KATA PENGANTAR - · PDF fileBAB II PEMBAHASAN 1. Akar Pendekatan Kognitif-Behavioral...
-
Upload
truongquynh -
Category
Documents
-
view
271 -
download
1
Transcript of KATA PENGANTAR - · PDF fileBAB II PEMBAHASAN 1. Akar Pendekatan Kognitif-Behavioral...
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan dan kesempatan untuk menyusun Makalah dengan
pembahasan Dari Behaviorisme ke Konstruktivisme: Konseling Pendekatan
Kognitif-Behavioral sebagai pemenuhan tugas Psikologi Konseling. Sholawat
serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam islamiyah. Saya
menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kesempurnan,
karena kesempurnaan hanya milik Allah swt dan saya memohon kritik dan saran
yang bersifat membangun senantiasa kami tunggu demi kelengkapan tugas ini.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini khususnya bapak Andhy Budhy Rakhmat, M.
Psi., Psikolog, dan untuk yang lainnya. Terimakasih.
Makassar, 09 Oktober 2016
Oleh Kelompok 3
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 1
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 2
BAB I Pendahuluan .............................................................................................. 3
Latar Belakang .................................................................................................... 3
BAB II Pembahasan .............................................................................................. 4
1. Akar Pendekatan Kognitif-Behavioral ......................................................... 4
2. Aplikasi Ide Behavioral dalam Praktik Klinis .............................................. 5
3. Metode Behavioral dalam Konseling ........................................................... 6
4. Elemen Kognitif ........................................................................................... 9
5. Proses Kognitif ............................................................................................ 9
6. Kandungan Kognitif .................................................................................. 12
7. Teknik Dan Metode Konseling Kognitif-Behavioral ................................ 15
8. Sebuah Penilaian Terhadap Pendekatan Kognitif-Behavioral ................... 16
9. Revolusi Konstruktivis ............................................................................... 17
10. Terapi berfokus solusi ................................................................................ 18
BAB III Penutup ................................................................................................. 22
Kesimpulan ..................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 23
3
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dengan metode yang khas, tradisi kognitif-behavioral merepresentasikan
pendekatan konseling yang penting. Pendekatan ini bersumber dari psikologi
behavioral (perilaku) dan memiliki tiga karakteristik: pemecahan masalah
(problem solving), pendekatan perubahan terfokus (change focused approach)
untuk menghadapi klien; penghormatan terhadap nilai ilmiah; dan memiliki
perhatian yang lebih terhadap proses kognitif – alat untuk mengontrol dan
memonitor tingkah laku mereka. Perspektif konstruktivisme (constructivism)
memberikan perhatian khusus kepada bahasa yang digunakan oleh orang-orang
untuk menciptakan realitas di mana mereka hidup, dan terapis konstruktivisme
mencoba membantu klien untuk menjadi lebih sadar akan bahasa tersebut, dan
mengubahnya.
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Akar Pendekatan Kognitif-Behavioral
Karakteristik konseling kognitif-behavioral, merupakan keharusan untuk
meneliti sumber historis dalam disiplin keilmuan psikologi akademis. Pendekatan
kognitif-behavioral merepresentasikan keterbukaan ilmiah ketimbang aliran besar
terapi lainnya. Pendekatan kognitif-behavioral bersumber dari psikologi
behavioral, yang diketahui secara luas, diciptakan oleh J. B. Watson, khususnya
melalui publikasi Psychology from the Standpoint of a Behaviourist pada 1919.
Metode riset terhadap topik-topik psikologi seperti memori, belajar, pemecahan
masalah, dan persepsi - digunakan oleh Wundt dan yang lain seperti Titchener dan
dikenal dengan sebutan teknik introspeksi (introspection)- . Teknik ini cenderung
menghasilkan data yang kontradiktif, karena objek yang berbeda dalam
laboratorium yang berbeda melaporkan peristiwa internal yang berlainan, bahkan
ketika melaksanakan tugas kejiwaan yang sama. Menurut Watson, kelemahan dari
teknik introspeksi sebagai metode ilmiah adalah ketertutupannya terhadap
penilaian kritis.
Manifesto behavioral Watson meyakinkan banyak koleganya, terutama di AS,
dan untuk tiga puluh tahun kemudian aliran utama psikologi akademis didominasi
oleh ide aliran behavioral. Tugas utama yang ditetapkan oelh para behavioris
seperti Guthrie, Spence, dan Skinner adalah menemukan “hukum belajar” (the law
of learning). Mereka mengambil posisi yang menyatakan bahwa semua
kepercayaan dan kebiasaan yang ditunjukkan oleh seseorang bersifat dipelajari,
dan karena itu tugas paling penting dari psikologi adalah menemukan cara orang
belajar. Lebih jauh, mereka juga berpendapat bahwa prinsip dari pembelajaran,
atau mengaku isi perilaku baru, adalah sama untuk setiap organisme. Karena itu,
jelas terdapat banyak keuntungan etik dan praktik dalam melakukan percobaan
dengan hewan.
5
Asumsi yang menyatakan bahwa psikologi manusia dapat dijelaskan melalui
perilaku hewan merupakan salah satu pandangan yang dianggap rasional oleh
hanya sedikit orang saat ini. Dalam analisis terhadap akar behaviorisme, Bakan
dalam McLeod (2006) menunjukkan bahwa behavioris seperti Skinner tumbuh di
lingkungan yang penuh hewan dan mesin, dan karena itu tidak diragukan lagi
mengapa ia tertarik dengan ide melaksanakan eksperimen laboratorium terhadap
hewan kecil. Faktor lain dalam perkembangan behaviorisme adalah pertumbuhan
yang paralel dalam pengaruh psikoanalisis, yang oleh psikolog behaviorisme
dianggap sebagai sesuatu yang secara ilmiah berbahaya dan tidak terarah.
