Keadaan sosial

22
Keadaan sosial-ekonomi, politik dan keagamaan masa akhir kerajaan Israel Utara hingga masa pemerintahan Yosia di Israel Selatan Dalam bahasan sebelumnya disimpulkan bahwa kemungkinan bahan asli kitab Ulangan (pasal 12-26) berasal dari kerajaan Israel Utara, selanjutnya dikembangkan di Selatan dan memperoleh bentuknya seperti yang kita miliki sekarang pada masa setelah pembuangan. Bahan-bahan mengenai peraturan perang dalam Ulangan 20:1-20 yang merupakan bagian dari bahan asli itu, memiliki konteks sejarah penulisan. Dalam pembahasan ini, secara khusus akan dibahas mengenai konteks kehidupan umat, terutama konteks sosial-ekonomi, politik dan keagamaan pada masa di mana bahan pasal 20 itu awalnya dipelihara dan dikembangkan. Sepertinya waktu yang cocok mengenai masa awal di mana peraturan atau hukum perang ini dipelihara adalah masa akhir kerajaan Utara atau masa akhir abad VIII SM selanjutnya semakin dilengkapi pada masa Kerajaan Selatan, terutama pada masa pemerintahan Hizkia (mungkin sampai masa Manasye dan Amon). Kehidupan umat di Kerajaan Utara pada masa itu mengalami banyak kesulitan dan kerajaan sedang menghadapi ancaman kehancuran. 1 1 Lihat juga Hempel dalam otto eisfeld 174,,,,,,,,,, mana lagi kawannya referensi ini??

description

sejarah :)

Transcript of Keadaan sosial

Keadaan sosial-ekonomi, politik dan keagamaan masa akhir kerajaan Israel Utara hingga masa pemerintahan Yosia di Israel Selatan

Dalam bahasan sebelumnya disimpulkan bahwa kemungkinan bahan asli kitab Ulangan (pasal 12-26) berasal dari kerajaan Israel Utara, selanjutnya dikembangkan di Selatan dan memperoleh bentuknya seperti yang kita miliki sekarang pada masa setelah pembuangan. Bahan-bahan mengenai peraturan perang dalam Ulangan 20:1-20 yang merupakan bagian dari bahan asli itu, memiliki konteks sejarah penulisan. Dalam pembahasan ini, secara khusus akan dibahas mengenai konteks kehidupan umat, terutama konteks sosial-ekonomi, politik dan keagamaan pada masa di mana bahan pasal 20 itu awalnya dipelihara dan dikembangkan. Sepertinya waktu yang cocok mengenai masa awal di mana peraturan atau hukum perang ini dipelihara adalah masa akhir kerajaan Utara atau masa akhir abad VIII SM selanjutnya semakin dilengkapi pada masa Kerajaan Selatan, terutama pada masa pemerintahan Hizkia (mungkin sampai masa Manasye dan Amon). Kehidupan umat di Kerajaan Utara pada masa itu mengalami banyak kesulitan dan kerajaan sedang menghadapi ancaman kehancuran.

Pada masa ini terjadi ketidakdilan sosial yang menyebar ke seluruh wilayah kerajaan. Dalam struktur sosial terjadi pengelompokan masyarakat yang menimbulkan kelas-kelas yang membedakan satu dengan yang lain. Interaksi antara yang kaya dan yang miskin dibatasi oleh kepentingan ekonomi semata. Artinya bahwa kelompok dari kelas atas atau orang kaya hanya bergaul dengan masyarakat miskin sejauh memberikan keuntungan bagi pekerjaan mereka. Pada masa itu, kelompok kelas atas menggunakan perangkat hukum untuk memelihara dan menutupi kejahatan mereka dan dengan "topeng" penyataan pembangunan ekonomi, mereka telah melakukan kekerasan sturuktural terhadap masyarakat ekonomi lemah. Sebab masyarakat ekonomi lemah merupakan alat mereka untuk meraup keuntungan dan meningkatkan perekonomian mereka sendiri. Di samping itu, terjadi juga bentuk-bentuk kecurangan dan kebohongan terhadap kelompok yang lemah di mana para hakim mengadili secara tidak obyektif. Mereka dapat disogok sehingga mengadili secara tidak benar dan menjatuhkan hukuman tidak menurut hukum yang benar (Amos 5:10-12). Praktek-praktek kecurangan itu didukung pula karena yang menguasai lahan pengadilan adalah masyarakat kelas atas. Keadaan ini menyebabkan ketidakbebasan memperoleh perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat dan banyak terjadi kekerasan. Para petani atau masyarakat miskin tidak diberikan jaminan kepemilikan dari negara termasuk janji akan keuntungan yang dapat mereka perloleh dari kerja keras mereka.

