KATA PENGANTAR · Web viewMusuh alami merupakan faktor penting pengendali Organisme Pengganggu...

38
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep Evaluasi Menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu obyek dengan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolok ukur untuk memperoleh kesimpulan (Thoha, 1991:17). Evaluasi adalah alat manajemen yang berorientasi pada tindakan dan proses yang dikumpulkan kemudian dianalisis sehingga relevansi dan efek serta konsekuensinya ditentukan sistematis dan seobjektif mungkin. Data ini digunakan untuk memperbaiki kegiatan sekarang dan yang akan datang seperti dalam perencanaan program, pengambilan keputusan dan pelaksanaan program untuk mencapai kebijaksanaan penyuluh yang efektif (Van De Ban, 1999:19).

Transcript of KATA PENGANTAR · Web viewMusuh alami merupakan faktor penting pengendali Organisme Pengganggu...

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Konsep Evaluasi

Menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana

untuk mengetahui keadaan sesuatu obyek dengan menggunakan instrument dan

hasilnya dibandingkan dengan tolok ukur untuk memperoleh kesimpulan  (Thoha,

1991:17).

Evaluasi adalah alat manajemen yang berorientasi pada tindakan dan proses

yang dikumpulkan kemudian dianalisis sehingga relevansi dan efek serta

konsekuensinya ditentukan sistematis dan seobjektif mungkin. Data ini digunakan

untuk memperbaiki kegiatan sekarang dan yang akan datang seperti dalam

perencanaan program, pengambilan keputusan dan pelaksanaan program untuk

mencapai kebijaksanaan penyuluh yang efektif (Van De Ban, 1999:19).

Evaluasi pembangunan adalah suatu kegiatan untuk menilai tingkat

pencapaian tujuan program pembangunan, dengan memberi informasi yang valid

dan dapat dipercaya mengenai kinerja pembangunan, memberi sumbangan pada

klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan

target, memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis lainnya,

termasuk perumusan masalah dan rekomendasi (Teguh, 2008:23).

Evaluasi merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang untuk

melihat sejauh mana keberhasilan sebuah program. Keberhasilan program itu

10

sendiri dapat dilihat dari dampak atau hasil yang dicapai oleh program tersebut.

Karenanya, dalam keberhasilan ada dua konsep yang terdapat di dalamnya yaitu

efektifitas dan efisiensi. Efektifitas merupakan perbandingan antara output dan

inputnya sedangkan efisiensi adalah taraf pendayagunaan input untuk

menghasilkan output lewat suatu proses (Djunaidi, 2009:34).

Menurut Wulan dalam Arikunto (1999:47), Evaluasi program adalah suatu

rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat keberhasilan

program.

Menurut Worthen dan Sanders (1979) dalam Djunaidi (2008:35). Evaluasi

adalah mencari sesuatu yang berharga (worth). Sesuatu yang berharga tersebut

dapat berupa informasi tentang suatu program, produksi serta alternatif prosedur

tertentu. Karenanya evaluasi bukan merupakan hal baru dalam kehidupan manusia

sebab hal tersebut senantiasa mengiringi kehidupan seseorang. Seorang manusia

yang telah mengerjakan suatu hal, pasti akan menilai apakah yang dilakukannya

tersebut telah sesuai dengan keinginannya semula.

Evaluasi dapat mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi formatif, evaluasi ini

dipakai untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan

(progam, orang, produk, dan sebagainya). Fungsi sumatif, evaluasi dipakai untuk

pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya

membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu progam, perbaikan

progam, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan

dukungan dari mereka yang terlibat ( Farida, 2000:18).

11

Menurut Mardikanto (2005:32), Pokok-pokok yang terkandung dalam

pengertian evaluasi adalah :

1. Kegiatan pengamatan dan analisis terhadap suatu keadaan, peristiwa,

gejala alam atau sesuatu obyek.

2. Membandingkan segala sesuatu yang kita amati dengan pengalaman atau

pengtahuan yang kita miliki atau ketahui.

3. Melakukan penilaian atas segala sesuatu yang diamati berdasarkan hasil

perbandingan atau pengukuran yang kita lakukan.

Menurut Stufflebeam (1967) dalam Tayibnapis (2000:46) evaluasi dibagi

menjadi empat macam, yaitu :

1. Context evaluation to serve planning decision. Konteks evaluasi ini

membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang akan

dicapai oleh progam dan merumuskan tujuan progam.

2. Input evaluation, structuring decision. Evaluasi ini menolong mengatur

keputusan, menentukkan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang

diambil, apa yang direncanakan dan strategi untuk mencapai kebutuhan.

