Kebijakan moneter2

22

Click here to load reader

Transcript of Kebijakan moneter2

Page 1: Kebijakan moneter2

Kebijakan moneter

adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan

inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset

standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai

peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai

keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan)

dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi

makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga

serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian

terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh

kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada

sektor riil. [1]

Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara

berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank

Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan

persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam

pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak

terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta

asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan

likuiditas.

Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi

jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : [2]

1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka

menambah jumlah uang yang edar

2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka

mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)

Page 2: Kebijakan moneter2

Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara

lain : [3]

1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan

uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities).

Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah.

Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga

pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau

singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.

2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar

dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang

mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang

bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat

bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah

uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada

pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk

menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.

4. Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur

jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti

menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi

jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk

memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini

sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. [4]

Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga

barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank

Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan

moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free

Page 3: Kebijakan moneter2

floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem

keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi

volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter

melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama

menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-

sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar

uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum,

dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian

moneter berdasarkan Prinsip Syariah.

Kebijakan Moneter

Kondisi ekonomi negara Indonesia pada masa orde baru sudah pernah memanas. Pada saat itu

pemerintah melakukan kebijakan moneter berupa contractionary monetary policy dan vice versa.

Kebijakan tersebut cukup efektif dalam menjaga stabilisasi ekonomi dan ongkos yang harus dibayar

relatif murah. Kebijakan moneter yang ditempuh saat ini berupa open market operation memerlukan

ongkos yang mahal. Kondisi ini diperparah dengan adanya kendala yang lebih besar, yaitu pengaruh

pasar keuangan internasional.

Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia

Dalam  melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang

dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli

2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money)

sebagai sasaran kebijakan moneter.  Dengan telah dilepaskannya sistem nilai tukar dengan band

intervensi nilai tukar (crawling band) di tahun 1997, Bank Indonesia memerlukan jangkar nominal

(nominal anchor)  baru dalam rangka menjalankan kebijakan moneter.  Jangkar nominal adalah variabel

nominal (seperti indeks harga, nilai tukar, atau uang beredar) yang ditargetkan secara eksplisit oleh bank

sentral sebagai dasar/patokan bagi pembentukan harga lainnya.  Misalnya kalau nilai tukar dijadikan

target, maka inflasi luar negeri akan menjadi inflasi domestik.

Page 4: Kebijakan moneter2

Mengapa kebijakan moneter memerlukan jangkar nominal? Karena tanpa adanya jangkar nominal, tidak

ada kejelasan kemana kebijakan moneter akan diarahkan sehingga masyarakat tidak memiliki pedoman

dalam membuat ekspektasi inflasi.  Ibarat kapal yang mengapung di lautan tanpa kejelasan kearah mana

kapal dilabuhkan.  Sebaliknya, dengan adanya jangkar nominal masyarakat akan membuat ekspektasi

inflasi yang diperlukan dalam kalkulasi usahanya sesuai dengan jangkar nominal tersebut.  Dengan

mengumumkan sasaran inflasi dan Bank Indonesia secara konsisten dapat mencapainya akan

meningkatkan kredibilitas kebijaan moneter yang pada gilirannya ekspektasi inflasi masyarakat sesuai

dengan sasaran yang ditetapkan BI. 

Ada sejumlah alasan mengapa menggunakan jangkar nominal dengan ITF.

ITF lebih mudah dipahami oleh masyarakat.  Dengan sasaran inflasi secara eksplisit masyarakat akan

memahami arah inflasi.  Sebaliknya dengan sasaran base money, apalagi jika hubungannya dengan

inflasi tidak jelas, masyarakat lebih sulit mengetahui arah inflasi kedepan.

ITF yang memfokuskan pada inflasi sebagai prioritas kebijakan moneter sesuai dengan mandat yang

diberikan kepada Bank Indonesia.

