KATA PENGANTAR DIREKTUR PEMBERDAYAAN WAKAFsimbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panduan...

129

Transcript of KATA PENGANTAR DIREKTUR PEMBERDAYAAN WAKAFsimbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/panduan...

i

KATA PENGANTAR DIREKTUR PEMBERDAYAAN WAKAF

Assalaamu'alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt atas rahmat dan inayah-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw dan keluarganya.

Buku Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis ini disusun sebagai panduan bagi para pengelola wakaf (Nazhir) agar dapat memberdayakan tanah-tanah wakaf secara produktif. Sebagaimana kita ketahui bersama, banyak tanah wakaf di Indonesia yang belum diberdayakan sehingga kurang memberi manfaat nyata di tengah-tengah masyarakat.

Diharapkan buku ini menjadi salah satu rujukan dalam mengembangkan wakaf masa depan untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Buku ini berisi kajian strategis mengenai pengelolaan dan pemberdayaan wakaf dan sekaligus panduan praktis bagi pengoptimalan fungsi Nazhir agar berfungsi sebagaimana mestinya.

Kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian buku ini, kami ucapkan terima kasih. Semoga Allah swt senantiasa meridhai usaha kita semua. Amin.

Wassalaam,

Jakarta, Juli 2006

Direktur, Dr. H. Sumuran Harahap, MH, MM NIP. 150 150 192 389

ii

KATA SAMBUTAN DIRJEN BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM

Assalaamu'alaikum Wr. Wb.

Salah satu upaya yang dilakukan Departemen Agama dewasa ini adalah memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrument dalam membangun kehidupan social ekonomi umat. Dalam hubungan ini Departemen Agama akan terus berupaya mendorong dan memfasilitasi pemberdayaan tanah wakaf produktif strategis yang tersebar di wilayah tanah air.

Bagian-bagian penting dari konsep pemberdayaan tanah wakaf produktif strategis, terutama mengenai potensi dan peluang maupun hambatan dan tantangan pengembangannya perlu ditulis secara sistematis dan dipublikasikan agar dapat dipahami oleh semua pihak yang terkait.

Untuk itu, kami menyambut baik penerbitan buku ini karena memuat hal-hal pokok yang perlu disosialisasikan di lingkungan masyarakat, organisasi massa Islam, dan para Nazhir yang mengelola tanah wakaf.

Dengan kehadiran buku ini diharapkan perhatian terhadap pemberdayaan tanah wakaf lebih meningkat sesuai dengan harapan dan keinginan kita bersama.

Semoga Allah swt menyertai niat dan upaya yang kita lakukan.

Wassalaam, Jakarta, Juli 2006 Direktur Jenderal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar NIP. 150

1

DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………. i Kata Sambutan……………………………………………………………. ii

Bagian Pertama Pendahuluan…………………………………………………………….. 1 A. Aspek Histories Tanah Wakaf………………………………… 1 B. Aspek Teologis Tanah Wakaf…………………………………. 7 C. Aspek Sosiologis Tanah Wakaf……………………………….. 12 Bagian Kedua Dasar Hukum Wakaf………………………………………………….. 17 A. Dasar Hukum Islam……………………………………………….. 17 B. Dasar Hukum Pemerintah RI

1. Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 20 2. Undang-undang No. 60 Tahun 1960 tentang

Pokok Agraria……………………………………………….…… 26 3. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977…….……. 28 4. Inpres RI No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI…….…….. 30

Bagian Ketiga Potensi dan Peluang……………………………………………………. 35

A. Banyaknya Harta Wakaf yang Belum Dikelola Secara Optimal……………………………………………………….. 35

B. Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Pengelolaan Wakaf Produktif…………………………………… 39

C. Kesadaran Umat Islam Terhadap Penerapan Sistem Ekonomi Syariah…………………………………………. 43

D. Dukungan Pemerintah dan Kondisi Politik dalam Pemberdayaan Civil Society ……………………………. 48

2

E. Banyaknya perbankan Syari’ah yang Siap Mengelola Wakaf Produktif……………………………… 50

Bagian Keempat Hambatan dan Tantangan…………………………………………… 59

A. Paham Umat Islam Tentang Wakaf………………………….. 59 B. Banyak Tanah Wakaf yang Tidak Strategis

dan Pro-kontra Mengenai Pengalihan Wakaf untuk Tujuan Produktif………………………………… 67

C. Banyaknya Tanah Wakaf yang Belum Bersetifikat………. 74 D. Nazhir Masih Tradisional-Konsumtif.……………………….. 75 Bagian Kelima Pengembangan……………………………………………………………. 78 A. Program Jangka Pendek…………………………………………… 79 B. Program Jangka Menengah dan Panjang……………………. 89 C. Strategi Pengembangan dan Pemberdayaan……………….. 114 Bagian Keenam Daftar Pustaka……………………………………………………………… 122

Bagian Pertama

PENDAHULUAN

A. Aspek Historis Tanah Wakaf

Perwakafan tanah dan tanah wakaf di Indonesia adalah termasuk dalam bidang Hukum

Agraria, yaitu sebagai perangkat peraturan yang mengatur tentang bagaimana penggunaan dan

pemanfaatan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia, untuk kesejahteraan bersama seluruh

rakyat Indonesia, bagaimana hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa

serta hubungan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

Oleh karena perwakafan di Indonesia umumnya berobyek tanah, maka masalah perwakafan tanah

diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA) dalam pasal 49 ayat (3) yang berbunyi :

“Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Pelaksanaan dan pengaturan perwakafan tanah hak milik di Indonesia dapat dibagi dalam tiga

kurun waktu:

- Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

- Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, sebelum adanya Peraturan pemerintah No.

28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

1

- Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah

No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan

Tanah Milik.

Sebelum Kemerdekaan RI

Lembaga perwakafan sebenarnya sudah sering

dilaksanakan oleh orang-orang Indonesia yang beragama Islam jauh sebelum kemerdekaan. Hal

ini wajar karena di Indonesia banyak berdiri

kerajaan-kerajaan Islam, seperti Demak, Pasai dan sebagainya.

Sekalipun lembaga perwakafan itu merupakan lembaga yang berasal dari ajaran agama Islam,

tetapi seolah-olah sudah merupakan kesepakatan di antara para ahli hukum bahwa lembaga

perwakafan tersebut merupakan masalah dalam Hukum Adat Indonesia, sebab diterimanya

lembaga ini berasal dari suatu kebiasaan dalam pergaulan kehidupannya. (Ahmad azhar Basyir,

1977, 13, sebagaimana dikuti oleh Drs. A. Faishal Haq dan Drs. H. A. Saiful Anam, 1994, 30-31).

Maka tidak jarang orang membangun masjid atau pesantren untuk kepentingan bersama secara

bergotong royong.

Sejak zaman dahulu persoalan tentang wakaf ini telah di atur dalam Hukum Adat yang sifatnya

tidak tertulis dengan mengambil sumber dari Hukum Islam. Di samping itu oleh Pemerintah

Kolonial dahulu telah pula dikeluarkan berbagai

2

peraturan yang mengatur tentang persoalan

wakaf, antara lain :

(a) Surat Edaran Sekretaris Governemen pertama tanggal 31 Januari 1905, No. 435,

sebagaiman termuat di dalam Bijblad 1905 No. 6196, tentang Toezict op den bouw van

Muhammedaansche bedehuizen. Dalam Surat Edaran ini sekalipun tidak diatur secara

khusus tentang wakaf, akan tetapi dinyatakan bahwa pemerintah tidak bermaksud melarang

atau menghalang-halangi orang Islam memenuhi keperluan keagamaannya. Tetapi

untuk pembuatan tempat-tempat ibadah, baru boleh dilaksanakan apabila benar-benar

dikehendaki oleh kepentingan umum. Surat Edaran tersebut ditujukan kepada para

Kepala Wilayah di Jawa dan Madura kecuali

daerah Swapraja, sepenjang belum dilakukan pendaftaran tanah-tanah atau rumah ibadah

Islam yang ada di Kabupaten masing-masing. Dalam daftar tersebut supaya diusulkan asal-

usulnya, ada pekarangannya atau tidak, serta ada wakafnya atau tidak. Kecuali itu, Bupati

diwajibkan pula untuk benda-benda tak bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari

peredaran umum,baik dengan nama wakaf ataupun dengan nama yang lain.

(b) Surat Edaran dari Sekretaris Governemen tanggal 4 Juni 1931 No. 1361/A, yang dimuat

dalam Bijblad 1931 No. 125/3 tentang Toezict van de Regeering op Mohammedaansche

bedehuizen, Vrijdagdiensten en wakafs. Syrat

3

Edaran itu pada garis besarnya memuat

ketentuan agar Bibblad tahun 1905 No. 6169

diperhatikan dengan baik, dengan maksud supaya mendapatkan suatu register yang

berguna untuk memperoleh kepastian hukum dari harta wakaf ini. Untuk mewakafkan harta

tetap diperlukan izin Bupati, yang menilai permohonan itu hanya dari segi tempat harta

tetap itu dam maksud pendirian. Bupati memberi perintah supaya wakaf yang

diizinkannya dimasukkan ke dalam daftar, yang dipelihara oleh Ketua Pengadilan

Agama. Dari setiap pendaftaran diberitahukan kepada Asisten Wedana untuk bahan baginya

dalam pembuatan laporan kepada Kantor Landrente.

(c) Surat Edaran dari Sekretaris Governemen

tanggal 24 Desember 1934 No. 1361 No. 3088/A sebagaiman termuat dalam di dalam

Bijblad tahun 1934 No. 13390 tentang Toezict van de Regeering op Mohammedaansche

bedehuizen, Vrijdagdiensten en wakafs. Surat Edararan ini sifatnya hanya mempertegas apa

yang disebutkan dalan Surat Edaran sebelumnya, yang isinya memberikan

wewenang kepada Bupati untuk memimpin dan menyelasikan perkara, jika untuk tanah-

tanah tersebut ada persengketaan, asal diminta oleh para pihak yang bersengketa.

(d) Surat Edaran Sekretaris Governemen tanggal 27 Mei 1935 No. 1273/A sebagaimana

termuat dalam Bijblad 1935 No. 13480. Surat

4

Edaran inipun bersifat penegasan terhadap

surat-surat edaran sebelumnya, yaitu khusus

mengenai tata cara perwakafan, sebagai realisasi dan ketentuan Bijblad No.

6169/1905 yang menginginkan registrasi dari tanah-tanah wakaf tersebut. Dengan kata lain

setelah perwakafan itu diketahui oleh Bupati, maka dengan demikian Bupati dapat

mendaftar tanah wakaf tersebut dalam suatu daftar yang telah tersedia, khususnya untuk

meneliti apakah ada suatu peraturan umum yang dianggar dalam pelaksanaan maksud itu

(Abdurrahman, 1979 : 22).

Perwakafan Setelah Kemerdekaan

Sebelum PP No. 28 Tahun 1977

Peraturan-peraturan tentang perwakafan tanah

yang dikeluarkan pada masa penjajahan Belanda, sejak Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal

17 Agustus 1945 masih terus

diberlakukan,berdasarkan bunyi pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 : “Segala

Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama sebelum diadakan yang

baru menurut Undang-undang Dasar ini”.

Untuk menyesuaikan dengan alam

kemerdekaan Negara Republik Indonesia, maka telah dikeluarkan beberapa petunjuk tentang

perwakafan, yaitu petunjuk dari Departemen Agama RI tanggal 22 Desember 1953 tentang

Petunjuk-petunjuk Mengenai Wakaf. Untuk

5

selanjutnya perwakafan ini menjadi wewenang

bagian D (ibadah sosial), Jawatan Urusan Agama.

Pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan Surat Edaran No. 5/D/1959 tentang prosedur

Perwakafan Tanah.

Beberapa paraturan perwakafan tanah di atas

dirasakan kurang memadai dan masih banyak kelemahan-kelemahannya, yaitu belum

memberikan kepastian hukum mengenai tanah-tanah wakaf. Oleh karenanya, dalam rangka

penertiban dan pembaharuan sistem Hukum Agraria kita, permasalahan mengenai perwakafan

tanah ini mendapat perhatian yang khusus, sebagaiman kita lihat dalan pasal 49 Undang-

undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang

berbunyi :

(1) Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha

dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan tersebut dijamin pula

akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang

keagamaan dan sosial.

(2) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan

suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung

oleh negara dengan hak pakai.

(3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

6

Dari bunyi ketentuan pasal 49 ayat (3)

tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam rangka

menertibkan dan melindungi tanah-tanah wakaf, pemerintah harus memberikan pengaturannya

yang tertuang dalan bentuk suatu Peraturan Pemerintah. Tetapi Peraturan Pemerintah yang

diperintahkan oleh pasa 49 (3) UUPA tersebut baru ada 17 tahun kemudian, sehingga praktis

pada periode ini juga dipergunakan peraturan yang ada sebelumnya.

Perwakafan Tanah setelah berlakunya PP No.

28 Tahun 1977

Telah diutarakan di atas bahwa peraturan-

peraturan tentang perwakafan tanah di Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan maupun

belum dapat memberikan kepastian hukum dalam

rangka melindungi tanah-tanah wakaf ini. Dari sebab itulah maka sesuai dengan ketentuan

dalam pasal 49 ayat (3) UUPA, pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977 menetapkan Peraturan

Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Sebagai pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang

perwakafan Tanah Milik dinyatakan sebai berikut :

(1) Bahwa wakaf adalah suatu lembaga

keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan

kehidupan keagamaan, khususnya umat yang

7

beragama Islam, dalam rangka mencapai

kesejahteraan spiritual dan material menuju

masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

(2) Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang

perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara

perwakafan juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan

disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah

yang diwakafkan.

(3) ………..dan seterusnya.

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 ini, maka semua peraturan

perundangan tentang perwakafan sebelumnya,

sepanjang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 ini, dinyatakan

tidak berlaku lagi. Sedangkan hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun

1977 ini, akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai

bidangnya masing-masing.

B. Aspek Teologis Tanah Wakaf

Wakaf yang diajarkan oleh Islam mempunyai sandaran ideologi yang amat kental dan kuat

sebagai kelanjutan ajaran tauhid. Yaitu, segala sesuatu yang berpuncak pada keyakinan terhadap

8

keesaan Tuhan harus dibarengi dengan kesadaran

akan perwujudan keadilan sosial. Islam

mengajarkan kepada umatnya agar meletakkan persoalan harta (kekayaan dunia) dalam tinjauan

yang relatif, yaitu harta (kekayaan dunia) yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga

harus mempunyai kandungan nilai-nilai sosial (humanistik). Prinsip pemilikan harta dalam Islam

menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang (QS : 9 : 103).

Sebagai salah satu instrumen ekonomis yang berdimensi sosial, perwakafan tanah merupakan

konsekuensi logis dari sistem pemilikian dalam Islam. Pemilikan harta benda dalam Islam harus

disertai dengan pertangung jawaban moral. Semua yang ada di langit dan bumi ini adalah

milik Allah. Pemilikan manusia atas harta benda

merupakan amanah atau titipan belaka. Pengertian tersebut sesuai dengan ayat al-Quran

dalam surat al-Maidah ayat 17 dan 120 :

11

Artinya : “Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di bumi dan langit dan apa yang ada di antara

keduanya” (QS : 5 : 17)

Menurut al-Maududi (1985 : 3) sebagaimana dikutip oleh Imam Suhadi, bahwa pemilikan dalam

Islam itu harus disertai dengan tanggung jawab

moral. Artinya, segala sesuatu (harta benda) yang selama ini dimiliki oleh seseorang atau sebuah

9

lembaga, secara moral harus diyakini secara

ideologis bahwa ada sebagian darinya menjadi

hak bagi pihak lain, yaitu untuk kesejahteraan sesama, seperti fakir miskin atau di dermakan ke

lembaga-lembaga sosial, lembaga kemanusiaan atau lembaga pemberdayaan lainnya.

Dalam sejarah Islam, ada tokoh yang sangat kita kenal yaitu Tsa’labah. Dia adalah salah

seorang sahabat Nabi yang dahulunya sangat miskin tapi taat beribadah, seperti rajin ke masjid

dan mendatangi majelis ta’lim Rasulullah. Suatu ketika dia memohon didoakan kepada Rasulullah

agar diberi kelapangan rejeki oleh Allah dalam rangka menambah ketaatan yang lebih. Rasulullah

sebenarnya enggan mendo’akannya karena khawatir Tsa’labah tidak mampu mengemban

amanat apabila diberi limpahan rejeki yang

banyak. Tapi Tsa’labah kemudian meyakinkan Rasulullah bahwa dia berjanji akan selalu

mensyukurinya karena dia tahu persis bagaimana rasanya menjadi orang yang kesulitan ekonomi

seperti sekarang ini. Akhirnya Rasulullah pun mendo’akannya dan suatu waktu menjadi

kenyataan bahwa Tsa’labah betul-betul dikarunikan harta yang berlimpah. Namun, lambat

laun Tsa’labah menjadi lupa akan kewajiban-kewajiban beribadah yang seharusnya dia

lakukan. Yang lebih membuat Rasulullah menyesal adalah bahwa Tsa’labah betul-betul

tidak ingat akan masa lalunya yang sangat miskin. Padahal dia tahu betul bagaimana

10

kewajiban orang yang mempunyai kelebihan harta

terhadap sesamanya yang miskin.

Potret sosok Tsa’labah tersebut menunjukkan kepada kita bahwa ada pergeseran ideologis yang

maha dahsyat oleh seseorang yang mengaku beriman, yaitu hilangnya kepedulian sosial

terhadap sesama. Ideologi yang harusnya included (masuk) dalam keyakinan kepada Allah

adalah sifat keseimbangan atau keseluruhan dalam hidup, bukan kesendirian atau

kemanunggalan yang mutlak karena faktor kemampuan pribadi. Namun, di balik kesuksesan

yang dilakukan oleh seseorang, ada “tangan” yang tak tersentuh, yaitu kekuasaan Allah yang

Maha Kuasa dan Pemberi Rejeki.

Berkaitan dengan masalah perwakafan, dalam

pandangan Rachmat Djatnika (1983 : 31), tanah

wakaf mempunyai fungsi multi dimensional dalam membantu kesejahteraan, perkembangan atau

kemajuan masyarakat. Azas keseimbangan dalam hidup merupakan azas hukum yang universal.

Azas tersebut diambil dari maksud tujuan perwakafan ialah beribadah atau pengabdian

kepada Allah merupakan keseimbangan antara manusia (makhluk) dengan khalik (pencipta),

keseimbangan tersebut akan menimbulkan keserasian dirinya dengan hati nuraninya dan

mewujudkan ketenteraman dan ketertiban dalam hidup. Azas keseimbangan telah menjadi azas

pembangunan nasional, yaitu keseimbangan antar kepentingan dunia dan akhirat, antara

11

kepentingan materiil dengan spirituil, dan

kepentingan pribadi dengan masyarakat.

Azas pemilikan terhadap harta benda adalah tidak mutlak, tetapi dibatasi atau disertai dengan

ketentuan-ketentuan yang merupakan tanggung jawab moral akibat dari pemilikan tersebut.

Pengaturan manusia berhubungan dengan harta benda merupakan hal yang esensiil dalam hukum

dan kehidupan menusia. Pemilikan harta benda menyangkut bidang hukum, sedang pencarian dan

pemanfaatan harta benda menyangkut bidang ekonomi, dan keduanya bertalian erat, tidak

terpisahkan.

Dalam perwakafan tanah milik, setelah tanah

tersebut diwakafkan mempunyai akibat hukum yaitu ditarik dari lalu lintas peredaran hukum yang

menurut istilah hukum Barat disebut in dode hand

yang artinya di tangan mati, akibat seterusnya tanah yang diwakafkan kemudian menjadi milik

Allah dan manfaat benda digunakan untuk kepentingan umum. Pemilikan harta benda dalam

kehidupan manusia menurut ajaran Islam sangat berbeda secara ideologis dengan sistem ekonomi

yang berideologi liberal kapitalistik dan komunistik. Aliran liberal kapitalis yang bersumber

dari teori laisser faire laisser aller memandang hak milik sebagai hak mutlak, setiap orang (individu)

bebas untuk mencari, memiliki dan menggunkan menurut kemauannya sendiri, secara bebas,

sehingga memberi peluang untuk berlomba bersaing dan memberi peluang bagi golongan

yang kuat untuk praktek-praktek eksploitasi dan

12

menidas golongan yang lemah. Sedangkan

komunisme sebagai lawan liberal kapitalisme ialah

tidak mengakui hak milik perseorangan, tetapi semua harta benda, dimiliki, dikuasi dan diatur

oleh negara, tetapi karena negara dan penguasa dikuasi golongan partai komunis proletar, maka

terjadilah penindasan terhadap golongan yang bukan proletar. Dan Islam berada pada arah

kedua ideologis tersebut, yaitu membangun keseimbangan hidup yang teratur dan terukur,

sebagaimana perwakafan tanah.

Dalam peruntukannya, tanah mempunyai

keterkaitan yang sangat erat dengan kelanjutan hidup manusia. Siapa pun dan dimana pun,

seseorang akan selalu membutuhkan tanah. Karenanya, tanah termasuk harta benda primer

yang melekat dengan kehidupan itu sendiri.

