kendaraan yang mengalami kerusakan ringan yang terjadi di TPA, sehingga tidak sampai mengganggu operasi pembuangan sampah. Peralatan bengkel harus disesuaikan dengan jenis kerusakan yang akan ditangani.

3. Jembatan Timbang Jembatan timbang diperlukan untuk mengetahui berat sampah yang masuk TPA sehingga masa pakai TPA dapat dikendalikan. Selain itu jembatan timbang tersebut dapat digunakan sebagai ukuran pembayaran pembuangan sampah per truk (untuk sampah dari sumber tertentu yang tidak dikenakan retribusi).

2.3. TAHAP PASCA KONSTRUKSI

2.3.1. Operasi dan Pemeliharaan TPA Operasi dan pemeliharaan TPA merupakan hal yang paling sulit dilaksanakan dari seluruh tahapan pengelolaan TPA. Meskipun fasilitas TPA yang ada sudah cukup memadai, apabila operasi dan pemeliharaan TPA tidak dilakukan dengan baik maka tetap akan terjadi pencemaran lingkungan. Untuk menghindari terjadinya dampak negatif yang mungkin timbul , maka pengoperasian pembuangan akhir sampah dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

casing

Pipa gas, berlubang

Kerikil

Page 96: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

8

Penerapan sistem sel

1

2 3 4 5

6

7 8 9 10

dst

Penerapan sistem sel memerlukan pengaturan lokasi pembuangan sampah yang jelas termasuk pemasangan rambu-rambu lalu lintas truk sampah , kedisiplinan sopir truk untuk membuang sampah pada sel yang telah ditentukan dan lain-lain

Pemadatan sampah sedemikian rupa agar dapat mencapai kepadatan 700 kg/m3, yaitu dengan lintasan alat berat 5 x. Untuk proses pemadatan pada lapis pertama perlu dilakukan secara hati-hati agar alat berat tidak sampai merusak jaringan pipa leachate yang dapat menyebabkan kebocoran leachate.

Penutupan tanah dilakukan secara harian ( 20 cm), intermediate ( 30 cm) dan penutupan tanah akhir (50 cm ). Pemilihan jenis tanah penutup perlu mempertimbangkan tingkat kekedapannya, diusahakan merupakan jenis yang tidak kedap. Dalam kondisi penutupan tanah tidak dilakukan secara harian, maka untuk mengurangi populasi lalat dilakukan penyemprotan insektisida

Pengolahan lindi dikondisikan untuk mengoptimalkan proses pengolahan baik melalui proses anaerob, aerob, fakultatif, maturasi dan resirkulasi lindi, sehingga dicapai efluen yang memenuhi standar baku mutu (BOD 30 - 150 ppm)

Pipa ventilasi gas berupa pipa berlubang yang dilindungi oleh kerikil dan casing dipasang secara bertahap sesuai dengan ketinggian lapisan timbunan sampah

2.3.2. Reklamasi lahan bekas TPA

Untuk menghindari terjadinya dampak negatif, karena proses dekomposisi sampah menjadi lindi dan gas berlangsung dalam waktu yang sangat lama ± 30 tahun (Thobanoglous, 1993), maka lahan bekas TPA direkomendasikan untuk lahan terbuka hijau atau sesuai dengan rencana tata guna lahannya. Apabila lahan bekas TPA akan digunakan sebagai daerah perumahan atau bangunan lain, maka perlu memperhitungkan faktor keamanan bangunan secara maksimal. Reklamasi lahan bekas TPA disesuaikan dengan rencana peruntukannya terutama yang berkaitan dengan konstruksi tanah penutup akhir. Untuk lahan terbuka hijau, ketebalan tanah penutup yang dipersyaratkan adalah 1 m (tergantung jenis tanaman yang akan ditanam), ditambah lapisan top soil. Sedangkan untuk peruntukan bangunan, persyaratan penutupan tanah akhir serupa dengan konstruksi jalan dan faktor keamanan sesuai dengan peraturan konstruksi yang berlaku.

2.3.3. Monitoring TPA pasca operasi

Page 97: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

9

Monitoring kualitas lingkungan pasca operasi TPA diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran baik karena kebocoran dasar TPA, jaringan pengumpul lindi, proses pengolahan lindi yang tidak memadai maupun kebocoran pipa ventilasi gas. Fasilitas yang diperlukan untuk monitoring ini adalah sumur uji dan pipa ventilasi gas yang terlindung. Sumur uji yang harus ada minimal 3 unit, yaitu yang terletak sebelum area peninmbunan, dekat lokasi penimbunan dan sesudah area penimbunan.

Parameter kunci yang diperlukan antara lain meliputi : Kualitas air , meliputi antara lain BOD/COD, chlorida, sulfat Kualitas udara, meliputi debu, COx, NOx, H2S, gas metan (CH4) Kepadatan lalat

Periode pemantauan sebaiknya dilakukan secara berkala terutama untuk parameter

kunci, sedangkan untuk parameter yang lebih lengkap dapat dilakukan setahun 1-2 kali (musim kemarau dan hujan).

3. DOKUMEN KAJIAN LINGKUNGAN Dokumen kajian lingkungan TPA yang berisikan hal-hal tersebut diatas, harus

disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku (UU 23 / 1997 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No 27 / 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Kepmen LH/Depkes/Kimpraswil yang berkaitan dengan masalah kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan)

Secara umum dokumen yang harus dilengkapi untuk melaksanakan pembangunan dan pengoperasian TPA adalah :

1. AMDAL

Untuk kegiatan pembangunan TPA > 10 Ha Untuk kegiatan pembangunan TPA yang terletak dikawasan lindung, berbatasan

dengan kawasan lindung atau yang secara langsung mempengaruhi kualitas lingkungan kawasan lindung. Seperti di pinggir sungai, pantai, laut dan kawasan lindung lainnya (< 10 ha)

Dokumen AMDAL terdiri dari Kerangka Acuan (KA) ANDAL, ANDAL, RKL / RPL. KA ANDAL meliputi pendahuluan (latar belakang, tujuan dan kegunaan studi),

ruang lingkup studi (lingkup rencana kegiatan yang akan ditelaah, lingkup rona lingkungan hidup awal dan lingkup wilayah studi), metode studi (metode pengumpulan dan analisa data, metode prakiraan dampak dan penentuan dampak penting, metode evaluasi dampak), pelaksanaan studi (tim studi, biaya studi dan waktu). KA ANDAL juga dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran

Penyusunan dokumen ANDAL meliputi pendahuluan (latar belakang, tujuan studi dan kegunaan studi), metoda studi (dampak penting yang ditelaah, wilayah studi, metode pengumpulan dan analisa data, metode prakiraan dampak penting dan evaluasi dampak penting), rencana kegiatan ( identitas pemrakarsa dan penyusun ANDAL, tujuan rencana kegiatan, kegunaan rencana kegiatan dari awal sampai akhir), rona lingkungan hidup (fisik-kimia, biologi, sosial dan kesehatan masyarakat termasuk komponen-komponen yang berpotensi terkena dampak penting) , prakiraan dampak penting (pra konstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi termasuk mekanisme aliran dampak pada berbagai komponen lingkungan), evaluasi dampak penting (telaahan terhadap dampak penting dan digunakan sebagai dasar pengelolaan).