ITF bersifat forward looking sesuai dengan dampak kebijakan pada inflasi yang memerlukan time lag.

ITF meningkatkan trasparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter mendorong kredibilitas kebijakan

moneter.  Aspek transparansi dan akuntabilitas serta kejelasan akan tujuan ini merupakan aspek-aspek

good governance dari sebuah bank yang telah diberikan independensi.

ITF tidak memerlukan asumsi kestabilan hubungan antara uang beredar, output dan inflasi.  Sebaliknya,

ITF merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan sejumlah variabel

informasi tentang kondisi perekonomian.

Dalam kerangka ITF, Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. 

Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan

sasaran yang ditetapkan.  Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan sejumlah informasi yang

dapat menggambarkan kondisi inflasi ke depan.  Jika proyeksi inflasi sudah tidak kompatibel dengan

sasaran, Bank Indonesia melakukan respon dengan menggunakan instrumen yang dimiliki.  Misalnya

jika proyeksi inflasi telah melampaui sasaran, maka Bank Indonesia akan cenderung melakukan

pengetatan moneter.

Page 5: Kebijakan moneter2

Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi inflasi

dan outlook ke depan serta keputusan yang diambil. Jika sasaran inflasi tidak tercapai maka diperlukan

penjelasan kepada publik dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengembalikan inflasi sesuai

dengan sasarannya.

Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini

sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004  pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang

dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan

jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia

menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter

(Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating).

Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh

karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai

tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter

melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama

menjaga sasaran laju inflasi yang  ditetapkan oleh Pemerintah.  Secara operasional, pengendalian 

sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka

di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib

minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.  Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara

pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.

Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia menerapkan kerangka

kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga). Suku bunga kebijakan, yang

dikenal dengan istilah BI Rate, ditetapkan melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia.

Dalam tataran operasional, BI Rate tercermin dari pergerakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank

(PUAB) overnight (O/N).

PUAB atau Pasar Uang Antar Bank adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu Bank dengan

Bank Lainnya. Suku bunga PUAB merupakan harga yang terbentuk dari kesepakatan pihak yang

meminjam dan meminjamkan dana. Kegiatan di PUAB dilakukan melalui mekanisme over the counter

Page 6: Kebijakan moneter2

(OTC) yaitu terciptanya kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana yang dilakukan tidak melalui

lantai bursa. Transaksi  PUAB dapat berjangka waktu dari satu hari kerja (overnight) sampai dengan

satu tahun, namun pada praktiknya mayoritas transaksi PUAB berjangka waktu kurang dari 3 bulan.

Agar pergerakan suku bunga PUAB O/N tidak terlalu melebar dari anchor-nya (BI Rate), Bank

Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara

seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil. Kebutuhan likuiditas perbankan

diestimasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor autonomous seperti operasi pemerintah, jatuh waktu

instrument OPT dan Standing Facilities serta mutasi dari uang kartal. Faktor-faktor tersebut dapat

berdampak injeksi (penambahan) likuiditas  maupun absorpsi (pengurangan) likuiditas di pasar uang.

Operasi Moneter merupakan implementasi dari kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka

pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities. Operasi Pasar Terbuka

yang selanjutnya disebut OPT merupakan kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan atas inisiatif

Bank Indonesia dalam rangka mengurangi (smoothing) volatilitas suku bunga PUAB o/n.  Sementara

instrumen Standing Facilities merupakan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia

kepada Bank dan penempatan dana rupiah  (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka

membentuk koridor suku bunga di PUAB o/n.

Guna menentukan berapa jumlah likuiditas yang harus diserap maupun disediakan untuk menjaga

keseimbangan supply dan demand, Bank Indonesia perlu menetapkan target operasi moneter setiap

harinya. Sebagaimana yang telah disebutkan, target operasi moneter telah mempertimbangkan faktor-

faktor autonomus yang berubah-ubah setiap harinya.

