KATA PENGANTAR - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/3766/2/Isi.pdfprovinsi baru, kabupaten dan...
-
Upload
phungnguyet -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
Transcript of KATA PENGANTAR - eprints.unsri.ac.ideprints.unsri.ac.id/3766/2/Isi.pdfprovinsi baru, kabupaten dan...
KATA PENGANTAR
Pemekaran wilayah sebenarnya antara lain bertujuan untuk memperpendek rentang
kendali pemerintahan agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Prinsipnya pemerintah melayani kepentingan masyarakat dalam rangka mencapai
kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri negara ini.
Maraknya pemekaran wilayah sebagai keberhasilan gerakan reformasi yang
melahirkan otonomi daerah dengan semangat pemberdayaan masyarakat di daerah.
Akibatnya banyak daerah yang ingin membentuk daerah otonomi baru. Pembentukan
provinsi baru, kabupaten dan kota baru terlepas dari daerah induknya.
Namun demikian tidak semua upaya pemekaran daerah berjalan dengan baik tanpa
menimbulkan gejolak. Tahapan atau proses pemekaran daerah terkadang justru menimbulkan
kerusuhan yang tidak jarang menimbulkan korban jiwa. Di tahun 2009, misalnya, ketua
DPRD Provinsi Sumatera Utara meninggal dunia akibat amuk massa yang berkeras
membentuk provinsi baru Tapanuli yang terpisah dari provinsi Sumatera Utara.
Tidak kalah hebohnya juga adalah pada tahun 2013 pemekaran kabupaten Musi Rawas
Utara di Sumatera Selatan yang menelan setidak-tidaknya empat korban jiwa. Empat nyawa
ini melayang akibat bentrok dengan aparat keamanan yang berusaha mencegah pemblokiran
jalan lintas Sumatera perbatasan provinsi Sumatera Selatan dengan Jambi. Kerusuhan di
Sumatera Utara dan di kabupaten Musi Rawas ini hanya sebagian contoh saja betapa tahapan
pemekaran daerah seringkali menimbulkan kerusuhan yang menelan korban jiwa. Pemekaran
wilayah terkadang diboncengi pula kepentingan politik yang menambah kompleksitas
persoalan.
Buku berjudul Sengketa Akibat Pemekaran Daerah ini merupakan bahan bacaan
terbatas bagi mahasiwa Fakultas Hukum yang mempelajari ketatanegaraan dalam arti luas
dan khususnya terkait dengan Otonomi Daerah. Saya mengakui bahwa sebagian atau pada
bagian-bagian tertentu terdapat kutipan-kutipan yang semata-mata bertujuan memperkaya
bahan bacaan mahasiswa, tidak bertujuan komersial.
Semoga bahan bacaan ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan siapa
saja yang memerlukan bahan bacaan yang terkait dengan pemekaran daerah. Terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penerbitan buku ini.
Palembang, 2 Desember 2013
Prof. Amzulian Rifai, SH.LLM.Ph.D
BAB I
PENDAHULUAN
Krisis ekonomi global terjadi pada tahun 1997 yang berdampak pada perekonomian
di seluruh dunia termasuk Indonesia. Di Indonesia, krisis global tersebut tidak hanya
menimbulkan dampak pada bidang ekonomi, namun juga memiliki akibat yang lebih luas
termasuk di bidang politik. Muncul istilah krisis multi dimensi, untuk menggambarkan bahwa
krisis tersebut bukan hanya krisis ekonomi semata.
Sepanjang tahun 1997 sampai tahun 1998 terjadi gelombang protes besar-
besaranterhadap sistem pemerintahan Orde Baru yang bersifat sangat sentralistik, yang
padaakhirnya membuat sistem pemerintahan Orde Baru harus mengakhiri kekuasaan
yangtelah dijalani selama 32 tahun.
Jatuhnya Orde Baru melahirkan Era Reformasi. Era reformasi yang dimulai padatahun
1999 mengubah paradigma desentralisasi administrastif yang dianut Orde Lama(1945-1965)
dan Orde Baru (1965-1998) ke desentralisasi politik (Suyanto, 2002). PadaEra Reformasi ini
lahirlah Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah (UU. Otonomi
Daerah) dan UU. No.25 tentang Perimbangan Keuangan Pusatdan Daerah yang keduanya
merupakan kebijakan desentralisasi di bidang politik,administrasi dan fiskal.
Lahirnya dua paket undang-undang tersebut menandaidimulainya Era Otonomi Daerah
di Indonesia.Sejak berlakunya UU.No.22 tahun 1999, daerah mempunyai kewenangan
dan peluang yang relatif lebih luas dalam mengelola daerahnya masing-
masing. Pada UU No.22 tahun 1999 banyak kewenangan yang diberikan ke daerah kecuali
bidang-bidang: politik luar negeri, fiskal dan moneter, pertahanan,
hukum dan keagamaan yang masihtetap menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Adanya pelimpahan wewenang yang tinggikepada daerah untuk mengelola wilayahnya
secara mandiri melalui otonomi daerah inimenciptakan satu tantangan sekaligus peluang bagi
pemerintah daerah.Salah satu fakta yang kemudian merebak pasca kebijakan otonomi daerah
diIndonesia adalah fenomena pemekaran daerah. Dengan alasan memanfaatkan peluanguntuk
mengelola daerah secara mandiri, maka hal ini
memicu terjadinyapemekarandi berbagai wilayah di Indonesia, sehingga fenomena yang men
yertai pelaksanaanotonomi daerah sejak tahun 2000 adalah munculnya daerah-daerah baru
hasil pemekaran.
Ada dua faktor yang memunculkan pemekaran daerah yaitu faktor pendorong dan faktor
penarik. Berbagai faktor penyebab yang mendorong munculnya pemekaran yaitu: faktor
kesejarahan, ketimpangan pembangunan, luasnya rentang kendali
pelayanan publik dan tidak terakomodasinya representasi politik.
Sedangkan faktor penyebab pemekaran yang berupa penarik adalah limpahan fiskal
yang berasal dari APBN berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK).
Sebelum era otonomi daerah, di Indonesia hanya terdapat 27 provinsi dan 277
kabupaten/kotamadya. Setelah otonomi daerah, jumlah tersebut membengkak menjadi33
provinsi dan 483 kabupaten/kota dengan tingkat akselerasi pemekaran yang terhitungluar
biasa dan sebagaimana diduga sebelumnya, menciptakan ruang-ruang potensimasalah baru.
Pemekaran suatu daerah menjadi beberapa daerah otonom baru
berakibat berubahnyabatasbatas wilayah daerah baik secara administratif maupun geospasial
(keruangan), yang menjadi pemicu munculnya permasalahan serius.
Permasalahan tersebut antara lain adalah sengketa batas wilayah. Sekilas tidak ada
persoalan terkait batas-batas administratif dan geospasial ini karena di setiap Undang-Undang
yang memayungi pembentukan daerah otonom baru tersebut selalu dicantumkan batas-batas
antara daerah satu dengan daerah lain walaupun batas-batas tersebut sangat makro.
Akan tetapi kondisi di lapangan seringkali lebihrumit daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Dalam praktiknya, proses penegasan batas daerah tidak selalu dapat dilaksanakan
dengan lancar, bahkan ada kecenderungan jumlah sengketa batas antar daerah meningkat .
Sampai saat ini jumlah kasus sengketa perbatasan antar daerah mencakup 17
permasalahan yangmelibatkan 19 Provinsi dan 50 permasalahan yang melibatkan 81
Kabupaten/Kota. Dari penelitian awal yang dilakukannya, teridentifikasi beberapa penyebab
konflik terkait batas wilayah ini, antara lain:1)Yuridis: tidak jelasnya batas daerah dalam
Undang-Undang Pembentukan Daerah, 2)Ekonomi: Perebutan Sumber Daya (SDA, Kawasan
Niaga/Transmigrasi,Perkebunan)3) Kultural: Isu terpisahnya etnis atau sub etnis.4) Politik &
Demografi: Perebutan pemilih & perolehan suara bagi anggotaDPRD/KDH, 5) Sosial:
Munculnya kecemburuan sosial, riwayat konflik masa lalu, isu penduduk asli dan pendatang,
6) Pemerintahan: Jarak ke pusat pemerintahan, diskriminasi pelayanan, keinginan bergabung
ke daerah tetangga.
Pasca reformasi 1998, hubungan pusat dan daerah semakin banyak dibicarakan terkait
tuntutan desentralisasi. Daerah menggugat sistem pemerintahan yang selama ini sentralistik.
Untuk jangka waktu yang lama sebelum gerakan reformasi, daerah merasakan kewenangan
dan campur tangan pusat kepada daerah cukup tinggi. Banyak kebijakan-kebijakan daerah
terhalang karena keharusan untuk adanya izin dari pemerintah pusat. Tuntutan agar daerah
lebih otonom semakin tinggi. Tuntutan agar tercipta otonomi daerah.
Otonomi dapat diartikan sebagai pola pemerintahan sendiri. Sedangkan otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, definisi
otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan”.
Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur,
mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati
peraturan perundangan yang berlaku. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana
telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi. Dengan digunakannya asas
desentralisasi pada kabupaten dan kota, maka kedua daerah tersebut menjadi daerah otonom
penuh .
Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa otonomi daerah dapat diartikan
sebagai wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah baik kabupaten
maupun kota untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya
sendiri sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing dan mengacu kepada kepada
peraturan perundangan yang berlaku dan mengikatnya.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang
menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta,
prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat.
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan otonomi yang luas,
nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional dan berkeadilan, jauh dari
praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan
pemerintah pusat dan daerah.
Dengan demikian prinsip otonomi daerah adalah sebagai berikut:
a. Prinsip Otonomi Luas
Yang dimaksud otonomi luas adalah kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak,
dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah
pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki banyak ragam dan
jenisnya.
Di samping itu, daerah diberikan keleluasaan untuk menangani urusan pemerintahan
yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan
pemberian otonomi daerah itu sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah.
b. Prinsip Otonomi Nyata
Yang dimaksud prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban
untuk menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing.
c. Prinsip Otonomi yang Bertanggungjawab
Yang dimaksud dengan prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi yang
pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tiga Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan
publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama
pelaksanaan otonomi daerah yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik
dan kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber
daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah
peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan
terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan
demikian pada intinya tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan cara meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan
memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Kita tidak menutup mata terhadap berbagai sisi positif dari diberlakukannya otonomi
daerah1 di Indonesia. Dari sudut kekuasaan, diantara sisi positif itu adalah semakin
berkurangnya dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Sebelum otonomi
daerah, peran pemerintah pusat begitu besar terhadap berbagai sisi kehidupan masyarakat
didaerah. Pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif,investasi, perizinan
mengikutsertakan kekuasaan pemerintah pusat. Intervensi pemerintah pusat dapat
“menjadikan” atau “menggagalkan” suatu urusan.
Kini pemilihan kepala daerah tidak lagi dengan campur tangan pemerintah pusat yang
keterlaluan. Hanya sebatas kewajaran sebagai negara kesatuan. Pemerintah pusat sebatas
mengeluarkan Surat Keputusan terhadap seorang kepala daerah. Itupun tanpa ada proses
berbelit sepanjang masyarakat didaerah telah bersepakat siapa yang menjadi kepala
daerahnya. Ditariknya campur tangan pusat dalam pemilihan kepala daerah merupakan suatu
kemajuan yang “luar biasa” dalam upaya memberikan kedaulatan yang lebih besar kepada
masyarakat daerah.
Namun demikian bukan juga otonomi daerah tanpa masalah. Ada banyak permasalahan
yang muncul sebagai akibat diberlakukannya otonomi daerah. Sebagai negara yang
senantiasa bersedia melakukan evaluasi terhadap sistem yang diberlakukan,maka “deteksi
dini” terhadap permasalahan-permasalahan setelah satu dasawarsa otonomi daerah 1 Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2000 TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH
diharapkan membantu perbaikan sistem ini dimasa mendatang. Otonomi daerah juga
menimbulkan beberapa bentuk sengketa. Bahkan sengketa yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya.
Saya tidak se-ekstrim kelompok yang anti dengan otonomi daerah dengan berbagai
argumentasi yang dikemukakan. Bahkan temuan Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang
menyatakan bahwa otonomi daerah dinilai gagal. Menurut LSI berdasarkan hasil riset yang
dilakukan LSI di 33 provinsi, menunjukkan indikasi kebijakan otonomi telah gagal.
Mayoritas responden dalam survei itu berpendapat, keadaan daerah setelah berlaku otonomi
tidak dirasakan menjadi lebih baik.2
Namun demikian harus diakui ada berbagai permasalahan dari diterapkannya otonomi
daerah. Jika penerapan otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan porsi keuangan
yang lebih besar kepada daerah,maka tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Masih juga
terjadi ketimpangan antara pusat dan daerah. Pada tahun 2008 anggaran pusat dan daerah
adalah 70% berbanding 30%. Berubah sedikit menjadi 69% dan 31% ditahun 2009. Tetap
didominasi oleh pemerintah pusat.
Banyak permasalahan-permasalahan yang dapat diinventarisir sebagai upaya perbaikan
penerapan otonomi daerah dimasa mendatang. Agar tulisan ini tidak melebar “kemana-
mana,” saya membatasi permasalahan utama otonomi daerah yang diharapkan mampu
memberikan sumbangsih implementasinya kedepan. Masalah pokok tersebut adalah
munculnya beberapa sengketa. Sengketa yang mungkin selama ini tidak pernah terbayangkan
akan terjadi. Saya menjadikan dan membatasi pada empat sengketa yang dijadikan
permasalahan pokok dalam otonomi daerah.
Permasalahan pertama, otonomi daerah menyebabkan sengketa perbatasan didaerah.
Kedua, otonomi daerah menyebabkan sengketa didaerah akibat pemekaran daerah. Ketiga,
otonomi daerah menimbulkan sengketa pengelolaan pertambangan. Permasalahan ke-empat,
otonomi daerah menimbulkan sengketa pemilihan kepala daerah.
Saya harus menegaskan bahwa sekalipun makalah ini membahas empat sengketa akibat
diterapkannya otonomi daerah, bukan berarti otonomi daerah “gagal total.” Ada banyak sisi
positif dari penerapan otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang lebih
luas kepada daerah untuk berkembang secara lebih fkesibel.Bahkan “keuntungan lebih”
diperoleh oleh daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam.
2 Surve i LSI : Otonomi Daerah Dinila i Gagal . http://www.lsi.or.id/liputan/237/survei-lsi-otonomi-daerah-dinilai-gagal, akses 09 Januari 2008 jam 06:30
Permasalahan-permasalahan yang muncul tersebut, tidak menjadikan otonomi daerah
kehilangan pendukungnya. Hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia
(LSI) menunjukkan bahwa meski dianggap gagal menciptakan perubahan dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat, otonomi daerah masih tetap didukung oleh mayoritas
masyarakat Indonesia (73%), hanya 27% yang menyatakan menolak otonomi daerah.
Kondisi tersebut tergambar dalam grafik dibawah ini (Sumber LSI, 2008).
Grafik: Menerima atau Menolak Otonomi Daerah
1. Sengketa Perbatasan Di Daerah
Otonomi daerah ternyata melahirkan sengketa perbatasan wilayah. Suatu objek
sengketa yang selama ini tidak pernah terbayangkan. Otonomi daerah menjadikan batas-
batas wilayah menjadi penting. Selama ini tidak begitu penting batas antar wilayah di
Indonesia baik batas antar desa, antar kecamatan, antar kabupaten/kota bahkan batas antar
provinsi. Salah satu alasannya dikarenakan apabila terjadi sengketa batas wilayah dapat
diselesaikan dengan mudah oleh kepala pemerintahan yang lebih tinggi. Selain itu, selama
ini batas wilayah bukan persoalan yang terlalu penting dikarenakan daerah-daerah tidak
memiliki otonomi dalam mengelola wilayahnya sendiri. Era otonomi daerah merubah semua
itu.
Ada beberapa alasan mengapa soal batas wilayah menjadi penting. Alasan pertama, era
otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola
daerahnya. Keadaan ini menguntungkan bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya
alam yang melimpah. Faktanya, memang sebagian besar wilayah Indonesia sangat potensial
kekayaan alamnya. Kondisi demikian ini memunculkan ego kedaerahan sehingga batas
wilayah menjadi penting agar ada kepastian “siapa memiliki batas mana.”
Alasan kedua, muncul ego etnis sebagai “orang daerah.” Dalam batas-batas tertentu
muncul fanatisme “label” sebagai putra daerah. Kondisi ini juga memunculkan sikap
unwelcome terhadap para pendatang yang juga menjadi alasan untuk memastikan batas
wilayah yang kadang-kadang atas dasar etnic-based. Walaupun mungkin pembatasan
wilayah atas dasar etnic-based ini hanya minoritas saja kejadiannya, tetapi tetap harus
diwaspadai sebagai isu yang sangat rawan bagi kemungkinan konflik etnis di era otonomi
daerah.
Alasan berikutnya mengapa batas wilayah menjadi penting karena ada kemungkinan
terjadinya pemekaran wilayah. Apabila suatu desa berencana memekarkan diri menjadi suatu
kecamatan, maka batas desa menjadi penting. Kecamatan terkadang harus pula dimekarkan
karena kepentingan pembentukan kabupaten/kota. Batas wilayah antar kecamatan menjadi
penting. Ironisnya, sebagian besar wilayah di Indonesia dari desa hingga ke negara
umumnya tidak memiliki administrasi perbatasan yang baik. Wajar kalau kemudian diera
otonomi daerah dimana masing-masing daerah merasa “berdaulat” dan ingin “eksis,” batas-
batas wilayah menjadi isu yang penting.
Untuk menjadikan keadaan menjadi lebih rawan, ternyata masing-masing wilayah
memiliki batas wilayah yang tidak jelas. Tengok saja sengketa batas wilayah antara
kabupaten Muara Enim dengan kabupaten Ogan Ilir pada Januari 2009 di Sumsel, masing-
masing ngotot dengan batas wilayah versi masing-masing. Kabupaten Ogan Ilir, misalnya,
mengandalkan peta zaman penjajahan Belanda yang bertuliskan Arab tahun 1921.
Sedangkan kabupaten Muara Enim mengandalkan sejarah tapal batas menggunakan cerita
puyang.3 Kedua argumentasi yang sama-sama sulit disesuaikan dengan perubahan zaman
dan perubahan ketatanegaraan Indonesia.
