KAWASAN KONSERVASI...

32
INVESTASI CERDAS UNTUK PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI LAUT DAN MEMBANGUN PERIKANAN INDONESIA KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN 2017 CONCEPT PAPER ID

Transcript of KAWASAN KONSERVASI...

INVESTASI CERDAS UNTUK PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI LAUT DAN MEMBANGUN PERIKANAN INDONESIA

KAWASANKONSERVASIPERAIRAN

2017

CONCEPTPAPER

ID

KAWASAN KONSERVASI PERAIRANInvestasi Cerdas untuk Perlindungan Keanekaragaman Hayati Laut danMembangun Perikanan Indonesia

Penulis:Estradivari, Christian Handayani, Fikri Firmansyah, Muhammad Yusuf& Veda Santiadji

Kontributor:Wawan Ridwan, Veda Santiadji, Imam Musthofa, Anton Wijonarno, Dirga Daniel,Gabby Ahmadia, & Dwi Aryo Tjiptohandono

Foto sampul oleh: Jürgen Freund / WWF

Desain & Tata Letak oleh: Raditya Pamungkas

©2017 WWF-Indonesia. Perbanyakan dan diseminasi bahan-bahan di dalam bukuini untuk kegiatan pendidikan maupun tujuan-tujuan non komersialdiperbolehkan tanpa memerlukan izin tertulis dari pemegang hak cipta selamasumber disebutkan dengan benar. Perbanyakan dari bahan-bahan dari buku ini untuk dijual atau tujuan komersial lainnya tidak diperbolehkan tanpa izintertulis dari pemegang hak cipta.

Sitasi: Estradivari et al. 2017. Kawasan Konservasi Perairan: Investasi Cerdas untukPerlindungan Keanekaragaman Hayati Laut dan Membangun Perikanan Indonesia.WWF, Jakarta, Indonesia.

KATA PENGANTARPengelolaan habitat pesisir melalui pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) bukanlah hal baru. Faktanya, di Indonesia, pemerintah telah membentuk KKP sekitar tiga dekade lalu dan jumlahnya terus bertambah dan bahkan Pemerintah Indonesia telah menargetkan untuk membangun KKP seluas 20 juta hektar pada tahun 2020. Sampai Desember 2016, terdapat 165 KKP dengan total luasan mencapai hampir 18 juta hektar yang tersebar di seluruh Nusantara. Seiring dengan perjalanan pembentukan dan pengelolaan KKP di Indonesia, banyak pembelajaran yang dapat dipetik dan diterapkan di lokasi lain agar pengelolaan KKP bisa menjadi lebih efektif dan efisien.

Saat ini, para ahli dan praktisi sepakat bahwa KKP merupakan salah satu solusi terbaik untuk menekan ancaman terhadap ekosistem pesisir dan melindungi habitat penting untuk ikan memijah, tumbuh dan mencari makan, sehingga masyarakat sekitar KKP mendapatkan manfaat dari perikanan yang sehat. Manfaat lain dari KKP adalah untuk mengembangkan pariwisata bahari laut dari sumber daya laut yang terjaga sehingga bisa mendatangkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat dan pemerintah lokal.

WWF-Indonesia telah bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan berbagai mitra dalam beberapa dekade belakangan dalam upaya pembentukan dan meningkatkan efektivitas pengelolaan KKP di Indonesia. Kami mengimplementasikan strategi inovatif yang berlandaskan ilmu pengetahuan termutakhir agar KKP yang dibentuk dan dikelola dapat memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara maksimal untuk masyarakat dan lingkungan.

Concept paper ini merupakan penjabaran kerangka kerja WWF-Indonesia dalam mengoptimalkan desain dan pengelolaan KKP di Indonesia untuk melindungi keanekaragaman hayati secara efektif dan mendorong perikanan secara berkelanjutan. Kerangka kerja ini dibangun berdasarkan hasil pembelajaran dan cerita sukses WWF-Indonesia yang dikombinasikan dengan berbagai terobosan ilmu pengetahuan termutakhir dalam mendorongkan pengelolaan KKP yang efektif di Indonesia. Kerangka kerja ini dapat diadopsi oleh pemerintah, praktisi lingkungan ataupun pihak lain yang akan atau sedang membentuk dan/atau mengelola KKP di Indonesia.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | i

WWF-Indonesia mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KemenKP), khususnya Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut yang telah memberikan kesempatan kepada WWF-Indonesia untuk berkontribusi dalam pembangunan di sektor kelautan dan perikanan. Kesempatan ini diwujudkan dalam bentuk kerja sama antara KepmenKP dan WWF-Indonesia melalui Memorandum of Understanding (MoU). Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada University of Queensland khususnya kepada Prof. Peter Mumby dan Dr. Nils Krueck, yang telah bekerjasama dengan WWF-Indonesia dalam ARC Linkage Project dari tahun 2014 untuk mengembangkan berbagai pemodelan ilmiah termuktahir untuk mengoptimalkan desain KKP di Indonesia guna mendorongkan perikanan berkelanjutan. Wawan RidwanDirektur Program Coral Triangle WWF-Indonesia

ii | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | iii

DI SAAT SELURUH LAUT INDONESIA TELAH DIMANFAATKAN OLEH MANUSIA UNTUK PEMENUHAN HIDUP, MENYISIHKAN SEBAGIAN KECIL KAWASAN PESISIR UNTUK DILINDUNGI DAN DIKELOLA SECARA BERKELANJUTAN MERUPAKAN INVESTASI CERDAS. KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN YANG DIKELOLA SECARA EFEKTIF DAPAT MELINDUNGI HABITAT SEBAGIAN BESAR BIOTA LAUT, MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI LAUT, MEMBERIKAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT PESISIR DARI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN MEMBANGUN PERIKANAN DI KAWASAN SEKITARNYA.PERIKANAN YANG SEHAT DAN BERKELANJUTAN BISA MEMUTAR RODA PEREKONOMIAN NASIONAL DAN MENJAMIN KETAHANAN PANGAN LAUT UNTUK SEBAGIAN BESAR MASYARAKAT INDONESIA.

PESAN KUNCI•

1. Mengoptimalkan desain KKP. Terdapat empat kriteria utama yang harus dipenuhi, yaitu (a) memilih lokasi KKP yang memiliki nilai konservasi tinggi; (b) melindungi 20-30% habitat laut penting; (c) menetapkan setidaknya 1 – 20 km diameter zona inti dalam KKP; dan (d) memiliki keterkaitan jarak antar KKP dibawah 100 km.

2. Membangun jejaring KKP. Mengintegrasikan beberapa KKP di dua atau lebih provinsi yang berdekatan ke dalam pengelolaan bersama dapat meningkatkan dampak positif KKP di area yang lebih luas dengan biaya paling minimal.

3. Menerapkan strategi perikanan di setiap KKP untuk mengatur tingkat eksploitasi serta mengendalikan aktivitas penangkapan dan jumlah tangkapan untuk spesies ikan tertentu.

iv | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Laut Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia, namun saat ini ancaman terhadap habitat pesisir masih terus terjadi secara intensif dan menyebar.