3. Procces evaluation, to serve implementing decision. Evaluasi proses untuk

membantu mengimplementasikan keputusan. Sampai sejauh mana rencana

telah diterapkan? apa yang harus direvisi? Begitu pertanyaan tersebut

terjawab, prosedur dapat dimonitor, dikontrol dan diperbaiki.

4. Product evaluation, to serve recycling decision. Evaluasi produk untuk

menolong keputusan selanjutnya. Apa hasil yang telah dicapai? Apa yang

dilakukan setelah progam berjalan?

12

Menurut Fuddin (2008:21). Model CIPP merupakan model yang berorientasi

kepada pemegang keputusan. Model ini membagi evaluasi dalam empat macam,

yaitu :

1. Evaluasi konteks melayani keputusan perencanaan, yaitu membantu

merencanakan pilihan keputusan, menentukan kebutuhan yang akan

dicapai dan merumuskan tujuan program.

2. Evaluasi masukan untuk keputusan strukturisasi yaitu menolong mengatur

keputusan menentukan sumber-sumber yang tersedia, alternatif-alternatif

yang diambil, rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan, serta

prosedur kerja untuk mencapai tujuan yang dimaksud.

3. Evaluasi proses melayani keputusan implementasi, yaitu membantu

keputusan sampai sejauh mana program telah dilaksanakan.

4. Evaluasi produk untuk melayani revisi keputusan.

Ada banyak model yang bisa digunakan dalam melakukan evaluasi program

khususnya program pendidikan. Meskipun terdapat beberapa perbedaan antara

model-model tersebut, tetapi secara umum model-model tersebut memiliki

persamaan yaitu mengumpulkan data atau informasi obyek yang dievaluasi

sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan.

Menurut Djunaidi (2009:14), Model-model dalam evaluasi ini dapat

dikelompokkan menjadi 6 (enam), yaitu :

1. Goal oriented Evaluation

Dalam model ini, seorang evaluator secara terus menerus melakukan

pantauan terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian yang terus-

13

menerus ini menilai kemajuan-kemajuan yang dicapai peserta program

serta efektifitas temuan-temuan yang dicapai oleh sebuah program. Salah

satu model yang bisa mewakili model ini adalah discrepancy model yang

dikembangkan oleh Provus. Model ini melihat lebih jauh tentang adanya

kesenjangan (discrepancy) yang ada dalam setiap komponen yakni apa

yang seharusnya dan apa yang secara riil telah dicapai.

2. Decision Oriented Evaluation

Dalam model ini, evaluasi harus dapat memberikan landasan berupa

informasi-informasi yang akurat dan obyektif bagi pengambil kebijakan

untuk memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan program. Evaluasi

CIPP yang dikembangkan oleh Stufflebeam merupakan salah satu contoh

model evaluasi ini. Model CIPP merupakan salah satu model yang paling

sering dipakai oleh evaluator. Model ini terdiri dari 4 komponen evaluasi

sesuai dengan nama model itu sendiri yang merupakan singkatan dari

Context, Input, Process dan Product.

Evaluasi konteks (context evaluation) merupakan dasar dari evaluasi yang

bertujuan menyediakan alasan-alasan (rationale) dalam penentuan tujuan

(Baline R. Worthern dan James R Sanders : 1979) Karenanya upaya yang

dilakukan evaluator dalam evaluasi konteks ini adalah memberikan

gambaran dan rincian terhadap lingkungan, kebutuhan serta tujuan (goal).

Evaluasi input (input evaluation) merupakan evaluasi yang bertujuan

menyediakan informasi untuk menentukan bagaimana menggunakan

sumberdaya yang tersedia dalam mencapai tujuan program.  Evaluasi

14

proses (process evaluation) diarahkan pada sejauh mana kegiatan yang

direncanakan tersebut sudah dilaksanakan. Ketika sebuah program telah

disetujui dan dimulai, maka dibutuhkanlah evaluasi proses dalam

menyediakan umpan balik (feedback) bagi orang yang bertanggungjawab

dalam melaksanakan program tersebut.

Evaluasi Produk (product evaluation) merupakan bagian terakhir dari

model CIPP. Evaluasi ini bertujuan mengukur dan menginterpretasikan

capaian-capaian program. Evaluasi produk menunjukkan perubahan-

perubahan yang terjadi pada input. Dalam proses ini, evaluasi produk

menyediakan informasi apakah program itu akan dilanjutkan, dimodifikasi

kembali atau bahkan akan dihentikan.

3. Transactional Evaluation

Dalam model ini, evaluasi berusaha melukiskan proses sebuah program

dan pandangan tentang nilai dari orang-orang yang terlibat dalam program

tersebut.

4. Evaluation Research

Sebagaimana disebutkan di atas, penelitian evaluasi memfokuskan

kegiatannya pada penjelasan dampak-dampak pendidikan serta mencari

solusi-solusi terkait dengan strategi instruksional.