Akibat pada satu sisi batas wilayah tidak jelas dan pada sisi lain ada keinginan untuk
menguasai wilayah tertentu, baik tingkat desa, kecamatan, atau kabupaten maka disinilah
sumber sengketa. Keadaan yang akan semakin worse apabila ternyata daerah yang
diperebutkan “konon khabarnya” kaya akan sumber daya alam. Di Sumatera Selatan
sengketa wilayah itu terjadi dibeberapa wilayah. Pada tahun 2007,misalnya, terjadi sengketa
perbatasan antara kabupaten OKU Induk dengan kabupaten Muara Enim. Diyakini bahwa 3 Sriwijaya Post, “OI Andalkan Peta Belanda ME Ungkapkan Cerita Puyang,” Kamis, 8 Januari 2009, hal 1. Baca juga, Sumatera Ekspres, “10 Januari Cek Perbatasan,” Jum’at, 9 Januari 2009, hal 27 dan Sriwijaya Post, Warga Kayuara Masih Trauma,” Jum’at, 9 Januari 2009, hal 1
wilayah yang disengketakan itu memang mengandung sumber minyak. Bahkan sengketa
batas wilayah antara kabupaten Ogan Ilir dengan kabupaten Muara Enim pada Januari 2009
juga terkait dengan kepemilikan perkebunana kelapa sawit.4
2. Sengketa di Daerah Akibat Pemekaran Wilayah
Otonomi daerah ternyata juga “meningkatkan selera” orang-orang didaerah untuk
melakukan pemekaran wilayah.5 Sejak 1999 wacana itu dikumandangkan, kini sudah terdapat
7 provinsi, 129 kabupaten, dan 29 kota baru hasil pemekaran. Pemekaran wilayah yang
memiliki efek domino dari berbagai sisi. Apabila suatu kabupaten dimekarkan, akan
berpengaruh terhadap jumlah kecamatan kabupaten yang ditinggalkan. Wilayah yang jumlah
kecamatannya “dikurangi” kemudian juga melakukan pemekaran untuk menambah jumlah
kecamatan yang terlanjur “diambil.”
4 Sekitar 175 warga Dusun III, desa Kayuara Batu Kecamatan Muara Belida, Muara Enim mengungsi ke desa Sungai Menang. Pengungsian itu diduga karena mereka diserang oleh warga desa Pulau Kabal, kecamatan Inderalaya Selatan, Ogan Ilir (OI). Sumatera Ekspres, Kamis, 8 Januari 2009, hal 11. 5 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2000 TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH Pasal 16 (1) Prosedur Pembentukan Daerah sebagai berikut: a) ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan; b) pembentukan Daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah; c) usul pembentukan Propinsi disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah Propinsi dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD; d) usul pembentukan Kabupaten/Kota disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan DPRD Propinsi, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD; e) dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; f) berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut; g) para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; h) berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; i) apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden; j) apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan. (2) Prosedur pemekaran Daerah sama dengan prosedur pembentukan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Efek domino juga terjadi pada penambahan berbagai fasilitas baik fasilitas perkantoran
maupun fasilitas kendaraan dinas dan perumahan. Penambahan pegawai sudah pasti terjadi.
Kabupaten yang baru dibentuk juga membutuhkan Polres, pengadilan negeri, kejaksaan
negeri atau perkantoran sejenis itu yang baru.
Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah, menyebutkan bahwa pemekaran suatu wilayah
harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Ada diantara daerah
pemekaran justru kemudian menjadi beban bagi daerah induk dikarenakan tingginya biaya
pemekaran.
Sekedar contoh pembentukan Kabupaten Empat Lawang di Sumatera Selatan (UU No.
1/2007). Kabupaten Lahat –sebagai kabupaten induk-- diminta memberikan hibah ‘sesuai
kesanggupan’. Kesanggupan itu ditentukan jumlahnya yakni Rp 5 miliar. Sementara, provinsi
induk Sumsel harus memberikan bantuan dana Rp10 miliar per tahun selama dua tahun
berturut-turut. Bandingkan dengan pembentukan Kabupaten Batu Bara di Sumatera Utara.
UU No. 5 Tahun 2007 mengharuskan Pemda Asahan memberikan hibah Rp7,5 miliar per
tahun, dan Pemda Sumatera Utara memberikan bantuan dana Rp5 miliar per tahun selama
dua tahun berturut-turut.
Belum lagi tercipta “lowongan” untuk menjadi anggota DPRD. Mungkin ada kursi
lowong antara 40 s.d 45 orang. Ada kesempatan mejadi ketua DPRD. Terbuka juga peluang
untuk menjadi kepala daerah. Itu sebabnya banyak daerah di Indonesia tetap berkeinginan
memekarkan wilayahnya. Jumlah daerah otonomi baru terus bertambah. Tengok saja
Undang-Undang yang disetujui bersama DPR dan Pemerintah selama ini. Pada tahun 2007
saja, 16 UU pertama yang dihasilkan justru mengatur pembentukan daerah otonomi baru
(lihat tabel).
Tabel 1
Pembentukan Daerah Otonomi Baru (s.d April 2007)
No.
UU
2007
Daerah Otonomi Baru yang Dibentuk
1 Kab. Empat Lawang, Sumatera Selatan 2 Kab. Nageleo, Nusa Tenggara Barat 3 Kab. Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur 4 Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara 5 Kab. Batu Bara, Sumatera Utara 6 Kab. Kayong Utara, Kalimantan Barat 7 Kab. Pidie Jaya, NAD 8 Kota Subulussalam, NA 9 Kab. Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara 10 Kab. Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara 11 Kab. Gorontalo Utara, Gorontalo 12 Kab. Bandung Barat, Jawa Barat 13 Kab. Konawe Utara 14 Kab. Buton Utara, Sulawesi Tenggara 15 Kab. Kep. Siau Tegulandang Biaro, Sulut 16 Kab. Sumba Barat Daya, NTT
Tabel diatas menunjukkan betapa tingginya minat daerah untuk memekarkan diri.
Sepanjang Januari-April 2007 saja terdapat 16 kabupaten/kotabaru di Indonesia. Patut diduga
bahwa jumlah tersebut terus bertambah sampai dengan akhir tahun 2007.
Sengketa di era otonomi daerah juga sebagai akibat terjadinya pemekaran wilayah.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pemekaran wilayah membawa efek domino
yang rentan menimbulkan sengketa. Paling tidak ada empat macam sengketa yang terjadi
akibat pemekaran wilayah. Ke-empat macam sengketa tersebut adalah: 1) sengketa asset6, 2)
penentuan ibukota wilayah pemekaran7, 3) penolakan pemekaran oleh kepala daerah8, 4)
penentuan batas wilayah9.
6 Persoalan asset seringkali muncul manakala kota yang baru terbentuk berlokasi diwilayah ibukota kabupaten induk (kedua daerah berhimpitan). Persoalan asset terjadi dikarenakan kabupaten induk tidak mempersiapkan sedari awal pada saat pengajuan RUU pembentukan daerah baru tersebut. Hasil studi yang saya lakukan bahwa dibeberapa daerah RUU diajukan tanpa melakukan persiapan yang baik melibatkan dua pihak pimpinan tertinggi dikedua pemerintahan yang akan terpisah tersebut. Amzulian Rifai, Beberapa Permasalahan Hukum di Daerah Pada Era Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar, 6 September 2005, hal 17. Baca juga Amzulian Rifai, Sengketa Asset Karena Pembentukan Daerah Baru, Penerbit UNSRI, Palembang, 2004. 7 Penentuan ibukota wilayah pemekaran juga terkadang menjadi sumber sengketa. Sebagian pihak menilai bahwa letak ibukota akan membawa dampak luas bagi kemajuan ekonomi suatu daerah karena berbagai fasilitas yang mungkin didirikan.
3. Sengketa Pengelolaan Pertambangan
Otonomi daerah juga berdampak pada manajemen pengelolaan pertambangan. Sebelum
otonomi daerah, izin pengelolaan pertambangan (KP) sepenuhnya menjadi kewenangan
pemerintah pusat. Pemerintah daerah “tidak bisa berbuat apa-apa” apabila para pemilik
kuasa pertambangan telah memiliki izin dari pemerintah pusat.
Dibeberapa daerah terjadi konflik yang cukup serius dalam soal pengelolaan
pertambangan. Konflik ini antara lain dikarenakan pemerintah tetap mempertahankan
kekuasaannya dibidang pertambangan.10 Padahal secara jelas sistem pemerintahan ini telah
berubah. Pola yang selama ini menggunakan istilah “pokoknya” tetap dipertahankan. Selama
ini sepanjang para pengusaha bidang pertambangan telah mengantongi izin pemerintah
(pusat) maka seakan-akan daerah tidak boleh menolak apalagi menentang para pengelola
pertambangan tersebut. Tidak soal bagaimana cara mendapatkan izinnya. Tidak juga masalah
apa akibat negatif bagi daerah karena aktivitas pertambangan tersebut. Akibatnya, sejak
dahulu hingga sekarang ini konflik pengelolaan pertambangan akan terus berlangsung
dikarenakan pemerintah pusat tidak merubah pola hubungan pusat dan daerah tersebut.
Secara teori terjadi desentralisasi, namun dalam praktek pemerintah tidak konsisten dengan
aturan yang telah dibuatnya sendiri. Lihat saja konflik-konflik pertambangan yang terjadi
dibanyak daerah.
Minimal ada empat faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik pertambangan.
Pertama, pemerintah pusat tidak menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 secara konsekuen menyangkut pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Saya berfaham bahwa di era otonomi daerah pemerintah pusat hanya
memiliki kewenangan enam urusan saja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Ayat (3)
diatas. Diluar ke-enam bidang tersebut menjadi urusan dan kewenangan pemerintah daerah.
Pemerintah pusat melaksanakan “otonomi setengah hati.” Undang-undang secara tegas
membagi urusan yang menjadi kewenangan masing-masing pemerintahan. Namun pemrintah
pusat tetap memegang kendali diluar ke-enam bidang yang ditentukan oleh Pasal 10 Ayat (3)
tersebut. Jika otonomi daerah dilaksanakan sepenuh hati seharusnya bidang-bidang:
8 Tidak semua kepala daerah dengan lapang dada menerima usulan pemekaran wilayahnya. Penolakan ini terjadi karena pemekaran wilayah dapat diartikan penggebosan luas wilayah kekuasaan. Biasanya proses pemekaran wilayah dapat berlangsung dengan lancar dan didukung sepenuhnya oleh kepala daerah yang telah menjalani masa jabatan untuk periode yang kedua. 9 Sebagaimana diuraikan secara lebih rinci pada bagian sebelumnya bahwa penentuan batas wilayah juga rawan sengketa dengan berbagai alasan yang menjadi penyebabnya. 10 Walaupun terjadi perubahan signifikan dalam pengelolaan pertambangan dengan diterbitkannya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun 1967.
pertambangan, pertanahan, kehutanan pengelolaannya juga diserahkan kepada daerah.
Kenyataannya, pengaturan bidang ini tetap oleh pemerintah pusat. Ironisnya permasalahan-
permasalahan tetap ada. Bahkan diantaranya sangat serius. Lihat saja “skandal alih fungsi
hutan, diantaranya alih fungsi hutan bakau untuk pelabuhan Tanjung Siapi-api (TAA).”
Seharusnya pemerintah pusat tidak boleh ragu-ragu menyerahkan pengelolaan bidang-bidang
tersebut kepada daerah. Tentu saja dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan pengaturan yang jelas.
Penyebab yang kedua terjadinya konflik pengelolaan pertambangan adalah akibat
kesalahan dalam pengelolaannya. Selama ini bahan tambang hanya dipandang sebagai
komoditas mengumpulkan devisa atau pendapatan asli daerah. Tidak mencengangkan, jika
para kepala pemerintah sibuk mengeluarkan ijin tambang agar bisa mengeruk bahan tambang
sebanyak mungkin, secepat mungkin, dan tiada henti. Pertimbangan terhadap kepentingan
fungsi-fungsi kawasan pun dilupakan. Banyak wilayah tambang menjadi bertumpang-tindih
dengan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air, hutan lindung, lahan pertanian,
perikanan, dan kawasan-kawasan lain yang sebenarnya menjadi tumpuan harapan masyarakat
lokal.
Pada tataran inilah kemudian terjadi konflik. Terjadi konflik ”multi arah.” Masyarakat
konflik dengan perusahaan. Tidak juga jarang terjadi masyarakat yang bersengketa di antara
sesama mereka sendiri. Bahkan di antara pemerintah sendiri, misalnya antar Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Departemen Kehutanan. Terjadi pula antara
pemerintah pusat dengan daerah.
Penyebab konflik pertambangan yang ketiga, pemerintah mengingkari hak
penduduk lokal dalam mengelola sumber daya alam mereka, termasuk dalam menentukan
pilihan ekonomi. Pengingkaran ini antara lain terlihat dengan jelas pada pasal 26 UU
Pertambangan No 11/ 1967:
”... apabila telah didapatkan izin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau
wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah
diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah
yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya".
Makna dari pasal ini berarti Jika terdapat perusahaan tambang masuk sambil
mengantongi izin dari pemerintah (pusat), maka penduduk lokal hanya bisa memilih:
menerima ganti rugi pelepasan tanah yang biasanya dilakukan sepihak, atau, dipindah paksa
karena menolak ganti rugi itu. Biasanya dalam proses ganti rugi selalu saja dengan uang
pengganti yang tidak layak.
Padahal, apabila diteliti lebih lanjut akan diketemukan jira tidak satupun tambang skala
besar yang mendapatkan persetujuan penduduk lokal sebelum mereka menambang. Kondisi
inilah yang menjadi penyebab suburnya konflik tanah di awal operasi tambang yang terjadi
hampir di semua lokasi pertambangan.
Bahkan terkadang kekerasan menjadi ujung dari konflik. Pembakaran camp di Dodo
Rinti misalnya, terjadi akibat frustasi warga yang sudah empat kali berunjuk rasa menolak
hutan tangkapan airnya menjadi lokasi tambang Newmont. Dan sepanjang sejarah republik
ini, jika berurusan dengan pertambangan, penduduk lokal seolah tak punya hak menolak dan
memilih model ekonomi yang berkelanjutan, seperti pertanian, kehutanan, pariwisata atau
perikanan.
Sedangkan penyebab ke-empat terjadinya konflik pengelolaan pertambangan baik
yang masuk kategori skala besar maupun kecil, dikarenakan daya rusak yang dahsyat bagi
lingkungan sekitar. Kerusakan lingkungan yang sulit untuk dipulihkan.
Biasanya didaerah dimana tambang tersebut beroperasi yang biasanya ditempat itu pula
masyarakat setempat hidup dengan bergantung kepada tanah dan kekayaan alam mereka,
seluruh mata rantai operasi tambang bisa menurunkan mutu, sampai lenyapnya, kehidupan
masyarakat. Mulai dari biofisik, sosial ekonomi, hingga politik tidak mungkin bebas dari
dampak operasi tambang, di tahapan manapun.
Kita kemudian menyaksikan kondisi yang menyesakkan dada dimana konflik-konflik
yang terjadi di dunia pertambangan jarang sekali mendapatkan penyelesaian yang lebih
memihak kepada masyarakat lokal. Jika kita menyimak data yang diperoleh dari Kelompok
Kerja Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Pokja PA-PSDA), pada
tahun 2002 saja tercatat sekitar 143 konflik pertambangan.
Dalam banyak konflik, pemerintah sepertinya tidak menemukan cara terbaik dan
berpihak kepada masyarakat lokal. Cara-cara yang digunakan tetap memihak kepada
pengusaha pertambangan. Diantara cara yang seringkali digunakan adalah pendekatan
keamanan, yang lebih suka saya sebut pendekatan teror. Pendekatan yang biasa mereka
gunakan untuk sekedar meredam protes rakyat terhadap perusahaan daripada menyelesaikan
akar masalah. Terkadang pemerintah tetap menggunakan aparat keamanan dalam meredam
konflik-konflik pertambangan. Cara yang bukan hanya tidak populer tetapi juga jauh dari
upaya mensejahterahkan masyarakat lokal.
Penyebab konflik yang kelima, ada perbedaan persepsi antara pemerintah pusat
dengan daerah. Pemerintah dan orang-orang didaerah beranggapan bahwa dengan otonomi
daerah maka pengelolaan pertambangan (juga) menjadi kewenangan daerah. Sedangkan
pemerintah pusat tetap mempertahankan kewenangan dibidang-bidang tertentu, termasuk di
bidang pertambangan. Perbedaan persepsi ini akan terus meningkat seiring dengan sentimen
kedaerahan yang terus pula meningkat. Peningkatan yang juga dipicu masalah ekonomi,
masalah lingkungan, masalah keterlibatan masyarakat lokal dalam aktivitas pertambangan.
Walaupun kondisi kedepan akan berubah secara signifikan (entah membaik atau memburuk)
dalam pengelolaan pertambangan dengan diterbitkannya Undang-Undang Pertambangan
Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun
1967.
4. Sengketa pemilihan kepala daerah
Sengketa ke-empat adalah sengketa yang diakibatkan oleh pemilihan kepala daerah.
Otonomi daerah merubah cara pemilihan kepala daerah yang sebelumnya oleh anggota
DPRD menjadi pemilihan secara langsung.11 Memang ada yang menilai “lebih demokratis”
tetapi tidak berarti zero problem. Malah menimbulkan sengketa Pilkada dibanyak daerah di
Indonesia. Baik sengketa hukum maupun sengketa antar pendukung yang tidak jarang
menciptakan kerusuhan.
Ada beberapa penyebab mengapa terjadinya sengketa pemilukada. Pertama, adanya
dugaan terjadi kecurangan. Diantara kandidat menilai telah terjadi kecurangan. Misalnya
terjadi penggelembungan suara. Ada pula kecurigaan ada unsur kesengajaan terjadinya
banyak pemilih yang tidak terdaftar. Apalagi ada claim bahwa pemilih yang tidak terdaftar
tersebut adalah pendukung kandidat kepala daerah yang kalah. Biasanya, orang yang paling
mungkin melakukan kecurangan serupa ini adalah kandidat incumbent. Dengan berbagai
kelebihan dan hak akses yang dimiliki. Lebih gawat lagi tensi ketegangannya apabila
kandidat sedang berkuasa yang berhasil terpilih.
Kedua, ketidaktegasan sikap KPU dan lemahnya peran panitia pengawas Pemilu. KPU
merupakan lembaga penentu terhadap kelangsungan pemilukada. Lembaga yang sangat
strategis karena dapat menjadikan seseorang sebagai kepala daerah atau wakil rakyat.
Sebaliknya, dapat pula menghentikan mimpi seseorang untuk ”jadi orang.” Oleh karena itu
keputusan KPU sangat menentukan. Soal asli tidaknya ijazah seorang kandidat. Tentang lolos
tidaknya seseorang untuk ikut dalam pemilukada. KPU pula yang menjadi lembaga final
untuk mengumumkan kepada publik soal siapa yang secara sah terpilih sebagai kepala
daerah. Tidak heran kalau kemudian para anggota KPU didekati dengan berbagai cara/rupa.
