Kearifan Budaya Lokal

8
KEARIFAN LOKAL KOTA JOMBANG UPACARA KUNGKUM SINDEN DI SENDANG MADE KUDU JOMBANG Upacara di Sendang Made Kudu Jombang merupakan kearifan lokal yang perlu dilestarikan. Upacara tersebut penuh dengan makna dan simbol- simbol yang membentuk culture system (sistem budaya) pada masyarakatnya. Cultere system (sistem budaya) menghasilkan wujud budaya berupa adat istiadat yang berhubungan dengan sistem sosial dan kebudayaan fisik, sehingga terwujud totalitas kebudayaan yang meliputi ide-ide, aktivitas, dan karya manusia dalam masyarakat. Ritual kungkum (berendam) di Sendang Made merupakan ritual yang ditunggu oleh para sinden dan dalang. Karena ritual yang dihelat setiap setahun sekali tersebut diyakini sebagai acara penobatan bagi para sinden dan dalang serta sebagai ritual untuk obat awet muda. Ritual Kum- kum di Sendang Drajat tersebut dipercaya dapat memberikan penglarisan bagi para calon sinden untuk mendapatkan order. Saat proses acara berlangsung, muncul salah seorang tokoh desa yang mulai mengambil air dengan gayung. Ritual ini diyakini akan membuat para sinden dan dalang menjadi awet muda. Saat percikan air berkhasiat itu menyentuh kepala mereka, sejumlah pengharapan mulai diucapkan. Usai siraman, para sinden dan dalang ini mendapatkan penyematan dari tokoh yang memimpin proses wisuda. Ritual mandi air Sendang Drajat juga diyakini dapat membuat suara sinden menjadi lebih merdu. Ritual yang diyakini sudah ada sejak zaman kerajaan Airlangga ini telah menelurkan berbagai mitos yang seakan- akan selalu menjadi kenyataan. Ritual kung-kum di Sendang Made merupakan ritual untuk menyelamatkan dan melestarikan budaya jawa. Perkembangan zaman yang diikuti kemajuan teknologi dan informasi diyakini mulai menggerus eksistensi kesenian tradisional di masyarakat. Usai acara Wisuda sinden dan dalang, masyarakat Desa Made menggelar acara Sedekah Desa. Dalam acara ini, masyarakat berduyun- duyun membawa tumpeng untuk acara selamatan di sekitar sendang drajat. Makna dari acara tersebut adalah ritual pengukuhan sinden, dimana seorang sinden dipercaya setelah melakukan ritual ini dipercaya bisa mendatangkan berkah dan upacara ini merupakan aktualisasi budaya yang harus dijaga dan dikembangkan. Selain itu upacara ini dahulu adalah hanya sebagai ritual, tetapi seiring berkembangnya zaman, masyarakat dan pemerintah Kabupaten Jombang bekerjasama untuk menjadikan upacara tersebut sebagai paket wisata yang menarik. Prosesi Upacara Kungkum Sinden ini terdiri dari, pembukaan, inti, dan penutup. Pembukaan sendiri diisi dengan pembukaan dari pembawa acara, sambutan dari pejabat terkait dan tes wisudawan wisudawati. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan sinden.Acara inti dimulai dengan prosesi

description

kearifan budaya lokal

Transcript of Kearifan Budaya Lokal

Page 1: Kearifan Budaya Lokal

KEARIFAN LOKAL KOTA JOMBANG

UPACARA KUNGKUM SINDEN DI SENDANG MADE KUDU JOMBANG

Upacara di Sendang Made Kudu Jombang merupakan kearifan lokal yang perlu dilestarikan.

Upacara tersebut penuh dengan makna dan simbol-simbol yang membentuk culture system

(sistem budaya) pada masyarakatnya. Cultere system (sistem budaya) menghasilkan wujud budaya

berupa adat istiadat yang berhubungan dengan sistem sosial dan kebudayaan fisik, sehingga

terwujud totalitas kebudayaan yang meliputi ide-ide, aktivitas, dan karya manusia dalam

masyarakat. Ritual kungkum (berendam) di Sendang Made merupakan ritual yang ditunggu oleh

para sinden dan dalang. Karena ritual yang dihelat setiap setahun sekali tersebut diyakini sebagai

acara penobatan bagi para sinden dan dalang serta sebagai ritual untuk obat awet muda. Ritual

Kum-kum di Sendang Drajat tersebut dipercaya dapat memberikan penglarisan bagi para calon

sinden untuk mendapatkan order. Saat proses acara berlangsung, muncul salah seorang tokoh desa

yang mulai mengambil air dengan gayung. Ritual ini diyakini akan membuat para sinden dan

dalang menjadi awet muda. Saat percikan air berkhasiat itu menyentuh kepala mereka, sejumlah

pengharapan mulai diucapkan. Usai siraman, para sinden dan dalang ini mendapatkan penyematan

dari tokoh yang memimpin proses wisuda.