Proyeksi Likuiditas

Efektivitas operasi moneter berbasis suku bunga tidak terlepas dari adanya informasi yang handal dan

sama kepada seluruh pelaku pasar, sehingga tercipta persepsi yang sama untuk mencapai tujuannya,

yaitu terbentuknya suku bunga yang wajar. Oleh karena itu, sejak Oktober 2008 Bank Indonesia mulai

mengumumkan kondisi likuiditas perbankan kepada pelaku pasar dan masyarakat sebanyak dua kali

setiap harinya melalui website Bank Indonesia, BI-SSSS dan sarana lainnya. Dengan adanya informasi

mengenai kondisi likuiditas, diharapkan dapat membantu treasury bank dalam mengelola kebutuhan

likuiditasnya dan meningkatkan efektifitas pelaksanaan Operasi Moneter.

Pengumuman proyeksi likuiditas meliputi 2 (dua) materi utama yaitu:

Proyeksi Total Likuiditas Tersedia

Page 7: Kebijakan moneter2

Proyeksi Total Likuiditas adalah perkiraan ketersediaan likuiditas rupiah di pasar dan merupakan hasil

proyeksi dari net perubahan faktor otonomus yang berperan dalam menambah/mengurangi ketersediaan

likuiditas rupiah. Ketersediaan likuiditas rupiah antara lain dipengaruhi oleh net aliran masuk/keluar

uang kartal dari/ke sistem perbankan dan mutasi rekening pemerintah di Bank Indonesia), net instrumen

Operasi Moneter jatuh waktu, dan net perubahan saldo giro perbankan di Bank Indonesia.

Proyeksi Excess Reserve

Proyeksi Excess Reserve adalah selisih antara perkiraan saldo giro perbankan di Bank Indonesia dengan

kewajiban pemeliharaan Giro Wajib Minimum (GWM). Proyeksi excess reserve tersebut mencerminkan

besarnya likuiditas rupiah yang berada di sistem perbankan setelah dilakukan Operasi Moneter.

Judul

Laporan Kebijakan Moneter Triwulan III 2010

Sumber Data Direktorat Kebijakan Moneter (DKM)Tangga

l5-10-2010

Hit

s2782

Contact ext. 2310108 ext. 8163

Lampiran LKM Q3 2010 (5939 Kbytes)

TINJAUAN UMUM

Page 8: Kebijakan moneter2

Akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berlanjut dan stabilitas makro tetap terjaga. 

Akselerasi pertumbuhan ekonomi tersebut didorong  oleh peningkatan konsumsi dan ekspor serta

investasi.  Konsumsi meningkat dipicu oleh optimisme keyakinan konsumen, tersedianya sumber

pembiayaan konsumsi dan rendahnya harga impor. Sementara itu, kegiatan ekspor yang membaik

terutama  didorong masih kuatnya permintaan dari China dan India. Peningkatan permintaan domestik

dan internasional ini berdampak pada meningkatnya pertumbuhan investasi. Perekonomian Indonesia di

tahun 2010 diperkirakan tumbuh 6,0%-6,3% dan pada tahun 2011 mencapai kisaran 6,0%-6,5%. Dari

sisi harga, inflasi masih mencatat peningkatan yang cukup tinggi pada triwulan III-2010. Peningkatan

harga yang terjadi terutama masih bersumber dari kelompok volatile food, yaitu  aneka bumbu dan

sayuran. Sementara itu, tekanan inflasi kelompok inti dan administered prices masih pada tingkat yang

rendah. Bank Indonesia terus mencermati potensi tekanan inflasi tersebut dan meningkatkan koordinasi

kebijakan bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, serta akan melakukan respon

dengan bauran kebijakan yang diperlukan agar inflasi tetap berada pada sasaran yang ditetapkan, yaitu

