Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

147
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adat merupakan pencerminan dari pada kepribadian suatu bangsa merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad .Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada 1

description

hukum waris

Transcript of Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Page 1: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adat merupakan pencerminan dari pada kepribadian suatu bangsa

merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan

dari abad ke abad .Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga

yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan

mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang

lingkup kehidupan manusia.

Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan

peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa

meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus

menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan

hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh

hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara

penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari

pewaris kepada para warisnya.

Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa

atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem

garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku

bangsa atau kelompok-kelompok etnik.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang dibahas dalam Karya Tulis ini adalah:

1. Apakah hukum waris adat itu?

2. Bagaimana sifat dan sistem hukum waris adat di Indonesia?

3. Bagaimana kedudukan janda dan anak dalam hukum waris adat?

1

Page 2: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

4. Harta waris mana yang dapat atau tidak dapat dibagi-bagi?

5. Bagaimana proses pewarisan menurut hukum waris adat?

6. Hukum yang mengatur mengenai hukum waris adat?

1.3 Tujuan Penulisan

Pada dasarnya tugas ini dibuat sebagai wujud dari pertanggung jawab kami

atas t ugas   yang  d ibe r i kan  o leh  dosen   sebaga i   sya ra t   un tuk

memenuh i aspek p enilaian mata kuliah Hukum Adat. Selain itu tugas ini

juga ditujukan untuk:

1. Memahami pengertian hukum adat waris yang ada di Republik

Indonesia.

2. Mengetahui dan menganalisis aspek apa saja yang ada di dalam

hukum adat waris.

3. Untuk mengetahui siapa saja yang terlibat di dalam permasalahan

hukum adat waris yang ada di Indonesia

1.4 Manfaat penulisan

Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu

dalam memproses ilmu pengetahuan.Secara operasional penelitian dapat

berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

menunjang pembangunan,mengembangkan sistem dan mengembangkan

kualitas manusia.

Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu

hukum yang timbul. Oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu

penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Dengan melakukan

penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan

preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.19 Bertitik

tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, diharapkan dengan

penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis

dan praktis di bidang hukum yaitu sebagai berikut:

a. Secara teoritis

2

Page 3: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

bentuk sumbang saran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal

maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas

yang berhubungan dengan harta pemberian yang diberikan orang tua

semasa hidup kepada anaknya menurut sistem hukum waris

b. Secara praktis

Memberi informasi yang dibutuhkan masyarakat di masa

mendatang apabila terjadi permasalahan terkait harta pemberian orang

tua semasa hidupnya kepada anak menurut sistem hukum waris adat.

Memberikan pengertian dan pemahaman yang dapat berguna serta

memberikan sumbangan pemikiran dan penjelasan bagi mereka yang

hendak mempelajari dan mengkaji harta pemberian orang tua semasa

hidupnya kepada anak menurut sistem hukum adat.

3

Page 4: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Hukum Adat Waris

A. Ruang lingkup

Soepomo (1977: 81, 82), menyatakan bahwa hukum waris itu

adalah:

”...memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta

mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak

berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia

(generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu orang

tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang

tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu

peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak

mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta

benda dan harta bukan benda tersebut.”

Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh garis

keturunan yang berlaku di suatu masyarakat tertentu. Sistem garis

keturunan tersebut mungkin menggunakan prinsip patrilineal murni,

patrilineal beralih-alih (alternerend) matrilineal ataupun bilateral, ada pula

prinsip unilateral berganda (dubbel-unilateral).1Sistem-sistem tersebut

berpengaruh terutama terhadap penetapan ahli waris maupun bagian

harta peninggalan yang diwariskan, baik yang secara material maupun

immaterial.2

Hukum adat waris terdiri dari tiga sistem kewarisan:

a. Sistem kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan yang para ahli

warisnya mewarisi secara perorangan;

b. Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem kewarisan yang para ahli

warisnya mewarisi secara bersama (kolektif);

c. Sistem kewarisan mayorat:

1Lihat Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008, hlm. 260.2Ibid.

4

Page 5: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

1. Mayoret laki-laki, yaitu anak laki-laki tertua yang menjadi ahli

waris tunggal apabila pewarisnya meninggal.

