Keamanan Pangan Pada Agrobisnis Ikan Laut

19
Keamanan Pangan pada Agrobisnis Ikan Laut Disusun oleh: Dony Septriana Rosady UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2012

Transcript of Keamanan Pangan Pada Agrobisnis Ikan Laut

  • Keamanan Pangan pada Agrobisnis Ikan Laut

    Disusun oleh:

    Dony Septriana Rosady

    UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

    SEMARANG

    2012

  • ABSTRAK

    Permasalahan mutu dan keamanan pangan produk hasil perikanan terjadi

    pada berbagai jenis produk perikanan. Timbulnya permasalahan ini disebabkan

    oleh berbagai aspek meliputi teknis, ekonomi, sosial budaya, maupun

    kelembagaan. Dalam rangka meningkatkan keamanan pangan produk hasil

    perikanan perlu dilakukan kajian terhadap keamanan produk hasil perikanan.

    Aspek yang dikaji dalam karya tulis ini adalah aspek penggunaan bahan

    tambahan makanan (food additives) ilegal yang merupakan salah satu dari

    permasalahan mutu dan keamanan pangan produk perikanan. Masih maraknya

    penggunaan bahan tambahan makanan (food additive) ilegal (formalin dan

    peroksida) pada penanganan dan pengolahan produk ikan segar dan ikan asin

    menunjukkan peran pengawasan keamanan pangan masih kurang baik.

    Pengembangan kebijakan jaminan keamanan dan mutu produk perikanan

    dapat dilakukan berbagai langkah diantaranya adalah : pengembangan bahan

    tambahan makanan alternatif, pengembangan dan penerapan standar mutu,

    perbaikan tata niaga bahan kimia ilegal, kampanye makan ikan, penyadaran

    masyarakat, pengembangan kelembagaan, pengembangan SDM, keterpaduan dan

    pengembangan sistem pengawasan.

    Kata-kata kunci : Keamanan pangan, bahan tambahan ilegal, produk hasil

    perikanan

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Kemajuan berbagai negara dan adanya globalisasi telah mendorong setiap

    negara menjadi bagian dari masyarakat dunia. Kemajuan yang pesat pada berbagai

    sektor telah banyak merubah kultur budaya masyarakat, termasuk di Indonesia.

    Globalisasi tidak hanya berbicara mengenai perubahan pasar bebas, sektor

    ekonomi maupun industri. Teknologi informasi, kesehatan, pendidikan bahkan

    juga terkait bidang pertanian, perikanan, dan perkebunan pun menjadi objeknya.

    World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi perdagangan dunia

    dibentuk pada Januari 1995. Keberadaannya berdampak besar terhadap sektor

    perdagangan dan mendorong timbulnya pasar bebas/liberalisasi perdagangan.

    Produk agroindustri merupakan produk yang cukup besar jumlahnya

    dalam sektor perdagangan. Hal ini didasarkan pada kebutuhan yang tinggi untuk

    memenuhi kebutuhan manusia yang semakin lama semakin meningkat jumlahnya.

    Indonesia menempati posisi yang tinggi dengan nilai ekspor sebesar US 2,50

    miliar.

    Manusia sebagai makhluk hidup membutuhkan asupan makanan guna

    menjalankan fungsi organ tubuhnya dengan baik. Kebutuhan tersebut berupa

    kebutuhan akan zat gizi karbohidrat, protein dan lemak yang seimbang.

    Kebutuhan akan karbohidrat dapat diperoleh dari makanan seperti nasi, kentang,

    singkong, dan berbagai jenis umbi-umbian lainnya. Kebutuhan akan lemak dapat

    diperoleh dari berbagai jenis makanan bersumber hewan dan juga nabati. Protein

    dapat diperoleh dari berbagai jenis daging, sayur-mayur, dan juga dari berbagai

    produk perikanan.

    Sektor perikanan memiliki potensi yang besar dalam pembangunan

    ekonomi dan juga berdampak besar dalam penyerapan tenaga kerja. Dengan

    pengelolaan yang baik hal ini tentunya dapat memberikan sumbangan dalam

    upaya penanggulangan kemiskinan.

  • Negara Indonesia memiliki garis pantai yang luas. Indonesia dikenal

    sebagai negara maritim dikarenakan luasnya wilayah perairan yang dimiliki oleh

    negara ini. Hal ini jelas menyimpan potensi besar akan sumber makanan bergizi

    bagi masyarakat.