5%±1% pada tahun 2010

Perekonomian global masih terus menunjukkan pertumbuhan meskipun tidak merata. Perekonomian

negara-negara besar seperti AS, Jepang dan China mengalami perlambatan. Melambatnya pertumbuhan

ekonomi AS terutama disebabkan konsumsi yang masih tertekan akibat tingginya pengangguran dan

credit crunch, sementara perlambatan ekonomi Jepang disebabkan penguatan yen yang berdampak pada

daya saing ekspor. China yang sebelumnya tumbuh cepat kini harus mengerem pertumbuhan

ekonominya untuk menghindari overheating.  Di sisi lain, negara-negara Eropa khususnya Jerman dan

Perancis tumbuh lebih baik dari perkiraan. Peningkatan tersebut antara lain didorong oleh ekspor yang

meningkat serta hasil stress test perbankan Eropa yang lebih baik dari perkiraan sehingga memicu

optimisme pelaku ekonomi. Selain itu, perekonomian negara-negara emerging market juga tetap tumbuh

dengan solid. Industri global yang terus berekspansi dan volume perdagangan dunia yang terus

meningkat membuat perekonomian dunia pada triwulan III-2010 tetap tumbuh meski lebih moderat

dibandingkan dari triwulan II 2010. 

Pertumbuhan ekonomi domestik pada triwulan III 2010 diperkirakan lebih baik dari triwulan

sebelumnya. Pada triwulan III 2010, ekonomi domestik diperkirakan tumbuh 6,3%(yoy). Pertumbuhan

tersebut didorong oleh konsumsi rumah tangga yang diperkirakan tetap tumbuh di atas 5%(yoy).

Pertumbuhan konsumsi ini dipacu oleh optimisme konsumen dan meningkatnya pendapatan yang antara

lain berasal dari hasil ekspor.  Pertumbuhan ekspor pada triwulan III 2010 diperkirakan mencapai

11,4%. Pertumbuhan ekspor ini dipicu oleh pertumbuhan ekonomi global yang terus membaik terutama

Page 9: Kebijakan moneter2

China dan India seiring dengan semakin tersebarnya negara tujuan ekspor. Investasi diperkirakan

tumbuh sebesar 9,9% (yoy) pada triwulan III 2010 sebagai respons atas meningkatnya permintaan serta

membaiknya iklim investasi.  Kondisi ini berimplikasi pada impor yang juga meningkat. Secara sektoral,

sektor nontradable tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan sektor tradable.

Perkembangan ekonomi yang membaik tersebut juga tercermin pada perkembangan ekonomi di daerah

yang terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi daerah terutama didorong oleh kinerja ekonomi di wilayah

Sumatera dan Indonesia bagian Timur (Sulawesi, Maluku, Papua – Sulampua) pada subsektor

perkebunan dan sektor pertambangan.  Selain itu, kinerja industri pengolahan dan sektor bangunan di

wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara (Jabalnustra), dan Kalimantan  memberikan kontribusi yang cukup

signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Di sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi daerah ditopang oleh

konsumsi dan investasi sejalan dengan masih tingginya optimisme konsumen, peningkatan kredit

konsumsi, serta stabilnya nilai tukar petani. Dari sisi investasi, peningkatan terjadi pada investasi

bangunan maupun nonbangunan. Kegiatan investasi bangunan yang tumbuh cukup tinggi terjadi di

Jakarta dan Jabalnustra.  Kegiatan investasi bangunan di Jakarta terutama pada sektor properti untuk

retail dan perkantoran. Dari sisi ekspor, peningkatan ekspor komoditas manufaktur terutama berasal

dari  Jabalnustra dan DKI Jakarta. Sementara peningkatan ekspor komoditas sumber daya alam (SDA)

berasal dari wilayah Kalimantan, Sulampua dan Sumatra, meskipun terdapat gangguan produksi yang

disebabkan anomali cuaca.