2. Mayoret perempuan, yaitu anak perempuan tertua yang

menjadi ahli waris tunggal apabila pewarisnya meninggal.

Apabila sistem kewarisan dihubungkan dengan sistem garis

keturunan, maka (Hazairin: 19):

“Sifat individualataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan

tidak perlu langsung menunjuk kepada bentuk masyarakat di mana

hukum kewarisan itu berlaku, sebab sistem kewarisan yang individual

bukan saja dapat ditemui di dalam masyarakat yang bilateral, tetapi juga

dapat dijumpai dalam masyarakat yang patrilineal seperti di Tanah Batak,

malahan di Tanah Batak itu di sana sini mungkin pula dijumpai sistem

mayorat dan sistem kolektif yang terbatas; demikian sistem mayorat... itu,

selain dalam masyarakat patrilineal yang beralih-alih di Tanah Semendo

dijumpai pula pada masyarakat bilateral orang Dayak di Kalimantan Barat,

sedangkan sistem kolektif itu dalam batas-batas tertentu malahan dapat

pula dijumpai dalam masyarakat yang bilateral seperti di Minahasa,

Sulawesi Utara.”

Menilik kutipan di atas maka sistem kewarisan dalam hukum adat

khususnya sistem mayorat terdapat di daerah-daerah tertentu tidak

terbatas terhadap prinsip patrilineal, matrilineal, maupun parental/bilateral.

Dalam hukum waris adat, harta yang dapat dibagi yaitu harta

peninggalan yang telah dikurangi oleh biaya-biaya waktu pewaris

(almarhum) sakit dan biaya pemakaman serta hutang-hutang yang

ditinggalkan oleh pewaris3.

Selain itu, dalam hukum adat digunakan dua macam garis pokok

untuk menentukan siapa yang menjadi pewaris, yaitu:4

a. Garis pokok keutamaan, yaitu garis hukum yang menentukan

urutan-urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam

keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu

lebih diutamakan daripada golongan yang lainnya. Dengan

3Ibid, hlm. 261.4Ibid.

5

Page 6: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

demikian, orang-orang yang mempunyai hubungan darah menurut

ketentuan ini dibagi menjadi golongan-golongan berikut:

1) Kelompok keutamaan I: keturunan pewaris.

2) Kelompok keutamaan II: orang tua pewaris.

3) Kelompok keutamaan III: saudara-saudara pewaris, dan

keturunannya.

4) Kelompok keutamaan IV: kakek dan nenek pewaris.

b. Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan

untuk menentukan siapa di antara orang-orang di dalam

kelompok keutamaan tertentu yang tampil sebagai ahli

waris.Yang benar-benar menjadi ahli waris adalah:

1. Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan peawris.

2. Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris.

Di dalam pelaksanaan penentuan ahli waris berdasarkan kedua

garis pokok tersebut maka perlu diperhatikan pula prinsip garis keturunan

yang dianut di dalam suatu masyarakat serta harus diperhatikan pula

kedudukan pewaris tersebut (misalnya: janda, duda, bujangan, dsb.).

Secara umum, yang menjadi pokok pembahasan hukum waris adat

adalah:

a. Subjek hukum waris;

b. Peristiwa hukum waris; dan

c. Objek hukum waris.

B. Subjek Hukum Waris

Subjek dari hukum waris sendiri adalah pewaris atau ahli waris.

Pewaris adalah orang yang meninggalkan warisan,sedangkan ahli waris

adalah seorang/kelompok yang menerima harta warisan.5 Biasanya,

orang yang menjadi ahli waris adalah orang yang sangat dekat dengan

pewarisnya, misalnya anak dari pewaris tersebut adalah ahli warisnya.

Dalam hukum adat, untuk menentukan subjek hukum sangat

dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut. Sebagai contoh, di

daerah Bali, yang menjadi ahli waris ketika akan mewarisi harta dari

5Ibid, hlm. 262.