Ritual mandi air Sendang Drajat juga diyakini dapat membuat suara sinden menjadi lebih merdu.

Ritual yang diyakini sudah ada sejak zaman kerajaan Airlangga ini telah menelurkan berbagai

mitos yang seakan-akan selalu menjadi kenyataan. Ritual kung-kum di Sendang Made merupakan

ritual untuk menyelamatkan dan melestarikan budaya jawa. Perkembangan zaman yang diikuti

kemajuan teknologi dan informasi diyakini mulai menggerus eksistensi kesenian tradisional di

masyarakat. Usai acara Wisuda sinden dan dalang, masyarakat Desa Made menggelar acara

Sedekah Desa. Dalam acara ini, masyarakat berduyun-duyun membawa tumpeng untuk acara

selamatan di sekitar sendang drajat.

Makna dari acara tersebut adalah ritual pengukuhan sinden, dimana seorang sinden dipercaya

setelah melakukan ritual ini dipercaya bisa mendatangkan berkah dan upacara ini merupakan

aktualisasi budaya yang harus dijaga dan dikembangkan. Selain itu upacara ini dahulu adalah

hanya sebagai ritual, tetapi seiring berkembangnya zaman, masyarakat dan pemerintah Kabupaten

Jombang bekerjasama untuk menjadikan upacara tersebut sebagai paket wisata yang menarik.

Prosesi Upacara Kungkum Sinden ini terdiri dari, pembukaan, inti, dan penutup. Pembukaan

sendiri diisi dengan pembukaan dari pembawa acara, sambutan dari pejabat terkait dan tes

wisudawan wisudawati. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan sinden.Acara inti dimulai

dengan prosesi penyiraman sinden oleh pejabat terkait, pemberian Sumber Payung kedalam guci

berkah yang dibawa pulang oleh sinden, untuk diminum sebelum bekerja nyinden. Dan

pengalungan selendang warna hijau sebagai bukti bahwa sinden telah siap untuk terjun

kemasyarakat. Dan acara ditutp dengan acara sedekah desa, ini bertujuan bentuk rasa syukur Desa

Made kepada Tuhan Yang Maha Esa terhadap hasil panen yang diperoleh. Ruwatan wayang oleh

dalang Jombang, bertujuan untuk meruwat masyarakat Desa Made terhadap batarakal.

2. KESENIAN JARAN DOR

Kesenian tradisioanl jaran dor merupakan kesenian tradisional Kuda Lumping asli Jombang.

Page 2: Kearifan Budaya Lokal

Kesenian ini merupakan salah satu kesenian khas kabupaten Jombang yag mungkin sudah

terlupakan oleh masyarakat. Meski begitu masih ada beberapa orang yang masih mencoba

melestarikannya. Perbedaan yang sangat menonjol dengan jaranan lain dan menjadi ciri khasnya

adalah alat musik jidor yang saat ditabuh berbunyi dor, sehingga jaranan ini di sebut jaran dor.

Adapun alat musik selain jidor adalah kendang dan sepasang kimplung yang terdiri dari tiga biji

dengan ukuran berbeda. Satu yang berukuran besar di sebut thong, dan yang kecil disebut

ketipung. Sekarang alat musik jaran dor di tambah dengan gong, demung, kendhang, peking,

saron, ketuk, kenong atau biasa disebut dengan gamelan. Kesenian jaran dor ini menggunakan alat

bantu berupa kuda-kudaan yang terbuat dari sesek bambu.

Jaran dor ditampilkan dengan beberapa tari pengiring, yang sekarang di tambah dengan tari

bantengan. Urutan penmpilannya adalah dari tari bapang, tari jaranan khas Jombang, tari topeng,

tari jepaplok, dan ditutup dengan tari bantengan. Puncak penampilan semua penari ada di tangan

tukang gambuh atau yang dikenal dengan pawang. Sebelum tampil pawang harus membakar

kemenyan untuk mendatangkan perewangan. Pawang berdoa agar saat menampilkan perewangan

jangan sampai ada gangguan. Pawang mendampingi penari beraksi dengan membawa cambuk

yang berfungsi untuk memasukkan perewangan ke dalam diri penari juga untuk memulihkan

kesadaran. Jumlah pawang dalam setiap pertunjukan biasanya mencapai empat orang. Seorang

pawang harus mampu seni bela diri dan memiliki keahlian tersendiri yang didapat dengan tirakat.