Para petani dari latar belakang ekonomi lemah dan masyarakat miskin yang terpinggirkan, kehidupannya bergantung pada belas kasihan para tuan tanah dan para pemilik modal yang dapat memberikan pinjaman modal. Keadaan ini menyebabkan pemisahan antara petani kecil dengan kelompok lainnya terutama pemerintah (lih. Mikha 2:1 dst.; 3:1-9). Keadaan di mana para petani miskin tidak dapat membayar hutang, menjadi kesempatan bagi pemilik modal untuk memperlakukan mereka dengan sesuka hati, termasuk terhadap keluarga mereka (2 Raj. 4:1 dst.). Walaupun para petani miskin itu gagal panen, mereka harus membayar pajak kepada para pemilik modal pada panen berikutnya, atau mungkin juga dengan menjual salah satu anggota keluarga mereka atau memperhamba diri bagi pemilik modal tesebut (Am. 8:4-16). Para pemilik modal dan tuan tanah lambat laun menggeser posisi para penduduk yang sebenarnya memiliki hak waris atas tanah dari leluhur mereka. Akhirnya, masyarakat banyak yang kehilangan tanah mereka karena dirampas oleh pemilik modal dan tuan tanah (Am. 8:4; bnd. Mikha 2:9 dst.). Karena keaadaan tersebut muncul kelompok-kelompok masyarakat yang disebut sebagai orang lemah, orang miskin dan orang-orang malang atau sengsara (Amos 2:7; 4:1; 5:11).

Awalnya kehidupan umat memiliki sistem sosial yang terikat dalam sistem persekutuan kesukuan di dalam ikatan perjanjian dengan Yahwe. Sistem persekutuan itu tidak memiliki pembedaan kelas sosial, sebab semua pihak memiliki kewajiiban yang sama yang didasarkan pada perjanjian dengan Yahwe dan semua perselisihan, masalah yang dihadapi, diselesaikan dengan hukum Yahwe. Pada masa akhir abad VIII SM struktur kehidupan sosial masyarakat sudah berubah total. sistem kerajaan yang berpusat pada singasana atau mahkota kerajaan telah mencipta sistem sosial yang baru. Kewajiban sosial sebagai satu persekutuan, telah berubah menjadi kewajiban negara, bersamaan dengan berkembangnya aktivitas-aktivitas yang bersifat komersil. Keadaan itu telah menimbulkan hak-hak pribadi sekelompok orang atau kelas-kelas tertentu. Dampaknya negatif yang ditimbulkan adalah semakin melemahnya ikatan kesatuan suku dan menghancurkan karakter asli persekutuan yaitu "solidaritas". Selain itu terjadi juga pemasukan sekelompok masyarakat dari kalangan penduduk sekitar Kanaan yang memiliki latar belakang sebagai pemilik modal (kaum feodal) dalam sistem sosial masyarakat Israel.

Selain keterpecahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di kerajaan Israel Utara, kehidupan keagamaan juga mengalami kemerosotan. Beberapa catatan dalam kitab nabi yang hidup pada masa itu menunjukkan kemerosotan keagamaan yang terjadi. Walaupun ada banyak orang yang datang beribadah ke tempat suci dan dengan semarak beribadah (Amos 4:4; 5:21-24), namun kenyataannya mereka tidak sungguh-sungguh melakukan ibadah kepada Yahwe dan memelihara tradisi Yahwisme. Banyak tempat-tempat suci lokal yang telah menjadi tempat penyembahan berhala (dewa kanaan). Praktek penyembahan dewa Kanaan itu tumbuh subur (Hos. 1-3; 4:11-14 ). Sebagaimana dalam kepercayaan agama Kanaan ada banyak nama dewa, nama Yahwe pun digantikan dengan nama-nama dewa Kanaan. akhirnya umat banyak yang menyembah Baal. Para pejabat pemerintah juga banyak yang menyerap kultus dan ritus asli paganisme (Amos 2:7; 5:26), yang lebih buruk adalah upacara pengorbanan yang dilakukan untuk para dewa. Mereka menganggap dengan upacara pengorbanan itu akan dapat menenangkan para dewa dan dapat memberikan kedamaian.

