KATA PENGANTAR -...

88
i KATA PENGANTAR Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam. yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. yang dengan kasih sayangNya yang ”menyapa” penulis lewat bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah sehingga membuka jalan terselesaikannya skripsi ini .Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad saw. Terselesaikannya skripsi ini tentu tidak lepas dari peran beberapa pihak. Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih: Kepada Bapak Rektor Prof. Dr. Qomarudin Hidayat selaku rektor dan bapak Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH.MA.MM. Selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada Dr. Asmawi, M.Ag selaku Ketua Jurusan SJS dan khususnya kepada Ibu Sri Hidayati M.Ag selaku Sekjur, yang tulus, sabar dan penuh kasih sayang membimbing dan mendukung. Kepada Dr. A. Sudirman Abbas, M.A. selaku pembimbing I dan Dr Syahrul A‟dam, MA, selaku pembimbin II saya sampaikan terimakasih atas bimbingan dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Dan segenap Dosen Syariah dan Civitas Akademika yang memupuk dan membantu penulis dalam kuliyah. Kepada Almaghfurlah KH. Yahya Masduqi „Ali dan KH. Syarif Hud Yahya. Selaku Guru yang selalu mendidik dan membimbing penulis.

Transcript of KATA PENGANTAR -...

Page 1: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

i

KATA PENGANTAR

Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam. yang Maha

Pengasih dan Maha Penyayang. yang dengan kasih sayangNya yang ”menyapa”

penulis lewat bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah sehingga membuka jalan

terselesaikannya skripsi ini .Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada

nabi Muhammad saw.

Terselesaikannya skripsi ini tentu tidak lepas dari peran beberapa pihak. Untuk

itu saya mengucapkan banyak terima kasih:

Kepada Bapak Rektor Prof. Dr. Qomarudin Hidayat selaku rektor dan bapak

Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH.MA.MM. Selaku dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kepada Dr. Asmawi, M.Ag selaku Ketua Jurusan SJS dan khususnya kepada

Ibu Sri Hidayati M.Ag selaku Sekjur, yang tulus, sabar dan penuh kasih sayang

membimbing dan mendukung.

Kepada Dr. A. Sudirman Abbas, M.A. selaku pembimbing I dan Dr Syahrul

A‟dam, MA, selaku pembimbin II saya sampaikan terimakasih atas bimbingan dan

dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Dan segenap Dosen Syariah dan Civitas Akademika yang memupuk dan

membantu penulis dalam kuliyah.

Kepada Almaghfurlah KH. Yahya Masduqi „Ali dan KH. Syarif Hud Yahya.

Selaku Guru yang selalu mendidik dan membimbing penulis.

Page 2: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

ii

Kepada kedua Orang Tua ku tercinta, dan juga kepada. Ustz. Hj Mansiyah

selaku Nenek, Orang Tua, Guru. Atas semua pemberian dan pengorbanan yang tiada

henti.

Kepada kakak Taufik Romdoni ST. terima kasih atas dukungan dan

bantuannya. Dan juga kelurga besarku terkasih.

Kepada kawan-kawan di BEM Siyasah 2004-2005; Akhmad Muttaqin selaku

presiden. Febry Manende, Zaenal, Kholiq, Topan, dan kawan-kawan SS angkatan

2002, Lukman, yusuf ,kiki, amel, Simon, dll, Terutama “penghuni terakhir” SS ‟02

yang “gelisah”, Takin, Eky, Manzoy, Fathur, Hisnuddin. akhirnya kawan! Semoga ini

jadi pelajaran. Dan juga kawan-kawan KKN Sukaresmi Cianjur 2005, Salam, Irwa,

Iie, Ida, Iik, Juned, Kompor, Yayah, Yanti, Darmin, Sifyan dll.

Kepada kawan-kawan pergerakan baik di LKBHMI, HMI, PMII, IMM, GMNI,

KM maupun KAMMI.

Akhir kata, penulis berharap bahwa karya tulis ini dapat bermanfaat bagi

penulis sendiri, khalayak umum dan kalangan civitas akademika dalam pengkayaan

intelektual. Amin.

Ciputat, 17 Syawal 1431 H / 27 September 2010

Page 3: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………..... i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………. 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………….. 9

D. Metode Penelitian,…… ………………………………………. 10

E. Review Studi Terdahulu ………………………………………. 12

F. Sistematika Penulisan…………………………………………. 13

BAB II DESKRIPSI KEBEBASAN BERAGAMA

A. Pengertian………………………………………………………. 14

1. Pengertian Kebebasan……………………………………… 15

2. Pengertian Agama …………………………………………. 17

B. Kebebasan beragama dalam Islam ………...……………………. 20

1. Kebebasan Beragama Dalam al-Qur an …………………….20

2. Kebebasan Beragama Dalam as-Sunnah (Piagam Madinah)..26

3. Kebebasan Beragama Deklarasi Kairo………………………30

C. Kebebasan Beragama Perspektif DUHAM....……………………33

BAB III JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

A. Demografi Agama di Indonesia .........................................………36

B. Agama dan Negara di Indonesia…………………………….........40

C. Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Era

Reformasi………………………………………………………... 45

Page 4: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

iv

BAB IV ANALISIS PREKTEK KEBEBASAN BERAGAMA DI

INDONESIA ERA REFORMASI

A. Perspektif Hukum.......................................................................... 56

B. Perspektif Sosio-Kultural............................................................... 63

C. Perspektif Politik………………………………………………... 72

BAB V PENUTUP

Kesimpulan ………....………………………………….................... 77

Saran………………………………………………………………… 79

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 81

Page 5: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Diskursus hak asasi manusia (HAM) selalu menarik dan mengundang

kontroversi dalam perjalanan dinamika kenegaraan. Di mulai sejak zaman Yunani

kuno, perbincangan HAM melekat erat dalam makna filosofi dan universal hakekat

pendirian sebuah negara yang tidak lain menjamin keutuhan sosial (kolektivisme

HAM) demi kebahagiaan dan kesejahteraan warganegaranya.1

Menyusul zaman Romawi, HAM mengalami dinamika pasang surut

diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan di satu sisi dan imperium

kekuasaan di sisi yang lain yang tak dapat menghindari peperangan dan sistem

perbudakan. Namun di era ini, Cicero mulai memperkuat benih-benih rationalisme

dalam negara yang diperolehnya dalam postulat Hukum Alam Kodrati melalui ajaran

kaum Stoa. Menurutnya, pendirian sebuah negara harus bersesuaian dengan dalil-dalil

atau asas-asas Hukum Alam Kodrati yang bersumber dari Budi Illahi yang berisi

kesusilaan yang universal termasuk di dalamnya adalah HAM.2 Aliran ini belakangan

banyak mempengaruhi pemikir-pemikir Eropa di era selanjutnya utama terkait

dengan hakekat Hukum Antar Bangsa seperti Hugo de Groot (Abad XVIII).

1 Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005) cet.ke-7 , h. 25.

2 Ibid, h. 41

Page 6: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

2

Baru kemudian di era Enlightment atau Renaissance (Abad XIV-XVI) proses

pembebasan individu dari kegelapan atau keterikatan agama (gereja), alam, dan

tradisinya terjadi sangat radikal. Eksistensi kebebasan manusia secara universal

dikukuhkan lewat potensi akalnya sebagai karunia Illahi yang tak lagi dapat

dibelenggu oleh sistem ortodoksi agama atas nama Tuhan. Ada dikotomi yang jelas

antara posisi dan peran manusia dalam urusan kenegaraan melalui pelembagaan3

hukum dalam mengatur tatanannya dan agama dalam urusan akhirat melalui

agamawan untuk menegakkan moral etik manusia. Basis sosio-kultural yang

sekuleristik ini menjadi mercusuar HAM dan trayek yang dilalui dunia Eropa

sebagaimana dikatakan Baehr sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, de

Bescherming van de individu tegen de eisen van de samenleving.4

Meninggalkan tiga abad sebelumnya yakni abad yang dikenal dengan Dark

ages (Abad V-X), Middle Ages (Abad XII-XV), dan Enlightment (Abad XIV-XVIII)

di atas, perubahan dan transformasi HAM masih terus berlangsung memasuki abad

modern (Abad XIX). Namun Di era ini, HAM lahir bukan dari rahim pergerakan akar

rumput dan kelompok cendekia melainkan dari kaum Borjuis yang mulai banyak

berperan dalam konstelasi ekonomi politik di tengah melemahnya negara akibat

perpecahan. Besarnya pengaruh kaum Borjuis dalam menjamin survive-nya negara,

sementara dalam ranah hukum mereka sama sekali tidak memperoleh tempat

3 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya. (Yogyakarta: Genta

Press, 2008), h. 21-23.

4 Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif

Hukum dan Masyarakat) (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 218.

Page 7: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

3

(jaminan hak milik, kebebasan, persamaan di depan hukum dan kepastian) yang layak

sehingga momen ini mereka paksakan untuk mencuri satu ruang dalam tatanan

hukum negara. Perjuangan itu berhasil menempatkan kaum borjuis sebagai salah satu

konstituen negara dan merubah orde hukum menjadi jaminan HAM bagi “setiap

orang.”

Arti sejarah ini adalah bahwa HAM memiliki korelasi dengan habitat sosio-

kulturalnya. Akar teoritisnya berawal di Eropa yang mengalami kristalisasi mulai era

Enlightment di bawah bidan kelompok kapitalis yang selanjutnya membawa

perubahan penting dalam tatanan hukum dan politik negara sebagaimana disebut

dengan laissez fairer/ laissez aller yang mencerminkan tuntutan kebebasan untuk

bertindak dan menolak campur tangan negara (individualistik dan sekuler). Karena

itu, bagi negara-negara Eropa, HAM adalah prinsip universal dan konstitusional

sebab sesuai dengan nilai sosio-kultural ideologi masyarakatnya. Maka di era

Pascamodern ini terlihat adanya upaya negara-negara Eropa yang dimotori oleh

negara-negara maju untuk meregulasikan HAM sebagai instrumen hukum

Internasional bersamaan dengan penetrasi kekuasaannya ke wilayah negara-negara

Asia dan Afrika.5

Keinginan untuk menstandarisasikan HAM sebagai prinsip universal dan

berlaku bagi semua negara di dunia tentu menimbulkan masalah. Sebab, masing-

5 Beberapa Konvensi Internasional yang terkait dengan HAM di antaranya: Magna Charta

1215, Bill of Right 1689, The Universal Declaration of Human Right PBB 1948, International

Convention Against Apartheid in Sports, Convention on Right of the Child, Convention on the

Elimination of All Froms of Discrimination Against Women, Convention of the Political Rights of

Women, dan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman of DegradingTreatment of

Punishment.

Page 8: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

4

masing negara memiliki latar sosio-kultural yang berbeda khususnya bagi negara-

negara berkembang, komunal, dan religius seperti Indonesia.

Sejarah mencatat, bahwa sejak awal perumusan UUD 1945 dalam Majelis

Sidang BPUPKI (Badan Penyidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) telah

terjadi perdebatan hangat antara kubu yang memperjuangkan HAM sebagai bagian

intrumen UUD yakni kubu M.Yamin dan Moh. Hatta di satu pihak dan kubu yang

menolak HAM karena menganggap itu sangat individualistik dan kolonialistik, dan

tidak sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia yakni kubu Soepomo dan

Soekarno di pihak lain. Namun perdebatan itu berakhir dengan kompromis, dengan

memodifikasikan HAM sesuai dengan latar sosio-kultural dan ideologi masyarakat

Indonesia yang komunalistik.6 Jadilah pemuatan HAM dalam Batang Tubuh UUD

1945 bersifat partikularistik ketimbang universalistik.

Di sisi lain, terdapat kecenderungan bahwa tolak tarik dan pasang surut

penerimaan HAM oleh negara sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang

mengitarinya. Di negara-negara totaliter HAM direduksi dan sengaja dibuat absurd.

Sementara, dalam iklim negara yang mengalami transisi dari totaliter menuju

demokrasi, HAM diresepsi secara luas dan seringkali euforia kebebasan melupakan

alas sosio-kultural dan ideologi masyarakatnya. Alhasil dalam implementasi HAM

seringkali terjadi anomali sistem dan caos di tingkat akar rumput.

6 Safroedin Bahar (et.al) (edit), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 –

22 Agustus 1945. (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995), h. 153

Page 9: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

5

Sama halnya yang terjadi di Indonesia, pertama-tama bahwa tolak tarik HAM

lebih dilatarbelakangi oleh nilai sosio-kultural masyarakat. Namun seiring dengan

perubahan konfigurasi politik yang ada HAMpun mengalami perubahan. Seperti yang

terlihat dalam konstelasi politik transisi dari 1949 (KRIS) ke 1950 (UUDS),

perubahan sistem pemerintahan dari Quasi Presidensial ke Quasi Parlementer cukup

memberi arti bagi pemuatan HAM dalam konstitusi. Di era ini, M. Yamin bahkan

menegaskan dengan penuh suka cita bahwa KRIS dan UUDS adalah konstitusi-

konstitusi yang paling berhasil memuat HAM sesuai deklarasi PBB 1948.7 Kemudian

HAM mengalami surut pada pasca Demokrasi Terpimpin 1959 sampai Orde Baru

(1966-1998). Dan mengalami pasang kembali pada Orde Reformasi yang ditandai

dengan Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali.

Reformasi merupakan era gelombang pasang HAM di Indonesia. Amandemen

UUD 1945 telah mengacu pada sekian prinsip kebebasan beragama hasil ratifikasi

kovenan internasional mengenai HAM. Landasan konstitusional ini lebih lanjut diatur

dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di antaranya UU No. 7 Tahun 1984

tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU No. 9

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang

perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan

dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan

7 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Kelompok

Gramedia, 2007), h. 635.

Page 10: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

6

Internasional tentang pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh warga negara

tanpa kecuali.

Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari

pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29).

Dan dipertegas lagi dengan Pasal 28E dan 29 ayat (2) yang intinya menyatakan,

“setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya; berhak atas

kebebasan meyakini kepercayaan; dan negara menjamin kemerdekaan bagi penduduk

untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.” Pasal-

pasal ini mengisyaratkan kewajiban negara untuk menjamin hak beragama dan hak

setiap orang termasuk jama’ah dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan

keyakinannya.

Di dalam Islam, sebenarnya telah ditegaskan adanya hak kebebasan beragama

dan larangan sikap tindak pemaksaan yang dapat menimbulkan pelanggaran HAM itu

sendiri. Seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Kafirun, bagaimana membangun hak

dalam keberagamaan dan menjalin relasi sosial agama yang toleran. Kemudian dalam

surat al-Baqarah ayat (256) menjelaskan adanya larangan pemaksaan dalam agama

karena Allah sendiri secara sunnatullah telah menciptakan perbedaan dan keragaman

itu. Allah telah mencukupkan penjelasanannya dalam Al-Quran mana yang benar dan

yang bathil. Karena itu, Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk

memilihnya dengan segala konsekuensi yang ada. Indikator kemuliaan hanya

ditentukan oleh kadar ketaqwaan seseorang di sisi-Nya.

Page 11: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

7

Namun ironisnya dari sekian lengkap landasan konstitusional perundang-

undangan yang ada, konflik keberagamaan terkait dengan pelaksanaan ibadah sesuai

keyakinan dan kepercayaan di Indonesia masih mengalami persekusi dari kelompok

Islam yang lain. Catat saja kasus yang terjadi pada sejumlah pengikut Ahmadiyah JAI

di Lombok, Kuningan, Parung Bogor berikut juga tempat-tempat peribadatan,

pendidikan, dan rumah-rumah penduduk; Darul Arqom; NII Ma’had Az-Zaytun;

Baha’i; Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII); Gerakan Syi’ah di Indonesia;

Salamullah;8 Alqiyadah; dan Laila Eden.

Disayangkan di tengah kecamuk konflik itu negara tidak berperan optimal dan

bersikap tegas sehingga menimbulkan konflik yang berlarut-larut tanpa kepastian.

Persoalan ini membuktikan bahwa mengatur persoalan keberagamaan secara internal

khususnya terkait dengan melaksanakan ibadah sesuai keyakinan lebih sulit

ketimbang mengatur pola keberagamaan secara eksternal. Apakah kesulitan ini terkait

dengan garis persinggungan tafsir atas teks-teks Nash yang kebenarannya seringkali

dimonopoli secara politik oleh ortodoksi Islam yang mapan dalam ranah negara.

