KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

189
KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN TESIS Disusun Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Pendidikan Islam Oleh: SUHERMAN NIM :08.2.00.1.12.08.0049 Pembimbing MUHAMMAD ZUHDI, M. Ed. Ph.D KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010

Transcript of KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

Page 1: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

TESISDisusun Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister

Dalam Ilmu Pendidikan Islam

Oleh:SUHERMAN

NIM :08.2.00.1.12.08.0049

PembimbingMUHAMMAD ZUHDI, M. Ed. Ph.D

KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAMSEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA

2010

Page 2: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

ii

Pedoman Transliterasi Arab-Latin dan Singkatan

A.Translitersi= ' = z = q

= b = s = k

= t = sh = l

= th = ṣ = m

= j = ḍ = n

= ḥ = ṭ = w

= kh = ẓ = h

= d = ‘ = y

= dh = gh

= r = f

Mad dan Diftong

5. huruf “ ” ditulis al- seperti “ ” ditulis al- ḥamdu

6. Nama orang, nama-nama dan istilah-istilah yang sudah dikenal di Indonesiatidak masuk dan tidak terkait dengan pedoman ini, contoh: Fatimah, fitnah,shalat, dan lain-lain.

B. Singkatan-singkatan:H. = Hijriah M. = Masehih. = halaman t.th. = tanpa tahun

Saw. = ṣallallāhu ‘alaihi wasallam t.p. = tanpa penerbitSWT. = Subhānahū wa Ta’ālā t.t. = tanpa tempat

1 a panjang = ā

2 i panjang = ī

3 u panjang = ū

4 diftong = Au

= uw

= Ai

Iy

Page 3: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

iii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan bi bawah ini :

Nama : SUHERMAN

NIM : 08.2.00.1.12.08.0049

Tempat Tanggal Lahir : Kuningan, 04 Pebruari 1967

Menyatakan bahwa tesis yang berjudul “ Kebijakan al-Ma’mun Tentang

Pendidikan” adalah benar-banar karya saya sendiri, didukung oleh berbagai

sumber terkait. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya,

sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Page 4: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

iv

PENGESAHAN

Tesis yang berjudul “Kebijakan al-Ma’mun Tentang Pendidikan” ditulis olehSuherman, Nomor Induk Mahasiswa 08.2.00.1.12.08.0049, telah diperbaiki sesuaidengan saran-saran dan komentar dari tim penguji pada ujian tesis tanggal 15November 2010. Disahkan sebagai salah satu sarat untuk memperoleh gelarMagister Agama (MA) pada Program Magister Pengkajian Islam BidangPendidikan Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tim Penguji

Dr. Yusuf Rahman, MAKetua/Merangkap Penguji

Muhammad Zuhdi. M. Ed., Ph. DPembimbing/Merangkap Penguji

Prof. Dr. Suwito, MAPenguji

Dr. Muhbib Abdul Wahab, MAPenguji

Page 5: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

v

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Setelah membaca dan memberi petunjuk serta saran-saran seperlunya terhadap

tesis dengan judul “Kebijakan al-Ma’mun Tentang Pendidikan” yang di susun

oleh Suherman dengan Nomor Induk Mahasiswa 08.2.00.1.12.08.0049. pada

Konsentrasi Pendidikan Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri

Jakarta, telah diperiksa dan disetujui untuk diteruskan kesidang ujian tesis

Page 6: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

vi

ABSTRAK

“Kebijakan al-Ma’mun Tentang Pendidikan” yang di tulis olehSuherman,merupakan hasil penelitian tesis S-2, Program PascasarjanaKonsentrasi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri (UIN) SarifHidayatullah Jakarta, tahun 2010.

Penelitian ini bentujuan untuk medapatkan sebuah prototype kebijakanpemerintahan al-Ma’mun tentang Pendidikan dan kontribusinya terhadapkemajuan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam,melalui studi pengenalan latarbelakang kehidupan sosio-budaya dan politik serta peradabannya.

Penelitian ini menggunakan metoda deskriptif, yang bersifat categoricalanalyze untuk menemukan prototype tertentu. Kenyataan obyektif tentangkebijakan Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, yang dilakukan olehKhalifah al-Ma’mun pada masa pemerintahannya dilakukan melalui penelitianlibrary research dengan pendekatan sejarah (historical approach), denganpenekanan pada latar belakang kehidupan al-Ma’mun, pengumpulan data tersebutdilakukan melalui berbagai sumber tertulis,data tersebut kemudian dianalisissecara kualitatif.

Kesimpulan tesis ini adalah adanya upaya-upaya yang dilakukan olehKhalifah al-Ma’mun pada masa pemerintahannya untuk terus melanjutkan tradisikeilmuan yang diwariskan oleh pendahulunya, maka al-Ma’mun mengambilkebijakan untuk lebih memperbesar anggaran negara bidang Pendidikan denganberorientasi kepada pengembangan sumber daya manusia(Human Resourch),danterbuka terhadap perkembangan pluralitas masyarakat, terutama terhadap bangsaPersia dalam kerangka mengembangkan Pendidikan dan ilmu pengetahuan sertaperadaban pada masa pemerintahannya.

Pengembangan Pendidikan dan ilmu pengetahuan dilakukan melaluipenerjemahan-penerjemahan manuskrip dan buku-buku berbahasa asing kedalambahasa Arab yang dilakukan secara besar-besar, dengan alokasi dana yang cukupbesar, merupakan bagian terpenting dari kegiatan ilmiah. Hal ini merupakanprioritas utama pemerintahan al-Ma’mun dalam menyelenggarakan prosesPendidikan dan informasi budaya, disamping kegiatan diskusi dan perdebatanyang dilakukan di berbagai tempat/lembaga,seperti; istana,masjid,bait al-hikmah,dan di “lembaga” Pendidikan lainnya.Al-Ma’mun lebih cenderung untukmengembangkan ilmu pengetahuan yang bersifat rasional. Sehinggaberkembanglah faham rasionalisme Mu’tazilah, bahkan faham ini pada masanyamenjadi mazhab resmi Negara.

Pada zamannya, lahirlah tokoh intelektual kaliber dunia,seperti; al-Kindi(filosof muslim Arab pertama),al-Khawarizmi(ahli matematika danastronom terkenal),Hunain bin Ishaq(seorang Nestorian ahli bahasa danadministrasi), bahkan Ahmad bin Hambal(ahli hadits) meskipun berbedapaham,tapi ia lahir pada masanya.Di samping tokoh-tokoh Mu’tazilah,seperti;Abu al-Hudzail al-“Allaf(135-236H./753-850 M.), al-Nazhzham(w.231 H/845 M.),Ahmad bin Abi Daud(w.855 M.)dan lain sebagainya.

Page 7: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

vii

ABSTRACT

“Al Ma’mun’s Education Policy” written by Suherman, is the result ofthesis research, at the postgraduate school program, concentration of Islamiceducation, State Islamic University, Syarif Hidayatullah Jakarta, in 2010.

This research is aimed to get a prototype of Al Ma’mun governmentalpolicy about education and its contribution to the science progress in the Islamiccivilization, through the introduction study of background of its socio-cultural,politics and civilization.

This research uses a descriptive method with categorical analyze to find acertain prototype. Objective facts of education policy and science developmentconducted by Caliph Al Ma’mun at his governmental period were conductedthrough a library research with historical approach, by emphasizing at the lifebackground of Al-Ma’mun. The data collecting is conducted through variouswritten sources, then the data was analyzed qualitatively.

The conclusion of this thesis is that there are efforts conducted by CaliphAl Ma’mun at his governmental period to continuously carrying on the sciencetradition endowed by its predecessor, by taking a policy to enlarging the nationalbudget in the field of education by orientating to developing the human resourceand it was opened to the growth of social plurality, especially to the Persian nationin order to developing the education, science and civilization at his governmentalperiod.

Developing of education and science were conducted by translating theforeign manuscripts and books to the Arabic language on a large scale and bigenough of fund allocation, as the most important part of the scientific activities. Itwas the first priority of al-Ma’mun government to carrying out education processand culture information, beside the discussion activity and debate conducted in themany places or institutes, such as palace, mosque, Bait al-Hikmah,and otherseducation “institutes”. Al Ma’mun was more intending to developing a rationalscience, so the rationalism of Mu’tazila emerged, even this stream was basicallybecame a official government ideology.

By the time, famous intellectual figures of the world emerged, such as AlKindi (the first Arabic-Moslem philosopher), Khawarizmi (well-knownmathematician and astronomy scientist), Hunain bin Ishaq (a Nestorian linguistand administration expert, even Ahmad bin Hanbal (Hadits expert), thoughdiffered from opinion, was born at that period, besides the figures of Mu’tazilah,such as Abu Al Hudzail al ‘Allaf (135-236 H/753-850 M), Al Nazhzham (d. 231H/845 M), Ahmad bin Abi Daud (d. 855 M), and others.

Page 8: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

viii

" ")S-2(٢٠١٠.

.)categorical analyze(

.

..

.

..

)()(

)() (-٧٥٣/هـ٢٣٦-١٣٥(.

.) ٨٥٥. ()٨٤٥/هـ٢٣١. ()٨٥٠

Page 9: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

ix

KATA PENGANTAR

BismillāhirrohmānirrohīmPuji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw,

Juga kepada keluarganya, para sahabatnya dan kepada umatnya.

Dalam kesempatan ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama

penulisan tesis ini, sejujurnya penulis banyak sekali mengalami berbagai kesulitan

dan kendala, terutama dalam menganalisis dan memahami berbagai bahan bacaan

yang menjadi sumber penelitian ini. Namun berkat bantuan dan dorongan moril

dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan selama penulisan tesis ini dapat

diatasi. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan

terima kasih yang tak terhingga terutama kepada yang terhormat :

1. Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan fasilitas

berupa bantuan beasiswa kepada penulis sampai selesai proses studi di tingkat

magister ini.

2. Kepala SMP Negeri 127 Jakaarta barat,Bapak Drs. H. Syafiuddin Noer selaku

atasan penulis yang telah memberikan ijin untuk mengikuti pendidikan S-2 di

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,dan rekan-rekan

guru di SMP Negeri 127 Jakarta, yang selalu memotifasi demi lancarnya

penyelesaian studi S-2 ini.

3. Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA

dengan segala kebijakannya telah memberikan pelayanan terbaiknya kepada

penulis selama ini.

4. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan pembinaan akademis kepada penulis, terutama kepada Bapak

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., Dr. Fuad Jabali, MA.,

Dr. Yusuf Rahman, MA., Dr. Udjang Thalib, MA., dan Staf Tata Usaha dari

pimpinan sampai karyawannya.

5. Bapak Muhammad Zuhdi, M.Pd. Ph.D. selaku pembimbing tesis ini dengan

penuh kesabaran yang selalu menjadi solusi bagi penulis saat merasa kesulitan.

Segala amal kebaikannya, penulis kembalikan kepada Yang Maha Kuasa.

Page 10: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

x

6. Dosen-dosen Sekolah Pascasarjana tercinta yang telah mencurahkan ilmunya

kepada penulis selama belajar di kampus ini.

7. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Bapak R. Sugandi (Alm) dan Ibunda Kari

yang telah mendidik dan membesarkan penulis dalam buaian kasih sayangnya

yang tiada bertepi. Semoga Allah mencurahkan kasih sayang-Nya kepada

mereka, sebagaimana mereka menyayangi anaknya di waktu kecil.

8. Bapak/Ibu mertua penulis, Bapak KH.Sukron Makmun (alm) do’a dari kami

senantiasa tercurahkan, dan Ibu Siti Rohibah yang mendoakan dengan tulus

ikhlas dan memberikan dukungannya kepada penulis dalam menyelesaikan

studi.

9. Istriku tercinta,Indah Puspita Dewi Rahayu dan anak-anaakku Istiqamah

Meidinata serta Mazidah Salbiyah yang selalu menemani dengan setia,

mendorong dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan studi dan

pembuatan tesis ini.

10. Kawan-kawan tercinta sesama mahasiswa Magister di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta program beasiswa Departemen

Agama angkatan 2008, yang sering saling berbagi suka dan duka dalam

dinamika kehidupan mahasiswa di asrama putra, serta segenap rekan-rekan

dan pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis

selama menyelesaikan tesis ini.

Akhirnya kepada Allah SWT penulis berharap, semoga semua kebaikan

yang telah mereka berikan kepada penulis, mendapatkan pahala yang berlipat

ganda dari kehadirat-Nya. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu dan bagi para pembaca yang cinta ilmu pengetahuan. Amīn

Yā Rabbal ‘ ālamīn.

Jakarta, 20 Agustus 2010

Penulis

SUHERMAN

Page 11: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

xi

DAFTAR ISI

Cover dalam ....................................................................................................... i

Pedoman Transliterasi ........................................................................................ ii

Pengesahan......................................................................................................... iii

Persetujuan Pembimbing.................................................................................... iv

Abstraksi ............................................................................................................ v

Kata Pengantar ................................................................................................... vi

Daftar Isi............................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1

B. Permasalahan........................................................................... 21

1. Identifikasi Masalah .......................................................... 21

2. Pembatasan Masalah ......................................................... 22

3. Perumusan Masalah .......................................................... 23

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................................ 23

D. Tujuan Penelitian .................................................................... 24

E. Manfaat Penelitia .................................................................... 25

F. Metodologi Penelitian ............................................................. 25

G. Sistematika Penelitian ............................................................. 26

BAB II HUBUNGAN NEGARA DAN PENDIDIKAN DALAM

SEJARAH ISLAM

A. Kekuasaan dan Pendidikan ..................................................... 29

1. Bentuk Pemerintahan Islam .............................................. 29

2. Perkembangan Pendidikan pada Masa Nabi ..................... 36

3. Perkembangan pendidikan setelah masa Nabi .................. 42

B. Kebijakan Pendidikan. ............................................................ 45

C. Hakikat Pendidikan ................................................................. 51

Page 12: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

xii

BAB III PERKEMBANGAN PENDIDIKAN SEBELUM AL-MA’MUN

A. Perkembangan Lembaga Pendidikan sebelum al-Ma’mun..... 59

1. Masjid................................................................................ 62

2. Maktab............................................................................... 69

3. Toko Buku......................................................................... 76

4. Majlis-majlis ..................................................................... 78

B. Perkembangan Ilmu Pengetahuan sebelum al-Ma’mun.......... 83

BAB IV AL-MA’MUN DAN KEBERHASILANNYA DI BIDANG

PENDIDIKAN

A. Sejarah al-Ma’mun.................................................................. 107

1. Pengangkatan al-Ma’mun sebagai Khalifah ..................... 109

2. Masa Pemerintahan al-Ma’mun ........................................ 113

B. Kebijakan Pemerintahan al-Ma’mun ...................................... 119

1. Menangguhkan pemindahan kota sementara dari khurasan

ke Baghdad........................................................................ 120

2. Memajukan Ilmu Pengetahuan dalam berbagai bidang

disiplin ilmu ...................................................................... 121

a. Kurikulum ................................................................... 124

b. Metoda Pengajaran...................................................... 127

c. Murid........................................................................... 129

d. Guru ........................................................................... 130

3. Menjadikan Aliran Mu’tazilah sebagai Mazhab Resmi

Negara ............................................................................ 132

4. Pembentukan Lembaga Mihnah........................................ 134

5. Menciptakan Perdamaian di Kalangan Bani Hasyim........ 136

C. Lembaga Pendidikan Pada Masa al-Ma’mun ......................... 139

1. Kontribusi al-Ma’mun Terhadap Lembaga Pendidikan.... 141

a. Perpustakaan. .............................................................. 142

b. Bait al-Hikmah ............................................................ 146

c. Observatorium............................................................. 149

Page 13: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

xiii

2. Kontribusi al-Ma’mun Terhadap Perkembangan Ilmu

Pengetahuan ................................................................... 153

a. Gerakan Penerjemahan................................................ 153

b. Mengembangkan Diskusi............................................ 148

c. Mengembangkan Paham Rasionalisme....................... 160

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................. 167

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 170

Page 14: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam perkembangan kehidupan manusia, pendidikan mengambil peranan

yang sangat menentukan untuk tercapainya tujuan hidup baik di dunia maupun di

akhirat. Oleh karena itu pada penulisan tesis ini, penulis ingin menguraikan

mengenai sejarah perkembangan pendidikan Islam hingga mencapai puncaknya

pada masa Khalifah al-Ma’mun pada Dinasti Abbasiyah.

Sangatlah menarik sekali untuk diketahui, faktor-faktor apa sajakah yang

telah mempengaruhi keberhasilan keberhasilan umat Islam pada masa itu sampai

berhasil mencapai puncaknya dalam bidang ilmu pengetahuan dibandingkan

dengan dunia barat.

Maka, Pada bab pertama ini akan diuraikan tentang latar belakang

masalah, identifikasi masalah, perumusan masalah, penelitian terdahulu yang

relevan, metodologi dan tujuan dari penelitian ini secara komprehensip untuk

mendapatkan satu kesimpulan yang jelas.

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang memerintahkan kepada umatnya untuk selalu

mencari ilmu, karena Islam sangat menjunjung tinggi orang-orang yang memiliki

ilmu pengetahuan. Dengan ilmu penmgetahuan, seseorang akan menjadi mulia,

terhormat dan mampu menghadapi segala permasalahan yang terjadi dalam

kehidupan ini.1

Dalam pengertian yang seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang

seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri, dimana Islam lahir dan berkembang

lengkap dengan usaha-usaha pendidikan untuk mentransformasikan ilmu

pengetahuan.2

1Lihat al-Qur’an, surat al-Muja>dalah,(22), 11

2Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru(Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002), Vii.

Page 15: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

2

Sedangkan tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah terwujudnya

kepribadian muslim, yang keseluruhan aspeknya merealisasikan atau

mencerminkan ajaran Islam, dengan kata lain kepribadian yang seluruh aspek-

aspeknya yakni baik tingkah laku lahirnya, kegiatan-kegiatan jiwanya, mau pun

filsafat hidup dan kepercayaannya menunjukan pengabdian kepada Tuhan dan

penyerahan diri kepada-Nya. Akhirnya kepribadian muslim itu tidak akan terlepas

dari berpilihnya tiga hal yaitu; Iman, Islam dan Ikhsan.3

Dengan memperhatikan dasar, proses dan tujuan dari pendidikan yang

sangat mulia itu, maka hemat penulis alangkah bahagianya kalau semua manusia

di dunia ini mendapatkan pendidikan yang baik. Persoalannya, mampukah

bangsa-bangsa di dunia ini menyelenggarakan pendidikan dengan baik. Kalau

mampu kenapa masih banyak manusia yang tidak berpendidikan, kalau tidak

bukankah dahulu Islam pernah meraih masa kejayaan di bidang ilmu pengetahuan.

Untuk mengetahui itu semua, maka penulis mencoba untuk meneliti

tentang sejarah pendidikan Islam pada masa awal pemerintahan Islam hingga

mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun

Pada masa awal perkembangan Islam, pendidikan Islam berlangsung

secara informal, itu pun lebih berkaitan dengan upaya-upaya Dakwah Islamiyah,

atau penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan dan ibadah Islam.

Proses pendidikan Islam pertama kali dilakukan di rumah sahabat nabi, yang

paling terkenal adalah di rumah Dar al-Arqam, selanjutnya, setelah masyarakat

Islam mulai terbentuk, maka proses pendidikan diselenggarakan di masjid. Proses

kegiatan belajar di kedua tempat ini dilaksanakan dengan cara halaqah,

membentuk lingkaran belajar.

Pendidikan masa masa awal ini dapat dibagi menjadi pendidikan pada

periode Mekah dan periode Madinah. Pendidikan Islam pada periode Mekah pada

intinya adalah mengajarkan ajaran tauhid, yang merupakan perhatian utama

Rasulullah ketika itu. Menurut, Mahmud Yunus, menyatakan bahwa pembinaan

pendidikan Islam pada masa ini meliputi:

3 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Setia, 1997), 31.

Page 16: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

3

a. Pendidikan keagamaan yang menitik tekankan kepada pendidikan tauhid.Hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, janganmempersekutukan dengan yang lain.

b. Pendidikan akliyah dan ilmiyah, yaitu mempelajari kejadian manusia darisegumpal darah dan kejadian alam semesta.

c. Pendidikan akhlak dan budi pekerti, sesuai dengan ajaran tauhid.d. Pendidikan jasmani (kesehatan), yaitu mementingkan kebersihan pakaian,

badan dan tempat kediaman.4

Sedangkan pendidikan Islam pada periode Madinah ini telah mengalami

perkembangan, bukan hanya sekedar tauhid, tetapi telah berkembang kepada

pembentukan dan pembinaan masyarakat. Adapun titik tekan pendidikan pada

periode ini antara lain;

a. Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju kepada satu kesatuan

sosial dan politik. Antara lain yang dilakukan oleh Nabi dalam melaksanakan

pendidikannya adalah;

1. Nabi mengikis habis sisa-sisa permusuhan dan pertengkaran antar suku,

dengan mengikat tali persaudaraan di antara mereka.

2. Nabi mengajarkan untuk selalu berusaha dan bekerja sesuai dengan

kemampuan dan pekerjaannya masing-masing, untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya sehari hari.

3. menjalin kerjasama dan tolong menolong dalam membentuk kehidupan

masyarakat yang adil dan makmur

4. melaksanakan shalat jum’at sebagai media komunikasi seluruh umat

Islam.

b. Pendidikan Sosial dan kewarganegaraan, yang meliputi;

1. Pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antar kaum muslimin

2. Pendidikan kesejahteraan sosial dan tolong menolong

3. Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat.

c. Pendidikan untuk anak dalam Islam, Nabi selalu mengingatkan kepada

umatnya untuk;

1. Agar kita selalu menjaga diri dan angota keluarga dari Api neraka.

4Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995),.5-6.

Page 17: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

4

2. Agar jangan meninggal anak dan keturunan dalam keadaan lemah dan

tidak berdaya dalam menghadapi tantangan hidup.

3. Orang yang dimuliakan Allah adalah orang yang berdoa agar dikaruniai

keluarga dan anak keturunan yang menyenagkan hati.5

Sepeninggal Nabi, maka kepemimpinan dilanjutkan oleh al-Khulafa’ ar-

Rasyidin. (11-41 H./632-661 M.), yang berdudukan di Madinah al-Munawarah,

selama lebih kurang 30 tahun menurut kalender Hijriyah dan 29 tahun menurut

kalender Masehi. Akan tetapi pemerintahan yang singkat ini sangat menentukan

sekali bagi kelanjutan agama Islam, termasuk pendidikan Islam dan kekuatan

Islam.

Pada masa khalifah Abu Bakar, masalah pendidikan nyaris tak tersentuh,

karena Abu bakar lebih memfokuskan pemerintahannya kepada para pemberontak

dan pembangkang terhadap Islam. Selain itu, Abu Bakar juga lebih memusatkan

perhatiannya untuk mengirim pasukannya dalam rangka memperluas ekspansi

wilayah Islam ke Syiria untuk melaksanakan niat Rasulullah yang telah

dipersiapkan sesaat sebelum Rasulullah wafat.6

Pada masa Khalifah Umar bin Kaththab, kondisi politik dalam keadaan

stabil, sehingga Umar banyak melanjutkan kebijakan yang telah diambil oleh Abu

Bakar. Ekspansi Islam dilanjutkan, sehingga mencapai hasil yang cukup gemelang

yang meliputi daerah kekuasaan semenanjung Arabia, Palestina, Syiria, Irak,

Persia dan Mesir. Berkaitan dengan pendidikan, maka khalifah Umar

memerintahkan kepada para panglimanya untuk selalu mendirikan masjid di

daerah-daerah yang menjadi taklukannya, sebagai tempat untuk beribadah dan

melakukan kegiatan pendidikan.7 Berkaitan dengan pendidikan pula, maka

khalifah Umar banyak mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap-tiap

daerah yang ditaklukkannya, yang bertugas untuk mengajarkan isi al-Qur’an dan

ajaran Islam kepada penduduk yang baru Islam. Dia juga menganjurkan kepada

5Zuhairini,dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Depag, 1986), 34-50.

6 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kalimah, 1999), 17.

7Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan IslamI (Jakarta: Pustaka al Husna, 1993), 94.

Page 18: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

5

setiap anak muslim untuk menghafal; al-Qur’an, dan kepada setiap bapak

diharapkan mampu mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anaknya sebelum mereka

masuk sekolah.8

Pada masa Khalifah Usman bin Affan, Pelaksanaan pendidikan Islam tidak

jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Pendidikan pada masa ini hanya

melanjutkan apa yang sudah ada. Belum terlihat ada usaha yang kongkrit yang

dikembangkan oleh khalifah Usman dalam bidang pendidikan, kecuali satu usaha

yang dianggap cemerlang dan cukup berpengaruh terhadap pendidikan Islam,

yaitu melanjutkan usulan Umar kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan tulisan

ayat-ayat al-Qur’an, dan membukukannya. Kemudian khalifah Usman

mengirimkan salinan al-Qur’an tersebut ke Makkah, Kuffah, Basrah dan Syam.

Sementara, Khalifah Ali Bin Abi Thalib, yang pemerintahannya penuh

dengan pergolakan-pergolakan politik, kekacauan dan pemberontakan, membuat

pemerintahannya nyaris tidak mempedulikan masalah perkembangan pendidikan

Islam. Menurut Soekarno dan Ahmad Supardi, saat kericuhan politik dimasa Ali

ini, hampir dapat dipastikan bahwa kegiatan Pendidikan Islam mendapat

hambatan dan gangguan, walaupun tidak terhenti sama sekali. Khalifah Ali saat

itu tidak sempat lagi memikirkan masalah pendidikan, karena seluruh

perhatiannya ditujukan kepada masalah keamanan dan kedamaian bagi

masyarakan Islam.9

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendidikan Islam

pada masa keempat khalifah ini belum berkembang seperti masa-masa

sesudahnya, dan pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan masa Nabi, yang

menekankan pada pengajaran baca-tulis dan ajaran-ajaran Islam yang bersumber

pada al-Qur’an dan Hadits Nabi.

Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H. Ali terbunuh oleh anggota Khawarij,

kemudian kedudukan Ali sebagai Khalifah digantikan oleh Anaknya Hasan,

8Tedd D. Beavers, Arabic Contributions to Educational Thought, terj. Deny Hamdani,Paradigma Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Riora Cipta, 2001), 18.

9 Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Bandung:Angkasa, 1985), 68.

Page 19: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

6

selama beberapa bulan, karena posisi Hasan semakin lemah, sementara Muawiyah

semakin kuat, akhirnya Hasan mengambil keputusan untuk mengadakan

perjanjian damai dengan Muawiyah. Perjanjian ini akhirnya dapat

mempersatukan kembali umat Islam dalam satu kepemimpinan di bawah

Muawiyah Ibn Abi Sofyan. Dengan demikian, berakhirlah apa yang disebut

dengan masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dan mulailah kekuasaan bani Umayyah

(661 – 750 M.), dalam sejarah.

Pelaksanaan pendidikan Islam pada masa ini semakin meningkat dari masa

sebelumnya..kalau sebelumnya pendidikan hanya dilaksanakan di kuttab, di

rumah-rumah dan masjid, pada masa ini pendidikan dilaksanakan juga di Istana

untuk mendidik anak-anak keluarga kerajaan, di samping itu para penguasa sering

mengadakan majlis-majlis keilmuan. Pada masa ini juga mulai ada perhatian

terhadap pembidangan ilmupengetahuan, seperti ilmu tafsir, hadis, fiqh dan ilmu

kalam.

Di bidang ilmu kalam, dapat ditelusuri cikal bakal gerakan teologi Islam,

yaitu Wasil Ibn ’Atha yang dianggap sebagai pendiri aliran Mu’tazilah. Aliran ini

muncul sebagi reaksi terhadap aliran khawarij dan murji’ah yang telah

berkembang dimasa itu. Di antara doktrin utama aliran Mu’tazilah adalah

paham”kebebasan manusia” atau Free Will, yang pada masa sekarang

dikembangkan oleh golongan Qadariyah yang merupakan lawan dari golongan

Jabariyah.10

Walaupun perhatian terhadap pendidikan dan perkembangan pemikiran

tidak sebesar pada masa Abbasiyah, namun usaha-usaha umat Islam pada masa ini

sangat besar dan penting sekali pengaruhnya bagi perkembangan pendidikan dan

pemikiran pada masa sesudahnya. Dinasti Umayyah telah meletakkan dasar-dasar

bagi kemajuan pendidikan dan pemikiran di masa Dinasti Abbasiyah kelak.

Karena usahanya inilah Philip K. Hitti mengatakan bahwa masa dinasti Umayyah

merupakan ”inkubasi” atau masa tunas bagi perkembangan intelektual Islam.11

10Fayyaz Mahmud, A History of Islam (London: Oxford University Press, 1960), 94.

11Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Macmillan Press Ltd., 1974), 242

Page 20: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

7

Pada masa Dinasti Abbasiyah (750 M-1258 M), ilmu pengetahuan

mengalami perkembangan yang sangat pesat dan sekaligus berhasil menyiapkan

landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Seorang khalifah

yang cerdas, bijak, santun dan bersifat pemaaf,12 serta pencinta ilmu, Al-Ma’mun

bin Harun Al-Rasyid, menyadari benar bahwa kekuasaan yang dimilikinya

merupakan amanat dari Tuhannya, sehingga ketika berkuasa Ia senantiasa

memamfaatkan kekuasaannya itu untuk ilmu pengetahuan dan peradabannya.13

Di era kepemimpinannya, kekhalifahan Abbasiyah menjelma menjadi

pemimpin adikuasa dunia yang sangat disegani. Wilayah kekuasaan dunia Islam

terbentang luas mulai dari pantai Atlantik di barat hingga sampai tembok besar

Cina di timur. Dalam dua dasawarsa kekuasaannya, sang khalifah juga berhasil

menjadikan dunia Islam sebagai penguasa dalam Ilmu pengetahuan dan peradaban

dunia.

Berkat inovasi dan gagasannya yang cukup brilian, Baghdad yang

merupakan ibu kota Abbasiyah menjelma menjadi pusat kebudayaan dunia,

khalifah sangat mendukung sekali terhadap pengembangan keilmuan dan seni.

Perpustakaan Bait al-hikmah yang didirikan oleh Ayahnya, Harun al-Rasyid,

disulapnya menjadi sebuah universitas virtual yang mampu menghasilkan sederet

ilmuwan muslim yang melegenda.

Professor Dreiker sebagaimana dikutip Afif, dalam pengamatannya

mengatakan : “ Arab moslims promoted ancient studies and researches to a great

extent and founded new field of knowledge which had not been known before”.14

12Ia memaafkan al-Fadhl bin Rabi yang telah menggalang kekuatan untuk menentangKhalifah, Al-Ma’mun juga memaafkan Ibrahim bin Al-Mahdi yang telah melantik dirinya sebagaiKhalifah di Baghdad pada saat al-Ma’mun berada di Merv, padahal al-Mu’tashim dan al-Abbasbin al-Ma’mun mengusulkan agar membunuh Ibrahim. Tidak hanya itu saja, Ia juga memaafkanal-Husain bin Dhahhak , yang pernah mengatakan bahwa al-Ma’mun tidak akan merasa tenangdengan jabatannya karena Ia akan diburu oleh musuh-musuhnya. Lihat Didin Saefuddin Buchori,Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 94.

13ketika pengangkatan Al-Ma’mun menjdi khalifah ke 7 pada tahun 813 A.D. Baghdadmenjadi pelopor pusat pengajaran dan pendidikan dunia. Ia banyak menyediakan buku-buku,memanggil para sarjana (scholars) dengan sangat hangat sambutan dan kecintaanya terhadapmereka. Lih. Afif A Tabbarah, The Spirit of Islam: Doctrine & Teaching (New Delhi: Islam BookService, 1998), 266-267.

14Afif A Tabbarah, The Spirit of Islam : Doctrine & Teachin (New Delhi: Islam BookService, 1998), 267.

Page 21: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

8

Pemerintahan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah ini merupakan puncak

peradaban Islam (Klasik) terbesar abad pertengahan. Liberalisasi ilmu

pengetahuan yang diformalkan oleh al-Ma’mun sebagai khalifah ke-7 dengan

menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi Negara, merupakan salah satu dari

aspek pendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam pada masa itu.

Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan semakin nampak, ilmu-ilmu agama

dan ilmu pengetahuan umum semakin banyak digemari orang-orang Islam.

Keberpihakan al-Ma’mun terhadap paham Mu’tazilah ini tampaknya tidak

bisa dipisahkan dari kehausannya terhadap ilmu pengetahuan yang rasional dan

kecintaannya terhadap filsafat.15

Para ulama dan cendikiawan bahu-membahu untuk mengadakan

penelitian dan riset. Suasana ini nampak sekali ketika al-Ma’mun

mengembangkan lembaga penterjemahan dan penelitian, bait al-Hikmah. Mereka

bukan saja para pelindung ilmu pengetahuan melainkan para pelajar yang haus

akan ilmu pengetahuan. Mereka, adalah para ilmuwan dari seluruh penjuru dunia

yang sengaja datang untuk mengunjungi majlis-majlis ilmu, bahkan mereka

mendapatkan penemuan-penemuan baru, laporan penelitian dan lain sebagainya.16

Pada masa (Abbasiyah) ini, fungsi politik masjid berangsur-angsur mulai

ditinggalkan,semua urusan kenegaraan diselenggarakan di dalam istana. Selain

untuk beribadah, Masjid mulai di pergunakan untuk kegiatan pertemuan ilmiah

para sarjana dan ulama. Masjid memiliki andil yang cukup besar dalam

megembangankan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam kebudayaan Islam,

yang mencapai puncaknya pada masa dinasti tersebut.17 Pergeseran fungsi masjid

ini sebatas pada bidang politik, yaitu masjid bukan lagi sebagai tempat untuk

merumuskan dan memutuskan kebijakan-kebijakan pemerintah. Sebab telah

digantikan dengan istana, tempat bertahtanya khalifah sekaligus memerintah.

15Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 95.

16M. Atiqul Haq, Wajah peradaban (Bandung : Zaman, 1998), 51.

17Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam ( Jakarta: Intennasa, 1994 ), 77.

Page 22: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

9

Namun demikian bukan berarti Istana hanya sebagai tempat bertahtanya

khalifah dan pemerintahannya saja,tempat ini pun sering kali dijadikan tempat

berkumpulnya para sastrawan,cendikiawan dan para ulama dari berbagai kota di

bagdad,18 untuk melakukan diskusi-diskusi dalam rangka memecahkan berbagai

persoalaan yang berkembang pada saat itu, baik persoalan pemerintahan maupun

non pemerintahan, seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam.

Kegiatan tersebut sering kali dilakukan oleh khalifah al-Ma’mun ketika

menjalankan roda pemerintahannya. Sehingga pada masa ini dikenal dengan

sebutan the golden age of Islam (masa keemasan Islam),19 periode klasik.

Beliau adalah Abdullah abul Abbas al-Ma’mun yang dilahirkan pada tahun

170 H. di malam kemangkatan pamannya khalifah al-Hadi.20 Al-Ma’mun Bin

Harun al-Rasyid merupakan seorang pemimpin (Khalifah) urutan ke tujuh dari

khalifah-khalifah dinasti Abbasiyah yang didirikan oleh Abdullah al-Saffah bin

Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas,21 dan mencapai puncak kejayaan

serta popularitas pemerintahan dinasti ini pada masa khalifah Harun al-Rasyid

(786-809 M) dan puteranya, al-Ma’mun (813-833 M).22

Al-Ma’mun yang memiliki nama lengkap Abu Ja’far al-Ma’mun bin

Harun al-Rasyid, orang barat menyebutnya almamon, ia dilahirkan pada tanggal

14 september 786 M. Ayahnya adalah Khalifah Harun al-Rasyid, sedangkan

ibunya seorang mantan budak yang bernama Marajil.

18M. Masyhur Amin, Dinamika Islam (Yogya: LKPSM, 1995), 95.

19M. Masyhur Amin, Dinamika Islam (Yogya: LKPSM, 1995), 95. Lihat juga, DidinSaefuddin Buchori, Sejarah Polotik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 77.

20A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam I (Jakarta: Pustaka al Husna, 1993), 129.

21. Lihat juga, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000), 49. Khalifa-khalifah Dinasti Abbasiyah yang pertama adalah Abu al-Abbas as-Saffah(132-136 H./750-754M.), kedua, Abu Ja’far al-Mansyur (136-158 H./754-775 M.), ketiga, Al-Mahdi (158-169 H./777-785 M.), keempat, al-Hadi (169-170 H./785-786 M.), kelima, Harun ar-Rasyid, (170-193 H./786-809 M.), keenam, Al-Amin (193-198 H./809813 M.) dan ketujuh Al-Ma’mun (198-218 H./813-833 m.), as-Suyuti, Ta>rikh al-Khulafa>, Al-Mas’udi, Muruj, jilid III-IV,dan Boswort, Islamic, 24. lihat juga, Didin saefuddin, Sejarah Politik Islam (Jakarta: PustakaIntermasa, 2009). 111-112.

22Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 52.

Page 23: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

10

Lantaran sang ibu bukan dari keturunan Abbasiyah, maka pada tahun 802

M. Sang Ayah mewariskan singgasana kekhalifahannya kepada putranya yang

lain yang bernama al-Amin, sedangkan al-Ma’mun ditunjuk sebagai gubernur di

Khurasan, dan sebagai khalifah setelah al-Amin. Setelah khalifah al-Rasyid wafat

pada tahun 809 M. Hubungan ke dua saudara yang berlainan ibu itu menjadi

kurang baik.

Konflik hubungan yang kurang baik itu semakin memburuk setelah al-

Amin memecat al-Ma’mun dari posisi Gubernur di Khurasan, dan menunjuk

putranya untuk menggantikan posisi pamannya di Khurasan. Al-Ma’mun

menganggap bahwa keputusan itu sebagi pelanggaran terhadap wasiat yang

diberikan Ayahnya Harun Al-Rasyid, sehingga keduanya melakukan perang

saudara, dengan bantuan pasukan Khurasan yang di pimpin oleh Thahir bin

Husain, akhirnya al-Ma’mun dapat mengalahkan pasukan al-Amin.

Al-Ma’mun dinobatkan menjadi khalifah, ketika beliau sedang berada di

Rayy pada tahun 198 H./813 M., akan tetapi beliau tetap bertempat tinggal di

Khurasan sampai tahun 204 H/819 M.23Beliau dikenal sebagai seorang khalifah

yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Sehingga pada masa pemerintahannya,

penerjemahan buku-buku asing menjadi salah satu kebijakannya.

Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, beliau memberikan gaji yang

cukup besar kepada penerjemah-penerjemah dari golongan kristen dan penganut

agama lain yang ahli di bidangnya. Beliau juga banyak mendirikan lembaga-

lembaga pengkajian ilmu pengetahuan dan penterjemahan, salah satu karya

terbesarnya yang tercatat dalam sejarah adalah pengembanagan bait al-Hikmah,24

suatu lembaga dan perpustakaan untuk kegiatan penelitian dan penerjemahan

pada tahun 830 H. Lembaga ini dijadikan sebagai basis pengumpulan manuskrip-

23Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebuyaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), 121.

24Dalam Bait al-Hikmah terdapat sebuah observatorium astronomi, wacana-wacana yangmenjadi objek penelitian dan penerjemahan adalah karya-karya tulisan Plato, Aristoteles,Hippocrates, Galen, Ptolemi dan lain sebagainya. Karya-karya mereka telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Lihat Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 31.

Page 24: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

11

manuskrip Yunani dan sekaligus merupakan pusat penterjemahan, dan juga

berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.25

Pada masa pemerintahan al-Ma’mun inilah. Baghdad mulai dikenal

menjadi pusat kebudayaan Islam dan ilmu pengetahuan.26 Meskipun pada masa-

masa sebelumnya, yaitu Ja’far al-Mansyur dan Harun al-Rasyid, sebagai

mendiang ayahnya telah banyak melakukan hal yang sama, akan tetapi belum

begitu terkenal seperti apa yang diperbuat oleh al-Ma’mun.

Kemasyhuran dan kepopuleran al-Ma’mun dalam bidang ilmu

pengetahuan dan kesusastraan pada masa pemerintahaannya terlihat jelas dalam

karya penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Syalabi, bahwa Al-Ma’mun

merupakan salah satu diantara khalifah-khalifah terbesar dan orang-orang yang

paling bijak. Dia menggunakan beberapa sitem dalam pemerintahannya, antara

lain untuk mengembangkan pendidikan tentang ilmu filsafat dan studi sastra.

Untuk itu, Al-Ma’mun menyuruh agar seluruh hasil karya dari penelitian atau

sumber-sumbernya diterjemahkan ke dalam bahasa arab dan menerbitkannya. Dia

juga menguasai Evclides (ilmu ukur), dan mempelajari ilmu pengetahuan tentang

zaman purba (arkeoligi), serta mendiskusikan ilmu-ilmu pengetahuan lain dan

melindungi orang-orang bijak yang akrab dengannya.27

Kehausan al-Ma’mun akan ilmu pengetahuan mendorong dirinya untuk

menyibukan diri dalam mempelajari berbagai pemikiran sains dan filsafat.

Sementara untuk mengurus pemerintahannya, ia mempercayakannya kepada Fadl

bin Sahl yang di angkatnya sebagai panglima tertinggi.28

Hal senada diakui Langgulung, bahwa tampak ketika al-Ma'mun

memerintahkan untuk mengumpulkan kitab-kitab yang ada di daerah-daerah

kekuasaanya, seperti Syiria, Afrika, dan Mesir dalam menggantikan pajak-pajak,

selalu terlihat unta-unta yang memasuki kota Baghdad dengan membawa kertas

25Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), 52.

26Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 52. lihat juga W Montgomery, 68.

27Ahmad Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993), 140.

28Pujian dan sanjungan tentang sifat al-Ma’munoleh para sejarawan dapat dilihatJalaluddin as-Suyuthi, Ta>rikh al-Khulafa> (Kairo: Maktab an-Nahd}ah al-Misriyah, 1975), 487-489..

Page 25: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

12

dan kitab-kitab. Sehingga di istana al-Ma'mun nampak seakan-akan menjadi

sebuah tempat pertemuan ilmu dan sastera, bukan sebagai pusat pemerintahan dan

Khalifah, sebab di sana berkumpul orang-orang yang terdiri dari guru-guru,

pengkritik-pengkritik, penterjemah dan komentator-komentator.29

Inilah yang merupakan salah satu faktor keberhasilan pemerintahan al-

Ma’mun dalam melaksanakan kebijakan pemerintahannnya. Sebagai seorang

pencinta ilmu, Al-Ma’mun tidak segan-segan memanggil para ulama (ilmuwan)

untuk bergabung dalam majelis (diskusi) di istananya. Bahkan istananya sering

kali dijadikan tempat untuk bermalam-malam (menginap) bagi para sastrawan

dan para ulama ahli ilmu untuk mengarang (membuat) buku dan menerjemahkan

buku-buku yunani kedalam bahasa Arab.

Salah satu pioner penerjemah pemikiran Yunani pada masa itu adalah

Abu Yahya al-Bithriq di bawah patronase al-Mansyur, ia telah menerjemahkan

karya-karya besar Galen, Hippocrates dan Ptolemi, Quadripartium. Karya besar

lainnya adalah Elements karya Euclid, dan al-majisthi (Mageste).30 Hunain bin

Ishaq, seorang Kristen Nestorian dari Hirah, yang telah menerjemahkan karya-

karya Yunani untuk khalifah al-Ma’mun. Buku-buku yang berhasil

diterjemahkannya hampir semuanya karya Galen (yang terdiri dari 20.000

halaman), karya Aristoteles; Catagories, Phisics, Magna Moralia dan

Hermeneutics, dari karya Plato; Republic, Times dan Laws. Dari karya-karya

Hippocrates, ia menerjemahkan Aphorisme, dari karya Diascorides, Materia

Medica, dan dari karya Ptolemi empat buku tentang astronomi dan kitab

perjanjian lama.

Sedangkan anak Hunain, yang bernama Ishaq, menerjemahkan karya-

karya Aristoteles, yaitu; Metaphisics, filsafat jiwa, De Generaione et De

Corruptione dan komentar Alexander mengenai karya-karya Aristoteles.

Dalam sejarah, pemerintahan al-Ma'mun dapat menjadi besar tidak

terlepas dari kebijakan-kebijakan pendahulunya yang telah lebih dahulu sukses

29Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Al-Husna zikra, 2000), 85.

30Philip K. Hitti, History of Arab (London : MacMillan Press, 1974), 311.

Page 26: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

13

dalam pemerintahannya, antara lain; Abu Ja'far al-Mansyur dan Harun al-

Rasyid.31

Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, filsafat, kebudayaan dan

peradaban ini menjadi satu ciri yang menonjol pada masa dinasti Abbasiyah

dibandingkan dengan dinasti-dinasti Islam yang lainya.32

Ciri lain yang menonjol dari pemerintahan bani Abbas adalah

berpindahnya ibu kota pemerintahan ke Baghdad sehingga terjadi asimilasi antar

bangsa Arab dengan bangsa lain yang telah lebih dahulu mengalami

perkembangan ilmu pengatahuan, dan dalam penyelenggaraan negara adanya

sebuah jabatan wazir, yang membawahi departemen-departemen, serta

terbentuknya ketentaraan profesional baru yang sebelumnya tidak ada.

Menurut Didin kemajuan yang begitu pesat dibidang pendidikan dan Ilmu

pengetahuan sekurang- kurangnya dipengaruhi oleh tujuh faktor,33 sebagai

berikut :

1. Kontak antara Islam dan persia yang merupakan jembatan untuk

berkembangnya ilmu pengetahuan dan falsafat. Hal ini mengingatkan bahwa

secara kultural, Persia memang lebih banyak berperan dalam pengembangan

tradisi keilmuan Yunani. Salah satu lembaga yang berperan dalam penyebaran

tradisi helenistik (Yunani) di Persia adalah akademi Jundishapur, yang

merupakan warisan dari kekaisaran Sassaniyah. Selain itu ada pula

salonika,Creshipon dan Nishapur.34

31Kekayaan yang melimpah yang diwariskan kepada Harun al Rasyid dimamfaatkan bagikepentingan social,seperti membangun rumah sakit, membangun lembaga pendidikan untuk dokterdan farmasi, dan pada masanya paling tidak sudah terdapat lebih kurang 800 dokter. Di sampingitu ia juga membangun tempat-tempat pemamdian umum, maka tingkat kemakmuran yang palingtinggi telah terwujud pada masa pemerintahan ini, kesejahteraan,kesehatan,pendidikan,ilmupengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masainilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi di dunia.Lihat Badri yatim, Sejarah peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 52-53.

32Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009),101.

33Didin Saefuddin Buchori, Zaman keemasan Islam (Jakarta: Radja Grafindo Persada,2001), 148-150.

34Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, 101.

Page 27: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

14

2. Etos intelektual dan dukungan penuh para khalifah, terutama khalifah Harun

al-Rasyid dan Al-Ma’mun,35 terhadap ilmu pengetahuan sehingga dapat

dikatakan bahwa peradaban Islam diprakarsai oleh penguasa dan memperoleh

patronase penguasa yang dalam hal ini diawali pada masa pemerintahan

Harun al-Rasyid dan Al-Ma’mun.

3. Peranan keluarga Barmark yang mendapatkan tugas dari penguasa untuk

mendidik khalifah dan keluarga istana. Keluarga ini terkenal karena

kecerdasan dan keluhuran budinya, sehingga secara turun temurun banyak

waktu yang dicurahkan oleh keluarga ini untuk ikut mencerahkan intelektual

keluarga istana bani Abbas, bahkan kemudian dipercaya menjadi orang kedua

dalam pemerintahan sebagai wazir,36 Dinasti Abbasiyah sampai masa

kekhalifahan Harun al-Rasyid.

4. Kegiatan penerjemahan literatur-literatur Yunani ke dalam bahasa Arab

dengan secara besar-besaran dan didukung oleh alokasi dana yang cukup besar

pula yang disediakan khalifah.37

5. Relatif stabilnya kekuasaan dan tidak adanya pem,bukaan wilayah baru serta

hampir tidak adanya pemberontakan-pemberontakan yang merongrong

pemerintahan Abbasiyah.

35Dua khalifah ini memang paling menonjol diantara khalifah-khalifah yang lain,sehingga kedua khalifat ini dapat disebut sebagai khalifah paling besar. Banyak buku yang ditulissecara khusus mengenai khalifah tersebut, misalnya, Andre Clot, Harun al-Rasyid and the Word ofthe Thausand and One Nights (London: Saqi Book, 1989). Lihat juga Didin Saefuddin Buchori,Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009). 101.

36Wazir adalah seorang yang dipercaya khalifah untuk memimpin sebuah lembaga yangdi namakan al-Wizarat. Lembaga dan jabatan ini dalam sejarah pemerintahan Islam baru adasetelah dibentuk oleh khalifah Abu Ja’far al-Mansur. Wazir membawahi kepala-kepaladepartemen. Ia adalah seorang pembantu dan sekaligus penasihat utama Khalifah, di manatugasnya adalah mewakili Khalifah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan mengangkat parapejaban negara atas persetujuan kahalifah. Wazir berkedudukan sebagai kepala pemerintahanekseutif dan pemimpin pasukan militer. Lihat. Suyuti Pulungan, fiqih siyasah (Jakarta: RajawaliPres, 2002), 173.

37Diriwayatkan bahwa imbalan yang diberikan kepada para pennerjemah adalah berupaemas seberat buku yang diterjemahkan. Para penerjemah berasal dari kalangan Muslim dan non –Muslim. Kendati demikian, justru penerjemah yang paling terkenal adalah dari kalangan non-Muslim sepertiu; Hunain bin Ishak dan tsabit bin Qurrah. Lihat. Didin Saefuddin Buchori, SejarahPolitik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 102.

Page 28: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

15

6. Adanya kebuyaan yang heterogen di Baghdad, sehingga menimbulkan proses

interaksi antara satu budaya dengan budaya yang lain.38

7. Situasi sosial Baghdad yang kosmo polit di mana berbagai macam suku, ras

dan etnis serta masing-masing kulturnya yang berinteraksi satu sama lain,

mendorong pemecahan masalah dari pendekatan intelektual.39

Ketujuh faktor inilah yang mendorong tercapainya kemajuan yang begitu

pesat di bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan yang diraih pada masa dinasti

Abbasiyah terutama pada masa Harun al-Rasyid dan Khalifah al-Ma’mun.

Dalam sejarah, pemerintahan al-Makmun bisa menjadi besar tidak terlepas

dari kebijakan-kebijakan pendahulunya yang telah sukses dalam

pemerintahannya, antara lain; Khalifah abu Ja’far al-Mansyur dan Khalifah Harun

al-Rasyid.40

Ayahnya, Harun al-Rasyid cukup berhasil dalam bidang keuangan negara

dan pembangunannya. Keduanya mempunya peranan yang cukup besar untuk

kemajuan, bukan saja pada bidang memperluas wilayah kekuasaan, melainkan

juga dalam hal meningkatkan penerjemahan-penerjemahan terhadap filsafat

yunani dengan segala aspeknya kedalam bahasa Arab.41

Keberpihakan khalifah – pada masa klasik tersebut – terhadap ilmu

pengetahuan membawa suasana baru dan mendapat dukungan serta perhatian

38Dibaghdad terdapat empat kebudayaan yang berlainan, yaitu kebudayaan Arab, Persia,Yunani dan Hindu. Lihat Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: PustakaIntermasa, 2009), 102.

39Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, 102.

40Kekayaan yang banyak dimamfaatkan oleh khalifah Harun al-Rasyid untuk keperluansocial, antara lain; membangun rumah-rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Padamasa pemerintahannya sudah terdapat paling tidak sekitar 850 dokter. Di samping itu jugamembangun tempat-tempat pemandian ( sebagai fasilitas) umum. Tingkat kemakmuran yangpaling tinggi terwujud pada masa khalifah ini, antara lain; kesejahteraan, kesehatan, pendidikan,ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada masa keemasannya. Pada masainilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Lihat BadriYatim, Sejarah Pradaban Islam (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000), 52.

41Diantara buku-buku filsafat yang di terjemahkan pada masa khalifah al-Mansyur adalahbuku-buku logika, kemudian pada masa al-Ma’mun dilakukan penerjemahan terhadap buku-bukufilsafat yang lain, seperti ketuhanan, etika dan psikologi. Lihat, A. Hanafi, Pengantar FilsafatIslam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 41. Lihat juga Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagaiaspek (Jakarta: UIP, 1985), 68.

Page 29: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

16

penuh terhadap kegiatan-kegiatan intelektual Islam. Menurut hanun, umat Islam

pada saat itu juga memiliki perhatian yang cukup besar terhadap pemikiran yang

rasional dan filosofis. Akibatnya, terjadi perkembangan dalam bidang keagamaan,

yang sebelumnya dominan bersumber dari doktrin agama, kemudian

dikembangkan secara nalar dan filosofis sehingga muncul pembagian terhadap

ilmu-ilmu naqliyah dan ilmu-ilmu aqliyah.42

Khalifah al-Ma’mun telah menjadikan pemerintahannya mencapai

kemajuan yang luar biasa yang ”belum pernah” dialami oleh para pendahulunya.

Beliau memadukan antara keunggulan ilmu pemgetahuan dan teknologi serta

agama dalam rangka mengemban amanat. Karenanya, ia percaya bahwa ahli ilmu

merupakan sekelompok hamba Allah yang terpilih diantara hamba-hambanya.

