KATA PENGANTAR - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/3766/2/Isi.pdfprovinsi baru, kabupaten dan...

70
KATA PENGANTAR Pemekaran wilayah sebenarnya antara lain bertujuan untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Prinsipnya pemerintah melayani kepentingan masyarakat dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri negara ini. Maraknya pemekaran wilayah sebagai keberhasilan gerakan reformasi yang melahirkan otonomi daerah dengan semangat pemberdayaan masyarakat di daerah. Akibatnya banyak daerah yang ingin membentuk daerah otonomi baru. Pembentukan provinsi baru, kabupaten dan kota baru terlepas dari daerah induknya. Namun demikian tidak semua upaya pemekaran daerah berjalan dengan baik tanpa menimbulkan gejolak. Tahapan atau proses pemekaran daerah terkadang justru menimbulkan kerusuhan yang tidak jarang menimbulkan korban jiwa. Di tahun 2009, misalnya, ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara meninggal dunia akibat amuk massa yang berkeras membentuk provinsi baru Tapanuli yang terpisah dari provinsi Sumatera Utara. Tidak kalah hebohnya juga adalah pada tahun 2013 pemekaran kabupaten Musi Rawas Utara di Sumatera Selatan yang menelan setidak-tidaknya empat korban jiwa. Empat nyawa ini melayang akibat bentrok dengan aparat keamanan yang berusaha mencegah pemblokiran jalan lintas Sumatera perbatasan provinsi Sumatera Selatan dengan Jambi. Kerusuhan di Sumatera Utara dan di kabupaten Musi Rawas ini hanya sebagian contoh saja betapa tahapan pemekaran daerah seringkali menimbulkan kerusuhan yang menelan korban jiwa. Pemekaran wilayah terkadang diboncengi pula kepentingan politik yang menambah kompleksitas persoalan. Buku berjudul Sengketa Akibat Pemekaran Daerah ini merupakan bahan bacaan terbatas bagi mahasiwa Fakultas Hukum yang mempelajari ketatanegaraan dalam arti luas dan khususnya terkait dengan Otonomi Daerah. Saya mengakui bahwa sebagian atau pada bagian-bagian tertentu terdapat kutipan-kutipan yang semata-mata bertujuan memperkaya bahan bacaan mahasiswa, tidak bertujuan komersial. Semoga bahan bacaan ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan siapa saja yang memerlukan bahan bacaan yang terkait dengan pemekaran daerah. Terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penerbitan buku ini. Palembang, 2 Desember 2013 Prof. Amzulian Rifai, SH.LLM.Ph.D

Transcript of KATA PENGANTAR - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/3766/2/Isi.pdfprovinsi baru, kabupaten dan...

KATA PENGANTAR

Pemekaran wilayah sebenarnya antara lain bertujuan untuk memperpendek rentang

kendali pemerintahan agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Prinsipnya pemerintah melayani kepentingan masyarakat dalam rangka mencapai

kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri negara ini.

Maraknya pemekaran wilayah sebagai keberhasilan gerakan reformasi yang

melahirkan otonomi daerah dengan semangat pemberdayaan masyarakat di daerah.

Akibatnya banyak daerah yang ingin membentuk daerah otonomi baru. Pembentukan

provinsi baru, kabupaten dan kota baru terlepas dari daerah induknya.

Namun demikian tidak semua upaya pemekaran daerah berjalan dengan baik tanpa

menimbulkan gejolak. Tahapan atau proses pemekaran daerah terkadang justru menimbulkan

kerusuhan yang tidak jarang menimbulkan korban jiwa. Di tahun 2009, misalnya, ketua

DPRD Provinsi Sumatera Utara meninggal dunia akibat amuk massa yang berkeras

membentuk provinsi baru Tapanuli yang terpisah dari provinsi Sumatera Utara.

Tidak kalah hebohnya juga adalah pada tahun 2013 pemekaran kabupaten Musi Rawas

Utara di Sumatera Selatan yang menelan setidak-tidaknya empat korban jiwa. Empat nyawa

ini melayang akibat bentrok dengan aparat keamanan yang berusaha mencegah pemblokiran

jalan lintas Sumatera perbatasan provinsi Sumatera Selatan dengan Jambi. Kerusuhan di

Sumatera Utara dan di kabupaten Musi Rawas ini hanya sebagian contoh saja betapa tahapan

pemekaran daerah seringkali menimbulkan kerusuhan yang menelan korban jiwa. Pemekaran

wilayah terkadang diboncengi pula kepentingan politik yang menambah kompleksitas

persoalan.

Buku berjudul Sengketa Akibat Pemekaran Daerah ini merupakan bahan bacaan

terbatas bagi mahasiwa Fakultas Hukum yang mempelajari ketatanegaraan dalam arti luas

dan khususnya terkait dengan Otonomi Daerah. Saya mengakui bahwa sebagian atau pada

bagian-bagian tertentu terdapat kutipan-kutipan yang semata-mata bertujuan memperkaya

bahan bacaan mahasiswa, tidak bertujuan komersial.

Semoga bahan bacaan ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan siapa

saja yang memerlukan bahan bacaan yang terkait dengan pemekaran daerah. Terima kasih

kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penerbitan buku ini.

Palembang, 2 Desember 2013

Prof. Amzulian Rifai, SH.LLM.Ph.D

BAB I

PENDAHULUAN

Krisis ekonomi global terjadi pada tahun 1997 yang berdampak pada perekonomian

di seluruh dunia termasuk Indonesia. Di Indonesia, krisis global tersebut tidak hanya

menimbulkan dampak pada bidang ekonomi, namun juga memiliki akibat yang lebih luas

termasuk di bidang politik. Muncul istilah krisis multi dimensi, untuk menggambarkan bahwa

krisis tersebut bukan hanya krisis ekonomi semata.

Sepanjang tahun 1997 sampai tahun 1998 terjadi gelombang protes besar-

besaranterhadap sistem pemerintahan Orde Baru yang bersifat sangat sentralistik, yang

padaakhirnya membuat sistem pemerintahan Orde Baru harus mengakhiri kekuasaan

yangtelah dijalani selama 32 tahun.

Jatuhnya Orde Baru melahirkan Era Reformasi. Era reformasi yang dimulai padatahun

1999 mengubah paradigma desentralisasi administrastif yang dianut Orde Lama(1945-1965)

dan Orde Baru (1965-1998) ke desentralisasi politik (Suyanto, 2002). PadaEra Reformasi ini

lahirlah Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah (UU. Otonomi

Daerah) dan UU. No.25 tentang Perimbangan Keuangan Pusatdan Daerah yang keduanya

merupakan kebijakan desentralisasi di bidang politik,administrasi dan fiskal.

Lahirnya dua paket undang-undang tersebut menandaidimulainya Era Otonomi Daerah

di Indonesia.Sejak berlakunya UU.No.22 tahun 1999, daerah mempunyai kewenangan

dan peluang yang relatif lebih luas dalam mengelola daerahnya masing-

masing. Pada UU No.22 tahun 1999 banyak kewenangan yang diberikan ke daerah kecuali

bidang-bidang: politik luar negeri, fiskal dan moneter, pertahanan,

hukum dan keagamaan yang masihtetap menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Adanya pelimpahan wewenang yang tinggikepada daerah untuk mengelola wilayahnya

secara mandiri melalui otonomi daerah inimenciptakan satu tantangan sekaligus peluang bagi

pemerintah daerah.Salah satu fakta yang kemudian merebak pasca kebijakan otonomi daerah

diIndonesia adalah fenomena pemekaran daerah. Dengan alasan memanfaatkan peluanguntuk

mengelola daerah secara mandiri, maka hal ini

memicu terjadinyapemekarandi berbagai wilayah di Indonesia, sehingga fenomena yang men

yertai pelaksanaanotonomi daerah sejak tahun 2000 adalah munculnya daerah-daerah baru

hasil pemekaran.

Ada dua faktor yang memunculkan pemekaran daerah yaitu faktor pendorong dan faktor

penarik. Berbagai faktor penyebab yang mendorong munculnya pemekaran yaitu: faktor

kesejarahan, ketimpangan pembangunan, luasnya rentang kendali

pelayanan publik dan tidak terakomodasinya representasi politik.

Sedangkan faktor penyebab pemekaran yang berupa penarik adalah limpahan fiskal

yang berasal dari APBN berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus

(DAK).

Sebelum era otonomi daerah, di Indonesia hanya terdapat 27 provinsi dan 277

kabupaten/kotamadya. Setelah otonomi daerah, jumlah tersebut membengkak menjadi33

provinsi dan 483 kabupaten/kota dengan tingkat akselerasi pemekaran yang terhitungluar

biasa dan sebagaimana diduga sebelumnya, menciptakan ruang-ruang potensimasalah baru.

Pemekaran suatu daerah menjadi beberapa daerah otonom baru

berakibat berubahnyabatasbatas wilayah daerah baik secara administratif maupun geospasial

(keruangan), yang menjadi pemicu munculnya permasalahan serius.

Permasalahan tersebut antara lain adalah sengketa batas wilayah. Sekilas tidak ada

persoalan terkait batas-batas administratif dan geospasial ini karena di setiap Undang-Undang

yang memayungi pembentukan daerah otonom baru tersebut selalu dicantumkan batas-batas

antara daerah satu dengan daerah lain walaupun batas-batas tersebut sangat makro.

Akan tetapi kondisi di lapangan seringkali lebihrumit daripada yang diperkirakan

sebelumnya. Dalam praktiknya, proses penegasan batas daerah tidak selalu dapat dilaksanakan

dengan lancar, bahkan ada kecenderungan jumlah sengketa batas antar daerah meningkat .

Sampai saat ini jumlah kasus sengketa perbatasan antar daerah mencakup 17

permasalahan yangmelibatkan 19 Provinsi dan 50 permasalahan yang melibatkan 81

Kabupaten/Kota. Dari penelitian awal yang dilakukannya, teridentifikasi beberapa penyebab

konflik terkait batas wilayah ini, antara lain:1)Yuridis: tidak jelasnya batas daerah dalam

Undang-Undang Pembentukan Daerah, 2)Ekonomi: Perebutan Sumber Daya (SDA, Kawasan

Niaga/Transmigrasi,Perkebunan)3) Kultural: Isu terpisahnya etnis atau sub etnis.4) Politik &

Demografi: Perebutan pemilih & perolehan suara bagi anggotaDPRD/KDH, 5) Sosial:

Munculnya kecemburuan sosial, riwayat konflik masa lalu, isu penduduk asli dan pendatang,

6) Pemerintahan: Jarak ke pusat pemerintahan, diskriminasi pelayanan, keinginan bergabung

ke daerah tetangga.

Pasca reformasi 1998, hubungan pusat dan daerah semakin banyak dibicarakan terkait

tuntutan desentralisasi. Daerah menggugat sistem pemerintahan yang selama ini sentralistik.

Untuk jangka waktu yang lama sebelum gerakan reformasi, daerah merasakan kewenangan

dan campur tangan pusat kepada daerah cukup tinggi. Banyak kebijakan-kebijakan daerah

terhalang karena keharusan untuk adanya izin dari pemerintah pusat. Tuntutan agar daerah

lebih otonom semakin tinggi. Tuntutan agar tercipta otonomi daerah.

Otonomi dapat diartikan sebagai pola pemerintahan sendiri. Sedangkan otonomi daerah

adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen

dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, definisi

otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan”.

Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur,

mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati

peraturan perundangan yang berlaku. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana

telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan

Daerah juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya

disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah

yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi. Dengan digunakannya asas

desentralisasi pada kabupaten dan kota, maka kedua daerah tersebut menjadi daerah otonom

penuh .

Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa otonomi daerah dapat diartikan

sebagai wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah baik kabupaten

maupun kota untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya

sendiri sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing dan mengacu kepada kepada

peraturan perundangan yang berlaku dan mengikatnya.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah

diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang

menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki

kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta,

prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan

rakyat.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan otonomi yang luas,

nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional dan berkeadilan, jauh dari

praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan

pemerintah pusat dan daerah.

Dengan demikian prinsip otonomi daerah adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Otonomi Luas

Yang dimaksud otonomi luas adalah kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak,

dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah

pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki banyak ragam dan

jenisnya.

Di samping itu, daerah diberikan keleluasaan untuk menangani urusan pemerintahan

yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan

pemberian otonomi daerah itu sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat, sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah.

b. Prinsip Otonomi Nyata

Yang dimaksud prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban

untuk menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk

tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing.

c. Prinsip Otonomi yang Bertanggungjawab

Yang dimaksud dengan prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang

dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi yang

pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Tiga Tujuan Otonomi Daerah

Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan

publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama

pelaksanaan otonomi daerah yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik

dan kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber

daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk

berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah

peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan

terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan

demikian pada intinya tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dengan cara meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan

memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Kita tidak menutup mata terhadap berbagai sisi positif dari diberlakukannya otonomi

daerah1 di Indonesia. Dari sudut kekuasaan, diantara sisi positif itu adalah semakin

berkurangnya dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Sebelum otonomi

daerah, peran pemerintah pusat begitu besar terhadap berbagai sisi kehidupan masyarakat

didaerah. Pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif,investasi, perizinan

mengikutsertakan kekuasaan pemerintah pusat. Intervensi pemerintah pusat dapat

“menjadikan” atau “menggagalkan” suatu urusan.

Kini pemilihan kepala daerah tidak lagi dengan campur tangan pemerintah pusat yang

keterlaluan. Hanya sebatas kewajaran sebagai negara kesatuan. Pemerintah pusat sebatas

mengeluarkan Surat Keputusan terhadap seorang kepala daerah. Itupun tanpa ada proses

berbelit sepanjang masyarakat didaerah telah bersepakat siapa yang menjadi kepala

daerahnya. Ditariknya campur tangan pusat dalam pemilihan kepala daerah merupakan suatu

kemajuan yang “luar biasa” dalam upaya memberikan kedaulatan yang lebih besar kepada

masyarakat daerah.

Namun demikian bukan juga otonomi daerah tanpa masalah. Ada banyak permasalahan

yang muncul sebagai akibat diberlakukannya otonomi daerah. Sebagai negara yang

senantiasa bersedia melakukan evaluasi terhadap sistem yang diberlakukan,maka “deteksi

dini” terhadap permasalahan-permasalahan setelah satu dasawarsa otonomi daerah 1 Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2000 TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

diharapkan membantu perbaikan sistem ini dimasa mendatang. Otonomi daerah juga

menimbulkan beberapa bentuk sengketa. Bahkan sengketa yang tidak pernah terbayangkan

sebelumnya.

Saya tidak se-ekstrim kelompok yang anti dengan otonomi daerah dengan berbagai

argumentasi yang dikemukakan. Bahkan temuan Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang

menyatakan bahwa otonomi daerah dinilai gagal. Menurut LSI berdasarkan hasil riset yang

dilakukan LSI di 33 provinsi, menunjukkan indikasi kebijakan otonomi telah gagal.

Mayoritas responden dalam survei itu berpendapat, keadaan daerah setelah berlaku otonomi

tidak dirasakan menjadi lebih baik.2

Namun demikian harus diakui ada berbagai permasalahan dari diterapkannya otonomi

daerah. Jika penerapan otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan porsi keuangan

yang lebih besar kepada daerah,maka tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Masih juga

terjadi ketimpangan antara pusat dan daerah. Pada tahun 2008 anggaran pusat dan daerah

adalah 70% berbanding 30%. Berubah sedikit menjadi 69% dan 31% ditahun 2009. Tetap

didominasi oleh pemerintah pusat.

Banyak permasalahan-permasalahan yang dapat diinventarisir sebagai upaya perbaikan

penerapan otonomi daerah dimasa mendatang. Agar tulisan ini tidak melebar “kemana-

mana,” saya membatasi permasalahan utama otonomi daerah yang diharapkan mampu

memberikan sumbangsih implementasinya kedepan. Masalah pokok tersebut adalah

munculnya beberapa sengketa. Sengketa yang mungkin selama ini tidak pernah terbayangkan

akan terjadi. Saya menjadikan dan membatasi pada empat sengketa yang dijadikan

permasalahan pokok dalam otonomi daerah.

Permasalahan pertama, otonomi daerah menyebabkan sengketa perbatasan didaerah.

Kedua, otonomi daerah menyebabkan sengketa didaerah akibat pemekaran daerah. Ketiga,

otonomi daerah menimbulkan sengketa pengelolaan pertambangan. Permasalahan ke-empat,

otonomi daerah menimbulkan sengketa pemilihan kepala daerah.

Saya harus menegaskan bahwa sekalipun makalah ini membahas empat sengketa akibat

diterapkannya otonomi daerah, bukan berarti otonomi daerah “gagal total.” Ada banyak sisi

positif dari penerapan otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang lebih

luas kepada daerah untuk berkembang secara lebih fkesibel.Bahkan “keuntungan lebih”

diperoleh oleh daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam.

2 Surve i LSI : Otonomi Daerah Dinila i Gagal . http://www.lsi.or.id/liputan/237/survei-lsi-otonomi-daerah-dinilai-gagal, akses 09 Januari 2008 jam 06:30

Permasalahan-permasalahan yang muncul tersebut, tidak menjadikan otonomi daerah

kehilangan pendukungnya. Hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia

(LSI) menunjukkan bahwa meski dianggap gagal menciptakan perubahan dalam

meningkatkan kesejahteraan rakyat, otonomi daerah masih tetap didukung oleh mayoritas

masyarakat Indonesia (73%), hanya 27% yang menyatakan menolak otonomi daerah.

Kondisi tersebut tergambar dalam grafik dibawah ini (Sumber LSI, 2008).

Grafik: Menerima atau Menolak Otonomi Daerah

1. Sengketa Perbatasan Di Daerah

Otonomi daerah ternyata melahirkan sengketa perbatasan wilayah. Suatu objek

sengketa yang selama ini tidak pernah terbayangkan. Otonomi daerah menjadikan batas-

batas wilayah menjadi penting. Selama ini tidak begitu penting batas antar wilayah di

Indonesia baik batas antar desa, antar kecamatan, antar kabupaten/kota bahkan batas antar

provinsi. Salah satu alasannya dikarenakan apabila terjadi sengketa batas wilayah dapat

diselesaikan dengan mudah oleh kepala pemerintahan yang lebih tinggi. Selain itu, selama

ini batas wilayah bukan persoalan yang terlalu penting dikarenakan daerah-daerah tidak

memiliki otonomi dalam mengelola wilayahnya sendiri. Era otonomi daerah merubah semua

itu.

Ada beberapa alasan mengapa soal batas wilayah menjadi penting. Alasan pertama, era

otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola

daerahnya. Keadaan ini menguntungkan bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya

alam yang melimpah. Faktanya, memang sebagian besar wilayah Indonesia sangat potensial

kekayaan alamnya. Kondisi demikian ini memunculkan ego kedaerahan sehingga batas

wilayah menjadi penting agar ada kepastian “siapa memiliki batas mana.”