Page 98: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

10

Selain itu juga perlu dilengkapi dengan daftar pustaka sebagai dasar ilmiah dan lampiran seperti surat izin rekomendasi untuk pemrakarsa, SK, foto-foto, peta, gambar, tabel dan lain-lain

Penyusunan dokumen RKL, meliputi latar belakang pengelolaan lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan (dampak penting dan sumber dampak penting, tolok ukur dampak, tujuan rencana pengelolaan lingkungan, pengelolaan lingkungan melalui pendekatan teknologi/sosial ekonomi/institusi, lokasi pengelolaan lingkungan, periode pengelolaan lingkungan, pembiayaan pengelolaan lingkungan dan institusi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan). Dokumen RKL ini juga dilengkapi dengan pustaka dan lampiran

Penyusunan dokumen RPL, meliputi latar belakang pemantauan lingkungan (dampak penting yang dipantau, sumber dampak, parameter lingkungan yang dipantaau, tujuan RPL, metode pemantauan dan institusi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemantauan lingkungan

2. UKL / UPL

Untuk kegiatan pembangunan TPA < 10 ha Dokumen yang diperlukan adalah dokumen UKL dan UPL Penyusunan dokumen UKL dan UPL, meliputi deskripsi rencana kegiatan (jenis

kegiatan, rencana lokasi dan posisinya dengan rencana umum tata ruang, jarak lokasi kegiatan dengan SDA dan kegiatan lainnya, sarana/fasilitas yang direncanakan, proses yang akan dilaksanakan), komponen lingkungan yang mungkin akan terkena dampak, dampak yang akan terjadi (sumber dampak, jenis dampak dan ukurannya, sifat dan tolok ukur dampak), upaya pengelolaan lingkungan yang harus dilaksanakan oleh pemraakarsa, upaya pemantauan lingkungan yang harus dilaksanakan oleh pemrakarsa (jenis dampak yang dipantau, lokasi pemantauan, waktu pemantauan dan cara pemantauan), mekanisme pelaporan pelaksanaan UKL/UPL pada saat kegiatan dilaksanakan (instansi pembina, BPLDH dan dinas teknis terkait). Dokumen ini dilengkapi juga dengan pernyataan pemrakarsa yang ditanda tangani untuk melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan.

4. PENUTUP Mengacu pada berbagai permasalahan yang timbul dalam pengeloaan TPA di berbagai

kota di Indonesia yang telah mencemarai lingkungan, maka dukungan perencanaan (teknis, ekonomi dan lingkungan), lokasi yang memadai, fasilitas TPA dan dana O/P saja tidak cukup namun perlu komitmen yang kuat untuk melaksanakan keseluruhan proses pembuangan sampah dan pengelolaan lingkungan dengan benar dan profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Page 99: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

11

1. Judith Petts, Envoronmental Impact Assesment for Waste Treatment & Disposal Facilities, 1996.

2. Qasim, Sanitary Landfill leachate generation, control & Treatment, Technomic Publishing

Company, 1994 3. SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA, Departemen Pekerjaan

Umum, 1994 4. Thobanoglous, G, Theisen, Integrated Solid Waste Management. Mc Graw-Hill

International Edition, 1993 5. Keputusan Menteri LH/Bapedal, Pekerjaan Umum dan Kesehatan yang relevan

Page 100: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

2

yang dapat digunakan sebagai acuan bagi daerah dalam meningkatkan sistem pengelolaan persampahan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Perkembangan perumahan dan permukiman yang sangat pesat sering kurang terkendali dan tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang maupun konsep pembangunan yang berkelanjutan, mengakibatkan banyak kawasan-kawasan rendah yang semula berfungsi sebagai tempat parkir air (retarding pond) dan bantaran sungai dihuni oleh penduduk. Kondisi ini akhirnya meningkatkan volume air permukaan yang masuk ke saluran drainase dan sungai. Hal-hal tersebut di atas membawa dampak rendahnya kemampuan drainase mengeringkan kawasan terbangun, dan rendahnya kapasitas seluruh prasarana pengendali banjir (sungai, polder-polder, pompa-pompa, pintu-pintu pengatur) untuk mengalirkan air ke laut. Jadi dampak pembangunan perkotaan, yang dasarkan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk dapat pula menimbulkan masalah misalnya di bidang drainase. Kondisi sarana dan prasarana drainase yang ada sampai dengan tahun 2000 mempunyai cakupan pelayanan nasional sekitar 49% (43.016 Ha) dari luas genangan 84.485 Ha. Secara umum kendala-kendala yang dihadapi dalam penanganan drainase antara lain menurunnya perhatian pengelola pembangunan bidang drainase khususnya mengenai masalah operasi dan pemeliharaan, pola pikir dan kesadaran masyarakat yang rendah akan lingkungan hidup yang bersih dan sehat dan lemahnya institusi pengelola prasarana dan sarana drainase dan ketidak mampuan untuk menyusun program yang dibutuhkan. Dalam penanganan drainase perlu memperhatikan berbagai faktor yang dapat menimbulkan permasalahan, salah satunya berupa masalah genangan air. Pada saat ini banyak terjadi masalah genangan air yang pada umumnya disebabkan antara lain karena prioritas penanganan drainase kurang mendapat perhatian, kurangnya kesadaran bahwa pemecahan masalah genangan harus melihat pada system jaringan saluran secara keseluruhan yang mengakibatkan hambatan (back-water) dan beban saluran dari hulunya, tidak menyadari bahwa system drainase kawasan harus terpadu dengan system badan air regionalnya (system flood control), kurang menyadari bahwa pemeliharaan (pembersihan dan perbaikan) saluran merupakan pekerjaan rutin yang sangat penting untuk menurunkan resiko genangan, belum optimalnya koordinasi antara pihak terkait agar sistem pengaliran air hujan dapat berjalan dengan baik. Sesuai dengan semangat otonomi daerah bahwa penanganan masalah drainase perkotaan/kawasan adalah menjadi tanggung jawab pemerintah kota atau kabupaten pada daerahnya masing-masing. Jadi untuk melaksanakan tanggungjawab penanganan masalah drainase kawasan maka aparat daerah yang terkait dengan masalah ini atau aparat Propinsi dan Pusat yang melaksanakan pembinaan memerlukan Kebijakan dan Strategi penanganan drainase yang cukup komprehansif. Dengan adanya Kebijakan dan Strategi tersebut diharapkan diperoleh suatu acuan/panduan dalam proses penanganan drainase perkotaan bagi seluruh

Page 101: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

3

“Stakeholders” terutama dalam menangani masalah perencanaan dan pemrograman, pembangunan dan pengelolaan drainase perkotaan. WASPOLA pada tahun 2001 telah menyiapkan kebijakan nasional berbasis lembaga, telah mengarahkan pembangunan bidang AMPL (termasuk drainase) sampai tahun 2015. Waspola pada tahun 2004 telah menyiapkan suatu konsep kebijakan nasional berbasis lembaga yang disusun berdasarkan metode partisipasi aktif (MPA – Phast) telah mengarahkan pembangunan bidang AMPL (termasuk persampahan dan drainase) sampai tahun 2015. Kebijakan tersebut perlu di tindak lanjuti dengan kebijakan jangka menengah (5 tahun) yang lebih operasional sesuai dengan RPJMN, RPJP, Renstra PU sehingga dapat memberikan input kepada rencana kerja tahunan Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman - Ditjen Cipta Karya. Kebijakan tersebut tentunya perlu ditindak lanjuti dengan Jakstra yang lebih operasional (jangka menengah) sesuai dengan RPJMN, RPJP dan Rentra Dep. PU sebagai bahan masukan rencana kerja tahunan Direktorat Pengembangan PLP, Ditjen Cipta Karya.

