KATA PENGANTAR -...
Transcript of KATA PENGANTAR -...
i
KATA PENGANTAR
Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam. yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. yang dengan kasih sayangNya yang ”menyapa”
penulis lewat bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah sehingga membuka jalan
terselesaikannya skripsi ini .Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada
nabi Muhammad saw.
Terselesaikannya skripsi ini tentu tidak lepas dari peran beberapa pihak. Untuk
itu saya mengucapkan banyak terima kasih:
Kepada Bapak Rektor Prof. Dr. Qomarudin Hidayat selaku rektor dan bapak
Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH.MA.MM. Selaku dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kepada Dr. Asmawi, M.Ag selaku Ketua Jurusan SJS dan khususnya kepada
Ibu Sri Hidayati M.Ag selaku Sekjur, yang tulus, sabar dan penuh kasih sayang
membimbing dan mendukung.
Kepada Dr. A. Sudirman Abbas, M.A. selaku pembimbing I dan Dr Syahrul
A‟dam, MA, selaku pembimbin II saya sampaikan terimakasih atas bimbingan dan
dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Dan segenap Dosen Syariah dan Civitas Akademika yang memupuk dan
membantu penulis dalam kuliyah.
Kepada Almaghfurlah KH. Yahya Masduqi „Ali dan KH. Syarif Hud Yahya.
Selaku Guru yang selalu mendidik dan membimbing penulis.
ii
Kepada kedua Orang Tua ku tercinta, dan juga kepada. Ustz. Hj Mansiyah
selaku Nenek, Orang Tua, Guru. Atas semua pemberian dan pengorbanan yang tiada
henti.
Kepada kakak Taufik Romdoni ST. terima kasih atas dukungan dan
bantuannya. Dan juga kelurga besarku terkasih.
Kepada kawan-kawan di BEM Siyasah 2004-2005; Akhmad Muttaqin selaku
presiden. Febry Manende, Zaenal, Kholiq, Topan, dan kawan-kawan SS angkatan
2002, Lukman, yusuf ,kiki, amel, Simon, dll, Terutama “penghuni terakhir” SS ‟02
yang “gelisah”, Takin, Eky, Manzoy, Fathur, Hisnuddin. akhirnya kawan! Semoga ini
jadi pelajaran. Dan juga kawan-kawan KKN Sukaresmi Cianjur 2005, Salam, Irwa,
Iie, Ida, Iik, Juned, Kompor, Yayah, Yanti, Darmin, Sifyan dll.
Kepada kawan-kawan pergerakan baik di LKBHMI, HMI, PMII, IMM, GMNI,
KM maupun KAMMI.
Akhir kata, penulis berharap bahwa karya tulis ini dapat bermanfaat bagi
penulis sendiri, khalayak umum dan kalangan civitas akademika dalam pengkayaan
intelektual. Amin.
Ciputat, 17 Syawal 1431 H / 27 September 2010
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..... i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………….. 9
D. Metode Penelitian,…… ………………………………………. 10
E. Review Studi Terdahulu ………………………………………. 12
F. Sistematika Penulisan…………………………………………. 13
BAB II DESKRIPSI KEBEBASAN BERAGAMA
A. Pengertian………………………………………………………. 14
1. Pengertian Kebebasan……………………………………… 15
2. Pengertian Agama …………………………………………. 17
B. Kebebasan beragama dalam Islam ………...……………………. 20
1. Kebebasan Beragama Dalam al-Qur an …………………….20
2. Kebebasan Beragama Dalam as-Sunnah (Piagam Madinah)..26
3. Kebebasan Beragama Deklarasi Kairo………………………30
C. Kebebasan Beragama Perspektif DUHAM....……………………33
BAB III JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
A. Demografi Agama di Indonesia .........................................………36
B. Agama dan Negara di Indonesia…………………………….........40
C. Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Era
Reformasi………………………………………………………... 45
iv
BAB IV ANALISIS PREKTEK KEBEBASAN BERAGAMA DI
INDONESIA ERA REFORMASI
A. Perspektif Hukum.......................................................................... 56
B. Perspektif Sosio-Kultural............................................................... 63
C. Perspektif Politik………………………………………………... 72
BAB V PENUTUP
Kesimpulan ………....………………………………….................... 77
Saran………………………………………………………………… 79
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Diskursus hak asasi manusia (HAM) selalu menarik dan mengundang
kontroversi dalam perjalanan dinamika kenegaraan. Di mulai sejak zaman Yunani
kuno, perbincangan HAM melekat erat dalam makna filosofi dan universal hakekat
pendirian sebuah negara yang tidak lain menjamin keutuhan sosial (kolektivisme
HAM) demi kebahagiaan dan kesejahteraan warganegaranya.1
Menyusul zaman Romawi, HAM mengalami dinamika pasang surut
diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan di satu sisi dan imperium
kekuasaan di sisi yang lain yang tak dapat menghindari peperangan dan sistem
perbudakan. Namun di era ini, Cicero mulai memperkuat benih-benih rationalisme
dalam negara yang diperolehnya dalam postulat Hukum Alam Kodrati melalui ajaran
kaum Stoa. Menurutnya, pendirian sebuah negara harus bersesuaian dengan dalil-dalil
atau asas-asas Hukum Alam Kodrati yang bersumber dari Budi Illahi yang berisi
kesusilaan yang universal termasuk di dalamnya adalah HAM.2 Aliran ini belakangan
banyak mempengaruhi pemikir-pemikir Eropa di era selanjutnya utama terkait
dengan hakekat Hukum Antar Bangsa seperti Hugo de Groot (Abad XVIII).
1 Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005) cet.ke-7 , h. 25.
2 Ibid, h. 41
2
Baru kemudian di era Enlightment atau Renaissance (Abad XIV-XVI) proses
pembebasan individu dari kegelapan atau keterikatan agama (gereja), alam, dan
tradisinya terjadi sangat radikal. Eksistensi kebebasan manusia secara universal
dikukuhkan lewat potensi akalnya sebagai karunia Illahi yang tak lagi dapat
dibelenggu oleh sistem ortodoksi agama atas nama Tuhan. Ada dikotomi yang jelas
antara posisi dan peran manusia dalam urusan kenegaraan melalui pelembagaan3
hukum dalam mengatur tatanannya dan agama dalam urusan akhirat melalui
agamawan untuk menegakkan moral etik manusia. Basis sosio-kultural yang
sekuleristik ini menjadi mercusuar HAM dan trayek yang dilalui dunia Eropa
sebagaimana dikatakan Baehr sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, de
Bescherming van de individu tegen de eisen van de samenleving.4
Meninggalkan tiga abad sebelumnya yakni abad yang dikenal dengan Dark
ages (Abad V-X), Middle Ages (Abad XII-XV), dan Enlightment (Abad XIV-XVIII)
di atas, perubahan dan transformasi HAM masih terus berlangsung memasuki abad
modern (Abad XIX). Namun Di era ini, HAM lahir bukan dari rahim pergerakan akar
rumput dan kelompok cendekia melainkan dari kaum Borjuis yang mulai banyak
berperan dalam konstelasi ekonomi politik di tengah melemahnya negara akibat
perpecahan. Besarnya pengaruh kaum Borjuis dalam menjamin survive-nya negara,
sementara dalam ranah hukum mereka sama sekali tidak memperoleh tempat
3 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya. (Yogyakarta: Genta
Press, 2008), h. 21-23.
4 Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat) (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 218.
3
(jaminan hak milik, kebebasan, persamaan di depan hukum dan kepastian) yang layak
sehingga momen ini mereka paksakan untuk mencuri satu ruang dalam tatanan
hukum negara. Perjuangan itu berhasil menempatkan kaum borjuis sebagai salah satu
konstituen negara dan merubah orde hukum menjadi jaminan HAM bagi “setiap
orang.”
Arti sejarah ini adalah bahwa HAM memiliki korelasi dengan habitat sosio-
kulturalnya. Akar teoritisnya berawal di Eropa yang mengalami kristalisasi mulai era
Enlightment di bawah bidan kelompok kapitalis yang selanjutnya membawa
perubahan penting dalam tatanan hukum dan politik negara sebagaimana disebut
dengan laissez fairer/ laissez aller yang mencerminkan tuntutan kebebasan untuk
bertindak dan menolak campur tangan negara (individualistik dan sekuler). Karena
itu, bagi negara-negara Eropa, HAM adalah prinsip universal dan konstitusional
sebab sesuai dengan nilai sosio-kultural ideologi masyarakatnya. Maka di era
Pascamodern ini terlihat adanya upaya negara-negara Eropa yang dimotori oleh
negara-negara maju untuk meregulasikan HAM sebagai instrumen hukum
Internasional bersamaan dengan penetrasi kekuasaannya ke wilayah negara-negara
Asia dan Afrika.5
Keinginan untuk menstandarisasikan HAM sebagai prinsip universal dan
berlaku bagi semua negara di dunia tentu menimbulkan masalah. Sebab, masing-
5 Beberapa Konvensi Internasional yang terkait dengan HAM di antaranya: Magna Charta
1215, Bill of Right 1689, The Universal Declaration of Human Right PBB 1948, International
Convention Against Apartheid in Sports, Convention on Right of the Child, Convention on the
Elimination of All Froms of Discrimination Against Women, Convention of the Political Rights of
Women, dan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman of DegradingTreatment of
Punishment.
4
masing negara memiliki latar sosio-kultural yang berbeda khususnya bagi negara-
negara berkembang, komunal, dan religius seperti Indonesia.
Sejarah mencatat, bahwa sejak awal perumusan UUD 1945 dalam Majelis
Sidang BPUPKI (Badan Penyidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) telah
terjadi perdebatan hangat antara kubu yang memperjuangkan HAM sebagai bagian
intrumen UUD yakni kubu M.Yamin dan Moh. Hatta di satu pihak dan kubu yang
menolak HAM karena menganggap itu sangat individualistik dan kolonialistik, dan
tidak sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia yakni kubu Soepomo dan
Soekarno di pihak lain. Namun perdebatan itu berakhir dengan kompromis, dengan
memodifikasikan HAM sesuai dengan latar sosio-kultural dan ideologi masyarakat
Indonesia yang komunalistik.6 Jadilah pemuatan HAM dalam Batang Tubuh UUD
1945 bersifat partikularistik ketimbang universalistik.
Di sisi lain, terdapat kecenderungan bahwa tolak tarik dan pasang surut
penerimaan HAM oleh negara sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang
mengitarinya. Di negara-negara totaliter HAM direduksi dan sengaja dibuat absurd.
Sementara, dalam iklim negara yang mengalami transisi dari totaliter menuju
demokrasi, HAM diresepsi secara luas dan seringkali euforia kebebasan melupakan
alas sosio-kultural dan ideologi masyarakatnya. Alhasil dalam implementasi HAM
seringkali terjadi anomali sistem dan caos di tingkat akar rumput.
6 Safroedin Bahar (et.al) (edit), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 –
22 Agustus 1945. (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995), h. 153
5
Sama halnya yang terjadi di Indonesia, pertama-tama bahwa tolak tarik HAM
lebih dilatarbelakangi oleh nilai sosio-kultural masyarakat. Namun seiring dengan
perubahan konfigurasi politik yang ada HAMpun mengalami perubahan. Seperti yang
terlihat dalam konstelasi politik transisi dari 1949 (KRIS) ke 1950 (UUDS),
perubahan sistem pemerintahan dari Quasi Presidensial ke Quasi Parlementer cukup
memberi arti bagi pemuatan HAM dalam konstitusi. Di era ini, M. Yamin bahkan
menegaskan dengan penuh suka cita bahwa KRIS dan UUDS adalah konstitusi-
konstitusi yang paling berhasil memuat HAM sesuai deklarasi PBB 1948.7 Kemudian
HAM mengalami surut pada pasca Demokrasi Terpimpin 1959 sampai Orde Baru
(1966-1998). Dan mengalami pasang kembali pada Orde Reformasi yang ditandai
dengan Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali.
Reformasi merupakan era gelombang pasang HAM di Indonesia. Amandemen
UUD 1945 telah mengacu pada sekian prinsip kebebasan beragama hasil ratifikasi
kovenan internasional mengenai HAM. Landasan konstitusional ini lebih lanjut diatur
dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di antaranya UU No. 7 Tahun 1984
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU No. 9
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang
perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan
dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan
7 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Kelompok
Gramedia, 2007), h. 635.
6
Internasional tentang pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh warga negara
tanpa kecuali.
Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari
pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29).
Dan dipertegas lagi dengan Pasal 28E dan 29 ayat (2) yang intinya menyatakan,
“setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya; berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan; dan negara menjamin kemerdekaan bagi penduduk
untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.” Pasal-
pasal ini mengisyaratkan kewajiban negara untuk menjamin hak beragama dan hak
setiap orang termasuk jama’ah dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan
keyakinannya.
Di dalam Islam, sebenarnya telah ditegaskan adanya hak kebebasan beragama
dan larangan sikap tindak pemaksaan yang dapat menimbulkan pelanggaran HAM itu
sendiri. Seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Kafirun, bagaimana membangun hak
dalam keberagamaan dan menjalin relasi sosial agama yang toleran. Kemudian dalam
surat al-Baqarah ayat (256) menjelaskan adanya larangan pemaksaan dalam agama
karena Allah sendiri secara sunnatullah telah menciptakan perbedaan dan keragaman
itu. Allah telah mencukupkan penjelasanannya dalam Al-Quran mana yang benar dan
yang bathil. Karena itu, Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk
memilihnya dengan segala konsekuensi yang ada. Indikator kemuliaan hanya
ditentukan oleh kadar ketaqwaan seseorang di sisi-Nya.
7
Namun ironisnya dari sekian lengkap landasan konstitusional perundang-
undangan yang ada, konflik keberagamaan terkait dengan pelaksanaan ibadah sesuai
keyakinan dan kepercayaan di Indonesia masih mengalami persekusi dari kelompok
Islam yang lain. Catat saja kasus yang terjadi pada sejumlah pengikut Ahmadiyah JAI
di Lombok, Kuningan, Parung Bogor berikut juga tempat-tempat peribadatan,
pendidikan, dan rumah-rumah penduduk; Darul Arqom; NII Ma’had Az-Zaytun;
Baha’i; Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII); Gerakan Syi’ah di Indonesia;
Salamullah;8 Alqiyadah; dan Laila Eden.
Disayangkan di tengah kecamuk konflik itu negara tidak berperan optimal dan
bersikap tegas sehingga menimbulkan konflik yang berlarut-larut tanpa kepastian.
Persoalan ini membuktikan bahwa mengatur persoalan keberagamaan secara internal
khususnya terkait dengan melaksanakan ibadah sesuai keyakinan lebih sulit
ketimbang mengatur pola keberagamaan secara eksternal. Apakah kesulitan ini terkait
dengan garis persinggungan tafsir atas teks-teks Nash yang kebenarannya seringkali
dimonopoli secara politik oleh ortodoksi Islam yang mapan dalam ranah negara.
Apakah kesulitan ini semakin diperkeruh oleh penetrasi Islam politik yang mencoba
merehistorisasi Islam secara institusional. Karena bagaimanapun juga Islam politik
yang terinstitusional ke dalam ranah negara akan membentuk elit atau hegemoni
ortodoksi yang membawa dampak terhadap unitaris keyakinan. Atau dengan kata
8 Iskandar Zulkarnai, “Pengantar”, dalam Aris Mustofa dkk, Ahmadiyah Keyakinan Yang
Digugat. (Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, 2005), h. xi
8
lain institusionalisasi Islam politik seringkali menafikan pluralisme dalam konteks
pelaksanaan keyakinan.
Dari, penelusuran di atas Penulis memandang urgen untuk mengkaji
pelaksanaan hak kebebasan beragama seseorang dalam melaksanakan keyakinannya
di Indonesia baik menurut konstitusi Amandemen UUD 1945 dan Hukum Islam.
