Keamanan Vaksin Influenza Hidup Yang Dilemahkan Pada Anak

download Keamanan Vaksin Influenza Hidup Yang Dilemahkan Pada Anak

of 11

description

Journal Reading - Pediatrics Department - RS Marinir Cilandak

Transcript of Keamanan Vaksin Influenza Hidup Yang Dilemahkan Pada Anak

Keamanan Vaksin Influenza Hidup yang Dilemahkan Pada Anak-Anak Atopik dengan Alergi Telur Paul J. Turner, FRACP, PhD, Jo Southern, PhD, Nick J. Andrews, PhD, Elizabeth Miller, FRCPath, dan Michel Erlewyn-Lajuenesse, DM, atas nama SNIFFLE Study Investigators

Latar Belakang: Vaksin influenza hidup yang dilemahkan adalah vaksin intranasal yang baru-baru ini digabungkan ke jadwal imunisasi Inggris Raya. Namun, vaksin ini mengandung protein telur dan, dengan tak adanya data tentang keamanan, dikontraindikasikan pada pasien dengan alergi telur. Selain itu, pedoman Amerika Utara merekomendasikan agar vaksin ini tidak dipakai untuk anak-anak dengan asma. Tujuan: Kami berusaha menilai keamanan dari vaksin influenza hidup yang dilemahkan pada anak-anak dengan alergi telur.Metode: Kami melakukan studi intervensi yang prospektif, multisenter, label terbuka, fase 4 dan melibatkan 11 fasilitas sekunder/tersier di Inggris Raya. Anak-anak dengan alergi telur (didefinisikan sebagai reaksi klinis yang meyakinkan terhadap telur dalam 12 bulan terakhir dan/atau >95% kemungkinan alergi telur klinis per kriteria yang diterbitkan) direkrut. Vaksin influenza hidup yang dilemahkan diberikan di bawah supervisi medis, dengan observasi selama 1 jam dan tindak lanjut 72 jam kemudian.Hasil: Empat ratus tiga puluh tiga dosis diberikan kepada 282 anak-anak dengan alergi telur (median. 4.9 tahun; rentang, 2-17 tahun); 115 (41%) telah mengalami anafilaksis terhadap telur sebelumnya. Diagnosis dokter untuk asma/mengi berulang dicatat di 67%, dan 51% menerima terapi pencegahan secara teratur. Tidak ada reaksi alergi sistemik (95% CI untuk populasi, 1.3%). Delapan anak-anak mengalami gejala-gejala ringan yang sembuh dengan sendirinya, yang kemungkinan karena reaksi alergi yang dimediasi IgE. Dua puluh enam (9.4%; 95% CI untuk populasi, 6.2% sampai 13.4%) anak anak mengalami gejala-gejala saluran pernapasan bawah dalam 72 jam, termasuk 13 dengan mengi yang dilaporkan orangtua. Tidak ada episode yang memerlukan intervensi medis yang lebih dari tatalaksana rutin. Kesimpulan: Kebalikan dari rekomendasi yang berlaku sekarang ini, vaksin influenza hidup yang dilemahkan ternyata aman untuk digunakan pada anak anak-anak dengan alergi telur. Lebih lagi, vaksin tampaknya bisa ditolerir dengan baik oleh anak-anak dengan diagnosis asma atau mengi berulang. (J Allergy Clin Immunoll 2015;136:376-81).Kata kunci: Alergi telur, vaksin influenza hidup yang dilemahkan, asma, mengi berulang, keamanan