Ada saja diantara anggota KPU yang terpengaruh dan berprilaku menyimpang. Akibatnya 11 UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 (1) Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
tidak sedikit KPU yang mengalami public mistrust. KPU harus memiliki strategi jitu agar ada
kepercayaan dan keyakinan bahwa KPU berlaku netral.
Ketiga, ketidaksiapan kandidat menerima kekalahan. Salah satu indikasi bahwa
kandidat tidak siap menerima kekalahan terjadinya perlawanan pasca pemilukada.
Perlawanan itu mungkin lewat pengadilan atau juga melalui perlawanan fisik. Memang
dibanyak tempat upaya antisipatif itu dilakukan dengan adanya penandatangan dokumen
untuk siap kalah dan siap menang. Namun seringkali dokumen-dokumen yang sifatnya
morally binding tersebut tidak dapat dijadikan jaminan bahwa tidak akan ada ”ribut-ribut”
pasca pemilukada.
Ke-empat, berubahnya sikap hakim Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa
pemilukada. Selama ini MK hanya ”melayani” sengketa perhitungan suara, tidak
menyangkut proses pelaksanaan Pilkada. Misalnya terbukti terjadi kecurangan yang
sistematis seperti pada pemilukada Jawa Timur atau karena pilkada diikuti oleh salah satu
calon yang tidak berhak dan tidak memenuhi syarat seperti pada pemilihan kepala daerah
Bengkulu Selatan.12 Perubahan sikap para hakim MK ini justru akan ”meningkatkan minat”
orang-orang didaerah untuk bersengketa hasil pemilihan kepala daerah ke Mahkamah
Konstitusi.
Bahwa sesungguhnya otonomi daerah bertujuan memberikan hak, wewenang dan
kewajiban kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat. Kondisi ini diharapkan mampu menciptakan
kesejahteraan masyarakat didaerah. Daerah yang memiliki pemimpin yang amanah dan
menjalankan peraturan perundang-undangan, akan mampu membawa kearah kebaikan.
Otonomi daerah juga memunculkan berbagai permasalahan. Diantara permasalahan itu
munculnya berbagai sengketa. Diantara sengketa tersebut adalah sengketa perbatasan
wilayah, sengketa akibat pemekaran daerah, sengketa pengelolaan pertambangan, dan
sengketa pemilihan kepala daerah.
12 Kompas, MK Batalkan Hasil Pilkada Bengkulu Selatan, Jum’at, 9 Januari 2009, hal 5.
BAB II
Pro dan Kontra Pemekaran Daerah
Wajar jika muncul pro dan kontra terhadap pemekaran daerah otonomi baru (DOB).
Mereka yang pro karena menilai bahwa pembentukan daerah baru baik itu kota, kabupaten
atau provinsi mampu mempercepat laju pertumbuhan di wilayah tersebut. Pelayanan publik
juga dirasakan lebih cepat karena jarak ke ibukota kabupaten/ provinsi menjadi lebih dekat
dibandingkan belum dilakukannya pemekaran wilayah.
Namun tidak sedikit juga pihak-pihak yang kurang memberikan dukungan bahkan
menunjukkan sikap kontra terhadap pemekaran daerah. Kelompok ini menilai terkadang
motivasi pembentukan daerah baru bukan untuk kesejahteraan masyarakat tetapi lebih kepada
upaya memperbanyak peluang mendapatkan jabatan.
Ada beberapa hasil kajian yang mencoba mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan
apa yang terjadi di beberapa daerah hasil pemekaran tersebut. Ada bebera hasil studi yang
dapat dijadikan rujukan.
Bappenas pada, misalnya, pada 2005 telah melakukan Kajian Percepatan Pembangunan
Daerah Otonom Baru (DOB). Kajian ini secara khusus mempelajari permasalahan yang
terkait pembangunan daerah otonom baru dan sektor yang menjadi andalan dalam
pengembangan ekonomi di beberapa kabupaten. Penelitian oleh Bappenas ini berlangsung di
Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Utara), Kabupaten Sekadau (Kalimantan Barat), Kota
Tomohon (Sulawesi Utara), Kabupaten Sumbawa Barat (NTB) dan Kota Tasikmalaya (Jawa
Barat). Hasil kajian menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) meningkat, tapi
ketergantungan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) masih tetap tinggi. Selain itu, terjadi
pula peningkatan belanja pembangunan, meskipun proporsinya terhadap belanja rutin masih
kecil. Tidaklah mengherankan bila para responden menyatakan kualitas pelayanan
masyarakat belum meningkat. Hal ini ternyata disebabkan pemda DOB pada tahun-tahun
awal memprioritaskan pembenahan kelembagaan, infrastruktur kelembagaan, personil dan
keuangan daerahnya.
Lembaga Administrasi Negara (2005) juga melakukan Evaluasi Kinerja
Penyelenggaraan Otonomi Daerah untuk periode 1999-2003. Studi yang dilakukan di 136
kabupaten/kota ini menyimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat, khususnya dilihat dari
indikator ekonomi dan sosial secara umum, mengalami peningkatan. Namun demikian, tetap
terjadi kesenjangan antara wilayah Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur.
Salah satu input dalam evaluasi ini adalah indeks pembangunan manusia.
Menurut hasil evaluasi terhadap aspek pelayanan publik, khususnya infrastruktur dasar,
studi LAN (2005) menunjukkan bahwa rasio panjang jalan keseluruhan dengan luas wilayah
mengalami penurunan.
Sedangkan pada bidang kesehatan dan pendidikan terjadi peningkatan infrastruktur
yang cukup berarti. Kemudian, dalam hal demokrasi lokal yang dilihat dari penggunaan hak
pilih pada pemilu, angka partisipasi cukup tinggi. Meski studi ini tidak secara langsung
berkaitan dengan daerah pemekaran, secara umum daerah induk, daerah DOB dan daerah
yang tidak mekar menunjukkan kecenderungan yang hampir sama.
Pusat Litbang Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri (2005) melakukan penelitian
Efektivitas Pemekaran Wilayah di Era Otonomi Daerah di sembilan daerah otonom baru.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara umum tidak ada satupun daerah DOB yang bisa
dikelompokkan dalam kategori mampu, meski penataan berbagai aspek pemerintahan untuk
menunjang penyelenggaraan pemerintahan telah sesuai dengan pedoman yang ada.
Penyebabnya adalah pemerintahan DOB kurang mampu merumuskan dengan tepat
kewenangan ataupun urusan yang akan dilaksanakan agar sesuai dengan kondisi,
karakteristik daerah serta kebutuhan masyarakat.
Studi ini menemukan bahwa kelembagaan yang terbentuk belum sepenuhnya
disesuaikan dengan urusan yang telah ditetapkan sebagai urusan daerah. Beberapa masalah
timbul, seperti jumlah kelembagaan (SKPD) yang cenderung berlebihan, struktur organisasi
yang cenderung besar, serta belum memperhitungkan kriteria efektivitas dan efisiensi
kelembagaan yang baik. Di sektor keuangan daerah, hanya ada satu dari sembilan daerah
yang dikategorikan mampu mengelola keuangannya. Problem utamanya adalah rendahnya
kemampuan dalam menggali sumber-sumber penerimaan daerah, khususnya PAD.
Ditinjau dari aspek aparatur, hanya ada satu dari sembilan daerah yang dikategorikan
sangat mampu dalam pengelolaan pemerintahannya. Dilihat dari ketersediaan, kualifikasi
yang dimiliki, serta kesesuaian antara personil yang ada dan struktur yang tersedia. Secara
umum, DOB belum mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan di atas.13
Sikap pro dan kontra itu akan terus ada. Namun realitanya bahwa upaya untuk
melakukan pemekaran daerah berjalan seiring dengan regulasi pembentukan daerah otonom 13 Hasil kajian/ studi dikutip dari Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP), http://www.undp.or.id/pubs/docs/pemekaran_ID.pdf, akses, 11 Juli 2013 jam 09:24
baru yang dianggap lebih mudah daripada waktu sebelumnya. Sebenarnya, salah satu
pertimbangan kemudahan tersebut adalah untuk percepatan pertumbuhan demokrasi di
daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo PP Nomor
129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan
Penggabungan Daerah memang memberikan ruang yang lebih leluasa bagi terbentuknya
daerah otonom baru. Pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan: “Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain,
dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai
dengan perkembangan daerah”
Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, perihal pemekaran daerah diatur pada Pasal 46
ayat (3) dan (4), sebagai berikut: Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa
daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua
daerah atau lebih?. Pada ayat (4) disebutkan bahwa pemekaran dari satu daerah menjadi dua
daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai
batas maksimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan: “Pembentukan daerah sebagaimana
dimaksud pada pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan”
Secara yuridis, pembentukan daerah atau dalam hal ini pemekaran daerah tidak bisa
dilakukan secara serampangan, terbukti adanya berbagai persyaratan dan kriteria yang harus
dipenuhi dalam melakukan pemekaran.
Mengutip Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah yang meneliti berbagai faktor yang
melatarbelakangi pemekaran daerah, implikasi yang ditimbulkannya, dan kriteria-kriteria
yang dapat ditawarkan dalam melakukan pemekaran daerah di Indonesia.
Bahwa dalam penelitian tersebut metode yang digunakan dalam kajian ini bersifat
kualitatif dan pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam. Lokus kajian ini
adalah 14 (empat belas) Provinsi dan 28 (dua puluh delapan) kabupaten/kota, yaitu :
1. Provinsi Jawa Barat (Kota Banjar dan Kabupaten Ciamis)
2. Provinsi Banten (Kota Cilogon dan Kabupaten Serang)
3. Provinsi Riau (Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis)
4. Provinsi Kepulauan Riau (Kota Tanjung Pinang dan Kota Batam)
5. Provinsi Sumatera Utara (Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai)
6. Provinsi Lampung (Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Tanggamus)
7. Provinsi Bangka Belitung (Kabupaten Bangka dan Kabupaten Bangka Tengah)
8. Provinsi Sulawesi Utara (Kabupaten Minahasa Utara dan Kabupaten Minahasa)
9. Provinsi Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Konawe)
10. Provinsi Kalimantan Timur (Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kabupaten Kutai
Timur)
11. Provinsi Gorontalo (Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Gorontalo)
12. Provinsi Maluku Utara (Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan)
13. Provinsi Papua (Kabupaten Keerom dan Kabupaten Jayapura)
14. Provinsi Irian Jaya Barat (Kabupaten Sorong dan Kota Sorong)
Kajian ini telah memperoleh temuan-temuan lapangan yang menarik, di antaranya: 1. Alasan utama pemekaran daerah ternyata lebih didasarkan pada faktor emosional,
bukan rasional.
2. Implikasi pemekaran daerah, telah menambah beban anggaran pemerintahan negara.
3. Kriteria-kriteria yang digunakan untuk melakukan pemekaran telah mengacu pada PP
No. 129 Tahun 2000, tetapi pada kenyataannya daerah yang bersangkutan tidak
menunjukkan kemajuan (progress) sebagaimana yang diharapkan.
Fakta bahwa pemekaran daerah telah menjadi euforia di era otonomi daerah pasca
reformasi menjadi tidak terbantahkan. Sampai awal 2007, jumlah daerah otonom baru
sebanyak 7 provinsi dan 162 kabupaten/kota, sehingga total provinsi sebanyak 33 dan
kabupaten/kota sebanyak 473. Sebuah pertumbuhan pemerintahan daerah yang luar biasa,
terutama jika dibandingkan dengan masa Orde Baru.
Berdasarkan hasil kajian, terdapat alasan-alasan yang mendasari dilaksanakannya pemekaran
daerah adalah:
1. Alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dijadikan alasan
utama karena adanya kendala geografis, infrastruktur dan sarana perhubungan yang
minim, seperti terjadi pada pemekaran Provinsi Bangka Belitung (pemekaran dari
Provinsi Sumatera Selatan) dan Provinsi Irian Jaya Barat (pemekaran dari Provinsi
Papua) serta pemekaran Kabupaten Keerom (pemekaran dari Kabupaten Jayapura).
2. Alasan historis, pemekaran suatu daerah dilakukan karena alasan sejarah, yaitu
bahwa daerah hasil pemekaran memiliki nilai historis tertentu. Sebagai contoh:
Provinsi Maluku Utara sebelumnya pernah menjadi ibukota Irian Barat, dimana Raja
Ternate (Alm. Zainal Abidin Syah) dinobatkan sebagai Gubernur pertama. Disamping
itu di Pulau Movotai pada Perang Dunia II merupakan ajang penghalau udara
Amerika Serikat.
3. Alasan kultural atau budaya (etnis), dimana pemekaran daerah terjadi karena
menganggap adanya perbedaan budaya antara daerah yang bersangkutan dengan
daerah induknya. Sebagai contoh: Penduduk Bangka Belitung dengan penduduk
Sumatera Selatan, kemudian Provinsi Gorontalo dengan Sulawesi Utara, demikian
pula Kabupaten Minahasa Utara yang merasa berbeda budaya dengan Kabupaten
Minahasa.
4. Alasan ekonomi, dimana pemekaran daerah diharapkan dapat mempercepat
pembangunan di daerah. Kondisi seperti ini terutama terjadi di Indonesia Timur
seperti Papua (Keerom) dan Irian Jaya Barat (Kabupaten Sorong), dan pemekaran
yang terjadi di daerah lainnya seperti Kalimantan Timur (Kutai Timur), Sulawesi
Tenggara (Konawe Selatan), Sumatera Utara (Serdang Bedagai), dan Lampung
(Tanggamus).
5. Alasan anggaran, pemekaran daerah dilakukan untuk mendapatkan anggaran dari
pemerintah. Sebagaimana diketahui daerah yang dimekarkan akan mendapatkan
anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan mendapatkan dana dari pemerintah
pusat (DAU dan DAK).
6. Alasan keadilan , bahwa pemekaran dijadikan alasan untuk mendapatkan keadilan.
Artinya, pemekaran daerah diharapkan akan menciptakan keadilan dalam hal
pengisian jabatan pubik dan pemerataan pembangunan. Contoh: pemekaran Provinsi
Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dari sisi implikasi, Pembentukan daerah otonom baru telah menimbulkan berbagai
implikasi yang terjadi pada semua level pemerintahan, baik bagi pemerintahan daerah
maupun pemerintahan pusat. 1. Implikasi pemekaran daerah terhadap daerah, antara lain :
a. Pembentukan kelembagaan baru : Pemekaran daerah menimbulkan implikasi
bagi kelembagaan daerah, yang meliputi organisasi perangkat daerah dan
organisasi pusat di daerah. Sebagai konsekuensi logis pemekaran daerah, maka
terbentuk kelembagaan daerah yang meliputi organisasi perangkat daerah (Dinas
dan Lembaga Teknis Daerah), DPRD, dan BUMD.
b. Pola Hubungan Kerja di Daerah Pemekaran : Hubungan pemerintahan daerah
dengan lembaga lainnya akan dapat berjalan dengan baik jika kondisi internal
pemerintahan daerah tersebut telah berjalan baik dikarenakan pemerintahan
daerah telah mampu menyelesaikan sebagian besar persoalan yang dihadapinya.
Penyebab ketidakharmonisan hubungan tersebut antara mengenai proses
penyerahan P3D (penganggaran, peralatan, personel dan dokumen) yang tidak
tuntas, dan kewajiban-kewajiban lain yang harus diselesaikan oleh daerah induk
selama masa pembinaan serta persoalan batas wilayah.
c. Politik lokal : Pemekaran daerah berimplikasi terhadap dinamika politik di
daerah, bukan saja mengenai penentuan ibukota daerah otonom baru dan
penentuan batas wilayah, tetapi juga mengenai sumber-sumber kekuasaan dan
tarik-menarik kepentingan di antara elit politik di daerah otonom baru, baik
berkenaan dengan politik anggaran maupun proses demokratisasi di daerah.
d. Sumber daya manusia : Pemekaran secara nyata telah membawa implikasi bagi
dinamika sumber daya manusia di daerah otonom baru, baik itu mengenai
demeografinya maupun kualitas dan komposisinya. Hal ini dapat bernilai positif
jika itu ditunjukkan untuk meningkatkan kesejahteraan daerah, namun jika
terbentuknya daerah baru menimbulkan egosentris suatu masyarakat maka hal ini
tentunya sangat merugikan bagi daerah yang bersangkutan.
e. Pemberdayaan Ekonomi: Pemekaran daerah yang telah memperhitungkan
potensi dan kesiapan daerah serta dilakukan dengan mekanisme yang tepat, maka
pemekaran berimplikasi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik
di daerah tersebut.
f. Lingkungan Hidup : Pemekaran daerah selain membawa implikasi positif juga
dapat berdampak positif, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya alam.
Apabila tidak dikelola dengan baik, pemekaran daerah justru dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan akibat eksploitasi darerah yang berlebihan.
g. Kemiskinan : Selain meningkatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah
yang secara nyata mempunyai daya saing sebagai daerah otonom baru, ternyata
pemekaran daerah juga berpotensi menimbulkan kemiskinan atau dapat dikatakan
pemekaran daerah berpotensi menimbulkan terjadinya pemiskinan. Terbitnya
berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang berorientasi peningkatan PAD telah
memberatkan masyarakat dan pada tataran yang lebih luas telah menimbulkan
ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
2. Implikasi pemekaran daerah terhadap pemerintahan pusat, antara lain :
a. Dalam aspek kelembagaan pemerintahan pusat, implikasi yang terjadi adalah
penambahan jumlah kelembagaan vertikal di daerah.
b. Dalam aspek kewenangan, pemerintah pusat – yang menangani urusan Pemerintah
Pusat dan depertemen teknis – harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan
dengan penyerahan kewenangan tersebut.
c. Dalam aspek hubungan keuangan dengan pemerintah pusat, implikasi yang terjadi
adalah penambahan alokasi keuangan/anggaran untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam bentuk DAU maupun DAK.
Secara statistik keinginan daerah untuk membentuk DOB tidak pernah surut. Refleksi
dari tingginya animo membentuk daerah otonomi baru ini terlihat bahwa dalam kurun waktu
10 tahun--sejak 1999 hingga 2009--pemerintah telah membentuk 205 daerah otonomi baru.
A. Aspek Positif Pemekaran Daerah
Dalam setiap kebijakan atau keputusan yang diambil pasti ada sisi positif dan sisi
negatifnya. Begitu juga dengan penerapan sistem desentaralisasi ini, memiliki beberapa
kelemahan dan kelebihan. Secara terperinci mengenai dampak dampak positif dan negatif
dari desentarlisasi dapat di uraikan sebagai berikut :
a. Potensi Peningkatan Ekonomi
Pemekaran suatu wilayah membawa dampak positif dari segi ekonomi. Daerah-daerah
yang dimekarkan yang memiliki potensi ekonomi yang baik lebih berkesempatan untuk
melakukan pengembangan. Di Sumatera Selatan, misalnya, beberapa daerah memiliki
Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup menjanjikan. Namun dikarenakan sebelumnya harus
dibawah kendali pemerintahan yang memiliki tanggung jawab wilayah yang sangat luas,
menjadi penghambat bagi pengelolaan sumber daya alam yang ada secara maksimal.