Dalam kondisi sumber daya yang terbatas, Kawasan Konservasi Perairan (KKP) merupakan investasi cerdas untuk mengelola sebagian kecil kawasan laut yang sehat, dengan biaya yang minimal.

Optimalisasi desain dan pengelolaan KKP di Indonesia mutlak diperlukan agar KKP dapat melindungi keanekaragaman hayati dan membangun perikanan berkelanjutan sehingga memberikan manfaat untuk masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar KKP.

Kerangka Kerja “KKP untuk perikanan berkelanjutan” yang dibangun oleh WWF-Indonesia memiliki tiga tujuan jangka panjang, yaitu: (1) menyediakan stok sumberdaya ikan yang sehat dan melimpah, (2) melindungi habitat laut penting, dan (3) mendorong kesejahteraan masyarakat.

Terdapat delapan (8) tahapan yang perlu dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan melalui skema kolaborasi, yaitu:

dua atau lebih provinsi yang berdekatan ke dalam pengelolaan

Mengoptimalkan desain KKP

mengatur tingkat eksploitasi serta mengendalikan aktivitas

luas dengan biaya paling minimal.Menerapkan strategi perikanan di setiap KKP

(c) menetapkan setidaknya 1 – 20 km diameter zona inti dalam KKP; (c) menetapkan setidaknya 1 – 20 km diameter zona inti dalam KKP;

Menerapkan strategi perikanan di setiap KKPMenerapkan strategi perikanan di setiap KKP

yang harus dipenuhi, yaitu (a) memilih lokasi KKP yang memiliki

(c) menetapkan setidaknya 1 – 20 km diameter zona inti dalam KKP;

bersama dapat meningkatkan dampak positif KKP di area yang lebih

dan (d) memiliki keterkaitan jarak antar KKP dibawah 100 km.

mengatur tingkat eksploitasi serta mengendalikan aktivitas

(c) menetapkan setidaknya 1 – 20 km diameter zona inti dalam KKP; dan (d) memiliki keterkaitan jarak antar KKP dibawah 100 km.dan (d) memiliki keterkaitan jarak antar KKP dibawah 100 km.dan (d) memiliki keterkaitan jarak antar KKP dibawah 100 km.dan (d) memiliki keterkaitan jarak antar KKP dibawah 100 km.(c) menetapkan setidaknya 1 – 20 km diameter zona inti dalam KKP;

Menerapkan strategi perikanan di setiap KKP

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | v

Memberikan hak eksklusif perikanan untuk nelayan lokal dapat meningkatkan peran dan keterlibatan mereka dalam pengelolaan serta meningkatkan pendapatan ekonomi melalui perikanan.Mengimplementasikan praktik pengelolaan yang lebih baik memberikan beberapa keuntungan, diantaranya strategi pengelolaan menjadi lebih efisien, meminimalisasi resiko terhadap KKP dan pengelolaan perikanan, serta mengurangi dampak lingkungan.Membangun mekanisme pendanaan berkelanjutan untuk membiayai pengelolaan KKP dan kegiatan konservasi. Kerja sama dengan pihak swasta khususnya yang memanfaatkan sumber daya laut sebagai komoditas utama perlu didorongkan.Mendorong transformasi pasar perikanan secara global dalam rangka meningkatkan permintaan produk makanan laut yang ramah lingkungan. Kerja sama dengan berbagai produsen domestik mutlak diperlukan.Melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk mendokumentasikan kemajuan pengelolaan, mengidentifikasi kegiatan yang berhasil dan yang belum berhasil, serta mengeksplorasi dampak dari pengelolaan.

4.

5.

6.

7.

8.

Kerangka kerja ini dapat berjalan efektif apabila dilakukan bersama dengan berbagai pemangku kepentingan dalam skema pengelolaan bersama (co-management) dan diikuti oleh pendayagunaan institusi melalui peningakatan kesadaran dan kapasitas.

pengelolaan serta meningkatkan pendapatan ekonomi melalui perikanan.Mengimplementasikan praktik pengelolaan yang lebih baik memberikan beberapa keuntungan, diantaranya strategi baikpengelolaan menjadi lebih efisien, meminimalisasi resiko terhadap KKP dan pengelolaan perikanan, serta mengurangi dampak lingkungan.Membangun mekanisme pendanaan berkelanjutan untuk membiayai pengelolaan KKP dan kegiatan konservasi. Kerja sama dengan pihak swasta khususnya yang memanfaatkan sumber daya laut sebagai komoditas utama perlu didorongkan.Mendorong transformasi pasar perikanandalam rangka meningkatkan permintaan produk makanan laut yang ramah lingkungan. Kerja sama dengan berbagai produsen

Melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkalamendokumentasikan kemajuan pengelolaan, mengidentifikasi kegiatan yang berhasil dan yang belum berhasil, serta

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 13.466 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke (BIG, 2016a). Dengan panjang garis pantai mencapai 99.093 Km dan luas wilayah perairan 6.3 juta Km2 (BIG, 2016b), Indonesia memiliki wilayah laut yang menjadi pusat keanekaragaman hayati laut dunia.

Kekayaan laut Indonesia memberikan manfaat ekonomi dan sosial untuk penduduk Indonesia, terutama untuk 60 juta masyarakat yang tinggal di daerah pesisir (Burke, et al., 2012), melalui perikanan, pariwisata, pertambangan dan transportasi. Pada tahun 2016, sektor perikanan Indonesia menyumbang Rp. 76,7 miliar di kuartal I dan Rp. 77,7 miliar di kuartal II untuk produksi domestik bruto (PDB) Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016a). Selain itu, sektor pariwisata berpotensi menyumbang pendapatan negara hingga Rp. 13 miliar per 1 km2 luasan terumbu karang (UNEP, 2006).

Masyarakat juga mendapatkan manfaat ekologi dari ekosistem pesisir melalui perlindungan pantai dari ombak, erosi dan melalui pencegahan dampak perubahan iklim dan pengasaman air laut. Jika dikalkulasi, ekosistem pesisir dan laut Indonesia yang sehat, dapat bernilai hingga US $387 juta melalui perlindungan pantai (Burke, et al., 2012).

Pemanfaatan sumber daya laut tidak bisa dihindari. Namun sayangnya intensitas pemanfaatan ini semakin meningkat setidaknya dalam satu dekade belakangan dan mengakibatkan laut Indonesia di bawah ancaman degradasi.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 1

Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia, memiliki 95% spesies karang keras dunia, lebih dari 2,200 spesies ikan karang, merupakan lintasan ruaya berbagai spesies penyu, mamalia laut dan beberapa spesies ikan ekonomis penting seperti tuna. Pemanfaatan sumber daya laut yang melimpah ini tidak bisa dihindari.

