Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

28
Kasus Southern Bluefin Tuna Case Australia dan Selandia Baru v. Jepang A.Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia dan Selandia Baru v. Jepang Latar Belakang 1. Southern Bluefin Tuna (SBT) adalah spesies ikan yang hidup berpindah-pindah yang tercantum dalam daftar spesies yang sering bermigrasi di Annex I UNCLOS. SBT bergerak secara luas melewati samudera Belahan Bumi Selatan, terutama di laut bagian atas, namun mereka juga melintasi zona ekonomi eksklusif dan wilayah perairan beberapa negara, salah satunya Australia, Selandia Baru, dan Afrika Selatan. Mereka bertelur di perairan selatan Indonesia. Pasar utama untuk penjualan SBT adalah di Jepang, dimana ikan dihargai sebagai makanan yang lezat untuk sashimi. 2. Bagi para pihak yang bersengketa, panen untuk tujuan perniagaan terhadap SBT merupakan hal yang lumrah dilakukan sejak 1950an, lalu pada 1961, penangkapan global memuncak hingga 81.000 metrik ton (mt). Pada awal 1980an, persediaan SBT sudah sangat berkurang akibat penangkapan yang berlebihan; diperkirakan keberadaan induk SBT merosot hingga tersisa 23- 30% saja dari data tahun 1960. Pada 1982, Australia, Selandia Baru, dan Jepang secara tidak formal mulai mengatur penangkapan SBT. Jepang bergabung dengan Australia dan Selandia Baru pada 1985 untuk memperkenalkan adanya angka penangkapan maksimum (total allowable catch, TAC) terhadap SBT yang diperbolehkan secara global, yakni 38.650 mt. Pada 1989, TAC yang disepakati adalah 11.750 ton, dengan alokasi nasional 6.065 ton untuk Jepang, 5.265 ton untuk Australia, dan 420 ton 1

description

Kasus Southern Bluefin Tuna (SBT)

Transcript of Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

Page 1: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

Kasus Southern Bluefin Tuna Case Australia dan Selandia Baru v. Jepang

A. Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia dan Selandia Baru v. Jepang

Latar Belakang

1. Southern Bluefin Tuna (SBT) adalah spesies ikan yang hidup berpindah-pindah yang

tercantum dalam daftar spesies yang sering bermigrasi di Annex I UNCLOS. SBT

bergerak secara luas melewati samudera Belahan Bumi Selatan, terutama di laut

bagian atas, namun mereka juga melintasi zona ekonomi eksklusif dan wilayah

perairan beberapa negara, salah satunya Australia, Selandia Baru, dan Afrika

Selatan. Mereka bertelur di perairan selatan Indonesia. Pasar utama untuk penjualan

SBT adalah di Jepang, dimana ikan dihargai sebagai makanan yang lezat untuk

sashimi.

2. Bagi para pihak yang bersengketa, panen untuk tujuan perniagaan terhadap SBT

merupakan hal yang lumrah dilakukan sejak 1950an, lalu pada 1961, penangkapan

global memuncak hingga 81.000 metrik ton (mt). Pada awal 1980an, persediaan SBT

sudah sangat berkurang akibat penangkapan yang berlebihan; diperkirakan

keberadaan induk SBT merosot hingga tersisa 23-30% saja dari data tahun 1960.

Pada 1982, Australia, Selandia Baru, dan Jepang secara tidak formal mulai

mengatur penangkapan SBT. Jepang bergabung dengan Australia dan Selandia

Baru pada 1985 untuk memperkenalkan adanya angka penangkapan maksimum

(total allowable catch, TAC) terhadap SBT yang diperbolehkan secara global, yakni

38.650 mt. Pada 1989, TAC yang disepakati adalah 11.750 ton, dengan alokasi

nasional 6.065 ton untuk Jepang, 5.265 ton untuk Australia, dan 420 ton untuk

Selandia Baru. Jepang sebagai pemanen terbesar, menopang potongan yang

terbesar pula. Namun, persediaan SBT terus merosot. Pada 1997, diperkirakan

hanya tersisa 7-15% dari data tahun 1960. Pengerahan atas persediaan SBT –

memasukkan ikan baru ke dalam perikanan – diperkirakan pada 1998 hanya

menambah persediaan menjadi sepertiga dari data tahun 1960. Adanya pembatasan

penangkapan SBT yang dilakukan oleh Jepang, Australia, dan Selandia Baru secara

lebih luas diimbangi oleh masuknya Korea Selatan, Taiwan, dan Indonesia, dan

beberapa negara lainnya. Adanya pembatasan penangkapan SBT akhirnya

berdampak pada pemulihan persediaan SBT di wilayah tengah antara Australia -

Selandia Baru dan Jepang.

1

Page 2: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

3. Pada 1993, Australia, Jepang, dan Selandia Baru menyimpulkan adanya Konvensi

untuk Perlindungan Terhadap SBT (Convention for the Conservation of SBT,

CCSBT).

4. Pada Mei 1994, sebuah Komisi yang didirikan oleh CCSBT menetapkan TAC

sebesar 11.750 ton, dengan alokasi antara Jepang, Australia, dan Selandia Baru

yang disebutkan di atas. Setelah itu, tidak ada kesepakatan untuk mengubah level

atau pembagian TAC. Sejak 1994 Jepang mencari kenaikan di TAC dan

pembagiannya, namun ditentang oleh Selandia Baru dan Australia. Komisi

mempertahankan TAC pada level yang ada pada saat itu berkaitan dengan

ditemukannya jalan buntu, yakni sejak 1998, tidak dapat ditemui adanya

kesepakatan mengenai TAC. Saat kekosongan keputusan Komisi, para pihak pada

prakteknya telah mempertahankan TAC mereka yang ditetapkan pada 1994. Pada

saat yang sama, Jepang menekan Komisi untuk tidak hanya meningkatkan TAC,

tetapi juga untuk menyetujui adanya Experimental Fishing Program (EFP), yang

mana memperbolehkan adanya penangkapan ikan sebanyak 6.000 ton per tahun,

selama 3 tahun, berkaitan dengan pembagian untuk perniagaan Jepang dan

berkaitan pula dengan usaha agar TAC Jepang ditingkatkan.

5. Selandia Baru dan Australia menolak adanya EFP karena tidak sesuai dengan

kerangka perjanjian CCSBT. Berdasarkan pembukaan pada CCSBT disebutkan

bahwa CCSBT secara sukarela menjadikan UNCLOS sebagai payung hukum dari

CCSBT. Maka dari itu, Selandia Baru dan Australia melaporkan adanya sengketa

tersebut kepada Pengadilan Arbitrase dan mengajukan adanya Provisional

Measures kepada ITLOS melawan Jepang.