Alergi telur adalah salah satu alergi makanan yang paling sering terjadi saat masa kecil, dengan perkiraan prevalensi setidaknya 2% pada anak-anak usia prasekolah. Vaksin influenza secara umum mengandung protein telur )termasuk ovalbumin) karena virus vaksin dikultur di telur ayam betina; hanya vaksin yang dengan konsentrasi ovalbumin dibawah 2 ug/mL baru-baru ini disetujui oleh pemerintah nasional Inggris Raya. Secara teori, pasien dengan alergi telur mungkin berisiko lebih tinggi untuk mengalami reaksi alergi terhadap vaksin influenza. Di beberapa tahun terakhir ini, vaksin influenza yang tidak aktif dengan sedikit atau tanpa ovalbumin sudah tersedia. Penelitian observasi telah mengonfirmasi keamanan vaksin ini untuk anak-anak dengan alergi telur, termasuk mereka dengan riwayat anafilaksis terhadap telur sebelumnya, dan telah membantu agar kontraindikasi berhubungan dengan alergi telur di beberapa pedoman mengendur. Vaksin trivalen influenza hidup yang dilemahkan (live attenuated influenza vaccine/LAIV) diberikan lewat rute intranasal telah tersedia di Amerika Serikat selama beberapa tahun dan disetujui untuk digunakan di Eropa pada 2010. Vaksin ini memiliki efektifitas yang tinggi untuk melawan influenza pada anak-anak usia 2 hingga 17 tahun, dengan tingkat keamanan yang sebanding dengan anak-anak tanpa alergi telur. LAIV juga dikultur di telur ayam betina dan mengandung protein telur. Sampai beberapa waktu lalu, tidak ada data yang diterbitkan tentang keamanan dari LAIV pada anak-anak dengan alergi telur, dan maka dari itu penggunaannya pada populasi ini telah dikontraindikasikan.Pemerintah Amerika Utara merekomendasikan vaksin influenza tahunan untuk anak-anak usia 2 sampai 8 tahun, diutamakan dengan LAIV. LAIV tidak diijinkan untuk penggunaan pada anak-anak di bawah 2 tahun karena peningkatan insidensi mengi pada kelompok usia ini setelah imunisasi. Efeknya belum terlihat pada anak-anak yang lebih besar, bahkan pada anak-anak dengan riwayat asma dan mengi, ini dikonfirmasi dalam sebuah data surveilans post-pemasaran. Walaupun begitu, pedoman terkini dari CDC tidak merekomendasikan LAIV pada anak-anak dibawah 5 tahun dengan asma atau episode mengi pada tahun sebelumnya.Inggris Raya m Inggris Raya memasukkan emasukkanSingkatan-singkatan yang digunakanBTS: British Thoracic Society (Perkumpulan Toraks Inggris Raya)IIV: Inactivated influenza vaccine (vaksin influenza yang tidak aktif)IQR: Interquartile range (rentang interkuartil)LAIV: Live attenuated influenza vaccine (vaksin hidup yang dilemahkan)SIGN: Scottish Intercollegiate Guidelines Network (Jaringan Pedoman Interkolega Skotlandia)UK: United Kingdom (Inggris Raya)

Pada 2013, Inggris Raya memasukkan imunisasi influenza dengan LAIV ke Jadwal Imunisasi Nasional untuk anak-anak. Dengan mengetahui bahwa tingkat alergi telur di kelompok usia ini adalah sekitar 2.5%, kami memperkirakan (berdasarkan data populasi 2013) bahwa ada 60,000 anak-anak di kelompok usia ini yang dikontraindikasikan LAIV karena didiagnosis alergi telur. Maka dari itu, alergi telur merupakan penghalang yang signifikan untuk keberhasilan implementasi program imunisasi, mengakibatkan kebutuhan untuk vaksinasi anak-anak dengan alergi telur dengan IIV yang diberikan dengan injeksi (biasanya di lingkungan rumah sakit), sesuatu yang sedikit lebih tidak dipilih oleh kelurga-keluarga dan akan mengakibatkan biaya yang lebih besar. Maka dari itu, kami berusaha menilai keamanan LAIV pada anak-anak dengan alergi telur untuk menyediakan data untuk melaporkan pertimbangan berdasar-penelitian mengenai perubahan terhadap pedoman yang berlaku saat ini.