5. Goal Free Evaluation

Model yang dikembangkan oleh Michael Scriven ini yakni Goal Free

Evaluation Model justru tidak memperhatikan apa yang menjadi tujuan

program sebagaimana model goal oriented evaluation. Yang harus

15

diperhatikan justru adalah bagaimana proses pelaksanaan program, dengan

jalan mengidentifikasi kejadian-kejadian yang terjadi selama

pelaksanaannya, baik hal-hal yang positif maupun hal-hal yang negatif.

6. Adversary Evaluation

Model ini didasarkan pada prosedur yang digunakan oleh lembaga hukum,

setiap kegiatan yang dilaksanakan mempunyai tujuan tertentu.

Demikian juga dengan evaluasi menurut Suharsimi Arikunto (2004 : 13)

ada dua tujuan evaluasi yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum

diarahkan kepada program secara keseluruhan sedangkan tujuan khusus lebih

difokuskan pada masing-masing komponen (Djunaidi, 2009:19).

2. Manajemen Sumber Daya Manusia

Manajemen sumber daya manusia adalah suatu ilmu atau cara bagaimana

mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja) yang dimiliki oleh

individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal

sehingga tercapai tujuan (goal) bersama perusahaan, karyawan dan masyarakat

menjadi maksimal. MSDM didasari pada suatu konsep bahwa setiap karyawan

adalah manusia bukan mesin dan bukan semata menjadi sumber daya bisnis

(Gary, 2005)

Manajemen sumber daya manusia juga menyangkut desain dan

implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan

karyawan, pengelolaan karier, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan dan

hubungan ketenagakerjaan yang baik. Manajemen sumber daya manusia

16

melibatkan semua keputusan dan praktek manajemen yang mempengaruhi secara

langsung sumber daya manusianya (Simamora 2005:6).

Menurut Siagian (2006:43) tujuan-tujuan MSDM terdiri dari empat tujuan,

yaitu :

1. Tujuan Organisasional

Ditujukan untuk dapat mengenali keberadaan manajemen sumber daya

manusia (MSDM) dalam memberikan kontribusi pada pencapaian efektivitas

organisasi. Walaupun secara formal suatu departemen sumber daya manusia

diciptakan untuk dapat membantu para manajer, namun demikian para

manajer tetap bertanggung jawab terhadap kinerja karyawan. Departemen

sumber daya manusia membantu para manajer dalam menangani hal-hal yang

berhubungan dengan sumber daya manusia.

2. Tujuan Fungsional

Ditujukan untuk mempertahankan kontribusi departemen pada tingkat yang

sesuai dengan kebutuhan organisasi. Sumber daya manusia menjadi tidak

berharga jika manajemen sumber daya manusia memiliki kriteria yang lebih

rendah dari tingkat kebutuhan organisasi.

3. Tujuan Sosial

Ditujukan untuk secara etis dan sosial merespon terhadap kebutuhan-

kebutuhan dan tantangan-tantangan masyarakat melalui tindakan meminimasi

dampak negatif terhadap organisasi. Kegagalan organisasi dalam

menggunakan sumber dayanya bagi keuntungan masyarakat dapat

menyebabkan hambatan-hambatan.

17

4. Tujuan Personal

Ditujukan untuk membantu karyawan dalam pencapaian tujuannya, minimal

tujuan-tujuan yang dapat mempertinggi kontribusi individual terhadap

organisasi. Tujuan personal karyawan harus dipertimbangkan jika

parakaryawan harus dipertahankan, dipensiunkan, atau dimotivasi. Jika tujuan

personal tidak dipertimbangkan, kinerja dan kepuasan karyawan dapat

menurun dan karyawan dapat meninggalkan organisasi.

3. Pengembangan Sumber Daya Manusia

Para petani dalam suatu organisasi sebagai sumber daya

manusia, dan sebagai hasil proses seleksi harus dikembangkan

agar kemampuan mereka dapat mengikuti perkembangan

organisasi. Di dalam suatu organisasi, unit atau bagian yang

mempunyai tugas untuk pengembangan tenaga ini biasanya unit

pendidikan dan pelatihan. Pengembangan sumber daya manusia

dapat diartikan sebagai upaya mempersiapkan sumber daya

manusia agar dapat bergerak dan berperan dalam organisasi

sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan dan perubahan

suatu organisasi.

Oleh sebab itu, kegiatan pengembangan karyawan

dirancang untuk memperoleh karyawan-karyawan yang mampu

berprestasi dan fleksibel untuk suatu organisasi atau instansi

18

dalam geraknya di masa depan. Pengembangan sumber daya

manusia juga merupakan suatu cara efektif untuk menghadapi

beberapa tantangan yang harus dihadapi (T. Hani Handoko,

2000:117).

