Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site...

318
BAB I SASTRA: HAKIKAT, FUNGSI, GENRE DAN PENDEKATANNYA A. Pengertian Sastra Sastra, secara luas mungkin telah ada sejak manusia ada. Bersamaan dengan perkembangan manusia dan kebudayaannya, sastra juga berkembang menurut situasi dan kreasi manusianya. Dengan demikian, sejalan dengan pengelompokan-pengelompokan manusia serta kebudayaannya, sastra juga berkembang dalam kelompok- kelompok itu. Barangkali hal seperti inilah yang hingga saat ini menjadikan sastra memiliki sifat keumuman sekaligus kekhususan. Seperti setiap manusia yang memiliki kekhasan dan kesamaan dengan manusia lainnya, setiap karya sastra demikian halnya. Wellek & Warren (1993: 9), secara agak optimis, menuliskan bahwa setiap karya sastra, di samping memiliki ciri khas, juga memiliki sifat-sifat yang sama dengan karya seni yang lain, sehingga orang dapat membuat generalisasi terhadap karya sastra dan drama periode tertentu, atau drama, kesusasteraan, atau kesenian pada umumnya. Pernyataan Wellek & Warren di atas, tentu saja harus dilengkapi dengan pernyataan Luxemburg, dkk., (1989: 9), bahwa menurut mereka tidak mungkin memberikan sebuah definisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah sebuah benda yang dijumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu 1

Transcript of Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site...

Page 1: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

BAB I SASTRA:

HAKIKAT, FUNGSI, GENRE DAN PENDEKATANNYA

A. Pengertian Sastra

Sastra, secara luas mungkin telah ada sejak manusia ada. Bersamaan

dengan perkembangan manusia dan kebudayaannya, sastra juga berkembang

menurut situasi dan kreasi manusianya. Dengan demikian, sejalan dengan

pengelompokan-pengelompokan manusia serta kebudayaannya, sastra juga

berkembang dalam kelompok-kelompok itu. Barangkali hal seperti inilah yang

hingga saat ini menjadikan sastra memiliki sifat keumuman sekaligus

kekhususan. Seperti setiap manusia yang memiliki kekhasan dan kesamaan

dengan manusia lainnya, setiap karya sastra demikian halnya. Wellek & Warren

(1993: 9), secara agak optimis, menuliskan bahwa setiap karya sastra, di

samping memiliki ciri khas, juga memiliki sifat-sifat yang sama dengan karya

seni yang lain, sehingga orang dapat membuat generalisasi terhadap karya sastra

dan drama periode tertentu, atau drama, kesusasteraan, atau kesenian pada

umumnya.

Pernyataan Wellek & Warren di atas, tentu saja harus dilengkapi dengan

pernyataan Luxemburg, dkk., (1989: 9), bahwa menurut mereka tidak mungkin

memberikan sebuah definisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah

sebuah benda yang dijumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan

tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan

kebudayaan.

Barangkali inilah titik pangkal dari permasalahan teori dan kajian sastra

yang pertama kali muncul, yakni perihal tidak pernah terjawabnya (dengan

memuaskan) pertanyaan “apakah sastra itu?”, karena terlalu kompleksnya

sesuatu yang disebut sastra itu.

Arti sastra yang sangat kompleks itu telah mengaburkan batasan sastra

sebagai obyek kajian keilmuan. Itulah sebabnya Teeuw (1984: 21) menuliskan

bahwa meskipun sudah cukup banyak usaha yang dilakukan sepanjang masa

untuk memberi batasan yang tegas atas pertanyaan: “apakah sastra itu ?”, namun

batasan manapun juga yang diberikan oleh para ilmuwan tidak kesampaian. Hal

itu dikarenakan batasan sastra itu hanya menekankan satu atau beberapa aspek

1

Page 2: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

saja, atau hanya berlaku untuk sastra tertentu saja, atau sebaliknya, terlalu luas

dan longgar sehingga melingkupi banyak hal yang jelas bukan sastra lagi.

Menurut Luxemburg dkk (1989: 4) kegagalan definisi itu antara lain sebagai

berikut.

1. Karena orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus, sering

menggunakan dua kriteria sekaligus, sering menggunakan definisi

deskriptif dan definisi evaluatif sekaligus, dengan menuilai baik dan

tidaknya suatu karya sastra.

2. Karena menggunakan definisi “ontologis” mengenai sastra, yakni

mengungkap hakikat sebuah karya sastra. Padahal mengingat

kompleksnya obyek sastra, mestinya sastra didefinisikan di dalam

situasi pemakai atau pembaca sastra. Norma dan deskripsi sering

dicampuradukkan, padahal suatu karya bagi satu orang bisa termasuk

sastra, bagi orang lain mungkin tidak.

3. Anggapan mengenai sastra sering ditentukan oleh sastra Barat,

khususnya sejak jaman renaisance, tanpa memperhitungkan bentuk-

bentuk sastra di luar Eropa. Sastra India, Melayu, Jawa dan

sebagainya tentu memiliki kekhasannya masing-masing, apalagi kalau

dipisahkan dari jaman-jaman tertentu.

4. Definisi oleh ahli yang sering memuaskan untuk diterapkan pada

sejumlah jenis sastra, tidak cocok untuk diterapkan pada sastra secara

umum.

Pada berbagai hal secara umum, untuk mendefinisikan sesuatu itu dapat

didekati dari namanya. Secara etimologis, kata sastra dalam bahasa Indonesia

(dalam bahasa Inggris sering disebut literature dan dalam bahasa Perancis

disebut litterature) berasal dari bahasa Sanskerta: akar kata ‘sas-, dalam kata

kerja turunan berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau

instruksi”. Akhiran -tra, biasanya menunjukkan “alat, sarana”. Jadi sastra dapat

berarti “alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran”.

Kata lain yang sering dipergunakan ialah kata susastra yang berasal dari

kata sastra mendapat awalan su- yang berarti “baik, indah”. Jadi kata susastra

dapat berarti “sastra yang baik” atau “sastra yang indah” yang dalam bahasa

2

Page 3: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Perancis atau Inggris dipergunakan istilah belles-lettres. Menurut Gonda kata

susastra tidak dipergunakan dalam bahasa Jawa Kuna, sehingga istilah susastra

adalah ciptaan Jawa atau Melayu yang muncul kemudian (Teeuw, 1984: 23).

Batasan secara etimologis tersebut, juga belum maksimal. Tidak semua

alat untuk mengajar bisa dikategorikan sebagai sastra, walaupun dalam arti

sebaliknya, semua sastra “dapat” dipergunakan sebagai alat untuk mengajar.

Luxemburg, dkk. (1989: 9-11) menyebutkan sejumlah faktor yang

dewasa ini mendorong para pembaca untuk menyebut teks ini sastra dan teks itu

bukan sastra, yakni sebagai berikut.

(1) Yang dikaitkan dengan pengertian sastra ialah teks-teks yang

tidak melulu untuk tujuan komunikatif praktis yang bersifat sementara

waktu saja.

(2) Bagi sastra Barat dewasa ini kebanyakan teks drama dan cerita

mengandung fiksionalitas. Bagi orang Yunani dahulu, fiksionalitas

tidak relevan untuk membatasi pengertian sastra, dan di Cina dahulu

teks-teks rekaan justru tidak dianggap sastra.

(3) Dalam hal puisi lirik, dipergunakan konvensi distansi untuk

mengambil jarak sehingga tidak setiap puisi lirik dinamakan rekaan.

(4) Bahan sastra diolah secara istimewa dan dengan cara yang

berbeda-beda sehingga misalnya, pengertian bahasa puitik tidak

pernah bisa dibatasi secara mutlak.

(5) Sebuah karya sastra dapat dibaca menurut tahap-tahap arti yang

berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan itu tergantung pada mutu sastra

yang bersangkutan dan kemampuan pembaca dalam menggauli teks-

teks sastra.

(6) Karya-karya bukan fiksi dan juga bukan puisi, karena ada

kemiripan tertentu digolongkan dalam sastra, yakni karya-karya

naratif, seperti biografi-biografi dan karya-karya yang menonjol

karena bentuk dan gayanya. Surat-menyurat antar sastrawan lebih

mudah dikategorikan sebagai sastra daripada antar sejarawan.

3

Page 4: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

(7) Terdapat karya-karya yang semula tidak masuk sastra, kemudian

dikategorikan sastra. Misalnya kitab-kitab babad bukan sekedar

penulisan sejarah tetapi sastra.

Wellek & Warren (1993: 11-16) mencatat bahwa untuk mendefinisikan

sastra ada beberapa cara, yakni sebagai berikut.

(1) Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau

tercetak. Pengertian ini seperti pengertian etimologis pada kata

literature (Inggris). Jadi ilmuwan sastra dapat mempelajari profesi

kedokteran, ekonomi, dsb. Dengan demikian seperti yang

dikemukakan Edwin Greenlaw (teoritikus sastra Inggris) bahwa

segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk

dalam wilayah sastra. Demikian pula menurut banyak praktisi ilmu

lain, sastra bukan hanya berkaitan erat dengan sejarah kebudayaan

tetapi memang identik. Dalam hal ini Wellek & Warren

mengomentari bahwa akhirnya studi semacam ini bukan studi sastra

lagi. Studi yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan cenderung

menggeser studi sastra yang murni, karena dalam studi kebudayaan

semua perbedaan dalam teks sastra diabaikan. Bagi sastra Jawa,

seperti halnya pada banyak budaya lain, batasan seperti ini tidak

menguntungkan karena Jawa memiliki tradisi sastra lisan yang sangat

kuat.

(2) Cara lain untuk membatasi definisi pada sastra adalah membatasi

pada “mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap

“menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya”. Dalam hal ini

kriteria penilaiannya adalah segi estetis atau nilai estetis

dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Di antara puisi lirik, drama dan

cerita rekaan, mahakarya dipilih berdasarkan pertimbangan estetis.

Sedang buku-buku lain dipilih karena reputasinya atau

kecemerlangan ilmiahnya, ditambah penilaian estetis dalam gaya

bahasa, komposisi, dan kekuatan penyampaiannya. Dalam hal ini

sastra atau bukan sastra ditentukan oleh penilaian. Di samping itu

sejarah, filsafat dan ilmu pengetahuan termasuk dalam sastra. Dalam

4

Page 5: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

sastra Jawa kuna, dan sebagian sastra Jawa modern, memang banyak

karya sastra yang berisi ilmu pengetahuan atau sejarah, namun sering

dikategorikan sebagai karya sastra karena gaya bahasanya, antara lain

Negarakertagama (Jawa kuna) dan karya sastra Babad (Jawa modern)

yang sebagian besar berisi sejarah.

(3) Menurut Wellek & Warren, pengertian sastra yang paling tepat

diterapkan pada seni sastra, yakni sastra sebagai karya imajinatif.

Istilah lainnya adalah fiksi (fiction) dan puisi (poetry), namun

pengertiannya lebih sempit. Sedang penggunaan istilah sastra

imajinatif (imaginative literature) dan belles latters (tulisan yang

indah dan sopan) kurang lebih menyerupai pengertian etimologis kata

susastra, dinilai kurang cocok dan bisa memberi pengertian yang

keliru. Istilah Inggris, literature, juga lebih sempit pengertiannya.

Istilah yang agak luas pengertiannya dan lebih cocok adalah istilah

dari Jerman wortkuns dan dari Rusia slovesnost.

(4) Cara lain yang dilakukan untuk memecahkan definisi sastra

adalah melalui kategorisasi bahasa. Bahasa adalah media yang

dipergunakan oleh sastra. Namun demikian sastra tidak memiliki

media secara khusus, karena bahasa juga dipergunakan sebagai media

komunikasi oleh bidang keilmuan lain. Oleh karena itu membatasi

sastra dari segi bahasanya juga tidak sesederhana itu.

Wellek & Warren (1993: 16) juga menyatakan bahwa untuk melihat

penggunaan bahasa yang khas sastra, harus dibedakan antara bahasa sastra,

bahasa ilmiah dan bahasa sehari-hari. Hal ini pernah dilakukan oleh Thomas

Clark Pollock dalam bukunya The Nature of Literature. Namun demikian buku

itu tidak memuaskan terutama dalam membedakan bahasa sastra dengan bahasa

sehari-hari.

Antara bahasa ilmiah dengan bahasa sastra memang agak mudah

dibedakan. Bahasa ilmiah bersifat denotatif , yakni ada kecocokan antara tanda

(sign) dengan yang diacu (referent). Jadi bahasa ilmiah cenderung menyerupai

sistem tanda matematika atau logika simbolis.

5

Page 6: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Bahasa sastra, dibanding bahasa ilmiah, penuh ambiguitas dan homonim

(kata-kata yang sama bunyinya tetapi berbeda artinya), serta memiliki kategori-

kategori yang tak beraturan dan tak rasional. Bahasa sastra juga penuh dengan

asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya.

Dengan kata lain bahasa sastra sangat konotatif sifatnya. Bahasa sastra memiliki

fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pembicara atau penulisnya.

Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya mengubah

sikap pembaca. Disamping itu yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah

tanda, simbolisme suara dari kata-kata. Berbagai teknik diciptakan untuk

menarik perhatian pembaca.

Membedakan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari lebih sulit.

Bahasa sehari-hari sering juga bersifat ekspresif. Yang jelas, perbedaan

pragmatisnya ialah bahwa segala sesuatu yang mendorong orang untuk

melakukan tindakan langsung yang kongkrit sukar untuk diterima sebagai puisi

(baca: sastra).

Dalam hubungannya dengan bahasa, khususnya bahasa tulis, Teeuw

(1984 30-38) memberikan beberapa catatan sebagai berikut.

(1) Dalam sastra tulis terdapat keindahan bahasa, yakni pemakaian

bahasa yang tepat dan sempurna. Disamping itu dalam sastra tulis

sering memberi banyak kemungkinan untuk menciptakan keambiguan,

makna ganda, yang sering dianggap sebagai ciri khas bahasa sastra.

(2) Dalam sastra tulis, ambiguitas diri penulis yang tidak langsung

dihadapi oleh pembaca, sering dimanfaatkan bahkan dieksploitasi

secara sangat halus. Tokoh aku dalam karya sastra belum tentu identik

dengan penulisnya.

(3) Karena hubungan antara karya sastra dengan penulisnya terputus,

dengan sendirinya tulisan itu menjadi sangat penting dan mandiri. Jadi

karya sastra bukanlah tindak komunikasi biasa dan memunculkan

bermacam-macam konvensi yang harus dikuasai pembaca dalam

memahami sastra

(4) Sastra adalah dunia dalam kata dan dalam pemahamannya tidak

dibantu lagi oleh penulisnya sehingga tergantung pada kata.

6

Page 7: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

(5) Tulisan dapat diulang baca, sedang konvensi sastranya dapat

berubah-ubah sehingga interpretasi sastra dapat ditinjau lagi

disesuaikan dengan informasi baru.

(6) Reproduksi sastra sangat mungkin terjadi sehingga dimungkinkan

terjadinya perubahan atau pemantapan sehingga terjadi variasi makna.

Bagi peneliti hal itu justru memperluas lahan kajian. Bagi pembaca

memungkinkan terpenuhi seleranya.

(7) Reproduksi sastra dalam berbagai jaman, berbagai bahasa dan

budaya menjadikan sastra menjadi gejala sejarah dengan segala

akibatnya. Saat ini orang bisa membaca karya Homeros 30 abad yang

lalu, atau karya Prapanca pada abad XIV. Kesinambungan kebudayaan

sebagian besar tergantung dari penemuan tulisan dan abjad. Namun

demikian penafsiran sastra kadang menjadi berbeda dari masa ke

masa. Perbedaan penafsiran itu menjadi permasalahan apakah hal ini

justru sebagai kekayaan sastra atau sebaliknya, harus berusaha

menginterpretasi sesuai dengan maksud awal (asli)-nya.

Teeuw menegaskan bahwa sastra bukan hanya dalam rangka sastra tulis,

karena ada sastra yang hidup dan berkembang dalam bentuk sastra lisan. Tujuh

catatan dalan hubungannya dengan sastra tulis di atas tidak serta merta dapat

diterapkan pada sastra lisan, namun setidak-tidaknya terdapat kemiripan

terutama pada nomor 1, 2, dan 5. Dalam sastra sering sekali ada bentuk

campuran antara sastra tulis dengan sastra lisan, misalnya banyak tersebar di

Indonesia.

Pada akhirnya Teeuw berkesimpulan bahwa tidak ada kriteria yang jelas

yang dapat diambil dari perbedaan pemakaian bahasa lisan dan bahasa tulis

untuk membatasi sastra sebagai gejala yang khas. Ada pemakaian bahasa lisan

dan tulis yang sastra, ada pula yang bukan sastra; sebaliknya ada sastra tulis dan

ada sastra lisan. Tolok ukur untuk membedakan sastra dan bukan sastra harus

dicari di bidang lain.

Dengan demikian semakin komplekslah permasalahan yang dihadapi

untuk memberikan batasan antara sastra dan bukan sastra. Namun demikian ada

7

Page 8: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

sejumlah pengertian yang berlaku pada zaman Romantik yang menurut

Luxemburg dkk. (1989: 5 ) hingga saat ini masih selalu dipakai, sebagai berikut.

(1) Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-

mata sebuah imitasi. Sastra terutama merupakan luapan emosi yang

spontan. Unsur kreativitas dan spontanitas dewasa ini pun masih

sering dijadikan sebagai pedoman

(2) Sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain;

sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari

keseralarasan di dalam karyanya sendiri. Misalnya kaum formalis dari

Rusia di awal abad XX (masih) menganggap bahwa cara

pengungkapan merupakan ciri khas bagi kesastraan. Kesastraan

ditentukan oleh cara bahannya disajikan. Bahan puisi ialah bahasa

serta subyeknya, sedang bahan naratif adalah sejarah atau peristiwa

yang diceritakan.

(3) Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi.

Pengertian koherensi itu dapat ditafsirkan sebagai suatu keselarasan

yang mendalam antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan dengan

bentuk atau ungkapan tertentu. Seperti bentuk dan isi saling

berhubungan, demikian bagian dan keseluruhan kait-mengait secara

erat sehingga saling menerangkan.

(4) Sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling

bertentangan, antara yang disadari dengan yang tidak, antara pria dan

wanita, antara roh dan benda, dsb. Misalnya aliran New critics di

Amerika (masih) menganggap bahwa bahasa puisi adalah bahasa

paradoks.

(5) Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh sastra

ditimbulkan asosiasi dan konotasi. Dalam teks sastra ada sederet arti

yang tidak diungkapkan dalam bahasa sehari-hari. Misalnya Roland

Barthes (masih) menyatakan bahwa menafsirkan sebuah teks sastra

tidak boleh menunjukkan satu arti saja, melainkan membeberkan

aneka kemungkinan.

8

Page 9: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Sebagai bahan pembanding dan langkah awal untuk melakukan

pengkajian pada khasanah kesasteraan, kiranya perlu juga disampaikan beberapa

batasan sastra yang pernah dituliskan oleh beberapa pengamat sastra di

Indonesia.

Andre Hardjana dalam bukunya Kritik Sastra: Sebuah Pengantar (1983:

10), menggunakan batasan sastra yang diberikan oleh William Henry Hudson,

yakni bahwa sastra sebagai “pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan

orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa

yang telah dipermenungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan

yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat - pada hakikatnya adalah

suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa.

Atar Semi, dalam bukunya Anatomi Sastra (1988: 2) menyatakan bahwa

sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah

manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Panuti Sudjiman, dalam edisinya Kamus Istilah Sastra (1986: 68),

menuliskan sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri

keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi dan

ungkapannya.

Jakob Sumarjo, dalam bukunya Memahami Kesusastraan (1984),

menyatakan bahwa kesusasteraan dapat dilihat sebagai memiliki badan dan jiwa.

Jiwa sastra berupa pikiran, perasaan dan pengalaman manusia, sedang badannya

adalah ungkapan bahasa yang indah, sehingga memberikan hiburan bagi

pembacanya.

B. Fungsi Sastra

Antara sastra, fungsi dan sifatnya adalah sesuatu yang koheren.

Membicarakan apa itu sastra berarti juga menyinggung bagaimanakah sastra itu

dan untuk apa. Fungsi suatu benda sesuai dengan sifat-sifat benda itu. Fungsi

puisi sesuai dengan sifat-sifat puisi itu. Setelah dicermati beberapa pengertian

sastra di atas, maka terdapat unsur-unsur yang terdapat dalam sastra, misalnya

kreatif, keindahan, menghibur, baik, bermanfaat, contoh-contoh tentang manusia

9

Page 10: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

dan kehidupannya, dsb. Unsur-unsur tersebut merupakan indikator yang dapat

digunakan untuk melacak, menangkap atau merumuskan fungsinya.

Fungsi sastra sering berubah-ubah menurut pandangan masyarakat

terhadap sastra itu sendiri. Pada akhir abad ke-19, dengan munculnya doktrin

“seni untuk seni”, tentu saja fungsi sastra juga mengalami perubahan, yakni

dalam rangka mengabdi pada seni. Demikian juga pada abad ke-20 dengan

adanya doktrin “poesie pure” atau puisi murni. Pada masa renaisance di

Amerika, Edgar Allan Poe mengkritik konsep bahwa puisi bersifat didaktis, yang

dalam istilah Poe disebut didactic heresy yakni sastra berfungsi menghibur dan

sekaligus mengajarkan sesuatu.

Namun demikian, menurut Wellek & Warren (1993: 24), bila ditinjau

dari sejarah estetika, konsep dan fungsi sastra pada dasarnya tidak berubah,

sejauh konsep-konsep itu dituangkan dalam istilah-istilah konseptual yang

umum. Di bawah ini beberapa catatan Wellek & Warren dalam hal fungsi sastra.

1. Fungsi Dulce dan Utile

Horace (Horatius) pernah mengemukakan pendapatnya bahwa sastra

(puisi) harus memenuhi fungsi dulce dan utile: puisi itu indah dan berguna.

Konsep indah dan berguna itu, harus berlaku sekaligus, karena bila indah saja

berarti puisi itu menghibur saja dan cenderung bermain-main sehingga

mengesampingkan ketekunan, keahlian, dan perencanaan sungguh-sungguh dari

penyairnya. Sebaliknya, bila berguna saja, berarti melupakan kesenangan yang

ditimbulkan oleh puisi.

Dalam arti luas, konsep berguna tidak hanya dalam rangka berisi ajaran-

ajaran moral, tetapi berarti “tidak membuang-buang waktu”, dan indah berarti

“tidak membosankan”, “bukan kewajiban” atau ”memberikan kesenangan”,

maka fungsi itu telah terbukti, misalnya, Hegel mendapatkan fungsi itu dalam

drama kesenangannya Antigone.

Konsep indah dan berguna tersebut harus saling mengisi. Dalam sastra,

kesenangan tidak hanya dalam arti fisik, tetapi lebih dari itu, yakni kontemplasi

yang tidak mencari keuntungan. Sedang manfaatnya keseriusan yang bersifat

10

Page 11: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

didaktis, adalah keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis, keseriusan

persepsi.

2. Fungsi Khusus Sastra

Apakah sastra memiliki manfaat yang berbeda dengan sejarah, filsafat,

musik atau bidang-bidang lainnya? Aristoteles pernah mengemukakan

diktumnya yang terkenal, bahwa puisi lebih filosofis dari sejarah, karena sejarah

berkaitan dengan hal-hal yang telah terjadi, sedang puisi berkaitan dengan hal-

hal yang bisa terjadi, yakni hal-hal yang umum dan yang mungkin. Pada jaman

neoklasik, Samuel Johnson masih menganggap puisi menyampaikan hal-hal

yang umum (grandeur of generality), sedang para teoritikus abad ke-20 telah

menekankan sifat khusus puisi. Teori sastra dan apologetics (pembelaan terhadap

sastra) juga menekankan sifat tipikal sastra. Sastra dapat dianggap lebih umum

dari sejarah dan biografi, tetapi lebih khusus dari psikologi dan sosiologi.

Namun tingkat keumuman dan kekususannya berbeda-beda tiap sastra dan tiap

periode.

3. Sastra dan Psikologi

Salah satu nilai (fungsi) kognitif drama dan novel adalah segi

psikologisnya. Menurut Wellek & Warren pernyataan yang sering terdengar

adalah bahwa novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat

manusia daripada psikolog. Karen Horney menunjuk pada Dostoyevsky,

Shakespeare, Ibsen, dan Balzac sebagai sumber studi psikologi. E.M. Forster

menyatakan bahwa novel sangat berjasa mengungkapkan kehidupan batin tokoh-

tokohnya.

4. Sastra dan Kebenaran

Dalam hubungannya dengan kebenaran, Max Eastman menyangkal

bahwa pada abad ilmu pengetahuan, “pikiran sastra” dapat mengungkapkan

kebenaran. Bagi Eastman, “pikiran sastra” adalah pikiran amatir tanpa keahlian

tertentu (khusus) dan warisan jaman pra-ilmu pengetahuan yang memanfaatkan

sarana verbal untuk menciptakan “kebenaran”. Menurut pendapatnya, kebenaran

11

Page 12: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yakni

pengetahuan sistematik yang dapat dibuktikan. Menurut Eastman, tugas penyair

bukan menemukan dan menyampaikan pengetahuan. Fungsi utamanya adalah

membuat orang melihat apa yang sehari-hari sudah ada di depannya, dan

membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah

diketahuinya.

Menurut Wellek & Warren kontroversi antara ada dan tidaknya

kebenaran dalam sastra bersifat semantik antara “pengetahuan”, “kebenaran”,

“kognisi”, dan “kebijaksanaan”. Kalau kebenaran diartikan sebagai konsep dan

proposisi, maka seni, termasuk seni sastra, bukan bentuk kebenaran. Apalagi jika

batasan positif reduktif diterapkan, yakni bahwa kebenaran dibatasi pada apa

yang dapat dibuktikan secara metodis oleh siapa saja. Namun secara umum, ahli-

ahli estetika tidak menolak bahwa “kebenaran” merupakan kriteria atau ciri khas

seni. Hal ini dikarenakan: 1) kebenaran adalah kehormatan sehingga memberi

penghormatan pada seni; 2) bila seni itu tidak “benar” berarti seni itu “bohong”

seperti tuduhan Plato. Menurut Wellek & Warren sastra rekaan adalah fiksi

sebuah “tiruan kehidupan” yang artistik dan verbal. Lawan kata fiksi bukanlah

“kebenaran” melainkan “fakta” atau “keberadaan waktu dan ruang”. Dalam

sastra hal-hal yang mungkin terjadi lebih berterima daripada “fakta”.

Ada dua tipe dasar pengetahuan yang menggunakan sistem bahasa yang

terdiri atas tanda-tanda: 1) ilmu pengetahuan yang memakai cara diskursif, yakni

membuat uraian panjang 2) seni yang memakai cara presentasional, yakni

langsung memberi wujud atau contoh. Sistem pertama dipakai oleh para pemikir

dan filsuf. Yang kedua meliputi mitos keagamaan dan puisi (sastra). Susanne K.

Langer melihat sastra dalam beberapa hal, merupakan campuran arti bentuk

diskursif dan presentasional. Dalam hal ini Archibald MacLeish dalam bukunya

Ars Poetica menjabarkan sifat indah sastra dan filsafat, bahwa puisi sama

seriusnya dan sama pentingnya dengan filsafat (ilmu pengetahuan,

kebijaksanaan) dan memiliki persamaan dengan kebenaran; jadi mirip

kebenaran.

5. Sastra dan Propaganda

12

Page 13: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Dalam hubungannya dengan pandangan bahwa seni adalah propaganda,

perlu dijelaskan batasan propaganda itu. Dalam bahasa populer, propaganda

dikaitkan dengan doktrin yang berbahaya, yang disebarkan oleh orang yang tidak

dapat dipercaya. Dalam propaganda tersirat unsur-unsur perhitungan, maksud

tertentu, dan biasanya diterapkan dalam doktrin atau program tertentu pula.

Dengan demikian sejumlah seni dapat digolongkan sebagai propaganda. Sedang

seni yang baik, seni yang hebat bukanlah propaganda. Bila istilah propaganda

diperluas hingga mencakup “segala macam usaha yang dilakukan dengan sadar

atau tidak untuk mempengaruhi pembaca agar menerima sikap hidup tertentu”,

maka semua seniman melakukan propaganda. Bahkan, seniman yang

bertanggung jawab wajib secara moral melakukan propaganda. Menurut

Montgomery Belgion seorang sastrawan adalah pelaku propaganda yang tak

bertanggung jawab (irresponsible propagandist). Menurut Eliot, kadar tanggung

jawab dinilai dari maksud pengarang dan dampak sejarah. Menurut Wellek &

Warren pandangan hidup yang diartikulasikan pengarang (yang) bertanggung

jawab tidak sesederhana karya propaganda populer. Pandangan hidup yang

kompleks dalam karya sastra tidak bisa mendorong orang melakukan tindakan

yang naif dan sembrono dengan sugesti hipnotis.

6. Sastra dan Fungsi Katarsis

Chatarsis merupakan istilah bahasa Yunani yang dipakai oleh Aristoteles

dalam bukunya The Poetics dengan makna yang hingga saat ini masih

diperdebatkan. Namun yang jelas masalah yang timbul dari penggunaan istilah

itu ialah adanya fungsi sastra yang menurut sejumlah teoritikus, untuk

membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Bagi penulis,

mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu. Bagi pembaca,

emosi mereka sudah diberi fokus dalam karya sastra, dan lepas (terbebas) pada

akhir pengalaman estetis mereka sehingga mereka mendapatkan “ketenangan

pikiran”. Berbeda dengan hal tersebut, menurut Plato, drama tragedi dan drama

komedi justru memupuk dan menyuburkan emosi yang seharusnya di matikan.

7. Fungsi Sastra di Indonesia

13

Page 14: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Dari uraian yang bersifat umum di atas, kiranya perlu juga dicantumkan

di sini fungsi sastra menurut pengamat sastra di Indonesia. Menurut Atar Semi

(1988) ada tiga tugas dan fungsi sastra, yakni sebagai berikut.

Pertama, sebagai alat penting pemikir-pemikir untuk menggerakkan

pembaca kepada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan bila ia

mendapat masalah. Pengarang bertugas mengikuti dan memikirkan tentang

budaya dan nilai-nilai bangsanya pada masa ia hidup untuk kemudian dicurahkan

ke dalam karya sastra yang baik. Salah satu ukuran sastra yang baik ialah sastra

yang dapat menggambarkan kebudayaan masyarakat pemiliknya pada jamannya.

Karya sastra memberikan kearifan alternatif untuk menolong mengatasi masalah

kehidupan. Pada jaman globalisasi ini interaksi kebudayaan antar bangsa terjadi

secara intensif sehingga budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa

pun akan mempengaruhi, menggeser, bahkan menggantikan kebudayaan bangsa

yang ada sebelumnya. Di sinilah diharapkan peran sastra dapat menangkal

pengaruh-pengaruh negatif tersebut.

Kedua, sastra berfungsi sebagai alat untuk meneruskan tradisi suatu

bangsa, baik kepada masyarakat sejaman maupun generasi mendatang. Dengan

kata lain sebagai alat penerus tradisi dari generasi ke generasi berikutnya, baik

berupa cara berpikir, kepercayaan, kebiasaan, pengalaman sejarah, rasa

keindahan, bahasa, serta bentuk-bentuk kebudayaannya.

Ketiga, menjadikan dirinya sebagai suatu tempat dimana nilai

kemanusiaan diberi perhatian (dihargai) sewajarnya, dipertahankan dan

disebarluaskan, terutama ditengah-tengah kehidupan modern yang ditandai

dengan majunya sains dan teknologi dengan pesat.

Dengan demikian fungsi sastra, dalam hal ini seperti pembicaraan-

pembicaraan di atasnya, tidak dapat digeneralisasikan begitu saja dan

memerlukan penjelasan-penjelasan yang lebih berterima dengan

mempertimbangkan kondisi kontekstualnya. Dalam hal ini, sebagai perenungan

lebih lanjut dapat dibaca lebih jauh tentang perdebatan sastra kontekstual

(Heryanto, 1985)

C. Genre Sastra

14

Page 15: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Pembicaraan tentang genre sastra, seperti halnya pembicaraan tentang

fungsi sastra dan teori sastra pada umumnya, telah berlangsung lama. Dalam

sejarahnya, batasan mengenai genre sastra juga bersifat sangat dinamis dan

berbeda-beda.

Jenis sastra terjadi oleh karena konvensi sastra yang berlaku pada suatu

karya yang membentuk ciri karya tersebut. Menurut N.H. Pearson jenis sastra

dapat dianggap sebagai suatu perintah kelembagaan yang memaksa

pengarangnya sendiri. Menurut Harry Levin, jenis sastra adalah suatu

“lembaga”, seperti halnya gereja, universitas, atau negara. Jenis sastra itu

dinamis seperti halnya sebuah institusi yang boleh diikuti atau tidak, atau boleh

dirubah. Sedang menurut A. Thibaudet teori genre adalah suatu prinsip

keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu

atau tempat (periode atau pembagian sastra nasional), tetapi berdasarkan tipe

struktur atau susunan sastra tertentu (Wellek & Warren, 1993: 298-300).

Asia Padmopuspito (1991: 2) mengutip beberapa definisi genre sastra

dari beberapa pakar sastra, antara lain sebagai berikut. Menurut Shipley, genre

adalah jenis atau kelas yang di dalamnya termasuk karya sastra. Hasry Shaw

menyatakan bahwa genre adalah kategori atau kelas usaha seni yang memiliki

bentuk, teknik atau isi khusus. Di antara genre dalam sastra termasuk novel,

cerita pendek, esai, epik, dsb. Menurut Abrams, genre merupakan istilah untuk

menandai jenis sastra atau bentuk sastra. Nama genre sastra pada periode kuno:

tragedi, komedi, epik, satire, novel, esai dan biografi. Pada periode renaisan:

epik, tragedi, komedi, sejarah pastoral, komik pastoral, dsb. Menurut Hirsch,

cara terbaik untuk mendefinisikan genre ialah dengan melukiskan unsur-unsur di

dalam kelompok teks sempit yang mempunyai hubungan sejarah secara

langsung.

Aristoteles dalam tulisannya yang berjudul Poetika meletakkan dasar

untuk studi jenis sastra. Ia sadar bahwa karya sastra dapat digolongkan menurut

berbagai kriteria; menurutnya ada tiga macam kriteria yang dapat dijadikan

patokan (berdasarkan sastra Yunani klasik, namun teori ini banyak cocoknya

untuk sastra lain), sebagai berikut (Teeuw, 1984: 108).

1. Sarana perwujudannya (media of representation):

15

Page 16: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

a. prosa

b. puisi: yang satu matra (contohnya: syair) dan yang lebih dari satu matra

(contohnya tragedi, kakawin)

(Dalam pembagian ini pada prisipnya tidak dibedakan antara sastra dan bukan

sastra)

2. Obyek perwujudan (objects of representation): yang menjadi obyek pada

prinsipnya manusia, tetapi ada tiga kemungkinan:

a. manusia rekaan lebih agung dari manusia nyata: tragedi, epik Homeros,

cerita Panji

b. manusia rekaan lebih hina dari manusia nyata: komedi, lenong

c. manusia rekaan sama dengan manusia nyata: Cleophon (bila ketika itu

sudah ada roman pastilah masuk kategori ini)

3. Ragam Perwujudannya (manner of poetic representation):

a. teks sebagian terdiri dari cerita, sebagian disajikan melalui ujaran tokoh

(dialog): epik

b. yang berbicara si aku lirik penyair: lirik

c. yang berbicara para tokoh saja: drama

Teeuw (1984: 110-113) juga mencatat pendapat beberapa pakar yang

mempermasalahkan dinamika jenis sastra, sebagai berikut. Menurut Culler, pada

asasnya fungsi konvensi jenis sastra ialah mengadakan perjanjian antara penulis

dan pembaca, agar terpenuhi harapan tertentu yang relevan, dan dengan

demikian dimungkinkan sekaligus penyesuaian dengan dan penyimpangan dari

ragam keterpahaman yang telah diterima. Menurut Todorov, batasan jenis sastra

oleh karena itu merupakan suatu kian kemari yang terus menerus antara

deskripsi fakta-fakta dan abstraksi teori. Menurut Claudio Guillen, jenis sastra

adalah undangan atau tantangan untuk melahirkan wujud. Konsep jenis

memandang ke depan dan ke belakang sekaligus. Ke belakang ke karya sastra

yang sudah ada dan ke depan ke calon penulis. Menurut Todorov, setiap karya

agung, per definisi, menciptakan jenis sastranya sendiri. Setiap karya agung

menetapkan terwujudnya dua jenis, kenyataan dan norma, norma jenis yang

dilampauinya yang menguasai sastra sebelumnya, dan norma jenis yang

diciptakannya. Demikian juga menurut Hans Robert Jausz, bahwa jenis sastra

16

Page 17: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

per definisi tidak bisa hidup untuk selamanya, karya agung justru melampaui

batas konvensi yang berlaku dan membuka kemungkinan baru untuk

perkembangan jenis sastra. Jenis sastra bukanlah sistem yang beku, kaku, tetapi

berubah terus, luwes dan lincah. Peneliti sastra harus mengikuti perkembangan

itu dalam penelitiannya. Teeuw menambahkan bahwa dalam penelitian sistem

jenis sastra, tidak ada garis pemisah yang jelas antara pendekatan diakronik dan

sinkronik: karya sastra selalu berada dalam ketegangan dengan karya-karya yang

diciptakan sebelumnya.

Sehubungan dengan pernyataan tersebut Luxemburg dkk. (1989: 107)

menuliskan bahwa penjenisan sering kali tidak hanya deskriptif tetapi juga

preskriptif, yakni membuat peraturan-peraturan, sehingga pengarang akan

bangga bila dapat memenuhinya. Hal inilah yang disebut dengan estetika

identitas. Sedang sikap pertentangan yang mendobrak peraturan-peraturan

(konvensi) jenis sastra tertentu disebut estetika oposisi.

Dalam sejarah sastra di Indonesia juga banyak sastrawan yang terkenal

dengan penentangan konvensi dan pembaruan-pembaruannya yang kemudian

diikuti oleh sastrawan-sastrawan di belakangnya yang kemudian menyuarakan

jenis sastra baru, misalnya Chairil Anwar. Dalam sastra Jawa dikenal nama

Intojo yang mengenalkan jenis soneta pada sastra Jawa sehingga ia disebut

sebagai bapak soneta sastra Jawa Modern. Juga dikenal nama Iesmaniasita yang

memberontak aturan-aturan tradisi sastra Jawa sebelumnya. Ia menuliskan

pemberontakannya dalam puisinya yang berjudul Kowe Wis Lega? dan cerpen

Jawanya Tiyupan Pedhut Anjasmara. Puisi Kowe Wis Lega, antara lain

mempertanyakan, yang terjemahannya sebagai berikut. “O, kawan, sudah

puaskah kamu, menyanyikan lagu warisan ?”. Tokoh utama dalam cerkak

Tiyupan Pedhut Anjasmara menolak penilaian baik terhadap karya Wicara

Keras, Darmasunya, dsb.. Penilaian baik itu dianggap sebagai tiyupan pedhut

atau ‘ hembusan kabut’ yang berkonotasi negatif (Hutomo, 1993: 2002-2004).

Dewasa ini dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah tampak bahwa

penjenisan sastra diterapkan secara sederhana dengan menekankan bentuk

material atau lahiriahnya saja. Secara lahiriah Luxemburg, dkk. (1989)

menuliskan bahwa sebuah cerita (fiksi) mengisi seluruh permukaan halaman.

17

Page 18: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Sedang dalam teks drama dijumpai banyak bidang putih, khususnya bila

pembicaranya ganti. Nama-nama pelakunya dicetak secara khusus sehingga

meyakinkan sebagai drama. Dalam hal puisi pun biasanya halaman tidak terisi

penuh (larik-lariknya tidak panjang) dan bait-baitnya dipisahkan oleh bidang-

bidang putih atau larik-larik kosong. Perbedaan antara roman dan novel

ditentukan panjangnya teks atau jumlah kata.

Luxemburg, dkk. (1989) juga membagi bab-bab dalam bukunya menjadi

teks-teks naratif, teks-teks drama dan teks-teks puisi. Teks naratif sering disebut

juga jenis fiksi yang biasanya berbentuk prosa atau disebut prosa fiksi.

Luxemburg membatasi teks naratif ialah semua teks yang tidak bersifat dialog

dan yang isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah deretan peristiwa. Teks-

teks drama ialah semua teks yang bersifat dialog-dialog dan yang isinya

membentangkan sebuah alur. Sedang teks-teks puisi ialah semua teks monolog

yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur.

Bila ditinjau secara pragmatis, ada keunggulan masing-masing jenis

tersebut. Jenis prosa atau gancaran, memiliki keunggulan-keunggulan

komunikatif, antara lain: lugas dan jelas. Lugas, maksudnya secara umum lebih

banyak menggunakan kosa kata sehari-hari sehingga lebih mudah untuk dicerna

pembaca. Sedang jelas, maksudnya secara umum lebih banyak menggunakan

stuktur gramatikal sesuai dengan standar bahasa formal yang berlaku. Kedua

sifat gancaran tersebut berimplikasi lebih lanjut pada sifat yang lebih

komunikatif. Artinya, sangat memungkinkan bagi pembaca untuk memahami

isinya dalam waktu yang relatif singkat. Pembaca mengerti dan memahami

hanya dengan sekali baca.

Jenis puisi meniliki keunggulan-keunggulan estetis, yakni antara lain

menekankan pemilihan diksi yang padat, bebas dan indah. Padat, artinya bahwa

dalam satu kata puisi dapat menampung keluasan makna imajinatif sehingga

menawarkan pemaknaan yang relatif sangat dalam. Bebas, maksudnya tidak

sangat terikat oleh kaidah-kaidah linguistis, seperti halnya kaidah gramatikal.

Larik-larik puisi tidak harus berstruktur seperti kalimat formal, ada subyeknya

ada predikatnya dan seterusnya. Indah, maksudnya menekankan pentingnya

18

Page 19: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

segala unsur yang bernilai keagungan seni. Ketiga sifat puisi tersebut secara

estetis membuatnya tidak kaku tidak membosankan dan kaya akan makna.

Jenis drama menekankan dialog dan lakuan yang mengarah pada konflik

para pelakunya. Jenis ini tentu saja memiliki keunggulan aksi dramatik. Artinya,

jenis drama lebih banyak menawarkan gerak laku dan pembicaraan efektif yang

berisi alur cerita. Dengan demikian pengekspresiannya diaktualisasikan dalam

pertunjukan.

Dari segi cara sarana penuangan idenya atau cara penyebarannya, karya

sastra dapat dibedakan menjadi sastra tulis, yakni menggunakan sarana tulisan,

dan sastra lisan, yakni yang disebarkan secara lisan atau dari mulut ke mulut.

D. Pendekatan terhadap Karya Sastra

Karya sastra pada dasarnya menyangkut berbagai aspek, yakni tentang

karya sastra itu sendiri (segi intrinsik) dan berbagai aspek kehidupan (segi

ekstrinsik). Oleh karena itu perihal teori sastra juga mencakup aspek yang sangat

luas, yakni seluas ilmu yang ada dalam kehidupan ini yang tercakup dalam ilmu

kebudayaan secara umum. Dengan demikian, teori sastra berhubungan dengan

semua unsur kebudayaan, yakni bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan,

kemasyarakatan, ekonomi, teknologi, dan religi.

Pada mulanya, teori sastra setidak-tidaknya menyangkut tiga hal, yakni

teori moral, teori formal dan teori sosial. Teori moral berkembang dalam sastra

sejak semula. Secara moral, karya sastra bernilai dalam rangka pemaknaan pada

pengalaman pribadi perorangan untuk membangun moralitasnya. Bagi ahli

moral, nilai karya sastra tidak semata-mata terletak pada estetikanya, melainkan

fungsi moralnya. Pada akhirnya nilai karya sastra ditentukan oleh sumbangannya

kepada pengalaman orang dalam perkembangan moralnya pada keseluruhan

hidupnya, dalam rangka kemajuan dan kedamaian dalam sejarah suatu

masyarakat.

Teori formal muncul lebih belakangan, lebih kompleks, dan lebih

canggih. Dengan teori formal, sastra dapat diungkapkan secara beragam bentuk,

berjenis-jenis. Teori formal juga telah merambah ke arah estetika sastra. Karya

sastra dipandang sebagai struktur-struktur tertentu dengan fungsinya masing-

19

Page 20: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

masing. Teori formal mengandaikan pentingnya struktur karya sastra itu,

sehingga pada tataran tertentu menolak hubungan karya sastra dengan dunia di

luar karya sastra yang bersangkutan. Pada tataran tertentu, secara ideal karya

sastra adalah otonom, terlepas dari pengarang dan kehidupannya, terlepas dari

sejarah kemunculannya, terlepas dari lingkungan sosialnya.

Teori sosial menganggap sastra adalah gejala sosial. Teori ini mengacu

pada landasan sosial yang melatar-belakangi munculnya suatu karya sastra,

hubungan karya sastra dengan kelompok sosial tertentu, hingga fungsi karya

sastra dalam kehidupan kelompok sosial tertentu. Pada tataran tertentu teori ini

sampai pada teori komunikasi, yakni karya sastra sebagai sarana komunikasi.

Pengarang menulis karya sastra untuk mengkomunikasikan segala ide atau

gagasan serta segala amanatnya, yang disampaikan kepada masyarakat.

Pada perkembangan selanjutnya, muncul berbagai pendekatan, antara

lain yang dicetuskan oleh Abrams, suatu teori sastra menyangkut empat situasi

karya sastra secara menyeluruh, yakni pencipta (pengarang), karya sastra itu

sendiri, alam semesta, dan pembaca (Teeuw, 1984: 50). Dengan demikian teori

sastra di samping membicarakan karya sastra itu sendiri yang berhubungan

dengan struktur karya sastra dan makna karya sastra; juga berhubungan dengan

latar belakang yang menyangkut alam dan kehidupan manusia di sekitar

munculnya karya sastra; berhubungan dengan pengarang dan proses penciptaan

karya sastra; dan berhubungan dengan pribadi pembaca atau lingkungan

masyarakat pembaca.

20

Page 21: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

BAB II KHASANAH SASTRA JAWA

A. Pandangan Filosofis sebagai Bingkai Sastra Jawa

Di atas telah disinggung bahwa karya sastra (Jawa) sedikit atau banyak

akan terikat oleh konvensi yang ada pada masing-masing jenis sastra yang

bersangkutan. Konvensi yang ada dalam setiap jenis sastra Jawa, tentu saja tidak

akan bertentangan dengan idealisme filosofis yang dimiliki oleh masyarakat

Jawa. Memang tidak mudah menangkap idealisme filosofis Jawa yang mana

yang tercermin dalam tiap-tiap jenis sastra, bahkan tiap-tiap teks sastra. Namun

demikian, setidak-tidaknya dinamika kebudayaan Jawa secara luas mestinya

tetap diacu dalam penciptaan teks-teks sastra baru maupun dalam

pemaknaannya.

Dengan pandangan di atas, setidak-tidaknya harus ditekankan pengertian

adanya pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan besar yang telah masuk dalam

eksistensi kebudayaan Jawa dari waktu ke waktu. Adanya budaya animisme-

dinamisme sebagai dasar kehidupan budaya nenek moyang, pengaruh budaya

Hindu-Budha yang saat ini masih tercermin dalam berbagai cerita wayang

purwa, pengaruh budaya Islam yang kemudian tercermin dalam sastra suluk,

sastra tuntunan, wayang menak, dsb., serta pengaruh budaya Barat yang

kemudian tampak pada kehidupan sastra Jawa modern, hingga pengaruh

kompleksitas nasionalisme yang kemudian memunculkan sastra-sastra Jawa

bervisi Indonesia, adalah contoh-contoh yang harus dicermati. Demikian pula

pengaruh globalisasi yang pada akhirnya membawa dampak pada berbagai

kehidupan berkesenian, termasuk bersastra Jawa.

Menurut A. Teeuw (1984: 101), sastra dan seni selalu berada dalam

ketegangan antara aturan dan kebebasan, antara konvensi dan inovasi. Dengan

demikian, kehidupan sastra Jawa akan selalu menjadi anak bangsa (Jawa)

sekaligus juga menjadi anak jamannya. Artinya, nilai-nilai budaya Jawa yang

merupakan hasil perenungan dan pengendapan dari berbagai benturan budaya

asli dan asing, akan selalu mendasari penciptaan karya sastra Jawa, sekaligus

juga terjadi tawar-menawar dengan berbagai budaya yang berlaku secara up to

21

Page 22: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

date di Jawa. Tidak mustahil bila beberapa waktu yang lalu muncul ketoprak

dengan bahasa Indonesia, tetapi secara substantif tetap berisi budaya Jawa secara

kental. Sebaliknya, karya-karya yang berbau postmodernisme hingga

dekonstruksi juga mewarnai karya-karya sastra Jawa, seperti tampak pada

berbagai sastra cerkak, ketoprak plesetan, dsb.

B. Sastra dan Bahasa Jawa

Pembicaraan mengenai sastra Jawa, pada dasarnya membicarakan karya

sastra yang berbahasa Jawa, baik bahasa Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, maupun

bahasa Jawa baru, dengan latar belakang pengaruh kebudayaan tertentu dan

dalam jenis sastra dan bentuk sastra tertentu.

Telah disinggung pada bab sebelumnya bahwa secara historis atau secara

vertikal sastra Jawa menggunakan media bahasa Jawa yang meliputi bahasa Jawa

Kuna, Jawa Pertengahan dan Bahasa Jawa Baru. Sedang secara horizontal,

terdapat bahasa standar atau baku dan bahasa dialek tertentu. Dewasa ini setidak-

tidaknya terdapat bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta yang dianggap

sebagai bahasa standar, bahasa dialek Banyumasan dan bahasa dialek Jawa

Timuran. Dalam rangka karang-mengarang, pada umumnya menggunakan

bahasa standar, namun juga tidak tertutup kemungkinan penggunaan dialek

tertentu sebagai warna lokal (local colour) yang memunculkan efek suasana

cerita menjadi semakin hidup. Bahkan karya sastra Jawa dengan pengantar

dialek tertentu akan memperkaya khasanah sastra Jawa.

Bahasa Jawa Kuna dalam arti luas, dapat dibedakan dalam dua istilah,

yakni bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Pertengahan dengan ciri-cirinya

masing-masing. Bahasa Jawa Kuna, di samping dipakai dalam beberapa bentuk

prosa, dipakai dalam bentuk puisi kakawin. Sedang bahasa Jawa Pertengahan, di

samping dipakai dalam beberapa bentuk prosa, juga dipakai dalam bentuk puisi

kidung.

Menurut Poerbatjaraka (1964: 68), penggunaan bahasa Jawa Kuna dalam

kehidupan sehari-hari hanya sampai pada waktu sebelum berdirinya kerajaan

Singasari. Setelah itu, orang sudah menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Pada

jaman Majapahit, bahasa Jawa Pertengahan sudah menjadi bahasa sehari-hari

22

Page 23: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

dan bahasa umum. Namun demikian dalam bahasa sastra, para pujangga

Majapahit masih menggunakan bahasa Jawa Kuna, seperti dalam

Nagarakretagama, Arjunawijaya, dan sebagainya, bahkan tradisi penulisan

sastra dengan bahasa Jawa Kuna masih dapat ditemukan di Bali pada jaman

modern ini.

Adapun menurut Zoetmulder (1983: 29-37), istilah bahasa Jawa Kuna

dan bahasa Jawa Pertengahan bukanlah semata-mata pembagian secara

kronologis, bahwa Jawa Pertengahan berawal dari bahasa Jawa Kuna. Bahasa

Jawa Pertengahan tidak menjembatani bahasa Jawa Kuna dengan bahasa Jawa

Modern. Pembagian kronologis berdasarkan bahasa sering merupakan landasan

yang rapuh, yang harus dipertimbangkan lebih jauh berdasarkan bukti-bukti lain.

Zoetmulder mengetengahkan fakta kerapuhan bukti linguistis atau

evidensi intern itu antara lain sebagai berikut.

C. Kitab Siwaratrikalpa (Lubdhaka) yang semula ditafsirkan sebagai hasil

dari bagian pertama abad ke-13 atau awal Singasari, tetapi penelitian

terakhir membuktikan bahwa kitab itu berasal dari bagian kedua abad ke-

15 atau akhir Majapahit. Jadi terpaut dua setengah abad.

2) Bukti yang lain bahkan di Bali beberapa kakawin merupakan hasil penulisan

abad ke-19.

3) Dalam sastra kidung pun cara penulisan raja pelindung pada bagian introduksi

atau bagian epilog yang sering ada dalam tradisi penulisan kakawin, tidak

terjadi pada jenis kidung, sehingga kepastian umurnya sangat lemah.

Disamping itu sastra kidung tampak bukan meneruskan tradisi Jawa Kuna.

4) Terdapat bukti pada sejumlah piagam dari periode Majapahit paling tua,

bagian kedua abad ke-14, yang berbahasa Jawa Pertengahan dan mendekati

bahasa Jawa Modern.

5) Terdapat bukti dua karya tentang agama Islam yang berbahasa Jawa Modern

yang dibawa oleh pelayaran Belanda dan dihadiahkan ke perpustakaan

Universitas Leiden pada tahun 1597. Dua karya yang berbahasa Jawa Modern

itu tentu saja ditulis sebelum tahun 1597, yakni pada abad ke-16.

Dengan demikian pada abad ke-16 sebenarnya sudah terdapat tiga jenis

bahasa sekaligus, yakni Jawa Kuna, Jawa Pertengahan dan Jawa Modern. Namun

23

Page 24: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

demikian hingga kini belum jelas pemetaannya, di daerah bagian mana atau

situasi seperti apa berlaku bahasa Jawa Kuna, berlaku bahasa Jawa Pertengahan

atau bahasa Jawa Baru.

Secara umum dapat dikatakan bahwa daerah tertentu memiliki latar

belakang budaya tertentu yang sering berbeda dengan daerah lain. Dalam bahasa

Jawa hal itu tercermin dalam konsep desa mawa cara negara mawa tata, yang

berarti ‘desa mempunyai tata caranya sendiri-sendiri dan negara juga

mempunyai aturan masing-masing’. Bila memungkinkan untuk diketahui bahwa

suatu karya sastra berasal dari daerah tertentu dan pada waktu tertentu, maka

berbagai hal di dalamnya akan lebih memungkinkan untuk dikaji dalam

hubungannya dengan latar belakang budaya daerah yang bersangkutan.

Masing-masing dari ketiga jenis bahasa Jawa di atas, juga memiliki

karakteristik yang khas, yang berhubungan dengan karakteristik sosial tertentu

dan estetikanya masing-masing. Sebagai misal, bahasa Jawa Kuna, dalam

banyak kasus menekankan aspek keindahan (kalangwan) dalam hubungannya

antara penyair dan karya sastranya dengan raja, dewa dan lingkungan alam, baik

alam dalam pola pikir di India maupun di Jawa. Bahasa Jawa Pertengahan, pada

beberapa hasil sastra kidung tampak menekankan aspek historis dan penokohan

pahlawan-pahlawan tertentu, serta kondisi lingkungan sosial di Jawa terutama

dari Kerajaan Majapahit. Sedang pada bahasa Jawa Baru, sebagiannya

merupakan penulisan kembali karya-karya sastra lama, sebagiannya lagi

merupakan karya baru yang bernuansa Islami atau lingkungan sosial pada jaman

Pesisiran, atau karya-karya jaman Mataram. Sebagian lagi merupakan karya

modern yang telah mendapat pengaruh Barat dengan menekankan kehidupan

keseharian.

Yang perlu juga dicatat adalah bahwa dalam bahasa Jawa Baru

ditekankan adanya undha-usuk, yakni tataran kebahasaan dalam hubungannya

dengan status pembicara terhadap orang yang diajak berbicara. Dalam konteks

sosial, penggunaan bahasa jawa Baru telah membantu pengkajian sastra untuk

merekonstruksi struktur sosial yang ada dalam karya sastra dalam hubungannya

dengan struktur sosial yang sesungguhnya dalam realita kehidupan orang Jawa.

24

Page 25: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Di samping hal-hal di atas, dalam hubungannya dengan jenis karya sastra

Jawa, sering kali dijumpai jenis-jenis sastra Jawa tertentu yang banyak

menekankan penggunaan bahasa Jawa tertentu pula. Dalam sastra wayang,

misalnya, meskipun muncul dengan bahasa Jawa Baru pada dekade belakangan,

namun penggunaan bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Pertengahan masih

relatif dominan. Dalam sastra suluk atau wirid dan sastra Islami lainnya,

termasuk sastra Pesisiran, tentu saja penggunaan bahasa dengan pengaruh bahasa

Arab akan tampak dominan. Sedang dalam sastra Jawa yang berjenis novel,

novelet cerpen (cerkak), geguritan, dan sandiwara modern, penggunaan bahasa

Jawa Baru sehari-hari tampak paling dominan.

Dalam hubungannya dengan bentuk puisi tembang, di sana-sini banyak

menggunakan kosa kata yang disesuaikan dengan kepentingan kaidah tembang

yang bersangkutan, sehingga pada umumnya banyak menggunakan kosa kata

bahasa yang khas untuk tembang. Sebagai contoh kata Mataram sering diganti

dengan kata Mentawis atau Matarum atau Ngeksiganda demi mendapatkan bunyi

vokal akhir baris (guru lagu) atau jumlah suku kata pada baris tertentu (guru

wilangan) yang sesuai. Demikian pula baris Anoman sampun malumpat dapat

saja dibalik menjadi Anoman malumpat sampun, juga demi ketentuan guru

lagu, dsb.

Dalam hubungannya dengan pengkajian dan pemaknaan sastra,

khususnya sastra Jawa, tentu saja hal-hal di atas tidak boleh diabaikan,

mengingat makna karya sastra tidak terlepas dari latar belakang sejarah karya

sastra yang bersangkutan, termasuk sistem kebahasaan masing-masing.

Meskipun demikian, pengungkapan tentang latar belakang sejarah karya sastra

bukanlah hal yang sederhana dan menjadi persoalan tersendiri dalam sejarah

sastra Jawa, karena berbagai kendala yang melekat pada karakteristik jenis-jenis

sastra Jawa tertentu.

C. Tradisi Alih Bahasa dan Menyalin Teks

Dalam kehidupan khasanah sastra Jawa, masalah penciptaan sastra juga

diwarnai oleh tradisi alih bahasa dan tradisi menyalin teks. Tradisi alih bahasa

adalah tradisi menterjemahkan teks, yakni terjadi khususnya pada penerjemahan

25

Page 26: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

teks-teks sastra berbahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuna, Jawa Kuna ke

bahasa Jawa Baru, bahasa Melayu ke bahasa Jawa Baru, dsb. Tradisi menyalin

teks bisa terjadi dari huruf Jawa ke huruf Jawa, dari huruf Arab ke huruf Jawa,

dari huruf Arab ke huruf Latin, dari huruf Jawa ke huruf Latin, atau sebaliknya

dari huruf Latin ke huruf Jawa.

Yang menjadi catatan dalam rangka teori sastra Jawa adalah bahwa

dalam kedua tradisi tersebut di atas sering terjadi empat macam hasil, sebagai

berikut. Pertama, penerjemah atau penyalin sangat mampu dan setia

menerjemahkan atau menyalin, sehingga hasilnya sama dengan teks induknya.

Kedua, penerjemah atau penyalin mampu dan setia menerjemahkan atau

menyalin, tetapi oleh karena faktor manusiawi, terjadi kesalahan dan hasilnya

berbeda dengan teks induknya. Ketiga, penerjemah atau penyalin memang

sengaja membuat terjemahan atau salinannya berbeda dengan teks induknya,

oleh karena tujuan tertentu. Keempat, penerjermah atau penyalin kurang atau

tidak mampu melaksanakan tugasnya, sehingga hasilnya berbeda dengan teks

induknya.

Dengan kejadian tersebut, menjadikan teks-teks sastra Jawa sebagai

ladang luas dan subur bagi pengkajian filologi.. Hasil dari pengkajian tersebut, di

samping mendapatkan teks aslinya, mendapatkan teks edisi kritis, juga

menghasilkan pengetahuan tentang visi dan misi penerjemah atau penyalin.

Dalam rangka pemaknaan karya sastra, sangat mungkin didapatkan makna-

makna yang baru dari teks terjemahannya atau teks salinannya, yang berbeda

dengan makna dari teks aslinya. Dalam hubungannya dengan hal di atas, Teeuw

(1984: 216) mencatat bahwa dalam sastra Jawa proses saduran atau penjarwaan,

khususnya di Surakarta dan Yogyakarta, perlu mendapatkan perhatian yang

serius, yakni dalam rangka resepsi sastra, karena akan memberi sumbangan yang

sangat penting terhadap sejarah sastra dan lebih luas pada pengetahuan mengenai

konteks sosio-budaya tertentu.