Beberapa kabupaten di Kalimantan Timur seperti Kutai Karta Negara atau di Sumatera
Selatan seperti OKU Timur, Ogan Ilir, Banyuasin tentu belum mencapai kemajuan seperti
sekarang ini apabila tidak dilakukan pemekaran daerah.
b. Memperpendek Rentang kendali Pelayanan Publik
Salah satu aspek positif yang dirasakan oleh masyarakat sebagai dampak dari
pemekaran daerah adalah semakin pendeknya rentang kendali pelayanan publik oleh
pemerintah. Kejadian di beberapa daerah jika selama ini semua urusan harus memakan waktu
selama beberapa jam (bahkan beberapa hari bagi wilayah-wilayah terpencil) untuk mencapai
ibukota kabupaten karena faktor jarak atau kualitas jalan, pemekaran daerah “mendekatkan
ibukota kabupaten” kepada masyarakat sehingga berbagai urusan menjadi lebih mudah.
Untuk kasus Sumatera Selatan, misalnya, selama ini masyarakat di Inderalaya harus
bepergian ke kota Kayu Agung (berjarak sekitar .... Km) ketika harus berurusan ke kantor
Bupati atau dina-dinas terkait pemerintah kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Namun
setelah dilakukan pemekaran daerah, kabupaten OKI dibagi menjadi dua dengan dibentuknya
kabupaten Ogan Ilir maka faktor jarak itu teratasi. Penduduk Inderalaya tidak perlu lagi pegi
ke kota Kayu Agung karena kota Inderalaya itu sendiri berubah menjadi ibukota kabupaten
Ogan Ilir. Rentang pelayanan publik yang harus diberikan oleh pemerintah kabupaten
menjadi lebih dekat.
c. Percepatan Laju Pembangunan Infra Struktur di Daerah
Rendahnya kualitas dan kuantitas infra struktur menjadi salah satu kendala utama
dalam upaya memajukan daerah-daerah di Indonesia. Akses bagi masyarakat pedesaan untuk
mencapai ibukota kecamatan dan dari ibukota kecamatan menuju ibukota kabupaten juga
masih banyak menemui kendala. Ini terjadi karena tidak terdapat banyak alternatif jalan yang
dapat digunakan. Selain itu jikapun ada alternatif jalan maka kualitas jalan sangat jelek.
Bahkan di daerah-daerah tertentu jalan itu harus dilalui dengan menggunakan kendaraan-
kendaraan dengan kemampuan four wheel drive (4-WD) atau masyarakat kebanyakan sering
menggunakan istilah “mobil double”.
Namun dengan adanya pemekaran daerah, pembentukan kabupaten-kabupaten baru
terjadi percepatan pembangunan sarana dan prasana jalan. Beberapa ruas jalan baru dibuka
yang memberikan alternatif lebih bagi masyarakat untuk bepergian. Lalu lintas barang,
terutama hasil-hasil pertanian menjadi lebih mudah dipasarkan. Apalagi jika kepala daerah
pemekaran adalah sosok yang memiliki akses yang baik kepada pemerintah pusat atau
pemerintah provinsi. Akses ini memberikan kesempatan lebih untuk mendapatkan proyek-
proyek pembangunan infra struktur di daerahnya.
d. Peningkatan Kesempatan SDM Potensial di Daerah
Selama era sentralisasi sangat terasa ketergantungan daerah dengan sumber daya
manusia (SDM) yang berpusat di Jakarta. Dalam banyak hal daerah sangat tergantung kepada
arahan pemerintah pusat. Pusat kekuasaan di Jakarta sepertinya menjadi tolok ukur kualitas
SDM. SDM di daerah sepertinya tidak memiliki kemandirian. Sebenarnya keadaan ini
(ketidak mandirian SDM daerah) justru menyulitkan pemerintah pusat karena harus melayani
begitu banyak daerah dengan begitu banyak persoalan yang dihadapi.
Salah satu aspek positif manajemen pemerintah yang dikelola secara desentralisasi
dimana lebih memberikan kesempatan kepada daerah-daerah untuk menjalankan kebijakan
sendiri dan atas inisiatif sendiri pula. Memang pada tahap awal daerah-daerah kewalahan
untuk memenuhi kebutuhan SDM yang berkualitas.
Era otonomi daerah pula yang membuka peluang yang luas bagi SDM di daerah untuk
muncul, untuk berperan serta dalam berbagai bidang. Dalam bidang politik, misalnya,
kesempatan SDM terbuka luas untuk turut serta dalam perebutan jabatan kepala daerah. Di
era sentarlisasi kesempatan SDM daerah untuk berpartisipasi sangatlah rendah. Bahkan di
daerah-daerah tertentu kesempatan itu tertutup rapat. Pada masa itu dominasi untuk menjadi
kepala daerah berada di tangan pihak militer dan penguasa birokrasi seperti Bupati/Gubernur
yang sedang menjabat yang kebetulan pada era itu “mayoritas” kepala daerah adalah dari
kalangan angkatan bersenjata.
Era otonomi daerah membuka kesempatan bagi putra-putri daerah untuk mencalonkan
diri sebagai calon kepala daerah. Suatu kesempatan yang sangat langka ketika Indonesia
menerapkan sistem sentralisasi bagi daerah-daerahnya. Otonomi daerah membuat orang-
orang daerah terpaksa menambah kemampuan SDM-nya, ada upaya penguatan SDM daerah
dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada mereka untuk berkembang. Kondisi
terbuka ini juga memaksa “orang-orang daerah” untuk menambah kualitas dirinya yang pada
gilirannya menaikkan kualitas SDM daerah secara keseluruhan.
e. Pemberdayaan Masyarakat Daerah
Di era sentralisasi upaya pemberdayaan (empowering) masyarakat daerah relatif
rendah. Sepertinya fokus pemerintah pusat hanya kepada pengembangan masyarakat di pusat
atau daerah-daerah perkotaan saja. Sedangkan daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan
maka akan jauh pula dari sentuhan pemerintah pusat. Oleh karena itu tidak mengherankan
jika semakin kita masuk ke wilayah-wilayah di daerah maka akan semakin rendah pula
kualitas hidup masyarakatnya.
Era otonomi daerah memberikan kesempatan yang lebih luas bagi daerah untuk
memberdayakan masyarakatnya. Pemberdayaan itu dapat berupa antara lain pemberian
kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat di daerah untuk berkembang. Memang
muncul isu putra daerah dan non-putra daerah. Namun tetap saja era otonomi daerah
menjadikan pemberdayaan masyarakat daerah menjadi terbuka luas.
Pemberdayaan masyarakat daerah dapat juga dalam bentuk pemberian program-
program yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Era sentralisasi “tidak pernah”
pemerintah daerah berkesempatan mencanangkan program pendidikan gratis, misalnya. Di
era desentralisasi (otonomi daerah) cukup banyak pemerintah daerah yang menjadikan
program pendidikan gratis bagi warganya. Malah ada diantara pemerintah daerah yang
memberikan pendidikan gratis hingga ke tingkat perguruan tinggi.
Pemberdayaan masyarakat di era otonomi daerah juga berarti orang-orang di daerah
mendapatkan kesempatan yang sangat terbuka untuk menduduki berbagai jabatan birokrasi.
Selama ini adalah “mimpi indah” bagi masyarakat di daerah yang ingin memiliki jabatan
sebagai kepala daerah. Pada era sentralistik, jabatan kepala daerah umumnya (malah
sepertinya sudah given) untuk militer atau penguasa yang terkait dengan angkatan bersenjata.
Biasanya jabatan-jabatan ini, khususnya untuk Sumatera Selatan, tidak diduduki oleh orang-
orang yang berasal dari Sumatera Selatan. Salah satu berkah dari era otonomi daerah, ada
pemberdayaan masyarakat daerah.
B. Aspek Negatif Pemekaran Daerah
Tidak menutup kemungkinan adanya pro dan kontra terhadap suatu perubahan.
Otonomi daerah adalah suatu perubahan besar bagi sistem pemerintahan Indonesia yang
sebelumnya sangat sentralistik. Sikap kontra ini muncul karena menilai “banyak” juga sisi
negatif akibat dari pemekaran daerah.
Beberapa sisi negatif pemekaran daerah tersebut misalnya bahwa sebagian otonomi
daerah semata-mata untuk pembentukan daerah otonomi baru (DOB) yang tidak mampu
mengangkat kesejahteraan masyarakat, tidak mampu memperbaiki kondisi keuangan daerah,
dan tidak juga mampu memperbaiki kinerja daerah tersebut. Salah satu hasil penelitian
mengungkapkan beberapa dampak negatif pemekaran daerah.
1. Dampak Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Beberapa hasil evaluasi terhadap pemekaran daerah menunjukkan bahwa kebanyakan
daerah-daerah pemekaran secara umum memang tidak berada dalam kondisi awal yang lebih
baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Namun setelah lima tahun dimekarkan,
ternyata kondisi daerah otonom baru (DOB) juga secara umum masih tetap berada di bawah
kondisi daerah induk dan daerah kontrol.
Pertumbuhan ekonomi daerah otonom baru (DOB) lebih fluktuatif dibandingkan
dengan daerah induk yang relatif stabil dan terus meningkat. Memang pertumbuhan ekonomi
daerah pemekaran (gabungan DOB dan daerah induk) menjadi lebih tinggi dari daerah-
daerah kabupaten lainnya, namun masih lebih rendah dari daerah kontrol. Hal ini berarti,
walaupun daerah pemekaran telah melakukan upaya memperbaiki perekonomian, di masa
transisi membutuhkan proses, belum semua potensi ekonomi dapat digerakkan.
Sektor pertanian sangat rentan terhadap gejolak harga, baik harga komoditi maupun
hal-hal lain yang secara teknis mempengaruhi nilai tambah sektor pertanian. Oleh karena itu,
kemajuan perekonomian DOB sangat tergantung pada usaha pemerintah dan masyarakat
dalam menggerakkan sektor tersebut. Porsi perekonomian daerah DOB yang lebih kecil
dibandingkan daerah lain dalam perekonomian satu wilayah (propinsi) mengindikasikan,
bahwa secara relatif daerah DOB belum memiliki peran dalam pengembangan perekonomian
regional.
Beberapa dampak sebagai akibat dari pemekaran daerah antara lain :
a. Penduduk miskin lebih terkonsentrasi pada daerah DOB Meskipun terjadi pengurangan kemiskinan di seluruh daerah, terlihat bahwa
pemekaran mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke DOB. Data
menunjukkan bahwa penduduk miskin justru jadi terkonsentrasi di DOB. Dalam
konteks yang lebih luas, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah DOB belum
dapat mengejar ketertinggalannya dari daerah induk, meski kesejahteraan DOB telah
relatif sama dengan daerah-daerah kabupaten lainnya. Lebih dari itu, indikator
pertumbuhan ekonomi telah menunjukkan bahwa daerah pemekaan (daerah baru dan
daerah induk) memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari rata-rata daerah secara
keseluruhan dan daerah kontrol.
Dari sisi ekonomi, penyebab ketertinggalan daerah DOB dari daerah induk
maupun daerah lainnya adalah keterbatasan sumber daya alam, juga keterbatasan
sumber daya manusia (penduduk miskin cukup banyak), dan belum maksimalnya
dukungan pemerintah dalam menggerakkan perekonomian melalui investasi publik.
Masalah-masalah yang dihadapi pada aspek ekonomi cukup beragam dan belum
kondusif dalam menggerakkan investasi, pola belanja aparatur, dan pembangunan
yang belum sepenuhnya mendukung perekonomian lokal karena masalah tempat
tinggal aparatur, pemilihan ibukota kabupaten yang belum dapat menciptakan pusat
perekonomian di DOB, keterbatasan berbagai infrastruktur penunjang ekonomi
maupun penunjang pusat fasilitas pemerintahan.
b. Kinerja Keuangan Daerah Otonom Baru (DOB)
Secara umum kinerja keuangan daerah otonom baru (DOB) lebih rendah
dibandingkan daerah induk. Selama lima tahun kinerja keuangan DOB cenderung
konstan, sementara kinerja keuangan daerah induk cenderung meningkat. DOB
memiliki ketergantungan fiskal yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah induk,
dengan kesenjangan yang semakin melebar. Pemekaran juga mendorong
ketergantungan yang lebih besar di daerah pemekaran dibandingkan dengan daerah
kontrol maupun kabupaten lain pada umumnya.
Optimalisasi sumber-sumber PAD di daerah DOB relatif lebih rendah
dibandingkan daerah induk. Sementara itu, jika dibandingkan dengan daerah kontrol
maupun rata-rata daerah, optimalisasi PAD di daerah pemekaran relatif lebih rendah
walaupun perbedaannya cukup rendah. Dapat dikatakan bahwa sumbersumber
ekonomi yang juga menjadi sumber-sumber PAD di daerah kontrol atau kabupaten
lainnya pada umumnya sudah dalam kondisi mantap (steady state).
Dalam periode 2001-2005, kinerja keuangan pemerintah DOB mengalami
peningkatan, baik dari sisi penurunan dependensi fiskal maupun dari sisi kontribusi
ekonomi. Hanya saja peningkatan kinerja tersebut belum dapat dikatakan optimal
karena masih tergolong dalam dependensi fiskal yang tinggi dengan kontribusi
ekonomi yang relatif rendah. Hal ini terjadi dalam kondisi investasi pemerintah
(capital expenditure) DOB yang relatif lebih besar dibandingkan daerah lainnya.
Tentunya ini terkait dengan kenyataan bahwa DOB masih berada dalam fase transisi,
baik secara kelembagaan, aparatur maupun infrastruktur pemerintahan.
c. Kinerja pelayanan publik di DOB
Secara umum kinerja pelayanan publik di DOB masih di bawah daerah induk,
walaupun kesenjangannya relatif kecil. Kinerja pelayanan publik di DOB plus daerah
induk secara umum masih berada di bawah kinerja pelayanan publik di daerah kontrol
maupun rata-rata kabupaten. Selama lima tahun terakhir, di semua kategori daerah
terlihat kinerja pelayanan publik yang cenderung menurun. Masalah yang dihadapi
dalam pelayanan publik ialah :
1. tidak efektifnya penggunaan dana, terkait dengan kebutuhan dana yang tidak
seimbang dengan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama,
2. ketersediaan tenaga pelayanan pada masyarakat karena perkembangan ekonomi
dan fasilitas yang terbatas, dan
3. masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik publik yang diberikan.
d. Kinerja aparatur di daerah DOB
Kinerja aparatur secara keseluruhan menunjukkan fluktuasi di DOB dan
daerah induk, meskipun dalam dua tahun terakhir posisi daerah induk masih lebih
baik daripada daerah DOB. Jumlah aparatur cenderung meningkat selama lima tahun
pemekaran. Kualitas aparatur di DOB masih sangat rendah, meskipun data
menunjukkan adanya peningkatan persentase aparat dengan pendidikan minimal
sarjana. Daerah DOB belum menunjukkan kinerja sesuai dengan yang diharapkan,
karena pada masa transisi tidak ada desain penempatan aparatur yang benar-benar
baik. Di samping itu, pembatasan jumlah aparatur yang formasinya ditentukan oleh
pusat juga ikut menentukan ketersediaan aparatur.
Masalah-masalah yang ditemui pada pengelolaan aparatur di antaranya:
adanya ketidaksesuaian antara aparatur yang dibutuhkan dengan ketersediaan aparatur
yang ada, kualitas aparatur yang rendah, aparatur daerah bekerja dalam
kondisi underemployment, yakni bekerja di bawah standar waktu yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Pembentukan daerah onomi baru (DOB) bukanlah suatu hal yang seharusnya mendapat
tentangan sepanjang bertujuan untuk mensejahterahkan masyarakat di daerah. Oleh karena
itu, tujuan pembentukan DOB akan berhasil jika memenuhi beberapa tahapan dan
persyaratan.
Pertama, bahwa pembentukan DOB harus didasarkan atas data dan aspirasi masyarakat.
Para inisiator pembentukan DOB harus meyakini benar bahwa pemekaran itu merupakan
aspirasi masyarakat, bukan sebagai ambisi politik kelompok atau pribadi tertentu. Aspirasi
masyarakat yang semata-mata bertujuan pengembangan daerahnya merupakan modal dasar
yang penting bagi keberhasilan pemekaran suatu daerah.
Persyaratan berikutnya bahwa pembentukan DOB harus melibatkan Gubernur secara
intens dalam pembahasan pengembangan suatu wilayah baik untuk penghapusan, pemekaran
ataupun penggabungan. Di beberapa daerah DOB terkadang tidak melibatkan Gubernur
secara rasional karena berbagai alasan. Diantara alasannya karena adanya perbedaan
pandangan politik antara Gubernur dan Bupati. Mungkin juga sebagai imbas dari Pemilukada
disertai benturan-benturan politik keduanya yang meluas dan membawa implikasi politik.
Akibatnya, komunikasi dengan Gubernur agak tersumbat.
Selain itu harus dilakukan revitalisasi terhadap Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
(DPOD). Berbagai langkah dapat dilakukan termasuk menempatkan para pakar yang
memahami seluk-beluk otonomi daerah (para pakar) yang memang memiliki kredibilitas
tinggi. Hal ini bertujuan agar dewan memiliki kemampuan untuk melakukan evaluasi
pengembangan wilayah secara baik.
Seringkali argumentasi yang diajukan sebagai alasan pemekaran wilayah adalah demi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Walaupun secara kasat mata seringkali peningkatan
kesejahteraan yang dimaksud tidak dapat dilihat secara langsung. Namun demikian
seharusnya ada beberapa langkah sekaligus cara untuk dijadikan tolok ukur dalam upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut antara lain dapat melalui: a) Peningkatan
pelayanan kepada masyarakat, b) Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, c)
Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, d) Percepatan pengelolaan
potensi daerah, f) Peningkatan keamanan dan ketertiban dan g) Peningkatan hubungan yang
serasi antara Pusat dan Daerah.
BAB III
Persyaratan dan Tahapan Pemekaran Daerah
Merujuk kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2007
tentang tata Cara Pembentukan, Peghapusan dan Penggabungan Daerah yang menegaskan
bahwa Pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai daerah
provinsi atau daerah kabupaten/kota.
Di era otonomi daerah yang memberikan keleluasaan yang lebih kepada daerah
dibandingkan dengan era sentralisasi, pembentukan daerah baru tergolong primadona. Dalam
Peraturan Pemerintah tentang tata Cara Pembentukan, Peghapusan dan Penggabungan Daerah
ditegaskan bahwa Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau
bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau
lebih.
Ditentukan lebih lanjut bahwa pembentukan daerah dapat berupa pembentukan
daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota. Pembentukan daerah provinsi dapat berupa: a)
pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi 2 (dua) provinsi atau lebih; b) penggabungan
beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda; dan c)
penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi.