1.2. MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud dilaksanakannya kegiatan ini adalah menyusun kebijakan dan strategi pembangunan persampahan dan penanganan drainase perkotaan untuk jangka waktu 5 tahun yang dapat dijabarkan sebagai acuan bagi pelaksanaan peningkatan pengelolaan persampahan di daerah dan panduan penanganan drainase baik di Pusat maupun Daerah dalam melaksanakan tugasnya sesuai tugas dan tanggung jawabnya sehingga terjadi sinergi pelaksanaan yang optimal. Tujuan dari penyusunan Kebijakan dan Strategi ini adalah :

Meningkatkan sistem pengelolaan persampahan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan

Memudahkan mekanisme pola hubungan pusat-daerah dalam peningkatan pengelolaan persampahan

Memudahkan mekanisme regionalisasi pengelolaan persampahan

Terwujudnya sistem penanganan drainase yang berkelanjutan, lingkungan yang layak dan terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah

Terwujudnya peningkatan kinerja penanganan drainase melalui pembangunan yang memiliki kualitas baik dan bermanfaat bagi masyarakat, dunia usaha, Pemerintah daerah dan Pemerintah.

Terwujudnya sinergi kerja yang optimal antara Pusat dan Daerah

1.3. SASARAN

Sasaran kegiatan ini adalah tersedianya produk kebijakan nasional pembangunan persampahan dan drainase untuk kurun waktu 5 tahun kedepan berdasarkan kajian kebijakan nasional yang telah ada serta peraturan dan perundangan yang berlaku.

Page 102: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

4

2. KONDISI EKSISTING 2.1. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DAN PENANGANAN

DRAINASE 2.1.1. Persampahan a. Periode Sebelum Kemerdekaan Pengelolaan sampah di Indonesia dimulai sejak jaman pendudukan Jepang

yang membentuk RT/RW dengan salah satu tugasnya adalah mengelola sampah lingkungan.

b. Repelita I – II Pada masa Repelita I – II (1969 – 1978) dibentuk Direktorat Teknik

Penyehatan di Departemen PU yang mengkoordinir bantuan dariBelanda berupa truck dan container untuk beberapa kota.

c. Repelita III Pada Repelita III (1979 – 1983) dimulai Program SWIP (Solid Waste

Improvement Program) I-IV melalui bantuan / pinjaman IBRD. d. Repelita IV Perkembangan signifikan terjadi pada masa Repelita IV (1984-1988) dengan

dibentuknya Sub Direktorat Persampahan di Departemen PU. Bantuan luar negeri banyak berasal dari IBRD, ADB, OECF, Swiss, JICA, dll. Pada tahun 1986 dimulai Program Adipura yang secara progresif mendorong perkembangan pengelolaan sampah perkotaan. 200 kota mendapatkan bantuan proyek perintisan persampahan, juga tersusun kebijakan dan strategi persampahan yang mencakup 5 aspek pengelolaan. Pada masa ini juga diperkenalkan program P3KT / IUIDP yang memadukan pengelolaan prasarana perkotaan. 3 Kota membangun prasarana Sanitary landfill untuk pembuangan sampahnya.

e. Repelita V Pada masa Repelita V (1989-1993) program Adipura terus meningkat

dengan diberikannya Adipura Kencana. Investasi swasta dimulai pada masa ini dengan pembangunan transfer station Cakung dan Incinerator di Surabaya.

f. Repelita VI Pada masa Repelita VI (1994-1998) terjadi krisis moneter yang menekan

keuangan pemerintah sehingga pengelolaan sampah kurang diperhatikan. Program Adipura dihentikan pada tahun 1999 karena tidak banyak kota yang berminat mengikutinya. Kondisi fisik kota mengalami penurunan drastis pada masa ini.

g. Era Otonomi Daerah Pada Tahun 1999 digulirkan otonomi daerah yang memberikan kewenangan

penuh pada daerah untuk mengurus dirinya sendiri. Sejak itu penanganan sampah mengalami masa suram karena prioritas bidang ini sangat rendah seperti pada masa sebelum Program Adipura. Kasus pencemaran lingkungan oleh TPA menjadi semakin banyak dan penolakan masyarakat menjadi

Page 103: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

5

semakin kuat sehingga kota-kota besar mengalami kesulitan pengadaan lahan TPA. Penutupan TPA oleh masyarakat mulai terjadi di Keputih Surabaya, Sidoarjo, Bekasi, dll. Pada tahun 2005 juga terjadi bencana longsornya TPA Leuwigajah di Cimahi yang menelan korban 144 orang meninggal.

Menurunnya kondisi pembangunan sektor persampahan lambat laun mulai dirasakan oleh berbagai kalangan. Rendahnya kualitas pelayanan juga mulai mendapat sorotan dari berbagai pihak sehingga secara bertahap memunculkan keinginan untuk kembali pada kondisi tahun-tahun sebelum berlangsungnya krisis moneter. Pada tahun 2002 dalam sebuah seminar pengelolaan persampahan di Jakarta, beberapa kota menyepakati untuk memunculkan kembali program kompetisi kebersihan kota yang dikenal dengan Program Bangun Praja dan mulai dilaksanakan pada tahun 2003 dengan kota peserta yang sangat terbatas. Pada tahun 2004 Program Bangun Praja kembali dilaksanakan dan Penghargaan Piala Adipura kembali diberikan. Saat ini meskipun di banyak kota pelayanan persampahan masih sangat rendah, namun beberapa kota telah mulai menunjukan prioritas penanganan yang memadai.

2.1.2. Drainase Pada masa Repelita I – II (1696 – 1979) dibentuk Direktorat Teknik Penyehatan di Departemen PU, pada masa itu penanganan drainase banyak difokuskan ke bantuan teknis ke Pemerintah Daerah antara lain penyiapan Outline plan dan ditail disain drainase. Bentuk bantuan fisik difokuskan ke rehabilitasi saluran yang sifatnya darurat. Pada Repelita III – IV mulai dilakukan penanganan drainase yang cukup komprehensif melalui program-program P3KT, sehingga dihasilkan keterpaduan program dengan sektor-sektor lain terutama jalan kota, air limbah dan persampahan. Pada masa Repelita VI (1994 – 1998) terjadi krisis moneter yang menekan keuangan pemerintah sehingga kondisi fisik prasarana dan sarana drainase sangat memprihatinkan, terutama sekali kurangnya perhatian terhadap pemeliharaan rutin ataupun berkala.

Page 104: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

6

2.2. PARADIGMA

2.2.1. Persampahan Banyak kota masih mengikuti pendekatan atau paradigma lama yang menganut prinsip bahwa sampah harus secepatnya dikumpulkan, diangkut, dan dibuang. Semua sampah yang dihasilkan oleh masyarakat diperlakukan sama tanpa upaya untuk meningkatkan efisiensi penanganan yang dilakukan. Hal ini terbukti tidak pernah berhasil. Sampah semakin banyak dihasilkan tetapi ketersediaan dana tidak berbanding lurus dengan kebutuhan. Makin banyak sampah yang tidak mampu ditangani dan pada akhirnya menumpuk di banyak tempat yang tidak seharusnya seperti kali, lahan kosong, dibakar, dll yang menimbulkan masalah serius bagi lingkungan sekitarnya. Suatu pendekatan atau paradigma baru harus dipahami dan diikuti, yaitu bahwa sampah dapat dikurangi, digunakan kembali, dan atau didaur ulang; atau yang sering dikenal dengan istilah 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru karena sudah banyak dilakukan oleh negara maju dan berhasil meningkatkan efisiensi pengelolaan secara signifikan. Dengan mengurangi sampah sejak di sumbernya maka beban pengelolaan kota akan dapat dikurangi dan anggaran serta fasilitas akan dapat semakin efisien dimanfaatkan. Beban pencemaran dapat dikurangi dan lebih jauh lagi dapat turut menjaga kelestarian alam dan lingkungan.

2.2.2. Drainase Sampai dengan saat ini masih banyak kasta-kasta yang menangani drainase dengan paradigma lama yaitu mengalirkan limpasan air permukaan ke badan air penerima (sungai, waduk, danau dan laut) terdekat secepatnya. Seiring dengan makin langkanya air baku yang dibutuhkan untuk air minum, paradigma baru penanganan drainase adalah mengendalikan kelebihan air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk persediaan air baku dan kehidupan akuatik dengan meresapkan air permukaan tersebut kedalam tanah (konservasi air).