Sejarah Prosedural

1. Pada 31 Agustus 1998 Australia dan Selandia Baru menyampaikan kepada Jepang

akan adanya nota diplomatis yang secara formal memberitahukan kepada Jepang

akan adanya sengketa antara Australia dan Selandia Baru di satu pihak, dan Jepang

di pihak lainnya, mengenai perlindungan dan manajemen atas ikan Southern Bluefin

Tuna. Pada 15 Juli 1999, Australia dan Selandia Baru secara masing-masing

menyampaikan kepada Jepang suatu Statement of Claim and Grounds on Which it is

Based1. Australia dan Selandia Baru dengan cara demikian memulai proses

1 Statement of Claim menurut Black’s Law Dictionary 4th Edition: Suatu pernyataan tertulis atau tercetak oleh penggugat pada peradilan Inggris (Anglo Saxon), yang menunjukkan fakta-fakta yang ia andalkan untuk mendukung tuntutannya kepada tergugat dan keringanan atas tuntutannya. Hal tersebut disampaikan kepada tergugat atau kuasa hukumnya. Penyampaian pernyataan biasanya merupakan langkah yang ditempuh setelah adanya kedatangan di pengadilan dan merupakan permulaan atas adanya pembelaan.

2

Page 3: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

arbitrase melawan Jepang berdasarkan Annex VII United Nations Convention on The

Law of The Sea (UNCLOS).

2. Seraya menantikan konstitusi atas Pengadilan Arbitrase ini berdasarkan Annex VII

UNCLOS, Australia dan Selandia Baru, pada 30 Juli 1999, masing-masing

mengajukan permohonan akan adanya Provisional Measures2 kepada The

International Tribunal for The Law of The Sea (ITLOS).

3. Pada 9 Agustus 1999, berdasarkan adanya undangan dari Presiden ITLOS, Jepang

mengajukan pernyataan tunggal sebagai balasan dari permohonan Australia dan

Selandia Baru. Jepang menyatakan adanya keberatan atas yurisdiksi ITLOS.

4. Pada 16 Agustus 1999, ITLOS mengeluarkan perintah yang berkenaan dengan

adanya permohonan-permohonan atas adanya Provisional Measures. Dengar

pendapat atas permohonan Provisional Measures diadakan oleh ITLOS di Hamburg

pada 18, 19, dan 20 Agustus 1999.

5. Pada 27 Agustus 1999, ITLOS mengeluarkan perintah yang menyatakan bahwa

Pengadilan Arbitrase memiliki yurisdiksi dan menentukan adanya Provisional

Measures tertentu.

6. Berdasarkan penunjukkan-penunjukkan tersebut, Pengadilan Arbitrase

dikonstitusikan.

7. Pada 19 Januari 2000, para pihak bertemu dengan Ketua Pengadilan Arbitrase di

Den Haag. Hasil dari konsultasi ini adalah adanya kesepakatan atas penjadwalan

pengajuan pembelaan berkenaan dengan keberatan Jepang atas adanya yurisdiksi

ITLOS dan dengar pendapat akan adanya yurisdiksi ITLOS yang akan

diselenggarakan di Washington D.C. pada awal Mei 2000, yang difasilitasi oleh Bank

Dunia3. Berdasarkan konsultasi dengan anggota lain dari Pengadilan Arbitrase,

Ketua Pengadilan Arbitrase kemudian menentukan adanya dengar pendapat atas

yurisdiksi pada 7 Mei hingga 11 Mei 2000, yang disepakati oleh para pihak.

8. Pada 19 Januari 2000, pada pertemuan dengan Ketua Pengadilan Arbitrase, para

pihak sepakat bahwa Pengadilan akan menetapkan Panitera, yang akan mengawasi

kepaniteraan. Para pihak menyatakan bahwa mereka akan menerima dengan

senang hati adanya penunjukan tersebut demi tercapainya pelaksanaan International

Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang resmi dan layak.

2Provisional Measures menurut J.G. Merills adalah wewenang Mahkamah untuk menyatakan diberlakukannya suatu tindakan perlindungan sementara, membolehkan suatu intervensi dan menafsirkan atau mengubah suatu putusan. J. G. Merrills, International Dispute Settlement, 1995, Cambridge: Grotus Publications Ltd., 2nd Edition.3Para pihak juga setuju bahwa pada 19 Januari 2000 akan diselenggarakan pertemuan dengan Ketua Pengadilan Arbitrase, yang mana bahasa yang akan digunakan adalah bahasa Inggris dan biaya proses akan didistribusikan kepada pihak-pihak yang bersengketa dan pemberian upah akan ditawarkan kepada anggota dari Pengadilan Arbitrase.

3

Page 4: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

Berdasarkan kepada konsultasi dengan Sekertaris Jenderal ICSID, Ketua

Pengadilan Arbitrase menulis kepada Kesekretariatan ICSID pada 3 Februari 2000

untuk mempertanyakan apakah ICSID akan mempersiapkan pejabat-pejabatnya dan

fasilitas-fasilitasnya tersedia untuk mendukung proses. Melalui surat pada hari yang

sama, ICSID membalas dengan penerimaan. Mrs. Margrete L. Stevens dan Messrs.

Alejandro A. Escobar dan Antonio R. Parra adalah pejabat-pejabat ICSID yang

ditunjuk sebagai sekretaris bersama dari Pengadilan.

9. Pada korespondensi antara ICSID dan para pihak selanjutnya, tugas-tugas ICSID

yang berkenaan dengan proses diuraikan. ICSID akan berperan sebagai Panitera,

menjadi saluran resmi dalam berkomunikasi antara para pihak dengan Pengadilan

Arbitrase; membuat catatan atas dengar pendapat tentang yurisdiksi; membuat

susunan tentang hal-hal yang penting dalam dengar pendapat; dan membayar biaya

anggota Pengadilan Arbitrase dari dana yang dihimpun oleh para pihak, mengganti

uang perjalanan dan biaya-biaya lainnya yang dibutuhkan berkaitan dengan proses.

10. Pada 11 Februari 2000, Jepang mengajukan memori keberatannya atas yuridiksi.

Melalui surat pada hari yang sama, ICSID menyampaikan salinan dari memori

keberatan tersebut kepada anggota-anggota Pengadilan Arbitrase.

11. Mengenai pengajuan memori keberatan Jepang, para pihak saling berkoresponden

untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya tentang judul yang diberikan atas proses.

Australia dan Selandia Baru mengajukan judul “Kasus Southern Bluefin Tuna”,

sedangkan Jepang mengajukan judul “Kasus Mengenai Konvensi atas Perlindungan

Southern Bluefin Tuna” atau sebagai alternatifnya, “Australia dan Selandia Baru v.

Jepang”. Pada 17 Februari 2000, Ketua Pengadilan Arbitrase memberitahukan

kepada para pihak bahwa, hingga Pengadilan Arbitrase mempunyai kesempatan

untuk bertemu untuk mempertimbangkan dan menyelesaikan perkara, judul-judul

dari Australia dan Selandia Baru maupun Jepang akan digunakan secara

bersamaan. Pada pembukaan dari dengar pendapat atas yuridiksi pada 7 Mei 2000,

Ketua Pengadilan Arbitrase mengumumkan bahwa, Australia dan Selandia Baru

akan dipertimbangkan menjadi satu pihak di dalam proses dan judul yang digunakan

adalah “Kasus Southern Bluefin Tuna – Australia dan Selandia Baru v. Jepang”.

