Keanekaragaman Hayati Dan Evolusi Organisme

download Keanekaragaman Hayati Dan Evolusi Organisme

of 11

description

Contoh makalah review

Transcript of Keanekaragaman Hayati Dan Evolusi Organisme

Keanekaragaman Hayati dan Evolusi Organisme

Keanekaragaman Hayati dan Evolusi OrganismeLangkah Sembiring

Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Biologi

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

Abstrak

Kenaekaragam hayati yang didefinisikan sebagai totalitas variasi gena, spesies, dan ekosistem yang dijumpai di suatu daerah merupakan objek kajian biologi yang telah diteliti dan dipelajari dari masa ke masa. Konsep yang digunakan dalam memahami keaneragaman hayati pun berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, pandangan terhadap keanekaragaman hayati juga turut mengalami perubahan yang kadang-kadang cukup drastis sehingga menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan. Namun akhirnya konsep yang diperdebatkan tersebut juga dapat diterima sebagai sudut pandang baru setelah mengalami proses panjang. Klasifikasi mahluk hidup sejak semula telah diupayakan agar sistem klasifikasi sekaligus mencerminkan hubungan kekerabatan (filogenetik) antar mahluk hidup. Berdasarkan sistem klasifikasi mahluk hidup yang digeluti oleh salah satu cabang biologi yaitu (Bio)Sistematika, semula keanekaragan hayati hanya diklasifikasikan ke dalam Dunia Hewan (Kingdom Animalia) yang terdiri dari Hewan dan Protozoa dan Dunia Tumbuhan (Kingdom Plantae) yang terdiri dari Tumbuhan, Fungi, dan Algae dan Bakteria. Namun, akibat kemajuan ilmu dan teknologi diketahui bahwa mahluk hidup tidaklah tepat hanya dipaksakan masuk dunia tumbuhan atau hewan saja sehingga diusulkan ada dunia ke tiga yaitu Dunia Protista untuk mewadahi mahluk yang bukan tumbuhan dan bukan pula hewan, yaitu Protozoa, Algae dan Slime molds. Selanjutnya, perkembangan teknologi mikroskop elektron, kimia organik dan biokimia telah menberikan data yang sangat memadai bagi para ahli untuk kembali mengkaji keanekaragaman hayati sehingga lahirlah usulan klasifikasi mahluk hidup menjadi lima dunia kehidupan, yaitu Dunia Hewan, Dunia Tumbuhan, Dunia Protista, Dunia Fungi, dan Dunia Monera. Sistem klasifikasi tersebut yang memandang garis evolusi mahluk hidup secara dikotomis yaitu, antara garis evolusi prokaryotik dan eukaryotik, sesungguhnya hanya didasarkan atas tiga faktor yaitu (i) struktur organisasi internal sel, (ii) struktur organisasi selular, da (iii) tipe nutrisi. Sistem klasifikasi ini pernah dianggap sebagai sistem yang terbaik dalam memandang keanekaragaman mahluk hidup yang dapat mencerminkan hubungan kekerabatan (sejarah evolusi) mahluk hidup. Namun demikian, perkembangan biologi molekular sejak pertengahan abad ke-20 telah memberikan kemungkinan para ahli untuk lebih mendalami lagi sistem klasifikasi keanekaragaman hayati yang lebih mencerminkan hubungan kekerabatan berdasarkan data molekular yaitu (DNA, RNA) dan algoritme evolusioner. Pendekatan ini menghasilkan revolusi dalam sistem klasifikasi keanekaragaman hayati karena ternyata hasilnya menantang sistem klasifikasi dikotomis prokaryote-eukaryote dan mengusulkan sistem three domain of life yaitu Domain Archaea, Domain Bacteria, dan Domain Eukarya. Berdasarkan sistem klasifikasi ini maka keanekaragaman hayati diklasifikasikan secara filogenetis menjadi tiga domain dan 6 dunia yaitu Dunia Archaea, Dunia Bacteria, Dunia Protista, Dunia Fungi, Dunia Plantae, dan Dunia Animalia. Setelah mengalami perdebatan yang cukup panjang, sekarang, nampak bahwa sistem ini telah diterima sebagai cara memandang keanekaragaman hayati yang mencerminkan hubungan kekerabatan (sejarah evolusi) mahluk hidup secara lebih baik. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai latar belakang sejarah perkembangan sistem klasifikasi mahluk hidup sebagai konsekuensi perkembangan ilmu dan teknologi yang diaplikasikan oleh (Bio)Sistematika dalam mempelajari keanekaragaman hayati sebagai objek kajian biologi sehingga pemahaman mengenai sejarah evolusi mahluk hidup semakin dapat dipahami lebih baik.A. Pengantar

Keanekaragaman hayati mengacu pada seluruh jasad hidup yang ada dalam biosfer dan wujudnya dapat diamati berupa mikrobia, tumbuhan maupun hewan. Jadi, keanekaragaman hayati dapat didefinisikan sebagai totalitas variasi gena, spesies, dan ekosistem yang dijumpai di suatu daerah. Dengan demikian, pengertian keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya mikrobia berada pada tiga tataran yaitu keanekaragaman genetik, keanekaragaman spesies dan keanekaragaman ekosistem (Sembiring, 1998).

Menurut World Conservation Center (Anonimus, 1992) keanekaragaman genetik adalah variasi gena atau genom yang dimiliki oleh setiap individu anggota spesies, sedangkan keanekaragaman spesies adalah jumlah spesies yang terdapat dalam suatu komunitas, lalu keanekaragaman ekosistem adalah jumlah atau variasi ekosistem yang terdapat di suatu daerah. Walaupun demikian, dalam pembicaraan secara umum, yang dimaksud dengan keanekaragaman hayati lebih sering mengacu kepada keanekaragaman spesies saja. Akan tetapi, secara substansial, keanekaragaman hayati sesungguhnya mencakup ke tiga tataran tersebut.