2.3. KINERJA PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DAN PENANGANAN

DRAINASE 2.3.1. Persampahan Timbulan sampah semakin meningkat terutama di kota-kota besar akibat pertambahan penduduk maupun tingkat konsumtivitas yang juga semakin tinggi. Untuk kota Jakarta, pada tahun 1998/1999 timbulan sampah per hari mencapai 26.320 meter kubik. Dibandingkan tahun 1996/1997, timbulan sampah di Jakarta tersebut naik sekitar 18%.

Tingkat Pelayanan hingga saat ini masih belum optimal. Baru 40,09% sampah di daerah perkotaan yang diangkut oleh petugas, 7,54% sampah ditimbun, 1,61% sampah dibuat kompos, 35,49% dibakar, dan 15,27 lain-lain. Sementara untuk di daerah pedesaan, sebanyak 1,02% sampah diangkut oleh

Page 105: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

7

petugas, 12,71% sampah ditimbun, 4,98% sampah dibuat kompos, 50,14% dibakar, dan 31,15% lain-lain (BPS, Tahun 2001). Kelembagaan yang bertanggung jawab atas pengelolaan persampahan sangat beragam seperti : Dinas Kebersihan, Sub Dinas Kebersihan, Seksi kebersihan, Sub Seksi Kebersihan, Unit Kebersihan, Kantor Kebersihan, dan lain-lain; sesuai dengan kebijakan daerah yang kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Bentuk institusi Pengelola Kebersihan akan masih mengalami perubahan mengingat adanya Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2001 tentang Perampingan Dinas Daerah yang berkecenderungan akan berdampak pada peleburan beberapa Dinas. Beberapa kota melakukan penggabungan pengelolaan kebersihan dengan pengelolaan tata kota, ke-PU-an, Lingkungan Hidup, dan sebagainya. Saat ini masih terdapat bentuk Perusahaan Daerah Kebersihan yaitu di Kota Bandung dan Makassar. Fungsi pengelolaan masih tercampur antara Pengelola yang berperan sebagai Operator sekaligus Regulator. Jumlah personil masih terbatas dan belum memenuhi kebutuhan. Rasio rata-rata berkisar antara 0,5 – 1,5 petugas untuk setiap 1000 orang yang dilayani. Pembiayaan untuk pengelolaan persampahan pada umumnya dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan alokasi pendanaan untuk operasional dan investasi berkisar antara 2 – 4 % yang menunjukkan masih rendahnya prioritas bagi pelayanan kebersihan. Tarif retribusi rata-rata memiliki rasio 0,6 % dari penghasilan rumah tangga, sementara penerimaan retribusi terkumpul baru mampu membiayai 22,9 % dari total biaya operasional. Dasar Hukum Pengelolaan Persampahan di tingkat nasional belum tersedia kecuali SNI. Undang-undang Pengelolaan Sampah masih dalam tahap pembahasan interdepartemen, sementara Peraturan Pemerintah belum dimulai penyusunannya. Peraturan Daerah telah tersedia dan mengatur tentang Institusi Pengelola, teknis penanganan sampah, dan tarif retribusi. Namun demikian masa efektif berlakunya Perda khususnya tentang retribusi umumnya telah terlampaui sehingga tarif yang ada sangat tidak relevan dengan biaya pengelolaannya. Penerapan sanksi hukum masih sulit dilaksanakan karena terbatasnya anggaran untuk pelaksanaannya. Peran serta masyarakat di kota umumnya lebih berupa partisipasi pasif (membayar retribusi dan berlaku positif di lingkungannya). Kegiatan pembinaan masyarakat masih sangat terbatas pada penyuluhan yang bersifat insidentil. Pendidikan kepada anak-anak sekolah belum dilakukan secara terstruktur misalnya dalam kurikulum lokal. Kerjasama Pihak Swasta masih sangat terbatas dan baru mencapai kapasitas sekitar 4,5 % dari timbulan yang ada, kecuali di kota metropolitan dan besar dapat mencapai sekitar 15%. Teknis Operasional penanganan sampah secara umum masih dilaksanakan secara konvensional melalui pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir. Pewadahan dilakukan menggunakan alat yang beraneka ragam tanpa mempertimbangkan efisiensi kegiatan pengumpulan yang dilakukan dengan menggunakan gerobak atau alat angkut

Page 106: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

8

kecil. Pemindahan sampah dilakukan dari gerobak ke truck dengan fasilitas transfer depo / container. Pengangkutan dilakukan menggunakan dump truck dengan ritasi 1-2 trip / hari, sementara Arm Roll Truck dioperasikan dengan ritasi rata-rata 3 trip / hari. Pengolahan sampah belum dilakukan secara optimal dengan skala yang signifikan. Pengomposan sampah secara komunal oleh Pengelola atau kegiatan pengomposan lainnya hanya dilakukan dalam skala kecil karena berbagai kendala yang dihadapi. Sementara itu kegiatan pembakaran dengan insinerator manual (tungku pembakaran) cukup banyak dijumpai namun dalam pelaksanaanya hampir semuanya mengalami kegagalan operasi karena berbagai masalah teknis maupun finansial. Baik pengomposan maupun pembakaran sampah hanya mampu mengolah sampah tidak lebih dari 5%. Pembuangan sampah dilakukan dengan metode open dumping di lebih dari 99% kota/kabupaten. Beberapa dimodifikasi menjadi controlled landfill tetapi dengan konsistensi yang belum terjaga. Hanya beberapa kota yang mampu mengoperasikan TPA secara baik. Pencemaran lingkungan di TPA juga telah menyebabkan penolakan oleh masyarakat terutama di kota-kota besar. 2.3.2. Drainase Hingga saat ini, penanganan drainase menunjukkan kinerja yang masih rendah dibandingkan dengan kedua sub program PLP lainnya (persampahan dan air limbah). Secara keseluruhan kinerja penanganan drainase selamaPelita VI, dari sasaran sebanyak 89.485 Ha hanya tercapai 43.016 Ha atau 49% dari luas genangan. Saat ini, hanya 43% dari rumah tangga yang mempunyai akses ke saluran drainase, sisanya 57% tidak mempunyai saluran drainase, atau system drainase yang ada dalam keadaan tergenang atau alirannya lambat dengan kapasitas aliran yang kurang memadai. Masalah sampah dan kurangnya pemeliharaan saluran juga memperparah keadaan yang ada serta mempercepat kerusakan saluran. Evaluasi ekonomi yang dilakukan Asian Development Bank (ADB) di Indonesia tahun 1999 memperkirakan bahwa biaya social yang harus ditanggung dari kondisi kesehatan lingkungan yang buruk di Indonesia melebihi 2,4% dari GDP per tahun. Kerugian ini hampir sama dengan Rp. 120.000 biaya yang ditanggung oleh setiap KK per bulan untuk semua rumah rumah tangga di Indonesia. Kesehatan lingkungan yang buruk menyebabkan biaya ekonomi yang lebih tinggi melalui perawatan kesehatan dan/atau kehilangan produktivitas kerja. Dampak social lain yang ditimbulkan adalah tingginya angka kematian bayi dan pengaruh kehidupan keluarga karena hambatan kegiatan pendidikan.