12. Pada 22 Februari 2000, Australia dan Selandia Baru mengajukan salinan dokumen

yang digunakan pada proses Provisional Measures dihadapan ITLOS. Salinan

tersebut disebarkan ke Jepang dan ke setiap anggota dari Pengadilan Arbitrase

melalui ICSID, pada 23 Februari 2000.

13. Pada 31 Maret 2000, Australia dan Selandia Baru mengajukan jawaban gabungan

terhadap yurisdiksi. Salinan dari jawaban tersebut disebarkan kepada para anggota

dari Pengadilan Arbitrase dan kepada Jepang melalui ICSID pada 3 April 2000.

4

Page 5: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

14. Pada 3 April 2000, sebuah agenda permulaan didistribusikan kepada para pihak

sebagai pendahuluan dari dengar pendapat atas yurisdiksi. Peninjauan mengenai

draf agenda diterima dari Australia dan Selandia Baru dan dari Jepang.

15. Dengar pendapat atas yurisdiksi diadakan di kedudukan ICSID di markas besar Bank

Dunia di Washington D.C. dari 7 Mei hingga 11 Mei 2000. Ketua Pengadilan

Arbitrase mengumumkan adanya permulaan prosedural atas persoalan yang

disetujui oleh para pihak, termasuk nama dari kasus, akses publik kepada dengar

pendapat, penyiaran atas transkrip sementara atas dengar pendapat di website

ICSID, dan rekaman video dari dengar pendapat.

16. Jepang mempresentasikan argumen lisannya atas keberatannya terhadap yurisdiksi

dan tentang hal-hal yang dapat diterima pada 7 Mei. Australia dan Selandia Baru

kemudian mempresentasikan argumen lisan mereka tentang yurisdiksi dan hal-hal

yang dapat diterima pada 8 Mei. Diikuti satu hari jeda, Jepang mempresentasikan

bidasannya pada 10 Mei. Australia dan Selandia Baru kemudian mempresentasikan

bidasan baliknya pada 11 Mei 2000. Terjemahan yang dilakukan secara serentak

kepada Jepang disediakan saat dengar pendapat.

17. Agen dan Penasihat Jepang yang ditunjuk untuk Pengadilan Arbitrase adalah:

a. Shotaro Yachi, Agen Jepang, Direktur Jenderal Biro Perjanjian, Kementerian

Luar Negeri, Tokyo

b. Nisuke Ando, Profesor Hukum Internasional, Universitas Doshisha dan Profesor

Emeritus, Universitas Kyoto

c. Sir Elihu Lauterpacht, Q.C., C.B.E.

d. Shabtai Rosenne, Anggota dari Israel Bar, Anggota dari Institut Hukum

Internasional

e. Vaughan Lowe, ChiceleProfessor Hukum Internasional Publik, All Souls College,

Universitas Oxford

18. Agen dan Penasihat Australia dan Selandia Baru yang ditunjuk untuk Pengadilan

Arbitrase adalah:

a. Bill Campbell, Agen Australia, Asisten Sekretaris Pertama, Kantor Hukum

Internasional, Departemen Advokat Jenderal, Canberra

b. Tim Caughley, Agen Selandia Baru, Penasihat Hukum Internasional dan Direktur

Divisi Hukum Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan, Wellington

c. James Crawford, Whewell Professor Hukum Internasional, Universitas

Cambridge

d. Henry Burmester Q.C., Kepala Penasihat Jenderal, Kantor Kuasa Hukum

Pemerintah Australia, Canberra

5

Page 6: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

e. Mark Jennings, Penasihat Senior, Kantor Hukum Internasional, Departemen

Advokat Jenderal, Canberra

f. Elana Geddis, Penasihat Hukum, Divisi Hukum Kementerian Luar Negeri dan

Perdagangan, Wellington

g. Rebecca Irwin, Kepala Perwira Hukum, Kantor Hukum Internasional,

Departemen Advokat Jenderal, Canberra

h. Andrew Serdy, Perwira Eksekutif, Hukum Laut, Cabang Hukum, Departemen

Luar Negeri dan Perdagangan, Canberra

19. Pada dengar pendapat atas yurisdiksi, masing-masing pihak menyerahkan salinan

materi untuk membantu para anggota Pengadilan Arbitrase. Jepang menyerahkan

empat jilid salinan materi yang berisi teks perjanjian yang mengacu kepada Annex 47

dari memori yurisdiksi Jepang. Transkrip harfiah sementara yang mencakup materi

dengar pendapat setiap harinya, pada hari yang sama didistribusikan secara

elektronik kepada para pihak dan ICSID. Pada pagi hari setelahnya setiap harinya

sebelum dengar pendapat, setiap pihak menerima salinan naskah dari ICSID yang

berisi transkrip harfiah dan rekaman audio untuk hari tersebut. Salinan dari transkrip

demikian juga disediakan oleh ICSID kepada setiap anggota dari Pengadilan

Arbitrase dan dipublikasikan pada website ICSID.

20. Pada 10 Mei 2000, Pengadilan Arbitrase mengajukan beberapa pertanyaan kepada

para pihak yang timbul berdasarkan pembelaan dan presentasi lisan. Kedua pihak

menyatakan bahwa mereka akan menjawab pertanyaan-pertanyaan Pengadilan

Arbitrase secara tertulis. Pada 26 Mei 2000, masing-masing pihak mengumpulkan

jawaban-jawaban tersebut kepada ICSID, bersamaan dengan koreksi atas transkrip

harfiah yang dibuat berdasarkan dengar pendapat. Melalui surat pada tanggal yang

sama, ICSID menyebarkan salinan jawaban para pihak dan koreksi atas transkrip

harfiah kepada para anggota Pengadilan Arbitrase dan satu pihak dengan pihak

lainnya.

Sumber:

Southern Bluefin Tuna Case - Australia and Selandia Baru v. Japan

Award on Jurisdiction and Admissibility

August 4, 2000

rendered by

the Arbitral Tribunal

6

Page 7: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

constituted under Annex VII of the

United Nations Convention on the Law of the Sea

B. Putusan The International Tribunal for The Law of The Sea (ITLOS) Terhadap Kasus

Southern Bluefin Tuna Case Australia dan Selandia Baru v. Jepang

Hasil dari perselisihan yang diajukan oleh Australia dan Selandia Baru terhadap

Jepang yang diselesaikan di International Tribunal on the Law of the Sea (ITLOS)

adalah:

1. Mengatur , menunggu keputusan siding arbitrase, langkah-langkah berikut :

A. Australia, Jepang dan Selandia Baru memastikan bahwa tindakan yang diambil

yang mungkin memperburuk atau memperpanjang perselisihan disampaikan

kepada majelis arbitrase.

B. Australia, Jepang dan Selandia Baru masing-masing akan memastikan bahwa

tidak ada tindakan yang diambil yang dapat mengganggu keluarnya putusan

merrits dari arbitral tribunal.