Apakah kesulitan ini semakin diperkeruh oleh penetrasi Islam politik yang mencoba

merehistorisasi Islam secara institusional. Karena bagaimanapun juga Islam politik

yang terinstitusional ke dalam ranah negara akan membentuk elit atau hegemoni

ortodoksi yang membawa dampak terhadap unitaris keyakinan. Atau dengan kata

8 Iskandar Zulkarnai, “Pengantar”, dalam Aris Mustofa dkk, Ahmadiyah Keyakinan Yang

Digugat. (Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, 2005), h. xi

Page 12: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

8

lain institusionalisasi Islam politik seringkali menafikan pluralisme dalam konteks

pelaksanaan keyakinan.

Dari, penelusuran di atas Penulis memandang urgen untuk mengkaji

pelaksanaan hak kebebasan beragama seseorang dalam melaksanakan keyakinannya

di Indonesia baik menurut konstitusi Amandemen UUD 1945 dan Hukum Islam.

Pendekatan integrasi ini sangat penting dilakukan mengingat di lapangan seringkali

antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain saling klem kebenaran (truth

claim) dan tuding-menuding sesat dan kafir. Konflik keberagamaan yang sarat politik

dan transendental keyakinan ini harus dicari solusinya agar korban pengkafiran dan

kekerasan fisik tidak berkepanjangan dan menelan korban, dan khittoh konstitusi

yang menjamin pluralisme dan integrasi sosial bisa dibangun. Untuk itu penulis

tertarik untuk meneliti dan mengangkat penelitian ini dengan judul ”KONSEP

KEBEBASAN BERAGAMA DALAM ISLAM, DAN PRAKTEKNYA DI

INDONESIA ERA REFORMASI”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.

Permbahasan masalah kebebasan beragama sangat lah luas, oleh karena itu

penelitian ini tidak akan membahas semua masalah tersebut dari semua waktu dan

tempat melainkan membatasinya dengan membahas kebebasan beragama menurut

hukum Islam,dan prakteknya pasca runtuhnya rezim otoriter militeristik orde baru,

yaitu pada era reformasi 2000-2008

Page 13: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

9

Pembatasan permasalahan tersebut agar lebih mengarah penelitian ini dengan

merumuskan permasalahan tersebut dengan menyusun pertanyaan-pertanyaan sebagai

berikut:

1) Bagaimana prisip kebebasan beragama dalam syariat Islam

2) Bagaimana jaminan kebebasan beragama menurut UUD 1945 dan UU

HAM no 39/1999

3) Bagaimana Praktek kebebasan beragama di Indonesia pada era reformasi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.

Adapun tujuan umum dari penulisan penulisan ini adalah untuk

1) Mengetahui prinsip-prinsip kebebasan beragama dalam Islam baik dari

sumber utamanya yakni al-Qur an dan al-Sunnah maupun ijma’ mupun

ijtihad.

2) Mengetahui jaminan kebebasan beragama dalam Konstitusi dan Undang-

undang HAM dan prakteknya di Indonesia pada era reformasi

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1) Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi penulis

sebagai manusia yang dapat dan siap bersosialisasi dengan masyarakat

luas yang berkenaan dengan hak asasi manusia terutama kebebasan

beragama.

2) Hasil penelitian ini daiharapkan dapat menjadi sumbangan kepustakaan

bagi penulis-penulis selanjutnya khususnya dalam bidang ilmu-ilmu

Syariah dan hukum dan umumnya untuk bidang-bidang lain.

Page 14: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

10

D. Metode Penelitian

1). Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini adalah

penelitian kepustakaan (librery research) dengan pendekatan kualitatif dengan

mengkaji data-data dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang

diangkat. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian,

misalnya prilaku, persepsi, motivasi tindakan, secara holistik dan dengan cara

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang

alamiyah dan dengan manfaat berbagai metode alamiah. Adapun dari segi

tujuan, penelitian ini menggunakan pendekatan analitis, yang bertujuan

menggambarkan keadaan sementara dengan memaparkan hasil-hasil

penelitian yang bersumber dari data-data.

2). Jenis Data

Sumber data yang penulis pergunakan adalah sumber data yang bersifat

primer, skunder, sumber data primer adalah (1) Undang-Undang Dasar 1945,

(2) Undang-undang Hak Asasi Manusia No 39/1999, (3) Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia, (4) Kovenan Hak Sipil dan Politik, (5) Dekralasi Kairo

tentang Hak Asasi Manusia menurut Islam.

Sumber data skunder yang penulis gunakan adalah (1) Literatur-literatur

yang berhubungan dengan HAM, (2) Literatur-literatur yang berhubungan

Page 15: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

11

dengan kebebasan beragama di Indonesia, (3) Disiplin ilmu syari’ah, hukum,

perundang-undangan, tata negara, politik dan pemerintahan.

Dan sumber data tertier yang penulis pergunakan adalah berasal dari

artikel, makalah, kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

3). Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan gambaran yang cermat tentang kebebasan beragama

dan beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing, maka penulis

melakukan riset pustaka (librery reaserch) mencari berbagai informasi dan

data melalui analisis dan konsep-konsep yang dimuat dalam buku, karya

ilmiyah, jurnal, artikel, CD baik dari dalam maupun luar negeri

4). Analis Data

Yang dimaksud dengan teknik analisa data adalah proses penyederhanaan

data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Setelah

terkumpul data-data yang diperlukan maka penelitia mencoba untuk

menganalisa data, teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi

ini adalah teknik analisis kualitatif atau biasa disebut analisis isi (content

analysis) yaitu penguraian data melalui kategorisasi perbandingan dan

pencarian sebab akibat, baik menggunakan anlisis induktif (usaha penemuan

jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil kesimpulan).

Maupun analisa deduktif (berangkat dari ungkapan umum kemudian

dihubungkan dengan pertanyaan yang lebih sempit) kemudian analisis data

tersebut dikomparasikan untuk mengambil kesimpulan

Page 16: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

12

5). Teknik Penulisan

Penulisan mengacu buku pedoman skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007

E. Review Studi Terdahulu

Penelitian kebebasan beragama menurut syariat Islam telah banyak

dipublikasikan, Tri wahyu hidayati dalam disertasinya yang kemudian dipublikasikan

menjadi buku menjelaskan kebebasan beragama dan riddah sebagai implikasi dari

pindah beragama, serta kontekstualisasi antara HAM dan konsep riddah di zaman

sekarang.9 Yudi Haryono dalam bukunya bahas politik al-Qur an pada, bab al-Qur an

dan wacana HAM, membahas sejarah HAM barat dan nilai-nilai HAM dalam al-

Quran dan membahas kebebasan beragama sepintas yang sesuai dengan di nash.10

Miftahusurur dan sumamiharja dalam bukunya delik-delik keagamaan di

dalam RUU KUHP Indonesia, yang membahas pemidanaan seorang yang terjerat

pasal penodaan agama sesuai KUHP, kemudian rentannya tindakan anarkis yang

mengatas namakan agama dan diskriminasi, dapat di nilai mengganggu kebebasan

beragama di Indonesia.11

Buku-buku tersebut dan juga buku lain membahas

kebebasan beragama sesuai dengan sudut pandangnya tidak mendudukan persoalan

kebebasan beragama menurut syariah, HAM dan kontekstualisasinya Indonesia

9 Tri wahyu hidayati, Apakah Kebebasan beragama Sama Dengan Pindah Agama. (Sala

Tiga. JP Books 2008), h. 7

10

M. Yudi R Haryono, Bahasa Politik Alquran: Mencurigai Makna Tersembunyi Dibalik

Teks, (Bekasi: Gugus Press), 2002.

11

Miftahusurur dan Sumihrja. Delik-Delik Keagamaan Didalam RUU KUHP Indonesia,

(Jakarta; Desantara Aliansi Reformasi KUHP dan DRSP-USAID, 2007).

Page 17: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

13

F. Sitematika Penulisan

Dalam penyususnan skripsi ini penulis membagi kedalam 5 (lima) bab, yang

masing-masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud

tulisan ini pembagian ke dalam beberapa bab dan sub bab adalah bertujuan untuk

memudahkan pembahasan terhadap isi penulisan ini adapun pembagiannya adalah

sebagai berikut:

BAB I Merupakan penjabaran pendahuluan. dimulai dengan latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, manfaat dan tujuan

penulisan, metode penelitian, pengumpulan data, dan metode pembahasan,

tinjauan pustaka serta sistematika penulisan

Bab II Membahas gambaran prinsip umum pengertian Kebebasan beragama

menurut Islam dilihat dari sumber utamanya yakni al-Qur’an. Al-Sunnah

tinjauan atas Piagam Madinah. Deklarasi Kairo mengenai HAM. Dan

Kebebasan beragama dalam DUHAM

BAB III Membahas Demografi agama di Indonesia. Agama dan Negara di

Indonesia era Reformasi., Jaminan kebebasan beragama di Indonesia era

Reformasi

BAB IV Menganalisa praktek kebebasan beragama dari sudut pandang hukum,

Perspektif sosio-kultural, dan perspektif politik; suara partai politik era

Reformasi

BAB V Yang berisi Kesimpulan dan Saran.

Page 18: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

14

BAB II

DESKRIPSI KEBEBASAN BERAGAMA

A. Pengertian Kebebasan Beragama

1. Pengertian Kebebasan

Dalam bahasa Indonesia, kebebasan yang berakar kata dari bebas

memiliki beberapa pengertian, yaitu, 1) Lepas sama sekali. 2) Lepas dari

tuntutan, kewajiban dan perasaan takut. 3) Tidak dikenakan hukuman dsb. 4)

Tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan. 5) Merdeka.1

Pengertian kata bebas secara lughah ini tentu tidak memadai dan

memungkinkan dijadikan pijakan hukum secara personal dalam realitas sosial.

Karena, jika itu terjadi, maka akan melahirkan ketidakbebasan bagi pihak lain.

Ini berarti, tidak ada seorang-pun bebas sepenuhnya, karena kebebasan itu

dibatasi oleh hak-hak orang lain. Dengan demikian, pengertian kebebasan

secara akademik terikat oleh aturan-aturan, baik agama, maupun budaya.

Keterikatan makna bebas dengan konsepsi keagamaan dan budaya inilah

membuat pengertiannya menjadi bias dan subyektif. Karena setiap agama dan

budaya memiliki aturan dan norma yang mungkin berbeda sesuai titah yang

direduksi dari ajaran kitab suci setiap agama dan konsepsi budaya itu.

1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta; Balai

Pustaka, 1990), h. 90.

Page 19: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

15

Agama Islam misalnya, memiliki terminologi tersendiri terhadap kata

kebebasan (hurriyah).Dalam kitab al-Mausu‟ah al-Islamiyah al-„Ammah2,

kebebasan didefenisikan sebagai “kondisi keislaman dan keimanan yang

membuat manusia mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu sesuai

kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun

moral.”

Dari pengertian ini terdapat dua bentuk kebebasan. Pertama, kebebasan

internal (hurriyah dakhiliyah) yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang

berbeda dan bertentangan. Kebebasan jenis ini tergambar dalam kebebasan

berkehendak (hurriyat al-iradah), kebebasan nurani (hurriyat al-dhomir),

kebebasan jiwa (hurriyat al-nafs) dan kebebasan moral (hurriyat al-

adabiyah). Kedua, kebebasan eksternal (hurriyat kharijiyah). Bentuk

kebebasan ini terbagi menjadi tiga yakni: a) al-Tabi’iyah, yaitu kebebasan

yang terpatri dalam fitrah manusia yang menjadikannya mampu melakukan

sesuatu sesuai apa yang ia lihat. b) al-Siyasiyah, yaitu kebebasan yang telah di

berikan oleh peraturan perundang-undangan. c) al-Diniyah, kemampuan atas

keyakinan terhadap pelbagai mazhab keagamaan.

Dari beberapa argumentasi di atas, penulis berkesimpulan bahwa

kebebasan yang sebenarnya adalah ketidak-bebasan itu sendiri. Karena, tidak

satupun perilaku yang terbebas dari aturan dan norma, baik yang bersifat

2 Hernanto Harun Diskusi Nasional ”Islam dan Kebebasan Beragama di Indoensia, Problem

dan solusinya” Kamis 8 Mei 2008 di Auditorium IAIN STS Jambi, Kampus Telanai Pura.

Page 20: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

16

ilahiyah maupun insaniyah. Adanya aturan terhadap sesuatu, merupakan

pengikat yang menjadikannya tidak bebas. Artinya, kebebasan tidak mutlaq

(lepas) tapi muqayyad (terbatas).

2. Pengertian Agama

Dalam wacana pemikiran Barat, polemik dan perdebatan tentang

defenisi agama hampir tidak menemui finishnya, baik dalam bidang ilmu

filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi maupun dalam bidang ilmu

perbandingan agama (muqaranat al-adyan). Sehingga “sengketa” untuk

mendapat defenisi yang maqbul dan disepakati oleh semua pihak, agaknya

sangat sulit, bahkan mustahil. Karena semua ahli bidang keilmuan bersikukuh

dengan argumentasi dan persepsi mereka masing-masing. Maka tidak aneh

jika Wilfred Cantwel Smith, seorang pakar ilmu perbandingan agama, harus

mengakui betapa sulitnya mendefenisikan agama. Smith mengungkapkan,

terminologi agama luar biasa sulitnya didefenisikan (The term is notoriously

indefinable). Paling tidak dalam dasawarsa terakhir ini terdapat beragam

defenisi yang membingungkan yang tidak satupun diterima secara luas. Oleh

karenanya, istilah ini harus dibuang dan ditinggalkan untuk selamanya.3

Muhammad Abdullah Darraz, dari kalangan pemikir muslim,

berpendapat, bahwa agama dapat didefenisikan dari dua aspek. Pertama,

sebagai aspek psikologis, yakni religiusitas; dengan demikian agama adalah

kepercayaan atau iman kepada Zat yang bersifat ketuhanan yang patut ditaati

3 Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion. (London: SPK, 1978), h.17.

Page 21: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

17

dan disembah. Kedua, sebagai hakikat eksternal, bahwa agama adalah

seperangkat panduan teoritik yang mengajarkan konsepsi ketuhanan dan

seperangkat aturan praktis yang mengatur aspek ritualnya.4

Dalam pengertian literalnya, agama sering diterjemahkan dengan din

atau religion. Menurut al-Jurjani, din disepadankan dengan millah yang

berarti sebuah aturan (syariah) yang ditaati, yang dinisbatkan kepada Allah

SWT.5 Defenisi ini tentu dapat diasumsikan sepihak, mengingat unsur

subyektifitas keislamannya sangat kental. Akan tetapi, penerjemahan agama

menjadi din atau religion, juga menimbulkan pelbagai macam kebingungan,

karena istilah din bermakna lebih dari sekedar “agama” atau religion. Menurut

para mufassir, ada elemen dasar yang sesuai dengan konsep din, yaitu makna

agama, makna perhitungan, makna pembalasan dan makna kebiasaan tradisi,

pandangan hidup atau aturan hukum.6

Ragam pendapat tentang pengertian agama, agaknya bias dari ilmu

pengetahuan dan keagamaan yang bersemayam dalam penggagas defenisi

tersebut. Akan tetapi, dari keragaman defenisi tadi, bukan tidak ditemukan

“kesepakatan” dan titik temu. Menurut Anas Malik Thoha, untuk

4 Muhammad Abdullah Darraz, al-Din; Buhuts Mumahhidah li al-Dirasat al-Adyan. (Kairo:

tp, 1952), h. 49-50.

5 Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat. (Dar al-Diyah li al-Turats, (tt),

h.141.

6 Fatimah Abdullah Konsep Islam Sebagai Din, Kajian Terhadap Pemikiran al-Attas,

Islamia, September-November 2004,h. 51.