Pendekatan integrasi ini sangat penting dilakukan mengingat di lapangan seringkali
antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain saling klem kebenaran (truth
claim) dan tuding-menuding sesat dan kafir. Konflik keberagamaan yang sarat politik
dan transendental keyakinan ini harus dicari solusinya agar korban pengkafiran dan
kekerasan fisik tidak berkepanjangan dan menelan korban, dan khittoh konstitusi
yang menjamin pluralisme dan integrasi sosial bisa dibangun. Untuk itu penulis
tertarik untuk meneliti dan mengangkat penelitian ini dengan judul ”KONSEP
KEBEBASAN BERAGAMA DALAM ISLAM, DAN PRAKTEKNYA DI
INDONESIA ERA REFORMASI”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.
Permbahasan masalah kebebasan beragama sangat lah luas, oleh karena itu
penelitian ini tidak akan membahas semua masalah tersebut dari semua waktu dan
tempat melainkan membatasinya dengan membahas kebebasan beragama menurut
hukum Islam,dan prakteknya pasca runtuhnya rezim otoriter militeristik orde baru,
yaitu pada era reformasi 2000-2008
9
Pembatasan permasalahan tersebut agar lebih mengarah penelitian ini dengan
merumuskan permasalahan tersebut dengan menyusun pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut:
1) Bagaimana prisip kebebasan beragama dalam syariat Islam
2) Bagaimana jaminan kebebasan beragama menurut UUD 1945 dan UU
HAM no 39/1999
3) Bagaimana Praktek kebebasan beragama di Indonesia pada era reformasi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.
Adapun tujuan umum dari penulisan penulisan ini adalah untuk
1) Mengetahui prinsip-prinsip kebebasan beragama dalam Islam baik dari
sumber utamanya yakni al-Qur an dan al-Sunnah maupun ijma’ mupun
ijtihad.
2) Mengetahui jaminan kebebasan beragama dalam Konstitusi dan Undang-
undang HAM dan prakteknya di Indonesia pada era reformasi
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:
1) Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi penulis
sebagai manusia yang dapat dan siap bersosialisasi dengan masyarakat
luas yang berkenaan dengan hak asasi manusia terutama kebebasan
beragama.
2) Hasil penelitian ini daiharapkan dapat menjadi sumbangan kepustakaan
bagi penulis-penulis selanjutnya khususnya dalam bidang ilmu-ilmu
Syariah dan hukum dan umumnya untuk bidang-bidang lain.
10
D. Metode Penelitian
1). Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini adalah
penelitian kepustakaan (librery research) dengan pendekatan kualitatif dengan
mengkaji data-data dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang
diangkat. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian,
misalnya prilaku, persepsi, motivasi tindakan, secara holistik dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiyah dan dengan manfaat berbagai metode alamiah. Adapun dari segi
tujuan, penelitian ini menggunakan pendekatan analitis, yang bertujuan
menggambarkan keadaan sementara dengan memaparkan hasil-hasil
penelitian yang bersumber dari data-data.
2). Jenis Data
Sumber data yang penulis pergunakan adalah sumber data yang bersifat
primer, skunder, sumber data primer adalah (1) Undang-Undang Dasar 1945,
(2) Undang-undang Hak Asasi Manusia No 39/1999, (3) Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia, (4) Kovenan Hak Sipil dan Politik, (5) Dekralasi Kairo
tentang Hak Asasi Manusia menurut Islam.
Sumber data skunder yang penulis gunakan adalah (1) Literatur-literatur
yang berhubungan dengan HAM, (2) Literatur-literatur yang berhubungan
11
dengan kebebasan beragama di Indonesia, (3) Disiplin ilmu syari’ah, hukum,
perundang-undangan, tata negara, politik dan pemerintahan.
Dan sumber data tertier yang penulis pergunakan adalah berasal dari
artikel, makalah, kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.
3). Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan gambaran yang cermat tentang kebebasan beragama
dan beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing, maka penulis
melakukan riset pustaka (librery reaserch) mencari berbagai informasi dan
data melalui analisis dan konsep-konsep yang dimuat dalam buku, karya
ilmiyah, jurnal, artikel, CD baik dari dalam maupun luar negeri
4). Analis Data
Yang dimaksud dengan teknik analisa data adalah proses penyederhanaan
data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Setelah
terkumpul data-data yang diperlukan maka penelitia mencoba untuk
menganalisa data, teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini adalah teknik analisis kualitatif atau biasa disebut analisis isi (content
analysis) yaitu penguraian data melalui kategorisasi perbandingan dan
pencarian sebab akibat, baik menggunakan anlisis induktif (usaha penemuan
jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil kesimpulan).
Maupun analisa deduktif (berangkat dari ungkapan umum kemudian
dihubungkan dengan pertanyaan yang lebih sempit) kemudian analisis data
tersebut dikomparasikan untuk mengambil kesimpulan
12
5). Teknik Penulisan
Penulisan mengacu buku pedoman skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007
E. Review Studi Terdahulu
Penelitian kebebasan beragama menurut syariat Islam telah banyak
dipublikasikan, Tri wahyu hidayati dalam disertasinya yang kemudian dipublikasikan
menjadi buku menjelaskan kebebasan beragama dan riddah sebagai implikasi dari
pindah beragama, serta kontekstualisasi antara HAM dan konsep riddah di zaman
sekarang.9 Yudi Haryono dalam bukunya bahas politik al-Qur an pada, bab al-Qur an
dan wacana HAM, membahas sejarah HAM barat dan nilai-nilai HAM dalam al-
Quran dan membahas kebebasan beragama sepintas yang sesuai dengan di nash.10
Miftahusurur dan sumamiharja dalam bukunya delik-delik keagamaan di
dalam RUU KUHP Indonesia, yang membahas pemidanaan seorang yang terjerat
pasal penodaan agama sesuai KUHP, kemudian rentannya tindakan anarkis yang
mengatas namakan agama dan diskriminasi, dapat di nilai mengganggu kebebasan
beragama di Indonesia.11
Buku-buku tersebut dan juga buku lain membahas
kebebasan beragama sesuai dengan sudut pandangnya tidak mendudukan persoalan
kebebasan beragama menurut syariah, HAM dan kontekstualisasinya Indonesia
9 Tri wahyu hidayati, Apakah Kebebasan beragama Sama Dengan Pindah Agama. (Sala
Tiga. JP Books 2008), h. 7
10
M. Yudi R Haryono, Bahasa Politik Alquran: Mencurigai Makna Tersembunyi Dibalik
Teks, (Bekasi: Gugus Press), 2002.
11
Miftahusurur dan Sumihrja. Delik-Delik Keagamaan Didalam RUU KUHP Indonesia,
(Jakarta; Desantara Aliansi Reformasi KUHP dan DRSP-USAID, 2007).
13
F. Sitematika Penulisan
Dalam penyususnan skripsi ini penulis membagi kedalam 5 (lima) bab, yang
masing-masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud
tulisan ini pembagian ke dalam beberapa bab dan sub bab adalah bertujuan untuk
memudahkan pembahasan terhadap isi penulisan ini adapun pembagiannya adalah
sebagai berikut:
BAB I Merupakan penjabaran pendahuluan. dimulai dengan latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, manfaat dan tujuan
penulisan, metode penelitian, pengumpulan data, dan metode pembahasan,
tinjauan pustaka serta sistematika penulisan
Bab II Membahas gambaran prinsip umum pengertian Kebebasan beragama
menurut Islam dilihat dari sumber utamanya yakni al-Qur’an. Al-Sunnah
tinjauan atas Piagam Madinah. Deklarasi Kairo mengenai HAM. Dan
Kebebasan beragama dalam DUHAM
BAB III Membahas Demografi agama di Indonesia. Agama dan Negara di
Indonesia era Reformasi., Jaminan kebebasan beragama di Indonesia era
Reformasi
BAB IV Menganalisa praktek kebebasan beragama dari sudut pandang hukum,
Perspektif sosio-kultural, dan perspektif politik; suara partai politik era
Reformasi
BAB V Yang berisi Kesimpulan dan Saran.
14
BAB II
DESKRIPSI KEBEBASAN BERAGAMA
A. Pengertian Kebebasan Beragama
1. Pengertian Kebebasan
Dalam bahasa Indonesia, kebebasan yang berakar kata dari bebas
memiliki beberapa pengertian, yaitu, 1) Lepas sama sekali. 2) Lepas dari
tuntutan, kewajiban dan perasaan takut. 3) Tidak dikenakan hukuman dsb. 4)
Tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan. 5) Merdeka.1
Pengertian kata bebas secara lughah ini tentu tidak memadai dan
memungkinkan dijadikan pijakan hukum secara personal dalam realitas sosial.
Karena, jika itu terjadi, maka akan melahirkan ketidakbebasan bagi pihak lain.
Ini berarti, tidak ada seorang-pun bebas sepenuhnya, karena kebebasan itu
dibatasi oleh hak-hak orang lain. Dengan demikian, pengertian kebebasan
secara akademik terikat oleh aturan-aturan, baik agama, maupun budaya.
Keterikatan makna bebas dengan konsepsi keagamaan dan budaya inilah
membuat pengertiannya menjadi bias dan subyektif. Karena setiap agama dan
budaya memiliki aturan dan norma yang mungkin berbeda sesuai titah yang
direduksi dari ajaran kitab suci setiap agama dan konsepsi budaya itu.
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta; Balai
Pustaka, 1990), h. 90.
15
Agama Islam misalnya, memiliki terminologi tersendiri terhadap kata
kebebasan (hurriyah).Dalam kitab al-Mausu‟ah al-Islamiyah al-„Ammah2,
kebebasan didefenisikan sebagai “kondisi keislaman dan keimanan yang
membuat manusia mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu sesuai
kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun
moral.”
Dari pengertian ini terdapat dua bentuk kebebasan. Pertama, kebebasan
internal (hurriyah dakhiliyah) yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang
berbeda dan bertentangan. Kebebasan jenis ini tergambar dalam kebebasan
berkehendak (hurriyat al-iradah), kebebasan nurani (hurriyat al-dhomir),
kebebasan jiwa (hurriyat al-nafs) dan kebebasan moral (hurriyat al-
adabiyah). Kedua, kebebasan eksternal (hurriyat kharijiyah). Bentuk
kebebasan ini terbagi menjadi tiga yakni: a) al-Tabi’iyah, yaitu kebebasan
yang terpatri dalam fitrah manusia yang menjadikannya mampu melakukan
sesuatu sesuai apa yang ia lihat. b) al-Siyasiyah, yaitu kebebasan yang telah di
berikan oleh peraturan perundang-undangan. c) al-Diniyah, kemampuan atas
keyakinan terhadap pelbagai mazhab keagamaan.
Dari beberapa argumentasi di atas, penulis berkesimpulan bahwa
kebebasan yang sebenarnya adalah ketidak-bebasan itu sendiri. Karena, tidak
satupun perilaku yang terbebas dari aturan dan norma, baik yang bersifat
2 Hernanto Harun Diskusi Nasional ”Islam dan Kebebasan Beragama di Indoensia, Problem
dan solusinya” Kamis 8 Mei 2008 di Auditorium IAIN STS Jambi, Kampus Telanai Pura.
16
ilahiyah maupun insaniyah. Adanya aturan terhadap sesuatu, merupakan
pengikat yang menjadikannya tidak bebas. Artinya, kebebasan tidak mutlaq
(lepas) tapi muqayyad (terbatas).
2. Pengertian Agama
Dalam wacana pemikiran Barat, polemik dan perdebatan tentang
defenisi agama hampir tidak menemui finishnya, baik dalam bidang ilmu
filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi maupun dalam bidang ilmu
perbandingan agama (muqaranat al-adyan). Sehingga “sengketa” untuk
mendapat defenisi yang maqbul dan disepakati oleh semua pihak, agaknya
sangat sulit, bahkan mustahil. Karena semua ahli bidang keilmuan bersikukuh
dengan argumentasi dan persepsi mereka masing-masing. Maka tidak aneh
jika Wilfred Cantwel Smith, seorang pakar ilmu perbandingan agama, harus
mengakui betapa sulitnya mendefenisikan agama. Smith mengungkapkan,
terminologi agama luar biasa sulitnya didefenisikan (The term is notoriously
indefinable). Paling tidak dalam dasawarsa terakhir ini terdapat beragam
defenisi yang membingungkan yang tidak satupun diterima secara luas. Oleh
karenanya, istilah ini harus dibuang dan ditinggalkan untuk selamanya.3
Muhammad Abdullah Darraz, dari kalangan pemikir muslim,
berpendapat, bahwa agama dapat didefenisikan dari dua aspek. Pertama,
sebagai aspek psikologis, yakni religiusitas; dengan demikian agama adalah
kepercayaan atau iman kepada Zat yang bersifat ketuhanan yang patut ditaati
3 Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion. (London: SPK, 1978), h.17.
17
dan disembah. Kedua, sebagai hakikat eksternal, bahwa agama adalah
seperangkat panduan teoritik yang mengajarkan konsepsi ketuhanan dan
seperangkat aturan praktis yang mengatur aspek ritualnya.4
Dalam pengertian literalnya, agama sering diterjemahkan dengan din
atau religion. Menurut al-Jurjani, din disepadankan dengan millah yang
berarti sebuah aturan (syariah) yang ditaati, yang dinisbatkan kepada Allah
SWT.5 Defenisi ini tentu dapat diasumsikan sepihak, mengingat unsur
subyektifitas keislamannya sangat kental. Akan tetapi, penerjemahan agama
menjadi din atau religion, juga menimbulkan pelbagai macam kebingungan,
karena istilah din bermakna lebih dari sekedar “agama” atau religion. Menurut
para mufassir, ada elemen dasar yang sesuai dengan konsep din, yaitu makna
agama, makna perhitungan, makna pembalasan dan makna kebiasaan tradisi,
pandangan hidup atau aturan hukum.6
Ragam pendapat tentang pengertian agama, agaknya bias dari ilmu
pengetahuan dan keagamaan yang bersemayam dalam penggagas defenisi
tersebut. Akan tetapi, dari keragaman defenisi tadi, bukan tidak ditemukan
“kesepakatan” dan titik temu. Menurut Anas Malik Thoha, untuk
4 Muhammad Abdullah Darraz, al-Din; Buhuts Mumahhidah li al-Dirasat al-Adyan. (Kairo:
tp, 1952), h. 49-50.
5 Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat. (Dar al-Diyah li al-Turats, (tt),
h.141.
6 Fatimah Abdullah Konsep Islam Sebagai Din, Kajian Terhadap Pemikiran al-Attas,
Islamia, September-November 2004,h. 51.
18
mendefenisikan agama, setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan, yakni
dari segi fungsi, institusi, dan substansi. Para ahli sejarah sosial (social
history) cenderung mendefenisikan agama sebagai suatu institusi historis
suatu pandangan hidup yang institutionalized yang mudah dibedakan antara
agama Budha dan Islam dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang melatar
belakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan,
ritual dan etika yang ada dalam ajaran keduanya. Sementara para sosiolog dan
antropolog cenderung mendefenisikan agama dari sudut fungsi sosialnya yaitu
suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satun-satuan atau
kelompok-kelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar teologi,
fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang
asasi yaitu yang sakral.7
Apapun defenisi agama, yang jelas, terminologi agama masih menghiasi
ungkapan sehari-sehari, baik oleh kalangan intelektual maun awam. Hal ini
berangkat dari kenyataan--meminjam istilah Plato--bahwa seluruh manusia,
baik dari Yunani maupun bukan, meyakini eksistensi Tuhan. Ini artinya,
seluruh manusia memiliki agama, sebagai “jalan” berkomunikasi dengan
Tuhannya. Dengan demikian, pilihan terhadap suatu agama merupakan hak
prerogatif seorang manusia.