Dalam bait suci sendiri banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para imam (Hos. 4:14), pelaksanaan formalitas ibadah keagamaan, padahal mereka telah meninggalkan Tuhan (Hos. 9:1), mabuk-mabukan dalam ibadah (Hos. 4:11), umat yang melakukan ibadah juga melakukan persundalan (4:13). Hosea sebagai salah seorang nabi yang hidup pada zaman itu menyebutkan ibadah Israel sebagai ibadah Baal (2:15). Dengan kata lain, Israel telah kehilangan identitasnya sebagai umat Allah. Atas keadaan itu nabi seperti Amos dengan tegas menyerukan akan kehancuran Utara atas kejahatan, penipuan, kemunafikan kultus atau ibadah yang mereka lakukan. Hanya satu syarat yang mungkin menyelamatkan mereka, yaitu mematuhi hukum Tuhan (5:14). Pada umumnya penekanan nabi sebagai kritik mereka terhadap keadaan yang terjadi, khususnya dalam bidang keagamaan adalah menyerukan agar umat kembali kepada konsep ibadah yang berpusat pada kedaulatan Yahwe Israel. Dalam hal ini, kritikan ditujukan kepada para pemimpin dan pemerintah yang tidak menempatkan Yahwe sebagai pemimpin yang sebenarnya. Para raja telah memberontak terhadap Yahwe, oleh karena itulah disuarakan dan ditekankan agar kembali kepada perjanjian dengan Yahwe.

Pada masa ini pula tradisi-tradisi tua Israel, termasuk hukum-hukum yang berhubungan dengan tradisi Sinai dan Musa, oleh sekelompok umat yang memeliharanya, diangkat dan direlevansikan dengan kehidupan umat. Bahan-bahan itu kembali diangkat dan direlevansikan mengingat tidak semua hukum-hukum kuno itu sesuai dengan keadaan atau sistuasi kehidupan umat yang sudah berubah, yaitu dari sistem persekutuan kesukuan (nomaden) menjadi sistem kerajaan. Lebih dari itu, hukum-hukum dan tradisi kuno yang diangkat bukan hendak menekankan segi pelaksanaannya, melainkan segi kerohaniaan atau segi pengajarannya. Ini berhubungan dengan upaya pembaharuan keagamaan dan pola hidup umat Upaya menafsirkan ulang, merelevansikan dan mengadaptasikan hukum-hukum dan tradisi kultus kuno Israel awalnya dikerjakan oleh kelompok imam Lewi (kelompok yang tinggal di bait suci dan masih memelihara tradisi-tradisi tua Israel) di Utara, dalam situasi yang sedang dihadapi umat pada saat itu. Hal itu karena ada kesadaran bahwa peraturan-peraturan yang diberikan oleh Musa tak selalu sesuai lagi dengan kenyataan, karena awalnya hukum itu dibuat bagi kaum pengembara sementara Israel telah menjadi bangsa yang terorganisasi (negara). Masalah-masalah kehidupan baru yang berhubungan dengan pola dan sistem sosial, politik yang baru, harus segera dijawab. Sebagai contoh, wajib militer bagi pria muda yang telah menikah, bahaya dari sekte-sekte kafir yang dipraktekkan di Kanaan; ketidakadilan dari golongan kaya yang yang menindas kelompok orang miskin dan lain sebagainya. Jadi perlu menata kembali peraturan-peraturan yang sudah ada sebelumnya. Namun pada masa ini, bahan-bahan tersebut belum dituliskan atau belum dilembagakan dalam kehidupan umat. Setelah umat berada di Selatan, barulah bahan-bahan itu dituliskan, dengan tetap didasarkan pada upaya merelevansikan hukum dan tradisi itu dengan kehidupan umat di Selatan.