Page 22: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

18

mendefenisikan agama, setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan, yakni

dari segi fungsi, institusi, dan substansi. Para ahli sejarah sosial (social

history) cenderung mendefenisikan agama sebagai suatu institusi historis

suatu pandangan hidup yang institutionalized yang mudah dibedakan antara

agama Budha dan Islam dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang melatar

belakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan,

ritual dan etika yang ada dalam ajaran keduanya. Sementara para sosiolog dan

antropolog cenderung mendefenisikan agama dari sudut fungsi sosialnya yaitu

suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satun-satuan atau

kelompok-kelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar teologi,

fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang

asasi yaitu yang sakral.7

Apapun defenisi agama, yang jelas, terminologi agama masih menghiasi

ungkapan sehari-sehari, baik oleh kalangan intelektual maun awam. Hal ini

berangkat dari kenyataan--meminjam istilah Plato--bahwa seluruh manusia,

baik dari Yunani maupun bukan, meyakini eksistensi Tuhan. Ini artinya,

seluruh manusia memiliki agama, sebagai “jalan” berkomunikasi dengan

Tuhannya. Dengan demikian, pilihan terhadap suatu agama merupakan hak

prerogatif seorang manusia.

7 Anas Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis. (Depok; Perspektif Gema

Insani, 2005), h. 13-14.

Page 23: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

19

B. Kebebasan Beragama Menurut Islam

Dalam ajaran Islam, pengakuan terhadap kebebasan seseorang untuk memilih

suatu agama sudah sudah sejak awal dijelaskan. Bahkan, kebebasan merupakan

“slogan” yang menjadi hak setiap individu, karena salah satu pilar dasar dalam yang

mewujudkan keselamatan individu dan masyarakat.

1. Kebebasan Beragama Dalam al Qur an

Kebebasan beragama, berpolitik dan berfikir merupakan bentuk

penghargaan al-Qur‟an yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada

manusia.8 Dengan demikian, persoalan kebebasan beragama dalam Islam

bukan barang impor, akan tetapi sudah berafiliasi dengan pemikiran Islam

seiring dinamika zaman. Pengistilahan kebebasan dalam pemikiran Islam,

walau tidak melulu menggunakan term al-hurriyah, namun istilah al-ihkitiyar

juga merupakan terma yang sangat identik dengan kebebasan. Karena terma

al-ikhtiyar sering diposisikan kontras dengan terma al-jabr, yang berarti

penafian terhadap kebebasan dalam diri manusia dan masyarakat.

Al-ikhtiyar didefenisikan sebagai sikap seseorang, jika berkeinginan

maka ia kerjakan, jika tidak, maka ia tidak lakukan. Tidak hanya itu,

persoalan kebebasan beragama bahkan telah dijelaskan dalam kitab suci al-

Qur‟an, sebagai rujukan final umat Islam. Dalam al-Qur‟an tertulis banyak

8 Muhammad Sayyid Yusuf, Manhaj al-Qur an al-Karim fi Islah al-Mujtama. (Kairo : Dar

al-Salam, 2002), h.182.

Page 24: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

20

sekali ayat yang secara jelas mengungkapkan tentang kebebasan bergama.

Juga, tugas dan fungsi seorang Rasul bukan memaksakan seluruh manusia

untuk memeluk Islam, akan tetapi hanya sebatas penyampai risalah Tuhan.9

Penegasan al-Qur‟an terhadap kebebasan beragama merupakan bukti

bahwa pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk Islam tidak dibenarkan.

Hal ini telah dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam Q.S al

Baqoroh:(2):256:

)2/256/البقرة)

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);

Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena

itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,

Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat

yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

Ketika mengomentari ayat ini, Mohemed Talbi mengungkapkan,

bahwa sepengetahuan dia, diantara teks-teks wahyu, hanya al-Qur‟aan yang

menekankan dengan tegas kebebasan beragama. Alasannya adalah bahwa

iman, agar berarti dan dipercayai harus merupakan tindakan ikhlas.10

Keimanan yang ikhlas adalah yang berasal dari kepuasan (iqtina) dan

keyakinan, bukan hanya sebatas meniru atau keterpaksaan. Faktor keikhlasan

9 Kamil Salamah al-Daqs, Ayat al-Jihad fi al-Qur an al-Karim. (Kuwait; Dar al-Bayan,

1972), h. 94.

10

Mohemed Talbi, Kebebasan Beragama, dalam Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam

Kontemporer Tentang Isu-Isu Global. Jakarta; Paramadina, 2003, h. 254.

Page 25: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

21

dalam menganut agama, justru menjadi sebab kronologis turunnya ayat di

atas. Kisahnya berawal dari seorang pria muslim kaum Anshar dari Bani

Salim bin Auf yang memiliki dua orang anak yang beragama Nasrani.

Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah SAW untuk memaksa anaknya

memeluk Islam, akan tetapi kedua anaknya enggan menerima Islam dan tetap

beragama Nasrani.11

Selain ayat di atas, ayat lain yang secara tegas menegasikan tindakan

pemaksaan untuk memeluk Islam adalah firman Allah SWT, dalam QS:

Yunus [10]. 99.

( 10/99/يونس)

Artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua

orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)

memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman

semuanya?”

Persolan kebebasan beragama dalam Islam bahkan tidak sebatas

membiarkan seorang manusia memilih terhadap suatu agama, namun lebih

dari itu, memberi kebebasan kepada pemeluk setiap agama untuk

melaksanakan ritual ajaran agamanya. Hal ini karena tema keyakinan

merupakan urusan ukhrawi yang nanti akan diperhitungkan oleh Allah SWT

di hari kiamat kelak.

11

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur an al-Karim, Tafsir al-Manar. (Beirut; Dar al-

Fikr, (tt), h. 36.

Page 26: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

22

Dari itu, tidak seorangpun yang berhak menghukumi tentang pilihan

keyakinan, kecuali jika seseorang tersebut dengan sengaja mengproklamirkan

kekufurannya. Jika kebebasan memilih agama diberikan kepada setiap orang,

maka ada bebarapa konsekuensi logis dari pemberian kebebasan tersebut.

Diantaranya: 1). kebebasan melaksanakan ibadah, baik secara terang-terangan

atau tersembunyi, individual maupun berkelompok. 2).kebebasan memilih

mode yang selaras dengan kecenderungan agamanya, atau kebebasan

melakukan praktek keagamaan. 3). Kebebasan memakai istilah, tanda dan

syi‟ar yang berbeda. 4). Kebebasan membangun kebutuhan rumah ibadah. 5).

Kebebasan melaksanakan acara ritual keagamaan. 6). Menghargai temapt

yang mereka anggap suci. 7). Kebebasan bagi seseorang untuk merubah dan

berpindah keyakinan. 8). Kebebasan berdakwah untuk memeluk agamanya.12

Dalam al-Qur„an secara gamblang diungkapkan tentang kebebasan tersebut.

Firman Allah SWT dalam QS. Al-Kafirun [109], 1-6:

( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( )

(1-109/6/الكفرون)

Artinya: “Katakanlah hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah

apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyambah Tuhan yang aku

sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.

Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.

Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”

12

Maluddin Athiah Muhammad, Nahwa Fiqh Jadid li al-Aqalliyat. (Kairo; Dar al-Salam,

2003), h.103.

Page 27: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

23

Ayat ini dengan sangat tegas mengungkapkan akan adanya perbedaan

antara Islam dengan agama yang lainya, bahkan secara global

mengungkapkan perbedaan yang tidak akan pernah bertemu, keragaman yang

tidak akan pernah serupa, pisah yang tidak akan bersambung dan corak yang

tidak akan pernah bercampur.13

Meskipun demikian, realitas keragaman

agama merupakan fakta yang ada dan tidak mungkin untuk dinafikan. Karena,

justru keragaman agama merupakan sunnatullah yang sengaja diciptakan

Allah SWT sebagai ujian untuk manusia. Keragaman manusia dalam memilih

jalur “komunikasi” menuju tuhannya, juga telah dijelaskan dalam al-Qur‟an.

Firman Allah SWT dalam QS: al-Maidah [5], 48:

(5/48/الماءدة)

Artinya: “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan

yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu

umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya.

Kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada

Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa

yang telah kamu perselisihkan itu.”

Dalam ayat ini, al-Tabary menginterpretasikan, jika Allah SWT

menghendaki, maka Dia akan menjadikan aturan (syari‟ah) itu satu aja, akan

tetapi Allah SWT mengetahui perbedaan aturan itu untuk menguji (ikhtibar)

13

Tri Wahyuni Hidayati Apakah Kebebasan Beragama Sama Dengan Bebas Pindah

Agamaperspektif Hukum Islam Dan HAM. (Stain salatiga pers dan JP books. Februari 2008). h 7

Page 28: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

24

manusia dan untuk mengetahui siapa taat dan merealisasikan ajaran yang telah

diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan juga untuk mengetahui siapa

yang mengingkarinya.14

Dalam konsepsi Islam, perbedaan syari‟ah setiap umat, merupakan suatu

dimensi yang menyimpan karakteristik dakwah setiap nabi, yang boleh jadi

lebih akulturatif dengan kondisi zamannya. Namun, semua perbedaan syariah

itu berhulu dari satu kesepakatan yang meng-esa (tauhid)-kan Tuhan. Imam

al-Syaukani mengungkapkan bahwa semua syariat yang dibawa oleh para

rasul dan kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para nabi, sepakat

menetapkan tauhid.

Namun yang terjadi dalam realitas sejarah, terjadinya penyimpangan,

atau kreasi baru terhadap pemahaman keagamaan, merupakan fakta yang

perlu untuk dinegosiasikan. Paling tidak, mencari kesepahaman dalam

menerjemahkan nilai-nilai universalitas agama, tanpa harus menganggap atau

meyakini bahwa semua agama adalah sama. Karena mencari titik temu

kesamaan ajaran pokoknya, tidaklah mungkin, mengingat setiap agama

memiliki sebuah konsep yang terekam dalam setiap kitab suci, dan dalam

kitab suci itulah tersimpan kepribadian agama, karena agama adalah suatu

sistem keyakinan yang dilandaskan pada sejumlah ajaran-ajaran yang mutlak

14

Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Tabary, Tafsir al-Tabary, jilid 4. (Beirut; Dar al-Fikr,

1987), H. 176.

Page 29: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

25

yang tidak bisa diubah, atau pada kekuatan konvensi atau otorita-otorita

tradisionoal.15

Dari sini titik supremasi ajaran agama memasuki wilayah truth claim,

sehingga tak jarang menjadi ruang persinggungan konprontatif antara satu

agama dengan yang lainnya, dan dari sinilah muncul semboyan perang atas

nama Tuhan.16

2. Kebebasan Beragama dalam al-Sunnah (Piagam Madinah)

Dalam relaitas sejarah, kebebasan dan toleransi menjadi bagian yang tak

terpisahkan dari perilaku keislaman nabi Muhammad SAW dan pengikutnya.

Dinamika kebebasan yang memberi buah toleransi beragama dalam sejarah

Islam, tidak hanya dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. yang bisa kita lihat

dari apa yang selama ini dinamakan Piagam Madinah disini penulis melihat

“benih-benih” kebebasan dan toleransi.

Piagam Madinah sendiri terdiri dari 70 pasal, dan ditulis dalam 4

tahapan yang berbeda. Pada penulisan pertama terdapat 28 pasal, yang

didalamnya mengatur hubungan antara kaum muslimin sendiri. Pada

penulisan yang kedua ada 25 pasal yang mengatur hubungan antara umat

Islam dan Yahudi. Dan penulisan yang ketiga terjadi setelah terjadinya

perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-2 Hijrah, yang merupakan penekanan

15

Riza Sihbudi, Islam, Radikalisme dan Demokrasia. (Republika, 23 September, 2004).

16

Hermanto Harun, Perdamaian dan Perang Dalam Konsep Islam, Studi Analisis Buku

“Nizam al-Silm wa al-Harb fi al-Islam.” (Thesis Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005), h

2.

Page 30: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

26

atau pengulangan dari pasal pertama dan kedua. Sedangkan pada tahap yang

keempat ini hanya terdapat 7 pasal dan mengatur hubungan antara kabilah

yang memeluk Islam.17

Inilah sekilas tentang periwayatan Piagam Madinah yang diriwayatkan

oleh beberapa perawi dan ahli hadist terkemuka, yang merupakan undang-

undang negara pertama di dunia, yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW.

Berikut ini adalah teks Piagam Madinah yang ditulis pada tahap pertama yang

terdiri dari 18 pasal;18

1. Umat Islam adalah umat yang satu, berdiri sendiri dalam bidang

akidah, politik, sosial, dan ekonomi, tidak tergantung pada masyarakat

lain.

2. Warga umat ini terdiri atas beberapa komunitas kabilah yang saling

tolong-menolong.

3. Semua warga sederajat dalam hak dan kewajiban. Hubungan mereka

didasarkan pada persamaan dan keadilan.

4. Untuk kepentingan administratif, umat dibagi menjadi sembilan

komunitas; satu komunitas muhajirin, dan delapan komunitas penduduk

Madinah lama. Setiap komunitas memiliki system kerja sendiri

berdasarkan kebiasan, keadilan, dan persamaan.

5. Setiap komunitas berkewajiban menegakkan keamanan internal.

17

Ansyari Thayeb, ed., HAM dan Pluralisme Agama, (Surabaya, PPSK, 1999). h. 6

18

Maududi, Abdul A‟la, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Bandung; Pustaka, 1999). h 19

Page 31: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

27

6. Setiap kominitas diikat dalam kesamaan iman. Antara warga satu

komunitas dan komunitas lain tidak diperkenankan saling berperang;

tidak boleh membunuh dalam rangka membela orang kafir, atau membela

orang kafir dalam memusuhi warga jomunitas muslim.

7. Umat Islam adalah umat Allah yang tidak terpecah belah.

8. Untuk memperkuat persaudaraan dan hubungan kemanusiaan diantara

umat Islam, warga muslim menjadi pelindung bagi warga muslim

lainnya.

9. Orang Yahudi yang menyatakan setia terhadap masyarakat Islam harus

dilindungi. Mereka tidak boleh dianiaya dan diperangi.

10. Stabilitas umat adalah satu. Satu komunitas berparang, semuanya

berperang.

11. Apabila satu komunitas berperang maka komunitas lain wajib

membantu.

12. Semua warga wajib menegakkan akhlak yang mulia.

13. Apabila ada golongan lain yang bersekutu dengan Islam dalam

berperang, maka umat Islam harus saling tolong-menolong dengan

mereka.

14. Oleh karena orang Quraisy telah mengusir Muhajirin dari Mekah,

maka penduduk Madinah, muasrik sekalipun, tidak boleh bersekutu

dengan mereka dalam hal-hal yang dapat membahayakan penduduk

muslim Madinah.

Page 32: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

28

15. Jika ada seorang muslim membunuh muslim lain secara sengaja,

maka yang membunuh itu harus diqisas (dihukum setimpal), kecuali ahli

waris korban berkehendak lain. Dalam hal ini seluruh umat Islam harus

bersatu.

16. Orang yang bersalah harus dihukum. Warga lain tidak boleh

membelanya.

17. Jika terjadi konflik atau perselisihan yang tidak dapat dipecahkan

dalam musyawarah, maka penyelesaiannya diserahkan kepada Nabi

Muhammad SAW.

18. Semua kesalahan ditanggung sendiri. Seorang tidak diperkenankan

mempertanggungjawabkan kesalahan teman (sekutu)-nya.

Begitu juga zaman Khulafa ar-Rasyidin kebebasan dan toleransi

beragama tetap menempati posisinya yang baik. Ini dibuktikan dalam sejarah

bahkan pernah dicatat, ketika orang-orang Kristen Syam dijajah oleh

kekuasaan Romawi, mereka meminta pertolongan tentara muslim. Fakta lain

dari toleran Islam dalam sejarah adalah surat yang di tulis oleh Betrikc Isho

Yabh kepada uskup Paris orang Arab yang diberikan Tuhan kekuasaan seperti

yang kalian ketahui, mereka tidak menyerang akidah Kristen. Bahkan

sebaliknya, berlaku lembut kepada pendeta kita, menghargai agama kita dan

menghargai Gereja dan rumah-rumah kita.19

19

Munawir Sadjali, Hukum Tata Negara Islam, (Jakarta: UI Pers, 1993), h. 1-2

Page 33: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

29

Argumentasi normatif dan fakta sejarah yang telah uraikan di atas,

merupakan bukti bahwa Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW yang

dinobatkan sebagai nabi terkahir (khatam al-nabiyin) merupakan agama yang

selalu berorintasi kemanusiaan. Doktrin Islam secara universal, merupakan

agama yang senantiasa mengedapankan maslahat bagi manusia, yang berpijak

kepada keadilan, persamaan dan kebebasan. Hubungan Islam dengan pemeluk

agama lain sejak awal telah dibangun dengan sebuah kaidah yang tidak perlu

diperdebatkan, dan itu telah direalisasiakan sepanjang zaman.

