KASUS POSISI
-
Upload
ignatius-galih-ariputra -
Category
Documents
-
view
537 -
download
11
Transcript of KASUS POSISI
1 KASUS POSISI
Kasus Lotus merupakan kasus yang terjadi pada 2 Agustus 1926 dikarenakan oleh
adanya tabrakan antara SS Lotus, sebuah kapal uap Prancis dan SS-Boz Kourt,
sebuah kapal Turki, di suatu daerah di utara Mytilene. Sebagai akibat dari
kecelakaan itu, terdapatlah delapan warga Turki atas kapal-Boz Kourt tenggelam
ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus.1 Kapten kapal Lotus yang bernama M.
Demons ditangkap oleh pemerintah Turki sekaligus dimintai keterangan. M. Demons
ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan
pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian
terhadap kapal tambang Turki.2
Pemerintah Prancis merujuk pada Konvensi 1923 Lausanne dalam berdebat
melawan yurisdiksi Turki, Pemerintah Prancis keberatan atas penahanan yang
dilakukan Turki, karena dianggap tindakan itu tidak sejalan dengan Hukum
Internasional, dan pihak Turki tidak memiliki Jurisdiksi untuk mengadili perkara itu,
dan berpandangan bahwa negara benderalah yang memiliki Jurisdiksi eksklusif atas
kapal di laut lepas (floating island theory). sehingga permasalahan ini diajukan ke
Mahkamah Internasional Permanen.3
Pada tanggal 7 September 1927, yakni ketika belum adanya Perserikatan Bangsa-
Bangsa, kasus tersebut diajukan Mahkamah Internasional Permanen (Permanent-
ICJ), yang mana merupakan bagian yudisial dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu
Perserikatan Bangsa-Bangsa). 4
1 http://en.wikipedia.org/wiki/Lotus_case The Lotus case concerns a criminal trial which was the result of the 2 August 1926 collision between S.S. Lotus, a French steamship (or steamer), and the S.S. Boz-Kourt, a Turkish steamer, in a region just north of Mytilene. As a result of the accident, eight Turkish nationals aboard the Boz-Kourt drowned when the vessel was torn apart by the Lotus.2 http://tiarascastleofthinking.blogspot.com/2009/08/kasus-lotus-antara-prancis-vs-turki.html 3 Lotus, 1927 P.C.I.J. (ser. A) No. 10, at 16.4 http://en.wikipedia.org/wiki/Lotus_case On 7 September 1927 the case was presented before the Permanent Court of International Justice, the judicial branch of the League of Nations, the predecessor of the United Nations.
2 KEPUTUSAN PERMANENT INTERNASIONAL COURT OF JUSTICE
Prinsip atau pendekatan Lotus, biasanya dianggap sebagai dasar hukum
internasional, mengatakan bahwa negara-negara berdaulat dapat bertindak dengan
cara apapun yang mereka inginkan asalkan tidak bertentangan dengan larangan
eksplisit. Prinsip ini - hasil dari kasus Lotus - kemudian ditolak oleh pasal 11 dari
Tinggi Konvensi Laut 1958.5 Konvensi, yang diadakan di Jenewa, meletakkan
penekanan pada fakta bahwa hanya negara atau bendera negara yang tersangka
pelaku adalah yang memiliki yurisdiksi nasional atas pelaut tentang insiden yang
terjadi di laut lepas.6
Tampak dari keputusan Permanent Court of Internasional Justice dalam Lotus case 7bahwa opinion Juris.8 merupakana suatu hal yang merupakan kesimpulan dari
semua keadaan, bukan semata-mata tindakan terinci yang merupakan unsure
materi dari apa yang dinyatakan keidah kebiasaan.
Ada beberapa masalah yang timbul dalam kasus ini. Apakah ada ketentuan-
ketentuan Hukum Internasional yang melarang turki melaksanakan Jurisdiksinya?
(yakni mengadili orang asing ‘M.Demons’ di negaranya).