Alasan kedua, muncul ego etnis sebagai “orang daerah.” Dalam batas-batas tertentu

muncul fanatisme “label” sebagai putra daerah. Kondisi ini juga memunculkan sikap

unwelcome terhadap para pendatang yang juga menjadi alasan untuk memastikan batas

wilayah yang kadang-kadang atas dasar etnic-based. Walaupun mungkin pembatasan

wilayah atas dasar etnic-based ini hanya minoritas saja kejadiannya, tetapi tetap harus

diwaspadai sebagai isu yang sangat rawan bagi kemungkinan konflik etnis di era otonomi

daerah.

Alasan berikutnya mengapa batas wilayah menjadi penting karena ada kemungkinan

terjadinya pemekaran wilayah. Apabila suatu desa berencana memekarkan diri menjadi suatu

kecamatan, maka batas desa menjadi penting. Kecamatan terkadang harus pula dimekarkan

karena kepentingan pembentukan kabupaten/kota. Batas wilayah antar kecamatan menjadi

penting. Ironisnya, sebagian besar wilayah di Indonesia dari desa hingga ke negara

umumnya tidak memiliki administrasi perbatasan yang baik. Wajar kalau kemudian diera

otonomi daerah dimana masing-masing daerah merasa “berdaulat” dan ingin “eksis,” batas-

batas wilayah menjadi isu yang penting.

Untuk menjadikan keadaan menjadi lebih rawan, ternyata masing-masing wilayah

memiliki batas wilayah yang tidak jelas. Tengok saja sengketa batas wilayah antara

kabupaten Muara Enim dengan kabupaten Ogan Ilir pada Januari 2009 di Sumsel, masing-

masing ngotot dengan batas wilayah versi masing-masing. Kabupaten Ogan Ilir, misalnya,

mengandalkan peta zaman penjajahan Belanda yang bertuliskan Arab tahun 1921.

Sedangkan kabupaten Muara Enim mengandalkan sejarah tapal batas menggunakan cerita

puyang.3 Kedua argumentasi yang sama-sama sulit disesuaikan dengan perubahan zaman

dan perubahan ketatanegaraan Indonesia.

Akibat pada satu sisi batas wilayah tidak jelas dan pada sisi lain ada keinginan untuk

menguasai wilayah tertentu, baik tingkat desa, kecamatan, atau kabupaten maka disinilah

sumber sengketa. Keadaan yang akan semakin worse apabila ternyata daerah yang

diperebutkan “konon khabarnya” kaya akan sumber daya alam. Di Sumatera Selatan

sengketa wilayah itu terjadi dibeberapa wilayah. Pada tahun 2007,misalnya, terjadi sengketa

perbatasan antara kabupaten OKU Induk dengan kabupaten Muara Enim. Diyakini bahwa 3 Sriwijaya Post, “OI Andalkan Peta Belanda ME Ungkapkan Cerita Puyang,” Kamis, 8 Januari 2009, hal 1. Baca juga, Sumatera Ekspres, “10 Januari Cek Perbatasan,” Jum’at, 9 Januari 2009, hal 27 dan Sriwijaya Post, Warga Kayuara Masih Trauma,” Jum’at, 9 Januari 2009, hal 1

wilayah yang disengketakan itu memang mengandung sumber minyak. Bahkan sengketa

batas wilayah antara kabupaten Ogan Ilir dengan kabupaten Muara Enim pada Januari 2009

juga terkait dengan kepemilikan perkebunana kelapa sawit.4

2. Sengketa di Daerah Akibat Pemekaran Wilayah

Otonomi daerah ternyata juga “meningkatkan selera” orang-orang didaerah untuk

melakukan pemekaran wilayah.5 Sejak 1999 wacana itu dikumandangkan, kini sudah terdapat

7 provinsi, 129 kabupaten, dan 29 kota baru hasil pemekaran. Pemekaran wilayah yang

memiliki efek domino dari berbagai sisi. Apabila suatu kabupaten dimekarkan, akan

berpengaruh terhadap jumlah kecamatan kabupaten yang ditinggalkan. Wilayah yang jumlah

kecamatannya “dikurangi” kemudian juga melakukan pemekaran untuk menambah jumlah

kecamatan yang terlanjur “diambil.”

4 Sekitar 175 warga Dusun III, desa Kayuara Batu Kecamatan Muara Belida, Muara Enim mengungsi ke desa Sungai Menang. Pengungsian itu diduga karena mereka diserang oleh warga desa Pulau Kabal, kecamatan Inderalaya Selatan, Ogan Ilir (OI). Sumatera Ekspres, Kamis, 8 Januari 2009, hal 11. 5 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2000 TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH Pasal 16 (1) Prosedur Pembentukan Daerah sebagai berikut: a) ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan; b) pembentukan Daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah; c) usul pembentukan Propinsi disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah Propinsi dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD; d) usul pembentukan Kabupaten/Kota disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan DPRD Propinsi, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD; e) dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; f) berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut; g) para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; h) berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; i) apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden; j) apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan. (2) Prosedur pemekaran Daerah sama dengan prosedur pembentukan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Efek domino juga terjadi pada penambahan berbagai fasilitas baik fasilitas perkantoran

maupun fasilitas kendaraan dinas dan perumahan. Penambahan pegawai sudah pasti terjadi.

Kabupaten yang baru dibentuk juga membutuhkan Polres, pengadilan negeri, kejaksaan

negeri atau perkantoran sejenis itu yang baru.

Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,

Penghapusan dan Penggabungan Daerah, menyebutkan bahwa pemekaran suatu wilayah

harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Ada diantara daerah

pemekaran justru kemudian menjadi beban bagi daerah induk dikarenakan tingginya biaya

pemekaran.

Sekedar contoh pembentukan Kabupaten Empat Lawang di Sumatera Selatan (UU No.

1/2007). Kabupaten Lahat –sebagai kabupaten induk-- diminta memberikan hibah ‘sesuai

kesanggupan’. Kesanggupan itu ditentukan jumlahnya yakni Rp 5 miliar. Sementara, provinsi

induk Sumsel harus memberikan bantuan dana Rp10 miliar per tahun selama dua tahun

berturut-turut. Bandingkan dengan pembentukan Kabupaten Batu Bara di Sumatera Utara.

UU No. 5 Tahun 2007 mengharuskan Pemda Asahan memberikan hibah Rp7,5 miliar per

tahun, dan Pemda Sumatera Utara memberikan bantuan dana Rp5 miliar per tahun selama

dua tahun berturut-turut.

Belum lagi tercipta “lowongan” untuk menjadi anggota DPRD. Mungkin ada kursi

lowong antara 40 s.d 45 orang. Ada kesempatan mejadi ketua DPRD. Terbuka juga peluang

untuk menjadi kepala daerah. Itu sebabnya banyak daerah di Indonesia tetap berkeinginan

memekarkan wilayahnya. Jumlah daerah otonomi baru terus bertambah. Tengok saja

Undang-Undang yang disetujui bersama DPR dan Pemerintah selama ini. Pada tahun 2007

saja, 16 UU pertama yang dihasilkan justru mengatur pembentukan daerah otonomi baru

(lihat tabel).

Tabel 1

Pembentukan Daerah Otonomi Baru (s.d April 2007)

No.

UU

2007

Daerah Otonomi Baru yang Dibentuk

1 Kab. Empat Lawang, Sumatera Selatan 2 Kab. Nageleo, Nusa Tenggara Barat 3 Kab. Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur 4 Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara 5 Kab. Batu Bara, Sumatera Utara 6 Kab. Kayong Utara, Kalimantan Barat 7 Kab. Pidie Jaya, NAD 8 Kota Subulussalam, NA 9 Kab. Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara 10 Kab. Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara 11 Kab. Gorontalo Utara, Gorontalo 12 Kab. Bandung Barat, Jawa Barat 13 Kab. Konawe Utara 14 Kab. Buton Utara, Sulawesi Tenggara 15 Kab. Kep. Siau Tegulandang Biaro, Sulut 16 Kab. Sumba Barat Daya, NTT

Tabel diatas menunjukkan betapa tingginya minat daerah untuk memekarkan diri.

Sepanjang Januari-April 2007 saja terdapat 16 kabupaten/kotabaru di Indonesia. Patut diduga

bahwa jumlah tersebut terus bertambah sampai dengan akhir tahun 2007.

Sengketa di era otonomi daerah juga sebagai akibat terjadinya pemekaran wilayah.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pemekaran wilayah membawa efek domino

yang rentan menimbulkan sengketa. Paling tidak ada empat macam sengketa yang terjadi

akibat pemekaran wilayah. Ke-empat macam sengketa tersebut adalah: 1) sengketa asset6, 2)

penentuan ibukota wilayah pemekaran7, 3) penolakan pemekaran oleh kepala daerah8, 4)

penentuan batas wilayah9.

6 Persoalan asset seringkali muncul manakala kota yang baru terbentuk berlokasi diwilayah ibukota kabupaten induk (kedua daerah berhimpitan). Persoalan asset terjadi dikarenakan kabupaten induk tidak mempersiapkan sedari awal pada saat pengajuan RUU pembentukan daerah baru tersebut. Hasil studi yang saya lakukan bahwa dibeberapa daerah RUU diajukan tanpa melakukan persiapan yang baik melibatkan dua pihak pimpinan tertinggi dikedua pemerintahan yang akan terpisah tersebut. Amzulian Rifai, Beberapa Permasalahan Hukum di Daerah Pada Era Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar, 6 September 2005, hal 17. Baca juga Amzulian Rifai, Sengketa Asset Karena Pembentukan Daerah Baru, Penerbit UNSRI, Palembang, 2004. 7 Penentuan ibukota wilayah pemekaran juga terkadang menjadi sumber sengketa. Sebagian pihak menilai bahwa letak ibukota akan membawa dampak luas bagi kemajuan ekonomi suatu daerah karena berbagai fasilitas yang mungkin didirikan.

3. Sengketa Pengelolaan Pertambangan

Otonomi daerah juga berdampak pada manajemen pengelolaan pertambangan. Sebelum

otonomi daerah, izin pengelolaan pertambangan (KP) sepenuhnya menjadi kewenangan

pemerintah pusat. Pemerintah daerah “tidak bisa berbuat apa-apa” apabila para pemilik

kuasa pertambangan telah memiliki izin dari pemerintah pusat.

Dibeberapa daerah terjadi konflik yang cukup serius dalam soal pengelolaan

pertambangan. Konflik ini antara lain dikarenakan pemerintah tetap mempertahankan

kekuasaannya dibidang pertambangan.10 Padahal secara jelas sistem pemerintahan ini telah

berubah. Pola yang selama ini menggunakan istilah “pokoknya” tetap dipertahankan. Selama

ini sepanjang para pengusaha bidang pertambangan telah mengantongi izin pemerintah

(pusat) maka seakan-akan daerah tidak boleh menolak apalagi menentang para pengelola

pertambangan tersebut. Tidak soal bagaimana cara mendapatkan izinnya. Tidak juga masalah

apa akibat negatif bagi daerah karena aktivitas pertambangan tersebut. Akibatnya, sejak

dahulu hingga sekarang ini konflik pengelolaan pertambangan akan terus berlangsung

dikarenakan pemerintah pusat tidak merubah pola hubungan pusat dan daerah tersebut.

Secara teori terjadi desentralisasi, namun dalam praktek pemerintah tidak konsisten dengan

aturan yang telah dibuatnya sendiri. Lihat saja konflik-konflik pertambangan yang terjadi

dibanyak daerah.

Minimal ada empat faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik pertambangan.

Pertama, pemerintah pusat tidak menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun

2004 secara konsekuen menyangkut pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah. Saya berfaham bahwa di era otonomi daerah pemerintah pusat hanya

memiliki kewenangan enam urusan saja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Ayat (3)

diatas. Diluar ke-enam bidang tersebut menjadi urusan dan kewenangan pemerintah daerah.

Pemerintah pusat melaksanakan “otonomi setengah hati.” Undang-undang secara tegas

membagi urusan yang menjadi kewenangan masing-masing pemerintahan. Namun pemrintah

pusat tetap memegang kendali diluar ke-enam bidang yang ditentukan oleh Pasal 10 Ayat (3)

tersebut. Jika otonomi daerah dilaksanakan sepenuh hati seharusnya bidang-bidang:

8 Tidak semua kepala daerah dengan lapang dada menerima usulan pemekaran wilayahnya. Penolakan ini terjadi karena pemekaran wilayah dapat diartikan penggebosan luas wilayah kekuasaan. Biasanya proses pemekaran wilayah dapat berlangsung dengan lancar dan didukung sepenuhnya oleh kepala daerah yang telah menjalani masa jabatan untuk periode yang kedua. 9 Sebagaimana diuraikan secara lebih rinci pada bagian sebelumnya bahwa penentuan batas wilayah juga rawan sengketa dengan berbagai alasan yang menjadi penyebabnya. 10 Walaupun terjadi perubahan signifikan dalam pengelolaan pertambangan dengan diterbitkannya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun 1967.

pertambangan, pertanahan, kehutanan pengelolaannya juga diserahkan kepada daerah.

Kenyataannya, pengaturan bidang ini tetap oleh pemerintah pusat. Ironisnya permasalahan-

permasalahan tetap ada. Bahkan diantaranya sangat serius. Lihat saja “skandal alih fungsi

hutan, diantaranya alih fungsi hutan bakau untuk pelabuhan Tanjung Siapi-api (TAA).”

Seharusnya pemerintah pusat tidak boleh ragu-ragu menyerahkan pengelolaan bidang-bidang

tersebut kepada daerah. Tentu saja dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

dengan pengaturan yang jelas.

Penyebab yang kedua terjadinya konflik pengelolaan pertambangan adalah akibat

kesalahan dalam pengelolaannya. Selama ini bahan tambang hanya dipandang sebagai

komoditas mengumpulkan devisa atau pendapatan asli daerah. Tidak mencengangkan, jika

para kepala pemerintah sibuk mengeluarkan ijin tambang agar bisa mengeruk bahan tambang

sebanyak mungkin, secepat mungkin, dan tiada henti. Pertimbangan terhadap kepentingan

fungsi-fungsi kawasan pun dilupakan. Banyak wilayah tambang menjadi bertumpang-tindih

dengan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air, hutan lindung, lahan pertanian,

perikanan, dan kawasan-kawasan lain yang sebenarnya menjadi tumpuan harapan masyarakat

lokal.

Pada tataran inilah kemudian terjadi konflik. Terjadi konflik ”multi arah.” Masyarakat

konflik dengan perusahaan. Tidak juga jarang terjadi masyarakat yang bersengketa di antara

sesama mereka sendiri. Bahkan di antara pemerintah sendiri, misalnya antar Departemen

Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Departemen Kehutanan. Terjadi pula antara

pemerintah pusat dengan daerah.

Penyebab konflik pertambangan yang ketiga, pemerintah mengingkari hak

penduduk lokal dalam mengelola sumber daya alam mereka, termasuk dalam menentukan

pilihan ekonomi. Pengingkaran ini antara lain terlihat dengan jelas pada pasal 26 UU

Pertambangan No 11/ 1967:

”... apabila telah didapatkan izin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau

wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah

diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah

yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya".

Makna dari pasal ini berarti Jika terdapat perusahaan tambang masuk sambil

mengantongi izin dari pemerintah (pusat), maka penduduk lokal hanya bisa memilih:

menerima ganti rugi pelepasan tanah yang biasanya dilakukan sepihak, atau, dipindah paksa

karena menolak ganti rugi itu. Biasanya dalam proses ganti rugi selalu saja dengan uang

pengganti yang tidak layak.

Padahal, apabila diteliti lebih lanjut akan diketemukan jira tidak satupun tambang skala

besar yang mendapatkan persetujuan penduduk lokal sebelum mereka menambang. Kondisi

inilah yang menjadi penyebab suburnya konflik tanah di awal operasi tambang yang terjadi

hampir di semua lokasi pertambangan.

Bahkan terkadang kekerasan menjadi ujung dari konflik. Pembakaran camp di Dodo

Rinti misalnya, terjadi akibat frustasi warga yang sudah empat kali berunjuk rasa menolak

hutan tangkapan airnya menjadi lokasi tambang Newmont. Dan sepanjang sejarah republik

ini, jika berurusan dengan pertambangan, penduduk lokal seolah tak punya hak menolak dan

memilih model ekonomi yang berkelanjutan, seperti pertanian, kehutanan, pariwisata atau

perikanan.

Sedangkan penyebab ke-empat terjadinya konflik pengelolaan pertambangan baik

yang masuk kategori skala besar maupun kecil, dikarenakan daya rusak yang dahsyat bagi

lingkungan sekitar. Kerusakan lingkungan yang sulit untuk dipulihkan.

Biasanya didaerah dimana tambang tersebut beroperasi yang biasanya ditempat itu pula

masyarakat setempat hidup dengan bergantung kepada tanah dan kekayaan alam mereka,

seluruh mata rantai operasi tambang bisa menurunkan mutu, sampai lenyapnya, kehidupan

masyarakat. Mulai dari biofisik, sosial ekonomi, hingga politik tidak mungkin bebas dari

dampak operasi tambang, di tahapan manapun.

Kita kemudian menyaksikan kondisi yang menyesakkan dada dimana konflik-konflik

yang terjadi di dunia pertambangan jarang sekali mendapatkan penyelesaian yang lebih

memihak kepada masyarakat lokal. Jika kita menyimak data yang diperoleh dari Kelompok

Kerja Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Pokja PA-PSDA), pada

tahun 2002 saja tercatat sekitar 143 konflik pertambangan.

Dalam banyak konflik, pemerintah sepertinya tidak menemukan cara terbaik dan

berpihak kepada masyarakat lokal. Cara-cara yang digunakan tetap memihak kepada

pengusaha pertambangan. Diantara cara yang seringkali digunakan adalah pendekatan

keamanan, yang lebih suka saya sebut pendekatan teror. Pendekatan yang biasa mereka

gunakan untuk sekedar meredam protes rakyat terhadap perusahaan daripada menyelesaikan

akar masalah. Terkadang pemerintah tetap menggunakan aparat keamanan dalam meredam

konflik-konflik pertambangan. Cara yang bukan hanya tidak populer tetapi juga jauh dari

upaya mensejahterahkan masyarakat lokal.

Penyebab konflik yang kelima, ada perbedaan persepsi antara pemerintah pusat

dengan daerah. Pemerintah dan orang-orang didaerah beranggapan bahwa dengan otonomi

daerah maka pengelolaan pertambangan (juga) menjadi kewenangan daerah. Sedangkan

pemerintah pusat tetap mempertahankan kewenangan dibidang-bidang tertentu, termasuk di

bidang pertambangan. Perbedaan persepsi ini akan terus meningkat seiring dengan sentimen

kedaerahan yang terus pula meningkat. Peningkatan yang juga dipicu masalah ekonomi,

masalah lingkungan, masalah keterlibatan masyarakat lokal dalam aktivitas pertambangan.

Walaupun kondisi kedepan akan berubah secara signifikan (entah membaik atau memburuk)

dalam pengelolaan pertambangan dengan diterbitkannya Undang-Undang Pertambangan

Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun

1967.

4. Sengketa pemilihan kepala daerah

Sengketa ke-empat adalah sengketa yang diakibatkan oleh pemilihan kepala daerah.