Paradigma pemahaman masyarakat Indonesia terhadap tanah menjadi sangat penting ketika

dihubungkan dengan perkembangan penduduk seperti sekarang ini. Sudah barang tentu,

penyediayaan tanah baik sebagai tempat pemukiman, lahan pertanian atau sebagai areal

pembangunan akan menempati persoalan pokok dan tentu saja akan menjadi salah satu persoalan

sosial yang cukup peka. Karena harus diakui, bahwa untuk saat ini terlihat semakin

meningkatnya kebutuhan tanah sementara areal tanah semakin sempit. Karena itulah, secara

ideologis, pemberdayaan wakaf tanah untuk kesejahteraan umat manusia mendapati

urgensinya.

13

C. Aspek Sosiologis Tanah Wakaf

Setelah memiliki landasan ideologis yang bersumber pada kalimat tauhid (la ilaaha illallah),

wakaf mempunyai kontribusi solutif terhadap persoalan-persoalan ekonomi kemasyarakatan.

Kalau dalam tataran ideologis wakaf berbicara tentang bagaimana nilai-nilai yang seharusnya

diwujudkan oleh dan untuk umat Islam, sedangkan pada wilayah paradigma sosial-

ekonomis, wakaf menjadi jawaban konkrit dalam

realitas problematika kehidupan (sosial-ekononis) masyarakat. Penjabaran paradigma ideologis ini

bisa dicontohkan, bahwa penguasaan harta (kekayaan) oleh seseorang (lembaga) secara

monopolistik akan bisa melahirkan eksploitasi oleh kelompok minoritas (kaya) terhadap mayoritas

(miskin). Eksploitasi sosial-ekonomis ini pada gilirannya nanti akan menimbulkan dis-harmoni

sosial sebagai virus (penyakit) masyarakat yang berisiko sangat tinggi. Harta tidaklah hanya

dimiliki dan dikuasai sendiri, melainkan juga harus dinikmati bersama. Ini tidak berarti bahwa Islam

itu melarang orang untuk menjadi kaya, melainkan suatu peringatan kepada umat manusia

bahwa Islam mengajarkan fungsi sosial harta

(kekayaan dunia). Dengan itulah kemudian diciptakan lembaga wakaf, disamping lembaga-

lembaga lainnya.

Sayyid quthb (1964) pemikir Islam dari Mesir

dengan gaya pendekatan yang komprehensif

14

dalam bukunya al-‘adalah al-Ijtima’iyyah fil Islam

berhasil memformulasikan teori keadilan sosial

dalam Islam dan instrumen pendukungnya, termasuk wakaf, bukan sebatas teori utopis

belaka melainkan kajiannya berangkat dari fakta sejarah peradaban Islam otentik. Setelah

mengupas pandangan Islam mengenai kasih sayang, kebajikan, keadilan dan jaminan sosial

yang menyeluruh antara orang yang mampu dan yang tidak mampu, antara kelompok yang kaya

dengan yang miskin, antara individu dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat,

bahkan antara segenap umat manusia, Quthb selalu membeberkan fakta historis bagaimana

konsep tersebut membumi dalam perjalanan kesejarahan generasi terbaik Islam. Sebagai

contoh, Quthb mengisahkan sepenggal cerita

sejarah solidaritas kalangan sahabat ; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Diantara implementasi

keadilan sosial melalui prakarsa wakaf tanah dalam pengalaman kesejarahan awal Islam telah

dibuktikan Umar bin Khatthab sebagai warga sederhana yang bersedia secara ikhlas atas

petunjuk Nabi saw untuk mewakafkan satu-satunya aset berharga yang dimilikinya berupa

sebidang tanah di Khaibar untuk kemaslahatan umat.

Fungsi sosial dari perwakafan tanah mempunyai arti bahwa penggunaan hak milik

tanah seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung kepada masyarakat.

Dalam ajaran pemilikan terhadap harta benda

15

(tanah) tercakup di dalamnya benda lain, dengan

perkataan lain bahwa benda (tanah) seseorang

ada hak orang lain yang melekat pada harta benda (tanah) tersebut seperti yang dimaksud

dalam firman Tuhan aurat adz-Dzariyat, ayat 19 :

19

Artinya : “Dan di dalam harta benda mereka ada hak bagi orang yang minta (karena tidak punya)

dan bagi orang-orang yang terlantar”. (QS : adz-Dzariyat : 19)

Kepemilikan harta benda (tanah) yang tidak

menyertakan kepada kemanfaatan terhadap orang lain merupakan sikap egoisme kehidupan

yang salah. Hidup sendiri dan mandiri dalam

ketunggalan yang mutlak, dan dalam keesaan yang tidak mengenal ketergantungan apa pun,

hanyalah sifat bagi Allah semata. Manusia yang mencapai kesadaran batin yang tinggi

memandang alam semesta di sekitarnya sebagai suatu kesatuan, dimana kehadiran yang satu

terkait, tergantung dan berkepentingan dengan kehadiran yang lain. Dalam hubungan ini, Al-

Quran memberikan petunjuk untuk selalu memelihara kebersamaan sebagai makhluk sosial

dan menempatkan nilai-nilainya ke dalam pola hubungan kemanusiaan dengan tetap saling

menghormati, menjaga, melindungi, mengasihi dan menyantuni sebagaimana diatur dalam sistem

ajarannya, seperti perwakafan tanah.

16

Bagian Pertama

DASAR HUKUM WAKAF

A. Dasar Hukum Islam

Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya

ibadah wakaf bersumber dari :

(a) Ayat al-Quran, antara lain :

.(77)الحج : نوحلفت مكلعل ريخا الولعافو

“Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat

kemenangan” (QS : al-Haj : 77).

)ال ميلع هب اهلل ناف ءيش نا موقفنا تمو نوبحا تما موقفنى تتح ربال واالنت نل

(.29عمران :

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian

(yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja

yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah

mengetahui”. (QS : Ali Imran : 92).

سنبلة مثل الذين ينفقون اموالهم في سبيل اهلل كمثل حبة انبتت سبع سنابل في كل

(.962)البقرة : مائة حبة واهلل يضاعف لمن يشاء واهلل واسع عليم.

“Perumpamaan (nafakah yang dikeluarkan oleh)

orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang

menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipatgandakan

(ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki.

17

Dan Allah Maha Kuasa (Karunianya) Lagi Maha

Mengetahui”. (QS : al-Baqarah : 261).

(b) Sunnah Rasulullah saw.

ة ان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم قال : اذا مات ابن ادم انقطع عن ابي هريرعمله اال من ثالث، صدقة جارية، او علم ينتفع به او ولد صالح يدعو له )رواه

( مسلم

Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rsulullah saw bersabda : “Apabila anak Adam (manusia)

meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang

bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim)

Adapun penafsiran shodaqah jariyah dalam hadits tersebut adalah :

ذكره في باب الوقف النه فسر العلماء الصدقة الجارية بالوقف

Hadits tersebut dikemukakan di dalam bab wakaf,

karena para ulama penafsirkan shodaqah jariyah dengan wakaf” (Imam Muhammad Ismail al-

Kahlani, tt., 87)

Ada hadits Nabi yang lebih tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf,

yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar :

عن ابن عمر رضى اهلل عنهما أن عمر بن الخطاب أصاب أرضا بخيبر، فأتى نبي صلى اهلل عليه وسلم يستأمره فيها، فقال: يارسول اهلل، إنى أصبت أرضا ال

18

بخيبر لم أصب ماال قط أنفس عندى منه، فما تأمرنى به؟ قال: إن شئت حبست صدق بها عمر انه ال يباع وال يوهب وال يورث، وتصدق أصلها فتصدقت بها فت

بها فى الفقرآء وفى القربى وفى الرقاب وفى سبيل اهلل وابن السبيل والضيف ال عروف ويطعم غير متمولجناح على من وليها ان يأكل منها بالم

“Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat

Umar ra. Memperoleh sebidang tanah di Khaibar,

kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata : Ya

Rasulallah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta

sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ? Rasulullah menjawab :

Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkah (hasilnya). Kemudian

Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak diwariskan dan tidak juga dihibahkan. Berkata

Ibnu Umar : Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian,

sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang

menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan

dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk

harta“ (HR. Muslim).

Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan :

تي لي عن ابن عمر قال : قال عمر للنبي صلى اهلل عليه وسلم ان مائة سهم البخيبر لم اصب ماال قط اعجب الي منها قد اردت ان اتصدق بها، فقال النبي صلعم

: احبس اصلها وسبل ثمرتها )رواه البخارىومسلم(.

Dari Ibnu Umar, ia berkata : “Umar mengatakan kepada Nabi saw. Saya mempunyai seratus

dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah

19

mendapat harta yang paling saya kagumi seperti

itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi

saw mengatakan kepada Umar : Tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya

(modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Sedikit sekali memang ayat al-Quran dan as-

Sunnah yang menyinggung tentang wakaf. Karena itu sedikti sekali hukum-hukum wakaf

yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Meskipun demikian, ayat al-Quran dan

Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa

Khulafa’u Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum

wakaf melalui ijtihad mereka. Sebab itu sebagian

besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan

menggunakan metode ijtihad yang bermacam-macam, seperti qiyas dan lain-lain.

B. Dasar Hukum Pemerintahan RI

Ada beberapa peraturan perundang-undangan

yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia, yaitu :

1. Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

20

Dalam Undang-undang ini dapat dijelaskan

dalam beberapa substansi di bawah ini:

a. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian

harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu

sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum

menurut syariah. (ketentuan umum dan pasal 2)

b. Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Ketentuan ini merupakan payung

hukum bagi perbuatan wakaf, sehingga harta benda wakaf tidak boleh dicabut kembali dan

atau dikurangi volumenya oleh wakif dengan alasan apapun. (pasal 3)

c. Adapun tujuan dari perbuatan Wakaf itu

sendiri berfungsi untuk menggali potensi ekonomi harta benda wakaf dan dimanfaatkan

untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum. (pasal 5)

d. Dalam setiap perbuatan wakaf harus memenuhi unsur-unsurnya, (pasal 6) yaitu:

(1) Wakif; (2) Nazhir;

(3) Harta Benda Wakaf; (4) Ikrar Wakaf;

(5) Peruntukan Harta benda wakaf; (6) Jangka waktu wakaf;

e. Pihak yang ingin mewakafkan (Wakif) meliputi: (pasal 7) (1) perseorangan; (2)

organisasi; dan (3) badan hukum.

21

f. Demikian juga bagi nazhir (pengelola) wakaf

meliputi: (pasal 9) (1) perseorangan; (2)

organisasi; dan (3) badan hukum. g. Adapun Nazhir mempunyai tugas: (pasal 11)

(1) melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

(2) mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi

dan peruntukannya; (3) mengawasi dan melindungi harta benda

wakaf; (4) melaporkan pelaksanaan tugas kepada

Badan Wakaf Indonesia. h. Salah satu terobosan dalam Undang-undang

ini adalah pengaturan benda wakaf bergerak berupa uang dan sejenisnya (giro, saham dan

surat berharga lainnya), selain harta benda

wakaf tidak bergerak (tanah dan bangunan) (pasal 16). Pengaturan ini merupakan salah

satu upaya pemerintah agar wakaf dapat berkembang secara cepat dan dapat dijangkau

oleh semua kalangan. Wakaf uang jika dikelola secara profesional dan transparan, maka akan

memberikan efek ekonomi yang positif secara revolusioner.

i. Wakaf benda bergerak berupa uang dapat dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syariah

(LKS): (pasal 28). Adapun pelaksanaan wakaf uang secara lebih rinci akan diatur

dalam Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang

Wakaf.

22

j. Dari hasil pengelolaan wakaf secara produktif

tersebut, dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan: (pasal 22) (1) sarana dan kegiatan ibadah;

(2) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

(3) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;

(4) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau

(5) kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah

dan peraturan perundang-undangan. k. Dalam pengelolaan dan pengembangan harta

benda wakaf secara produktif, nazhir dapat bekerja sama dengan pihak ketiga seperti IDB,

investor, perbankan Syariah, LSM dan lain-

lain. Agar terhindar dari kerugian (lost), nazhir harus menjaminkan kepada Asuransi Syari`ah.

Hal ini dilakukan agar seluruh kekayaan wakaf tidak hilang atau terkurangi sedikitpun (ma’a

baqai ‘ainihi): (pasal 42). Upaya supporting pengelolaan dan pengembangan wakaf juga

dapat dilakukan dengan memaksimalkan peran UU Otonomi Daerah dan pembuatan

Perda-Perda yang mendukung pemberdayaan wakaf secara produktif.

l. Perubahan status harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: (pasal 40)

a. dijadikan jaminan; b. disita;

c. dihibahkan;

d. dijual;

23

e. diwariskan;

f. ditukar; atau

g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

h. kecuali apabila untuk kepentingan umum m. Harta benda wakaf yang sudah diubah

statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana wajib ditukar dengan harta

benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta

benda wakaf semula. (pasal 41 ayat (3)) n. Wakaf dengan wasiat dilakukan paling

banyak 1/3 dari jumlah harta warisan setelah dikurangi utang pewasiat kecuali dengan

persetujuan seluruh ahli waris. (pasal 25) o. Dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan

dan pengembangan harta benda wakaf, akan

dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang bersifat independen dan dapat membentuk

perwakilan di Propinsi dan Kabupaten jika dianggap perlu. (pasal 47 & 48) . Adapun

tugas Badan Wakaf Indonesia: (pasal 49): (1) melakukan pembinaan terhadap Nazhir

dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf;

(2) melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf

berskala nasional dan internasional; (3) memberikan persetujuan dan/atau izin

atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;

(4) memberhentikan dan mengganti Nazhir;

24

(5) memberikan persetujuan atas penukaran

harta benda wakaf;

(6) memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan

kebijakan di bidang perwakafan. (7) Pertanggungjawaban Badan Wakaf

Indonesia kepada menteri Agama dan harus diumumkan kepada masyarakat.

(pasal 61) p. Untuk menyelesaikan sengketa terhadap

harta benda wakaf, harus menggunakan mediasi, arbitrase atau pengadilan (pasal

62) q. Adapun ketentuan pidana tersebut sebagi

berikut: (pasal 67) (1) bagi yang dengan sengaja menjaminkan,

menghibahkan, menjual, mewariskan,

mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya tanpa izin di pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) bagi yang dengan sengaja mengubah

peruntukan harta benda wakaf tanpa izin di pidana penjara paling lama 4 (empat)

tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus

juta rupiah). (3) bagi yang dengan sengaja menggunakan

atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta

benda wakaf melebihi jumlah yang

ditentukan, dipidana dengan pidana

25

penjara paling lama 3 (tiga) tahun

dan/atau pidana denda paling banyak

Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(4) Sedangkan bagi PPAIW dan Lembaga Keuangan Syariah yang melakukan

pelanggaran, maka akan diberikan sanksi administrasi: (pasal 68)

a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara atau

pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi lembaga keuangan

syariah; c. penghentian sementara dari jabatan

atau penghentian dari jabatan PPAIW. r. Dalam rangka menertibkan perbuatan wakaf,

maka harta benda wakaf harus didaftarkan

dan diumumkan paling lama 5 tahun sejak undang-undang ini diundangkan. (pasal 69)

2. Undang-Undang Pokok Agraria

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) masalah wakaf dapat kita ketahui pada pasal 5,

pasal 14 ayat 91) dan pasal 49 yang memuat

rumusan-rumusan sebagai berikut:

a. Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa Hukum

Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara……………….segala sesuatu dengan

26

mengindahkan unsur-unsur yang bersandar

pada hukum agama.

Dalam rumusan pasal ini jelaslah bahwa hukum adatlah yang menjadi dasar hukum

agraria Indonesia, yaitu hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-

undangan Republik Indonesia yang di sana sini mengandung unsur agama yang telah

diresipir dalam lembaga hukum adat, khususnya lembaga wakaf.

b. Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme

Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan

penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya untuk keperluan negara, untuk

keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang

Maha Esa dan setrusnya. Dalam rumusan pasal 14 UUPA terkandung perintah kepada

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk membuat sekala prioritas penyediaan,

peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang

dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk pengaturtan

tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci lainnya.

c. Pasal 49 UUPA menyatakan bahwa hak milik tanah-tanah badan keagamaan dan sosial

27

sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam

bidang keagamaan sosial, diakui dan

dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin akan memperoleh tanah yang cukup untuk

bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. Perwakafan tanah milik

dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal ini memberikan ketegasan

bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan pribadatan dan keperluan suci lainnya dalam

Hukum Agraria akan mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya. Terkait dengan

perumusan tersebut pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan peraturan

tentang perwakafan tanah hak milik, yaitu PP No. 28 Tahun 1977.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

PP No. 28 Tahun 1977 terdiri atas tujuh bab,

delapan belas pasal, meliputi pengertian tentang wakaf, syarat-syarat sahnya wakaf, fungsi wakaf,

tata cara mewakafkan dan pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan dan

pengawasan wakaf, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.

Maksud dikeluarkannya PP No. 1977 adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum

mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan tujuan wakaf. Berbagai

penyimpangan dan sengketa wakaf dengan

28

demikian dapat dikurangi. Namun demikian masih

dirasakan adanya hambatan dan atau

permasalahan terkait dengan PP No. 28 Tahun 1977, antara lain :

a) Tanah yang dapat diwakafkan hanyalah tanah hak milik dan badan-badan sosial keagamaan

dijamin dapat mempunyai hak atas tanah dengan hak pakai. Bagaimanakah wakaf tanah

dengan hak guna bangunan atau guna usaha yang di dalam praktek dapat diperpanjang

waktunya sesuai dengan pemanfaatan wakaf.

b) Penerima wakaf (Nazhir) disyaratkan oleh

peraturan yang mempunyai cabang atau perwakilan di kecamatan atau di mana tanah

wakaf terletak, dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan dan justru

menimbulkan hambatan. Terkait dengan

masalah tersebut bagaimana jika Nazhir itu bersifat perseorangan atau perkumpulan yang

tidak memiliki cabang atau perwakilan ?

c) PP No. 28 Tahun 1977 hanya membatasi

wakaf benda-benda tetap, khususnya tanah. Bagaimana wakaf yang obyeknya benda-benda

bergerak selain tanah atau bangunan ?

d) Hambatan-hambatan lain yang bersifat yuridis,

misalnya kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya sertifikasi wakaf, kesediaan tenaga

yang menangani pendaftaran atai sertifikasi wakaf, serta peningkatan kesadaran para

Nazhir akan tugas dan kewajibannya.

29

4. Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang

Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 berisi perintah kepada Menteri

Agama RI dalam rangka penyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum

Perwakafan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia pada dasarnya

sama dengan Hukum Perwakafan yang telah

diatur oleh Perundang-undangan yang telah ada sebelumnya. Dalam beberapa hal, Hukum

Perwakafan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut merupakan pengembangan dan

penyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islam.

Beberapa ketentuan Hukum Perwakafan menurut KHI yang merupakan pengembangan

dan penyempurnaan terhadap materi perwakafan yang ada pada perundang-undangan sebelumnya,

antara lain :

a) Obyek Wakaf

Menurut KHI, bahwa obyek wakaf tersebut tidak hanya berupa tanah milik sebagaimana

disebutkan dalam PP No. 28 Tahun 1977.

Obyek wakaf menurut KHI tersebut lebih luas. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal

215, point (1) wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan

hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk

30

selama-lamanya guna kepentingan ibadat

atau keperluan umum lainnya sesuai dengan

jaran Islam, dan point (4) benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak

bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut

ajaran Islam.

b) Sumpah Nazhir

Nazhir sebelum melaksanakan tugas harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor

Urusan Agama Kecamatan. Hal ini diatur dalam pasal 219 ayat 4 yang selengkapnya berbunyi

sebabai berikut : Nazhir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang

saksi dengan isi sumpah sebagai berikut :

“Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi Nazhir langsung atau tidak

langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun

memberikan sesuatu kepada siapapun juga”.

“Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan

atau tidak melakukan sesuai dnegan jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau

tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian”.

“Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab

yang dibebankan kepada saya selaku Nazhir

31

dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengan

maksud dan tujuannya”.

c) Jumlah Nazhir

Jumlah Nazhir yang diperbolehkan untuk satu

unit perwakafan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang

diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan

dan Camat setempat (pasal 219, ayat 5).

d) Perubahan Benda Wakaf

Menurut pasal 225 perubahan benda wakaf hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu

setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan berdasarkan saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

e) Pengawasan Nazhir

f) Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nazhir dilakukan secara

bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan

dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya (pasal 227).

g) Peranan Majelis Ulama dan Camat

KHI dalam hal perwakafan memberikan

kedudukan dan peranan yang lebih luas kepada Majelis Ulama Indonesia kecamatan dan Camat

setempat dibanding dengan ketentuan yang diatur oleh perundang-undangan sebelumnya. Hal ini

32

antara lain bisa kita lihat dalam beberapa pasal di

bawah ini :

Pasal 219 ayat (3) dan ayat (5) :

(3) Nazhir dimaksud dalam ayat (1) dan (2)

harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran

dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.