Apabila kita mengacu kepada keanekaragaman spesies maka sudah barang tentu, tingkat keanekaragaman sangat tergantung kepada konsep spesies yang kita gunakan. Padahal, masalah konsep sepesies merupakan hal yang sangat kontroversial dalam perdebatan para pakar dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan biologi pada khususnya dan ilmu dan teknologi secara keseluruhan pada umumnya. Misalnya, perkembangan pemikiran mengenai konsep spesies sampai yang paling mutakhir seperti yang dipaparkan dalam buku yang disusun oleh para pakar yang berkompeten dan diterbitkan oleh The Systematics Association (Claridge et al., 1997), ada sebanyak 22 konsep spesies yang digunakan (Mayden, 1997). Oleh karena itu, dalam studi keanekaragaman berbagai kelompok mahluk hidup, khususnya untuk bakteri, para pakar berupaya keras merumuskan suatu konsep spesies yang praktis sehingga dapat digunakan oleh para peneliti di seluruh dunia (Goodfellow et al., 1997).

Sistematika sebagai ilmu yang mempelajari keanekaragaman mahluk hidup terdiri dari tiga subdisiplin yaitu klasifikasi, identifikasi dan nomenklatur (Cowan, 1955). Kemampuan studi sistematika dalam menyingkap keanekaragaman hayati sangat dipengaruhi oleh perkembangan biologi pada umumnya dan kimia, biokimia, biologi molekular, genetika molekular, evolusi molekular serta manipulasi data dengan komputer.

Perkembangan aplikasi komputer dalam sistematika mikrobia telah melahirkan sistematik numerik (Sneath, 1957; Sokal, 1985) yang memungkinkan dilakukannya klasifikasi dan identifikasi mikrobia secara kuantitatif dan lebih bersifat objektif. Selanjutnya aplikasi teknik biokimia dalam sistematik untuk menganalisis komponen sel di antaranya penyusun dinding sel, lipid membran, dan protein misalnya telah melahirkan sistematik kimiawi (khemosistematik) yang sangat penting dalam pendefinisian genus pada bakteri. Akhirnya, revolusi biologi molekular telah menyumbangkan data yang sangat menentukan bagi lahirnya sistematika molekular yang menggunakan informasi genetik dalam molekul DNA dan RNA untuk melakukan klasifikasi dan identifikasi mikrobia. Tersedianya data berupa sequences DNA dan RNA dalam data base Internasional yang dapat diakses via internet oleh khalayak ilmuwan di seluruh dunia telah memicu berkembangnya bidang kajian bioinformatika yaitu pemanfaatan informasi biologis tersebut dengan menggunakan berbagai software komputer yang telah tersedia.

Pendekatan klasifikasi dalam sistematik yang menggabungkan sistematik numerik, sistematik kimiawi dan sistematik molekular untuk menghasilkan sistem klasifikasi yang kokoh sebagai dasar penyusunan sistem identifikasi dikenal dengan taksonomi polifasik (Colwell, 1970). Kongruensi hasil klasifikasi antar ketiga pendekatan tersebut dianggap mampu memberikan dasar klasifikasi yang lebih bermakna, bersifat prediktif dan bermafaat dalam mempelajari keanekaragaman hayati.

Sistematika modern yang berlandaskan pendekatan sistematik polifasik sangat bermanfaat dalam berbagai bidang aplikasi, misalnya dalam studi filogeni (Fox et al., 1977; Woese & Fox, 1977; Woese, 1987), yang telah menantang pandangan dikotomis evolusi prokaryotik eukaryotik (Chatton, 1937). Demikian juga dalam diagnostik molekular untuk deteksi dan identifikasi dalam bidang pertanian, lingkungan serta pangan dan medis.

Dalam makalah ini akan diuraikan sejarah perkembangan klasifikasi mahluk hidup sebagai produk aplikasi perkembangan ilmu dan teknlogi dalam bidang kajian keanekaragaman hayati (biosistematika) sejak jaman dahulu sampai jaman sekarang ini. Perubahan konsep mengenai cara memandang keanekaragaman hayati serta sejarah evolusi mahluk hidup sangat dipengaruhi oleh peningkatan kemampuan para pakar dalam menganalisis data yang tersedia dengan software yang semakin canggih dan mudah diperoleh. Pemikiran bahwa klasifikasi mahluk hidup harus mencerminkan hubungan kekerabatannya merupakan paham yang terus dikembangkan untuk dapat diwujudkan sehingga dewasa ini upaya untuk mewujudkannya terus dilakukan dengan segala cara. Klasifikasi yang mencerminkan kekerabatan berarti bahwa sejarah evolusi mahluk hidup diupayakan dapat tercermin dari hubungan taksonomis yang dihasilkan dalam sistem klasifikasi yang dikembangkan. Dalam hal ini, perkembangan sistematika molekular dalam analisis keanekaragaman semua mahluk hidup akan diuraikan seiring dengan perkembangan penelitian yang semakin hari semakin dibanjiri oleh analisis molekular mengenai keanekaragaman mahluk hidup.B. Sejarah klasifikasi jasad hidup menggambarkan pandangan terhadap keanekaragaman hayati dari waktu ke waktu Sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh Linnaeus (1753) membagi jasad hidup hanya atas dua dunia kehidupan yaitu Dunia Plantae (Tmbuhan, Algae, Fungi, Bakteria dan Arkhaea) dan Dunia Animalia (Hewan dan Protozoa). Selanjutnya, karena ditemukannya jasad (Euglena) yang tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dunia kehidupan tersebut maka Haeckel (1866) mengusulkan sistem klasifikasi atas 3 dunia yaitu dunia Plantae, dunia Animalia dan dunia Protista. Sebagai konsekuensi perkembangan mikroskop elektron maka diketahuilah bahwa struktur internal sel ternyata ada yang memiliki organela yang diselubungi membran dan ada pula yang tidak memiliki organela, yaitu bakteria dan arkhaea. Chatton (1937) menyebut kelompok pertama sebagai eukaryotik dan kelompok kedua disebut dengan prokaryotik. Penggolongan dikotomis prokayotik-eukaryotik selanjutnya dianut oleh sebagian besar pakar biologi yang bahkan secara dogmatis menganggap bahwa perbedaan sifat tersebut bersifat fundamental secara evolusioner. Hasil penelitian berdasarkan mikroskop elektron dan teknik biokimiawi juga mendukung kedua tipe sel tersebut sehingga hal ini telah memberi inspirasi bagi para pakar untuk mengajukan sistem klasifikasi baru bagi jasad hidup yang beranekaragam, termasuk di dalamnya mikrobia (Solomon et al., 2002). Dengan demikian, mikrobia ada yang tergolong jasad prokaryotik yaitu Bakteria dan Arkhaea dan ada yang tergolong ke dalam jasad eukaryotik yaitu Fungi, Algae dan Protozoa.