C. Australia, Jepang dan Selandia Baru harus menjalankan perjanjian, kecuali ada

perjanjian lain, bahwa jumlah penangkapan ikan tahunan tidak melebihi alokasi

sebagaimana telah diatur dalam perjanjian CSBT, yaitu 5.265 ton, 6.065 ton, dan

420 ton, secara berurutan, untuk penghitungan total penangkapan tahunan

untuk tahun 1999 dan 2000, dan penghitungan ini adalah untuk penangkapan

selama tahun 1999, termasuk penangkapan ikan eksperimental.

D. Australia, Jepang dan Selandia Baru masing-masing akan menahan diri dari

melakukan suatu Program penangkapan ikan eksperimental yang melibatkan

penangkapan tuna sirip biru selatan, kecuali dengan kesepakatan para pihak lain

atau kecuali penangkapan eksperimental itu dihitung terhadap alokasi nasional

tahunan sebagaimana diatur dalam sub ayat (c).

E. Australia, Jepang dan Selandia Baru harus melanjutkan perundingan tanpa

penundaan dengan pandangan untuk mencapai kesepakatan tentang langkah-

langkah untuk konservasi dan pengelolaan tuna sirip biru selatan.

F. Australia, Jepang dan Selandia Baru harus melakukan upaya lebih lanjut untuk

mencapai kesepakatan dengan negara lain dan badan-badan pemancingan

yang terkait dalam penangkapan ikan tuna sirip biru selatan, dengan pandangan

untuk menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimal dari

saham.

7

Page 8: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

2. Memutuskan bahwa masing masing pihak harus menyerahkan laporan awal

sebagaimana dimaksud dalam pasal 95, ayat 1,Peraturan selambat-lambatnya 6

Oktober 1999, dan memberi kewenangan pada Presiden Tribunal untuk meminta

laporan dan informasi lebih lanjut di waktu yang jadi anggap tepat setelah tanggal

tersebut.

3. Memutuskan, sesuai dengan pasal 290, ayat 4, dari Konvensi dan pasal 94 dari

Aturan, bahwa putusan sela yang ditentukan dalam Putusan ini wajib segera

diberitahukan oleh Panitera melalui cara-cara yang tepat untuk semua Negara Pihak

Konvensi berpartisipasi dalam perikanan untuk tuna sirip biru selatan.

Dari urutan putusan di atas yang paling penting adalah putusan yang dengan 18

hasil voting, ITLOS memutuskan bahwa Australia, Jepang dan Selandia Baru harus

menjalankan perjanjian, kecuali ada perjanjian lain, bahwa jumlah penangkapan

ikan tahunan tidak melebihi alokasi sebagaimana telah diatur dalam perjanjian

CSBT, yaitu 5.265 ton, 6.065 ton, dan 420 ton, secara berurutan, untuk

penghitungan total penangkapan tahunan untuk tahun 1999 dan 2000, dan

penghitungan ini adalah untuk penangkapan selama tahun 1999, termasuk

penangkapan ikan eksperimental.

Hal ini berarti, bahwa pihak-pihak yang terkait tidak diperbolehkan untuk menangkap

SBT diluar kuota tangkapan ikan tahunannya sesuai dengan yang telah diatur didalam

CSBT, baik dengan alasan untuk penangkapan ikan eksperimental maupun

penangkapan ikan di laut lepas.

C. Pertimbangan Hukum Terhadap Putusan Kasus Southern Bluefin Tuna Case

Australia dan Selandia Baru v. Jepang

SOUTHERN BLUEFIN TUNA CASES

(Selandia Baru v. Japan; Australia v. Japan)

Award on Jurisdiction and Admissibility

August 4, 2000

Rendered by

The Arbitral Tribunal

constituted under Annex VII of the

United Nations Convention on the Law of the Sea

8

Page 9: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

1. Tribunal sadar posisinya sebagai pengadilan pertama arbitrase yang akan dibentuk di

bawah Bagian XV ("Penyelesaian Sengketa"), Annex VII ("Arbitrase") dari UNCLOS.

2. Dengan memperhatikan Submissions akhir dari Para Pihak, Tribunal awalnya akan

membahas contention bahwa kasus ini telah menjadi diperdebatkan dan harus

dihentikan. Menurut Tribunal, kasus ini tidak dapat diperdebatkan. Jika para Pihak bisa

setuju pada program memancing eksperimental, unsur yang akan membatasi

tangkapan di luar de facto batas TAC 1500 mt, bahwa aspek yang menonjol dari

sengketa mereka memang akan diselesaikan; tapi Australia dan Selandia Baru tidak

menerima tawaran tersebut atau pembatasan oleh Jepang.

3. Dalam kasus ini, Tribunal yang memutuskan apakah "sengketa sebenarnya" antara

para Pihak tidak atau tidak beralasan berhubungan dengan kewajiban yang tercantum

dalam perjanjian yang diduga pelanggaran.

4. Tribunal menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan dalam UNCLOS yang tidak

diatur di dalam CCSBT maupun TAC (Art. 117-119), sehingga yurisdiksi ITLOS bisa

masuk. Pasal 5 ayat 1 CCSBT menyatakan bahwa “setiap pihak harus mengambil

segala tindakan yang diperlukan untuk memastikan penegakan Konvensi ini dan

pemenuhan langkah yang mengikat”. Terlebih lagi, peraturan UNCLOS tidak mungkin

bertentangan dengan ketentuan CCSBT karena CCSBT dirancang untuk

melaksanakan prinsip-prinsip yang ada dalam UNCLOS. Berdasarkan alasan-alasan

Tribunal menyimpulkan bahwa sengketa antara Australia dan Selandia Baru melawan

Jepang tersebut juga merupakan wewenang UNCLOS.

5. Tribunal menyepakati bahwa Pasal 16 Konvensi 1993 merupakan kesepakatan antara

para pihak untuk mencari penyelesaian sengketa secara damai berdasarkan pilihan

mereka sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa walaupun sengketa ini

berdasarkan Konvensi 1993, UNCLOS juga memiliki wewenang terhadapnya. Hal ini

disebabkan pihak-pihak yang bersengketa merupakan pihak-pihak yang sama bukan

dalam sengketa berbeda tapi sebenarnya merupakan satu sengketa yang timbul

dibawah kedua Konvensi tersebut.

6. Tribunal menyimpulkan bahwa Pasal 16 Konvensi 1993 “meniadakan adanya

prosedur lebih lanjut” berkaitan dengan Pasal 281 (1) UNCLOS. Ada dua

pertimbangan lain menurut Tribunal yang mendukung kesimpulan ini yaitu yang

pertama, prosedur yang wajib dilakukan memerlukan keputusan mengikat faktanya

telah ditentukan Bagian XV UNCLOS untuk semua anggota UNCLOS. Pasal 286,

menyatakan bahwa “apabila tidak ada penyelesaian yang dicapai menurut section 1,

9

Page 10: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

sengketa tersebut dapat diajukan oleh pihak manapun ke pengadilan yang memiliki

yurisdiksi (dibawah Pasal 297)”.

7. Isi Pasal 297 UNCLOS menyatakan bahwa UNCLOS memiliki yurisdiksi untuk

menangani kasus-kasus diantaranya kasus-kasus yang melibatkan perlindungan dan

pemeliharaan lingkungan laut.