Walaupun di awal kemunculannya oada 1930-an dan 1940-an aliran
behaviorismke dipandang oleh mereka yang terlibat dalam konseling dan
psikoterapi merupakan visi dan citra manusia yang kering dan tidak sesuai, adalah
esensial untuk mengakui pengaruhnya yang dalam terhadap para psikologi di AS,
siapa pun yang memasuki dunia konseling dan psikoterapi dengan latar belakang
psikolog (seperti Carl Rogers) paling tidak membawa sisa-sisa pemikiran
behavioral dan sikap behavioris. Dan, dalam behaviorisme itu sendiri muncul
kesadaran bahwa model stimulus-respons saja tidak mencukupi, bahkan untuk
hanya sekedar melaporkan perilaku hewan di laboratorium. Ketertarikan baru
terhadap kognisi dalam aliran behaviorisme sesuai dengan karya Piaget yang
memolopori studi perkembangan pikiran pada anak-anak, dan juga dengan Barlett
di Cambridge, yang menguji cara orang-orang merekonstruksi peristiwa yang
mereka ingat dari memori jangka panjang (long term memory).
2. Aplikasi Ide Behavioral dalam Praktik Klinis
Sepanjang sejarah mereka, psikolog behavioral mencari cara untuk
mengaplikasikan ide mereka untuk menjelaskan masalah psikologis dan
emosional. Mungkin teoritikus pertama yang memerhatikan masalah emosional
dari sudut pandang behavioral adalah Pavlov, psikolog sekaligus fisiolog Rusia
yang bekerja pada akhir abad ke-19, yang mencatat bahwa ketika dia menetapkan
tugas perseptual yang sulit bagi anjing eksperimentalnya (misalnya, anjing
6
tersebut akan diberikan ganjaran jika ia merespons lingkaran dan tidak merespons
stimulus yang berbentuk lonjong), binatang tersebut akan tertekan, melolong, dan
kemudian "menyerah".
Skinner dalam McLeod (2006) menemukan bahwa ketika para binatang
diberi hadiah atau hukuman secara acak, tanpa ada hubungan antara perilaku
aktual mereka dengan hasilnya, dalam arti makanan, mereka mulai mendapatkan
perilaku ritualistik atau obsesional. Seligman dalam McLeod (2006) telah
melakukan penelitian terhadap fenomena "belajar putus ada". Dalam penelitian
Seligman, si hewan tetap berada dalam kurungan dan tidak bisa lari atau dengan
memberikan kejutan berupa sengatan listrik. Seligman memangdang karyanya ini
memberikan beberapa petunjuk terhadap akar depresi. Bagi para penganut aliran
behavioral, penelitian-penelitian ini menyajikan bukti yang meyakinkan bahwa
masalah psikologis dan psikiatris dapat dijelaskan, dan akhirnya di tangani,
dengan menggunakan prinsip behavioral.
3. Metode Behavioral dalam Konseling
Modifikasi perilaku (behavior modofification) adalah sebuah teknik yang
berangkat dari konsepsi Skinnerian bahwa dalam setiap situasi atau dalam
merespons setiap stimulus, seseorang sudah memiliki perbendaharaan respons
yang mungkin sesuai dengan stimulus tersebut, dan mengeluarkan perilaku yang
dikuatkan atau diberi ganjaran. Prinsip ini dikenal dengan istilah operant
conditioning (pengkondisian operan). Skinner dalam McLeod (2006) berpendapat
bahwa respons yang akan dikeluarkan adalah yang paling sering dikuatkan di
masa lalu. Diaplikasikan kepada individu dengan perilaku bermasalah, ide ini
menyatakan bahwa adalah sesuatu yang berguna untuk memberikan hadiah atau
menguatkan perilaku yang diharapkan, dan mengacuhkan perilaku yang tidak
diharapkan. Jika sebuah perilaku tidak segera diberikan penguatan, maka akan
berlangsung proses penghapusan, dan secara perlahan akan menguras
perbendaharaan yang ada.
7
Ayllon dan Azrin dalam McLeod (2006) mengaplikasikan teknik ini di
bangsal psikiatri di sebuah rumah sakit terhadap beberapa orang yang terganggu
jiwanya dengan menggunakan teknik yang dikenal dengan istilah token economy.
Efektivitas modifikasi perilaku dan program token economy, amat bergantung
kepada eksistensi lingkungan sosial terkontrol, yang menjadikan perilaku si objek
dapat dikuatkan secara konsisten ke arah yang diinginkan. Cara lain yang dapat
menjadikan modifikasi perilaku sebagai sebuah tindakan pelecehan dalam
praktiknya adlaah dengan terlalu memberikan penekanan kepada teknik yang
dikenal dengan "time out" (istirahat). Pada prinsipnya, cara ini menjadi sebuah
tragedi intervensi yang berharga yang dapat menolong sebagian orang untuk
mengubah perilaku yang dapat mengarahkan mereka ke dalam bahaya serius.