Sedangkan Pembentukan daerah kabupaten/kota dapat berupa: a) pemekaran dari 1
(satu) kabupaten/kota menjadi 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih; b) penggabungan beberapa
kecamatan yang bersandingan pada wilayah kabupaten/kota yang berbeda; dan c)
penggabungan beberapa kabupaten/kota menjadi 1 (satu) kabupaten/kota.
Proses pembentukan daerah didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif, teknis,
dan fisik kewilayahan.
1. Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat setempat
untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan kajian daerah
terhadap rencana pembentukan daerah.
2. Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi
daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,
keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat
kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.
3. Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah,
lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat
tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka
meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak
mampumenyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang dibentuk
maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah, sehingga tujuan
pembentukan daerah dapat terwujud.
Dengan demikian dalam usulan pembentukan dilengkapi dengan kajian daerah. Kajian
daerah ini merupakan basil kajian Tim yang dibentuk oleh kepala daerah yang bersangkutan
untuk menilai kelayakan pembentukan daerah otonom baru secara obyektif yang memuat
penilaian kuantitatif terhadap faktor-faktor teknis. Penilaian kuantitatif ini dilengkapi dengan
proyeksi faktor-faktor dominan (kependudukan, potensi daerah,kemampuan ekonomi dan
kemampuan keuangan) selama 10 (sepuluh) tahun dan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah
Induk serta penilaian kualitatif terhadap faktor lainnya yang memiliki karakteristik tersendiri
antara lain potensi sumber daya alam yang belum tergali,kondisi etnik, potensi konflik dan
historis.
Pemerintah berkewajiban melakukan penelitian terhadap setiap usulan pembentukan
daerah serta melakukan pembinaan, fasilitasi, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah otonom baru baik provinsi maupun kabupaten/kota. Gubernur provinsi
induk bersama Menteri berkewajiban memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan di
provinsi yang baru dibentuk, sedangkan bupati kabupaten induk bersama gubernur
berkewajiban memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten/kota yang baru
dibentuk agar dapat berjalan dengan optimal.
Tidak serta merta semua daerah dapat dimekarkan, karena faktor “usia” daerah tersebut
juga menentukan apakah dapat dilakukan pemekaran atau tidak. Peraturan Pemerintah No 78
tahun 2007 menentukan bahwa daerah yang dibentuk dapat dimekarkan setelah mencapai
batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan 10 (sepuluh) tahun bagi provinsi dan 7
(tujuh) tahun bagi kabupaten dan kota.
Selain persyaratan batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan, ditentukan juga
bahwa pembentukan daerah provinsi/kabupaten/kota berupa pemekaran provinsi dan
penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang
berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Syarat administratif pembentukan daerah provinsi meliputi:
a) Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan
wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi
berdasarkan hasil Rapat Paripurna;
b) Keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota
wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi;
c) Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi
berdasarkan hasil Rapat Paripurna;
d) Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; dan
e) Rekomendasi Menteri.
Sedangkan syarat administratif pembentukan daerah kabupaten/kota meliputi:
a) Keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan, pembentukan calon
kabupaten/kota;
b) Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon
kabupaten/kota;
c) Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon
kabupaten/kota;
d) Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota; dan
e) Rekomendasi Menteri.
Terkait keputusan DPRD sebagai syarat administratif, Keputusan DPRD
kabupaten/kota harus diproses berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat.
Sedangkan Keputusan DPRD provinsi harus berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat
setempat yang dituangkan dalam keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi
cakupan wilayah calon provinsi.
Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah
calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi, ditetapkan berdasarkan rapat
paripurna yang memuat:
1. Persetujuan kesediaan kabupaten/kota menjadi cakupan wilayah calon provinsi;
2. Persetujuan nama calon provinsi;
3. Persetujuan lokasi calon ibukota;
4. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan calon provinsi untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun
berturut-turut terhitung sejak peresmian sebagai daerah otonom; dan
5. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka membiayai
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di provinsi baru.
Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi yang
ditetapkan berdasarkan rapat paripurna yang memuat:
1. Persetujuan pelepasan kabupaten/kota yang menjadi cakupan wilayah calon
provinsi;
2. Persetujuan nama calon provinsi;
3. Persetujuan lokasi calon ibukota;
4. Persetujuan pemberian hibah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan calon
provinsi untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut terhitung
sejak peresmian sebagai daerah otonom;
5. Persetujuan pengalokasian pembiayaan untuk penyelenggaraan pemerintahan calon
provinsi untuk jangka waktu sampai dengan disahkannya APBD provinsi baru; dan
6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang
bergerak dan tidak bergerak, personil, dokumen, dan hutang piutang provinsi, yang
akan dimanfaatkan oleh calon provinsi.
Aset provinsi berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam cakupan
wilayah calon provinsi wajib diserahkan seluruhnya kepada calon provinsi, sedangkan aset
yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon provinsi. Dokumen adalah bukti
kepemilikan aset provinsi induk yang bergerak dan tidak bergerak yang akan diserahkan
kepada calon provinsi.
Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan provinsi induk
yang akan dimanfaatkan oleh calon provinsi menjadi tanggung jawab calon provinsi.
Pembentukan provinsi yang daerah induknya lebih dari satu, Keputusan DPRD provinsi
dibuat oleh masing-masing DPRD provinsi induk.
Selain itu harus juga menyertakan Keputusan masing-masing bupati/walikota dari
kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan
pembentukan calon provinsi yang memuat:
1. Persetujuan kesediaan kabupaten/kota menjadi cakupan wilayah calon provinsi;
2. Persetujuan nama calon provinsi;
3. Persetujuan lokasi calon ibukota;
4. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
calon provinsi untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut terhitung
sejak peresmian sebagai daerah otonom;
5. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di provinsi baru;
6. Persetujuan kesediaan menyerahkan sebagian aset kabupaten/kota yang dibutuhkan
untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan provinsi baru; dan
7. Persetujuan memindahkan sebagian personil yang dibutuhkan provinsi baru.
Untuk pemebentukan provinsi, persyaratan lainnya yaitu Keputusan Gubernur tentang
persetujuan pembentukan calon provinsi, memuat;
1. Persetujuan nama calon provinsi;
2. Persetujuan lokasi calon ibukota;
3. Persetujuan pelepasan kabupaten/kota menjadi cakupan wilayah calon provinsi;
4. Persetujuan pengalokasian pembiayaan untuk penyelenggaraan pemerintahan calon
provinsi untuk jangka waktu sampai dengan disahkannya APBD provinsi baru; dan
5. Persetujuan pemberian hibah dalam rangka membiayai penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah untuk pertama kali di provinsi baru;
6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang
bergerak dan tidak bergerak, personil, dokumen, dan hutang piutang provinsi, yang
akan dimanfaatkan oleh calon provinsi.
Aset provinsi berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam cakupan
wilayah calon provinsi wajib diserahkan seluruhnya kepada calon provinsi, sedangkan aset
yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon provinsi.
Dokumen adalah bukti kepemilikan aset provinsi induk yang bergerak dan tidak bergerak
yang akan diserahkan kepada calon provinsi.
Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan provinsi induk
yang akan dimanfaatkan oleh calon provinsi menjadi tanggung jawab calon provinsi,
Pembentukan provinsi yang daerah induknya lebih dari satu, keputusan gubernur
dibuat oleh masing-masing gubernur dari provinsi induk.
Keputusan DPRD kabupaten/kota induk yang ditetapkan berdasarkan rapat paripurna
tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:
1. Persetujuan nama calon kabupaten/kota;
2. Persetujuan lokasi calon ibukota;
3. Persetujuan pelepasan kecamatan menjadi cakupan wilayah calon kabupaten/kota;
4. Persetujuan pemberian hibah untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan calon
kabupaten/kota untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut
terhitung sejak peresmian sebagal daerah otonom;
5. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di daerah otonom baru;
6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang
bergerak dan tidak bergerak, personiI, dokumen dan hutang piutang kabupaten/kota,
yang akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota.
Aset kabupaten/kota berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam
cakupan wilayah calon kabupaten/kota wajib diserahkan seluruhnya kepada calon
kabupaten/kota, sedangkan aset yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon
kabupaten/kota.
Dokumen adalah bukti kepemilikan aset kabupaten/kota induk yang bergerak
dan tidak bergerak yang akan diserahkan kepada calon kabupaten/kota,
Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan
kabupaten/kota induk yang akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota
menjadi tanggung jawab calon kabupaten/kota.
7. Persetujuan penyerahan sarana prasarana perkantoran yang akan dipergunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang berada dalam cakupan
wilayah calon kota, dari kabupaten induk kepada kota yang akan dibentuk. Adapun
aset lainnya berupa tanah dan/atau bangunan milik kabupaten induk yang bukan untuk
pelayanan publik yang berada dalam cakupan wilayah calon kota dapat dilakukan
pelepasan hak dengan ganti rugi atau tukar menukar untuk membangun sarana
prasarana di ibukota kabupaten induk yang baru; dan
8. Penetapan lokasi ibukota kabupaten induk yang baru apabila lokasi ibukota, kabupaten
induk menjadi cakupan wilayah kota yang akan dibentuk.
Pembentukan kabupaten/kota yang daerah induknya lebih dari satu, keputusan DPRD
kabupaten/kota dibuat oleh masing-masing DPRD kabupaten/kota induk.
Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:
1. Persetujuan nama calon kabupaten/kota;
2. Persetujuan lokasi calon ibukota;
3. Persetujuan pelepasan kecamatan menjadi cakupan wilayah calon kabupaten/kota;
4. Persetujuan pemberian hibah untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan calon
kabupaten/kota untuk jangka waktu. paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut
terhitung sejak peresmian sebagai daerah otonom;
5. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di daerah otonom baru.
6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang
bergerak dan tidak bergerak, personil, dokumen dan hutang piutang kabupaten/kota,
yang akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota.
Aset kabupaten/kota berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam
cakupan wilayah calon kabupaten/kota,wajib diserahkan seluruhnya kepada calon
kabupaten/kota, sedangkan aset yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon
kabupaten/kota. Dokumen adalah bukti kepemilikan aset kabupaten/kota induk yang
bergerak dan tidak bergerak yang akan diserahkan kepada calon kabupaten/kota.
Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan kabupaten/kota
induk yang akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota menjadi tanggung jawab
calon kabupaten/kota.
7. Penetapan lokasi ibukota kabupaten induk yang baru apabila lokasi ibukota kabupaten
induk menjadi cakupan wilayah kota yang akan dibentuk;
Pembentukan kabupaten/kota yang daerah induknya lebih dari satu, keputusan
bupati/walikota dibuat oleh masing-masing bupati/walikota dari kabupaten/kota
induk.
Keputusan DPRD provinsi yang ditetapkan berdasarkan rapat paripurna tentang
persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:
1. Persetujuan pemberian bantuan dana untuk mendukung penyelenggaraan
pemerintahan calon kabupaten/kota untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun
berturut-turut terhitung sejak peresmian sebagal kabupaten/kota;
2. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di kabupaten/kota;
3. Persetujuan nama calon kabupaten/kota, cakupan wilayah calon kabupaten/kota dan
calon ibukota kabupaten; dan
4. Persetujuan pelepasan aset provinsi berupa sarana perkantoran yang dipergunakan
untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di wilayah
kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi,
Adapun aset lainnya berupa tanah dan/atau bangunan yang bukan untuk pelayanan
publik dapat dilakukan pelepasan hak dengan ganti rugi atau tukar menukar.
Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang
memuat:
1. Persetujuan pemberian bantuan dana untuk mendukung penyelenggaraan
pemerintahan calon kabupaten/kota untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua)
tahun berturut-turut terhitung sejak peresmian sebagai kabupaten/kota;
2. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di kabupaten/kota;
3. Persetujuan nama calon kabupaten/kota, cakupan wilayah calon kabupaten/kota
dan calon ibukota kabupaten; dan
4. Persetujuan memindahkan personil dari provinsi dan berkoordinasi dengan
Pemerintah, gubernur dan bupati/walikota terhadap personal di wilayah kerjanya
yang akan dipindahkan ke kabupaten/kota yang baru dibentuk.
Sedangkan syarat adanya rekomendasi Menteri ditetapkan berdasarkan hasil penelitian
terhadap usulan pembentukan kabupaten/kota yang dilakukan oleh Tim yang dibentuk
Menteri. Tim dimaksud dapat bekerja sama dengan lembaga independen atau perguruan
tinggi.
Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2007 ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan "aspirasi sebagian besar masyarakat setempat" adalah aspirasi yang
disampaikan secara tertulis yang dituangkan ke dalam Keputusan BPD untuk Desa dan
Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi
calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
Keputusan tersebut ditandatangani oleh Ketua BPD dan Ketua Forum Komunikasi
Kelurahan atau nama lain. Jumlah keputusan Badan Permusyawaratan Desa atau nama lain
dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain tersebut harus mencapai lebih 2/3 (dua
pertiga) tiara jumlah Badan atau Forum tersebut yang ada di masing-masing wilayah yang
akan menjadi. cakupan wilayah calon, provinsi atau kabupaten/kota.
Keputusan Badan Permusyawaratan Desa atau nama lain dan Keputusan Forum
Komunikasi Kelurahan atau nama lain adalah sebagai lampiran yang merupakan satu
kesatuan dari keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon
provinsi atau kabupaten/kota.
Sedangkan syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan
keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Kemampuan ekonomi merupakan cerminan hasil kegiatan ekonomi dalam bentuk:
1. PDRB per kapita;
2. Pertumbuhan ekonomi; dan
3. Kontribusi PDRB terhadap PDRB total.
Potensi daerah merupakan perkiraan penerimaan dari rencana pemanfaatan
ketersediaan sumber daya buatan, sumber daya aparatur, serta sumber daya masyarakat yang
akan digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik yang dapat diukur dengan:
1. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk;
2. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk;
3. Rasio pasar per 10.000 penduduk;
4. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD;
5. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP;
6. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA;
7. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk;
8. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk;
9. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau
perahu motor atau kapal motor;
10. Persentase pelanggan listrik .terhadap jumlah rumah tangga;
11. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor;
12. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18
tahun ke atas;
13. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25
tahun ke atas; dan
14. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk.
Sedangkan aspek sosial budaya merupakan cerminan aspek sosial budaya yang diukur
dengan:
1. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk;
2. Rasio fasilitas lapangan olahraga per 10.000 penduduk; dan
3. Jumlah balai pertemuan.
Sosial politik merupakan cerminan aspek sosial politik yang diukur dengan: (1) Rasio
penduduk yang ikut pemilu legislatif penduduk yang mempunyai hak pilih; dan (2) Jumlah
organisasi kemasyarakatan.
Kependudukan merupakan cerminan aspek penduduk yang diukur dengan :
1. Jumlah Penduduk; dan
2. Kepadatan Penduduk.
Luas daerah merupakan cerminan sumber daya lahan/daratan cakupan wilayah yang dapat,
diukur dengan :
1. luas wilayah keseluruhan; dan
2. luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan.
Pertahanan merupakan cerminan ketahanan wilayah yang dapat diukur dengan karakter
wilayah dari aspek:
1. Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah; dan
2. Karakteristik wilayah, dilihat dari sudut pandang pertahanan.
Keamanan merupakan cerminan aspek keamanan dan ketertiban daerah yang dapat
diukur dengan Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk.
Kemampuan keuangan merupakan cerminan terhadap keuangan yang dapat diukur
dengan: (1) Jumlah PAD; (2) Rasio PDS terhadap Jumlah Penduduk dan (3) Rasio ADS
terhadap PDRB.
Tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan cerminan terhadap tingkat pendidikan,
kesehatan dan pendapatan masyarakat yang dapat diukur dengan indeks pembangunan
manusia.
Rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan merupakan cerminan terhadap
kedekatan jarak ke lokasi calon ibukota yang dapat diukur dengan (1) Rata-rata jarak
kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota
kabupaten); dan (2) Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat
pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota kabupaten).
Penilaian syarat teknis dimaksud adalah penilaian dalam merekomendasikan suatu
daerah menjadi daerah otonom dengan memperhatikan faktor-faktor yang dimiliki oleh
daerah induk dan calon daerah yang akan dibentuk dan menitikberatkan pada faktor
kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi daerah dan faktor kemampuan
keuangan.
Peta wilayah provinsi dibuat sesuai dengan kaidah pemetaan dari peta dasar nasional
(peta topografi, peta rupa bumi, citra satelit, atau peta laut yang dibuat oleh instansi yang
berwenang) dengan skala antara 1:250.000 sampai dengan 1:500.000.
Yang dimaksud lembaga teknis, yakni: Bakosurtanal, Direktorat Topografi TNI-AD
untuk pembuatan peta wilayah daratan, dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL untuk
pembuatan peta wilayah kepulauan.
Peta wilayah kabupaten/kota dibuat sesuai dengan kaidah pemetaan dari peta dasar
nasional (peta topografi, peta rupa bumi, citra satelit, atau peta laut yang dibuat oleh instansi
yang berwenang) dengan skala antara 1:100.000 sampai dengan 1:250.000 untuk
pembentukan kabupaten; dan skala antara 1:25.000 sampai dengan 1:50.000 untuk
pembentukan kota.
Sedangkan yang dimaksud lembaga teknis, yakni: Bakosurtanal, Direktorat Topografi
TNI-AD untuk pembuatan peta wilayah daratan, dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL untuk
pembuatan peta wilayah kepulauan.
Pembentukan dan pemekaran wilayah otonom mempunyai urgensi antara lain:
1. Meningkatakan pelayanan pemerintah kepada masyarakat sehingga kesejahteraan
masyarakat akan secara cepat terangkat;
2. Memperpendek rentang kendali manajemen pemerintahan dan pembangunan,
sehingga fungsi pemerintahan akan lebih efektif, efisien dan terkendali;
3. Proses pemberdayaan masyarakat dan menumbuhkan inisiatif, kreativitas, dan inovasi
masyarakat dalam pembangunan;
4. Menumbuhkan dan mengembangkan proses pembelajaran berdemokrasi masyarakat
dan inovasi masyarakat dalam pembangunan;
5. Khusus untuk daerah perbatasan atau kepulauan, karena :
a. Membuka keterisolasian masyarakat akibat keterbelakangan dan kemiskinan
daerah;
b. Membuka akses bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sosial dan
budaya;
c. Meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat kepulauan;
d. Memajukan daerah kepulauan sejajar dengan daerah daratan, bahkan menjadikan
wilayah kepulauan sebagai beranda depan atau show window NKRI;
e. Memperkuat sistem pertahanan keamanan nasional serta tegaknya NKRI.
