Kebijakan moneter2
Click here to load reader
-
Upload
gendranansa -
Category
Documents
-
view
55 -
download
2
Transcript of Kebijakan moneter2
Kebijakan moneter
adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan
inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset
standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai
peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai
keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan)
dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi
makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga
serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian
terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh
kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada
sektor riil. [1]
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara
berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank
Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan
persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam
pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak
terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta
asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan
likuiditas.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi
jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : [2]
1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka
menambah jumlah uang yang edar
2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka
mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara
lain : [3]
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan
uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities).
Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah.
Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga
pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau
singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar
dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang
mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang
bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat
bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah
uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada
pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk
menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
4. Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur
jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti
menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi
jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk
memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini
sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. [4]
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga
barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank
Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan
moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free
floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem
keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi
volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter
melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama
menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-
sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar
uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum,
dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian
moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
Kebijakan Moneter
Kondisi ekonomi negara Indonesia pada masa orde baru sudah pernah memanas. Pada saat itu
pemerintah melakukan kebijakan moneter berupa contractionary monetary policy dan vice versa.
Kebijakan tersebut cukup efektif dalam menjaga stabilisasi ekonomi dan ongkos yang harus dibayar
relatif murah. Kebijakan moneter yang ditempuh saat ini berupa open market operation memerlukan
ongkos yang mahal. Kondisi ini diperparah dengan adanya kendala yang lebih besar, yaitu pengaruh
pasar keuangan internasional.
Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia
Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang
dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli
2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money)
sebagai sasaran kebijakan moneter. Dengan telah dilepaskannya sistem nilai tukar dengan band
intervensi nilai tukar (crawling band) di tahun 1997, Bank Indonesia memerlukan jangkar nominal
(nominal anchor) baru dalam rangka menjalankan kebijakan moneter. Jangkar nominal adalah variabel
nominal (seperti indeks harga, nilai tukar, atau uang beredar) yang ditargetkan secara eksplisit oleh bank
sentral sebagai dasar/patokan bagi pembentukan harga lainnya. Misalnya kalau nilai tukar dijadikan
target, maka inflasi luar negeri akan menjadi inflasi domestik.
Mengapa kebijakan moneter memerlukan jangkar nominal? Karena tanpa adanya jangkar nominal, tidak
ada kejelasan kemana kebijakan moneter akan diarahkan sehingga masyarakat tidak memiliki pedoman
dalam membuat ekspektasi inflasi. Ibarat kapal yang mengapung di lautan tanpa kejelasan kearah mana
kapal dilabuhkan. Sebaliknya, dengan adanya jangkar nominal masyarakat akan membuat ekspektasi
inflasi yang diperlukan dalam kalkulasi usahanya sesuai dengan jangkar nominal tersebut. Dengan
mengumumkan sasaran inflasi dan Bank Indonesia secara konsisten dapat mencapainya akan
meningkatkan kredibilitas kebijaan moneter yang pada gilirannya ekspektasi inflasi masyarakat sesuai
dengan sasaran yang ditetapkan BI.
Ada sejumlah alasan mengapa menggunakan jangkar nominal dengan ITF.
ITF lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan sasaran inflasi secara eksplisit masyarakat akan
memahami arah inflasi. Sebaliknya dengan sasaran base money, apalagi jika hubungannya dengan
inflasi tidak jelas, masyarakat lebih sulit mengetahui arah inflasi kedepan.
ITF yang memfokuskan pada inflasi sebagai prioritas kebijakan moneter sesuai dengan mandat yang
diberikan kepada Bank Indonesia.
ITF bersifat forward looking sesuai dengan dampak kebijakan pada inflasi yang memerlukan time lag.
ITF meningkatkan trasparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter mendorong kredibilitas kebijakan
moneter. Aspek transparansi dan akuntabilitas serta kejelasan akan tujuan ini merupakan aspek-aspek
good governance dari sebuah bank yang telah diberikan independensi.
ITF tidak memerlukan asumsi kestabilan hubungan antara uang beredar, output dan inflasi. Sebaliknya,
ITF merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan sejumlah variabel
informasi tentang kondisi perekonomian.
Dalam kerangka ITF, Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu.
Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan
sasaran yang ditetapkan. Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan sejumlah informasi yang
dapat menggambarkan kondisi inflasi ke depan. Jika proyeksi inflasi sudah tidak kompatibel dengan
sasaran, Bank Indonesia melakukan respon dengan menggunakan instrumen yang dimiliki. Misalnya
jika proyeksi inflasi telah melampaui sasaran, maka Bank Indonesia akan cenderung melakukan
pengetatan moneter.
Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi inflasi
dan outlook ke depan serta keputusan yang diambil. Jika sasaran inflasi tidak tercapai maka diperlukan
penjelasan kepada publik dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengembalikan inflasi sesuai
dengan sasarannya.
Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini
sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang
dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan
jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia
menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter
(Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating).
Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh
karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai
tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter
melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama
menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian
sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka
di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib
minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara
pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia menerapkan kerangka
kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga). Suku bunga kebijakan, yang
dikenal dengan istilah BI Rate, ditetapkan melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia.
Dalam tataran operasional, BI Rate tercermin dari pergerakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank
(PUAB) overnight (O/N).
PUAB atau Pasar Uang Antar Bank adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu Bank dengan
Bank Lainnya. Suku bunga PUAB merupakan harga yang terbentuk dari kesepakatan pihak yang
meminjam dan meminjamkan dana. Kegiatan di PUAB dilakukan melalui mekanisme over the counter
(OTC) yaitu terciptanya kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana yang dilakukan tidak melalui
lantai bursa. Transaksi PUAB dapat berjangka waktu dari satu hari kerja (overnight) sampai dengan
satu tahun, namun pada praktiknya mayoritas transaksi PUAB berjangka waktu kurang dari 3 bulan.
Agar pergerakan suku bunga PUAB O/N tidak terlalu melebar dari anchor-nya (BI Rate), Bank
Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara
seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil. Kebutuhan likuiditas perbankan
diestimasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor autonomous seperti operasi pemerintah, jatuh waktu
instrument OPT dan Standing Facilities serta mutasi dari uang kartal. Faktor-faktor tersebut dapat
berdampak injeksi (penambahan) likuiditas maupun absorpsi (pengurangan) likuiditas di pasar uang.
Operasi Moneter merupakan implementasi dari kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka
pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities. Operasi Pasar Terbuka
yang selanjutnya disebut OPT merupakan kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan atas inisiatif
Bank Indonesia dalam rangka mengurangi (smoothing) volatilitas suku bunga PUAB o/n. Sementara
instrumen Standing Facilities merupakan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia
kepada Bank dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka
membentuk koridor suku bunga di PUAB o/n.
Guna menentukan berapa jumlah likuiditas yang harus diserap maupun disediakan untuk menjaga
keseimbangan supply dan demand, Bank Indonesia perlu menetapkan target operasi moneter setiap
harinya. Sebagaimana yang telah disebutkan, target operasi moneter telah mempertimbangkan faktor-
faktor autonomus yang berubah-ubah setiap harinya.
Proyeksi Likuiditas
Efektivitas operasi moneter berbasis suku bunga tidak terlepas dari adanya informasi yang handal dan
sama kepada seluruh pelaku pasar, sehingga tercipta persepsi yang sama untuk mencapai tujuannya,
yaitu terbentuknya suku bunga yang wajar. Oleh karena itu, sejak Oktober 2008 Bank Indonesia mulai
mengumumkan kondisi likuiditas perbankan kepada pelaku pasar dan masyarakat sebanyak dua kali
setiap harinya melalui website Bank Indonesia, BI-SSSS dan sarana lainnya. Dengan adanya informasi
mengenai kondisi likuiditas, diharapkan dapat membantu treasury bank dalam mengelola kebutuhan
likuiditasnya dan meningkatkan efektifitas pelaksanaan Operasi Moneter.
Pengumuman proyeksi likuiditas meliputi 2 (dua) materi utama yaitu:
Proyeksi Total Likuiditas Tersedia
Proyeksi Total Likuiditas adalah perkiraan ketersediaan likuiditas rupiah di pasar dan merupakan hasil
proyeksi dari net perubahan faktor otonomus yang berperan dalam menambah/mengurangi ketersediaan
likuiditas rupiah. Ketersediaan likuiditas rupiah antara lain dipengaruhi oleh net aliran masuk/keluar
uang kartal dari/ke sistem perbankan dan mutasi rekening pemerintah di Bank Indonesia), net instrumen
Operasi Moneter jatuh waktu, dan net perubahan saldo giro perbankan di Bank Indonesia.
