Kasus Akta Kematian Palsu Yogya

download Kasus Akta Kematian Palsu Yogya

of 6

Transcript of Kasus Akta Kematian Palsu Yogya

Kapurnews.com- Tersangka kasus tindak pidana korupsi di Yogyakarta memalsukan surat kematian, sehingga penyidik dari Kejaksaan Tinggi DIY sempat menghentikan kasus tersebut.

Kasus tersebut yakni penyelewengan pupuk subsidi di Desa Sinduadi, Mlati, Sleman, senilai Rp800 juta dengan tersangka Edi Sumarno. Penyidik yang saat itu dipimpin Dadang Darusalam menghentikan kasusnya. Pengeluaran SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) diteken oleh Kejati DIY Ali Muntohar pada 2012 lalu.

Belakangan diketahui, kematian tersangka Edi Sumarno sesuai kenyataan, sebab dia masih hidup dan melakukan aktivitas seperti biasanya. Pada Oktober 2013 lalu, Kepala Kejati DIY Suyadi menelurkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru untuk mengusut tersangka.

Kejati DIY akan menelusuri juga asal usul surat kematian yang menyebabkan kasus ini sempat dihentikan. "Kami sedang telusuri itu," kata Suyadi kepada wartawan.

Kasus ini memang menarik perhatian publik karena ada surat kematian palsu hingga akhirnya Kejati DIY sempat menerbitkan SP3 pada tahun 2012.

Pihak Kejati DIY akan mendalami apa ada pihak lain yang turut terlibat dan berperan dalam penerbitan surat kematian palsu tersebut. Indikasi ada keterlibatan pihak-pihak lain masih ditelusuri lebih lanjut.

Pegiat anti-korupsi, Baharudin Kamba, meminta agar penyidik Kejati saat ini untuk membongkar jika ada keterlibatan dari pihak lain seperti penyidik sebelumnya maupun pihak perangkat desa.

Pasalnya untuk menelurkan surat kematian itu harus dimulai dari kepala dukuh, hingga kelapa desa di mana domisili tersangka. "Harusnya diungkap siapa-siapa yang terlibat. Siapa pun dia, yang terlibat penerbitan surat kematian palsu, harus diproses sesuai hukum yang berlaku," kata Kamba.

Kamba tidak ingin menuding siapa saja yang terlibat, namun kasus ini sangat jarang terjadi dinegeri ini. "Ini kasus unik sekali, masih hidup bisa mendapatkan surat kematian, siapa yang membuatkan, itu yang perlu diketahui," jelasnya.

Motifasi tersangka memalsukan surat kematian ditengarai supaya perkara korupsi yang dilakukannya tidak diusut. Kamba memberi contoh banyak kasus dihentikan karena tersangka mengalami gangguan kejiwaan ataupun kematian.

"Orang kalau sudah meninggal atau gila, tentu perkara hukum batal demi hukum. Kalau hanya mengaku gila, mengaku sudah mati, ya kalau tidak benar malah bisa dijerat pasal lain karena menghalang-halangi penyidik bekerja," jelasnya seperti dilansir Okezone.com.Harianjogja.com, JOGJATersangka kasus dugaan korupsi pupuk bersubsidi Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Sleman senilai Rp800 juta, Edi Sumarno, kemungkinan bakal dijerat dengan pasal berlapis.Selain ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus korupsi tersebut, Edi juga bakal dijerat dengan tindak pidana pemalsuan, karena diduga memalsukan surat keterangan kematian dirinya.Dia membuat keterangan palsu soal kematian. Tetapi, ada keterangan lainnya. Jika ada keterkaitannya, itu tandanya yang bersangkutan bisa terkena juga, kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DIY Suyadi di kantornya, Jumat (10/1/2014).Menurut dia, langkah Edi membuat keterangan kematian palsu dilakukan sebagai upaya agar dia tidak terjerat kasus korupsi pupuk bersubsidi yang menimpanya.Akan tetapi, karena berbeda kepentingan, maka kemungkinan pasal yang dikenakan akan berbeda.Itu kan sama-sama korupsi, tapi beda, tandasnya.Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Kejati DIY mengeluarkan sprindik atas SP3 atas dugaan kasus korupsi tersebut.Tersangka Edi, sempat dilaporkan meninggal dunia pada pertengahan 2012 saat proses penyidikan masih berjalan.Akan tetapi pada kenyataannya, surat kematian yang dikeluarkan pihak Desa Sinduadi ternyata palsu. Surat keterangan kematian itu palsu karena stempel dan tanda tangan kepala desa juga dipalsukan.Selain itu, sejak 2011 kertas surat kematian berwarna putih. Namun surat keterangan kematian Edi Sumarno masih berwarna kuning dan diterbitkan pada pertengahan 2012.Sampai kini, Edi Sumarno diketahui masih hidup dan tengah menjalani pemeriksaan terkait kasus skandal surat kematian palsu oleh Polda DIY.Kasus korupsi pupuk bersubsidi ini terbongkar saat terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi di wilayah Sleman tengah pada 2008. Dari pengusutan, ada dugaan penyimpangan distribusi pupuk. Pupuk bersubsidi yang diperuntukkan bagi para petani sebesar 901 ton, dijual dengan harga nonsubsidi. Akibatnya para petani kesulitan memperoleh pupuk.