Dari sisi harga, inflasi sepanjang triwulan III 2010 menunjukkan peningkatan yang terutama bersumber

dari kelompok volatile foods. Masih tingginya tekanan inflasi dari kelompok bahan makanan (volatile

food) akibat gangguan distribusi dan produksi yang disebabkan anomali cuaca serta kenaikan tarif dasar

listrik untuk rumah tangga. Sementara itu, tekanan inflasi juga bersumber dari penyesuaian biaya

pendidikan sehubungan dengan datangnya tahun ajaran baru dan adanya peningkatan permintaan terkait

hari raya keagamaan. Namun demikian, tekanan inflasi pada bulan September 2010 mengalami

penurunan yaitu tercatat sebesar 0,44% (mtm), lebih rendah  dari bulan sebelumnya yaitu 0,76% (mtm).

Dengan perkembangan tersebut, selama triwulan III 2010 inflasi IHK tercatat sebesar 2,79 (qtq) atau

mencapai 5,80% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 1,41%

(qtq) atau 5,05% (yoy). Sementara itu, dampak kelompok administered prices terhadap inflasi IHK

masih relatif kecil karena tidak adanya kebijakan strategis pemerintah di bidang harga pada September

2010.

Page 10: Kebijakan moneter2

Neraca pembayaran Indonesia (NPI) triwulan III 2010 diperkirakan akan mencatat surplus yang lebih

tinggi dari yang diperkirakan semula. Hal itu disebabkan oleh surplus neraca transaksi modal dan

finansial (TMF) yang mengalami perbaikan cukup signifikan. Peningkatan surplus TMF yang cukup

signifikan didorong oleh membaiknya persepsi internasional terhadap perekonomian Indonesia, yaitu

perbaikan outlook credit rating Indonesia, imbal hasil investasi rupiah yang cenderung meningkat, serta

kondisi ekses likuiditas global. Di sisi lain, surplus neraca transaksi berjalan (current account/CA)

diperkirakan akan menurun akibat petumbuhan impor yang tinggi, seiring dengan kegiatan ekonomi

domestik yang terakselerasi. Namun demikian, impor yang terakselerasi tersebut masih mendukung

kegiatan ekonomi domestik, tercermin dari dominannya impor bahan baku dan barang modal. Dengan

perkembangan tersebut cadangan devisa pada akhir September 2010 mencapai 86,55 miliar dolar AS,

atau setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.

Nilai tukar rupiah terus menguat seiring dengan kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus

cukup besar dan derasnya arus modal asing yang masuk serta faktor risiko yang masih terjaga. 

Penguatan rupiah ini didukung oleh sentimen global yang positif serta faktor fundamental domestik

yang semakin kokoh.  Jika dibandingkan dengan triwulan II 2010, secara rata-rata rupiah menguat

sebesar 1,2% (qtq), mencapai Rp9.001 per dolar AS. Penguatan rupiah pada triwulan III tersebut diikuti

oleh volatilitas yang turun dari 0,5% pada triwulan II 2010 menjadi 0,2% pada triwulan III 2010. Pada

akhir triwulan III 2010 rupiah ditutup pada level Rp8.924 per dolar AS, atau menguat 1,2% (ptp)

dibandingkan dengan triwulan II 2010. Nilai tukar rupiah yang cenderung stabil dapat mendukung

kebutuhan impor bahan baku yang diperlukan untuk kegiatan produksi domestik, dan di sisi lain

penguatan rupiah belum memberikan tekanan yang signifikan bagi eksportir karena masih kuatnya

permintaan internasional.

Pasar keuangan secara keseluruhan pada triwulan III 2010 berada dalam kondisi yang semakin stabil.