(5) Jumlah Nazhir yang diperoleh untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud pasal 215

ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang

diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama

Kecamatan dan Camat setempat.

Pasal 220 ayat (2) :

(2) Nazhir diwajibkan membuat laporan secara

berkala atau semua hal yangmenjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksudkan dalam

ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama

Kecamatan dan Camat setempat.

Pasal 221 ayat (2)

(2) Bilamana terdapat lowongan jabatan Nazhir karena salah satu alasan sebagaimana

tersebut dalam ayat (1) meka penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

33

Pasal 222:

Nazhir berhak mendapatkan penghasilan dan

fasilitas, yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan atas saran Majelsi

Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.

Pasal 225 ayat (2):

(2) Penyimpangan dari ketentuan

tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu

setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala

Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan

dan Camat setempat dengan alasan :

a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan

wakaf seperti diikrarkan oleh wakif

b. karena kepentingan umum.

Pasal 227:

Perwakafan benda, demikian pula pengurusnya yang terjadi sebelum dikeluarkannya

ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama

Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini.

34

Bagian Pertama

POTENSI DAN PELUANG

A. Banyaknya Harta Wakaf yang Tidak

Dikelola Secara Optimal

Menurut data Departemen Agama terakhir

terdapat kekayaan tanah wakaf di Indonesia sebanyak 403.845 lokasi dengan luas

1.566.672.406 M2. Dari total jumlah tersebut 75 % diantaranya sudah bersertifikat wakaf dan

sekitar 10% memiliki potensi ekonomi tinggi, dan

masih banyak lagi yang belum terdata.

Namun pada umumnya tanah-tanah wakaf

tersebut pengelolaannya bersifat konsumtif dan tradisional. Ada beberapa kondisi dimana tanah

wakaf di Indonesia dikelola secara konsumtif dan tradisional, yaitu :

a. Sempitnya pola pemahaman masyarakat terhadap harta yang akan diwakafkan, yaitu

berupa harta benda yang tidak bergerak dan hanya untuk kepentingan yang bersifat

peribadatan, seperti masjid, musholla, madrasah, pemakaman, yayasan yatim piatu

dan lain sebagainya. Dan sifat wakaf itu sendiri hanya ditempatkan pada kemutlakan yang

harus dikembalikan kepada Allah semata

sehingga kondisi apapun yang terjadi terhadap harta wakaf tersebut didiamkan sedemikian

35

rupa dan tidak terawat secara baik sehingga

banyak yang terbengkelai.

b. Pada umumnya masyarakat yang mewakafkan hartanya diserahkan kepada orang yang

dianggap panutan dalam lingkup masyarakat tertentu seperti ulama, kyai, ustadz dan tokoh

adat lainnya dengan mengikuti tradisi lisan dan dalam kenyataannya sekarang banyak

menimbulkan masalah persengketaan dengan ahli waris yang menggugat para Nazhir. Atau

banyak pula yang disalahgunakan oleh para Nazhir nakal dengan menjual sebagian atau

seluruh harta wakaf yang ada. Sementara di lain pihak, orang yang diserahi untuk

mengelola wakaf (Nazhir) tersebut ternyata tidak mempunyai kemampuan yang baik agar

wakaf bisa didayagunakan secara optimal

untuk kepentingan masyarakat dan kehidupan keberagamaan. Akibatnya wakaf tak terurus

secara rapi dan tidak menyentuh kepentingan masyarakat banyak.

c. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pendaftaran tanah wakaf. Hal ini memberikan

peluang terjadinya penyalahgunaan atau bahkan pengambilan paksa oleh pihak yang

tidak bertanggung jawab. Tidak terhitung jumlahnya, berapa banyak tanah yang jatuh ke

tangan pihak ketiga yang sama sekali tidak terkait dengan kepentingan perwakafan. Belum

misalnya terjadinya kasus-kasus penyerobotan tanah wakaf karena lemahnya system

36

perlindungan hukum dan lemahnya kemauan

dan kesadaran dari pihak-pihak terkait.

Dari kondisi tersebut kemudian muncul UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok

Agraria, PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, PP No. 1 Tahun 1978

Tentang Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977, Inpres RI No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi

Hukum Islam (KHI) dan yang paling akhir adalah lahirnya Undang-undang No. 41 Tahun 2004

tentang Wakaf. Keradaan peraturan perundang-undangan tersebut, khususnya UU No 41 Tahun

2004 tentang Wakaf salah satunya bertujuan untuk mengamankan, mengatur dan mengelola

tanah wakaf secara baik. Sehingga setelah munculnya berbagai peraturan perundang-

undangan di atas, kondisi harta perwakafan lebih

terjaga dan terawat, walaupun belum dikelola dan dikembangkan secara optimal.

Harus diakui, pengelolaan tanah wakaf secara produktif terhitung masih sedikit. Sebagai contoh

harta wakaf yang dikelola dan dikembangkan secara baik adalah : Yayasan Pemeliharaan dan

Perluasan Wakaf Pondok Moderen Gontor Jawa Timur, Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung,

Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Badan Wakaf Universitas Muslimin

Indonesia (UMI) Makassar, Yayasan Wakaf Paramadina dan lain-lain. Sedangkan sebagian

besar wakaf yang ada, untuk memelihara dan melestarikan saja masih kekurangan dana dan

37

masih menggantungkan dana dari luar dana

wakaf.

Dengan demikian wakaf yang ada di Indonesia sementara ini relatif sulit berkembang

sebagaimana mestinya jika tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dan total oleh semua pihak

yang terkait dalam rangka memperbaiki system dan profesionalisme pengelolaan.

Karena menurut kaca mata ekonomi, sebenarnya tanah wakaf yang begitu luas dan

menempati beberapa lokasi yang strategis memungkinkan untuk dikelola dan dikembangkan

secara produktif. Sebagai contoh misalnya, cukup banyak tanah wakaf yang di atasnya di bangun

masjid atau musholla, sedang sisa tanahnya yang masih luas bisa dibangun gedung petemuan untuk

disewakan kepada masyarakat umum. Hasil

penyewaan gedung tersebut dapat digunakan untuk memelihara masjid. Atau misalnya ada

tanah wakaf yang terletak cukup strategis dalam usaha bisa dibangun ruko atau gedung

perkantoran yang bisa dikelola sendiri atau disewakan dan hasilnya bisa untuk perawatan

gedung wakaf yang telah ada atau untuk menunjang kegiatan atau pemberdayaan ekonomi

lemah yang ada di sekitarnya.

Ada satu contoh lain yang sesungguhnya bisa

dilakukan dengan pemanfaatan tanah wakaf dikaitkan dengan program penenaman jati unggul.

Dalam program ini setiap pohon jati dikonversikan dalam satu saham senilai umpamanya Rp.

38

30.000,-. Jika diterbitkan 1000 pohon jati

umpamanya, bisa terkumpul Rp. 30.000.000,-.

Sementara tanah wakaf yang ada bisa ditanami pulihan, bahkan ratusan ribu pohon, sehingga

secara potensial tanah wakaf dapat menghimpun dana yang sangat besar. Karena nilai saham itu

tumbuh secara pasti setiap hari, sebagaimana pohon jati itu sendiri, maka saham pohon jati di

atas tanah wakaf itu bisa diperjualbelikan setiap saat. Ini merupakan bisnis yang sangat prospektif

dan bisa dilakukan oleh oraganisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah.

B. Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Pengelolaan Wakaf Produktif

Dalam pengelolaan harta wakaf produktif, pihak yang paling berperan berhasil tidaknya

dalam pemanfaatan harta wakaf adalah Nazhir wakaf, yaitu seseorang atau sekelompok orang

dan badan hukum yang diserahi tugas oleh wakif

(orang yang mewakafkan harta) untuk mengelola wakaf. Walaupun dalam kitab-kitab fikih ulama

tidak mencantumkan Nazhir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, karena wakaf merupakan

ibadah tabarru’ (pemberian yang bersifat sunnah). Namun demikian, setelah memperhatikan tujuan

wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari hasil harta wakaf, maka keberadaan Nazhir sangat

dibutuhkan, bahkan menempati pada peran sentral. Sebab di pundak Nazhir lah tanggung

jawab dan kewajiban memelihara, menjaga dan

39

mengembangkan wakaf serta menyalurkan hasil

atau manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf.

Terlalu banyak contoh pengelolaan harta wakaf yang dikelola oleh Nazhir yang sebenarnya tidak

mempunyai kemampuan memadai, sehingga harta wakaf tidak berfungsi secara maksimal,

bahkan tidak memberi manfaat sama sekali kepada sasaran wakaf. Untuk itulah

profesionalisme Nazhir menjadi ukuran yang paling penting dalam pengelolaan wakaf jenis

apapun. Kualifikasi profesionalisme Nazhir secara umum dipersyaratkan menurut fikih sebagai

berikut, yaitu : beragama Islam, mukallaf (memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan

hukum), baligh (sudah dewasa) dan ‘aqil (berakal sehat), memiliki kemampuan dalam mengelola

wakaf (professional) dan memiliki sifat amanah,

jujur dan adil.

Menurut Eri Sudewo, mantan CEO Dompet

Dhuafa Republika, dari persyaratan minimal seorang atau lembaga Nazhir dalam pandangan

fikih tersebut bisa dijabarkan sebagai berikut :

(a) Syarat moral

Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’ah maupun

perundang-undangan negara RI

Jujur, amanah, adil dan ihsan sehingga

dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf

40

Tahan godaan, terutama menyangkut

perkembangan usaha

Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan

Punya kecerdasan. baik emosional maupun spiritual

(b) Syarat manajemen

Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang

baik dalam leadership

Visioner

Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, social dan pemberdayaan

Profesional dalam bidang pengelolaan harta

(c) Syarat Bisnis

Mempunyai kainginan

Mempunyai pengalaman dan atau siap

untuk dimagangkan

Punya ketajaman melihat peluang usaha

sebagaimana layaknya entrepreneur

Dari persyaratan yang telah dikemukakan di

atas menunjukkan bahwa Nazhir menempati pada pos yang sangat sentral dalam pola pengelolaan

harta wakaf. Ditinjau dari segi tugas Nazhir, dimana dia berkewajiban untuk menjaga,

mengembangkan dan melestarikan manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang

berhak menerimanya, jelas bahwa fungsi dan

41

tidak berfungsinya suatu wakaf tergantung dari

pada peran Nazhir. Meskipun demikian Nazhir

tidak memiliki kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanatkan kepadanya. Para ulama

sepakat bahwa kekuasaan Nazhir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk

dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki oleh wakif (orang yang berwakaf).

Dari sinilah masalahnya, sebagai Nazhir harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan

di atas sehingga mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam mengelola wakaf dengan

maksimal dan optimal sesuai dengan harapan para wakif secara khusus dan kaum muslimin

secara umum. Sehingga pengalaman-pengalaman pengelolaan harta wakaf yang tidak produktif

seperti yang lalu tidak terulang lagi.

Dilihat dari persyaratan yang ada, sesungguhnya bukan menjadi hal yang sulit

mencari orang atau lembaga yang bisa dipercaya untuk mengelola harta wakaf, khususnya untuk

kepentingan pengelolaan wakaf produktif. Apalagi sekarang banyak bermunculan lembaga-lembaga

ekonomi dan keuangan Syaria’h yang mendidik Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas

baik, bersamaan dengan semangat yang tinggi untuk menerapkan system ekonomi Syariah.

Penguatan kualias SDM yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan bisnis Islami telah

banyak melahirkan para ahli di bidang ini. Barangkali bukan menjadi hal yang sulit bagi

umat Islam Indonesia sekarang mencari SDM

42

yang ahli di bidang manajemen dan bisnis,

termasuk di dalamnya bidang perwakafan

sebagaimana mereka mengelola sebuah usaha yang bersifat komersial. Karena secara potensi

ekonomi, harta wakaf cukup memberikan harapan bagi pengembangan ekonomi umat Islam masa

depan. Dan sudah saatnya semua pihak yang terkait dengan harta wakaf, baik pemerintah,

masyarakat, para wakif dan calon wakif, LSM dan lembaga lainnya membuka peluang untuk

mengembangkan harta wakaf secara produkti. Produktifitas hasil yang ini pulalah sebenarnya

menjadi dambaan umat Islam dan umat lain pada umumnya dalam rangka peningkatan

kesejahteraan sosial ekonomi.

C. Kesadaran Umat Islam Terhadap

Penerapan Sistem Ekonomi Syariah

Masalah wakaf merupakan masalah yang

sampai saat ini kurang dibahas secara intensif.

Hal ini disebabkan karena umat Islam hampir melupakan kegiatan-kegiatan yang berasal dari

lembaga perwakafan. Masalah mis-management dan korupsi diperkirakan menjadi penyebab

utama, sehingga kegiatan lembaga perwakafan ini kurang diminati atau bahkan ditinggalkan oleh

umat Islam lebih kurang seabad yang lalu.

Oleh karena itu tulisan-tulisan yang berkaitan

dengan kegiatan perwakafan sangat lah jarang. Baru pada tahun-tahun terakhir ini muncul

kembali minat umat Islam untuk menggiatkan

43

kembali kehidupan lembaga perwakafan.

Munculnya minat tersebut seiring dengan

kesadaran orang untuk mencari Sistem Ekonomi Syari’ah (SES) sebagai alternatif dari system

ekonomi kapitalis dimana pelaksanaan system yang terakhit ini telah terbukti tidak memberikan

manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Sistem tersebut hanya memberi

manfaat pada sebagian kecil umat manusia, yaitu kelompok-kelompok yang kebetulan memiliki

‘power’ dalam kehidupan perekonomian yang ada. Selain itu, berbagai krisis ekonomi selalu

menyertai perjalanan hidup system ekonomi kapitalis, sementara usaha-usaha untuk mencari

jalan keluar dari krisis yang ada selalu menimbulkan korban di pihak yang lemah saja

yang merupakan mayoritas pelaku-pelaku system

ekonomi kapitalis yang nota bene di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.

Tumbuhnya minat masyarakat untuk menggali potensi system ekonomi Syari’ah, disebabkan oleh

beberapa kelemahan system ekonomi kapitalis, yaitu :

(a) Masalah ketidakstabilan system

Pelaksanaan system ekonomi kapitalis ternyata

diikuti dengan berbagai masalah yang pada akhirnya membuat system ekonomi yang ada

menjadi tidak stabil dan berbagai krisis. Berbagai resesi ekonomi dunia telah menyertai perjalanan

system ekonomi kapitalis tersebut, yang penyelesaiannya menelan berbagai ongkos

44

ekonomi yang sangat mahal dan hanya

menguntungkan bagi kelompok-kelompok tertentu

saja. Resesi ekonomi dunia pada tahun 1929 menyadarkan orang bahwa ternyata ada

kelemahan dalam system ekonomi kapitalis yang ada. “The ini visible hands” ternyata tidak bekerja

dengan sempurna dan memerlukan bantuan ‘negara’ untuk mengatasi ketidaksempurnaan

yang ada dalam system kapitalis.

(b) Masalah pembagian pendapatan

Pembagian pendapatan yang ada di dunia ini menjadi tidak seimbang. Lebih kurang 80 % dari

pendapatan dunia dikuasai oleh penduduk negara-negara maju sementara negara-negara

berkembang hanya menguasai sisanya 20 % pendapatan dunia yang ada. Ini merupakan

gambaran yang mengusik rasa keadilan kita,

khususnya umat Islam yang sebenarnya menduduki wilayah yang mempunyai potensi

ekonomi yang cukup besar. Sistem yang ada dibuat sedemikian rupa sehingga penggunaan

sumber-sumber daya yang ada di dunia ‘diatur’ oleh negara-negara maju tersebut.

Kecenderungan ini akan terus berlangsung di masa yang akan datang, sehingga perlu dipikirkan

berbagai strategi guna memperbaiki system yang tidak adil tersebut.

(c) Masalah kemiskinan

Dari berbagai masalah yang ada, maka

masalah kemiskinan dan pembagian pendapatan merupakan masalah utama yang harus dicarikan

45

jalan keluarnya, termasuk stagnasi tingkat

kemakmuran di negara maju. Berbagai krisis yang

melanda perekonomian dunia yang menyangkut system ekonomi kapitalis dewasa ini telah

memperburuk tingkat kemiskinan yang nyata sebagai ekses langsung mauoun tidak langsung

serta pola pendapatan di dalam perekonomian negara-negara yang ada, khususnya keadaan

perkonomian di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam.

Dari beberapa kelemahan system ekonomi kapitalis tersebut, umat Islam semakin sadar akan

pentingnya penerapan system ekonomi Syari’ah (SES). Disamping mampu mengatasi kelemahan-

kelemahan yang ada, system ekonomi Syariah bisa melepaskan ketergantungan ekonomi yang

selama ini mengancam kemandirian bangsa.

Sistem ekonomi Syari’ah berbeda dengan system ekonomi konvensional dalam banyak hal.

Memang pada saat ini terdapat berbagai madzhab pemikiran yang bertujuan untuk mengembangkan

apa yang dimaksudkan dengan SES. Dari semua madzhab yang ada, terlihat bahwa yang menjadi

dasar berpijak dari sistemya adalah al-Quran dan al-Hadits. Al-Quran dan al-Hadits dijadikan

landasan pembangunan seluruh elemen SES yang ada. Dari al-Quran dan al-Hadits maka kita dapat

memperoleh nilai-nilai fundamental yang merupakan landasan dari SES.

Secara umum dapat dikatakan bahwa salah satu ciri utama dari pada system tersebut adalah

46

pelarangan riba dalam kegiatan perekonomian.

Sementara itu, kita tahu bahwa ‘bunga’

merupakan salah satu variable dalam system ekonomi konvensional yang menentukan jalannya

system yang ada. Dengan demikian, pelarangan riba dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi

merupakan ciri utama dari SES. Ciri umum lainnya adalah variable zakat yang merupakan variable

kunci untuk menggerakkan roda perekonomian dalam SES.

Variable kunci lainnya dalam SES adalah pemberdayaan wakaf. Karena wakaf merupakan

wahana mobilisasi sumber daya perekonomian yang mempunyai kekuatan social yang cukup

dahsyat apabila dikelola secara profesional. Dan pemberdayaan wakaf bisa dijadikan strategi untuk

meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat

serta sebagai upaya melepaskan ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap bantuan-bantuan

(pinjaman utang) luar negeri. Dengan pemberdayaan wakaf serta lembaga-lembaga

keuangan Syari’ah lainnya dengan sendirinya akan menjadikan negeri yang independen dan

lepas dari campur tangan asing, baik ekonomi, politik, social dan budaya.

Dari kesadaran penuh akan kelemahan system ekonomi kapitalis (konvensional) dan keinginan

yang kuat masyarakat Islam dalam menerapkan system ekonomi Syari’ah merupakan momentum

dan peluang yang cukup besar untuk memberdayakan wakaf produktif sebagai salah

47

satu variable yang cukup strategis bagi penerapan

SES.

D. Dukungan Politik Pemerintah Dalam

Pemberdayaan Civil Society

Munculnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang dibidani ICMI-MUI di awal 1990-an sebagai

bank Syari’ah pertama di tanah air merupakan dukungan pemerintah Orde Baru yang sarat

dengan nuansa politis. Namun demikian, hadirnya BMI menjadi tonggak awal kesadaran terhadap

pentingnya bank Islam yang mengajarkan system keuangan tanpa bunga sebagai alternatif system

yang telah ada. Bersamaan perjalanan waktu, keinginanan masyarakat mendirikan lembaga-

lembaga keuangan Syari’ah lainnya seperti Asuransi Takaful, Reksadana Syari’ah, BPR

Syari’ah, Baitul Mal Wat-Tamwil (BMT) dan lain-lain bermunculan bagaikan jamur di musim hujan

sebagai respon positif bagi kebijakan pemerintah

yang mendukung system keuangan yang didasarkan pada ajaran Islam.

Lebih-lebih di era reformasi seperti sekarang ini, lembaga-lembaga keuangan Syari’ah,

khususnya perbankan Syari’ah bermunculan di hampir seluruh pelosok nusantara. Tentu saja

kemunculan lembaga-lembaga tersebut atas dukungan penuh dari kebijakan-kebijakan otoritas

moneter negeri ini. Dukungan politik pemerintah dan keinginan yang kuat masyarakat muslim

terhadap penerapan system keuangan

48

berdasarkan Syari’at Islam membuka peluang

yang seluas-luasnya terhadap seluruh pengelolaan

harta dan keuangan demi kesejahteraan masyarakat banyak.

Saat negeri kita dilanda krisis ekonomi yang berkepenjangan seperti sekarang ini, pemerintah

menyadari akan pentingnya partisipasi semua pihak. Masyarakat dituntut ikut serta

memberdayakan ekonomi melalui system yang relevan dengan dinamika social sebagai akibat

dari kebebasan berpolitik, berkumpul (berserikat), berpendapat dan lain-lain. Penguatan lembaga-

lembaga pemberdayaan yang dilahirkan atas kemauan masyarakat sendiri didorong oleh

pemerintah agar berjalan dengan baik agar memberikan peran yang lebih berarti bagi

kesejehteraan ekonomi umat.