METODEKami melakukan penelitian label-terbuka fase IV pada anak-anak dengan alergi telur selama musim influenza di Inggris Raya (September 2013 ke Januari 2014) di 12 pusat alergi berdasar-rumah sakit di Inggris Raya. Peserta penelitian direkrut secara lokal dari klinik-klinik alergi. Peserta yang memenuhi syarat adalah yang berusia 2 sampai 17 tahun dengan (1) Alergi makanan yang dimediasi IgE terhadap telur, yang didefinisikan sebagai hasil uji alergi makanan positif terhadap telur dalam 12 bulan terakhir di bawal supervisi medis; (2) riwayat reaksi klinis terhadap telur dalam 12 bulan terakhir dengan bukti sensitisasi terkini atas dasar respon positif uji skin-prick atau tingkat serum serum-spesifik IgE terhadap putih telur; atau (3) bukti dari sensitisasi terkini konsisten dengan kemungkinan alergi telur secara klinis di atas 95%, sesuai dengan kriteria yang dipublikasikan. Pasien-pasiden dengan riwayat anafilaksis terhadap telur atau riwayat asma yang parah tetapi stabil tidak dikecualikan. Anafilaksis didefinisikan dengan menggunakan kriteria World Allergy Organization. Asma diklasifikan sesuai dengan terapi terkini pada saat imunisasi menggunakan pedoman British Thoracic Society (BTS) dan Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Uji skin-prick dilakukan ke semua peserta sebelum inklusi menurut pedoman-pedoman yang dipublikasi untuk konfirmasi sensitisasi terhadap telur (ekstrak putih telur; ALK-Abello, Horsholm, Denmark) dan mendeteksi sensitisasi terhadap aeroalergen potensial. Pengujian dan vaksinasi ditangguhkan bila peserta telah menerima antihistamin dalam 4 hari terakhir. Peserta-peserta dieksklusi bila mereka sebelumnya pernah membutukan ventilasi invasif untuk reaksi anafilaksis terhadap telur, memiliki asma parah yang tidak stabil, atau memiliki kontraindikasi terhadap LAIV, seperti riwayat reaksi alergi terhadap komponen vaksin (selain telur) atau sedang menjalani terapi salisilat atau pernah mengalami imunokompromais yang signifikan. Vaksinasi ditunda untuk peserta-peserta dengan febris akut atau bukti meningkatnya gejala-gejala asma selama setidaknya 2 minggu setelah gejala reda. Penelitian disetujui oleh Komite Etik Penelitian West Midlands-Edgbaston (13/WM/0231), dan orangtua/wali dari setiap peserta memberikan persetujuan tertulis. Anak-anaka di atas 8 tahun didorong untuk memberikan persetujuan tertulis sendiri. Sponsor penelitian adalah University Hospital Southampton NHS Foundation Trust (no. penelitian RHM CHI0659). Penelitian ini terdaftar dengan ClinicalTrials.gov (NCT01859039) dan European Union Clinical Trials Register (EudraCT 2013-002031-26).

PROSEDURPeserta-peserta diukur parameter dasarnya (tekanan darah, nadi, napas, dan saturasi oksigen) sebelum administrasi LAIV, dengan penilaian pernapasan klinis dan kulit di waktu yang sama. LAIV (Fluenz [dijual sebagai Flumist di Amerika Utara] diproduksi untuk musim influenza 2013-2014; AstraZeneca, London, Inggris Raya) diberikan lewat jalut pernasapan sesuai dengan ringkasan karakteristik produk yang telah disetujui (misal, 0.1 mL per lubang hidung) baik saat hari kasus alergi atau unit penelitian klinis di setiap rumah sakit. Peserta-peserta diobervasi setidaknya 1 jam untuk gejala-gejala reaksi alergi lokal atau sistemik, seperti didefinisikan oleh konsensus internasional. Observasi klinis direkam selama 60 menit setelah pemberian vaksin, bersamaan dengan skoring gejala (total skor gejala okular dan nasal). Di satu pusat beberapa pasien menjalani rinometri akustik, penilaian objektif dari patensi jalur nasal sebelum dan 10 menit setelah pemberian LAIV, seperti telah di deskripsikan sebelumnya. Detail kontak emergensi diberikan untuk para orang tua untuk mencari advis bila ada kekhawatiran setelah vaksinasi. Para orang tua dikontak lewat telefon setelah setidaknya 72 jam untuk mendeteksi adanya reaksi efek samping yang tertunda.Para peserta yang belum menerima imunisasi dengan vaksin influenza nonpandemik di tahun-tahun sebelumnya ditawarkan dosis kedua LAIV pada 4 minggu kemudian sesuai dengan rekomendasi produk.