Apakah tindakan yang dilakukan Turki sesuai dengan perjanjian Lausanne, dan teori
floating island? 9
Keputusan dalam perkara ini adalah, diantaranya:
1. Memutuskan bahwa tidak ada kaidah kebiasaan yang memberikan yurisdiksi
pidana eksklusif dalam kasus tabrakan di laut lepas dari pihak Negara bendera
kapal, berkenaan dengan semua insiden di atas kapal, karena dari materi yang
relevan yang dipertimbangkan, perundang-undangan nasional tidak konsisten, tidak
5 Convention of the High Seas (1958)6 http://en.wikipedia.org/wiki/Lotus_case7 PCIJ (1927), Series A No. 108 Dalam hal ini opinion juris bukan merupakan unsure esensial dari kebiasaan, tetapi seandainya hal itu ada, opinion juris berguna sebagai yang membedakan kebiasaan dari serangkaian tindakan yang diikuti secara sukarela atau karena alasan-alasan lain. J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi kesepuluh yang diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmaja, S.H., Jakarta: Sinar Grafika, 1992. Hlm. 49. Lihat pula: Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, 1961 edn. Hlm. 114.9 http://tiarascastleofthinking.blogspot.com/2009/08/kasus-lotus-antara-prancis-vs-turki.html
ada kecenderungan yang seragam yang dapat disimpulkan dari traktat-traktat, serta
adanya perbedaan pandangan di antara para sarjana.Untuk itu jurisdiksi dapat
dilaksanakan juga oleh Negara bendera kapal atas kapal dimana tindak pidana yang
mengakibatkan timbulnya tabrakan.10
2. Memutuskan bahwa tidak ada pembatasa atas pelaksanaan yurisdiksi oleh
setiap Negara kecuali jika pembatasan itu dapat diperlihatkan dengan bukti konklusif
yang keberadaannya sebagai suatu prinsip hokum internasional. PCIJ tidak
menerima tesis yang dikemukakan oleh Perancis bahwa suatu klaim yurisdiksi oleh
suatu Negara harus dibenarkan oleh hokum internasional dan praktek hokum
internasional. Kewajiban tersebut terletak di pihak Negara yang menyatakan bahwa
pelaksanaan yurisdiksi itu sah, untuk mempelihatkan bahwa praktek jurisdiksi itu
dilarang oleh hokum internasional.11
3. Terkait dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap
orang lainnya dalam kapal, maka tidak boleh ada penuntutan pidana atau disiplin
terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan peradilan atau pejabat-pejabat
administrasi dari Negara bendera atau Negara dari mana orang tersebut menjadi
warga Negara.12
ANALISIS PUTUSAN
Dilihat dari Putusan Mahkamah Internasional Permanent, bahwa walaupun negara
tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya dalam hal tidak adanya
ketentuan hukum internasional, namun tidak berarti hukum internasional melarang
suatu negara melaksanakan jurisdiksinya sehubungan dengan kasus yang terjadi di
luar negeri.
Mengenai negara bendera memiliki jurisdiksi eksklusif atas kapal laut lepas, dalam
putusan Mahkamah, hukum internasional tidak mengatur ketentuan tersebut. Dan
karena kapal turki mengalami kerusakan maka sama saja telah terjadi kerusakan di
wilayah turki. Maka hal ini memungkinkan turki memberlakukan jurisdiksinya
berdasarkan prinsip territorial objektif, yaitu Jurisdiksi dimana tindakan tersebut
diselesaikan, (karena tindakan itu terjadi pada kapal turki, maka sama saja terjadi di
wilayah turki), dengan jurisdiksi territorial objektif ini, maka turki berhak menjalankan
10 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi kesepuluh yang diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmaja, S.H., Jakarta: Sinar Grafika, 1992. Hlm. 50.11 J. G. Starke, Hlm. 270.12 J. G. Starke, Hlm. 327.
jurisdiksinya.
Selain itu tindakan penangkaman kapten M. Demons yang dilakukan Turki adalah
perwujudan dari asas perlindungan, guna pembelaan atas 8 korban awak kapal
turki. Dan asas Nasionalitas Pasif, bahwa suatu negara memiliki jurisdiksi untuk
mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di
luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
http://en.wikipedia.org/wiki/Lotus_case
http://tiarascastleofthinking.blogspot.com/2009/08/kasus-lotus-antara-prancis-vs-
turki.html
Convention of the High Seas (1958)
http://en.wikipedia.org/wiki/Lotus_case
PCIJ (1927), Series A No. 10
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, 1961 edn.
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi kesepuluh yang diterjemahkan
oleh Bambang Iriana Djajaatmaja, S.H., Jakarta: Sinar Grafika, 1992.