Salah satu lembaga pemberdayaan ekonomi umat yang berbasis pada ajaran Islam selain

lembaga zakat adalah lembaga perwakafan. Lembaga perwakafan memang sudah ada sejak

Islam masuk di negeri ini, namun pembardayaannya dirasa masih jauh dari harapan

yang sesungguhnya. Walaupun dalam beberapa contoh perberdayaan wakaf sudah cukup baik

untuk kesejehteraan masyarakat, namun secara umum wakaf masih menjadi kekayaan umat yang

belum dirasakan manfaatnya secara maksimal.

Potensi besar yang dimiliki oleh wakaf sebagai

salah satu variable penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak didorong oleh

49

pemerintah secara politik dengan beberapa

peraturan perundang-undangan wakaf agar

berfungsi secara produktif. Munculnya inovasi-inovasi dari kalangan civil society seperti Dompet

Dhuafa Republika (DDR) yang mengeluarkan sertifikat wakaf tunai misalnya, merupakan

bentuk kepedulian yang tumbuh dari kesadaran masyarakat. Dan ini merupakan sinyal positif

secara politik dimana umat Islam diberi kebebasan dalam mengelola seluruh potensi

kekayaan yang dimiliki sesuai dengan system keuangan Syari’ah. Tentu saja yang diuntungkan

bukan saja masyarakat banyak yang kelak akan merasakan manfaat yang sesungguhnya dari

wakaf, tapi juga pihak pemerintah yang bijak akan mendapatkan dukungan penuh dari

masyarakatnya.

Otomatis, kondisi politik yang saling menguntungkan antara pemerintah dan

masyarakat tersebut menjadi peluang yang sangat lebar bagi pemberdayaan wakaf produktif

dalam rangka mengatasi krisis ekonomi yang yang berkepanjangan.

E. Banyaknya Perbankan Syari’ah yang

Siap Mengelola Wakaf Produktif

Pemikiran ekonomi Islam hingga kini masih didominasi oleh dua ajaran. Pertama, ajaran

tentang larangan riba yang dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan bisnis nyata, telah

menghasilkan pendangan yang mengharamkan

50

bunga bank (interest, rente). Hampir saja

pandangan ini menghalangi umat Islam untuk

berhubungan dengan lembaga perbankan, apalagi mendirikan bank. Hal ini menyebabkan umat

Islam tertinggal dalam perkembangan ekonomi dan bisnis, karena system kredit perbankan

merupakan faktor kunci dalam pembangunan ekonomi dan pertumbuhan bisnis. Karena itu,

maka ekonom muslim (yang umumnya berpendidikan Barat), cepat-cepat mengingatkan

umat Islam bahwa sesungguhnya yang dilarang oleh Islam Itu bukannya lembaga perbankan,

melainkan bunga bank yang mendasari mekanisme perbankan.

Tokoh Muhammadiyah, Kasman Singodimejo, menerbitkan buku kecil yang intinya adalah

mewajibkan umat Islam untuk mendirikan bank.

Wacana itu kemudian, di kalangan gerakan Islam ditindaklanjuti dengan pemikiran mengenai

lembaga keuangan, khususnya perbankan yang non ribawi. Setelah itu maka sejak kira-kira

dasawarsa 1970-an, bertepatan dengan krisis energi yang dikenal dengan istilah oil shock yang

melahirkan negara-negara pengekspor minyak bumi yang menghasilkan surplus dolar itu, mulai

lahir satu persatu apa yang disebut “bank Islam”.

Tumbuhnya bank-bank Islam di Eropa Barat

dan beberapa negara Islam tidak lepas dari pengaruh surplus dolar yang ‘bergentayangan’

mencari saluran. Dengan demikian tidak terlalu jika disimpulkan bahwa tumbuhnya bank-bank

Islam adalah merupakan respon terhadap gejala

51

surplus dolar pada tingkat global. Bahkan dapat

ditafsirkan pula bahwa lembaga perbankan Islam

(di Indonesia lebih dikenal dengan ‘perbankan Syari’ah) itu adalah hasil ‘konspirasi’ para ekonom

dan professional muslim, lulusan universitas-universitas Barat yang berhasil membuat lembaga

yang bisa memutarkan modal. Salah satu wujud rekayasa teknokrasi pada tingkat internasional

adalah Islamic Development Bank (IDB) yang berpusat di Jeddah, Saudi Arabia. Modal IDB

sebagian besar berasal dari negara-negara penghasil minyak bumi, yang kebanyakan adalah-

adalah negara-negara muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang

beranggotakan negara-negara Islam, termasuk Indonesia.

Telah banyak makalah dan buku ditulis

mengenai bank Islam dan system keuangan Islam, tidak saja oleh sarjana-sarjana muslim,

tetapi juga oleh sarjana-sarjana non muslim. Demikian juga telah banyak ditulis buku-buku dan

artikel-artikel ilmiah mengenai ekonomi Islam. Dalam tulisan tersebut, system moneter non-

ribawi selalu disebut sebagai yang paling menonjol, sehingga terkesan seolah-olah bahwa

system moneter, khususnya perbankan Islam inilah yang menemukan bentuknya, bahkan telah

sampai pada tingkat operasional, dengan terbentuknya lebih dari 50 bank-bank Islam di

dunia, termasuk di di negara-negara industri maju, khususnya di Eropa Barat. Bahkan sebuah

52

bank Amerika, City Bank, telah mengeluarkan

produk perbankan Syari’ah.

Di Indonesia berkat upaya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim

se-Indonesia (ICMI) pada tahun 1992, telah berhasil di dirikan Bank Muamalat Indonesia

(BMI), yang kini nilai assetnya telah mencapai 1,5 trilitun. Terlepas dari motivasi politik yang

dikemas sebagai sebuah dukungan dari aspirasi umat Islam saat itu, BMI telah memberikan

inspirasi bank-bank konvensional membuka bank bersistem Syariah, seperti Bank Mandiri Syari’ah

(BMS), BNI syari’ah, Bank IFI Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah dan sebagainya. Kemudian

juga terbentuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan lebih dari BPR-Syari’ah. Di tingkat

pedesaan kini telah berkembang lebih dari 3000

lembaga kredit mikro Syari’ah yang disebut dengan Baitul Mal wat-Tamwil (BMT) yang

dipelopori oleh ICMI.

Selain lembaga bank, telah pula dibentuk

lembaga asuransi Syari’ah (takaful). Demikian pula, dengan bantuan dana dari IDB, sebesar 75

juta dolar US, telah beroperasi sebuah reksadana (mutual fund) Syari’ah, yang kini telah berhasil

mengembalikan dana pinjamannya senilai 100 juta dolar US. Kesemuanya pada dasarnya adalah

lembaga keuangan yang mendasarkan diri pada aturan Syari’ah, yang secara teoritis telah

berkembang pesat, bahkan tidak saja telah diajarkan di perguruan tinggi Islam, melainkan

juga universitas-universitas di Barat, misalnya

53

Universitas Harvard (AS), Universitas Oxford

(Inggris) atau Universitas Wolonggong (Aystralia).

Lembaga perbankan dan keuangan tersebut telah ikut berperan dalam memberdayakan

ekonomi umat, dengan fasilitas kredit. Hanya saja perlu dicatat, bahwa produk yang paling popular

adalah murabahah untuk membiayai sektor perdagangan. Produk-produk mudharabah atau

musyarakah untuk membiayai investasi di bidang industri dan pertanian, masih sangat terbatas,

yaitu pangsanya masih kurang dari 15 % saja. Lagi pula, BMI umpamanya, hanya bisa

membiayai proyek-proyek yang kreditnya didukung dengan kolateral dan telah bekerja

minimal dua tahun, dengan laporan keuangan yang rapi. Investasi baru, dengan demikian tidak

mungkin dibiayai. Bank juga tidak mau menerima

tanah atau asset lain yang merupakan harta wakaf. Universitas Asy-Syafi’iyyah misalnya,

berhasil merubah setifikat tanah wakaf menjadi tanah hak milik. Faktor ini merupakan

penghambat penggunaan tanah wakaf sebagai salah satu modal usaha, terutama yang dibiayai

dengan kredit.

Berdasarkan tinjauan fikih, terdapat dua

pandangan atas posisi Nazhir yang berkaitan dengan masalah wakaf. Pertama, pendapat yang

menyatakan behwa Nazhir adalah penerima, penyalur sekaligus pengelola harta (dana) wakaf.

Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa Nazhir hanyalah sebagai penerima dan penyalur

harta (dana) wakaf, sedangkan wewenang

54

pengelolaan harta (dana) wakaf harus dipisahkan

dengan wewenang penerimaan dan penyaluran

untuk menghindari adanya kemungkinan negatif (moral hazard).

Munculnya bank-bank Syari’ah, khususnya yang dimotori oleh bank-bank besar konvensional

di hampir seluruh pelosok tanah air memberikan angin besar dan optimisme tinggi bagi umat

Islam, termasuk di dalamnya pengelolaan harta (dana) wakaf secara produktif. Untuk harta wakaf

yang berbentuk harta tak bergerak seperti tanah dan bangunan, pihak bank Syari’ah bisa

menjadikannya sebagai agunan (jaminan) peminjaman sejumlah dana dalam rangka

pengembangan harta wakaf yang lain. Sedangkan kalau dalam bentuk tunai (cash waqf), pihak bank

langsung bisa mengelola, mengembangkan dan

menyalurkan harta wakaf yang dipercayakan kepada bank tersebut.

Peranan perbankan Syari’ah dalam wakaf setidaknya memiliki beberapa keunggulan yang

diharapkan dapat mengoptimalkan operasional harta (dana) wakaf, yaitu:

(a) Jaringan kantor

Relatif luasnya jaringan kantor perbankan

Syari’ah dibandingkan dengan lembaga keuangan Syari’ah lainnya merupakan keunggulan tersendiri

bagi perbankan Syari’ah di dalam memberikan peran pengelolaan harta (dana) wakaf, baik

langsung maupun tidak langsung. Dengan luas jaringan yang mencapai 174 kantor (2001, BI) di

55

hampir seluruh wilayah Indonesia serta tingkat

pertumbuhan jumlah kantor bank Syari’ah yang

mencapai 2,1 % per-bulan, maka fenomena ini merupakan faktor penting di dalam

mengoptimalkan pemasyarakatannya (sosialisasi), penggalangan dana wakaf serta penyalurannya.

Dengan relatif luasnya jaringan kantor perbankan diharapkan akan lebih mengefektifkan

sosialisasi keberadaan produk wakaf tunai seiring dengan tingginya akses masyarakat terhadap jasa

perbankan. Sebagai implikasi dari efektifnya sosialisasi tersebut serta semakin luasnya

jaringan kantor, maka pada tahap selanjutnya panggalangan dana wakaf tunai juga akan

semakin optimal. Begitu pula dengan aktivitas penyalurannya, luasnya jaringan kantor akan

sangat membantu efektifitas serta efisiensi

penyampaian harta (dana) wakaf kepada mauquf ‘alaih.

(b) Kemampuan sebagai Fund Manager

Sebagai lembaga perantara antara Surplus

Spending Unit dengan Deficit Spending Unit, lembaga perbankan pada dasarnya merupakan

lembaga pengelola dana (masyarakat). Dengan demikian, sebuah lembaga perbankan dengan

sendirinya haruslah –tidak boleh tidak—merupakan lembaga yang memiliki kemampuan

untuk mengelola dana. Dalam kaitan dengan

56

wakaf tunai, merupakan suatu alternatif yang

patut dipertimbangkan dan dapat dipertanggung

jawabkan kepada publik, khususnya kepada wakif.

Dengan memahami bahwa pilihan produk

keuangan Syari’ah masih terbatas di pasar dalam negeri, maka pilihan untuk menempatkan dana

pada produk-produk Syari’ah di pasar internasional menjadi sangat besar. Di sampaing

itu penanaman dana di pasar internasional juga dapat dipandang sebagai upaya memperkecil

resiko melalui diversifikasi penanaman dana. Untuk itu, efektifitas serta optimalisasi

pengelolaan dana perbankan Syari’ah tersebut memiliki akses sekaligus berberan dalam pasar

keuangan Syari’ah internasional.

(c) Pengalaman, Jaringan Informasi dan Peta

Distribusi

Sebagai pengelola dana untuk kemudian disalurkan kepada pihak tertentu, lembaga

perbankan akan memiliki pengalaman, informasi serta data distribusi kemana dana tersebut

dialirkan. Dalam praktek operasional selanjutnya, ketiga hal tersebut menjadi faktor yang akan

selalu dipertimbangkan di dalam mengoptimalkan pengelolaan dana. Jaringan informasi serta peta

distribusi juga memungkinkan untuk terbentuknya database informasi mengenai sektor usaha

maupun debitur yang akan dibiayai termasuk oleh dana eks wakaf. Dalam kaitan dengan wakaf

tunai, maka pengelolaan wakaf tunai oleh lembaga perbankan, tidak saja akan

57

mengoptimalkan pengelolaan dana akan tetapi

juga akan mengefektifkan penyaluran dana wakaf

tunai sesuai dengan yang dinginkan oleh wakif.

(d) Citra positif

Dengan adanya ketiga hal tersebut di atas yang menjadi faktor positif pada lembaga

perbankan Syari’ah yang menjadi wakaf tunai, maka diharapkan akan menimbulkan citra positif

pada gerakan wakaf tunai itu sendiri maupun pada perbankan Syari’ah pada khususnya. Selain

itu danya pengawasan dari Bank Indonesia (BI) akan menimbulkan akuntabilitas yang positif dari

pengelolaan wakaf tersebut. Pemunculan citra positif tersebut dipandang penting, tidak saja

untuk mensukseskan serta mengoptimalkan keberadaan wakaf tunai tersebut, akan tetapi juga

sebagai upaya untuk menghindari citra yang

kurang baik, seperti halnya yang terjadi pada pengelolaan wakaf pada umumnya.

58

Bagian Keempat

HAMBATAN DAN TANTANGAN

A. Paham Umat Islam Tentang Wakaf

Sejak datangnya Islam, wakaf telah dilaksanakan

berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar

masyarakat Islam Indonesia, yaitu paham Syafi’iyyah dan

adat kebiasaan setempat. Pola pelaksanaan wakaf sebelum

adanya UU No. 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar

Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun

1977 tentang : Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam

Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan

keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan

hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling

percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu,

kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang

mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus

melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap

milik Allah semata dan tidak akan pernah ada pihak yang

berani mengganggu gugat.

Paham masyarakat Indonesia tersebut terlihat sangat

lugu karena tingginya sikap jujur dan saling percaya

antara satu dengan yang lain di masa-masa awal.

Walaupun pada akhirnya nanti bisa menimbulkan

persengketaan-persengketaan karena tiadanya bukti-bukti

yang mampu menunjukkan bahwa benda-benda

bersangkutan telah diwakafkan. Keberadaan perwakafan

tanah waktu itu dapat diteliti berdasarkan bukti-bukti

catatan di Kantor Urusan Agama (KUA) di kabupaten dan

kecamatan, bukti arkeologi, Candra Sengkala, piagam

59

perwakafan dan cerita sejarah tertulis maupun lisan.

(Djatnika : 1977)

Selain tradisi lisan dan tingginya kepercayaan kepada

penerima amanah dalam melakukan wakaf, umat Islam

Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan

Syafi’iyyah sebagaimana mereka mengikuti madzhabnya,

seperti tentang : ikarar wakaf, harta yang boleh

diwakafkan, kedudukan harta setelah diwakafkan, harta

wakaf ditujukan kepada siapa dan boleh tidaknya tukar

menukar harta wakaf.

Pertama, ikrar wakaf. Sebagaimana di sebutkan di atas

bahwa kebiasaan masyarakat kita sebelum adanya UU No.

5 tahun 1960 dan PP No. 28 tahun 1977 hanya

menggunakan pernyataan lisan saja yang didasarkan pada

adat kebiasaan keberagamaan yang bersifat lokal.

Penyataan lisan secara jelas (sharih) menurut pandangan

As-Syafi’i termasuk bentuk dari pernyataan wakaf yang

sah. Akan tetapi dalam kasus masjid, bila seseorang

memiliki masjid dan mengijinkan orang atau pihak lain

melakukan ibadah di masjid tersebut, maka tidaklah

otomatis masjid itu berstatus wakaf. Pernyataan wakaf

harus menggunakan kata-kata yang jelas seperti waqaftu,

habastu atau sabbaltu atau kata-kata kiasan yang

dibarengi dengan niat wakaf secara tegas. Dari pandangan

Imam Asy-Syafi’I tersebut kemudian ditafsirkan secara

sederhana bahwa pernyataan wakaf cukup dengan lisan

saja.

Namun demikian ketika ada orang yang mewakafkan

harta bendanya dengan tulisan atau isyarat untuk

menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang

diinginkan bukan berarti wakafnya tidak sah. Pernyataan

60

tulisan mewakafkan sesuatu justru bisa menjadi bukti yang

kuat bahwa si wakif telah melakukannya, lebih-lebih itu

dinyatakan di hadapan hakim dan Nazhir wakaf yang

ditunjuk.

Kedua, harta yang boleh diwakafkan. Benda yang

diwakafkan dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut ;

(1) Benda harus memiliki nilai guna. Tidak sah

hukumnya mewakafkan sesuatu yang bukan benda,

misalnya hak-hak yang bersangkut paut dengan

benda, seperti : hak irtifaq, hak irigasi, hak lewat, hak

pakai dan lain sebagainya. Tidak sah pula

mewakafkan benda yang tidak berharga menurut

syara’, yakni benda yang tidak boleh diambil

manfaatnya, seperti benda memabukkan dan benda-

benda haram lainnya. Karena maksud wakaf adalah

mengambil manfaat benda yang diwakafkan serta

mengharapkan pahala atau keridhaan Allah atas

perbuatan tersebut.

(2) Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan

untuk diwakafkan. Kebiasaan masyarakat Indonesia

dalam sejarahnya dan juga sampai sekarang pada

umumnya mewakafkan harta berupa benda yang

tidak bergerak, seperti tanah, bangunan untuk masjid,

madrasah, pesantren, rumah sakit, panti asuhan dan

lain sebagainya. Dan pandangan ini secara kebetulan

juga telah disepakati oleh semua madzhab empat.

Garis umum yang dijadikan sandaran golongan

Syafi’iyyah dalam mewakafkan hartanya dilihat dari

kekekalan fungsi atau manfaat dari harta tersebut,

61

baik berupa barang tak bergerak, barang bergerak

maupun barang kongsi (milik bersama) (Asy-

Syarbini : 1958 : 376). Namun demikian, walaupun

golongan Syafi’iyyah membolehkan harta bergerak

seperti uang, saham dan surat berharga lainnya, umat

Islam Indonesia belum bisa menerima sepenuhnya

karena dikhawatirkan wujud barangnya bisa habis.

(3) Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui)

ketika terjadi akad wakaf. Penentuan benda tersebut

bisa ditetapkan dengan jumlahnya, seperti seratus juta

rupiah, atau bisa juga menyebut dengan nisbahnya

terhadap benda tertentu, misalnya separuh tanah yang

dimiliki, dan lain sebagainya. Wakaf yang tidak

menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan

diwakafkan, maka tidak sah hukumnya, seperti

mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah

buku dan sebagainya.

(4) Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi

milik tetap (al-milk at-tamm) si wakif (orang yang

mewakafkan) ketika terjadi akad wakaf. Oleh

karenanya, jika seseorang mewakafkan benda yang

bukan atau belum menjadi miliknya, walaupun

nantinya akan menjadi miliknya, maka hukumnya

tidak sah, seperti mewakafkan benda atau sejumlah

uang yang masih belum diundi dalam arisan,

mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau

jaminan jual beli dan lain sebagainya.

Ketiga, kedudukan harta setelah diwakafkan. Di

lingkungan umat Islam Indonesia bahwa semangat

pelaksanaan wakaf lebih bisa dilihat dari adanya

62

kekekalan fungsi atau manfaat untuk kesejahteraan umat

atau untuk kemaslahatan agama, baik terhadap diri

maupun lembaga yang telah ditunjuk oleh wakif. Karena

tujuan dan kekekalan manfaat dari benda yang

diwakafkan, maka menurut golongan Syafi’iyyah yang

dianut pula oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia

berubah kepemilikannya menjadi milik Allah atau milik

umum. Wakif sudah tidak memiliki hak terhadap benda

itu. Menurut mereka, wakaf itu sesuatu yang mengikat, si

wakif tidak dapat menarik kembali dan membelanjakannya

yang dapat mengakibatkan perpindahan hak milik, dan ia

juga tidak dapat mengikrarkan bahwa benda wakaf itu

menjadi hak milik orang lain dan lain sebagainya. Ia tidak

dapat menjual, menggadaikan, menghibahkan serta

mewariskan.

Keempat, harta wakaf ditujukan kepada siapa?

Dalam realitas masyarakat kita, wakaf yang ada selama ini

ditujukan kepada dua pihak :

(1) keluarga atau orang tertentu (wakaf ahli) yang

ditunjuk oleh wakif. Apabila ada seseorang yang

mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu

kepada cucunya, maka wakafnya sah dan yang

berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang

ditunjuk dalam pernyataan wakaf.