Pada masa akhir abad ke VIII keadaan politik negara di Utara juga sedang menghadapi goncangan, khususnya Pada masa setelah kematian raja Yerobeam II di Utara, mulailah kemunduran yang signifikan dalam kerajaan Israel Utara. Kemunduran itu secara politik disebabkan oleh dua faktor, yaitu dari dalam dan dari luar. Faktor dari dalam, kerajaan mengalami perpecahan. Dalam catatan sejarah bahwa tiga dari lima raja terakhir Israel, setelah kematian Yerobeam II, merebut kekuasaan dan menjadi raja dengan tindakan kekerasan misalnya raja Shallum, Menahem dan Pekah (lih. 2 Raj. 15:8-28). Motivasi dari tindakan kekerasan yang dilakukan adalah ambisi pribadi, politik dan permusuhan atau pertentangan lokal. Faktor dari luar terutama ketika kemaharajaan Asyur bangkit kembali setelah beberapa lama mengalami kemunduran. Di bawah kepemimpinan Tiglath-Pileser III daerah-daerah sekitar Palestina termasuk Israel menjadi negara taklukan Asyur. Setiap negara yang ditaklukkan harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Kerajaan Asyur dan membayar upeti. Dalam keadaan itu, raja Israel, misalnya Menahem tunduk pada kerajaan Asyur dan memberikan upeti dengan biaya yang besar. Namun raja kemudian Pekah, dan raja Hosea tidak besedia tunduk dan merancang pemberontakan.

Keadaan yang sedang bergejolak dalam kerajaan Israel Utara itu menunjukkan keadaan politik yang sedang tidak stabil, dan kebijakan-kebijakan yang dibuat menunjukkan tanda-tanda kehancuran (Hos. 7:1-7; 8:4). Dalam keadaan ini pula tindak kejahatan merajalela dalam kehidupan di tengah-tengah kerajaan dan dalam kehidupan masyarakat. Sejalan dengan itu pula praktek-praktek paganisme berkembang, tidak ada kesatuan, tidak ada standar prinsip dan aturan moral dan tidak ada kesatuan dalam ibadah kepada Yahwe. Sejalan dengan kekacauan internal yang terjadi, keadaan politik juga mengalami krisis. Perjanjian Yahwe dengan kekuatannya yang mengontrol umat telah dilupakan. Yesaya menggambarkan kehidupan umat seperti kanibal (9:19 dst.). Umat menunjukkan sikap barbar (2 Raj. 15:16 dst.; Am. 1:13).

Kebijakan politik yang paling berbahaya dan paling buruk adalah pada masa pemerintahan raja Pekah (2 Raj. 15:27-31). Ia merancang persepakatan dengan Rezin, raja Damascus (Syiria) untuk berkoalisi memberontak terhadap kekuasaan Asyur. Awalnya koalisi tersebut meminta agar Yehuda bergabung bersama mereka, namun Yehuda menolak. Karena penolakan tersebut, koalisi Utara dengan Syiria menyatukan kekuatan untuk menyerang Yehuda. Perang pun terjadi (2 Raj. 16:5), namun belum sempat Yehuda dikalahkan, Ahaz raja Yehuda meminta bantuan dari Asyur dengan memberikan persembahan kepada Tiglat-Pileser. Akhirnya kekuatan Asyur maju menyerang koalisi yang dibentuk dan memukul kalah koalisi tersebut (734-732 SM). Di Utara, pada masa pemerintahan Pekah, dampak perang adalah semakin melemahnya posisi kerajaan. Para penduduk sebagian diangkut sebagai budak ke Asyur (2 Raj. 15:29).

Selanjutnya, atas persepakatan Hosea dengan pengikutnya dibunuhlah Pekah dan ia menjadi raja atas Israel. Kerajaan Israel pada masa pemerintahan Hosea juga mendapat serangan dari Asyur (raja Salmaneser) dan menyebabkan Hosea harus tunduk. Awalnya Hosea tunduk kepada kemaharajaan Asyur, namun kemudian ia menjalin hubungan kerja sama dengan kerajaan Mesir, yang dipimpin oleh raja So dan tidak memberikan uperti kepada Asyur. Karena perbuatan Hosea itu, maka majulah Asyur sekitar tahun 722/721 memerangi seluruh kerajaan Utara. Akhirnya Kerajaan Utara jatuh ke tangan raja Asyur (2 Raj. 17:1-6).