6

Page 7: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

pewarisnya adalah anak laki-laki saja karena daerah tersebut menganut

prinsip kekerabatan patrilineal. Namun, bukan berarti bahwa dalam suatu

sistem kekerabatan dalam menerima warisan tidak selalu sesuai dengan

ketentuan dari sistem kekerabatan tersebut. Biasanya ada ketentuan-

ketentuan tertentu yang harus dipenuhi oleh si pewaris. Seperti di daerah

Bali bahwa anak laki-laki yang berhak menjadi ahli waris adalah anak laki-

laki yang:

a. tidak melakukan perkawinan nyeburin; dan

b. melaksanakan dharmaning sebagai anak (misalnya tidak durhaka

kepada leluhur dan orang tua).6

Selain itu, beberapa yurisprudensi juga memengaruhi hukum adat

waris yang biasanya diatur oleh sistem kekerabatan yang dianutnya.

Seperti keputusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961, tanggal 23

Oktober1961 sebagai berikut:

“... berdasarkan selain rasa perikemanusiaan dan keadilan umum, juga

atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa

keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup

di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari

seorang peninggal waris bersama-sama berhak atas harta warisan dalam

arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan perempuan. ...

berhubung dengan itu maka juga di tanah Karo, seorang anak perempuan

harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas

harta warisan dari orang tuanya.”

Juga keputusan Mahkamah Agung No. 100 K/Sip/1967 tanggal 14

Juni 1986 sebagai berikut:

“... karena mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju

ke arah persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan

janda sebagai ahli waris telah merupakan yurisprudensi yang dianut oleh

Mahkamah Agung...”

Jadi, menurut keputusan Mahkamah Agung tersebut maka anak

perempuan dan janda dapat dinyatakan sebagai ahli waris di dalam hal

pewarisan yang menggunakan prinsip kekerabatan patrilineal khususnya

untuk wilayah Batak Karo. Namun, bagaimanakah kenyataannya di dalam

6Ibid.

7

Page 8: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

masyarakat Bali karena adanya keputusan Mahakamah Agung No.

179/Sip/1961 tersebut? K. Ranghena Purba (1978) menulis di dalam

makalahnya bahwa:

“Di dalam praktik (kenyataan), hukum adat waris lama masih

dipertahankan, yaitu masih dipakainya ketentuan bahwa hanya anak laki-

laki saja yang memperoleh harta warisan dari orang tuanya. Tetapi dari

sudut lain, kita lihat bahwa masyarakat Karo sendiri sudah lebih

cenderung untuk menggunakan ketentuan dari Mahkamah Agung No.

179 K/Sip/1961 tersebut dalam mempertahankan haknya ataupun dalam

pembagian warisan, yaitu dapat kita lihat pada banyaknya perkara yang

masuk ke pengadilan mengenai masalah warisan...”

Sedangkan pada masyarakat Bali, anak perempuan dan janda

berhak menikmati bagian dari harta warisan walaupun mereka bukanlah

ahli waris selama haknya tidak terputus. Hal-hal yang menyebabkan anak

perempuan atau janda tersebut kehilangan hak untuk menikmati warisan

tersebut adalah:

a. kawin ke luar;

b. dipecat sebagai anak oleh orang tuanya (untuk anak perempuan);

c. bergendak (untuk janda); dan

d. kawin lagi (untuk janda).

Ada beberapa kasus yang menyebabkan Mahkamah Agung

mendukung ketentuan hukum adat melalui keputusannya. Contohnya

adalah keputusan Mahkamah Agung No. 358 K/Sip/1971, tanggal 14 Juli

1971, bahwa karena terbukti tergugat I sebagai nyeburin sentana pada Ni

Keneng (dalam perkawinannya dengan Ni Keneng, terggugat I berstatus

perempuan) dan telah terbbukti pula Ni Keneng meninggal dunia,

tergugat I kawin lagi tanpa persetujuan semua keluarga terdekat dari

almarhum Nang Runem, maka telah terbukti bahwa tergugat I menyaahi

darmanya sebagai janda (tergugat I menurut adat status perempuan.) dan

menurut adatnya tergugat I tidak boleh lagi tinggal di rumah almarhum

Nang Runem serta mewarisi harta peninggalan Nang Runem.