Di satu sisi, wakaf ahli ini baik sekali karena si wakif

akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari

amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari

silaturrahminya dengan orang yang diberi amanah

wakaf. Akan tetapi di sisi yang lain, wakaf ahli ini

sering menimbulkan masalah, seperti : bagaimana

kalau anak yang ditunjuk sudah tidak ada lagi

63

(punah), siapa yang berhak mengambil manfaat dari

harta wakaf itu ? Lebih-lebih pada saat akad

wakafnya tidak disertai dengan bukti tertulis yang

dicatatkan kepada negara. Atau sebaliknya,

bagaimana jika anak cucu si wakif yang menjadi

tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa,

sehingga menyulitkan bagaimana cara pembagian

hasil harta wakaf. Dan ini banyak bukti, di

lingkungan masyarakat kita sering terjadi

persengketaan antar keluarga yang memperebutkan

harta yang sesungguhnya sudah di wakafkan kepada

orang yang ditunjuk. Dalam masalah ini, Ahmad

Azhar Basyir, MA dalam bukunya “ Hukum Islam

tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah” menulis:

menghadapi kenyataan semacam itu di beberapa

negara yang dalam perwakafan telah mempunyai

sejarah lama, lembaga wakaf ahli itu sebaiknya

diadakan peninjauan kembali untuk dihapuskan.

(2) Wakaf yang ditujukan untuk kepentingan agama

(keagamaan) atau kemasyarakatan (wakaf khairi).

Wakaf seperti ini sangat mudah kita temukan di

sekitar kehidupan masyarakat kita, yaitu wakaf yang

diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid,

sekolahan, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak

yatim dan lain-lain. Wakaf dalam bentuk seperti ini

jelas lebih banyak manfaatnya dari pada jenis yang

pertama, karena tidak terbatasnya orang atau

kelompok yang bisa mengambil manfaat. Dan inilah

yang sesungguhnya semangat yang diajarkan oleh

wakaf itu sendiri.

64

Kelima, boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf.

Dalam masalah ini, mayoritas wakif dari umat Islam

Indonesia berpegang pada pandangan konservatifnya Asy-

Syafi’i sendiri yang menyatakan bahwa harta wakaf tidak

boleh ditukar dengan alasan apapun. Dalam kasus masjid

misalnya, Imam Syafi’i menegaskan bahwa tidak boleh

menjual masjid wakaf secara mutlak, sekalipun masjid itu

roboh. Dan ini mudah kita temukan bangunan-bangunan

masjid tua di sekitar kita yang nyaris roboh dan

mengakibatkan orang malas pergi ke masjid tersebut

hanya karena para Nazhir wakaf mempertahankan

pendapatnya Imam Syafi’i.

Sebagai perbandingan, kalau menurut pendapatnya

Imam Ahmad bin Hanbal justru membolehkan menjual

harta wakaf dengan harta wakaf yang lain. Dalam kasus

masjid di atas, menurutnya, masjid tersebut (yang sudah

roboh) boleh dijual apabila masjid itu sudah tidak lagi

sesuai dengan tujuan pokok perwakafan sebagaimana

tujuan atau niat wakif ketika akad wakaf dilangsungkan.

Namun demikian hasil dari penjualannya harus

dipergunakan untuk membangun masjid lain yang lebih

bisa dimanfaatkan peruntukannya secara maksimal. (Abu

Zahrah : 1971) Jadi pada dasarnya, perubahan peruntukan

dan status tanah wakaf ini tidak diperbolehkan, kecuali

apabila tanah wakaf tersebut sudah tidak dapat lagi

dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf, maka terhadap

wakaf yang bersangkutan dapat diadakan perubahan, baik

peruntukannya maupun statusnya.

Persyaratan ketat atas penukaran harta wakaf karena

kita tahu, tidak semua orang di dunia ini baik akhlaknya,

demikian juga dengan Nazhir (pengelola harta wakaf).

65

Sering kita temukan orang atau lembaga yang diberi

amanah wakaf (Nazhir) yang dengan sengaja

mengkhianati kepercayaan wakif dengan merubah

peruntukan atau status tanah wakaf tanpa alasan yang

meyakinkan. Hal-hal yang demikian ini tentu

menimbulkan reaksi dalam masyarakat, khususnya bagi

mereka yang berkepentingan dalam perwakafan tanah.

Sebelum dikeluarkannya PP No. 28 tahun 1977, keadaan

perwakafan tanah tidak atau belum diketahui jumlahnya,

bentuknya, penggunaan dan pengelolaannya disebabkan

tidak adanya ketentuan administratif yang mengatur. Itulah

urgensi dikeluarkannya PP No. 28 tahun 1977 yang

disebut dalam konsiderannya. Dan jelas sekali kondisi di

atas sangat mengganggu nilai-nilai yang terkandung dalam

ajaran wakaf itu sendiri tentang sosialisme harta (kekayaan

dunia) untuk menciptakan keseimbangan sosial di tengah-

tengah masyarakat.

Keenam, adanya kebiasaan masyarakat kita yang ingin

mewakafkan sebagian hartanya dengan mempercayakan

penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam

masyarakat sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz, ajengan

dan lain-lain untuk mengelola harta wakaf sebagai Nazhir.

Orang yang ingin mewakafkan harta (wakif) tidak tahu

persis kemampuan yang dimiliki oleh Nazhir tersebut.

Dalam kenyataannya, banyak para Nazhir wakaf tersebut

tidak mempunyai kemampuan manajerial dalam

pengelolaan tanah atau bangunan sehingga harta wakaf

tidak banyak manfaat bagi masyarakat sekitar. Keyakinan

yang mendarah dan mendaging bahwa wakaf harus

diserahkan kepada seorang ulama, kyai atau lainnya,

sementara orang yang diserahi belum tentu mampu

66

mengurus merupakan kendala yang cukup serius dalam

rangka memberdayakan harta wakaf secara produktif di

kemudian hari.

B. Banyaknya Tanah Wakaf Yang Tidak Strategis dan

Pro-Kontra Mengenai Pengalihan Wakaf Untuk

Tujuan Produktif

Menurut data Departemen Agama terakhir terdapat

kekayaan tanah wakaf di Indonesia sebanyak 403.845

lokasi dengan luas 1.566.672.406 M2. Dari total jumlah

tersebut tidak seluruhnya berlokasi strategis secara

ekonomis. Tanah perkebunan, sawah, ladang dan lain-lain

yang diwakafkan ternyata banyak yang mempunyai nilai

ekonomis sangat minim. Letak ketidakstrategisan secara

ekonomi bisa ditinjau dari aspek :

(a) Lokasi tanah. Letak tanah yang jauh dari pusat-pusat

perekonomian sangat mempengaruhi terhadap nilai

tanahnya. Tentu saja hal yang menjadi kendalanya

adalah faktor transportasi, baik dalam proses-proses

pengolahan maupun pengambilan hasil-hasil tanah

tersebut. Banyak tanah wakaf di Indonesia berupa

sawah, perkebunan, lapangan terbuka atau lainnya

tidak tergarap secara baik karena kendala transportasi

yang sangat jauh dari pusat-pusat ekonomi atau

kegiatan social yang ada. Katakanlah tanah yang

diwakafkan tersebut subur dan sangat mungkin bisa

menghasilkan panen yang bagus, tetapi karena faktor

jarak atau transportasi yang tidak sesuai dengan hasil

panen yang didapat, akhirnya tanah-tanah tersebut

terbengkelai atau tidak terurus.

67

(b) Kondisi tanah. Tanah yang gersang atau tidak subur

jelas tidak menguntungkan secara ekonomi.

Walaupun letak tanah strategis secara ekonomi, tapi

jika tidak mempunyai kekuatan ekonomi yang

memadai, maka tanah tersebut akan ditinggalkan atau

tidak diurusi oleh para Nazhir wakaf. Lebih-lebih

tanahnya gersang dan letaknya pun sangat jauh dari

pusat-pusat ekonomi. Kondisi tanah wakaf seperti ini

memang dibutuhkan kemampuan para Nazhir untuk

mengelola secara produktif yang tidak selalu

berorientasi pada penggarapan di bidang agraria,

namun tentu saja hambatan yang umum dialami

dunia perwakafan di Indonesia adalah minimnya

kemampuan para Nazhir wakaf untuk memecahkan

persoalan tersebut.

(c) Kemampuan pengelolaan tanah yang minim. Di

samping karena faktor letak yang tidak strategis

secara ekonomi dan kondisi tanah yang gersang,

hambatan yang cukup mencolok untuk mengelola

tanah wakaf secara produktif adalah kemampuan

Sumber Daya Manusia (SDM) penggarap yang tidak

professional. Kondisi ini banyak dialami oleh para

Nazhir wakaf yang ada di pedesaan di hampir seluruh

pelosok nusantara, bahwa kemampuan penggarap

masih sangat minim. Katakanlah tanah wakaf

tersebut sudah digarap sesuai dengan standar

kemampuan rata-rata di lingkungan tanah wakaf

tersebut, namun hasilnya masih belum maksimal,

atau paling tidak hanya sekedar kembali modal

penggarapan.

68

Keadaan tersebut merupakan kenyataan di lapangan

dimana banyak tanah-tanah wakaf belum bisa digarap

secara produktif sehingga menghasilkan out-put ekonomi

yang lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat banyak.

Di samping kendala teknis tanah yang tidak strategis

secara ekonomis, di dalam masyarakat kita masih terjadi

pro-kontra pengalihan atau pertukaran tanah wakaf untuk

tujuan yang produktif maupun pemanfaatannya. Misalnya,

ada seorang wakif yang mewakafkan tanah kebunnya

untuk pesantren di pusat kota, sementara tanah yang wakif

miliki di pedesaan jauh dari pesantren tersebut. Sementara

pesantren tidak memiliki modal yang cukup untuk

mengelola tanah wkaf tersebut, sehingga tanah wakaf

seperti itu tidak bisa dikelola secara baik karena kendala

transportasi dan sarana lain. Namun ketika para wakif

ditawarkan bahwa tanah wakaf tersebut sebaiknya dijual

dan hasil penjualan untuk kepentingan pesantren seperti

gedung perpustakaan misalnya, ternyata para wakif

banyak yang menolaknya karena memegangi paham

bahwa wakaf tidak bisa dijual.

Memang kendala pemahaman untuk mengalihkan

tanah-tanah yang tidak strategis secara ekonomis dengan

tanah-tanah yang atau sarana lain yang strategis secara

ekonomis masih menjadi hambatan yang nyata. Hal ini

bisa dimaklumi karena adanya pemahaman yang kuat dan

mendalam bahwa wakaf merupakan harta yang bersifat

abadi dimana kepemilikannya dikembalikan penuh kepada

Allah sebagaimana dikembalikan kepada arti wakaf itu

sendiri, yaitu harta yang ‘berhenti’ untuk Allah, sehingga

apapun kondisi harta wakaf tersebut harus dibiarkan dan

tidak boleh dirubah-rubah oleh alasan apapun.

69

Sebenarnya menurut pandangan ulama madzhab

empat, persoalan pengalihan harta wakaf cukup dinamis

dan fleksibel, namun masyarakat Indonesia terkenal

dengan kuatnya memegangi pendapat Imam Syafi’i.

Sebagai perbandingan pandangan mengenai hal ini bisa

lihat sebagai berikut:

Apabila harta wakaf sudah tidak memberi manfaat

lagi, seperti: wakaf sebidang tanah ditanami jeruk,

sedangkan jeruknya sudah tidak berbuah lagi. Atau kurang

memberi manfaat, seperti : wakaf sebidang tanah sawah

untuk ditanami padi, akan tetapi bila ditanami padi kurang

baik hasilnya. Bolehkan dengan harta lainnya? Dalam hal

ini para ulama berbeda pendapat :

Menurut Ulama Hanafiyah

Dalam penukaran harta wakaf, mereka membagi menjadi 3

(tiga) macam :

Bila si wakif pada waktu mewakafkan harta

mensyaratkan bahwa dirinya atau pengurus harta wakaf

(Nazhir) berhak menukar, maka penukaran harta wakaf

boleh dilakukan. Tapi Muhammad berpendapat bahwa

: “wakafnya sah, sedang syaratnya batal”.

Apabila si wakif tidak mensyaratkan dirinya atau orang

lain berhak menukar, kemudian ternyata wakaf itu

tidak memungkinkan diambil manfaatnya, misalnya :

wakaf bangunan yang sudah roboh dan tidak ada yang

membangunnya kembali, atau tanah yang tandus, maka

dibolehkan menukar harta wakaf dengan seijin hakim.

Jika harta itu bermanfaat dan hasilnya melebihi biaya

pemeliharaan, tapi ada kemungkinan untuk ditukar

70

dengan sesuatu yang lebih banyak manfaatnya, maka

dalam hal ini ulama Hanafiyah berbeda pendapat, Abu

Yusuf berpendapat : “boleh” menukarnya karena lebih

bermanfaat bagi si wakif dan tidak menghilangkan apa

yang dimaksud oleh si wakif. (Abu Zahrah, 1971 :

171). Hilal dan kamaluddin bin al-Himam berpendapat

: “tidak boleh” menukarnya sebab hukum pokok dari

wakaf adalah tetapnya barang wakaf, bukan

bertambahnya manfaat. Tapi boleh menukarnya dalam

keadaan darurat atau memang ada ijin atau syarat dari

si wakif. (Abu Zahrah, 1971 : 172).

Menurut Ulama Malikiyah

Golongan Malikiyah berpendapat “tidak boleh”

menukar harta wakaf yang terdiri dari benda tak bergerak,

walaupun benda itu akan rusak atau tidak menghasilkan

sesuatu. Tapi sebagian ada yang berpendapat “boleh” asal

diganti dengan benda tak bergerak lainnya jika dirasakan

bahwa benda itu sudah tidak bermanfaat lagi.

Sedangkan untuk benda bergerak, golongan Malikiyah

“membolehkan”, sebab dengan adanya penukaran maka

benda wakaf itu tidak akan sia-sia. (Abu Zahrah, 1971 :

163).

Menurut Ulama Syafi’iyyah

Imam Asy-Syafi’I sendiri dalam masalah tukar

menukar harta wakaf hampir sama dengan pendapatnya

Imam Malik, yaitu sangat mencegah adanya tukar

menukar harta wakaf. Imam Syafi’I berpendapat : “tidak

71

boleh” menjual masjid secara mutlak, sekalipun masjid itu

roboh.

Tapi golongan Syafi’iyyah berbeda pendapat tentang

benda wakaf benda tak bergerak yang tidak memberi

manfaat sama sekali :

Sebagian menyatakan “boleh” ditukar agar harta wakaf

itu ada manfaatnya.

Sebagian menolaknya. (Abu Zahrah, 1971 : 164).

Dalam kitan al-Muhadzdzab diterangkan : “apabila ada

orang yang mewakafkan pohon korma, kemudian pohon

itu kering (mati) atau binatang ternak lalu lumpuh atau

tiang untuk masjid kemudian roboh atau rusak, dalam

masalah ini ada dua pendapat : (a) tidak boleh dijual,

seperti halnya masjid, (2) boleh dijual, karena yang

diharapkan dari wakaf adalah manfaatnya. Jadi lebih baik

dijual daripada dibiarkan begitu saja, kecuali yang

berkenaan dengan masjid. Sebab masjid masih dapat

ditempati sholat walalupun dalam keadaan roboh. (As-

Sairazi, tt : 445).

Menurut Imam Ahmad Bin Hanbal

Imam Ahmad Bin Hanbal berpendapat bahwa boleh

menjual harta wakaf, kemudian diganti dengan harta

wakaf lainnya. Pendapat Imam Ahmad lebh lunak

dibandingkan dengan pendapat Imam Malik dan Imam

Syafi’I, walaupu tidak selunak pendapat Imam Abu

Hanifah.

Lebih jelasnya beliau menyatakan bahwa menjual

masjid itu diperbolehkan bila masjid tersebut tidak sesuai

lagi dengan tujuan pokok perwakafan, seperti masjid yang

72

sudah tidak dapat menampung jama’ahnya dan tidak

mungkin untuk diperluas, atau sebagian masjid itu roboh

sehingga tidak dapat dimanfaatkan. Maka dalam keadaan

seperti ini masjid boleh dijual kemudian uangnya

digunakan untuk membangun masjid yang lain. (Abu

Zahrah, 1971 : 165).

Diantara pendapat para ulama madzhab tersebut yang

cukup “ngotot” mempertahankan harta wakaf dalam

keadaan apapun adalah Imam Malik dan Imam Syafi’i.

Masyarakat muslim Indonesia sebagaimana sudah

dijelaskan di atas adalah penganut setia madzhab

Syafi’iyyah yang sangat mencegah adanya tukar menukar

harta wakaf. Keyakinan yang kuat dan turun temurun itu

sampai saat ini cukup dominan di lingkungan masyarakat

kita, sehingga tanah-tanah yang tidak strategis secara

ekonomis sebagaimana di atas tidak terkelola secara baik.

Memang ini menjadi kendala sekaligus tantangan bagi

Nazhir dan prospek perwakafan secara umum. Kalau kita

sudah bisa mengatasi masalah ini sebenarnya terbuka

peluang yang cukup besar untuk mengelola tanah-tanah

wakaf yang tersedia di lingkungan umat Islam. Tentu saja

tidak cukup sekedar menyegarkan kembali pemahaman

umat Islam tentang wakaf itu sendiri, tapi yang paling

penting dan mendesak adalah bagaimana SDM

perwakafan mampu mengelola, mengembangkan,

mendistribusikan dan menjaga agar wakaf tetap

mempunyai manfaat bagi kesejahteraan umat Islam

khususnya dan umat lain pada umumnya.

73

C. Banyaknya Tanah Yang Belum Bersertifikat

Tanah wakaf yang mempunyai kepastian hukum ialah

mempunyai syarat-syarat administrasi yang telah diatur

oleh ketentuan PP No. 28/1977 serta peraturan

pelaksanaannya, khususnya mempunyai sertifikat tanah.

Tanah wakaf tersebut dapat dimanfaatkan sesuai dengan

tujuan wakaf, serta dapat dikembangkan.

Sebaliknya, tanah wakaf yang tidak mempunyai

persyaratan seperti ketentuan PP No. 28/1977, tidak

mempunyai kepastian hukum. Sehingga terdapat data-data

tanah wakaf dimiliki orang lain yang tidak berhak, mejadi

sengketa dan tidak dapat dimanfaatkan sebagaimana

mestinya.

Memang ada kendala kenapa tanah wakaf di Indonesia

sampai saat ini masih banyak yang belum mempunyai

sertifikat tanah wakaf karena banyaknya tanah wakaf yang

tidak mempunyai bukti perwakafan, seperti surat-surat

yang memberikan keterangan bahwa tanah tersebut telah

diwakafkan. Tanah wakaf yang tidak mempunyai bukti

administratif tersebut karena banyak para wakif yang

menjalankan tradisi lisan dengan kepercayaan yang tinggi

jika akan mewakafkan tanahnya kepada Nazhir perorangan

maupun lembaga, khususnya pelaksanaan wakaf sebelum

PP No. 28 Tahun 1977.

Di samping faktor awal keengganan Wakif dalam

pembuatan sertifikat wakaf, di lingkungan internal

birokrasi sendiri, khususnya BPN terdapat beberapa

kendala. Kendala utama adalah faktor pembiayaan

administrasi proses sertifikasi wakaf yang belum memadai

dari pihak pemerintah, khususnya Departemen Agama.

74

Anggaran bantuan sertifikasi dari Departemen Agama

memang selalu diajukan, namun karena keterbatasan

anggaran Negara, sehingga belum mendapat alokasi dana

yang memadai.

D. Nazhir Wakaf Masih Tradisional-Konsumtif

Salah satu hal yang selama ini menjadi hambatan riil

dalam pengembangan wakaf di Indonesia adalah

keberadaan nazhir (pengelola) wakaf yang masih

tradisional. Ketradisionalan nazhir dipengaruhi,

diantaranya:

Karena masih kuatnya paham mayoritas umat Islam

yang masih stagnan (beku) terhadap persoalan wakaf.

Selama ini, wakaf hanya diletakkan sebagai ajaran

agama yang kurang memiliki posisi penting. Apalagi

arus utama mayoritas ulama Indonesia lebih

mementingkan aspek keabadian benda wakaf daripada

aspek kemanfaatannya. Sehingga banyak sekali benda-

benda wakaf yang kurang memberi manfaat kepada

masyarakat banyak, bahkan dibiarkan begitu saja

karena adanya pemahaman –mengikuti pendapat Imam

Syafi’i—yang melarang adanya perubahan benda-

benda wakaf, meskipun benda tersebut telah rusak

sekalipun. Dari sinilah kemudian benda-benda wakaf

tidak bisa dikembangkan secara lebih optimal.

Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)

nazhir wakaf. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa

banyak para wakif yang diserahi harta wakaf lebih

karena didasarkan pada kepercayaan kepada para tokoh

agama seperti kyai, ustadz, ajengan, tuan guru dan lain

75

sebagainya, sedangkan mereka kurang atau tidak

mempertimbangkan kualitas (kemampuan)

manajerialnya, sehingga benda-benda wakaf banyak

yang tidak terurus (terbengkelai).