Modifikasi perilaku tidak dapat ditempatkan dengan mudah dalam hubungan
konseling yang biasanya bersifat kolaboratif, hubungan one-to-one, yang
membuat klien dapat membicarakan masalah mereka. Walaupun demikian,
prinsip modifikasi perilaku dapat diadaptasikan untuk digunakan dalam setting
konseling, dengan menjelaskan ide behavioral kepada klien dan bekerja sama
dengan klien untuk mengaplikasikan ide-ide ini untuk menimbulkan perubahan
dalam hidupnya. Pendekatan ini kerap disebut dengan istilah "behavioral self-
control", dan melibatkan analisis fungsional pola perilaku yang bertujuan tidak
lebih dari pada "mengetahui diri mereka sendiri" atau "mengetahui variabel
pengontrol mereka" (Thoresen dan Mahoney dalam McLeod, 2006).
Teknik lain yang direpresentasikan pada awal konseling dengan pendekatan
behavioral adlaah systematic desensitization (desensitisasi sistematik) yang
dipelopori oleh Wolpe. Pendekatan ini didasarkan kepada model pembelajaran
pengkondisian klasik Pavlov. Wolpe melihat adanya kemiripan antara
pengkondisian klasik dengan akuisi respons rasa takut atau cemas dalam diri
manusia. Mirip dengan hal tersebut, si korban juga mengalami respons refleks
otomatis terhadap stimulus atau situasi yang ada, dalam kasus ini respons refleks
rasa takut. Akhirnya, respons takut tersebut bisa menggeneralisir kepada stimulus
lain yang berhubungan dengan tabrakan tersebut, misalnya berpergian dengan
8
mobil atau bahkan keluar dari pintu. Oleh karena itu, korban tabrakan yang
menjadi cemas atau fobia terhadap bepergian dapat dipahami sebagai seseorang
yang menderita respons emosional yang dikondisikan. Dan menurut Pavlov,
solusinya adalah dengan menghadapkan kembali orang tersebut kepada kondisi
perangsang dengan tidak menyertakan elemen rasa takut yang asli. SWwemua ini
dapat diraih melalui proses desentisasi sistematik. Pertama-tama si klien harus
belajar rileks. Konselor dapat melakukan latihan relaksasi selama sesi konseling
atau memberikan instruksi untuk melakukan relaksasi beserta kaset kepada klien
untuk berlatih di rumah. Setelah klien berhasil menguasai relaksasi, klien dan
konselor akan bekerja sama mengidentifikasikan hierarki stimulus atau situasi
penghilang rasa takut, mulai dari yang paling menakutkan (misalnya,
mengendarai mobil setelah kecelakaan terhadi) hingga yang paling kurang
menakutkan (seperti melihat mobil dalam majalah). Diakhir metode ini, respons
rileks seharusnya sudah timbul dari setiap stimulus yang ada dalam hierarki
tersebut.
Jelas baik teknik kontrol diri dan desensitisasi sistematik aliran behavioral
bersumber dari "aturan pembelajaran" pengkondisian klasik dan operan.
Walaupun demikian, dalam proses yang merefleksikan gerakan utama dalam
psikologi yang mengarah kepada pendekatan yang lebih kognitif, para kritikus
seperti Breger dan McGaugh dan Locke dalam McLeod (2006) mulai
mempertanyakan apakah proses terapeutik yang menyertai berbagai teknik ini
dapat benar-benar dipahami menggunakan ide para pengikut behavioral.
Pendekatan teori pembelajaran sosial Bandura dalam McLeod (2006) memberikan
kontribusi penting terhadap perkembangan ini. Ketertarikan dalam aspek kognitif
dalam terapi terjadi bersamaan dengan munculnya terapi kognitif, seperti rational
emotive therapy (terapi rasional emosional) (RET) (Ellis dalam McLeod, 2006)
dan terapi kognitig Beck dalam McLeod (2006).
9
4. Elemen Kognitif
Perkembangan elemen kognitif dalam konseling kognitif-behavioral
dideskripsikan dengan baik dalam Ellis dalam McLeod (2006). Ellis dalam
McLeod (2006) menegaskan bahwa usaha paling awal untuk bekerja dengan
klien dalam mode kognitif terdapat dalam bidang terapi seks. Para perintis terapi
seks menemukan bahwa merupakan keharusan bagi mereka untuk
menginformasikan seksualitas dan ragam perilaku seksual kepada klien. Penemu
terapi rasional emosional, maupun Beck , penemu terapi kognitif, memulai karier
terapeutik mereka sebagai psikoanalisis. Keduanya kemudian merasa kurang puas
dengan metode psikoanalisis, dan mereka menjadi lebih sadar akan nilai penting
dari cara klien memikirkan diri mereka sendiri. Beck dalam McLeod (2006)
mendeskripsikan kognisi kritik-diri ini sebagai "pemikiran otomatis" (automatic
thoughts) dan mulai memandang mereka sebagai salah satu kunci menuju terapi
yang sukses. Kesulitan emosional dan perilaku yang dialami oleh seseorang dalam
hidup mereka tidak secara langsung diakhirkan oleh sebuah peristiwa, tetapi oleh
cara mereka menginterpretasikan dan memahami berbagai peristiwa tersebut.
Mengikuti rintisan Ellis dalam McLeod (2006) dan Beck (1976; Beck, et al.,
1979; Beck dan Weishaar, 1989), banyak praktisi klinis dan penulis dalam tradisi
kognitif-behavioral yang memberikan kontribusi terhadap elaborasi dan
konstruksi lebih lanjut pendekatan ini dalam konseling. Dalam ulasan singkat
terhadap perkembangan terpenting dalam ranah kognitif-behavioral ini,
merupakan keharusan untuk memecah bidang tersebut menjadi tiga daerah utama:
proses kognitif, keyakinan maladaptif, dan strategi untuk melakukan intervensi
kognitif.