7 Anas Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis. (Depok; Perspektif Gema
Insani, 2005), h. 13-14.
19
B. Kebebasan Beragama Menurut Islam
Dalam ajaran Islam, pengakuan terhadap kebebasan seseorang untuk memilih
suatu agama sudah sudah sejak awal dijelaskan. Bahkan, kebebasan merupakan
“slogan” yang menjadi hak setiap individu, karena salah satu pilar dasar dalam yang
mewujudkan keselamatan individu dan masyarakat.
1. Kebebasan Beragama Dalam al Qur an
Kebebasan beragama, berpolitik dan berfikir merupakan bentuk
penghargaan al-Qur‟an yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada
manusia.8 Dengan demikian, persoalan kebebasan beragama dalam Islam
bukan barang impor, akan tetapi sudah berafiliasi dengan pemikiran Islam
seiring dinamika zaman. Pengistilahan kebebasan dalam pemikiran Islam,
walau tidak melulu menggunakan term al-hurriyah, namun istilah al-ihkitiyar
juga merupakan terma yang sangat identik dengan kebebasan. Karena terma
al-ikhtiyar sering diposisikan kontras dengan terma al-jabr, yang berarti
penafian terhadap kebebasan dalam diri manusia dan masyarakat.
Al-ikhtiyar didefenisikan sebagai sikap seseorang, jika berkeinginan
maka ia kerjakan, jika tidak, maka ia tidak lakukan. Tidak hanya itu,
persoalan kebebasan beragama bahkan telah dijelaskan dalam kitab suci al-
Qur‟an, sebagai rujukan final umat Islam. Dalam al-Qur‟an tertulis banyak
8 Muhammad Sayyid Yusuf, Manhaj al-Qur an al-Karim fi Islah al-Mujtama. (Kairo : Dar
al-Salam, 2002), h.182.
20
sekali ayat yang secara jelas mengungkapkan tentang kebebasan bergama.
Juga, tugas dan fungsi seorang Rasul bukan memaksakan seluruh manusia
untuk memeluk Islam, akan tetapi hanya sebatas penyampai risalah Tuhan.9
Penegasan al-Qur‟an terhadap kebebasan beragama merupakan bukti
bahwa pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk Islam tidak dibenarkan.
Hal ini telah dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam Q.S al
Baqoroh:(2):256:
)2/256/البقرة)
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena
itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat
yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Ketika mengomentari ayat ini, Mohemed Talbi mengungkapkan,
bahwa sepengetahuan dia, diantara teks-teks wahyu, hanya al-Qur‟aan yang
menekankan dengan tegas kebebasan beragama. Alasannya adalah bahwa
iman, agar berarti dan dipercayai harus merupakan tindakan ikhlas.10
Keimanan yang ikhlas adalah yang berasal dari kepuasan (iqtina) dan
keyakinan, bukan hanya sebatas meniru atau keterpaksaan. Faktor keikhlasan
9 Kamil Salamah al-Daqs, Ayat al-Jihad fi al-Qur an al-Karim. (Kuwait; Dar al-Bayan,
1972), h. 94.
10
Mohemed Talbi, Kebebasan Beragama, dalam Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Isu-Isu Global. Jakarta; Paramadina, 2003, h. 254.
21
dalam menganut agama, justru menjadi sebab kronologis turunnya ayat di
atas. Kisahnya berawal dari seorang pria muslim kaum Anshar dari Bani
Salim bin Auf yang memiliki dua orang anak yang beragama Nasrani.
Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah SAW untuk memaksa anaknya
memeluk Islam, akan tetapi kedua anaknya enggan menerima Islam dan tetap
beragama Nasrani.11
Selain ayat di atas, ayat lain yang secara tegas menegasikan tindakan
pemaksaan untuk memeluk Islam adalah firman Allah SWT, dalam QS:
Yunus [10]. 99.
( 10/99/يونس)
Artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya?”
Persolan kebebasan beragama dalam Islam bahkan tidak sebatas
membiarkan seorang manusia memilih terhadap suatu agama, namun lebih
dari itu, memberi kebebasan kepada pemeluk setiap agama untuk
melaksanakan ritual ajaran agamanya. Hal ini karena tema keyakinan
merupakan urusan ukhrawi yang nanti akan diperhitungkan oleh Allah SWT
di hari kiamat kelak.
11
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur an al-Karim, Tafsir al-Manar. (Beirut; Dar al-
Fikr, (tt), h. 36.
22
Dari itu, tidak seorangpun yang berhak menghukumi tentang pilihan
keyakinan, kecuali jika seseorang tersebut dengan sengaja mengproklamirkan
kekufurannya. Jika kebebasan memilih agama diberikan kepada setiap orang,
maka ada bebarapa konsekuensi logis dari pemberian kebebasan tersebut.
Diantaranya: 1). kebebasan melaksanakan ibadah, baik secara terang-terangan
atau tersembunyi, individual maupun berkelompok. 2).kebebasan memilih
mode yang selaras dengan kecenderungan agamanya, atau kebebasan
melakukan praktek keagamaan. 3). Kebebasan memakai istilah, tanda dan
syi‟ar yang berbeda. 4). Kebebasan membangun kebutuhan rumah ibadah. 5).
Kebebasan melaksanakan acara ritual keagamaan. 6). Menghargai temapt
yang mereka anggap suci. 7). Kebebasan bagi seseorang untuk merubah dan
berpindah keyakinan. 8). Kebebasan berdakwah untuk memeluk agamanya.12
Dalam al-Qur„an secara gamblang diungkapkan tentang kebebasan tersebut.
Firman Allah SWT dalam QS. Al-Kafirun [109], 1-6:
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
(1-109/6/الكفرون)
Artinya: “Katakanlah hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyambah Tuhan yang aku
sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”
12
Maluddin Athiah Muhammad, Nahwa Fiqh Jadid li al-Aqalliyat. (Kairo; Dar al-Salam,
2003), h.103.
23
Ayat ini dengan sangat tegas mengungkapkan akan adanya perbedaan
antara Islam dengan agama yang lainya, bahkan secara global
mengungkapkan perbedaan yang tidak akan pernah bertemu, keragaman yang
tidak akan pernah serupa, pisah yang tidak akan bersambung dan corak yang
tidak akan pernah bercampur.13
Meskipun demikian, realitas keragaman
agama merupakan fakta yang ada dan tidak mungkin untuk dinafikan. Karena,
justru keragaman agama merupakan sunnatullah yang sengaja diciptakan
Allah SWT sebagai ujian untuk manusia. Keragaman manusia dalam memilih
jalur “komunikasi” menuju tuhannya, juga telah dijelaskan dalam al-Qur‟an.
Firman Allah SWT dalam QS: al-Maidah [5], 48:
(5/48/الماءدة)
Artinya: “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya.
Kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu.”
Dalam ayat ini, al-Tabary menginterpretasikan, jika Allah SWT
menghendaki, maka Dia akan menjadikan aturan (syari‟ah) itu satu aja, akan
tetapi Allah SWT mengetahui perbedaan aturan itu untuk menguji (ikhtibar)
13
Tri Wahyuni Hidayati Apakah Kebebasan Beragama Sama Dengan Bebas Pindah
Agamaperspektif Hukum Islam Dan HAM. (Stain salatiga pers dan JP books. Februari 2008). h 7
24
manusia dan untuk mengetahui siapa taat dan merealisasikan ajaran yang telah
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan juga untuk mengetahui siapa
yang mengingkarinya.14
Dalam konsepsi Islam, perbedaan syari‟ah setiap umat, merupakan suatu
dimensi yang menyimpan karakteristik dakwah setiap nabi, yang boleh jadi
lebih akulturatif dengan kondisi zamannya. Namun, semua perbedaan syariah
itu berhulu dari satu kesepakatan yang meng-esa (tauhid)-kan Tuhan. Imam
al-Syaukani mengungkapkan bahwa semua syariat yang dibawa oleh para
rasul dan kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para nabi, sepakat
menetapkan tauhid.
Namun yang terjadi dalam realitas sejarah, terjadinya penyimpangan,
atau kreasi baru terhadap pemahaman keagamaan, merupakan fakta yang
perlu untuk dinegosiasikan. Paling tidak, mencari kesepahaman dalam
menerjemahkan nilai-nilai universalitas agama, tanpa harus menganggap atau
meyakini bahwa semua agama adalah sama. Karena mencari titik temu
kesamaan ajaran pokoknya, tidaklah mungkin, mengingat setiap agama
memiliki sebuah konsep yang terekam dalam setiap kitab suci, dan dalam
kitab suci itulah tersimpan kepribadian agama, karena agama adalah suatu
sistem keyakinan yang dilandaskan pada sejumlah ajaran-ajaran yang mutlak
14
Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Tabary, Tafsir al-Tabary, jilid 4. (Beirut; Dar al-Fikr,
1987), H. 176.
25
yang tidak bisa diubah, atau pada kekuatan konvensi atau otorita-otorita
tradisionoal.15
Dari sini titik supremasi ajaran agama memasuki wilayah truth claim,
sehingga tak jarang menjadi ruang persinggungan konprontatif antara satu
agama dengan yang lainnya, dan dari sinilah muncul semboyan perang atas
nama Tuhan.16
2. Kebebasan Beragama dalam al-Sunnah (Piagam Madinah)
Dalam relaitas sejarah, kebebasan dan toleransi menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari perilaku keislaman nabi Muhammad SAW dan pengikutnya.
Dinamika kebebasan yang memberi buah toleransi beragama dalam sejarah
Islam, tidak hanya dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. yang bisa kita lihat
dari apa yang selama ini dinamakan Piagam Madinah disini penulis melihat
“benih-benih” kebebasan dan toleransi.
Piagam Madinah sendiri terdiri dari 70 pasal, dan ditulis dalam 4
tahapan yang berbeda. Pada penulisan pertama terdapat 28 pasal, yang
didalamnya mengatur hubungan antara kaum muslimin sendiri. Pada
penulisan yang kedua ada 25 pasal yang mengatur hubungan antara umat
Islam dan Yahudi. Dan penulisan yang ketiga terjadi setelah terjadinya
perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-2 Hijrah, yang merupakan penekanan
15
Riza Sihbudi, Islam, Radikalisme dan Demokrasia. (Republika, 23 September, 2004).
16
Hermanto Harun, Perdamaian dan Perang Dalam Konsep Islam, Studi Analisis Buku
“Nizam al-Silm wa al-Harb fi al-Islam.” (Thesis Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005), h
2.
26
atau pengulangan dari pasal pertama dan kedua. Sedangkan pada tahap yang
keempat ini hanya terdapat 7 pasal dan mengatur hubungan antara kabilah
yang memeluk Islam.17
Inilah sekilas tentang periwayatan Piagam Madinah yang diriwayatkan
oleh beberapa perawi dan ahli hadist terkemuka, yang merupakan undang-
undang negara pertama di dunia, yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW.
Berikut ini adalah teks Piagam Madinah yang ditulis pada tahap pertama yang
terdiri dari 18 pasal;18
1. Umat Islam adalah umat yang satu, berdiri sendiri dalam bidang
akidah, politik, sosial, dan ekonomi, tidak tergantung pada masyarakat
lain.
2. Warga umat ini terdiri atas beberapa komunitas kabilah yang saling
tolong-menolong.
3. Semua warga sederajat dalam hak dan kewajiban. Hubungan mereka
didasarkan pada persamaan dan keadilan.
4. Untuk kepentingan administratif, umat dibagi menjadi sembilan
komunitas; satu komunitas muhajirin, dan delapan komunitas penduduk
Madinah lama. Setiap komunitas memiliki system kerja sendiri
berdasarkan kebiasan, keadilan, dan persamaan.
5. Setiap komunitas berkewajiban menegakkan keamanan internal.
17
Ansyari Thayeb, ed., HAM dan Pluralisme Agama, (Surabaya, PPSK, 1999). h. 6
18
Maududi, Abdul A‟la, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Bandung; Pustaka, 1999). h 19
27
6. Setiap kominitas diikat dalam kesamaan iman. Antara warga satu
komunitas dan komunitas lain tidak diperkenankan saling berperang;
tidak boleh membunuh dalam rangka membela orang kafir, atau membela
orang kafir dalam memusuhi warga jomunitas muslim.
7. Umat Islam adalah umat Allah yang tidak terpecah belah.
8. Untuk memperkuat persaudaraan dan hubungan kemanusiaan diantara
umat Islam, warga muslim menjadi pelindung bagi warga muslim
lainnya.
9. Orang Yahudi yang menyatakan setia terhadap masyarakat Islam harus
dilindungi. Mereka tidak boleh dianiaya dan diperangi.
10. Stabilitas umat adalah satu. Satu komunitas berparang, semuanya
berperang.
11. Apabila satu komunitas berperang maka komunitas lain wajib
membantu.
12. Semua warga wajib menegakkan akhlak yang mulia.
13. Apabila ada golongan lain yang bersekutu dengan Islam dalam
berperang, maka umat Islam harus saling tolong-menolong dengan
mereka.
14. Oleh karena orang Quraisy telah mengusir Muhajirin dari Mekah,
maka penduduk Madinah, muasrik sekalipun, tidak boleh bersekutu
dengan mereka dalam hal-hal yang dapat membahayakan penduduk
muslim Madinah.
28
15. Jika ada seorang muslim membunuh muslim lain secara sengaja,
maka yang membunuh itu harus diqisas (dihukum setimpal), kecuali ahli
waris korban berkehendak lain. Dalam hal ini seluruh umat Islam harus
bersatu.
16. Orang yang bersalah harus dihukum. Warga lain tidak boleh
membelanya.
17. Jika terjadi konflik atau perselisihan yang tidak dapat dipecahkan
dalam musyawarah, maka penyelesaiannya diserahkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
18. Semua kesalahan ditanggung sendiri. Seorang tidak diperkenankan
mempertanggungjawabkan kesalahan teman (sekutu)-nya.
Begitu juga zaman Khulafa ar-Rasyidin kebebasan dan toleransi
beragama tetap menempati posisinya yang baik. Ini dibuktikan dalam sejarah
bahkan pernah dicatat, ketika orang-orang Kristen Syam dijajah oleh
kekuasaan Romawi, mereka meminta pertolongan tentara muslim. Fakta lain
dari toleran Islam dalam sejarah adalah surat yang di tulis oleh Betrikc Isho
Yabh kepada uskup Paris orang Arab yang diberikan Tuhan kekuasaan seperti
yang kalian ketahui, mereka tidak menyerang akidah Kristen. Bahkan
sebaliknya, berlaku lembut kepada pendeta kita, menghargai agama kita dan
menghargai Gereja dan rumah-rumah kita.19
19
Munawir Sadjali, Hukum Tata Negara Islam, (Jakarta: UI Pers, 1993), h. 1-2
29
Argumentasi normatif dan fakta sejarah yang telah uraikan di atas,
merupakan bukti bahwa Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW yang
dinobatkan sebagai nabi terkahir (khatam al-nabiyin) merupakan agama yang
selalu berorintasi kemanusiaan. Doktrin Islam secara universal, merupakan
agama yang senantiasa mengedapankan maslahat bagi manusia, yang berpijak
kepada keadilan, persamaan dan kebebasan. Hubungan Islam dengan pemeluk
agama lain sejak awal telah dibangun dengan sebuah kaidah yang tidak perlu
diperdebatkan, dan itu telah direalisasiakan sepanjang zaman.
3. Kebebasan Beragama dalam Deklarasi Kairo
Deklarasi Kairo (DK) 1990 merupakan istrumen pengaturan HAM yang
berlandaskan hukum Islam. Deklarasi tersebut terdiri dari 30 pasal yang
mengatur mengenai hak dan kebebasan sipil dan politik serta hak dan
kebebasan ekonomi, sosial dan budaya.
Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairo
diatur dalam pasal khusus. Namun untuk memahami pengertian mengenai
hak kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairo kita harus melihat bagian-
bagian lain dari deklarasi yang akan membantu pemahaman tentang hak
kebebasan beragama. Pembukaan Deklarasi Kairo mengatur sebagai berikut:
“Berkeinginan untuk memberikan sumbangan terhadap usaha-usaha umat
manusia dalam rangka menegakkan hak-hak asasi manusia, melindungi
manusia dari pemerasan dan penindasan, serta menyatakan kemerdekaan
30
dan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak sesuai dengan syariat
Islam”.
Bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam Islam
merupakan bagian integral agama Islam dan bahwa tak seorang pun pada
dasarnya berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian
atau melanggar atau mengabaikanya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan
itu merupakan perintah suci mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah
SWT. yang diturunkan melalui nabi-Nya yang terakhir.
Pembukaan Deklarasi Kairo menjelaskan bahwa tujuan dibentuknya
Deklarasi Kairo adalah untuk memberikan sumbangan terhadap perlindungan
HAM yang sesuai dengan syariat Islam. Hal ini dapat dipahami sebab
Deklarasi Kairo dikeluarkan oleh OKI, yang merupakan organisasi
internasional antar-negara yang beranggotakan negara Islam atau
penduduknya mayoritas beragama Islam.
HAM dalam Islam merupakan satu kesatuan dari agama, sehingga perlu
kiranya umat Islam membuat aturan HAM yang berdasarkan hukum Islam.
Salah satu hak yang dijamin dalam DK adalah hak kebebasan beragama, hak
tersebut merupakan salah satu hak fundamental yang menjadi perhatian bagi
umat Islam.20
Pasal 10 DK mengatur sebagai berikut:
20
Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama Perspektif Islam”, dalam Dialog: Kritik
dan Identitas Agama. (Yogyakarta: Interfidie, 2004), h. 121.
31
“Islam adalah agama yang murni ciptaan alam (Allah SWT). Islam melarang
melakukan paksaan dalam bentuk apapun atau untuk mengeksploitasi
kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang untuk mengubah agamanya atau
menjadi atheis.”
Pasal 10 DK merupakan pasal utama yang mengatur mengenai hak
kebebasan beragama. Isi pasal tersebut diawali dengan pernyataan bahwa
Islam adalah agama yang murni ciptaan Allah SWT. Dengan demikian Islam
memiliki perangkat aturan tersendiri yang bersumber dari wahyu Tuhan (Al-
Quran).
Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut menyatakan larangan
untuk memaksakan suatu agama atau kepercayaan tertentu kepada orang lain.
Hal ini didasari dari Al Quran, yaitu Surat al-Baqarah ayat 256 yang
menyatakan tidak ada pemaksaan dalam beragama. Islam melarang seseorang
untuk memaksakan agama atau kepercayaan terhadap orang lain, yang
diperbolehkan dalam Islam adalah dakwah atau mengajak. Itu pun harus
dilakukan dengan cara yang baik, tidak dengan berbohong atau memberikan
imbalan dalam bentuk apapun.Pasal tersebut menjelaskan larangan agar tidak
mengeksploitasi kemiskinan dan kebodohan sebagai alat untuk mengajak
seseorang menyakini suatu agama atau kepercayaan tertentu. Secara tersurat
pasal di atas melarang seseorang untuk menjadi atheis, karena dalam Islam
mensyaratkan bahwa rasa berketuhanan itu merupakan sifat alamiah manusia.
32
Sehingga apabila manusia sudah tidak mengakui keberadaan Tuhan maka
eksistensi dirinya patut dipertanyakan.
C. Kebebasan Beragama Dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia)
Pengaturan mengenai perlindungan hak kebebasan beragama juga diatur
dalam DUHAM yang terdapat dalam pasal tersendiri. Dengan masuknya hak
kebebasan beragama dalam DUHAM, berarti menunjukkan betapa serius dan
pentingnya hak kebebasan beragama tersebut. Dalam istilah HAM kebebasan
beragama masuk kategori non-derogable right artinya hak yang tidak dapat dikurangi
dalam hal apapun. Dengan demikian hak kebebasan beragama dapat diasumsikan
sebagai salah satu hak yang paling fundamental. Pengaturan mengenai hak kebebasan
beragama dalam DUHAM diatur dalam Pasal 18. Pasal tersebut mengatur sebagai
berikut:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan, batin dan agama, dalam hal
ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk
menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya,
melakukannya, beribadah dan menepatinya baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun tersendiri.”21
Pasal ini merupakan pasal utama dalam pengaturan mengenai hak kebebasan
beragama. Pasal ini memberikan pengertian mengenai hak kebebasan beragama. Hak
kebebasan beragama dalam pasal tersebut meliputi hak untuk beragama, hak untuk
berpindah agama, hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan, hak untuk
21
Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat) (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 218.
33
mengajarkan agamanya. Hak- hak tersebut dapat dilaksanakan baik secara individu
ataupun kelompok dan pelaksanaan hak tersebut dapat dilakukan baik di tempat
umum maupun tempat pribadi.
Pada awalnya ide dimasukkanya pasal mengenai hak kebebasan beragama
adalah untuk melindungi hak agama minoritas, seperti Sikh. Sejarah menceritakan
bahwa sering terjadi pelanggaran atas hak kebebasan beragama seseorang
dikarenakan agama yang dianutnya bukanlah agama mayoritas yang dianut oleh
penduduk suatu negara.
Perbedaan politik, ekonomi, sosial, ideologi dan agama tiap-tiap negara
merupakan faktor yang menjadi hambatan dalam pembentukan Pasal 18 UDHR.
Pembentukan draft UDHR 1948 dibuat oleh The United Nation Human Rights
Commission (UNHRC)22
. Pada sesi kedua UNHRC telah membuat sebuah draft Pasal
18 mengenai hak kebebasan beragama. Namun pada tahap itu perwakilan dari Uni
Soviet menolak draft tersebut dengan membuat draft amandemen yang menambahkan
bahwa pelaksanaan hak kebebasan beragama merupakan subjek dari hukum nasional
bukan hukum internasional.
Usulan draft dari perwakilan Uni Soviet tersebut akhirnya ditolak pada
pertemuan sesi ketiga UNHRC. Setelah adanya draft usulan dari Uni Soviet, maka
terjadi sebuah perdebatan yang seru, pada akhirnya UNHRC membentuk sebuah sub
komite yang bertugas membuat rancangan pasal mengenai hak kebebasan beragama.
22
KGPH Haryomataram, Hak Asasi Manusia Internasional (Materi Perkuliahan), (Jakarta;
FH Usakti, 1998).
34
Sub komite tersebut terdiri dari perwakilan negara Prancis, Libanon, Inggris dan
Uruguay.
Sub komite tersebut akhirnya berhasil membuat rancangan mengenai pasal
hak kebebasan beragama. Ketika dilakukan pemungutan suara di dalam komisi untuk
pengesahan draft pasal tersebut, negara-negara sosialis melakukan abstain. Negara-
negara sosialis yang abstain adalah Uni Soviet, Belarusia, Ukraina, dan Yugoslavia.
Mereka lebih sepakat pada draft amandemen yang dibuat oleh Uni Soviet. Hal ini
dapat dipahami sebab negara-negara sosialis tersebut tidak mengakui keberadaan
Tuhan, apalagi agama. Bagi mereka agama adalah sesuatu yang dapat merusak
manusia.
Selain penolakan dari negara-negara sosialis, sikap yang sama juga dilakukan
oleh sebagian negara-negara Islam, khususnya Arab Saudi. Negara-negara Islam juga
membuat suatu draft alternatif dengan menghapuskan kata-kata “freedom to change
his religion or belief” pada Pasal 18. Alasan yang dikemukakan oleh perwakilan Arab
Saudi adalah untuk mencegah penyalahgunaan pasal tersebut oleh para misionaris
dalam penyebaran agama di negara-negara Islam. Negara-negara Islam memang
sangat memperhatikan mengenai hak kebebasan berpindah agama sebab keadaan
negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas Islam pada saat itu sebagian besar
adalah negara miskin sehingga sangat rentan terjadi perpindahan agama.
Draft alternatif dari Arab Saudi juga ditolak oleh komisi. Pada pemungutan
suara terakhir, akhirnya Uni Soviet menerima bunyi Pasal 18 tersebut dimasukkan
dalam bagian DUHAM. Hak kebebasan beragama merupakan karakter utama dalam
35
prinsip kebebasan, selain itu pada saat membuat draft DUHAM, hak kebebasan
beragama juga dikategorikan sebagai “an absolute and sacred right”. Walaupun hal
tersebut tidak tertulis didalam pasal, namun harus tetap diingat bahwa dalam
menafsirkan hak kebebasan beragama, nilai-nilai absolut dan hak yang suci harus
tetap menjadi acuan utama
36
BAB III
JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
A. Demografi Agama di Indonesia
Sebagai negara kepulauan yang terdiri atas lebih dari 17.000 kepulauan,
Indonesia memiliki luas wilayah sekitar 700.000 mil persegi dan jumlah penduduk
245 juta. Menurut laporan sensus tahun 2000, 88 pesen penduduk menyatakan diri
sebagai pemeluk Islam, 6 persen Kristen Protestan, 3 persen Katolik Roma, 2 persen
Hindu, dan kurang dari 1 persen Budha, penganut agama pribumi, kelompok Kristen
lain, dan Yahudi. Beberapa penganut agama Kristen, Hindu, dan anggota kelompok
agama minoritas lain berpendapat bahwa sensus tersebut kurang akurat dalam
menghitung jumlah penganut non-Muslim.
Sebagian besar Muslim di negara ini adalah Suni. Dua organisasi massa Islam
terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, masing-masing mengklaim
mempunyai 40 juta dan 30 juta pengikut Suni. Diperkirakan terdapat sekitar 1 juta
hingga 3 juta pengikut Syiah.
Ada banyak organisasi Islam dalam skala lebih kecil, termasuk sekitar
400.000 orang yang terdaftar sebagai anggota kelompok “sempalan” Islam
Ahmadiyah Qadiyani. Terdapat juga kelompok yang lebih kecil lagi, yaitu
Ahmadiyah Lahore. Kelompok minoritas Islam lain mencakup al-Qiyadah al-
37
Islamiya, Darul Arqam, Jamaah Salamulah, dan pengikut Lembaga Dakwah
Islamiyah Indonesia.1
Departemen Agama memperkirakan ada sebanyak 19 juta penganut Protestan
(yang disebut Kristen di negara ini) dan 8 juta penganut Katolik bermukim di
Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki proporsi penganut Katolik
tertinggi dengan 55 persen. Provinsi Papua memiliki proposri penganut Protestan
terbesar dengan 58 persen. Daerah lain, seperti Kepulauan Maluku dan Sulawesi
Utara memiliki penganut Kristen yang cukup besar.
Departemen Agama memperkirakan ada 10 juta penganut Hindu yang hidup
di negara ini. Agama Hindu dianut hampir 90 persen dari jumlah penduduk Bali.
Penganut minoritas Hindu (yang disebut "Keharingan") bermukim di Kalimantan
Tengah dan Timur, kota Medan (Sumatera Utara), Sulawesi Selatan dan Tengah, dan
Lombok (Nusa Tenggara Barat). Kelompok-kelompok Hindu seperti Hare Krishna
dan pengikut pemimpin spiritual India Sai Baba juga ada, meskipun dalam jumlah
kecil. Beberapa kelompok agama pribumi, termasuk "Naurus" di Pulau Seram di
Provinsi Maluku, menggabungkan kepercayaan Hindu dan animisme kedalam
kegiatan mereka. Banyak pula yang mengikuti prinsip-prinsip Kristen Protestan.
Masyarakat Tamil di Medan juga mewakili konsentrasi penganut Hindu.
Di Indonesia terdapat penganut Sikh dalam jumlah yang relative kecil, yang
diperkirakan antara 10.000 dan 15.000. Penganut Sikh terutama bermukim di Medan
1 Laporan kebebasan beragama Internasional 2005 (Pemerintah Indonesia) yang diterbitkan
pemerintah Amerika
38
dan Jakarta. Delapan kuil Sikh (gurdwaras) berada di Sumatra Utara, sedangkan di
Jakarta terdapat dua kuil Sikh dengan jamaah yang aktif melakukan ibadah.
Di antara penganut agama Budha, sekitar 60 persen mengikuti aliran
Mahayana, 30 persen menjadi pengikut Theravada, dan 10 persen sisanya penganut
aliran Tantrayana, Tridharma, Kasogatan, Nichiren, dan Maitreya. Menurut Generasi
Muda Budhis Indonesia, sebagian besar penganut agama Budha tinggal di Jawa, Bali,
Lampung, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau. Etnis Tionghoa merupakan 60
persen dari penganut agama Budha.
Jumlah penganut Konghucu masih tidak jelas karena pada saat sensus
nasional tahun 2000, para responden tidak diizinkan untuk menunjukkan identitas
mereka. Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan
bahwa 95 persen dari penganut Konghucu adalah etnis Tionghoa dan sisanya dari
etnis Jawa pribumi. Banyak penganut Konghucu yang juga menjalankan ajaran
agama Budha dan Kristen.
Sekitar 20 juta orang di pulau Jawa, Kalimantan, Papua, dan daerah lain
diperkirakan mempraktikkan animisme dan jenis sistem kepercayaan tradisional
lainnya yang disebut sebagai ”Aliran Kepercayaan”. Beberapa penganut animisme
menggabungkan kepercayaan mereka dengan salah satu agama yang diakui
Pemerintah dan selanjutnya terdaftar sebagi agama yang diakui. Terdapat sejumlah
kecil komunitas Yahudi yang ada di Jakarta dan Surabaya. Komunitas Baha‟i
memngakui memiliki ribuan anggota, tetapi tidak ada angka yang dapat diandalkan.
Falun Dafa, yang menganggap keyakinan mereka sebagai organisasi spiritual
39
ketimbang agama, mengklaim penganutnya mencapai jumlah antara 2.000 and 3.000,
hampir separuhnya tinggal di Yogyakarta, Bali, dan Medan.
B. Agama dan Negara di Indonesia
Agama sebagai suatu sistem nilai dan ajaran memiliki fungsi yang jelas dan
pasti untuk pengembangan kehidupan umat manusia yang lebih beradab dan
sejahtera. Dalam perspektif ajaran dan sejarah, agama apa pun turun ke dunia untuk
memperbaiki moralitas manusia, dari kebiadaban menuju manusia bermoral. Di
dalam agama terdapat nilainilai transenden berupa iman, kepercayaan kepada Tuhan,
dan serangkaian ibadah ritual sebagai manifetasi kepercayaan dan kepatuhan kepada
Sang Pencipta.
Menurut Abd A‟la2, transendensi agama bersifat fungsional, bukan sekadar
untuk kehidupan akhirat yang bersifat eksatologis murni dan terpisah dari kehidupan
sekarang. Namun hal itu juga berfungsi praktis dan applicable untuk kehidupan
dunia. Karena transendensi itulah, maka muncul ungkapan kiranya manusia menjadi
khalifah Allah di muka bumi sebagai konkretisasi imannya. Dengan pemahaman
demikian maka nilainilai agama harus dirajut dalam kehidupan yang konkret,
termasuk dalam kehidupan bernegara. Di sinilah akar tuntutan agar agama itu
dilembagakan.3
Pijakan konkretisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara itu ternyata
2 Abd A‟la. Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Penerbit Kompas, 2003, h. 134.
3 Masdar F. Mas’udi. Asal-usul dan pengertian pelembagaan agama, dalam “Agama dan
pluralitasnya” Interfidei, 1995, Mendidik Manusia Merdeka: Roma YB. Mangunwijaya 65 Tahun, Yogyakarta: Interfedei, h. 368.
