Karya tulis sebagai salah satu syarat Institut Teknologi Bandung … · Karya tulis sebagai salah...
Transcript of Karya tulis sebagai salah satu syarat Institut Teknologi Bandung … · Karya tulis sebagai salah...
1
PENGEMBANGAN MODEL IKLIM KESELAMATANORGANISASI PERAWATAN PESAWAT UDARA
DI INDONESIA DALAM MENDUKUNG KEBIJAKANKELAIKAN PESAWAT UDARA
DISERTASI
Karya tulis sebagai salah satu syaratuntuk memperoleh gelar Doktor dari
Institut Teknologi Bandung
OlehMELIA EKA LESTIANI
NIM : 34212303(Program Studi Doktor Transportasi)
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNGSeptember 2018
1
i
ABSTRAK
PENGEMBANGAN MODEL IKLIM KESELAMATANORGANISASI PERAWATAN PESAWAT UDARA
DI INDONESIA DALAM MENDUKUNG KEBIJAKANKELAIKAN PESAWAT UDARA
OlehMelia Eka Lestiani
NIM : 34212303(Program Studi Doktor Transportasi)
Keselamatan adalah faktor utama dalam transportasi udara. Perawatan pesawat udaraberfungsi untuk memastikan kelaikudaraan pengoperasian pesawat udara. Apabilaperawatan pesawat udara tidak dilakukan sesuai dengan standar dan prosedur yangberlaku, maka hal tersebut akan membahayakan keselamatan penerbangan. Unitpemeliharaan pesawat udara adalah unit yang penting dalam menjamin ketersediaanarmada. Dari penelitian diketahui adanya kaitan antara kecelakaan denganpemeliharaan menunjukkan pentingnya dilakukan analisis untuk mengidentifikasifaktor-faktor yang mungkin mempengaruhi organisasi perawatan pesawat terbang.
Penelitian dalam dunia keselamatan penerbangan erat kaitannya dengan Iklimkeselamatan yang dianggap sebagai indikator kinerja keselamatan dan hasilkeselamatan. Penelitian ini mengembangkan model iklim keselamatan denganmenambahkan faktor desain organisasi yang berupa variabel struktur dan lingkunganuntuk menjelaskan hubungan antara struktur dan lingkungan organisasi terhadapiklim keselamatan serta iklim keselamatan terhadap faktor kinerja keselamatan yangterdiri dari variabel pengetahuan keselamatan, tindakan tidak aman, dan perilakupelaporan, serta Iklim Keselamatan terhadap hasil keselamatan berupa ResikoKeselamatan dan Kelaikan.
Delapan variabel yaitu Struktur, Lingkungan, Iklim Keselamatan, PengetahuanKeselamatan, Tindakan tidak aman, dan Perilaku pelaporan, Resiko Keselamatan,Kelaikan tersebut diuji dengan 13 hipotesis.
Studi ini mencakup sampel 306 teknisi yang berpartisipasi dalam survei purposivecross-sectional. Responden bekerja pada perusahaan perawatan pesawat yangmemiliki kapabilitas Maintenance Repair Overhaul (MRO) yaitu 5 perusahaan. Datayang terkumpul dianalisis dengan Structural Equation Modeling (SEM). Skala yangmenggunakan skala likert dengan rentang 1 sampai 5 untuk mengukur persepsikeselamatan yang dimiliki oleh para responden.
Tanggapan responden terhadap instrumen rata-rata bernilai baik, dengan keandalaninstrumen valid dan reliabel. Setelah dilakukan uji normalitas, uji validitas dengan
ii
2NDCFA dan perhitungan Variance extracted serta Construct Reliabilitymenghasilkan 97 item indikator yang layak untuk diolah.
Model dinyatakan baik dengan menggunakan Goodness of fit Index dan layak untukdianalisis. Seluruh hipotesis telah terkonfirm. Model iklim keselamatan yang yangdikembangkan, struktur dan lingkungan organisasi memiliki 8,58% pengaruh totalterhadap iklim keselamatan dan sisanya sebesar 91.42% harus dijelaskan oleh faktor-faktor penyebab lainnya yang berasal dari luar model ini. pengaruh total Iklimterhadap Kelaikan sebesar 6.71%, Tindakan tidak aman memberikan pengaruh totalsebesar 20.78% terhadap kelaikan, pelaporan memberikan pengaruh total 8.23%terhadap kelaikan. Pengaruh dari Iklim, tidak aman, pelaporan sebesar 35,64%terhadap Kelaikan dan sisanya 64.36% harus dijelaskan oleh faktor-faktor penyebablainnya yang berasal dari luar model regresi ini.
Studi ini menambahkan kontribusi penting untuk model penelitian keselamatan padaumumnya, dan organisasi perawatan pesawat pada khususnya. Dengan menggunakaninformasi ini dapat membantu menyelidiki alasan mengapa iklim keselamatan dapatmempengaruhi kinerja keselamatan dan hasil keselamatan berupa Resikokeselamatan dan kelaikan penerbangan. Selain itu, manajemen dapat meningkatkaniklim keselamatan organisasi demi meningkatkan kinerja keselamatan dan kelaikanpesawat udara.
Rekomendasi yang dapat disampaikan adalah perlunya konsistensi dalam penerapanstandar internasional serta peraturan-peraturan di bidang penerbangan danpengawasan dalam upaya pembinaan keselamatan penerbangan oleh regulator danoperator, Perlu peningkatan sumber daya manusia karena sangat menentukankemajuan organisasi dalam menghadapi berbagai perubahan, yaitu penciptaanindustri penerbangan nasional yang kompetitif.
Penelitian masa depan dapat menyelidiki variabel yang lain yaitu kondisi sebelumterjadi tindakan tidak aman sehingga karakteristik pekerja akan melengkapipenelitian dalam organisasi perawatan pesawat udara. Penelitian ini memberikanarahan berupa pengurangan resiko keselamatan dan peningkatan kelaikan terbangpesawat udara.
Kata kunci : Iklim Keselamatan, Organisasi Perawatan Pesawat Udara, MaintenanceRepair Overhaul, Structural Equation Modeling, Kebijakan Kelaikan pesawat Udara.
iii
ABSTRACT
DEVELOPMENT OF CLIMATE SAFETY MODEL FORAIRCRAFT MAINTENANCE ORGANIZATION
IN INDONESIA FOR SUPPORTING AIRWORTHINESS POLICY
ByMelia Eka Lestiani
NIM : 34212303(Doctoral Program in Transportation)
Safety is a major factor in air transportation. Aircraft maintenance serves to ensureairworthiness of aircraft operation. When aircraft maintenance is not carried out inaccordance with applicable standards and procedures, then it will endanger thesafety of the flight. Aircraft maintenance is an important unit in ensuring fleetavailability. From this study it is known that the connection between accidents andmaintenance shows the importance of an analysis to identify factors that might affectthe aircraft maintenance unit.
Research in the aviation safety is closely related to the safety climate that isconsidered a leading indicator of safety performance and safety outcomes. Thisresearch develops a safety climate model by adding organizational design factors inconsisting variables of structure and environment variables to explain therelationship between organizational structure and environment variables to thesafety climate and safety climate to safety performance factors consisting variablesof safety knowledge, unsafe behavior and reporting behavior, as well as the Safetyclimate to safety outcomes consisting variables of Safety Risk and Airworthines.
The eight variables are Structure, Environment, Safety Climate, Safety Knowledge,Unsafe Actions, and Reporting Behavior, Safety Risks, These are tested with 13hypotheses.
This study included a sample of 306 technicians who participated in a cross-sectional purposive survey. Respondents work for aircraft maintenance companiesthat have the capability of Maintenance Repair Overhaul (MRO), which is 5companies. The collected data were analyzed by Structural Equation Modeling(SEM). The scale used uses a Likert scale with a range of 1 to 5 to measure theperception of safety owned by the respondents.
Response of respondents to the average instrument were of good value, and thereliability and valididity test for instrument are reliable instruments. After thenormality test, validity test with 2NDCFA and Variance Extracted and ConstructReliability were only 97 indicator items that were feasible to be processed.
iv
The model is declared good by using the Goodness of fit Index and is worthy ofanalysis. All hypotheses have been confirmed. From the safety climate model that isdeveloped, the organizational structure and environment has 8.58% of the totalinfluence on the safety climate and the remaining 91.42% must be explained by othercausative factors from outside this model. The total influence of climate onAirworthiness is 6.71%, unsafe act have a total effect of 20.78% on Airworthiness,reporting gives a total effect of 8.23% on Airworthiness. Influence of Climate, unsafeact, reporting to Airworthiness is 35.64% and the remaining 64.36% must beexplained by other factors from outside this regression model.
In general this study provide important contributions to research models andespecially aircraft maintenance organizations. Using this information can helpinvestigate the reasons why a safety climate have affect to safety performance andsafety outcomes. Futhermore, management can improve the organization's safetyclimate in order to improve Safety Performance and Airworthiness.
Recommendations can be submitted such as consistency are needed in theapplication of international standards and aviation regulations and supervision inthe efforts to foster aviation safety by regulators and operators. It is necessary toincrease human resources because it determines the progress of the organization indealing with various changes, such as the creation of a competitive national aviationindustry.
Future research can investigate other variables, specifically conditions before unsafeact happen so that worker characteristics will complement research in aircraftmaintenance organizations. This study provides direction in the form of Safety Riskreduction and increased Airworthiness.
Keyword : Safety Climate, Aircraft Maintenance Organization, Maintenance RepairOverhaul, Structural Equation Modeling, Airwhorthiness Policy.
v
PENGEMBANGAN MODEL IKLIM KESELAMATANORGANISASI PERAWATAN PESAWAT UDARA
DI INDONESIA DALAM MENDUKUNG KEBIJAKANKELAIKAN PESAWAT UDARA
Oleh
Melia Eka LestianiNIM : 34212303
(Program Studi Doktor Transportasi)
Institut Teknologi Bandung
LEMBAR PENGESAHAN
MenyetujuiTim Pembimbing
Tanggal ………………………..
Ketua
Ir. Gatot Yudoko, M.A.Sc, Ph.DNIP. 196107251987021001
Anggota Anggota
Yassierli, ST.,MT.,Ph.D Dr. Ir. Heru Purboyo Hidayat Putro,DEANIP. 197604221999031003 NIP.196007301986011002
vi
vii
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI
Disertasi Doktor yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan
Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak
cipta ada pada penulis dengan mengikuti aturan HAKI yang berlaku di Institut
Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan
atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan
kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.
Sitasi hasil penelitian Disertasi ini dapat di tulis dalam bahasa Indonesia sebagai
berikut:
Lestiani, Melia Eka. (2018): Pengembangan Model Iklim Keselamatan Organisasi
Perawatan Pesawat Udara Di Indonesia Dalam Mendukung Kebijakan
Kelaikan Pesawat Udara Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi
Bandung.
dan dalam bahasa Inggris sebagai berikut:
Lestiani, Melia Eka. (2018): Development Of Climate Safety Model For Aircraft
Maintenance Organization In Indonesia For Supporting Airworthiness
Policy, Doctoral Dissertation, Institut Teknologi Bandung.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh disertasi haruslah seizin
Dekan Sekolah Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
viii
ix
LEMBAR PERSEMBAHAN
Dipersembahkan untuk kedua orangtuaku, keluargaku dan putraku Dendy Haryanto
yang senantiasa berdoa dan memberi dukungan moril
x
xi
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Alhamdulillahi rabbil‘alamin penulis panjatkan puji dan
syukur ke hadirat Alloh S.W.T atas limpahan nikmat dan karunia-Nya, Sholawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W, keluarga,
sahabat dan pengikutnya. Pada kesempatan ini sebagai ungkapan rasa syukur, penulis
ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
Bapak Ir. Gatot Yudoko, M.A.Sc, Ph.D, sebagai ketua Tim Pembimbing, atas segala
saran, bimbingan, dorongan dan nasehatnya selama penelitian berlangsung dan
proses penulisan sehingga naskah disertasi ini selesai.
Bapak Yassierli, ST.,MT.,Ph.D, sebagai anggota Tim Pembimbing atas saran, kritik,
masukan dan nasihatnya selama proses penelitian dan penyelesaian naskah disertasi
ini.
Bapak Dr. Ir. Heru Purboyo Hidayat Putro,DEA sebagai anggota Tim Pembimbing
atas saran, kritik, masukan dan nasihatnya selama proses penelitian dan penyelesaian
naskah disertasi ini.
Bapak Dr.Ir. Iwan P.Kusumantoro selaku Ketua Progam Studi Doktor Transportasi
dan selaku penguji atas masukan, bimbingan, nasehat dan saran selama penulis
memperbaiki naskah disertasi ini.
Terima kasih disampaikan kepada Bapak Dr. Soerjanto Tjahjono selaku Ketua
KNKT, Bapak Masruri selaku Direktur Operasional Transportasi Udara KNKT serta
rekan-rekan KNKT lainnya, Bapak Yusa, selaku Manager Training di MRO PT.
GMF, Bapak Deso di Hanggar 4 PT GMF, Bapak Ayi Manager MRO PT.
Indopelita, Bapak Agus Manager MRO PT MS Tech, Bapak Nana Direktur MRO
Batam Aero, Bapak Rejadi PT. DI., Bapak Erlana, Bapak Ridwan DKUPPU
DEPHUB RI, atas kelancaran dan kemudahan bantuan data selama penulis meneliti.
xii
Terimakasih disampaikan kepada segenap pimpinan dan staf STIMLOG, atas
bantuan dan dukungannya selama proses studi dan penyelesaian disertasi ini.
Terimakasih kepada rekan-rekan peserta Program Doktor di Program Studi
Transportasi ITB dan kepada semua pihak atas dukungan dan semangat selama
penyelesaian disertasi ini.
Semoga Alloh SWT, membalas kebaikan Bapak, Ibu, dan rekan-rekan semua. Akhir
kata, hanya kepada Allah jualah penulis memohon taufik dan hidayah agar disertasi
ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.
xiii
DAFTAR ISI
ABSTRAK.................................................................................................................... iABSTRACT.................................................................................................................. iiiLEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... vPEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI.............................................................. viiLEMBAR PERSEMBAHAN ..................................................................................... ixKATA PENGANTAR ................................................................................................ xiDAFTAR ISI............................................................................................................. xiiiDAFTAR LAMPIRAN............................................................................................ xviiDAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI................................................................. xixDAFTAR TABEL................................................................................................... xxiiiDAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG .......................................................... xxvBab I Pendahuluan.................................................................................................. 1
I.1 Latar Belakang........................................................................................ 1I.2 Pertanyaan Penelitian............................................................................ 10I.3 Hipotesis Penelitian .............................................................................. 10I.4 Tujuan Penelitian .................................................................................. 22I.5 Sasaran Penellitian................................................................................ 22I.6 Posisi Penelitian.................................................................................... 22I.7 Kebaharuan Penelitian .......................................................................... 30I.8 Lingkup Penelitian............................................................................... 30
1.8.1 Pemeliharaan Pesawat Terbang (Aircraft Maintenance)........ 311.8.1.1 Pemeliharaan Terjadwal dan Tak terjadwal .......................... 321.8.2 Buletin Service dan Modifikasi ................................................. 341.8.3 Catatan Pemeliharaan (Maintenance Record) ........................ 35
I.9 Metodologi Penelitian........................................................................... 361.9.1 Survey Pengumpulan Data ..................................................... 39I.9.2 Metode Analisa Model ........................................................... 41I.9.3 Keluaran Model ...................................................................... 42
I.10 Manfaat dan Kontribusi Penelitian ....................................................... 43I.11 Sistematika Pembahasan....................................................................... 43
Bab II Tinjauan Pustaka............................................................................................. 45II.1 Konsep Keselamatan Transportasi ....................................................... 45II.2 Konsep Transportasi Udara .................................................................. 46II.3 Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Sektor Penerbangan ............... 47II.4 Evolusi Pemikiran Konsep Keselamatan.............................................. 51II.5 Literatur Berkaitan dengan Variabel Studi ........................................... 65
II.5.1 Desain Organisasi ..................................................................... 65II.5.2 Menentukan dimensi iklim keselamatan ................................ 70II.5.2.1 Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi ............................ 70II.5.2.2Budaya Keselamatan .............................................................. 73II.5.2.3 Iklim Keselamatan................................................................. 74II.5.2.4Sistem Manajemen Keselamatan Penerbangan ...................... 83II.5.3 Menentukan Dimensi Kinerja Keselamatan ............................. 85II.5.3.1 Kesalahan Manusia dalam Pemeliharaan Penerbangan......... 86II.5.3.2 Model Faktor Kesalahan Manusia dalam Penerbangan....... 90
xiv
II.5.3.3 Tindakan yang Tidak Aman .................................................. 94II.5.3.4 Kesalahan............................................................................... 95II.5.3.5 Pelanggaran............................................................................ 95II.5.3.6 Perilaku Pelaporan ................................................................ 96II.5.3.7Pengetahuan Keselamatan ...................................................... 97II.5.4 Hasil Keselamatan ................................................................. 98
II.6 Structural Equation Modeling (SEM)................................................. 108Bab III Metodologi Penelitian ................................................................................ 127
III.1 Kajian Pendahuluan ........................................................................... 127III.2 Survei Penelitian ................................................................................ 130III.3Desain Metode Survei, Sampling dan Kuesioner ............................... 132III.4 Variabel Penelitian............................................................................. 136
III.4.1 Variabel Operasional Desain Organisasi .............................. 138III.4.2 Variabel Operasional Iklim Keselamatan............................. 140III.4.3 Variabel Operasional Pengetahuan Keselamatan.................. 142III.4.4 Variabel Operasional Tindakan Tidak Aman........................ 142III.4.5 Variabel Operasional Perilaku Pelaporan Tidak Aman ........ 143III.4.6 Variabel Hasil Keselamatan (Safety Outcomes).................... 144
III.5Pengumpulan Data.............................................................................. 145III.6 Uji Kehandalan Instrumen ............................................................... 146III.7Pengolahan Data Hasil Penelitian....................................................... 147
III.7.1 Pengukuran Iklim Keselamatan............................................ 148III.7.2 Metode Analisis SEM........................................................... 150III.7.3 Variabel SEM........................................................................ 153III.7.4 Keuntungan dan Kelemahan SEM ........................................ 155
III.8Intepretasi dan Formulasi Model ........................................................ 157III.8.1 Kebijakan Untuk Meningkatkan Kinerja Keselamatan ........ 157
III.9Kesimpulan dan Tantangan Selanjutnya ............................................ 159Bab IV Karakteristik Deskriptif Dan Iklim Keselamatan...................................... 160
IV.1Karakteristik Data............................................................................... 160IV.1.1 Karakteristik Responden ...................................................... 160IV.1.2 Karakteristik responden berdasarkan usia............................ 160IV.1.3 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin............ 161IV.1.4 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan................. 162IV.1.5 Karakteristik responden berdasarkan jabatan....................... 163IV.1.6 Karakteristik responden berdasarkan lama kerja ................. 164
IV.2 Gambaran Tanggapan Responden .................................................... 167IV.2.1 Tanggapan Responden Terhadap Struktural ........................ 168IV.2.2 Tanggapan Responden Terhadap Lingkungan..................... 170IV.2.3 Tanggapan Responden Terhadap Iklim Keselamatan.......... 171IV.2.4 Tanggapan Responden Terhadap Tindakan Tidak Aman.... 176IV.2.5 Tanggapan Responden Terhadap Pelaporan ........................ 177IV.2.6 Tanggapan Responden Terhadap Pengetahuan.................... 179IV.2.7 Tanggapan Responden Terhadap Resiko Keselamatan ....... 180IV.2.8 Tanggapan Responden Terhadap Kelaikan.......................... 181
IV.3 Hasil Pengukuran Iklim Keselamatan .............................................. 182IV.3.1 Hasil pengukuran iklim keselamatan kategori usia .............. 182IV.3.2 Hasil pengukuran iklim keselamatan kategori pendidikan .. 183
xv
IV.3.3 Hasil pengukuran iklim keselamatan kategori jabatan......... 184IV.3.4 Hasil pengukuran iklim keselamatan kategori pengalaman
kerja ...................................................................................... 185IV.3.5 Hasil pengukuran iklim keselamatan kategori pelatihan ..... 186IV.3.6 Nilai Dimensi Keselamatan Responden ............................... 187IV.3.7 Hasil pengukuran iklim keselamatan antar MRO ................. 187
Bab V Analisis ....................................................................................................... 190V.1 Data yang Digunakan ......................................................................... 190V.2 Uji Kehandalan Instrumen.................................................................. 190V.3 Analisis Structural Equation Model (SEM)........................................ 194
V.3.1 Analisis Normalitas ................................................................ 194V.3.2 Analisis Faktor Konfirmatori ................................................. 198
V.4 Analisa 2nd Confirmatory Faktor Analysis (2NDCFA)..................... 200V.4.1 Validasi model pengukuran Struktur.................................... 201V.4.2 Validasi model pengukuran Lingkungan.............................. 203V.4.3 Validasi model pengukuran Iklim ........................................ 206V.4.4 Validasi model pengukuran Tindakan Tidak Aman............... 210V.4.5 Validasi Model Pengukuran Pengetahuan............................ 212V.4.6 Validasi Model Pengukuran Perilaku Melaporkan............... 214V.4.7 Validasi Model Pengukuran Resiko Keselamatan............... 216V.4.8 Validasi Model Pengukuran Hasil Kelaikan .......................... 218V.4.9 Pengujian Validitas dan Reliabilitas Konstruk..................... 220
V.5 Pengujian Model Struktural ................................................................ 223V.5.1 Analisa Model Path Diagram ................................................ 227V.5.2 Pengujian Hipotesis .............................................................. 229
V.8 Kebijakan Keselamatan Penerbangan Nasional................................. 243V.9Hasil Pengukuran Model Iklim Keselamatan Organisasi dalam
Perumusan Rekomendasi Kebijakan Keselamatan PenerbanganNasional .............................................................................................. 244
Bab VI Kesimpulan dan Rekomendasi................................................................... 248VI.1Kesimpulan......................................................................................... 248VI.2 Rekomendasi ..................................................................................... 250VI.3Kontribusi Ilmu dan Penelitian Lanjutan............................................ 255
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 256
xvi
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Kuesioner Penelitian .......................................................................... 259Lampiran B Aircraft Maintenance logbook ........................................................... 271
xviii
xix
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI
Gambar I.1 Jumlah penumpang angkutan udara di Indonesia selama tahun2006 sampai 2016 ...................................................................... 1
Gambar I.2 Nilai safety audit ICAO Indonesia, Singapore, Malaysia 2018.................................................................................................... 3
Gambar I.3 Unsur-Unsur keselamatan penerbangan .................................... 4Gambar I.4 Statistik Faktor Kecelakaan Penerbangan Dunia Tahun 2015
.................................................................................................... 7Gambar I.5 Statistik Faktor Kecelakaan Penerbangan Indonesia 2017........ 7Gambar I.6 Peta Sebaran Kecelakaan yang diinvestigasi KNKT
................................................................................................... 8Gambar I.7 Model Reason ........................................................................... 11Gambar I.8 Klasifikasi Analisis Human Factor .......................................... 13Gambar I.9 Model Multi-Level Budaya Organisasi dan Iklim .................... 15Gambar I.10 Model Keselamatan Tempat Kerja ........................................... 16Gambar I.11 Model yang Dikembangkan ………………………………..... 21Gambar I.12 Lingkup Kajian Penelitian ........................................................ 31Gambar I.13 Diagram Alur Proses Perawatan Pesawat Udara ...................... 36Gambar I.14 Kerangka Penelitian .................................................................. 37Gambar II.1 Evolusi pemikiran keselamatan ................................................ 53Gambar II.2 Model Analisis Kecelakaan James Reason .............................. 55Gambar II.3 Kecelakaan Organisasi ............................................................. 56Gambar II.4 Model SHELL .......................................................................... 59Gambar II.5 Struktur organisasi .................................................................... 66Gambar II.6 Model multi budaya organisasi dan iklim ............................... 72Gambar II.7 Model iklim keselamatan kerja Zohar ...................................... 77Gambar II.8 Koordinasi dan komunikasi di pemeliharaan pesawat
komersial ................................................................................... 89Gambar II.9 Lima karakteristik dasar pelaporan keselamatan efektif............ 90Gambar II.10 Model Pengukuran …………………………………………… 110Gambar II.11 Model Struktural ……………………………………………... 111Gambar III.1 Tahap Pelaksanaan Penelitian ................................................... 128Gambar III.2 Lokasi survei di Bandung ......................................................... 130Gambar III.3 Lokasi survei di Jakarta ............................................................ 130Gambar III.4 Lokasi survei di Batam ............................................................. 130Gambar III.5 Langkah Survei ......................................................................... 131Gambar III.6 Diagram radar hasil pengukuran iklim keselamatan
NOSACQ-50 ............................................................................. 149Gambar IV.1 Karakteristik responden berdasarkan usia ................................ 158Gambar IV.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin ................. 159Gambar IV.3 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan ..................... 160Gambar IV.4 Karakteristik responden berdasarkan posisi jabatan ................. 161Gambar IV.5 Karakteristik responden berdasarkan pengalaman kerja ......... 162Gambar IV.6 Karakteristik responden berdasarkan pelatihan keselamatan
yang pernah diikuti .................................................................... 163
xx
Gambar IV.7 Karakteristik responden berdasarkan pengalaman kerjasebelumnya …………………………………………………. .. 164
Gambar IV.8 Tanggapan Responden Terhadap Formalisasi .......................... 165Gambar IV.9 Tanggapan Responden Terhadap Spesialisasi .......................... 166Gambar IV.10 Tanggapan Responden Terhadap Wewenang .......................... 166Gambar IV.11 Tanggapan Responden Terhadap Desentralisasi ...................... 167Gambar IV.12 Tanggapan Responden Terhadap Kompetisi ............................ 167Gambar IV.13 Tanggapan Responden Terhadap Sumber Daya ……………... 168Gambar IV.14 Tanggapan Responden Terhadap Komitmen Dan Kemampuan
Manajemen ................................................................................ 169Gambar IV.15 Tanggapan Responden Terhadap Pemberdayaan Manajemen.. 169Gambar IV.16 Tanggapan Responden Terhadap Keadilan Manajemen ........... 170Gambar IV.17 Tanggapan Responden Terhadap Komitmen Pekerja ............... 170Gambar IV.18 Tanggapan Responden Terhadap Prioritas Keselamatan .......... 171Gambar IV.19 Tanggapan Responden Terhadap Pembelajaran, Komunikasi
dan Kepercayaan ....................................................................... 172Gambar IV.20 Tanggapan Responden Terhadap Kepercayaan Terhadap
Keefektifan Sistem .................................................................... 172Gambar IV.21 Tanggapan Responden Terhadap Pelanggaran ......................... 173Gambar IV.22 Tanggapan Responden Terhadap Keselamatan ......................... 174Gambar IV.23 Tanggapan Responden Terhadap Jaminan Melaporkan ............ 175Gambar IV.24 Tanggapan Responden Terhadap Kemudahan Melaporkan ...... 175Gambar IV.25 Tanggapan Responden Terhadap Manangani Bahaya .............. 176Gambar IV.26 Tanggapan Responden Terhadap Prosedur Darurat .................. 176Gambar IV.27 Tanggapan Responden Terhadap Kecelakaan ........................... 177Gambar IV.28 Tanggapan Responden Terhadap Cidera ................................... 177Gambar IV.29 Tanggapan Responden Terhadap Pola ...................................... 178Gambar IV.30 Tanggapan Responden Terhadap Kesesuaian ........................... 178Gambar IV.31 Nilai dimensi iklim keselamatan berdasarkan usia ................... 180Gambar IV.32 Nilai dimensi iklim keselamatan berdasarkan pendidikan ........ 181Gambar IV.33 Nilai dimensi iklim keselamatan berdasarkan posisi/jabatan
kerja ........................................................................................... 182Gambar IV.34 Diagram radar nilai dimensi iklim keselamatan berdasarkan
lama kerja .................................................................................. 183Gambar IV.35 Diagram radar nilai dimensi iklim keselamatan berdasarkan
frekuensi pelatihan keselamatan yang pernah diikuti ............... 184Gambar IV.36 Diagram radar nilai dimensi iklim keselamatan antar MRO .... 185Gambar V.1 Nilai Standardized –2NDCFA Struktur .................................... 198Gambar V.2 Nilai T-Value –2NDCFA Struktur ............................................ 199Gambar V.3 Nilai Standardized –2NDCFA Lingkungan .............................. 201Gambar V.4 Nilai T-Value – 2NDCFA Lingkungan ..................................... 201Gambar V.5 Nilai Standardized –2NDCFA Iklim ......................................... 204Gambar V.6 Nilai T-Value – 2NDCFA Iklim ................................................ 205Gambar V.7 Nilai Standardized –2NDCFA Tindakan Tidak aman .............. 208Gambar V.8 Nilai T-Value – 2NDCFA Tindakan Tidak aman ..................... 208Gambar V.9 Nilai Standardized –2NDCFA Pengetahuan ............................. 210Gambar V.10 Nilai T-Value – 2NDCFA Pengetahuan .................................... 210Gambar V.11 Nilai Standardized –2NDCFA Pelaporan ................................. 212
xxi
Gambar V.12 Nilai T-Value – 2NDCFA Pelaporan ........................................ 212Gambar V.13 Nilai Standardized –2NDCFA Resiko Keselamatan ................. 214Gambar V.14 Nilai T-Value – 2NDCFA Resiko Kesalamatan ....................... 214Gambar V.15 Nilai Standardized –2NDCFA Kelaikan ................................... 216Gambar V.16 Nilai T-Value – 2NDCFA Validitas Kelaikan .......................... 216Gambar V.17 Standardized-Full Model Struktural ......................................... 222Gambar V.18 T-Values Model Struktural ........................................................ 223Gambar V.19 Standardized Full Model Struktural – Model Path Diagram ... 224Gambar V.20 T-value Full Model Struktural – Model Path Diagram ............ 225Gambar V.21 Model S-C-P............................................................................... 243Gambar VI.1 Langkah Rekomendasi Kebijakan dengan Model S-C-
P……………………………………………………………….. 251
xxii
xxiii
DAFTAR TABEL
Tabel I.1 Beberapa Penelitian Mengenai Analisis Resiko .............................Keselamatan Organisasi ................................................................. 24
Tabel I.2 Posisi Penelitian Dikaji Dari keselamatan organisasi ....................bedasarkan pengembangan iklim keselamatan ............................... 29
Tabel II.1 Faktor Organisasi Klasifikasi Jacobs & Haber (1994).................... 62Tabel II.2 Ringkasan Definisi Iklim Keselamatan .......................................... 75Tabel II.3 Dimensi-dimensi Iklim Keselamatan NOSACQ-50 ...................... 79Tabel II.4 Komponen dan elemen sistem manajemen keselamatan (safety
Management system) ...................................................................... 84Tabel III.1 Penyebaran Kuesioner .................................................................... 131Tabel III.2 Skor Likert ...................................................................................... 135Tabel III.3 Variabel Laten dan Variabel Observasi .......................................... 136Tabel III.4 Variabel Operasional Dimensi Desain Organisasi ......................... 138Tabel III.5 Variabel Operasional Variabel Iklim Keselamatan
NOSACQ-50 .................................................................................. 140Tabel III.6 Variabel Operasional Pengetahuan Keselamatan ........................... 141Tabel III.7 Variabel Operasional Tindakan Tidak Aman ................................. 142Tabel III.8 Variabel Operasional Perilaku Pelaporan Tidak Aman ................. 143Tabel III.9 Variabel Resiko Keselamatan ........................................................ 143Tabel III.10 Variabel Hasil Keselamatan Kelaikan ............................................ 144Tabel III.11 Variabel Penelitian ......................................................................... 153Tabel IV.1 Pedoman Kategorisasi Skor Tanggapan Responden ....................... 165Tabel V.1 Nama Variabel, Sub Variabel dan Indikator .................................. 188Tabel V.2 Hasil Uji Validitas Instrumen ......................................................... 189Tabel V.3 Hasil Uji Reliabilitas ...................................................................... 190Tabel V.4 Klasifikasi nilai Cronbach’s Alpha ................................................ 191Tabel V.5 Uji Normalitas Desain Organisasi .................................................. 192Tabel V.6 Uji Normalitas Iklim Keselamatan ................................................. 193Tabel V.7 Uji Normalitas Kinerja Keselamatan ............................................. 194Tabel V.8 Uji Normalitas Kelaikan ................................................................. 195Tabel V.9 Variabel yang tidak normal ............................................................ 195Tabel V.10 Skala Factor Loading ..................................................................... 196Tabel V.11 Pengukuran 2NDCFA Struktur ....................................................... 200Tabel V.12 Pengukuran 2NDCFA Lingkungan ................................................ 202Tabel V.13 Pengukuran 2NDCFA Iklim ........................................................... 206Tabel V.14 Pengukuran 2NDCFA Tindakan tidak Aman ................................. 209Tabel V.15 Pengukuran 2NDCFA Pengetahuan ............................................... 211Tabel V.16 Pengukuran 2NDCFA Pelaporan .................................................... 213Tabel V.17 Pengukuran 2NDCFA Resiko Keselamatan ................................... 215Tabel V.18 Pengukuran 2NDCFA kelaikan ...................................................... 217Tabel V.19 Variance Extracted dan Construct Reliability ................................ 219Tabel V.20 Goodness of Fit Index Model ......................................................... 221Tabel V.21 Hasil Pengujian Hipotesis .............................................................. 228Tabel V.22 Kontribusi Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung .................... 234
xxiv
Tabel V.23 Kontribusi Pengaruh Struktur dan LingkunganTerhadap Iklim ................................................................................ 235
Tabel V.24 Kontribusi Pengaruh Iklim dan Pengetahuan Terhadaptidak Aman ...................................................................................... 236
Tabel V.25 Kontribusi Pengaruh Iklim dan tidak amanTerhadap Pelaporan ........................................................................ 237
Tabel V.26 Kontribusi Pengaruh Iklim, Tidak Aman, Pelaporanterhadap Resiko Keselamatan ......................................................... 238
Tabel V.27 Kontribusi Pengaruh Iklim, Tidak aman, Pelaporan TerhadapKelaikan .......................................................................................... 239
Tabel VI.1 Penyesuaian hasil pengukuran Model iklim keselamatandengan kebijakan keselamatan penerbangan nasional .................... 249
xxv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
SINGKATAN Nama Pemakaianpertama kali pada
halamanUUBPSEFACFAMLGOFGOFIRMSEADfCFICRVELVSMI
LAMBANG
ζ (Zeta)ε (epsilon)
λ (lambda)
β (beta)
Γ (gamma)
ΣΛx dan Λy
X2
R2
Undang-UndangBadan Pusat StatistikExploratory Factor AnalysisConfirmatory Factor AnalysisMaximum LikelihoodGoodness of FitGoodness of Fit IndexRoot Mean Square Error of ApproximationDegree of FreedomComparative Fit IndexConstruct ReliabilityVariance ExtractedLatent Variable ScoreModification Index
Nama
Vektor Variabel Laten EksogenVektor Untuk Faktor Error dari VariabelObservasi EndogenFaktor Bobot Hubungan Variabel Indikatordengan Variabel LatenVektor Untuk Faktor Error dari Variabel LatenEndogenKoefisien Matriks Struktural Antar VariableLaten EndogenKoefisien Matriks Struktural dari Variable LatenExogen dan EndogenChi-SquareKoefisien Determinasi
21
117117
40114115119114119116116120124
Pemakaianpertama kali pada
halaman112
112
110
111
111113110119235
xxvi
1
Bab I Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Transportasi udara berperan penting dalam menjalankan mobilitas global
masyarakat guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sejak
diberlakukannya deregulasi penerbangan pada tahun 2000 dan tantangan Open
Skies ASEAN tahun 2015, menggerakan dinamika perkembangan bisnis
transportasi udara. Tercatat lalu lintas pergerakan pesawat selama tahun 2016
adalah datang 135.991, berangkat 137.193 di seluruh Indonesia (Dephub, 2017).
Laju pertumbuhan jumlah penumpang pesawat udara terus meningkat pada angka
pertumbuhan sekitar 10 persen pertahun, (jumlah peningkatan penumpang
disajikan pada gambar I.1). Peningkatan jumlah penumpang memperlihatkan
bahwa maskapai akan bersaing secara ketat dengan menggunakan cara dan
strategi masing-masing agar tetap dapat bertahan dalam bisnis penerbangan.
Kunci dari strategi tersebut adalah dengan memberikan jaminan keamanan dan
keselamatan penerbangan serta mampu memberikan layanan yang terbaik pada
pelanggannya. Hal yang diupayakan guna meningkatkan daya saing maskapai
salah satunya adalah dengan peningkatan safety level.
Gambar I.1. Jumlah Penumpang Angkutan Udara di Indonesia selama tahun 2006sampai 2016
Sumber : BPS, 2017
0
10
20
30
40
50
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
19 21 2124
2832
3639 38 37
41
Jum
lah
(Jut
aan)
Tahun
2
Peningkatan jumlah penumpang pesawat udara juga akan membawa pada sarana
dan prasarana transportasi udara yang terus bertambah, persaingan antar-
perusahaan jasa layanan penerbangan semakin kompetitif, dan hak-hak
penumpang dalam penerbangan juga semakin diperhatikan. Berbagai
perkembangan positif tersebut semakin meningkatkan optimisme Indonesia untuk
menjadi bagian penting dalam penerbangan internasional.
Terdapat tiga hal penting pada sektor angkutan udara di Indonesia (Prakarsa,
2012) yaitu pertama, permintaan angkutan udara senantiasa bertambah, sedangkan
dari sisi ketersediaan sumber daya terkendala. Kedua, masa depan penerbangan
sipil Indonesia bertalian erat dengan pertimbangan regional dan pada akhirnya
juga global, dalam artian perusahaan penerbangan Indonesia di satu sisi akan
menghadapi persaingan yang lebih ketat, namun di sisi lain juga akan memperoleh
peluang yang lebih besar. Ketiga, penerbangan yang aman dan efisien yang
bergantung pada pengelolaan manajemen yang tepat dan pengelolaan data yang
berkualitas tinggi.
Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang
Keselamatan Penerbangan tujuan terselenggaranya penerbangan adalah untuk
mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang selamat, aman, cepat, lancar,
tertib dan teratur, nyaman dan berdaya guna, dengan biaya yang terjangkau oleh
daya beli masyarakat dengan mengutamakan dan melindungi penerbangan
nasional, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas, sebagai pendorong,
penggerak, dan penunjang pembangunan nasional serta mempererat hubungan
antar bangsa.
Pemerintah Indonesia selalu menekankan komitmen meningkatkan level
keselamatan. Keselamatan penerbangan dipandang oleh masyarakat dunia
sebagai cerminan reputasi kinerja keselamatan dari maskapai di suatu negara.
Standar keselamatan penerbangan suatu negara diwujudkan oleh otoritas
penerbangan sipil yang merupakan prestasi dari otoritas negara itu sendiri.
3
Dalam memenuhi keselamatan penerbangan dunia, terdapat otoritas penerbangan
sipil dunia yang memiliki tugas sebagai auditor terhadap pelaksanaan regulasi
standar keselamatan yang dijalankan oleh masing-masing negara. Hasil Audit
ICAO terhadap kinerja Otoritas Penerbangan Sipil Indonesia (DGCA) sejak
September - Oktober 2017 yang lalu di jelaskan pada gambar I.2.
NILAI USOAP ICAO Indonesia-Singapore-Malaysia 2018
Gambar I.2. Nilai Safety Audit ICAO: Indonesia, Singapore dan Malaysia 2018
Sumber : https://www.icao.int/safety/pages/usoap-results.aspx
Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) adalah kepatuhan otoritas
di sebuah negara anggota untuk melakukan rencana tindakan perbaikan
(corrective action plan) secara comprehensive dengan baik. Hasil nilai audit
USOAP Indonesia terkini tersebut telah berhasil melampaui beberapa nilai audit
effective implementation (EI) USOAP beberapa negara ASEAN seperti Filipina,
Malaysia dan Thailand. Aspek nilai audit tertinggi USOAP Indonesia yang
berhasil dicapai adalah Airworthiness (Kelaikudaraan) yaitu 90.91%, angka ini
mendekati nilai tertinggi 100% (nilai audit Singapore tahun 2016 = 100%,
Malaysia tahun 2016 = 84.9%). Sedangkan untuk Air Navigation Services, angka
Indonesia mencapai nilai 84.09% (Malaysia = 76%), Aerodromes adalah 72.73%
(Malaysia = 50%). Untuk Operations, Indonesia mencapai nilai 87.5% (Malaysia
Rata-rata dunia
4
= 83.87%). Namun untuk item Legislation, Indonesia saat ini masih berada di
bawah nilai rata rata global (https://www.indonesia-icao.org/).
Ada tiga unsur yang memberikan kontribusi pada keselamatan penerbangan yaitu
unsur pertama armada pesawat udara, bagaimana pesawat itu didesain, dibuat dan
dirawat, unsur kedua sistem penerbangan negara, bandar udara, jalur lalu lintas
udara, dan pengatur lalu lintas, unsur ketiga pengendalian dan pengoperasian
pesawat di maskapai penerbangan (ICAO, 2011). Penjelasan keterkaitan unsur-
unsur tersebut digambarkan pada gambar I.3.
Gambar I.3 Unsur-unsur keselamatan penerbangan
Dari unsur kedua, tanggung jawab regulator penerbangan suatu negara adalah
memastikan keselamatan penerbangan pada tingkat yang tertinggi pada ketiga
unsur tersebut Tercatat penilaian yang diberikan oleh FAA pada 16 April 2007,
satu bulan setelah kecelakaan pesawat Boeing 737-400 Garuda di Yogyakarta
setelah sebelumnya diawali dengan kecelakaan pesawat beruntun, FAA
menjatuhkan penilaiannya kepada regulator atau otoritas penerbangan Indonesia,
bukan kepada maskapai penerbangannya. FAA menurunkan peringkat kompetensi
regulator penerbangan sipil Indonesia ke kategori dua, yaitu failure atau tidak
lulus karena tidak memenuhi standard ICAO. Dengan kata lain tidak dapat
menjamin keselamatan penerbangannya.
5
Pada bulan Agustus oleh 2016 otoritas penerbangan Amerika Serikat yaitu
Federation Aviation Administration (FAA) telah mengaudit otoritas penerbangan
Indonesia dimana penilaiannya dinyatakan mampu menaikkan level safety
sehingga status keselamatan penerbangan Indonesia naik dari kategori 2 menjadi
kategori 1.
Walaupun kondisi keselamatan penerbangan telah mengalami kenaikan level,
namun ada kalanya masih terbuka peluang timbulnya kejadian atau insiden yang
dapat mengarah kepada sebuah kecelakaan. Kecelakaan pesawat udara dapat
dialami oleh maskapai yang baik dan bahkan yang terbaik keselamatannya
sekalipun. Langkah yang diambil oleh maskapai adalah dengan melakukan
prosedur dan standar lebih ketat lagi dalam pencegahan terjadinya insiden atau
kecelakaan melebihi maskapai lainnya dan menjamin budaya keselamatan
dijalankan oleh maskapai.
Budaya keselamatan diyakini sebagai salah satu alat ampuh mewujudkan
keselamatan. Budaya keselamatan terbentuk apabila pekerja terlibat dalam
prosedur yang efektif untuk mengendalikan keselamatan (Cooper, 2002).
Dalam Undang-Undang RI Nomor 1/2009 Tentang Penerbangan, budaya ini,
dinyatakan secara khusus dalam pasal 318 sampai dengan 322. ICAO
(International Civil Aviation Organization) dalam Human Factor Digest 10 yang
jika diartikan adalah Budaya Keselamatan adalah seperangkat keyakinan, norma,
sikap, peran dan praktik sosial dan teknis yang berkaitan dengan meminimalkan
kondisi yang dianggap berbahaya atau berbahaya bagi karyawan, manajer,
pelanggan dan anggota masyarakat umum.
Menjalankan suatu organisasi penerbangan adalah menjalankan suatu sistem yang
kompleks, serta dipengaruhi kinerja dan kehandalan sistem keselamatan yang
mengarah kepada baik buruknya budaya keselamatan (Reason, 1997). Budaya
keselamatan yang baik dapat membentuk perilaku pekerja terhadap keselamatan
kerja yang diwujudkan melalui perilaku aman dalam melakukan pekerjaan.
6
Budaya keselamatan membutuhkan waktu belajar dari waktu ke waktu. Ini
merupakan produk yg belajar dari pengalaman (Bandura, 1977; Schein, 2010).
Banyak literatur menunjukkan bahwa penelitian dalam penerbangan
menggunakan iklim keselamatan untuk mengukur hasil keselamatan (Alnoaimi,
2015). Iklim keselamatan ini menggambarkan persepsi individu, sikap, dan
keyakinan tentang risiko dan keselamatan. Iklim keselamatan dianggap sebagai
representasi budaya keselamatan (Alper & Karsh, 2009).
Pengukuran iklim keselamatan kerja pertama kali dikembangkan oleh Zohar pada
tahun 1980. Iklim keselamatan dianggap sebagai indikator utama hasil
keselamatan (Zohar, 2010). Hubungan yang signifikan antara iklim keselamatan
dengan pelanggaran menunjukkan tindakan manajemen yang buruk dapat
membuat individu percaya bahwa manajemen membenarkan perilaku
pelanggaran. Dari sisi ini terlihat bahwa pelanggaran sangat rentan dari pengaruh
manajemen karena banyak penyebab pelanggaran yang terjadi, sering tidak
disadari, sebenarnya karena manajemen itu sendiri (Mason, 1997).
Faktor penyumbang terbesar dalam kecelakaan adalah faktor human error. Dua
per tiga dari rangkaian kecelakaan pesawat komersial penyebabnya adalah human
error, (Weegman and Shappel, 2009). Hasil satstistik yang dilansir oleh
Australian Transport Safety Bureau, 2017 yang dijelaskan pada gambar I.4
bahwa faktor kecelakaan pada penerbangan dunia tahun 2015 didominasi oleh
operasional (Human error).
7
Gambar I.4 Statistik Faktor Kecelakaan Penerbangan Dunia Tahun 2015
Sumber : Australian Transport Safety Bureau, Dengan Modifikasi
Di Indonesia, melalui Komite Nasional Keselamatan Transportasi (2017),
menegaskan bahwa Human Error merupakan penyebab utama hampir sekitar
62% kecelakaan penerbangan di Indonesia, hanya 22 % yang dikaitkan dengan
masalah teknis dan 11% masalah lingkungan selebihnya adalah fasilitas 5%.
Grafik faktor kecelakaan diperlihatkan pada gambar I.5.
Gambar I.5 Statistik Faktor Kecelakaan Penerbangan Indonesia, 2017
Sumber : Laporan Komite Nasional Keselamatan Penerbangan, 2017
15%
7%
40%
38%
Faktor Kecelakaan Penerbangan DuniaTahun 2015
Wilayah Udara
Lingkungan
Operasional
Teknis
62%22%
11%5%
Faktor Kecelakaan Penerbangan IndonesiaTahun 2017
Human Error
Teknis
Lingkungan
Fasilitas
8
Dalam kurun waktu 2010 hingga 2016 telah terjadi 80 kecelakaan dan 130 insiden
serius dengan total korban sebanyak 375 meninggal dunia dan 144 luka-luka. Peta
sebaran kecelakaan dan insiden serius di seluruh Indonesia diperlihatkan pada
gambar I.6.
Gambar I.6 Peta Sebaran Kecelakaan yang diinvestigasi KNKT
Sumber : KNKT , 2017
Human Error didefinisikan sebagai tindakan yang direncanakan namun gagal
mencapai tujuan tanpa disengaja atau tidak terduga, (Reason,1990). Human error
dipengaruhi oleh human performance yaitu aktifitas manusia yang menjalankan
aktifitas secara akurat, cepat dan tepat.
Dari gambar I.4 dan I.5 terjadinya kecelakaan yang disebabkan oleh Human
Error, menunjukkan bahwa terjadi kelemahan kinerja manusia dalam melakukan
pekerjaan secara akurat, cepat dan tepat. Keselakaan yang disebabkan oleh hal
Teknis menunjukkan bahwa bidang pemeliharaan pesawat perlu mendapat
perhatian karena berpotensi mengurangi tingkat keselamatan.
Penjelasan mengenai Human Error itu sendiri dapat dilihat dari dua cara pandang.
Dari cara pandang pertama, apakah Human Error merupakan sebab terjadinya
kecelakaan, dan cara pandang kedua yaitu Human Error sebagai akibat suatu
PETA SEBARAN KECELAKAANPENERBANGAN TAHUN 2010 - 2016
9
proses sebelum error itu terjadi. Cara pandang demikian biasanya diakibatkan
oleh sudut pandang keilmuan. Human Error memperlihatkan adanya keterkaitan
antara error yang terjadi berkaitan dengan faktor lainnya, seperti manajemen,
organisasi serta institusi (Aliandrina, 2012).
Jika ditelusuri lebih lanjut Human Error yang terjadi merupakan kontribusi
organisasi atau perusahaan. Kajian mengenai faktor-faktor yang berpengaruh
dibelakang Human Error ini, pernah diteliti, seperti dijelaskan oleh Aliandrina,
(2012), dimana Dambier (2006) meneliti atas 239 kecelakaan di Jerman dari tahun
2004- 2006 dan menemukan 15% kontribusi organisasi atas kecelakaan, seperti
perawatan tak memadai (insufficient maintenance) dan komponen pesawat hilang
(missing aircraft parts). Di India, Gaur (2005) menemukan kontribusi organisasi
atas 48 kecelakaan penerbangan yang terjadi dalam kurun waktu 1990-1999
adalah 52,1% dengan unsafe supervision mencapai 25%. Di Cina, dari salah satu
jalur penerbangan yang padat, Li, Harris dan Yu, (2008) menemukan kontribusi
organisasi 17,3% atas 41 kecelakaan penerbangan yang terjadi dari tahun 1996
hingga 2006.
Ada tiga bidang utama dalam penerbangan, yang penting dikaji untuk memahami
dan mengurangi kesalahan manusia : yaitu Kesalahan Pilot atau Flightdeck,
Kesalahan Air traffic Control, Kesalahan perawatan (Strauch, 2004).
Marx dan Graeber (1994) melaporkan bahwa sebanyak 12% kecelakaan pesawat
telah terjadi akibat kesalahan dalam perawatan dan proses inspeksi pesawat
terbang. Drury (2001) 20% kecelakaan kecelakaan ini disebabkan oleh kesalahan
pemeliharaan dan inspeksi. Digest ICAO, (2002) menjelaskan bahwa terdapat
kenaikan yang signifikan pada tingkat kecelakaan dan insiden yang melibatkan
masalah perawatan. Hal ini menunjukkan bahwa pemeliharaan armada pesawat
udara merupakan unit yang penting dalam keselamatan angkutan penerbangan.
Berdasarkan pada kondisi tersebut diatas, jelas bahwa faktor organisasi
berpengaruh pada keselamatan, oleh karena itu maka pengembangan model bagi
10
keselamatan penerbangan menjadi sigifikan untuk dikembangkan, terutama untuk
memperkuat pengembangan teori keselamatan penerbangan sehingga mampu
mendukung keselamatan transportasi angkutan udara yang dalam hal ini adalah
amgkutan pesawat udara.
Fokus pada penelitian ini adalah pengembangan model iklim keselamatan pada
organisasi perawatan pesawat yang mendukung kebijakan kelaikan pesawat udara.
Model ini akan mengadop pendekatan sistem dalam mengamati penyebab
kecelakaan penerbangan (Reason, 2000). Menurutnya, kecelakaan dapat terjadi
karena adanya perilaku tidak aman (unsafe behavior) yang muncul di tingkat
individu, tim, tugas/pekerjaan, tempat kerja dan sistem institusi organisasi secara
keseluruhan. Pengembangan metodologi dan variabel yang disesuaikan dengan
karakteristik organisasi perawatan pesawat udara di Indonesia. Wilayah kajian
berada pada organisasi perawatan pesawat udara. Model ini mengkaji faktor-
faktor organisasi apa saja yang berpengaruh pada keselamatan transportasi
khususnya moda pesawat udara.
I.2 Pertanyaan Penelitian
Sejalan dengan latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian yang ingin
dijawab didalam penelitian ini adalah:
1. Apa saja faktor-faktor organisasi yang mempengaruhi iklim
keselamatan organisasi ?
2. Bagaimana iklim keselamatan organisasi mempengaruhi kelaikan
pesawat udara ?
3. Rekomendasi kebijakan apa saja yang dapat diusulkan untuk
meningkatkan keselamatan organisasi dan kelaikan pesawat udara ?
I.3 Hipotesis Penelitian
Keselamatan Penerbangan adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan
keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,
angkutan udara, navigasi penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas
11
umum lainnya. Keselamatan penerbangan merupakan hal yang terpenting dalam
pengoperasian pesawat terbang yang harus dipenuhi oleh pihak maskapai.
Reason (1990) menjelaskan terdapat empat lapisan yang menyusun terjadinya
suatu Accident (kecelakaan), yaitu: Organizational Influences (pengaruh
pengorganisasian dan kebijakan manajemen dalam terjadinya accident), Unsafe
Supervision (pengawasan yang tidak baik), Precondition for Unsafe Act (kondisi
yang mendukung munculnya unsafe act), Unsafe Act (perilaku atau tindakan tidak
aman yang dilakukan dan berhubungan langsung dengan terjadinya accident).
Model ini dikenal sebagai disebagai model Keju Swiss. Dalam Swiss Cheese
Model, berbagai macam tipe of human errors ini merepresentasikan lubang pada
sebuah keju. Keempat keju tersebut disusun secara berurutan dan digambarkan
sebagai kondisi unsafe act, preconditions for unsafe acts, unsafe supervisions, and
organizational influences. Jika keju-keju tersebut sama-sama mempunyai lubang,
dan sebuah kejadian mampu melewati setiap lubang maka kecelakaan menjadi tak
terhindarkan.
Gambar I.7 Model Reason
Sumber : Reason, (1990)
Model “Swiss Cheese” kemudian diadopsi oleh Dr Douglas Wiegmann dan Dr
Scott Shappel (2011) untuk mengembangkan HFACS (Human Factor Analysis
and Classification System). Model HFACS ini dianggap sebagai langkah cepat
dalam menanggulangi meningkatnya human error dan tingginya kecelakaan.
HFACS menggunakan suatu pemahaman dimana human error bukanlah penyebab
12
tetapi hanya akibat dari sebuah masalah besar yang ada dalam organisasi
perusahaan penerbangan. HFACS menggunakan empat pertahanan dengan
mengontrol faktor-faktor human failure, yaitu unsafe acts, preconditions of unsafe
acts, unsafe supervision, dan organizational influences seperti pada gambar I.7
Iklim keselamatan telah menjadi fondasi penting bagi kesehatan dan keselamatan
organisasi. Iklim keselamatan dianggap sebagai indikator utama hasil keselamatan
(Zohar, 2010). Studi tentang iklim keselamatan telah memanfaatkan pentingnya
faktor organisasi sebagai anteseden kesalahan (misalnya, Wiegmann, von Thaden,
Mitchell, Sharma, & Zhang, 2003). Skema investigasi kecelakaan akibat
kesalahan manusia dalam penerbangan mempertimbangkan tidak hanya peran
variabel organisasi tetapi juga variabel individu (Shappell & Wiegmann, 1997).
Sikap dan perilaku karyawan kolektif dibentuk oleh iklim dan pada gilirannya
berdampak pada efektivitas organisasi, kinerja, dan efisiensi. Dukungan untuk
hubungan telah dibuktikan dalam beberapa studi tentang iklim keselamatan
(Hemmelgarn, Glisson, & James, 2006; Ngo, Foley, & Loi, 2009; Rogg, Schmidt,
Shull, & Schmitt, 2001).
Model kinerja iklim keselamatan Campbell et al. (1993), mengidentifikasi tiga
faktor penentu proksimal kinerja yaitu pengetahuan, keterampilan, dan motivasi
untuk performansi. Model Campbell menunjukkan bahwa faktor yang mendahului
faktor kinerja (misalnya, pelatihan, organisasi iklim, kepribadian) diperkirakan
mempengaruhi kinerja keselamatan melalui peningkatan ketiga faktor tersebut.
Oleh karena itu, Neal dan Griffin (2000) mengemukakan bahwa faktor yang
mendahului seperti iklim keselamatan atau kepribadian, secara langsung
mempengaruhi motivasi keselamatan dan pengetahuan, yang pada gilirannya
secara langsung mempengaruhi perilaku kinerja keselamatan, yang kemudian
langsung berhubungan dengan hasil keselamatan, seperti kecelakaan dan cedera.
13
ORGANISATIONAL INFLUENCES
ResourceManagement
OrganisationalClimate
OrganisationalProcess
UNSAFE SUPERVISION
InadequateSupervision
PlannedInappropriate
Operations
SupervisoryViolations
Failed toCorrect a
Known Problem
PRECONDITIONS FOR UNSAFE ACTS
PhysicalEnvironment
TechnologicalEnvironment
PersonalReadiness
Physical/MentalLimitations
Adverse MentalStates
AdversePhysiological
States
Crew ResourceManagement
UNSAFE ACTS OF OPERATORS
Decision ErrorsSkill-Based
ErrorsViolations
PerceptualErrors
Gambar I.8 Klasifikasi Analisis Human FactorSumber : FAA, HFACS, 2001
Kelengkapan model keselamatan membutuhkan cakupan dan integrasi sosial
(budaya misalnya keselamatan dan iklim) dan aspek struktural organisasi (struktur
dan praktek keselamatan organisasi) yang mempengaruhi keselamatan (Ostroff,
2003). Lauver, Trank, (2012) menjelaskan desain organisasi memiliki pengaruh
terhadap hasil keselamatan kerja dengan memberikan bukti bahwa desentralisasi
dan keselarasan membantu mengurangi keseluruhan cedera organisasi, dan
14
memberikan dukungan tambahan untuk meningkatkan kontrol pekerja terhadap
praktik keselamatan kerja, serta kebutuhan akan kongruensi di seluruh kebijakan
dan praktik perusahaan yang lebih luas.
Beberapa penelitian yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara variabel
iklim keselamatan individu dan variabel perilaku yang tidak aman seperti
pelanggaran dan kesalahan di lingkungan perawatan pesawat (Fogarty, 2004;
2005; Fogarty & Buikstra, 2008; Fogarty & Shaw, 2010; Park et al., 2012).
Efek pengetahuan harus beroperasi melalui kinerja keselamatan untuk dapat
melihat hasil keselamatan (Griffin & Neal, 2000). Campbell dkk. (1993)
mengemukakan bahwa hanya ada tiga faktor penentu kinerja individu:
pengetahuan, keterampilan, dan motivasi. Untuk kinerja keselamatan harus
ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam perilaku
tertentu dan oleh motivasi individu untuk perilaku yang dilakukan.
Oleh karena itu, penelitian empiris diperlukan untuk mengatasi kesenjangan
penting ini dengan memeriksa efek desain organisasi dan pengetahuan
keselamatan dan perilaku karyawan yang tidak aman dengan hubungan iklim
keselamatan terhadap hasil keselamatan di lingkungan perawatan pesawat
terbang.
Struktur organisasi dalam Ostroff (2003) adalah alat persepsi karyawan terhadap
iklim dan sikap selanjutnya, tanggapan, dan perilaku yang dibentuk (gambar I.9).
Pada unit atau tingkat organisasi, nilai-nilai budaya dan asumsi manajer
memimpin untuk mengadopsi secara eksplisit atau implisit fitur struktural dan
kondisi yang ada, yang mempengaruhi iklim yang berkembang. Pemimpin diakui
memainkan peran kunci tidak hanya dalam menciptakan dan membentuk budaya
dan iklim (Schein, 2010; Schneider et al, 2011) tetapi juga dalam memfasilitasi
keselarasan yang tepat antara budaya, praktik, dan iklim (Chow & Liu, 2009).
Sikap dan perilaku karyawan kolektif dibentuk oleh iklim dan pada gilirannya
berdampak pada efektivitas organisasi, kinerja, dan efisiensi.
15
Model Christian dkk, (2009), memodifikasi model keselamatan kerja dari Neal
dan Griffin (2004). Model ini didasarkan pada teori kinerja Campbell et al.
(1993), yang mengidentifikasi tiga faktor penentu dari kinerja individu, yaitu
pengetahuan, keterampilan, dan motivasi untuk performansi. Model ini
menunjukkan bahwa faktor yang mendahului faktor kinerja (misalnya, pelatihan,
organisasi iklim, kepribadian) diperkirakan mempengaruhi kinerja keselamatan
melalui peningkatan ketiga faktor tersebut (Gambar I.10). Oleh karena itu, Neal
dan Griffin (2000) mengemukakan bahwa faktor yang mendahului seperti iklim
keselamatan atau kepribadian, secara langsung mempengaruhi motivasi
keselamatan dan pengetahuan, yang pada gilirannya secara langsung
mempengaruhi perilaku kinerja keselamatan, yang kemudian langsung
berhubungan dengan hasil keselamatan, seperti kecelakaan dan cedera.
OrganizationalCulture Artifacts
Industry andbusiness
environment
Background andDemographiccharacteristics
OrganizationalStructure
Organizationalclimate
CollectiveAttitude and
Behavior
OrganizationalSafety
outcomes
Individual values and socialcognitive processes
Phychologicalclimate
Attitudes andBehavior Performance
Emergent
Aligment between culture,structure, practices climate
Gambar I.9 Model Multi-Level Budaya Organisasi dan Iklim
Sumber : Ostroff et. al, (2003)
Christian et al. (2009) mengasumsikan bahwa faktor situasional, perbedaan
individu, dan sikap memiliki jarak hubungan dengan kinerja keselamatan dan
bahkan hubungan ini lebih memiliki jarak hasil keselamatan (outcome). Faktor-
faktor ini diharapkan berdampak lebih dekat atau secara langsung mempengaruhi
16
perilaku kinerja keselamatan. Model Christian menginformasikan besaran
hubungan dan mengamati berbagai faktor yang mendahului kinerja keselamatan
dan kriteria keselamatan, serta menjelaskan proses di mana kecelakaan tempat
kerja dan cedera dapat terjadi, seperti yang diperlihatkan pada gambar I.10.
SafetyClimate
Conscientiousness SafetyMotivation
SafetyKnowledge Safety
Compilanceand Safety
Participation
Accidentand
Injuries
Iindividual and Situational Behaviour Safety Performance Safety Outcome
Gambar I.10 Model Keselamatan Tempat Kerja
Sumber : Christian et. al, (2009)
Dalam penelitian ini dikembangkan model iklim keselamatan dengan pendahulu
desain organisasi untuk melihat pengaruh proses organisasi terhadap hasil
keselamatan. Kerangka teoritis yang ditinjau adalah hasil keselamatan organisasi,
dan model yang dikembangkan merupakan kombinasi dari model Ostroff et al.
(2003) dengan model Christian et al. (2009) serta penambahan prinsip Hofmann et
al (2003) seperti terlihat pada gambar I.11.
Model Ostroff (2003) diadopsi untuk alasan yaitu dalam model ini menganggap
terdapat hubungan teoritis antara budaya organisasi, struktur organisasi, dan iklim
organisasi. Kelengkapan model keselamatan membutuhkan cakupan dan integrasi
sosial (budaya misalnya keselamatan dan iklim) dan aspek struktural organisasi
(struktur & praktek-praktek keselamatan organisasi) yang mempengaruhi
keselamatan. Model ini berfokus pada aspek sosial atau struktural. Beberapa
penelitian sebelumnya seperti Mohaghegh (2012) telah berusaha untuk
memasukkan dua aspek ini namun belum membuat hubungan teoritis antara kedua
aspek itu. Model ini dijelaskan sebagai model efektivitas organisasi yang
menjelaskan penyebab keselamatan organisasi. Model ini memberikan pandangan
17
sistematis tentang budaya keselamatan dan iklim keselamatan dan menjelaskan
perbedaan antara budaya keselamatan dan iklim keselamatan.
Selanjutnya, Model Christian (2009) diadopsi dengan alasan bahwa faktor
perilaku dan situasi menunjukkan hubungan dengan keselamatan kerja. Pekerja
bisa dipilih, dilatih, dan didukung melalui iklim keselamatan positif untuk
memaksimalkan motivasi keselamatan dan pengetahuan keselamatan, yang pada
gilirannya menyebabkan perilaku yang aman dan menghasilkan lebih sedikit
kecelakaan dan cedera. Pada dimensi iklim tertentu menunjukkan titik intervensi
yang berhubungan dengan peningkatan keselamatan kerja. Misalnya, intervensi
berfokus pada peningkatan komitmen manajemen keselamatan yang dapat
meningkatkan kinerja keselamatan dan mengurangi kecelakaan. Faktor-faktor
situasional yang mungkin menjadi moderator hubungan perbedaan individu
(prediktor) dengan kecelakaan dan kriteria cedera belum dijelaskan.