D. Tradisi Lisan dan Tulisan

Dalam tradisi sastra Jawa, seperti juga tradisi-tradisi yang lain, di

samping dalam tradisi tulis, juga diwarnai tradisi penyebaran sastra melalui

26

Page 27: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

tradisi lisan. Tradisi lisan merupakan tradisi yang ditularkan dari mulut ke mulut

secara turun temurun.

Dalam tradisi sastra Jawa, antara tradisi lisan dan tulisan berjalan

bersama, sehingga sering sekali terjadi saling mempengaruhi. Sebagai contoh,

tradisi wayang purwa dan seni kethoprak, yang semula lebih berkembang dalam

tradisi lisan, akhirnya juga berkembang dalam tradisi tulis. Namun demikian

sebagian hasil sastra tulis kemudian juga berkembang dalam tradisi lisan, seperti

tradisi wayang purwa dan kesenian kethoprak tersebut.

Tradisi lisan memiliki karakteristik luwes, sangat mampu menyesuaikan

situasi dan kondisi di mana ia berkembang. Oleh karena itu perubahan demi

perubahan bisa terjadi begitu saja dengan cepatnya. Hal ini berbeda dengan

tradisi tulisan yang mencatat segala yang ada dengan lebih statis, bisa dibaca

dalam kondisi yang relatif sama dalam jangka waktu yang lama. Dengan kata

lain tradisi tulis telah membakukan eksistensi teksnya. Apabila suatu tradisi

lisan berkembang dalam bentuk tulisan maka pada saat pertama penulisan itu,

berbagai perubahan yang telah terjadi dalam tradisi lisan sebelumnya, menjadi

tertulis dan cenderung menjadi baku. Dengan demikian dalam tradisi tulis

semacam ini dapat menjadi semacam titik-titik stasioner perubahan.

Dalam sastra Jawa hal tersebut mungkin juga terjadi pada persebaran

teks-teks sastra tertentu, khususnya pada lakon-lakon wayang purwa dan

dongeng-dongeng atau legenda-legenda tertentu. Dengan demikian perlu

dicermati lebih jauh, pemaknaan karya sastra Jawa dalam hubungannya dengan

persebaran melaui tradisi lisan dan tulisan yang telah saling mempengaruhi.

E. Sang Kawi, Pujangga atau Pengarang Sastra Jawa

Penamaan pujangga atau pengarang pada dasarnya dibedakan dalam

kemampuannya, masa hidupnya, dan popularitasnya. Pujangga hidup pada

jaman kekuasaan para raja Jawa. Khususnya dalam sastra Jawa Kuna, penyair

biasa disebut Sang Kawya atau Ra Kawi atau Sang Kawi, sedang lembaganya

sering disebut Para Kawi yang mungkin bisa disejajarkan dengan ‘Jawatan

Kebudayaan dan Kesusasteraan’. Istilah kawi sendiri bisa berarti ‘seorang

penyair’ tetapi juga bisa berarti lebih luas, yakni ‘seseorang yang mahir atau

27

Page 28: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

mempelajari buku-buku’ atau ‘seseorang yang mahir dalam kitab-kitab suci’

(Zoetmulder, 1983: 184-186).

Dalam istilah Jawa, pujangga juga sering disebut kawitana, kawiwara,

atau kawiswara. Menurut Padmosoekotjo (tt, jld I: 13) dan Padmawarsita (dalam

Serat Ranggawarsita, Cod. Or. 6467: 12), pujangga harus memiliki delapan

macam kemampuan, yakni sebagai berikut.

1). Paramengsastra, yakni ahli dalam bidang sastra dan bahasa,

menguasai tentang bunyi, rasa dan makna bahasa sastra.

2). Paramengkawi, yakni ahli mencipta sastra atau mengarang, terutama

dalam penggunaan bahasa Kawi (Bahasa Jawa Kuna dan bahasa yang

sering dipakai oleh para Pujangga yang sering disebut Kawi Miring).

3). Awicarita, yakni pandai mendongeng atau bercerita dengan menarik

dan dapat menjadi pedoman hidup manusia.

4). Mardawa lagu, yakni pandai dan halus dalam hal membuat tembang

dan gendhing.

5).Mardawa basa, atau mardi basa yakni pandai menggunakan bahasa

yang menyenangkan, yang menyentuh perasaan, membangkitkan rasa

kasih, dan sebagainya.

6). Mandraguna, yakni ahli dalam cipta sastra dan dalam hubungannya

dengan hal kesaktian dan supranatural.

7). Nawung kridha, yakni halus budi dan perasaannya hingga mampu

membaca perasaan orang lain.

8). Sambeguna, yakni bijaksana atau baik budi.

Dalam hal kata pujangga, ada kemungkinan berasal dari kata empu

janggan yang berarti ‘tuan guru’ seperti yang terdapat dalam kitab Pararaton

yang antara lain menyebutkan Empu Janggan ing Sagenggeng yang berarti

‘tuan guru di Sagenggeng’ (Asia Padmopuspito, tt: 18). Namun dimungkinkan

juga berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kata bhujangga yang berarti ‘ular’

atau ‘naga’. Tidak mengherankan bahwa tanda tangan R. Ng. Ranggawarsita

pada beberapa naskah asli karyanya, berupa gambar seekor naga atau

menyerupai naga. Ranggawarsita sendiri memang menyebut dirinya sebagai

28

Page 29: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

pujangga. Hal ini antara lain disebut dalam karyanya Serat kalatidha pada bait I

pupuh Sinom, sebagai berikut.

Wahyaning harda rubeda / Ki Pujangga amengeti / mesu cipta mati raga

/ mudhar warananing gaib / ananira sakalir / ruweding sarwa pekewuh /

wiwaling kang warana / dadi badhaling Hyang Widdi / amedharken

paribawaning bawana.

Oleh karena kraton, khususnya Istana Kasunanan Surakarta tidak

mewisuda pujangga lagi setelah Ranggawarsita, konon pada umumnya kalangan

pengamat sastra Jawa juga menyebutkan bahwa pujangga terakhir adalah R.Ng.

Ranggawarsita, dan setelah itu orang sering hanya menamakan sebagai

pengarang saja. Adapun, saat ini kata pengarang sering dibubuhkan untuk

menyebutkan nama pengarang sastra Jawa Modern atau sastra Jawa gagrag

anyar.

Penghargaan terhadap pujangga, tentu saja berpengaruh terhadap resepsi

masyarakat pada makna dan nilai karya sastra. Pada sebagian masyarakat yang

memegang keyakinan akan keunggulan kemampuan pujangga dan hasil karya

sastranya, akan cenderung menilai karya sastra Jawa modern, yakni karya

pengarang yang bukan pujangga, nilainya tidak akan melebihi makna karya

sastra lama yang merupakan karya para pujangga. Hal ini tentu harus dicermati

secara hati-hati dengan mendasarkan pada kekhasan karya sastra masing-masing

dan kekhasan bidang kajian masing-masing. Misalnya saja dalam rangka

pendekatan pragmatik, tentu harus mengingat filosofi nut jaman kelakone,

empan papan, dsb, sehingga parameter penilaiannya akan berbeda-beda.

Di depan nama para penyair Jawa Kuna sering digunakan sebutan empu.

Dalam sejarah sastra Jawa Kuna antara lain dikenal pujangga yang bernama

Empu Kanwa (menulis Arjunawiwaha), Empu Sedah dan Empu Panuluh

(bersama-sama menulis Bharatayuddha), Empu Panuluh (sendiri menulis

Hariwangsa, Gatotkacasraya), Empu Triguna (menulis Kresnayana), Empu

Monaguna (menulis Sumanasantaka), Empu Tantular (menulis Arjunawijaya

dan Sutasoma), Empu Tanakung (menulis Lubdhaka atau Siwaratrikalpa), Empu

Prapanca (menulis Nagarakertagama), dan Empu Dharmaja (menulis

Smaradahana).

29

Page 30: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Pada sastra Jawa Kuna, khususnya dalam kakawin, penyebutan nama

penyairnya sering terdapat dalam bagian manggala yakni bagian introduksi atau

prolog, atau kemungkinan lain terdapat di bagian epilog, yang biasanya juga

untuk menyebut-nyebutkan nama raja pelindungnya serta dewa yang dipujanya.

Dalam sastra Jawa Pertengahan tradisi yang demikian itu tidak terjadi. Nama

penulis kidung (Jawa Pertengahan) harus dicari pada bagian lain. Sering kali

baik dalam kakawin maupun dalam kidung, nama penyairnya harus ditentukan

dengan membandingkan pada karya-karya yang lain atau dari bukti-bukti lain.

Dalam satra Jawa Baru, penyebutan empu tidak lagi lazim. Pada jaman

Islam (Jaman Demak dan Pajang), antara lain tersebut nama Sunan Bonang

dalam Suluk Wujil, Sunan Panggung sebagai penulis Suluk Malang Sumirang,

dan Pangeran Karanggayam sebagai penulis Nitisruti, dsb.

Pada jaman Mataram diantaranya dikenal para pencipta sastra sebagai

berikut. Raja Sultan Agung menulis Nitipraja dan Sastragendhing. Pangeran

Adilangu menulis Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Pajang, dan

Babad Mataram. Carik Bajra menulis Serat Damarwulan dan Babad Kartasura.

Ranggadjanur menulis Pranacitra dan Dewi Rengganis. Sunan Pakubuwana IV

menulis Wulang Reh dan Wulang Sunu.

Sunan Pakubuwana V menulis Serat Centhini. R.Ng. Yasadipura I

(Yasadipura Tus Pajang) menulis Cebolek, Babad Pakepung, Babad Giyanti,

Serat Rama, Serat Dewaruci, Ambiya, Tajusalatin, Serat Menak, Joharmanik,

Nawawi, Bustam, Serat Sewaka, Serat Panitisastra, dan Serat Lokapala. R.Ng.

Yasadipura II (R.T. Sastranagara) menulis Sasanasunu dan Wicarakeras. Ng.

Sindusastra menulis Arjunasasrabau, Partayagnya (lakon Partakrama),

Srikandhi Maguru Manah dan Sumbadra Larung. K.G. Mangkunegara IV

menulis Wedhatama, Buratwangi, Sendhon Langenswara, Panembrama,

Tripama, Salokatama, Wirawiyata, dan Rerepen.

R. Ng. Ranggawarsita menulis Jayengbaya, Widyapradana,

Hidayatjati, Jayabaya, Purwakaning Serat Pawukon, Pustakaraja Purwa,

Rerepen sekar Tengahan, Sejarah Pari Sawuli, Uran-uran Sekar Gambuh Warni

Pitu, Panitisastra, Bratayuda Jarwa Sekar Macapat, Cakrawati, Sidawakya,

Pawarsakan, Darmasarana, Yudayana, Budayana, Pustakaraja Madya,

30

Page 31: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Ajipamasa, Witaradya, Ajidarma, Pambeganing Nata Binathara, Kalatidha,

Sariwahana, Purusangkara, Wedhayatmaka, Wedharaga, Cemporet, Wirid,

Paramayoga, Jakalodhang, Sabdatama, dan Sabdajati.

P. Kusumadilaga menulis Serat Bale Si Gala-gala, Jagal Bilawa,

Kartapiyoga (Endhang Werdiningsih), Jaladara Rabi, Kurupati rabi, Serat

sastramiruda, dan Serat Partadewa

Setelah abad XX, antara lain tercatat para penulis sebagai berikut. Ki

Padmasusastra menulis Tatacara, Pathibasa, Paramabasa, Warnabasa,

Urabsari, Durcaraharja, Rangsang Tuban, Kandhabumi, Kabar Angin, dan

Prabangkara.

M. Ng. Mangunwijaya menulis Purwakanthi, Trilaksita, Jiwandana,

Asmaralaya, Lambangpraja, dan Wuryalocita. R Ng. Sidupranata menulis

Sawursari. Ng. Sastrakusuma menulis Dongeng Kuna

R. T. Tandhanagara menulis Pepiling dan Baruklinthing. M.

Suryasuparta (K.G. Mangkunegara VII) menulis Kekesahan saking Tanah Jawi

dhateng Negari Walandi, dan Serat Pakem Pedhalangan Ringgit Purwa. R.M.

Sulardi menulis Serat Riyanta. Bratakesawa menulis Candrasangkala. Wiradad

menulis Calonarang. M. Sukir menulis Abimanyu Kerem. Sastrasutarna menulis

Bancak Dhoyok Mbarang Jantur. Mas Sumasentika menulis Buta Locaya.

(Padmosoekotjo, t.t, jld. II: 152-153). Mengenai para pengarang dan hasil karya

sastra Jawa modern, agar lebih lengkap dapat dilihat juga dalam J.J. Ras, (1979:

1-30).

Khususnya pada karya sastra Jawa Kuna, Pertengahan dan beberapa

karya sastra Jawa Baru yang termasuk tua (hingga karya Jaman Mataram),

ditemukan naskah-naskah sastra yang tidak diketahui siapa pengarangnya. Hal

ini sebagiannya mungkin merupakan kesengajaan pengarang yang memang tidak

mau menyebutkan atau mencantumkan namanya pada karya sastranya itu.

Namun demikian sebagiannya mungkin pada bagian-bagian yang biasanya untuk

menyebutkan nama pengarangnya, telah rusak dan tak terbaca lagi.

Dalam tradisi kepenulisan karya sastra Jawa, disamping pujangga dan

pengarang, seperti telah disinggung di atas, masih ada lagi yakni penulis,

penyalin atau penurun atau penerjemah, karena terdapat tradisi penyalinan teks

31

Page 32: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

dan terdapat tradisi penulis sebagai suruhan raja atasannya. Dalam sejarah sastra

Jawa banyak sekali hasil karya sastra yang merupakan salinan atau turunan atau

saduran atau terjemahan (jarwa) dari teks-teks sastra yang sudah ada

sebelumnya. Namun ada juga yang mengarang atau menyalin dalam rangka

suruhan pihak lain. Dalam hal menyalin, sebagian penyalin bersikap sangat setia

dalam mempertahankan keaslian teks sehingga perbedaan teks asli dengan

salinannya sedikit. Namun demikian sebagian yang lain bersikap kritis dengan

menghapus, merubah atau mengganti sebagian teks yang disalinnya, sebagai

tanggapan terhadap teks yang disalinnya.

Dalam tradisi sastra lisan Jawa yang ditularkan dari mulut ke mulut,

hampir semua karya sastra lisan akhirnya tidak diketahui siapa pengarangnya

(anonim). Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama,

karya tersebut menjadi milik bersama masyarakat Jawa tetentu atau masyarakat

Jawa pada umumnya. Kemungkinan kedua, muncul sebagai cerita lisan dari

mulut-ke mulut bahwa suatu hasil sastra adalah karya tokoh masyarakat tertentu.

Sebagai contoh, hingga sekarang jenis-jenis Tembang Macapat tidak diketahui

secara pasti siapa penciptanya, namun telah menjadi legenda bahwa beberapa

jenis Tembang Macapat merupakan hasil ciptaan para wali atau raja tertentu.

Tradisi untuk tidak menyebutkan nama pengarang bahkan lalu menjadi ciri khas

sastra lisan, khususnya sastra lisan Jawa.

Berbeda dengan hal itu, dalam sastra tulis banyak yang dengan sengaja

menuliskan namanya, yang dalam tradisi Jawa disebut sastra miji, atau milik

pribadi tertentu.

Dalam hal nama pengarang, ada nama asli dan bukan. Sejumlah

pengarang mencoba mengabadikan namanya justru melalui nama samaran.

Nama samaran, pada karya sastra Jawa Modern yang berbentuk prosa, pada

umumnya dituliskan secara jelas, meskipun itu bukan nama sebenarnya.

Teknik pemilihan nama samaran sangatlah beragam. Namun demikian

sebagiannya masih memungkinkan dikaitkan dengan nama aslinya. Ada yang

memilih nama samaran dari suku-suku kata awal dari nama aslinya, misalnya

Suhawi, nama aslinya Suwanda Hadi Wijana (penulis Rumpakan Suruping

Srengenge, dan Barabudur). Ada yang memilih kata terakhirnya, misalnya Srini,

32

Page 33: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

nama aslinya Kusrini (penulis Larasati Modern). Any Asmara adalah bernama

asli Ahmad Ngubaeni Ranusastraasmara (penulis produktif novel Jawa) .

Jayadinama, nama aslinya Jayadiguna. Liasmi bernama asli Ismail (penulis

cerpen Jawa Anak Kuwalon). Nama M.W Asmawinangun, banyak yang menerka

itu sebagai nama samaran dari M. Ng. Mangun Wijaya (kata asmawinangun

berarti ‘nama samaran’). St. Iesmaniasita, nama lengkapnya Sulistyautami

Iesmaniasita (penulis geguritan dan cerpenis Jawa). Kamajaya, nama aslinya

Karkana Partakusuma. Poerwadhie Atmodihardjo menggunakan banyak nama

samaran, seperti Hardja Lawu, Ki Dhalang Dhengklung, Laharjingga, Prabasari,

Habramarkata, Sri Ningsih, Sri Djuwarisah, Abang Istar, Kenthus, dsb. Soebagio

Ilham Notodidjojo sering menggunakan nama samaran SIN atau Pak SIN, Satrio

Wibowo, Anggajali, Damayanti dan Endang Murdiningsih. Soenarno

Sisworahardjo menggunakan nama samaran Soesi, S.S., S. Sisworahardjo. Dan

sebagainya.

Suatu tradisi dalam bentuk puisi, khususnya dalam bentuk tembang,

sering kali pengarang mencantumkan nama aslinya maupun nama samarannya,

melalui cara penulisan yang disandikan, yakni dengan cara yang dikenal dengan

sebutan sandi asma. Kata sandi atau sandya semula berarti ‘sambung’. Kata

sandyakala berarti ‘penyambung waktu, yakni antara siang dengan malam’.

Namun demikian pada akhirnya kata sandi juga berarti ‘samar’ atau ‘tersamar’

atau ‘rahasia’. Kata asma berarti ‘nama’. Jadi sandiasma maksudnya nama yang

tersamar (Padmosoekotjo, tt, jld II: 128). Cara-cara penulisan sandi asma,

antara lain sebagai berikut.

1). Setiap suku kata dari nama pengarang dituliskan secara urut, pada suku kata-

suku kata yang mengawali setiap pupuh tembang. Yang dimaksud pupuh

adalah kesatuan bait-bait tembang yang sama jenisnya. Satu judul karya

sastra dapat berisi satu pupuh saja, misalnya pupuh Dhandhanggula saja,

namun juga dapat berisi banyak pupuh. Satu pupuh dapat terdiri atas satu bait

(pada) saja, tetapi pada umumnya terdiri atas banyak bait tembang.

Contohnya dalam Serat Ajipamasa, berbunyi Rahadyan Ngabei

Ronggawarsita, sebagai berikut.

Rasikaning sarkara kaesthi (pupuh Dhandhanggula)

33

Page 34: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Hasasmita wadyanira (pupuh Sinom)

Dyan cepu kinon ningali (pupuh Asmaradana)

Ngawu-awu ing pamuwus nguwus-uwus (pupuh Pucung)

Bela tampaning wardaya (pupuh Pangkur)

Iyeg tyas sabiyantu (pupuh Gambuh)

Rong prakara pilihen salah setunggal (pupuh Durma)

Gagat bangun angun-angun ing praja gung (pupuh Megatruh)

Warnanen tanah ing Sabrang (pupuh Pangkur)

Sira Sang Prabu kalihnya (pupuh Girisa)

Talitining wong abecik (pupuh Asmaradana).

2). Setiap suku kata dari nama pengarang dituliskan secara urut, pada suku kata-

suku kata yang mengawali setiap bait, dalam beberapa bait tembang, pada

pupuh tertentu. Contohnya dalam Serat Sabdatama, pada pupuh Gambuh,

tertulis Raden Ngabei Ronggawarsita ing Kedhungkol Surakarta Adiningrat,

sebagai berikut.

Rasaning tyas kayungyun (bait ke-1)

Den samya amituhu (bait ke-2)

Ngajapa tyas rahayu (bait ke-3)

Beda kang ngaji pupung (bait ke-4)

Ilang budayanipun (bait ke-5)

Rong asta wus katekuk (bait ke-6)

Galap gangsuling tembung (bait ke-7)

Wartaning para jamhur (bait ke-8)

Sidining kalabendu (bait ke-9)

Tatanane tumruntun (bait ke-10)

Ing antara sapangu (bait ke-11)

Kemat isarat luhur (bait ke-12)

Dhungkari gunung-gunung (bait ke-13)

Kolonganing kaluwung (bait ke-14)

Supaya padha emut (bait ke-15)

Rasane wong karasuk (bait ke-16)

Karkating tyas katuju (bait ke-17)

34

Page 35: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Tatune kabeh tumurun (bait ke-18)

Amung padha tinumpuk (bait ke-19)

Diraning durta katut (bait ke-20)

Ninggal pakarti dudu (bait ke-21)

Ngratani saprajagung (bait ke-22)

3). Setiap suku kata dari nama pengarang dituliskan secara urut, pada suku kata-

suku kata yang mengawali setiap baris dalam bait-bait tembang tertentu.

Contohnya dalam Serat Tapabrata Marioneng, pada bait tembang Kinanthi,

tertulis Ki Martasuwita, sebagai berikut.

Kinanthi sujanma idhup / Mardi mardaweng palupi / tama

tumanem mrih bisa / susulange janma nguni / winuruk ing tapa

brata / tatane wirid puniki //

4). Setiap suku kata dari nama pengarang dituliskan secara urut, pada suku kata-

suku kata yang mengawali baris-baris dan mengawali kata di tengah baris-

baris tembang. Contohnya dalam Serat Sandiasma, bait tembang Sinom,

berbunyi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara, sebagai

berikut.

Kang kocap Jeng Sri Narendra / Gusti titikaning nagri / patih

ngengeras pandriya / rancakan angereh budi / dining para

wargaji / tinata arja tan ayun / yayah manggung sulaya / kulina

nala tan yukti / gagasira rarasan kang tanpa karya //

5). Setiap suku kata dari nama pengarang dituliskan secara urut, pada suku kata-

suku kata yang tersebar di tengah baris-baris pada bait tembang tertentu, baik

dalam hubungannya dengan letak jeda pengambilan napas (pedhotan)

tembang maupun tidak, terutama pada awal-awal kata atau akhir-akhir kata.

Contohnya dalam Serat Wedhayatmaka, bait tembang Dhandhanggula,

berbunyi Radyan Ngabehi Ronggawarsita, sebagai berikut.

Tan pantara ngesthi tyas artati / lir winidyan saroseng parasdya /

ringa-ringa pangriptane / tan darbe labdeng kawruh / mung

ngruruhi wenganing budi / kang mirong ngaruhara / jaga angkara

gung / minta luwaring duhkita / haywa kongsi kewran lukiteng

kinteki / kang kata ginupita //

35

Page 36: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

6). Setiap suku kata dari nama pengarang dituliskan secara urut, pada suku

kata-suku kata yang terdapat dalam satu baris pada tembang tertentu.

Misalnya terdapat dalam Serat Kalatidha, pada baris terakhir suatu bait

tembang Sinom, berbunyi Ronggawarsita, sebagai berikut.

………… / borong angga suwarga mesi martaya //

7). Nama-nama pengarang di atas dipenggal penulisannya menurut suku kata-

suku katanya. Hal ini dikarenakan budaya penulisan yang masih umum pada

saat itu adalah dengan huruf Jawa. Huruf Jawa pada dasarnya bersifat

sylabic yakni satu huruf pada umumnya melambangkan satu suku kata. Jadi

wajar bila sandiasma yang ada dengan cara mengurai tiap-tiap suku katanya.

Pada perkembangannya ketika budaya menulis dengan huruf Latin sudah

sangat memasyarakat, penggalan nama pengarang dalam sandiasma,

sebagian berdasarkan huruf-huruf Latin (satu huruf untuk satu fonem).

Contoh sandiasma yang berdasarkan huruf Latin berbunyi Sutrisna murid

SGB ing Purworejo, dalam empat bait tembang Pangkur, sebagai berikut

(Padmosoekotjo, tt, jld. II: 133).

Sasat mungkur basa Jawa / Umumira pra mudha jaman

mangkin / Tan tumanggah ing panggregut / Ras-arasen

nggegulang / Ing ajune basa Jawa mamrih luhur / Sedene duk

kuna-kuna / Ngumala lir kala nguni //

Apan mangke wus karasa / Mundurira kasusastran Jawi /

Upamane trus kabanjur / Rusak budaya Jawa / Ing besuke sapa

kang kelangan iku / Datan liya wong Jawa pyambak / Sayekti

keduwung wuri //

Glagate wus kawistara / Bakal rusak kasusasteran Jawi / Iba

getune ing besuk / Nanging yen para mudha / Gelem age

nggagahi gumregah nggregut / Padha glis gelem nggegulang /

Umum sami mardi yekti //

Rahayu budaya Jawa / Wus tartamtu terus lulus lestari / Ora

mundur mandar luhur / Rusak kena cinegah / Enggih mangga

enggal rumagang yen saguh / Jak-ajak ajeg jumaga / Onjone

budaya Jawi //

36

Page 37: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

8). Masih banyak lagi cara penempatan sandiasma, baik yang pemenggalannya

berdasarkan suku katanya dalam huruf Jawa maupun berdasarkan huruf

Latin.

Dalam hubungannya dengan pemaknaan karya sastra, tentu saja

pengetahuan siapa pengarangnya menjadi sangat penting, khususnya dalam

hubungannya dengan sejarah sastra, sosiologi sastra melalui pengarangnya

(termasuk pendekatan struktural genetik), dan dari segi pragmatik.

F. Genre Sastra Jawa

Dalam sastra Jawa, telah tercatat sejarah yang panjang mengenai

penulisan bentuk prosa, yang dimulai dari bahasa Jawa Kuna yakni semenjak

adanya sastra Jawa Kuna prosa. Dalam bahasa Jawa Baru tercatat berbagai

bentuk gancaran dalam berbagai ragam isi cerita, mulai dari karya-karya historis

faktual termasuk laporan kisah perjalanan, historis tradisional (karya-karya

babad), hingga karya fiksi murni yang disebut dongeng.

Dalam hal puisi Jawa, juga dimulai dari bahasa Jawa Kuna. Sudah

disinggung di atas, bahwa dalam sejarah sastra Jawa dikenal puisi dalam bahasa

Jawa Kuna yang disebut kakawin dan dalam bahasa Jawa Pertengahan yang

disebut kidung. Adapun yang berbahasa Jawa Baru, terdapat kategori puisi

tradisional yang berbentuk tembang dan puisi modern yang disebut geguritan.

Sedang dalam bentuk drama, jenis drama ini tidak banyak ditulis atau

dikupas oleh pakar-pakar sastra Jawa Kuna bahkan juga Sastra Jawa Modern.

Agaknya jenis drama yakni teks tertulis atau teks lakon, yang dimaksudkan

sebagai pedoman pentas seni drama di panggung, penulisannya belum

ditekankan dalam bahasa Jawa Kuna.

Dalam bahasa Jawa Baru, khususnya drama tradisional seperti wayang,

dikenal bentuk pakem (pedoman untuk pementasan), baik pakem jangkep

(pedoman pertunjukan lengkap) maupun pakem balungan (petunjuk pembabakan

atau pengadegannya saja). Adapun dalam drama Jawa modern sering disebut

dengan istilah sandiwara, terutama sandiwara untuk siaran di radio. Tentu saja

penulisan bentuk drama radio berbeda dengan drama untuk pentas.

37

Page 38: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Agaknya tiga jenis inilah (prosa, puisi dan drama) yang secara sederhana

dapat dikenali dan tampak berbeda antar masing-masing jenis dalam karya sastra

itu. Namun demikian dalam kenyataannya, khususnya dalam sastra Jawa,

batasan yang diberikan Luxemburg, dkk. tersebut harus diberi catatan khusus

karena adanya bentuk-bentuk yang dasar klasifikasinya ambigu. Misalnya, dalam

puisi Jawa tradisional tembang terdapat bentuk-bentuk yang menekankan narasi

(puisi naratif), yang merupakan kisah sejarah atau rentetan peristiwa sejarah,

yakni misalnya jenis yang dikenal sebagai sastra babad yang, di samping bersifat

naratif, kebanyakan ditulis dalam bentuk puisi tradisional tembang, sehingga

menjadi ambigu apakah mau diklasifikasikan sebagai puisi atau prosa. Di

samping itu, dalam sastra Jawa juga ditemukan bentuk-bentuk puisi tradisional

tembang yang di dalamnya menekankan pembagian pembabakan-pembabakan

seperti halnya dalam bentuk lakon (drama).

Dalam sastra Jawa Kuna terdapat bentuk prosa, baik yang berbahasa

Jawa Kuna maupun bahasa Jawa Pertengahan. Disamping itu juga terdapat dua

bentuk puisi, yakni kakawin dan kidung. Kakawin berbahasa Jawa Kuna dengan

metrum hasil pengaruh dari metrum-metrum di India, sedangkan kidung

bermetrum asli Jawa dan berbahasa Jawa Pertengahan.

Dalam sastra Jawa Modern tampak pembagian tersebut (prosa, puisi dan

drama) banyak diikuti oleh para pengarang. Tidak mengherankan bila banyak

bermunculan buku-buku antologi sastra Jawa yang berisi masing-masing jenis

tersebut secara terpisah satu dengan jenis lainnya. Misalnya dalam sastra Jawa

bermunculan antologi puisi Jawa modern (geguritan), yakni antara lain, Kristal

Emas (1994), Mantra Katresnan (2000), Kabar Saka Bendulmrisi (2001),

Pagelaran (2003), dsb. Yang berjenis prosa antara lain bermunculan antologi

cerkak (cerita pendek Jawa), yakni antara lain Kalimput ing Pedut (1976),

Niskala (1993), Bandha Pusaka (2001), dsb. Sedang yang berjenis drama

muncul antologi seperti Gapit (1998), Gong (2002), dsb.

Dari segi kebahasaannya, seperti telah disinggung di atas, sastra Jawa

dapat dibagi menjadi tiga, yakni sastra Jawa Kuna (kakawin dan prosa Jawa

Kuna), sastra Jawa Pertengahan (kidung dan prosa Jawa Pertengahan), dan

38

Page 39: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Sastra Jawa Modern (prosa Jawa modern, dan puisi tembang, geguritan, dsb),

serta drama Jawa modern.

Dari segi sarana penuangan idenya atau sarana sosialisasinya, di samping

sastra tulis, sastra Jawa juga mengenal bentuk sastra lisan. Pada

perkembangannya, banyak sastra tulis yang kemudian berkembang dalam bentuk

sastra lisan. Hal ini misalnya, dalam sastra pedalangan yang pada mulanya

menggunakan sumber tertulis Mahabharata dan Ramayana, atau buku-buku

pakem pedalangan, kemudian dilisankan dalam bentuk pergelaran oleh dalang.

Sebaliknya, juga banyak sastra lisan yang kemudian berkembang dalam bentuk

sastra tulis. Hal ini misalnya juga terjadi dalam sastra pedalangan yang bermula

dari pergelaran wayang lalu ditulis dalam bentuk pakem (tuntunan) atau bentuk

yang lain.

Berdasarkan tema atau isi permasalahannya, sastra Jawa mengenal

beberapa jenis, antara lain sastra babad, sastra niti, sastra suluk, sastra wayang,

primbon, Menak, Panji, dan sebagainya. Hal ini akan diuraikan lebih lanjut pada

bab berikutnya.

G. Pendekatan terhadap Karya sastra Jawa

Dri segi latar belakang munculnya karya sastra, suatu karya sastra

berhubungan dengan tradisi atau budaya masyarakat yang melatar belakanginya.

Dalam hubungannya dengan sejarah kebudayaan, sastra Jawa telah mendapatkan

pengaruh dari berbagai kebudayaan asing, yakni kebudayaan Hindu dan Budha,

kebudayaan Islam, pengaruh kebudayaan bangsa Barat, hingga jaman

kemerdekaan.

Dalam perkembangannya, sastra Jawa telah melalui kurun waktu yang

panjang, yakni setidak-tidaknya, kurun waktu berlakunya bahasa Jawa Kuna,

penggunaan bahasa Jawa Pertengahan (Jawa Tengahan), hingga berlakunya

bahasa Jawa baru sekarang ini. Oleh karena itu, periodisasi sastra Jawa, secara

garis besar dimulai dari sastra Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, yang banyak

diwarnai oleh kebudayaan Hindu dan Budha; sastra Jawa jaman Islam yang juga

diwarnai oleh kebudayaan Islam; dan sastra Jawa Modern yang diwarnai oleh

kebudayaan modern. Tentu saja berbagai pengaruh ini masih dapat ditemukan

39

Page 40: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

jejaknya sehingga menjadi ciri khas yang melekat pada jenis-jenis sastra Jawa

dan dengan berbagai bentuknya masing-masing. Oleh karena itu keilmuan

sejarah sastra, khususnya sejarah sastra Jawa, sangat diharapkan

menyumbangkan kontribusinya secara memadahi.

Dalam hubungannya dengan karya sastra itu sendiri, karya sastra harus

dipandang sebagai suatu struktur yang bermakna. Dalam hal ini, meskipun

penekanannya pada struktur karya sastra yang cenderung otonom, namun seperti

halnya pada pembicaraan teori-teori pada keilmuan lain, ciri-ciri khas yang

melekat pada jenis karya sastra Jawa, perlu mendapatkan perhatian tersendiri

dalam rangka pembicaraan mengenai unsur-unsur sastra Jawa, baik unsur

intrinsik maupun ekstrinsik karya sastra yang bersangkutan.

Struktur sastra Jawa Kuna kakawin pada umumnya, tentu berbeda

eksistensinya dengan struktur sastra Jawa Pertengahan kidung, dan juga berbeda

lagi dengan struktur karya sastra Jawa modern geguritan; meskipun ketiganya

itu dapat dikategorikan sebagai kelompok puisi. Struktur sastra Jawa Kuna dan

Pertengahan yang berkonteks Hinduisme tentu berbeda dengan struktur sastra

Jawa Baru Pesisiran yang berkonteks Islami, struktur sastra suluk yang banyak

bernuansa Islam-kejawen dan tentu juga berbeda dengan struktur sastra pada

jenis-jenis sastra Jawa modern yang telah mengadopsi pengaruh kebudayaan

Barat. Dengan demikian kompleksitas keilmuan tentang struktur karya sastra

Jawa juga harus dipahami dalam kerangka pemetaan secara menyeluruh,

khususnya eksistensi masing-masing karya sastra itu sendiri dan dalam

hubungannya dengan pemaknaan struktur yang lebih luas, yakni dalam

hubungannya dengan kebudayaan Jawa.

Dalam hubungannya dengan pengarang dan proses penciptaan karya

sastra, berbagai pandangan hidup hingga tata cara kehidupan keseharian

pengarang berpengaruh terhadap terciptanya karya sastra, baik disadari atau pun

tidak. Pandangan hidup pengarang dianggap sebagai dasar yang menentukan

makna karya sastra. Proses penciptaan karya sastra didasari oleh sejarah

kehidupan serta visi dan misi pengarang. Hal seperti inilah yang sering

memunculkan pandangan bahwa pemaknaan karya sastra dianggap salah karena

tidak sesuai dengan apa yang menjadi maksud pengarang. Tentu saja hal seperti

40

Page 41: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

ini harus dikaji secara lebih jauh lagi, mengingat kehidupan yang dilalui oleh

pengarang yang sering kali sangat dinamis, bahkan jauh berbeda dari waktu ke

waktu. Kehidupan pengarang dengan segala pandangan hidupnya yang berlaku

pada para kawi tentu sangat berbeda dengan pandangan hidup para pujangga

pada masa Kerajaan Islam di Jawa, berbeda lagi dengan pandangan hidup para

sastrawan Islami di Pesisiran, apalagi dengan pandangan hidup para pengarang

dan sastrawan Jawa modern yang tercermin pada jenis novel Jawa modern,

geguritan atau jenis-jenis sastra Jawa gagrag anyar lainnya. Bahkan sesama

pengarang sastra Jawa modern, juga harus diperhatikan latar belakang masing-

masing.

Pendekatan dari segi pengarang ini juga mendapat sandungan

permasalahan dalam momen-momen kehidupan sastra Jawa. Dalam hal ini,

antara lain dengan adanya sejumlah besar karya sastra Jawa yang belum atau

tidak akan pernah diketahui lagi siapa pengarangnya, baik dalam sastra tulis, apa

lagi dalam bentuk sastra lisan. Kendala dan sandungan lainnya, misalnya

ditemukan dalam bentuk tradisi menulis karya sastra yang didasari oleh perintah

raja atau pesanan dari pihak-pihak tertentu, yang boleh jadi bersifat menafikan

pandangan hidup pengarang. Tekanan politik penguasa tertentu, mungkin akan

menyamarkan atau bahkan menghilangkan semua ciri kebanggaan pengarang-

pengarang tertentu.

Namun demikian juga tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan

mengungkapkan pandangan hidup pengarang akan sangat menyumbangkan

kontribusinya yang berupa berbagai pemikiran yang mendasari pemaknaan karya

sastra khususnya, dan pada gilirannya akan menyumbangkan kontribusinya pada

keilmuan teori sastra Jawa secara umum.

Dalam hubungannya dengan sidang pembaca, makna karya sastra

dianggap menjadi hak pembaca untuk menafsirkannya. Dalam hal ini pembaca

dapat berdiri sebagai pribadi seorang pembaca, namun sekaligus latar belakang

sosial budaya kehidupan pembaca dapat berpengaruh terhadap pemaknaan karya

sastra. Dengan demikian berbagai pemaknaan karya sastra dapat dianggap sah

dan benar adanya, meskipun dari waktu ke waktu pemaknaan itu cenderung

berubah-ubah.

41

Page 42: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Pada kenyataannya, berbagai nuansa pemaknaan yang berbeda-beda

justru akan menambah kemungkinan-kemungkinan obyektifitas dan generalitas

nilai-nilai yang terkandung pada suatu karya sastra.

Pandangan-pandanga kritikus postmodernisme, poststrukturalisme,

dekonstruksi dan sebagainya, telah mewarnai wacana-wacana pemaknaan karya

sastra secara berbeda, namun sekaligus memperkaya kesadaran adanya nilai-nilai

lain dalam suatu karya sastra. Dalam sastra Jawa tradisional, misalnya pada

karya sastra fiksi-historis, seperti cerita Pembayun dan Mangir Wanabaya, cerita

Minak Jingga dan Kencana Wungu, cerita Rara Mendut dan Tumenggung

Wiraguna, dsb. Pernah mendapatkan sorotan yang berbeda dari pemerhati-

pemerhati yang dekonstruktif. Mangir Wanabaya yang secara tradisi sering

disudutkan keberadaannya sekali waktu mendapat perhatian khusus tentang

keberanian dengan kebenaranya. Minak Jingga yang secara tradisi disudutkan

sebagai pihak pemberontak, sekali waktu muncul sebagai protagonis yang benar

dan berani menagih janji dari Ratu Kencana Wungu. Tumenggung Wiraguna

yang secara tradisi disudutkan sebagai tokoh yang bengis, dapat ditampilkan

sebagai sosok yang kebapakan dan sekedar mempertahankan prestise dan

prestasinya, dsb. Semuanya itu justru dapat menjadi acuan-acuan baru dalam

membuka nuansa-nuansa makna karya sastra dari pendekatan pembaca.

Namun demikian dalam hubungannya dengan teori sastra Jawa tentu saja

hal itu haruslah dilalui dengan filter-filter obyektif dan mengeliminir pandangan-

pandangan subyektif demi mendapatkan teori yang lebih universal, sekaligus

menorehkan catatan-catatan spesifik pada karya-karya sastra tertentu, yang pada

gilirannya juga dapat menawarkan makna-makna manusiawi dari karya sastra.

Teori sastra Jawa, setidak-tidaknya harus menyangkut keempat ranah

teori tersebut di atas, sehingga dapat dikembangkan menuju konsep-konsep yang

lebih dalam, lebih spesifik pada klasifikasi tertentu, mulai dari struktur bleger

karya sastra hingga pada ranah filosofi sastra. Pada kenyataannya keluasan

materi teori sastra Jawa itu menuntut pengalaman jiwa setiap pemerhati sastra

Jawa sehingga mampu menjangkau setidaknya teori yang bersifat mendasar dan

sekaligus menyeluruh.

42

Page 43: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

BAB III. KHASANAH SASTRA JAWA KUNA

A. Berlakunya Bahasa Jawa Kuna dan Munculnya Sastra Jawa Kuna

Yang dimaksudkan sastra Jawa Kuna adalah karya sastra Jawa yang

menggunakan bahasa yang dikategorikan sebagai bahasa Jawa Kuna dan bahasa

Jawa Pertengahan. Secara administratif, peninggalan dari jaman Jawa Kuna yang

menggunakan bahasa Jawa Kuna, yang ditemukan paling tua adalah prasasti

Sukabumi yang menurut penanggalannya bertepatan dengan tanggal 25 maret

tahun 804. Meskipun berupa bukti ex silentio, yakni bukti bisu tanpa penjelasan

lain, namun tanggal inilah yang oleh Zoetmulder (1983: 3) dianggap sebagai

tonggak yang mengawali sejarah bahasa Jawa Kuna.

Dalam hal karya sastranya, di antara bahasa-bahasa Nusantara, bahasa

Jawa memiliki kedudukan yang istimewa, karena memiliki peninggalan yang

tertua di antaranya. Bila bahasa Melayu, Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda,

Bugis dan Bali, memiliki peninggalan karya sastra tertua dengan angka tahun

sekitar tahun 1600-an, sastra dalam bahasa Jawa Kuna sebagian berasal dari abad

ke-9 dan ke-10. Ciri yang menonjol dalam bahasa Jawa Kuna adalah banyaknya

kosa kata yang berasal dari bahasa Sansekerta. Menurut perkiraan Gonda, puisi

Jawa Kuna yang disusun dalam metrum-metrum India (kakawin) mengandung

kurang lebih 25 persen sampai 30 persen kesatuan kata yang berasal dari bahasa

Sansekerta. Namun demikian, secara umum bahasa Jawa Kuna tetap

mempertahankan struktur yang berciri bahasa Nusantara (Zoetmulder, 1983: 8-

9). Seperti diketahui bahwa struktur bahasa Sansekerta itu bersifat fleksi, yakni

dalam hubungannya dengan waktu kejadiannya dan pelakunya mengalami

perubahan-perubahan kata kerja dan kata benda, seperti halnya dalam bahasa-

bahasa Indo-Eropa (Jerman, Inggris, dsb). Sedang bahasa-bahasa Nusantara

bersifat aglutinasi, yakni sekedar merangkai kata dengan mengurutkan saja.

Akhir masa berlakunya bahasa Jawa Kuna (dan Jawa Pertengahan),

dalam bentuk percakapan, ditandai oleh runtuhnya Majapahit dan mulai

masuknya pengaruh Islam. Pada tahun 1512, kerajaan Daha mengirimkan

perutusan ke pihak portugis. Kerajaan ini masih merupakan kerajaan Hindu-

Jawa, namun beberapa saat kemudian kerajan ini lenyap. Tinggallah kerajaan

43

Page 44: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

kecil diujung pulau Jawa yakni di Blambangan yang masih merupakan kerajaan

Hindu Jawa. Pada akhir abad ke-17 kerajaan itu pun musnah dan digantikan oleh

penguasa-penguasa Islam. Ini menandakan tamatnya sastra Jawa Kuna yang

selama enam abad mewujudkan kebudayaan Hindu Jawa.

Sejak runtuhnya Majapahit dan peralihan agama Hindu ke agama Islam

terdapat ceritera-ceritera legendaris betapa berbagai buku-buku peninggalan

Hindu Jawa dimusnahkan dan dibakar. Namun demikian masih ada beberapa

buku yang tertinggal hingga saat ini, seperti cerita wayang Mahabharata dan

Ramayana yang masih juga bertahan hingga kini. Dari sisi sastra tertulis

memang hanya sedikit hasil karya sastra Hindu Jawa yang tersisa, antara lain

syair Jawa Kuna Ramayana dan Arjunawiwaha. Bersyukurlah di Bali, kraton-

kraton dan kasta Brahmin menjadi pelindung setia bagi warisan sastra Jawa

Kuna (Zoetmulder, 1983: 25).

B. Hasil-hasil Karya Sastra Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan

Poerbatjaraka dalam bukunya Kapustakan Djawi (1952 atau 1964)

membagi khasanah sastra Jawa Kuna setidak-tidaknya menjadi lima bagian,

yakni (1) kitab-kitab yang tergolong tua dan berbentuk prosa, (2) kitab-kitab

yang menggunakan puisi kakawin, (3) kitab-kitab yang termasuk muda, (4)

kitab-kitab yang menggunakan bahasa Jawa Tengahan berbentuk prosa, dan (5)

kitab-kitab yang berbentuk kidung (Puisi Jawa Pertengahan).

Dalam buku Kapustakan Djawi tersebut karya-karya sastra Jawa Kuna

yang berbentuk prosa golongan tua yakni: Serat Candakarana, Serat Ramayana,

Sang Hyang Kamahayanikan, Brahmandapurana, Agastyaparwa, Uttarakanda,

Adiparwa, Sabhaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa,

Asramawasanaparwa (dalam buku Kalangwan karya Zoetmulder dituliskan

berjudul Asramawasaparwa), Mosalaparwa, Prasthanikaparwa,

Swargarohanaparwa, dan Kunjarakarna. Sedang karya-karya yang berbentuk

kakawin yakni: Arjunawiwaha, Kresnayana, Sumanasantaka, Smaradahana,

Bhomakawya (Bhomantaka), Bharatayudha, Hariwangsa, Gatotkacasraya,

Wrettasancaya (Cakrawaka-duta), dan Lubdhaka (Siwaratrikalpa).

44

Page 45: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Kitab-kitab parwa adalah kitab-kitab berbentuk prosa Jawa Kuna yang

merupakan bagian-bagian dari epos panjang Mahabharata. Kitab-kitab parwa,

dalam Kapustakan Djawi di atas dimasukkan golongan tua. Dalam Kalangwan,

pada bagian sastra parwa juga dibahas kitab Uttarakanda yang oleh Zoetmulder

(1983: 97) dipandang mirip dengan kitab-kitab parwa, baik dalam caranya bahan

dibahas, dalam bahasa maupun gayanya. Zoetmulder menyebut bahwa dari

bagian mukadimahnya Uttarakanda mungkin ditulis pada abad ke-10. Dengan

demikian mungkin yang terakhir ini dapat juga diklasifikasikan sebagai kitab

Jawa Kuna golongan tua.

Adapun karya-karya yang digolongkan karya Jawa Kuna muda adalah

bentuk-bentuk kakawin yang mencakup: Brahmandapurana, Kunjarakarna,

Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma atau Purusadasanta, Parthayadnya,

Nitisastra, Nirathaprakerta, Dharmasunya, dan Harisraya.

Zoetmulder ( 1983: 480-507) juga membicarakan kakawin-kakawin yang

disebutnya sebagai kakawin minor, yakni kakawin-kakawin yang muncul

belakangan, waktu penulisannya sekitar akhir kerajaan Majapahit hingga abad

ke-19, yang mutunya relatif kurang atau rendah. Kakawin yang dimaksud antara

lain Subhadrawiwaha, Abhimanyuwiwaha, Hariwijaya, kisah-kisah tentang

Krsna, dan Narakawijaya.

Hasil-hasil karya sastra jenis prosa yang menggunakan bahasa Jawa

Tengahan adalah : Tantu Panggelaran, Calon Arang, Tantri Kamandaka,

Korawasrama, dan Serat Pararaton. Sedang yang berbentuk kidung (puisi Jawa

Pertengahan), adalah: Dewa Ruci, Serat Sudamala, Serat kidung Subrata, Serat

Panji Angreni, dan Serat Sri Tanjung. Di samping itu, dalam Kalangwan masih

tercatat Kidung Harsawijaya, Ranggalawe, Sorandaka, Kidung Sunda, dan

Waseng (Sari).

Dari segi substansinya, karya-karya berbahasa Jawa Kuna pada umumnya

banyak berisi cerita-cerita kepahlawanan yang berasal dari India, terutama yang

bersumber dari Mahabharata dan Ramayana. Sedangkan karya-karya berbahasa

Jawa Pertengahan, sebagiannya telah berlatar situasi dan kondisi di Jawa, atau

bahkan sebagiannya berhubungan dengan realita sejarah di Jawa ketika itu.

45

Page 46: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

C. Cara Penentuan Umur Karya Sastra Jawa Kuna

Dalam karya sastra Jawa Kuna, tidak pada setiap karya, di dalamnya

dituliskan siapa pengarangnya dan kapan dituliskannya. Oleh karena itu untuk

menentukan umur karya sastra harus dengan cara-cara tertentu.

Poerbatjaraka (1964: 38) dalam membicarakan karya-karya yang

termasuk karya Jawa Kuna golongan muda, umurnya ditentukan dengan ciri-ciri

yang ditetapkan dari :

(1) nama raja pelindung dan dalam hubungannya dengan tulisan-

tulisan lainnya, seperti tulisan pada batu tertentu,

(2) masa tertentu atau angka tahun tertentu,

(3) ciri kebahasaan tertentu,

(4) karya Jawa Kuna yang menjadi babon atau sumbernya, bila ada,

(5) menceritakan keadaan di Tanah Jawa.

(6) Untuk kriteria nomor 4 dan 5 di atas, tidak ada pada karya sastra

yang digolongkan sebagai karya Jawa Kuna tua.

Khusus dalam Wirataparwa, Zoetmulder (1983: 110) mengutip bagian

akhir dari Wirataparwa, yang berisi hal yang tidak ditemukan dalam kitab parwa

yang lain, yakni kejelasan cara menuliskan penanggalan. Penanggalan itu

terdapat dalam dialog antara tokoh Waisampayana dengan raja Janamejaya, yang

terjemahannya sebagai berikut. “….Kita mulai membaca cerita ini pada hari ke-

15 bulan gelap, dalam bulan Asuji, harinya Tungle, Kaliwon, Rabu pada wuku

Pahang, dalam tahun 918 penanggalan Saka. Dan sekarang ialah Mawulu, Wage,

Kamis dalam wuku Madangkungan, pada hari ke-14 paro petang dalam bulan

Karttika. Jadi waktunya genap satu bulan kurang satu hari. Pada hari kelima

Baginda tidak menitahkan diadakannya suatu pertemuan, karena Baginda

terhalang oleh urusan lain. Menterjemahkan cerita ini ke dalam bahasa Jawa

Kuna minta waktu cukup banyak. Duli mengharapkan, agar pembawaan tidak

melampaui kesabaran Baginda dan tidak dianggap terlalu panjang.”. Menurut

catatan Zoetmulder, tanggal tersebut di atas bertepatan dengan tanggal 14

Oktober sampai 12 Nopember tahun 996.

Adapun dalam Adiparwa, Bhismaparwa, dan Uttarakanda, pada

mukadimahnya dilengkapi dengan menyebut raja pelindung, yakni Sri

46

Page 47: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa. Dengan demikian kitab-

kitab parwa tersebut mungkin ditulis pada akhir abad ke-10 (Zoetmulder, 1983:

111), yakni pada masa hidupnya raja Sri Dharmawangsa Teguh.

D. Metrum Sastra Kakawin dan Kidung

Istilah kakawin berasal dari metrum-metrum di India, sedang istilah

kidung bersifat Jawa asli. Kata kawi berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti

‘seorang yang mempunyai pengertian yang luar biasa, seorang yang bisa melihat

hari depan, seorang bijak’. Dalam tradisi Jawa Kuna istilah kawi lalu berarti

‘seorang penyair’. Sufiks ka- -n pada kakawin berasal dari bahasa Jawa asli,

sehingga kakawin merupakan istilah belasteran, yang berarti ‘karya seorang

penyair, syairnya’. Dengan demikian istilah kakawin dalam bahasa Jawa Kuna

padanannya dalam bahasa Sansekerta adalah istilah kawya (Zoetmulder, 1983:

119-120).

Pada umumnya, atau perkecualiannya hanya sedikit, kaidah-kaidah

metris yang berlaku pada kakawin sama dengan kaidah-kaidah yang berlaku bagi

persajakan kawya dalam bahasa Sansekerta. Kaidah itu dapat dirumuskan

sebagai berikut.

Metrum kakawin disebut wrtta, yakni variasi penempatan guru dan laghu.

Adapun yang disebut guru adalah:

1. Suku kata terbuka bervokal panjang

2. Vokal rangkap, atau vokal e atau o

3. Suku kata terbuka bervokal pendek yang diikuti konsonan rangkap

4. Suku kata terteutup.

Selain keempat poin tersebut disebut laghu.

Adapun aturan atau metrum kakawin pada umumnya ditentukan sebagai

berikut.

1. Sebuah bait terdiri atas empat baris, kecuali jenis kakawin yang

disebut Wisama, yang hanya terdiri atas 3 baris saja.

2. Masing-masing baris meliputi jumlah suku kata yang sama, disusun

menurut pola metris yang sama. Jumlah suku kata setiap baris

kakawin disebut chanda.

47

Page 48: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

3. Kuantitas setiap suku kata, panjang atau pendeknya, atau guru dan

laghunya ditentukan oleh tempatnya dalam baris serta syarat-

syaratnya.

4. Suku kata dianggap pendek (laghu) bila merupakan suku kata terbuka

dengan diakhiri oleh bunyi vokal a, i, u, dan ê.

5. Suku kata dianggap panjang (guru) bila mengandung sebuah vokal

panjang (ä, ï, ü, ö, e, o, dan ai)

6. Suku kata juga dianggap panjang (guru) bila sebuah vokal pendek

disusul oleh lebih dari satu konsonan.

7. Suku kata terakhir dalam setiap baris dapat bersifat panjang atau

pendek (anceps).

8. Aneka macam pola metrum kakawin Jawa Kuna memiliki namanya

masing-masing.

9. Metrum-metrum kakawin tidak mengenal persajakan apapun.

Sebagai contoh metrum Prthwïtala (dari Bhäratayuddha (10.12) sebagai berikut.

Mulat mara sang Arjunäsêmu kamänusan kasrêpan

ri tingkah i musuh nira n pada kadang taya wwang waneh

hana pwa ng anak ing yayah mwang ibu len uwanggêh paman

makädi nrpa Salya Bhïsma sira sang dwijanggêh guru

Pola metrisnya dapat digambarkan sebagai berikut.

.

Tanda menandakan suku kata pendek (laghu), sedang tanda menandakan

suku kata panjang (guru). Pada akhir baris, tanda berarti boleh pendek atau

panjang. Tanda pada setiap tiga suku kata hanya dipakai agar jelas, dan pada

metris India setiap tiga suku kata ditandai oleh satu huruf Devanagari tertentu.

(Terjemahannya: ‘Ketika Arjuna melihat sekelilingnya ia nampak terharu

sekali, iba dan sedih, karena semua musuh itu termasuk kaum

kerabatnya, tak ada satu orang asing di antara mereka. Ada saudara

sepupu, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, lagi pula paman-

pamannya, terutama Salya, kemudian Bhisma (dan Drona), sang

brahmin, yang pernah menjadi gurunya’)

48

User, 09/05/06,
Page 49: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Biarpun satu bait saja dapat disebut kakawin, misalnya sajak cinta yang

hanya satu bait saja, namun kebanyakan kakawin terdiri atas beberapa bait yang

berturut-turut memakai metrum yang sama sehingga membentuk sebuah pupuh

tertentu. Setiap pupuh dibedakan menurut variasi dalam metrumnya. Tidak ada

ketentuan berapa jumlah bait dalam satu pupuh. Juga tidak ada ketentuan yang

menghubungkan antara tema tertentu dengan sifat metrum tertentu (Zoetmulder,

1983: 121-122).

Kaidah kakawin di atas, kadang terdapat kekecualian. Kadang-kadang

baris-baris ganjil (1 dan 3) berbeda dengan baris genapnya (2 dan 4). Dalam hal

ini sering terjadi penambahan satu suku kata pada baris genapnya. Seperti pada

metrum Waitälïiya, sebagai berikut.

Dalam metrum ini setelah suku kata ke tiga pada baris ke-2 dan ke-4,

disisipkan tambahan satu suku panjang.

Disamping itu kadang terdapat metrum Indrabajra dan Upendrabajra,

dengan jumlah suku kata yang sama tetapi pola metrumnya berbeda, terpadu

dalam kuartren yang sama. Misalnya dalam Sumanasantaka, Canto (pupuh) 170.

Metrumnya sebagai berikut.

Ada lagi metrum Wisama yang memiliki kategori tersendiri, yakni terdiri

atas tiga baris per bait, masing-masing dengan panjang yang berbeda. Misalnya

dalam Udgatawisama, dengan pola sebagai berikut.

Akhirnya yang juga spesifik adalah metrum Dandaka. Di sini hampir

tidak lagi dapat dikatakan sebagai bait. Sesudah 6 suku kata pendek yang

mengawali setiap baris, disusul serangkaian anapaes () atau amphimacer

() dan pola ini diulang sampai empat kali:

n () } 4 X

49

Page 50: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Besarnya angka n berbeda-beda menurut tipe Dandaka yang

bersangkutan, dan dapat mencapai angka 40 lebih.

Di India, buku-buku pegangan mengenai prosodi atau ilmu persajakan

seperti dalam kakawin, disebut chandahsastra. Mpu Tanakung dalam karyanya

Wrttasancaya (Cakrawaka-duta) menyatakan bermaksud menulis berdasarkan

chandahsastra India. Yang dimaksud chanda ternyata bukan pola metris, tetapi

hanya jumlah suku kata tiap baris, sebagai berikut.

ukta adalah 1 suku kata dalam satu baris

atyukta 2 suku kata dalam satu baris

madhyama 3 suku kata dalam satu baris

pratistha 4 suku kata dalam satu baris

supratistha 5 suku kata dalam satu baris

gayatri 6 suku kata dalam satu baris

usnih 7 suku kata dalam satu baris

anustubh 8 suku kata dalam satu baris

brhati 9 suku kata dalam satu baris

pangkti 10 suku kata dalam satu baris, dan seterusnya,

secara urut sebagai berikut. 11 suku kata adalah tristapa, lalu jagati, lalu atijagati,

sakwari, atisakwari, asti, atyasti, dhrti, atidhrti, krti, prakrti, akrti, wikrti,

sangskrti, abhikrti, dan 26 suku kata adalah wyukrti.

Lalu Tanakung juga membahas wrtta, yakni mengenai tempat dan

penyusunan suku kata panjang dan yang pendek (guru-laghu). Istilah wrtta

menunjukkan metrum yang ditentukan oleh pembagian kuantitas dalam setiap

baris. Chanda yang sama dapat meliputi bermacam-macam wrtta yang berbeda-

beda. Misalnya sama-sama gayatri (6 suku kata tiap baris) namun pola aturan

panjang pendeknya bisa berbeda-beda.

Untuk menjelaskan hal di atas, Tanakung menyusun cerita dalam bentuk

kakawin berjudul Wrttasancaya, yang terdiri atas sejumlah bait dan tiap baitnya

menggunakan metrum yang berbeda. Nama metrumnya dituliskan pada baris

terakhir. Contohnya metrum Bhramarawilambita, sebagai berikut.

yasa malango hineduk

racana nikang talaga

50

Page 51: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

kusuma katangga sunar

bhramarawilambita ya

Metrum tersebut 8 suku kata disebut Anustubh, polanya

. Dari baris terakhir dapat diketahui bahwa nama metrumnya adalah

Brahmarawilambita (lebah bergantung).

Zoetmulder (1983: 131), mencatat bahwa terdapat perbedaan besar antara

praktik dalam puisi Jawa Kuna dengan praktik dalam puisi di India, terutama

dalam penggunaan nama-nama metrum favorit. Ada beberapa nama metrum

Jawa Kuna yang tidak terdapat di India. Perbedaan yang paling menyolok, ialah

jumlah metrum yang paling populer dalam tradisi Jawa Kuna, tidak terdapat

dalam tradisi kepenyairan India. Dalam tradisi kepenyairan Jawa Kuna terdapat

metrum utama, yakni metrum Jagaddhita (23 suku kata) yang terdapat dalam

setiap kakawin. Metrum yang menduduki popularitas kedua ialah

Sardulawikridita (19 suku kata).

Berbeda dengan puisi Jawa Kuna yang disebut kakawin, puisi Jawa

Pertengahan yang disebut kidung tidak menggunakan metrum dari India, tetapi

bermetrum asli Jawa, yakni menggunakan metrum yang biasa disebut sebagai

metrum tengahan, dengan patokan sebagai berikut (Zoetmulder, 1983: 142).