3. Kebebasan Beragama dalam Deklarasi Kairo

Deklarasi Kairo (DK) 1990 merupakan istrumen pengaturan HAM yang

berlandaskan hukum Islam. Deklarasi tersebut terdiri dari 30 pasal yang

mengatur mengenai hak dan kebebasan sipil dan politik serta hak dan

kebebasan ekonomi, sosial dan budaya.

Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairo

diatur dalam pasal khusus. Namun untuk memahami pengertian mengenai

hak kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairo kita harus melihat bagian-

bagian lain dari deklarasi yang akan membantu pemahaman tentang hak

kebebasan beragama. Pembukaan Deklarasi Kairo mengatur sebagai berikut:

“Berkeinginan untuk memberikan sumbangan terhadap usaha-usaha umat

manusia dalam rangka menegakkan hak-hak asasi manusia, melindungi

manusia dari pemerasan dan penindasan, serta menyatakan kemerdekaan

Page 34: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

30

dan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak sesuai dengan syariat

Islam”.

Bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam Islam

merupakan bagian integral agama Islam dan bahwa tak seorang pun pada

dasarnya berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian

atau melanggar atau mengabaikanya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan

itu merupakan perintah suci mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah

SWT. yang diturunkan melalui nabi-Nya yang terakhir.

Pembukaan Deklarasi Kairo menjelaskan bahwa tujuan dibentuknya

Deklarasi Kairo adalah untuk memberikan sumbangan terhadap perlindungan

HAM yang sesuai dengan syariat Islam. Hal ini dapat dipahami sebab

Deklarasi Kairo dikeluarkan oleh OKI, yang merupakan organisasi

internasional antar-negara yang beranggotakan negara Islam atau

penduduknya mayoritas beragama Islam.

HAM dalam Islam merupakan satu kesatuan dari agama, sehingga perlu

kiranya umat Islam membuat aturan HAM yang berdasarkan hukum Islam.

Salah satu hak yang dijamin dalam DK adalah hak kebebasan beragama, hak

tersebut merupakan salah satu hak fundamental yang menjadi perhatian bagi

umat Islam.20

Pasal 10 DK mengatur sebagai berikut:

20

Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama Perspektif Islam”, dalam Dialog: Kritik

dan Identitas Agama. (Yogyakarta: Interfidie, 2004), h. 121.

Page 35: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

31

“Islam adalah agama yang murni ciptaan alam (Allah SWT). Islam melarang

melakukan paksaan dalam bentuk apapun atau untuk mengeksploitasi

kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang untuk mengubah agamanya atau

menjadi atheis.”

Pasal 10 DK merupakan pasal utama yang mengatur mengenai hak

kebebasan beragama. Isi pasal tersebut diawali dengan pernyataan bahwa

Islam adalah agama yang murni ciptaan Allah SWT. Dengan demikian Islam

memiliki perangkat aturan tersendiri yang bersumber dari wahyu Tuhan (Al-

Quran).

Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut menyatakan larangan

untuk memaksakan suatu agama atau kepercayaan tertentu kepada orang lain.

Hal ini didasari dari Al Quran, yaitu Surat al-Baqarah ayat 256 yang

menyatakan tidak ada pemaksaan dalam beragama. Islam melarang seseorang

untuk memaksakan agama atau kepercayaan terhadap orang lain, yang

diperbolehkan dalam Islam adalah dakwah atau mengajak. Itu pun harus

dilakukan dengan cara yang baik, tidak dengan berbohong atau memberikan

imbalan dalam bentuk apapun.Pasal tersebut menjelaskan larangan agar tidak

mengeksploitasi kemiskinan dan kebodohan sebagai alat untuk mengajak

seseorang menyakini suatu agama atau kepercayaan tertentu. Secara tersurat

pasal di atas melarang seseorang untuk menjadi atheis, karena dalam Islam

mensyaratkan bahwa rasa berketuhanan itu merupakan sifat alamiah manusia.

Page 36: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

32

Sehingga apabila manusia sudah tidak mengakui keberadaan Tuhan maka

eksistensi dirinya patut dipertanyakan.

C. Kebebasan Beragama Dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia)

Pengaturan mengenai perlindungan hak kebebasan beragama juga diatur

dalam DUHAM yang terdapat dalam pasal tersendiri. Dengan masuknya hak

kebebasan beragama dalam DUHAM, berarti menunjukkan betapa serius dan

pentingnya hak kebebasan beragama tersebut. Dalam istilah HAM kebebasan

beragama masuk kategori non-derogable right artinya hak yang tidak dapat dikurangi

dalam hal apapun. Dengan demikian hak kebebasan beragama dapat diasumsikan

sebagai salah satu hak yang paling fundamental. Pengaturan mengenai hak kebebasan

beragama dalam DUHAM diatur dalam Pasal 18. Pasal tersebut mengatur sebagai

berikut:

“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan, batin dan agama, dalam hal

ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk

menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya,

melakukannya, beribadah dan menepatinya baik sendiri maupun bersama-sama

dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun tersendiri.”21

Pasal ini merupakan pasal utama dalam pengaturan mengenai hak kebebasan

beragama. Pasal ini memberikan pengertian mengenai hak kebebasan beragama. Hak

kebebasan beragama dalam pasal tersebut meliputi hak untuk beragama, hak untuk

berpindah agama, hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan, hak untuk

21

Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif

Hukum dan Masyarakat) (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 218.

Page 37: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

33

mengajarkan agamanya. Hak- hak tersebut dapat dilaksanakan baik secara individu

ataupun kelompok dan pelaksanaan hak tersebut dapat dilakukan baik di tempat

umum maupun tempat pribadi.

Pada awalnya ide dimasukkanya pasal mengenai hak kebebasan beragama

adalah untuk melindungi hak agama minoritas, seperti Sikh. Sejarah menceritakan

bahwa sering terjadi pelanggaran atas hak kebebasan beragama seseorang

dikarenakan agama yang dianutnya bukanlah agama mayoritas yang dianut oleh

penduduk suatu negara.

Perbedaan politik, ekonomi, sosial, ideologi dan agama tiap-tiap negara

merupakan faktor yang menjadi hambatan dalam pembentukan Pasal 18 UDHR.

Pembentukan draft UDHR 1948 dibuat oleh The United Nation Human Rights

Commission (UNHRC)22

. Pada sesi kedua UNHRC telah membuat sebuah draft Pasal

18 mengenai hak kebebasan beragama. Namun pada tahap itu perwakilan dari Uni

Soviet menolak draft tersebut dengan membuat draft amandemen yang menambahkan

bahwa pelaksanaan hak kebebasan beragama merupakan subjek dari hukum nasional

bukan hukum internasional.

Usulan draft dari perwakilan Uni Soviet tersebut akhirnya ditolak pada

pertemuan sesi ketiga UNHRC. Setelah adanya draft usulan dari Uni Soviet, maka

terjadi sebuah perdebatan yang seru, pada akhirnya UNHRC membentuk sebuah sub

komite yang bertugas membuat rancangan pasal mengenai hak kebebasan beragama.

22

KGPH Haryomataram, Hak Asasi Manusia Internasional (Materi Perkuliahan), (Jakarta;

FH Usakti, 1998).

Page 38: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

34

Sub komite tersebut terdiri dari perwakilan negara Prancis, Libanon, Inggris dan

Uruguay.

Sub komite tersebut akhirnya berhasil membuat rancangan mengenai pasal

hak kebebasan beragama. Ketika dilakukan pemungutan suara di dalam komisi untuk

pengesahan draft pasal tersebut, negara-negara sosialis melakukan abstain. Negara-

negara sosialis yang abstain adalah Uni Soviet, Belarusia, Ukraina, dan Yugoslavia.

Mereka lebih sepakat pada draft amandemen yang dibuat oleh Uni Soviet. Hal ini

dapat dipahami sebab negara-negara sosialis tersebut tidak mengakui keberadaan

Tuhan, apalagi agama. Bagi mereka agama adalah sesuatu yang dapat merusak

manusia.

Selain penolakan dari negara-negara sosialis, sikap yang sama juga dilakukan

oleh sebagian negara-negara Islam, khususnya Arab Saudi. Negara-negara Islam juga

membuat suatu draft alternatif dengan menghapuskan kata-kata “freedom to change

his religion or belief” pada Pasal 18. Alasan yang dikemukakan oleh perwakilan Arab

Saudi adalah untuk mencegah penyalahgunaan pasal tersebut oleh para misionaris

dalam penyebaran agama di negara-negara Islam. Negara-negara Islam memang

sangat memperhatikan mengenai hak kebebasan berpindah agama sebab keadaan

negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas Islam pada saat itu sebagian besar

adalah negara miskin sehingga sangat rentan terjadi perpindahan agama.

Draft alternatif dari Arab Saudi juga ditolak oleh komisi. Pada pemungutan

suara terakhir, akhirnya Uni Soviet menerima bunyi Pasal 18 tersebut dimasukkan

dalam bagian DUHAM. Hak kebebasan beragama merupakan karakter utama dalam

Page 39: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

35

prinsip kebebasan, selain itu pada saat membuat draft DUHAM, hak kebebasan

beragama juga dikategorikan sebagai “an absolute and sacred right”. Walaupun hal

tersebut tidak tertulis didalam pasal, namun harus tetap diingat bahwa dalam

menafsirkan hak kebebasan beragama, nilai-nilai absolut dan hak yang suci harus

tetap menjadi acuan utama

Page 40: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

36

BAB III

JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

A. Demografi Agama di Indonesia

Sebagai negara kepulauan yang terdiri atas lebih dari 17.000 kepulauan,

Indonesia memiliki luas wilayah sekitar 700.000 mil persegi dan jumlah penduduk

245 juta. Menurut laporan sensus tahun 2000, 88 pesen penduduk menyatakan diri

sebagai pemeluk Islam, 6 persen Kristen Protestan, 3 persen Katolik Roma, 2 persen

Hindu, dan kurang dari 1 persen Budha, penganut agama pribumi, kelompok Kristen

lain, dan Yahudi. Beberapa penganut agama Kristen, Hindu, dan anggota kelompok

agama minoritas lain berpendapat bahwa sensus tersebut kurang akurat dalam

menghitung jumlah penganut non-Muslim.

Sebagian besar Muslim di negara ini adalah Suni. Dua organisasi massa Islam

terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, masing-masing mengklaim

mempunyai 40 juta dan 30 juta pengikut Suni. Diperkirakan terdapat sekitar 1 juta

hingga 3 juta pengikut Syiah.

Ada banyak organisasi Islam dalam skala lebih kecil, termasuk sekitar

400.000 orang yang terdaftar sebagai anggota kelompok “sempalan” Islam

Ahmadiyah Qadiyani. Terdapat juga kelompok yang lebih kecil lagi, yaitu

Ahmadiyah Lahore. Kelompok minoritas Islam lain mencakup al-Qiyadah al-

Page 41: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

37

Islamiya, Darul Arqam, Jamaah Salamulah, dan pengikut Lembaga Dakwah

Islamiyah Indonesia.1

Departemen Agama memperkirakan ada sebanyak 19 juta penganut Protestan

(yang disebut Kristen di negara ini) dan 8 juta penganut Katolik bermukim di

Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki proporsi penganut Katolik

tertinggi dengan 55 persen. Provinsi Papua memiliki proposri penganut Protestan

terbesar dengan 58 persen. Daerah lain, seperti Kepulauan Maluku dan Sulawesi

Utara memiliki penganut Kristen yang cukup besar.

Departemen Agama memperkirakan ada 10 juta penganut Hindu yang hidup

di negara ini. Agama Hindu dianut hampir 90 persen dari jumlah penduduk Bali.

Penganut minoritas Hindu (yang disebut "Keharingan") bermukim di Kalimantan

Tengah dan Timur, kota Medan (Sumatera Utara), Sulawesi Selatan dan Tengah, dan

Lombok (Nusa Tenggara Barat). Kelompok-kelompok Hindu seperti Hare Krishna

dan pengikut pemimpin spiritual India Sai Baba juga ada, meskipun dalam jumlah

kecil. Beberapa kelompok agama pribumi, termasuk "Naurus" di Pulau Seram di

Provinsi Maluku, menggabungkan kepercayaan Hindu dan animisme kedalam

kegiatan mereka. Banyak pula yang mengikuti prinsip-prinsip Kristen Protestan.

Masyarakat Tamil di Medan juga mewakili konsentrasi penganut Hindu.

Di Indonesia terdapat penganut Sikh dalam jumlah yang relative kecil, yang

diperkirakan antara 10.000 dan 15.000. Penganut Sikh terutama bermukim di Medan

1 Laporan kebebasan beragama Internasional 2005 (Pemerintah Indonesia) yang diterbitkan

pemerintah Amerika

Page 42: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

38

dan Jakarta. Delapan kuil Sikh (gurdwaras) berada di Sumatra Utara, sedangkan di

Jakarta terdapat dua kuil Sikh dengan jamaah yang aktif melakukan ibadah.

Di antara penganut agama Budha, sekitar 60 persen mengikuti aliran

Mahayana, 30 persen menjadi pengikut Theravada, dan 10 persen sisanya penganut

aliran Tantrayana, Tridharma, Kasogatan, Nichiren, dan Maitreya. Menurut Generasi

Muda Budhis Indonesia, sebagian besar penganut agama Budha tinggal di Jawa, Bali,

Lampung, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau. Etnis Tionghoa merupakan 60

persen dari penganut agama Budha.

Jumlah penganut Konghucu masih tidak jelas karena pada saat sensus

nasional tahun 2000, para responden tidak diizinkan untuk menunjukkan identitas

mereka. Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan

bahwa 95 persen dari penganut Konghucu adalah etnis Tionghoa dan sisanya dari

etnis Jawa pribumi. Banyak penganut Konghucu yang juga menjalankan ajaran

agama Budha dan Kristen.

Sekitar 20 juta orang di pulau Jawa, Kalimantan, Papua, dan daerah lain

diperkirakan mempraktikkan animisme dan jenis sistem kepercayaan tradisional

lainnya yang disebut sebagai ”Aliran Kepercayaan”. Beberapa penganut animisme

menggabungkan kepercayaan mereka dengan salah satu agama yang diakui

Pemerintah dan selanjutnya terdaftar sebagi agama yang diakui. Terdapat sejumlah

kecil komunitas Yahudi yang ada di Jakarta dan Surabaya. Komunitas Baha‟i

memngakui memiliki ribuan anggota, tetapi tidak ada angka yang dapat diandalkan.

Falun Dafa, yang menganggap keyakinan mereka sebagai organisasi spiritual

Page 43: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

39

ketimbang agama, mengklaim penganutnya mencapai jumlah antara 2.000 and 3.000,

hampir separuhnya tinggal di Yogyakarta, Bali, dan Medan.

B. Agama dan Negara di Indonesia

Agama sebagai suatu sistem nilai dan ajaran memiliki fungsi yang jelas dan

pasti untuk pengembangan kehidupan umat manusia yang lebih beradab dan

sejahtera. Dalam perspektif ajaran dan sejarah, agama apa pun turun ke dunia untuk

memperbaiki moralitas manusia, dari kebiadaban menuju manusia bermoral. Di

dalam agama terdapat nilainilai transenden berupa iman, kepercayaan kepada Tuhan,

dan serangkaian ibadah ritual sebagai manifetasi kepercayaan dan kepatuhan kepada

Sang Pencipta.

Menurut Abd A‟la2, transendensi agama bersifat fungsional, bukan sekadar

untuk kehidupan akhirat yang bersifat eksatologis murni dan terpisah dari kehidupan

sekarang. Namun hal itu juga berfungsi praktis dan applicable untuk kehidupan

dunia. Karena transendensi itulah, maka muncul ungkapan kiranya manusia menjadi

khalifah Allah di muka bumi sebagai konkretisasi imannya. Dengan pemahaman

demikian maka nilainilai agama harus dirajut dalam kehidupan yang konkret,

termasuk dalam kehidupan bernegara. Di sinilah akar tuntutan agar agama itu

dilembagakan.3

Pijakan konkretisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara itu ternyata

2 Abd A‟la. Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Penerbit Kompas, 2003, h. 134.

3 Masdar F. Mas’udi. Asal-usul dan pengertian pelembagaan agama, dalam “Agama dan

pluralitasnya” Interfidei, 1995, Mendidik Manusia Merdeka: Roma YB. Mangunwijaya 65 Tahun, Yogyakarta: Interfedei, h. 368.