8. Pertimbangan kedua adalah bahwa Tribunal menyadari fakta bahwa sejumlah besar

perjanjian internasional dengan unsure maritime yang diadakan setelah disahkannya

UNCLOS, mengecualikan dengan berbagai tingkat ketegasan, referensi sepihak suatu

sengketa untuk diselesaikan dengan keputusan mengikat atau prosedur arbitrase.

Perjanjian-perjanjian lain menutup kemungkinan pengajuan sengketa keputusan

mengikat dan arbitrase atau ajudikasi secara sepihak, bukan hanya pernyataan tegas

keharusan penyelesaian sengketa dengan prosedur yang disetujui bersama, tapi juga

seperti dalam Pasal 16 Konvensi 1993, mengharuskan para pihak untuk terus

berusaha menyelesaikan sengketa secara damai sesuai pilihan cara mereka sendiri.

Untuk meyakinkan bahwa sengketa yang menyebabkan kewajiban dibawah UNCLOS

dan perjanjian pelaksana seperti Konvensi 1993 harus dibawa dalam jangkauan

section 2 Bagian XV UNCLOS yang akan efektif untuk menghilangkan efek

substansial ketentuan penyelesaian sengketa perjanjian pelaksana yang mengatur

penyelesaian sengketa dengan cara pilihan para pihak.

9. Dari analisis di atas, Tribunal ini tidak memiliki yurisdiksi mengenai merits sengketa

Australia dan Selandia Baru melawan Jepang. Tribunal merasa tidak perlu untuk

melanjutkan ke persoalan mengenai diterima atau tidaknya sengketa ini. Ditambahkan

pula, Tribunal tidak menemukan bahwa proses yang dibawa ke ITLOS dan Tribunal

merupakan penyalahgunaan proses; sebaliknya proses yang dijalankan telah

konstruktif.

10. Dalam pandangan bahwa Tribunal tidak memiliki yurisdiksi terhadap merits sengketa,

dan isi Pasal 290 (5) UNCLOS, Order ITLOS tanggal 27 Agustus 1999, Putusan Sela,

harus tidak berlaku lagi sejak tanggal ditandatanganinya Putusan ini.

11. Namun, pencabutan Order ITLOS tanggal 27 Agustus 1999, Putusan Sela, tidak

berarti bahwa para pihak dapat mengabaikan hasil dari Order ini atau keputusan

mereka yang menyesuaikannya. Order dan keputusan-keputusan tersebut

berdampak: tidak hanya dalam penghentian program memancing eksperimental yang

dilakukan Jepang secara sepihak selama Order berlaku, tetapi juga pada perspektif

dan tindakan para pihak.

12. Apapun cara penyelesaian sengketa secara damai yang dipilih para pihak, Tribunal

menegaskan bahwa prospek untuk penyelesaian sengketa yang sukses adalah

10

Page 11: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

dimana para pihak tidak melakukan tindakan sepihak yang dapat memperburuk

sengketa sementara belum tercapai suatu solusi.

SOUTHERN BLUEFIN TUNA CASES

(Selandia Baru v. Japan; Australia v. Japan)

August, 1999

Request for Provisional Measures

Tribunal, setelah musyawarah,

Dengan memperhatikan Pasal 287 ayat 5, dan Pasal 290 United Nation Convention on the

Law of the Sea (selanjutnya “Konvensi” atau “Konvensi Hukum Laut”) dan Pasal 21 dan 25

Statute of the Tribunal (selanjutnya “Statuta”),

Dengan memperhatikan Pasal 89 dan 90 the Rules of the Tribunal (selanjutnya “the Rules”),

1. Menimbang bahwa, berdasarkan Pasal 286 dan 287 Konvensi, Australia dan Selandia

Baru keduanya telah melaksanakan persidangan dalam Pengadilan Arbitrase melawan

Jepang dalam sengketa mereka mengenai Southern Bluefin Tuna

2. Menimbang bahwa, Australia dan Selandia Baru pada 15 Juli 1999 telah menotifikasi

Jepang tentang pengajuan sengketa ke pengadilan arbitrase dan tentang Permohonan

Putusan Sela

3. Menimbang bahwa pada 30 Juli 1999, setelah daluwarsanya jangka waktu dua minggu

berdasarkan Pasal 290 ayat 5 Konvensi, Australia dan Selandia Baru mengajukan

Permohonan Putusan sela kepada Tribunal

4. Menimbang bahwa sebelum melaksanakan Putusan Sela berdasarkan Pasal 290 ayat 5

Konvensi, Tribunal harus meyakinkan diri bahwa prima facie pengadilan arbitrase

memiliki yurisdiksi

5. Menimbang bahwa Australia dan Selandia Baru telah dipanggil sebagai dasar yurisdiksi

pengadilan arbitrase Pasal 288 ayat 1 Konvensi menyatakan :

Suatu mahkamah atau pengadilan yang dimaksud Pasal 287 harus memiliki yurisdiksi

atas sengketa apapun mengenai interpretasi atau aplikasi Konvensi ini yang diserahkan

padanya sesuai dengan bagian ini

11

Page 12: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

6. Menimbang bahwa Jepang menyatakan bahwa sengketa ini adalah masalah ilmiah

daripada masalah hukum

7. Menimbang bahwa, dalam pandangan Tribunal, perbedaan antara para pihak juga

mengenai perihal-perihal hukum

8. Menimbang bahwa, dalam pandangan Tribunal, suatu sengketa adalah suatu

“perbedaan pendapat dalam hal hukum atau fakta, konflik dalam pandangan hukum atau

kepentingan” (Mavrommatis Palestine Concessions, Judgment No. 2, 1924, PCIJ, Series

A, No. 2, p. 11), dan “hal itu harus menunjukkan bahwa klaim dari salah satu pihak

secara positif ditentang oleh pihak yang lain” (South West Africa, Preliminary Objections,

Judgment, ICJ Reports 1962, p.328)

9. Menimbang bahwa Australia dan Selandia Baru menyatakan bahwa Jepang, dengan

sepihak merancang dan melakukan program memancing eksperimental, telah gagal

mematuhi kewajiban dalam Pasal 64 dan 116 sampai 119 Konvensi, dengan ketentuan

the Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna of 1993 (selanjutnya

“Konvensi 1993) dan dengan peraturan hukum kebiasaan internasional

10. Menimbang bahwa Jepang mempertahankan pendapat bahwa sengketa adalah

mengenai interpretasi atau implementasi Konvensi 1993 dan bukan mengenai

interpretasi atau aplikasi Konvensi

11. Menimbang bahwa Jepang membantah bahwa mereka telah gagal memenuhi ketentuan

Konvensi yang dimaksud oleh Australia dan Selandia Baru

12. Menimbang bahwa daftar spesies yang sering bermigrasi tercantum dalam Annex I

Konvensi meliputi tuna sirip biru selatan: Thunnus maccoyii

13. Menimbang bahwa, menurut Tribunal, ketentuan Konvensi yang diajukan Australia dan

Selandia Baru tampaknya memberi dasar yurisdiksi pengadilan arbitrase

14. Menimbang bahwa negosiasi dan konsultasi telah dilakukan para pihak dan catatan

menunjukkan negosiasi ini dianggap Australia dan Selandia Baru dibawah Konvensi

1993 dan juga Konvensi

15. Menimbang bahwa Tribunal mendapati bahwa pengadilan arbitrase akan memiliki

yurisdiksi yang prima facie atas sengketa

16. Menimbang bahwa menurut Pasal 290 ayat 5 Konvensi, Putusan Sela dapat

dilaksanakan untuk menunda sidang arbitrase jika Tribunal menganggap urgensi situasi