LAUT INDONESIA –PERAIRAN DENGAN

BANYAK POTENSINAMUN TERANCAM

PADA TAHUN 2016, SEKTOR

PERIKANAN INDONESIA

MENYUMBANG RP. 76,7 MILIAR

DI KUARTAL I DAN RP. 77,7 MILIAR

DI KUARTAL II UNTUK PRODUKSI DOMESTIK BRUTO (PDB) INDONESIA

(KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

PERIKANAN, 2016A)

2016

Hampir seluruh (95%) ekosistem terumbu karang Indonesia terancam oleh kegiatan penangkapan ikan yang berlebih dan merusak, pencemaran dari DAS, pencemaran dari laut, pembangunan pesisir dan perubahan iklim dan bahkan 35% diantaranya memiliki tingkat ancaman yang tinggi atau sangat tinggi (Burke, et al., 2012). Lebih lanjut, Burke et al. (2012) menyatakan bahwa tingkat ancaman terhadap ekosistem dan laut Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara dan dapat menyebabkan kerugian hingga milyaran dolar.

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri No. 47/2016 Tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa sebagian besar stok sumber ikan di Indonesia telah mengalami penangkapan berlebih. Sementara, data COREMAP tahun 2016 mendeskripsikan bahwa hanya ada 5.32% dari seluruh wilayah terumbu karang di Indonesia yang masih dalam kondisi sangat baik dan lebih dari 30% yang dalam kondisi kurang (LIPI, 2016). Potensi ancaman yang berasal dari manusia selalu ada dimana masyarakat memanfaatkan sumber daya laut untuk pemenuhan hidupnya. Oleh karena itu dibutuhkan tata kelola yang lebih menyeluruh dan terukur yang mengintegrasikan pengelolaan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna sumber daya dan alam agar tetap lestari.

2 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Perlindungan kawasan perairan sebenarnya bukan hal yang baru, masyarakat tradisional/adat telah mempraktikkan berbagai bentuk kearifan lokal yang memiliki prinsip konservasi dimana sumber daya laut dikelola agar tetap lestari, seperti Sasi di Indonesia Timur, Hading Mulung di Alor, Awig-awig di Bali dan Lombok, atau Panglima Laut di Aceh. Pemerintah Indonesia pun telah memulai konservasi wilayah laut dengan pembentukan Taman Nasional dan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dari tahun 1978. Saat ini, KKP 1 menjadi salah satu alat paling efektif yang dapat dilaksanakan di saat sumber daya yang tersedia terbatas dan ancaman terhadap ekosistem sudah semakin mengkhawatirkan.

KKP yang dikelola secara efektif diketahui memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah meningkatkan ukuran, kelimpahan, keanekaragaman dan biomassa ikan (Halpern, 2003), memfasilitasi spill over ikan dari dalam KKP keluar KKP (Chapman & Kramer, 1999), memperbaiki/meningkatkan stok perikanan melalui penyebaran larva dari dalam KKP (Harrison, et al., 2012), dan meningkatkan daya lenting terumbu karang dari perubahan iklim (Mumby, et al., 2007).

Ancaman terhadap ekosistem pesisir dan laut menjadikan kondisi habitat pesisir dan laut menurun dalam 10 tahun terakhir (Burke, et al., 2012). Oleh karena itu kita perlu menyisihkan

sebagian kecil kawasan pesisir Indonesia untuk dilindungi agar habitat dan keanekaragaman hayati yang rusak dapat pulih kembali dan terus memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara berkesinambungan untuk masyarakat.

1 Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang dipakai dalam publikasi ini adalah seluruh tipe kawasan konservasi di wilayah perairan yang dikelola oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan serta Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memiliki status minimal dicadangkan, telah lolos verifikasi tata batas, dan memiliki SK minimal dari Bupati.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 3

Dengan menyisihkan sebagian kecil kawasan perairan laut Indonesia untuk dikelola dalam sistem Kawasan Konservasi Perairan, masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari perlindungan ekosistem pesisir dan peningkatan ekonomi lokal dari perikanan.

KAWASAN KONSERVASI

PERAIRAN SEBUAH INVESTASI

CERDAS

INDONESIA MELALUI

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

PERIKANAN (KEMENKP)

BERKOMITMEN MEMBANGUN

JEJARING KKP DENGAN LIMA

NEGARA LAINNYA DI DALAM KAWASAN

SEGITIGA KARANG (CORAL TRIANGLE)

Untuk memenuhi target internasional dan regional, Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KemenKP) berkomitmen membangun jejaring KKP dengan lima negara lainnya di dalam kawasan Segitiga Karang (Coral Triangle) – kawasan yang merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia - sejak tahun 2007. Kerjasama ini diklaim telah memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar dengan meningkatkan pendapatan, menjaga ketahanan pangan dan melestarikan sumber daya hayati laut (Reuchlin-Hugenholtz & McKenzie, 2015).

Bentuk komitmen pemerintah Indonesia adalah mencadangkan dan mengelola secara efektif 20 juta hektar KKP pada tahun 2020. Hingga tahun 2016, luas kawasan yang telah dikonservasi mencapai 17,98 juta hektar dengan total KKP mencapai 165 yang tersebar dari Sabang hingga Merauke (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016b) (lihat Gambar 1). Ini berarti, KemenKP masih harus memenuhi target sekitar 2 juta hektar KKP yang harus dicadangkan dalam tiga tahun kedepan dan juga mengelola secara efektif KKP yang sudah ada.

Gambar 1. Sebaran KKP di Indonesia. Per Desember 2016, terdapat 165 KKP dengan total luasan mencapai 17,98 juta hektar (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016b)

4 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 5

Dalam pemenuhan target nasional 20 juta hektar KKP per tahun 2020, penambahan jumlah KKP berjalan sangat cepat dimana hampir 8 juta hektar telah dicadangkan atau ditetapkan dalam kurun waktu delapan tahun belakangan. Sayangnya, penambahan jumlah KKP tidak diiringi dengan peningkatan pengelolaan yang efektif. Menurut Susanto et al. (2015), diperkirakan kurang dari 15% KKP yang ada telah memenuhi target pengelolaannya. Rendahnya nilai efektivitas pengelolaan KKP di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, tapi setidaknya hal ini menjadi catatan penting untuk meningkatkan dan merasionalisasi pengelolaan KKP kedepan agar dapat memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara maksimal.

Berkaca dari ketidakberhasilan sebelumnya, paradigma baru yang didorongkan oleh KemenKP saat ini adalah KKP tidak hanya sekedar menjadi alat untuk perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati, namun juga alat untuk “memanfaatkan” sumber daya laut secara terbatas dan berkelanjutan untuk masyarakat (Weigel, et al., 2014; Susanto, et al., 2015). Dengan konsep ini, masyarakat yang tergantung dari hasil laut seperti nelayan, tidak kehilangan mata pencahariannya akibat penetepan KKP. Sebaliknya, manfaat spill over berpotensi membuat hasil tangkapan nelayan menjadi lebih banyak (Yulianto, et al., 2015; Gell & Roberts, 2003; Halpern, 2003). Tekanan perikanan juga tidak semata-mata dipindahkan ke lokasi lain sehingga lokasi lain mengalami peningkatan ancaman, namun KKP dapat memberlakukan aturan seperti pembatasan jumlah dan ukuran ikan dengan harapan stok ikan akan ada terus secara berkesinambungan (Weigel, et al., 2014).