(1) Jumlah baris pada setiap bait tetap sama selama metrumnya tidak

berganti. Semua metrum tengahan mempunyai lebih dari empat baris

(berbeda dengan kakawin).

(2) Jumlah suku kata pada baris tertentu tetap, tetapi panjang tiap

baris berbeda-beda menurut kedudukan baris itu pada tiap bait.

(3) Sifat sebuah vokal setiap suku kata terakhir pada tiap baris juga

tertentu menurut baris tertentu dalam suatu bait.

Metrum tembang tengahan tersebut mempunyai prinsip seperti dalam

tembang macapat, seperti yang dinyatakan Padmosoekatjo (tt, jilid I: 23-24),

sebagai berikut. Tembang tengahan dan tembang macapat penyusunannya

berdasarkan guru gatra, guru wilangan dan guru lagu. Artinya, dalam tembang

tengahan dan macapat, setiap bait sudah tertentu jumlah barisnya (guru gatra

atau cacahing gatra), jumlah suku katanya (guru wilangan atau cacahing

wanda), dan jatuhnya vokal pada akhir baris (dhong-dhing atau guru lagu). Guru

51

Page 52: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

gatra ialah jumlah baris setiap bait. Guru wilangan ialah jumlah suku kata setiap

baris. Sedang guru lagu ialah bunyi vokal pada suku kata di akhir baris.

Menurut Zoetmulder, perbedaan kidung (tembang tengahan) dengan

tembang macapat, terutama adalah dalam perangkaian bait menjadi pupuh.

Dalam kidung kadang-kadang satu pupuh dipadu dengan pupuh yang lain hanya

dalam sedikit bait. Zoetmulder (1983: 143) mencontohkan sebagai berikut.

Sebuah pupuh dapat disusun dengan sebuah kata pengantar terdiri atas dua bait

dengan metrum A dan dua bait dengan metrum B, kemudian batang tubuhnya

silih berganti dua bait metrum C dan dua bait metrum D. Kadang juga disusul

dua bait metrum E. dan seterusnya.

Padmosoekatjo (tt, jilid I: 22) secara lebih jelas membagi antara metrum-

metrum tembang tengahan dengan metrum-metrum tembang macapat. Yang

termasuk tembang tengahan ada 5 (lima) macam, yakni: Megatruh

(dudukwuluh), Gambuh, Balabak, Wirangrong, dan Jurudemung. Sedang yang

termasuk tembang macapat ada 9 (sembilan) macam, yakni Kinanthi, Pucung,

Asmaradana, Mijil, Maskumambang, Pangkur, Sinom, Dhandhanggula dan

Durma.

Sedang Poerbatjaraka dalam bukunya Kapustakan Djawi (1952: 69 dan

71), dalam rangka menjelaskan tentang tembang tengahan, memberikan dua

buah catatan kaki yang menyatakan bahwa tembang tengahan itu sebenarnya

tidak ada, yang ada adalah tembang macapat. Yang disebut tembang tengahan

itu sebenarnya tembang macapat yang tergolong tua yang hampir dilupakan

orang.

Dalam pada itu terdapat sejumlah metrum yang sedikit berbeda antara

tembang tengahan dengan tembang macapat pada nama tembang yang sama.

Poerbatjaraka memberikan catatan untuk membedakan teks Jawa Tengahan

dengan Jawa Baru dengan menyebut bahwa tembang Sinom berbahasa Jawa

Tengahan, baris ketiganya berakhir dengan guru lagu bervokal o bukan a, seperti

pada tembang Sinom bahasa Jawa Baru (1952: 105). Tembang Pamijil Jawa

Pertengahan pada baris kedua berakhir dengan guru lagu bervokal e sedang

dalam tembang Mijil bahasa Jawa Baru bervokal o (1952: 78).

52

Page 53: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

E. Sarana Penulisan Sastra Jawa Kuna

Ada beberapa sarana yang biasa dipergunakan sebagai alat untuk

menuliskan karya sastra Jawa Kuna, antara lain:

1. Daun lontar (rontal) dan pengutik. Daun lontar banyak dipergunakan

sebagai alat tulis sastra Jawa Kuna. Hingga saat ini, terutama di Bali,

daun lontar masih dipergunakan sebagai alat yang ditulisi. Pengutik

atau pengrupak, adalah sebuah pisau besi kecil yang hingga sekarang

di bali mesih dipergunakan sebagai alat untuk menulis.

2. Tanah dan karas. Tanah adalah alat yang dipakai untuk menulis.

Tanah adalah semacam pensil yang dapat dipertajam dengan kuku,

dan dibuang setelah patah atau mengecil menjadi puntung. Sedang

karas ialah bahan atau papan yang ditulisi dengan tanah.

3. Pudak atau ketaka atau ketaki dan cindaga. Pudak adalah bunga pohon

pandan. Yang ditulisi adalah daun bunga pudak yang berwarna putih

dan bila tergores lalu membekas hitam. Setiap benda yang tajam dapat

dipakai sebagai penulisnya.

4. Yasa, bale, mahanten, rangkang, mananten atau patani adalah sebuah

bangunan atau pondok tempat ditemukannya kakawin-kakawin. Jadi di

bangunan itu ditemukan tulisan-tulisan.

5. Teto atau wilah adalah bagian dari bangunan yasa dsb. yang

merupakan bagian yang ditulisi atau dihiasi dengan lukisan-lukisan

tertentu.

BAB IV. KHASANAH SASTRA JAWA MODERN

Secara umum dapat dikatakan bahwa sastra Jawa Modern ialah karya

sastra yang menggunakan media bahasa Jawa Baru (dalam istilah lain sering

disebut juga bahasa Jawa Modern). Pada umumnya karya sastra ini juga

dihasilkan oleh masyarakat yang berbahasa Jawa Baru yang pada saat ini, secara

geografis politis termasuk dalam propinsi Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta dan

53

Page 54: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Jawa Timur. Meskipun di antara daerah-daerah tersebut berlaku bahasa Jawa

Baru yang bersifat dialektis, namun secara umum ciri pengenalnya tidak jauh

berbeda. Penggunaan bahasa Jawa Baru pada umumnya dapat dibatasi pada

waktu setelah masuknya pengaruh Islam di Jawa, sehingga sebagian ciri-ciri

lunguistiknya diwarnai oleh pengaruh bahasa Arab dan budaya Islam.

Poerbatjaraka dalam Kapustakan Djawi (1952) menyatakan bahwa ketika

Majapahit berada di puncak kejayaan, sedikit orang Islam telah masuk di Jawa.

Ketika Majapahit mulai rapuh karena banyak terjadi pemberontakan, Islam di

Jawa mulai maju. Dan di atas telah disinggung bahwa menurut Zoetmulder

(1983: 25) akhir masa berlakunya bahasa Jawa Kuna (dan Jawa Pertengahan),

dalam bentuk percakapan, ditandai oleh runtuhnya Majapahit dan mulai

masuknya pengaruh Islam. Pada tahun 1512, kerajaan Daha mengirimkan

perutusan ke pihak portugis. Kerajaan ini masih merupakan kerajaan Hindu-

Jawa, namun beberapa saat kemudian kerajan ini lenyap. Tinggallah kerajaan

kecil diujung pulau Jawa yakni di Blambangan yang masih merupakan kerajaan

Hindu Jawa. Pada akhir abad ke-17 kerajaan itu pun musnah dan digantikan oleh

penguasa-penguasa Islam. Ini menandakan tamatnya sastra Jawa Kuna yang

selama enam abad mewujudkan kebudayaan Hindu Jawa. Dengan demikian

secara praktis bahasa Jawa Baru mulai berlaku.

Poerbatjaraka membicarakan sastra Jawa pada jaman Islam mulai dari

Het Boek van Bonang. Namun demikian juga dinyatakan bahwa Het Boek van

Bonang tersebut masih menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Dengan

demikian tidak semua karya sastra Jawa yang mendapat pengaruh Islam

merupakan karya sastra Jawa Modern. Namun ada kemungkinan yang

menggunakan bahasa Jawa Pertengahan relatif Jaman Islam awal. Mungkin juga

di daerah-daerah tertentu ketika itu, Bahasa Jawa Baru telah berlaku menjadi

bahasa sehari-hari, namun belum lazim dipergunakan untuk bahasa sastra.

A. Jenis-jenis Sastra Jawa Modern Berdasarkan Temanya

Bila ditinjau dari segi isi pembicaraan atau tema-temanya, karya sastra

Jawa Modern, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yakni antara lain babad,

54

Page 55: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

niti, wirid, wayang menak, panji, novel dan cerkak, jagading lelembut, dongeng,

biografi, kisah perjalanan, primbon dsb. yang bisa dijelaskan sebagai berikut.

1. Babad.

Kata babad semula berarti ‘menebas dengan pisau besar’. Dalam

hubungannya dengan jenis sastra babad, agaknya kata babad dipergunakan

secara lebih sempit, yakni ’menebangi pepohonan di hutan atau membuka hutan

untuk dijadikan daerah pemukiman’. Kata ini mengingatkan pada lakon dalam

cerita wayang purwa, yakni Babad Alas Wanamarta, yang bermakna membuka

hutan Wanamarta untuk dijadikan kerajaan Indraprasta.

Sastra babad pada umumnya berisi tentang sejarah lokal yang ditulis

dengan cara pandang tradisional, sehingga dibumbui dengan berbagai cerita yang

bersifat pralogis atau bahkan bersifat fiktif dan simbolik. Di dalamnya sering

kali berisi genealogi, mitologi, legenda, cerita orang suci, kesaktian dan

kekebalan tubuh terhadap senjata tajam, ramalan, mimpi, wahyu, dsb. yang dari

segi logika sering kali tidak masuk akal.

Babad sering ditulis dalam bentuk puisi (tembang), namun

membentangkan bentuk kisahan atau naratif. Judul-judul sastra babad biasanya

berhubungan dengan nama tempat, daerah, kerajaan, nama suatu kejadian atau

peristiwa yang monumental, dsb. atau berhubungan dengan tokoh besar terentu.

Yang berhubungan dengan nama tempat yakni antara lain: Babad pajajaran,

Babad Majapahit, Babad Mataram, Babad Tanah Jawi, Babad Pakepung,

Babad Clereng, Babad Lowano, dan Babad Giyanti. Yang berhubungan dengan

suatu kejadian, antara lain: Babad Perang Sepei, Babad Bedhah Ngayogyakarta,

Babad Palihan Nagari, dan Babad Pacina. Yang berhubungan dengan nama

tokoh antara lain Babad Dipanegara, Babad Mangir, Babad Ajisaka, Babad

Surapati, Babad Trunajaya, dsb.

Penulisan babad pada umumnya berada di lingkungan kraton dengan

rajanya selaku penguasa daerah yang bersangkutan, atau di lingkungan

bangsawan yang lebih kecil, misalnya di kabupaten atau di kadipaten. Materi

babad ditulis sebagian dengan menggunakan kisah nyata dan sebagiannya

dengan menggunakan karya sastra fiktif atau cerita yang sudah ada, ditambah

55

Page 56: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

dengan pengalaman yang dihayati pribadi penulis dan para informan di

sekitarnya.

Pada umumnya babad ditulis dengan tujuan : (a) mencatat segala

peristiwa, kejadian atau pengalaman yang pernah terjadi pada masa lampau,

memberikan gambaran kepada anak cucu untuk menunjukkan contoh dan sejarah

sebagai cermin kehidupan; (b) untuk menjadi teladan yang baik untuk diambil

manfaatnya; (c) untuk memperkuat sakti raja dan mengukuhkan legitimasinya;

sebagai catatan sejarah bagi kepentingan penguasa dan keturunannya

(Sedyawati, ed. 2001: 267). Babad juga bisa ditulis dalam rangka sanggahan

terhadap cerita babad yang lainnya yang sekaligus berfungsi sebagai pembenaran

pada kelompok tertentu.

Dengan demikian, sering kali babad dutulis dalam versi-versi. Kejadian

yang sama sering kali ditulis oleh beberapa penulis yang berbeda, dengan tujuan

subyektif yang boleh jadi berbeda pula. Tidak berlebihan bila setiap penulis

loyal terhadap tuannya masing-masing, maka tujuan penulisan babadnya sama-

sama untuk mengukuhkan legitimasi penguasa masing-masing. Dengan

demikian terjadi versi-versi penulisan babad. Misalnya saja, motif perseteruan

antara Kademangan mangir (di Mangiran-Bantul) dengan Panembahan Senapati

di Mataram, akan diceritakan secara berbeda antara penulis dari Mataram dengan

penulis dari Mangiran. Babad Dipanegara yang ditulis atas penguasa yang pro

Belanda, akan berbeda dengan yang ditulis atas penguasa yang pro Pangeran

Dipanegara. Oleh karena itu dalam rangka pandangan babad sebagai karya

historis, dalam studi komparatif harus dicermati lebih hati-hati, agar motif-motif

dan kejadian-kejadian tertentu dapat dipertanggungjawabkan obyektifitasnya.

2. Niti atau Wulang atau Pitutur.

Kata niti berasal dari bahasa Sansekerta yakni akar kata ni yang berati

‘menuntun’. Niti berarti ‘tuntunan’. Jenis sastra niti berisi tentang ajaran atau

wulang atau pitutur ke arah kebaikan, antara lain tentang etika atau moral,

tatacara atau upacara tradisi tertentu, sikap dan sifat-sifat seseorang dalam

menghadap atau mengabdi pada raja atau penguasa, orang tua, dsb.

Jenis sastra pitutur ini sebenarnya telah ada sejak periode sastra Jawa

Kuna. Sastra niti dalam sastra Jawa modern, sebagian kecil muncul pada sekitar

56

Page 57: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

jaman Mataram awal, sebagai bangunan kembali sastra niti berbahasa Jawa

Kuna. Sebagian lainnya digubah setelahnya, bersamaan dengan masa renaisance

sastra Jawa, yakni suatu masa ketika banyak karya sastra Jawa Kuna disadur atau

diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Baru. Masa renaisance terjadi beberapa

waktu setelah kerajaan Mataram terpecah menjadi dua (tahun 1700-an AJ), yakni

Kasunanan di Surakarta dan Kasultanan di Yogyakarta, yang ditandai dengan

Perjanjian Giyanti. Sebagian sastra niti yang lain lagi muncul sebagai karya

baru.

Sebagai contoh Serat Panitisastra bersumber dari kitab Jawa Kuna yang

berbentuk prosa atau dikenal dengan bentuk kawi-jarwa, berasal dari jaman

Majapahit. Pada jaman Pakubuwana V, kitab ini disalin ke dalam bentuk

tembang Dhandhanggula (satu metrum, yakni versi Pakubuwana V). Kemudian

juga muncul versi lain (versi Sastranegara) yang ditulis dalam 10 metrum

tembang macapat, dan versi 2 metrum macapat (versi Sastrawiguna). Di

samping itu juga ditemukan dalam bentuk sekar ageng.

Pada umumnya judul niti mempergunakan kata niti, wulang, sasana, atau

sana. Banyak sastra niti ditulis dalam bentuk puisi tembang. Judul-judul sastra

niti antara lain: Serat Niti Sruti (berangka tahun 1534 AJ), Serat Niti Praja

(1641 AJ), Serat Sewaka (1699 AJ), Serat Wulang Reh (bersengkalan tata guna

swareng nata atau 1735 AJ), Serat Nitisastra atau Panitisastra (bersengkalan

nem catur gora ratu atau 1746 AJ), Serat Sanasunu (bersengkalan sapta catur

swareng janmi atau tahun 1747 AJ), Serat Warayagnya (1784 AJ), Serat

Wirawiyata (1789 AJ), Serat Sriyatna (1790 AJ), Serat Nayakawara (1791 AJ),

Serat Candrarini (1792 AJ), Serat Paliatma (1799 AJ), Serat Salokatama (1799

AJ), Serat Pancaniti , dsb.

Di samping itu di Jawa juga ditemukan serat-serat tuntunan yang bersifat

Islami, yakni Serat Bustam, Serat Tajussalatin, dan Serat Nawawi. Dalam

bentuk yang agak berbeda, sastra pitutur ini muncul berisi larangan-larangan

tertentu, yakni dengan judul pepali, khususnya Serat pepali Ki Ageng Sela, dan

berbentuk rangkuman prosesi budaya Jawa, khususnya Serat Tatacara.

3. Suluk dan Wirid

57

Page 58: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Istilah suluk dalam khasanah sastra Jawa ada dua macam, yakni suluk

pedalangan dan suluk yang berisi ajaran tasawuf. Suluk pedalangan ialah jenis

puisi tembang, yang sering dilantunkan oleh seorang dalang dalam seni

pewayangan, baik wayang kulit purwa atau jenis pertunjukan wayang lainnya.

Suluk jenis ini berfungsi sebagai pendukung latar suasana pada bagian-bagian

cerita tertentu, misalnya untuk suasana sedih akan dilantunkan jenis suluk yang

disebut tlutur.

Pada umumnya, suluk pedalangan ini diambilkan dari jenis tembang

gedhe yang merupakan pengaruh dari kakawin atau dari bentuk seloka dari

sastera Sansekerta. Tidak berlebihan bila teks (cakepan) suluk pedalangan ini

sering kali telah bergeser dari sumbernya, bahkan sebagian lagi sulit untuk

diterjemahkan atau bahkan tidak dapat dilacak lagi dari mana sumber awalnya..

Dalam pedalangan di Jawa, isi teks (cakepan) suluk pedalangan tidak

harus sesuai dengan cerita pokoknya, karena semata-mata hanya menekankan

kesamaan suasana ceritanya. Berbeda dengan suluk pedalangan di Bali, yang isi

teksnya banyak diambil dari bagian seloka-seloka Sansekerta atau kakawin Jawa

Kuna yang sama dengan bagian cerita pedalangan yang dilakonkan oleh dalang

yang bersangkutan.

Adapun jenis sastra suluk yang berisi ajaran tasawuf, kata suluk di sini

berasal dari kata salaka atau sulukun (bahasa Arab) yang berarti ‘pengembaraan’

atau ‘perjalanan’. Kata ini kemudian dihubungkan dengan makna hidup manusia,

yakni perjalanan hidup yang harus ditempuh, atau pengembaraan hidup untuk

mencari kebenaran Ilahi.

Dari pandangan lain, sering juga terdengar penelusuran dari etimologi

tradisional Jawa, yakni yang sering disebut kerata basa atau jarwadhosok.

Keratabasa atau Jarwadhosok adalah memaknai kata dengan cara mencari

kemungkinan kepanjangan kata tersebut. Dalam hubungannya dengan kata

suluk, dinyatakan bahwa kata suluk berasal dari kata yen sinusul muluk yang

berarti ‘kalau dikejar semakin membubung tinggi’. Maksudnya, keilmuan dalam

suluk, bila semakin dipikirkan akan semakin jauh untuk dijangkau pikiran atau

logika awam. Hal ini dikarenakan, permasalahan dalam suluk ini berhubungan

erat dengan hal-hal gaib yakni hal supranatural dalam hubungannya dengan

58

Page 59: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Tuhan dan kehidupan manusia. Oleh karena itu wajar bila sebagian besar karya

suluk memiliki struktur yang tidak mudah dipahami maknanya atau relatif

membingungkan, terutama bagi yang tidak biasa menggelutinya.

Jenis sastra suluk ini berisi tentang ajaran kesempurnaan hidup dalam

hubungannya dengan ajaran tasawuf Islam atau Islam-kejawen. Dalam ajaran

ini pada umumnya dibicarakan tentang sangkan paraning dumadi yakni asal dan

tujuan hidup manusia. Di dalamnya, sering kali dijumpai idiom-idiom yang

berhubungan dengan falsafah hidup dan masalah kemanusiaan dalam

hubungannya dengan ketuhanan, atau bentuk isbat seperti nggoleki susuhing

angin, nggoleki galihing kangkung, atau nggoleki tapaking kuntul nglayang

(mencari sarang angin, mencari hati atau batang keras pada pohon kangkung,

mencari jejak burung kuntul yang melayang) dan sebagainya. Sebagian sastra

suluk ditulis dalam bentuk dialog, baik antara guru dengan murid, antara sahabat,

antara orang tua dengan anak atau cucu, atau antara suami dengan isteri.

Di Jawa, ajaran suluk ini dapat dibedakan menjadi suluk Islam dan Islam-

kejawen. Suluk Islam pada umumnya merupakan suluk yang berasal dari daerah

Pesisiran (pantai) yang kental dengan pengaruh Islam. Suluk Pesisiran ini

merupakan hasil gubahan dari masyarakat pesantren di pantai utara Jawa,

sehingga cenderung menekankan ajaran transendensi Tuhan. Untuk menuju

kesempurnaan hidup manusia harus menjalankan syariat Islam sehingga dapat

dekat dengan Tuhan. Kemanunggalan manusia sebagai hamba dengan Tuhan

tetap ada batas-batasnya. Manusia tetap berada pada kemanusiaannya dan tidak

pernah menyatu luluh dengan Tuhan. Tuhan tetap di atas segala-galanya dan tak

terjangkau oleh akal pikir dan jiwa-raga manusia. Eksistensi Tuhan semacam ini

dalam suluk sering disebut tan kena kinaya ngapa yang berarti ‘tidak dapat

diandai-andaikan’, atau adoh tanpa wangenan celak tanpa sesenggolan yang

berarti ‘jauhnya tak berbatas dan meskipun dekat sekali tetapi tak dapat

bersentuhan’.

Adapun suluk Islam-kejawen, pada umumnya berasal dari daerah

pedalaman, terutama pengaruh kraton. Suluk ini merupakan hasil olahan yang

menekankan panteisme dan monisme, atau mengajarkan immanensi Tuhan

(Tuhan bisa hadir dalam diri manusia). Oleh karena itu, di dalamnya sering

59

Page 60: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

berisi idiom-idiom seperti manunggaling kawula-Gusti atau jumbuhing kawula-

Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya). Kemanunggalan ini pada suatu saat

dapat benar-benar luluh atau jumbuh, sehingga dapat mengaburkan batas-batas

antara manusia dengan Tuhannya. Kemanunggalan itu sering digambarkan

seperti curiga manjing warangka, warangka manjing curiga (bilah keris yang

berada di dalam sarungnya dan sarung yang berada di dalam bilahnya) atau

kodhok ngemuli lenge (katak menyelimuti liangnya), dengan makna bahwa

Tuhan yang berada dalam diri manusia menguasai dan melindungi manusia yang

bersangkutan. Pada jenis suluk ini, sebagiannya menafikan syariat Islam dengan

mengajarkan bahwa manusia harus selalu ingat kepada Tuhan dan

bersembahyang setiap saat seiring dengan aktivitas keluar dan masuknya nafas.

Ajaran suluk semacam ini dianggap menyimpang oleh kelompok Wali Sanga,

dan beberapa tokoh yang mengajarkannya dihukum mati. Suluk semacam ini

antara lain terdapat dalam ajaran Seh Sitijenar (dalam berbagai suluk yang

menceritakan tokoh Seh Sitijenar) dan ajaran Ki Amongraga (dalam Suluk

Tambangraras atau Serat Centhini).

Sastra suluk pada umumnya ditulis dalam bentuk tembang (macapat).

Namun juga ada yang berbentuk prosa, yang biasanya disebut wirid. Pada

umumnya judul sastra suluk dimulai dengan kata suluk, atau wirid untuk

prosanya. Contoh jenis suluk antara lain: Suluk Wujil (1529 AJ), Suluk Sukarsa,

Suluk Malang Sumirang, Suluk Residriya, Suluk Seh Malaya, Suluk Tekawardi,

Suluk Purwadaksina, Suluk Gontor, Suluk Luwang, dan masih banyak lagi.

Adapun judul-judul wirid antara lain: Wirid Hidayat Jati dan Wirid Maklumat

Jati.

4. Wiracarita

Khasanah sastra Jawa diwarnai dengan kitab-kitab dan cerita-cerita lisan

yang berbentuk roman berisi wiracarita, yang sebagiannya diimpor dari luar

negeri, antara lain dari India (wayang purwa), dari Persi (Menak), dari Cina

(wayang potehi), dsb.

a) Sastra Wayang

60

Page 61: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Kata wayang pada mulanya merujuk pada jenis pertunjukannya, yakni

pertunjukan bayang-bayang. Kata wayang memang berarti ‘bayang-bayang’.

Kata wayang, pada mulanya disinyalir dalam hubungannya dengan prosesi

sebagai pemujaan kepada Hyang, atau dewa penguasa alam semesta. Bila

mengacu pada pengertian pertunjukan ini, sastra wayang setidak-tidaknya terdiri

atas cerita kepahlawanannya (wiracarita), suluk pedalangannya, tembang-

tembang yang dilagukan oleh para pesindennya (vokalis putri) dan senggakan

atau gerongan yang dilagukan oleh para wiraswaranya (vokalis pria).

Dalam hal cerita kepahlawanannya, sebagian cerita wayang merupakan

cerita yang berasal dari India, khususnya pada jenis wayang purwa, yakni cerita

yang bersumber pada kisah Mahabharata dan Ramayana. Namun demikian pada

berbagai bagian cerita telah dibumbui dan diubah oleh orang Jawa, sehingga

banyak sekali perbedaan-perbedaan dari cerita aslinya di India. Sastra wayang

dari kedua sumber ini sudah ada sejak dalam khasanah sastra Jawa Kuna. Drama

wayang ini sering disebut dengan istilah wayang purwa. Pada dasarnya cerita

dalam wayang purwa dapat dikelompokkan dalam cerita siklus Arjunasasrabahu

(dari Serat Lokapala), Siklus Rama (dari Ramayana) dan siklus Pandawa (dari

Mahabharata).

Selain pada wayang purwa, sebagian cerita wayang bersumber pada

cerita Menak, cerita Panji, cerita binatang, atau beberapa di antaranya berasal

dari cerita yang lain, yakni cerita keagamaan, atau cerita perjuangan

kemerdekaan Indonesia.

Ada beberapa jenis cerita wayang Jawa, antara lain: wayang purwa

(bersumber cerita dari Mahabharata, Ramayana, Lokapala, dsb.), wayang

madya (bersumber dari cerita Anglingdarma, dari Serat Pustakarajamadya),

wayang gedhog menceritakan tokoh Panji, wayang klithik menceritakan tokoh

Damarwulan, wayang menak bersumber dari Serat Menak, wayang potehi

(ceritera bersumber dari kepahlawanan Cina), dsb. Penulisan cerita wayang ada

yang berbentuk prosa (gancaran), puisi (tembang), maupun drama (berbentuk

pakem atau pedoman pementasan).

Cerita wayang yang bersumber dari luar (India atau Cina) pada umumnya

telah diubah untuk disesuaikan dengan kondisi yang ada di Jawa.

61

Page 62: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

b) Menak

Sastra Menak bersumber pada Serat Menak. Serat Menak merupakan

wiracarita ke-Islaman yang berkembang populer di Jawa, yang menceritakan

tokoh utama Wong Agung Menak atau Bagindha Ambyah. Wiracarita ke-

Islaman yang lain, misalnya Serat Iskandar dan Serat Yusuf, pada umumnya

diimpor sebagai babon cerita kesenian kethoprak, sejenis wayang.

Sebelum berkembang di Jawa, Sastra Menak berkembang di Melayu

dengan judul Hikayat Amir Hamzah. Cerita ini terbukti berasal dari Persi. Di

Jawa, tokoh Amir Hamzah dianggap sebagai tokoh Jawa dengan sebutan Menak.

Di sisi lain, Menak juga merupakan sebutan untuk bangsawan di Jawa Timur

yakni di daerah Blambangan dan Lumajang. Legenda tokoh-tokoh lokal di Jawa

Timur sebagiannya menggunakan nama Menak, yakni Menak Sangkan, Menak

Prasanta, Menak Sopal, Menak (Minak) Jingga, dan Menak Supetak.

Pada awal abad ke-17 ditengarai telah terdapat naskah Jawa tentang Amir

Hamzah yang berupa lontar sebanyak 119 lembar, yang oleh Andrew James

diserahkan ke Bodleian Library pada tahun 1627. Selanjutnya terdapat naskah

Serat menak yang berasal pada jaman Kartasura berangka tahun 1639 Aj atau

tepatnya bulan Juli 1715, milik Kanjeng Ratu Mas Balitar, isteri Pakubuwana I.

Serat Menak ini masih tampak jelas berinduk pada naskah Melayu. Serat Menak

Kartasura ini panjangnya hanya seperlima Serat Menak Yasadipura.

Pada jaman Surakarta dan Yogyakarta, pada kedua kerajaan, yakni

Kasunanan dan Kasultanan, sama-sama menyadur teks Menak. Di Surakarta teks

Menak diketemukan berupa Serat Menak gubahan Yasadipura II. Adapun di

Yogyakarta juga ditemukan cerita Menak berjudul Serat Sujarah Darma,

berangka tahun 1720 AJ atau 1794 M. Serat Menak Yasadipura terbagi dalam

episode-episode seakan sebagai lakon-lakon, sedangkan Serat Sujarah Darma

mirip Serat Menak Kartasura, tidak terbagi dalam episode-episode. Episode-

episode yang ada dalam Serat Menak Yasadipura adalah: Menak Sarehas, Menak

Lare, Menak Jobin, Menak Mesir, Menak Kanjun, Menak Sathit, Menak Blanggi

(Gulangge), Menak Jamin Ambar, Menak Jenggi, Menak Lakad, Menak

62

Page 63: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Malebari, Menak Bahman dan Menak Sathit Rengganis (Sedyawati, dkk, ed. :

317- 322).

Ph.S. van Ronkel pernah membandingkan Serat menak dengan Hikayat

Amir Hamzah, dan berkesimpulan bahwa Serat Menak merupakan saduran

Hikayat Amir Hamzah berbahasa Melayu, namun dengan tambahan yang terlalu

banyak sehingga jalan ceritanya sangat ruwet (Hutomo, 1983: 20).

c) Panji

Sastra Panji berisi petualangan atau pengembaraan dengan motif

percintaan dan penyamaran. Tokoh utamanya bernama Panji Inu Kertapati yang

menjalin cinta dengan kekasihnya Galuh Candrakirana, dan ceritanya

berhubungan dengan kerajaan Kediri, Jenggala, Gegelang dan Singasari di Jawa

Timur. Cerita Panji semula berbentuk kidung (berbahasa Jawa Tengahan),

namun kemudian dalam bahasa Jawa Baru berkembang, baik dalam bentuk

tembang macapat maupun gancaran, baik dalam saduran tertulis, dalam bentuk

lisan, maupun dipergelarkan sebagai drama wayang Panji maupun drama

ketoprak.

Menurut Poerbatjaraka, cerita Panji berlatar belakang kerajaan Kediri.

Panji Inu Kertapati adalah raja Kameswara di Kediri. Cerita Panji ditulis ketika

ingatan orang tentang Singasari memudar dan samar-samar, sehingga diceritakan

bahwa Singasari sejaman dengan Kediri dan Daha. Oleh karena itu Poerbatjaraka

berpendapat bahwa Panji merupakan cerita asli Jawa yang ditulis paling awal

pada kerajaan Majapahit dan terus berlanjut pada masa sesudahnya.

Pada intinya cerita Panji menceritakan kisah percintaan Inu Kertapati

dengan Candrakirana atau Dewi Sekartaji. Sebelumnya, Panji telah menjalin

cinta dengan Angreni, putri Patih Kudanawarsa, namun Angreni bunuh diri

sebelum dibunuh oleh utusan kerajaan karena dianggap menghalangi perkawinan

Panji dengan Candrakirana. Panji yang bersedih pergi mengembara dan

menyamar, sehingga memunculkan berbagai kisah cintanya dengan berbagai

gadis dan kisah pertempurannya dengan raja-raja di kerajaan lain. Panji selalu

menang. Candrakirana yang bersedih karena ditinggalkan Panji juga berkelana

dengan menyamar sebagai lelaki untuk mencari Panji. Akhirnya Panji dapat

63

Page 64: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

bertemu dengan Candrakirana dan menjalin perkawinan. Beberapa judul cerita

Panji antara lain Panji Jayakusuma, Panji Angreni, Panji Kudanarawangsa,

Panji Angronakung, dsb. (Sedyawati, dkk., ed., 2001: 274-279).

Dalam bentuk cerita lisan, selain dalam bentuk sastera tulis dengan tokoh

utama Panji Inu Kertapati, motif pengembaraan dan pencarian cinta, juga

ditemukan pada beberapa cerita, misalnya yang sangat populer adalah cerita

Andhe Andhe Lumut dalam kisah cinta tokoh Andhe-andhe Lumut dengan puteri

pilihannya, yakni Kleting Kuning yang mendapat penghalang dari tokoh

antagonis Yuyu Kangkang.

5. Novel dan Crita Cekak (Cerkak).

Jenis novel dan cerkak, sebenarnya bukan hasil klasifikasi dari segi

tematik seperti halnya jenis-jenis di atas, tapi dari segi struktur atau bentuk

sastranya. Namun demikiaan pada umumnya jenis ini memiliki kesamaan tema

yang khas, yakni bercerita tentang kehidupan sehari-hari tokoh-tokoh dari

masyarakat awam, dan tidak bersifat istanasentris. Kedua jenis ini merupakan

hasil karya sastra Jawa modern yang pada umumnya berbentuk prosa.

Jenis novel, dan cerkak merupakan jenis karya sastra Jawa modern yang

merupakan hasil pengaruh sastra dan teori sastra Barat. Jenis ini pada mulanya

muncul di Jawa sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, dalam bentuk

yang menekankan dedaktik moral. Novel yang pertama kali dianggap sebagai

susastra dan tidak dirusakkan oleh kecenderungan pengajaran secara fulgar pada

dedaktik moral adalah Serat Riyanta karya R.B. Sulardi, diterbitkan Balai

Pustaka pada tahun 1920 (Ras, 1985: 13). Adapun jenis cerkak baru muncul

pada 1935 berjudul Sandhal Jinjit ing Sekaten Sala oleh Sri Susinah (Sedyawati,

dkk, ed, 2001: 369) kemudian Netepi Kwajiban karya Sambo (Ras, 1985: 19),

keduanya dimuat dalam majalah Panjebar Semangat 2 dan 9 Nopember 1935.

Antara jenis novel dan cerkak, dapat dibedakan menurut keeratan alur

dan kuantitas temanya. Alur cerkak relatif lebih erat dan temanya hanya satu

terpusat pada peristiwa yang dialami oleh tokoh utamanya. Novel, alurnya

relatif renggang dan temanya bisa tunggal atau banyak. Namun demikian, pada

umumnya lebih banyak dibedakan secara kuantitatif, yakni jumlah kata atau

64

Page 65: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

halamannya. Menurut Suparto Brata cerita pendek (sering disingkat cerpen)

secara harafiah berarti cerita yang pendek. Pada dasarnya cerpen berupa cerita

yang mendasarkan pada ide cerita yang dapat diselesaikan secara singkat.

Singkat dalam arti terpenuhi kebutuhan yang diperlukan untuk membangun dan

mengakhiri cerita. Jadi meskipun singkat, cerita tersebut telah sempurna

(Prawoto, ed., 1993: 41).

Jumlah halaman novel relatif panjang dan cerkak lebih pendek. Dalam

majalah, cerkak hanya berkisar 3-7 halaman dan dalam koran harian (ariwarti)

lebih pendek lagi. Adapun novel dalam majalah dapat diterbitkan berkali-kali

secara bersambung dengan 1-3 halaman setiap terbit. Jenis novel yang terakhir

ini yang sering disebut dengan cerita bersambung (cerbung), dan jenis inilah

yang lebih produktif dalam sastra Jawa.

Oleh karena pengaruh dari Barat, maka nuansa modernisasi dalam novel

dan cerkak sangat kentara, baik dari segi kebahasaannya maupun dari isi

ceritanya. Di samping itu, jenis novel dan cerkak, disadari ataupun tidak, sangat

mempertimbangkan teori strukturalisme, yang menekankan sistem transformasi

yang bercirikan keutuhan makna keseluruhan. Keutuhan makna keseluruhan itu

ditentukan oleh prinsip komposisi tertentu dan mempertahankan otonomi (lihat

pendekatan strukturalisme dalam karya sastra, misalnya dalam Teeuw, 1984).

Dengan kata lain, keeratan dan keterjalinan berbagai unsur strukturnya, serta

kesatuan maknanya, telah terpantau atau diatur semenjak penyusunan novel atau

cerkak yang bersangkutan. Demikian pula kemungkinan keotonomian karya

sebagai dunia dalam cerita, juga telah dipertimbangkan, meskipun tidak

sepenuhnya demikian.

6. Dongeng dan Jagading Lelembut

Dongeng pada sastra Jawa modern semula ditulis dalam bentuk tembang

maupun prosa, namun kemudian banyak yang ditulis dengan prosa. Adapun

jagading lelembut kebanyakan berbentuk prosa, dan berkembang pesat setelah

terbitnya majalah-majalah berbahasa Jawa. Antara jenis dongeng dan jagading

lelembut, dari segi panjangnya, pada umumnya bisa dikategorikan sebagai

cerkak. Namun juga ada beberapa dongeng dan jagading lelembut yang relatif

65

Page 66: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

panjang seperti novel, dan sebagian lagi diselipkan pada cerita-cerita panjang

lainnya seperti roman, novel, babad, dsb.

Antara dongeng, jagading lelembut, dan cerkak penekanan isinya

berbeda. Cerkak biasanya berisi cerita kehidupan manusia sehari-hari. Dongeng

berisi cerita ngaya wara, khayal (fantastis) dengan tokoh manusia, binatang, atau

benda-benda tertentu. Sedang jagading lelembut, berisi cerita tentang manusia

dalam hubungannya dengan dunia hantu (jagading lelembut). Namun demikian

juga terdapat jenis cerkak yang menekankan cerita surealisme, misalnya dengan

tokoh-tokoh yakni bagian-bagian tubuh manusia yang dapat berbicara sendiri-

sendiri. Dengan demikian, terutama perbedaan cerkak dengan dongeng, dalam

beberapa segi, sering kali menjadi sulit ditentukan.

Jenis cerkak dan jagading lelembut berkembang dalam majalah-majalah

berbahasa Jawa. Hampir setiap terbitan majalah berbahasa Jawa selalu memuat

rubrik cerkak dan rubrik jagading lelembut. Cerita jagading lelembut ini

diperkirakan memiliki pandhemen (pembaca, pecinta) yang cukup signifikan

untuk selalu dimuat dalam setiap terbitan. Adapun jenis dongeng, tidak selalu

muncul dalam setiap terbitan majalah, meskipun sebenarnya, dongeng telah ada

sejak sastra Jawa Kuna, yakni antara lain dalam cerita Tantrikamandaka.

Pada sastra Jawa modern, bentuk dongeng antara lain tercatat Serat

Kancil (berangka tahun 1871 AJ), Cariyos Panca Candran (1878 AD), Serat

Kancil Kridha Martana (Karya R.P. Naranata, tahun 1909 dan 1910 AD), Peksi

Glathik (karya Yasawidagda, 1913 AD), Layang Dongeng Sato Kewan (karya

CF Winter, 1930 AD), Serat Kancil Tanpa Sekar ( Padmasusastra, 1931 AD),

Dongeng Isi wewulang Becik (1849 AD oleh C.F. Winter), Kancil Kepengin

Mabur (S. Suryasubrata, 1951 AD), Dongeng Sato Kewan (Prijana

Winduwinata, 1952 AD), dsb.

7. Kisah Perjalanan dan Biografi

Kisah Perjalanan dan Biografi merupakan karya sastra prosa atau puisi

yang bentuknya seperti novel, novelet atau cerpen, namun isinya semacam

laporan perjalanan, biografi atau otobiografi. Karya-karya ini pada umumnya

66

Page 67: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

lebih menyerupai bentuk jurnalistik, sehingga estetika fiksinya tidak begitu

menonjol.

Jenis ini antara lain berjudul Wanagiri karya Mangkunegara IV (1844

AD), Tegalganda karya Mangkunegara IV (1855 AD), Raden Mas Harya

Purwalelana (1857 AD), Lampah-lampahanipun RMA. Purwalelana (1866AD),

Wanagiri Prangwadanan (1879 AD), Cariyosipun saking Singapura Layar

dhateng Kelantan (1883 AD), Serat Cariyos Kekesahan saking Tanah Jawi

dhateng Negari Wlandi karya RMA Surya Suparta (1916 AD), Nayaka Lelana

karya Susanta Tirtapraja (1955 AD), Sang Prajaka karya Sardono BS (1962 dan

1963 AD), dsb.

8. Primbon

Primbon yakni jenis karangan yang berisi catatan kumpulan berbagai

keilmuan Jawa, baik yang bersifat logis maupun pralogis, yang juga merupakan

kumpulan dari folklor, yakni sejumlah sastra atau budaya lisan, setengah lisan

atau bukan lisan. Secara garis besar (Subalidinata, tt.: 7) primbon berisi empat

masalah pokok, yakni kelahiran, perkawinan, kematian dan hubungan manusia

dengan alam sekitarnya. Kata primbon berasal dari pari-imbu-an. Kata imbu

berarti ‘simpan’. Jadi primbon dapat berarti ‘simpanan kumpulan catatan’, yakni

catatan berbagai keilmuan atau pengetahuan yang ada dalam tradisi masyarakat

Jawa.

Pada umumnya primbon ditulis dalam bentuk prosa, namun dalam

sejumlah permasalahan kadang kala juga berupa puisi, seperti halnya puisi

mantera. Yang termasuk pembicaraan dalam primbon antara lain, perbintangan,

pengobatan tradisional, perhitungan waktu baik dan buruk, perhitungan struktur

dan letak bangunan rumah, katuranggan ( ciri-ciri fisik dan karakteristiknya)

untuk binatang piaraan tertentu (kuda, ayam jago, burung perkutut) dan wanita

dan sebagainya.

Primbon, dalam kekhasannya, dapat dibicarakan dalam rangka

pembicaraan sastra, namun juga dapat dibicarakan dalam rangka pengetahuan

budaya Jawa. Hal ini dikarenakan isi dan tujuan dituliskannya primbon, yang

67

Page 68: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

jelas bukan semata-mata untuk bacaan sebagai susastra (sastra indah), tetapi

lebih mengarah pada tuntunan dalam hal tradisi budaya Jawa tertentu.

Di atas sudah disinggung tentang sebagian isi dari primbon, yakni antara

lain perbintangan atau pawukon, petungan, dsb.

Dalam hal perbintangan Jawa yang dihitung dengan hari kelahiran

seseorang, di Jawa dikenal adanya istilah wuku. Pengetahuan tentang wuku

disebut pawukon. Dalam budaya Jawa wuku berjumlah 30 buah, yakni (1)

Wukir, (2) Kuranthil, (3) Tolu, (4) Gumbreg, (5) Warigalit, (6) Warigagung, (7)

Julungwangi, (8) Sungsang, (9) Galungan, (10) Kuningan, (11) Langkir, (12)

Mandasiya, (13) Julung Pujut, (14) Pahang, (15) Kuruwelut, (16) Marakeh, (17)

Tambir, (18) Madangkungan, (19) Maktal, (20) Wuye, (21) Manail, (22)

Prangbakat, (23) Bala, (24) Wugu, (25) Wayang, (26) Kelawu, (27) Dhukut,

(28) Watugunung, (29) Sinta, dan (30) Landhep.

Timbulnya pawukon, bersumber dari cerita tentang Prabu Watugunung.

Yang singkatnya sebagai berikut.

Prabu Watugunung, raja di Gilingwesi mempunyai dua permaisuri, yakni

Dewi Sinta dan Landhep. Ketika Dewi Sinta sedang mencari kutu di kepala

Prabu Watugunung, ia melihat bekas luka di kepala itu. Ketika ditanyakan,

Prabu Watugunung mengisahkan bahwa dulu baginda pernah dipukul oleh

ibunya dengan centong nasi. Maka ingatlah Dewi Sinta, bahwa kisah itu adalah

kisahnya beserta anak laki-lakinya, dan sadarlah bahwa ia telah menikah dengan

anaknya sendiri.

Dewi Sinta bermaksud memisahkan diri dengan sang Raja, dengan cara

memohon pada sang Raja untuk kawin dengan bidadari. Maka berangkatlah

Prabu Watugunung ke Kahyangan untuk melamar bidadari. Akhirnya Prabu

Watugunung tewas oleh Dewa Wisnu. Sinta bersedih atas kematian itu dan

memohon kepada para dewa agar menghidupkan kembali. Ternyata Prabu

Watugunung tidak bersedia, dan justru memohon agar para dewa mengambil

keluarganya naik ke surga agar dapat bersatu dengannya. Akhirnya pengambilan

keluarga itu dilakukan satu-persatu pada tiap tujuh hari sekali. Waktu tujuh hari

itulah yang kemudian menjadi hitungan satu wuku.

68

Page 69: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Dengan demikian, satu wuku berumur tujuh hari, sehingga 30 wuku

lamanya 210 hari. Pada saat ini, wuku Galungan dan Kuningan masih sering

dipergunakan dalam hubungannya dengan hari besar agama Hindu, terutama di

Pulau Bali.

Di samping berisi tentang pawukon, primbon juga berisi tentang

petungan dina (perhitungan hari) yakni hari baik dan hari buruk dalam

hubungannya dengan keperluan atau hajatan tertentu. Saat yang buruk disebut

naas, dan sebaiknya tidak dilakukan sesuatu pada hari naas tersebut, karena

menurut kepercayaan akan membawa petaka atau kecelakaan tertentu.

Perhitungan hari yang masih sering berlaku yakni pancawara

(pembagian waktu ke dalam lima hari ) dan saptawara (pembagian waktu ke

dalam tujuh hari ). Penamaan pancawara adalah: (1) Legi (Manis), (2) Pahing

(Abritan), (3) Pon (Kuningan), (4) Wage (Cemengan), dan (5) Kliwon (Kasih).

Adapun penamaan hari menurut saptawara adalah (1) Ahad (Dite), (2)

Senin (Soma), (3) Selasa (Anggara), (4) Rabu (Budha), (5) Kamis (Respati), (6)

Jumat (Sukra), dan (7) Sabtu (Tumpak).

Ada lagi perhitungan hari yang disebut paningkelan dan padewan.

Termasuk dalam paningkelan, yakni: (1) Tungle, (2) Aryang, (3) Wurukung, (4)

Paningron, (5) Uwas, dan (6) nawulu. Karena perhitungan 6 hari maka juga

disebut sadwara. Sedang yang termasuk dalam padewan, yakni: (1) Sri, (2)

Endra, (3) Guru, (4) Yama, (5) Lodra, (6) Brahma, (7) Kala, dan (8) Uma.

Karena memuat 8 hari, maka juga disebut asthawara.

Masih ada lagi perhitungan hari dalam 10 hari yang disebut dasawara,

yang meliputi: (1) Sri, (2) Manu, (3) Manusa, (4) Radiya, (5) Ditya, (6) Raksasa,

(7) Danidya, (8) Pisatya, (9) Dewa, dan (10) Yaksa.

Nama bulan dalam sastra dan budaya Jawa yakni (1) Sura, (2) Sapar, (3)

Mulud, (4) Bakdamulud, (5) Jumadilawal, (6) Jumadilakir, (7) Rejeb, (8)

Ruwah, (9) Pasa, (10) Sawal, (11) Dulkaidah, dan (12) Besar.

Terdapat perhitungan musim dalam satu tahun. Nama-nama musim

adalah (1) Kasa (Srawana), (2) Karo (Badra), (3) Katelu (Asuji), (4) Kapat

(Kartika), (5) Kalima (Margasira), (6) Kanem ( Posya), (7) Kapitu (Magha), (8)

69

Page 70: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

kawolu (Phalguna), (9) Kasanga (Cetro), (10) Kasapuluh (Wesaka), (11) Desta

(Jyetha), dan (12) Sadda (Asadha).

Nama-nama tahun dalam sastra dan budaya Jawa yakni (1) Alip, (2) Ehe,

(3) Jemawal, (4) Je, (5) Dal, (6) Be, (7) Wawu, dan (8) Jemakir. Setiap delapan

tahun tersebut disebut satu windu. Nama windu ada 4 buah, yakni (1) Adi, (2)

Kuthara, (3) Sangsara, dan (4) Sancaya.

Dalam hubungannya dengan pengobatan tradisional terhadap penyakit

tertentu, atau keadaan buruk tertentu, atau untuk mencegah (preventif) kondisi

buruk tertentu, sering kali primbon menawarkan solusi, yakni dengan meramu

obat tertentu atau membuat sajen-sajen (sesaji) tertentu, dan sebagiannya dengan

menyertakan mantera-mantera tertentu, baik yang bentuknya panjang maupun

yang relatif pendek. Sebagian mantra-mantra ini, dari beberapa segi dapat

dianggap sebagai karya sastra yang berbentuk puisi atau prosa liris.

Sebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

atau menemukan sesuatu yang aneh harus mengucapkan : Jabang bayi aja kaget

yang berarti ‘anak bayi jangan kaget’. Contoh lainnya, bila akan tidur harus

membasuh kaki dengan air garam dan mengucapkan mantra: Singgah-singgah

kala singgah, kang abuntut, kang ngawulu, kang ngajoto, kang ngasiyung,

padha sira suminggaha, aja wuruk sudi gawe, ingsun wus weruh ajal

kamulanira (Mahadewa, 1993: 110), kurang lebih artinya ‘kembalilah ke

sarangmu hai Kala kembalilah, yang berekor, yang berbulu, yang tubuhnya

menonjol, yang bertaring, kalian semua kembalilah, jangan suka menggangguku,

karena aku sudah tau rahasia kematianmu”. Namun demikian, tidak banyak

mantera yang dapat diterjemahkan atau dimengerti arti kata-katanya. Hal ini

dikarenakan yang ditekankan dalam bentuk mantera adalah penghayatannya,

yakni kepercayaan dan proses atau langkah (laku) yang harus dijalaninya.

10) Jenis sastera lainnya masih banyak, tetapi relatif tidak populer, seperti jenis

silsilah (sarosilah), surat-surat, religi, kamus, dsb.

B. Jenis-jenis Sastra Jawa Modern Berdasarkan Bentuknya

Seperti telah disinggung di atas, karya sastra berdasarkan bentuknya,

secara sederhana dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni karya sastra prosa,

70

Page 71: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

puisi dan drama. Sesungguhnya klasifikasi berdasarkan bentuknya semacam ini

hanyalah sekedar mempermudah pembatasan pembicaraanya agar kerangka

berpikirnya tidak terlalu luas. Pada kenyataan di lapangan, ditemukan karya-

karya yang berada di antara dua jenis atau bahkan di antara tiga jenis. Hal itu

perlu disampaikan di sini agar jangan sampai mengarahkan pada cara berpikir

yang kaku bertumpu pada pola-pola jenis tertentu, mengingat pemaknaan karya

sastra dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang.

Dengan demikian secara sederhana, berdasarkan bentuk penulisannya,

sastra Jawa modern juga dapat diklasifikasikan ke dalam jenis prosa, puisi dan

drama.

Jenis prosa dalam bahasa Jawa sering disebut gancaran. Secara

sederhana dapat dikatakan bahwa jenis ini bercirikan penekanannya pada

ceritaan atau narasi dengan bahasa yang berupa kalimat-kalimat formal. Adapun

jenis puisi, secara sederhana bercirikan penekanannya pada diksi atau pilihan

kata, dan disajikan dengan bahasa estetis yang biasanya tertulis dalam larik-larik

Sedangkan jenis drama menekankan pada teknik lakuan dan dialog-dialog

yangmembentangkan alur.

1. Sastra Prosa Jawa Modern

Prosa, bila klasifikasinya didasarkan pada penekanan adanya alur atau

narasi, atau dengan kata lain prosa itu identik dengan narasi, maka dalam sastra

Jawa menjadi ambigu. Hal ini dikarenakan banyak karya sastra Jawa yang

berjenis naratif tetapi disusun dalam bentuk tembang. Padahal, bentuk tembang

pada umumnya dikategorikan sebagai puisi. Sebagai contoh adalah karya roman

pewayangan banyak yang dikisahkan melalui bentuk tembang macapat.

Demikian pula sastra babad yang notabene berisi sejarah (narasi, kisahan), juga

banyak yang ditulis dalam bentuk tembang macapat. Oleh karena itu yang

dimaksud prosa di sini, dikhususkan pada jenis sastra prosa Jawa modern yang

dalam istilah Jawa sering disebut sebagai jenis gancaran.

Jenis gancaran ditandai dengan struktur bahasa Jawa formal konvensional

yang dari segi linguistik cenderung mempertimbangkan struktur subyek (jejer) -

predikat (wasesa)- dan obyek (lisan). Disamping itu tidak memperhatikan

71

Page 72: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

berbagai aturan dalam hubungannya dengan bait-bait, baris-baris, atau bunyi-

bunyi persajakan tertentu.

Dalam khasanah sastra Jawa banyak karya sastra yang ditulis dalam

bentuk tembang yang kemudian ditulis kembali dalam bentuk gancaran, atau

sebaliknya dari bentuk gancaran ditulis kembali dalam bentuk tembang. Dengan

demikian, dari segi isinya jenis prosa gancaran tidak banyak berbeda dengan

yang berjenis puisi. Oleh karena itu sastra prosa Jawa modern pada dasarnya

juga telah menghasilkan tema-tema yang telah disebutkan diatas, yakni sejarah,

ajaran, wiracarita (wayang dan sebagainya), mistik, dongeng, hantu (jagading

lelembut), primbon, cerkak, novel, dan sebagainya.

a. Sekilas Perkembangan Sastra Prosa Jawa Modern

Dari sisi perkembangannya, pada mulanya bentuk-bentuk karya sastra

prosa Jawa modern relatif miskin, sebagian hasil karya prosa yang ada, nilai

susastranya dan tingkat kefiksiannya kurang. Hal ini antara lain disebabkan

sebagai berikut.

Pertama, semula karya sastra Jawa modern pada umumnya ditulis dalam

bentuk puisi berupa tembang gedhe, tembang tengahan dan tembang macapat.

Karya-karya yang sering digolongkan dalam sastra Jawa modern atau berbahasa

Jawa baru, tetapi bersifat tradisional, adalah karya-karya dalam bentuk tembang

ini, terutama pada jenis-jenis yang berisi babad, niti, wayang, dan suluk. Jenis-

jenis ini pada abad ke-20 sudah jarang diproduksi, bahkan relatif sedikit yang

direproduksi, baik dalam bentuk cetak maupun carik (tulisan tangan).

Kedua, bentuk prosanya, semula atau sebelum abad ke-20-an, terbatas,

seperti halnya hasil karya primbon, jurnalistik, baik dalam bentuk laporan

perjalanan maupun biografi tokoh-tokoh tertentu atau jenis lainnya, surat-surat

pribadi dan beberapa jenis lainnya yang tidak begitu populer.

Ketiga, hasil karya prosanya berupa bangunan kembali dari karya sastra

yang telah ada yakni karya-karya versi prosa dari beberapa karya sastra Jawa

klasik (istilah J.J. Ras) yang kebanyakan semula ditulis dalam bentuk tembang

gedhe, tembang tengahan atau tembang macapat.

72

Page 73: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Keempat, karya-karya prosa yang muncul sebelum tahun 1900-an, sangat

menekankan dedaktik atau ajaran moral, yang dari satu sisi, oleh J.J.Ras (1985:

13) dinilai merusakkan (estetika), sehingga tampak keindahan bentuknya tidak

terlalu dipertimbangkan karena lebih menekankan isinya.

Bentuk prosa sebagaimana karya prosa yang merupakan hasil pengaruh

dari sastra Barat, yakni novel, novelet dan cerita pendek, pada akhir abad ke-19

masih asing dan langka. Karya sastra prosa Jawa yang bentuknya novel atau

protonovel baru tercatat karya R. Ng. Ranggawarsita yakni Serat Witaradya.

Kemudian pada tahun 1909, R. Martadarsana menulis Topeng Mas I dan Topeng

Mas II. Selanjutnya Ki Padmasusastra menulis berjudul Serat Rangsang Tuban

berupa novel kebatinan (Surakarta, 1912). Bentuk novel awal lainnya, karya

Pakubuwana X dan R. Ng. Purbadipura, berjudul Srikarongron. Kemudian R.

Ng. Mangunwidjaja, taun 1916 menulis Serat Trilaksita, dan Koeswadihardja

menulis Serat Tjarijosipun rara Kadreman.

Awal mula perkembangan novel tidak terlepas dari peranan munculnya

penerbit Balai Pustaka. J.J. Ras (1985: 8-17) mencatat hasil-hasil karya sastra

yang dimotori oleh penerbit tersebut dan beberapa lembaga swasta. Dari hasil-

hasil yang tercatat semula, yakni pada dasawarsa pertama abad ke-20 , antara

lain berupa buku-buku kecil dan dengan halaman yang relatif pendek, beisi

ajaran-ajaran moral yang ditulis secara fulgar, belum memperhitungkan

keindahan permainan unsur-unsur struktur fiksi.

Pada tahun 1920 terbitlah Serat Riyanta karya R.B. Sulardi yang

merupakan novel Jawa awal yang relatif bagus. J.J. Ras mencatat bahwa buku ini

merupakan buku pertama yang tidak dirusakkan oleh kecenderungan didaktik

atau ajaran moral, yang berisi kisah dengan alur yang benar-benar bagus yang

dibangun di sekitar tema yang jelas pula. Temanya dikaitkan dengan masalah

sosial, yakni pemberontakan generasi muda terhadap perkawinan adat yang

banyak dilalui oleh para orang tua dengan cara menjodohkan anak-anaknya.

Setelah terbitnya novel Serat Riyanta, lalu bermunculan karya sastra

berbentuk novel atau novelet. Pada sekitar tahun 1960-an, demi memenuhi

tuntutan keperluan bacaan masyarakat, banyak muncul novel-novel yang sangat

pendek (novelet), diterbitkan dalam bentuk stensilan menjadi buku kecil-kecil

73

Page 74: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

dan tipis-tipis, dengan tema-tema percintaan dan banyak dibumbui oleh adegan-

adegan cremedan (berbau porno), setidak-tidaknya dari kacamata para pembaca

jaman munculnya karya-karya yang bersangkutan. Dewasa ini novel-novel Jawa

pada umumnya berisi ceritera kehidupan sehari-hari pada masyarakat modern

saat ini, yang tidak bersifat istanasentris.

Karya cerita pendek Jawa yang dikenal dengan nama cerkak (crita cekak)

mulai muncul pada tahun 1935 dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar

Semangat oleh Sambo dengan judul Netepi Kwajiban, dan tahun 1936 dalam

majalah Kejawen (Ras, 1985: 18). Jenis ini muncul dalam hubungannya dengan

keperluan praktis untuk mengisi kolom dan halaman majalah berbahasa Jawa,

sehingga kebanyakan ditulis oleh anggota redaksi majalah yang bersangkutan.

Tidak berlebihan bila ditulis dengan anonim atau dengan nama samaran.

Dewasa ini jenis cerkak banyak ditulis oleh para cerpenis Jawa dan tidak

terbatas pada mereka yang duduk di meja redaksi majalah. Dari segi isinya, jenis

cerkak mampu menampung tema-tema yang lebih luas daripada jenis novel.

Jenis cerkak ini dapat menceritakan kehidupan sehari-hari para tokohnya, hingga

kehidupan dunia fantasi, dapat bersifat realis dan dapat juga surealis.

Pada perkembangan tertentu, muncul karya prosa yang mengetengahkan

tema tertentu, yang akhirnya berkembang menjadi jenis tersendiri, yakni

jagading lelembut. Seperti telah disinggung di atas, Jagading lelembut, adalah

cerita yang mengisahkan tokoh manusia dalam hubungannya dengan dunia

hantu. Cerita semacam itu dari sisi tertentu dapat dikategorikan sebagai dongeng.

Dalam khasanah sastra Jawa, jagading lelembut berkembang secara khas

yakni melalui kolom-kolom atau halaman-halaman dalam rubrik majalah-

majalah berbahasa Jawa dalam bentuk mirip seperti cerkak atau cerita

bersambung. Pada mulanya rubrik jagading lelembut dimaksudkan untuk

menampung kisah-kisah nyata yang dialami atau terjadi di masyarakat. Pada

perkembangannya, jagading lelembut tidak harus berisi kisah nyata, atau kisah

nyata yang telah diberi berbagai tambahan bersifat fiktif agar lebih menarik.

Jenis sastra dongeng Jawa, dalam arti luas, kadang-kadang muncul dalam

rubrik majalah berbahasa Jawa, baik untuk bacaan anak-anak (dongeng bocah)

maupun untuk umum. Pada perkembangan terakhir karya-karya novel juga lebih

74

Page 75: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

banyak terbit dalam terbitan majalah-majalah berbahasa Jawa, yakni dalam

bentuk cerita bersambung. Demikian pula jenis cerpen Jawa (cerkak), terutama

hidup sebagai sastra majalah. Oleh karena itu beberapa kalangan mengklaim

bahwa karya sastra Jawa modern tergantung pada kehidupan majah berbahasa

Jawa. Mereka menyebut karya sastra Jawa modern sebagai sastra majalah.

