KASUS

50
KASUS DEMAM TIFOID Oleh : YUNI RAMADHANI 04.45379.00169.09 Pembimbing : dr. Carta Gunawan, Sp.PD LAB. ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN 1

Transcript of KASUS

Page 1: KASUS

KASUS

DEMAM TIFOID

Oleh :

YUNI RAMADHANI

04.45379.00169.09

Pembimbing :

dr. Carta Gunawan, Sp.PD

LAB. ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2010

1

Page 2: KASUS

DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. 1

Daftar Isi........................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 3

1.1 Latar Belakang............................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 5

2.1 Definisi...................................................................................................... 5

2.2 Epidemiologi........................................................................................... 6

2.3 Etiologi.................................................................................................... 8

2.4 Patofisiologi............................................................................................ 9

2.5 Manifestasi Klinis...................................................................................10

2.6 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................10

2.7 Diagnosis.................................................................................................12

2.8 Penatalaksanaan......................................................................................12

2.9 Resistensi terhadap Antibiotika...............................................................15

2.10 Komplikasi..............................................................................................16

2.11 Pencegahan..............................................................................................18

2.12 Prognosis.................................................................................................19

BAB III LAPORAN KASUS...........................................................................20

BAB IV ANALISA KASUS............................................................................28

BAB V PENUTUP...........................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................33

2

Page 3: KASUS

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit

ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6

Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit

yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat

menimbulkan wabah.1

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di

Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan

frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di

Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan

jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.1

Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait

dengan sanitasi lingkungan, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000

penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 100.000

penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan

air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan

sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1

Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari

seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei

Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun

1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1

Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang memiliki karakteristik

berupa demam dan nyeri abdomen yang diakibatkan oleh diseminasi S.typhii atau

S.paratyphii. Penyakit ini pada awalnya disebut sebagai demam tifoid karena

memiliki kemiripan klinis dengan penyakit tifus. Walaupun demikian pada awal

abad ke-19 demam tifoid dengan jelas didefinisikan secara patologis sebagai suatu

penyakit unik berdasarkan asosiasinya dengan pembesaran plak Peyer dan nodus

limfatikus mesenterika. Pada tahun 1869, istilah demam enteric diajukan dan

3

Page 4: KASUS

sebagai desain alternatif untuk membedakan demam tifoid dengan tifus.

Walaupun demikian, sampai saat ini kedua istilah tersebut masih dipergunakan

secara bergantian.2

Penyakit ini banyak menimbulkan masalah pada kelompok umur dewasa

muda, karena tidak jarang disertai perdarahan dan perforasi usus yang sering

menyebabkan kematian penderita. Selain itu penyakit ini memerlukan hari

perawatan dan masa pemulihan sehabis perawatan yang cukup lama.3

Usaha imunisasi secara nasional terhadap demam tifoid tidak lagi

dilaksanakan dewasa ini karena vaksinnya belum ada yang memadai. Walaupun

vaksin parenteral tifoid yang konvensional seperti terdapat pada vaksin typa atau

chotypa memberikan perlindungan sebesar 5188%, vaksin ini menimbulkan gejala

samping yang sangat mengganggu karena secara sistemik dapat menimbulkan

demam, sakit kepala dan rasa lesu serta secara lokal menyebabkan sakit dan

bengkak di tempat suntikan sehingga penggunaannya tidak begitu populer tidak

saja di Indonesia tapi hampir di seluruh dunia. Vaksin baru yang ada sekarang

sebagian besar masih dalam taraf pengembangan penelitian, baik uji klinik

maupun uji coba di lapangan. Akan tetapi salah satu dari vaksin tersebut sudah

ada yang telah mendapat lisensi di beberapa negara Eropa dan Amerika dan sudah

mulai beredar di pasaran sekarang ini yaitu, strain Ty21 a S. typhi yang

dilemahkan dan yang diperoleh dengan cara rekayasa genetika.3

1.2. Tujuan

Penulisan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta mengkritisi

kasus bagi penulis dan pembaca mengenai demam tifoid.

4

Page 5: KASUS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Salmonella typhi. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di beberapa Negara

berkembang, dimana sanitasi lingkungan kurang dijaga dengan baik.4

Gambar. Bakteri Salmonella Typhi

Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita.

Penyebaran bakteri ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian

tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun setelah berkemih, Lalat

juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan.4

Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa

masuk ke dalam peredaran darah. Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan

pada usus halus dan usus besar. Pada kasus yang berat, yang bisa berakibat fatal,

jaringan yang terkena bisa mengalami perdarahan dan perforasi (perlubangan).4

Sekitar 3% penderita yang terinfeksi oleh Salmonella typhi dan belum

mendapatkan pengobatan, di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama

lebih dari 1 tahun. Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-

gejala dari demam tifoid.4

Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun,

kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam

5

Page 6: KASUS

tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan

diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.4

2.2. Epidemiologi

Di negara yang sedang berkembang insidensi demam tifoid pada

umumnya sangat tinggi. Demikian juga di Indonesia, insidensi demam tifoid

sangatlah tinggi. Berdasarkan penelitian epidemiologi yang intensif dan

longitudinal dari demam tifoid yang dilakukan oleh Simanjuntak dkk. di Paseh,

Jawa Barat, yang diselenggarakan dengan bantuan dana dari WHO terungkap

bahwa insidensi demam tifoid pada masyarakat di daerah semi urban ialah 357,6

kasus per 100.000 penduduk per tahun. Selain itu morbiditas S. paratyphi A ialah

44,7 kasus per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan Salmonella Group B