Prinsip Hofmann (2003) digunakan karena melihat iklim keselamatan sebagai
moderator yang mampu mendorong peran formal kepada tujuan perilaku
keselamatan. Dalam penelitian ini iklim keselamatan yang dinyatakan sebagai
persepsi bersama karyawan mengenai praktek-praktek keselamatan organisasi
digunakan sebagai moderator yang dianggap mampu meningkatkan kinerja
keselamatan.
Desain dan struktur organisasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi
perilaku individu dan kelompok-kelompok yang ada dalam organisasi. Desain
keputusan (pembagian kerja, delegasi wewenang, pembagian departemen, dan
rentang kendali) menghasilkan struktur organisasi, sehingga dalam penelitian ini
Struktur organisasi disempurnakan menjadi desain organisasi.
Kombinasi dari kedua model tersebut dengan penambahan prinsip Hofmann,
mencoba menjelaskan model yang akan dikembangkan dan akan menguji
hubungan yang disebabkan oleh faktor desain organisasi terhadap iklim
18
keselamatan yang berhubungan dengan kinerja keselamatan dan hasil
keselamatan.
Penelitian ini mengkonfirmasi pengaruh Struktur dan Lingkungan organisasi
sebagai pembentuk iklim keselamatan, dan kinerja keselamatan terhadap Resiko
Keselamatan dan Kelaikan Pesawat Udara.
Kelaikan Udara menurut PM no. 93 tahun 2016 adalah terpenuhinya persyaratan
desain tipe pesawat udara dan dalam kondisi aman untuk beroperasi.
Shappell & Wiegmann (1997) menjelaskan penelitian kecelakaan karena
kesalahan manusia pada bidang penerbangan sebaiknya mempertimbangkan peran
variabel organisasi dan juga variabel individu. Beberapa literatur meneliti kaitan
antara iklim keselamatan, variabel individu dan perilaku yang tidak aman
misalnya pelanggaran dan kesalahan dalam lingkungan perawatan pesawat
terbang (Fogarty, 2004; 2005; Fogarty & Buikstra, 2008; Fogarty & Shaw, 2010;
Park, Kang, & Son, 2012). Marais & Robichaud, (2012), menjelaskan peranan
iklim keselamatan dalam insiden dan kecelakaan harus diselidiki secara lebih
mendalam.
Dalam model ini menggunakan pula komponen dari ICAO. Dokumen ICAO 9859
menjelaskan delapan unit kesatuan yang diperlukan untuk menerapkan Program
Keselamatan Penerbangan Nasional dan Sistem Manajemen Keselamatan:
a. Komitmen Pimpinan Tertinggi.
b. Sistem Pelaporan Keselamatan yang Efektif.
c. Penggunaan. Informasi.
d. Pembelajaran.
e. Berbagi Pengalaman.
f. Pelatihan.
g. Standard Procedure.
h. Peningkatan Berkelanjutan (Continuous Improvement).
Apa yang disampaikan pada program diatas adalah sudah sesuai dalam
pengembangan model dalam penelitian ini.
19
Dalam penelitian ini, hipotesis berikut diajukan untuk menguji struktur hubungan
antara model konstruksi:
H1 : Struktur Organisasi berpengaruh positif terhadap Iklim Keselamatan
(Clarke, 1999; ICAO 9859,2013).
H2 : Lingkungan Organisasi berpengaruh positif terhadap Iklim Keselamatan
(McDonald, Corrigan, Daly, & Cromie, 2000; ICAO 9859,2013).
H3 : Iklim Keselamatan berpengaruh negatif terhadap Hasil Keselamatan
(Clarke, 2006a; Griffin & Neal, 2000; Hofmann, Morgeson, & Gerras,
2003; Zohar, 2000; ICAO 9859,2013).
H4 : Iklim Keselamatan berpengaruh positif terhadap Pengetahuan
Keselamatan (Clarke, 2006a; Griffin & Neal, 2000; Hofmann, Morgeson,
& Gerras, 2003; Zohar, 2000; ICAO 9859,2013).
H5 : Iklim Keselamatan berpengaruh negatif terhadap Tindakan Tidak Aman
(Clarke, 2006a; Griffin & Neal, 2000; Hofmann, Morgeson, & Gerras,
2003; Zohar, 2000; ICAO 9859,2013).
H6 : Iklim Keselamatan berpengaruh positif terhadap Perilaku Pelaporan
Tindakan Tidak Aman (Clarke, 2006a; Griffin & Neal, 2000; Hofmann,
Morgeson, & Gerras, 2003; Zohar, 2000; ICAO 9859,2013).
H7 : Pengetahuan Keselamatan berpengaruh negatif dengan Tindakan Tidak
Aman (Clarke, 2006a; Griffin & Neal, 2000; Hofmann, Morgeson, &
Gerras, 2003; Zohar, 2000; ICAO 9859,2013).
H8 : Tindakan Tidak Aman berpengaruh positif dengan Hasil Keselamatan
karyawan (Clarke, 2006a; Griffin & Neal, 2000; Hofmann, Morgeson, &
Gerras, 2003; Zohar, 2000; ICAO 9859,2013).
H9 : Tindakan Tidak Aman berpengaruh negatif terhadap Perilaku Pelaporan
Tindakan Tidak Aman (Clarke, 2006a; Griffin & Neal, 2000; Hofmann,
Morgeson, & Gerras, 2003; Zohar, 2000; ICAO 9859,2013).
H10 : Perilaku Pelaporan Tindakan Tidak Aman berpengaruh negatif terhadap
Hasil Keselamatan karyawan (Clarke, 2006a; Griffin & Neal, 2000;
Hofmann, Morgeson, & Gerras, 2003; Zohar, 2000; ICAO 9859,2013).
20
H11 : Iklim keselamatan berpengaruh positif kepada hasil keselamatan kelaikan
(Clarke, 2006a; Griffin & Neal, 2000; Hofmann, Morgeson, & Gerras,
2003; Zohar, 2000; ICAO 9859,2013).
H12 : Perilaku pelaporan tindakan tidak aman berpengaruh positif pada hasil
keselamatan kelaikan. (Clarke, 2006a; Griffin & Neal, 2000; Hofmann,
Morgeson, & Gerras, 2003; Zohar, 2000; ICAO 9859,2013).
H13 : Tindakan Tidak Aman berpengaruh negatif pada Kelaikan (Clarke,
2006a; Griffin & Neal, 2000; Hofmann, Morgeson, & Gerras, 2003;
Zohar, 2000; ICAO 9859,2013).
21
Iklim KeselamatanPengetahuanKeselamatan
Tindakan TidakAman
Perilaku pelaporantindakan tidak aman
Komitmen Manajemen
PemberdayaanKeadilan
Komitment Pekerja
Prioritas Pembelajaran Kepercayaan
PelanggaranKesalahan
H1
H2
H3
Spesialisasi
Formalisasi
Desentralisasi
Struktur
LingkunganKompetisi
Sumber Daya
KemudahanJaminan
DaruratBahaya
H4
H5H6 H7
H8
H9
H10
ResikoKeselamatan
KelaikanPemenuhan
Standar
Kecelakaan
Cidera
H11
H12
Polaperawatan
WewenangH13
Gambar I.11 Model yang Dikembangkan
22
I.4 Tujuan Penelitian
Mengembangkan model iklim keselamatan guna menunjang kebijakan
kelaikan pesawat udara dalam kerangka meningkatkan budaya keselamatan.
I.5 Sasaran Penellitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah ;
1. Terbentuknya model untuk mengetahui efek desain organisasi dan
efek pengetahuan keselamatan dan perilaku karyawan yang tidak
aman dengan hubungan iklim keselamatan terhadap hasil
keselamatan.
2. Menguji kesesuaian antara model yang diusulkan dengan kondisi
pada organisasi perawatan pesawat udara di Indonesia.
3. Menganalisis kebijakan terkait pada risiko keselamatan organisasi
pada organisasi perawatan pesawat udara di Indonesia.
I.6 Posisi Penelitian
Insiden atau kecelakaan di dalam dunia penerbangan dilihat sebagai produk
dari sistem yang kompleks. Menganalisa kecelakaan penerbangan sebagai
satu kesatuan (satu sistem) dan bukan merupakan event terpisah.
Konsekuensinya, banyaknya unsur di dalam sistem, akan mengakibatkan
terjadinya interaksi yang kompleks. Interaksi ini terjadi terus-menerus baik
yang bersifat tunggal (manusia dengan teknologi, manusia dengan manusia),
grup/ kelompok (misalnya ATC dengan flight crew) atau organisasi,
misalnya operator dengan regulator, operator dengan manufaktur, regulator
dengan legislator (Mohaghegh, 2007).
Beberapa studi penelitian di bidang penerbangan telah menyoroti beberapa
faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan sebagaimana diperlihatkan
pada tabel 1.1, yang belum sepenuhnya dilakukan studi komprehensif atau
model menelusuri jalur pengaruh mulai dari akar faktor organisasi terhadap
kecelakaan dan insiden.
23
Pada tabel I.2 Posisi penelitian yang dilakukan dalam penelitian dijelaskan
dengan mempertimbangkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya. Pandangan sistematis struktur odan lingkungan organisasi dan
iklim keselamatan, kinerja keselamatan yaitu pengetahuan keselamatan,
tindakan tidak aman, pelaporan serta hasil keselamatan berupa resiko
keselamatan dan kelaikan yaitu peningkatan kepatuhan pada prosedur
keselamatan yang akan mengisi kesenjangan yang penting dalam pemodelan
sistem keselamatan organisasi yang kompleks.
24
Tabel 1.1. Beberapa Penelitian Mengenai Analisis Risiko Keselamatan Organisasi
Peneliti Judul Uraian Research Gap Penelitian selanjutnya
1. Rhoades, Dawna L. ,
et al., 2005
The Effect of Line
Maintenance Activity on
Airline Safety Quality
Mencari pengaruh biaya
pemeliharaan terhadap keselamatan
penerbangan, Menerapkan
pemeliharaan yang mendukung
keselamatan penerbangan.
Penelitian hanya menjelaskan
salah satu langkah pemahaman
dari proses yang kompleks pada
aktivitas bidang pemeliharaan
maskapai
Perlu menjelaskan faktor-faktor yang
terkait pada kualitas dan proses
pemeliharaan.
2. Mohaghegh, Zahra
Ahmadabad., 2007
On the Theoritical
Fondations and Principles
of Organizational Safety
Risk Analysis,
Membedakan dan membangun safety
culture dan safety climate,
Membangun model SoTeRiA untuk
menentukan proses pengambilan
keputusan dari tingkat individu
hingga tingkat organisasi,
Menentukan jumlah pekerja, proses
perekrutan, proses latihan, dan
susunan organisasi yang menunjang
safety culture
Struktur dan praktik organisasi
sangat saling terkait, tetapi dalam
penelitian ini belum terfokus
pada efek hubungan antara
struktur organisasi (misalnya
sentralisasi, formalisasi) dan
keselamatan organisasi.
Penelitian di masa depan perlu untuk
mengungkap hubungan rinci antara
struktur organisasi keselamatan.
3. Suzuki , Takahiro., et
al, 2008
Coordination and Safety
Behaviors in Commercial
Aircraft Maintenance,
Menciptakan perilaku keselamatan
dan koordinasi tepat dalam
pemeliharaan pesawat komersial,
Mengurangi peluang terjadinya
miskomunikasi antar pekerja.
Masalah komunikasi dianggap
murni kesalahan pekerja dan
sumber masalah prosedur
keselamatan pemeliharaan
pesawat.
Penelitian di masa depan perlu
menunjukkan simulasi kerja yang
berhubungan dengan masalah
koordinasi.
25
Sambungan Tabel 1.1. Beberapa Penelitian Mengenai Analisis Risiko Keselamatan Organisasi
Peneliti Judul Uraian Research Gap Penelitian selanjutnya
4. Christian, Michael
S., 2009
Workplace Safety : A
Meta- Analysis of the Roles
of Person and Situation
Factors
Membangun model teoritis kinerja
pekerja dan iklim kerja, penelitian ini
secara kuantitatif mengintegrasikan
literatur keselamatan dengan
menggunakan meta-analitis
pendahulunya berdasarkan situasi-
orang- dan perilaku kinerja
keselamatan dan hasil keselamatan
(yaitu, kecelakaan dan cedera)
Lingkup yang dikaji dimulai dari
iklim keselamatan yang memiliki
efek langsung pada kedua
motivasi keselamatan dan
pengetahuan keselamatan.
Pengetahuan dan motivasi harus
langsung berhubungan dengan
kinerja, yang secara langsung
berkaitan dengan hasil
keselamatan.
Penelitian di masa depan diperlukan
untuk lebih memahami keselamatan
kerja, terutama dengan penekanan
pada teori didorong desain penelitian
longitudinal
5. Sharpanskykh
Alexei., et al.,2011
An agent-based approach
for structured modeling,
analysis and improvement
of safety culture
Untuk dapat menjelaskan
pemahaman tentang budaya
keselamatan dengan struktur dan
proses organisasi. Menerapkan
budaya keselamatan organisasional
pada ANSP (Air Navigation Service
Providers), Merancang struktur
organisasi dan interaksi yang lebih
efektif.
Penelitian ini masih membatasi
pada kebijakan manajemen, aspek
organisasi belum secara rinci
dibangun
Penelitian perlu dilanjutkan pada pola
hubungan antara struktur organisasi,
proses dan budaya keselamatan di satu
sisi dan indikator keselamatan
operasional (misalnya, risiko) di sisi
lain. Identifikasi hubungan tersebut
memungkinkan pemahaman dan
analisis yang mendalam pada perilaku
sistem untuk tingkat agregasi yang
berbeda (misalnya, individu, tim,
organisasi).
26
Sambungan Tabel 1.1. Beberapa Penelitian Mengenai Analisis Risiko Keselamatan Organisasi
Peneliti Judul Uraian Research Gap Penelitian selanjutnya
6. Lauver,
Kristy J.,et
al., 2012
Safety and Organizational Design
factors : Decentralization and
Aligment
Menguji hubungan yang terjadi
antara faktor design organisasi
yaitu Desentralisasi dan Aligment
dengan tingkat keluaran organisasi
keselamatan
Desentralisasi harus dieksplorasi
lebih lanjut untuk melihat apakah
ada tingkat yang sesuai
desentralisasi diperlukan dalam
mengembangkan praktek dan
tanggung jawab. Apakah jenis
pekerjaan, manajemen, industri,
atau ukuran organisasi membuat
perbedaan pada dampak
desentralisasi juga penting.
Penelitian dalam desain organisasi dan
menyarankan koneksi baru antara
praktek, persepsi praktek, dan hasil.
Hasil ini juga mendukung
kemungkinan bahwa kemajuan dalam
reformasi lingkungan kerja (Deutsch,
1981), terutama yang berkaitan dengan
meningkatkan kontrol pekerja atas
praktik keselamatan, dapat
meningkatkan keselamatan kerja.
7. Pourdehnad,
John., et al.,
2012
Sustainability, organizational
learning and lesson learned from
aviation
Praktek pembelajaran organisasi
yang dapat diterapkan oleh
organisasi dalam upaya untuk
mengatasi tuntutan keberlanjutan
triple bottom line. (Pembelajaran
dan sistem adaptif)
Penelitian belum fokus pada
peran budaya, teknologi, struktur,
komunikasi dan lingkungan
walaupun disadari bahwa hal-hal
tersebut merupakan unsur dari
sistem adaptif.
Penelitian mendatang perlu
mempertimbangkan pada unsur
komunikasi sebagai pendekatan
organisasi belajar
27
Sambungan Tabel 1.1. Beberapa Penelitian Mengenai Analisis Risiko Keselamatan Organisasi
Peneliti Judul Uraian Research Gap Penelitian selanjutnya
8. Shi, Liping., et al.,
2013
Relationship among
Safety Management
Behavior, Job Insecurity
Atmosphere,
Counterproductive Work
Behavior, and Quality
Performance
Mengetahui hubungan
Counterproductive Work Behavior
dengan lingkungan kerja dan
performansi kerja, Menciptakan
lingkungan kerja yang bisa
meminimalkan Counterproductive
Work Behavior.
Penelitian ini tidak memasukkan unsur
keputusan manajemen terhadap CWB
Penelitian perlu dikembangkan
dengan memasukkan perilaku
manajemen dan desain perilaku
pada organisasi.
9. Lin, Yi Hsin., 2012 Modeling the
important
organizational factors
of safety management
system performance
Tujuan dari makalah ini adalah untuk
menguji hubungan antara budaya
keselamatan dan identitas organisasi
sistem manajemen keselamatan
(SMS), dalam rangka memberikan
kesadaran yang lebih tentang
bagaimana karyawan maskapai
memandang identitas organisasi dan
budaya keselamatan karena mereka
berhasil menerapkan SMS.
Penelitian ini melihat budaya
keselamatan yang telah diperkuat sebagai
hasil dari pelaksanaan SMS. Namun
faktor organisasi yang berkontribusi
terhadap kinerja SMS belum diungkap
secara detil.
Penelitian ini memberikan
kesempatan untuk
mengeksplorasi validitas
penyelesaian hubungan kausal
pada area yang berbeda.
28
Sambungan Tabel 1.1. Beberapa Penelitian Mengenai Analisis Risiko Keselamatan Organisasi
Peneliti Judul Uraian Research Gap Penelitian selanjutnya
10. Bouarfa, Soufiane, et
al.,2013
Agent-based modeling
and simulation of
emergent behavior in air
transportation
Sistem sosio-teknis yang kompleks
tersebut dapat menghasilkan berbagai
jenis perilaku muncul, yang bisa
berkisar dari munculnya sederhana,
hingga kemunculan kuat. Temuan
perilaku baru yang terjadi adalah
bahwa sistem peringatan tidak benar-
benar mengurangi risiko keamanan.
Penelitian ini walau mencoba
menjelaskan interaksi sistem yang
kompleks dengan melihat interaksi
antara operator, prosedur kerja dan
lingkungan, namun belum secara jelas
mengungkap hubungan antara teknisi
sebagai operator dengan pihak
manajemen
Perlu dikaji lebih jauh
mengenai dampak-dampak
interaksi yang terjadi pada
simulasi koordinasi kerja.
29
Tabel I.2 Posisi Penelitian Dikaji dari Keselamatan Organisasi berdasarkan pengembangan iklim keselamatan
Res
ourc
e M
gt
Cul
ture
Wor
kpla
ce
Dec
entr
aliz
atio
n
No Nama Peneliti
Mot
ivat
ion
Kno
wle
dge
Com
plia
nce
Par
tici
pati
on
Industri Pengaruh OrganisasiS ituasiDistal
Person Distal
job
atti
tude
Turn
over
Cli
mat
e
Pene
rban
gan
Um
um
For
mal
izat
ion
Spec
iali
zati
on
Safe
ty C
lim
ate
Ali
gnm
ent
Aut
hori
ty
ProximalPerson
Safety Performance Safety Outcome
Lead
ersh
ip
Per
sona
lity
inju
ry
Air
wor
thin
es
Un
safe
Act
Mgt
. Sys
tem
s
Acc
iden
t
Inci
dent
1. Rhoades, Dawna L. , et al., 2005 X X
2. Fogarty Gerald, 2000 X X X X X X
3. Mohaghegh,Zahra., 2007 X X X
4. Suzuki , Takahiro., et al, 2008 X X
5. Sharpanskykh Alexei., et al.,2011 X X
6. Pourdehnad, John., et al., 2012 X X
7. Lin, Yi Hsin., 2012 X X
8. Bouarfa, Soufiane., et al.,2013 X X
9. Shi, Liping., et al., 2013 X X
10. Suwito, 2009 X X
11. Christian, et.al, 2009 X X X X X X X X X
12. A. Neal et al, 2000 X X X X X
13. Lauver Kristy J, 2012 X X X X
14. Alnoaimi , Muhanna, 2015 X X X X X X X
15. Lestiani, Melia Eka, 2018 X X X X X X X X X X
30
I.7 Kebaharuan Penelitian
Aspek kebaruan yang diusulkan dalam penelitian ini diidentifikasi dari perbedaan
antara pengembangan model peneliti sebelumnya dengan model yang dibangun
dalam penelitian ini.
1. Model yang dibangun mengkonfimasi aspek pengaruh dari desain
organisasi yang terdiri dari proses organisasi dan tekanan lingkungan.
2. Dalam aspek fenomena model, menitikberatkan pada pengaruh
pengetahuan, terhadap tindakan tidak aman serta pelaporan.
3. Studi yang dilakukan menambah teori yang berkaitan dengan model
dasar yang diuji.
4. Penambahan variabel model pada kelaikan pesawat udara yang
menunjukkan tingkat kepatuhan pada prosedur keselamatan dunia.
I.8 Lingkup Penelitian
Menurut James L. Lynch (1990) menyimpulkan bahwa meskipun banyak
maskapai yang berbeda dari segi strukutr organisasi, besarnya, latar belakang
sejarah, lingkungan budaya, akan tetapi aktivitas yang dilakukannya tentunya
sama.
Suatu maskapai terdiri dari fungsi-fungsi yang dapat dikelompokan dalam tiga
sistem yang saling berkaitan (Lynch, 1990). Ketiga sistem tersebut mencakup ;
1. Sistem operasi (The Operational System)
2. Sistem perencanaan strategi (Strategy Planning System)
3. Sistem sumber daya (Resourcing System)
Sistem Operasi (The Operational System) dijelaskan saat dimulainya maskapai
mengoperasikan armadanya, tentunya pihak manajemen harus dapat memastikan
bahwa pesawat yang dipakai harus dalam kondisi laik terbang dan aman (Safe),
fungsi yang mendukung kegiatan ini adalah fungsi Perawatan atau Maintenance
dan Ground Operation. Setelah pesawat menjalani maintenance program, maka
fungsi berikutnya adalah Flight Operation yaitu pesawat diterbangkan sampai
tujuan.
31
Adapun sistem perencanaan strategi meliputi fungsi “corporate planning” dan
fungsi “information system”, sedangkan sistem sumber daya meliputi fungsi
keuangan, administrasi, dan personil. Fokus studi penelitain ini berada pada area
sistem operasi pada perawatan pesawat udara, sebagaimana digambarkan pada
gambar I.12
Gambar I.12 Lingkup Kajian Penelitian
1.8.1 Pemeliharaan Pesawat Terbang (Aircraft Maintenance)
Hutagaol (2013), setiap teknisi, hanggar, peralatan, dan penyediaan suku cadang
sudah tentu harus mendapat kualifikasi dari salah satu badan Internasional seperti
misalnya Federal Aviation Administration (FAA) dengan peraturan terkait yaitu
The Federal Aviation Regulations (FAR), atau Joint Aviation Authorities (JAA)
dengan The Joint Aviation Requirements (JAR). Sebagai contoh, untuk
mendapatkan kualifikasi FAA seorang teknisi badan pesawat yang dikhususkan
pada konstruksi badan pesawat (kecuali mesin, propeler, dan avionic) setelah
lulus dari pendidikan diharuskan memenuhi beberapa kriteria antara lain praktik
kerja selama 18 bulan di hanggar, dan apabila digabungkan dengan spesialisasi
pembangkit daya maka waktu praktiknya menjadi dua setengah bulan.
Seperti penerbang, para teknisi pesawat terbang selain mempunyai latar belakang
pendidikan teknis teori dan praktik kerja, seorang calon teknisi harus lulus ujian
32
yang diakui badan Internasional (ICAO, FAA, atau JAA) melalui badan regulator
negara setempat dalam bidangnya masing-masing, seperti teknik mesin,
elektronik, ataupun avionic agar memiliki sertifikasi kualifikasi sebelum terjun ke
dunia teknik pesawat terbang bidang pemeliharaan yang bertugas sebagai personel
pemeliharaan pesawat terbang.
Tidak setiap teknisi berwenang menyatakan sebuah pesawat telah memenuhi
syarat laik terbang dan mengizinkan sebuah pesawat terbang dioperasikan kecuali
telah mendapat pengakuan dan memiliki kualifikasi yang dimaksudkan di atas.
Dengan demikian setiap perawat terbang (sipil) yang dioperasikan di dalam negeri
ataupun internasional – baik pesawat baru maupun yang tua- tanpa kecuali, harus
selalu memiliki dan membawa Certificate of Airworthiness (C of A) atau sertifikat
kelaikan udara dari dinas kelaikan udara direktorat jenderal perhubungan udara.
Seandainya pemilik pesawat terbang berniat menjual pesawat terbang miliknya,
sudah tentu disamping kelengkapan dokumen dan jumlah jam terbang, pembeli
akan memeriksa riwayat perawatan pesawat tersebut sejak keluar keluar dari
pabrik hingga jenis pemeliharaan terjadwal yang terakhir dilaksanakan. Untuk
kesinambungan masa berlaku C of A tersebut, maka beberapa tahap dan jenis
pemeliharaan (pemeliharaan program) secara berkala harus dilaksanakan sesuai
dengan jadwal menuruti aturan-aturan yang ditentukan.
1.8.1.1 Pemeliharaan Terjadwal dan Tak terjadwal
Ada dua jenis perawatan (pemeliharaan) pesawat terbang yaitu pemeliharaan
terjadwal (scheduled) dan pemeliharaan tak terjadwal (non-scheduled).
Pemeliharaan terjadwal adalah beberapa perawatan yang dilakukan secara berkala
dan berurutan tanpa melihat apakah pesawat tersebut sedang mengalami
kerusakan atau tidak. Pemeriksaan dan pengecekan pada beberapa peralatan
didalam pesawat dilakukan sesuai daftar dan prosedur yang telah ditentukan oleh
pabrik pembuat pesawat dan disetujui oleh badan regulator, yaitu badan resmi
internasional. Setiap pemeliharaan terjadwal didasarkan atas jumlah jam terbang
pesawat terbang seperti pemeriksaan setiap 50 jam terbang, 100, 500, dan 1.000
jam. Apabila pesawat terbang jarang digunakan maka jadwal pemeliharaan
33
didasarkan atas jumlah hari, minggu, bulan, dan tahun. Pemeliharaan ini tidak
dapat ditawar atau diundur lebih dari perpanjangan waktu 5-10%.
Dalam dunia penerbangan jenis-jenis pemeliharaan (pemeriksaan) ini disebut
dengan kode-kode antara lain pemeriksaan harian, pemeriksaan-A (A-check),
pemeriksaan-B (B-check), pemeriksaan-C (C-check), dan pemeriksaan-D (D-
check). Dalam melaksanakan setiap jenis pemeriksaan ini para teknisi (badan
pesawat, pembangkit daya, avionik, dan lain-lain) mengerjakan tugasnya masing-
masing di bawah penyeliaan (supervisi) dari qualified quality controller agar tetap
mengikuti prosedur sesuai standar kelaikan terbang. Tidak ada bagian sekecil
apapun didalam pesawat termasuk tulangan penguat rangka dan kulit pesawat,
sayap, tiang-tiang roda, dan lantai yang luput dari pemeriksaan. Memotong,
mengganti, atau memperkuat konstruksi bagian-bagian yang berkarat pada lantai
kargo, atau pada bagian kulit yang menunjukkan tanda-tanda tegang dan kelelahan
logam dan lain-lain termasuk pekerjaan pemeriksaan atau perbaikan. Rusak
ataupun tidak, setiap bagian yang termasuk dalam daftar pemeliharaan terpaksa
harus diganti dengan yang baru. Hal ini sangat penting karena setiap bagian atau
peralatan di dalam pesawat selalu dibatasi oleh masa (lamanya) pengoperasian
atau penggunaannya (jumlah jam terbang). Barang yang diganti akan dikirim ke
bengkel khusus (bengkel perbaikan) untuk diperiksa kembali atau direparasi.
Dapat dibayangkan betapa besarnya biaya yang ditanggung oleh operator
(pemilik) untuk pemeliharaan pesawat sehingga pihak manajemen perusahaan
penerbangan merasa harus mengambil suatu tindakan demi efisiensi
pemeliharaan, di antaranya dengan menggunakan (mengoperasikan) hanya satu
atau dua jenis tipe pesawat terbang saja sehingga sering kita dengar bahwa armada
perusahaan penerbang A hanya menggunakan pesawat jenis Boeing saja atau
Airbus saja; kadang-kadang dengan beberapa system yang sama (yang disebut
kesekutuan).
Pemeliharaan tak terjadwalkan adalah perbaikan atau penggantian bagian (suku)
yang dilaksanakan diluar pemeliharaan berkala (pemeliharaan terjdawal).
Pemeliharaan ini harus dilakukan pada suatu kerusakan yang terjadi dan ditemui
34
oleh awak pada saat pesawat beroperasi (terbang) seperti salah satu ban yang
belum tiba masa penggantiannya namun ditemukan suatu syatan yang cukup
dalam pada ban tersebut, salah satu instrumen tidak berfungsi, mesin pesawat
terbang yang rusak, dan lain sebagainya.
Beberapa pemeliharaan tak terjadwal diperbolehkan untuk ditunda pelaksanannya
dengan catatan bahwa pesawat masih laik terbang dana man terbang kembali ke
pangkalan dari penerbangannya. Hal ini dapat terjadi apabila kerusakan yang
terjadi tidak mengganggu kinerja terbang dan bukan pula kerusakan pada
konstruksi pesawat. Jenis kerusakan kecil seperti ini telah ditentukan oleh pabrik
pesawat dan diperiksa oleh badan regulator pada sebuah buku di dalam pesawat
untuk panduan penerbang. Manual ini disebut daftar peralatan minimum
(minimum equipment list, MEL) atau disebut juga juklak defisiensi
pemberangkatan (dispatch deficiency guide, DDG).
Pada pesawat terbang masa kini dengan bantuan sebuah komputer di pesawat
yang khusus mencatat segala kerusakan peralatan (yang tidak terpantau) di dalam
pesawat, kerusakan dapat diketahui para teknisi dan perbaikan dilakukan dengan
segera tanpa melakukan perunutan gangguan yang berkepanjangan. Keterangan
yang tercatat di dalam komputer ini akan diunduh sebagai file ke dalam catatan
pemeliharaan pesawat untuk ditinjau kembali pada pemeliharaan terjadwal
berikutnya.
1.8.2 Buletin Service dan Modifikasi
Atas pertimbangan keselamatan penerbangan, badan regulator internasional sering
mengeluarkan buletin servis berupa instruksi kepada seluruh operator (perusahaan
penerbangan). Instruksi tersebut bisa berupa pemeriksaan tambahan,
perubahan/modifikasi pada seluruh pesawat penumpang yang dioperasikan atau
pada suatu tipe pesawat tertentu. Hal ini dapat dikategorikan sebagai pemeliharaan
tak terjadwal dan merupakan suatu beban yang sangat berat bagi operator
misalnya dengan maraknya pembajakan pesawat terbang, maka FAA dan JAA
mengharuskan semua pesawat terbang penumpang untuk memperkuat konstruksi
dan pengunci pintu kokpit untuk mencegah orang lain masuk tanpa izin sekalipun
35
dengan pendobraknya. Kemudian beberapa bandar udara internasional menolak
kedatangan semua jenis pesawat terbang yang mempunyai mesin dengan tingkat
kebisingan tinggi sehingga perlu dipasang sebuah alat tambahan sebagai peredam
kebisingan pada tiap-tiap mesin dari jenis tertentu. Pada umumnya pesawat-
pesawat dengan mesin jet generasi pertama akan mengalami modofikasi ini,
antara lain Fokker F28, BAC-111, DC-9, Boeing 707, 727 dan 737 seri 200 dan
sejenisnya.
Masih banyak peraturan baru yang dikeluarkan badan regulator yang berdampak
sangat berat terhadap perusahaan penerbangan untuk melaksanakan pemeliharaan
(modifikasi) yang membutuhkan biaya besar pada pesawat terbangnya terutama
pesawat yang telah berumur. Setuju atau tidak, harus dilaksanakan demi
keamanan.
1.8.3 Catatan Pemeliharaan (Maintenance Record)
Setiap pemeriksaan, perbaikan, ataupun penggantian sekecil apapun harus selalu
dicatat dengan cermat dalam dokumen pesawat dengan dibubuhi tanggal, nama,
tanda tangan, dan nomor lisensi (kualifikasi) penyelia yang mengerjakan.
Demikian pula data penerbangan terutama jam terbang peasawat selalu dicatat
oleh awak terbang di dalam buku catatan pemeliharaan lengkap dengan catatan
kerusakan yang dialami (kalau ada) secara jelas untuk keperluan pemeliharaan.
Seluruh catatan ini disimpan dalam arsip riwayat pesawat di pusat pemeliharaan
sehingga apabila terjadi pergantian pemilik, riwayat pesawat terbang bersangkutan
tidak akan hilang.
36
Gambar I.13 Diagram alur proses perawatan pesawat udara
I.9 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Metode studi kasus didasarkan
pada penelitian untuk menyelidiki bagaimana sebuah fenomena, teori berlaku
dalam praktik dan untuk menjelaskan atau mengeksplorasi kondisi dengan
mengarah pada skala hasil (Yin, 2002), sehingga studi kasus ini memberi ruang
dan peluang besar kepada peneliti untuk merekonstruksi berbagai obyek yang
diteliti.
Pemilihan metode studi kasus dalam penelitian ini berangkat dari kebutuhan akan
jawaban bagaimana iklim keselamatan dapat membangun kelaikan penerbangan,
kejadian yang diamati adalah dinamika perilaku teknisi di bidang perawatan
pesawat udara.
Kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar I.14
37
PerkembanganTransportasi Udara
Peningkatan KeselamatanPenerbangan di Indonesia
Faktor-faktor PenyebabKecelakaan Pesawat
Udara
Indonesia masih harusmempertahankan tingkat
keselamatan penerbangan
Kinerja LayananKeselamatan
Transportasi UdaraSaat ini
Kinerja layanan Udara yang Ideal :Acceptable level of safety :
Safety Performance Indicator Safety Performace Targets
Peranan SistemKeselamatan, Budaya
Keselamatan danKebijakan Keselamatan
Penerbangan
RisetPengembangan
Model
Selain Human Factor,Lingkungan dan Fasilitas
adalah :FaktorTeknis
Rate Accident saat ini
Perusahaan PerawatanPesawat Udara
KebutuhanPengembangan ModelIklim Keselamatan yang
lebih baik
Kelemahan Modelyang Terkait Model
Saat ini
Mengurangi Rate KecelakaanPesawat dengan meningkatkan
Kepatuhan pada Prosedur KelaikanPesawat
Gambar I.14 Kerangka Penelitian
Pemilihan lokasi perusahaan perawatan pesawat udara sebagai tempat pengamatan
dipertimbangkan sebagai unit yang penting dalam menjamin tersedianya
transportasi udara yang laik. Perusahaan perawatan pesawat yang digunakan
dalam penelitian ini adalah perusahaan yang memiliki macam-macam kapabilitas
jenis pesawat, sehingga teknisipun memiliki sertifikat beragam dan jenis
pekerjaan yang bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan dalam merawat setiap
jenis pesawat. Dengan interaksi yang demikian tinggi maka pemilihan penelitian
di lokasi perusahaan perawatan pesawat dirasakan akan mampu untuk mengamati
pengaruh perilaku yang terjadi pada kondisi tempat kerja. Kondisi tempat kerja
38
adalah faktor yang secara langsung mempengaruhi efisiensi orang di tempat kerja
penerbangan, karena minimnya kondisi tempat kerja yang optimal akan
menumbuhkan kegagalan aktif oleh personil operasional penerbangan.
Penjelasan ini terlihat dalam model Reason yang menunjukkan bagaimana kondisi
laten yang ada dalam sistem sebelum kecelakaan dan kondisi laten ini dapat
terwujud melalui faktor pemicu lokal. Kondisi laten memiliki semua potensi
untuk melanggar pertahanan sistem penerbangan. Pertahanan sistem penerbangan
dapat dikelompokkan di bawah tiga judul besar: teknologi, pelatihan, dan
peraturan. Pertahanan terlihat sebagai jaring pengamanan terakhir yang
mengandung kondisi laten, serta konsekuensi dari penyimpangan dalam kinerja
manusia. Deskripsi dalam studi kasus yang dikaji akan mengungkap pengetahuan
yang sebelumnya belum terungkap (tacit knowledge).
Analisis model Iklim keselamatan dikembangkan dengan mengkonfirmasi
variabel desain organisasi yang terdiri dari dari variabel struktur dan variabel
lingkungan terhadap iklim keselamatan, dan iklim keselamatan yang berpengaruh
terhadap hasil keselamatan kelaikan.
Dalam pengaruh iklim keselamatan terhadap hasil keselamatan kelaikan juga
dikaji variabel-variabel yang dianggap mampu mencerminkan kondisi perilaku
variabel unsafe act, variabel pengetahuan yang dianggap mampu menekan kondisi
tindakan tidak aman, serta perilaku pelaporan tindakan tidak aman yang
berpengaruh terhadap hasil keselamatan kelaikan.
Penentuan faktor-faktor atau dimensi yang menjadi referensi awal pada saat survei
pendahuluan mempertimbangkan penelitian-penelitian sebelumnya dan
karakteristik dari AMO yang ada di Indonesia.
Desain penelitian yang digunakan adalah analitik korelasi dengan pendekatan
cross sectional. Rancangan cross sectional merupakan rancangan penelitian yang
pengukuran atau pengamatannya dilakukan secara simultan pada satu saat atau
sekali waktu. Metode analitik korelasi pada penelitian ini dipakai untuk mengukur
39
hubungan antara aspek desain organisasi dengan hasil keselamatan baik Resiko
Keselamatan dan kelaikan pesawat udara.
Indikator-indikator yang menjadi representasi dari faktor-faktor menggunakan
pengukuran hubungan reflektif (measurement reflective theory). Selanjutnya
hubungan antar faktor-faktor adalah hubungan kausal, dimana hubungan-
hubungan indikator dengan faktornya maupun faktor-faktor dianalisis secara
simultan. Sehingga analisis dilakukan dengan pendekatan Structural Equation
Modeling (SEM).
1.9.1 Survey Pengumpulan Data
Lokasi Penelitian ini mulai dilakukan dengan survei awal dari objek yang dikaji
yaitu perusahaan pemeliharaan pesawat udara.
Pendekatan analisis yang digunakan adalah persepsi karyawan terhadap kondisi
aktual terhadap prosedur, aturan, keputusan, keselamatan yang dirasakan langsung
dari suatu kondisi kerja yang diberikan oleh perusahaan.
Berikut adalah penjelasan dalam langkah survey pengumpulan data.
1. Pengambilan data dilakukan dengan survei pada lima Perusahaan
AMO pemegang sertifikat Aircraft Maintenace Organiztion (AMO)
CASR 145 yang disahkan oleh Direktorat Kelaikan Udara dan
Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara RI yang memiliki kapabilitas Maintenance
Repair Overhaul, di Indonesia. Responden dalam penelitian ini
adalah personil perawatan pesawat udara yang memiliki sertifikat
Aircraft Maintenance Engineer Licence (AMEL). Data diambil
dengan pengisian kuesioner dan wawancara kepada responden
karyawan yang bekerja sebagai Teknisi atau Engineer.
2. Metode pengambilan data kuesioner yang digunakan adalah metode
purposive sampling. Purposive sampling adalah metode
pengambilan sampel yang dipilih dengan cermat sehingga relevan
dengan struktur penelitian.
40
3. Ukuran sampel minimal untuk aplikasi model-model persamaan
struktural sampai sekarang masih diperdebatkan para ahli (Kusnendi,
2008). Menurut Hoelter (1983), ukuran sampel minimal untuk
model-model persamaan struktur adalah 200. Ding, Velicer dan
Harlow (1995, dalam Hair, Anderson, Tatham&Black, 1998)
merekomendasikan ukuran sampel minimal antara 100 sampai 150.
Anderson dan Gebing (1988, dalam Holbert& Stephenson, 2002)
merekomendasikan ukuran sampel minimal sebesar 150. Bentler dan
Chou (1987, dalam Bachrudin dan Tobing 2002) menyarankan
ukuran sampel minimal sebesar 5 atau 10 observasi untuk setiap
parameter yang diestimasi, Ferdinand (2002) berdasarkan telaah
pustaka menyimpulkan ukuran sampel minimal sebesar 100 sampai
200 sampel untuk teknik maximum likelihood estimation. Apabila
tergantung pada jumlah parameter yang diestimasi, pedomannya
adalah 5 sampai 10 kali jumlah indikator. Menurut Hair et. al (2006)
ukuran sampel minimal berhubungan dengan kompleks tidaknya
model yang dianalisis. Kompleksitas ditunjukkan oleh jumlah
konstruk dan indikator yang terdapat dalam model. Semakin
kompleks model maka semakin besar ukuran sampel minimal yang
diperlukan. Praktisnya, jika dalam model yang dianalisis ada 5 (lima)
konstruk atau kurang dimana masing-masing konstruk diukur
minimal oleh 3 (tiga) indikator maka diperlukan ukuran sampel
minimal antara 100-300 observasi. Dan apabila dalam model
dianalisis ada 6 (enam) konstruk atau lebih dimana konstruk diukur
minimal oleh 2 (dua) indikator maka ukuran sampel minimal yang
dibutuhkan adalah 500 atau lebih observasi. Oleh karena itu
berdasarkan pendapat para ahli diatas, jumlah sampel minimum yang
diambil adalah 200 responden untuk dapat memberikan hasil
perhitungan estimasi yang lebih baik
41
I.9.2 Metode Analisa Model
Penelitian ini menggunakan teknik analisis Structural Equation Modeling (SEM).
Analisis data dilakukan untuk menguji analisis secara deskriptif dan analisis uji
hipotesis. Analisis deskriptif bertujuan untuk mengetahui karakteristik setiap
variabel pada sampel dan menentukan analisis pada analisis lanjut. Analisis uji
asumsi statistik perlu dilakukan dalam persamaan pengukuran dan persamaan
struktural agar proses estimasi dapat dilakukan dengan baik dan output yang
dihasilkan tidak bersifat bias.
Pada tahap analisis model prosedur yang dilakukan (Ghozali, 2008), adalah :
1. Konseptualisasi model.
Tahap ini berhubungan dengan pengembangan hipotesis
(berdasarkan teori-teori) sebagai dasar dalam menghubungkan
variabel laten dengan variabel laten lainnya dan juga dengan
indikator-indikatornya. Dengan kata lain, model yang dibentuk
adalah persepsi mengenai bagaimana variabel laten dihubungkan
berdasarkan teori dan bukti yang diperoleh dari disiplin ilmu.
Konseptualisasi model ini juga harus merefleksikan pengukuran
variabel laten melalui berbagai indikator yang dapat diukur.
2. Penyusunan diagram alur (path diagram construction).
Akan memudahkan dalam memvisualisasikan hipotesis yang telah
diajukan dalam konseptualisasi model di atas. Visualisasi model
akan mengurangi tingkat kesalahan dalam pembangunan suatu
model pada alat bantu analisis, seperti LISREL.
3. Spesifikasi Model. Menggambarkan sifat dan jumlah parameter yang
akan diestimasi. Analisis data tidak dapat dilakukan sampai tahap ini
selesai.
4. Identifikasi Model. Informasi yang diperoleh dari data diuji untuk
menentukan apakah cukup untuk untuk menestimasi parameter
dalam model. Disini harus dapat diperoleh nilai yang unik untuk
seluruh parameter dari data yang telah diperoleh. Jika hal ini tidak
42
dapat dilakukan maka modifikasi diidentifikasi sebelum melakukan
estimasi parameter.
5. Estimasi parameter. Tahap ini baru dapat dilakukan setelah model
struktural dapat diidentifikasi. Uji signifikansi dilakukan dengan
menentukan apakah parameter yang dihasilkan secara signifikan
berbeda dari nol.
6. Penilaian model fit. Suatu model dikatakan fit apabila kovarians
matriks suatu model (model-based covariance matrix) adalah sama
dengan kovarians matriks data (observed).
7. Setelah melakukan penilaian model fit, maka model penelitian diuji
untuk menentukan apakah modifikasi model diperlukan karena tidak
fitnya hasil yang diperoleh pada tahap keenam. Semua modifikasi
yang dilakukan, walaupun sangat sedikit, harus berdasarkan teori
yang mendukung. Dengan kata lain, modifikasi tidak seharusnya
dilakukan hanya untuk memperoleh model yang fit.
8. Tahap terakhir dari proses ini adalah validasi silang model, yaitu
menguji fit tidaknya model terhadap suatu data baru (atau validasi
sub-sampel yang diperoleh melalui prosedur pemecahan sampel).
Validasi silang ini penting apabila terdapat modifikasi yang
substansial yang dilakukan terhadap model asli yang dilakukan pada
langkah sebelumnya.
I.9.3 Keluaran Model
Output yang dihasilkan dari kegiatan penelitian disertasi ini, sesuai dengan
tujuannya adalah mengembangkan model iklim keselamatan pada transportasi
udara yang diwujudkan dalam bentuk antara lain :
1. Konsepsi struktur model perilaku iklim keselamatan transportasi yang
dipengaruhi oleh struktur organisasi dan lingkungan.
2. Model iklim keselamatan yang menghasilkan pengukuran variabel hasil
keselamatan karyawan dan hasil keselamatan kelaikan pesawat udara.
43
3. Pengambilan kebijakan yang mempertimbangkan pengaruh dari keberadaan
prosedur dan perilaku keselamatan teknisi pesawat udara.
I.10 Manfaat dan Kontribusi Penelitian
Manfaat dan kontribusi penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat penelitian doktoral ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pengembangan ilmu keselamatan transportasi khususnya pengelolaan
transportasi angkutan udara.
2. Sebagai masukan bagi pemerintah dalam pengambilan keputusan
dimasa yang akan datang juga dapat digunakan oleh berbagai praktisi
di transportasi udara sebagai alat bantu untuk mendukung perumusan
kebijakan kegiatan transportasi udara terkait dengan permasalahan
iklim keselamatan di Indonesia.
3. Sebagai kontribusi ilmiah dalam literature akademis mengenai model
interaksi iklim keselamatan sebagai referensi untuk penelitian
selanjutnya.
I.11 Sistematika Pembahasan
Pembahasan disertasi ini dibagi dalam 6 (enam) bab yakni :
Bab I Pendahuluan
Bab I memberikan gambaran awal dari penelitian yang akan
dilakukan, yang didalamnya menjelaskan latar belakang
permasalahan, tujuan dilakukannya penelitian, rumusan masalah,
batasan masalah, manfaat penelitian dan bagaimana metodologi
penelitian dan sistematika penulisan penelitian.
Bab II Tinjauan Pustaka
Bab II membahas referensi dan literatur terkait model-model
keselamatan individu dan organisasi tentang pemeliharaan dan
inspeksi penerbangan tugas, kesalahan manusia dalam perawatan
penerbangan, dan model kesalahan manusia.
44
Bab III Metodologi Penelitian
Bab III membahas tentang metodologi yang digunakan dalam
pelaksnaan riset menyangkut alur pendekatan, strategi hingga
metode atau teknik analisis yang digunakan.
Bab IV Karakteristik Deskriptif dan Iklim Keselamatan
Bab IV menjelaskan tentang karakteristik Deskriptif Responden
serta Iklim Keselamatan di lingkungan perawatan pesawat udara
yang menjadi objek penelitian.
Bab V Analisis
Bab V berisi menjelaskan tentang pengolahan data hasil penelitian
yang secara garis besar mencakup model iklim keselamatan yang
dikembangkan dengan menggunakan metode statistik yang sesuai
sehingga dapat dilakukan analisis dan pembahasan.
Bab VI Kesimpulan dam Rekomendasi
Bab VI berisi pembahasan kesimpulan, dan saran untuk penelitian
selanjutnya.
45
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Konsep Keselamatan Transportasi
Keselamatan transportasi adalah keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan
transportasi yang lancar sesuai dengan prosedur operasi dan persyaratan kelaikan
teknis terhadap sarana dan prasarana penerbangan beserta penunjangnya (ICAO,
2003).
Kecelakaan didefinisikan berbagai negara dengan cara yang berbeda. Perbedaan
definisi ini cenderung melahirkan penafsiran yang bebeda-beda pula di tiap-tiap
negara. Di Indonesia, definisi kecelakaan sangat penting, guna penyamaan
persepsi instansi terkait dalam penanganan keselamatan, terutama yang terkait
dengan jaminan atau santunan asuransi yang menyangkut ganti rugi uang.
Accident adalah kejadian yang merupakan hasil dari serangkaian kejadian yang
tidak direncanakan/ tidak diinginkan/ tak terkendalikan/ tak terduga yang dapat
menimbulkan segala bentuk kerugian baik materi maupun non materi baik yang
menimpa diri manusia, benda benda fisik berupa kekayaan atau aset, lingkungan
hidup, masyarakat luas (ICAO, 2003).
Incident adalah mirip dengan accident, namun bedanya adalah incident tidak
disertai dengan kerugian atau dengan kata lain, suatu kejadian yang tidak
diinginkan, bilamana pada saat itu sedikit saja ada perubahan maka dapat
mengakibatkan terjadinya accident. Yang termasuk kedalam kategori incident
adalah: nearmiss, dan kejadian-kejadian berbahaya (ICAO, 2003).
Safety adalah kondisi dimana kemungkinan kerusakan pada orang atau kerusakan
properti dikurangi, dan dipertahankan pada atau di bawah tingkat yang dapat
diterima melalui proses identifikasi bahaya dan manajemen risiko keselamatan
berkelanjutan (ICAO, 2003).
46
II.2 Konsep Transportasi Udara
Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu
bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara (PP No. 40
tahun 1995 tentang Angkutan Udara).
Kegiatan angkutan udara terdiri atas Angkutan Udara Niaga dan Angkutan Udara
Bukan Niaga. Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan
memungut bayaran. Kegiatan angkutan udara niaga terdiri dari:
a. Angkutan udara niaga berjadwal adalah angkutan udara niaga yang
dilaksanakan pada rute dan jadwal penerbangan yang tetap dan teratur,
dengan tarif tertentu dan dipublikasikan.
b. Angkutan udara niaga tidak berjadwal adalah angkutan udara niaga yang
dilaksanakan pada rute dan jadwal penerbangan yang tidak tetap dan tidak
teratur, dengan tarif sesuai kesepakatan antara penyedia dan pengguna jasa
dan tidak dipublikasikan.
Angkutan udara bukan niaga adalah angkutan udara tidak untuk umum, tanpa
memungut bayaran dan hanya digunakan untuk menunjang kegiatan pokoknya.
Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh: Instansi Pemerintah,
Badan Hukum Indonesia, Lembaga tertentu, Perorangan Warga Negara Indonesia.
Angkutan udara perintis adalah angkutan udara niaga yang melayani jaringan dan
rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan pedalaman atau
daerah yang sukar terhubungi oleh moda transportasi lain dan secara komersial
belum menguntungkan.
Tujuan dari transportasi udara ini adalah terwujudnya transportasi yang efektif
dan efisien dalam menunjang dan sekaligus menggerakkan dinamika
pembangunan; meningkatkan mobilitas manusia, barang dan jasa; membantu
terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis; serta mendukung
pengembangan wilayah dan lebih memantapkan perkembangan kehidupan
47
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam rangka perwujudan wawasan
nusantara dan peningkatan hubungan internasional.
II.3 Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Sektor Penerbangan
Keselamatan penerbangan merupakan tanggung jawab bersama semua pihak,
tidak hanya pemerintah sebagai regulator dan maskapai penerbangan sebagai
salah satu penyedia jasa layanan penerbangan. Secara prinsip, pemangku
kepentingan dalam dunia penerbangan dapat dijelaskan sebagai berikut (Suwito,
2009):
(a) Profesional penerbangan
Profesional penerbangan adalah orang-orang yang bekerja secara profesional
di sektor penerbangan, antara lain : penerbang (pilot), flight crew, cabin crew,
personil mekanik, dan personil pengatur lalu lintas.
(b) Pemilik pesawat
Pemilik pesawat adalah seseorang atau badan hukum yang sah secara hukum
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku memiliki pesawat udara, tidak
harus mengoperasikannya.
(c) Operator pesawat udara
Operator pesawat udara adalah badan hukum yang diizinkan untuk
mengoperasikan pesawat udara berdasarkan perundang-undangan yang
berlaku, yang terbagi ke dalam tiga kategori pemegang sertifikat Air
Operator Certificate (AOC), meliputi:
i. AOC (Air Operator Certificate) 121 adalah sertifikat yang diberikan
kepada perusahaan penerbangan penyelenggara jasa pengangkutan
penumpang dan kargo yang mengoperasikan pesawat berkapasitas di atas
30 tempat duduk, misalnya; PT. Garuda Indonesia, PT. Lion Mentari dan
sebagainya.
ii. AOC (Air Operator Certificate) 135 adalah sertifikat yang diberikan
kepada perusahaan penerbangan penyelenggara jasa pengangkutan
penumpang dan kargo yang mengoperasikan pesawat berkapasitas di atas
48
30 tempat duduk, misalnya; PT. ASI Pudjiastuti, PT. Airfast Indonesia,
PT. Aviastar Mandiri, dan sebagainya.
iii. AOC 91 mengatur ketentuan tentang operator pesawat pribadi
(d) Perusahaan penyelenggara jasa training/pelatihan penerbang (pilot) disahkan
dengan dikeluarkannya sertifikat Pilot School Certificate (PSC), mengacu
kepada peraturan Civil Aviation Safety Regulations (CASR) Part 141.
(e) Perusahaan penyelenggara jasa perawatan pesawat udara adalah perusahaan
yang telah memenuhi persyaratan untuk melakukan perawatan pesawat udara
sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang diizinkan mengacu kepada
sertifikat Aircraft Maintenance Organization (AMO) yang diberikan,
sebagaimana diatur dalam Civil Aviation Safety Regulations (CASR) 145.
(f) Regulator/Otoritas penerbangan
Otoritas penerbangan adalah lembaga nasional yang
mengatur penerbangan sipil di suatu negara. Otoritas tersebut mengatur
semua aktivitas penerbangan sipil yang mencakup; operator pesawat udara,
organisasi perawatan, bandar udara, pengelola lalu lintas penerbangan,
penerbitan lisensi (penerbang, mekanik, pramugari), pendaftaran pesawat
udara. Di setiap negara, bentuk dan penamaan lembaga otoritas penerbangan
berbeda-beda, misalnya; otoritas penerbangan sipil nasional Amerika Serikat
adalah Federal Aviation Administration (FAA), di Kanada merupakan bagian
dari Transport Canada (TC), di Australia dikenal sebagai Civil Aviation
Safety Authority (CASA), dan di Indonesia otoritas penerbangannya adalah
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, yang merupakan bagian dari
Kementerian Perhubungan.
(g) Pabrik pembuat pesawat (manufacturer)
Pabrik pembuat pesawat udara memiliki peran yang cukup besar dalam
keselamatan penerbangan, karena perusahaan-perusahaan pembuat pesawat
udara lah yang telah mampu memproduksi pesawat udara dengan teknologi
tinggi, yang terus dikembangkan, dalam skala massal. Pabrik pembuat
pesawat juga mengeluarkan panduan perawatan pesawat udara yang telah
diproduksi, melalui Maintenance Equipment List (MEL). Saat ini dikenal dua
49
raksasa pabrik pembuatan pesawat udara, yaitu; Boeng company dan Airbus
company. Perusahaan Boeing berkantor pusat di Amerika serikat, dengan
produk-produk pesawat yang dikenal diantaranya; Boeing 737, Boeing 747,
Boeing 757, Boeing 767, Boeing 777, dan lainnya. Sementara perusahaan
Airbus berkantor pusat di Perancis, dengan produk-produk pesawat yang
terkenal diantaranya; A300, A310, A320, A330, dan lainnya. Selain dua
raksasa pabrikan pesawat udara tersebut, terdapat beberapa perusahaan
produsen pesawat udara yang produksinya digunakan di Indonesia,
diantaranya; perusahaan ATR (Eropa), Embraer (Brazil), Xian Aircraft
Company (China), dan PTDI (Indonesia).
(h) Asosiasi industri penerbangan
Perusahaan-perusahaan penerbangan di Indonesia tegabung dalam sebuah
asosiasi yang bernama Indonesian National Air Carrier Association
(INACA), yang didirikan pada tanggal 15 Oktober 1970 sebagai wadah
pemersatu usaha agar dapat menjamin efektifitas dan peran sertanya di bidang
pembangunan penerbangan pada khususnya dan pembangunan
kedirgantaraan pada umumnya. Visi dari INACA adalah membangun
perusahaan penerbangan nasional Indonesia yang sehat, dinamis, efisien,
kompetitif, mengutamakan keselamatan, keamanan dan kenyamanan
penerbangan serta mampu menghadapi persaingan regional maupun global.
Misi INACA adalah menggalang persatuan dan kesatuan gerak perusahaan-
perusahaan angkutan udara, serta kegiatan-kegiatan penerbangan nasional di
Indonesia pada umumnya dan para Anggota INACA pada khususnya, agar
terbina menjadi kekuatan kedirgantaraan nasional yang memiliki daya guna
dan hasil guna yang sebesar-besarnya, sehingga dapat berkembang menjadi
sarana utama yang menunjang pembangunan nasional (INACA, 2012).
Sedangkan pada tingkat internasional, asosiasi perusahaan penerbangan
tergabung dalam International Air Transport Association (IATA). Asosiasi
ini didirikan di Havana, Kuba, tahun 1945. Tujuan pendirian IATA ini adalah
untuk membangun kerjasama antar perusahaan penerbangan dalam
mempromosikan keselamatan, kehandalan, keamanan, dan layanan yang
ekonomis, untuk kepentingan para konsumen di seluruh dunia. Pada saat
50
didirikan, IATA memiliki 57 anggota dari 31 negara (sebagian besar Eropa
dan Amerika Selatan) dan saat ini telah beranggotakan 240 anggota dari 126
negara.
(i) Penyelenggara Lalu Lintas Penerbangan (Air Traffic Control provider)
Secara umum, layanan lalu lintas penerbangan dapat diartikan sebagai
layanan informasi penerbangan, blayanan pengaturan lalu lintas (layanan
pengaturan area, layanan pengaturan approach, layanan pengaturan
aerodrome). Peraturan lengkap terkait dengan penyelenggara pelayanan lalu
lintas penerbangan dapat ditemukan di Keputusan Menteri Perhubungan
Nomor 49 tahun 2011 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil
Bagian 172 (CASR Part 172) tentang Penyelenggara Pelayanan Lalu Lintas
Penerbangan (Air Traffic Service Provider).
(j) Asosiasi profesional penerbangan
Di Indonesia terdapat beberapa asosiasi profesional penerbangan,
diantaranya; Indonesia Air Traffic Controller Association (IATCA), Federasi
Pilot Indonesia (FPI), dan Ikatan Teknisi Pesawat udara Indonesia (ITPI),
Indonesian Aviation Electronics and Electrical Technician Association
(IAEETTA), dan sebagainya. Asosiasi-asosiasi tersebut memiliki peran
penting dalam upaya peningkatan keselamatan penerbangan di Indonesia.
(k) Organisasi penerbangan internasional
Saat ini organisasi penerbangan internasional yang berada di bawah naungan
Perserikatan Bangsa-bangsa adalah International Civil Aviation Organization
(ICAO) yang didirikan pada tahun 1944. Pendirian ICAO bertujuan untuk
mempromosikan peningkatan keselamatan dan pengembangan industri
penerbangan di seluruh dunia. Organisasi ini menerapkan standard dan
peraturan yang diperlukan dalam peningkatan keselamatan penerbangan,
keamanan, efisiensi dan keteraturan, serta melindungi lingkungan
penerbangan sebaik mungkin. Saat ini, ICAO beranggotakan 191 negara di
dunia.
(l) Badan investigasi kecelakaan
51
Badan investigasi kecelakaan adalah badan yang bertanggungjawab
melakukan investigasi terhadap apabila terjadi kecelakaan pesawat udara. Di
Indonesia, pada tahun 1999 melalui Keppres No. 105 tahun 1999, dibentuklah
satu komite yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden Republik
Indonesia dengan nama Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Tugas komite yang dibuat tersebut, tidak hanya untuk bidang penerbangan
tetapi mencakup seluruh moda transportasi yang ada.
(m) Masyarakat
Masyarakat sebagai pengguna jasa angkutan penerbangan, harus senantiasa
berperan aktif dalam upaya meningkatkan keselamatan penerbangan di
Indonesia. Meskipun kasus kecelakaan pesawat udara akibat perilaku
penumpang tidak sebanyak faktor yang lain, bagaimana pun peran aktif
masyarakat dalam peningkatan keselamatan sangat lah penting. Peran tersebut
tidak hanya pada saat masyarakat berposisi sebagai penumpang pesawat
udara, tetapi masukan-masukan yang sifatnya membangun kepada pihak-
pihak yang bersentuhan langsung dengan pengoperasian pesawat udara akan
menjadi pengontrol dan penyeimbang yang baik bagi para penyelenggara jasa
penerbangan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya keselamatan
penerbangan, dalam konteks nasional, merupakan modal besar untuk
membangun budaya nasional (national culture) dalam dunia penerbangan
kedepan.
II.4 Evolusi Pemikiran Konsep Keselamatan
Menghilangkan kecelakaan pesawat udara dan / atau insiden serius tetap
merupakan tujuan akhir, diakui bahwa sistem penerbangan tidak dapat
sepenuhnya bebas dari bahaya dan risiko terkait. Kegiatan manusia atau sistem
buatan manusia tidak dapat dijamin sepenuhnya bebas dari kesalahan operasional
dan konsekuensinya. Oleh karena itu, keselamatan merupakan karakteristik
dinamis dari sistem penerbangan, dimana risiko keselamatan harus terus
dikurangi. Penting untuk dicatat bahwa penerimaan kinerja keselamatan sering
dipengaruhi oleh norma dan budaya domestik dan internasional. Selama risiko
52
keamanan dijaga di bawah tingkat kontrol yang tepat, sistem yang terbuka dan
dinamis sebagai penerbangan masih dapat dikelola untuk menjaga keseimbangan
yang tepat antara produksi dan perlindungan.
Sejarah kemajuan dalam keamanan penerbangan dapat dibagi menjadi tiga era.
a) Era teknis - dari awal 1900-an hingga akhir 1960-an. Penerbangan muncul
sebagai bentuk transportasi massal dimana kekurangan keselamatan yang
teridentifikasi awalnya terkait dengan faktor teknis dan kegagalan teknologi.
Oleh karena itu fokus dari upaya keselamatan ditempatkan pada penyelidikan
dan peningkatan faktor teknis. Pada 1950-an, perbaikan teknologi
menyebabkan penurunan frekuensi kecelakaan secara bertahap, dan proses
keselamatan diperluas untuk mencakup kepatuhan dan pengawasan regulasi.
b) Era faktor manusia - dari awal 1970-an hingga pertengahan 1990-an. Pada awal
1970-an, frekuensi kecelakaan penerbangan berkurang secara signifikan karena
kemajuan teknologi utama dan peningkatan pada peraturan keselamatan.
Penerbangan menjadi moda transportasi yang lebih aman, dan fokus upaya
keselamatan diperluas untuk memasukkan masalah faktor manusia termasuk
antar manusia / mesin. Ini menyebabkan pencarian informasi keselamatan
diluar apa yang dihasilkan oleh proses investigasi kecelakaan sebelumnya.
Meskipun investasi sumber daya dalam mitigasi kesalahan, kinerja manusia
terus disebut sebagai faktor berulang dalam kecelakaan. Penerapan ilmu faktor
manusia cenderung berfokus pada individu, tanpa sepenuhnya
mempertimbangkan konteks operasional dan organisasi. Hal itu tidak
berlangsung sampai awal 1990 dan pertama kali diakui bahwa individu
beroperasi dalam lingkungan yang kompleks, yang mencakup beberapa faktor
yang memiliki potensi untuk mempengaruhi perilaku.
c) Era organisasi - dari pertengahan 1990-an hingga sekarang. Selama era
organisasi keselamatan mulai dilihat dari perspektif sistemik, yang mencakup
faktor-faktor organisasi di samping faktor manusia dan teknis. Akibatnya,
gagasan tentang "kecelakaan organisasi" diperkenalkan, mempertimbangkan
dampak budaya organisasi dan kebijakan pada efektivitas pengendalian risiko
53
keselamatan. Selain itu, upaya pengumpulan dan analisis data tradisional, yang
terbatas pada penggunaan data yang dikumpulkan melalui investigasi
kecelakaan dan insiden serius, dilengkapi dengan pendekatan proaktif baru
untuk keselamatan. Pendekatan baru ini didasarkan pada pengumpulan dan
analisis data secara rutin menggunakan proaktif serta metodologi reaktif untuk
memantau risiko keamanan yang diketahui dan mendeteksi masalah keamanan
yang muncul. Peningkatan ini merumuskan alasan untuk bergerak menuju
pendekatan manajemen keselamatan.
Evolusi pemikiran keselamatan penerbangan dari tahun ke tahun diilustrasikan di
bawah ini.
Gambar II.1 Evolusi pemikiran keselamatanSumber : ICAO (2007)
Dengan sudut pandang terhadap keselamatan yang saat ini berkembang, maka
peranan organisasi dalam meningkatkan keselamatan menjadi sangat penting.