Belajar dari berbagai pengalaman implementasi pengelolaan KKP di Indonesia, WWF-Indonesia mendorongkan kerangka kerja untuk mengoptimalisasi pengelolaan “KKP untuk perikanan berkelanjutan” yang dapat diadopsi oleh para pemangku kepentingan di Indonesia.

OPTIMALISASI PENGELOLAAN KKP

DI INDONESIA

MANFAAT SPILL OVER BERPOTENSI

MEMBUAT HASIL TANGKAPAN

NELAYAN MENJADI LEBIH BANYAK (YULIANTO, ET

AL., 2015; GELL & ROBERTS, 2003;

HALPERN, 2003).

6 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Dengan mengusung paradigma baru tersebut, salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan dan pengelola adalah membuat desain dan strategi pengelolaan KKP yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan secara seimbang, antara konservasi dengan pemanfaatan. Semenjak 2014, WWF-Indonesia berkomitmen untuk mengimplementasikan strategi inovatif agar dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan KKP dan membangun perikanan di Indonesia sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada masyarakat dan pihak swasta. WWF-Indonesia bekerja bersama KemenKP dan berbagai pemangku kepentingan, melalui mekanisme co-management untuk mencari strategi terbaik.

Sebagai upaya dalam mendorongkan efektivitas pengelolaan KKP di Indonesia dan mentransformasi perikanan, WWF-Indonesia membangun kerangka kerja “KKP untuk perikanan berkelanjutan” yang memiliki 8 (delapan) pendekatan terkait pengelolaan kolaboratif yang perlu dijalankan secara berkesinambungan (Gambar 2). Tujuan jangka panjang dari kerangka kerja ini adalah: (1) menyediakan stok sumberdaya ikan yang sehat dan melimpah, (2) melindungi habitat laut penting, dan (3) mendorong kesejahteraan masyarakat.

Gambar 2. Kerangka kerja “KKP untuk perikanan berkelanjutan” yang dapat diimplementasikan di Indonesia

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 7

8 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

a.

b.

Memilih lokasi KKP terbaik yang memiliki nilai konservasi tertinggi. Lokasi terbaik harus memiliki karakteristik ekologi sebagai berikut: 1) mencakup seluruh atau sebagian besar keanekaragaman hayati dan habitat yang ada; 2) melindungi sebagian kawasan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati sepanjang waktu; 3) memiliki ulangan untuk setiap keanekaragaman hayati dan habitat yang terpilih; dan 4) memiliki biaya pengelolaan yang paling kecil (How to choose marine reserve, 2014). Selain itu, lokasi KKP terbaik juga harus memiliki konektivitas larva ikan yang kuat agar dapat memaksimalkan dinamika interaksi antara pemulihan populasi biota, produksi larva dan konektivitas antar populasi (Krueck, et al., (accepted 2016)). Secara sosial, lokasi lindung lokal yang telah diiniasi oleh masyarakat hukum adat atau tradisional juga menjadi lokasi potensial untuk dipilih. Dengan mengaplikasikan kriteria di atas ke dalam analisa spasial, pengelola dapat mengidentifikasi lokasi lindung yang diterima masyarakat dan memiliki nilai kelentingan (resilience) tinggi atau lokasi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk perikanan karena menerima larva secara kontinu meski lokasi tersebut mendapat tekanan.

Melindungi 20-30% habitat pesisir penting. Berdasarkan hasil penelitian, luasan ideal kawasan pesisir dan laut yang harus dilindungi adalah 20-30% dari total luas pesisir dan lautan, karena (1) mampu meningkatkan tangkapan ikan hingga lebih dari 80% “Maximum Sustainable Yield” dan mengekspor setidaknya 30% larva ke lokasi penangkapan ikan (Krueck, et al., 2017); (2) mengoptimalisasi manfaat positif pengelolaan KKP melalui spill-over dan produksi larva (PISCO, 2011); dan (3) memberikan dampak positif untuk keberlangsungan ekosistem terumbu karang.

Desain KKP yang efektif merupakan salah satu faktor kunci untuk keberhasilan pengelolaan, karena desain yang baik seharusnya dapat memberikan manfaat yang besar dengan biaya pengelolaan yang kecil. Terdapat empat kriteria utama yang harus diperhatikan dalam mengoptimalkan desain KKP:

MENGOPTIMALKAN DESAIN KKP01

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 9

c.

d.

Luas KKP yang lebih besar dari 30% justru tidak efektif karena selain biaya pengelolaan yang lebih besar, produktivitas ikan akan mengalami penurunan karena berkurangnya lokasi penangkapan ikan (Krueck, et al., 2017). Prinsip yang sama juga berlaku untuk menentukan luasan minimal zona inti di dalam KKP, yaitu 20-30% dari luasan KKP.

Menetapkan ukuran diameter tiap zona inti2 antara 1 – 20 km karena mampu melindungi antara 20-30% spesies ikan penting di tiap tingkat tropik dan menyebarkan 30% larva yang dihasilkan lokasi tersebut ke luar kawasan (Krueck et al. In prep). Pengukuran diameter zona inti dilakukan dengan menggunakan data populasi dan jarak ruaya (home range) dari 67 spesies ikan terumbu di Indonesia, khususnya di Bentang Laut Sunda Banda. Meski ukuran ideal diameter zona inti ini belum bisa melindungi seluruh biota laut di dalam KKP, terutama ikan yang memiliki jarak jelajah yang besar seperti sebagian besar hiu, paus, penyu, dll., namun angka ini masih bisa melindungi sebagian besar habitat penting dan populasi ikan dengan biaya pengelolaan yang paling kecil.

Mengaplikasikan jarak antar KKP sebesar 10 – 100 km untuk mengakomodir penyebaran larva, migrasi organisme dan pencampuran massa air melalui arus dan proses oseanografi lainnya (UNEP-WCMC, 2008). Larva ikan biasanya memiliki daya jelajah lebih jauh, terkadang hingga laut lepas, dibandingkan ikan dewasanya. Untuk mengefektifkan fungsi KKP, ukuran KKP sedang dengan jarak antar KKP yang relatif dekat lebih efektif dibandingkan membangun satu KKP yang berukuran sangat besar (PISCO, 2007).

2 Zona inti merupakan salah satu zona yang ada dalam KKP. Bentuk zona inti yang ideal adalah simetris berupa kotak atau lingkaran, sehingga dapat memaksimalkan pergerakan ikan dewasa. Namun, apabila pada suatu kasus bentuk zona inti tidak bisa simetris, maka diharapkan ukuran diameter zona inti dapat diperbesar agar perlindungan tetap berjalan efektif (Krueck et al., in prep).

10 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Dalam menentukan lokasi terbaik untuk

dicadangkan sebagai KKP di Indonesia, informasi

mengenai konektivitas larva sangat jarang

digunakan karena ketiadaan informasinya. Padahal

informasi ini sangat penting untuk mencari lokasi

yang memiliki tingkat kelentingan tinggi dan

mampu mengurangi dampak dari tekanan.