sangat rendah (12,8 kasus per 100.000 penduduk per tahun). Ternyata S..typhi

ditemukan juga pada anak usia 0-3 tahun (morbiditas 263/105/thn) dengan usia

termuda adalah 2,5 tahun. Kenyataan ini merupakan informasi baru, karena

selama ini dianggap bahwa demam tifoid hanya terdapat pada anak yang lebih

besar dan orang dewasa. Akan tetapi ternyata 77% penderita demam tifoid

terdapat pada usia 3-19 tahun dengan puncak tertinggi pada usia 10-15 tahun

(morbiditas: 687,9/105/thn).3

Selain itu dapat dikemukakan bahwa penderita demam tifoid yang

memerlukan perawatan di rumah sakit hanya 1/7 dari seluruh kasus. Golongan

yang memerlukan perawatan itu adalah anak yang lebih tua dan dewasa muda.

Anak yang lebih muda (di bawah 10 tahun) memperlihatkan gejala penyakit yang

lebih ringan, sehingga golongan ini hampir tidak memerlukan perawatan di rumah

sakit. Hal ini merupakan suatu keuntungan dari satu pihak karena meringankan

beban perawatan. Tapi dari segi epidemiologi keadaan ini merupakan hal yang

dapat merugikan, karena yang tidak dirawat di rumah sakit dapat merupakan

sumber penularan yang potensial pada orang lain. Umumnya di daerah semi urban

di Indonesia tidak ada atau jarang jamban yang tertutup (pakai septic tank);

apalagi penderita sering datang terlambat berobat ke fasilitas kesehatan. Rata-rata

mereka baru datang berobat setelah demam 35 hari (64%), bahkan ada yang baru

datang berobat setelah demam 20 hari. Makin lama tenggang waktu antara mulai

6

Page 7: KASUS

sakit hingga datang berobat akan memungkinkan penyebaran kuman penyebab

demam tifoid ke sekitarnya menjadi lebih besar.3

Daerah lain yang pernah diselidiki insidensi demam tifoidnya ialah

Kompleks Pertamina, Plaju suatu daerah urban di Sumatera Selatan, yaitu pada

saat dilakukan penilaian vaksin oral demam tifoid, Ty21 a pada karyawan dan

keluarganya. Di sini ditemukan insidensi demam tifoid sebesar 810 kasus per

100.000 penduduk per tahun pada penduduk berumur 3-44 tahun.3

Ternyata ada perbedaan insidensi demam tifoid yang menyolok antara

Kecamatan Paseh, Jawa Barat (360 kasus/105/thn,daerah semi urban) dan

Kompleks Pertamina Plaju, Sumatera Selatan (810 kasus/105/thn, daerah urban).

Perbedaan yang cukup menyolok ini, walaupun waktu pemeriksaannya hampir

bersamaan tentu saja dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain perbedaan lokasi

dan sifat lokasi (semi urban v/s urban), di mana epidemiologi penyakit ini akan

dipengaruhi oleh keadaan sanitasi lingkungan, sosio-budaya dan sosio-ekonomi

masyarakatnya. Akan tetapi salah satu faktor yang memegang peranan cukup

besar ialah ketajaman diagnosis laboratorium, karena teknik dan pelaksanaan

isolasi S. typhi yang dilakukan di Kompleks Pertamina, Plaju merupakan

penyempurnaan dari teknik dan pelaksanaan isolasi di Kecamatan Paseh, Jabar. Di

Paseh darah yang diambil untuk kultur hanya sebanyak 5 ml per orang yang

dicampur dengan 20 ml media ox gall (pengenceran 5x) sedang di Plaju darah

yang diambil adalah 10 ml per orang dan yang dicampur dengan 90 ml ox gall

(pengenceran 10x). Selain itu pemeriksaan selanjutnya campuran darah-ox gall

yang diambil dari penderita di Paseh dilakukan di Jakarta. Pengiriman campuran

darah-ox gall ini, yang diambil setiap hari dari penderita, dilakukan 2x seminggu;

hal mana akan menurunkan daya isolasi laboratorium cukup besar. Sebaliknya

dengan keadaan di Plaju, campuran darah-ox gall yang diambil tiap hari langsung

di kultur di laboratorium yang berada di lokasi pengambilannya dan penanaman

subkultur ke media differensial Mc Conkey dan DCLS dilakukan sampai 7 kali

(had ke-1, 2, 3, 4, 5, 8 dan 14) sehingga daya isolasinya jauh lebih besar. Pada

umumnya dalam praktek sehari-hari di laboratorium mikrobiologi di Indonesia,

darah yang diambil untuk kultur hanya 2-3 ml dan dimasukkan ke dalam hanya 5

7

Page 8: KASUS

ml ox-gall (pengenceran 2-3 kali); dengan begitu, besar kemungkinan banyak

demam tifoid yang tak terdiagnosis. Itulah sebabnya kasus demam tifoid boleh

dikatakan underreported, hal yang sangat menyesatkan.3

Bila dilihat insidensi demam tifoid berdasarkan golongan umur, maka

golongan umur yang berisiko tinggi (vulnerable group) untuk menderita demam

tifoid adalah kelompok anak umur 3-19 tahun. Kelompok umur ini merupakan

kelompok khusus di masyarakat yaitu kelompok anak sekolah, yang kemungkinan

besar sering jajan di sekolah atau di tempat lain di luar rumah. Dengan demikian

dapat diduga bahwa penularan penyakit ini terjadi pada golongan ini melalui jajan