Organisasi menjadi pihak yang berhubungan langsung dengan pencapaian
keselamatan, sehingga memahami budaya keselamatan pada tingkat organisasi
menjadi hal yang penting untuk dilakukan.
Beberapa model analisis faktor penyebab kecelakaan pesawat udara telah
dikembangkan. James Reason (1994) membuat model faktor-faktor penyebab
kecelakaan yang dikenal juga dengan sebutan Reason Model dan dinamakan juga
Swiss Cheese Model. Model ―Swiss-Cheese‖, yang dikembangkan oleh Profesor
54
James Reason, mengilustrasikan bahwa kecelakaan melibatkan pelanggaran
beruntun terhadap pertahanan sistem ganda. Pelanggaran ini dapat dipicu oleh
sejumlah faktor yang memungkinkan seperti kegagalan peralatan atau kesalahan
operasional. Karena Model Swiss-Cheese berpendapat bahwa sistem yang
kompleks seperti penerbangan sangat baik dipertahankan oleh lapisan pertahanan,
kegagalan satu titik jarang bersifat konsekuensial dalam sistem tersebut.
Pelanggaran dalam pertahanan keselamatan dapat merupakan konsekuensi
tertunda dari keputusan yang dibuat pada tingkat tertinggi sistem, yang mungkin
tetap tidak aktif sampai efek atau potensi perusakannya diaktifkan oleh keadaan
operasional tertentu. Dalam keadaan khusus seperti itu, kegagalan manusia atau
kegagalan aktif di tingkat operasional bertindak untuk melanggar pertahanan
keselamatan yang melekat pada sistem. Model Reason menyatakan bahwa semua
kecelakaan termasuk kombinasi dari kedua kondisi aktif dan laten.
Kegagalan aktif adalah tindakan atau tidak adanya tindakan, termasuk kesalahan
dan pelanggaran, yang memiliki efek merugikan langsung. Mereka umumnya
dilihat, dengan manfaat dari belakang, sebagai tindakan yang tidak aman.
Kegagalan aktif umumnya terkait dengan personel garis depan (pilot, pengendali
lalu lintas udara, insinyur mekanik pesawat udara, dll.) dan dapat mengakibatkan
hasil yang berbahaya.
Kondisi laten adalah kondisi yang ada dalam sistem penerbangan jauh sebelum
hasil yang merusak dialami. Konsekuensi dari kondisi laten mungkin tetap tidak
aktif untuk waktu yang lama. Awalnya, kondisi laten ini tidak dianggap
berbahaya, tetapi akan menjadi nyata setelah pertahanan sistem telah dilanggar.
Kondisi ini umumnya dibuat oleh orang-orang yang jauh dari waktu dan ruang
dari acara tersebut. Kondisi laten dalam sistem mungkin termasuk yang diciptakan
oleh kurangnya budaya keselamatan; peralatan atau desain prosedural yang buruk;
tujuan organisasi yang saling bertentangan; sistem organisasi atau keputusan
manajemen yang rusak. Perspektif yang mendasari kecelakaan organisasi
bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengurangi kondisi laten ini pada basis
sistem-luas, daripada melalui upaya lokal untuk meminimalkan kegagalan aktif
oleh individu.
55
Model Swiss-Cheese membantu dalam memahami interaksi faktor organisasi dan
manajerial dalam penyebab kecelakaan. Ini menggambarkan bahwa berbagai
pertahanan dibangun ke dalam sistem penerbangan untuk melindungi terhadap
fluktuasi dalam kinerja atau keputusan manusia di semua tingkat sistem.
Sementara pertahanan ini bertindak untuk melindungi risiko keselamatan,
pelanggaran yang menembus semua penghalang pertahanan berpotensi
mengakibatkan situasi bencana. Selain itu, Model Reason menunjukkan
bagaimana kondisi laten yang pernah ada dalam sistem sebelum kecelakaan dan
dapat terwujud melalui faktor pemicu lokal.
Model yang dikembangkan oleh Reason tersebut ditampilkan pada gambar II.2 di
bawah ini.
Gambar II.2 Model Analisis Kecelakaan James ReasonSumber : Reason (1995)
Model Groeneweg (1992) dikembangkan Reason untuk Teori Tripod dengan
filosofi aspek pengendalian kesalahan manusia dalam lingkungan pekerjaan. Ia
mendefinisikan sebelas kemungkinan penyebab kesalahan, yang disebut Faktor
Risiko Dasar (BRFs), yaitu Desain, Hardware, Pemeliharaan, Housekeeping,
Kondisi error, Prosedur, Pelatihan, Komunikasi, Tujuan tidak kompatibel,
Organisasi, dan Pertahanan. Teori Kecelakaan Normal, dikembangkan oleh
Perrow (1984), dilihat sebagai kecelakaan tak terelakkan dalam sistem sosio -
teknis yang kompleks. Menurut Weick dan Sutcliffe (2001) dan Roberts dan Bea
(2001), kecelakaan serius dapat dicegah dengan proses pengelolaan yang baik
pada organisasi.
56
Sangat penting untuk memahami bahwa ketika sistem dekat dengan batas
keselamatan, maka setiap tindakan individu yang mungkin dianggap sebagai
situasi normal bisa menjadi kritis dan menjadi akar penyebab kecelakaan itu.
Bahkan jika akar penyebab ini spesifik dapat dihindari dengan kegiatan keamanan
tambahan, mungkin kejadiannya akan muncul oleh penyebab lain. Oleh karena
itu, metode baru manajemen risiko harus fokus pada mekanisme perilaku dalam
konteks kerja yang dinamis yang menghasilkan pencegahan sistem mendekati
batas keamanan (Rasmussen, 1997).
Gagasan kecelakaan organisasi yang mendasari Reason's Model dapat dipahami
dengan baik melalui pendekatan building-block, yang terdiri dari lima blok
(Gambar II.3). Blok atas mewakili proses organisasi. Ini adalah kegiatan di mana
setiap organisasi memiliki kontrol langsung yang wajar. Contoh-contoh umum
termasuk pembuatan kebijakan, perencanaan, komunikasi, alokasi sumber daya,
dan pengawasan. Tidak diragukan lagi, dua proses organisasi mendasar sejauh
menyangkut keamanan adalah alokasi sumber daya dan komunikasi. Kelemahan
atau kekurangan dalam proses organisasi ini adalah tempat berkembang biak bagi
jalur ganda menuju kegagalan.
Organizational processes
Monitor
Identify
Latent conditions
Inadequate defences Reinforce
Accident
Improve
Workplace conditions
Active failuresContain
Gambar II.3 Kecelakaan OrganisasiSumber : ICAO SMM 9859, 2013
57
Satu jalur adalah jalur kondisi laten. Contoh kondisi laten mungkin termasuk
kekurangan dalam desain peralatan, prosedur operasi standar yang tidak lengkap /
salah dan defisiensi pelatihan. Secara umum, kondisi laten dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok besar. Satu cluster adalah identifikasi bahaya yang tidak
memadai dan manajemen risiko keselamatan, di mana risiko keamanan akibat-
akibat bahaya tidak dapat dikendalikan, tetapi bebas berkeliaran di dalam sistem
untuk akhirnya menjadi aktif melalui pemicu operasional.
Kelompok kedua dikenal sebagai normalisasi penyimpangan, sebuah gagasan
yang, sederhananya, adalah indikasi konteks operasional di mana pengecualian
menjadi aturan. Alokasi sumber daya dalam hal ini cacat hingga ekstrim. Sebagai
akibat dari kurangnya sumber daya, satu-satunya cara bahwa personel operasional
yang bertanggung jawab langsung atas kinerja sebenarnya dari kegiatan produksi
dapat berhasil mencapai kegiatan ini adalah dengan mengadopsi cara pintas yang
melibatkan pelanggaran konstan terhadap aturan dan prosedur.
Kondisi laten memiliki semua potensi untuk melanggar pertahanan sistem
penerbangan. Biasanya, pertahanan dalam penerbangan dapat dikelompokkan di
bawah tiga judul besar: teknologi, pelatihan, dan peraturan. Pertahanan biasanya
merupakan jaring pengaman terakhir yang mengandung kondisi laten, serta
konsekuensi dari penyimpangan dalam kinerja manusia. Sebagian besar, jika tidak
semua, strategi mitigasi terhadap risiko keamanan akibat konsekuensi bahaya
didasarkan pada penguatan pertahanan yang ada atau pengembangan yang baru.
Jalur lain yang berasal dari proses organisasi adalah jalur kondisi tempat kerja.
Kondisi tempat kerja adalah faktor yang secara langsung mempengaruhi efisiensi
orang di tempat kerja penerbangan. Kondisi tempat kerja sebagian besar bersifat
intuitif karena semua orang yang memiliki pengalaman operasional telah
mengalaminya dalam derajat yang berbeda-beda, dan mencakup stabilitas,
kualifikasi dan pengalaman tenaga kerja, moral, kredibilitas manajemen, dan
faktor ergonomi tradisional seperti pencahayaan, pemanasan dan pendinginan.
58
Kurangnya kondisi tempat kerja yang optimal menumbuhkan kegagalan aktif oleh
personil operasional. Kegagalan aktif dapat dianggap sebagai kesalahan atau
pelanggaran. Perbedaan antara kesalahan dan pelanggaran adalah komponen
motivasi. Seseorang yang berusaha melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan
suatu tugas, mengikuti aturan dan prosedur sesuai dengan pelatihan yang diterima,
tetapi gagal memenuhi tujuan dari tugas yang ada, melakukan kesalahan.
Seseorang yang, ketika menyelesaikan tugas, dengan sukarela menyimpang dari
aturan, prosedur, atau pelatihan, menerima pelanggaran. Dengan demikian,
perbedaan mendasar antara kesalahan dan pelanggaran adalah niat.
Dari perspektif kecelakaan organisasi, upaya keselamatan harus memantau proses
organisasi untuk mengidentifikasi kondisi laten dan dengan demikian memperkuat
pertahanan. Upaya keselamatan juga harus meningkatkan kondisi tempat kerja
untuk menahan kegagalan aktif karena merupakan kombinasi dari semua faktor
yang menghasilkan kerusakan keselamatan.
Sistem penerbangan termasuk didalamnya adalah industri penyedia produk dan
layanan penerbangan dan otoritas negara. Ini adalah sistem yang kompleks yang
memerlukan pemahaman penilaian kontribusi manusia terhadap keselamatan dan
tentang bagaimana kinerja manusia dapat dipengaruhi oleh beberapa komponen
yang saling terkait.
Model SHELL adalah alat konseptual yang digunakan untuk menganalisis
interaksi berbagai komponen sistem. Gambar II.6 memberikan gambaran dasar
tentang hubungan antara manusia dan komponen tempat kerja lainnya. Model
SHELL berisi empat komponen berikut:
a) Perangkat Lunak (S): prosedur, pelatihan, dukungan, dan lainnya;
b) Hardware (H): mesin dan peralatan;
c) Lingkungan (E): lingkungan kerja dimana sisa sistem L-H-S harus berfungsi;
d) Liveware (L): manusia di tempat kerja.
59
Gambar II.4 Model SHELL
Sumber : Hawkins, 1975
Liveware. Model SHELL menjadikan manusia di garis depan operasi. Meskipun
manusia sangat mampu beradaptasi, mereka tunduk pada variasi kinerja yang
cukup besar. Manusia tidak terstandardisasi ke tingkat yang sama dengan
perangkat keras, jadi tepi blok ini tidak sederhana dan lurus. Manusia tidak
memiliki antarmuka yang sempurna dengan berbagai komponen dunia tempat
mereka bekerja. Untuk menghindari ketegangan yang dapat membahayakan
kinerja manusia, efek ketidakteraturan pada antarmuka antara berbagai blok
SHELL dan blok Liveware pusat harus dipahami. Komponen lain dari sistem
harus secara hati-hati disesuaikan dengan manusia jika tekanan pada sistem harus
dihindari. Model SHELL berguna dalam memvisualisasikan antarmuka berikut
antara berbagai komponen sistem penerbangan:
a) Liveware-Hardware (L-H). Antarmuka L-H mengacu pada hubungan antara
manusia dan atribut fisik peralatan, mesin dan fasilitas. Antarmuka antara manusia
dan teknologi umumnya dipertimbangkan dengan mengacu pada kinerja manusia
dalam konteks operasi penerbangan, dan ada kecenderungan manusia alami
adaptasi dengan ketidaksesuaian L-H. Meskipun demikian, kecenderungan ini
memiliki potensi untuk menutupi kekurangan yang serius, yang dapat menjadi
jelas hanya setelah kejadian.
b) Perangkat Lunak Liveware (L-S). Antarmuka L-S adalah hubungan antara
manusia dan sistem pendukung yang ditemukan di tempat kerja, misalnya
60
peraturan, manual, daftar periksa, publikasi, prosedur operasi standar (SOP) dan
perangkat lunak komputer. Ini mencakup isu-isu seperti kemutakhiran
pengalaman, akurasi, format dan presentasi, kosakata, kejelasan dan simbologi.
c) Liveware-Liveware (L-L). Antarmuka L-L adalah hubungan antara orang-orang
di lingkungan kerja. Karena awak pesawat, pengendali lalu lintas udara, insinyur
pemeliharaan pesawat dan fungsi personil operasional lainnya dalam kelompok,
penting untuk mengenali bahwa komunikasi dan keterampilan interpersonal, serta
dinamika kelompok, berperan dalam menentukan kinerja manusia. Munculnya
manajemen sumber daya kru (CRM) dan perluasannya ke layanan lalu lintas udara
(ATS) dan operasi pemeliharaan telah menciptakan fokus pada manajemen
kesalahan operasional di berbagai domain penerbangan. Hubungan staf /
manajemen serta budaya organisasi secara keseluruhan juga dalam ruang lingkup
antarmuka ini.
d) Liveware-Environment (L-E). Antarmuka ini melibatkan hubungan antara
manusia dan lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal tempat kerja
termasuk pertimbangan fisik seperti suhu, cahaya ambient, kebisingan, getaran
dan kualitas udara. Lingkungan eksternal meliputi aspek operasional seperti faktor
cuaca, infrastruktur penerbangan, dan medan. Antarmuka ini juga melibatkan
hubungan antara lingkungan internal manusia dan lingkungan eksternalnya.
Kekuatan psikologis dan fisiologis, termasuk penyakit, kelelahan, ketidakpastian
keuangan, dan hubungan dan kekhawatiran karir, dapat disebabkan oleh interaksi
L-E atau berasal dari sumber sekunder eksternal. Lingkungan kerja penerbangan
termasuk gangguan terhadap ritme biologis normal dan pola tidur. Aspek
lingkungan tambahan mungkin terkait dengan atribut organisasi yang dapat
mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan menciptakan tekanan untuk
mengembangkan ―perjanjian kerja atau penyimpangan kecil dari prosedur
operasi standar.
Menurut Model SHELL, ketidakcocokan antara Liveware dan empat komponen
lainnya berkontribusi pada kesalahan manusia. Dengan demikian, interaksi ini
harus dinilai dan dipertimbangkan di semua sektor sistem penerbangan.
61
Organisasi penerbangan sangat bervariasi dalam hal ukuran dan kompleksitas
secara keseluruhan. Setiap organisasi memiliki sistem manajemen berlapis yang
terdiri dari beberapa subsistem. Organisasi harus mengintegrasikan sistem
manajemen organisasi yang dirancang untuk mencapai sasaran organisasi tertentu,
yaitu menyediakan produk dan layanan kepada pelanggan. Suatu sistem
manajemen organisasi yang holistik sering disebut sebagai sistem manajemen
terpadu atau hanya sistem manajemen organisasi.
Sistem manajemen yang khas dalam suatu organisasi penerbangan dapat meliputi:
a) sistem manajemen mutu (SMM);
b) sistem manajemen keselamatan (SMS);
c) sistem manajemen keamanan (SeMS);
d) sistem manajemen lingkungan (EMS);
e) sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja (OHSMS);
f) sistem manajemen keuangan (FMS); dan
g) sistem manajemen dokumentasi (DMS).
Setiap organisasi akan mengintegrasikan sistem ini berdasarkan persyaratan
produksi yang khas. Proses manajemen risiko adalah fitur penting dari SMS,
QMS, EMS, FMS, OSHSMS, dan SeMS. Jika SMS dioperasikan dalam isolasi
sistem manajemen lainnya, mungkin ada kecenderungan untuk fokus hanya pada
risiko keselamatan tanpa memahami sifat kualitas, keamanan atau ancaman
lingkungan kepada organisasi.
Penelitian awal yang mengidentifikasi dan menentukan faktor-faktor organisasi
yang mempengaruhi keselamatan dilakukan oleh Jacobs dan Haber 1994.
Penelitian mereka mengidentifikasi dua puluh faktor organisasi yang berhubungan
dengan keselamatan PLTN. Dua puluh faktor dipisahkan menjadi lima kategori
yang menjadi ciri fungsi organisasi. Klasifikasi Jacobs & Haber (1994) dijelaskan
seperti pada tabel II.1.
62
Tabel II.1 Faktor Organisasi klasifikasi Jacobs & Haber (1994)
Categories Definitions of Organizational Factors
CU
LT
UR
E
1. Organizational Culture: Mengacu pada persepsi bersama antar personil organisasi pabrik. Termasuk tradisi, nilai-nilai, kebiasaan,
praktek, tujuan dan proses sosialisasi yang bertahan dari waktu ke waktu dan yang membedakan suatu organisasi dari organisasi yang
lain. Ini mendefinisikan kepribadian organisasi.
2. Ownership: mengacu pada sejauh mana personil pabrik mengambil tanggung jawab dan konsekuensi pribadi atas tindakan mereka.
Termasuk komitmen dan kebanggaan dalam organisasi.
3. Safety Culture: mengacu pada karakteristik lingkungan kerja, seperti norma, aturan, dan pemahaman umum, pengaruh persepsi
personel industri pentingnya organisasi keselamatan. Termasuk sejauh mana, mempertanyakan sikap kritis yang diarahkan pada
perbaikan industri.
4. Time Urgency: mengacu sejauh mana personil pabrik memandang tekanan jadwal dalam menyelesaikan berbagai tugas.
CO
MM
UN
ICA
TIO
N 5. Communication-External: mengacu pada pertukaran informasi, baik formal maupun informal, antara industri, organisasi induknya,
dan organisasi eksternal (misalnya, negara dan masyarakat).
6. Communication-Interdepartemental: mengacu pada pertukaran informasi, baik formal maupun informal, antara departemen yang
berbeda atau unit di dalam pabrik. Ini mencakup baik top-down dan jaringan komunikasi bottom-up.
7. Communication-Intradepartemental: mengacu pada pertukaran informasi, baik formal maupun informal, dalam suatu departemen
tertentu atau unit di pabrik. Ini mencakup baik top-down dan jaringan komunikasi bottom-up.
63
Sambungan Tabel II.1 Faktor Organisasi klasifikasi Jacobs & Haber (1994)
Categories Definitions of Organizational Factors
DE
CIS
ION
-MA
KIN
G
8. Centralization: mengacu pada sejauh mana pengambilan keputusan dan / atau kewenangan terlokalisir di satu daerah atau di antara
orang-orang atau kelompok tertentu.
9. Goal Prioritization: mengacu pada sejauh mana personil pabrik memahami, menerima dan setuju dengan tujuan serta relevansi
tujuan.
10. Organizational Learning: mengacu pada sejauh mana penggunaan pengetahuan organisasi personil pabrik diperoleh dari
pengalaman masa lalu untuk meningkatkan kinerja di masa mendatang.
11. Resource Allocation: mengacu pada cara dimana industri mendistribusikan sumber daya keuangan. Ini mencakup baik distribusi
aktual sumber daya serta persepsi individu pada distribusi ini.
12. Problem identification: mengacu pada sejauh mana organisasi mendorong personil pabrik untuk memanfaatkan pengetahuan,
pengalaman, dan informasi saat ini untuk masalah identitas.
AD
MIN
IST
RA
TIV
E
-KN
OW
LE
DG
E
13. Coordination of Work: mengacu pada perencanaan, integrasi, pelaksanaan kegiatan kerja individu dan kelompok.
14. Formalization: mengacu pada sejauh mana aturan diidentifikasi, prosedur, dan / atau metode standar untuk kegiatan rutin serta
kejadian yang tidak biasa.
15. Organizational Knowledge: mengacu pada pemahaman personil pabrik mengenai cara interaksi subsistem organisasi dan dimana
pekerjaan sebenarnya dilakukan di dalam pabrik.
16. Roles/Responsibilities: mengacu pada sejauh mana personil pabrik memiliki kejelasan kegiatan kerja departemen dan dilaksanakan.
64
Sambungan Tabel II.1 Faktor Organisasi klasifikasi Jacobs & Haber (1994)
Categories Definitions of Organizational Factors
HU
MA
N R
ESO
UR
CE
AD
MIN
IST
RA
TR
ION
17. Performance Evaluation: mengacu pada sejauh mana personil pabrik dilengkapi dengan penilaian wajar mengenai perilaku yang
terkait dengan pekerjaan mereka. Ini termasuk umpan balik biasa dengan penekanan pada peningkatan kinerja masa depan.
18. Personnel Selection: mengacu pada sejauh mana personil pabrik mengidentifikasi dengan pengetahuan yang diperlukan, pengalaman-
pengalaman, keterampilan dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan tertentu.
19. Technical Knowledge: mengacu pada kedalaman dan luasnya pemahaman tentang fenomena dan peristiwa yang menanggung
keselamatan industri yang diperlukan personil pabrik mengenai desain industri dan sistem.
20. Training: mengacu pada sejauh mana personil pabrik dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk
melakukan tugas dengan aman dan efektif. Hal ini juga mengacu pada persepsi personil pabrik mengenai kegunaan umum dari
program pelatihan.
65
II.5 Literatur Berkaitan dengan Variabel Studi
Variabel penelitian dikelompokkan menjadi empat kelompok sebagai berikut:
variabel Desain Organisasi, Iklim keselamatan, pengetahuan keselamatan dan
dimensi kinerja keselamatan, dan dimensi hasil keselamatan.
II.5.1 Desain Organisasi
Kerangka kerja teoretikal untuk keefektifan organisasional ditinjau dan model
yang dikembangkan Ostroff et al. (2003) yang memandang pertama, terdapat
hubungan teoretikal antara budaya organisasional, struktur/latihan organisasional,
dan iklim organisasional, dengan pembedaan spesifik antara budaya dan iklim.
Kedua, merupakan kerangka kerja multi-level, dimana kerangka kerja performansi
organisasi multi-level mencakup perspektif mikro dan makro karena memiliki
model kausal keselamatan cross-level yang memiliki pengaruh dari level
organisasi sebagai keseluruhan, ke grup, ke individual, dan kemudian dari level
individual kembali lagi ke keluaran keselamatan level organisasi, sebagai
kerangka kerja risiko keselamatan kerja organisasional. Diterimanya model
keefektifan organisasi ini sebagai dasar model kausal keselamatan organisasi
karena budaya keselamatan adalah sub-aspek budaya organisasi yang telah
didefinisikan sebagai nilai keselamatan umum dalam organisasi. Sama halnya
dengan iklim keselamatan adalah sub-aspek iklim organisasi dan diungkapkan
sebagai persepsi bersama pekerja bagi latihan keselamatan organisasi (Zohar &
Luria, 2005, Griffin & Neal, 2000).
Robbins (2008) mendefinisikan struktur organisasi sebagai penentuan bagaimana
pekerjaan dibagi, dibagi, dan dikelompokkan secara formal. Sedangkan organisasi
merupakan unit sosial yang dikoordinasikan secara sadar, terdiri dari dua orang
atau lebih, dan berfungsi dalam suatu dasar yang relatif terus-menerus guna
mencapai serangkaian tujuan bersama.
Dalam konteks desain organisasi, Ivancevich (2008) mendefinisikannya sebagai
proses penentuan keputusan untuk memilih alternatif kerangka kerja jabatan,
proyek pekerjaan, dan departemen. Dengan demikian, keputusan atau tindakan-
tindakan yang dipilih ini akan menghasilkan sebuah struktur organisasi.
66
Struktur organisasi membawa konsekwensi berubahnya perilaku dan nilai
karakteristik orang-orang yang berada dalam struktur organisasi tersebut. Struktur
organisasi adalah pengontrol perilaku.
Perubahan terhadap struktur organisasi Daft (2012) menggambarkan dua jenis
fitur interaksi organisasi yaitu dimensi struktural dan faktor kontingensi. Dimensi
struktural dimaksudkan sebagai upaya mengubah perilaku. Dimensi struktural
menggambarkan karakteristik internal sebuah organisasi. Mereka membuat dasar
untuk mengukur dan membandingkan organisasi. Faktor kontingensi meliputi
lebih besar elemen yang mempengaruhi dimensi struktural, termasuk ukuran
organisasi, teknologi, lingkungan, budaya, dan tujuan. Faktor kontingensi
menggambarkan organisasi yang mengatur mempengaruhi dan membentuk
dimensi struktural. Faktor kontingensi bisa membingungkan karena mewakili baik
organisasi maupun lingkungan. Faktor-faktor ini bisa dibayangkan sebagai satu
set elemen yang tumpang tindih itu membentuk struktur organisasi dan proses
kerja, seperti yang digambarkan dalam Gambar II.5. Untuk memahami dan
mengevaluasi organisasi, maka harus memeriksa keduanya secara struktural
dimensi dan faktor kontingensi. Fitur desain organisasi ini berinteraksi satu sama
lain dan bisa disesuaikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Gambar II.5 Struktur organisasiSumber: Diadopsi dari Daft, (2012)
67
Dimensi Struktural Daft (2012) meliputi :
1. Formalisasi berkaitan dengan jumlah dokumentasi tertulis dalam organisasi.
Dokumentasi meliputi prosedur, uraian tugas, peraturan, dan
manual kebijakan dokumen-dokumen tertulis ini menggambarkan perilaku dan
aktivitas.
2. Spesialisasi adalah sejauh mana tugas-tugas organisasi terbagi menjadi
pekerjaan terpisah. Jika spesialisasi sangat luas, setiap karyawan hanya
melakukan pekerjaan yang sempit berbagai tugas. Jika spesialisasi rendah,
karyawan melakukan berbagai macam tugas dalam pekerjaan mereka.
Spesialisasi kadang disebut sebagai pembagian tenaga kerja.
3. Hirarki kewenangan menggambarkan siapa yang melapor kepada siapa dan
rentang kendali untuk setiap manajer. Hirarki ini terkait dengan rentang control
(jumlah karyawan yang dilaporkan ke supervisor). Saat rentang kendali sempit,
hirarki cenderung tinggi. Bila rentang kendali lebar, maka hirarki kewenangan
akan lebih pendek.
4. Sentralisasi / Desentralisasi mengacu pada tingkat hirarkis yang memiliki
wewenang untuk membuat keputusan. Saat pengambilan keputusan disimpan
di tingkat atas, organisasi terpusat. Ketika keputusan didelegasikan ke tingkat
organisasi yang lebih rendah, itu terdesentralisasi
Dimensi Faktor Kontingensi meliputi :
1. Ukuran dapat diukur untuk organisasi secara keseluruhan atau untuk komponen
tertentu, seperti jumlah divisi, jumlah karyawan.
2. Teknologi organisasi mengacu pada alat, teknik, dan tindakan yang digunakan
mengubah input menjadi output Ini menyangkut bagaimana sebenarnya
organisasi tersebut menghasilkan produk dan layanan yang disediakan untuk
pelanggan dan mencakup hal tersebut hal-hal sebagai manufaktur fleksibel,
sistem informasi canggih, dan Internet.
3. Lingkungan mencakup semua elemen di luar batas organisasi.
Elemen kunci meliputi industri, pemerintah, pelanggan, pemasok,
dan komunitas keuangan.
4. Tujuan dan strategi organisasi menentukan tujuan dan teknik persaingan
yang membedakannya dari organisasi lain. Tujuan sering dituliskan
68
sebagai pernyataan abadi dari maksud perusahaan. Strategi adalah rencana
tindakan itu menjelaskan alokasi sumber daya dan kegiatan untuk menangani
lingkungan dan untuk mencapai tujuan organisasi. Tujuan dan strategi
menentukan ruang lingkup operasi dan hubungan dengan karyawan, pelanggan,
dan pesaing.
5. Budaya organisasi adalah kumpulan nilai kunci, kepercayaan, pemahaman, dan
norma yang dimiliki oleh karyawan. Nilai dan norma yang mendasari ini
mungkin berkaitan dengan perilaku etis, komitmen terhadap karyawan,
efisiensi, atau pelanggan layanan, dan mereka menyediakan lem untuk
menampung anggota organisasi. Sebuah Budaya organisasi tidak tertulis tapi
dapat diamati dalam cerita, slogan, upacara, pakaian, dan tata letak kantor.
Faktor kontingensi tertentu akan mempengaruhi tingkat yang sesuai spesialisasi,
formalisasi, dan sebagainya bagi organisasi. Misalnya besar ukuran organisasi,
teknologi rutin, dan lingkungan yang stabil semua cenderung tercipta sebuah
organisasi yang memiliki formalisasi, spesialisasi, dan sentralisasi yang lebih
besar.
Fayol (1949) berargumentasi bahwa spesialisasi pekerjaan hanya dapat tercipta
melalui pembagian kerja (diferensiasi horisontal) yang jelas. Diferensiasi sebagai
pembagian kerja dapat dilihat secara horisontal dan secara vertikal. Ostroff (1999)
menganalogikan struktur organisasi horisontal mengingat rentang kendali setiap
posisi yang lebih lebar dibandingkan dengan struktur organisasi mekanistik,
sejalan dengan terdesentrasinya kewenangan sehingga struktur tampak mendatar
(flat).
Diferensiasi horisontal mengindikasikan pembagian kerja yang jelas antara posisi-
posisi yang sejajar, namun demikian harus perlu suatu integrasi yangbaik dan
solid untuk mempercepat gerak langkah organisasi. struktur organisasi horisontal
ini mempunyai beberapa tugas yang menjadi tanggungjawab bersama,
kewenangan terdistribusi pada posisi di level bawah (terdesentralisasi) Hal ini
membawa konsekwensi mekanisme integrasi yang lebih rumit karena melalui
komite atau kelompok kerja. Pembentukan komite ataukelompok pengintegrasi ini
69
sebagai upaya mempercepat langkah organisasi. Diferensiasi vertikal
menggambarkan posisi-posisi yang berkedudukan tidak sejajar. Dalam
diferensiasi vertikal ini lebih tepat disebut pembagian wewenang. Banyak pakar
yang organisasi yang mengidentifikasikan struktur organisasi mekanistik sebagai
struktur organisasi vertikal mengingat rentang kendali yang sempit sebagai akibat
tidak ada desentralisasi kewenangan sehingga struktur terlihat meninggi. Dalam
struktur organisasi mekanistik, pekerjaan terdiferensi dengan baik, kewenangan
terpusat pada posisi di tingkat atas (tidak terdesentralisasi), hal ini menjadikan
mekanisme integrasinya secara hirarkis.
Fahlbriuch et al, (2000) menyatakan kinerja adalah kolektif karakteristik
organisasi yang muncul dari interaksi unsur-unsurnya. Beberapa studi multi-level
seperti Zohar & Luria (2005) dan Simard & Marchand (1995, 1997) telah
menunjukkan bahwa perilaku keselamatan individu sangat dipengaruhi oleh
supervisor langsung mereka, dengan organisasi yang menyediakan efek tambahan.
Zohar & Luria (2005) membahas bahwa beberapa bahaya dalam organisasi
(diselidiki oleh rekayasa keselamatan) hanya terkait dengan tindakan manajemen
puncak prosedural (yang mendukung hubungan langsung antara praktek-praktek
organisasi dan proses, perilaku keselamatan pekerja juga yang dipengaruhi oleh
prosedural (yang mendukung hubungan langsung antara praktek-praktek
organisasi dan individu manusia) dan situasi pengawasan.
Pada tingkat organisasi, budaya keselamatan membentuk keputusan manajerial
tentang praktik keselamatan organisasi dan fitur struktural. Budaya lebih stabil
dan terkait dengan ideologi karyawan, asumsi, dan nilai-nilai. Iklim adalah
persepsi "apa yang terjadi" dalam organisasi dan dapat digambarkan sebagai
atribut sementara sebuah organisasi. Budaya mendefinisikan "mengapa hal ini
terjadi" (Ostroff et al. 2003). Budaya organisasi dipengaruhi oleh jenis industri
dan lingkungan bisnis, sosial budaya nasional, dan visi organisasi, tujuan dan
strategi. Ada hubungan timbal balik antara tingkat individu dan membangun
tingkat organisasi/unit. Konstruksi tingkat individu menciptakan membangun
satuan/tingkat organisasi, dan individu tingkat konstruksi dipengaruhi oleh ada
tingkat organisasi membangun. Misalnya, iklim psikologis individu dipengaruhi
70
oleh organisasi unit iklim. Faktor lingkungan fisik (misalnya kondisi cuaca
ekstrim) juga mempengaruhi keselamatan sistem melalui bahaya hardware serta
individu yang mengoperasikan sistem. Peraturan memiliki dua efek yang berbeda
pada keselamatan: pertama, melalui kebijakan dan aturan tentang praktek-praktek
organisasi, dan kedua melalui audit eksternal dari praktek-praktek organisasi dan
elemen unit proses (seperti prosedur pemeliharaan dan sumber daya).
II.5.2 Menentukan dimensi iklim keselamatan
II.5.2.1 Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi
Budaya dan iklim organisasi masing-masing tentang pemahaman psikologis
fenomena dalam organisasi terlepas dari kenyataan bahwa mereka telah belajar di
berbagai disiplin ilmu (Ostroff et al., 2003). Schneider, Ehrhart, dan Macey
(2013) telah mengamati bahwa organisasi iklim dan budaya organisasi merupakan
dua konstruksi alternatif untuk mengkonseptualisasikan deskripsi dan pengalaman
orang-orang di tempat kerja mereka.
Konstruksi iklim organisasi mendahului konstruk budaya organisasi. Yang
pertama diperkenalkan pada tahun 1960an dan didominasi penelitian awal tentang
organisasi manusia lingkungan dan kemudian, yang terakhir menjadi isu populer
untuk studi selama tahun 1980an (Ostroff et al., 2003; Schneider et al., 2013).
Budaya dan iklim keduanya digunakan dalam organisasi untuk diidentifikasi
lingkungan yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Reichers dan Schneider
(1990) percaya itu baik iklim dan budaya adalah konsep penting bagi organisasi
karena dalam kombinasi keduanya mengidentifikasi dan memprediksi secara
prospektif perilaku manusia. Ostroff dkk. (2003, p 579) berpendapat bahwa,
proses sosial dan simbolis berhubungan dengan kemunculan organisasi budaya
dan iklim mempengaruhi perilaku individu dan kelompok, termasuk omset,
kepuasan kerja, kinerja kerja, keamanan, dan kualitas pelayanan.
Konstruk iklim difokuskan untuk mengukur persepsi individu tentang mereka
praktik dan prosedur organisasi, bukan keyakinan, nilai, atau norma yang dimiliki
bersama kelompok orang (Schneider, 1975; Trice & Beyer, 1993). Biasanya,
71
iklim organisasi menggambarkan aspek-aspek keadaan organisasi saat ini dan oleh
karena itu dianggap sebagai konsep yang lebih sempit daripada budaya organisasi
(Glendon & Stanton, 2000) atau mengacu pada lingkungan psikologis di mana
perilaku individu terjadi (Trice & Beyer, 1993). Iklim juga dibagi persepsi tentang
kebijakan, praktik, dan prosedur organisasi (Reichers & Schneider, 1990). Di sisi
lain, budaya organisasi mencakup makna bersama, asumsi, dan mendasar nilai
(Schein, 2004). Schein (2004) juga mendefinisikan budaya organisasi sebagai cara
untuk memahami dan berpikir, dan belajar menanggapi masalah kelompok.
Schneider (1990) telah menyimpulkan iklim itu harus dipelajari sebagai
konstruksi yang mencakup fokus strategis tujuan organisasi Fokus strategis ini
perlu dijadikan sasaran penilaian iklim bagi pengelolaan.
Setelah meninjau artikel di tiga jurnal empiris teratas di industri / organisasi
psikologi dari tahun 2000 sampai 2012, Schneider dkk. (2013) menyimpulkan
bahwa fokus pada literatur penelitian psikologi industri / organisasi telah bergeser
ke arah organisasi iklim bukan budaya organisasi.
Penelitian budaya organisasi menggunakan pendekatan kualitatif yang dilakukan
observasi peserta dan melalui wawancara. Dalam ulasan mereka tentang isi
organisasi budaya, Ostroff dan rekan (2003) telah merangkum bahwa kebanyakan
peneliti menggunakan keduanya survei kuantitatif untuk mengevaluasi nilai dan
keyakinan yang dianut atau melakukan analisis kualitatif mengevaluasi lapisan
budaya organisasi yang lebih dalam. Selanjutnya, mereka menyimpulkan bahwa
peneliti harus menggunakan beberapa metode untuk menilai budaya organisasi.
Meningkatnya penggunaan kualitatif metode dalam studi iklim organisasi dapat
menghasilkan deskripsi yang lebih kaya dan lebih bermanfaat dari organisasi
(Reichers & Schneider 1990).
Gambar II.6 merupakan model heuristik untuk menyediakan kerangka konseptual
budaya dan iklim. Ini menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat
mempengaruhi struktur dan praktik organisasi yang pada gilirannya memberikan
konteks untuk persepsi iklim. Selain itu, iklim psikologis bisa dipengaruhi oleh
nilai individu dan proses kognitif sosial. Karena itu, organisasi iklim
72
kemungkinan akan muncul saat persepsi iklim ini dibagi di seluruh organisasi
para karyawan.
OrganizationalCulture Artifacts
Industry andbusiness
environment
Background andDemographiccharacteristics
OrganizationalStructure
Organizationalclimate
CollectiveAttitude and
Behavior
OrganizationalSafety
outcomes
Individual values and socialcognitive processes
Phychologicalclimate
Attitudes andBehavior Performance
Emergent
Aligment between culture,structure, practices climate
Gambar II.6 Model multi level budaya organisasi dan iklimSumber: Ostroff et al, (2003)
Jones dan James (1979) menjelaskan persepsi individu dan agregat tentang
pekerjaan tersebut lingkungan bagi peneliti. Persepsi individu adalah iklim
psikologis di mana peneliti harus mengembangkan langkah-langkah untuk
menangani elemen tugas dan peran serta sosial dan karakteristik interpersonal. Di
sisi lain, untuk menggabungkan persepsi semacam itu, peneliti harus menarik
kesimpulan tentang organisasi. Tidak hanya berkomitmen terhadap hal di atas,
namun peneliti juga perlu mengembangkan penilaian empiris untuk kedua
persepsi tersebut untuk menentukan apakah faktor individu dan situasional
menggambarkan kondisi lingkungan kerja.
Dalam tinjauan ekstensif mereka dari penelitian sebelumnya, Jones dan James
(1979) telah menetapkannya faktor pengukuran untuk iklim psikologis dan
mereka adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik pekerjaan seperti tantangan, tekanan kerja, ambiguitas peran,
dan peran konflik.
73
2. Karakteristik kelompok kerja dan lingkungan sosial seperti kerja sama,
keramahan, dan kebanggaan.
3. Karakteristik organisasi dengan ikatan yang relatif langsung dengan
pengalaman individu seperti kesadaran manajemen akan kebutuhan dan
keadilan karyawan atas pahala proses.
4. Perilaku kepemimpinan (pengawasan) seperti dukungan, penekanan
tujuan, dan kepercayaan.
Schneider (1975) memperkenalkan konsep dampak persepsi iklim terhadap
perilaku sebagai informasi lingkungan yang dibutuhkan individu sehingga mereka
mengetahui perilaku dibutuhkan oleh organisasi Perilaku ini akan membantu
mereka menjaga keseimbangan homeostatik dengan lingkungan mereka.
Berdasarkan tinjauan iklim organisasi, Schneider (1975) memiliki diuraikan
bagaimana membangun iklim dikonseptualisasikan oleh peneliti yang berbeda
sebagai:
1. Variabel dependen: pemahaman penyebab persepsi iklim.
2. Variabel bebas: penyebab sikap atau perilaku.
3. Memediasi variabel: antara perilaku organisasi dan perilaku individu.
Iklim manajerial seperti yang dijelaskan oleh McGregor (1960) adalah tentang
Teori X dan Y. Untuk misalnya, memberi tahu orang apa yang harus dilakukan
dengan sukses dan memberikan imbalan dan hukuman mereka adalah taktik
kontrol terhadap prosedur yang ditekankan oleh Teori X. Di sisi lain, Teori Y
adalah tentang sifat hubungan dengan lingkungan sekitar yang mendorong
komitmen untuk tujuan organisasi. Misalnya, jika karyawan malas, tidak mau
ambil tanggung jawab, intransigent, dan tidak kooperatif, Teori Y menyiratkan
bahwa penyebabnya terletak pada metode pengendalian manajemen.
II.5.2.2 Budaya Keselamatan
Keyakinan dan nilai kesehatan dan keselamatan dalam budaya organisasi muncul
budaya keselamatan subset (Clarke, 1999). Dalam pengembangan studi budaya
keselamatan positif, Clarke (1999) menunjukkan bahwa perbedaan persepsi
keselamatan yang berbeda antara manajer, supervisor, dan karyawan secara
74
negatif akan mempengaruhi komunikasi manajemen-staf, kepercayaan pada
manajemen dan komitmen terhadap keselamatan. Budaya keselamatan
mempengaruhi perilaku karyawan dalam memahami apa diharapkan dari mereka
seperti norma mengenai perilaku yang dapat diterima (Clarke, 1996).
Budaya keselamatan beroperasi pada tingkat yang berbeda dan melalui berbagai
mekanisme. Bisa jadi terlihat pada tingkat perilaku, psikologis, dan sosial seperti
itu, dan melalui mekanisme seperti nilai, sikap, kepercayaan, dan perilaku
normatif. Misalnya dampak keselamatan sistem manajemen (SMS) pada hasil
keselamatan dalam organisasi perawatan pesawat terbang cenderung dimediasi
oleh budaya keselamatan (McDonald, Corrigan, Daly, & Cromie, 2000).
II.5.2.3 Iklim Keselamatan
Tampaknya akan meningkatkan konsensus tentang sifat konsep iklim keselamatan
(Tabel 1), meskipun peneliti belum memberikan satu deskripsi definitif (Wills,
Watson, & Biggs, 2006). Namun, definisi iklim keselamatan secara umum
diterima sebagai cuplikan dari persepsi keselamatan kerja (Flin, Mearns,
O'Connor, & Bryden, 2000).
Studi Zohar (1980) telah menjadi asal usul studi iklim keselamatan. Zohar (1980)
membuat kuesioner 40 item untuk mengukur iklim keselamatan di organisasi
industri. Ini iklim keselamatan telah berfungsi sebagai alat yang berguna untuk
memahami pengaruh persepsi karyawan terhadap keselamatan kerja pada perilaku
pekerjaan mereka. Kemudian, iklim keselamatan telah diteliti industri yang
berbeda seperti kimia (Bosak, Coetsee, & Cullinane, 2013), mobil (Clarke, 2006),
pemeliharaan penerbangan (Fogarty & Shaw, 2010), dan gandum (Seo, 2005).
75
Tabel II.2 Ringkasan Definisi Iklim Keselamatan
(BASI 1996)Civil aviation, Australia
The procedures and rules governing safety within anorganization are a reflection of its safety climate,which is centered around employees perceptions ofthe importance of safety and how it is maintainedwithin the workplace.
(Cheyne, Cox, Oliver, andThomas 1998) Manufacturing,UK and France
Safety climate can be viewed as a temporal statemeasure of culture, which is reflected in the sharedperceptions of the organization at a discrete point intime.
(Dedobbeleer and Beland 1991)Construction, US
Safety climate is viewed as an individual attribute,which is composed of two factors: management’scommitment to safety and workers’ involvement insafety.
(Flin, Mearns, Gordon, andFleming 1998)Offshore oil and gas, UK
Safety Climate refers to the perceived state of safetyof a particular place at a particular time. It is,therefore, relatively unstable and subject to changedepending on features of the operating environment.
(Flin, Mearns, O'Connor, andBryden 2000)Review of various industries, onlyone aviation related study
Safety climate is the surface features of the safetyculture discerned from the workforce's attitudes andperceptions at a given point in time.
(Griffin and Neal 2000)Manufacturing and Mining,Australia
Safety climate should be conceptualized as a higher-order factor comprised of more specific first-orderfactors. First-order factors of safety climate shouldreflect perceptions of safety-related policies,procedures, and rewards. The higher order factor ofsafety climate should reflect the extent to whichemployees believe that safety is valued within theorganization.
(Hofmann and Stezer 1996)Utilities, US)
Safety climate is operationalized as perceptionsregarding management's commitment to safety andworker involvement in safety-related activities.
(Mearns, Whitaker, Flin, Gordon,and O’Connor 2000)Offshore oil, UK
Safety climate is defined as a “snapshot” ofemployees’ perceptions of the current environment orprevailing conditions which impact upon safety.
(Minerals Council of Australia1999)Minerals, Australia
Safety climate refers to the more intangible issues inthe company, such as perceptions of safety systems,job factors, and individual factors.
(Yule, Flin, and Murdy 2001)Conventional power, UK
Safety climate is defined as the product of employeeperception and attitudes about the current state ofsafety initiatives at their place of work.
(Zohar 1980)Manufacturing, including metal,food, chemical, and textile, Israel
Safety climate is a particular type of organizationalclimate, which reflects employees’ perceptions aboutthe relative importance of safe conduct in theiroccupational behavior. It can vary from highlypositive to a neutral level, and its average levelreflects the safety climate in agiven company.
(Zohar 2000)Manufacturing, Israel
Group level safety climate refers to sharedperceptions among group members with regard tosupervisory practices.
Sumber : Wiegmann (2002)
76
Iklim keselamatan telah digunakan sebagai anteseden kinerja keselamatan,
kecelakaan, dan luka di tempat kerja dalam banyak penelitian. Penelitian telah
mendukung peran iklim keselamatan sebagai indikator kinerja keselamatan
alternatif (Guldenmund, 2000; Neal, Griffin, & Hart, 2000) dan prediktor perilaku
kerja yang tidak aman (Seo, 2005). Neal dkk. (2000) mengemukakan bahwa iklim
yang spesifik untuk keamanan lebih kuat terkait dengan kinerja keselamatan
daripada iklim organisasi. Varonen dan Mattila (2000) telah melaporkan bahwa
iklim keselamatan berkorelasi dengan tingkat kecelakaan seperti Lebih baik itu,
semakin rendah tingkat kecelakaan bagi organisasi. Selain itu, peneliti
menggunakan studi empiris dan lintas tingkat yang telah menunjukkan hubungan
antara iklim dan pekerjaan keselamatan kepuasan (Johnson & McIntye, 1998),
dan iklim keselamatan dan kelelahan emosional dalam hal gejala stres dan
kelelahan (Feldt, Kinnunen, & Mauno, 2000).
Iklim keselamatan psikologis telah digunakan untuk membantu menjelaskan
keamanan pekerja perilaku (Bosak et al., 2013; Larsson, Pousette, & Törner,
2008; Morrow et al., 2010). Iklim tingkat organisasi dan tingkat kelompok sejajar
secara global, dan keamanan subunit (kelompok) iklim memediasi pengaruh iklim
keselamatan organisasi terhadap perilaku keselamatan karyawan (Zohar & Luria,
2005). Namun, Baba dan rekan-rekannya (Baba, Tourigny, Wang, & Liu, 2009)
memiliki menunjukkan bahwa iklim keselamatan yang dirasakan dan kinerja
individu tidak berkorelasi secara signifikan. Mereka menyebutkan bahwa dampak
iklim keselamatan terhadap kinerja individu dimoderatori oleh karakteristik
pribadi dan faktor psikologis.
Pengukuran iklim keselamatan telah dilakukan oleh banyak ahli. Pengukuran
iklim keselamatan kerja pertama kali dikembangkan oleh Zohar pada tahun 1980.
Model pengukuran iklim keselamatan yang dikembangkan oleh Zohar
ditampilkan pada gambar II.7
77
Gambar II..7 Model iklim keselamatan kerja ZoharSumber : Zohar, 1980
Zohar melakukan penelitian iklim keselamatan terhadap 20 industri konstruksi di
Israel dengan menggunakan 8 dimensi iklim keselamatan kerja, meliputi :
pentingnya program pelatihan keselamatan, sikap manajemen terhadap
keselamatan, pengaruh perilaku keselamatan terhadap promosi, tingkat risiko
bahaya di tempat kerja, pengaruh kecepatan kerja yang dibutuhkan pada
keselamatan, status staf safety, dan pengaruh perilaku yang aman pada status
sosial. Delapan dimensi iklim keselamatan kerja tersebut dijabarkan kedalam 40
pertanyaan kuisioner yang disebar ke 400 responden. Hasil yang sangat menarik
dari penelitian Zohar tersebut adalah didapatkannya fenomena bahwa skor
pengukuran iklim keselamatan sesuai dengan ranking keselamatan dari inspektor.
Sejak penelitian Zohar itulah, banyak peneliti yang mengembangkan pengukuran
iklim keselamatan kerja. Menurut Flin, pada sektor manufaktur saja, sampai tahun
2000 telah dikembangkan lebih dari 20 model (Flin et.al, 2000) dengan lebih dari
50 variabel yang dikembangkan (Guldenmund, 2000) dalam pengukuran iklim
keselamatan. Dalam publikasi ilmiahnya pada tahun 2009 yang berjudul “Tiga
puluh tahun penelitian iklim keselamatan; refleksi dan arahnya kedepan”,
Zohar menyampaikan bahwa sebagian besar penelitian tentang iklim keselamatan
(safety climate) lebih berkonsentrasi pada metodologi dibandingkan kajian tentang
teori atau konsep iklim keselamatan itu sendiri. Menurut Zohar, berdasarkan
penelitian panjang yang telah dilakukan oleh para ilmuwan, terdapat beberapa
cara untuk mengurangi ambiguitas konsep iklim keselamatan, yaitu :
78
i. dalil bahwa persepsi tentang iklim keselamatan berhubungan dengan
atribut-atribut yang terdapat pada tingkat sistem organisasi
ii. analisis iklim keselamatan berhubungan erat dengan analisis pada tingkat
organisasi (misalnya komitmen dan kebijakan manajemen senior
dibandingkan dengan pengawasannya), sehingga pengukuran iklim
seharusnya dilakukan berdasarkan tingkatan dalam organisasi, misalnya
antar departemen
iii. terbukti bahwa pekerja mengembangkan persepsi iklim yang spesifik pada
tingkatannya (level-specific), misalnya pernyataan : supervisor saya lebih
fokus terhadap keselamatan dibandingkan manajemen senior.
Pengembangan pengukuran iklim keselamatan dengan pendekatan level
specific perlu terus dikembangkan untuk mendapatkan sensitivitas
pengukuran dan kevalidan konsep.
Penelitian mendalam tentang konsepsi iklim keselamatan, kedepan perlu terus
dikembangkan. Cooper (2000) juga menyampaikan perlunya penelitian yang lebih
mendalam terkait keterhubungan timbal balik antara faktor psikologi internal
dengan faktor observasi eksternal dalam pengukuran iklim keselamatan (safety
climate).
Nordic Occupational Safety Climate Questionnaire (NOSACQ-50) adalah sebuah
alat ukur untuk mendiagnosa iklim keselamatan kerja dan dapat juga digunakan
untuk mengevaluasi tingkat perkembangan iklim keselamatan kerja berdasarkan
intervensi-intervensi kebijakan yang dilakukan. Iklim keselamatan didefinisikan
sebagai distribusi persepsi dalam suatu group tentang keselamatan yang
berhubungan dengan kebijakan, prosedur, dan praktek yang diterapkan.
Singkatnya, iklim keselamatan merupakan refleksi persepsi pekerja terhadap nilai
keselamatan yang sebenarnya dalam suatu organisasi. NOSACQ-50
dikembangkan oleh Tim Nordic berdasarkan kepada teori organisasi, teori iklim
keselamatan, teori psikologi, penelitian empiris yang sudah dilakukan
sebelumnya, dan hasil empiris yang diperoleh melalui studi internasional dan
proses pengembangan yang berkesinambungan (Tim Nordic, 2012). Dimensi-
dimensi iklim keselamatan dapat dilihat pada tabel II.3.
79
Tabel II.3 Dimensi-dimensi iklim keselamatan NOSACQ-50
Dimensi Iklim Keselamatan KerjaNOSACQ-50 dalam Bahasa Inggris
Dimensi Iklim Keselamatan Kerjadalam Bahasa Indonesia
Management safety commitment andability
Komitmen dan kemampuan manajemenkeselamatan kerja
Management safety empowerment Pemberdayaan manajemen keselamatankerja
Management safety justice Keadilan manajemen keselamatan kerjaEmployees' commitment to safety Komitmen pekerja terhadap keselamatan
kerjaEmployees’ safety priority and absence ofrisk acceptance
Prioritas keselamatan pekerja dan tidakditoleransinya risiko bahaya
Learning, communication and trust Pembelajaran, komunikasi, dankepercayaan
Trust in efficacy of safety systems Kepercayaan terhadap keefektifan sistemkeselamatan kerja
Berdasarkan dimensi-dimensi iklim keselamatan yang telah dikembangkan dalam
NOSACQ-50 dan model-model pembanding diatas, masing-masing dimensi
dalam NOSACQ-50 dapat dijelaskan pada bagian ini.
Dimensi satu : Komitmen dan kemampuan manajemen keselamatan kerja
Keterlibatan top management dalam keselamatan dan prioritas keselamatan
merupakan dua tema yang diidentifikasi oleh Zohar (1980) dalam tinjauan
literatur untuk menentukan skala pertama dalam iklim keselamatan. Komitmen
manajemen merupakan faktor utama dalam iklim keselamatan (Guldenmund,
2000). Sementara Wiegmann et al. (2004) menyatakan bahwa iklim keselamatan
kerja yang postif ditandai dengan komitmen organisasi, yaitu keselamatan kerja
sebagai nilai inti yang membangun organisasi tersebut yang ditunjukan dengan
perilaku keselamatan dalam bekerja oleh para top management-nya. Cox dan
Cheyne (2000) berpandangan bahwa komitmen manajemen, tinakan manajemen
yang berorientasi kepada keselamatan, dan lingkungan kerja merupakan
komponen utama dalam iklim keselamatan kerja. Flin et al (2000) juga
menyampaikan bahwa persepsi tentang komitmen manajemen dalam
memprioritaskan keselamatan adalah tema yang paling sering digunakan dalam
pengukuran iklim keselamatan. Pendapat-pendapat tersebut diperkuat oleh kelima
model pengukuran iklim keselamatan yang diperbandingkan, yang kelima-
limanya memasukkan komitmen manajemen sebagai salah satu dimensi yang
80
digunakan dalam pengukuran. Pada model yang dikembangkan oleh NOSACQ-
50, komitmen manajemen harus juga diikuti/dibarengi dengan kemampuan
manajemen dalam mengelola keselamatan. Jadi dari aspek keterwakilan, dimensi
komitmen dan kemampuan manajemen dalam keselamatan yang dikembangkan
oleh NOSACQ-50 sudah mewakili dan bahkan melengkapi dari model-model
pembanding yang dianalisis.
Dimensi dua : Pemberdayaan manajemen keselamatan kerja
Eiff (1999) menggambarkan pemberdayaan manajemen keselamatan kerja sebagai
terbentuknya proses komunikasi dua arah antara top-middle management dan
pekerjanya dalam kegiatan operasional sehari-hari sehingga mempengaruhi
tindakan karyawan dalam mematuhi aturan operasi dan praktek operasi yang
mengacu kepada keselamatan. Organisasi yang memiliki budaya keselamatan
yang baik, akan sangat memperhatikan pemberdayaan pekerja dalam keselamatan
dan memastikan bahwa pekerja memahami akan pentingnya keselamatan.
Khususnya pemberdayaan yang mengacu kepada persepsi atau perilaku pekerja
sebagai hasil dari tanggung jawab terhadap pendelegasian yang diberikan oleh
pimpinan diatas mereka. Dalam konteks budaya keselamatan, pemberdayaan
pekerja berarti pekerja memiliki peran yang besar dalam kebijakan-kebijakan
keselamatan, memiliki pengaruh dalam menginisiasi dan mencapai perbaikan
keselamatan, dan bangga terhadap catatan keselamatan organisasi mereka
(Wiegmann, 2003). Wiegmann juga menjelaskan bahwa pemberdayaan
manajemen keselamatan kerja sebagai arahan dan pemberian tanggung jawab dari
pihak manajemen kepada para pekerja mengenai peran mereka dalam
meningkatkan tingkat keselamatan kerja, dalam hal ini pekerja memiliki suara
atau hak dalam hal keselamatan kerja dan memberikan kebanggan terhadap
perusahaan.
Dimensi tiga : Keadilan manajemen keselamatan kerja
Iklim keselamatan kerja yang positif ditunjukan dengan adanya keadilan dari
pihak manajemen dalam mengatasi hal-hal keselamatan kerja, dengan tidak
membeda-bedakan pekerja terkait keselamatan kerja. Pihak manajemen harus
81
dapat bertindak adil ketika suatu kecelakaan kerja terjadi. Budaya menyalahkan
(blame culture) merupakan salah satu bentuk ketidakadilan pekerja. Budaya ini
ditunjukan dengan manajemen percaya bahwa kecelakaan yang terjadi disebabkan
kebodohan, ketiadaan perhatian, dan bahkan kesengajaan dari pekerja (Ennyra,
2009). Pada model NOSACQ-50, dimensi keadilan manajemen keselamatan kerja
merupakan salah satu dimensi yang penting dalam pengukuran iklim keselamatan
kerja.
Dimensi empat : Komitmen pekerja terhadap keselamatan kerja
Kesalahan dapat berasal berbagai tingkatan dalam organisasi, tetapi seringkali
pekerja bagian garis depan (misalnya; pilot, mekanik, dan sebagainya) merupakan
pertahanan terakhir terhadap kesalahan tersebut dalam mencegah terjadinya
kecelakaan (Eiff, 1999). Dedobbeleer dan Beland (1998) menyarankan bahwa
faktor yang berkaitan dengan iklim keselamatan kerja dan motivasi memilki
peranan yang berpengaruh dalam perilaku pengambilan risiko bahaya dan hal ini
sangat dipengaruhi oleh keterlibatan pekerja (R. Flin et al., 2000). Keterlibatan
pekerja dalam hal ini merupakan komitmennya terhadap keselamatan kerja.
Dimensi lima : Prioritas keselamatan pekerja dan tidak ditoleransinya
resiko bahaya
Pekerja perlu mengetahui resiko bahaya dari pekerjaannya sehingga dapat bekerja
dengan aman dan bertanggungjawab terhadap keselamatan kerjanya masing-
masing (Ostrom et al., 1993), dan juga mengantisipasi terjadinya berbagai resiko
bahaya yang kemungkinan terjadi untuk meminimalisir kecelakaan. Seringkali
pelaksanaan prosedur keselamatan kerja tidak dilakukan secara konsisten sebagai
dampak dari adanya penempatan keselamatan dan produktivitas tidak dalam satu
prioritas yang sama (Ennyra, 2009), sehingga berakibat terhadap buruknya iklim
keselamatan kerja. Perlu dilakukan penyamaan persepsi pihak manajemen dan
pekerja bahwa keselamatan dan produktivitas adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan dan berada pada level prioritas yang sama, dengan demikian
diharapkan mereka tidak akan mentolelir sikap yang dapat berisiko bahaya.
82
Dimensi enam : Pembelajaran, komunikasi, dan kepercayaan
Komunikasi dan interaksi sosial merupakan sarana yang penting dalam
membangun konstruksi sosial, seperti iklim organisasi. Dalam literature review-
nya Zohar (1980) mengidentifikasi bahwa keterbukaan dan kontinuitas
komunikasi antara manajemen dengan pekerja adalah hal yang penting dalam
keselamatan. Reason (1997) juga memiliki pandangan yang mirip dengan apa
yang disampaikan oleh Zohar, bahwa dalam budaya keselamatan (safety culture)
yang diinginkan budaya pembelajaran dan budaya pelaporan merupakan dua (dari
empat) dimensi budaya keselamatan yang sangat penting untuk diperhatikan.
Sementara Hofmann dan Stetzer (1998) merekomendasikan agar manajemen
melakukan komunikasi yang terbuka dalam hal keselamatan, yang akan
mengirimkan sinyal yang kuat bagaimana keselamatan harus dihargai. Jeffcott
et.al (2006) juga menekankan akan pentingnya pembelajaran dalam membangun
budaya keselamatan yang positif. Selain itu, dalam aspek kepercayaan, Langford
et al. (2000) menemukan bahwa ketika pekerja mempercayai bahwa manajemen
peduli terhadap keselamatan kerja personal pekerjanya, maka mereka akan lebih
mau bekerja sama untuk meningkatkan performansi keselamatan kerja
(Mohamed, 2002).
Dimensi tujuh : Kepercayaan terhadap keefektifan sistem keselamatan kerja
Dalam literature review yang dilakukan oleh Zohar (1980) mengidentifikasikan
bahwa beberapa aspek dalam sistem manajemen keselamatan (safety management
system), misalnya; frekuensi inspeksi keselamatan, training keselamatan, dan
sebagainya, merupakan dimensi utama dalam iklim keselamatan. Flin et.al (2000)
dalam hasil reviewnya terhadap 18 dimensi iklim keselamatan yang
dikembangkan, menyebutkan bahwa dimensi pelatihan keselamatan yang
memadahi dan persepsi tentang sistem keselamatan merupakan tema utama.
Pekerja yang merasakan organisasi tempat kerja mereka memberikan perhatian
dan peduli terhadap mereka akan membuat mereka meningkatkan kebebasan
mereka untuk lebih memikirkan keselamatan kerja dengan supervisornya (L.M
Kath et al., 2010).
83
II.5.2.4 Sistem Manajemen Keselamatan Penerbangan
Sistem manajemen keselamatan penerbangan merupakan bagian penting dalam
upaya peningkatan keselamatan penerbangan. Definisi dasar dari sistem
manajemen keselamatan adalah suatu pendekatan secara sistemik dalam
pengaturan keselamatan, termasuk didalamnya; struktur organisasi yang
diperlukan, akuntabilitas, kebijakan, dan prosedur. Dalam dunia penerbangan,
semua perusahaan penyedia jasa layanan penerbangan diharuskan
mengaplikasikan sistem manajemen keselamatan dalam organisasinya, sedangkan
pemerintah selaku regulator berfungsi untuk melakukan audit dalam rangka
mengontrol pelaksanaan sistem manajemen keselamatan tersebut.
Ide penting dalam sistem manajemen keselamatan adalah melakukan pendekatan
secara sistematis untuk mencapai tingkat resiko yang dapat diterima keselamatan.
Ide tersebut oleh ICAO dijabarkan ke dalam 4 komponen utama dalam sistem
manajemen keselamatan, yang meliputi ; kebijakan keselamatan, manajemen
resiko keselamatan, kepastian keselamatan, dan promosi keselamatan. Keempat
komponen keselamatan tersebut terbagi menjadi 13 elemen. Komponen dan
elemen sistem manajemen keselamatan (safety management system) secara
lengkap dapat dilihat pada tabel II.4
84
Tabel II.4 Komponen dan elemen sistem manajemen keselamatan (safety
management system)
Komponen SMS Elemen-elemen SMS
Kebijakan Keselamatan Komitmen dan tanggung jawab manajemen
Akuntabilitas keselamatan manajer
Penunjukan personil kunci keselamatan
Implementasi rencana SMS
Koordinasi perencanaan tanggap darurat
Dokumentasi
Manajemen resiko
keselamatan
Proses identifikasi bahaya
Proses mitigasi dan pengukuran resiko
Kepastian keselamatan Pengukuran dan monitoring kinerja keselamatan
Manajemen perubahan
Perbaikan SMS secara terus menerus
Promosi keselamatan Pelatihan dan pendidikan
Komunikasi keselamatan
Sumber : ICAO (2008)
Elemen dokumentasi dalam sistem manajemen keselamatan mengharuskan
dibuatnya Safety Management System Manual (SMSM) yang didalamnya memuat;
cakupan safety management system, tujuan dan kebijakan keselamatan,
akuntabilitas keselamatan, personil kunci dalam keselamatan, prosedur kontrol
dokumentasi, skema manajemen resiko dan identifikasi bahaya, monitoring
kinerja keselamatan, perencanaan tanggap darurat, manajemen perubahan, audit
keselamatan, promosi keselamatan, dan kegiatan-kegiatan pendukung
keselamatan. Dalam pelaksanaan sistem manajemen keselamatan, organisasi harus
melakukan proses : pendefinisian, pendokumentasian, dan mengkomunikasikan
apa yang menjadi tanggung jawab perseorangan dan wewenang manajemen dalam
keselamatan. Selain itu, kesuksesan manajemen keselamatan adalah fungsi
tanggung jawab yang mensyaratkan partisipasi dari semua personil dalam semua
tingkatan dalam organisasi (ICAO, 2008).
