Kata Ikatan Modern Asrul Sani

21
Diskusi Sastra MENELAAH ASRUL SANI “Kata Ikatan Modern Asrul Sani” Wicaksono Adi Kamis, 12 April 2012 Pukul 19.00 – 21.00 WIB Wisma Proklamasi Jl. Proklamasi No. 41Jakarta Pusat http://goo.gl/uPn9B @freedominst Seri Diskusi Sastra Freedom Institute lainnya: http://goo.gl/LUbvV

description

Diskusi Sastra MENELAAH ASRUL SANI “Kata Ikatan Modern Asrul Sani” Wicaksono Adi Kamis, 12 April 2012 Pukul 19.00 – 21.00 WIB Wisma Proklamasi Jl. Proklamasi No. 41 Jakarta Pusat

Transcript of Kata Ikatan Modern Asrul Sani

Page 1: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

Diskusi SastraMENELAAH ASRUL SANI

“Kata Ikatan Modern Asrul Sani”

Wicaksono Adi

Kamis, 12 April 2012Pukul 19.00 – 21.00 WIB

Wisma ProklamasiJl. Proklamasi No. 41Jakarta Pusat

http://goo.gl/uPn9B @freedominst

Seri Diskusi Sastra Freedom Institute lainnya: http://goo.gl/LUbvV

Page 2: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

Kata Ikatan Modern Asrul Sani

Wicaksono Adi

Kalau Indonesia datang pagi hari ini, maka sore nanti Asia akan datang. Kalau Asia sampai, maka dunia akan datang dan kalau ini juga telah sampai barangkali Tuhan sendiri akan datang. Bahkan di sini masalah kita pun belum selesai. (Catatan Atas Kertas Merah Jambu, Asrul Sani, 1949)

Dalam prosa-esai berjudul Perumahan untuk Fadjria Novari yang diterbitkan di majalah Siasat pada tahun 1951, Asrul Sani (1927-2004) berkisah perihal seseorang yang telah memutuskan hubungan dengan kampung halamannya, yaitu tanah kelahiran di masa lalu yang kini telah jadi ”mesum”. Kampung halaman di masa lalu itu bagi kebanyakan orang biasanya dipahami sebagai rumah kultural yang menyediakan semacam kenyamanan, jaminan dan kepastian, seperti rahim ibu tempat bersemayam sekaligus ruang perlindungan bagi sang janin. Namun, ketika sang janin tumbuh menjadi bayi yang kemudian lahir ke dunia maka ia harus menghadapi segala mara bahaya dan ketidak pastian dengan caranya sendiri. Tak ada jaminan apa pun di dunia ramai.

Kemerdekaan Indonesia bagi Asrul tak ubahnya proses kelahiran bayi di dunia luas itu, keluar dari rahim ibu yang nyaman untuk kemudian berdiri mengolah dunia baru dengan segenap kemampuannya. Dan sejak itu, ketika ari-ari ditanam di bumi, bagi sang bayi republik, ikatan dengan rahim itu pun punah sudah. Kampung halaman sebagai masa silam yang meski berada dalam rentang waktu yang dekat tapi tiba-tiba menjadi sangat jauh dan telah menjadi kenangan primal yang sayup-sayup.

Tak hanya memutuskan hubungan dengan kampung halamannya, sang penulis juga ”mengutuk” kampung halaman itu sebagai sesuatu yang ”mesum”. Bahkan serorang penyair karibnya Asrul, Rivai Apin, dalam sajaknya Pelarian menyebut kampung halaman dengan geram: ”apa di sini/batu semua”. Sementara yang ia inginkan adalah ”taufan gila/awan putih-abu berkejaran/ombak tinggi memegah perkasa/kayu kapal berderak-derak, layar berkebar-kebar”. Menurut Asrul batu-batu yang bercokol di masa silam itu adalah bagian dari rumah sekaligus kerangkeng lama yang terbuat dari ”tradisi”.

Para penulis generasi sebelum Asrul, yaitu generasi Pujangga Baru memang telah mencoba mendobrak kerangkeng tersebut dengan berbagai cara. Sutan Takdir

1

Page 3: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

Alisjahbana (STA) bahkan menyatakan bahwa Indonesia harus mengubur dalam-dalam masa lalu untuk menghambur merengkuh kemodernan secata total sebagaimana yang dilakukan oleh orang Barat. Kerangkeng masa lalu itu tambah ”mesum” karena telah terperosok di kubangan sejarah kelam penjajahan.

Di sekitar tahun 1950-an itu Asrul Sani memang sering berbicara perihal pentingnya menyadari bahwa kelahiran Indonesia sebagai nasion baru menuntut suatu keyakinan moral untuk menegakkan ”perumahan” sejarah yang baru pula. Yaitu suatu sejarah yang ditegakkan oleh generasi baru dengan serbamasalah yang berbeda berikut pemecahan atas segala masalah tersebut dengan cara yang berbeda pula. Tiap generasi harus membangun sejarahnya sendiri, suatu perumahan tempat mengolah dan menegakkan gagasan-gagasan tentang masa depan yang terbuka dari segala kemungkinan dan tantangan serta sanggup menghadapi segala ketidak pastian.

Tapi, apakah sesungguhnya masa silam itu? Apa itu kampung halaman dan kenapa ia jadi ”mesum”? Tentu, kampung halaman di masa silam itu bukan sekadar tanah asal-usul, suatu firdaus yang hidup dengan kenyamanan asali tanpa campur tangan orang lain. Sadar atau tidak, para penghuni kampung halaman itu telah lama berada dalam ”pembekuan” kuasa politik pihak kolonialis Belanda. Sejarah kolonialisme dan imperialisme bukan sekadar sejarah penaklukan dan penguasaan politik serta perniagaan melainkan juga saling pengaruh dan penaklukan serta penguasaan budaya.

Perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa yang kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia lainnya bersama perluasan kolonialisme akhirnya melahirkan apa yang kemudian disebut oleh Edward W Said sebagai orientalism. Salah satu bentuk dari orientalisme adalah pembekuan wilayah-wilayah taklukan yang jauh dari tanah Eropa sebagai dunia yang eksotik, diam dan tak dapat mengemukakan atau mendefinisikan diri. Mereka adalah negeri-negeri yang harus didefinisikan oleh bangsa Eropa.

Hal itu semakin jelas pada watak kolonialisasi yang dijalankan oleh Belanda terhadap wilayah jajahannya. Dalam esai Menyimak Kembali Asrul Sani (Seminar Satra Dua Hari, Dewan Kesenian Jakarta, November 1997), Nirwan Dewanto menjelaskan bahwa kolonialis Belanda cenderung lebih pragmatis dalam menggunakan ilmu pengetahuan khususnya antropolgi/etnografi untuk menunjang dan mengukuhkan kuasanya di Hindia. Hal itu berbeda dengan Inggris dan Prancis yang cenderung ”menanamkan hukum universal, gagasan filosofi Barat, serta bahasa dan sasteranya seluas dan sedalam mungkin di tanah jajahan, Belanda justru memelihara kekhasan masyarakat Hindia, menutup Nusantara dari dunia luar, dan mengembangkan bahasa(-bahasa) pribumi. ”Kepribumian” itu terpelihara sampai kini, terlebih-lebih dalam kurun 30 tahun terakhir ini. Orientalisme ternyata dipelihara dan dipraktekkan dengan baik oleh kaum pribumi sendiri. Penjara inilah yang dengan jitu disadari oleh Asrul sejak awal”.