sembarangan di sekolah atau di tempat lain. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa penularan kemungkinan besar terjadi di luar rumah. Pendapat ini didukung

oleh kenyataan bahwa selama 2,5 tahun pelacakan demam tifoid di Kompleks

Pertamina, Plaju tak ada satu keluargapun di mana ada 2 orang menderita demam

tifoid sekaligus atau berurutan. Hal ini memberi isyarat bahwa pengawasan

kesehatan pada penjual makanan jajanan perlu mendapat perhatian dan bimbingan

dari para petugas kesehatan terkait.3

2.3. Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhii. Bakteri

ini merupakan bakteri gram negatif, motil, fakultatif anaerobik, memproduksi

asam dari fermentasi glukosa dan manosa. Kebanyakan bakteri ini memproduksi

hidrogen sulfida (H2S) dan bisa bertahan pada pembekuan dalam waktu yang

panjang. Bakteri ini ditransmisikan melalui air dan makanan yang terkontaminasi

feses.2

Bakteri ini mempunyai antigen permukaan yang penting untuk diagnosis

secara serologis,yaitu :

1. Antigen O, merupakan lipopolisakarida dari membran luar bakteri

2. Antigen H, merupakan protein yang berhubungan dengan flagel dari bakteri

3. Antigen Vi, berhubungan dengan kapsul dari bakteri.2

2.4. Patogenesis

8

Page 9: KASUS

Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S.

paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi

kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke

dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral

mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel

(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman

berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya

dibawa ke plague Peyer ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening

mesentrika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam

makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama

yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh

terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit

dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya

masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua

kalinya disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang

biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam

lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi

ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,

berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman

Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan

menimbulkan gejala reaksi inflamasi sisteemik, seperti demam, malaise, mialgia,

sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental dan koagulasi.1

Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas

tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna

dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang

mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di

dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke

lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.1

9

Page 10: KASUS

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kepiler dengan akibat

timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,

pernapasan dan gangguan organ lainnya.1

2.5. Manifestasi Klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala

klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari

asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga

kematian.1

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan

gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri

kepala tumpul bagian frontal, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,

obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, malaise, batuk kering dan

epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat

demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam

hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardia

relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan

denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan

ujung meah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan

mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae (lesi

makulopapula eritema dengan diameter kurang lebih 2-4 mm, biasanya terdapat di

abdomen dan dinding dada) jarang ditemukan pada orang Indonesia.1,2

2.6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Rutin

Pada pemeriksaan darah rutin, kadar hemoglobin, leukosit dan trombosit

bisa dalam nilai normal atau sedikit menurun. Tes fungsi hati (SGOT/SGPT)

biasanya meningkat ringan. Pada anak-anak, kadar leukosit bisa meningkat

sampai 20.000-25.000/mm3. Kadar trombosit yang rendah mungkin berhubungan

dengan derajat keparahan penyakit.6

Uji Widal

10

Page 11: KASUS

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. pada

uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan

antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah

suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud

uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu: a) Aglutinin O (dari tubuh kuman), b) Aglutinin H

(flagella kuman), dan c) Aglutinin Vi (simpai kuman).1

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan

untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar

kemungkinan terinfeksi kuman ini.1

Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,

kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat,

dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul

aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh

aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H

menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk

menentukan kesembuhan penyakit.1

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:1) pengobatan

dini dengan antibiotik, 2) gangguan pembentukan antibodi dan pemberian

kortikosteroid, 3) waktu pengambilan darah, 4) daeah endemic atau non-endemik,

5) riwayat vaksinasi, 6) reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada

infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi,

7) faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan

strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.1

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang

bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya

kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di

berbagai laboratorium setempat.1

Kultur Darah

11

Page 12: KASUS

Biakan darah akan menghasilkan hasil yang positif pada 60-80 % kasus.

Hal ini dipengaruhi oleh penggunaan antibiotik sebelum sampel darah diambil dan

jumlah darah yang diambil. Sampel darah diambil pada minggu pertama

timbulnya gejala, biasanya sebanyak 10 – 15 mL. Sementara itu, biakan sumsum

tulang akan menghasilkan hasil yang positif pada 80-95 % kasus, terlepas apakah

sebelum sampel diambil sudah ada penggunaan antibiotik atau belum. Biakan

yang berasal dari sumsum tulang memang lebih sensitif dari biakan darah karena

pada dasarnya kuman S typhi lebih banyak berada di sumsum tulang daripada di

darah. Meskipun demikian, sampel dari sumsum tulang lebih sulit untuk diperoleh

daripada sampel darah. Setelah sampel diambil, sampel tersebut akan ditempatkan

dalam medium yang mendukung tumbuhnya kuman S typhi tersebut (medium

empedu). Dalam 48-72 jam, kultur tersebut akan dilihat di bawah mikroskop

apakah terdapat kuman S typhi atau tidak.6

2.7. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan

fisik. Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah, tinja, air kemih atau

jaringan tubuh lainnya guna menemukan bakteri penyebabnya.4

2.8. Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:

Istirahat dan Perawatan

Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah

komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan,

minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan

mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga

kebersihan tempat tidur, pakaian dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien

perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik, serta higiene

perorangan tetap perlu dijaga dan diperhatikan.1

Diet dan terapi penunjang

12

Page 13: KASUS

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam poses penyembuhan

penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan

umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan

menjadi lama.1

Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian

ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan

diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur

saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna

atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus

diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat

dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran

yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.1

Pemberian antimikroba

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam

tifoid adalah sebagai berikut:

Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama

untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari

dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari

bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis

ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari

pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari.

Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah hari

ke-5.1

Tiamfenikol. Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hamper sama

dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan

terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.

Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5

sampai ke-6.1

13

Page 14: KASUS

Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan

kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet

mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2

minggu.1

Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam

lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar

antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.1

Sefalosporin generasi ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-

3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang

dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½

jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.1

Golongan Fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan

aturan pemberiannya:

• Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari

• Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

• Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

• Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

• Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang

hari ke-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan

norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki

bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.1

Kombinasi obat antimikroba.

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja

antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septic, yang pernah

terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman

Salmonella.1

Kortikosteroid. Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau

demam tifoid yang mengalami syok septic dengan dosis 3 x 5 mg.1 Biasanya

14

Page 15: KASUS

diberikan di rumah sakit karena butuh pengawasan ketat. Dapat digunakan

Deksametason dengan dosis awal 3 mg/kg BB diikuti dengan 1 mg/kg BB setiap 6

jam selama 48 jam.6

Jika terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena

berbagai jenis bakteri akan masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu

dilakukan pembedahan untuk memperbaiki atau mengangkat bagian usus yang

mengalami perforasi.4

2.9. Resistensi terhadap Antibiotika

Suatu hal yang menggembirakan dari segi resistensi terhadap antibiotika

ialah bahwa S. typhi, spesies yang paling toksis sehingga paling ditakuti dari

genus Salmonella, masih sensitif terhadap hampir semua antibiotika yang biasa

dipakai untuk pengobatan penyakit ini. Resistensi terhadap kloramphenikol dan

ampisilin masing-masing baru mencapai 6%. Spesies lainnya yang masih

memperlihatkan sensitifitas yang tinggi pada beberapa antibiotika ialah S.

paratyphi A. Akan tetapi keadaannya menjadi terbalik dengan Salmonella Grup B

dan C. Grup ini telah memperlihatkan resistensi yang sangat tinggi terhadap

hampir semua antibiotika yang biasa dipergunakan. Hal ini sangat

memprihatinkan terutama bila mengenai anak-anak. Seperti diketahui derivat

kuinolon yang akhir-akhir ini dianggap sebagai penyelamat pada infeksi yang

kumannya sudah resisten terhadap berbagai antibiotika, belum diketahui

keamanan pemakaiannya pada anak-anak.3

2.10. Komplikasi

Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan sempurna, tetapi bisa

terjadi komplikasi, terutama pada penderita yang tidak diobati atau bila

pengobatannya terlambat.

Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh

dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi

yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu :

• Komplikasi intestinal. Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik,

pankreatitis

15

Page 16: KASUS

• Komplikasi ekstra-intestinal

o Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis,

tromboflebitis.

o Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis

o Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis

o Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis

o Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, spondilitis, arthritis

o Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik1

Perdarahan intestinal

Perdarahan saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering

terjadi, sekitar 10 % kasus. Hal ini terjadi karena erosi/pengikisan plak Peyer yang

sudah mati (nekrosis) dari dinding usus bagian dalam yang dilalui pembuluh

darah. Biasanya akan terlihat darah di feses. Perdarahan biasanya ringan dan tidak

membutuhkan transfusi. Hanya 2 % kasus yang menunjukkan perdarahan yang

cukup fatal. Biasanya perdarahan terjadi pada minggu ketiga.4,6

Perforasi usus

Perforasi usus adalah komplikasi yang cukup serius, terjadi pada 1-3 %

kasus. Terdapat lubang di usus, akibatnya isi usus dapat masuk ke dalam rongga

perut dan menimbulkan gejala. Tanda-tanda perforasi usus adalah nyeri perut

yang tidak tertahankan (acute abdomen), atau nyeri perut yang sudah ada

sebelumnya mengalami perburukan, denyut nadi meningkat dan tekanan darah

menurun secara tiba-tiba. Ini membutuhkan penanganan segera.6

Hepatitis tifosa

Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus

dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada

S.paratyphi. Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus,

malaria atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter

laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan

enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk

16

Page 17: KASUS

membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi

pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang. Meskipun sangat

jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.1

Ensefalopati tifoid

Ensefalopati tifoid ditandai dengan penurunan kesadaran, koma, syok,

hanya bisa berbaring dengan mata setengah tertutup. Dengan pemberian

deksametason (steroid) 3 mg/kg BB melalui infus dalam 30 menit diikuti 1 mg/kg

BB dalam 6 jam selama 48 jam, mengurangi angka kematian karena ensefalopati

tifoid.6

Meskipun pasien sembuh, ada sekitar 5-10 % yang mengalami

kekambuhan, tetapi gejalanya lebih ringan dibanding sebelumnya, gejala-gejala

infeksi awal kembali timbul dalam waktu 2 minggu setelah demam mereda. Untuk

anak-anak biasanya angkanya lebih rendah, sekitar 2-4 %. Setelah sembuh pun,

kadang kala di dalam feses pasien masih terdapat kuman S typhi yang dapat

menular ke orang lain. Jika hal ini terjadi selama lebih dari 3 bulan, maka orang