Page 44: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

40

melahirkan debat tiada berkesudahan mengenai kebebasan beragama dan gugus

negara. Dalam studi ilmu negara lazim diterima bahwa suatu negara dibentuk untuk

pertamatama melindungi HAM warganegara dan memberikan kesejahteraan secara

optimal.4

Bagaimana menempatkan agama dalam kehidupan bernegara? Para

pengamat sosial merumuskan beberapa teori untuk membaca hubungan agama

dengan negara, yang antara lain dirumuskan dalam bentuk 3 (tiga) paradigma, yaitu

paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik.

Dalam gugus negara dengan paradigma integralistik, agama dan negara

menyatu, jadi wilayah agama mencakup wilayah politik atau negara. Oleh karena itu,

negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Paradigma ini yang

kemudian melahirkan paham negaraagama, di mana kehidupan kenegaraan diatur

dengan menggunakan prinsipprinsip kegamaan.5

Achmad Gunaryo menyebut

paradigma ini sebagai cita negara teokratik. Paradigma ini menghendaki kepentingan

agama merupakan suatu hal yang penting untuk dilindungi.6

Sementara itu, paradigma simbiotik menunjuk bahwa antara agama dan

negara ada hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Karena

sifatnya yang simbolik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk

mewarnai hokum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup

4 Budiono Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil,

Jakarta: Grasindo, h. 2002.

5 Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum

Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, h. 2324.

6 Oemar Seno Adji, 1981, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, h. 87.

Page 45: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

41

kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara.

Pada sisi yang ekstrem, paradigma sekularistik menolak kedua paradigma itu.

Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan dalil perlunya dipisahkan

agama dengan negara. Seperti diuraiakan oleh Abdurrahman Wahid7

bahwa agama

adalah ruh, spirit yang harus masuk ke negara. Sementara negara adalah badan, raga

yang mesti membutuhkan ruh agama. Dalam konsep ini, keberadaan negara tidak lagi

dipandang semata-mata sebagai hasil kontrak sosial dari masyarakat manusia yang

bersifat sekuler, akan tetapi lebih dari itu, negara dipandang sebagai jasad atau badan

yang niscaya dari idealisme ketuhanan, sementara agama adalah substansi untuk

menegakkan keadilan semesta. Menurut Denny JA8, paradigma sekularisitik terwujud

dalam konfigurasi negara di mana agama tidak dijadikan instrumen politik, tidak ada

ketentuan-ketentuan keagamaan yang diatur melalui legislasi negara, sehingga agama

tidak perlu “meminjam negara” untuk memaksakan keberlakuan ketentuan agama.

Namun demikian, Mohammd „Abed alJabiri, seorang cendekiawan asal

Maroko, mengkritik paradigma sekularistik yang dinilainya sebagai konstruksi yang

keliru atas realitas.9

Sekularisasi tidak lebih sebagai kebutuhan lokal ketika di suatu

tempat terdapat potensi adanya “politisasi agama” maupun “agamanisasi politik”.

7 Abdurrahman Wahid, “Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas”, Kata Pengantar dalam

Masdar. F. Mas‟udi, 1993, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: Pustaka

Firdaus, h. xivxvi.

8 Denny JA, “Islam, Negara Sekular, dan Demokrasi”, dalam Saripudin HA (Penyunting),

2000, Negara Sekular Sebuah Polemik, Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, h. 17-18.

9 Ahmad Baso, Problem Islam dan Politik: Perspektif Kritik Nalar Politik Mohammed

„Abed alJabiri, dalam Taswirul Afkar, Edisi No. 4/1999.

Page 46: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

42

Bagaimana dengan agama dan negara Indonesia? Sementara kalangan, yang

tampaknya merupakan pendapat dominan dan secara praksis paling mendekati

kenyataan, sering menyatakan bahwa Indonesia bukan negara agama, meskipun

bukan pula negara sekular. Di Indonesia, seperti uraian Achmad Gunaryo hukum

agama diakomodir, meskipun akomodasi itu tetap dalam kerangka kebutuhan

bersama. Bersamasama dengan unsurunsur lain, agama diperlakukan sebagai salah

satu pembentuk cita negara (staasidee). Sebagai konsekuensi, hukum yang bersumber

dari agama diadopsi sebagai salah satu unsur pembentuk hukum negara atau nasional.

Menurut Moh. Mahfud MD, pemahaman seperti ini menggunakan konsep Pancasila,

ideologi dan dasar negara, yang bersifat prismatik.10

Secara politis, konsep prismatik merupakan sandaran yang dirasakan masuk

akal, diantara berbagai pilihan sektarian lainnya, sebagai buah perdebatan panjang

mengenai hubungan agama dengan negara yang berlangsung bukan saja pada saat

pembentukan UUD 1945, tetapi bahkan sejak dasawarsa 1940-an, dan ketika masa

Reformasi 1999 juga, isu hubungan agama dan negara timbul tenggelam sebagai isu

politik baik formal maupun tidak formal.

Tulisan ini menerima pandangan prismatik itu, dan tidak akan menguraikan

landasan akademik yang menuju debat menerima atau menolak, tetapi yang paling

penting dengan pandangan akan diterima bahwa masalah kepentingan agama di

Indonesia merupakan hal yang harus dilindungi. Tafsiran tersebut diikuti dengan

10

Moh. Mahfud M.D. Membangun Politik Hukum Membangun Konstitusi, (Jakarta: LP3ES

2006), h. 276.

Page 47: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

43

kebijakankebijakan politik yang memberikan tempat dan peranan yang terhormat

kepada agama.11

Dalam aras konstitusi, dapat ditunjuk sejumlah pasal yang bukan

saja menunjukkan pentingnya agama (dan aspek-aspek yang terkait dengannya), akan

tetapi juga betapa agama dan kehidupan beragama merupakan HAM, seperti:

1. Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal

28A),

2. Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat (Pasal 28E);

3. Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,

sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E ayat (2));

4. Hak atas pelrindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan

harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan

perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat

sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G); dan

5. Hak atas bebas dari penyiksaan (Pasal 28G ayat (3)).

Puncak pengakuan atas hak asasi manusia dalam konstitusi ditutup dengan

pigura yang berwibawa dan tegas dengan termuatnya Pasal 28 J, yang menyatakan:

“(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan

kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan

undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta

11 Munawir Sadzali, 1990, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, h. 210.

Page 48: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

44

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang

adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan

ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Kebebasan beragama sebagai salah satu fondasi bernegara juga diakui oleh

UUD 1945, yaitu Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). “Negara berdasar atas Ketuhanan

yang Maha Esa; Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan

itu.” Legalisasi dalam konstitusi itu kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa agama

menduduki porsi yang penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

C. Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa

ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan

Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini

hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD

1945. Setua persoalan ini muncul, masalah kebebasan beragama memang tidak

pernah tuntas diperdebatkan hingga sekarang.

Semula, rancangan awal Pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi:

“Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi

pemeluk-pemeluknya”. Lalu diubah lewat keputusan rapat PPKI, 18 Agustus 1945

menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan ini

menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi

pemeluk-pemeluknya), yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan nasionalis-

Page 49: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

45

Islam. Rumusan inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga sekarang dan

tidak mengalami perubahan meski telah empat kali mengalami amandemen: 1999,

2000, 2001, dan 2002. Hal itu bukan berarti tidak ada usaha serius dari sebagian

kalangan Islam untuk mengubah prinsip dasar pasal tersebut. Rekaman perdebatan di

sidang-sidang MPR era Reformasi membuktikan dengan jelas dinamika usaha-usaha

tersebut.

Rapat-rapat PAH I BP MPR tahun 2000 mencatat ada tiga opsi usulan fraksi-

fraksi MPR berkaitan dengan Pasal 29 tadi. Pertama, mempertahankan rumusan

Pasal 29 sebagaimana adanya tanpa perubahan apapun; Kedua, mengubah Pasal 29

ayat (1) dengan memasukkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta ke dalamnya seperti

rumusan hasil sidang BPUPKI 1945; dan Ketiga, berusaha mengambil jalan tengah

dari kedua usulan tersebut, yakni dengan menambahkan satu ayat lagi dari Pasal 29

tersebut dengan redaksi yang beragam, di antaranya: “Penyelanggara Negara tidak

boleh bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma, dan hukum agama” (diusulkan

oleh Partai Golkar); “Negara melarang penyebaran faham-faham yang bertentangan

dengan Ketuhanan Yang Maha Esa” (diusulkan oleh PPP); dan “Tiap pemeluk agama

diwajibkan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing” (diusulkan oleh Partai

Reformasi).

Hal menarik dari perdebatan di MPR tentang Pasal 29 itu mencakup juga soal

pengertian kepercayaan. Sejumlah fraksi di MPR seperti fraksi Partai Demokrasi

Indonesia, fraksi Bulan Bintang mengusulkan untuk menghapuskan kata-kata

“kepercayaan itu” dari rumusan yang ada karena dianggap membingungkan. Hasil

Page 50: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

46

perdebatan panjang di MPR untuk amandemen UUD 1945 menyimpulkan, Pasal 29

akhirnya diputuskan untuk tetap kembali pada rumusan semula seperti ditetapkan

dalam siding PPKI.

Maka tidak berlebihan kalau Musdah Mulia mengatakan bahwa, “Di Tanah

Air masalah kebebasan beragama adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tidak

hanya dalam rumusan regulasinya tetapi juga masalah pelaksanaannya di lapangan.”

Ia menambahkan, “Sejarah mencatat, ribuan menjadi korban kekerasan agama

sepanjang dari Orde lama hingga Orde Reformasi, baik oleh negara maupun

masyarakat sipil”.12

Sebelum Amandemen UUD 1945 dilakukan pemerintah sempat

mengeluarkan beberapa kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui

TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang HAM yang mengakui hak beragama

sebagai hak asasi manusia sebagaimana tertera pada Pasal 13: “Setiap orang bebas

memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.” Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia

yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana

dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan

dan Pemajuan HAM, Pasal 37: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak

untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas

12

Rocky Gerung (ed) Hak Asasi Manusia Terori, Hukum, Kasus. Jakarta: UI Press, h. 48

Page 51: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

47

dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi

dalam keadaan apapun (non-derogable).”

Seiring dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka kebebasan

beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut semakin dikukuhkan

dengan tambahan salah satu pasal yakni Pasal 28E selain yang diatur dalam Pasal 29.

Pasal 28E ayat (1) menjelaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan

beribadat menurut agamanya …..”. Ayat (2), “Setiap orang berhak atas kebebasan

meyakini kepercayaan…”.

Ini artinya, kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan

yang dianut adalah hak asasi manusia (human rights) sekaligus hak warga negara (the

citizen‟s rights) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable)

yang secara konstitusional dijamin oleh UUD 1945. Ketentuan ini senafas dengan isi

Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, Pasal 18, yakni :

“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal

ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk

menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya,

beribadat dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di

muka umum maupun sendiri.”

Menarik bahwa konstitusi Indonesia lebih dahulu memuat soal jaminan

kebebasan beragama daripada Deklarasi HAM.13

Itulah sebabnya, mengapa Indonesia

bisa dengan mudah menerima deklarasi tersebut.

Jika ingin dilihat lebih jauh, pemajuan HAM beragama dan kebebasan

beribadah sesuai dengan keyakinan atau kepercayaan tidak hanya sebatas hak

13

Ibid. hlm 75

Page 52: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

48

konstitusional yang non-derogable melainkan juga menjadi hak hukum (legal

rights)14

. Ini terlihat dengan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 4: “Hak

untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,

hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan

persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun dan oleh siapapun.

Kemudian secara khusus hak beragama ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1):

Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan

setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya

dan kepercayaannya itu.

Dalam UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention

On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi

Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) secara

implisit ditegaskan dalam konsideran huruf d bahwa “Konvensi tersebut pada huruf c

mengatur penghapusan segala bentuk pembedaan, pengucilan, pembatasan atau

preferensi yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal-usul kebangsaan

atau etnis yang mempunyai tujuan atau akibat meniadakan atau menghalangi

pengakuan, perolehan atau pelaksanaan pada suatu dasar yang sama tentang hak asasi

14

Al Khanif,SH.H., M.A., LL.M. Hukum dan kebebasan beragama di Indonesia Yoyakarta.

LaksBang Mediatama 2010. h. 72

Page 53: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

49

manusia dan kebebasan mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau

bidang kehidupan umum lainnya.”

Secara redaksi, memang tidak ditemukan bidang agama di dalamnya akan

tetapi dengan kata “atau bidang kehidupan umum lainnya” dapat ditafsirkan bahwa

bidang agama dan segala ruang lingkupnya termasuk materi yang tidak

diperkenankan mendapat perlakuan diskriminasi oleh institusi negara atau kelompok

komunitas yang lain. Atau dengan kata lain pada prinsipnya negara harus menjamin

semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, sehingga segala

bentuk diskriminasi rasial harus dicegah dan dilarang.

Dalam UU NO. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant

On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak

Ekonomi, Sosial Dan Budaya) atau dikenal dengan Undang-undang Hak Sipil, secara

umum dijelaskan bahwa

“Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang

diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras,

warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul

kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.”

Ketentuan ini merupakan konsekwensi yuridis bergabungnya Indonesia ke

dalam ke anggotaan PBB sehingga mau tidak mau harus meratifikasi kovenan-

kovenan yang disahkan ke dalam undang-undang. Dengan turutnya Pemerintah

Indonesia menandatangani sekaligus mengundangkannya ke dalam undang-undang

maka hak-hak sipil khususnya terkait dengan agama semakin kuat legitimasinya

menjadi legal rights.

Page 54: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

50

Dalam rangka demam promosi HAM yang tidak lain sebagai tuntutan

konstitusional, demokrasi, dan kemanusiaan universal, Indonesia mencanangkan

Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM melalui Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun

1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 1998-2003 yang kemudian

dilanjutkan dengan RAN HAM kedua melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun

2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan ratifikasi

atau pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment, 1984 (Konvensi Menentang Penyiksaan dan

Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan

Martabat Manusia, 1984) pada 28 September 1998 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1998; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783).

Secara terperinci jaminan kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan dapat

ditemukan pada sejumlah kebijakan sebagaimana tersebut di bawah ini:

1. UUD 1945 Pasal 28 E, ayat (1):

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Ayat

(2): Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan

pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”

2. UUD 1945 Pasal 29, ayat (2):

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu”

3. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional

Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1):

Page 55: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

51

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.

Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama

atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara

individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum

atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan

ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.”

Pasal 18 ayat (2)

“Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya

untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai

dengan pilihannya.”

4. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat (1):

“Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara

menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

6. UU No. 1/PNPS/1965, UU No. 5/1969 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1

berbunyi:

“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen,

Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan

dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama

ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia,

maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29

ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan

seperti yang diberikan oleh pasal ini”.

Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama tersebut tidaklah bersifat

pembatasan yang membawa implikasi pembedaan status hukum tentang agama yang

diakui melainkan bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di

Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang menyatakan bahwa,

“Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto,

Page 56: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

52

Taoism di larang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang

diberikan Pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya…”.

Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun

1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat (3)

Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, maka

pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau

kepercayaan melalui Undang-Undang. Elemen-elemen yang dapat dimuat di dalam

pengaturan tersebut antara lain:

1. Restriction For the Protection of Public Safety (Pembatasan untuk

Melindungi Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di

public dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan,

prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka melindungi kebebasan

individu-individu (hidup, integritas, atau kesehatan) atau kepemilikan.

2. Restriction For the Protection of Public Order (Pembatasan untuk

Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan

memenifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara

lain keharusan mendaftar badan hokum organisasi keagamaan masyarakat,

mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadah

yang diperuntukan umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi

narapidana.

3. Restriction For the Protection of Public Health (Pembatasan untuk

Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijikan berkaitan

Page 57: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

53

dengan kesehatan public dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada

pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemic atau penyakit

lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pemerintah dapat

mewajibkan petani bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna

mencegah penularan penyakit TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap

seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfuse darah

atau melarang penggunaan helm pelindung kepala. Contoh yang agak ekstrim

adalah praktik mutilasi terhadap kelamin perempuan dalam adapt-istiadat

tertentu di Afrika.