Dalam prakteknya pemekaran daerah mempunyai problematikanya sendiri, yaitu :
1. Dengan adanya dukungan formal melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
muncul kecenderungan banyaknya daerah yang meminta dimekarkan padahal ditinjau
dari kekhususan dan syarat teknis (kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya dan pertahanan keamanan) tidak mendukung;
2. Kenyataan bahwa pemekaran wilayah tidaklah menjamin secara serta merta
membawa pada perubahan yang diinginkan, yaitu kesejahteraan dan peningkatan
pelayanan publik. Hal ini karena inisiatif pemekaran dan pembentukan daerah
tidaklah merupakan bagian suara terbesar masyarakat di daerah yang bersangkutan,
melainkan merupakan inisiatif elit politik maupun birokrasi yang cenderung mengejar
kekuasaan.
Sebagaimana disebutkan dalam problematika di atas dalam beberapa kasus justru
pembentukan daerah otonom baru menimbulkan berbagai permasalahan seperti potensi
konflik horisontal antar daerah mengenai tata batas maupun keberatan masyarakat daerah
otonom baru yang tidak bersedia untuk bergabung di dalam daerah otonom baru. Keadaan
yang rentan dengan konflik ini berimbas juga pada pelayanan publik kepada masyarakat
sehingga tujuan pembentukan daerah otonom baru untuk meningkatkan pelayanan publik dari
pemerintah kepada masyarakat justru tidak tercapai.
Permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah ini terkait dengan kesalahpahaman
mengenai otonomi daerah, yaitu:
a. Otonomi dikaitkan semata-mata hanya dengan uang;
b. Daerah belum siap dan belum siap dan mampu dalam melaksanakan otonomi daerah;
c. Dengan otonomi daerah pemerintah Pusat akan melepaskan tanggungjawabnya untuk
membantu dan membina daerah;
d. Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja;
e. Otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi
di daerah.
Bab IV Persyaratan dan Tahapan Pemekaran Daerah
Merujuk kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2007
tentang tata Cara Pembentukan, Peghapusan dan Penggabungan Daerah yang menegaskan
bahwa Pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai daerah
provinsi atau daerah kabupaten/kota.
Di era otonomi daerah yang memberikan keleluasaan yang lebih kepada daerah
dibandingkan dengan era sentralisasi, pembentukan daerah baru tergolong primadona. Dalam
Peraturan Pemerintah tentang tata Cara Pembentukan, Peghapusan dan Penggabungan Daerah
ditegaskan bahwa Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau
bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau
lebih.
Ditentukan lebih lanjut bahwa pembentukan daerah dapat berupa pembentukan daerah
provinsi atau daerah kabupaten/kota. Pembentukan daerah provinsi dapat berupa: a)
pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi 2 (dua) provinsi atau lebih; b) penggabungan
beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda; dan c)
penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi.
Sedangkan Pembentukan daerah kabupaten/kota dapat berupa: a) pemekaran dari 1
(satu) kabupaten/kota menjadi 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih; b) penggabungan beberapa
kecamatan yang bersandingan pada wilayah kabupaten/kota yang berbeda; dan c)
penggabungan beberapa kabupaten/kota menjadi 1 (satu) kabupaten/kota.
Proses pembentukan daerah didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif, teknis,
dan fisik kewilayahan.
1. Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat setempat
untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan kajian daerah
terhadap rencana pembentukan daerah.
2. Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi
daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,
keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat
kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.
3. Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah,
lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat
tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka
meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak
mampumenyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang dibentuk
maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah, sehingga tujuan
pembentukan daerah dapat terwujud.
Dengan demikian dalam usulan pembentukan dilengkapi dengan kajian daerah. Kajian
daerah ini merupakan basil kajian Tim yang dibentuk oleh kepala daerah yang bersangkutan
untuk menilai kelayakan pembentukan daerah otonom baru secara obyektif yang memuat
penilaian kuantitatif terhadap faktor-faktor teknis. Penilaian kuantitatif ini dilengkapi dengan
proyeksi faktor-faktor dominan (kependudukan, potensi daerah,kemampuan ekonomi dan
kemampuan keuangan) selama 10 (sepuluh) tahun dan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah
Induk serta penilaian kualitatif terhadap faktor lainnya yang memiliki karakteristik tersendiri
antara lain potensi sumber daya alam yang belum tergali,kondisi etnik, potensi konflik dan
historis.
Pemerintah berkewajiban melakukan penelitian terhadap setiap usulan pembentukan
daerah serta melakukan pembinaan, fasilitasi, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah otonom baru baik provinsi maupun kabupaten/kota. Gubernur provinsi
induk bersama Menteri berkewajiban memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan di
provinsi yang baru dibentuk, sedangkan bupati kabupaten induk bersama gubernur
berkewajiban memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten/kota yang baru
dibentuk agar dapat berjalan dengan optimal.
Tidak serta merta semua daerah dapat dimekarkan, karena faktor “usia” daerah tersebut
juga menentukan apakah dapat dilakukan pemekaran atau tidak. Peraturan Pemerintah No 78
tahun 2007 menentukan bahwa daerah yang dibentuk dapat dimekarkan setelah mencapai
batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan 10 (sepuluh) tahun bagi provinsi dan 7
(tujuh) tahun bagi kabupaten dan kota.
Selain persyaratan batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan, ditentukan juga
bahwa pembentukan daerah provinsi/kabupaten/kota berupa pemekaran provinsi dan
penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang
berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Syarat administratif pembentukan daerah provinsi meliputi:
a) Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah
calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat
Paripurna;
b) Keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota wilayah
calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi;
c) Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi
berdasarkan hasil Rapat Paripurna;
d) Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; dan
e) Rekomendasi Menteri.
Sedangkan syarat administratif pembentukan daerah kabupaten/kota meliputi:
a) Keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan, pembentukan calon
kabupaten/kota;
b) Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;
c) Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;
d) Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota; dan
e) Rekomendasi Menteri.
Terkait keputusan DPRD sebagai syarat administratif, Keputusan DPRD
kabupaten/kota harus diproses berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat.
Sedangkan Keputusan DPRD provinsi harus berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat
setempat yang dituangkan dalam keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi
cakupan wilayah calon provinsi.
Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah
calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi, ditetapkan berdasarkan rapat
paripurna yang memuat:
1. Persetujuan kesediaan kabupaten/kota menjadi cakupan wilayah calon provinsi;
2. Persetujuan nama calon provinsi;
3. Persetujuan lokasi calon ibukota;
4. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan calon provinsi untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-
turut terhitung sejak peresmian sebagai daerah otonom; dan
5. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di provinsi baru.
Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi yang ditetapkan
berdasarkan rapat paripurna yang memuat:
1. Persetujuan pelepasan kabupaten/kota yang menjadi cakupan wilayah calon provinsi;
2. Persetujuan nama calon provinsi;
3. Persetujuan lokasi calon ibukota;
4. Persetujuan pemberian hibah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan calon
provinsi untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut terhitung sejak
peresmian sebagai daerah otonom;
5. Persetujuan pengalokasian pembiayaan untuk penyelenggaraan pemerintahan calon
provinsi untuk jangka waktu sampai dengan disahkannya APBD provinsi baru; dan
6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang
bergerak dan tidak bergerak, personil, dokumen, dan hutang piutang provinsi, yang
akan dimanfaatkan oleh calon provinsi.
Aset provinsi berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam cakupan
wilayah calon provinsi wajib diserahkan seluruhnya kepada calon provinsi, sedangkan aset
yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon provinsi. Dokumen adalah bukti
kepemilikan aset provinsi induk yang bergerak dan tidak bergerak yang akan diserahkan
kepada calon provinsi.
Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan provinsi induk
yang akan dimanfaatkan oleh calon provinsi menjadi tanggung jawab calon provinsi.
Pembentukan provinsi yang daerah induknya lebih dari satu, Keputusan DPRD provinsi
dibuat oleh masing-masing DPRD provinsi induk.
Selain itu harus juga menyertakan Keputusan masing-masing bupati/walikota dari
kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan
pembentukan calon provinsi yang memuat:
1. Persetujuan kesediaan kabupaten/kota menjadi cakupan wilayah calon provinsi;
2. Persetujuan nama calon provinsi;
3. Persetujuan lokasi calon ibukota;
4. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
calon provinsi untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut terhitung
sejak peresmian sebagai daerah otonom;
5. Persetujuan pengalokasian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di provinsi baru;
6. Persetujuan kesediaan menyerahkan sebagian aset kabupaten/kota yang dibutuhkan
untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan provinsi baru; dan
7. Persetujuan memindahkan sebagian personil yang dibutuhkan provinsi baru.
Untuk pemebentukan provinsi, persyaratan lainnya yaitu Keputusan Gubernur tentang
persetujuan pembentukan calon provinsi, memuat;
1. Persetujuan nama calon provinsi;
2. Persetujuan lokasi calon ibukota;
3. Persetujuan pelepasan kabupaten/kota menjadi cakupan wilayah calon provinsi;
4. Persetujuan pengalokasian pembiayaan untuk penyelenggaraan pemerintahan calon
provinsi untuk jangka waktu sampai dengan disahkannya APBD provinsi baru; dan
5. Persetujuan pemberian hibah dalam rangka membiayai penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah untuk pertama kali di provinsi baru;
6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang
bergerak dan tidak bergerak, personil, dokumen, dan hutang piutang provinsi, yang
akan dimanfaatkan oleh calon provinsi.
Aset provinsi berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam cakupan
wilayah calon provinsi wajib diserahkan seluruhnya kepada calon provinsi, sedangkan
aset yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon provinsi.
Dokumen adalah bukti kepemilikan aset provinsi induk yang bergerak dan tidak
bergerak yang akan diserahkan kepada calon provinsi.
Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan provinsi induk
yang akan dimanfaatkan oleh calon provinsi menjadi tanggung jawab calon provinsi,
Pembentukan provinsi yang daerah induknya lebih dari satu, keputusan gubernur
dibuat oleh masing-masing gubernur dari provinsi induk.
Keputusan DPRD kabupaten/kota induk yang ditetapkan berdasarkan rapat paripurna
tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:
1. Persetujuan nama calon kabupaten/kota;
2. Persetujuan lokasi calon ibukota;
3. Persetujuan pelepasan kecamatan menjadi cakupan wilayah calon kabupaten/kota;
4. Persetujuan pemberian hibah untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan calon
kabupaten/kota untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut terhitung
sejak peresmian sebagal daerah otonom;
5. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di daerah otonom baru;
6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang
bergerak dan tidak bergerak, personiI, dokumen dan hutang piutang kabupaten/kota, yang
akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota.
Aset kabupaten/kota berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam
cakupan wilayah calon kabupaten/kota wajib diserahkan seluruhnya kepada calon
kabupaten/kota, sedangkan aset yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon
kabupaten/kota.
Dokumen adalah bukti kepemilikan aset kabupaten/kota induk yang bergerak dan tidak
bergerak yang akan diserahkan kepada calon kabupaten/kota, Hutang dan piutang yang
berhubungan dengan penyerahan kekayaan kabupaten/kota induk yang akan dimanfaatkan
oleh calon kabupaten/kota menjadi tanggung jawab calon kabupaten/kota.
7. Persetujuan penyerahan sarana prasarana perkantoran yang akan dipergunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang berada dalam cakupan
wilayah calon kota, dari kabupaten induk kepada kota yang akan dibentuk. Adapun
aset lainnya berupa tanah dan/atau bangunan milik kabupaten induk yang bukan untuk
pelayanan publik yang berada dalam cakupan wilayah calon kota dapat dilakukan
pelepasan hak dengan ganti rugi atau tukar menukar untuk membangun sarana
prasarana di ibukota kabupaten induk yang baru; dan
8. Penetapan lokasi ibukota kabupaten induk yang baru apabila lokasi ibukota, kabupaten
induk menjadi cakupan wilayah kota yang akan dibentuk.
Pembentukan kabupaten/kota yang daerah induknya lebih dari satu, keputusan
DPRD kabupaten/kota dibuat oleh masing-masing DPRD kabupaten/kota induk.
Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:
1. Persetujuan nama calon kabupaten/kota;
2. Persetujuan lokasi calon ibukota;
3. Persetujuan pelepasan kecamatan menjadi cakupan wilayah calon kabupaten/kota;
4. Persetujuan pemberian hibah untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan calon
kabupaten/kota untuk jangka waktu. paling kurang 2 (dua) tahun berturut-turut
terhitung sejak peresmian sebagai daerah otonom;
5. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di daerah otonom baru.
6. Persetujuan penyerahan kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai berupa barang
bergerak dan tidak bergerak, personil, dokumen dan hutang piutang kabupaten/kota,
yang akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota.
Aset kabupaten/kota berupa barang yang tidak bergerak dan lokasinya berada dalam
cakupan wilayah calon kabupaten/kota,wajib diserahkan seluruhnya kepada calon
kabupaten/kota, sedangkan aset yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan calon
kabupaten/kota. Dokumen adalah bukti kepemilikan aset kabupaten/kota induk yang
bergerak dan tidak bergerak yang akan diserahkan kepada calon kabupaten/kota.
Hutang dan piutang yang berhubungan dengan penyerahan kekayaan kabupaten/kota
induk yang akan dimanfaatkan oleh calon kabupaten/kota menjadi tanggung jawab
calon kabupaten/kota.
7. Penetapan lokasi ibukota kabupaten induk yang baru apabila lokasi ibukota kabupaten
induk menjadi cakupan wilayah kota yang akan dibentuk;
Pembentukan kabupaten/kota yang daerah induknya lebih dari satu, keputusan
bupati/walikota dibuat oleh masing-masing bupati/walikota dari kabupaten/kota
induk.
Keputusan DPRD provinsi yang ditetapkan berdasarkan rapat paripurna tentang
persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:
1. Persetujuan pemberian bantuan dana untuk mendukung penyelenggaraan
pemerintahan calon kabupaten/kota untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun
berturut-turut terhitung sejak peresmian sebagal kabupaten/kota;
2. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di kabupaten/kota;
3. Persetujuan nama calon kabupaten/kota, cakupan wilayah calon kabupaten/kota dan
calon ibukota kabupaten; dan
4. Persetujuan pelepasan aset provinsi berupa sarana perkantoran yang dipergunakan
untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di wilayah
kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi,
Adapun aset lainnya berupa tanah dan/atau bangunan yang bukan untuk pelayanan
publik dapat dilakukan pelepasan hak dengan ganti rugi atau tukar menukar.
Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota yang memuat:
1. Persetujuan pemberian bantuan dana untuk mendukung penyelenggaraan
pemerintahan calon kabupaten/kota untuk jangka waktu paling kurang 2 (dua)
tahun berturut-turut terhitung sejak peresmian sebagai kabupaten/kota;
2. Persetujuan pemberian dukungan dana dalam rangka membiayai penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah untuk pertama kali di kabupaten/kota;
3. Persetujuan nama calon kabupaten/kota, cakupan wilayah calon kabupaten/kota
dan calon ibukota kabupaten; dan
4. Persetujuan memindahkan personil dari provinsi dan berkoordinasi dengan
Pemerintah, gubernur dan bupati/walikota terhadap personal di wilayah kerjanya
yang akan dipindahkan ke kabupaten/kota yang baru dibentuk.
Sedangkan syarat adanya rekomendasi Menteri ditetapkan berdasarkan hasil
penelitian terhadap usulan pembentukan kabupaten/kota yang dilakukan oleh Tim
yang dibentuk Menteri. Tim dimaksud dapat bekerja sama dengan lembaga
independen atau perguruan tinggi.
Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2007 ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan "aspirasi sebagian besar masyarakat setempat" adalah aspirasi yang
disampaikan secara tertulis yang dituangkan ke dalam Keputusan BPD untuk Desa dan
Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi
calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
Keputusan tersebut ditandatangani oleh Ketua BPD dan Ketua Forum Komunikasi
Kelurahan atau nama lain. Jumlah keputusan Badan Permusyawaratan Desa atau nama lain
dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain tersebut harus mencapai lebih 2/3
(duapertiga) tiara jumlah Badan atau Forum tersebut yang ada di masing-masing wilayah
yang akan menjadi. cakupan wilayah calon, provinsi atau kabupaten/kota.
Keputusan Badan Permusyawaratan Desa atau nama lain dan Keputusan Forum
Komunikasi Kelurahan atau nama lain adalah sebagai lampiran yang merupakan satu
kesatuan dari keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon
provinsi atau kabupaten/kota.
Sedangkan syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan
keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Kemampuan ekonomi merupakan cerminan hasil kegiatan ekonomi dalam bentuk:
1. PDRB per kapita;
2. Pertumbuhan ekonomi; dan
3. Kontribusi PDRB terhadap PDRB total.
Potensi daerah merupakan perkiraan penerimaan dari rencana pemanfaatan
ketersediaan sumber daya buatan, sumber daya aparatur, serta sumber daya masyarakat yang
akan digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik yang dapat diukur dengan:
1. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk;
2. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk;
3. Rasio pasar per 10.000 penduduk;
4. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD;
5. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP;
6. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA;
7. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk;
8. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk;
9. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau
perahu motor atau kapal motor;
10. Persentase pelanggan listrik .terhadap jumlah rumah tangga;
11. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor;
12. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18
tahun ke atas;
13. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 tahun
ke atas; dan
14. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk.
Sedangkan aspek sosial budaya merupakan cerminan aspek sosial budaya yang diukur
dengan:
1. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk;
2. Rasio fasilitas lapangan olahraga per 10.000 penduduk; dan
3. Jumlah balai pertemuan.
Sosial politik merupakan cerminan aspek sosial politik yang diukur dengan: (1) Rasio
penduduk yang ikut pemilu legislatif penduduk yang mempunyai hak pilih; dan (2) Jumlah
organisasi kemasyarakatan.
Kependudukan merupakan cerminan aspek penduduk yang diukur dengan :
1. Jumlah Penduduk; dan
2. Kepadatan Penduduk.
Luas daerah merupakan cerminan sumber daya lahan/daratan cakupan wilayah yang
dapat, diukur dengan :
1. luas wilayah keseluruhan; dan
2. luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan.
Pertahanan merupakan cerminan ketahanan wilayah yang dapat diukur dengan karakter
wilayah dari aspek:
1. Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah; dan
2. Karakteristik wilayah, dilihat dari sudut pandang pertahanan.
Keamanan merupakan cerminan aspek keamanan dan ketertiban daerah yang dapat
diukur dengan Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk.
Kemampuan keuangan merupakan cerminan terhadap keuangan yang dapat diukur
dengan: (1) Jumlah PAD; (2) Rasio PDS terhadap Jumlah Penduduk dan (3) Rasio ADS
terhadap PDRB.
Tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan cerminan terhadap tingkat pendidikan,
kesehatan dan pendapatan masyarakat yang dapat diukur dengan indeks pembangunan
manusia.
Rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan merupakan cerminan terhadap
kedekatan jarak ke lokasi calon ibukota yang dapat diukur dengan (1) Rata-rata jarak
kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota
kabupaten); dan (2) Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten/kota atau kecamatan ke pusat
pemerintahan (ibukota provinsi atau ibukota kabupaten).