Penetapan KKPD di Kabupaten Maluku Tenggara

Barat merupakan KKP pertama di Indonesia yang

desainnya dibangun dengan mengintegrasikan

informasi konektivitas larva. Dari hasil analisa

spasial, kawasan di sebelah barat dan utara

kabupaten ini memiliki fitur konservasi paling

tinggi, memiliki nilai impor larva yang tinggi dan mampu mengekspor larva ke daerah

penangkapan ikan (Handayani, et al., 2015). Mengacu kepada dasar ilmiah ini,

pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat mencadangkan kawasan penting ini

sebagai KKP dengan luas mencapai 783,806 hektar melalui SK Bupati Maluku

Tenggara Barat No: 523-246/2016.

Boks 1. Integrasi pemodelan konektivitas larva untuk desain KKPD

di Kabupaten Maluku Tenggara Barat

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 11

Gambar 3. Lokasi yang memiliki nilai konservasi tinggi dan konektivitas larva yang

kuat. Lokasi-lokasi tersebut potensial untuk dicadangkan sebagai KKP baru di

Bentang Laut Sunda Banda. Arsiran memperlihatkan semakin gelap warna biru maka

semakin penting untuk dilindungi, sementara tanda bintang menunjukkan lokasi

dengan nilai konektivitas larva paling tinggi. Lingkaran warna hitam dan bintang

merah menandakan lokasi paling penting yang harus dilindungi.

WWF-Indonesia bersama University of Queensland mengidentifikasikan kawasan

pesisir di tujuh provinsi di kawasan Bentang Laut Sunda Banda yang memiliki nilai

konservasi yang tinggi (Kuempel, et al., 2017) dan nilai konektivitas larva yang besar

(Krueck, et al., (accepted 2016)). Sebagian kawasan “hotspot” – kawasan yang paling

potensial untuk dilindungi – sudah masuk ke dalam KKP, namun sebagian lainnya

belum. Untuk itu, pemerintah bisa memfokuskan upaya untuk melindungi

kawasan-kawasan ini dengan membangun KKP baru untuk memenuhi target 20 juta

hektar KKP pada tahun 2020.

Boks 2. Gap konservasi di Bentang Laut Sunda Banda

12 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Untuk memaksimalkan manfaat KKP dengan biaya seminimal mungkin, solusi terbaik adalah mendorongkan agar KKP-KKP tunggal yang berada dalam satu kawasan untuk saling berjejaring (Gaines et al., 2010). Di Indonesia, jejaring KKP didefinisikan sebagai kerja sama pengelolaan dua atau lebih KKP secara sinergis yang memiliki keterkaitan biofisik (PerMen KP No.13/2014). Jejaring KKP dapat dibangun di tingkat lokal, nasional, regional maupun global.

Untuk membangun jejaring KKP yang tangguh diperlukan desain jejaring yang memperhatikan penyebaran resiko, melindungi habitat kritis, mempertimbangkan konektivitas antar KKP, penurunan tingkat ancaman, dan pemanfaatan yang berkelanjutan (Green, et al., 2013), sehingga dapat mengantisipasi tekanan terhadap ekosistem. Sedangkan dari sisi sosial-ekonomi dan budaya, pengelolaan KKP secara berjejaring dapat memperkuat kerja sama antar daerah sehingga diharapkan juga bisa meminimalisir konflik kepentingan serta dapat mengakomodasi kearifan lokal dan adat istiadat yang lebih luas. Keuntungan lainnya adalah kesempatan pembelajaran bersama atas keberhasilan pengelolaan KKP dalam satu jejaring.

Strategi pemanfaatan perikanan (Harvest Strategy/HS) merupakan komponen terpenting dari kerangka pengelolaan perikanan dalam seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia (WPP-RI), termasuk KKP. Setiap KKP harus memiliki strategi pemanfaatan perikanan yang dituangkan dalam rencana pengelolaan perikanan (RPP), yang bertujuan untuk pengambilan keputusan dalam mengatur tingkat eksploitasi serta mengendalikan aktivitas penangkapan dan jumlah tangkapan untuk spesies ikan tertentu. Dalam hal ini, strategi pemanfaatan perikanan berfungsi sebagai salah satu perangkat operasional untuk suatu RPP dan harus menjadi basis dari siklus pengelolaan perikanan yang adaptif.

MEMBANGUN JEJARING KKP02

MENERAPKAN STRATEGIPEMANFAATAN PERIKANANDI SETIAP KKP

03

13 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Salah satu elemen dalam strategi pemanfaatan perikanan adalah penetapan Titik Acuan (reference point) sebagai Strategi Pemanfaatan yang secara eksplisit diamanatkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). CCRF mengamanatkan Negara dan organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO) untuk menerapkan pendekatan kehati-hatian dalam pengelolaan perikanan, diantaranya dengan mempertimbangkan ketidakpastian ukuran dan produktivitas stok, titik acuan, serta kondisi stok berkaitan dengan titik acuan tersebut.

Salah satu metode yang digunakan dalam strategi pemanfaatan perikanan adalah Harvest Control Rules (HCR) atau aturan pengendalian penangkapan. HCR merupakan alat penting dalam pengelolaan perikanan modern dan juga merupakan kebutuhan beberapa program sertifikasi ekolabel. HCR mengidentifikasi tindakan pengelolaan yang disepakati sebelumnya terkait dengan status stok dan kondisi ekonomi atau lingkungan lainnya terhadap angka acuan yang disepakati (Berger et al., 2012).

Bentuk HCR akan tergantung pada instrumen pengelolaan yang digunakan dalam perikanan. Jika pengendalian output yang digunakan, HCR akan menentukan tingkat hasil tangkapan (misalnya kuota) untuk setiap tingkat stok. Bila pengendalian input yang digunakan, aturan pengendalian akan menentukan tingkat input (antara lain tingkat upaya penangkapan, batas ukuran, musim penangkapan, lokasi penangkapan) untuk status stok tertentu. Aturan pengendalian penangkapan antara lain menyatakan tindakan/langkah pengelolaan yang harus diambil pada saat tingkat fishing mortality lebih tinggi daripada angka acuan dan/atau kelimpahan stok lebih rendah dari angka acuan atau tingkat upaya penangkapan.

14 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Laut Indonesia yang memiliki sistem akses terbuka membuat siapapun masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan sumber daya laut. Hal ini menyebabkan terjadi kompetisi ruang antar nelayan lokal yang memiliki peralatan sederhana dengan nelayan luar kawasan yang memiliki peralatan lebih canggih. Dalam suatu KKP, dengan memberikan hak eksklusif perikanan untuk masyarakat dan nelayan lokal, maka mereka akan memiliki keinginan lebih besar untuk melindungi ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir yang sehat dapat meningkatkan jumlah dan keberagaman sumber daya ikan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat melalui perikanan, dan pada akhirnya dapat meningkatkan nilai ekonomi masyarakat.