EFEK JANGKA PANJANGHasil utama adalah insidensi dari reaksi alergi sebagai reaksi efek samping setelah imunisasi yang terjadi dalam jangka waktu 2 jam dari pemberian LAIV pada anak-anak dengan alergi telur. Reaksi alergi sistemik (anafilaksis) didefinisikan sesuai dengan definisi kasus Brighton Collaboration. Efek sekunder adalah sebagai berikut: insidensi dari gejala-gejala tertunda yang terjadi hingga 72 jam setelah pemberian LAIV; insidensi efek samping dari penyebab non-alergik setelah pemberian LAIV; dan perubahan di patensi jalur nasal di anak-anak yang menjalani acoustic rhinometry sebagai penilaian tambahan. Hubungan sebab-akibat dari semua kejadian efek samping dikonfirmasi oleh komite pemantauan data independen bekerjasama dengan tim penelitian lokal.

ANALISA STATISTIKAnalisa direncanakan secara prospektif dan detail dalam rencana analisa statistik. Insidensi dari reaksi terhadap LAIV (baik langsung maupun tertunda) diperkirakan dengan 2-sided exact 95% CI. Dengan analisa subgrup, insidensi dari reaksi-rekasi dibandingkan di antara kohort-kohort berbeda dengan menggunakan 2-sided Fisher exact test. Jumlah sampel dipertimbangkan dengan perbandingan historis

HASILDua ratus delapan puluh dua anak-anak dengan alergi telur terdaftar di penelitian dan menerima setidaknya 1 dosis LAIV antara September 2013 dan Januari 2014. Median umur dari kelompok adalah 4.9 tahun (rentang, 2-17 tahun; rentang interkuartil [IQR], 3-8 tahun), dan 185 (66%) adalah laki-laki. Sejumlah 433 dosis LAIV diberikan ke 282 anak-anak, 64 dengan riwayat vaksinasi influenza dan 218 anak-anak yang belum pernah divaksin, seperti digambarkan di Gambar 1. Seratus lima puluh-satu anak-anak menerima dosis kedua LAIV 4 minggu kemudian. Alasan-alasan mengapa hanya LAIV dosis tunggal yang diberikan ditunjukkan di Gambar 1. Sayangnya, 53 anak-anak tidak dapat menerima dosis kedua dikarenakan tidak tersedianya vaksin in-date; tidak ada satupun dari anak-anak ini yang berada dalam kategori klinis resiko-tinggi membutuhkan 2 dosis menurut pedoman imunisasi Inggris Raya.Semua anak-anak memiliki bukti dari alergi telur saat itu pada waktu imunisasi. Seratus empat puluh-lima (51%) anak-anak mengalami reaksi alergi terhadap telur pada 12 bulan terakhir dengan bukti sensitisasi pada pendaftaran. Dua puluh-dua (8%) telah menjalani uji makanan yang formal di rumah sakit terhadap telur dalam 12 bulan terakhir untuk memperkuat diagnosis mereka. Sejumlah 137 (49%) belum bereaksi terhadap telur dalam 12 bulan terakhir tetapi mempunyai bukti sensistisasi (misal, lebih dari kriteria yang dipublikasikan sebesar >95% nilai prediktif positif untuk alergi terlus secara klinis). Hanya 35 (12%) yang tidak pernah memakan telur dan diberikan diagnosis berdasarkan hasil-hasil dari uji alergi prediktif saja. Median respon uji skin prick terhadap putih telur adalah 7 mm (IQR, 5-9 mm; rentang, 0-16 mm), dan median tingkat IgE spesifik-serum adalah 12.1 kUa/L (IQR, 2.9-35.2 kUA/L; rentang, 0->100 kUA/L). Kelompok ini terdiri dari 115 (41%) anak-anak dengan riwayat anafilaksis terhadap telur sebelumnya, dimana 68 (24%) mengalami gejala-gejala pernapasan, gejala-gejala kardiovaskular, atau keduanya dengan mengonsumsi telur. Tujuh puluh-dua (27%) sampai sekarang masih mentolerir telur yang dipanggang (misal, di kue) pada waktu penerimaan peserta.