Itu karena ahli-ahli ilmu laksana tentara dan pemimpin umat manusia yang kalau

mereka lenyap dunia akan kesepian.43

Kecintaan dan kekaguman al-Ma’mun terhadap ilmu pengetahuan telah

ditanamkan dan tumbuh sejak masih kanak-kanak. Menurut Ahmad syalabi dalam

bukunya ”Sejarah Kebudayaan Islam” mengatakan bahwa diantara faktor yang

menjadikan sebutan al-Ma’mun adalah keintelektualannya dan kecintaannya

terhadap Ilmu pengetahuan, serta jasa-jasanya itulah yang telah meletakkan

dirinya di puncak daftar khalifah-khalifah Abbasiyah.44

Khalifah yang sangat cinta dengan ilmu pengetahuan itu mengundang para

ilmuwan dari beragam Agama untuk datang kebait al-Hikmah. Al-Ma’mun

menempatkan para intelektual itu dalam posisi yang sangat mulia dan sangat

terhormat. Para filosof, ahli bahasa, dokter, ahli fisika, matematikus, astronom,

ahli hukum serta para sarjana yang mengusai ilmu lainnya digaji dengan bayaran

yang sangat tinggi.

Dengan insentif dan gaji yang sangat tinggi itu, para ilmuwan tersebut

dipacu semangatnya untuk terus menterjemahkan beragam teks ilmu pengetahuan

42Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kalimah, 1999), 103.

43Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000), 85.

44Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, terj. (Jakarta: Bulan Bintang,1991), 190.

Page 30: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

17

dan karya-karya dari berbagai bahasa seperti, Yunani dan sansekerta ke dalam

bahasa Arab. Bahkan demi perkembangan ilmu pengetahuan khalifah al-Ma”mun

rela mengirimkan utusannya untuk pergi ke Bizantium guna mengumpulkan

beragam manuskrip yang termashur untuk di terjemahkan kedalam bahasa Arab.

Di Bait al Hikmah ini, Ia mengumpulkan berbagai buku (sumber) tentang

ilmu pengatahuan, sehingga pada zamannya itulah lahir tokoh-tokoh filosof Arab

yang agung, yaitu Abu Ya’kub bin Ishaq al-Kindi (180- 258H./ 796-873 M.) yang

telah menulis beberapa buku tentang ilmu pengetahuan. Al-farra, (w. 820 H),

seorang ahli filologi yang telah menuliskan buku untuk al-ma’mun dan

mendiktekan secara umum tentang tafsir al-Qur’an.45

Selain al-Kindi dan al-farabi, banyak lagi tokoh-tokoh lain yang muncul

ketika al-ma’mun memerintah. Di antara tokoh-tokoh utama dalam kerajaan al-

Ma’mun antara lain; Yahya bin Aktam yang menjadi Qadhi Qodhat (Hakim

Agung), juga seorang ahli hadits yang terkemuka. Ahmad bin Daud al-Mu’tazilah,

seorang alim yang disegani di istana.46 Tokoh-tokoh ini telah memdapatkan

pendidikan klasik dengan baik, mereka merupakan para ahli dibidang filsafat

yunani, fiqih dan ilmu-ilmu agama adalah berkat kemudahannya dalam

mempelajari ilmu-ilmu asing kedalam bahasa mereka (Arab).

Tidak dapat dielakan lagi bahwa penerjemahan buku karya-karya

pemikiran yunani telah menyebabkan semaraknya dunia ilmu pengetahuan Islam

di masa klasik. Hal ini mengakibatkan pada kegairahan gerak ilmiah secara

Liberal, bebas. Dan berimbas kepada kebebasan terhadap materi pendidikan, baik

pendidikan agama maupun pendidikan filsafat. Walapun pendidikan di masa

klasik ini tidak sekompleks pendidikan modern, namun pendidikan Islam klasik

dapat dikatakan maju bahkan dianggap telah mencapai masa keemasan sepanjang

sejarah.

Menurut Watt, sebelum munculnya penerjemahan buku-buku Yunani,

memang telah terjadi kegiatan intelektual yang gencar dikalangan orang-orang

45J. Pederson, Fajar Intelektualisme Islam (Bandung: Mizan, 1996), 72.

46Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, terj. (Jakarta: Bulan Bintang,1991), 141.

Page 31: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

18

Islam, terutama mengenai masalah-masalah fikih.47 Dengan demikian etos

intelektual memang sudah ada dikalangan umat Islam sebelum penterjemahan

berlangsung.

Sejak permulaan penerjemahan karya-karya pemikiran Yunani, pendidikan

Islam mengalami kemajuan cukup pesat baik dalam materi pengajaran

(kurikulum) maupun lembaga pendidikannya,48 misalnya Bait al-Hikmah, menjadi

pusat kegiatan ilmiah.49 Hal ini disebabkan karena peran kebijakan yang terapkan

oleh khalifah al-Ma’mun yang di anggap tepat dan cukup gemilang pada saat itu.

Menurut Mehdi Nakosteen, gerakan penerjemahan yang berlangsung di

Baghdad tidak dapat dilepaskan dari gerakan penerjemahan yang sebelumnya

dilakukan pada masa kekaisaran Sassaniyah, yakni yang berpusat disebuah

akademi yang bernama jundishapur.50

Gelombang Hellenisme,51 merupakan akibat yang wajar dari hasil kegiatan

penerjemahan karya-karya Yunani kuno kedalam bahasa Arab. Meskipun hal itu

nampaknya telah dirintis sejak zaman Bani Ummayah di Damaskus – misalnya,

47W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam, Terj. Hartono Hadikumoro (Yogyakarta: TiaraWacana, 1990), 139.

48Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kalimah, 1999), 43.

49Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 23

50Jundishapur adalah sebuah lembaga akademi yang merupakan pusat kegiatanpenerjemahan buku karya-karya ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani serta Hindu ke dalambahasa Pahlavi dan Syiria ke dalam bahasa Arab, lihat. Mehdi Nakosteen, History of IslamicOrigins of Western Education AD 800-1350. terj. Joko S. Kahar. (Colorado: University ofColorado Press, 1964), 33.

51Menurut Nurcholis Madjid, istilah “Hellenisme” pertama kali diperkenalkan oleh ahlisejarah dari Jerman, J.G.Droysen. Droysen menggunakan istilah “Hellenisme” sebagai sebutanuntuk masa yang dianggapnya sebagai periode peralihan antara Yunani kuno dan dunia Kristen.Lihat Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang MasalahKeimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta:Paramadina, 1995, hal. 233. Berbeda denganDroysen, beberapa ahli sejarah, seperti Bernard Lewis dan Philip K. Hitti, menggunakan istilah”Hellenisme” sebagai sebutan un tuk adopsi peradaban Yunani Kuno maupun peradaban Yunanipada masa sesudah meninggalnya Alexander Agung. Peradaban Hellenisme dapat dibedakan atasperadaban Hellenis dan Hellenistik, yang berasal kata “Hellene” yang artinya Greek atau Yunani.Hellenis adalah peradaban Yunani Kuno mulai 776 S>M.sampai meninggalnya Alexander Agungpada tahun 323 S.M. Sedangkan Hellenistik adalah peradaban Yunani pada masa sejakmeninggalnya Alexander Agung sampai berkuasanya Romawi atas wilayah-wilayah Hellenistik,Lihat Edward Mc Nall Burns dan Philip Lee Ralp, Civilizations from ancient to Contemporary(New York: W.Norto and Company, Inc, 1963), 246-247.

Page 32: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

19

disebut-sebut bahwa khalifah Ibn Yazid (w. 84 H./704 M.), seorang putera

khalifah yang klaim kehalifahannya ditolak, telah mencurahkan perhatiannya

kepada pengkajian filsafat – akan tetapi gerakan penerjemahan itu sendiri baru

mencapai puncaknya pada masa pemerintahan khalifah al-Ma’mun yang berpusat

di Baghdad dengan menganut faham Mu’tazilah.52

Pemikiran Hellenistik pertama kali menjadi perhatian umat Islam setelah

mereka tertarik kepada Teologi.53 Perdebatan antara umat Islam dan Kristen yang

dilaksanakan di majelis-majelis oleh khalifah-khalifah Dinasti Umayyah,

menyebabkan umat Islam mengenal kebudayaan Hellenistik.Ketertarikan umat

Islam terhadap kebudayaan Yunani dilanjutkan dengan penerjemahan buku-buku

yunani kedalam bahasa Arab.

Ketertarikan berikutnya adalah dengan terjadinya kontak yang semakin

dekat, dan khalifah al-Manshur memindahkan pusat pemerintahannya ke

Baghdad, dekat ibu kota Persia, Ctesiphon, sekitar 762M.54

Berkat kebijakan dalam memerintah dan jasanya dalam mengembangkan

ilmu pengetahuan dan memajukan ”Pendidikan Islam”, maka al-Ma’mun pantas

dimasukan kedalam daftar khalifah besar Dinasti Abbasiyah. Menelusuri jejak-

jejak sejarah kepiawaian al-Ma’mun sebagai seorang khalifah besar Daulat Bani

Abbasiyah dalam mengelola kebijakan negara, terutama dalam memajukan

peradaban dan kebudayaan klasik dengan semangat menggali budaya-budaya

asing; Helenistik, Persia dan Yunani melalui penterjemahan-penterjemahan dan

membangun lembaga observatory, sehingga dapat mengantarkan kemajuan ilmu

pengetahuan dan pendidikannya menghasilkan sebuah peradaban yang gemilang

saat itu.

52Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 23.

53Gelombang Hellenisme pertama bersentuhan dengan pemikiran Islam memang lebihbanyak terlihat dalam pemikiran teologi. Lihat W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi danFilsafat Islam, (Jakarta: P3M., 1987), 54-113.

54Pemindahan ibu kota ke Baghdad dikarenakan merasa kurang aman berada di tengah-tengah orang Arab yang selalu berebut kekuasaan. Lihat Hanun, Sejarah Pendidikan Islam(Jakarta: Kalimah, 1999), 29.

Page 33: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

20

Salah satu usaha keseriusan al-Ma’mun dalam pengembangan ilmu

pengetahuan adalah dengan mengembangkan Bait al-Hikmah. Lembaga ini

kemudian difungsikan sebagi pusat penerjemahan buku-buku sains dari Yunani,

dan untuk menambah leterature lembaga tersebut maka al-Ma’mun mengurimkan

utusannya ke Bizantium untuk memperoleh manuskrip-manuskrip Yunani.

Diantara penerjemah terkenal pada masa itu adalah Yahya bin Masawaih, al-

Hajjaj bin Mathar, dan Yahya bin al-Bittriq.55

Diantara karya-karya terjemahan yang ada adalah karya Yahya bin al-

Bittriq (Galen, Hippocrates, dan Ptolemi tentang Quardripartium, dan karya

Euchid tentang Elements), karya Hunain bin Ishaq atau Joantitus, seorang kristen

Nestorian dari Hirah (Galen, Aristoteles tentang Catagories, Phisic, Magna

Moralia, dan Hermeneutics, Plato tentang Republik, Timeus, The Laws, dan

Hippocrates tentang aphorisme, Diascorides tentang Materia Medica, Ptolemi

tentang Astronomi), karya anak dari Hunain (Aristoteles Metaphisics, Filsafat

jiwa, De Generatione at De coruptione, dean komentar dari Alexander terhadap

pemikiran aristoteles).56

Menurut Stanton, sampai akhir abad ke 10, hampir semua karya-karya

yang terkenal di museum Hellenistik telah diterjemahkan seluruhnya ke dalam

bahasa Arab. Mengngat betapa besarnya perhatian al-Ma’mun terhadap ini, maka

Bernard Lewis menyatakan bahwa Islam merupakan pewaris pusaka Hellenisme

ketiga setelah Greek dan Latin Christendom, dengan melakukan penerjehan secara

besar-besaran karya-karya warisan Yunani kedalam bahasa Arab.57

Demikian berkembangnya penerjemahan pada masa al-Ma’mun,sehingga

jumlah karya-karya Yunani telah berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Arab

dengan sangat berlimpah, oleh sebab itu, akhir abad ke sembilan belas hampir

55Philip K. Hitti, History of Arab (London: Macmillan Press Ltd., 1974), 310.

56Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Islam Klasik(Bandung: Angkasa, 2004), 184.

57Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, terjemahan Jamhuri (Jakarta:Pedoman Ilmu Jaya, 1988), 140.

Page 34: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

21

semua karya-karya yang diketahui dari museum Hellenistik telah tersedia bagi

ilmuwan-ilmuwan Muslim.58

B. PERMASALAHAN

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana di jelaskan di atas,

maka penelitian yang berjudul” Pengaruh kebijakan al-Ma’mun terhadap

kemajuan Pendidikan Islam” merupakan keingin tahuan penulis untuk

mengungkapkan dan mengidentifikasi langkah-langkah kebijakan strategis apa

saja yang telah diambil khalifah al-Ma’mun pada masa pemerintahannya,

sehingga bisa mencatatkan dirinya pada puncak daftar khalifah-khalifah besar

dinasti Abbasiyah,59 dan membawa pencerahan terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan dan dunia pendidikan Islam pada umumnya.

Pada umumnya para pakar sejarah (Charles Michael Stanton dan W.

Montgomery, Watt) baik peneliti atau pun penulis sejarah memberikan penilaian

bahwa; pada masa Daulah Abbasiyah (terutama pada masa pemerintahan khalifah

Harun al-Rasyid dan puteranya al-Ma’mun) inilah telah tercapai Era Keemasa

Islam (The Golden Age of Islam) dalam rentang waktu yang panjang.

Didin Saefuddin Buchori, setidaknya mencatat ada tujuh faktor yang

mendukung keberhasilan khalifah al-Ma’mun dalam membawa kemajuan ilmu

pengetahuan dunia pendidikan Islam.60

Prestasi yang diraih oleh khalifah al-Ma’mun itulah yang mendorong

penulis untuk melakukan penelitian tentang upaya kebijakan apa sajakah yang

telah dilakukan pada masa pemerintahannya dan apa kontribusinya terhadap

kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

58Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, alih bahasa H. Affandi danHasan Asari (Jakarta : Logos Publishing Housa, 1994), 83.

59Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid III, terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal.190.

60Didin Saefuddin Buchori, Zaman Keemasan Islam (Jakarta: Radja Grafindo Persada,2001), 148-150.

Page 35: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

22

2. Pembatasan Masalah

Tesis yang berjudul ”Kebijakan al-Ma’mun tentang Pendidikan” ini

penulis kemukakan beberapa model kebijakan pemerintahan Khalifah al-

Ma’mun dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan

pendidikan Islam yang penulis anggap baik dan representatif.

Ada beberapa jenis kebijakan politik yang dapat memberikan pengaruh

positif terhadap umat Islam pada masa itu, seperti tentang pemindahan

pemerintahan kota, kebijakan tentang upaya memajukan ilmu pengetahuan dan

pendidikan, kebijakan tentang pemberlakuan mihnah,61 dan menjadikan faham

Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara. Serta kebijakan internal dalam upaya

mendamaikan keluarga bani hasyim.

Ada pun jenis kontribusi dari kebijakan tersebut dapat di gambarkan

menjadi dua, yaitu: Pertama, kontribusi terhadap pendidikan yang ada adalah

meliputi; materi (kurikulum) pendidikan, membangun perpustakaan, Bait al-

Hikmah dan Observatorium. Kedua, kontribusi terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan yang meliputi; gerakan penerjemahan, mengembangkan diskusi-

diskusi dan melegalisasi faham rasionalisme Mu’tazilah menjadi mazhab resmi

negara.

Jenis-jenis kebijakan dan kontribusinya inilah yang akan penulis paparkan

dalam tesis. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan dalam tesis ini lebih terfokus

terhadap Kebijakan Kahalifah al Ma’mun dan kontribusinya terhadap kemajuan

pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam yang tidak terlalu melebar,

sehingga dapat diketahui batasan-batasan yang jelas dalam penyajian tesis ini.

61Secara fenomenologi,Mihna dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam telah terjadisebelum masa al-Ma'mun. jahm Ibn Sofwan dihukum mati karena ia membawa paham sendiri,Ma'bad al-Juhani dihukum mati karena melahirkan paham Qadariyah pada masa khalifah abdulMalik ibn Marwan pada tahun 80 Hijriyah, ghaylan al-Dimasyqi juga dihukum mati oleh Hisyamibn Abdul Malik pada tahun 105 H. lihat, Ahmad Amin, D}uha al-Islam (Kairo:al- Nahdah al-Misriyah), 162, dan Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),14, Semacam ujian untuk meyakinkan paham/keyakinan terhadap orang lain.

Page 36: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

23

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan sebagai mana di paparkan di atas, maka

pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan pemerintah al-Ma’mun tentang pendidikan.

2 Apa kontribusinya terhadap kemajuan pendidikan.

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian yang mengkaji mengenai kekhalifahan dinasti Abbasiyah

memang sudah banyak dilakukan oleh para ahli sejarah dan disiplin ilmu lainnya

di seluruh penjuru dunia, akan tetapi penelitian yang secara mendetail mengenai

kebijakan yang diterapkan oleh khalifah al-Ma’mun terhadap kemajuan

pendidikan (Rasionalisme pendidikan) hemat penulis masih cukup sedikit

sehingga sampai penulis memulai penyususnan proposal tesis ini penulis merasa

belum cukup banyak membacanya.

Namun demikian masih tetap diperlukan sebuah kajian yang secara khusus

membahas mengenai kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh khalifah al-

Ma’mun pada saat itu, sehingga pada masa itu umat Islam tergerak untuk bangkit

mempelajari ilmu pengetahuan, bahkan akhirnya bisa membawa Islam kepada

puncak keemasannya.

Penulisan tesis ini lebih diarahkan kepada penelitian kepustakaan (library

riset) mengenai langkah-langkah kongkrit kebijakan yang diambil oleh Khalifah

al-Ma’mun pada masa pemerintahannya. Sehingga dengan kebijakan-kebijakan

itu al-Ma’mun mampu mengankat Islam untuk mencapai punjak keemasannya,

terutama pada bidang Ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Dalam hal ini menurut penulis penelitian terdahulu yang dianggap relevan

diantaranya :

Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam. The Clasical Periode,

A. D. 700-1.300. Rowman & littlefield Publisher, Inc. 1990. Mencoba untuk

membuktikan kaitan yang jelas antara kemajuan berbagai cabang ilmu

pengetahuan (sains) dalam peradaban Islam dengan lembaga Pendidikan Islam.

Page 37: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

24

As-Suyuti, Ta>rikh al-Khulafa>, Bairut Dar al-Kutub, menyatakan ;”al-

Ma’mun adalah seorang tokoh Bani Abbas yang paling utama keilmuan,

kehebatan, kesabaran dan kecerdasannya,”sehingga dapat menghantarkan

pemerintahannya mencapai puncak keemasan Islam.

Didin Saefuddin Buchori, Zaman keemasan Islam, Pustaka Intermasa.

2001. menjelaskan bahwa peradaban Islam pada periode ini juga dibuktikan

dengan banyaknya lembaga pendidikan dan pusat pendidikan, baik dalam bidang

keagamaan maupun ilmu pengetahuan umum, dan telah melahirkan banyak tokoh

intelektual Islam yang sangat penting dan berpengaruh bagi peradaban modern.

D. Tujuan Penelitian

Ada pun yang menjadi tujuan dari penulisan tesis ini, dapat penulis

kemukakan sebagai berikut :

Pertama, untuk memberikan informasi dan padangan tertentu bahwa al-

Ma’mun bin Harun al-Rasyid merupakan seorang tokoh dan sekaligus ulama-

cendikiawan, sehingga beliau diberi julukan oleh umat Islam sebagai ” orang

besar” (The Great), yang telah menghantarkan umat Islam untuk mencapai masa

keemasannya.

Kedua, memberikan informasi seobyektif mungkin, bahwa tidak selalu

benar, ada anggapan kalau pola kepeminpinan para khalifah bani Abbasiyah yang

keturunan arab bersifat eksklusif dan monarkhis. Hal ini setidaknya dibuktikan

oleh salah satu pemimpin yaitu khalifah ke-7 bani Abbasiyah yakni al-Ma’mun

bin Harun al-Rasyid mampu menampilkan gaya kepemimpinan yang merakyat

dan egaliter dapat diterima kalangan manapun baik Arab maupun non Arab.

Sehingga mampu mengankat pemerintahannya mencapai punca kejayaannya..

Ketiga, memberikan gambaran bahwa kebijakan yang diterapkan oleh

pemerintahan al-Ma’mun mampu memberikan dinamika ilmiah yang cukup ideal

pada saat itu, sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh kedua

pendahulunya; yakni al-Mansyur dan Harun al-Rasyid dalam memprioritaskan

aspek peradaban Islam, yaitu: pendidikan dan ilmu pengetahuan melalui kegiatan

penerjemahan karya-karya yunani dan pengembangan ilmu-ilmu lainnya.

Page 38: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

25

E. Manfaat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan mengenai kebijakan yang ditempuh

khalifah al-ma’mun pada masa pemerintahannya sehingga membawa kemajuan

terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan ini diharapkan dapat bermamfaat

umumnya bagi para pembaca sebagai bahan kajian/pemikiran bagi yang akan

melakukan kajian/penelitian lebih lanjut, dan juga bagi para pengambil kebijakan

di bidang pendidikan Islam di Indonesia mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi

sumber inspirasi dalam menentukan arah kebijakan pendidikan Islam di Indonesia

agar pendidikan Islam khususnya dan pendidikan pada umumnya yang ada di

tanah air ini bisa bangkit dan lebih baik dari saat ini.

Penelitian ini pun diharapkan dapat memberikan motivasi dan menambah

khazanah keilmuan bagi peneliti khususnya dan bagi teman-teman pendidik untuk

mendapatkan informasi yang seobyektif mungkin mengenai pola-pola

kepemimpinan bani abbasiyah terutama pada masa pemerintahan khalifah al-

Ma’mun, sehingga sanggup membawa dunia Islam mencapai puncak

keemasannya, terutama dalam bidanmg ilmu pengetahuan dan pendidikan.

F. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode, seperti

metode historis, library riset dan conten analisis. Maksud dari setiap metode dan

penerapannya secara ringkas dapat penulis uraikan sebagai berikut:

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kesejarahan (historical

approach) yang terpokus kepada penelitian tentang biografis, yakni penelitian

tentang pendidikan seseorang, sifat-sifat, watak, pengaruh pengaruh lingkungan

maupun pemikiran dan ide-ide dari subjek serta pembentukan karakter tokoh.

Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengkaji biografi al-Ma’mun, situasi dan

kondisi yang dimungkinkan untuk ikut serta mempengaruhi pola pengambilan

kebijakan-kebijakannya dalam melaksanakan pemerintahannya.

Page 39: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

26

Teknik analisis62 penelusuran data dalam penelitian ini menggunakan cara

library research, yakni dengan mengkaji karya-karya ahli sejarah dan pendidikan

tentang al-Ma’mun untuk memperolah data mengenai kebijakan yang diterapkan

al-Ma’mun dan kontribusinya terhadap kemajuan pendidikan dan ilmu

pengetahuan dalam peradaban Islam secara lengkap.

Disisi lain juga dalakukan penelusuran data yang sama dalam rangka

memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai lembaga-lembaga

pendidikan dan ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu.

Ditinjau dari sifatnya ini, kemudian penulis menggolongkan data tersebut

kedalam katagori penelitian kualitatif dengan prosedur kegiatan dan teknik

penyajian hasil finalnya secara deskriptif.

Adapun teknik penulisan tesis ini mengacu kepada buku pedoman

penulisan karya ilmiah (makalah,tesis dan disertasi) Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2010 – 2011.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini mengikuti kepada buku pedoman penulisan karya

ilmiah (karya ilmiah,tesis dan disertasi) yang diterbitkan oleh UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Sebagai mana lazimnya sebuah tesis atau buku,

pembahasan dalam tesis ini dibagi ke dalam beberapa bab yang saling

berhubungan satu bab dengan bab selanjutnya. Penelitian ini dibagi menjadi lima

bab yang terdiri dari satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan, dan satu bab

penutup, dengan komposisi sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan yang di dalamnya akan dijelaskan

mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah,

telaah kepustaan, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika

penulisan.

62 Metode pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untukmemperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metoda pengumpulan data denganmasalah penelitian yang akan di pecahkan, masalah memberi arah dan mempengaruhi metodapengumpulan data. Kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik serta alat pengumpulan dataakan memungkinkan untuk tercapainya pemecahan masalah secara valid dan realiable serta dapatdirumuskan secar obyektif.

Page 40: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

27

Pada bab dua ini akan diuraikan tentang hubungan negara dan

pendidikan dalam pemerintahan al-Ma’mun yang meliputi; kekuasaan dan

pendidikan, kebijakan pendidikan dan hakikat pendidikan.

Pada bab tiga akan dijelaskan mengenai perkembangan lembaga-

lembaga pendidikan sebelum al-Ma’mun yang berhubungan dengan masdjid,

maktab, toko-toko buku atau kedai dan majlis-majlis, serta perkembangan ilmu

pengetahuan sebelum masa pemerintahannya.

Pada bab empat ini akan diuraikan tentang perkembangan lembaga

pendidikan pada masa pemerintahan al-Ma’mun yang meliputi; perpustakaan, bait

al-hikmah dan observatorium, dan perkembangan ilmu pengetahuan serta

kontribusinya pada masa pemerintahannya yang meliputi; gerakan penerjemahan,

mengembangkan diskusi-diskusi dan mengembangkan faham rasionalisme

Mutazilah.

Pembahasan berikutnya berupa pembahasan terakhir atau bab penutup,

yang di dalamnya akan disajikan mengenai kesimpulan dari permasalahan yang

telah di bahas dalam tesis ini dan daftar pustaka.

Page 41: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

28

BAB II

HUBUNGAN NEGARA DAN PENDIDIKAN

DALAM SEJARAH ISLAM

Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang

sangat menentukan terhadap eksistensi dan perkembangan masyarakat itu sendiri,

oleh karena, pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan secara sadar

untuk melestarikan, dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai

kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi muda sebagai

pewaris itu semua.

Demikian pula halnya di kalangan umat Islam, pendidikan Islam

mempunyai peranan yang sangat penting, peran pendidikan dikalangan umat

Islam merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk

melestarikan, mengalihkan dan menanamkan (internalisasi) dan

mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam kepada pribadi-pribadi generasi

penerusnya sehingga nilai-nilai kultural religius yang dicita-citakan dapat tetap

berfungsi dan berkembang dalam kehidupan dimasyarakat dari waktu ke waktu.

Dengan istilah lain pendidikan Islam mempunyai peran untuk menanamkan,

mengintegrasikan iman dan takwa dengan ilmu pengetahuan dalam pribadi

manusia untuk mewujudkan kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat.

Guna mewujudkan itu semua, maka tanggung jawab terhadap Pendidikan

tidak dapat dibebankan kepada salah satu pihak saja, malainkan semua pihak

harus terlibat dalam hal Pendidikan. Dengan kata lain tanggung jawab Pendidikan

merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, diri sendiri, sekolah,

masyarakat dan pemerintah (Negara).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Negara mempunyai hubungan

yang signifikan dengan Pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut.

Oleh karena itu pada bab ini akan diuraikan mengenai perkembangan

pembentukan pemerintahan Islam pada masa Nabi Muhammad Saw.dan kaitannya

dengan perkembangan Pendidikan masa Islam pertama, kebijakan Pendidikan

dan hakikat Pendidikan.

Page 42: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

29

A. Kekuasaan dan Pendidikan.

Pendidikan sangat erat kaitannya dengan struktur kekuasaan di dalam

masyarakat, kekuasaan yang mengabaikan atau merampas hak-hak asasi manusia

akan menyebabkan terhambatnya perkembangan manusia. Oleh sebab itu, peran

pemerintahan dalam pendidikan sangat menentukan, terutama dalam

mempasilitasi terciptanya kemerdekaan individu yang sejati, dimana setiap

individu berhak untuk dapat mengembangkan dirinya dan bersama-sama

memecahkan masalah bersama.

Di sini kita akan melihat betapa peran pentingnya pendidikan bagi rakyat

yang merupakan dasar bagi rakyat untuk dapat berkembang. Pendidikan

merupakan alat penting dalam proses kesetaraan dan kesejahteraan anggota

masyarakat dalam arti semua orang mempunya kesempatan yang sama untuk

berkembang.

Di bawah ini akan diuraikan mengenai proses terjadinya pendidikan dan

kaitannya dengan pemerintahan pertama dalam Islam, serta konep-konsep tentang

pendidikan dari beberapa tokoh pendidikan.

1. Bentuk pemerintahan dan Pendidikan Islam

Bentuk pemerintahan Islam yang dibangun pertama kali oleh Nabi

Muhammad saw. di Madinah, bukanlah berbentuk kerajaan atau kekaisaran

seperti yang di anut oleh dua kekuasaan yang telah ada pada saat itu, yaitu

Kekaisaran Sasaniyah di Persia dan Kekaisaran Romawi Timur di Bizantium.

Akan tetapi, pemerintahan yang dianut Nabi pada waktu itu, sudah bisa dikatakan

pemerintahan yang cukup ideal atau sudah modern untuk ukuran saat itu.

Tatanan sosial politik yang dibangun Nabi Muhammad telah membuat

kagum umat Islam dan sekaligus para ahli peneliti tentang Islam. Fenomena ini

menurut Antony Black, merupakan sebuah gambaran yang menggambarkan

kesuksesan besar yang tidak dapat dicapai oleh kebanyakan revolusi.63

63Antony Black, Pemikiran Politik Islam, terj. Abdullah Ali (Jakarta: Serambi, 2006),36.

Page 43: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

30

Kenyataan bahwa Nabi Muhammad, memimpin negara dan kekuasaan

agama secara sekaligus, merupakan implementasi dari nilai-nilai ajaran agama

Islam yang mengungkapkan mengenai kesatuan antara agama dan kekuasaan,

antara yang sakral dan frofan, antara dunia dan akhirat.

Bagaimana Nabi bisa membentuk pemerintahan yang demikian ideal, dan

bagaimana perjuangnnya dalam melakukan penataan sosial politik masyarakat

setelah ditetapkan sebagai nabi dan rasul di tanah kelahirannya Mekah, maka

perlu diperhatikan beberapa aspek geografi, etnografi, dan antropolgi bangsa Arab

pada masa pra Islam.

Jazirah Arab adalah sebuah wilayah yang dipenuhi oleh padang pasir.

Menurut bahasa kata ”Arab” berarti juga padang pasir, tanah gundul, dan

gersang yang tiada air dan tanamannya.64 Luas wilayah jazirah arab kurang lebih

1.100.000 mil persegi atau 3.156.558 kilo meter persegi, yang terletak antara

Benua Asia dan Benua Afrika. Sebelah barat daerah Arab dibatasi oleh laut

merah, dan sebelah timur dibatasi oelh teluk Persia atau laut Oman atau sungai

Daljah (Tiggris) dan Furrat (Euphraat). Sedangkan disebelah selatan dibatasi oleh

samudra Hindia dan sebelah utaranya oleh Sahara Tiih, yaitu lautan pasir yang ada

di antara Negeri Syam dan sunga Furrat. Itulah sebabnya daerah Arab ini terkenal

sebagai pulau dan dinamakan Jaziratul Arabiyah.65

Jazirah Arab ini dibagi atas dua bagian, yaitu bagian tengah dan bagian

tepi. Bagian tengah ini terdiri dari tanah pegunungan yang amat jarang dituruni air

hujan. Penduduknya sedikit dan terdiri atas kaum pengembara (nomaden) yang

selalu berpindah-pindah tempat menuruti turunnya hujan dan mencari padang-

padang yang banyak ditumbuhi rumput untuk menjadi tempat menggembalakan

ternak, dan penduduknya di kenal dengan sebutan kaum badui, yaitu penduduk

gurun.66

64Shaykh Shafi’ur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terj. Kathur Suhardi(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), 25.

65Munawar Chalil, Kelengkapan Ta>rikh Nabi Muhammad Saw. (Jakarta: Gema InsaniPress, 2001), 13.

66Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 3.

Page 44: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

31

Menurut Hussein Haikal,67 dasar hidup pengembaraan tersebut adalah

kabilah. Kabilah-kabilah, yang selalu berpindah-pindah dan sering mengembara

itu, tidak mengenal suatu peraturan atau tata cara seperti yang kita kenal sekarang,

melainkan hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan

kebebasan kabilah yang penuh. Mereka tidak mempedulikan kemewahan, hidup

untuk menetap, serta tidak tertarik kepada apa pun termasuk pendidikan selain

kebebasan. Mereka hanya mau hidup dalam persamaan yang penuh dengan

anggota-anggota kabilahnya, oleh karena itu mereka tidak menyukai ketidak

adilan yang ditimpakan kepada mereka, dan mereka mau melawannya mati-

matian kalau pun tidak, mereka akan pergi meninggalkannya.

Oleh karena itu, penduduk padang pasir ini mempunyai sifat pemberani,

karena memang dalam hidupnya banyak sekali mengalami berbagai tekanan dan

kesulitan, sehingga menimbulkan keberanian. Akan tetapi, keberinian ini sering

disalah gunakan, diantaranya adalah untuk memerangi penduduk yang menempati

daerah yang subur, oleh sebab itu, sering terjadi peperangan merebut daerah-

daerah yang subur.68

Ada pun bagian tepi merupakan sebuah pita kecil yang melingkari Jazirah

itu, di sini, boleh dikatakan hujun turun dengan teratur, oleh karena itu

penduduknya tidak ada yang mengembara, melainkan menetap disitu. Mereka

mendirikan kota-kota dan kerajaan-kerajaan, serta sempat pula membina berbagai

kebudayaan. Mereka ini biasa disebut ahlul h}ad}ar (penduduk negeri).69

Kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di Jazirah Arab di antaranya

Kerajaan Yaman, Kerajaan Saba, Kerajaan Himyar, Kerajaan Hirah dan Kerajaan

Ghassan. Kerajaan-kerajaan tersebut telah berperan penting dalam menyebarkan

kebudayaan Persia dan Romawi di Jazirah Arab. Di antara jenis kebudayaan yang

67Muhammad Hussen Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Bogor: LiteraAntarnusa, 2001), 14-15.

68Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Rizqi Putra, 2009), 14.

69Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 4.

Page 45: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

32

di bawa dari Persia dan Romawi itu antara lain, agama, ilmu pengetahuan, budaya

tulis baca dan kemiliteran,70

Jadi, jika dilihat dari segi pemukiman penduduk, maka bagsa Arab ini

terbagi dua, yaitu bangsa yang bemukim di desa-desa yang ada di padang pasir,di

dekat-dekat pegunungan yang hidupnya selalu berpindah-pindah, dengan jumlah

penduduk yang cukup besar. Dan mereka yang bermukim di kota-kota, yang

sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai pedagang, dan suka bepergian

keluar negeri secara individual.akan tetapi, karena sulitnya perjalan, lebih-lebih di

perjalanan sering mendapat gangguan, maka perdagangan mereka lalu tidak

memperoleh kemajuan.

Dalam hal agama, bangsa Arab sebenarnya telah mengenal Tuhan Allah,

memahami keesaan Allah, dan mengikuti agama yang menuhankan Allah. Hal ini

disebabkan karena mereka seringkali kedatangan dakwah dari para utusan Allah,

yang menyampaikan seruan kepada mereka supaya menyembah Allah yang Esa

semata-mata dan jangan sampai mempersekutukan sesuatu dengan-Nya.71

Utusan yang datang ke bangsa Jazirah Arab adalah Nabi Ibrahim as. Dan

Nabi Ismail as.sementara utusan Allah yang datang ke bangsa Arab dari kaun ’Ad

adalah Nabi Hud as. Sedangkan yang datang ke kaum Tsamud adalah Nabi Saleh

as. Sebelum itu, mereka adalah penyembah kayu-kayu,batu-batu dan menyembah

manusia yang dianggap sakti serta dapat memberi barang apa pun yang mereka

minta.

Kepercayaan terhadap agama tauhid ini lama-kelamaan berubah menjadi

penyembah berhala. Menurut riwayat Ibnu Khalibi,yang dikutip Fatah,dalam kitab

al-ashnam, perubahan kepercayaan itu terjadi karena adat bangsa Arab yang

selalu membawa batu yang diambil di sekitar ka’bah bila mereka akan

meninggalkan kota Mekah. Hal tersebut dilakukan karena mereka sangat

mencintai kota Mekah dan Ka’bahnya. Sehingga di mana pun mereka berada,

batu itu dipujanya sebagaimana mereka melakukan thawaf di sekeliling ka’bah.

70Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Mukhtar Yahya (Jakarta:Jayamurni, 1973), 26-30.

71Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 7.

Page 46: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

33

Kemudian batu-batu itu mereka bawa dan di tempatkan di sekeliling ka’bah, maka

penuhlah ka’bah itu dengan berhala-berhala, yang paling terkenal adalah Latta,

Uzza, Manah, dan Hubbal. Namun demikian masih ada orang yang tetap

mempercayai adanya tuhan Yang Maha esa (Allah), tetapi sudah terkontaminasi

pada pemujaan berhala.72

Mereka mengelilingi berhala,mendatangi dan berkomat-kamit di

hadapannya. Dengan penuh keyakinan, mereka berharap bahwa berhala-berhala

itu akan bisa memberika syafaat di sisi Allah dan mewujudkan apa pun yang

dikehendaki, mereka tidak segan-segan untuk meminta pertolongan tatkala

tengah menghadapi kesulitan dan berdoa untuk memenuhi kebutuhan.

Tidak hanya itu, mereka juga menunaikan haji dan thawaf disekeliling

berhala, merunduk dan bersujud di hadapannya. Mereka bertaqarub dengan

menyajikan berbagai macam korban,sesajen serta penyembelihan hewan piaraan

dan hewan qurban demi berhala dan menyebut namanya.

Kondisi kepercayaan seperti ini, turut mempengaruhi prilaku kehidupan

bangsa Arab saat itu, seperti dalam urusan makan dan minum, bagi bangsa Arab

pada saat itu dapatlah dikatakan tidak ada yang dilarang, karena tidak ada yang

dianggap kotor dan jijik, segala macam binatang boleh dimakan. Segala jenis

minuman boleh diminum, bahkan ada yang suka meminum darah binatang dan

darah yang dibekukan.73

Begitu pun dengan pelacuran yang biasa mereka lakukan, meski dilakukan

dengan cara tertutup. Para perempuan pelacur demngan terang terangan membuka

kedai pelacuran, yang mereka tandai dengan memasang bendera di muka

rumahnya masing-masing. Kalau pelacur itu hamil maka ia akan memanggil

semua laki-laki yang pernah mencampurinya. Setelah bayi itu lahir, maka

diundilah siapa laki-laki yang akan menjadi ayah dari si bayi tersebut. Hasil

undian itulah yang akan menentukan ayah sibayi itu.74

72Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Rizqi Putra, 2009), 17.

73Munawar Chalil, Kelengkapan Ta>rikh Nabi Muhammad Saw (Jakarta: Gema InsaniPress, 2001), 30.

74Shaykh Shafi’ur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terj. Kathur Suihardi(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), 60

Page 47: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

34

Begitu pula, dengan pernikahan poliandri atau satu wanita yang memiliki

banyak suami juga terjadi di zaman itu. Bila wanita itu melahirkan anak, maka

ia(wanita) akan menentukana siapa ayah sibayi itu, dengan cara menunjuk salah

satu dari laki-laki(suami) yang dikehendakinya.75

Demikian halnya dengan kriminalitas, seperti mencuri dan merampok bagi

bangsa Arab di tanah Arab pada masa itu merupakan suatu perbuatan lainnya

yang biasa ada pada setiap kabilah, dan perbuatan itu dilakukan bukan saja oleh

kaum laki-laki melainkan juga oleh kaum perempuan. Hanya sebahagian kecil

saja dari mereka yang tidak biasa melakukannya.76

Kendati demikian,di kalangan mereka masih terdapat sifat-sifat terpuji

yang mengandung simpati dan kekaguman yang lain, seperti kedermawanan,

kesetiaan terhadap janji, keberanian, ketegaran, kesederhanaan dan sifat suka

menolong, bangsaq Arab paling tidak suka menerima penghinaan baik bagi

dirinya apalagi terhadap kehormatan kabilahnya. Bagi mereka, kepala berpisah

dari badan itu adalah urusan kecil dibandingkan dengan pelecehan terhadap

kehormatan diri dan kabilah mereka.77

Demikianlah kondisi keadaan bangsa Arab sebelum Islam. Dalam kondisi

seperti itulah, Nabi dilahirkan dan dibesarkan serta berjuang untuk mengajak

bangsa Arab dan umat Islam pada umumnya untuk kembali ke agama tauhid,

mengenal Tuhan Allah, memahami ke Esaan Allah, dan beribadah atau

menyembah hanya kepada Allah yang Esa semata tanpa melakukan persekutuan

dengan-Nya, serta memperbaiki kehidupan diri dan kelompok lingkungan sekitar

ke arah yang lebih baik.

Hal ini menyebabkan bangsa Arab sedikit sekali yang mengenal ilmu

pengetahuan dan kepandaian lainnya. Bahkan kaum Quraisy Mekah sebagai

penduduk kelas atas (Bangsawan) hanya 17 orang yang memiliki kemampuan

75Shaykh Shafi’ur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, 60.

76Munawar Chalil, Kelengkapan Ta>rikh Nabi Muhammad Saw., 29.

77Shaykh Shafi’ur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, 63-65

Page 48: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

35

tulis-baca, dan hanya 11 orang dari suku Aus dan Khazroj sebagai penduduk

Yatsrib (Madinah) yang pandai membaca.78

Menghadapi kenyataan seperti itu, maka Nabi Muhammad diutus oleh

Allah SWT. Dengan tujuan untuk memperbaiki akhlak, baik akhlak yang

berhubungan dengan Tuhan maupun sesama manusia.

Dalam masalah ilmu pengetahuan Rasul mengajak para sahabatnya untuk

mempercayai Allah yang Maha Esa, tidak Syirik, berakhlak mulia, dapat

dipercaya, jujur dan sekaligus berilmu. Untuk itu Rasul selalu menjelaskan kepada

para sahabatnya tentang Islam, amal sholeh, dan tentang kepercayaan.

Pengajaran ini mula-mula dilakukan di rumah salah satu sahabat Nabi

yang bernama Abu al-Arqam, di luar kota Mekah. Tempat tersebut kemudian

terkenal dengan sebutan Dar al-Arqam. Di sinilah Rasul pertama berdakwah dan

sekaligus membimbing dan mendidik umat Islam pada permulaan Islam. Sehingga

tempat itu dapat dianggap sebagai lembaga pendidikan pertama yang didirikan

Rasul.79

Lembaga Dar al-Arqam memang merupakan pusat kegiatan umat Islam

pada masa awal. Mula-mula secara sembunyi-sembunyi karena khawatir terhadap

tindakan suku Quraisy yang tidak menyukai tindakan Rasul. Dalam

perkembangannya menjadi tempat yang terbuka untuk umum, dan kegiatannya

pun bertambah banyak.

Selain membimbing tentang keimanan, Rasul juga membimbing yang

nantinya mengarah kepada kepandaian, dengan cara mengajak para sahabat untuk

menghafal, memahami dan mengamalkan isi ayat-ayat al-Qur’an yang sudah

turun, dan menyryh sahabat yang pandai menulis untuk menuliskannya. Mengenai

kepandaian menulis Rasul pernah menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib untuk

membuat huruf dengan mengambil contoh dari huruf bangsa Himyar. Usaha

tersebut menunjukan dimulainya umat Islam untuk mengarah kepada kepandaian

tulis baca.80

78Ahmad Amin, Fajar al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahd}ah, 1965), 141

79Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Kencana Prena Media, 2003), 18

80Ahmad Amin, D}uha> al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahd}ah, 1965), 241

Page 49: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

36

Melalui usaha itu Islam semakin berkembang, umat Islam makin

bertambah dan wilayah Islam semakin meluas. Dengan bimbingan Nabi dan

pengaruh al-Qur’an telah lahir orang-orang pandai. Sahabat dekat Nabi banyak

yang menjadi terkenal karena kemampuannya, di antaranya Umar bin Khattab, Ali

bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan

Aisyah.81

Ketika Rasul hijrah dan diangkat menjadi kepala negara, Rasul pun

melaksanakan:

1. Proklamasi berdirinya berdirinya sebuah negara dengan cara mengumumkanMadinah al-Munawarah baagi kota yatsrib sebagi ibu kota.

2. Mendirikan Masjid Nabawi sebagai pusat kegiatan umat Islam.3. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar berdasarka agama

sebagai basis warga negara,4. Membuat Undang-undang atau peraturan berdasarka perjanjian-perjanjian

yang terkenal dengan Traktat Madinah.5. Membuat batas wilayah sebagai basis teritorial dengan membuat parit pada

waktu perang Khandaq6. Membuat lembaga-lembaga pelengkap sebuah pemerintahan, semisal

angkatan perang, lembaga Pendidikan, bait al-mal, lembaga yang mengaturadministrasi negara, serta menyusun ahli-ahli yang cakap yang bertindaksebagai pendamping Nabi.82

Dari uraian tersebut dapat diketahuan bahwa tanggung jawab yang paling

utama yang harus ditangani pemerintah adalah pendidikan Islam, sebab disinilah

letak kunci hidup makmur dan bahagia bagi seluruh rakyat. Tanggung jawab itu

datang karena mereka (Pemerintah) dipilih rakyat untuk mengurus rakyat,

sedangkan urusan rakyat yang paling pokok adalah pendidikan mereka.

2. Perkembangan pendidikan pada masa Nabi

Setelah Nabi menerima wahyu yang pertama dan kedua,83 Nabi

diwajibkan untuk memanggil (memberikan pendidikan, berdakwah) suatu umat

yang telah begitu rusak kepercayaan dan akhlaknya,yang begitu fanatik atas adat

81Ahmad Amin, Fajar al-Islam, 145

82Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, 19-20

83Al-Qur'an, surat al-'Alaq, 1-5 dan al-Muddatstsir, 1-7.

Page 50: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

37

dan istiadat serta agama berhala nenek moyangnya,dengan berdakwah secara

diam-diam diantara keluarga dan sahabat dekatnya.

Nabi telah mendidik umatnya secara bertahap,mulai dari keluarga

dekatnya, seperti isterinya (siti Khadijah), saudara sepupunya (Ali bin Abi Thalib

yang baru berumur 10 tahun), kemudian sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak

(Abu Bakar), zaed (bekas budak yang kemudian menjadi anak angkatnya) dan

Ummu Aiman (pengasuh nabi sejak ibunya masih hidup) dan orang-orang

terdekat lainnya.

Perjuangan yang Nabi lakukan bukan tanpa rintangan, seperti yang pernah

dilakukanan oleh Abu Lahab, ia memprotes seruan Nabi, bahkan menuduhnya

Nabi Muhammad saw. telah berubah ingatan. Ada juga yang menawarkan barter

sesembahan dengan cara Muhammad boleh menyembah sesembahan yang mereka

sembah dan mereka pun akan menyembah apa yang diserukan muhammad.

Bahkan menurt Ibnu Ishaq, dalam Sirah Nabawiyah, diantara mereka,84 ada yang

melemparkan isi perut domba,ada yang menaruh kotoran unta di pundak selagi

Nabi salat, dan ada juga yang meletakkannya di periuk Nabi. Kejadian ini

diketahui oleh Fatimah putri Nabi, yang kemudian menolong membersihkannya,

sementara pelakunya hanya tertawa terbahak-bahak.85

Derita dan siksaan pun dialami oleh para pengikut Nabi yang dilancarkan

oleh para penentangnya. Kekejaman yang dilakukan oleh kaum Quraisy Mekah

terhadap kaum Muslimin itu, mendorong Nabi untuk mengungsikan sahabat-

sahabatnya ke luar Mekah. Maka tempat yang dipilih adalah Habsyah (Ethiophia)

sebagai negeri tempat pengungsian, karena Negus (Raja) negeri itu adalah seorang

yang adil.86

84Mereka adalah Orang-orang yang terbiasa menyakiti Nabi selagi Nabi berada di dalamrumah, diantaranya Abu Lahab, al-Hakam bin Abul Ash bin Umayyah, Uqbah bin Abu Mu’aith,Ady bin Hamra ats-Tsaqafy, dan Ibnul Ashda al-Hudzaly mereka semua merupakan tetangga dekatNabi. Dan tak seoramng pun diantara mereka yang masuk Islam, selain al-Hakam Bin Abul Ash.Lihat, al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terj. Kathur Suihardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,1999), 120.

85Shaykh Shafiur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, 120.

86Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, .22.

Page 51: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

38

Menguatnya posisi umat Islam, membuat reaksi kaum musyrikin Quraisy

semakin keras,kemudian mereka mengambil keputusan untuk memutuskan segala

hubungan yang berkaitan dengan Bani Hasyim, tindakan pemboikotan ini

berlangsung selama tiga tahun, dan baru berhenti setelah beberapa pemimpin

Quraisy menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang

keterlaluan.

Apa yang menyebabkan begitu dahsyatnya teror dan siksaan yang di

lancarkan oleh kaum quraisy terhadap para pengikut Muhammad ini? Menurut

Ahmad Shalabi, mencatat ada lima faktor penyebab;

Pertama, persaingan berebut kekuasaan. Kaum Quraisy mengira dengantunduk kepada agama Muhammad berarti tunduk kepada kekuasaan AbdulMuthalib.

Kedua, persamaan hak antara kasta bangsawa dan hamba sahaya.Pelapisan sosial yang sudah berurat berakar di kalangan masyarakat arab sulituntuk di rubah, mereka menolak untuk disamakan statusnya antara bangsawan danhamba sahaya, dan Islam datang justru melebur jurang perbedaan tersebut.

Ketiga, perasaan takut akan hari kebangkitan. Kaum Quraisy tidak bisamenerima agama Islam yang mengajarkan bahwa manusia akan dibangkitkansetelah kematiannya. Manusia akan dihidupkan kembali dalam keadaan tiadamemiliki pengaruh apa-apa, terlebih lagi kekuasaan.

Keempat, taklid terhadap nenek moyang. Bagi kaum Quraisy amatlah beratuntuk meninggalkan agama, adat istiadat, dan kebiasaan nenek moyang yangturun temurun.

Dan kelima, faktor ekonomi. Salah satu bisnis yang laku pada saat ituadalah pesanan pembuatan patung.87

Dengan keadaan seperti ini, tidak memungkin bagi Nabi untuk

membangun sebuah pemerintahan Islam di Mekah, oleh karena itu,setelah banyak

penduduk Yatsrib yang memeluk Islam, yang setia kepada Nabi dan telah

mengikat diri dengan suatu perjanjian yang dikenal dengan perjanjian ”Aqabah

pertama”.88

87Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Mukhtar Yahya (Jakarta :Jayamurni, 1973), 62-63

88Isi perjanjian itu antara lain berbunyi, atas nama penduduk Yatsrib, Kami memintakepada Nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib,mereka berjanji akan membela Nabi dari segalaancaman, dan Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan, lihat, Badri Yatim, SejarahPeradaban Islam (Jakarta: Radja grafindo Persada, 1998), 24.

Page 52: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

39

Karena cobaan berupa tekanan yang dilakukan oleh kaum kafir Mekah

demikian hebat, Nabi lalu diperintahkan untuk berhijrah ke madinah. Peristiwa

hijrah ini terjadi pada tanggal 12 Rabiul awal atau 27 september 622 M. Setibanya

Nabi dimadinah yang pertama ia lakukan adalah membangun masjid,

mempersatukan kaum muhajirin dan kaum anshar, dan membuat perjanjian

dengan penduduk non muslim yang isinya antara orang Islam dan non muslim

saling melindungi dan menjamin keselamatan masing-masing.

Peristiwa tersebut, menurut Thamas W. Arnold, dinilai sebagai ”suatu

gerakan strategi yang jitu”,89 yaitu suatu gerakan yang membebaskan kaum

muslimin dari tindakan sewenang-wenang kaum quraisy. Di Madinah, Nabi

diterima oleh penduduk Yatsrib, dan diangkat menjadi pemimpin mereka. Dengan

demikian, Nabi sekarang bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai

kepala negara. Dengan kata lain dalam diri nabi sekarang terkumpul dua

kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai

rasul secara otomatis merupakan kepala negara.90

Langkah pertama yang dilakukan nabi di Madinah dalam rangka

pembentukan sebuah negara adalah membuat apa yang kemudian di kenal dengan

nama”Piagam Madinah” (Mitsaq al-Madinah) pada tahun pertama Hijriyah.91

Piagam ini memuat tentang peraturan-peraturan dan hubungan antara berbagai

komunitas dalam masyarakat Madinah. Dalam kaitan ini, Nabi bertindak sebagai

kepala negara, dan piagam Madinah sebagai konstustisinya..

Fazlur Rahman, seorang tokoh neo-modernisme Islam, membenarkan

bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi merupakan suatu negara dan

pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu umat Muslim.

Pembentukan masyarakat baru ini ditantadi dengan sebuah perjanjian tertulis yang

89Thomas W. Arnold, The Caliphate (London: Routledge & Keagan Paul, 1965), 23

90Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985), 101.

91Tentang pembuatan Piagam Madinah para sejarah sepakat bahwa Piagam Madinahdibuat pada permulaan periode Madinah atau tahun pertama hijriyah, demikian menurutWatt.sedangkan Well Husen, menetapkannya sebelum perang badar, sementara Hubert Grimneberpendapat bahwa piagam itu dibuat setelah perang Badar. Lihat. J.Suyuti, Prinsip-prinsipPemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an (Jakarta: RajaGrapindo Persada), 87-88.