Proyeksi Excess Reserve
Proyeksi Excess Reserve adalah selisih antara perkiraan saldo giro perbankan di Bank Indonesia dengan
kewajiban pemeliharaan Giro Wajib Minimum (GWM). Proyeksi excess reserve tersebut mencerminkan
besarnya likuiditas rupiah yang berada di sistem perbankan setelah dilakukan Operasi Moneter.
Judul
Laporan Kebijakan Moneter Triwulan III 2010
Sumber Data Direktorat Kebijakan Moneter (DKM)Tangga
l5-10-2010
Hit
s2782
Contact ext. 2310108 ext. 8163
Lampiran LKM Q3 2010 (5939 Kbytes)
TINJAUAN UMUM
Akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berlanjut dan stabilitas makro tetap terjaga.
Akselerasi pertumbuhan ekonomi tersebut didorong oleh peningkatan konsumsi dan ekspor serta
investasi. Konsumsi meningkat dipicu oleh optimisme keyakinan konsumen, tersedianya sumber
pembiayaan konsumsi dan rendahnya harga impor. Sementara itu, kegiatan ekspor yang membaik
terutama didorong masih kuatnya permintaan dari China dan India. Peningkatan permintaan domestik
dan internasional ini berdampak pada meningkatnya pertumbuhan investasi. Perekonomian Indonesia di
tahun 2010 diperkirakan tumbuh 6,0%-6,3% dan pada tahun 2011 mencapai kisaran 6,0%-6,5%. Dari
sisi harga, inflasi masih mencatat peningkatan yang cukup tinggi pada triwulan III-2010. Peningkatan
harga yang terjadi terutama masih bersumber dari kelompok volatile food, yaitu aneka bumbu dan
sayuran. Sementara itu, tekanan inflasi kelompok inti dan administered prices masih pada tingkat yang
rendah. Bank Indonesia terus mencermati potensi tekanan inflasi tersebut dan meningkatkan koordinasi
kebijakan bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, serta akan melakukan respon
dengan bauran kebijakan yang diperlukan agar inflasi tetap berada pada sasaran yang ditetapkan, yaitu
5%±1% pada tahun 2010
Perekonomian global masih terus menunjukkan pertumbuhan meskipun tidak merata. Perekonomian
negara-negara besar seperti AS, Jepang dan China mengalami perlambatan. Melambatnya pertumbuhan
ekonomi AS terutama disebabkan konsumsi yang masih tertekan akibat tingginya pengangguran dan
credit crunch, sementara perlambatan ekonomi Jepang disebabkan penguatan yen yang berdampak pada
daya saing ekspor. China yang sebelumnya tumbuh cepat kini harus mengerem pertumbuhan
ekonominya untuk menghindari overheating. Di sisi lain, negara-negara Eropa khususnya Jerman dan
Perancis tumbuh lebih baik dari perkiraan. Peningkatan tersebut antara lain didorong oleh ekspor yang
meningkat serta hasil stress test perbankan Eropa yang lebih baik dari perkiraan sehingga memicu
optimisme pelaku ekonomi. Selain itu, perekonomian negara-negara emerging market juga tetap tumbuh
dengan solid. Industri global yang terus berekspansi dan volume perdagangan dunia yang terus
meningkat membuat perekonomian dunia pada triwulan III-2010 tetap tumbuh meski lebih moderat
dibandingkan dari triwulan II 2010.
Pertumbuhan ekonomi domestik pada triwulan III 2010 diperkirakan lebih baik dari triwulan
sebelumnya. Pada triwulan III 2010, ekonomi domestik diperkirakan tumbuh 6,3%(yoy). Pertumbuhan
tersebut didorong oleh konsumsi rumah tangga yang diperkirakan tetap tumbuh di atas 5%(yoy).