40
melahirkan debat tiada berkesudahan mengenai kebebasan beragama dan gugus
negara. Dalam studi ilmu negara lazim diterima bahwa suatu negara dibentuk untuk
pertamatama melindungi HAM warganegara dan memberikan kesejahteraan secara
optimal.4
Bagaimana menempatkan agama dalam kehidupan bernegara? Para
pengamat sosial merumuskan beberapa teori untuk membaca hubungan agama
dengan negara, yang antara lain dirumuskan dalam bentuk 3 (tiga) paradigma, yaitu
paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik.
Dalam gugus negara dengan paradigma integralistik, agama dan negara
menyatu, jadi wilayah agama mencakup wilayah politik atau negara. Oleh karena itu,
negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Paradigma ini yang
kemudian melahirkan paham negaraagama, di mana kehidupan kenegaraan diatur
dengan menggunakan prinsipprinsip kegamaan.5
Achmad Gunaryo menyebut
paradigma ini sebagai cita negara teokratik. Paradigma ini menghendaki kepentingan
agama merupakan suatu hal yang penting untuk dilindungi.6
Sementara itu, paradigma simbiotik menunjuk bahwa antara agama dan
negara ada hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Karena
sifatnya yang simbolik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk
mewarnai hokum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup
4 Budiono Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil,
Jakarta: Grasindo, h. 2002.
5 Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum
Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, h. 2324.
6 Oemar Seno Adji, 1981, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, h. 87.
41
kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara.
Pada sisi yang ekstrem, paradigma sekularistik menolak kedua paradigma itu.
Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan dalil perlunya dipisahkan
agama dengan negara. Seperti diuraiakan oleh Abdurrahman Wahid7
bahwa agama
adalah ruh, spirit yang harus masuk ke negara. Sementara negara adalah badan, raga
yang mesti membutuhkan ruh agama. Dalam konsep ini, keberadaan negara tidak lagi
dipandang semata-mata sebagai hasil kontrak sosial dari masyarakat manusia yang
bersifat sekuler, akan tetapi lebih dari itu, negara dipandang sebagai jasad atau badan
yang niscaya dari idealisme ketuhanan, sementara agama adalah substansi untuk
menegakkan keadilan semesta. Menurut Denny JA8, paradigma sekularisitik terwujud
dalam konfigurasi negara di mana agama tidak dijadikan instrumen politik, tidak ada
ketentuan-ketentuan keagamaan yang diatur melalui legislasi negara, sehingga agama
tidak perlu “meminjam negara” untuk memaksakan keberlakuan ketentuan agama.
Namun demikian, Mohammd „Abed alJabiri, seorang cendekiawan asal
Maroko, mengkritik paradigma sekularistik yang dinilainya sebagai konstruksi yang
keliru atas realitas.9
Sekularisasi tidak lebih sebagai kebutuhan lokal ketika di suatu
tempat terdapat potensi adanya “politisasi agama” maupun “agamanisasi politik”.
7 Abdurrahman Wahid, “Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas”, Kata Pengantar dalam
Masdar. F. Mas‟udi, 1993, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: Pustaka
Firdaus, h. xivxvi.
8 Denny JA, “Islam, Negara Sekular, dan Demokrasi”, dalam Saripudin HA (Penyunting),
2000, Negara Sekular Sebuah Polemik, Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, h. 17-18.
9 Ahmad Baso, Problem Islam dan Politik: Perspektif Kritik Nalar Politik Mohammed
„Abed alJabiri, dalam Taswirul Afkar, Edisi No. 4/1999.
42
Bagaimana dengan agama dan negara Indonesia? Sementara kalangan, yang
tampaknya merupakan pendapat dominan dan secara praksis paling mendekati
kenyataan, sering menyatakan bahwa Indonesia bukan negara agama, meskipun
bukan pula negara sekular. Di Indonesia, seperti uraian Achmad Gunaryo hukum
agama diakomodir, meskipun akomodasi itu tetap dalam kerangka kebutuhan
bersama. Bersamasama dengan unsurunsur lain, agama diperlakukan sebagai salah
satu pembentuk cita negara (staasidee). Sebagai konsekuensi, hukum yang bersumber
dari agama diadopsi sebagai salah satu unsur pembentuk hukum negara atau nasional.
Menurut Moh. Mahfud MD, pemahaman seperti ini menggunakan konsep Pancasila,
ideologi dan dasar negara, yang bersifat prismatik.10
Secara politis, konsep prismatik merupakan sandaran yang dirasakan masuk
akal, diantara berbagai pilihan sektarian lainnya, sebagai buah perdebatan panjang
mengenai hubungan agama dengan negara yang berlangsung bukan saja pada saat
pembentukan UUD 1945, tetapi bahkan sejak dasawarsa 1940-an, dan ketika masa
Reformasi 1999 juga, isu hubungan agama dan negara timbul tenggelam sebagai isu
politik baik formal maupun tidak formal.
Tulisan ini menerima pandangan prismatik itu, dan tidak akan menguraikan
landasan akademik yang menuju debat menerima atau menolak, tetapi yang paling
penting dengan pandangan akan diterima bahwa masalah kepentingan agama di
Indonesia merupakan hal yang harus dilindungi. Tafsiran tersebut diikuti dengan
10
Moh. Mahfud M.D. Membangun Politik Hukum Membangun Konstitusi, (Jakarta: LP3ES
2006), h. 276.
43
kebijakankebijakan politik yang memberikan tempat dan peranan yang terhormat
kepada agama.11
Dalam aras konstitusi, dapat ditunjuk sejumlah pasal yang bukan
saja menunjukkan pentingnya agama (dan aspek-aspek yang terkait dengannya), akan
tetapi juga betapa agama dan kehidupan beragama merupakan HAM, seperti:
1. Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal
28A),
2. Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat (Pasal 28E);
3. Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E ayat (2));
4. Hak atas pelrindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G); dan
5. Hak atas bebas dari penyiksaan (Pasal 28G ayat (3)).
Puncak pengakuan atas hak asasi manusia dalam konstitusi ditutup dengan
pigura yang berwibawa dan tegas dengan termuatnya Pasal 28 J, yang menyatakan:
“(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta
11 Munawir Sadzali, 1990, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, h. 210.
44
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Kebebasan beragama sebagai salah satu fondasi bernegara juga diakui oleh
UUD 1945, yaitu Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). “Negara berdasar atas Ketuhanan
yang Maha Esa; Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan
itu.” Legalisasi dalam konstitusi itu kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa agama
menduduki porsi yang penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia.
C. Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia
Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa
ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini
hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD
1945. Setua persoalan ini muncul, masalah kebebasan beragama memang tidak
pernah tuntas diperdebatkan hingga sekarang.
Semula, rancangan awal Pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi:
“Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Lalu diubah lewat keputusan rapat PPKI, 18 Agustus 1945
menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan ini
menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya), yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan nasionalis-
45
Islam. Rumusan inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga sekarang dan
tidak mengalami perubahan meski telah empat kali mengalami amandemen: 1999,
2000, 2001, dan 2002. Hal itu bukan berarti tidak ada usaha serius dari sebagian
kalangan Islam untuk mengubah prinsip dasar pasal tersebut. Rekaman perdebatan di
sidang-sidang MPR era Reformasi membuktikan dengan jelas dinamika usaha-usaha
tersebut.
Rapat-rapat PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat ada tiga opsi usulan fraksi-
fraksi MPR berkaitan dengan Pasal 29 tadi. Pertama, mempertahankan rumusan
Pasal 29 sebagaimana adanya tanpa perubahan apapun; Kedua, mengubah Pasal 29
ayat (1) dengan memasukkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta ke dalamnya seperti
rumusan hasil sidang BPUPKI 1945; dan Ketiga, berusaha mengambil jalan tengah
dari kedua usulan tersebut, yakni dengan menambahkan satu ayat lagi dari Pasal 29
tersebut dengan redaksi yang beragam, di antaranya: “Penyelanggara Negara tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma, dan hukum agama” (diusulkan
oleh Partai Golkar); “Negara melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan
dengan Ketuhanan Yang Maha Esa” (diusulkan oleh PPP); dan “Tiap pemeluk agama
diwajibkan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing” (diusulkan oleh Partai
Reformasi).
Hal menarik dari perdebatan di MPR tentang Pasal 29 itu mencakup juga soal
pengertian kepercayaan. Sejumlah fraksi di MPR seperti fraksi Partai Demokrasi
Indonesia, fraksi Bulan Bintang mengusulkan untuk menghapuskan kata-kata
“kepercayaan itu” dari rumusan yang ada karena dianggap membingungkan. Hasil
46
perdebatan panjang di MPR untuk amandemen UUD 1945 menyimpulkan, Pasal 29
akhirnya diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan semula seperti ditetapkan
dalam siding PPKI.
Maka tidak berlebihan kalau Musdah Mulia mengatakan bahwa, “Di Tanah
Air masalah kebebasan beragama adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tidak
hanya dalam rumusan regulasinya tetapi juga masalah pelaksanaannya di lapangan.”
Ia menambahkan, “Sejarah mencatat, ribuan menjadi korban kekerasan agama
sepanjang dari Orde lama hingga Orde Reformasi, baik oleh negara maupun
masyarakat sipil”.12
Sebelum Amandemen UUD 1945 dilakukan pemerintah sempat
mengeluarkan beberapa kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui
TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang HAM yang mengakui hak beragama
sebagai hak asasi manusia sebagaimana tertera pada Pasal 13: “Setiap orang bebas
memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana
dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan
dan Pemajuan HAM, Pasal 37: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
12
Rocky Gerung (ed) Hak Asasi Manusia Terori, Hukum, Kasus. Jakarta: UI Press, h. 48
47
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun (non-derogable).”
Seiring dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka kebebasan
beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut semakin dikukuhkan
dengan tambahan salah satu pasal yakni Pasal 28E selain yang diatur dalam Pasal 29.
Pasal 28E ayat (1) menjelaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya …..”. Ayat (2), “Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan…”.
Ini artinya, kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan
yang dianut adalah hak asasi manusia (human rights) sekaligus hak warga negara (the
citizen‟s rights) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable)
yang secara konstitusional dijamin oleh UUD 1945. Ketentuan ini senafas dengan isi
Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, Pasal 18, yakni :
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal
ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk
menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya,
beribadat dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di
muka umum maupun sendiri.”
Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih dahulu memuat soal jaminan
kebebasan beragama daripada Deklarasi HAM.13
Itulah sebabnya, mengapa Indonesia
bisa dengan mudah menerima deklarasi tersebut.
Jika ingin dilihat lebih jauh, pemajuan HAM beragama dan kebebasan
beribadah sesuai dengan keyakinan atau kepercayaan tidak hanya sebatas hak
13
Ibid. hlm 75
48
konstitusional yang non-derogable melainkan juga menjadi hak hukum (legal
rights)14
. Ini terlihat dengan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 4: “Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun.
Kemudian secara khusus hak beragama ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1):
Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan
setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
Dalam UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention
On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi
Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) secara
implisit ditegaskan dalam konsideran huruf d bahwa “Konvensi tersebut pada huruf c
mengatur penghapusan segala bentuk pembedaan, pengucilan, pembatasan atau
preferensi yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal-usul kebangsaan
atau etnis yang mempunyai tujuan atau akibat meniadakan atau menghalangi
pengakuan, perolehan atau pelaksanaan pada suatu dasar yang sama tentang hak asasi
14
Al Khanif,SH.H., M.A., LL.M. Hukum dan kebebasan beragama di Indonesia Yoyakarta.
LaksBang Mediatama 2010. h. 72
49
manusia dan kebebasan mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau
bidang kehidupan umum lainnya.”
Secara redaksi, memang tidak ditemukan bidang agama di dalamnya akan
tetapi dengan kata “atau bidang kehidupan umum lainnya” dapat ditafsirkan bahwa
bidang agama dan segala ruang lingkupnya termasuk materi yang tidak
diperkenankan mendapat perlakuan diskriminasi oleh institusi negara atau kelompok
komunitas yang lain. Atau dengan kata lain pada prinsipnya negara harus menjamin
semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, sehingga segala
bentuk diskriminasi rasial harus dicegah dan dilarang.
Dalam UU NO. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant
On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial Dan Budaya) atau dikenal dengan Undang-undang Hak Sipil, secara
umum dijelaskan bahwa
“Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang
diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul
kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.”
Ketentuan ini merupakan konsekwensi yuridis bergabungnya Indonesia ke
dalam ke anggotaan PBB sehingga mau tidak mau harus meratifikasi kovenan-
kovenan yang disahkan ke dalam undang-undang. Dengan turutnya Pemerintah
Indonesia menandatangani sekaligus mengundangkannya ke dalam undang-undang
maka hak-hak sipil khususnya terkait dengan agama semakin kuat legitimasinya
menjadi legal rights.
50
Dalam rangka demam promosi HAM yang tidak lain sebagai tuntutan
konstitusional, demokrasi, dan kemanusiaan universal, Indonesia mencanangkan
Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM melalui Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun
1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 1998-2003 yang kemudian
dilanjutkan dengan RAN HAM kedua melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun
2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan ratifikasi
atau pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment, 1984 (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat Manusia, 1984) pada 28 September 1998 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1998; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783).
Secara terperinci jaminan kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan dapat
ditemukan pada sejumlah kebijakan sebagaimana tersebut di bawah ini:
1. UUD 1945 Pasal 28 E, ayat (1):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Ayat
(2): Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”
2. UUD 1945 Pasal 29, ayat (2):
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”
3. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1):
51
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.
Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama
atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara
individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum
atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan
ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.”
Pasal 18 ayat (2)
“Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya
untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai
dengan pilihannya.”
4. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat (1):
“Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara
menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
6. UU No. 1/PNPS/1965, UU No. 5/1969 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1
berbunyi:
“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan
dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama
ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia,
maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29
ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan
seperti yang diberikan oleh pasal ini”.
Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama tersebut tidaklah bersifat
pembatasan yang membawa implikasi pembedaan status hukum tentang agama yang
diakui melainkan bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di
Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang menyatakan bahwa,
“Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto,
52
Taoism di larang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang
diberikan Pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya…”.
Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun
1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat (3)
Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, maka
pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau
kepercayaan melalui Undang-Undang. Elemen-elemen yang dapat dimuat di dalam
pengaturan tersebut antara lain:
1. Restriction For the Protection of Public Safety (Pembatasan untuk
Melindungi Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di
public dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan,
prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka melindungi kebebasan
individu-individu (hidup, integritas, atau kesehatan) atau kepemilikan.
2. Restriction For the Protection of Public Order (Pembatasan untuk
Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan
memenifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara
lain keharusan mendaftar badan hokum organisasi keagamaan masyarakat,
mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadah
yang diperuntukan umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi
narapidana.
3. Restriction For the Protection of Public Health (Pembatasan untuk
Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijikan berkaitan
53
dengan kesehatan public dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada
pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemic atau penyakit
lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pemerintah dapat
mewajibkan petani bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna
mencegah penularan penyakit TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap
seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfuse darah
atau melarang penggunaan helm pelindung kepala. Contoh yang agak ekstrim
adalah praktik mutilasi terhadap kelamin perempuan dalam adapt-istiadat
tertentu di Afrika.
4. Restriction For the Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi
Moral Masyarakat). Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan agama
atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan kontroversi.
Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan, filsafat,
dan social. Olehkarena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip
moral tidak dapat diambil hanya dari tradisi atau agama saja. Pembatasan
dapat dilakukan oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna
kelengkapan ritual aliran agama tertentu.