85
II.5.3 Menentukan Dimensi Kinerja Keselamatan
"Kinerja keselamatan dipandang sebagai cerminan perilaku, bukan hasil" (Sackett,
2002). Misalnya, pelanggaran prosedur keselamatan adalah perilaku yang
mungkin dilakukan individu, lainnya, dan organisasi beresiko. Kinerja
keselamatan dapat digunakan untuk merujuk pada "metrik untuk keamanan
perilaku individu yang terkait "(Christian et al., 2009).
Memahami pentingnya kinerja keselamatan sangat penting dalam memandu
manajemen upaya menuju peningkatan perilaku kerja yang aman. Burke, Sarpy,
Tesluk, dan Smith-Crowe (2002) mendefinisikan kinerja keselamatan umum
sebagai perilaku individu yang menunjukkan untuk mendorong kesehatan dan
keselamatan pekerja dan lingkungan. Mereka mengembangkan model umum 4
faktor kinerja keselamatan dengan faktor kinerja berlabel; menggunakan alat
pelindung diri, terlibat dalam praktik kerja untuk mengurangi risiko,
mengkomunikasikan informasi kesehatan dan keselamatan kerja, dan
melaksanakan hak dan tanggung jawab karyawan. Pengetahuan keselamatan dan
motivasi keselamatan sangat terkait dengan kinerja keselamatan perilaku
sementara iklim keamanan kelompok memiliki hubungan yang kuat dengan
kecelakaan dan cedera (Christian et al., 2009). Menggunakan kinerja keselamatan
sebagai perilaku individu menyediakan peneliti dengan kriteria terukur, yang lebih
bersifat proksimal terkait dengan faktor psikologis daripada insiden, kecelakaan,
atau cedera (Christian et al., 2009). Fogarty dan Buikstra (2008) telah digunakan
kesalahan yang dilaporkan sendiri dan perilaku pelanggaran untuk mengukur
kinerja keselamatan di penerbangan pemeliharaan. Griffin dan Neal (2000) telah
menggunakan kepatuhan keselamatan dan partisipasi keselamatan mewakili
perilaku keselamatan dalam cara terjadinya pelanggaran mitigasi dan kesalahan
pemeliharaan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, tindakan yang tidak aman dan
pelaporan perilaku tidak aman digunakan untuk mewakili keamanan kinerja dalam
perawatan pesawat terbang.
86
II.5.3.1 Kesalahan Manusia dalam Pemeliharaan Penerbangan
Definisi kesalahan manusia dalam pemeliharaan dan inspeksi mengacu pada
kegiatan pemeliharaan atau petugas perbaikan. Kesalahan manusia adalah
kegagalan untuk mencapai suatu tujuan hasil diluar pengaruh kejadian acak
(Reason, 1990). Reason membagi kesalahan menjadi slip dan error. Slip atau
penyimpangan adalah kegagalan tindakan, sementara error atau kesalahan adalah
kegagalan dari tindakan yang dimaksudkan untuk mencapai konsekuensi yang
diinginkan. Reason menyatakan kesalahan adalah terkait dengan proses kognitif
individu, sedangkan pelanggaran terkait dengan lingkungan sosial dimana
perilaku diatur oleh prosedur operasi, direkomendasikan praktek, peraturan, atau
standar.
Hobbs dan Williamson (2003) menentukan faktor penyebabnya yang terkait
dengan jenis kesalahan dalam perawatan pesawat terbang. Misalnya, mereka
menemukan link antara pelanggaran peraturan dan tekanan waktu dan antara
penyimpangan memori dan kelelahan.
Sebuah studi perawatan pesawat terbang Australia menunjukkan bahwa 30,1%
kesalahan yang menyebabkan pesawat terbang insiden adalah penyimpangan
memori dan kesalahan ini telah mengancam keamanan pesawat. Di sisi lain, slip
adalah kesalahan paling umum yang melukai teknisi perawatan. Selain itu, 19,3%
insiden pesawat terbang dan 25,7% insiden keselamatan pekerja disebabkan oleh
pelanggaran (Reason & Hobbs, 2003).
Banyak kecelakaan penerbangan disebabkan oleh kesalahan pemeliharaan yang
melibatkan manusia faktor. Karena itu, faktor ini harus dideteksi lebih awal untuk
meminimalkan kecelakaan atau tempat kerja cedera. Selain itu, karakteristik
organisasi secara umum mempengaruhi kinerja di tingkat individu. Kesalahan
teknisi pemeliharaan dihasilkan dari serangkaian faktor penyebab dan Faktor-
faktor ini berada di bawah kontrol manajemen dan oleh karena itu dapat dikelola
(Rankin, Hibit, Allen, & Sargent, 2000).
87
Tren bersamaan peningkatan beban kerja pemeliharaan dan inspeksi, dan
berkurangnya Personel pemeliharaan akan meningkatkan keamanan masalah yang
terkait dengan kesalahan manusia dalam pemeliharaan dan inspeksi (Latorella &
Prabhu, 2000). Kesalahan terkait pemeliharaan ini dapat digambarkan sebagai
efek yang dapat diamati langsung pada pesawat terbang peralatan, efek utama
pada misi penerbangan (insiden / kecelakaan), dan efek sekunder pada
produktivitas organisasi (Latorella & Prabhu, 2000). Misalnya, 33% dari semua
penerbangan militer kerusakan peralatan yang diakibatkan oleh perawatan yang
buruk sebelumnya atau penerapannya tidak semestinya prosedur perawatan
(Ruffner, 1990).
Contoh lain kegagalan perawatan yang diberikan kasus bencana adalah
Kecelakaan Penerbangan Alaska 261 yang terjadi pada tanggal 31 Januari 2000.
Penerbangan ini mengalami "kerugian kontrol pitch pesawat diakibatkan oleh
kegagalan sistem jepitan horisontal stabilizer trim jackscrew” (Aviation Safety
Network, 2002). Menurut National Transportation Safety Board (NTSB),
ancaman kegagalan itu karena pemakaian yang berlebihan akibat dari lubrikasi
yang tidak memadai sejak terakhir kali pekerjaan dilakukan. Semua dari 88 orang
di kapal hilang saat pesawat menabrak kedalaman air. Kemudian, NTSB
mengungkapkan bahwa kegagalan ini ditambah dengan pemeliharaan yang buruk
dari mekanika dan pengabaian dari manajer penerbangan, inspektur, dan
supervisor untuk melacak prosedur ini Kecelakaan ini menerangi iklim keamanan
yang buruk yang menyebabkan tindakan tidak aman dan kondisi.
Menurut Reason (1990), kesalahan pemeliharaan di atas dianggap sebagai
kesalahan laten yang kehadirannya memprovokasi kegagalan aktif dari pilot yang
mengarah langsung pada kecelakaan. Latorella dan Prabhu (2000) telah meninjau
ulang metode reaktif dan proaktif deteksi kesalahan, dan metode untuk
mengendalikan kesalahan manusia dalam perawatan penerbangan. Wenner dan
Drury (2000) telah mempelajari hubungan antara pola bahaya dan kegagalan
laten. Mereka mengembangkan strategi dengan mengidentifikasi kegagalan laten
yang umum terjadi pada pola bahaya yang berbeda untuk mencegah kerusakan
yang akan datang.
88
Kesalahan manusia yang hadir dalam semua tahap kehidupan sistem
(perencanaan, desain, konstruksi, operasi, pemeliharaan, dan manajemen) dan
berkontribusi 30%-90% dari semua penyebab kecelakaan industri. Beberapa
disiplin ilmu lain seperti Human Factors, Rekayasa Manusia, Ergonomi dan
Teknik Psikologi relevan dengan HRA. Dalam Faktor Manusia dan Ergonomi,
penekanannya adalah pada desain peralatan untuk memaksimalkan produktivitas
dengan mengurangi ketidaknyamanan dan kelelahan Operator dan untuk
memenuhi persyaratan dari operator manusia. Penekanan Teknik Psikologi adalah
pada pemahaman pikiran manusia untuk mengidentifikasi keterbatasan manusia
dan kemampuan sebagai bagian dari desain sistem. (Mohaghegh, 2007)
Proses pemecahan masalah operator dipengaruhi oleh faktor yang bersifat internal
atau eksternal ke operator. Faktor-faktor yang mempengaruhi internal yang
meliputi operator psikologis, kognitif, dan fisik negara. Faktor-faktor yang
mempengaruhi eksternal termasuk faktor organisasi. Faktor eksternal harus
dirasakan oleh operator untuk mempengaruhi kesalahan operator. (Mohaghegh,
2007)
Pada konsep Human Factors, dijelaskan bahwa Human Error dapat muncul
karena berbagai sebab di tempat kerja, oleh karenannya sebuah sistem manajemen
keselamatan harus dibangun atas dasar pertimbangan karakteristik kognitif dan
fisiologis manusia. Konsep ini kemudian diperkokoh dengan konsep sistem
manusia-mesin yang sudah diperkenalkan oleh B.A. Turner tahun 1978. Selain
itu, konsep lainnya mengenai kompleksitas sistem adaptif yang diperkenalkan
oleh R. Axelrod and M. D. Cohen, (1999) serta teori kompleksitas sistem oleh L.
Von Bertalanffy,(1968), konsep-konsep tersebut dapat menggambarkan hubungan
antara interaksi organisasi dengan terjadinya human error di tempat kerja.
Interaksi pada organisasi penerbangan komersial mirip pada sebuah sistem
distribusi, dimana orang-orang dengan kompetensi yang berbeda bekerja sama
sebagai sebuah tim (Rasmussen, Goodstein & Pejtersen, 1994). Dalam sistem
pemeliharaan, para teknisi melakukan tugas-tugas spesifik yang mereka latih
secara intensif. Selain itu juga tergantung pada keterampilan interpersonal dan
89
pengembangan diri yang efektif. Hal ini melibatkan koordinasi tim, sehingga
terjadi interaksi dinamis selama proses tugas berlangsung (Rasmussen et al.,
1994) dan ketergantungan urutan pekerjaan serta waktu (Marks, Mathieu, &
Zaccaro,2001 hal 363). Gambar II.8 menjelaskan mengenai koordinasi dan
perilaku unsafe yang terjadi pada sistem pemeliharaan penerbangan.
Gambar II.8 Koordinasi dan Komunikasi di pemeliharan pesawat komersial.
Sumber : Suzuki, dkk , (2008)
Pelaporan akurat dan tepat waktu dari informasi yang relevan terkait dengan
bahaya, insiden atau kecelakaan adalah kegiatan mendasar dari manajemen
keselamatan. Data yang digunakan untuk mendukung analisis keselamatan
dilaporkan oleh berbagai sumber. Salah satu sumber data terbaik adalah pelaporan
langsung oleh personil garis depan karena mereka mengamati bahaya sebagai
bagian dari kegiatan sehari-hari mereka. Tempat kerja di mana personel telah
dilatih dan secara konstan didorong untuk melaporkan kesalahan dan pengalaman
mereka merupakan prasyarat untuk pelaporan keselamatan yang efektif.
Ada lima karakteristik dasar yang secara universal terkait dengan sistem
pelaporan keselamatan yang efektif (lihat Gambar II.9). Pelaporan bahaya yang
efektif adalah komponen kunci dari manajemen keselamatan. Setelah dilaporkan,
data tentang bahaya dapat dianalisis dengan sumber data lain untuk mendukung
proses Safety Risk Manajemen (SRM) dan Safety Assurance (SA).
90
Sumber data lain yang digunakan untuk mendukung proses SRM dan SA adalah
pelaporan kejadian. Hal ini dapat berkisar dari kejadian yang memiliki
konsekuensi tertinggi (kecelakaan, insiden serius) hingga kejadian konsekuensi
rendah seperti insiden operasional, kegagalan / cacat sistem / peralatan. Sistem
manajemen keselamatan adalah wajib memberikan dan menyediakan kejadian
konsekuensi tinggi (kecelakaan, insiden serius) dan menyediakan pelaporan
kejadian konsekuensi rendah juga. Ini memungkinkan mekanisme pemantauan
yang diperlukan untuk mengatasi semua hasil konsekuensi tinggi yang potensial.
Tren (laju kejadian) peristiwa konsekuensi-rendah pasti merupakan pendahulu
dari hasil konsekuensi yang lebih tinggi yang akan datang.
Gambar II.9 Lima karakteristik dasar pelaporan keselamatan efektif
Sumber : ICAO SMM 9859,2013
II.5.3.2 Model Faktor Kesalahan Manusia dalam Penerbangan
Selama beberapa dekade terakhir, penelitian tentang faktor manusia semakin
diperhatikan mengembangkan alat untuk mengelola tenaga kerja tindakan yang
tidak aman. Organisasi dengan keandalan tinggi (HRO) menawarkan model
91
penting yang merupakan sistem yang tangguh. Sistem seperti itu memiliki praktik
yang aman memungkinkan organisasi untuk menahan bahaya operasionalnya dan
untuk mencapai tujuannya (Reason, 2000). Analisis investigasi sebelumnya telah
mengungkapkan bahwa kecelakaan sering terjadi mengulangi dalam urutan
kejadian yang sama yang sering dimainkan sebelumnya (Shappell & Wiegmann,
2009). Reason dan Hobbs (2003) juga berargumen bahwa tadi saat mereka
menjelaskan situasi yang dapat ditimbulkan akibat kesalahan. Catatan kecelakaan
penerbangan saat ini menunjukkan bahwa 70% sampai 80% dari semua
kecelakaan penerbangan setidaknya sebagian disebabkan oleh kesalahan manusia
(Shappell & Wiegmann, 2009).
Model SHELL yang dikembangkan oleh Edwards (1988) memberikan gambaran
umum tentang penerbangan ergonomi atau perspektif sistem. SHEL
menggambarkan empat komponen dasar interaksi antara manusia dan mesin untuk
meningkatkan kinerja sistem. Komponen ini adalah Perangkat Lunak, Perangkat
Keras, Lingkungan, dan Liveware. Model ini direkomendasikan oleh International
Civil Aviation Organization (ICAO) pada tahun 1993 untuk digunakan sebagai
kerangka kerja dalam investigasi kecelakaan penerbangan (Wiegmann &
Shappell, 2003).
Model lain adalah empat pesawat operasi dek penerbangan yang dikembangkan
oleh Degani dan Wiener (1994). Model ini difokuskan pada interaksi antara
filosofi manajemen, kebijakan, prosedur, dan praktik penggunaan aircrew untuk
operasi di dek penerbangan. Semua faktor ini bertindak bersama untuk
meningkatkan keselamatan penerbangan. Selain itu, model keju ajaib Model
Reason's Swiss (1990) memberikan teori kesalahan manusia yang komprehensif.
Model ini memiliki empat komponen: pengaruh organisasi, pengawasan tidak
aman, prasyarat untuk tindakan yang tidak aman, dan tindakan tidak aman
Menurut Reason, jika ada gangguan dalam interaksi di antara ini komponen,
kecelakaan bisa terjadi. Dengan cara lain, kegagalan ini berpindah melalui lubang
di dalam lapisan sistem.
92
Analisis Faktor Manusia dan Sistem Klasifikasi (HFACS) dikembangkan oleh
Wiegmann dan Shappell (2001) untuk memahami faktor penyebab yang
menyebabkannya kecelakaan penerbangan di Angkatan Laut Amerika Serikat.
Kerangka HFACS didasarkan pada Reason's (1990) model keju Swiss.
Perkembangan HFACS didorong oleh meningkatnya masalah dari kinerja
manusia. Federal Aviation Administration (FAA) telah menggunakan HFACS
untuk mengidentifikasi faktor manusia dalam penerbangan komersial dan umum
(Wiegmann & Shappell, 2001a).
Investigasi kecelakaan menggunakan kerangka HFACS sebagai panduan untuk
mengidentifikasi kegagalan di dalam organisasi dan untuk mengidentifikasi
dimana bahaya muncul secara historis di dalam keseluruhan sistem di Indonesia
untuk mencegah mereka dari terulangnya kembali kejadian yang sama.
HFACS. Model ini berasal dari Swiss Cheese Model yang dikembangkan oleh
James Reason pada tahun 1990. Swiss Cheese Model. Swiss Cheese merupakan
model dari human error yang terbagi ke dalam empat tingkat kesalahan manusia
yang masing-masing tingkatannya saling mempengaruhi.
1. Unsafe act. Unsafe act merupakan kesalahan yang diakibatkan oleh operator
akibat lalai dalam melakukan sebuah tindakan. Misalnya pilot lalai dalam
melacak panel instrumen ketika dibutuhkan. Unsafe act merupakan kesalahan
yang sifatnya aktif.
2. Precondition for unsafe act. Merupakan sebuah kondisi yang memacu
terjadinya unsafe act seperti kelelahan mental atau buruknya komunikasi
antar operator di dalam sebuah sistem. Precondition for unsafe act
merupakan kesalahan yang sifatnya laten.
3. Unsafe supervision. Merupakan penyebab terjadinya precondition for unsafe
act. Hal ini diakibatkan buruknya pengelolaan sumber daya. Contoh dari
unsafe supervision adalah ketika seorang pilot yang kurang pengalaman
ditugaskan untuk menerbangkan pesawat dalam kondisi cuaca buruk.
Keadaan tersebut akan menimbulkan potensi kecelakaan. Unsafe supervision
merupakan kesalahan yang sifatnya laten.
93
4. Organizational Influences. Merupakan tingkatan paling atas dari Swiss
Cheese Model yang dapat mempengaruhi semua level dibawahnya.
Kesalahan yang termasuk kategori ini adalah adanya kebijakan perusahaan
yang kurang baik sehingga menimbulkan potensi kecelakaan. Sifat dari
kesalahan tingkat ini adalah laten.
Wiegmann dan Shappell (2001) mengklaim bahwa kerangka HFACS
menghubungkan jarak di antara keduanya teori dan praktek dengan menyediakan
profesional keselamatan dengan alat berbasis teori untuk mengidentifikasi dan
mengklasifikasikan kesalahan manusia dalam kecelakaan penerbangan. Kerangka
kerja HFACS model telah digunakan secara intensif dalam menyelidiki
kecelakaan penerbangan (Dambier & Hinkelbein, 2006; Gaur, 2005; Shappell et
al., 2007). Li dan Harris (2006) mengemukakan bahwa kegagalan aktif adalah
didukung oleh kondisi laten dalam organisasi dan kerangka kerja HFACS terbukti
sebagai alat yang berguna untuk membimbing investigasi kecelakaan dan
mengembangkan rencana pencegahan kecelakaan.
Krulak (2004) telah mengusulkan HFACS Maintenance Extension (ME) yang ada
disesuaikan untuk kecelakaan yang berhubungan dengan perawatan. Taksonomi
ini yang dibahas oleh sejumlah penelitian (Krulak, 2004; Rashid, Place, &
Braithwaite, 2010) diturunkan dari operasional Program HFACS untuk awak
pesawat terbang. HFACS-ME adalah sistem analisis kecelakaan yang dirancang
untuk sangat menganalisis pengaruh faktor manusia terhadap perawatan
penerbangan. Ini menggambarkan kesalahan sekarang dan pengawasan laten,
pemelihara, dan kondisi kerja yang menyebabkan tindakan pengelola yang tidak
aman. Krulak (2004) meneliti 1016 kecelakaan pesawat antara tahun 1996 dan
2000 dengan menggunakan informasi dari Database berbasis Maintenance Error
Information Management System (MEIMS) berbasis web. Ini kecelakaan
dikategorikan menggunakan HFACS-ME. Faktor tingkat ketiga dari pengawasan
yang tidak memadai, kesalahan perhatian / memori, dan keputusan / keputusan
masing-masing terlibat dalam 80% 51%, dan 52% dari keseluruhan populasi
kecelakaan diteliti.
94
Rashid dkk. (2010) memperkenalkan daftar terorganisir kegagalan spesifik yang
menyerupai masing-masing kategori pesanan ketiga taksonomi HFACS-ME.
Mereka menyimpulkan bahwa sebagian besar kecelakaan dan insiden disebabkan
oleh faktor - faktor yang berakar kuat dalam organisasi dan tingkat manajerial.
Selain itu, tindakan keliru individu maintainer memperoleh nilai besar seperti itu
faktor penyebab. Selain itu, Rashid, Place, dan Braithwaite (2013) mampu
memprediksi dan memberikan panduan untuk intervensi kesalahan pemeliharaan
di masa depan. Mereka menunjukkan bahwa skenario untuk inisiasi kesalahan
perawatan penerbangan, kejadian, dan propagasi lebih lanjut tidak terbatas.
Demikian, mereka menyimpulkan bahwa hanya menghilangkan akar penyebab
dasar kesalahan akan membawa jalan bagi kinerja bebas kesalahan yang berhasil.
Salah satu teori kesalahan manusia yang cukup terkenal adalah teori Ramsey.
Ramsey mengajukan sebuah model yang menelaah faktor-faktor pribadi yang
mempengaruhi terjadinya kecelakaan. Menurut Ramsey perilaku kerja yang aman
atau terjadinya perilaku yang dapat menyebabkan kecelakaan, dipengaruhi oleh 4
(empat) faktor (Ramsey, 1978) yaitu : persepsi (perception), kognitif (cognition),
pengambilan keputusan (decision making), kemampuan (ability)
Keempat faktor tersebut merupakan suatu proses yang berurutan, mulai dari yang
pertama hingga yang terakhir. Bila ke empat tahapan ini dapat berlangsung
dengan baik maka akan dapat terbentuk suatu perilaku yang aman.
II.5.3.3 Tindakan yang Tidak Aman
Secara umum, tindakan teknisi perawatan yang tidak aman dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori: kesalahan dan pelanggaran (Reason, 1990). Reason
mengakui pentingnya pelanggaran yang disengaja dalam model tindakannya yang
tidak aman. Selain itu, Lawton dan Parker (1998) menyarankan kesalahan dan
pelanggaran tersebut harus dianggap sebagai rute tindakan yang tidak aman
terhadap kecelakaan kerja.
95
II.5.3.4 Kesalahan
Kesalahan dalam inspeksi pesawat terbang dan lingkungan perawatan timbul dari
situasional dan karakteristik sistem, kecenderungan manusia yang menyimpang,
dan interaksi di antara mereka (Latorella & Prabhu, 2000). Kesalahan ini berupa
penyimpangan yang tidak disengaja dari prosedur operasi, praktik, dan peraturan
(Reason, 1990). Kesalahan juga muncul saat "proses mental yang diperlukan
kinerja yang benar tidak lengkap "(Reason, 2008, hal 46). Contoh di bawah ini
spesifikasi kurang perhatian, lupa, dan pengetahuannya tidak lengkap.
Fogarty (2004) menggunakan pendekatan iklim keselamatan untuk
mengembangkan model untuk menjelaskan hubungan antara moral karyawan,
kesehatan psikologis, niat berpindah, dan kesalahan pada bekerja dengan
menggunakan data yang dikumpulkan dari armada perawatan pesawat terbang
Australia. Sebagai tambahan, Fogarty (2005) menguji efek mediasi ketegangan
psikologis pada hubungan antara iklim keselamatan dan kesalahan pemeliharaan.
Fogarty menemukan bahwa efek iklim keselamatan pada kesalahan adalah
sebagian dimediasi oleh faktor regangan. Park dan rekan-rekannya (Park et al.,
2012) mereplikasi studi Fogarty (2004) dengan menggunakan data dari unit
perawatan pesawat Korea. Hasil mereka menunjukkan bahwa kinerja tinggi dan
lebih sedikit kesalahan perawatan terjadi saat teknisi mengalami lebih sedikit
kelelahan dan stress.
II.5.3.5 Pelanggaran
Akar penyebab sebagian besar kecelakaan telah dilacak pada faktor organisasi
laten (Reason, 1995). Kegagalan laten ini menciptakan kondisi lokal yang
membantu dalam meningkatnya kesalahan dan pelanggaran Reason (1995)
mendefinisikan pelanggaran sebagai "penyimpangan tindakan yang disengaja dari
yang aman prosedur operasi "dan dengan demikian, mereka membawa pemain ke
area dengan risiko lebih besar. Hobbs dan Kanki (2008) menghubungkan
pelanggaran pemeliharaan penerbangan dengan kelemahan manajemen dan
kurangnya pengawasan dalam organisasi. Mereka berpendapat bahwa alasan
utama pelanggaran yang dilakukan oleh personil perawatan ialah pelanggaran
yang disengaja. Mereka juga berpendapata bahwa faktor tempat kerjalah yang
96
menjadi faktor pendahulu dari faktor pelanggaran. dan oleh karena itu, demikian
pula dapat menyebabkan hasil perawatan negatif.
Penelitian telah menunjukkan bahwa hubungan antara pelanggaran dan kesalahan
menunjukkan hal itu pelanggaran prosedural adalah prediktor terbaik untuk
keterlibatan insiden (Hofmann & Stetzer, 1996; Mearns, Whitaker, & Flin, 2001).
Fogarty dan Shaw (2010) menggunakan Teori Rencana Perilaku untuk memahami
perilaku pelanggaran dalam perawatan pesawat terbang. Mereka menyoroti
pentingnya sikap manajemen dan menemukan bahwa persepsi karyawan tentang
keamanan kelompok norma (mis., orang lain di tempat kerja saya melanggar
prosedur) memiliki pengaruh yang kuat pelanggaran.
II.5.3.6 Perilaku Pelaporan
Untuk melaporkan sendiri perilaku tidak aman, manajer harus mendorong
karyawan untuk melapor dekat merindukan tanpa takut tindakan disipliner dan
menyalahkan, sehingga mereka bisa melihat potensi kegagalan atau bahaya yang
bisa menyebabkan kecelakaan di masa depan (Ball & Procter, 1994). Teknisi
perawatan mungkin ragu untuk melaporkan kesalahan dan pelanggaran mereka
sendiri karena takut pembalasan dari manajemen. Oleh karena itu, sistem
pelaporan kesalahan pemeliharaan kemungkinan akan memerlukan beberapa
tingkat kekebalan tindakan disipliner menjadi sukses (Goldman, Fiedler, & King,
2002).
Sebagian besar laporan kesalahan digunakan untuk tujuan administratif seperti
mendokumentasikan kesalahan situasi daripada memahami faktor penyebab yang
menyebabkan kesalahan tersebut (Latorella & Drury, 1992). Beberapa sistem
keamanan hukuman menekankan pada pelaporan hasil keselamatan lebih dari
sekedar keselamatan perilaku seperti melaporkan masalah keamanan dan dengan
demikian hal itu dapat membuat individu enggan untuk melangkah lebih jauh
laporkan jenis kekhawatiran ini (Probst & Estrada, 2010). Akhirnya, perilaku
pelaporan paling banyak dipengaruhi oleh reaksi manajer terhadap laporan
(Clarke, 1998).
97
Untuk mengatasi hambatan pengarsipan laporan keselamatan, Reason and Hobbs
(2003) ditekankan dalam menciptakan budaya pelaporan. Mereka
mengembangkan beberapa karakteristik untuk memiliki sukses sistem pelaporan
adalah :
a) De-identifikasi: anonimitas atau kerahasiaan laporan.
b) Perlindungan: beberapa jaminan untuk laporan kesalahan jujur.
c) Pemisahan fungsi: memisahkan departemen pengumpulan laporan dari itu
dengan otoritas disipliner.
d) Umpan balik: umpan balik kepada individu atau biro pelaporan sangat
penting.
e) Kemudahan membuat laporan: laporkan dengan format terbuka dan kurang
terkendali.
II.5.3.7 Pengetahuan Keselamatan
Vinodkumar dan Bhasi (2010) menemukan bahwa safety management practice
berpengaruh terhadap safety performance, melalui safety knowledge. Selain itu
Vinodkumar dan Bhasi (2010) menemukan bahwa dimensi dari safety
management practices yang paling berpengaruh dalam meningkatkan safety
knowledge ialah safety training, serta ditunjang dengan adanya upaya untuk
menyampaikan informasi keselamatan dengan baik, adanya ketegasan untuk
menerapkan peraturan dan prosedur keselamatan, maka dapat meningkatkan
safety knowledge dimana pengetahuan karyawan terhadap praktek dan prosedur
keselamatan akan meningkat, yang pada akhirnya dapat dapat meningkatkan
perilaku keselamatan karyawan (safety performance), terutama yang berkaitan
dengan karyawan lebih patuh untuk menjaga keselamatan (safety compliance)
serta turut berpartisipasi mengikuti aktivitas keselamatan (safety participation).
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Griffin dan Neal (2000)
menyebutkan bahwa safety knowledge memediasi hubungan safety climate
terhadap safety performance.
98
II.5.4 Hasil Keselamatan
Menurut Christian et al. (2009), kinerja keselamatan dan hasil keselamatan
berbeda. Dalam penelitian ini hasil keselamatan dibagi dua macam yaitu Resiko
Keselamatan yang berupa peristiwa fisik seperti insiden, kecelakaan, atau cedera
dan Kelaikan Pesawat Udara yang menggambarkan kepatuhan terhadap
penggunaan standar-standar yang berlaku sehingga terpenuhinya kondisi aman
untuk beroperasi.
II.5.4.1 Resiko Keselamatan
Resiko Keselamatan menggambarkan Insiden dan Kecelakaan yang dialami oleh
pekerja. Insiden dan Kecelakaan bisa terjadi dan karyawan mungkin terluka di
tempat kerja. Untuk misalnya, tidak mematuhi kebijakan keselamatan organisasi
dapat memiliki potensi yang tinggi insiden di tempat kerja dan luka-luka (Probst
& Brubaker, 2001). Reason (2008) mendefinisikan insiden sebagai kejadian
dengan tingkat keparahan yang cukup yang perlu diselidiki.
II.5.4.2 Kelaikan Pesawat Udara
Berdasarkan Civil Aviation Safety Regulation (CASR) part 43 tentang
Maintenance, Preventive Maintenance, Rebuilding and Alteration pengertian
maintenance (perawatan) adalah semua kegiatan yang dilakukan untuk
mempertahankan pesawat udara, komponen-komponen pesawat udara dan
perlengkapannya dalam keadaan laik udara (airworthy) termasuk inspeksi,
reparasi, service, overhaul dan penggantian part. Perawatan pesawat udara
bertujuan untuk menjaga kelaikan terbang pesawat yang bersangkutan. Proses
penjagaan kelaikan dimulai sejak pesawat udara masih dalam tahap desain, tahap
pengembangan dan sertifikasi pesawat baru dan berlanjut terus pada saat pesawat
udara dioperasikan.
Untuk melakukan kegiatan perawatan, setiap pesawat udara memiliki Program
Perawatan (Maintenance Program) yang berisi informasi detail tentang apa,
kapan dan bagaimana sebuah pesawat udara dirawat. Dalam bentuk yang
sederhana, sebuah Program Perawatan adalah jadwal perawatan yang telah
99
ditetapkan dengan serangkaian prosedur yang ditinjau secara terus menerus baik
penggunaan maupun efektifitasnya untuk pesawat udara yang dimaksud. Sebuah
Program Perawatan merupakan kombinasi antara prosedur manajemen
(management procedures) dan tugas perawatan (maintenance tasks). Agar
Program Perawatan dapat dijalankan dengan baik dan efektif, maka dibutuhkan
struktur organisasi yang terintegrasi dan personil yang berkualitas untuk
menjalankan dan mengatur pelaksanaan perawatan pesawat udara.
Awal mula konsep perawatan pesawat udara (juga industri lainnya) dikenal
dengan istilah 'fixed it when broke' (Mora, 2012), yaitu perbaikan dilakukan
apabila terjadi kerusakan. Tapi kemudian, mulai banyak kebutuhan ketika faktor
keselamatan mulai diperhitungkan, sehingga muncullah preventive maintenance
(perawatan pencegahan), dengan sistem overhaul yang dikenal dengan istilah
Hard Time (HD). Sistem Hard Time mengacu kepada prinsip umur komponen/
part. Apabila komponen/ part pesawat udara sudah mencapai umur yang
ditentukan, maka komponen/ part harus diganti walaupun komponen/ part
tersebut masih dalam kondisi yang bagus. Sistem Hard Time ini sangat merugikan
maskapai penerbangan, karena mengeluarkan biaya yang besar untuk perawatan.
Kemudian pada tahun 60-an (ketika B-747 akan diluncurkan), dirasakan perlu
untuk membuat suatu konsep perawatan pesawat udara yang lebih jelas, apalagi
ada tuntutan maskapai penerbangan agar program perawatan yang baru bisa lebih
menghemat biaya. Akhirnya terbentuk MSG-1 (Maintenance Steering Group)
yang merumuskan konsep program perawatan untuk B-747. Dalam konsep ini,
selain istilah Hard Time, dikenal juga istilah On Condition (OC). OC ini adalah
suatu inspeksi berkala untuk menentukan apakah komponen tersebut masih bisa
berfungsi atau tidak.
Pada tahun 70-an, dibentuk MSG-2, karena dirasakan masih banyak kekurangan
di konsep MSG-1. sehingga dibentuklah lagi konsep yang kemudian diterapkan
pada pada DC-10. Pada tahap ini Eropa juga mulai mengadaptasi konsep MSG-2
dengan sebutan E-MSG. Beberapa pesawat yang masih memakai konsep MSG-2
diantaran adalah B-737 dan MD-80. Pada konsep MSG-2 ini dikenal istilah
100
Condition Monitoring (CM). Konsep CM ini tidak seperti HT atau OC yang
merupakan preventive maintenance, tetapi berupa pengecekan apabila komponen
dirasakan bermasalah. Salah satu sistem pemeriksaan dari konsep CM adalah
MTBUR (Mean Time Between Unscheduled Removals = waktu rata-rata diantara
penggantian komponen yang di luar jadwal). Komponen yang termasuk dalam
CM harus selalu dilakukan monitor terhadap umur, karena apabila mendekati
perkiraan umurnya maka harus siap2 melakukan penggantian. Namun tidak ada
usia wajib untuk menggantikan komponen tersebut atau melakukan pengecekan
kondisinya.
Sekitar tahun 1978, UAL (United Airlines) bersama DoD (Department of
Defense) Amerika Serikat bekerjasama untuk menyusun suatu konsep manajemen
perawatan yang lebih baik yang dikenal dengan istilah RCM (Reliability Centered
Maintenance). Teknisi UAL yang dimotori Nowlan dan Heap, memperkenalkan
konsep RCM ini yang kemudian berkembang luas sampai sekarang (dengan
beberapa revisi dan variasi). Karena konsep yang dibuat lebih baik dari MSG-2,
maka mulailah dibakukan ke dunia penerbangan yang kemudian dikenal sebagai
MSG-3.
Bila MSG-2 dikenal dengan istilah 'process oriented' karena untuk suatu
komponen ditentukan berdasarkan tipe perawatan yang berupa procesnya saja
(HT, OC, dan CM), sedangkan MSG-3 dikenal dengan istilah 'Task Oriented'
dimana bentuk perawatannya langsung berdasarkan tipe pekerjaannya (servicing,
lubrication, cleaning, replace, discard). Pada MSG-3 ini konsep HT, OC, dan CM
tidak digunakan lagi.
Pada umumnya program perawatan yang disusun berdasarkan MSG-3 tidak
mengenal lagi namanya A-check, C-check, dsb (atau dikenal dengan istilah letter
check atau Block Maintenance). Semua taskcard diberikan interval berdasarkan
Flight Hour (FH), Flight Cycle (FC), atau waktu kalender (DY = Day, MO =
Month, YR = Year). Jumlah taskcard di MSG-3 lebih sedikir daripada MSG-2
sehingga memudahkan maskapai penerbangan dalam melakukan perawatan
pesawat, namun persyaratannya lebih rumit dibandingkan MSG-2/letter check.
101
Saat ini baik EASA maupun FAA sudah menggunakan panduan metode MSG-3
yang sama, karena kedua otoritas tersebut terlibat bersama-sama saat pembuatan
handbook atau manual.
Setiap pesawat udara selama beroperasi pasti mempunyai jadwal untuk perawatan.
Perawatan ini harus dilakukan karena setiap komponen mempunyai batas usia
tertentu sehingga komponen tersebut harus diganti. Selain itu, komponen juga
harus diperbaiki bila ditemukan telah mengalami kerusakan. Secara garis besar,
program perawatan dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu perawatan
preventif dan korektif. Perawatan preventif adalah perawatan yang mencegah
terjadinya kegagalan komponen sebelum komponen tersebut rusak. Sedangkan
perawatan korektif adalah perawatan yang memperbaiki komponen yang rusak
agar kembali ke kondisi awal.
Perawatan preventif dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Perawatan periodik atau hard time, merupakan perawatan yang dilakukan
berdasarkan batas waktu dari umur maksimum suatu komponen pesawat. Dengan
kata lain, perawatan ini merupakan perawatan pencegahan dengan cara mengganti
komponen pesawat meskipun komponen tersebut belum mengalami kerusakan;
2. Perawatan on-condition, merupakan perawatan yang memerlukan inspeksi
untuk menentukan kondisi suatu komponen pesawat. Setelah itu ditentukan
tindakan selanjutnya berdasarkan hasil inspeksi tersebut. Bila ada gejala
kerusakan, komponen tersebut dapat diganti bila alasan-alasan teknik dan
ekonominya memenuhi.
Perawatan korektif dikenal pula dengan nama condition monitoring yaitu
perawatan yang dilakukan setelah ditemukan kerusakan pada suatu komponen,
dengan cara memperbaiki komponen tersebut. Bila cara perbaikan tidak dapat
dilakukan dengan alasan teknik maupun ekonomi, maka harus dilakukan
penggantian.
102
Perawatan pesawat udara biasanya dikelompokkan berdasarkan interval yang
sepadan dalam paket-paket kerja atau disebut dengan clustering. Hal ini dilakukan
agar tugas perawatan lebih mudah, efektif dan efisien. Interval yang dijadikan
pedoman untuk melaksanakan paket-paket tersebut adalah sebagai berikut:
1. Flight hours, merupakan interval inspeksi yang didasarkan pada jumlah
jam operasional suatu pesawat udara;
2. Flight cycle, merupakan interval inspeksi yang didasarkan pada jumlah
lepas landas dan pendaratan yang dilakukan pesawat udara. Satu kali
lepas landas dan pendaratan dihitung satu cycle;
3. Calendar time, merupakan interval inspeksi yang dilakukan sesuai
dengan jadwal tertentu.
Dari jumlah tugas perawatan atau inspeksi yang dilaksanakan, perawatan dapat
dibagi dalam minor maintenance seperti transit check, before departure check,
daily check, weekly check dan heavy maintenance seperti A-Check, B-Check, C-
Check dan D-Check.
Minor maintenance, terdiri dari:
a. Transit check. Inspeksi ini harus dilaksanakan setiap kali setelah melakukan
penerbangan saat transit di station mana pun. Operator biasanya memeriksa
pesawat untuk memastikan bahwa pada pesawat tidak terdapat satu pun kerusakan
struktur, semua sistem berfungsi dengan sebagaimana mestinya, dan servis yang
diharuskan telah dilakukan;
b. Before Departure Check. Inspeksi ini harus dilakukan sedekat mungkin
sebelum tiap kali pesawat berangkat beroperasi, maksimal dua jam sebelumnya;
c. Daily Check (Overnight Check). Pemeriksaan ini harus dilakukan satu kali
dalam jangka waktu 24 jam setelah daily check sebelumnya dilakukan. Setiap hari
pesawat telah diprediksi akan ground stop minimal selama empat jam. Inspeksi ini
mencakup pemeriksaan komponen, pemeriksaan keliling pesawat secara visual
untuk mendeteksi ada atau tidaknya ketidaksesuaian, melakukan pengamanan
lebih lanjut, dan pemeriksaan sistem operasional;
103
d. Weekly check. Pemeriksaan ini harus telah dilakukan dalam tujuh hari
penanggalan. Termasuk dalam inspeksi ini adalah before departure check.
Heavy maintenance, terdiri dari:
a. A-Check — dilakukan kira-kira setiap satu bulan. Pemeriksaan ini biasanya
dilakukan hingga 10 jam. Pemeriksaan ini bervariasi, bergantung pada tipe
pesawat, jumlah siklus (lepas landas dan pendaratan dianggap sebagai siklus
pesawat, atau jam terbang sejak pemeriksaan terakhir). Perawatan pesawat jenis
ini hanya melakukan pemeriksaan pada pesawat untuk memastikan kelaikan
mesin, sistem-sistem, komponen-komponen, dan struktur pesawat untuk
beroperasi. Untuk Boeing 737 Classic, A-check dilakukan setelah 300 jam
terbang, Airbus A340 setelah 450 jam terbang, Boeing 747-200 setelah 650 jam;
b. B-Check — bergantung pada masing-masing jenis pesawat. Pemeriksaan
berkisar antara 9 hingga 28 jam ground time dan biasanya dilakukan kira-kira
setiap lima bulan. Perawatan pesawat dalam skala kecil ini hanya meliputi proses
pembersihan, pelumasan, penggantian ban apabila sudah aus, penggantian baterai,
dan inspeksi struktur bagian dalam;
c. C-Check — sebuah pesawat harus melakukan C-Check setelah 15-18 bulan.
Bergantung pada tipe pesawat, pemeriksaan ini bisa memakan waktu 10 hari.
Perawatan pesawat tipe ini merupakan inspeksi komprehensif termasuk bagian-
bagian yang tersembunyi, sehingga kerusakan dan keretakan di bagian dalam
dapat ditemukan. Untuk Boeing 737-300 dan 737-500, inspeksi ini dilakukan
setiap 4.000 FH. Untuk Boeing 737-400 dilakukan setiap 4.500 FH. Sedangkan
untuk Boeing 747-400 dilakukan setiap 6.400 FH dan Airbus A-330-341
dilakukan setiap 21 bulan.
d. D-Check — inspeksi ini biasa disebut overhaul. Pemeriksaan jenis ini adalah
perawatan yang paling detail. Pesawat Boeing 737-300, 737-400 dan 737-500
inspeksi ini dilakukan setiap 24.000 FH. Sedangkan untuk Boeing 747-400
dilakukan setiap 28.000 FH dan untuk Airbus A-330-341 dilakukan setiap 6
tahun. Pada pengecekan jenis ini pesawat diinspeksi secara keseluruhan, biasanya
memakan waktu 1 bulan.
104
Berdasarkan jenis layanannya, bisnis perawatan dibagi menjadi 4 (empat), yaitu :
1. Line maintenance, yaitu jenis perawatan yang melakukan pemeriksaan dan
perbaikan terhadap pesawat udara baik pemeriksaan minor maupun major. Jenis
perawatan ini membutuhkan pekerja/ teknisi yang intensif. Secara umum, hanya
15% jenis perawatan ini yang di kerjakan diluar maskapai penerbangan;
2. Component maintenace, yaitu jenis perawatan yang melakukan perbaikan
terhadap komponen pesawat udara, seperti roda pendaratan, rem dan komponen
interior. Sekitar 70% dari jenis perawatan ini dikerjakan di luar maskapai
penerbangan;
3. Engine maintenance, yaitu perawatan mesin pesawat udara yang meliputi
kegiatan membongkar (dismantling), pemeriksaan (inspecting), pemasangan
kembali (assembling), dan melakukan tes (testing). Perawatan mesin pesawat
udara mengambil porsi 35% dari total perawatan pesawat udara;
4. Heavy maintenance, yaitu perawatan yang meliputi modifikasi struktur pesawat
udara, perbaikan landing gear, perubahan mesin pesawat udara, dan termasuk
juga didalamnya pemeriksaan regular pesawat udara yang meliputi A-Check, B-
Check, C-Check, dan D-Check.
Dalam perawatan pesawat udara, seorang aircraft maintenance engineer harus
menggunakan dokumen perawatan yang sesuai. Ada banyak dokumen yang
digunakan dalam proses perawatan pesawat. Dokumen tersebut sebagian besar
disediakan oleh manufacturer (pabrik pesawat udara). Secara garis besar,
dokumen perawatan pesawat udara dari pabrik pesawat udara dibedakan menjadi
2 macam:
1. Customized, yaitu dokumen yang memiliki efektivitas tertentu berdasarkan
registrasi pesawat. Dokumen ini disesuaikan dengan konfigurasi pesawat yang
dimaksud. Sehingga masing-masing pesawat akan mempunyai dokumen yang
berbeda. Dokumen untuk pesawat A tidak boleh digunakan untuk pesawat B;
2. Non customized, yaitu dokumen dengan efektivitas bersifat umum. Biasanya
untuk pesawat dalam satu tipe, akan mempunyai dokumen yang sama.
105
Berikut deskripsi singkat mengenai beberapa dokumen dari pabrik pesawat udara
yang digunakan dalam proses perawatan udara. Penamaan dokumen mengacu
kepada standar penamaan dari pihak pabrik pesawat udara.
1. AMM (Aircraft Maintenance Manual)
AMM adalah dokumen yang menjelaskan prosedur (langkah demi langkah) yang
dilakukan dalam perawatan pesawat. AMM tersusun memakai urutan ATA
Chapter;
2. IPC (Illustrated Parts Catalog)
IPC adalah dokumen yang menjelaskan mengenai parts/komponen yang terpasang
dalam pesawat udara. IPC akan memberi informasi mengenai lokasi komponen,
jumlah dan juga PN dari komponen yang efektif. Sama seperti AMM, IPC juga
tersususn memakai urutan ATA Chapter ;
3. WDM (Wiring Diagram Manual)
WDM memberi informasi mengenai rangkaian wiring (perkabelan) di pesawat
udara. Wiring yang menghubungkan antar komponen-komponen di pesawat, akan
digambarkan disini. Satu hal yang menjadi catatan, dokumen perawatan pesawat
adalah dokumen yang harus selalu updated, sehingga apabila terdapat perubahan
wiring di pesawat udara, maka diagram WDM juga harus diubah.
4. SRM (Structural Repair Manual)
SRM adalah dokumen yang digunakan sebagai pedoman dalam perbaikan struktur
pesawat. Struktur pesawat yang dimaksud meliputi bagian skin, kerangka pesawat
dan juga pintu pesawat (doors). SRM adalah dokumen yang non customized,
sehingga hanya ada satu dokumen untuk tipe pesawat yang sama.
5. SWPM (Standar Wiring Practices Manual )
SWPM memberikan informasi mengenai standar praktis penanganan wiring di
pesawat. SWPM akan memberi informasi mengenai jenis-jenis wiring (kabel)
yang terpasang, dan juga prosedur pemasangan wiring tersebut di pesawat, karena
jenis wiring yang berbeda juga mempunyai prosedur pemasangan yang berbeda.
106
Pemeliharaan secara umum bisa diartikan sebagai seperangkat kegiatan untuk
perbaikan dan perawatan peralatan ke kondisi operasi tertentu dan konsisten
dengan biaya yang efektif, sesuai dengan keselamatan, dan peraturan lingkungan
(Pintelon & Gelders, 1992). Kualitas perawatannya tugas dapat dipengaruhi secara
signifikan oleh konsepsi budaya organisasi seperti yang lebih baik Budaya adalah,
semakin rendah kemungkinan terjadinya pelanggaran (Aju Kumar & Gandhi,
2011). Konsep ini dibuat industri menyadari pentingnya pemeliharaan dan
pengurangan kesalahan manusia (Reason, 1990; Shenoy & Bhadury, 1998) dan
terutama setelah kecelakaan besar terjadi. Misalnya, beberapa kecelakaan terburuk
dalam sejarah industri adalah Bhopal Bhopal tahun kebocoran dari Metil
Isocyanite (MIC) di Bhopal di India dan Bencana Chernobyl 1986 di Ukraina.
Mereka keduanya disebabkan oleh minimnya pemeliharaan sistem keamanan.
Keselamatan didefinisikan sebagai "pengelolaan risiko dalam suatu nilai yang
dapat diterima masyarakat" (Patankar & Taylor, 2004). Patankar dan Taylor
(2004) mendefinisikan tindakan pemeliharaan teknisi perawatan pesawat terbang
agar aman ketika:
1. Memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan itu.
2. Menggunakan data, alat, dan prosedur yang sesuai.
3. Tidak melebihi kapasitas fisiknya saat melakukan pekerjaan.
4. Tidak pernah menandatangani pekerjaan yang tidak dia lakukan.
5. Tidak pernah meninggalkan pekerjaan dengan dokumentasi yang tidak
lengkap.
Keselamatan tugas pemeliharaan dan inspeksi penerbangan bergantung pada
meminimalkan kesalahan pada semua sisi sistem. Sistem ini sangat kompleks
dengan banyak manusia dan mesin yang saling terkait komponen, dimana
individu melakukan tugas bervariasi di lingkungan dengan tekanan waktu, stres,
kelelahan, dan terkadang kondisi yang sulit seperti suhu dan kelembaban. Chang
dan Wang (2010) menjelaskan pengaturan kerja teknisi seperti kapasitas inti dari
diri teknisi, interaksi dengan teknisi lain, dan mengerjakan perangkat lunak dan
perangkat keras teknologi. Selain itu, Teknisi melakukan banyak tugas
107
pemeliharaan yang berbeda-beda pada berbagai jenis pesawat terbang dan selama
jam kerja yang dapat dilakukan sampai pada larut malam atau dini hari.
Sistem model perawatan dan inspeksi penerbangan yang dikembangkan oleh
Latorella dan Drury (1992) berisi empat komponen: personil, peralatan,
dokumentasi, dan tugas persyaratan. Komponen ini tunduk pada kendala fisik dan
sosial lingkungan atau lingkungan organisasi. Interaksi tugas dengan manusia dan
lingkungan adalah dasar kesalahan manusia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Keamanan dan Keselamatan penerbangan mendefinisikan bahwa Kelaikan Udara
adalah terpenuhinya persyaratan minimum kondisi pesawat udara dan/atau
komponen-komponennya untuk menjamin keselamatan penerbangan dan
mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di dunia penerbangan, setiap pesawat yang
diproduksi harus melalui proses sertifikasi terlebih dahulu (Djarab, 1988). Setelah
menjalani proses tersebut, pihak manufakturer antara lain akan memperoleh: type
certificate of registration, certificate of engine service ability dan certificate of
airwothiness (sertifikat kelaikan udara). Jika suatu pesawat tidak menjalani proses
sertifikasi sehingga tidak memperoleh sertifikat kelaikan udara (certificate of
airwothiness) dari DGAC negaranya atau negara di mana pesawat tersebut akan
dioperasikan, maka pesawat tersebut dilarang terbang demi keselamatan
penerbangan. Dengan memiliki sertifikat ini berarti kondisi pesawat yang
bersangkutan adalah laik udara. Kondisi demikian antara lain didasarkan atas tiga
hal: Pertama, desain dan proses produksi yang dapat dipertanggungjawabkan,
dalam arti produk yang bersangkutan harus memenuhi konfigurasi sebagaimana
telah ditentukan oleh desain. Konfigurasi yang telah diimplementasikan pada
pesawat merupakan konfigurasi riel di mana konfigurasi riel ini harus sesuai
dengan konfigurasi dasar (basic configuration). Pelaksanaan konfigurasi itu
sendiri dikendalikan sedemikian rupa oleh Inspektor QA (Quality Assurance)
sehingga status akhir dari pesawat sudah dapat ditentukan. Apabila terjadi
kelainan, maka hal ini akan tercatat dalam suatu record document yang baik.
108
Selanjutnya melalui record ini, setiap kualitas dapat diketahui tingkat
keandalannya. Kedua, perawatan (maintenance) atas pesawat yang bersangkutan
dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Dalam hal ini, perawatan yang
dimaksud berdasarkan pada petunjuk-petunjuk dalam service bulletin dan
technical manual updating. Ketiga, pesawat tersebut tidak mengandung unsur-
unsur yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan.
Airworthiness Directives atau sering disingkat dengan AD atau Perintah Kelaikan
Udara, adalah dokumen yang berguna untuk memberi tahu operator bahwa
kondisi pesawat kemungkinan berada pada situasi tidak aman, pesawat tidak
sesuai lagi dengan kondisi kelaijan terbang, ada pekerjaan yang harus dilakukan
agar pesawat bisa laik terbang kembali dengan aman, atau pesawat mungkin tidak
boleh terbang sampai tindakan koreksi disiapkan dan dilakukan. Sifat AD ini
wajib yaitu wajib dikerjakan sebelum pesawat bisa terbang kembali atau wajib
dilakukan dengan tenggang waktu/jam terbangn yang ditentukan oleh otoritas.
Pesawat boleh diterbangkan dari satu tempat ke tempat lain untuk melakukan
pekerjaan Airworthiness Directives.
II.6 Structural Equation Modeling (SEM)
Model persamaan struktural (SEM) adalah suatu teknik yang dapat menyelesaikan
suatu set hubungan yang terdiri dari satu hubungan dalam suatu konsep hubungan,
dimana dianalisis secara simultan. SEM adalah teknik statistik multivariat yang
merupakan kombinasi antara analisis faktor, analisis jalur dan analisis regresi
yang bertujuan untuk menguji hubungan kausal antar variabel yang ada pada
sebuah model, baik antar atribut (indikator) dengan variabel konstruk (laten)
maupun hubungan antar variabel konstruk (laten) (Joreskog and Sorbon, 1989;
Santoso, 2007).
SEM adalah apriori yang berarti bahwa peneliti dituntut untuk berpikir dalam hal
model dan memberikan banyak informasi tentang variabel. Spesifikasi apriori ini
make up model konseptual yang akan dievaluasi dalam analisis (Kline, 1998).
SEM memungkinkan keduanya pemodelan konfirmatori dan eksploratif.
Modelnya bisa diterima, ditolak, atau dimodifikasi oleh peneliti.
109
SEM memungkinkan membedakan antara variabel yang diamati dan laten
sehingga peneliti dapat menguji berbagai macam hipotesis. SEM memungkinkan
hubungan struktural antara variabel laten yang diperkirakan secara akurat (Kline,
1998). Selain itu, mungkin saja SEM mengevaluasi model yang hanya berisi
variabel yang teramati. Statistik dasar dalam SEM adalah kovariansi yang
membantu untuk memahami korelasi pola antara seperangkat variabel, dan untuk
menjelaskan sebanyak mungkin varians dengan model yang ditentukan (Kline,
1998).
SEM dapat diaplikasikan pada data non eksperimental, data eksperimen, dan
campuran dua data. SEM adalah teknik sampel besar namun sulit untuk
memberikan jawaban yang sederhana terhadap pertanyaan tentang seberapa besar
sampel cukup besar. Ini bervariasi antara kompleks dan model sederhana. SEM
berguna dalam penelitian survei, studi cross-sectional atau longitudinal (Kline,
1998).
Komponen-komponen SEM
Komponen-komponen dalam SEM terdiri dari :
1. Variabel terdiri dari : variabel teramati (observable) dan variabel tidak teramati
(unobservable).
a. Variabel laten (Konstruk)
Dalam SEM, variabel kunci adalah laten konstruk merupakan variabel
tersembunyi yang tidak terobservasi (abstract psychological concept)
seperti intelligence, attitude, perasaan dan motivasi. Variabel laten ini hanya
dapat diobservasi tidak langsung melalui pengaruh dari varabel manifes
(indikator).
Variabel laten dalam SEM terdiri dari 2 tipe yaitu laten konstruk eksogen
yang diberi notasi ε (ksi) dan laten konstruk endogen yang diberi notasi η
(eta). SEM membedakan kedua jenis variabel ini berdasarkan atas
keikutsertaanya sebagai variabel terikat pada persamaan-persamaan dalam
110
model. Variabel eksogen adalah variabel bebas dan variabel endogen
merupakan variabel terikat terdiri dari sekurang-kurangnya satu persamaan
dalam model.
b. Variabel Teramati (observable variable)
Variabel teramati (observable variable) adalah variabel yang dapat diamati
atau dapat diukur secara empiris. Variabel ini disebut indikator yang
merupakan efek dari variabel laten. Pada metode survai dengan
menggunakan kuesioner, setiap pertanyaan pada kuesioner mewakili sebuah
variabel teramati (indikator). Variabel ini terdiri dari 2 jenis: indikator yang
memberi efek pada variabel laten eksogen (X) dan yang memberi efek pada
variabel laten endogen (Y).
2. Model terdiri dari : model pengukuran (measurement model) dan model
struktural (structural model). Bentuk hubungan model dalam SEM yang terdiri
dari hubungan antara analisis faktor dan analisis jalur.
a. Model Pengukuran
Model pengukuran dalam SEM berbentuk analisis faktor yang merupakan
penghubung variabel-variabel laten dengan variabel-variabel teramati. Pada
model ini setiap variabel laten dimodelkan sebagai sebuah faktor yang
mendasari variabel-variabel teramati yang terkait muatan-muatan faktor
yang menghubungkan variabel-variabel laten dengan variabel-variabel
teramati. Variabel-variabel teramati diberi label λ (lambda). Terdapat dua
matriks λ dalam SEM yaitu λx pada sisi X (eksogen) dan λy pada sisi Y
(endogen). Persamaan pada model pengukuran disebut persamaan
pengukuran terdiri dari model pengukuran untuk variabel eksogen dan
model pengukuran untuk variabel endogen.
Model pengukuran untuk variabel laten eksogen yaitu hubungan antara
variabel observasi eksogen dengan variabel laten eksogen.
111
Gambar II.10 Model PengukuranSumber : Wijayanto, 2007
Adapun notasi matematik dari gambar diatas adalah sebagai berikut :
b. Model Struktural
Model struktural adalah hubungan antara laten konstruk. Hubungan tersebut
adalah bersifat linier. Pada diagram hubungan regresi ditunjukkan pada satu
sisi anak panah dan hubungan korelasional pada 2 anak panah.
Gambar II.11 Model Struktural
Sumber : Wijayanto, 2007
112
Hubungan regresi antara variabel laten diberi notasi γ (gamma) hubungan
regresi antara variabel laten endogen diberi notasi β (beta). Selain itu dalam
SEM memungkkinkan adanya hubungan kovarian secara bebas yang dibei
notasi Φ (Phi) dari hubungan kovarians antar variabel laten eksogen.
Dengan notasi matematik dari model strukturalgambar diatas adalah sebagai
berikut :
3. Kesalahan terdiri dari kesalahan pengukuran (measurement error) dan
kesalahan struktural (structural error).
a. Kesalahan Struktural (Struktural Error)
Untuk mendapatkan kesempurnaan model prediksi variabel dependen,
terdapat suatu faktor yang disebut struktural error ζ (zeta). Faktor error ini
diasumsikan tidak berkolerasi dengan model laten eksogen dan
menunjukkan variasi-variasi yang tidak dapat diterangkan oleh prediktor
variabel model.
b. Kesalahan Pengukuran (Measurement Error)
Dalam SEM dikenal adanya pengukuran yang tidak sempurna atau
kesalahan (galat) dalam pengukuran. Kesalahan (galat) pengukuran tersebut
digambarkan dengan measurement error. Galat pengukuran pada variabel
manifes untuk variabel X diberi simbol (delta) dan galat pengukuran
untuk variabel Y diberi simbol (epsilon).
Uji Kecocokan
1. Uji Validitas dan Realibilitas Data
Sebelum data sampel diolah dan dianalisis terlebih dahulu dilakukan uji
statistik untuk menilai keabsahan dan keandalan data sampel yaitu uji validitas
dan realibilitas. Uji validitas dimaksudkan untuk menunjukkan kemampuan
instrumen penelitian mengukur dengan tepat dan benar apa yang hendak diukur
113
(Suryabrata 2000, dalam Widodo, 2006). Pada penelitian ini data yang diuji
validitasnya adalah data skala ordinal terdiri data persepsi para pekerja AMO.
Setiap pertanyaan pada kuesioner diindikasikan memiliki validitas apabila item
pertanyaan tersebut mempunyai kesesuaian dengan fungsi kuesioner secara
keseluruhan yaitu dengan mengukur konstruk atau variabel yang diukur yaitu
koefisien korelasi item total.
Uji validitas dilakukan dengan menggunakan analisis statistik yaitu dengan
menghitung korelasi antar skor instrumen dengan skor total. Uji validitas yang
digunakan korelasi product momet yaitu korelasi skor masing-masing
kuesioner/indikator dengan skor total seluruh indikator. Suatu indikator
dikatakan valid jika pada tarif nyata (α) 5% nilai p< 0,05 (Kusnendi,
2007;Wibowo, 2004). Uji realibilitas dimaksudkan untuk menguji kemantapan
dan kekonsistenan suatu insrumen penelitian mengukur apa yang diukur.
Statistik uji yang paling umum digunakan untuk menguji reliabilitas adalah
koefisien Cronbach alpha. Suatu instrumen memiliki realibilitas yang
memadai jika koefisien Cronbach alpha lebih besar atau sama dengan 0,70
(Hair dkk, 2006).
2. Evaluasi Model
Evaluasi model dalam SEM merupakan suatu masalah yang masih belum
terpecahkan dan menjadi perdebatan para ahli. Bollen (1993, MacCallum
(1990) dan Steiger (1990) memberikan suatu pandangan dan rekomendasi yang
berbeda dalam menyatakan suatu modul fit. (Gohzali, 2005). Dalam SEM uji
kecocokan terdiri dari validitas dan reliabilitas model pengukuran dan
signifikansi koefisien model struktural.
Beberapa uji kecocokan model dalam SEM yang dibedakan atas 3 jenis yaitu
(Hair dkk. 2006) :
a. Kecocokan keseluruhan model (overall model fit)
114
Suatu model diharapkan menghasilkan estimasi matriks kovariansi populasi (Σ)
yang tidak berbeda dari matriks kovarians data sampel (S), sehingga hipotesis
statistik uji kesesuaian model dirumuskan sebagai berikut :
Ho : S = Σ, tidak ada perbedaan antara matriks kovariansi sampel dengan
matriks kovariansi populasi. Syarat Ho diterima bila nilai p ≥
0,05.
H1 : S ≠ Σ, ada perbedaan antara matriks kovariansi sampel dengan
matrik kovariansi populasi. Syarat H1 diterima bila nilai p <
0,05.
Hasil uji statistik diharapkan menerima hipotesis nol (p ≥ 0,05), dimana model
dikatakan fit dengan data artinya model yang diusulkan mampu mengestimasi
matriks kovariansi populasi (Σ) yang tidak berbeda dengan matriks kovariansi
data sampel (S).
Kecocokan seluruh model dimaksudkan untuk mengevaluasi secara umum
derajat kecocokan (GOF) antara data dengan model. SEM tidak mempunyai
satu uji statistik terbaik yang dapat menjelaskan kekuatan prediksi model.
Sehingga dalam menilai ukuran GOF dilakukan kombinasi penilaian dengan
mempertimbangkan 3 kecocokan keseluruhan (overall fit), kecocokan
komparatif terhadap model dasar (comparative fit to base model) dan
parsimoni model (parsimoni model) yaitu :
1) Ukuran kecocokan absolut (absolute fit measures), uji ini berkaitan dengan
sejauh mana kemampuan model untuk menghasilkan matriks kovarians
model adalah Chi-squre ( ), untuk menguji kedekatan kecocokan antara
matriks kovarian sampel (S) dengan kovaian model (Σ( )),2) Ukuran Kecocokan incremental (incremental fit measures), Ukuran
kecocokan ini membandingkan model yang diusulkan dengan model dasar
(baseline model) disebut juga null model atau independence model. Null
model adalah model dimana semua variabel didalam model saling bebas
satu sama lain. Konsep ini menempatkan tingkat kecocokan model data
115
dari model-model lain akan berada diantara kedua model dan menurut
Mueller (1986) kondisi ini disebut juga nested model (Wijanto, 2008).
3) Ukuran Kecocokan parsimoni (parsimoni fit measures) adalah Model yang
mempunyai parsimoni (kehematan tinggi) adalah model dengan parameter
relatif sedikit dan degree of freedom yang banyak. Uji kecocokan
parsimoni mengaitkan GOF model dengan jumlah parameter yang
diestimasi untuk mencapai kecocokan pada tingkat tersebut. Parsimoni
didefinisikan sebagai memperoleh degree of fit setinggi-tingginya untuk
setiap degree of freedom (Wijanto, 2008).
Ukuran kecocokan parsimoni yang digunakan dalam SEM adalah :
a) Parsimonis normed fit index (PNFI), PNFI merupakan modifikasi dari
NFI. PNFI memperhitungkan banyaknya degree of freedom (df).
PNFI = ( / ) x NFI (II.1)
Nilai PNFI yang lebih tinggi yang lebih baik. PNFI digunakan untuk
membandingkan model-model alternatif. Perbedaan 2 model antara 0.06
sampai 0.09 menandakan perbedaan model yang cukup besar (Hair
dkk.2006).
b) Parsimonis Goodness of Fit Index (PGFI), PGFI berdasarkan parsimony
dari model yang diestimasi.
PGFI = ( / ) x GFI (II.2)
Nilai PGFI berkisar antara 0 dan 1, dengan nilai yang lebih tinggi
menunjukkan model parsimoni yang lebih baik.
c) Akaike Information Criterion (AIC), adalah ukuran yang digunakan untuk
membandingkan beberapa model dengan jumlah konstruk yang berbeda,
AIC dihitung dengan rumus berikut.