Pemberian hak eksklusif ini bisa diintegrasikan dengan pengelolaan adat atau tradisional yang telah berjalan di banyak tempat di Indonesia atau dijalankan menggunakan skema pengelolaan berdasarkan Hak (Right Based Management). Berdasarkan pembelajaran WWF-Indonesia di Koon, Seram bagian Timur, ketika suatu kawasan hanya boleh dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat tertentu, maka mereka akan lebih patuh terhadap peraturan dan mau terlibat dalam pemantauan dan pengelolaan kawasan.

Berbagai bentuk strategi pengelolaan KKP di Indonesia telah dijalankan oleh banyak pihak, dan selalu ada pembelajaran berguna untuk strategi pengelolaan di masa depan. Dalam beberapa tahun belakangan, WWF-Indonesia secara kontinu mendokumentasikan keberhasilan dan pembelajaran dari praktik-praktik pengelolaan perikanan yang sudah diimplementasikan. Dokumen-dokumen praktik pengelolaan yang lebih baik (better management practices) ini dapat langsung dipraktikkan dan diadopsi oleh para pemangku kepentingan di Indonesia dalam upaya pengelolaan perikanan di dalam KKP karena sudah teruji.

MEMBERIKAN HAK EKSKLUSIFPERIKANAN UNTUK MASYARAKAT DAN NELAYAN LOKAL

04

MENGIMPLEMENTASIKAN PRAKTEK PENGELOLAAN YANG LEBIH BAIK05

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 15

Beberapa manfaat dengan menerapkan praktek pengelolaan terbaik adalah mendorongkan pengelolaan yang lebih efektif dan efisien, membantu mengurangi ancaman terhadap KKP dan pengelolaan perikanan, serta mengurangi dampak terhadap lingkungan. Untuk informasi lebih lanjut mengenai publikasi praktek pengelolaan yang lebih baik, silahkan kunjungi laman www.wwf.or.id.

Gambar 4. Jejaring 17 KKP di Bentang Laut Sunda Kecil yang meliputi Provinsi Bali,

Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur

Bentang Laut Sunda Kecil (Lesser Sunda Seascape/LSS) terletak di bagian Selatan

Bentang Laut Sunda Banda dan menjadi kawasan penting karena memiliki tingkat

keanekaragaman hayati tinggi (Turak & DeVantier, 2012) dan merupakan jalur migrasi

berbagai mamalia laut (Kahn, 2003). Untuk mengoptimalkan fungsi 17 KKP tunggal

yang telah ada di kawasan ini dalam memaksimalkan perlindungan habitat dan

peningkatan ekonomi lokal, maka KemenKP menginisiasi untuk membentuk jejaring

KKP semenjak tahun 2014.

WWF-Indonesia memfasilitasi pembentukan jejaring KKP ini dengan melakukan

analisa spasial dengan mengacu kepada prinsip 3K+, yaitu Keterwakilan,

Keterulangan, Keterkaitan dan Efektivitas. Mengacu kepada hasil kajian spasial ini,

ditambah dengan beberapa konsultasi publik yang dilakukan, saat ini KemenKP sedang

mendorongkan pembuatan MoU antar pemerintah provinsi untuk menetapkan desain

jejaring KKP di kawasan ini.

Boks 3. Membangun jejaring KKP yang tangguh di Bentang

Laut Sunda Kecil

16 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Susanto et al. (2015) mengemukakan bahwa pengelolaan KKP membutuhkan biaya yang besar dan seringkali pengelolaan KKP menjadi terhambat di Indonesia disebabkan oleh tiadanya pendanaan berkelanjutan. Sebagai bagian dari skema ini, kerja sama dengan pihak swasta khususnya yang memanfaatkan sumber daya laut sebagai komoditas utama perlu didorongkan. Para perusahaan lokal di bidang perikanan, pariwisata atau lainnya harus menyediakan pendanaan untuk pengelolaan KKP atau kompensasi untuk nelayan karena tidak melakukan kegiatan penangkapan ikan di zona inti. Sebagai gantinya, para perusahaaan memperoleh hak manfaat tertentu dari ekosistem terumbu karang yang lebih sehat, seperti contohnya hak untuk menjadi tangan pertama dalam mendapatkan ikan langsung dari dalam KKP atau komunitas nelayan, atau hak untuk melakukan kegiatan pariwisata ramah lingkungan secara kontinu di lokasi-lokasi yang memiliki keindahan alam. Konsep ini bisa dijalankan secara lebih terstruktur melalui skema subsidi perikanan atau skema pembayaran jasa lingkungan (Payment Environmental Services).

MEMBANGUN MEKANISMEPENDANAAN BERKELANJUTAN06

Tidak dapat dielakkan bahwa pemanfaatan sumber daya laut sangat dipengaruhi oleh permintaan dan tren global. Oleh karena itu, diperlukan upaya masif dari berbagai pihak untuk mendorongkan terjadinya transformasi pasar untuk mengurangi kerusakan sumber daya alam dan mengadopsi praktek-praktek ekonomi dan sosial berkelanjutan. Berbagai inisiatif untuk mendorongkan transformasi pasar telah dilakukan oleh banyak pihak. Untuk mendukung pendekatan ini, WWF-Indonesia telah mendorongkan platform Seafood Savers pada tahun 2009 untuk mempromosikan industri perikanan yang berkelanjutan dengan meyakinkan ikan yang diproduksi, ditangkap diproses dan didistribusikan melalui jaringan yang berkelanjutan, dari laut ke piring. Seafood Savers juga memfasilitasi produsen domestik ini dalam memenuhi permintaan produk makanan laut yang ramah lingkungan yang terus meningkat dari pembeli baik di dalam maupun di luar Indonesia.

MENDORONG TRANSFORMASIPASAR PERIKANAN07

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 17

Mekanisme yang dijalankan adalah memastikan pemangku kepentingan perikanan termasuk industri perikanan skala kecil terus mendapatkan manfaat berupa akses terhadap pasar dengan cara memperbaiki kualitas produk perikanan ramah lingkungan melalui sertifikasi MSC (Marine Stewardship Council). Informasi lebih lanjut mengenai Seafood Savers bisa dilihat di www.seafoodsavers.org.

Untuk mendorong pengelolaan yang adaptif, pemantauan dan evaluasi secara berkala perlu dijalankan karena berguna untuk mengecek kemajuan pengelolaan, mengidentifikasi kegiatan yang berhasil dan yang belum berhasil, dan mengeksplorasi dampak dari pengelolaan. Manfaat lainnya dari kegiatan pemantauan dan evaluasi adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, mengurangi pelanggaran dan meningkatkan keefektifan implementasi pengelolaan.

WWF-Indonesia telah mendukung KemenKP dalam menciptakan berbagai perangkat pemantauan dan evaluasi terkait pengelolaan kawasan, seperti EKKP3K dan EAFM. Selain itu, WWF juga bekerjasama dengan jaringan mitra yang lebih luas dalam mengembangkan perangkat-perangkat lainnya seperti perangkat evaluasi dampak dari pengelolaan KKP, FIP/AIP, dll.