Jadi, memutus hubungan dengan masa silam berarti keluar dari kerangkeng kolonialisme dan orientalisme sekaligus. Di lapangan seni rupa, S. Sudjojono dan kawan-kawannya melalui perkumpulan Persagi pada tahun 1938 juga meproklamirkan diri keluar dari kerangkeng tersebut. Para pelukis Persagi menolak seni rupa Mooi Indie sebagai bentuk orientalisme yang diam-diam telah dipelihara dan dilanjutkan dengan suka cita oleh kaum pribumi. Dan tentu saja upaya tersebut tak dapat dilakukan dengan

2

Page 4: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

sekali pukul. Hasrat oriental dalam seni rupa ternyata terus hidup sampai hari ini dalam bentuk lukisan-lukisan alam dan pemandangan yang dijajakan di toko-toko souvenir dan barang seni serta dipajang di rumah-rumah orang kebanyakan. Bahkan, koleksi Presiden Sukarno (yang pada masanya dipandang sebagai patron utama seni rupa) pun didominasi oleh jenis lukisan Mooi Indie. Jadi kerangkeng itu diam-diam diteruskan oleh kaum elitenya seperti Sukarno dan para seniman romantik, pun orang biasa.

Sungguh tak mengherankan jika Asrul tampak ekstrem ketika menegaskan penolakannya terhadap kelampauan. ”Barangsiapa tidak melawan kelampauan, maka dia akan hancur”, ucap tokoh Gafar dalam film Lewat Djam Malam (1954). Tentu, pokok soalnya bukan semata-mata pada penolakan terhadap kelampauan melainkan penegasan untuk berani keluar dari ilusi orientalistik kaum burgerlijk pecinta kemapanan semu. Dalam buku kumpulan tulisannya Surat-Surat Kepercayaan (SSK) terbitan Pustaka Jaya tahun 1997, terdapat sebuah esai berjudul Kita dan Eropa. Dalam esai tersebut – yang ditulis pada tahun 1955, seperempat abad lebih dulu dari Edward W Said - ia menjelaskan bagaimana ”mesum”-nya orientalisme: bahwa romantisisme ahli ilmu bangsa-bangsa dari Eropa berikut hasrat oriental dalam memandang kebudayaan yang berkelindan dengan proses kolonialisasi telah membuat kaum pribumi terjajah di Hindia Belanda sampai pada tahap ”membisu”. Kaum pribumi tak mungkin melakukan dialog yang sehat dengan Barat karena bahkan kemungkinan untuk melakukan hal itu telah ditiadakan oleh pihak penjajah maupun kaum pribumi itu sendiri.

Patut dicatat bahwa pada kurun 1945-1968 di seluruh dunia sekurang-kurangnya ada 66 negara yang memperoleh kemerdekaan dengan cara yang berbeda-beda. Dengan kemerdekaan politik itu muncul harapan besar untuk membentuk pemerintahan rakyat, mendorong pertumbuhan ekonomi guna mewujudkan keadilan sosial dan pembangunan kebudayaan bangsa yang mandiri setelah berakhirnya penjajahan Barat. Proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi awal dari upaya pembentukan bangsa yang mandiri sekaligus landasan untuk menemukan ”Indonesia baru” di masa depan. Tapi, meski telah terbuka peluang sejarah untuk membangun perumahan ”Indonesia baru”, toh harus disadari bahwa ”nasionalisme di Indonesia ini sebetulnya tidak lain dari kebangsaan yang masih mencari alasan. (SSK, hal. 637).

Pandangan Asrul tersebut cukup menarik. Sebagian orang coba memahami nasionalisme sebagai upaya atau suatu proses untuk mengikatkan diri dalam komunitas imajiner yang seolah-olah nyata. Di sini Asrul mencoba mencari dasar kenapa orang berusaha mengikatkan diri dalam ikatan kebangsaan semacam itu. Jika ikatan itu memang telah menjadi kebutuhan bersama, lalu bagaimana ikatan tersebut terinternalisasikan dalam diri manusia sebagai individu? Apa dasarnya dan bagaimana proses pembentukan dasar itu? ”Orang sering mengatakan bahwa sumbernya adalah tradisi. Tapi tradisi atau kebudayaan ini harus dibenarkan dulu. Jika kita bandingkan diri kita sebentar dengan orang Eropa, kelihatanlah bagaimana orang Eropa boleh dikatakan tidak merasa perlu dalam bentuk hidup mana pun membenarkan kebudayaannya. Bagi orang Eropa kebudayaannya bersifat universal-eksklusif”. (SSK, hal. 638).

Di situ Asrul memandang bahwa tradisi atau kebudayaan di Indonesia belum memiliki akar humanisme sehingga ikatan kebangsan yang bermula dari padanya akan rapuh, atau sekurang-kurangnya ”berada dalam kebimbangan” terus menerus. ”Selama perjuangan yang kita lakukan untuk kemerdekaan ini kelihatan usaha untuk

3

Page 5: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

memberikan alasan. Alasan yang sampai kini diberikan ialah alasan yang berdasar humanisme.” (SSK, hal. 639). Jadi, antara perjuangan kemerdekaan dan dasar mulanya berupa tradisi ternyata tidak bersesuaian. Maka, tradisi harus ”dibenarkan” atau dikoreksi terlebih dulu sebelum orang mendapatkan alasan yang kuat untuk mengikatkan diri pada cita-cita nasionalisme humanistik hingga kemudian dapat menyusun perumahan ”Indonesia baru”.

Lalu siapakah pihak-pihak yang harus melakukan koreksi terhadap tradisi? Siapakah pihak-pihak yang harus membuka jalan guna meletakkan dasar-dasar proses pembentukan perumahan ”Indonesia baru” itu? Siapakah pihak-pihak yang terombang-ambing dan berada dalam ”kebimbangan” dalam upaya melakukan koreksi sekaligus membuka jalan baru tersebut? Asrul Sani menunjuk pada kaum elite budaya, yaitu kaum terpelajar, para aktivis, satrawan, seniman dan pemikir budaya. Ia menyebut bahwa kaum sastrawan, seniman dan kaum terpelajar pada masa itu sebagai agen perubahan atau pelopor pembaharu sosial. Mereka cenderung memandang dirinya pertama-tama sebagai ”reformer sosial”, sudah itu baru pengarang.

Tak dapat dimungkiri bahwa kaum terpelajar dan kaum aktivis yang sebagian kemudian menjadi pendiri bangsa ini adalah generasi emas yang karib dengan buku, gagasan, kata-kata, bahkan semenjak mereka masih sangat muda. Mereka adalah kaum intelektual yang telah mencapai tingkat pendidikan tertinggi pada zamannya berikut kemampuan dan keyakinan yang sangat besar untuk merumuskan persoalan yang dihadapi dan mencari pemecahan dari persoalan tersebut. Selain terpelajar mereka juga dapat dikatakan sebagai perintis pertama terhadap apa yang dapat disebut sebagai organisasi, institusi atau perkumpulan, sebagai kaki dari pikiran. Pertautan antara ide dan aksi itu mengerucut pada kelahiran republik. Dan setelah republik lahir maka ia harus maju satu langkah menuju demokrasi modern. Tapi inilah titik yang paling krusial karena prasyarat sosial – dan tradisi menurut Asrul – belum sepenuhnya siap dan harus dibenarkan dulu agar sesuai dengan sistem demokrasi modern. Perangkat institusional yang menopang dan menjalankannya pun belum memadai. Kelahiran republik secara politik telah menimbulkan optimisme kolektif yang sangat besar meski tanpa suatu dasar yang mantap, suatu alasan yang pasti.