Kondisi pasar SUN dan pasar modal terus  membaik sebagaimana  tercermin dari IHSG yang meningkat

dan yield SUN yang menurun. Membaiknya pasar modal dan SUN pada triwulan III 2010 ini ditopang

oleh prospek perekonomian yang terus membaik. Di pasar uang antarbank, kondisi likuiditas selama

triwulan III 2010 cenderung meningkat.  Transmisi kebijakan moneter  sepanjang triwulan III-2010 juga

berlangsung dengan baik sebagaimana tercermin dari  suku bunga PUAB O/N yang bergerak di sekitar

BI Rate, pertumbuhan kredit yang meningkat terutama untuk jenis kredit modal kerja dan IHSG yang

mencapai level tertinggi sepanjang sejarah.

Page 11: Kebijakan moneter2

Di sisi mikro perbankan, kondisi perbankan nasional semakin kuat. Hal itu tercermin dari masih

tingginya rasio kecukupan modal (CAR) dan terjaganya rasio gross non-performing loan (NPL) dibawah

5% Selain itu likuiditas perbankan, termasuk likuiditas di pasar uang antar bank kian membaik dan dana

pihak ketiga (DPK) yang terus meningkat. Intermediasi perbankan juga semakin baik tercermin dari

pertumbuhan kredit yang hingga akhir September 2010 mencapai 21,2% (yoy). Pertumbuhan modal

kerja selama tahun 2010 telah tumbuh melampaui jenis kredit konsumsi dan ke depan pertumbuhan

kredit tetap diarahkan ke sektor yang produktif. Dengan perkembangan tersebut dan sesuai dengan

rencana bisnis bank, untuk keseluruhan tahun 2010 pertumbuhan kredit diperkirakan mencapai 22%-

24%. Peningkatan kredit terutama didorong oleh membaiknya keyakinan pelaku ekonomi  terhadap

prospek perekonomian.

Berdasarkan asesmen dan prospek ekonomi tersebut, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 5

Oktober 2010 memutuskan untuk  mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dengan koridor suku bunga

sebesar ±100 bps.  Keputusan tersebut juga mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih

konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi jangka menengah dan dipandang masih kondusif untuk

menjaga stabilitas keuangan dan mendorong intermediasi perbankan, sehingga sisi supply dapat

merespon akselerasi sisi permintaan secara memadai.

Judul Tinjauan Kebijakan Moneter - November 2010

Sumber Data Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan MoneterTangga

l4-11-2010

Hit

s1597

Contact DKM, Telp : (6221) 3818202, Fax : (6221) 3800394

Lampiran TKM Nov 2010r.zip (1157 Kbytes)

I. STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

Page 12: Kebijakan moneter2

Pemulihan ekonomi global masih berlangsung meskipun diliputi ketidakpastian. Pemulihan ekonomi

global berlangsung tidak seimbang dengan negara-negara maju mengalami pertumbuhan yang

melambat, sementara negara-negara emerging markets mengalami pertumbuhan moderat. Perlambatan

di negara maju juga diliputi oleh ketidakpastian yang cukup tinggi seiring dengan melemahnya kinerja

sektor industri dan rendahnya konsumsi yang masih terbebani tingginya angka pengangguran. Selain itu,

penguatan Yen dan Euro terhadap dolar AS juga berdampak pada kinerja ekspor Jepang dan Eropa.

Melambatnya pertumbuhan di negara maju ini berimbas kepada pertumbuhan ekonomi negara

berkembang khususnya export dependent countries. Untuk mengatasi hal tersebut, kebijakan moneter di

negara maju masih cenderung mempertahankan kebijakan akomodatif, sementara emerging markets

melanjutkan normalisasi kebijakan. Di pasar keuangan global, ditandai  kenaikan indeks  di pasar saham

yang antara lain didorong oleh sinyal stimulus moneter tahap kedua dari negara-negara maju.  Kondisi

ini menjadi salah satu faktor yang mendorong (push factors) masih derasnya aliran masuk modal asing

ke emerging economies, termasuk Indonesia. Selain itu, faktor kuatnya fundamental ekonomi dan

tingginya imbal hasil serta membaiknya persepsi risiko di emerging economies juga menjadi daya tarik

(pull factors).   