Saat ndadi (kesurupan), penari akan menuruti semua perintah pawang, dan seorang pawang

mampu membaca seberapa besar kemampuan penari untuk ndadi (kesurupan), karena saat ndadi

sudah menyangkut keselamatan penari juga para penonton. Sandingan khas yang di makan penari

jaran dor adalah dedak. Adapula bunga, rumput, dan pisang. Penari memakan barang berbahaya

seperti beling, jika sebelumnya telah diminta penanggap. Sesaji jaran dor ini seperti tikar baru dari

pandan, sisir, kipas, keras, pisang satu tangkep ( dua sisir), tampah, dedak, minyak wangi, beras

kuning, kelapa utuh, ayam, kemenyan, dan masih banyak lagi. Jika kelengkapan sesaji tidak

terpenuhi, maka akan sangat mengkhawatirkan penampilan jaran dor, apalagi saat ndadi.

Jaran dor saat ini banyak mengalami perubahan, baik alat musik, pakaian maupun tarinya.ini

terjadi karena kecenderungan permintaan masyarakat untuk menampilkan jaranan beserta musik

dangdut dan campursari. Sehingga banyak muncul jaranan campursari versi Jombangan. Dan

masalah kostum dan aksesorisnya ini terdiri dari ikat kepala merah, baju tanpa kancing yang

berwarna hitam dengan gaya kerajaan jaman dahulu, celana sebatas pertengahan betis yang diikat

dengan jarum emas, sarung batik Pesisiran yang panjangnya hingga ke lutut, setagen yang diikat

di pinggang. Penari memakai dua selendang, gelang kaki berupa kumpulan lonceng yang

dilingkarkan di pergelangan kaki.

3. SEDEKAH DESA di PUCANGAN

Di Jombang, tepatnya di Desa Kepuhrejo Kecamatan Kudu Jombang terdapat suatu tradisi unik

yang biasa dilakukan oleh masyarakat sekitarnya yakni sedekah desa di pucangan. Pucangan yaitu

sebuah perbukitan yang terdapat di daerah tersebut, di dalam pucangan tersebut terdapat makam

seorang Dewi Kili Suci. Sedekah desa itu biasanya dilakukan setiap satu tahun sekali, kegiatan

Page 3: Kearifan Budaya Lokal

semacam itu dilakukan dengan cara para masyarakat pergi ke pucangan dengan membawa suatu

sesajen berupa tumpeng dan bunga. Mereka pergi kesana dengan berjalan kaki bersama-sama

melewati ladang dan bahkan jurang, namun seiring dengan perkembangan jaman tidak sedikit

orang yang telah menggunakan alat transportasi seperti sepeda motor untuk menempuh perjalanan

sampai ke pucangan.

Di pucangan setelah masyarakat berkumpul acara dimulai dengan sambutan dari beberapa tokoh

masyarakat seperti kepala desa dan juga juru kunci dari Pucangan tersebut, setelah sambutan acara

dilanjutkan dengan doa bersama, doa tersebut meliputi doa tahlilan dan istighosah. Acara doa

bersama ini biasanya dipimpin oleh sesepuh dari desa tersebut. Setelah doa bersama acara

dilanjutkan dengan makan tumpeng yang telah dibawa oleh masing-masing masyarakat.

Sistemnya yaitu sebelum acara dimulai tumpeng dikumpulkan bersama lalu dibagikan merata, hal

ini bertujuan agar masing-masing masyarakat bisa merasakan masakan dari masyarakat lain,

istilahnya tukar menukar makanan. Mengenai bunga yang telah dibawa masyarakat, bunga

tersebut juga dikumpulkan setelah diberi doa bunga tersebut dibagikan kepada masyarakat yang

mengikuti acara tersebut, namun kali ini apabila masyarakat menginginkan bunga tersebut mereka

harus membayar sejumlah uang untuk mendapatkannya. Acara pun selesai sampai disitu,

selanjutnya masyarakat pulang kerumah masing-masing, akan tetapi ada sebagiian dari mereka

yang tidak pulang, mereka yang tidak pulang menyempatkan diri untuk berdoa dimakam dewi killi

suci. Mereka melakukan semua itu sebagai doa agar mereka diberi kesehatan dan keselamatan

dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Bagi mereka yang telah pulang, sesampainya dirumah

bunga yang di dapat dari acara tadi diberi air lalu diminum oleh seluruh anggota keluarga.