Penilaian syarat teknis dimaksud adalah penilaian dalam merekomendasikan suatu
daerah menjadi daerah otonom dengan memperhatikan faktor-faktor yang dimiliki oleh
daerah induk dan calon daerah yang akan dibentuk dan menitikberatkan pada faktor
kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi daerah dan faktor kemampuan
keuangan.
Peta wilayah provinsi dibuat sesuai dengan kaidah pemetaan dari peta dasar nasional
(peta topografi, peta rupa bumi, citra satelit, atau peta laut yang dibuat oleh instansi yang
berwenang) dengan skala antara 1:250.000 sampai dengan 1:500.000.
Yang dimaksud lembaga teknis, yakni: Bakosurtanal, Direktorat Topografi TNI-AD
untuk pembuatan peta wilayah daratan, dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL untuk
pembuatan peta wilayah kepulauan.
Peta wilayah kabupaten/kota dibuat sesuai dengan kaidah pemetaan dari peta
dasarnasional (peta topografi, peta rupa bumi, citra satelit, atau peta laut yang dibuat oleh
instansi yang berwenang) dengan skala antara 1:100.000 sampai dengan 1:250.000 untuk
pembentukan kabupaten; dan skala antara 1:25.000 sampai dengan 1:50.000 untuk
pembentukan kota.
Sedangkan yang dimaksud lembaga teknis, yakni: Bakosurtanal, Direktorat Topografi
TNI-AD untuk pembuatan peta wilayah daratan, dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL untuk
pembuatan peta wilayah kepulauan.
Pembentukan dan pemekaran wilayah otonom mempunyai urgensi antara lain:
1. Meningkatakan pelayanan pemerintah kepada masyarakat sehingga kesejahteraan
masyarakat akan secara cepat terangkat;
2. Memperpendek rentang kendali manajemen pemerintahan dan pembangunan,
sehingga fungsi pemerintahan akan lebih efektif, efisien dan terkendali;
3. Proses pemberdayaan masyarakat dan menumbuhkan inisiatif, kreativitas, dan inovasi
masyarakat dalam pembangunan;
4. Menumbuhkan dan mengembangkan proses pembelajaran berdemokrasi masyarakat
dan inovasi masyarakat dalam pembangunan;
5. Khusus untuk daerah perbatasan atau kepulauan, karena :
a. Membuka keterisolasian masyarakat akibat keterbelakangan dan kemiskinan
daerah;
b. Membuka akses bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sosial dan
budaya;
c. Meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat kepulauan;
d. Memajukan daerah kepulauan sejajar dengan daerah daratan, bahkan menjadikan
wilayah kepulauan sebagai beranda depan atau show window NKRI;
e. Memperkuat sistem pertahanan keamanan nasional serta tegaknya NKRI.
Dalam prakteknya pemekaran daerah mempunyai problematikanya sendiri, yaitu :
1. Dengan adanya dukungan formal melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
muncul kecenderungan banyaknya daerah yang meminta dimekarkan padahal ditinjau
dari kekhususan dan syarat teknis (kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya dan pertahanan keamanan) tidak mendukung;
2. Kenyataan bahwa pemekaran wilayah tidaklah menjamin secara serta merta
membawa pada perubahan yang diinginkan, yaitu kesejahteraan dan peningkatan
pelayanan publik. Hal ini karena inisiatif pemekaran dan pembentukan daerah
tidaklah merupakan bagian suara terbesar masyarakat di daerah yang bersangkutan,
melainkan merupakan inisiatif elit politik maupun birokrasi yang cenderung mengejar
kekuasaan.
Sebagaimana disebutkan dalam problematika di atas dalam beberapa kasus justru
pembentukan daerah otonom baru menimbulkan berbagai permasalahan seperti potensi
konflik horisontal antar daerah mengenai tata batas maupun keberatan masyarakat daerah
otonom baru yang tidak bersedia untuk bergabung di dalam daerah otonom baru. Keadaan
yang rentan dengan konflik ini berimbas juga pada pelayanan publik kepada masyarakat
sehingga tujuan pembentukan daerah otonom baru untuk meningkatkan pelayanan publik dari
pemerintah kepada masyarakat justru tidak tercapai.
Permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah ini terkait dengan kesalahpahaman
mengenai otonomi daerah, yaitu:
a. Otonomi dikaitkan semata-mata hanya dengan uang;
b. Daerah belum siap dan belum siap dan mampu dalam melaksanakan otonomi daerah;
c. Dengan otonomi daerah pemerintah Pusat akan melepaskan tanggungjawabnya untuk
membantu dan membina daerah;
d. Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja;
e. Otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi di
daerah
BAB V Tingginya Animo Pemekaran Daerah
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi
dibagi atas kabupaten/kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah untuk
menjalankan otonomi daerah seluasluasnya. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ketersediaan peluang regulasi bagi pemekaran daerah otonom, atau pembentukan
daerah otonom baru, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah pemerintahan daerah
di Indonesia. Sejak sistem pemerintahan sentralistis pada masa Orde Baru, pemerintah juga
telah banyak melakukan pembentukan daerah otonom baru. Kecamatan-kecamatan yang
semakin kuat karakter urban-nya kemudian dijadikan Kota Administratif, sebuah unit
pemerintahan wilayah dekonsentratif (field administration). Selanjutnya bila karakter tersebut
telah semakin menguat, daerah tersebut dijadikan Kota Madya yang setingkat dengan
Pemerintahan Kabupaten. Di luar itu juga dimungkinkan pembentukan pemerintah kabupaten
ataupun provinsi baru.
Namun, selama periode Orde Baru tahun 1966 - 1998, tidak terdapat penambahan
daerah otonom baru yang signifikan. Ledakan penambahan daerah otonomi baru, atau yang
biasa disebut pemekaran daerah, baru terjadi pasca 1999.
Ditengah keinginan berbagai pihak untuk merasionalisasi pemekaran daerah, proses
pemekaran daerah terus berlangsung hampir setiap tahun pada periode 1998-2008
sebagaimana terlihat di tabel berikut.
Tabel Pemekaran Daerah 1999-2008
Tabel diatas menggambarkan betapa semangat kedaerah yang begitu tinggi pasca
reformasi tahun 1998. Selama Oktober 1999, misalnya terdapat 26 kabupaten baru sebagai
hasil pemekaran. Ada satu kota baru di bulan yang sama. Tingginya jumlah daerah otonomi
baru tersebut sebagai salah satu indikator betapa selama ini ada keinginan yang terpendam
bagi daerah-daerah untuk berdiri sendiri dan untuk memiliki otonomi sebagai daerah yang
lebih mandiri. Menariknya, pasca reformasi yang melahirkan desentralisasi kurang dari satu
dekade (1999-2008) saja terdapat 169 daerah baru hasil pemekaran.
Usulan untuk membentuk daerah baru ini masih terus terjadi sampai sekarang,
bahkan sebagian diantaranya sedang dibahas oleh DPR. DPR dalam rapat paripurna 25
Oktober 2012 kembali mengesahkan lima DOB. Kelima daerah tersebut adalah Provinsi
Kalimantan Utara, Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat), Kabupaten Pesisir Barat
(Lampung), Kabupaten Manokwari Selatan (Papua Barat), dan Kabupaten Pegunungan Arfak
(Papua Barat). Disahkannya lima DOB tersebut tentu memiliki sejumlah implikasi politik
bagi pemerintah.
Tahun Bulan Provinsi Baru Kabupaten Baru Kota Baru Jumlah
1999 Oktober - 26 1 27
2000 Juni 2 - - 2
Oktober 1 - - 1
Desember 2 1 - 3
2001 Juni - - 12 12
2002 April - 19 3 22
Oktober 1 - - 1
2003 Februari - 9 3 12
April - 17 - 17
Mei - 12 - 12
Desember - 23 - 13
2004 Oktober 1 - - 1
2007 Januari - 14 2 16
Maret - 1 - 1
Agustus - 6 2 8
2008 Januari - 6 - 6
Juli - 5 - 5
JUMLAH 7 134 23 169
Dilihat dari segi regulasi, pemekaran daerah diberi peluang oleh pemerintahan Orde
Baru dan pasca Orde Baru. Perbedaannya terletak pada proses pengusulan pemekaran. Di
masa Orde Baru pemerintah pusat mempunyai peran yang besar untuk menyiapkan
pembentukan daerah otonom (dari ibukota Kecamatan, menjadi Kota Administratif lalu
Kotamadya) dan menginisiasi pembentukannya. Di masa pasca Orde Baru, regulasi yang ada
menekankan pada usulan daerah untuk memekarkan diri dalam rangka membentuk daerah
otonom baru.
Namun pun demikian, regulasi yang ada berusaha untuk menyaring usulan pemekaran
dengan mempertimbangkan kapasitas daerah yang akan dibentuk. Selain itu, bukan hanya
pemekaran yang dimungkinkan. Tetapi penggabungan beberapa daerah menjadi satu daerah
otonompun diberi peluang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(selanjutnya ditulis UU Pemda), pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih,
atau penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau penggabungan beberapa daerah.
Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah
atau lebih. Sementara dalam prakteknya sampai dengan tahun 2008, Indonesia belum pernah
mempunyai pengalaman penggabungan daerah.
Sebelumnya, tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 diganti Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan
Daerah (selanjutnya ditulis PP 78/07). Dalam PP No 78 tahun 2007 mengatur mengenai
proses pembentukan daerah yang didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif,
teknis, dan fisik kewilayahan :
1. Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat.
2. Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah,
sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan
faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun faktor lain
tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat,
dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.
3. Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah,
lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat
tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka
meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam
pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah, sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud
dengan dilengkapi dengan kajian daerah.
Kajian daerah ini merupakan hasil kajian Tim yang dibentuk oleh kepala daerah yang
bersangkutan untuk menilai kelayakan pembentukan daerah otonom baru secara obyektif
yang memuat penilaian kuantitatif terhadap faktor-faktor teknis.
Penilaian kuantitatif ini dilengkapi dengan proyeksi faktor-faktor dominan
(kependudukan, potensi daerah, kemampuan ekonomi dan kemampuan keuangan) selama 10
(sepuluh) tahun dan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Induk serta penilaian kualitatif
terhadap faktor lainnya yang memiliki karakteristik tersendiri antara lain potensi sumber daya
alam yang belum tergali, kondisi etnik, potensi konflik dan historis.
Beberapa alasan utama daerah mengajukan pemekaran antara lain adalah :
1. Kebutuhan untuk pemerataan ekonomi daerah. Menurut data IRDA, kebutuhan untuk
pemerataan ekonomi menjadi alasan paling populer digunakan untuk memekarkan
sebuah daerah.
2. Kondisi geografis yang terlalu luas. Banyak kasus di Indonesia, proses delivery
pelayanan publik tidak pernah terlaksana dengan optimal karena infrastruktur yang
tidak memadai. Akibatnya luas wilayah yang sangat luas membuat pengelolaan
pemerintahan dan pelayanan publik tidak efektif.
3. Perbedaan Basis Identitas. Alasan perbedaan identitas (etnis, asal muasal keturunan)
juga muncul menjadi salah satu alasan pemekaran. Tuntutan pemekaran muncul karena
biasanya masyarakat yang berdomisili di daerah pemekaran merasa sebagai komunitas
budaya tersendiri yang berbeda dengan komunitas budaya daerah induk.
4. Kegagalan pengelolaan konflik komunal. Kekacauan politik yang tidak bisa
diselesaikan seringkali menimbulkan tuntutan adanya pemisahan daerah.
5. Adanya insentif fiskal yang dijamin oleh Undang-Undang bagi daerah-daerah baru hasil
pemekaran melalui Dana Alokasi Umum (DAU), bagi hasil Sumber Daya Alam, dan
Pendapatan Asli Daerah.
Secara umum, beberapa implikasi pemekaran daerah antara lain adalah :
1. Implikasi di bidang Politik Pemerintahan. Dari sisi politis, pemekaran wilayah dapat
menumbuhkan perasaan homogen daerah pemekaran baru yang akan memperkuat civil
society agar lebih aktif dalam kehidupan politik.
2. Implikasi di bidang Sosio Kultural
Dari dimensi sosial, kultural, bisa dikatakan bahwa pemekaran daerah mempunyai
beberapa implikasi positif, seperti pengakuan sosial, politik dan kultural terhadap
masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran, sebuah entitas masyarakat yang
mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran yang panjang, kemudian memperoleh
pengakuan setelah dimekarkan sebagai daerah otonom baru.
3. Implikasi Pada Pelayanan Publik
Dari dimensi pelayanan publik, pemekaran daerah memperpendek jarak geografis
antara pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, terutama ibukota pemerintahan
daerah. Pemekaran juga mempersempit rentang kendali antara pemerintah daerah
dengan unit pemerintahan di bawahnya.
4. Pemekaran dianggap sebagai cara untuk meningkatkan pembangunan di daerah miskin,
khususnya dalam kasus pembentukan kabupaten baru. Adanya pemekaran dinilai akan
memberi kesempatan kepada daerah miskin untuk memperoleh lebih banyak subsidi
dari pemerintah pusat (khususnya melalui skema DAU dan beberapa DAK), hal ini
akan mendorong peningkatan pendapatan per kapita di daerah tersebut.
5. Implikasi Pada Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional
Pembentukan daerah otonom baru, bagi beberapa masyarakat pedalaman dan
masyarakat di wilayah perbatasan dengan negara lain, merupakan isu politik nasional
yang penting.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu motivasi untuk
membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana transfer ini dikenal
sebagai dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK), serta Dana Bagi Hasil (DBH) baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil
sumber daya alam. Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah adalah DAU.
Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya
membebani APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang
dialokasikan didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan
berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran.
Tentunya sebagai daerah baru, penerimaan DAU tersebut lebih diarahkan pada
pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor pemerintahan, rumah dinas, serta
pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja pegawai. Pengeluaran yang berkaitan dengan
aparatur pemerintahan ini jelas memiliki pengaruh yang sedikit kepada masyarakat sekitar.
Penyediaan barang publik kepada masyarakat tentunya akan menjadi berkurang
dikarenakan pada tahun-tahun awal pemekaran daerah, pembangunan lebih difokuskan pada
pembangunan sarana pemerintahan. Karena itu, aliran DAU kepada daerah pemekaran,
menjadi opportunity lossterhadap penyediaan infrastruktur dan pelayanan publik kepada
masyarakat.
Jumlah ini tentunya tidaklah sedikit. Berdasarkan hasil evaluasi Kementerian Keuangan
terhadap 145 daerah otonomi baru menunjukkan bahwa sekitar 80% tidak berdampak positif,
baik dalam konteks pelayanan publik maupun kesejahteraan masyarakat. Mayoritas (86%)
sumber pendapatan APBD kabupaten/kota dan 53% APBD provinsi dari dana perimbangan
yang dialokasikan Depkeu. Sebagian besar alokasi APBD (58%) digunakan untuk belanja
pegawai, sedangkan biaya pembangunan cuma 21%.
Dalam APBN 2009, dana transfer ke daerah ditetapkan sebesar Rp 303,1 triliun yang
terdiri dari dana perimbangan sebesar Rp 279,3 triliun dan dana otonomi khusus dan
penyesuaian sebesar Rp 23,7 triliun. Dana perimbangan sebesar Rp 279,3 triliun terdiri dari
DBH sebesar Rp 68,1 triliun, DAU sebesar Rp186,4 triliun, dan DAK sebesar Rp24,8 triliun.
BAB VI Kekerasan Dalam Pemekaran Daerah
A. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan
Banyak yang berkepentingan dengan pemekaran daerah. Tidak semua pihak yang
terlibat dalam pemekaran semata-mata atas dasar kepentingan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Tidak semua juga hanya bertujuan agar terjadinya proses
pemberdayaan masyarakat lokal (local empowerment), ada diantara pihak yang memiliki
agenda tersembunyi (hidden agenda) yang terkadang tidak mampu dideteksi secara dini.
Perbedaan kepentingan ini terkadang menimbulkan gesekan-gesekan diantara komponen
yang terlibat dalam pemekaran. Bahkan terjadi kekerasan/ kerusuhan yang seringkali
menelan korban jiwa atas nama kepentingan masyarakat daerah pemekaran.
Memang semua tahapan pemekaran daerah rawan aksi kekerasan/kerusuhan.
Masyarakat begitu mudah terprovokasi oleh isu-isu yang belum pasti kebenarannya.
Beberapa tahapan pemekaran yang rawan terjadi kekerasan/kerusuhan. Pertama, tahap
pengajuan administrasi pemekaran. Kedua, tahap menunggu persetujuan pemekaran oleh
daerah induk (kabupaten/provinsi induk). Ketiga, tahap menunggu persetujuan pemekaran
dari Kementerian Dalam Negeri.
Pertama, tahap pengajuan administrasi pemekaran. Menjadi rawan dalam tahapan ini
apabila elemen masyarakat daerah yang akan dimekarkan kurang kompak. Terkadang muncul
berbagai elemen dalam masyarakat yang mengatasnamakan “gerakan masyarakat” dalam
berbagai bentuknya. Ada yang menamakan presidium pemekaran, forum masyarakat atau
apapun namanya yang mengatasnamakan masyarakat dan mendeklarasikan sebagai kelompok
paling berhak mewakili daerah yang akan dimekarkan.
Bertambah runyam kondisinya apabila “perpecahan” elemen masyarakat ini juga
dimanfaatkan oleh para elit politik yang berkepentingan dengan isu pemekaran tersebut.
Kebanyakan politikus memerlukan panggung bagi eksistensi diri mereka ditengah-tengah
masyarakat baik dengan alasan agar terpilih kembali untuk mempertahankan jabatannya,
sebagai investasi kedepan dalam rangka suatu pemilihan baik pemilihan anggota legislatif
atau kepala daerah. Ada juga elit politik yang memerlukan panggung pemekaran daerah
sebagai arena untuk “memukul” lawan politiknya. Isu pemekaran daerah justru dimanfaatkan
untuk pengerahan massa dengan tujuan merepotkan lawan politik di berbagai tingkatan yang
ada kaitannya dengan rencana pemekaran tersebut.
Bukan juga tidak ada, mereka yang gencar maju paling depan untuk memekarkan
daerah dan dengan lantang berteriak sanggup berkorban apa saja dengan motivasi pribadi.
Ada yang berharap dapat memanfaatkan dana pemekaran yang biasanya disiapkan oleh
kabupaten/provinsi induk dalam jumlah yang cukup besar.