Otonomi daerah merubah cara pemilihan kepala daerah yang sebelumnya oleh anggota

DPRD menjadi pemilihan secara langsung.11 Memang ada yang menilai “lebih demokratis”

tetapi tidak berarti zero problem. Malah menimbulkan sengketa Pilkada dibanyak daerah di

Indonesia. Baik sengketa hukum maupun sengketa antar pendukung yang tidak jarang

menciptakan kerusuhan.

Ada beberapa penyebab mengapa terjadinya sengketa pemilukada. Pertama, adanya

dugaan terjadi kecurangan. Diantara kandidat menilai telah terjadi kecurangan. Misalnya

terjadi penggelembungan suara. Ada pula kecurigaan ada unsur kesengajaan terjadinya

banyak pemilih yang tidak terdaftar. Apalagi ada claim bahwa pemilih yang tidak terdaftar

tersebut adalah pendukung kandidat kepala daerah yang kalah. Biasanya, orang yang paling

mungkin melakukan kecurangan serupa ini adalah kandidat incumbent. Dengan berbagai

kelebihan dan hak akses yang dimiliki. Lebih gawat lagi tensi ketegangannya apabila

kandidat sedang berkuasa yang berhasil terpilih.

Kedua, ketidaktegasan sikap KPU dan lemahnya peran panitia pengawas Pemilu. KPU

merupakan lembaga penentu terhadap kelangsungan pemilukada. Lembaga yang sangat

strategis karena dapat menjadikan seseorang sebagai kepala daerah atau wakil rakyat.

Sebaliknya, dapat pula menghentikan mimpi seseorang untuk ”jadi orang.” Oleh karena itu

keputusan KPU sangat menentukan. Soal asli tidaknya ijazah seorang kandidat. Tentang lolos

tidaknya seseorang untuk ikut dalam pemilukada. KPU pula yang menjadi lembaga final

untuk mengumumkan kepada publik soal siapa yang secara sah terpilih sebagai kepala

daerah. Tidak heran kalau kemudian para anggota KPU didekati dengan berbagai cara/rupa.

Ada saja diantara anggota KPU yang terpengaruh dan berprilaku menyimpang. Akibatnya 11 UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 (1) Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

tidak sedikit KPU yang mengalami public mistrust. KPU harus memiliki strategi jitu agar ada

kepercayaan dan keyakinan bahwa KPU berlaku netral.

Ketiga, ketidaksiapan kandidat menerima kekalahan. Salah satu indikasi bahwa

kandidat tidak siap menerima kekalahan terjadinya perlawanan pasca pemilukada.

Perlawanan itu mungkin lewat pengadilan atau juga melalui perlawanan fisik. Memang

dibanyak tempat upaya antisipatif itu dilakukan dengan adanya penandatangan dokumen

untuk siap kalah dan siap menang. Namun seringkali dokumen-dokumen yang sifatnya

morally binding tersebut tidak dapat dijadikan jaminan bahwa tidak akan ada ”ribut-ribut”

pasca pemilukada.

Ke-empat, berubahnya sikap hakim Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa

pemilukada. Selama ini MK hanya ”melayani” sengketa perhitungan suara, tidak

menyangkut proses pelaksanaan Pilkada. Misalnya terbukti terjadi kecurangan yang

sistematis seperti pada pemilukada Jawa Timur atau karena pilkada diikuti oleh salah satu

calon yang tidak berhak dan tidak memenuhi syarat seperti pada pemilihan kepala daerah

Bengkulu Selatan.12 Perubahan sikap para hakim MK ini justru akan ”meningkatkan minat”

orang-orang didaerah untuk bersengketa hasil pemilihan kepala daerah ke Mahkamah

Konstitusi.

Bahwa sesungguhnya otonomi daerah bertujuan memberikan hak, wewenang dan

kewajiban kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat. Kondisi ini diharapkan mampu menciptakan

kesejahteraan masyarakat didaerah. Daerah yang memiliki pemimpin yang amanah dan

menjalankan peraturan perundang-undangan, akan mampu membawa kearah kebaikan.

Otonomi daerah juga memunculkan berbagai permasalahan. Diantara permasalahan itu

munculnya berbagai sengketa. Diantara sengketa tersebut adalah sengketa perbatasan

wilayah, sengketa akibat pemekaran daerah, sengketa pengelolaan pertambangan, dan

sengketa pemilihan kepala daerah.

12 Kompas, MK Batalkan Hasil Pilkada Bengkulu Selatan, Jum’at, 9 Januari 2009, hal 5.

BAB II

Pro dan Kontra Pemekaran Daerah

Wajar jika muncul pro dan kontra terhadap pemekaran daerah otonomi baru (DOB).

Mereka yang pro karena menilai bahwa pembentukan daerah baru baik itu kota, kabupaten

atau provinsi mampu mempercepat laju pertumbuhan di wilayah tersebut. Pelayanan publik

juga dirasakan lebih cepat karena jarak ke ibukota kabupaten/ provinsi menjadi lebih dekat

dibandingkan belum dilakukannya pemekaran wilayah.

Namun tidak sedikit juga pihak-pihak yang kurang memberikan dukungan bahkan

menunjukkan sikap kontra terhadap pemekaran daerah. Kelompok ini menilai terkadang

motivasi pembentukan daerah baru bukan untuk kesejahteraan masyarakat tetapi lebih kepada

upaya memperbanyak peluang mendapatkan jabatan.

Ada beberapa hasil kajian yang mencoba mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan

apa yang terjadi di beberapa daerah hasil pemekaran tersebut. Ada bebera hasil studi yang

dapat dijadikan rujukan.

Bappenas pada, misalnya, pada 2005 telah melakukan Kajian Percepatan Pembangunan

Daerah Otonom Baru (DOB). Kajian ini secara khusus mempelajari permasalahan yang

terkait pembangunan daerah otonom baru dan sektor yang menjadi andalan dalam

pengembangan ekonomi di beberapa kabupaten. Penelitian oleh Bappenas ini berlangsung di

Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Utara), Kabupaten Sekadau (Kalimantan Barat), Kota

Tomohon (Sulawesi Utara), Kabupaten Sumbawa Barat (NTB) dan Kota Tasikmalaya (Jawa

Barat). Hasil kajian menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) meningkat, tapi

ketergantungan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) masih tetap tinggi. Selain itu, terjadi

pula peningkatan belanja pembangunan, meskipun proporsinya terhadap belanja rutin masih

kecil. Tidaklah mengherankan bila para responden menyatakan kualitas pelayanan

masyarakat belum meningkat. Hal ini ternyata disebabkan pemda DOB pada tahun-tahun

awal memprioritaskan pembenahan kelembagaan, infrastruktur kelembagaan, personil dan

keuangan daerahnya.

Lembaga Administrasi Negara (2005) juga melakukan Evaluasi Kinerja

Penyelenggaraan Otonomi Daerah untuk periode 1999-2003. Studi yang dilakukan di 136

kabupaten/kota ini menyimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat, khususnya dilihat dari

indikator ekonomi dan sosial secara umum, mengalami peningkatan. Namun demikian, tetap

terjadi kesenjangan antara wilayah Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur.

Salah satu input dalam evaluasi ini adalah indeks pembangunan manusia.

Menurut hasil evaluasi terhadap aspek pelayanan publik, khususnya infrastruktur dasar,

studi LAN (2005) menunjukkan bahwa rasio panjang jalan keseluruhan dengan luas wilayah

mengalami penurunan.

Sedangkan pada bidang kesehatan dan pendidikan terjadi peningkatan infrastruktur

yang cukup berarti. Kemudian, dalam hal demokrasi lokal yang dilihat dari penggunaan hak

pilih pada pemilu, angka partisipasi cukup tinggi. Meski studi ini tidak secara langsung

berkaitan dengan daerah pemekaran, secara umum daerah induk, daerah DOB dan daerah

yang tidak mekar menunjukkan kecenderungan yang hampir sama.

Pusat Litbang Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri (2005) melakukan penelitian

Efektivitas Pemekaran Wilayah di Era Otonomi Daerah di sembilan daerah otonom baru.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara umum tidak ada satupun daerah DOB yang bisa

dikelompokkan dalam kategori mampu, meski penataan berbagai aspek pemerintahan untuk

menunjang penyelenggaraan pemerintahan telah sesuai dengan pedoman yang ada.

Penyebabnya adalah pemerintahan DOB kurang mampu merumuskan dengan tepat

kewenangan ataupun urusan yang akan dilaksanakan agar sesuai dengan kondisi,

karakteristik daerah serta kebutuhan masyarakat.

Studi ini menemukan bahwa kelembagaan yang terbentuk belum sepenuhnya

disesuaikan dengan urusan yang telah ditetapkan sebagai urusan daerah. Beberapa masalah

timbul, seperti jumlah kelembagaan (SKPD) yang cenderung berlebihan, struktur organisasi

yang cenderung besar, serta belum memperhitungkan kriteria efektivitas dan efisiensi

kelembagaan yang baik. Di sektor keuangan daerah, hanya ada satu dari sembilan daerah

yang dikategorikan mampu mengelola keuangannya. Problem utamanya adalah rendahnya

kemampuan dalam menggali sumber-sumber penerimaan daerah, khususnya PAD.

Ditinjau dari aspek aparatur, hanya ada satu dari sembilan daerah yang dikategorikan

sangat mampu dalam pengelolaan pemerintahannya. Dilihat dari ketersediaan, kualifikasi

yang dimiliki, serta kesesuaian antara personil yang ada dan struktur yang tersedia. Secara

umum, DOB belum mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan di atas.13

Sikap pro dan kontra itu akan terus ada. Namun realitanya bahwa upaya untuk

melakukan pemekaran daerah berjalan seiring dengan regulasi pembentukan daerah otonom 13 Hasil kajian/ studi dikutip dari Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP), http://www.undp.or.id/pubs/docs/pemekaran_ID.pdf, akses, 11 Juli 2013 jam 09:24

baru yang dianggap lebih mudah daripada waktu sebelumnya. Sebenarnya, salah satu

pertimbangan kemudahan tersebut adalah untuk percepatan pertumbuhan demokrasi di

daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo PP Nomor

129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan

Penggabungan Daerah memang memberikan ruang yang lebih leluasa bagi terbentuknya

daerah otonom baru. Pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah disebutkan: “Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain,

dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai

dengan perkembangan daerah”

Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, perihal pemekaran daerah diatur pada Pasal 46

ayat (3) dan (4), sebagai berikut: Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa

daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua

daerah atau lebih?. Pada ayat (4) disebutkan bahwa pemekaran dari satu daerah menjadi dua

daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai

batas maksimal usia penyelenggaraan pemerintahan.

Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan: “Pembentukan daerah sebagaimana

dimaksud pada pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan”

Secara yuridis, pembentukan daerah atau dalam hal ini pemekaran daerah tidak bisa

dilakukan secara serampangan, terbukti adanya berbagai persyaratan dan kriteria yang harus

dipenuhi dalam melakukan pemekaran.

Mengutip Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah yang meneliti berbagai faktor yang

melatarbelakangi pemekaran daerah, implikasi yang ditimbulkannya, dan kriteria-kriteria

yang dapat ditawarkan dalam melakukan pemekaran daerah di Indonesia.

Bahwa dalam penelitian tersebut metode yang digunakan dalam kajian ini bersifat

kualitatif dan pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam. Lokus kajian ini

adalah 14 (empat belas) Provinsi dan 28 (dua puluh delapan) kabupaten/kota, yaitu :

1. Provinsi Jawa Barat (Kota Banjar dan Kabupaten Ciamis)

2. Provinsi Banten (Kota Cilogon dan Kabupaten Serang)

3. Provinsi Riau (Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis)

4. Provinsi Kepulauan Riau (Kota Tanjung Pinang dan Kota Batam)

5. Provinsi Sumatera Utara (Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai)

6. Provinsi Lampung (Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Tanggamus)

7. Provinsi Bangka Belitung (Kabupaten Bangka dan Kabupaten Bangka Tengah)

8. Provinsi Sulawesi Utara (Kabupaten Minahasa Utara dan Kabupaten Minahasa)

9. Provinsi Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Konawe)

10. Provinsi Kalimantan Timur (Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kabupaten Kutai

Timur)

11. Provinsi Gorontalo (Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Gorontalo)

12. Provinsi Maluku Utara (Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan)

13. Provinsi Papua (Kabupaten Keerom dan Kabupaten Jayapura)

14. Provinsi Irian Jaya Barat (Kabupaten Sorong dan Kota Sorong)

Kajian ini telah memperoleh temuan-temuan lapangan yang menarik, di antaranya: 1. Alasan utama pemekaran daerah ternyata lebih didasarkan pada faktor emosional,

bukan rasional.

2. Implikasi pemekaran daerah, telah menambah beban anggaran pemerintahan negara.

3. Kriteria-kriteria yang digunakan untuk melakukan pemekaran telah mengacu pada PP

No. 129 Tahun 2000, tetapi pada kenyataannya daerah yang bersangkutan tidak

menunjukkan kemajuan (progress) sebagaimana yang diharapkan.

Fakta bahwa pemekaran daerah telah menjadi euforia di era otonomi daerah pasca

reformasi menjadi tidak terbantahkan. Sampai awal 2007, jumlah daerah otonom baru

sebanyak 7 provinsi dan 162 kabupaten/kota, sehingga total provinsi sebanyak 33 dan

kabupaten/kota sebanyak 473. Sebuah pertumbuhan pemerintahan daerah yang luar biasa,

terutama jika dibandingkan dengan masa Orde Baru.

Berdasarkan hasil kajian, terdapat alasan-alasan yang mendasari dilaksanakannya pemekaran

daerah adalah:

1. Alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dijadikan alasan

utama karena adanya kendala geografis, infrastruktur dan sarana perhubungan yang

minim, seperti terjadi pada pemekaran Provinsi Bangka Belitung (pemekaran dari

Provinsi Sumatera Selatan) dan Provinsi Irian Jaya Barat (pemekaran dari Provinsi

Papua) serta pemekaran Kabupaten Keerom (pemekaran dari Kabupaten Jayapura).

2. Alasan historis, pemekaran suatu daerah dilakukan karena alasan sejarah, yaitu

bahwa daerah hasil pemekaran memiliki nilai historis tertentu. Sebagai contoh:

Provinsi Maluku Utara sebelumnya pernah menjadi ibukota Irian Barat, dimana Raja

Ternate (Alm. Zainal Abidin Syah) dinobatkan sebagai Gubernur pertama. Disamping

itu di Pulau Movotai pada Perang Dunia II merupakan ajang penghalau udara

Amerika Serikat.

3. Alasan kultural atau budaya (etnis), dimana pemekaran daerah terjadi karena

menganggap adanya perbedaan budaya antara daerah yang bersangkutan dengan

daerah induknya. Sebagai contoh: Penduduk Bangka Belitung dengan penduduk

Sumatera Selatan, kemudian Provinsi Gorontalo dengan Sulawesi Utara, demikian

pula Kabupaten Minahasa Utara yang merasa berbeda budaya dengan Kabupaten

Minahasa.

4. Alasan ekonomi, dimana pemekaran daerah diharapkan dapat mempercepat

pembangunan di daerah. Kondisi seperti ini terutama terjadi di Indonesia Timur

seperti Papua (Keerom) dan Irian Jaya Barat (Kabupaten Sorong), dan pemekaran

yang terjadi di daerah lainnya seperti Kalimantan Timur (Kutai Timur), Sulawesi

Tenggara (Konawe Selatan), Sumatera Utara (Serdang Bedagai), dan Lampung

(Tanggamus).

5. Alasan anggaran, pemekaran daerah dilakukan untuk mendapatkan anggaran dari

pemerintah. Sebagaimana diketahui daerah yang dimekarkan akan mendapatkan

anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan mendapatkan dana dari pemerintah

pusat (DAU dan DAK).

6. Alasan keadilan , bahwa pemekaran dijadikan alasan untuk mendapatkan keadilan.

Artinya, pemekaran daerah diharapkan akan menciptakan keadilan dalam hal

pengisian jabatan pubik dan pemerataan pembangunan. Contoh: pemekaran Provinsi

Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Sulawesi Tenggara.

Dari sisi implikasi, Pembentukan daerah otonom baru telah menimbulkan berbagai

implikasi yang terjadi pada semua level pemerintahan, baik bagi pemerintahan daerah

maupun pemerintahan pusat. 1. Implikasi pemekaran daerah terhadap daerah, antara lain :

a. Pembentukan kelembagaan baru : Pemekaran daerah menimbulkan implikasi

bagi kelembagaan daerah, yang meliputi organisasi perangkat daerah dan

organisasi pusat di daerah. Sebagai konsekuensi logis pemekaran daerah, maka

terbentuk kelembagaan daerah yang meliputi organisasi perangkat daerah (Dinas

dan Lembaga Teknis Daerah), DPRD, dan BUMD.

b. Pola Hubungan Kerja di Daerah Pemekaran : Hubungan pemerintahan daerah

dengan lembaga lainnya akan dapat berjalan dengan baik jika kondisi internal

pemerintahan daerah tersebut telah berjalan baik dikarenakan pemerintahan

daerah telah mampu menyelesaikan sebagian besar persoalan yang dihadapinya.

Penyebab ketidakharmonisan hubungan tersebut antara mengenai proses

penyerahan P3D (penganggaran, peralatan, personel dan dokumen) yang tidak

tuntas, dan kewajiban-kewajiban lain yang harus diselesaikan oleh daerah induk

selama masa pembinaan serta persoalan batas wilayah.

c. Politik lokal : Pemekaran daerah berimplikasi terhadap dinamika politik di

daerah, bukan saja mengenai penentuan ibukota daerah otonom baru dan

penentuan batas wilayah, tetapi juga mengenai sumber-sumber kekuasaan dan

tarik-menarik kepentingan di antara elit politik di daerah otonom baru, baik

berkenaan dengan politik anggaran maupun proses demokratisasi di daerah.

d. Sumber daya manusia : Pemekaran secara nyata telah membawa implikasi bagi

dinamika sumber daya manusia di daerah otonom baru, baik itu mengenai

demeografinya maupun kualitas dan komposisinya. Hal ini dapat bernilai positif

jika itu ditunjukkan untuk meningkatkan kesejahteraan daerah, namun jika

terbentuknya daerah baru menimbulkan egosentris suatu masyarakat maka hal ini

tentunya sangat merugikan bagi daerah yang bersangkutan.

e. Pemberdayaan Ekonomi: Pemekaran daerah yang telah memperhitungkan

potensi dan kesiapan daerah serta dilakukan dengan mekanisme yang tepat, maka

pemekaran berimplikasi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik

di daerah tersebut.

f. Lingkungan Hidup : Pemekaran daerah selain membawa implikasi positif juga

dapat berdampak positif, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya alam.

Apabila tidak dikelola dengan baik, pemekaran daerah justru dapat menyebabkan

kerusakan lingkungan akibat eksploitasi darerah yang berlebihan.

g. Kemiskinan : Selain meningkatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah

yang secara nyata mempunyai daya saing sebagai daerah otonom baru, ternyata

pemekaran daerah juga berpotensi menimbulkan kemiskinan atau dapat dikatakan

pemekaran daerah berpotensi menimbulkan terjadinya pemiskinan. Terbitnya

berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang berorientasi peningkatan PAD telah

memberatkan masyarakat dan pada tataran yang lebih luas telah menimbulkan

ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

2. Implikasi pemekaran daerah terhadap pemerintahan pusat, antara lain :

a. Dalam aspek kelembagaan pemerintahan pusat, implikasi yang terjadi adalah

penambahan jumlah kelembagaan vertikal di daerah.

b. Dalam aspek kewenangan, pemerintah pusat – yang menangani urusan Pemerintah

Pusat dan depertemen teknis – harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan

dengan penyerahan kewenangan tersebut.

c. Dalam aspek hubungan keuangan dengan pemerintah pusat, implikasi yang terjadi

adalah penambahan alokasi keuangan/anggaran untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam bentuk DAU maupun DAK.