tersebut disebut pembawa (carrier) kronik. Meskipun demikian, tidak semua akan

menjadi carrier kronik, kurang dari 2 % pasien anak akan menjadi carrier kronik,

semakin dewasa, semakin mungkin menjadi carrier kronik. Wanita dan orang tua

atau orang yang menderita batu saluran empedu (cholelitiasis) merupakan

kelompok yang paling sering menjadi carrier kronik. Meskipun demikian, para

carrier kronik tidak menunjukkan gejala apapun. Itulah, mengapa menjaga higiene

pribadi dan lingkungan menjadi sangat penting untuk mencegah penularan

penyakit ini.4,6

2.11. Pencegahan

Untuk dapat mencegah penyakit ini harus tahu terlebih dahulu cara

penularan dan faktor resikonya.6

Kuman S typhi menular melalui jalur oro-fekal, artinya kuman masuk

melalui makanan atau minuman yang tercermar oleh feses yang mengandung S

typhi. Di negara endemis seperti Indonesia, faktor resikonya antara lain makan

makanan yang tidak disiapkan sendiri di rumah (karena tidak terjamin

17

Page 18: KASUS

kebersihannya), minum air yang terkontaminasi, kontak dekat dengan penderita

tifoid, sanitasi perumahan yang buruk, higiene perorangan yang tidak baik dan

penggunaan antibiotik yang tidak tepat.6

Oleh karena itu, pencegahan yang paling sederhana adalah dengan

mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air, menyiapkan makanan

sendiri, tidak buang air besar sembarangan (di negara kita masih banyak keluarga

yang tidak memiliki jamban sendiri), memasak makanan terlebih dahulu, bijak

dalam menggunakan antibiotik.6

Selain hal-hal di atas, saat ini sudah tersedia vaksin untuk tifoid. Ada 2

macam vaksin, yaitu vaksin hidup yang diberikan secara oral (Ty21A) dan vaksin

polisakarida Vi yang diberikan secara intramuskular/disuntikkan ke dalam otot.

Menurut FDA Amerika, efektivitas kedua vaksin ini bervariasi antara 50-80 %.

Vaksin hidup Ty21A diberikan kepada orang dewasa dan anak yang berusia 6

tahun atau lebih. Vaksin ini berupa kapsul, diberikan dalam 4 dosis, selang 2 hari.

Kapsul diminum dengan air dingin (suhunya tidak lebih dari 37 oC), 1 jam

sebelum makan. Kapsul harus disimpan dalam kulkas (bukan di freezer). Vaksin

ini tidak boleh diberikan kepada orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh

(HIV, keganasan). Vaksin juga jangan diberikan pada orang yang sedang

mengalami gangguan pencernaan. Penggunaan antibiotik harus dihindari 24 jam

sebelum dosis pertama dan 7 hari setelah dosis keempat. Sebaiknya tidak

diberikan kepada wanita hamil. Vaksin ini harus diulang setiap 5 tahun. Efek

samping yang mungkin timbul antara lain, mual, muntah, rasa tidak nyaman di

perut, demam, sakit kepala dan urtikaria.6

Vaksin polisakarida Vi dapat diberikan pada orang dewasa dan anak yang

berusia 2 tahun atau lebih. Cukup disuntikkan ke dalam otot 1 kali dengan dosis

0,5 mL. Vaksin ini dapat diberikan kepada orang yang mengalami penurunan

sistem imun. Satu-satunya kontra indikasi vaksin ini adalah riwayat timbulnya

reaksi lokal yang berat di tempat penyuntikkan atau reaksi sistemik terhadap dosis

vaksin sebelumnya. Vaksin ini harus diulang setiap 2 tahun. Efek samping yang

mungkin timbul lebih ringan dari pada jika diberikan vaksin hidup. Dapat timbul

18

Page 19: KASUS

reaksi lokal di daerah penyuntikkan. Tidak ada data yang cukup untuk

direkomendasikan kepada wanita hamil.6

2.12. Prognosis

Jika demam tifoid tidak ditangani, kadar kematian bisa mencapai kira-kira

10%. Jika demam tifoid ditangani, kadar kematian berkurang menjadi 0.1%.5

19

Page 20: KASUS

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Anamnesis

Pasien MRS pada tanggal 23 Oktober 2010, anamnesis dilakukan pada tanggal 28

Oktober 2010 pukul 15.00 wita. Anamnesa yang dilakukan berupa autoanamnesa.