4. Pengertian Pendidikan dan Latihan

Zais, (1986:317) mengemukakan bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai

proses memperluas kepedulian dan keberadaan seseorang menjadi dirinya sendiri,

atau proses mendefinisikan dan meredefinisikan keberadaan diri sendiri di tengah-

tengah lingkungannya. Sedangkan pelatihan dapat diartikan sebagai proses di

mana para instruktur memanipulasi peserta dan lingkungan mereka dengan cara-

cara tertentu sehingga peserta mampu menguasai perilaku yang diinginkan.

Pengertian pendidikan dan pelatihan yang dimaksud Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2000 adalah proses penyelenggaraan

belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan Pegawai Negeri Sipil.

pendidikan dan pelatihan meliputi dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi pendidikan

dan fungsi pelatihan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

pendidikan dan pelatihan yang dimaksud Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 101 Tahun 2000, bertujuan untuk :

1. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat

melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi

kepribadian dan etika Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan kebutuhan

instansi.

19

2. Menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan

perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

3. Memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada

pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat.

4. Menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan

tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya

kepemerintahan yang baik.

Melengkapi pendapat tersebut di atas, menurut Wexley dan Yukl (1995:301)

menyatakan “pelatihan adalah proses di mana pekerja mempelajari keterampilan,

sikap dan perilaku yang diperlukan guna melaksanakan pekerjaan mereka secara

efektif”.

Sesuai dengan definisi di atas, perbedaan esensial antara pendidikan dan

pelatihan terletak pada tujuannya. Program pelatihan memiliki sasaran dan tujuan

yang jelas sehingga pesertanya dianggap sebagai bahan baku yang perlu diproses

agar menjadi produk yang sudah direncanakan. Pendidikan pada sisi lain, lebih

ditekankan pada aspek memanusiakan manusia. Mengingat manusia memiliki

aneka ragam potensi, maka proses pendidikan dan pelatihan ini dapat pula

diterapkan secara beragam.

Pandangan di atas tidak jauh berbeda dengan pendapat Brown, (1989:161),

yang menyatakan bahwa ”pendidikan bertujuan untuk memberikan pengetahuan,

sedangkan pelatihan bertujuan pada perbaikan perilaku”. Sesuai dengan pendapat

ini maka pelatihan harus lebih tertata dari pada pendidikan sebab pengetahuan

dapat di transfer kapan saja. Sedangkan pelatihan harus disusun secara sistematis

20

dan skematis agar sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan baik.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan dan

pelatihan sebagai proses memanusiakan manusia dan membekali pesertanya

dengan keterampilan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerjanya.

5. Pengertian Hama

Yang dimaksud dengan hama adalah semua binatang yang merugikan

tanaman, terutama yang berguna dan dibudidayakan manusia; apabila tidak

merugikan tanaman yang berguna dan dibudidayakan manusia dengan sendirinya

tidak disebut sebagai hama (Pracaya, 1991:7).

Hama adalah semua binatang (seperti babi, tikus, serangga, burung, tupai,

siput dan lain sebagainya) yang karena aktivitas hidupnya biasa merusak tanaman

atau hasilnya dan menurunkan kualitas maupun kuantitas sehingga menimbulkan

kerugian secara ekonomi bagi manusia (Natawigena, 1990:40)

“A pest is an organism which has characteristics that are regarded by humans as injurious or unwanted. This is most often because it causes damage to agriculture through feeding on crops or parasitising livestock, such as codling moth on apples, or boll weevil on cotton. An animal can also be a pest when it causes damage to a wild ecosystem or carries germs within human habitats. Examples of these include those organisms which vector human disease, such as rats and fleas which carry the plague disease, or mosquitoes which vector malaria.”

Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hama merupakan

organisme yang keberadaannya menyebabkan kerusakan fisik komoditi dan

mengganggu kepentingan manusia secara ekonomi. Suatu organisme bisa

berstatus hama karena pengaruhnya terhadap kepentingan manusia. Keberadaan

mereka yang menyebabkan kerusakan komoditi sehingga menurun nilai

21

ekonomisnya, ataupun mengganggu kenyamanan hidup manusialah yang

menaikkan status dari hanya organisme menjadi hama

Tanaman pertanian sering diganggu atau dirusak oleh organisme

pengganggu yang secara ekonomis sangat merugikan petani. Organisme

pengganggu tanaman/tumbuhan ini dikenal sebagai hama (Djojosumarto,

2000:25).

6. Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Di dunia internasional Indonesia terkenal sebagai negara

berkembang pertama yang telah berhasil menerapkan PHT

ditingkat petani sehingga sekarang telah dijadikan model bagi

negara-negara lain dalam menerapkan dan mengembangkan

PHT sesuai dengan kondisi pertanaman, ekosistem, dan sistem

sosial ekonomi masyarakat (Untung, 2008).