Seluruh keadaan sosial, politik dan keagamaan akhir abad ke VIII (sampai hancurnya kerajaan Israel Utara) telah membangkitkan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat melakukan konfrontasi dan perlawanan terhadap keadaan yang ada dan terhadap kebijakan-kebijakan, langkah-langkah politik yang ditetapkan oleh para pemimpin. Dua kelompok yang memberi sumbangan bagi upaya pembaharauan keadaan sosial, politik dan keagamaan pada masa itu adalah kelompok kaum imam dan nabi, namun yang kelihatan di permukaan adalah tindakan dan pemberitaan para nabi.

Setelah kehancuran kerajaan Utara, maka hanya ada satu bagian dari dinasti Daud yang tersisa yaitu Kerajaan Selatan. Namun, di Selatan ternyata keadaan kehidupan umat tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Utara. Sepertinya ada indikasi bahwa kemerosotan moral dan sosial yang telah menyebabkan kehancuran kerajaan Utara terjadi juga di Selatan. Dampak dari koalisi dengan Syiria adalah bahwa Yehuda harus tunduk kepada ketentuan Asyur dan membayar upeti. Kemenangan atas serangan koalisi Utara-Syiria sebenarnya tidak membuat Yehuda bebas dari ancaman, sebab akhirnya Asyurlah yang membawa ancaman bagi eksistensi Yehuda. Koalisi dengan Asyur membawa pengaruh yang merugikan kesatuan umat, kehidupan keagamaan dan kebijakan politik negara. Pada masa Ahaz di Selatan, pengaruh kebudayaan dan keagamaan Asyur sangat berkembang. Praktek ibadah keagamaan Asyur dengan segera diberlakukan di Yehuda (2 Raj,. 16:10-18). Selanjutnya posisi Yahwe sebagai Tuhan nasional bergeser, digantikan dengan dewa-dewa Asyur.

Keadaan sosial ekonomi juga mengalami kemerosotan. Penyakit sosial umat yang pernah ada di Utara ternyata dimiliki juga oleh umat di Selatan. Keterpecahan pola hidup sosial, dan pemusatan kekayaan di tangan sekelompok orang. Orang-orang kaya di Selatan tidak lebih baik pola hidupnya dengan orang-orang kaya di Utara (Amos 6:1; Mikha 1:5). Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri tanpa memperhatikan kehidupan saudaranya. Para pemilik tanah juga memeras orang miskin dengan cara yang tidak jujur (Yes. 3:13-15; 5:1-7; Mikha 2:1-9) dan para hakim juga berbuat jahat sehingga orang miskin tidak memiliki perlingdungan (Yes. 1:21-23; 5:23; Mikha 3:1-4, 9-11). Para pemimpin keagamaan juga tidak memberikan respon dan kritikan terhadap keadaan yang terjadi dan terhadap kebijakan yang diberlakukan negara, malahan mengajarkan apa yang tidak benar (Yes. 1:1-17; Mikha 3:5-8, 9-11).

Setelah kematian Ahaz, anaknya yang bernama Hizkiah menjadi Raja di Yehuda (715-687/6). Pada masa kepemimpinannya, ia bercita-cita untuk melepaskan Yehuda dari pengaruh kekuasaan Asyur melalui kebijakan politiknya. Hizkia berusaha melakukan pembaharuan di bidang sosial, politik dan keagamaan. Upaya yang dilakukan adalah melepaskan diri dari kekuasaan Asyur dan membersihkan ibadah atau keagamaan Yehuda dari pengaruh ibadah Asyur dan daerah-daerah sekitar Yehuda. Sedikitnya ada dua faktor penting yang melatarbelakangi kebijakan-kebijakan yang diambil Hizkia.