Jika di atas tadi adalah bentuk subjek dari prinsip patrilineal maka

lain lagi dengan prinsip bilateral. Dalam sistem bilateral, yang menjadi ahli

waris adalah anak laki-laki dan anak perempuan. Di daerah Jawa, antara

8

Page 9: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

anak laki-laki dan anak perempuan memiliki hak yang sama dalam

menerima harta peninggalan orang tuanya. Hak sama (gelijk gerechtigd)

itu mengandung hak untuk diperlakukan sama (geligik gerechtigh) oleh

orang tuanya di dalam proses meneruskan dan mengoperasikan harta

benda keluarga.7 Anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli

waris dapat pula ditemui pada masyarakat yang menganut sistem

kekeluargaan bilateral lainnya, misalnya di Kalimantan yaitu pada suku

Dayak dan di Sulawesi yaitu pada masyarakat Tanah Toraja. (Soepomo,

1977: 83).

Namun, ada pula dalam prinsip bilateral yang memiliki hukum waris

yang spesifik, seperti dalam masyarakat Sawu bahwa anak laki-laki hanya

mewarisi harta peninggalan ayahnya sedangkan anak perempuan hanya

mewarisi harta peninggalan ibunya.

Ada pula yang menyimpang dari mayoritas hukum waris adat di

Indonesia yaitu masyarakat Tasifeto di Kabupaten Belu Timur (Nusa

Tenggara Timur). Pada masyarakat ini yang merupakan ahli waris utama

adalah keponakan tertua yaitu anak saudara kandung ayahnya (anak

paman). Sedangkan anak-anaknya sendiri tidak mendapatkan warisan,

jadi mereka bukan ahli waris (Hidayat Z. M., 1976: 182).

Dalam sistem matrilineal seperti di Minangkabau, anak-anaknya

termasuk ke dalam keturunan ibunya, maka menurut hukum warisnya

anak-anak tidak mungkin mewarisi harta peninggalan ayahnya, tetapi

hanya mewarisi harta ibunya. Selain anak kandung, kerabat juga bisa

sebagai ahli waris. Di dalam masyarakat ini harta peninggalan merupakan

harta pusaka yang tidak dapat dimiliki perorangan di dalam keluarganya,

tetapi hanya dapat dimiliki bersama oleh suatu keluarga tersebut. Harta

yang diwariskan pun diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke

generasi berikutnya. Harta pusaka ini biasa disebut dengan istilah harta

sako. Dalam penguasaanya, harta pusaka terdiri dari:

a. Harta pusaka tinggi, yang dikusai oleh keluarga besar atau kerbat

yang dipimpin oleh seorang penghulu andiko atau mamak kepala

waris; dan

7 Ibid.

9

Page 10: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

b. Harta pusaka rendah, yang dikuasai oleh keluarga kecil yang terdiri

dari istri dan anak-anaknya, atau suami dengan saudara-saudara

kandungnya beserta keturunan saudara perempuan yang

sekandung.

Dalam masyarakat lain, terdapat pula golongan tertentu yang

menjadi ahli waris, tergantung dari situasi tertentu. Di Sumatera Selatan

misalnya, apbila anak laki-laki yang belum kawin meninggal dunia, maka

yang menjadi ahli warisnya adalah orang tua sedangkan apabila anak

laki-laki tersebut sudah kawin dan tidak memiliki keturunan, maka orang

yang menjadi ahli warisnya adalah orang tua dari pihak suami dan

isterinya. Apabila orang yang meninggal adalah seorang perempuan yang

belum kawin, maka yang menjadi ahli warisnya adalah orang tua dengan

kemungkinan saudara-saudaranya pun menjadi ahli waris. Apabila yang

meninggal itu adalah seorang isteri yang mempunyai keturunan, maka

yang menjadi ahli waris adalah keturunannya dan kemungkinan suami

pun dapat menjadi ahli waris.

Selain itu, seorang kakek dapat pula menjadi ahli waris. Seperti di

masyarakat Lampung. Namun, kedudukan ahli waris di dalam masyarakat

ini saling menutupi. Jika masih ada anak tertua laki-laki dari si pewaris,

maka kemungkinan bagi orang tua si suami (kakek) tidak dapat menjadi

ahli waris, demikian seterusnya. (Rizani Puspawidjaja, dkk., 1981: 43)