    Keberlimpahan makanan berbasis perikanan menghadirkan kemudahan

    untuk memperoleh makanan yang bergizi sekaligus menghadirkan berbagai

    permasalahan yang mungkin terjadi. Salah satu masalah yang mungkin dihadapi

    adalah terkait distribusi akan produk hasil perikanan dan kelautan yang berasal

    dari daerah pesisir pantai. Jarak distribusi yang jauh dan ketahanan ikan menjadi

    persoalan yang banyak dihadapi. Pengolahan ikan agar menjamin ikan dapat

    dikonsumsi dengan waktu penyimpanan lama terkadang dapat menghadirkan

    masalah. Penggunaan pengawet kimia yang berbahaya dan tidak memenuhi

    standar keamanan pangan dapat mengancam kesehatan konsumen.

    Standarisasi makanan merupakan kebutuhan untuk menjamin mutu

    makanan yang baik. Di negara-negara Eropa dan Amerika masing-masing sudah

    dibuat standarisasi dan juga sistem manajemen keamanan pangan.

    Indonesia melalui UU No.7 tahun 1996 tentang Pangan tengah

    mengupayakan penyediaan pangan yang aman dan sehat bagi masyarakat. Hal ini

    juga diperkuat dengan adanya UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan untuk

    sektor makanan berbasis perikanan. Sertifikasi kelayakan pengolahan juga

    dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai legalitas atau bukti akan telah terpenuhinya

    standar pengolahan makanan yang baik. SKP ini didasarkan pada Hazard

    Analysis Critical Control Points (HACCP). Harapannya dengan adanya seluruh

    peraturan ini mampu menjamin keamanan pangan bagi masyarakat.

    Banyak faktor yang menentukan keamanan makanan termasuk didalamnya

    akibat keracunan bersumber pencemaran lingkungan, metabolisme rigor mortis,

    kontaminasi mikroflora, perubahan selama pengolahan, perubahan pada

    penyimpanan, serta kontaminasi lainnya.

    Dalam pelaksanaannya, di lapangan masih banyak produsen yang belum

    memenuhi standar dalam mengelola pangan berbasis perikanan. Padahal di pasar

    Indonesia, 50% ikan yang diperjual belikan adalah produk hasil olahan melalui

  • proses pengeringan dan pengasinan. Investigasi yang dilakukan masih

    menemukan produk olahan yang masih belum memenuhi standar kelayakan

    pengolahan. Sehingga kajian dan pengawasan dalam bidang keamanan pangan

    harus terus diupayakan.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Ikan dan Interaksinya Terhadap Lingkungan

    Pergerakan aliran permukaan laut di Asia Tenggara sangat ditentukan oleh

    musim panas dan musim hujan. Kondisi ini membuka potensi adanya penyebaran

    polutan dari satu daerah perairan ke daerah perairan lainnya. Perubahan

    temperatur juga dapat berdampak pada pertumbuhan biota laut, populasi spesies

    ikan, musim tangkap oleh nelayan, hingga pergerakan bahan pencemar.

    Perubahan ekologis yang terjadi dari waktu ke waktu menyebabkan

    timbulnya ketidak seimbangan dari ekosistem dan hal ini berpotensi

    menimbulkan pencemaran. Bahan pencemaran yang ada dapat menyebabkan

    dampak dalam jangka panjang dan jangka pendek.

    Berberapa peneliti menjadikan indikator mikrobiologi dan sedimen

    sebagai indikator adanya pencemaran lingkungan. Biasanya penyebab

    pencemaran lingkungan tertinggi diakibatkan oleh Esserchia coli dan Bacillus spp.

    Indikator fisika juga biasanya digunakan sebagai indikator adanya

    pencemaran lingkungan. Indikator-indikator tersebut termasuk di dalamnya

    temperatur, salinitas, kecerahan, kedalaman, total padatan tersuspensi, dan juga

    daya hantar listrik. Indikator kimia biasanya juga digunakan sebagai indikator

    pencemaran meliputi indikator pH, BOD, COD, DO, N-Nitrit, danjuga ortho

    fosfat.