Pertumbuhan konsumsi ini dipacu oleh optimisme konsumen dan meningkatnya pendapatan yang antara
lain berasal dari hasil ekspor. Pertumbuhan ekspor pada triwulan III 2010 diperkirakan mencapai
11,4%. Pertumbuhan ekspor ini dipicu oleh pertumbuhan ekonomi global yang terus membaik terutama
China dan India seiring dengan semakin tersebarnya negara tujuan ekspor. Investasi diperkirakan
tumbuh sebesar 9,9% (yoy) pada triwulan III 2010 sebagai respons atas meningkatnya permintaan serta
membaiknya iklim investasi. Kondisi ini berimplikasi pada impor yang juga meningkat. Secara sektoral,
sektor nontradable tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan sektor tradable.
Perkembangan ekonomi yang membaik tersebut juga tercermin pada perkembangan ekonomi di daerah
yang terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi daerah terutama didorong oleh kinerja ekonomi di wilayah
Sumatera dan Indonesia bagian Timur (Sulawesi, Maluku, Papua – Sulampua) pada subsektor
perkebunan dan sektor pertambangan. Selain itu, kinerja industri pengolahan dan sektor bangunan di
wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara (Jabalnustra), dan Kalimantan memberikan kontribusi yang cukup
signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Di sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi daerah ditopang oleh
konsumsi dan investasi sejalan dengan masih tingginya optimisme konsumen, peningkatan kredit
konsumsi, serta stabilnya nilai tukar petani. Dari sisi investasi, peningkatan terjadi pada investasi
bangunan maupun nonbangunan. Kegiatan investasi bangunan yang tumbuh cukup tinggi terjadi di
Jakarta dan Jabalnustra. Kegiatan investasi bangunan di Jakarta terutama pada sektor properti untuk
retail dan perkantoran. Dari sisi ekspor, peningkatan ekspor komoditas manufaktur terutama berasal
dari Jabalnustra dan DKI Jakarta. Sementara peningkatan ekspor komoditas sumber daya alam (SDA)
berasal dari wilayah Kalimantan, Sulampua dan Sumatra, meskipun terdapat gangguan produksi yang
disebabkan anomali cuaca.
Dari sisi harga, inflasi sepanjang triwulan III 2010 menunjukkan peningkatan yang terutama bersumber
dari kelompok volatile foods. Masih tingginya tekanan inflasi dari kelompok bahan makanan (volatile
food) akibat gangguan distribusi dan produksi yang disebabkan anomali cuaca serta kenaikan tarif dasar
listrik untuk rumah tangga. Sementara itu, tekanan inflasi juga bersumber dari penyesuaian biaya
pendidikan sehubungan dengan datangnya tahun ajaran baru dan adanya peningkatan permintaan terkait
hari raya keagamaan. Namun demikian, tekanan inflasi pada bulan September 2010 mengalami
penurunan yaitu tercatat sebesar 0,44% (mtm), lebih rendah dari bulan sebelumnya yaitu 0,76% (mtm).
Dengan perkembangan tersebut, selama triwulan III 2010 inflasi IHK tercatat sebesar 2,79 (qtq) atau
mencapai 5,80% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 1,41%
(qtq) atau 5,05% (yoy). Sementara itu, dampak kelompok administered prices terhadap inflasi IHK
masih relatif kecil karena tidak adanya kebijakan strategis pemerintah di bidang harga pada September
2010.
Neraca pembayaran Indonesia (NPI) triwulan III 2010 diperkirakan akan mencatat surplus yang lebih
tinggi dari yang diperkirakan semula. Hal itu disebabkan oleh surplus neraca transaksi modal dan
finansial (TMF) yang mengalami perbaikan cukup signifikan. Peningkatan surplus TMF yang cukup
signifikan didorong oleh membaiknya persepsi internasional terhadap perekonomian Indonesia, yaitu
perbaikan outlook credit rating Indonesia, imbal hasil investasi rupiah yang cenderung meningkat, serta
kondisi ekses likuiditas global. Di sisi lain, surplus neraca transaksi berjalan (current account/CA)
diperkirakan akan menurun akibat petumbuhan impor yang tinggi, seiring dengan kegiatan ekonomi
domestik yang terakselerasi. Namun demikian, impor yang terakselerasi tersebut masih mendukung
kegiatan ekonomi domestik, tercermin dari dominannya impor bahan baku dan barang modal. Dengan
perkembangan tersebut cadangan devisa pada akhir September 2010 mencapai 86,55 miliar dolar AS,
atau setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Nilai tukar rupiah terus menguat seiring dengan kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus
cukup besar dan derasnya arus modal asing yang masuk serta faktor risiko yang masih terjaga.