AIC = + 2. (II.3)
Dimana q adalah jumlah parameter yang diestimasi. Nilai AIC yang kecil
atau mendekati nol menunjukkan kecocokan yang lebih baik.
d) Consistency Akaike Information Criterion (CAIC), AIC memberikan
penalty hanya pada df dan tidak berkaitan dengan ukuran sampel. Untuk
itu CAIC mengikutsertakan ukuran sampel.
116
CAIC = + (1+1n.n) * q, (II.4)
Dimana n adalah jumlah observasi
b. Kecocokan model pengukuran (measurement model fit)
Jika kecocokan model dengan data secara keseluruhan adalah baik, selanjutnya
ialah melakukan uji kecocokan model pengukuran atau evaluasi. Evaluasi
dilakukan terhadap setiap konstruk atau model pengukuran (hubungan antara
sebuah variabel laten dengan beberapa indikator) secara terpisah yaitu :
1). Evaluasi terhadap validitas dari model pengukuran, menunjukkan
kemampuan suatu variabel mengukur (instrument) penelitian mengukur dengan
tepat apa yang hendak diukur (Hair dkk. 2006). Koefisien bobot faktor yang
distandarkan (standardized loading factors) merupakan ukuran untuk
menentukan validitas setiap indikator dalam mengukur variabel-variabel
latennya (Bollen, 1989).
Suatu indikator dinyatakan baik atau mempunyai validitas yang memadai jika
a) Nilai t bobot faktornya (loading factors) lebih besar dari nilai kritis
(≥ 1.96 untuk taraf nyata 0,05),
b) Bobot faktor standarnya (standardized loading factors) ≥ 0,50 (Hair
dkk. 2008).
2). Evaluasi terhadap realibilitas dari model pengukuran. Realibilitas adalah
konsistensi suatu pengukuran. Realibilitas tinggi menunjukkan bahwa
indikator-indikator mempunyai konsistensi tinggi dalam mengukur konstruk
latennya. Realibilitas dalam SEM digunakan composite reliability measure dan
variance extracted measure. Realibilitas komposit suatu konstruk dihitung
sebagai Construct Realibility (CR) adalah (Hair dkk. 2006) := (∑ )(∑ ) (∑ ) (II.5)
Di mana, λ dan e masing-masing menyatakan taksiran loading yang dibakukan
(standardized), dan taksiran varians error pengukuran. Menurut Hair (2006),
tingkat cut-off untuk menyatakan indikator-indikator tersebut “relible” untuk
mengukur konstrak tersebut adalah CR ≥ 0.70, sedangkan menurut Bagozzi
dan Yi (1988) adalah ≥ 0,60 (Ghozali, 2005).
117
Ekstrak varian mencerminkan jumlah varian keseluruhan dalam indikator-
indikator yang dijelaskan oleh variabel laten, ukuran ekstrak varian adalah
sebagai berikut (Hair dkk. 2006).= (∑ )(∑ ) (∑ ) (II.6)
Nilai VE ≥ 0,05 menunjukkan variabel laten mempunyai realibilitas yang baik
(Hair dkk. 2006).
c. Kecocokan model struktural (structural model fit).
Evaluasi model struktural difokuskan pada hubungan-hubungan antara variabel
laten eksogen (ζ) dengan variabel laten endogen (η). Evaluasi ini dimaksudkan
untuk memastikan apakah hubungan-hubungan yang dihipotesiskan pada
konsep model didukung oleh data empiris yang diperoleh dari hasil survai. Hal
yang perlu diperhatikan menguji kecocokan model struktural yaitu :
a. Pemeriksaan terhadap signifikansi koefisien-koefisien yang diestimasi,
dimana memberikan informasi berguna mengenai hubungan antara
variabel-variabel laten. Batas untuk menolak/menerima suatu hubungan
ditentukan dari nilai t, untuk tingkat signifikansi 5% ( = 0,05) adalah
1,96. Jika nilai t statistik terletak antara -1,96 dan 1,96, maka hipotesis
yang menyatakan adanya hubungan pengaruh ditolak. Sedangkan jika
nilai t statistik lebih besar dari ± 1,96 (t > |1,96|), maka hipotesis yang
menyatakan adanya hubungan pengaruh harus diterima.
b. Evaluasi terhadap solusi standar dimana semua koefisien mempunyai
varian yang sama dan nilai maksimumnya adalah 1. Koefisien-koefisien
tersebut serupa dengan koefisien beta dalam regresi berganda, yaitu nilai
koefisien yang mendekati nol menandakan pengaruh yang semakin kecil.
Peningkatan nilai koefisien tersebut berhubungan dengan peningkatan
pentingnya variabel yang bersangkutan dalam hubungan kausal.
c. Ukuran menyeluruh terhadap persamaan struktural, overall coefficient of
determination ( ) dihitung seperti pada regresi berganda. Koefisien
determinansi pada persamaan struktural mengindikasikan jumlah
varians pada variabel laten endogen yang dapat dijelaskan secara simultan
oleh variabel-variabel independen. Semakin tinggi nilai , maka
118
semakin besar variabel-variabel independen tersebut dapat menjelaskan
variabel endogen, sehingga semakin baik persamaan struktural.
Prosedur Analisis SEM
EFA dan CFA sering dilakukan bersamaan, seperti EFA digunakan untuk
memperbaiki faktor struktur dan kemudian menggunakan CFA untuk
pengembangan skala lebih lanjut dan membangun validitas. Sebenarnya, itu
jumlah faktor laten tidak ditentukan pada awal EFA sementara jumlah ini dapat
terjadi dihipotesakan dalam CFA (Rencher & Christensen, 2012).
Linear Structural Relationship (LISREL) merupakan salah satu program SEM
yang paling banyak digunakan saat ini. Program ini dikembangkan oleh Karl
Joreskog dan Dan Sorbom pada tahun 1974. Lisrel merupakan satu-satunya
program SEM yang tercanggih dan dapat mengestimasi persoalan SEM yang
hampir tidak mungkin dilakukan oleh program SEM lainnya. Selain itu Lisrel
merupakan program SEM yang sangat informatif dalam menghasilkan hasil uji
statistiknya sehingga modifikasi model dapat dengan mudah diatasi.
Variabel yang diamati dapat dianggap sebagai tanggapan terhadap pertanyaan dan
diwakili oleh empat persegi panjang, sedangkan variabel laten (faktor) adalah
konstruksi minat yang tidak teramati diwakili oleh oval dalam model CFA.
Variabel laten dapat dibagi menjadi eksogen dan variabel endogen. Variabel
eksogen seperti variabel independen yang tidak disebabkan oleh variabel lain,
sedangkan variabel endogen (variabel dependen) dipengaruhi oleh variabel lain
variabel dalam model.
Analisis SEM dilakukan dengan bantuan software program Lisrel 8, dimana
hubungan variabel laten dan observasi dilakukan secara simultan. Terdapat 2
model analisis dalam SEM yaitu model pengukuran (measurement model) dan
moel struktural (structural model), dimana pada tahap 1 analisis model persamaan
pengukuran dengan confirmatory factor analysis (CFA) dalam penelitian ini
digunakan secondary CFA (CFA 2 ). Pada tahap 2 adalah analisis persamaan
119
struktural dilakukan dengan analisis simultan (full SEM) persamaan pengukuran
dan persamaan struktural. Prosedur analisis SEM seperti ditunjukkan pada bagian
alir proses analisis pada langkah-langkah berikut :
1. Model CFA (Tahap 1)
Model CFA terdiri dari 2 jenis yaitu model CFA first order dan model CFA
second order. Pada penelitian ini menggunakan pendekatan Second Order
Confirmatory (2ndCFA) yaitu model pengukuran yang terdiri dari 2 tingkat.
Tingkat pertama (first order) adalah hubungan indikator-indikator dengan
variabel-variabel latennya dan tngkat kedua (second order) adalah CFA yang
menunjukkan hubungan antara variabel-variabel latennya dan tingkat kedua
(second order) adalah CFA yang menunjukkan hubungan antara variabel-
variabel laten pada tingkat pertama sebagai iondikator-indikator pada variabel
laten pada tingkat kedua.
Perangkat lunak Lisrel digunakan untuk menguji identifikasi model saat
melakukan CFA dengan derajat kebebasan (df > 0). Maximum Likelihood (ML)
adalah metode estimasi yang paling umum digunakan dan sangat kuat untuk
pelanggaran moderat (Brown, 2006; Harrington, 2009). ML membutuhkan
distribusi normalitas multivariat dengan nilai absolut condong kurang dari 3,0
dan kurtosis kurang dari 10,0 (Kline, 1998). Namun, nilai absolut kurtosis
sampai 20,0 mungkin tidak bermasalah dengan estimasi ML (Harrington,
2009).
Metode pengujian model CFA goodness-of-fit dibahas secara rinci di bagian
pemodelan persamaan struktural Indeks goodness of fit ini digunakan untuk
menentukan bagaimana caranya modelnya pas dengan data yang terkumpul.
Breckler (1990) menyarankan praktisi untuk memeriksa kebaikan sesuai
dengan beberapa kriteria daripada mengandalkan statistik tunggal. Model fit
pada CFA dan SEM telah dinilai dengan menggunakan Uji kebaikan seperti uji
statistik Chi-square (χ2), kesalahan kuadrat rata-rata dari aproksimasi
(RMSEA), indeks Tucker dan Lewis (TLI), dan indeks kecocokan komparatif
(CFI) sebagaimana adanya direkomendasikan dalam literatur (Byrne, 2006;
120
Meade, Johnson, & Braddy, 2008). Chi-kuadrat (χ2) Tes apakah model ini
sesuai dengan populasi sementara RMSEA menguji sejauh mana ini model
cukup sesuai (Harrington, 2009). Baik CFI dan TLI digunakan untuk
mengevaluasi kecocokan model relatif terhadap model null.
Indeks ini adalah ukuran pengurangan skala kekurangan fit saat menguji model
hipotesis. Hu dan Bentler (1999; 1998) merekomendasikan standar berikut
untuk menilai model: RMSEA ≤ 0,06, TLI ≥ 0,95, CFI ≥ 0,95, dan χ2 tidak
signifikan pada (nilai p ≥ .05). Namun, nilai CFI dan TLI sebesar 0,90-0,95
menunjukkan kecocokan yang dapat diterima, dan nilai RMSEA 0,05-0,08 juga
dapat diterima (Bentler, 1990; Kline, 1998). Selain itu, informasi Akaike
Information Criterion (AIC) dan the expected cross-validation index (ECVI)
juga digunakan. AIC yang lebih kecil dan ECVI menyarankan model ini lebih
sesuai bila membandingkan dua atau lebih model pada kumpulan data yang
sama (Harrington, 2009).
Indeks RMSEA, TLI, dan CFI telah ditemukan berkinerja baik dalam
mendeteksi model dengan pemuatan faktor yang tidak spesifik (Hu & Bentler,
1998). Chi-square goodness-of-fit-test memiliki keterbatasan dari peningkatan
probabilitas untuk menolak model hipotesis karena ukuran sampel didapatkan
lebih besar atau ada masalah non-normal seperti kurtosis tinggi (Rencher &
Christensen, 2012).
2. Model Full SEM (Tahap)
Pada tahap ini analisis dilakukan secara simultan dalam SEM adalah analisis
kombinasi/gabungan antara persamaan pengukuran dan persamaan struktural,
model analisis ini disebut juga model hybrid/full SEM (Wijanto, 2008).
Metode ini mengestimasi parameter model persamaan pengukuran dan
struktural secara simultan.
Pada proses analisis ini, data input pada model pengukuran (CFA) dibuat
soring pada variabel-variabel laten yang selanjutnya menjadi indikator-
121
indikator dari kualitas pelayanan. Proses ini disebut skor variabel laten atau
Latent Variable Score (LVS). Perhitungan LVS ini tersedia pada program
Lisrel 8.
Pemodelan persamaan struktural (SEM) adalah suatu metodologi statistik yang
mengambil pengujian pengukuran, prediksi, dan hipotesis kausal mendekati
analisis teori structural (Bagozzi & Yi, 2012; Byrne, 2006). SEM dianggap
sebagai bagian dari keluarga yang ada teknik statistik multivariat seperti
analisis faktor, regresi berganda, dan analisis varians (Bagozzi & Yi, 2012).
SEM menyediakan metodologi alternatif dan komplementer untuk memeriksa
masuk akal model hipotesis melalui pemeriksaan empiris (Maruyama, 1998).
SEM membantu peneliti untuk mengartikulasikan pemikiran mereka tentang
hubungan satu laten variabel dengan model lainnya. Hubungan antara variabel-
variabel ini didefinisikan oleh sebuah seri dari persamaan yang
menggambarkan struktur hubungan yang dihipotesiskan. Apalagi
menggunakan SEM membantu dalam menilai apakah model tersebut dapat
dianggap masuk akal sesuai dengan data.
Perbedaan antara CFA dan model SEM adalah CFA berfokus pada hubungan
antara variabel laten dan ukuran pengamatan mereka, sedangkan SEM
mencakup jalur kausal di antara variabel laten itu sendiri (Harrington, 2009).
3. Estimasi Parameter
Sebelum proses estimasi dilakukan terlebih dahulu dilakukan identifikasi
model untuk mendapatkan hasil estimasi yang baik. Terdapat 3 kategori
identifikasi model dalam persamaan simultan yaitu (Wijanto, 2008;) :
Under-identified, adalah model dengan jumlah parameter yang diestimasi
lebih besar dari jumlah data yang diketahui. Model ini disebut juga model
unidentified models merupakan model yang tidak dapat diidentifikasi.
Just-identified, adalah model dengan jumlah parameter yang diestimasi
sama dengan data yang diketahui. Model ini disebut juag saturated models
atau perfect fit models artinya model ini mampu mengestimasi semua
122
parameter model yang nilainya cenderung sama dengan statistik data
sampel.
Over-identified, artinya model dengan jumlah parameter yang diestimasi
lebih kecil dari jumlah data yang diketahui. Model ini paling disukai karena
dapat mengestimasi seluruh parameter yang ada dalam model dan dapat
dievalusi secara utuh oleh berbagai statistik uji. Identikasi model dapat
diketahui dengan melihat derajat kebebasan (degree of freedom), besarnya
derajat kebebasan dirumuskan sebagai berikut :
Degree og freedom, df = ½ (p+q) (p+q+1) – t (II.28)
Dimana p adalah jumlah variabel eksogen yang dapat diobservasi langsung, q
adalah jumlah variabel endogen yang dapat diobservasi langsung dan t adalah
jumlah parameter model yang diestimasi.
Jumlah parameter model yang diestimasi dalam Lisrel meliputi :
Semua koefisien bobot faktor (loading factor) indikator variabel laten
eksogen dan endogen (λ).
Semua kesalahan pengukuran indikator variabel laten eksogen ( ) dan
endogen ( ).
Semua koefisien kovariansi atau koefisien korelasi (Φ) antar variabel
laten eksogen.
Semua koefisien jalur variabel eksogen terhadap variabel laten endogen
( ) dan koefisien jalur variabel endogen terhadap variabel laten endogen
lainnya ( ), tetapi tidak termasuk koefisien kesalahan persamaan
struktural.
Berdasarkan nilai derajat kebebasan (df), dapat diidentikasi model yaitu (Hair
et al. 2006) :
Under-identified apabila df < 0,
Just-identified apabila df = 0,
Over-identified apabila df > 0.
123
Estimasi parameter hubungan antar variabel-variabel dalam model diperlukan
untuk menentukan besaran pengaruh antar variabel-variabel dan signifikansi
model hubungan pengaruh antar variabel-variabel dalam model. Nilai-nilai
parameter seperti λ, , , , Φ diharapkan hasil estimasi matriks kovarian
yangditurunkan dari model (model implied covariance matrix), ∑( ) sedekat
mungkin atau sama dengan matriks kovarian populasi dari variabel-variabel
teramati ∑.
Dalam SEM terdapat beberapa fungsi yang diminimisasikan F yaitu (Wijanto,
2008) :
Maximum Likelihood (ML) Estimator : adalah estimator yang paling banyak
digunakan dalam SEM. ML mempunyai beberapa karakteristik yang
penting yang merupakan asimptotik sehingga berlaku untuk sampel yang
besar (Bollen, 1989). ML untuk sampek kecil secara asimptotik tidak bisa,
ML adalah konsisten dan ML adalah asymptotically efficient, demikian
sehingga diantara estiamotor yamg konsisten tidak ada yang mempunyai
asymptotic variance lebih kecil. Distribusi dan estimator mendekati
distribusi normal ketika ukuran sampel meningkat.
4. Evaluasi Model
Evalusi dilakukan terhadap model pengukuran dan model struktural. Evaluasi
dilakukan dengan menguji kecocokan model dengan data. Hal ini dilakukan
setelah estimasi parameter model pengukuran didapatkan yaitu mengukur
validitas dan realibilitas model pengukuran dan signifikansi koefisien-koefisien
dan nilai GOF dari model struktural.
Suatu model dinyatakan fit dengan data jika matriks kovarian model dengan
matriks kovarian data adalah identik. Beberapa kriteria ukuran kecocokan GOF
yang dapat digunakan seperti telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya yang
meliputi : kecocokan seluruh model, kecocokan model pengukuran dan
kecocokan model struktural.
5. Respesifikasi dan Pengembangan Model
124
Setelah uji kecocokan dilaksanakan dari suatu konsep (awal) yang
memperlihatkan nilai-nilai bobot faktor, koefisien, estimasi dan GOF, maka
tahap selanjutnya adalah respesifikasi model. Respesifikasi dilakukan jika
konsep /model awal tersebut tidak baik atau belum memenuhi kriteria uji
kecocokan yang disyaratkan antara lain : uji validitas dan realibilitas model, uji
kecocokan keseluruhan model.
Respesifikasi dilakukan denganstrategi pengembangan model yaitu jika pada
model awal tidak cocok dengan data empiris, maka dilakukan modifikasi dan
diuji kembali hingga didapatkan suatu model yang baik (fit). Model yang baik
diartikan bahwa semua parameternya baik (Hair dkk. 2006).
Prosedur evalusi model dilakukan dengan pendekatan two step approach yaitu
merespesifikasikan sebuah model hybrid sebagai sebuah CFA atau hanya
komponen model persamaan pengukuran yang dispesifikasikan. Jika hasil
kecocokan model CFA adalah fit, maka selanjutnya model hybrid akan baik
(fit) pula terhadap data. Sehingga diharapkan pada tahap model CFA
didapatkan model yang dapat diterima yaitu model dengan validitas dan
realibility yang baik.
Salah satu cara untuk mendapatkan model adalah dengan trimming, dimana
indikator-indikator yang terobservasi mempunyai standardized loading faktor
tidak signifikan (t < 1,96) dan signifikan (t > 1,96) tetapi jika terdapat nilai
loading faktor < 0,05, maka indikator tersebut dihilangkan dari model.
Respesifikasi dilakukan dengan melakukan modifikasi pada program
SIMPLIS. Beberapa peunjuk cara perubahan yang dapat dilakuakan jika terjadi
hal-hal sebagai berikut (Wijanto, 2008) :
Nilai Standardized loading factor variabel terobservasi < 1 sebagai akibat
oleh adanya negative error variance, maka perubahan dilakukan
menambahkan statemen : set error variance of (name variabel) to 0,01.
Untuk standar eror yang sangat besar biasanya diakibatkan oleh
misspecification, diperlukan pemeriksaan awal secara menyeluruh termasuk
data dari variabel terobservasi.
125
Pada model pengukuran terdapat nilai t-value < 1,96, dan bobot faktor <
0,50, maka indikator tersebut dikeluarkan atau tidak diikutkan dalam model.
Untuk meningkatkan kecocokan keseluruhan model, kita dapat
memanfaatkan saran pada modification index (MI) dari output program
Lisrel dari model awal.
Saran pada MI terdiri dari 2 bagian yaitu : pertama adalah menambahkan lintasan
(path) diantara variabel teobservasi dengan variabel lainnya. Kedua, adalah
menambahkan 2 korelasi antara 2 buah error variance dari variabel-variabel
terobservasi. Saran pertama akan menyebabkan model penelitian mangalami
perubahan secara substansi (konsep). Sedangkan saran kedua tidak menyebabkan
perubahan model yang signifikan (tidak substansi). Sehingga disarankan terlebih
dahulu dilakukan saran kedua yaitu dengan menambahkan statemen pada program
SIMPLIS : let error covariance between (nama variabel) dan (nama variabel)
correlate.
126
127
Bab III Metodologi Penelitian
III.1 Kajian Pendahuluan
Untuk meningkatkan kepercayaan pada masyarakat tentang kehandalan sistem
transportasi udara yang menyajikan keselamatan penerbangan maka perlu dikaji
faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan penerbangan. Pembahasan
sebelumnya kecelakaan atau insiden yang terjadi selalu melibatkan faktor
manusia. Hal ini menunjukkan pentingnya penelitian faktor perilaku manusia.
Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara struktur organisasi dan lingkungan, pengetahuan keselamatan, perilaku
tidak aman dan hasil keselamatan di lingkungan perawatan pesawat terbang.
Kajian pendahuluan ini diawali dari upaya memahami kompleksitas permasalahan
transportasi angkutan udara yang dilakukan melalui kajian fenomena keselamatan
transportasi angkutan udara di Indonesia. Selanjutnya berdasarkan pemahaman
terhadap fenomena keselamatan tersebut, riset ini dikembangkan berdasarkan
keinginan untuk dapat menjawab pertanyaan yaitu sejauh mana hubungan antara
desain organisasi dapat mempengaruhi hasil keselamatan organisasi, dan dapat
dimodelkan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka langkah riset selanjutnya
adalah melakukan tinjauan atau studi literatur terhadap model-model keselamatan
transportasi udara yang pernah dilakukan. Hasil tinjauan terhadap model-model
yang ada menjadi dasar untuk menentukan posisi riset doktoral terutama dalam
128
mengembangkan kebaharuan dari model keselamatan organisasi. Hasil tinjauan
juga menunjukkan ruang dimana sebaiknya area pengembangan model yang perlu
dilakukan.
Proses penelitian secara umum dapat dilihat pada alur metodologi penelitian pada
gambar I.1
129
Kajian Pendahuluan
Survei Pendahuluan
Desain Metode Survei, Sampling,dan Kuesioner
Penentuan Faktor-FaktorPenelitian
DesainOrganisasi
IklimKeselamatan
KinerjaKeselamatan
HasilKeselamatan
Penentuan Variabel Operasional
Pengumpulan Data
KNKT (Komite NasionalKeselamatan Transportasi)
Perusahaan MRO(Maintenance, Repair, Overhaul)
DATA RESPONDEN1. Desain Organisasi 4. Hasil Keselamatan2. Iklim Keselamatan3. Kinerja Keselamatan
DATA PENDUKUNG
Kompilasi Data
Intepretasi Hasil
Kesimpulan danPenelitian Selanjutnya
Konseptualisasi Model
Penyusunan Diangram Alur(path diagram)
Spesifikasi Model
Identifikasi Model
Estimasi Parameter
Penilaian Model Fit
Modifikasi Model
Validasi Silang Model
MetodeAnalisis SEM
Gambar III.1 Tahap Pelaksanaan Penelitian
130
III.2 Survei Penelitian
Survei pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas
pada area kajian yang akan diteliti. Selama proses survei ini peneliti melakukan
penjajagan lapangan (field study) terhadap latar belakang penelitian, mencari data
dan informasi tentang keselamatan dan organisasi. Peneliti juga menempuh upaya
konfirmasi ilmiah melalui penelusuran literatur dan referensi pendukung
penelitian.
Selanjutnya peneliti melakukan penyusunan rancangan penelitian yang meliputi
garis besar metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian.
Survey pendahuluan ini juga dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang
pentingnya/relevansinya isi kuesioner dengan sasaran yang diharapkan sesuai
dengan tujuan penelitian. Hasil survei akan menjadi masukan dalam merancang isi
kuesioner sesungguhnya, teknik survei, disain sampel, target responden waktu
pelaksanaan, kebutuhan lain yang diperlukan dan format kuesioner yang tepat.
Survei ini dilakukan di lokasi bengkel pesawat yang memiliki hanggar dan
operasional maskapai yang berada di Bandung, Jakarta dan Batam. Lokasi
pengambilan data ditunjukkan pada gambar III.2, gambar III.3, gambar III.4.
Survei awal dilakukan di Kota Bandung dan Jakarta. Untuk tahap berikutnya
survei penyebaran kuesioner dilakukan di kota Bandung, Jakarta dan Batam. Pada
saat survey awal dilakukan wawancara pada manajemen perusahaan MRO
tersebut. Selain itu juga untuk menggali lebih banyak informasi mengenai
kecelakaan pesawat udara dan tingkat keselamatan pesawat udara di Indonesia
wawancara juga dilakukan kepada Ketua KNKT Republik Indonesia.
131
Gambar III.2 Lokasi survei di Bandung
Gambar III.3 Lokasi survei di Jakarta
Gambar III.4 Lokasi survei di Batam
132
III.3 Desain Metode Survei, Sampling dan Kuesioner
Setelah melakukan survei pendahuluan maka proses selanjutnya adalah
melakukan desain metode survei, sampling dan kuesioner. Adapun tahapan
kegiatan pelaksanaan survei dilaksanakan sebagaimana pada gambar III.5
Gambar III.5 Langkah Survei
Sumber : Bahar, 2011
Langkah pertama sebelum membagikan kuesioner adalah melakukan pertemuan
dengan pihak manajemen dari perusahaan yang akan diambil sebagai sampel
penelitian. Manajemen dari setiap perusahaan mendorong para pemimpin unit
untuk mendukung dan mendorong karyawan mereka untuk ikut serta dalam
penelitian ini. Penyebaran kuesioner dilakukan sebagaimana dijelaskan dalam
tabel III.1
Tabel III.1 Penyebaran Kuesioner
Organisasi LokasiJumlah
karyawan
Jumlahkuesioner
yangdisebar
Jumlahkuesioner yang
kembali
MRO 1 Jakarta 6000 630 206MRO 2 Bandung 90 70 30MRO 3 Batam 2000 200 17MRO 4 Jakarta 60 60 38MRO 5 Bandung 40 40 15
Total 8.190 1.000 306
Perusahaan tersebut merupakan perusahaan untuk perawatan, perbaikan, dan
overhaul pada pesawat terbang (Maintenance, Repairment, Overhaul MRO) yang
tersertifikasi oleh Directorat General of Air Communication (DGAC) dengan
133
mengantongi sertifikat CASR 145. Responden adalah mekanik yang dijamin
kerahasiaannya. Mereka diijinkan berpartisipasi dalam waktu kerja.
Para responden menerima kuesioner dari pimpinan unit masing-masing. Survei
tersebut bersifat anonim dan berisi sebuah surat yang mengkonfirmasikan
dukungan manajemen untuk berpartisipasi.
Satu bulan adalah periode pengumpulan kuesioner per MRO dan ada juga
pengingat mingguan melalui jalur komunikasi yang tersedia untuk mendorong
peserta segera mengisi kuesioner. Selain itu, beberapa kuesioner dikelola oleh
peneliti di lokasi. Beberapa lainnya survei dikembalikan langsung ke peneliti yang
dimasukkan dalam amplop.
Sebanyak 1000 kuesioner dibagikan kepada lima perusahaan. Secara keseluruhan,
hasil kuesioner diterima dari 306 peserta atau dengan tingkat respon 30,6%. Item-
item pertanyaan kuesioner terjawab sepenuhnya sehingga 306 sampel dapat
dianggap mewakili untuk diolah selanjutnya.
Untuk data sekunder diambil dari data kecelakaan dan penyebab kecelakaan dari
laporan KNKT tahun 2017.
Ukuran Sampel
Data penelitian yang baik adalah data populasi, namun karena keterbatasan waktu,
tenaga dan biaya dapat dilakukan dengan cara sampling. Ukuran sampel (n) untuk
penaksiran rata-rata mean tergantung pada tingkat kepercayaan estimasi ( ),
standar deviasi sampel (s) dan estimasi tingkat perbedaan kesalahan rata-rata
antara sampel dan populasi (e). secara matematis rumus besarnya sampel adalah
(Walpole dkk. (2002) :
= / (III.1)
Dimana : n = ukuran sampel yang diperlukan
Zα/2 = nilai Z pada tingkat kepercayaan α
S = Standar deviasi
e = estimasi tingkat kesalahan / penyimpangan.
134
Ukuran sampel minimal untuk survai sesungguhnya ditentukan dari nilai n
terbesar dari semua variabel dari data survai pendahuluan. Contoh pada data
survai pendahuluan Variabel X1 didapatkan nilai standar deviasi (S) = 0,596, nilai
Z pada ( , 0,05) = 1,96 dan prediksi kesalahan ditetapkan kurang dari 10% maka
ukuran sampel minimal untuk variabel X1 adalah :
N = [(1,96 x 0,596) / (0,10)] = 137 sampel.
Dalam penelitian ini digunakan 306 sampel dari 5 perusahaan perawatan pesawat
Udara.
Sebenarnya, ukuran sampel lebih bergantung pada stabilitas koefisien korelasi dan
tidak pada jumlah variabel (Gorsuch, 1997). Menurut Fabrigar dan Wegener
(2012), sampel minimal 200 atau lebih diterima saat ada kondisi baik seperti nilai
komunalitas 0,40-0,70 dan 3 sampai 5 yang diukur variabel pemuatan pada
masing-masing faktor.
Jika pengukurannya kuat dengan indikator 3 atau 4 per faktor, reliabilitas yang
baik, dan bukan model jalur struktural yang kompleks, maka sampel berukuran 50
atau 100 bisa menggunakan pemodelan persamaan struktural (Iacobucci, 2010).
Selain itu, Bollen (1990) mengemukakan bahwa jika indikatornya dapat
diandalkan dan efeknya kuat dan modelnya tidak rumit, sampelnya cukup lebih
kecil. Kline (1998) menunjukkan ukuran sampel lebih besar dari 200 dapat
dianggap sebagai besar dan dapat diterima untuk sebagian besar model. Oleh
karena itu, ukuran sampel saat ini (N = 306) sudah cukup untuk lakukan analisa
data.
Desain Kuesioner
Berdasarkan tujuan dan sasaran penelitian adalah untuk mengetahui factor-faktor
yang mempengaruhi keselamatan organisasi pada transportasi udara di Indonesia,
Oleh karenanya kuesioner pada penelitian terdiri dari :
1. Sosio demografi , seperti usia, gender, pendidikan terakhir, Departemen,
posisi Kerja, pernah kerja di perusahaan sebelumnya, lama bekerja di
135
perusahaan sebelumnya, pengelaman bekerja di bidang perawatan udara,
berapa kali mengikuti pelatihan keselamatan kerja.
2. Penilaian tata kelola bekerja terdiri dari formalisasi, Spesialisasi,
Wewenang, Desentralisasi. Penilaian situasi bekerja yang dipengaruhi oleh
kondisi ekternal yaitu Kompetisi dam Sumber Daya.
3. Penilaian Iklim Keselamatan yang terdiri dari Komitmen dan kemampuan
manajemen keselamatan kerja, Pemberdayaan manajemen keselamatan
kerja, Keadilan manajemen keselamatan kerja, Komitmen pekerja terhadap
keselamatan kerja, Prioritas keselamatan pekerja dan tidak ditoleransinya
risiko bahaya, Pembelajaran, komunikasi, dan kepercayaan, Kepercayaan
terhadap keefektifan sistem keselamatan kerja
4. Penilaian Tindakan Tidak Aman yang terdiri dari Pelanggaran dan
Kesalahan.
5. Penilaian Perilaku Melaporkan Tindakan Tidak Aman yang terdiri dari
Jaminan dalam melaporkan dan Kemudahan pembuatan laporan
6. Penilaian Pengetahuan Keselamatan terdiri menangani Bahaya dan
mengetahui prosedur darurat
7. Penilaian hasil Keselamatan karyawan adalah jumlah kecelakan dan Cidera
yang berkurang yang dialami oleh karyawan.
8. Penilaian kelaikan pesawat udara adalah prosedur yang diikuti oleh para
teknisi dan engineer dalam merealese pesawat yang dinyatakan laik.
Alat ukur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
tertutup. Skala yang digunakan adalah skala Likert. Rennis Likert (1932). Skala
Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala Likert, maka variabel
yang diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut
dijadikan sebagai tolok ukur untuk menyusun item-item instrumen yang dapat
berupa pertanyaan atau pernyataan.
Skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai dengan sangat negatif
yang dapat berupa kata-kata dengan diberi skor, seperti dijelaskan pada tabel III.1.
Skala dengan 5 tingkatan ( 1 sampai 5) adalah yang terbaik, mudah dipahami dan
136
informasi yang didapatkan cukup handal (Sekaran, 1992). Tingkatan penilaian 1
sampai 5 yang merepresntasikan persepsi terhadap suatu atribut dalam variable
yang digunakan. Arti nilai tingkatan tersebut adalah nilai 1 menunjukkan
tingkatan paling rendah (sangat buruk) , nilai 2 merepresentasikan persepsi buruk
atau tidak baik, nilai 3 merepresentasikan persepsi cukup atau netral, nilai 4
merepresentasikan persepsi baik atau memuaskan, atau setuju, nilai 5
merepresentasikan persepsi apresiasi paling tinggi. Nilai skor juga bisa bernilai
terbalik sesuai dengan persepsi responden.
Tabel III.2 Skor Likert
KriteriaSkor
Positif NegatifSangat setuju/ Selalu 5 1Setuju/sering 4 2Ragu-ragu/terkadang 3 3Tidak Setuju/ jarang 2 4Sangat tidak setuju/tidak pernah 1 5
III.4 Variabel Penelitian
Dalam SEM variabel dibedakan menjadi dua, yaitu variabel laten dan variabel
observasi (indikator). Variabel Laten merupakan konstruk teoritis yang tidak
dapat diamati secara langsung, karena itulah variable tersebut didefinisikan secara
operasional dalam kaitannya dengan perilaku yang mewakilinya. Dalam kondisi
ini maka variabel laten harus dapat dihubungkan dengan setidak-tidaknya satu
variabel yang dapat diamati secara langsung. Pada tabel III.3 diperlihatkan
variabel yang menjadi variabel laten dan variabel observasi dalam penelitian ini.
Definisi operasional pada penelitian adalah unsur penelitian yang terkait dengan
variabel yang terdapat dalam judul penelitian atau yang tercakup dalam paradigma
penelitian sesuai dengan hasil perumusan masalah. Teori ini dipergunakan sebagai
landasan atau alasan mengapa suatu yang bersangkutan memang bisa
mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab (Suprianto,
2003). Definisi operasional pada penelitian adalah unsur penelitian
137
memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel (Singarimbun,
1995).
Tabel III.3 Variabel Laten dan Variabel Observasi
Variabel Laten Variabel Observasi Item
Struktur Formalisasi fo1,fo2,fo3,fo4,fo5,fo6Spesialisasi sp1,sp2,sp3,sp4Wewenang we1,we2,we3Desentralisasi ds1,ds2,ds3
Lingkungan Kompetisi ko1, ko2, ko3, ko4, ko5Sumber daya sd1,sd2,sd3,sd4,sd5
Iklim Keselamatan Komitmen Manajemen km1,km2,km3,km4,km5,km6,km7,km8,km9
Pemberdayaan dy1,dy2,dy3,dy4,dy5dy6,dy7
Keadilan ad1,ad2,ad3,ad4,ad5,ad6Komitmen Pekerja kp1,kp2kp3mp4,kp5,kp6Prioritas Keselamatan po1,po2,po3,po4,po5,po6,
po7Pembelajaran bl1,bl2,bl3,bl4,bl5,bl6,bl6,
bl7,bl8Kepercayaan pc1,pc2,pc3,pc4,pc5,pc6
PengetahuanKeselamatan
Bahaya ba1,ba2,ba3Darurat da1,da2,da3
Tindakan Tidak Aman Langgar la1,la2,la3,la4,la5,la6,la7,la8,la9, la10, la11
Salah sa1,sa2,sa3,sa4,sa5,sa6sa7
Perilaku Pelaporan Jaminan ja1,ja2,ja3,ja4,ja5Kemudahan mu1,mu2,mu3
Resiko Keselamatan Kecelakaan ke1, ke2Luka in1, in2
Kelaikan Pesawat Pola Perawatan kl1,kl2Pemenuhan Standar kl3,kl4, kl5
Dari tabel diatas menunjukkan variabel laten yang digunakan sebanyak 8 variabel,
dan variabel observasi sebanyak 23 variabel dengan jumlah item indikator
sebanyak 116.
138
III.4.1 Variabel Operasional Desain Organisasi
Responden diminta untuk mengisi Dimensi struktural terdiri dari 16 item
pertanyaan, yang terbagi dari sub variabel Formalisasi 6 item pertanyaan,
spesialisasi 4 item pertanyaan, wewenang 3 item pertanyaan, Desentralisasi 3
pertanyaaan. Variabel kontingensi terdiri dari 10 item pertanyaan, yang diwakili
oleh variabel Lingkungan yang terbagi menjadi dari Sub variabel kompetisi terdiri
dari 5 pertanyaan yang positif serta kebalikannya. Sub variabel sumber daya
terdiri dari 5 pertanyaan yang postif serta kebalikannya.
Skala Likert 5 point mulai dari 1 adalah sangat tidak setuju sampai poin 5 adalah
sangat setuju. Skor yang lebih tinggi dalam skala ini menunjukkan tingkat
keteraturan, ekstensif dan kepatuhan serta koordinasi yang baik. Tabel III.2
menjelaskan mengenai variabel operasional yang digunakan dalam pengukuran
desain organisasi.
139
Tabel III.4. Variabel Operasional Dimensi Desain Organisasi
Variabel Definisi Sub Variabel Definisi Indikator Item Jumlah
Struktur
Keadaan yangmenggambarkankarakteristik internaldari organisasi danmenciptakan suatudasar untuk mengukurdan membandingkanorganisasi
Formalisasi Jumlah dokumentasi yang tertulis
Peraturan seragam kerja fo1 1 Peraturan dokumen untuk
setiap perintah kerjafo2
1
Peraturan standarisasi kerja fo3,fo6 2 Sanksi pada pelanggaran fo4,fo5 2
SpesialisasiSejumlah pekerjaan dibagitergantung tingkat kesulitan ataujenisnya.
Spesifikasi tugas Sp1,sp2 2 Pembagian tugas sesuai
jabatanSp3,sp4
2
Wewenang
Tingkatan yang berhubungandengan “Span of Control” yaitujumlah karyawan yang melaporpada seorang supervisor.
Monitoring terhadap tugas we1,we2 2
Pengarahan terhadap tugas we31
DesentralisasiMengacu pada hirarki yang manapengambil keputusan dilakukan
Pengambilan keputusanoleh Manajemen
ds1,ds2,ds3 3
Lingkungan
Suatu keadaan yangdapat mempengaruhiorganisasi, Mencakupseluruh elemen di luarlingkup organisasi
KompetisiPengaruh kompetitor terhadapperusahaan
Kondisi kompetitor ko1,ko2,ko3,ko4,ko5(*)
5
Sumber daya Pengaruh ketersediaan sumber daya Kondisi Sumber Daya
sd1, sd2(*),sd3(*),
sd4(*), sd5
5
Jumlah Total 26
Keterangan : (*) Penilaian terbalik
140
III.4.2 Variabel Operasional Iklim Keselamatan
Responden diminta untuk mengisi Iklim keselamatan terdiri dari 7 Dimensi yaitu
Komitmen Manajemen dan kemampuan Manajemen Keselamatan dengan 9
pertanyaan dan diantaranya 4 pertanyaan kebalikannya, Pemberdayaan
Manajemen Keselamatan dengan 7 pertanyaan dan diantaranya 2 pertanyaan
kebalikannya, Keadilan Manajemen Keselamatan Kerja dengan 6 pertanyaan dan
diantaranya 2 pertanyaan kebalikannya, Komitmen Pekerja Terhadap
Keselamatan Kerja dengan 5 pertanyaan dan diantaranya 2 pertanyaan
kebalikannya , Prioritas Keselamatan Pekerja dan tidak ditoleransinya risiko
bahaya dengan 7 pertanyaan diantaranya ada 6 pertanyaan kebalikannya,
Pembelajaran, komunikasi, dan kepercayaan dengan 8 pertanyaan dan diantaranya
1 pertanyaan kebalikannya, Kepercayaan terhadap keefektifan sistem keselamatan
kerja dengan 6 pertanyaan diantaranya 3 pertanyaan kebalikannya.
Skala Likert 5 point mulai dari 1 adalah sangat tidak setuju sampai poin 5 adalah
sangat setuju. Skor yang lebih tinggi dalam skala ini menunjukkan tingkat
keteraturan, ekstensif dan kepatuhan serta koordinasi yang baik. Tabel III.4
menjelaskan mengenai variabel operasional yang digunakan dalam pengukuran
desain organisasi.
141
Tabel III.5 Variabel Operasional Variabel iklim keselamatan NOSACQ-50
Keterangan : (*) Penilaian terbalik
Variabel Definisi Sub Variabel Definisi Indikator Item JumlahIklimkeselamatan
Refleksipersepsipekerjaterhadap nilaikeselamatanyangsebenarnyadalam suatuorganisasi
Komitmen dankemampuanmanajemenkeselamatan kerja
Keterlibatan top management dalamkeselamatan dan prioritas keselamatan
Prioritas keselamatan km1,km2,km3(*)
3
Tanggung jawabkeselamatan
km4,km5(*),km6
3
Sumber daya keselamatan km7,km8(*),km9 (*)
3
Pemberdayaanmanajemenkeselamatan kerja
Arahan perbaikan dalam kebijakan-kebijakan keselamatan, memilikipengaruh dalam menginisiasi danmencapai perbaikan keselamatan,
Inisiasi perbaikankeselamatan
dy1,dy2,dy3 3
Peran dalam kebijakankeselamatn
dy4(*),dy5,dy6(*),dy7
4
Keadilan manajemenkeselamatan kerja
Sikap adil manajemen ketika suatukecelakaan kerja terjadi.
Keseimbangan sikapmanajemen
ad1,ad2(*),ad3,ad4, ad5(*),ad6
6
Komitmen pekerjaterhadap keselamatankerja
Kedisiplinan dan keterlibatan pekerjadalam mencapai perbaikan keselamatan
Kemampuan manajemenmengelola keselamatan
kp1,kp2,kp3(*),kp4(*),kp5,
kp6(*)
6
Prioritas keselamatanpekerja dan tidakditoleransinya risikobahaya
Penyamaan persepsi pihak manajemendan pekerja dalam level prioritaskeselamatan dan produktivitas yangsama dan tidak menoleransi sikap yangdapat berisiko bahaya
Pandangan pekerjamemahami pentingnyakeselamatan
po1(*),po2(*),po3(*),po4(*),
po5,po6(*),po7(*)
7
Pembelajaran,komunikasi, dankepercayaan
Usaha manajemen menyampaikanpesan, maksud, dan arahan kepadapekerja
Keterbukaan komunikasiantara manajemen denganpekerja
bl1,bl2,bl3,bl4,bl5, bl6(*), bl7,
bl8
8
Kepercayaan terhadapkeefektifan sistemkeselamatan kerja
Perhatian dan kepedulian organisasiterhadap pekerja dalam menerapkansistem keselamatan kerja
Perhatian dan kepedulianmanajemen dalamkeselamatan
pc1,pc2(*),pc3,pc4(*),pc5,
pc6(*)
6
Jumlah Total 49
142
III.4.3 Variabel Operasional Pengetahuan Keselamatan
Peserta diminta untuk menilai pengetahuan keselamatan mereka dengan
menggunakan enam item yang mengukur sejauh mana mereka trampil dalam
bekerja pada kondisi tertentu. Enam item pertanyaan dipilih dari skala yang
dikembangkan oleh Neal dan Griffin (2006). Item ini dinilai dengan Skala Likert
5 poin format mulai dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). Skor
yang lebih tinggi dalam skala ini menunjukkan pengetahuan yang lebih positif
terhadap keselamatan.
Tabel III. 6 Variabel Operasional Pengetahuan Keselamatan
Variabel Definisi SubVariabel
Definisi Indikator Item Jumlah
PengetahuanKeselamatan
Mengetahuiketerampilanbekerja dalamkondisi tertentu(Christian et al,2009)
MenanganiBahaya
Kemampuanpekerjamengenalibahaya
Piawaidalammenanganibahaya
ba1,ba2(*),
ba3
3
ProsedurDarurat
Kemampuanpekerjamenjalankanprosedurdarurat
Memahamiprosedurdarurat
da1,da2 (*),da3(*)
3
Keterangan : (*) Penilaian terbalik JumlahTotal
6
III.4.4 Variabel Operasional Tindakan Tidak Aman
III.4.4.1 Kesalahan
Sepuluh item digunakan untuk mengukur penyimpangan yang tidak disengaja dari
operasi standar prosedur yang dilakukan oleh teknisi atau pekerja. Item ini
diadopsi dari skala jenis kesalahan yang dikembangkan oleh Fogarty dan Buikstra
(2008) dan diberi skor dengan 5 titik skala mulai dari 1 (tidak pernah) sampai 5
(selalu). Jadi skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkat kesalahan pemeliharaan
yang lebih tinggi.
III.4.4.2 Pelanggaran
Teknisi diminta untuk menilai pelanggaran mereka terhadap sebelas item. Enam
item diadopsi dari pelanggaran dan niat untuk melanggar skala yang
dikembangkan oleh Fogarty dan Shaw (2010) dengan kata-kata dimodifikasi
143
untuk memastikan pelanggaran telah dilakukan. Skala yang dikembangkan oleh
Fogarty dan Buikstra (2008). Selain itu, lima item dipilih dari skala pelanggaran
dari Kuesioner Perilaku Pemeliharaan yang dikembangkan oleh Hobbs dan
Williamson (2002). Item ini dinilai dengan format Skala Likert 5 poin mulai dari
1 (tidak pernah) sampai 5 (sangat sering). Skor yang lebih tinggi pada skala ini
menunjukkan lebih banyak pelanggaran.
Tabel III.7 Variabel Operasional Tindakan Tidak Aman
Variabel Definisi Sub Variabel Definisi Indikator Item JumlahTindakanTidakaman
Penyimpangandari kondisiyangseharusnyaaman
Pelanggaran Kelalaian daripenyimpanganyang sengajadilakukan
KelalaianKerja
la1,la2(*),la3, la4(*).
la5(*),la6(*),la7(*),la8(*),
la9,la10,la11(*)
11
Kesalahan Penyimpanganyang tidakdisengaja
KesalahanKerja
sa1(*),sa2(*),sa3(*),sa4(*),sa5(*),
sa6(*), sa7(*)
7
Keterangan : (*) Penilaian terbalikJumlah Total 18
III.4.5 Variabel Operasional Perilaku Pelaporan Tidak Aman
Tujuh item digunakan untuk mengukur sejauh mana peserta meluangkan waktu
untuk melapor sebuah insiden, atau peristiwa yang nyaris terlewati, dan tindakan
tidak aman. Item ini diadopsi dari skala sistem pelaporan dari survei pemeliharaan
yang dikembangkan oleh Gibbons dkk. (2005). Namun, beberapa item mungkin
hanya berfungsi sebagai prediktor untuk melaporkan perilaku yang tidak aman.
Item ini dinilai dengan 5-point Likert Scale berkisar dari 1 (sangat tidak setuju)
sampai 5 (sangat setuju). Lebih tinggi Skor mencerminkan kemauan yang lebih
besar untuk melaporkan perilaku yang tidak aman.
144
Tabel III.8 Variabel Operasional Perilaku Pelaporan Tidak Aman
Variabel Definisi SubVariabel
Definisi Indikator Item Jumlah
PerilakumelaporkanTidak Aman
Meluangkanwaktu untukmelaporkansebuahinsiden
Jaminandalammelaporkan
Kebebasandalammelaporkanmasalah
Jaminan ja1,ja2,ja3,ja4,
ja5
5
Kemudahanlaporan
Menyampaikan laporansecaramudah
Kemudahan mu1,mu2,mu3
3
JumlahTotal
8
III.4.6 Variabel Hasil Keselamatan (Safety Outcomes)
III.4.6.1 Resiko Keselamatan
Resiko Keselamatan menggunakan dua sub variabel yaitu kecelakaan dan cidera.
Kecelakaan dan cidera masing-masing dinilai dengan menggunakan dua
pertanyaan. Peserta diminta untuk tingkat cedera kerja yang mereka alami dan
insiden pesawat yang mereka hadapi dalam dua belas bulan terakhir (Hobbs &
Williamson, 2002). Periode dua belas bulan juga sesuai dengan penelitian
sebelumnya (Probst & Estrada, 2010). Cedera adalah seperti keseleo, luka bakar,
luka mata, dan lainnya sementara insiden adalah kerusakan pada pesawat terbang
atau peralatan. Pertanyaan-pertanyaan ini dinilai dengan format Skala Likert 5
poin mulai dari 1 (tidak pernah) sampai 5 (sangat sering).
Tabel III.9 Variabel Resiko Keselamatan
Variabel Definisi Sub Variabel Definisi Indikator Item JumlahResikoKeselamatan
Dampakyangdirasakankaryawansetelahkegiatanaktivitaskeselamatandijalankan
Kecelakaan(Accidents)
Kejadian yangmenyebabkankerugian padapesawat, secaralangsung.ataupun dirisendiri
Sikap parapekerjadalammenghadapikasuskecelakaan
ke1(*),ke2(*)
2
Cidera(Injury)
Kejadian yangmenyebabkantidak secaralangsungkerugian padapesawat,ataupun dirisendiri
Kejadianyangdialami parapekerjadalammenghadapiinsiden ataukecelakaanringan
in1(*),in2(*)
2
Keterangan : (*) Penilaian terbalikJumlahTotal
4
145
III.4.6.2 Kelaikan Pesawat
Hasil keselamatan karyawan menggunakan tiga sub variable yaitu pola perawatan,
fasilitas, dan ketepatan waktu (ICAO annex 6). Untuk pola perawatan dijelaskan
dengan dua pertanyaan., dan pemenuhan standar dengan 3 pertanyaan.
Tabel III.10 Variabel Hasil Keselamatan Kelaikan
Variabel Definisi Sub Variabel Definisi Indikator Item Jumlah
KelaikanPesawat
Jaminankeamananuntukterbangyang diukurdari polaperawatanyangmengikutiaturan bakudanmemilikikemampuantelusur atasdokumenperawatandimasalampau, saatini, danyang akandatang.
Polaperawatan
Prosedur yangdilalui secara tertibdan sesuai menurutmanual perawatanpesawat
Prosedurpengecekan danpengisian padadaftar tugasperawatan yangdiberikan
kl1,kl2 2
PemenuhanStandar
SDM yangmemilikikompetesi sesuaisertifikat keahlianperawatan pesawat
Kesesuaiandengan sertifikatkeahlian
kl3 1
Kelengkapanperalatan untukmelakukanperawatan pesawat
Peralatan yangdigunakan sesuaifungsi
kl4 1
Kesesuaian waktuperkerjaan dalammelakukanperawatan pesawat
Waktupengerjaan yangdilakukan sesuaidengan bataswaktu yangditetapkan
kl5 1
JumlahTotal
5
III.5 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
a. Pengumpulan Data berupa Hasil Kuesioner dari Perusahaan MRO
(Maintenance, Repair, Overhaul)
b. Pengumpulan Data berupa Wawancara
1) Wawancara dengan Manajemen mengenai bagan orgnisasi, Tugas
dan wewenang masing-masing jabatan Safety.
2) Wawancara mengenai kondisi perusahaan perawatan penerbangan
c. Pengumpulan Data Sekunder
1) Pencarian data sejarah masa lalu pada rentang tertentu
Jumlah dan kronologi Kecelakaan (Accidents)
146
Jumlah dan kronologi Insiden (Incidents)
2) Data penyebab Kecelakaan
3) Tingkat Keselamatan penerbangan Indonesia
III.6 Uji Kehandalan Instrumen
Dua pengujian yaitu uji validitas dan uji reabilitas yang dilakukan untuk melihat
apakah alat instrumen yang digunakan memiliki derajat ketepatan antara data
yang terjadi pada obyek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan.
Uji validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur mengukur apa yang
ingin diukur. Dalam hal ini, akan diukur validitas kuesioner sebagai alat pengukur
yang telah disusun dimana faktor yang mempengaruhi validitas yang akan
diperhitungkan hanya yang menyangkut alat pengukur saja.
Uji validitas dilakukan dengan menghitung korelasi antara masing-masing
pernyataan dengan skor total dengan menggunakan rumus korelasi product
moment dengan angka kasar. Persamaan Koefisien Korelasi Product Moment
Pearson (rxy) dapat dirumuskan pada persamaan III.1.
= ∑ ∑ ∑∑ (∑ ) ∑ (∑ ) . (III.1)
: Jumlah sampel/responden
: skor item ke-i
: skor total seluruh item untuk responden ke-i
i : 1,2,3,.......,n
Pengujian masing-masing indikator dilakukan dengan melihat nilai signifikansi
antara indikator yang bersangkutan dengan nilai dimensinya.
Hasil perhitungan validitas soal atau disebut selanjutnya dibandingkan dengan
tabel r dengan taraf signifikansi 5 %. Jika > maka angket yang diuji
coba dapat dikatakan valid, sebaliknya jika Jika ≤ maka item angket
yang diuji coba dapat dikatakan invalid atau tidak valid. Cara melihat
adalah dengan ketentuan r minimal adalah 0,3 (Sugiyono, 2011).
147
Selain menguji validitas alat ukur instrumen, perlu juga dilakukan uji reliabilitas
pada seluruh indikator untuk mengetahui kehandalan dari alat ukur yang
digunakan. Menurut Sekaran (2006), terdapat dua tes untuk uji reliabilitas, yaitu
test-retest reliability dan parallel form reliability. Sedangkan untuk mengukur
konsistensi internal, dapat dilakukan dengan dua cara juga, yaitu; interitem
consistency reliability dan split half reliability. Inter item consistency reliability
yang paling popular adalah koefisien Alpha Cronbach yang merupakan koefisien
reliabilitas yang dapat menunjukan seberapa baik item itu berkorelasi positif satu
sama lain.
Alpha Cronbach dihitung dengan rata-rata interkolasi diantara item-item yang
mengukur konsep atau dimensi. Persamaan Alpha Cronbach (α) dapat
dirumuskan dalam persamaan III.2.
= 1 − ∑∑ ....................................... (III.2)
Keterangan :
k = jumlah item pada skala
= variansi pada item i
= variansi total skor pada skala
Nilai Alpha Cronbach yang semakin mendekati 1 (satu) semakin besar internal
konsistensi reliabilitasnya yang berarti alat ukurnya semakin handal. Koefisien
Alpha Cronbanch’s dapat digunakan untuk melakukan uji reliabilitas dari alat
ukur, dalam hal ini untuk mengetahui inter-item consistency. Jika nilai Alpha
Cronbanch’s dimensi > 0,6, maka dimensi dikatakan telah direfleksikan secara
reliabel oleh indikator-indikatornya.
III.7 Pengolahan Data Hasil Penelitian
Secara garis besar, pengolahan data dalam penelitian ini mencakup lima hal, yaitu;
pengolahan data identitas diri responden, penggambaran tanggapan responden,
pengukuran iklim keselamatan, serta pengolahan dengan metoda analisis SEM.
Pengukuran iklim keselamatan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana iklim
148
keselamatan yang ada di beberapa perusahaan penerbangan di Indonesia,
selanjutnya data diolah untuk melakukan konfimasi model yang dibangun.
III.7.1 Pengukuran Iklim Keselamatan
Pengukuran iklim keselamatan dilakukan untuk melihat perkembangan organisasi
yang berkelanjutan dan masalah yang ada. Hasil dari pengukuran ini sebaiknya
dilihat sebagai tantangan dan peluang untuk pembelajaran. Salah satu keuntungan
menggunakan alat yang telah standar (seperti NOSACQ-50) adalah dapat
digunakan untuk menilai efek dari pendekatan yang dilakukan dengan tujuan
untuk meningkatkan efektivitas tempat kerja. Biasanya intervensi memilki batas
waktu tertentu sebelum survei kedua dilakukan. Jika peningkatan belum terjadi
maka, hal ini harus ditangani dengan serius. Sebaiknya segera dilakukan analisis
yang sesuai untuk mengetahui kesalahan apa yang terjadi.
Banyak tempat kerja akan merasakan manfaat dari survei ini jika dilakukan secara
berkala sebagai bagian dari organisasi yang belajar dan pekerjaan yang
berkembang. Organisasi yang belajar merupakan organisasi yang menggunakan
kegagalan dan kesuksesan sebagai peluang bersama dan pembelajaran bagi
organisasi.
Hasil dari penelitian dengan NOSACQ-50 baik jika dibandingkan dengan
beberapa hal berikut (Suwito, 2013) :
1. Nilai rata-rata : Nilai rata-rata matematis untuk skala 1-2-3-4 adalah 2,5. Jadi
secara prinsip nilai > 2,5 menunjukan nilai dimensi yang positif (tetapi selalu
tersedia tempat untuk untuk melakukan perbaikan).
2. Nilai rata-rata kelompok : bandingkan nilai rata-rata subkelompok dengan
nilai keseluruhan kelompok seperti perusahaan yang khusus, tempat kerja dan
sebagainya.
3. Kemungkinan untuk membandingkannya dengan hasil yang sama dan
penelitian yang spesifik seperti NOSACQ-50 – ini bisa berdasarkan jenis
perusahaan (misalnya perusahaan kimia lainnya), jenis organisasi (dengan
struktur yang sama, dan/atau sistem manajemen keselamatan yang sama),
bahasa (contohnya bahasa lain yang digunakan dalam penelitian).
149
4. Database NOSACQ-50- hanya untuk rasa ingin tahu saja. Database yang ada
saat ini tidak berdasarkan pada sampel yang representatif, tetapi agak bias
karena berdasarkan perusahaan-perusahaan yang memang tertarik untuk
diukur iklim keselamatan kerjanya, dan pada umumnya perusahaan-
perusahaan tersebut memiliki sistem manajemen keselamatan yang (pro) aktif.
Mengadopsi Model NOSACQ-50. Kuisioner iklim keselamatan ini dikembangkan
oleh Tim Nordic, dengan 50 elemen pengukuran (pertanyaan) dalam bentuk close
question dengan menggunakan data ordinal 1-4 (1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak
setuju, 3 = setuju, dan 4 = sangat setuju). Namun dalam penelitian ini mengingat
perlu diwadahinya penilaian persepsi yang ragu atau terkadang, maka dalam
penelitian ini disusun dengan 5 skala. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan
penjabaran dari 7 dimensi iklim keselamatan yang dikembangkan oleh Tim
Nordic.
Nordic Occupational Safety Climate Questionnaire (NOSACQ-50) adalah sebuah
alat ukur untuk mendiagnosa iklim keselamatan kerja dan dapat juga digunakan
untuk mengevaluasi tingkat perkembangan iklim keselamatan kerja berdasarkan
intervensi-intervensi kebijakan yang dilakukan. Iklim keselamatan didefinisikan
sebagai distribusi persepsi dalam suatu group tentang keselamatan yang
berhubungan dengan kebijakan, prosedur, dan praktek yang diterapkan.
Singkatnya, iklim keselamatan merupakan refleksi persepsi pekerja terhadap nilai
keselamatan yang sebenarnya dalam suatu organisasi. NOSACQ-50
dikembangkan oleh Tim Nordic berdasarkan kepada teori organisasi, teori iklim
keselamatan, teori psikologi, penelitian empiris yang sudah dilakukan
sebelumnya, dan hasil empiris yang diperoleh melalui studi internasional dan
proses pengembangan yang berkesinambungan (Tim Nordic, 2012).
Pada penelitian ini akan dikaji karakter organisasi terhadap iklim keselamatan
perusahaan. Hudson (2003 dari Arbejdsmiljoforskning.dk, 2011) mengembangkan
Level of Safety Culture, dengan interpretasi nilai dimensi iklim keselamatan
NOSACQ-50 pada tiap-tiap dimensinya;
150
1. Nilai dimensi iklim keselamatan kerja > 3,30 menunujukan tingkatan yang
baik memungkinkan untuk tetap mempertahankan dan melanjutkan
perkembangan.
2. Nilai dimensi iklim keselamatan kerja antara 3,00 – 3,30 menunjukkan
tingkatan yang cenderung baik namun membutuhkan sedikit perbaikan.
3. Nilai dimensi iklim keselamatan kerja antara 2,70 – 2,99 menunjukkan
tingkatan yang cenderung kurang dan membutuhkan perbaikan.
4. Nilai dimensi iklim keselamatan kerja < 2,70 menunjukkan tingkatan yang
kurang dan sangat membutuhkan perbaikan.
Hasil akhir pengukuran iklim keselamatan dapat juga ditampilkan dalam bentuk
diagram radar seperti pada gambar III.6
Gambar III.6 Diagram radar hasil pengukuran iklim keselamatan NOSACQ-50
III.7.2 Metode Analisis SEM
Berikut uraian dalam melakukan olah data dan analisis data dengan SEM -Lisrel
v.8.7 :
1. Saat dilakukan oleh data, sebelumnya data harus diuji normalitasnya.
Normalitas merupakan asumsi yang paling mendasar dalam analisis multivariat
Sumber:http://nfa.dk/da/Vaerktoejer/Sporgeskemaer/Safety-Climate-Questionnaire-NOSACQ50
151
yang membentuk suatu distribusi data pada suatu variabel matriks tunggal
dalam menghasilkan distribusi normal. Apabila asumsi normalitas tidak dapat
dipenuhi dan penyimpangan normalitas besar maka seluruh hasil uji statistik
tidak valid.
Menurut Ghozali & Fuad (2008: 37), normalitas dibagi menjadi dua yaitu ;
(1) Univariate normality (normalitas univariat),
(2) Multivariate normality (normalitas multivariat).
Asumsi normalitas dapat diuji dengan nilai statistic z untuk skewness dan
kurtosis. Apabila nilai z, baik dan/atau signifikan (kurang daripada 0,05 pada
tingkat 5 %) maka dapat dikatakan bahwa distribusi data tidak normal.
Sebaliknya, jika nilai z, baik dan/atau tidak signifikan (lebih besar daripada
0,05 pada tingkat 5 %) maka dapat dikatakan bahwa distribusi data normal.
Sehingga disimpulkan uji normalitas diharapkan hasilnya tidak signifikan.
Ketidaknormalitasan data dapat diatasi dengan program LISREL antara lain :
a. Menambahkan estimasi asymptotic covariance matrix. Hal itu akan
mengakibatkan estimasi parameter beserta goodness of fit statistic akan
dianalisis berdasarkan pada keadaan data yang tidak normal ;
b. Mentransformasi data untuk data continous. Data ordinal tidak
diperolehkan menggunakan transformasi data karena akan mengakibatkan
data sulit diinterprestasikan ;
c. Menggunakan metode estimasi selain Maximum Likelihood seperti
Generalized Least Square (GLS) atau Weighted Least Square (WLS); dan
d. Bootstrapping dan Jackniffing yang merupakan metode baru yang
mengasumsikan data di-“resampling” dan kemudian dianalisis.
2. Membuat spesifikasi dari model ;
Menggambarkan diagram jalur dengan hybrid model yang merupakan
kombinasi dari model pengukuran dan model struktural.
3. Menilai identifikasi model;
152
Menurut Mueller (1996) sebagaimana dikutip oleh Thanjoyo (2012: 46)
menyarankan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk memperoleh model
yang over-identified adalah memiliki salah satu dari 2 pilihan sebagai berikut ;
a. Menetapkan salah satu muatan faktor dari setiap variabel laten yang ada
dalam model dengan nilai 1,0; atau
b. Variabel laten distandarisasikan ke unit variance dengan menetapkan nilai
1 pada komponen diagonal dari matrik.
4. Melakukan estimasi model;
a. Membuat program SIMPLIS untuk model pengukuran (model CFA);
b. Melakukan estimasi model dengan RML, ML, WLS, atau GLS.
5. Menguji kecocokan model; dan langkah-langkah menguji kecocokan model
yaitu
a. Menguji kecocokan keseluruhan model (Goodness of Fit);
b. Menguji validitas
Menurut Rigdon & Ferguson (1991) dan Doll, Xia & Torkzadeh (1994)
sebagaimana dikutip oleh Wijanto (2008: 65), suatu variabel dikatakan
mempunyai validitas yang baik terhadap konstruk atau variabel latennya
apabila memenuhi syarat berikut.
i. Nilai t muatan faktornya (loading factors) lebih besar dari nilai kritis
(atau atau untuk praktisnya ; dan
ii. Muatan faktor standarnya (standardized loading factors)
c. Menguji reliabilitas.
Menurut hair et.al (1998) sebagaimana dikutip oleh Wijanto (2008: 66)
dikatakan memiliki reliabilitas yang baik adalah jika
i. Construct Reliability (CR) ; dan
ii. Variance Extracted (VE).