Page 107: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

9

3. ISU STRATEGIS, TANTANGAN, KENDALA DAN PELUANG 3.1. ISU STRATEGIS

3.1.1. Persampahan a. Aspek Teknis

Makin Besarnya Timbulan Sampah Peningkatan laju timbulan sampah perkotaan (2 – 4 % / tahun) yang tidak diikuti dengan ketersediaan prasarana dan sarana persampahan yang memadai, berdampak pada pencemaran lingkungan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dengan selalu mengandalkan pola kumpul-angkut-buang, maka beban pencemaran akan selalu menumpuk di lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Meningkatnya laju pertumbuhan industri dan konsumsi masyarakat secara umum berdampak pula pada perubahan komposisi dan karakteristik sampah yang dihasilkan terutama semakin banyaknya penggunaan plastik, kertas, produk-produk kemasan dan komponen bahan yang mengandung B3 (bahan beracun dan berbahaya) serta non boidegradable. Pengurangan volume sampah merupakan suatu keharusan untuk menyikapi kondisi tersebut diatas.

Rendahnya Kualitas dan Tingkat Pengelolaan Persampahan Berdasarkan data BPS tahun 2000, tingkat pelayanan sampah secara nasional saat ini hanya mencapai kurang lebih 40 %, dengan kualitas pelayanan yang belum memadai. Kondisi tersebut masih jauh dari standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan yaitu 60 % dengan pelayanan pengumpulan/pengangkutan minimal seminggu 2 kali. Sedangkan masyarakat yang tidak mendapatkan akses pelayanan serta tidak cukup memiliki lahan untuk proses pengolahan setempat cenderung membuang sampahnya disembarang tempat dan melakukan pembakaran sampah secara terbuka. Selain itu buruknya kualitas TPA telah memicu berbagai kasus protes masyarakat yang diikuti oleh berbagai tindak perusakan TPA seperti yang terjadi di TPST Bojong dan TPA Bantar Gebang bahkan korban meninggal seperti yang terjadi di TPA Leuwigajah. Keterbatasan Lahan TPA Di kota besar dan metropolitan, fenomena keterbatasan lahan TPA memunculkan kebutuhan pengelolaan TPA bersama secara regional, namun masih terkendala dengan banyak faktor seperti rigiditas otonomi daerah. Keterbatasan lahan TPA juga memaksa dikeluarkannya kebijakan desentralisasi penanganan sampah di sumber yang telah mentriger kreasi pembakaran sampah dengan “incinerator” skala kecil yang tidak ramah lingkungan dan cenderung hanya akan menambah masalah emisi dikemudian hari.

Page 108: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

10

b. Kelembagaan

Lembaga atau instansi pengelola persampahan merupakan motor penggerak seluruh kegiatan pengelolaan sampah dari sumber sampai TPA. Kondisi kebersihan suatu kota atau wilayah merupakan output dari rangkaian pekerjaan manjemen pengelolaan persampahan yang keberhasilannya juga ditentukan oleh faktor-faktor lain. Kapasitas dan kewenangan instansi pengelola persampahan menjadi sangat penting karena besarnya tanggung jawab yang yang harus dipikul dalam menjalankan roda pengelolaan yang biasanya tidak sederhana bahkan cenderung cukup rumit sejalan dengan makin besarnya kategori kota. Berdasarkan PP 8/2002 tidak ada lagi ketentuan bentuk institusi, sehingga timbul satu bentuk institusi yang multi sektor. Sebagai akibatnya adalah makin kecilnya kewenangan institusi persampahan dengan tanggung jawab yang tetap sama dengan sebelumnya. Ketimpangan tersebut masih belum didukung oleh SDM (sumber daya manusia) yang memadai terutama ditinjau dari kuantitas dan kualitas. Upaya-upaya peningkatan kualitas personil yang telah dilakukan beberapa waktu yang lalu berupa training bidang persampahan yang dilakukan oleh perbagai pihak baik Pemerintah maupun Pemerintah Daerah baik di dalam maupun luar negeri, tidak ditindak lanjuti oleh Pemerintah Daerah secara memadai. Para tenaga terdidik tersebut pada umumnya telah menempati tugas diluar sektor persampahan.

c. Pembiayaan

Perhatian terhadap pengelolaan persampahan masih belum memadai baik dari pihak kepala daerah maupun DPRD. Secara umum alokasi pembiayaan untuk sektor persampahan masih dibawah 5 % dari total anggaran APBD, rendahnya biaya tersebut pada umumnya karena pengelolaan persampahan masih belum manjadi prioritas dan menggunakan pola penanganan sampah yang ala kadarnya tanpa memperhitungkan faktor keselamatan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Demikian juga dengan rendahnya dana penarikan retribusi (secara nasional hanya mencapai 22 %), sehingga biaya pengelolaan sampah masih menjadi beban APBD.

Pada umumnya masalah persampahan belum mendapatkan perhatian yang cukup selalu akan berdampak pada buruknya kualitas penanganan sampah termasuk pencemaran lingkungan di TPA

d. Peran Serta Masyarakat dan Swasta Potensi Masyarakat Belum Dikembangkan Secara Sistematis Sudah sejak lama masyarakat (individu maupun kelompok) sebenarnya telah mampu melakukan sebagian sistem pengelolaan sampah baik untuk skala individual maupun skala lingkungan terutama dilingkungan permukimannya. Di kawasan perumahan Tiga Raksa Tangerang telah dilakukan pengelolaan sampah terpadu yang di dukungan LSM dengan mengedepankan konsep 3 R sehingga residu yang dibuang ke TPA hanya

Page 109: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

11

tinggal 50 %. Potensi ini perlu dikembangkan secara sistematis dengan pendekatan community base.

Rendahnya Investasi Swasta Sektor persampahan masih belum dapat menarik minat pihak swasta seperti beberapa kasus yang ada di lapangan. Keraguan pihak swasta untuk bermitra dengan pemerintah kota/kabupaten dalam pengelolaan sampah karena tidak adanya iklim yang kondusif serta cenderung menimbulkan biaya tinggi serta merugikan investasi swasta yang telah ditanamkan sebagaimana dalam kasus TPST Bojong. Upaya untuk menarik pihak swasta kedalam komponen kegiatan pengelolaan sampah belum dilakukan secara memadai termasuk memberikan insentif baik berupa pengurangan pajak bea masuk bahan atau instalasi yang berkaitan dengan proses pengolahan sampah seperti geomembrane untuk lapisan dasar kedap air di TPA, incinerator berteknologi ramah lingkungan dan lain-lain.

e. Aspek Peraturan

Lemahnya Penegakan Hukum Secara umum kondisi kebersihan diberbagai kota di Indonesia masih jauh dibawah rata-rata kebersihan di negara lain, salah satu penyebabnya kurangnya pendidikan yang berkaitan dengan perilaku hidup bersih dan sehat sejak dini serta tidak dilakukannya penerapan sangsi hukum (pidana) dari Perda yang ada secara efektif. Bahkan mungkin masyarakat belum sepenuhnya mengetahui adanya ketentuan dalam penanganan sampah termasuk adanya sangsi hukum yang berlaku.