Secara statistik keinginan daerah untuk membentuk DOB tidak pernah surut. Refleksi

dari tingginya animo membentuk daerah otonomi baru ini terlihat bahwa dalam kurun waktu

10 tahun--sejak 1999 hingga 2009--pemerintah telah membentuk 205 daerah otonomi baru.

A. Aspek Positif Pemekaran Daerah

Dalam setiap kebijakan atau keputusan yang diambil pasti ada sisi positif dan sisi

negatifnya. Begitu juga dengan penerapan sistem desentaralisasi ini, memiliki beberapa

kelemahan dan kelebihan. Secara terperinci mengenai dampak dampak positif dan negatif

dari desentarlisasi dapat di uraikan sebagai berikut :

a. Potensi Peningkatan Ekonomi

Pemekaran suatu wilayah membawa dampak positif dari segi ekonomi. Daerah-daerah

yang dimekarkan yang memiliki potensi ekonomi yang baik lebih berkesempatan untuk

melakukan pengembangan. Di Sumatera Selatan, misalnya, beberapa daerah memiliki

Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup menjanjikan. Namun dikarenakan sebelumnya harus

dibawah kendali pemerintahan yang memiliki tanggung jawab wilayah yang sangat luas,

menjadi penghambat bagi pengelolaan sumber daya alam yang ada secara maksimal.

Beberapa kabupaten di Kalimantan Timur seperti Kutai Karta Negara atau di Sumatera

Selatan seperti OKU Timur, Ogan Ilir, Banyuasin tentu belum mencapai kemajuan seperti

sekarang ini apabila tidak dilakukan pemekaran daerah.

b. Memperpendek Rentang kendali Pelayanan Publik

Salah satu aspek positif yang dirasakan oleh masyarakat sebagai dampak dari

pemekaran daerah adalah semakin pendeknya rentang kendali pelayanan publik oleh

pemerintah. Kejadian di beberapa daerah jika selama ini semua urusan harus memakan waktu

selama beberapa jam (bahkan beberapa hari bagi wilayah-wilayah terpencil) untuk mencapai

ibukota kabupaten karena faktor jarak atau kualitas jalan, pemekaran daerah “mendekatkan

ibukota kabupaten” kepada masyarakat sehingga berbagai urusan menjadi lebih mudah.

Untuk kasus Sumatera Selatan, misalnya, selama ini masyarakat di Inderalaya harus

bepergian ke kota Kayu Agung (berjarak sekitar .... Km) ketika harus berurusan ke kantor

Bupati atau dina-dinas terkait pemerintah kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Namun

setelah dilakukan pemekaran daerah, kabupaten OKI dibagi menjadi dua dengan dibentuknya

kabupaten Ogan Ilir maka faktor jarak itu teratasi. Penduduk Inderalaya tidak perlu lagi pegi

ke kota Kayu Agung karena kota Inderalaya itu sendiri berubah menjadi ibukota kabupaten

Ogan Ilir. Rentang pelayanan publik yang harus diberikan oleh pemerintah kabupaten

menjadi lebih dekat.

c. Percepatan Laju Pembangunan Infra Struktur di Daerah

Rendahnya kualitas dan kuantitas infra struktur menjadi salah satu kendala utama

dalam upaya memajukan daerah-daerah di Indonesia. Akses bagi masyarakat pedesaan untuk

mencapai ibukota kecamatan dan dari ibukota kecamatan menuju ibukota kabupaten juga

masih banyak menemui kendala. Ini terjadi karena tidak terdapat banyak alternatif jalan yang

dapat digunakan. Selain itu jikapun ada alternatif jalan maka kualitas jalan sangat jelek.

Bahkan di daerah-daerah tertentu jalan itu harus dilalui dengan menggunakan kendaraan-

kendaraan dengan kemampuan four wheel drive (4-WD) atau masyarakat kebanyakan sering

menggunakan istilah “mobil double”.

Namun dengan adanya pemekaran daerah, pembentukan kabupaten-kabupaten baru

terjadi percepatan pembangunan sarana dan prasana jalan. Beberapa ruas jalan baru dibuka

yang memberikan alternatif lebih bagi masyarakat untuk bepergian. Lalu lintas barang,

terutama hasil-hasil pertanian menjadi lebih mudah dipasarkan. Apalagi jika kepala daerah

pemekaran adalah sosok yang memiliki akses yang baik kepada pemerintah pusat atau

pemerintah provinsi. Akses ini memberikan kesempatan lebih untuk mendapatkan proyek-

proyek pembangunan infra struktur di daerahnya.

d. Peningkatan Kesempatan SDM Potensial di Daerah

Selama era sentralisasi sangat terasa ketergantungan daerah dengan sumber daya

manusia (SDM) yang berpusat di Jakarta. Dalam banyak hal daerah sangat tergantung kepada

arahan pemerintah pusat. Pusat kekuasaan di Jakarta sepertinya menjadi tolok ukur kualitas

SDM. SDM di daerah sepertinya tidak memiliki kemandirian. Sebenarnya keadaan ini

(ketidak mandirian SDM daerah) justru menyulitkan pemerintah pusat karena harus melayani

begitu banyak daerah dengan begitu banyak persoalan yang dihadapi.

Salah satu aspek positif manajemen pemerintah yang dikelola secara desentralisasi

dimana lebih memberikan kesempatan kepada daerah-daerah untuk menjalankan kebijakan

sendiri dan atas inisiatif sendiri pula. Memang pada tahap awal daerah-daerah kewalahan

untuk memenuhi kebutuhan SDM yang berkualitas.

Era otonomi daerah pula yang membuka peluang yang luas bagi SDM di daerah untuk

muncul, untuk berperan serta dalam berbagai bidang. Dalam bidang politik, misalnya,

kesempatan SDM terbuka luas untuk turut serta dalam perebutan jabatan kepala daerah. Di

era sentarlisasi kesempatan SDM daerah untuk berpartisipasi sangatlah rendah. Bahkan di

daerah-daerah tertentu kesempatan itu tertutup rapat. Pada masa itu dominasi untuk menjadi

kepala daerah berada di tangan pihak militer dan penguasa birokrasi seperti Bupati/Gubernur

yang sedang menjabat yang kebetulan pada era itu “mayoritas” kepala daerah adalah dari

kalangan angkatan bersenjata.

Era otonomi daerah membuka kesempatan bagi putra-putri daerah untuk mencalonkan

diri sebagai calon kepala daerah. Suatu kesempatan yang sangat langka ketika Indonesia

menerapkan sistem sentralisasi bagi daerah-daerahnya. Otonomi daerah membuat orang-

orang daerah terpaksa menambah kemampuan SDM-nya, ada upaya penguatan SDM daerah

dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada mereka untuk berkembang. Kondisi

terbuka ini juga memaksa “orang-orang daerah” untuk menambah kualitas dirinya yang pada

gilirannya menaikkan kualitas SDM daerah secara keseluruhan.

e. Pemberdayaan Masyarakat Daerah

Di era sentralisasi upaya pemberdayaan (empowering) masyarakat daerah relatif

rendah. Sepertinya fokus pemerintah pusat hanya kepada pengembangan masyarakat di pusat

atau daerah-daerah perkotaan saja. Sedangkan daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan

maka akan jauh pula dari sentuhan pemerintah pusat. Oleh karena itu tidak mengherankan

jika semakin kita masuk ke wilayah-wilayah di daerah maka akan semakin rendah pula

kualitas hidup masyarakatnya.

Era otonomi daerah memberikan kesempatan yang lebih luas bagi daerah untuk

memberdayakan masyarakatnya. Pemberdayaan itu dapat berupa antara lain pemberian

kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat di daerah untuk berkembang. Memang

muncul isu putra daerah dan non-putra daerah. Namun tetap saja era otonomi daerah

menjadikan pemberdayaan masyarakat daerah menjadi terbuka luas.

Pemberdayaan masyarakat daerah dapat juga dalam bentuk pemberian program-

program yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Era sentralisasi “tidak pernah”

pemerintah daerah berkesempatan mencanangkan program pendidikan gratis, misalnya. Di

era desentralisasi (otonomi daerah) cukup banyak pemerintah daerah yang menjadikan

program pendidikan gratis bagi warganya. Malah ada diantara pemerintah daerah yang

memberikan pendidikan gratis hingga ke tingkat perguruan tinggi.

Pemberdayaan masyarakat di era otonomi daerah juga berarti orang-orang di daerah

mendapatkan kesempatan yang sangat terbuka untuk menduduki berbagai jabatan birokrasi.

Selama ini adalah “mimpi indah” bagi masyarakat di daerah yang ingin memiliki jabatan

sebagai kepala daerah. Pada era sentralistik, jabatan kepala daerah umumnya (malah

sepertinya sudah given) untuk militer atau penguasa yang terkait dengan angkatan bersenjata.

Biasanya jabatan-jabatan ini, khususnya untuk Sumatera Selatan, tidak diduduki oleh orang-

orang yang berasal dari Sumatera Selatan. Salah satu berkah dari era otonomi daerah, ada

pemberdayaan masyarakat daerah.

B. Aspek Negatif Pemekaran Daerah

Tidak menutup kemungkinan adanya pro dan kontra terhadap suatu perubahan.

Otonomi daerah adalah suatu perubahan besar bagi sistem pemerintahan Indonesia yang

sebelumnya sangat sentralistik. Sikap kontra ini muncul karena menilai “banyak” juga sisi

negatif akibat dari pemekaran daerah.

Beberapa sisi negatif pemekaran daerah tersebut misalnya bahwa sebagian otonomi

daerah semata-mata untuk pembentukan daerah otonomi baru (DOB) yang tidak mampu

mengangkat kesejahteraan masyarakat, tidak mampu memperbaiki kondisi keuangan daerah,

dan tidak juga mampu memperbaiki kinerja daerah tersebut. Salah satu hasil penelitian

mengungkapkan beberapa dampak negatif pemekaran daerah.

1. Dampak Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Beberapa hasil evaluasi terhadap pemekaran daerah menunjukkan bahwa kebanyakan

daerah-daerah pemekaran secara umum memang tidak berada dalam kondisi awal yang lebih

baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Namun setelah lima tahun dimekarkan,

ternyata kondisi daerah otonom baru (DOB) juga secara umum masih tetap berada di bawah

kondisi daerah induk dan daerah kontrol.

Pertumbuhan ekonomi daerah otonom baru (DOB) lebih fluktuatif dibandingkan

dengan daerah induk yang relatif stabil dan terus meningkat. Memang pertumbuhan ekonomi

daerah pemekaran (gabungan DOB dan daerah induk) menjadi lebih tinggi dari daerah-

daerah kabupaten lainnya, namun masih lebih rendah dari daerah kontrol. Hal ini berarti,

walaupun daerah pemekaran telah melakukan upaya memperbaiki perekonomian, di masa

transisi membutuhkan proses, belum semua potensi ekonomi dapat digerakkan.

Sektor pertanian sangat rentan terhadap gejolak harga, baik harga komoditi maupun

hal-hal lain yang secara teknis mempengaruhi nilai tambah sektor pertanian. Oleh karena itu,

kemajuan perekonomian DOB sangat tergantung pada usaha pemerintah dan masyarakat

dalam menggerakkan sektor tersebut. Porsi perekonomian daerah DOB yang lebih kecil

dibandingkan daerah lain dalam perekonomian satu wilayah (propinsi) mengindikasikan,

bahwa secara relatif daerah DOB belum memiliki peran dalam pengembangan perekonomian

regional.

Beberapa dampak sebagai akibat dari pemekaran daerah antara lain :

a. Penduduk miskin lebih terkonsentrasi pada daerah DOB Meskipun terjadi pengurangan kemiskinan di seluruh daerah, terlihat bahwa

pemekaran mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke DOB. Data

menunjukkan bahwa penduduk miskin justru jadi terkonsentrasi di DOB. Dalam

konteks yang lebih luas, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah DOB belum

dapat mengejar ketertinggalannya dari daerah induk, meski kesejahteraan DOB telah

relatif sama dengan daerah-daerah kabupaten lainnya. Lebih dari itu, indikator

pertumbuhan ekonomi telah menunjukkan bahwa daerah pemekaan (daerah baru dan

daerah induk) memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari rata-rata daerah secara

keseluruhan dan daerah kontrol.

Dari sisi ekonomi, penyebab ketertinggalan daerah DOB dari daerah induk

maupun daerah lainnya adalah keterbatasan sumber daya alam, juga keterbatasan

sumber daya manusia (penduduk miskin cukup banyak), dan belum maksimalnya

dukungan pemerintah dalam menggerakkan perekonomian melalui investasi publik.

Masalah-masalah yang dihadapi pada aspek ekonomi cukup beragam dan belum

kondusif dalam menggerakkan investasi, pola belanja aparatur, dan pembangunan

yang belum sepenuhnya mendukung perekonomian lokal karena masalah tempat

tinggal aparatur, pemilihan ibukota kabupaten yang belum dapat menciptakan pusat

perekonomian di DOB, keterbatasan berbagai infrastruktur penunjang ekonomi

maupun penunjang pusat fasilitas pemerintahan.

b. Kinerja Keuangan Daerah Otonom Baru (DOB)

Secara umum kinerja keuangan daerah otonom baru (DOB) lebih rendah

dibandingkan daerah induk. Selama lima tahun kinerja keuangan DOB cenderung

konstan, sementara kinerja keuangan daerah induk cenderung meningkat. DOB

memiliki ketergantungan fiskal yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah induk,

dengan kesenjangan yang semakin melebar. Pemekaran juga mendorong

ketergantungan yang lebih besar di daerah pemekaran dibandingkan dengan daerah

kontrol maupun kabupaten lain pada umumnya.

Optimalisasi sumber-sumber PAD di daerah DOB relatif lebih rendah

dibandingkan daerah induk. Sementara itu, jika dibandingkan dengan daerah kontrol

maupun rata-rata daerah, optimalisasi PAD di daerah pemekaran relatif lebih rendah

walaupun perbedaannya cukup rendah. Dapat dikatakan bahwa sumbersumber

ekonomi yang juga menjadi sumber-sumber PAD di daerah kontrol atau kabupaten

lainnya pada umumnya sudah dalam kondisi mantap (steady state).

Dalam periode 2001-2005, kinerja keuangan pemerintah DOB mengalami

peningkatan, baik dari sisi penurunan dependensi fiskal maupun dari sisi kontribusi

ekonomi. Hanya saja peningkatan kinerja tersebut belum dapat dikatakan optimal

karena masih tergolong dalam dependensi fiskal yang tinggi dengan kontribusi

ekonomi yang relatif rendah. Hal ini terjadi dalam kondisi investasi pemerintah

(capital expenditure) DOB yang relatif lebih besar dibandingkan daerah lainnya.

Tentunya ini terkait dengan kenyataan bahwa DOB masih berada dalam fase transisi,

baik secara kelembagaan, aparatur maupun infrastruktur pemerintahan.

c. Kinerja pelayanan publik di DOB

Secara umum kinerja pelayanan publik di DOB masih di bawah daerah induk,

walaupun kesenjangannya relatif kecil. Kinerja pelayanan publik di DOB plus daerah

induk secara umum masih berada di bawah kinerja pelayanan publik di daerah kontrol

maupun rata-rata kabupaten. Selama lima tahun terakhir, di semua kategori daerah

terlihat kinerja pelayanan publik yang cenderung menurun. Masalah yang dihadapi

dalam pelayanan publik ialah :

1. tidak efektifnya penggunaan dana, terkait dengan kebutuhan dana yang tidak

seimbang dengan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama,

2. ketersediaan tenaga pelayanan pada masyarakat karena perkembangan ekonomi

dan fasilitas yang terbatas, dan

3. masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik publik yang diberikan.

d. Kinerja aparatur di daerah DOB

Kinerja aparatur secara keseluruhan menunjukkan fluktuasi di DOB dan

daerah induk, meskipun dalam dua tahun terakhir posisi daerah induk masih lebih

baik daripada daerah DOB. Jumlah aparatur cenderung meningkat selama lima tahun

pemekaran. Kualitas aparatur di DOB masih sangat rendah, meskipun data

menunjukkan adanya peningkatan persentase aparat dengan pendidikan minimal

sarjana. Daerah DOB belum menunjukkan kinerja sesuai dengan yang diharapkan,

karena pada masa transisi tidak ada desain penempatan aparatur yang benar-benar

baik. Di samping itu, pembatasan jumlah aparatur yang formasinya ditentukan oleh

pusat juga ikut menentukan ketersediaan aparatur.

Masalah-masalah yang ditemui pada pengelolaan aparatur di antaranya:

adanya ketidaksesuaian antara aparatur yang dibutuhkan dengan ketersediaan aparatur

yang ada, kualitas aparatur yang rendah, aparatur daerah bekerja dalam

kondisi underemployment, yakni bekerja di bawah standar waktu yang telah

ditetapkan oleh pemerintah.

Pembentukan daerah onomi baru (DOB) bukanlah suatu hal yang seharusnya mendapat

tentangan sepanjang bertujuan untuk mensejahterahkan masyarakat di daerah. Oleh karena

itu, tujuan pembentukan DOB akan berhasil jika memenuhi beberapa tahapan dan

persyaratan.

Pertama, bahwa pembentukan DOB harus didasarkan atas data dan aspirasi masyarakat.

Para inisiator pembentukan DOB harus meyakini benar bahwa pemekaran itu merupakan

aspirasi masyarakat, bukan sebagai ambisi politik kelompok atau pribadi tertentu. Aspirasi

masyarakat yang semata-mata bertujuan pengembangan daerahnya merupakan modal dasar

yang penting bagi keberhasilan pemekaran suatu daerah.

Persyaratan berikutnya bahwa pembentukan DOB harus melibatkan Gubernur secara

intens dalam pembahasan pengembangan suatu wilayah baik untuk penghapusan, pemekaran

ataupun penggabungan. Di beberapa daerah DOB terkadang tidak melibatkan Gubernur

secara rasional karena berbagai alasan. Diantara alasannya karena adanya perbedaan

pandangan politik antara Gubernur dan Bupati. Mungkin juga sebagai imbas dari Pemilukada

disertai benturan-benturan politik keduanya yang meluas dan membawa implikasi politik.

Akibatnya, komunikasi dengan Gubernur agak tersumbat.

Selain itu harus dilakukan revitalisasi terhadap Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah

(DPOD). Berbagai langkah dapat dilakukan termasuk menempatkan para pakar yang

memahami seluk-beluk otonomi daerah (para pakar) yang memang memiliki kredibilitas

tinggi. Hal ini bertujuan agar dewan memiliki kemampuan untuk melakukan evaluasi

pengembangan wilayah secara baik.