ANAMNESA UMUM

Identitas

Nama : Nn. J

Umur : 18 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Tenggarong Seberang

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Pendidikan : SMA

ANAMNESA KHUSUS

Keluhan Utama

Demam

Riwayat Penyakit Sekarang

Demam mulai dirasakan sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam

dirasakan terutama pada sore dan malam hari, disertai menggigil. Pasien juga

mengeluhkan adanya rasa pusing berputar sejak 1 minggu sebelum masuk rumah

sakit, nyeri ulu hati, dan mual namun tidak muntah. Pasien mengaku tidak ada

buang air besar sudah sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakti. Buang air kecil

normal. Pasien juga mengeluhkan batuk kering sejak 3 hari sebelum masuk rumah

sakit. Pasien mengeluhkan nafsu makan menurun drastis. Pasien sempat berobat 3

hari sebelum masuk rumah sakit ke puskesmas dan dilakukan pemeriksaan darah,

kemudian diberi obat kloramfenikol 250 mg, parasetamol dan vitamin.

20

Page 21: KASUS

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengaku tidak pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya.

Riwayat sakit kuning (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit serupa (-)

Riwayat penyakit kuning (-)

3.2 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6

Tanda Vital

TD : 100/60 mmHg (berbaring)

N : 88 x/menit regular, isi cukup, kuat angkat

RR : 20 x/menit torakoabdominal

T : 36,8 0C (axila)

Kepala/leher

Umum

Ekspresi : sakit sedang, lemah

Rambut : tidak ada kelainan

Kulit muka : terlihat pucat

Mata

Palpebra : edema (-/-)

Konjungtiva : anemis (+)

Sclera : ikterus (-)

Pupil : isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)

Hidung

Septum deviasi (-)

Sekret (-)

21

Page 22: KASUS

Nafas cuping hidung (-)

Teli nga

Bentuk : normal

Lubang telinga : normal, sekret (-)

Proc. Mastoideus : nyeri (-/-)

Pendengaran : normal

Mulut

Nafas : fetor hepatikum (-)

Bibir : pucat (+), sianosis (-)

Gusi : perdarahan (-)

Mukosa : hiperemis (-), pigmentasi (-)

Lidah : makroglosia (-), mikroglosia (-), lidah kotor (+)

Faring : hiperemis (-)

Leher

Umum : simetris, tumor (-)

Kelenjar limfe : membesar (-)

Trakea : di tengah, deviasi (-)

Tiroid : membesar (-)

V. Jugularis : JVP (-)

Thorax

Pulmo:

Inspeksi : bentuk simetris, gerakan simetris, retraksi ICS (-)

Palpasi : fremitus raba dekstra = sinistra

Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Cor:

Inspeksi : ictus cordis tampak di ICS V

Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V, thrill (-)

Perkusi : Kanan : ICS III parasternal dekstra

22

Page 23: KASUS

Kiri : ICS V midclavicular sinistra

Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen:

Inspeksi : cembung, simetris

Palpasi : distended, nyeri tekan (-), massa (-), hepar/lien/ginjal tidak dapat

diraba

Perkusi : shifting dullness (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas:

Superior

Ekstremitas hangat

Edema (-)

Sianosis (-)

Clubbing finger (-)

Palmar eritema (-)

Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5=5)

In ferior

Ekstremitas hangat

Edema tungkai (-) ka/ki

Sianosis (-)

Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5=5)

23

Page 24: KASUS

3.3 Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium:

23/10/10 25/10/10 26/10/10 27/10/10 29/10/10 1/11/10Leukosit 6.300 5.900HB 10,1 9,7Ht 30,1 29,6Trombo 402.000 405.000LED 64GDS 80 122SGOT 191 348 43SGPT 437 577 264Bil Total 0,3Bil direk 0,1Bil indir 0,2Prot Tot 7,7 7,2Albumin 2,9 2,9Globulin 4,8 4,3Koles 132As. Urat 3,2Ureum 21,4 20,7Kreatinin 0,5 0,7Malaria -Dengue IgG +Dengue IgM -HBs Ag -

urineBerat jenis 1,020Ketone +3Nitrit -Hb +4Warna KuningKejernihan KeruhpH 6,0Protein +1Glukosa -Bilirubin -Urobilinogen -Sel epitel +Leukosit 0-1Eritrosit penuh

24

Page 25: KASUS

Uji widal (25/10/10)

1/80 1/160 1/320

Salmonella typhi O + -

Salmonella typhi H + + +

Salmonella paratyphi A-O -

Salmonella paratyphi A-H + -

Salmonella paratyphi B-O + -

Salmonella paratyphi B-H + -

Salmonella paratyphi C-O -

Salmonella paratyphi C-H + -

3.4 Diagnosis

Demam tifoid dengan komplikasi hepatitis

3.5 Penatalaksanaan :

RL 12 tpm

PCT 3 x 1 tab prn

Inj ceftriaxone 2 x 1 amp

Ranitidine 2 x 1 amp

Odancentron 3 x 1 amp

Curcuma 3 x 1 tab

Imboost force 2 x 1

Diet lunak

Methioson 2 x 1

Inf aminofusin hepar 10 tpm

3.6 Follow Up

Tanggal/Jam Perjalanan penyakit Perintah Pengobatan / Tindakan yang diberikan

24/10/2010 S : lemas (+), demam (+), mual (+)

RL 12 tpmPCT 3 x 1 tab prn

25

Page 26: KASUS

O : CM, TD: 110/70 mmHg, N: 96 x/I, RR: 28 x/I, T: 39,1C

A : demam tfoid

Inj ceftriaxone 2 x 1 ampRanitidine 2 x 1 ampOdancentron 3 x 1 ampCurcuma 3 x 1 tab