Salah satu sistem klasifikasi mahluk hidup yang kemudian diajukan berdasarkan pandangan dikotomis prokaryotik-eukaryotik adalah yang diajukan oleh R.H. Whittaker (1969) yang membagi jasad hidup menjadi 5 dunia kehidupan. Dalam sistem ini, Fungi yang mencakup cendawan (mushroom), kapang (mold) dan khamir (yeast) dikeluarkan dari dunia Plantae untuk dimasukkan dalam dunia tersendiri yaitu dunia Fungi. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa fungi tidak berfotosintesis, bersifat heterotrofik, dinding sel terdiri dari khitin, struktur tubuh serta cara reproduksi. Lalu, dibuat dunia Monera (Prokaryotae) untuk mengakomodasi bakteria dan arkhaea yang secara fundamental dianggap berbeda dengan jasad yang lain karena tidak memiliki organela. Dapat ditegaskan bahwa Whittaker (1969) mengklasifikasi jasad hidup menjadi dunia Plantae, Animalia, Fungi, Protista dan Monera hanya berdasarkan 3 aspek yaitu (i) struktur organisasi internal sel (ii) struktur organisasi sel dan (iii) tipe nutrisi sel.

C.Klasifikasi jasad hidup dalam era biologi molekular Ditemukannya struktur double-helix molekul DNA oleh Watson dan Crick (1953) telah memicu perkembangan biologi molekular yang selanjutnya sangat mempengaruhi pandangan para pakar dalam melihat keanekaragaman jasad hidup. Carl Woese (1970-an) dari Universitas Illinois (USA) menggunakan teknik biologi molekular yaitu analisis sequence rRNA subunit kecil (SSU rRNA) untuk mempelajari hubungan kekerabatan jasad hidup. Woese menggunakan analisis variasi molekul universal (rRNA) tersebut untuk menantang pandangan (dogma) lama yang menganut bahwa semua jasad prokaryotik sangat berkerabat dekat dan sangat mirip satu sama lain. Berdasarkan hasil analisis variasi molekul rRNA maka Woese (1987) mengajukan bahwa sesungguhnya jasad prokaryotik terdiri dari dua kelompok yang berbeda secara fundamental yaitu Archaebacteria dan Eubacteria. Dengan demikian maka selanjutnya diusulkan bahwa prokaryotae mencakup dua di antara tiga garis evolusi kehidupan yang ditemukan berdasarkan analisis rRNA yaitu Archaea, Bacteria dan Eukarya (Woese et al., 1990).

Usulan klasifikasi jasad hidup menjadi 3 domain oleh Woese et al., (1990) selanjutnya mendapatkan dukungan hasil penelitian Carol J. Bult (1996) yang melaporkan bahwa kemiripan sequence genom salah satu anggota Domain Arkhaea (Metahnococcus janashii) dengan sequence genom anggota Domain Bacteria kurang dari 50%. Atas dasar bukti molekular inilah sebagian besar pakar biologi masa kini setuju untuk membagi prokaryotae menjadi Domain Arkhaea dan Domain Bacteria. Berdasarkan perbedaan fundamental secara molekular antara arkhaea, bacteria dan eukarya maka banyak pakar sistematika masa kini , khususnya sistematika mikrobia menggunakan satu hirarki takson di atas dunia (Kingdom = Regnum) yaitu Domain. Dengan demikian, jasad hidup diklasifikasikan menjadi 3 Domain yaitu Domain Arkhaea, Domain Bacteria dan Domain Eukarya. Hasil analisis sequence rRNA menunjukkan bahwa anggota domain Arkhaea memiliki gena yang merupakan kombinasi antara gena yang mirip gena bakteri dan gena yang mirip gena eukaryot bahkan ada kecenderungan anggapan bahwa secara filogenetis Domain Arkhaea lebih mirip dengan Eukarya dari pada dengan Domain Bacteria.