Page 53: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

40

disebut shahifat atau yang lebih dikenal dengan ”Piagam Madinah” (Mitsaq al-

Madinah) atau dalam pandangan sekarang sering disebut dengan konstitusi

Madinah.92

Menurut analisis Suyuti Pulungan, naskah perjanjian Madinah

mengandung beberapa prisip, yaitu prinsip-prinsip persatuan dan persaudaraan,

persamaan, kebebasan, tolong-menolong, dan membela yang teraniaya, hidup

bertet6angga, keadilan, musyawarah, pelaksanaan hukum dan sangsi hukum,

kebebasan beragama dan hubungan antar pemeluk agama, pertahanan dan

perdamaian, amar ma’ruf dan nahyi mungkar, kepemimpinanh dan tanggung

jawab pribadi dan kelompok, serta prinsip ketakwaan dan ketaatan93

Untuk memperlancar tugas-tugas kenegaraan, Nabi dibantu oleh beberapa

orang sekretaris seperti, Zaid bin Tsabit dan Ali bin Abi Thalib.sementara untuk

pemerintahan daerah, Nabi mengangkat para gubernur atau hakim. Salah satu

diantaranya mengangkat Mu’adz bin Jabal menjadi gubernur Yaman. Sedangkan

untuk hubungan internasional, Nabi mengadakan hubungan diplomatik dengan

negara-negara sahabat. Ia mengirimkan surat dakwah kepada kepala negara lain,

diantaranya Persia, Abbessinia, Oman, Yamamah, Bahrain, Syam dan Yaman.

Negara Madinah yang dipimpin Nabi merupakan model bagi hubungan

antar agama dan negara dalam Islam94 Usaha Nabi segabagi”eksperimen

Madinah” ini secara jelas menyajikan pola pendelegasian, wewenang dan

kehidupan berkonstitusi.ide pokoknya adalah tatanan sosial-politik yang

diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama serta

tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc (sementara) yang dapat berubah-ubah sejalan

dengan kemauan peminpin. Melainkan dengan prinsip-prinsip yang dilembagakan

dalam sebuah dokumen kesepakan dasar semua anggota masyarakat, yaitu

konstitusi.

92Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam II (Jakarta: Radja grafindo Persada, 1998), 26.

93J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah (Jakarta: Rajawali, 2002), 85.

94Robbert N. Bellah, Beyond Belief, terj. Rudi Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina,2000), 213. lihat kata pengantar Nurcholish Madjid dalam Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)

Page 54: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

41

Dalam hal pendidikan, yang mula pertama diupayakan oleh Nabi sebagai

kepala Agama dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan Madinah adalah

membangun masjid. Melalui lembaga masjid ini, Nabi memberikan pendidikan

pendidikan Islam. Dia juga memperkuat persatuan dikalangan kaum muslimin

antara kaum Muhajirin dan Anshor, serta mengikis habis sisa-sisa permusuhan

yang ada diantara keduan kaum tersebut.

Pada umumnya, materi pendidikan Islam yang diberikan pada periode

Madinah ini lebih ditekankan kepada:

1. Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju suatu kesatuan sosial

dan pilitik. Wujud pelaksanaan pendidikan tersebut adalaha

a. Mengikis habis sisa-sisa permusuhan dan pertengkaran antar suku, dengan

mengikat tali persaudaraan diantara mereka.

b. Mengajarkan bagai mana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

dengan berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan dan pekerjaannya

masing-masing.

c. Menjalin kerja sama dan tolong-menolong dalam membentuk tata

kehidupan masyarakat yang adil dan makmur.

d. Shalat jum’at sebagai media komunikasi seluruh umat Islam

2. Pendidikan sosial dan kewarganegaraan, yang mengambil bentuk pendidikan;

a. Ukhuwah(persaudaraan) antara kaum muslimin.

b. Kesejahteraan sosial dan tolong menolong

c. Kesejahteraan keluarga kaum kerabat.

3. Pendidikan anak dalam Islam.Rasulullah selalu mengingatkan pada umatnya

antara lain;

a. Agar kita selalu menjaga diri dan keluarga dari api neraka.

b. Agar jangan meninggalkan anak dan keturunan dalam keadaan lemah dan

tidak berdaya menghadapi tantangan hidup. 95

Ada pun pendidikan anak yang dilakukan pada masa ini adalah dalam

bentuk, pendidikan Tauhid, pendidikan salat, pendidikansopan santun dalam

95Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Rizqi Putra, 2009), 40.

Page 55: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

42

keluarga, pendidikan sopan santun dalam masyarakat dan pendidikan

kepribadian.96

4 Pendidikan Hankam dan Dakwah Islam, dalam rangka memperkokoh

masyarakat dan negara baru.97

Setelah Nabi wafat, maka kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh para

sahabat Nabi, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib, yang

kemudian dikenal dengan sebutan al-Khulaf’ar-Rasyidin. Daulat al-Khulafa ar-

Rasyidin ini memerintah selama 30 tahun dari tahun 11-41 H./632-661 M. Yang

berkedudukan di Madinah al-Munawarah.

3. Perkembangan Pendidikan setelah masa Nabi

Pada masa khulafa al-Rasyidin ini juga banyak memperhatikan tentang

pendidikan, terlebih setelah wilayah kekuasaan Islam semakin meluas, maka

banyak orang Arab muslim yang keluar Jazirah arab, dan orang Ajam datang ke

Jazirah Arab. Gerakan perpindahan ini membawa dampak tersendiri, terutama

dibidanng pendidikan, orang ajam yang berasal dari luar Jazirah Arab ini adalah

bangsa yang dahulunya pernah mewarisi kebudayaan yang lebih tinggi dari

bangsa Arab, walau pun semangatnya sudah padam, namun bekasnya masih

nyata. Hal ini terlihat pada adanya kota-kota tempat perkembangan Yunani,

seperti Iskandariyah, Antiokia, Harram dan Yunde Sahpur.98

Kedatangan mereka ini mendorong penguasa waktu itu khalifah umar bin

Khattab, memerintahkan untuk membuat tata bahasa Arab, agar mereka terhindar

dari kesalahan dalam membaca al-qur’an dan Hadis.maka Ali bin Abi Thaliblah

pembangun dasar-dasar ilmu nahwu yang selanjutnya di sempurnakan oleh Abu

al-aswad al-Duwaly.99 Selain itu perlu juga penafsiran ayat al-Qur’an sehingga

mereka terhindar dari kesalahan memahaminya.

96Pendidikan yang dilakukan pada masa ini merupakan gambaran pendidikan yangdijelaskan dalam al-Qur’an, Surat Luqman, ayat 13-19.

97Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, 40

98Ahmad Amin, D}uha> al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahd}ah, 1965), 255.

99Ahmad Amin, D}uha> al-Islam, 241.

Page 56: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

43

Untuk kepentingan pengajaran di luar Jazirah Arab, maka penguasa

mengirim guru-guru yang terdiri dari para sahabat ahli ilmu, seperti Abdullah bin

Mas’ud di kirim ke Kuffah, Abu Musa al-Asy’ari dan Anas bin Malik di utus ke

Basrah, Mu’adz, Ubadah, Abu Darda dikirim ke Syam, dan Abdullah bin Amr bin

Ash dikirim ke Mesir. Melalui tangan-tangan mereka inilah berkembangnya ilmu-

ilmu keIslaman di negeri-negeri itu, dan banyak menghasilkan ulama (ahli ilmu).

Demikian, hubungan antara penguasa saat itu dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan pendidikan, jadi untuk memajukan bangsa dan negara serta

untuk menyebar luaskan Islam, maka perlu pengembangan ilmu pengetahuan dan

pendidikan. Negara akan semakin kokoh, pemerintahan akan stabil apa bila

rakyatnya mempunyai pendidikan dan ilmu pengetahuan yang cukup, oleh karena

itu, negara bagaimana pun akan terus berusaha untuk memajukan pendidikan dan

ilmu pengetahuan.

Demikian pula halnya pada masa Daulah bani Umayyah, setelah

memindahkan ibu kota dari Madinah ke Damaskus, suatu kota tua di negeri Syam

yang telah penuh dengan peninggalan kebudayaan maju sebelumnya, setelah

melakukan pembangunan dibidang fisik, menata sistem pemerintahan, memajukan

ekonomi perdagangan dan mengembangkan bidang kebudayaan. Salah satu aspek

dari kebudayaan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Kalau pada masa

Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin pengembangan ilmu pengetahuan terpusat pada

usaha untuk memahami al-qur’an dan Hadis, maka perhatian pada masa ini

disesuaikan dengan kebutuhan zaman, tertuju pada ilmu-ilmu yang diwariskan

oleh bangsa-bangsa sebelum munculnya Islam.

Misalnya, pada masa Khalid bin Yazid, ia sangat tertarik terhadap ilmu

kimia dan kedokteran, sehingga ia menyediakan sejumlah harta dan

memerintahkan para sarjana Yunani yang bermukim di Mesir untuk

menerjemahkan buku-buku kima dan kedokteran ke dalam bahasa Arab, usaha ini

menjadi terjemahan pertama dalam sejarah.100

100Ahmad Amin, D>}uha> al-Islam, 225.

Page 57: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

44

Demikian juga al-Walid bin Abdul Malik,ia memberi perhatian kepada

bimaristan,101 yang ia dirikan di damaskus pada tahun 884 M. Begitru pula

dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang memerintahkan para ulama untuk

secara resmi membukukan hadis-hadis Nabi (secara tidak resmi sebenarnya sudah

ada pribadi-pribadi yang sejak zaman sahabat telah membukukannya).

Dari uraian ini dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan Islam dapat

berkembang dengan pesat karena mendapat dukungan yang kuat dari para

penguasa, selain keinginan yang kuat terhadap ilmu pengetahuan yang ada pada

umat Islam saat itu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pendidikan erat

kaitannya dengan struktur kekuasaan, oleh sebab itu, peran pemerintah tidak

dihilangkan dalam hal pendidikan akan tetapi, memfasilitasi terciptanya

kemerdekaan yang sejati dimana setiap individu dapat mengembangkan dirinya

dan secara bersama-sama dapat memecahkan masalah bersama. Di sini kita

melihat bahwa pendidikan merupakan alat penting dalam proses kesetaraan

anggota masyarakat dalam arti mempunyai kesempatan yang sama bagi semua

orang untuk berkembang.

Demikian jean-Jarques Rousseau, berpendapat bahwa apabila generasi

muda itu mendapat pendidikan yang benar maka masyarakat masa depan akan

dapat diselamatkan, sehingga manusia dapat mengatasi pertentangan antara

individu dengan tuntutan sosial, karena pada masyarakat yang telah bobrok pada

masa itu agak sulit untuk menstranformasikan seorang anak menjadi manusia

yang sebenarnya dan warga negara yang baik.102 Oleh karena itu ia mengusulkan

suatu sistem pendidikan yang sesuai dengan kodrat manusia.

Selanjutnya Rousseaeu mengatakan bahwa manusia primitif serta alamiah

adalah manusia yang bebas dan sejahtera (Free and happy), karena kehidupannya

tidak dibatasi oleh masyarakat dimana tempat ia hidup, tetapi manusia primitif

101Bimaristan, adalah sebuah tempat untuk melakuakan pengobatan dan perawatan bagiorang-orang yang sakit serta sebagai tempat studi tentang ilmu-ilmu kedokteran. Lihat.AhmadAmin D}>uha> al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahd}ah, 1972), 225.

102Jean-Jacques Roussau yang lahir di Genava tahun 1712 dari seorang bapak pembuatarloji, lihat. Ronald F. Reed Tony W.Jahnson, Philosophical in Education (New York: Addison-Wesley Longman Inc. ,2000), 61-71.

Page 58: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

45

dan alamiah adalah manusia yang telah belajar hidup sesuai dengan pembatasan-

pembatasan yang diberikan oleh alam kepadanya. 103

Begitu pula dengan John Dewey dalam bukunya menggaris bawahi

mengenai hubungan antara pendidikan dan Demokrasi. Apabila kita

menginginkan suatu masyarakat yang demokrasi, yang pertama-tama harus

dilakukan adalah mendemokratisasikan pendidikan. Hal ini berarti pendidikan

bukanlah sesuatu yang harus mencekoki peserta didik dengan ilmu pengetahuan,

akan tetapi ilmu pengetahuan itu harus dimiliki oleh peserta didik karena

pengalamannya. 104

Dalam masalah kekuasaan dan pendidikan, bagi Dewey, kekuasaan

(power) dalam pendidikan adalah dimensi yang lain. Justru pendidikan hendaknya

mengembangkan kekuatan (power) yang berada di dalam hakikat peserta didik.

Kekuatan itu berupa insting atau kebutuhan-kebutuhan peserta didik yang

distimulasi oleh lingkunannya, yaitu lingkungan manusia (masyarakat) dan

lingkungan alamnya.105

B. Kebijakan Pendidikan.

Berbicara tentang kebijakan pendidikan,merupakan sebuah konsep yang

sering kita dengar, kita ucapkan,bahkan kita lakukan, akan tetapi sering pula tidak

kita pahamidengan sepenuhnya. Oleh karena itu, kita lihat apa yang dimaksud

dengan kebijakan pendidikan.

Pertama, stilah kebijakan (policy) kadang sering dicampur adukan dengan

kebijaksanaan (wisdom), padahal kedua istilah ini mempunyai makna yang jauh

berbeda. Landasan utama yang mendasari suatu kebijakan adalah pertimbangan

akal. Tentunya suatu kebijakan bukan semata-mata merupakan hasil pertimbangan

akal manusia. Namun demikian akal manusia merupakan unsur yang dominan

103Ronald F. Reed Tony W.Jahnson, Philosophical in Education, 61-71.

104John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy ofEducation (New York: Mac Millan, 1916), 106

105John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy ofEducation, 106

Page 59: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

46

didalam mengambil keputusan dari berbagai opsi dalam pengambilan keputusan

kebijakan. Suatu kebijaksanaan lebih menekankan kepada faktor-faktor emosional

dan irasional. Bukan berarti bahwa suatu kebijaksanaan tidak mengandung unsur-

unsur rasional, barangkali faktor-faktor rasional tersebut belum tercapai pada saat

itu ataumasih merupakan sebuah intuisi.

Bagaimana dengan kebijakan pendidikan? bukankah pendidikan sudah

dikenal sejak manusia lahir dari sang ibu yang secara instingtif akan melindungi

dan mengajari anaknya sehingga menjadi dewasa.dalam proses pendewasaan sang

ibu akan dibantu oleh orang-orang disekitarnya, oleh masyarakat dengan adat

istiadat yang merupakan pekem-pakem untuk membesarkan anak hingga dewasa.

Proses pendidikan pada masyarakat modern atau yang telah maju, tidak

dapat lagi dilakukan secara terbatas oleh seorang ibu, atau keluarganya, melainkan

pendidikan sudah menjadi tugas bersama di dalam masyarakat. Sehingga

muncullah lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah atau pusat-pusat

pelatihan yang proses pendidikannya dapat berjalan secara formal.di dalam

melaksanakan tugas pendidikan tersebut diperlukan pengaturan-pengaturan

tertentu, supaya tujuan pendidikan yang diharapkan oleh stakeholder dapat

tercapai.

Mengapa kebijakan pendidikan itu perlu? Kebijakan pendidikan itu

diperlukan karena erat kaitanya dengan pengaturan kehidupan dengan sesama

manusia. Oleh karena itu, kebijkan pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan

pertanyaan mengenai apakah hakekat manusia? sehingga jawabannya akan

membawa kepada pertanyaan apakah sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia

ini, dan bagaimana manusia itu dapat mewujudkan tujuannya.106

Dari sinilah kita akan sampai kepada petanyaan, apakah sebenarnya proses

pendidikan itu? Pengertian yang tepat mengenai hakikat proses pendidikan itu

akan melahirkan berbagai kebijakan pendidikan. Salah satu makna dari proses

pendidikan adalah pemberdayaan, banyak pemikir modern dari berbagai disiplin

ilmu mengakui bahwa makna pendidikan adalah sebagai pembebasan manusia

106Pertanyaan ini pula yang menjadi pokok utama pertanyaan filsafat folitik dan filsafatmoral yang menelaah kehidupan masyarakat politik seperti Negara. Lihat. A. John Simmons,Political Phylosophy (London: Oxford University Press, 2008), 2.

Page 60: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

47

dari berbagai keterikatannya, baik keterikatan biologis, keterikatan sosial dan

keterikatan lingkungannya.

Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa proses pendidikan akan

tampak dengan jelas mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara kekuasaan

dan pendidikan. Tidak seluruh kekuasaan itu sifatnya negatif, bahkan tanpa

kekuasaan tidak mungkin proses pendidikan itu terjadi. Namun kekuasaan yang

terus-menerus tanpa batas merupakan suatu pemberangusan terhadap hakikat

manusia sebagai makhluk merdeka, sehingga manusia itu menjadi tidak berdaya

karena telah dirampas hak-hak asasinya sebagai manusia.

Untuk menjawab petanyaan mengenai hakikat manusia, setidaknya ada

dua golongan yang memberikan jawaban, kaum eksistensialis mengatakan bahwa

manusia di lahirkan di dunia dalam keadaan tidak berdaya,dia terlempar kedunia

ini dan terpaksa harus bertanggung jawab terhadap keberadaannya. Keberadaan

manusia ini sebenarnya adalah untuk menuju kematiannya. Dia tidak mempunyai

kemampuan apa-apa karena bergantung kepada nasib keberadaannya di dunia

yang maya atau ketiadaan. Ini adalah pandangan yang pesimis dari seorang

eksistensialis.

Di samping, pandangan yang pesimis ada pula pandangan yang

optimis,mengenai keberadaan manusia. Manusia dianggap sebagai sebagai pusat

kehidupan di dunia ini, dengan kata lain, dunia ini ada karena adanya manusia,

manusia memberikan makna terhadap dunia karena manusia sebagai subjek

mampu mengatasi objek-objek yang ada disekitarnya. Jadi proses pendidikan

adalah memberikan kemampuan kepada individu untuk dapat memberikan makna

terhadap dirinya dan lingkungannya.107

Pandangan mengenai hakikat manusia dapat dibedakan dalam dua aliran

besar, yaitu aliran idealisme spiritualisme dan materialisme. Hakikat manusia

menurut pandangan idealis bahwa kehidupan manusia itu ditentukan oleh

percaturan antara ide-ide yang saling berlawanan, dari satu ide dengan ide yang

lain, atau tesa bertentangan dengan anti tesa, sehingga melahirkan ide yang lebih

107Lihat kupasan mengenai eksistensialisme,Aliran-alirannya serta posisinya dalam prosespendidikan. Gerald L, Gutek, Philosophical and ideological Voices in Education (Boston: Allyn &Beacon, 2004), 85-106.

Page 61: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

48

tinggi, yang akhirnya berakhir pada ide absolut. Ide absolut ini bisa dipahami

berupa negara, atau maha pencipta atau insan kamil. Akan tetapi manusia adalah

makhluk manusia yang terbatas yang tidak akan pernah mencapai ide absolut itu.

Sedangkan paham materialisme mamandang bahwa manusia itu tidak

lebih dari bagian alam mikro yaitu bagian dari alam materi yang melihat hal

realistis yang dapat diraba dan dapat dibentuk dengan kekuatan-kekuatan yang

ada di masyarakat. Oleh karena itu, berbagai ungkapan manusia yang disebut

kebudayaan atau agama merupakan produk dari kelas-kelas di dalam masyarakat.

Tugas pendidikan adalah menyadari akan adanya kepincangan-

kepincangan di dalam masyarakat yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan

tersebut, sehingga tugas pendidikan adalah merombak kelas-kelas artifisial yang

dikonstruksikan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi di dalam masyarakat, untuk

menciptakan masyarakat tanpa kelas.

Proses pendidikan terjadi dalam kehidupan masyrakat yang berbudaya,108

karena kebudayaan manusia merupakan hasil interaksi dari anggota

masyarakatnya yang kemudian diturunkan dari satu generasi ke generasi

berikutnya dengan proses perubahannya.

Jadi, proses pendidikan dinilai sebagai proses mentransmisikan nilai-nilai

budaya yang telah terakumulasi dari satu generasi ke generasi yang lainnya.seperti

yang terjadi pada masyarakat tradisional yang belum mengenal lembaga

pendidikan sekolah, maka pendidikan terjadi di dalam lingkungan keluarga dan di

dalam lingkunangan masyarakatnya yang terbatas.

Demikian halnya dengan pendidikan Islam, bila dilihat dari segi kehidupan

kultural umat manusia tidak lain merupakan salah satu alat pembudayaan

(enkulturasi) masyarakat manusia itu sendiri. Sebagai suatu alat, pendidikan dapat

difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia

(sebagi makhluk pribadi dan sosial), kepada titik optimal kemampuannya untuk

memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidupnya di akhirat.109

108H. A. R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia(Bandung: Rosdakarya, 1999)

109Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islamklasik (Bandung : Angkasa, 2004), 4.

Page 62: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

49

Berdasarkan pandangan tentang hakikat manusia yang berbeda-beda itu,

maka lahirlah berbagai rumusan tentang tujuan dari proses pendidikan. Tujuan

yang akan dicapai melalui kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pendidikan,

yaitu kebijkan pendidikan. Oleh karena pendidikan merupakan suatu ilmu praksis

yang berarti kesatuan antara teori dan praktik maka kebijakan pendidikan terletak

dalam tatanan normatif dan tatanan deskriptif110 yang mencakup antara lain:

1. Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan Deliberasi mengenai

hakikat manusia sebagai makhluk yang menjadika manusia dalam lingkungan

kemanusiaa. Oleh karena itu kebijakan pendidikan merupakan penjabaran

dari visi dan misi pendidikan pada masyarakat tertentu.

2. Kebijakan pendidilan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagi ilmu praksis

yaitu kesatuan antara teori dan prakti.

3. kebijakan pendidikan harus mempunyai validitas antara perkembangan pribadi

dan masyarakat yang memiliki pendidikan.

4. Kebijakan pendidikan harus mengandung unsur keterbukaan (openness),

artinya tidak bisu dari suara-suara dalam masyarakat yang merupakan

penggerhanaan dari hakikat pendidikan itu sendiri.

5. kebijakan pendidikan harus didukung oleh riset dan pengembangan, artinya

suatu kebijakan pendidikan bukanlah merupakan suatu hal yang abstrak tetapi

suatu yang dapat diimplementasikan. Dengan demikian rumusan suatu

kebijkan pendidikan haruslah berdasarkan atas hasil pertimbangan berbagai

pakar multidisipliner dengan fokus pada kebutuhan peserta didik dalam proses

memanusia,111 melalui riset dan pengembangan melalui eksperimen, maka

kebijakan pendidikan dapat diuji validitasnya sehingga kebijakan pendidikan

tersebut dapat direvisi dan dimantapkan

110Di Amerika masalah hubungan filsafat dan pendidikan dalam kebijakan pendidikantetap menjadi perdebatan para pakar. Lihat, Andre T.Lumpe, "The Role of Philosophy inEducational Reforms: Never the Twain ShalMeet?" dalam Gregory J. Sizek (ed), Handbook ofEducational Policy, 1999), 81-98.

111H.A.R. Tilaar, dalam "Transdisiplinaritas dalam Pedagogik Modern" yangdisampaikan pada seminar Nasional tentang Transdisiplinarity dalam dunia Pendidikan, di UNJ,29 Oktober 2007.

Page 63: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

50

6. Kebijakan pendidikan harus berdasarkan efesiensi, kebijakan pendidikan

bukan semata-mata berupa rumusan verbalmengenai tingkah laku dalam

pelaksanaan praksis pendidikan. Kebijakan pendidikan harus dilaksanakan

dalam masyarakat, dalam lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga-lembaga

pendidikan sebagai lembaga sosial (social institution) membutuhkan

sumberdaya, terutama suberdaya mausia (pendidik, organ-organ pendidikan),

dan sumber daya keuangan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan yang baik

adalah kebijakan pendidikan yang memperhitungkan kemampuan,maka

pertimbangan-pertimbangan kemampuan tenaga, tersedianya dana,

pelaksanaan yang bertahap serta didukung oleh kemampuan riset dan

pengembangan merupakan syarat-syarat bagi kebijakan pendidikan yang

efesien112

7. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi pada

kebutuhan peserta didik. Seperti telah diuraikan di atas bahwa pendidikan

sangat erat dengan kekuasaan. Menyadari hal itu, sebaiknya kekuasaan

diarahkan bukan untuk menguasai peserta didik, tetapi kekuasaan diarahkan

untuk dapat memfasilitasi dalam pengembangan kemerdekaan peserta didik.

Dalam pandangan naturalisme romantisme Rousseau ditunjukan bahwa

masyarakat telah merusak perkembangan peserta didik. Pandangan Rousseau

ini tentunya tidak realistis, karena bagaimana pun juga pendidikan adalah

milik masyarakat. Oleh karena itu,masyarakat perlu diarahkan agar pendidikan

memfasilitasi tuntutan kemerdekaan manusia, masyarakat perlu disadarkan

pentingnya fungsi pendidikan bagi kelanjutan masyarakat yang terus berubah.

Kekuasaan pendidikan dalam konteks masyarakat demokratis bukannya untuk

menguasai peserta didik, tetapi kekuasaan untuk memfasilitasi tumbuh

kembangnya peserta didik sebagai anggota masyarakat yang kreatif dan

produktif.

8. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan intuisi atau kebijakan yang irasional,

seperti yang telah dipaparkan di atas, kebijakan pendidikan telah lahir dari

112 H.A.R. Tilaar & Rian Nugroho, Kebijakan Pendidikan, Pengantar untuk MemahamiKebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Public (Yogyakarta: Pustakapelajar, 2008), 142-150

Page 64: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

51

proses deliberalisasi para pakar dalam berbagai disiplin,sehingga terumuskan

kebijakan-kebijakan pendidikan untuk kepentingan rakyat dalam mewujudkan

cita-cita bangsa yang diimajinasikan. Kebijkan pendidikan merupakan hasil

olahan rasional dari berbagai alternatif dengan mengambil keputusan yang

dinggap paling efesien dan efektif dengan memperhitungkan berbagai macam

resiko serta jalan keluar bagi pemecahannya.

9. Kejelasan dari tujuan pendidikan akan melahirkan kebijakan pendidikan yang

tepat. Kebijakan pendidikan yang kurang jelas arahnya hanya akan

mengorbankan kepentingan peserta didik.

10. Kebijakan pendidikan harus diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan peserta

didik dan bukan pemuasan Birokrat.

Demikanlah, aspek-aspek yang mencakup dalam pengambilan kebijakan

dibidang pendidikan. Suatu kebijakan mempunya makna intensional, oleh karena,

kebijakan itu mengatur tungkah laku sesorang atau organisasi dan kebijakan

meliputi pelaksanaan dan evaluasi dari tindakan tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa kebijakan

pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah

strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka

untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk

suatu kurun tertentu.

C. Hakikat Pendidikan

Berbicara tentang hakikat pendidikan, atau apakah makna pendidikan bagi

manusia? maka Jawaban atas pertanyaan ini adalah berkenaan dengan apakah

sebenarnya hakikat manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang dilahirkan

di dunia dalam keadaan tidak berdaya oleh karena itu dia tidak mempunyai

kemampuan apa-apa, dia terlempar kedunia ini dan terpaksa harus bertanggung

jawab terhadap keberadaannya, demikian menurut pendapat kaum eksistensialis,

yang melihat manusia dengan penuh rasa pesimis, bahkan keberadaannya ini pun

merupakan suatu malapetaka. Keberadaan manusia ini sebenarnya adalah menuju

kematian saja.

Page 65: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

52

Di samping, pandangan yang pesimis ada pula pandangan yang optimis

mengenai keberadaan manusia, keberadaan manusia dianggap sebagai pusat

kehidupan di dunia, dengan kata lain dunia ini ada karena adanya manusia, jadi

keberadaan manusia sangat memberikan makna terhadap dunia sebab manusia

subjek dianggap mampu mengatasi objek-objek yang ada di sekitarnya. Jadi

pendidikan merupakan suatu proses yang dapat memberikan makna terhadap

dirinya dan lingkungannya.

Sementara dalam Islam, manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh

Allah SWT. untuk beribadah dan menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini.113 Guna

melaksanakan ini maka manusia sudah dilengkapi dengan potensi dan fitrahnya,

serta diberikan pedoman dan petunjuk bagi manusia untuk memperoleh

kebahagiaannya yaitu berupa Al-qur'an.

Al-Qur'an merupakan Allah yang di dalamnya tidak hanya berisika tentang

dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan kehidupan manusia, baik yang menyangkut

hubungan dengan Tuhan sebagai khaliq yang wajib disembah, maupun sebagai

integrasinya dalam hubungan sesama manusia. Akan tetapi lebih luas lagi

mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan, ilmu pengetahuan dan

teknologi yang bersumber dari petunjuk-peyunjuk al-qur'an..114

Al-Quran telah memberikan petunjuk yang sangat besar dalam pendidikan

dan penemuan-penemuan para ahli serta pertumbuhan ilmu pengetahuan yang

sangat pesat di dunia Islam. Al-qur'an merupakan sumber pendidikan dan ilmu

pengetahuan yang mengajak manusia dengan bahasanya yang lemah lembut dan

balaghahnya yang indah, sehinga mampu membawa dimensi baru terhadap

pendidikan dan berusaha mengajak para ilmuan untuk terus menggali makna

kandungannya agar manusia lebih dekat kepada-Nya.

Pendidikan Islam bila dilihat dari segi kehidupan kultur umat manusia

tidak lain adalah merupakan salah satu alat pembudayaan (enkulturasi)

113Al-Qur'an, surat adz Dza>riya>t; 56 dan al-Baqarah; 21 dan 30

114Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan AgamaIslam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) dalam kata pengantar, hal. V. lihat jugaHadari Nawawi, Pendidikan dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), 14.

Page 66: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

53

masyarakat manusia itu sendiri. Sebagai alat pendidikan dapat difungsikan untuk

mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia (baik sebagai

makhluk pribadi mau pun sosial), kepada titik optimal kemampuannya untuk

memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagian hidup di akhirat.

Secara teoritis, pendidikan Islam adalah konsep berpikir yang bersifat

mendalam dan terperinci tentang masalah-masalah kependidikan yang bersumber

dari ajaran Islam dimana rumusan-rumusan tentang konsep dasar, pola, sistem,

tujuan, metoda dan materi (subtansi) kependidikan Islam yang disusun menjadi

suatu ilmu yang bulat.115

Padangan dasar pendidikan Islam pada garis besarnya dapat dianalisi dari

aspek-aspek konsepsional sebagai berikut:

1. Hakikat pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan mengarahkan

pertumbuhan dan perkembangan anak didik supaya menjadi manusia dewasa

sesuai dengan tujuan pendidikan islam.

2. asas pendidikan Islam adalah asas perkembangan dan pertumbuhan dalam

perikehidupan yang berkesinambungan antara kehidupan duniawiah dan

ukhrawiyah, jasmaniah dan rohaniah atau antara kehidupan materil dan mental

spiritual. Dalam pelaksanaan oprasinal asas adil dan merata, asas menyeluruh

dan asas integralitas, juga dijadikan pegangan dalam pendidikan praktis sesuai

pandangan teoritis yang dipegangnya.

3. Modal dasar pendidikan Islam adalah kemampuan dasar (Fitrah) untuk

berkembang dari masing-masing pribadi manusia yang dikaruniai Tuhan.

Kemampuan dasar ini merupakan potensi mental spiritual dan fisik yang

diciptakan Tuhan sebagai "fitrah" yang tidak bisa diubah atau dihapuskan oleh

siapa pun, akan tetapi dapat diarahkan perkembangannya dalam proses

pendidikan sampai titik optimal yang berakhir pada takdir Tuhan.

4. Sasaran strategis pendidikan Islam adalah menanamkan dan mengembangkan

nilai-nilai agama dan nilai-nilai ilmu pengetahuan secara mendalam dan

meluas dalam pribadi anak didik, sehingga akan terbentuk sikap beriman dan

115M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis BerdasarkanPendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 11-14.

Page 67: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

54

bertakwa dengan kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam

kehidupan sehari-hari.

5. Ruang lingkup pendidikan Islam adalah mencakup kegiatan-kegiatan

kependidikan yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan dalam

bidang kehidupan manusia.

6. Metode yang digunakan dalam proses pencapaian tujuan adalah metode yang

didasarkan atas pendekatan-pendekatan keagamaan (religious), kemanusiaan

(humanity), dan ilmu pengetahuan (scientific), pendekatan tersebut dilakukan

atas landasan nilai-nilai moral keagamaan. Dengan demikian maka semboyan

kaum atheis yang menyatakan "tujuan dapat menghalalkan segala cara" (the

aim santifies the means), bertentangan dengan pendidikan Islam.116

Pendidikan memang merupakan aktivitas yang diarahkan untuk

pengembangan individu sepenuhnya. Akan tetapi menurt Ashraf, dikatakan bahwa

dalam konsep pendidikan Islam harus jelas pengertian tentang pengembangan

individu yang dimaksudkan. Manusia merupakan wakil Tuhan di bumi dan

seluruh ciptaan lainnya tunduk kepada manusia.117

Aktivitas pendidikan Islam seyogianya dapat membentuk kepribadian

yang memiliki nilai-nilai agama Islam,memilih dan memutuskanserta berbuat

berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab dengan nilai-nilai Islam.118

Aktivitas pendidikan Islam itu juga harus merupakan sebuah upaya untuk dapat

menghasilkan perwujudan manusia yang berguna bagi dirinya dan bagi

masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkanajaran

Islam dalam berhubungan dengan Allah SWT. Dan dengan manusia serta sesama

makhluk lainnya, dan dapat mengambil manpaat yang semakin meningkat dari

alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia dan di akhirat.119

116M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis BerdasarkanPendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 16-17

117Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Pengantar Sayid Husein Nasr (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1996), 1.

118Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif,1989), 23.

119Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 31.

Page 68: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

55

Jadi pendidikan (tarbiyah) adalah menjaga dan memelihara fitrah anak,

mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macam dan

mengarahkan seluruh fitrah dan potensi ini menuju kepada kebaikan dan

kesempurnaannya yang layak serta dilaksanakan secara bertahap

Untuk melengkapi pendalaman tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan

dengan pendidikan Islam, maka tidak ada salahnya jika dikutip hasil rumusan

Konferensi Dunia pertama tentang tujuan pendidikan Islam di Mekah pada tahun

1977 sebagai berikut;

”Pendidikan seharusnya bertujuan untuk mencapai pertumbuhan yangseimbang dalam kepribadian manusia secara total malalui latihansemangat, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh. Karena itu,pendidikan seharusnya memberikan jalan bagi pertumbuhan manusiadalam segala aspeknya secara spiritual, intelektual, imajinatif, fisikal,ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif disamping memotifasi semua aspek tersebut kearah kebaikan dankesempurnaan”.120

Sedangkan menurut Quthb, bahwa ciri khas pendidikan Islam adalah

melakukan pendekatan yang menyeluruhterhadap wujud manusia, jasmani dan

rohani, fisik dan mental, Islam memandang manusia secara totalitas dan kembali

kepada fitrahnya. Dengan kata lain, Islam menempatkan manusia menurut apa

yang ada padanya.121

Dari uraian ini dapat diambil beberapa kesimpulan asasi untuk memahami

makna pendidikan, yaitu; pertama, merupakan satu proses yang mempunyai

tujuan atau sasaran, kedua, secara mutlak, pendidik yang sebenarnya adalah Allah

SWT. Pencipta fitah dan pemberi berbagai potensi. Ketiga, pendidikan menuntut

adanya langkah-langkah yang secara bertahap harus dilalui oleh berbagai kegiatan

pendidikan dan pengajaran,sesuai dengan urutan yang telah disusun secara

sistematis, dan keempat, kerja pendidik harus mengikuti aturan penciptaan dan

120Lihat Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Pengantar Sayid Husein Nasr(Jakarta: ustaka Firdaus, 1996), 25.

121Muhammad Quthb, Minhaju al Tarbiyah al Isla>miyah (Bairut: Dar al Syuruq, t.t.), 14.

Page 69: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

56

pengadaan yang dilakukan oleh Allah, sebagai man harus mengikuti syara" dan

Din Allah.122

Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa pendidikan Islam adalah

usaha mengembangkan fitrah manusia sesuai dengan ajaran agama Islam, agar

tercapai kehidupan manusia yang makmur dan bahagia. Jadi di dalam pengertian

pendidikan Islam tersebut terkandung empat masalah pokok, yaitu; pertama,

usaha mengembangkan, kedua, fitrah manusia, ketiga, ajaran agama Islam, dan

keempat, kehidupan manusia yang makmur dan bahagia.123

Jadi hakikat pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tujuan pendidikan itu

sendiri. Secara pedagogis pendidikan merupakan upaya sadar dan bertujuan. Yang

berarti pekerjaan mendidik mengandung makna serangkaian proses kegiatan yang

menuju kearah tujuan. Tujuan merupakan salah satu faktor yang paling penting

dalam proses pendidikan. Sebab pekerjaan tanpa tujuan yang jelas akan

menimbulkan ketidak menentuan (ideterminisme).

Membicarakan tujuan pendidikan, menuntun kita kepada

memperbincangkan dua hal yang amat penting, pertama, mengajak kita untuk

membahas mengenai tujuan hidup, lebih tegasnya tujuan hidup manusia,bvsebab

tujuan pendidikan pada dasarnya adalah identik dengan tujuan hidup manusia di

bumi ini. Pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk

memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota

masyarakat.124

Di pihak lain, pada hakikatnya manusia didik adalah untuk mewujudkan

dari tujuan hidupnya itu sendiri,125 dan tujuan hidup itu sendiri ditentukan oleh

pandangan hidup setiap manusia. Oleh karena itu, T.S. Eliot, dalam pendidikan

122Abdurrahman An-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Isla>miyah, terj. Herry Noer Aly,Prinsip-Prinsip Dasar dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan diMasyarakat (Bandung: Diponegoro, 1992), 31-32.

123Syahmina Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam (Jakarta: KalamMulia, 1986), 1-4.

124Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisis Psikologis danPendidikan (Jakarta: Pustaka al-husna, 1989), 33. lihat juga hasan Langgulung, Asas-AsasPendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), 305.

125Syahmina Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam , 35.

Page 70: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

57

yang terpenting adalah tujuannya harus diambil dari pandangan hidupnya atau

nilai-nilai yang dianut dalam hidup dan kehidupannya.126

Ke dua, mengajak kita untuk membahas mengenai sifat asal (nature)

manusia, sebab pada diri manusia itulah dicita-citakan sesuatu yang akan

ditanamkan oleh pendidikan.127 dari pandangan ini, maka tujuan lebih tepat

diidentifikasi sebagai dunia cita, yaitu suasana yang cukup ideal atau dapat

disebut nilai-nilai ideal yang akan diwujudkan oleh pendidikan.128 Nilai-nilai

ideal dalam Islam yang dijadikan dasar untuk menetapkan tujuan pendidikan

Islam adalah nilai-nilai yang berkisar pada seputar hakikat manusia,

kedudukannya di alam semesta dan akhir hidupnya.

Berdasarkan penuturan Hajid ’Arsyan al-Kailani, secara filosofis, Islam

menetapkan bahwa manusia itu adalah makhluk Allah yang memiliki multi relasi,

ia berhubungan dengan penciptanya, (al-’Alaqah baina al- Khaliq wa al-Insan), ia

berhubungan dengan alam (al-’Alaqah baina al-Insan wa al-Kaon), ia juga

berhubungan dengan manusia lain (al-’Alaqah baina al-Insan wa al-Insan), dengan

kehidupan dunia (al-’Alaqah baina al-Insan wa al-hayah), dan dengan kehidupan

akhirat (al-’Alaqah baina al-Insan wa al-akhirah).129 Jadi manusia hidup diarahkan

untuk dapat memenuhi relasi-relasi tersebut. Ketika suatu relasi aja terabaikan

oleh manusia, maka akan memiliki efek samping yang tidak sederhana terhadap

relasi-relasi yang lainnya.

Dengan demikian, dapat ditetapkan bahwa tujuan pendidikan baik

berdasarka tujuan dan pandangan hidup maupun berdasarkan sifat asal (nature)

manusia, ditujukan untuk mengintegrasikan dan menyeimbangkan aspek jasmani,

akal dan rohani, mengintegrasikan dan menyeimbangkan sisi individu dan sosial,

126Nelsen, F. Du Bois, Educational Psychology and Instructionsl Decision (HomeWood:Illionis: the Dorsey Press, 1979), 14.

127Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisis Pikologis danPendidikan, 33.

128Zuharaini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 159.

129Hajid ‘Arsyan al-Kailani, Falsafah al-Tarbiyah al-Isla>miyah (Mekah al-Mukarramah:Muktabah Hadi, 1987), 83.

Page 71: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

58

mengintegrasikan dan menyeimbangkan posisinya sebagai ’abid dan khalifah,

serta mengintegrasikan dan menyeimbangkan aspek kehidupan dunia dan akhirat.

Jadi hakikat pendidikan merupakan satu usaha yang dilakukan secaca terus

menerus dan bertahap dalam rangka memberikan bimbingan dan arahan kepada

fitrah (Potensi) yang dimiliki manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup di

dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat.

Akhirnya dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tugas dan tanggung

jawab pendidikan baik secara umum maupun secara pendidikan Islam adalah

terletak pada orang tua, diri sendiri, sekolah, masyarakat dan pemerintah. Artinya

dalam kaitan ini kemajuan ilmu pengetahuan tidak bisa terlepas dari keikutsertaan

pemerintah dalam membangun dunia pendidikan, tapi bukan berarti pula

segalanya harus ditentukan oleh pemerintah, karena tanggung jawab pendidikan

juga bukan sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah, melaikan pula

orangtua, pribadi, sekolah dan masyarakat.

Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa tanggung

jawab Negara dalam hal pendidikan menjadi prioritas yang utama. Oleh karena

itu, peran pemerintah dalam hal ini ikut serta mendorong, mempasilitasi terhadap

proses pencapaian tujuan pendidikan, dengan keberhasilan dan pencapaian tujuan

pendidikan maka berarti pula tujuan negara pun semakin dekat untuk dapat

diwujudkan.

Page 72: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

59

BAB III

PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN DAN ILMU

PENGETAHUAN SEBELUM AL-MA’MUN

Lembaga pendidikan merupakan salah satu sarana pembelajaran atau

tempat yang efektif untuk menyebarkan (menstranfer) ilmu dan pengetahuan.

Lembaga pendidikan ini telah ada sejak zaman dahulu dan telah dikenal sejak

zaman Yunani Kuno.

Dalam Islam sendiri lembaga pendidikan ini telah dikenal sejak zaman

Rasullah SAW. menyebarkan Islam di Mekkah, yaitu dengan menggunakan

rumah salah satu sahabat Nabi yang bernama Arqam bin Arqam di bukit shafa,

sebagai sarana pendidikan tempat untuk Nabi menyampaikan wahyu yang ia

terima-Nya atau menyebarkan ajaran Islam kepada para sahabat, walau dengan

cara sembunyi-sembunyi (sirriyah). Baru kemudian setelah Nabi melakukan

Hijrah, proses pendidikan dapat diselenggarakan di masjid-masjid bahkan setelah

itu menyebar bukan hanya sekedar di masjid-masjid melainkan dapat juga

diselenggarakan di tempat lain, seperti; istana, toko-toko buku, perpustakaan dan

lain sebagainya.

Perkembangan lembaga pendidikan sejak pertama telah menunjukan

signifikansi dan keunggulannya. Sebab, dengan menggunakan cara pelembagaan

pendidikan, setidaknya penyebaran ilmu pengetahuan mempunyai nilai dan

kwalitas yang baik. Transformasi ilmu pengetahuan akan dapat berlangsung lebih

efektif apabila didukung dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai

dan baik. Hal ini mengingat bahwa perjalanan pendidikan Islam telah menunjukan

era keemasannya pada zaman klasik, oleh sebab itu pada bab ini akan di uraikan

mengenai perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dan ilmu pengatahuan

pada masa sebelum pemerintahan al-Ma’mun.

A. Perkembangan Lembaga Pendidikan Sebelum al-Ma’mun.

Pada awal perkembangan Islam, tentu saja pendidikan Islam formal yang

sistematis belumlah terselenggara, kalau pun ada, pendidikan yang berlangsung

Page 73: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

60

bisa dikatakan bersifat informal, dan ini pun lebih dari pada berkaitan dengan

upaya-upaya Dirasah Islamiyah – lebih kepada penyebaran dan penanaman

dasar-dasar keyakinan atau kepercayaan dan ibadah Islam.130 Jadi, sebelum

adanya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal dengan lembaga

pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya sudah berkembang lembaga-

lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal.

Banyak ahli sejarah yang berbeda pendapat mengenai bagaimana bentuk

(format) dan klasifikasi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sebenarnya tidak

terlalu begitu krusial mengenai perbedaan-perbedaan pendapat tersebut. Akan

tetapi yang perlu dikemukakan disini adalah pendapat-pendapat para ahli

pendidikan.

Menurut Charles Michael Stanton, seorang pemerhati pendidikan

mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam di masa klasik itu ada dua macam,

yaitu lembaga pendididkan Islam Formal dan lembaga pendidikan Islam yang

bersifat informal.131 Ada pun kriteria yang dipergunakan Stanton untuk

membedakan kedua bentuk lembaga tersebut adalah hubungan antara lembaga-

lembaga pendidikan dengan Negara yang berbentuk theokrasi. 132

Lembaga pendidikan formal, adalah merupakan lembaga pendidikan yang

didirikan oleh negara dengan tujuan untuk mermpersiapkan pemuda-pemuda

Islam agar dapat menguasai ilmu pengetahuan agama dan supaya dapat berperan

dalam menyebarkan agama atau menjadi tenaga birokrasi atau pegawai

pemerintahan.Lembaga-lembaga pendidikan formal ini dalam pengoprasinalannya

mendapatkan biaya subsidi dari penguasa dan dibantu oleh orang-orang kaya yang

berupa harta wakaf.

130Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam,Sejarah dan peranannyadalam kemajuan ilmu pengetahuan (Jakarta:Logos, 1994), V, Bandingkan dengan AzyumardiAzra, Pendidikan Islam (Jakarta:Logos, 2000), vii

131Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Sejarah dan peranannyadalam kemajuan ilmu pengetahuan, 122.

132Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Sejarah dan peranannyadalam kemajuan ilmu pengetahuan, 46.

Page 74: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

61

Ada pun pengelolaan administrasinya berada di tangan penguasa.

Sedangkan kurikulum dari lembaga pendidikan formal ini biasanya terdiri dari

ilmu agama dan ilmu naqliyah. Sedangkan lembaga-lembaga pendidikan informal

tidak dikelola oleh pemerintah. Lembaga-lembaga pendidikan informal inilah

yang kemudian menawarkan kurikulum pelajaran-pelajaran yang bersifat umum

disamping ilmu pengetahuan agama, termasuk di dalamnya dipelajari tentang

filsafat.133

Berbeda dengan Stanton, George Makdisi membagi lembaga pendidikan

Islam (sebelum lahirnya madrasah) menjadi dua tipe, yaitu lembaga pendidikan

yang bersifat exklusif (tertutup) terhadap dunia pengetahuan umum dan lembaga

pendidikan yang bersifat inklusif (terbuka) terhadap dunia pengetahuan umum

disamping agama.134 Makdisi lebih melihat kepada pendidikan yang pernah

dilakukan oleh orang-orang terdahulu, yaitu suatu pendidikan atau pembelajaran

yang diberikan kepada anak-anak raja di istana yang diberikan oleh guru-guru

yang khusus di datangkan pihak istana, yaitu dengan cara private.

Pada dasarnya apa yang dikemukakan oleh Stanton dan Makdisi adalah

lebih melihat kepada materi yang diberikan di lembaga-lembaga pendidikan

tersebut, bukan kepada metode dan atau bagaimana bentuk dari lembaga-lembaga

tersebut. Meskipun demikian, Makdisi tampaknya lebih menekankan kepada

bagaimana dan apa materi pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah Islam,

sedangkan Stanton melihatnya lebih kepada bentuk kelembagaannya itu sendiri.

Berbeda dengan Stanton dan Makdisi, Asma Hasan Fahmi lebih cenderung

melihat kepada (lembaga) pendidikan keluarga lah sebagai pusat (lembaga)

pendidikan pertama, seperti yang terjadi pada masa Rasulullah, bahwa proses

pendidikan Islam pertama kali berlangsung di salah satu rumah sahabat Nabi yang

bernama Arqam,135 setelah masyarakat Islam mulai terbentuk, maka pendididkan

133Hanun Asrohah, Sejarah Pendidika Islam (Jakarta: Logos, 1999), 46.

134George Makdisi, Typology of Institutions of Learning dalam AN Anthology Studiesoleh Issa J.Baullata (Montreal: McGill Indonesia IAIN Develovment Project, 1992), 16

135Lewis Ma'luf, Al Munjid fil Lughah Wal A’lam (Bairut: al-Athba>hal Salikiyah, 1908),150.

Page 75: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

62

mulai dilaksanakan di lembaga-lembaga seperti; masjid, kutab, perpustakaan,

h{awanit al-Warraqin, ribat{, rumah sakit dan madrasah (sekolah).136

Dengan demikian, lembaga pendidikan di luar lingkungan keluarga yaitu;

masdjid, kutab, perpustakaan, h{awanit al-Warraqin, ribat dan lain sebagainya

adalah merupakan lembaga pendidikan ‘formal’ dalam Islam klasik. Dalam hal ini

baik Stanton, Makdisi dan Hasan Fahmi sepakat.

1. Masjid

Sejarah pendidikan dalam Islam mulai berlangsung sejak diangkatnya

Muhammad menjadi Nabi dan Rasul oleh Allah SWT. Yang ditandai dengan

diterimanya wahyu pertama melalui malaikat Jibril di guha Hira pada tahun 610

M. Menurut Soekarno dan Ahmad Supardi sebagai mana dikutip Hanun,

menjerlaskan bahwa; pendidikan Islam telah terjadi sejak nabi Muhammad

diangkat menjadi Rasul Allah di Mekah dan Beliau sendiri sebagai gurunya.137

Pada waktu itu Muhammad sebagai calon guru pertama dalam Islam

diajarkan oleh Jibril untuk membacakan surat al-‘Alaq sebagai berikut:

“ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telahmenciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Mahapemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam(Maksudnya: Allahmengajar manusia dengan perantaraan tulis baca) Dia mengajar kepada manusiaapa yang tidak diketahuinya.”138

Kemudian disusul dengan wahyu yang kedua tentang perintah kepada

Nabi untuk bangkit memberikan peringatan kepada manusia dan mengangungkan

nama Allah SWT.meninggalkan kebiasaan kebiasaan buruk agar hidup bisa bersih

136Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Bulan Bintang,1979), 29. lihat juga, Muhammad Munir Musa,Al-Tarbiyah al-Isla>miyah: Ushuluha waTathawuruha Fi al-Bilad al-’Arab (Cairo: Alam Kutub, 1977), 91

137Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 12

138Departeman Agama, Al Qur’an dan terjemah, 1079.

Page 76: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

63

lahir dan bathin. Dari sinilah dimulainya gerakan pendidikan dan pengajaran

dalam Islam pertama di Mekah,dan dilaksanakan di rumah Arqam binArqam.

Pendidikan Islam mulai dilaksanakan oleh Rasulullah setelah mendapat

perintah dari Allah SWT. Agar menyeru kepada Allah SWT., sebagai mana

termaktub dalam al-Qur’an, surat al-Muddatstsir (74) ayat 1-7, sebagai berikut;

” Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan! DanTuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, Dan perbuatan dosatinggalkanlah,Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh(balasan) yang lebih banyak.Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu,bersabarlah.”139

Menyeru berarti mengajak, dan mengajak berarti juga mendidik.

Pendidikan pada masa itu merupakan proto type yang harus terus menerus

dikembangkan oleh umat Islam untuk kepentingan pada masanya nanti.

Di rumah keluarga inilah Rasulullah menjadikan sebagai lembaga

pendidikan Islam pertama guna mengadakan dan menyalurkan perubahan dalam

masyarakat.140 Pembinaan masyarakat yang dilakukan Nabi bersama para

sahabat-Nya nampak pada perubahan yang terjadi pada masyarakat Arab meliputi

segala segi dan bidang kehidupan.

Dengan hijrahnya Nabi Muhammad saw. ke Madinah merupakan pertanda

baru bagi lembaga pendidikan dalam sejarah pendidikan Islam di samping

keluarga dan masyarakat. Lembaga pendidikan baru ini bernama Masjid.

Masjid pada periode awal merupakan lembaga pendidikan informal dan

memiliki peranan serta pengaruh yang sangat besar dalam upaya penanaman dan

penyebaran nilai-nilai dasar keislaman, disamping fungsi utama masjid adalah

sebagai tempat untuk beribadah, juga di pergunakan sebagai sarana yang amat

penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka,

139Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1995), 992

140Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Mutiara, 1966), 14.

Page 77: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

64

di samping itu juga sebagai tempat bermusyawarah, berunding, menyelesaikan

berbagai permasalahan yang dihadapi saat itu.141

Pada zaman Rasulullah, masjid juga berfungsi sebagai sarana pengajaran.

Sebagai otoritas penafsir wahyu Allah (al-Qur’an), beliau seringkali

menyampaikan berbagai hal kepada masyarakat,baik di dalam maupun di luar

masjid, sementara pendengarnya membentuk lingkaran (h{alaqah) di depan Nabi.