5. Restriction For the Protection of The (Fundamental) Rights and Freedom
of Others. (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan
Kebebasan Orang Lain)
5.1. Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman terhadap
tindakan proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di dalam
54
memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris dalam
rangka melindungi agar kebebasan orang lain untuk tidak dikonversikan.
5.2. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau
kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain,
khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan,
pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan,
melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak kaum minoritas.
Merujuk dasar-dasar tersebut di atas, dalam perspektif HAM hak kebebasan
beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen15
, yaitu:
1. Kebebasan Internal. Setiap orang memunyai kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut
atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk
untuk berpindah agama atau kepercayaannya.
2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu
atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk memanifestasikan
agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengalamannya dan
peribadahannya.
3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan
yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu
agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.
15
Ibid h. 87
55
4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan
menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam
wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang,
asal-usul.
5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati
kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk menjamin bahwa
pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya
sendiri.
6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan
beragama atau berkeyakinan, bagi omunitas keagamaan untuk berorganisasi
atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan
mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan, termasuk di
dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk
memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi
oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban
public, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain.
8. Non-Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama
atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.
56
BAB IV
ANALISIS PRAKTEK KEBEBASAN BERAGAMA
DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI
A. Perspektif Hukum
UUD 45 dalam sistem hukum di Indonesia dikenal sebagai sumber dari segala
sumber hukum yang menjadi turunannya. Adapun tingkatan hukum di Indonesia
setelah UUD 45 adalah: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Daerah. Dalam
sistim hukum global Indonesia banyak juga meratifikasi berbagi konvenan
Internasional seperti Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik lewat UU
12/2005. Dalam masa reformasi UUD 45 paling tidak telah mengalami empat kali
amandemen,1 sungguh sebuah masa perubahan yang sangat cepat dalam hukum di
Indonesia.
Banyak sekali produk hukum yang lahir dalam masa reformasi dihasilkan
sebagai produk kontestasi etno politik dari berbagai kelompok masyarakat baik
ditingkat pusat maupun daerah. Reformasi berjalan dengan berbagai upaya legislatif
mengisi ruang hukum Negara Indonesia dengan berbagai produk hukum. Bercampur
dengan situasi politik dan ekonomi Negara dan berbagai agenda kepentingan lainnya
reformasi telah menghasilkan sejumlah produk hokum, mulai dari UU sampai dengan
1 Amandemen pertama 19 Oktober 1999, amandemen kedua 18 Agustus 2000, amandemen
ketiga 9 Nopember 2001, amandemen keeempat 10 Agustus 2002.
57
Peraturan Daerah. Sangat disayangkan, sejumlah produk hokum atau peraturan yang
ada menimbulkan ketegangan di masyarakat dan tumpang tindih bahkan ada juga
yang melihat sebagai produk-produk multitafsir. Sebut saja Undang-undang
Perlindungan Anak tahun 2002, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003, Undang-undang Administrasi Kependudukan 2006, Keputusan Presiden
No. 11/2003 tentang penerapan Syariat Islam di Aceh, Peraturan Daerah (Perda)
tentang penerapan Syariat Islam di beberapa daerah, PBM No. 8/9 Tahun 2006 dll.
Berikut beberapa situasi ragam aksi kekerasan dan pemaksaan kehendak
berdasarkan tafsir kelompok tertentu terjadi di bumi pertiwi ini, yang terjadi baik
dilakukan kelompok masyarakat maupun pemerintah ;
1. Perda-perda bernuasa Syariat Agama. Beberapa daerah di Indonesia, para
pimpinan setempat menerapkan praktek agama yang lebih ketat . Misalnya, di
kabupaten Cianjur, beberapa kabupaten maupun kotamadya Sumatera Barat,
Gowa, Maros dll. ada peraturan daerah mengharuskan semua pegawai
pemerintahan maupun siswa sekolah untuk mengenakan pakaian Muslim.
Beberapa penduduk mengatakan bahwa pihak berwenang mencampuri urusan
pribadi mereka. Bahkan praktek-praktek agama Islam yang lebih ketat
memberikan waktu untuk para pegawai untuk menjalankan shalat berjamaah.
Contoh lain adalah munculnya Rancangan Perda (Raperda) Kota Injil di
Monokwari Papua.
2. Kaum perempuan di Tangerang mengalami pembatasan dalam ruang
publik setelah keluarnya Perda No 8 tahun 2005. Terjadi pembatasan
58
aktivitas perempuan di waktu malam hari. Dan peristiwa penangkapan
seorang perempuan buruh pabrik menjadi bukti bahwa peraturan yang ada
sangat diskriminatif dan membatasi hak ekonomi kaum perempuan untuk
bekerja mencari nafkah.
3. Penerapan UU Perlindungan Anak 2002 telah memenjarakan 3 orang
perempuan di Indramayu, Jawa Barat yang ditangkap pada 13 Mei 2005
dengan alasan berusaha menarik anak-anak Muslim masuk Kristen. Para
perempuan tersebut ditangkap setelah anggota komunitas mengeluhkan bahwa
pada saat dilakukannya program sekolah Minggu di rumah mereka, mereka
memberikan kotak pensil dan kaos kepada para pengunjung, termasuk anak-
anak Muslim.
4. Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin dari Departemen
Agama untuk memberikan jenis bantuan apapun (baik dalam bentuk bantuan
itu sendiri, personil, maupun keuangan) kepada kelompok-kelompok
keagamaan di dalam negeri. Walaupun pada umumnya pemerintah tidak
melaksanakan persyaratan ini, beberapa kelompok Kristen menyatakan bahwa
pemerintah menerapkannya lebih sering kepada kelompok minoritas daripada
kepada kelompok mayoritas Muslim.2
5. Peraturan bersama 2 Menteri. Sebelum dan sesudah adanya PBM no 9 dan
8 2006 terjadi aksi penutupan rumah ibadah Kristiani terjadi secara serentak
2 Laporan kebebasan beragama Internasional 2005 (pemerintah Indonesia) yang diterbitkan
pemerintah Amerika
59
dan terencana. Dalam beberapa kejadian terjadi aksi kekerasan yang terjadi di
depan aparat keamanan pemerintah dan ada kesan pembiaran terhadap aksi
kekerasan, terjadi dalam aksi penutup tiga gereja di Perumahan Jatimulya,
Bekasi (sampai tulisan ini dibuat aksi ketidakadilan masih terjadi,
pembongkaran rumah ibadah oleh pemerintah kabupaten Bekasi).
6. Pada tanggal 8 Maret 2007, 200 anggota FPI dan Forum Betawi Rempug,
menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur yang
menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena merasa terganggu dengan
kegiatan mahasiswa juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun
terdapat fakta bahwa sekoah tersebut memiliki ijin.
7. Aksi anarkis dilakukan FPI pada saat hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2008
di Monas. Dalam suasana semangat kabangsaan yang ada, peristiwa kekerasan
terjadi hanya karena perasaan tidak suka. Sungguh sebuah keadaan yang
memalukan dalam negara Pancasila.
Demikian hanya beberapa contoh kecil ragam persoalan yang terjadi seputar
kebebasan beragama dan berkeyakinan dan disayangkan apa yang terjadi dan bila
mencermati Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara
menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1).
Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam
Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap
60
orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di
dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau
keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.
Dalam era reformasi terhadap situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan
seharusnya politik hukum Indonesia menjadi jawaban atas negara kesatuan Indonesia
dengan Pancasila sebagai falsafah hidup bersama. Bagaimana arah politk hukum
kembali kepada situasi pembangunan negara oleh bapak bangsa, bahwa kesatuan
bangsa menjadi dasar pertama dalam mengisi kemerdekaan.
Memang dalam beberapa kejadian aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok
masyarakat pemerintah melalui aparat kepolisian telah melakukan tindakan yang
tepat dengan menangkap dan memproses secara hokum para pelaku. Namun tindakan
tersebut tidak secara konsisten dilakukan di berbagai tempat. Artinya kebijakan
keamanan sangat bergantung dengan situasi politik si suatu daerah. Tentu hal ini akan
sangat memprihatinkan bila terus terjadi.
Bagimana umat beragama di Indonesia hidup berdampingan? Pertama,
harapan tentunya pemerintah sebagai pelaksana jalannya roda pemerintahan dapat
secara konsisten menjabarkan UUD 1945 melalui berbagi peraturan yang berada di
bawah UUD 45 sehingga berbagai produk hukum yang dihasilakan dan bertentangan
dengan UUD 45 dapat dibatalkan keberadaannya. Kedua, negara dalam hal ini
pemerintah bertanggung jawab terhadap perlindungan kebebasan beragama dan
61
berkeyakinan sebagai bentuk pengakuan adanya persamaan hak bagi seluruh warga
Indonesia. Ketiga, mendorong para pemuka agama mulai dari tingkat pusat sampai
daerah membuka ruang dialog dalam merespon berbagai fenomena kehidupan
reformasi yang terus berjalan.
Menurut W Cole Durham, Jr. penghapusan diskriminasi menuju kemerdekaan
beragama dan berkeyakinan membutuhkan beberapa prasyarat, antara lain 1)
Pengakuan dan penghormatan atas pluralisme; 2) Stabilitas ekonomi; 3)
Pemerintahan dengan legitimasi yang kuat; 4) Kelompok-kelompok masyarakat
mempunyai cara pandang yang positif atas perbedaan satu sama lain.3
Mengutip MM Bilah, “Mengapa iklim kebebasan beragama sulit untuk
diwujudkan di Indonesia?” Bilah memberikan gambaran paling tidak ada dua faktor
yang berpeluang besar menyebabkan kesulitan tersebut, yaitu: krisis peranan dan
krisis kesadaran. Krisis peranan hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab
pemerintah, meskipun sedikitnya krisis ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Krisis dimaksud adalah tanggung jawab untuk berperan aktif merealisasikan undang-
undang yang telah ada dan dirasa cukup mapan menjamin kebebasan beragama di
Indonesia. Bahkan, tanpa ikut menandatangani HAM sekalipun, pada dasarnya
undang-undang Negara Indonesia terkait masalah kebebasan beragama sudah cukup
memadai jika tidak ada penafsiran-penafsiran yang menyimpang. Krisis peranan pada
gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran
masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting
3 Rumadi, Kompas, Jumat, 15 Oktober 2004.
62
untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah menjadi
kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga
harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat
fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan orang
lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan, inilah
yang mesti kita sadari.4
Reformasi di Indonesia masih terus berjalan termasuk reformasi di bidang
hukum. Dalam proses yang sedang berjalan dapat juga masyarakat hukum Indonesia
melakukan judicial review terhadap semua UU dan peraturan perundang-undangan
yang potensial bertentangan dengan UUD 45 demi tercapainya sebuah sistim hukum
yang sesuai dengan semangat UUD 45, artinya politik hukum Indonesia yang baik
dan tepat akan mendukung terciptanya negara Indonesia yang sejahtera, karena
hukum merupakan salah satu pilar pembangunan dalam perjalanan reformasi saat ini.
B. Perspektif Sosio-Kultural
Jatuhnya Orde Baru dan dimulainya era reformasi adalah tonggak penting
bagi kehidupan kebebasan beragama hingga sekarang ini, dari yang positif hingga
yang mengancam nilai reformasi itu sendiri.
Bagi sebagian masyarakat muslim di tanah air, era transisi itu seperti menjadi
momentum bagi „kebangkitan‟ Islam di tanah air. Di masa-masa ini identitas
keislaman yang tak tunggal mencuat ke permukaan–sesuatu yang agaaknya mustahil
4 Eko Marhendy in HAM Desember 2007
63
berkembang di era Orde Baru. Organisasi-organisasi massa Islam, simbol dan label-
label Islam, termasuk media-media Islam baru, bermunculan.
Setidaknya terdapat tiga corak organisasi keagamaan berkembang di era
reformasi. Pertama, kelompok eksklusif, moderat dan progresif. Dalam deretan
kelompok eklusif, bahkan cenderung berhaluan “keras” beberapa nama yang bisa
disebut adalah Laskar Jihad (yang sekarang bubar), Front Pembela Islam (FPI), Front
Hizbullah, Majlis Mujahidin Indonesia, Hizbuttahrir Indonesia Laskar Jundullah,
Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan Forum Pemuda Islam Surakarta. Dalam aksinya
sebagian mereka tak segan-segan melakukan aksi-aksi kekerasan. Di level ideologi,
ciri khas sebagian kelompok ini adalah perjuangan mereka menjadikan Islam sebagai
ideologi negara. Usaha mereka terbilang gigih dan mensasar hingga kalangan akar
rumput. Cukup mendapat respon di lingkungan kampus-kampus umum. Mereka
memanfaatkan momentum kebijakan otonomi daerah dalam mendesakan agenda
islamisasi mereka. Tulisan-tulisan menyangkut keempat ormas ini cukup lengkap,
mengulas mulai dari sejarah kelahiran, aktor, hingga ideologi yang diusung.
Sementara itu peran moderasi tetap dimainkan oleh ormas-ormas besar seperti
NU dan Muhammadiyah. Kelompok keagamaan yang lebih bercorak sufistik seperti
kelompok Majelis Az-Zikra pimpinan Muhammad Arifin Ilham dan kelompok-
kelompok zikir yang sekarang berkembang juga dapat dimasukan dalam kelompok
berhaluan moderat.
Di luar keduanya, tumbuh kelompok-kelompok yang tidak hanya terbuka tapi
juga kritis terhadap isu keagamaan dan sosial. Beberapa nama bisa disebut disini:
64
Wahid Institute Jakarta, Lakpesdam NU, Institute for Interfaith Dialog (Interfidei) di
Yogyakarta, ICIP (Indonesian Conference on Religion and Peace) dan Maarif
Institute. Tak hanya di Pusat, kelompok ini juga menjamur di tingkat lokal.
Varian arus pemikiran dan kecenderungan ideologi keislaman juga tampak
dalam peta perkembangan media di era reformasi, khususnya media cetak. Secara
sederhana media-media Islam yang tumbuh di pasar nasional saat ini bisa dipilah
dalam dua kategori.5 Pertama, “media islamis” yang mengusung isu-isu penegakan
syariat Islam, jihad, Zionisme, Anti-Amerika. Kedua, “media populer” yang
menyajikan isu-isu keislaman dengan pendekatan yang lebih populer dan cocok
dengan nilai-nilai kemoderenan. Dalam kategori ini, media-media yang ada bisa lagi
dibedakan dalam dua “mistik Islam” dan life style. Ketiga, “media sufisme” yang
menyajikan berita dan artikel-artikel tentang pemikiran dan praktis sufisme. Keempat
“media pluralis” yang berusaha mengusung ide-ide keislaman yang lebih kritis,
terbuka, dan toleran terhadap beragam penafsiran, perbedaan agama dan keyakinan.
Sabili, Hidayatullah, Media Dakwah adalah beberapa nama majalah yang bisa
dikategorikan dalam tipe media pertama. Sabili misalnya, media yang telah terbit
sejak akhir tahun 80-an ini mencapai oplah fantastis pada tahun 2000 dimana konflik-
konflik keagamaan seperti kasus Ambon terjadi. Oplahnya mencapai 100 ribu kopi.
Dalam berita-berita yang dimuat Sabili, Hidayatullah, dan Media Dakwah tampaknya
5 Alamsyah M. Dja‟far, “Mengembangkan Media Islam Pluralis” (Makalah disajikan pada
Workshop “Pengembangan Islam, Pluralisme, dan Demokrasi”, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
(PSIK) Universitas Paramadina, Hotel Jaya Raya Bogor 6-8 Juni 2007) tidak diterbitkan.
65
muncul nuansa kebencian, terutama non-muslim, melalui idiom-idiom khas seperti
anti-Zionis, anti-Barat, kafir, atau penyimpangan akidah.