Akhirnya, sebagai konsekuensi perkembangan biologi maka dewasa ini banyak pakar yang setuju dengan klasifikasi jasad hidup atas tiga domain dan 6 dunia kehidupan. Sebagai contoh bahwa isu tersebut telah dianggap mantap untuk diterima oleh kalangan pakar biologi, maka dalam salah satu buku teks Biologi mutakhir yang ditulis oleh Solomon et al. (1999-2008) menggunakan sistem tiga domain dan 6 dunia kehidupan yaitu Dunia Bacteria, Dunia Arkhaea, Dunia Fungi, Dunia Protista, Dunia Plantae dan Dunia Animalia. Dalam konstelasi sistem klasifikasi ini maka mikrobia meliputi tiga domain dan empat dunia yaitu, Bakteria, Arkhaea, Fungi dan Protista.

Berdasarkan perkembangan analisis sistematika molekular-filogenetik lebih lanjut maka keanekaragaman Domain Arkhaea digolongkan ke dalam satu Dunia Arkhaea yang terdiri dari 2 Phylum yaitu Phylum Crenarcheota dan Phylum Euryarcheota. Sedangkan Domain Bacteria dimasukkan dalam satu Dunia yaitu dunia Bacteria yang dibagi ke dalam 23 Phylum (Prescott et al., 2002). Domain Eukarya terdiri dari Dunia Fungi, Dunia protista, Dunia Plantae, dan Dunia Animalia. Dunia Fungi dibagi ke dalam 4 Phlum yaitu (i) Phylum Chytridiomycota (ii) Phylum Zygomycota (iii) Phylum Ascomycota, dan (iv) Phylum Basidiomycota (Alexopolus et al., 1996; Oliver & Scweizer,1999; Kendrick, 2000).Dunia Protista mengalami reklasifikasi yang besar yaitu Protozoa dibagi dua menjadi Dunia Archeozoa dan Dunia Protozoa, sedangkan Algae kehilangan status sebagai takson tersendiri karena sebagian masuk ke Dunia tumbuhan, sebagian masuk ke dunia protozoa dan sisanya diusulkan sebagai dunia Chromista (Atlas , 1997). Dunia Animalia dibagi menjadi (i) Phylum Porifera, (Phylum Cnidria (iii) Phylum Platyhelmynthes,(iv) Phylum Mollusca (v) Phylum Annelida (vi) Phylum Nemathelminthes, (vii) Phylum Arthropoda (vii) Phylum Echinodermata, dan (viii) Phylum Chordata (Miller & Harley, 1999). Akhirnya. Dunia Plantae dibagi menjadi (i) Phylum Bryophyta (ii) Phylum Pteridophyta (iii) Phylum Spermatophyta (Moore et al., 1998). Perbedaan mendasar dalam tataran struktural dan molekular (molecular signature) antara ketiga domain jasad hidup tersebut sangat mendukung keberadaan sistem klasifikasi ini. Hal ini dapat dilihat dari adanya molecular signaure yang spesifik untuk masing-masing domain mahluk hidup tersebut.D. Menuju Era Sistematika Modern (Polyphasic Systematics) Sistematika adalah ilmu yang mempelajari keanekaragaman dan hubungan yang ada antara sesama mikrobia baik hubungan similaritas maupun hubungan filogenetis. Dalam studi keanekaragaman tersebut sistematika memiliki 3 subdisiplin yaitu klasifikasi, identifikasi dan tatanama. Dalam prakteknya, ketiga subdisiplin tersebut saling berkaitan satu sama lain.

Klasifikasi adalah proses dan hasil penggolongan strain mikrobia ke dalam takson berdasarkan kemiripan atau perbedaan karakter. Sedangkan taksonomi adalah ilmu yang mempelajari teori klasifikasi (Simpson, 1961). Jadi, dapat dikatakan bahwa klasifikasi adalah praktek taksonomi dan sebaliknya. Identifikasi adalah proses penentuan apakah populasi yang diteliti identik dengan populasi mahluk hidup yang telah ditemukan sebelumnya atau tidak. Tatanama adalah aturan internasional mengenai metode pemberian nama ilmiah yang benar bagi mahluk hidup yang ditemukan.

Sistematika telah mengalami perkembangan yang spektakular seiring dengan penggunaan metode kimia dan biokimia, biologi molekular serta sistem manipulasi data dengan komputer untuk merevisi dan mengembangkan sistem klasifikasi dan identifikasi mahluk hidup. Sistem klasifikasi yang lebih baik telah memberikan manfaat yang besar bagi kemudahan identifikasi mahluk hidup yang penting dalam bidang pertanian dan lingkungan, dalam bidang medis serta dalam bidang industri.

Kemajuan sistematika ini dapat ditelusuri dari digunakannya komputer untuk mengembangkan sistematik numerik (Sneath, 1957a; 1957b: Sokal, 1985) diikuti dengan dipakainya metode kimiawi dan biokimiawi dalam klasifikasi mikrobia untuk mengembangkan sistematik kimiawi (Goodfellow & ODonnell, 1994) serta dimanfaatkannya data molekular dalam mendemostrasikan peran sistematika molekular dalam menyingkap keanekaragaman mahluk hidup (Woese, 1987). Kongruensi antara ketiga pendekatan dianggap merupakan dasar yang mantap untuk menghasilkan sistem klasifikasi mahluk hidup yang bermakna yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk mengkonstruksi sistem identifikasi yang bermanfaat dalam berbagai bidang aplikasi biologi.