Sepeninggal Nabi,tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para sahabat dengan

penambahan materi hadits-hadits Nabi.

Sebagai pusat pendidikan, peranan dan pengaruh masjid sangat besar

terutama ditunjukan untuk mengingatkan manusia akan kehidupan ukhrawi atau

kehidupan setelah kehidupan di dunia, oleh sebab itu maka materinya pun berkisar

pada pengetahuan keagamaan. Metode yang sering di gunakan di masjid terutama

adalah nasihat-nasihat dan kisah-kisah.142

Masjid dikenal sebagai sebuah institusi pendidikan tertua dan sangat

penting dalam perjalanan sejarah ummat Islam. Masjid adalah pusat utama bagi

perkembangan ajaran dan kebudayaan Islam. Masjid yang pertama kali dibangun

oleh Rasulullah pada perjalanan hijrahnya dari Mekah menuju ke Madinah adalah

masjid yang bernama “Masdjid Quba” kemudian disusul dengan masjid nabawi

yang dibangun di kota Madinah.143 Dalam merancang bangunan masjid dia

menggunakan pengetahuannya mengenai biara Kristen yang berfungsi ganda,

sebagai tempat ibadah dan pusat pendidikan.144

Selain sebagai tempat peribadatan, masjid juga dijadikan sebagai

“lembaga pendidikan”, Rasulullah telah memulainya dengan mengajarkan pokok-

pokok ajaran Islam kepada para sahabatnya di rumah Arqam bin Arqam sebagai

tempat untuk pembelajaran. Di sini pula Rasulullah menerima para tamu yang

141Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 26.

142Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Bulan Bintang,1979), 29.

143M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997), 461.

144Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, 23.

Page 78: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

65

ingin bertanya kepadaNya tentang ajaran Islam dan orang-orang yang ingin

masuk Islam.

Menurut Hasan Langgulung, kurang lebih 13 tahun lamanya Rasulullah

menjadikan rumah keluarga sebagai lembaga pendidikan dalam Islam guna

mengadakan dan menyalurkan perubahan dalam masyarakat.145 Dengan demikian

dapat di katakan bahwa sebelum masjid dijadikan sebagai satu tempat

pembelajaran, maka jauh sebelum itu kegiatan pembelajaran telah dilakukan di

keluarga atau rumah tangga pada awal Islam di Mekah.

Akan tetapi, dengan hijrahnya Nabi Muhammad Saw. Dari kota Mekah ke

Madinah, hal ini merupakan awal pertanda bagi terbukanya lembaga pendidikan

baru dalam sejarah pendidikan Islam – disamping keluarga – yaitu masdjid,

sebagai “tempat” atau “lembaga” pengganti rumah.

Masjid pertama yang didirikan kaum muslimin di Madinah adalah Masjid

Quba.146 di sinilah mereka mengatur segala urusan,bermusyawarah guna

mewujudkan tujuan,menghindarkan berbagai kerusakan dari mereka, saling bahu-

membahu dalam mengatasi berbagai masalah dan menghindarkan dari setiap

kerusakan terhadap aqidah, diri dan harta mereka.

Masjid dalam sejarah pendidikan Islam tidak hanya sekedar berfungsi

sebagai tempat untuk beribadah semata, melainkan juga berfungsi sebagai pusat

pendidikan dan kebudayaan hingga saat sekarang.Masjid dalam fungsinya sebagai

pusat pendidikan dan kebudayaan memainkan peranan yang penting pada periode

pertama. Sebagai lembaga pendidikan,masjid merupakan pusat tempat berlakunya

proses pendidikan Islam. Di dalam masjid didirikan atau diadakan tempat untuk

belajar baik itu di dalam mau pun di samping masjid dalam bentuk s{ufah atau

kut{t{ab.

Masjid dalam fungsinya sebagai pusat kebudayaan, merupakan tempat

bagi kegiatan sosial, politik, budaya dan agama. Khususnya dalam kehidupan

social dan politik yaitu sebagai pusat dalam pelaksanaan urusan kenegaraan

145Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam (Jakarta: Al-Husna, 1985), 25.lihat juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mutiara, 1966), 14.

146Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 4-5

Page 79: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

66

seperti tempat pembaiatan khalifah, tempat pertemuan dan tempat

bermusyawarah.147

Namun setelah masyarakat Islam memasuki era kemajuan, maka masdjid

pun turut mengalami perubahan. Kompleksnya tuntutan masyarakat akan masjid

menyebabkan terjadinya perbedaan pandangan tentang masjid, sehingga masdjid

terbagi menjadi dua; yaitu masdjid tempat shalat jum’at atau masjid jami’ dan

masjid biasa. Istilah jami’ berasal dari Masjid jami’. Akhirnya hanya disebut jami’

sebagai lawan dari masjid yang tidak dipakai untuk melaksanakan kegiatan shalat

jum’at.

Menurut George Makdisi, jumlah jami’ lebih sedikit dibandingkan dengan

jumlah masdjid. Pada abad ke-11 M. di Baghdad hanya terdapat enam jami’tetapi

beratus-ratus masdjid dapat di jumpai di sana. Begitu pula di damaskus, sedikit

sekali jumlah jami’ dibandingkan dengan jumlah masdjid. Di Kairo – berbeda

dengan di Baghdad dan di Damaskus- terdapat jami’ sebagai sarana mengkanter

mazhab-mazhab Sunni, khususnya Mazhab syafi’i.148

Baik jami’ mau pun masjid biasa keduanya dipergunakan sebagai tempat

proses terjadinya pendidikan Islam, namun demikian, perbedaan status suatu

mesdjid pasti akan mengakibatkan perbedaan karakteristik di kedua masdjid

tersebut. Jami’ sebagai lembaga pendidikan , memiliki h{alaqah-h{alaqah,149 yang

mengajarkan berbagai disiplin ilmu agama. H{alaqah adalah membentuk lingkaran

147Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan IslamKlasik (Bandung: Angkasa, 2004), 35

148George Makdisi, Typology of Institutions of Learning dalam Anthology Studies olehIssa J.Baullata (Montreal: McGill Indonesia IAIN Develovment Project, 1992), 13. Bandingkandengan Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta:Logos, 1994), 35-36

149H{alaqah artinya lingkaran. Lembaga ini secara umum dikenal dengan system h{alaqah.Kegiatan h{alaqah biasanya terjadi di masdjid-masdjid atau di rumah-rumah. H{alaqah yangbiasanya terjadi dirumah dilaksdanakan oleh seorang ulama dengan mengundang murid-muridnyauntuk berdiskusi atau berdebat atau mengajar kepada murid-murid. Kegiatan ini berlangsungsecara terus menerus. Bahkan setelah madrasah lahir , sitem h{alaqah ini di laksanakan juga dimadrasah-madrasah. Dari sini kelihatannya h{alaqah ini merupakan semacam metode penyampaianmateri pelajaran, akan tetapi h{alaqah ini tidak dapat disebut sebagi satu metoda, karena iamerupakan ”lembaga” tersendiri meski tidak berlangsung disuatu gedung tersendiri. Iamenunjukan adanya kebebasan penuh bagi guru-guru atau ulama-ulama untuk mengajar. Lihat,Hanun Asrohah, Sejarah Pendidika Islam (Jakarta: Logos, 1999), 49.

Page 80: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

67

yang mengelilingi seorang syaikh yang dengan kefasihannya dalam berbicara dan

kedalaman ilmu pengetahuannya dapat menarik para pendengar.150

Hal yang menonjol pada periode pertama ini adalah bahwa pendidikan

yang dilakukan di masjid dalam bentuk h{alaqah ini diberikan dengan cuma-Cuma

dan merupakan kewajiban bagi semua anak umat Islam untuk mendapatkannya,

metoda pengajaran yang diberikan antara lain, membaca,menulis,menerangkan al-

Qur’an,dan menjadikan murid untuk mengenal kebudayaan Islam dan arab.

Kegiatan pengajaran yang berbentuk majlis-majlis juga seringkali

dilaksanakan di jami’. Bahkan tidak sedikit jami’ yang memiliki zawiyah-

zawiyah, - tempat orang-orang yang senantiasa ingin mendekatkan diri kepada

Tuhan – yang mengajarkan keagamaan . Zawiyah itu didirikan dan dipersiapkan

untuk seorang syaikh yang terkenal yang bertugas untuk mengajarkan ilmunya

dan mengasingkan diri untuk beribadah. Pada umumnya zawiyah ini dikenal

dengan nama syaikh yang terkenal karena ilmunya dan ketaqwaannya.151

Berbeda dengan jami’, masdjid-masdjid memberikan kebebasan penuh

kepada umat Islam untuk mengadakan h{alaqah-h{alaqah. Karena masjid tidak

berhubungan dengan kekuasaan, ulama-ulama yang mengajar di masdjid tidak

terkait dengan otoritas penguasa.

Peran ulama dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan di sini tidak

terbatas hanya kepada ilmu-ilmu agama, tetapi juga terhadap ilmu umum seperti

Filsafat, teologi, sastra, kedokteran dan lain sebagainya. Oleh karena itu,

kapabilitas dan kredibilitas keilmuawan ulama pada abad ini tidak hanya diakui

oleh ilmuwan muslim saja, tetapi juga diakui oleh ilmuwan di seluruh penjuru

dunia.

Biaya pendidikan pun tidak di bebankan kepada Negara, akan tetapi, di

tanggung bersama antara murid-murid dan umat Islam secara umum. Namun,

tidak menutup kemungkinan ada penguasa yang dengan suka rela menafkahkan

sebahagian harta bendanya untuk terselenggaranya pendidikan. Misalnya, khalifah

150Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, 24.

151Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1979), 47.

Page 81: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

68

al-Qadir pernah mengirimkan makanan yang diambilkan dari atas mejanya sendiri

untuk dibagi-bagikan kepada murid-murid yang sedang belajar dan timnggal di

masjid.152 Konon ibnu Tulun sering mengirim utusannya untuk memberikan uang

kepada para pelajar yang kehabisan bekal uang untuk biaya hidup sehari-hari.153

Adapun pada awalnya, menurut Sayyid Hossein Nasr, bahwa sitem

pendidikan yang dilaksanakan di masdjid hanyalah terbatas pada Al-Qur’an dan

Hadits. Namun dalam perkembangannya, di masjid juga tidak hanya sekedar

mengajarkan Al-Qur’an dan Hadits saja, melainkan juga menawarkan kajian-

kajian yang bervareatif mencakup; tafsir, fiqh, kalam, bahasa arab dan sastra.lebih

jelas Seyyed Hossein Nasr memberi batasan bahwa berfungsinya masdjid sebagai

sekolah adalah ketika Umar bin Khattab berkuasa, dengan bukti masdjid yang ada

di kota Kufah, Basrah dan Damaskus yang telah dipergunakan untuk pengajaran

al-qur’an dan Hadits. Kemudian lambat laun ditambah dengan pelajaran Nahwu

(gramatika) dan sastra di gabungkan pula ke dalam institusi pendidikan ini.

Masjid yang dimaksud adalah masdjid jami’ al-Thuluni dan masdjid al-Azhar.154

Batasan usia dalam pendidikan di masjid tidak dianggap penting lagi,

hanya kepada anak-anak perlu lebih diperhatikan terlebih dahulu.155 Jadi masjid

muncul sebagai pusat pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi bagi remaja dan

orang dewasa dalam ilmu-ilmu agama.156

Dengan demikian bahwa lembaga pendidikan dalam Islam telah ada sejak

periode-periode awal Islam yang secara berarti bahwa sistem pendidikan Islam

pun telah mulai dilaksanakan di masjid, sebagai pusatnya.

Bahkan dalam beberapa hal hingga pra madrasah telah berkembanglah

lembaga-lembaga pendidikan lainnya seperti; Maktab, Bait al-hikmah, Majlis

152A.S. Tritton, Materials On Muslim Education in the Middle Age (London: Luzac,1957)

153Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, 47.

154Ahmad Shalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Lihatjuga Armai Arief,Reformulasi Pendidikan Islam (Jakarta: CRSD Press, 2005), 103.

155Sayyed Hossein Nasr, Sain dan Peradaban di dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1990),50.

156Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, .23.

Page 82: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

69

(tempat perkumpulan para cendikiawan dan para pelajar), Observatori-observatori

dan zawiyah di dalam persaudaraan sufi.157 Jadi pendidikan Islam secara informal

telah ada sejak permulaan Islam (masa Rasulullah setelah hijrah ke Madinah),

yakni dengan membangun masjid yang kemudian difungsikan bukan hanya

sekedar untuk ibadah semata, tapi, kemudian difungsikan pula untuk

melaksanakan proses pembelajaran dengan cara lingkaran belajar atau h{alaqah.

2. Maktab

Lembaga pendidikan kutab atau maktab ini telah ada sejak masa pra Islam.

Hal ini tentu saja terkait dengan kegiatan pendidikan saat itu, yang menurut M.

Hamidullah sudah berkembang dengan baik, meskipun diakuai bahwa catatan-

catatan pada masa jahiliyah tidak dapat ditemukan, namun ia mendapatkan

beberapa bukti yang dapat memberikan gambaran situasi pendidikan saat itu.158

Penjelasan Hamidullah tersebut belum menunjukan apakah kegiatan

pendidikan tersebut bersifat masal atau hanya diikuti oleh orang-orang tertentu.

Dalam hal ini Ahmad Shalabi, dengan merujuk pada karya Al-Baladuri, Futuh al-

Buldan menjelaskan bahwa Sufyan bin Umayyah dan Abu qais bin 'Abdul Manaf

adalah orang arab asli pertama yang belajar membaca dan menulis. Guru mereka

adalah seorang nasrani yang bernama Bishr 'Abd Al-Malik yang telah belajar ilmu

ini di Hira, dan orang arab pertama yang menjadi guru adalah Wadi al-Qura yang

hidup di sana dan mualai mengajarkan membaca dan menulis kepada penduduk

Arab. Sehingga, peda saat datangnya Islam hanya ada 17 orang quraisy yang

mengenal tulis baca.159

Dengan merujuk kepada data yang di tulis oleh Shalabi, dapat dikatakan

bahwa kegiatan pendidikan menulis dan membaca hanya dilakukan oleh

sekelompok orang dan khususnya di Mekah. Hal ini bisa dimaklumi karena

kebiasaan penduduk di Jazirah Arab selalu berpindah-pindah (nomaden) tentu

157M. Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pustaka, 1981), 224.

158Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan IslamKlasik (Bandung: Angkasa, 2004), 46.

159Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, 16.

Page 83: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

70

perhatian yang mereka berikan lebih besar kepada pemenuhan kebutuhan primer

berupa makanan, sementara kegiatan pendidikan mereka anggap tidak penting

sama sekali, karena keterampilan menulis dan membaca belum menjadi hal yang

umum dimiliki masyarakat saat itu, maka yang berkembang saat itu adalah tradisi

lisan. Dalam kondisi seperti itu, maka yang menjadi "guru" adalah mereka yang

paling banyak memiliki hafalan.160

Kebanyakan para ahli sejarah pendidikan sepakat bahwa maktab/kuttab

adalah sebuah lembaga pendidikan dasar. Sulit memang rasanya untuk

menentukan apakah maktab dan kuttab itu merupakan dua nama untuk satu

lembaga ataukah dua nama yang saling berbeda satu sama lainnya.Juga tidak

diketemukan suatu kejelasan apakah kedua istilah tersebut dipakai secara

simultan. Akan tetapi menurut Shalaby, kuttab lebih berfokus kepada pengajaran

tulis-baca dan sering kali dilaksanakan oleh orang-orang Kristen.161

George Makdisi lebih jauh menjelaskan bahwa kedua istilah ini sebagai

bentuk pendidikan dasar.162 Menurutnya, Maktab jelas berbeda dengan kuttab,

paling tidak di Naisapur. Untuk memperkuat pendapatnya ini, dia menjelaskan

laporan bahwa Abdul Gharif Al-Farisi pernah belajar dimaktab pada usia lima

tahun, untuk mempelajari Al-qur’an dan ilmu-ilmu Agama di Persia. Setelah usia

sepuluh tahun, ia kemudian memasuki kuttab untuk mempelajari sastra.

Seterusnya ia pun menjelaskan bahwa ada laporan bahwa maktab adalah sekolah

tingkat dasar yang mempelajari khat, kaligrafi, Al-Qur’an, Akidah dan Syair.

Muniruddin Ahmed, sebagai mana mengutip al-Mubarrad, berpendapat

bahwa al-maktab merupakan suatu tempat untuk melakuakan kegiatan belajar

mengajar, sedangkan al-kuttab adalah sebutan bagi pelajar yang belajar di

maktab.seterusnya Ahmed mengutip penjelasan Tadj al-’Arus yang memaparkan

160Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: The Classical Period (Maryland:Rowman &Littlefield,Inc., 1990), 14.

161Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, 16-17.

162George Makdisi, “Typology of Institutions of Learning” dalam An Anthology Studiesoleh Issa J.Baullata, (Montreal: McGill Indonesia IAIN Develovment Project, 1992),13. Dengandemikian pendidikan kutab merupakan pendidikan dasar yang mempersiapkan anak-anak untukmelanjutkan studinya di masdjid. Lih. Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 100.

Page 84: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

71

tentang laporan tentang Salman al-Farisi sebagai orang yang pertama kali

memperkenalkan lembaga kuttab, jadi lembaga ini sudah dikenal di Persia

sebelum Islam. Dengan demikian Ahmed menyimpulkan bahwa istilah kuttab

paling tidak merupakan istilah yang sudah ada pada masa Salman al-Farisi, akan

tetapi ia tidak memperkenalkan nama lembaga kuttab yang tidak dikenal (asing)

bagi pendengaran orang-orang Arab. Kemungkinan lain ada seseorang yang

menambahkan nama kuttab pada laporan sejarah tersebut. Terlepas benar atau

salah penggunaan istilah antara maktab dan kuttab, yang jelas telah di sepakati

bersama bahwa keduanya adalah merupakan sebuah lembaga pendidikan tingkat

dasar.163

Di dunia Arab, Kuttab/Maktab dikenal ada 2 macam, menurut Shalabi,164

kuttab yang pertama adalah kuttab yang berfungsi sebagai tempat yang

dipersiapkan untuk anak-anak belajar membaca dan menulis, dengan teks dasar

puisi-puisi Arab dan dengan sebahagian besar guru-gurunya adalah non-Muslim.

Kuttab jenis ini telah ada sebelum Islam berkembang di tanah Arab. Hal ini

dibuktikan oleh tindakan Rasul atas sejumalah tawanan Badar yang dibebaskan

setelah mereka mengajarkan tulis - baca kepada sejumlah anak-anak muslim.165

Pada kuttab jenis ini peserta didik diajarkan tulis-baca dengan teks dasar puisi-

puisi Arab. Hal ini menunjukan sebelum adanya al-Qur’an, puisi-puisi Arab

dianggap sangat penting sebab biasanya berisi ungkapan bahasa yang cukup halus

dan mempunyai nilai etika yang tunggi.

Kuttab yang kedua, adalah yang berfungsi sebagai tempat untuk

mempelajari Al-Qur’an dan prinsip-prinsip ajaran Islam lainnya. Banyak

dikalangan ilmuwan,seperti Philip K. Hitti, Ahmad Amin, dan Inaz Goldziher

yang terjebak dengan menyamakan antara kedua jenis kuttab tersebut.sehingga

mereka beranggapan bahwa baik pelajaran tulis-baca maupun pelajaran al-qur’an

dan pelajaran dasar-dasar agama lainnya diajarkan pada kutab yang sama, dan

163Hanun Asrohah, Sejarah Pendidika Islam (Jakarta: Logos, 1999), 48.

164Ahmad Shalaby, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kashashaf, 1954), 19-20.

165Ahmad Shalabi, Ta >rikh al-Tarbiyat` al-Isla>miyyat{~~~~, 45.

Page 85: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

72

kemungkinan guru-guru non muslim yang mengajarkan baca-tulis al-Qur’an

kepada anak-anak Muslim.166

Menurut Ahmad shalabi, kedua jenis kuttab itu terpisah, kuttab jenis ke

dua ini tidak ditemui pada masa paling awal, karena kuttab jenis ini baru dimulai

setelah qurra> (ahli baca) dan h{uffa>zh (penghafal) al-Qur’an telah banyak.167

Dalam hal ini Rasulullah pernah memerintahkan kepada al-Hakam bin Said untuk

mengajar pada sebuah kutab di Madinah.168

Sedangkan menurut Asma Hasan, kutab dalam jenis ini merupakan

pemindahan dari pengajaran al-Qur’an yang berlangsung di masdjid yang sifatnya

umum.169 Oleh kaena itu, pendidikan di sini dapat dilakukan apabila seorang guru

kuttab adalah orang yang hafal al-Qur’an.170Kuttab jenis ini baru berkembang

pada masa umayyah setelah jumlah qurra>’ dan h{uffa>zh telah banyak dan al-

Qur’an pun telah banyak digandakan. Pada masa-masa sebelumnya pengajaran al-

Qur’an berlangsung dalam h{alaqah di masjid-masjid atau rumah-rumah secara

informal.171

Namun demikian – tidak menutup kemungkinan – sistem kegiatan belajar

mengajar yang dilakukan di kuttab atau s{uffah.172 Kadang-kadang dilaksanakan di

rumah-rumah guru-guru mereka, yang hanya dapat menampung beberapa murid

saja, ada juga yang dilakukan di tempat terbuka di luar masjid, karena anak-anak

dipandang terlalu kacau dan ribut jika dilakukan di dalam masjid.173 seperti kuttab

166Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan IslamKlasik (Bandung: Angkasa, 2004), 141.

167Ahmad Shalabi,Ta>rikh al-Tarbiyat ~al-Islamiyat ~, 44-48

168Jawad ’Ali, al-Mufashshal, VII, 292, Dikutip dari Hasan Asari, Menyingkap ZamanKeemasan Islam (Bandung : Mizan, 1994), 26

169Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,terj. Ibrahim Husein(Jakarta: Bulan Bintang, 1979),.30

170Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994), 19

171Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, 102.

172Ramayulis, Ilmu pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Kudus, 1998), 87.

173Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, 16-17.

Page 86: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

73

milik Abu Qasim al-Balkhi di Kuffah. Kegiatan belajar mengajar di kuttab ini

berlangsung dari hari sabtu sampai hari kamis, sedangkan hari jum’at libur,174

karena pada hari itu akan dilaksanakan kegiatan shalat jum’at. Oleh karena itu

dapat dikatakan pula bahwa sistem pembelajaran di maktab/kuttab pada gilirannya

hanya menjadi semacam pelengkap atau ”lembaga privat”.175

Meskipun demikian, sistem pendidikan di kuttab ini tidak pernah

membeda-bedakan lapisan strata sosial anak, tidak ada perbedaan antara anak-

anak orang kaya dengan anak-anak orang miskin, bahkan mereka memperoleh hak

yang sama dalam belajar. Bahkan di Persia pada abad kedua hijriah – pada

perkembangan selanjutnya – telah diwajibkan bagi seluruh orang tua untuk

mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di kuttab176, untuk dididik dan di

ajarkan ilmu-ilmu umum.

Pada abad pertama masa Islam klasik kurikulum yang diajarkan di kuttab

hanya terbatas pada pelajaran membaca dan munulis saja, kemudian meningkat

dengan diajarkannya pendidikan keagamaan. Oleh karena itu bisa dikatakan

bahwa kuttab pada masa itu merupakan lembaga pendidikan yang bersifat tertutup

untuk pelajaran ilmu pengetahuan umum.

Perkembangan lembaga pendidikan kuttab secara luas berlangsung pada

awal abad ke 2 hijriyah,yakni sejak masa Muawiyah. Menurut Hisham Nashabi,

perkembangan kuttab ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kebutuhan akan

keterampilan menulis dan membaca, sejalan dengan berkembangnya kegiatan-

kegiatan di kota-kota Islam baru,seperti pencatatan al-Qur’an dan Hadits, serta

perkembangan lembaga-lembaga pemerintahan setelah adanya gerakan Arabisasi

pada masa Umayah.177

174Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 30

175Secara umum, Kuttab pada gilirannya hanya menjadi semacam pelengkap bagi sekolahumum, khususnya untuk mendapatkan tambahan pelajaran agama. Lih. Azyumardi Azra,Perndidikan Islam, (Jakarta: Logos, 2000), 97

176Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 32.

177Hisham Nashabi,”Educational Institution,” in R. Berkely, Islamic City (Princeton:Prenceton University Press, 1992), 70.

Page 87: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

74

Seiring dengan perkembangan kemajuan, maka pada abad ke delapan

Masehi, di kuttab mulai diajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum di samping ilmu-

ilmu agama. Bahkan pada akhirnya kuttab ini pun terbagi kepada dua jenis, yaitu;

secular learning–kuttab yang mengajarkan pengetahuan non agama dan religious

learning-kuttab yang mengajarkan tentang ilmu pengetahuan Agama,178 meskipun

jumlah dan peminatnya masih sedikit.179

Perbedaan kuttab ini pada dasarnya hanyalah untuk membedakan segi

administrasi atau pembiayaan dari masing-masing kutab. Biaya pendidikan non

agama berbeda-beda, berkisar antara 500 sampai 1000 dirham per tahun atau lebih

kurang U.S. $ 120 sampai 240.180 perbedaan jumlah biaya pendidikan ini

bergantung kepada kondisi finansial orang tua murid, yang akhirnya akan

berimbas kepada imbalan atau kesejahteraan guru-guru yang mengajar. Menurut

shalaby gaji guru rata-rata mencapai 1000 dirham per bulan atau sekitar U.S.$

240, walaupun banyak yang menerima lebih besar dari itu.181

Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada, kuttab atau pendidikan dasar

telah banyak mengalami perkembangan yang cukup pesat sejak awal dan dapat

menyesuaikan kepada berbagai latar belakang sosial budaya yang ada.

Selanjutnya , pendidikan dasar pada waktu itu merupakan satu unit yang dapat

memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak mempunyai hubungan organis dengan

pendidikan yang lebih tinggi.182

178Perbedaan ini dipandang dari bagaimana cara guru untuk memperoleh imbalan ataskerja keras yang telah mereka lakukan. Lihat, Hanun Asrohah, Sejarah Pendidika Islam (Jakarta:Logos, 1999), 49.

179Ahmad Shalaby, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kashashaf, 1954), 43.

180A.S. Tritton, Muslim Education in the Middle Ages (London: Luzac, 1957), 25. tidaktersedianya informasi tentang daya beli dan pengaruh inflasi menutup kemungkinan mengetahuinilai uang dari satu periode ke periode yang lain.dengan mempergunakan perkiraan oleh Durant,Hitti dan Suyuti (Lihat Bibliografi), nilai satu dirham dalam dolar Amerika (U.S.Dolar) padapertengahan abad ke-20 adalah sekitar 0,24 dollar (24 sen).

181Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, 136.

182Tidak ada keterkaitan hubungan organis antara pendidikan dasar dengan pendidikanyang lebih tinggi adalah karena kaum muslimin pada waktu itu tidak mengembangkan pendidikantinggi secara sistematis.Sekolah-sekolah yang mereka dirikan hanya sampai tingkatdasar,sementera pendidikan tinggi lebih terpusat kepada pribadi pribadi tertentu bukan padasekolah.Lihat, Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, terj. Anas Mahyudin, MembukaPintu Ijtihad (Bandung: Mizan, 1984), 201.

Page 88: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

75

Sekolah-sekolah yang didirikan hanya sampai tingkat dasar. Sedangkan

pendidikan tinggi lebih terpusat kepada individu pribadi-pribadi tertentu, bukan

kepada sekolah-sekolah. Di samping pendidikan dasar dan pendidikan tinggi,

menurut Rahman, pada waktu itu juga terdapat dua jenis pendidikan;

Pertama, pendidikan sekolah istana. Pendidikan ini diberikan kepada para

pangeran dengan tujuan untuk mempersiapkan mereka menjadi pemimpin-

pemimpin pemerintahan, kelak kurikulum yang di ajarkan disamping pelajaran

agama mereka juga diajarkan tentang pidato,kesusastraan, dan nilai-nilai

kesatriaan.

Kedua, pendidikan orang dewasa. Pendidikan ini diberikan kepada orang

banyak yang tujuannya dalah terutama untuk mengajarkan mereka tentang al-

Qur’an dan agama.183 Jadi lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti yang

disebutkan di atas dipergunakan sebagai tempat belajar bagi orang-orang dewasa,

pemuda dan ulama sesuai dengan disiplin ilmu yang diminatinya.

Mengenai masalah pendidikan bagi wanita pada umumnya tidaklah jauh

berbeda keadaanya dengan periode pertama. Pendidikan bagi mereka tetap

diberikan pada hari-hari khusus seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.

Begitu juga halnya dengan pendidikan untuk anak-anak dapat dilaksanakan di

suffa. Kurikulum pelajaran yang diberikan di samping pelajaran al-Qur’an,

membaca, menulis dan berhitung juga diberikan pelajaran sastra Arab dan

kaligrafi.184

Pada perkembangannya materi yang diberikan di kuttab-kuttab cukup

bervariasi, bergantung kepada kebutuhan daerah tertentu, dan juga bergantung

kepada kemampuan para ulama yang ada di daerah itu. Ibnu Khaldum (w.808

H./1406 M.), mencatat menganai perbedaan praktik pendidikan kutab pada

masanya, sebagai berikut:

1. Umat Islam al-Maghrib (Maroko), sangat menekankan terhadap pengajaran al-

qur'an, sehingga anak-anak di daerah ini tidak akan belajar sesuatu yang lain

183Fazlur Rahman, Islamic Methodologi in History, terj. Anas Mahyudin, Membuka PintuIjtihad (Bandung: Mizan, 1984), 182.

184Ramayulis, Ilmu pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Kudus, 1998), 89.

Page 89: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

76

sebelum ia dapat menguasai al-qur'an secara baik. Pendekatan yang digunakan

adalah otografi (mengenali satu bentuk kata dalam hubungan dengan bunyi

bacaan), oleh karena itu Muslim maroko dapat menghafal al-qur'an lebih baik

dibandingkan dengan muslim dari daerah yang lain.

2. Muslim Spanyol (al-Andalus) lebih mengutamakan kepada menulis dan

membaca. Al-Qur'an tidak lebih utama dibandingkan dengan puisi dan bahasa

Arab,penekanan ini akhirnya banyak melahirkan ahli kaligrafi, yang dapat

membaca dan menyalin al-qur'an tanpa harus menghafalnya.

3. Daerah Ifriqiyah (Afrika Utara:Tunisia, Al-Jazair, dan Libiya), pendidikan

kutab disini lebih mengutamakan kepada al-qur'an dengan tekanan yang

khusus pada variasi bacaan (qiraat), lalu diikuti dengan seni kaligrafi dan

hadits. Keempat, daerah Timur (al-masyriq, Timur tengah, Iran, asia tengah

dan semenanjung India), Yang menurut pengakuannya – tidak ia ketahuai

secara jelas dibandingkan dengan tiga daerah yang pertama – secara umum

daerah ini menganut kurikulum campuran, dengan al-Qur'an sebagai inti

materi,tetapi tidak memadukannya dengan kaligrafi, sehingga tulisan tangan

anak-anak dari daerah ini kurang begitu baik.185

Dari uraian di atas dapat dikatakan,bahwa kuttab pada masa Islam

berfungsi sebagai lembaga pendidikan dasar. Pada masa awal Islam kuttab

diselenggarakan dengan melibatkan guru-guru non-Muslim. Sistem pengajaran

difokuskan pada kemampuan membaca dan menulis, yang pada

perkembangannya, setelah kebutuhan mengkaji al-Qur'an semakin meningkat dan

sumber daya manusia (guru) dan fasilitas yang memadahi untuk mengajarkan al-

Qur'an, maka kuttab menjadi tempat yang strategis untuk pengajaran kitab suci

ini, bahkan al-Qur'an menjadi mata pelajaran par excellent selain

membaca,menulis,ilmu hitung dan ilmu pengetahuan agama dasar yang lain.

3. Toko buku atau kedai (H{awanit al-Waraqin)

H{awanit adalah bentuk jama’ dari h{anut yang berarti kedai, dan al-

Warraqin merupakan bentuk jama’ d{awaraq yang berarti penyalinan manuskrip.

185Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, 594-595.

Page 90: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

77

Jadi, sebuah tempat atau semacam toko buku tempat menjual kitab-kitab penting

hasil karya para penyalin. Di sisi lain kedai ini juga berfungsi sebagai

perpustakaan umum. Pemiliknya selain menyediakan kitab-kitab bermutu juga

menyelenggarakan forum diskusi dan tukar pikiran yang dihadiri oleh para ulama

dan para penuntut ilmu.186

Walapun sarjana-sarjana modern cukup sulit untuk mengakui bahwa toko-

toko buku atau ”kedai-kedai” yang ada sebagai pusat pendidikan tinggi, tetapi

mereka tetap mengakui fungsi itu di kota-kota Islam.187 Menurut Hasan Fahmi,

kelahiran kedai-kedai ini berhubungan erat dengan penemuan kertas sebagai alat

tulis. Memang industri kertas bermula dari negri Cina pada tahun 105 M. Namun,

kemudian pengembangannya untuk menjadi tujuan alat tulis di mulai oleh bangsa

Arab di Baghdad sekitar tahun 794 M. Melalui jasa al Fadhi bin Yahya pada masa

Harun al-Rasyid. Sesudah itu, kemudian industri kertas mulai berkembang di

dunia, seperti; Syiria, Mesir, Afrika Utara dan Andalus.188

Toko-toko buku muncul sejak permulaan Kerajaan Bani abbas, Bahkan

Nakosteen melihat bahwa selama kejayaan khalifah Abbasiyah, toko-toko buku

berkembang pesat di wilayah timur tengah, dan peran pentingnya menyebar di

seluruh wilayah Islam, khususnya melalui Afrika Utara dan semenanjung liberia,

Sebelum terjadinya perusakan oleh pasukan Mongol, Baghdad telah memiliki

tidak kurang dari 100 penjual buku, dan diantaranya di kota-kota Sharaz, Mosul,

Basrah, kairo, Kordova, Fez, Tunis dan banyak kota-kota lain yang mendukung

untuk terus bertambahnya jumlah toko-toko buku yang ada189

Para pembeli dan penjual buku atau catatan-catatan (manuskrip) – yang

berasal dari kalangan cerdik pandai – turut serta memberikan kontribusi yang

besar terhadap kehidupan intelektual dalam masyarakat melalui karya-karya

186Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 221.

187Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education (Boulder:University of Colorado Press, 1964), 470.

188Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 102.

189Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education (Boulder:University of Colorado Press ,1964), 73.

Page 91: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

78

pilihan mereka yang diterjemahkan dari baerbagai bahasa seperti Yunani dan

persia, demikian pula dengan para saudagar buku, ia tidak hanya membeli dan

menjual buku-bukunya kepada para pelanggannya, mereka juga seringkali

memfunsikan diri sebagai percetakan.

Dengan demikian, maka toko-toko buku dilain pihak sebagai tempat

terjadinya transaksi bisnis, di pihak lain juga merupakan pusat pengumpulan dan

penyebaran buku-buku, maka tidaklah heran jika lingkaran-lingkaran studi

berkembang dengan pesat dan mengaitkan dirinya dalam bentuk bangunan

(ruangan) khusus.

Pemilik toko buku biasanya berfungsi sebagai tuan rumah atau bahkan

kadang-kadang ada yang menjadi pemimpin dari lingkaran studi tersebut. Pemilik

toko dapat mengundang orang-orang pandai dari golongan masyarakat sekitar

untuk duduk dan mengarahkan diskusi-diskusi tentang masalah-masalah

intelektual dan keagamaan. Para ilmuwan pun kadang sering datang ke toko-toko

buku tertentu untuk bergabung dengan sanggar sastra yang ada, bahkan sampai

ada yang dibiayai (dipelihara), ditetapkan sebagai tenaga oleh seorang saudagar

buku.190

Dari uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa toko-toko buku dan

pemiliknya pada saat itu, telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi

perkembangan dunia pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi

kebangkitan intelektual Islam.

4. Majlis-majlis.

Majlis merupakan isim makan - kata yang menunjukan arti tempat – dari

asal kata (fi’il) jalasa. Jalasa yang artinya duduk. Sinonim dengan kata qa’adah.

Jalasa mengacu kepada keadaan seseorang yang duduk setelah melakukan

kegiatan yang lain, seperti tidur dan berbaring.191 Misalnya; pernyataan Khatib al-

190Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Sejarah dan peranannyadalam kemajuan ilmu pengetahuan (Jakarta: Logos, 1994), 163.

191George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Crystian West WithSpecial Reference to Scholasticism (Endinburgh University Press, 1990), 11.

Page 92: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

79

Baghdadi (w. 463 H./1071 M.) yang dikutip oleh George Makdisi: ثم اتوا الجمعة و

صلواركعثین ثم جلسوا یطلبون العلم والسنة (kemudian datanglah pada hari jum’at dan

shalatlah dua raka’at kemudian duduk belajar ilmu dan sunnah).

Istilah majlis telah lama dipakai oleh dunia pendidikan sejak abad pertama

Islam. Awal mulanya ia mununjukan kepada arti tempat terjadinya proses

kegiatan belajar mengajar, seperti ungkapan. خرج الى مجلسه الزىكان یملى فیه الحدیث

(Fulan pergi kesuatu majlis yang mengajarkan hadits). Kata majlis ini juga bisa

dipakai untuk menunjukan arti pelajaran, seperti Dia ) لم یحدث الامجلسا او مجلسین

hanya mengajarkan satu atau dua hadits saja). Selain itu juga majlis bisa diartikan

sebagai tempat duduk, yaitu kursi yang dipakai oleh seorang guru untuk mengajar,

seperti هو المقدم من اصحا به والدى جلسى بعده فى مجلسه (Dia guru mengajar lebih dahulu

dari pada teman-temannya). Bahkan majlis bisa dipakai untuk menunjukan orang-

orang yang duduk di suatu majlis.192

Pada perkembangan selanjutnya - dimana dunia pendidika Islam

mencapai zaman keemasannya – majlis berarti merupakan sesi dimana aktivitas

belajar mengajar atau diskusi berlangsung, dan belakangan majlis di artikan

sebagai sejumlah aktivitas. Majlis yang di-idhafah-kan kepada nama orang berarti

menunjukan milik, misalkan majlis al-Nabi, itu menunjukan bahwa majlis yang

diselenggarakan oleh Nabi, namun demikian tidak semua berarti milik ada juga

yang bukan milik. Misalkan majlis al-Syafi’i ini bukan berarti menunjukan majlis

yang diselenggaran di rumah al Syafi’i, tetapi ini merupakan satu kegiatan belajar

mengajar yang diselenggarakan oleh al-Syafi’i. Jadi majlis yang disebutkan

terakhir ini lebih condong sebagai kelas yang didalamnya dilakukan kegiatan

belajar mengajar yang disampaikan mengenai Fiqih imam Syafi’i.193

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, majlis

banyak digunakan sebagai kegiatan transmisi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu

yang ada, sehingga pada perkembangannya majlis mengalami banyak ragamnya.

192George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Crystian West WithSpecial Reference to Scholasticism, 11.

193Hanun Asrohah, Sejarah Pendidika Islam (Jakarta: Logos, 1999), 51.

Page 93: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

80

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Muniruddin ahmed yang dikutip oleh

Hanun Asrohah, bahwa majlis-majlis yang ada terbagi dalam 7 macam, yaitu;

الحدیثمجلس (tempat pengkajian hadits) التدریسمجلس (tempat Pengajaran umum)

المناظرةمجلس (tempat berdebat) المداكرةمجلس (tempat diskusi) الشورىمجلس (tempat

untuk mengambil keputusan) الادبمجلس (tempat para pujangga, sastrawan).

مجلس الفتو dan النظرمجلس١٩٤

Majlis al-hadits merupakan tempat dimana berlangsungnya proses

kegiatan belajar mengajar hadits, majlis ini terbagi dua tipe, pertama, majlis

hadits yang bersifat permanen, dilaksanakan oleh seorang guru/Ahli di bidang

hadits dan berlangsung lama hingga 20 sampai 30 tahunan. kedua, majlis hadits

yang dilaksanakan sewaktu-waktu, biasanya dilakukan sekali atau dua kali dalam

setahun dengan jumlah peserta biasanya mencapai ratusan ribu peserta, seperti

majlis yang disampaikan oleh seorang ulama yang bernama ’Ashim bin ’Ali di

Mesdjid Al-Rusafa dihadiri oleh peserta lebih kurang mencapai jumlah antara

100.000 sampai 120.000 orang.195

Sementara majlis al-Munaz{arah pada awal mulanya merupakan tempat

pertemuan,perdebatan bukan semacam lembaga pendidikan seperti majlis al-

munazharah yang diselenggarakan atas perintah khalifah. Menurut Syalabi,

Khalifah Muawiyah sering mengundang ulama-ulama untuk berdiskusi di

istananya.196 Demikian juga pada masa Dinasti abbasiyah, khalifah al-Ma’mun

sering mengundang ulama-ulama untuk berdiskusi di istananya.

Ada juga majlis al-munaz{arah yang lebih bersifat edukatif, yang

dilaksanakan secara kontinyu. Dimana terjadinya proses belajar mengajar antara

murid dan guru, yang dilanjutkan dengan tanya jawab.

Berdasarkan inovasi yang dilakukan oleh murid-muridnya yang belajar

hadits, sebelum dimulainya pelajaran, biasanya mereka berkumpul untuk saling

mengingat dan mereviw pelajaran yang sudah berlalu sambil menunggu kehadiran

194Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 51.

195Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 51-52.

196Ahmad Shalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 67.

Page 94: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

81

guru. Lama kelamaan majlis ini pun berkembang menjadi suatu lembaga

pendidikan.197

Secara khusus, Majlis al-adab atau majelis sastra merupakan majlis yang

teristimewa dibandingkan dengan majlis-majlis yang lain, oleh karena itu pada

masa bani Umayyah dan Abbasiyah, majlis-majlis ini pada awalnya merupakan

perkembangan dari majlis di masjid. Bahkan majlis-majlis ini menuai

perkembangannya jauh lebih pesat bermula pada zaman Abbasiyah.

Menurut Mahmud Yunus majlis sastra yang ada pada masa Abbasiyah

dihiasi dengan perhiasan yang sangat indah sekali, sesuai dengan kebesaran

khalifah pada masa itu. Sedangkan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh

khalifah, begitu pula akhir dan selesainya majlis itu.198

Pada masa pemerintahan khalifah harun al-Rasyid (170 – 193 H./786 –

809 M.) majlis sastera menunjukan perkembangan kemajuan yang cukup

signifikan, karena khalifah sendiri merupakan salah seorang ahli ilmu

pengetahuan dan mempunyai cukup kecerdasan. Apalagi negara dalam keadaan

tidak terlalu menghawatirkan (dalam keadaan tenang) dan pembangunan berjalan

dengan lancar.

Pada majlis Rasyid sering kali diadakan perlombaan sya’ir di kalangan

ahli sya’ir, dan perdebatan-perdebatan diantara para fuqaha serta sayembara seni

dan sastra diantara ahli-ahli kesenian dan kesusastraan.199

Pada masa Harun al-Rasyid ini lahirlah para pujangga dan ahli ilmu dalam

bermacam-macam bidang kecerdasan. Di bidang pujangga ada nama-nama yang

cukup terkenal diantaranya; Abu Nawas, Abul ’Atahia, Da’bai Muslim bin al-

Walid, al-Abbas bin al-Ahnaf. Di bidang seni musik ada nama yang cukup

terkenal yaitu Ibrahim al-Mausili dan anaknya yang bernama Ishak.

Sedangkan di bidang ahli bahasa, terdapat nama abu ’Ubaidah, al-

Ashma’i, al-Kasai dan Sibawaihi, serta di bidang fiqh antara lain Abu Yusuf,

197Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 53.

198Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya, 1989), 86.

199Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 87.

Page 95: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

82

sahabat Abu Hanifah dan Muhammad (keduanya berada di Baghdad), yang

bertempat di Madinah, yaitu; Imam al-Malik dan Imam Syafi’i sebelum hijrah ke

Mesir.

Akhirnya majlis ini mencapai puncak keemasannya pada masa khalifah al-

Ma’mun, karena beliau sendiri merupakan salah seorang sosok ulama besar. Oleh

karena itu majlis al-Ma’mun selalu penuh oleh para ahli ilmu, ahli sastra, ahli

sya’ir, ahli kedokteran dan ahli filsafat. Mereka diundang oleh al-Ma’mun dari

segala penjuru dunia yang telah berkemajuan. Kadang-kadang al-Ma’mun sendiri

turut larut dalam diskusi dan perdebatan tentang berbagai hal dengan mereka. Di

samping itu banyak lagi guru-guru dan penerjemah-penerjemah ilmu filsafat ke

dalam bahasa Arab.200

Demikianlah perkembangan lembaga-lembaga pendidikan islam yang ada

pada masa itu, yang terus mengalami proses penyesuaian dengan kemajuan yang

telah di capai pada saat itu, baik dari segi sarana dan prasarananya, kurikulum

mau pun pembiayaannya.

Kurikulum,201 pendidikan Islam di masa klasik pada mulanya berkisar

pada bidang studi tertentu, namun seiring perkembangan sosial dan kultural, maka

materi kurikulum semakin di perluas. Pada masa Nabi di Madinah, materi yang

diajarkan berkisar pada belajar menulis,membaca al-Qur’an,keimanan, ibadah,

akhlak dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan.202

Pada masa kejayaan Islam, kurikulum sekolah tingkat rendah adalah al-

Qur’an dan Agama, membaca, menulis serta syair. Dalam berbagai kasus

ditambah dengan nahwu,cerita dan berenang. Di lain pihak di istana-istana

biasanya di tegaskan pentingnya pengajarannya khitabah, ilmu sejarah, cerita

200Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 88.

201Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari olehsiswa. Secara lebih luas kurikulum bukan hanya sekedar rencana pelajaran yang harus diselesaikanoleh siswa, akan tetapi, semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sebuahlembaga pendidikan. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam persfektif Islam (Bandung:Rosdakarya, 1992),.53

202Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam persfektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992),59-60.

Page 96: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

83

perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti; al-Qur’an, syair

dan fikih.203

B. Perkembangan Ilmu Pengetahuan sebelum Al-Ma’mun.

Peradaban suatu masyarakat biasanya ditentukan oleh kondisi alam dan

lingkungannya. Philip K.Hitti berpendapat bahwa daerah asal bangsa Semit adalah

semenanjung Arabia. Sementara dalam perjanjian lama masih mempertahankan

bahwa Mesopotamia merupakan daerah tempat asalnya.204

Pada umumnya semua nenek moyang bangsa Semit dalah berasal dari

bangsa Arab. Kata Arab merupakan istilah Semit untuk penduduk padang pasir

dari suku Shem, Putra keturunan Nabi Nuh.205

Pada awalnya, mereka adalah masyarakat penggembala yang berpindah-

pindah dari padang sahara,yang memberikan perlindungan terhadap bahasa dan

etniknya. Migrasi pertama bangsa Arab terjadi sekitar tahun 3500 SM. Di

sepanjang pantai barat Arab. Gelombang eksodus ini bergerak melalui Hijaz,

Sinai hingga ke Mesir, tempat berakulturasinya bangsa Semit dengan bangsa

Hamit untuk mengukir sejarah Mesir dan menyerap unsur-unsur ilmu pengetahuan

dan budaya yang kemudian menjadi basis peradaban.206

Kontak budaya antara Arab dan Yunani serta persia yang mengakibatkan

terjadinya puncak ilmu pengetahuan dan peradaban dunia Islam – kemudian

ditindak lanjuti dengan usaha penerjemahan – ini terjadi sekitar abad ke-8, yaitu

pada masa khalifah Abu Ja’far al-Mansyur ( 754 – 775 M.).

Ahmad Hanafi, menjelaskan kalau masa pemerintahan khalifah al-

Mansyur ini dianggap sebagai permulaan masa penerjemahan terhadap filsafat

Yunani dengan segala lapangannya ke dalam bahasa Arab, maka tidak berarti

203Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992),118.

204Philip K.Hitti, History of The Arabs, Edisi Revisi (London: Macmilian & Co.,Ltd.,1974), 10.

205Tedd D. Beavers, Paradigma Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Riora Cipta, 2001), 3.

206Antony Nutting, The Arabs: A Narrative History From Muhammed to The Present(New York: New American’ Library, 1964), 16.

Page 97: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

84

bahwa sebelum masa itu kaum muslimin tidak berkenalan dengan filsafat atau pun

tidak terpengaruh dalam cara berpikirnya, karena penerjemahan bukanlah satu-

satunya cara atau jalan untuk tersebarnya suatu ilmu.207

Memang pada awal lahirnya Islam, umat Islam belum terlalu banyak yang

memiliki budaya membaca dan menulis, yang bagi masyarakat Arab budaya ini

hanya berkembang di kalangan kaum Yahudi dan Nasrani, itu pun masih sangat

sedikit. Pada masa Nabi Muhammad menyiarkan Agama di Mekah, di kalangan

kaum Quraisy ada 17 orang yang pandai baca-tulis.208

Setelah terjadinya perang Badar, maka didapati ada beberapa tawanan

perang yang mempunya cukup kemampuan atau pandai membaca dan menulis.

Para tawanan ini pun kemudian di berikan kesempatan untuk membebaskan

(menebus) dirinya dengan syarat ia harus mau mengajarkan baca-tulis kepada 10

anak Muslim untuk satu orang tawanan.209 Menurut Shalabi, bahwa lembaga yang

dipakai saat itu untuk melaksanakan kegiatan belajar membaca dan menulis itu

bernama kuttab,210 Ia merupakan lembaga pendidikan yang dibentuk setelah

masjid.

Pada masa Nabi, negara Islam meliputi seluruh jazirah arab dan

pendidikan Islam berpusat di Madinah. Setelah Rasulullah wafat, maka kekuasaan

pemerintahan Islam secara bergantian dipegang oleh Abu Bakar, Umar bin

Khattab, Usman bin affan dan Ali bin Abi Thalib. Pada masa keempat khalifah ini

kekuasaan Islam telah meluas sampai keluar jazirah Arab, yang meliputi Mesir,

PersiaSyiria dan Irak.

Pada awal pemerintahan Abu Bakar, pendidikan Islam telah berhasil

menyelamatkan keaslian materi dasar pendidikan islam, dengan terbentuknya tim

pengumpul dan penyusun ayat-ayat al-Qur’an,akibat banyaknya bermunculan

207Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 41.

208Mahdi Gulsyani, Filsafat-Sains Menurut al-Qur’an, terj. Agus Effendi (Bandung:Mizan, 1993), 33.

209Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah,1979), 506. lihat juga, Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung,1989), 22.

210Ahmad Shalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 33.

Page 98: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

85

orang-orang yang mengaku nabi palsu dan banyaknya sahabat penghafal al-

Qur’an yang gugur melawan pemberontakan. Pembentukan tim tersebut atas saran

dari Umar bin Khattab dengan di ketuai oleh Zaid bin Tsabit.

Setelah kondisi politik mulai stabil, pemerintahan berganti ketangan Umar

bin Khattab.Umar melanjutkan kebijakan Abu Bakar dengan mengirim pasukan

untuk memperluas wilayah Islam dan dengan berpesan kepada para panglimanya,

bahwa setiap mereka berhasil menguasai suatu kota, hendaknya mereka

mendirikan sebuah masdjid sebagai tempat untuk beribadah dan pendidikan.211

Berkaitan dengan pendidikan, Umar bin Khattab mengangkat dan menunjuk guru-

guru untuk tiap-tiap daerah yang ditaklukkan, yang bertugas untuk mengajarkan

isi al-Qur’an dan ajaran Islam kepada penduduk yang baru masuk Islam.212

Pada pemerintahan umar, sahabat-sahabat besar yang lebih dekat dengan

Rasulullah dan memiliki pengaruh yang cukup besar, dilarang meninggalkan

Madinah kecuali atas izin khalifah, itu pun terbatas waktunya. Akibatnya

penyebaran ilmu dari para sahabat besar terpusat di kota Madinah.

Dengan meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan pendidikan

Islam bertambah besar, karena mereka yang baru masuk Islam ingin menimba

ilmu dari sahabat-sahabat yang menerima langsung dari Nabi. Dengan demikian

tidak terelakan lagi telah terjadi mobilitas penuntut ilmu dari daerah-daerah jauh

menuju ke Madinah sebagai pusat ilmu agama Islam.

Gairah untuk menuntut ilmu agama Islam yang ada dikemudian hari

menjadi pendorong lahirnya sejumlah pembidangan disiplin ilmu keagamaan,

seperti; tafsir, hadits, fikih dan sebagainya.

Pelaksanaan pendidikan Islam pada masa Khalifah Usman bin Affan pada

umumnya tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Sedikit perubahan telah

mewarnai pelaksanaan pendidikan Islam, yaitu diperbolehkannya para sahabat

dekat Nabi untuk keluar Madinah – yang sebelumnya dilarang oleh Khalifah

Umar bin Khattab - dan menetap di daerah-daerah yang mereka sukai. Kebijakan

ini sangat besar sekali artinya bagi pelaksanaan pendidikan Islam, karena mereka

211Ahmad Shalabi, Sejarah Pendidikan Islam, 94.

212Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), 17.