Makna dari kegiatan sedekah desa tersebut yaitu sebagai rasa syukur masyarakat desa Kepuhrejo

akan nikmat yang telah diberi oleh sang Kuasa, selain itu juga sebagai wujud terima kasih

masyarakat kepada “pucangan” karena selama ini dalam berladang/ bermata pencaharian mereka

menggunakan fasilitas yang ada di pucangan baik berupa lahan yang berada disekitar pucangan

maupun air yang biasanya digunakan masyarakat untuk irigasi di ladang mereka. Kegiatan

sedekah desa seperti ini juga dilakukan dalam rangka meneruskan adat-istiadat yang telah

dilakukan nenek moyang sejak jaman dahulu. Mengenai bunga yang diberi air lalu diminum ini

masyarakat percaya bahwa dengan minum bunga yang telah diberi doa tersebut dapat membantu

masyarakat dalam hal kesehatan karena masyarakat dianggap dengan minum bunga tersebut

mereka akan menjadi lebih sehat.

Tradisi seperti ini telah ada sejak jaman nenek moyang, mereka menganggap bawha kegiatan

seperti ini penting untuk dilakukan demi keselamatan dan kesejahteraan hidup mereka. Tradisi

seperti ini pun masih berlangsung sampai sekarang, akan tetapi bagi mereka yang telah mengerti/

telah tergerus oleh jaman modern mereka sudah enggan lagi mengikuti tradisi seperti ini karena

mereka menganggap kegiatan semacam ini sudah kuno dan mereka pun tidak percaya lagi tentang

mitos yang selama ini ada. Dahulu hampir setiap orang di setiap rumah mengikuti tradisi sedekah

desa ke pucangan ini, namun seiring dengan perkembangan jaman hanya mereka yang percaya

dengan tradisi kuno saja yang mengikuti kagiatan ini. Untuk yang tidak lagi percaya dengan

tradisi ini mereka pun sudah terbiasa untuk tidak mengikutinya. Walaupun begitu masih banyak

yang mengikuti tradisi sedekah desa seperti ini terutama orang-orang tua yang tinggal di daerah

Page 4: Kearifan Budaya Lokal

tersebut. Mereka pun berniat untuk mewariskan tradisi sedekah desa ini kepada anak-cucu mereka

agar tradisi ini dapat dilestarika.

4. Ruwatan Purwokolo

Ruwatan Purwokolo, merupakan sebuah ritual adat khas Jombang, dimana ruwatan ini merupakan

salah satu bentuk kebudayaan lokal Jombang yang sampai sekarang dilestarikan dan dibudayakan.

Ruwatan Purwokolo merupakan salah satu ruwatan yang ditujukan untuk meruwat atau dalam

artian lain menyelameti anak atau orang dewasa. Ruwatan ini di mulai dengan arak-arakan yang

disertai membawa tumpeng beraneka macam diletakkan di satu meja besar. Selanjutnya semua

yang hadir bersama-sama memanjatkan doa keselamatan bagi seluruh keluarga dan masyarakat.

Ruwatan ini dilakukan secra swadaya, masal atau dalam artian lain diadakan secara bersama-

sama.

Tradisi ini sudah dilakukan sejak jaman dulu dan akan terus dilakukan sebagai bentuk pelestarian

budaya. Iringan musik gamelan, musik khas pewayangan mengiringi prosesi ruwatan. Berbagai

sesajen telah dipersiapkan, mulai cobakal, canang sari, jenang abang, jenang sengkolo, jajan pasar,

jajan polo pendem, tumpeng kupat lepet, dan aneka makanan tradisional lainnya mulai dari nasi

sampai buah-buahan lengkap tersaji, melengkapi salah satu syarat ruwatan. Makanan tersebut

mengandung makna panca zatnya (lima zat).

Menurut keterangan, lima sesaji tersebut mempunyai arti sendiri-sendiri dalam bahasa sansekerta,

yakni Trianingsih (kuasa Tuhan) yang mengandung arti bahwa sesajen hanyalah sebagai bentuk

perantara karena sebenarnya Tuhan tidak menghendaki adanya sesajen, hanya saja anak manusia

percaya kehadiran sesajen diantara ritual doa kepada Tuhan YME akan lebih lengkap. Kedua,

Resiatnya dimaknai sebagai seorang guru ngaji, begawan atau pendeta jika dalam agama Kristen.