4. Restriction For the Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi

Moral Masyarakat). Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan agama

atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan kontroversi.

Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan, filsafat,

dan social. Olehkarena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip

moral tidak dapat diambil hanya dari tradisi atau agama saja. Pembatasan

dapat dilakukan oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna

kelengkapan ritual aliran agama tertentu.

5. Restriction For the Protection of The (Fundamental) Rights and Freedom

of Others. (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan

Kebebasan Orang Lain)

5.1. Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman terhadap

tindakan proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di dalam

Page 58: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

54

memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris dalam

rangka melindungi agar kebebasan orang lain untuk tidak dikonversikan.

5.2. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau

kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain,

khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan,

pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan,

melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak kaum minoritas.

Merujuk dasar-dasar tersebut di atas, dalam perspektif HAM hak kebebasan

beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen15

, yaitu:

1. Kebebasan Internal. Setiap orang memunyai kebebasan berpikir,

berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut

atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk

untuk berpindah agama atau kepercayaannya.

2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu

atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk memanifestasikan

agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengalamannya dan

peribadahannya.

3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan

yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu

agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.

15

Ibid h. 87

Page 59: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

55

4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan

menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam

wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin,

bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang,

asal-usul.

5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati

kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk menjamin bahwa

pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya

sendiri.

6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan

beragama atau berkeyakinan, bagi omunitas keagamaan untuk berorganisasi

atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan

mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan, termasuk di

dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.

7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk

memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi

oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban

public, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain.

8. Non-Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama

atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.

Page 60: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

56

BAB IV

ANALISIS PRAKTEK KEBEBASAN BERAGAMA

DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI

A. Perspektif Hukum

UUD 45 dalam sistem hukum di Indonesia dikenal sebagai sumber dari segala

sumber hukum yang menjadi turunannya. Adapun tingkatan hukum di Indonesia

setelah UUD 45 adalah: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Daerah. Dalam

sistim hukum global Indonesia banyak juga meratifikasi berbagi konvenan

Internasional seperti Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik lewat UU

12/2005. Dalam masa reformasi UUD 45 paling tidak telah mengalami empat kali

amandemen,1 sungguh sebuah masa perubahan yang sangat cepat dalam hukum di

Indonesia.

Banyak sekali produk hukum yang lahir dalam masa reformasi dihasilkan

sebagai produk kontestasi etno politik dari berbagai kelompok masyarakat baik

ditingkat pusat maupun daerah. Reformasi berjalan dengan berbagai upaya legislatif

mengisi ruang hukum Negara Indonesia dengan berbagai produk hukum. Bercampur

dengan situasi politik dan ekonomi Negara dan berbagai agenda kepentingan lainnya

reformasi telah menghasilkan sejumlah produk hokum, mulai dari UU sampai dengan

1 Amandemen pertama 19 Oktober 1999, amandemen kedua 18 Agustus 2000, amandemen

ketiga 9 Nopember 2001, amandemen keeempat 10 Agustus 2002.

Page 61: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

57

Peraturan Daerah. Sangat disayangkan, sejumlah produk hokum atau peraturan yang

ada menimbulkan ketegangan di masyarakat dan tumpang tindih bahkan ada juga

yang melihat sebagai produk-produk multitafsir. Sebut saja Undang-undang

Perlindungan Anak tahun 2002, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20

Tahun 2003, Undang-undang Administrasi Kependudukan 2006, Keputusan Presiden

No. 11/2003 tentang penerapan Syariat Islam di Aceh, Peraturan Daerah (Perda)

tentang penerapan Syariat Islam di beberapa daerah, PBM No. 8/9 Tahun 2006 dll.

Berikut beberapa situasi ragam aksi kekerasan dan pemaksaan kehendak

berdasarkan tafsir kelompok tertentu terjadi di bumi pertiwi ini, yang terjadi baik

dilakukan kelompok masyarakat maupun pemerintah ;

1. Perda-perda bernuasa Syariat Agama. Beberapa daerah di Indonesia, para

pimpinan setempat menerapkan praktek agama yang lebih ketat . Misalnya, di

kabupaten Cianjur, beberapa kabupaten maupun kotamadya Sumatera Barat,

Gowa, Maros dll. ada peraturan daerah mengharuskan semua pegawai

pemerintahan maupun siswa sekolah untuk mengenakan pakaian Muslim.

Beberapa penduduk mengatakan bahwa pihak berwenang mencampuri urusan

pribadi mereka. Bahkan praktek-praktek agama Islam yang lebih ketat

memberikan waktu untuk para pegawai untuk menjalankan shalat berjamaah.

Contoh lain adalah munculnya Rancangan Perda (Raperda) Kota Injil di

Monokwari Papua.

2. Kaum perempuan di Tangerang mengalami pembatasan dalam ruang

publik setelah keluarnya Perda No 8 tahun 2005. Terjadi pembatasan

Page 62: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

58

aktivitas perempuan di waktu malam hari. Dan peristiwa penangkapan

seorang perempuan buruh pabrik menjadi bukti bahwa peraturan yang ada

sangat diskriminatif dan membatasi hak ekonomi kaum perempuan untuk

bekerja mencari nafkah.

3. Penerapan UU Perlindungan Anak 2002 telah memenjarakan 3 orang

perempuan di Indramayu, Jawa Barat yang ditangkap pada 13 Mei 2005

dengan alasan berusaha menarik anak-anak Muslim masuk Kristen. Para

perempuan tersebut ditangkap setelah anggota komunitas mengeluhkan bahwa

pada saat dilakukannya program sekolah Minggu di rumah mereka, mereka

memberikan kotak pensil dan kaos kepada para pengunjung, termasuk anak-

anak Muslim.

4. Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin dari Departemen

Agama untuk memberikan jenis bantuan apapun (baik dalam bentuk bantuan

itu sendiri, personil, maupun keuangan) kepada kelompok-kelompok

keagamaan di dalam negeri. Walaupun pada umumnya pemerintah tidak

melaksanakan persyaratan ini, beberapa kelompok Kristen menyatakan bahwa

pemerintah menerapkannya lebih sering kepada kelompok minoritas daripada

kepada kelompok mayoritas Muslim.2

5. Peraturan bersama 2 Menteri. Sebelum dan sesudah adanya PBM no 9 dan

8 2006 terjadi aksi penutupan rumah ibadah Kristiani terjadi secara serentak

2 Laporan kebebasan beragama Internasional 2005 (pemerintah Indonesia) yang diterbitkan

pemerintah Amerika

Page 63: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

59

dan terencana. Dalam beberapa kejadian terjadi aksi kekerasan yang terjadi di

depan aparat keamanan pemerintah dan ada kesan pembiaran terhadap aksi

kekerasan, terjadi dalam aksi penutup tiga gereja di Perumahan Jatimulya,

Bekasi (sampai tulisan ini dibuat aksi ketidakadilan masih terjadi,

pembongkaran rumah ibadah oleh pemerintah kabupaten Bekasi).

6. Pada tanggal 8 Maret 2007, 200 anggota FPI dan Forum Betawi Rempug,

menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur yang

menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena merasa terganggu dengan

kegiatan mahasiswa juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun

terdapat fakta bahwa sekoah tersebut memiliki ijin.

7. Aksi anarkis dilakukan FPI pada saat hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2008

di Monas. Dalam suasana semangat kabangsaan yang ada, peristiwa kekerasan

terjadi hanya karena perasaan tidak suka. Sungguh sebuah keadaan yang

memalukan dalam negara Pancasila.

Demikian hanya beberapa contoh kecil ragam persoalan yang terjadi seputar

kebebasan beragama dan berkeyakinan dan disayangkan apa yang terjadi dan bila

mencermati Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara

menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1).

Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak

dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam

Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan

berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap

Page 64: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

60

orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini

mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas

pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di

dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau

keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.

Dalam era reformasi terhadap situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan

seharusnya politik hukum Indonesia menjadi jawaban atas negara kesatuan Indonesia

dengan Pancasila sebagai falsafah hidup bersama. Bagaimana arah politk hukum

kembali kepada situasi pembangunan negara oleh bapak bangsa, bahwa kesatuan

bangsa menjadi dasar pertama dalam mengisi kemerdekaan.

Memang dalam beberapa kejadian aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok

masyarakat pemerintah melalui aparat kepolisian telah melakukan tindakan yang

tepat dengan menangkap dan memproses secara hokum para pelaku. Namun tindakan

tersebut tidak secara konsisten dilakukan di berbagai tempat. Artinya kebijakan

keamanan sangat bergantung dengan situasi politik si suatu daerah. Tentu hal ini akan

sangat memprihatinkan bila terus terjadi.

Bagimana umat beragama di Indonesia hidup berdampingan? Pertama,

harapan tentunya pemerintah sebagai pelaksana jalannya roda pemerintahan dapat

secara konsisten menjabarkan UUD 1945 melalui berbagi peraturan yang berada di

bawah UUD 45 sehingga berbagai produk hukum yang dihasilakan dan bertentangan

dengan UUD 45 dapat dibatalkan keberadaannya. Kedua, negara dalam hal ini

pemerintah bertanggung jawab terhadap perlindungan kebebasan beragama dan

Page 65: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

61

berkeyakinan sebagai bentuk pengakuan adanya persamaan hak bagi seluruh warga

Indonesia. Ketiga, mendorong para pemuka agama mulai dari tingkat pusat sampai

daerah membuka ruang dialog dalam merespon berbagai fenomena kehidupan

reformasi yang terus berjalan.

Menurut W Cole Durham, Jr. penghapusan diskriminasi menuju kemerdekaan

beragama dan berkeyakinan membutuhkan beberapa prasyarat, antara lain 1)

Pengakuan dan penghormatan atas pluralisme; 2) Stabilitas ekonomi; 3)

Pemerintahan dengan legitimasi yang kuat; 4) Kelompok-kelompok masyarakat

mempunyai cara pandang yang positif atas perbedaan satu sama lain.3

Mengutip MM Bilah, “Mengapa iklim kebebasan beragama sulit untuk

diwujudkan di Indonesia?” Bilah memberikan gambaran paling tidak ada dua faktor

yang berpeluang besar menyebabkan kesulitan tersebut, yaitu: krisis peranan dan

krisis kesadaran. Krisis peranan hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab

pemerintah, meskipun sedikitnya krisis ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Krisis dimaksud adalah tanggung jawab untuk berperan aktif merealisasikan undang-

undang yang telah ada dan dirasa cukup mapan menjamin kebebasan beragama di

Indonesia. Bahkan, tanpa ikut menandatangani HAM sekalipun, pada dasarnya

undang-undang Negara Indonesia terkait masalah kebebasan beragama sudah cukup

memadai jika tidak ada penafsiran-penafsiran yang menyimpang. Krisis peranan pada

gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran

masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting

3 Rumadi, Kompas, Jumat, 15 Oktober 2004.

Page 66: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

62

untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah menjadi

kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga

harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat

fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan orang

lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan, inilah

yang mesti kita sadari.4

Reformasi di Indonesia masih terus berjalan termasuk reformasi di bidang

hukum. Dalam proses yang sedang berjalan dapat juga masyarakat hukum Indonesia

melakukan judicial review terhadap semua UU dan peraturan perundang-undangan

yang potensial bertentangan dengan UUD 45 demi tercapainya sebuah sistim hukum

yang sesuai dengan semangat UUD 45, artinya politik hukum Indonesia yang baik

dan tepat akan mendukung terciptanya negara Indonesia yang sejahtera, karena

hukum merupakan salah satu pilar pembangunan dalam perjalanan reformasi saat ini.

B. Perspektif Sosio-Kultural

Jatuhnya Orde Baru dan dimulainya era reformasi adalah tonggak penting

bagi kehidupan kebebasan beragama hingga sekarang ini, dari yang positif hingga

yang mengancam nilai reformasi itu sendiri.

Bagi sebagian masyarakat muslim di tanah air, era transisi itu seperti menjadi

momentum bagi „kebangkitan‟ Islam di tanah air. Di masa-masa ini identitas

keislaman yang tak tunggal mencuat ke permukaan–sesuatu yang agaaknya mustahil

4 Eko Marhendy in HAM Desember 2007

Page 67: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

63

berkembang di era Orde Baru. Organisasi-organisasi massa Islam, simbol dan label-

label Islam, termasuk media-media Islam baru, bermunculan.

Setidaknya terdapat tiga corak organisasi keagamaan berkembang di era

reformasi. Pertama, kelompok eksklusif, moderat dan progresif. Dalam deretan

kelompok eklusif, bahkan cenderung berhaluan “keras” beberapa nama yang bisa

disebut adalah Laskar Jihad (yang sekarang bubar), Front Pembela Islam (FPI), Front

Hizbullah, Majlis Mujahidin Indonesia, Hizbuttahrir Indonesia Laskar Jundullah,

Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan Forum Pemuda Islam Surakarta. Dalam aksinya

sebagian mereka tak segan-segan melakukan aksi-aksi kekerasan. Di level ideologi,

ciri khas sebagian kelompok ini adalah perjuangan mereka menjadikan Islam sebagai

ideologi negara. Usaha mereka terbilang gigih dan mensasar hingga kalangan akar

rumput. Cukup mendapat respon di lingkungan kampus-kampus umum. Mereka

memanfaatkan momentum kebijakan otonomi daerah dalam mendesakan agenda

islamisasi mereka. Tulisan-tulisan menyangkut keempat ormas ini cukup lengkap,

mengulas mulai dari sejarah kelahiran, aktor, hingga ideologi yang diusung.

Sementara itu peran moderasi tetap dimainkan oleh ormas-ormas besar seperti

NU dan Muhammadiyah. Kelompok keagamaan yang lebih bercorak sufistik seperti

kelompok Majelis Az-Zikra pimpinan Muhammad Arifin Ilham dan kelompok-

kelompok zikir yang sekarang berkembang juga dapat dimasukan dalam kelompok

berhaluan moderat.

Di luar keduanya, tumbuh kelompok-kelompok yang tidak hanya terbuka tapi

juga kritis terhadap isu keagamaan dan sosial. Beberapa nama bisa disebut disini:

Page 68: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

64

Wahid Institute Jakarta, Lakpesdam NU, Institute for Interfaith Dialog (Interfidei) di

Yogyakarta, ICIP (Indonesian Conference on Religion and Peace) dan Maarif

Institute. Tak hanya di Pusat, kelompok ini juga menjamur di tingkat lokal.

Varian arus pemikiran dan kecenderungan ideologi keislaman juga tampak

dalam peta perkembangan media di era reformasi, khususnya media cetak. Secara

sederhana media-media Islam yang tumbuh di pasar nasional saat ini bisa dipilah

dalam dua kategori.5 Pertama, “media islamis” yang mengusung isu-isu penegakan

syariat Islam, jihad, Zionisme, Anti-Amerika. Kedua, “media populer” yang

menyajikan isu-isu keislaman dengan pendekatan yang lebih populer dan cocok

dengan nilai-nilai kemoderenan. Dalam kategori ini, media-media yang ada bisa lagi

dibedakan dalam dua “mistik Islam” dan life style. Ketiga, “media sufisme” yang

menyajikan berita dan artikel-artikel tentang pemikiran dan praktis sufisme. Keempat

“media pluralis” yang berusaha mengusung ide-ide keislaman yang lebih kritis,

terbuka, dan toleran terhadap beragam penafsiran, perbedaan agama dan keyakinan.

Sabili, Hidayatullah, Media Dakwah adalah beberapa nama majalah yang bisa

dikategorikan dalam tipe media pertama. Sabili misalnya, media yang telah terbit

sejak akhir tahun 80-an ini mencapai oplah fantastis pada tahun 2000 dimana konflik-

konflik keagamaan seperti kasus Ambon terjadi. Oplahnya mencapai 100 ribu kopi.

Dalam berita-berita yang dimuat Sabili, Hidayatullah, dan Media Dakwah tampaknya

5 Alamsyah M. Dja‟far, “Mengembangkan Media Islam Pluralis” (Makalah disajikan pada

Workshop “Pengembangan Islam, Pluralisme, dan Demokrasi”, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan

(PSIK) Universitas Paramadina, Hotel Jaya Raya Bogor 6-8 Juni 2007) tidak diterbitkan.