Page 99: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

86

bisa memberikan pengajaran langsung kepada umat Islam diluar Madinah dan

Mekah, khususnya dari semenanjung Arab.213

Sebuah usaha yang cukup cemerlang dan sangat berpengaruh terhadap

dunia pendidikan Islam yang telah dilakukan Khalifah Usman bin Affan, yaitu

melanjutkan usulan Umar kepada Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan

tulisan ayat-ayat al-Qur’an. Kemudian Usman memerintahkan kepada zaid bin

Tsabit bersama Abdullah bin Zubair, Zaid bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits

untuk menyalin mushaf yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar.

Penyalinan ini dilatar belakangi oleh laporan dari Huzaifah bin Yaman,

yang melaporkan bahwa ia menyaksikan perselisihan dalam bacaan al-

Qur’an.Oleh karena itu, Usman meminta kepada Zaid bin Tsabit apabila terjadi

perselisihan antara ia dan ketiga anggotanya maka harus ditulis sesuai dengan

lisan quraisy, karena al-Qur’an itu diturunkan dengan lisan Quraisy, sedangkan

Zaid bin Tsabit bukan orang Quraisy.214

Setelah selesai menyalin mushaf itu, kemudian Usman memerintahkan

kepada para penulis al-Qur’an untuk menyalin kembali beberapa mushaf yang

akan dikirim ke Mekkah, Kufah, Basrah dan Syam. Fungsi al-Qur’an sangat

pundamental bagi sumber Agama dan ilmu-ilmu Islam. Oleh karena itu, menjaga

keaslian al-Qur’an dengan menyalin dan membukukannya, merupakan suatu

usaha yang dilakukan demi perkembangan ilmu-ilmu Islam di masa mendatang.215

Setelah Usman Bin Affan, maka naiklah Ali bin Abi Thalib sebagi

Khalifah. Sejak awal kekhalifahan Ali Bin Abithalib selalu dihadapkan kepada

berbagai kekacauan dan pemberontakan yang ada. Sehingga membuat Shalabi

berkomentar bahwa ”sebenarnya tidak pernah ada satu hari pun, keadaan yang

stabil selama pemerintahan Ali, tak ubahnya Ia sebagai seorang yang menambal

kain usang, jangankan menjadi baik, malah bertambah sobek”.

213Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 19.

214Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat pendidikan Islam (Bandung:Angkasa, 1985), 59.

215Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 20.

Page 100: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

87

Demikianlah nasib pemerintahan Ali Bin Abi Thalib. Khalifah Ali pada

saat itu tidak sempat lagi memikirkan masalah-masalah pendidikan, karena

seluruh perhatiannya dicurahkan kepada masalah keamanan dan kedamaian bagi

masyarakat Islam.216

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada masa

keempat khalifah ini belum berkembang seperti masa-masa sesudahnya.

Pelaksanaan pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa Nabi, yang

menekankan kepada pengajaran baca tulis dan pengajaran ajaran-ajaran Islam

yang bersumber kepada al-Qur’an dan hadis Nabi.

Hal ini lebih dikarenakan oleh konsentrasi umat Islam - terutama para

penguasanya – terhadap perluasan wilayah Islam dan terjadinya pergolakan politik

pada masa Ali bin Abi Thalib. Dalam pergolakan politik antara Ali dengan

Muawiyah, Ali dapat dikalahkan dengan menerima usulan tahkim dari muawiyah.

Dengan tahkim ini Muawiyah akhirnya berhasil mendirikan pemerintahan

tandingan di Damaskus.

Setelah Dinasti Umayyah berkuasa, Pelaksanaan pendidikan Islam

semakin meningkat dari masa sebelumnya. Pada masa ini, pendidikan selain

dilaksanakan di kuttab, rumah-rumah dan masdjid juga dilaksanakan di istana

untuk mendidik anak-anak keluarga kerajaan.

Bahkan menurut Shalabi, Muawiyyah sering menyelenggarakan majlis

dengan mengundang para ulama, sastrawan dan ahli sejarah untuk menerangkan

sejarah bangsa Arab, melalui syair-syair Arab, cerita-cerita Persia, dan sitem

pemerintahan serta administrasi Persia.217 Usaha-usaha ini mendorong

berkembangnya syair-syair Arab dan munculnya buku Akhbar al-Madin (buku

tentang raja-raja dan sejarah orang-orang kuno).218

Pengembangan ilmu pengetahuan pada masa ini, tidak hanya sebatas pada

memahami al-Qur’an dan Hadits, akidah, akhlak dan ibadah, tetapi sudah di

216Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat pendidikan Islam (Bandung:Aangkasa, 1985), 68.

217Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat pendidikan Islam, 59.

218Fayyaz Mahmud, A History of Islam (London: Oxford University Press, 1960), 94.

Page 101: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

88

sesuaikan dengan tuntutan zaman, tertuju kepada ilmu-ilmu yang diwariskan oleh

bangsa-bangsa sebelum munculnya Islam. Karena Damaskus sebagai ibu kota

Daulah Umawiyah merupakan sebuah kota tua yang berada di negri Syam yang

telah penuh dengan peninggalan kebudayaan maju sebelumnya.

Pengaruh Helenisme juga sudah ada dimasa ini, sehingga usaha-usaha

untuk menerjemahkan buku-buku Yunani sudah mulai dilakukan. Misalnya,

Masarjawaih, seorang ahli fisika beragama yahudi, telah menerjemahkan buku-

buku kedokteran, astronomi dan kimia ke dalam bahasa Arab.219

Penerjemahan ini dilakukan oleh Khalid bin Yazid, cucu Muawiyyah yang

sangat tertarik kepada ilmu kimia dan ilmu kedokteran. Ia menyediakan sejumlah

harta dan memerintahkan kepada para sarjana Yunani yang bermukin di Mesir

untuk menerjemahkan buku-buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa Arab.

Usaha ini merupakan bentuk penerjemahan yang pertama dalam sejarah.220 Akan

tetapi, usaha penerjemahan ini tidak banyak dilakukan, yang akhirnya dilanjutkan

pada masa Abbasiyah dengan secara besar-besaran.

Al Walid bin Abdul Malik pun memberikan perhatian kepada bimaristan,

yaitu rumah sakit tempat berobat dan perawatan orang-orang sakit sreta sebagai

tempat studi kedokteran. Sementara Khalifah Umar bin Abdul Aziz,

memerintahkan para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi.

Ia juga bersahabat dengan Ibn Abjar, seorang dokter dari Iskandariyah yang

kemudian menjadi dokter pribadinya.221 Dari hubungan itu akhirnya ikut

mempengaruhi pandangan Khalifah terhadap ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain

dari Yunani.

Pengaruh lain dari para ilmuwan adalah penyusunan ilmu pengetahuan

yang lebih sistematis, sehingga terjadi pembidangan ilmu pengatahuan sebagai

berikut; pertama, ilmu pegetahuan bidang Agama yaitu,segala ilmu yang

bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Kedua, ilmu pengetahuan bidang sejarah

219Philip. K. Hitti, History of the Arab (London: Macmillan Press , 1956), 242.

220Ahmad Amin, D{uha< al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965),.262.

221 Ahmad Amin, D{uha> al-Islam,.262

Page 102: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

89

yaitu, segala ilmu yang membahas tentang perjalan hidup, kisah dan riwayat.

Ketiga, ilmu pengetahuan bidang bahasa yaitu, segala ilmu yang mempelajari

bahasa, nahwu, sharaf dan lainnya. keempat, ilmu pengetahuan bidang filsafat

yaitu, egala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing seperti ilmu

mantiq, kedokteran, kimia, astronomi dan ilmu hitung.222

Dari pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa perhatian Dinasti

Umayyah terhadap perkembangan pemikiran dan pendidikan Islam belum cukup

besar dibandingkan dengan masa Dinasti Abbasiyah. Namun usaha-usaha yang

dilakukan umat Islam pada masa ini sangat besar dan penting sekali pengaruhnya

bagi perkembangan pendidikan dan pemikiran pada masa sesudahnya. Walau pun

kecil Dinasti Umayyah berhasil meletakkan dasar-dasar bagi kemajuan

pendidikan dan pemikiran di masa yang akan datang.

Menurut Philip K. Hitti, usaha-usaha yang pernah dilakukan pada masa

Dinasti Umayyah ini merupakan ”inkubasi” atau masa tunas bagi perkembangan

intelektual Islam.223 Sementara ahmad Amin memperkirakan bahwa seandainya

Dinasti Umayyah dapat melanjutkan kekuasaannya yang hilang direbut oleh

dinasti Abbasiyah, niscaya Dinasti Umayyah akan mampu mencapai kejayaan di

bidang pemikiran seperti yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah, karena pada masa

kekuasaannya telah muncul gerakan ilmiah dan aliran-aliran keagamaan.224

Dengan adanya gerakan ini, berarti Dinasti Umayyah telah berhasil

mengembangkan pendidikan lebih besar dari pada masa sebelumnya.

Keberhasilan ini karena didukung oleh mantapnya stabilitas sosial, politik dan

ekonomi. Di samping ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah sikap

umat Islam yang sangat menghargai pengetahuan.

Kecenderungan terhadap ilmu pengetahuan pun terus mengalir pada diri

setiap penguasa, sehingga lanjut hanafi, kegiatan penerjemahan yang telah terjadi

pun merupakan akibat dari adanya pertentangan dikalangan kaum muslimin itu

222Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam(Jakarta: Kencana, 2007), 41-42.

223Philip. K. Hitti, History of the Arab (London: Macmillan Press , 1956), 240.

224Ahmad Amin, D}uha> al-Islam, 2.

Page 103: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

90

sendiri, dan terpecahnya mereka menjadi golongan-golongan, dimana tiap-tiap

golongan berusaha keras untuk mempertahankan eksistensinya dan berjuang terus

untuk mengalahkan lawan-lawannya, oleh karena itu diperlukan bahan-bahan

untuk perdebatan dari manapun datangnya.225

Semenjak al-Mansyur naik tahta, umat Islam semakin hari semakin

terbawa oleh peradaban Yunani. Apalagi setelah al-Mansyur memindahkan pusat

pemerintahannya ke Baghdad, dekat ibu kota Persia, Clesiphon, sekitar 762 M.

yang sebelumnya bertempat di al-Hasyimiyah, dekat kuffah, yang merupaka

tempat pergerakan kaum syiah.

Maka untuk memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru

berdiri, al-Mansyur memindahkannya ke Baghdad, yang merupakan kota kuno

yang terletak disebelah barat sungai Tigris.226 Dengan demikian pusat

pemerintahan dinasti bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Bahkan

tentara pengawalnya pun bukan diambil dari orang Arab melainkan diangkat dari

orang-orang Persia.227

Akibat yang ditimbulkan dengan pemindahan ibu kota ke Baghdad, maka

terjadilah akulturasi budaya Persia-Yunani dengan Arab di Baghdad, sehingga

lahirlah khalifah-khalifah yang mempunyai darah keturunan Persia, seperti al-

Ma’mun.228

Oleh karena itu maka, terjadi pergeseran nama dari khalifah, pada masa

itu, dipandang sebagai tokoh mistik, tokoh”setengah suci”yang kehidupannya

diatur oleh birokrasi resmi kerajaan.229 Karena khalifah-khalifah Abbasiyah

menurut pandangan orang-orang Persia adalah merupakan penguasa yang

mengatur mereka berdasarkan mandat dari Tuhan.230

225Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 41.

226Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), 91.

227Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UIP, 1985), 66.

228Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, 69 .

229Akbar, Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1992), 46.

230M. Masyhur Amin, Dinasti Islam (Yogyakarta: LKPSM, 1995), 99.

Page 104: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

91

Kepindahan ibu kota ke Baghdad, membuat kota ini semakin maju dalam

bidang ilmu pengetahuan, bahkan menjadi ibu kota ilmiah. Karena menurut

riwayat, di samping itu banyak pula buku-buku yang ikut di pindahkan ke

Baghdad, yang masih berupa naskah-naskah tulisan tangan dan diangkut dengan

lebih kurang seratus unta.

Bahkan, menurut fachrudin, ada diantaranya sebuah surat perjanjian

penting antara al-Mansyur dengan Michel II, yang di dalamnya terdapat satu ayat

yang berbunyi; ”Agar diberikan kepada al-Mansyur salah satu dari perpustakaan

Istambul yang terdapat di dalamnya buku-buku penting karangan Ptolemee (w.

167 M.) di dekat Alexandria.” buku-buku ini kemudian segera disali ke dalam

bahasa Arab dan dikenal dengan nama al-Magesti.231

Khalifah al-Mansyur yang sering dilukiskan sebagai seorang tokoh

Abbasiyah yang terkenal hebat,berani,tegas dan berpikir cerdas serta gagah

perkasa232, ia diangkat menjadi Khalifah pada tahun 136 H. Atau bertepatan

dengan tahun 754 M. Ia juga mempekerjakan dokter-dokter, para cerdik pandai

dan astrolog-astrolog di istananya. Dia mengangkat ahli medis paling masyhur,

yang bernama georgius bin Jabaril, kepala sekolah kedokteran Jundisapur di

Persia, dan muridnya Isa bin Syahlata, sebagai dokter istana.

Khalifah al-mansyur juga mengangkat seorang dokter utama, yang berasal

dari pusat pengobatan yang terkenal di Jundisapur, yaitu Jurjis bin Bakhtishu,

seorang Kristen Nestorian, dan anaknya juga diangkat menggantikan

kedudukannya.233 Kehadiran ilmuwan-ilmuwan dan dokter-dokter dari Persia ini

semakin mempertebal rasa ketertarikan umat Islam terhadap Ilmu Pengetahuan

dan filsafat Yunani.

Di antara astrolog yang terkenal adalah seorang Persia dari keluarga

cendikiawan astrolog al-Naubakti. Dia juga memilih sarjana-sarjana terkenal

untuk menerjemahkan karya-karya medis dan lainnya untuk dirinya. Diantara

231Fachrudin, Perkembangan Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), 77.

232Jalaluddin as-Suyuthi, Ta>rikh al-khulafa>, 141.

233Bayard Dodge, Muslim Educational in Medieval Times (Washington; The Middle EastInstitute, 1962), 16.

Page 105: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

92

mereka adalah al-Bithriq, yang dianggap berjasa atas sejumlah terjemahan di

bidang kedokteran dan astrologi.234

Setelah al-Mansyur berhasil mendirikan kota Baghdad (144 H./762 M.)

sebagai ibu kota Negara, kemudian ia menarik banyak ulama dan para ahli dari

berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad.seterusnya ia pun

merangsang usaha pembukuan ilmu agama,seperti fiqh, tafsir,tauhid,hadits atau

ilmu-ilmu lain seperti ilmu bahasa, ilmu sejarah dan lain sebagainya. Akan tetapi

yang lebih mendapat perhatian Khalifah adalah penerjemahan buku-buku ilmu

pengetahuan yang berasal dari luar.235

Untuk mentransfer karya-karya Yunani ke dalam Islam, al-Mansyur lebih

berminat kepada Filsafat dan ilmu pengetahuan serta memberikan dukungan besar

dan perlindungan bagi kegiatan penerjemahan. Tetapi, karena langkanya

penerjemah handal pada saat itu serta bahan-bahan ilmiah dan filosofis Yunani,

maka proses penerjemahan tidak mendapat kemajuan sesuai dengan apa yang

diharapkan.236

Usaha yang dilakukan al-Manshur untuk menjadikan Baghdad sebagai ibu

kota negara cukup berhasil. Baghdad dalam waktu yang cukup singkat tumbuh

menjadi pusat kota perdagangan komersial dan politik. Al-Mansyurlah yang

memantapkan dan meneguhkan Kerajaan Abbasiyah, menyusun peraturan-

peraturan, membuat undang-undang dan menciptakan inovasi-inovasi dalam

pemerintahan. Karenanya sejak ia berkuasa, tatanan birokrasi pemerintahan mulai

di benahi,pengaturan kas negara, serta pemamtapan pasukan militer juga

mendapat perhatiannya.

Di bawah al-Mansyur pulalah untuk pertama kalinya di adakan ke-

waziran,237 yaitu sebuah jabatan pemerintahan yang berasal dari Persia,secara

resmi dipergunakan, dan khalid bin barmaks, yang berasal dari Balks Persia –

234Madjid Fahry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. Oleh R. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta:Pustaka Jaya, 1987), 34.

235Ahmad Amin, D{uha> al-Islam, 272.

236Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 30.

237Al-wazir atau kementrian adalah nama sebuah lembaga dan jabatan yang baru dalamsejarah pemerintahan Islam yang diciptakan oleh Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur, Wazirmembawahi kepala departemen. Lihat, J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah danPemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 173-174.

Page 106: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

93

pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani - merupakan orang yang pertama

yang menjabat kedudukan tinggi tersebut238, dan sekaligus sebagai pendidik dari

anak-anak khalifah, hingga turun temurun ke anak cucunya, karena itu corak

pemerintahannya pun banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia, sehingga

kebudayaan Arab sedikitdemi sedikit kurang. Bahkan gerakan membangun ilmu

pengetahuan pun telah dirintisnya secara besar-besaran, oleh khalifah abu ja’faral-Mansyur,setelah mendirikan kota Baghdad (144H./762 M.).239 Ia merangsang

usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqh, tafsir, hadits, tauhid dan ilmu lainnya

seperti ilmu bahasa dan ilmu sejarah.

Pada awal pemerintahannya, banyak sekali masalah yang harus dihadapi.

Namun, berkat bakat kepemimpinan yang dimiliki dan pengalamannya, semua

permasalahan yang dihadapi dapat ia selesaikan dengan baik. Al–Mansyur wafat

pada tahun158 H.bertepatan dengan tahun 775 M. Di pertengahan jalan menuju ke

Mekah saat mau melaksanakan ibadah haji.240 Kedudukannya kemudian

digantikan oleh putranya yang bernama al-Mahdi (158-169 H./175-189 M.). 241

Masa pemerintahanya, menurut william Muir, merupakan masa transisi

antara masa pemerintahan abbasiyah awal yang keras dan kasar dengan masa

pemerintahan selanjutnya yang makmur.242 Stabilitas yang diwariskan Ayahnya

memungkinkan untuk mengembangkan kemakmuran imperium semasa

pemerintahannya di Baghdad lebih berkembang. Karena itu zaman pemerintahan

al-Mahdi terkenal sebagai zaman yang makmur dan hidup dalam kedamaian yang

menunjukan kematangan pemikiran dan kemajuan dibidang pemerintahan dan

politik.

238Philip K. Hitti, History of The Arabs, 293.

239Ali Mustafa al-Gurabi, Tarikh al-Faruq al-Islamiyah (Kairo: Mathba’ah Ali Shahih,1959), 137.

240Didin saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, 86.

241Pada masa ini, pertanian ditingkatkan dengan mengadakan irigasi, dan penghasilangandum, beras, kurma dan zaitun(olves) bertambah. Hasil pertambangan seperti emas, perak,tembaga, besi dan lain-lainnya pun berkembang. Transit perdagangan antara timur dan barat punmembawa kekayaan Basrah menjadi sebuah pelabuhan yang penting. Lihat. Harun Nasution, IslamDitinjau dari Berbagai aspeknya, (Jakarta: UIP, 1985), 68.

242William Muir, The Caliphate: Its Rise, Decline, and Fall (London: Darf Publisher,1984), 465.

Page 107: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

94

Al-Mahdi memulai pemerintahanya dengan membebaskan semua tahanan

dari penjara, kecuali yang melakukan kejahatan-kejahatan yang membahayakan.

Ia juga membebaskan Hasan, anak Ibrahim, dan memberinya tunjangan yang

besar. Al-Mahdi tidak selalu menggunakan kekerasan untuk menundukan musuh-

musuhnya, sehingga ia dikenal sebagai penguasa yang lemah lembut dan

Dermawan. Atas perintahnya Masjid nabi dibangun kembali dan diperindah,

sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang ada di semua kota penting diperbesar.

Al-Mahdi adalah seorang penguasa yang toleran,namun demikian ia tidak

memberikan peluang bagi tumbuhnya praktek-praktek bid’ah. Ia juga

membentengi beberapa kota, khususnya Rusafa243 dan Baghdad Timur. Selama

pemerintahannya, Baghdad menjadi pusat perdagangan internasional, juga musik,

syair, Filsafat dan kesusastraan mulai menarik perhatian banyak orang. Al-mahdi

sendiri lebih tertarik kepada hadis dari pada ilmu-ilmu lainnya244

Setelah berkuasa selama sepuluh tahun, kemudian makhkotanya dialihkan

kepada putranya yang tertua, yaitu Musa al- hadi (169-170 H./785-786 M). Masa

pemerintahan al-hadi tidak begitu populer, hal ini dikarenakan singkatnya masa

pemerintahan yang ia pegang, yaitu satu tahun satu bulan dua puluh hari.

Kemudian ia digantikan oleh saudaranya Harun al-Rasyid. Di masa al-Rasyid

inilah, abbasiyah mencapai puncak kekuasaannya. Di bawah kekuasaannya,

Baghdad muncul sebagai pusat imperium Islam yang besar dan berlimpah

kemegahan serta kemakmuran. Ia merupakan satu-satunya rival Bizantium kala

itu.

Pengalihan budaya warisan Yunani yang telah dirintis oleh al-

Mansyur,kemudian dilanjutkan oleh khalifah al-Rasyid. Maka khalifah Harun al-

Rasyid (766-809 M.) sebagai khalifah yang ketiga melanjutkan kebijakan

kebijakan yang telah diambil sebelumnya. Di mana ia mengembangkan sebuah

tradisi ilmiah bahkan lebih dari itu, ia mencoba memampaatkan kekayaan negara

untuk keperluan sosial, membangun rumaqh sakit, lembaga pendidikan dokter dan

farmasi. Sehingga pada masanya, sebagaimana di katakan Badri Yatim, telah

243Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Ta>rikh al-Umam wa al-Muluk, 611.

244Hasan Ibrahin Hasan, Ta>rikh al-Islam, 42.

Page 108: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

95

terdapat paling tidak sekitar 800 tenaga dokter. Di samping itu ia juga

membangun pemandian umum, kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu

pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman

keemasannya.245

Puncak kemajuan Daulah Bani abbas terjadi pada masa khalifah Harun ar-

Rasyid (170-193 H./786-809 M,) dan putranya, al-Ma’mun (198—218 H./813-

833 M.) Ketika Harun al-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur,

kekayaan melimpah, keamanan terjamin walau ada juga pemberontakan, dan luas

wilayahnya mulai dari Afrika Utara hingga ke India.

Harun al-Rasyid (785-809 M) – pengganti al-Mansyur, setelah al-Mahdi

memerintah dari tahun 775-785 M. Yang telah mewariskan kemewahan dan

keberhasilannya dalam perekonomian,246- membawa dampak positif bagi

kemajuan-kemajuan selanjutnya. Terutama dalam meningkatkan sarana-sarana

sosial dan kesejahteraan sosial, serta pendidikan dan ilmu pengetahuan, budaya

dan kesusastraan.247

Dengan kematangan yang diperoleh dari Ayahnya, ia dapat menjadikan

kota Baghdad sebagai kota yang megah dan pusat budaya dan ilmu pemngetahuan

saat itu. Sebagai mana dikatan Ali Mufrodi,248 sebelum naik tahta sebagai khalifah

Abbasiyah, Harun al-Rasyid – yang dilahirkan di Rayy pada tahun 145 H. Dari

ibu yang bernama Khaizuran – telah dilatih oleh ayahnya, al-Mahdi, untuk

memerintah di Saifah tahun 163 H. Setahun kemudian ia diberi tanggung jawab

yang lebih besar, yakni memerintah wilayah Anbar dan Afrika Utara, dan tahun

165 H. Ia dilantik sebagai penguasa di Saifah kembali untuk menghadapi

pertempuran yang berkobar di sana. Tahun berikutnya, 166 H. Ia dilantik sebagai

putra mahkota yang akan memegang kekuasaan Abbasiyah setelah al Hadi,

saudaranya.

245Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 52-53.

246Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, 68.

247Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam,.53.

248Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), 93.

Page 109: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

96

Pada masa Harun al-rasyid, Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan

perdagangan dunia kala itu. Terbukti banyak masyarakat muslim yang mulai

memperhatikan al-’Ilmu al-naqliyah, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitandengan al-

Qur’an al-Karim, diantaranya; ilmu Tafsir, Qira’at}, H{adith, dan Us}ul Fiqh dan

’ulum lisaniyah seperti; ilmu al-Lughah, ilmu al-Nah{wu, ilmu al-Bayan dan al-

Adab.249 Sehingga muncullah empat ulama terkemuka dalam bidang Fiqh; yaitu

Abu Hanifah (80-150 H./ 688-768 M.), Imam Malik, (95-179H./703-797 M.) al-

Safi’i (150-204 H./ 768- 822 M.) dan Ahmad bin Hambal, (164-241 H.782-859

M.)250

Dalam bidang hadith muncul nama Bukhari (9194-256 H./810-870 M.),

dan Muslim bin al-hajjaj al-quraisyi (202-251 H./817-865 M). Dalam bidang

Tafsir, muncul nama Ibnu jarir al-Tabari (224-310 H./839-923 M.), yang

dilahirkan Thabristan, sebelah selatan laut Caspienne, dan meninggal di Baghdad.

Tafsirnya bernama Jami’ul bayan Fil Tafsir al-qur’an.251 Semua ini membuktikan

bagaimana besarnya hasrat kaum muslimin untuk menuntut ilmu pengetahuan,

sehingga mereka rela merantau meninggalkan tumpah darahnya dan keluarganya

bertahun-tahun lamanya, karena cintanya akan ilmu pengetahuan.252

Bahkan al-Rasyid, mampu membuktikan kecerdasan kaum muslimin yang

telah sanggup membuat jam, kemudian dihadiahkan kepada Charlemagne

(penguasa eropa, wafat 747-814 M.) sebagai tanda kecerdasan kaum muslimin.253

Masa pemerintahan Harun al-Rasyid(766-809 M.) yang dikenal dengan sebutan

Khalifah seribu satu malam, yang penuh dengan kemewahan dan kemegahan

dilukiskan dalam lirik sebagai berikut:

”Tempat dan masa berjaya

249Maksum, Madrasah dan Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos,1999),54.lihat juga Said Mursi Ahmad, Tata{wwur al-fikr al-Tarbawiy (Kairo: ’Alam al-Kuttub, 1982), 209.

250Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, 123.

251Fuad M. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1985), 81.

252Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidaya Karya, 1989), 25.

253Fuad M. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam, 86.

Page 110: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

97

Seperti emas bercahaya

Harun al-Rasyid yang Bijaksana”254

Gemerlapnya istana dan bangunan yang mewah yang menjulang tinggi

telah menghiasi kota Baghdad (sebagai ibu kota) dan kota-kota propinsi lain

seperti; Bukhara, Samarkhan, Balkhshraz, Damaskus, Alleppo, Yerusalem, Kairo,

Tunis, Fez, Dalermo dan kordoba. Haruin al-Rasyid adalah Raja besar pada

zamannya, dan hanya Charlemagna yang mampu menyainginya.

Inilah yang kemudian disebut sebagai fase ekspansi, integrasi dan puncak

kemajuan, daerah Islam meluas melalui afrika Utara sampai ke Spayol di Barat

melalui Persia sampai India di Timur. Pada masa inilah berkembang dan terjadi

puncak kemajuan ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun dalam

bidang non agama dan juga bidang kebudayaan Islam.255 fase ini ditandai dengan

munculnya ulama-ulama besar seperti tersebut di atas. Baghdad sebagai ibu kota

kekhalifahan Abbasiyah yang didirikan oleh khalifah al-Mansyur256 mencapai

popularitasnya pada masa Harun al-Rasyid, walaupun kota itu belum genap lima

puluh tahun dibangun.

Kemegahan dan kemakmurannya tercermin dalam istana khalifah yang

luasnya sepertiga dari kota Baghdad yang bundar itu dan dilengkapi bangunan-

bangunan sayap serta ruang audiensi yang dipenuhi berbagai perlengkapan

terindah. Kemewahan istana itu muncul terutama dalam upacara-upacara

penobatan khalifah, perkawinan, keberangkatan berhaji, dan jamuan untuk para

duta negara asing.257

Inilah gambaran penting pada masa awal pemerintahan abbasiyah pertama,

yaitu bertepatan dengan abad kelima atau keenam, yang ditandai dengan

254Akbar, Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1992), 47

255Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad abduh (Jakarta: Aramadina,2002), 1-2.

256Abu Ja’far al-Mansyur membangun kota Hasyimiyah, yaitu Baghdad. Baghdad adalahsebuah nama kota kuno yang berarti pasar domba menurut bahasa Armenia, sedangkan menurutbahasa Persia Baghdad berarti Kebun Allah. Lihat Fathiyah al-Nabrawi, Ta>rikh al Niz{am wa al-H{ad}arah al-Isla>miyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Islamiyah, 1994), 298.

257Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), 104.

Page 111: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

98

kemajuan-kemajuan budaya dan ilmu pemngetahuan, disebut juga periode

klasik.258

Namun menurut M. Arifin, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan Islam

dapat kita saksikan dalam berbagai periode, dari Daulah Ummayah, Daulah

abbasiyah, Daulah fatimiyyah dan Oestmaniyyah pada abad-abad ke 4 H. Atau 10

M. Pengaruhnya sampai abad-abad kemudian jelas nampak dalam perkembangan

peradaban bangsa-bangsa di negara-negara Barat, seperti Spanyol, Perancis dan

lain sebagainya. Di samping itu dapat pula dikenali para pujangga muslim dalam

berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti falsafah, kimia, astronomi, al-Jabar,

kedokteran dan arsitektur, dalam sejarah kebudayaan Islam pada abad-abad

tersebut.259

Bahkan kata stanton, seorang Islamisit, menegaskan bahwa sepanjang

abad ke 5 dan 6, sebelum penaklukan Islam atas Afrika Utara, perpindahan para

ilmuwan dari Alexandria,Atena, dan Bizantium ke daerah-daerah yang berada di

bawah perlindungan Raja Sasaniyah, membawa warisan ilmiah Yunani ke

Mesopotamia Utara, antara sungai Tigris dan Euphrat – perbatasan antara

Sasaniyah dan Bizantium – dan juga ke Jundi Shapur di dekat teluk Persia. Kerja

intelektual dalam bentuk berbagai karya orisinal dan tafsiran di bidang

kedokteran, sains, dan filsafat – akumulasi pengetahuan dunia Yunani – mengalir

ke dunia Islam.260 Jadi,ketika ekspansi Islam mulai merambah ke kawasan

Bizantium (Yunani) dan Persia,para khalifah Umayyah tidak menyia-nyiakan

akan hal mempelajari budaya tersebut.

Namun meskipun demikian, pemerintahan umayyah yang arabisme, lebih

mengutamakan pemikiran dan ilmu serta budaya yang asli dari bangsa Arab,

dibandingkan dengan pemikiran dan ilmu pengetahuan serta budaya asing dari

negri yang ditaklukannya. Hal ini dikarenakan orang-orang bani umayyah,

258Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:Bulan Bintang, 1987), 12.

259M.Arifin, Ilmu pendidikan Islam, 84.

260Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam,Sejarah dan peranannyadalam kemajuan ilmu pengetahuan, 66.

Page 112: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

99

menurut Hasan Langgulung, terkenal fanatik kepada Arab dan Islam, sekali pun

mereka orang politik dan Birokrat, bukan ahli ilmu dan agama.261 Akibatnya

perkembangan ilmu pengetahuan hanya berkembang pada dominasi ilmu-ilmu

agama (naqliyah) saja.

Hal ini tercermin pada karya-karya para ulama masa ini yang tersebar di

antara; ilmu nahwu, sharaf, balaghah, sastra, hadits, tafsir, dan ilmu-ilmu agama

lainnya. Sebagaimana dikatakan Phipip K. Hitti,262 bahwa pada masa ini juga

telah ada perhatian terhadap pembidangan ilmu tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.

Di bidang hadits muncul seorang ahli hadits, seperti Hasan al-Basri, di bidang fiqh

muncul Ibnu Sihab al-zuhri,di bidang ilmu kalam dapat ditelusuri cikal bakal

gerakan teologi Islam, yaitu Wasil Bin Atha, yang dianggap sebagai pendiri aliran

Mu’tazilah.263

Berkat kefanatikan orang-orang Dinasti Umayyah, maka bahasa Arab

berkembang dengan luas264 Orang-orang non-Arab pada waktu itu sedah mulai

pandai berbahasa arab. Terutama pengetahuan pemeluk-pemeluk Islam baru dari

bangsa-bangsa non-Arab, perhatian kepada bahasa arab, terutama tatabahasanya,

mulai diperhatikan. Inilah yang mendorong Sibawaih untuki menyusun al-kitab,

yang selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata bahasa arab.265

Pada umumnya zaman ini merupakan masa tunas dari pertumbuhan ilmu

pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu-ilomu lainnya yang ada dan hidup

pada zaman itu. Sebagamana telah diketahui perlkkembangan ilmu agama dengan

segala alat ilmu pembatasnya, didukung oleh faktor-faktor perluasan wilayah

261Hasan Langgulung, Asas-asas pendidikan Islam, 122.

262Philip K. Hitti, History of The Arabs, 242.

263Di kalangan teologi muslim,kelompok yang paling agresif dan interes terhadapdialektika Yunani adalah aliran Mu’tazilah. Lihat, Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam(Jakarta: Raja Grafindo, 1999),161.

264Berkembangnya bahasa arab, pertama kali dilakukan oleh Khalifah Abdul al-Malik(685-705 M.), sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Lihat, Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), 44.

265Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek (Jakarta: UI Press, 1985), 63.

Page 113: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

100

Islam ke daerah-daerah yang beraneka ragam kultural dan anthropologisnya,

berbeda-beda sosial budaya dan kepercayaannya serta pandangan hidupnya.266

Akibat orang-orang Islam banyak mengarahkan perhatiannya kepada

kebudayaan, ilmu dan peradaban-peradaban yang dijumpainya di negeri-negeri

yang ditaklukkannya itu, maka dalam waktu yang bersamaan, mereka juga

memberikan perhatian yang besar kepada ilmu bahasa, satera, dan agama untuk

membentengi diri dari pengaruh pemikiran-pemikiran luar.267 seperti perdebatan

antara Muslim dan Kristen yang berlangsung di istana khalifah umayah yang

toleran mengarahkan pemikir-pemikir muslim pada kultur Kristen Yunani, dan itu

pun sebatas untuk menyanggah dan mempertahankan (menguatkan) argumentasi-

argumentasi ketika harus berdiskusi dengan pihak asing (Kristen).

Dengan bergantinya bani Umayyah yang arabisme, kepada Abbasiyah

yang melanjutkan tradisi monarchi (sistem turun temurun) pendahulunya, maka

terjadi perubahan-perubahan. Zaman Abbasiyah adalah zaman keterbukaan

terhadap budaya-budaya dan peradaban-peradaban asing seluas-luasnya, dan

dapat dibayangkan akibat dari keterbukaan itu. Karena keterbukaan terhadap

pemikiran asing demiklian besar, maka mau tidak mau akan membawa kepada

keterbukaan kepada diri sendiri, yaitu peninggalan arab Islam.268

Menurut Harun Nasution, di masa ini pula lah pertama kalinya dalam

sejarah terjadi kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat, atau tegasnya

dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat di Mesir, syiria, mesopotamia

dan Persia.269 Cendikiawan-cendikiawan Islam, lanjut Harun, bukan hanya

sekedar menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-

buku Yunani, tetapi menambahkan ke dalamnya hasil penyelidikan yang mereka

lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka

266Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Bandung:Angkasa, 1985), 90.

267Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, 122.

268Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, 123.

269Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek (Jakarta: UI Press, 1985), 17.

Page 114: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

101

dalam lapangan filsafat. Dengan demikian maka lahirlah ahli-ahli ilmu

pengetahuan dan filosof-filosof Islam.

Hal senada juga diuraikan oleh seorang orientalis kenamaan, yaitu Philip

K. Hitti, dalam bukunya History of The Arabs,270 meskipun dengan nada

menyindir, Ia dalam penelitiannya telah mengakui keberhasilan-keberhasilan dari

penaklukan Islam ini telah membawa kemajuan dan kebesaran pada masanya.

Menurutnya, dengan penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh orang arab atas

daerah-daerah Bulan sabit yang subur serta atas negeri Persia dan Mesir, maka

mereka pun telah memiliki pusat-pusat peradaban yang pertama di seluruh dunia.

Tidak ada apa-apa yang diberikan oleh orang Arab dalam bidang kesenian,

arsitektur, filsafat, kedokteran, pengetahuan, kesusastraan dan soal pemerintahan,

semuanya harus mereka pelajari.

Faktor yang menyebabkan majunya ilmu pengetahuan di dunia Islam

sebagian besar adalah dikarenakan adanya transformasi budaya Yunani-Persia,

melalui penerjemahan.oleh karena itulah maka, Nakoesteen – seorang pemerhati

pendidikan Islam – menyimpulkan bahwa setidaknya ada empat faktor utama

yang mendorong terjadinya Transmidi ilmu-ilmu asing ke dalam peradaban Islam

klasi.

1. Penganiayaan dan pengusiran yang dilakukan oleh Kristen Ortodok yangmewakili penguasa Bizantium, atas sekte-sekte Kristen, terutama Nestoris danMonophysit. Sekte-sekte ini terpaksa mencari lingkungan yang lebihbersahabat untuk mereka dapat hidup dan berkembang dengan damai, danmereka menyebar kedaerah-daerah yang dikuasai oleh kerajaan sasaniyah danke semenanjung Arabia.yang paling penting adalah mereka membawa sertatradisi ilmiah Yunani dan Helenisme, terutama di bidang kedokteran,matematika, astronomi, filsafat dan teknologi, lalu mengembangkannya begitumereka menetap di tempat yang baru. Ketika Islam menaklukan kerajaanRomawi dan Sasaniyah, penganiayaan Kristen ortodok mendorong kaumminoritas ini menyambut gembira kedatangan pasukan Muslim yang terkenaltoleran terhadap perbedaan agama maupun adat regioan. Kelompok-kelompokini kemudian membangun persahabatan yang baik dengan umat Islam danmembuka jalur transmisi pengetahuan yang mereka bawa.

2. Penaklukan Alexander Agung (336-323 S.M.) yang mencapai Mesir, Persia,dan India, secara otomatis disertai dengan penyebaran ilmu pengetahuanYunani kedaerah-daerah tersebut, yang kemudian pengetahuan itu

270Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Mc Millan, 1956), 54.

Page 115: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

102

dikembangkan dan diperkaya dengan tradisi-tradisi lokal, sebelum akhirnyadiserap kedalam peradaban.

3. Faktor ketiga adalah akademi Jundi Shapur, yang memadukan tradisi ilmiahberbagai budaya: India, Yunani, Helenisme, Syiria, Hebrew dan Persia. Disinilah usaha penerjemahan ke dalam bahasa Pahlavi dan syiria berlangsungdengan intensif menjelang penaklukan Islam. Peradaban Islam jelasmerupakan pewaris utama tradisi ilmiah Jundi Shapur yang tetap merupakanpusat utama kegiatan ilmiah sampai bangkitnya Baghdad, Sisilia danKordoba.271

Dari keempat faktor tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa kegiatan

penerjemahan pada saat itu ternyata membawa dampak yang luar biasa, dengan

kata lain, penerjemahan karya-karya pemikiran Yunani telah menyebabkan

semaraknya dunia pendidikan Islam dimasa klasik, walau pun pendidikan pada

masa klasik itu tak sekompleks pendidikan modern. Pendidikan Islam klasik dapat

dikatakan maju bahkan dianggap mecapai keemasan dalam sepanjang sejarah.

Sejak permulaan penerjemahan karya-karya pemikiran Yunani, pendidikan Islam

mengalami kemajuan pesat baik pada materi pengajarannya (kurikulum) mau pun

lembaga pendidikan.272

Lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya hanya mengajarkan

pengetahuan agama, mulai mengajarkan ilmu pengetahuan, seperti matematika,

filsafat dan kedokteran. Misalnya, di Kuttab, yaitu salah satu dari lembaga

pendidikan tingkat dasar, pada abad pertama masa Islam hanya mengajarkan

membaca dan menulis, kemudian di ajarkan pula pendidikan keagamaan. Sejak

abad ke-8 M., Kuttab mulai mengajarkan pelajaran ilmu pengetahuan di samping

ilmu agama.273 Semua ini dilakukan setelah adanya kontak antara Islam dengan

waeisan budaya Hellenisme.

Ada pun materi-materi yang ditransmisikan seperti halnya tersebut di atas

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Bahan-bahan yang diterjemahkan langsung dari bahasa Latin ke bahasa Arab.

271Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Wester Education, A.D. 800-1350 Withan Introduction to Medieval Muslim Education (Boulder: The University of Colorado Press,1964), 13-15.

272Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam , 43.

273Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 43-44

Page 116: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

103

2. Bahan-bahan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Pahlavi, berbaur denganpemikiran zoroaster-Hindu, lalu ditransfer lewat terjemahan bahasa arab

3. bahan-bahan yang diterjemahkan dari Hindu (Sansekerta) ke bahasa Pahlavi,lalu ke bahasa-bahasa Syiria, Ibrani dan Arab.

4. Bahan-bahan yang di tulis pada masa Islam oleh ilmuan-ilmuan Muslim tetapisebenarnya hanya merupakan jiplakan dari sumber-sumber nonMuslim,dengan garis transmisi yang tidak jelas.

5. Bahan-bahan yang tak lebih dari sekedar komentar-komentar atau ringkasan-ringkasan dari karya Yunani atau Persia.

6. Bahan-bahan yang merupakan pengembangan dari kegiatan ilmiah pra Islam,tetapi tidak akan berkembang dalam Islam bila tidak didasarkan atas(kegiatan) ilmiah masa Hellenisem, Syiria, Zoroaster, dan Hindu Pra Islam;dan

7. bahan-bahan yang muncul dari jenius individual dan dorongan kebangsaanmaupun kedaerahan. Ini akan berkembang lepas dari (kegiatan) pendidikanpra Islam, meskipun bentuk yang akan diambil oleh penemuan-penemuanorisinal ini mungkin saja berbeda, kalau saja mereka berkembang dalam satukonteks atau kerangka kerja yang non-Islam.274

8.Perkenalan dengan warisan Hellenisme tidak hanya sekedar membuat

umat Islam merasa puas dengan mempelajari pemikiran-pemikiran Yunani,tetapi

juga mendorong semangat kehidupan intelektual Islam. Setelah dapat menguasai

karya-karya Hellenisme, ilmuwan-ilmuwab Islam mengadakan pengamatan,

penelitian, dan pengkajian lebih mendalam lagi sehingga mereka berhasil

menemukan teori-teori baru dibidang ilmu pengetahuan dan filsafat yang belum

ada pada masa sebelumnya.275

Filsafat Yunani menjadi Fashion intelektual saat itu dan akhirnya

berdirilah banyak aliran dan sub-aliran menurut tingkat pengadopsian filsafat

tersebut. Al-Quran sendiri ditafsirkan menurut konsep-konsep tersebut, sehinga

al-Qur’an tidak lagi sebatas sebuah kitab praktis dan sederhana, yang menekankan

kepada pengetahuan persepsi indera (tentu saja dalam kebudayaan primitif seperti

kebudayaan Arab nomad pada masa sebelum Islam, penekanannya selalu pada

persepsi indera, bukan pada intelektual) penafsiran-penafsiran baru yang

dipengaruhi oleh pemikiran Yunani yang menekankan rasio,menjadikan al-Qur’an

274Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Wester Education, A.D. 800-1350 Withan Introduction to Medieval Muslim Education, 14-15.

275Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 45

Page 117: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

104

sebagai kitab yang mempunyai makna-makna tersembunyi. Kemudian muncullah

aliran baru yang bernama Mu’tazilah. Mazhab ini menerapkan kriteria akal

terhadap semua ajaran Islam. Sehingga anggota aliran ini disebut kaum

rasionalis.276 Mazhab ini kemudian pada masa al-Ma’mun dijadikan mazhab resmi

Negara.

Kebijakan al-Ma'mun yang menetapkan paham Mu'tazilah ini sebagai

mazhab sebagai resmi negara antara lain karena didorongan oleh rasa kecintaanya

kepada ilmu pengetahuan dan keinginannya untuk terus mengembangkan tradisi

intelektual, baik dalam bidang ke agamaan maupun dalam bidang ilmu

pengetahuan umum

Diantara paham (aliran) yang ada pada masa itu, yang dianggap cocok dan

dapat merespon terhadap tuntutan pengembangan ilmu pengatahuan dan

perkembangan pemikiran Islam adalah paham mu’tazilah, karena Mu’tazilah

dalam pengembangan pengajarannya lebih cenderung untuk dominan

mempergunakan rasio (pemikiran), sehingga penganut paham ini pun disebut

kaum rasionalitas.

Mu’tazilah mempunyai lima ajaran pokok yang sudah mereka sepakati

bersama, barang siapa telah menganut kelima ajaran poko tersebut, maka ia

berhak untuk mendapat gelar Mu’tazilah, kelima pokok ajaran tersebut adalah

tauhid, keadilan (Al-’Adl), janji dan ancaman (al-wa’ad wa al-wa’id), tempat di

antara dua tempa (al-manzilah bain al-manzilatain), amar ma’ruf nahi mungkar.

Itulah kelima pokok ajaran kaum Mu’tazilah yang merupakan hasil dari berbagai

perdebatan dan diskusi-disakusi yang mereka lakukan sebagai reaksi atas

pendapat pendapat yang muncul pada masanya, seperti mushabbih{ah,

mujassimah, Jah{amiyah, murji’ah, khawarij dan lain sebagainya.

Al-Syahristani, menyebutkan dalam kitabnya mengenai hal-hal yang

disepakati oleh kaum mu’tazilah adalah sebagi berikut;

1. Allah adalah qadim, mereka sepakat untuk meniadakan sifat-sifat qadim yanglain dari(dan berdiri pada) dzat-Nya.

276Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Islam (Yogyakarta: Pustaka,1999), 302-303.

Page 118: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

105

2. Al-Qur’an adalah makhluk-Nya, mereka sepakat juga menafikan biasanyaAllah dilihat dengan mata kepala di dunia dan akhirat

3. Manusia adalah pencipta perbuatan-perbuatannya, baik mau pun buruk, danberhak menerima balasan yang adil di akhirat.

4. Tuhan adalah Maha Suci dari perbuatan buruk dean zhalim. Tuhan tidakmelakukan kecuali kebaikan.

5. Seorang mukmin bila wafat dalam keadaan taat dan tobat, niscaya ia masuksurga, dan bila wafat tanpa tobat dari dosa besar yang dilakukannya,niscaya iakekal dalam neraka dengan azab yang lebih ringan dari azab yang diberikankepada kaum kafir.

6. Akal manusia sanggup mengetahui adanya Tuhan, baik dan buruk, dansebelum datangnya keterangan wahyu,manusia wajib mensyukuri nikmatTuhan dan wajib mengerjakan perbuatan yang baik serta menjauhi perbuatanyang buruk. 277

Disamping itu, kesederhanaan ajaran Islam yang perpangkal kepada

kesalehan, pada perkembangannya di masyarakat banyak memunculkan berbagai

macam bid'ah, inilah yang diatasi oleh paham Mu'tazilah, dalam rangka

melaksanakan prinsip amar makruf nahi mungkar ini kaum Mu’tazilah

memaksakan pahamnya kepada masyarakat, sehingga karena itu pula kemudian

al-Ma'mun menetapkan paham ini menjadi mazhab resmi negara,yang kemudian

melahirkan satu kebijakan tentang mihnah.meskipun akhirnya kebijakan ini

menjadi bumerang bagi pemerintahan al-Ma'mun itu sendiri.

Mihnah yang mulai dijalankan pada tahun 218 H. Ini merupakan bentuk

pemeriksaan terhadap para pejabat pemerintahan dan peradilan serta para ulama,

dan sekaligus memaksakan kepada mereka supaya menganut paham Mu’tazilah

bahwa al-Qur’an itu makhluk yang Hadits, kekerasan dan kebengisan jelas

nampak mewarnai gerakan mihnah tersebut. Mereka ingin membasmi paham yang

mengatakan bahwa al-Qur’an itu qadim, sebab paham demikian – menurut kaum

mu’tazilah – berarti menyekutukan Tuhan dengan al-Qur’an, sedangkan dosa

syirik merupakan dosa besar yang tidak dapat diampuni jika tidak bertobat

sebelum wafat.278

277Al-Syahristani, al-Milal wa al-Nih{al, 44-45.

278Abdul Aziz Dahlan, Sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam, I (Jakarta:Beunebi Cipta, 1987), 91.

Page 119: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

106

Itulah paham yang dipandang munkar oleh kaum mu’tazilah,sehingga

karenanya perlu diluruskan dengan jalan kekerasan sekalipun. Akibat dari

tindakannya ini kemudian menimbulkan dendam dan kebencian yang amat luar

biasa pada kebanyakan masyarakat Islam pada masa itu kepada kaum mu’tazilah.

Akibat lain dari gerakan ini adalah terjadinya konflik-konflikm intern

agama yang di alami khalifah al-Ma’mun hingga khalifah al-Mutawakkil (847-

861 M.). Aliran mu’tazilah yang cenderung rasional itu justru dituduh sebagai

aliran pembuat bid’ah oleh golongan salaf. Sehingga pada masa pemerintahan al-

Mutawakkil aliran ini dicabut atau dibatalkan sebagai mazhab resmi negara,

dengan demikian maka gerakan mihnah pun dihentikan dan sebagai gantinya ia

merestui ia merestuiakan muhadditsin yang dipimpin oleh Ahmad bin

Hanbal,sebagai lawan terbesar Mu’tazilah waktu itu, maka kedudukan Mu’tazilah

mulai menurun, bahkan sebahagian pemuka-pemukanya telahtelah meninggalkan

barisan Mu’tazilah, seperti Abu Isa al-Warraq dan Abu al-Husain Ahmad ibn ar-

Rawandi279.

Dengan demikian golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya

pengikut Hanbali itu (salaf) terhadap aliran mu’tazilah yang rasional ini

menyebabkan menyempitnya horizon intelektual280

279Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: Yayasan Penerbit Indonesia, 1971), 65.

280Syed Ameer Ali, Api Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), 464.

Page 120: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

107

BAB IV

AL MA’MUN DAN KEBERHASILANNYA DI BIDANG PENDIDIKAN

Prestasi luar biasa yang ditunjukan umat Islam pada masa dinasti umayah

dengan keberhasilannya menaklukan wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan

Rumawi dan Persia, dan disusul kemudian dengan prestasi yang lebih hebat lagi

dalam penaklukan bidang ilmu pengetahuan, maka lengkaplah sudah prestasi yang

diraih umat Islam pada masa tersebut sehingga tidak salah kalau ahli sejarah

menyebutnya sebagai masa keemasan Islam ( The Golden Age of Islam). Kenapa

tidak? Usaha penelaahan ilmu pengetahuan yang dilakukan pada masa bani

Umayah dilakukan secara besar-besaran pada masa bani Abbasiyah.

Kondisi seperti ini pada masa bani Abbasiyah sangat memungkinkan

sekali untuk melakukan berbagai hal terkait perkembangan dan kemajuan di

berbagai bidang.dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, mengingat

bahasa Arab telah mencapai tahap kesempurnaan, baik huruf, tanda baca, harakat

pembendaharaan kata telah lengkap, maupun tatabahasanya, dan dipakai sebagai

bahasa administrasi dan komunikasi. Di dukung oleh industri kertas sebagai mana

yang dibuat oleh Cina, sudah bisa diusahakan pada masa Harun al-Rasyid.

Demikian juga kemantapan dibidang politik, memungkinkan ekonomi

berkembang dengan pesat dan pembangunan bisa dilaksanakan dalam segala

bidang dan kesejahteraannya. Oleh karena itu pada bab ini diuraikan tentang

keberhasilan al-Ma’mun di bidang pendidikan, sejarah al-Ma’mun, kebijakan

yang diambil pada masa pemerintahannya, pertumbuhan lembaga-lembaga

pendidikan dan kontribusinya terhadap kemajuan pendidikan dan ilmu

pengetahuan.

A. SEJARAH AL MA’MUN

Al-Ma’mun nama lengkapnya adalah Abdullah Abu-Abbas bin al-Rasyid.

Al-Ma’mun dilahirkan pada hari jum’at pertengahan bulan Rabi’ul Awwal tahun

170 H. di malam kemangkatan pamannya Khalifah al-Hadi.281 Seperti yang telah

281Jalaluddin al-Syuyuthi, Tha>rikh al-Khulafa,( Baerut: Dar el-Kutub, 1975), 284

Page 121: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

108

dipaparkan, al-Ma’mun lahir enam bulan lebih dahulu dari saudara sebapaknya al-

Amin. Ibunya merupakan bekas hamba sahaya yang bernama Marajil. Akan tetapi

al-Amin secara silsilah dari garis ibu berkedudukan lebih baik dari al-Ma’mun,

disebabkan oleh ibunya yang bernama Zubaidah, seorang keturunan Arab, oleh

karena itu al-Amin dilantik sebagai putra mahkota yang pertama.282 Sementara itu

al-Ma’mun, di samping usianya yang lebih tua 6 bulan dibanding dengan al-

Amin, ia adalah lebih cerdas dan lebih pintar mengurus segala perkara.283

Secara silsilah, al-Ma’mun adalah saudara seayah dengan al-Amin, putra

dari ar-Rasyid. Sementara kakek-kakek mereka berdua berujung kepada Abbas

bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW. Khalifah Abdullah ibn

Harun al-Rasyid naik menjabat sebagai khalifah yang ke tujuh di dalam Daulat

Abbasiyah dengan panggilan khalifah al-Ma’mun (198-218 H./813-833 M.),

menggantikan saudaranya seayah lain ibu, yaitu al-Amin (193-198 H./809-813

M.), yang hanya memerintah selama lebih kurang 4 tahun 8 bulan,284 sementara

al-Ma’mun memerintah lebih kurang 20 tahun lamanya. Ia menjabat tampuk

kekuasaan pada usia 28 tahun dan wafat dalam usia 48 tahun.285 Usia yang relatif

muda ini telah membawa dirinya ke dalam posisi orang-orang besar dari khalifah-

khalifah abbasiyah pada masa inilah“secara politis”negara Islam sudah bisa

menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi.286

Inilah daftar silsilah keturunan al-Ma’mun sampai kepada kakek-kakeknya

Abbas bin Abdil Muthalib.287

282Ketika Harun al-Rasyid berkuasa, beliau mengangkat ketiga orang putranya; Al-Amin,Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim sebagai putra mahkota secara bergiliran.Peristiwa ini menimbulkanperang dan pemberontakan setelah wafatnya ar-rasyid. M.Masyhur Amin, Dinasti Islam(Yogjakarta:LKPSM, 1995), 99

283A. Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993), 129.