3.1.2. Drainase

Belum Adanya Ketegasan Fungsi Sistem Drainase Sampai dengan saat ini belum ada ketegasan fungsi saluran drainase, untuk mengalirkan kelebihan air permukaan/mengalirkan air hujan, apakah juga berfungsi sebagai saluran air limbah permukiman (“grey water”). Sedangkan fungsi dan karakteristik sistem drainase berbeda dengan air limbah, yang tentunya akan membawa masalah pada daerah hilir aliran. Apalagi kondisi ini akan diperparah bila ada sampah yang dibuang ke saluran akibat penanganan sampah secara potensial oleh pengelola sampah dan masyarakat. Pengaturan Fungsi Lahan Basah Belum adanya produk pengaturan yang mengatur pembangunan di areal lahan basah (“wet land”) misalnya bebas rawa, situ-situ, embung dan lain-lain. Seharusnya di atur apabila akan mengembangkan daerah-daerah tersebut, harus digantikan di daerah tangkapan air yang sama, sehingga tidak menambah aliran permukaan (“run off”). Pengendalian Debit Puncak Untuk daerah-daerah yang relatif sangat padat bangunan sehingga mengurangi luasan air untuk meresap, perlu dibuatkan aturan untuk menyiapkan penampungan air sementara untuk menghindari aliran puncak. Penampungan-

Page 110: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

12

penampungan tersebut dapat dilakukan dengan membuat sumur-sumur resapan, kolam-kolam retensi di atap-atap gedung, didasar-dasar bangunan, waduk, lapangan, yang selanjutnya di atas untuk dialirkan secara bertahap. Kelengkapan Perangkat Peraturan

Aspek hukum yang harus dipertimbangkan dalam rencana penanganan drainase permukiman di daerah adalah:

Peraturan Daerah mengenai ketertiban umum perlu disiapkan seperti pencegahan pengambilan air tanah secara besar-besaran, pembuangan sampah di saluran, pelarangan pengurugan lahan basah dan penggunaan daerah resapan air, termasuk sanksi yang diterapkan.

Peraturan koordinasi dengan utilitas kota lainnya seperti jalur, kedalaman, posisinya, agar dapat saling menunjang kepentingan masing-masing.

Kejelasan keterlibatan masyarakat dan swasta, sehingga masyarakat dan swasta dapat mengetahui tugas, tanggung jawab dan wewenangnya.

Bentuk dan struktur organisasi, uraian tugas dan kualitas personil yang dibutuhkan dalam penanganan drainase harus di rumuskan dalam peraturan daerah.

Penanganan Drainase Belum Terpadu Pembangunan sistem drainase utama dan lokal yang belum terpadu, terutama masalah peil banjir, disain kala ulang, akibat banjir terbatasnya masterplan drainase sehingga pengembang tidak punya acuan untuk sistem lokal yang berakibat pengelolaan sifatnya hanya pertial di wilayah yang dikembangkannya saja. Pemanasan Global Adanya fenomena perubahan iklim akibat pemanasan global yang ditandai dengan kekeringan yang panjang dan curah hujan yang tinggi sehingga berpotensi mengakibatkan bencana kebakaran hutan saat kemarau dan bencana banjir saat musim hujan.

3.2. TANTANGAN, KENDALA DAN PELUANG

3.2.1. Persampahan

Tantangan

• Peningkatan cakupan pelayanan sebesar 30% pada tahun 2015 (untuk mencapai total pelayanan secara nasional menjadi 70%) selain memerlukan investasi sarana dan prasarana persampahan yang cukup besar juga harus didukung oleh kesiapan manajemen dan dukungan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun di daerah.

• Peningkatan kelembagaan yang memungkinkan dilaksanakannya pengelolaan sampah secara lebih profesional dengan dukungan SDM ahli yang memadai serta dimungkinnya kerjasama antar kota untuk melaksanakan pola penanganan sampah regional merupakan tantangan dalam era otonomi daerah. Demikian juga dengan perlunya pemisahan peran operator dan regulator.

Page 111: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

13

• Penggalian sumber dana untuk investasi dan biaya O/M terutama dari pihak swasta yang harus sinergi dengan penerapan pola cost recovery secara bertahap merupakan tantangan yang harus segera dicarikan solusinya secara “win-win”.

• Kondisi TPA yang sebagian besar dioperasikan secara open dumping memerlukan upaya rehabilitasi agar pencemaran lingkungan dan sumber-sumber air dapat diminimalkan serta mencegah terulangnya tragedi TPA leuwigajah. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah perlunya komitmen pihak eksekutif dan legislatif dalam alokasi biaya untuk rehabilitasi TPA dan penyiapan lokasi TPA baru sesuai SNI.

• Program 3 R yang selama ini sulit dilakukan merupakan tantangan yang memerlukan kesungguhan terutama dalam masalah pendidikan dan penyuluhan.

• Inovasi teknik untuk peningkatan kualitas TPA terutama berkaitan dengan pengolahan leachate dan pemanfaatan gas landfill menjadi energi listrik serta insinerator ramah lingkungan dan teknologi pengolahan sampah lainnya merupakan tantangan karena selain diperlukan SDM handal juga biaya yang cukup tinggi dan studi kelayakan yang memadai.

• Lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran pembuangan sampah merupakan tantangan aparat hukum bagaimana penerapan perda dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh.

• Inovasi teknik untuk peningkatan kualitas TPA terutama berkaitan dengan pengolahan leachate dan pemanfaatan gas landfill menjadi energi listrik serta insinerator ramah lingkungan dan teknologi pengolahan sampah lainnya merupakan tantangan karena selain diperlukan SDM handal juga biaya yang cukup tinggi dan studi kelayakan yang memadai.

Peluang

Dalam rangka meningkatkan kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia menuju era globalisasi, beberapa peluang yang ada, meliputi:

• Adanya peraturan (RUU Persampahan, PP 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yang juga memuat ketentuan mengenai persampahan berkaitan dengan perlindungan air baku) yang dapat digunakan sebagai payung hukum

• Tersedianya berbagai opsi teknologi penanganan persampahan yang ramah lingkungan yang dapat diadopsi di Indonesia

• Adanya komitmen Pemerintah dalam upaya meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan secara lebih memadai sampai tahun 2015. Hal tersebut ditunjukkan dengan telah diratifikasinya MDGs dan Kyoto Protocol serta upaya peningkatan kualitas TPA menjadi minimal controlled landfill (kota kecil dan sedang) serta sanitary landfill (kota besar dan metropolitan).

• Meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap masalah kesehatan lingkungan karena bantuan media yang sudah sangat terbuka dan dapat diakses sampai ke pelosok desa

• Banyaknya LSM yang peduli dengan masalah persampahan dan telah melakukan praktek unggulan dalam penanganan sampah yang mengedepankan konsep 3 R

Page 112: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

14

3.2.2. Drainase Tantangan

Faktor pertambahan penduduk, terbatasnya keuangan Pemerintah, Swasta dan masyarakat, tuntutan kondisi lingkungan permukiman yang bersih dan sehat mengakibatkan kebutuhan akan pelayanan prasarana dan sarana drainase tetap dipertahankan bahkan ditingkatkan. Tantangan yang dihadapi antara lain:

Mencegah penurunan kualitas lingkungan permukiman di perkotaan yang bertumpu pada peran aktif dan swadaya masyarakat di upayakan peran aktif seluruh pelaku pembangunan.

Optimalisasi fungsi pelayanan dan efisiensi prasarana dan sarana drainase yang sudah terbangun

Peningkatan dan pengembangan sistem yang ada, pembangunan baru secara efektif dan efisien yang menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.

Pemerataan pembangunan sub.bidang drainase dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional dan daerah setempat.

Menunjang terwujudnya lingkungan perumahan dan permukiman yang bersih dan sehat serta meningkatkan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah.

Kendala

Kendala yang harus dihadapi sesudah era krisis ekonomi tahun 1998 sampai dengan saat ini pada sub. Bidang drainase antara lain:

Krisis ekonomi nasional berdampak kondisi keuangan pemerintah, swasta dan masyarakat sangat menurun.

Lemahnya institusi pengelola prasarana dan sarana drainase terutama dalam penyusunan program yang aplikable.

Perhatian terhadap operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana drainase sangat penting.

Masih terbatasnya kemampuan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, kesadaran akan lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Dari uraian di atas dapat diduga, bahwa perhatian masyarakat akan lebih terfokus pada kebutuhan pangan terlebih dulu dibandingkan dengan kebutuhan lainnya. Hal ini akan berakibat terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan potensial akan menimbulkan wabah penyakit. Untuk itu peran aktif pemerintah dalam pembangunan sub bidang drainase sangat diperlukan agar tidak memperparah krisi ekonomi dengan timbulnya wabah penyakit.