Seringkali argumentasi yang diajukan sebagai alasan pemekaran wilayah adalah demi

peningkatan kesejahteraan masyarakat. Walaupun secara kasat mata seringkali peningkatan

kesejahteraan yang dimaksud tidak dapat dilihat secara langsung. Namun demikian

seharusnya ada beberapa langkah sekaligus cara untuk dijadikan tolok ukur dalam upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut antara lain dapat melalui: a) Peningkatan

pelayanan kepada masyarakat, b) Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, c)

Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, d) Percepatan pengelolaan

potensi daerah, f) Peningkatan keamanan dan ketertiban dan g) Peningkatan hubungan yang

serasi antara Pusat dan Daerah.

BAB III

Persyaratan dan Tahapan Pemekaran Daerah

Merujuk kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2007

tentang tata Cara Pembentukan, Peghapusan dan Penggabungan Daerah yang menegaskan

bahwa Pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai daerah

provinsi atau daerah kabupaten/kota.

Di era otonomi daerah yang memberikan keleluasaan yang lebih kepada daerah

dibandingkan dengan era sentralisasi, pembentukan daerah baru tergolong primadona. Dalam

Peraturan Pemerintah tentang tata Cara Pembentukan, Peghapusan dan Penggabungan Daerah

ditegaskan bahwa Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau

bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau

lebih.

Ditentukan lebih lanjut bahwa pembentukan daerah dapat berupa pembentukan

daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota. Pembentukan daerah provinsi dapat berupa: a)

pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi 2 (dua) provinsi atau lebih; b) penggabungan

beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda; dan c)

penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi.

Sedangkan Pembentukan daerah kabupaten/kota dapat berupa: a) pemekaran dari 1

(satu) kabupaten/kota menjadi 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih; b) penggabungan beberapa

kecamatan yang bersandingan pada wilayah kabupaten/kota yang berbeda; dan c)

penggabungan beberapa kabupaten/kota menjadi 1 (satu) kabupaten/kota.

Proses pembentukan daerah didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif, teknis,

dan fisik kewilayahan.

1. Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat setempat

untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan kajian daerah

terhadap rencana pembentukan daerah.

2. Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi

daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,

keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat

kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.

3. Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah,

lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat

tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka

meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak

mampumenyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang dibentuk

maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah, sehingga tujuan

pembentukan daerah dapat terwujud.

Dengan demikian dalam usulan pembentukan dilengkapi dengan kajian daerah. Kajian

daerah ini merupakan basil kajian Tim yang dibentuk oleh kepala daerah yang bersangkutan

untuk menilai kelayakan pembentukan daerah otonom baru secara obyektif yang memuat

penilaian kuantitatif terhadap faktor-faktor teknis. Penilaian kuantitatif ini dilengkapi dengan

proyeksi faktor-faktor dominan (kependudukan, potensi daerah,kemampuan ekonomi dan

kemampuan keuangan) selama 10 (sepuluh) tahun dan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah

Induk serta penilaian kualitatif terhadap faktor lainnya yang memiliki karakteristik tersendiri

antara lain potensi sumber daya alam yang belum tergali,kondisi etnik, potensi konflik dan

historis.

Pemerintah berkewajiban melakukan penelitian terhadap setiap usulan pembentukan

daerah serta melakukan pembinaan, fasilitasi, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan

pemerintahan daerah otonom baru baik provinsi maupun kabupaten/kota. Gubernur provinsi

induk bersama Menteri berkewajiban memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan di

provinsi yang baru dibentuk, sedangkan bupati kabupaten induk bersama gubernur

berkewajiban memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten/kota yang baru

dibentuk agar dapat berjalan dengan optimal.

Tidak serta merta semua daerah dapat dimekarkan, karena faktor “usia” daerah tersebut

juga menentukan apakah dapat dilakukan pemekaran atau tidak. Peraturan Pemerintah No 78

tahun 2007 menentukan bahwa daerah yang dibentuk dapat dimekarkan setelah mencapai

batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan 10 (sepuluh) tahun bagi provinsi dan 7

(tujuh) tahun bagi kabupaten dan kota.

Selain persyaratan batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan, ditentukan juga

bahwa pembentukan daerah provinsi/kabupaten/kota berupa pemekaran provinsi dan

penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang

berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

Syarat administratif pembentukan daerah provinsi meliputi:

a) Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan

wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi

berdasarkan hasil Rapat Paripurna;

b) Keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota

wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi;

c) Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi

berdasarkan hasil Rapat Paripurna;

d) Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; dan

e) Rekomendasi Menteri.

Sedangkan syarat administratif pembentukan daerah kabupaten/kota meliputi:

a) Keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan, pembentukan calon

kabupaten/kota;

b) Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon

kabupaten/kota;

c) Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon

kabupaten/kota;

d) Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota; dan

e) Rekomendasi Menteri.

Terkait keputusan DPRD sebagai syarat administratif, Keputusan DPRD

kabupaten/kota harus diproses berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat.

Sedangkan Keputusan DPRD provinsi harus berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat

setempat yang dituangkan dalam keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi

cakupan wilayah calon provinsi.

Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah

calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi, ditetapkan berdasarkan rapat

paripurna yang memuat:

1. Persetujuan kesediaan kabupaten/kota menjadi cakupan wilayah calon provinsi;

2. Persetujuan nama calon provinsi;

3. Persetujuan lokasi calon ibukota;

4. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan calon provinsi untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun

berturut-turut terhitung sejak peresmian sebagai daerah otonom; dan

5. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka membiayai

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di provinsi baru.

Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi yang

ditetapkan berdasarkan rapat paripurna yang memuat:

1. Persetujuan pelepasan kabupaten/kota yang menjadi cakupan wilayah calon

provinsi;

2. Persetujuan nama calon provinsi;

3. Persetujuan lokasi calon ibukota;

4. Persetujuan pemberian hibah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan calon

provinsi untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut terhitung

sejak peresmian sebagai daerah otonom;

5. Persetujuan pengalokasian pembiayaan untuk penyelenggaraan pemerintahan calon

provinsi untuk jangka waktu sampai dengan disahkannya APBD provinsi baru; dan

6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang

bergerak dan tidak bergerak, personil, dokumen, dan hutang piutang provinsi, yang

akan dimanfaatkan oleh calon provinsi.

Aset provinsi berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam cakupan

wilayah calon provinsi wajib diserahkan seluruhnya kepada calon provinsi, sedangkan aset

yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon provinsi. Dokumen adalah bukti

kepemilikan aset provinsi induk yang bergerak dan tidak bergerak yang akan diserahkan

kepada calon provinsi.

Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan provinsi induk

yang akan dimanfaatkan oleh calon provinsi menjadi tanggung jawab calon provinsi.

Pembentukan provinsi yang daerah induknya lebih dari satu, Keputusan DPRD provinsi

dibuat oleh masing-masing DPRD provinsi induk.

Selain itu harus juga menyertakan Keputusan masing-masing bupati/walikota dari

kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan

pembentukan calon provinsi yang memuat:

1. Persetujuan kesediaan kabupaten/kota menjadi cakupan wilayah calon provinsi;

2. Persetujuan nama calon provinsi;

3. Persetujuan lokasi calon ibukota;

4. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

calon provinsi untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut terhitung

sejak peresmian sebagai daerah otonom;

5. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di provinsi baru;

6. Persetujuan kesediaan menyerahkan sebagian aset kabupaten/kota yang dibutuhkan

untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan provinsi baru; dan

7. Persetujuan memindahkan sebagian personil yang dibutuhkan provinsi baru.

Untuk pemebentukan provinsi, persyaratan lainnya yaitu Keputusan Gubernur tentang

persetujuan pembentukan calon provinsi, memuat;

1. Persetujuan nama calon provinsi;

2. Persetujuan lokasi calon ibukota;

3. Persetujuan pelepasan kabupaten/kota menjadi cakupan wilayah calon provinsi;

4. Persetujuan pengalokasian pembiayaan untuk penyelenggaraan pemerintahan calon

provinsi untuk jangka waktu sampai dengan disahkannya APBD provinsi baru; dan

5. Persetujuan pemberian hibah dalam rangka membiayai penyelenggaraan pemilihan

kepala daerah untuk pertama kali di provinsi baru;

6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang

bergerak dan tidak bergerak, personil, dokumen, dan hutang piutang provinsi, yang

akan dimanfaatkan oleh calon provinsi.

Aset provinsi berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam cakupan

wilayah calon provinsi wajib diserahkan seluruhnya kepada calon provinsi, sedangkan aset

yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon provinsi.

Dokumen adalah bukti kepemilikan aset provinsi induk yang bergerak dan tidak bergerak

yang akan diserahkan kepada calon provinsi.

Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan provinsi induk

yang akan dimanfaatkan oleh calon provinsi menjadi tanggung jawab calon provinsi,

Pembentukan provinsi yang daerah induknya lebih dari satu, keputusan gubernur

dibuat oleh masing-masing gubernur dari provinsi induk.

Keputusan DPRD kabupaten/kota induk yang ditetapkan berdasarkan rapat paripurna

tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:

1. Persetujuan nama calon kabupaten/kota;

2. Persetujuan lokasi calon ibukota;

3. Persetujuan pelepasan kecamatan menjadi cakupan wilayah calon kabupaten/kota;

4. Persetujuan pemberian hibah untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan calon

kabupaten/kota untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut

terhitung sejak peresmian sebagal daerah otonom;

5. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di daerah otonom baru;

6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang

bergerak dan tidak bergerak, personiI, dokumen dan hutang piutang kabupaten/kota,

yang akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota.

Aset kabupaten/kota berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam

cakupan wilayah calon kabupaten/kota wajib diserahkan seluruhnya kepada calon

kabupaten/kota, sedangkan aset yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon

kabupaten/kota.

Dokumen adalah bukti kepemilikan aset kabupaten/kota induk yang bergerak

dan tidak bergerak yang akan diserahkan kepada calon kabupaten/kota,

Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan

kabupaten/kota induk yang akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota

menjadi tanggung jawab calon kabupaten/kota.

7. Persetujuan penyerahan sarana prasarana perkantoran yang akan dipergunakan untuk

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang berada dalam cakupan

wilayah calon kota, dari kabupaten induk kepada kota yang akan dibentuk. Adapun

aset lainnya berupa tanah dan/atau bangunan milik kabupaten induk yang bukan untuk

pelayanan publik yang berada dalam cakupan wilayah calon kota dapat dilakukan

pelepasan hak dengan ganti rugi atau tukar menukar untuk membangun sarana

prasarana di ibukota kabupaten induk yang baru; dan

8. Penetapan lokasi ibukota kabupaten induk yang baru apabila lokasi ibukota, kabupaten

induk menjadi cakupan wilayah kota yang akan dibentuk.

Pembentukan kabupaten/kota yang daerah induknya lebih dari satu, keputusan DPRD

kabupaten/kota dibuat oleh masing-masing DPRD kabupaten/kota induk.

Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:

1. Persetujuan nama calon kabupaten/kota;

2. Persetujuan lokasi calon ibukota;

3. Persetujuan pelepasan kecamatan menjadi cakupan wilayah calon kabupaten/kota;

4. Persetujuan pemberian hibah untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan calon

kabupaten/kota untuk jangka waktu. paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut

terhitung sejak peresmian sebagai daerah otonom;

5. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di daerah otonom baru.

6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang

bergerak dan tidak bergerak, personil, dokumen dan hutang piutang kabupaten/kota,

yang akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota.

Aset kabupaten/kota berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam

cakupan wilayah calon kabupaten/kota,wajib diserahkan seluruhnya kepada calon

kabupaten/kota, sedangkan aset yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon

kabupaten/kota. Dokumen adalah bukti kepemilikan aset kabupaten/kota induk yang

bergerak dan tidak bergerak yang akan diserahkan kepada calon kabupaten/kota.

Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan kabupaten/kota

induk yang akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota menjadi tanggung jawab

calon kabupaten/kota.

7. Penetapan lokasi ibukota kabupaten induk yang baru apabila lokasi ibukota kabupaten

induk menjadi cakupan wilayah kota yang akan dibentuk;

Pembentukan kabupaten/kota yang daerah induknya lebih dari satu, keputusan

bupati/walikota dibuat oleh masing-masing bupati/walikota dari kabupaten/kota

induk.

Keputusan DPRD provinsi yang ditetapkan berdasarkan rapat paripurna tentang

persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:

1. Persetujuan pemberian bantuan dana untuk mendukung penyelenggaraan

pemerintahan calon kabupaten/kota untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun

berturut-turut terhitung sejak peresmian sebagal kabupaten/kota;

2. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di kabupaten/kota;

3. Persetujuan nama calon kabupaten/kota, cakupan wilayah calon kabupaten/kota dan

calon ibukota kabupaten; dan

4. Persetujuan pelepasan aset provinsi berupa sarana perkantoran yang dipergunakan

untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di wilayah

kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi,

Adapun aset lainnya berupa tanah dan/atau bangunan yang bukan untuk pelayanan

publik dapat dilakukan pelepasan hak dengan ganti rugi atau tukar menukar.

Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang

memuat:

1. Persetujuan pemberian bantuan dana untuk mendukung penyelenggaraan

pemerintahan calon kabupaten/kota untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua)

tahun berturut-turut terhitung sejak peresmian sebagai kabupaten/kota;

2. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di kabupaten/kota;

3. Persetujuan nama calon kabupaten/kota, cakupan wilayah calon kabupaten/kota

dan calon ibukota kabupaten; dan

4. Persetujuan memindahkan personil dari provinsi dan berkoordinasi dengan

Pemerintah, gubernur dan bupati/walikota terhadap personal di wilayah kerjanya

yang akan dipindahkan ke kabupaten/kota yang baru dibentuk.

Sedangkan syarat adanya rekomendasi Menteri ditetapkan berdasarkan hasil penelitian

terhadap usulan pembentukan kabupaten/kota yang dilakukan oleh Tim yang dibentuk

Menteri. Tim dimaksud dapat bekerja sama dengan lembaga independen atau perguruan

tinggi.

Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2007 ditegaskan bahwa yang

dimaksud dengan "aspirasi sebagian besar masyarakat setempat" adalah aspirasi yang

disampaikan secara tertulis yang dituangkan ke dalam Keputusan BPD untuk Desa dan

Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi

calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.

Keputusan tersebut ditandatangani oleh Ketua BPD dan Ketua Forum Komunikasi

Kelurahan atau nama lain. Jumlah keputusan Badan Permusyawaratan Desa atau nama lain

dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain tersebut harus mencapai lebih 2/3 (dua

pertiga) tiara jumlah Badan atau Forum tersebut yang ada di masing-masing wilayah yang

akan menjadi. cakupan wilayah calon, provinsi atau kabupaten/kota.

Keputusan Badan Permusyawaratan Desa atau nama lain dan Keputusan Forum

Komunikasi Kelurahan atau nama lain adalah sebagai lampiran yang merupakan satu

kesatuan dari keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon

provinsi atau kabupaten/kota.

Sedangkan syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial

budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan

keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan

pemerintahan daerah.

Kemampuan ekonomi merupakan cerminan hasil kegiatan ekonomi dalam bentuk:

1. PDRB per kapita;

2. Pertumbuhan ekonomi; dan

3. Kontribusi PDRB terhadap PDRB total.

Potensi daerah merupakan perkiraan penerimaan dari rencana pemanfaatan

ketersediaan sumber daya buatan, sumber daya aparatur, serta sumber daya masyarakat yang

akan digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik yang dapat diukur dengan:

1. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk;

2. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk;

3. Rasio pasar per 10.000 penduduk;

4. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD;

5. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP;

6. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA;

7. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk;

8. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk;

9. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau

perahu motor atau kapal motor;

10. Persentase pelanggan listrik .terhadap jumlah rumah tangga;

11. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor;

12. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18

tahun ke atas;

13. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25

tahun ke atas; dan

14. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk.

Sedangkan aspek sosial budaya merupakan cerminan aspek sosial budaya yang diukur

dengan:

1. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk;

2. Rasio fasilitas lapangan olahraga per 10.000 penduduk; dan

3. Jumlah balai pertemuan.

Sosial politik merupakan cerminan aspek sosial politik yang diukur dengan: (1) Rasio

penduduk yang ikut pemilu legislatif penduduk yang mempunyai hak pilih; dan (2) Jumlah

organisasi kemasyarakatan.

Kependudukan merupakan cerminan aspek penduduk yang diukur dengan :

1. Jumlah Penduduk; dan

2. Kepadatan Penduduk.

Luas daerah merupakan cerminan sumber daya lahan/daratan cakupan wilayah yang dapat,

diukur dengan :

1. luas wilayah keseluruhan; dan

2. luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan.

Pertahanan merupakan cerminan ketahanan wilayah yang dapat diukur dengan karakter

wilayah dari aspek:

1. Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah; dan

2. Karakteristik wilayah, dilihat dari sudut pandang pertahanan.

Keamanan merupakan cerminan aspek keamanan dan ketertiban daerah yang dapat

diukur dengan Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk.

Kemampuan keuangan merupakan cerminan terhadap keuangan yang dapat diukur

dengan: (1) Jumlah PAD; (2) Rasio PDS terhadap Jumlah Penduduk dan (3) Rasio ADS

terhadap PDRB.

Tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan cerminan terhadap tingkat pendidikan,

kesehatan dan pendapatan masyarakat yang dapat diukur dengan indeks pembangunan

manusia.

Rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan merupakan cerminan terhadap

kedekatan jarak ke lokasi calon ibukota yang dapat diukur dengan (1) Rata-rata jarak

kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota

kabupaten); dan (2) Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat

pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota kabupaten).

Penilaian syarat teknis dimaksud adalah penilaian dalam merekomendasikan suatu

daerah menjadi daerah otonom dengan memperhatikan faktor-faktor yang dimiliki oleh

daerah induk dan calon daerah yang akan dibentuk dan menitikberatkan pada faktor

kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi daerah dan faktor kemampuan

keuangan.

Peta wilayah provinsi dibuat sesuai dengan kaidah pemetaan dari peta dasar nasional

(peta topografi, peta rupa bumi, citra satelit, atau peta laut yang dibuat oleh instansi yang

berwenang) dengan skala antara 1:250.000 sampai dengan 1:500.000.

Yang dimaksud lembaga teknis, yakni: Bakosurtanal, Direktorat Topografi TNI-AD

untuk pembuatan peta wilayah daratan, dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL untuk

pembuatan peta wilayah kepulauan.

Peta wilayah kabupaten/kota dibuat sesuai dengan kaidah pemetaan dari peta dasar

nasional (peta topografi, peta rupa bumi, citra satelit, atau peta laut yang dibuat oleh instansi

yang berwenang) dengan skala antara 1:100.000 sampai dengan 1:250.000 untuk

pembentukan kabupaten; dan skala antara 1:25.000 sampai dengan 1:50.000 untuk

pembentukan kota.

Sedangkan yang dimaksud lembaga teknis, yakni: Bakosurtanal, Direktorat Topografi

TNI-AD untuk pembuatan peta wilayah daratan, dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL untuk

pembuatan peta wilayah kepulauan.