Hal tersebut di atas, ada benarnya, namun juga tidak sepenuhnya benar.

Hal ini ditandai dengan masih munculnya beberapa novel Jawa pada dekade

terakhir ini. Di samping itu, pada waktu-waktu tertentu juga muncul lomba-

lomba penulisan sastra Jawa, baik dongeng, cerkak atau novel. Pada umumnya,

hasil dari lomba-lomba inilah yang kemudian juga diterbitkan dalam bentuk

buku novel atau antologi dongeng atau cerkak.

b. Kekhasan Jenis Prosa Jawa Modern dan Kemungkinan Pendekatannya

Yang perlu diperhatikan dalam perkembangan prosa Jawa modern,

adalah konteks sastra yang muncul pada masa-masa tertentu. Setiap jenis sastra

memiliki kekhasannya masing-masing yang sebagiannya dikarenakan konteks

sosial budaya masing-masing yang berbeda-beda. Tulisan ini tidak bermaksud

mendikte atau menggariskan secara pasti, namun hanya merupakan catatan

secara umum yang dengan sendirinya dapat saja berbeda dengan kenyataan

khusus di lapangan.

Pada jenis kisah perjalanan, jenis biografi, dan sastra dedaktik moral,

tentu saja masalah permainan unsur-unsur strukturalnya tidak begitu ditekankan,

namun lebih mementingkan tema dan amanatnya. Dengan demikian

pendekatannya cenderung secara tematik, pragmatik atau filosofis ke arah moral

dan sosial.

Pada karya-karya prosa yang merupakan bangunan kembali dari karya-

karya sebelumnya, tentu saja hasil kecermatan studi banding sangat diperlukan,

baik secara filologis, intertekstual maupun perbandingan tematik. Melalui

perbandingan dengan naskah-naskah sebelumnya atau sumbernya, tentu

didapatkan kejelasan makna secara lebih memadahi, baik dalam hubungannya

dengan amanat yang ditawarkan oleh penyalin, maupun dalam hubungannya

dengan pandangan masyarakat tertentu pada era tertentu.

75

Page 76: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Pada jenis jagading lelembut dan dongeng lainnya, tentu saja dapat

diterapkan pendekatan seperti yang dilakukan pada jenis-jenis folklore. Dengan

demikian pengkajian motif-motif tertentu atau tema-tema tertentu, pengkajian

jenis-jenis tokoh tertentu, pengkajian fungsi terhadap masyarakatnya atau latar

belakang budayanya sangat diperlukan.

Adapun pada jenis-jenis sastra prosa yang merupakan hasil pengaruh dari

jenis sastra dan teori sastra Barat, baik novel, novelet, maupun cerkak, sifat

permainan unsur-unsur strukturalnya sangat penting untuk diperhatikan. Dengan

demikian pendekatan formal harus ditekankan dan dibutuhkan pengetahuan

tentang teori struktural untuk mendekatinya, sebelum dikembangkan pada

pengkajian yang lain.

c. Unsur-unsur Struktur Sastra Prosa Jawa Modern

Unsur-unsur struktur sastra, khususnya sastra prosa Jawa modern, tidak

berbeda dengan unsur-unsur yang ditemukan pada karya-karya sastra prosa pada

umumnya, yakni yang menyangkut unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur-

unsur intrinsik, yakni unsur-umsur yang membangun struktur sastra itu sendiri

atau secara langsung membangun cerita. Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur-

unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung

mempengaruhi bangunan atau organisme karya sastra (Nurgiyantoro, 1995: 23).

Pemahaman unsur ekstrinsik akan membantu dalam hal pemahaman karya

sastra, karena terciptanya karya sastra tidak berasal dari situasi kekosongan

budaya. Unsur-unsur ekstrinsik antara lain visi dan misi pengarang, lingkungan

alam dan lingkungan sosial pengarang, termasuk ekonomi dan politik yang

terjadi, dsb.

Pada kenyataannya sering kali pemisahan antara unsur intrinsik dan

ekstrinsik menemui kesulitan. Hal ini terutama dikarenakan bahasa, sebagai

sarana sastra, mengandung bentuk dan isi sekaligus. Dari segi bentuknya, bahasa

menyampaikan informasi seperti apa yang ada dalam kata atau frasa atau kalimat

dst. yang ada dalam bahasa itu. Dari segi isinya, informasi yang ada itu sering

kali bersifat tidak eksplisit atau simbolis, yang pemaknaannya harus dicari dari

latar belakang sosial budayanya. Di samping itu, antara bahasa dan sastra sama-

76

Page 77: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

sama merupakan sistem semiotik (simbol makna) yang kadang-kadang tidak

jelas batas-batasnya. Dengan kata lain, dalam menguraikan unsur-unsur intrinsik

sering kali harus menengok ke latar belakang sosial budaya pengarang maupun

pembacanya, sehingga mau tidak mau harus mencari unsur-unsur ekstrinsiknya.

Sebagai contoh konkrit, dalam menguraikan penokohan, sering kali orang harus

berangkat dari sistem nilai etika dan moralitas yang ada dalam masyarakat yang

bersangkutan. Bila dalam sastra Jawa dinyatakan bahwa seorang pria akan dan

harus memilih calon istrinya dengan mempertimbangkan bobot, bibit, bebet dan

dalam karya sastra yang bersangkutan istilah itu tidak pernah dijelaskan lagi,

maka konsep bobot, bibit, bebet tersebut harus dicari penjelasannya dari konteks

sosial budaya Jawa. Dan sebagainya dan sebagainya.

Unsur-unsur intrinsik yang membangun sastra prosa atau prosa fiksi

antara lain peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang

penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 1995).

Stanton (1965; via Suwondo, 1994) juga mendeskripsikan unsur-unsur struktur

fiksi yang terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra.

1) Tema

Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan

dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu,

takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering tema dapat

disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita (Tentang tema dan

klasifikasinya lihat: Nurgiyantoro, 1995, Oemarjati, 1962; Hutagalung 1967,

dsb.).

2) Fakta Cerita

Fakta cerita yang meliputi alur, tokoh dan latar, merupakan unsur fiksi

yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam

sebuah novel (fiksi). Oleh karena itu ketiganya juga disebut struktur faktual

(factual structure) atau derajat faktual (factual level) sebuah cerita. Ketiga unsur

tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan

cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang

lain.

77

Page 78: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

a) Plot (Alur)

Alur sering disebut juga plot cerita, sering juga disebut struktur naratif

atau sujet. Dalam hal ini yang harus dicermati ialah bahwa plot bukan sekedar

jalan cerita atau urutan peristiwa secara kronologis, namun rangkaian peristiwa

yang ditandai dengan hubungan sebab-akibat. Hal ini misalnya pernah

dikemukakan oleh Stanton, oleh Forster, dsb. Menurut Stanton (1965: 14, via

Nurgiyantoro, 1995) plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap

kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu

disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Senada dengan itu

Forster juga menyatakan bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang

mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas (bdk Oemarjati, 1962:

94; Lubis, 1960: 16)

Menurut Forster (via Nurgiyantoro, 1995) plot memiliki sifat misterius

dan intelektual. Misterius maksudnya bahwa dalam plot itu belum tentu langsung

diselesaikan secara cepat tapi sedikit demi sedikit, atau peristiwanya sengaja

dipisahkan pada bagian yang berjauhan urutan penceritaannya, atau ditunda

pengungkapan kunci permasalahannya, atau justru dibalik urutan waktu

kejadiannya. Hal yang demikian itu yang menimbulkan keingintahuan pembaca

untuk membaca terus karya sastra yang bersangkutan hingga selesai. Harapan

dan rasa ingin tahu pembaca terhadap kelanjutan plot yang misterius itu sering

disebut suspense. Sedang yang dimaksud dengan intelektual ialah bahwa dalam

plot terkandung logika tentang hubungan sebab akibat yang harus disikapi

dengan intelek dan kritis oleh pembaca agar pembaca yang bersangkutan mampu

memahami permainan plot pada karya sastra yang dibacanya. Dalam

hubungannya dengan analisis struktural justru permainan plot itu harus

dijelaskan secara rinci sehingga dapat dengan mudah dijelaskan hubungannya

dengan anasir-anasir selain plot dalam rangka pemahaman makna secara

keseluruhan.

Membicarakan plot pada dasarnya membicarakan tentang berbagai

peristiwa dan konflik. Yang disebut peristiwa ialah peralihan dari keadaan yang

satu kepada keadaan yang lain. Peristiwa, setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi

78

Page 79: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

tiga, yakni peristiwa fungsional, kaitan dan acuan. Peristiwa fungsional

merupakan peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan

alur atau plot. Peristiwa kaitan adalah perstiwa-peristiwa yang mengaitkan antar

peristiwa-peristiwa penting (fungsional) dalam pengurutan plot. Sedang

peristiwa acuan merupakan peristiwa-peristiwa yang tidak berpengaruh secara

langsung terhadap perkembangan alur, tetapi mengacu pada unsur-unsur lain,

misalnya watak tokoh, suasana yang berpengaruh pada watak tokoh, dsb

(Luxemburg, dkk.1989).

Nurgiyantoro mencatat bahwa anatar peristiwa itu di samping

mempunyai hubungan logis juga mempunyai sifat hierarkhis logis, tingkat

kepentingannya, keutamaannya, atau fungsionalitasnya. Roland Barthes

menyebut peristiwa yang dipentingkan atau diutamakan sebagai peristiwa utama

atau peristiwa mayor; sedang yang tidak dipentingkan disebut peristiwa minor

atau peristiwa pelengkap. Senada dengan itu Chatman menyebut peristiwa utama

sebagai kernel, sedang peristiwa pelengkap sebagai satelit (Nurgiyantoro, 1995:

120). Perbedaan peristiwa-peristiwa tersebut akan tampak jelas bila sebuah karya

fiksi diringkas (Luxemburg, dkk, 1989). Semakin tidak penting peristiwa itu

akan semakin besar kemungkinannya untuk tidak dituliskan kembali dalam

ringkasan.

Konflik menyaran pada sesuatu yang tidak menyenangkan yang terjadi

dan atau dialami oleh tokoh cerita. Bila tokoh itu memiliki kebebasan untuk

memilih, maka ia tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya (Meredith

& Fitzgeralt, via Nurgiyantoro, 1995). Konflik adalah sesuatu yang dramatik,

mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan

adanya aksi dan aksi balasan (Wellek & Warren, via Nurgiyantoro, 1995).

Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan

terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun pada hakikatnya

merupakan peristiwa. Konflik dapat dibagi menjadi dua, yakni konflik internal

(konflik kejiwaan) dan konflik eksternal. Konflik internal terjadi dalam diri

seorang tokoh, sedang konflik eksternal terjadi antara tokoh dengan

lingkungannya, yakni tokoh(-tokoh) lain atau lingkungan alam. Konflik juga

dapat dibagi menjadi konflik batin dan konflik fisik (Nurgiyantoro, 1995). Di

79

Page 80: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

samping itu berdasarkan fungsinya konflik juga bisa dibagi menjadi konflik

utama dan konflik pendukung (konflik tambahan). Dengan demikian bisa

didapatkan konflik utama internal, konflik utama eksternal, konflik pendukung

internal dan konflik pendukung eksternal.

Dalam fiksi sering terjadi pertemuan antar berbagai konflik sehingga

konflik itu semakin meningkat. Bila konflik meningkat hingga mencapai tingkat

intensitas tertinggi maka keadaan itu disebut klimaks. Klimaks merupakan

pertemuan antara dua (atau lebih) hal (keadaan) yang dialami oleh tokoh-tokoh

utama, yang dipertentangkan, dan yang menentukan bagaimana permasalahan

(konflik) pada tokoh-tokoh utama itu akan diselesaikan (Nurgiyantoro, 1995).

Ditinjau dari segi keberhasilannya, struktur plot setidak-tidaknya harus

memperhatikan plausibilitas, suspense, surprise, dan kesatupaduan plot, serta

menghindari deus ex machina. Plausibilitas maksudnya bahwa plot harus dapat

dipercaya atau diterima dari segi logika cerita. Dalam hal ini tidak harus berarti

bahwa cerita itu harus realis sesuai dengan keadaan pada dunia nyata, tetapi

lebih mengacu pada sifat koheren dan konsisten pada sebab-akibat dalam plot.

Misalnya, logika cerita untuk novel realis tentu berbeda dengan novel surealis

atau cerita jagading lelembut. Bila tokoh Gathutkaca bisa terbang bukan berarti

alur cerita itu tidak memenuhi konsep plausibilitas. Tapi bila Gathutkaca tidak

bisa terbang, justru itulah yang harus dicari alasannya dan plausibilitasnya.

Apabila suatu cerita secara tiba-tiba, tanpa diberikan alasan yang jelas,

dimunculkan dengan cara kebetulan (Jw: ndilalah) dan dipaksakan sebagai

alasan untuk mengembangkan cerita selanjutnya atau untuk menyelesaikan

permasalahan hingga tampak tidak masuk akal, maka alasan itu disebut sebagai

deus ex machina. Adanya deus ex machina mengurangi kadar plausibilitas pada

plot karya sastra. (Nurgiyantoro, 1995)

Suspense atau sering disebut tegangan menyaran pada perasaan kurang

pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi atau harapan yang belum

pasti terhadap akhir cerita Suspense harus dibangun dan dipertahankan dalam

plot untuk memotivasi, menarik dan mengikat pembaca agar tetap setia

menyelesaikan bacaannya karena penasaran. Salah satu cara untuk

membangkitkan suspense ialah dengan cara memunculkan foreshadowing dalam

80

Page 81: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

cerita. Foreshadowing adalah bagian cerita yang dapat dipandang sebagai

pertanda atau isyarat akan terjadinya sesuatu dalam cerita selanjutnya. Bagi

orang Jawa, misalnya menampilkan peristiwa “ketiban cecak” sebagai isyarat

akan terjadinya musibah pada tokoh yang kejatuhan cicak itu (Nurgiyantoro,

1995).

Di samping suspense, plot sebaiknya juga mengandung surprise atau

kejutan. Plot sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang

dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang atau

bertentangan dengan harapan pembaca (Abrams, via Nurgiyantoro, 1995).

Dalam hal ini sebenarnya tekanannya pada plot itu sendiri dalam kaitannya

dengan sebab-akibat. Sebagai contoh pada fiksi ditektif, biasanya memberikan

surprise pada menjelang akhir kisah, yakni pembunuh atau terdakwanya

biasanya orang yang, oleh pembaca, tak terduga sama sekali. Mungkin orang

terdekat korban yang pada beberapa hal ditampilkan baik budi, namun pada hal-

hal tertentu bisa berbuat buruk dan jahat.

Antara suspense, surprise dan plausibilitas harus berjalinan erat, dan

saling menunjang -mempengaruhi serta membentuk satu kesatuan yang padu.

Surprise, walaupun mengejutkan tetapi harus tetap bisa dipertanggungjawabkan

logika sebab akibatnya, agar tidak menjadi deus ex machina (Nurgiyantoro,

1995).

Plot juga harus memiliki kesatupaduan atau keutuhan atau unity.

Kesatupaduan menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang

ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan dan acuan, yang

mengandung konflik, atau seluruh pengalaman kehidupan yang hendak

dikomunikasikan, mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain. Ada benang

merah yang menghubungkan berbagai aspek cerita sehingga seluruhnya dapat

terasakan sebagai satu kesatuan yang utuh padu (Nurgiyantoro, 1995).

Apabila dalam karya fiksi terdapat peristiwa yang menyimpang dari

pokok masalah yang dikembangkan atau menjadi bagian yang menyimpang yang

tak langsung bertalian dengan alur dan tema karya sastra, bagian itu disebut

sebagai digresi atau lanturan (Sudjiman, 1986). Misalnya adegan Limbukan,

Cantrikan, dan Gara-gara dalam plot wayang purwa, ditinjau dari struktur isi

81

Page 82: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

pembicaraannyanya sebenarnya sering merupakan digresi. Namun demikian

adegan tersebut sah bila ditinjau dari segi konvensi atau tradisi wayang purwa.

b) Penokohan

Istilah penokohan dalam ilmu sastra sering juga disebut tokoh, watak,

perwatakan, karakter, atau karakterisasi. Penokohan adalah penciptaan citra

tokoh di dalam karya sastra (Sudjiman, 1986). Penokohan lebih luas

pengertiannya dari pada istilah tokoh dan istilah perwatakan, sebab sekaligis

mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana

penempatannya dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup

memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus

menyaran pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita

(Nurgiyantoro, 1995). Penokohan dapat digambarkan secara fisik, psikologis

maupun psikologis. Dari segi fisik, misalnya: kelaminnya, tampangnya,

rambutnya, bibirnya, warna kulitnya, tingginya, gemuk atau kurusnya, dsb. Dari

segi psikologis, misalnya: pandangan hidupnya, cita-citanya, keyakinannya,

ambisinya, sifat-sifatnya, inteligensinya, bakatnya, emosinya, dsb Dari segi

sosiologis, misalnya: pendidikannya, pangkat dan jabatannya, kebangsaannya,

agamanya, lingkungan keluarganya, dsb.

Walaupun tokoh dan penokohannya dalam cerita itu hanya merupakan

ciptaan pengarang, namun harus diperhitungkan logika kewajarannya. Ia harus

merupakan tokoh yang hidup secara wajar sebagaimana kehidupan manusia yang

mempunyai pikiran dan perasaan; sekaligus harus sesuai dengan tuntutan cerita

dengan perwatakan yang disandangnya. Jika terjadi seorang tokoh bersikap lain,

maka harus tidak terjadi begitu saja, karena harus memiliki kadar plausibilitas

dan yang terpenting haruslah konsisten (bdk: Nurgiyantoro, 1995: 167).

c) Latar atau Setting

Latar atau setting atau landas tumpu menyaran pada tempat, hubungan

waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang

diceritakan (Abrams, via Nurgiyantoro, 1995). Latar memberikan pijakan cerita

secara konkrit dan jelas, untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah

82

Page 83: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

sungguh ada dan terjadi. Latar, setidak-tidaknya dapat dipisahkan menjadi latar

tempat (di mana lokasinya), latar waktu (kapan terjadinya), dan latar suasana

(bagaimana keadaannya); termasuk suasana alam, suasana masyarakat (sosial),

dan suasana lahir dan batin tokoh cerita.

Dalam karya fiksi, latar waktu yang diceritakan sering menunjuk pada

waktu-waktu tertentu yang pernah berlangsung, bahkan hingga disebutkan bulan

atau tahunnya, atau penunjukan pada suatu peristiwa yang pernah terjadi dalam

fakta sejarah. Dengan demikian latar waktu itu seakan-akan merupakan latar

yang ada dalam realita kehidupan sesungguhnya (bukan sekedar karangan).

Namun demikian di dalam karya fiksi, sering dimunculkan berbagai hal yang

ada pada realita kehidupan sesungguhnya, yang menurut waktunya tidak sesuai

atau tidak tepat sehingga fiksi tersebut menjadi tidak logis. Misalnya, pada cerita

ketoprak yang mengangkat cerita historis, misalnya jaman Majapahit, lalu tokoh

abdinya membicarakan tentang keluarga berencana (KB) yang sesungguhnya

baru muncul pada tahun 1970-an. Hal yang menjadikan latar waktunya menjadi

tidak logis itu sering disebut anakronisme (Nurgiyantoro, 1995), yakni ketidak

sesuaian antara waktu dalam cerita dengan waktu dalam realita yang diacu oleh

karya fiksi yang bersangkutan.

3) Sarana Sastra

Sarana sastra atau sarana pengucapan sastra atau sarana kesastraan

(literary devices) adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk memilih

dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang

bermakna. Tujuan penggunaan atau pemilihan sarana sastra adalah untuk

memungkinkan pembaca melihat fakta sebagaimana yang dilihat

pengarang, menafsirkan makna fakta sebagaimana yang ditafsirkan

pengarang, dan merasakan pengalaman seperti yang dirasakan pengarang.

Macam sarana sastra antara lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya

(bahasa) dan nada, simbolisme dan ironi (Nurgiyantoro, 1995). Di bawah

ini terutama hanya akan dibicarakan perihal sudut pandang penceritaan

dan simbolisme

83

Page 84: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

a) Sudut Pandang

Sudut pandang atau point of view atau viewpoint, adalah cara sebuah

cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan

oleh pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan

berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada

pembaca (Abrams, via Nurgiyantoro, 1995). Jadi ia merupakan cara atau siasat

atau strategi dari pengarang untuk menyampaikan ceritanya. Dalam hal ini cara

yang dipakai adalah dengan mengambil posisi atau mendudukkan dirinya pada

peristiwa atau cerita yang disampaikannya.

Pencerita itu bisa berposisi sebagai orang luar atau orang yang tidak

terlibat dalam peristiwa (-peristiwa) yang diceritakan, namun juga bisa sebagai

orang yang ikut terlibat dalam kejadian(-kejadian) yang diceritakan. Bila ia

berada di luar kejadian-kejadian dalam cerita atau tidak terlibat, maka tokoh-

tokoh yang diceritakan akan dipandang sebagai orang ketiga atau disebut gaya

“dia” atau gaya orang ketiga. Sedang bila pencerita itu terlibat, maka ia akan

menceritakan melalui tokoh “aku” atau disebut gaya “aku” atau gaya orang

pertama. Penggunaan gaya orang ketiga atau pun gaya orang pertama tampak

bukan pada bentuk dialog tetapi pada bentuk narasi. Dalam karya sastra Jawa

gaya orang ketiga tampak pada narasi yang diungkapkan dengan kata ganti orang

ketiga: dheweke atau dheke, dsb. Sedang gaya aku tampak pada narasi yang

diungkapkan dengan kata ganti aku atau kula.

Pada sudut pandang orang ketiga, dapat diklasifikasikan lagi menjadi:

gaya “dia” maha tahu dan gaya “dia” terbatas atau tidak maha tahu . Bila

berbagai hal yang dialami tokoh (-tokoh) cerita, termasuk apa pun yang

dipikirkan atau dirasakan atau dipendam dalam hati, diketahui oleh pencerita

sehingga diceritakan dalam suatu fiksi, maka sudut pandang itu termasuk gaya

“dia” maha tahu. Namun bila pencerita tidak menceritakan hal-hal yang

ada dalam pikiran atau batin tokoh- tokoh cerita, maka termasuk dalam

gaya “dia” terbatas. Gaya “dia” terbatas…….pengamat.

b. Simbolisme SIMBOLISME

84

Page 85: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

2. Sastra Puisi Jawa Modern

Ditinjau dari bentuknya, puisi Jawa modern dapat dibagi menjadi dua

golongan, yakni: (1) puisi Jawa tradisional dengan bentuk yang mematuhi

berbagai aturan konvensional yang telah ada secara turun temurun, dan (2) puisi

Jawa modern atau geguritan modern dengan bentuk yang kurang atau tidak harus

mematuhi berbagai aturan konvensional. Pada puisi Jawa tradisional, masih

dapat dibagi lagi menjadi sebagai berikut.

(a) Puisi yang memiliki aturan-aturan yang ketat dan relatif

kompleks. Aturan yang dimaksud adalah aturan tentang lampah pada

tembang gedhe atau aturan yang menyangkut guru lagu, guru

wilangan dan guru gatra pada tembang tengahan dan macapat. Puisi

ini yang kemudian disebut tembang yasan atau tembang miji.

(b) Puisi yang mempunyai aturan sederhana, tidak sampai pada aturan-

aturan yang ketat, baik aturan tentang lampah atau tentang guru lagu,

guru wilangan dan guru gatra. Puisi ini yang kemudian dikenal

dengan nama tembang para.

a) Tembang Yasan atau Tembang Miji

Dalam jenis tembang yasan, terdapat pola metris yang ditentukan oleh

beberapa hal, baik yang menyangkut patokan lampah atau tiga patokan pokok,

yakni guru lagu, guru wilangan dan guru gatra, (yang telah diuraikan di bagian

depan ketika membicarakan tentang kidung).

Sebenarnya di samping patokan-patokan di atas, tembang yasan akan

menjadi lebih baik bila juga memperhatikan aturan-aturan yang lain, yakni

sebagai berikut.

1). Makna tiap baitnya sebaiknya telah bulat, satu kesatuan makna tertentu tidak

terputus dan dimasukkan ke dalam bait berikutnya.

2). Jeda kalimat pada setiap baitnya (andhegan) hendaknya sesuai dengan jeda

yang ada pada jenis lagu tembang yang bersangkutan. Jeda ini biasanya

antara dua dan tiga baris.

85

Page 86: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

3). Setiap baris hendaknya merupakan kalimat lengkap atau bagian kalimat yang

dapat berdiri sendiri.

4). Penggalan baris (pedhotan) hendaknya jatuh pada akhir kata sehingga

menghasilkan wirama kendho. Bila pedhotan-nya bukan akhir kata disebut

wirama kenceng.

5). Sebaiknya memperhatikan persajakan, baik asonansi (purwakanthi swara)

maupun aliterasi (purwakanthi sastra); atau purwakanthi lumaksita (suku

kata atau kata terakhir bersajak dengan atau diulang pada kata atau suku kata

awal pada bagian di belakangnya), baik sajak horizontal maupun vertikal.

6). Sebaiknya memperhatikan tradisi penulisan yang ada, seperti cara penulisan

nama samaran pengarang (sandi asma), cara penulisan waktu (sengkalan),

tradisi penulisan sasmitaning tembang, cara penulisan wangsalan dan

sebagainya, yang sering disisipkan dalam bentuk tembang yasan (Bdk.

Padmopuspito, 1989: 85).

Sebagai contoh di bawah ini jenis tembang macapat Dhandhanggula.

Song-song gora / candraning hartati /

lir winidyan / sarosing parasdya /

ringa-ringa / pangriptane //

tan darbe / labdeng kawruh /

angruruhi / wenganing budi //

kang mirong / ruhareng tyas /

njaga / angkara nung //

minta luwar / ring duhkita /

aywa kongsi / kewran lukiteng kinteki /

kang kata / ginupita // (Serat Cemporet karya R.Ng. Ranggawarsita)

Tembang Dhandhanggula adalah salah satu jenis tembang yasan yang

termasuk dalam jenis tembang macapat, yang dapat diuraikan sebagai berikut.

Garis-garis ( / ) di tengah baris atau di akhir baris pada tembang

Dhandhanggula di atas merupakan pedhotan. Adapun garis-garis ( // ) pada

beberapa akhir barisnya merupakan andhegan. Pedhotan dan andhegan

86

Page 87: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

merupakan hasil pola metris dalam hubungannya dengan cengkok atau cara

menembangkannya.

Guru gatra Dhandhanggula seperti di atas adalah 10 baris. Guru

wilangan dan guru lagu-nya adalah: 10:i , 10:a , 8: e, 7:u, 9:i, 7:a, 6:u, 8:a,

12:i, 7:a. Satu bait tersebut telah mengandung satu pengertian (makna) yang

bulat. Andhegan-nya berada pada 3 baris, 2 baris, 2 baris , dan 3 baris. Tiap

baris merupakan bagian kalimat lengkap yang dapat berdiri sendiri. Semua

pedotan-nya merupakan pedhotan kendho. Persajakannya, yang berupa

purwakanthi sastra dapat diperhatikan pada kata gora dengan candra, kata

raosing dengan parasdya, kata ringa-ringa dengan pangriptane, kata darbe

dengan lebdeng, dsb. Dalam contoh di atas, pada suku kata-suku kata yang

digarisbawahi merupakan sandi asma yang berbunyi radyan ngabehi

ronggawarsita (R.Ng. Ranggawarsita) (mengenai sandi asma, di atas sudah

dijelaskan). Sedang pada rangkaian kata song song gora candra adalah bentuk

sengkalan: Song = 9, song = 9, gora = 7, dan candra = 1, jadi tahun 1799 AJ

(mengenai sengkalan akan di jelaskan di bawah).

Berdasarkan pada bentuk pola metrisnya, tembang yasan dibagi menjadi

tiga, yakni tembang gedhe, Tembang Tengahan dan Tembang Macapat.

1) Tembang gedhe

Tembang gedhe adalah tembang yasan yang aturannya terkait dengan

konvensi lampah, yakni kesamaan jumlah suku kata dalam setiap baris. Adapun

jumlah baris dalam semua tembang gedhe adalah sama, yakni selalu 4 (empat)

baris. Sedang aturan tentang guru lagu (dhong-dhing) tidak ada dalam tembang

gedhe ini.

Nama-nama tembang gedhe ditengarai oleh aturan lampah tembang yang

bersangkutan, yakni antara lampah 1 (setiap baris terdiri satu suku kata) hingga

lampah 28 (ada yang berpendapat hingga lampah 32) (Subalidinata, tt: 37,

Padmopuspito, 1989: 87).

Bila bertolak dari puisi Jawa Kuna yang disebut kakawin, aturan yang

berlaku dalam tembang gedhe ini hampir sama dengan kakawin. Bedanya, dalam

87

Page 88: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

tembang gedhe tidak terdapat aturan tentang suku kata panjang dan suku kata

pendek seperti dalam kakawin.

Nama-nama metrum tembang gedhe dengan lampah dan pedhotan (penggalannya) sebagai berikut (Padmopuspito, 1989: 87-88).

Lam

pah

Metrum Pedhotan Lam

pah

Metrum Pedhotan

1 Nanda - 15 Manggalagita 8,7

2 Badra Sri Waneh - 15 Musthikengrat 8,7

3 Nari - 15 Langenkusuma 7,8

4 Wanamergi - 15 Kumudasmara 7,8

5 Wijayanti 2,3 15 Pamularsih 7,8

5 Giyanti 3,2 16 Rarabentrok 8,8

5 Rerantang 1,4 16 Rara Turida 8,8

5 Puksara 3,2 16 Candrakusuma 8,8

6 Tanumadya 2,4 16 Candraasmara 8,8

6 Gurnang 2,4 16 Sebamanggala 8,8

6 Liwung 2,4 17 Ciptamaya 5,5,7

6 Binayaa 4,2 17 Bangsapatra 4,6,7

7 Madukaralalita 3,4 17 Sikarini 6,6,5

7 Sundari 3,4 17 Puspamadya 6,6,5

8 Waktra 4,4 17 Priyambada 6,6,5

8 Salisir 4,4 18 Nagabanda 5,6,7

8 Patramanggala 4,4 18 Narakusuma 5,6,7

8 Patralalita 4,4 18 Langendikara 5,6,7

8 Wipula 4,4 18 Nagakusuma 6,6,6

8 Kuswaraga 4,4 19 Sardulawikridita 6,6,7

9 Jaraga Tata Gati 4,5 19 Banjaransari 6,6,7

9 Tebu Kasol 4,5 19 Pritanjala 6,6,7

9 Mayanti 4,5 19 Dhudhagandrung 4,5,5,5

10 Rukmawati 4,6 20 Sasadara Kawekas 7,7,6

10 Rukmarata 4,6 20 Swandana 7,7,6

10 Tebusauyun 5,5 20 Sulanjari 4,4,4, 8

88

Page 89: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

11 Bremarawilasita 4,7 20 Angron Asmara 8,6,6

11 Lebdajiwa 4,7 21 Wisalyaharini 7,7,7

12 Jiwawicitra 6,6 21 Swaladara 7,7,7

12 Jiwaretna 6,6 22 Irim-irim 8,7,7

12 Kusumawicitra 6,6 22 Kilayunedheng 5,6,6,5

12 Sudirawicitra 5,7 23 Haswalalita 5,6,6,6

12 Padmawicitra 4,4,4 23 Purbanagara 5,6,6,6

12 Citrakusuma 6,6 23 Hastakuswala 6,6,5,6

12 Citramengeng 6,6 23 Kanigara 8,8,7

12 Citrarini 5,7 24 Gandakusuma 6,6,6,6

12 Prawirasembada 5,7 24 Wohingrat 6,6,6,6

13 Dhadhapsari 5,8 24 Gandasuli 6,6,6,6

13 Madubrangta 5,8 24 Jayaningrat 6,6,6,6

13 Pusparaga 7,6 24 Jayengtilam 6,6,6,6

13 Puspanjali 7,6 25 Kudukusuma 4,4,5,6,6

13 Kusumastuti 7,6 25 Kusumatali 4,4,5,6,6

14 Rarasmara 6,8 26 Kumudaningrat 6,7,7,7

14 Langenasmara 6,8 27 Langenjiwa 6,6,7,8

14 Pusparudita 7,7 28 Pramugari 7,7,7,7

14 Sorohjiwa 7,7

14 Basanta 8,6

Di samping nama-nama di atas, masih dimungkinkan nama-nama

metrum yang lain. Nama metrum tembang gedhe biasanya dicantumkan dalam

akhir bait tertentu. Sebagai contoh tembang Rerantang lampah 5 di bawah ini.

Dhuh babo sira

ywa walang driya

nedya bawa ing

tembang Rerantang

Contoh lain bernama metrum Puspanjana, sebagai berikut.

Dhuh Gusti pujaningwang sotyaning wanita

myang maduning kusuma sekaring bawana

89

Page 90: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

tuhu mustikaning rat dadya sudarsana

sagunging pra wanodya ambek Puspanjana (R. Tedjohadisumarto, 1958:

26 )

Satu contoh lagi bernama Kusumawicitra, sebagai berikut.

Pirang-pirang taunira neng patapan

malah kongsi diwasa aneng patapan

ing Gohkarna wukir ageng dahat pringga

tan etang durgameng kusumawicitra (Arjunasasra: II.16, Subalidinata, tt:

37- 40)

2) Tembang Tengahan

Tembang tengahan sering juga disebut tembang dhagel atau tembang

tanggung atau tembang madya. Tembang tengahan terikat oleh tiga patokan

dasar, yakni guru gatra, guru wilangan dan guru lagu, yakni yang telah

diuraikan di atas. Dalam khasanah sastra Jawa Kuna (Jawa Tengahan) jenis puisi

yang terikat oleh aturan seperti ini disebut kidung (baca bagian tentang kidung!).

Adapun nama-nama tembang tengahan dan aturannya, sebagai berikut (bdk.

Subalidinata, tt: 43, Padmopuspito, 1989: 88-89, dan Padmosoekotjo, tt, jld I:

22).

Nama Metrum Guru Gatra Guru Wilangan Guru lagu

Lonthang 3 12,12,12 a,a,a

Balabak 6 12,3,12,3,12,3 a,e,a,e,a,e

Girisa 8 8,8,8,8,8,8,8,8 a,a,a,a,a,a,a,a

Wirangrong 6 8,8,10,6,7,8 i,o,u,i,a,a

Jurudemung 7 8,8,8,8,8,8,8 a,u,u,a,u,a,u

Palugon 8 8,8,8,8,8,8,8,8 a,u,o,u,o,a,u,o

Pranasmara 6 8,12,12,8,8,8 a,e,e,a,a,i

Pangajapsih 9 12,8,12,12,12,8,8,6,8 u,i,u,u,u,a,i,u,a

Kuswarini 7 12, 6,8,8,8,8,8 u,a,u,a,i,a,i

90

Page 91: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Dalam hal kategori tembang tengahan atau tembang macapat, beberapa

pakar tampak berbeda-beda pengelompokannya. Beberapa metrum tembang

tengahan di atas oleh pakar lain kadang-kadang diklasifikasikan sebagai

tembang macapat. Dengan demikian agaknya dapat dimengerti pernyataan

Poerbatjaraka, bahwa pada dasarnya tembang tengahan itu tidak ada dan yang

dimaksud tembang tengahan adalah tembang macapat yang usianya tua dan

hampir dilupakan.

3) Tembang Macapat

Telah disinggung di atas bahwa seperti halnya tembang tengahan,

tembang macapat terikat oleh tiga aturan pokok, yakni guru lagu, guru wilangan

dan guru gatra, yakni suatu aturan yang juga sudah ada pada bentuk kidung

berbahasa Jawa Tengahan. Tidak mengherankan bila metrum Pamijil dalam

kidung sama dengan metrum Mijil dalam tembang macapat. Tembang macapat

juga disebut sekar alit.

Di bawah ini sejumlah nama tembang macapat dengan guru gatra, guru

wilangan dan guru lagu-nya.

Metrum Guru

Gatra

Guru Wilangan Guru lagu

Pucung 4 12,6,8,12 u,a,i,a

Maskumambang 4 12,6,8,8 i,a,i,a

Megatruh 5 12,8,8,8,8 u,i,u,i,o

Gambuh 5 7,10,12,8,8 u,u,i,u,o

Mijil 6 10,6,10,10,6,6 i,o,e,i,i,u

Kinanthi 6 8,8,8,8,8,8 u,i,a,i,a,i

Pangkur 7 8,11,8,7,12,8,8 a,i,u,a,u,a,i

Durma 7 12,7,6,7,8,5,7 a,i,a,a,i,a,i

Asmaradana 7 8,8,8,8,7,8,8 i,a,e ( o),a,a,u,a

Sinom 9 8,8,8,8,7,8,7,8,12 a,i,a,i,i,u,a,i,a

Dhandhanggula 10 10,10,8,7,9,7,6,8,12,7 i,a,e,u,i,a,u,a,i,a

Di bawah ini contoh tembang Pucung dan tembang Asmaradana.

91

Page 92: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Pucung.

Ngelmu iku kelakone kanthi laku

lekase lawan kas

tegese kas nyantosani

setya budya pangekese dur angkara

(Wedhatama III: 1, karya K.G.P.A.A Mangkunagara IV)

Asmaradana

Anjasmara ari mami

mas mirah kulaka warta

dasihmu tan wurung layon

aneng kutha Prabalingga

prang tandhing Urubisma

kariya mukti wong ayu

pun kakang pamit palastra (dari: Serat Patine Menakjingga)

4) Sasmitaning Tembang

Dalam jenis tembang macapat, sering terdapat isyarat tentang nama

metrum tembang pada pupuh yang bersangkutan atau metrum tembang pada

pupuh selanjutnya. Isyarat tembang tersebut lazim disebut sasmitaning tembang.

Sasmitaning tembang biasanya berupa kata, frasa, atau baris tertentu yang

mempunyai makna yang bersinggungan dengan nama tembang yang

diisyaratkan. Sebagai contoh frasa yuda kenaka sering dipergunakan untuk

sasmitaning tembang Pangkur. Kata yuda berarti ‘perang’ atau ‘bertengkar’,

sedang kata kenaka berarti ‘kuku’. Jadi kata yuda kenaka bisa bermakna

‘berperangnya kuku’ atau menggaruk atau dalam bahasa Jawa kukur-kukur. Kata

kukur-kukur bersinggungan dengan nama tembang Pangkur, yakni pada suku

kata kur.

Sasmitaning tembang macapat sering terdapat pada bait yang mengawali

pupuh tembang yang bersangkutan atau pada bait terakhir sebelum pergantian

pupuh untuk memberi isyarat nama metrum tembang yang akan menggantikan

pupuh yang bersangkutan.

92

Page 93: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Kata-kata tertentu yang sering dipergunakan sebagai sasmitaning

tembang pada umumnya bersinggungan dengan nama metrum tembangnya.

Kebersinggungannya pada umumnya sebagai berikut.

a) Bisa dalam hal kesamaan bunyi salah satu suku katanya. Sebagai contoh

untuk tembang Sinom dipergunakan kata anom (kesamaan suku kata nom),

untuk Pangkur dipergunakan kata mingkar-mingkur (kesamaan suku kata

kur), dsb.

b) Bisa dalam sinonim arti katanya. Contohnya, untuk tembang Sinom

dipergunakan frasa roning kamal. Kata roning kamal berarti ‘daun pohon

asem’. Daun pohon asem pada umumnya disebut daun sinom, dsb.

c) Bisa sifat-sifat tertentu pada kata atau frasa yang ada dalam nama

metrumnya. Sebagai contoh untuk tembang Dhandhanggula dipergunakan

kata manis. Manis adalah sifat rasa gula.

Sasmitaning tembang selengkapnya sebagai berikut.

Untuk tembang Dhandhanggula antara lain dipergunakan kata, frasa, atau

larik: dhandhanggula, manis, madu manis, kaga kresna, gagak, hartati, sarkara,

guladrawa, dhandhang, dhandhanggendhis, akudhandhangan, andhandhang

sarkara, didhandhang, ndhandhanggula, dsb.

Untuk tembang Sinom antara lain dipergunakan kata atau frasa: sinom,

sesinoming, tumaruna, srinata, roning kamal, logondhang, sinom, anom,

Anoman, taruna, taruni, weni, mudha, dsb.

Untuk tembang Pangkur antara lain dipergunakan kata atau frasa:

pangkur, pungkur, kapungkur, mingkar-mingkur, kukur-kukur, yuda kenaka,

wuntat, wuri, mungkur, sapengkernya, wingking, dsb.

Untuk tembang Asmaradana antara lain dipergunakan kata atau frasa:

asmaradana, asmara, kasmaran, nawung brangti, rarasing kingkin, kasmaran,

branta, rarasing ati, satyasmara, brangta kingkin, dsb.

Untuk tembang Durma antara lain dipergunakan kata atau frasa: durma,

mundur, undurana, kunduran, kondur, kadurmaning, dsb.

Untuk tembang Mijil antara lain dipergunakan kata atau frasa: mijil,

wijiling, wuryaning, miyos, kawiyos, kawijil, metu, medal, dsb.

93

Page 94: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Untuk tembang Kinanthi antara lain dipergunakan kata atau frasa:

kinanthi, kanthi, kanthining, gegandhengan, anganthi, kanthinira, dsb.

Untuk tembang Maskumambang antara lain dipergunakan kata atau frasa:

maskumambang, kumambang, kambang-kambang, tumimbul ing toya, timbul ing

warih, mas kinambang, mas kentir, kentar, ngemasi, dsb.

Untuk tembang Pucung antara lain dipergunakan kata atau frasa: pucung,

pinucung, acung, pamucunging, dsb.

Untuk tembang Gambuh antara lain dipergunakan kata atau frasa:

gambuh, tambuh, wimbuh, gegambuhan, dsb.

Untuk tembang Megatruh (Dudukwuluh) antara lain dipergunakan kata

atau frasa: megatruh, megat, truh, anduduk, duduk wuluhe, dsb.

Sebagai contoh, sasmitaning tembang yang ada pada bait di awal pupuh,

yakni pada pupuh Pangkur, sebagai berikut.

Mingkar-mingkuring angkara / akarana karenan mardi siwi / sinawung

resmining kidung / sinuba sinukarta / mrih kretarta pakartining ngelmu

luhung / kang tumrap neng tanah Jawa / agama ageming aji //

Adapun contoh sasmitaning tembang yang terdapat pada akhir bait di

dalam pupuh sebelumnya adalah sebagai berikut.

Surya candra langit lawan bumi / mega banyu angin sadayanya /

pinamitan samuhane / saestua tumulus / waluya ring ayu lestari /

prayitna saking mula / mula purwanipun / anunggal karsaning titah / ala

ayu wus tinitah batharadi / liring yudakanaka //

Pada contoh terakhir ini, semula berupa pupuh Dhandhanggula, jadi

tembang tersebut berupa tembang Dhandhanggula, kemudian tentu saja akan

berganti pupuh Pangkur, karena di situ sudah didahului dengan isyarat atau

sasmitaning tembang berbunyi yudakenaka.

Dalam tiga jenis tembang yasan di atas (tembang gedhe, tembang

tengahan dan tembang macapat), sering terdapat istilah yang disebut pupuh,

seperti telah disebut-sebut di atas. Pupuh adalah suatu kesatuan yang terdiri atas

satu bait atau lebih yang sama metrumnya. Dalam bahasa Belanda pupuh disebut

zang, sedang dalam bahasa Inggris disebut canto. Dalam satu judul karya sastra

Jawa yang berbentuk tembang, bisa terdiri atas satu pupuh saja (misalnya pupuh

94

Page 95: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Dhandhanggula saja atau Pangkur saja, dsb), tetapi juga bisa lebih dari satu

pupuh (misalnya pupuh Pangkur, pupuh Mijil, pupuh Asmaradana, dsb).

5) Karakter atau Wataking Tembang

Dalam tembang yasan, terutama tembang macapat dan tembang

tengahan, pernah dilontarkan suatu teori bahwa setiap jenis tembang mempunyai

wataknya masing-masing. Padmosoekatjo (tt, jld. I: 22-23) misalnya,

menyatakan bahwa penggunaan tembang semestinya mengingat waktak tembang

masing-masing, yakni sbb.

1. Kinanthi, berwatak senang, kasih, cinta. Tepatnya dipergunakan untuk

menbeberkan ajaran, cerita yang berisi cinta kasih , asmara, atau jatuh

cinta (gandrung)

2. Pucung, berwatak santai (kendho), tanpa ambisi, seenaknya. Tepatnya

untuk menceritakan sesuatu yang netral, tanpa ambisi tertentu.

3. Asmaradana, berwatak jatuh cinta, sedih, prihatin. Dalam hal ini sedih

dan prihatin yang disebabkan oleh perasaan jatuh cinta. Tepatnya

untuk menceritakan tentang jatuh cinta.

4. Mijil, berwatak ekspresif (wedharing rasa). Tepatnya untuk

mengekspresikan ajaran tertentu, namun juga dapat untuk

mengungkapkan perasaan jatuh cinta.

5. Maskumambang, berwatak kesal, sedih, menyesal. Tepatnya untuk

mengungkapkan perasaan sakit hati, sedih, kesal, menyesal.

6. Pangkur, berwatak keras, marah. Tepatnya untuk mengungkapkan

perasaan marah, geregetan, ekspresi keras. Jika untuk mengungkapkan

ajaran tertentu, yakni ajaran yang bernada marah. Bila untuk

mengungkapkan perasaan cinta, cinta yang sangat bergejolak. Pada

umumnya juga untuk menceritakan perang.

7. Sinom, berwatak ramah, segar. Cocoknya untuk mengungkapkan

ajaran atau pendidikan.

8. Dhandhanggula, berwatak luwes, senang. Dapat untuk berbagai

macam cerita, antara lain untuk membuka atau menutup cerita, untuk

mengajar, untuk cerita perihal jatuh cinta, dsb.

95

Page 96: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

9. Durma, berwatak keras (galak), marah (muntab). Tepatnya untuk

mengungkapkan kemarahan, luapan dendam, atau cerita perang.

10. Gambuh, berwatak ramah, sehati, terbiasa, kenal akrab. Cocok

untuk mengungkapkan ajaran yang agak keras karena sudah akrab,

sehingga penyampaian ajarannya dapat dengan bahasa ragam ngoko,

suatu ragam bahasa bagi mereka yang telah akrab.

11. Megatruh, berwatak sedih, prihatin, atau putus asa. Tepatnya

untuk mengungkapkan perasaan sedih, menyesal tiada henti, atau

putus asa.

12. Balabak, berwatak nakal, senda gurau, tidak serius. Tepatnya

untuk mengungkapkan cerita yang tidak serius atau senda gurau.

13. Wirangrong, berwatak berwibawa, agung. Tepatnya untuk

mengungkapkan perasaan ketertarikan pada budi baik, ajaran luhur,

dsb.

14. Jurudemung, berwatak lincah menyenangkan, indah. Tepatnya

untuk mengungkapkan tentang hal-hal yang indah menyenangkan atau

menarik hati.

15. Girisa, berwatak mengharapkan atau memesan. Tepatnya untuk

mengungkapkan ajaran yang memesan atau mengharapkan sesuatu

kepada orang lain.

Walaupun banyak pujangga dan pengarang yang menguasai teori

perwatakan tembang tersebut, namun pada realitanya, tidak setiap karya sastra

yang berbentuk tembang setia memperhatikan dan mengikuti pola perwatakan

tembang tersebut. Hal ini antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.

1. Bait-bait tembang yang tergabung menjadi satu dan disebut pupuh,

sering kali tidak dapat luwes untuk selalu mengikuti perkembangan

latar cerita atau suasana batin cerita. Dalam satu pupuh sering berisi

cerita yang berlatar suasana yang bermacam-macam secara berganti-

ganti. Dapat saja hanya dalam beberapa bait saja, latar suasana dalam

cerita telah berganti, sementara pupuh-nya belum berganti.

2. Hal di atas bermula pada unit atau kesatuan bait (pada) tembang.

Sering kali pergantian latar suasana terjadi di antara baris-baris

96

Page 97: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

tembang yang ada dalam suatu bait tembang tertentu. Dengan

demikian tidak mungkin kesatuan bait tersebut dipenggal dalam baris-

baris yang belum selesai menurut aturan guru gatra-nya. Hal ini jelas

berbeda sekali bila dibandingkan dengan jenis puisi bebas, apalagi

dengan jenis prosa. Puisi Jawa modern yang disebut geguritan, bait-

baitnya tidak terikat oleh jumlah barisnya, bahkan sering kali hanya

terdiri atas satu baris dengan satu atau dua kata saja. Dengan demikian

pergantian suasana kejiwaannya lebih bebas, dapat berganti-ganti

setiap saat. Jauh lebih bebas lagi pada jenis prosa yang dapat

mendeskripsikan secara detail perkembangan suasana kejiwaan pada

cerita yang disuguhkan.

Bila dicermati lebih jauh, agaknya teori tentang watak tembang menurut

jenis tembang-nya tersebut perlu ditinjau kembali, mengingat adanya berbagai

cengkok atau lagu pada setiap jenis tembang. Kiranya akan lebih tepat bila watak

tembang itu ditinjau dari jenis cengkok-nya, karena setiap cengkok tembang

membawakan rasa alunan lagunya masing-masing yang tentu saja juga

menyuguhkan sifat atau wataknya masing-masing yang berbeda-beda.

6) Jenis-jenis Cengkok Lagu Macapat

Yang dimaksud cengkok adalah jenis gaya atau tipe lagu tertentu pada

tembang yang disesuaikan dengan nada dan irama iringan gamelan. Tembang,

pada dasarnya merupakan sastra lisan, disebarkan dari mulut ke mulut dengan

cara dilagukan (ditembangkan). Secara umum diketahui bahwa setiap nada dan

irama itu mengandung rasa masing-masing yang juga bisa dikatakan sebagai

sifat atau watak nada dan irama yang bersangkutan. Tentu saja hal ini juga

berlaku pada setiap cengkok lagu tembang macapat. Namun sayang sekali

sampai saat ini belum ditemukan teori yang mengidentifikasikan masing-masing

watak cengkok lagu tembang. Adapun jenis-jenis cengkok lagu tembang macapat

adalah sebagai berikut (Prawiradisastra, 1993: 88-91).

(1). Pucung

(a) Pucung Tunjungseta Slendro pathet sanga

(b) Pucung Dengklung Slendro pathet manyura

97

Page 98: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

(c) Pucung Gliyung Pelog pathet nem

(d) Pucung Larasmadya Pelog pathet barang

(e) Pucung Paseban Slendro pathet sanga

(f) Pucung Sangubranta Pelog pathet bem

(g) Pucung Randhasemaya Pelog pathet barang

(h) Pucung Klenthung Slendro pathet sanga

(i) Pucung Linduran Slendro pathet sanga

(2) Maskumambang

(a) Maskumambang Buminata Slendro pathet sanga

(b) Maskumambang Kembangtiba Pelog pathet nem

(c) Maskumambang Dhadhapan Pelog pathet nem

(d) Maskumambang Limaran Pelog pathet nem

(e) Maskumambang Malatsih Pelog pathet nem

(f) Maskumambang Rencasih Pelog pathet nem

(g) Maskumambang Mangkubumen Pelog pathet barang

(h) Maskumambang Natakusuman Peog pathet barang

(3) Gambuh

(a) Gambuh Panglipur Slendro pathet sanga

(b) Gambuh Tejamaya Slendro pathet sanga

(c) Gambuh Buminatan Slendro pathet manyura

(d) Ganbuh Wewarah Pelog pathet barang

(e) Gambuh Lala Pelog pathet nem

(f) Gambuh Natakusuman Pelog pathet nem

(g) Gambuh Mangkubumen Pelog pathet nem

(h) Gambuh Genjung Pelog pathet nem

(i) Gambuh Gonjing Pelog pathet nem

(j) Gambuh Rimang Pelog pathet nem

(4) Megatruh

(a) Megatruh Wulugadhing Slendro pathet manyura

98

Page 99: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

(b) Megatruh Ngurawan Slendro pathet sanga

(c) Megatruh Sastranagaran Pelog pathet barang

(d) Megatruh Gagatan Pelog pathet barang

(e) Megatruh Tejamaya Pelog pathet nem

(f) Megatruh Kocak Pelog pathet nem

(g) Megatruh Amonglulut Pelog pathet nem

(h) Megatruh Tunjungseta Pelog pathet nem

(5) Wirangrong

(a) Wirangrong Tunjungseta Slendro pathet sanga

(b) Wirangrong Tejamaya Slendro pathet sanga

(c) Wirangrong Natakusuman Slendro pathet sanga

(d) Wirangrong Lagu Maos Pelog pathet bem

(e) Wirangrong Buminatan Pelog pathet nem

(f) Wirangrong Mangkubumen Pelog pathet nem

(g) Wirangrong Wiratmaya Pelog pathet nem

(6) Balabak

(a) Balabak Patranala Slendro pathet sanga

(b) Balabak Marasanja Slendro pathet sanga

(c) Balabak Lara-lara Slendro pathet sanga

(d) Balabak Tinjomaya Pelog pathet nem

(e) Balabak Tunjungseta Pelog pathet barang

(f) Balabak Wirabangsa Pelog pathet barang

(3) Kinanthi

(a) Kinanthi Mangu Slendro pathet manyura

(b) Kinanthi Sekargadhung Slendro pathet manyura

(c) Kinanthi Sandhung Slendro pathet manyura

(d) Kinanthi Gagatan Slendro pathet sanga

(e) Kinanthi Kasilir Pelog pathet bem

(f) Kinanthi Panglipurwuyung Pelog pathet nem

99

Page 100: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

(g) Kinanthi Pujamantra Slendro pathet sanga

(h) dsb.

(4) Mijil

(a) Mijil Sekarsih Slendro pathet manyura

(b) Mijil Larasati Slendro pathet sanga

(c) Mijil Tinjomaya Slendro pathet sanga

(d) Mijil Wedharingtyas Pelog pathet bem

(e) Mijil Raramanglong Pelog pathet nem

(f) Mijil Larasdriya Pelog pathet barang

(g) Mijil Kulanthe Pelog pathet barang

(5) Asmaradana

(a) Asmaradana Kadhaton Slendro pathet sanga

(b) Asmaradana Tinjomaya Slendro pathet sanga

(c) Asmaradana Mangkubumen Slendro pathet sanga

(d) Asmaradana Lagu Kawin Pelog pathet bem

(e) Asmaradana Lagu Slobog Pelog pathet barang

(f) Asmaradana Bawaraga Pelog pathet barang

(g) Asmaradana Semarangan Pelog pathet nem

(h) Asmaradana Jakalola Pelog pathet nem

(6) Pangkur

(a) Pangkur Laras Madya Slendro pathet sanga

(b) Pangkur Paripurna Slendro pathet sanga

(c) Pangkur Dhudhakasmaran Slendro pathet sanga

(d) Pangkur Suranggagreget Slendro pathet

manyura

(e) Pangkur Kasmaran Pelog pathet nem

(f) Pangkur Nyamatmas Pelog pathet nem

(g) Pangkur Gegersore Pelog pathet nem

100

Page 101: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

(h) Pangkur Ngrenasmara Pelog pathet nem

(7) Durma

(a) Durma Dhendharangsang Slendro pathet

manyura

(b) Durma Rangsang Slendro pathet sanga

(c) Durma Gagatan Slendro pathet sanga

(d) Durma Surengkewuh Pelog pathet barang

(e) Durma Guntur Pelog pathet barang

(f) Durma Linduran Pelog pathet barang

(g) dsb.

(8) Jurudemung

(a) Jurudemung Lagu Maos Slendro pathet sanga

(b) Jurudemung Buminatan Pelog pathet barang

(c) Jurudemung Tunjungseta Slendro pathet sanga

(d) Jurudemung Tunjungseta Pelog pathet nem

(e) Jurudemung Natakusuman Slendro pathet sanga

(f) Jurudemung Natakusuman Pelog pathet barang

(g) Jurudemung Sastranegaran Slendro pathet sanga

(h) Jurudemung Sastranegaran Pelog pathet barang

(9) Girisa

(a) Girisa Tejamaya Slendro pathet sanga

(b) Girisa Ruhara Slendro pathet sanga

(c) Girisa Wantah Maos Pelog pathet nem

(d) Girisa Kasaya Pelog pathet nem

(e) Girisa Natakusuman Pelog pathet barang

(f) Girisa Buminatan Pelog pathet barang

101

Page 102: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

(10) Sinom

(a) Sinom Wenikenya Slendro pathet sanga

(b) Sinom Logondhang Slendro pathet sanga

(c) Sinom Mengkreng Slendro pathet sanga

(d) Sinom Pangrawit Slendro pathet manyura

(e) Sinom Kentar Slendro pathet manyura

(f) Sinom Ginonjing Pelog pathet nem

(g) Sinom Bangwetan Pelog pathet nem

(h) Sinom Wenikepyur Pelog pathet barang

(11) Dhandhanggula

(a) Dhandhanggula pasowanan Slendro pathet sanga

(b) Dhandhanggula Padhasih Slendro pathet sanga

(c) Dhandhanggula Rencasih Slendro pathet manyura

(d) Dhandhanggula Tlutur Slendro pathet sanga

(e) Dhandhanggula Banjet Pelog pathet barang

(f) Dhandhanggula Baranglaya Pelog pathet barang

(g) Dhandhanggula Penganten anyar Pelog pathet nem

(h) Dhandhangula Kanyut Pelog pathet nem

(i) Dhandhangula Turulare Pelog pathet nem

Seperti telah disinggung di atas, dalam bentuk tembang yasan, sering

disisipkan bentuk-bentuk khusus, antara lain sandi asma, sengkalan, wangsalan

dan sebagainya. Perihal sandi asma telah di bicarakan di atas. Sedang wangsalan

akan dibahas dalam hubungannya dengan jenis tembang para. Adapun

sengkalan dapat dijelaskan sebagai berikut.

7) Sengkalan

Dalam bentuk tembang, khususnya macapat, selain sasmitaning tembang

dan sandiasma, masih ada jenis-jenis tertentu yang juga sering diselipkan di

102

Page 103: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

antara baris-baris atau bait-bait tembang macapat itu, yakni antara lain

sengkalan.

Kata sengkalan mungkin berasal dari kata saka kala dan akhiran -an,

yakni hitungan waktu yang berdasarkan tahun Saka, karena pada mulanya

sengkalan memang berdasarkan tahun Saka (Subalidinata, 1981: 92- 93). Namun

kemudian pengucapannya bergeser menjadi sangkalan yang dapat juga berasal

dari kata sang kala dan akhiran -an. Kata kala dalam bahasa Jawa baru dapat

berarti ‘waktu’, sedang akhiran -an dapat bermakna ‘membentuk kata benda

baru’ atau bermakna ‘tempat’. Jadi sengkalan dimaknai sebagai ‘tempat atau

bagian yang menandakan waktu atau tahun’.

Sengkalan berisi gambar, atau ornamen atau relief atau semacam patung

yang merupakan simbol dari rangkaian kata-kata atau rangkaian kata-kata itu

sendiri yang mempunyai makna nilai bilangan dan nilai bilangannya dimaknai

dari belakang sebagai angka tahun.

Jadi dari segi cara ekspresinya, sengkalan ada dua macam, yakni

sengkalan memet dan sengkalan lamba. Sengkalan memet ialah sengkalan yang

berupa bangunan bergambar atau relief atau semacam patung. Kata memet atau

njlimet berarti ‘rumit’. Disebut memet karena penafsirannya lebih rumit.

Menurut Subalidinata (1981: 93), dalam bahasa Jawa, gambar atau relief sering

disebut pepethan, oleh karena itu sengkalan memet juga disebut sangkala petha.

Adapun sengkalan lamba ialah sengkalan yang telah berupa rangkaian

kata atau kalimat. Kata lamba dapat berarti ‘sederhana’. Jadi sengkalan lamba

maksudnya adalah sengkalan yang lebih sederhana (dibanding sengkalan

memet). Dalam bentuk tembang, atau dalam kitab-kitab di Jawa tentu saja yang

ada adalah sengkalan lamba.

Sengkalan sebenarnya telah ada sejak sastra Jawa Kuna. Misalnya

terdapat dalam kitab Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.

Sengkalan yang ada berbunyi sanga kuda śuddha cāndramā, yang berarti tahun

Saka 1079. Kata sanga bernilai sembilan, kata kuda bernilai tujuh, kata suddha

bernilai nol, dan kata candrama bernilai satu. Contoh yang berupa sengkalan

memet terdapat dalam candi Sukuh berupa relief seekor lembu menggigit

ekornya, yang harus dimaknai goh wiku naut buntut atau tahun Saka 1378; dan

103

Page 104: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

gapuranya berujud raksasa makan orang yang harus dimaknai gapura buta

mangan wong atau tahun 1379 Saka.