Page 69: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

65

muncul nuansa kebencian, terutama non-muslim, melalui idiom-idiom khas seperti

anti-Zionis, anti-Barat, kafir, atau penyimpangan akidah.

Sedang media yang bisa bisa dikategorikan sebagai kategori media mistik

Islam adalah Majalah Hidayah; 6

Noor untuk media life style; Cahaya Sufi untuk

media sufistik; dan majalah Syirah untuk media pluralis.7

Berbeda dengan media cetak, potret keragaman pandangan keagamaan yang

terefleksi dalam acara-acara di stasiun-stasiun teve nasional tampaknya masih kurang

menggemberikan. Terkait acara keagamaan, materi yang dimunculkan masih

seragam, hanya memunculkan khotib-khotib yang hanya berbicara tentang iman,

takwa, amal soleh, namun sering abai pada situasi konkrit umat seperti kemiskinan,

korupsi, kekereasan dan lain-lain.

Stasiun-stasiun tv sepertinya tak punya visi, bahkan terkesan membatasi untuk

menyajikan keragaman pandangan keagaman yang berbeda. Benar, bahwa kebebasan

media jauh lebih baik dewasa ini ketimbang di era Orde Baru. Tetapi menyangkut

akses publik terhadap pandangan yang berbeda-beda dan kemampuan media untuk

mewakili kemampuan publik untuk mewakili keragaman pandangan publik mengenai

berbagai isu masih berada dibawah standar dan kecenderungannya merosot.8 Dalam

beberapa kasus, media-media juga takut pada protes yang dilancarkan kelompok

6 Hidayah terbit tahun 2001.

7 Syirah terbit sejak tahun September 2001.

8 Transkripsi Diskusi “Kebebasan beragama dalam Bingkai Media bersama AE. Priyono

(Peneliti Demos) Sujud Swastoko (Wapemred Suara Pembaruan) yang diselenggarakan PSIK-

Paramadina, Kamis, 15 Mei 2008

Page 70: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

66

keagamaan tertentu sehingga mereka terpaksa menuruti apa yang menjadi tuntuntan.

Ini pernah dialami SCTV dalam kasus iklan Islam warna-warni, Kompas, dan

beberapa media lokal.

Keragaman yang tampak dalam potret berbagai keagamaan dan

perkembangan media dewasa ini seperti dijelaskan di atas jelas merupakan buah

nyata sekaligus sesuatu yang absah di alam demokrasi. Tidak hanya mereka yang

meyakini bahwa pluralitas harus dijaga dan dikelola dengan baik, demokrasi memberi

ruang bagi kelompok keagamaan atau media yang seakan menolak pluralitas itu

bahkan bisa tumbuh subur. Sayangnya keragaman dan perbedaan pandangan mereka

ini justru sering berujung pada tindak kekerasan, situasi yang justru membahayakan

demokrasi itu sendiri.

Sepanjang era reformasi hingga sekarang, pola kekerasan agama muncul

dalam dua bentuk. Pertama, fenomena penyesatan dan kekerasan terhadap aliran

keagamaan dan kepercayaan tertentu dengan alasan agama. Wahid Institute mencatat

sekitar 27 kasus kekerasan berlangsung sejak 2004 hingga Februari 2006.9 Sepanjang

Januari hingga Nopember 2007, Setara Institute for Democracy and Peace dalam

laporan tahunannya mencatat telah terjadi 135 kasus pelanggaran kebebasan

beragama dan berkeyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak

pelanggaran dalam 12 kategori. Jumlah terbanyak kelompok (korban) yang

mengalami pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah al qiyadah al

9 Tabel Data Kekerasan Atas Nama Agama Pasca Pemilu Presiden 2004, Wahid Institute,

Jakarta, 2006

Page 71: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

67

Islamiyah, sebuah aliran keagamaan dalam Islam yang dipimpin Ahmad Moshaddeq.

Aliran ini ditimpa 68 kasus pelarangan, kekerasan, penangkapan dan penahanan.

Kelompok berikutnya adalah jemaah Kristen/ Katholik yang mengalami 28

pelanggaran, disusul Ahmadiyah yang ditimpa 21 tindakan pelanggaran.10

Sebelumnya bentuk kekerasan mengambil modus aksi terorisme dan konflik

antar agama. Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2003 untuk Indonesia yang

diterbitkan Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan Perburuhan Amerika Serikat,

misalnya, cukup gamblang menggambarkan bagaimana kekerasan model ini

berlangsung.11

Kedua, kristenisasi dan penutupan rumah ibadah. Dalam laporan pengurus

Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan Wali Gereja Indonesia kepada Komnas HAM

pertengahan Desember 2007, sejak 2004 – 2007 telah terjadi 108 kasus penutupan,

penyerangan, dan pengrusakan gereja. Paling banyak terjadi di wilayah Jawa Barat,

Banten, Poso, Jawa Tengah dan Bengkulu.

Aksi kekerasan keagamaan itu sepertinya berbanding lurus dengan

meningkatnya gerakan islamisme yang juga kian menjamur hingga ke pelosok

daerah. Isu yang diangkat beragam, mulai dari kristenisasi dan pemurtadan, anti-

maksiat, aliran sesat, atau penegakan syariat Islam.

10

Bonar Tigor Naipospos (ed), “Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara

atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan”, SETARA Institute, Jakarta, 18 Desember

2007

11

Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2003 Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan

Perburuhan Public Affairs Section Kedutaan Amerika Serikat

Page 72: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

68

Di daerah, kelompok-kelompok islamis ini menjadi aktor penting bagi

lahirnya sejumlah perda bernuansa Syariat. Sebut saja Komite Penegakan Syariat

Islam (KPPSI) pimpinan Aziz Kahar, putera Kahar Muzakar pemimpin DI/TII, di

Sulawesi Selatan . Organisasi ini dengan tegas menyatakan misinya sebagai

organisasi yang memperjuangkan Syariat Islam di Sulsel secara legal formal melalui

perjuangan politik konstitusional, demokratis, dan tetap dalam bingkai NKRI. Perda-

perda yang lahir di Sulsel sebagian besar ditopang KPPSI. Dengan kendaraan ini pula

Aziz Kahar juga terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Sulsel pada

2004 setelah Aksa Mahmud. Aziz meraih suara 636.856 suara. Tahun 2007, Azis

mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Kalsel berpasangan dengan Mubyl

Handaling.

Menariknya, KPPSI berhasil memperoleh dukungan dari sejumlah tokoh

organisasi besar yang selama ini dikenal sebagai organisasi moderat seperti Nahdlatul

Ulama dan Muhammadiyah. Strategi mencari legitimasi dari ormas besar ini juga

dipakai kelompok-kelompok Islamis di derah lain. Dalam kasus Monas, bisa dilihat

pula bagaimana Riziek Sihab berupaya mencari dukungan opini dari pernyataan ketua

PBNU Hasyim Muzadi terkait posisi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan

Beragaman dan Berkeyakinan (AKKBB).

Di Sulawesi Selatan, KPPSI berhasil mengajak tokoh NU dan

Muhammadiyah untuk ikut menandatangi surat dukungan kepada usaha penegakan

syariat Islam yang dilakukan KPPSI. Mereka antara lain KH. Sanusi Baco, Lc.,

pimpinan pimpinan NU Sulsel, dan KH. Jamaludin Amien dan pimpinan Wilayah

Page 73: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

69

Muhammadiyah Sulsesl.12

Fenomena serupa juga tampak dalam pernyataan-

pernyataan sikap Forum Umat Islam (FUI) di Jawa Barat terkait isu-isu keagamaan

tertentu.

Agar lebih “efektif” di lapangan, kelompok Islamis ini biasanya membentuk

kelompok-kelompok sayap militer. KPPSI misalnya membentuk Lasykar Jundullah

dan Aliansi Muslim Bulukumba yang menjadi organ taktisnya. Di Jawa Barat berdiri

Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP) Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan

(AGAP) diklaim didukung 27 organisasi massa Islam antara lain Front Pembela

Islam, Barisan Pemuda Persis, Jamaah Tabligh, dan Hizbut Tahrir. Jumlah

anggotanya diklaim mencapai 50 ribu laskar yang tersebar di Bandung, Purwakarta,

Garut, dan Sumedang.13

Sekali lagi perlu ditegaskan, kekerasan umumnya tidak berdimensi tunggal.

Ada banyak faktor pemicunya. Di luar soal doktrin keagamaan, lemahnya sikap tegas

aparat terhadap aksi-aksi kekerasan ini merupakan faktor lainnya. Tidak jarang pula

dijumpai adanya kecenderungan sikap keberpihakan aparat terhadap pandangan

mayoritas dan tekanan kelompok-kelompok islamis sehingga mengorbankan mereka

yang sesungguhnya adalah korban kekerasan.

Netralitas negara dalam penyelenggaraan kehidupan keberagamaaan juga

patut dipertanyakan dalam konteks hubungan kepala negara terhadap ormas atau

12

Dr. Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,

Jakarta; PSAP, 2007 h. 314-315

13

H Muhammad Mu'min: “Kami Akan Menyandera Pendeta”, TEMPO, 11 September 2005.

Page 74: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

70

lembaga keagamaan, khususnya Majlis Ulama Indonesia (MUI). Dalam sebuah forum

pertemuan dengan pihak MUI yang baru menggelar Rapat Kerja Nasional MUI

september tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan

dukungannya atas keluarnya 10 Kriteria versi MUI.14

Sikap ini menunjukkan

kecenderungan keberpihakan negara terhadap agama tertentu yakni Islam. Dari ini

bisa juga dimulai untuk melihat posisi Majlis Ulama Indonesia dalam struktur

kelembagaan dan tata pemerintahan Indonesia.

Seperti di ketahui, konteks khusus terbentuknya MUI di era Orde Baru telah

menjadikan lembaga ini “istimewa” dan seperti setara dengan lembaga independen

lain yang juga dibiayai negara melalui APBN seperti halnya Komnas HAM atau

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).15

Padahal jika merujuk pada anggaran dasar MUI,

lembaga ini jelas dinyatakan sama kedudukannya sebagai organisasi massa seperti

NU dan Muhammadiyah. Jika alasan ini bisa diterima, maka pola hubungannya

negara terhadap MUI tak berbeda dengan ormas lainnya. Hanya saja dalam realitas

politik Indonesia, pemerintah, baik langsung maupun tak langsung, kerap kali

merujuk fatwa-fatwa MUI untuk mengambil kebijakan.16

Bahkan pasca dikeluarkannya 11 fatwa MUI pada Juli 2005 lalu, presiden

memberikan dukungan penuh atas fatwa-fatwa tersebut. Wajar jika sejumlah tokoh

14

http://www.mui.or.id/mui_in/about.php?id=2 diakses 7 Juli 2008

15

http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0711/03/nas11.htm. Diakses pada 1 Juli

2008

16

http://www.mui.or.id/mui_in/about.php?id=2 diakses 7 Juli 2008

Page 75: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

71

seperti Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, Syafii Anwar, Ulil

Abshar-Abdala, dan Weinata Sairin menolak fatwa-fatwa tersebut karena dinilai

bertentangan dengan semangat kebhinekaan Indonesia, UUD 1945 dan Pancasila. Tak

ketinggalan, Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU juga menilai mundur fatwa MUI

tersebut terutama bagi kehidupan antar umat beragama.17

C. Perspektif Politik

Bergulirnya era reformasi berpengaruh terhadap kehidupan berdemokrasi

masyarakat Indonesia. Kesadaran untuk mengemukakan pendapat di muka umum,

berserikat, berorganisasi, bahkan mendirikan partai politik menjadi warna tersendiri

di era ini. Tercatat pada pemilu 1999 ada 48 partai politik (parpol) peserta pemilu,

pemilu 2004 menciut menjadi 24 parpol saja. Namun demikian jumlah tersebut

sudah merupakan jumlah yang signifikan dibanding dengan era Orde Baru.

Kebijakan publik seperti perundangan-undangan yang dihasilkan oleh parpol di

parlemen pun mengalami kemajuan, meski belum sesuai dengan yang kita harapkan.

Paling tidak terkait dengan masalah kebebasan beragama yang dalam UUD 1945

dipatrikan pada pasal 28 dan 29 sebagai telah diuraikan sebelumnya tidak mengalami

perubahan. Ini menunjukkan bahwa pada umumnya partai politik kita cenderung

untuk tetap mempertahankan koridor kebebasan beragama sebagaimana telah

dirancang para pendiri bangsa (founding fathers) ini sejak tahun 1945 silam.

Sayangnya, persoalan kebebasan beragama nampaknya tak cukup hanya diatur

melalui pasal-pasal dalam UUD tersebut. Entah karena cara menafsirkan dan

17

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0507/30/utama/1937905.htm.

Page 76: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

72

implementasinya yang berbeda-beda pada tataran pelaksanaan atau kekurangjelasan

para implementator di lapangan terhadap isi dari pasal-pasal dimaksud. Yang terang,

sejumlah peristiwa yang mencederai konsep kebebasan beragama atau berkeyakinan

terus berlangsung hingga hari ini. Kekerasan bernuansa agama yang masih kerap

terjadi di berbagai daerah dan menimpa berbagai kelompok masyarakat dan

komunitas agama. Lantas bagaimana sikap partai-partai politik (dan fraksi-fraksi di

DPR RI) era Reformasi menyikapi hal itu?

Terhadap peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan

sepanjang tahun 2007 Komisi III DPR RI menyatakan prihatin akan hal itu. Seperti

dilaporkan SETARA Institute, sepanjang Januari hingga November 2007 sebanyak

135 peristiwa terjadi di tahun itu. Keprihatinan itu disampaikan anggota Komisi III

DPR saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan SETARA Institute,

Perwakilan Hakim Adhoc PHI dan Human Right Working Group, pada 22 Januari

2008 yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III Suripto (F-PKS).

Atas peristiwa tersebut Azlaini Agus dari Fraksi Partai Amanat Nasional

menanyakan kenapa sekarang dengan alasan agama kita bisa memerangi orang lain,

padahal negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya masalah ini

persoalan yang serius untuk segera ditangani dan ada hal-hal yang perlu dievaluasi.

Karena berdasarkan amanah konstitusi, sesungguhnya negara wajib melindungi setiap

warga negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.18

18

www.dpr.go.id, 23 Januari 2008. Diakses pada 30 Juni 2008

Page 77: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

73

Soal SKB Tiga Menteri yang mengatur keberadaan Ahmadiyah dua partai

politik nampak berseberangan pendapat. Sebelum SKB tersebut dikeluarkan, Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tetap meminta pemerintah membatalkan

rencana Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai Ahmadiyah itu. Jika pemerintah

mengeluarkan putusan tersebut, Ahmadiyah dan seluruh elemen masyarakat

pendukung pluralisme wajib mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pernyataan dari PDIP itu ditegaskan oleh anggota Fraksi PDIP Said Abdullah pada 6

Juni 2008 lalu. Ia mengatakan negara atau siapa pun tidak berhak mengatur

keyakinan beragama seseorang.

Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebelum SKB itu

dikeluarkan, tetap mendesak pemerintah segera mengeluarkan SKB Ahmadiyah,

untuk menghindari konflik sosial yang lebih luas dan supaya tidak terkesan

pemerintah membiarkan aliran Ahmadiyah sehingga memicu munculnya berbagai

aliran sesat lainnya di Indonesia. Ketua DPP PPP Hasrul Azwar mengatakan,

pihaknya akan tetap mendesak pemerintah mengeluarkan SKB Ahmadiyah.

Menurutnya, bagi umat Islam ajaran Ahmadiyah sangat meresahkan dan memicu

perpecahan umat, khususnya dalam hal shalat dan ibadah lainnya.19

Kasus-kasus kekerasan dengan mengatasnamakan agama juga mendapat

perhatian dari kalangan parpol dan fraksi-fraksi di DPR. Yang teranyar adalah

terhadap peristiwa kekerasan yang menimpa aktivis Aliansi Kebangsaan untuk

Kebebasan Beragama dan Berkeyainan (AKKBB) di Silang Monas, 1 Juni 2008 lalu.