Lemahnya kemauan para nazhir wakaf juga menambah

ruwetnya kondisi wakaf di tanah air. Banyak nazhir

wakaf yang tidak memiliki militansi yang kuat dalam

membangun semangat pemberdayaan wakaf untuk

kesejahteraan umat. Naifnya lagi, diantara sekian

banyak nazhir di tanah air ada yang justru mengambil

keuntungan secara sepihak dengan menyalahgunakan

peruntukan benda wakaf, seperti menyewakan tanah

wakaf untuk bisnis demi kepentingan pribadi atau ada

juga yang secara sengaja menjual dengan pihak ketiga

dengan cara yang tidak sah.

Padalah, kehadiran nazhir sebagai pihak yang

diberikan kepercayaan dalam pengelolaan harta wakaf

sangat lah penting, yang tidak bisa dipandang sebelah

mata. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nazhir

sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat

bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf yang mampu,

baik yang bersifat perseorangan maupun kelembagaan

(badan hukum). Pengangkatan nazhir wakaf yang mampu

ini bertujuan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus,

sehingga harta wakaf itu tidak sia-sia.

Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara

dan mengurusi wakaf mempunyai kedudukan yang penting

dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan

nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya

benda wakaf tergantung dari nazhir itu sendiri. Untuk itu,

sebagai instrument penting dalam perwakafan, nazhir

76

harus memenuhi syarat-syarat yang memungkinkan, agar

wakaf bisa diberdayakan sebagaimana mestinya.

Mengingat salah satu tujuan wakaf ialah

menjadikannya sebagai sumber dana yang produktif, tentu

memerlukan nazhir yang mampu melaksanakan tugas-

tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab.

Apabila nazhir tidak mampu melaksanakan tugas

(kewajiban) nya, maka Qadhi (pemerintah) wajib

menggantinya dengan tetap menjelaskan alasan-alasannya.

77

Bagian Kelima

PENGEMBANGAN

Meskipun wakaf telah memainkan peran yang

sangat penting dalam pembangunan masyarakat Muslim sepanjang sejarah perkembangan Islam,

namun dalam kenyataannya, persoalan perwakafan belum dikelola secara baik

sebagaimana tujuan para wakif itu sendiri, khususnya di Indonesia. Untuk itu sudah

waktunya kita mengkaji, menganalisis dan menerapkan strategi pengelolaan dalam rangka

pengembangan wakaf secara berkesinambungan agar harta wakaf, khususnya tanah wakaf yang

strategis bisa dijadikan salah satu alternatif nyata dalam pemberdayaan ekonomi umat. Di Indonesia

memang masih sedikit orang yang mewakafkan tanahnya dalam bentuk tanah produktif,

andaikata ada, untuk mengelola tanah tersebut

masih memerlukan biaya yang tidak sedikit dan biaya tersebut harus diusahakan. Oleh karena itu

sudah saatnya umat Islam Indonesia memikirkan cara mengelola wakaf yang ada ini supaya dapat

mendatangkan kemanfaatan pada semua pihak, baik bagi wakif maupun mauquf ‘alaih

(masyarakat).

Hal ini penting dilakukan karena dalam

kenyataannya di negeri kita, kondisi tanah wakaf justru banyak yang menurun nilainya karena tidak

adanya pemeliharaan dan pengembangan asset

78

secara baik. Agar tetap memberikan manfaat

kepada mauquf ‘alaih (penerima wakaf) seperti

fakir miskin atau mustahiq lainnya, perlu adanya tekad semua pihak untuk bau membau dalam

mengembangkannya.

Jika kita perhatikan beberapa pengelolaan

wakaf yang diterapkan di beberapa negara muslim lainnya, nampaknya Indonesia harus mengacu

pada manajemen wakaf yang dilakukan di Mesir, Yordania dan Bangladesh. Untuk mengelola wakaf

produktif di Indonesia, hal yang harus dilakukan adalah merencanakan program, baik jangka

pendek maupun jangka panjang. Berikut ini akan diuraikan program-program yang terkait, yaitu :

A. Program Jangka Pendek

Dalam rangka mengembangkan tanah wakaf

secara produktif, satu hal yang dilakukan oleh pemerintah dalam jangka pendek adalah

membentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI). Pembentukan BWI sebagaimana yang

diamanatkan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pasal 47 sampai dengan pasal 61

ditegaskan bahwa Badan Wakaf Indonesia (BWI)

dibentuk dan berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesi dan dapat

membentuk perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan.

Adapun tugas dari lembaga ini adalah:

79

a. melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam

mengelola dan mengembangkan harta benda

wakaf;

b. melakukan pengelolaan dan pengembangan

harta benda wakaf berskala nasional dan internasional;

c. memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda

wakaf;

d. memberhentikan dan mengganti Nazhir;

e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;

f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di

bidang perwakafan.

Dilihat dari tugas kelembagaan, keberadaan

Badan Wakaf Indonesia (BWI) mempunyai posisi sangat strategis dalam pemberdayaan wakaf

secara produktif. Pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) bertujuan untuk

menyelenggarakan koordinasi dengan Nazhir dan pembinaan manajemen pengelolaan wakaf secara

nasional, baik bersifat nasional dan internasional dan terlantar maupun pembinaan terhadap

Nazhir. Keberadaan Badan Wakaf Indonesia (BWI) bersifat independen dan profesional yang

bersinergi dengan peran pemerintah sebagai regulator, fasilitator, motivator dan public service.

80

Untuk itu, Badan Wakaf Indonesia (BWI)

sebagai pioneer pengembangan wakaf secara

nasional akan diisi oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang benar-benar mempunyai kemampuan

dan kemauan dalam mengelola wakaf, berdedikasi tinggi dan memiliki komitmen dalam

pengembangan wakaf. Bentuk organisasi Badan Wakaf Indonesia (BWI) terdiri dari paling sedikit

20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang terdiri dari unsur masyarakat

dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang, seperti ekonom yang memiliki basis syariah,

ulama, praktisi bisnis, arsitektur, ahli perbankan Syari’ah, dan cendekiawan lain yang memiliki

perhatian terhadap perwakafan secara umum.

Pola organisasi dan kelembagaan BWI harus

merespon terhadap persoalan-persoalan yang

dihadapi oleh masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Meminjam istilah

Prof. Dr. Mannan, harus disertai dengan semangat perubahan. Di tingkat masyarakat, persoalan

yang paling mendasar adalah kemiskinan, baik dalam arti khusus, yaitu seperti yang dicerminkan

dengan tingkat pendapatan masyarakat, maupun dalam arti luas, yang mencakup aspek kesehatan,

pendidikan atau pemenuhan hak-hak asasi manusia pada umumnya. Persoalan-persoalan

tersebut juga bisa disebut sebagai persoalan umat Islam juga. Tapi dari sudut organisasi-organisasi

Islam, persoalan-persoalan itu menjadi tanggung jawab gerakan Islam juga. Tapi dari sudut misi

organisasi, persoalan itu menjadi tanggung jawab

81

gerakan Islam. Oleh sebab itu, organisasi-

organsasi Islam berkepentingan juga untuk

mengakses sumber daya wakaf.

Untuk mengatasi kemiskinan, wakaf

(khususnya tanah produktif strategis yang sudah ada di hampir seluruh pelosok nusantara)

merupakan sumber dana yang cukup potensial. Selama ini, program pengentasan masyarakat dari

kemiskinan bergantung dari bantuan kredit dari luar negeri, terutama dari Bank Dunia. Tapi dana

itu terbatas dari segi jumlah maupun waktu. Dalam hal ini pengembangan tanah wakaf

produktif strategis dapat menjadi alternatif sumber pendanaan dalam pemberdayaan ekonomi

umat secara umum. Di Qatar dan Kuwait, dana yang dihasilkan dari wakaf, bersama-sama

dengan sumber lain, khususnya zakat, dana wakaf

yang di peroleh dari pengusahaan tanah wakaf, misalnya di bidang real estate atau pendidirian

gedung-gedung perkantoran yang disewakan atau dikelola sendiri, dipakai untuk membiayai program

kemiskinan, baik langsung oleh pemerintah maupun disalurkan lewat LSM.

Tanah wakaf produktif strategis bisa dikerjakan secara kolektif, tapi bisa pula dikerjasamakan

dengan pihak swasta, baik dalam maupun luar negeri. Proyek-proyek yang dikerjakan bisa

berupa pertanian padi sawah atau palawija, sehingga bisa menghasilkan cadangan pangan

dan lumbung bibit, pertenakan, perikanan dan perkebunan. Model ini merupakan analogi dari

wakaf ahli, dimana wakif memberikan wasiat agar

82

hasil pengelolaan wakaf dapat dipakai untuk

menyantuni anggota keluarga yang kekurangan

atau membutuhkan dana. Dalam model ini anggota keluarga besar seseorang diperluas

menjadi warga desa, sehingga setiap bagian warga desa yang mengalami kemiskinan dan

kesulitan lain seperti kesehatan dan pendidikan, dapat disantuni dari dana hasil pengelolaan wakaf

tersebut. Model ini dapat diterapkan secara nasional. Karena itu untuk merespon model ini,

lembaga Nazhir bisa didirikan di setiap desa.

Untuk menjalankan semua rencana praktis di

atas, sebagai lembaga yang sangat strategis, BWI harus didukung oleh Sumber Daya Manusia

(SDM) yang benar-benar mempunyai kemampuan dan kemauan dalam urusan wakaf, berdedikasi

tinggi dan memiliki komitmen dalam

pengembangan wakaf serta memahami masalah wakaf serta hal-hal yang terkait dengan wakaf.

Untuk menjalankan roda organisasi secara efektif, struktur BWI anggotanya harus terdiri dari para

ahli dari berbagai disiplin ilmu yang ada kaitannya dengan pengembangan wakaf produktif, seperti:

ahli manajemen, ekonom, praktisi bisnis, ahli hukum wakaf, ahli hukum perdata, ahli perbankan

Syari’ah, ahli pertanian, dan cendekiawan lain yang memiliki perhatian terhadap perwakafan

secara umum.

Adapun wilayah tugas badan wakaf ini bisa

dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu sebagai berikut:

83

Tugas Administratif

Tugas administratif BWI dalam pengelolaan

tanah wakaf produktif strategis yang selama ini sudah ada, tapi belum terkelola secara baik

adalah :

a. Menginventarisir seluruh tanah wakaf yang

mempunyai potensi untuk dikembangkan secara produktif di seluruh wilayah nusantara.

Tanah yang dianggap mempunyai potensi produktif meliputi pada bidang: pertanian,

perkebunan, pembangunan gedung-gedung perkantoran dan pengelolaannya,

pembangunan real estate, pembangunan

industri rumah tangga dan pengelolaannya serta bentuk-bentuk usaha lainnya yang

relevan dengan ketentuan dengan system Syari’ah Islam.

b. Mengorganisir dan membina lembaga-lembaga Nazhir tanah wakaf yang sudah ada untuk

memberdayakan tanah-tanah wakaf tersebut dengan membuat kebijakan-kebijakan yang

mengarah pada peningkatan kemampuan para Nazhir wakaf sehingga mereka dapat

mengelola wakaf yang menjadi tanggung jawabnya secara produktif. Tugas BWI disini

lebih menempati pada posisi motivator, fasilitator, regulator, koordinator dan

education. (1) Fungsi motivator, BWI

mempunyai tugas sebagai lembaga yang memberikan rangsangan atau stimulus

terhadap lembaga Nazhir yang ada agar

84

memaksimalkan fungsi pengelolaan secara

professional dalam rangka kesejahteraan

masyarakat banyak. (2) Fungsi fasilitator, BWI memberikan fasilitas-fasilitas yang

memungkinkan terhadap para Nazhir, baik yang bersifat fisik maupun non fisik dalam

mengoptimalkan peran pengelolaan, pengembangan, pelaporan dan pengawasan

kelembagaan. (3) Fungsi regulator, BWI menjadi pihak yang memantau seluruh

kebijakan dan peraturan perundang-undangan perwakafan yang dianggap tidak relevan

dengan perkembangan kekinian untuk kemudian menyusun dan atau mengusulkan

perubahan kebijakan bersama Departemen Agama, baik yang bersifat internal, maupun

ekternal (yang bersifat kelembagaan negara).

(4) Fungsi koordinator, BWI menjadi lembaga yang mengkoordinir seluruh arah kebijakan

keNazhiran di Indonesia dalam menjalankan program-program yang bersifat nasional. (5)

Fungsi education, BWI mempunyai tugas pemberdayaan secara nasional dalam

memasyarakatkan dunia perwakafan di tengah-tengah masyarakat melalui jalur pendidikan,

baik formal maupun informal, seperti seminar, pelatihan keNazhiran, work shop perwakafan

dan kegiatan-kegiatan lain yang relevan terhadap peningkatan pemahaman masyarakat

tentang perwakafan.

c. Mendorong kepada Nazhir dalam

mengembangkan wakaf tunai (cash waqf) dari

85

pusat sampai tingkat daerah bersama dengan

lembaga keuangan Syariah (LKS). Fungsi LKS

ini sebagai lembaga custodian (tempat penitipan), sedangkan pengelolaannya tetap

dipegang oleh Nazhir yang ditunjuk oleh Wakif.

Tugas Pengelolaan Wakaf Mandiri

Selain tugas administrasi yang bersifat

nasional, BWI juga mempunyai kewenangan

dalam mengumpulkan, mengelola dan mengembangkan wakaf khusus untuk harta benda

wakaf yang terlantar, berskala nasional dan internasional. Tugas pengelolaan wakaf mandiri

ini, BWI sebagai pengelola wakaf atau lembaga yang diserahi atau diberi kekuasaan atau diberi

tugas untuk mengawasi harta wakaf. Dalam hal ini, BWI berhak untuk bertindak atas harta wakaf,

baik untuk mengurusnya, memeliharanya dan mendistribusikan hasil wakaf kepada pihak atau

orang yang berhak menerimanya ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan

harta itu tumbuh dengan baik dan kekal.

BWI dalam posisi ini langsung memegang

peranan yang sangat penting agar harta itu dapat

berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung terus menerus. BWI mempunyai

kewajiban menjaga, memelihara dan mengembangkan sesuai dengan tugas-tugas

sebagai Nazhir pada umumnya. Namun yang membedakan dengan lembaga Nazhir yang sudah

ada, bahwa hasil pengelolaan dan pengembangan

86

yang dilakukan oleh BWI dapat diberikan kepada

mauquf ‘alaih yang bersifat nasional, atau

penyelesaian problem-problem sosial secara makro.

Tentu saja wilayah tugas BWI ini diharapkan tidak tumpang tindih dengan Nazhir yang sudah

ada. Karena ada kekhawatiran bahwa BWI yang juga berfungsi sebagai operator akan

mengakibatkan konflik kepentingan dengan Nazhir-nazhir yang dibinanya. Oleh karena itu

BWI harus dapat memisahkan antara peran koordinatif dan pembinaan dengan peran

operator. Sehingga BWI dapat menjadi pioneer lembaga wakaf yang kredibel dan professional

yang bisa dijadikan rujukan oleh lembaga-lembaga Nazhir di seluruh Indonesia.

Tugas Promosi Program

Badan Wakaf Indonesia (BWI) selain mengemban kedua tugas tersebut, juga

mempunyai tanggung jawab dalam mensosialisasikan (mempromosikan) program

kelembagaan agar diapresiasi oleh masyarakat luas. Paling tidak, tugas BWI dalam

mempromosikan program ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

a. Masyarakat (umat Islam) semakin memahami pentingnya wakaf sebagai amal ibadah yang

tidak berhenti pada aspek pemberian yang

semata untuk Allah, tapi juga menyangkut aspek pengelolaan secara maksimal dalam

87

rangka mencapai kesejahteraan masyarakat

banyak.

b. Mendorong kepada para Nazhir (lembaga pengelola wakaf) agar meningkatkan

profesionalisme pengelolaan dengan menggali seluruh potensi yang memungkinkan untuk

dikembangkan, baik terhadap harta wakaf yang bergerak maun tidak bergerak.

c. Meningkatkan kreatifitas pada Nazhir dalam menemukan formula penanganan kendala dan

kesempatan dalam rangka mengoptimalkan peran wakaf di tengah-tengah kehidupan

masyarakat yang membutuhkan peran kelembagaan secara konkrit.

d. Merangsang kepada para wakif atau calon wakif untuk selalu meningkatkan kuantitas

harta untuk diwakafkan secara produktif.

e. Mengenalkan seluruh produk kelembagaan BWI kepada masyarakat, khususnya para wakif,

Nazhir dan mauquf ‘alaih agar diapresiasi secara positit.

f. Mengajak kepada lembaga-lembaga atau

perorangan yang peduli terhadap kelembagaan wakaf agar menjalin kemitraan dalam

mengelola perwakafan dalam rangka melebarkan potensi dan kualitas hasil menuju

pembangunan system sosial yang berkeadilan.

88

B. Program Jangka Menengah dan

Panjang

Mengembangkan lembaga-lembaga Nazhir yang sudah ada agar lebih kredibel (professional

dan amanah). Lembaga-lembaga Nazhir yang sudah ada, khususnya di bawah naungan

organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Al-Washliyah, Persis, Al-Irsyad,

dan lembaga wakaf lainnya harus diarahkan,

dibina dan diberikan stimulus (rangsangan) agar tanah-tanah yang strategis dapat dikembangkan

secara produktif. Dalam rangka upaya tersebut Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga

perwakafan nasional yang berfungsi mengkoordinir seluruh aspek pelaksanaan

perwakafan secara nasional bersama dengan lembaga-lembaga Nazhir yang bersangkutan

harus memberikan dukungan manajemen bagi pelaksanaan pengelolaan tanah-tanah produktif

strategis.

Setidaknya, dukungan manajemen yang harus

dilakukan secara mendesak adalah hal-hal seperti berikut ini :

(1) Dukungan Sumber Daya Manusia (SDM)

Nazhir

Sebagaimana disebut dalam bab 3, bahwa

Nazhir mempunyai peran sentral dalam pengelolaan harta wakaf secara umum. Karena itu

eksistensi dan kualitas SDM nya harus betul-betul diperhatikan. Dalam tinjauan fikih Islam,

persyaratan seseorang menjadi Nazhir (baik

89

perseorangan maupun kelembagaan) adalah :

beragama Islam, mukallaf (memiliki kecakapan

dalam melakukan perbuatan hukum), baligh (sudah dewasa) dan ‘aqil (berakal sehat),

memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf (professional) dan memiliki sifat amanah, jujur

dan adil.

Dari sekian persyaratan yang ada bisa kita

pahami dan mungkin telah diterapkan oleh lembaga-lembaga Nazhir. Namun kemampuan

professional seorang atau lembaga Nazhir perlu dijabarkan secara panjang lebar karena

menyangkut keseluruhan system yang berkaitan dengan aspek pengelolaan. Dan kemampuan

professional inilah yang sebenarnya menjadi problem utama dalam perwakafan di Indonesia.

Ukuran profesionalisme Nazhir dalam pengelolaan

harta wakaf, khususnya tanah wakaf produktif strategis adalah :

a. Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership (kepemimpinan). Seseorang

atau lembaga yang diberikan kepercayaan dalam pengelolaan harta wakaf, khususnya

tanah wakaf produktif strategis, dituntut memiliki kemampuan pribadi yang memadai

dalam kepemimpinan. Aspek kepemimpinan dalam lembaga keNazhiran menjadi ukuran

baik tidaknya pengelolaan dan pengembangan secara produktif. Minimnya kualitas

kepemimpinan dalam lembaga keNazhiran menjadi bukti tidak berjalannya system

pengelolaan yang baik dalam lembaga

90

perwakafan selama ini. Lembaga-lembaga

Nazhir yang ada selama ini masih didominasi

oleh struktur kepengurusan yang otoriter dan tertutup. Untuk itulah, kepemimpinan yang

baik dalam lembaga keNazhiran bisa dilihat dalam tiga aspek, yaitu :

Pertama, transparansi. Dalam kepemimpinan yang professional, transparansi menjadi ciri

utama yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Ketika aspek transparansi sudah

ditinggalkan, maka kepemimpinan tidak akan berjalan dengan baik, bahkan membuka

peluang terjadinya penyelewengan yang tak terkendali. Adanya transparansi kepemimpinan

dalam lembaga keNazhiran harus dijadikan tradisi untuk menutup tindakan ketidakjujuran,

korupsi, manipulasi dan lain sebagainya.

Transparansi adalah aspek penting yang tak terpisahkan dalam rangkaian kepemimpinan

yang diajarkan oleh nilai-nilai Islam.

Kedua, public accountability

(pertanggungjawaban umum). Pertanggungjawaban umum merupakan wujud

dari pelaksanaan sifat amanah (kepercayaan) dan shidiq (kejujuran). Karena kepercayaan

dan kejujuran memang harus dipertanggung jawabkan baik di dunia maupun di akhirat

kelak.