    Pada contoh penelitian yang dilakukan di Karawang didapatkan hasil

    bahwa telah terjadi kelebihan limbah organik pada sektor perairan. Namun

    didapatkan hasil pula bahwa pencemaran limbah tersebut belum mengubah

    kualitas perairan namun gejala penurunan kualitas lingkungan sudah tampak.

    Pengambilan pestisida oleh ikan dapat terjadi melalui mekanisme

    penelanan makanan yang tercemar, pengambilan dari air melalui membran insang,

    difusi kutikular, dan penyerapan langsung dari sedimen. Sehingga pencemaran

    lingkungan akibat pestisida juga secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas

    produk perikanan.

  • Akumulasi logam yang terdapat pada perairan laut pun dapat berdampak

    terhadap penumpukkan logam pada ikan di laut. Namun mekanisme yang terjadi

    berbeda dengan yang terjadi pada pestisida. Disamping logam, pencemar lainnya

    dapat berupa toksikan. Toksikan dilaporkan dapat masuk melalu struktur yang

    lipofilik. Biasanya toksikan menembus struktur lipoprotein sehingga akhirnya

    masuk ke pembuluh darah. Fase awal biasanya berupa reaksi metabolit reaktif dan

    kemudian dialnjutkan oleh fase lanjutan berupa reaksi stabilisasi metabolit reaktif.

    2.2. Agroindustri Ikan

    Agroindustri perikanan merupakan industri yang berbahan baku dari

    produk ikan. Dari seluruh produk perikanan yang beredar di pasar, 90% bahan

    baku bersumber laut. Dan Indonesia memiliki lebih dari 80 jenis ikan laut yang

    berpotensi ekonomis.

    Produk perikanan yang beredar di pasaran biasanya berupa produk ikan

    hidup, ikan segar dalam beku, dan juga berupa produk lanjutan setelah melalui

    proses pengolahan.

    2.2.1 Penanganan Ikan Segar

    Mutu ikan atau produk ikan yang berkualitas sangat tergantung dari

    terpenuhinya syarat-syarat makanan yang baik. Syarat ikan tangkapan segar harus

    memenuhi syarat bahwa secara fisik ikan tersebut baik, kontaminasi yang

    minimal, dan juga dikelola dalam temperatur yang sesuai.

    Pada produk perikanan biasanya dilakukan pelumpuhan untuk

    menghindari penggumpalan dan kerusakan organ. Pelumpuhan biasanya

    dilakukan sebelum ikan dimatikan. Selanjutnya proses pencucian dilakukan untuk

    menghilangkan kontaminan dan lumpur yang melekat pada bagian luar ikan.

    2.2.2 Pengolahan Ikan

    Pembekuan merupakan salah satu teknik pengolahan ikan yang cukup

    sering dilakukan. Tujuannya untuk menekan kerusakan jaringan pada ikan yang

  • akan menurunkan kualitas ikan. Sehingga perlu dibutuhkan waktu yang cepat dari

    penangkapan hingga proses pembekuan ikan. Hal ini dilakukan guna menjamin

    mutu ikan. Biasanya ikan yang cukup sering diolah dengan pembekuan adalah

    ikan tuna. Di pasar biasanya ikan tuna dijual dalam bentuk beku.

    Proses pengeringan dan pengasinan merupakan proses yang tersering dan

    menguasai 50% produk perikanan di pasar Indonesia. Teknik lainnya beruapa

    pengasapan merupakan upaya pengawetan menggunakan prinsip pengeringan.

    Seiring dengan berkembangnya teknologi, proses pengolahan produk

    perinkanan semakin bervariasi. Biasanya ikan dapat diolah menjadi produk

    perikanan lanjutan beruapa baso ikan, nugget ikan, ikan kaleng, serbuk ikan,

    minyak ikan dengan kandungan vitamin A, tepung ikan, saos dan juga kecap.

    2.2.3 Teknologi Pengendalian Keamanan Pangan Produk Ikan

    Penurunan mutu keamanan pangan produk ikan dapat berupa dampak dari

    aksi enzim, bahan kimia, serta bakteri yang banyak dipengaruhi oleh temperatur.

    Teknik pengeringan, penggaraman, pengasapan, pembekuan hingga pengalengan

    merupakan upaya pengamanan mikroorganisasi. Kontaminasi mikroorganisme

    pada produk ikan dapat menjadi penyebab gangguan kesehatan

    Bakteriosin saat ini banyak digunakan sebagai pengganti pengawet nitrit.