Ketiga, Pritayan yakni doa-doa sebagai bentuk syukur yang ditujukan kepada nenek moyang atau

leluhur yang telah membuat garis keturunan hingga muncul generasi penerus yang saat ini masih

terus ada. Keempat, Manusayatna yakni adanya wethon (tanda hari lahir) merupakan bentuk yang

harus diselamati. Dan yang kelima, Butayatna untuk mengusir iblis, setan, jin, butho, agar tidak

menganggu manusia lagi.

Prosesi ruwatan memberikan makna yang mendalam bagi anak atau orang dewasa yang sedang

diruwat. Satu per satu mereka dimandikan dengan kembang tujuh warna (tujuh macam bunga)

yang diguyurkan sebanyak tujuh kali ke seluruh tubuh oleh pemimpin ruwatan. Ada doa mantra

dan lelaku yang semuanya bertujuan untuk keselamatan jiwa dan raga bagi orang yang diruwat.

Banyak kisah yang mewarnai bagaimana awalnya ruwatan tersebut bisa dilakukan. Setiap orang

mempunyai cerita sendiri-sendiri dari masing-masing leluhurnya. Yang jelas rangkaian ruwatan

tersebut sudah berpuluh-puluh tahun dilaksanakan, dan tradisi ini sudah menjadi satu keyakinan

yang sulit ditinggalkan. “Bagi orang-orang tua, acara ruwatan ini sangat penting sehingga muncul

sugesti pada diri mereka bahwa jika tidak melakukan ruwatan maka berbagai balak (hal buruk)

akan menimpa di kemudian hari. Satu contoh misalnya ada sepasang suami istri hanya memiliki

satu orang anak, ini menurutnya wajib diruwat karena jika tidak maka akan membawa bencana

Page 5: Kearifan Budaya Lokal

bagi keluarga, ataupun diri anak itu sendiri. Entah anak itu sering sakit atau susah mendapatkan

rizki maupun jodoh.

Ruwatan ini dibingkai dalam komitmen persatuan antar umat beragama, sehingga mereka yang

hadir tidak hanya seluruh warga Desa yang bersangkutan mengadakan Ruwatan tersebut, yang

berbeda-beda agama dan kepercayaannya. Tetapi ada juga para undangan pemuka dan tokoh

agama di Kabupaten Jombang. Dan beberapa ahli ahli waris yang mempunyai garis keturunan dari

keluarga Metaraman.

Keluarga Mataram (Pendamping dan Pemimpin Ritual)

Untuk mapak (menjemput) bulan 15 Suro tepatnya bulan purnama yang disakralkan tersebut,

mulai tanggal 1 Suro sudah dipersiapkan rangkaian selamatan berupa tirakatan selama satu hari

penuh. “Tirakat disini kita berpuasa tanpa makan, tanpa minum, tanpa bicara dan tanpa tidur mulai

pergantian bulan pada malam hari tepat jam 00 sampai datang jam 00 hari berikutnya yakni

tanggal 1 suro, baru kita mulai berbuka lagi. Selametan in ipun ada syaratnya yakni tiap anggota

keluarga yang turut serta harus membawa tumpeng yang diwadahi ngaron (tempayan yang terbuat

dari tanah berbentuk bulat) yang berisi ingkung dan sego gurih (ayam dan nasi kuning).

Sebagian besar yang mengikuti acara ruwatan ini murni garis keturunan Hamengkubowono XI

dari Jawa Tengah. Untuk di Jawa Timur pelaksanaan ruwatan hampir sama, hanya saja

perbedaannya terletak pada pemimpinnya. Jika di Jawa Tengah langsung dipimpin oleh Sultan

Hamengkubuwono. Perlu dan tidaknya ruwatan tersebut tergantung keyakinan pribadi masing-

masing. Terkadang mahalnya biaya ruwatan menjadi kendala bagi seseorang untuk melakukannya.

Jika seseorang percaya namun tidak mampu untuk mengeluarkan biaya tentunya ruwatan tidak

akan pernah terlaksana. Untuk meringankan biaya muncul gagasan mengadakan ruwatan dengan

cara patungan. Maka sejak 10 tahun lalu di Jombang munculah ideuntuk melaksanakan ruwatan

secara bersama-sama.