284M. Masyhur Amin, Dinasti Islam, (Yogjakarta:LKPSM, 1995), 99.

285Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),145.

286 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),53.

287Diolah dari sumber: Joesoef Soe’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah I (Jakarta: BulanBintang, 1977), 26. lihat juga Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: InterMasa, 2009), 110 – 112.

Page 122: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

109

Silsilah di atas itu memperlihatkan urutan sampai kepada khalifah ke 7,

yaitu khalifah al-Ma’mun yang oleh para ahli sejarah di Barat dipanggil dengan

sebutan The Great (Orang Besar) Khalifah Abbasiyah.288

1. Pengankatan al-Ma’mun Sebagai Khalifah

Al-Ma’mun diangkat menjadi khalifah ke 7, Daulah Abbasiyah pada usia

28 tahun dan memerintah selama 20 tahun. Masa pemerintahanya dimulai pada

tahun 198 H. atau bertepatan tahun 813 M. sampai dengan tahun 218 H. atau

288Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 27.

Abbas bin Abdil Muthalib

Abdullah

Ali

Muhammad Ibrahim Abdullah Saleh Abdul Samad

1.Abdullah Abul Abbasal-Saffah (132-136H/750-754M)

2.Abdullah Abu Ja’far al-Mansur (136-156 H./754-775 M.)

Musa

3. Al-Mahdi(158-169 H./777-785 M.)

4. Al-Hadi(169-170 H/785-786 M)

5. Harun al-Rasyid(170-193 H/786-809 M)

7. Al-Ma’mun (198-218H./813-833 M.)

6.Al-Amin (193-198H/809-813 M.)

Page 123: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

110

bertemapatan tahun 833 M. pada masa pemerintahannya ini dipandang sebagai

puncak keemasan dan kebesaran Daulat Abbasiyah.289

Pengangkatan AL-Ma’mun sebagai khalifah dilatar belakangi oleh koflik

perang saudara dengan pasukan al-Amin. Sewaktu al-Amin menjabat sebagai

khalifah di Baghdad, sementara al-Ma’mun menjabat sebagai Gubernur (Amir) di

kota Khurasan (Merv, sekarang masuk Iran) ibu kota Asia tengah waktu itu.

Menurut Suyuti, “al-Amin adalah seorang yang bertutur dan berseni sastra, tetapi

amat buruk dalam mengurus pemerintahannya. Pikirannya lemah, wataknya

tergesa-gesa, singkat kata ia tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin”.290

Segala urusan kenegaraan lebih banyak diserahkan kepada mentri

kepercayaannya, yaitu fadhil bin Rabi..

Tidak lama setelah al-Amin diangkat sebagai khalifah,ia mengambil satu

keputusan yang kontroversial, yaitu dengan melepaskan jabatan putra mahkota

dari al-ma’mun dan al-Kasim yang oleh Harun ar-Rasyid dahulu diberikan.291

Sebagai gantinya, ia melantik putranya, Musa bin al-Amin sebagai putra mahkota.

Padahal pada tahun 791 M. Harun ar Rasyid, atas permintaan istrinya, Ratu

Zubaedah, seorang wanita keturunan Arab, menunjuk ketiga anak laki-lakinya

yaitu Al-Amin, Al-Ma’mun dan al-Qasim, sebagai calon-calon pengganti secara

berturut-turut setelah kematiannya.292

Peristiwa ini, mengundang kemarahan di pihak al-Ma’mun, dan dianggap

sebagai tantangan untuk berperang, sehingga terjadilah peperangan antara

kelompok al-Amin dengan didukung 50.000 tentara dibawah pimpinan Ali bin Isa

bin Mahan, sedangkan dipihak al-Ma’mun,dipimpin oleh Tahir bin Husain dengan

didukung 40.000 tentara.293 Peperangan ini terjadi di dekat Rayy pada tahun 811

M.dan dimenangkan oleh pihak al-Ma’mun. tidak puas atas kekalahan tersebut,

289Dewan Redaksi Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam 3, 149.

290Jalaluddin al-Syuyuthi, Ta>rikh al-Khulafa> , 474.

291Al-Mas’udi, Muruj az-Z{ah{ab wa ma’adin al-Juwh{ar (Bairut: Dar el Kitab al-Lubnani,1982), 398.

292Al-Mas’udi, Muruj az-Z{ah{ab wa ma’adin al-Juwhar, 396.

293Al-Mas’udi, Muruj az-Z{ah{ab wa ma’adin al-Juwhar,.399

Page 124: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

111

al-Amin kemudian mengerahkan pasukan baru dibawah pimpinan Abdurrahman

al-Jabalah. Pasukan Tahir pun kembali mengalahkan pasukan ini, dan berhasil

menduduki Hamadan. Al-Ma’mun pun mengirim dua orang Jenderalnya, yaitu

Harsama dan Jubair, untuk menduduki seluruh Persia.294

Kemudian jenderal-jenderal al-Ma’mun, yaitu Tahir bin Husain dan

Harsama, berangkat untuk menyerang al-Amin. Mereka menaklukkan Ahwaz,

Yemana, Bahrain, Oman serta merebut Wasit, selanjutnya Jenderal-jenderal itu

berangkat menuju Baghdad dari berbagai jurusan, mereka mengepung kota

Baghdad selama beberapa bulan,hingga Baghdad mengalami kerusakan yang

besar selama pengepungan itu. Sehingga akhirnya, al-Amin terpaksa harus

mencari perlindungan sendiri bersama ibu dan keluarganya di sebuah benteng di

tepi barat sungai., karena tokoh-tokoh penting yang selama ini mendukungnya

mulai meninggalkannya.

Selanjutnya al-Amin berpikir untuk menyerah saja karena ia masih

percaya bahwa saudaranya(al-Ma’mun) akan berlaku baik. Ternyata, dalam

perjalanan menuju penyerahan dirinya itu, ia justru disergap dan dibunuh oleh

beberapa orang tentara Persia.295

Persaingan antara dua orang saudara itu tampaknya tidak bisa dilepaskan

dengan persaingan yang terjadi antara para pendukung kedua khalifah tersebut,

yaitu amir-amir Arab dan amir-amir Persia, untuk memperebutkan supremasi

politik pada pemerintahannya. Al-Amin adalah putra Harun, dari zubaidah yang

keturunan Arab, sedangkan al-Ma’mun putra Harun dari wanita keturunan Persia.

Menurut Muir, al-ma’mun adalah pujaan rakyat Khurasan dan mereka

menyebutnya sebagai “anak dari saudara perempuan kita.”296

Setelah kematian al-Amin, Naiklah al-Ma’mun sebagai khalifah pada

tahun 813 M. al-Ma’mun diangkat menjadi khalifah sewaktu berumur 28 tahun,

dan memerintah selama 20 tahun. Masa pemerintahannya dipandang sebagai masa

294Keterangan lebih lengkap lihat Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir, at-Tabari, Ta>rikh alUmam wa al-Muluk (Bairut:Dar el-Fikr, 1987), 217-242.

295Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir, at-Tabari, Ta>rikh al Umam wa al-Muluk, 271

296Muir, The Caliphate, 484.

Page 125: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

112

keemasan yang melanjutkan kebesaran yang telah dicapai oleh Ayahnya,Harun ar-

Rasyid.297 Jauh berbeda dengan saudaranya, al-Amin, Al-Ma’mun memiliki sifat

pemaaf, ia juga kurang berminat terhadap hiburan dan permainan.298

Sifat pemaafnya al-Ma'mun ini dibuktikan kepada al-Fadhil bin Sahl,299

yang pada waktu itu diberikan kewenangan penuh untuk mengurusi urusan

pemerintahan, kewenangan ini kemudian disalah gunakan dengan menggalan

kekuatan dan dukungan untuk menentang khalifah di Merv, demikian juga kepada

Ibrahim bin al-Mahdi,yang telah melantik dirinya sebagai khalifah di

Baghdad,pada saat al-Ma'mun masih berada di Merv,padahal waktu itu al-

Mu'tashim dan al-Abbas bin al-Ma'mun mengusulkan untuk membunuh Ibrahim.

Sebagaimana dikutip Didin, Suyuti mengatakan: “Al-Ma’mun adalah

tokoh Bani abbas yang paling utama keilmuan, keberanian, kehebatan, kesabaran

dan kecerdasannya.” selama dua puluh bulan tinggal di Baghdad, ia tidak mau

mendengar sembarang nyanyian. Faktor penyebabnya adalah karena ia harus

berkonsentrasi penuh untuk mengembalikan keutuhan kerajaan yang hampir

runtuh., dan ia juga harus berkonsentrasi pada buku-buku yang ia baca.300

Al- Ma’mun yang berkeluarga pada usia relatif cukup muda, yaitu umur

16 tahun. Pada perkawinan al-ma’mun, putra ar-Rasyid, dengan Buran, anak

seorang wajirnya, al-Hasin bin Sahl, di laksanakan pada tahun 825 H., sebagai

mana di ceritakan oleh ali Mufrodi, merupakan sebuah pesta pora yang cukup

meriah, sehingga bisa dikatakan sebagai sebuah pemborosan yang besar.

Betapa tidak, lanjut mufrodi, seribu butir mutiara yang indah dan besar-

besar yang terletak di atas baki emas ditaburkan kearah mempelai berdua yang

berdiri di atas hamparan tikar yang dihiasi dengan mutiara dan batu hitam. Di

samping itu banyak hadiah yang diberikan berupa tanah,hamba sahaya dan

297Karena kebesarannya al-ma’mun juga banyak diabadikan dalam buku tersendiri sepertikarya Ali Muhammad Ridha,’Ashr al-Islami az- Z{ah{aby, al-Ma’mun al ‘Abbasy. Lihat. DidinSaefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 94.

298Pujian dan sanjungan tentang sifat-sifat al-Ma’mun oleh para ahli sejarah dapat dilihatmisalnya pada as-Syuyuthi, Ta>rikh al-Khulafa> (Baerut: Darl Al-Kutub), 487-489.

299Jalaluddin as-Suyuti, Ta>rikh al-Khulafa> , 487-489.

300Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, 94.

Page 126: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

113

barang-barang berharga lainnya kepada keluarga khalifah dan keluarga para

pejabat tinggi Negara.301

2. Masa Pemerintahan al-Ma’mun.

Al–Ma’mun sebagai pengganti ayahnya meneruskan tradisi keilmuan dan

penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani ke dalam bahasa Arab. Ia juga

mendirikan sebuah akademi di Baghdad yang di beri nama Bait al-hikmah

(gedung kebijaksanaan) yang di dalamnya terdapat sebuah observatorium yang

diperuntukkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Meskipun kata, Ahmad

Shalabi, pembangunan Bait al-Hikmah ini telah diawali pada masa Harun al-

Rasyid.302

Diantara kelebihan yang dimiliki al-Ma’mun adalah keintektualannya dan

kecintaannya kepada ilmu pengetahuan serta jasa-jasanya dalam mengembangkan

ilmu pengetahuan,ia juga banyak mengumpulkan buku-buku untuk disimpan di

bait al-hikmah. Selain itu, ia pun banyak mengundang para penerjemah untuk

menerjemahkan buku-buku sains dan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab,

dengan memberikan imbalan gaji yang cukup besar dan memuaskan. Suyuthi,

mengatakan bahwa,"al-Ma'mun adalah salah satu tokoh Bani Abbas yang paling

utama keilmuan, keberanian, kehebatan, kesabaran dan kecerdasannya".sehingga

ia telah dapat menempatkan dirinya dipuncak kekhifahan abbasiyah303.

Para khalifah Abbasiyah memiliki kualitas yang berbeda antara yang satu

dengan yang lainnya. Kendati demikian, apabila diperhatikan dari kualitas

kepemimpinannya, tampaknya dari sembilan khalifah Abbasiyah pertama, hanya

lima orang saja yang termasuk kepada khalifah besar (The Great). Kelima

khalifah tersebut adalah Abu al-Abbas as-Saffah, Abu Ja’far al-Mansyur, al-

Mahdi, Harun al-Rasyid, dan al-Ma’mun. Sedangkan al-Hadi, al-Amin, al-

301Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta:Logos, 1999),104.

302Ahmad Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 120.

303Mengeai masalah sanjungan dan pujian tentang sifat-sifat al-Ma'mun oleh sejarawandapat dilihat misalnya pada as-Suyuti, Ta>ikh al-khulafa> (Maktabah an-Nahdah al-Misriyah,1975),. 487-489.

Page 127: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

114

Mu’tashim dan al-Watsiq dianggap kurang mampu memimpin dan membawa

kemajuan kekhalifahan Abbasiyah.304

Masa pemerintahan al-Ma’mun termasuk ke dalam katagori khalifah yang

berhasil mencapai puncak kemegahan dan kebesaran Daulat abbasiyah. Sekali pun

masa-masa sepeninggalnya masih tetap gemilang, akan tetapi sedikit demi sedikit

kekuasaan para khalifah itu mulai menurun. Sebab, kekhalifahan al-Ma’mun ini

merupakan puncak tertinggi pada periode pertama masa Daulat Abbasiyah dan

masa sesudahnya telah bergeser dan berpindah ketangan sultan-sultan.305

Khalifah pertama Dinasti Abbasiyah adalah Abu al-Abbas as-Saffah (132-

136 H./750-754 M.). Menurut as-Suyuthi, dalam Tarikh al-Khulafa, dikatakan

bahwa beliau adalah seorang yang bermoral tinggi, memiliki loyalitas, disegani,

berpikir luas, pemalu, bertingkah laku baik. Ia sopan dan menepati janji sesuai

dengan waktunya.306

Kalau Abu al-Abbas as-Saffah dianggap sebagai pendiri, maka khalifah

Abu Ja’far al-Mansyur (136-158 H./754-777 M.) dianggap sebagai Pembina

sebenarnya Dinasti Abbasiyah. Beliau adalah tokoh Abbasiyah yang terkenal

hemat, berani, tegas, berpikir cerdas dan gagah perkasa.307 Menurut Ibnu

Thabathiba, al-Mansur adalah seorang raja yang agung, tegas, bijaksana, alim,

berpikir cerdas, pemerintahannya rapih, amat disegani dan berbudi baik. Namun

seperti pendahulunya, sifat keras dan tidak mengenal belas kasih kepada orang-

orang yang tidak sepaham dengannya menjadi cirri dari khalifah ini.

Khalifah berikutnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin al-Mansur,

yang bergelar al-Mahdi (158-169 H./777-785 M.), merupakan putra al-Mansur

304Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik, 84.

305Khalifah al-Ma’mun, sebelumnya (132 H./750 M.) sampai wafatnya Khalifah al-Watsiq (232 H./874 M.) termasuk kepada periode pemerintahan Abbasiyah pertama. Sedangkanmasa sesudahnya , dimana khalifah-khalifah masa masa itu lebih banyak dikendalikan oleh orang-orang Turki, yang berakibat legitimasi terhadap khalifah berpindah ketangan para sultan. LihatM.Masyhur Amin, Dinasti Islam (Yogyakarta :LKPSM, 1995),95. lihat juga Musyrifah Sunanto,Sejarah Islam Klasik:Perkembangan ilmu pengetahuan Islam (Jakarta:Kencana, 2007),.50-51.

306Jalaluddin as-Suyuti, Ta>rikh al-Khulafa> (Kairo: Maktab an-Nahdah al-Misriyah, 175),100.

307Jalaluddin as-Suyuti, Ta>rikh al-Khulafa>, 414.

Page 128: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

115

yang dilahirkan di Idzdad, sebuah tempat antara khuzistan dan Isfahan pada tahun

126 H.308 Masa pemerintahannya, menurut William Muir, merupakan masa

transisi antara masa pemerintahan Abbasiyah yang keras dan kasar dan masa

pemerintahan berukutnya yang makmur.309 Ia merupakan penguasa yang lembut

dan dermawan, setelah naik tahta ia berusaha untuk menghapus kesan kekakuan

dan kekasaran pemerintahan yang dilakukan ayahnya. Ia sangat baik dan berbelas

kasih kepada kaum miskin dan kurang mampu.

Harun al-Rasyid (170-193 H./786-809 M.), adalah khalifah berikutnya

yang termasuk ke dalam lima besar khalifah Bani Abbasiyah, merupakan khalifah

yang dianggap paling cerdas dan cemerlang yang membawa Dinasti Abbasiyah

mencapai zaman keemasannya, ia memerintah selama 23 tahun dan mampu

membuat Dinasti ini mencapai kemajuan dan kejayaan dibidang politik,

ekonomi,perdagangan, ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dalam kitab-kitab

sejarah pun ia mendapatkan porsi pembahasan yang paling panjang diantara

khalifah-khalifah lainnya.310

Dimasa pemerintahan Haruan al-Rasyid, mendirikan Baitul Hikmah yang

merupakan sebuah ilustrasi kebudayaan dan pikiran yang cemerleng pada saat itu,

dan merintis jalan kearah kebangkitan, serta membangun baitul mal yang yang

ditugaskan untuk menanggung narapidana dengan memberi makan dan pakaian di

musim panas dan musim dingin, Beliau juga membuat buku seribu satu malam

yang menduduki tempat paling atas di bidang kesusastraan dunia.

Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah yang paling dihormati, suka

bercengkrama, alim dan sangat dimuliakan sepanjang usia menjadi khalifah.

Kedudukan khalifah Harun al-Rasyid di dalam negerinya lebih hebat dari segala

peristiwa dan kekacauan yang timbul di beberapa tempat, menurut as-Suyuti,

308As-Suyuti, Ta>rikh al-Khulafa>, 434.

309William Muir, The Caliphate : Its Rise, Decline, and Fall (London:Darf Publisher,1984), 465.

310Lihat misalnya Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir at-Tabari,Ta>rikh al-Umam wa al-Muluk (Beirut :Dar el-Fikr, 1987), ia menjadi figur yang legendaris karena cerita-cerita tentangdirinya dalam Kitab Alf Laylah wa Laylah ( 1001 malam).

Page 129: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

116

bahwa zaman pemerintahan Harun al-Rasyid seluruhnya merupakan zaman yang

penuh kebaikan, semuanya indah seperti pengantin baru.311

Khalifah terakhir yang termasuk dalam lima besar khalifah Abbasiyah

adalah al-Ma’mun (198-218 H./813-833 M.). Menurut Suyuthi, al-Ma’mun

adalah tokoh Bani Abbas yang paling utama keilmuaannya, keberanian,

kehebatan, dan kecerdasannya, jauh berbeda dengan saudaranya al-Amin, ia

memiliki sifat pemaaf, dan juga kurang berminat terhadap hiburan dan

permainan.312

Semasa kecilnya, al-Ma’mun telah banyak mempelajari berbagai ilmu

pengetahuan. Dia banyak mempelajari Hadits dari ayahnya, Harun al-Rasyid dan

guru-gurunya bernama Hasim, Abid bin Awwan,Yusuf bin Atiyah dan banyak

lagi. Di lain pihak ia juga belajar sastra, tata bahasa arab, dan falsafah.

Al-Ma’mun merupakan salah satu keturunan Bani Abbas yang mempunyai

kecerdasan yang tinggi, pintar, berpendirian kokoh, penyantun, berpengetahuan,

berpikir logis, pemberani, dermawan dan mempunya cita-cita yang tinggi. Bahkan

al-khatib sampai berani berkata bahwa tidak ada seorang pun dari khalifah yang

hafal al-qur’an dengan baik selain Utsman bin Affan dan al-Ma’mun.313

Al-Ma’mun adalah seorang khalifah yang sangat mencintai akan ilmu

pengetahuan dan saleh perangainya. Sifat dan watak baiknya itulah yang

menyebabkan ia mampu memegan jabatan pemerintahannya selama 20 tahun.

Akan tetapi kebesaran jiwa dan perangai baik al-Ma’mun, mendapat sorotan yang

tajam, ketika terjadi kontroversi mengenai pemberlakuan mih{nah (Ingkuisisi)

terhadap lawan-lawan diskusinya. 314

311Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), 99.

312Pujian dan sanjungan tentang sifat al-Ma’mun ole4h para sejarawan dapat dilihatmisalnya pada as-Suyuti,Ta>rikh, 487-489.

313Riwayat ini termasuk khabar gharib, menurut Ibnu Katsir. Lihat , Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah (Bairut: Maktab al-Ma’arif, 1990), 275.

314Pada mulanya al-Ma’mun tidak menjelaskan pendiriannya secara terbuka, karena iakhawatir akan terjadinya perbedaan pendapat dengan para ulama yang pada umumnya beraliransuni. Lihat, Dewan Redaksi Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta:Intermasa, 1994), 151.

Page 130: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

117

Pada bulan Rabi’ul Awal tahun 218 H. kira-kira empat bulan sebelum

meninggal. Al- Ma’mun pernah menulis surat yang ditujukan kepada Gubernur

Irak, Ishak ibn Ibrahim, yang isinya antara lain memerintahkan agar menguji para

qadhi dan para saksi tentang khulq al-Qur’an dan mengintruksikan supaya mereka

melaksanakan perintah tersebuit. Surat itu demikian panjang, dengan

mengemukakan dalil-dalil al-Qur’an yang menjelaskan bahwa ia adalah

makhluk.315 Para qadhi dan para saksi yang menolak untuk menyatakan khuluq al-

qur’an dianggap telah musyrik. Dengan demikian mereka tidak berhak untuk

menduduki jabatan hakim dan kesaksian mereka tidak sah. Surat tersebut dikirim

keseluruh wilayah kekuasaan Islam, seperti Damaskus, dan dengan demikian

maka terjadilah mih{nah 316 di seluruh wilayah itu.

Mih{nah ini merupakan semacam lembaga penyelidik yang berfungsi untuk

meneliti paham seseorang, terutama para pejabat pemerintahan pada saat itu.

Mih{nah ini intinya untuk mengetahui paham yang dianut oleh seseorang (para

pejabat), apakah ia berpahakan Mu'tazilah atau bukan, karena pada masanya ini

Mu'tazilah dijadikan paham resmi Negara.

Keberpihakan al-Ma'mun terhadap paham Mu'tazilah ini tampaknya tidak

dapat dipisahkan dari kehausannya terhadap ilmu pengetahuan yang rasional, dan

kecintaannya terhadap filsafat yang mendorongnya untuk lebih menyetujui paham

Mu;tazilah ini dibandingkan dengan paham-paham yang lain yang ada pada saat

itu.

Al-Ma’mun wafat pada hari rabu, tanggal 13 Jumadil akhir, pada waktu

sedang berperang melawan Romawi di Bazandon317 (Tarsus) kemudian

315Dalil-dalil al-Qur’an itu antara lain surat ke 43:2, 6:1, 20:99 dan 11:1. untuk lebihlengkapnya lihat Melville Patton, Ahmed ibn Hambal and Mih{nah (al-Hilal, t.th), 104-107.

316Secara fenomenoligi, mih{nah dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam telahterjadi sebelum masa al-Ma’mun. jahm ibnu Sofwan dihukum mati karena ia membawa fahamsendiri. Ma’bad al-Juhani dihukum mati karena melahirkan faham Qadariyah pada masa KhalifahAbdul Malik bin Marwan pada tahun 80 H.Ghaylan al-Dimasyqi juga dihukum mati oleh khalifahHisyam ibn Abdul Malik pada tahun 105 H. lihat Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (Kairo:Maktabahal-Nahdah,1965),162, dan Nur khalis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta:Bulan Bintang,1990), 14.

317C. Israr, Sejarah Kesenian Islam (Jakarta:Bulan Bintang, 1978), 117.

Page 131: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

118

dimakamkan ditempat itu juga pada tahun 218 H.318 Ia memerintah selama lebih

kurang dua puluh tahun. Setelah al-Ma’mun wafat.maka posisi kekhalifahan

digantikan oleh al-Mu’tashim pada tahun 899 M.Ia dibesarkan dalam lingkungan

militer,sehingga mempunyai sifat berani dan berminat menjadi pahlawan,319 tidak

heran, jika ia dikenal tidak berpengetahuan tinggi, alhasil, Khalifah Harun al-

Rasyid sendiri kurang berkenan untuk melantiknya menjadi putra mahkota atau

bakal Khalifah. Sehingga pada masa Al-Ma’mun pun ia hanya dijadikan sebagai

tangan kanan Khalifah untuk menyelesaikan berbagai kesulitan sekaligus

memimpin berbagai peperangan. Ia juga diangkat oleh al-Ma’mun sebagai

penguasa di Syiria dan Mesir, sebelum dilantik sebagai putra makhkota.

Pemerintahaannya berlangsung selama sepuluh tahun.

Kendati demikian, pengangkatan al-Mu’tashim sebenarnya tidak disetujui

oleh sekelompok tentara yang menginginkan Abbas, anak al-Ma’mun sebagai

penguasa, namun demikian, kerusuhan-kerusuhan yang muncul dapat

dihindarka..320 Wafatnya al-Ma’mun merupakan awal kemunduran Dinasti

Abbasiyah.321

Diantara paham atau aliran yamg ada pada masa itu, maka paham

Mu’tazilah inilah yang dianggap cocok atau mampu menampung keinginan

pemerintah (al-Ma’mun) untuk mengembangkan tradisi intelektual yang

diwariskan pendahulunya, dan untuk memajukan ilmu pengetahuan yang sedang

digandrungi masyarakat muslim pada masa itu. Mu’tazilah menawarkan konsep

rasionalitas atau penggunaan akal lebih dominan dari pada nash.

318Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir,at-Tabari, Ta>rikh al Umam wa al-Muluk (Bairut:Darel-Fikr, 1987), 516.

319Ibn Khalikan, Wafayat al-A’yan wa anha abna az-Zama>n (Kairo:Maktabah an-Nahd}ahal-Misriyah,1949), 24.

320Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta:Inter Masa, 2009), 95.

321Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta:Intermasa, 1994),.222.

Page 132: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

119

B. Kebijakan Pemerintahan al-Ma’mun.

Dalam masa pemerintahannya, al-Ma’mun banyak menghadapi berbagai

masalah,rintangan dan ancaman atas keutuhan dinasti Abbasiyah, khususnya

ancaman internal akibat terjadinya ”perang saudara” antara pihak al-Amin yang

mayoritas didukung oleh golongan Arab dengan Al-Ma’mun yang pada waktu itu

lebih banyak mendapat dukungan dari golongan Persia. Orang-orang Arab marah

terhadap al-Ma’mun, karena ia dianggap tidak lagi mengikuti tradisi sebelumnya,

yang Arab murni (Arabisentris). Ia lebih cenderung banyak melibatkan orang-

orang non Arab (Persia) dalam sistem pemerintahannya. Akibatnya, kecemburuan

dan kefanatikan terhadap kesukuan Arab muncul kembali. Hal ini kemudian

menjadi ancaman tersendiri bagi pemerintahan al-Ma’mun.322

Hal ini muncul dilatar belakangi atas kepindahan ibu kota dari Khurasan

ke Baghdad oleh khalifah al-Ma’mun. Kemudian menimbulkan kemarahan dari

orang-orang Persia terhadap al-Ma’mun. Begitu hebatnya berbagai gerakan yang

dihadapi al-Ma’mun, sehingga ia bekerja keras disepanjang siang dan malam

selama masa pemerintahannya untuk mengatasi semua masalah itu.323 Akan tetapi

dengan kekuatan dan ketangkasan, kecerdikan yang dimilikinya, maka ia dapat

dengan mudah mengatasi situasi politik yang memburuk, sehingga akhirnya ia

dapat melakukan pembenahan-pembenahan dari dalam negeri.

Kendati dalam situasi kondisi pemerintahan yang banyak terjadi

pemberontakan, namun, menurut Badri yatim, Al-Ma’mun dapat mengatasi

semuanya itu dengan sikap yang tegas lagi arif dan bijak sana. Walau demikian

pemberontakan-pemberontakan yang timbul bukanlah dilatar belakangi oleh

perebutan kekuasan, akan tetapi lebih dikarenakan oleh faktor-faktor etnis dan iri

atas keberhasilan-keberhasilan yang diraih oleh khalifah al-Ma’mun.324

322Rintangan ini banyak dilator belakangi oleh persaingan antar golongan Arab danPersia. Lihat, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 62.bandingkan dengan Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: KotaKembang, 1989), 120-121

323Ahmad. Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 130.

324Ahmad. Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, 133.

Page 133: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

120

Untuk memperkecil dan mempersempit pertikaian yang ada dan oposisi

terhadap pemerintahannya, di samping memajukan ilmu pengetahuan, kemudian

al-Ma’mun segera melakukan terobosan-terobosan baru guna menanggulangi

perpecahan tersebut. Terobosan-terobosan tersebut dapat dilihat dari kebijakan

kebijakan yang diterapkan oleh al-Ma’mun selama berkuasa, kebijakan tersebut

berupa kebijakan politik al-Ma’mun, antara lain;

1. Menangguhkan pemindahan kota sementara dari khurasan ke Baghdad

(198-204 H./813-819 M.)

Dalam buku ensiklopedi Islam disebutkan, bahwa al-Ma’mun sebelum

naik tahta pernah mengepung Baghdad selama hampir satu tahun,karena al-Amin,

saudaranya berniat untuk membatalkan pewarisan kekhalifahan kepada Al-

Ma’mun dan mengangkat Musa al-Amin anak kandungnya sendiri sebagai putra

makhkota. Dari sinilah terjadi peperangan antara pasukan Al-Amin dengan

pasukan Al-Ma’mun yang berakhir dengan kekalahan di pihak al-Amin.325 Atas

keputusan sepihak yang diputuskan oleh pihak al-Amin, akhirnya perang saudara

itu tidak dapat dihindarkan lagi.

Setelah Baghdad dapat dikuasai oleh tentara al-Ma’mun, ia tidak langsung

menduduki Baghdad sebagai ibu kota, melainkan tetap tinggal di Khurasan, baru

kemudian setelah situasi politik memungkinkan maka al-Ma’mun memindahkan

ibukota khurasan ke Baghdad.

Kebijakan pemindahan kota Khurasan ke Baghdad ini bukan sesuatu yang

tanpa alasan dan tujuan yang jelas, pemindahan kota tersebut bertujuan:

1. Al-Ma’mun ingin mendinginkan atau menenangkan perasaan penduduk ibukota ( terutama para pendukung setia dan keluarga al-Amin dari keturunanArab) yang baru saja ditinggal wafat oleh saudaranya, al-Amin.

2. Al-Ma’mun juga ingin mengetahui atau menjajagi seberapa besar pengaruhkekuatan dari pendukung saudaranya itu dalam lingkungan keluargaAbbasiyah.

3. Al-Ma’mun juga ingin menyelami seberapa pendirian sebenarnya keluargaAbbasiyah terhadap dirinya.karena semenjak kecil ia lebih cenderung kepada

325Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: Intermasa, 1994),149-150

Page 134: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

121

keluarga dari pihak ibunya (yang keturunan Persia) dibandingkan dengankeluarga dari Ayahnya (yang keturunan Arab).326

Di lain pihak kebijakan untuk tinggal beberapa tahun di Khurasan adalah

guna memberikan kesempatan kepada unsur-unsur pendukung al-Amin untuk bisa

bernapas lega dan secara perlahan-lahan memperlihatkan dirinya sebagai lawan

terbuka. Ia juga bermaksud untuk dapat mengetahui berbagai kemelut yang terjadi

dan merancang cara untuk menghadapinya nanti kalau sudah kembali ke ibu kota

(Baghdad). Tetapi pertempuran berikutnya malah terjadi bukan di Irak atau

Khurasan, melainkan di Suriah, kemudian menyusul di Kuffah, melawan keluarga

Alawiyin (keturunan Ali bin Abi Thalib) yang ingin memisahkan diri dari

kekuasaan al-Ma’mun, kesemuanya itu dapat di patahkan oleh pasukan al-

Ma’mun.327

Akibat kemenangan demi kemenangan yang diraih oleh al-Ma’mun dan

pasukannya (orang-orang Persia) dalam berbagai kontak senjata, melawan

pemberontakan pemberontakan yang terjadi, menimbulkan kemarahan yang besar

di kalangan orang-orang Arab. Sementara kebijakan al-ma’mun memindahkan

kota Khurasan ke Baghdad justru sebaliknya menyebabkan kemarahan orang-

orang Persia kepadanya328.

2. Memajukan Ilmu Pengtahuan dalam berbagai bidang disiplin ilmu

Orang-orang Islam pada saat itu mempunyai kecenderungan yang cukup

rajin untuk memahami berbagai ilmu pengetahuan, baik agama, tafsir, bahasa,

fiqih maupun ilmu-ilmu pemngetahuan lainnya,seperti; ilmu hitung, ilmu hukum,

ilmu falak, ilmu perbintangan, dan dalam cabang-cabang ilmu pengetahuan

lainnya.

Pada awal Islam, terutama pada masa sesudah dilakukannya penerjemahan

ke dalam bahasa Arab, sejak masa Khalifah al-Mansur (khalifah Abbasiyah yang

326Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3, 149-150.

327Ahmad. Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), 150.

328Al i Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1999), 95.

Page 135: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

122

ke II, antara tahun 745-775 M.) dan gerakan penterjemahan ini mencapai

puncaknya pada masa Khalifah al-Ma’mun (813-833 M.) yaitu pada waktu orang-

orang Islam telah mulai menterjemahkan buku-buku karya orang Yunani,Persi

dan India ke dalam bahasa mereka. Oleh karena itu para Khalifah menganggap

sangat penting terhadap usaha-usaha tersebut, maka didirikanlah sebuah lembaga

khusus yang berfungsi sebagai tempat untuk melakukan kegiatan penterjemahan

dan mempelajari berbagai ilmu.329

Al–Ma’mun, putra Harun al-Rasyid yang memerintah pada tahun 198-212

H./813-833 M.330 Ini terkenal bukan karena Ayahnya Harun al-Rasyid, melainkan

karena keintelektualannya dan kecintaanya terhadap ilmu pengetahuan serta jasa-

jasanya dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu pada tahun 209 H.

Atau bertepatan tahun 830 M. Ia mendirikan bait al h{ikmah, sebuah perpustaan

terbesar pada masa itu, yang sekaligus juga berfungsi sebagai akademi, tempat

melakukan penelitian dan balai penerjemahan.

Pada masanya penerjemahan literatur-literatur asing terhadap basaha Arab

dilakukan secara besar besaran dengan didukung oleh alokasi dana yang cukup

besar, yang disediakan oleh Khalifah. Diriwayatkan bahwa imbalan yang

diberikan kepada penterjemah adalah berupa emas seberat buku yang

diterjemahkan.331 Hal ini menunjukan betapa seriusnya al-ma’mun dalam

memajukan perkembangan ilmu pengetahuan.

Diantara penerjemah-penerjemah yang termashur pada masa itu antara lain

adalah:

1. Hunain Ibn Ishaq, seorang Kristen, yang pandai berbahasa Arab dan Yunani(ia pernah berkunjung ke Yunani), ia terjemahkan 20 buku karya Galen kedalam bahasa syiria dan 14 buku lainnya ke dalam bahasa Arab,dalamkegiatan ini Hunain dibantu oleh tidak kurang 90 orang pembantu danmuridnya untuk menyelesaikan pekerjaannya.

2. Anak Hunain yang bernama Ishaq (w. 910 M.)3. Sabit ibnu Qurra (825-901), seorang penyembah bintang

329Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1979), 19.

330Samsurizal Panggabean dalam Islamika no.5 tahun 1994, .8.

331Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Inter Masa, 2009), 102.

Page 136: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

123

4. Qusta ibnu Luqa, seorang Kristen5. Hubays, merupakan kemenakan dari Hunain6. Abu Bisr Matta Ibnu Yunus (w 939 M.)332

Dengan adanya penerjemahan ini, sebahagian besar dari karya-karya

Aristoteles, Plato,neoplatonisme dan sebahagian besar dari karya-karya Galen

dan karya-karya dalam ilmu pengetahuan Yunani dan ilmu kedokteran dapat

dibaca oleh para ilmuwan dan uylama Islam.karya-karya tentang filsafat banyak

menarik perhjatian kaum Mu’tazilah, sehingga mereka banyak dipengaruhi oleh

pemujaan daya akal yang terdapat dalam filsafat Yunani.

Abu Hudzail al-Allaf, Ibrahim al-Nazhzham, Bisr ibnu al-Mu’tamir dan

lain-lainnya banyak membaca buku filsafat. Dalam pembahasan mereka tentang

teologi Islam, daya akal atau logika yang mereka jumpai pada filsafat Yunani

banyak mereka pergunakan.sehingga tidak mengherankan kalau teologi kaum

Mu’tazilah ini mempunyai corak rasional dan liberal.

Dengan demikian, maka filsafat,kebudayaan dan sekolah Yunani seperti di

Antiokia (Antakya, Turki) sangat berpengaruh sekali di Baghdad. Karya-karya

sastra, karya ilmiah dan filsafat Yunani menjadi sangat berkembang. Sikap

keagamaan yang bebas dan rasional pun mengalami perkembangan yang

signifikan, sebagai mana aliran Mu’tazilah yang merupakan aliran teologi

rasional. Dua buah tempat penelitian (observatorium) juga dibangun oleh al-

Ma’mun, yang satu bertempat di Damaskus dan satunya lagi bertempat di

Baghdad dekat Bait al-H{ikmah.333

Bahkan kegiatan intelektual ini menurut Asma Hasan Fahmi, berjalan

terus diseluruh wilayah negara Islam sampai abad ke XII Masehi, hal ini sama

sekali tidak terpengaruh oleh kondisi keadaan negara, dengan kelemahan-

kelemahan yang terjadi dalam kerajaan Abbasiyah dan terpecah-pecahnya

kerajaan tersebut kedalam beberapa negara kecil yang kemudian berdiri sendiri.

332Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2006),4

333Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3, 1994), 150.

Page 137: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

124

Hal ini tidak lain, dimungkinkan oleh karena kebanyakan para sultan yang

ada selalu terus memacu, nmemberi motivasi, dorongang terhadap para ulama,

dan banyak para ulama dan para pelajar yang merantau dari satu negeri ke negeri

yang lain untuk berdiskusi, bertukar pikiran dan mengumpulkan berbagai macam

ilmu pengetahuan.334 Dari mulai filsafat, matematika, ilmu kedokteran, ilmu

astronomi, ilmu hitung dan lain sebagainya.

Sehingga pendidikan pada saat itu turut mengalami perkembangan yang

cukup baik pada masa tersebut, antara lain:

a. Kurikulum

Kurikulum pada masa Islam klasik sudah tentu tidak akan sama dengan

kurikulum pada masa sekarang ini, kurikulum pada masa itu tidak banyak

menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam satu jenjang waktu,

pengajaran hanya menyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh

siswa. Setelah materi tersebut selesai, maka siswa baru diperbolehkan

mempelajari mapa pelajaran yang lain, atau yang lebih tinggi tingkatannya,

misalnya pada tahap permulaan siswa diharuskan belajar menulis dan membaca,

setelah siswa tersebut bisa menulis dan membaca, berikutnya siswa baru

diperbolehkan untuk belajar berhitung dan seterusnya.

Hal tersebut lebih dikarenakan pada saat itu belum adanya koordinasi antar

lembaga pendidikan yang ada, atau oleh suatu organisasi atau pemerintah seperti

sekarang ini, kalau pun ada dalam kasus tertentu, penguasa turut ambil bagian

pada pendidikan di mesjid, namun pada pelaksanaannya proses belajar-

mengajarnya itu bergantung sepenuhnya kepada guru yang memberikan

pelajaran, sehingga antara guru yang satu dengan yang lainnya tidak ada

keterkaitannya dalam kelulusan siswa pada lembaga tersebut.

Tiap-tiap guru akan memberikan ujian sendiri terhadap siswa yang telah

selesai mengikuti pelajarannya, kemudian ia akan diberikan ijazah, oleh

karenanya, seorang siswa kemungkinan bisa memiliki banyak ijazah , baik dalam

satu bidang studi, maupun dari berbagai macam bidang studi lain.

334Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, 20.

Page 138: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

125

Menurut Ahmad Tafsir yang dimaksud kurikulum adalah sejumlah mata

pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa, lebih luas lagi kurikulum bukan hanya

sekedar rencana mata pelajaran, akan tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam

proses pendidikan di sekolah.335

Pada lembaga pendidikan saat ini, siswa dituntut untuk mempelajari

sejumlah bidang studi yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan. Disamping itu,

siswa juga diwajibkan untuk mengikuti serangkaian kegiatan sekolah yang dapat

memberikan pengalaman belajar.

Sedangkan kurikulum dalam lembaga pendidikan pada masa itu pada

mulanya hanya berkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring dengan

perkembangan sosial dan kultural, maka materi kurikulum pun semakin luas.

Mengidentifikasi kurikulum pada masa Nabi memang terasa sulit,

dikarenakan Nabi mengajar pada sekolah kehidupan yang luas tanpa dibatasi

dinding kelas, Nabi memanfaatkan berbagai kesempatan yang mengandung nilai-

nilai pendidikan untuk menyampaikan ajarannya.

Pendidikan Islam pada masa Rasulullah dimulai sejak Nabi Muhammad

SAW diutus menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah, sistem pendidikan ini lebih

bertumpu kepada Nabi, sebab pada saat itu hanya Nabi yang mempunyai otoritas

untuk menentukan materi-materi pendidikan Islam. Materi pengajaran yang

diberikan pada periode Mekah berkisar pada ayat-ayat makkiyah yang berjumlah

93 surat dan petunjuk-petunjuknya yang dikenal dengan sunnah dan hadis.

Sementara pendidikan pada masa Nabi di Madinah, materi pelajaran yang

diberikan berkisar pada belajar menulis, membaca al-Qur’an, keimanan, ibadah,

akhlak, dasar-dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan. Metoda yang

dikembangkan oleh Nabi dalam bidang keimanan adalah tanya jawab dengan

penghayatan yang mendalam dan didukung dengan bukti-buktiyang rasional dan

ilmiah (menurut kemampuan berpikir orang yang diajak berdialog). Untuk materi

ibadah biasanya disampaikan melalui metode demonstrasi dan peneladanan.

335Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam,(Bandung: Rosdakarya, 1992),53

Page 139: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

126

Sedangkan pada masa khulafa al Rasidin, untuk pendidikan dasar adalah

membaca dan menulis, membaca dan menghapal al-Qur’an, dan pokok-pokok

agama islam. Sementara untuk tingkat menengah dan tinggi terdiri dari al-Qur’an

dan tafsir, Hadis dan pengumpulannya, serta Fiqih,336 Filsafat dan ilmu duniawi

belum dikenal pada saat itu.

Pada masa kejayaan Islam materi pendidikan sudah mengalami

penambahan, hal ini terjadi karena Islam telah bersentuhan dengan budaya

masyarakat non Islam yang menyebabkan permasalahan sosial semakin kompleks,

problem tersebut akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan keagamaan dan

intelektual Islam, termasuk ilmu Hellenistik yang terjalin kontak dengan Islam.

Perkembangan kehidupan intelektual dan keagamaan membawa

perkembangan lain bagi kurikulum pendidikan pada saat itu, materi yang

diajarkan pun bertambah dengan ilmu-ilmu baru seperti tafsir, hadis, fikih, tata

bahasa, sastra, matematika, teologi, filsafat, astronomi dan kedokteran.

Pada masa kejayaan Islam, mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat

rendah adalah al-Qur’an dan agama, membaca, menulis dan syair. Sementara

dalam berbagai kasus ditambah dengan nahwu, cerita dan berenang. Sedangkan

untuk anak-anak amir dan penguasa, kurikulumnya sedikit berbeda. Di Istana

biasanya ditegaskan pentingnya khitabah, ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara

pergaulan di samping ilmu-ilmu pokok seperti al-Qur’an, syair dan fikih.337

Kurikulum yang diajarkan pada tingkat menengah meliputi; al-Qur’an,

Bahasa dan sastra arab, Fiqih, Tafsir, Hadis, nah{wu, ilmu-ilmu eksakta, mantiq,

falaq, sejarah, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran dan musik.338 Walau pun

kurikulum ini belum seragam di laksanakan di seluruh daerah.

Ada pun kurikulum pendidikan tinggi lebih menunjukan adanya

keberagaman, namun secara umum lembaga pendidikan tinggi ini mempunya dua

fakultas, pertama, fakultas ilmu agama dan sastra, yang mempelajari; tafsir, h{adis,

fiqih, nah{wu, balaghah, bahasa dan sastra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu

336Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya agung, 1979), 40

337Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam,(Jakarta: Pustala al-Husna, 1992), 118

338Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1979), 55-56

Page 140: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

127

H{ikmah (filsafat), mempelajari; mantiq, ilmu alam dan kimia, musik, ilmu

eksakta, ilmu ukur, falaq, ilmu teoligi, ilmu hewan, ilmu nabati dan kedokteran.339

Stanton berpendapat bahwa materi pelajaran yang di berikan pada lembaga

pendidikan tinggi ketika itu adalah sebagai berikut:

Ilmu-ilmu agama sangat mendominasi kurikulum lembaga pendidikantinggi formal, dan al-qur’an berada pada porosnya. Disiplin-disiplin yangperlu untuk memahami dan menjelaskan makna al-Quran tumbuh sebagaibagian inti dari pengajaran, yakni h{adis, lalu tafsir. Tantangan utamadalam mempelajari h {adis adalah keharusan menghafal secara literalratusan h{adis, dan membangun kemampuan untuk memilih h{adis yangtepat diantaranya dalam menjawab satu pertanyaan hukum. Sedangkantafsir –metode penafsir arti dan konteks literatur agama- sangat bergantungkepada keahlian seorang guru dan kemampuannya mengajarkan metode-metode penafsiran dan penjelasan bahasa al-Qur’an.340

Fiqih dalam sistem ini merupakan bagian dari kajian khusus dalam

mazh{ab tertentu, dimana ilmu-ilmu agama yang lain berfungsi sebagai prasyarat.

Sementara kurikulum pelajaran yang mencakup sains dan sastra muncul pada

waktu pemikiran-pemikiran Islam sudah mulai maju, kemerdekaan berfikir mulai

berkembang, bidang-bidang penelitian sudah semakin meluas, ilmu-ilmu

diberbagai bidang yang mencakup sains dan sastra sudah mulai bangkit, dan

semakin bertambah kegiatan ilmiah falsafi pada umat Islam.

’Athiyah, memberikan contoh, Abu Ishak al-Kindi, seorang filosof Islam,

telah mempelajari kedokteran, aljabar, Sya’ir, logika, filsafat dan musik pada

ketiga Hijriyah. Yang dilaksanakan pada lembaga informal di luar madrasah.

Dengan melihat kenyataan tersebut, maka pendidikan keagamaan dan

pendidikan sains pada saat itu dilaksanakan secara terpisah pada lembaga

pendidikan yang berbeda pula dan mungkin lahir dari paradigma yang ber beda

juga

b. Metode Pengajaran

Metode pengajaran merupakan salah satu aspek pengajaran yang penting

dalam mentransfer pengetahuan atau budaya dari seorang guru kepada muridnya.

339Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1979), 57-58340Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, (Jakarta: Logos, 1994), 53

Page 141: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

128

Metode pengajaran yang dipakai pada saat itu dapat dikelompokkan pada tiga

macam, lisan, hafalan dan tulisan. Metode lisan bisa saja berupa dikte, ceramah,

qira’ah, dan diskusi.

Dikte merupakan metode untuk menyampaikan pengetahuan yang

dianggap baik dan aman karena pelajar dapat memiliki catatan. Murid-murid

biasanya membuwat catatan pelajaran dengan menuliskan nama guru yang

menyampaikan pelajaran, tempat dan hari mereka menerima pelajaran. Ketika

pelajaran berlangsung, murid-murid duduk dilantai, memegang catatan ditangan

kiri dan lututnya dijadikan “bangku” untuk menulis dengan tempat tinta untuk

pena. Metode ini dianggap penting karena pada saat itu buku-buku cetakan seperti

sekarang ini sangat sulit sekali untuk dimiliki oleh para pelajar.

Sedangkan metode ceramah adaalah guru membacakan bukunya atau

menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya. Pada

saat-saat tertentu guru berhenti dan memberi kesempatan kepada murid untuk

mencatat dan bertanya.

Sementara metode qira’ah atau membaca biasanya digunakan untuk

pelajaran membaca, dan diskusi merupakan metoda yang khas dalam pendidikan

Islam pada masa itu. Di mana para ulama sering mengadakan majelis-majelis

diskusi dan perdebatan. Metode ini banyak dipergunakan dalam pengajaran ilmu-

ilmu yang bersifat filosofis dan fikih. Dimana murid-murid boleh bertanya

langsung kepada guru dan mereka tidak diizinkan untuk tinggal diam dan hanya

mendengarkan saja, murid-murid harus berpartisipasi aktif selama diskusi

berlangsung. Hal ini memungkinkan seorang guru untuk mengetahui secara

langsung kemampuan dan intelektual murid-muridnya.

Kedua metode menghafal, metode ini merupakan ciri umum dalam sistem

pendidikan Islam pada saat itu. Metode ini sangat ditekankan sekali untuk dapat

menghafal suatu pelajaran, murid harus membaca berulang-ulang sehingga

pelajaran dapat melekat di benak mereka. Selanjutnya akan mengeluarkannya

kembali atau mengkontekstualisasi pelajaran yang di hafalnya itu, sehingga dalam

diskusi atau perdebatan dia dapat merespon, mematahkan lawan atau

memunculkan sesuatu yang baru.

Page 142: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

129

Metode ini pun bisa bersifat pasif jika murid berhenti pada tataran

menghafal saja tanpa diikuti dengan pemahaman, kemampuan mengabstraksi atau

mengkontekstualisasi, sehingga ilmunya tidak berkembang.

Ketiga, metode tulisan, metode ini dianggap paling penting pada saat itu.

Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama, dimana biasanya guru

membacakan buku yang dia susun kepada murid-muridnya, dan muridnya

menuliskan kembali apa yang telah dibacakan oleh gurunya, sehingga setelah

selesai pelajaran mereka menyerahkan hasil tulisannya untuk mendapatkan

pengesahan dari gurunya, untuk menyatakan bahwa tulisan tersebut merupakan

hasil berguru kepadanya.

Metode ini dianggap sangat bermanfaat bagi proses penguasaan ilmu

pengetahuan, juga sangat besar artinya bagi pengadaan jumlah buku teks, karena

pada saat itu belum ada mesin cetak, sehingga untuk mendapatkan buku teks

dirasa sangat sulit, dengan adanya metode pengkopian buku-buku, kebutuhan

akan buku teks sedikit dapat teratasi.

c. Murid

Mempelajari kehidupan murid pada periode klasik dapat dibedakan antara

murid sekolah di tingkat dasar dan murid sekolah di tingkat tinggi, ciri utama

kehidupan murid di sekolah dasar adalah bahwa ia diharuskan belajar membaca

dan menulis. Bahan pengajaran yang diberikan biasanya berupa syair-syair, bukan

al-Qur’an karena jika memakai al-Qur’an dikhawatirkan mereka membuat

kesalahan-kesalahan yang akan dapat menodai kemuliaan al-Qur’an.

Belajar di sekolah tingkat dasar tidak ditentukan lamanya, melainkan

bergantung kepada seberapa besar kemampuan anak-anak untuk mengikuti/

menyerap pelajaran yang diberikan oleh guru-gurunya. Anak-anak yang

mempunyai kemampuan yang cukup serta rajin akan dapat dengan cepat

menyelesaikan pelajaran, sedangkan anak-anak yang kurang mampu dan agak

malas tentu akan lambat dalam penyelesaiannya.

Alasan mengapa batas waktu yang harus ditempuh murid-murid tidak

seragam, adalah karena guru-guru, bahkan lembaga-lembaga pendidikan yang ada

Page 143: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

130

pada saat itu tidak pernah memberikan penawaran yang khusus kepada murid

untuk dapat menyelesaikan pada waktu tertentu, dan murid-murid diberi

kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan kapan saja untuk dapat

menyelesaikannya.341

Murid-murid yang telah menyelesaikan sekolah tingkat dasar biasanya bisa

langsung memasuki sekolah lanjutan (tingkat tinggi) tanpa harus memasuki

sekolah lanjutan tingkat menengah terlebih dahulu. Namun tidak berarti setiap

anak harus menamatkan sekolah tingkat dasar terlebih dahulu agar dapat

mengikuti sekolah tingkat tinggi. Kadang-kadang mereka juga diperbolehkan

untuk mengikuti sekolah tingkat tinggi tanpa harus menunggu mereka

menyelesaikan sekolah di tingkat dasar.

d. Guru

Di antara ciri khas pendidikan Islam pada periode klasik adalah teacher

oriented, pendidikan yang berpusat kepada guru, bukan institution oriented. Jadi

kualitas pendidikan pada saat itu bergantung kepada guru, bukan kepada lembaga.