Harianjogja.com, JOGJA-Berita acara pemeriksaan (BAP) penyidikan kasus dugaan korupsi pupuk bersubsidi Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Sleman senilai Rp800 juta dan pemalsuan keterangan kematian dengan tersangka Edi Sumarno, dikembalikan karena dinyatakan belum lengkap.Kepala Seksi Penuntutan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kejati DIY, Mei Abeto Harahap menyatakan berita acara pemeriksaan (BAP) penyidikan kasus tersebut telah dikembalikan.Hal itu terjadi lantaran jaksa peneliti bidang penuntutan menilai pelimpahan tahap pertama belum lengkap (P21). Beberapa syarat formil belum dipenuhi, kata Abeto, Jumat (10/1/2014).Agar BAP tersebut bisa segera diajukan ke persidangan, kini jaksa peneliti menyusun petunjuk untuk diserahkan ke penyidik.Kasi Penyidikan Pidana Khusus Kejati DIY Anshar Wahyudi mengungkapkan sampai kini tim penyidik masih melengkapi berkas agar secepatnya bisa dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor.Kami lengkapi segera, karena masih ada beberapa kasus lain yang harus segera diselesaikan, jelasnya.Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Kejati DIY mengeluarkan sprindik atas SP3 atas dugaan kasus korupsi tersebut.Tersangka Edi, sempat dilaporkan meninggal dunia pada pertengahan 2012 saat proses penyidikan masih berjalan.Akan tetapi pada kenyataannya, surat kematian yang dikeluarkan pihak Desa Sinduadi ternyata palsu. Surat keterangan kematian itu palsu karena stempel dan tanda tangan kepala desa juga dipalsukan.Selain itu, sejak 2011 kertas surat kematian berwarna putih. Namun surat keterangan kematian Edi Sumarno masih berwarna kuning dan diterbitkan pada pertengahan 2012.Sampai kini, Edi Sumarno diketahui masih hidup dan tengah menjalani pemeriksaan terkait kasus skandal surat kematian palsu oleh Polda DIY.Kasus korupsi pupuk bersubsidi ini terbongkar saat terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi di wilayah Sleman tengah pada 2008. Dari pengusutan, ada dugaan penyimpangan distribusi pupuk. Pupuk bersubsidi yang diperuntukkan bagi para petani sebesar 901 ton, dijual dengan harga nonsubsidi. Akibatnya para petani kesulitan memperoleh pupuk.

TEMPO.CO,Yogyakarta- Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus korupsi pupuk bersubsidi oleh Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta berbuntut panjang. Adanya surat kematian palsu tersangka Edy Sumarno--yang ternyata saat ini masih hidup--membuat Kejaksaan mengadakan penyelidikan internal karena penerbitan SP3 itu diduga melibatkan pegawai Kejaksaan.

Mantan pengacara Edy, Susantio, diperiksa tim Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 24 Februari 2014. Ia diperiksa sebagai saksi karena menjadi pengacara Edy saat awal-awal ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pupuk bersubsidi di Sleman.

"Saya diperiksa sebagai saksi, tapi saya tidak pernah mendampingi tersangka saat diperiksa oleh Kejaksaan. Sejak kasus itu mencuat, saya memang masuk tim pengacara," kata Susantio.

Di tengah perjalanan, pada 2009, Edi mengganti tim pengacaranya. Lalu pada 2010, tepatnya bulan Juni, muncul surat kematian atas nama tersangka. Atas dasar itu, Kejaksaan mengeluarkan SP3 pada 2012.

Pada 2010, ada tudingan bahwa yang membantu membuat surat kematian adalah seorang pengacara. Namun pengacara yang dikaitkan dengan penerbitan surat kematian Edy justru sudah meninggal pada April 2010. Sedangkan surat kematian palsu tersangka terbit pada Juni di tahun yang sama.

"Saya tidak tahu sama sekali soal munculnya surat kematian palsu itu karena saya sudah tidak menjadi pengacaranya," kata Susantio.

Kerugian negara akibat kasus korupsi yang melibatkan Edy itu mencapai Rp 800 juta. Kasus ini mencuat pada 2008. Pupuk bersubsidi yang dikorupsi berada di Desa Sinduadi, Mlati, Sleman.

Kejaksaan Tinggi menerbitkan SP3 untuk Edy saat Dadang Darussalam menjabat kepala seksi penyidikan. Sedangkan Kepala Kejaksaan Tinggi dijabat Ali Muthohar. Kini penyidikan kasus pidana korupsi ini kembali dilanjutkan. Sedangkan Kejaksaan Tinggi juga menelisik keterlibatan pegawai.

Menurut informasi yang bisa dihimpunTempo, untuk menelisik skandal penerbitan SP3 berdasarkan surat kematian palsu, penyidik telah memanggil dan memintai keterangan tiga saksi, yakni Kepala Desa Sinduadi (saat itu) Damanhuri, ketua rukun tetangga tempat tinggal Edy, dan adik tersangka.

Adapaun dalam soal penyelidikan internal terhadap Kejaksaan, penyidik telah memanggil dan meminta keterangan mantan Kepala Seksi Penyidikan Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta Dadang Darussalam, yang kini bertugas di Kejaksaan Agung.

"Keterangannya belum cukup. Masih akan diperiksa lagi," kata salah satu penyidik yang tak mau disebutkan namanya.

Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus Widyo Pramono yang datang ke Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan jika ada oknum jaksa yang "nakal", pihaknya tidak akan sungkan melakukan pengusutan. Jika oknum tersebut terbukti bersalah, institusinya tidak akan memberikan pembelaan.

"Jika bukti cukup, laporan harus ditindaklanjuti. Tapi kalau tidak, jangan ragu menghentikan. Karena langkah penghentian itu juga proses hukum," katanya.

Di sisi lain, ia mendorong masyarakat supaya tidak sungkan melaporkan dugaan korupsi yang mereka ketahui. Sebab, Kejaksaan juga terbuka untuk menerima informasi itu. Namun, dia menegaskan laporan yang disampaikan hendaknya bukan fitnah, melainkan berdasarkan dugaan kuat ihwal adanya penyimpangan atau korupsi di suatu instansi.