Asma yang didiagnosa dokter/mengi berulangSeratus delapan puluh-delapan (67%) anak-anak memiliki diagnosis asma dari dokter atau mengi berulang, 145 diantaranya (51% dari total kelompok) menggunakan terapi pencegah harian (BTS/SIGN tahap 2 atau lebih). Enam puluh-sembilan (25%) menggunakan kortikosteroid hirup dosis-tinggi, terapi multipel pencegah, atau keduanya. Seratus lima puluh-tujuh (56%) mempunyai mempunyai rinitis alergi, 180 (64%) memiliki eksema atopik, dan 138 (49%) alergi terhadap 3 atau lebih kelompok makanan.

Kejadian Ikutan Paska Imunisasi LangsungTidak ada reaksi sistemik di kelompok yang terdiri dari 282 anak-anak. Berdasarkan data ini, 95% CI untuk insidensi dari reaksi alergi sistemik (termasuk anafilaksis) terhadap LAIV pada anak-anak dengan alergi telur adalah 1.3%. Rata-rata jumlah skor gejala okular dan nasal adalah 0 (IQR, 0-1); ini tidak meningkat pada 10,30 atau 60 menit setelah pmeberian LAIV (P>.05, uji signed-rank Wilcoxon).Sejumlah 14 efek samping pada 14 anak berbeda dilaporkan dalam jangka 2 jam dari pemberikan vaksin (3.2% dari semua dosis yang diberikan), 8 konsisten dengan kemungkinan respon alergi termediasi-IgE, seperti didefinisikan oleh konsensus internasional. Maka dari itu 2.8% peserta yang mengalami efek samping langsung setelah imunisasi kemungkinan penyebabnya adalah alergi. Reaksi-reaksi ini (6 episode rinitis, 1 episode urticaria terlokalisir, dan 1 episode sakit perut ringan) ringan dan dapat sembuh sendiri dan terjadi dalam 30 menit dari pemberian LAIB. Kejadian lain-lain adalah sebagai berikut: 1 episode demam; 1 anak yang mengalami gejala eksema ringan 45 menit setelah pemberian LAIB; 2 episode obstruksi nasal saja tanpa gejala-gejala hidung gatal/bersin; dan 2 anak-anak yang mengalami gejala kulit yang sementara, terlokalisasi, non-spesifik (dagu yang gatal tanpa tanda-tanda kulit; 3 papula yang tidak gatal di atas bibir atas) tanpa adanya ciri-ciri lain yang mengarah ke reaksi alergi. Semua kecuali satu dari kejadian ini terjadi pada dosis pertama dari LAIV. Tiga dari anak-anak ini menerima dosis kedua LAIV 4 minggu kemudian tanpa reaksi.Tidak ada faktor risiko yang teridentifikasi untuk kejadian efek samping akut, alergi atau sebaliknya, saat dinilai untuk usia, tingkat keparahan alergi telur, vaksinasi influenza sebelumnya, toleransi terhadap telur yang dipanggang, dan adanya diagnosis asma dari dokter/mengi berulang atau rinitis alergi (P>.05 untuk semua perbandingan, uji Fisher exact).Acoustic rhinometry dilakukan pada 13 anak-anak: tidak ada perubahan signifikan pada daerah potong lintang dari jalur nasal (sugestif untuk kongesti nasal) yang terlihat (perubahan rata-rata pada patensi nasal, -5.3%; IQR, -18.7% hingga 18.6%; P= .97, uji signed-rank Wilcoxon). Tidak ada dari anak-anak ini yang dilaporkan gejala-gejala nasal.