a) faktor-faktor internal

Dari dalam negeri, kebijakan Hizkia didorong oleh adanya semangat patriotisme termasuk dari umat dan hasrat kebanggaan sebagai umat yang merdeka. Selain itu, telah ada kesadaran dari umat bahwa pada waktu sebelumnya, mereka telah mengabaikan Yahwe, perjanjian dan hukum-hukumNya (sebagaimana yang disuarakan oleh nabi Yesaya dan Mikha). Umat sadar bahwa mereka telah menciptakan ketidakadilan dan praktek kultus paganisme (penyembahan berhala). Umat juga mempertimbangkan seruan para nabi yang mengatakan bahwa kerajaan Selatan juga akan mendapatkan hukuman dan akan hancur sebagaimana Utara jka tidak kembali kepada Yahwe. Hal itu telah menyadarkan Hizkiah untuk segera mengambil tindakan pembaharuan terhadap pola hidup umat. Ada juga dorongan dari pemahaman teologi nasional tentang pemenuhan janji keselamatan dan pemeliharaan Yahwe terhadap keturunan Daud. Hal itu ditegaskan kembali dalam kultus bahwa Yahwe telah memilih Sion sebagai tempat kediaman dan pemerintahannya di dunia dan itu telah dijanjikan Yahwe kepada keturunan Daud, yaitu sebuah dinasti yang akan memerintah selamanya dan berkemenangan atas semua musuhnya (Maz. 2:14-16; 72:8-11; 89:19-37). Selanjutnya ketetapan dibuat dan disuarakan bahwa raja yang berdosa akan mengakibatkan penghukuman bagi dirinya sendiri dan bagi semua umat (2 Sam. 7:14-16; Maz. 89:30-37).

Oleh karena itu Hizkia mengambil beberapa tindakan seperti menjauhkan bukit-bukit pengorbanan dan meremukkan tugu-tugu berhala dan tiang-tiang berhala, menghancurkan ular tembaga yang disembah umat, dsb. (lih. 2 Raj. 18:4). selain itu bahwa pembaharuan yang dilakukan Hizkia tidak hanya di bidang keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial.

Albertz menguraikan bahwa dasar kebijakan untuk pembaharuan keadaan sosial adalah kitab hukum perjanjian (Kel. 20:23-23:19). Oleh karena itu, hukum pun ditegakkan untuk melindungi hak orang miskin, yang tertindas, termasuk para budak). Posisi sosial dari orang-orang yang terpinggirkan dilindungi dengan hukum, termasuk para janda dan anak yatim (Yes. 1:23; 10:1 dst.; bnd. Kel. 22:20 dst., 23:9). Orang-orang kaya dari kelas atas dilarang menekan para peminjam modal yang bergantung pada mereka.

b) faktor-faktor eksternal

Pada masa Hizkia, Asyur sedang sibuk mengurus daerah-daerah taklukannya yang mulai melakukan pemberontakan, misalnya Babilonia yang dipimpin Marduk-Apaliddina (2 Raj: 20:12; Yes 39:1) yang mendapat pertolongan dari raja Elam, membuat Asyur tidak dapat lagi mengontrol Babilonia. Selain itu raja Asyur Sargon II pemberontakan taklukan mereka Karkhamis di Syiria tahun 717, memaksa Sargon untuk menghancurkan pemberontakan tersebut. Singkatnya keadaan di mana Asyur sedang giat melakukan pemberontakan, menjadi kesempatan yang tepat untuk melakukan langkah-langkah perubahan dalam kerajaan Selatan. Sejala dengan keadaan itu, bangkit pula kekuatan besar yang memperngarujhi kekuasaan Asyur yatiu kerajaan Mesir. Keadaan ini yang nantinya memberikan kesempatan bagi negara-negara taklukan Assyur untuk meminta pertolongan dalam pemberontakan yang akan dilakukan. Salah satu negara taklukan Asyur di daerah Filistin telah melakukan pemberontakan dengan tidak membayar upeti kepada raja Asyur, juga mendorong kebijakan politik luar negeri Hizkiah. Dalam catatan sejarah ada catatan-catatan yang menunjukkan bahwa Yehuda, Edom dan Moab telah berkoalisi untuk melawan Sargon dan ada catatan dalam teks-teks Asyur yang mengatakan bahwa Mesir telah siap untuk memberikan pertolongan terhadap usaha pemberontakan tersebut. Sepertinya raja Ethiopia juga telah mengajak Hizkia untuk mekukan pemberontakan.

Keadaan ini menjadi sebuah polemik dalam kerajaan Selatan. Permasalahannya adalah apakah Yehuda harus melakukan pemberontakan atau tidak. Namun akhirnya Hizkia memutuskan untuk melakukan pemberontakan dan merancang persiapan dengan baik. Hizkiah bergabung dengan Asdoth yang telah terlebih dahulu melakukan pemberontakan. Bukan hanya itu, Hizkia juga meminta pertolongan dari Mesir. Strategi militer dan persiapan pun dirancang (misalnya dengan pembuatan bentteng pertahanan, menutup sumber air yang keluar dari Yehuda, dll.).