    Hal ini banyak dilakukan guna menghindari keracunan nitrit dan turunannya

    berupa nitrosamin.

    Teknologi alternatif lainnya yang digunakan untuk mengendalilan

    keamanan pangan produk ikan adalah dengan indikator protease. Indikatro

    protease menunjukkan deteksi adanya kontaminasi Pseudomonas. Penurunan

    tekstur daging juga dapat digunakan sebagai indikator adanya mikroorganisme

    dalam produk perikanan.

    2.3. Ikan Sebagai Bahan Pangan

    2.3.1 Aspek Nutrisi pada Ikan dan Produk Ikan

    Ikan mengandung protein sebanyak 11-27%. Ikan dapat menjadi sumber

    protein bagi kebutuhan manusia. Disamping itu juga ikan memiliki kandungan

  • lemak yang cukup bervariasi antara 2-20%. Kolesterol terkandung sebanyak 50

    mg/100 gram pada ikan.

    Pada produk olahan seperti minyak ikan terkandung vit A, vitamin D, dan

    vitamin E. Vitamin tersebut banyak didapatkan pada minyak ikan karena vitamin

    A, vitamin D, vitamin E, dan vitamin K merupakan vitamin yang larut lemak.

    Karbohidrat dalam bentuk glikogen terkandung sebanyak 1% dalam otot

    ikan. Glikogen biasanya diubah menjadi asam laktat saat post mortem.

    Tabel 1. Daftar nilai gizi makanan di asia Tenggara, dalam 100 gram bagian yang dapat

    dimakan (Harper et al., 1985)

    2.3.2 Beberapa Kontaminasi Pangan Produk Ikan

    2.3.2.1 Kontaminasi Kimia pada Produk Ikan

    WHO memastikan adanya penemuan logam arsen pada beberapa contoh

    ikan sardin kaleng. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan pengolahan

    makanan berbasis ikan masih belum mencapai harapan.

    Hidrokarbon minyak bumi juga dilaporkan mengkontaminasi berbagai

    biota laut. Hidrokarbon diyakini sebagai pencemar utama di lautan. Disamping itu

    hidrokarbon juga dilepaskan oleh atmosfer dalam jumlah yang relatif banyak.

    Jumlah kandungan hidrokarbon juga meningkat, khususnya pada daerah perairan

    yang berdekatan dengan perkotaan.

  • Histamin merupakan senyawa amin biogenik yang cukup populer.

    Histamin juga merupakan sering dikenal sebagai racun hewan dan ditemukan luas

    sebagai racun sengat lebah. Histamin merupakan produk dari penguraian asam

    amino hsitidin melalui reaksi dekarboksilasi enzimatik yang dikatalisasi enzim

    histidin dekarboksilase. Enzim ini dapat dihasilkan akibat pertumbuhan bakteri

    yang berlebih, umumnya adalah enterobakteri.

    Selain itu ikan asap dan ikan panggang dilaporkan juga berpotensi

    menghasilkan senyawa benzo(a)pirena yang dapat bersifat karsinogenik. Senyawa

    karsinogenik semacam ini dapat menjadi penyebab timbulnya kangker pada tubuh

    manusia. Karsinogen dapat memicu mutasi perubahan proto-onkogen di dalam

    tubuh manusia menjadi onkogen yang dapat mendorong terjadinya kangker.

    Disamping itu karsinogen dapat juga menyebabkan mutasi gen normal menjadi

    gen yang abnormal sehingga kehilangan fungsi fisiologisnya.

    Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh WHO kontaminan

    lainnya bisa juga berasal dari bahan kemasan, air selama proses pengolahan yang

    mungkin mengandung arsen, kadmium dari pewarna kemasan, serta metil merkuri

    dari hewan laut lainnya.

    2.3.2.2 Kontaminasi Mikrobiologi pada Produk Ikan

    Keracunan ikan dapat terjadi pada pengolahan produk ikan yang kurang

    baik. Jumlah keracunan ikan sebanyak 76% disebabkan oleh toksin, 11%

    mikroorganisme, 3% kimia serta parasit, dan 10% tidak diketahui penyebabnya.

    kelompok mikrobial tersering biasanya akibat virus, bakteri dan juga parasit.