Pembentukan dan pemekaran wilayah otonom mempunyai urgensi antara lain:

1. Meningkatakan pelayanan pemerintah kepada masyarakat sehingga kesejahteraan

masyarakat akan secara cepat terangkat;

2. Memperpendek rentang kendali manajemen pemerintahan dan pembangunan,

sehingga fungsi pemerintahan akan lebih efektif, efisien dan terkendali;

3. Proses pemberdayaan masyarakat dan menumbuhkan inisiatif, kreativitas, dan inovasi

masyarakat dalam pembangunan;

4. Menumbuhkan dan mengembangkan proses pembelajaran berdemokrasi masyarakat

dan inovasi masyarakat dalam pembangunan;

5. Khusus untuk daerah perbatasan atau kepulauan, karena :

a. Membuka keterisolasian masyarakat akibat keterbelakangan dan kemiskinan

daerah;

b. Membuka akses bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sosial dan

budaya;

c. Meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat kepulauan;

d. Memajukan daerah kepulauan sejajar dengan daerah daratan, bahkan menjadikan

wilayah kepulauan sebagai beranda depan atau show window NKRI;

e. Memperkuat sistem pertahanan keamanan nasional serta tegaknya NKRI.

Dalam prakteknya pemekaran daerah mempunyai problematikanya sendiri, yaitu :

1. Dengan adanya dukungan formal melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

muncul kecenderungan banyaknya daerah yang meminta dimekarkan padahal ditinjau

dari kekhususan dan syarat teknis (kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial

budaya dan pertahanan keamanan) tidak mendukung;

2. Kenyataan bahwa pemekaran wilayah tidaklah menjamin secara serta merta

membawa pada perubahan yang diinginkan, yaitu kesejahteraan dan peningkatan

pelayanan publik. Hal ini karena inisiatif pemekaran dan pembentukan daerah

tidaklah merupakan bagian suara terbesar masyarakat di daerah yang bersangkutan,

melainkan merupakan inisiatif elit politik maupun birokrasi yang cenderung mengejar

kekuasaan.

Sebagaimana disebutkan dalam problematika di atas dalam beberapa kasus justru

pembentukan daerah otonom baru menimbulkan berbagai permasalahan seperti potensi

konflik horisontal antar daerah mengenai tata batas maupun keberatan masyarakat daerah

otonom baru yang tidak bersedia untuk bergabung di dalam daerah otonom baru. Keadaan

yang rentan dengan konflik ini berimbas juga pada pelayanan publik kepada masyarakat

sehingga tujuan pembentukan daerah otonom baru untuk meningkatkan pelayanan publik dari

pemerintah kepada masyarakat justru tidak tercapai.

Permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah ini terkait dengan kesalahpahaman

mengenai otonomi daerah, yaitu:

a. Otonomi dikaitkan semata-mata hanya dengan uang;

b. Daerah belum siap dan belum siap dan mampu dalam melaksanakan otonomi daerah;

c. Dengan otonomi daerah pemerintah Pusat akan melepaskan tanggungjawabnya untuk

membantu dan membina daerah;

d. Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja;

e. Otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi

di daerah.

Bab IV Persyaratan dan Tahapan Pemekaran Daerah

Merujuk kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2007

tentang tata Cara Pembentukan, Peghapusan dan Penggabungan Daerah yang menegaskan

bahwa Pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai daerah

provinsi atau daerah kabupaten/kota.

Di era otonomi daerah yang memberikan keleluasaan yang lebih kepada daerah

dibandingkan dengan era sentralisasi, pembentukan daerah baru tergolong primadona. Dalam

Peraturan Pemerintah tentang tata Cara Pembentukan, Peghapusan dan Penggabungan Daerah

ditegaskan bahwa Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau

bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau

lebih.

Ditentukan lebih lanjut bahwa pembentukan daerah dapat berupa pembentukan daerah

provinsi atau daerah kabupaten/kota. Pembentukan daerah provinsi dapat berupa: a)

pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi 2 (dua) provinsi atau lebih; b) penggabungan

beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda; dan c)

penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi.

Sedangkan Pembentukan daerah kabupaten/kota dapat berupa: a) pemekaran dari 1

(satu) kabupaten/kota menjadi 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih; b) penggabungan beberapa

kecamatan yang bersandingan pada wilayah kabupaten/kota yang berbeda; dan c)

penggabungan beberapa kabupaten/kota menjadi 1 (satu) kabupaten/kota.

Proses pembentukan daerah didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif, teknis,

dan fisik kewilayahan.

1. Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat setempat

untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan kajian daerah

terhadap rencana pembentukan daerah.

2. Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi

daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,

keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat

kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.

3. Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah,

lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat

tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka

meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak

mampumenyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang dibentuk

maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah, sehingga tujuan

pembentukan daerah dapat terwujud.

Dengan demikian dalam usulan pembentukan dilengkapi dengan kajian daerah. Kajian

daerah ini merupakan basil kajian Tim yang dibentuk oleh kepala daerah yang bersangkutan

untuk menilai kelayakan pembentukan daerah otonom baru secara obyektif yang memuat

penilaian kuantitatif terhadap faktor-faktor teknis. Penilaian kuantitatif ini dilengkapi dengan

proyeksi faktor-faktor dominan (kependudukan, potensi daerah,kemampuan ekonomi dan

kemampuan keuangan) selama 10 (sepuluh) tahun dan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah

Induk serta penilaian kualitatif terhadap faktor lainnya yang memiliki karakteristik tersendiri

antara lain potensi sumber daya alam yang belum tergali,kondisi etnik, potensi konflik dan

historis.

Pemerintah berkewajiban melakukan penelitian terhadap setiap usulan pembentukan

daerah serta melakukan pembinaan, fasilitasi, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan

pemerintahan daerah otonom baru baik provinsi maupun kabupaten/kota. Gubernur provinsi

induk bersama Menteri berkewajiban memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan di

provinsi yang baru dibentuk, sedangkan bupati kabupaten induk bersama gubernur

berkewajiban memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten/kota yang baru

dibentuk agar dapat berjalan dengan optimal.

Tidak serta merta semua daerah dapat dimekarkan, karena faktor “usia” daerah tersebut

juga menentukan apakah dapat dilakukan pemekaran atau tidak. Peraturan Pemerintah No 78

tahun 2007 menentukan bahwa daerah yang dibentuk dapat dimekarkan setelah mencapai

batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan 10 (sepuluh) tahun bagi provinsi dan 7

(tujuh) tahun bagi kabupaten dan kota.

Selain persyaratan batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan, ditentukan juga

bahwa pembentukan daerah provinsi/kabupaten/kota berupa pemekaran provinsi dan

penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang

berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

Syarat administratif pembentukan daerah provinsi meliputi:

a) Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah

calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat

Paripurna;

b) Keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota wilayah

calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi;

c) Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi

berdasarkan hasil Rapat Paripurna;

d) Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; dan

e) Rekomendasi Menteri.

Sedangkan syarat administratif pembentukan daerah kabupaten/kota meliputi:

a) Keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan, pembentukan calon

kabupaten/kota;

b) Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;

c) Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;

d) Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota; dan

e) Rekomendasi Menteri.

Terkait keputusan DPRD sebagai syarat administratif, Keputusan DPRD

kabupaten/kota harus diproses berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat.

Sedangkan Keputusan DPRD provinsi harus berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat

setempat yang dituangkan dalam keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi

cakupan wilayah calon provinsi.

Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah

calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi, ditetapkan berdasarkan rapat

paripurna yang memuat:

1. Persetujuan kesediaan kabupaten/kota menjadi cakupan wilayah calon provinsi;

2. Persetujuan nama calon provinsi;

3. Persetujuan lokasi calon ibukota;

4. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan calon provinsi untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-

turut terhitung sejak peresmian sebagai daerah otonom; dan

5. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di provinsi baru.

Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi yang ditetapkan

berdasarkan rapat paripurna yang memuat:

1. Persetujuan pelepasan kabupaten/kota yang menjadi cakupan wilayah calon provinsi;

2. Persetujuan nama calon provinsi;

3. Persetujuan lokasi calon ibukota;

4. Persetujuan pemberian hibah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan calon

provinsi untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut terhitung sejak

peresmian sebagai daerah otonom;

5. Persetujuan pengalokasian pembiayaan untuk penyelenggaraan pemerintahan calon

provinsi untuk jangka waktu sampai dengan disahkannya APBD provinsi baru; dan

6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang

bergerak dan tidak bergerak, personil, dokumen, dan hutang piutang provinsi, yang

akan dimanfaatkan oleh calon provinsi.

Aset provinsi berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam cakupan

wilayah calon provinsi wajib diserahkan seluruhnya kepada calon provinsi, sedangkan aset

yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon provinsi. Dokumen adalah bukti

kepemilikan aset provinsi induk yang bergerak dan tidak bergerak yang akan diserahkan

kepada calon provinsi.

Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan provinsi induk

yang akan dimanfaatkan oleh calon provinsi menjadi tanggung jawab calon provinsi.

Pembentukan provinsi yang daerah induknya lebih dari satu, Keputusan DPRD provinsi

dibuat oleh masing-masing DPRD provinsi induk.

Selain itu harus juga menyertakan Keputusan masing-masing bupati/walikota dari

kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan

pembentukan calon provinsi yang memuat:

1. Persetujuan kesediaan kabupaten/kota menjadi cakupan wilayah calon provinsi;

2. Persetujuan nama calon provinsi;

3. Persetujuan lokasi calon ibukota;

4. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

calon provinsi untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut terhitung

sejak peresmian sebagai daerah otonom;

5. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di provinsi baru;

6. Persetujuan kesediaan menyerahkan sebagian aset kabupaten/kota yang dibutuhkan

untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan provinsi baru; dan

7. Persetujuan memindahkan sebagian personil yang dibutuhkan provinsi baru.

Untuk pemebentukan provinsi, persyaratan lainnya yaitu Keputusan Gubernur tentang

persetujuan pembentukan calon provinsi, memuat;

1. Persetujuan nama calon provinsi;

2. Persetujuan lokasi calon ibukota;

3. Persetujuan pelepasan kabupaten/kota menjadi cakupan wilayah calon provinsi;

4. Persetujuan pengalokasian pembiayaan untuk penyelenggaraan pemerintahan calon

provinsi untuk jangka waktu sampai dengan disahkannya APBD provinsi baru; dan

5. Persetujuan pemberian hibah dalam rangka membiayai penyelenggaraan pemilihan

kepala daerah untuk pertama kali di provinsi baru;

6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang

bergerak dan tidak bergerak, personil, dokumen, dan hutang piutang provinsi, yang

akan dimanfaatkan oleh calon provinsi.

Aset provinsi berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam cakupan

wilayah calon provinsi wajib diserahkan seluruhnya kepada calon provinsi, sedangkan

aset yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon provinsi.

Dokumen adalah bukti kepemilikan aset provinsi induk yang bergerak dan tidak

bergerak yang akan diserahkan kepada calon provinsi.

Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan provinsi induk

yang akan dimanfaatkan oleh calon provinsi menjadi tanggung jawab calon provinsi,

Pembentukan provinsi yang daerah induknya lebih dari satu, keputusan gubernur

dibuat oleh masing-masing gubernur dari provinsi induk.

Keputusan DPRD kabupaten/kota induk yang ditetapkan berdasarkan rapat paripurna

tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:

1. Persetujuan nama calon kabupaten/kota;

2. Persetujuan lokasi calon ibukota;

3. Persetujuan pelepasan kecamatan menjadi cakupan wilayah calon kabupaten/kota;

4. Persetujuan pemberian hibah untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan calon

kabupaten/kota untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut terhitung

sejak peresmian sebagal daerah otonom;

5. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di daerah otonom baru;

6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang

bergerak dan tidak bergerak, personiI, dokumen dan hutang piutang kabupaten/kota, yang

akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota.

Aset kabupaten/kota berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam

cakupan wilayah calon kabupaten/kota wajib diserahkan seluruhnya kepada calon

kabupaten/kota, sedangkan aset yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon

kabupaten/kota.

Dokumen adalah bukti kepemilikan aset kabupaten/kota induk yang bergerak dan tidak

bergerak yang akan diserahkan kepada calon kabupaten/kota, Hutang dan piutang yang

berhubungan dengan penyerahan kekayaan kabupaten/kota induk yang akan dimanfaatkan

oleh calon kabupaten/kota menjadi tanggung jawab calon kabupaten/kota.

7. Persetujuan penyerahan sarana prasarana perkantoran yang akan dipergunakan untuk

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang berada dalam cakupan

wilayah calon kota, dari kabupaten induk kepada kota yang akan dibentuk. Adapun

aset lainnya berupa tanah dan/atau bangunan milik kabupaten induk yang bukan untuk

pelayanan publik yang berada dalam cakupan wilayah calon kota dapat dilakukan

pelepasan hak dengan ganti rugi atau tukar menukar untuk membangun sarana

prasarana di ibukota kabupaten induk yang baru; dan

8. Penetapan lokasi ibukota kabupaten induk yang baru apabila lokasi ibukota, kabupaten

induk menjadi cakupan wilayah kota yang akan dibentuk.

Pembentukan kabupaten/kota yang daerah induknya lebih dari satu, keputusan

DPRD kabupaten/kota dibuat oleh masing-masing DPRD kabupaten/kota induk.

Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:

1. Persetujuan nama calon kabupaten/kota;

2. Persetujuan lokasi calon ibukota;

3. Persetujuan pelepasan kecamatan menjadi cakupan wilayah calon kabupaten/kota;

4. Persetujuan pemberian hibah untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan calon

kabupaten/kota untuk jangka waktu. paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut

terhitung sejak peresmian sebagai daerah otonom;

5. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di daerah otonom baru.

6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang

bergerak dan tidak bergerak, personil, dokumen dan hutang piutang kabupaten/kota,

yang akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota.

Aset kabupaten/kota berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam

cakupan wilayah calon kabupaten/kota,wajib diserahkan seluruhnya kepada calon

kabupaten/kota, sedangkan aset yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon

kabupaten/kota. Dokumen adalah bukti kepemilikan aset kabupaten/kota induk yang

bergerak dan tidak bergerak yang akan diserahkan kepada calon kabupaten/kota.

Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan kabupaten/kota

induk yang akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota menjadi tanggung jawab

calon kabupaten/kota.

7. Penetapan lokasi ibukota kabupaten induk yang baru apabila lokasi ibukota kabupaten

induk menjadi cakupan wilayah kota yang akan dibentuk;

Pembentukan kabupaten/kota yang daerah induknya lebih dari satu, keputusan

bupati/walikota dibuat oleh masing-masing bupati/walikota dari kabupaten/kota

induk.

Keputusan DPRD provinsi yang ditetapkan berdasarkan rapat paripurna tentang

persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:

1. Persetujuan pemberian bantuan dana untuk mendukung penyelenggaraan

pemerintahan calon kabupaten/kota untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun

berturut-turut terhitung sejak peresmian sebagal kabupaten/kota;

2. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di kabupaten/kota;

3. Persetujuan nama calon kabupaten/kota, cakupan wilayah calon kabupaten/kota dan

calon ibukota kabupaten; dan

4. Persetujuan pelepasan aset provinsi berupa sarana perkantoran yang dipergunakan

untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di wilayah

kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi,

Adapun aset lainnya berupa tanah dan/atau bangunan yang bukan untuk pelayanan

publik dapat dilakukan pelepasan hak dengan ganti rugi atau tukar menukar.

Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:

1. Persetujuan pemberian bantuan dana untuk mendukung penyelenggaraan

pemerintahan calon kabupaten/kota untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua)

tahun berturut-turut terhitung sejak peresmian sebagai kabupaten/kota;

2. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di kabupaten/kota;

3. Persetujuan nama calon kabupaten/kota, cakupan wilayah calon kabupaten/kota

dan calon ibukota kabupaten; dan

4. Persetujuan memindahkan personil dari provinsi dan berkoordinasi dengan

Pemerintah, gubernur dan bupati/walikota terhadap personal di wilayah kerjanya

yang akan dipindahkan ke kabupaten/kota yang baru dibentuk.

Sedangkan syarat adanya rekomendasi Menteri ditetapkan berdasarkan hasil

penelitian terhadap usulan pembentukan kabupaten/kota yang dilakukan oleh Tim

yang dibentuk Menteri. Tim dimaksud dapat bekerja sama dengan lembaga

independen atau perguruan tinggi.

Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2007 ditegaskan bahwa yang

dimaksud dengan "aspirasi sebagian besar masyarakat setempat" adalah aspirasi yang

disampaikan secara tertulis yang dituangkan ke dalam Keputusan BPD untuk Desa dan

Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi

calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.

Keputusan tersebut ditandatangani oleh Ketua BPD dan Ketua Forum Komunikasi

Kelurahan atau nama lain. Jumlah keputusan Badan Permusyawaratan Desa atau nama lain

dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain tersebut harus mencapai lebih 2/3

(duapertiga) tiara jumlah Badan atau Forum tersebut yang ada di masing-masing wilayah

yang akan menjadi. cakupan wilayah calon, provinsi atau kabupaten/kota.

Keputusan Badan Permusyawaratan Desa atau nama lain dan Keputusan Forum

Komunikasi Kelurahan atau nama lain adalah sebagai lampiran yang merupakan satu

kesatuan dari keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon

provinsi atau kabupaten/kota.

Sedangkan syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial

budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan

keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan

pemerintahan daerah.

Kemampuan ekonomi merupakan cerminan hasil kegiatan ekonomi dalam bentuk:

1. PDRB per kapita;

2. Pertumbuhan ekonomi; dan

3. Kontribusi PDRB terhadap PDRB total.

Potensi daerah merupakan perkiraan penerimaan dari rencana pemanfaatan

ketersediaan sumber daya buatan, sumber daya aparatur, serta sumber daya masyarakat yang

akan digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik yang dapat diukur dengan:

1. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk;

2. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk;

3. Rasio pasar per 10.000 penduduk;

4. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD;

5. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP;

6. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA;

7. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk;

8. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk;

9. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau

perahu motor atau kapal motor;

10. Persentase pelanggan listrik .terhadap jumlah rumah tangga;

11. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor;

12. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18

tahun ke atas;

13. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 tahun

ke atas; dan

14. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk.

Sedangkan aspek sosial budaya merupakan cerminan aspek sosial budaya yang diukur

dengan:

1. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk;

2. Rasio fasilitas lapangan olahraga per 10.000 penduduk; dan

3. Jumlah balai pertemuan.

Sosial politik merupakan cerminan aspek sosial politik yang diukur dengan: (1) Rasio

penduduk yang ikut pemilu legislatif penduduk yang mempunyai hak pilih; dan (2) Jumlah

organisasi kemasyarakatan.

Kependudukan merupakan cerminan aspek penduduk yang diukur dengan :

1. Jumlah Penduduk; dan

2. Kepadatan Penduduk.

Luas daerah merupakan cerminan sumber daya lahan/daratan cakupan wilayah yang

dapat, diukur dengan :

1. luas wilayah keseluruhan; dan

2. luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan.

Pertahanan merupakan cerminan ketahanan wilayah yang dapat diukur dengan karakter

wilayah dari aspek:

1. Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah; dan

2. Karakteristik wilayah, dilihat dari sudut pandang pertahanan.

Keamanan merupakan cerminan aspek keamanan dan ketertiban daerah yang dapat

diukur dengan Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk.