Kinerja ekonomi domestik menunjukkan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang masih terus berlanjut

didorong oleh konsumsi dan perbaikan investasi. Evaluasi terhadap kinerja dan prospek perekonomian

secara umum menunjukkan perbaikan. Kuatnya konsumsi dalam negeri didukung oleh berbagai faktor

antara lain daya beli yang membaik, dukungan pembiayaan yang meningkat, serta kepercayaan

konsumen dan dunia usaha yang membaik. Sementara itu, perbaikan investasi terus berlanjut sejalan

dengan implementasi berbagai kebijakan yang mendukung kegiatan investasi, perbaikan persepsi pasar

terhadap perekonomian, dan peningkatan pembiayaan serta penurunan harga impor barang modal.

Sementara itu, ekspor tetap tumbuh tinggi meskipun sedikit melambat dibandingkan periode sebelumnya

didukung oleh masih kuatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang menjadi mitra dagang dan

besarnya kontribusi komoditas sumber daya alam. Selain itu, harga komoditas yang  cenderung

meningkat juga turut mendukung peningkatan ekspor.  

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diperkirakan masih mencatat surplus. Hal itu terutama didukung

oleh kinerja transaksi modal dan finansial (TMF) terkait dengan masih derasnya  aliran modal masuk

berbagai instrumen keuangan seperti SUN dan SBI. Sementara dari sisi transaksi berjalan, ekspor masih

tetap tinggi meskipun lebih rendah dari bulan sebelumnya dan diikuti impor yang menunjukkan

pertumbuhan yang relatif tinggi. Peningkatan impor tersebut merupakan respons dari meningkatnya

kegiatan ekonomi domestik dan masih tingginya ekspor. Dengan berbagai perkembangan tersebut,

Page 13: Kebijakan moneter2

cadangan devisa pada akhir Oktober 2010 mencapai 91,8 miliar dolar AS atau setara dengan 6,9 bulan

impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.

Selama Oktober 2010, nilai tukar rupiah bergerak dengan kecenderungan menguat ditopang sentimen

positif global terhadap perekonomian Indonesia dan fundamental domestik yang terjaga. Pada periode

laporan, rata-rata nilai tukar rupiah tercatat sebesar Rp8.929 per dolar AS, atau menguat 0,6% (mtm).

Pada akhir Oktober 2010, rupiah ditutup pada level Rp8.938 per dolar AS atau melemah 0,15% (point to

point) dibandingkan dengan akhir September 2010. Penguatan nilai tukar rupiah tersebut dibarengi

volatilitas yang menurun. Selama Oktober 2010 volatilitas pergerakan rupiah rata-rata mencapai 0,1%,

lebih rendah dari bulan sebelumnya yang sebesar 0,2%.

Perkembangan inflasi IHK pada Oktober 2010 diwarnai oleh melemahnya tekanan dari sisi volatile food

dan administered prices, sementara tekanan dari kelompok inti mengalami peningkatan. Volatile food

mengalami deflasi pada Oktober 2010 antara lain disebabkan terkoreksinya harga komoditas bahan

pangan dan berbagai tarif angkutan pasca Hari Raya Idul Fitri. Kelompok administered prices

memberikan sumbangan inflasi yang minimal sejalan dengan minimnya penyesuaian harga yang

dilakukan oleh pemerintah. Sementara itu, tekanan inflasi dari kelompok inti terutama berasal dari

peningkatan harga komoditas internasional, khususnya harga emas dan gula.  Dengan berbagai

perkembangan tersebut, inflasi IHK pada Oktober 2010 tercatat sebesar 0,06% (mtm) atau 5,67% (yoy).

Bank Indonesia memandang masih terdapat potensi risiko peningkatan tekanan inflasi ke depan yang

antara lain bersumber dari kecenderungan berlanjutnya peningkatan harga komoditas di pasar

internasional, berlanjutnya anomali cuaca yang berpotensi mengganggu produksi dan distribusi

komoditas pokok, serta peningkatan permintaan di akhir tahun.  