Sikap yang diambil oleh Hizkia segera mendapat protes dari nabi Yesaya. Yesaya melihat bahwa kebijakan yang diambil Hizkia tidak tepat, sebab jauh dari pimpinan Tuhan. Hizkia lebih mengandalkan kekuatan pribadi dan tidak mengandalkan Tuhan (Yes. 20). Berkoalisi dengan kekuatan asing sama artinya dengan memalingkan diri dari Tuhan dan berusaha memutuskan perjanjian yang telah diikat Yahwe dengan umat (Yes. 30). Sikap Hizkia itu sendiri sepertinya telah meninggalkan ideologi nasionalisme religius yang telah dibangunnya.

Pemberontakan dilakukan pada masa setelah kematian Sargon II. Namun anak Sargon, Sancherib yang kemudian menggantikan posisi ayahnya mengambil tindakan untuk menghancurkan pemberontakan Hizkia. Pada tahun 701 Sancherib melakukan penyerbuan (2 Raj. 18:13-16). Walaupun Hizkia telah membuat persiapan pertahanan yang baik, namun kekuatan pasukan Asyur dapat mengalahkan Hizkia. Akibatnya bahwa Hizkia dan kerajaan Yehuda harus tunduk kembali kepada kekuasaan Asyur dan harus memberikan upeti yang mahal. Selanjutnya pada masa sekitar tahun 690/89 ketika Hizkia mendengar bahwa Mesir akan membantu mereka ia pun sekali lagi melakukan pemberontakan melawan Asyur. Mengetahui sikap Hizkia, maka Sancherib menyusun kekuatan untuk menyerang Yehuda, namun karena mengetahui bahwa Mesir akan segera datang membantu Yehuda, Sancherib menahan serangan dan mengirimkan perintah agar Yehuda menyerahkan diri kepada Asyur. Pada saat itu, Hizkiah berpikir bahwa jika Yehuda menyerah, maka dampaknya adalah Yehuda akan hancur dan penduduknya akan diangkut ke pembuangan (2 Raj. 18:31 dst.). pada saat itu, Yesaya berusaha keras mengingatkan Hizkia bahwa Allah akan campur tangan dan tidak akan membiarkan Yerusalem jatuh ke tangan Asyur jika Hizkia mengandalkan Yahwe (2 Raj. 19:29-34; Yes. 14:24-27). Pada masa akhir kehidupan Hizkia, ia masih mau mendengarkan apa yang diperintahkan Allah melalui nabi Yesaya. Kedaaan selanjutnya tidak jelas, mengapa Asyur tidak jadi menyerang Yehuda, namun dalam catatan Alkitab menyebutkan bahwa secara ajaib, ratusan prajurit Asyur mati terbunuh di kemah mereka sendiri (2 Raj. 19:35).

Setelah kematian Hizkia, pemerintahan dipegang oleh anaknya, Manasye (687-642). Namun dalam melaksanakan kepemimpinannya, ia tidak setia dengan cita-cita dan perjuangan pembaharuan yang dilakukan oleh ayahnya. Manasyeh malah tunduk kepada Asyur dan mematuhi ketentuan yang ditetapkan kerajaan Asyur. Bukan hanya kebijakan politik Yehuda yang dipengaruhi oleh Asyur, melainkan juga sistem kultus keagamaan. Manasye akhirnya mengadopsi prakterk kultus Asyur dan daerah-daerah sekitar Yehuda (Mesopotamia). Manasye membangun bukit-bukit penyembahan dan pengurbanan, membangun mezbah-mezbah dewa Baal di bait suci, mendirikan patung Asyera di Rumah Tuhan mempersembahkan anaknya sebagai korban dalam api (2 Raj. 21:3-7). Dengan tindakan dan praktek keagamaan itu, akhirnya identitas dan keunikan Yehuda sebagai umat Allah telah tidak dapat lagi dibedakan dengan bangsa-bangsa lain. Akhirnya keagamaan nasional menjadi merosot, hukum Yahwe dilupakan dan terjadi banyak kejahatan dan ketidakadilan sosial (Zef. 1:9; 3:1-7). Keadaan itu juga menyebabkan timbulnya sikap skeptisme atau keraguan umat akan kemahakuasaan tindakan Allah dalam sejarah umat (Zef. 1:12).