Dari segi dasar perhitungan tahunnya, ada dua sengkalan yakni surya

sengkala dan candra sengkala. Surya sengkala adalah sengkalan yang tahunnya

dihitung berdasarkan tahun matahari. Adapun candra sengkala dihitung

berdasarkan hitungan tahun bulan.

Menurut Padmosoekotjo (tt, jld. II: 134), kata-kata yang dipergunakan

dalam sengkalan adalah kata-kata yang mengandung makna watak bilangan.

Kata-kata yang dipilih adalah sesuai dengan nilai atau watak angkanya, sekaligus

disesuaikan dengan peristiwa atau kejadiannya. Hal ini dikarenakan tujuan

pembuatan sengkalan adalah untuk mengingat-ingat tahun terjadinya sesuatu.

Pada dasarnya watak bilangan yang ada dalam sengkalan sebagai berikut.

1) Bernilai satu ialah kata-kata untuk bilangan satu, atau barang atau manusia

atau bagian tubuh manusia atau binatang yang berjumlah satu, atau barang

yang berbentuk bulat, atau bermakna ‘berani’. Kata-kata yang bernilai satu

antara lain, wulan (bulan), candra (bulan), sasa (kelinci/ bulan), sasadara

(bulan), nabi (nabi), bumi (bumi), buda (buda/ rabu), iku (ekor), janma

(manusia), anak (anak), wani (berani), nyata (nyata), rupa (rupa), dsb.

2) Bernilai dua ialah kata untuk bilangan dua, atau barang yang jumlahnya pada

umumnya dua. Kata-kata yang bernilai dua antara lain, paksi (sayap), lar

(bulu panjang pada sayap), mata (mata), netra (mata), tangan (tangan),

nembah (menyembah), suku (kaki), talingan (telinga), karna (telinga), buja

(bahu), dsb.

3) Bernilai tiga ialah kata untuk bilangan tiga, atau api atau barang-barang yang

menggunakan api atau berunsur api, atau putri. Kata-kata yang bernilai tiga

antara lain, dahana (api), bahni (api), geni (api), agni (api), pawaka (api), tri

(tiga), tiga (tiga), telu (tiga), wedha (weda), guna (ilmu pengetahuan), dsb.

4) Bernilai empat ialah kata untuk bilangan empat, atau air, atau barang-barang

yang berisi air, atau kata-kata yang bermakna ‘membuat’. Kata-kata yang

bernilai empat antara lain, banyu (air), we (air), wedang (air panas), tirta

(air), segara (laut) samodra (laut), wahana (sarana), suci (suci), dsb.

104

Page 105: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

5) Bernilai lima ialah kata-kata untuk bilangan lima, atau kata-kata untuk

menyebut raksasa (buta), atau kata-kata untuk menyebut senjata tajam seperti

panah, anak panah, atau kata-kata yang berunsur angin. Kata-kata yang

bernilai lima antara lain buta (raksasa), pandawa (pandawa), tata (tata),

6) Bernilai enam ialah kata-kata untuk bilangan enam, atau unsur-unsur rasa,

atau kata-kata yang bermakna ‘bergerak’, yang bermakna ‘kayu’, yang

bermakna ‘binatang berkaki enam (sadpada)’.

7) Bernilai tujuh ialah kata-kata untuk menyebut bilangan tujuh, kata-kata untuk

menyebut gunung, pendeta (pandhita), kuda, atau menunggang atau

mengendarai.

8) Bernilai delapan ialah kata-kata untuk menyebut bilangan delapan, kata-kata

untuk menyebut gajah, atau binatang melata (reptil), atau pujangga.

9) Bernilai sembilan ialah kata-kata untuk menyebut bilangan sembilan, atau

dewa, atau barang-barang yang dianggap berlubang.

10) Bernilai nol ialah kata-kata untuk bilangan nol, atau kata-kata yang

bermakna ‘tidak ada’ atau ‘hilang’, atau ‘tinggi’, atau ‘langit’.

Dalam bentuk tembang Dhandhanggula, watak bilangan tersebut

dituliskan dalam satu bait, sebagai berikut.

Janma buweng wani tunggal Gusti (kata-kata yang bernilai 1) /

panganten dwi akekanthen asta (bernilai 2) / gegeni putri katlune (bernilai 3) /

papat agawe banyu (bernilai 4) / buta lima amanah angin (bernilai 5) / sad

rasa kayu obah (bernilai 6) / wiku pitweng gunung (bernilai 7) / gajah wewolu

rumangkang (bernilai 8) / dewa sanga anggeganda terus manjing (bernilai 9) /

dhuwur wiyat tanpa das (bernilai 0).

Menurut Bratakesawa dalam bukunya Candra Sengkala (Padmosoekotjo,

tt, Jld. II: 135), ada delapan patokan dalam memilih kata-kata untuk sengkalan,

yakni sebagai berikut.

1) Guru dasa nama, yakni kata-kata yang sama artinya atau bersinonim,

mempunyai watak bilangan sama. Contohnya kata bumi yang bernilai atau

berwatak satu dapat digantikan dengan kata siti, pratiwi, pratala, bantala,

kisma, dsb.

105

Page 106: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

2) Guru sastra, yakni kata-kata yang penulisannya atau namanya sama,

meskipun artinya berbeda mempunyai watak bilangan sama. Contohnya kata

esthi yang berarti ‘maksud’ atau ‘kehendak’ bernilai sama dengan kata esthi

yang bermakna ‘gajah’ yakni delapan.

3) Guru wanda, yakni kata-kata yang bersuku kata sama dapat dianggap bernilai

sama. Misalnya kata dadi yang berarti ‘menjadi’ sama nilainya dengan kata

waudadi yang berarti ‘laut’ yakni bernilai empat.

4) Guru warga, yakni kata-kata yang dapat dikategorikan dalam warga atau jenis

atau golongan yang sama dapat dianggap mempunyai nilai yang sama.

Misalnya nama binatang jenis reptil mempunyai nilai yang sama. Nilai baya

‘buaya’ sama dengan nilai naga ‘naga’ atau ula ‘ular’ yakni bernilai delapan.

5) Guru karya, yakni nama bendanya dianggap sama watak bilangannya dengan

hasil kerjanya. Misalnya kata mripat ‘mata’ bernilai sama dengan kata

mandeng ‘memandang tajam’, atau ndeleng ‘memandang’, yakni bernilai dua.

6) Guru sarana, yakni nama alat tertentu sama nilainya dengan fungsinya.

Misalnya ilat ‘lidah’ sama nilainya dengan rasa ‘rasa’ yakni bernilai enam.

7) Guru darwa, yakni nama benda dengan sifatnya dianggap bernilai sama.

Misalnya kata geni ‘api’ bernilai sama dengan kata panas ‘panas’, yakni

bernilai tiga.

8) Guru jarwa, yakni kata-kata yang mempunyai kemiripan arti dianggap sama

nilainya. Misalnya kata retu ‘tidak tenteram’ atau ‘galau’ bernilai sama

dengan kata geger ‘huru-hara’ yakni bernilai enam.

Menurut Subalidinata (1981: 96-97), masih ada patokan selain di atas, yakni

sebagai berikut.

9) Berdasarkan pertautan nilai angka dalam huruf Jawa, yakni untuk angka 1

atau 7 yakni dengan huruf Jawa ga, dan 8 yakni dengan huruf Jawa pa. Jadi

kata lega, raga, boga, dsb dapat bermakna 1 atau 7 karena mengandung bunyi

ga. Adapun kata papa, nastapa, wilapa dapat bermakna 8, karena mengandung

bunyi pa.

10) Berdasarkan hukum kebiasaan dan kenyataan yang berlaku secara umum.

Ratu atau raja ‘raja’, bumi, jagad ‘bumi’ atau ‘dunia’, biasanya hanya satu

106

Page 107: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

sehingga bernilai 1. Kata manten ‘pengantin’, tangan ‘tangan’, kuping

‘telinga’ bernilai 2, dsb.

11) Berdasar logika umum, yakni sesuatu yang secara logis dapat

dihubungkan dengan nilai angka tertentu. Misalnya kata gandheng

‘bergandeng’ atau ‘bersambung’ dapat bernilai 2. Ilang ‘hilang’ atau musna

‘musnah’ dapat berarti 0, dsb.

Contoh-contoh sengkalan adalah sebagai berikut.

1. Rasa rupa dwi sitangsu (tahun 1216, R. Wijaya menjadi raja)

2. Kuda bumi paksaning wong (tahun 1217, pemberontakan Ranggalawe)

3. Brahmana papat muji tunggal (tahun 1748, penobatan Pakubuwana V)

4. Naga iku ngrusak jagad (tahun 1018, Candi Sewu)

5. Sirna ilang gunaning janmi (tahun 1300, Pajajaran runtuh)

6. Geni mati siniraming janmi (tahun 1403, Demak berdiri)

7. Tri lunga manca bumine (tahun 1503, Pajang berdiri)

8. Panerus tingal tataning nabi (tahun 1529, Suluk Wujil)

9. Sirneng tata pandhita siwi (tahun 1750, Serat Rama)

10. Atata resi mulang janma (tahun 1795, Serat Centhini).

b) Tembang Para

Berbeda dengan tembang yasan, tembang para pada umumnya tidak

mengenal pupuh. Artinya kesatuan bait-baitnya tidak dapat disebut pupuh karena

patokan bait-baitnya tidak konsisten. Jadi pada umumnya, antara bait yang satu

dengan bait selanjutnya berbeda-beda pola metrisnya, baik yang menyangkut

jumlah barisnya, jumlah suku katanya, maupun persajakannya.

Jenis tembang para, antara lain berupa pepindhan yakni menyangkut

sanepa, panyandra, isbat, paribasan, bebasan, dan saloka, wangsalan, parikan,

lagu dolanan, dan guritan.

(1) Pepindhan: Sanepa, Panyandra, dan Isbat

Secara luas, sebenarnya kata pepindhan berarti perumpamaan. Dengan

demikian sebenarnya pepindhan itu menyangkut sanepa, panyandra, isbat,

paribasan, bebasan dan saloka. Kata pepindhan berasal dadi kata dasar pindha

107

Page 108: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

yang mengalami perulangan, yakni perulangan dwi purwa salin swara dan

mendapatkan akhiran –an. Kata pindha, memiliki sinonim kaya, lir, pendah, lir

pendah, kadi, dan kadya yang semuanya beararti ‘seperti’. Jadi pepindhan adalah

ungkapan bahasa yang mengandung perbandingan atau perumpamaan.

Menurut Padmosoekotjo (t.t., jld. I: 93), perbedaan di antara penamaan

beberapa perumpamaan, terutama karena sudut pandangnya. Dari segi

pembentukan kalimatnya bisa berupa pepindhan, dari segi isinya bisa berupa

panyandra, dari segi diksinya (bregasing basa) bisa berupa basa rinengga, dan

dari segi suaranya bisa mengandung purwakanthi, dan seterusnya.

Agaknya yang perlu lebih ditekankan adalah antara sanepa, panyandra

dan isbat di satu sisi, dan paribasan, bebasan dan saloka di sisi lain.

(a) Sanepa

Yang disebut sanepa, menurut Padmosoekotjo (t.t., Jld. II: 66), yakni

jenis pepindhan yang bentuknya stereortipe (tetap) dan terdiri atas kata sifat

yang diikuti kata benda. Sedang menurut Subalidinata (1981: 81) sanepa

mengandung arti menyangatkan sesuatu sifat yang diumpamakan dengan cara

mempertentangkan. Contohnya sebagai berikut.

Ambune arum jamban (baunya, lebih harum comberan dari pada baunya)

Balunge atos gedebog (tulangnya lebih keras batang pisang, lunak sekali)

Cahyane abang dluwang (air mukanya, lebih merah kertas putih)

Eseme pait madu (senyumnya, lebih pait madu)

Lungguhe anteng kitiran (duduknya, lebih tenang putaran kipas)

Suwe mijet wohing ranti (mudahnya, lebih lama memijat buah ranti)

(b) Panyandra

Panyandra adalah ungkapan yang mengandung perbandingan dan

mengandung persamaan, di dalamnya berisi perbandingan keindahan. Dalam hal

ini yang dipentingkan keadaan indahannya, sehingga bahasanya bisa bahasa

sehari-hari maupun dengan bahasa indah (basa rinengga). Contohnya sebagai

berikut.

Athi-athine ngudhup turi (rambut di depan teliunga seperti kuncup turi)

Alise nanggal sepisan (alisnya seperti bulan tanggal satu)

108

Page 109: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Bangkekane nawon kemit (pinggangnya bagaikan pinggang tawon kemit)

Idepe tumengeng tawang (bulu matanya melengkung ke langit)

Kempole ngembang pudhak (betisnya seperti bunga pudak)

Lengene nggendhewa pinenthang (lengannya seperti busur dibentang)

Ulate ndamar kanginan (air mukanya seperti dian tertiup angin)

Untune miji timun (giginyta bagaikan biji mentimun)

(c) Isbat

Kata isbat berarti ‘ketetapan’. Isbat, yakni ungkapan yang mengandung

pengertian tetap, mengandung arti kias, dan pada umumnya bermakna dalam

hubungannya dengan tasawuf atau bersifat filosofis-mistis. Contohnya sebagai

berikut.

Golek banyu apikulan warih (mencari air berpikulan air)

Golek geni adedamar (mencari api dengan api)

Kodhok ngemuli lenge (Katak menyelimuti liangnya)

Nggoleki galihing kangkung (mencari galih pohon kangkung)

Nggoleki gigiring punglu (mencari bagian punggung biji asam)

Nggoleki susuhing angin (mencari sangkar angin)

Nggoleki isining bumbung wungwang (mencari isi bumbung kosong)

Nggoleki tapaking kuntul nglayang (mencari jejak burung kuntul

terbang)

(2) Pepindhan: Paribasan, Bebasan dan Saloka

Antara paribasan, bebasan dan saloka memiliki kemiripan bentuk yang

pada dasarnya dapat disejajarkan dengan kata peribahasa dalam bahasa dan

sastra Indonesia. Paribasan, bebasan dan saloka, ketiganya merupakan kata atau

kelompok kata yang mengandung makna kiasan dan bentuknya tetap atau

stereotip. Oleh karena kemiripannya, banyak orang yang menyamakan saja

antara ketiganya, atau antara pakar yang satu dengan yang lain berbeda dalam

hal pemilahannya. Padmosoekotjo (tt, jilid I: 62) menuliskan komentarnya

mengenai hal tersebut, yakni bahwa ketiga-tiganya memang sulit dibedakan,

109

Page 110: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

bahkan beliau belum pernah mendapatkan atau menemukan penjelasan dari

pakar lain yang layak untuk diacu (durung tau mrangguli katrangan sing

gumathok lan maremake ingatase beda-bedane). Kemudian beliau mencoba

memberikan batasan sebagai berikut.

(a) Paribasan

Paribasan adalah istilah yang tetap penggunaannya (bunyinya),

mempunyai makna kiasan, masing-masing kata tidak mengandung makna kiasan

atau pembanding. Sebagai contoh adalah yatna yuwana lena kena. Pada masing-

masing kata tersebut tidak mengandung makna kiasan. Kata yatna berarti ‘hati-

hati’, kata yuwana berarti ‘selamat’, kata lena berarti ‘lengah’, dan kata kena

berarti ‘tertimpa’ dalam hal ini ‘tertimpa bencana’. Yatna yuwana lena kena

berarti ‘siapa yang berhati-hati akan selamat dan siapa yang lengah akan

tertimpa bencana’.

(b) Bebasan

Bebasan adalah istilah yang tetap penggunaannya (bunyinya),

mempunyai makna kiasan, mengandung makna pembanding. Yang

dibandingkan adalah keadaan atau sifat orang atau benda tertentu. Orang atau

benda yang dikiaskan termasuk di dalamnya, tetapi yang dipentingkan adalah

sifatnya. Contohnya kerot ora duwe untu. Kata kerot berarti ‘menggeretakkan

gigi bagian atas dengan gigi bawah’. Dalam hal ini kata kerot mengandung

makna kiasan yakni bermakna ‘kemauan, keinginan, niat’, atau ‘tujuan’. Kata

ora duwe untu berarti ‘tidak punya gigi’. Dalam hal ini ‘tidak punya gigi’ adalah

kiasan dari keadaan atau sifat ‘tidak mempunyai biaya atau modal’. Jadi

maknanya ‘berniat sekali tetapi tidak mempunyai modal atau biaya’.

(c ) Saloka

Saloka adalah istilah yang tetap penggunaannya (bunyinya), mengandung

makna kiasan, yang dikiaskan adalah orangnya. Sifat dan keadaan orang yang

dikiaskan tentu saja termasuk di dalamnya, tetapi dalam jenis ini yang

dipentingkan adalah orangnya. Sebagai contoh adalah kebo bule mati setra. Kata

110

Page 111: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

kebo berarti ‘kerbau’ bermakna kias ‘orang’. Kata bule berarti ‘jenis orang atau

binatang yang berkulit putih karena ras atau kelainan tertentu’ bermakna kias

‘pandai’. Sebagian orang Jawa berkeyakinan bahwa orang bule (termasuk orang

Belanda) adalah orang yang pandai. Jadi kebo bule mengiaskan pada ‘orang yang

pandai’. Kata mati berarti ‘meninggal’ dan bermakna kias ‘menemui

kesengsaraan atau kecelakaan’. Kata setra berarti ‘tempat pembuangan atau

kuburan’ bermakna kias sebagai ‘di tempat yang tidak menyenangkan atau

tersingkir’. Jadi makna kiasannya adalah orang yang pandai yang tersingkir

karena kepandaiannya tidak diperlukan.

Peribahasa dalam bahasa Jawa banyak sekali jumlahnya, bisa dibaca

dalam buku seperti karya Dirdjosiswojo (1956) dan Darmasoetjipta (1985).

Peribahasa Jawa, di samping dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, sering

juga diselipkan dalam bentuk-bentuk tembang macapat, dsb. Dalam hal ini

peribahasa yang ada kadang kala berubah demi memenuhi tuntutan aturan

tembang yang bersangkutan. Sebagai contoh pada pupuh Gambuh dalam

Wulangreh karya Pakubuwana IV sebagai berikut.

Wonten pocapanipun / adiguna adigang adigung / pan adigang kidang

adigung pan esthi / adiguna ula iku / telu pisan mati sampyoh.

Pada contoh di atas, peribahasa adigang adigung adiguna berubah karena

dibalik menjadi adiguna adigang adigung. Hal ini dikarenakan tuntutan aturan

guru lagu yang ada pada tembang Gambuh, yakni baris kedua berakhir dengan

bunyi vokal u (aturan seperti itu telah dibicarakan di atas).

Bila dikaji lebih lanjut peribahasa Jawa muncul dari latar belakang

lingkungan sosial yang berbeda-beda, antara lain sebagai berikut.

1. Lingkungan masyarakat petani. Contohnya sebagai berikut.

a. Tatune arang kranjang, artinya ‘lukanya sangat banyak’.

b. Arep jamure emoh watange, artinya ‘orang yang hanya mau enaknya tapi

tak mau

berusaha keras atau bersusah payah’.

c. Ambuntut arit, artinya ‘orang yang berwatak tidak baik tetapi tidak terus

terang’.

111

Page 112: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

d. Anggered pring saka pucuk, artinya ‘kurang bijaksana dengan menentang

tradisi’.

2. Lingkungan masyarakat pedagang. Contohnya sebagai berikut.

a. Adol lenga kari busik, artinya ‘memberikan sesuatu kepada orang lain

tanpa mengingat kebutuhannya sendiri’.

b. Adol gawe, artinya ‘pamer karena ingin dipuji kemampuannya’.

c. Adol bagus atau adol ayu, artinya ‘lelaki atau wanita yang sombong’

d. Adol umuk, artinya ‘suka pamer atau sombong’.

3. Lingkungan peradilan dalam masyarakat.

a. Anirna daya, artinya ‘mengajukan perkara berdasarkan orang yang telah

meninggal’

b. Anirna patra, artinya ‘mengungkiri tulisannya sendiri sebagi bukti

peradilan’

c. Anirna pandaya, atinya ‘mengajukan perkara berdasarkan orang yang

telah pergi’

d. Akadang saksi, artinya ‘menasihati saksi untuk berkesaksian tertentu’.

4. Lingkungan masyarakat pemburu.

a. Amburu kidang lumayu, artinya ‘spekulasi yang sulit berhasil’

b. Ambuwang rase nemu kuwuk, artinya ‘sikap selektif yang merugikan’

c. Nrajang grumbul ana macane, artinya ‘melawan tradisi akan menemui

resiko berat’.

d. Nemu kuwuk, artinya ‘peristiwa yang bersifat kebetulan’

5. Lingkungan masyarakat penangkap ikan.

a. Amburu uceng kelangan deleg, artinya ‘karena ketamakan untuk

mendapatkan berlebih, seseorang menemui kerugian’

b. Iwak kalebu wuwu, artinya ‘menunjuk keadaan terjebak’

c. Uwis kebak sundukane, artinya ‘telah banyak kesalahannya sehingga

tertangkap’

d. Enggon welut diedoli udhet, artinya ‘orang yang berlebih dipameri sesuatu

yang kurang bernilai sehingga tidak diterima’.

e. Kena iwake ora butheg banyune, artinya ‘meraih hasil tanpa dengan

merepotkan atau merugikan orang lain’.

112

Page 113: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

6. Lingkungan masyarakat yang lain, misalnya masyarakat pertukangan,

peternakan, rumah tangga pada umumnya, dsb.

Dalam hal saloka, dalam bahasa Sansekerta maupun bahasa Jawa Kuna

sudah ada bentuk yang dalam bahasa Melayu disebut seloka. Namun demikian

belum diteliti sejauh mana pengaruh seloka dari kedua bahasa (Sansekerta dan

Jawa Kuna) yang sama-sama pernah hidup eksis di Jawa tersebut terhadap saloka

bahasa Jawa Baru. Menurut Padmopuspito (1989: 63) ditinjau dari isinya,

ketiganya mempunyai kesamaan, yakni mengandung isi yang padat yang

merupakan kesimpulan dari berbagai peristiwa dan pengalaman masyarakat yang

melatar-belakanginya.

Contoh seloka bahasa Sansekerta sebagai berikut.

maksikâ vranam icchanti dhanam icchanti pârthivah

nîcâh kalaham icchanti çantim icchanti sâdhavah.

Artinya:

‘lalat-lalat menginginkan luka, pangeran-pangeran menginginkan

kekayaan, orang-orang hina menginginkan percekcokan, orang-orang

suci menginginkan ketenangan’.

Dalam seloka Sansekerta pada umumnya terdiri atas empat gatra yang sering

dijadikan dua baris, masing-masing gatra terdiri atas delapan suku kata,

sehingga keseluruhan berjumlah 32 suku kata (setiap baris 16 suku kata). Hal

tersebut berbeda dengan seloka Bahasa Jawa Kuna, yang tidak memiliki pola

tetap. Contoh seloka Jawa Kuna sebagai berikut.

mapa ta phalaning guna, yan enengakena ri unggwanya, yan tan

wetwakena, umpamanya, kadyangganing padyut ri jro ning dyun, tan

kawedhar padhangnya ring prtiwi mandhala, mangkeha tikang

kaprajnân wetwakena juga yan ing prayoganya.

Artinya:

‘Apalah hasil kepandaian, jika didiamkan di tempatnya, jika tidak

dikeluarkan, umpamanya seperti batang lampu di dalam tempayan,

terangnya tidak tersinar di atas bumi, demikian pula halnya dengan

kepandaian sebaiknya dikeluarkan saja’ .

113

Page 114: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Dalam saloka bahasa Jawa Baru, seperti halnya dalam bahasa Jawa

Kuna, lebih bebas tidak seperti aturan seloka yang ada dalam bahasa Sansekerta.

Contoh saloka bahasa Jawa Baru di atas sudah ada yakni kebo bule mati setra.

Contoh yang lainnya antara lain: kebo nusu gudel, yang maknanya ‘orang yang

tua belajar dari orang yang lebih muda’.

Bila ditinjau dari benda yang dipergunakan sebagai kiasan, saloka bahasa

Jawa Baru dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yakni sebagai berikut.

Pertama, saloka yang mempergunakan binatang. Contohnya sebagai berikut.

1) Gajah ngidak rapah, artinya ‘orang yang melanggar aturannya sendiri’

2) Kebo mulih ing kandhange, artinya ‘perangtau yang kembali ke asalnya’

3) Bebek mungsuh mliwis, artinya ‘bermusuhan dengan orang yang lebih

mampu’

4) Kutuk marani sunduk (ula marani gebug), artinya ‘orang yang sengaja

memasuki tempat yang berbahaya’

5) Asu belang kalung wang, artinya ‘orang tidak baik yang memiliki andalan

kekayaan’

Kedua, saloka yang menggunakan tumbuh-tumbuhan. Contohnya sebagai

berikut.

1) Ketepang ngrangsang gunung, artinya ‘cita-cita yang terlalu tinggi

dibanding dengan kemampuannya’

2) Kemladhean ngajak sempal, artinya ’orang yang ditolong atau saudara

yang mau menjerumuskan’

3) Timun wungkuk jaga imbuh, artinya ‘orang tidak mampu yang hanya

dipakai sebagai cadangan dalam urusan tertentu’

4) Cengkir ketindhihan kiring, artinya ‘kalah pengaruh dengan orang yang

lebih tua’

5) Jati ketlusuban ruyung, artinya ‘orang baik yang dipengaruhi oleh orang

jahat’

6) Tunggak jarak mrajak, artinya ‘keturunan orang tidak mampu yang bisa

hidup sukses’

7) Tunggak jati mati, artinya ‘keturunan orang mampu yang tidak sukses’

114

Page 115: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Ketiga, saloka yang menggunakan benda-benda mati. Contohnya sebagai

berikut.

1) Sumur lumaku tinimba (gong lumaku tinabuh), artinya ‘orang yang sangat

ingin digurui’

2) Tigan kapit ing sela, artinya ‘orang lemah dikeroyok orang yang kuat’

3) Bathok bolu isi madu, artinya ‘orang hina tetapi kaya kepandaian’

4) Lahang karoban manis, artinya ‘tampan dan berbudi halus’

(Padmopuspito, 1989: 63).

(3) Wangsalan

Wangsalan adalah bentuk ungkapan yang dinyatakan secara tidak

langsung, tetapi hanya dinyatakan melalui bentuk sejenis teka-teki yang

memiliki tebusan atau jawaban, dan dalam jawaban itu menyiratkan atau

berhubungan dengan maksud ungkapan tertentu. Jadi dalam wangsalan terdapat

jawaban teka-teki dan maksud ungkapan. Hubungan antara jawaban teka-teki

dengan maksud ungkapan, dapat berupa persajakan, kesamaan suku kata, atau

kesamaan kata tertentu. Agaknya kata wangsalan berhubungan dengan kata

wangsulan yang berarti ‘jawaban’.

Menurut Padmosoekotjo (tt, jld. II: 6) wangsalan dapat dibagi menjadi

beberapa jenis, yakni sebagai berikut.

1. Wangsalan lamba, yakni wangsalan yang terdiri atas satu kalimat yang terdiri

atas dua gatra dan hanya berisi satu jawaban teka-teki. Pada gatra pertama,

berisi teka-tekinya dan gatra kedua berisi jawabannya. Contohnya sebagai

berikut.

Pindhang lulang, kacek apa aku karo kowe. Pada gatra pertama, yakni

pindhang lulang, adalah teka-tekinya. Yang dimaksud pindhang lulang, yakni

sebagai jawaban teka-teki itu adalah krecek. Pada gatra kedua, yang berupa

maksud ungkapannya, berbunyi kacek apa aku karo kowe, terdapat kata

kacek. Kata kacek berhubungan dengan kata krecek, yakni dalam hal

kesamaan suku kata -cek.

2. Wangsalan rangkep, yakni wangsalan yang isi jawabannya lebih dari satu.

Wangsalan ini terdiri atas dua kalimat. Setiap kalimat terdiri atas dua gatra.

115

Page 116: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Pada kalimat pertama terdiri atas dua gatra yang berisi dua teka-teki. Pada

kalimat kedua, berisi maksud ungkapannya, yang berhubungan dengan dua

jawaban dari dua teka-teki pada gatra pertama. Contohnya sebagai berikut.

Jenang sela, wader kalen sesondheran

Apuranta, yen wonten lepat kawula.

Pada contoh ini, teka-tekinya adalah jenang sela dan wader kalen

sesondheran. Yang dimaksud dengan jenang sela adalah apu, dan yang

dimaksud dengan wader kalen sesondheran adalah ikan sepat. Baris kedua,

merupakan maksud ungkapan, yakni apuranta, yen wonten lepat kawula.

Kata apuranta berhubungan dengan kata apu, yakni kesamaan bunyi apu.

Sedang kata sepat berhubungan dengan kata lepat, yakni kesamaan bunyi -

epat.

3, Wangsalan memet, yakni wangsalan yang dalam menebak maknanya

menggunakan langkah dua kali. Sebagai contoh adalah uler kambang, yen

trima alon-alonan.

Pada contoh ini langkah pertama adalah menebak apa yang dimaksud dengan

uler kambang, yakni lintah. Langkah keduanya adalah kata lintah

dihubungkan dengan kata alon-alonan melalui kata saktitahe, karena kata

saktitahe bersinonim dengan kata alon-alon. Kata alon-alonan merupakan

padanan kata saktitahe. Kata saktitahe berhubungan dengan kata lintah, yakni

kesamaan suku kata -tah.

4. Wangsalan sehari-hari, yakni wangsalan yang jamak dipergunakan dalam

kehidupan sehari-hari. Wangsalan jenis ini sering menyebutkan batangan atau

jawabannya, dan sering juga tidak menyebutkan jawabannya karena

pendengar dianggap telah tahu maksud ungkapannya. Sebagai contoh

ungkapan kok njanur gunung ? yang maksudnya kok kadingaren ? Batangan

ungkapan janur gunung adalah pohon aren. Contoh lainnya ungkapan mbok

aja njangan gori ! Batangan ungkapan njangan gori adalah nggudheg.

Maksud ungkapan tersebut adalah agar jangan mbudheg ‘pura-pura tidak

mendengarkan’.

5. Wangsalan terpola atau dengan aturan tertentu, yakni 4 wanda (suku kata) + 8

wanda yakni termasuk wangsalan lamba, atau 4 wanda + 8 wanda X 2 baris,

116

Page 117: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

yakni termasuk wangsalan rangkep. Contoh yang termasuk wangsalan

lamba sebagai berikut.

Reca kayu, goleka kawruh rahayu . Reca kayu itu batangan-nya

(maksudnya) golek.

Ayam wana, ywa nasar tindak dursila. Ayam wana, batangan-nya bekisar.

Balung janur, mung sira mangka usada. Balung janur, batangan -nya

sada.

Carang wreksa, nora gampang nganggit basa. Carang wreksa, batangan-

nya pang.

Adapun contoh yang termasuk wangsalan rangkep sebagai berikut.

Sayuk karya, wulung wido mangsa rowang

Sayektine, wit saking bodho kawula.

Sayuk karya maksudnya saiyeg. Wulung wido mangsa rowang maksudnya

adalah burung bidho.

Balung pakel, gendheo sisaning kalong

kari loke, ketanggor padha jarote

Balung pakel maksudnya pelok, gendheo sisaning kalong maksudnya sontrot

6. Wangsalan edhi-peni, yakni wangsalan yang berupa wangsalan berpola yang

termasuk wangsalan rangkep, namun juga menekankan keindahan persajakan

(purwakanthi), yakni berupa purwakanthi guru swara (kesamaan bunyi

vokal), purwakanthi basa (purwakanthi lumaksita) (kesamaan bunyi pada

akhir gatra dengan bunyi yang mengikutinya (di awal gatra berikutnya).

Contohnya sebagai berikut.

Ancur kaca, kaca kocak munggwing netra

den rinasa, tindak mamak tan prayoga

Wangsalan tersebut berupa wangsalan terpola (4 suku kata + 8 suku kata),

sekaligus berupa wangsalan rangkep (dua baris). Pada baris pertama di akhir

gatra pertama terdapat kata kaca yang kemudian diikuti oleh awal gatra kedua

yang juga berupa kata kaca (purwakanthi lumaksita). Ancur kaca maksudnya

banyu rasa berhubungan dengan kata rinasa, kaca kocak munggwing netra

maksudnya tesmak berhubungan dengan kata mamak.

117

Page 118: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

7. Wangsalan yang terdapat dalam bentuk tembang. Wangsalan dalam tembang

disesuaikan dengan keperluan aturan dalam tembang yang bersangkutan.

Contohnya dalam tembang Kinanthi sebagai berikut.

Sang retna tansah anggandrung / anggung amurciteng galih / karan tyasira

gung rimang / yen enget angles ing galih / dhuwet alit rerentengan / mung

kang mas sun kelayoni (Babad Pasir IX. 24)

Batangan dari dhuwet alit rerentengan adalah kelayu. Kelayu berhubungan

dengan kata kelayoni.

(4) Parikan

Tentang arti kata parikan, terdapat dua pendapat yang berbeda yakni

sebagai berikut. Pendapat pertama, kata parikan terbentruk dari kata dasar pari

yang berarti ‘padi’ mendapat akhiran -an. Namun proses penambahan akhiran -

an tersebut dilalui dengan proses morfofonemis penambahan fonem glotal stop

/ k /, sehingga bukan parian tetapi parikan. Kata pari termasuk ragam ngoko

yang ragam krama-nya menjadi pantun. Dalam khasanah sastra Indonesia atau

Melayu juga terdapat istilah pantun, yang dalam beberapa hal memang mirip

dengan bentuk parikan dalan sastra Jawa. Oleh karena itu sering kali jenis

parikan Jawa dihubung-hubungkan dengan jenis pantun Indonesia atau Melayu.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa kata parikan berasal dari kata dasar

parik dan mendapat akhiran -an. Kata parik berdekatan arti dengan kata larik

yang berarti ‘baris’. Kata parik juga berdekatan arti dengan kata tharik-tharik

yang berarti ‘berturut-turut’ atau ‘teratur rapi’ (Padmopuspito, 1989: 69).

Menurut Padmosoekotjo (tt, jld. II: 16) parikan mempunyai aturan tiga

macam, yakni sebagai berikut.

a. Terdiri atas dua kalimat yang dalam ikatannya menggunakan

purwakanthi guru-swara (asonansi).

b. Tiap kalimat terdiri atas dua gatra.

c. Kalimat pertama sebagai sampiran dan isinya terdapat dalam kalimat

kedua.

Fungsi sampiran adalah untuk menarik perhatian agar yang diajak bicara

memperhatikan lebih dulu sehingga benar-benar menangkap isi pesan yang akan

118

Page 119: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

disampaikan. Makna kata-kata dalam sampiran kadang-kadang sama sekali tidak

berhubungan dengan makna pada bagian isi, namun kadang-kadang juga ada

hubungannya.

Berdasarkan jumlah suku katanya, parikan dapat dibagi menjadi tiga,

yakni sebagai berikut.

1. Parikan yang terdiri atas 4 wanda + 4 wanda X 2 baris. Contoh:

Iwak bandeng, durung wayu

Priya nggantheng, sugih ngelmu

2. Parikan yang terdiri atas 4 wanda + 8 wanda X 2 baris. Contoh:

Kembang adas, sumebar tengahing alas

Tiwas-tiwas, nglabuhi wong ora waras

3. Parikan yang terdiri atas 8 wanda + 8 wanda X 2 baris. Contoh:

Enting-enting gula jawa, sebungkus isine sanga

Kwajibane para siswa, kudu seneng nggubah basa.

Parikan yang dua baris itu bisa saja dijadikan empat baris, namun yang

jelas terdiri atas empat gatra. Sedang menurut Subalidinata, aturan tersebut di

atas masih ditambah dengan persajakannya, yakni gatra pertama bersajak dengan

gatra ketiga, gatra kedua bersajak dengan gatra keempat, atau bersajak a b a b

(Subalidinata, 1981: 65). Namun demikian bila ditinjau dari contoh-contoh di

atas tentu saja variasinya bersajak a a a a. Menurut Subalidinata, parikan seperti

contoh pertama di atas bisa dianggap seperti pantun kilat (karmina) dalam sastra

Indonesia atau Melayu.

Parikan juga sering dipergunakan dalam rangka gerongan, yakni

nyanyian yang disertakan dalam lagu-lagu gamelan atau gendhing. Parikan

dalam hal ini bersifat luwes, yakni menyesuaikan pada kebutuhan gatra dan

wanda dalam gendhing yang bersangkutan. Misalnya parikan pada gendhing

dolanan Suwe Ora Jamu (Pelog pathet nem) sebagai berikut.

2 3 3 1 2 3 . .

Su we o ra ja mu

1 2 2 3 1 2 . .

ja mu go dhong te la

3 5 5 6 6 5 5 4

119

Page 120: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

su we ra ke te mu te mu

4 2 2 1 1 6 . .

pi san ga we ge la

Pada perkembangannya, dalam percakapan sehari-hari juga sering

ditemukan bentuk parikan yang tidak lagi mengikuti aturan yang baku, yakni

jumlah wanda-nya lebih bebas. Contohnya sebagai berikut.

Ngetan bali ngulon, tiwas edan ora kelakon, atau

Si trondhol diedusi, tiwas bodhol jebul mung diapusi, dsb.

(5) Guritan dan Geguritan

Ada dua pendapat mengenai asal kata guritan. Pendapat pertama, kata

guritan berasal dari kata gurit mendapat akhiran -an. Gurit berarti ‘tulisan’ atau

‘pahatan’ atau ‘senandung’. Kata nggegurit dapat berarti ‘menggubah puisi atau

bersenandung’. Pendapat kedua, kata guritan terbentuk dari kata gurita dan

akhiran -an. Kata gurita berarti ‘tempat tulisan dari kayu’. Jadi guritan

merupakan ‘pahatan tulisan pada kayu’. Kiranya dua pendapat tersebut tidak

terlalu jauh berbeda, mengingat hasilnya adalah sebuah puisi.

Menurut Subalidinata (1981: 47), pada mulanya yang disebut guritan

adalah syair dengan persajakan a a a a. Misalnya pada syair Jawa klasik yang

berjudul Cohung sebagai berikut.

Cohung, cohung, ora gombak ora kuncung

anggepe kaya tumenggung

e-jreg e-nong, e-jreg e-gung

sisir gula jenang jagung

Menurut Padmosoekotjo (tt, jld II: 19) pada mulanya yang disebut

guritan mempunyai aturan tertentu, yakni sebagai berikut.

1. Jumlah barisnya tidak tertentu tetapi minimal 4 baris.

2. Jumlah suku katanya juga tidak tertentu tetapi setiap baris jumlah suku

katanya sama.

120

Page 121: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

3. Persajakan pada akhir barisnya (dhong-dhing) menggunakan

purwakanthi guru swara (asonansi) yang sama.

4. Pada banyak guritan, pada awalnya dimulai dengan ungkapan Sun

nggegurit, Sun anggurit, Sun gegurit, Sun gurit, atau Sun amarna,

dsb. yang bermakna ‘saya mengurit’ atau ‘saya gurit’, atau ‘saya

karang’.

Contoh: Sun nggegurit: Kaanan jaman saiki

sipat pemudha-pemudhi

srawungane saya ndadi

raket wewekane sepi

tan kadi duk jaman nguni

srawung sarwa ngati-ati

Pada perkembangannya, bentuk lelagon dolanan, meskipun jumlah suku

kata pada tiap barisnya tidak tetap, bahkan asonansinya juga tidak tetap, dapat

digolongkan sebagai guritan (Padmosoekotjo, tt, jld II: 20). Contohnya lelagon

Witing Klapa, sebagai berikut.

5 í 5 2 2 2 5 3 1 2 1 6 . . .

.

Wit ing kla pa lu gu ne mak sud pa ngrip ta

5 6 1 2 . 3 . 5 . í 6 5

. . . .

sung se su luh pra nu pik sa

2 3 2 5 . . . . 6 6 6 6 5 2 5

6 .

ma mrih bi sa mi lih a wa kil u ta

ma

5 6 í 5 2 . 6 . 1 5 2 3 1 . .

. .

tu hu bi sa na ta pra ja

Pada perkembangan terakhir, muncul istilah geguritan. Pada mulanya

geguritan tidak jauh berbeda dengan guritan, namun semakin lama semakin

121

Page 122: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

meninggalkan aturan-aturan yang berlaku, hingga menjadi bentuk puisi bebas.

Artinya, jumlah barisnya bebas, jumlah suku katanya bebas, persajakannya

bebas. Aturan-aturan yang ada dianggap sebagai bentuk yang menjenuhkan,

sehingga kalau pun terdapat sisa-sisa aturan yang dirujuk, sifatnya hanya pada

bagian-bagian tertentu saja. Misalnya, persajakan yang ada hanya pada baris-

baris tertentu, kesamaan jumlah suku katanya hanya pada baris-baris tertentu,

dsb. Sebagai contoh geguritan karya I Kunpriyatno, sebagai berikut.

Eligi I

pelabuhan sepi. Ora ana kapal kang budhal

megarake layar. Ora ana kapal kang teka ngoncalake

jangkar. Mung ana langit kang timbreng

tumelung ing kana. Sajak nyimpen prahara

pelabuhan sepi. Ora ana isyarat liwat

ora ana sasmita kumlebat. Mung ana ombak dolanan

mayit kang bosok ing pasir kuwi. Mayitku

: bima kang pralaya mungsuh naga manemburnawa

sawise siya-siya nglari sang dewa ruci

ing telenging samodra (Jayabaya, No. 36, Minggu II, Mei 2004)

3. Unsur-unsur Puisi Jawa Modern

Telah disinggung di atas bahwa secara umum sastra Jawa modern,

termasuk di dalamnya puisi Jawa modern, merupakan hasil pengaruh dari sastra

Melayu modern yang mengimpor sastra Barat. Dengan demikian kiranya tidak

dapat dipungkiri akan perlunya teori-teori yang mendukungnya terutama yang

berasal dari Barat, meskipun tidak serta merta teori itu sesuai dengan realitas

sastra Jawa. Di samping itu, tidak secara keseluruhan eksistensi puisi Jawa

modern merupakan hasil pengaruh dari Barat, karena sejarah kehidupan puisi

Jawa modern telah dijalani melalui berbagai kondisi yang ada dalam puisi Jawa

122

Page 123: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

tradisional, yang secara umum juga telah memiliki beberapa hal yang tanpa

disadari juga ada dalam sastra Barat.

Dalam hal puisi Jawa modern, pengaruh dari teori Barat adalah

dalam hubungannya dengan struktur puisi dengan berbagai unsur-

unsurnya, perihal intertekstual, hingga pemaknaan dan semiotiknya.

Dalam hal strukturnya, pengaruh itu tampak dalam kebebasan

pelarikan hingga pembaitannya termasuk monografinya, penekanan pada

diksinya, penggunaan bahasa kiasan, permainan bunyi persajakannya,

hingga ritme atau iramanya.

termasuk juga pertimbangan persajakannya (purwakanthi), 3

PURWAKANTHI, SASTRA MILIR (SELUIK BELUK SUBALI),

JAKAPRADOPO

ETIKA PERSAMAAN DAN ETIKA PERBEDAAN

3. Sastra Drama Jawa Modern

a. Pengertian Drama

Suatu hal yang perlu dicatat sebagai langkah awal untuk mengetahui

batasan-batasan mengenai karya sastra drama, adalah sebagaimana yang pernah

dilakukan oleh para pengamat drama, yakni dengan menelusuri etimologinya.

Harymawan (1993: 1) mencatat bahwa istilah drama berasal dari bahasa Yunani,

yakni dari kata draomai yang berarti ‘berbuat’, ‘berlaku’, ‘bertindak’,

‘berekreasi’ dsb. Sedang menurut Henry Guntur Tarigan (1984: 69), mengacu

pada Morris (1964), istilah drama berasal dari bahasa Greek, yakni dari kata dran

yang berarti ‘berbuat’. Dengan demikian, walau sedikit berbeda, pada dasarnya

dalam istilah drama terkandung makna ‘berbuat sesuatu’.

Istilah lain dari drama yang sering dipergunakan ialah lakon. Menurut

Seno Sastroamidjojo (1964: 98), kata lakon berasal dari bahasa Jawa laku yang

123

Page 124: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

sering diturunkan menjadi mlaku atau lumaku yang berarti ‘jalan’ atau

‘berjalan’. Kata lakon mengacu pada ‘sesuatu yang sedang berjalan’ atau ‘suatu

peristiwa atau kehidupan manusia sehari-hari’. Sedang dalam Kamus Istilah

Sastra (1986: 46), lakon berarti karangan berbentuk drama yang ditulis dengan

maksud untuk dipentaskan. Di samping lakon, yang merupakan istilah lain dari

drama adalah teater.

Menurut Tarigan (1984: 73) mengacu pada Encyclopedia Britanica, kata

teater adalah alihan dari bahasa Greek theatron yang berarti ‘tempat menonton’.

Di Indonesia kata teater sering diartikan sebagai ‘gedung pertunjukan’ atau

‘gedung film’. Namun kadang juga untuk menyebutkan pertunjukan itu sendiri,

khususnya drama. Seorang pakar atau pemain drama sering disebut dramawan

atau teaterawan. Dalam Kamus Istilah Sastra kata teater, selain berarti drama,

juga untuk menyebut kumpulan karya drama.

Istilah lainnya lagi yang juga sering dipergunakan ialah tonil atau

sandiwara. Tonil merupakan istilah yang berasal dari Belanda, toneel, yang

berarti pertunjukan, kejadian atau peristiwa (Kanzannudin, 1995: 84).

Menurut Suarsa (1988: 37) daripada mempergunakan istilah sandiwara,

para pengamat lebih suka mempergunakan istilah drama. Mbijo Saleh (1967: 26-

27), menyatakan bahwa istilah sandiwara diciptakan oleh KGPAA.

Mangkunegara VII, berasal dari bahasa Jawa sandhi yang berarti ‘rahasia’ dan

warah yang berarti ‘ajaran’. Sandiwara berarti pengajaran yang dilakukan

dengan perlambang. Menurut Adhy Asmara (1986: 9), istilah sandiwara mulai

populer di Indonesia pada Jaman Jepang (1942-1945). Dalam hal ini sandiwara

dapat berarti teks drama atau pertunjukan drama.

Lebih lanjut Harymawan (1993: 2) menyatakan bahwa drama diartikan

sebagai cerita tentang konflik manusia yang dipentaskan di depan penonton

dengan dialog-dialog dan aksi. Menurut Japi Tambayong (1981: 15) drama

adalah jenis sastra yang tersendiri dan istimewa, cerita yang unik, yang

merupakan perenungan akal dan perasaan pengarang, yang bukan sekedar untuk

dibaca tetapi dipertunjukkan untuk ditonton.

Dalam Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1986: 20) tertulius bahwa drama

adalah karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan

124

Page 125: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan dan dialog, lazimnya dirancang

untuk pementasan di panggung.

Dalam Kamus Istilah Drama (Kanzannudin, 1995: 19) drama adalah (1)

segala pertunjukan yang memakai gerak, (2) menurut orang Yunani, berarti

pertunjukan atau perbuatan, (3) menurut Aristoteles, berarti gambaran perbuatan

atau pertunjukan perbuatan seseorang, (4) menurut Brander Mathews, berarti

konflik dari sikap manusia, konflik ini merupakan sumber pokok dari suatu

drama, (5) menurut Moulton, berarti hidup yang dilukiskan dengan gerak, (6)

menurut Ferdinand Brunotierse, berarti yang melahirkan kehendak manusia

sebagai perbuatan atau action, (7) menurut Balthazar, berarti kesenian yang

melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak, (8) menurut Clay Hemilton

dan David Koning, sesuatu cerita yang dikarang atau disusun untuk

dipertunjukkan oleh para pelaku di atas pentas di depan penonton, (9) menurut

LH Hornstein, suatu karya sastra yang ditulis dalam bentuk percakapan dan

dimaksudkan untuk dipertunjukkan oleh aktor, (10) pertunjukan sebagai karya

seni yang tersusun dari kata-kata yang diucapkan, atau pertunjukan gerakan

dengan watak-watak khayal dan mempunyai subyek, laku, perkembangan,

puncak, dan konklusi, (11) menurut John E. Dietrich, cerita konfliks manusia

dalam bentuk dialog yang diproyeksikan dalam pentas dengan menggunakan

percakapan dan akting di depan penonton.

Sedang Henry Guntur Tarigan (mengacu pada beberapa pendapat dan

beberapa kamus) menyimpulkan tentang drama sbb.

1. Drama adalah salah satu cabang seni sastra

2. Drama dapat berbentuk prosa atau puisi

3. Drama mementingkan dialog, gerak dan perbuatan.

4. Drama adalah lakon yang dipentaskan di atas panggung

5. Drama menggarap lakon-lakon mulai dari penulisan hingga pementsannya

6. Drama membutuhkan ruang, waktu dan penonton

7. Drama adalah hidup yang disajikan dalam gerak

8. Drama adalah sejumlah kejadian yang memikat dan menarik

Dalam hubungannya dengan pertunjukan sastra, di samping hal-hal

tersebut di atas, hal lain yang juga harus diperhatikan adalah adanya pentas

125

Page 126: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

pembacaan puisi (Jawa: tembang dan geguritan) dan pembacaan prosa

khususnya cerpen (Jawa: cerkak) yang sering juga dipentaskan di depan

penonton. Dalam pembacaannya kadang-kadang juga berkolaborasi dengan

musik-musik tertentu sebagai pengiring, sehingga tampak seperti drama.

Kenyataan ini sering mengacaukan batasan-batasan drama di atas.

Hal lain yang juga harus dicatat adalah bahwa pada kenyataannya

terdapat teks drama (lakon) yang terlalu sulit untuk dipentaskan sehingga

memang tidak pernah dipentaskan, tapi hanya sebagai bacaan. Hal ini juga

terjadi pada jenis lakon yang memang ditujukan untuk dibacakan saja, misalnya

lakon untuk drama radio, yang hanya disiarkan melalui media dengar (audio).

Dengan demikian kiranya bisa dimengerti adanya pendapat bahwa karya sastra

lakon sebenarnya juga bisa dianggap otonom tidak tergantung pada

pementasannya, walau tujuan semula pembuatan naskah tersebut untuk

dipentaskan. Bagaimanapun juga teks lakon harus diperhatikan secara berbeda

dengan pementasan drama di panggung. Oleh karena itu pengamat drama juga

harus menempatkan pandangannya dan menyikapi secara berbeda pada kedua

seni tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan drama adalah karya

sastra yang ditulis dengan menekankan bentuk dialog dan lakuan, baik yang

ditulis dengan maksud untuk dipentaskan sebagai teater atau yang hanya untuk

dibacakan, misalnya sebagai drama radio.

b. Drama sebagai Lakon dan sebagai Seni Pertunjukan

Seni drama dalam arti luas bukanlah bagian dari seni sastra. Drama

merupakan bagian dari seni pertunjukan.

Boen S. Oemarjati dalam bukunya Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia

menggunakan kata lakon dan teater untuk menunjuk text play atau repertoir atau

teks drama tertulis dalam suatu naskah. Sedang H.B. Jassin ketika mengupas

sandiwara-sandiwara Usmar Ismail dalam bukunya Sedih dan Gembira,

menggunakan ketiga istilah tersebut, di samping juga istilah sandiwara, dalam

arti sebagai seni pertunjukan atau performance.

126

Page 127: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Pada kesempatan ini akan dipergunakan istilah lakon atau teks tertulis

untuk menyebutkan teks drama tertulis, dan istilah teater atau seni pertunjukan

(drama) untuk menyebutkan pementasan drama (penggunaan istilah ini semata-

mata untuk memudahkan pengertian saja). Kedua jenis seni tersebut (teks lakon

dan teater), di sini perlu diperjelas mengingat bahwa dalam khasanah drama di

Jawa kedua jenis seni tersebut berbeda namun sangat berhubungan erat dan

saling mempengaruhi sejarah perkembangan masing-masing jenis.

Menurut Tarigan (1985: 73) ada empat perbedaan pokok antara drama

sebagai teks drama tertulis atau lakon, dengan drama sebagai seni pertunjukan,

yakni:

1. Drama sebagai teks tertulis adalah hasil sastra milik pribadi (perorangan),

yaitu milik penulis drama tersebut; sedang drama sebagai seni pertunjukan

adalah seni kolektif.

2. Teks lakon memerlukan pembaca soliter; sedang drama sebagai seni

pertunjukan memerlukan penonton kolektif. Penonton menjadi faktor yang

sangat penting dalam drama sebagai seni pertunjukan.

3. Teks lakon masih memerlukan penggarapan sebelum dipentaskan menjadi

seni pertunjukan

4. Teks lakon adalah bacaan sedang drama sebagai seni pertunjukan adalah

tontonan.

Perbedaan tersebut membawa berbagai konsekwensi, baik dalam

hubungannya dengan penulis maupun bagi pembaca atau penonton. Oleh karena

itu Boen S. Oemarjati (1971: 60) menyatakan bahwa seorang penulis lakon

dalam menyusun lakon-lakonnya harus senantiasa ingat pada kondisi-kondisi

teatrikal (pementasan). Menurutnya, karya sastra yang berbentuk lakon belum

bisa dikatakan telah mencapai kesempurnaan bentuk bila belum sampai

dipentaskan sebagai seni pertunjukan. Meminjam istilah Luxemburg, dkk. (1989:

159), teks drama berkiblat pada pementasan.

Pada kenyataannya makna lakon sering menjadi sangat berbeda dengan

makna drama sebagai teater atau seni pertunjukan, walaupun sumber awalnya

(teks lakonnya) sama. Hal ini dikarenakan:

127

Page 128: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

(1) terjadinya jurang pemisah antara pemaknaan oleh pembaca soliter

dengan pemaknaan oleh sejumlah pemain pertunjukan (pembaca

kolektif),

(2) terjadinya improvisasi di panggung oleh pemain tertentu,

(3) penggarapan teater menyimpang dari teks lakonnya, yang sengaja

dilakukan oleh sutradara dan para pemain pertunjukan drama.

Teks lakon sering dipentaskan dengan penggarapan yang menyimpang.

Hal ini antara lain dikarenakan:

(1) Disesuaikan dengan latar belakang sosial budaya di tempat

pementasan drama tersebut.

(2) Disesuaikan dengan visi dan misi sutradara atau kelompok drama

yang bersangkutan.

(3) Karena permintaan dari pihak-pihak tertentu, misalnya kepolisian

atau pemerintahan penguasa.

(4) Karena pertimbangan nilai jual (mengacu pada penonton).

Oleh karena itu sering terjadi perubahan dari naskah lakon yang berisi

cerita klasik dipentaskan dalam bentuk modern, dari naskah lakon yang serius

dipentaskan menjadi komedi, dsb.

Berdasarkan uraian di atas, kiranya menjadi jelas bahwa, sekali lagi, teks

lakon harus dibedakan dengan teks pementasan (teater), karena sistem dan

tingkat pemaknaannya yang memang berbeda.

c. Unsur-unsur Drama

Drama sebagai tontonan sering memiliki berbagai unsur seni. Sebagai

contoh dalam pertunjukan wayang purwa terkandung unsur-unsur seni sastra,

seni musik, seni lukis, seni pahat, seni gerak/ tari, seni suara, seni panggung, dan

sebagainya. Seni sastra wayang tampak pada kandungan ceritanya, seni

musiknya tampak pada seni karawitannya, yakni penggarapan gendhing-

gendhing-nya (musik gamelan), seni lukisnya tampak pada gambar dan

permainan warna cat pada wayangnya, seni pahatnya tampak pada model seni

tatahan boneka wayangnya, seni tarinya tampak pada keterampilan dalang dalam

menggerakkan boneka wayangnya, seni suaranya tampak pada suara dalang,

128

Page 129: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

suara para niyaga, dan suara para pesindennya, sedang seni panggungnya tanpak

pada cara mengatur posisi perangkat gamelan, posisi simpingan wayang, posisi

dalangnya, posisi pesindennya, dan sebagainya yang semuanya disesuaikan

dengan kepentingan artistik dan fungsi lainnya. Berbagai unsur seni tersebut, di

dalamnya masih banyak unsur-unsur yang lebih kecil yang memerlukan

pembicaraan tersendiri. Namun demikian di bawah ini akan ditekankan unsur-

unsur drama yang merupakan bagian dari seni sastranya.

Dalam rangka seni sastranya, secara tertulis ada beberapa unsur penting

dalam drama yang perlu dibicarakan, antara lain (1) teks samping dan teks

pokok, (2) alur, pembabakan dan adegan, (3) dialog, lakuan dan penokohan, (4)

seting atau latar, (5) tema dan (6) amanat. Disamping itu masih ada hal yang

perlu diperhatikan dalam drama, yakni konvensi yang mengikatnya. Hal ini

terutama karena karya sastra drama ditujukan kepada orang lain untuk dibaca

dan atau dipentaskan, sehingga terdapat konvensi yang mengikat di antara

mereka.

1) . Teks Samping dan Teks Pokok

Apabila dicermati lebih lanjut, sebenarnya dalam drama, dapat

ditemukan dua jenis teks, yakni (1) teks yang berisi dialog-dialog atau monolog

para pelaku, dan (2) teks yang berisi berbagai keterangan atau penjelasan tentang

pelaku dan lakuannya, termasuk keterangan tentang berbagai pengiring pelaku

dan lakuannya. Jan Van Luxeburg, dkk. (1989: 164-167) menyebutkan kedua

jenis teks tersebut sebagai teks pokok dan teks samping. Teks pokok adalah teks

yang berisi dialog dan monolog, sedang teks samping adalah teks yang berisi

berbagai keterangan atau penjelasan tentang teknis pementasannya, yang

mendukung teks pokok.

Pada bentuk drama tertulis atau lakon, teks samping yang berisi tentang

berbagai penjelasan tersebut, sifatnya asli dan terbatas. Asli artinya dibuat oleh

pembuat naskah lakon. Sedang yang dimaksud dengan terbatas adalah hanya

terbatas oleh apa yang dituliskan dalam teks lakon itu saja. Sedang pada bentuk

seni pertunjukan, bila pertunjukan tersebut ditranskripsikan, teks samping akan

diisi oleh penonton atau pengamat sebagai suatu laporan secara cermat dan

129

Page 130: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

lengkap. Semakin cermat pengamatan akan semakin lengkap transkripsi teks

sampingnya. Oleh karena itu teks samping dalam seni pertunjukan sudah

merupakan hasil pengamatan penonton atau bahkan merupakan penafsiran

penonton dari penafsiran sutradara dan pemain teater. Oleh karena itu pula

sifatnya sudah tidak asli dan sangat mungkin banyak perubahan-perubahan atau

tambahan-tambahan dari teks samping dalam teks lakonnya.

Pembicaraan tentang teks samping dan teks pokok menjadi penting

mengingat makna drama, yang sangat ditentukan oleh lengkap tidaknya

intensitas teks samping. Pada kenyataannya terdapat drama yang hanya berisi

dialog-dialog saja, sama sekali tidak ada teks sampingnya. Pada bentuk seperti

ini Luxemburg dkk. menyebutnya sebagai drama mutlak. Dalam drama mutlak,

oleh karena tanpa teks samping sama sekali, maka konsekwensinya, berbagai

penjelasan yang mestinya diperlukan, secara bebas boleh diisi oleh pembaca

sebagai hasil dari penafsiran dari teks pokoknya. Dengan demikian makna pada

bentuk drama mutlak, relatif sangat multi interpretabel, sangat beragam

tergantung para pembaca sebagai penafsirnya.

Sebaliknya, drama yang mengandung teks samping yang sangat lengkap

dan detail, maknanya sangat ditentukan oleh drama itu sendiri. Semakin lengkap

dan detail teks sampingnya, akan semakin menentukan penafsiran maknanya,

sehingga keberagaman pemaknaan drama tersebut juga semakin terbatas.

2). Alur, Pembabakan dan Adegan-adegannya

Alur adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek

tertentu. Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal dan hubungan

kausal. Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka atau dijalin dengan seksama,

yang menggerakkan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian

(Sudjiman,1986: 4).