D.1.Sistematika Numerik-fenetik Klasifikasi mahluk hidup ke dalam unit taksonomi dengan metode numerik yang didasarkan atas karakter yang dimiliki bersama (shared characters) dilakukan pertama kali oleh Sneath (1957a ; 1957b). Metode klasifikasi numerik bertujuan menggolongkan setiap populasi mahluk hidup ke dalam kelompok takson yang homogen yaitu taksospesies, berdasarkan sejumlah besar data fenotipik (politetik) lalu menggunakan hasil klasifikasi tersebut sebagai dasar untuk menghasilkan sistem indentifikasi yang lebih baik. Jika dibandingkan dengan sistem klasifikasi tradisional-konvensional yang ada sebelumnya maka sistem klasifikasi numerik sangat berbeda khususnya dalam hal mendefinisikan taksospesies atas dasar sebanyak-banyaknya karakter yang diperlakukan setara bukan seperti metode tradisional yang mendasarkan diri atas karakter tunggal yang dipilih secara subjektif. Dasar teoritis sistematik numerik terdokumentasikan dengan baik dalam beberapa pustaka (Sokal, 1985; Sackin & Jones, 1993; Stackebrandt et al., 2000).

Aplikasi metode sistematik numerik telah meningkatkan kualitas sistem klasifikasi mikrobia secara signifikan, khususnya bakteria. Sebagai konsekuensi aplikasi tersebut telah dilakukan revisi terhadap beberapa genera bakteri yang telah diklasifikasikan sebelum tahun 1960-an yaitu di antaranya Bacillus (White et al., 1993) dan Rhodococcus (Goodfellow et al., 1998). Telah terbukti bahwa sistematik numerik sangat bermanfaat dalam merevisi jumlah spesies dalam genus Streptomyces (Williams et al., 1983; Sembiring & Goodfellow, 2001a) serta dalam menyingkap keanekaragaman strain di antaranya yang diisolasi dari Indonesia (Sembiring, 2000; Sembiring et al., 2000) dan isolat dari New Caledonia (Saintpierre et al., 2003). Namun, aplikasi sistematik numerik relatif masih sedikit dilakukan dalam kelompok mikrobia lain seperti fungi dan protozoa (Goodfellow & Dickinson, 1985).

Dapat disimpulkan bahwa aplikasi metode numerik telah membuat terobosan besar dalam mendefinisikan spesies secara lebih objektif dan terukur yaitu dikembangkannya konsep taksospesies. Berdasarkan konsep ini maka taksospesies adalah sekelompok strain mikrobia yang memiliki indeks similaritas 70%.

D.2. Sistematika Kimiawi (Chemosystematics)

Data kimiawi yang diperoleh dari hasil analisis total sel mshluk hidup atau komponen sel mahluk hidup dengan metode fisiko-kimiawi seperti kromatografi gas (GC), Thin layer Chromatography (TLC) , High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dapat digunakan untuk mengklasifikasikan mahluk hidup atas dasar distribusi komponen yang berbeda baik intra maupun intertakson (Goodfellow & ODonnell., 1994). Analisis khemotaksonomi terhadap makromolekul khususnya asam amino dan apeptida, polisakarida, protein, enzim, dan senyawa polimer kompleks lainnya sperti isoprenoid quinones sangat bermanfaat dalam klasifikasi dan identifikasi mikrobia (Goodfellow, 2000).

Sidikjari kimiawi yang bernilai taksonomis dapat diperoleh dengan menggunakan teknik analisis kimiawi seperti Curie-point pyrolysis mass spectrometry (PyMS) (Magee, 1993). Kecepatan dan reprodusibilitas PyMS serta kemudahan aplikasinya terhadap berbagai mikrobia patogen menyebabkan teknik ini sangat berguna dalam identifikasi antar strain pada studi epidemiologis (Goodfellow et al., 1997). Metode kimiawi lain yang bermanfaat dalam klasifikasi dan identifikasi mikrobia adalah analisis asam lemak (Stead et al., 1992), analisis protein (Vauterin et al., 1993) serta analisis enzim dan profil metabolit volatil (James, 1994; Larsen & Frisvad, 1995).

Pentingnya data kimiawi dalam klasifikasi mikrobia juga didemonstrasikan dalam deskripsi genus pada bakteri yang mengandalkan perbedaan distribusi komponen kimiawi sel. Artinya, pendefinisian genus pada bakteri terutama mendasarkan diri atas data sistematik kimiawi (Holt et al., 1994).D.3. Sistematika Molekular

Teknik sequencing asam nukleat telah berkembang secara pesat sehingga perbandingan sequence gen homolog merupakan prosedur standar dalam sistematik mikrobia modern dewasa ini. Gen yang bersifat conserved seperti gen yang mengkode rRNA telah digunakan secara luas untuk menganalisis hubungan antar mikrobia mulai dari tataran spesies sampai di atas genus ( Woese, 1987). Sequence asam nukleat telah didepositkan dalam squence database seperti data Bank of Japan (Tateno et al., 1998), the Gene Bank Database (Benson et al., 1998) dan the Ribosomal Database Project (Maidak et al., 1997) sehingga dapat diretrieve dan digunakan sebagai acuan dalam penelitian.

Telah diketahui bahwa gen rDNA adalah sangat esensial bagi kehidupan semua jasad hidup. Gene ini sangat bersifat conserved baik pada jasad prokaryot maupun jasad eukaryot sehingga digunakan untuk mengkonstruksi pohon filogeni universal bagi semua jasad hidup. Filogeni yang didasarkan atas gen rDNA dapat digunakan untuk tujuan klasifikasi maupun identifikasi mikrobia dan terbukti mampu menyingkap keanekaragaman streptomisetes yang berasosiasi dengan rizosfer tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) (Sembiring, 2000; Sembiring et al., 2000; Sembiring & Goodfellow, 2001b).