5. Proses Kognitif
Dalam pengarahan perhatiannnya kepada aspek kognitif cara klien menangani
masalah dalam hidup, konselur kognitif-behavioral menyadari adanya dua tipe
fenomena kognitif menarikyang berbeda satu dengan yang lain. Pertama, orang
berbeda dalamhal keyakinan mereka tentang dunia dalam kesadaran mereka.
10
Konselor kognitif-behavioral telah menemukan strategi intervensi untuk
mengendalikanisu dalam semua domain tersebut.
Beck dalam McLeod (2006), dikenal dengan model distorsi kognitif. Dalam
kerja ini, pengalaman berupa ancaman akan berakibat pada hilangnya kemampuan
untuk memproses informasi secara efektif:
Individu akan mengalami tekanan psikologis ketika mereka menerima sebuah
situasi sebagai ancaman terhadap minat vital mereka. Pada saat seperti itu,
terdapat ketidak sempurnaan dalam memproseskognitif normal. Persepsi dan
interrprestasi terhadap suatu situasi menjadi sangat selektif, egosentris, dan
rigid. Orang tersebut memiliki penurunan kemampuan untuk “mematikan”,
berkonsentrasi terhadap, memanggil kembali, dan menjelaskan tentang
pemikiran menyimpang. Fungsi korektif-yang memungkinkan pengetesan
realitas dan penyaringan konsep tualisasi global-diperlemah. (beck dan
Weishaar dalam McLeod, 2006).
Beck dalam McLeod (2006) telah mengidentifikasi beberapa jenis distorsi
kognitif yang dapat didiskusikan dalam situasi konseling. Hal ini mencangkup
generalisasiberlebihanyang mencangkup tindakan menarik kesimpulan umum dari
bukti yang amat terbatas. Dichotomous thinking (pemikira optimis), yaitu yang
memiliki kecendrungan untuk melihat situasi dalam kerangka kutub yang
berlawanan. Jenis ketiga dari distorsi kognitif adalah kecendrungan untuk
membayangkan berbagai peristiwa yang ada pasti berkaitan dengan tindakan
(biasanya kepada ketidak mampuannya), walupun tidak ada koneksi logis yang
dapat dibuat antara peristiwa tersebut dengan tindakannya.
Dalam praktik, distorsi kognitif ini mirip dengan pemikiran absolutis dan
katastropisasi yang digambarkan oleh Ellis dalam McLeod (2006). Ide yang ada
dibalik konsep kognitif-behavioral ini sangat akrab dengan bidang psikologi
kognitif yang lebih luas. Konsep personalisasi mirip dengan konsepsi
egosentrisitas Piagetian yang merujuk kepada kecendrungan anak dibawah usia 10
tahun untuk melihat untuk melihat sesuatu yang terjadi dari sudut pandangnya
sendiri saja-mereka belum mampu untuk melihat sesutu dari sudut pandang orang
lain. Semua hal ini hingga tingkat tertentu menguatkan bahwa apa yang
ditemukan terapis kognitif-behavioral dan setting klinis seharusnya juga
11
diobservasi oleh periset psikologis setting yang lain. Di sisi lain, dalam
mempelajari pemecahan masalah, para periset ini pun biasanya menggunakan
orang biasa yang tidak berada di bawah ancaman emosional atau menderita
masalah psikologis. Jika dirtorsi kognitif merupakan bagiandan paket dari cara
orang berharap dengan kehidupan sehari-harinya maka, akan menjadi sulit untuk
menganggap semua itu sebagai faktor yang menyebabkan masalah emosional dan
sebagai elemen yang harus dihilangkan dari wadah kognitif klien.
Model distorsi pemrosesan kognitif dalam banyak hal mirip dengan ide
pemikiran proses berfikir primer freudian. Freud menganggap manusia mampu
melakukan pemikiran yang rasional dan logis (proses pemikiran kedua), tapi pada
kurang matang, dalam arti pemikiran masih di dominasi oleh kebutuhan
emosional. Perbedaan krusial antara pemrosesan primer dan ditorsi kognitif
adalah emosi yang mengontrol pikiran pada pemrosesan utama, sedangkan dalam
model ditorsi kognitif, pikiran yang mengontrol emosi.
Dimensipenting ditorsi kognitif lainnya adalah daerah memory (ingatan).
Williams dalam McLeod (2006) telah melaksanakan sebuah penelitian yang
menunjukkan bahwa orang-orang yang cemas, yang sedang mengalami
pengalaman hidup yang sulit sering kali kesulitan dalam mengalami peristiwa
menyakitkan tersebut secara detail. Memori mereka telah mengalami generalisasi
secara berlebihan sehingga mereka mengingat “sesuatu terjadi”, tapi mereka tidak
mampu mengingat detail peristiwa tersebut. Williams dalam McLeod (2006)
berpendapat bahwa jenis dirtorsi memori seperti ini berkenan dengan hubungan
antara pristiwa yang ingin diingat dengan dan emosi negatif. Dan, karena sering
kali merupakan keharusan dalam konseling kognitif behavioral untuk membangun
analisis mikro mendetail berkenan dengan peristiwa tertentu, seseorang konselor
aliran kognitif-behavioral harus memperhatikan kesulitan yang dimiliki oleh
pasien dengan tugas mengingat seperti ini.