Peluang

Peluang utama yang dapat dipakai adalah hasil-hasil pebangunan yang telah dicapai sampai akhir Pelita VI.

Meningkatnya peluang penggunaan materaial lokal dan teknologi tepat guna

Krisis moneter mengakibatkan masyarakat bawah tak dapat bertahan di kota-kota besar, sehingga mengurangi beban pelayanan drainase.

Page 113: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

15

Desentralisasi dan otonomi daerah memberikan peluang percepatan pembangunan drainase, menurunnya biaya pembangunan akibat proses birokrasi yang relatif lebih pendek.

4. SASARAN KEBIJAKAN 4.1. DASAR PENETAPAN SASARAN

Sasaran pembangunan bidang persampahan dan drainase sampai dengan tahun 2010 diturunkan dari sasaran pembangunan yang lebih makro yaitu RPJP 2004-2009 dan Renstra Pekerjaan Umum 2005-2009. Secara umum kedua rencana tersebut memiliki sasaran sebagai berikut:

- Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009 untuk meningkatkan jumlah sampah terangkut hingga 75% dan mengurangi wilayah genangan 75% hingga akhir tahun 2009 serta meningkatnya kinerja pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) dan pengelolaan drainase yang berwawasan lingkungan (environmental friendly) pada semua kota-kota metropolitan, kota besar, dan kota sedang.

- Rencana Strategis Depertemen Pekerjaan Umum tahun 2005 – 2009 untuk Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pengelolaan sanitasi di 276 kota/kabupaten, serta pengembangan drainase dan sistem pengelelolaan persampahan, serta meningkatnya kualitas lingkungan permukiman kawasan kumuh dan nelayan seluas 1, 700 ha yang mencakup sekitar 4,2 juta unit.

Disamping kedua sasaran perencanaan tersebut, sasaran pembangunan bidang persampahan juga mengakomodir sasaran Millenium Development Goals tahun 2015 untuk menyediakan akses pelayanan persampahan kepada masyarakat mampu melayani masyarakat dengan kapasitas 80 % atau 104,6 juta jiwa di perkotaan dan 50 % atau 57,5 juta jiwa di perdesaan, dan total seluruh Indonesia mencapai 66 % atau 162,1 juta jiwa.

4.2. SASARAN KEBIJAKAN PERSAMPAHAN DAN DRAINASE

Dengan memperhatikan berbagai sasaran yang telah disebutkan sebelumnya dan dengan memperhatikan berbagai kendala, tantangan dan peluang yang ada, maka ditetapkan beberapa sasaran utama yang hendak dicapai pada tahun 2006 - 2010 yang meliputi :

Tercapainya kondisi kota dan lingkungan yang bersih termasuk saluran drainase perkotaan

Pencapaian pengurangan kuantitas sampah sebesar 20 %

Pencapaian sasaran cakupan pelayanan 60 % penduduk

Tercapainya kualitas pelayanan yang sesuai atau mampu melampaui standar pelayanan minimal persampahan

Tercapainya peningkatan kualitas pengelolaan TPA menjadi Sanitary Landfill untuk kota metropolitan dan kota Besar, serta Controlled Landfill untuk kota Sedang dan kota Kecil; serta tidak dioperasikannya TPA secara Open Dumping

Tercapainya peningkatan kinerja institusi pengelola persampahan yang mantap dan berkembangnya pola kerjasama regional

Page 114: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

16

Terbebasnya saluran-saluran drainase dari sampah sehingga mampu meningkatkan fungsi saluran drainase berbagai pematus air hujan.

Berkurangnya wilayah genangan permanen dan temporer hingga 75% dari kondisi saat ini.

Tercapainya kualitas pelayanan yang sesuai atau mampu melampaui standar pelayanan minimal drainase.

Peningkatan kinerja institusi pengelola drainase yang mantap. 4.3. LINGKUNGAN STRATEGIS DAN PERUNDANG-UNDANGAN

Beberapa kondisi lingkungan strategis perlu diperhatikan dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai sasaran tersebut di atas; diantaranya adalah :

Era otonomi daerah yang memberi kewenangan penuh bagi daerah untuk mengurusi keperluannya sendiri termasuk pembangunan bidang persampahan dan drainase harus dihormati. Pemerintah Pusat dalam hal ini lebih berperan dalam pembinaan dan pengaturannya.

Sistem politik yang ada saat ini telah memberikan kekuasaan dan peran yang lebih besar kepada pihak legislatif sehingga keterlibatannya sangat diperlukan.

Kondisi perekonomian saat ini sangat memberatkan daerah sehingga sulit membiayai program investasi pembangunan.

Perubahan karakter sosial masyarakat yang sensitif akibat tekanan kehidupan perlu diantisipasi dalam setiap kebijakan yang secara langsung akan melibatkan peran masyarakat luas.

Undang-Undang Pengelolaan Sampah masih dalam pembahasan namun demikian jiwa untuk mendorong upaya 3R dan peningkatan kualitas TPA perlu diakomodir secara penuh.

5. KEBIJAKAN DAN STRATEGI

5.1. PERSAMPAHAN

Arahan kebijakan pembangunan bidang persampahan tahun 2006 – 2010 ditetapkan untuk dapat mencapai sasaran pembangunan yang telah dibahas sebelumnya. Kebijakan tersebut meliputi :

KEBIJAKAN 1 : Pengurangan sampah semaksimal mungkin

dimulai dari sumbernya Untuk operasionalisasi kebijakan tersebut, maka beberapa strategi ditetapkan, yaitu: Strategi 1 : Promosi dan kampanye peningkatan upaya 3R dan

pengamanan sampah B3 rumah tangga Strategi 2 : Mekanisme insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan

sampah / 3R

KEBIJAKAN 2 : Mengedepankan peran dan partisipasi aktif masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan sampah

Page 115: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

17

Untuk operasionalisasi kebijakan tersebut, maka beberapa strategi ditetapkan, yaitu: Strategi 1 : Meningkatkan pemahaman tentang pengelolaan sampah

sejak dini melalui pendidikan bagi anak usia sekolah Strategi 2 : Meningkatkan pembinaan peran serta / kemitraan

masyarakat dan kaum perempuan dan swasta dalam pengelolaan sampah

KEBIJAKAN 3 : Memperkuat kapasitas lembaga pengelola

persampahan Untuk operasionalisasi kebijakan tersebut, maka beberapa strategi ditetapkan, yaitu: Strategi 1 : Mendorong peningkatan bentuk dan kapasitas institusi

pengelola sampah sesuai kebutuhan pelayanan Strategi 2 : Memisahkan badan / fungsi regulator dan operator Strategi 3 : Peningkatan kerjasama dan koordinasi pengelolaan dan

mendorong pengelolaan kolektif atas penyelenggaraan persampahan skala regional

Strategi 4 : Mekanisme insentif dan disinsentif untuk kawasan sekitar TPA

KEBIJAKAN 4 : Pengembangan kemitraan dengan swasta Untuk operasionalisasi kebijakan tersebut, maka beberapa strategi ditetapkan, yaitu: Strategi 1 : Peningkatan iklim yang kondusif bagi kemitraan P-S-M Strategi 2 : Fasilitasi dan uji coba dalam pengembangan kemitraan

dengan swasta

KEBIJAKAN 5 : Mengembangkan tingkat pelayanan untuk mencapai sasaran nasional secara bertahap