6. Melakukan respesifikasi model
Beberapa cara memodifikasi program SIMPLIS antara lain
a. Menghapus variabel teramati yang tidak memenuhi syarat validitas dan
reliabilitas yang baik;
b. Memanfaatkan informasi yang terdapat dalam modification indices, yaitu
153
i. Menambahan path (lintasan) baru diantara variabel teramati dengan
variabel laten dan antar variabel laten;
ii. Menambahan error covariance diantara dua buah error variances.
III.7.3 Variabel SEM
Variabel Observed atau (variabel manifest) adalah variabel yang diukur oleh
peneliti dan digambarkan sebagai persegipanjang dalam diagram SEM. Variabel
Laten atau (faktor) adalah konstruksi yang tidak teramati dan hipotetis, dan
diwakili oleh gambar elips dalam diagram SEM. Variabel ini tidak bisa diukur
secara langsung dan dengan demikian, peneliti harus mendefinisikannya dalam
hal perilaku yang diyakini mewakili variabel tersebut (Byrne, 2006).
Ada dua jenis variabel laten. Yang pertama adalah eksogen variabel (variabel
independen) yang tidak disebabkan oleh variabel lain dan yang kedua adalah
variabel endogen (variabel dependen) yang disebabkan oleh variabel lain variabel
dalam model (Harrington, 2009).
Pada Tabel III.11 diperlihatkan masing-masing variabel yang digunakan dalam
penelitian ini, total sebanyak 116 pertanyaan, terbagi menjadi 23 indikator dalam
8 variabel.
154
Tabel III.11 Variabel Penelitian
Variabel Jumlah Item Sumber Skala
Formalisasi 6 (Daft, 2013) 1 (STS) –5 (SS)Spesialisasi 4 (Daft, 2013) 1 (STS) –5 (SS)Wewenang 3 Daft, 2013 1 (STS) –5 (SS)Desentralisasi 3 Daft, 2013 1 (STS) –5 (SS)Kompetisi 5 (4,1*) Daft, 2013 1 (STS) –5 (SS)Sumber Daya 5(2,3*) Daft, 2013 1 (STS) –5 (SS)Komitmen Manajemen dankemampuan ManajemenKeselamatan
9 (5, 4*) Noscaq, 2012 1 (STS) –5 (SS)
Pemberdayaan ManajemenKeselamatan
7 (5,2*) Noscaq, 2012 1 (STS) –5 (SS)
Keadilan manajemen keselamatankerja
6(4,2*) Noscaq, 2013 1 (STS) –5 (SS)
Komitmen pekerja terhadapkeselamatan kerja
5(3,2*) Noscaq, 2013 1 (STS) –5 (SS)
Prioritas keselamatan pekerja dantidak ditoleransinya risiko bahaya
7(1,6*) Noscaq, 2013 1 (STS) –5 (SS)
Pembelajaran, komunikasi, dankepercayaan
8(7,1*) Noscaq, 2013 1 (STS) –5 (SS)
Kepercayaan terhadap keefektifansistem keselamatan kerja
6(3,3*) Noscaq, 2013 1 (STS) –5 (SS)
Pelanggaran 10(4,6*) Fogarty, 2008 1 (TP) –5 (S)Kesalahan 7* Fogarty&Show,
20101 (TP) –5 (S)
Jaminan dalam melaporkan 5 Gibbons et al2005
1 (STS) –5 (SS)
Kemudahan laporan 3 Gibbons et al2005
1 (STS) –5 (SS)
Menangani Bahaya 3(2,1*) Grifin, 2005 1 (TP) –5 (S)Memangani Darurat 3(1,2*) Grifin, 2005 1 (TP) –5 (S)Kecelakaan 2* Hobbs &
Wiliamson, 20021 (TP) –5 (S)
Insiden 2* Hobbs &Wiliamson, 2002
1 (TP) –5 (S)
Pola perawatan 2 ICAO SMM, 2013 1 (TP) –5 (S)Pemenuhan Standar 3 ICAO SMM, 2013 1 (TP) –5 (S)Keterangan ; (Positif,Negatif*)
Berdasarkan konsep hubungan setiap variabel yang akan diuji dalam model ini
maka hubungan reflektif dari indikator-indikator dengan dimensi atau faktornya
seperti yang dijelaskan pada tabel diatas digambarkan dalam bentuk diagram pada
gambar III.7.
155
Struktur
Lingkungan
Formalisasi
Spesialisasi
Wewenang
Desentralisasi
Kompetisi
SumberDaya
IklimKeselamatan Tindakan Tidak
Aman
PerilakuPelaporan
tindakan tidakaman
Pemberdayaan
Prioritas
KomitmenManajemen
Pemebelajaran
KomitmenPekerja
Kepercayaan
Keadilan
Kesalahan
Pelanggaran
Jaminan Kemudahan
Kelaikan
Resikokeselamatan
Pola Perawatan
PemenuhanStandar
Kecelakaan
Cidera
Eksogen Endogen
Pengetahuankeselamatan
Bahaya
Darurat
Gambar 3.7 Hubungan Indikator dengan Faktor/Dimensi
III.7.4 Keuntungan dan Kelemahan SEM
Menurut Narimawati & Sarwono (2007: 3), keunggulan-keunggulan SEM
dibanding dengan regresi berganda antara lain:
1. Memungkinkan adanya asumsi-asumsi yang lebi fleksibel
2. Pengunaan analisis faktor penegasan (confirmatory factor analysis) untuk
mengurangi kesalahan pengukuran dengan memiliki banyak indikator dalam
satu variabel laten
3. Daya tarik interface pemodelan grafis untuk memudahkan pengguna
membaca keluaran hasil analisis
4. Kemungkinan adanya pengujian model secara keseluruhan dari pada
koefisien-koefisien secara sendiri-sendiri
5. Kemampuan untuk menguji model-model dengan menggunakan beberapa
variabel terikat
6. Kemampuan untuk membuat model terhadap variabel-variabel perantara
7. Kemampuan untuk membuat model gangguan kesalahan (error term)
8. Kemampuan untuk menguji koefisien-koefisien diluar antara beberapa
kelompok subjek
156
9. Kemampuan untuk mengatasi data yang sulit, seperti data time series dengan
kesalahan autokorelasi, data yang tidak normal, dan data yang tidak lengkap.
Berikut perbedaan antara SEM, analisis jalur, dan analisis regresi dengan
menggunakan LISREL
Tabel III.12 Perbedaan antara SEM, Analisis Jalur, dan Analisis Regresi
No Analisis Regresi Analisis Jalur SEM
1 Hanya mampumenguji modelstruktural
Hanya mampu mengujimodel struktural
Mampu menguji modelstruktural sekaligus pengukuran
2 Hanya mampumenguji kesalahanstruktural
Hanya mampu mengujikesalahan struktural
Mampu menguji kesalahanpengukuran sekaligus kesalahanstruktural
3 Hanya mampumenguji pengaruhantar variabel dalamsuatu model
Hanya mampu mengujipengaruh antar variabeldalam suatu model
Mampu menguji kecocokansuatu model
4 Jumlah sampel dapatkurang dari 200
Jumlah sampel dapat kurangdari 201
Jumlah sampel minimal 200
5 Data yang digunakandapat berupa dataordinal atau datainterval
Data yang digunakan dapatberupa data interval
data yang digunakan dapatberupda data ordinal maupundata kontinu
6 Tidak mampumengatasi data yanghilang
Tidak mampu mengatasidata yang hilang
Mampu mengatasi data yanghilang
7 Tidak mampumenguji variabelintervening danvariabel moderating
Hanya mampu mengujivariabel intervening saja(variabel moderating tidakmampu)
Mampu menguji variabelintervening dan variabelmoderating
8 Tidak mampumenangani data yangtidak normal
Tidak mampu menanganidata yang tidak normal
Mampu menangani data yangtidak normal
9 Tidak ada istilahvariabel laten danvariabel manifestdalam analisis jalur
Tidak ada istilah variabellaten dan variabel manifestdalam analisis jalur
Terdapat istilah variable latendan variabel manifest
10 Tidak mampumenguji moderasimodel
Tidak mampu mengujimoderasi model
Mampu menguji moderasimodel
11 Tidak mampumenguji hubungantimbal balik antarvariabel dalam suatumodel (resiprokal)
Tidak mampu mengujihubungan timbal balik antarvariabel dalam suatu model(resiprokal)
Mampu menguji hubungantimbal balik antar variabeldalam suatu model (resiprokal)
Sumber: Structural Equation Model SEM dalam Riset EkonomiMenggunakan Lisrel
157
Adapun beberapa kelemahan yang dimiliki SEM adalah sebagai berikut:
1. SEM tidak digunakan untuk menghasilkan model namun untuk
mengkonfirmasi suatu bentuk model.
2. Hubungan kausalitas diantara variabel tidak ditentukan oleh SEM, namun
dibangun oleh teori yang mendukungnya.
3. SEM tidak digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausalitas, namun
untuk menerima atau menolak hubungan sebab akibat secara teoritis melalui
uji data empiris.
4. Studi yang mendalam mengenai teori yang berkaitan menjadi model dasar
untuk pengujian aplikasi SEM.
III.8 Intepretasi dan Formulasi Model
Tahap ini dilakukan setelah model dianggap fit untuk dijadikan model dalam
perumusan kebijakan.
Intepretasi model dilakukan dengan merujuk pada rujukan utama. Jika hasilnya
mendekati rujukan utama, intepretasi akan mengikuti rujukan utama. Jika hasilnya
jauh dari rujukan utama, rujukan lain dipakai.
Formulasi model dilakukan setelah interpretasi selesai. Model yang ada diolah
sehingga bisa diterjemahkan sebagai hasil yang bisa dipakai sebagai nilai tambah.
Formulasi model juga akan menjadi acuan dalam perumusan kebijakan.
Metode rekomendasi kebijakan dapat dipilih untuk menentukan kebijakan apa
yang tepat untuk diprioritaskan, membuat berbagai alternatif pilihan, memilih
alternatif kebijakan yang terbaik, dan mengadopsi alternatif tersebut menjadi
rumusan kebijakan jika diperlukan.
III.8.1 Kebijakan Untuk Meningkatkan Kinerja Keselamatan
Kebijakan penerbangan adalah serangkaian konsep dasar dan asas pokok yang
menjadi pedoman dan dasar dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan,
dan cara bertindak dalam bidang penerbangan, baik yang bersifat kebijakan publik
yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun kebijakan non-publik yang dibuat oleh
para penyedia jasa penerbangan Suwito, 2013). Secara garis besar, kebijakan
158
penerbangan dalam dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu ; kebijakan terkait
kelaikan udara dan pengoperasian pesawat udara, kebijakan terkait angkutan
udara, kebijakan terkait kebandar-udaraan, kebijakan terkait keamanan
penerbangan, dan kebijakan terkait navigasi penerbangan. Dalam banyak hal,
kebijakan-kebijakan tersebut bersifat saling mempengaruhi antara yang satu
dengan yang lain.
Keselamatan penerbangan menjadi sesuatu yang mutlak harus diperhatikan oleh
semua stakeholder (pemangku kepentingan) dalam kegiatan angkutan udara baik
penumpang maupun barang. Untuk mewujudkan keselamatan penerbangan maka
diperlukan kesadaran yang penuh dari semua pihak terkait untuk mematuhi
seluruh persyaratan yang mendukung keselamatan penerbangan sebagaimana
telah diatur baik dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan maupun Peraturan pelaksanaannya serta konvensi-konvensi
internasional di bidang penerbangan terutama yang menyangkut keselamatan
penerbangan.
Untuk mewujudkan keselamatan penerbangan maka diperlukan suatu gerakan
kesadaran budaya keselamatan penerbangan (safety culture). Melalui gerakan
budaya keselamatan penerbangan diharapkan dapat memberikan kenyamanan bagi
masyarakat pengguna jasa angkutan udara.
Peraturan keselamatan penerbangan sipil yang berhubungan dengan keselamatan
penerbangan sipil :
a. Bagian 91 tentang Peraturan Umum Pengoperasian Pesawat Udara;
b. Bagian 121 tentang Persyaratan-persyaratan Sertifikasi dan Operasi Bagi
Perusahaan Angkutan Udara Yang Melakukan Penerbangan Dalam Negeri,
Internasional dan Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal;
c. Bagian 135 tentang Persyaratan-persyaratan Sertifikasi dan Operasi Bagi
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Untuk Penerbangan Komuter dan Charter;
d. Bagian 145 tentang Organisasi Perusahaan Perawatan Pesawat Udara.
159
Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kinerja keselamatan
udara maka dalam penelitian ini kebijakan akan dibangun dengan
mengembangkan model iklim keselamatan yang mempertimbangkan desain
organisasi yang meliputi struktur dan lingkungan serta kinerja keselamatan yang
berdampak pada hasil (keluaran) keselamatan.
III.9 Kesimpulan dan Tantangan Selanjutnya
Tahap ini adalah tahap terakhir dari penelitian yang dilakukan. Setelah model dan
penafsiran diperoleh, langkah berikutnya adalah menarik kesimpulan, saran dan
tantangan penelitian berikutnya.
Kesimpulan yang ada akan menjadi acuan penelitian berikutnya dan nilai tambah
dalam penelitian ini.
Saran adalah saran peneliti secara pribadi dalam menghadapi kendala dan
keterbatasan penelitian sehingga penelitian serupa di masa datang dapat
memperhitungkan hal tersebut.
Tantangan penelitian berikutnya merupakan persoalan yang belum dibahas dalam
penelitian dikarenakan keterbatasan yang ada. Persoalan ini bisa muncul akibat
batasan cakupan penelitian dan juga hal-hal yang belum muncul pada saat
penelitian dilakukan.
160
Bab IV Karakteristik Deskriptif Dan Iklim Keselamatan
IV.1 Karakteristik Data
Data yang terkumpul dianalisis terlebih dahulu untuk melihat karakteristik
responden. Karakteristik yang digambarkan adalah karakteristik responden yang
dimabil dari lingkungan perusahaan perawatan pesawat. Selanjutnya melihat
tanggapan responden terhadap instrumen yang diberikan. Tujuannya adalah
mengetahui persepsi responden terhadap pertanyaan yang diajukan. Langkah
berikutnya adalah mengetahui karakteristik responden terhadap iklim keselamatan
yang bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang menjadi bahan
pertimbangan terhadap hasil keselamatan nantinya.
IV.1.1 Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah para pekerja pemegang AMEL dari
berbagai tingkatan organisasi di lima perusahaan pemegang sertifikat AMO 145.
Setiap perusahaan mendapatkan 50-600 lembar kuisioner, tergantung dari jumlah
karyawan pemegang AMEL yang mereka miliki. Jumlah responden yang
mengembalikan kuisioner sebanyak 306 orang. Responden yang berpatisipasi
dalam penelitian ini, terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan, usia, jenis
kelamin, pengalaman/lama kerja, posisi/jabatan kerja, dan banyaknya pelatihan
keselamatan yang pernah diikuti. Berikut ini karakteristik responden berdasarkan
data latar belakang responden.
IV.1.2 Karakteristik responden berdasarkan usia
Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam Civil Aviation Safety Regulation
(CASR) part 65 tentang Licencing of Aircraft Maintenance Engineer, disebutkan
bahwa sertifikat dasar (basic certificate) dapat dikeluarkan untuk seseorang yang
telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dan usianya tidak kurang dari 19
tahun. Komposisi lengkap responden dapat dilihat pada gambar IV.1.
161
Gambar IV.1 Karakteristik responden berdasarkan usia
Berdasarkan usia, responden dalam penelitian ini mayoritas pengisi kuesioner
adalah 55% responden berusia 21-30 tahun; 13% jumlah responden yang berusia
antara 31-40 tahun, 19% responden berusia 41-50 tahun dan 13% responden
berusia > 50 tahun. Untuk berada pada bidang pemeliharaan tentu diperlukan
usia-usia produktif sehingga usia muda mendominasi pekerjaan sebagai operator
pekerjaan atau teknisi. Dalam gambar IV.1 Usia produktif terlihat di MRO4.
IV.1.3 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Pekerjaan merawat pesawat udara identik dengan pekerjaan pria karena
membutuhkan ketahanan fisik yang baik, dan fleksibilitas waktu yang tinggi.
Sebagian besar pemegang AMEL juga pria, hanya sebagian kecil yang wanita
seperti yang ditunjukkan dalam komposisi responden yang berpartisipasi dalam
penelitian ini di gambar IV.2
0%20%40%60%80%
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO521 - 30 thn 68% 17% 13% 76% 40%31 - 40 thn 11% 17% 21% 0% 33%41 - 50 thn 14% 27% 42% 12% 20%> 50 thn 7% 40% 24% 12% 7%
Usia Responden
162
Gambar IV.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Pekerjaan melakukan perawatan pesawat ini membutuhkan fisik yang cukup
tinggi, sehingga lebih banyak diduduki oleh pria. Responden yang berpartisipasi
dalam penelitian ini memiliki komposisi jenis kelamin 94% pria dan 6% wanita,
yang merupakan penggambaran kondisi yang sebenarnya bahwa sebagian besar
personil perawatan pesawat udara adalah pria. MRO2 didominasi oleh responden
pria.
IV.1.4 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan
Latar belakang pendidikan responden yang berpartisipasi dalam penelitian sangat
bervariasi, mulai dari responden yang berpendidikan SMP sampai yang bergelar
Master (S2). Heterogenitas latar belakang pendidikan responden dalam penelitian
ini ditampilkan pada gambar IV.3.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Laki-laki 96% 100% 84% 88% 93%Perempuan 4% 0% 16% 12% 7%
Jenis Kelamin Responden
163
Gambar IV.3 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan
Prosentase tertinggi latar belakang pendidikan responden adalah SMA/SMK dan
sederajat (62%) diikuti oleh S1 sederajat (27%), selanjutnya adalah para lulusan
Diploma D3-D4 (11%), prosentase dibawahnya lagi adalah lulusan S2 (0,3%),
Sangat bervariasinya latar belakang pendidikan personil perawatan pesawat udara
disebabkan oleh tidak dimasukkannya syarat minimal pendidikan sebagai syarat
untuk mendapatkan Aircraft Maintenance Licence Engineer (AMEL). MRO1
memiliki paling banyak responden yang berasal dari SMA/SMK Kejuruan
penerbangan.
IV.1.5 Karakteristik responden berdasarkan jabatan
Responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini memiliki latar belakang
jabatan yang berbeda-beda, mulai pekerja biasa (non manajemen) sampai pada
tingkat top management. Gambar IV.4 menunjukkan komposisi reponden
penelitian berdasarkan jabatan mereka di perusahaan masing-masing.
Sebanyak 82% responden dalam penelitian ini adalah operator/teknisi, 11%
responden merupakan supervisor, dan yang paling sedikit adalah asisten
manager/diatasnya (top management) hanya 7%.
0%
20%
40%
60%
80%
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5SMA 66% 33% 34% 12% 53%D3 23% 67% 26% 71% 40%D4/S1 11% 0% 39% 12% 7%S2 0% 0% 0% 6% 0%
Pendidikan Responden
164
Dengan demikian, komposisi responden berdasarkan latar belakang jabatan ini,
sudah menggambarkan komposisi pekerja di industri penerbangan yang
sebenarnya. MRO2 yang paling banyak respondennya yang berasal dari Teknisi.
Gambar IV.4 Karakteristik responden berdasarkan posisi jabatan
IV.1.6 Karakteristik responden berdasarkan lama kerja
Responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini memiliki pengalaman/lama
kerja yang bervariasi, mulai yang baru bekerja kurang dari lima tahun sampai
yang sudah bekerja lebih dari 30 tahun. Komposisi lengkap responden
berdasarkan latar belakang pengalaman kerja ditampilkan pada gambar IV.5.
0%20%40%60%80%
100%
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Resp
onde
n
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5Operator/Teknisi 92% 93% 47% 65% 87%Supervisor 7% 7% 8% 0% 7%Asisten Manajer atau
diatasnya 1% 0% 45% 35% 7%
Posisi Kerja Responden
165
Gambar IV.5 Karakteristik responden berdasarkan pengalaman kerja
Sebagian besar responden (29%) memiliki pengalaman kerja kurang dari 3 tahun.
Responden yang berkisar pengalaman kerja 7 sampai dengan 9 tahun 25%. MRO1
responden yang mendominasi memiliki pengalaman kerja 0 sampai dengan 3
tahun. MRO2 dan MRO5 medominasi dengan pengalaman kerja lebih dari 12
tahun. MRO3 dari responden dengan pengalaman kerja 9 sampai dengan 11 tahun.
MRO4 dengan responden pengalama kerja 4 sampai dengan 6 tahun.
IV.1.7 Karakteristik responden berdasarkan frekuensi pelatihan
keselamatan yang pernah diikuti
Pelatihan keselamatan penerbangan yang terus-menerus merupakan salah satu
upaya untuk meningkatkan keselamatan penerbangan di Indonesia. Selain latar
belakang pendidikan, usia, jenis kelamin, dan pengalaman kerja, responden yang
berpartisipasi dalam penelitian ini juga memiliki latar belakang yang bervariasi
dalam hal jumlah pelatihan keselamatan yang pernah diikuti. Karakteristik
responden berdasarkan latar belakang pelatihan keselamatan yang pernah diikuti
ditunjukkan pada gambar IV.6
0%
20%
40%
60%
80%
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
0-3thn 33% 3% 8% 12% 7%4-6 thn 12% 3% 3% 41% 13%7-9 thn 25% 10% 13% 12% 13%9-11thn 25% 17% 58% 24% 33%>12 thn 5% 67% 18% 12% 33%
Pengalaman Kerja Responden
166
Gambar IV.6 Karakteristik responden berdasarkan pelatihan keselamatan yang
pernah diikuti
Sebagian besar responden (58%) mendapatkan pelatihan tentang keselamatan
sebanyak 1-2 kali. Selain itu, yang tidak pernah mendapatkan pelatihan tentang
keselamatan juga cukup besar yaitu 19%. Jika keduanya digabungkan, tidak
pernah mendapatkan pelatihan keselamatan dan pernah mendapatkan pelatihan
sebanyak 1-2 kali, digabungkan maka akan menjadi 77%. Artinya sebagian besar
responden hanya mendapatkan pelatihan keselamatan yang sangat sedikit. Sektor
penerbangan adalah sektor yang penuh dengan peraturan, sebagai upaya dalam
meningkatkan keselamatan sehingga selayaknya para pekerja dibekali oleh
pelatihan keselamatan kerja. MRO1, MRO2, MRO3, MRO4 dan MRO5 dengan
responden yang pernah 1 sampai dengan 2 kali selama dia bekerja.
IV.1.8 Karakteristik responden berdasarkan Pengalaman Kerja Sebelumnya
Tingginya turn over perusahaan akan mengakibatkan ketidakseimbangan beban
kerja semakin meningkat. Tekanan kompetisi yang terjadi pada perusahaan
penerbangan membuat pekerja dapat berpindah ke tempat lain. Oleh karena itu
pada gambar IV.7 diberikan karakteristik responden berdasarkan pengalaman
kerja sebelumnya.
0%
50%
100%
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Tidak Pernah 10% 26% 0% 5% 13%1-2 kali 41% 57% 83% 70% 60%3-4 kali 38% 14% 6% 0% 0%5 - 6 kali 3% 3% 6% 10% 13%> 7 kali 7% 0% 6% 15% 13%
Frekuensi Pelatihan Responden
167
Gambar IV.7 Karakteristik responden berdasarkan Pengalaman Kerja Sebelumnya
Terlihat bahwa MRO5 merupakan organisasi yang menjadi pilihan oleh pekerja
penerbangan yang lain. Hal ini terlihat dari jumlah pekerja yang berasal dari
perusahaan lain.
IV.2 Gambaran Tanggapan Responden
Gambaran data hasil tanggapan responden dapat digunakan untuk memperkaya
pembahasan, melalui gambaran data tanggapan responden dapat diketahui
bagaimana kondisi setiap indikator variabel yang sedang diteliti.
Agar lebih mudah dalam menginterpretasikan variabel yang sedang diteliti,
dilakukan kategorisasi terhadap tanggapan responden berdasarkan skor tanggapan
responden. Kategorisasi skor tanggapan responden dilakukan berdasarkan rentang
skor maksimum dan skor minimum dibagi jumlah kategori yang diinginkan
menggunakan rumus sebagai berikut. Tanggapan responden terhadap masing-
masing item pernyataan dikategorikan menjadi 5 kategori sangat baik, baik,
cukup, tidak baik dan sangat tidak baik dengan perhitungan sebagai berikut :
a. Nilai Indeks Maksimum = Skala tertinggi = 5
b. Nilai Indeks Minimum = Skala terendah = 1
c. Jarak Interval = [nilai maksimum - nilai minimum] : 5
= (5 –1) : 5 = 0,6
0%
20%
40%
60%
80%
100%
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5Pernah 3% 30% 34% 24% 67%Tidak Pernah 97% 70% 66% 76% 33%
Responden Yang Pernah Bekerja di Perusahaan lain
168
Tabel IV.1 Pedoman Kategorisasi Skor Tanggapan Responden
Indeks Rata-Rata Kategori4,2 - 5,0 Sangat Baik3,4 - 4,1 Baik2,6 - 3,3 Cukup1,8 - 2,5 Tidak baik1 - 1,7 Sangat tidak baik
IV.2.1 Tanggapan Responden Terhadap Struktural
Struktural diukur dengan 4 Variabel yaitu Formalisasi, Spesialisasi, Wewenang,
Desentralisasi yang terdiri dari 16 item pertanyaan. Berikut rangkuman hasil
perhitungan tanggapan responden terhadap variabel Struktural.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5fo1 3,70 3,87 3,53 3,71 4,13fo2 3,97 3,83 4,00 3,84 4,73fo3 3,33 3,87 3,76 2,68 4,00fo4 3,82 4,07 4,12 4,18 4,07fo5 3,35 3,73 3,94 3,84 3,93fo6 2,86 2,37 2,65 2,29 3,40fo 3,50 3,62 3,67 3,43 4,04
3,503,62 3,67
3,43
4,04
3,203,403,603,804,00
FORMALISASI
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.8 Tanggapan Responden Terhadap Formalisasi
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel formalisasi menunjukkan bahwa
pada MRO1,MRO2,MRO3,MRO4 indikator peraturan standarisasi kerja perlu
perhatian.
169
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5sp1 3,20 3,40 4,00 3,76 3,40sp2 3,58 4,07 4,06 4,05 3,87sp3 3,45 3,90 4,06 3,79 3,80sp4 3,79 4,20 4,18 4,21 4,20sp 3,51 3,89 4,07 3,95 3,82
3,51
3,894,07
3,953,82
3,00
3,50
4,00
4,50SPESIALISASI
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.9 Tanggapan Responden Terhadap Spesialisasi
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel spesialisasi menunjukkan
bahwa indikator spesifikasi tugas telah berjalan dengan baik.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5we1 3,78 3,93 4,18 3,92 3,67we2 3,67 3,90 3,53 2,45 2,73we3 3,67 3,90 3,94 4,16 3,47we 3,71 3,91 3,88 3,51 3,29
3,713,91 3,88
3,513,29
3,003,203,403,603,804,00
WEWENANG
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.10 Tanggapan Responden Terhadap Wewenang
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel wewenang menunjukan bahwa
pada MRO4 dan MRO5 indikator monitoring terhadap tugas perlu perhatian.
170
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5ds1 3,25 3,63 3,88 3,66 4,13ds2 3,44 3,43 4,06 3,92 3,20ds3 3,32 3,43 3,82 2,47 2,87ds 3,33 3,50 3,92 3,35 3,40
3,333,50
3,92
3,35 3,40
3,00
3,50
4,00
DESENTRALISASI
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.11 Tanggapan Responden Terhadap Desentralisasi
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel desentralisasi menunjukan
bahwa pada MRO4 dan MRO5 indikator pengambilan keputusan oleh manajemen
masih perlu perhatian.
IV.2.2 Tanggapan Responden Terhadap Lingkungan
Lingkungan diukur dengan 2 dimensi yang terdiri dari 10 pernyataan. Berikut
rekap hasil perhitungan tanggapan responden terhadap variabel Lingkungan.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5ko1 2,67 2,33 2,12 2,16 2,73ko2 3,15 2,87 3,65 2,82 3,33ko3 3,38 2,90 3,65 2,82 3,20ko4 3,43 3,53 4,00 3,79 3,27ko5 3,41 3,20 3,59 3,29 3,93ko 3,21 2,97 3,40 2,97 3,29
3,21 2,973,40
2,97 3,29
2,00
3,00
4,00
KOMPETISI
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.12 Tanggapan Responden Terhadap Kompetisi
171
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel kompetisi menunjukan bahwa
pada MRO1, MRO2, MRO3, MRO4, MRO5 indikator kondisi kompetitor perlu
perhatian.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5sd1 3,18 2,90 3,76 3,58 4,00sd2 3,32 2,43 3,35 2,63 2,87sd3 3,34 4,37 4,59 4,55 4,80sd4 3,58 1,53 3,35 2,53 2,67sd5 3,32 3,13 3,35 3,32 3,93sd 3,35 2,87 3,68 3,32 3,65
3,35 2,87 3,68 3,32 3,65
0,00
5,00
SUMBER DAYA
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.13 Tanggapan Responden Terhadap Sumber Daya
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel sumber daya menunjukan
bahwa pada MRO2, MRO4, MRO5 indikator kondisi sumber daya perlu
perhatian.
IV.2.3 Tanggapan Responden Terhadap Iklim Keselamatan
Iklim Keselamatan diukur dengan 7 dimensi yang terdiri dari 49 pernyataan.
Gambar IV.14 merupakan rekap hasil perhitungan tanggapan responden terhadap
variabel Iklim Keselamatan.
172
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5km1 3,69 3,90 3,88 4,13 3,27km2 3,75 3,87 3,76 3,34 3,53km3 2,42 2,30 2,12 2,08 2,80km4 3,57 3,70 3,47 2,92 3,20km5 2,50 2,47 2,24 1,74 2,20km6 3,46 3,67 3,41 2,89 3,33km7 3,50 3,73 3,53 3,03 3,27km8 2,46 2,43 2,29 1,79 2,13km9 2,65 2,80 2,47 1,87 2,47km 3,11 3,21 3,02 2,64 2,91
3,11 3,21 3,02 2,64 2,91
0,00
5,00
KOMITMEN DAN KEMAMPUANMANAJEMEN
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.14 Tanggapan Responden Terhadap Komitmen Dan Kemampuan
Manajemen
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel komitmen dan kemampuan
menunjukan bahwa pada MRO1, MRO2, MRO3, MRO4, MRO5 indikator
prioritas keselamatan, tanggung jawab keselamatan, dan sumber daya keselamatan
perlu perhatian.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5dy1 3,61 3,83 3,65 3,26 3,33dy2 3,63 3,87 3,71 3,26 3,33dy3 3,65 3,90 3,71 3,24 3,33dy4 2,75 2,87 2,41 1,87 2,60dy5 3,58 3,93 3,71 3,63 4,07dy6 2,92 2,97 2,35 2,26 2,73dy7 3,36 3,67 3,53 3,95 3,60dy 3,36 3,58 3,29 3,07 3,29
3,36 3,583,29 3,07 3,29
2,00
3,00
4,00
PEMBERDAYAAN MANAJEMEN
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.15 Tanggapan Responden Terhadap Pemberdayaan Manajemen
173
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel pemberdayaan manajemen
menunjukan bahwa pada MRO1, MRO2, MRO3, MRO4, MRO5 indikator peran
dalam kebijakan keselamatan perlu perhatian.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5ad1 3,74 3,90 3,71 3,29 3,47ad2 3,00 3,10 2,76 2,34 2,73ad3 3,45 3,63 3,35 3,03 3,27ad4 3,30 3,50 3,06 2,63 3,13ad5 2,86 3,03 2,59 2,11 2,60ad6 3,48 3,70 3,41 2,89 3,33ad 3,30 3,48 3,15 2,71 3,09
3,30 3,48 3,15 2,71 3,09
0,00
5,00
KEADILAN MANAJEMEN
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.16 Tanggapan Responden Terhadap Keadilan Manajemen
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel keadilan manajemen
menunjukan bahwa pada MRO1, MRO3, MRO4, MRO5 indikator keseimbangan
sikap manajemen perlu perhatian.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5kp1 4,05 4,13 4,12 3,71 4,00kp2 3,96 4,07 4,18 3,89 4,27kp3 2,26 2,30 2,06 1,87 2,07kp4 2,85 2,60 3,12 3,55 2,27kp5 3,98 4,13 4,24 4,05 3,93kp6 2,27 1,90 2,24 1,95 2,07kp 3,23 3,19 3,32 3,17 3,10
3,23 3,193,32
3,17 3,10
2,50
3,00
3,50
KOMITMEN PEKERJA
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.17 Tanggapan Responden Terhadap Komitmen Pekerja
174
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel komitmen kerja menunjukan
bahwa pada MRO1, MRO2, MRO3, MRO4, MRO5 indikator kemampuan
menajemen mengelola keselamatan perlu perhatian.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5po1 2,80 2,43 3,06 3,47 3,13po2 3,51 3,63 3,76 4,21 3,67po3 3,55 3,60 3,82 4,18 3,73po4 3,56 3,53 3,71 4,21 3,60po5 2,57 2,27 2,82 3,11 2,73po6 2,93 4,63 4,41 3,39 4,60po7 3,88 3,93 4,00 3,74 3,87po 3,26 3,43 3,66 3,76 3,62
3,263,43
3,66 3,76 3,62
3,00
4,00
PRIORITAS KESELAMATAN
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.18 Tanggapan Responden Terhadap Prioritas Keselamatan
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel prioritas keselamatan
menunjukan bahwa pada MRO1, MRO2, MRO3, MRO5 indikator pandangan
pekerja memahami pentingnya keselamatan perlu perhatian.
175
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5bl1 3,88 3,93 4,00 3,74 3,87bl2 3,79 3,90 3,88 3,61 3,73bl3 3,83 3,90 3,94 3,71 3,87bl4 4,00 4,10 4,12 3,76 4,07bl5 3,87 3,97 3,94 3,71 3,80bl6 2,55 2,50 2,41 1,82 2,40bl7 3,55 3,87 3,71 3,45 3,60bl8 3,67 3,93 3,76 3,58 3,73bl 3,64 3,76 3,72 3,42 3,63
3,64 3,76 3,723,42
3,63
3,00
4,00
PEMBELAJARAN, KOMUNIKASI DANKEPERCAYAAN
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.19 Tanggapan Responden Terhadap Pembelajaran, Komunikasi danKepercayaan
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel pembelajaran, komunikasi dan
kepercayaan menunjukan bahwa pada MRO1, MRO2, MRO3, MRO4, MRO5
indikator keterbukaan komunikasi antara manajemen dengan pekerja perlu
perhatian.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5pc1 3,61 3,83 3,76 3,45 3,67pc2 3,43 4,57 4,29 4,29 4,40pc3 3,91 4,07 4,06 3,74 4,00pc4 3,78 3,73 3,88 4,32 4,07pc5 3,61 3,83 3,71 3,55 3,67pc6 3,81 3,80 4,06 4,32 4,00pc 3,69 3,97 3,96 3,94 3,97
3,69
3,97 3,96 3,94 3,97
3,50
4,00
KEPERCAYAAN TERHADAPKEEFEKTIFAN SISTEM
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.20 Tanggapan Responden Terhadap Kepercayaan Terhadap
Keefektifan Sistem
176
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel kepercayaan terhadap
keefektifan sistem menunjukan bahwa indikator perhatian dan kepedulian
manajemen dalam keselamatan telah berjalan dengan baik.
IV.2.4 Tanggapan Responden Terhadap Tindakan Tidak Aman
US diukur dengan 2 dimensi yang terdiri dari 18 pernyataan. Berikut rekap hasil
perhitungan tanggapan responden terhadap variabel Tindakan tidak aman.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5la1 3,69 3,90 3,88 4,13 3,27la2 3,75 3,87 3,76 3,34 3,53la3 2,42 2,30 2,12 2,08 2,80la4 3,57 3,70 3,47 2,92 3,20la5 2,50 2,47 2,24 1,74 2,20la6 3,46 3,67 3,41 2,89 3,33la7 3,50 3,73 3,53 3,03 3,27la8 2,46 2,43 2,29 1,79 2,13la9 3,20 2,83 2,65 3,03 3,47la10 2,55 2,30 2,12 3,11 3,60la11 3,70 4,57 3,94 3,21 3,73la 3,16 3,25 3,04 2,84 3,14
3,16 3,25 3,04 2,843,14
2,00
3,00
4,00
PELANGGARAN
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.21 Tanggapan Responden Terhadap Pelanggaran
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel pelanggaran menunjukan bahwa
pada MRO1, MRO2, MRO3, MRO4, MRO5 indikator kelalaian kerja perlu
perhatian.
177
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5sa1 2,55 2,60 1,94 1,29 1,93sa2 2,26 2,30 2,12 2,08 2,80sa3 2,60 3,70 3,47 2,92 3,20sa4 2,16 2,47 2,24 1,74 2,20sa5 3,77 4,03 4,12 4,29 4,00sa6 3,72 4,20 3,94 4,13 3,33sa7 3,40 4,13 3,35 3,97 3,60sa 2,92 3,35 3,03 2,92 3,01
2,923,35
3,03 2,92 3,01
2,00
3,00
4,00
KESALAHAN
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.22 Tanggapan Responden Terhadap Keselamatan
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel keselamatan menunjukan bahwa
pada MRO1, MRO2, MRO3, MRO4, MRO5 indikator kesalahan kerja perlu
perhatian.
IV.2.5 Tanggapan Responden Terhadap Pelaporan
Perilaku tindakan tidak aman diukur dengan 2 dimensi yang terdiri dari 8
pernyataan. Berikut rekap hasil perhitungan tanggapan responden terhadap
variabel perilaku tindakan tidak aman.
178
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5ja1 3,12 2,87 3,12 3,71 3,27ja2 3,27 2,70 2,88 3,47 3,13ja3 3,29 2,47 2,65 3,45 2,40ja4 2,37 1,77 1,94 2,45 1,93ja5 3,12 3,63 3,59 3,68 3,27ja 3,03 2,69 2,84 3,35 2,80
3,03 2,69 2,84 3,35 2,80
0,00
5,00
JAMINAN MELAPORKAN
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.23 Tanggapan Responden Terhadap Jaminan Melaporkan
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel jaminan melaporkan
menunjukan bahwa pada MRO1, MRO2, MRO3, MRO4, MRO5 indikator
jaminan perlu perhatian.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5mu1 3,11 3,30 2,06 2,42 2,60mu2 2,92 2,70 2,65 3,24 2,27mu3 2,42 2,77 2,06 2,42 2,60mu 2,82 2,92 2,25 2,69 2,49
2,82 2,922,25 2,69 2,49
0,00
5,00
KEMUDAHAN MELAPORKAN
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.24 Tanggapan Responden Terhadap Kemudahan Melaporkan
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel kemudahan melaporkan
menunjukan bahwa pada MRO1, MRO2, MRO3, MRO4, MRO5 indikator
kemudahan perlu perhatian.
179
IV.2.6 Tanggapan Responden Terhadap Pengetahuan
Pengetahuan keselamatan diukur dengan 2 dimensi yang terdiri dari 6 pernyataan.
Berikut rekap hasil perhitungan tanggapan responden terhadap variabel
pengetahuan keselamatan.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5ba1 3,25 2,70 3,65 3,84 3,47ba2 2,93 1,93 2,47 2,53 3,13ba3 3,58 3,23 3,94 3,76 4,00ba 3,25 2,62 3,35 3,38 3,53
3,252,62
3,35 3,38 3,53
0,00
5,00MENANGANI BAHAYA
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.25 Tanggapan Responden Terhadap Manangani Bahaya
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel menangani bahaya menunjukan
bahwa pada MRO1, MRO2, MRO3, MRO4 indikator piawai dalam menangani
bahaya perlu perhatian.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5da1 3,66 3,33 3,88 3,82 4,07da2 2,47 1,80 2,18 2,24 2,93da3 2,68 2,77 2,06 1,82 2,53da 2,94 2,63 2,71 2,62 3,18
2,94 2,63 2,71 2,623,18
0,00
5,00PROSEDUR DARURAT
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.26 Tanggapan Responden Terhadap Prosedur Darurat
180
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel prosedur darurat menunjukan
bahwa pada MRO1, MRO2, MRO3, MRO4, MRO5 indikator memahami
prosedur darurat perlu perhatian.
IV.2.7 Tanggapan Responden Terhadap Resiko Keselamatan
Resiko keselamatan diukur dengan 2 dimensi yang terdiri dari 4 pernyataan.
Berikut rekap hasil perhitungan tanggapan responden terhadap variabel hasil
keselamatan.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5ke1 3,98 3,57 3,24 3,71 3,73ke2 3,57 3,47 3,00 3,11 3,40ke 3,77 3,52 3,12 3,41 3,57
3,77 3,52 3,12 3,41 3,57
1,00
6,00
KECELAKAAN
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.27 Tanggapan Responden Terhadap Kecelakaan
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel kecelakaan menunjukan bahwa
indikator sikap para pekerja dalam menghadapi kasus kecelakaan telah berjalan
dengan baik.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5in1 4,30 3,90 3,18 3,47 3,53in2 3,98 4,03 3,06 3,18 3,47in 4,14 3,97 3,12 3,33 3,50
4,14 3,973,12 3,33 3,50
1,00
6,00CIDERA
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.28 Tanggapan Responden Terhadap Cidera
181
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel cidera menunjukan bahwa
indikator kejadian yang dialami para pekerja dalam menghadapi insiden atau
kecelakaan ringan telah berjalan dengan baik.
IV.2.8 Tanggapan Responden Terhadap Kelaikan
Kelaikan diukur dengan 2 dimensi yang terdiri dari 4 pernyataan. Berikut rekap
hasil perhitungan tanggapan responden terhadap variabel hasil keselamatan.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5kl1 3,83 2,90 3,29 3,53 3,87kl2 3,83 3,10 3,24 3,68 4,00kl 3,83 3,00 3,26 3,61 3,93
3,833,00 3,26 3,61 3,93
0,00
5,00
POLA
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.29 Tanggapan Responden Terhadap Pola
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel pola menunjukan bahwa pada
indikator prosedur pengecekan dan pengisian pada daftar tugas perawatan yang
diberikan telah berjalan dengan baik.
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5kl3 3,96 3,10 3,29 3,08 3,67kl4 4,00 2,53 2,76 2,84 2,73kl5 3,83 2,80 3,06 2,92 3,53kl 3,93 2,81 3,04 2,95 3,31
3,932,81 3,04 2,95 3,31
0,00
5,00
KESESUAIAN
MRO1 MRO2 MRO3 MRO4 MRO5
Gambar IV.30 Tanggapan Responden Terhadap Kesesuaian
182
Dari hasil tanggapan responden terhadap variabel kesesuaian menunjukan bahwa
pada MRO2, MRO3, MRO4, MRO5 indikator peralatan yang digunakan sesuai
fungsi dan indikator waktu pengerjaan yang dilakukan sesuai dengan batas waktu
yang ditetapkan perlu perhatian.
IV.3 Hasil Pengukuran Iklim Keselamatan
Pengukuran iklim keselamatan berdasarkan latar belakang responden perlu
dilakukan untuk mengetahui apakah faktor-faktor yang berkaitan dengan latar
belakang responden apakah berpengaruh signifikan terhadap nilai setiap dimensi
iklim keselamatan atau tidak.
Pada penelitian ini akan dikaji karakter organisasi terhadap iklim keselamatan
perusahaan. Hudson (2003 dari Arbejdsmiljoforskning.dk, 2011) mengembangkan
Level of Safety Culture, dengan interpretasi nilai dimensi iklim keselamatan
NOSACQ-50 pada tiap-tiap dimensinya;
1. Nilai dimensi iklim keselamatan kerja > 3,30 menunujukan tingkatan yang
baik memungkinkan untuk tetap mempertahankan dan melanjutkan
perkembangan.
2. Nilai dimensi iklim keselamatan kerja antara 3,00 – 3,30 menunjukkan
tingkatan yang cenderung baik namun membutuhkan sedikit perbaikan.
3. Nilai dimensi iklim keselamatan kerja antara 2,70 – 2,99 menunjukkan
tingkatan yang cenderung kurang dan membutuhkan perbaikan.
4. Nilai dimensi iklim keselamatan kerja < 2,70 menunjukkan tingkatan yang
kurang dan sangat membutuhkan perbaikan.
IV.3.1 Hasil pengukuran iklim keselamatan kategori usia
Hasil pengukuran iklim keselamatan berdasarkan kategori usia yang ditampilkan
pada gambar IV.31 menunjukkan bahwa seluruh dimensi iklim memiliki skala
lebih dari 3 yang berarti baik, Sedangkan komitmen pekerja menunjukkan bahwa
diatas usia lebih dari 50 tahun menunjukkan komitmen yang sangat baik.
183
Var Deskripsi21 - 30
thn31 - 40
thn41 - 50
thn> 50 thn
KMKomitmen dan Kemampuan ManajemenKeselamatan 3.563 3.420 3.590 3.590
DY Pemberbedayaan Manajemen Keselamatan 3.608 3.433 3.737 3.737AD Keadilan manajemen Keselamatan 3.445 3.244 3.474 3.474
KP Komitmen Pekerja Terhadap Keselamatan 4.008 3.870 4.060 4.060
POPrioritas Keselamatan Pekerja dan Tidakditoleransinya Resiko Bahaya 3.361 3.220 3.436 3.436
BLPembelajaran, komunikasi danKepercayaan 3.802 3.645 3.930 3.930
PCKepercayaan Terhadap Keefektifan SistemKeselamatan 3.726 3.553 3.838 3.838
2.2002.6003.0003.4003.8004.200
KM
DY
AD
KPPO
BL
PC
Usia
21 - 30 thn
31 - 40 thn
41 - 50 thn
> 50 thn
Gambar IV.31 Nilai dimensi iklim keselamatan berdasarkan usia
IV.3.2 Hasil pengukuran iklim keselamatan kategori pendidikan
Hasil pengukuran iklim keselamatan berdasarkan latar belakang pendidikan
ditunjukkan pada gambar IV.32 Pada gambar IV.32 menunjukkan bahwa seluruh
dimensi iklim memiliki skala 3.00, yang menunjukkan sudah baik.
184
Var Deskripsi SMA D3 D4,S1 S2
KMKomitmen dan KemampuanManajemen Keselamatan 3.565 3.640 3.341 3.200
DYPemberbedayaan ManajemenKeselamatan 3.589 3.732 3.409 3.250
AD Keadilan manajemen Keselamatan 3.421 3.526 3.244 3.250
KPKomitmen Pekerja TerhadapKeselamatan 4.036 4.052 3.854 4.000
POPrioritas Keselamatan Pekerja danTidak ditoleransinya Resiko Bahaya 3.381 3.438 3.718 3.500
BLPembelajaran, komunikasi danKepercayaan 3.778 3.879 3.718 4.000
PCKepercayaan Terhadap KeefektifanSistem Keselamatan 3.708 3.819 3.561 4.000
2.700
3.200
3.700
4.200KM
DY
AD
KPPO
BL
PC
Pendidikan
SMA
D3
D4,S1
S2
Gambar IV.32 Nilai dimensi iklim keselamatan berdasarkan pendidikan
IV.3.3 Hasil pengukuran iklim keselamatan kategori jabatan
Hasil pengukuran iklim keselamatan berdasarkan jabatan/posisi kerja ditunjukkan
pada gambar IV.33 yang menunjukkan bahwa bahwa seluruh dimensi iklim
memiliki skala 3.00, yang menunjukkan sudah baik.
185
Var Deskripsi O/T/E S/F/MAsmen,Manajer,diatasnya
KMKomitmen dan Kemampuan ManajemenKeselamatan 3.563 3.800 3.326
DY Pemberbedayaan Manajemen Keselamatan 3.611 3.888 3.380AD Keadilan manajemen Keselamatan 3.435 3.688 3.167KP Komitmen Pekerja Terhadap Keselamatan 3.988 4.233 4.012
POPrioritas Keselamatan Pekerja dan Tidakditoleransinya Resiko Bahaya 3.371 3.650 3.148
BL Pembelajaran, komunikasi dan Kepercayaan 3.785 4.093 3.757
PCKepercayaan Terhadap Keefektifan SistemKeselamatan 3.709 3.983 3.679
2.800
3.200
3.600
4.000
4.400KM
DY
AD
KPPO
BL
PC
Posisi Kerja
O/T/ES/F/MAsmen, Manajer, diatasnya
Gambar IV.33 Nilai dimensi iklim keselamatan berdasarkan posisi/jabatan kerja
IV.3.4 Hasil pengukuran iklim keselamatan kategori pengalaman kerja
Pada analisis pengukuran iklim keselamatan berdasarkan pengalaman kerja ini
akan dapat diketahui apakah pengalaman kerja berpengaruh signifikan terhadap
nilai dimensi iklim keselamatan atau tidak. Hasil pengukuran iklim keselamatan
berdasarkan pengelompokan pengalaman kerja ditampilkan pada gambar IV.34.
Pengalaman kerja dikategorikan dalam berbagai rentang lama kerja, mulai dari
yang pengalaman kerjanya kurang dari 3 tahun sampai yang pengalaman kerjanya
lebih dari 12 tahun. Hasil pengolahan menunjukkan bahwa seluruh dimensi iklim
memiliki skala 3.00, yang menunjukkan sudah baik.
186
Var Deskripsi 0-3 thn 4-6 thn 7-9 thn 9-11 thn >12 thn
KMKomitmen dan Kemampuan ManajemenKeselamatan 3.651 3.681 3.673 3.544 3.274
DY Pemberbedayaan Manajemen Keselamatan 3.681 3.679 3.769 3.570 3.342AD Keadilan manajemen Keselamatan 3.558 3.536 3.571 3.440 3.072KP Komitmen Pekerja Terhadap Keselamatan 4.048 4.103 4.108 3.947 3.826
POPrioritas Keselamatan Pekerja dan Tidakditoleransinya Resiko Bahaya 3.500 3.476 3.494 3.400 3.027
BL Pembelajaran, komunikasi dan Kepercayaan 3.876 3.837 3.928 3.811 3.573
PCKepercayaan Terhadap Keefektifan SistemKeselamatan 3.778 3.841 3.840 3.760 3.475
2.800
3.200
3.600
4.000
4.400KM
DY
AD
KPPO
BL
PC
Pengalaman Kerja
0-3 thn4-6 thn7-9 thn9-11 thn>12 thn
Gambar IV.34 Diagram radar nilai dimensi iklim keselamatan berdasarkan lamakerja
IV.3.5 Hasil pengukuran iklim keselamatan kategori pelatihan
Pelatihan merupakan hal penting yang perlu dilakukan secara berkala dan terus-
menerus, bahkan beberapa peneliti memasukkan unsur pelatihan ini sebagai salah
satu dimensi dalam pengukuran iklim keselamatan. Hasil pengukuran iklim
menunjukkan bahwa seluruh dimensi iklim memiliki skala 3.00, yang
menunjukkan sudah baik. Pada gambar IV.35 diperlihatkan hasil iklim
keselamatan.
187
Var DeskripsiTdk
Pernah1-2 kali 3-4 kali 5-6 kali >7 kali
KM Komitmen dan Kemampuan Manajemen Keselamatan 3.676 3.533 3.413 3.523 3.650DY Pemberbedayaan Manajemen Keselamatan 3.659 3.613 3.484 3.519 3.656AD Keadilan manajemen Keselamatan 3.642 3.376 3.274 3.308 3.552KP Komitmen Pekerja Terhadap Keselamatan 4.132 3.983 3.871 4.051 4.028
POPrioritas Keselamatan Pekerja dan Tidak ditoleransinyaResiko Bahaya 3.483 3.335 3.194 3.385 3.542
BL Pembelajaran, komunikasi dan Kepercayaan 3.914 3.786 3.714 3.736 3.798
PC Kepercayaan Terhadap Keefektifan Sistem Keselamatan 3.828 3.702 3.602 3.718 3.792
2.800
3.200
3.600
4.000
4.400KM
DY
AD
KPPO
BL
PC
PELATIHANKESELAMATANKERJA
Tdk Pernah1-2 kali3-4 kali5-6 kali>7 kali
Gambar IV.35 Diagram radar nilai dimensi iklim keselamatan berdasarkanfrekuensi pelatihan keselamatan yang pernah diikuti
IV.3.6 Nilai Dimensi Keselamatan Responden
Berdasarkan pengelompokan latar belakang responden berdasarkan usia,
pendidikan, pengalaman/lama kerja, pelatihan keselamatan yang pernah diikuti,
dan posisi/jabatan kerja pada pengukuran iklim keselamatan yang telah dilakukan
pada pengolahan data dalam penelitian ini, didapatkan bahwa pengelompokan
tersebut memiliki nilai iklim lebih dari skala 3, hal ini menunjukkan iklim pada
perusahaan pemeliharaan adalah baik.
IV.3.7 Hasil pengukuran iklim keselamatan antar MRO
Berdasarkan pengukuran MRO dengan 7 dimensi iklim keselamatan terlihat
bahwa MRO 4 memiliki nilai yang kurang dari 3 untuk Keadilan Manajemen
Keselamatan dan Prioritas Keselamatan Pekerja dan Tidak ditoleransinya Resiko
Bahaya. Ini menunjukkan masih perlu dilakukan perbaikan pada Keadilan
Manajemen Keselamatan dan Prioritas Keselamatan Pekerja di perusahaan itu.
188
Deskripsi MRO 1 MRO 2 MRO 3 MRO 4 MRO 5
KMKomitmen dan Kemampuan ManajemenKeselamatan 3.593 3.773 3.612 3.263 3.320
DY Pemberbedayaan Manajemen Keselamatan 3.565 3.840 3.659 3.468 3.533AD Keadilan manajemen Keselamatan 3.490 3.683 3.382 2.961 3.300KP Komitmen Pekerja Terhadap Keselamatan 3.995 4.111 4.176 3.886 4.067
POPrioritas Keselamatan Pekerja dan Tidakditoleransinya Resiko Bahaya 3.427 3.733 3.176 2.895 3.267
BL Pembelajaran, komunikasi dan Kepercayaan 3.801 3.943 3.908 3.650 3.810
PCKepercayaan Terhadap Keefektifan SistemKeselamatan 3.710 3.911 3.843 3.579 3.778
2.800
3.200
3.600
4.000
4.400KM
DY
AD
KPPO
BL
PC
IKLIM KESELAMATANANTAR MRO
MRO 1MRO 2MRO 3MRO 4MRO 5
Gambar IV.36 Diagram radar nilai dimensi iklim keselamatan antar MRO
189
190
Bab V Analisis
Data yang terkumpul sebelum dinalisis perlu dilakukan validitas. Uji Validitas
dilakukan dengan Uji kehandalan Instrumen, selanjutnya dilakukan Uji
Normalitas karena akan dilakukan analisis metode SEM. Uji variabel dianalisis
dengan menggunakan Analisis Faktor Konfirmatori (CFA) untuk mengetahui
apakah faktor-faktor yang ditunjukan sesuai dengan teori. Lalu, analisis faktor
konfirmatori diimplementasikan untuk mengembangkan model pengukuran.
Akhirnya, pemodelan persamaan struktur digunakan untuk menguji jalur
struktural di konstruksi model.
V.1 Data yang Digunakan
Sebelum melakukan uji kehandalan dan uji-uji lainnya, langkah pertama adalah
persiapan data yang akan diolah. Data ini diperlihatkan pada Tabel V.1. Variabel
berjumlah 8 yang terdiri dari Struktur, Lingkungan, Iklim Keselamatan, Tidak
Aman, Perilaku Melapor Tidak Aman, Pengetahuan Keselamatan, Kelaikan.
Dengan sub Variabel berjumlah 23. Total Indikator berjumlah 116 pertanyaan.
V.2 Uji Kehandalan Instrumen
Uji kehandalan instrumen adalah untuk mengetahui apakah Instrumen yang kita
susun dapat digunakan sebagai alat pengukuran persepsi. Uji Kehandalan
dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama Uji Validitas dan Tahap berikutnya
adalah Uji Reliabilitas.
Hasil validitas untuk setiap indikator dapat dilihat pada tabel V.2. Uji Validasi
konstruk dilakukan dengan melihat korelasi anatara skor setiap variabel dengan
skor total untuk setiap responden. Korelasi yang dimaksudkan adalah besarnya
kovariansi. Besar nilai validasi adalah -1≤ nilai validasi ≤ 1.
191
Tabel V.1 Nama Variabel, Sub Variabel dan Indikator
No. Variabel – Sub variabel Nama Indikator1. Struktur STRUKTUR1a. Formalisasi FORMAL fo 1 sd fo51b. Spesialisasi SPESIALIS sp1 sd sp41c. Wewenang HIRARKI we1 sd we31d. Desentralisasi DESENTRA ds1 sd ds32 Lingkungan LINGK2a. Kompetisi KOMP ko1 sd. ko52b. Sumber daya SD sd1 sd. sd53 Iklim Keselamatan IKLIM3a Komitmen Manajemen KMM ko1 sd ko93b Pemberdayaan DAYA dy1 sd dy73c Keadilan ADIL ad1 sd ad63d Komitmen Pekerja KMP Kp1 sd kp63e Prioritas Keselamatan PRIORI po1 sd po73f Pembelajaran BELAJAR bl1 sd bl83g Kepercayaan PERCAYA pc1 sd pc64. Tidak Aman TDK AMAN4a Pelanggaran LANGGAR la1 sd La114b. Kesalahan SALAH sa1 sd sa75. Perilaku Melapor LAPOR5a Jaminan Melaporkan JAMIN ja1 sd ja55b Kemudahan Melaporkan MUDAH mu1 sd mu36. Pengetahuan Keselamatan PENGETA6a Bahaya BAHAYA ba1 sd ba36b Darurat DARURAT da1 sd da37. Resiko Keselamatan RESIKO7a Kecelakaan CELAKA ke1 sd ke27b Luka LUKA in1 sd in28. Kelaikan KELAIKAN8a. Pola Perawatan POLA KL1, KL28b. Pemenuhan Standar STANDAR KL3,KL4,KL5
192
Tabel V. 2 Hasil Uji Validitas Instrumen
ItemNilaiKoef
Validitas KetItem
NilaiKoef
Validitas KetItem
NilaiKoef
Validitas Ketfo1 0,7458 Valid ad5 0,9488 Valid la4 0,9384 Validfo2 0,8734 Valid ad6 0,9550 Valid la5 0,9298 Validfo4 0,7990 Valid dy1 0,9356 Valid la6 0,9176 Validfo5 0,7427 Valid dy2 0,9258 Valid la7 0,9186 Validfo6 0,7856 Valid dy3 0,7656 Valid la8 0,9327 Validfo3 0,8023 Valid dy4 0,7593 Valid la9 0,3655 Validsp1 0,8424 Valid dy5 0,7859 Valid la10 0,6891 Validsp2 0,8557 Valid dy6 0,8351 Valid la11 -0,0368 Tidak Validsp3 0,8605 Valid dy7 0,8130 Valid sa1 0,5716 Validsp4 0,9144 Valid kp1 0,8464 Valid sa2 0,5764 Validwe1 0,7218 Valid kp2 0,8073 Valid sa3 0,7805 Validwe2 0,8332 Valid kp3 0,8433 Valid sa4 0,6694 Validwe3 0,8659 Valid kp4 -0,6167 Tidak Valid sa5 0,3781 Validds1 0,7048 Valid kp5 0,8651 Valid sa6 0,3177 Validds2 0,7406 Valid kp6 0,8060 Valid sa7 0,3462 Validds3 0,8698 Valid po1 0,8544 Valid ja1 0,7532 Validko1 0,8015 Valid po2 0,9297 Valid ja2 0,7466 Validko2 0,7670 Valid po3 0,9276 Valid ja3 0,8039 Validko3 0,8914 Valid po4 0,9309 Valid ja4 0,8522 Validko4 0,7220 Valid po5 0,8745 Valid ja5 0,7932 Validko5 0,7028 Valid po6 0,5121 Valid mu1 0,8691 Validsd1 0,7867 Valid po7 0,6744 Valid mu2 0,8227 Validsd2 0,8581 Valid bl1 0,9353 Valid mu3 0,8352 Validsd3 0,5934 Valid bl2 0,9526 Valid ba1 0,7811 Validsd4 0,7668 Valid bl3 0,9469 Valid ba2 0,8789 Validsd5 0,7416 Valid bl4 0,9295 Valid ba3 0,8933 Validkm1 0,7773 Valid bl5 0,9569 Valid da1 0,8701 Validkm2 0,8893 Valid bl6 0,8678 Valid da2 0,9194 Validkm3 0,8458 Valid bl7 0,9096 Valid da3 0,8874 Validkm4 0,9569 Valid bl8 0,9141 Valid ke1 0,9127 Validkm5 0,9449 Valid pc1 0,3555 Valid ke2 0,8421 Validkm6 0,9379 Valid pc2 0,5179 Valid in1 0,8888 Validkm7 0,9374 Valid pc3 0,3729 Valid in2 0,8752 Validkm8 0,9436 Valid pc4 0,3666 Valid kl1 0,8902 Validkm9 0,9393 Valid pc5 0,3653 Valid kl2 0,8969 Validad1 0,8400 Valid pc6 0,3931 Valid kl3 0,9016 Validad2 0,9532 Valid la1 0,7689 Valid kl4 0,9035 Validad3 0,9455 Valid la2 0,8706 Valid kl5 0,9130 Valid
ad4 0,9577 Valid la3 0,8594 Valid
Dapat dilihat pada tabel diatas terdapat dua item yang tidak valid yaitu kp4 dan
la11. Kedua variabel tersebut disingkirkan dan tidak digunakan lagi untuk uji
selanjutnya.
193
Setelah Uji Validitas dilakukan dan membuang 2 indikator yang tidak valid, maka
masuk ke tahap selanjutnya yaitu Uji Reliabilitas.
Hasil Uji Reliabilitas diperlihatkan pada tabel V.3
Tabel V.3 Hasil Uji Reliabilitas
VariabelLaten
VariabelObservasi
Item AlphaCronbach
n
Struktur Formalisasi fo1,fo2,fo3,fo4,fo5,fo6
0,866 16Spesialisasi sp1,sp2,sp3,sp4Wewenang we1,we2,we3Desentralisasi ds1,ds2,ds3
Lingkungan Kompetisi ko1, ko2, ko3, ko4, ko50,852 10
Sumber daya sd1,sd2,sd3,sd4,sd5IklimKeselamatan
KomitmenManajemen
km1,km2,km3,km4,km5,km6,km7,km8,km9
0,949 48
Pemberdayaan dy1,dy2,dy3,dy4,dy5dy6,dy7
Keadilan ad1,ad2,ad3,ad4,ad5,ad6KomitmenPekerja
kp1,kp2kp3,kp5,kp6
PrioritasKeselamatan
po1,po2,po3,po4,po5,po6,po7
Pembelajaran bl1,bl2,bl3,bl4,bl5,bl6,bl6,bl7,bl8
Kepercayaan pc1,pc2,pc3,pc4,pc5,pc6PengetahuanKeselamatan
Bahaya ba1,ba2,ba30,910 6
Darurat da1,da2,da3TindakanTidak Aman
Langgar la1,la2,la3,la4,la5,la6,la7,la8,la9, la10
0,869 17Salah sa1,sa2,sa3,sa4,sa5,sa6
sa7PerilakuPelaporan
Jaminan ja1,ja2,ja3,ja4,ja50,875 8
Kemudahan mu1,mu2,mu3ResikoKeselamatan
Kecelakaan ke1, ke20,780 4
Luka in1, in2KelaikanPesawat
Pola Perawatan kl1,kl20,881 5Pemenuhan
Standarkl3,kl4, kl5
Menurut George & Mallery (2003), kuantifikasi Cronbach’s Alpha dapat
diklasifikasikan dalam beberapa peringkat yang ditunjukkan pada tabel V.3
194
Tabel V.4 Klasifikasi nilai Cronbach’s Alpha
sumber : George & Mallery (2003)
Pada tabel V.3 hasil uji Reliabilitas instrumen dengan alpha Cronbach
menunjukkan semua variabel laten berada pada dimensi > 0,6 sehingga dapat
dikatakan seluruh variabel realibel atau handal untuk digunakan sebagai alat ukur.
V.3 Analisis Structural Equation Model (SEM)
Variabel yang digunakan dalam pengolahan ini disingkat sebagaimana
ditunjukkan pada tabel V.1. Untuk memastikan bahwa data–data tersebut andal
sebelum dilakukan uji analisis faktor Konfirmatori, maka harus memenuhi asumsi
yaitu Normalitas.
V.3.1 Analisis Normalitas
Dalam menganalisis data menggunakan Structural Equation Modelling, data
harus memenuhi asusmsi yang disyaratkan dalam analisis. Salah satu syaratnya
adalah Normalitas Univariate dilihat dengan nilai P-Value pada skewness dan
kurtosis dengan nilai batas di bawah + 0.05.