Pada saat itu, upaya reformasi yang telah dilakukan Hizkia sama sekali dihentikan dan suara-suara yang bersifat profetis sama sekali diam. Semua suara profetis yang menentang kebijakan Manasye diperlakukan dengan kejam atau dianiaya (2 Raj. 21:16). Pada masa ini terjadi banyak kesulitan, penganiayaan yang dihadapi umat. Keadaan itu pun masih berlanjut sampai pada kepemimpinan putra Manasye yaitu Amon. Sepertinya penulis kitab Raja-raja menempatkan raja Manasye sebagai raja yang paling jahat sejak dinasti Daud yang dosa-dosanya tidak dapat dilupakan (2 Raj. 21:9-15; 24:3 dst.; Yer. 15:1-4).

Lihat juga Hempel dalam otto eisfeld 174,,,,,,,,,, mana lagi kawannya referensi ini??

John Bright, A History of Israel, (Philadelphia:Westminster Press, 1981), hlm. 260

Lih. Rainer Albertz, A History of Israelite Religion in the Old Testament Period, Vol. I, (London: SCM Press, 1994), hlm. 159-60; John Bright, A History of Israel, hlm. 260

John Bright, A History of Israel, hlm. 260

Rainer Albertz, A History of Israelite Religion in the Old Testament Period, Vol. I, hlm. 171; John Bright, A History of Israel, hlm. 263. Pada masa ini pula tradisi-tradisi tua Israel, termasuk hukum-hukum yang berhubungan dengan tradisi Sinai dan Musa, oleh sekelompok umat yang memeliharanya, diangkat dan direlevansikan dengan kehidupan umat. Bahan-bahan itu kembali diangkat

J.A. Thompson, Deuteronomy, dalam D. J. Wiseman, The Tyndale Old Testament Commentaries, hlm. 45-47; Gerhard von Rad, Holy War in Ancient Israel, 116

Lih. Etiene Charpentier, Bagaimana Membaca Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 75; G. von Rad , Studies in Deuteronomy, hlm. 61, von Rad menekankan bahwa kitab Ulangan merupakan karya kelompok Lewi yang masih memelihara tradisi tua dan hokum-hukum Amfiktionik, dan kemudian menafsirkankannya ulang dan mnegadaptasikannya pada periode masa abad ke VII SM.

John Bright, A History of Israel, hlm. 269-271

Khususnya dalam masa-masa awal perang Utara menghadapi kekuatan Asyur, para nabi (mis. Elia dan Elisa) menyuarakan protes atas kebijakan para pemimpin yang lebih mengandalkan kekuata militer dari pasukan yang ada dari pada kekuatan kesatuan seluruh rakyat dan mengandalkan kekuatan Tuhan. para pengambil kebijakan dikritisi untuki kembali memperhatikan kebijakan mereka di bawah terang perjanjian dengan Yahwe. Atas dasar tradisi-tradisi dan institusi primitif yang dipakai sebagai norma pada masa sebelumnya, para nabi mengkoreksi kebijakan politik para raja. Lih. John Bright, A History of Israel, hlm. 249; E.W. Nicholson, dalam, Deuteronomy and Tradition, menyebutkan bahwa bahan-bahan dari Utara (hukum kitab Ulangan) jelas merefleksikan keadaan kerajaan Utara, terutama sebagai kritik atas peran para pemimpin kharismatis (raja dan pegawainya) yang tidak mendasarkan kebijakan politik dan keagamaan ats dasar hukum perjanjian dengan Yahwe. Hal ini jels dalam Ulangan17:14 dst., yang merumuskan tentang kewajiban raja. Oleh karena itu mereka mengangkat kembali tradisi-tradisi kuno Israel (Amfiktionik), termasuk tema tentang Perang Suci atau perang Yahwe yang tidak melibatkan peran raja, melainkan menonjolkan peran sentral Yahwe, pahlawan Israel yang berperang demi umatNya.

John Bright, A History of Israel, hlm. 279-280; Rainer Albertz, A History of Israelite Religion in the Old Testament Period, Vol. I, hlm. 180-181

John Bright, A History of Israel, hlm. 280-281

Rainer Albertz, A History of Israelite Religion in the Old Testament Period, Vol. I, hlm. 168; John Bright, A History of Israel, hlm. 281

John Bright, A History of Israel, hlm. 286-287

John Bright, A History of Israel, hlm. 311