Pendekatan utama untuk memahami proses kognitif dalam konseling dan
terapi kognitif-behavioral adalah operasi metakognisi. Hal ini merujuk kepada
12
kemungkinan seseorang untuk merefleksikan proses kognitifnya sendiri, untuk
menyadari bagaimana mereka akan memikirkan sesuatu, atau mencoba
memecahkan masalah. Contoh sederhana untuk mengilustrasikan metakognisi
adalah dengan merefleksikan pengalaman melengkapi jigsaw puzzle. Anda akan
menemukan bahwa anda tak hanya menyusun jigsaw dengan otomatis (kecuali
yang sangat sederhana) tetapi anda akan meyadari serangkaian strategi untuk
memilih apa yang anda butuhkanseperti “temukan sudut”, “tentukantepi”, atau
“kumpulkan awan”. Kesadaran dan kemampuan untuk mengomunikasikan
strategi metakognitif menjadi sangat penting dalam mengajari anak-anak
bagaimana menyusunjigsaw ketimbang melakukannnya untuk mereka.
Metakognisi merupakan topik yang paling luas didalam riset psikologi
perkembangan beberapa tahun terakhir ini.
Ellis dalam McLeod (2006) telah menemukan teori fungsi kepribadian A-B-
C. Dalam kasus ini, A merujuk kepada peristiwa yang sedang aktif, yangbisa jadi
berupa aksi atau sikap individual, atau peristiwa fisik aktual. C adalah
konsekuaensi emosi atau perilaku emosional atau perilakudari suatu peristiwa
perasaan atau perilaku yang dilalmi orang darisebuah peristiwa. Antara A dan C
terdapat B, keyakinan seseorang tentang pristiwa. Nilai penting dari A-B-C dalam
hubungannya dengan meta kognisi adalah konselor RET akan mengajari klien
bagaimana mengunakannya sebagai cara untuk memonitor reaksi kognitif
terhadap pristiwa.
6. Kandungan Kognitif
Ellis, memberikan titik awal kepada konselor untuk mengeplorasi kandungan
kognitif klien:
- Saya harus terus berlaku dengan bak
- Saya adalah seseorang yang buruk atau tidak berharga ketika saya bertindak
bodoh. Saya harus mendapat persetujuan orang lain yang saya pandang
penting.
- Jika saya ditolak, maka saya adalah orang yang jelek dan tidak dapat dicintai.
13
- Orang harus memperlakukan saya dengan adil dan memberikan apa yang
saya butuhkan
- Orang-orang yang bertindak amoral adalah mereka yang tidak pantas dan
busuk. Orang-orang harus hidup sesuai dengan keinginan saya, jika tidak
maka mereka adalah busuk.
- Hidup saya harus memiliki beberapa rintangan utama. Saya tidak akan bisa
menghadapi sesuatu yang sangat buruk atau orang yang sulit. Apabila hal
yang tidak sejalan dengan apa yang saya lakukan, maka hal tersebut adalah
sesuatu yang mengerikan.
- Saya tidak dapat menghadapinya ketika hidup benar-benar tidak adil
- Saya butuh disayangi oleh seseorang yang sangat berarti bagi saya
- Saya butuh segera mendapatkan gratifikasi dan selalu merasa malu ketika
tidak mendapatkannya.
Pertanyaan yang digunakan dalam RET merefleksikan berfungsinya sejumlah
proses kognitif terdirtosi. Terapis kognitif akan menolak pertanyataan seperti ini
dan mengajak klien untuk menyusun kembali pernyataan tersebut seperti “saya
menikmati perasaan cinta dan diterima oleh orang lain, dan jika hal ini tidak ada
pada diri saya, maka terkadang saya merasa tidak bahagia. Ditorsi kognitif lainnya
seperti dichotomous thinking (jika orang tidak menyukai saya, pasti mereka
membenci saya), arbitrary inference (kesimpulan yang berubah-ubah) (jika saya
gagal dalam ujian hari ini maka saya pasti seseorang yang bodoh), personalisasi
(tukang gas terlambat datang karena semua yang ada di kantor tersebut membenci
saya), merupakan bukti keyakinan irasional.
Dalam pendekatan RET yang berkenaan dengan kognisi, konselor mencari
contoh pertanyaan umum yang dipegang sangat teguh, yang merangkum asumsi
klien tentang dunia. Pendekatan lain, digunakan oleh Meichenbaum (1985) dan
para konselor kognitif-behavioral lainnya adalah membongkar pertanyaan yang
mengiringi prilaku aktual.
14
Salah satu hambatan dalam daerah kogntif-behavioral adalah sulitnya
mendapat akses kepada keyakinan atau percayaan diri si klien. Berikut ini beberpa
teknik yang digunakan untuk melakukan peneilian kognisi (Hollon dan Kendall,
dalam McLeod, 2006) antara lain:
- Perekam pernyataan spontan yang tersembunyi
- Rekaman perkataan yang mengikuti intruksi tertentu(misalnya,”bayangkan
anda tengah mengikuti ujian”)
- Mengucapkan dengan keras apa yang dipikirkanketika melakukan tugas
- Kuesioner pikiran(thought listing)
- Rekaman pemikiran disfungsional (kertas kerja tempat klien merekam detail
pristiwa yang sedang terjadi, keyakinan dan konsekuensi prilaku)
Merupakan hal penting untuk menyadari bahwa kenyataan adanya
kemungkinan pengaruh dari proses pergantian keyakinan tersebut. misalnya,
terdapat bukti yang menyatakan bahwa orang yang tertekan akan
melaporkanpikiran yang lebih negatif tentang masalalu apa yang mereka pikiran
sekarang (Hollon dan Kendall dalam McLeod, 2006). Komunikasi verbal juga
tampak lebih produktif ketimbang menulis apa yang dipikirkan (Blackwell et al.
dalam McLeod, 2006).