Kemampuan keuangan merupakan cerminan terhadap keuangan yang dapat diukur

dengan: (1) Jumlah PAD; (2) Rasio PDS terhadap Jumlah Penduduk dan (3) Rasio ADS

terhadap PDRB.

Tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan cerminan terhadap tingkat pendidikan,

kesehatan dan pendapatan masyarakat yang dapat diukur dengan indeks pembangunan

manusia.

Rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan merupakan cerminan terhadap

kedekatan jarak ke lokasi calon ibukota yang dapat diukur dengan (1) Rata-rata jarak

kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota

kabupaten); dan (2) Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat

pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota kabupaten).

Penilaian syarat teknis dimaksud adalah penilaian dalam merekomendasikan suatu

daerah menjadi daerah otonom dengan memperhatikan faktor-faktor yang dimiliki oleh

daerah induk dan calon daerah yang akan dibentuk dan menitikberatkan pada faktor

kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi daerah dan faktor kemampuan

keuangan.

Peta wilayah provinsi dibuat sesuai dengan kaidah pemetaan dari peta dasar nasional

(peta topografi, peta rupa bumi, citra satelit, atau peta laut yang dibuat oleh instansi yang

berwenang) dengan skala antara 1:250.000 sampai dengan 1:500.000.

Yang dimaksud lembaga teknis, yakni: Bakosurtanal, Direktorat Topografi TNI-AD

untuk pembuatan peta wilayah daratan, dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL untuk

pembuatan peta wilayah kepulauan.

Peta wilayah kabupaten/kota dibuat sesuai dengan kaidah pemetaan dari peta

dasarnasional (peta topografi, peta rupa bumi, citra satelit, atau peta laut yang dibuat oleh

instansi yang berwenang) dengan skala antara 1:100.000 sampai dengan 1:250.000 untuk

pembentukan kabupaten; dan skala antara 1:25.000 sampai dengan 1:50.000 untuk

pembentukan kota.

Sedangkan yang dimaksud lembaga teknis, yakni: Bakosurtanal, Direktorat Topografi

TNI-AD untuk pembuatan peta wilayah daratan, dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL untuk

pembuatan peta wilayah kepulauan.

Pembentukan dan pemekaran wilayah otonom mempunyai urgensi antara lain:

1. Meningkatakan pelayanan pemerintah kepada masyarakat sehingga kesejahteraan

masyarakat akan secara cepat terangkat;

2. Memperpendek rentang kendali manajemen pemerintahan dan pembangunan,

sehingga fungsi pemerintahan akan lebih efektif, efisien dan terkendali;

3. Proses pemberdayaan masyarakat dan menumbuhkan inisiatif, kreativitas, dan inovasi

masyarakat dalam pembangunan;

4. Menumbuhkan dan mengembangkan proses pembelajaran berdemokrasi masyarakat

dan inovasi masyarakat dalam pembangunan;

5. Khusus untuk daerah perbatasan atau kepulauan, karena :

a. Membuka keterisolasian masyarakat akibat keterbelakangan dan kemiskinan

daerah;

b. Membuka akses bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sosial dan

budaya;

c. Meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat kepulauan;

d. Memajukan daerah kepulauan sejajar dengan daerah daratan, bahkan menjadikan

wilayah kepulauan sebagai beranda depan atau show window NKRI;

e. Memperkuat sistem pertahanan keamanan nasional serta tegaknya NKRI.

Dalam prakteknya pemekaran daerah mempunyai problematikanya sendiri, yaitu :

1. Dengan adanya dukungan formal melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

muncul kecenderungan banyaknya daerah yang meminta dimekarkan padahal ditinjau

dari kekhususan dan syarat teknis (kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial

budaya dan pertahanan keamanan) tidak mendukung;

2. Kenyataan bahwa pemekaran wilayah tidaklah menjamin secara serta merta

membawa pada perubahan yang diinginkan, yaitu kesejahteraan dan peningkatan

pelayanan publik. Hal ini karena inisiatif pemekaran dan pembentukan daerah

tidaklah merupakan bagian suara terbesar masyarakat di daerah yang bersangkutan,

melainkan merupakan inisiatif elit politik maupun birokrasi yang cenderung mengejar

kekuasaan.

Sebagaimana disebutkan dalam problematika di atas dalam beberapa kasus justru

pembentukan daerah otonom baru menimbulkan berbagai permasalahan seperti potensi

konflik horisontal antar daerah mengenai tata batas maupun keberatan masyarakat daerah

otonom baru yang tidak bersedia untuk bergabung di dalam daerah otonom baru. Keadaan

yang rentan dengan konflik ini berimbas juga pada pelayanan publik kepada masyarakat

sehingga tujuan pembentukan daerah otonom baru untuk meningkatkan pelayanan publik dari

pemerintah kepada masyarakat justru tidak tercapai.

Permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah ini terkait dengan kesalahpahaman

mengenai otonomi daerah, yaitu:

a. Otonomi dikaitkan semata-mata hanya dengan uang;

b. Daerah belum siap dan belum siap dan mampu dalam melaksanakan otonomi daerah;

c. Dengan otonomi daerah pemerintah Pusat akan melepaskan tanggungjawabnya untuk

membantu dan membina daerah;

d. Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja;

e. Otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi di

daerah

BAB V Tingginya Animo Pemekaran Daerah

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi

dibagi atas kabupaten/kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah untuk

menjalankan otonomi daerah seluasluasnya. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ketersediaan peluang regulasi bagi pemekaran daerah otonom, atau pembentukan

daerah otonom baru, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah pemerintahan daerah

di Indonesia. Sejak sistem pemerintahan sentralistis pada masa Orde Baru, pemerintah juga

telah banyak melakukan pembentukan daerah otonom baru. Kecamatan-kecamatan yang

semakin kuat karakter urban-nya kemudian dijadikan Kota Administratif, sebuah unit

pemerintahan wilayah dekonsentratif (field administration). Selanjutnya bila karakter tersebut

telah semakin menguat, daerah tersebut dijadikan Kota Madya yang setingkat dengan

Pemerintahan Kabupaten. Di luar itu juga dimungkinkan pembentukan pemerintah kabupaten

ataupun provinsi baru.

Namun, selama periode Orde Baru tahun 1966 - 1998, tidak terdapat penambahan

daerah otonom baru yang signifikan. Ledakan penambahan daerah otonomi baru, atau yang

biasa disebut pemekaran daerah, baru terjadi pasca 1999.

Ditengah keinginan berbagai pihak untuk merasionalisasi pemekaran daerah, proses

pemekaran daerah terus berlangsung hampir setiap tahun pada periode 1998-2008

sebagaimana terlihat di tabel berikut.

Tabel Pemekaran Daerah 1999-2008

Tabel diatas menggambarkan betapa semangat kedaerah yang begitu tinggi pasca

reformasi tahun 1998. Selama Oktober 1999, misalnya terdapat 26 kabupaten baru sebagai

hasil pemekaran. Ada satu kota baru di bulan yang sama. Tingginya jumlah daerah otonomi

baru tersebut sebagai salah satu indikator betapa selama ini ada keinginan yang terpendam

bagi daerah-daerah untuk berdiri sendiri dan untuk memiliki otonomi sebagai daerah yang

lebih mandiri. Menariknya, pasca reformasi yang melahirkan desentralisasi kurang dari satu

dekade (1999-2008) saja terdapat 169 daerah baru hasil pemekaran.

Usulan untuk membentuk daerah baru ini masih terus terjadi sampai sekarang,

bahkan sebagian diantaranya sedang dibahas oleh DPR. DPR dalam rapat paripurna 25

Oktober 2012 kembali mengesahkan lima DOB. Kelima daerah tersebut adalah Provinsi

Kalimantan Utara, Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat), Kabupaten Pesisir Barat

(Lampung), Kabupaten Manokwari Selatan (Papua Barat), dan Kabupaten Pegunungan Arfak

(Papua Barat). Disahkannya lima DOB tersebut tentu memiliki sejumlah implikasi politik

bagi pemerintah.

Tahun Bulan Provinsi Baru Kabupaten Baru Kota Baru Jumlah

1999 Oktober - 26 1 27

2000 Juni 2 - - 2

Oktober 1 - - 1

Desember 2 1 - 3

2001 Juni - - 12 12

2002 April - 19 3 22

Oktober 1 - - 1

2003 Februari - 9 3 12

April - 17 - 17

Mei - 12 - 12

Desember - 23 - 13

2004 Oktober 1 - - 1

2007 Januari - 14 2 16

Maret - 1 - 1

Agustus - 6 2 8

2008 Januari - 6 - 6

Juli - 5 - 5

JUMLAH 7 134 23 169

Dilihat dari segi regulasi, pemekaran daerah diberi peluang oleh pemerintahan Orde

Baru dan pasca Orde Baru. Perbedaannya terletak pada proses pengusulan pemekaran. Di

masa Orde Baru pemerintah pusat mempunyai peran yang besar untuk menyiapkan

pembentukan daerah otonom (dari ibukota Kecamatan, menjadi Kota Administratif lalu

Kotamadya) dan menginisiasi pembentukannya. Di masa pasca Orde Baru, regulasi yang ada

menekankan pada usulan daerah untuk memekarkan diri dalam rangka membentuk daerah

otonom baru.

Namun pun demikian, regulasi yang ada berusaha untuk menyaring usulan pemekaran

dengan mempertimbangkan kapasitas daerah yang akan dibentuk. Selain itu, bukan hanya

pemekaran yang dimungkinkan. Tetapi penggabungan beberapa daerah menjadi satu daerah

otonompun diberi peluang.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(selanjutnya ditulis UU Pemda), pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk

meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih,

atau penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau penggabungan beberapa daerah.

Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah

atau lebih. Sementara dalam prakteknya sampai dengan tahun 2008, Indonesia belum pernah

mempunyai pengalaman penggabungan daerah.

Sebelumnya, tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah yang

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 diganti Peraturan Pemerintah

Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan

Daerah (selanjutnya ditulis PP 78/07). Dalam PP No 78 tahun 2007 mengatur mengenai

proses pembentukan daerah yang didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif,

teknis, dan fisik kewilayahan :

1. Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat.

2. Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah,

sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan

faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun faktor lain

tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat,

dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.

3. Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah,

lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat

tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka

meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam

pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak mampu

menyelenggarakan otonomi daerah, sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud

dengan dilengkapi dengan kajian daerah.

Kajian daerah ini merupakan hasil kajian Tim yang dibentuk oleh kepala daerah yang

bersangkutan untuk menilai kelayakan pembentukan daerah otonom baru secara obyektif

yang memuat penilaian kuantitatif terhadap faktor-faktor teknis.

Penilaian kuantitatif ini dilengkapi dengan proyeksi faktor-faktor dominan

(kependudukan, potensi daerah, kemampuan ekonomi dan kemampuan keuangan) selama 10

(sepuluh) tahun dan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Induk serta penilaian kualitatif

terhadap faktor lainnya yang memiliki karakteristik tersendiri antara lain potensi sumber daya

alam yang belum tergali, kondisi etnik, potensi konflik dan historis.

Beberapa alasan utama daerah mengajukan pemekaran antara lain adalah :

1. Kebutuhan untuk pemerataan ekonomi daerah. Menurut data IRDA, kebutuhan untuk

pemerataan ekonomi menjadi alasan paling populer digunakan untuk memekarkan

sebuah daerah.

2. Kondisi geografis yang terlalu luas. Banyak kasus di Indonesia, proses delivery

pelayanan publik tidak pernah terlaksana dengan optimal karena infrastruktur yang

tidak memadai. Akibatnya luas wilayah yang sangat luas membuat pengelolaan

pemerintahan dan pelayanan publik tidak efektif.

3. Perbedaan Basis Identitas. Alasan perbedaan identitas (etnis, asal muasal keturunan)

juga muncul menjadi salah satu alasan pemekaran. Tuntutan pemekaran muncul karena

biasanya masyarakat yang berdomisili di daerah pemekaran merasa sebagai komunitas

budaya tersendiri yang berbeda dengan komunitas budaya daerah induk.

4. Kegagalan pengelolaan konflik komunal. Kekacauan politik yang tidak bisa

diselesaikan seringkali menimbulkan tuntutan adanya pemisahan daerah.

5. Adanya insentif fiskal yang dijamin oleh Undang-Undang bagi daerah-daerah baru hasil

pemekaran melalui Dana Alokasi Umum (DAU), bagi hasil Sumber Daya Alam, dan

Pendapatan Asli Daerah.

Secara umum, beberapa implikasi pemekaran daerah antara lain adalah :

1. Implikasi di bidang Politik Pemerintahan. Dari sisi politis, pemekaran wilayah dapat

menumbuhkan perasaan homogen daerah pemekaran baru yang akan memperkuat civil

society agar lebih aktif dalam kehidupan politik.

2. Implikasi di bidang Sosio Kultural

Dari dimensi sosial, kultural, bisa dikatakan bahwa pemekaran daerah mempunyai

beberapa implikasi positif, seperti pengakuan sosial, politik dan kultural terhadap

masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran, sebuah entitas masyarakat yang

mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran yang panjang, kemudian memperoleh

pengakuan setelah dimekarkan sebagai daerah otonom baru.

3. Implikasi Pada Pelayanan Publik

Dari dimensi pelayanan publik, pemekaran daerah memperpendek jarak geografis

antara pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, terutama ibukota pemerintahan

daerah. Pemekaran juga mempersempit rentang kendali antara pemerintah daerah

dengan unit pemerintahan di bawahnya.

4. Pemekaran dianggap sebagai cara untuk meningkatkan pembangunan di daerah miskin,

khususnya dalam kasus pembentukan kabupaten baru. Adanya pemekaran dinilai akan

memberi kesempatan kepada daerah miskin untuk memperoleh lebih banyak subsidi

dari pemerintah pusat (khususnya melalui skema DAU dan beberapa DAK), hal ini

akan mendorong peningkatan pendapatan per kapita di daerah tersebut.

5. Implikasi Pada Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional

Pembentukan daerah otonom baru, bagi beberapa masyarakat pedalaman dan

masyarakat di wilayah perbatasan dengan negara lain, merupakan isu politik nasional

yang penting.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu motivasi untuk

membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana transfer ini dikenal

sebagai dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi

Khusus (DAK), serta Dana Bagi Hasil (DBH) baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil

sumber daya alam. Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah adalah DAU.

Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya

membebani APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang

dialokasikan didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan

berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran.

Tentunya sebagai daerah baru, penerimaan DAU tersebut lebih diarahkan pada

pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor pemerintahan, rumah dinas, serta

pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja pegawai. Pengeluaran yang berkaitan dengan

aparatur pemerintahan ini jelas memiliki pengaruh yang sedikit kepada masyarakat sekitar.

Penyediaan barang publik kepada masyarakat tentunya akan menjadi berkurang

dikarenakan pada tahun-tahun awal pemekaran daerah, pembangunan lebih difokuskan pada

pembangunan sarana pemerintahan. Karena itu, aliran DAU kepada daerah pemekaran,

menjadi opportunity lossterhadap penyediaan infrastruktur dan pelayanan publik kepada

masyarakat.

Jumlah ini tentunya tidaklah sedikit. Berdasarkan hasil evaluasi Kementerian Keuangan

terhadap 145 daerah otonomi baru menunjukkan bahwa sekitar 80% tidak berdampak positif,

baik dalam konteks pelayanan publik maupun kesejahteraan masyarakat. Mayoritas (86%)

sumber pendapatan APBD kabupaten/kota dan 53% APBD provinsi dari dana perimbangan

yang dialokasikan Depkeu. Sebagian besar alokasi APBD (58%) digunakan untuk belanja

pegawai, sedangkan biaya pembangunan cuma 21%.

Dalam APBN 2009, dana transfer ke daerah ditetapkan sebesar Rp 303,1 triliun yang

terdiri dari dana perimbangan sebesar Rp 279,3 triliun dan dana otonomi khusus dan

penyesuaian sebesar Rp 23,7 triliun. Dana perimbangan sebesar Rp 279,3 triliun terdiri dari

DBH sebesar Rp 68,1 triliun, DAU sebesar Rp186,4 triliun, dan DAK sebesar Rp24,8 triliun.

BAB VI Kekerasan Dalam Pemekaran Daerah

A. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan

Banyak yang berkepentingan dengan pemekaran daerah. Tidak semua pihak yang

terlibat dalam pemekaran semata-mata atas dasar kepentingan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Tidak semua juga hanya bertujuan agar terjadinya proses

pemberdayaan masyarakat lokal (local empowerment), ada diantara pihak yang memiliki

agenda tersembunyi (hidden agenda) yang terkadang tidak mampu dideteksi secara dini.

Perbedaan kepentingan ini terkadang menimbulkan gesekan-gesekan diantara komponen

yang terlibat dalam pemekaran. Bahkan terjadi kekerasan/ kerusuhan yang seringkali

menelan korban jiwa atas nama kepentingan masyarakat daerah pemekaran.

Memang semua tahapan pemekaran daerah rawan aksi kekerasan/kerusuhan.

Masyarakat begitu mudah terprovokasi oleh isu-isu yang belum pasti kebenarannya.

Beberapa tahapan pemekaran yang rawan terjadi kekerasan/kerusuhan. Pertama, tahap

pengajuan administrasi pemekaran. Kedua, tahap menunggu persetujuan pemekaran oleh

daerah induk (kabupaten/provinsi induk). Ketiga, tahap menunggu persetujuan pemekaran

dari Kementerian Dalam Negeri.

Pertama, tahap pengajuan administrasi pemekaran. Menjadi rawan dalam tahapan ini

apabila elemen masyarakat daerah yang akan dimekarkan kurang kompak. Terkadang muncul

berbagai elemen dalam masyarakat yang mengatasnamakan “gerakan masyarakat” dalam

berbagai bentuknya. Ada yang menamakan presidium pemekaran, forum masyarakat atau

apapun namanya yang mengatasnamakan masyarakat dan mendeklarasikan sebagai kelompok

paling berhak mewakili daerah yang akan dimekarkan.

Bertambah runyam kondisinya apabila “perpecahan” elemen masyarakat ini juga

dimanfaatkan oleh para elit politik yang berkepentingan dengan isu pemekaran tersebut.

Kebanyakan politikus memerlukan panggung bagi eksistensi diri mereka ditengah-tengah

masyarakat baik dengan alasan agar terpilih kembali untuk mempertahankan jabatannya,

sebagai investasi kedepan dalam rangka suatu pemilihan baik pemilihan anggota legislatif

atau kepala daerah. Ada juga elit politik yang memerlukan panggung pemekaran daerah

sebagai arena untuk “memukul” lawan politiknya. Isu pemekaran daerah justru dimanfaatkan

untuk pengerahan massa dengan tujuan merepotkan lawan politik di berbagai tingkatan yang

ada kaitannya dengan rencana pemekaran tersebut.

Bukan juga tidak ada, mereka yang gencar maju paling depan untuk memekarkan

daerah dan dengan lantang berteriak sanggup berkorban apa saja dengan motivasi pribadi.

Ada yang berharap dapat memanfaatkan dana pemekaran yang biasanya disiapkan oleh

kabupaten/provinsi induk dalam jumlah yang cukup besar.