Asrul mencatat bahwa pada masa sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan banyak muncul kata ”laut” dalam puisi Indonesia. Laut sebagai lambang keluasan tanpa batas dari kemungkinan penjelajahan setelah kita meninggalkan tradisi di kampung halaman masa silam. Tapi ada juga yang berpandangan bahwa memutus hubungan dengan rahim ibu kultural masa silam adalah sebuah malapetaka, suatu kehancuran tak terperi. Pandangan semacam itu muncul pada penyair Raja Pujangga Baru, yaitu Amir Hamzah. Bagi penyair ini memutus tali pusar dengan rahim ibu adalah sebuah kematian. Oleh karena itu Asrul Sani menulis puisi tentang Amir Hamzah dengan nada ”menyayangkan”.

Ciumlah pinggir kejauhantangan terkulai karena revolusi!Tinggalkanlah ribaan bundadan mari iringkan desir air di pasirnikmati tokoh perawan dan gadis penari!

4

Page 6: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

Kembanglah layar! Pelaut sudah remaja,Baringkanlah diri di timbaruangdan pandang bintang tiada tertambat di pantai.

Rahsia kita hanya disembunyikan laut,Tiada mungkin di sana hati akan merindu lagi,Sayang engkau tiada kenal gelombang,gelombang dari rahsia pencalanggelombang dari nakhoda yang tiada tahu pulang.

Kami akan selamanya cintakan engkau,engkau penyair!Lagu yang dulu kaudendangkan atas kertas gersangNanti kami rendam di laut terkembang.Hati kita akan sama selalu,dari waktu sampai waktu,Apa yang kita bisikkan senja iniAkan jadi suara lantang di waktu pagi.Simpanlah kertas dan pena.

Hanya yang bernyawa,yang akan hidup selalu.Sendi yang kaurasa,

Di pagi kami telah membuka cahaya.

(Sebagai Kenangan Kepada Amir Hamzah, Penyair Yang Terbunuh, Asrul Sani, Mantera, Budaja Djaja, 1975)

Sementara dalam sajaknya Buangan, Asrul mengatakan: Ini cerita manusia/yang punya kelampauan di hari ini/dan pandang keakanan punya batas/dalam ruang kaca jendela. Jelas bagi orang yang terikat kuat pada rahim ibu kampung halaman di masa silam itu akan menghasilkan jangkauan pandangan yang sebatas bingkai jendela belaka. Masa depan bagi orang semacam itu hanya beberapa jengkal dari ranjangnya. Kesempitan pandangan itu adalah imbalan dari kecilnya dunia yang terangkum oleh batas jendela tersebut.

Orang semacam itu pernah datang padanya membawa pesan Ibu agar ia pulang kembali ke kampung. Tentu saja ia menolak pulang. Baginya masa silam hanya sebuah kenangan. Orang itu adalah orang gunung yang tak mengenal laut.

ORANG DARI GUNUNG

Terkapar senja

5

Page 7: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

Bermuram durjaHalaman dalam warna merah jinggaKala itu orang asing sampai di pintuku

”Di pegunungan sepanjang tahun kayu-kayu berbungadan cinta bersih, karena jauh dari kota.Aku sampai di sini, karena mau bawa kau pulangPesan ibu ia telah berangkat tuaMusim hujan akan datang dan orang utasakan menjual kayu mahal sekali.Ia kayakan padaku ia cemas tiadasempat ketemu kau pada panen akan datangserta ia mau perumahan baru,karena angin telah lalu antara celah-celah atapdan bersiul seperti lengking harimaudalam hutan.”

”Kalau cintamu belum adaDi pegunungan gadis-gadis berbesaranDan sudah pandai berdandan.Pulanglah kawan, dan puaskandahaga dalam sungai kami.Kalau ada bisikan malam hariJangan duka, jangan dukaBukan anjing melalak ketiduran,Cinta dan kasmaran lagi berperitentang kasih, bercerai berujuk dan duka hati.

Ah, tiada kemasgulan dan risaubiar malam-malam angin bergalauSeluruh malam untukmu kawanseluruh malam.”

”Di pegunungan sepanjang tahun kayu-kayu berbungadan cinta bersih karena jauh dari kotaibu berpesan jangan berkubur di sinijangan mati di pantai, karena lanun datang dari pulaudan orang suci tidak turundari pegunungan ke mari.Pulanglah kawan, pulanglah kawan,Ibumu telah berpesan.”

”Orang asing jangan berdiri di ambang pintuAku hidup depan pintu terbuka,Di belakangmu jalan, batas entah di mana.

6

Page 8: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

Kau datang terlampau senja,Kisahmu bagiku hanya kenangan.Karena kau tentang mati toh telah bicara,Kembalilah pulang,Kabarkan:Sajak terakhir akan lahir di dasar lautan.”

(Asrul Sani, Mantera, Budaja Djaja, 1975)

Dalam sajaknya yang lain ia menggambarkan si ”anak hilang” yang lebih rindu kepada laut ketimbang Ibu di kampung halaman masa silam. Si anak membayangkan bahwa di balik keluasan laut biru itu terdapat negeri kejauhan yang terus memanggil-manggilnya bahkan di dalam mimpi siang hari.

ANAK LAUT

Sekali ia pergi tiada bertopiKe pantai landasan matahariDan bermimpi tengah hariAkan negeri di jauhan.

Pasir dan air seakanBercampur. Awantiada menutupmata dan hatinya rindumelihat laut terbentang biru

”Sekali aku pergidengan perahuke negeri jauhandan menyanyikekasih hatilagu merindukandaku.”

”Tenggelam matahariUfuk sana tiada nyatabayang-bayang bergerak perlahanaku kembali kepadanya.”

Sekali ia pergi tiada bertopi

7

Page 9: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

Ke pantai landasan matahariDan bermimpi tengah hariAkan negeri jauhan

(Asrul Sani, Mantera, Budaja Djaja, 1975) Perlu dicatat kendati si anak sangat merindukan keluasan laut biru pada saat

tertentu muncul juga keraguan pada dirinya. Pada saat matahari tenggelam di ufuk sana semuanya menjadi samar-samar mengabur serupa bayang-bayang. Baginya tak begitu jelas apakah yang menghilang menjadi bayang-bayang itu adalah negeri di kejauhan atau kampung halamannya di gunung. Ia mengatakan akan kembali kepada bayang-bayang itu, ke batas cakrawala yang menghilang itu. Itulah gangguan kecil yang dihadapi siapa saja yang memilih pergi ke laut untuk menempuh taufan gila/awan putih-abu berkejaran/ombak tinggi memegah perkasa/kayu kapal berderak-derak, layar berkebar-kebar.

Tak hanya pada sajak-sajak Asrul Sani dan Rivai Apin, kisah keberangkatan atau perjalanan menempuh keluasan laut semacam itu juga muncul pada sajak penyair pendahulu mereka, yaitu Sutan Takdir Alisjahbana:

MENUJU KE LAUT Angkatan Baru

Kami telah meninggalkan engkau,tasik yang tenang, tiada beriak,diteduhi gunung yang rimbundari angin dan topan.Sebab sekali kami terbangundari mimpi yang nikmat;

“Ombak ria berkejar-kejarandi gelanggang biru bertepi langit.Pasir rata berulang dikecup,tebing curam ditentang diserang,dalam bergurau bersama angin,dalam berlomba bersama mega.”