Strategi mendasar untuk memfasilitasi perubahan dalam keyakinan-ketika
keyakinan tersebut terbuka-adalah memotivikasi klien untuk mencoba keyakinan
atau pernyataan diri alternatif dalam situasi tertentu, untuk menguak efek tindakan
tersebut sesuai dengan berbagai rangkaian asumsi terbimbing. Strategi ini
mendemonstrasikan aliran behavioral dan juga karakteristik kognitif konseling
kognitif-behavioral. Klien juga diberikan kesempatan untuk mempelajari tentang
konsekuensi perilaku kesadaran, dan untuk terus mengembangkan ketersediaan
cadangan perilaku dalam situasi bermasalah.
Dengan demikian jelas bahwa proses kognitif dan kandungan kognitif yang
maldaptis saling berkaitan. Mungkin akan lebih berguna jika memandang kedua
hal ini sebagai sebagai aspek fungsi kesatuan struktur kognitif (Meichenbaum
15
dalam McLeod, 2006), skema atau model dari dunia. Tugas konselor kognitif-
behavioral adalah membantu klien untuk bertindak baik ilmuawan dalam
menemukan validitas peta atau model pribadinya, dan membuat pilihan berkenaan
dengan elemen mana yang bertahankan dan mana yang diubah.
7. Teknik Dan Metode Konseling Kognitif-Behavioral
Pendekatan kognitif –behavioral dilaksanakan dalam sebuah program yang
terstruktur langkah demi langkah (Kuehnel dan Liberman dalam McLeod, 2006).
Program seperti ini mencangkup:
1. Menciptaka hubungan yang sangat dekat dan aliansi kerja antara konselor dan
kliaen. Menjelaskan dasar pemikiran dari pengalaman yang diberikan
2. Menilai masalah. Mengidentifikasi, mengukur ferkuensi, itensitas dan
kelayakan masalah perilaku, dan kognisi.
3. Menetapkan target perubahan. Hal ini seharusnya dipilih oleh klien, dan harus
jelas, spesifik dan harus dipercaya.
4. Penerapan teknik kognitif dan behavioral(perilaku)
5. Memonitor perkembangan, dengan menggunakan penilaian berjalan terhadap
prilaku sasaran.
6. Mengakhiri dan merancang program lajutan untuk menguatkan generalisasi
dari apa yang didapat.
Konselor kognitif-behavioral biasanya akan menggunakan berbagai teknik
intervensi untuk mendapatkan kesepakatan prilaku sasaran dengan klien(haaga
dan davision dalam McLeod, 2006). Teknik yang biasa digunakan adalah:
1. Menantang pemikiran irasional
2. Membingkai kembali isu
3. Mengulangi kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role paly
dengan konselor.
4. Mencoba menggunakan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi
riil.
5. Mengukur perasaan
16
6. Menghentikan pikiran
7. Desensitisasi sistematis
8. Pelatihan keterampilan sosial atau asertifikasi
9. Penugasan pekerjaan rumah
10. In vivo exposure
Serangkaian teknik dan ide lain yang digunakan secara luas oleh konselor
kognitif behavioral diasosiasikan dengan konsep relese prevention(pencegahan
kambuh). Pendekatan standar untuk relese prevention melibatkan pengaplikasian
teknik kognitif-behavioral. Marlatt dan Gordon dalam McLeod (2006)
menyatakan tiga jenis pengalaman yang dikaitkan dengan tingkat kambuh yang
tinggi: downer (merasa tertekan), rows (konflik interpersonal), dan join the
club(tertekan dari orang lain untuk melanjutkan kebiasaan mabuk, merokok, dan
seterusnya).
8. Sebuah Penilaian Terhadap Pendekatan Kognitif-Behavioral
Konsep dan metode behavioral telah membuat kontribusi besar dalam bidang
konseling. Walaupun demikian , ada dua bidang teoritis signifikan yang menjadi
pendekatan kognitif-behavioral terbuka untuk dikritik. Yang pertama berkenan
dengan konsep hubungan teraupetik. Terapis aliran kognitif-behavioral
menganggap terjalinya hubungan yang baik dengan merupakan keharusan (Burns
dan Aurbach dalam McLeod, 2006). Hubungan semacam ini lebih dinilai sebagai
hubungan eduksional ketimbang medis. Sayangnya, kesadaran praktis faktor
hubungan ini tidak melebar keranah teori dan pendidikan. Kemudian, biasanya
juga tidak terdapat persyaratan bagi konselor kognitif-behavioral untuk
melaksanakan terapis pribadi sebagai bagian dari pendidika mereka, dengan
tujuan memfasilitasi perkembangan kesadaran diri atau personal konselor akan
menjadilebih disesaliketika menyadari bahwa pendekatan kognitif-behavioral
mengizinkan para konselornya untuk menantang dan mengkonfrontir para klien
mereka.