Kinerja pasar keuangan domestik terus membaik, tercermin dari peningkatan IHSG yang mencapai level

tertinggi sepanjang sejarah dan yield SUN yang menurun untuk semua tenor. Kinerja pasar keuangan

yang membaik terutama dipengaruhi oleh besarnya arus masuk modal asing. Dari sisi transmisi

kebijakan moneter, suku bunga perbankan masih terus mengalami penurunan. Suku bunga perbankan,

baik simpanan maupun kredit masih terus turun, meski melambat dan dengan spread yang semakin

kecil. Dari jalur kredit, pertumbuhan kredit menunjukkan tren yang meningkat, terutama didorong oleh

kredit konsumsi meskipun kontribusi kredit investasi dan KMK juga menunjukkan peningkatan. Dari

sisi likuiditas, kondisi likuiditas perekonomian cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya

aktivitas perekonomian. Likuiditas perbankan masih cukup tinggi sehingga tidak ada kendala dalam

pemenuhan GWM 8%.

Page 14: Kebijakan moneter2

Stabilitas sistem keuangan masih terjaga dan didukung oleh kondisi sektor perbankan yang tetap kuat

dalam menghadapi berbagai risiko, serta membaiknya fungsi intermediasi perbankan. Hal itu antara lain

ditunjukkan oleh tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) perbankan yang saat

ini mencapai 16,4% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah

5,0%. Peningkatan fungsi intermediasi perbankan tercermin pada angka pertumbuhan kredit yang

meningkat mencapai 21,9% (yoy) pada akhir Oktober  2010. Perkembangan pertumbuhan kredit

perbankan tersebut masih sesuai dengan Rencana Bisnis Bank (RBB) dimana pertumbuhan kredit

diperkirakan dapat mencapai kisaran 22%-24%. Sementara itu pertumbuhan kredit (ytd) untuk seluruh

sektor sudah positif.

Bank Indonesia meyakini prospek perekonomian ke depan semakin membaik yang ditandai oleh laju

pertumbuhan PDB yang meningkat, prospek inflasi yang terjaga pada kisaran sasaran yang ditetapkan,

dan stabilitas sistem keuangan yang tetap terkendali.

Berdasarkan evaluasi terhadap kinerja dan prospek perekonomian yang secara umum menunjukkan

perbaikan tersebut, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 4 November 2010 memutuskan

untuk mempertahankan BI Rate pada tingkat 6,50%. Namun demikian, Bank Indonesia tetap

mencermati potensi meningkatnya tekanan inflasi ke depan. Dewan Gubernur memandang level BI Rate

saat ini masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi dan tetap kondusif untuk menjaga stabilitas

keuangan serta mendorong intermediasi perbankan yang diperlukan bagi sisi suplai untuk dapat

merespons akselerasi di sisi permintaan secara memadai. Di tengah masih derasnya arus modal asing

yang masuk dan kondisi ekses likuiditas yang masih cukup besar. Dewan Gubernur menegaskan bahwa

pengelolaan likuiditas perekonomian merupakan hal yang lebih penting. Implementasi kebijakan

menaikkan rasio giro wajib minimum (GWM) Primer per 1 November 2010 telah berjalan dengan baik

tanpa menimbulkan gejolak pada likuiditas perbankan. Ke depan, Bank Indonesia akan memperkuat

manajemen likuiditas dan efektifitas kebijakan moneter melalui penerapan bauran kebijakan moneter

dan makroprudensial dalam ranga pengelolaan aliran masuk modal asing, stabiliasi nilai tukar Rupiah,

dan memastikan pengendalian inflasi sesuai sasaran yang ditetapkan yaitu 5% ± 1% pada tahun 2010

dan 2011 serta 4,5% +1% di 2012.