Alur mempunyai bagian-bagian yang dapat dikenali sebagai permulaan,

pertikaian, perumitan, puncak, peleraian dan akhir. Dalam permulaan pengarang

memperkenalkan tokoh-tokohnya. Akibat hubungan antar tokoh, terjadilah

peristiwa dan timbulah pertikaian, baik pertikaian lahir maupun pertikaian batin

dalam diri tokoh. Dalam perumitan mulai diungkapkan persentuhan konflik,

130

Page 131: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

perbenturan antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Kemudian terus

menggawat sampai klimaks. Klimaks atau puncak merupakan kelanjutan logis

dari perumitan atau penggawatan, kelanjutan dari penggawatan jaringan konflik

secara wajar atau masuk akal. Puncak itu memerlukan penyelesaian sebagai

peredaannya. Di puncak itulah diungkapkan pergumulan konflik dengan

tegangan paling kuat. Dari puncak itu, cerita menuju akhir, baik melalui

peleraian ataupun tidak, karena puncak itu sendiri bisa menjadi akhir cerita.

Dengan kata lain akhir cerita tidak selalu berupa penyelesaian permasalahan

(Mido, 1982: 11).

Alur dalam drama sedikit berbeda sarananya bila dibandingkan dengan

alur pada jenis sastra prosa. Ada dua macam perbedaan yang mendasar. Pertama,

dalam bentuk prosa biasanya alur dibangun melalui kisahan atau ceritaan atau

narasi, sedang dalam drama, pada umumnya alur dibangun melalui adegan-

adegan dan pembabakan yang di dalamnya berisi dialog-dialog atau lakuan para

pelaku. Oleh karena itu struktur adegan menjadi sangat penting untuk

menentukan permainan alur agar suatu drama menjadi lebih menarik dan tidak

membosankan dari segi perkembangan alurnya. Kedua, permainan alur dalam

drama tidak seluwes dalam bentuk prosa. Dalam prosa, alur dapat dipermainkan

dengan leluasa, dibolak-balik linearitasnya, sehingga bisa dilakukan sorot balik

secara berulang-ulang. Dalam bentuk drama, secara teknis hal semacam itu

menyulitkan, baik teknis pementasannya maupun kemungkinan keberterimaan

penontonnya. Perlu diingat bahwa menonton informasi yang sama hanya bisa

terjadi sekali, sedang dalam membaca informasi yang sama bisa diulangi berkali-

kali.

Pada umumnya dalam drama tradisional, alur disusun secara urut

sebagaimana alur linear yang ditentukan oleh urutan waktu kejadian. Apabila

diperlukan pengisahan tentang peristiwa yang terjadi di waktu yang lampau,

cukup dilontarkan atau diceritakan oleh seorang atau beberapa pelaku, tanpa

harus diadakan lakuan secara langsung. Dalam drama modern hal semacam itu

bisa disiasati dengan menampilkan lakuan secara langsung berbagai kejadian

yang latar waktunya lebih lampau, baik dengan menggunakan petunjuk atau

tanda adanya flash back dalam dialog, maupun tidak. Bila tidak, tentu saja

131

Page 132: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

dialog-dialog didalamnya diharapkan dapat mewakili penjelasan bahwa

kejadiannya merupakan kejadian di masa lampau.

Jadi dalam drama tradisional, pada umumnya alur dibangun secara setia

dari latar waktu yang awal, tengah, hingga waktu terakhir. Dalam drama dikenal

istilah permulaan atau eksposisi, pertengahan atau komplikasi dan akhir atau

resolusi.

Pada tahap eksposisi, dipaparkan berbagai kejadian awal yang menjadi

latar belakang terjadinya berbagai peristiwa di babak selanjutnya. Pada tahap

komplikasi disuguhkan berbagai konflik serta perkembangannya. Di sinilah

terjadi pertemuan antar berbagai visi dan misi dari tokoh-tokohnya, sehingga

terjadi konflik-konflik. Konflik tersebut semakin memuncak hingga mencapai

klimaks, yang kemudian mendapatkan pemecahan-pemecahan atau peleraian.

Tahap peleraian inilah yang disebut sebagai tahap resolusi. Alur yang demikian

itu biasanya digambarkan sbb.

Klimaks

Komplikasi

Eksposisi Peleraian

Permulaan Akhir

Bagian klimaks biasanya ditandai dengan kejadian yang merupakan titik

perubahan penting atau crucial shift bagi nasib atau perilaku atau keberhasilan

tokoh-tokoh utamanya. Sedang bagian akhir suatu drama, ditinjau dari nasib

tokoh utamanya, bisa digolongkan menjadi dua macam, yakni berakhir bahagia

(happy ending) atau tidak (unhappy ending). Ditinjau dari penyelesaiannya,

seperti halnya pada jenis prosa fiksi, drama juga bisa berakhir dengan

penyelesaian segala permasalahan yang dikembangkan di bagian depan, namun

juga bisa berakhir dengan isyarat masih adanya permasalahan atau dibukanya

permasalahan baru. Sebagai contoh pada drama yang, misalnya, diberi judul

132

Page 133: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Drakula di Kota Bandung, bisa saja diakhiri dengan membunuh drakulanya.

Namun ketika drakula itu terkapar sekarat, seorang kurir memberitakan pada

tokoh utamanya bahwa saudaranya yang di Jakarta, menelephon dengan suara

terengah-engah, karena sedang dikejar drakula yang lain. Ketika tokoh utamanya

tercengang, drama itu berakhir.

Contoh lain, pada drama wayang purwa kadang terjadi pada akhir cerita

disebutkan bahwa suatu kejadian akan terjadi pada lakon lain. Lakon kematian

Kala Bendana diakhiri oleh cerita dalang bahwa sukma Kala Bendana akan tetap

menanti Gathutkaca hingga kelak pada lakon Gathutkaca Gugur (kematian

Gathutkaca). Lakon Pendhawa Dhadhu diakhiri oleh cerita dalang bahwa

sumpah drupadi (bahwa ia tidak akan mandi keramas bila belum keramas dengan

darah Dursasana) akan berakhir bila ada lakon Dursasana Gugur, dsb.

Penentuan pembabakan dan adegan-adegan dalam drama tergantung pada

permasalahan yang dibangun dan latar tempat yang ada dalam cerita. Pada

umumnya setiap latar tempat yang berbeda bisa dijadikan sebagai adegan baru,

karena di tempat itu lakuan dan dialog tokoh-tokohnya juga berbeda dengan di

tempat lain. Sedang pembabakannya ditentukan oleh kesatuan permasalahan dan

tempatnya sekaligus, sehingga bisa dipisahkan dengan babak yang lain. Dalam

satu babak bisa saja berisi satu adegan, namun juga bisa berisi beberapa adegan.

Dalam wayang purwa, misalnya, babak pertama biasanya berisi adegan di istana,

lalu adegan di keputren (kedhatonan) (ruang permaisuri), dan adegan di paseban

jawi (di luar istana) atau di alun-alun. Oleh karena itu satu kesatuan cerita bisa

saja dijadikan menjadi satu babak saja atau beberapa babak. Bila terbagi menjadi

beberapa babak, bisa dipentaskan dalam satu malam, tapi juga bisa dipentaskan

dalam beberapa malam.

3). Dialog, Lakuan dan Penokohan

Di atas sudah disinggung bahwa setiap adegan dalam drama berisi lakuan

dan dialog para tokohnya. Dialog dalam drama berfungsi sebagai penggerak alur

cerita drama. Di samping itu, dialog dalam drama merupakan cerminan dari

penokohan, bahkan sebenarnya penokohan dalam drama dapat ditentukan oleh

dialognya saja, tanpa harus dicari dari penjelasan lain. Hal ini terbukti dengan

133

Page 134: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

adanya teks drama yang disebut drama mutlak, yang hanya berisi dialog-dialog,

tanpa adanya teks samping. Oleh karena itu dalam drama mutlak, secara ideal

menuntut kelengkapan dialog. Hal ini merupakan keunggulan sekaligus

kelemahan drama mutlak. Keunggulannya drama mutlak bersifat luwes, karena

sutradara dan pelaku lebih bebas menafsirkan lakuannya. Kelemahannya,

menuntut konsekwensi lebih lanjut, yakni kelengkapan dialog sehingga terlalu

panjang dan bertele-telenya drama. Hal ini berakibat sangat membosankan.

Dengan demikian tidak mengherankan bila pada umumnya drama memerlukan

teks samping untuk mewadahi berbagai penjelasan yang tidak perlu ditampilkan

secara langsung dalam pementasannya. Oleh karena itu pula dialog dalam drama

harus efektif dan efisien, artinya harus benar-benar mampu menjelaskan secara

tuntas berbagai visi dan misi dalam dialog yang sesingkat-singkatnya, serta

sekaligus harus harus mempertimbangkan kewajaran atau bersifat alamiah.

Sehubungan dengan hal di atas, menurut Tarigan (1985: 77), dialog

dalam drama harus memenuhi dua hal, yakni dapat (1) mempertinggi nilai gerak,

artinya dialog harus wajar tapi menarik, harus mencerminkan pikiran dan

perasaan para tokohnya dan (2) harus baik dan bernilai tinggi, artinya harus lebih

terarah dan teratur dari pada percakapan sehari-hari. Jadi dialog harus jelas,

terang dan menuju sasaran. Dari uraian tersebut tampak sekali bahwa dialog

dalam drama menduduki peranan terpenting.

Penokohan dalam drama, disamping dituangkan dalam bentuk dialog,

juga dijelaskan dalam teks samping yang berisi pemerian tentang ciri-ciri dan

lakuan tokoh yang bersangkutan, misalnya penamaannya, jenis kelaminnya,

usianya, bentuk tubuhnya, potongan rambutnya, bentuk bibirnya, dsb., serta

bagaimana gerak dan tingkah laku tokoh yang bersangkutan dalam setiap dialog,

setiap adegan, setiap babak, hingga keseluruhan cerita drama. Lakuan tokoh-

tokoh dalam drama dapat dituliskan dalam teks samping secara panjang lebar

atau diperikan hingga sejelas mungkin, tapi juga bisa hanya diperikan garis

besarnya saja. Bila dituliskan secara terperinci, penokohannya menjadi semakin

jelas, namun akan lebih sulit dilaksanakan dalam pementasan. Sebaliknya, bila

lakuan itu tidak diperikan secara detail, penokohannya sangat tergantung dari

134

Page 135: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

penafsiran subyektif pembacanya, namun lebih mudah pelaksanaan

pementasannya.

Penokohan dalam drama, sama seperti dalam bentuk fiksi prosa, dapat

dibagi menurut peranannya dalam keseluruhan cerita sehingga dikenal tokoh

utama, tokoh andalan dan tokoh bawahan. Tokoh utama yakni tokoh yang secara

intensif menduduki peranan penting yakni sebagai tokoh sentral dalam tema

pokok cerita. Tokoh andalan adalah tokoh yang berperanan membantu tokoh

utama untuk menyampaikan pikiran-pikiran dan perasaan tokoh utama. Tokoh

andalan ini biasanya dihadirkan untuk menghindari monolog pada tokoh utama.

Sedang tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang tidak berperanan penting dalam

hubungannya dengan tema pokok, tetapi diperlukan untuk membantu

memperjelas pokok-pokok pikiran dalam cerita, membantu perumitan alur

sehingga lebih estetis sekaligus lebih realistis. Lebih estetis maksudnya alurnya

tidak terlalu sederhana sehingga tidak mudah ditebak kelanjutannya. Lebih

realistis maksudnya tidak didominir oleh tokoh utama saja.

Dalam hubungannya dengan tujuan hidup, cita-cita atau perjuangan

tokoh utama dapat dibagi menjadi tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh

protagonis lazimnya disamakan dengan tokoh utama. Sedang antagonis adalah

tokoh yang selalu melawan atau menghadang tujuan hidup, cita-cita atau

perjuangan protagonis.

Dalam drama Jawa tradisional, tokoh-tokoh protagonis dan antagonis

sengaja dibedakan secara sangat jelas dalam penampilannya, baik tingkah

lakunya, cara berbicara, cara berpakaian, make up-nya, dan sebagainya. Tokoh

protagonis identik dengan kehalusan sedang tokoh antagonis selalu serba kasar,

baik fisik maupun tingkah laku. Dalam jenis kethoprak, tokoh-tokoh antagonis

sering disebut brasak atau brasakan, selalu digambarkan sebagai tokoh yang

kasar, make up dan asesorisnya serba kasar dan berlebihan, bila tertawa

terbahak-bahak, bertindak dan berbicara dengan keras dan kasar, egois, dan

sebagainya. Sedang tokoh protagonis yang diwakili oleh tokoh bambangan alus,

selalu tampil dengan halus, make-up dan asesoris sederhana, berbudi pekerti

halus dan ideal. Dalam wayang purwa tokoh-tokoh kesatria protagonis diikuti

oleh tokoh-tokoh Panakawan, yakni Semar, Gareng, Petruk dan Bagong dan

135

Page 136: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

dikategorikan sebagai satriya tanah Jawa. Tokoh-tokoh kesatria halus sering

digambarkan lebih kecil dan halus. Sedang tokoh-tokoh antagonis diikuti oleh

abdi Togog dan Mbilung (Saraita). Tokoh-tokoh antagonis sering digambarkan

sebagai tokoh yang berasal dari sabrang atau tokoh sabrangan. Biasanya tokoh-

tokoh sabrang digambarkan sebagai raksasa yang relatif lebih besar dari para

kesatria halus. Tokoh antagonis juga berada di pihak para Korawa yang juga

serba kasar, egois, dsb.

Menurut perkembangan watak dan nasib hingga perkembangan

kejiwaannya dapat dikenal tokoh bulat dan tokoh pipih. Tokoh bulat adalah

tokoh yang karena nasibnya membuat perwatakannya hingga kejiwaannya

berkembang, bahkan bisa bertolak belakang. Contohnya, tokoh yang semula

berwatak baik, karena keadaan tertentu menjadikan wataknya dan kejiwaannya

berkembang hingga menjadi tokoh yang berwatak buruk. Sedang tokoh pipih

atau sering disebut juga tokoh datar, adalah tokoh yang perkembangan

perwatakannya relatif kecil atau bahkan tidak berkembang sama sekali. Menurut

Kuntowijoyo (1984: 127-129), dalam sastra tradisional, perwatakan tokoh-

tokohnya, relatif tidak dikembangkan kejiwaannya karena perwatakan tokoh-

tokoh tersebut terbentuk lebih dahulu oleh tipe-tipe ideal dalam masyarakatnya.

Dengan demikian relatif perwatakannya datar atau pipih. Penggambaran tersebut

sesuai dengan penokohan dalam drama-drama tradisional, khususnya dalam

wayang purwa. Dalam wayang purwa penokohan semacam itu memang menjadi

ciri khasnya. Dengan kata lain tokoh-tokoh dalam wayang purwa tidak

ditekankan dari sisi psikologisnya tetapi dari sisi perkembangan kejadiannya.

Hal ini akan dijelaskan lagi dalam bagian yang membicarakan tentang wayang

purwa.

Tentu saja, penokohan tersebut sedikit berbeda dengan yang terjadi

dalam drama tradisional yang berupa kethoprak. Hal ini dikarenakan sejumlah

lakon kethoprak diambil dari cerita babad yang notabene merupakan sejarah

yang pernah terjadi. Dengan demikian penokohannya relatif lebih beragam

perkembangannya dan sebagian besar tidak ditentukan atau tidak didikte oleh

idealisme masyarakatnya, namun lebih ke arah realitas.

136

Page 137: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

4). Latar atau Seting

Latar atau seting, merupakan dasar pijak atau landas tumpu bagi

peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Secara umum, latar dapat dibagi menjadi

empat, yakni latar tempat, latar sosial, latar waktu, dan latar suasana. Latar

berfungsi membantu memberikan pencitraan tokoh-tokohnya (penokohan) secara

tidak langsung. Misalnya tokoh-tokoh yang berwatak buruk dan keras bisa

dibantu pencitraannya melalui latar yang serba tidak teratur, berantakan,

gersang, di kolong jembatan, di keramaian kota, siang hari yang panas,

kegerahan, dsb.

Cara penggambaran latar dalam drama sedikit berbeda dengan sastra

prosa, karena tujuan penulisannya yang diperuntukkan sebagai pentas di

panggung. Oleh karena tujuan itu, latar dalam drama dapat dibagi menjadi dua,

yakni:

(1) yang ditujukan untuk sutradara dan para pemain drama dan

(2) yang ditujukan untuk para penonton.

Pada umumnya latar dalam drama dituliskan dalam teks samping sebagai

keterangan pemandu bagi sutradara dan pemain drama. Namun demikian,

khususnya berbagai hal yang berhubungan dengan suasana yang tidak cukup

dijelaskan dalam teks samping, harus dimunculkan dalam bentuk dialog. Dalam

teks samping, latar hanya dituliskan pada bagian sebelum atau awal adegan atau

awal babak saja. Karena tujuannya dipanggungkan, tentu saja jarang ada

penggambaran latar tempat dalam drama yang terjadi di perjalanan, yang pada

realitas kehidupan sering berpindah-pindah dan berubah-ubah karena bergerak

dari satu tempat ke tempat lain. Hal yang demikian itu hanya bisa dimainkan

dalam drama yang bermedia film, drama radio, atau dimunculkan dalam bentuk

dialog sebagai penjelasan bagi penonton atau pendengar.

Dalam drama panggung terdapat konvensi yang menyatakan bahwa suatu

peristiwa terjadi pada saat itu dan di situ (pada saat dipentaskan itu dan di

panggung yang bersangkutan itu). Dalam panggung wayang purwa, sering kali

sang dalang mengatakan bahwa padha papane amung beda caritane awit dumadi

saka sapanggung (sama tempatnya berbeda ceritanya karena terjadi dalam satu

panggung). Dalam hubungannya dengan hal itu, bila drama itu hanya ditujukan

137

Page 138: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

untuk dipentaskan di panggung, suatu latar tempat yang berupa nama tempat

atau latar waktu yang berupa nama hari tertentu atau jam tertentu, atau latar

suasana tertentu, yang ditekankan secara khusus, agar dapat diketahui penonton

drama yang bersangkutan, maka perlu disebutkan oleh tokoh-tokohnya dalam

bentuk dialog pada adegan masing-masing. Misalnya suasana mistis pada malam

Jumat Kliwon yang bagi latar sosial tertentu, seperti suku Jawa, mengandung

makna khusus, tentu saja tidak cukup dituliskan dalam teks samping, jadi perlu

dilontarkan melalui dialog bahwa saat itu malam Jumat Kliwon. Latar suasana

yang demikian itu bisa dibantu dengan berbagai lakuan seperti membakar

kemenyan, dsb., yang dapat dijelaskan atau dituliskan dalam teks samping.

5). Tema dan Amanat dalam Drama

Penulis naskah lakon, mencipta bukanlah semata-mata mencipta, tetapi

untuk menciptakan pesan atau amanat kepada masyarakat, kepada bangsa,

bahkan kepada seluruh manusia dan kemanusiaan. Penulis naskah lakon

mencipta untuk menyuguhkan persoalan kehidupan manusia, baik kehidupan

batiniah maupun lahiriah, yakni pikiran (cipta), perasaan (rasa), dan kehendak

(karsa). Teknik penyampaian pesan itu dapat secara langsung atau tidak

langsung, tersurat, tersirat atau simbolik (Satoto, 1985: 16).

Adapun tentang tema, M. Saleh Saad menyatakan bahwa tema karya

sastra adalah sesuatu yang menjadi pikiran pokok, sesuatu yang menjadi

persoalan bagi pengarang. Di dalamnya terbayang pandangan hidup atau cita-

cita pengarang, cara ia melihat persoalan itu. Persoalan itulah yang dihidangkan

pengarang, yang kadang-kadang dihadirkan pemecahannya sekaligus.

Pemecahannya itulah yang diistilahkan dengan amanat (Mido, 1982: 9). Kalau

tema dalam lakon merupakan ide sentral yang menjadi pokok persoalannya,

maka amanat merupakan pemecahannya. Tema dan amanat dalam seni sastra

sebaiknya disesuaikan dengan kondisi lingkungannya (Satoto, 1985: 16).

Dalam drama Jawa sebagian besar tema-tema yang ada bersifat istana

centris, baik yang bersumber pada cerita wayang purwa maupun yang diambil

dari sumber serat-serat babad. Tema-tema istana centris inilah yang sering

dipentaskan dalam drama-drama tradisional Jawa, seperti dalam berbagai jenis

138

Page 139: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

drama wayang dan kethoprak. Adapun tema-tema modern yang mengetengahkan

kehidupan masyarakat modern mulai tergarap sejak munculnya drama Jawa

modern atau sandiwara modern yang keberadaannya telah mendapat pengaruh

dari budaya drama bangsa-bangsa Barat.

Amanat pada jenis lakon wayang pada umumnya, teknik penyampaian

pesannya menggunakan cara simbolik. Wayang itu sendiri merupakan karya seni

yang bersifat simbolik (Satoto, 1985: 16). Jalan cerita wayang secara simbolik

juga mengandung amanat, namun juga tidak tertutup kemungkinan penyampaian

amanat secara eksplisit, antara lain berupa ajaran yang disampaikan oleh seorang

pandita kepada seorang kesatria (setelah adegan gara-gara), disampaikan oleh

tokoh-tokoh abdi kepada sesama abdi (pada adegan gara-gara atau limbukan),

abdi kepada tuannya (adegan sabrangan atau adegan kesatria), atau abdi kepada

masyarakat penonton secara langsung (adegan limbukan atau gara-gara). Bahkan

setiap tokoh mungkin saja dibebani amanat oleh pengarang atau dalang. Menurut

Wibisono (1987: 8) semakin akrab dengan konvensi pedalangan akan semakin

mudah untuk membaca amanat yang tersurat maupun yang tersirat dalam lakon

wayang.

6). Konvensi dalam Drama

Yang dibicarakan di atas, pada dasarnya merupakan unsur-unsur yang

secara teoritis termasuk dalam unsur struktur intrinsik drama. Masih ada unsur

lain yang sesungguhnya tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam

memahami drama, yakni yang berhubungan secara langsung dengan masyarakat

pendukang drama yang bersangkutan. Unsur yang dimaksud adalah konvensi

dalam drama.

Teks drama ditulis dengan mengacu pada kemungkinan pementasannya.

Pementasan drama, di samping harus mempertimbangkan berbagai inovasi

pembaharuan, juga harus selalu mengacu pada berbagai aturan main yang telah

bersifat konvensional dalam pementasan-pementasan sebelumnya. Hal ini

menjadikan teks drama sangat terikat pada berbagai konvensi yang ada, baik

konvensi penulisan maupun konvensi yang ada dalam pementasan. Di samping

konvensi yang bersifat umum sebagai seni pertunjukan, setiap jenis drama

139

Page 140: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

memiliki kekhasannya masing-masing dalam hubungannya dengan konvensi

yang melekatinya

Dalam bentuk drama tradisional, konvensi yang ada dalam pementasan

akan semakin dipatuhi pada saat menulis maupun mementaskan drama. Hal ini

dikarenakan penulis dan pemain drama tradisional mengacu pada kemungkinan

keberterimaan masyarakat pada apa yang dihasilkannya. Inovasi dalam drama

tradisional, pada umumnya hanya dapat diterima bila inovasi tersebut berada

pada unsur-unsur atau bagian-bagian tertentu yang memang tersedia untuk

dipakai sebagai unjuk kebolehan dengan berbagai inovasi.

Dalam drama Jawa tradisional, wayang purwa misalnya, struktur drama

wayang purwa sangat terikat oleh berbagai konvensi yang ada dalam tradisi yang

bersangkutan (Wibisono, 1987: 8). Dalam wayang purwa dikenal beberapa

tradisi yang ada di Jawa, antara lain tradisi Surakarta, tradisi Yogyakarta, tradisi

Banyumasan, dan tradisi pesisiran. Berbagai konvensi dari masing-masing tradisi

yang ada dalam wayang purwa, pada gilirannya akan tampak menonjol pada

setiap unsur dramatiknya, baik dalam rangka pementasannya maupun dalam teks

sastranya.

Dalam drama modern, konvensi yang ada relatif lebih sedikit dibanding

dengan jenis-jenis drama tradisional. Oleh karena itu di sana-sini sangat terbuka

untuk disisipkan inovasi. Bahkan berbagai konvensi yang ada sangat rentan

untuk diabaikan atau bahkan diberontaki. Namun demikian bukan berarti bahwa

dalam drama modern tidak ada konvensi yang berlaku, karena setiap jenis drama

akan mengacu pada tujuan dan fungsinya yang berhubungan dengan masyarakat.

Dengan demikian keberterimaan masyarakat akan selalu menjadi titik tolak yang

diperhitungkan. Hal itulah yang menjadi tempat berperannya konvensi drama.

d. Sejarah Singkat Drama Jawa

Jenis drama, khususnya drama Jawa tidak banyak dibicarakan orang.

Namun demikian pada kenyataannya, seperti yang pernah dikatakan

Sumardjono, penulis naskah sandiwara RRI Yogyakarta (Via Hutomo, 1983:

62), orang-orang Jawa mengenal sastra Jawa, baik cerita wayang maupun babad,

140

Page 141: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

sebenarnya melalui drama, yakni drama tradisional, wayang purwa, wayang

wong, kethoprak dan sebagainya.

Drama dalam pengertian yang luas, yakni sebagai seni pertunjukan,

sebenarnya telah lama sekali dikenal di Jawa, khususnya drama wayang. Ir. Sri

Mulyono dalam bukunya Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya

(1978), mengumpulkan berbagai pendapat yang menyatakan bahwa drama

wayang telah ada sejak zaman Jawa Kuna, antara lain yang terdapat dalam

prasasti Balitung (907 M) yang menuliskan “mawayang buat Hyang” dan adanya

lakon “Bhimaya Kumara”. Sebelumnya, yakni pada prasasti Jaha (tahun 840 M)

juga ditemukan istilah aringgit yang berarti ‘petugas yang mengurus wayang

kulit’ (Bandem, 1996: 22).

Di samping dalam bentuk wayang kulit, dalam bahasa Jawa Kuna juga

dikenal istilah wayang wwang yang berarti wayang wong atau wayang orang.

Istilah wayang wwang ditemukan pada prasasti Wilmalasrama (abad X).

Diperkirakan wayang wwang tersebut berbentuk drama tari topeng dengan

membawakan cerita Mahabarata dan Ramayana. Bahkan dalam prasasti Jaha

(tahun 840 M) pertunjukan drama tari topeng dengan cerita dari Mahabarata dan

Ramayana telah ada dengan istilah atapukan. Istilah atapukan ini masih

ditemukan dalam kitab Pararaton dari abad ke-16. Istilah lain dalam bahasa Jawa

Kuna yang berarti drama tari topeng adalah raket (terdapat dalam kitab

Negarakertagama, dari abad ke-14) dan patapelan (terdapat dalam Kidung

Sunda, dari abad ke-16). Schrieke dan Pigeaud berpendapat bahwa raket adalah

drama tari topeng yang membawakan cerita Panji. Dalam perkembangannya

drama tari topeng tersebut berubah menjadi drama tari tanpa topeng, seperti di

Bali dikenal dengan sebutan gambuh (Soedarsono, dalam Ben Soeharto, dkk.,

1999: x). Dalam prasasti Trowulan-Mojokerto yang bertahun 1358 M.

disebutkan bahwa raja Hayam Wuruk dari Majapahit berperan sebagai badut

dalam teater topeng (Bandem, 1996: 22).

Wayang dari Jawa Kuna tersebut terus berkembang baik dari segi bentuk

bonekanya maupun ceritanya. Tentu saja perkembangan tersebut juga diikuti

perkembangan berbagai bentuk dan pola-pola dramatiknya. Sesudah kerajaan

Majapahit runtuh akhir abad ke-15 pertunjukan teater topeng mengalami

141

Page 142: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

kemunduran drastis. Baru setelah berkembang kerajaan-kerajaan Islam di Jawa

Tengah, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, teater istana dapat berkembang

kembali.

Invasi kekuasaan Barat di Jawa Tengah dan dengan jatuhnya Mataram ke

tangan Belanda tahun 1743 memberi prospek yang amat cerah untuk

perkembangan kesenian drama di Jawa Tengah. Hal ini dimungkinkan karena

pengaruh budaya teater Barat dapat sebagai hiburan sekaligus sebagai alat

propaganda kepentingan tertentu.

Setelah pecahnya Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan

Kasultanan Yogyakarta, teater memperoleh perhatian yang besar pada masing-

masing kerajaan. Pada saat itu antara lain muncul dan berkembang Wayang

Wong dan Langendriyan. Wayang Wong tampil dengan tari-tarian dan dialog

berbahasa Jawa prosa dan membawakan cerita dari Mahabarata dan Ramayana.

Sedang Langendriyan tampil dengan tarian jongkok, dengan dialog berupa

nyanyian (tembang Jawa), membawakan cerita Damarwulan (Bandem, 1996:

24). Di Yogyakarta, kemudian juga muncul Langen Mandrawanara, yang juga

tampil dengan tarian jongkok dan berdialog dengan tembang macapat. Langen

mandrawanara membawakan cerita dari Ramayana dan Babad Lokapala. Bila

Wayang Wong di Yogyakarta diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana I,

Wayang Wong di Surakarta diciptakan oleh Adipati Arya Mangkunegara I di

Mangkunegaran. Langendriyan diciptakan oleh Raden Tumenggung

Purwadiningrat pada tahun 1876. Sedang Langen mandrawanara diciptakan pada

tahun 1890 oleh seorang Patih di Kasultanan Yogyakarta yang bernama Kanjeng

Pangeran Adipati Arya Danureja VII (Soedarsono, 1999: xii).

Sejak adanya pengaruh drama Barat dan cara pemanggungannya, pada

permulaan abad 20 timbul bentuk drama baru di Indonesia, yaitu komedi

stambul, tonil, opera, wayang wong, kethoprak, ludruk, dsb. Pementasan drama-

drama ini juga belum menggunakan naskah (Sumardjo, 1992: 255)

Dari pola dramatik wayang kemudian pada sekitar tahun 1908 muncul

dan berkembang drama Ketoprak. Sebagaimana Langendriyan dan Langen

mandrawanara, Ketoprak muncul sebagai seni drama yang berkembang dari

rakyat jelata di luar istana. Cerita Ketoprak pada mulanya dibuat berdasarkan

142

Page 143: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

cerita kehidupan sehari-hari para petani di desa. Kemudian mendapat pengaruh

cerita dari berbagai sumber, yakni dari cerita-cerita yang telah berkembang di

Jawa pada saat itu, kemudian juga termasuk cerita-cerita yang berasal dari luar,

antara lain cerita Seribu Satu Malam, Sam Pek Eng Tai, dan cerita-cerita sejarah

tradisional dari sumber yang tertulis dalam bentuk babad.

Di Jawa bagian timur, sejarah drama panggung sedikit berbeda dengan di

Jawa tengahan. Ludruk yang merupakan hiburan masyarakat Jawa bagian timur

sudah berkembang jauh sebelum kethoprak, bahkan sudah ada sejak abad XII.

Ludruk muncul dari bentuk pertunjukan atraktif, jadi nilai dramatisnya sangat

minim, yakni atraksi kekebalan tubuh dan bela diri. Baru pada awal abad XX,

muncul ludruk Besutan dengan cerita tentang Pak Besut yang mencari istrinya,

Asmunah, hingga bertemu di Jombang. Bila kethoprak tradisional banyak

berkembang dengan cerita-cerita dari babad yang notabene bersifat istana

centris, ludruk lebih banyak menggunakan cerita sehari-hari. Mungkin hal ini

berhubungan dengan pengaruh pamor atau kharisma istana Jawa Mataram

(Yogyakarta dan Surakarta) yang masih kuat untuk DIY dan Jawa Tengah, tetapi

pengaruh istana itu yang sudah lemah untuk Jawa Timur.

Setelah masuknya pengaruh modernisme dari Barat, melalui sarana audio

atau radio, drama Jawa juga mulai berkembang sebagai drama radio. Drama di

radio ini sesuai dengan jenisnya masing-masing. Drama Jawa pendek yang

bersifat komedi yang disebut dhagelan, semula merupakan hasil tugas dari abdi

dalem oceh-ocehan dari gusti Hangabehi, putra Hamengkubuwana VIII. Di

depan ndalem Ngabean milik gusti hangabehi terdapat pemancar radio milik

Belanda yang bernama radio MAVRO. Salah satu siaran rutinnya adalah uyon-

uyon. Atas prakarsa pangeran Hangabehi, maka lawakan dari abdi dalem oceh-

ocehan itu dimasukkan sebagai siaran selingan uyon-uyon. Lawakan selingan

itulah yang kemudian diberi nama dhagelan dan akhirnya disebut dhagelan

Mataram (Poedjosoedarmo, dkk., 2000: 222).

Kethoprak di radio mulai disiarkan pada tahun 1935 dipelopori oleh grup

Kridho Raharjo pimpinan almarhum Ki Tjokrojio, tokoh kethoprak legendaris

(Widayat, dalam Purwaraharja, ed. 1997: 43).

143

Page 144: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Sedang program sandiwara radio berbahasa daerah (Jawa) mulai

disiarkan di RRI Stasiun Yogyakarta sekitar tahun 1963/ 1964, dengan sutradara

Soemardjana, dengan pemain-pemain antara lain Umar Khayam, Habib Bari,

Bakdi Soemanto, Hastin Atas Asih. Program ini disiarkan dua kali per minggu,

yakni hari Minggu dan Kamis, dengan tujuan: 1) memperkenalkan nilai-nilai

kerokhanian dan moral yang tinggi dari masyarakat suatu jaman, 2) penanaman

keyakinan dan kepercayaan bahwa setiap sifat kejahatan dapat dilenyapkan oleh

kebenaran, kejujuran, dan keluhuran budi, 3) mensinyalir sifat dan gejala yang

membahayakan masyarakat atau menghambat kemajuan bangsa dan

menunjukkan jalan bagaimana sifat dan gejala itu dapat diberantas (Onong U.

Effendy : 99) judul dan tahun blm?

e. Fungsi dan Tujuan Drama Jawa

Secara garis besar fungsi drama Jawa tidak jauh berbeda dengan funsi

jenis drama pada umumnya, bahkan juga tidak jauh berbeda dengan funsi sastra

pada umumnya.

Innis (1967: 67-68) mencatat bahwa tujuan menulis drama antara lain:

(1) menghibur agar orang dapat tertawa terpinglkal-pingkal dan senang hatinya,

(2) memberikan informasi kepada orang tentang fenomena fisik, obyek-obyek,

cuaca, dunia binatang, siang dan malam, khayalan, dan (3) memberikan tuntunan

tentang tingkah laku dan perkenbangan pola tingkah laku.

Sedang Loren E. Taylor ( 1981: 4-5) mencatat nilai-nilai yang terdapat

dalam drama, yakni antara lain: (1) memperluas budaya, (2)

memperkembangkan apresiasi terhadap sesuatu yang indah, (3)

memperkembangkan kesedapan sikap, (4) mendorong imajinasi, (5)

menyediakan rekreasi sehat, (6) memberikan kesempatan untuk ekspresi pribadi,

(7) mengembangkan cita rasa, (8) mengembangkan kerja sama, (9)

mengembangkan rasa percaya diri sendiri, (10) mengembangkan rasa tanggung

jawab pribadi, (11) mengembangkan kemampuan untuk menerima kritik, (12)

menstimulasi otak, (13) menambah kemampuan untuk menafsirkan kehidupan,

(14) mengajarkan sikap-sikap yang baik, (15) mengembangkan daya pikir yang

cepat, (16) mengembangkan sikap jujur, (17) mengembangkan pengorbanan diri,

144

Page 145: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

(18) mengembangkan inisiatif, (19) melatih penonton bersikap dewasa, (20) dan

sebagainya.

Adapun mengenai fungsi drama Jawa, setidak-tidaknya ada beberapa

pengamat yang menuliskan sebagai berikut. Menurut Saptono (Kompas, 3

Agustus 1997) drama Jawa dapat menyehatkan imajinasi. Menurut Dumairy

(Kedaulatan Rakyat, 29 Juni 1997) drama Jawa juga dapat digunakan sebagai

wahana penanaman jiwa wiraswasta. Menurut Kak We Es Ibnu say (Suara

Pembaruan, 26 Oktober 1997) drama Jawa mampu mengembangkan seluruh

daya pikir yang kritis, imajinatif, dan kreatif. Drama Jawa juga dapat membuat

orang memiliki sikap solidaritas, saling hormat-menghormati dan saling

menghargai. Sedang menurut Sopingi (1998:1) drama Jawa mampu membentuk

budi pekerti. Hal ini sesuai dengan yang termuat dalam Republika (21 Desember

1997: 22) bahwa drama Jawa mengandung pesan moral.

Kak Seto (1995: 3) juga mencatat bahwa bila di kampus seorang dosen

mendrama Jawa atau mahasiswa membaca dan mengapresiasi drama Jawa, tanpa

disadari mereka telah menyerap beberapa sifat positif, seperti: keberanian,

kejujuran, kehormatan diri, memiliki cita-cita, rasa cinta tanah air, kemanusiaan,

menyayangi binatang, membedakan hal yang baik dan hal yang buruk, dan

sebagainya.

f. Klasifikasi Drama Jawa

1). Menurut Sarana Tempat Pementasannya

Menurut sarana tempat pementasannya, drama dapat dibedakan sebagai berikut.

a. Drama Panggung: dengan layar setting dan tanpa layar setting

b. Dengan audio atau audio-visual: di radio, tape recorder atau TV, VCD,

dan DVD

Dalam hal drama panggung, yakni drama yang dipentaskan dipanggung,

dapat dibedakan lagi dengan drama hiburan gratis, drama tanggapan, dan drama

tobong, dan drama karena lomba.

Drama hiburan gratis biasanya terjadi pada even-even acara nasional,

seperti acara peringatan hari kemerdekaan RI. Pementasan drama seperti ini

tidak terlalu menekankan pada kualitas.

145

Page 146: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Drama tanggapan adalah drama yang ditanggap orang yang sedang

memiliki hajatan. Drama tobong adalah drama yang pementasannya dengan

membuat rumah tobong agar masyarakat yang mau menonton harus memasuki

rumah tobong dengan membayar tiket dengan kelas dan sejumlah uang yang

sudah ditentukan rombongan pemain drama. Baik drama tanggapan maupun

drama tobong telah memperhitungkan kualitas demi komersial keberterimaan

masyarakat (tingkat laku).

Drama karena lomba, adalah drama yang pementasannya dikarenakan

adanya lomba pementasan drama. Drama karena lomba sangat menekankan

kualitas karena tujuannya yakni untuk memenangkan lomba atau sayembara.

Hingga saat ini di Jawa, drama yang bersifat komersial kebanyakan baru

drama-drama yang dapat dikategorikan sebagai drama tradisional, atau semi

tradisional, yakni wayang purwa, kethoprak, dhagelan, ludruk, dan sebagainya.

Drama ini sebagian besar tanpa dengan naskah, dan sebagiannya menggunakan

naskah pokok yang tidak lengkap.

Dalam hal drama yang bermedia audio sedikit berbeda dengan yang

bermedia audio visual, yakni dalam bentuk penulisannya. Hal ini dikarenakan

alasan praktis dan fungsi masing-masing media yang memang berbeda

karakteristiknya. Dalam drama audio di radio, berbagai teks samping akan

dibaca agar pendengar dapat menangkap alur cerita dan setting waktu, tempat

dan suasana dalam cerita. Sedang dalam audio visual (TV, VCD dan DVD), teks

samping tidak dibaca, tetapi divisualisasikan, sehingga memerlukan teknis

khusus.

2). Menurut Gaya Pementasannya

Menurut gaya pementasannya drama Jawa dapat dibedakan sebagai berikut.

a. Drama tradisional

b. Drama modern

Di atas telah disinggung bahwa klasifikasi ini terutama didasarkan oleh

ada dan tidaknya teks tertulis sebagai dasar pementasan. Drama tradisional

adalah drama yang dalam pementasannya belum menggunakan teks tertulis atau

naskah dan mengandalkan profesionalisme dan improfissasi langsung dari

146

Page 147: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

pemainnya di panggung. Sedang dalam drama modern menekankan penulisan

perencanaan yang matang untuk dipakai sebagai pedoman pementasannya

(naskah). Penghayatan pemain di dasarkan atas pembacaan naskah yang

disediakan.

Di atas juga telah disinggung bahwa dalam drama Jawa terdapat tradisi

menulis naskah pedoman secara tidak lengkap, yakni hanya dituliskan pokok-

pokok adegannya dan inti isi pembicaraan tiap adegan. Dalam tradisi wayang

purwa naskah seperti itu disebut Pakem balungan.

3). Menurut Masyarakat Pendukungnya

Menurut masyarakat pendukungnya drama Jawa dapat dibagi menjadi sebagai

berikut.

a. Drama rakyat (kesenian rakyat)

b. Drama istana (kesenian istana)

Dalam sejarah drama Jawa, terutama jenis drama tradisional, terdapat

drama istana, yakni drama yang muncul dan hidupnya berada dalam lingkungan

istana saja, tetapi juga terdapat jenis drama rakyat, yakni yang memang muncul

dari rakyat jelata dan berkembang di pedesaan. Yang termasuk drama istana

antara lain wayang wong, meskipun pada akhirnya juga berkembang menjadi

drama rakyat. Drama rakyat contohnya adalah kethoprak, yang pada mulanya

hanya bercerita tentang petani di sawah yang dikirim makan oleh isterinya.

Pada umumnya drama istana memiliki ciri-ciri bentuk yang rumit dan

halus dan dengan aturan yang relatif ketat. Sebagai contoh adalah tarian Jawa

klasik yang harus dikuasai oleh para pemain wayang wong serta segala aturan

tampil dan dialognya. Sebaliknya, drama rakyat relatif lebih sederhana, relatif

kasar dan lebih bebas.

4). Menurut Sifat Isi Ceritanya

Menurut sifat isi ceritanya drama Jawa dapat dibagi menjadi sebagai berikut.

a. Komedi (dhagelan)

b.Tragedi

c. Melodrama

147

Page 148: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Dalam drama Jawa, sesungguhnya klasifikasi tersebut tidak begitu

ditekankan, karena filosofi budaya Jawa yang mendasarinya tidak banyak

mendukung. Seperti telah disinggung di depan, bahwa konsep filosofis

sakmadya yang berarti ‘sedang-sedang saja’ telah mempengaruhi berbagai segi

kehidupan termasuk dalam berkesenian. Dalam drama Jawa, cerita-cerita yang

paling tragis pun, misalnya dalam lakon Sumba Sebit, yang menceritakan

kematian tokoh Sumba, anak Kresna, dengan cara di robek-robek tubuhnya, pun

diisi pula dengan senda gurau para abdi atau panakawan dalam bentuk lawakan.

Dengan demikian dalam drama Jawa tidak banyak cerita tragedi yang

sesungguhnya.

Sebaliknya, drama dhagelan yang bersifat komedi sering diwarnai

dengan permasalahan kehidupan yang kadang kala memerlukan jalan keluar

yang tidak gampang. Pada akhir-akhir ini banyak permasalahan sosial dan politik

yang dikemas dalam bentuk komedi atau dhagelan.

5). Menurut Pelaku Cerita atau Boneka yang Dimainkannya

Menurut pelaku cerita atau boneka yang dimainkannya, drama Jawa dapat dibagi

menjadi sebagai berikut.

a. Orang (wayang wong, kethoprak, ludruk, langendriya(n), drama tari, dsb)

b. Golek kayu (wayang golek/ wayang Thengul)

c. Kulit/ Kardus (wayang kulit/ kardus)

d. Gambar pada layar (wayang beber)

e. Bahan lain yang berfungsi sebagai mainan (misalnya wayang rumput)

Pada wayang wong, kethoprak, ludruk, langendriyan, drama tari dan

sebagainya, diperlukan orang sebagai pelaku tokoh-tokoh cerita. Sedang pada

wayang golek, wayang kulit, wayang beber dan sebagainya, tokoh-tokoh cerita

cukup diwakili oleh seorang dalang.

g. Tradisi Lisan dan Tulisan dalam Drama Jawa

Di Jawa tradisi penulisan naskah sebenarnya telah ditemukan bukti-

buktinya sejak digunakannya bahasa Jawa Kuna, terutama dalam Lontar. Pada

saat itu juga telah tercatat adanya bentuk semacam teater yang mengambil cerita

148

Page 149: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

dari Ramayana dan Mahabharata, yang mungkin lebih menyerupai wayang

wong. Namun demikian tidak ditemukan tradisi penulisan naskah yang secara

khusus ditujukan untuk pementasan atau teater. Tradisi pertunjukan di Jawa

memang tidak mengharuskan penulisan khusus naskah lakonnya.

Tradisi penulisan naskah terus berlangsung hingga pada saat

digunakannya kertas dalam bahasa Jawa Baru. Ribuan naskah carik (tulisan

tangan) berhuruf Jawa dapat ditemukan di berbagai perpustakaan, baik di Jawa

maupun yang sudah dibawa ke luar negeri.

Pada abad 18 dan 19, yakni pada masa merebaknya penulisan kembali

naskah-naskah lama dan penerjemahan naskah-naskah berbahasa Jawa Kuna ke

dalam bahasa Jawa Baru, banyak ditulis naskah-naskah cerita yang bersumber

dari Ramayana dan Mahabharata. Di antara naskah yang disalin, banyak disalin

dalam bentuk prosa. Namun Behrend, dengan mengacu pendapat Pigeaud, juga

mencatat bahwa pada abad 18 dan 19 itu banyak juga ditulis naskah-naskah

wayang yang berbentuk pakem (Behrend, Jakarta: Jambatan, 1990). Yang

dimaksud pakem di sini adalah naskah yang sengaja ditulis dengan tujuan untuk

pedoman pementasan teater, terutama wayang purwa. Dengan demikian ada

kemungkinan bahwa tradisi penulisan drama Jawa dimulai pada saat itu.

Meskipun demikian pada dasarnya tradisi pementasan wayang purwa merupakan

tradisi lisan yang ditularkan oleh dalang kepada generasi dalang selanjutnya

melalui pementasan. Oleh karena itu tradisi penulisan pakem wayang pun tidak

berjalan lama. Bahkan kecenderungan yang terjadi hanya berupa tradisi

menyalin atau menulis kembali teks-teks yang telah ada, baik dari teks tertulis

maupun lisan.

Semasa hidup Sultan Hamengkubuwana VIII, menurut keterangan dari

para empu tari beliau, beliau menulis sendiri naskah-naskah lakon wayang wong

gaya Yogyakarta dan dipentaskan hingga berhari-hari pada waktu siang hari.

Konon rekor penontonnya dalam waktu empat hari mencapai 30.000 penonton

(Atmadipurwa, 1996: 73)

Pada perkembangannya tradisi penulisan lakon untuk wayang purwa

ternyata juga tidak diikuti oleh tradisi penulisan lakon pada bentuk drama selain

wayang, terutama drama rakyat yang dipentaskan di panggung-panggung rakyat,

149

Page 150: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

seperti kethoprak di Jawa Tengah dan DIY atau Ludruk di Jawa Timur. Hal ini

mungkin terjadi karena tradisi penulisan drama Jawa tidak mendapat sorotan

serius dari para penulis profesional. Atau sebaliknya, para pecinta drama, pemain

dan sutradara drama Jawa tidak terbiasa dengan tradisi kepenulisan. Dengan

demikian tradisi pementasan drama Jawa pada umumnya juga merupakan tradisi

lisan, yang ditularkan dari pementasan ke pementasan. Berbagai perkembangan

dan perbaikan dari pementasan sebelumnya merupakan tindakan sesaat pada

waktu pentas yang dikenal dengan istilah improvisasi. Tentu saja hal tersebut

berpengaruh pada laju perkembangan drama yang bersangkutan, sehingga

konvensi yang ada pada tradisi itu lebih menentukan dari improvisasi atau

inovasi yang muncul. Tidak mustahil bila sampai saat ini, dibanding jenis prosa

dan puisi, tidak banyak ditemukan naskah-naskah tertulis yang bersifat

pembaharuan. Naskah-naskah drama wayang purwa, yang relatif banyak

ditemukan di perpustakaan-perpustakaan pun, lebih mencerminkan hasil dari

tradisi penyalinan teks, baik dari tradisi tulis ke tulis atau dari lisan ke tulis.

Lakon-lakon carangan yang bermunculan, lebih banyak muncul secara langsung

dalam pementasan terlebih dulu dari pada ditulis dulu.

Sedikit berbeda dengan kondisi di atas, tradisi modern dalam radio dan

TV, menuntut kejelasan dan kepastian perencanaan, mulai dari misi dan visi

hingga yang bersifat teknis seperti durasi waktu yang diperlukan, cara

pengambilan suara, cara pengambilan gambar, dsb. Dengan demikian menuntut

adanya tradisi tulis secara penuh. Dengan kata lain, lakon-lakon drama radio,

apalagi TV, dituntut untuk ditulis terlebih dulu. Hal ini diperlukan demi

pertanggungjawaban teknis maupun isi. Durasi yang dijatahkan sudah tertentu,

visi dan misinya juga ditentukan, sehingga persiapannya sudah harus matang dan

bisa diketahui secara detail sebelum disiarkan.

Sandiwara Keluarga Yogya karya Soemardjono yang disiarkan RRI

Nusantara II Yogyakarta telah menggunakan tradisi naskah. Konon kethoprak

RRI juga dirintis oleh Soemardjono dalam hal penggunaan naskah. Pada dekade

1970, ketika kethoprak muncul di TV yang diprakarsai oleh TVRI Yogyakarta,

format penulisan naskahnya dipaksa dengan format media audio visual. Namun

pada awalnya format sinematografinya belum menyentuh banyak hal. Namun

150

Page 151: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

pada cerita Kidung Perenging Dieng (1973) benar-benar menjadikan tontonan

yang “meledak”. Sejak saat itu kethoprak TV diusahakan menggunakan format

sinetron/ film sehingga lebih menarik (Atmadipurwa, 1996: 76). Dengan

demikian teks-teks drama radio dan TV banyak meninggalkan bekas berupa

tulisan.

Tradisi penulisan drama, baik yang direncanakan dengan media

elektronika seperti radio, TV dll, maupun yang direncanakan dengan media

panggung bebas mengalami perkembangan secara lebih intensif, tentu saja

setelah masa kemerdekaan. Hal ini antara lain disebabkan oleh kondisi sosial

politik yang lebih bebas. Kondisi tersebut ditunjang dengan berbagai bentuk

pembinaan yang di antaranya dengan diselenggarakannya berbagai lomba.

Lomba pementasan kethoprak di Yogyakarta, misalnya, sebagiannya juga

mewajibkan untuk menulis naskah lakonnya dulu. Demikian pula perintisan

kembali dan pembinaan grup-grup kethoprak di daerah-daerah, sebagiannya juga

dilalui dengan penulisan naskah lakonnya.

Menurut Suripan Sadi Hoetomo (1993: 60-61) perbedaan drama atau

sandiwara tradisional dengan sandiwara modern yaitu dalam drama modern telah

dikenal naskah yang menuntun para aktor (pemain) untuk mempelajari dialog-

dialognya sebelum dipentaskan, sehingga mereka tak lagi megucapkan dialog-

dialog secara improfisasi.

Pada saat ini kehidupan drama di Jawa, dari segi naskahnya, bisa

diklasifikasikan menjadi tiga, yakni pertunjukan full improfisasi, semi naskah,

dan naskah full play. Yang lisan, spontan dan improvisasi sepenuhnya, masih

banyak dilakukan oleh grup-grup kesenian tradisional. Ada juga yang

menggunakan naskah tetapi hanya diacu jalan cerita pokoknya saja. Sedang yang

di radio dan TV tentu saja menggunakan naskah full play (Bdk. Atmadipurwa,

1996: 75).

Dalam hubungannya dengan drama yang modern dan yang tradisional,

harus dicatat secara khusus mengenai jenis langendriya atau langendriyan.

Langendriyan dalam berbagai atribut dan sarana pentasnya termasuk dalam

drama tradisional. Namun demikian, drama ini telah mengandung unsur-unsur

modern, yakni menggunakan teks naskah lengkap sebagai acuan pementasannya.

151

Page 152: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Dialog yang dipergunakan berupa tembang macapat, sehingga dapat

dikategorikan sebagai opera berbahasa Jawa. Soenarto Timoer, 1980 (via

Hutomo, 1983: 61) mencatat adanya teks drama langendriyan yang terkenal

yakni Langendriyan Mandraswara (diterbitkan oleh Balai Pustaka) karya R.M.

Arya Tandakusuma. Teks ini terkenal karena selain ikatan tembangnya indah

dan bagus, pengisahannya pun ringkas, padat, dan sederhana sehingga mudah

diikuti.

Perkembangan penulisan naskah drama Jawa modern juga dilalui dengan

adanya berbagai lomba penulisan naskah drama. Suripan Sadi Hutomo (1993:

59) mencatat bahwa drama Jawa, sebagai sastra tulis belum muncul secara

mencokok dalam sastra Jawa modern. Namun hal itu berubah semenjak

Pengembangan Kesenian Jawa Tengah (PKJT) menyelenggarakan sayembara

penulisan naskah drama berbahasa Jawa pada tahun 1979 dan 1980. Sayembara

itu kemudian disusul dengan pementasan-pementasan drama berbahasa Jawa di

berbagai tempat di Jawa Tengah.

h. Jenis-jenis Drama Jawa

1). Wayang Purwa

Kata wayang dalam bahasa Jawa berarti “bayangan” atau “bayang-

bayang”. Wayang purwa adalah salah satu jenis seni drama Jawa, yang

menggunakan boneka wayang kulit sebagai media penyampaian cerita

dramatiknya. Bayangan boneka wayang kulit itu dapat dilihat dari balik kelir

atau layar. Kata “purwa”, menurut G.A.Y. Hazeu, berasal dari bahasa Sansekerta

“purwa” yang berarti ‘pertama’ atau ’yang terdahulu’. Sedang menurut Van der

Tuuk, berasal dari kata “parwa”, namun telah dikacaukan dengan kata “purwa”.

Ia dan Brandes membandingkan dengan penamaan wayang di Bali yang disebut

wayang parwa (prawa) (Mulyono, 1978: 5). Di antara jenis seni pertunjukan

wayang, yang paling populer dan paling luas daerah persebarannya di kalangan

masyarakat Jawa adalah wayang kulit atau wayang purwa itu. Jenis wayang ini

telah berumur sangat tua dan telah mengalami perkembangan dari masa ke masa

baik perkembangan bentuk boneka wayangnya, ceritanya, maupun teknik

152

Page 153: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

penggarapan pementasannya Pada era elektronik ini wayang purwa sering

ditayangkan di media radio, TV, VCD atau DVD.

(a). Para Pengamat dan Pendapatnya tentang Wayang Purwa

Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa

Depannya (1978), mengumpulkan berbagai pendapat yang menyatakan bahwa

drama wayang telah ada sejak zaman Jawa Kuna, antara lain yang terdapat

dalam prasasti Balitung (907 M) yang menuliskan “mawayang buat Hyang” dan

adanya lakon “Bhimaya Kumara”. Sebelumnya, yakni pada prasasti Jaha (tahun

840 M) juga ditemukan istilah aringgit yang berarti ‘petugas yang mengurus

wayang kulit’ (Bandem, 1996: 22).

Para pengamat asing mulai memperhatikan wayang mulai awal abad ke-

19. Mereka menganggap wayang sebagai unsur penting dalam kebudayaan Jawa,

yakni sebagai “copelling religious mythology”, yang menyatukan masyarakat

Jawa secara menyeluruh, secara horizontal meliputi seluruh daerah geografi di

Jawa, dan secara vertikal meliputi semua golongan masyarakat di Jawa

(Anderson, 1965, via Koentjaraningrat, 1984: 288-289). Koentjaraningrat

menolak anggapan yang digeneralisir tersebut. Dengan menyebutkan contoh-

contoh yang dikenalinya, Koentjaraningrat merasa lebih pas dengan menganggap

bahwa wayang hanya sebagai suatu pertunjukan drama yang dinikmati oleh

banyak orang Jawa, tetapi hanya sebagai suatu bentuk kesenian saja.

Dengan menuliskan contoh banyak pengamat asing dan domestik,

Koentjaraningrat (1984: 289) menyatakan bahwa wayang merupakan bentuk

kesenian rakyat Jawa yang paling banyak dideskripsi dan dikaji. Wayang dalam

hal ini adalah wayang dalam arti luas, tidak hanya wayang purwa. Namun

demikian, dalam halaman selanjutnya juga dinyatakan bahwa ringgit (wayang)

purwa merupakan wayang yang paling terkenal yang tekniknya telah berubah

dari kesenian rakyat menjadi kesenian kraton.

(b). Asal-usul Wayang Purwa .

Beberapa karangan para pakar Barat menitikberatkan pada asal dan umur

wayang purwa. Asal-usul pertunjukan wayang purwa di Jawa masih belum jelas,

153

Page 154: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

walau beberapa sarjana berpendapat bahwa pertunjukan wayang purwa adalah

asli ciptaan orang Jawa, bukan dari India dan bukan dari kebudayaan asing

lainnya. W.H. Rassers dalam desertasinya De Pandji Roman (1922)

mengembangkan teori bahwa wayang adalah sisa dari upacara inisiasi totem di

Jaman prasejarah di Jawa. Dalang adalah sebagaimana pendeta dari upacara

inisiasi itu. Pringgitan atau bagian dari rumah tempat pertunjukan diadakan,

adalah tempat pria dalam inisiasi totem yang sifatnya keramat dan terlarang bagi

wanita dan anak-anak. Namun pendapat tersebut ditentang oleh R.Ng.

Poerbatjaraka, dengan menunjukkan bahwa pemisahan antara pria dan wanita

dalam pertunjukan wayang bukanlah hal yang penting dalam pertunjukan itu

(Koentjaraningrat, 1984: 291-292).

Menurut Poensen kemungkinan yang paling mendekati kenyataan ialah

bahwa pertunjukan wayang mula-mula lahir di Jawa dengan bantuan dan

bimbingan orang Hindu. Sedang menurut Brandes, pada kenyataannya orang

Hindu memiliki teater yang sama sekali berbeda dengan teater Jawa, dan hampir

seluruh istilah teknis yang terdapat dalam pertunjukan wayang adalah khas

Jawa, bukan sansekerta. Niemann juga berpendapat bahwa wayang tidak

mungkin berasal dari Hindu. Hazeu, dengan menyitir beberapa pendapat pakar

juga berkesimpulan bahwa wayang tidak berasal dari Hindu. Hazeu juga

menelusuri beberapa kata yang berhubungan dengan teknik pementasan wayang,

yakni kata wayang, kelir, blencong, kepyak, dhalang, kothak, dan cempala.

Kata-kata tersebut merupakan kata asli Jawa. Namun demikian menurut Vert,

baik dalam gamelan maupun wayang, ada pengaruh dari bangsa yang lebih besar

yakni bangsa Hindu (Mulyono, 1978: 8-9).

(c). Sumber-sumber Cerita Wayang Purwa

Pada prasasti Balitung telah disinggung adanya lakon Bimaya Kumara,

tidak jelas bagaimana cerita itu. Namun saat ini yang dapat ditemukan dalam

cerita wayang purwa, hampir semuanya berasal dari kisah-kisah Mahabharata

dan Ramayana yang semula merupakan kitab suci Hindu. Bila diteliti lebih

lanjut, sebenarnya telah banyak terjadi penyimpangan cerita lakon wayang dari

sumber Mahabharata dan Ramayana aslinya, yang tampaknya memang gubahan

154

Page 155: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

orang Jawa, baik berasal dari kakawin, berupa kreasi dalang tertentu (sanggit)

atau memang penciptaan lakon carangan.

Pada masa Jawa Kuna disalin dan digubah cerita-cerita pewayangan,

antara lain: Arjuna Wiwaha Kakawin, Bhomakawya Kakawin, Bharatayudha

Kakawin, Hariwangsa Kakawin, Parthayadna Kakawin, Dewaruci Kakawin,

Sudamala, dsb.

Saat ini ditemukan beberapa buku yang diyakini sebagai sumber cerita

wayang purwa, yakni:

(1) Serat Pustaka Raja Purwa karya R.Ng. Ranggawarsita (gaya Surakarta).

(2) Serat Padhalangan Ringgit Purwa karya K.G.P.A.A Mangkunegara VII

(gaya Surakarta)

(3) Serat Kandha atau Serat Purwakandha (gaya Yogyakarta)

(4) Serat Pedhalangan Ringgit Purwa Pancakaki Klaten (gaya Yogyakarta)

(5) Serat Babad Lokapala

Sumber-sumber cerita tersebut oleh sebagian masyarakat dianggap

sebagai babon cerita wayang. Dewasa ini banyak ditulis lakon-lakon wayang,

dan bila muncul cerita-cerita baru atau cerita yang menyimpang jauh dari

sumber-sumber tersebut, sering dianggap sebagai cerita atau lakon carangan.

Pada akhir-akhir ini sebenarnya banyak sekali hasil karya sastra

pewayangan yang mungkin juga dipergunakan oleh dalang tertentu sebagai

sumber cerita pementasannya, baik berupa lakon pokok atau lakon carangan.