17
Isu kedua yang mempresentasikan dilema teoritis bagi konselor aliran
kognitif behavioral berkenaan dengan cara kognisi (kesadaran) itu dipahami dan
dikonseptualisasikan. Perinsip dasar dalam pendekatan ini adalah perubahan
dalam berpikir dapat menghasilkan perubahan dalam prilaku. Akan tetapi, bukti
riset yang mendukung pernyataan ini bukan bebas dari masalah. Alloy dan
Abramson dalam McLeod (2006) menemukan bahwa mereka ini menampilkan
pemikiran yang lebih pesimistik dan negatif, tapi pada kenyataan kurang
terdirtorsi ketimbang pemrosesan kognitif orang normal. Dalam percobaan
mereka, orang yang menderita depresi akan mengingat informsi yang akan
berkenaan dengan dirinya, yang baik maupun yang buruk, sedangkan mereka
yang tidak menderita depresi hanya mengingat informasi positif saja. Kedua isu
karakter hubungan konselor-klien dalam terapi kognitif-behavioral dan pernyataan
tentang validitas asumsi teoritis yang digunakan dalam pendekatan ini dapat
dipahami sebagai sesuatu yang berasal dari satu sumber.
9. Revolusi Konstruktivis
Mcleod (2006) menyatakan bahwa konstruktivisme dapat dikarakteristikan
berdasarkan tiga asumsi mendasar, yaitu sebagai berikut:
1. Seseorang dianggap sebagai active knower, yang secara sengaja melibatkan
diri dalam memahami dunia.
2. Bahasa berfungsi sebagai wadah utama tempat seseorang mengontruksi
pemahamannya tentang dunia.
3. Adanya dimensi perkembangan dalam kapasitas manusia untuk
mengkontruksi dunia mereka.
Ketiga asumsi dasar ini menandai kontras penting antara kognitif lama,
pendekatan kognitif behavioral, dan alternative konstruktivis, walaupun dapat
dilihat adanya kesamaan dalam jumlah yang signifikan.
Perintis utama terapi konstruktivisme adalah personal construct psychology
(psikologi gagasan diri) yang ditemukan oleh Kelly (1955) dan kemudian
18
dikembangkan oleh Bannister, Fransella, Mair, dan para kolega mereka, dan
sebagaian besar dilakukan di Inggris (Mcleod, 2006). Teori ini menyatakan
bahwa orang memahami, atau menginterpretasikan (construe), dunia melalui
sistem gagasan diri. Konstruktivisme sosial yang memiliki tingkat individualitas
yang berkurang dibandingkan dengan konstruktivisme, memberikan perhatian
lebih terhadap budaya, sejarah, dan sistem sosial, di dalam tempat dimana orang
tersebut dapat eksis. Disisi lain, terapi kognitif rasionalis yang dipresentasikan
oleh Beck dan Ellis lebih individualis dan psikiologis mengenai konstruktivisme,
dan karena itu pendekatan tersebut lebih berkonsentrasi terhadap proses kognitif
internal daripada penggunaan bahasa antarpersonal (Mcleod, 2006).
10. Terapi berfokus solusi
Terapi singkat berfokus solusi biasanya diasosiasikan sebagai hasil kerja
Steve de Shazer. De Shazer memiliki latar belakang pekerja sosial dan musik, dan
dalam pendidikannya sebagai seorang psikoterapis sangat dipengaruhi oleh teori
dan riset yang dilakukan Mental Research Institute (MRI) di Palo Alto, California.
Mcleod (2006) menyatakan bahwa terapi pendekatan berfokus solusi didasarkan
kepada serangkaian strategi yang didesain untuk memungkinkan para klien
mengartikulasikan dan bertindak berdasarkan cakupan solusi paling luas terhadap
masalah mereka, strategi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Fokus pada perubahan (focusing on change).
Ide perubahan adalah sesuatu yang terjadi sepanjang waktu, merupakan
konsep penting dalam terapi berfokus solusi. Karena itu, terapis yang
menggunakan pendekatan berfokus solusi berasumsi bahwa perubahan
tersebut tidak hanya bersifat mungkin, tapi tidak dapat dihindari. Dalam
praktiknya, biasanya para terapis akan menanyakan kepada klien baru dalam
hubungannya tentang perhatian terhadap sesi pertama mereka (biasanya
disebut sebagai perubahan pra-sesi/pre-session change).
2. Percakapan bebas masalah (problem-free talk).
19
Pada awal sesi ini, konselor mungkin dapat mengajak klien untuk
membicarakan aktivitas keseharian mereka, sebagai cara mendapatkan
pengahargaan terhadap kompetensi dan kualitas positif klien.
3. Menemukan pengecualian (expection finding).
Hal yang mendasar dalam pendekatan berfokus solusi adalah keyakinan
bahwa terlepas dari seberapa parah atau menyebarnya masalah seseorang,
pasti ada saat di mana masalah tersebut tidak muncul, dan saat itu juga
merupakan masa paling kuat dalam hidup mereka.
4. Penggunaan slogan mini (use of pithy slogan).
Ada sejumlah slogan yang membantu mengomunikasikan prinsip dasar
pendekatan pemecahan masalah kepada klien (dan juga terapis yang sedang
dalam pendidikan). Di antara pesan berfokus solusi adalah “Kalau tidak
pecah, jangan perbaiki”, “Jika tidak bekerja, jangan lakukan lagi”, “Jika hal
tersebut bekerja, terus lakukan”, “Terapi membutuhkan waktu yang panjang”,
“Kesempatan kecil dapat mengarahkan kepada kesempatan yang lebih besar”.
5. Pertanyaan ajaib (miracle question).
Biasanya di sesi pertama, konselor berfokus solusi akan meminta klien untuk
membayangkan masa depan di mana masalah yang mereka hadapi saat ini
telah terpecahkan. Pertanyaan katalik yang diberikan ke klien memungkinkan
klien untuk mempertimbangkan masalahnya secara keseluruhan, untuk
melangkah ke masa depan dengan status bebas masalah dan mengeplorasinya
bersama terapis dengan cara mengetahui masalah tersebut memang sudah
hilang, yaitu dengan perubahan tersebut dapat dimunculkan serta tampak dan
dilihat oleh orang lain.