Penguatan rupiah ini didukung oleh sentimen global yang positif serta faktor fundamental domestik
yang semakin kokoh. Jika dibandingkan dengan triwulan II 2010, secara rata-rata rupiah menguat
sebesar 1,2% (qtq), mencapai Rp9.001 per dolar AS. Penguatan rupiah pada triwulan III tersebut diikuti
oleh volatilitas yang turun dari 0,5% pada triwulan II 2010 menjadi 0,2% pada triwulan III 2010. Pada
akhir triwulan III 2010 rupiah ditutup pada level Rp8.924 per dolar AS, atau menguat 1,2% (ptp)
dibandingkan dengan triwulan II 2010. Nilai tukar rupiah yang cenderung stabil dapat mendukung
kebutuhan impor bahan baku yang diperlukan untuk kegiatan produksi domestik, dan di sisi lain
penguatan rupiah belum memberikan tekanan yang signifikan bagi eksportir karena masih kuatnya
permintaan internasional.
Pasar keuangan secara keseluruhan pada triwulan III 2010 berada dalam kondisi yang semakin stabil.
Kondisi pasar SUN dan pasar modal terus membaik sebagaimana tercermin dari IHSG yang meningkat
dan yield SUN yang menurun. Membaiknya pasar modal dan SUN pada triwulan III 2010 ini ditopang
oleh prospek perekonomian yang terus membaik. Di pasar uang antarbank, kondisi likuiditas selama
triwulan III 2010 cenderung meningkat. Transmisi kebijakan moneter sepanjang triwulan III-2010 juga
berlangsung dengan baik sebagaimana tercermin dari suku bunga PUAB O/N yang bergerak di sekitar
BI Rate, pertumbuhan kredit yang meningkat terutama untuk jenis kredit modal kerja dan IHSG yang
mencapai level tertinggi sepanjang sejarah.
Di sisi mikro perbankan, kondisi perbankan nasional semakin kuat. Hal itu tercermin dari masih
tingginya rasio kecukupan modal (CAR) dan terjaganya rasio gross non-performing loan (NPL) dibawah
5% Selain itu likuiditas perbankan, termasuk likuiditas di pasar uang antar bank kian membaik dan dana
pihak ketiga (DPK) yang terus meningkat. Intermediasi perbankan juga semakin baik tercermin dari
pertumbuhan kredit yang hingga akhir September 2010 mencapai 21,2% (yoy). Pertumbuhan modal
kerja selama tahun 2010 telah tumbuh melampaui jenis kredit konsumsi dan ke depan pertumbuhan
kredit tetap diarahkan ke sektor yang produktif. Dengan perkembangan tersebut dan sesuai dengan
rencana bisnis bank, untuk keseluruhan tahun 2010 pertumbuhan kredit diperkirakan mencapai 22%-
24%. Peningkatan kredit terutama didorong oleh membaiknya keyakinan pelaku ekonomi terhadap
prospek perekonomian.
Berdasarkan asesmen dan prospek ekonomi tersebut, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 5
Oktober 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dengan koridor suku bunga
sebesar ±100 bps. Keputusan tersebut juga mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih
konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi jangka menengah dan dipandang masih kondusif untuk
menjaga stabilitas keuangan dan mendorong intermediasi perbankan, sehingga sisi supply dapat
merespon akselerasi sisi permintaan secara memadai.
Judul Tinjauan Kebijakan Moneter - November 2010
Sumber Data Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan MoneterTangga
l4-11-2010
Hit
s1597
Contact DKM, Telp : (6221) 3818202, Fax : (6221) 3800394
Lampiran TKM Nov 2010r.zip (1157 Kbytes)
I. STATEMENT KEBIJAKAN MONETER
Pemulihan ekonomi global masih berlangsung meskipun diliputi ketidakpastian. Pemulihan ekonomi
global berlangsung tidak seimbang dengan negara-negara maju mengalami pertumbuhan yang
melambat, sementara negara-negara emerging markets mengalami pertumbuhan moderat. Perlambatan
di negara maju juga diliputi oleh ketidakpastian yang cukup tinggi seiring dengan melemahnya kinerja
sektor industri dan rendahnya konsumsi yang masih terbebani tingginya angka pengangguran. Selain itu,
penguatan Yen dan Euro terhadap dolar AS juga berdampak pada kinerja ekspor Jepang dan Eropa.