    Pada produk ikan beku mungkin dapat terkontaminasi Pseudomonas.

    Sementara penelitian lainnya menemukan adanya kontaminasi oleh Vibrio

    cholerae, Aeromonas hydrophilia, Sthaphylococcus aureus, Salmonella spp.,

    Listeria monocytogenes, Eschercia coli, dan Bacillus spp pada produk ikan

    kalengan.

    Toksin yang mengkontaminasi dapat juga berasal dari alga terutama dari

    genre Anabaena, Aphanizomenon, Microcystis, Nodularia, dan Oscillatoria.

    Selain kontaminasi toksin, kontaminasi juga dapat berasal dari tambahan

  • mikroflora kontaminasi silang, bumbu peralatan lingkungan dan juga tenaga kerja

    selama proses pengolahan.

    2.3.2.3 Kontaminasi Fisik pada Produk Ikan

    Penangkapan yang tepat dapat menurunkan tingkat kontaminasi produk

    ikan dari kontaminan. Syarat penangkapan yang baik biasanya ditandai dengan

    tidak terdapatnya luka, tidak babak belur, dan ikan tidak harus berjuang keras

    untuk melawan kematiannya. Biasanya hasil ikan tangkapan dapat disemprot

    dengan air bersih untuk membuang kotoran dan lumpur yang melekat pada

    permukaan ikan. Umumnya kontaminasi fisik berasal dari bahan dan peralatan

    bantu yang dipergunakan selama proses pengolahan.

    2.3.3 Perubahan Nutrisi pada Pengolahan Ikan

    Proses perubahan panas bisa memicu terjadinya denaturasi protein. Pada

    kondisi protein mengalami denaturasi maka protein tersebut akan rusak dan tidak

    lagi memberikan banyak manfaat bagi orang yang mengkonsumsi produk ikan

    tersebut.

    Proses pengasapan dan pengeringan produk ikan dapat menyebabkan

    kandungan lemak menjadi turun dari kadar normalnya. Namun, pengeringan

    dengan penggaraman cenderung menunjukkan kadar lemak yang lebih stabil.

    Proses pembekuan dapat menyebabkan proses autooksidasi dan akhirnya

    menghasilkan dehidrasi lipid pada produk ikan.

    2.4 Sistem Manajemen Keamanan Pangan

    2.4.1 Sistem Manajemen Mutu Keamanan Pangan

    Good Manufacturing Pactices (GMP) biasanya digunakan sebagai standar

    keamanan mikrobiologis dan juga merupakan persyaratan mutu pangan. Prinsip

    penanganan ikan juga biasanya harus memenuhi syarat sanitasi dan Good

    Handling Practices (GHP) yang merupakan dasar pembangunan sistem keamanan

    pangan.

  • Good Hygienic Practices (GHP) juga merupakan standar dalam menjamin

    mutu yang berkualitas dari produk makanan. Sehingga GMP/GHP dan GHyP

    merupakan persyaratan dasar bagi penerapan sistem manajemen Hazard Analysis

    Critical Control Points (HACCP). Di Indonesia format Sertifikasi Kelayakan

    Pengolahan (SKP) mewajibkan terpenuhinya GHyp dan GMP bagi argoindustri

    ikan.

    Penjaminan mutu yang lain juga menggunakan sistem ISO. Saat ini status

    sistem ISO telah mencapai Final Draft International Standard (FDIS).

    2.4.2 Pendugaan Risiko, Audit Sistem, dan Mekanisme Sertifikasi

    Tahap pertama pada pendugaan risiko, audit sistem, dan mekanisme

    sertifikasi adalah pengumpulan data relevan. Data relevan tersebut dapat berupa

    hasil studi pada hewan, bila memungkinkan pada manusia, juga termasuk studi

    epidemiologi. Tahap selanjutnya atau tahap kedua adalah pemeriksaan untuk

    menentukan batas aman bagi penggunaan intensif bahan tambahan makanan.