Mungkin juga motivasi itu muncul dengan harapan setelah terjadi pemekaran, ada

kesempatan untuk mendapatkan salah satu jabatan yang cukup banyak muncul setelah

terbentuk kabupaten/provinsi baru. Akan ada “puluhan” kursi legislatif. Ada kesempatan

yang terbuka untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Bagi mereka yang berstatus

PNS (Pegawai Negeri Sipil) akan ada kesempatan untuk menduduki berbagai jabatan di

birokrasi. Ada puluhan jabatan kepala SKPD (kepala dinas atau kepala bagian/biro). Apalagi

jika status sebagai putra daerah juga diperhitungkan.

Dalam kondisi dan motivasi “yang seperti ini’ maka jangan heran jika elemen-elemen

masyarakat dalam proses pemekaran tersebut sangat rawan bergesekan. Sesama mereka saja

terkadang tidak kompak karena ingin masuk dalam kategori paling berjasa. Terkadang dalam

perjalanannya muncul elemen-elemen masyarakat baru yang terbentuk belakangan yang

mendeklarasikan suatu organisasi dadakan atas nama pemekaran daerahnya.

Kedua, tahap menunggu persetujuan pemekaran oleh daerah induk (kabupaten/provinsi

induk). Tahapan ini cukup potensial memunculkan kekerasan apabila tidak diantisipasi sedari

awal. Kerawanan itu muncul karena: a) adanya kecurigaan bahwa kepala daerah induk

mempersulit pemekaran. Kepala daerah dicurigai tidak setuju dengan pemekaran karena

pembentukan daerah baru dinilai menggrogoti/mengurangi wilayah kekuasaannya. Tuduhan

ini semakin serius apabila kepala daerah ternyata bukan berasal dari etnis wilayah yang

dimekarkan (bukan putra daerah). b) adanya kecurigaan bahwa daerah induk enggan

melepaskan daerah pemekaran karena memiliki sumber daya alam yang potensial.

DPRD (provinsi atau kabupaten/kota) terkadang menjadi sasaran pula pada tahapan

menunggu pengesahan dari daerah induk. Apalagi ada provokasi bahwa DPRD adalah

lembaga yang menahan proses persetujuan oleh DPRD setempat. Kecurigaan ini terkadang

menimbulkan demonstrasi besar-besaran dengan maksud memberikan tekanan kepada para

anggota DPRD agar mensahkan wilayah pemekaran yang diusulkan tersebut. Tidak jarang

demonstrasi anarkis yang juga meminta korban. Sebagai contoh ketua DPRD Sumatera Utara

Abdul Aziz dianiaya dan meninggal dunia setelah demonstrasi pemekaran Tapanuli di

gedung DPRD Sumatera Utara.

Tentu saja masa tunggu pengesahan oleh DPR-RI rawan pula kekerasan. Seringkali

selama masa tunggu diterbitkannya persetujuan pemekaran oleh DPR-RI sempat berkembang

isu-isu sensitif yang dapat menyulut emosi masyarakat di daerah pemekaran. Tidak jarang

dalam situasi tersebut melahirkan demonstrasi yang rawan bentrok dan kerusuhan.

Ketiga, tahap menunggu persetujuan pemekaran dari Kementerian Dalam Negeri.

Tahapan menunggu keluarnya Permendagri yang menyetujui pembentukan daerah otonomi

baru. Para provokator terkadang memanfaatkan masa tunggu ini yang juga rawan demonstrasi

dan kerusuhan. Apalagi jika para provokator berhasil menyebar luaskan isu yang jauh dari

kebenaran tetapi meyakinkan untuk memprovokasi masyarakat. Di Sumatera Selatan,

demonstrasi pemekaran kabupaten Musi Rawas Utara yang menelan empat korban jiwa, juga

diakibatkan lamanya masa tunggu pengesahan oleh DPR-RI dan Mendagri tersebut.

B. Kasus-kasus Kekerasan Dalam Pemekaran Daerah

1. Pemekaran Provinsi Tapanuli

KETUA DPRD TEWAS Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat (berpeci) ketika dievakuasi, menyusul kekerasan dalam aksi demo pembentukan Provinsi Tapanuli di Gedung DPRD Sumut, Selasa (3/2/09). Ketua DPRD Sumut akhirnya meninggal

dunia setelah dilarikan ke Rumah Sakit Gleni Internasional Medan.

Provinsi Tapanuli merupakan rencana pemekaran Provinsi Sumatera Utara, terletak

pada bagian Barat kawasan Sumatera Utara saat ini. Kabupaten/kota yang bergabung ke

dalam provinsi ini meliputi :

1. Kota Sibolga (ibu kota)

2. Kabupaten Tapanuli Tengah

3. Kabupaten Tapanuli Utara

4. Kabupaten Samosir

5. Kabupaten Toba Samosir

6. Kabupaten Humbang Hasundutan

Demo pemekaran Provinsi Tapanuli di DPRD Sumatera Utara berlangsung rusuh.

Massa yang berjumlah ribuan menyerbu gedung Dewan, pagar pembatas gedung yang biasa

digunakan celah antara gedung dengan tempat aksi demo roboh.

Massa dengan leluasa masuk ke gedung Dewan. Sebagian dan menyerbu ruang Ketua

Dewan Abdul Wahab Dalimunte. Massa yang lain menggedor-gedor kaca. Polisi yang

berjaga-jaga tak berkutik. Massa memaksa Ketua Dewan Abdul Wahab Dalimunte

menandatangani rekomendasi pemekaran Provinsi Tapanuli. Tuntutan massa akhirnya

dikabulkan pimpinan Dewan.

G.M. Candra Panggabean, Ketua Umum Panitia Pemekaran Provinsi Tapanuli,

mengatakan sejak 2002 masyarakat menginginkan Tapanuli menjadi provinsi. "Kami ingin

lepas dari Sumatera Utara," ucap Candra Panggabean yang juga tercatat sebagai anggota

DPRD Sumatera Utara.

Candra mengatakan, kalau ada sedikit kerusuhan itu implementasi rakyat ingin

ketemu dengan wakilnya. Sementara itu, pihak kepolisian tidak bersedia dikonfirmasi.

Komisaris Suprayitno, penanggung jawab keamanan luar gedung DPRD Sumatera

Utara menghilang. Sedangkan Komisaris Iwan mengatakan, dirinya hanya bertanggung

jawab dibagian gedung Dewan. Berdasarkan pengamatan Tempo, kedatangan dan jumlah

massa tidak diantisipasi pihak kepolisian.14

Proses ini berujung pada sebuah peristiwa tragis 3 Februari 2009. Sejarah pun

mencatat proses pemekaran di Sumatera Utara itu sebagai salah satu contoh pemekaran

paling tragis.

14 Tempo.Com, Demo Tuntutan Pemekaran Tapanuli Rusuh, Selasa,, 24 APRIL 2007, AKSES, 20 AGUSTUS 2013, JAM 12:10

Pada 3 Februari itu, ribuan pendukung provinsi Tapanuli berunjuk rasa penuh semangat

di gedung DPRD Sumatera Utara. Tuntutan mereka satu: meminta DPRD segera memberikan

rekomendasi. Ini adalah persyaratan terakhir yang diperlukan untuk meneruskan

pembentukan provinsi Tapanuli.

Tapi demonstrasi itu ricuh. Ketua DPRD Sumatera Utara Aziz Angkat dikeroyok massa

sampai tewas. Upaya pemekaran seperti terhantam badai. Sebanyak 16 pelaku demonstrasi

dan orang-orang di baliknya diseret ke pengadilan satu per satu. Chandra termasuk di

dalamnya karena dituding sebagai otak. Chandra, yang bekas anggota DPRD Sumatera Utara,

dihukum delapan tahun penjara.

Sejak saat itu, gaung provinsi Tapanuli seperti mereda. Tapi Chandra mengatakan

upaya mengusulkan pemekaran tak serta- merta berhenti. “Desakan dari masyarakat masih

kuat,”katanya. Menurut Chandra, proses pemekaran tinggal selangkah lagi karena seluruh

persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah 129 Tahun 2000 dan Peraturan

Pemerintah Nomor 078 Tahun 2007 sudah dipenuhi. Satu-satunya yang tersisa adalah

rekomendasi DPRD Sumatera Utara.

Chandra menuturkan sederet alasan Tapanuli harus tumbuh sebagai provinsi sendiri.

Tapanuli, kata dia, akan terus menjadi daerah tertinggal bila tak dimekarkan. Padahal, pada

masa kolonial, Tapanuli termasuk wilayah residen. “Tapanuli adalah satu-satunya residen

yang belum menjadi provinsi,” Chandra menambahkan.

Massa juga menuntut ketua DPRD Sumatera Utara memerintahkan anggota Dewan

hadir dalam sidang besok. Namun, permintaan itu tak disanggupi Aziz. Alasannya, keputusan

tersebut tergantung fraksi.

Massa tak menerima alasan itu. Mereka kemudian meninju muka Aziz secara bertubi-

tubi. Aziz diseret sejauh 25 menter sambil dipukuli dan diinjak-injak. Aksi ini berlangsung

sekitar sepuluh menit. Akibatnya, wajah dan mulutnya mengeluarkan darah dan tubuhnya

membiru di sejumlah tempat.

Massa semakin beringas karena polisi tak segera bereaksi melihat Aziz ayng dikeroyok.

Dalam aksi itu sekitar 250 polisi berjaga di sekitar kejadian. Wakil Kepala Kepolisian Kota

Besar Medan ikut mengamankan jalannya aksi tersebut.

Saat itu Aziz terkapar. Massa dan polisi kemudian membopongnya ke dalam truk

pengendali massa milik kepolisian. Ia dibawa ke rumah sakit Gleneagles di Medan. Aziz

sempat dirawat, namun sekitar pukul 13.00 WIB nyawanya tak tertolong (meninggal). 2. Pemekaran Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) Sumatera Selatan

Empat orang tewas dalam unjuk rasa menuntut pemekaran Musi Rawas Utara

(Muratara), Sumatera Selatan, pada Senin malam (29/4). Kepala Divisi Humas Mabes Polri,

Irjen Suhardi Alius mengungkapkan, kejadian berawal saat 500 pengunjuk rasa memblokir

Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Muara Rupit Simpang Empat, Karang Dampu, Musi Rawas

menuntut pemekaran Muratara.

"Massa memblokir total Jalinsum dengan mendirikan tenda-tenda di perempatan

Kelurahan Muara Rupit, Kecamatan Rupit, namun dihimbau Kapolres Musi Rawas AKBP

Barly Ramadani agar tidak memblokir jalan," kata Suhardi.

Dijelaskannya, Kapolres dan Sarkowi selaku Ketua Presidium Pemekaran Kabupaten

Muratara mendatangi Redy selaku koordinator lapangan unjuk rasa, meminta pengunjuk rasa

tidak menutup Jalinsum, namun ditolak Redy. Untuk menghadapi upaya pembubaran polisi,

Redy bahkan meminta massa untuk menyiapkan diri dengan senjata api rakitan jenis kecepek

dan golok.

Melihat situasi tersebut, Kabag Hukum Pemkab Musi Rawas, Rahman dan Kabag

Linmas, Mita Joni, yang diutus Bupati Musi Rawas, lalu menemui pengunjuk rasa dan

melakukan negosiasi serta menjelaskan bahwa Muratara setuju untuk dimekarkan. Ketika

Kapolres berusaha menenangkan massa terjadi aksi pelemparan batu dari arah massa

pengunjuk rasa ke aparat kepolisian.

"Hal itu memicu bentrokan antara massa dengan pihak kepolisian dan terdengar suara

letusan senjata api, yang diperkirakan kecepek, dari arah kerumunan massa kemudian dibalas

oleh petugas Dalmas," ujar Suhardi.

Massa semakin beringas dan melakukan perusakan dan pembakaran Mapolsek Muara

Rupit. Hingga dinihari pukul 01.30 WIB, massa masih berkumpul di RS Muara Rupit dan

melakukan pemblokiran di Jalinsum.

Korban tewas akibat bentrokan tersebut, ada empat yaitu Padillah, 45, Nikson, 20,

Suharto, 18 dan Rinto.

EMPAT ORANG TEWAS Aksi demonstrasi menuntut pemekaran Kabupaten Musi Rawas Utara,Kecamatan Muara Rupit, Kabupaten Musi Rawas

Provinsi Sumatera Selatan, Senin 29 April 2013 pagi hingga malam, berakhir bentrok antara Polri dan pendemo. Akibatnya Empat warga tewas, puluhan warga mengalami luka tembak dua kantor Polsek dibakar.

C. Pengetatan Pemekaran Wilayah

Idealnya, pemekaran wilayah bertujuan memperpendek rentang kendali pelayanan

kepada masyarakat. Melalui cara ini diharapkan agar ada percepatan pencapaian

kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, pemekaran wilayah yang marak di era otonomi

daerah saat ini tidak selamanya berhasil mencapai tujuan tersebut. Konsep pemekaran

tersebut seringkali ternodai oleh perebutan kepentingan antara pihak-pihak tertentu yang

berdampak pada konflik di masyarakat.

Antuasiasme berlebihan dari masyarakat juga bersinggungan dengan kebijakan

Kementerian Dalam Negeri yang menghentian sementara (moratorium) pemekaran wilayah

ini. Akibatnya konflik yang tak jarang memakan korban pun terjadi di beberapa daerah.

Seperti pada 2009 silam, Ketua DPRD Provinsi Sumut Abdul Azis Angkat meninggal

dunia saat masyarakat pro pemekaran provinsi Tapanuli merangsek masuk ke gedung DPR.

Atau yang terbaru, sebanyak empat orang tewas dan 10 anggota polisi luka-luka saat insiden

Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Atas dasar itu seharusnya persiapan dan penilaian untuk pemberian izin dari pemerintah

harus sangat matang. Persoalan diterima atau ditolaknya usulan pengembangan wilayah bisa

karena soal administrasi persyaratan yang belum memenuhi persyaratan, tapi bisa jadi juga

persoalan pengaruh politik.

Selain itu, provinsi dan kabupaten yang sudah ada saat ini juga sangat penting untuk

berlomba-lomba menjadi daerah yang memiliki tata kelola pemerintahan yang baik yang

dapat dicontoh oleh daerah-daerah baru hasil pemekaran.

Daerah yang berhasil mengelola wilayahnya berdasarkan asas-asas pemerintahan yang

baik, tata kelola pemerintahan yang baik sangat mungkin memberikan kesejahteraan kepada

warganya karena keberhasilan pembangunan yang dicapainya. Dengan adanya kemajuan

daerah dan masyarakat makin sejahtera, permintaan pemekaran wilayah yang anarkistis, bisa

jadi terminimalisir.

Pemekaran daerah, terutama untuk daerah-daerah diluar pulau Jawa masih perlu

dimekakrkan baik karena pertimbangan geografis maupun pertimbangan percepatan

pembangunan. Namun demikian, apabila suatu daerah akan dimekarkan, maka ada beberapa

hal yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, pengetatan persyaratan pemekaran dan pengaturan sanksi bila terjadi

manipulasi aspirasi dan data. Hasrat yang tinggi untuk memekarkan daerahnya, terkadang

daerah menggunakan berbagai cara yang bersifat “menghalalkan segala cara” termasuk

menampilkan data yang sepertinya sempurna dan lengkap. Oleh karena itu pihak-pihak yang

memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian kelayakan usulan pemekaran wilayah harus

memastikan benar keaslian, akurasi dan kepastian data yang disampaikan. Jangan sampai

terjadi data yang disampaikan sebenarnya tidak sesuai dengan siatuasi sesungguhnya di

lapangan. Apabila ini terjadi, termasuk misalnya persoalan batas wilayah, sangat mungkin

terjadi sengketa perbatasan dikemudian hari.

Selain itu, harus ada suatu mekanisme penilaian bagi daerah-daerah yang baru

dimekarkan. Sebaiknya dilakukan masa percobaan untuk waktu tertentu bagi wilayah

pemekaran untuk dilakukan penilain. Pemerintah tidak segan-segan membatalkan pemekaran

apabila ternyata dengan tolok ukur yang jelas daerah yang baru dimekarkan tidak mampu

mencapai target sebagaimana yang dipersyaratkan tersebut.

Kedua, Gubernur lebih difungsikan lagi dalam dalam pembahasan pengembangan

wilayah (penghapusan, pemekaran atau penggabungan). Bukan berarti selama ini Gubernur

sama sekali tidak dilibatkan, namun di era otonomi daerah sikap respek daerah

kabupaten/kota kepada Gubernur memang terkesan menurun. Apalagi dalam soal pemekaran

wilayah (pembentukan daerah otonomi baru) seakan-akan sepanjang masyarakat

menghendaki, persyaratan formal (seperti jumlah kecamatan) terpenuhi dan mendapat

dukungan dari DPRD setempat maka tidak ada pihak lain yang dapat/ boleh menghalangi

upaya pemekaran wilayah tersebut.

Ketiga, pemerintah pusat harus memiliki mekanisme yang lebih baik dalam menilai

kecocokan suatu wilayah untuk dimekarkan. Harus ada tolok ukur yang jelas dan objektif

untuk menentukan apakah suatu wilayah memang pantas untuk dimekarkan. Upaya ini

termasuk juga dengan cara merevitalisasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)

dengan lebih banyak diisi oleh pakar yang kredibel agar bisa melakukan evaluasi

pengembangan wilayah secara baik.

Keempat, lembaga perwakilan rakyat (dalam hal ini Dewan Perwakilan Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat) harus berdiri sejajar dalam pembahasan apakah suatu wilayah

memang tepat untuk dimekarkan. Anggota DPD seharusnya lebih berperan dan lebih

berpeluang untuk menilai secara objektif terhadap suatu wilayah yang mengusulkan diri

untuk dimekarkan. Namun harus juga dihindari bahwa adanyanya unsur politik yang kental

dalam pemberian dukungan/penolakan terhadap pemekaran suatu daerah.

DAFTAR BACAAN

Amzulian Rifai, Pengelolaan Pertambangan Di Era Otonomi Setengah Hati, Makalah pada Forum Diskusi Ilmiah Hukum Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Tanggal 22 Juli 2008

______,Beberapa Permasalahan Hukum di Daerah Pada Era Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNSRI, 6 September 2005.

______,Sengketa Asset Karena Pembentukan Daerah Baru, Penerbit UNSRI, Palembang, 2004.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah

Kompas, MK Batalkan Hasil Pilkada Bengkulu Selatan,Jum’at,9 Januari 2009,hal 5.

Sriwijaya Post, “OI Andalkan Peta Belanda ME Ungkapkan Cerita Puyang”, Kamis, 8 Januari 2009, hal 1.

_______, Warga Kayuara Masih Trauma,” Jum’at, 9 Januari 2009, hal 1

Sumatera Ekspres, Gubernur Deadline Dua Minggu, Kamis, 8 Januari 2009, hal 11. _______, “10 Januari Cek Perbatasan”, Jum’at, 9 Januari 2009, hal 27. Survei Lembaga Survey Indonesia : Otonomi Daerah Dinilai Gagal.

http://www.lsi.or.id/liputan/237/survei-lsi-otonomi-daerah-dinilai-gagal, akses 09 Januari 2008 jam 06:05

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun 1967