sangat membutuhkannya

17. Menimbang bahwa, sesuai Pasal 290 ayat 5 Konvensi, pengadilan arbitrase, setelah

dibentuk, dapat memodifikasi, mencabut, atau menegaskan setiap putusan sela yang

ditentukan Tribunal tersebut

12

Page 13: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

18. Menimbang bahwa sesuai Pasal 290 Konvensi, Tribunal dapat menetapkan putusan

sela untuk mempertahankan hak-hak para pihak yang bersengketa atau untuk

mencegah bahaya yang serius terhadap lingkungan laut

19. Menimbang bahwa Australia dan Selandia Baru berpendapat bahwa dengan tindakan

sepihak Jepang menerapkan program memancing eksperimental telah melanggar hak-

hak Australia dan Selandia Baru dibawah Pasal 64 dan Pasal 116-119 Konvensi

20. Menimbang bahwa Australia dan Selandia Baru berpendapat bahwa penangkapan tuna

sirip biru selatan lebih lanjut, menunggu hearing dari pengadilan arbitrase, akan

menyebabkan kerugian langsung terhadap hak-hak mereka

21. Menimbang bahwa the Conservation of the living resources of the sea adalah unsure

dalam perlindungan dan pelestarian lingkungan laut

22. Menimbang bahwa, dalam pandangan Tribunal, para pihak harus bertindak dengan

bijaksana dan hati-hati untuk memastikan langkah-langkah konservasi yang efektif yang

diambil untuk mencegah bahaya serius terhadap stok tuna sirip biru selatan

23. Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas, Tribunal berpandangan bahwa

Putusan Sela sesuai dalam situasi ini

24. Menimbang bahwa sesuai Pasal 89 ayat 5 the Rules, Tribunal dapat menetapkan

measure yang berbeda secara keseluruhan atau sebagian dari yang dimintakan

25. Menimbang bahwa kekuatan mengikat dari measures yang ditetapkan dan persyaratan

dalam Pasal 290 ayat 6 Konvensi yang sesuai dengan measures segera dilaksanakan

26. Menimbang bahwa sesuai Pasal 95 ayat 1 the Rules, para pihak wajib menyampaikan

laporan dan informasi mengenai kepatuhan terhadap putusan sela yang ditetapkan

27. Menimbang bahwa Tribunal mungkin perlu meminta informasi lebih lanjut dari para pihak

dalam pelaksanaan putusan sela dan bahwa Presiden Tribunal berwenang untuk

meminta informasi tersebut sesuai Pasal 95 ayat 2 the Rules

D. Identifikasi Masalah Kasus Southern Bluefin Tuna Case Australia dan Selandia

Baru v. Jepang

1. Apakah putusan yang dikeluarkan International Tribunal for Law of The Sea (ITLOS)

terkait Southern Bluefin Tuna Cases sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang

berlaku dalam prinsip-prinsip Hukum Internasional?

2. Apakah ITLOS dibawah UNCLOS memiliki yurisdiksi untuk mengadili dan memutus

kasus ini ?

3. Apakah Selandia Baru dan Australia berhak untuk menghentikan EFP (experimental

fishing programme) Jepang di bawah CCBST (Convention for the Conservation of

Southern Bluefin Tuna) ?

13

Page 14: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

E. Analisis Hukum Mengenai Kasus Southern Bluefin Tuna Case Australia dan

Selandia Baru v. Jepang

1. Putusan yang dikeluarkan International Tribunal for Law of The Sea (ITLOS)

terkait Southern Bluefin Tuna Cases

Australia dan Selandia Baru mendasarkan gugatannya pada Article-article Law

of the Sea (LOS), yang diadopsi oleh Convention for the Conservation of Southern

Bluefin Tuna 1993 (CSBT) karena wilayah yang dicakup oleh CSBT tidak meliputi

Samudera Hindia dimana Jepang melakukan unilateral experimental fishing-nya.

Artikel-artikel yang dijadikan sebagai gugatan adalah: Law of the Sea (LOS) Article 64

tentang Highly migratory species, Article 116 tentang Right to fish on the high seas,

Article 117 tentang Duty of States to adopt with respect to their nationals measures for

the conservation of the living resources of the high seas, Article 118 tentang

Cooperation of States in the conservation and management of living resources, Article

119 tentang Conservation of the living resources of the high seas, Article 300 tentang

Good faith and abuse of rights, Article 297 tentang Limitations on applicability of

section 2, Article 290 tentang Provisional measures.

Berdasarkan gugatan tersebut, putusan yang dikeluarkan oleh International

Tribunal for Law of The Sea (ITLOS) terkait Southern Bluefin Tuna Cases adalah

mencakup sebagai berikut :

ITLOS memutuskan bahwa Australia, Jepang dan Selandia Baru harus

menjalankan perjanjian, kecuali ada perjanjian lain;

bahwa jumlah penangkapan ikan tahunan tidak melebihi alokasi sebagaimana telah

diatur dalam perjanjian CSBT, yaitu 5.265 ton, 6.065 ton, dan 420 ton, secara

berurutan termasuk penangkapan ikan secara eksperimental.

Secara keseluruhan putusan yang dikeluarkan oleh ITLOS sudah sesuai dengan

ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam prinsip-prinsip Hukum Internasional terutama

Hukum Lingkungan Internasional dan Konvensi Hukum Laut. Dalam hukum

lingkungan internasional, Jepang telah melanggar prinsip pencegahan yang dimana

telah dianggap sebagai norma dalam hukum kebiasaan internasional. Prinsip

pencegahan adalah suatu prinsip yang menjadikan perlindungan lingkungan sebagai

salah satu tujuan utama. Seperti yang telah dijelaskan dari tahun ke tahun angka

populasi dari Southern Bluefin Tuna (SBT) terus mengalami penurunan dan di

Indonesia sendiri hewan tersebut kini dianggap sebagai salah satu hewan langka yang

dilindungi karena populasinya semakin sedikit. Prinsip ini bertujuan untuk menjaga

keseimbangan alam. Jepang sendiri telah dianggap melakukan eksperimen

penangkapan ikan TBB secara sepihak dan telah gagal dalam mengambil langkah-

14

Page 15: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

langkah guna melakukan konservasi dan menejemn TBB di laut lepas yang tidak

mendukung prinsip pencegahan tersebut. Prinsip pencegahan telah diakui oleh ICJ

yang menyatakan bahwa pencegahan diwajibkan karena kerusakan lingkungan

seringkali bersifat tidak bisa dipulihkan (irreversible) dan karena adanya keterbatasan

kemampuan kita untuk memulihan kerusakan lingkungan jika hal itu terjadi4. Selain itu

Jepang juga telah dianggap melanggar Pasal 64, 116 – 119 dan 300 Konvensi hukum

laut yang mana telah disepakati sebelumnya.