25/10/2010 S : lemas (+), demam (+), mual (+), batuk kering (+)

O : CM, TD: 100/70 mmHg, N: 90 x/I, RR: 20 x/I, T: 37,4C

A : demam tfoid

RL 12 tpmPCT 3 x 1 tab prnInj ceftriaxone 2 x 1 ampRanitidine 2 x 1 ampOdancentron 3 x 1 ampCurcuma 3 x 1 tab

26/10/2010 S : lemas (+), demam (+), mual (-)

O : CM, TD: 120/70 mmHg, N: 96 x/I, RR: 22 x/I, T: 37C

A : demam tfoid

RL 12 tpmPCT 3 x 1 tab prnInj ceftriaxone 2 x 1 ampRanitidine 2 x 1 ampOdancentron 3 x 1 ampCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Diet lunak

27/10/2010 S : lemas (+), demam (-), mual (-)

O : CM, TD: 100/60 mmHg, N: 84 x/I, RR: 22 x/I, T: 36,8C

A : demam tfoid

RL 12 tpmPCT 3 x 1 tab prnInj ceftriaxone 2 x 1 ampRanitidine 2 x 1 ampOdancentron 3 x 1 ampCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Cek SGOT, SGPT

28/10/2010

SGOT: 348SGPT: 577

S : keluhan (-)

O : CM, TD: 100/60 mmHg, N: 88 x/I, RR: 20 x/I, T: 36,8C

A : demam tfoid

RL 12 tpmPCT 3 x 1 tab prnInj ceftriaxone 2 x 1 ampRanitidine 2 x 1 ampOdancentron 3 x 1 ampCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpmCek HBs Ag

29/10/2010 S : keluhan (-)

O : CM, TD: 100/70

RL 12 tpmRanitidine 2 x 1 ampOdancentron 3 x 1 amp

26

Page 27: KASUS

mmHg, N: 80 x/I, RR: 20 x/I, T: 36,8C

A : demam tfoid

Curcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpm

30/10/2010

HBs Ag (-)

S : keluhan (-)

O : CM, TD: 120/80 mmHg, N: 84 x/I, RR: 22 x/I, T: 36,5C

A : demam tfoid

RL 12 tpmRanitidine 2 x 1 tabCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpmCek SGOT/SGPT

31/10/2010 S : keluhan (-)

O : CM, TD: 110/70 mmHg, N: 80 x/I, RR: 20 x/I, T: 36,8C

A : demam tfoid

RL 12 tpmRanitidine 2 x 1 tabCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpm

1/11/2010

SGOT: 43SGPT: 264

S : keluhan (-)

O : CM, TD: 110/70 mmHg, N: 80 x/I, RR: 20 x/I, T: 36,8C

A : demam tfoid

RL 12 tpmRanitidine 2 x 1 tabCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpm

2/11/2010 S : keluhan (-)

O : CM, TD: 110/80 mmHg, N: 76 x/I, RR: 20 x/I, T: 36,5C

A : demam tfoid

RL 12 tpmRanitidine 2 x 1 tabCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpm

3/11/2010 S : keluhan (-)

O : CM, TD: 120/70 mmHg, N: 82 x/I, RR: 20 x/I, T: 36,5C

A : demam tfoid

RL 12 tpmRanitidine 2 x 1 tabCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpmKRS

27

Page 28: KASUS

BAB IV

ANALISA KASUS

Diagnosa: demam tifoid

4.1 Anamnesis

Fakta Teori

Seorang perempuan Nn. J, umur: 18

tahun

Pasien mengalami keluhan seperti:

- Demam (+)

- menggigil (+)

- pusing (+)

- Nyeri ulu hati (+)

- mual (+)

- konstipasi (+)

- nafsu makan menurun

- Riwayat keluarga dengan

penyakit serupa (-)

golongan umur yang berisiko tinggi

(vulnerable group) untuk menderita

demam tifoid adalah kelompok anak

umur 3-19 tahun.

Keluhan yang dapat diperoleh dari

seorang pasien dengan demam tifoid

dapat berupa:

- Demam

- nyeri kepala tumpul bagian

frontal

- pusing

- nyeri otot

- anoreksia

- mual

- muntah

- obstipasi atau diare

- perasaan tidak enak di perut

- malaise

- batuk kering

- epistaksis

Pada kasus ini didapatkan seorang perempuan Nn. J umur 18 tahun.

Berdasarkan data epidemiologi di Indonesia, golongan umur yang berisiko tinggi

28

Page 29: KASUS

(vulnerable group) untuk menderita demam tifoid adalah kelompok anak umur 3-

19 tahun.

Berdasarkan anamnesis didapatkan manifestasi demam tifoid yang sesuai

dengan teori, yaitu berupa demam yang disertai menggigil pada sore dan malam

hari, pusing, nyeri ulu hati, penurunan nafsu makan, mual, dan konstipasi.

4.2 Pemeriksaan Fisik

Fakta Teori

Pada pasien ini ditemukan:

Suhu badan meningkat

Bradikardia relative

Lidah kotor

Pada pasien dengan demam tifoid dapat

ditemukan:

suhu badan meningkat.

bradikardia relatif

lidah yang berselaput (kotor di

tengah, tepi dan ujung merah serta

tremor)

hepatomegali

splenomegali

meteroismus

gangguan mental berupa somnolen,

stupor, koma, delirium, atau

psikosis.