    Skema yang menggambarkan hubungan antara manajemen risiko, komunikasi risiko, dan

    pendugaan risiko

    Pendugaan risiko merupakan kajian hasil penelitian ilmiah rehadap

    sesuatu. Biasanya para peneliti melakukan kajian dan penelitian guna mengetahui

  • kemungkinan terjadinya kontaminasi pada produk makanan. Manajemen risiko

    biasanya dijalankan oleh perusahaan yang memproduksi makanan guna

    menurunkan risiko yang dapat terjadi terhadap produk mereka. Kebutuhan kedua

    belah pihak untuk mendapatkan informasi dapat dijembatani dengan adanya

    sistem komunikasi risiko. Seluruh hal ini diperlukan agar menjamin seluruh

    proses pengolahan produk makanan dapat berjalan dengan baik dan

    menghindarkan risiko yang dapat dicegah.

    Di Indonesia sudah sejak lama menggunakan sertifikasi keamanan pangan

    sebagai mekanisme pengawasan dan pengontrolan produk makanan berbasis

    perikanan. Namun sejauh ini pemasarakatannya tidak berhasil dengan baik karena

    pengakuan HACCP yang sifatnya tertutup.

  • BAB III

    KASUS DAN PEMBAHASAN

    3.1. Kasus dan Pembahasan

    Penelitian yang dilakukan oleh Putut Har Riyadi, Azis Nur Bambang, dan

    Tri Winarni Agustini menunjukkan bahwa terdapat bahan kimia tambahan ilegal

    berupa formalin ditemukan pada ikan segar di Pekalongan, Pati dan Rembang.

    Produk hasil perikanan udang atau ikan yang menggunakan bahan

    pengawet formalin biasanya ditandai dengan warna putih bersih, kenyal,

    insangnya berwarna merah tua bukan merah segar, serta daya awetnya yang

    meningkat.

    Kondisi ikan yang terlihat bersih inilah yang menjadi alasan mengapa

    banyak pihak yang masih menggunakan bahan berbahaya seperti formalin.

    Dengan penggunaan formalin maka daya tahan produk ikan akan meningkat dan

    menekan risiko pembusukan ikan dalam waktu dekat jika produk tersebut tidak

    terjual. Pertimbangan keuntungan yang menggiurkan inilah yang banyak

    dijadikan alasan untuk mengenyampongkan keamanan pangan pada produk

    berbasis ikan oleh para oknum penjual.

    Kondisi penambahan zat berbahaya seperti formalin tidak hanya dilakukan

    pada jenis produk ikan segar saja. Biasanya yang cukup sering dilaporkan terjadi

    penambahan zat berbahaya terjadi juga pada produk olahannya. Produk olahan

    seperti baso ikan, kerupuk, terasi, dan produk lainnya banyak pula dilaporkan

    menambahkan zat berbahaya.

    Pada penelitian yang sama, dilakukan pula penelitian terhadap produk

    olahan berbasis ikan laut. Namun dari penelitian tersebut pada produk olahan

    seperti kerupuk dan terasi ternyata tidak ditemukan adanya bahan tambahan

    makanan (food additive) ilegal seperti boraks dan rhodamin B.

    Penggunaan formalin dalam makanan tidak bisa terlepas dari kebijakan

    makro yang diambil oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah dalam kenaikan

    BBM contohny memberikan dampak kepada pendapatan nelayan. Imbas dari

    kebijakan tersebut terlihat pada naiknya harga produksi, seperti makin mahal dan

  • kelangkaan solar, makin mahalnya perbekalan yang harus dibawa, maupun es

    batu, yang biasa digunakan oleh para nelayan untuk mengawetkan ikan.

    Berdasarkan hasil penelitian tersebut kasus penggunaan boraks pada

    kerupuk ikan ternyata tidak ditemukan. Hal ini kemungkinan terjadi karena para

    pedagang dan pengolah memiliki pertimbangan tersendiri untuk tidak

    menambahkan tambahan makanan yang berbahaya. Mereka beranggapan secara

    teknis tidak ada perubahan dan keuntungan yang nyata terhadap produk yang

    dihasilkan. Contohnya saja tidak ditemukan adanya bukti kuat bahwa dengan

    penambahan formalin maka kerupuk ikan yang dihasilkan akan menjadi lebih

    renyah ataupun lebih disukai konsumen. Begitu pula penggunaan rhodamin B

    pada terasi. Sehingga pada penelitian tersebut tidak ditemukan adanya bahan

    tambahan berbahaya pada produk kerupuk dan terasi.