Sejak itu jiwa gelisah,selalu berjuang, tiada reda,Ketenangan lama rasa beku,gunung pelindung rasa pengalang.Berontak hati hendak bebas,nenyerang apa segala menghadang.

Gemuruh berderau kami jatuh,terhempas berderai mutiara bercahaya.

8

Page 10: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

Gegap gempita suara mengerang,dahsyat bahana suara menang.Keluh dan gelak silih berganti,pekik dan tempik sambut menyambut.

Tetapi betapa sukarnya jalan,badan terhempas, kepala tertumbuk,hati hancur, pikiran kusut,namun kembali tiadalah ingin,ketenangan lama tiada diratap.

Kami telah meninggalkan engkau,tasik yang tenang, tiada beriak,diteduhi gunung yang rimbundari angin dan topan.Sebab sekali kami terbangundari mimpi yang nikmat.

(Sutan Takdir Alisjahbana, Tebaran Mega, Penerbit Dian Rakjat, 1935. Diterbitkan ulang tahun 1996)

Pada sajak tersebut STA membubuhkan subjudul ”Angkatan Baru”, yakni generasi yang tidak pernah meratapi kenangan lama. Angkatan itu dikatakan telah terbangun dari mimpi yang nikmat dan kemudian memutuskan menghambur ke ombak ria yang berkejaran. Dan ternyata pelayaran itu tidak selalu mudah, ”badan terhempas, kepala tertumbuk/hati hancur, pikiran kusut”. Tapi layar sudah dikembangkan dan tak ada jalan untuk kembali.

Dibandingkan dengan sajak Asrul, sajak STA tersebut terasa lebih gegap gempita. Itulah tipikal sajak-sajak STA yang penuh optimisme, suatu semangat yang menurutnya lebih sesuai dengan Indonesia yang masih muda dan segar. Hal itu rupanya berkebalikan dengan Chairil Anwar. Penyair ini memandang keberangkatan meninggalkan kampung halaman sebagai suatu perjalanan tanpa akhir yang suram tak terperi. Dalam sajaknya Buat Gadis Rasid Chairil tidak menggunakan metafor ”laut” melainkan ”terbang”. Suatu perjalanan ”mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat – the only possible non-stop flight/Tidak mendapat”. Dalam perjalanan itu kita tak dapat membayangkan tujuan akhir atau berilusi akan mendapatkan hasil yang pasti. Yang ada hanyalah ”angin tajam kering, tanah semata gersang/pasir bangkit mentanduskan, daerah kosong”.

Tentu, nada pesimistik semacam itu akan dikecam oleh STA. Tapi barangkali gambaran Chairil yang mengerikan itu menyarankan suatu kemustahilan merumuskan suatu tujuan yang tetap. Baginya perjalanan bukan untuk mencapai sesuatu di seberang sana melainkan untuk menghikmati proses perjalanan itu sendiri. Ia mirip Sisifus yang

9

Page 11: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

oleh kebanyakan orang dipandang sebagai makhluk ”tragis”. Bagi orang yang percaya pada tujuan atau makna yang pasti apa yang dilakukan oleh Sisifus adalah sesuatu yang sia-sia belaka. Namun sebaliknya, bagi orang yang tak berilusi tentang suatu hasil akhir, apa yang dilakukan Sisifus akan menjadi bermakna. Di situ yang menentukan adalah bagaimana Sisifus menghayati momen demi momen ketika menggelindingkan batu sejengkal demi sejengkal. Tapi Chairil tidak sedang bicara tentang Sisifus. Ia sedang berbicara suatu ”bangsa muda menjadi, baru bisa bilang ”aku”. Yaitu bangsa Indonesia yang baru merdeka dan masih seperti ”anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian”. Meski begitu si anak kecil harus terbang tinggi-tinggi melintasi gurun yang gersang. Yang penting terbang, entah kemana. Tak ada pilihan lain.

Situasi semacam itu barangkali tidak hanya berkaitan dengan bangsa yang baru merdeka tapi juga situasi yang dihadapi oleh para ”reformer” yang mengusahakan jalan baru. Para perambah jalan baru yang mendayung gelombang di cakrawala tak terbatas atau terbang melintasi gurun tapi karena jumlahnya yang minoritas dan sikapnya yang menolak untuk menjadi burgerlijk maka mereka harus siap menjadi makhluk yang terasing dan kesepian. Asrul memang gemar menggunakan kata makian yang sering digunakan Chairil, yaitu burgerlijk. Kaum burgerlijk adalah ”orang-orang yang hidup menurut jalur yang sudah dirambah, yaitu hidup terjamin dan teratur seperti diisyaratkan oleh pegawai negeri – golongan yang terutama mendahulukan keamanan dan jaminan tanpa goncangan dan perubahan besar, disertai cara memandang manusia menurut kedudukannya dalam masyarakat atau menurut jenjang birokrasi.” (SSK, hal. 566).

Kaum burgerlijk adalah golongan konformis yang terbelenggu budaya jumud dan segala hal yang impersonal sedangkan kaum ”reformer” yang minoritas dan tragis itu adalah golongan non-konformis yang mendobrak segala daya-daya impersonal untuk menghidupkan daya-daya otentik yang dimiliki. Tentu, contoh paling bagus dari kaum non-konformis yang tragis itu adalah Chairil Anwar. Penyair ini adalah penegas individualitas-otonom dalam seni sekaligus figur terbaik dengan penguasaan yang nyaris sempurna atas teknik puisi pendahulunya sehingga dengan penguasaan teknik tersebut ia mampu membuka jalan baru dan bagi tradisi perpuisian Indonesia. Pembaruan yang dilakukan di lapangan sastra telah membawanya ke jalan yang belum dirambah orang dan di situ ia harus berhadapan dengan segala kemungkinan yang paling menyakitkan.

***

Beberapa hal yang menjadi pokok pembicaraan Asrul Sani dalam esai-esainya dengan berbagai macam topik adalah: hubungan generasi baru dengan sejarah masa silamnya, keharusan untuk membenarkan tradisi, keberadaan seni modern sebagai wahana emansipasi manusia, upaya meletakkan dasar humanisme dalam kebangsaan baru dan perihal kebudayaan yang universal-eksklusif. Itu semua ia kaitkan dengan upaya membangun suatu kebudayaan baru yang ”lahir bersamaan dengan hadirnya kehidupan ekonomi baru, hadirnya sistem pendidikan baru, hadirnya kebutuhan-kebutuhan hidup baru. Dengan kata lain, ia lahir di tengah hiruk pikuk lalu lintas

10

Page 12: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

dunia.” (SSK, hal. 560). Di perumahan ”Indonesia baru” itulah segala daya dapat dilolah. Ia juga menekankan bahwa cara yang bagus untuk mengolah berbagai ”kebutuhan baru” itu adalah dengan ikut ambil bagian secara aktif dalam lalu-lintas dunia. Tapi bagaimana caranya ikut ambil bagian di lalu-lintas dunia itu jika kita sudah berada pada taraf ”membisu”?

Sekali lagi, ia tak memberi pejelasan yang gamblang mengenai hal itu. Pada banyak tulisannya ia menekankan pentingnya memahami apa itu ”serbamanusia” dalam kebudayaan yang terbuka dari segala daya-daya yang datang dari mana-mana. Pemahaman atas ”serbamanusia” itu bertujuan untuk menemukan manusia yang otentik di segala lapangan. Dalam kredo kesenian Surat Kepercayaan Gelanggang yang terbit di majalah Siasat, Oktober 1950, ia menyatakan bahwa ”Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan”. Ia juga menegaskan bahwa ”Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang hitam atau pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami”.