Kejadian ikutan paska imunisasi tertundaSetelah mengeksklusi kejadian-kejadian pada 7 pasien-pasien yang dinilai tidak berhubungan atau kecil kemungkinan untuk berhubungan dengan vaksinasi dengan komite pengawasan data independen, 73 (dari 278) anak-anak yang mengalami kejadian tertunda (terjadi antara 2 dan 72 jam setelah pemberian vaksin) dilaporkan setelah dosis pertama, dan 35 (dari 148) mengalami kejadian tertunda setelah dosis kedua. Di antara kedua dosis, 91 anak-anak mengalami kejadian tertunda setelah setidaknya 1 dosis LAIV. Kejadian tertunda diringkas di Tabel 1. Dua puluh-enam (9.4%; 95% CI untuk populasi, 6.2% hingga 13.4%) anak-anak mengalami gejala-gejala saluran napas bawah dalam 72 jam, termasuk 13 (4.7%; 95% CI untuk populasi, 2.5% hingga 7.9%) anak-anak dengan mengi yang dilaporkan orang tua. Anak-anak dengan diagnosis mengi berulang atau asma tidak lebih besar kemungkinannya untuk mengalami efek samping daripada anak-anak tanpa diagnosis tersebut (59/186 [32%] vs 32/92 [35%], berurutan; P=1.00) setelah pemberian LAIV. Mengi atau batuk tidak lebih sering pada anak-anak yang menerima kortikosteroid hirup reguler (terapi BTS/SIGN tahap 2 atau lebih, P = .55). Ulasan medis oleh dokter anak dicari dalam 2 kasus, tetapi tidak ada perubahan dalam pengobatan atau tatalaksana. Tidak ada anak yang dibawa ke rumah sakit dikarenakan kejadian ikutan dalam 72 jam. Tidak ada kejadian ikutan serius yang dilaporkan selama penelitian berhubungan dengan pemberian LAIV.Pada 148 anak-anak yang menerima 2 dosis LAIV dan pada anak-anak yang tindak lanjutnya lengkap, 20 (13.5%) dilaporkan mengalami kejadian ikutan paska imunisasi dalam 72 jam untuk kedua dosis. Hanya pada 4 kasus gejala-gejala mirip dalam kedua reaksi, dan pada 2 dari 4 kasus dilaporkan kejadian ikutan paska imunsasi adalah gejala eksema.

Tabel 1. Kejadian ikutan tertunda yang dilaporkan oleh orang tuaGejala gejala tertunda yang dialami setelah LAIVJumlah dosisJumlah anakTingkat di kelompok95% CI untuk populasi