Ketiga, aspiratif (mau mendengar dan

mengakomodasi seluruh dinamika lembaga keNazhiran). Seorang Nazhir yang dipercaya

91

mengelola harta milik umum harus mendorong

terjadinya sistem sosial yang melibatkan

patisipasi banyak kalangan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pola

pengambilan keputusan secara sepihak oleh kalangan elit kepemimpinan. Sehingga

mengurangi, bahkan menutup potensi-potensi yang berkembang, --yang bisa jadi—mungkin

jauh lebih baik atau sempurna. Kaedah prinsip dalam gerakan yang aspiratif merupakan

cermin dari sifat adil dalam diri atau lingkungannya.

Memiliki visi yang jelas

Seseorang atau lembaga Nazhir harus

mempunyai visi yang jelas dan terarah dalam pengelolaan harta wakaf, khususnya tanah wakaf

produktif strategis. Visi sangat diperlukan karena

untuk menggali potensi dan membuka peluang yang ada dalam rangka menambah values (nilai)

wakaf untuk kepentingan masyarakat banyak. Ketiadaan visi dalam pengelolaan akan

menciptakan suasana atau iklim yang tidak menguntungkan bahkan merugikan sama sekali.

Memang harus diakui bahwa lembaga-lembaga Nazhir yang ada selama ini tidak banyak yang

memiliki visi yang jelas dan terarah, sehingga wakaf hanya ditempatkan pada kerangka teori

ibadah yang memberikan janji pahala yang terus mengalis pada wakif, sementara kemanfaatan

untuk kehidupan sosial sangat minim, bahkan tidak sama sekali.

92

Mempunyai kecerdasan yang baik secara

intelektual, sosial dan pemberdayaan

Tentu saja bukan setiap orang bisa menjadi Nazhir, tapi orang yang mempunyai kecerdasan

intelektual (IQ), sosial dan pemberdayaan harta wakaf yang baik harus menjadi persyaratan

mutlak. Kemampuan dalam leadership dan visi yang jelas sangat dipengaruhi oleh kecerdasan

yang dimiliki. Kemampuan kecerdasan Nazhir yang minim hanya akan menambah beban

lembaga wakaf. Karena itu ketentuan yang mensyaratkan kemampuan kecerdasan minimal

seseorang atau lembaga Nazhir harus dilakukan, atau kalau perlu dicamtumkan dalam klausul UU

atau peraturan di bawahnya, sehingga nanti harapkan Nazhir dikelola oleh orang-orang yang

memiliki wawasan yang luas sekaligus mampu

menerapkan dalam manajemen perwakafan secara umum.

Mempunyai kemampuan yang memadai dalam

bidang pengelolaan harta

Disamping memiliki kualitas leadership, visi

dan kecerdasan yang baik, seorang Nazhir atau lembaga Nazhir harus menguasai dan

mempraktekkan pengelolaan harta wakaf secara memadai. Kemampuan manajemen operasional

lembaga keNazhiran harus didukung oleh aspek pendukung manajemen moderen dalam system

ekonomi berdasarkan Syari’at Islam (SES). Sistem ekonomi Syari’ah berbeda dengan system

93

ekonomi konvensional dalam banyak hal. Memang

pada saat ini terdapat berbagai madzhab

pemikiran yang bertujuan untuk mengembangkan apa yang dimaksudkan dengan SES. Dari semua

madzhab yang ada, terlihat bahwa yang menjadi dasar berpijak dari sistemya adalah al-Quran dan

al-Hadits. Al-Quran dan al-Hadits dijadikan landasan pembangunan seluruh elemen SES yang

ada. Dari al-Quran dan al-Hadits maka kita dapat memperoleh nilai-nilai fundamental yang

merupakan landasan dari SES.

Secara umum dapat dikatakan bahwa salah

satu ciri utama dari pada system tersebut adalah pelarangan riba dalam kegiatan perekonomian.

Sementara itu, kita tahu bahwa ‘bunga’ merupakan salah satu variable dalam system

ekonomi konvensional yang menentukan jalannya

system yang ada. Dengan demikian, pelarangan riba dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi

merupakan ciri utama dari SES. Ciri umum lainnya adalah variable zakat yang merupakan variable

kunci untuk menggerakkan roda perekonomian dalam SES.

Variable kunci lainnya dalam SES adalah pemberdayaan wakaf. Karena wakaf merupakan

wahana mobilisasi sumber daya perekonomian yang mempunyai kekuatan sosial yang cukup

dahsyat apabila dikelola secara profesional. Dan pemberdayaan wakaf bisa dijadikan strategi untuk

meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat serta sebagai upaya melepaskan ketergantungan

ekonomi Indonesia terhadap bantuan-bantuan

94

(pinjaman utang) luar negeri. Dengan

pemberdayaan wakaf serta lembaga-lembaga

keuangan Syari’ah lainnya dengan sendirinya akan menjadikan negeri yang independen dan

lepas dari campur tangan asing, baik ekonomi, politik, sosial dan budaya.

(2) Dukungan Advokasi

Setelah diadakan inventarisasi secara nasional dan spesifik terhadap tanah-tanah wakaf

strategis, hal yang segera dilakukan adalah membentuk tim advokasi terhadap tanah-tanah

wakaf yang masih sengketa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tanah-tanah wakaf yang

diserahkan kepada Nazhir wakaf sebelum PP No. 28 Tahun 1977 banyak yang tidak mempunyai

bukti wakaf, sehingga tanah wakaf yang

seharusnya menjadi milik Allah dan hak masyarakat banyak berpindah ke tangan-tangan

orang yang tidak bertanggung jawab. Keberpindahan kepemilikan tanah wakaf bisa saja

dilakukan oleh : oknum Nazhir yang nakal, keluarga wakif yang merasa mempunyai hak atas

tanah maupun orang lain yang mempunyai kepentingan dengan tanah-tanah tersebut.

Menurut beberapa pengurus Nazhir lembaga-lembaga keagamaan seperti Muhammadiyah, NU,

Persis dan lain-lain, bahwa tanah wakaf yang diserahkan kepada lembaga-lembaga tersebut

banyak yang digugat oleh ahli waris dari si wakif. Apalagi misalnya tanah-tanah wakaf tersebut

95

mempunyai potensi yang cukup besar terhadap

pengembangan ekonomi di masa depan, seperti di

pinggir jalan, dekat pasar atau pusat perbelanjaan dan sebagainya. Tugas pembentukan tim advokasi

ini bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga Nazhir yang bersangkutan dengan bekerjasama dengan

Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai pihak yang memberikan pengayoman dan pembinaan secara

kelembagaan.

(2) Dukungan Keuangan

Upaya pengembangan tanah wakaf produktif

strategis sangat tergantung oleh dukungan keuangan yang memadai untuk membiayai

seluruh operasionalisasi pengelolaan dan cadangan devisa yang memungkinkan. Dukungan

keuangan ini bisa dilakukan melalui lembaga-

lembaga keuangan terkait, khususnya lembaga perbankan Syari’ah, lembaga-lembaga investasi

atau perseorangan yang memiliki modal cukup dengan system bagi hasil atau instrumen lembaga

ekonomi Islam lainnya, seperti zakat, infak dan sedekah (ZIS). Atau kalau menungkinkan

menjalin kerja sama dengan lembaga asing yang mempunyai concern (kepedulian) terhadap

pengembangan harta wakaf seperti Islamic Development Bank (IDB), lembaga-lembaga

perbankan negeri Muslim lainnya atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam maupun luar

negeri yang berminat dalam pemberdayaan tanah wakaf produktif strategis.

96

(3) Dukungan Pengawasan

Dukungan ini diperlukan agar tanah wakaf produktif strastegis yang ada menjadi aman

karena dirasakan adanya upaya pihak-pihak tertentu, termasuk oknum Nazhir yang ingin

menukar dengan tanah-tanah yang tidak strategis. Dukungan pengawasan yang bersifat

internal sudah menjadi keharusan, bersamaan dengan kepedulian masyarakat sekitar terhadap

keutuhan tanah-tanah wakaf. Disamping pengawasan yang bersifat umum tersebut, juga

diperlukan pengawasan pengelolaan agar para pelaksana keNazhiran yang mengurusi langsung

terhadap tanah-tanah wakaf tersebut dapat menjalankan perannya secara baik dan benar,

sehingga mengahasilkan keuntungan yang

memadai. Aspek pengawasan pengelolaan internal ini meliputi : manajemen organisasi, manajemen

keuangan dan manajemen pelaporan kepada pihak atau lembaga yang lebih tinggi.

Dari keempat dukungan manajemen tersebut sesungguhnya sudah mengcover seluruh konsep

manajemen moderen untuk mengelola tanah-tanah wakaf produktif strategis dengan baik,

sepanjang Nazhir sebagai pemegang konsep mau berkomitmen pada criteria yang dibangun.Namun

manusia pada prinsipnya adalah makhluk yang malas kecuali bila mendapat tekanan dan

pengawasan yang ketat. Dalam hal ini punishment menjadi instrumen penting dalam menegakkan

97

dimensi etis dalam pengelolaan ekonomi.

Masalahnya adalah ketika punishment hanya

dilakukan oleh manusia yang pada dasarnya memiliki sifat yang sama buruknya, maka

penerapan konsep manajemen moderen menjadi kehilangan “khasiatnya” dalam memajukan

lembaga keNazhiran.

Konsep manajemen moderen hanya mampu

membatasi gerak manusia secara fisik. Tetapi tidak mampu mengeliminir niat-niat terselubung

(jahat) yang sangat mungkin tersedia dalam diri seseorang, termasuk para Nazhir wakaf sekalipun.

Sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran (91 : 8), bahwa manusia memiliki potensi jahat dan

potensi baik. Dalam teori manajemen moderen, usaha preventif untuk menghindari potensi

penyelewengan seseorang dilakukan dengan

menerapkan system kontrol berupa aturan-aturan.

Untuk itulah, disamping harus mempunyai kapabilitas manajemen yang memadai, seorang

atau lembaga Nazhir wakaf harus memiliki kesadaran transcendental, yaitu kesadaran

spiritual dimana manusia ketika melakukan sesuatu didasari dan ditujukan untuk sesuatu

yang bersifat vertical, bukan untuk kepentingan pribadi-pribadi. Apalagi yang dikelola adalah

harta-harta yang sejatinya merupakan milik Allah untuk kesejahteraan umat manusia. Adanya

kesadaran spiritual tersebut seorang Nazhir akan sangat anti melakukan tindakan-tindakan

penyelewengan, meskipun ia mampu

98

melakukannya. Inilah internal control yang lahir

dari keimanan yang kuat.

Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif

Strategis

Tanah-tanah wakaf produktif strategis yang sudah diinventarisir oleh Departeman Agama RI

yang meliputi seluruh propinsi di Indonesia dapat diberdayakan secara maksimal dalam bentuk :

a. Asset wakaf yang menghasilkan produk barang atau jasa.

Secara teoritis, Islam mengakui bahwa tanah (semua unsur tanah, termasuk tanah wakaf

produktif strategis) sebagai faktor produksi. Dalam hazanah pemikiran klasik yang masih

relevan dengan masa sekarang ini, bahwa tanah yang dianggap sebagai suatu faktor produksi

penting mencakup semua sumber daya alam yang digunakan dalam proses produksi, seperti

pemukaan bumi, kesuburan tanah, sifat-sifat

sumber daya udara, air mineral dan sebagainya. Baik al-Quran maupun as-Sunnah banyak

memberikan tekanan pada pentingnya pemberdayaan tanah secara baik. Al-Quran

sangat menganjurkan agar tanah yang kosong dikelola secara produktif (ahya’ al-amwat).

Oleh karena itu, tanah wakaf yang dianggap strategis harus dikelola secara produktif dalam

rangka meningkatkan nilai wakaf untuk kesejahteraan umat banyak. Bentuk

99

pengelolaannya diwujudkan dalam bentuk-bentuk

usaha yang dapat menghasilkan untung, baik

melalui produk barang atau jasa. Tentu saja pemilihan produk-produk yang akan dikelola harus

memperhatikan hal-hal berikut ini :

Produk barang atau jasa yang ditawarkan

harus benar-benar unik (memiliki kelebihan) yang mampu memberikan keunggulan

komparatif dengan produk sejenis sekalipun yang sudah ada di pasaran atau lapangan.

Memastikan bahwa konsumen potensial adalah : (1) mereka yang benar-benar membutuhkan

produk barang atau jasa tersebut sesuai dengan karakterisitik dan fungsi yang dimiliki,

(2) mereka yang memiliki daya beli atau dana yang cukup, (3) mereka yang mempunyai

wewenang atau kekuasaan yang

memungkinkannya mengambil keputusan untuk membeli.

Memastikan posisi konsumen potensial dengan menjawab pertanyaan berikut ini : (a) siapakah

konsumen target terbaik lembaga ini ? (b) dimanakah kategori persaingan produk

lembaga ini ? (c) Apakah keuntungan utama yang diperoleh calon konsumen target lembaga

dari produk barang atau jasa ?

Pola pengelolaan tanah wakaf strategis melalui

usaha-usaha produktif bisa dilakukan sebagaimana di atas jika Nazhir wakaf memiliki

dana yang cukup untuk membiayai operasional usaha. Sementara pada umumnya, para wakif

100

yang menyerahkan tanah kepada Nazhir tidak

disertai dengan unsure pembiayaan usaha yang

dimaksud. Memang ini menjadi kendala yang cukup serius ketika tanah-tanah tersebut akan

dikelola secara produktif. Kalaulah misalnya sebagian tanah wakaf dijual dan dana hasil

penjualannya untuk pembiayaan usaha, maka secara otomatis akan mengurangi nilai wakaf

dalam tataran nominal pemberian awalnya dan hal ini masih menjadi kontroversi di tengah-

tengah masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, maka diperlukan pihak ketiga yang mau

bekerjasama dengan Nazhir-Nazhir yang ada bersama dengan lembaga penjamin. Lembaga

penjamin ini sangat dibutuhkan ketika prospek usahanya ternyata mengalami kerugian yang

sangat tidak diharapkan dalam pengelolaan

wakaf. Sedangkan harta yang telah diwakafkan mempunyai sifat abadi yang tidak boleh kurang.

b. Asset wakaf yang berbentuk investasi usaha.

Asset wakaf ini adalah kekayaan lembaga

Nazhir hasil pengelolaan usaha produk barang atau jasa yang suskses untuk kemudian

dikembangkan melalui investasi kepada pihak ketiga atau lembaga Nazhir wakaf yang lain.

Bentuk investasi usaha yang akan dilakukan harus memenuhi standar Syari’ah, yaitu :

Akad Musyarakah

Akad ini merupakan bentuk partisipasi usaha

yang melibatkan kedua belah pihak atau lebih (termasuk Nazhir wakaf) dalam suatu usaha

101

tertentu dangan menyertakan sejumlah modal

dengan pembagian keuntungan sesuai

kesepakatan bersama. Apabila terjadi kerugian, masing-masing harus menanggung sesuai batas

(kadar) modal yang ditanamkan. Pihak-pihak yang terlibat dalam akad tersebut mempunyai hak

untuk ikut serta, mewakilkan atau membatalkan haknya dalam pengelolaan (manajemen) usaha

tersebut. Modal yang diserahkan dalam akad musyarakah ini dapat uang atau harta benda yang

dinilai dengan uang.

Akad Mudlarabah

Yaitu suatu akad (kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau semaknanya

dengannua dalam jumlah, jenis, dan karakter

(sifat) dari orang yang diperbolehkan mengelola harta kepada orang lain yang aqil (berakal),

mumayyiz (dewasa) dan bijaksana yang ia pergunakan untuk berusaha (produk atau jasa)

dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya menurut nisbah pembagiannya

dalam kesepakatan. Dari pengertian tersebut, maka modal usaha dalam akad mudlarabah

sepenuhnya berasal dari pemilik modal (shohibul mal). Selaian itu pemilik modal tidak terlibat

dalam manajemen usaha. Adapun, keuntungan dibagi menurut nisbah yang disepakati oleh kedua

belah pihak. Manakala terjadi kerugian, yang menaggung adalah pemilik modal. Pihak pengelola

102

tidak menanggung rugi secara materi, tetapi

cukuplah ia menanggung kerugian tenaga dan

waktu yang dikeluarkan selama menjalankan usaha, selain tidak mendapatkan keuntungan.

Semua hasil usaha, baik yang didapatkan melalui pengelolaan produk barang/jasa atau

melalui keuntungan dengan cara berinvestasi kepada pihak ketiga sesuai system Syari’ah yang

dijalankan, adalah untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak. Yaitu

berbentuk dua asset wakaf : pertama, asset yang dapat langsung dikonsumsi dan dimanfaatkan oleh

masyarakat, seperti : untuk membiayai pengelolaan, pengembangan dan pembianaa

sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan lain-lain yang bertujuan melayani urusan kemanusiaan dan

kebajikan umum. Kedua, asset wakaf yang

berbentuk investasi SDM dan kebudayaan dalam jangka panjang, yaitu diperuntukkan

pengembangan bidang pendidikan, pelayanan kebudayaan seperti beasiswa, perpustakaan,

perkuliahan, lembaga penelitian ilmiah untuk kajian iptek dan keagamaan dan lain-lain, dan

pengembangan bidang kesehatan seperti : pelayanan kesehatan masyarakat kurang mampu,

pelayanan rumah sakit, dokter dan obat-obatan.

103

Menangkap Peluang Usaha

Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif

Sebelum para Nazhir wakaf memulai usaha yang bersifat produktif, maka hal-hal yang perlu

diperhatikan adalah mengamati situasi lingkungan secara cermat. Kira-kira usaha apa yang cocok

untuk mengelola kebaradaan tanah wakaf yang dinilai strategis itu agar nantinya dapat menuai

hasil yang optimal. Untuk itu, lakukan

pengamatan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini :

(a) Apakah ada peluang usaha produktif yang memungkinkan terhadap lokasi tanah wakaf ?

(b) Apakah liku-liku usaha yang akan dilakukan telah diketahui benar, mulai dari cara

mengawalinya, membuat, menjual (memasarkan), menyimpan, sampai cara

mendapatkan modal usaha tersebut ?

(c) Adakah pesaing dan calon pesaing di lapangan

usaha itu dan sejauh mana para pesaing itu telah dikenali ?

(d) Seberapa besarkah pasar yang akan dicapai ?

(e) Bila usaha yang akan dikerjakan

memerlukan pemasok, sudahkah diketahui benar siapa yang akan menjadi supplier dan

apakah ada supplier potensial lainnya ?

104

(f) Bila usaha itu berupa barang, sudahkan

diketahui teknik pembuatan barang yang

dimaksud ?

(g) Seberapa banyak modal sudah di tangan

atau bagaimana pula bila memerlukan pinjaman atau investasi dari pihak ketiga

dalam rangka penambahan modal ?

(h) Bagaimana cara mendapatkan tenaga kerja

yang diperlukan ?

(i) Apakah sudah dimengerti seluk beluk peralatan

yang diperlukan ?

(j) Apakah sudah diketahui segala peraturan dan

ketentuan yang menyangkut bidang usaha, seperti undang-undang gangguan, izin usaha,

pajak, kutipan resmi, kebersihan, tata kota dan sebagainya?

Daftar pertanyaan di atas –yang masih dapat

ditambah atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan dan sifat usaha yang diinginkan—sangat

membantu identifikasi peluang usaha. Inti dari pertanyaan ini adalah bahwa situasi lingkungan

usaha harus diperhatikan dengan seksama sebelum memutuskan jenis usaha apa yang akan

dilakukan.

Setelah diketahui situasi lingkungan melalui

daftar pertanyaa di atas, selanjutnya dapat dilakukan analisis terhadap kekuatan dan

sekaligus kelemahan diri sendiri dengan melakukan identifikasi terhadap apa yang

diketahui, dikuasai, dan dimiliki sebagai situasi

105

internal pendukung pada saat akan dilakukan

pengambilan keputusan dan pemilihan bidang

usaha yang diinginkan.

Agar diperoleh hasil pengamatan sistuai

internal dan eksternal secara tepat, penyusunan matrik analisis kualitatif peluang usaha dapat

dijadikan media dalam melakukan analisis hasil pengamatan lingkungan internal dan eksternal.

Pertanyaannya kemudian adalah, adakah kekuatan atau kelemahan diantara yang

disebutkan dalam matrik itu. Jika ada, lakukanlah suatu keputusan dengan mempergunakan kotak

atau ruangan yang mempertemukan antara kekuatan dan kelemahan sebagai bagian internal

dengan peluang usaha yang mungkin dapat ditangkap sebagai bagian dari eksternal

lingkungan.

Memulai Sebuah Usaha

Jika identifikasi terhadap peluang usaha telah

dilakukan dan alternatif usaha apa yang akan dikerjakan telah didapat, berarti langkah

pemberdayaan produktif telah mulai pada langkah pertama dari lima langkah yang harus dikerjakan

lembaga Nazhir, yaitu : (1) memilih peluang usaha dan jenis bidang usaha, (2) mendirikan

atau membentuk badan usaha, (3) mempersiapkan kegiatan usaha, (4)

merencanakan kegiatan usaha. Adapun langkah

selanjutnya adalah memulai melakukan proses perencanaan ke arah relasi usaha.