Program Nasional PHT (Pronas PHT) di Indonesia dimulai

pada tahun 1989 yang merupakan wujud dari Inpres No. 3 Tahun

1986, dengan dicabutnya subsidi pestisida secara bertahap.

Tindakan ini diambil karena adanya kekhawatiran pencemaran

lingkungan semakin meningkat karena penggunaan pestisida.

Pada kenyataannya permasalahan hama dan penyakit tumbuhan

tetap tinggi walaupun ada kebijakan subsidi pestisida. Di tahun-

tahun ke depannya, Inpres ini didukung juga oleh Undang-

Undang Nomor 12 tahun 1992 mengenai Sitem Budidaya

Tanaman yang menyebutkan bahwa perlindungan tanaman

22

dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu (Abadi,

2005:21).

Mulanya pengembangan Program Nasional PHT dimulai pada

tanaman padi. Penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia

telah dilaksanakan melalui penyelenggaraan Program Nasional

PHT pada tanaman padi (tahun 1989), palawija (1990), sayuran

(tahun 1992) dengan dukungan dana “hibah (grant)” dari UNDP

(1989 – 1993) dan dikoordinasikan oleh BAPPENAS. Sejak tahun

1994 sampai dengan 1998 dilanjutkan dengan bantuan dana

“Loan” dari Bank Dunia dan dikoordinasikan oleh Departemen

Pertanian. Program Nasional PHT pada tanaman perkebunan

mulai dilaksanakan pada bulan April 1997 selama tujuh tahun

dengan dukungan dana dari ADB (Mutsanna, 2008:38).

Tiga program pokok dari Program Nasional PHT yaitu: (1)

Pengembangan teknologi PHT melalui kegiatan penelitian; (2)

Pengembangan kualitas dan kuantitas SDM melalui pelatihan

petugas lapangan dan Sekolah Lapangan PHT; dan (3)

Kelembagaan yang mendukung penerapan dan pengembangan

PHT. Sebagai catatan, ternyata Program Nasional PHT dari tahun

1989-1999 telah berhasil melatih lebih dari satu juta petani padi

melalui penerapan SLPHT. Komoditi yang dicakup pada kegiatan

PHT yaitu padi, kedelai, kubis, kentang, cabe, dan bawang

merah. PHT di bidang perkebunan telah berhasil melatih 106.000

23

petani pada komoditas kopi, kakao, dan lain-lain (Mutsanna,

2008:76).

PHT adalah pengendalian hama yang memiliki dasar ekologis dan

menyadarkan diri pada faktor-faktor moralitas alami seperti musuh alami dan

cuaca serta mencari taktik pengendalian yang mendatangkan gangguan sekecil

mungkin terhadap faktor-faktor tersebut. PHT menggunakan pestisida hanya

setelah pemantauan populasi hama yang sistematis dan pemantauan musuh alami

menunjukkan diperlukannya penggunaan pestisida (Flint dan R Van den Bosh,

1993:93)

Kogan (dalam Samsudin, 2008:46) mendefinisikan PHT merupakan sistem

yang mendukung dalam pengambilan keputusan untuk memilih dan menggunakan

taktik pengendalian hama, satu cara atau lebih yang dikoordinasi secara harmonis

dalam satu strategi manajemen, dengan dasar analisa biaya dan keuntungan yang

berpatokan pada kepentingan produsen, masyarakat dan lingkungan.

Smith (dalam Oka, 1995:97) mendefinisikan PHT sebagai berikut:

Pemberantasan Hama Terpadu (“Integrated Pest Control”): adalah pengendalian

hama yang menggunakan semua teknik dan metoda yang sesuai dalam cara-cara

yang seharmonis-harmonisnya dan mempertahankan populasi hama di bawah

tingkat yang menyebabkan kerusakan ekonomi di dalam keadaan lingkungan dan

dinamika populasi spesies hama yang bersangkutan.

Pengendalian Hama Terpadu merupakan suatu sistem pengelolaan populasi

hama yang memanfaatkan semua teknik pengendalian yang sesuai dan serasi

mungkin untuk mengurangi populasi hama dan mempertahankannya pada suatu

24

aras yang berada di bawah aras populasi hama yang dapat mengakibatkan

kerusakan ekonomi (Untung, 1997:93).