2. Yurisdiksi ITLOS dibawah UNCLOS untuk mengadili dan memutus kasus ini

Terkait penyelesaian sengketa dalam  bidang hukum laut sebelum UNCLOS

1982 dilakukan dalam kerangka penyelesaian sengketa internasional pada umumnya.

Yaitu sengketa diselesaikan melalui mekanisme-mekanisme dan institusi-institusi

peradilan internasional yang sudah ada.

Setelah UNCLOS lahir, negara-negara diarahkan untuk segera menyelesaikan

sengketa yang berhubungan dengan laut. Negara- negara tidak dapat lagi menunda-

nunda penyelesaian sengketa dengan bersembunyi di balik kedaulatan negara. Suatu

negara dapat menunda penyelesaian sengketa bila negara lain yang terlibat dalam

sengketa setuju untuk itu. Jika tidak ada persetujuan demikian. Maka mekanisme

prosedur memaksa (compulsory procedures) dalam UNCLOS 1982 harus

diberlakukan.

Seperti telah disinggung di atas, bahwa negara-negara yang menghadapi

sengketa diharuskan menyelesaikan sengketa dalam ketentuan yang telah ditetapkan

dalam UNLCOS 1982. Untuk itu, pasal 287 UNCLOS 1982 mengatur tentang alternatif

dan prosedur penyelesaian sengketa (dispute settlement) bagi negara-negara yang

berhubungan dengan wilayah zona kelautan. Ada dua bentuk alternatif penyelesaian

sengketa di mana negara-negara diberi kebebasan memilih bentuk penyelesaian

mana yang mereka anggap paling tepat dalam sengketa yang dihadapi. Adapun

bentuk alternatif penyelesaian sengketa dalam kerangka UNCLOS 1982 adalah :

A.   Penyelesaian sengketa secara damai.

B.    Penyelesaian sengketa dengan prosedur wajib.

4https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CCkQFjAA&url=http%3A%2F%2Fxa.yimg.com%2Fkq%2Fgroups%2F70943315%2F1639612411%2Fname%2Fprinsi&ei=2udrU9aWF4KK7Ab_zIHYDg&usg=AFQjCNGnAyoAPJqhN63teimwKSldP625A&sig2=Ov4dB_qcEwbZvwyEocij0A&bvm=bv.66330100,d.cGU diakses pada 06 Mei 2014.

15

Page 16: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

A.1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai.

Dalam perspektf ini, UNCLOS 1982 mewajibkan negara-negara menyelesaikan

sengketa yang terjadi di antara mereka dengan merujuk pada ketentuan pasal 3 ayat

(2) Piagam PBB. di sini negara-negara diberi kebebasan untuk memilih bentuk

prosedur penyelesaian sengketa dengan menggunakan sarana-sarana penyelesaian

sengketa sebagaimana diatur pada pasal 33 ayat (1) Piagam PBB. sekalipun demikian

ketentuan dalam pasal 33 PBB tidak meniadakan kemungkinan  para pihak untuk

memilih bentuk penyelesaian sengketa secara damai lainnya sepanjang para pihak

sepakat untuk itu.

Jika cara dan prosedur yang ditentukan pada pasal 33 Piagam PBB tidak

mampu menyelesaikan sengketa di antara para pihak, maka salah satu pihak dapat

mengundang pihak lainnya untuk mengadakan prosedur konsiliasi. Dan jika prosedur

ini disetujui para pihak, masing-masing pihak akan memilih dua konsiliator dari

negara-negara peserta konvensi kemudian ditambah masing-masing satu konsiliator

dari negara yang terlibat sengketa. Keseluruhan konsiliator ini akan memilih konsiliator

ke lima yang akan bertindak sebagai ketua. Panel konsiliasi akan bertugas selama

satu tahun untuk melakukan hearing, membuat laporan pelaksanaan, konsiliasi dan

membuat rekomendasi-rekomendasi untuk penyelesaian sengketa tersebut.

Satu prosedur penyelesaian sengketa secara damai dapat dikatakan berhasil

adalah apabila pihak yang terlibat sengketa secara bersama-sama menyatakan

menerima dan puas akan hasil rekomendasi atau kepustusan prosedur penyelesaian

sengketa yang dilakukan.

 B.1. Penyelesaian Sengketa Dengan Prosedur Wajib(Compulsory Settlement)

Dalam hal tidak tercapai suatu kesepakaatan dalam penyelesaian sengketa

secara damai maka para pihak dapat menggunakan prosedur wajib yang

menghasilkan keputusan yang mengikat. UNCLOS menetapkan 4 aturan untuk

resolusi penyelesiaan sengketa antara negara yang timbul dari penafsiran atau

penerapan UNCLOS.

Sesuai pasal 287(1) dari UNCLOS, saat ditandatangani, diratifikasi, atau aksesi,

sebuah negara bisa membuat pernyataan memilih satu atau lebih metode

penyelesaian sengketa yang dalam UNCLOS. Bab XV khususnya pasal 287

UNCLOS 1982 menyediakan empat forum yang dapat dipilih untu menyelesaikan

sengketa, yakni:

1.    Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal For The Law of The

Sea ITLOS).

16

Page 17: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

2.    Mahkamah internasional (internasional Court of Justice ICJ).

3.     Mahkamah Arbitrase (Arbitral tribunal),dan

4.    Mahkamah Arbitrase Khusus (special Arbitral Tribunal)5.

ITLOS ( International Tribunal for Law Of the Sea ) adalah sebuah organisasi

antar pemerintah yang diciptakan oleh mandat Ketiga Konferensi PBB tentang Hukum

Laut. ITLOS adalah badan peradilan independen yang dibentuk oleh UNCLOS 1982.

Badan ini ditujukan untuk mengadili sengketa-sengketa yang lahir dari pelaksanaan

maupun penafsiran ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS. Berdasarkan Statutanya,

ITLOS dapat membentuk Chamber untuk menangani bidang-bidang tertentu yang

disengketakan. Saat ini ada beberapa chamaber yang telah dibentuk yaitu :

The Chamber of Summary Procedure

The Chamber of Fisheries Dispute and the Chamber for environmental disputes.

A special chambers to deal with the case concerning the conservation and

sustainable exploitation of sword fish stock in the South-Eastern pacific ocean.

Seabed disputes Chamber.