Bagi generasinya kebudayaan dan seni harus diciptakan dengan menyerap khazanah dunia untuk menemukan manusia baru yang mampu mengolah segala campur-baur dunia baru yang sehat itu. Tapi ia tak pernah menyodorkan formula baku dan final bagaimana menyerap segala campur-baur dunia baru yang sehat itu dalam kesenian dan kebudayaan baru yang diinginkan. Baginya angkatan seniman Gelanggang baru saja melangkah dan jejaknya pun belum panjang sehingga kita harus menunggu perwujudan kredo itu.

Halnya berbeda dengan STA yang lebih gamblang merumuskan formulanya: bahwa kebudayaan baru Indonesia masa depan harus dibangun di atas landasan ilmu pengetahuan modern. Segala daya yang kita miliki harus dikerahkan untuk membangun peradaban baru berbasis semangat Pencerahan Eropa. Kita harus terus mengobarkan api optimisme di segala penjuru, termasuk di lapangan kesenian. Maka ia tak segan-segan mengecam karya sastra yang muram dan pesimistik karena karya semacam itu tidak berguna bagi Indonesia yang masih muda dan segar. Sementara pihak yang menolak formula linier model STA itu justru memandang bahwa penemuan ”Indonesia baru” harus dilakukan dengan memadukan akal budi Barat dengan jiwa ketimuran bangsa Indonesia yang telah terbentuk di masa lampau sebagai kegemilangan yang siap menjelma kembali di masa depan.

Bagi Asrul, dikotomi ”Barat” dan ”Timur” yang dipertentangkan dalam Polemik Kebudayaan itu tidak relevan jika diletakkan pada perspektif ”serbamanusia” dalam kebudayaan universal. Tak penting apakah daya-daya pendorong sejarah itu berasal dari Barat atau Timur. Yang pokok adalah: apakah daya-daya pendorong itu dapat melahirkan serbamanusia yang otentik atau justru menghasilkan kebudayaan burgerlijk. Dalam konteks itulah seni modern dapat menemukan fungsi utamanya, yaitu sebagai ”pendamping yang harus hadir dalam emansipasi manusia, di samping agama dan ilmu pengetahuan”. (SSK, hal. 587).

Itulah ”humanisme universil” kaum modernis yang dianut Asrul Sani. Ia percaya pada kebebasan dan otonomi individu, seniman pencipta yang tidak takluk oleh

11

Page 13: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

sejarah dan mampu merumuskan problem serta mencari pemecahannya sendiri atas problem-problem tersebut. Ia juga harus siap menjadi mahkuk yang tragis karena menolak menjadi burgerlijk. Di situ sastra dan ilmu pengetahuan bukan sekadar perangkat interpretatif atas kehidupan dan dunia melainkan juga wahana penakluk kehidupan dan dunia agar menjadi pendorong emansipasi manusia itu sendiri. Dan kelak sejarah menunjukkan bahwa hasrat penaklukan dan emansipasi semacam itu mengandung kontradiksi akut yang justru menjadi pangkal keruntuhan klaim-klaim dasar ilmu pengetahuan dan seni itu sendiri. Dalam beberapa hal, ilmu pengetahuan dan seni modern-emansipatoris semacam itu juga turut bertanggung jawab terhadap munculnya berbagai tragedi kemanusiaan pada abad ke 20.

Tentu, pada kurun 1940 hingga 1950-an bagi bangsa-bangsa yang baru terlepas dari kolonialisme, modernitas memang cenderung hadir dalam sisi terangnya, sementara pada saat yang sama Eropa telah terjerumus pada lorong gelap yang memuncak pada Perang Dunia II. Sisi terang itu bagi orang seperti STA tampil sebagai optimisme yang hendak ia kobarkan di segala lapangan kehidupan, termasuk lapangan seni-budaya. Modernisme sosial dan modernisme artistik adalah kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Sebaliknya Asrul Sani dan kaum seniman Gelanggang ”menyadari – atau setidaknya membayangkan – bahwa modernisme artistik dan modernisme sosial bisa bersimpang jalan, bahkan bertentangan. Sedangkan bagi kaum Pujangga Baru, kedua modernisme itu (harus) selaras, bahkan menyatu.” (Nirwan Dewanto, Menyimak Kembali Asrul Sani, DKJ, 1997).

Asrul menyadari bahwa manusia Pencerahan tidak seperti yang dibayangkan atau yang diinginkan oleh STA, yaitu manusia yang digambar dengan rapi seperti menggunakan mistar, melainkan serbamanusia yang penuh kemungkinan. Kebudayaan modern juga bukan kebudayaan yang dibangun dari mesin hitung dan seni modern adalah wahana untuk kembali ”memberi harga kepada manusia yang telah hampir habis dilapah mesin, oleh rutin dan politisi yang hanya mengenal keumuman dan tidak mengenal variasi”. Ia juga mengatakan bahwa seni modern ”bukanlah benda, tapi proses. Sejarah seni modern adalah perjalanan untuk menemui hal-hal yang sampai saat ini belum ditemui. Jika ia tidak lagi menaklukkan hakikat kehidupan manusia, jika ia hanya sekadar mengiyakan apa yang telah diucapkan apa yang harus dikemukanan, maka ia berhenti menjadi seni dan melorot jadi pajangan yang telah dilucuti fungsinya.” (SSK, hal. 586).

Semangat avant-gardisme tampak jelas di situ. Tapi sekali lagi ia tak lupa menegaskan bahwa seni modern sebagai wahana untuk ”menaklukkan” hakikat kehidupan manusia. Di titik ini Asrul sebenarnya satu front dengan STA. Mereka percaya seni modern sebagai bagian dari proyek emansipasi kebudayaan dan emansipasi manusia. Sekali lagi, yang membedakan adalah pada daya-daya pendorong emansipasi dan episentrum tempat berlangsungnya proses emansipasi tersebut. STA meyakini daya-daya pendorong itu pada akal budi dan rasio instrumental (ilmu pengetahuan modern) sementara Asrul meyakini daya-daya pendorong pada semua hal yang dapat melahirkan serbamanusia yang otentik. Dan dalam konteks penciptaan seni daya-daya pendorong itu harus menimbulkan daya hidup yang sebenar-benarnya, ”daya dari seorang pemberontak...seorang murtad terhadap agama, seorang immoralist terhadap moral.” (SSK, hal. 42).

12

Page 14: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

Ya, bagi Asrul seni modern yang emansipatoris adalah wahana pemberontakan terhadap segala daya-daya impersonal berikut segala ukuran umum yang telah dibakukan oleh sejarah. Seni modern dapat melawan segala hal, termasuk modernisme itu sendiri. Dan agar seni modern yang diciptakan oleh kaum murtad dan immoralist itu benar-benar menjadi wahana emansipasi maka ia harus menyeluruh. Dalam hal puisi, yang diperlukan adalah puisi ”gigantis sebagai imbangan dari robekan-robekan sepintas lalu yang diberikan emosi – yang mempunyai sumber pada serbamanusia, serbahidup yang tak terbatas pada dunia.” (SSK, hal. 17).

***

Kerinduannya pada puisi ”gigantis” yang menyeluruh itu ia nyatakan dalam sebuah esai berjudul Deadlock Pada Puisi Emosi-Semata. Esai itu ia tulis pada tahun 1948, ketika berusia sekitar 21 tahun. Di situ ia mengkritik para penyair segenerasinya yang melakukan kesalahan sebagaimana yang terjadi pada sastrawan pendahulunya yakni kaum Pujangga Baru. Jika kaum Pujangga Baru terjebak pada hasrat mengejar keindahan maka penyair angkatan 45 terlalu sibuk dengan emosi semata.