Lalu, bagaimanakah kedudukan untuk anak-anak yang bukan

kandung seperti anak tiridan anak di luar nikah? Menurut Soepomo, hidup

bersama dalam satu rumah tangga ini membawa hak-hak dan kewajiban

antara yang satu dengan anggota yang lainnya. Kadang-kadang pertalian

rumah tangga antara bapak tiri dan anak tiri yang hidup bersama dalam

suatu rumah tangga itu menjadi begitu eratnya shingga terjadi kenyataan

bahwa seseorang bapak tiri menghibahkan sebidang tanah sawah

kepada anak tirinya. (Soepomo, 1977: 105)

Berdasarkan konsep dari Soepomo tadi, maka anak tiri dari seorang

ibu kandung adalah bukan ahli waris, tetapi jika anak tiri tersebut memiliki

ibu tiri khususnya anak tersebut merupakan anak tertua laki-laki dari

orang tuanya laki-laki maka dia berhak untuk mewarisi (Rizani

puspawidjaja, dkk., 1981: 41). Sedangkan jika anak tiri tersebut

10

Page 11: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

merupakan anak bawaan dari isteri, maka anak tersebut hanya berstatus

sebagai anak kandung biasa, tetapi pada dasarnya tidak memiliki hak

untuk mewarisi walaupun dia adalah anak tertua laki-laki, melainkan

hanya mendapatkan hak sebagai anak saja seperti anak tersebut harus

diberi pendidikan yang layak sebagaimana anak kandungnya. Demikian

ketentuan dari masyarakat Lampung (Papadon).

Jika tadi merupakan anak tiri, maka anak yang lahir di luar nikah

hanya menjadi ahli waris di dalam harta peninggalan ibunya saja beserta

kerabat dari pihak ibu. Soepomo (1977: 88) Itu menurut hukum waris di

masyarakat Jawa. Karena menurut hukum adat di Jawa bahwa setiap

anak yang lahir di luar nikah tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan

pihak ayah (Djojonegoro-Tirtawinata, 1940: 297).

Berbeda lagi di masyarakat Lampung, jika di Jawa anak di luar

nikah hanya menjadi ahli waris untuk pihak ibu, maka di dalam masyarkat

tersebut anak yang lahir di luar nikah tetapi ketika sebelumnya si ibu

menikah dahulu dan anak tersebut lahir kurang dari tujuh bulan terhitung

sejak pernikahannya yang sah dan apabila anak tersebut adalah anak

laki-laki tertua, maka anak tersebut berhak menjadi ahli waris bagi orang

tuanya. Anak tersebut dalam masyarakat Lampung biasa disebut dengan

anak kappang tubas. Hal tersebut akan berbeda jika anak yang lahir di

luar nikah tersebut lahir dan ibunya tidak menikah dengan laki-laki lain

atau tidak memiliki suami, maka anak tersebut tidak berhak menjadi ahli

waris dar orang tuanya walaupun dia adalah anak laki-laki tertua.

C. Peristiwa Hukum Waris

Menurut Soepomo, bahwa pada saat proses pengalihan barang

harta keluarga kepada anak-anaknya mungkin telah dimulai ketika orang

tua dari anak-anak tersebut masih hidup. Soepomo mengambil contoh

dari masyarakat Jawa, keluarga mana yang terdiri dari dua anak laki-laki

dan dua anak perempuan. Oleh karena anak laki-laki tertua telah dewasa

dan cakap bekerja atau “kuat gawe”, maka ayahnya memberikan

sebidang sawah, pemberian mana dilakukan dihadapan kepala desa.

Anak kedua yang adalah anak perempuan, pada saat dinikahkan, diberi

sebuah rumah. Maka pemberian tersebut bersifat mutlak, dan merupakan

11

Page 12: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

pewarisan atau toescheiding. Perbuatan tersebut bukan merupakan jual-

beli, akan tetapi merupakan pengalihan harta benda di dalam lingkungan

keluarga sendiri (Soepomo, 1977: 84, 85).

Proses peralihan harta warisan tersebut cenderung terjadi di dalam

masyarakat-masyarakat yang menganut sistem kewarisan individual, dan

peristiwanya pun kadang-kadang sering terjadi maupun kadang-kadang

jarang terjadi, tergantung pada kepentingan masing-masing pihak.