Rantai komplementer DNA dapat didenaturasi menjadi rantai tunggal dan kemudian direnaturasi kembali menjadi rantai ganda pada kondisi tertentu. Pasangan komplementer spesifik terjadi antara A-T dan G-C sehingga persentase kekomplementeran pasangan dua rantai tunggal DNA (DNA-DNA relatedness) dapat digunakan sebagai ukuran kemiripan antar rantai yang berasal dari dua jasad yang berbeda. Teknik untuk mengukur tingkat kemiripan antar rantai DNA ini dilakukan dengan hibridisasi. Oleh karena itu, nilai DNA-DNA relatedness ini telah digunakan sebagai dasar untuk mendefinisikan spesies mikrobia yang dikenal dengan konsep genomic spcies. Kosep ini mendefinisikan spesies sebagai suatu kelompok strain mikrobia yang memiliki nilai DNA-DNA relatedness 70% dengan nilai Tm 5oC. Konsep genomikspesies telah digunakan untuk menjelaskan klasifikasi ke dalam genus dan spesies pada Streptomyces (Labeda, 1998).

Selanjutnya, metode sidikjari DNA telah banyak pula dikembangkan untuk keperluan identifikasi, khususnya untuk typing antar strain mikrobia (Gurtler & Stanisich, 1996; Towner & Cockayne, 1993). Hal ini sangat penting terutama dalam mengidentifikasi mikrobia patogen, tumbuhan, hewan maupun manusia dalam semua aplikasi bidang biologi di era modern ini. Oleh karena itu, lahirlah bidang kajian sistematika molekular yang mempelajari keanekaragaman mahluk hidup berdasarkan pendekatan data molekular ditandai dengan terbitnya text books dalam bidang sistematika molekular (Hillis et al., 1996; Bishop & Rawlings, 1997; Nei & Kumar, 2000; Salemi & Vandamme, 2004). Revolusi sistematika molekular telah membawa perubahan besar dalam cara memandang keanekaragaman hayati, baik mikrobia (Arkhaea, Bakteria, Protista, dan Fungi), Hewan, maupun Tumbuhan. Hal ini dapat dilihat secara umum dalam text book biologi masa kini (Solomon et al., 2008; Hoefnagels, 2009; Campbell et al., 2009) maupun bidang yang lebih khusus misalnya keanekaragaman mikrobia (Staley & Reysenbach, 2002), keanekaragam tumbuhn (More et al., 1998; Judd et al., 1999) maupun keanekaragama hewan (Miller & Harley, 1999/.E. Pendekatan Sistematika Polifasik

Sistematik mikrobia berawal dari pendekatan yang bersifat intuitif namun selanjutnya semakin obyektif sebagai akibat perkembangan teknik pendekatan yang diuraikan di atas. Perkembangan terkini, khususnya sistematik molekular telah memicu munculnya pemikiran akan perlunya membandingkan hasil klasifikasi antara yang sudah ada sebelumnya dengan pendekatan klasifikasi mikrobia terkini (Murray et al., 1990). Upaya ini bahkan mendorong munculnya pandangan bahwa klasifikasi mikrobia pada setiap hirarki taksonomis sebaiknya didasarkan atas penggunaan data fenotipik maupun genotipik secara terintegrasi (Vandamme et al., 1996; Goodfellow et al., 1997a). Pendekatan ini dikenal dengan istilah taksonomi polifasik yang diperkenalkan oleh Colwel (1970). Data genotipik diperoleh dari hasil analisis asam nukleat sedangkan data fenotipik dihasilkan dari hasil analisis karakter kultural, khemotaksonomi, morfologis, nutrisional dan karakter terekspresi yang lain (Goodfellow, 2000). Kongruensi antar kedua pendekatan inilah yang dianggap paling kokoh untuk menghasilkan sistem klasifikasi dan identifikasi yang bermakna dan bermanfaat.F. Penutup

Keanekaragaman hayati sebagai objek kajian biologi telah dipelajari dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Konsep mengenai keanekaragaman hayati berubah seiring dengan perubahan cara klasifikasi yang digunakan karena perubahan cara pandang, ketersediaan data serta ketersediaan instrumen analisis yang ada. Namun demikian, keanekaragaman hayati yang ada saat ini tetap dipandang sebagai produk evolusi yang telah membentuk kenekaragamn mahluk hidup dengan mekanisme seleksi alam sejak adanya mahluk hidup di planet bumi. Dengan demikian, klasifikasi yang dianggap mampu menunjukkan hubungan kekerabatan anatar mahlik hidup dianggap merupakan sistem klasifikasi yang paling alami karena mampu menggambarkan sejarah evolusi mahluk hidup di planet bumi ini. Dalam hal ini, sistematika molekular yang merupakan salah satu pendekatan dalam sistematika Polifasik untuk menyingkap keanekaragaman hayati telah berperan sangat signifikan sehingga dicapai sistem klasifikasi mahluk hidup seperti sekarang ini. Untuk Mikrobia, tanpa kehadiran sistematik molekular hampir pasti bahwa klasifikasi filogenetik tidak mungkin dihasilkan. Namun untuk tumbuhan dan hewan meskipun tanpa sistematika molekular klasifikasi filogenetik dapat dihasilkan dengan bantuan paleontologi tetapi kehadiran sistematika molekular turut memperkaya studi keanekaragaman hewan dan tumbuhan dewasa ini.Daftar Pustaka

Alexopolus, C.J., Mims, C.W. & Blackwell, M.1996. Introductory Micology, Fourth Edition, John Wiley & Sons, New York.

Anonimus, 1992. World Conservation Monitoring Center, Global Biodiversity: Status of the Earth Living Resources, Chapman & Hall., London.Atlas, R. M. 1997. Principles of Microbiology, Second Edition, Wm.C. Brown Publisher, USA.