Sedang media yang bisa bisa dikategorikan sebagai kategori media mistik
Islam adalah Majalah Hidayah; 6
Noor untuk media life style; Cahaya Sufi untuk
media sufistik; dan majalah Syirah untuk media pluralis.7
Berbeda dengan media cetak, potret keragaman pandangan keagamaan yang
terefleksi dalam acara-acara di stasiun-stasiun teve nasional tampaknya masih kurang
menggemberikan. Terkait acara keagamaan, materi yang dimunculkan masih
seragam, hanya memunculkan khotib-khotib yang hanya berbicara tentang iman,
takwa, amal soleh, namun sering abai pada situasi konkrit umat seperti kemiskinan,
korupsi, kekereasan dan lain-lain.
Stasiun-stasiun tv sepertinya tak punya visi, bahkan terkesan membatasi untuk
menyajikan keragaman pandangan keagaman yang berbeda. Benar, bahwa kebebasan
media jauh lebih baik dewasa ini ketimbang di era Orde Baru. Tetapi menyangkut
akses publik terhadap pandangan yang berbeda-beda dan kemampuan media untuk
mewakili kemampuan publik untuk mewakili keragaman pandangan publik mengenai
berbagai isu masih berada dibawah standar dan kecenderungannya merosot.8 Dalam
beberapa kasus, media-media juga takut pada protes yang dilancarkan kelompok
6 Hidayah terbit tahun 2001.
7 Syirah terbit sejak tahun September 2001.
8 Transkripsi Diskusi “Kebebasan beragama dalam Bingkai Media bersama AE. Priyono
(Peneliti Demos) Sujud Swastoko (Wapemred Suara Pembaruan) yang diselenggarakan PSIK-
Paramadina, Kamis, 15 Mei 2008
66
keagamaan tertentu sehingga mereka terpaksa menuruti apa yang menjadi tuntuntan.
Ini pernah dialami SCTV dalam kasus iklan Islam warna-warni, Kompas, dan
beberapa media lokal.
Keragaman yang tampak dalam potret berbagai keagamaan dan
perkembangan media dewasa ini seperti dijelaskan di atas jelas merupakan buah
nyata sekaligus sesuatu yang absah di alam demokrasi. Tidak hanya mereka yang
meyakini bahwa pluralitas harus dijaga dan dikelola dengan baik, demokrasi memberi
ruang bagi kelompok keagamaan atau media yang seakan menolak pluralitas itu
bahkan bisa tumbuh subur. Sayangnya keragaman dan perbedaan pandangan mereka
ini justru sering berujung pada tindak kekerasan, situasi yang justru membahayakan
demokrasi itu sendiri.
Sepanjang era reformasi hingga sekarang, pola kekerasan agama muncul
dalam dua bentuk. Pertama, fenomena penyesatan dan kekerasan terhadap aliran
keagamaan dan kepercayaan tertentu dengan alasan agama. Wahid Institute mencatat
sekitar 27 kasus kekerasan berlangsung sejak 2004 hingga Februari 2006.9 Sepanjang
Januari hingga Nopember 2007, Setara Institute for Democracy and Peace dalam
laporan tahunannya mencatat telah terjadi 135 kasus pelanggaran kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak
pelanggaran dalam 12 kategori. Jumlah terbanyak kelompok (korban) yang
mengalami pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah al qiyadah al
9 Tabel Data Kekerasan Atas Nama Agama Pasca Pemilu Presiden 2004, Wahid Institute,
Jakarta, 2006
67
Islamiyah, sebuah aliran keagamaan dalam Islam yang dipimpin Ahmad Moshaddeq.
Aliran ini ditimpa 68 kasus pelarangan, kekerasan, penangkapan dan penahanan.
Kelompok berikutnya adalah jemaah Kristen/ Katholik yang mengalami 28
pelanggaran, disusul Ahmadiyah yang ditimpa 21 tindakan pelanggaran.10
Sebelumnya bentuk kekerasan mengambil modus aksi terorisme dan konflik
antar agama. Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2003 untuk Indonesia yang
diterbitkan Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan Perburuhan Amerika Serikat,
misalnya, cukup gamblang menggambarkan bagaimana kekerasan model ini
berlangsung.11
Kedua, kristenisasi dan penutupan rumah ibadah. Dalam laporan pengurus
Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan Wali Gereja Indonesia kepada Komnas HAM
pertengahan Desember 2007, sejak 2004 – 2007 telah terjadi 108 kasus penutupan,
penyerangan, dan pengrusakan gereja. Paling banyak terjadi di wilayah Jawa Barat,
Banten, Poso, Jawa Tengah dan Bengkulu.
Aksi kekerasan keagamaan itu sepertinya berbanding lurus dengan
meningkatnya gerakan islamisme yang juga kian menjamur hingga ke pelosok
daerah. Isu yang diangkat beragam, mulai dari kristenisasi dan pemurtadan, anti-
maksiat, aliran sesat, atau penegakan syariat Islam.
10
Bonar Tigor Naipospos (ed), “Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara
atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan”, SETARA Institute, Jakarta, 18 Desember
2007
11
Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2003 Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan
Perburuhan Public Affairs Section Kedutaan Amerika Serikat
68
Di daerah, kelompok-kelompok islamis ini menjadi aktor penting bagi
lahirnya sejumlah perda bernuansa Syariat. Sebut saja Komite Penegakan Syariat
Islam (KPPSI) pimpinan Aziz Kahar, putera Kahar Muzakar pemimpin DI/TII, di
Sulawesi Selatan . Organisasi ini dengan tegas menyatakan misinya sebagai
organisasi yang memperjuangkan Syariat Islam di Sulsel secara legal formal melalui
perjuangan politik konstitusional, demokratis, dan tetap dalam bingkai NKRI. Perda-
perda yang lahir di Sulsel sebagian besar ditopang KPPSI. Dengan kendaraan ini pula
Aziz Kahar juga terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Sulsel pada
2004 setelah Aksa Mahmud. Aziz meraih suara 636.856 suara. Tahun 2007, Azis
mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Kalsel berpasangan dengan Mubyl
Handaling.
Menariknya, KPPSI berhasil memperoleh dukungan dari sejumlah tokoh
organisasi besar yang selama ini dikenal sebagai organisasi moderat seperti Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah. Strategi mencari legitimasi dari ormas besar ini juga
dipakai kelompok-kelompok Islamis di derah lain. Dalam kasus Monas, bisa dilihat
pula bagaimana Riziek Sihab berupaya mencari dukungan opini dari pernyataan ketua
PBNU Hasyim Muzadi terkait posisi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragaman dan Berkeyakinan (AKKBB).
Di Sulawesi Selatan, KPPSI berhasil mengajak tokoh NU dan
Muhammadiyah untuk ikut menandatangi surat dukungan kepada usaha penegakan
syariat Islam yang dilakukan KPPSI. Mereka antara lain KH. Sanusi Baco, Lc.,
pimpinan pimpinan NU Sulsel, dan KH. Jamaludin Amien dan pimpinan Wilayah
69
Muhammadiyah Sulsesl.12
Fenomena serupa juga tampak dalam pernyataan-
pernyataan sikap Forum Umat Islam (FUI) di Jawa Barat terkait isu-isu keagamaan
tertentu.
Agar lebih “efektif” di lapangan, kelompok Islamis ini biasanya membentuk
kelompok-kelompok sayap militer. KPPSI misalnya membentuk Lasykar Jundullah
dan Aliansi Muslim Bulukumba yang menjadi organ taktisnya. Di Jawa Barat berdiri
Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP) Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan
(AGAP) diklaim didukung 27 organisasi massa Islam antara lain Front Pembela
Islam, Barisan Pemuda Persis, Jamaah Tabligh, dan Hizbut Tahrir. Jumlah
anggotanya diklaim mencapai 50 ribu laskar yang tersebar di Bandung, Purwakarta,
Garut, dan Sumedang.13
Sekali lagi perlu ditegaskan, kekerasan umumnya tidak berdimensi tunggal.
Ada banyak faktor pemicunya. Di luar soal doktrin keagamaan, lemahnya sikap tegas
aparat terhadap aksi-aksi kekerasan ini merupakan faktor lainnya. Tidak jarang pula
dijumpai adanya kecenderungan sikap keberpihakan aparat terhadap pandangan
mayoritas dan tekanan kelompok-kelompok islamis sehingga mengorbankan mereka
yang sesungguhnya adalah korban kekerasan.
Netralitas negara dalam penyelenggaraan kehidupan keberagamaaan juga
patut dipertanyakan dalam konteks hubungan kepala negara terhadap ormas atau
12
Dr. Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,
Jakarta; PSAP, 2007 h. 314-315
13
H Muhammad Mu'min: “Kami Akan Menyandera Pendeta”, TEMPO, 11 September 2005.
70
lembaga keagamaan, khususnya Majlis Ulama Indonesia (MUI). Dalam sebuah forum
pertemuan dengan pihak MUI yang baru menggelar Rapat Kerja Nasional MUI
september tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan
dukungannya atas keluarnya 10 Kriteria versi MUI.14
Sikap ini menunjukkan
kecenderungan keberpihakan negara terhadap agama tertentu yakni Islam. Dari ini
bisa juga dimulai untuk melihat posisi Majlis Ulama Indonesia dalam struktur
kelembagaan dan tata pemerintahan Indonesia.
Seperti di ketahui, konteks khusus terbentuknya MUI di era Orde Baru telah
menjadikan lembaga ini “istimewa” dan seperti setara dengan lembaga independen
lain yang juga dibiayai negara melalui APBN seperti halnya Komnas HAM atau
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).15
Padahal jika merujuk pada anggaran dasar MUI,
lembaga ini jelas dinyatakan sama kedudukannya sebagai organisasi massa seperti
NU dan Muhammadiyah. Jika alasan ini bisa diterima, maka pola hubungannya
negara terhadap MUI tak berbeda dengan ormas lainnya. Hanya saja dalam realitas
politik Indonesia, pemerintah, baik langsung maupun tak langsung, kerap kali
merujuk fatwa-fatwa MUI untuk mengambil kebijakan.16
Bahkan pasca dikeluarkannya 11 fatwa MUI pada Juli 2005 lalu, presiden
memberikan dukungan penuh atas fatwa-fatwa tersebut. Wajar jika sejumlah tokoh
14
http://www.mui.or.id/mui_in/about.php?id=2 diakses 7 Juli 2008
15
http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0711/03/nas11.htm. Diakses pada 1 Juli
2008
16
http://www.mui.or.id/mui_in/about.php?id=2 diakses 7 Juli 2008
71
seperti Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, Syafii Anwar, Ulil
Abshar-Abdala, dan Weinata Sairin menolak fatwa-fatwa tersebut karena dinilai
bertentangan dengan semangat kebhinekaan Indonesia, UUD 1945 dan Pancasila. Tak
ketinggalan, Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU juga menilai mundur fatwa MUI
tersebut terutama bagi kehidupan antar umat beragama.17
C. Perspektif Politik
Bergulirnya era reformasi berpengaruh terhadap kehidupan berdemokrasi
masyarakat Indonesia. Kesadaran untuk mengemukakan pendapat di muka umum,
berserikat, berorganisasi, bahkan mendirikan partai politik menjadi warna tersendiri
di era ini. Tercatat pada pemilu 1999 ada 48 partai politik (parpol) peserta pemilu,
pemilu 2004 menciut menjadi 24 parpol saja. Namun demikian jumlah tersebut
sudah merupakan jumlah yang signifikan dibanding dengan era Orde Baru.
Kebijakan publik seperti perundangan-undangan yang dihasilkan oleh parpol di
parlemen pun mengalami kemajuan, meski belum sesuai dengan yang kita harapkan.
Paling tidak terkait dengan masalah kebebasan beragama yang dalam UUD 1945
dipatrikan pada pasal 28 dan 29 sebagai telah diuraikan sebelumnya tidak mengalami
perubahan. Ini menunjukkan bahwa pada umumnya partai politik kita cenderung
untuk tetap mempertahankan koridor kebebasan beragama sebagaimana telah
dirancang para pendiri bangsa (founding fathers) ini sejak tahun 1945 silam.
Sayangnya, persoalan kebebasan beragama nampaknya tak cukup hanya diatur
melalui pasal-pasal dalam UUD tersebut. Entah karena cara menafsirkan dan
17
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0507/30/utama/1937905.htm.
72
implementasinya yang berbeda-beda pada tataran pelaksanaan atau kekurangjelasan
para implementator di lapangan terhadap isi dari pasal-pasal dimaksud. Yang terang,
sejumlah peristiwa yang mencederai konsep kebebasan beragama atau berkeyakinan
terus berlangsung hingga hari ini. Kekerasan bernuansa agama yang masih kerap
terjadi di berbagai daerah dan menimpa berbagai kelompok masyarakat dan
komunitas agama. Lantas bagaimana sikap partai-partai politik (dan fraksi-fraksi di
DPR RI) era Reformasi menyikapi hal itu?
Terhadap peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan
sepanjang tahun 2007 Komisi III DPR RI menyatakan prihatin akan hal itu. Seperti
dilaporkan SETARA Institute, sepanjang Januari hingga November 2007 sebanyak
135 peristiwa terjadi di tahun itu. Keprihatinan itu disampaikan anggota Komisi III
DPR saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan SETARA Institute,
Perwakilan Hakim Adhoc PHI dan Human Right Working Group, pada 22 Januari
2008 yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III Suripto (F-PKS).
Atas peristiwa tersebut Azlaini Agus dari Fraksi Partai Amanat Nasional
menanyakan kenapa sekarang dengan alasan agama kita bisa memerangi orang lain,
padahal negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya masalah ini
persoalan yang serius untuk segera ditangani dan ada hal-hal yang perlu dievaluasi.
Karena berdasarkan amanah konstitusi, sesungguhnya negara wajib melindungi setiap
warga negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.18
18
www.dpr.go.id, 23 Januari 2008. Diakses pada 30 Juni 2008
73
Soal SKB Tiga Menteri yang mengatur keberadaan Ahmadiyah dua partai
politik nampak berseberangan pendapat. Sebelum SKB tersebut dikeluarkan, Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tetap meminta pemerintah membatalkan
rencana Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai Ahmadiyah itu. Jika pemerintah
mengeluarkan putusan tersebut, Ahmadiyah dan seluruh elemen masyarakat
pendukung pluralisme wajib mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pernyataan dari PDIP itu ditegaskan oleh anggota Fraksi PDIP Said Abdullah pada 6
Juni 2008 lalu. Ia mengatakan negara atau siapa pun tidak berhak mengatur
keyakinan beragama seseorang.
Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebelum SKB itu
dikeluarkan, tetap mendesak pemerintah segera mengeluarkan SKB Ahmadiyah,
untuk menghindari konflik sosial yang lebih luas dan supaya tidak terkesan
pemerintah membiarkan aliran Ahmadiyah sehingga memicu munculnya berbagai
aliran sesat lainnya di Indonesia. Ketua DPP PPP Hasrul Azwar mengatakan,
pihaknya akan tetap mendesak pemerintah mengeluarkan SKB Ahmadiyah.
Menurutnya, bagi umat Islam ajaran Ahmadiyah sangat meresahkan dan memicu
perpecahan umat, khususnya dalam hal shalat dan ibadah lainnya.19
Kasus-kasus kekerasan dengan mengatasnamakan agama juga mendapat
perhatian dari kalangan parpol dan fraksi-fraksi di DPR. Yang teranyar adalah
terhadap peristiwa kekerasan yang menimpa aktivis Aliansi Kebangsaan untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyainan (AKKBB) di Silang Monas, 1 Juni 2008 lalu.