Untuk operasionalisasi kebijakan tersebut, maka beberapa strategi ditetapkan, yaitu: Strategi 1 : Optimalisasi pemanfaatan P&S persampahan yang tersedia Strategi 2 : Meningkatkan kapasitas pelayanan yang berkeadilan,

terencana dan terprogram sesuai kebutuhan dan prioritas Strategi 3 : Meningkatkan kualitas pengelolaan TPA kearah SLF dan CLF

dan rehabilitasi TPA yang mencemari Strategi 4 : Penelitian, pengembangan dan aplikasi teknologi

penanganan persampahan tepat guna dan berwawasan lingkungan

KEBIJAKAN 6 : Menerapkan prinsip pemulihan biaya secara

bertahap Untuk operasionalisasi kebijakan tersebut, maka beberapa strategi ditetapkan, yaitu: Strategi 1 : Penyusunan pedoman pola pemulihan biaya (cost recovery) Strategi 2 : Fasilitasi dan pendampingan penyusunan tarif retribusi yang

mengarah pada pemulihan biaya Strategi 3 : Diseminasi pedoman pemulihan biaya kepada DPR, DPRD,

dan instansi terkait

Page 116: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

18

KEBIJAKAN 7 : Peningkatan efektifitas penegakan hukum Untuk operasionalisasi kebijakan tersebut, maka beberapa strategi ditetapkan, yaitu: Strategi 1 : Mengembangkan produk hukum sebagai landasan dan

acuan dalam pelaksanaan pelayanan persampahan Strategi 2 : Menerapkan sistem pengawasan dan sanksi hukum secara

konsisten dalam rangka pembinaan aparat, masyarakat dan swasta oleh lembaga regulator

5.2. DRAINASE

Arahan kebijakan pembangunan bidang drainase tahun 2006-2010 ditetapkan untuk dapat mencapai sasaran pembangunan yang telah dibahas sebelumnya. Kebijakan tersebut meliputi:

KEBIJAKAN-1 : Penyelenggaraan/penanganan terpadu dengan

sektor/sub sektor terkait terutama pengendalian banjir, jalan, bangunan gedung, perumahan dan permukiman, air limbah dan persampahan.

Untuk operasionalisasi kebijakan tersebut, maka beberapa strategi ditetapkan, yaitu: Strategi 1 : Inventarisasi saluran dan bangunan pelengkap sistem

drainase Strategi 2 : Mengembangkan sistem perencanaan drainase yang terpadu

sistem makro dan mikro, dengan pengaturan dan pengelolaan sungai.

Strategi 3 : Pembangunan sistem drainase yang berwawasan lingkungan, kewajiban melakukan konservasi air.

KEBIJAKAN-2 : Mengoptimalkan sistem yang ada,

rehabilitasi/pemulihan, pengembangan dan pembangunan baru.

Untuk operasionalisasi kebijakan tersebut, maka beberapa strategi ditetapkan, yaitu: Strategi 1 : Menentukan prioritas penanganan, pengembangan dan

improvement di kawasan strategis, rawan penyakit dan genangan.

Strategi 2 : Pembangunan sistem jaringan drainase di Ibukota Kab/Kota yang cepat tumbuh dan strategis, serta kawasan RSH/TNI/POLRI/PNS.

KEBIJAKAN-3 : Melakukan perkuatan kapasitas kelembagaan

pengelola PS Drainase, Dunia Usaha dan Peran Serta Masyarakat.

Untuk operasionalisasi kebijakan tersebut, maka beberapa strategi ditetapkan, yaitu: Strategi 1 : Membuat mekanisme koordinasi (perangkatnya Master Plan

Makro dan Mikro) Strategi 2 : Menentukan dan peran tanggung jawab pemerintah, swasta

dan masyarakat dalam penanganan drainase. Strategi 3 : Memperkuat kapasitas lembangan pengelola drainase. Strategi 4 : Meningkatkan kapasitas SDM pengelola drainase

Page 117: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

19

Strategi 5 : Melakukan kampanye, desiminasi/sosialisasi. Strategi 6 : Sistem informasi dan komunikasi.

KEBIJAKAN-4 : Mendorong/memfasilitasi pemerintah Kab/Kota

dalam pembangunan P/S drainase untuk melancarkan perekonomian masyarakat serta menciptakan lapangan kerja.

Untuk operasionalisasi kebijakan tersebut, maka beberapa strategi ditetapkan, yaitu: Strategi 1 : Penyiapan peraturan dan produk hukum untuk penanganan

drainase, penyusunan NSPM bidang drainase. Strategi 2 : Membantu Kab/Kota dengan memberikan stimulan

pembangunan pada simpul-simpul yang tidak tersentuh serta perkuatan institusinya

Strategi 3 : Mengembangkan sumber pendanaan melalui retribusi lingkungan.

Strategi 4 : Mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk memprioritaskan penanganan drainase dalam skala prioritas yang memadai.

Strategi 5 : Mendorong swasta dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan drainase.

6. PRIORITAS PROGRAM DAN POLA PENDEKATAN PENGEMBANGANNYA

6.1. PRIORITAS PROGRAM

Dari pembahasan sebelumnya maka ditetapkan beberapa program prioritas yang meliputi :

1) Kampanye Nasional Program ini dimaksudkan untuk menggalang kesadaran kolektif seluruh

stakeholder persampahan dan drainase baik Pemerintah, Masyarakat, maupun Swasta untuk memulai pemahaman akan paradigma baru persampahan yang mengutamakan upaya-upaya untuk mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang sampah sejak dini; termasuk berperilaku positif dalam pengelolaan sampah; serta untuk memulai pemahaman akan paradigma baru sektor drainase yang mengutamakan upaya-upaya untuk mengurangi limpasan permukaan melalui upaya-upaya meresapkan kembali air hujan mulai skala persil/bangunan, lingkungan/kawasan hingga regional.

2) Perkuatan Kelembagaan Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan agar

mampu memberikan pelayanan dengan kinerja yang lebih baik dan mampu membangun kerjasama dengan stakeholder lainnya termasuk untuk kerjasama antar kota.

3) Perkuatan Peraturan Program ini dimaksudkan untuk menjamin kerjasama dan koordinasi yang

efektif antar stakeholder untuk mencapai sasaran pengelolaan persampahan dan prasarana drainase serta membangun kesadaran masyarakat dan perubahan perilaku melalui enforcement .

Page 118: Kebijakan nasional pembangunan bidang persampahan dan drainase

20

4) Inovasi Teknis dan Investasi Program ini dimaksudkan untuk menciptakan upaya dan terobosan baru

yang mampu memberikan kontribusi signifikan dalam pengelolaan prasarana drainase dan pengelolaan sampah terutama berkaitan dengan pengurangan pencemaran lindungan dan perlindungan air baku.

6.2. PENDEKATAN PENGEMBANGAN

Untuk dapat mencapai pengembangan secara efektif maka pelaksanaan program tersebut di atas perlu dilakukan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut :

1) Koordinasi dan Sinergi Program harus mampu membangun koordinasi dan sinergi antar stakeholder

baik Pemerintah di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kota/Kabupaten; juga dengan masyarakat / Lembaga Kemasyarakatan dan Sektor Swasta. Sehingga setiap program yang dikembangkan harus memperhatikan peran dari setiap stakeholder tersebut.

2) Pemberdayaan Masyarakat Program harus mengedepankan pemberdayaan dan peningkatan peran serta

masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam program tersebut.

3) Teknologi Tepatguna Program harus memperhatikan kapasitas dan kemampuan penguasaan

teknolgi stakeholder terkait untuk menanganinya, namun dengan tetap mengedepankan kaidah lingkungan.

4) Stimulasi dan Terobosan Program harus mampu memberikan upaya terobosan yang dapat menjadi

contoh keberhasilan pengelolaan sampah yang dikembangkan lebih luas oleh Pemeintah Daerah agar upaya pencapaian target nasional dan MDGs dapat tercapai pada tahun 2015.