ITLOS adalah salah satu sarana untuk penyelesaian perselisihan yang timbul

dari Konvensi, namun ada juga cara lainnya yaitu melalui Mahkamah Internasional,

pengadilan arbitrase yang dibentuk sesuai dengan Lampiran VII Konvensi, dan sidang

arbitrase khusus yang dibentuk sesuai dengan Lampiran VIII Konvensi. Majelis Umum

PBB telah mengakui kontribusi Pengadilan ke penyelesaian damai sengketa sesuai

dengan Bagian XV dari Konvensi dan telah menggaris bawahi peran dan kewenangan

penting Tribunal mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi. Keputusan

Pengadilan bersifat final dan mengikat terhadap para pihak yang bersengketa dan

wajid untuk mematuhinya. Namun, Pengadilan tidak memiliki sarana menegakkan

keputusan.6 Menurut Prof. Etty R. Agoes, untuk beberapa hal, ITLOS memiliki

kelebihan dibanding ICJ. Seperti pada contoh sengketa Sipadan Ligitan yang

penyelesaiannya di ICJ memakan waktu lama. Pada waktu itu, Indonesia harus

menunggu giliran kasus lain di ICJ selesai diperiksa. Sedangkan di ITLOS, karena

khusus menangani sengketa yang berhubungan dengan kelautan, maka otomatis

penyelesaiannya akan lebih cepat7. 

5 http://sendhynugraha.blogspot.com/2013/04/international-tribunal-for-law-of-sea.html diakses pada 05 Mei 2014.6 http://blogs.unpad.ac.id/inet/2013/04/30/itlos-international-tribunal-for-the-law-of-the-sea/ diakses pada 06 Mei 20147 http://leszalombok.blogspot.com/2012/06/penentuan-batas-maritim-menurut.html diakses pada 05 Mei 2014.

17

Page 18: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

Pasal 297 UNCLOS menyatakan bahwa UNCLOS memiliki yurisdiksi untuk

menangani kasus-kasus diantaranya kasus-kasus yang melibatkan perlindungan dan

pemeliharaan lingkungan laut dalam hal ini UNCLOS menunjuk ITLOS sebagai

lembaga peradilan guna memecahkan sengketa yang berkaitan dengan tuna sirip biru

tersebut yang terjadi antara Australia dan Selandia Baru melawan Jepang.

"Kompetensi ITLOS juga umumnya ditentukan oleh Pasal 287 ayat 1. Oleh

karena itu serta pengadilan arbitrase (Lampiran VII, Pasal 1), ITLOS dapat menangani

semua sengketa mengenai interpretasi atau penerapan Konvensi. Namun,

yurisdiksinya juga terdiri "semua hal-hal yang diatur secara khusus dalam perjanjian

lain yang memberikan yurisdiksi Pengadilan" (Lampiran VI, Pasal 21). Meskipun

lintang jelas diberikan kepada perjanjian tersebut, yurisdiksi ITLOS atas dasar

perjanjian berunding yurisdiksi Pengadilan dapat mencakup hanya sengketa di bidang

hukum laut. Itulah sebabnya mengapa penting untuk dapat membedakan ini bagian

dari hukum internasional dari bidang lain hukum internasional publik. Keterbatasan

ITLOS untuk perselisihan tentang hukum laut tidak hanya jelas dari namanya,

kompetensinya di bawah Konvensi dan Statuta nya (Lampiran VI), tetapi juga dari

kompetensi yang dibutuhkan para anggotanya. Selain memiliki "reputasi tertinggi

untuk keadilan dan integritas", para anggota ITLOS harus "kompetensi yang diakui

dalam bidang hukum laut" (Lampiran VI, Pasal 2, ayat 1)."

Berdasarkan pemaparan diatas, sejak awal para pihak yang bersengketa diatas

telah mengetahui bahwa Southern Bluefin Tuna (SBT) adalah spesies ikan yang hidup

berpindah-pindah yang tercantum dalam daftar spesies yang sering bermigrasi di

Annex I UNCLOS. Sebagai salah satu negara yang patuh terhadap UNCLOS, para

pihak patuh terhadap statuta yang dimiliki oleh UNCLOS dan menjadikan UNCLOS

sebagai salah satu payung hukum. Salah satu pasal dalam statuta UNCLOS 1982

yaitu Pasal 287 menyebutkan bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara, para pihak

mempunyai hak untuk menyelesaikan perkara tersebut melalui : Mahkamah

Internasional Hukum Laut (International Tribunal For The Law of The Sea ITLOS),

Mahkamah internasional (internasional Court of Justice ICJ), Mahkamah Arbitrase

(Arbitral tribunal), dan Mahkamah Arbitrase Khusus (special Arbitral Tribunal). Dalam

kasus Southern Bluefin Tuna ini, para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa

melalui ITLOS. ITLOS merupakan salah satu lembaga peradilan yang disebutkan

dalam Pasal 287 Statuta UNCLOS 1982, hal ini mengindikasikan bahwa ITLOS

memiliki yurisdiksi untuk menangani segala permasalahan yang berkaitan dengan

kelautan, dalam hal ini khususnya masalah Southern Bluefin Tuna antara Selandia

Baru dan Australia melawan Jepang.

18

Page 19: Kasus Posisi Southern Bluefin Tuna Case Australia Dan Selandia Baru v[1]

3. Hak/Kewenangan Selandia Baru dan Australia untuk menghentikan EFP

(experimental fishing programme) Jepang di bawah CCBST (Convention for the

Conservation of Southern Bluefin Tuna)

Berdasarkan kasus posisi diatas, berkaitan dengan penurunan jumlah ikan tuna

bersirip biru, Jepang, Australia dan Selandia Baru sepakat membuat Convention for

the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CSBT Convention) tahun 1993 dan

menyepakati pula total penangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch) untuk

masing-masing Jepang, Australia dan Selandia Baru sebesar 6.065 ton, 5.265 ton,

dan 420 ton. Pada tahun 1998, Jepang secara sepihak telah melakukan apa yang

disebut dengan eksperiman penangkapan ikan TBB sebanyak 1.400 ton di selatan laut

Hindia. Penuntut menyatakan bahwa Jepang telah melakukan eksperimen

penangkapan ikan TBB secara sepihak dan telah gagal dalam mengambil langkah-

langkah guna melakukan konservasi dan menejemn TBB di laut lepas dan telah

melanggar pasal 64, 116 – 119 dan 300 Konvensi hukum laut. Sebagai tambahan,

Jepang juga telah melanggar prinsip pencegahan, dimana menurut penuntut

merupakan norma dalam hukum kebiasaan internasional.

Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan dengan jelas bahwa Jepang

telah melanggar kesepakatan yang telah tertuang dalam Konvensi Hukum Laut dan

juga telah melanggar norma dan hukum kebiasaan internasional, maka untuk itu

Australia dan Selandia Baru berhak untuk menghentikan EFP (experimental fishing

programme) Jepang karena selain telah melanggar kesepakatan dan hukum

kebiasaan internasional, juga karena EFP tidak sesuai dengan kerangka perjanjian

CCSBT yang sebelumnya telah disepakati bersama oleh Australia, Jepang, dan

Selandia Baru. Dengan melakukan EFP, Jepang dianggap telah gagal mematuhi

kewajiban dalam Pasal 64 dan 116 sampai 119 Konvensi, dengan ketentuan the

Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna of 1993. Apa yang

dimintakan oleh Australia dan Selandia baru agar Jepang menghentikan EFP juga

bertujuan baik, karena dari tahun ke tahun angka populasi dari tuna sirip biru

mengalami penurunan karena terus diburu karena tuna sirip biru mempunyai nilai jual

yang mahal hal ini bertujuan untuk mencegah tuna sirip biru dari kepunahan serta

untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

19