Benson, D.A. Boguski, M., Lipman, D.J., Ostell, J. &Oulette, B.F. 1998. Gene Bank. Nucleic Acid Research 26: 1-7.

Bishop, M.J. & Rawlings, C.J. (Eds.). 1997. DNA and Protein Sequence Analysis: A Practical Approach, IRL Press, Oxford University Press, Oxford, UK.

Campbell,N.A., Reece, J.B., Taylor, M.R., Simon, E.J. & Dickey, J.L. 2009. Biology, Concept and Connection, Sixt Edition. Pearson International edition, Pearson Benjamin Cummings, San Francisco, USA.

Chatton, E. 1937. Titres et travaux scientifiques (1906 1937) de Edouard Chatton. Sette, Italy, E. sottano.

Claridge, M.F., Dawah, H.A., & Wilson, M.R. (Eds.). 1997. Species: The units of biodversity, The Systematics Associatiaon Special volume Series 54, Chapman & Hall., London.

Colwell, R. R. 1970. Polyphasic Taxonomy of bacteria. In Culture Collections of Microorganisms, pp: 421 436 (H. Iizuka & T. Hasegawa, Eds.), University of Tokyo Press, Tokyo.

Cowan, S.T. 1955. The principles of microbial classification. Introduction: the philosophy of classification. Journal of General Microbiology 12: 314 319.

Fox, G.E., Pechman, K.G. & Woese, C.R. 1977. Comparative cataloguing of 16S Ribosomal ribonucleic acid molecular approach to prokaryotic systematics. International Journal of Systematic Bacteriology 27: 44 57.

Goodfellow, M. 2000. Microbial Systematics: Background and Uses. In Applied Microbial Systematics, pp: 1 18 (F.G. Priest & M. Goodfelow, Eds.), Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, Netherlands.

Goodfellow, M., Alderson, G. & Chun, J. 1998. Rhodococcal systematics: problems and developments. Antonie van Leeuwenhoek 74: 1 18.

Goodfellow, M. & Dickinson, C.h. 1985. Delineation and description of microbial populations using numerical methods. In Computer-assisted Bacterial Systematics, pp: 165 225 (M.Goodfellow, D. Jones & F.G. Priest, Eds.), Academic Press Ltd., London.Goodfellow, M., Freeman, R. & Sisson, P.R. 1997. Currie-point mass spectrometry as a tool in clinical microbiology. Zentralblatt fur Bakteriologie 285: 133-156.

Goodfellow, M., Manfio, G.P. & Chun, J. 1997. Towards a practical species concept for cultivable bacteria. In Species: The units of biodversity pp: 25 59 (M.F. Claridge, H.A. Dawah & M.R. Wilson, Eds.). The Systematics Associatiaon Special volume Series 54, Chapman & Hall., London.

Goodfellow, M. & ODonnell, A.G. 1994. Chemical Methods in Prokaryotic Systematics, John Wiley & Sons. Chichester.Hillis, D.M., Moritz, C. & Mable, B.K. (Eds). 1996. Molecular Systematics, 2nd ed., Sinauer Associates, Inc. Publishers, Sunderland, Canada.

Hoefnagels, M. 2009. Biology, Concept and Investigations. McGraw-Hill Higher Education, Boston, USA.Holt, J.G., Krieg, N.R., sneath, P.H.A., Staley, J.T. &Williams, S.T. 1994. Bergeys manual of Determinative Bacteriology, 9th ed., williams & Wilkins, Baltimore.

James, A.L. 1994. Enzymes in taxonomy and diagnostic bacteriology. In Chemical Methods in Prokaryotic Systematics, pp: 471 492 (M. Goodfellow & A.G. ODonnell., Eds.) John Wiley & Sons. Chichester.Judd, W.S., Campbell, C.S., Kellog, E.A. & Stevens, P.F. 1999. Plant Systematics, A Phylogenetic Approach Sinanuer associates, Sunderland, USA.Kendrick, B. 2000. The fifth Kingdom, Thrd Edition, Focus publishing, R. Pullins Company, Newburryport MA01950, USA.Labeda, D.P. 1998. DNA relatedness among the Streptomyces fulvissimus dan Streptomyces griseoviridis phenotypic cluster groups. International Journal of Systematic Bacteriology 48: 829-832.Larsen, T.O. & Frisvand, J.C. 1995. Characterisation of volatile metabolites from 47 Penicillium taxa. Mycological Research. 99: 1153 1166.

Magee, J.T. 1993. Whole-organisms fingerprinting. In Hanbook of New bacterial Systematics, pp: 383-427 (M. Goodfellow & A.G. ODonnell, Eds.) Academic Press Ltd., London.Maidak, B.L. Olsen, G.J., Larsen, N., Overbeek, R., McCaughey, M.J. & Woese, R. 1997. The Ribosomal Database Project (RDP). Nucleic Acid Research 25: 109-111.

Mayden, R.L. 1997. A hierarchy of species concepts: the denouement in the saga of the species problem. In Species: The units of biodversity pp: 381 422 (M.F. Claridge, H.A. Dawah & M.R. Wilson, Eds.). The Systematics Associatiaon Special volume Series 54, Chapman & Hall., London.

Miller, S.A. & Harley, J.B. 1999), Zoology, Fourth Edition, WCB McGraw-Hill, Boston, USA. Moore, R., Clark, W.D. & Vodopich, D.S., Stern, K.R. & Lewis, R. 1998. Botany, WCB McGraw-Hill, Boston, USA.Murray, R.G.E., Brenner, D.J., Colwell, R.R., De Vos, P., Goodfellow. M., Grimont, P.A.D., Pfennig, N., Stackebrandt, E. & Zavarzin, G.A. 1990. Report of the Ad hoc committee on approaches to taxonomy within the Proteobacteria. International Journal of Systematic Bacteriology 40: 213-215.