MELAKUKAN PEMANTAUAN DANEVALUASI SECARA BERKALA 08

18 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Perlindungan lokasi perairan secara adat melalui larangan atau mitos telah dijalankan

oleh sebagian masyarakat pesisir Indonesia semenjak ratusan tahun lalu. Sistem

perlindungan ini cukup efektif untuk melarang masyarakat masuk ke lokasi tersebut

dan memanfaatkan sumber daya ikannya. Agar sistem perlindungan ini relevan dengan

perkembangan jaman dan sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat, maka

introduksi pengetahuan ekologis pada masyarakat menjadi sangat penting.

Pembelajaran ini didapatkan dari pendampingan tim WWF-Indonesia untuk

KOMUNTO (Komunitas Nelayan Tomia) di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara

mulai tahun 2008. Melalui pengenalan pengetahuan ekologis, masyarakat saat ini

menyebut lokasi perairan di sekitar desa yang dilindungi secara adat sebagai Bank Ikan

untuk menggambarkan fungsi wilayah dimana mereka ‘menabung’ ikan, bukan sebagai

lokasi yang dilarang masuk karena bisa mendapatkan pamali. Lokasi yang dikenal

masyarakat setempat sebagai Pasi Keawa, Ujua Tondo, dan Ou La Malaju ini adalah

lokasi yang mereka ketahui sebagai tempat ikan berkembang biak. Tidak ada sanksi

bagi yang melanggar upaya perlindungan ini namun pendekatan persuasif yang masif

antara sesama nelayan telah terbukti mampu mencegah terjadinya pelanggaran

kesepakatan perlindungan ini.

Upaya yang dibangun hampir satu dekade lalu telah menunjukkan hasil positif.

Pertama, hasil tangkapan di sekitar lokasi bank ikan menjadi lebih banyak. Kedua, saat

cuaca buruk mereka punya lokasi tangkapan yang dekat dengan kampung, sehingga

tidak perlu mengambil resiko memancing ke lokasi tangkapan yang lebih jauh jaraknya.

Upaya ini diapresiasi oleh PBB melalui UNDP dengan memberikan penghargaan

Equator Prize kepada KOMUNTO di tahun 2010. Upaya ini juga mendorong

dibangunnya Bank Ikan di perairan Desa Onemay dan Desa Kulati pada tahun 2012

dengan menganut sistem yang sama. Balai Taman Nasional Wakatobi juga mengakui

sistem ini bermanfaat dalam membantu pengelolaan kawasan konservasi dan menjadi

satu praktik cerdas yang dipromosikan oleh Forum Kawasan Timur Indonesia untuk

dapat diadopsi oleh kelompok-kelompok nelayan lain di Indonesia.

Boks 4. Penguatan sistem perlindungan lokasi perairan secara adat

yang diinisiasi oleh masyarakat melalui introduksi pengetahuan ekologis

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 19

Di negara berkembang seperti Indonesia, ketahanan pangan laut merupakan hal krusial untuk pemenuhan protein hewani sebagian besar masyarakat pesisir. Namun, ketersediaan pangan laut telah menjadi kekhawatiran banyak pihak terutama karena besarnya tingkat ancaman terhadap ekosistem pesisir akibat aktivitas manusia. Oleh karena itu, produktivitas perikanan di banyak lokasi di Indonesia menjadi tidak optimal karena rusaknya habitat biota laut sehingga berakibat pada rendahnya nilai ekonomi lokal.

Mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, pemerintah harus melaksanakan pengelolaan terhadap sumber daya perikanan secara berkelanjutan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Sebagai salah satu upayanya, semenjak tahun 2011, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengembangkan kerangka kerja Pengelolaan Perikanan berbasis Pendekatan Ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management/EAFM). Tujuan EAFM adalah untuk merencanakan, membangun dan mengelola perikanan sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat saat ini, tanpa mengurangi manfaat dari jasa dan produk lingkungan laut bagi generasi mendatang (Ministry of Marine Affairs and Fisheries, et al., 2011). EAFM dijalankan di 11 (sebelas) Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia.

Mengacu kepada FAO (2003), prinsip utama dari EAFM adalah: (1) perikanan harus beroperasi dengan cara yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem; (2) interaksi ekologi antara spesies target perikanan dengan habitatnya harus dijaga; (3) pendekatan pengelola harus sesuai dengan distribusi dan dinamika populasi spesies target; (4) pengambilan keputusan harus mengadopsi pendekatan kehati-hatian; dan (5) baik faktor ekologi maupun sosia-ekonomi harus dipertimbangkan dalam perencanaan pengelolaan perikanan.

INTEGRASI KKP DENGAN EAFM

SECARA TERPADU: INTEGRASI KKP DENGAN EAFM

SECARA TERPADU:

SEMENJAK TAHUN 2011,

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

PERIKANAN TELAH MENGEMBANGKAN

KERANGKA KERJA PENGELOLAAN

PERIKANAN BERBASIS

PENDEKATAN EKOSISTEM

(ECOSYSTEM APPROACH TO

FISHERIES MANAGEMENT /

EAFM)

20 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Berdasarkan prinsip utama EAFM tersebut, KKP sebenarnya menjadi alat yang tepat dan dapat diintegrasikan kepada pengelolaan perikanan EAFM. Jejaring KKP di tiap WPP dapat melindungi berbagai habitat penting termasuk daerah pemijahan, daerah asuhan, daerah mencari makan dan tumbuh ikan-ikan target perikanan, sehingga ikan-ikan tersebut dapat tumbuh besar dalam jumlah banyak dan dapat menyebarkan sejumlah larva ke daerah-daerah penangkapan ikan. Oleh karena itu, KKP dapat berfungsi selain untuk memulihkan perikanan juga dapat mendorongkan laju produktivitas perikanan, apabila sistem pengelolaan KKP dan EAFM dapat dijalankan secara terintegrasi, dan akan menjadi lebih optimal apabila dilengkapi oleh strategi pemanfaatan perikanan.

KATA PENGANTARBIG, 2016. [Online] Available at: http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/indonesia-me miliki-13-466-pulau-yang-terdaftar-dan-berkoordinat [Diakses 19 November 2016].BIG, 2016b. Pentingnya Informasi Geospasial untuk Menata Laut Indonesia.[Online] Available at: http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/pentingn ya-informasi-geospasial-untuk-menata-laut-indonesia [Diakses 19 November 2016].Burke, L., Reytar, K., Spalding, M. & Perry, A., 2012. Reef at Risk Revisited in the Coral Triangle. Washington, USA: World Resource Institute.Chapman, M. R. & Kramer, D. L., 1999. Gradients in coral reef fish density and size across the Barbados Marine Reserve boundary: effects of reserve protection and habitat characteristics. Marine Ecology Progress Series, Volume 181, pp. 81-96.Gell, F. R. & Roberts, C. M., 2003. Benefits beyond boundaries: the fishery effects of marine reserves. Trends in Ecology & Evolution, Volume 18, pp. 448-455.Green, A., White, A. & Kilarski, S., 2013. Designing Marine Protected Area Networks to Achieve Fisheries, Biodiversity, and Climate Change Objecives in Tropical Ecosystems: A practitioner guide, Cebu City, Philippines: The Nature Conservancy, and the USAID Coral Triangle.Halpern, B. S., 2003. The impact of marine reserves: do reserves work and does reserve size matter?. Ecological Applications, 13(sp1), pp. 117-137.Handayani, C., Daniel, D. & Estradivari, 2015. Identifikasi potensi kawasan konservasi perairan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat berdasarkan analisis Marxan. Yogyakarta, Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV.Harrison, H. B., Williamson, D. H. & Evans, R. D., 2012. Larval export from marine reserves and the recruitment benefit for fish and fisheries. Current Biology, Volume 22, pp. 1023-1028.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 21