Menurut Ghozali & Fuad (2008: 250), ada dua asumsi mengenai ketidaknormalan
data sebagai berikut
(1) Mengasumsikan bahwa data yang tidak normal akan dijalankan berdasarkan
pada keadaan normal seperti biasa (metode ML dan data disimpan dalam
(covariance matrix) atau dengan kata lain mengestimasi model yang salah
karena data yang tidak normal.
NilaiCronbach’s
Alpha
Klasifikasi
91% - 100% Excellent81% - 90% Good71% - 80% Acceptable61% - 70% Questionable51% - 60% Poor0% - 50% Unacceptable
80% Reasonable goal
195
(2) Mengestimasi model dengan menggunakan metode ML, tetapi mengkoreksi
standard error dan beberapa goodness of fit indices akibat ketidaknormalan
distribusi data.
Untuk memudahkan pengujian maka data dibagi menjadi empat kelompok
pengolahan yaitu Desain organisasi, Iklim Keselamatan dan Performansi Hasil
Keselamatan dan Hasil Keselamatan Kelaikan.
Tabel V.2 memperlihatkan hasil uji normalitas data yang dilakukan untuk
struktural dan lingkungan.
Tabel V. 5 Uji Normalitas Desain Organisasi
Test of Univariate Normality for Continuous Variables
Skewness Kurtosis Skewness and Kurtosis
Variable Z-Score P-Value Z-Score P-Value Chi-Square P-ValueFO1 -1.487 0.137 0.502 0.616 2.464 0.292FO2 -1.464 0.143 0.803 0.422 2.790 0.248FO3 -0.853 0.393 -2.018 0.044 4.802 0.091FO4 -1.757 0.079 -0.092 0.927 3.097 0.213FO5 -1.088 0.277 -0.719 0.472 1.700 0.427FO6 0.523 0.601 -1.756 0.079 3.356 0.187SP1 -1.281 0.200 -0.323 0.747 1.744 0.418SP2 -1.469 0.142 1.515 0.130 4.452 0.108SP3 -1.443 0.149 0.056 0.956 2.087 0.352SP4 -1.469 0.142 1.821 0.069 5.472 0.065WE1 -1.474 0.140 0.520 0.603 2.444 0.295WE2 0.865 0.387 -0.548 0.584 1.048 0.592WE3 -1.463 0.144 0.204 0.839 2.181 0.336DS1 -1.010 0.313 -1.377 0.168 2.917 0.233DS2 -1.774 0.076 0.823 0.410 3.827 0.148DS3 -0.387 0.699 -1.322 0.186 1.897 0.387KO1 0.949 0.342 -1.406 0.160 2.878 0.237KO2 -0.594 0.553 -0.747 0.455 0.910 0.634KO3 -1.630 0.103 0.701 0.483 3.149 0.207KO4 -1.817 0.069 1.156 0.248 4.637 0.098KO5 -0.925 0.355 -1.149 0.251 2.175 0.337SD1 -1.472 0.141 0.551 0.581 2.470 0.291SD2 -0.650 0.516 -1.743 0.081 3.459 0.177SD3 -1.787 0.074 -2.243 0.025 8.224 0.016SD4 -1.812 0.070 -1.063 0.288 4.412 0.110SD5 -1.277 0.201 -0.147 0.883 1.653 0.438
Dari tabel V.5 tersebut diketahui FO3 dan SD4 tidak normal karena nilai P-Value
pada skewness dan kurtosis < 0.05 sehingga harus dikeluarkan dari analisa
selanjutnya.
196
Tabel V.6 Uji Normalitas Iklim Keselamatan
Test of Univariate Normality for Continuous Variables
Skewness Kurtosis Skewness and KurtosisVariable Z-Score P-Value Z-Score P-Value Chi-Square P-Value
KM1 -1.540 0.124 -0.559 0.576 2.684 0.261KM2 -1.451 0.147 -0.002 0.998 2.105 0.349KM3 -1.270 0.204 -1.643 0.100 4.312 0.116KM4 -0.938 0.348 -0.993 0.321 1.864 0.394KM5 -1.364 0.173 -1.800 0.072 5.101 0.078KM6 -0.980 0.327 -0.043 0.965 0.962 0.618KM7 -1.217 0.224 -0.134 0.894 1.499 0.473KM8 -1.299 0.194 -1.172 0.241 3.060 0.217KM9 -0.909 0.363 -0.973 0.331 1.773 0.412DY1 -1.380 0.168 0.127 0.899 1.920 0.383DY2 -1.561 0.118 0.749 0.454 2.998 0.223DY3 -1.442 0.149 0.466 0.641 2.295 0.317DY4 -0.875 0.381 -0.907 0.364 1.589 0.452DY5 -1.357 0.175 -0.257 0.797 1.907 0.385DY6 -0.455 0.649 -1.131 0.258 1.487 0.475DY7 -1.341 0.180 0.292 0.770 1.884 0.390AD1 -1.467 0.142 0.261 0.794 2.220 0.330AD2 -0.090 0.928 -1.792 0.073 3.218 0.200AD3 -1.666 0.096 0.204 0.838 2.818 0.244AD4 -0.584 0.559 -1.181 0.238 1.736 0.420AD5 -0.465 0.642 -1.706 0.088 3.125 0.210AD6 -0.934 0.350 -0.236 0.813 0.928 0.629KP1 -1.792 0.073 0.234 0.815 3.267 0.195KP2 -1.667 0.095 0.763 0.445 3.363 0.186KP3 -1.868 0.062 -1.586 0.113 6.005 0.050KP5 -1.698 0.089 0.622 0.534 3.271 0.195KP6 -1.931 0.054 -1.576 0.115 6.210 0.045PO1 0.566 0.572 -1.291 0.197 1.986 0.370PO2 -1.323 0.186 -1.230 0.219 3.261 0.196PO3 -1.328 0.184 -0.937 0.349 2.642 0.267PO4 -1.549 0.121 -2.046 0.041 6.589 0.037PO5 -0.674 0.500 -1.468 0.142 2.611 0.271PO6 -0.897 0.370 -3.975 0.000 16.608 0.000PO7 -1.835 0.067 3.245 0.001 13.897 0.001BL1 -1.835 0.067 3.245 0.001 13.897 0.001BL2 -1.694 0.090 1.716 0.086 5.813 0.055BL3 -1.753 0.080 2.586 0.010 9.761 0.008BL4 -1.511 0.131 0.735 0.463 2.823 0.244BL5 -1.583 0.114 1.193 0.233 3.928 0.140BL6 -1.111 0.266 -1.726 0.084 4.214 0.122BL7 -1.711 0.087 0.929 0.353 3.791 0.150BL8 -1.442 0.069 0.428 0.359 2.262 0.023PC1 -1.843 0.065 1.353 0.176 5.228 0.073PC2 -1.859 0.063 -2.406 0.016 9.245 0.010PC3 -1.508 0.132 0.492 0.623 2.515 0.284PC4 -1.796 0.072 -2.089 0.037 7.590 0.022PC5 -1.619 0.106 0.936 0.349 3.496 0.174PC6 -2.143 0.032 -2.259 0.024 9.695 0.008
197
Dari tabel V.6 diketahui PO4, PO6, PO7, BL1, BL3, BL8, PC2, PC4, PC6 tidak
normal karena nilai P-Value pada skewness dan kurtosis < 0.05 sehingga akan
dikeluarkan dari analisa selanjutnya.
Tabel V.7 Uji Normalitas Kinerja Keselamatan
Dari tabel V.7 diketahui LA9,LA11, SA5, SA6 tidak normal karena nilai P-Value
pada skewness dan kurtosis < 0.05 sehingga akan dikeluarkan dari analisa
selanjutnya.
Test of Univariate Normality for Continuous Variables
Skewness Kurtosis Skewness and Kurtosis
Variable Z-Score P-Value Z-Score P-Value Chi-Square P-Value
LA1 -1.540 0.124 -0.559 0.576 2.684 0.261LA2 1.451 0.147 -0.002 0.998 2.105 0.349LA3 1.270 0.204 -1.643 0.100 4.312 0.116LA4 0.938 0.348 -0.993 0.321 1.864 0.394LA5 -1.364 0.173 -1.800 0.072 5.101 0.078LA6 0.980 0.327 -0.043 0.965 0.962 0.618LA7 1.217 0.224 -0.134 0.894 1.499 0.473LA8 -1.299 0.194 -1.172 0.241 3.060 0.217LA9 -0.239 0.811 -1.596 0.010 2.605 0.272LA10 -0.784 0.433 -1.374 0.169 2.503 0.286LA11 -2.322 0.020 -4.395 0.000 24.706 0.000SA1 -1.782 0.075 -1.841 0.066 6.564 0.038SA2 -1.366 0.172 -1.823 0.068 5.188 0.075SA3 -1.693 0.090 -1.484 0.138 5.069 0.079SA4 -1.673 0.094 -0.863 0.388 3.544 0.170SA5 -2.336 0.020 -2.590 0.010 12.166 0.002SA6 -1.929 0.054 -2.058 0.040 7.955 0.019SA7 -1.381 0.167 0.194 0.847 1.946 0.378JA1 -0.370 0.711 -1.438 0.151 2.204 0.332JA2 -0.392 0.695 -1.439 0.150 2.226 0.329JA3 -0.208 0.835 -1.919 0.055 3.726 0.155JA4 -1.692 0.091 -1.773 0.076 6.008 0.050JA5 -0.569 0.569 -1.187 0.235 1.734 0.420MU1 -1.712 0.087 -1.429 0.153 4.974 0.083MU2 -1.426 0.154 -0.812 0.417 2.694 0.260MU3 -0.997 0.319 -1.644 0.100 3.698 0.157BA1 -0.662 0.508 -1.553 0.120 2.850 0.240BA2 -1.466 0.143 -0.273 0.785 2.223 0.329BA3 -1.293 0.196 -0.009 0.993 1.672 0.433DA1 -1.616 0.106 1.022 0.307 3.654 0.161DA2 -1.187 0.235 -1.679 0.093 4.228 0.121DA3 -1.860 0.063 -1.701 0.089 6.350 0.042KE1 -1.587 0.113 -0.941 0.347 3.402 0.182KE2 -1.815 0.069 -1.734 0.083 6.302 0.043IN1 -1.539 0.124 -0.569 0.569 2.694 0.260IN2 -1.515 0.130 -1.742 0.081 5.331 0.070
198
Tabel V.8 Uji Normalitas Kinerja Keselamatan
Test of Univariate Normality for Continuous Variables
Skewness Kurtosis Skewness and KurtosisVariable Z-Score P-Value Z-Score P-Value Chi-Square P-Value
KL1 -1.331 0.183 -1.480 0.139 3.963 0.138KL2 -1.606 0.108 -1.919 0.055 6.260 0.044KL3 -1.522 0.128 -0.662 0.508 2.754 0.252KL4 -1.350 0.177 -2.381 0.017 7.490 0.024KL5 -1.266 0.205 -1.671 0.095 4.397 0.111
Dari tabel V.8 diketahui kl2, kl4 tidak normal karena nilai P-Value pada skewness
dan kurtosis < 0.05 sehingga akan dikeluarkan dari analisa selanjutnya.
Kesimpulan dari hasil uji Normalitas yang dilakukan dengan bantual software
Lisrel.v8.7 adalah terdapat 17 indikator yang dinyatakan tidak normal
sebagaimana diperlihatan pada Tabel V.9
Tabel V.9 Variabel yang tidak normal
No. Indikator Item Nama1. fo3 1 Formalisasi2. Sd3 1 Sumber Daya3. po4,po6, po7 3 Prioritas4. bl1, bl3, bl8 3 Pembelajaran5. pc2,pc,4,pc6 3 Kepercayaan6. la9, la11 2 Pelanggaran7. sa5,sa6 2 Kesalahan8. Kl2 1 Pola Perawatan9. Kl4 1 Standar
Total Indikator tidaknormal
17
Indikator yang tidak normal tersebut dibuang sehingga yang tersisa adalah yang
memenuhi unsur normalitas. Jumlah item indikator yang memenuhi unsur
normalitas sebanyak 97 indikator.
V.3.2 Analisis Faktor Konfirmatori
Pada tahap ini tahap model pengukuran meliputi analisis : second order
confirmatory (2ndCFA) dan latent variable score (LVS). Model pengukuran
memodelkan hubungan antara variabel laten dengan variabel-variabel
199
terobservasi. Hubungan tersebut bersifat reflektif, dimana variabel-variabel
terobservasi refleksi dari variabel laten terkait.
Analisis faktor konfirmatori (CFA) dianggap sebagai perpanjangan dari analisis
faktor itu memeriksa hubungan satu set indikator dengan konstruk umum
(Schumacker & Lomax, 2010). CFA telah digunakan secara langsung bila ada
dasar teoritis untuk menentukan pola pengeluaran hipotesa (Hurley et al., 1997).
Dengan cara lain, CFA umumnya digunakan bila peneliti mengetahui faktor
penelitian yang diminati dan variabel yang menjadi ciri masing-masing faktor
(Henson & Roberts, 2006). Selain itu, CFA memungkinkan estimasi faktor
berkorelasi dan dengan demikian dapat dianggap sebagai subset dari pemodelan
persamaan struktural namun tanpa faktor yang memungkinkan untuk memiliki
hubungan struktural (Rencher & Christensen, 2012). Salah satu kelebihan CFA
adalah bahwa hal itu dapat digunakan untuk menguji efek metode umum yang
dihasilkan dari pendekatan pengukuran (Harrington, 2009).
Dalam model CFA, panah dari variabel laten ke variabel yang diamati dapat
mewakili hubungan antara mereka dan memiliki nilai (factor loading) untuk
memprediksi variabel yang diamati ini (item atau indikator) dari faktor laten.
Semakin tinggi pemuatan faktor adalah hubungan yang lebih baik. Tabel V.7
menunjukkan saran Tabachnick dan Fidell (2007) tentang faktor pembebanan
faktor. Sebuah varians memperhitungkan korelasi antara variabel yang diamati
dan faktor korespondensi ditentukan dengan mengkuadratkan faktor loading. Jika
variabel yang diamati tidak dihitung oleh faktor, varians unik (error pengukuran)
akan muncul.
Tabel V.10 Skala Factor Loading
FactorLoading
Intepretasi BesarVariansi
> 0.70> 0.63> 0.55> 0.45> 0.32< 0.32
Sangat KuatKuatBaikCukupLemahTidak dapat diinterpretasikan
50%40%30%20%10%10%
200
Korelasi faktor adalah panah berkepala dua antara dua variabel laten dalam
model CFA. Itu hubungan antara variabel laten ini adalah korelasi faktor yang
berkisar antara -1 sampai +1 solusi terstandardisasi. Ada juga kesalahan yang
berkorelasi daripada yang ada diantara indicator diri mereka yang terkait dengan
hal lain selain pengaruh bersama yang laten variabel. Menurut Harrington (2009),
kesalahan berkorelasi bisa disebabkan oleh efek metode yang dihasilkan dari
pendekatan pengukuran seperti laporan sendiri (misalnya cara menanyakan
pertanyaan).
Ada banyak cara untuk menguji model goodness-of-fit. Hooper, Coughlan, dan
Mullen (2008) merekomendasikan terlebih dahulu untuk menilai kesesuaian
masing-masing konstruk secara individu untuk mengetahui apakah adaapakah ada
barang lemah Oleh karena itu, CFA setiap bangunan dilakukan untuk
memverifikasi keabsahan dankeandalan model pengukuran itu. Selain itu,
menurut Rencher dan Christensen (2012), CFA dirangkum dalam beberapa
langkah statistik:
a. Hipotesis model yang bisa dikenali
b. Fitting parameter model
c. Menilai kebaikan model fit
d. Melakukan inferensi statistik untuk parameter model
Analisis faktor konfirmatori bertujuan untuk menguji undimensionalitas dari
indikator pembentuk masing-masing variabel laten. Berikut hasil analisis faktor
konfirmatori dari masing-masing model. Penulis menggunakan Confirmatory
Factor Analysis (CFA) dengan bantuan software lisrel.
V.4 Analisa 2nd Confirmatory Faktor Analysis (2NDCFA)
Dalam SEM, setiap variabel laten biasanya mempunyai beberapa ukuran atau
variabel teramati atau indikator. Variabel laten dengan variabel-variabel teramati
dihubungkan melalui model pengukuran yang berbentuk analisis faktor. Dalam
model ini, setiap variabel laten dimodelkan sebagai sebuah faktor yang mendasari
variabel-variabel teramati yang terkait. Koef Estimasi > 0.50 dinyatakan Valid,
T value >1.96 dinyatakan Signifikan.
201
V.4.1 Validasi model pengukuran Struktur
Keluaran untuk model 2NDCFA Struktur sebagaimana tergambar pada gambar
V.1. merupakan keluaran untuk nilai standarized.
Gambar V.1. Nilai Standardized –2NDCFA Struktur
Dari hasil gambar V.1 diperoleh nilai pengujian berdasarkan nilai standardized
bahwa pengaruh variabel laten Struktur tingkat kedua terhadap variabel laten
tingkat pertama, diketahui bahwa Formalisasi dan Spesialisasi lemah membentuk
konstruk Struktur karena memiliki koefisien validitas < 0.5, sedangkan
seharusnya loading factor (λ) > 0.5.
202
Gambar V.2. Nilai T-Value –2NDCFA Struktur
Dari pengujian nilai t values, diketahui bahwa pengaruh variabel laten Struktur
tingkat kedua terhadap variabel laten tingkat pertama, seluruhnya lebih besar dari
1.96 menunjukkan variabel laten tingkat pertama signifikan dalam membentuk
konstruk Struktur. Tabel V.8 menunjukkan pengukuran variabel laten pertama
terhadap indikatornya.
203
Tabel V.11 Pengukuran 2NDCFA Struktur
No Dimensi Indikator Koef Estimasi(Standardized)
T-Value Signifikansi
1 Formal FO1 0.53 default Valid, Signifikan
FO2 0.88 9.77 Valid, Signifikan
FO4 0.66 8.41 Valid, Signifikan
FO5 0.89 9.78 Valid, Signifikan
FO6 0.52 7.22 Valid, Signifikan
2 Spesialis SP1 0.97 default Valid, Signifikan
SP2 0.62 12.99 Valid, Signifikan
SP3 0.63 13.44 Valid, Signifikan
SP4 0.63 15.12 Valid, Signifikan
3 Wewenang WE1 0.54 default Valid, Signifikan
WE2 0.68 8.34 Valid, Signifikan
WE3 0.85 9.08 Valid, Signifikan
4 Desentra DS1 0.63 Default Valid, Signifikan
DS2 0.81 9.97 Valid, Signifikan
DS3 0.70 9.32 Valid, Signifikan
Berdasarkan tabel V.8 tersebut, dapat dilihat bahwa nilai faktor loading yang
dihasilkan dari variabel laten Struktur terhadap dimensi Formal, Spesialis,
Wewenang dan Desentra lebih besar dari 0.50 dengan nilai t value lebih besar dari
1.96 pada tingkat signifikansi 5%, dapat dikatakan bahwa variabel dimensi
Formal, Spesialis, Wewenang dan Desentra dengan indikator FO1, FO2, FO4
sampai FO6, SP1 sampai SP4, WE1 sampai WE3, DS1 sampai DS3 dinyatakan
valid dan signifikan untuk dijadikan variabel dimensi variabel laten Struktur dan
akan digunakan pada analisa selanjutnya.
V.4.2 Validasi model pengukuran Lingkungan
Keluaran hasil pengukuran untuk model 2NDCFA Lingkungan untuk pengujian
nilai standarized diperlihatkan pada gambar V.3 dan gambar V.4 merupakan
keluaran uji T-values.
204
Gambar V.3 Nilai Standardized –2NDCFA Lingkungan
Gambar V. 4 Nilai T-Value – 2NDCFA Lingkungan
205
Dari hasil gambar V.3 diperoleh nilai pengujian berdasarkan nilai standardized
bahwa pengaruh variabel laten Lingkungan tingkat kedua terhadap variabel laten
tingkat pertama, diketahui bahwa Kompetisi sangat lemah membentuk konstruk
Lingkungan karena memiliki koefisien validitas < 0.5, sedangkan seharusnya
loading factor (λ) > 0.5.
Dari pengujian nilai t values, diketahui bahwa pengaruh variabel laten Lingkunga
tingkat kedua terhadap variabel laten tingkat pertama, seluruhnya lebih besar dari
1.96 menunjukkan variabel laten tingkat pertama signifikan dalam membentuk
konstruk Lingkungan. Tabel V.12 menunjukkan pengukuran variabel laten
pertama terhadap indikatornya.
Tabel V.12 Pengukuran 2NDCFA Lingkungan
No Dimensi Indikator Koef Estimasi(Standardized)
T-Value Signifikansi
1 Komp KO1 0.79 default Valid, Signifikan
KO2 0.74 13.62 Valid, Signifikan
KO3 0.86 20.01 Valid, Signifikan
KO4 0.63 9.91 Valid, Signifikan
KO5 0.63 10.46 Valid, Signifikan
2 SD SD1 0.57 default Valid, Signifikan
SD2 0.67 8.90 Valid, Signifikan
SD4 0.67 9.40 Valid, Signifikan
SD5 0.64 10.19 Valid, Signifikan
Berdasarkan tabel V.12 tersebut, dapat dilihat bahwa nilai faktor loading yang
dihasilkan dari variabel laten Lingkungan terhadap dimensi Kompetisi dan
Sumber daya dengan indikator KO1sampai KO5, SD1 sampai SD5 lebih besar
dari 0.50 dengan nilai t value lebih besar dari 1.96 pada tingkat signifikansi 5%,
dapat dikatakan bahwa variabel indikator dinyatakan valid dan signifikan untuk
dijadikan variabel dimensi variabel laten Lingkungan dan akan digunakan pada
analisa selanjutnya.
206
V.4.3 Validasi model pengukuran Iklim
Keluaran hasil pengukuran untuk model 2NDCFA iklim untuk pengujian nilai
standarized diperlihatkan pada gambar V.5 dan gambar V.6 merupakan keluaran
uji T-values.
Dari hasil gambar V.5 diperoleh nilai pengujian berdasarkan nilai standardized
bahwa pengaruh variabel laten Iklim Keselamatan tingkat kedua terhadap variabel
laten tingkat pertama, diketahui bahwa seluruhnya valid membentuk konstruk
Iklim Keselamatan karena memiliki koefisien validitas > 0.5.
Dari pengujian nilai t values, diketahui bahwa pengaruh variabel laten Iklim
Keselamatan tingkat kedua terhadap variabel laten tingkat pertama, seluruhnya
lebih besar dari 1.96 menunjukkan variabel laten tingkat pertama signifikan dalam
membentuk konstruk Iklim Keselamatan. Tabel V.13 menunjukkan pengukuran
variabel laten pertama terhadap indikatornya.
207
iklim
daya
adil
KM 3KM 2
KM 4KM 5
KM 1
0.34
0.450.20
0.070.11
1.00
kmm
KM 6 0.11
KM 9KM 8
DY 1
KM 7
0.12
0.090.12
0.07
DY 4DY 3
DY 5
DY 2
0.50
0.100.50
0.45DY 6 0.33
priori
bljr
kmp
pcy
DY 7 0.39
AD 3AD 2
AD 4
AD 1
0.12
0.360.11
0.09AD 5 0.09AD 6 0.08
KP 3KP 2
KP 5
KP 1
0.24
0.160.37
0.24KP 6 0.46
PO 3PO 2
PO 5
PO 1
0.14
0.110.16
0.05
BL 5BL 4
BL 6
BL 2
0.11
0.130.16
0.13BL 7 0.25
PC 5PC 3PC 1
0.07
0.130.29
Gambar V.5. Nilai Standardized –2NDCFA Iklim
208
iklim
daya
adil
KM 3KM 2
KM 4KM 5
KM 1
7.18
8.246.15
7.0011.25
kmm
KM 6 10.72
KM 9KM 8
DY 1
KM 7
11.05
9.2112.52
10.49
DY 4DY 3
DY 5
DY 2
7.84
6.427.09
8.14DY 6 6.49
priori
bljr
kmp
pcy
DY 7 8.79
AD 3AD 2
AD 4
AD 1
6.64
7.346.05
15.36AD 5 13.47AD 6 13.25
KP 3KP 2
KP 5
KP 1
5.53
4.467.06
6.70KP 6 7.44
PO 3PO 2
PO 5
PO 1
14.13
10.4715.05
0.00
BL 5BL 4
BL 6
BL 2
11.61
11.4410.43
13.71BL 7 4.87
PC 5PC 3PC 1
4.59
3.566.94
Gambar V.6. Nilai T-Value – 2NDCFA Iklim
209
Tabel V.13 Pengukuran 2NDCFA Iklim
No Dimensi Indikator Koef Estimasi(Standardized)
T-Value Signifikansi
1 KomitmenManajemen
KM1 0.74 default Valid, Signifikan
KM2 0.89 16.43 Valid, Signifikan
KM3 0.81 17.47 Valid, Signifikan
KM4 0.96 18.82 Valid, Signifikan
KM5 0.94 17.59 Valid, Signifikan
KM6 0.95 17.16 Valid, Signifikan
KM7 0.95 18.02 Valid, Signifikan
KM8 0.94 17.57 Valid, Signifikan
KM9 0.94 17.59 Valid, Signifikan
2 Pemberdayaan DY1 0.96 default Valid, Signifikan
DY2 0.95 42.99 Valid, Signifikan
DY3 0.71 13.58 Valid, Signifikan
DY4 0.71 14.25 Valid, Signifikan
DY5 0.74 14.73 Valid, Signifikan
DY6 0.82 22.19 Valid, Signifikan
DY7 0.78 17.82 Valid, Signifikan
3 Keadilan AD1 0.80 default Valid, Signifikan
AD2 0.95 19.68 Valid, Signifikan
AD3 0.94 17.96 Valid, Signifikan
AD4 0.95 20.43 Valid, Signifikan
AD5 0.95 19.40 Valid, Signifikan
AD6 0.96 21.30 Valid, Signifikan
4 KomitmenPekerja
KP1 0.92 default Valid, Signifikan
KP2 0.80 15.80 Valid, Signifikan
KP3 0.87 16.86 Valid, Signifikan
KP5 0.87 24.44 Valid, Signifikan
KP6 0.73 13.38 Valid, Signifikan
5 Prioritas PO1 0.94 default Valid, Signifikan
PO2 0.92 28.79 Valid, Signifikan
PO3 0.93 28.75 Valid, Signifikan
PO5 0.98 31.81 Valid, Signifikan
210
Sambungan Tabel V.13 Pengukuran 2NDCFA Iklim
No Dimensi Indikator Koef Estimasi(Standardized)
T-Value Signifikansi
6 Pembelajaran BL2 0.93 default Valid, Signifikan
BL4 0.92 28.65 Valid, Signifikan
BL5 0.94 36.85 Valid, Signifikan
BL6 0.93 24.66 Valid, Signifikan
BL7 0.86 21.66 Valid, Signifikan
7 Kepercayaan PC1 0.93 default Valid, Signifikan
PC3 0.84 25.28 Valid, Signifikan
PC5 0.96 35.13 Valid, Signifikan
Berdasarkan tabel V.13 tersebut, dapat dilihat bahwa nilai faktor loading yang
dihasilkan dari variabel laten Iklim terhadap 7 dimensinya semuanya lebih besar
dari 0.50 dengan nilai t value lebih besar dari 1.96 pada tingkat signifikansi 5%,
sehingga dapat dikatakan bahwa semua variabel dimensi dinyatakan valid dan
signifikan untuk dijadikan variabel indikator variabel laten Iklim sehingga semua
indikatornya akan digunakan pada analisa selanjutnya.
V.4.4 Validasi model pengukuran Tindakan Tidak Aman
Keluaran hasil pengukuran untuk model 2NDCFA Tindakan Tidak Aman untuk
pengujian nilai standarized diperlihatkan pada gambar V.7 dan gambar V.8
merupakan keluaran uji T-values.
Dari hasil gambar V.7 diperoleh nilai pengujian berdasarkan nilai standardized
bahwa pengaruh variabel laten Tindakan Tidak Aman tingkat kedua terhadap
variabel laten tingkat pertama, diketahui bahwa variabel Langgar memiliki
koefisien validitas < 0.5,sehingga daianggap rendah dalam membentuk konstruk
Tindakan Tidak Aman.
Dari pengujian nilai t values, diketahui bahwa pengaruh variabel laten Tindakan
Tidak Aman tingkat kedua terhadap variabel laten tingkat pertama, seluruhnya
lebih besar dari 1.96 menunjukkan variabel laten tingkat pertama signifikan dalam
211
membentuk konstruk Tindakan Tidak Aman. Tabel V.14 menunjukkan
pengukuran variabel laten pertama terhadap indikatornya.
Gambar V.7. Nilai Standardized –2NDCFA Tindakan Tidak aman
Gambar V.8. Nilai T-Value – 2NDCFA Tindakan Tidak aman
212
Tabel V.14 Pengukuran 2NDCFA Tindakan Tidak aman
No Indikator Koef Estimasi(Standardized)
T-Value Signifikansi
1 Pelanggaran LA1 0.73 default Valid, SignifikanLA2 0.88 16.27 Valid, SignifikanLA3 0.81 14.82 Valid, SignifikanLA4 0.97 18.04 Valid, SignifikanLA5 0.94 17.47 Valid, SignifikanLA6 0.94 17.53 Valid, SignifikanLA7 0.95 17.74 Valid, SignifikanLA8 0.94 17.46 Valid, SignifikanLA10 0.62 10.96 Valid, Signifikan
2 Kesalahan SA1 0.69 Default Valid, SignifikanSA2 0.84 13.14 Valid, SignifikanSA3 0.76 12.09 Valid, SignifikanSA4 0.87 13.57 Valid, SignifikanSA7 0.74 11.84 Valid, Signifikan
Berdasarkan tabel V.14 tersebut, dapat dilihat bahwa nilai faktor loading yang
dihasilkan dari variabel laten Tindakan Tidak aman terhadap dimensi Pelanggaran
dan Kesalahan dengan indikator LA1 sampai LA8,LA10, SA1 sampai SA4, dan
SA7 lebih besar dari 0.50 dan nilai t value lebih besar dari 1.96 pada tingkat
signifikansi 5%, sehingga dinyatakan valid dan signifikan untuk dijadikan
variabel indikator variabel laten Tindakan Tidak aman dan akan digunakan pada
analisa selanjutnya.
V.4.5 Validasi Model Pengukuran Pengetahuan
Keluaran hasil pengukuran untuk model 2NDCFA Pengetahuan untuk pengujian
nilai standarized diperlihatkan pada gambar V.9 dan gambar V.10 merupakan
keluaran uji T-values.
Dari hasil gambar V.9 diperoleh nilai pengujian berdasarkan nilai standardized
bahwa pengaruh variabel laten Pengetahuan tingkat kedua terhadap variabel laten
tingkat pertama, diketahui bahwa seluruhnya valid membentuk konstruk
Pengetahuan karena memiliki koefisien validitas > 0.5.
213
Gambar V.9. Nilai Standardized –2NDCFA Pengetahuan
Gambar V.10. Nilai T-Value – 2NDCFA Pengetahuan
Dari pengujian nilai t values, diketahui bahwa pengaruh variabel laten
Pengetahuan tingkat kedua terhadap variabel laten tingkat pertama, seluruhnya
lebih besar dari 1.96 menunjukkan variabel laten tingkat pertama signifikan dalam
membentuk konstruk Pengetahuan. Tabel V.15 menunjukkan pengukuran variabel
laten pertama terhadap indikatornya.
214
Tabel V.15 Pengukuran 2NDCFA Pengetahuan
No Indikator Koef Estimasi(Standardized)
T-Value Signifikansi
1 Bahaya BA1 0.62 default Valid, SignifikanBA2 0.90 7.40 Valid, SignifikanBA3 0.91 8.25 Valid, Signifikan
2 Darurat DA1 0.86 default Valid, SignifikanDA2 0.97 8.88 Valid, SignifikanDA3 0.74 7.48 Valid, Signifikan
Berdasarkan tabel V.15 tersebut, dapat dilihat bahwa nilai faktor loading yang
dihasilkan dari variabel laten Pengetahuan terhadap dimensi Bahaya dan Darurat
dengan indikator BA1 sampai BA3 dan DA1 sampai DA3 lebih besar dari 0.50
dan nilai t value lebih besar dari 1.96 pada tingkat signifikansi 5%, sehingga
dinyatakan valid dan signifikan untuk dijadikan variabel indikator variabel laten
Pengetahuan dan semua indikatornya akan digunakan pada analisa selanjutnya.
V.4.6 Validasi Model Pengukuran Perilaku Melaporkan
Keluaran hasil pengukuran untuk model 2NDCFA Pelaporan untuk pengujian
nilai standarized diperlihatkan pada gambar V.11 dan gambar V.12 merupakan
keluaran uji T-values.
Dari hasil gambar V.11 diperoleh nilai pengujian berdasarkan nilai standardized
bahwa pengaruh variabel laten Perilaku Melaporkan tingkat kedua terhadap
variabel laten tingkat pertama, diketahui bahwa seluruhnya valid membentuk
konstruk Pelaporan karena memiliki koefisien validitas > 0.5.
215
Gambar V.11 Nilai Standardized –2NDCFA Pelaporan
Gambar V.12 Nilai T-Value – 2NDCFA Pelaporan
216
Dari pengujian nilai t values, diketahui bahwa pengaruh variabel laten Perilaku
Melaporkan tingkat kedua terhadap variabel laten tingkat pertama, seluruhnya
lebih besar dari 1.96 menunjukkan variabel laten tingkat pertama signifikan dalam
membentuk konstruk Pelaporan. Tabel V.16 menunjukkan pengukuran variabel
laten pertama terhadap indikatornya.
Tabel V.16 Pengukuran 2NDCFA Pelaporan
No Variabel Indikator Koef Estimasi(Standardized)
T-Value Signifikansi
1 Jaminan JA1 0.57 default Valid, Signifikan
JA2 0.56 10.75 Valid, Signifikan
JA3 0.78 9.56 Valid, Signifikan
JA4 0.90 9.26 Valid, Signifikan
JA5 0.80 8.66 Valid, Signifikan
2 Kemudahan MU1 0.59 default Valid, Signifikan
MU2 0.98 10.53 Valid, Signifikan
MU3 0.53 9.72 Valid, Signifikan
Berdasarkan tabel V.16 tersebut, dapat dilihat bahwa nilai faktor loading yang
dihasilkan dari variabel laten Pelaporan terhadap dimensi Jaminan dan
Kemudahan dengan indikator JA1 sampai JA5, MU1 sampai MU3 lebih besar
dari 0.50 dan nilai t value lebih besar dari 1.96 pada tingkat signifikansi 5%,
sehingga dinyatakan valid dan signifikan untuk dijadikan variabel indikator
variabel laten Pelaporan dan akan digunakan pada analisa selanjutnya.
V.4.7 Validasi Model Pengukuran Resiko Keselamatan
Keluaran hasil pengukuran untuk model 2NDCFA Hasil untuk pengujian nilai
standarized diperlihatkan pada gambar V.13 dan gambar V.14 merupakan
keluaran uji T-values.
Dari hasil gambar V.13 diperoleh nilai pengujian berdasarkan nilai standardized
bahwa pengaruh variabel laten Resiko tingkat kedua terhadap variabel laten
tingkat pertama, diketahui bahwa seluruhnya valid membentuk konstruk Resiko
karena memiliki koefisien validitas > 0.5.
217
Gambar V.13 Nilai Standardized –2NDCFA Resiko Keselamatan
Gambar V.14 Nilai T-Value – 2NDCFA Resiko Kesalamatan
Dari pengujian nilai t values, diketahui bahwa pengaruh variabel laten Resiko
tingkat kedua terhadap variabel laten tingkat pertama, seluruhnya lebih besar dari
1.96 menunjukkan variabel laten tingkat pertama signifikan dalam membentuk
konstruk Resiko. Tabel V.17 menunjukkan pengukuran variabel laten pertama
terhadap indikatornya.
218
Tabel V.17 Pengukuran 2NDCFA Hasil
No Dimensi Indikator Koef Estimasi(Standardized)
T-Value Signifikansi
1 Kecelakaan KE1 0.64 default Valid, Signifikan
KE2 0.79 8.45 Valid, Signifikan
2 Cedera IN1 0.57 default Valid, Signifikan
IN2 0.70 8.22 Valid, Signifikan
Berdasarkan tabel V.17 tersebut, dapat dilihat bahwa nilai faktor loading yang
dihasilkan dari variabel laten Resiko terhadap dimensi Kecelakaan dan Cedera
dengan indikator KE1, KE2, IN1 dan IN2 lebih besar dari 0.50 dan nilai t value
lebih besar dari 1.96 pada tingkat signifikansi 5%, sehingga dinyatakan valid dan
signifikan untuk dijadikan variabel indikator variabel laten Hasil dan akan
digunakan pada analisa selanjutnya.
V.4.8 Validasi Model Pengukuran Hasil Kelaikan
Keluaran hasil pengukuran untuk model 2NDCFA Hasil untuk pengujian nilai
standarized diperlihatkan pada gambar V.15 dan gambar V.16 merupakan
keluaran uji T-values.
Dari hasil gambar V.15 diperoleh nilai pengujian berdasarkan nilai standardized
bahwa pengaruh variabel laten Hasil tingkat kedua terhadap variabel laten tingkat
pertama, diketahui bahwa seluruhnya valid membentuk konstruk Hasil karena
memiliki koefisien validitas > 0.5.
219
Gambar V.15 Nilai Standardized –2NDCFA Hasil KeselamatanKelaikan
Gambar V.16 Nilai T-Value – 2NDCFA Validitas Hasil Keselamatan Kelaikan
Dari pengujian nilai t values, diketahui bahwa pengaruh variabel laten Hasil
tingkat kedua terhadap variabel laten tingkat pertama, seluruhnya lebih besar dari
1.96 menunjukkan variabel laten tingkat pertama signifikan dalam membentuk
konstruk Hasil Keselamatan Kelaikan.
Tabel V.18 menunjukkan pengukuran variabel laten pertama terhadap
indikatornya.
220
Tabel V.18 Pengukuran 2NDCFA Kelaikan
No Dimensi Indikator Koef Estimasi(Standardized)
T-Value Signifikansi
1 Pola KL1 0.72 Default Valid, Signifikan
2 Standar KL3 0.52 Default Valid, Signifikan
KL5 0.70 3.19 Valid, Signifikan
Berdasarkan tabel V.18 tersebut, dapat dilihat bahwa nilai faktor loading yang
dihasilkan dari variabel laten Hasil terhadap dimensi Kecelakaan dan Cedera
dengan indikator KL1, KL3, dan KL5 lebih besar dari 0.50 dan nilai t value lebih
besar dari 1.96 pada tingkat signifikansi 5%, sehingga dinyatakan valid dan
signifikan untuk dijadikan variabel indikator variabel laten Hasil dan akan
digunakan pada analisa selanjutnya.
V.4.9 Pengujian Validitas dan Reliabilitas Konstruk
Berdasarkan hasil 2NDCFA diatas, dapat dilakukan pengujian validitas dan
reliabilitas variabel sebagai berikut :
1. Convergent Validity
Item-item atau indikator suatu konstruk laten harus converge atau share (berbagi)
proporsi varian yang tinggi dan ini disebut covalidity. Untuk mengukur validitas
suatu konstruk dapat dilihat dari nilai faktor loadingnya. Pada kasus dimana
terjadi validitas konstruk yang tinggi pada suatu faktor (konstruk laten)
menunjukkan bahwa mereka converge pada satu titik. Syarat yang harus dipenuhi,
loading factor harus signifikan. Oleh karena loading factor yang signifikan bisa
jadi masih rendah nilainya, maka standardized loading estimate harus sama
dengan 0.50 atau lebih, dan idealnya harus 0.70 (Ghozali, 2008).
Berdasarkan hasil 2ND CFA diatas, semua indicator memiliki loading factor
signifikan secara statistik yaitu sudah diatas 0.50 yang nantinya akan digunakan
pada analisa selanjutnya, meskipun masih ada beberapa indicator yang masih
dibawah 0.50 yang nantinya akan dikeluarkan pada analisa selanjutnya.
221
2. Variance Extracted
Dalam analisis faktor konfirmatori, prosentase Rata-rata nilai Variance Extracted
(AVE) antar item atau indikator suatu set konstrik laten merupakan ringkasan
convergen indikator. AVE dapat dihitung dengan menggunakan nilai standardized
loading dengan rumus sebagai berikut := ∑∑ ∑ ( ) (V.1)
Simbol λ menunjukkan standardized factor loading dan i adalah jumlah item atau
indikator. Jadi untuk n item, AVE dihitung sebagai total kuadrat standardized
factor loading (squared multiple correlation) dibagi dengan total kuadrat
standardized factor loading ditambah total varian dari error.
Nilai AVE sama dengan atau diatas 0.50 menunjukkan adanya convergent yang
baik. Nilai AVE dihitung untuk setiap konstruk laten. Dalam penelitan ini, AVE
dihitung untuk tujuh konstruk laten yaitu Struktur, Lingkungan, Iklim, Tindakan
tidak aman, Pengetahuan, Pelaporan dan Hasil.
3. Construct Reliability
Reliabilitas juga merupakan salah satu indikator validitas convergent. Banyak
juga yang menggunakan Cronbach alpha sebagai ukuran reliabilitas walaupun
kenyataannya Cronbach alpha memberikan reliabilitas lebih rendah (under
estimate) dibandingkan dengan construct reliability. Besarnya nilai construct
reliability (CR) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut := ∑[(∑ )] [∑ ] (V.2)
Construct Reliability (CR) 0.70 atau lebih menunjukkan reliabilitas yang baik,
sedangkan reliabilitas 0.60 - 0.70 masih dapat diterima dengan syarat validitas
indikator dalam model baik.
222
Tabel V.19 Variance Extracted dan Construct Reliability
Variabel Variabelmanifest
λ Σλ2 eContruct
Reliability(CR)
VarianceExtracted
(AVE)
Struktur
Formalisasi 0.79
2.7 1.3 0.892 0.675Spesialisasi 0.83
Wewenang 0.89
Desentralisasi 0.77
LingkunganKompetisi 0.96
1.84 0.16 0.959 0.922Sumber Daya 0.96
Iklimkeselamatan
Komitmenmanajemen
0.99
6.67 0.33 0.993 0.952
Pemberdayaan 0.99
Keadilan 0.99
KomitmenPekerja
0.95
Prioritas 0.98
Belajar 0.98
Percaya 0.95
Tidak Aman
Langgar 0.94
1.18 0.82 0.726 0.588Salah 0.54
Pengetahuan
Bahaya 0.95
1.81 0.2 0.949 0.903Darurat 0.95
Lapor
Jamin 0.92
1.59 0.41 0.884 0.793Mudah 0.86
ResikoKecelakaan 0.95
1.77 0.23 0.938 0.884cedera 0.93
Kelaikan Pola 0.901.10 0.89 0,554 0,703Standar 0.54
Dari tabel V.19 diatas disimpulkan bahwa semua konstruk laten memenuhi
kriteria AVE > 0.50. Hal ini menunjukkan adanya convergent yang baik pada
semua konstruk laten. Dari tabel V.16 disimpulkan semua Construct Reliability
(CR) memiliki nilai diatas 0.70, hal ini menunjukkan bahwa semua konstruk laten
menunjukkan reliabilitas yang baik
Hasil uji variance extracted (VE) dan construct reliability selengkapnya disajikan
pada tabel V.19 Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa nilai variance extracted
223
tertinggi pada variabel Iklim sebesar 0.952 dan nilai variance extracted terendah
pada variabel Tidak aman sebesar 0.588. Sedangkan nilai contruct reliability
tertinggi pada variabel Iklim sebesar 0.993 dan nilai contruct reliability terendah
pada variabel Tidak Aman sebesar 0.726. Karena nilai construct reliability yang
didapat >0.7 dan nilai variance extracted >0.5 maka semua indikator-indikator
pembentuk variabel dinyatakan valid dan reliable dalam membentuk variabel
latennnya.
V.5 Pengujian Model Struktural
Setelah dilakukan pengujian measurement model, langkah berikutnya adalah
melakukan mengujian model struktural (Structural Model). Ada dua tahap yang
dilakukan dalam pengujian model structural yaitu uji kecocokan model dan
pengujian hipotesis atau uji signifikansi koefisien jalur (path coefficient).
Hubungan hipotesis konstruk-konstruk penelitian pada model yang diajukan
ditunjukkan dengan hubungan kausal antar konstruk tersebut. Pengujian ini
dilakukan untuk menguji kecocokan kesesuaian model hipotesis (model yang
diuji) dengan data empiris (data sampel yang dikumpulkan).
Hipotesis statistik yang di uji pada uji kesesuaian model dinyatakan sebagai
berikut:
Ho : tidak ada perbedaan matriks kovarian sampel dengan matriks kovarian
populasi yang diestimasi.
H1 : ada perbedaan matriks kovarian sampel dengan matriks kovarian populasi
yang diestimasi.
Dalam pengujian ini yang diharapkan adalah tidak ditolaknya hipotesis nol.
Artinya jika hipotesis nol diterima maka dapat disimpulkan ada kesesuaian antara
model penelitian berbasis teoritis dengan data penelitian yang berbasis empiris.
Penelitian ini digunakan beberapa kriteria goodness of fit index yaitu absolute fit
measures dan incremental fit measures. Absolute measure digunakan untuk
menilai kesesuaian model secara keseluruhan. Pada penelitian ini digunakan
statistik, GFI dan RMSEA. Sedangkan Incremental fit measure adalah ukuran
224
yang digunakan untuk membandingkan model yang dihasilkan dengan model lain
atau base line model. Ukuran yang digunakan adalah statistik NFI, NNFI, CFI,
IFI dan RFI. Evaluasi nilai goodness of fit dari model strukural yang telah
dilakukan seperti pada gambar V.15 dan V.16, disajikan pada tabel V.20
Tabel V.20 Goodness of fit Index Model
Goodness ofFit Statistics
Rekomendasi HasilModel
Kriteria
Incremental FitIndex (IFI)
Nilai antara 0-1, dengan nilai lebihtinggi lebih baik IFI≥0.90 Good Fit;0.80≤IFI≤0.90 adalah Marginal Fit
0.90; Good fit
Comparative FitIndex (CFI)
Nilai antara 0-1, dengan nilai lebihtinggi lebih baik CFI≥0.90 Good Fit;0.80≤CFI≤0.90 adalah Marginal Fit
0.90; Good fit
Normed Fit Index(NFI)
Nilai antara 0-1, dengan nilai lebihtinggi lebih baik NFI≥0.90 Good Fit;0.80≤NFI≤0.90 adalah Marginal Fit
0.89; Marginal Fit
Non-Normed FitIndex (NNFI)
Nilai antara 0-1, dengan nilai lebihtinggi lebih baik NNFI≥0.90 Good Fit;0.80≤NNFI≤0.90 adalah Marginal Fit
0.086; Marginal Fit
Relative Fit Index(RFI)
Nilai antara 0-1, dengan nilai lebihtinggi lebih baik RFI≥0.90 Good Fit;0.80≤RFI≤0.90 adalah Marginal Fit
0.84; Marginal fit
Root Mean SquareError ofApproximation(RMSEA)
Rata-rata perbedaan per degree offreedom yang diharapkan terjadi dalampopulasi dan bukan dalam sampel.RMSEA≤0.08 adalah Good fit, sedangRMSEA < 0.05 adalah Close Fit
0.094; Marginal fit
Goodness-of FitIndex (GFI)
Nilai antara 0-1, dengan nilai lebihtinggi lebih baik GFI≥0.90 Good Fit;0.80≤GFI≤0.90 adalah Marginal Fit
0.86; Marginal fit
Berdasarkan hasil pada tabel untuk menguji model fit digunakan Goodness of fit
Statistics. Nilai RMSEA sebesar 0.094 yang lebih besar dari 0.08 menunjukkan
model yang marginal fit. GFI,NFI,NNFI,RFI yang berada diantara 0.80 sampai
0.90 menunjukkan marginal fit model. Sedangkan kriteria good fit yang lain yaitu
IFI, CFI, yang lebih besar dari 0.90 menunjukkan model yang sudah baik. Jadi
secara keseluruhan model dinyatakan sudah baik dan model sudah dapat
dianalisis.
225
Gambar V.17 Standardized-Full Model Struktural
226
Gambar V.18 T-Values Model Struktural
227
V.5.1 Analisa Model Path Diagram
Dari hasil pengujian model diatas didapatkan model path diagram berdasarkan
estimasi parameter (koefisien) model yang dapat menjelaskan hubungan model
struktural. Dari gambar V.17 dan V.18. dapat dilihat bahwa ada 13 panah searah
(arrow) dari satu variabel ke variabel lain. Simbol anak panah satu arah ini
menunjukkan hubungan kausal (pengaruh) variabel bebas dengan variabel terikat.
Nilai-nilai yang melekat pada setiap jalur adalah koefisien jalur yang identik
dengan koefisien beta pada analisis regresi.
Gambar V.19 Standardized Full Model Struktural – Model Path Diagram
228
Gambar V.20 T-value Full Model Struktural – Model Path Diagram
Berdasarkan hasil estimasi model struktural pada gambar V.17 dan V.18 tersebut,
dapat disusun persamaan struktural untuk variabel-variabel konstruk sebagai
berikut:
IKLIM = 0.37*STRUKTUR + 0.12*LINGKUNGANPENGETAH = 0.16*IKLIMTIDAKAMAN = - 0.052*IKLIM - 0.95*PENGETAHUANLAPOR = 0.078*IKLIM - 0.51*TIDAKAMANRESIKO = - 0.21*IKLIM + 0.45*TIDAKAMAN - 0.54*LAPORKELAIKAN = 0.21*IKLIM - 0.41*TIDAKAMAN + 0.22*LAPOR
Dalam persamaan tersebut, diketahui terdapat koefisien jalur yang bertanda positif
dan negatif. Tanda positif menunjukkan adanya pengaruh positif variabel bebas
terhadap variabel terikat. Nilai positif menunjukkan semakin tinggi nilai variabel
bebas akan mengakibatkan semakin tinggi nilai variabel terikat. Sedangkan tanda
negatif menunjukkan adanya pengaruh negatif variabel bebas terhadap variabel
terikat. Nilai negatif menunjukkan semakin tinggi nilai variabel bebas akan
mengakibatkan semakin rendah nilai variabel terikat.
229
V.5.2 Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan melalui uji signifikansi koefisien jalur dengan uji T
pada alpha 5%. Pengujian hipotesis yang mencerminkan hubungan kasualitas
pada model SEM pada dasarnya adalah menguji signifikansi koefisien jalur (path
coefficient) atau koefisien beta, sehingga diputuskan Ho ditolak jika diperoleh
Nilai T value > 1.96 berarti hipotesis penelitian (hipotesis alternatif) terbukti.
Hasil pengujian hipotesis berdasarkan gambar V.19, yang menjelaskan pengaruh
antara variabel dalam model penelitian dapat dilihat pada tabel V.18. Model
struktural yang pada Gambar V.19 memperlihatkan bahwa efek Struktur
berpengaruh positif terhadap iklim. Hal ini menunjukkan semakin terorganisirnya
pekerjaan dan jelas aturannya maka akan meningkatkan persepsi keselamatan
dilingkungan perusahaan. Dengan demikian H1 terkonfirmasi.
Begitupun juga pengaruh Lingkungan yang terdiri dari kemampuan perusahaan
untuk berdaya saing dan aspek terhadap ketersediaan sumber daya berdampak
pada persepsi keselamatan karyawan di perusahaan. Semakin perusahaan mampu
untuk mengikuti perkembangan dan mampu menghadapi limgkungan eksternal
maka akan meningkatkan persepsi karyawan terhadap keselamatan. Dengan
demikian H2 terkonfirmasi. Iklim berdampak negatif pada hasil keselamatan yang
merupakan gambaran kecelakaan dan cidera. H3 dikonfirmasi. Selain pada hasil,
iklim juga berpengaruh negatif pada tindakan tidak aman. Artinya semakin tinggi
persepsi keselamatan yang dimiliki karyawan akan semakin sedikit tindakan yang
tidak aman dikerjakan. H5 dikonfirmasi.
Iklim keselamatan berpengaruh positif pada pengetahuan keselamatan dan
perilaku melaporkan. Semakin persepsi karyawan tentang keselamatan makin
tinggi maka akan semakin menunjukkan pengetahuan yang dimiliki oleh
karyawan makin tinggi, selain itu menumbuhkan sikap saling menjaaga
keselamatan dan memiliki keberanian dalam melaporkan hal-hal yang dianggap
akan membahayakan lingkungan kerja. H4 dan H6 dikonfirmasi. Pengaruh
pengetahuan negatif mempenagruhi tindakan tidak aman. Semakin tinggi
230
pengetahuan akan keselamatan karyawan akan berhati-hati dan meminimalkan
tindakan tidak aman. H7 dikonfirmasi.
Tindakan tidak aman memberikan pengaruh positif pada Hasil keselamatan
menunjukkan bahwa semakin sedikit tindakan tidak aman karyawan maka,
semakin kecil kemungkinan terjadinya kecelakaan atau cidera yang terjadi.
Dengan demikian H8 dikonfirmasi. Tindakan tidak aman memberikan pengaruh
negatif pada perilaku pelaporan yang mendukung H 9 dikonfirmasi.menunjukkan
bahwa semakin banyak tindakan tidak aman karyawan, semakin minimnya
pelaporan mereka. H 10 dikonfimasi.
Selanjutnya dari data gambar V.17 dan gambar V.18 diambil hipotesis sebagai
berikut :
H0 : z1 = 0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel dependen
dengan variabel independen
H1 : z1 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel dependen dengan
variabel independen
Dengan ketentuan :
Tolak H0 jika nilai t > 1.96
Tidak menolak H0 jika nilai t < 1.96
231
Tabel V.21 Hasil Pengujian Hipotesis
Path Estimasi/Koef
Regresi
NilaiT value
Kesimpulan Result
H1: Struktur→ Iklim 0.24 3.95 Signifikan H1 Diterima
H2: Lingkungan → Iklim 0.12 2.06 Signifikan H2 Diterima
H3: Iklim→ Resiko -0.22 -2.15 Signifikan H3 Diterima
H4: Iklim→ Pengetahuan 0.16 2.76 Signifikan H4 Diterima
H5: Iklim → Tindakan tidakaman
-0.05 -2.34 Signifikan H5 Diterima
H6: Iklim → Pelaporan 0,09 2.04 Signifikan H6 Diterima
H7: Pengetahuan→Tindakan tidak aman
-0.96 -40.69 Signifikan H7 Diterima
H8: Tindakan tidak aman →Resiko
0.46 11.82 Signifikan H8 Diterima
H9:Tindakan tidak aman →Pelaporan
-0.55 -11.45 Signifikan H9 Diterima
H10: Pelaporan→ Resiko -0.51 -9.73 Signifikan H10 Diterima
H11: Iklim → Kelaikan 0.20 5.16 Signifikan H11 Diterima
H12: Pelaporan → Kelaikan 0.19 4.34 Signifikan H12 Diterima
H13: Tindakan Tidak Aman→ Kelaikan
-0.39 -6.94 Signifikan H13 Diterima
Survei penelitian memberikan data deskriptif dan data yang relevan dengan
hubungan antar variabel yang penting untuk perawatan pesawat terbang. Studi
tersebut mempertimbangkan tujuh dimensi yaitu Desain organisasi yang meliputi
Struktur dan lingkungan, Iklim keselamatan dan Kinerja Keselamatan yang
meliputi tindakan tidak aman, pengetahuan keselamatan perilaku pelaporan dan
Resiko Keselamatan serta Kelaikan Pesawat Udara. Hasilnya menunjukkan bahwa
Kelaikan Pesawat Udara dan yang dimediasi oleh iklim keselamatan memiliki
faktor beban yang positif apabila dipengaruhi oleh kemampuan manajemen
organisasi perusahaan serta mampu beradaptasi dengan kompetensi diluar
lingkungan perusahaan.
232
Berdasarkan tabel V.21 diatas, Hipotesis statistik yang diuji pada uji signifikansi
koefisien jalur adalah sebagai berikut :
H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Struktur terhadap Iklim
Berdasarkan hasil analisis model struktural yang menguji pengaruh antara
Struktur terhadap Iklim diperoleh nilai t = 3.95 dan koefisien regresi 0.24. Karena
nilai t > 1.96 dan nilai koefisien regresi positif, maka hasil pengujian ini
menunjukkan hipotesis 1 (H1) diterima. Dengan demikian diketahui bahwa Efek
Struktur berpengaruh positif terhadap iklim. Hal ini menunjukkan semakin
terorganisirnya pekerjaan dan jelas aturannya maka akan meningkatkan persepsi
keselamatan dilingkungan perusahaan. Dengan demikian H1 terkonfirmasi.
H2 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Lingkungan terhadap Iklim
Berdasarkan hasil analisis model struktural yang menguji pengaruh antara
Lingkungan terhadap Iklim diperoleh nilai t = 2.06 dan koefisien regresi 0.12.
Karena nilai t > 1.96 dan nilai koefisien regresi positif, maka hasil pengujian ini
menunjukkan hipotesis 2 (H2) diterima. Dengan demikian diketahui bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara Lingkungan terhadap Iklim. Pengaruh
Lingkungan yang terdiri dari kemampuan perusahaan untuk berdaya saing dan
beradaptasi terhadap ketersediaan sumber daya berdampak pada persepsi iklim
keselamatan karyawan di perusahaan. Semakin perusahaan mampu untuk
mengikuti perkembangan dan mampu menghadapi lingkungan eksternal maka
akan meningkatkan persepsi karyawan terhadap keselamatan. Dengan demikian
H2 terkonfirmasi.
H3 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Iklim terhadap Resiko
Berdasarkan hasil analisis model struktural yang menguji pengaruh antara Iklim
terhadap Resiko diperoleh nilai t = -2.15 dan koefisien regresi -0.22. Karena nilai t
> 1.96 dan nilai koefisien regresi negatif, maka hasil pengujian ini menunjukkan
hipotesis 3 (H3) diterima. Dengan demikian diketahui bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan antara Iklim terhadap Resiko. Iklim berdampak negatif pada
Resiko Keselamatan yang merupakan gambaran kecelakaan dan cidera yang
dialami oleh pekerja, artinya H3 dikonfirmasi. Iklim keselamatan yang dirasakan
memiliki efek langsung yang signifikan terhadap kecelakaan dan cidera, yang
233
mengindikasikan bahwa iklim yang makin kuat semakin sedikit cidera di tempat
kerja. Studi tentang kecelakaan oleh Clarke (2010) mendukung hasil ini. Dampak
iklim keselamatan terhadap perilaku keselamatan individu dimediasi oleh sikap
kerja. Sebagai contoh, Clarke (2010) telah menemukan bahwa perilaku yang
berhubungan dengan pekerjaan seperti kepuasan kerja dan komitmen
organisasional sebagian memediasi hubungan antara iklim keselamatan dan
perilaku keselamatan.
H4 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Iklim terhadap
Pengetahuan
Berdasarkan hasil analisis model struktural yang menguji pengaruh antara Iklim
terhadap Pengetahuan diperoleh nilai t = 2.76 dan koefisien regresi 0.16. Karena
nilai t > 1.96 dan nilai koefisien regresi positif, maka hasil pengujian ini
menunjukkan hipotesis 4 (H4) diterima. Dengan demikian diketahui bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara Iklim terhadap Pengetahuan. Semakin
tinggi persepsi karyawan tentang keselamatan makin tinggi maka akan semakin
menunjukkan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawan makin tinggi, artinya H4
dikonfirmasi.
H5 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Iklim terhadap Tindakan
Tidak aman
Berdasarkan hasil analisis model struktural yang menguji pengaruh antara Iklim
terhadap Tindakan Tidak aman diperoleh nilai t = -2.34 dan koefisien regresi -
0.96. Karena nilai t > 1.96 dan nilai koefisien regresi negatif, maka hasil
pengujian ini menunjukkan hipotesis 5 (H5) diterima. Dengan demikian diketahui
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Iklim terhadap Tindakan Tidak
aman. Selain pada Resiko Keselamatan, iklim juga berpengaruh negatif pada
tindakan tidak aman. Artinya semakin tinggi persepsi keselamatan yang dimiliki
karyawan akan semakin sedikit tindakan yang tidak aman dikerjakan, artinya H5
dikonfirmasi.
234
H6 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Iklim terhadap Pelaporan
Berdasarkan hasil analisis model struktural yang menguji pengaruh antara Iklim
terhadap Pelaporan diperoleh nilai t= 2.04 dan koefisien regresi 0.09. Karena nilai
t > 1.96 dan nilai koefisien regresi positif, maka hasil pengujian ini menunjukkan
hipotesis 6 (H6) diterima. Dengan demikian diketahui bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan antara Iklim terhadap Pelaporan. Iklim keselamatan berpengaruh
positif pada perilaku melaporkan tindakan tidak aman., selain itu menumbuhkan
sikap saling menjaaga keselamatan dan memiliki keberanian dalam melaporkan
hal-hal yang dianggap akan membahayakan lingkungan kerja, artinya H6
dikonfirmasi.
H7 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Pengetahuan terhadap
Tindakan Tidak aman
Berdasarkan hasil analisis model struktural yang menguji pengaruh antara
Pengetahuan terhadap Tindakan Tidak aman diperoleh nilai t= -40.54 dan
koefisien regresi -0.96. Karena nilai t < 1.96 dan nilai koefisien regresi negatif
maka hasil pengujian ini menunjukkan hipotesis 7 (H7) diterima. Dengan
demikian diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Pengetahuan
terhadap Tindakan Tidak aman. Pengetahuan Keselamatan berpengaruh negatif
dalam mempengaruhi tindakan tidak aman. Semakin tinggi pengetahuan akan
membuat pekerja akan berhati-hati dan meminimalkan tindakan tidak aman,
artinya H7 dikonfirmasi.
H8 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Tindakan Tidak aman
terhadap Resiko
Berdasarkan hasil analisis model struktural yang menguji pengaruh antara
Tindakan Tidak aman terhadap Resiko diperoleh nilai t= 11.82 dan koefisien
regresi 0.46. Karena nilai t < 1.96 dan nilai koefisien regresi positif, maka hasil
pengujian ini menunjukkan hipotesis 8 (H8) diterima. Dengan demikian diketahui
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Tindakan Tidak aman terhadap
Resiko. Tindakan tidak aman memberikan pengaruh positif pada Resiko
Keselamatan menunjukkan bahwa semakin sedikit tindakan tidak aman pekerja
235
maka, semakin kecil kemungkinan terjadinya kecelakaan atau cidera yang terjadi.
Dengan demikian H8 dikonfirmasi
H9 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Tindakan Tidak aman
terhadap Pelaporan
Berdasarkan hasil analisis model struktural yang menguji pengaruh antara
Tindakan Tidak aman terhadap Pelaporan diperoleh nilai t= -11.45 dan koefisien
regresi -0.49. Karena nilai t > 1.96 dan nilai koefisien regresi negatif, maka hasil
pengujian ini menunjukkan hipotesis 9 (H9) diterima. Dengan demikian diketahui
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Tindakan Tidak aman terhadap
Pelaporan. Tindakan tidak aman memberikan pengaruh negatif pada perilaku
pelaporan yang mendukung H 9 dikonfirmasi hal ini menunjukkan bahwa
semakin banyak tindakan tidak aman karyawan, semakin minimnya pelaporan
mereka. Efek tindakan tidak aman dalam melaporkan perilaku tidak aman
signifikan dan konsisten dengan hasil Fogarty (2003).
H10 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Pelaporan terhadap Resiko
Berdasarkan hasil analisis model struktural yang menguji pengaruh antara
Pelaporan terhadap Resiko diperoleh nilai t=-9.73 dan koefisien regresi -0.55.
Karena nilai t < 1.96 dan nilai koefisien regresi negatif, maka hasil pengujian ini
menunjukkan hipotesis 10 (H10) diterima. Dengan demikian diketahui bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara Pelaporan terhadap Resiko. Perilaku
Pelaporan memberikan pengaruh negatif pada Resiko Keselamatan, artinya
semakin banyak pelaporan yang diberikan akan meminimalkan kejadian
Kecelakaan dan Luka pada pekerja, hal ini menunjukkan bahwa H 10 dikonfimasi
H11 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Iklim terhadap Kelaikan
Berdasarkan hasil analisis model struktural yang menguji pengaruh antara Iklim
terhadap Kelaikan diperoleh nilai t=-5.16 dan koefisien regresi 0.20. Karena nilai t
< 1.96 dan nilai koefisien regresi negatif, maka hasil pengujian ini menunjukkan
hipotesis 11 (H11) diterima. Dengan demikian diketahui bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan antara Iklim terhadap Kelaikan. Iklim berdampak positif pada
Kelaikan Pesawat Udara, semakin tinggi iklim keselamatan yang dimiliki oleh
236
pekerja, maka pekerja akan mampu melakukan kepatuhan terhadap standar-
standar keselamatan yang diberikan untuk menjaga bahwa pesawat siap terbang,
artinya H11 dikonfirmasi.