    Berkaitan dengan isu penggunaan formalin baik oleh nelayan maupun pleh

    pedagang/pengolah berpengaruh sangat nyata terhadap permintaan ikan.

    Masyarakat tidak peduli dengan ikan yang dikonsumsi, persepsi yang terbentuk

    adalah semua ikan yang dijual mengandung formalin, sehingga konsumen akan

    menjadi takut terhadap ikan atau antipati untuk mengkonsumsi ikan. Walaupun

    memang yang terkena dampak tidak semua perusahaan yang bergerak dalam

    bidang perikanan. Namun, hal ini sangat mengkhawatirkan karena berpengaruh

    langsung terhadap pendapatan masyarakat nelayan maupun pengolah/pedagang.

    Bahkan di Rembang setelah isu ikan berformalin ramai dibicarakan sejumlah

    pekerja yang sudah dirumahkan mencapai 500 orang akibat berhentinya produksi

    ikan asin. Sehingga perlu adanya langkah-langkah yang strategis untuk dapat

    memecahkan masalah tersebut.

    Kebijakan penanganan keamanan pangan diarahkan agar dapat menjamin

    masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan terutama pangan segar yang

    terkontaminasi oleh cemaran biologis, kimia maupun cemaran fisik, sehingga

    dapat mendukung terjaminnya pengembangan pertumbuhan, kesehatan dan

    kecerdasan manusia. Disadari bahwa sampai saat ini masih belum banyak

    masyarakat yang menyadari pentingnya keamanan pangan terutama pada produk

    pangan segar, hal ini disebabkan karena masyarakat baik masyarakat produsen

  • (terutama produsen skala rumah tangga) maupun konsumen masih menghadapi

    masalah kemampuan modal dan daya beli sehingga masalah keamanan pangan

    belum menjadi prioritas dalam menetapkan preferensi memilih pangan untuk

    dikonsumsi, dan sebagian besar pertimbangan adalah pada pangan dengan

    harga murah.

    Kondisi ditambah belum efektifnya penanganan keamanan pangan

    dikarenakan masih belum berkembangnya sistem penanganan keamanan pangan

    serta terbatasnya laboratorium yang telah terakreditasi sehingga sistem

    penjaminan mutu belum bisa berjalan dengan baik.

    Pengembangan kebijakan jaminan keamanan dan mutu produk perikanan

    dapat dilakukan berbagai langkah diantara adalah sebagai berikut :

    pengembangan bahan tambahan pangan alternatif

    pengembangan dan penerapan standar mutu

    perbaikan tata niaga bahan kimia tambahan ilegal khususnya formalin,

    kampanye makan ikan

    penyadaran masyarakat

    pengembangan kelembagaan

    pengembangan sumber daya manusia

    keterpaduan dan pengembangan sistem pengawasan

  • BAB IV

    KESIMPULAN DAN SARAN

    4.1. Kesimpulan

    Masih ditemukan penggunaan bahan tambahan makanan (food additive)

    ilegal (formalin dan peroksida) pada penanganan dan pengolahan produk ikan

    segar dan ikan. Tindakan penggunaan bahan tambahan makanan (food additive)

    ilegal pada penanganan dan pengolahan produk ikan segar dan ikan asin

    dipengaruhi oleh bebrbagai aspek diantaranya teknis, ekonomi, sosial budaya,

    kelembagaan maupun kebijakan.

    Pengembangan kebijakan jaminan keamanan dan mutu produk perikanan

    dapat dilakukan berbagai langkah diantara adalah sebagai berikut : pengembangan

    bahan tambahan pangan alternatif, pengembangan dan penerapan standar mutu,

    perbaikan tata niaga BTP ilegal, kampanye makan ikan, penyadaran masyarakat,

    pengembangan kelembagaan, pengembangan SDM, keterpaduan dan

    pengembangan sistem pengawasan.

    4.2. Saran

    Perlu dilakukan usaha-usaha untuk meningkatkan kesempatan bagi

    masyarakat untuk memberikan masukan dan cara pemecahan masalah kebijakan

    keamanan pangan produk perikanan. Kebijakan pemerintah diharapkan

    memberikan suatu jaminan baik kepada produsen maupun konsumen untuk

    mendapatkan haknya tapi juga disertai dengan kewajiban-kewajiban sehingga

    tersedia pangan yang aman, bergizi, bermutu dan beragam.