How to choose marine reserve. 2014. [Film] Disutradarai oleh Jennifer McGowan, Hugh Possingham. Australia: The University of Queensland and EDX.Kahn, B., 2003. Solor-Alor Visual and Acoustic Cetacean Surveys: Interim Report April - May 2003 Survey Period, Kupang: The Nature Conservancy.Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2016a. rafik Produk Domestik Bruto (PDB) Sektor Perikanan Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2016 (Miliar Rupiah). In: GRAFIK PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) SEKTOR PERIKANAN ATAS DASAR HARGA BERLAKU TAHUN 2016 (MILIAR RUPIAH) (ed.). Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan.Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2016b. Kawasan Konservasi dan Jenis Ikan. [Online] Available at: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php [Diakses 21 November 2016].Krueck, N. C. et al., (accepted 2016). Incorporating larval dispersal into MPA design for both conservation and. Ecological Applications.Krueck, N. C. et al., 2017. Marine reserve targets to sustain and rebuild unregulated fisheries. PLOS Biology.Kuempel, C. D. et al., 2017. Identifying conservation priority gaps in the Sunda Banda Seascape, Indonesia, Jakarta (in prep): WWF-Indonesia.LIPI, 2016. Inilah Status Terumbu Karang Indonesia Terkini. [Online] Available at: http://lipi.go.id/berita/inilah-status-terumbu-karang- indonesia-terkini/15024 [Diakses 11 February 2017].Ministry of Marine Affairs and Fisheries, WWF-Indonesia & Bogor Agricultural University, 2011. Ecosystem Approach to Fisheries Management in Indonesia: establishing indicators and preliminary assessment of EAFM performance. Jakarta: Coral Triangle Support Partnership.Mumby, P. J. et al., 2007. Trophic cascade facilitates coral recruitment in a marine reserve. PNAS, 104(20), pp. 8362-8367.PISCO, 2007. The Science of Marine Reserves (2nd Edition, United States Version). Partnership for Interdisciplinary Studies of Coastal Oceans.22.. s.l.:www.piscoweb.org..

22 | KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PISCO, 2011. The science of marine reserves , Europe: www.piscoweb.org.Reuchlin-Hugenholtz, E. & McKenzie, E., 2015. Marine protected areas: Smart investments in ocean health. Gland, Switzerland: WWF.Susanto, H. A., Suraji & Tokeshi, M., 2015. Management of coral reef ecosystems in Indonesia: past, present and the future. Coastal Ecosystems, Volume 2, pp. 21-41.Turak, E. & DeVantier, L., 2012. Keragaman Spesies dan Prioritas Konservasi Terumbu Karang di Propinsi Bali, Indonesia. Dalam: P. L. Mustika, I. M. Ratha & S. Purwanto, penyunt. Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali 2011 (Edisi Kedua Bahasa Indonesia). RAP Bulletin of Biological Assessment 64.. Denpasar: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali, Balai Riset dan, pp. 82 - 135.UNEP, 2006. orals and Mangroves in the Front Line. In: UNITED NATIONS ENVIRONMENT PROGRAMME (ed.) Economic Case for Conservation of Corals and Mangroves Made in New UN Environment Report.. Paris/Nairobi: United Nations environment Programme.UNEP-WCMC, 2008. National and Regional Networks of Marine Protected Areas: A Review of Progress, Cambridge: UNEP-WCMC.Weigel, J. Y. et al., 2014. Marine protected areas and fisheries: bridging the divide. Aquatic Conservation, 24(s2), pp. 199-215.Yulianto, I., Hammer, C., Wiryawan, B. & Palm, H. W., 2015. ishing-induced groupers stock dynamics in Karimunjawa National Park, Indonesia. Fisheries Science , Volume 81, pp. 417-432.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 23

PISCO, 2011. The science of marine reserves , Europe: www.piscoweb.org.Reuchlin-Hugenholtz, E. & McKenzie, E., 2015. Marine protected areas: Smart investments in ocean health. Gland, Switzerland: WWF.Susanto, H. A., Suraji & Tokeshi, M., 2015. Management of coral reef ecosystems in Indonesia: past, present and the future. Coastal Ecosystems, Volume 2, pp. 21-41.Turak, E. & DeVantier, L., 2012. Keragaman Spesies dan Prioritas Konservasi Terumbu Karang di Propinsi Bali, Indonesia. Dalam: P. L. Mustika, I. M. Ratha & S. Purwanto, penyunt. Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali 2011 (Edisi Kedua Bahasa Indonesia). RAP Bulletin of Biological Assessment 64.. Denpasar: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali, Balai Riset dan, pp. 82 - 135.UNEP, 2006. orals and Mangroves in the Front Line. In: UNITED NATIONS ENVIRONMENT PROGRAMME (ed.) Economic Case for Conservation of Corals and Mangroves Made in New UN Environment Report.. Paris/Nairobi: United Nations environment Programme.UNEP-WCMC, 2008. National and Regional Networks of Marine Protected Areas: A Review of Progress, Cambridge: UNEP-WCMC.Weigel, J. Y. et al., 2014. Marine protected areas and fisheries: bridging the divide. Aquatic Conservation, 24(s2), pp. 199-215.Yulianto, I., Hammer, C., Wiryawan, B. & Palm, H. W., 2015. ishing-induced groupers stock dynamics in Karimunjawa National Park, Indonesia. Fisheries Science , Volume 81, pp. 417-432.

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN | 23

Laut kita dalam angka

Rp. 77,7 miliar

US$387 JUTA

Ekosistem pesisir dan laut Indonesia yang sehat, dapat bernilai hingga US $387 juta melalui perlindungan pantai (Burke, et al., 2012)

Sektor perikanan Indonesia menyumbang Rp. 77,7 miliar di kuartal II untuk produksi domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2016(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016)

30%WWF merekomendasikanuntuk meningkatkan luasan kawasan pesisirdan laut yang dilindungi mencapai 20-30% dari total luas pesisir dan lautan

Menetapkan setidaknya 1–20 km diameter zona inti dalam KKP untuk melindungi antara 20-30% spesies ikan penting

1- 20 km

Why we are here

panda.org

To stop the degradation of the planet’s natural environment andto build a future in which humans live in harmony with nature.

© 1986 Panda symbol WWF – World Wide Fund For Nature (Formerly World Wildlife Fund)® “WWF” is a WWF Registered Trademark. WWF, Avenue du Mont-Blanc, 1196 Gland,Switzerland – Tel. +41 22 364 9111 Fax +41 22 364 0332. For contact details and further information, please visit our international website at www.panda.org