Melambatnya pertumbuhan di negara maju ini berimbas kepada pertumbuhan ekonomi negara
berkembang khususnya export dependent countries. Untuk mengatasi hal tersebut, kebijakan moneter di
negara maju masih cenderung mempertahankan kebijakan akomodatif, sementara emerging markets
melanjutkan normalisasi kebijakan. Di pasar keuangan global, ditandai kenaikan indeks di pasar saham
yang antara lain didorong oleh sinyal stimulus moneter tahap kedua dari negara-negara maju. Kondisi
ini menjadi salah satu faktor yang mendorong (push factors) masih derasnya aliran masuk modal asing
ke emerging economies, termasuk Indonesia. Selain itu, faktor kuatnya fundamental ekonomi dan
tingginya imbal hasil serta membaiknya persepsi risiko di emerging economies juga menjadi daya tarik
(pull factors).
Kinerja ekonomi domestik menunjukkan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang masih terus berlanjut
didorong oleh konsumsi dan perbaikan investasi. Evaluasi terhadap kinerja dan prospek perekonomian
secara umum menunjukkan perbaikan. Kuatnya konsumsi dalam negeri didukung oleh berbagai faktor
antara lain daya beli yang membaik, dukungan pembiayaan yang meningkat, serta kepercayaan
konsumen dan dunia usaha yang membaik. Sementara itu, perbaikan investasi terus berlanjut sejalan
dengan implementasi berbagai kebijakan yang mendukung kegiatan investasi, perbaikan persepsi pasar
terhadap perekonomian, dan peningkatan pembiayaan serta penurunan harga impor barang modal.
Sementara itu, ekspor tetap tumbuh tinggi meskipun sedikit melambat dibandingkan periode sebelumnya
didukung oleh masih kuatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang menjadi mitra dagang dan
besarnya kontribusi komoditas sumber daya alam. Selain itu, harga komoditas yang cenderung
meningkat juga turut mendukung peningkatan ekspor.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diperkirakan masih mencatat surplus. Hal itu terutama didukung
oleh kinerja transaksi modal dan finansial (TMF) terkait dengan masih derasnya aliran modal masuk
berbagai instrumen keuangan seperti SUN dan SBI. Sementara dari sisi transaksi berjalan, ekspor masih
tetap tinggi meskipun lebih rendah dari bulan sebelumnya dan diikuti impor yang menunjukkan
pertumbuhan yang relatif tinggi. Peningkatan impor tersebut merupakan respons dari meningkatnya
kegiatan ekonomi domestik dan masih tingginya ekspor. Dengan berbagai perkembangan tersebut,
cadangan devisa pada akhir Oktober 2010 mencapai 91,8 miliar dolar AS atau setara dengan 6,9 bulan
impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Selama Oktober 2010, nilai tukar rupiah bergerak dengan kecenderungan menguat ditopang sentimen
positif global terhadap perekonomian Indonesia dan fundamental domestik yang terjaga. Pada periode
laporan, rata-rata nilai tukar rupiah tercatat sebesar Rp8.929 per dolar AS, atau menguat 0,6% (mtm).
Pada akhir Oktober 2010, rupiah ditutup pada level Rp8.938 per dolar AS atau melemah 0,15% (point to
point) dibandingkan dengan akhir September 2010. Penguatan nilai tukar rupiah tersebut dibarengi
volatilitas yang menurun. Selama Oktober 2010 volatilitas pergerakan rupiah rata-rata mencapai 0,1%,
lebih rendah dari bulan sebelumnya yang sebesar 0,2%.
Perkembangan inflasi IHK pada Oktober 2010 diwarnai oleh melemahnya tekanan dari sisi volatile food
dan administered prices, sementara tekanan dari kelompok inti mengalami peningkatan. Volatile food
mengalami deflasi pada Oktober 2010 antara lain disebabkan terkoreksinya harga komoditas bahan
pangan dan berbagai tarif angkutan pasca Hari Raya Idul Fitri. Kelompok administered prices
memberikan sumbangan inflasi yang minimal sejalan dengan minimnya penyesuaian harga yang
dilakukan oleh pemerintah. Sementara itu, tekanan inflasi dari kelompok inti terutama berasal dari
peningkatan harga komoditas internasional, khususnya harga emas dan gula. Dengan berbagai
perkembangan tersebut, inflasi IHK pada Oktober 2010 tercatat sebesar 0,06% (mtm) atau 5,67% (yoy).