H12 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Pelaporan terhadap
Kelaikan
Berdasarkan hasil analisis model struktural yang menguji pengaruh antara
Pelaporan terhadap Resiko Keselamatan diperoleh nilai t=-4.34 dan koefisien
regresi 0.19. Karena nilai t < 1.96 dan nilai koefisien regresi negatif, maka hasil
pengujian ini menunjukkan hipotesis 12 (H12) diterima. Dengan demikian
diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Pelaporan terhadap
Kelaikan. Perilaku Pelaporan memberikan pengaruh positif pada Kelaikan
Pesawat Udara, artinya semakin banyak catatan pelaporan yang dituliskan akan
memberikan informasi mengenai keadaan pesawat, sehingga pemenuhan unsur-
unsur standar-standar yang harus dilakukan pada teknisi akan dapat ditindaklanjuti
sehingga kelaikan pesawat untuk dapat terbang tetap terjaga, hal ini menunjukkan
bahwa H 12 dikonfimasi.
H13 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Tindakan Tidak Aman
terhadap Kelaikan
Berdasarkan hasil analisis model struktural yang menguji pengaruh antara
Pelaporan terhadap Hasil diperoleh nilai t= 6.94 dan koefisien regresi -0.39.
Karena nilai t < 1.96 dan nilai koefisien regresi negatif, maka hasil pengujian ini
menunjukkan hipotesis 13 (H13) diterima. Dengan demikian diketahui bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara Pelaporan terhadap Kelaikan. Pengaruh
tindakan teknisi yang tidak aman untuk perawatan di tempat kerja menunjukkan
bahwa tindakan yang tidak aman memiliki efek signifikan bahwa semakin banyak
penyimpangan dari mengikuti peraturan keselamatan, semakin besar
kemungkinan pesawat tidak laik.
237
V.6 Pengaruh langsung dan tidak langsung
Pada dasarnya mengestimasi koefisien yang mempengaruhi dalam konteks
analisis jalur dan bukan hanya menganalisis pengaruh langsung tetapi juga
mengestimasi pengaruh tidak langsung dan pengaruh total (Riadi,2013).
Tabel V.22 Kontribusi Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung
KausalKoefJalur
PengaruhLangsung
PengaruhTidak
LangsungPengaruh
Total %Struktur Iklim 0.24 0.058 0.007 0.065 6.45
Lingkungan Iklim 0.12 0.014 0.007 0.021 2.13Iklim Pengetahuan 0.16 0,026 0 0,026 2,56
Tidak Aman -0.05 0,003 0,008 0,010 1,02Pelaporan 0.09 0,008 0,020 0,028 2,80
Resiko -0.22 0,048 0,023 0,096 9,64Kelaikan 0.20 0,040 0,018 0,066 6,63
Pengetahuan Tidak Aman -0.96 0,922 0,008 0,929 93Tidak Aman Pelaporan -0.55 0,303 0,011 0,019 1,95
Resiko 0.46 0,212 0,023 0,355 35,5Kelaikan 0.39 0,152 0,018 0,208 20,8
Lapor Resiko -0.51 0,260 0,025 0,404 40,4Kelaikan -0.19 0,036 0,038 0,082 8,23
Pengaruh langsung adalah ukuran pengaruh yang tidak dimediasi oleh variabel
lain dalam suatu model atau sensivitas perubahan X terhadap Y, dimana semua
faktor lain dalam analisis dibuat fix. Sedangkan pengaruh langsung adalah ukuran
perubahan dimana variabel terikat berubah melalui variabel mediator apabila
variabel bebas dibuat fix. Pengaruh total adalah jumlah dari pengaruh langsung
dan pengaruh tidak langsung.
238
Tabel V.23 Kontribusi Pengaruh Struktur dan Lingkungan Terhadap Iklim
VariabelPenyebab
PengaruhLangsung
Pengaruh Tidaklangsung
PengaruhTotal
Struktur ϒ1.ϒ1 ϒ1.ᶲᶓ1ᶓ2.ϒ20.24x0.24=0.058 =0.24x0.24x0.12 =5.76%+0.69%=5.76% =0,007=0.69% =6.45%
Lingkungan ϒ2.ϒ2 ϒ2.ᶲᶓ1ᶓ2.ϒ10.12x0.12=0.0144 =0.12x0.24x0.24 =1.44%+0.69%=1.44% =0,007=0.69% =2.13%
Keseluruhan (Koefisien Determinasi=R2) 8.58%
Keterangan :
ϒ1=0.24=koefisien jalur Struktur (ᶓ1) terhadap Iklim(η1)
ϒ2=0.12=koefisien jalur Lingkungan (ᶓ2)terhadap Iklim (η1)
ᶲᶓ1ᶓ2=0.24=koefisien korelasi struktur (ᶓ1) dan Lingkungan (ᶓ2)
Dari tabel diatas diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Total Struktur Terhadap Iklim Keselamatan Adalah 6.45%.
2. Total Lingkungan Terhadap Iklim Keselamatan adalah 2.13%.
3. Koefisien Determinasi sebesar 8,58% menunjukkan bahwa variabel
Struktur dan Lingkungan memberikan kontribusi kepada variabel iklim
keselamatan sebesar 8.58% sedangkan 91.42% harus dijelaskan dari
faktor-faktor diluar model ini.
239
Tabel V.24 Kontribusi Pengaruh Iklim dan Pengetahuan Terhadap Tidak Aman
VariabelPenyebab
PengaruhLangsung
Pengaruh Tidaklangsung Pengaruh Total
Iklim ẞ1.ẞ1 ẞ1.ᶲᶓ1ᶓ2.ẞ2=-0.05x-0.05=0,003 =-0.05x0.16x-0.96 =0.25%+0.77%=0.25% =0,008=0.77% =1.02%
Pengetahuan ẞ2.ẞ2 ẞ2.ᶲᶓ1ᶓ2.ẞ1=-0.96x-0.96=0.9216 =-0.96x0.16x-0.05 =92.16%+0.77%=92.16% =0,008=0.77% =92.93%
Keseluruhan (Koefisien Determinasi=R2) 93.95%
Keterangan :
ẞ1=-0.05 =koef. jalur Iklim (η1) terhadap Tidak aman(η3)
ẞ2=-0.96 =koefisien jalur Pengetahuan (η2) terhadap Iklim (η1)
ᶲη1η2=0.16=koefisien korelasi Iklim (η1) dan Pengetahuan (η2)
Dari tabel diatas diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Total Iklim Terhadap Tidak Aman Adalah 1.02%.
2. Total Pengetahuan Terhadap Tidak Aman adalah 92.39%.
3. Koefisien Determinasi sebesar 93.95% menunjukkan bahwa variabel Iklim
dan Pengetahuan memberikan kontribusi kepada variabel Tidak Aman
keselamatan sebesar 93.95% sedangkan 8.58% harus dijelaskan dari
faktor-faktor diluar model ini.
240
Tabel V.25 Kontribusi Pengaruh Iklim dan Tidak aman Terhadap Pelaporan
VariabelPenyebab
PengaruhLangsung
Pengaruh Tidaklangsung Pengaruh Total
Iklim ẞ1.ẞ1 ẞ1.ᶲη1η3.ẞ3=0.09x0.09=0.008 =0.09x -0.23x -055 =0.81%+1.14%=0.81% =0.011=1.14% =1.95%
Tidakaman ẞ3.ẞ3 ẞ3.ᶲη1η3.ẞ1
= -0.55x-0.55 =0.303 = -0.55 x -0.23x0.09
=30.25%+1.14%
=30.25% =0.011=1.14% =31.39%
Keseluruhan (Koefisien Determinasi=R2) 33.34%
Keterangan :
ẞ1=0.09=koefisien jalur Iklim (η1) terhadap Pelaporan(η4)
ẞ3= -0.55=koefisien jalur Tidak aman (η3) terhadap Pelaporan (η4)
ᶲη1η3= -0.23=koefisien korelasi Iklim (η1) dan Tidak aman (η3)
Dari tabel diatas diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Total Iklim Terhadap Pelaporan Adalah 1.95%
2. Total Tidak Aman Terhadap Pelaporan adalah 31.39%
3. Koefisien Determinasi sebesar 33.34% menunjukkan bahwa variabel Iklim
dan Tidak Aman memberikan kontribusi kepada variabel Pelaporan
keselamatan sebesar 93.95% sedangkan 8.58% harus dijelaskan dari
faktor-faktor diluar model ini.
241
Tabel V.26 Kontribusi Pengaruh Iklim, Tidak aman, Pelaporan Terhadap Resiko
VariabelPenyebab
PengaruhLangsung
Pengaruh Tidaklangsung Pengaruh Total
Iklim ẞ1.ẞ1 ẞ1.η1η3.ẞ3= -0.22x-0.22=0.048 = -0.22x -0.23x 0.46 =4.84%+2.33%+2.47%=4.84% =0.0236=2.33% =9,64%
ẞ1.ᶲη1η4.ẞ4= -0.22x0.22x -0.51=0.025=2.47%
Tidakaman ẞ3.ẞ3 ẞ3.ᶲη1η3.ẞ1
=0.46x0.46=0.212 =0.46x -0.23x -0.22 =21.16%+2.33%+11.96%=21.16% =0.023=2.33% =35.45%
ẞ3.ᶲη4η3.ẞ4=0.46 x -0.51 x -0.51=0.12=11.96%
Pelaporan ẞ4.ẞ4 ẞ4.ᶲη1η4.ẞ1= -0.51x-0.51=0.2601 = -0.51x0.22x-0.22 =26.01%+2.47%+11.96%=26.01% =0.025=2.47% =40.44%
ẞ4.ᶲη4η3.ẞ3= -0.51 x -0.51 x 0.46=0.12=11.96%
Keseluruhan (Koefisien Determinasi=R2) 85.53%
Keterangan :
ẞ1= -0.22=koefisien jalur Iklim (η1) terhadap Resiko(η5)
ẞ3=0.46=koefisien jalur Tidak aman (η3) terhadap Resiko (η5)
ẞ4= -0.51=koefisien jalur Pelaporan (η4) terhadap Resiko (η5)
ᶲη1η3= -0.23=koefisien korelasi Iklim (η1) dengan Tidak aman (η3)
ᶲη1η4=0.22=koefisien korelasi Iklim (η1) dengan Pelaporan (η4)
ᶲη4η3= -0.51=koefisien korelasi Pelaporan (η4) dengan Tidak aman (η3)
Dari tabel diatas diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Total Iklim Terhadap Resiko Adalah 9.64%
2. Total Tidak Aman Terhadap Resiko adalah 35.45%
3. Total pelaporan terhadap Resiko adalah 40.44%
4. Koefisien Determinasi sebesar 85.53% menunjukkan bahwa variabel
Iklim, Tidak Aman dan Pelaporan memberikan kontribusi kepada variabel
242
Resiko keselamatan sebesar 85,53% sedangkan 14.47% harus dijelaskan
dari faktor-faktor diluar model ini.
Tabel V.27 Kontribusi Pengaruh Iklim, Tidak aman, Pelaporan TerhadapKelaikan
VariabelPenyebab
PengaruhLangsung
Pengaruh Tidaklangsung Pengaruh Total
Iklim ẞ1.ẞ1 ẞ1.η1η3.ẞ3= -0.2x-0.2=0.04 = -0.2x -0.23x-0.39 =4%+1.79%+0,92%=4% =0.018= 1.79% =6.71%
ẞ1.ᶲη1η4.ẞ4= -0.22x0.22x 0.19=0.009=0.92%
Tidakaman ẞ3.ẞ3 ẞ3.ᶲη1η3.ẞ1
=-0.39x-0.39=0.152 =0.39x -0.23x -0.2 =15.21%+1.79%+3.78%=15.21% =0.018=1.79% =20.78%
ẞ3.ᶲη4η3.ẞ4=-0.39 x -0.51 x 0.19=0.038=3.78%
Pelaporan ẞ4.ẞ4 ẞ4.ᶲη1η4.ẞ1= 0.19x-0.19=0.036 = 0.19x0.22x0.2 =3.61%+0.84%+3.78%=3.61% =0.08 = 0.84% =8.23%
ẞ4.ᶲη4η3.ẞ3= 0.19 x -0.51 x -0.39=0.038=3.78%
Keseluruhan (Koefisien Determinasi=R2) 35.72%
Keterangan :
ẞ1= -0.2=koefisien jalur Iklim (η1) terhadap Kelaikan (η5)
ẞ3=0.39=koefisien jalur Tidak aman (η3) terhadap Kelaikan (η5)
ẞ4= 0.19=koefisien jalur Pelaporan (η4) terhadap Kelaikan (η5)
ᶲη1η3= -0.23=koefisien korelasi Iklim (η1) dengan Tidak aman (η3)
ᶲη1η4=0.22=koefisien korelasi Iklim (η1) dengan Pelaporan (η4)
ᶲη4η3= -0.51=koefisien korelasi Pelaporan (η4) dengan Tidak aman (η3)
Dari tabel diatas diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Total Iklim Terhadap Kelaikan Adalah 6.71%
2. Total Tidak Aman Terhadap Kelaikan adalah 20.78%
3. Total pelaporan terhadap Kelaikan adalah 8.23%
243
4. Koefisien Determinasi sebesar 35.72% menunjukkan bahwa variabel
Iklim, Tidak Aman dan Pelaporan memberikan kontribusi kepada variabel
Kelaikan sebesar 35.72% sedangkan 85,53 % harus dijelaskan dari faktor-
faktor diluar model ini.
V.8 Kebijakan Keselamatan Penerbangan Nasional
Indonesia sebagai salah satu negara anggota ICAO berkewajiban terhadap
komunitas penerbangan internasional. Pasal 44 dari Chicago Convention
mewajibkan ICAO serta negara-negara anggota untuk memastikan keselamatan
dan ketertiban dalam perkembangan penerbangan, memenuhi kebutuhan
masyarakat dunia untuk angkutan udara yang aman, selamat dan nyaman.
Program Keselamatan Penerbangan Nasional diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan mencakup petunjuk yang sesuai
dengan ketentuan ICAO mengenai State Safety Program (SSP).
Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
dalam rangka meningkatkan keselamatan penerbangan nasional, harus dilakukan
penyempurnaan terhadap peraturan perundangan dan peraturan pelaksananya.
Program keselamatan penerbangan nasional bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan pemerintah dan penyedia jasa penerbangan untuk mencapai standar
keselamatan, pelayanan , teknologi dan kompetensi sumber daya manusia dalam
penyedia jasa penerbangan. Salah satu bagian dari langkah-langkah pembaharuan
yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah adalah dengan menetapkan Program
Keselamatan Penerbangan Nasional.
Istilah "safety management," sebagaimana digunakan oleh ICAO melingkupi 2
(dua) konsep utama:
a. Pemerintah wajib memiliki Program Keselamatan Penerbangan Nasional (State
Safety Program/ SSP), yang merupakan seperangkat peraturan dan kegiatan
bertujuan untuk meningkatkan keselamatan, termasuk kegiatan keselamatan
tertentu yang harus dilakukan oleh Negara, serta peraturanperaturan dan petunjuk
pelaksana yang disahkan oleh pemerintah; dan
244
b. Penyedia jasa penerbangan wajib memiliki Sistem Manajemen Keselamatan
(Safety Management System/SMS), merupakan suatu pendekatan sistematis untuk
mengelola keselamatan, termasuk struktur organisasi, pertanggungjawaban,
kebijakan dan prosedur.
V.9 Hasil Pengukuran Model Iklim Keselamatan Organisasi dalam
Perumusan Rekomendasi Kebijakan Keselamatan Penerbangan
Nasional
Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 93 Tahun
2016 Tentang Program Keselamatan Penerbangan Nasional dijelaskan bahwa
pencegahan kejadian serius dan kecelakaan harus dilaksanakan meskipun sasaran
tingkat keselamatan seratus persen tidak mungkin dicapai. Kegagalan dan
kesalahan dapat terjadi, meskipun upaya untuk pencegahan telah dilakukan
semaksimal mungkin.
Kecelakaan (accident) di udara jarang terjadi, kejadian serius sering terjadi.
Kejadian-kejadian (incident) sering terjadi memberi indikator adanya
permasalahan keselamatan. Mengabaikan kejadian-kejadian (incident) dapat
mengakibatkan kecelakaan-kecelakaan yang lebih serius. Karena pengelolaan
keselamatan adalah salah satu dari proses manajemen, setiap bagian organisasi,
khususnya pada tingkat pimpinan tertinggi, harus ada penanggung jawab
keselamatan. Keselamatan menjadi bagian yang melekat dari setiap prosedur,
produk, kebijakan dan teknologi yang bersangkutan dengan Pemerintah dan
masing-masing penyedia jasa penerbangan.
Hasil dari pengukuran dalam model ini menggambarkan perilaku karyawan dalam
melakukan pekerjaan dimana hasil keselamatan yang ditunjukkan adalah akibat
yang ditimbulkan dari runtunan aktivitas mulai dari manajemen sampai kepada
interaksi yang dijalankan sebagaimana yang tertuang dalam program pemerintah
yang berakibat kemampuan para karyawan dalam memniminasi baik cidera untuk
diri sendiri ataupun untuk orang lain.
245
Variabel Struktur dan Lingkungan organisasi dari perusahaan-perusahaan
pengelola penerbangan yang ditampilkan dalam penelitian ini menunjukkan
adanya suatu doktrin pengelolaan keselamatan yang cukup komprehensif yang
dianut oleh personel penerbangan terkait dalam industri, pemenuhan standar dan
prosedur bagi pemerintah dan industri terhadap pengelolaan keselamatan akan
memberi keyakinan terhadap pelaksanaan penyedia jasa penerbangan telah
dipahami, dirancang, dikembangkan serta dilaksanakan dengan mengutamakan
keselamatan.
Variabel iklim keselamatan yang ditampilkan menunjukkan bahwa pengelolaan
keselamatan yang efektif memerlukan adanya pemahaman yang sama tentang
tanggung jawab dan kontribusi antara pemerintah dan penyedia jasa penerbangan.
Pengelolaan keselamatan dapat dianggap sebagai proses manajemen yang harus
dilaksanakan pada tingkat yang sama dan bersamaan dengan pengelolaan proses-
proses lainnya pada tingkat pimpinan tertinggi.
Variabel Kinerja yang menggambarkan model dari Reason sampai dengan
penunjukkan hasil keselamatan memperlihatkan bahwa Pimpinan tertinggi harus
menyediakan kebutuhan operasional yang diperlukan untuk mendukung pelaporan
bahaya (hazard) dan memastikan data keselamatan penerbangan telah tercatat
dengan benar. Setiap personel penerbangan harus memiliki kesadaran untuk
melaporkan bahaya (hazard), kesalahan operasional yang menyebabkan terjadinya
bahaya (hazard). Pembekalan Pengetahuan untuk mengenali dan melaporkan
bahaya (hazard) serta memahami kejadian (incident), dan konsekuensi bahaya
(hazard), personel penerbangan harus memahami faktor perilaku, teknis,
organisasi yang menentukan sistem keselamatan penerbangan secara keseluruhan.
Sebagai konsekuensi atas pandangan realistis terhadap bahaya (hazard) yang
mendasari kegiatan dalam organisasi dan pengembangan aturan yang realistis
berkaitan dengan bahaya (hazard) serta potensi sumber kerusakan, personel
penerbangan dapat memahami laporan bahaya (hazard) ketika menghadapi
kondisi yang tidak sesuai, sehingga informasi tersebut sampai pada tingkat
pemimpin tertinggi dengan tepat waktu. Pimpinan bertanggung jawab atas data
penting keselamatan penerbangan dilindungi dengan tepat, serta meningkatkan
246
sistem keseimbangan data (checks and balances) sehingga pelapor merasa yakin
bahwa laporan tersebut tidak akan disalahgunakan. Semua orang bertanggung
jawab untuk menyediakan informasi keselamatan penerbangan yang penting yang
berhubungan dengan bahaya (hazard).
Dalam perumusan rekomendasi dilakukan langkah-langkah melalui pendekatan
model S-C-P. S-C-P singkatan dari Stuktur-Perilaku Kinerja ( Stucture-Conduct-
Performance) adalah salah satu pendekatan yang dibangun dalam analisis
ekonomi industri, menjelaskan hubungan antara lingkungan industri (structure)
Perilaku industri (conduct ) yang pada akhirnya menentukan kinerja
(performance) industri tersebut (Barney & Hesterly,2006, Sheel, 2016).
Model Stuktur-Perilaku Kinerja dijelaskan pada gambar V.21
Gambar V.21 Model S-C-P
Struktur Industri
Jumlah KompetitorProduk Homogen
Biaya masuk dan keluar
Perilaku Industri
Strategi Industri untukmemenangkan persaingan
Kinerja
Tingkat kompetisi,keunggulan sementara atauberkelanjutan, keunggulankompetitif, produktivitas
(efisiensi) industri, jumlahtenaga kerja yang dibutuhkan
247
248
Bab VI Kesimpulan dan Rekomendasi
VI.1 Kesimpulan
Setelah melakukan pengolahan data hasil penelitian dan menganalisisnya, dapat
disimpulkan beberapa hal dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1a. Hipotesis yang diuji menghasilkan :
H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Struktur terhadap Iklim
H2 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Lingkungan terhadap
Iklim
H3 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Iklim terhadap Resiko
H4 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Iklim terhadap
Pengetahuan
H5 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Iklim terhadap Tindakan
Tidak aman
H6 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Iklim terhadap Pelaporan
H7 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Pengetahuan terhadap
Tindakan Tidak aman
H8 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Tindakan Tidak aman
terhadap Resiko
H9 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Tindakan Tidak aman
terhadap Pelaporan
H10 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Pelaporan terhadap
Resiko
H11 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Iklim terhadap Kelaikan
H12 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Pelaporan terhadap
Kelaikan
H13 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Tindakan Tidak Aman
terhadap Kelaikan.
Semua hipotesis terkonfirm
1.b. Faktor-faktor organisasi yang mepengaruhi iklim keselamatan organisasi
antara lain
249
a. Variabel Struktur dan Lingkungan organisasi dari perusahaan-
perusahaan pengelola penerbangan yang ditampilkan dalam penelitian
ini menunjukkan adanya suatu doktrin pengelolaan keselamatan yang
cukup komprehensif yang dianut oleh personel penerbangan terkait
dalam industri, pemenuhan standar dan prosedur bagi pemerintah dan
industri terhadap pengelolaan keselamatan akan memberi keyakinan
terhadap pelaksanaan penyedia jasa penerbangan telah dipahami,
dirancang, dikembangkan serta dilaksanakan dengan mengutamakan
keselamatan.
b. Proses organisasi yang terdiri karakteristik internal dari organisasi
yaitu tersedianya dokumentasi tertulis yang baku mengenai prosedur,
uraian tugas, peraturan, dan manual kebijakan dokumen-dokumen
tertulis ini menggambarkan perilaku dan aktivitas, Pembagian tugas
organisasi menurut kompetensinya, Kejelasan rentang kendali
kewenangan antar manager, Pengambilan keputusan yang dilakukan
pada tingkat divisi atau departemen, Adaptasi terhadap lingkungan
diluar organisasi seperti kompetisi perusahaan, dan ketersediaan
sumber daya. Hal ini semua menjadikan pengaruh yang positif bagi
iklim keselamatan
2. Iklim Keselamatan mempengaruhi kelaikan pesawat udara melalui pengaruh
langsung dan tidak langsung. Total Iklim Terhadap Kelaikan adalah 6.71%,
Total Tidak Aman terhadap Kelaikan adalah 20.78%, Total pelaporan
terhadap Kelaikan adalah 8.23%. Koefisien Determinasi sebesar 35.72%
menunjukkan bahwa variabel Iklim, Tidak Aman dan Pelaporan memberikan
kontribusi kepada variabel Kelaikan sebesar 35.72% sedangkan 85,53 % harus
dijelaskan dari faktor-faktor diluar model ini.
3. Berdasarkan hasil pengukuran model iklim keselamatan maka kebijakan yang
dapat diusulkan dalam meningkatkan iklim keselamatan dan kelaikan pesawat
udara adalah meningkatkan pengawasan kinerja yang bersumber pada
kepatuhan terhadap peraturan dan penempatan sumber daya yang didasarkan
pada kompetensi yang dibutuhkan.
250
VI.2 Rekomendasi
Sesuai dengan hasil pengukuran pada model yang dikembangkan yang
dihubungkan pada kebijakan utama yang tertuang dalam Keputusan Menteri
Nomor 8 tahun 2010 didapatkan hasil iklim keselamatan sudah baik dan perlu
dipertahankan untuk setiap dimensi keselamatan. Desain organisasi yaitu variabel
struktur dan lingkungan oraganisasi akan membawa pada perilaku personilnya .
Pengaruh tindakan teknisi yang tidak aman akan memiliki efek signifikan
terhadap munculnya cidera pada personil semakin banyak penyimpangan dari
peraturan keselamatan akan semakin besar kemungkinan terjadinya insiden.
Kepatuhan keselamatan beruhubungan dengan menurunnya tingkat kecelakaan
ditempat kerja.
Perawatan pesawat merupakan organisasi yang kompleks dimana individu
melakukan tugas yang bervariasi dilingkungan dengan tekanan waktu kemudian
kondisi yang sulit. Sehingga dalam hal ini faktor organisasi diidentifikasi sebagai
faktor penyumbang yang dapat menyebabkan kondisi tidak aman seperti
kesalahan perawatan. Iklim keselamatan dapat mencermikan keselamatan yang
terkait pada perilaku karena dianggap sebagai perdiktor perilaku kerja yang tidak
aman. Iklim keselamatan juga dianggap dapat menyediakan sebuah kerangka
kerja untuk analisis kejadian organisasi yang oleh karenanya identifikasi faktor
dalam organisasi ini dapat meningkatkan kinerja keselamatan teknisi pesawat
terbang.
Hasil penyesuaian pengukuran iklim keselamatan dengan kebijakan keselamatan
penerbangan nasional dapat ditampilkan dalam tabel kesesuaian tabel VI.1.
Pada gambar VI.1 Diperlihatkan bagaimana rekomendasi kebijakan dilakukan
dengan menggunakan model SCP. Rekomendasi yang disusun mengikuti langkah
pada Model S-C-P dimana kebijakan yang sudah ada diturunkan dalam industri
MRO. Industri MRO yang bekerja dan dipengaruhi oleh regulasi pemerintah tetap
akan meningkatkan persaingan sehingga dapat meningkatkan kinerja MRO.
Peningkatan Kinerja MRO akan menjadi masukan untuk melakukan perbaikan,
251
penyesuaian kebijakan pemerintah, juga berperan sebagai monitoring penegakan
kebijakan. Selain itu kinerja Industri MRO akan terus dipertahankan kinerja yang
sudah bagus dengan program berkelanjutan.
Rekomendasi yang dapat disampaikan pada penelitian pengembangan model
iklim keselamatan organisasi perawatan pesawat udara di Indonesia dalam
mendukung kebijakan kelaikan pesawat udara antara lain:
a. Perlunya konsistensi dalam penerapan standar internasional serta
peraturan-peraturan di bidang penerbangan dan pengawasan oleh Ditjen
Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) dalam upaya pembinaan keselamatan
penerbangan oleh regulator dan operator.
b. Perlu peningkatan SDM karena sangat menentukan kemajuan organisasi
dalam menghadapi berbagai perubahan, yaitu penciptaan industri
penerbangan nasional yang kompetitif.
c. Perlu mempertahankan dan meningkatkan sikap kerja bersama dalam
kelompok terkait
d. Manajemen mempertahankan pengawasan berkaitan dengan perilaku tidak
aman dengan membangun pengawasan antar rekan kerja.
e. Mempertahankan peningkatan nilai-nilai disiplin keselamatan dengan
mengerjakan pelaporan kejadian untuk mencegah resiko keselamatan
252
Tabel VI.1 Penyesuaian hasil pengukuran Model iklim keselamatan dengan kebijakan keselamatan penerbangan nasional
Faktor Temuan Kebijakan Keselamatan Penerbangan Nasional RekomendasiStruktur Mempengaruhi Iklim
Keselamatan sebesar 6.45%Memiliki Organisasi yang mengharuskan adaAccountable Manager memiliki tanggung jawabterhadap pekerjaan dari AMO yang melakukanpemeliharaan, perawatan pencegahan, perubahan, ataufungsi lain yang mempengaruhi kelaikan udara pesawat.(Civil Aviation Safety Regulation 145)
Perlunya konsistensi dalam penerapanstandar internasional serta peraturan-peraturan di bidang penerbangan danpengawasan oleh Ditjen Perhubungan Udara(Ditjen Hubud) dalam upaya pembinaankeselamatan penerbangan oleh regulator danoperator.
Lingkungan Mempengaruhi Iklimkeselamatan sebesar 2,13%
Undang- Undang No 1 tahun 2009 tentangPenerbangan, khususnya pasal 381, telah diatur tentangpenyediaan dan pengembangan sumber daya manusia dibidang penerbangan yang bertujuan untuk mewujudkanSDM yang profesional, kompeten, disiplin, bertanggungjawab, dan memiliki integritas. Organisasi menciptakandaya saing dengan mengembangkan teknologidan industri angkutan udara nasional (Peraturan MenteriPerhubungan Republik Indonesai no 93, Tahun 2016)
Perlu peningkatan SDM karena sangatmenentukan kemajuan organisasi dalammenghadapi berbagai perubahan, yaitupenciptaan industri penerbangan nasionalyang kompetitif.
Iklim Keselamatan Mempengaruhi ResikoKeselamatan sebesar 0,94%Mempengaruhi Kelaikansebesar 6,71%
Membangun sebuah konsistensi sikap dan kebiasaanyang memiliki nilai dan mendukung manajemenkeselamatan yang efektif dan menerapkan budayakeselamatan termasuk kepatutan, pelaporan yangtransparan dan akuntabel, saling berbagi informasi danmenyatakan setiap saat bahwa aspek keselamatanpenerbangan berada pada prioritas utama. (PeraturanMenteri Perhubungan Republik Indonesai no 93, Tahun2016)
Perlu mempertahankan dan meningkatkansikap kerja bersama dalam kelompok terkait
253
Sambungan Tabel VI.1 Penyesuaian hasil pengukuran Model iklim keselamatan dengan kebijakan keselamatan penerbangan nasional
Faktor Temuan Kebijakan Keselamatan Penerbangan Nasional RekomendasiPengetahuanKeselamatan
Mempengaruhi TindakanTidak Aman sebesar 93%
Mensosialisasikan peran penting penyedia jasapenerbangan terhadap keselamatan penerbangannasional sesuai dengan tanggung jawabnya (PeraturanMenteri Perhubungan Republik Indonesai no 93, Tahun2016)
Manajemen telah meningkatkan pengawasanberkaitan denganperilaku tidak aman dengan membangunpengawasan antar rekan kerja. Dimanarekan kerja bertindak sebagai pengawasyang dapat salingmengingatkan dan menasehati jika rekannyamelakukan tindakan tidakaman
Tindakan TidakAman
Mempengaruhi ResikoKeselamatan sebesar 35,5%Mempengaruhi Kelaikansebesar 20,8%
Memastikan semua personel penerbangan padapenyedia jasa penerbangan wajib mematuhi peraturankeselamatan penerbangan, berkompeten, berlisensi, danmemahami informasi keselamatan yang dibutuhkanuntuk memenuhi tanggung jawabnya dalamkeselamatan penerbangan (Peraturan MenteriPerhubungan Republik Indonesai no 93, Tahun 2016)
Perilaku Pelaporan Mempengaruhi ResikoKeselamatan sebesar 40,4%Mempengaruhi Kelaikansebesar 8,23%
Sistem pelaporan keselamatan penerbangan merupakansarana untuk memberikan informasi kinerjakeselamatan penerbangan kepada pimpinan tertinggi.(Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesai no93, Tahun 2016)
Telah dilakukan peningkatan nilai-nilaidisiplin keselamatan dengan mengerjakanpelaporan kejadian untuk mengurangi resikokeselamatan
254
Kebijakan :1. State Safety Programme /SSP2. Safety Management System/SMS3. Standard and Recommended Practices/ SARPs
1. Jumlah MRO dan Tingkat Persaingan2. Keragaman jasa yang ditawarkan : M/R/O3. Biayanya besar untuk memasuki dan keluar daribisnis MRO
STRUKTUR INDUSTRI (PENERBANGAN +PERAWATAN)
1. Strategi perusahaan MRO dalam menciptakan danmempertahankan daya saing :
a. Biayab. Ketepatan waktuc. Variasi layanan yang diberikan
2. Strategi perusahaan dalam menciptakan iklimkeselamatan yang akan berdampak pada kelaikanpesawat & keselamatan kerja.
FIRM CONDUCT
1. Tingkat perusahaan :a. Sertifikasi (approval) yang diperolehb. Tingkat layanan yang diberikan kepada pelanggan
dalam bentuk:Harga/biaya pesawatKetepatan waktuKelaikan
2. Tingkat keselamatan kerja
KINERJA
Masukan untuk perbaikan, Penyesuaiankebijakan pemerintah, Monitoring penegakan
kebijakan (Comply, Confirm)
Peningkatankinerja
berkelanjutan
Gambar VI. 1 Langkah Rekomendasi Kebijakan dengan Model S-C-P
255
VI.3 Kontribusi Ilmu dan Penelitian Lanjutan
Model yang dikembangkan dapat memberikan dasar untuk memprediksi perilaku
keselamatan dan menerapkan cara untuk meningkatkan keselamatan dan
produktivitas dalam operasi perawatan penerbangan. Hasil penelitian ini dapat
digunakan untuk meningkatkan kemampuan eksekutif dan manajer keselamatan
untuk melakukan tindakan pencegahan untuk meningkatkan proses keselamatan
organisasi dan perilaku keselamatan individu. Selain itu, hasil ini berpotensi
memberi kontribusi signifikan terhadap praktik yang aman di industri berisiko
tinggi, terutama dalam menangani sistem yang kompleks seperti perawatan
penerbangan. Organisasi juga dapat memperoleh manfaat dari hasil yang disajikan
dengan meningkatkan pengetahuan tentang lingkungan kerja dengan menciptakan
iklim keamanan yang kuat dan sistem pelaporan keselamatan yang baik.
Akhirnya, penelitian ini dapat membantu menjembatani kesenjangan dalam
literatur dengan menyediakan model yang divalidasi yang menangkap beberapa
faktor yang mempengaruhi tugas perawatan pesawat terbang.
Studi ini menggunakan model acuan dari Zohar (2003) mengenai iklim
keselamatan yang mempengaruhi kinerja keselamatan dan hasil keselamatan.
Model ini memodifikasi dan mengkonfirmasi bahwa iklim keselamatan tidak
hanya mempengaruhi hasil keselamatan berupa Resiko keselamatan yang
berhubungan dengan fisik pekerja yaitu kecelakaan dan cidera namun juga
mempengaruhi kelaikan pesawat udara.
Penelitian masa depan dapat menyelidiki variabel yang lain yaitu kondisi sebelum
terjadi tindakan tidak aman sehingga karakteristik pekerja akan melengkapi
penelitian dalam organisasi perawatan pesawat udara.
Melihat hasil studi dengan menggunakan model iklim keselamatan ini ternyata
masih banyak faktor-faktor yang berinteraksi yang belum mampu dijelaskan pada
model ini, sehingga perlu penambahan variabel yang lebih mampu menjelaskan
interaksi yang terjadi pada model ini.
256
DAFTAR PUSTAKA
Alan et al, 2012, Security profiling of airport employees : complying with therules, Journal Airport Management, Vol.4.
Aliandrina, D. 2012. Organizational factors in aviation safety managementfailures: the case of Indonesia. Lincoln University
Annex 13 Konvensi Internasional PenerbanganAnonim 2008, FAA Industri Penerbangan Indonesia TimpangAtak, A., Kingma, S., 2011. Safety culture in an aircraft maintenance
organisation: A view from the inside. Safety Science 49, 268–278.Avinash, Waikar., Jack E. Tucci, David Wyld, Bhaba Sarker, 1997, Quality And
Safety In Aviation: Implications For The Airline Industry, Proceedings ofthe Academy of Information and Management Sciences, Volume 1, Number2 Maui, Hawaii.
Barney, Jay B, Hersterly, William S., 2006, Strategic Management AndCompetitive Advantage, Prentice Hall, New Jersey.
Bouarfa, S., Blom, H. AP, Curran, R. Everdij, M. HC. 2013. Agent-basedmodeling and simulation of emergent behavior in air transportation
Campbell, J. P., McCloy, R. A., Oppler, S. H., & Sager, C. E., 1993. A theory ofperformance. In N. Schmitt & W.C. Borman and Associates (Eds.),Personnel selection in organizations (pp. 35-70). San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers.
Chow, I. and Liu, S. ,2009. “The effect of aligning organizational culture andbusiness strategy with HR system on firm performance in Chineseenterprises”. The International Journal of Human Resource Management, 20(11): 2292-2310.
Christian, M.S. 2009. Workplace Safety : A Meta- Analysis of the Roles ofPerson and Situation Factors. Journal of Applied Psychology, Vol. 94, No.5, 1103–1127
Civil Aviation Safety Regulation 121.Civil Aviation Safety Regulation 135.Cooper, M.D. 2000. Towards a model of safety culture. Safety Science 36 ,2000,
111-136Cox, S., Cox, T., 1996. Safety, Systems and People. Butterworth-Heinemann,
Oxford.Daft, Richard L. 2013. Organization Theory & Design, Eleventh Edition. South-
Western, Cengage Learning.Dan – Cristian ION, 2011, Human factors in aviation: crew management,
international conference of scientific paper Afases.Daniela, Pipaş Maria., 2012, The interdependence between management,
communication, Organizational behavior and performance.Dedobbeleer, N., Beland, F., 1991. A safety climate measure for construction
sites. Journal of Safety Research 22, 97-103.European Statistics on Accidents at Work (ESAW) in 2001Gresov, C., & Drazin, R. 1997. Equifinality, functional equivalence in
organization design. Academy of Management Review, 22: 403–428.Groeneweg, J. ,2002. Controlling the controllable. Preventing business upsets.
Fifth edition. Global Safety Group Publication. pp.1-528
257
Guldenmund, F.W. ,2010. Understanding and exploring safety culture. Oisterwijk:Uitgeverij BOXPress.
Hutagaol, Desmond, 2013. Pengantar Penerbangan Perspektif Profesional,Erlangga, Jakarta.
ICAO, Annex 13, 2006, Aircraft Accident and Incident Investigation,ICAO, 2006. Safety Management Manual. Doc 9859 AN/460. First Edition —
2006.ICAO,2010. Global Accident Rate. HLSCICAO ,2005. ICAO Accident Prevention Programme. Monreal : ICAOICAO Doc 9735: Safety Oversight Audit Manual; dan ICAO Doc 9859 : Safety
Management Manual.ICAO, 2007. Safety Thinking - Concept and evolution – the ICAO perspective.ICAO SMS Seminar Yerevan 11 - 13 September 2007International Civil Aviation Organization, 2009. Safety Management Manual. Doc
9858 AN 474. Monreal : ICAOInternational Civil Aviation Organization, 2017. Final Report on The Safety
Oversight Audit of The Civil Aviation System of The Republic of Indonesia.ICAO Universal Safety Oversight Audit Programme. Monreal : ICAO
Jacobides., M. G., 2007. The inherent limits of organizational structure and theunfulfilled role of hierarchy: Lessons from a near-war. OrganizationScience, 18, 3, 455-477.
Jacobs R. & Haber S., 1994. Organizational processes and nuclear power plantsafety. Reliability Engineering and System Safety, 45 (1994) 75-83.
Kennedy, R. & Kirwan, B.,1998. Development of a Hazard and Operability-basedmethod for identifying safety management vulnerabilities in high risksystems. Safety Science, 30, pp249-274
Khdair et al. 2011. Improving Safety Performance by Understanding RelationshipBetween Management Practices and Leadership Behavior in The Oil andGas Industry in Iraq: A Proposed Model. 2011 International Conference onManagement and Artificial Intelligence IPEDR vol.6
Kozlowski,S., Klein, K., A Multilevel Approach to Theory and Research inOrganizations ; Contextual, Temporal and Emergent Processes, in Katrin J.Klein & Steve W.J. Kozlowski, (Eds) Multilevel Theory, Research andMethods in Organization ; foundation, extensions, and new directions,Jossey-Bass Inc.
Kristy et. al. 2012. Safety and Organizational Design Factors: Decentralizationand Alignment. Journal of Business and Management – Vol. 18, No. 1, 2012
Kusnendi, 2008, Model-model Persamaan Struktural : Satu dan Multigroupsampel dengan LISREL, Alfabeta, Bandung, Indonesia.
Lani, Cristina., 2007, Factors Affecting Task Managemetn In Aviation, HumanFactors; Feb 2007; 49, 1; ProQuest pg.16.
Lauver, K.J., Trank, C.Q. 2012. Safety and Organizational Design Factors:Decentralization and Alignment ; Journal of Business and Management –Vol. 18, No. 1.
Lawrence. P.R., Lorsch, J.W. 1969. Developing Organizations: Diagnosis andAction. Reading, Mass: Addison-Wesley.
Layton, Dr. Gary R., PhD., 2012, Aviation Safety: Comparing National andRegional Governmental Regulatory Commercial Oversight Affiliations,International Journal of Business and Social Science, Vol. 3 No. 3.
258
Lin, Yi Hsin., 2012, Modeling the important organizational factors of safetymanagement system performance, Journal of Modelling in Management,Vol. 7 No. 2.
Lin, Yi-Hsin., 2012, Knowledge brokering for transference to the pilot’s safetybehavior, Management Decision, Vol. 50 No. 7.
Mintzberg, H. ,1992. Structure in fives: Designing effective organizations. UpperSaddle River, NJ: Prentice Hall
Mohaghegh, Zahra A., 2007, On the theoretical foundations and principles oforganizational safety risk analysis, Dissertation, Univeristy of Maryland
Mohamed, S. ,2002. Safety climate in construction site environments. Journal ofConstruction Engineering and Management, 128 (5), 375-384.
Mohr, L. B. ,1982). Explaining Organizational Behavior. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Neal, A., Griffin, M. A., & Hart, P. M. ,2000. The impact of organizationalclimate on safety climate and individual behavior. Safety Science, 34, 99 –109
Ostroff, C., Kinicki, A. J., & Tamkins, M. M. ,2003. Organizational culture andclimate. In W. C. Borman, D. R. Ilgen, & R. J. Klimoski (Eds.), Handbookof psychology. Industrial and organizational psychology, Vol. 12 (pp. 565–593). Hoboken: Wiley.
Otsuka, Yuichi., Hiroshi Noguchi, 2012, Engineering Management Framework toAchieve Safety of a Service of an Organization Based on Social Acceptance,Open Journal of Safety Science and Technology, 2, 16-24.
Patnaik, J. B., 2011Organizational culture: the key to effective leadership andwork motivation, Social Science International, Vol. 27, No. 1 ,2011, page79-94.
Peraturan Pemerintah nomor 3 Tahun 2001 tentang Keselamatan Penerbangan.Perrow, C. 1984 Normal Accidents: Living with High-Risk Technologies, by,
Basic Books, NYPourdehnad, J., Smith, P.A.C. 2012. Sustainability, organizational learning, and
lessons learned from aviation. The Learning Organization Vol.19 No.1,pp.77-86.
Price, J.L., Muller, C.W. 1986. Absenteeism and Turnover Among HospitalEmployess. JAI Press, Greenwich, Connecticut
Pugh, D. S. – Hickson, D. J. – Hinings, C. R. – Turner, C. ,1969b: Context ofOrganization Structures. Administrative Science Quarterly, Vol. 14, No. 1,pp. 91-114.
Rasmussen, J. ,1997. Risk Management in a Dynamic Society: A ModellingProblem, Safety Science, 27, 2, 183-213.
Rhoades, D.L., Reynolds, R., Waguespack, B. Jr., Williams M. 2005. The Effectof Line Maintenance Activity on Airline Safety Quality. Journal of AirTransportation, Vol. 10, No. 1, ProQuest, pg. 58.
Robbins, Stephen P. ,2004. Organizational Behavior - Concepts, Controversies,Applications. 4th Ed. Prentice Hall ISBN 0-13-170901-1.
Roberts, K. H., and Bea, R. ,2001. Must accidents happen? Lessons from high-reliability organisations. Academy of Management Executive, 15 (3), 70-79.
Roelen, A.L.C. and M.B. Klompstra, 2012. The Challenges in Defining AviationSafety Performance Indicators. PSAM and ESREL, Helsinki, Finland.
259
Schein, E. H. Organizational Culture and Leadership, 2d Ed.. San Francisco:Jossey-Bass, 1992.
Schneider B, Ehrhart MG, Macey WH. 2011. Perspectives on organizationalclimate and culture. In APA Handbook of Industrial and OrganizationalPsychology: Vol. 1. Building and Developing the Organization, ed. SZedeck, pp. 373–414. Washington, DC: Am. Psychol. Assoc.
Schneider, B., 1990. The Climate For Service: An Application Of The ClimateConstruct. In: Schneider, B. (Ed.), Organizational Climate and Culture.Jossey-Bass, San Francisco, CA, pp. 383–412.
Sharpanskykh, A., Stroeve, S.H. 2011. An agent-based approach for structuredmodeling, analysis and improvement of safety culture. Comput Math OrganTheory 17: 77–117.
Sheel, Atul. 2016. SCP-Relevance and Class-Effect in Performance – AComparative Analysis of Restaurants and Petroleum Firms, InternationalJournal of Hospitality Management, pp.33 - 45
Shi. L., Liu, Q, Wu, K. 2013. Relationship among Safety Management Behavior,Job Insecurity Atmosphere, Counterproductive Work Behavior, and QualityPerformance. Journal of Applied Science 13 (17): 3548-3552.
Su, Teh-Sheng., Pei-Ru Lin, Yi-Liang Shu, Jo-Ming Tseng, Chen-Shan Kao,2012, Analysis of the Multi-Relationships and Their Structures for SafetyCulture, Open Journal of Safety Science and Technology, 2012, 2, 89-97.
Suryaningsum, S. ,2008. Perspektif Struktur Organisasi (Tinjauan SebagaiPengubah Perilaku). Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia Vol. VI No. 1 –Tahun 2008 Hal. 63 – 74
Suzuki, T., von Thaden, T.L., Geibel, W.D. 2008. Coordination and SafetyBehaviors in Commercial Aircraft Maintenance. Proceedings of the HumanFactors And Ergonomics Society 52nd Annual Meeting.
Vieira, Ana Maria., 2010, Communication skills: a mandatory competence forground and airplane crew to reduce tension in extreme situations, J.Aerosp.Technol. Manag., São José dos Campos, Vol.2, No.3, pp. 361-370,Sep-Dec.
Weick, Karl E., Sutcliffe, Kathleen M. 2001. Managing the Unexpected—assuringhigh performance in an age of complexity. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Wiegman, et.al. 2002. Safety Culture: A review Technical Report ARL-02-3/FAA-02-2, Illinois, Aviation Research Lab Institue of Aviation University
Wiegmann, Douglas A., 2012, Human Error Perspectives in Aviation, TheInternational Journal of Aviation Psychology, 11(4), 341-357.
Wu, T.C., Chen, C.H., Li C.C., (2008). A correlation among safety leadership,safety culture and safety performance. Journal of loss prevention in theprocess industries. Vol. 21, pp. 307-318.
Yin, Robert K., Case Study Research: Design and Methods, Sage, ThousandOaks, CA, 2003b, 3rd edition.
Zohar, D., and G. Luria. 2005. A multilevel model of safety climate: Cross-levelrelationships between organization and group-level climates. J. AppliedPsych. 90(4): 616-628.
260
LAMPIRAN AKUESIONER PENELITIAN
261
PERTANYAAN SURVAIPenelitian ini dilakukan sebagai bagian dari Penelitian Disertasi. Tujuan utamanya adalahuntuk mengembangkan model hubungan antara Desain organisasi, iklim keselamatan,pengetahuhan keselamatan, kinerja keselamatan, dan dampak keselamatan dalamperawatan pesawat udara. Survei ini dirancang pada Skala Likert 5 poin. Semua data danpengukuran yang diperoleh dari penelitian ini, terjamin kerahasiaannya. Partisipasi Andabersifat sukarela dan jika ada pertanyaan yang Anda rasa tidak dapat Anda jawab mohonberitahu saya. Pendapat yang anda berikan akan sangat berharga bagi penelitian ini.Terimakasih untuk bantuan dan kerjasamanya
I. Informasi Latar Belakang
1. Tanggal / Bulan / Tahun Lahir : ............/............/19.............
2. Jenis Kelamin* : Pria Wanita
3. Pendidikan Terakhir* :
SMA atau sederajat Diploma-4, Sarjana (S1) atau sederajat
Diploma-3 atau sederajat Master (S2) atau sederajat
4. Departemen : ................................................................................................
5. Posisi Kerja* :
Operator / Teknisi / Enginee r Asisten Manajer, Manajer, atau diatasnya
Supervisor / Foreman / Mandor
6. Pernah bekerja di perusahaan serupa sebelumnya?* Ya Tidak
Jika ya, jawab pertanyaan no. 7.
Jika tidak, langsung menuju pertanyaan no. 8
7. Lama bekerja di perusahaan sebelumnya
kurang dari 1 tahun 3 tahun – 4 tahun lebih dari 5 tahun
1 tahun – 2 tahun 4 tahun – 5 tahun
8. Lama berkecimpung di bidang perawatan dan pemeliharaan pesawat :
kurang dari 3 tahun 7tahun – 9 tahun lebih dari 11 tahun
4 tahun – 6 tahun 9 tahun – 11 tahun
9. Berapa kali Anda mengikuti Pelatihan Keselamatan Kerja?*
Tidak pernah 1-2 kali 3-4 kali 5-6 kali lebih dari 7 kali
262
*Berilah tanda × pada kotak yang tersedia sesuai dengan pilihan Anda!
II. Penilaian Desain Organisasi
No. Pernyataan SangatTidakSetuju
TidakSetuju
Ragu-ragu
Setuju SangatSetuju
Formalisasi1. Seragam para pekerja sudah sesuai
standard keselamatan kerja yangberlaku.
2. Perusahaan sudah memiliki SOPyang memperhitungkan keselamatan
3. Semua orang yang bekerja diperusahaan diwajibkan mematuhiperaturan keselamatan namun bolehuntuk hal-hal tertentu.
4. Pelanggaran terhadap peraturanKeselamatan yang berlakudikenakan sanksi sesuai tingkatpelanggaran.
5. SOP cenderung diabaikan dalampemenuhan target pekerjaan.
6. Semua pekerjaan dilakukanberdasarkan SOP yang adaSpesialisasi
7. Pembagian tugas dan wewenangtiap jabatan dan lini sudahtergambar jelas.
8. Penugasan sudah sesuai denganjabatan yang diampu
9. Sebagian orang memiliki jabatanlebih dari satu (rangkap jabatan).
10. Pembagian tugas selalu didasarkankualifikasi dan pengalaman pekerja.Wewenang
11. Koordinasi baik secara lisan dantulisan kepada semua orang yangbekerja di perusahaan tentangkeselamatan
12. Perusahaan selalui mengevaluasiorang-orang yang bekerja di sanapada periode tetap.
13. Pengarahan dilakukan oleh seorangpimpinan kepada tim kerjanya untukmasalah tanggung jawabDesentralisasi
14. Para pekerja boleh memberi sarankepada manajemen sebelumkeputusan final dikeluarkan.
15. Manajemen memiliki otoritas penuhdalam mengambil keputusan
16. Keputusan sering tumpang tindihdengan keputusan pusatKompetisi
263
No. Pernyataan SangatTidakSetuju
TidakSetuju
Ragu-ragu
Setuju SangatSetuju
17. Tidak ada kompetitor yang benar-benar bisa menyaingi perusahaankami
18. Kompetitor memiliki keunggulanyang tidak diadopsi oleh perusahaankami.
19. Perusahaan kami menjadi tolok ukurperusahaan lain yang bergerak dibidang yang sama.
20. Para pekerja memiliki persepsipositif atas daya saing perusahaankami saat ini
21 Beberapa pekerjaan perawatandialihkan ke perusahaan yang lainakibat ketidaklengkapan peralatanyang dimilikiSumber Daya
22. Perusahaan ini memiliki kecukupanjumlah teknisi
23. Jumlah teknisi pada perusahaan inisudah lama tidak bertambah
24. Para pekerja sudah terbiasamenghadapi keterlambatanpelayanan kepada konsumen
25. Para pekerja menganggap hal yangwajar dengan penundaanpenyelesaian pekerjaan.
26. Penggantian peralatan dan sukucadang selalu menggunakan urutanprioritas keselamatan
III. Penilaian Iklim Keselamatan
No. Pernyataan SangatTidakSetuju
TidakSetuju
Ragu-ragu
Setuju SangatSetuju
Komitmen dan Kemampuan Manajemen Keselamatan Kerja27. Manajemen mendorong
pekerja di sini untuk bekerjasesuai aturan keselamatanmeskipun jadwal kerjasedang padat
28. Manajemen memastikansetiap orang menerimainformasi keselamatan yangdibutuhkan
29. Manajemen tidak peduliketika seorang pekerjamengabaikan keselamatan
30. Manajemen menganggapkeselamatan lebih penting
264
No. Pernyataan SangatTidakSetuju
TidakSetuju
Ragu-ragu
Setuju SangatSetuju
daripada produksi
31. Manajemenmemperbolehkan pekerja disini melakukan tindakanyang berisiko saat jadwalkerja sedang padat
32. Kami yang bekerja di sinipercaya pada kemampuanmanajemen dalammenangani keselamatan
33. Manajemen menjaminmasalah keselamatan angditemukan ketika evaluasikeselamatan ditanganidengan segera
34. Ketika risiko bahayaditemui, manajemenmengabaikannya tanpamelakukan tindakan apapun
35. Manajemen tidak mampumenangani keselamatandengan tepat
No. Pernyataan SangatTidakSetuju
TidakSetuju
Ragu-ragu
Setuju SangatSetuju
Pemberdayaan Manajemen Keselamatan Kerja
36. Manajemen berusahamerancang kegiatankeselamatan yang berarti danbenar-benar terlaksana
37 Manajemen memastikansetiap orang dapatmempengaruhi keselamatandi tempat kerja mereka
38. Manajemen mendorongpekerja di sini untuk ikutberperan serta dalampengambilan keputusan yangberdampak padakeselamatan mereka
39. Manajemen tidak pernahmempedulikan saran pekerjaberkaitan dengankeselamatan
265
No. Pernyataan SangatTidakSetuju
TidakSetuju
Ragu-ragu
Setuju SangatSetuju
40. Manajemen berusaha agarsetiap orang memilikikompetisi yang tinggi terkaitdengan keselamatan danrisiko bahaya
41. Manajemen tidak pernahmenanyakan pendapatpekerja sebelum mengambilkeputusan yang berhubungandengan keselamatan
42. Manajemen melibatkanpekerja saat memutuskanhal-hal yang berkaitandengan keselamatan
Keadilan Manajemen Keselamatan Kerja43. Manajemen mengumpulkan
informasi yang akurat dalaminvestigasi kecelakaan
44. Ketakutan atas sanksi(konsekuensi negatif) darimanajemen membuatpekerja enggan melaporkannear-miss accidents
45. Manajemen mendengarkandengan seksama semuaorang yang terlibat dalamsebuah kecelakaan
46. Manajemen mencaripenyebab, bukan merekayang bersalah, ketika suatukecelakaan terjadi
47. Manajemen selalumenyalahkan pekerja ketikakecelakaan terjadi
48. Manajemen memperlakukansecara adil para pekerja yangterlibat dalam kecelakaan
Komitmen Pekerja Terhadap Keselamatan Kerja49. Kami yang bekerja di sini
bersama-sama berusahakeras untuk mencapai tingkatkeselamatan yang tinggi
50. Kami yang bekerja di sinibersama-sama bertanggungjawab untuk selalu menjagakerapian tempat kerja
51. Kami yang bekerja di sinitidak peduli terhadap safety
266
No. Pernyataan SangatTidakSetuju
TidakSetuju
Ragu-ragu
Setuju SangatSetuju
para pekerja lain
52. Kami yang bekerja di sinimenghindari melakukanpenanganan risiko bahayayang telah ditemukan
53. Kami yang bekerja di sinisaling membantu satu samalain untuk bekerja denganaman
54. Kami yang bekerja di sinitidak bertanggung jawabsafety para pekerja lain
Prioritas Keselamatan Pekerja dan Tidak Ditoleransinya Risiko Bahaya55. Kami yang bekerja di sini
menganggap risiko bahayasebagai hal yang tidak dapatdihindari
56. Kami yang bekerja di sinimenganggap kecelakaankecil sebagai bagian daripekerjaan harian kami
57. Kami yang bekerja di sinimenerima perilaku yangberbahaya selama tidakterdapat kecelakaan
58.
Kami yang bekerja di sinimelanggar aturan safetydemi menyelesaikanpekerjaan tepat padawaktunya
59.
Kami yang bekerja di sinitidak pernah mau mengambiltindakan yang berisikowalaupun jadwal kerjasedang padat-padatnya
60.
Kami yang bekerja di sinimenganggap pekerjaan kamitidak cocok untuk orangorang yang penakut
61.
Kami yang bekerja di siniakan menerima pekerjaanyang berisiko
Pembelajaran, Komunikasi, dan Kepercayaan
62. Kami yang bekerja di sinimencoba untuk mencaripenyelesaian saat seseorangmenyampaikan masalahkeselamatan
63. Kami yang bekerja di sini
267
No. Pernyataan SangatTidakSetuju
TidakSetuju
Ragu-ragu
Setuju SangatSetuju
merasa aman saat bekerjabersama-sama
64. Kami yang bekerja di sinimemiliki kepercayaan yangtinggi terhadap satu samalain dalam memastikanterlaksananya keselamatan
65. Kami yang bekerja di sinibelajar dari pengalamandalam mencegah terjadinyakecelakaan
66. Kami yang bekerja di sinimenanggapi serius saran danpendapat semua orangberkaitan dengankeselamatan
67. Kami yang bekerja di sinijarang membicarakankeselamatan
68. Kami yang bekerja di siniselalu mendiskusikanmasalah keselamatan saatmasalah tersebut muncul
69. Kami yang bekerja di sinidapat berbicara bebas danterbuka tentang keselamatan
Kepercayaan Terhadap Keefektifan Sistem Keselamatan Kerja70. Kami yang bekerja di sini
menganggap bahwa seorangstaf keselamatan yang baikmemegang peranan pentingdalam mencegah terjadinyakecelakaan
71. Kami yang bekerja di sinimenganggap survey/evaluasikeselamatan tidakberdampak padakeselamatan
72 Kami yang bekerja di sinimenganggap pelatihankeselamatan merupakan halyang baik untuk mencegahterjadinya kecelakaan
73. Kami yang bekerja di sinimenganggap perencanaandini mengenai keselamatantidak ada gunanya
74. Kami yang bekerja di sinimenganggap survey/evaluasi
268
No. Pernyataan SangatTidakSetuju
TidakSetuju
Ragu-ragu
Setuju SangatSetuju
keselamatan membantumenemukan bahaya yangserius
75. Kami yang bekerja di sinimenganggap pelatihankeselamatan tidak adagunanya
IV. Penilaian Tindakan Tidak Aman
No. Pernyataan TidakPernah
Jarang Terkadang Sering Selalu
Pelanggaran76. Saya memastikan bahwa
prosedur yang disetujui telahdiikuti.
77. Saya rutin melakukan tugastanpa mengacu pada manualperawatan atau dokumentasilain yang telah disetujui.
78. Saya sengaja mengikutiprosedur formal agar bisamenyelesaikan tugas tepatwaktu
79. Saya dapat meninggalkansebagian pekerjaan yangtidak saya laporkan.
80. Saya mengambil risiko daripekerjaan saya, untukmenyelesaikan sebuah tugas.
81. Saya telah menandatanganisebuah tugas yang tidak sayalakukan atau hanya sebagiandilakukan.
82. Di unit ini, supervisor telahmenandatangani tugaspemeliharaan tanpamelakukan pengawasan atauinspeksi yang diperlukan.
83. Saya dapat melakukanpekerjaan tanpa alat atauperalatan yang tepat.
84. Jika ditemukan cacat kecilsaat mengoreksi itu akanmenunda pesawat terbang
85. Saya menyatakan sistemtidak aman sebelumdikerjakan/diperiksa.
86. Memutuskan untuk tidakmelakukan pemeriksaanfungsional atau menjalankanmesin karena kekuranganwaktu.
269
No. Pernyataan TidakPernah
Jarang Terkadang Sering Selalu
Kesalahan87. Saya dapat melompati
beberapa langkah dalamtugas perawatan
88. Saya telah gagal mendeteksikesalahan saat menyelesaikanpemeriksaan visual.
89. Saya lupa memeriksa bahwasemua langkah dalamprosedur sampai selesai.
90. Saya lupa untukmenandatangani sebuah tugas
91. Saya telah meninggalkan alatatau barang lainnya dipesawat terbang
92. Saya telah menginstal bagiantertentu dengan cara yangmudah walaupun hal itu salah
93. Saya mengalami kesulitandalam suatu tugas karenasaya salah mengertibagaimana sistem pesawatterbang tertentu bekerja
V. Penilaian Perilaku Melaporkan Tindakan Iidak Aman
No. Pernyataan TidakPernah
Jarang Terkadang Sering Selalu
Jaminan94. Saya dapat melaporkan
ketidaksesuaian keselamatantanpa rasa takut akan akibatnegatif.
95. Saya bersedia melaporkaninformasi mengenai kinerjaatau tindakan teknisi lainyang tidak aman.
96. Saya bersedia mengajukanlaporan tentang situasi yangtidak aman, bahkan jikasituasinya disebabkan olehtindakan saya sendiri.
97. Teknisi yang mengangkatmasalah keselamatandipandang sebagai pembuatmasalah.
98. Saya puas dengan cara unitini menangani laporankeselamatan.Kemudahan pembuatan laporan
99. Saya tidak perlu repotmelaporkan kecelakaankarena kejadian ini tidak
270
No. Pernyataan TidakPernah
Jarang Terkadang Sering Selalu
menyebabkan kerusakannyata.
100. Sistem pelaporankeselamatan mudahdigunakan.
101. Ketika teknisi melaporkanmasalah keselamatan,supervisor bertindak cepatuntuk memperbaikinya
VI. Penilaian Pengetahuan Keselamatan
No. Pernyataan SangatTidakSetuju
TidakSetuju
Ragu-ragu
Setuju SangatSetuju
Menangani Bahaya102. Saya memahami prosedur
saat menangani pekerjaanberbahaya dalam tugassaya,
103. Kurangnya peralatan yangtepat terkadang memaksasaya untuk mengambil jalanpintas dalam pekerjaan.
104. Prosedur dan praktikkeselamatan saat terjadibahaya di unit inibermanfaat dan efektif.Prosedur Darurat
105. Saya mengetahui bagaimanamelakukan pekerjaan padakondisi darurat
106. Tidak selalu ada waktuuntuk mengikuti prosedurdarurat yang aman
107. Dalam kondisi beban kerjayang tinggi, sayamenganggap itu adalahkondisi darurat sehinggaboleh mengambil beberapajalan pintas untukmenyelesaikan pekerjaantepat waktu.
VII. Penilaian Resiko Keselamatan
No. Pernyataan TidakPernah
Jarang Terkadang Sering Selalu
Kecelakaan108. Saya pernah menyebabkan
kerusakan pada peralatanpendukung pesawat terbangdalam 12 bulan terakhir.
109. Saya merasa frekuensi
271
No. Pernyataan TidakPernah
Jarang Terkadang Sering Selalu
kerusakan alat pendukungsemakin sering saya temuidalam 12 bulan terakhirCedera
110. Saya pernah mengalami luka(keseleo, luka bakar, patahtulang, luka memar, kepaladan mata atau orang lain) ditempat kerja selama 12bulan terakhir
111. Saya pernah melakukanperawatan pesawat yangmengalami KecelakaanRingan di tempat kerjaselama 12 bulan terakhir
VIII Penilaian Kelaikan
No. Pernyataan TidakPernah
Jarang Terkadang Sering Selalu
Kelaikan112. Saya melakukan pengecekan
pesawat sesuai check list(daftar pemeriksaanrutin)yang diberikan
113. Engineer menandatanganilogbook (buku historypesawat) yang saya isiberdasarkan check listpengecekan pesawat yangsudah selesai saya lakukan.
114. Saya mengerjakanpekerjaan perawatan atauperbaikan pesawat sesuaidengan license yang sayamiliki
115. Saya menggunakanperalatan yang sesuai denganfungsinya untuk melakukanperawatan pesawat
116 Saya sanggupmenyelesaikan pekerjaanperawatan pesawat sesuaidengan target waktu yangditentukan
Terima kasih.
272
Lampiran BAircraft Logbook
273
274
275
276
277
278
279