19
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0806/06/sh05.html. Diakses pada 30 Juni 2008
74
Atas peristiwa yang memakan 70-an korban dan 14 diantaranya harus dirawat
di rumah sakit itu Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, menyatakan keprihatianan yang
mendalam sehubungan dengan terjadinya tindak kekerasan dalam bentuk
penyerangan oleh kelompok Front Pembela Islam. Fraksi ini melalui Pimpinan DPR
mendesak pemerintah untuk: (1) Secara tegas tanpa ragu-ragu melalui Aparat
Kepolisian RI segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kelompok yang
melakukan tindak kekerasan sesuai dengan hukum berlaku; (2) secara tegas tanpa
ragu-ragu memberikan sikap dan pengaturan terhadap permasalahan Ahmadiyah,
sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab negara yang berdasarkan Pancasila dan
UUD Tahun 1945, dan kewenagan yang diberikan oleh peraturan perundangan yang
berlaku dalam mewujudkan perlindungan dan jaminan terhadap seluruh umat
beragama; (3) melaksanakan penegakan hukum secara tegas dan konsekwen tanpa
diskriminasi, sehingga dapat memelihara rasa keadilan masyarakat sebagai prasyarat
terwujud kerukunan hidup umat beragama dalam masyarakat Indonesia yang
majemuk, serta menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.20
Senada dengan fraksi PDIP, Ketua Fraksi PKB DPR A Effendy Choirie
memprotes keras tindakan anarkis yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI)
dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap AKKBB. Tindakan itu menurutnya jelas
melanggar hak asasi manusia, konstitusi bangsa dan mencerminkan pemahaman
keagamaan yang dangkal. Karena itu negara dan aparat kepolsian harus bertindak
20
http://www.fpdiperjuangan.or.id/web/index.php. Diakses pada 30 Juni 2008
75
tegas dengan menangkap serta memproses mereka secara hukum.21
Bahkan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) Jateng kubu Ali Maskur Moesa mendukung langkah
tegas pihak polisi dengan menangkap aktivis Front Pembela Islam (FPI) pelaku
kekerasan AKKBB di Silang Mona situ. Ketua DPW PKB Jawa Tengah kubu Ali
Maskur Moesa, KH Yusuf Cudlori menyatakan siapapun yang melakukan tindakan
kekerasan terhadap sesama warga negara, tanpa ada alasan jelas harus di proses
secara hukum.22
Sementara itu Fraksi PKS menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan Front
Pembela Islam (FPI) harus dilihat sebagai reaksi atas ketidaktegasan pemerintah
terhadap Ahmadiyah. Pemerintah dihimbau untuk segera mengambil keputusan tegas
mengenai keberadaan aliran-aliran sesat di Indonesia seperti Ahmadiyah. Karena jika
hal itu tidak dilakukan konflik sosial tidak mustahil akan terjadi lagi. Hal ini
diungkapkan Ma'mur Hasanuddin, Anggota komisi III DPR RI menanggapi insiden
Monas 1 Juni itu.23
Dari beberapa pernyataan dan sikap di atas masih menunjukkan bahwa suara
prapol dan fraksi-fraksi di DPR baru sampai pada tataran keprihatinan dan himbauan
kepada pemerintah untuk bersikap tegas. Padahal, kita berharap parpol melalui
wakilnya di DPR dapat mendorong terwujudnya kebebasan beragama dan
berkeyakinan melalui langkah-langkah kongkrit seperti membuat peruandang-
21
www.okezone.com, 2 Juni 2008. Diakses pada 30 Juni 2008
22
http://www.beritaglobal.com/index.php?. Diakses pada 1 Juli 2008
23
http://fpks-dpr-ri.com/main.php?op=isi&id=5048. Diakses pada 1 Juli 2008
76
undangan yang memiliki kekuatan untuk mengatur kehidupan beragama di Indonesia.
Bukankah di penghujung tahun 2005, Komisi VIII DPR RI melalui ketuanya Hazrul
Azhar menyatakan siap mengusulkan UU Kebebasan Beragama untuk menggantikan
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
1/BER/MDN-MAG/1969 tentang "Pendirian Rumah Ibadah" yang saat itu
disempurnakan pemerintah?.24
Tentunya kita menunggu usaha-usaha itu untuk
direalisasikan di tengah adanya pula parpol dan fraksi di DPR yang kurang atau
belum memahami pentingnya jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi
warga masyarakat.
24
www.kapanlagi.com, 27 Desember 2005. Diakses pada 1 Juli 2008
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebebasan beragama menurut
Islam telah tetapkan dalam al-Qur an surat al Baqoroh: ayat. 256. surat: Yunus:ayat
99, dan surat Al-Kafirun: ayat, 1-6 dan juga dalam piagam madinah yang merupakan
al-Sunnah mengandung prinsip kebebasan beragama.
Agama yang diakui di Indonesia adalah Islam, Katolik, protestan, hindu
budha dan konghucu diluar itu ada agama yang lain yang juga dianut oleh rakyat
Indonesia antara lain yahudi, baha’I, dan juga aliran kepercayaan animisme dan
dinamisme.
Jaminan kebebasan beragama di Indonesia daiatur dalam UUD 1945 Pasal
28E ayat (1) dan Ayat (2), dan juga pasal 29 yang menjelaskan bahwa indonesia
adalah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai Negara yang
termasuk dalam anggota PBB Indonesia juga telah meratifikasi instrument HAM
tentang kovenan hak sipil dan politik yang juga mengandung kebebasan beragama.
Maka dalam era reformasi ini lahir pula undang-undang HAM no 39 tahun
1999 Pasal 4 yang juga mengatur kebaban beragama kemudian Kemudian secara
khusus hak beragama ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1): Setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
79
Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Meski secara konstitusional HAM beragama mendapat jaminan yang pasti, akan
tetapi realitasnya ketegangan teologis antar, intra agama. Bahkan di era
pascaamandemen UUD 1945, persekusi terhadap aliran sempalan kerap terjadi baik
berupa pengrusakan rumah ibadah, institusi pendidikan, tempat kediaman, ataupun
pisik. Kekerasan ini terjadi secara massif, sistemik, terorganisir
B. SARAN
Meski sejumlah kemajuan penting dalam isu kebebasan beragama berhasil
dicapai sepanjang era reformasi, namun problem-problem masih menjadi pekerjaan
rumah yang segera di selesaikan, mulai dari persoalan regulasi hingga aksi kekerasan
yang makin meningkat.
Ini berarti, masalah kebebasan beragama tidak hanya problem negara tapi juga
masalah bagi seluruh anak bangsa. berikut adalah saran-saran:
1. Perlunya Penataan kelembagaan mengenai hubungan Negara dan Agama
yang merupakan masalah serius dalam demokrasi Indonesia.
2. Perlunya undang-undang, PP, Per-Pres, Perda dan peraturan yang lain
tidak saling berbentur dan kondusif dan humanis sesuai dengan tuntutan
kebutuhan zaman.
3. Aktor-aktor negara, termasuk di kalangan pemerintahan dan parlemen,
harus memiliki visi yang jelas mengenai politik negara terhadap agama. tidak
muncul arus baru yang berbahaya dalam politik agama terhadap negara,
80
khususnya dari kalangan kelompok-kelompok Islam garis keras. Jika tuntutan
mereka diberi angin, kemungkinan besar wacana Islam politik di Indonesia
akan sangat didominasi oleh “Islam-negara” yang akan menyebabkan peranan
“Islam-sipil” menjadi terancam.
4. Perlu pembaruan tafsir yang terus menerus untuk menjalankan kembali
misi profetiknya dalam situasi yang terus berubah. Kebebasan beragama dan
berkeyakinan harus juga mencakup wilayah kebebasan jenis ini.menghadapi
realitas empirik kehidupan masyarakat beragama yang pluralistik, seorang
agamawan dituntut memiliki sikap yang lebih realistik. Pemecahan masalah
realitas keagamaan tidak cukup menggunakan pendekatan doktriner-normatif
untuk menghindari truth clime (benar secara subjektif yang dangkal). Akan
tetapi penting juga pendekatan historis kritis dengan membuka tabir
latarbelakang sosio-cultural, politik, ekonomi masyarakat yang mengitarinya.
Integrasi pendekatan ini memungkinkan melahirkan kearifan atau membuka
makna fenomena keberagamaan sehingga melahirkan keadaan yang lebih
kondusif dan humanis sesuai dengan tuntutan kebutuhan zaman.
5. Umat Muslim dituntut bersedia mengembangkan dialog-dialog secara
terbuka dengan penuh kesabaran dan taqwa dalam setiap langkah
perjalanannya. Peran sejarah peradaban Islam masa lalu dapat menjadi modal
dalam merealisasikan ajaran-ajaran etika keagamaan dalam memberikan
sumbangan yang berharga bagi proses pencarian nilai-nilai keagamaan yang
lebih esensial dan fundamental. Bahkan secara keras, umat muslim
81
diperingatkan oleh Al-Quran untuk tidak mencemoohkan golongan lain, karena
boleh jadi mereka yang dicemoohkan jauh lebih baik dari yang mencemoohkan
6. Partai-partai politik hendaknya tidak mempolitisasi agama dan tidak
memperkeruh hubungan intra, antar agama dan agama dan Negara.
7. Media Massa. Sebagai pilar penting demokrasi, harus berperan aktif
menyuarakan isu-isu kebebasan beragama, dan meminimalisir berita-berita
kekerasan agama dan kelompok-kelompok garis keras. Menghindari idiom-
idiom yang berdampak negatif bagi toleransi masyarakat seperti kata “aliran
sesat”; tindak tunduk pada tuntutan sekelompok orang untuk menghakimi
kelompok yang lain dengan cara-cara kekerasan.
81
DAFTAR PUSTAKA
Adji,Oemar Seno 1981, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga.
Al-Din, Muhammad Abdullah Darraz,; Buhuts Mumahhidah li al-Dirasat al-Adyan.
Kairo: tp, 1952
Al-Daqs, Kamil Salamah, Ayat al-Jihad fi al-Qur an al-Karim. Kuwait, Dar al-Bayan,
1972
Al khanif, S.H,. MA.,LLM. Hukum dan kebebasan beragama di Indonesia Yogyakarta.
Laksbang 2010
Asshiddiqie,Jimly. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Kelompok
Gramedia, 2007
al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali, Kitab al-Ta’rifat. Dar al-Diyah li al-Turats
Abdullah, Amin, “Etika dan Dialog Antar Agama Perspektif Islam”, dalam Dialog: Kritik
dan Identitas Agama. Yogyakarta: Interfidie, 2004.
Abdullah, Fatimah. Konsep Islam Sebagai Din, Kajian Terhadap Pemikiran al-Attas,
Islamia. September-November 2004
al Maududi, Abd A’la, 2003, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Penerbit Kompas.
Bahar Safroedin (et.al) (editor), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 Jakarta: Sekretariat Negara RI,
1995
Baso, Ahmad. Problem Islam dan Politik: Perspektif Kritik Nalar Politik Mohammed
Abed alJabiri, dalam Taswirul Afkar, Edisi No. 4/1999.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai
Pustaka, 1990
Harun,Hermanto. Perdamaian dan Perang Dalam Konsep Islam, Studi Analisis Buku
“Nizam al-Silm wa al-Harb fi al-Islam”. Thesis Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2005
---------, Perdamaian dan Perang Dalam Konsep Islam, Studi Analisis Buku “Nizam al-
Silm wa al-Harb fi al-Islam”. (Thesis Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Iskandar
Zulkarnai, “Pengantar”, dalam Aris Mustofa dkk, Ahmadiyah Keyakinan Yang
Digugat. Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, 2005
82
Haryomataram,KGPH Hak Asasi Manusia Internasional (Materi Perkuliahan), FH
Usakti, Jakarta,1998
Haryono,M. Yudi R Bahasa Politik Alquran: Mencurigai Makna Tersembunyi Dibalik
Teks, Bekasi: Gugus Press, 2002.
Hidayati Tri Wahyu, apakah kebebasan beragama sama dengan pindah agama. Sala
tiga. JP Books 2008.
Kusumohamidjojo,Budiono. 2004, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil,
Jakarta: Grasindo.
Muhammad,Jamaluddin Athiah. Nahwa Fiqh Jadid li al-Aqalliyat. Kairo, Dar al-Salam,
2003
Muhammad Abi Ja’far bin Jarir al-Tabary, Tafsir al-Tabary, jilid 4. Beirut, Dar al-Fikr,
1987
Moh. Mahfud M.D., 2006, Membangun Politik Hukum Membangun Konstitusi, Jakarta:
LP3ES
Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat) Bandung: Refika Aditama, 2005
Munawir Sadzali, 1990, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press
Miftahusurur dan Sumihrja. Delik-delik keagamaan di dalam RUU KUHP Indonesia,
Jakarta: Desantara Aliansi Reformasi KUHP dan DRSP-USAID, 2007.
Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat) Bandung: Refika Aditama, 2005
Mas’udi, Masdar F., “Agama dan pluralitasnya” dalam Interfidei, 1995, Mendidik Manusia Merdeka: Roma YB. Mangunwijaya 65 Tahun, Yogyakarta: Interfedei
Naipospos Bonar Tigor (ed), “Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara
atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan”, SETARA Institute,
Jakarta, 18 Desember 2007
Nashir, Haedar Dr., Gerakan Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,
Jakarta; PSAP, 2007
83
Rahardjo,Satjipto Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya Yogyakarta: Genta
Press, 2008
Ridha,Muhammad Rasyid Tafsir al-Qur an al-Karim, Tafsir al-Manar. Beirut, Dar al-
Fikr
Rocky gerung (ed) hak asasi manusia terori, hokum. Kasus. Jakarta: UI Press.
Soehino, Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, cet.ke-7, 2005
Smith, Wilfred Cantwell The Meaning and End of Religion. London: SPK, 1978
Talbi,Mohemed. Kebebasan Beragama, dalam Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Isu-Isu Global. Jakarta, Paramadina, 2003
Thoha, Anas Malik, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis. Depok, Perspektif Gema
Insani, 2005
Thayeb Ansyari, ed., HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya, PPSK, 1999
Wahid Abdurrahman, “Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas”, Kata Pengantar dalam
Masdar F.Mas’udi, 1993, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam,
Jakarta: Pustaka Firdaus
Wahid, Marzuki dan Rumadi, 2001, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum
Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS 2005
Yusuf, Muhammad Sayyid. Manhaj al-Qur an al-Karim fi Islah al-Mujtama. Kairo : Dar
al-Salam, 2002
.LAPORAN:
Laporan kebebasan beragama Internasional 2008 (pemerintah Indonesia) yang
diterbitkan pemerintah Amerika
MAJALAH DAN KORAN
TEMPO, 11 September 2005
Eko Marhendy in HAM Desember 2007
INTERNET:
http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0711/03/nas11.htm. Diakses 2008
http://www.mui.or.id/mui_in/about.php?id=2 diakses 7 Juli 2008
84
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0507/30/utama/1937905.htm
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0806/06/sh05.html. Diakses Juni 2008
http://www.fpdiperjuangan.or.id/web/index.php. Diakses Juni 2008
www.okezone.com, 2 Juni 2008. Diakses pada Juni 2008
http://www.beritaglobal.com/index.php?. Diakses pada Juli 2008
http://fpks-dpr-ri.com/main.php?op=isi&id=5048. Diakses pada Juli 2008
www.kapanlagi.com, 27 Desember 2005. Diakses pada Juli 2008
MAKALAH:
Alamsyah M. Dja’far, “Mengembangkan Media Islam Pluralis” (Makalah disajikan pada
Workshop “Pengembangan Islam, Pluralisme, dan Demokrasi”, Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Hotel Jaya Raya Bogor 6-8 Juni 2007) tidak
diterbitkan.
Transkripsi Diskusi “Kebebasan beragama dalam Bingkai Media bersama AE. Priyono
(Peneliti Demos) Sujud Swastoko (Wapemred Suara Pembaruan) yang diselenggarakan
PSIK-Paramadina, Kamis, 15 Mei 2008