Mula-mula ia menegaskan bahwa ungkapan ”puisi emosi-semata” adalah tidak masuk akal. Emosi adalah bagian inheren dari puisi. ”Emosi adalah tenaga pendorong dalam penciptaan dan keras-tidaknya tekanan suara yang dikeluarkan syair itu tergantung kuat-tidaknya emosi yang diterima penyair untuk menolong dia mentransmitir perasaan. Hanya di sini terdapat kesalahan tentang apa yang harus ditransmitir. ”Hanya boleh dikatakan di sini bahwa selama seorang penyair belum menjadi burgerlijk, maka selama itu ia tidak akan ditinggalkan emosi.”

Jika orang mengatakan ada deadlock pada puisi emosi-semata pada saat yang sama maka ia telah meniadakan kemungkinan untuk menciptakan sajak. Maka Asrul menjernihkan pengertian emosi dalam dua arti. Pada dasarnya ”emosi itu sudah geobjectiveerd. Apa yang pada dasarnya ”bukan ujud” – ia hanyalah pendorong – sekarang dianggap sebagai ”ujud”. Artinya, emosi hanyalah sarana, tapi rupanya kini hal itu dianggap sebagai tujuan akhir. Dan untuk menjelaskan kesalah pahaman atas emosi tersebut, ia membahas sekaligus mengkritik sastrawan Pujangga Baru yang melulu ”hendak memperoleh kedudukan sebagai usaha untuk menghasilkan keindahan... Pujangga Baru mencoba memperoleh ”keindahannya” ini dengan segala bunga kata, royal dengan ”beeldspraak” (kata perbandingan) dan dengan mengemukakan segala yang puitis. Biar sembilan tahun mereka berdebat tentang kebebasan, tetapi hasilnya tidak ada... yang terdapat adalah kepandaian mengambil-ambil objek puitis... Kepercayaan Pujangga Baru ini pada ”keindahan” telah menyebabkan mereka menganggap pengertian itu sebagai ”ujud” – ”ujud” dari puisi – tidak lagi sebagai anasir”.

Kesalahan melihat anasir sebagai substansi itu mirip dengan kesalahan yang dilakukan kaum Pujangga Baru ketika mengejar keindahan semata.”Dalam mencari-cari rumah beroleh sebuah kamar, celakanya dengan beroleh kamar itu, ia menyangkakan beroleh rumah. Dalam kamar di seberang kamar Pujangga Baru itu, diam pula sekarang anak muda yang menamakan dirinya ”angkatan baru”. Dengan segera angkatan yang

13

Page 15: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

baru datang itu merombak norma dan dogma yang dibawa Pujangga Baru”. (SSK, hal.13). Dapat dikatakan bahwa puisi emosi-semata ini adalah atipode dari dogma keindahan Pujangga Baru.

Tapi rupanya angkatan baru itu terjebak pada dogma lain. ”Motto mula-mula ialah: kebebasan dan hidup. Tapi kemudian, ternyata bahwa motto ini pada dasarnya tidak berbunyi: kebebasan dan hidup, tapi kebebasan dan dunia... yang pertama menghendaki keluasan sedangkan yang kedua terbatas pada kulit. Rupa-rupanya yang kedua didasarkan pula atas emosi lebih kuat daripada yang pertama, sehingga yang pertama jadi timpang. Unsur-unsur emosi yang menjadi dasar ini makin naik ke atas, sehingga yang kelihatannya hanyalah dia. Emosi sudah menjadi geobjectiveerd, sudah menjadi ujud, sehingga dapat puisi itu disebutkan puisi emosi-semata”. (SSK, hal. 14).

Di situ Asrul membedakan dengan tegas antara hidup dan dunia. Hidup adalah titik pijak keluasan, wahana, asal dan akhir kebebasan. Tapi penyair emosi-semata mengelirukan hidup dengan dunia yang bersifat kulit. Dan dalam dunia tempat manusia hidup itu telah terdapat berbagai model tentang hidup yang dibakukan oleh sejarah. Di dalamnya terdapat pandangan dunia, nilai dan dogma-dogma berikut berbagai institusi penyangganya. Itulah daya-daya yang sudah dianggap lazim dan tak pernah dipertanyakan kebenarannya. Seni yang bertumpu pada dunia semacam itu adalah penampilan ulang dari sesuatu yang sudah umum dan di situ tidak terdapat kemungkinan untuk melampaui dunia itu sendiri.

Seni jenis ini senantiasa terkungkung oleh sesuatu yang hendak didedahnya. Meski dengan segala daya upaya pengerahan ketrampilan teknik yang dimiliki, ia tidak akan kemana-mana karena terikat oleh ”dogma-dunia yang telah diambil, tertutuplah jelan ke keluasan”. Lebih celaka lagi ketika dogma-dogma itu ditangkap dengan emosi belaka. Kesalahan melihat anasir sebagai substansi itu membawa dampak lain, yakni kekacauan dalam melihat materi dari sajak. Ini lebih berbahaya karena ”rapatnya hubungan materi itu dengan emosi yang diajukan mereka, maka seboleh-bolehnya pemakaian itu diserangkumkan... Orang bersyair dalam ”istilah-istilah”, tidak lagi dalam isi suatu ucapan”. (SSK, hal. 15). Ia juga mengingatkan bahwa akibat perancuan antara ”kehidupan” dan ”dunia” maka mau tak mau puisi akan bergerak di antara ihwal objek dan subjek-nya semata.

Cara kerja semacam itu membawa para penyair pada apa yang ia sebut sebagai penyakit para ”pengulang kaji”, suatu gerak dalam garis menyempit, menepi langit atau bergerak melingkar seperti yang pernah dilakukan oleh kaum Pujangga Baru. Maka, ”salahnya terdapat pada konsepsi hidup... pokoknya ialah koreksi kembali dan menempatkan emosi pada tempat pendorong, tidak lagi sebagai sesuatu yang hendak ditransmitir. Pokoknya ialah penyelaman mengerti hidup lebih dalam dan memperoleh kebebasan untuk menerima segala sudut dan segi yang diperlihatkan baik ”natural” ataupun ”supernatural”. Deadlock puisi emosi-semata tidak terletak pada materi atau bentuk, tetapi terletak pada kesalahan: pandangan yang menyatakan bahwa penglihatan sebentar adalah substansi”.

Jadi, sastra atau puisi harus bertolak dari hidup secara menyeluruh dan yang diperlukan bukan puisi yang bertumpu pada ”robekan-robekan sepintas lalu yang diberikan emosi”, melainkan puisi ”gigantis”. Sayangnya ia tidak menjelaskan lebih jauh seperti apa contoh puisi semacam itu. Puisi-puisi yang ditulisnya pun tak dapat

14

Page 16: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

dikatakan sebagai contoh puisi ”gigantis” yang ia rindukan. Secara umum, sajak-sajak Asrul merupakan perwujudan gagasan mengenai upaya membangun kemanusiaan dalam kebudayaan universal masa depan. Ia tidak seperti Chairil sang teknikus puisi paling sempurna dan menguasai betul teknik persajakan para pendahulunya. Dengan penguasaan teknik itu Chairil sanggup menciptakan kristalisasi dan sirkus bahasa hingga mencapai kekuatan yang tak dapat dijangkau oleh teknik puisi sebelumnya. Dalam melakukan hal itu Chairil menggunakan segala formula persajakan dari penyair pendahulunya, terutama Amir Hamzah, dengan sangat ketat, untuk kemudian melampuinya.