Dilihat dari aspek teknologi, PHT merupakan perpaduan berbagai teknologi

pengendalian hama yang dapat menekan populasi hama sehingga tidak

mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani. Menurut Undang-Unfang Nomor

12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman menyatakan bahwa penggunaan

pestisida dalam sistem PHT merupakan alternatif terakhir. Tujuan utama PHT

tidak hanya mengendalikan populasi hama tetapi juga meningkatkan produksi dan

kualitas produksi serta meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan petani. Cara

dan metode yang digunakan adalah dengan memadukan teknik-teknik

pengendalian hama secara kompatibel serta tidak membahayakan kesehatan

manusia dan lingkungan hidup (Untung, 2003)

Menurut Direktorat Perlindungan Tanaman (2007:41), ada empat prinsip

yang digunakan dalam PHT adalah sebagai berikut :

1. Budidaya tanaman sehat

2. Pelestarian musuh alami

Musuh alami merupakan faktor penting pengendali Organisme

Pengganggu Tanaman (OPT) untuk dilestarikan dan dikelola agar mampu

berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di alam.

3. Pengamatan secara teratur

Masalah OPT biasanya timbul karena hasil kerja kombinasi unsur-unsur

lingkungan yang sesuai baik biotik maupun abiotik serta campur tangan

manusia yang dapat mendukung pertumbuhan populasi OPT, oleh karena

25

itu pengamatan ekosistem pertanaman yang intensif secara rutin

merupakan dasar analisis ekosistem untuk mengambil keputusan dan

melakukan tindakan yang diperukan.

4. Petani sebagai ahli PHT

Petani sebagai pengambil keputusan di lahannya sendiri, hendaknya

memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menganalisis ekosistem

serta mampu menetapkan keputusan pengendalian OPT secara tepat sesuai

dengan prinsip PHT.

Menurut Direktorat Perlindungan Tanaman (2007:43), Strategi  PHT adalah

memadukan semua teknik atau metode pengendalian OPT secara kompitabel.

Teknik atau metode pengendalian yang dapat digunakan antara lain :

1. Pemanfaatan pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan

yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami.

2. Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam, bertujuan untuk

membuat lingkungan tanaman padi kurang sesuai untuk perkembangan

OPT serta mendorong berfungsinya agen hayati

3. Pengendalian fisik dan mekanik bertujuan untuk mengurangi populasi

OPT, mengganggu fisiolgis OPT, memanipulasi lingkungan fisik sehingga

kurang sesuai bagi perkembangan OPT.

4. Penggunaan pestisida secara bijaksana dengan melaksanakan prinsip tepat

jenis, mutu, waktu, cara, sasaran, dosis dan konsentrasi.

Menurut Oka (1995:87) tujuan Pengendalian Hama Terpadu dapat diuraikan

sebagai berikut:

26

1. Memantapkan hasil dalam taraf yang telah dicapai oleh teknologi

pertanian maju

2. Mempertahankan kelestarian lingkungan

3. Meningkatkan efisiensi masukan dalam berproduksi.

4. Meningkatkan kesejahteraan / pendapatan petani.

5. Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu.

7. Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu

PHT kemudian disebarluaskan ke petani dengan pola

Sekolah Lapangan PHT (SLPHT). Prinsip pendidikan orang dewasa

(andragogi) yang diwujudkan dalam bentuk SLPHT telah diakui

relevansi, efektivitas serta manfaatnya oleh banyak pihak

sebagai pendekatan pemberdayaan petani untuk kondisi petani

di negara berkembang (Untung, 2008:99).

SLPHT berupa pendekatan proses belajar pendidikan non

formal di mana materi pelajaran, tempat pertemuannya berada

di lapangan (kebun). Pemandu Lapang (PL) atau fasilitator

merupakan sumber daya manusia yang sangat menentukan

dalam keberhasilan pelaksanaan SLPHT. Karena kepemilikan

gelar sarjana bidang perlindungan tanaman dan pengalaman

kerja minimal 5 tahun dalam bidang perlindungan tanaman sulit

dipenuhi sehingga seseorang dengan latar belakang yang baik

dalam bidang perlindungan tanaman dapat dipilih menjadi PL.

Petani peserta SLPHT adalah petani yang terlibat langsung dalam

27

produksi perkebunan sebagai petani pemilik kebun, memiliki

kebun minimal 0,5 ha, dapat membaca dan menulis. Pertemuan

SLPHT diadakan sebanyak 20 pertemuan, sekali seminggu.

Setiap kelompok SLPHT beranggotakan 25 petani dengan

minimal 20% anggota wanita (Direktorat Jenderal Perkebunan,

2006:37).

Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) merupakan suatu

model percontohan yang tujuannya adalah untuk melatih petani agar memiliki

keahlian dalam pengendalian  hama dan mampu menerapkan di lapangan (Denny,

2008:59).

Direktorat Jenderal Perkebunan (2004:14) menyebutkan

bahwa melalui Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu

(SLPHT), diharapkan petani mampu mengembangkan sekaligus

menerapkan empat prinsip PHT, yaitu 1) budi daya tanaman

sehat, 2) pelestarian dan pemanfaatan musuh alami, 3)

pengamatan ekosistem secara berkala dan 4) petani mampu

menjadi manajer dalam usaha tani. Keberhasilan SLPHT dapat

dilihat dari kemampuan petani dalam menerapkan keempat

prinsip tersebut.