Dari berbagai sumber cerita yang ada, dan dari segi bentuknya dapat

diklasifikasikan sbb.

1) Cerita wayang dalam bentuk prosa yang ditulis sebagai roman panjang yang

bersumber dari Ramayana atau Mahabarata, baik untuk tuntunan pertunjukan

atau untuk bacaan. Misalnya Pustaka Raja Purwa, Serat Purwakandha, dsb.

2) Cerita wayang yang diambil dari bentuk lakon, masih tampak pembagian

adegan-adegannya, ditulis dalam bentuk tembang, misalnya Serat Wahyu

Makutha Rama (Sekar) karya Siswaharsaya, Serat Pakem Bima Bungkus

karya M.Ng. Mangun Wijaya atau Serat Bima Bungkus karya Can Cu An,

dsb.

155

Page 156: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

3) Pakem jangkep atau pakem padhalangan jangkep wayang purwa, yang berisi

tuntunan atau pedoman lengkap untuk pertunjukan wayang purwa dalam satu

lakon. Pada bentuk ini berisi pembagian adegan, kandha, janturan,

antawecana, gendhing dan sasmitaning gendhing, tokoh-tokoh wayang yang

harus dipentaskan, dsb. secara lengkap. Misalnya Pakem Jangkep Lampahan

Sumbadra Larung, Pakem Jangkep Lampahan Suryatmaja Maling, dsb.

4) Pakem balungan wayang purwa, yang berisi ringkasan atau kerangka pokok

adegan-adegan lakon wayang sebagai tuntunan atau pedoman pertunjukan

wayang purwa. Dalam satu buku biasanya berisi lebih dari satu lakon.

Misalnya Serat Padhalangan Ringgit Purwa karya K.G.P.A.A. Mangkunegara

VII.

5) Cerita bersambung wayang purwa, yang biasanya ditulis secara bersambung

dalam beberapa terbitan majalah berbahasa Jawa. Biasanya bentuk ini ditulis

dalam bentuk prosa dengan bahasa populer.

6) Bentuk banjaran, yang menekankan pada cerita biografi tokoh-tokoh wayang

tertentu. Dengan kata lain alurnya dipusatkan pada satu tokoh. Misalnya

Banjaran Karna, Banjaran Bisma, dan banjaran-banjaran tokoh lainnya.

7) Analisa atau kupasan tentang hal-ihwal wayang purwa.

Dalam hubungannya dengan sumber induknya, yakni Ramayana dan

Mahabharata, dalam wayang purwa tersebar tiga jenis lakon, yakni (1) lakon

baku, (2) lakon carangan dan (3). lakon sempalan. Lakon baku, atau lakon

pokok, yaitu lakon yang diangkat dari cerita induknya, yakni dari Ramayana

atau Mahabharata. Lakon carangan adalah lakon karangan yang masih

mengambil dari lakon baku tetapi sudah diberi cerita dan bentuk baru. Adapun

lakon sempalan, yaitu lakon yang dikembangkan dari sebuah peristiwa yang

termuat dalam Ramayana atau Mahabharata, tetapi sudah sangat jauh atau sama

sekali terlepas dari lakon baku (bdk. Mertosedono, 1992: 75)

(d). Unsur-unsur Sastra Wayang Purwa dan Konvensi-konvensinya

Berdasarkan pada beberapa penjelasan di atas tampak bahwa wayang

purwa telah berumur panjang dan memiliki tradisinya sendiri. Wajarlah bila

sastra wayang purwa memiliki berbagai konvensi yang sangat mengikat.

156

Page 157: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

(Wibisono, 1987: 8). Pada gilirannya berbagai konvensi yang ada akan tampak

pada berbagai unsur sastra wayang. Oleh karena itu di bawah ini perlu

dibicarakan unsur-unsur sastra wayang dan berbagai konvensinya.

(1). Tema dalam Wayang Purwa

Tema umum yang dijumpai dalam lakon wayang adalah melukiskan

pertentangan antar pihak protagonis melawan pihak antagonis dengan akhir

kemenangan di pihak protagonis. Cerita wayang purwa, baik siklus Mahabharata

maupun Ramayana di Jawa berakhir dengan kemenangan pihak protagonis.

Demikian pula penggalan-penggalan cerita yang berbentuk lakon untuk

pertunjukan wayang purwa semalam, pada umumnya juga berakhir dengan

kemenangan pihak protagonis. Namun, ada juga satu dua lakon yang berakhir

tragis pada pagi hari, terutama pada lakon-lakon perang besar Bharatayuda,

misalnya dalam gaya Yogyakarta dalam lakon Seta Gugur, Gatutkaca Gugur,

Abimanyu Gugur, Paluhan, dsb.

Tema-tema dalam lakon wayang sebenarnya dapat diklasifikasikan antara

lain sebagai berikut.

1) Tema kelahiran, misalnya: lakon Bima Bungkus (Laire Bima), Laire

Abimanyu, Laire Wisanggeni, Laire Gathutkaca, Laire Parikesit, dsb

2) Tema Pernikahan, atau tema alap-alapan, misalnya: lakon Alap-alapan

Surtikanti (Suryatmaja Maling, yakni pernikahan Suryatmaja), Alap-alapan

Drupadi (pernikahan Puntadewa), Rabine Gathutkaca, Parta Krama

(pernikahan Arjuna dengan Wara Subadra), dsb.

3) Tema kematian, misalnya: lakon Gathutkaca Gugur, Ranjapan (Abimanyu

Gugur), Bisma Gugur, Aswatama Lena, Somba Sebit (kematian Somba), dsb.

4) Tema Wahyu, misalnya: lakon Wahyu Makutharama, Tumurune Wahyu

Manik Imandaya Godhong Pancawala, Wahyu Padmasana Manik, Wahyu

Purba Sejati, dsb.

5) Tema hancurnya kerajaan tertentu, misalnya lakon Bedhahe Dwarawati

(hancurnya kerajaan Dwarawati dengan rajanya Prabu Padmanaba, oleh

Kresna), Bedhahe Amarta, menceritakan hancurnya negara Amarta milik para

jin oleh para Pandawa (Babad Alas Mrentani).

157

Page 158: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

6) Tema murca, yakni menceritakan pusaka atau tokoh tertentu yang hilang atau

pergi meningglkan istana tanpa pamit.

7) Tema begawan atau pandita palsu, pada umumnya begawan itu terjadi dari

sukma atau yitmane Dasamuka, Batara Guru atau Batari Durga yang hendak

membunuh para Pandawa, atau dari raja raksasa, atau justru terjadi dari

kerabat Pandawa atau Kresna yang hendak menyelamatkan Pandawa dari

fitnah Korawa, misalnya: lakon Begawan Kilat Buwana, Begawan

Suryandadari, dsb.

8) Tema membangun, yakni membangun taman, candi, istana dan sebagainya.

Contohnya lakon Semar Mbangun Kahyangan, Mbangun Taman Maerakaca,

Mbangun Candhi Saptarengga, Semar Mbangun Jatidhiri, dsb.

9) Tema jumenengan, yakni tentang penobatan raja tertentu. Misalnya

Jumenengan Parikesit, Gathutkaca Madeg Ratu, dsb

10) Tema duta, yakni tentang perjalanan seorang utusan raja. Misalnya lakon

Anoman Duta, Kresna Duta, Drupada duta, Anggada Duta, dsb

11) Tema ngenger, yakni tentang tokoh yang mengabdi pada raja tertentu.

Misalnya Sumantri Ngenger, Trigangga Suwita, Wibisana Balik, dsb

12) Tema boyong, yakni tentang perpindahan tempat bagi tokoh-tokoh

tertentu. Misalnya lakon Semar Boyong, Pandhawa Boyong, Sri Mulih, dsb

13) Tema takon bapa, yakni tentang tokoh-tokoh kesatria, atau panakawan

yang menanyakan siapa sebenarnya ayahnya. Misalnya lakon Antasena Takon

Bapa, Petruk Takon Bapa, Tirtanata Takon Bapa, atau anak-anak Arjuna yang

mencari tahu siapa ayahnya, dsb.

14) Tema tentang surga, yakni tokoh-tokoh kesatria yang dengan bertapa,

dsb., sehingga dapat naik ke kahyangan untuk menanyakan tentang surganya

atau surga bagi orang tuanya. Misalnya lakon Anoman Takon Swarga,

Pandhawa Swarga, Pandhu Swarga, dsb.

15) Tema tentang pertalian Ramayana dengan Mahabharata. Misalnya lakon

Semar Boyong, Rama Nitik, Rama Nitis, Wahyu Makutharama, dsb.

16) Tema larung, yakni tokoh tertentu yang dibuang, misalnya lakon

Sembadra Larung

158

Page 159: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

17) Tema sesaji, yakni sesaji tertentu untuk memenuhi persyaratan tertentu.

Misalnya lakon Sesaji Rajasuya.

18) Tema perjudian, misalnya lakon Pandhawa Dhadhu.

19) Tema banjaran, yakni tema yang menekankan biografi tokoh tertentu.

Misalnya lakon Banjaran Karna, Banjaran Bima, Banjaran Gathutkaca, dsb.

20) DSb.

(2). Alur atau Plot dalam Lakon Wayang Purwa

Menurut Becker (1971: 220) Plot wayang disusun oleh peristiwa yang

bersifat koinsidensi atau kebetulan. Dalam wayang sesuatu kebetulan

memotivasi tindakan-tindakan. Wayang sangat sarat dengan simbol. Plot wayang

terdiri dari tiga bagian utama yang masing-masing ditandai dengan suatu rentang

titinada tertentu yang disebut pathet, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet

manyura. Setiap pathet terdiri dari adegan utama yaitu jejer, adegan, dan perang.

Setiap adegan utama mempunyai tiga unsur: janturan, gambaran tentang

tindakan sebelumnya, ginem, serta sabetan. Plot wayang berjalan memutar

seperti spiral.

Pada umumnya karya sastra pedalangan atau lakon wayang purwa terikat

oleh urut-urutan adegan secara konvensional. Urutan adegan dalam tradisi

pedalangan Surakarta, misalnya, selalu diawali dengan jejer, disusul adegan

gapuran, kedhatonan, paseban jawi, sabrangan, perang gagal, adegan pertapan,

perang kembang, sampak tanggung, adegan manyura, perang brubuh, dan tancep

kayon (Wibisono, 1987: 11).

Urutan adegan gaya Surakarta yang lebih terinci dapat dirumuskan

sebagai berikut (bdk. Sri Mulyono 1979: 111-113).

1. Periode pathet nem, dibagi menjadi 6 adegan (jejeran):

a. Jejeran raja yang dilanjutkan dengan kedhatonan, yaitu setelah selesai

bersidang, raja disambut permaisuri untuk bersantap bersama.

b. Adegan Paseban Jawi, yakni patih mewartakan hasil sidang kepada prajurit

c. Adegan jaranan (pasukan binatang)

d. Adegan Perang ampyak (menghadapi rintangan diperjalanan)

e. Adegan sabrangan, yaitu adegan raksasa dari negeri lain

159

Page 160: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

f. Perang gagal, yaitu perang yang belum diakhiri dengan kemenangan dan

kekalahan, atau berpapasan saja, atau mencari jalan lain

2. Periode pathet sanga dibagi menjadi tiga adegan:

a. Adegan bambangan, yakni seorang kesatria berada di tengah hutan atau

menghadap seorang pendeta

b. Perang kembang, yakni perang antara raksasa melawan kesatria yang

diikuti panakawan

c. Adegan sintren, yaitu adegan kesatria yang sudah menetapkan pilihannya

dalam menempuh jalan hidup

3. Periode pathet manyura, dibagi menjadi tiga adegan:

a. Jejer manyura. Dalam adegan ini tokoh utamanya sudah menetapkan

tujuan hidupnya, sudah dekat dengan yang dicita-citakan

b. Perang brubuh, yakni adegan perang yang berakhir dengan kemenangan

dan banyak korban

c. Tancep kayon, yakni setelah tarian Bima atau Bayu, gunungan atau kayon

ditancapkan di tengah kelir. Diakhiri dengan tarian golekan (boneka).

Pembagian adegan gaya Surakarta tersebut sedikit berbeda dengan

pembagian adegan gaya Yogyakarta. Bila disimak lebih jauh, perbedaan yang

mendasar dalam pembagian adegan adalah sering munculnya tamu pada adegan

pertama pada gaya Yogyakarta. Adanya tamu ini menyebabkan adegan kedua

dan ketiga sedikit berbeda dengan gaya Surakarta. Di samping itu perbedaan

yang lain adalah nama perang yang terjadi. Gaya Yogyakarta pada perang

setelah jejer kedua disebut perang simpangan, perang setelah jejer ketiga disebut

perang gagal. Hingga jejer ketiga dalam gaya Yogyakarta belum terjadi korban

kematian dalam perang. Jejer ketiga diikuti adegan gara-gara. Kemudian jejer

keempat, dan seterusnya yang bila dilihat dari adegannya hampir sama (bdk.

Mudjanattistomo, dkk. 1977, jilid I: 163-166).

Contoh gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta di atas, pada dasarnya

hanya menegaskan bahwa alur dramatik wayang purwa yang menyangkut

pembagian adegan-adegannya sangat terikat oleh konvensi yang berlaku pada

masing-masing gaya yang ada.

160

Page 161: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

(3). Penokohan dalam Wayang Purwa

Dalam hubungannya dengan penokohannya, wayang purwa juga

memilliki konvensi yang sangat ketat. Seorang pengamat pewayangan mencatat

bahwa aspek penokohan dalam wayang purwa, bahkan wayang pada umumnya,

tidak menyimpang dari tradisi pedalangan. Keakraban penonton dengan tokoh-

tokoh wayang dan karakternya begitu jelas. Baik dalang maupun penonton sama-

sama mengenal konvensi dalam penokohan. Apabila terjadi penyimpangan

pemerian oleh seorang dalang atau penulis tentang tokoh-tokoh tertentu, maka

penonton atau pembaca akan memberikan reaksi sebagai tindak koreksi

(Wibisono, 1987: 8).

Konvensi penokohan dalam wayang tersebut sejalan dengan yang

disimpulkan oleh Kuntowijoyo (1984: 127-129), yakni bahwa dalam sastra

tradisional, tokoh tidak dibangun atas perkembangan logis dari kejiwaan pelaku-

pelakunya, tetapi atas dasar perkembangan kejadian menurut penuturannya.

Personalitas dibentuk untuk melancarkan kejadian, sedang kejadian-kejadian

tidak mempengaruhi personalitas. Jadi para pelakunya tidak mengalami

perkembangan kejiwaan, hanya mengalami perkembangan kejadian. Sastra di

sini bertindak sebagai simbol dari pikiran kolektif, tanpa memberi kebebasan

bagi perkembangan personalitas tokoh-tokohnya. Perwatakan tokoh-tokoh itu

menurut pola sebuah karakter sosial, bukan karakter individual. Dengan

perkataan lain, pikiran kolektif secara apriori telah menentukan sejumlah tipe

ideal bagi tokoh-tokoh cerita.

Penokohan dalam wayang, secara garis besar dapat dikelompokkan

menjadi delapan kelompok, yakni kesatria, raksasa, dewata, pendeta atau

brahmana, para abdi, jin atau setan, binatang yang dapat berbicara, dan benda-

benda yang dapat berbicara. Setiap kelompok ada yang bersifat baik dan ada

yang bersifat Jahat. Namun demikian pada umumnya dapat dikatakan sebagai

berikut (bdk. Deskripsi perwatakan yang dituliskan Brandon dan Magnis Suseno,

dalam Suseno, 1982: 18-19).

Pada kelompok kesatria, dalam siklus Mahabharata, pada umumnya

kesatria Pandawa berwatak baik dan para Korawa sebaliknya. Pada siklus

161

Page 162: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Ramayana, kelompok kesatrianya hanya ada beberapa, yakni keluarga Prabu

Rama dan adik Rahwana yakni Wibisana, semuanya relatif berwatak baik.

Pada kelompok raksasa, sebenarnya bisa dikelompokkan menjadi tiga,

yakni sebagai berikut.

1) Raksasa yang mempunyai riwayat hidup sekali saja.

2) Raksasa yang sekedar dipergunakan untuk pengisi adegan.

3) Raksasa besar penjelmaan tokoh-tokoh tertentu.

Raksasa pada kelompok pertama, pada umumnya hanya muncul pada

lakon-lakon yang memang berhubungan dengan cerita hidupnya. Raksasa

kelompok ini biasanya mati hanya pada lakon yang memang bercerita dalam

hubungannya dengan kematiannya. Dengan kata lain ia memang hidup dan mati

sekali saja. Pada umumnya raksasa memang digambarkan berwatak jahat, tetapi

raksasa pada kelompok ini ada sebagian yang memiliki watak terpuji dari sisi

tertentu. Kumbakarna, adik Rahwana, misalnya, dianggap terpuji karena

nasionalismenya. Contoh lainnya Bagaspati, raksasa pendeta, ia rela

menyerahkan nyawanya demi kebahagiaan Dewi Pujawati, anak puterinya,

karena Narasoma, calon menantunya, tidak mau mempunyai mertua raksasa.

Contoh lain lagi ialah Sukasrana, raksasa kecil adik Sumantri, yang sangat

mengasihi kakaknya sehingga mau memindahkan taman Sriwedari demi

kepentingan kakaknya. Namun Sukasrana harus mati juga demi kesenangan

kakaknya, Sumantri. Masih ada lagi yang lainnya seperti kecintaan Kalabendana

pada Gathutkaca, dsb.

Raksasa pada kelompok kedua, ia hidup selalu dalam keadaan telah

dewasa, tidak pernah diketahui kapan kelahirannya dan siapa orang tuanya.

Boleh jadi ia muncul dalam cerita apapun dan mati dalam cerita apa pun juga

dalam lakon yang sama, karena keberadaannya hanya dipakai sebagai pengisi

pada adegan tertentu saja. Nama tokoh-tokoh raksasa pada kelompok kedua ini

dapat bermacam-macam, tetapi biasanya merupakan teman-teman raksasa yang

bernama Cakil, atau Gendring Penjalin, yang berjumlah empat raksasa.

Kelompok raksasa ini bagi orang Jawa sering dianggap sebagai simbolisasi dari

empat nafsu manusia, sehingga perwatakannya memang jahat.

162

Page 163: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Raksasa pada kelompok ketiga, yakni raksasa besar penjelmaan tokoh-

tokoh tertentu. Raksasa besar ini biasanya, pada lakon yang sama, muncul dan

kemudian kembali pada wujudnya yang sesungguhnya, yang dalam bahasa Jawa

disebut badhar. Misalnya penjelmaan Sri Kresna, penjelmaan Puntadewa, dsb.

Perwatakan raksasa ini sekaligus merupakan perwatakan tokoh aslinya.

Pada kelompok dewata, pada umumnya berwatak baik. Namun demikian

sebagian dewa sering kali diceritakan sebagai tokoh yang mudah menerima

hasutan atau perminta-tolongan para Korawa, sehingga berwatak tidak baik. Bila

para dewa berbuat jahat kepada para Pandawa biasanya yang mengalahkan

adalah Semar, tokoh abdi Panakawan. Ada golongan dewa yang tidak pernah

muncul dalam lakon wayang namun keberadaannya diakui sebagai penguasa

tertinggi, yakni Sang Hyang Wenang.

Para brahmana atau pendeta pada umumnya berwatak baik. Namun

banyak juga lakon yang menceritakan tentang pendeta palsu, yang merupakan

penjelmaan dari Dasamuka. Pendeta palsu ini selalu berwatak jahat. Dalam

Mahabharata, pendeta Durna sering digambarkan baik, tetapi karena berada di

pihak Korawa, sering juga digambarkan berwatak jahat.

Tokoh para abdi bisa dikelompokkan menjadi empat, yakni para abdi

pria tokoh protagonis, para abdi pria tokoh antagonis, para abdi wanita, dan abdi

seorang Begawan atau Pendita. Abdi pria tokoh protagonis biasanya adalah para

Panakawan, yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, yang biasanya

digambarkan berwatak baik tetapi sering nakal (sembrana). Abdi pria tokoh

antagonis biasanya Togog dan Mbilung atau Saraita, yang sering juga

digambarkan berwatak jahat. Abdi wanita biasanya bernama Cangik (sebagai ibu

atau biyung) dan Limbuk (sebagai anak perempuan atau dhenok), dapat sebagai

abdi para tokoh baik maupun para tokoh jahat. Abdi wanita ini biasanya

berwatak baik. Abdi seorang Begawan biasanya seorang pria disebut Cantrik dan

berwatak baik.

Kelompok jin (dalam bahasa Jawa sering diucapkan jim, setan

priprayangan) atau setan dalam wayang purwa muncul pada lakon-lakon tertentu

saja. Namun demikian keberadaannya sangat penting. Sebagian besar jin atau

setan difisualisasikan sebagai raksasa, namun ada juga sebagai kesatria dan lain-

163

Page 164: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

lain. Ada dua kelompok jin dan setan dalam wayang purwa, yakni para jin setan

yang termasuk dalam kelompok yang disebut Bajubarat dan para jin setan

penghuni atau penguasa tempat-tempat tertentu. Bajubarat adalah sekelompok

jin atau setan yang merupakan abdi Batari Durga. Mereka selalu muncul atas

perintah atau ijin Batari Durga dan terutama sekali muncul pada lakon-lakon

Mahabharata. Sedang jin dan setan penguasa tempat-tempat tertentu, antara lain

muncul dalam lakon Babad Alas Mrentani, yakni para jin dan setan penghuni

hutan Mrentani, antara lain para jin Pandawa yang kemudian menyatu pada diri

para Pandawa.

Pada kelompok binatang yang ada pada wayang purwa, ada beberapa

binatang yang mempunyai biografinya, tetapi juga ada yang sekedar pengisi

adegan. Sebagiannya lagi merupakan tokoh jadi-jadian. Tokoh-tokoh binatang

dalam wayang purwa pada umumnya berwatak baik. Tokoh burung Jatayu dalam

Ramayana berwatak baik. Tokoh-tokoh kera dalam Ramayana pada umumnya

juga berwatak baik.

Dalam wayang purwa terdapat benda-benda tertentu yang dapat

berbicara, antara lain senjata-senjata pusaka para kesatria, gunung Maenaka, dan

sebagainya. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berbicara secara khusus dalam

lakon-lakon tertentu saja.

Di samping penggambaran secara umum seperti di atas, konvensi

penokohan dalam wayang purwa telah memberikan perwatakan pada masing-

masing tokoh utama secara khusus. Tokoh Werkudara, misalnya, mempunyai

watak pemberani, gagah perkasa, jujur, dsb. Arjuna, berwatak halus, pemberani,

dsb. Sengkuni, berwatak nakal, penghasut, curang, dsb. Dan sebagainya yang

hampir semuanya bersifat stereotip atau tetap dari masa kanak-kanaknya hingga

usia dewasanya. Tidak mengherankan bila dalam cerita kelahiran Bima, sejak

lahir Bima telah mengenakan berbagai pakaian pelengkapan yang

melambangkan perwatakannya.

(4) Latar dalam Drama Wayang Purwa

Konvensi dalam wayang purwa dalam hubungannya dengan unsur latar

cerita (setting), mencakup aspek ruang atau tempat, waktu, dan suasana.

164

Page 165: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Pada dasarnya latar tempat dalam cerita wayang dapat dibagi sebagai

berikut.

1) Tempat di Madyapada yakni di dunia ini.

2) Tempat di Kahyangan yakni tempat para dewa, dan

3) Di Lokantara, yakni tempat nyawa atau jiwa yang masih melayang-

layang (nglambrang).

Di Madyapada dapat terjadi (1) di dalam istana, (2) di keputren, (3) di

paseban jawi, (4) di hutan, (5) di Blabar Kawat, yakni arena pertengkaran atau

mengadu kesaktian, (6) di pertapaan, dsb. Pada masing-masing tempat itu dapat

terjadi di atas bumi, di angkasa atau di langit yakni tempat para tokoh tertentu

terbang, di dasar bumi (sajroning pratala), yakni tempat tokoh-tokoh tertentu

amblas di bawah bumi, dan di dalam air atau samodera. Tokoh yang dapat

terbang antara lain Gathutkaca dan Kresna. Tokoh yang dapat amblas di dasar

bumi antara lain Antareja. Adapun tokoh yang dapat berada di dalam air antara

lain Antareja, Antasena, Yuyurumpung, dsb. Dalam lakon apa pun masing-

masing tempat tersebut digambarkan secara stereotip.

Dalam hal latar tempat pada setiap pertunjukan, Menurut Becker (1971:

220), dibagi tiga: (l) latar pertemuan di dalam istana, pertapaan atau di tanah

asing dan (2) latar di luar istana yaitu di hutan, di kereta, di pintu gerbang, serta

(3) latar peperangan. Cara menunjukkan latar dalam wayang yaitu dengan

janturan dalang yang biasanya ditunjukkan dalam jejer, adegan, perang (Becker,

l971 : 220).

Dalam aspek waktu, wayang purwa tidak pernah memberikan penjelasan

waktu secara riil, kecuali hanya disebutkan jaman purwa atau jaman dulu kala.

Namun demikian dalam hubungannya dengan para abdi, perbincangan para abdi

(para Panakawan, Limbuk dan Cangik, Togog dan Mbilung atau para Cantrik di

pertapaan) dapat menggunakan latar waktu terkini dan dengan pembicaraan

dalam hubungannya dengan masyarakat penontonnya.

Dalam aspek suasana, terdapat penggambaran suasana alam atau suasana

kejiwaan tokoh-tokohnya, yang dapat digambarkan secara realis atau bombastis.

Suasana sedih dan gembira, dapat saja digambarkan secara realis. Namun

suasana keindahan istana, dapat saja digambarkan secara bombastis, misalnya air

165

Page 166: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

selokan yang mengalir dari istana menebarkan bau harum hingga di pedesaan,

dsb. Latar suasana dalam lakon atau pergelaran wayang dapat ditunjang dengan

karakteristik isi suluk seorang dalang. Suluk adalah nyanyian atau lagu vokal

yang diucapkan oleh seorang dalang (bdk. Soetandyo, 2002: 121).

2) Wayang Wong

(a) Sejarah Singkat Wayang Wong

Munculnya wayang wong menurut Padmosoekotjo, (tt, jilid II: 63) pada

tahun 1910. Cerita yang dibawakan sama dengan cerita dalam wayang purwa,

namun diringkas. Dalam wayang purwa biasanya runing time-nya sekitar 9 jam

dan dalam wayang wong hanya sekitar 3 jam.

Menurut KPA Kusumodilogo, dalam bukunya Sastramiruda (1930),

wayang wong pertama kalinya dipertunjukkan pada tahun 1760. Pertunjukan ini

mendapat tantangan yang hebat bahkan dalam desertasi G.A.J. Hazeu (1897)

yang berjudul Bijdrage tot het Kennis van het Javaansche Tooneel, dengan

perubahan-perubahan bentuk pertunjukan wayang tersebut diramalkan akan

menjadikan orang dalam kesulitan, celaka atau timbul penyakit (Haryanto, 1988:

78).

Dalam catatan Bandem, dkk (Bandem, dkk., 1996: 82) wayang wong

adalah salah satu bentuk teter daerah Jawa yang memadukan tiga cabang

kesenian, yakni tari, karawitan, dan drama. Wayang wong Jawa lahir pada

pertengahan abad ke-18, di dua keraton, Kesultanan Yogyakarta dan istana

Mangkunegaran Surakarta. Karenanya di Jawa masih bisa dilihat adanya dua

gaya wayang wong, yakni gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta. Wayang wong

di Jawa sesungguhnya merupakan personifikasi dari wayang kulit (purwa).

Kaitan keduanya masih bisa dilihat dari berbagai aspek, seperti sumber cerita,

penggolongan watak, tari dan iringan karawitan, dialog, peran dalang, tata

pakaian, tata rias dan sebagainya. Semula wayang wong hidup dan berkembang

di istana tetapi lama kelamaan berkembang juga di luar istana .

(1) Wayang Wong Gaya Yogyakarta

166

Page 167: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Wayang wong gaya Yogyakarta diciptakan oleh Sri Sultan

Hamengkubuwana I, yang dikenal juga sebagai seniman kreatif dan pelindung

kesenian. Adapun gaya Surakarta diciptakan di istana Mangkunegaran Surakarta

oleh Sri Mangkunegara I.

Dengan memperbandingkan wayang wong, parwa Bali dan relief candi-

candi di Jawa Timur, Prof. Dr. RM. Soedarsono berkesimpulan bahwa wayang

wong Yogyakarta yang diciptakan oleh Hamengkubuwana I pada sekitar tahun

1758, merupakan bentuk pelestarian wayang wwang dari jaman Jawa Kuna.

Prasasti tertua yang memuat berita tentang wayang wwang adalah prasasti

Wilasrama berasal dari tahun 930 M (Soedarsono, ……).

Di Yogyakarta, lakon wayang wong yang dipergelarkan pertama kali

berjudul Gandawardaya yang bersumber dari Mahabharata. Baik di Yogyakarta

maupun di Surakarta, wayang wong mengalami perkembangan pesat sekitar

tahun 1940. Di Yogyakarta, yakni sekitar pemerintahan Sri Hamengku Buwana

VIII (1921-1939) berhasil dipentaskan 15 lakon yang sebagian besar bersumber

pada Mahabharata, yakni Jayasemedi, Sri Suwela, Somba Sebit, Suciptahening

Mintaraga, Parta Krama, Srikandhi Maguru Manah, Sumbadra Pralaya, Jaya

Pusaka, Semar Boyong, Rama Nitik, Rama Nitis, Pregiwa Pregiwati,

Angkawijaya Krama, Pancawala Krama dan Pragola Murti.

Pergelaran wayang wong di istana Yogyakarta dipergelarkan secara

besar-besaran dan mewah. Lakon Jayasemedi, Sri Suwela (1923), Somba Sebit,

dan Suciptahening Mintaraga (1925) dilaksanakan selama empat hari berturut-

turut dengan mengerahkan tak kurang dari 800 orang seniman. Pakaian tari yang

semula sederhana dikembangkan secara mewah sesuai dengan pakaian wayang

kulitnya. Lantai pentas (tratag bangsal kencana) seluas 40 X 7 M, yang semula

terdiri atas tanah berlapis pasir tipis, diganti batu pualam.

Salah satu ciri wayang wong gaya Yogyakarta ialah dipergunakannya

teks lengkap yang disebut Serat Kandha dan Serat Pocapan. Serat Kandha berisi

cerita lengkap dengan petunjuk-petunjuk berbagai elemen pementasan, seperti

gendhing-gendhing yang mengiringi adegan-adegannya, keluar dan masuknya

penari, vokal yang mengiringi berbagai suasana, dan sebagainya. Teks ini dibaca

keras dan khitmat oleh juru cerita yang disebut Pamaos Kandha. Sedang Serat

167

Page 168: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Pocapan berisi dialog lengkap yang harus diucapkan oleh para penari. Meskipun

teks ini diletakkan di samping Serat Kandha, tetapi tidak dibacakan. Pembaca

Serat Pocapan hanya bertugas memeriksa hubungan antara cerita yang dibaca

oleh Pamaos Kandha dengan dialog yang diucapkan oleh para penari. Pamaos

Kandha dengan Pamaos Serat Pocapan duduk di deretan paling depan dari

jajaran penabuh gamelan (di kraton Yogyakarta berada di bagian timur dari

tempat pentas di Tratag Bangsal Kencana, yakni di Bangsal Kuncung)

(Soedarsono,….)

Karena ide dasarnya adalah wayang kulit (purwa), maka perkembangan

di Yogyakarta juga mengacu ke sana. Sebelum dan setelah usai pertunjukan di

tengah pertunjukan diletakkan sebuah gunungan atau kayon seperti pada wayang

kulit (purwa). Ukuran pentas yang memanjang mengasosiasikan kelir pada

wayang kulit. Pembagian para pelaku pada kotak kiri (yang kebanyakan

berwatak jahat) dan kanan (yang kebanyakan berwatak baik), serta posisi miring

para penari di atas pentas, mirip dengan simpingsn dan adegan pada wayang

kulit. Antara tahun 1920-an dan 1930-an, di Yogyakarta ditambahkan dengan

dekorasi realistis, yakni dengan pepohonan, tanaman, atau menirunya dengan

bentuk bangunan berkerangka.

Pada tahun 1918, didirikan perkumpulan Krida Beksa Wirama oleh

Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Tejokusumo. Grup ini di luar istana

sehingga wayang wong Yogyakarta mulai berkembang di luar istana. Setelah

1940 wayang wong makin jarang dipentaskan di istana Yogyakarta. Setelah

kemerdekaan 1945 dengan menurunnya Krida Beksa Wirama, muncul sejumlah

grup tari yang menaruh perhatian pada wayang wong, yakni Irama Citra,

Paguyuban Katolik Cipta Budaya, Paguyuban Satya Budaya, Langen Kridha

Budaya, dsb. Pada tanggal 17 Agustus 1950, istana Yogyakarta diwakili oleh

Kawedanan Hageng Punakawan Kridha Mardawa (lembaga Kraton di bidang

kebudayaan) kembali mendirikan organisasi tari bernama Babadan Among

Beksa, yang bersama anak organisasinya Siswa Among Beksa, ikut membina

kehidupan wayang wong di Yogyakarta. Sebelum tahun 2000 di yogyakarta

tercatat beberapa organisasi tari yang menaruh minat pada wayang wong, yakni

168

Page 169: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

antara lain Krida Beksa Wirama, Bebadan Among Beksa, Mardawa Budaya, dan

Pamulangan Budaya Ngayogyakarta (Bandem, dkk., 1996: 91-92).

(2) Wayang Wong Gaya Surakarta

Adapun wayang wong gaya Surakrta diciptakan oleh Sri Mangkunegara I

dan mengalami perkembangan pesat pada jaman Sri Mangkunegara VII (1915-

1944). Sri Mangkunegara VII memiliki perhatian besar pada kesenian Beliau

menentukan sendiri para pemain wayang wong yang tak hanya terbatas dari

kerabat istana, bentuk danwarna pakaian penari, mengawasilatihan, memimpin

pertunjukan dan menyusun koreografinya. Tahun 1930 beliau mendirikan dan

mengawsi sendiri sekolah tari agar dapat memilih penari yang baik.

Konsep wayang wong Mangkunegaran juga mengambil ide dasar dari

wayang kulit Purwa. Misalnya, lantai pendhopo yang memanjang sebagai arena

pergelaran, menyiratkan kelir dalam wayang kulit. Posisi penari yang miring

seperti hlnya wyang kulit di kelir.

Di Yogyakarta, sejak diciptakannya wayang wong tahun 1758 sampai

dengan tahun 1939 di istana, berfungsi sebagai ritual kenegaraan, baik untuk

memperingati berdirinya keraton Yogyakarta, merayakan perkawinan agung

putra-putri Sultan, dsb. Sedang wayang wong gaya Mangkunegaran Surakarta,

lebih berkembang sebagai pertunjukan sekuler (Soedarsono, ……)

Bila wayang wong Yogyakarta banyak mengambil sumber cerita dari

Mahabharata, wayang wong Mangkunegaran banyak bersumber dari Ramayana.

Dua lakon yang cukup terkenal pada waktu Mangkunegara VII adalah Anoman

Duta (dari Ramayana dan Pregiwo-Pregiwati (dari Mahabharta). Pertunjukan

wayang wong gaya Surakarta memang tidak semegah dan berlangsung lama

seperti di Yogyakarta, namun juga tidak terjerumus dengan tambahan dekorasi

realistik yang tampak tidak serasi. Bila peran putri di Yogyakarta dilakukan oleh

penari pria, sebaliknya di Surakarta peran putri tetap diperankan oleh penari

putri. Bahkan selanjutnya, peran kesatria halus seperti Arjuna, Abimanyu juga

dimainkan oleh penari putri.

Dukungan Mangkunegara dan para penarinya menimbulkan inspirasi

untuk tampil di luar istana. Prakarsa itu dilanjutkan Pakubuwono X dengan

169

Page 170: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

mendirikan taman hiburan rakyat Sri Wedari pada 1910. Taman yang semula

kebun binatang, akhirnya dilengkapi dengan berbagai pertunjukan termasuk

wayang wong. Dari sinilah wayang wong berkembang ke luar istana dengan

berbagai dekorasi realistis, seperti pendhapa, balairung, hutan, jalan di pedesaan

dengan sawah-sawah.

Keberhasilan wayang wong Sri Wedari membuat para pemodal (terutama

keturunan Cina) untuk mendirikan grup wayang wong. Mereka lalu keliling

antar kota, dan akhirnya menetap di kota-kota lain. Hingga kini yang masih

dapat diingat, yakni grup Senyo Wandowo (1929), Sri wanito (1935), Ngesti

Pandowo (1962). Ngesti Pandowo (1957) dan Sri wanito menetap di Semarang,

Sri Pandowo di Surabaya, Wayang Kosambi di Bandung, dan Bharata di Jakarta

(1972).

Setelah kemerdekaan, grup-grup tari di luar istana yang berperhatian

pada wayang wong antara lain, Pusat Kesenian surakarta (1946), Himpunan

Budaya Surakarta (1951), dan angkatan Muda Seni dan Karawitan Surakarta

(1957).

Pada 1962 di Surakarta diselenggarakan Festival Wayang Orang Amatir

se Indsonesia. Kota Surakarta diwakili oleh tiga organisasi, yakni Himpunan

Pecinta Seni Tari dan Karawitan (HPSTK), Dharma Budaya, dan Perkumpulan

Masyarakat Surakarat (PMS). Dharma Budaya dan PSM terdiri dari masyarakat

keturunan Cina. Selain itu, festival diikuti peserta dari berbagai kota, seperti dari

Semarang, Bandung, Surabaya, Malang, Jakarta bahkan Tanjung Karang

(Lampung).

Pada 1966 di Jakarta juga diselenggarakan festival wayang wong. Namun

pesertanya hanya bergaya Surakarta saja, yakni Sri Wandowo dari Surabaya,

Ngesti Pandowo dan Sri Wanito dari Semarang, Sri Wedari dari Surakarta, dan

Adi Luhung, Ngesti Pandowo, dan Panca Murti dari Jakarta. Jadi bila wayang

wong gaya Yogyakarta hampir tidak mengenal grup komersial, di Surakarta

grup-grup komersial justru lebih banyak berkembang (Bandem, dkk., 1996: 93-

96).

(b) Sumber Cerita Wayang Wong

170

Page 171: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Seperti wayang purwa, sumber cerita wayang wong berasal dari

Ramayana dan Mahabharata, yang kemudian berkembang dalam berbagai lakon,

baik lakon baku, lakon carangan atau lakon sempalan.

Naskah pertunjukan wayang wong berkembang dari penulisan yang

sederhana dan praktis, yakni terdiri atas Serat Kandha saja, kemudian menjadi

naskah yang lengkap dan dihiasi berbagai ornamen. Karena lengkapnya dan

indahnya, salah satu naskah Serat Kandha dan Serat Pocapan wayang wong

pernah mendapat komentar Pigeaud dalam Literature of Java sebagai edition de

luxe.

Serat Kandha dan Serat Pocapan yang paling tua tersimpan di Kraton

Yogyakarta adalah berangka tahun 1845 berjudul Kagungan Dalem Serat

Bragola Murti, manuskrip Kraton Yogyakarta No. 3/ 38.

Para pakar budaya dari kraton Yogyakarta selalu menyatakan bahwa

tradisi penulisan teks wayang wong yang berbentuk Serat Kandha dan Serat

Pocapan dimulai oleh Sultan Hamengkubuwana V (1921-1939). Menurut

Soedarsono hal itu tidak tepat. Tradisi penulisan seperti itu telah dimulai sejak

Sultan Hamengkubuwana I (1755-1792). Hal itu terbukti dengan ditemukannya

naskah berjudul Serat Kandha Ringgit Purwa yang tersimpan di India Office

Library di London berkode Ms IOL Jav. 19. Manuskrip itu ditulis atas perintah

Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara Sudibyaprana Raja Putra

Narendra Mataram (Putera mahkota Sultan Hamengkubuwana I. Manuskrip itu

mulai ditulis pada 17 Nopember 1781 hingga 2 Januari 1782. Tiadanya Serat

Kanda Ringgit Tiyang dari tahun 1845 karena Thomas Stanford Raffles (1811-

1816) membawa manuskrip-manuskrep Jawa ke Inggris (Soedarsono…..)

(c ) Pendukung Pertunjukan dalam Wayang Wong

Berdasarkan tugasnya, anggota rombongan atau para pendukung

pertunjukan wayang wong dapat dibedakan sebagai berikut.

1) Dalang

Dalang dalam wayang wong, seperti halnya dalam wayang kulit, namun tidak

menggerakkan wayang. Dalang adalah seorang juru cerita yang bertugas

171

Page 172: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

membantu atau mengatur laku dan jalannya pertunjukan, antara lain sebagai

berikut.

(a) memberikan narasi tentang apa yang sudah, tengah, dan akan terjadi

(pocapan, kandha dan carita), mengisi suasana adegan dengan nyanyian

berupa suluk, sendhon dan ada-ada

(b) Memberikan tanda-tanda (sasmita), baik lewat kata-kata atau lewat bunyi

keprak dan kecrek, kepada pemain gamelan, juga untuk menentukan gendhing

apa yang akan dimainkan, dan kepada pemain di atas pentas tentang

pergantian adegan, berakhirnya adegan, kedatangan tamu, dsb.

Di Surakarta, tugas dalang sebagai pengatur laku atau adegan di atas

pentas digantikan oleh petugas lain yang disebut meester. Di Yogyakarta, sejak

jaman Sri Sultan Hamengkubuwana VI, tugas dalang sebagai juru cerita dan

penyampai ungkapan-ungkapan verbal lain, digantikan oleh seorang pamaca

(pamaos) kandha (pembaca cerita). Pamaca kandha tidak menghafalkan apa yang

menjadi tugasnya, tetapi cukup membaca teks yang tertulis dalam Serat Kandha,

yang juga memuat dialog para pemain secara lengkap. Tugas dalang sebagai

pengeprak juga diganti oleh petugas lain (Bandem, dkk., 1996: 83).

2) Penari, Pemain atau Pelaku

Wayang wong dimainkan oleh para penari pria dan wanita, dengan tugas

yang hampir sama dengan klasifikasi penokohan dalam wayang purwa sebagai

berikut.

(a) Para kesatria dengan rajanya masing-masing

(b) Para raksasa dengan dari kerajaan Sabrang (seberang) dengan

rajanya yang bisa berwujud raksasa maupun manusia jahat

(c) Para abdi, yakni abdi kesatria disebut Panakawan (Semar,

Gareng, Petruk, Bagong), abdi tokoh-tokoh dari Sabrang (Togog dan

Mbilung), abdi tokoh puteri (Limbuk dan Cangik), dan abdi di

pertapaan yang disebut Cantrik. Para abdi ini membawakan watak

lucu atau gecul.

(d) Pendeta dan Cantriknya

(e) Para dewata

172

Page 173: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

(f) Para Binatang. Dalam Ramayana, banyak golongan kera yang

dapat

berbicara seperti manusia

3) Petugas Pengiring

Petugas pengiring, yakni yang memainkan gamelan yang disebut

pengrawit, para pengiring suara (vokalis) putri yang disebut pesindhen atau

sindhen atau waranggana, dan para pengiring suara (vokalis) pria yang disebut

penggerong. Penggerong sering juga merangkap sebagai pengrawit.

4) Petugas lain yang berhubungan dengan teknis panggung, yakni penarik layar,

pengatur cahaya, petugas yang merawat pakaian, dsb. (Bandem, dkk., 1996:

83-84).

(d) Struktur Dramatik Wayang Wong

Struktur dramatik wayang wong pada dasarnya mengikuti struktur

dramatik wayang kulit purwa selama semalam suntuk. Di kraton Yogyakarta,

pada mulanya penyelenggaraan wayang wong lebih lama dari pada wayang kulit.

Wayang wong dimulai pukul 06.00 pagi hingga pukul 23.00 malam. Bila

wayang kulit, pathet nem-nya berlangsung jam 21.00 - 24.00, pada wayang

wong berlangsung jam 06.00 - 12.00. Pada wayang kulit, pathet sanga-nya

berlangsung jam 24.00 - 03.00, pada wayang wong berlangsung jam 12.00 -

18.00. Pada wayang kulit, pathet manyura-nya berlangsung jam 03.00 - 06.00,

pada wayang wong berlangsung jam 18.00 - 23.00.

Sebagai contoh, pada tahun 1926, dalam rangka merayakan perkawinan

putra-putri Sultan, dilaksanakan pertunjukan wayang wong dengan lakon

Mintaraga, yang merupakan kelanjutan dari lakon Bomantara atau Somba Sebit.

Lakon Mintaraga dilaksanakan selama dua hari, dengan pembagian adegan

sebagai berikut.

Bagian I dari jejer di Dwarawati sampai dengan terbunuhnya sekutu-

sekutu Winatakwaca (Niwatakawaca). Bagian II dari adegan di Kahyangan

Ngendrabawana sampai dengan terbunuhnya Niwatakawaca oleh Arjuna.

173

Page 174: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Hari I: pathet nem: jejer Dwarawati sampai dengan jejer sabrangan di

Kerajaan Ngimantaka. Pathet sanga: dimulai gara-gara dan jejer pandhita, perang

kembang antara Abimanyu melawan empat raksasa, sampai dengan jejer di

Ngamarta. Pathet manyura: perang antara para dewa melawan para sekutu raja

Niwatakawaca dan jejer tancep kayon di Kahyangan Ngendrabawana.

Hari II: pathet nem: jejer di Kahyangan Ngendrabawana sampai dengan

jejer sabrangan di Kerajaan Ngimantaka dan perang antara para dewa dengan

tentara Niwatakawaca. Pathet sanga: gara-gara dan jejer pandhita, perang

kembang antara Mintaraga melawan para tentara Niwatakawaca dari

Ngimantaka, sampai dengan jejer di Ngendra Sonya tempat Kresna bertemu

dengan para Pandawa kecuali Arjuna. Pathet manyura: perang besar antara

Mintaraga melawan Niwatakawaca, ditutup dengan jejer tancep kayon di

Kahyangan, Batara Narada memerintahkan para dewa untuk menyiapkan

perkawinan antara Mintaraga atau Arjuna dengan Dewi Supraba.

Pada mulanya tema-tema yang ada yakni konflik antara dua bersaudara,

kesuburan (perkawinan), dan keadilan. Menurut Soedarsono, tema-tema yang

ada pada saat itu berhubungan dengan peristiwa-peristiwa penting yang

berhubungan dengan istana Yogyakarta.

Lakon Gandawardaya yang dipentaskan pertama kali oleh Sultan

Hamengkubuwana I melambangkan konflik antara Sultan Hamengkubuwana I

dengan Pakubuwana II dan III, yang baru selesai dengan campur tangan Belanda

yang dilambangkan dengan Semar.

Lakon perkawinan yang berhubungan dengan peristiwa perkawinan

putera puteri Sultan, antara lain lakon Jaya Semadi, Bragolamurti, Pregiwa-

Pregiwati, Sri Suwela, Parta Krama, Srikandhi Maguru Manah, Sumbadra

Larung, dan Mintaraga.

Tema tentang keadilan antara lain terdapat pada lakon Bomantara atau

Somba Sebit, yang menceritakan tentang kematian Somba dan kematian Boma

atau Narakasura.

Lakon Petruk Dados Ratu dipentaskan oleh Sultan Hamengkubuwana V,

merupakan sindiran untuk Komisaris Jenderal Leonard Pierre Joseph Burgraaf

174

Page 175: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Du Bus Da Gisignies yang bukan darah keturunan Jawa tapi ingin memerintah

sebagai raja. Saat itu Petruk dipentaskan berpakaian jenderal (Soedarsono,….)

Pada pementasan di luar istana Yogyakarta, juga seperti struktur

dramatik wayang kulit purwa yang dibagi menjadi tujuh adegan. Hanya saja,

adegan-adegan dalam wayang wong lebih dipadatkan. Bila wayang kulit

berlangsung semalam suntuk sekitar sembilan jam, dalam wayang wong hanya

berkisar tiga jam. Rincian ketujuh adegan tersebut sebagai berikut.

1. Adegan pertama (jejer Kawitan) yang menggambarkan persidangan di

kerajaan besar (seperti Astina atau Amarta), yang akan menjadi pusat

perkembangan lakon. Kalau ada perangnya disebut Perang Rempak.

2. Jejer Sabrangan yang selalu diikuti dengan peramng yang disebut

Perang Simpangan atau Perang kadung

3. Jejer Bondhet, yang diikuti dengan perang gagal

4. Jejer Pandhita (Pendeta) yang didahului atau diikuti adegan gara-gara

(munculnya para Panakawan). Adegan ini diikuti oleh perang yang

disebut Perang Kembang

5. Jejer Uluk-uluk, yang diikuti oleh perang cilik (persang kecil) karena

hanya terjadi antara prajurit-prajurit kecil

6. Jejer Sumirat, yang diikuti perang tanggung, karena yang maju baru

para prajurit menengah.

7. Jejer Rina-rina, diikuti perang yang disebut Perang Brubuh, yakni

perang yang terjadi banyak korban hingga berakhir dengan

terbunuhnya raja raksasa jahat (Bandem, dkk., 1996: 88).

3) Langendriyan

Langendriyan sering juga disebut langendriya. Kata langen berasal dari

kata langö bahasa Jawa Kuna yang berarti ‘indah’. Dalam bahasa Jawa Baru kata

langen berarti ‘hiburan’. Kata turunan lainnya yang mirip adalah klangenan yang

juga berarti ‘hiburan’ atau ‘kesenangan’. Kata driya berarti ‘hati’. Jadi maksud

kata langendriyan mungkin ‘hiburan hati’. Langendriyan adalah drama tari Jawa

yang menggabungkan unsur tari, karawitan dan drama.

175

Page 176: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Sebagian pemerhati menyatakan bahwa langendriyan adalah karya R.M.

Tandakusuma (jaman Mangkunegara V). Sedang dalam Ensiklopedi Indonesia

jilid IV (1983: 1960), tercatat bahwa langendriyan adalah jenis drama tari Jawa

yang menitikberatkan pada unsur tari dan seni suara. Seluruh dialog dalam

drama tari itu berbentuk tembang macapat sehingga boleh dikatakan semacam

opera berbahasa Jawa. Ceritanya khusus mengenai siklus Damarwulan-

Minakjingga dari jaman Majapahit. Bentuk ini dirintis oleh R.M. suparto

(Mankunegara IV, 1853-1881) dan dikembangkan dari istana Mangkunegaran

Solo oleh R.M.H. Tandakusuma, yang juga menulis liberto untuk beberapa lakon

langendriyan.

Bambang Sriyono (Kompas Minggu, 1983) membantah keterangan di

atas. Menurut dia, pencipta langendriyan adalah K.P.H. Purwodiningrat,

kemudian dikembangkan oleh adik iparnya. Atas jasa G.P.H. Mangkubumi

(putra Hamengkubuwana VI, 1855-1877), langendriyan menjadi besar. Setelah

tujuh tahun langendriyan lahir, Mangkunegara berkenan meminjam catatan

tatalaku langendriyan. Selanjutnya R.M.H. Tandakusuma (menantu

Mangkunegara IV) diperintahkan untuk mengubah dengan gerak dan gaya

Surakarta. Langendriyan tampil di Mangkunegaran pada saat pengangkatan putra

mahkota menjadi Sri mangkunegara V, pada 15 Desember 1881)

Menurut Ben Suharto dan kawan-kawan, langendriyan lahir antara tahun

1855-1913, buah karya tokoh seniman bangsawan Yogyakarta, Raden

Tumenggung Purwadiningrat, yang selanjutnya dikembangkan oleh iparnya,

yakni KGPA Mangkubumi, putera Hamengkubuwana VI (Suharto, 1999: 16).

Berbeda dengan wayang wong yang lahir diistana, langendriyan lahir di luar

tembok kraton.

Di Surakarta langendriyan kemudian diangkat menjadi kesenian istana

Mangkunegaran. Sedang di Yogyakarta, langendriyan yang lahir dengan

dukungan para bangsawan istana tidak pernah resmi menjadi tontonan milik

istana (Bandem, dkk., 1996: 106)

Langendriyan, baik di Surakarta dan di Yogyakarta, mengambil sumber

cerita dari Serat Damarwulan, yang mengisahkan Ratu Kencanawungu dari

Majapahit dalam usahanya membasmi pemberontakan Adipati Minakjinggo di

176

Page 177: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Blambangan. Minakjinggo akhirnya dapat dibunuh oleh Damarwulan dan

Damarwulan menikah dengan Kencanawungu.

4) Langen Mandra Wanara (Langen Wanara)

Langen mandra wanara terdiri atas tiga kata bahasa Jawa, yakni lanngen,

mandra dan wanara. Kata langen berarti ‘bersenag-senang’ atau ‘hiburan’,

mandra berarti ‘banyak’ dan wanara berarti ‘kera’ (Suradjinah, via Suharto,

1999: 17). Menurut Padmopuspito (via Suharto, 1999: 17) mandra dalam bahasa

Kawi (Jawa Kuna) juga bersinonim dengan kata langen yang berarti ‘indah

permai’. Dengan demikian langen mandra wanara dapat berarti pertunjukan

banyak peran kera yang dimaksudkan untuk menyenangkan hati. Drama tari

opera ini mempunyai kekhasan yakni, melakukan gerakan tari dengan posisi

jengkeng atau menggunakan lutut sebagai penyangga dalam gerak-gerik tarinya.

Langen mandra wanara diciptakan oleh KPAA Danureja VII, pada 1890.

Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa KPAA Danureja VII kemudian

bergelar KPH Cakraningrat. Dalam sumber yang lain lagi disebutkan bahwa

pendirinya adalah KPH Yudanegara III, atau ada yang menyebutkan bahwa

pendirinya adalah KPH Cakradiningrat. Hal ini dijelaskan oleh Ben Soeharto

bahwa KPH Cakraningrat adalah gelar Danureja VI setelah pensiun sebagai

patih, bukan Danureja VII. Danureja VII menjabat patih Keraton Yogyakarta

hingga akhir hayatnya, dan tetap menggunakan nama KPAA Danureja VII.

Sebelum menjabat sebagai patih, Danureja VII memang bergelar KPH

Yudanegara III, dan setelah menikah dengan BRAy Cakradiningrat, putri Sultan

Hamengkubuwana VII, beliau juga bergelar KPH Cakradiningrat. Jadi jelaslah

bahwa Danureja VII sama dengan KPH Yudanegara III, sama dengan KPH

Cakradiningrat, tapi bukan KPH Cakraningrat (Suharto, dkk., 1999: 12-14)

177

Page 178: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Ketika masih muda KPH Yudanegara III memang pecinta seni, terutama

seni tari. Karena di luar kraton tidak boleh meniru kesenian kraton, maka beliau

menampilkan kesenian rakyat yakni Srandhul. Ayahandanya, yakni Yudanegara

II, tidak senang, dan menyarankan agar mengubah lakon Ramayana dalam

bentuk kesenian yang bercorak garapan istana. Yudanegara III tampaknya tidak

tertarik pemakaian topeng dalam tari, sehingga meniru bentuk yang telah lebih

dulu ada yakni langendriya. Oleh karena itu akhirnya diberi nama Langen

Mandra Wanara.

Bila catatan kelahiran langen mandra wanara pada tahun 1890 atau tahun

1895 benar, maka kegiatan tari di Mangkunegaran memang terhenti pada

pemerintahan Mangkunegara VI (1896-1916). Bisa diduga bahwa langen mandra

wanara berdiri dengan penanganan seniman Yogyakarta dulu, kemudian setelah

tahun 1896, RMH Tondokusumo datang ke Yogyakarta untuk mengembangkan

langen mandra wanara di Surakarta. RMH Tondokusumo memang lebih tua dari

KRT Joyodipuro, namun keduanya bersahabat dan sama-sama memiliki ilmu

Hasta Sawanda, yakni delapan prinsip dasar tentang tari Jawa (Suharto, 1999:

19).

Lahirnya langen mandra wanara merupakan jawaban untuk menciptakan

kreasi yang bermutu sekaligus tidak menyamai kesenian milik kraton yang

memang dilarang dipentaskan di masyarakat luar kraton. Langen mandra wanara

terbukti berkembang merakyat ke pelosok pedesaan.

Setelah Perang Dunia I, organisasi angkatan muda Jong Java

mengirimkan R. Wiwoho dan RM. Noto sutarso, untuk menemui tokoh-tokoh

tari keraton Yogyakarta agar mau mengadakan pelajaran atau sekolah tari dan

karawitan. Maka pada 17 Agustus 1918 berdirilah perkumpulan Krida Beksa

Wirama, dengan ijin dan restu Sri Sultan Hamengkubuwana VII. Pangeran

Soerjodiningrat dan Pangeran Tedjakusumo, merupakan dua tokoh yang besar

andilnya dalam Krida Beksa Wirama (Suharto, 1999: 38). Tentu saja

perkembangan langen mandra wanara juga ditunjang oleh perkumpulan tersebut.

Pada tahun 1961, atas anjuran Menteri P dan K, untuk menghidupkan

kembali kesenian rakyat, dibentuk Badan Pendorong Kesenian Rakyat oleh

Kepala Inspeksi Daerah Kebudayaan Perwakilan departemen Pendidikan dan

178

Page 179: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Kebudayaan, yaitu Kusumobroto. Dalam rangka penggalian kembali itu, pada 12

Nopember 1961, dalam rangka ulang tahun Krida Beksa Wirama ke-43,

dipentaskanlah langen mandrawanara.

Kemudian juga ditunjuk C. Hardjosoebroto untuk menangani

pembaharuan langen mandrawanara. Perubahan atau pembaharuan yang terjadi

menghasilkan langen mandra wanara gaya baru, antara lain dengan perubahan-

perubahan sebagai berikut.

a. Perubahan tari jongkok ke tari berdiri

b. Kandha diringkas dan digarap dalam bentuk tembang dan gerong.

c. Percakapan disusun baru dan ringkas

d. Gendhing diberi gerongan baru.

e. Senggakan oleh para waranggana dihapuskan.

f. Gendhing ditata silih berganti antar laras pelog dan slendro.

Pada 7 Juli 1962 di Bangsal Kepatihan telah dipentaskan dengan berbagai

perubahan. Kehadiran Menteri P dan K, Wakil Kepala Daerah Sri Paku alam

VIII, serta tokoh seniman budayawan Yogyakarta ketika itu telah menjadikan

semangat baru dalam kehidupan langen mandra wanara.

Mulai tahun 1974, dua kali tiap tahun, di bawah Kepala Inspeksi

Kebudayaan Dinas P dan K DIY, yakni R. Pangarsobroto, menyelenggarakan

pementasan seni tari dari DIY yang biasanya diselenggarakan di Bangsal

Kepatihan. Event ini menjadi ajang pertemuan seniman dan budayawan DIY.

Dalam event itu langen mandrawanara berkesempatan untuk pentas, antara laian

pada tahun 1976 grup langen mandra wanara dari Notoyudan mementaskan

lakon Subali Mukswa.

ISI (Institut Seni Indonesia) yang dulu bernama ASTI Yogyakarta, sejak

1977, memasukkan kurikulum akademis, yakni pada Kelas Tari Jawa

Yogyakarta III, dengan memberikan kesempatan pada mahasiswanya untuk salah

satunya belajar langen mandrawanara.

Perkembangan yang juga penting untuk dicatat ialah penyebarluasan

langen mandrawanara dalam media radio dan media kaset rekaman. RRI

Nusantara II Yogyakarta, tercatat menjadwalkan siaran langen mandra wanara

setiap sebulan atau dua bulan sekali, di bawah asuhan Ki Banjaransari, yang

179

Page 180: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

sering menempatkan diri sebagai pamaca (pamaos) kandha, yakni pembaca

narasi cerita dalam teks.

Dalam media rekaman, hingga saat ini, setidak-tidaknya tercatat beberapa

rekaman langen mandrawanara, antara lain sebagai berikut.

1. Ki Cokrowasito, Mondrowanaran Kidang Kencana, produksi Irama

Mas.

2. Ki Cokrowarsito, Mondrowanaran Subali Gugur, produksi Irama mas.

3. Ki Cokrowarsito, Mondrowanaran Sinto Taman, produksi Irama Mas.

4. Bagong Kussudiarjo, Langen Mandrawanara, Senggana Gandrung,

“Sapta mandala”/ Kodam VII Diponegoro, produksi Fajar.

5. Ki Nartosabdo, Langen Mandrawanara, Mangkat Ngayahi Duto, Vol.

I, Karawitan Condongraos, Produksi Singo Barong (Suharto, 1999:

42-47).

Dalam sejarah perkembangannya, di Yogyakarta, setidak-tidaknya

tercatat beberapa kampung yang pernah memiliki grup langen mandra wanara,

yakni sebagai berikut.