Denominator (jumlah dosis/anak-anak di penelitian)426278

Saluran napas atas

Saluran napas atas (seluruhnya)655921.2%16.6% - 26.5%

Gejala terisolasi saja, durasi 24 jam531.1%0.2% - 3.1%

Letargi, Sakit Kepala,Pusing, Myalgia882.9%1.3%-5.6%

Kulit

Gejala eksema13114.0%2.0%-7.0%

Ruam non-spesifik, tidak respon terhadap antihistamin220.7%0.1%-2.6%

Gejala-gejala abdomen

Muntah, mual, nyeri perut11114.0%2.0%-7.0%

DISKUSIPada kelompok anak-anak yang sangat atopik dengan alergi telur, tidak ada reaksi alergi sistemik atau episode-episode anafilaksis setelah pemberian LAIV. Ini sama dengan 95% CI dari 1.3% untuk insidensi dari reaksi alergi sistemik akut untuk anak-anak dengan alergi telur dalam populasi. Des Roches dkk baru-baru ini melaporkan kelompok 68 anak-anak dengan diagnosis alergi telur yang menerima LAIV tanpa reaksi alergi; akan tetapi, kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan alergi telur di kelompok mereka lebih tidak ketat bila dibandingkan dengan penlitian ini, dan maka dari itu proporsi anak-anak yang dilaporkan di penelitian itu mungkin sudah tidak lagi alergi terhadap telur secara klinis.Tingkat reaksi alergi berhubungan dengan paska vaksin (2.8%) lebih tinggi dari yang dilaporkan sebelumnya. Reaksi-reaksi ini semuanya ringan, terlokalisir, dan dapat sembuh sendiri. Data keamanan dari pengawasan post-marketing di Amerika Serikat telah menunjukkan LAIV sebagai vaksin yang ditolerir dengan baik. Baxter dkk melaporkan 9 episode urtikaria terjadi dalam 3 hari dari pemberian LAIV pada anak-anak usia 5 hingga 17 tahun dari 43,702 dosis selama periode 2003-2008. Akan tetapi, masih belum jelas berapa banyak dari episode-episode ini terjadi dalam 2 jam setelah pemberian LAIV, yang konsisten dengan mekanisme termediasi-IgE disebabkan oleh LAIV. Pada penelitian surveilans dari 2.5 juta dosis LAIV pada dewasa, 7 kasus reaksi alergi sistemik (anafilaksis) terjadi, yang sama dengan tingkat 0.3 reaksi per 100,000 dosis; tidak ada yang berkaitan dengan alergi telur, dan hanya 5 yang dinilai berhubungan dengan pemberian LAIV.Sebuah uji coba acak, double-blind, dikontrol-plasebo tentang keamanan LAIV pada anak-anak usia 6 hingga 59 bulan dengan alergi telur melaporkan kejadian ikutan paling sering adalah rinore/hidung tersumbat. Ini telah dikonfirmasi pada penelitian pengawasan paska-pemasaran. Kendati tingginya tingkat atopi di kelompok kami, tingkat kejadian ikutan mirip dengan yang sebelumnya dilaporkan (Tabel II). Pada penelitian ini anak-anak dengan asma (termasuk yang menggunakan terapi pencegah) atau mengi berulang tidak memiliki risiko lebih tinggi untuk mengi yang dilaporkan orang tua dalam 72 jam setelah pemberian LAIV. Tidak memungkinkan untuk membandingkan tingkat mengi dengan mereka yang menjalani penelitian sebelumnya karena yang sebelumnya mengacu ke mengi yang signifikan secara medis yang didiagnosis oleh petugas kesehatan hingga 42 hari setelah pemberian vaksin; sayangnya, tingkat gejala-gejala saluran napas bawah yang dilaporkan orang tua pada hari-hari setelah pemberian LAIV tidak dinilai di penelitian-penelitian yang sebelumnya. Lebih lanjut, anak-anak membutuhkan tatalaksana asma yang lebih tinggi (BTS tahap 3 atau lebih) tidak memiliki risiko lebih tinggi untuk mengi yang dilaporkan orang tua, kelompok yang masih merupakan 25% dari kelompok kami.Laporan dari 2 uji coba acak multinasional membandingkan LAIV dengan IIV pada 1940 anak-anak berusia 2 hingga 5 tahun dengan asma atau riwayat paska vaksinasi antara mereka yang telah menerima LAIV dan IIV. Tingkat gejala-gejala saluran napas bawa berkisar dari 5% hingga 29.9% (mengi apapun antara 42 hari dari pemberian vaksin) dan mirip dengan penelitian kami. Penelitian lain pada anak-anak yang usianya lebih besar juga tidak menemukan bukti adanya peningkatan ekaserbasi asma atau mengi yang signifikan secara medis setelah LAIV bila dibandingkan dengan IIV. Jelas bahwa mengi adalah gejala yang cukup sering pada kelompok anak-anak ini. Berlawanan dengan pedoman Inggris Raya, pedoman di Amerika Serikat dan Kanada sekarang ini merekomendasikan untuk tidak menggunakan LAIV pada anak-anak dengan asma, walaupun saran ini telah direvisi baru-baru ini, memperbolehkan penggunaan LAIV pada anak-anak usia 2 hingga 4 tahun tanpa gejala-gejala mengi dalam 12 bulan sebelum vaksinasi. Kami menemukan tidak ada bukti untuk peningkatatn mengi yang signifikan secara medis setelah LAIV pada anak-anak dengan riwayat mengi berulang atau asma. Kami tidak dapat menetukan apakah episode-episode mengi yang diamati dapat terjadi tanpa diberikannya imunisasi LAIV.Analisis dari 4 batch LAIV yang digunakan selama penelitian ini untuk Departemen Kesehatan, Inggris, menemukan konsentrasi maksimum ovalbumin yang ada lebih rendah dari 0.3 ng/mL. Meski begitu, kadar protein telur dari vaksin influenza bervariasi antara batch, dan data kami mungkin tidak dapat diaplikasikan ke stok LAIV di masa yang akan datang dimana kadar telur dari vaksin mungkin lebih tinggi. Tingkat maksimum dari ovalbumin yang diperbolehkan dalam LAIV di bawah lisensi yang diberikan oleh European Medicines Agency adalah 1.2 mg/mL; ini kira-kira 10 kali lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah protein telur yang ditemukan dapat memicu gejala-gejala lokal rinitis saat diberikan lewat jalur pernapasan anak-anak dengan alergi telur. Maka dari itu, kecil kemungkinan LAIV akan diperkirakan untuk memicu gejala-gejala karena reaksi alergi termediasi IgE terhadap telur.Kesimpulannya, data-data ini telah mendemonstrasikan profil keamanan dalam hal reaksi alergi sistemik terhadap LAIV (tersedia selama musim influenza 2013-2014) pada anak-anak dengan alergi telur, termasuk yang dengan riwayat anafilaksis, mirip dengan yang sebelumnya dilaporkan untuk anak-anak tanpa alergi telur. Lebih lanjut, vaksin ini tampaknya ditolerir dengan baik pada anak-anak dengan diagnosis asma atau mengi berulang.