Nei, M. & Kumar, S. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics, Oxford University Press Inc., USA.Oliver, R.P. & Schweizer, M. 1999. Molecular fungal Biology, Cambridge University Press., UK.Prescott, L.M., Harley, J.P. & Klein, D.A. 2002. Microbiology. Fifth edition., McGrawHill. Boston, USA.

Sackin, M.J. & Jones, D. 1993. Computer-assisted classification. In Hanbook of new Bacterial Systematics, pp: 281 313 ((M. Goodfellow & A.G. ODonnell, Eds.) Academic Press Ltd., London.

Saintpierre, D., Amir, H., Pineau, R., Sembiring, L. & Goodfellow, M. 2003. Streptomyces yatensis sp. Nov., a novel bioactive streptomycete isolated from a New-caledonian ultramafic soil. Antonie van Leeuwenhoek 83: 21 26.

Salemi, M. & Vandamme, A.M. 2004 (Eds.). The Phylogenetic Handbook: A Practical Approach to DNA and Protein Phylogeny. Cambridge University Press, UK.

Sembiring, L. 1998. Keanekaragaman Hayati (Mikrobia), Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta, Presentasi pada Semiloka Guru SMU (MGMP Biologi) di Ka. Klaten dan Kab. Magelang, 30 Mei 1998.

Sembiring, L. 2000. Selective Isolation and Characterization of Streptomycetes Associated with the Rhizosphere of the tropical legume, Paraserianthes falcataria (L) Nielsen, Ph.D. Thesis University of Newcastle, Newcastle upon Tyne, Uk.

Sembiring, L. & Goodfelow, M. 2001a. Application of Numerical systematics in Unraveling Streptomycete Divesity. Jurnal Mikrobiology Indonesia. 6: 1-7.

Sembiring, L. & Goodfelow, M. 2001b. The application of molecular biology in the development of streptomycete systematics. Biologi 2 (11):629 -653.Sembiring, L., Ward, A.C. & Goodfellow, M. 2001. Streptomyces violaceusniger clade sp. nov. In validation of publication of new names and new combinations previously effectively published outside the IJSEM. List No. 82. International journal of Systematics and Evolutionary Microbiology 51: 1619 -1620.Simpson, G.G. 1961. Principles of Animal Taxonomy. New York, Columbia University Press.Sneath, P.H.A. 1957a. The applications of computers to taxonomy. Journal of General Microbiology 17: 201 226.

Sneath, P.H.A. 1957b. Some thoughts on bacterial classifications. Journal of General Microbiology 17: 184 200.

Sokal, R.R. 1985. The principles of Numerical Taxonomy. Twenty-five years later. In Computer-assisted Bacterial Systematics, pp: 1 20 (M.Goodfellow, D. Jones & F.G. Priest, Eds.), Academic Press Ltd., London.

Solomon, E.P., Berg, L.R. & Martin, D.W. 2002. Biology 6th Ed., Brooks/Cole Thompson Learnig.

Solomon, E.P., Berg, L.R. & Martin, D.W. 2008. iology 6th Ed., Brooks/Cole Thompson Learnig.

Stackebrandt, E., Tindall, B., Ludwig, W. & Goodfellow, M. 1999. Diversity and Systematics. In Biology of the Prokaryotes pp: 674 720 ( J.W. Langeler, G. Drews, & H.G. Schlegel, Eds.), Thieme, Stuttgart.

Staley, J.T. & Reysenbach, A.L. 2002. Biodiversity of Microbial Life, Wiley-LISS A John Wiley & Sons Publication, New York, USA.

Stead, D.E., Selwood, J.E., Wilson, J. & Viney, I. 1992. Evaluation of a commercial microbial identification system based on fatty acid profiles for rapid, accurate identification of plant pathogenic bacteria. Journal of Applied Bacteriology 72: 315 321.

Tateno, Y., Kobayashi, K.F., Miyazaki, S., Sugawara, H. & Gojobori, T. 1998. DNA Database of Japan at work on genome sequence data. Nucleic Acid Research 26(1): 16-20. at at work on genomeTowner, K.J. & Cockayne, A. 1993. Molecular Methods for Microbial Identification and Typing. Chapman & Hall, London,Vandamme, P., Pot, B., Gilis, M., De Vos P., Kersters, K. & Swings, J. 1996. Polyphasic Taxonomy, a consensus approach to bacterial systematics. Microbiological Reviews 60: 407-438.

White,D., Sharp, R.J. & Priest, F.G. 1993. A polyphasic taxonomyc study of thermophilic bacilli from a wide geographic area. Antonie van Leeuwenhoek 64: 357 386.

Woese, C.R. & Fox, G.E. 1977. Phylogenetic Structure of the prokaryotic domain: the primary kingdoms. Proceedings of the National Academy of Sciences USA 74: 5088 5090.

Woese, C.R. 1987. Bacterial evolution. Microbiological Reviews 51: 221 271.Woese, C.R., Kandler, O. & Wheelis, M.L. 1990. Towards a natural system of organisms: Proposal for domains Archaea, Bacteria and Eukarya. Proceedings of the National Academy of Sciences. USA 87: 4576-4579.PAGE 7*)Diprentasikan dalam Program Pengabdian pada Masyarakat untuk Guru-Guru Biologi

SMA di DIY yang diselenggarakan oleh LPM UNY di Jurusan Pendidikan Biologi

FMIPA UNY, Yogyakarta, 17-24 Juli 2010.