19

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0806/06/sh05.html. Diakses pada 30 Juni 2008

Page 78: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

74

Atas peristiwa yang memakan 70-an korban dan 14 diantaranya harus dirawat

di rumah sakit itu Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, menyatakan keprihatianan yang

mendalam sehubungan dengan terjadinya tindak kekerasan dalam bentuk

penyerangan oleh kelompok Front Pembela Islam. Fraksi ini melalui Pimpinan DPR

mendesak pemerintah untuk: (1) Secara tegas tanpa ragu-ragu melalui Aparat

Kepolisian RI segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kelompok yang

melakukan tindak kekerasan sesuai dengan hukum berlaku; (2) secara tegas tanpa

ragu-ragu memberikan sikap dan pengaturan terhadap permasalahan Ahmadiyah,

sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab negara yang berdasarkan Pancasila dan

UUD Tahun 1945, dan kewenagan yang diberikan oleh peraturan perundangan yang

berlaku dalam mewujudkan perlindungan dan jaminan terhadap seluruh umat

beragama; (3) melaksanakan penegakan hukum secara tegas dan konsekwen tanpa

diskriminasi, sehingga dapat memelihara rasa keadilan masyarakat sebagai prasyarat

terwujud kerukunan hidup umat beragama dalam masyarakat Indonesia yang

majemuk, serta menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.20

Senada dengan fraksi PDIP, Ketua Fraksi PKB DPR A Effendy Choirie

memprotes keras tindakan anarkis yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI)

dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap AKKBB. Tindakan itu menurutnya jelas

melanggar hak asasi manusia, konstitusi bangsa dan mencerminkan pemahaman

keagamaan yang dangkal. Karena itu negara dan aparat kepolsian harus bertindak

20

http://www.fpdiperjuangan.or.id/web/index.php. Diakses pada 30 Juni 2008

Page 79: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

75

tegas dengan menangkap serta memproses mereka secara hukum.21

Bahkan Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) Jateng kubu Ali Maskur Moesa mendukung langkah

tegas pihak polisi dengan menangkap aktivis Front Pembela Islam (FPI) pelaku

kekerasan AKKBB di Silang Mona situ. Ketua DPW PKB Jawa Tengah kubu Ali

Maskur Moesa, KH Yusuf Cudlori menyatakan siapapun yang melakukan tindakan

kekerasan terhadap sesama warga negara, tanpa ada alasan jelas harus di proses

secara hukum.22

Sementara itu Fraksi PKS menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan Front

Pembela Islam (FPI) harus dilihat sebagai reaksi atas ketidaktegasan pemerintah

terhadap Ahmadiyah. Pemerintah dihimbau untuk segera mengambil keputusan tegas

mengenai keberadaan aliran-aliran sesat di Indonesia seperti Ahmadiyah. Karena jika

hal itu tidak dilakukan konflik sosial tidak mustahil akan terjadi lagi. Hal ini

diungkapkan Ma'mur Hasanuddin, Anggota komisi III DPR RI menanggapi insiden

Monas 1 Juni itu.23

Dari beberapa pernyataan dan sikap di atas masih menunjukkan bahwa suara

prapol dan fraksi-fraksi di DPR baru sampai pada tataran keprihatinan dan himbauan

kepada pemerintah untuk bersikap tegas. Padahal, kita berharap parpol melalui

wakilnya di DPR dapat mendorong terwujudnya kebebasan beragama dan

berkeyakinan melalui langkah-langkah kongkrit seperti membuat peruandang-

21

www.okezone.com, 2 Juni 2008. Diakses pada 30 Juni 2008

22

http://www.beritaglobal.com/index.php?. Diakses pada 1 Juli 2008

23

http://fpks-dpr-ri.com/main.php?op=isi&id=5048. Diakses pada 1 Juli 2008

Page 80: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

76

undangan yang memiliki kekuatan untuk mengatur kehidupan beragama di Indonesia.

Bukankah di penghujung tahun 2005, Komisi VIII DPR RI melalui ketuanya Hazrul

Azhar menyatakan siap mengusulkan UU Kebebasan Beragama untuk menggantikan

Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor

1/BER/MDN-MAG/1969 tentang "Pendirian Rumah Ibadah" yang saat itu

disempurnakan pemerintah?.24

Tentunya kita menunggu usaha-usaha itu untuk

direalisasikan di tengah adanya pula parpol dan fraksi di DPR yang kurang atau

belum memahami pentingnya jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi

warga masyarakat.

24

www.kapanlagi.com, 27 Desember 2005. Diakses pada 1 Juli 2008

Page 81: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebebasan beragama menurut

Islam telah tetapkan dalam al-Qur an surat al Baqoroh: ayat. 256. surat: Yunus:ayat

99, dan surat Al-Kafirun: ayat, 1-6 dan juga dalam piagam madinah yang merupakan

al-Sunnah mengandung prinsip kebebasan beragama.

Agama yang diakui di Indonesia adalah Islam, Katolik, protestan, hindu

budha dan konghucu diluar itu ada agama yang lain yang juga dianut oleh rakyat

Indonesia antara lain yahudi, baha’I, dan juga aliran kepercayaan animisme dan

dinamisme.

Jaminan kebebasan beragama di Indonesia daiatur dalam UUD 1945 Pasal

28E ayat (1) dan Ayat (2), dan juga pasal 29 yang menjelaskan bahwa indonesia

adalah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai Negara yang

termasuk dalam anggota PBB Indonesia juga telah meratifikasi instrument HAM

tentang kovenan hak sipil dan politik yang juga mengandung kebebasan beragama.

Maka dalam era reformasi ini lahir pula undang-undang HAM no 39 tahun

1999 Pasal 4 yang juga mengatur kebaban beragama kemudian Kemudian secara

khusus hak beragama ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1): Setiap orang bebas memeluk

agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Page 82: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

79

Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya

masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Meski secara konstitusional HAM beragama mendapat jaminan yang pasti, akan

tetapi realitasnya ketegangan teologis antar, intra agama. Bahkan di era

pascaamandemen UUD 1945, persekusi terhadap aliran sempalan kerap terjadi baik

berupa pengrusakan rumah ibadah, institusi pendidikan, tempat kediaman, ataupun

pisik. Kekerasan ini terjadi secara massif, sistemik, terorganisir

B. SARAN

Meski sejumlah kemajuan penting dalam isu kebebasan beragama berhasil

dicapai sepanjang era reformasi, namun problem-problem masih menjadi pekerjaan

rumah yang segera di selesaikan, mulai dari persoalan regulasi hingga aksi kekerasan

yang makin meningkat.

Ini berarti, masalah kebebasan beragama tidak hanya problem negara tapi juga

masalah bagi seluruh anak bangsa. berikut adalah saran-saran:

1. Perlunya Penataan kelembagaan mengenai hubungan Negara dan Agama

yang merupakan masalah serius dalam demokrasi Indonesia.

2. Perlunya undang-undang, PP, Per-Pres, Perda dan peraturan yang lain

tidak saling berbentur dan kondusif dan humanis sesuai dengan tuntutan

kebutuhan zaman.

3. Aktor-aktor negara, termasuk di kalangan pemerintahan dan parlemen,

harus memiliki visi yang jelas mengenai politik negara terhadap agama. tidak

muncul arus baru yang berbahaya dalam politik agama terhadap negara,

Page 83: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

80

khususnya dari kalangan kelompok-kelompok Islam garis keras. Jika tuntutan

mereka diberi angin, kemungkinan besar wacana Islam politik di Indonesia

akan sangat didominasi oleh “Islam-negara” yang akan menyebabkan peranan

“Islam-sipil” menjadi terancam.

4. Perlu pembaruan tafsir yang terus menerus untuk menjalankan kembali

misi profetiknya dalam situasi yang terus berubah. Kebebasan beragama dan

berkeyakinan harus juga mencakup wilayah kebebasan jenis ini.menghadapi

realitas empirik kehidupan masyarakat beragama yang pluralistik, seorang

agamawan dituntut memiliki sikap yang lebih realistik. Pemecahan masalah

realitas keagamaan tidak cukup menggunakan pendekatan doktriner-normatif

untuk menghindari truth clime (benar secara subjektif yang dangkal). Akan

tetapi penting juga pendekatan historis kritis dengan membuka tabir

latarbelakang sosio-cultural, politik, ekonomi masyarakat yang mengitarinya.

Integrasi pendekatan ini memungkinkan melahirkan kearifan atau membuka

makna fenomena keberagamaan sehingga melahirkan keadaan yang lebih

kondusif dan humanis sesuai dengan tuntutan kebutuhan zaman.

5. Umat Muslim dituntut bersedia mengembangkan dialog-dialog secara

terbuka dengan penuh kesabaran dan taqwa dalam setiap langkah

perjalanannya. Peran sejarah peradaban Islam masa lalu dapat menjadi modal

dalam merealisasikan ajaran-ajaran etika keagamaan dalam memberikan

sumbangan yang berharga bagi proses pencarian nilai-nilai keagamaan yang

lebih esensial dan fundamental. Bahkan secara keras, umat muslim

Page 84: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

81

diperingatkan oleh Al-Quran untuk tidak mencemoohkan golongan lain, karena

boleh jadi mereka yang dicemoohkan jauh lebih baik dari yang mencemoohkan

6. Partai-partai politik hendaknya tidak mempolitisasi agama dan tidak

memperkeruh hubungan intra, antar agama dan agama dan Negara.

7. Media Massa. Sebagai pilar penting demokrasi, harus berperan aktif

menyuarakan isu-isu kebebasan beragama, dan meminimalisir berita-berita

kekerasan agama dan kelompok-kelompok garis keras. Menghindari idiom-

idiom yang berdampak negatif bagi toleransi masyarakat seperti kata “aliran

sesat”; tindak tunduk pada tuntutan sekelompok orang untuk menghakimi

kelompok yang lain dengan cara-cara kekerasan.

Page 85: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

81

DAFTAR PUSTAKA

Adji,Oemar Seno 1981, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga.

Al-Din, Muhammad Abdullah Darraz,; Buhuts Mumahhidah li al-Dirasat al-Adyan.

Kairo: tp, 1952

Al-Daqs, Kamil Salamah, Ayat al-Jihad fi al-Qur an al-Karim. Kuwait, Dar al-Bayan,

1972

Al khanif, S.H,. MA.,LLM. Hukum dan kebebasan beragama di Indonesia Yogyakarta.

Laksbang 2010

Asshiddiqie,Jimly. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Kelompok

Gramedia, 2007

al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali, Kitab al-Ta’rifat. Dar al-Diyah li al-Turats

Abdullah, Amin, “Etika dan Dialog Antar Agama Perspektif Islam”, dalam Dialog: Kritik

dan Identitas Agama. Yogyakarta: Interfidie, 2004.

Abdullah, Fatimah. Konsep Islam Sebagai Din, Kajian Terhadap Pemikiran al-Attas,

Islamia. September-November 2004

al Maududi, Abd A’la, 2003, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Penerbit Kompas.

Bahar Safroedin (et.al) (editor), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 Jakarta: Sekretariat Negara RI,

1995

Baso, Ahmad. Problem Islam dan Politik: Perspektif Kritik Nalar Politik Mohammed

Abed alJabiri, dalam Taswirul Afkar, Edisi No. 4/1999.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai

Pustaka, 1990

Harun,Hermanto. Perdamaian dan Perang Dalam Konsep Islam, Studi Analisis Buku

“Nizam al-Silm wa al-Harb fi al-Islam”. Thesis Pascasarjana IAIN Sunan Ampel

Surabaya, 2005

---------, Perdamaian dan Perang Dalam Konsep Islam, Studi Analisis Buku “Nizam al-

Silm wa al-Harb fi al-Islam”. (Thesis Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Iskandar

Zulkarnai, “Pengantar”, dalam Aris Mustofa dkk, Ahmadiyah Keyakinan Yang

Digugat. Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, 2005

Page 86: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

82

Haryomataram,KGPH Hak Asasi Manusia Internasional (Materi Perkuliahan), FH

Usakti, Jakarta,1998

Haryono,M. Yudi R Bahasa Politik Alquran: Mencurigai Makna Tersembunyi Dibalik

Teks, Bekasi: Gugus Press, 2002.

Hidayati Tri Wahyu, apakah kebebasan beragama sama dengan pindah agama. Sala

tiga. JP Books 2008.

Kusumohamidjojo,Budiono. 2004, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil,

Jakarta: Grasindo.

Muhammad,Jamaluddin Athiah. Nahwa Fiqh Jadid li al-Aqalliyat. Kairo, Dar al-Salam,

2003

Muhammad Abi Ja’far bin Jarir al-Tabary, Tafsir al-Tabary, jilid 4. Beirut, Dar al-Fikr,

1987

Moh. Mahfud M.D., 2006, Membangun Politik Hukum Membangun Konstitusi, Jakarta:

LP3ES

Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif

Hukum dan Masyarakat) Bandung: Refika Aditama, 2005

Munawir Sadzali, 1990, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press

Miftahusurur dan Sumihrja. Delik-delik keagamaan di dalam RUU KUHP Indonesia,

Jakarta: Desantara Aliansi Reformasi KUHP dan DRSP-USAID, 2007.

Muladi (ed), Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif

Hukum dan Masyarakat) Bandung: Refika Aditama, 2005

Mas’udi, Masdar F., “Agama dan pluralitasnya” dalam Interfidei, 1995, Mendidik Manusia Merdeka: Roma YB. Mangunwijaya 65 Tahun, Yogyakarta: Interfedei

Naipospos Bonar Tigor (ed), “Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara

atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan”, SETARA Institute,

Jakarta, 18 Desember 2007

Nashir, Haedar Dr., Gerakan Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,

Jakarta; PSAP, 2007

Page 87: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

83

Rahardjo,Satjipto Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya Yogyakarta: Genta

Press, 2008

Ridha,Muhammad Rasyid Tafsir al-Qur an al-Karim, Tafsir al-Manar. Beirut, Dar al-

Fikr

Rocky gerung (ed) hak asasi manusia terori, hokum. Kasus. Jakarta: UI Press.

Soehino, Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, cet.ke-7, 2005

Smith, Wilfred Cantwell The Meaning and End of Religion. London: SPK, 1978

Talbi,Mohemed. Kebebasan Beragama, dalam Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam

Kontemporer Tentang Isu-Isu Global. Jakarta, Paramadina, 2003

Thoha, Anas Malik, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis. Depok, Perspektif Gema

Insani, 2005

Thayeb Ansyari, ed., HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya, PPSK, 1999

Wahid Abdurrahman, “Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas”, Kata Pengantar dalam

Masdar F.Mas’udi, 1993, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam,

Jakarta: Pustaka Firdaus

Wahid, Marzuki dan Rumadi, 2001, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum

Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS 2005

Yusuf, Muhammad Sayyid. Manhaj al-Qur an al-Karim fi Islah al-Mujtama. Kairo : Dar

al-Salam, 2002

.LAPORAN:

Laporan kebebasan beragama Internasional 2008 (pemerintah Indonesia) yang

diterbitkan pemerintah Amerika

MAJALAH DAN KORAN

TEMPO, 11 September 2005

Eko Marhendy in HAM Desember 2007

INTERNET:

http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0711/03/nas11.htm. Diakses 2008

http://www.mui.or.id/mui_in/about.php?id=2 diakses 7 Juli 2008

Page 88: KATA PENGANTAR - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3950/1/HADI...i KATA PENGANTAR . Al hamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.

84

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0507/30/utama/1937905.htm

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0806/06/sh05.html. Diakses Juni 2008

http://www.fpdiperjuangan.or.id/web/index.php. Diakses Juni 2008

www.okezone.com, 2 Juni 2008. Diakses pada Juni 2008

http://www.beritaglobal.com/index.php?. Diakses pada Juli 2008

http://fpks-dpr-ri.com/main.php?op=isi&id=5048. Diakses pada Juli 2008

www.kapanlagi.com, 27 Desember 2005. Diakses pada Juli 2008

MAKALAH:

Alamsyah M. Dja’far, “Mengembangkan Media Islam Pluralis” (Makalah disajikan pada

Workshop “Pengembangan Islam, Pluralisme, dan Demokrasi”, Pusat Studi Islam dan

Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Hotel Jaya Raya Bogor 6-8 Juni 2007) tidak

diterbitkan.

Transkripsi Diskusi “Kebebasan beragama dalam Bingkai Media bersama AE. Priyono

(Peneliti Demos) Sujud Swastoko (Wapemred Suara Pembaruan) yang diselenggarakan

PSIK-Paramadina, Kamis, 15 Mei 2008