1. Tahun 1921 berdiri Langen Mandrawanara Mataram, dengan tokohnya R.Ng.

Manitisudira, yang kemudian diambil alih oleh KRT Yudokusumo. Grup ini

pernah mengadakan pentas di Pura Mangkunegaran dalam rangka penobatan

Mangkunegara VIII dengan lakon Sugriwa-Subali.

2. Grup langen mandrawanara di kampung Notoyudan didirikan tahun 1925

oleh KRT. Condronegoro. Setelah beliau pindah ke Condronegaran, maka

diteruskan dengan bimbingan Raden Lurah gandrung ( R.Ng.

Hasthokuswolo).

3. Berdiri di kampung Kumendaman tahun 1928. Tokoh yang meneruskan

adalah KRT. Mandiyokusumo.

4. Di kampung Sosrowijayan berdiri sekitar tahun 1938-1939 di bawah

pimpinan Bandara Raden Mas Cornel, putera dari Kanjeng Gusti Putra.

5. Krt. Condronegoro mendirikan juga langen mandra wanara di kampung

Condronegaran.

180

Page 181: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

6. Pada 1942 berdiri di kampung Tegalgendu, Kotagede, dipimpin oleh KRT.

Purwonegoro. Grup ini pernah mementaskan lakon Sinto Boyong hingga

Perkawinan jembawan, dengan merubah posisi jongkok menjadi berdiri.

7. Perkumpulan Mardi Guna. (Suharto, 1999: 39-40)

Adapun perkumpulan langen mandrawanara di luar kota Yogyakarta

antara lain terdapat di Kabupaten Bantul dan Sleman. Di Kabupaten Bantul,

yakni sebagai berikut.

1. Di Desa Desa Sembung, Kelurahan Bangunjiwa, Kecamatan Kasihan, pada

tahun 1945 masih ada. Ketika itu murid Dwijowiyoto ikut pentas sebagai kera

atau kethek.

2. Di Desa Padokan, Kelurahan Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, dipimpin

oleh Gurisa.

3. Di Kelurahan Jambitan, Kecamatan Banguntapan

4. Di Desa Nanggulan, Keurahan Gadingsari, Kecamatan Sanden

5. Di Desa Wonolopo, Kelurahan Canden, Kecanatan Jetis.

Di Kabupaten Sleman nama Langen Mandrawanara juga sering disebut

Purba Wanara. Di kabupaten ini antara lain pernah ada perkumpulan di beberapa

tempat, sebagai berikut.

1. Di Desa Morangan, Kelurahan Triharjo, Kecamatan Sleman, muncul kira-kira

tahun 1936.

2. Di Desa Kumbangarum, Kelurahan Danakerta, Kecamatan Turi

3. Di Desa Pulowatu, Kecamatan Turi, dengan pentas terakhir sekitar tahun

1964 (Suharto, 1999: 41-42).

Sumber Cerita Langen Mandra Wanara

Langen mandra wanara, sesuai dengan namanya secara dominan berisi

tarian kera. Cerita tentang kera-kera tersebut diambil dari sumber cerita

Ramayana dan cerita Lokapala. Lakon-lakon yang sering dipentaskan antara

lain: Sinta Ilang, Subali Lena, Anggada Duta, Senggana Duta, Wibisana

Tundhung, Wibisana Balik, Rama tambak, Kumbakarna Gugur, Brubuh

Alengka, Sumantri Ngenger, Bedhahing Lokapala, dsb.

181

Page 182: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

5) Kethoprak

Menurut Padmosoekotjo (tt, Jilid II: 65) kethoprak muncul di Sala pada

tahun 1920, tetapi berkembangnya di Yogyakarta. Kethoprak sangat populer

dengan mempertontonkan cerita bermacam-macam dan dengan dialog tembang

dan gancaran (prosa).

Kethoprak merupakan kesenian rakyat tradisional yang sangat populer di

tengah-tengah masyarakat Jawa, terutama di wilayah Jawa Tengah, DIY, dan

Jawa Timur. Nama kethoprak berasal dari bunyi-bunyian yang berbunyi “prak-

prak”, seperti halnya alat pertanian masa dulu yang disebut tiprak. Pertunjukan

kethoprak bermula dari pertunjukan drama yang sangat sederhana, dengan dialog

bahasa sehari-hari. Pada mulanya pertunjukan itu menggunakan iringan dengan

memukul perangkat penumbuk padi yang disebut lesung. Kemudian berkembang

dengan iringan gamelan dan dengan pengayaan cerita dari cerita-cerita rakyat,

cerita-cerita dari babad, cerita-cerita dari luar negeri dan kemudian berbagai

cerita dapat dipentaskan dalam kethoprak.

Pada mulanya dan pada sebagian besar pementasan kethoprak saat ini,

masih menggunakan pola lama dalam menghidangkan lakon-lakonnya, karena

pada dasarnya lakon kethoprak itu sendiri sudah mendarah-daging meniru lakon

wayang, yang dimulai dari jejeran hingga selesai tancep kayon (Soemardjono,

1987: 6).

Kethoprak memiliki kekhasan dibanding dengan beberapa jenis drama

tradisional lainnya, yakni sifat kelenturannya. Kelenturan dan keluwesan yang

menjadi sifat kethoprak dapat dilihat dari munculnya beragam jenis ketoprak.

Kemunculan kethoprak lesung yang disusul oleh kethoprak ongkek (barangan),

kethoprak pendhapan (tanggapan), kerthoprak panggung (tobong), radio, hingga

TV, menunjukkan bahwa kelenturan dan keluwesan tersebut menjadi senjata

ampuh bagi kethoprak untuk terus bertahan melawan tantangan jaman

(Nusantara 1997: 52).

Kelenturan kethoprak juga tampak pada pemilihan sumber lakon-

lakonnya. Kethoprak dapat saja mementaskan berbagai cerita yang bersumber

pada cerita wayang purwa, cerita babad, cerita rakyat, cerita dari luar negeri,

bahkan cerita yang bersumber dari novel-novel paling mutakhir pun. Jadi mulai

182

Page 183: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

dari cerita yang bersifat istanacentris dari abad sebelum Masehi hingga cerita

tentang masyarakat kampus UNY tahun 2006 ini pun dapat dipentaskan dalam

kethoprak.

Oleh karena kelenturan bidang garapan kethoprak tersebut, struktur

dramatiknya juga luwes, artinya dapat bersifat tradisional dengan pola wayang

purwa atau jauh menyimpanginya. Hal ini menyangkut berbagai unsur struktur

yang ada dalam kethoprak.

6) Wayang Beber

Menurut Padmosoekotjo (tt, jilid II: 63), disebut wayang beber karena

pementasannya dengan dibeber atau dijereng (bahasa Jawa) yang berarti

diceritakan sambil dibentangkan gambarnya yang ada pada kain.

Menurut Hazeu lebih masuk akal bila pertunjukan bayangan dan topeng

telah muncul lebih dulu, baru kemudian sampai pada taraf perkembangan yang

lebih tinggi, yakni dengan melukiskan apa yang dianggap sebagai nenek

moyangnya, pada kain serta mewarnainya yang kemudian disebut wayang beber.

Menurut KPA Kusumadilaga dalam buku karyanya Sastramiruda,

menyebutkan bahwa wayang beber dibuat oleh Prabu Bratana dari Majapahit

pada tahun 1361 M atau 1283 Saka dengan sengkalan guna bangsa nembah ing

dewa. Ketika itu telah dilukiskan lakon Murwakala dan dipentaskan dengan

gamelan laras Slendro.

Wayang beber sebagai seni pertunjukan pertama kali didokumentasikan

oleh dua orang cina, yakni Ma Huan dan Fei Xin yang mengunjungi Jawa pada

tahun 1416. Keduanya menyaksikan orang-orang berjongkok di depan pencerita

(dalang) dan mendengarkannya. Kepada orang-orang itu ditunjukkannya gambar

(oleh dalang). Perkembangan gulungan bergambar mewakili perkembangan

bentuk “gambar diam” yang asli (dan menunjukkan perkembangan cerita).

183

Page 184: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Empat abad kemudian Raffles dalam buku History of Java nya

menggambarkan wayang beber sebagai “penemuan modern secara komparatif

dan tak terlalu dihargai”.

Akhir-akhir ini untuk masa yang lama wayang beber dikira telah mati.

Namun pada tahun 1963 masih ditenukan dua set gulungan wayang beber itu di

desa Karang Talun di perbukitan Gedompol Gunung Kidul. Pada gulungan yang

lebih tua ditanggali dengan kronogram (candra sengkala) yang dapat ditafsirkan

sebagai tahun 1690. Tiap gulungan berukuran sekitar 200 X 70 cm, meliputi

empat adegan horizontal yang dilukis dengan cat.

Kisah atau lakon yang digambarkan pada perangkat gulungan yang

pertama adalah Panji Jaka Kembang Kuning, berasal dari jaman Majapahit, akhir

abad ke-13 - awal abad ke-16. Panji dalam cerita ini menjalani berbagai cobaan

dalam pengembaraan dan melalui pertempuran-pertempuran yang

mempertaruhkan nyawa, namun akhirnya dapat memperoleh kekasihnya yakni

Dewi Sekar Taji. Dewi Sekar Taji adalah putri raja Brawijaya dari kerajaan

Kediri. Dewi Sekar Taji menghilang pergi dari istana untuk menghindari

pernikahan paksa dengan Raja Klana Jaka yang dibenci karena tabiatnya yang

buruk. Ayahnya mengumumkan bahwa barang siapa dapat membawa kembali

Sekar Taji, maka ia berhak menjadi suaminya. Panji Jaka Kembang Kuning

berhasil menemukannya dan membawanya kembali ke istana. Raja Klana Jaka

dengan kelicikannya masuk ke taman keputren tetapi tertangkap oleh putra

mahkota raja sehingga diusir dan terjadi pertempuran. Akhirnya Raja Klana Jaka

terbunuh oleh pusaka Pasopati. Akhirnya Prabu Brawijaya mengumumkan

bahwa Panji sebagai pemenang sayembara dan berhak menyunting Dewi Sekar

Taji.

Gulungan kedua menceritakan Remeng Mangun Jaya (nama Panji yang

lain). Ceritanya hampir sama dengan gulungan pertama, yakni tentang

keberhasilan Panji mendapatkan cintanya, namun dilalui dengan berbagai cobaan

hidup yang berbahaya dalam suatu pengembaraan (Indonesian Heritage: Bahasa

dan Sastra, Jilid 10, Haryati Soebadyo, 50).

Cara pertunjukan wayang beber yakni, dalang bercerita tentang kisah

Panji. Sementara dalang bercerita, ia atau pembantunya membuka gulungan

184

Page 185: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

bergambar. Kisah atau lakon ditunjukkan pada bagian tertentu yang

digambarkan pada kain atau kertas bergambar tersebut.

Dari segi ceritanya, di Jawa tercatat ada tiga jenis wayang beber, yakni

wayang beber purwa bersumber dari Ramayana dan Mahabharata, wayang beber

gedhog yang menceritakan tentang cerita Panji dan wayang beber klithik yang

menceritakan tentang Damarwulan.

7) Wayang Golek

Dari segi bonekanya, wayng golek merupakan wayang tri matra yang

terbuat dari kayu dengan segala atributnya, antara lain pakaian dari kain, gagang

penggerak (tuding) dari bambu atau penyu dan pegangan yang disebut sogo

yakni kayu atau bambu atau penyu yang menembus badan dan menyangga

kepala. Wayang golek ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI.

Yogyakarta. Di DI. Yogyakarta wayang golek juga dinamai wayang thengul.

Boneka wayang ini merupakan tri matra. Kata golek secara harfiah berarti

‘boneka’ atau ‘patung kecil’, tetapi juga berarti ‘mencari’. Pada wayang kulit

purwa, pada saat akhir pertunjukan selalu diakhiri dengan pementasan tarian

wayang golek yang sering dimaknai dengan kata golekana yang maknanya

‘carilah’, yakni carilah makna dari pertunjukan wayang kulit yang bersangkutan.

Menurut Serat Centhini (awal abad ke-19) dan Serat Sastramiruda (awal

abad ke-20), wayang golek Jawa diperkenalkan pada tahun Jawa 1506 (1584 M),

sedang wayang golek purwa Sunda baru mulai dikenal di Priangan awal abad ke-

19 (Edi Sedyawati, 2002, jilid 8: 58).

Wayang golek dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis

berdasarkan cerita yang dipentaskan, yakni sebagai berikut.

1) Wayang golek purwa yang mengambil cerita dari Mahabharata dan

Ramayana.

185

Page 186: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

2) Wayang golek menak yang mengambil cerita dari pustaka Serat

Menak yang mendapat pengaruh dari perkembangan Islam, dengan

tokoh Wong Agung Menak atau Jayengrana.

3) Wayang golek babad yang menceritakan babad (sejarah tradisional),

seperti babad Majapahit, babad Pajajaran, dsb. Sekarang jarang sekali

ditemukan.

4) Wayang Potehi yang mengambail cerita dari Cina

Di Jawa wayang golek purwa sangat jarang ditemukan, dan kebanyakan

wayang golek yang dipentaskan adalah wayang golek menak. Namun bila

penanggap menghendaki dalang wayang golek untuk mementaskan cerita

wayang purwa, biasanya dalang wayang golek menak pun bersedia.

Ciri khusus pada wayang golek adalah bagian kepala dan tangan yang

dapat digerakkan seperti gerak manusia. Kepala dapat dilepaskan pada saat

dipenggal dalam pertunjukan sehingga lebih mendekati realita dibanding dengan

wayang kulit.

8) Wayang Madya

Wayang madya dipergelarkan seperti wayang purwa tetapi mengambil cerita

setelah cerita Prabu Parikesit, yakni mulai Prabu Gendrayana di negara Astina

hingga cerita Lembusubrata di negara Majapura (Padmosoekotjo, tt, jilid II: 63)

Wayang Gedhog

Wayang gedhog atau sering disebut wayang wasana menceritakan cerita setelah

Prabu Lembusubrata hingga cerita Panji Kudalaleyan di Pajajaran. Cerita paling

populer adalah cerita Panji Putra dari Jenggala (Padmosoekotjo, tt, jilid II: 63).

.

186

Page 187: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Wayang Klithik

Wayang klithik menurut Padmosoekotjo, tt, jilid II: 63) menceritakan

cerita jaman Pajajaran dan Majapahit pada akhir pemerintahan Prabu Brawijaya.

Cerita yang paling populer adalah cerita Damarwulan-Minakjingga.

Wayang klithik yang juga disebut wayang krucil, dari segi bonekanya

merupakan wayang dwi matra yang terbuat dari kayu yang dibentuk dan dicat.

Seperti boneka wayang kulit, pada umumnya wayang krucil ini hanya dapat

digerakkan pada bagian tangannya saja. Bila wayang kulit ditancapkan pada

gedebog batang pisang, wayang krucil ditancapkan pada kayu yang berlubang-

lubang.

Dalam Serat sastramiruda disebutkan bahwa wayang krucil pertama kali

dibuat pada tahun 1571 Saka (1648 M) oleh Ratu Pekik di Surabaya. Pada

umumnya cerita dalam wayang krucil bersumber dari Serat Damarwulan yang

mengisahkan sebagian cerita dari babad Majapahit. Namun demikian di daerah

tertentu ada juga yang mengambil cerita dengan bersumber dari Mahabharata

(bdk. Edi Sedyawati, 2002, jilid 8: 59).

11) Wayang Suluh

Munculnya setelah kemerdekaan yakni tahun 1946, menceritakan sejarah

perjuangan Indonesia dan bertujuan untuk memberikan semangat pada rakyat

Indonesia (Padmosoekotjo, tt, jilid II: 63).

12) Wayang Topeng

187

Page 188: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Wayang topeng menceritakan seperti cerita-cerita dalam wayang gedhog, tetapi

para penari menggunakan topeng (Padmosoekotjo, tt, jilid II: 65).

Drama tari topeng (wayang topeng) , meskipun jumlahnya sudah sangat

menyusut, namun masih ada sejumlah desa di Jawa yang melestarikan. Pada

umumnya masyarakat pedesaan masih menggunakan istilah wayang topeng.

Cerita yang dipentaskan juga masih berkisar pada cerita Panji. Memang ada pula

yang menyebutnya enggreng. Selain cerita Panji enggreng juga mementaskan

cerita Menak (Soekarno, 1979/ 1980, via Soedarsono, 1986:86)

Seyogyanya tidak dilupakan usaha perkumpulan Krida Beksa Wirama

untuk mengangkat pertunjukan wayang topeng sebagai kesenian rakyat

pedesaan, yang kemudian digarap dengan gaya keistanaan. Langkah tersebut

merupakan langkah mendampingkan kesenian rakyat pedesaan dengan seni

tradisi istana (Suharto, 1999: 39).

13) Srandhul yang berasal dari kehidupan pedesaan ini sangat berbeda dengan

kesenian kraton. Cerita yang digunakan mengambil dari Serat Menak, dengan

instrumen bendhe, terbang, kendhang dan angklung. Lakon yang dibawakan

bermacam-macam sesuai dengan permintaan yang menangggap. Beberapa lakon

yang cukup terkenal antara lain, Rebutan pedhang kangkam, Ndhulang Mas, dan

Jatikerna. Kadang diadakan selingan yang disebut gara-gara. Adegan ini

tampaknya dipakai untuk memberi penerangan atau nasihat kepada masyarakat

pedesaan agar dalam kehidupan sehari-hari tidak terperosok dalam kesulitan

hidup (Suharto, 1999: 15)

188

Page 189: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

14) Pethilan

Pethilan, seperti halnya wayang wong, yakni dengan tarian, dengan dialog baik

berupa tembang maupun prosa, tetapi juga seperti jenis tarian Wireng, yakni

menekankan tentang keprajuritan (Padmosoekotjo, tt, jilid II: 64).

15) Pranasmara

Pranasmara seperti halnya langendriya, tetapi ceritanya tidak hanya cerita

peperangan di Majapahit, tetapi juga lakon wayang macam-macam

(Padmosoekotjo, tt, jilid II: 65).

16) Drama Jawa Modern

Sejak adanya pengaruh drama Barat dan cara pemanggungannya, pada

permulaan abad 20 timbul bentuk drama baru di Indonesia, yaitu komedi

stambul, tonil, opera, wayang wong, kethoprak, ludruk, dsb. Pementasan drama-

drama ini belum menggunakan naskah (Sumardjo, 1992: 255).

Teks drama ditulis dengan mengacu pada kemungkinan pementasannya.

Pementasan drama, di samping harus mempertimbangkan berbagai inovasi

pembaharuan, juga harus selalu mengacu pada berbagai aturan main yang telah

bersifat konvensional dalam pementasan-pementasan sebelumnya. Hal ini

menjadikan teks drama sangat terikat pada berbagai konvensi yang ada, baik

konvensi penulisan maupun konvensi yang ada dalam pementasan. Di samping

konvensi yang bersifat umum sebagai seni pertunjukan, setiap jenis drama

memiliki kekhasannya masing-masing dalam hubungannya dengan konvensi

yang melekatinya

Dalam bentuk drama tradisional, konvensi yang ada dalam pementasan

akan semakin dipatuhi pada saat menulis maupun mementaskan drama. Hal ini

dikarenakan penulis dan pemain drama tradisional mengacu pada kemungkinan

keberterimaan masyarakat pada apa yang dihasilkannya. Inovasi dalam drama

189

Page 190: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

tradisional, pada umumnya hanya dapat diterima bila inovasi tersebut berada

pada unsur-unsur atau bagian-bagian tertentu yang memang tersedia untuk

dipakai sebagai unjuk kebolehan dengan berbagai inovasi.

Dalam drama modern, konvensi yang ada relatif lebih sedikit dibanding

dengan jenis-jenis drama tradisional. Oleh karena itu di sana-sini sangat terbuka

untuk disisipkan inovasi. Bahkan berbagai konvensi yang ada sangat rentan

untuk diabaikan atau bahkan diberontaki. Namun demikian bukan berarti bahwa

dalam drama modern tidak ada konvensi yang berlaku, karena setiap jenis drama

akan mengacu pada tujuan dan fungsinya yang berhubungan dengan masyarakat.

Dengan demikian keberterimaan masyarakat akan selalu menjadi titik tolak yang

diperhitungkan. Hal itulah yang menjadi tempat berperannya konvensi drama.

Rendra (1983: 33) pernah berpendapat bahwa seni drama modern di

Indonesia timbul dari golongan elite yang tak puas dengan komposisi drama

rakyat dan seni drama tradisional. Dialog dalam drama tradisional hanya

diimprovisasikan dan hanya dijadikan sampiran dalam cerita. Oleh karena itu

naskah sandiwara mulai sangat dibutuhkan karena dialog yang dalam dan otentik

dianggap sebagai mutu yang sangat dipentingkan.

Menurut Moch Nursyahid P. (Makalah saresehan Bahasa dan Drama

Jawa di PKJT Solo 23-26 Januari 1983) Sandiwara modern Jawa lahir melalui

lomba penulisan naskah drama berbahasa Jawa dan pakeliran, yang diadakan

oleh PKJT tahun 1980. Namun menurut catatan Suripan Sadi Hutomo,

sandiwara modern Jawa lahir setelah RRI Nusantara II Yogyakarta menyiarkan

sandiwara radio berbahasa Jawa, jauh sebelum tahun 1980-an. Acara ini

kemudian ditiru oleh beberapa radio amatir. Jadi sandiwara modern Jawa telah

lahir sebelum 1980-an.

Sayembara dari Pengembangan Kesenian Jawa Tengah (PKJT) pada

tahun 1979 menghasilkan juara dengan judul-judul sebagai berikut. Pangurbanan

karya Aryono KD, Kali Ciliwung karya Moch Nursyahit P, Secuwil Ati lan

Wengi karya Suliyanto, Sadumuk Bathuk karya Poerwadhie Atmodhihardjo,

Omah Warisan karya Suryadi WS, Males Budi karya Mang Oji, Antarane

Ombak-ombak Gumulung karya Anjrah Lelonobrata, dan Kembang Warung

190

Page 191: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

karya L. Siti Aminah. Tiga buah judul yakni, Pangurbanan, Kali Ciliwung dan

Secuwil Ati lan Wengi telah diterbitkan oleh PKJT tahun 1980.

Sedang dalam sayembara PKJT tahun 1980 melahirkan drama Jawa

berjudul sebagai berikut. Gandrung Kecepit karya Sarwoko Tesar, Tugas karya

Soetiyatmi, Tumiyuping Angin Wengi karya Aryono KD, dan Taman karya

Moch Nursyahit P. Tugas, karya Soetiyatmi dijadikan sebagai naskah Festifal

Teater Bahasa Jawa di Semarang tahun 1982 (Hutomo, 1983: 64).

Hingga saat ini sandiwara Jawa yang direkam dalam kaset audio antara

lain : (1) Basiyo Gandrung , oleh Basiyo, dibawakan oleh Dagelan Mataram,

direkan oleh Borobudur Recording, 1997, (2) Reca Mas, oleh Sumardjono,

dibawakan oleh Grup Sandiwara Radio RRI Nusantara II Yogyakarta, 1979, (3)

Jambret Bermata Mlolo, oleh Heru S., dibawakan oleh Komedi Jenaka KR,

1981, (4) Romantika di Rumah Duda, oleh Handung KS, dibawakan oleh

Komedi Jenaka KR, 1981), (5) Dokter Gadungan oleh Dipo Winoto, dibawakan

oleh Grup Teater Angkatan Muda, 1981.

Naskah-naskah drama TV karya Heru Kesawa Murti antara lain: Mbleber

Kejewer (Nopember 1990), Pinter Merga Maca (Desember 1990), Panen Kacang

(Januari 1991), Guyub (Februari 1991), Sepele Dadi Gawe (Maret 1991),

Kewirangan (April 1991), Keweleh (Juni 1991), Cubriya Gawe Cilaka (Juli

1991), Uwuh Gawe Kisruh ( Desember 1991), Thuyul (Januari 1992), Kebacut

(Februari 1992), Njagani Tembe Mburi ( Maret 1992), Nggugu Karebe Dhewe

(Mei 1992), Keweleh (Juni 1992), Gara-gara Manuk (Agustus 1992), Noleh

(September 1992), Nggolek Cukup (Oktober 1992), Kisruh (Desember 1992),

Kejodheran (Januari 1993), Serpele Dadi Gawe (Februari 1993), Kelalen (Maret

1993), Wurung (Mei 1993), Kleru Tampa I (Juni 1993), Kleru Tampa II (Juli

1993), Pondhokan Anyar (Agustus 1993), dsb (Dokumen TV RI Stasiun

Yogyakarta).

Handung KS mulai menulis karya sastra tahun 1959 di Kedaulatan

Rakyat. Naskah drama karya-karya Handung KS yang pernah dipentaskan,

antara lain: Protes (1977), Keris (1977), Informan (1977), Tamu Agung (1977),

Penasaran (1977), Cuwilan 1 Maret (1977), Pahlawan Tanpa Tanda Jasa (1977),

Ndara Gaya Baru (1978), Sasi Putih (1978), Loakan (1978), Mripatmu Isih

191

Page 192: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Bening (1978), Bundhet (1978), Jejaka Tuwa (1978), Intimidasi (1978),

Tetimbangan (1978), Nyelengi (1979), Layang Wasiyat (1979), Naksir (1979),

Ajar Sindhen (1979), Botoh Main (1979), Tamu (1980), Nabok Nyilih Tangan

(1980), Kuwe Weke Sapa? (1980), Kekancingan (1980), Aja Dumeh (1980),

Bojo (1981), Rusak Bareng (1981), Koruptor (1981), Pungli Dalan Gedhe

(1981), Isih jembar Kalangane (1981), Ibu Kuwalon (1982), Klenyit (1982),

Susu (1982), Omah Anyar (1982), Wartawan (1982), Ana Urang Neng Mburi

Watu (1983), Isin (1983), Aku Manut Mas (1983), Sri Panggung (1983), Cecak

(1983), Kumpul Kebo (1984), Dhudha Kesepen (1984), Buta Huruf (1984),

Kepuntir (1984), Satriya (1984), Liburan (1985), Ditunggangi (1985), Pelayan

Ayu (1985), Lemah Warisan (1985), Lumrah, Seniman (1986), Jago Lurah

(1986), Tilas Wong Kunjaran (1986), Tabrak Lari (1987), Turu Awan (1987),

Sewengi Neng Warung Kopi (1987), Nyaketi Pemilu (1987), Latihan (1987),

Omah Pondhokan (1987), Nggabro (1988), Pokale Pangindhung (1988), Thuyul

(1988), Hadiah (1988), Randha (1989), Gudheg Ayu (1989), Main Kertu (1989),

dsb. (Dokumentasi naskah Handung KS).

Lima naskah Handung Kus Sudyarsana juga diterbitkan, yakni: Isih

Jembar Kalangane, Layang Wasiyat, Sasi Putih, Sing Enom lan Sing Tuwa, dan

Mripatmu Isih Bening. Kelima naskah tersebut pernah ditayangkan di TVRI

Stasiun Yogyakarta dalam serial Sandiwara Jenaka KR

Maria Kadarsih (penulis naskah dan sutradara) berusaha

mengekspresikan karya-karyanya yang diambil dari masalah sosial

kemasyarakatan. Karya-karyanya antara lain: (1) Ngundhuh wohing Pakarti (9

Desember 1984), (2) Kabegjan (20 Jan 1985), (3) Kesaput Mendhung (24 Feb

85), (4) Bibit Kawit (3 Maret 1985), (5) Prahara (17 Agust 85), (6) Pitung Taun

Kepungkur (22 Juni 1986), (7) Sungsang (26 Okt 1986), (8) Ninggal Nalar (7

Januari 1987), (9) Nagih Janji (13 April 1987), (10) Omah Warisan (26 Mei

1987)

Karya-karya Soemardjono antara lain: (1) Kanyatan Kuwi Kejujuran

(siaran 3 Januari 1982), (2) Sing Pecah Entuk Wadhah (21 Maret 1982), (3)

Sandhangan lan Kanteban Moral ( 28 Maret 1982), (4) layang-layang sing

Misterius (4 April 1982), (5) Tibane Sih Katresnan (19 September 1982), (6)

192

Page 193: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Perjoangan Ancik-ancik Pucuking Eri (17 Desember 1982), (7) Arta Bisa Gawe

Mulya, Nanging Uga Bisa Nglengkara ( 23 Oktober 1983), (8) Sopir Gadhungan

( 30 Oktober 1983), (9) Baline Layang-layang Katresnan (6 Nopember 1983),

(10) Jariah Njaluk Bali Omah (13 Nopember 1983).

DAFTAR PUSTAKA

Asmara, Adhy, 1986, Apresiasi Drama, Yogyakarta: Nur Cahaya

Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto, 1996, cet.IV, Teater Daerah Indonesia,

Yogyakarta: Kanisius

Becker, AL. 1971. Text Building Epistemology, and Aesthetic in Javanese

Shadow Theater. Ann Arbor: Michigan University

Dumairy, 1997, “Menanamkan Jiwa Wiraswasta Lewat Drama Jawa-

Mahasiswa” Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat

Harymawan, RMA, 1993, Dramaturgi, Bandung: Remaja Rosdakarya

Hoetomo, Suripan, 1993, “ Drama dalam Sastra Jawa Modern” dalam Poer

Adhie Prawoto, ed, Wawasan Sastra Jawa Modern, Bandung: Angkasa

Innis, Fenwick Sara (ed.), 1967, A Critical Approach to Children’s Literature,

Chicago:University of Chicago Press

Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Kuntowijoyo, 1984, “Penokohan dan Perwatakan dalam Sastra Indonesia” dalam

Andy Zoeltom, ed., Budaya Sastra, Jakarta: CV Rajawali

Luxemburg, Jan van, dkk, 1989, Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: Gramedia

Mertosedono. Amir. 1992. Wayang dan Sejarahnya. Jakarta: Tiga Aksara

Muddjanattistomo, dkk., 1977, Pedhalangan Ngayogyakarta. Jld I.

Ngayogyakarta: Yayasan Habirandha

Mulyono, Sri, 1978, Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta:

Gunung Agung

__________, 1979. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta:

Gunung Agung

193

Page 194: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Nusantara, Bondan dan Lephen Purwa Raharja, ed., 1997. Ketoprak Orde Baru.

Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya

Oemarjati, Boen. S., 1971, Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia, Djakarta:

Gunung Agung

Padmopuspito, Asia. tt., Diktat Teori Satra Jawa. Tidak Diterbitkan

________________, 1989, Teori Sastra Jawa, Tidak diterbitkan, Materi kuliah

di IKIP Yogyakarta.

Padmosoekotjo, tt., Ngengrengan Kasusastran Djawa, Jilid I dan II, Jogjakarta:

Hien Hoo Sing

Poedjosoedarmo, Soepomo dan Soeprapto Budi santoso. 2000. “Dagelan

Mataram: Apresiasi Masyarakat Yogyakarta” dalam Ketika Orang Jawa

Nyeni. Heddy Shri Ahimsa Putra, ed. Yogyakarta: Galang Press

Poerbatjaraka, 1964, Kapustakan Djawi, Djakarta: Penerbit Djambatan

Ras, J.J., 1985, Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir, Jakarta: Grafitipers

Roekijah, R.S., 1958, “Nalusur Bab wontenipun Dedrama-Djawaan Tijang

Mlarat”, Dalam Medan Bahasa Djawi, th. III, no. 5, Djakarta: Bagian

Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian PPK.

Sahid, Sri Harjanto, 1995, “Kreativitas dan Pengaruh Drama Jawa” Yogyakarta:

Makalah dalam Seminar Drama Jawa-Mahasiswa, Pusat Studi Wanita

IKIP Yogyakarta, 18 Desember

Saleh, Mbijo, 1967, Sandiwara dalam Pendidikan, Djakarta: Gunung Agung

Saptono, 1997, “Drama Jawa Menyehatkan Imajinasi Mahasiswa” Jakarta:

Kompas, 3 Agustus, hal. 16

Sastroamidjojo, A. Seno, 1964, Renungan tentang Pertundjukan Wajang Kulit,

Djakarta: Penerbit PT. Kinta

Sedyawati, Edi, dkk, Editor, 2001, Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum, Jakarta:

Balai Pustaka

Seto, Kak, 1995, “ Mendrama Jawa dan Kreativitas Mahasiswa” Yogyakarta:

Makalah dalam Seminar Drama Jawa-Mahasiswa, Pusat Studi Wanita

IKIP Yogyakarta, 18 Desember

Soebadyo, Haryati, 2002, Indonesian Heritage: Bahasa dan Sastra, Jakarta: Buku

Antar Bangsa, jilid 8 dan 10

194

Page 195: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Soedarsono, 1986, “Dampak Modernisasi terhadap Seni Pertunjukan Jawa di

Pedesaan”, dalam Soedarsono, ed., Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa,

Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara

(Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan

__________, 1997, Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton

Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjahmada University Press

Soemardjono, 1987. “Pengolahan Lakon dan Penyutradaraan” dalam Bidang

Kesenian Kanwil Depdikbud DIY. Ed.. Tuntunan Seni Kethoprak.

Yogyakarta: Proyek Pengembangan Kesenian Depdikbud DIY

Sopingi, 1998, “Peningkatan Peran Drama Jawa untuk Pembentukan Budi

Pekerti Mahasiswa” , Makalah dalam Saresehan Balai Kajian Sejarah dan

Nilai Tradisional Yogyakarta

Sriyono, Bambang. 1983. “Wayang Wong Kolosal dan Langendriyan versi

Ensiklopedi”. Kompas Minggu, Jakarta. 16 Oktober 1983.

Suardiman, 1952 ……….

Suarsa, Made, 1988, Drama-drama B. Sularto, Analisis Strukturalisme Semiotik

(Tesis Pasca Sarjana UGM, belum diterbitkan)

Subalidinata, R.S., 1981, Seluk Beluk Kesastraan Jawa, Yogyakarta: KMSN

Fakultas Sastra dan Kebudayaan, UGM

______________, 1985, Primbon dalam Kehidupan Masyarakat Jawa: Unsur

Sastra, mithos, takhayul dan sejarahnya, Makalah pada ceramah di

Javanologi, Yogyakarta: Depdikbud Proyek Penelitian dan Pengkajian

Kebudayaan Nusantara, bulan April 1985.

Sudjiman, Panuti, 1986, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Gramedia

Suharto, Ben, dkk., 1999, Langen Mandra Wanara, Sebuah Opera Jawa,

Yogyakarta: yayasan Untuk Indonesia

Sumardjo, Jakob, 1992, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama

Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Suseno, Frans Magnis, 1982. Kita dan Wayang. Jakarta: Lembaga Penunjang

Pembangunan Nasional.

Sutandyo, 2002, Kamus Istilah Karawitan, Jakarta: Wedhatama Widya Sastra

195

Page 196: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Tambayong, Japi, 1981, Dasar-dasar Dramaturgi, Bandung: Pustaka Prima

Tarigan, Henry Guntur, 1985, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, Bandung: Penerbit

Angkasa

Taylor, Loren E. 1981, Drama Formal dan Teater Remaja, Terjemahan A.J.

Soetrisman, Yogyakarta: Yayasan Taman Bina Siswa

Teeuw, A., 1984, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, Jakarta:

Pustaka Jaya

Wellek, Rene & Austin Warren, 1993, Teori Kesusasteraan, Diindonesiakan oleh

Melani Budianta, Jakarta: Gramedia

Wibisono, Singgih, 1987, “Konvensi dan Invensi dalam Sastra Pedalangan”,

dalam Gatra, Majalah Warta Wayang, No. 16. Jakarta: Sekretariat

Nasional Pewayangan Indonesia)

Zoetmulder, 1983, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Jakarta:

Djambatan

Baca kebudayaan Jawa hal 211

196

Page 197: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

KONTRIBUSI KONSEP SENI TEATER TERHADAP PERKEMBANGAN SENI PEWAYANGAN

Soediro Satoto

I

Setelah saya konfirmasikan kepada panitia, judul makalah ini saya terima dan gunakan sesuai dengan permintaan DPH SENA WANGI (Dewan Pimpinan Harian SEKRETARIAT NASIONAL PEWAYANGAN NASIONAL). Ada kesan (mudah-mudahan tidak benar) bahwa wayang bukan teater sehingga konsep seni teater diharapkan bisa memberi kontribusi terhadap perkembangan seni pewayangan.

Ada yang berpendapat bahwa "Seni Pewayangan bukan Seni Teater". Maka, konvensi, metode, dan pendekatan untuk mengkaji dan menggarap Seni Pewayangan harus dibedakan dengan konvensi, metode, dan pendekatan untuk mengkaji, dan menggarap Seni Teater. Pendapat tersebut sah-sah saja. Sama sahnya dengan pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa Seni Drama bukan Seni Teater, tetapi Seni Sastra. Pengkajian atau penelitian terhadap Seni Teater berada di luar konvensi dan pendekatan sastra, melainkan berada dalam wilayah kajian seni – Lalu seni yang mana? Bukankah sastra, termasuk drama, juga seni, seni sastra? Ada yang berpendapat bahwa Seni Drama dan Seni Teater termasuk bidang Seni Rupa. Sedangkan orang lain berpendapat bahwa Seni Rupa termasuk bidang Seni Arsitekstur. Ada kesan bahwa Seni Pewayangan disejajarkan atau disamakan dengan Seni Pedalangan, sehingga di beberapa Perguruan Tinggi Seni menggunakan nama Jurusan Pedalangan, bukan Jurusan Pewayangan. Pendapat-pendapat tersebut seharusnya didukung oleh alasan-alasan dan konsep-konsep yang jelas, dan jelas pula acuannya sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekaburan.

Dalam makalah ini, Seni Pewayangan dimasukkan sebagai seni pertunjukan. Ia adalah Seni Teater, ‘Seni Teater Tradisional’ yang akan selalu mengalami reformasi dan tranformasi seperti halnya seni-seni tradisional yang lain, dan juga seni-seni kontemporer, termasuk ‘Seni Teater Kontemporer’. Seni Tradisional bukan seni yang telah mandeg, baku, dan beku. Ia terus mengalami perkembangan atau bahkan perubahan seirama dengan transformasi di segala bidang, tanpa kecuali bidang budaya dan seni, khususnya Seni Pewayangan atau Seni Pedalangan. Namun sebaliknya, seni tradisi bisa memperkaya seni modern (lihat Rendra 1983:3). Dengan demikian, konsep Seni Teater bukan hanya bisa memberi kontribusi terhadap perkembangan Seni Pewayangan, tetapi juga dapat dicobaterapkan ke dalamnya.

II

Seni Teater adalah produk sebuah proses penciptaan dari seni drama ke dalam seni teater, atau dapat disingkat ‘proses teater’. Sebagai proses teater, keberadaan Seni Teater mengacu pada ‘formula dramaturgi’. Istilah ‘dramaturgi’ itu sendiri dipungut dari bahasa Belanda ‘dramaturgie’, berarti ajaran tentang seni drama (leer van de dramatische kunst), atau dari bahasa Inggris ‘dramaturgy’, berarti

197

Page 198: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

seni atau teknik penulisan drama dan penyajiannya dalam bentuk teater. Secara singkat bisa disebut ‘seni teater’ (the art of the theatre) (Harymawan 1988:iii).

Safian Hussain dkk. dalam Glosari Istilah Kesusasteraan (1988:69) menyebutkan bahwa ‘dramaturgi’ adalah komposisi dramatik atau seni dramatik, yaitu unsur-unsur teknikal yang digunakan dalam penulisan drama. Unsur bunyi dan unsur lakuan atau gerak merupakan dua unsur penting di antara unsur-unsur penting lainnya dalam drama. Dan inilah yang membedakan antara teknik penulisan drama atau lakon dengan jenis sastra yang lain, yaitu prosa (novel atau cerpen) dan puisi.

Pendekatan dramaturgi (approache dramaturgique), yang di Perancis dipelopori dan dikembangkan oleh Jacques Scherer, bertujuan untuk menjelaskan bagaimana seorang pengarang drama menggunakan kerangka bentuk tertentu serta prosedur tertentu dalam mengarang (Scherer 1980:5, dalam Bachmid 1990:26).

Yang dimaksud rumusan atau ‘formula dramaturgi’ di atas merupakan proses (penjadian) teater yang meliputi 4M, yaitu (1) Mengchayal (dalam bentuk ide); (2) Mencipta atau Menuliskan (dalam bentuk dramatic script, teks dramatik, atau naskah lakon); (3) Mempertunjukkan atau Mempergelarkan (dalam bentuk teks pertunjukan atau seni teater); dan (4) Menyaksikan, Menonton (bisa dalam bentuk komentar, ulasan, resensi, kritik, kajian, atau penelitian).

Perbedaan istilah ‘drama’ dan ‘teater’, sebagai proses kreatif seni, dapat dilihat pada pasangan ciri-ciri berikut (lihat Tennyson 1967:1; Satoto 1991:6—25).

drama teater, pergelaran wayang

play (lakon, sandiwara) performance (pertunjukan, pergelaran)

script (naskah, bisa bentuk sketsa) production (produksi)

dramatic text (teks dramatik) perfomance text (teks pertunjukan)

author (pengarang) direction (sutradara, dalang) caracter (tokoh) aktor/aktris, boneka wayang (dimainkan oleh dalang)

creation (kreasi) interpretation (interpretasi, oleh dalang)

theory (teori) implementation (implementasi)

Berdasarkan perbandingan di atas, tampak bahwa (1) drama lebih merupakan lakon yang belum dipentaskan; (2) skrip atau naskah lakon (apa pun wujudnya) yang belum diproduksikan; (3) teks dramatik yang masih harus memperoleh tingkat kesempurnaannya di dalam teks pertunjukan, sehingga segala jenis seni pertunjukan harus konteks dengan publiknya (audience); (4) hasil kreasi, ide, atau gagasan pengarang (dalam naskah lakon) yang dalam batas-batas tertentu masih harus diinterpretasikan oleh sutradara (dalang) beserta seluruh pekerja teater untuk mementaskannya; (5) tokoh dalam teks dramatik, atau aktor dalam teks pertunjukan yang masih kosong harus memperoleh fungsi dan peran (oleh

198

Page 199: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

sutradara atau dalang) sehingga setiap tokoh dalam setiap lakon memiliki karakteristiknya masing-masing.

III

Kini, baik secara konsepsional, apalagi jika dilihat dari wujud atau bentuk, gaya, penggarapan, dan atau pementasannya, kita semakin sulit membedakan dan memberi batasan mana karya seni yang paling berhak meng-claim atau disebut teater klasik, teater tradisional, teater rakyat, teater daerah, teater lokal, teater nasional, teater Indonesia, teater Barat, teater modern, atau teater kontemporer. Hal itu terjadi karena jenis-jenis teater tersebut sama-sama mengalami perkembangan dan atau perubahan paradigma seirama dengan transformasi dan globalisasi budaya dan seni. Teater modern dan teater kontemporer yang sebagian orang menengarai dengan masuknya konvensi (dari) Barat, antara lain konvensi adanya naskah lakon tertulis; sementara teater tradisional tidak menggunakannya. Mana pula yang disebut seni adiluhung, yang konon, harus dilestarikan (apanya?). Sementara tata nilai itu sendiri terus mengalami perkembangan dan atau perubahan. Wayang Kulit Purwa Jawa, misalnya, sering disebut jenis teater tradisional adiluhung yang harus dilestarikan (apanya: filosofinya, fungsinya, konvensinya, wujud bonekanya, bentuk, garap, atau gaya pergelarannya, atau semuanya?). Jika semua itu benar, maka seni pewayangan telah mengingkari hakikat seni itu sendiri yaitu bersifat kreatif dan inovatif.

Di wilayah Indonesia, kita kenal berbagai jenis seni teater yang lazim disebut ‘teater tradisional’ (telah mentradisi), ‘teater rakyat’ (karena merakyat); atau ‘teater daerah’ (berciri khas daerah). Secara konvensional, yang dimaksud teater daerah terbatas pada seni pertunjukan yang memiliki ciri khas daerah tertentu. Jenis teater yang tidak berciri kedaerahan adalah teater Barat. Perbedaan utama antara teater Barat dan teater daerah Indonesia adalah selalu adanya naskah lakon tertulis dalam produksi teater Barat (Bandem & Murgiyanto, 1996:10). Perlu dipertanyakan tentang ciri khas daerah tertentu yang mana? Bahasanya, gayanya, garapnya, apa geografisnya? Begitu pula, dalam kenyataannya sekarang, ada teater modern yang diasumsikan teater Barat tetapi tidak menggunakan naskah lakon tertulis, melainkan dengan improvisasi-improvisasi dan kata-kata mini atau sketsa, yang biasa disebut teater mini kata atau teater primitif. Misalnya, lakon Bib Bob (Rendra), dan lakon RE (Akhudiat). Sebaliknya, ada teater daerah yang menggunakan naskah lakon tertulis, dan digarap berdasarkan konvensi Barat. Misalnya Kethoprak Glinding di Solo; kethoprak, wayang orang, atau wayang kulit yang dipentaskan dan/atau ditayangkan di teve, atau dipentaskan ‘dalam rangka’. Contoh-contoh lain adalah seni-seni tradisional yang semangatnya adalah eksperimental atau eksplorasi. Apa salahnya jika teater daerah atau teater tradisional jenis wayang memanfaatkan naskah lakon tertulis, diterjemahkan atau tidak ke dalam bahasa nondaerah, dan digarap berdasarkan konvensi teater (diasumsikan Barat?). Peristiwa demikian sering juga dilakukan bagi teater Barat yang diterjemahkan ke dalam bahasa daerah di Indonesia, digarap berdasarkan konvensi, gaya, dan bentuk-bentuk, atau roh teater daerah di Indonesia. Jadi, ciri-ciri kedaerahan (termasuk bahasa daerah), naskah lakon tertulis, dan konvensi yang dipakai, dalam perkembangannya sekarang, tidak cukup akurat sebagai pembeda antara Teater Daerah (di Indonesia), dan Teater

199

Page 200: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Barat (tidak selalu sama dengan non-Indonesia), atau Teater Tradisional dan Teater Modern.

Beberapa contoh jenis teater rakyat, teater daerah, atau teater tradisional di Indonesia adalah: Bangsawan (Sumatra Utara); Randai (Sumatra Barat); Dermuluk (Sumatra Selatan); Makyong, Mendu (Riau, Kalimantan Barat); Mamanda (Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur); Ubrug, Longser, Bonjet (Jawa Barat); Lenong, Topeng, Blantik (Batawi); Mansres (Indramayu); Sintren (Cirebon); Kethoprak (Yogya, Solo, Jawa Tengah, Jawa Timur); Wayang (Kulit atau Purwa, Orang, Topeng, Golek, Sungging, Gedog, Kidang Kencana, Menak; Klitik atau Krucil, Kulit Perjuangan, Kulit Kancil, Potehi, Cina, atau Thithi, Beber, Madya, Tasripin, Suluh, Wahana, Pancasila, Wahyu) tersebar hampir di seluruh Jawa; Dadung Awuk (Yogya); Kuda Lumping (Yogya, Solo, Jawa Tengah, Ponorogo, Jawa Timur); Srandul (Jawa Tengah, Jawa Timur); Ludrug, Kentrung (Jawa Timur); Drama Gong, Gambuh, Arja, Topeng, Prembon (Bali); Topeng Dalang (Klaten, Jawa Tengah, Jawa Timur); Topeng (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura); Panji (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur) (Satoto 1991:121—189).

Berdasarkan contoh-contoh di atas, jelas bahwa seni teater wayang memiliki jenis paling banyak daripada yang dimiliki oleh seni teater tradisional lainnya. Jumlah jenis teater wayang dan pengelompokannya setiap pengamat bisa saja berbeda. Kesamaanya, jenis-jenis teater wayang tersebut, masing-masing, memiliki spesifikasi dan karakteristiknya sendiri. Jenis dan ragam teater wayang itu masih akan terus berkembang dan bertambah jumlahnya.

IV

Mengapa jenis dan ragam seni pewayangan masih terus mengalami perkembangan, bahkan perubahan, baik secara kuantitas maupun kualitas seninya jika dilihat dari segi wawasan seniman wayang yang bersangkutan, konvensi, metode, pendekatan, gaya, dan teknik penggarapan yang digunakan dalam proses pementasan wayang yang dihehendaki. Jika proses perkembangan wayang akan terus berlangsung tanpa hambatan, apa lagi ancaman atau sanksi, maka hal itu mengindikasikan bahwa (1) Seni Pewayangan, termasuk Seni Pedalangan (Seni Penyutradaraan Plus), Seni Karawitan/Musik (tata musik atau suara), dan Seni Tari (tata gerak atau lakuan) yang secara konvensional merupakan komponen-komponen utama di samping komponen-komponen penting lainnya yang membangun komunitas Seni Pewayangan, bukanlah seni tradisional yang mandek, statis, baku, dan beku, melainkan dinamis seirama dengan perkembangan dan dinamika masyarakat wayang sebagai publiknya, tanpa harus mengorbankan esensi Seni Pewayangan; (2) Para pecinta dan pemerhati wayang, pengayom wayang, pengelola wayang, pemikir wayang, kritikus wayang, peneliti wayang, dan masyarakat wayang pada umumnya sebagai publiknya, bukanlah orang-orang tradisional yang fanatik akan kemapanan, sementara seniman wayang generasi penerusnya merasa resah dan gelisah terhadap kemapanan.tersebut.

Slamet Gundono, S.Kar., misalnya, dalang muda nan tambun lepasan STSI Surakarta, merasa resah dan gelisah melihat ikatan ketat kemapanan tradisi,

200

Page 201: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

pakem-pakem yang membelenggu kreativitas seninya (sanggit). Ia mencobaterapkan konvensi-konvensi seni teater yang pernah diterimanya, digaulinya, dan dihayatinya ke dalam pementasan Wayang Suketnya. Boneka-boneka Wayang Kulit Purwa yang memiliki makna simbolis dan karakteristik baku, hitam putih diganti dengan boneka-boneka dari suket (rumput, atau mendong) yang secara simbolis dapat dimaknai kesederhanaan.Tokoh yang menghadapi Karna untuk mengklarifikasikan sikap Karna terhadap Pandawa, khususnya Ibu Kunthi pada Perang Bharatayudha, tidak harus Kresna dan Harjuna, melainkan bisa Werkudara. Secara logika lebih masuk akal karena Werkudara bukan tak mungkin menjadi peragu atau dendam karena kematian Gatutkaca akibat senjata Kunta Wijaya Danu yang dilepaskan Karna, kakak kandung Werkudara sendiri, seibu dengan Ibu Kunthi. Tampilnya dunia fiksi dan nonfiksi dalam struktur Wayang Suket Gundono terasa lebih teatrikal dan artistik daripada adegan Limbukan dan Goro-Goro beberapa dalang akhir-akhir ini yang menjadi arena pemujaan berlebih-lebihan terhadap penanggap atau yang mensponsori pendanaan pergelarannya, sebaliknya justru terjadi pelecehan terhadap para pekerja teater wayang, dan pilihan pendengar, demi merebut pangsa pasar.

Contoh lain, pementasan Wayang Nggremeng Gundono dalam Alap-alapan Surtikanthi sebuah lakon karya Goenawan Mohamad. Tidak ada boneka wayang, tidak ada gamelan (tradisional). Gundono bukan dalang otoriter dan penafsir tunggal seperti lazimnya pergelaran Wayang Kulit Purwa. Seluruh pekerja teater Wayang Nggremeng bisa menafsirkan lakon sesuai dengan wawasan dan daya apresiasi masing-masing. Dengan demikian, makna lakon, sebagai karya fiksi, bisa memiliki berbagai penafsiran seperti apa yang dikemukakan dalam teori dekonstruksi atau pascamodernisme (Culler 1983). Seluruh pekerja teater Wayang Nggremeng juga berperan sebagai pemain, peniru suara gamelan (pengrawit), bahkan sebagai dalang sekalipun. Mereka bisa santai makan, minum, merokok, dan bercanda tentang hal-hal yang aktual dan konteks dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, hukum, dan hankam yang sedang menjadi isu aktual. Makanan, minuman, dan rokok berserakan di hadapan para pemain, siap dijadikan peraga atau boneka wayangnya. Gundono mengikuti jejak gurunya Gondo, bahwa cerita wayang sebagai karya fiksi bisa divisualisasikan secara nonfiksi, ditafsirkan, atau dimaknai bermacam-macam, bahkan tafsir atau makna gila-gilaan sekalipun (posmodernisme).

V

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kontribusi dan implementasi konsep seni teater terhadap perkembangan seni pewayangan bisa menyangkut di bawah ini.

Pertama, struktur teatrikalnya, misalnya komponen dalang dan seni pedalangan (sutradara dan teknik penyutradaraan); karakter (tokoh), teknik penokohan, pemeran dan teknik pemeranan (pada wayang kulit dilakukan oleh dalang berupa sabet dan cakapan); dialog (cakapan, pada wayang orang dilakukan oleh pemeran); struktur ruang (pada wayang kulit, gedebog dan kelir lambang mikro dan makrokosmos), dan struktur waktu (pathet, pengaluran, dan pengadegan);

201

Page 202: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

mempotensikan seluruh pekerja teater wayang secara profesional dan proporsional (niyaga atau penabuh gamelan, wirasuara, penata panggung, penata suara, penata lampu, penata properti atau perlengkapan, dan lain-lain) sehingga kreativitas mereka bisa dihargai secara profesional dan proporsional berdasarkan hasil karya kolektif mereka bersama dalang, artinya tidak sekadar memperoleh upah dari Sang Dalang.

Kedua, masalah penafsiran lakon, sanggit, dan teknik pemanggungan. Dalang bukan satu-satunya sumber penafsir dan pencipta lakon, melainkan juga seluruh pekerja teater wayang. Untuk keperluan ini, di samping dalang, setiap pekerja teater wayang perlu selalu meningkatkan wawasan, daya apresiasi, dan daya kreativitasnya terhadap Seni Pewayangan dan Seni Pedalangan sebagai karya seni kolektif.

Ketiga, perlu pengkajian dan penelitian terus-menerus terhadap masyarakat wayang (termasuk penonton, pemerhati, pengamat, kritikus, peneliti, dan pengayom) sebagai publiknya, karena perkembangannya cenderung semakin heterogen.

Keempat, masalah manajemen seni pertunjukan, terutama manajemen seni tradisional, dalam hal ini pergelaran wayang kulit purwa Jawa, umumnya masih merupakan industri atau perusahaan perseorangan di mana Dalang sebagai pemilik modal tunggal dan pemimpin tunggal sebagai majikan yang memiliki otoritas tunggal. Sedangkan para pekerja (crew) teater wayang kulit merupakan buruh-buruhnya. Kondisi demikian bisa dikaji ulang, dilakukan penelitian, dan dicarikan solusi terbaiknya sehingga menguntungkan semua pihak yang terkait dengan pergelaran wayang kulit purwa Jawa tersebut sebagai suatu karya seni kolektif dan kompleks secara proporsional dan profesional..

Kelima, dirasa perlu, penting, dan mendesak segera dicari dan ditemukan konsep atau teori seni pewayangan atau seni pedalangan, khususnya teknik penggarapan dan atau gaya pementasan wayang, demi perkembangan dan pengembangan seni pewayangan itu sendiri.

Keenam, kritik seni, khususnya kritik seni pewayangan dan/atau seni pedalangan, bukan saja perlu dilembagakan, tetapi juga perlu mendapat porsi dan kesempatan yang layak untuk melakukan kritik sesuai dengan kompetensi kritikus, serta hakikat, arti, dan fungsi kritik.

DAFTARPUSTAKA Bachmid, Talha, 1990. Semangat ‘Dérision’ dalam Drama Kontemporer: Telaah Bandingan Dua Lakon "Kapai-Kapai" Karya arifin C Noer dan "Badak-Badak" Karya Eugène Ionesco. Disertasi. Fakultas Pascasarjana UI Jakarta. Belum diterbitkan.

Bandem, I Made & Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Jakarta: Pustaka Budaya.

Culler, Jonathan. 1983. Theory and Criticism after Structuralism. London, Melbourne and Henley: Routledge & Kegan Paul.

202

Page 203: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Harymawan, RMA. 1988. Dramaturgi. Bandung: CV Rosda.

Hussain, Safian dkk., 1996. Glosari Istilah Kesusastraan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kemerdekaan Pendidikan Malaysia.

Rendra. 1983. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: PT Gramedia.

Satoto, Soediro. 1991a. Pengkajian Drama I. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

_____________ 1991b. Pengkajian Drama II. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

_____________ 1984. Wayang Kulit Purwa: Makna dan Struktur Dramatiknya. Penelitian. Yogyakarta: Proyek Javanologi Depdikbud RI.

______________ 1998. Tokoh dan Penokohan dalam Caturlogi Drama "Orkes Madun" Karya Arifin C Noer. Disertasi. Program Pascasarjana UI Jakarta. Akan diterbitkan.

______________ 1999a. Teater Indonesia. Makalah. Disajikan dalam Forum Simposium Nasional. Dalam rangka Festival dan Temu Ilmiah MSPI 1999 pada tanggal 09—14 September 1999, di Tirtagangga Karangasem Bali.

_______________ 1999b. Mencari Format Pedalangan Era Reformasi. Dimuat di SOLOPOS pada tanggal 30 September 1999, Halaman 4.

· DR. H. Soediro Satoto Kepada Yang TerhormatFak. Sastra & Program Pascasarjana UNS Jl. Ir. Sutami 36 A Sekretariat SENA WANGI Kentingan, Surakarta, 57126 Gedung Pewayangan KautamanJl. Giringan 03 Jl. Raya Pintu Satu, TMII Kartasura, 57167 Surakarta Jakarta Timur 13810

Jenis primbon merupakan hasil dari penulisan tradisi sastra atau budaya

lisan. Kata primbon sendiri berasal dari kata dasar (lingga) imbu dan berarti

‘simpanan’, yakni simpanan yang berupa sastra atau budaya lisan yang telah

dihayati atau dipraktikkan oleh masyarakat Jawa secara turun temurun dari

generasi satu ke generasi berikutnya.

203

Page 204: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

Dalam hubungannya dengan beberapa hal di atas, suatu ketika Umar

Kayam (1981: 95-96) dalam mencermati tiga macam teater kota, berkesimpulan

sebagai berikut. Pertama, kenyataan bahwa teater yang berorientasi pada nilai-

nilai budaya yang sudah akrab dengan masyarakat adalah teater yang lebih

mudah menemukan format khalayaknya. Dalam hal ini agaknya penggunaan

bahasa daerah sebagai bahasa pengantar masih merupakan faktor yang penting

(Ketika itu dan entah sampai kapan, tergantung masyarakatnya).

Kedua, kenyataan bahwa teater yang mampu menggalang khalayak

dalam jumlah tetap yang besar adalah teater yang “dikemas” secara komersial.

Dengan lain perkataan, teater kitsch, yakni teater yang berorientasi pada

kemungkinan perkembangan menjadi “seni massa” yang secara komersial

menguntungkan. Teater yang sejak semula dikemas untuk dijajakkan secara

komersial dengan seluwes mungkin menyesuaikan diri pada selera massa dengan

tujuan bisa dicapai keuntungan yang sebesar-besarnya.

Ketiga, kenyataan bahwa teater yang memilih alternatif lain dari pada

tersebut di atas akan merupakan “teater minoritas” yang akan mempunyai

format dan khalayaknya yang kecil.

Pengembangan makna dari kondisi yang melatar-belakangi adalah

inovasi pada masing-masing cerita yang bersangkutan. Pembicaraan tentang

korupsi yang dilakukan oleh tokoh Limbuk dan Cangik dalam adegan

Limbukan, misalnya, merupakan inovasi yang memang mungkin terjadi dalam

hubungannya dengan masyarakat tertentu pada waktu tertentu.

Hanya dengan menengok pada latar belakang masing-masing situasi

budaya masyarakatnya itulah pemaknaan drama Jawa pada masing-masing jenis,

bahkan pada masing-masing lakon, setidak-tidaknya akan terdasari.

Sebaliknya, benang merah idealisme filosofis yang dapat ditarik dari

budaya animisme-dinamisme, pengaruh budaya Hindu-Budha, pengaruh budaya

Islam, dan pengaruh budaya modern Barat, akan merupakan idealisme budaya

Jawa yang lestari yang mungkin juga tercermin dalam setiap jenis drama, bahkan

setiap teks drama Jawa, baik yang konvensional maupun yang inovatif. Berbagai

makna drama Jawa yang inovatif yang keluar dari jalur benang merah di atas,

204

Page 205: Karya Sastra Drama: Sastra Lakon - Staff Site …staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs... · Web viewSebagai contoh, bagi ibu yang sedang hamil atau suaminya, bila melihat

bisa dipastikan bersifat subyektif dan kemungkinan sekali akan punah ditelan

waktu.

205