Oleh karena itu, murid-murid bebas untuk memilih mengikuti pelajaran yang

mereka kehendaki, dan mereka tidak mesti belajar di tempat tertentu saja.

Hubungan guru dan murid pada pendidikan tingkat dasar layaknya seperti

hubungan antara orang tua dengan anaknya. Guru akan mengajar anak didiknya

dengan rendah hati, jika guru menemui anak didiknya berbuat salah, maka guru

akan menegurnya dengan lemah lembut tidak dengan kasar. Tetapi, jika guru

sudah tidak mampu menguasai keadaan, maka ia pun dengan terpaksa akan

melakukannya.342

Di samping guru memperhatikan tingkah laku anak didiknya, guru juga

memperhatikan kemampuan anak-anak didiknya dalam belajar, dengan

341Muniruddin Ahmed, Islam Education and the Scholar’s Social Status uptothe 5thCentury Muslim Era (11 th Century Christian Era) in the Light of Tarikh Bagdad(Verlag: DerIslam Zurich,1968), 147.

342 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kalimah,1999), 82

Page 144: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

131

memperhatikan kemampuan muridnya, maka guru akan mudah memberikan

petunjuk kepada muridnya tentang pelajaran apa yang cocok untuk muridnya.

Guru juga akan mengukur kecerdasan anak didiknya dengan cara; guru

pertama memberikan pelajaran kepada si anak, kemudian guru akan mengambil

kesimpulan tentang kecerdasan si anak terhadap materi pelajaran yang sudah

disampaikannya, atau guru mengukur kekuatan hapalan murid untuk mengetahui

apakah ia suka menghapal atau suka berpikir penalaran.

Tentang gaji, biasanya guru meminta gaji dari murid-muridnya, jumlah

gaji terserah kepada anak didiknya, dan bergantung kepada kemampuan orang tua

si murid itu sendiri. Pada umumnya, gaji yang diperoleh guru dapat di bagi

kedalam dua macam, yaitu gaji yang berhubungan dengan waktu dan gaji yang

berhubungan dengan pelajran yang di dapat oleh si anak tersebut.

Bentuk gaji yang pertama dibayarkan oleh semua murid, yaitu berupa

sejumlah kecil uang yang dibayarkan setiap minggu atau setiap bulan ditambah

dengan makanan yang diberikan setiap minggu. Kadang- kadang pembayaran ini

dilakukan pada musim tertentu.

Dalam keadaan tertentu pula diberikan sejumlah gandum atau jagung

sebagai ganti pembayaran uang yang bisa dibayarkan oleh si murid setelah mereka

menghapalkan suatu surat tertentu. Bahkan, jika mereka selesai menghapal

seluruh al-Qur’an, sebagai ungkapan kebahagiaan, mereka akan memberikan

bahan-bahan pakaian, uang dan lainsebagainya, sesuai dengan kemampuan

keluargasimurid.

3. Menjadikan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara.

Aliran Mu’tazilah yang dimotori pertama kali oleh Washil bin ’Atha (80-

131 H./700-749 M.) Dan muridnya, yang bernama ’Amru bin Ubaid ( 80-144

H./700-762 M.), setelah lebih kurang 150 tahun (100-250 H.), akhirnya

Page 145: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

132

mendapatkan tempat khusus bagi penyebaran dan perkembangannya setelah

mereka benar-benar mendalami filsafat Yunani yang beraliran rasional.343

Mu’tazilah ini adalah nama yang diberikan oleh lawan-lawannya, mereka

sendiri menamakannya adalah Ahl al Tauh{id wa’al ’adl. hal ini dikarenakan oleh

bebera sebab diantaranya; pertama, karena Washil ibn ’Atha sendiri sebagai

pendiri aliran ini berbeda pendapat dengan gurunya, yaitu Hasan Basri dalam

masalah qadar dan orang yang berdosa besar, kedua, karena orang-orang

mu’tazilah menyalahi pendapat sebagian besar umat Islam, yaitu bahwa orang

yang melakukan dosa besar tidak mu’min dan tidak pula kafir. Dan yang ketiga,

karena mereka tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi zaman

Usman bin Affan dan zaman Ali bin Abi Thalib.344

Sedangkan menurut Ahmad ibn al Murthadha,(wafat 850 M.), dalam

bukunya al munayatu wa’l-Amal, mengatakan bahwa, yang memberi nama

mu’tazilah adalah aliran mu’tazilah itu sendiri, dengan interpretasi bahwa mereka

menyingkir dan menjauhi dari hal-hal yang bid’ah,karena mereka tidak menyalahi

ijma’, bahkan memakai apa yang telah di ijmakan pada masa pertama Islam.345

Mu’tazilah yang dikembangkan dan disosialisasikan oleh generasi pasca

Washil bin ’Atho atau angkatan ke dua antara lain ; Abu al-Huzail al- ’Allaf (135-

235 H.) yang digelari filosof Mu’tazilah pertama,346 telah mendapat tempat yang

khusus pada Dinasti abbasiyah,al-Ma’mun mengakui bahwa aliran mu’tazilah

sebagai mazhab resmi Negara pada tahun 212 H.adalah dalam rangka untuk

mengembangkan tradisi intelektual, baik keagamaan mau pun ilmu-ilmu umum.

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa al-Ma’mun mengembangkan

faham Mu’tazilah , aliran theologi rasional ini terjadi karena kebijaksanaannya

untuk menyerap ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani. Walau pun pada

343Untuk lebih lengkapnya, lihat Muhammad bin Abdul Karim , Muslim Sects andDivisions. The Section on Muslim Sects in Kitab al-Milal wan Nih{al, terj. Karsidi Diningrat, Sekte-sekte Islam (Bandung: Pustaka, 1996), 58.

344Khaerdji Abdul Chalik, Ilmu Kalam (Jakarta: Diadit Media, 2007), 60.

345A.Hanafi, Pengantar Theologi Islam (Jakarta: Jayamurni, 1973), 70.

346A. Azhar Basyir, Refleksi atas persoalan KeIslaman (Bandung: Mizan, 1996), 30.

Page 146: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

133

masa itu terdapat banyak ulama dari syi’ah, Khawarij dan Suni, serta berbagai

macam diskusi-diskusi yang didominasi oleh kaum Mu’tazilah. Kesederhanaan

ajaran Islam yang berpangkal kepada kesalehan, membuka peluang munculnya

berbagai macam bid’ah. Inilah yang diatasi oleh kaum Mu’tazilah. Akhirnya al-

Ma’mun menjadikan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara.347 Meskipun

akhirnya nanti menjadi bumerang bagi pemerintahan al-Ma’mun itu sendiri.

Keberpihakan al-Ma’mun terhadap paham Mu’tazilah ini nampaknya

tidak bisa dipisahkan dari kecintaanya dan kehausannya akan ilmu pengetahuan

yang rasional. Kecintaanya terhadap filsafat mendorongnya untuk lebih memilih

menyetujui paham Mu’tazilah dari pada paham yang lain.

Pada awalnya memang ilmu-ilmu ”non agama” atau ”keduniaan”

mendapat tempat tersendiri pada masa pemerintahannya. Meskipun pada dasarnya

Islam tidak pernah membeda-bedakan antara nilai ilmu-ilmu agama dan ilmu-

ilmu non agama (ilmu umum), akan tetapi pada praktiknya, supremasi lebih

diberikan kepada ilmu-ilmu agama. Hal ini disebabkan karena sikap keagamaan

dan kesalehan yang memandang ilmu-ilmu agama sebagai jalan”tol”menuju

tuhan.348

Sebelum kehancuran aliran theologi Mu’tazilah pada masa khalifah

Abbasiyah, al-Ma’mun ( 198-218 H./813-833 M.), mempelajari ilmu-ilmu umum

– yang bertitik tolak dari nalar dan kajian-kajian empiris - bukan sesuatu hal yang

tidak ada dalam kurikulum pendidikan (Madrasah), tetapi dengan ”pemakruhan” –

untuk tidak mengatakan ”pengharaman” – penggunaan nalar setelah runtuhnya

Mu’tazilah, ilmu-ilmu umum yang sangat di curigai itu dihapuska dari kurikulum

pendidikan (Madrasah), mereka yang cenderung dan masih berminat kepada ilmu-

ilmu umum tersebut, terpaksa mempelajarinya dengan secara sendiri-sendiri.

Atau bahkan ”di bawah tanah”, karena mereka dipandang sebagai ilmu- ilmu

347Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: Intermasa, 1994),151.

348Azyumardi Azra dalam Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta:Logos, 1994), vii

Page 147: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

134

”subversif” yang dapat dan akan menggugat kemapanan doktrin Suni, terutama

pada masalah kalam dan fiqh.349

4. Pembentukan lembaga Mih{nah

Lembaga Mih{nah yang dibangun oleh al-Ma’mun pada tahun 212 H./827

M. Ini dalam rangka untuk melanggengkan salah satu paham keagamaan yang ada

yaitu Mu’tazilah, - meminjam istilah yang digunakan oleh Sanggurizal

Panggabean – adalah untuk melegitimasi dan otoritas kekhalifahan.

Pemilihan dan penetapan atas aliran ini dikarenakan pandangan Mu’tazilah

sesuai dengan kepentingan politik al-Makmun dan kepentingan-khalifah pada

umumnya untuk menjadikan institusi khalifah sebagai pemegang monopoli

penafsiran doktri-doktrin keagamaan dan otoritas keagamaan selain politik. Dalam

rangka itulah muncul - lembaga

”Mih{nah al-Qur’an sebagai makhluk.350

Pada awalnya al-Ma’mun tidak menjelaskan pendiriannya secara terbuka,

karena ia merasa khawatir akan terjadinya perbedaan pendapat dengan para ulama

yang ada pada saat itu yang umumnya beraliran suni. Barulah pada tahun 212

H./827 M. Al-Ma’mun mengumumkan pendiriannya yang cenderung memilih

kepada aliran Mu’tazilah, akan tetapi pada saat itu baru terbatas dikalangan istana

saja.

Tokoh utama Mu’tazilah pada waktu itu adlah Ahmad bin Abi Dawud dan

Sumamah bin al-Asyras, mendorong al-Ma’mun untuk mengumumkannya kepada

umat Islam secara resmi. Namun demikian, ia masih dicegah oleh Hakim agung,

yang waktu itu dijabat oleh yahya bin Aksum, dia menyarankan agar khalifah

tidak condong kepada salah satu pihak. Barulah setelah Yahya bin aksum wafat

dan digantikan oleh Ahmad bin Abi Dawud, al-Ma’mun mengumumkan

pendiriannya secara resmi.351

349Azyumardi Azra dalam Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, vii

350Samsurizal Pangabean dalam Islamika no.5 tahun 1994, 9

351Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3, 151.

Page 148: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

135

Al-Muluk352 atau inquisisi – diberlakukan oleh khalifah Abbasiyah antara

tahun 833 dan 848 M.353 - pertama kali diberlakukan pada masa khalifah al-

Ma’mun dikalangan para pejabat kehakiman, kemudian para ulama dan para

gubernur, akan tetapi pemuka agama lainnya tidak diganggu. Isi al-Muluk itu

menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bukan kalam Allah. Kalau al-

qur’an itu kalam Allah, itur berarti menunjukan bahwa al-Qur’an itu kadim.

Sedangka ia diciptakan, dan yang kadim hanyalah Allah, siapa yang tidak

menerima atau menolak keyakinan resmi itu, maka ia akan dipecat dari

jabatannya.

Al-Muluk yang diberlakukan al-Ma’mun sangat membahayakan posisi

Mu’tazilah itu sendiri di kemudian hari. Paham Mu’tazilah dalam kenyataanya

banyak dianut oleh kelompok elit intelektual yang banyak melakukan studi

filsafat, yang sulit diterima oleh masyarakat awam dan kelompok tradisional (ahli

hadits), mayoritas dari kalangan mereka (ahlu hadits) berpandangan sebaliknya

dari apa yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan pemerintah, kelak pemikiran

theologi, matematika,kimia kedokteran dan Astronomi merupakan bagian dari

kajian-kajian filsafat.oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila

perkembangan ilmu pengetahuan pada masa dinasti abbasiyah itu tidak bisa

dilepaskan dari peran para filosof.354

Dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan

melakukan al-Muluk, maka terjadilah konflik-konmflik intrn agama yang dialami

al-Ma’mun hingga masa pemerintahan al-Mutawakil (847-861 M.) yang berujung

kepada pembatalan aliran ini sebagai aliran resmi negara.dan golongan salaf bisa

352Secara fenomenologi,Mihna dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam telah terjadisebelum masa al-Ma'mun. jahm Ibn Sofwan dihukum mati karena ia membawa paham sendiri,Ma'bad al-Juhani dihukum mati karena melahirkan paham Qadariyah pada masa khalifah abdulMalik ibn Marwan pada tahun 80 Hijriyah, ghaylan al-Dimasyqi juga dihukum mati oleh Hisyamibn Abdul Malik pada tahun 105 H. lihat, anmad amin, Duha al-Islam (Kairo: al- Nahdah al-Misriyah),162 dan Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),14.

353John, L. Esposito, The Oxford History of Islam (Inggris: Oxford University Press,1999), 27.

354John, L. Esposito, The Oxford History of Islam, 27.

Page 149: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

136

kembali naik daun.355 Meskipun pada akhirnya pembatalan itu – hanya sesaat –

kemudian aliran Mu’tazilah pada Dinasti Buwaih bangkit kembali.

Demikianlah kejadian Al-Muluk ini yang dalam catatan sejarah disebut

sebagai ”noktah Hitam” dalam perjalanan kekhalifahan al-Ma’mun, yang

sebenarnya telah banyak berperan aktif dalam membangun budaya ”kebebasan”

dan menunjukan perkembangan ilmu pengetahuan dan ”keagamaa” yang

mendapat rekor tertinggi sebagai khalifah Abbasiyah yang paling berperan dalam

mengantarkan dinasti ini kepuncak peradaban Islam.

5. Menciptakan perdamaian dikalangan keluarga Bani Hasyim.

Sikap kebesaran al-Ma’mun tercermin dalam kebijaksanaannya turut

berusaha mendamaikan keluarganya yang sedang bertikai dan berperang satu

sama lain.meskipun, dari peperangan-peperangan yang dialami semenjak awal

pemerintahan hingga ia naik tahta, dapatlah dipatahkan. Sebagai mana dikatakan

oleh Syed Mahmudnasir, bahwa setelah perang saudara berakhir dengan

kemenangan al-Ma’mun, kemudian ia naik tahta di Baghdad,356 Ia kemudian

tidak lantas arogan, melainkan memberikan kebebasan kepada para pendukung al-

Amin termasuk keluarganya.

Hal ini terlihat juga ketika al-Ma’mun memberikan kelonggaran gerak

kepada pihak Syiah, yang walau pun Dinasti Abbasiyah beraliran Suni dan

kemudian menetapkan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara. Pada

tahun 201 H./817 M. Adalah merupakan tahun dimana terjadi titik balik yang

sangat mendasar bagi perjalanan pemikiran al-Ma’mun.

Khaliafh al-Ma’mun mengutus tokoh-tokoh syiah untuk pergi ke Madinah

untuk mengundang Ali ar-Ridha, keturunan Ali bin Abi Thalib, saudara sepupu

sekaligus menantu Rasulullah. Kedatangan ar Ridha di Khurasan disambut dengan

penghormatan, kemudian al-ma’mun mengawinkan ar-Ridha dengan putrinya

yang bernama Ummu al-Fazl. Secara tak terduga, ia juga mengangkat ar-Ridha

355Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 84.

356Shaykh Mahmudunasir, Islam (Bandung: Rosdakarya, 1994), iv.

Page 150: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

137

untuk menjadi khalifah penggantinya setelah ia meninggal. Lalu hal itu

diumumkan kewilayah-wilayah Islam pada waktu itu. 357

Sebagai tanda kesungguhannya, ia rela menukar lambang resmi Abbasiyah

yang berwarna hitam dengan warna hijau (lambang keluarga alawiyyin), baik

pada pakaian resmi seperti jubah dan sorban maupun pada panji-panji yang ada,

bendera dan tanda-tanda lainnya yang ada dalam kedaulatan abbasiyah yang suni

kepada keluarga Alawiyyin yang syiah secara suka rela dan damai. Namun Ali ar

ridha meninggal sebelum al-Ma’mun wafat, dengan demikian pergeseran

kekuasaan itu tidak terjadi.358 Dan tetap jatuh ketangan al-Mu’tasim sebagai mana

yang ditetapka oleh Ayahnya Harun al-Rasyid.

Dari uraian terakhir tentang kebijakan tersebut di atas, maka dapat diambil

sebuah kesimpulan bahwa kekhalifahan al-ma’mun yang memerintah selama 20

tahun tersebut bisa dikatagorikan kepada dua bagian; pertama, dalam

kehausannya, alma’mun akan ilmu pengetahuan mendorong dirinya untuk selalu

menyibukan diri dengan mempelajari kebudayaan dan membahas filsafat di Merv,

dengan menyerahkan (mempercayakan) tugas kepemerintahannya kepada Fazhl

bin Sahl. Kedua, kemudian selama 14 tahun masa pemerintahannya, al-Ma’mun

memegang sendiri kendali pemerintahan tersebut.359

Dengan demikian, secara keseluruhan dari kebijakan-kebijakan yang

diterapkan oleh para khalifah Dinasti Abbasiyah dari awal hingga akhir (termasuk

al-Ma’mun di dalamnya) menerapkan kebijakan sebagai berikut :

a. Para khalifah tetap keturunan Arab, tetapi para pembantunya (mentri-wajir),

gubernur, Panglima dan pegawai diangkat dari bangsa Persia.360

b. Kota Baghdad sebagai ibu kota, dijadikan kota Internasional untuk segala

kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya, sehingga timbul akulturasi dari

357Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3, 150.358Shaykh Mahmudunasir, Islam (Bandung: Rosdakarya, 1994), iv359Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,

1979), 20.360Inilah fase pertama dari kemajuan ilmu pengetahuan yang juga disebut periode

pengaruh Persia pertama dari 132 – 232 H./750 – 874 M. Lihat, Corl Brockeleman, History ofIslamic People (London, 1982.)

Page 151: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

138

berbagai budaya, dari mulai bangsa Arab, Persia, Romawi, Hindi, Zindi,

Barbar dan lain sebagainya.

c. Ilmu pemngetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat mulia dan

berharga, sehingga setiap khalifah selalu membuka kesempatan untuk terus

mengembangkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya.

d. Rakyat diberikan kebebasan berpikir dan memperoleh hak asasinya dalam

segala bidang, seperti dalam akidah, ibadah, filsafat, dan ilmu

pengetahuannya.

e. Para menteri dari keturunan Persia diberikan hak penuh untuk menjalankan

pemerintahannya, sehingga mereka dapat memegang peranan penting dalam

memajukan kebudayaan Islam.

f. Daulat Abbasiyah, berkat usahanya yang dilakukan secara sungguh-sungguh

oleh para khalifahnya dapat membangu perekonomiannya dengan labih baik.

Mereka memiliki perbendaharaan yang berlimpah-limpah disebabkan karena

penghematan dalam pengeluarannya.

g. Dari segi sosial, yang meliputi susunan masyarakat keluarga,kehidupan

pribadi dan sebagainya, disusun sebagai berikut; masyarakat dibagi atas dua

kelompok, yaitu; kelompok khusus dan kelompok umum, kelompok umum

terdiri dari para seniman, para ulama, para fuqaha, para pujangga, saudagar,

pengusaha, kaum buruh,dan para petani. Sedangkan kelompok khusus terdiri

dari khalifah, pembesar negara, bangsawan dan petugas-petugas negara.

Sementara struktur pemerintahan pada masa al-ma’mun tidak jauh berbeda

dengan struktur pemerintahan sebelumnya. Struktur pemetintahan sebagaimana

yang dijelaskan oleh J.S. Pulungan,361 terdiri dari al-khilafat, al-wizarat, al-

kitabat dan al-h{ijabat. Lembaga-lembaga ini dijabat oleh orang-orang pilihan,

seperti, khilafat di jabat oleh seorang khalifah sebagaimana telah diuraikan di atas,

dan suksesi khalifah berjalan secara turun temurun di lingkungan keluarga Daulat

abbasiyah.362

361J.S. Pulungan, Fiqh Siya>sah (Jakarta:Raya Grafindo, 1994), 173-175

362J.S. Pulungan, Fiqh Siya>sah, 173.

Page 152: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

139

Lembaga al-wizarat (Kementrian) dipimpin oleh seorang wazir, seperti

menteri zaman sekarang. Lembaga dan jabatan ini baru ada dalam sejarah

pemerintahan Islam yang diciptakan oleh khalifah Abu Ja’far al-Mansyur. Wazir

adalah pembantu dan sekaligus penasihat utama khalifah, yang dalam tugasnya

sekaligus dapat mewakili khalifah dalam melaksanakan tugas-tugas

kepemerintahan, mengangkat dan memberhentikan pejabat negara atas

persetujuan khalifah.363

Sedangkan lembaga al-kitabat, adalah sebuah lembaga yang terdiri dari

beberapa katib (sekretaris), mungkin mirip dengan sekretariat negara. Yang terdiri

dari katib al-rasail, katib al-kharaj, katib al-jund, katib al-syurt{at dan katib al-

qad{i. Ada pun lembaga lainnya adalah al-Niz{am al-maz{alim, yaitu lembaga yang

bertugas memberikan penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan ketertiban

hukum, baik dilingkungan pemerintahan mau pun dilingkungan masyarakat. Dan

memutuskan perkara-perkara bagi yang sedang berperkara.364

C. Lembaga Pendidikan pada masa al-Ma’mun.

Sejak kekuasaan Islam beralih dari Dinasti ummayah ketangan Dinasti

abbasiyah, maka banyak terjadi perubahan –perubahan yang sifatnya mendasar.

Perubahan itu diawali dengan dinamika politik yang semakin terbuka dan

toleransi terhadap pluralitas budaya (kemajemukan), khususnya tentang budaya

”Arab” an sich berubah menjadi budaya Arab-Yunani-Persia. Kenyataan ini

dimulai sejak masa pemerintahan Harun al- Rasyid, khalifah ke 5 sampai khalifah

ke 7, yaitu al-Ma’mun bin Harun al-Rasyid.

Perubahan tradisi budaya arab ke budaya ”Asing” ini berimbas pula

kepada corak pendidikan dan ilmu pengetahuan. Ketika pada masa Dinasti

ummayah, corak pendidikan dan ilmu pengetahuan berorientasi kepada teks-teks

keagamaan, yaitu; ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu bahasa, (nahwu dan sharaf) serta

ilmu-ilmu naqliyah lainnya. Meskipun,ilmu-ilmu yang berorientasi kepada

pengembangan logika (filsafat) sudah ada namun tidak sampai mempengaruhinya.

363J.S. Pulungan, Fiqh Siya>sah, 174.

364J.S. Pulungan, Fiqh Siya>sah,175.

Page 153: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

140

Namun demikian, setelah Dinasti abbasiyah memimpin, pendidikan dan

ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian yang cukup, khususnya oleh kedua

khalifah ini ( Harun al-Rasyid dan al-ma’mun bin al-Rasyid). Menunjukan masa

keemasannya. Pengaruh ilmu-ilmu Yunani dan Persia sangat menonjol sekali,

terutama logika filsafatnya sehingga secara keseluruhan baik ilmu-ilmu agama

mau pun ilmu-ilmu umum mendapat tempat di masa ini.

Hal ini dikarenakan para wajir dan pembantu-pembantu khalifah banyak

berasal dari orang-orang Persia (keluarga Barmak) yang mendapat tempat yang

layak dan dukungan yang besar dari khalifah. Mereka bahu membahu untuk

mentransformasikan budaya Helenisme Persia ke dalam budaya Arab.

Kontak intelektual dengan helenoisme membawa pengaruh yang sangat

dalam bagi perkembangan kemajuan peradaban Islam,khususnya di bidang

pemikiran,yang akibatnya perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan

menuai puncaknya dengan banyak melahirkan tokoh-tokoh kaliber dunia, dalam

bidangnya masing-masing.

Dalam bidang ilmu filsafat muncul nama, al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi,

Ibnu Sina dan al-Ghazali. Selain ahli filsafat, nama ar-Razi dan Ibnu sina juga

dikenal sebagai dokter. Di bidang ilmu pengetahuan, terkenal nama-nama al-

Khawarizmi, Ibnu al-Haitam, Jabir bin Hayyan, al-Biruni, at-Tabari, al-Farghani

dan al-Fazari.365

Sementara itu, dibidang ilmu-ilmu keislaman juga berkembang pesat,

dalam bidang hadits tercatat nama-nama seperti Bukhori dan Muslim, dalam

bidang hukum Islam ada nama-nama Malik bin Anas, Idris asy-Syafi’i, AbuHanifah dan Ahmad bin Hanbal, dalam bidang ilmu tafsir ada nama at-Tabari,d

alam bidang ilmu kalam ada nama-nama Washil bin Atha, abu al-Huzail, Abu

Hasan al-asy’ari, dan al-Maturidi, sedangkan dalam ilmu tasawuf muncul nama-

nama Rabi’ah al-Adawiyah, Zunnun al-Mishri, Abu Yazid al-Bustami dan Husen

bin Mansur al-Hallaj,366 dan yang lainnya.

365Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Inter Masa, 2009), 104.

366Nama –nama tokoh penting dalam sejarah Islam, baik dalam lapangan Politik,keilmuan, seni mau pun lainnya diabadikan dalam kitab seperti; t{abaqat<<<<<<<<<<<<<<< <~ al kubra, karya ibnuSa’ad, dan Wafayat al A’yan wa anba abna az-Zaman, karya Ibnu Khalikan.

Page 154: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

141

Pada masa Khalifah al-Ma’mun ( 198-218H./813-833 M.) berkuasa ilmu

pengetahuan dan peradaban Islam menuai puncak kejayaannya. Hal itu

disebabkan karena pada masa itu tradisi terhadap adu pendapat sangat digalakan

terutama di istana, sehingga mereka mengenal segala macam soal; logika,

gramatika dan lain sebagainya itu merupakan hal yang terbiasa. Bahkan dalam

adu pendapat tersebut terdapat sikap toleransi yang besar dalam perbedaan

pendapat dan pandangan.367

Kondisi seperti ini telah membawa pendidikan Islam mencapai puncak

keemasannya. Begitu pula dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam formal,

seperti madrasah-madrasah dan universitas-universitas berkembang dengan pesat.

Demikian pula halnya dengan kemampuan intelektual umat Islam.

Perekembangan kemampuan intelektual tersebut dikarenakan umat Islam mampu

menyerap dan memamfaatkan perkembangan ilmu mantik dan filsafat.368

Tradisi keilmuan, intelektualitas dan penelitian pada saat itu semakin

bertambah semarak, sejak dibangunnya laboraturium perbintangan oleh al-

Ma’mun, dan pada tahun 828 M. Al-Ma’mun mengangkat seorang ahli

matematika yang cukup brilian, yaitu al- Khawarizmi (w.249 H./863 M.) untuk

mengarahkan studi dan penelitiannya di laboratorium tersebut. Setelah abad ke 10,

observatori-observatori mendapat dukungan dari para penguasa yang membangun

lembaga-lembaga itu untuk penjelajahan dunia ngkasa yang lebih jauh, sebagai

media untuk menentukan hari-hari yang paling baik yang menguntungkan dan

merugikan bagi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan politik tertentu.369

1. Kontribusi al-Ma’mun terhadap lembaga-lembaga pendidikan.

Banyak para ahli sejarah yang berbada pendapat mengenai klasifikasi

lembaga pendidikan pada masa tersebut, Charles Michael Stanton, membagi

lembaga pendidikan pada masa klasik kepada dua macam yaitu lembaga

367Muhaimin, dkk. Dalam Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman (Cirebon: Dinamika,1999), 70.

368Muhaimin, dkk. Dalam Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, 71

369Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, 171-172.

Page 155: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

142

pendidikan formal dan informal.370 Kriteria yang di gunakan oleh Stanton untuk

membedakan kedua lembaga tersebut adalah hubungan lembaga pendidikan

dengan negara yang berbentuk theokrasi.

Lembaga pendidikan formal adalah lembaga yang didirikan oleh negara

untuk mempersiapkan pemuda-pemuda Islam agar menguasai pengetahuan agama

dan berperan dalam agama, atau menjadi tenaga birokrasi, atau pegawai

pemerintahan.pengelolaan administrasi lembaga ini berada ditangan penguasa,

sedangkan lembaga informal tidak dikelola oleh negara.

George Makdisi membagi lembaga pendidikan ini kepada dua tipe yaitu

lembaga pendidikan yang exklusif (tertutup) terhadap pengetahuan umum, dan

lembaga pendidikan yang inklusif (terbuka) terhadap pengetahuan umum.371

Ada pun kontribusi al-Ma’mun terhadap perkembangan lembaga-lembaga

pendidikan pada masanya dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

a. Perpustakaan.

Perhatian Islam terhadap pendidikan dan kemuliaan buku sebagai media

pengetahuan berada dibelakang tumbuhnya perpustakaan dalam peradaban Islam.

Dalam Islam, buku tidak hanya diperlakukan semata-mata sebagai sebuah media,

buku bahkan mempunyai nilai-nilai moral tersendiri yang turut melandasi

terhadap pemberian perhatian besar yang diberikan kepadanya. Perhatian ini

misalnya dalam bentuk keharusan untuk menyebarluaskan dan pemeliharaan buku

sebagai bagian dari kegiatan mendukung ilmu pengetahuandan pendidikan.

Di sisi lain, tumbuhnya perpustakaan berkaitan erat dengan

diperkenalkannya teknologi pembuatan kertas pada dunia Islam. Dengan adanya

teknologi pembuatan kertas dapat mempermudah pekerjaan, menurunkan biaya,

dan mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi buku.

Pada gilirannya hal ini akan memotivasi para ilmuwan dan para peneliti

untuk menuliskan hasilkaryanya, sehingga pada akhirnya akan mendorong

370Charles Miichael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, 122

371George Makdisi, “Typology of Institutions of Learning” dalam An Anthology Studiesoleh Issa J. Baullata (Monterial: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992), 16

Page 156: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

143

ledakan jumlah buku yang beredar. Jadi, upaya pemasyarakatan pendidikan dan

ilmu pengetahuan atau dalam bahasa Pinto, ”Demokrasi pengetahuan” merupakan

landasan lain tumbuhnya lembaga perpustakaan dalam Islam dalam skala besar-

besaran.372

Istilah perpustakaan itu sendiri menurut George Makdisi, mempunyai

enam peristilahan yang digunakan secara terpadu untuk menggambarkan sebuah

perpustakaan. Tiga syarat pertama yaitu berupa bayt (kamar atau ruangan),

Khizanah (lemari) dan daar(rumah; dan tiga syrat kedua adalah berupa hikmah

(kebijakan) ’ilmu (ilmu pengetahuan) dan kuttub (buku-buku) jadi, kata-kata dan

konsep ini berpadu sehingga membentuk satu tujuan istilah yang menggambarkan

perpiustakaan; seperti bayt al-H{ikmah, Khizanah al-h{ikmah ,Da>r al-h{ikmah, Da>r

al-ilmu ,Da>r al-kutub, Bayt al-Kutub dan Khizanah al-ilmiyah. Bisa ditambahkan

pula dua istilah lain yaitu Bayt al-ilmu dan khizanah al-ilmiyah. Pada

kenyataannya kombinasi kesemuanya ini telah digunakan dan seiring iastilah-

istilah ini dapat dipertukarkan.373

Perpustakaan berkembang luas pada masa dinasti Abbasiyah, baik

perpustakaan umum mau pun perpustakaan pribadi. Faktor yang menyebabkan

berkembangnya perpustakaan antara lain adalah meluasnya penggunaan bahan

kertas untuk menyalin kitab-kitab, bermunculannya para penyalin kitab, dan

berkembangnya para h{alaqah para sastrawan dan ulama.di samping itu

penghargaan terhapad ilmu pengetahuan mendorong kaum muslimin un tuk

membeli kitab-kitab dari berbagai negeri.374 Dengan demikian perpustakaan

menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan yang amat penting pada saat itu.

Perpustakaan umum biasanya berpusat di kota-kota besar atau ibu kota,

kadang-kadang mempunyai bangunan tersendiri dan kadang-kadang pul;a

berdampingan dengan bangunan masjid, sekolah, rumah sakit atau ribath. Para

372Olga Pinto, The Liberaries of the Arabs During the Time of the Abbaside (IslamicCulture 3, tahun 1929), 213-214.

373George makdisi, The Rise of colleges: Institutions of Learning in Islam and the west(Endinburgh : University Press, 1982), 24-25.

374Hery Noer Aly, ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 220.

Page 157: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

144

petugasnya terdiri atas para ulama, penyalin kitab, penjilid buku, penerjemah dan

orang-orang yang melayani para pecinta ilmu. Perpustakaan ini terbuka bagi para

pecinta ilmu.

Perpustakaan juga mempunyai peranan yang cukup penting sebagai

transmisi pengetahuan. Penguasa-penguasa telah mendirikan banyak perpustakaan

baik itu perpustakaan umum mau pun perputakaan pribadi dilingkungan istana

mereka masing-masing. Demikian pula dengan orang-orang kaya, mereka juga

banyak yang mendirikan perputakaan pribadi. Di setiap perpustakaan telah banyak

disimpan beribu-ribu buku dan dilengkapi dengan ruangan khusus untuk

menyelenggarakan h{alaqah-h{alaqah.

Perpustakaan dan pusat pendidikan tinggi yang paling terkenal di Baghdad

selama masa kepemimpinan al-Ma’mun (813-833 M.) adalah Bait al-h{ikmah.

Lembaga ini menggabungkan perpuistakaan,sanggar sastra,lingkaran studi dan

observatorium sekaligus, yang kesemuanya itu beraada di bawah pengawasan

khalifah al-Ma’mun.

Lembaga ini mencapai puncaknya di bawah al-Ma’mun dan

kekhalifahannya .375 Hal ini diawali ketika al-Ma’mun mengirimkan sekolompok

utusannya,-termasuk didalamnya adalah staf perpustakaan bait al-hikmah – ke

daerah-daerah kekuasaan Bizantium untuk mencari manuskrip-manuskrip yang

berharga dan membawanya pulang ke Baghdad, kemudian manuskrip-manuskrip

tersebut dijadikan bahan kajian di lembaga itu.376

Putra Harun al-Rasyid, Khalifah al-Ma’mun bin Harun al-Rasyid telah

banyak mempekerjakan kaum cerdik-cendikiawan terkenal seperti al-Kindi,377

filosof pertama untuk menterjemahkan karya-karya Aristoteles ke dalam bahasa

375Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta:Logos, 1994), 169.

376Hasan as’ari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung :Mizan,1994), 110.

377Ia adalah seorang dokter,ahli optika,astronomi,geometrid an ahli musik.beliau telahmenjadi penghafal al-Qur’an ketika ia baru berusia 10 tahun dalam The Legacy of Islam, dikatakanbahwa buku tentang optika yang dikarangnya diterjemahkan kedalam bahasa Latin. Dan banyakmempengaruhipemikiran Roger Bacon. Lihat, Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban,Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (Yogyakarta: LPPI, 2002), 11.

Page 158: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

145

Arab. Al-Kindi sendiri menulis hampir 300 judul buku tentang masa;lah-masalah

kedokteran,filsafat sampai musik yang disimpan di bayt al-hikmah.

Al-Ma’mun menggaji para penerjemah dan untuk merangsang upaya

mereka dalam mensahkan dan menandatangani setiap penerjemahan. Ma’mun

juga mengutus orang-orangnya untuk mendatangi tempat-tempat yang jauh seperti

India, Syiria, Mesir guna mengumpulkan karya-karya yang jarang dan unik.

Dokter terkenal Hunai bin Ishak sampai mengembara jauh ke Palestina untuk

mendapatkan kitan al-Burhan.378

Menurut Mahmud Yunus, perpustakaan pada masa ini terbagi menjadi

dua, pertama,perpustakaam umum, yang tempatnya dimasjid-masjid, yang dibaca

oleh umum yang datang ke masjid dan madrasah. Di sebuah kota seperti di Merv,

pengelana dan ahli geografi Yaqut mendapatkan tidak kurang dari dua belas

perputakaan umum. Selama tiga tahun menetap di kota itu, ia berhasil

mengumpulkan sebagian besar materi untuk kamus geografinya.

Ditunjukan sedemikian banyak pertimbangan dalam hal menyemarakan

buku, sehingga ia menyimpan 200 jilid sekaligus. Baghdad, Damaskus, Kairo,

Cordoba, Fez, Isfahan, Lahore, Delhi, Samarkhand, kota-kota besar mau pun

kecil, memiliki sejumlah perpustakaan umumsebagian besar perputakaan ini

menerima subsidi bantuan dari pemerintah, dan sebagian dari perputakaan ini

merupakan wakaf yang didirikan oleh individu-individu yang ingin memajukan

ilmu pengetahuan.

Ada pun perpustakaan khusus diadakan oleh para alim ulama dan ahli

sastera di rumahnya masing-masing, untuk dipakainya sendiri.379 dan terdapat

beribu-ribu koleksi pribadi. Selama periode Abbasiyah, koleksi pribadi milik

Yahya bin Khalid al-Barmaki di Baghdad terkenal paling lengkap, setiap jilid

buku diperpustakaan itu, memiliki tiga kopian dan sebagian besar merupakan

karya langka dari Bayt al-hikmah. Selama abad ke sebelas, perpustakaan Mahmud

al-daulah bin Fatik, seorang yang ahli dalam menulis dan sekaligus kolektor besar.

378Ziauddin Sarda, Tantangan Dunia Islam Abad 21 (Bandung: Mizan, 1996), 46.

379Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mutiara, 1966), 91-93.

Page 159: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

146

Perpustakaan –perpustakaan ini bukanlah hanya sekedar gudang untuk

menumpukna buku-buku, tetapi merupakan perpustakaan-perpustakaan yang aktif

(Working liberaries) dalam segala seginya. Selain program-program riset yang

intensif, kuliah, perdebatan dan aktivitas-aktivitas lainnya di masyarakat.Para

cerdi cendikiawan dapat dengan bebas menyalin buku-buku dan menyalin naskah-

naskah yang ada .380

Al-hasil, al-Ma’mun bukanlah hanya sekedar seorang Khalifah, melainkan

juga sebagai seorang pelopor pendiri perpustakaan dari Dinasti abbasiyah,

jejaknya kemudian diikuti oleh penguasa-penguasa lain dan umat Islam. Tindakan

al-Ma’mun juga ditiru oleh khalifah-khalifah Dinasti Fatimiyah,yang kemudian

mendirikan Dar al-’Ilm dan Dar al-Hikmah, kedua gedung ilmiah tersebut

dilengkapi perpustakaan yang besar sebagai tandingan Bayt al-Hikmah di

baghdad.

b. Bait al-Hikmah.

Perpustakaan sebagai”lembaga” pendidikan mulai mendapatkan tempat

tersendiri di dalam masyarakat Islam pada periode al-Ma’mun yang berpusat di

Bait al-Hikmah, yang oleh Stanton disebut sebagai pusat pendidikan tinggi

pertama dalam Islam. Telah menjadi kesepakatan bersama para sejarawan bahwa

bait al-Hikmah (Gedung hikmah atau Gedung Pengetahuan) merupakan gedung

pendidikan yang pertama, kecuali masjid.

Bait al-Hikmah sendiri dibangun oleh khalifah ke tujuh,yaitu al-Ma’mun

bin Harun al-Rasyid di Baghdad pada tahun 215H./ 830 M. Lembaga ini berasal

dari sebuah perpustakaan yang sederhana yang telah beroperasi sejak masa Harun

al-Rasyid yang bernama Khizanah al- Hikmah.381

Al-Ma’mun meningkatkan kegiatan lembaga ini dengan memasukan

kegiatan pengajaran dan kegiatan penerjemahan karya-karya filsafatdan ilmu

380 Ziauddin Sarda, Tantangan Dunia Islam Abad 21, 40.

381Pendiri bait al-hikamh, menurut A. Salaby dan M. Yus didirikan oleh Harun al-Rasyid,yaitu dengan peristilahan Daar al-ilmi. Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam(Jakarta:Mutiara, 1966), 91-93.

Page 160: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

147

pengetahuan asing dari berbagai bahasa.382 Lembaga ini memiliki staf yang

terdiri dari sejumlah cendikiawan muslim dan non muslim yang terkenal, seperti

Quata Ibn Luqa, Yahya Bin ’Adi, dan diantaranya dokter dari India, Duban.

Musa al-Khawarizmi, matematikawan ternama muslim dan penemu al-

Jabar, juga bekerja di Bayt al-Hikmah, dan menulis buku terkenalnya, yaitu kitab

al-Jabar wa al-muqabalah, juga dilakukan di sini. Lembaga ini terus berjalan

sebagai perpustakaan dunia Muslim sampai abad ke dua puluh. Ia digeser oleh

munculnya perpustakaan kedua Baghdad yang koleksinya memiliki kualitas yang

sama.383

Bayt al-Hikmah ini kemudian dilengkapi dengan observatorium. Al-

Ma’mun mempekerjakan seorang ahli matematika yang brilian, yaitu al-

Khawarizmi, untuk mengamati dan untuk mengadakan studi riset di

observatorium – khususnya untuk menyusun kalender.384

Tidak hanya itu ia juga dengan antusias mengumpulkan sejumlah besar

karya-karya klasik dalam berbagai bahasa untuk kemudian dipelajari dan

diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Tujuannya, tentu saja secara umum agar

memudahkan orang-orang Islam untuk dapat mempelajarinya. Setelah melalui

periode Negosiasi, Al-ma’mun bahkan berhasil mengirimkan sekelompok utusan-

termasuk di dalamnya staf perpustakaan- untuk mencari manuskrip berharga dan

membawanya ke Baghdad, kemudian dijadikan bahan kajian di bait al-Hikmah,

seperti yang dilakukan oleh Hunayn bin Ishak al-’Ibadi (W. 260H./8734M.)

Di Bait al-Hikmah, menurut C.A Qadir, Hunayn melakukan penerjemahan

karya-karya Plato, Aristoteles, Galen, Apolonius dan Achimedes yang mencakup

silsafat dan berbagai bidang pengetahuan lain. Penerjemah lain yang setara

dengan nya adalah Qustha bin Luqa (w. Awal abad ke-4 H./10 M.) yang tidak saja

melakukan penerjemahan, melainkan juga melakukan revisi terhadap sejumlah

penerjemahan-penerjemahan yang lebih dulu. Dengan demikian ia tidak saja

382Hasan as’ari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung : Mizan, 1994), 109.

383Ziauddin Sarda, Tantangan Dunia Islam Abad 21, 47.

384 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidika Islam, 69.

Page 161: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

148

memperkaya penerjemahan, melainkan juga menaikkan mutu penerjemahan yang

beredar dalam bahasa Arab di kalangan orang Islam.385

Selain itu Ishak bin hunain menterjemahkan buku pokok pokok ilmu ukur

karangan Aqlidis (Euclide, 306-283 S.M), dan buku bola karangan arkhimidis

(Archimede’s 287-212 S.M), buku sufisthus, karangan Aflathun (Plato 430-347

S.M), dan buku al-maqulat, karanganaristhu(Aristoteles 384-322 S.M).386

Juga di lembaga ini telah terkumpul bahan/buku dari bermacam-macam

bahasa yaitu bahasa Arab, Yunani, Suryani, Persia, India, dan bahasa Qibthi.387

Ada pun nama lain yang paling pantas disebut dalam konteks ini adalah

Al-Kindi (w.260 H./870 M.) yang memperoleh kedudukan ditengah-tengah

kelompok sarjana yang dipekerjakan oleh al-Ma’mun di Bait al-Hikmah. Di

sinilah ia memulai pengembangan filsafat Islam dan menempatkan dirinya sebagai

tokoh sentral bidang kajian filsafat Islam.388

Bait al-Hikmah ini memiliki koleksi yang besar, yang mencakup koleksi

pribadi khalifah. Lembaga ini terbuka bagi umum, dan materi-materi penulisan

tersedia bagi siapa pun, mereka yang ingin menghabiskan waktunya untuk

menelaah juga diberi penginapan, makan dan gaji.389

Dalam survai ekstensifnya, Some Leading Muslim Libraries of The

World, S.M. Imanuddin memaparkan bahwa perpustakaan-perpustakaan historis

muslim dirancang sedemikian rupa sehingga keseluruhan perpustakaan tampak

dari satu ntitik pusat.390

Di samping sebagai pusat penerjemahan, Bait al-Hikmah juga berkaitan

dengan kegiatan al-Ma’mun mendukung dan menyebarkan aliran teologi

385C.A Qodir, Philosophy and Science in the Islamic World (London: Rautledge, 1990),36.

386Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mutiara, 1966), 64.

387Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 65

388Nasr Sayed Hosein, Sains dan peradaban di dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1990),43-44

389Ziauddin Sarda, Tantangan Dunia Islam Abad 21, 47.

390Ziauddin Sarda, Tantangan Dunia Islam Abad 21, 47.

Page 162: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

149

Mu’tazilah. Inter aksi ini pulalah yang menyebabkan pengaruh pengaruh yang

berjangkauan jauh terhadap watak pendidikan Islam sepanjang masa pertengahan

Islam.391

Setelah masa kejayaannya maka vitalitas bait al-Hikmah mengalami

penurunan pada pertengahan abad ke-3, masa ini bertepatan dengan masa

beralihnya arus teologi kehalifahan abbasiyah, dari mendukung menjadi

menganiaya penganut Mu’tazilah. Asosiasi Bait al-Hikmah dengan Mu’tazilah

tidak memungkinkannya untuk lepas sepenuhnya dari efek kemunduran

Mu’tazilah.

Begitu pun lembaga ini, baru benar-benar runtuh ketika terbakar oleh

serangan Mongol atas Baghdad pada tahun 646 H./1258 M.392 Sebagai mana

dikatakan Mahmud Yunus, bahwa lembaga ini tidak lagi terkenal sesudah

wafatnya al-Ma’mun, bahkan terus menerus mundur, terutama setelah tersebar

madrasah-madrasah Nizamiyah dan lahirnya ancaman keras dari golongan ulama

terhadap ilmu-ilmu yang berpusat dilembaga ini.393

c. Observatorium.

Di samping perpustakaan, al-Ma’mun juga telah membangun

observatorium dan rumah sakit. Di observatorium ini sering kali diadakan kajian-

kajian terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat yunani. Observatorium ini tidak

banyak di bangun oleh penguasa-penguasa sehingga jumlahnya dapat dihitung

dengan jari.

Walau pun bukan merupakan kebanyakan sekolah istana, observatori

betul-betul didirikan disebuah sekolah yang besar seperti Bait al-Hikmah yang

391Fazlur Rahman, Islamic Metodology in History, terj. Anas Mahyuddin, membuka pintuijtihad (Bandung:Mizan,1984), 182-183

392Bait al-Hikmah terus berjalan sebagai bagian dari sebuah sekolah istana sampai masapenghancuran oleh pasukan Mongol, tentara-tentara hulagu membakarnya membakarnyabersamaan dengan pengrusalkan kota Baghdad pada tahun1258 M.lihat, Charles Michael Stanton,Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994), 132

393Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mutiara, 1966), 66.

Page 163: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

150

dibangun di Baghdad.394 Setelah Khalifah al-Ma’mun membangun laboratorium

perbintangan, maka pada tahun 828 M. Ia mengangkat al-Khawarizmi untuk

mengarahkan studi dan penelitian di sana.

Observatori tersebut berisikan alat-alat peneropong bintang-bintang yang

telah berdiri di Baghdad, oleh al-Ma’mun. Menurut Mahmud Yunus, bahwa alat

peneropong bintang tersebut berhubungan langsung dengan Bait al-Hikmah.

Selanjutnya al-Ma’mun menyarankan agar para ulama mempelajari kitab majisthi

yang berisi ilmu falak (astronomi), lalu meminta para ulama untuk membuat alat-

alat peneropong bintang untuk mempelajari hal ihwal bintang-bintang

sebagaimana dibuat oleh Bathlimus, pengarang kitab al-Majisthi.395

Kemudian mereka membuat alat peneropong tersebut di Baghdad dan di

Damaskus. Segala hasil penyelidikan yang mereka dapatkan dengan alat

peneropong tersebut, mereka catat/bukukan dan mereka namai dengan sebutan

”Peneropong al-Ma’mun”. Sedangkan yang melakukan peneropongan tersebut

adalah Yahya bin Abu Mansyur, ahli perbintangan yang termasyhur pada masanya

dan dibantu oleh Khalid al-Mazuri, Sanad bin Ali dan al-Abbas al-Jauhari.

Dengan lembaga-lembaga sebagai mana tersebut diatas, - walau pun tidak

semua berawal dari al-Ma’mun, namun ia ” bertindak” sebagai ” penerus”396 –

adalah merupakan kebijakan pendahulunya terutama Khalifah Harun al-Rasyid,

sang Ayah, yang telah mendudukkan posisi ilmu pengetahuan dan budaya

peradaban Islam mencapai puncak keemasannya. Khususnya, di bidang

pendidikan dan pemikiran ilmiah.

Kemajuan yang dicapai ditandai dengan pengadptasian warisan budaya

dan peradaban serta ilmu-ilmu yang didapat dari Yunani, Persia, Mesir, Yahudi,

Kriten dan India ke dalam Islam. Kemudian warisan-warisan tersebut

dikembangkan dan di Islamkan oleh sarjana-sarjana muslim, maka menjadilah ia

394Sayyed Hossein Nasr, Science and Civillization in Islam (New York: New AmericanLibrary, 1968), 80-88

395Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Mutiara, 1966), 65

396Hasan as’ari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung : Mizan, 1994), 110.

Page 164: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

151

sebagai kebudayaan, peradaban dan ilmu pengetahuan Islam itu sendiri397 pada

masa itu.

Kebijakan yang diterapkan Istana pada saat itu dikarenakan termotivasi

oleh kualitas kebudayaan asing tentang masalah kenegaraan yang dianggap ideal,

sehingga bagi pihak istana dianggap perlu untuk mengadopsi dan mengangkatnya

dalam budaya pemerintahan Islam.

Sebenarnya kebijakan ini berawal dari Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur,

ketika ia mengambil dan mengangkat dokter-dokter dari perguruan Jundishapur

menjadi dokter-dokter istana di Baghdad. Di samping kebijakan al-Ma’mun ini,

juga peran politik yang dimainkan oleh para wazir dari Persia dalam peralihan

Filsafat dan pengetahuan Hellenis ke dalam pemikiran Arab – Islam sangatlah

menonjol.

Diantara wazir ini adalah berasal dari keluarga Barmak yang amat terkenal

dengan kemampuannya dalam persoalan filsafat Helenis. Mereka sangat pandai

sekali dalam memainkan peranannya dengan sempurna pada masa Khalifah Harun

al-Rasyid dan Khalifah Al-Ma’mun bin al-Rasyid.398

Kebijakan khalifah-khalifah Abbasiyah terhadap keluarga al-Barmaki

yang orang Persia ini, menurut Ira M. Lapidus, karena dianggap pemikiran bangsa

Yunani dan Persia ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kalangan

istana, sebab pemikiran tersebut memperkenalkan ideal manusia mengenai

pengukuhan dirinya dikalangan aristokratis, yang berperan untuk memantapkan

kualitas sosial dan moral elite kerajaan dalam term-term yang sebagian konsisten

dengan ajaran Islam dan sebagian berasal dari warisan-warisan non-Islam dari

bangsa-bangsa kuno.

Idea aristokratik ini menyerukan kepada kalangan istana, administrator,

dan pembantu-pembantukhalifah agar percaya kepada tuhan. Dan agar waspada

dan sadar terhadap pengadilan akhirat.399

397Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), 1.

398Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965), 65

399Lapidus,Perkembangan Awal Peradaban Islam di Timur Tengah (Abad VII-XII M.)(Jakarta: Raja Grafindo, 1999), 146.

Page 165: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

152

Akibat dari akulturasi dan asimilasi budaya asing ke dalam dunia Islam

ini, menimbulkan kemajuan-kemajuan dibidang sains dan kebudayaan pada masa

ini. Untuk membina dan mengkader para siswa dan pelajar yang dapat membaca

buku-buku asing dan budayanya maka dibentuklah tempat-tempat belajar sebagai

institusi. Institusi yang pertama kali dibangun adalah tempat penelitian, yang

dibentuk oleh orang-orang yang senang akan belajar dan ingin mempelajari ilmu

pengetahuan dan memperoleh beasiswa, atau oleh para pembuat aturan yang

mencoba menyebarkan dan menyampaikan doktrin politik dan doktrin agama

tertentu..