Sedangkan pada Asrul Sani (dan juga Rivai Apin) keketatan formula persajakan lama benar-benar dibuang dan diganti dengan sajak bebas. Kuplet dan baris-barisnya tidak bergerak dalam suatu pola tertentu melainkan disusun berdasarkan kebutuhan praktis dalam menyampaikan gagasan. Hampir seluruh sajaknya tak terdapat rima yang tersusun berdasarkan perhitungan yang cermat. Kadang susunan itu bahkan mirip prosa tanpa metafor yang berlapis-lapis. Memang ada sajak yang mencoba menghidupkan tenaga kata, yaitu sajak Mantera. Dalam sajak ini pengertian ”mantra” tidak bertumpu pada daya lisan yang berdenyut pada sekujur material kata sebagai kata itu sendiri melainkan susunan larik yang menempatkan kata sebagai pembawa makna. Setiap larik dapat diucapkan seperti sedang meniupkan doa tolak bala atau getar mulut para penyihir.

MANTERA

Raja dari batu hitam,Di balik rimba kelam,Naga hitam,Mari ke mari!

Aku laksamana dari lautan menghentam malam hariAku panglima dari segala burung rajawaliAku tutup segala kota, aku sebar segala api,Aku jadikan belantara, jadi hutan mati

Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa,Budak-budak tidur di pangkuan bundasiapa kenal daku, akan kenal bahagiaTiada takut pada pitam,Tiada takut pada kelampitam dan kelam punya aku.

Raja dari batu hitam,Di balik rimba kelam,Naga malam,Mari ke mari!

15

Page 17: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

Jaga segala gadis berhias diri,Biar mereka pesta dan menariMeningkah rebanaAku akan menyanyi,Angkau berjaga pada api timbul api.

Mereka akan terima cintaku.Siapa bercinta dengan aku,Akan bercinta dengan tiada akhir hari.

Raja dari batu hitam,Di balik rimba kelam,Naga malam,Mari ke mari,

Mari ke mari, Mari!

(Asrul Sani, Mantera, Budaja Djaja, 1975)

Dalam sajak tersebut tak tercium jejak-jejak konvensi perpuisian pendahulunya yang hendak diperbarui. Setiap kata disusun sebagai bagian dari rancang bangun suatu doa yang diucapkan dalam larik-lariknya sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kaitan sintaksis yang longgar. Asrul pernah menyatakan bahwa puisi Indonesia pada dasarnya berwatak lisan. Dan lagi-lagi ia tak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kelisanan di situ: apakah berkaitan dengan keterbatasan metafor untuk mewujudkan gagasan yang menyeluruh dan ”gigantis”, atau keterbatasan tulisan untuk mewujudkan keseluruhan bunyi dalam sajak.

Kerinduannya terhadap puisi yang menyeluruh, dalam arti puisi sebagai wahana menyatakan gagasan telah membuat sajak-sajaknya terasa kaku dan mengelak dari sabetan-sabetan spontan. Kerinduan untuk menyelam ke kedalaman dan keluasan hidup yang menyeluruh barangkali akan lebih mudah jika dilakukan dengan prosa, terutama roman, dan bukan dengan puisi. Bagaimana pun puisi cenderung tersusun dari bahasa yang terlepas dari bahasa sehari-hari. Kemungkinan roman yang lebih memadai untuk melancarkan program sastra yang menyeluruh tampak pada esainya Serba Manusia dalam Roman Ernest Hemingway. Di situ ia menjelaskan bahwa keberhasilan roman-roman karya maestro Amerika itu pada kekuatannya ”membawa kita kepada suatu tingkat, di mana kita dapat maklum-memaklumi sesama manusia, sehingga dapat merasai adanya suatu kenyataan dan dapat menghargai perasaan itu dan memasukkannya ke dalam perhitungan kita”. (SSK, hal. 19).

Sekali lagi ia menegaskan pentingnya menyadari perbedaan antara serbamanusia dan serbadunia. Pada serbamanusia kita akan beroleh keseluruhan kehidupan yang dipantulkan kembali oleh otentisitas si pengarang dan pada serbadunia kita hanya beroleh pantulan-pantulan sesaat yang dangkal. Selain Hemingway ia sering menyebut-nyebut Destoyevsky dan Marcel Proust. Ia memang lebih banyak berbicara mengenai

16

Page 18: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

orang-orang Barat dan hanya sesekali berbicara mengenai Chairil Anwar dan Rivai Apin. Dari esai-esainya tampak bahwa ia percaya pada kekuatan manusia sebagai individu yang otentik, manusia yang harus ditempatkan di atas dunia.

Tapi rupanya Asrul tidak menulis roman melainkan cerpen-cerpen yang kemudian terkumpul menjadi buku Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat. Ia kemudian malah memasuki teater, film dan televisi. Beberapa kali Asrul mengatakan bahwa menulis roman diperlukan waktu yang panjang dengan konsentrasi penuh yang tak boleh diinterupsi oleh urusan-urusan mendesak. Barangkali ia percaya bahwa teater maupun film yang mengandung keragaman serbamedia lebih banyak adalah wahana yang lebih lengkap dan menyeluruh untuk mendedah serbamanusia dan serbahidup. Tapi menurut Nirwan Dewanto, ”dalam kasus Asrul, perannya bukan hanya ”membesar,” tapi juga ”menyimpang”: ia menerjuni film. Inilah barangkali bukti bahwa hantu komunikasi tetap meraja lela: film lebih bermasyarakat tetimbang sastra? Khalayak lebih baik ditemui (lewat film) ketimbang dibayanglan (lewat sastra)?... Bakat besar sang bakal novelis kikis demi ”kepentingan umum” (Menyimak Kembali Asril Sani, DKJ, 1997).

Patut dicatat bahwa produktivitasnya sebagai seniman mencapai puncaknya justru ketika menerjuni film dan televisi. Sekurang-kurangnya ia telah menulis 43 skenario film (yang sudah diproduksi) dan 9 skenario (yang belum diproduksi), dan 22 skenario televisi (sinetron). Ia juga telah menyutradarai 12 film dan 4 karya panggung. Ia telah menerjemahkan 9 roman, 89 naskah dan buku teater serta buku-buku teks film untuk pengajaran. Di bidang teater ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh perintis teater modern di Indonesia. Ia memperkenalkan teater sebagai sejenis ilmu pengetahuan yang dapat dikembangkan dengan metode tertentu.

Salah satu unsur utama pembentuk bobot kehadiran teater yang diperkenalkan oleh Asrul Sani adalah disiplin realisme Eropa yang harus dipelajari sebagai keutuhan performasi teks-naskah, termasuk kekuatan alur cerita dan tokoh-okoh cerita serta hubungan antarelemen penopangnya. Di situ terdapat pengandaian hubungan subjek yang utuh dan otonom dalam modernitas, dengan preferensi filosofis, historis dan politis yang tidak monolitik. Teater adalah wahana untuk menemukan individu otonom yang bergulat dengan konteks sejarahnya masing-masing.