106

Mendirikan atau Membentuk Badan

Usaha

Setelah melakukan langkah-langkah

sebagaimana disebutkan di atas, pengamatan

selanjutnya diarahkan kepada alternatif pilihan sarana atau wadah apa yang paling baik memulai

usaha pemberdayaan. Langkah memilih bentuk badan usaha, pada dasarnya lebih banyak ditinjau

dari aspek legal yuridis yang mengatur tingkah laku badan usaha dalam dunia usaha. Selama ini

memang lembaga-lembaga Nazhir wakaf lebih banyak yang berbentuk yayasan atau badan

wakaf, namun untuk mempermudah upaya pemberdayaan produktif melalui usaha sebaiknya

dengan mendirikan badan usaha di bawah naungan yayasan wakaf.

Dalam kondisi system ekonomi yang berlaku sampai saat ini dimana hubungan usaha juga

tidak luput dari sejumlah ketentuan perundangan,

ada tiga jenis aplikasi syarikah yang mungkin dilakukan.

Pertama, dalam hubungan usaha dengan lembaga pemerintah (lembaga keuangan maupun

non keuangan) yang belum atau tidak mengakui pola dan mekanisme syarikah Pada jenis yang

pertama ini, pola dan mekanisme syarikah secara konsisten hanya dilakukan dalam konteks internal

badan usaha. Hubungan usaha dengan lembaga lain dilakukan dengan tetap berpayung pada

107

badan hukum konvensional yang formal, seperti

PT, CV atau koperasi.

Kedua, dalam hubungan usaha dengan lembaga pemerintah (lembaga keuangan maun

non keuangan) yang telah mengaku dan mengadopsi pola dan mekanisme syarikah. Pada

jenis yang kedua, pola dan mekanisme syarikah dapat dilakukukan secara terbuka, baik internal

maupun eksternal. Misalnya, hubungan usaha dengan sejumlah lembaga keuangan syari’ah milik

pemerintah, seperti BNI Syari’ah dab Bank Syari’ah Mandiri (BSM).

Ketiga, dalam hubungan usaha dengan lembaga non pemerintah (LSM, swasta) serta

perseorangan. Penerapan syarikah dalam bentuk hubungan usaha yang ketiga ini sangat

bergantung pada sikap lembaga bersangkutan.

Saat ini, telah ada sejumlah lembaga non pemerintah yang telah mengakui dan mengadopsi

pola mekanisme syarikah. Diantaranya, Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank IFI Syari’ah,

Baitu Mal Wat-Tamwil (BMT), Dompet Dhuafa Republika (DDR) dan lain-lain.

Mempersiapkan Kegiatan Usaha

Langkah selanjutnya adalah mempersiapkan

kegiatan usaha dengan berpegang pada perencanaan yang sudah dipersiapkan sebagai

sarana melakukan langkah dalam merumuskan alternatif kegiatan untuk mencapai sasaran usaha

108

yang ingin diraih. Penyusunan langkah strategis

harus segera dilakukan, kemudian diikuti dengan

langkah-langkah taktis jengka pendek yang semuanya dituangkan ke dalam program kerja

lengkap dengan anggaran yang telah diperhitungkan secara seksama.

Jika langkah-langkah ini telah ditempuh, supervisi dan monitoring terhadap kegiatan usaha

akan dapat dilakukan dengan mudah, yang pada gilirannya akan dapat mengendalikan manajemen

usaha.

Merencanakan Kegiatan Usaha

(a) Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam perencanaan usaha

Perencanaan merupakan suatu proses yang diawali dengan pencarian data, analisis sitauasi

internal dan eksternal, hingga penyusunan rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam

suatu periode tertentu untuk mencapai tujuan dan sasaran, serta bagaimana proses evaluasi akan

dilakukan sampai akhir masa perencanaan. Jadi perencanaan memang merupakan proses awal

guna mencapai tujuan dan dituangkan serta

dijabarkan dalam rencana langkah-langkah konkrit.

Membuat suatu perencanaan usaha pada dasarnya harus berdasarkan dan sesuai dengan

visi dan misi usaha sebagaimana ditampakkan dalam bagan alur berpikir perencanaan usaha.

109

Dalam kesempatan ini akan ditunjukkan bagian

yang paling penting dalam proses pembuatan

perencanaan usaha, yaitu memahami dan mengenal situasi lingkungan dengan melakukan

analisis terhadap situasi internal dan eksternal yang lebih dikenal dengan SWOT : Strength

(kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (peluang) dan Threat (ancaman). Analisis ini

menjadi dasar dan sangat penting bagi pembuatan perencanaan usaha. Dengan

mengenal situasi internal dan eksternal, dapat dilakukan pengambilan keputusan yang tepat

untuk menjalankan kegiatan usaha.

(b) Analisis SWOT Sebagai Langkah Awal

Perencanaan Usaha

Tidak mudah menggunkan analisis SWOT untuk

mengetahui situasi internal dan eksternal

perusahaan. Kegagalan dalam melakukan analisis berarti gagal pula dalam mencari titik-titik temu

faktor-faktor strategis yang terdapat dalam lngkungan internal dan eksternal. Kendati

demikian, diakui oleh para manajer dan praktisi usaha bahwa analisis SWOT merupakan salah satu

media yang efektif guna menyusus suatu strategic planning atau perencanaan strategis lembaga

usaha.

Sebelum kita melakukan analisis lingkungan

dengan analisis SWOT, paling tidak ada lima hal yang harus diperhatikan, yang capkali merupakan

problem dalam mengimplementasikan SWOT di lapangan, yaitu sebagai berikut :

110

Hati-hati, jangan salah dalam menghubungkan

faktor internal dan eksternal.

Jangan terpukau hanya pada faktor kekuatan saja, sedangkan kelemahan yang sangat

sensitive justru kurang mendapat perhatian, atau dilupakan.

Jangan meremehkan faktor tantangan, betapapun kecilnya.

Sebaliknya, jangan berlebihan atau terlalu memperhatikan kelemahan.

Jangan meletakkan kereta di depan kuda, artinya : jangan bersikap, “kerjakan dulu,

strategic planning belakangan”.

Perumusan Perencanaan Usaha

Jika identifikasi dan analisis SWOT sudah selesai dilakukan, berarti organisasi sudah

berhasil menyelesaikan 50% dari pekerjaan perencanaan usaha. Langkah berikutnya adalah

melakukan perumusan perencanaan. Tahapan ini meliputi tiga jenis jenjang perencanaan, yaitu :

strategi induk, strategi program jangka panjang menengah dan program jangka pendek.

a. Strategi Induk

Perencanaan strategis lebih terfokus pada

strategi induk lembaga yang berisikan visi, misi dan tujuan. Karena itu, penerapan syariat dalam

111

perencanaan strategis tampak jelas pada ini

Strategi Induk. Strategi Induk merupakan rencana

strategis untuk melihat sisi organisasi : 5, 10 atau 20 tahun (lazimnya untuk 5 tahun) mendatang.

Berfikir strategis akan membawa cakrawala atau wawasan jauh ke depan dan tidak terjebak pada

suasana hari ini atau hari kemarin. Rencana jangka panjang ini sangat diperlukan sebagai

barometer atau petunjuk arah aksi organisasi yang dikaitkan dengan kemampuan serta peluang

yang ada.

Visi adalah cara pandang menyeluruh dan

futuristic (mengarah pada masa depan) terhadap keberadaan lembaga. Misi ini merupakan

pernyataan yang menjelaskan alasan poko berdirinya lembaga dan membantu mengesahkan

fungsinya dalam mesyarakat atau lingkungannya.

Adapun tujuan adalah akhir perjalanan yang dicari organisasi untuk dicapai melaui eksistensi dan

operasinya serta merupakan sasaran yang lebih nyata dari pada pernyataan misi.

Dalam perencanaan strategis, juga ditetapkan acuan, standar atau tolak ukur strategis dan

operasional bagi perjalanan lembaga usaha. Tolok ukut strategis lebih bersifat kualitatif dan

bersandarkan pada nilai-nilai utama yang dianut lembaga usaha. Sementara itu, tolok ukur

operasional lebih bersifat kuantitatif dan didasarkan atas kesepakatan hasil perhitungan

dan analisis bersama dalam menjalankan aktivitas lembaga.

112

Berdasarkan syariat, visi, misi dan tujuan suatu

lembaga usaha hendaknya menggambarkan

orientasi manajemen syariat. Apalagi lembaga Nazhir wakaf yang akan melakukan usaha adalah

lembaga yang jelas-jelas mempunyai dimensi syariat. Visinya adalah menjadikan lembaga

Nazhir sebagai wahana pengembangan usaha produktif dalam meraih keuntungan dan ridha

Allah untuk kepentingan umat sebanyak-banyaknya. Misi dan tujuannya bahwa keberadaan

lembaga ini adalah untuk kesejahteraan masyarakat dengan mewujudkan SDM

professional yang memiliki kematangan kepribadian, berpola pikir dan pola sikap yang

islami.

Adapun tolok ukur operasional –sesuai dengan

sifatnya—disepakati sesuai dengan kebutuhan

lambaga yang berkaitan dengan tknis penyelenggaraan kegiatan usaha. Tolok ukur

tersebut dapat diformulasikan sebagai SMART, yaitu : Specific (sesuatu yang unik, khas),

Measurable (sesuatu yang dapat diukur/kuantitatif), Attainnable (sesuatu yang

dapay dicapai), Realistic (sesuatu yang nyata), dan Times basis (berorientasi waktu).

b. Strategi Program Jangka Menengah

Disebut strategi program jkarena berisikan

rencana-rencana fungsional yang berfungsi untuk mengimplementasikan strategi induk yang telah

ditetapkan. Disebut jangke menengah karena

113

waktu pencapaian rencana tersebut adalah

lazimnya –setengah dari jangka waktu pencapaian

strategi induk.

Rencana fungsional kerap berupa kebijakan

departemental yang tampak pada garis-garis besar haluan kerja lembaga.Sebagai contoh,

rencana fungsional bidang produksi, bidang administrasi dan keuangan, bidang pemasaran,

bidang penelitian dan pengembangan dan lain-lain. Rencana fungsional ini akan diderivikasikan

dan menjadi induk bagi program-program jangka pendek.

c. Program Jangka Pendek

Pengertian program jangka pendek adalah

program yang dilakukan untuk jangka waktu satu tahu dan disesuaikan dengan tahun kalender

untuk mempermudah mnegikuti pencapaian sasarannya. Dengan demikian, dalam program

jangka pendek ini harus tertuang semua yang hendak kita capai, mulai dari profitabilitas,

pemasaran, anggaran keuangan, personalia, peralatan, dan cara evaluasinya. Rencana

anggaran pada dasarnya merupakan alat kendali manajemen yang yang sangat berguna dan

sangat membentu untuk melakukan pengawasan. Akan lebih spesifik lagi apabila detail waktunya

diperinci lagi menjadi program bulanan, triwula,

setengah tahunan sehingga kita dapat lebih mudah lagi mengikuti dan melakukan antisipasi

jika terdapat deviasi dalam pelaksanaannya.

114

Demikian rincinya program jangka pendek

sehingga dikenal pula sebagai rencana taktis dan

anggaran.

Karakteristik program jangka pendek di atas

mesti disesuaikan dengan formulasi tolok ukur SMART.

Implementasi Pelaksanaan Usaha

Implementasi perencanaan bertumpu pada

pengorganisasian SDM. Aktifitas ini mencakup distribusi kerja di antara individu dan kelompok

kerja dengan mempertimbangkan tingkatan manajemen, tipe pekerjaan, pengelompokan

bagian pekerjaan, serta mengusahakan agar bagian-bagian itu menyatu seluruhnya dalam

sebuah tim sehingga mereka dapat bekerja secara efektif dan efesien. Tim yang dimaksud adalah tim

yang solid, guna mengawala organisasi agar tetap kondusif dalam rangka pencapaian visi, misi dan

tujuan yang telah ditetapkan. Suatu tim dimana seluruh anggotanya bersinergi dalam kesamaan

visi, misi dan tujuan organisasi. Suasana tersebut dapat diringkas dalam formula 3 in 1, yakni

kebersamaan seluruh anggota dalam kesatuan

bingkai ide atau pemikiran, perasaan, dan aturan main. Tentu saja interaksi yang terjadi berada

dalam koridor amar ma’ruf nahi munkar.

Bentuk struktur otganisasi –sangat bergantung

pada posisi organisasi lembaga usaha dan strategi induk yang telah disepakati. Adapun bentuk yang

115

terbaik adalah struktur organisasi yang cocok

dengan lingkungan oraganisasinya beserta cirri

khas internalnya.

Evaluasi dan Umpan Balik Bagi

Perencanaan Usaha

Tahapan paling akhir dan proses dari proses

perencanaan strategis adalah penilaian dan pemberian umpan balik. Penilaian dilakukan

sesuai dengan prosedur organisasi yang dikembangkan, yakni dengan mengacu pada tolok

ukur strategis dan operasional. Hal ini guna mendapatkan kepastian akan ketepatan

pencapaian strategis induk organisasi. Apapun hasilnya, akan menjadi rekomendasi masukan

bagi perbaikan dan/atau penyempurnaan perencanaan strategis dan implementasi program

berikutnya.

Penilaian organisasi biasanya dilaksanakan

secara berkala dan berjenjang. Program kerja

tahunan dievaluasi bersamaan dengan selesainya program, kemudian seluruh program dinilai secara

keseluruhan pada akhir tahun anggaran. Forum penilaian ini, dilakukan evaluasi total terhadap

kesesuaian perjlanan organisasi lembaga usaha dengan strategi induk yang telah ditetapkannya,

sehingga forum tersebut dapat saja menghasilkan rekomendasi berupa perlunya tindakan

penyesuaian program terhadap strategi induk.

116

Kategorisasi Tanah Wakaf Produktif

Strategis dan Jenis-jenis Usaha yang Dianggap Cocok

Kategori

Tanah

Jenis Lokasi

Tanah

Jenis Usaha

Pedesaan Tanah

Persawahan

Pertanian

Tambak ikan

Tanah

Perkebunan

Perkebunan

Home industri Tempat Wisata

Tanah Ladang Atau Padang Rumput

Palawija Real estate Pertamanan

Home industri

Tanah Rawa Perikanan

Tanah Perbukitan Tempat Wisata Bangunan

Home industri Penyulingan

air mineral Dll

Perkotaan Tanah Pinggir Jln. Raya Dekat Jalan

Protokol

Perkantoran Pusat

Perbelanjaan Apartemen

Hotel/Penginapan

Gdg.

Pertemuan Dll

Dekat Jalan Utama

Perkantoran Pertokoan

117

Pusat Perbelanj.

Rumah Sakit

Rumah Makan Sarana

Pendidik. Hotel/Penginap

an Apartemen Gdg.

Pertemuan Pom Bensin

Apotek Wartel/Warnet Bengkel Mobil

Dll.

Dekat Jalan

Tol

Pom Bensin

Bengkel Rumah Makan

Outlet Warung Wartel

Dll.

Dekat

Jalan Lingkungan

Perumahan

Klinik Apotek

Sarana Pendidikan

Wartel/Warnet

Outlet Warung

Jasa Photo Copy

Dll.

Tanah Dekat/ di Sarana

118

Dalam Perumahan

Pendidikan Klinik Apotek

Outlet Warung

Catering BMT

Dll.

Tanah Dekat Keramaian

(Pasar, Terminal, Stasiun, Sekolah

Umum dll.)

Pertokoan Rumah Makan

Bengkel BPRS/BMT

Warung Wartel/Warnet

Klinik Jasa Penitipan Dll.

Tanah Pantai

Pinggir Laut Tambak Ikan Obyek Wisata

HI Kerajinan Dll

Rawa Bakau Perkebunan

C. Strategi Pengembangan

Untuk mengelola, memberdayakan dan

mengembangkan tanah wakaf yang strategis dimana hampir semua wakif yang menyerahkan

tanahnya kepada Nazhir tanpa menyertakan dana untuk membiayai operasional usaha produktif,

tentu saja menjadi persoalan yang cukup serius. Karena itu, diperlukan strategi riil agar bagaimana

tanah-tanah wakaf yang begitu banyak di hampir

119

seluruh propinsi di Indonesia dapat segera

diberdayakan untuk kepentingan kesejahteraan

masyarakat banyak. Strategi riil dalam mengembangkan tanah-tanah wakaf produktif

adalah dengan kemitraan.

Lembaga-lembaga Nazhir harus menjalin

kemitraan usaha dengan pihak-pihak lain yang mempunyai modal dan kertarikan usaha sesuai

dengan posisi tanah strategis yang ada. Jalinan kerja sama ini dalam rangka menggerakkan

seluruh potensi ekonomi yang dimiliki oleh tanah-tanah wakaf tersebut. Sekali lagi harus ditekankan

bahwa system kerja sama dengan pihak ketiga tetap harus mengikuti system syariah, baik

dengan cara musyarakah maupun mudlarabah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Pihak-

pihak ketiga itu adalah sebagai berikut :

Lembaga investasi usaha yang berbentuk badan usaha non lembaga jasa keuangan.

Lembaga ini bisa berasal dari lembaga lain di luar wakaf, atau lembaga wakaf lainnya yang

tertarik terhadap pengembangan atas tanah wakaf yang dianggap strategis.

Investasi perseorangan yang memiliki modal cukup. Modal yang akan ditanamkan berbentuk

saham kepemilikan sesuai dengan kadar nilai yang ada. Investasi perseorangan ini bisa

dilakukan lebih dari satu pihak dengan komposisi penyahaman sesuai dengan kadar

yang ditanamkan.

120

Lembaga perbankan Syari’ah atau lembaga

keuangan Syari’ah lainnya sebagai pihak yang

memiliki dana pinjaman. Dana pinjaman yang akan diberikan kepada pihak Nazhir wakaf

berbentuk kredit dengan system bagi hasil setelah melalui studi kelayakan oleh pihak

bank.

121

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, HE. Zainal, SH, MS, MPA, Wakaf dalam

Perundang-Undangan Indonesia, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002

Al-Munawar, Said Agil Husin, Prof. Dr., H, MA, Pengembangan Wakaf dalam Rangka Membangun Kesejahteraan Masyarakat, Makalah Seminar : Wakaf Tunai – Inovesi Islam : Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta : Program Pasca Sarjana UI-PKTTI), November, 2001 Budi Utomo, Setiawan, Dr., Saatnya Wakaf Tunai Menyejahterakan Perekonomian Umat Kontemporer, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002 Chirzin, M. Habib, Drs., Wakaf Sektor Ketiga Sebagai Sumber Pembangunan Umat : Jaringan dan Kerjasama, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002 Daud Ali, Mohammad, Sistem dan Pengembangan Ekonomi Islam Melalui Zakat dan Wakaf, (Jakarta : UI Press)

Djatnika, Rachmat, Tanah Wakaf, (Surabaya : Al-Ikhlas), 1983 E. Nasution, Mustafa, Dr., Wakaf Tunai : Strategi untuk Menyejahterakan dan Melepaskan Ketergantungan

122

Ekonomi, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002

Haq, A. Faishal & Anam, A. Saiful, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, (Pasuruan : PT. GBI), 1994, Cet. ke-4. Hasan, K. N. Sofyan, SH, MH, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, (Surabaya : Al-Ikhlas), 1995, Cet. ke-1 Hasanah, Uswatun, Dr., Manajemen Kelembagaan Wakaf, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002 Hasanah, Uswatun, Dr., Wakaf dalam Aturan Undang-Undang di Indonesia, (Jakarta : Republika), Senin, 21 April, 2003 Direktorat Peningkatan Zakat dan Wakaf Ditjen BIPH, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan Tanah Milik, (Jakarta : Depag RI), 2002 Ibrahim, M. Anwar, Dr., Wakaf dalam Syari’at Islam, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia : Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya, (Bandung : Yayasan Piara), 1995 Raharjo, M. Dawam, Prof. Dr., Pengorganisasian Lembaga Wakaf dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002

123

Republika, Dimensi Transendental Dalam Bisnis Islami, Rubrik Iqtishad, Jakarta, Senin, 31 Maret, 2003 Sabiq, Sayyid, Fiqhu as-Sunnah, Darul Kitab al-‘Arabi, Libanon, 1971

Saroso dan Ngani, Naco, Tinjauan Yuridis tentang Perwakafan Hak Milik, (Yogyakarta : Liberty), 1984

Suhadi, Imam, Prof. Dr., Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa), 2002 Sutarmadi, Ahmad, Dr., Upaya Konkrit Pengembangan Perwakafan di Indonesia, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002 Tabloid Fikri, Nadzir Wakaf, Konsultasi Wakaf Tunai, Jakarta, edisi 50, Agustus, 2002 Tabloid Fikri, Pengalihan Wakaf, Bolehkah ?, Konsultasi Wakaf Tunai, Jakarta, edisi 51, Agustus, 2002 Tim Penyusun Perbankan Syari’ah Bank Indonesia, Peranan Bank Syari’ah dalam Wakaf Tunai, Makalah Seminar : Wakaf Tunai – Inovesi Islam : Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta : Program Pasca Sarjana UI-PKTTI), November, 2001 Usman, Suparman, Drs. H., SH, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta : Darul Ulum Press), Mei, 1999 Yusanto, Ismail, SE, et al., Menggagas Bisnis Islami, (GIP : Jakarta), 2001

124