Bank Indonesia memandang masih terdapat potensi risiko peningkatan tekanan inflasi ke depan yang
antara lain bersumber dari kecenderungan berlanjutnya peningkatan harga komoditas di pasar
internasional, berlanjutnya anomali cuaca yang berpotensi mengganggu produksi dan distribusi
komoditas pokok, serta peningkatan permintaan di akhir tahun.
Kinerja pasar keuangan domestik terus membaik, tercermin dari peningkatan IHSG yang mencapai level
tertinggi sepanjang sejarah dan yield SUN yang menurun untuk semua tenor. Kinerja pasar keuangan
yang membaik terutama dipengaruhi oleh besarnya arus masuk modal asing. Dari sisi transmisi
kebijakan moneter, suku bunga perbankan masih terus mengalami penurunan. Suku bunga perbankan,
baik simpanan maupun kredit masih terus turun, meski melambat dan dengan spread yang semakin
kecil. Dari jalur kredit, pertumbuhan kredit menunjukkan tren yang meningkat, terutama didorong oleh
kredit konsumsi meskipun kontribusi kredit investasi dan KMK juga menunjukkan peningkatan. Dari
sisi likuiditas, kondisi likuiditas perekonomian cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya
aktivitas perekonomian. Likuiditas perbankan masih cukup tinggi sehingga tidak ada kendala dalam
pemenuhan GWM 8%.
Stabilitas sistem keuangan masih terjaga dan didukung oleh kondisi sektor perbankan yang tetap kuat
dalam menghadapi berbagai risiko, serta membaiknya fungsi intermediasi perbankan. Hal itu antara lain
ditunjukkan oleh tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) perbankan yang saat
ini mencapai 16,4% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah
5,0%. Peningkatan fungsi intermediasi perbankan tercermin pada angka pertumbuhan kredit yang
meningkat mencapai 21,9% (yoy) pada akhir Oktober 2010. Perkembangan pertumbuhan kredit
perbankan tersebut masih sesuai dengan Rencana Bisnis Bank (RBB) dimana pertumbuhan kredit
diperkirakan dapat mencapai kisaran 22%-24%. Sementara itu pertumbuhan kredit (ytd) untuk seluruh
sektor sudah positif.
Bank Indonesia meyakini prospek perekonomian ke depan semakin membaik yang ditandai oleh laju
pertumbuhan PDB yang meningkat, prospek inflasi yang terjaga pada kisaran sasaran yang ditetapkan,
dan stabilitas sistem keuangan yang tetap terkendali.
Berdasarkan evaluasi terhadap kinerja dan prospek perekonomian yang secara umum menunjukkan
perbaikan tersebut, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 4 November 2010 memutuskan
untuk mempertahankan BI Rate pada tingkat 6,50%. Namun demikian, Bank Indonesia tetap
mencermati potensi meningkatnya tekanan inflasi ke depan. Dewan Gubernur memandang level BI Rate
saat ini masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi dan tetap kondusif untuk menjaga stabilitas
keuangan serta mendorong intermediasi perbankan yang diperlukan bagi sisi suplai untuk dapat
merespons akselerasi di sisi permintaan secara memadai. Di tengah masih derasnya arus modal asing
yang masuk dan kondisi ekses likuiditas yang masih cukup besar. Dewan Gubernur menegaskan bahwa
pengelolaan likuiditas perekonomian merupakan hal yang lebih penting. Implementasi kebijakan
menaikkan rasio giro wajib minimum (GWM) Primer per 1 November 2010 telah berjalan dengan baik
tanpa menimbulkan gejolak pada likuiditas perbankan. Ke depan, Bank Indonesia akan memperkuat
manajemen likuiditas dan efektifitas kebijakan moneter melalui penerapan bauran kebijakan moneter
dan makroprudensial dalam ranga pengelolaan aliran masuk modal asing, stabiliasi nilai tukar Rupiah,
dan memastikan pengendalian inflasi sesuai sasaran yang ditetapkan yaitu 5% ± 1% pada tahun 2010
dan 2011 serta 4,5% +1% di 2012.