Kami mengucapkan terima kasih pada komite pengawasan data kami (Glenis Scadding [Ketua], Andrew Riordan, Giuseppina Rotiroti, dan Andre Charlett), juga sebagai anggota dari Komite Pengatur Uji Coba kami (Nicola Brathwaite [Ketua], Diab Haddad, dan Hazel Gowland). Kami juga mengucapkan terima kasih kepada ko-investigator kami di tim penelitian SNIFFLE dan Grup Vaksin Anak Inggris Raya untuk dukungan mereka, juga kepada kolega PHE atas dukungan mereka dalam manajemen data: Samuel Lattimore, Deborah Cohen, Rashmi Malkani dan Teresa Gibbs.Investigator Penelitian SNIFFLE adalah: Christine Doyle (Alder Hey Childrens NHS Foundation Trust), George Du Toit (NHR Biomedical Reseacrh Centre di Guys and St Thomas NHS Foundation Trust), Michel Erlewyn-Lajeunesse (University Hospital Southampton NHS Foundation Trust), Roisin Fitzsimons (NIHR Biomedical Research Centre di Guys and St Thomas NHS Foundation Trust), paul T. Heath (Institute of Infection and Immunity, St Georges University of London), Stephen M. Hughes (Central Manchester University Hospitals NHS Foundation Trust), Louise Michaelis (Great North Childrens Hospital, Newcastle-upon-Tyne Hospitals NHS Foundation Trust), Jurgen Schwarze (University of Edinburgh dan NHS Lothian), Matthwe D. Snape (NIHR Oxford Biomedical Research Centre dan Oxford University Hospitals NHS Trust), Gary Stiefel (University Hospitals of Leicester NHS Trust), Huw M. Thomas (University Hospitals Bristols NHS Foundation Trust), dan Paul J. Turner (NIHR/Imperial Biomedical Research Centre dan Asthma UK Centre in Allergic Mechanisms of Asthma, Imperial College London). Implikasi Klinis: Vaksinasi influenza dengan LAIV aman untuk anak-anak dengan alergi telur, termasuk anak-anak dengan riwayat anafilaksis, dengan tidak dijumpai adanya manifestasi alergi sistemik.