Mungkin juga motivasi itu muncul dengan harapan setelah terjadi pemekaran, ada
kesempatan untuk mendapatkan salah satu jabatan yang cukup banyak muncul setelah
terbentuk kabupaten/provinsi baru. Akan ada “puluhan” kursi legislatif. Ada kesempatan
yang terbuka untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Bagi mereka yang berstatus
PNS (Pegawai Negeri Sipil) akan ada kesempatan untuk menduduki berbagai jabatan di
birokrasi. Ada puluhan jabatan kepala SKPD (kepala dinas atau kepala bagian/biro). Apalagi
jika status sebagai putra daerah juga diperhitungkan.
Dalam kondisi dan motivasi “yang seperti ini’ maka jangan heran jika elemen-elemen
masyarakat dalam proses pemekaran tersebut sangat rawan bergesekan. Sesama mereka saja
terkadang tidak kompak karena ingin masuk dalam kategori paling berjasa. Terkadang dalam
perjalanannya muncul elemen-elemen masyarakat baru yang terbentuk belakangan yang
mendeklarasikan suatu organisasi dadakan atas nama pemekaran daerahnya.
Kedua, tahap menunggu persetujuan pemekaran oleh daerah induk (kabupaten/provinsi
induk). Tahapan ini cukup potensial memunculkan kekerasan apabila tidak diantisipasi sedari
awal. Kerawanan itu muncul karena: a) adanya kecurigaan bahwa kepala daerah induk
mempersulit pemekaran. Kepala daerah dicurigai tidak setuju dengan pemekaran karena
pembentukan daerah baru dinilai menggrogoti/mengurangi wilayah kekuasaannya. Tuduhan
ini semakin serius apabila kepala daerah ternyata bukan berasal dari etnis wilayah yang
dimekarkan (bukan putra daerah). b) adanya kecurigaan bahwa daerah induk enggan
melepaskan daerah pemekaran karena memiliki sumber daya alam yang potensial.
DPRD (provinsi atau kabupaten/kota) terkadang menjadi sasaran pula pada tahapan
menunggu pengesahan dari daerah induk. Apalagi ada provokasi bahwa DPRD adalah
lembaga yang menahan proses persetujuan oleh DPRD setempat. Kecurigaan ini terkadang
menimbulkan demonstrasi besar-besaran dengan maksud memberikan tekanan kepada para
anggota DPRD agar mensahkan wilayah pemekaran yang diusulkan tersebut. Tidak jarang
demonstrasi anarkis yang juga meminta korban. Sebagai contoh ketua DPRD Sumatera Utara
Abdul Aziz dianiaya dan meninggal dunia setelah demonstrasi pemekaran Tapanuli di
gedung DPRD Sumatera Utara.
Tentu saja masa tunggu pengesahan oleh DPR-RI rawan pula kekerasan. Seringkali
selama masa tunggu diterbitkannya persetujuan pemekaran oleh DPR-RI sempat berkembang
isu-isu sensitif yang dapat menyulut emosi masyarakat di daerah pemekaran. Tidak jarang
dalam situasi tersebut melahirkan demonstrasi yang rawan bentrok dan kerusuhan.
Ketiga, tahap menunggu persetujuan pemekaran dari Kementerian Dalam Negeri.
Tahapan menunggu keluarnya Permendagri yang menyetujui pembentukan daerah otonomi
baru. Para provokator terkadang memanfaatkan masa tunggu ini yang juga rawan demonstrasi
dan kerusuhan. Apalagi jika para provokator berhasil menyebar luaskan isu yang jauh dari
kebenaran tetapi meyakinkan untuk memprovokasi masyarakat. Di Sumatera Selatan,
demonstrasi pemekaran kabupaten Musi Rawas Utara yang menelan empat korban jiwa, juga
diakibatkan lamanya masa tunggu pengesahan oleh DPR-RI dan Mendagri tersebut.
B. Kasus-kasus Kekerasan Dalam Pemekaran Daerah
1. Pemekaran Provinsi Tapanuli
KETUA DPRD TEWAS Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat (berpeci) ketika dievakuasi, menyusul kekerasan dalam aksi demo pembentukan Provinsi Tapanuli di Gedung DPRD Sumut, Selasa (3/2/09). Ketua DPRD Sumut akhirnya meninggal
dunia setelah dilarikan ke Rumah Sakit Gleni Internasional Medan.
Provinsi Tapanuli merupakan rencana pemekaran Provinsi Sumatera Utara, terletak
pada bagian Barat kawasan Sumatera Utara saat ini. Kabupaten/kota yang bergabung ke
dalam provinsi ini meliputi :
1. Kota Sibolga (ibu kota)
2. Kabupaten Tapanuli Tengah
3. Kabupaten Tapanuli Utara
4. Kabupaten Samosir
5. Kabupaten Toba Samosir
6. Kabupaten Humbang Hasundutan
Demo pemekaran Provinsi Tapanuli di DPRD Sumatera Utara berlangsung rusuh.
Massa yang berjumlah ribuan menyerbu gedung Dewan, pagar pembatas gedung yang biasa
digunakan celah antara gedung dengan tempat aksi demo roboh.
Massa dengan leluasa masuk ke gedung Dewan. Sebagian dan menyerbu ruang Ketua
Dewan Abdul Wahab Dalimunte. Massa yang lain menggedor-gedor kaca. Polisi yang
berjaga-jaga tak berkutik. Massa memaksa Ketua Dewan Abdul Wahab Dalimunte
menandatangani rekomendasi pemekaran Provinsi Tapanuli. Tuntutan massa akhirnya
dikabulkan pimpinan Dewan.
G.M. Candra Panggabean, Ketua Umum Panitia Pemekaran Provinsi Tapanuli,
mengatakan sejak 2002 masyarakat menginginkan Tapanuli menjadi provinsi. "Kami ingin
lepas dari Sumatera Utara," ucap Candra Panggabean yang juga tercatat sebagai anggota
DPRD Sumatera Utara.
Candra mengatakan, kalau ada sedikit kerusuhan itu implementasi rakyat ingin
ketemu dengan wakilnya. Sementara itu, pihak kepolisian tidak bersedia dikonfirmasi.
Komisaris Suprayitno, penanggung jawab keamanan luar gedung DPRD Sumatera
Utara menghilang. Sedangkan Komisaris Iwan mengatakan, dirinya hanya bertanggung
jawab dibagian gedung Dewan. Berdasarkan pengamatan Tempo, kedatangan dan jumlah
massa tidak diantisipasi pihak kepolisian.14
Proses ini berujung pada sebuah peristiwa tragis 3 Februari 2009. Sejarah pun
mencatat proses pemekaran di Sumatera Utara itu sebagai salah satu contoh pemekaran
paling tragis.
14 Tempo.Com, Demo Tuntutan Pemekaran Tapanuli Rusuh, Selasa,, 24 APRIL 2007, AKSES, 20 AGUSTUS 2013, JAM 12:10
Pada 3 Februari itu, ribuan pendukung provinsi Tapanuli berunjuk rasa penuh semangat
di gedung DPRD Sumatera Utara. Tuntutan mereka satu: meminta DPRD segera memberikan
rekomendasi. Ini adalah persyaratan terakhir yang diperlukan untuk meneruskan
pembentukan provinsi Tapanuli.
Tapi demonstrasi itu ricuh. Ketua DPRD Sumatera Utara Aziz Angkat dikeroyok massa
sampai tewas. Upaya pemekaran seperti terhantam badai. Sebanyak 16 pelaku demonstrasi
dan orang-orang di baliknya diseret ke pengadilan satu per satu. Chandra termasuk di
dalamnya karena dituding sebagai otak. Chandra, yang bekas anggota DPRD Sumatera Utara,
dihukum delapan tahun penjara.
Sejak saat itu, gaung provinsi Tapanuli seperti mereda. Tapi Chandra mengatakan
upaya mengusulkan pemekaran tak serta- merta berhenti. “Desakan dari masyarakat masih
kuat,”katanya. Menurut Chandra, proses pemekaran tinggal selangkah lagi karena seluruh
persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah 129 Tahun 2000 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 078 Tahun 2007 sudah dipenuhi. Satu-satunya yang tersisa adalah
rekomendasi DPRD Sumatera Utara.
Chandra menuturkan sederet alasan Tapanuli harus tumbuh sebagai provinsi sendiri.
Tapanuli, kata dia, akan terus menjadi daerah tertinggal bila tak dimekarkan. Padahal, pada
masa kolonial, Tapanuli termasuk wilayah residen. “Tapanuli adalah satu-satunya residen
yang belum menjadi provinsi,” Chandra menambahkan.
Massa juga menuntut ketua DPRD Sumatera Utara memerintahkan anggota Dewan
hadir dalam sidang besok. Namun, permintaan itu tak disanggupi Aziz. Alasannya, keputusan
tersebut tergantung fraksi.
Massa tak menerima alasan itu. Mereka kemudian meninju muka Aziz secara bertubi-
tubi. Aziz diseret sejauh 25 menter sambil dipukuli dan diinjak-injak. Aksi ini berlangsung
sekitar sepuluh menit. Akibatnya, wajah dan mulutnya mengeluarkan darah dan tubuhnya
membiru di sejumlah tempat.
Massa semakin beringas karena polisi tak segera bereaksi melihat Aziz ayng dikeroyok.
Dalam aksi itu sekitar 250 polisi berjaga di sekitar kejadian. Wakil Kepala Kepolisian Kota
Besar Medan ikut mengamankan jalannya aksi tersebut.
Saat itu Aziz terkapar. Massa dan polisi kemudian membopongnya ke dalam truk
pengendali massa milik kepolisian. Ia dibawa ke rumah sakit Gleneagles di Medan. Aziz
sempat dirawat, namun sekitar pukul 13.00 WIB nyawanya tak tertolong (meninggal). 2. Pemekaran Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) Sumatera Selatan
Empat orang tewas dalam unjuk rasa menuntut pemekaran Musi Rawas Utara
(Muratara), Sumatera Selatan, pada Senin malam (29/4). Kepala Divisi Humas Mabes Polri,
Irjen Suhardi Alius mengungkapkan, kejadian berawal saat 500 pengunjuk rasa memblokir
Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Muara Rupit Simpang Empat, Karang Dampu, Musi Rawas
menuntut pemekaran Muratara.
"Massa memblokir total Jalinsum dengan mendirikan tenda-tenda di perempatan
Kelurahan Muara Rupit, Kecamatan Rupit, namun dihimbau Kapolres Musi Rawas AKBP
Barly Ramadani agar tidak memblokir jalan," kata Suhardi.
Dijelaskannya, Kapolres dan Sarkowi selaku Ketua Presidium Pemekaran Kabupaten
Muratara mendatangi Redy selaku koordinator lapangan unjuk rasa, meminta pengunjuk rasa
tidak menutup Jalinsum, namun ditolak Redy. Untuk menghadapi upaya pembubaran polisi,
Redy bahkan meminta massa untuk menyiapkan diri dengan senjata api rakitan jenis kecepek
dan golok.
Melihat situasi tersebut, Kabag Hukum Pemkab Musi Rawas, Rahman dan Kabag
Linmas, Mita Joni, yang diutus Bupati Musi Rawas, lalu menemui pengunjuk rasa dan
melakukan negosiasi serta menjelaskan bahwa Muratara setuju untuk dimekarkan. Ketika
Kapolres berusaha menenangkan massa terjadi aksi pelemparan batu dari arah massa
pengunjuk rasa ke aparat kepolisian.
"Hal itu memicu bentrokan antara massa dengan pihak kepolisian dan terdengar suara
letusan senjata api, yang diperkirakan kecepek, dari arah kerumunan massa kemudian dibalas
oleh petugas Dalmas," ujar Suhardi.
Massa semakin beringas dan melakukan perusakan dan pembakaran Mapolsek Muara
Rupit. Hingga dinihari pukul 01.30 WIB, massa masih berkumpul di RS Muara Rupit dan
melakukan pemblokiran di Jalinsum.
Korban tewas akibat bentrokan tersebut, ada empat yaitu Padillah, 45, Nikson, 20,
Suharto, 18 dan Rinto.
EMPAT ORANG TEWAS Aksi demonstrasi menuntut pemekaran Kabupaten Musi Rawas Utara,Kecamatan Muara Rupit, Kabupaten Musi Rawas
Provinsi Sumatera Selatan, Senin 29 April 2013 pagi hingga malam, berakhir bentrok antara Polri dan pendemo. Akibatnya Empat warga tewas, puluhan warga mengalami luka tembak dua kantor Polsek dibakar.
C. Pengetatan Pemekaran Wilayah
Idealnya, pemekaran wilayah bertujuan memperpendek rentang kendali pelayanan
kepada masyarakat. Melalui cara ini diharapkan agar ada percepatan pencapaian
kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, pemekaran wilayah yang marak di era otonomi
daerah saat ini tidak selamanya berhasil mencapai tujuan tersebut. Konsep pemekaran
tersebut seringkali ternodai oleh perebutan kepentingan antara pihak-pihak tertentu yang
berdampak pada konflik di masyarakat.
Antuasiasme berlebihan dari masyarakat juga bersinggungan dengan kebijakan
Kementerian Dalam Negeri yang menghentian sementara (moratorium) pemekaran wilayah
ini. Akibatnya konflik yang tak jarang memakan korban pun terjadi di beberapa daerah.
Seperti pada 2009 silam, Ketua DPRD Provinsi Sumut Abdul Azis Angkat meninggal
dunia saat masyarakat pro pemekaran provinsi Tapanuli merangsek masuk ke gedung DPR.
Atau yang terbaru, sebanyak empat orang tewas dan 10 anggota polisi luka-luka saat insiden
Musi Rawas, Sumatera Selatan.
Atas dasar itu seharusnya persiapan dan penilaian untuk pemberian izin dari pemerintah
harus sangat matang. Persoalan diterima atau ditolaknya usulan pengembangan wilayah bisa
karena soal administrasi persyaratan yang belum memenuhi persyaratan, tapi bisa jadi juga
persoalan pengaruh politik.
Selain itu, provinsi dan kabupaten yang sudah ada saat ini juga sangat penting untuk
berlomba-lomba menjadi daerah yang memiliki tata kelola pemerintahan yang baik yang
dapat dicontoh oleh daerah-daerah baru hasil pemekaran.
Daerah yang berhasil mengelola wilayahnya berdasarkan asas-asas pemerintahan yang
baik, tata kelola pemerintahan yang baik sangat mungkin memberikan kesejahteraan kepada
warganya karena keberhasilan pembangunan yang dicapainya. Dengan adanya kemajuan
daerah dan masyarakat makin sejahtera, permintaan pemekaran wilayah yang anarkistis, bisa
jadi terminimalisir.
Pemekaran daerah, terutama untuk daerah-daerah diluar pulau Jawa masih perlu
dimekakrkan baik karena pertimbangan geografis maupun pertimbangan percepatan
pembangunan. Namun demikian, apabila suatu daerah akan dimekarkan, maka ada beberapa
hal yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, pengetatan persyaratan pemekaran dan pengaturan sanksi bila terjadi
manipulasi aspirasi dan data. Hasrat yang tinggi untuk memekarkan daerahnya, terkadang
daerah menggunakan berbagai cara yang bersifat “menghalalkan segala cara” termasuk
menampilkan data yang sepertinya sempurna dan lengkap. Oleh karena itu pihak-pihak yang
memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian kelayakan usulan pemekaran wilayah harus
memastikan benar keaslian, akurasi dan kepastian data yang disampaikan. Jangan sampai
terjadi data yang disampaikan sebenarnya tidak sesuai dengan siatuasi sesungguhnya di
lapangan. Apabila ini terjadi, termasuk misalnya persoalan batas wilayah, sangat mungkin
terjadi sengketa perbatasan dikemudian hari.
Selain itu, harus ada suatu mekanisme penilaian bagi daerah-daerah yang baru
dimekarkan. Sebaiknya dilakukan masa percobaan untuk waktu tertentu bagi wilayah
pemekaran untuk dilakukan penilain. Pemerintah tidak segan-segan membatalkan pemekaran
apabila ternyata dengan tolok ukur yang jelas daerah yang baru dimekarkan tidak mampu
mencapai target sebagaimana yang dipersyaratkan tersebut.
Kedua, Gubernur lebih difungsikan lagi dalam dalam pembahasan pengembangan
wilayah (penghapusan, pemekaran atau penggabungan). Bukan berarti selama ini Gubernur
sama sekali tidak dilibatkan, namun di era otonomi daerah sikap respek daerah
kabupaten/kota kepada Gubernur memang terkesan menurun. Apalagi dalam soal pemekaran
wilayah (pembentukan daerah otonomi baru) seakan-akan sepanjang masyarakat
menghendaki, persyaratan formal (seperti jumlah kecamatan) terpenuhi dan mendapat
dukungan dari DPRD setempat maka tidak ada pihak lain yang dapat/ boleh menghalangi
upaya pemekaran wilayah tersebut.
Ketiga, pemerintah pusat harus memiliki mekanisme yang lebih baik dalam menilai
kecocokan suatu wilayah untuk dimekarkan. Harus ada tolok ukur yang jelas dan objektif
untuk menentukan apakah suatu wilayah memang pantas untuk dimekarkan. Upaya ini
termasuk juga dengan cara merevitalisasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)
dengan lebih banyak diisi oleh pakar yang kredibel agar bisa melakukan evaluasi
pengembangan wilayah secara baik.
Keempat, lembaga perwakilan rakyat (dalam hal ini Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat) harus berdiri sejajar dalam pembahasan apakah suatu wilayah
memang tepat untuk dimekarkan. Anggota DPD seharusnya lebih berperan dan lebih
berpeluang untuk menilai secara objektif terhadap suatu wilayah yang mengusulkan diri
untuk dimekarkan. Namun harus juga dihindari bahwa adanyanya unsur politik yang kental
dalam pemberian dukungan/penolakan terhadap pemekaran suatu daerah.
DAFTAR BACAAN
Amzulian Rifai, Pengelolaan Pertambangan Di Era Otonomi Setengah Hati, Makalah pada Forum Diskusi Ilmiah Hukum Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Tanggal 22 Juli 2008
______,Beberapa Permasalahan Hukum di Daerah Pada Era Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNSRI, 6 September 2005.
______,Sengketa Asset Karena Pembentukan Daerah Baru, Penerbit UNSRI, Palembang, 2004.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah
Kompas, MK Batalkan Hasil Pilkada Bengkulu Selatan,Jum’at,9 Januari 2009,hal 5.
Sriwijaya Post, “OI Andalkan Peta Belanda ME Ungkapkan Cerita Puyang”, Kamis, 8 Januari 2009, hal 1.
_______, Warga Kayuara Masih Trauma,” Jum’at, 9 Januari 2009, hal 1
Sumatera Ekspres, Gubernur Deadline Dua Minggu, Kamis, 8 Januari 2009, hal 11. _______, “10 Januari Cek Perbatasan”, Jum’at, 9 Januari 2009, hal 27. Survei Lembaga Survey Indonesia : Otonomi Daerah Dinilai Gagal.
http://www.lsi.or.id/liputan/237/survei-lsi-otonomi-daerah-dinilai-gagal, akses 09 Januari 2008 jam 06:05
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun 1967