Pada pemeriksaan fisik kasus ini didapatkan temuan kinis berupa suhu badan

meningkat, bradikardia relatif dan lidah kotor Hal ini sesuai dengan teori tanda

klinis dari demam tifoid.

4.3 Pemeriksaan Penunjang

Fakta Teori

Laboratorium

- Darah lengkap

Laboratorium

- Darah lengkap

kadar hemoglobin, leukosit dan

29

Page 30: KASUS

Hb: 9,7 – 10,1

Leuko: 5.900 – 6.300/ mL3

Trombosit: 402.000 – 405.000

- Tes fungsi hati

SGOT 43 - 348 u/L dan SGPT

264 - 577 u/L.

- Uji widal

Salmonella typhi O (+) 1/80

Salmonella typhi H (+) 1/80,

1/160, 1/320

- Kultur darah tidak dilakukan.

trombosit bisa dalam nilai normal atau

sedikit menurun.

- Tes fungsi hati (SGOT/SGPT)

biasanya meningkat ringan.

- Uji widal

menentukan adanya aglutinin

dalam serum penderita tersangka

demam tifoid (Aglutinin O, H dan Vi).

Semakin tinggi titernya semakin besar

kemungkinan terinfeksi kuman ini.

- Kultur darah

apakah terdapat kuman S typhi atau

tidak

Pada pemeriksaan penunjang darah lengkap didapatkan hasil leukosit yang

normal, hemoglobin didapatkan hasil yang sedikit menurun, sedangkan trombosit

sedikit meningkat. Pada pemeriksaan kimia darah lengkap terdapat kadar SGOT

SGPT yang sangat tinggi yaitu SGOT 43 - 348 dan SGPT 264 - 577. Pada kasus

ini didapatkan SGOT dan SGPT yang sangat tinggi mungkin karena sudah adanya

komplikasi pada hepar.

4.4 Diagnosis

Fakta Teori

Pada pasien ditemukan fakta:

- Demam disertai menggigil pada

sore dan malam hari

- Lidah kotor

- Uji widal

Salmonella typhi O (+) 1/80

Diagnosis ditegakkan berdasarkan

gejala-gejala dan hasil pemeriksaan

fisik. Untuk memperkuat diagnosis,

dilakukan biakan darah, tinja, air kemih

atau jaringan tubuh lainnya guna

menemukan bakteri penyebabnya

30

Page 31: KASUS

Salmonella typhi H (+) 1/80,

1/160, 1/320

Biasanya diagnosa demam tifoid mudah ditegakkan karena gejala yang

muncul bersamaan dan khas. Walaupun diagnosis pada kasus tertentu

memerlukan pemeriksaan tambahan.

4.5 Pengobatan

Fakta Teori

Terapi yang diberikan pada pasien:

RL 12 tpm

PCT 3 x 1 tab prn

Inj ceftriaxone 2 x 1 amp

Ranitidine 2 x 1 amp

Odancentron 3 x 1 amp

Curcuma 3 x 1 tab

Imboost force 2 x 1

Diet lunak

Methioson 2 x 1

Inf aminofusin hepar 10 tpm

penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:

- Istirahat dan perawatan

- Diet dan terapi penunjang

- Pemberian antimikroba

Antimikroba yang digunakan telah sesuai berkaitan dengan fungsinya

dalam menghambat sintesis dinding sel mikroba serta berdasarkan resistensi yaitu

golongan sefalosporin generasi ketiga, ceftriaxon. Imboost force untuk

memperbaiki daya tahan tubuh. Methioson diberikan untuk membantu fungsi

organ hati. Infus aminofusin hepar untuk nutrisi dengan gangguan fungsi hati

berat berkaitan dengan adanya SGOT dan SGPT yang sangat meningkat pada

pasien.

31

Page 32: KASUS

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang

yang dilakukan pada pasien ini maka diagnosa pada pasien ini adalah

demam tifoid dengan komplikasi hepatitis.

Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan tambahan lengkap yang

membantu melihat perkembangan penyakit.

Penatalaksanaan yang didapatkan pada pasien ini memenuhi standar terapi

yang sesuai dengan literatur.

32

Page 33: KASUS

DAFTAR PUSTAKA

1. Widodo, Djoko. Demam Tifoid. (penyunt.) Aru. W.Sudoyo, Bambang

Setiyohadi dan Idrus Alwi dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV.

Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Indonesia, 2006, Vol. 3, 398, hal. 1774-1779.

2. MedicalEra. Demam Tifoid. (Online) Juni 2010, (http://medicalera.com,

Diakses tanggal 12 Desember 2010).

3. Simanjuntak, C.H. Demam Tifoid, Epidemiologi, dan Perkembangan

Penelitiannya. Cermin Dunia Kedokteran, No.83, 1993.

4. Adulgopar. Demam Tifoid. (Online) 2009,

(http://adulgopar.files.wordpress.com, Diakses tanggal 22 Desember 2010).

5. Irga. Demam Tifoid. (Online) 2009, (http://irwanashari.com, Diakses tanggal

22 Desember 2010).

6. Yoga. Demam Tifoid. (Online) 2010, (http://milissehat.web.id, Diakses

tanggal 22 Desember 2010).

33