SLPHT adalah suatu model percontohan latihan petani secara besar-besaran,

tujuan dari kegiatan ini adalah unuk melatih petani sehingga mampu

meningkatkan  kemampuan dan pengetahuan untuk dapat digunakan memecahkan

masalahnya sendiri terutama mengenai serangan organisme pengganggu tanaman,

28

selain itu diharapkan dapat menjadi ahli lapangan PHT sehingga mampu

menerapkan prinsip PHT, sekurang-kurangnya di lingkungan sawahnya sendiri

(Untung, 1993:85).

Menurut Untung (1996:30), Sekolah Lapangan PHT adalah suatu model

percontohan latihan petani secara besar-besaran. Tujuan Sekolah Lapangan PHT

(SLPHT) adalah untuk melatih petani sehingga menjadi ahli lapangan PHT

sehingga mampu menerapkan prinsip-prinsip PHT, sekurang-kurangnya

dilingkungan sawahnya sendiri. Untuk menghasilkan petani yang ahli dalam PHT,

keterampilan dasar yang perlu didapatkan dari SLPHT adalah :

a. Pengenalan musuh alami, hama dan pola penyerangannya.

Kemampuan mengidentifikasi musuh alami, hama maupun pola

penyerangannya dapat dipelajari melalui analisis ekosistem.

b. Pengambilan keputusan. Berdasarkan analisis yang disusun, petani

dapat mengambil keputusan yang terbaik dalam pengendalian hama,

sehingga modal yang ditanamkan di sawahnya dapat diefisienkan

penggunaannya.

SLPHT merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk lebih

memasyarakatkan PHT secara nyata dan benar di lapangan. Tujuannya agar petani

menjadi tahu, mau dan mampu menerapkan empat prinsip dasar PHT di kebunnya

yaitu (a) budidaya tanaman sehat, (b) pelestarian dan pemanfaatan musuh alami,

(c) pengamatan agroekosistem secara rutin, dan (d) petani menjadi ahli PHT dan

manajer di kebunnya.

29

Dalam SLPHT juga terdapat peserta, pemandu, kurikulum dan kegiatan

berlatih melatih yang menyatu dengan lingkungan alam nyata. Sedangkan metoda

berlatih melatih yang dipakai adalah mengacu pada  prinsip-prinsip berlatih

melatih orang dewasa (andragogi) dengan siklus  berlatih melatih melalui

pengalaman (Experience Learning Cycle/ELC) (Chalifah, 2007:17).

Metode yang digunakan dalam kegiatan SLPHT skala luas adalah metode

pendidikan orang dewasa (POD) dengan mengutamakan sistem atau cara

pembelajaran lewat pengalaman (CBLP).  (Dinas Pertanian Perkebunan dan

Kehutanan, 2007:53)

Azas pokok pelatihan SLPHT di  didasarkan pada acuan umum

penyelenggaraan SLPHT yaitu (a) kebun sebagai sarana belajar utama, (b) belajar

dari pengalaman, (c) pengkajian agroekosistem, (d) metode dan bahan praktis

serta tepat guna, dan (e) kurikulum keterampilan sesuai yang dibutuhkan.

Menurut Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan (2007:54), Tujuan

Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) adalah sebagai berikut :

1. Meningkatakan kemampuan dan keterampilan petani di bidang

pengamatan OPT pada tanaman pangan dan teknologi pengendaliannya.

2. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan petani dalam menganalisis

agroekosistem pertanian.

3. Mengendalikan serangan OPT pada kawasan/hamparan

4. Meningkatkan pemahaman petani akan perlunya kerjasama baik antar

anggota dalam kelompok tani maupun antar kelompok.

5. Meningkatkan kerjasama dalam/dan antar kelompok dalam berusahatani

30

6. Meningkatkan kualitas agroekosistem.

B. Penelitian yang Relevan

Maya Novariyanthy (2009), mahasiswa Program Pascasarjana Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada mengadakan penelitian tentang

Dampak SLPHT terhadap Perubahan Perilaku, Produktivitas dan Pendapatan

Petani pada Perkebunan Teh Rakyat di Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten

Bandung.

Dalam hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah :

1. Diduga petani alumni SLPHT mempunyai

pengetahuan mengenai PHT teh lebih baik daripada petani

non-SLPHT.

2. Diduga petani alumni SLPHT mempunyai

sikap mengenai PHT teh lebih baik daripada petani non-

SLPHT.