  • DAFTAR PUSTAKA

    1. BINTORO, V. P. 2009. Peranan Ilmu dan Teknologi dalam Peningkatan

    Keamanan Pangan Asal Ternak. Semarang: Universitas Diponegoro.

    2. BORGDORFF, M. W. & MOTARJEMI, Y. 2005. Surveilance penyakit

    bawaan makanan: Sistem apa saja yang dapat dipergunakan?

    3. BOTTARI, M., MAHARG, E., TUCKER, T., WALLACH, L. & ZHAO,

    S. 2007. Trade Deficit in Food Safety : Proposed NAFTA Expansions

    Replicate Limits On U.S. Food Safety Policy That Are Contributing To

    Unsafe Food Imports. Public Citizens Global Trade Watch.

    4. BPOM 2006. Bahaya Keamanan Pangan. Direktorat Surveilan dan

    Penyuluhan Keamanan Pangan.

    5. DADI Keamanan Pangan, Gizi Buruk Serta Dampak Sosioekonominya.

    ICD/SEAMEO, 2.

    6. EFRIZA. 2009. Efektifitas Media Promosi dalam Meningkatkan

    Pengetahuan Siswa, Guru, dan Pedagang tentang Keamanan Pangan.

    Magister, Institut Pertanian Bogor.

    7. FARDIAZ, D. Food Safety Policy in Indonesia. Investing In Food Quality,

    Safety and Nutrition, 95.

    8. FEHD 2008. Mercury in Fish and Food Safety. Hong Kong: Centre for

    Food Safety.

    9. HERMAWAN. 2005. Rekayasa Model Pendugaan Cepat Resiko

    Keamanan Pangan pada Agroindustri Ikan. Doktor, Institut Pertanian

    Bogor.

    10. ISEKI, N. Year. Food safety response to Fukushima nuclear power plant

    incident in Japan. In: Regional Symposium, 1-2 June 2011 2011 Hong

    Kong.

    11. JOHNSON, R. 2012. The Federal Food Safety System: A Primer.

    Congressional Research Service.

    12. KAFERSTEIN, F. K., MOTARJEMI, Y. & MOY, G. Food Safety. Food

    Quality and Standards, 1, 13.

  • 13. MARUHUM, B. 1991. Prospek Pengembangan Sukun Untuk Keamanan

    Pangan dan Tataniaganya. Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

    14. NAVMED 1998. Manual of Naval Preventive Medicine : Food Safety.

    Washington DC.

    15. PURNOMO, H. 2006. Food Safety ini Hospitality Industry. Jurnal

    Manajemen Perhotelan, 2, 1-6.

    16. RIB, O. 2002. Animal Welfare and Food Safety in Farmed Fish.

    European Food Safety Authority.

    17. RINTO, ARAFAH, E. & UTAMA, S. B. 2009. Imported Food

    Requirements: Fish species susceptible to production of histamine.

    Jurnal Pembangunan Manusia, 8, 10.

    18. RIYADI, P. H., BAMBANG, A. N. & AGUSTINI, T. W. 2007. Analisis

    Kebijakan Keamanan Pangan Produk Hasil Perikanan di Pantura Jawa

    Tengah dan DIY. Jurnal Pasir Laut, 2, 30-39.

    19. SHILS, M. E., OLSON, J. A., SHIKE, M. & ROSS, A. C. 1999. Modern

    Nutrition in Health Disease 9th edition. Wiliams & Wilkins.

    20. TAMPUBOLON, K. 2008. Mikrobiologi Keamanan Pangan Laut. Bogor:

    Intitut Pertanian Bogor.

    21. THAMPURAN, N. Critical Issues in Food Safety - Marine Fisheries An

    Overview. Central Institute of Fisheries Technology.

    22. USDHHS 2011. Fish and Fishery Products Hazards and Controls

    Guidance. Center for Food Safety and Applied Nutrition.

    23. WHO/FAO. 2011. Impact on seafood safety of the nuclear accident in

    Japan.

    24. WIJAYA, C. H. 2008. Peranan Ilmu Kimia dalam Pemberdayaan

    Pemahaman Masyarakat akan Keamanan dan Kelezatan Pangan.

    Pemikiran Guru Besar IPB.