Di mana institusi yang biasanya memiliki perpustakaan atau laboratorium

ini, diskusi tentang berbagai aspek hukum dan teologi seringkali di adakan dan

pelajaran tentang bermacam-macam subyek sesekali di berikan. Diantaranya yang

paling terkenal adalah Dar al”ilmi di Kairo yang mengajarkan mengenai doktrin

Fatimiah, Dar Abdawa di Aeleppo yang mengajarkan Syi’ah, dan sunni di ajarkan

di Bait al-Hikmah di Baghdad.400

Oleh karena itulah, Harun Nasution melihat kemajuan-kemajuan yang

dilakukan oleh sebelum al-Ma’mun hingga pada masa kegemilangannya (periode

al-Ma’mun), memberikan catatan khusus antara lain:

1. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan belajar diberikan kepadaanak setiap orang Islam dengan cuma-cuma, dan begitu juga denganpenggunaan sarana dan fasilitas pendidikan lainnya. Untuk kepentingan sosialdan pendidikan, masyarakat dan pemerintah tidak segan segan untukmengeluarka biaya yang besar

2. Karakteristik dari pendidikan Islam pada periode ini adalah karakteristik yangpaling tinggi yang pernah dicapai umat-umat Islam dalam semua bidangpendidikan, yaitu bersifat universal, toleran, berpikir luas, kreatif, dinamis,rasional, pemikiran cukup berkembang, ijtihad, terdapat keserasian antara ilmudan agama, dan sumber pendidikan dan pemikiran diambil langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits.401

400Joseph S. Szyliowics, Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam (Surabaya, 2001),78.

401Harun Nasution, Prinsip-prinsip Islam dalam menghadapi tantangan Zaman (Jakarta:LP IAIN, t.th), 42.

Page 166: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

153

2. Kontribusi al-Ma’mun terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Kontribusi al-Ma’mun dalam memajukan dan mengembangkan ilmu

pengetahuan (intelektualisa) Islam sangat lah besar. Ia bukan saja sebagai seorang

khalifah, tapi juga seorang ahli ilmu yang memahami betul akan arti

kekhalifahannya, sehingga ia sadar bahwa para khalifah itu adalah pilihan-pilihan

allah dan hamba-hamba yang berguna untuk memajukan negara dan bangsa.

Ada pun kontribusi al-Ma’mun terhadap perkembangan ilmu pengetahuan

yang menjadikan Baghdad sebagai pusat ilmu dan peradaban pada dunia yang

berpengaruh pada sumber kejayaan eropa pada masa berikutnya adalah:

a. Gerakan Penerjemahan.

Di bawah patronase khalifah-khalifah Abbasiyah pertama – Khususnya al-

Mansyur, al-Rasyid dan al-Ma’mun – puncak kegiatan penerjemahan berlangsung

antara tahun 750 M. Dan 850 M. Tidak saja karya-karya orang Nestoris dan pagan

Neo platonis dari Mesopotamia yang tersedia secara melimpah, tetapi melalui

penaklukan daerah perbatasan Bizantium, manuskrip-manuskrip tambahan adalah

merupakan bagian kekayaan yang dibawa pulang ke Baghdad. Di dorong oleh

semangat keinginan belajar yang lebih kuat tentang Yunani, para Khalifah – bila

tidak dapat memperoleh manuskrip dengan penaklukan – bahkan siap membelinya

dari musuh mereka, terutama dari istana Bizantium di Konstantinovel.402

Secara khusus, di bawah pemerintahan al-ma’mun, proses penerjemahan

mencapai puncaknya yang tertinggi. Seorang yang berpendidikan tinggi yang

mengenal beberapa karya Yunani, al-Ma’mun menganut ajaran sekelompok

intelektual terkenal dengan nama Mu’tazilah, yang berpendapat bahwa agama dan

akal tidak mungkin bertentangan. Dia berharap dapat memperkuat pandangan

mereka dengan meningkatkan tersedianya terjemahan bahasa Arab dari karya-

karya berbahasa Yunani dan syiria, terutama yang berkaitan dengan filsafat.

Orang-orang Kristen yang telah menerjemahkan manuskrip-manuskrip

Yunani ke dalam bahasa Syiria memperlakukan teks-teks filsafat dan teks-teks

agama sebagai buku suci, dan mereka tidak akan mengubah satu kata pun dalam

402Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994), 82.

Page 167: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

154

proses penerjemahan itu.403 Setiap kata Yunani dipindahkan secara literal. Bila

kata yang berarti sama tidak dijumpai dalam bahasa syiria, mereka akan

menuliskan kata Yunani sebagaimana adanya.

Terjemahan masa awal ini, meskipun sulit untuk ditafsirkan dan terasa

janggal untuk dibaca,tapi sangat jujur terhadap sumber aslinya.dan sampai

sekarang masih menjadi kunci penting dalam membandingkan terjemahan-

terjemahan karya klasik Yunani yang dilakukan belakangan dengan terjemahan

yang lebih tua.404

Upaya awal penerjemahan karya-karya ini ke dalam bahasa Arab. Terjadi

dengan cara yang sama dalam terjemahan literal, kata-kata bahasa Arab

menggantikan bahasa Syiria.ketika penerjemah tidak menemukan kata yang

sesuai, atau karena tidak ada (dalam bahasa Arab), maka ia mencantumkan kata

aslinya, Yunani atau Syiria. Bahasa Arab saat itu baru saja mengembangkan kosa

kata yang dibutuhkan untuk mengakomodasi proses abstarksi. Karenanya, para

penerjemah berjuang memperkaya bahasanya dengan kosa kata yang baru untuk

melukiskan konsep-konsep yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip berbahasa

Syiria.

Ilmuwan-ilmuwan berbahasa Arab merasa bahwa penerjemahan masa

awal ini secara gramatika sangat janggal dan sulit untuk dimengerti. Filosof Arab,

Al-Kindi memberikan penafsiran tersendiri atas pemikiran neoplatonisme dalam

bentuk yang masuk ke dunia Islam.405

Pada masa awal penerjemahan banyak bermunculan karya-karya Muslimin

yang biasanya berujud ikhtisar atau interpretasi buku-buku yang bewrasal dari

Yunani. Kemudian lahirlah generasi-generasi penulis Muslim yang orisinal,

mereka bukan saja menterjemahkan, membuat ikhtisar, komentar atau sekedar

mengutif, akan tetapi telah mengembangkannya dengan melakukan perenungan,

pengamatan ilmiah dan memadukan dengan ajaran-ajaran Islam, sehingga karya-

403F.E.Peters, Aristotle and the Arab (New York: New York University Press, 1968), 17.

404Frans Rosenthal, the Clasikal Heritage of Islam (Barkeley: University of CaliforniaPress, 1965),17.

405Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994), 83.

Page 168: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

155

karya tersebut oleh Lapidus dan Bernard Lewis dikatakan sebagai karya umat

Islam murni dan asli. Mendukung pendapat kedua ahli sejarah tersebut,

Nurcholish Madjid menegaskan bahwa mustahil karya-karya tersebut dianggap

sebagai carbon copy Hellenisme.

Al-Ma’mun (813-833 M.) berusaha meningkatkan perhatiannya pada ilmu

pengetahuan untuk menterjemahkan buku-buku kebudayaan Yunani, Ia mengajak

penterjemah dari golongan Kristen, Sabi’i dan bahkan juga penyembah bintang

pun ia ajak, untuk itu maka ia mendirikan Bait al-Hikmah. Gerakan penerjemahan

dan pembangunan lembaga tersebut, menurut Muhammad Abed al-Jabiri,406

karena ia sekaligus memamfaatkan Filsafat metafisika Aristoteles.

Warisan pra Islam itu kemudian difungsikan disatu sisi dalam kerangka

perseteruan memperebutkan hegemoni dan dominasi budaya antara kaum Syiah

dan Abbasiyah, dan pada sisilainnya dalam memecahkan ilmu kalam.dalam

kondisi demikian tentu saja tidak mengharuskan munculnya kebutuhan untuk

mempelajari matematika dan bahkan ilmu-ilmu kalam. Sebaliknya, justru

semuanya langsung melompat ke pengetahuan-pengetahuan metafisis atau filsafat

ketuhanan.

Jadi, urat nadi dari periode awal penerjemahan ini adalah Bayt al-hikmah,

yang pada awalnya merupakan sebuah pusat penelitian dan penerjemahan, tetapi

kemudian berkembang menjadi akademi besar.para penerjemah generasi pertama

kebanyakan dari keluarga Barmak dari khurasan, orang-orang zoroaster dari

daerah-daerah Persia yang lain, dan para Kristen Nestoris dari syiria yang

mengabdi pada kebutuhan intelek tual Islam tanpa meninggalkan

keyakinannya.para penerjemah yang paling aktif di bait al-hikmah adalah abu sahl

fazhl bin naubakh dan alan al-Syu’ubi, keduanya berkebangsaan persia, serta

Yunana (John) bin Masuya (Maskuya/masawayh), seorang syiria.407

406Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam (Yogyakarta: LKIS, 2000),116.

407Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education,A.D.800-1350 withan Introduction to medival Muslim Education (Boulger: The University of Colorado Press, 1964),145

Page 169: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

156

Menurut abdurrahman, Edisi arab yang disempurnakan dari terjemahan-

terjemahan awal ini muncul pada masa kekhalifahan al-Ma’mun,408 sebagai hasil

kerja dari satu pusat penerjemahan khusus yang didirikan di istananya.

Penerjemah paling terkenal yang tinggal disana adalah seorang Nestoris, hunayn

bin Ishaq al-’Ibadi (809-873),409 seorang mudi Masawayh yang fasih dalam

bahasa yunani dan Persia. Perhatian al-Ma’mun terhadap proses penerjemahan

begitu besar, sehingga ia berani membayar Hunayn dengan emas seberat

lembaran-lembaran yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab.410

Ishaq bin Hunayn (809-873 M.),secara khusus dalam catatan stanton,

tertarik dengan aristoteles dan penerjemahan metaphysic; On The soul; On The

Generation and Corruption of Animal, dan komentar-komentar Alexander

Apharodisias atas Aristoteles. Pada pertengahan abad ke sembilan, kebanyakan

karya-karya Yunani di bidang Sains, kedokteran dan astronomi telah terbit dalam

bahasa arab.

Al-Hajjaj (786-833 M.) seorang Neoplatonis pagan dari Harran,

menerjemahkan karya ptolemy, Mathematike Syniaxis-yang mendapat gelar al-

Mageste (Karya Besar) dan diwariskan sampai ke zaman kita sekarang sebagai al-

Magest. Dia juga menerjemahkan karya Euclid, Elements dan karya Phylos,

Pneumatics. Pada awal abad ke 10, terjemahan karya-karya Achimedes dan

sebuah terjemahan karya Euclid yang baru tersedia.411

Jadi, buku-buku yang pertama diminati – khususnya filsafat – mendapat

perhatian lebih besar dan diterjemahkan oleh Hunayn (809-873 M.) ke dalam

bahasa arab, adalah karya-karya Aristoteles.menurut C. Israr, bahwa berbagai

408Untuk menampung para penterjemah yang menerjemahkan buku-buku yunani atausuryani ke dalam bahasa arab,al-Ma’mun mendirikan Bait al-hikmah,pada tahun 215 H.lihat,Abdurrahman, Pengaruh Arab dalam bentuk Pemikiran Eropa (semarang: wicaksana), 16

409Hunayn tidak saja berjasa sebagai penerjemah,tetapi juga sebagai salah seorang perintispencarian terminology ilmiah dalam bahasa arab, yang pada masanya masih berada pada periodeperkembangan awal. Lihat, Haskell D.Isacs, Arabic Medical Literatur, dalam M.J.L young et.al.(Ed) Religion,Learning and Science in the Abbasid Period (Cambridge: Cambridge UniversityPress, 1990), 344.

410F.E.Peters, Aristotle and the Arab (New York: New York University Press, 1968), 17.

411Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994), 84.

Page 170: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

157

filsafat Yunani kuno telah dianalisa dan diterjemahkan ke dalam bahasa

Arab.filsafat yunani yang pertama sekali disalin ke dalam bahasa Arab ialah

karya-karya aristoteles seperti; Maqua Marslia412.

Menurut Oemar amin, Hunayn bukan saja bekerja di Baghdad, akan tetapi

ia diperintahkan untuk mendatangi tempat-tempat yang dirasakannya dapat

memperoleh buku-buku filsafat Yunani tentang Ketuhanan. Hunaqyn telah

mengelilingi sepanjang daerah Syiria, Palestina dan Mesir. Ia telah berhasil

membawa categories, Phycis, dan Magna Moralita karangan Aristoteles, republic,

Laws dan Timaeus karangan Plato. 413

Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat yang di datangkan dari

Bizantium kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa arab, kegiatan

penerjemahan414 ini berjalan kira-kira satu Abad. Bait al-hikmah yang didirikan

al-Ma’mun bukan hanya sekedar pusat penerjemahan tetapi juga akademi yang

mempunyai perpustakaan. Diantara cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan

disini adalah kedokteran, matematika, optika, geografi, fisika, astronomi dan

sejarah disamping filsafat.415

Jadi, gelombang helenisme itu merupakan hasil wajar dari kegiatan

penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Meskipun

tampaknya hal ini telah lama dirintis sejak zaman Dinasti Bani Umayyah di

Damaskus - misalnya, disebut-sebut bahwa khalifah ibn Yazid (W. 84 H./704 M.)

seorang putra khalifah yang klaim ke khalifahannya di tolak, telah mencurahkan

pengkajiannya terhadap filsafat – tetapi gerakan penerjemahan itu mencapai

puncaknya pada masa khalifah al-Ma’mun di Baghdad yang menganut faham

Mu’tazilah.

412C.Israr, Sejarah Kesenian Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),13.

413Oemar Amin, Kultur Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1975),21

414Sampai akhirnya, terjemahan-terjemahan buku berbahasa Arablah, terutama di bidangilmu pengetahuan, yang membentuk fondasi pengajaran pada Univesitas-unicersitas di Eropa.lihat,Ahmad syafi’I ma’arif dalam Posisi Umat Islam terhadap perkembangan teknologi Modern, yangdisunting oleh A.Rifa’i Hasan dan amrullah Ahmad dengan judul Presfektif Islam dalamPembangunan Bangsa (Yogya: PLP2M, 1987), 212.

415Harun Nasution, Islam di tinjau dari Berbagai aspeknya, 70.

Page 171: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

158

Kemu’tazilahan al-Ma’mun ini telah membuatnya ”liberal”untuk ilmu

pengetahuan rasional, dan kebijaksanaannya mendirikan bayt al-hikmah (rumah

kearifan) sebagai pusat kegiatan ilmiah telah menciptakan suasana yang subur

dikalangan kaum muslimin tertentu untuk berkembangnya pemikiran

spekulatif.416

Oleh sebab itu, Baghdad pada masa pemerintahan al-ma’mun merupakan

pusat peradaban Islam serta ilmu pengetahuan, bahkan di kota ini, seluruh

peradaban non-Islam dapat dengan bebas menyatakan pendapatnya, begitu pula

dalam hal melakukan ibadah, mereka mempunyai hak yang sama dengan kaum

Muslimin. Ia membentuk sebuah Dewan Negara yang keanggotaanya terdiri dari

berbagai kalangan masyarakat termasuk Islam, Kristen, Yahudi dan Zoroaster.417

Bahkan, sejumlah orang non-muslim menduduki jabatan yang penting

dalam pemerintahannya, salah seorang diantara mereka adalah Gabrail bin

Bakhtushu, seorang sarjana Kristen yang memegang posisi tinggi di

kekhalifahannya. Karena sikapnya yang liberal terhadap non muslim, maka

kemakmuran dan kedamaian semakin baik dikerajaannya. Di kerajaannya lebih

dari 11.000 gereja di samping sinagog dan kuil kaum Zoroaster. Dengan demikian

suasana harmonis ini menjadikan kota Baghdad semakin anggun dan damai.

b. Mengembangkan diskusi-diskusi

Al-Ma’mun bukan saja melakukan kegiatan penerjemahan-

pemnerjemahan, ia juga menyemarakan istananya dengan menyelenggarakan

diskusi-diskusi dalam berbagai bidang. Menurut Mustafa as-siba’i, seorang

sejarawan terkemuka menggambarkan suasana kegiatan keilmuan pada masa

kejayaan Islam dan toleransinya terhadap agama-agama non-Islam dengan cara

mengembangkan tradisi h{alaqah-h{alaqah, keilmuan di hadapan para khalifah

biasanya menghimpun berbagai ulama (ilmuwan) dari berbagai agama dan

mazhab.

416Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 23.

417Jamil ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (akarta:Pustaka Firdaus), 316.

Page 172: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

159

Al-Ma’mun sendiri mempunyai sebuah h{alaqah keilmuan, di situ

berkumpul semua ulama agama dan mazhab, ia selalu berkata kepada mereka,

”bahaslah ilmu apa pun yang kalian kehendaki tanpa berdalilkan kitab agamanya

masing-masing agar tidak menimbulkan kemusykilan-kemusykilan golongan”418

semangat ini mendorong masyarakatnya untuk ikut berpartisipasi dalam mengisi

pendidikan sesuai dengan harapan dan keinginan golongan tertentu. Khususnya

Mu’tazilah dalam mengembangkan fahamnya yang bercirikan rasio logisnya.

Menurut Khalaf bin Mutsanna, sebagaiman yang dikutip, As-Shiba’i,bahwa kami pernah menyaksikan sepuluh orang pakar di Bashrah berkumpul

disebuah majlis. Mereka adalah para pakar nahwu al-Khalil bin Ahmad (suni),

penyair al-Humairi (Syiah), Saleh bin Abdul Quddus (Jinddiq), Sofyan bin

Mujasyi (Khawarij sekte shufriyah), Basyar bin Burd (Syu’ubi), Hammad Ajrad(Jinddiq Syu’ubi), penyair ibnu Rasil Jalut (Yahudi), pakar ilmu kalam IbnuNazhir (Nasrani), Umar bin Muayyad (Majusi), dan Ibnu Sinan al-Harrani

(Shaba’i).Mereka berkumpul saling menyenandungkan syair, menceritakan khabar-

khabar dan berbincang-bincang dalam suasana keakraban. Hampir tak tampak

bahwa diantara mereka terdapat perbedaan yang menyolok dalam agama dan

mazhab.419

Suatu keharmonisan yang terjalin sesama masyarakat, baik Arab-Persia

berjalan cukup mengesankan, sehingga bisa dikatakan bahwa kerukunan antar

pemeluk agama dan mazhab justru menjadikan ajang diskusi dari berbagai disiplin

ilmu. Hal ini terjalin justru ketika sang penguasa memberikan keleluasaan pada

segenap komponen masyarakat untuk berperan aktifdalam mengembangkan

intelektualitas dan budaya serta peradabannya. H.A.R.Gibb, mengatakan bahwa,

”Tumbuh suburnya Sains dalam masyarakat Islam, lebih bergantung padakeliberalan dan dukungan mereka yang berkedudukan tinggi”.420

418Mustafa as-syiba’I, Min Rawa’i> Had{aratina, terj. oleh Fauzi Rahman (Jakarta: GemaInsani Press, 1992), 99.

419Mustafa as-Syiba’i, Min Rawa’i> Had}aratina, 100.

420Achmad Syafi’i Ma’arif dalam Posisi umat Islam terhadap Perkembangan TeknologiModern, oleh A. Rifa’i Hasan dan Amrullah Ahmad, Presfektif Islam dalam PembangunanBangsa (Yogyakarta: PLP2M, 1987),.212.

Page 173: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

160

Oleh karena itu, hampir disemua sektor kehidupan terutama gerakan

ilmiah pada masa itu sangat mengesankan.Kota Baghdad sebagai pusat gerakan

keilmuan serta budaya dan peradaban dunia telah melahirkan para ulama ahli

debat.

Berkat ilmu dialektika, para ulama pun bergairah untuk memperdebatkan

bermacam-macam agama, seperti membicarakan soal penciptaan Al-Qur’an,

apakah Qur’an itu hadis atau Qadim, dan sebagainya. Khalifah al-Ma’mun sendiri

(198-218 H.) sering menghadiri sidang-sidang debat tersebut, bahkan ikut serta

dalam perdebatan. Akibatnya, banyak yang tidak senang kepadanya, terutama

sekali karena ia lebih mengutamakan Sayidina Ali binAbi Thalib dari pada

Khalifah Rasyidin.421

Demikianlah kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan di masa Daulah

Abbasiyah ketika tampuk pimpinan dipegang oleh seorang yang cinta akan ilmu,

yaitu al-Ma’mun.422 Ia dengan kecerdasan dan kesalehannya telah menjadikan

Baghdad sebagai pusat kegiatan ilmiah dan sekaligus pusat peradaban dunia Islam

ketika itu. Bahkan dlam catatan sejarah, kemajuan yang dicapainya ini sebelum

dan sesudah pemerintahannya belum ditemukan di dunia Islam saat itu.

c. Mengembangkan Faham Rasionalisme Mu’tazilah

Kemajuan dan peradaban Islam menuai puncak kejayaannya sejak

terjadinya pertemuan antara pemikiran Islam dan Arab yang asli dengan

pemikiran Yunani,423 Persia dan India, maka muncullah mazhab-mazhab

pemikiran yang memantulkan pertemuan ini di negeri-negeri Islam, yang

421Fuad M. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam (Jakarata: Bulan Bintang,1985), 80.

422Bahkan al-Ma’mun sangat terkenal tentang kebaikan intelektualnya, ia seorangterpelajar,seorang failosof,seorang ahli agama. Ia menyuruh menyalin buku-buku teknik yangdiperlukan untuk pengembangan. Lihat, Oemar Amin, Kultur Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1975), 151

423Ketika gelombang filsafat Hellenisme berpengaruh pada para cendikiawan dan paraulama pada akhir kekuasaan bani Umayah. Lihat, Usman Pelly, Masalah Dikhotomi Ulama danIntelektual dalam Masyarakat Islam, dalam A. Rifa’i Hasan, Presfektif Islam dalam PembangunanBangsa (Yogyakarta: PLP2M, 1987), 225.

Page 174: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

161

memihak ke mazhab ini atau mazhab itu, atau memantulkan semacam perkawinan

pemikiran asli dan pemikiran asing.

Mazhasb-mazhab (aliran-aliran) pemikiran yang mula-mula sekali muncul

selain dari golongan Mu’tazilah pada zaman daulah Umayyah, kemudian

diteruskan pada masa abbasiyah dan bercabang-cabang menjadi berbagai

mazhab.424

Di samping Mu’tazilah yang menggunakan logika, pengaruh filsafat dan

logika Yunani yang berskala luas ini menimbulkan respon di dunia Islam dan

memunculkan dialektik (mutakallimin) yang memakai senjata logika Yunani

untuk mempertahankan ajaran-ajaran Islam.425 terutama ketika persoalan teologi

menyinggung sifat-sifat allah.426

Aliran Mu’tazilah lahir lebih kurang pada permulaan abad pertama

Hijriyah di kota Basrah (Irak), sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban

Islam di masa itu,tempat perpaduian antara kebudayaan asing dan pertemuan

bermacam-macam agama. Kemudian secara perlahan-lahan aliran Mu’tazilah ini

memperoleh pengaruh di tengah-tengah masyarakat, terutama di Baghdad.

Pengaruh itu mencapai puncaknya pada ke tiga khalifah bani abbas, yakni al-

Ma’mun (198-218 H.), al-Mu’tashim (218-227 H.) dan al-Watsiq (227-232 H.).

Puncak monumental kegiatan intelektual kaum Mu’tazilah ini dapat dilihat

ketika mereka mendapat dukungan pengaruh dari kekhalifahan al-Ma’mun (813-

833 M.). Pengaruh ini telah membuahkan kebijakan yang sangat menguntungkan

bagi perkembangan ilmu pengetahuan rasional, dan sekaligus menjadikan ibu kota

kekhalifahan (Baghdad) sebagai pusat kegiatan ilmiah internasional ketika itu.427

Al-Ma’mun mengembangkan faham Mu’tazilah, aliran teologi rasional initerjadi karena kebijaksanaannya untuk menyerap ilmu pengetahuan yang berasal

424Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam,(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988),124.. Bandingkan dengan Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman (Bandung:Mizan, 1996), 27.

425Ameer Ali, A Short History of The Saracens (London, 1951), 303.

426Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman (Bandung: Mizan, 1996), 27

427A. Rifa’i Hasan, Presfektif Islam dalam Pembangunan Bangsa (Yogyakarta: PLP2M,1987), .225.

Page 175: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

162

dari Yunani.428 Dengan kebijakannya inilah kultur Yunani memiliki sebuah

pengaruh yang menonjol terhadap pertumbuhan peradaban Islam. Berbagai nilai

dari kultur Yunani tersebut, malalui berbagai jalur, masuk ke dalam pembentukan

pemikiran Islam.

Pengaruh Hellenistik yang paling menonjol adalah dalam bidang filsafat.

Filsafat adalah sebuah gerakan dengan keragaman posisi yang disatukan oleh

kesamaan peristilahan dan melalui sebuah komitmen pada sebuah program

investigasi yang rasional, meliputi logika, sains kealaman, dan metafisika. Para

filosof di zaman Islam juga menghadapi isu-isu teologis,seperti permasalahan

mengenai hubungan filsafat dengan wahyu.429

Sekalipun demikian filsafat bukanlah merupakan sebuah analisa yang

bersifat netral, tetapi ia merupakan sebuah bentuk dari keyakinan. Tujuan utama

dari sebuah filsafat tidak hanya kepada pengetahuan intelektual saja, tetapi juga

bertujuan untuk menyerap jiwa manusia dalam alam spiritual yang darinya filsafat

tersebut datang. Ajaran-ajaran kefilsafatan juga berbeda dengan ajaran-ajaran

Islam mengenai berbagai permasalahan tertentu, misalnya mengenai kebangkitan

dan menghukum tubuh manusia, teori tentang keabadian ciptaan alam semesta,

dan pengetahuan Tuhan yang bersifat universal dan partikular.

Jadi, filsafat Hellenistik menghadirkan sebuah warisan rasional yang

merefleksikan realitas metafisika, dunia fisik, dan keberadaan manusia yang

mengajukan sebuah tantangan fundamental terhadap wahyu al-Qur’an sebagaisuber yang komplit dan sebagai sumber kebenaran yang tidak mungkin salah.

Sebab, secara tekstual kebenaran wahyu itu telah dijamin keorisinilannya dan

secara de facto telah diterima dikalangan umt Islam.

Upaya untuk menggabungkan ajaran agama Islam dengan pemikiran

Yunani mendominasi kehidupan intelektual sepanjang khalifah Bani abbasiyah,

dan ini mempengaruhi semua bidang ilmu pengetahuan. Kontroversi mulai

muncul setelah diperkenalkannya karya-karya sains dan filsafat Yunani pada

pertengan abad ke delapan, dan muncul menjadi sebuah gerakan yang jelas dalam

h{alaqah-h{alaqah ilmiah, melalui sekelompok ilmuwan yang berasal dari Hira

428Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta:Intermasa, 1994), 151

429Lapidus, Perkembangan Awal Peradaban Islam di Timur Tengah (Abad VII-XII M.)(Jakarta: Raja Grafindo, 1999), 143.

Page 176: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

163

(sebuah kota kecil yang terletak antara Basrah dan Kuffah, Mesopotamia Selatan),

yang kemudian dikenal sebagai kelompok Qadariyah, dari kata arab ’qadar’ yangberarti ketentuan Tuhan.430

Khalifah al-Ma’mun termasuk yang mendukung rasionalitas Yunanitersebut. Ia menganut ajaran-ajaran Mu’tazilah dan menggunakan kekuasaanya

untuk mendirikan satu pusat penerjemahan dan Bayt al-Hikmah yang merupakan

lembaga pendidikan tinggi pribadi yang pertama dibangun oleh orang Islam.

Bait al-Hikma ini menjadi tempat untuk mempelajari dan pusat

penyebaran teologi dan filsafat Mu’tazilah. Dan lembaga ini mengundangberbagai ilmuwa dari berbagai daerah yang jauh untuk hadir dan melakukan debat

antar sesamanya disemua bidanmg ilmu pengetahuan diantaranya agama dan

filsafat, matematika dan ilmu-ilmu lainnya.

Para ilmuwa yang dipekerjakan oleh khalifah al-Ma’mun berusaha terusuntuk menyelaraskan pengetahuan tentang dunia yang nyata dengan pengetahuan

tentang lapisan –lapisan alam di luar bumi ini. Sepanjang periode yang penuh

semangat ini, para ilmuwa berusaha terus untuk memperluas kosa kata arab agar

dapat mengungkapkan konsep-konsep ilmiah dan filsafat yang lebih maju.431

Kelompok Mu’tazilah yang terdiri atas tokoh-tokoh yang intim dengan

filsafat jelas mendapatkan keuntungan dengan situasi dan kondisi ini. Mereka

banyak memiliki kelompok pengikut dari kelompok Syi’ah, yang walaupun secarapolitis tertekan, akan tetapi secara kultur ia menang, karena wazir-wazir yang

diangkat oleh para khalifah abbasiyah adalah merelka yang sebenarnya simpati

terhadap ahl al-bait. Artinya Mu’tazilah secara kultur dilindungi oleh negara.Keberhasilan aliran Mu’tazilah pada masa ini tidak terlepas dari tokoh-

tokoh seperti; Abu Hudzail al-Allaf432 (w. 226 H./836-845 M.), mencapai puncak

430Ignaz Goldziher, Mohammed and Islam (New Haven: Yale University Press, 1917),100-101.

431Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logos, 1994), 94.

432Abu Hudzail al-Allaf, nama lengkapnya adalah Abu al Hudzail Muhammad ibn alHudzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al ‘Allaf maula Abd al Qais, ia diberi sebutan al ‘allaf, karenarumahnya yang di Basrah terletak di kampong ‘Allafin(penjual makanan binatang) dan bukan diAl-laf, ia berguru kepada Usman al Thawil murid washil ibn “Atha al Ghazal, pendiri aliranMu’tazilah, sekaligus pelopor perkembangan alam pikiran dalam dunia Islam.lihat Ali Musthafaal-Ghurabi, Ta>rikh al-Fi<>rraq al-Isla>miyah (Mesir: Maktabah wa mathba’ah Muhammad AliShubaih wa auladih, t.t), 148.

Page 177: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

164

kebesarannya pada masa al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi

muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama dan aliran-aliran pada masanya.

Ada pun paham atau pemikiran yang ditimbulkan oleh Abu Hudzail ini

antara lain;

1. Bahwa Allah Ta’ala tidak mempunya sifat yang berdiri di luar Dzat-Nya. Iamengakui adanya sifat-sifat yang tidak lain adalah dzat-Nya sendiri.

2. Bahwa akal mampu mengetahui Tuhan dan mampu mengetahui baik danburuk,demikian pula mampu mengetahui kewajiban-kewajiban. Meskipundemikian bukan berarti bahwa manusia karena memiliki akal kemudian tidakbutuh kepada keterangan wahyu.

3. Bahwa Tuhan telah menciptakan yang terbaik bagi manusia, artinya mustahilTuhan berbuat zhalim, meskipun Ia mampu, karena yang demikian itu adalahmanifestasi dari kekurangan, sedangkan kekurangan itu tidak boleh ada padaTuhan. Salah satu perbuatan terbaik Tuhan kepada manusia adalah mengirimRasul-rasul untuk menyampaikan wahyu kepada mereka agar mendapatkankebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu pengiriman Rasulmerupakan perbuatan yangtidak mungkin diabaikan oleh Tuhan, dan ia wajibmelakukan sesuatu yang terbaik.

4. Bahwa kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan hanya ada di duniaini saja, sedangkan di akhirat tidak ada lagi kebebasan yang ada hanyalahpaksaan. Dunia adalah tempat taklif, oleh karena itu ia dimintai tanggungjawabnya oleh Tuhan nati di akhirat. Tapi permintaan tanggung jawab itutidak lagi logis, apabila manusia di dunia ini tidak diberi kebebasan dankermampuan untuk bertindak. Sementara di akhirat adalah tempatpembalasan, Tuahan akan membalas perbuatan baik dengan surga danperbuatan jahat dengan azab. Kebebasan kemanusiaan dan perbuatan tidaklagi dibutuhkan di akhirat, karena saat itu semuanya akan berjalan dalamkendali atau paksaan Allah.433

Demikian pula dengan Ibrahim Ibnu Sayyar al-Nazham434 (w231 H./775-

845 M.), al-Nazhzham adalah salah seorang tokoh dari aliran Mu’tazilah, ia

adalah murid dfari Abu al-Hudzail, namun karena kecerdasannya melebihi

gurunya,ia memiliki ketajaman ingatan, keluasan tinjauan, kebebasan berpikir dan

kemurnian ungkapan serta kemampuan berdebat. Ia merupakan seorang teolog

433H.A. Chaerudji, Ilmu Kalam (Jakarta: Diadit Media, 2007), 74

434Nama lengkapnya adalah Ibrahim Ibn Sayyar ibn Hani’ al Nazhzham, ia dilahirkan diBashrah pada tahun 185 H. paqda masa khalifah Harun al-Rasyid dan meninggal pada tahun 221H.pada masa khalifah al-Mu’tashim. Jadi ia hidup selama 36 tahun. Sementara pendapat lainmengatakan bahwa ia meninggal pada tahun 231 H. ia merupakan murid dari Abu al-Hudzail.Lihat. Ali Musthafa al-Ghurabi, Ta>rikh al-Firraq al-Isla>miyah (Mesir:Maktabah wa mathba’ahMuhammad Ali Shubaih wa auladih, t.t), 187.

Page 178: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

165

dan sekaligus sasterawan. Paham pemikiran yang dianut oleh an-Nazhzham

adalah sebagai berikut :

1. Bahwa Tuhan mustahil melakukan kezhaliman, bahkan lebih dari itu IA tidakkuasa untuk melakukannya, tegasnya Tuhan tidak kuasa memasukkan ahlisurga ke dalam neraka, dan ahli neraka ke dalam surga. Tuhan hanya kuasaberbuat yang adil atau berbuat kebaikan yang terbaik. Kezhaliman hanyatimbul dari diri yang tidak sempurna. Sedangkan Tuhan Maha Sempurna danMaha Tahu. Olehy karena itu kekuasaanya hanya mewujudkan yang terbaik.

2. Bahwa kemu’jizatan al-Qur’an terletak pada kebenaran isinya bukan padagaya dan bahasanya. Oleh karenanya yang tidak bisa ditandingi adalahkebenaran isinya dalam mengungkapkan kebenaran tentang berita dankisah0kisah umat terdahulu serta berita tentang hal-hal yang gaib dalambentuk ramalan. Dengan demikian menjadi bukti tentang kerasulan NabiMuhammad adalah kebenaran isi al-Qur’an dan bukan gaya bahasanya.

3. Bahwa akal manusia mampu mengetahui tuhan, baik dan buruk. Orang yangberakal wajib mengetahui Allah melalui pemikiran atau argumen dan wajibpula mengetahui yang baik dan yang buruk melalui akal sebelum datangnyawahyu. Akal manusia memiliki ikhtiar (pilihan ) antara melakukan atau tidakmelakaukan sesuiatu perbuatan.

4. Bahwa manusia pada hakikatnya adalah roh, sedangkan badan adalah alat dantempat bagi roh. Roh adalah jisim yang halus yang meresap dalam badan danhati, seperti air meresap dalam bunga atau minyak dalam susu. Roh itumempunyai kekuatan, kemampuan, hidup dan kehendak. Kemampuan itutersedia sebelum digunakan untuk suatu perbuatan.

5. Bahwa orang yang mencuri uang atau benda senilai 199 dirham belumdikatakan fasiq, karena jumlah tersebut belum belum mencapai jumlah nisabuntuk mengeluarkan zakat, sedangkan nisab zakat adalah 200 dirham. Dengandemikian pencurian yang telah mencapai ukuran nisab zakat, pel;akunyadipandang fasiq, dan orang fasiq kekal di dalam neraka, hanya azabnya lebihringan dari azab yang dialami orang kafir.

6. Bahwa al-Qur’an atau kalam Allah adalah makhluk. Kalam adalah suara yangtersusun dari huruf-huruf dan dapat di dengar. Suara bersifat baharu, tidakkekal dan merupakan ciptaan Tuhan. Dengan demikian maka al-Qur’an adalahdiciptakan dan tidak kekal.435

Demikianlah paham-paham pemikiran yang dikemukakan oleh tokoh-

tokoh Mu’tazilah, selain itu ada juga tokoh-tokoh seperti;Amr bin Harb (w.841

M.), Bisr Ibnu al-Mu’tamir (w.226 H.825 M.), Abu Musa al-Mirdar (w.841 M.),

Ja’far ibn Harb (w. 851 M.), Ahmad ibn abi daud (w. 855 M.), dan Ibnu Ibadh (w.

435H. A. Chaerudji Abd. Chalik, Ilmu Kalam (Jakarta : Diadit Media, 2002), 74-76.

Page 179: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

166

210 H.).436 Mereka ini merupakan tokoh-tokoh Mu’tazilah yang merumuskan

doktrin-doktrin mu’tazilah dengan secara matang. Mereka hidup dalam tempat

dan waktu Dinasti Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya dalam sejarah.

Dinasti Abbasiyah mencapai puncak ke emasan (kejayaan) khususnya

dibidang ilmu pengetahuan, menurut Jarji Zaldan, karena dalam masa tersebut

berbagai ilmu pengetahuan telah matang,pertumbuhannya telah sempurna, dan

berbagai kitab yang bermutu telah cukup banyak dikarang, terutama ilmu bahasa,

sejarah, geografi, adab, dan filsafat.437

Secara umum puncak kejayaan yang dicapai Dinasti Abbasiyah ini tidak

terlepas dari faktor-faktor pendukung diantaranya:

1. Islam semakin meluas, tidak hanya di Damskus tetapi juga di Baghdad2. Orang-orang di luar Islam banyak dipakai untuk menduduki institusi

pemerintahan3. Pemerintahan Abbasiyah membentuk tim penerjemah dari bahasa Yunani ke

bahasa Arab.4. Sebagian penerjemah memberikan pendapatnya5. Rakyat bebas berfikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang6. Adanya perkembangan ilmu pengetahuan,7. Dalam penyelenggaraan negara pada masa pemerintahan Abbasiyah adanya

jabatan Wazir, yang membantu khaliafah dalam menangani urusanpemerintahan.

8. Ketentuan Profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan bani Abbas.438

Namun setelah kekhalifahan dikendalikan oleh Khalifah al-Mutawwakil

(232-247 H./847-861 M.) kejayaan dan kebesaran Mu’tazilah mulai redup.

Bersamaan dengan itu, orientasi teologi Mu’tazilah pun diganti dengan ahli

sunnah yang mendapat dukungan dari para ulama ahli fiqh, yang akibatnya

perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan kurang menyeimbangkan antara

aspek teologis – filosofis, melainkan mengarah kepada teologis – Fiqhiyah. Hal

ini dikarenakan al-Mutawakil hingga Nizham al-Mulk (1092 M.) menganut

paham aliran ahli sunnahnya al-asy’ari.

436John L. Esposito, The Oxford History of Islam (ed.),( Oxford University Press, 1999),278.

437A. Hasyim, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakaarta: Bulan Bintang, 1979), 246.

438Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 54.

Page 180: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

167

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan memperhatikan kajian pada bab-bab terdahulu, maka dapat

diambil sebuah kesimpulan bahwa kebijakan yang diterapkan oleh al-Ma’mun

selama masa pemerintahannya dalam menghantarkan keberhasilannya di bidang

pendidikan dan memajukan ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Abbasiyah,

pada dasarnya adalah karena ia lebih memperioritaskan kepada Human

Development of Resources (SDM) dengan cara memperbesar anggaran untuk

pendidikan, dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, yaitu al-Amin,

bahkan Harun al-Rasyid dan Abu Ja’far al-Mansyur sekalipun. Hal ini disebabkan

karena :

1. Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, Daulat Abbasiyah merupakan sebuah

bentuk Negara tunggal yang sangat luas dan kaya akan hasil pendapatannya,

sehingga dengan kekayaan Negara yang melimpah, al-Ma’mun mampu

menyatukan kekhilafahannya dengan memberlakukan bahasa resmi Negara

yaitu menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan komunikasi.

2. Pejabat-pejabat atau wazir-wazir yang ada di lingkungan pemerintahan al-

Ma’mun terdiri atas orang-orang pilihan dari para ahli dan ilmuwan yang

berasal dari keluarga Barmak, yaitu sebuah keluarga keturunan Persia yang

telah lebih dahulu menguasai ilmu pengetahuan, sehingga sangat membantu

sekali dalam pelaksanakan kebijakan pemerintahannya,khususnya dalam

mengembangkan tradisi ilmiah dan transformasi budaya Persia – Arab atau

Yunani – Arab dan India - Arab, yaitu khususnya berkaitan dengan :

a. Tradisi penerjemahan buku-buku yang berbahasa asing ke dalam bahasa

Arab, dan memberikan bayaran (gajih) bagi para penerjemah dengan

bayaran yang tinggi bahkan dengan emas,sehingga lahirlah penerjemah-

penerjemah terkenal, seperti Hunain bin Ishaq (w. 873 M.), yang telah

menerjemahkan hampir semua karya Galen (yang terdiri dari 20.000

halaman)diantaranya 20 buku Galen diterjemahkan kedalam bahasa Siria

Page 181: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

168

dan 14 buku lainnya kedalam bahasa Arab dan dipersembahkan kepada

khalifah al-Ma’mun, di samping karya Aristoteles, Plato, Hippocrates,

Ptolemi dan lain sebagainya.

b. Mentradisikan debat ilmiah dan diskusi dengan mengundang para ulama

dan ilmuwan untuk datang keistananya untuk mendiskusikan berbagai

masalah yang berkembang, sehingga lahirlah orator-orator ulung di

bidangnya seperti, al-Kindi (Filosof terkemuka Arab).

c. Mengirimkan duta-duta istana (para staf bait al-Hikmah) untuk

menemukan naskah-naskah asing yang akan diterjemahkan kedalam

bahasa Arab,

d. Dan memberikan biaya penelitian (riset) bagi para ilmuwan yang mau

melakukan penelitian dan lain sebagainya.

Adapun kontribusi al-Ma’mun dalam memajukan Pendidikan dan ilmu

pengetahuan, terlihat pada kemegahan dan keramaian ibu kota Baghdad yang

menjadi pusat peradaban Islam dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan

budaya, dengan berdirinya Bait al-Hikmah dan lembaga penelitian

(Observatorium). Hal ini disebabkan karena :

1. Pada masa al-Ma’mun belum ada lembaga Pendidikan formal atau pun

lembaga riset lainnya, kecuali masjid dan istana. Untuk melembagakan

aktivitas ilmiah dan riset-riset akademik yang awalnya berjalan secara non

formal, maka al-Ma’mun segera membangun lembaga Pendidikan sekaligus

tempat untuki melakukan penelitian (riset), yaitu Bait al-Hikmah. Arti penting

dari lembaga ini adalah terletak pada multi fungsi-nya. Di samping berfungsi

sebagai “lembaga pendidikan” pada waktu itu, lembaga ini juga berfungsi

sebagai tempat untuk melakukan penerjemahan karya-karya Asing kedalam

bahasa Arab, dan juga berfungsi sebagai pusat perpustakaan serta pusat

penelitian.

2. Berkat adanya lembaga Bait al-Hikmah dan Observatori, maka peran serta

para ulama, ilmuwan dan para ahli sastera dapat tertampung di sini. Bahkan

dengan adanya kedua lembaga tersebut berhasil membawa kemajuan terhadap

sosio-intelektual, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu dengan

Page 182: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

169

berkembangnya beragam aliran (paham), filsafat, ilmu pengetahuan,

kedokteran, kimia, ilmu alam dan lain sebagainya. Dengan adanya lembaga ini

pula dapat melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan kaliber dunia, seperti ; al-Kindi,

Ibnu Sina, al-Farabi, al-Khawarizmi, Hunain bin Ishaq dan lain sebagainya.

Maka dikenallah era al-Ma’mun ini dengan sebutan The Golden Age in Islam.

Page 183: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

170

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Chalik, Chaerudji, A. H., Ilmu Kalam, Jakarta: Diadit Media, 2002.

Abdurrahman, Pengaruh Arab Dalam Bentuk Pemikiran Eropa, Semarang:Wicaksana, 1992.

Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, t.th.

Ahmed, Akbar S., Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Jakarta:Erlangga,

Al-Attas, Naquib, M., Islam dan Sekularisme, Bandung: Pustaka, 1981.

Ali, Ameer, A short History of The Saracens, London, 1951.

Aly, Noer, Hery, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.

Amin, Ahmad, D{uha> al-Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965.

Amin, Mahsyur, M., Dinamika Islam, Yogyakarta: LKPSM, 1995.

Amin, Oemar, Kultur Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, Ciputat: Press Group, 2005.

Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

Armstrong, Karen, Islam Sejarah Singkat, Yogyakarta: Jendela, 2001.

As’ari, Hasan, Menyingkap Zaman keemasan Islam, Bandung: Mizan, 1994.

Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.

Asy-Siba’Iy, Mustafa, Min rawai’I Hadharatina, trej. Oleh Fauzi Rahman,Kebangkitan Peradaban Islam, Jakarta: Gema Insanio Press, 1992.

Azra,Azyumardi, Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 2000.

Basyir, Azhar, A., Administrative Development: an Islamic Perspective, terj. A.Nashir Budiman, Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan,Jakarta, Rajawali, 1989.

Basyir, Azhar, A., Pengantar Theologi Islam, Jakarta: Jayamurni, 1973

Basyir, Azhar, Ahmad, Refleksi atas Persoalan Keislaman, Bandung: Mizan,1996

Page 184: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

171

Beavers, D., Teed, Paradigma Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya,1992.

Brockelemen, Carl, History of Islam People, London, 1982.

Buchori, Saefuddin, Didin, Sejarah Politik Islam, Jakarta: Intermasa, 2009.

Buchori, Saefuddin, Didin, Zaman Keemasan Islam, Jakarata, Grasindo, 2002.

Burns, Mc Nall Edward dan Philip Lee Ralp, Civilizations from ancient toContemporary, Newyork:W.Norto and Company,Inc,1963.

Clot, Andre, Harun al-Rasyid and the word of the thausand and one nights,London: Saqi Book, 1989.

Dahlan,Abdul, Aziz, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Jakarta;Beunebi Cipta, 1987.

Dewan Redaksi Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam 3, Jakarta: Intermasa, 1994.

Dodge, Bayard, Muslim Educational in Meieval times, Washington: The MiddleEast Institute, 1962.

Engineer, Asghar, Ali, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999.

Esposito, John L., The Oxford History of Islam, Inggris: Oxford University Press,1999.

F.E. Feters, .Aristotle and the Arabs, New York: New York University Press,1968.

Fachruddin, Fuad, M., Perkembangan Kebudayaan Islam, Jakarta: BulanBintang, 1985.

Fahmi, Asma, Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: BulanBintang, 1979.

Fahry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka jaya, 1987.

Ghurabi, Al, Mustafa Ali, Ta>rikh al-Firraq al-Islamiyah, Kairo: Mathba’ah Alishahih, 1959

Goldziher, Ignaz, Mohammed and Islam, New Harvad: Yale University Press,1917.

Gulsyani, Mahdi, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1993

Hanaf, A., Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Page 185: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

172

Hasan, Rifa’i, A., Prespektif Islam dalam Pembangunan Bangsa, Yogyakarta:PLP2M, 1987.

Hasyim, A, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Hitti, Philip K., History of The Arab, Londo: Mc Millan, Ltd. 1970.

Hodgson, Marshal G.S., The Venture of Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.

Hopkins, J.F.P., Geografical and Navigational, dalam majalah Yung, et.al. (ed),Religion, Learning and Science in the Abbasid Period, Cambridge:University Press, 1990.

Ibnu, Katsir, Al-Bidayat~ wa al-nihayat~, Bairut: Maktab al-Ma’arif, 1990.

Ibrahim, Hasan, Sejarah dan Kebudayaan islam, Bandung: Kota Kembang, 1989.

Isacs, Haskell D., Arabic Medical Literature, dalam Majalah Yung et.al.(ed),Religion, Learning and Science in the Abbasid Period, Cambridge:University Press, 1990.

Israr, C., Sejarah Kesenian Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Jabari, Al, Abed, Muhammad, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LKIS,2000.

Kamal Pasha, Musthafa, dkk, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,Yogyakarta: LPPI, 2002.

Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-husna, 1988

Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam, Bandung: Al-Husna,1985.

Lapidus, Perkembangan Awal Peradaban Islam di Timur Tengah(Abad VII-XIIM.), Jakarta: Raja Grafindo, 1999

Lewis,Bernard, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, terjemahan Jamhuri,Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988.

M.,Atiqul, Haq, Wajah Peradaban, Bandung: Zaman, 1998.

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentangMasalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta:Paramadina, 1995,

Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulab Bintang, 1994.

Page 186: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

173

Makdisi, George, The Rise of Humanism in Clasical Islam and the Christian westwith Special Reference to Scholasticism, Edinburgh: University Press,1990.

Makdisi, George, Typology of institutions of Learning dalam An Antology studiesoleh Issa J. Baullata, Mc Gill Indonesia IAIN Development Project,Montreal, 1992.

Maksum, Madrasah dan Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos, 1999.

Mas’udi, al., Muruj az-Z{ah{ab wa ma’adin al-Juwh{{ar, Baerut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1982.

Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1999.

Muhaimin, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, Cirebon: Dinamika, 1999.

Musa, Muhammad Munir, Al-Tarbiyah al-Islamiyah: Us{uluh{a waTat{awwuruha fial Bilad al- Arab, Cairo: Alam al-Kutub, 1977.

Nabrawi, Fathiyah, al., Ta>rikh al-Niz{am wa al-H{ad{arah al- Islamiyah, Cairo; Daral-Fikr, 1974

Nakosteen, Mehdi, History of Islamic Origins of Western Education, Boulder:University of Colorado Press. 1964.

Nasir, Hussain, Sayyid, Science and Civillization in Islam, New York: NewAmerican Library, 1968

Nasir, Mahmud, Sayyid, Islam, Bandung; Rosda karya, 1994.

Nasution, Harun, falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1998.

Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai aspek, jakarta: UIP, 1985.

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Nasution, Harun, Prinsip-prinsip Islam dalam Menghadapi tantangan zaman,Jakarta: LP IAIN, t.th.

Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: yayasan Penerbit Indonesia, 1971.

Nawawi, Rif’at Sauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad abduh, Jakarta:Aramadina, 1992

Pederson, J., Fajar Intelektualisme Islam, Bandung: Mizan, 1996.

Page 187: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

174

Pinto, olga, The Liberaries of the Arab During the Time of the Abbaside, IslamicCulture 3, 1929

Price, Kingsley, Education and Philosophical Thought, SA; Allyn and Bacon Inc.,Boston, 1965.

Pulungan, J., Suyuti, Fiqh Siya>sah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.

Qodir, A.,C.,Philosophy and Science in the Islamic World, London: Routlege,1990.

Rahman, Fazlur, Islamic Metodologi in History, terj. Anas Mahyuddin, MembukaPintu Ijtihad, Bandung: Mizan, 1984.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1998.

Rosenthal, Frans, The Classical Heritage of Islam, Berkeley,University ofCalifornia Press, 1965.

Shaliba, Jamil, Al-Mu’jam al-Falsafi, Libanon: Dar al-Kitab al-Lubani, 1978.

Shihab, M., Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan,1997.

Sou’yb, Joesoef, Sejarah Daulat Abbasiyah I, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Stanton, Michael, Charles, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta: Logos, 1994.

Sunanto, Musyarifah, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu PengetahuanIslam, Jakarta: Kencana, 2007.

Supardi, Ahmad dan soekarno, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung:Angkasa, 1985.

Suyuti, as, Jalaluddin, Ta>rikh al-khulafa>, Baerut: Dar el-Kutub, 1975

Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna,1993.

Syiba’i, as, Mustafa, Min Rawa’i Hadharatina, terj. Fauzi Rahman, KebangkitanPeradaban Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1992

Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Szylicwics, S., Joseph, Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam, Surabaya:Al-Ikhlas, 2001.

Page 188: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

175

Tabbarah, A., Afif, The Spirit of Islam: Doctrine & Teaching, New Delhi, IslamBook Service, 1998

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Prespektif Islam, Bandung: Rosdakarya,1992.

Thabari, at, Jarir, Ibn, Muhammad, Ja’far, Abu, Tarikh al-Umam wa al-Muluk,Bairut: Dar el-Fikr, 1987.

Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka setia, 1997.

W Montgomery, Watt, Kejayaan Islam, terj. Hartono Hadikumoro, Yogyakarta:Tiara Wacana, 1990.

W. Montgomery, Watt, Islam dan Peradaban Dunia, Jakarta: Gramedia 1997.

W. Montgomery, Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Jakarta: P3M., 1987.

Yatim. Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Mutiara, 1996.

Ziauddin, Sarda, Tantangan Dunia Islam Abad 21, Bandung: Mizan, 1996.

Page 189: KEBIJAKAN AL-MAKMUN TENTANG PENDIDIKAN

176

DAFTAR RIWAYAT PENULIS

A. Identitas Pribadi

Nama : SUHERMAN

Tempat /Tanggal Lahir : Kuningan, 04 Pebruari 1967

Pendidikan : S-2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pekerjaan : Guru Pendidikan Agama Islam SMP Negeri 127

SSN Jakarta Barat

Alamat : Jln. H. Sueb. Rt. 004/003. No. 48. Petukangan

Selatan Jakarta Selatan

E-mail : Suheran @ yahoo.co.id

B. Keluarga

Bapak : R. Sugandi (Alm)

Ibu : Kari (Alm)

Bapak Mertua : H. Salbini (Alm)

Ibu Mertua : Hj. Siti Khadidjah

Isteri : Indah Puspita Dewi Rahayu

Anak : 1. Istiqamah MeiDinata

2. Mazidah Salbiyah

C. Riwayat Pendidikan : 1. SDN Legok I. 1981

2. MTs. PUI Cidahu 1984

3. Aliyah PUI Ciawi Gebang 1987

4. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1992

5. S-2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010