3. Diduga petani alumni SLPHT mempunyai

perilaku mengenai PHT teh lebih baik daripada petani non-

SLPHT

4. Diduga produktivitas dari usaha tani teh

petani alumni SLPHT lebih tinggi daripada petani non-

SLPHT.

5. Diduga pendapatan dari usaha tani teh

petani alumni SLPHT lebih tinggi daripada petani non-

SLPHT.

31

6. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi

pendapatan petani teh dari usahatani teh adalah luas

kebun, harga pucuk teh, umur tanaman, produktivitas

kebun, tenaga kerja yang digunakan, jumlah tanggungan

dan keikutsertaan petani dalam SLPHT.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik petani teh yaitu berusia

antara 30-59 tahun, mempunyai rata-rata pendidikan formal sekolah dasar,

mempunyai tanggungan keluarga sebanyak 4-6 orang, mempunyai luas kebun

paling banyak pada luasan 0,1 – 0,5 ha, umur tanaman teh yang dimiliki 11 – 15

tahun dan mempunyai pengalaman berkebun 11-15 tahun. Selain itu juga petani

alumni SLPHT memiliki tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku petani mengenai

PHT lebih tinggi pada petani alumni SLPHT dibandingkan petani non-SLPHT

serta produktivitas dan pendapatan petani alumni SLPHT lebih tinggi

dibandingkan dengan petani non-SLPHT. Faktor-faktor yang mempengaruhi

pendapatan petani adalah harga pucuk teh, produktivitas kebun, tenaga kerja dan

dummy SLPHT.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Kebanyakan petani teh di Kecamatan Pasirjambu berusia

produktif yaitu antara 30 – 59 tahun dengan tingkat

pendidikan formal petani adalah sekolah dasar.

2. Petani memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 4 –

6 orang dalam satu keluarga dan anak-anak petani

kebanyakan masih bersekolah di sekolah dasar

32

3. Status kepemilikan kebun adalah milik sendiri dengan luas

kebun paling banyak dengan luasan 0,1 – 0,5 ha, umur

tanaman teh yaitu 11 – 20 tahun, pengalaman berkebun

teh yaitu 11 – 15 tahun, kurang dari 5% petani pernah

mengikuti pelatihan selain SLPHT dan petani mempunyai

usaha lain selain usahatani teh.

4. Tingkat pengetahuan petani alumni SLPHT meliputi

pengetahuan mengenai budidaya teh, agroekosistem

kebun teh dan OPT teh dan musuh alaminya lebih tinggi

dibandingkan dengan petani non-SLPHT.

5. Tingkat sikap petani alumni SLPHT terhadap PHT dan

SLPHT lebih tinggi dibandingkan dengan petani non-SLPHT.

6. Tingkat perilaku petani alumni SLPHT meliputi perilaku

mengenai budidaya teh, agroekosistem kebun teh dan OPT

teh dan musuh alaminya lebih tinggi dibandingkan dengan

petani non-SLPHT.

7. Dampak SLPHT pada perubahan perilaku petani antara lain

1) mampu melakukan teknik budidaya teh yang benar, 2)

mampu melakukan pengendalian OPT berdasarkan analisa

agroekosistem, 3) mampu menggunakan pestisida sintetis

dengan benar, seperti arah penyemprotan yang benar,

mengurangi rutinitas penggunaan pestisida, resiko

kesehatan yang lebih rendah.

33

8. Produktivitas kebun teh petani alumni SLPHT (Rp 13.907

kg/ha) lebih tinggi dibandingkan dengan petani non-SLPHT

(Rp 10.754 kg/ha).

9. Pendapatan petani alumni SLPHT (Rp 9.151,988/ha) lebih

tinggi dibandingkan dengan petani non SLPHT (Rp

4.341.366/ha).

10. Dampak SLPHT terhadap usahatani teh yaitu

pengggunaan pupuk sintetis lebih sedikit dan

menggantinya dengan pupuk alami, penggunaan pestisida

sintetis lebih sedikit dan menggantinya dengan pestisida

nabati, penggunaan tenaga kerja upahan lebih sedikit dan

lebih banyak memakai tenaga kerja keluarga.

11. Harga jual pucuk teh, produktivitas, tenaga kerja dan

keikutsertaan dalam SLPHT berpengaruh positif terhadap

pendapatan petani. Sedangkan jumlah tenaga kerja

upahan berpengaruh negatif terhadap pendapatan petani.

12. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

pendapatan petani teh adalah harga jual pucuk teh,

produktivitas, tenaga kerja dan keikutsertaan dalam

SLPHT.

13. Faktor-faktor lain yang akan turut menunjang

keberhasilan SLPHT adalah dinamika kelompok tani,

pemasaran termasuk di dalamnya harga dan sarana

34

transportasi, sarana informasi dan kesinambungan

kunjungan petugas PL.