Metode teater yang diperkenalkan Asrul Sani itu berbeda dengan metode yang dikembangkan oleh generasi teater Indonesia kontemporer saat ini yang justru bertolak dari cara pandang pada keterpecahan subjek dalam dunia yang terfragmentasi sehingga bobot kehadirannya tidak bertumpu pada keutuhan cerita dan karakter tokoh-tokohnya. Teater Indonesia kontemprer saat ini cenderung menggeser bobot kehadiran dari keutuhan menyeluruh (suatu subjek) menuju konstelasi atau serpihan peristiwa, ruang dan dunia visual. Karakter dan alur cerita kadang hanya menjadi bagian kecil elemen-elemen yang bergerak dan tersusun di atas panggung sehingga manusia hanya elemen atau bagian dari konstelasi peristiwa yang berlangsung dia atas panggung.

Dan di bidang film Asrul Sani selalu menekankan pentingnya memperlakukan media ini sebagai wahana penyampai gagasan. Artinya, media tidak boleh menenggelamkan gagasan dan karakter cerita. Ia menolak kecenderungan kekuatan media dan permainan citraan visual yang berlebihan sehingga menutup substansi gagasan. Dan ketika Asrul terlibat di dunia televisi, dalam sebuah wawancara tahun

17

Page 19: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

1995, ia mengingatkan bahwa penetrasi media baru ini sangat massif, sehingga jika tidak ditangani dengan hati-hati maka akan membawa dampak yang sangat berbahaya.

***

Dibanding sajak-sajak dan cerpen-cerpennya, esai-esai Asrul jauh lebih cemerlang. Bahkan dapat dikatakan bahwa cerpen dan puisi adalah variasi atau bentuk lain dari esai-esainya. Mengenai esai ia pernah menulis esai berjudul Surat Singkat Tentang Esai. Di situ ia menegaskan bahwa ”esai adalah pintu bersembunyi, bunyi dari kehendak yang hendak menegaskan ”beginilah sebenarnya”. Jadi, esai adalah permintaan kerelaan...Prosa dan puisi adalah seolah-olah dua sungai yang berhubungan, tidak diketahui mana batas air sungai yang satu dengan yang lain... Perbedaan antara sajak dan esai ialah lebihnya kadar ideologi dalam esai.”

Asrul cenderung menulis esai dengan sudut pandang orang pertama tunggal sehingga menjadi sejenis pernyataan atau kesaksian personal yang akrab dan mudah dicerna. Pembaca diperlakukan sebagai teman mengobrol dengan sebutan ”saudara”. Esai-esainya yang paling cemerlang adalah serial Fragmen Keadaan yang dimuat di majalah Siasat tahun 1050-1951. Esai-esai serial itu merupakan perpaduan yang sangat berhasil dari puisi dan prosa dengan muatan ”ideologi” yang mengalir jernih, padat, logis dengan humor dan sinisme serta sarkasme yang wajar di sana-sini. Di situ juga terasa empati yang terukur.

Sedangkan pada esai-esai yang lain, terutama yang berbicara perihal sastra ia lebih tampak sebagai pencerita ketimbang pendedah gagasan. Sudut pandang personal pada esai-esai jenis ini juga tampak lebih kuat. Ia suka bertolak dari seuatu yang dialaminya secara langsung untuk menjabarkan pikiran-pikirannya. Bentuk sarkasme yang wajar dapat ditemui pada esainya Simposion Kesusasteran Indonesia di Jakarta (1953), yang berlangsung di Universitas Indonesia. Ia menggambarkan situasi simposion (bukan simposium, WA) yang menurutnya penuh dengan kemubaziran. Ia menggambarkan para pembicara di mimbar yang menghabiskan waktunya untuk pamer kepandaian mengulas pemikiran-pemikiran abstrak, kutip sana kutip sini, comot teori ini-itu berikut penyebutan nama-nama besar dari dunia antah-berantah diiringi kepenatan yang dipenuhi purbasangka sehingga tak menyentuh ihwal sastra Indonesia yang ada di depan mata.

Dalam menggambarkan ”persetanan” yang tak berguna itu, ia melaporkan bahwa di tengah-tengah seminar terdapat serorang gadis cantik yang dengan seopan keluar dari ruangan. ”gadis itu memakai baju dansa panjang dan rupanya molek sekali. Rupanya ia mengira ”simposion” adalah suatu perkataan asing yang tak ia kenal untuk pengertian ”malam dansa”. Ia berjalan dengan malu-malu antara kursi sambil mengangkat gaunnya itu sedikit. Di jendela terpasang kertas kecil ditulis huruf balok dengan kata ”kalau mau keluar harap jangan meloncati jendela”. Gadis itu lewat pintu dengan hormatnya.” (SSK, hal. 119).

Itulah salah satu contoh gaya humor Asrul yang dingin dalam menulis esai. Sebagaimana telah disebutkan bahwa ia lebih banyak bicara tentang orang Barat seperti

18

Page 20: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

Lorca, Hemingway, Destoyewsky, Vercors, Proust, Camus, Vittorini, Bruller, Kaum Fillifers, Gide, Eluard, Aragon, Claude Aveline, Mauriac, Edith Thomas, Jean cassou, Jean paulhan, Claude Morgan, Steinbeck, Sikorska, Oudeville, Barees, Buffon, Realisme Italia, dan tentu angkatan ’47 yang pernah ia kunjungi di Jerman Barat. Ia juga pernah menyebut Hans Resink yang tokohnya mirip George Duhamel. Sebagian besar yang ia sebut dalam esai-esainya adalah karya-karya Prancis, dan selalu dikutip langsung dalam bahasa aslinya. Rupanya, selain bahasa Belanda, Inggris dan Jerman, ia cukup menguasai bahasa Prancis. Dan pengutipan dalam bebasa Prancis itu ia lakukan seperti sikap wajar yang elegan dalam kebanggan seorang cendekia yang mengetahui segala yang lebih unggul ketimbang orang lain. Sekali lagi, kutipan nama-nama dari khazanah sastra dunia itu menunjukkan kerinduannya pada karya satra yang menyeluruh sebagai wahana ”emansipasi” manusia.

Satu-satunya esai yang tidak meyakinkan adalah Apakah ”Krawang Bekasi” Sebuah Plagiaat? (1954). Di situ ia membela Chairil Anwar yang dituduh menjiplak sajak The Young Dead Soldiers karya Archibald MacLeish. Apakah Chairil pernah membaca sajak tersebut dan kemudian menjiplaknya dalam puisi Krawang Bekasi, baginya hal itu tidak penting. Sangat mungkin terjadi koinsidensi antara apa yang ditulis Chairil dengan puisi MacLeish. Lagian ”menurut hemat saya, Chairil lebih berhasil dari MacLeish mengerjakan tema ini... Gambaran-gambaran mungkin hampir serupa, tapi sungguh pun begitu bagi saya sajak ini (Krawang Bekasi, WA), bukanlah hasil tiruan yang sadar.” (SSK, hal. 128).

Argumentasi dalam esai tersebut tidak meyakinkan karena Asrul tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana berlakunya teori ”koinsidensi” dalam telaah teks dan bukannya pada proses penulisan puisi. Tapi demikianlah gaya Asrul dalam esai-esainya. Terkadang dengan enteng ia mengemukakan pikiran atau pendapat personalnya tanpa terbebani kewajiban menyusun elaborasi yang rinci untuk menopang argumentasinya. Ia adalah salah satu esais terkuat di lapangan sastra dan seni modern Indonesia. Seorang modernis dengan bacaan yang luas yang beroleh kematangan dalam usia yang sangat muda. Seorang pemikir yang mencintai gagasan tentang serbamanusia yang otentik. Ia tidak sedahsyat Chairil dalam bersajak atau Rivai Apin yang muram dan kikuk. Ia lebih dingin, logis dan kadang sarkastik.

***

19

Page 21: Kata Ikatan Modern Asrul Sani

20