6. Penskalaan (scaling).
Pertanyaan penskalaan didesain untuk menfasilitasi diskusi tentang
perubahan dan pengukurannya, dan digunakan untuk mempertimbangkan
sejumlah besar isu dalam kehidupan klien.
7. Tugas rumah (mengeksplorasi sumber daya).
Tugas rumah didesain untuk memungkinkan orang tersebut tetap focus pada
solusi. Contoh dari tugas rumah yang mungkin digunkan setelah sesi terapi
20
pertama adalah “Sampai ketemu pada waktu yang akan datang, saya ingin
Anda mengobservasi apa yang terjadi pada kehidupan/keluarga/pekerjaan
Anda yang Anda harapkan untuk melihatnya terus demikian, kemudian
kembali dan ceritakan kepada saya semua itu”. Yang penting pada
pendekatan terapi berfokus solusi adalah fokus kepada solusi dan kekuatan
yang telah dimiliki oleh individu tersebut, atau yang mungkin mereka capai,
dalam hubungannya dengan kehidupan yang mereka inginkan.
Terapi dari sudut pandang postmodern (oleh de Shazer) mempunyai ide
bahwa adanya struktur psikologis internal yang menentukan perilaku
merupakan cara modern yang esensial untuk memahami dunia. Berbeda
dengan aliran pendekatan konseling (psikodinamis, kognitif-behavioral, dan
person-centred), terapi berfokus solusi tidak pernah menghasilkan teori
formal, dan tidak mengembangkan dasar dalam sistem riset universitas.
Merupakan hal yang penting untuk menyatakan perbedaan antara terapi
berfokus solusi dengan apa yang dideskripsikan de Shazer sebagai terapi
ringkas (brief therapy), dan pembatasan jumlah sesi yang tersedia untuk
klien, disertai dengan banyaknya skema konseling di tempat kerja. Tujuan
terapi berfokus solusi adalah menghargai kemampuan klien dalam
menghadapi masalah dengan menanyakan kepada mereka untuk menyatakan
apa yang harus terjadi pada diri mereka untuk mengetahui kesiapan mereka
untuk mengakhiri terapi. Para terapis pendekatan berfokus solusi berpendapat
bahwa karakteristik keyakinan mereka terhadap kemampuan orang
menghadapi masalah itulah yang membuat mereka dapat menerima satu sesi
saja mungkin cukup.
Mungkin karena status “orang luar” dan terapi berfokus solusi, terkadang
terdapat kesan bahwa para penulis dan praktisi yang bergerak dalam
pendekatan ini tidak berniat untuk menerima persamaan dari apa yang mereka
dan terapis (dari pendekatan yang berbeda) kerjakan, atau menyimpang dari
“aturan” utama terapi berfokus solusi seperti menanyakan pertanyaan ajaib di
sesi awal. Nylund dan Corsiglia (1994) menunjukkan bahwa terapi berfokus
solusi dapat berisiko menjadi pemaksaan solusi daripada berfokus solusi, dan
21
menyatakan pula bahwa beberapa klien mungkin saja menemukan siksaan
optimisme masa depan yang tidak berakhir.
22
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah mempelajari makalah ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
Karakteristik konseling kognitif-behavioral, merupakan keharusan untuk meneliti
sumber historis dalam disiplin keilmuan psikologi akademis. Pendekatan kognitif-
behavioral merepresentasikan keterbukaan ilmiah ketimbang aliran besar terapi
lainnya.
Karakteristik konseling di Indonesia menginginkan proses konseling yang
cepat dan memiliki hasil yang baik. Konseli enggan untuk melakukan konseling
yang membutuhkan waktu cukup lama. Selain itu, ada baiknya konseling bukan
bersifat menceramahi atau hanya ngobrol antara konselor dan konseli. Oleh sebab
itu, konseling harus berorentasi pada efektivitas waktu dan tidak hanya bersifat
wacana saja.
Cognitive-Behavior Therapy (CBT) menawarkan alternatif konseling yang
bukan berbentuk ceramah, tapi melatih konseli untuk melakukan perubahan-
perubahan tingkah laku untuk membuktikan pikiran yang menyimpang. CBT
menekankan pada restrukturisasi kognitif yang menyimpang, kemudian
perubahan-perubahan kognitif tersebut diperkuat dengan pelatihan tingkah laku.
Perubahan antara kognitif yang diperkuat perubahan tingkah laku membuat
permasalahan yang dihadapi oleh konseli terselesaikan dengan segera sehingga
konseli dapat berfikir, merasa, dan bertindak dengan tepat. Setiap sesi konseling
CBT, konseli diajarkan untuk terus melakukanself-help atau self-therapy.
Langkah self-help tersebut tentu memperkuat konseli untuk terus memperbaiki
dirinya.
23
DAFTAR PUSTAKA
McLeod, J. 2006. Pengantar Konseling Teori & Studi Kasus. Jakarta: Kencana.
24
Kelas A
MAKALAH
(Pendekatan Konseling Kognitif Behavioral)
(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Konseling)
Dosen Pengampu : Andi Budhy Rakhmat, M.Psi., Psikolog
Kelompok III
1. Dian Pratiwi Palilati
2. Nurul Fany
3. Resti Fany Dwi Putri
4. Andi Widya
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR
2016
25