Keluarga besar Mataram di Jawa Timur biasa di panggil dengan istilah keluarga Metaraman.

Anehnya meskipun dalam satu garis keturunan ternyata keyakinan agama yang dianut berbeda-

beda. Mereka tetap menjaga kerukunan dan menjunjung keutuhan keluarga besar. Ruwatan hanya

persoalan adat istiadat yang ada di Jawa, namun sangat diyakini keberadaannya karena jika

ditinggalkan muncul dampak ketakutan yang luar biasa dari diri keluarga. Untuk itulah mau tidak

mau keberadaan ruwatan harus tetap diadakan.

Semantara itu, Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk ruwatan? Ruwatan yang sangat

sederhana saja bisa menghabiskan dana Rp.10 Juta lebih. Biasanya ketika yang diruwat hanya satu

anak atau ontang anting, dia membayar iuran sebesar Rp 500 ribu, jika dua orang anak perempuan

atau kembang sepasang, biaya akan bertambah Rp 50 ribu, begitu seterusnya semakin banyak

jumlah anak yang diruwat maka nilai iuran pun akan bertambah. Cara ini relatif lebih murah untuk

bisa mengadakan ruwatan, karena untuk mendatangkan dalang saja butuh dana sekitar Rp 6 juta.

Tentunya tidak menjadi mahal jika ditanggung bersama-sama. Selain itu, jika tidak diadakan

rasanya tidak enak karena sudah menjadi agenda tahunan yang telah dimulai sejak nenek moyang

Page 6: Kearifan Budaya Lokal

dulu. Namun kapan dimulainya? Warga asli Jombang sendiri tidak begitu tahu. Yang jelas, sejak

10 tahun yang lalu kesepakatan untuk mengadakan kembali sebagai bentuk penghormatan kepada

kakek nenek kita dulu sudah di

5. Kesenian Besutan

Budaya yang asli dilahirkan di Jombang yang terancam tenggelam, karena perkembangan zaman.

Dan dulu sempat jadi ikon kesenian kota Jombang dan menjadi cikal bakal kesenian ludruk yang

juga di lahirkan di Jombang, besutan namanya. Kesenian besutan ini merupakan kesenian

tradisional yang di kembangkan dari kesenian amen atau kesenian yang dimainkan dengan cara

berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainya yang bernama lerok.

Kesenian tradisional yang bernama besutan ini menceritakan atau menggambarkan tentang

masyarakat yang hidupnya terbelenggu, terjajah, terkebiri, dibutakan, dan hanya boleh berjalan

menurut apa kata penguasa. Besut itu sendiri merupakan akronim dari kata beto maksud atau biasa

kita mengucapkan mbeto maksud dan kalau di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah

membawa pesan. Jadi kesenian tradisional besutan atau lebih tepatnya teater tradisional besutan

tersebut dalam penampilanya selalu menceritakan ketertindasan masyarakat karena ketidakadilan

atau keangkuhan penguasa. dan itu pesan yang selalu ingin disampaikan besut kepada para

penguasa.

Dan sebenarnya besutan ini pada awalnya diperankan dimainkan oleh satu orang saja atau

dalam bahasa seninya bernama monolog. Dan besut sendiri mencerminkan tokoh laki-laki yang

cerdas, terbuka, perhatian, kritis, transformatif, dan nyeni, dan seiring perkembangan jaman pada

waktu itu berubahlah besutan ini bukan lagi menampilkan satu pemain atau melainkan di tambah

dengan beberapa pemain. seperti Besut sendiri sebagai tokoh utamanya, Rusmini yang cantik

gemulai, Man Gondo yang selalu memperankan tokoh jahat sebagai musuhnya lakon atau biasa

disebut antagonis dan sekaligus pamanya rusmini, Sumo Gambar yang selalu mederita karena

cintanya bertepuk sebalah tangan karena cintanya selalu bertepuk sebelah tangan sehingga

menjadikanya antagonis. Dengan tema apa pun lakon atau ceritanya, bumbu cinta segitiga antara

Rusmini, Besut, dan Sumo Gambar selalu menjadi penyedapnya. Dan itulah sedikit gambaran

yang diceritakan dalam teater tradisional yang di lahirkan di kota santri. Dan hanya ingin

mengingat-ingat kembali kalau Jombang kota santri mempunyai kesenian yang perlu dijaga dan di

lestarikan sampai akhir hayat nanti.