Adapun pembagian harta warisan yang bersifat sementara seperti

misalnya di Bali, pemberian harta warisan kepada ahli waris semasa

pewaris masih hidup dapat berwujud “jiwa dana”, yaitu pemberian lepas

dari pewaris kepada ahli warisnya. Kecuali itu, maka pemberian tersebut

dapat berupa “pengupah jiwa” yang merupakan pemberian yang bersifat

sementara, hanya untuk dinikmati hasilnya oleh ahli waris. Namun, tidak

menutup kemungkinan bahwa di Bali pun terjadi peralihan harta waris dari

pewaris kepada ahli waris ketika si pewaris tersebut telah meninggal

dunia. Karena masyarakat di Bali menganut sistem kewarisan mayorat,

yaitu sistem kewarisan individual yang terbatas.

Berbeda dengan proses pewarisan secara hibah wasiat. Terkadang

seorang pewaris menyatakan bahwa bagian tertentu dari harta

peninggalannnya itu diperuntukkan bagi ahli waris tertentu kepada para

ahli warisnya. Seperti di Jawa disebut dengan istilah wekasan (welingen),

di Minangkabau disebut umanat, dan istilah-istilah lain sesuai dengan

penyebutan di daerah masing-masing. Pewarisan yang demikian ini

merupakan peristiwa hukum yang baru akan berlaku setelah orang tua

meninggal dunia.

Dasar dari pewarisan secara hibah wasiat ditujukan:

a. Untuk mewajibkan para ahli untuk membagi-bagi harta warisan

dengan cara yan layak menurut anggapan pewaris;

b. Untuk mencegah terjadinya perselisihan;

c. Dengan hibah wasiat, pewaris menyatakan secara mengikat sifat-

sifat dari barang-barang harta yang ditinggalkan, seperti barang-

barang pusaka, barang-barang yang dipegang dengan hak sende

(gadai), barang-barang yang disewa dan sebagainya.8

8 Ibid, hlm. 271

12

Page 13: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Terkadang hibah wasiat itu dibuat secara tertulis melalui

perantaraan seorang notaris (testament). Menurut Soepomo, meskipun

hibah wasiat itu berbentuk akte-notaris, sah atau tidaknya isi hibah wasiat

itu dikuasai oleh hukum adat. Misalnya, tidak akan sah suatu pemberian

sawah kasikepan kepada seorang waris yang bukan teman sedesa

(Soepomo 1977: 89).

Untuk bagian dari pembagian harta warisan pun bermacam-macam.

Dalam sistem parental seperti di Jawa, pada dasarnya antara anak laki-

laki dan anak perempuan mendapatkan bagian yang sama dalam hal

pembagian harta warisan, tetapi sebagian kecil di beberapa desa

terutama di Jawa Tengah, anak laki-laki memperoleh dua kali bagian dari

bagian anak perempuan.

Bagi masyarakat yang menganut sistem patrilineal seperti dalam

masyarakat Rote, Nusa Tenggara Timur, anak laki-laki tertualah yang

mendapatkan bagian terbesar dalam pembagian warisan. Hal ini

didasarkan karena anak laki-laki mengemban tanggung jawab yang besar

terhadap kelangsungan hidup keluarganya sebab anak tersebut

merupakan pengganti ayahnya.

Pada masyarakat pulau Andora, Nusa Tenggara Timur, anak

perempuan hanyalah memperoleh warisan berupa perhiasan dan benda-

benda lainnya, tetapi tanah dan kebun merupakan bagian dari anak laki-

laki saja (Hidayat Z. M., 1976: 175) dan seterusnya.

Dalam masyarakat matrilineal seperti di Minangkabau, pembagian

harta warisan tidak diadakan, melainkan yang menguasai harta warisan

tersebut adalah seluruh anggota keluarga dan seluruh kerabat yang

diwakili oelh mamak kepala waris.9

Berdasarkan keterangan di atas, maka di dalam hal pewarisan

masyarakat Indonesia terdapat harta pewarisan yang tidak dibagi-bagi

kepada ahli warisnya tetapi juga terdapat ketentuan yang membagi-

bagikan harta warisan itu kepada ahli warisnya. Namun, hal ini masih

dianggap umum karena dalam masyarakat yang menganut sistem yang

individual, baik terbatas maupun tidak, masih terdapat harta warisan yang

tidak dapat dibagi-bagikan oleh pewarisnya secara individual dan masih

9 Ibid, hlm. 273

13

Page 14: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

terdapat harat warisan yang dikuasai secara bersama sebagai lambang

kesatuan dari keluarga itu.10 Seperti di daerah Sulawesi Selatan

khususnya dalam masyarakat Minahasa, barang kalakeran adalah milik

kerabat yang tidak dapat dibagi-bagikan, kecuali jika semua anggota yang

berhak mengehendaki serta menyetujui barang itu dibagi-bagikan. Lalu di

Jawa ditemukan pula harta peninggalan yang tidak dibagi-bagikan seperti

yang dinyatakan Ter Haar:

“Pemakaian dan pengurusan harta peninggalan tak terbagi-bagi itu

terkadang-kadang dilaksanakan bergiliran di tangan salah satu dari

keluarga yang berhak (Jawa: giliran), terkadang di tangan masing-masing

dari merek (secara sebagian), akan tetapi dapat juga di tangan salah satu

di antara mereka. Bilamana tidak ada kesepakatan, maka tidak ada

kewajiban untuk membagi atau menyerahkan hasil daripada harta itu, dan

sudah barang tentu di kemudian hari (bila diadakan pembagian harta)

tidak dapat dituntut oleh ahli waris bersama tentang penggantian daripada

hasil harta peninggalan yang sudah dipungut oleh ahli waris yang

memegangnya yang dipergunakan untuk dirinya sendiri itu, tuntutan

mana, seperti telah pernah terjadi, sekali tempo diajukan ke muka

Lanraad di Jawa.” (B. Ter Haar Bzn 1950: 207).

Peristiwa hukum adat waris pasti memiliki hak dan kewajiban.

Karena meninggalnya si pewaris dan meninggalkan harta warisan, maka

perlu ditinjau mengenai hak dan kewajiban dari ahli waris sehubungan

degan harta waris yang akan diterima. Beberapa masyarakat yang

menganut prinsip garis keturunan patrilineal dengan sistem kewarisan

mayorat, khususnya pada masyarakat Lampung. Rizani Puspawidjaja

dengan kawan-kawannya menyatakan bahwa ahli waris itu memiliki hak

unutuk menikmati harta warisan, terutama untuk kelangsungan hidup

keluarganya dan berkuasa untuk mengusahakan sebagai sumber

kehidupan, baik untuk pribadi bersama keluarga dan untuk adik-adiknya.

(Rizani Puspawidjaja, 1981)

Pada masyarakat di Minangkabau, dengan mengingat bahwa

sistem pewarisannya adalah kolektif, maka harta warisan itu merupakan

harta pusakan milik dari suatu keluarga. Barang-barang yang demikian itu

10 Ibid, hlm. 273, 274.

14

Page 15: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

hanya dapat dipakai saja (genggem bauntiq) oleh segenap warga

keluarga itu secara individual. Jadi, anggota-anggotanya hanya

mempunyai hak pakai saja. Demikian halnya dengan masyarakat Hitu di

Ambon.11

Dalam masyarakat lainnya, pewarisan merupakan cara untuk

memperoleh hak milik, maka dengan dialihkannya harta warisan tersebut

kepada ahli waris, harta warisan tersebut menjadi milik ahli waris.

Di samping hak, ahli waris memiliki kewajiban yang harus dipenuhi.

Kewajiban utama dari ahli waris adalah menjaga dan memelihara

keutuhan harta warisan, mengusahakan harta warisan untuk memelihara

kelangsungan hidup dan memenuhi kebutuhan adik-adiknya dalam

berbagai kehidupan.

Di daerah-daerah seperti Tapanuli (suku Batak), Kalimantan (suku

Dayak), dan di Bali, para ahli waris berkewajiban membayar hutang

pewaris, asalkan penagih hutang tersebut memberitahukan terlebih

dahulu haknya kepada ahli waris tersebut. Selain dari kewajiban di atas,

terdapat kewajiban-kewajiban lain seperti menyelenggarakan upacara

atau selamatan (sedekahan) dalam memperingati hari meninggalnya

pewaris.

D. Objek Hukum Waris

Pada prinsipnya yang merupakan objek hukum waris itu adalah

harta keluarga.12 Harta keluarga itu dapat berupa:

a. Harta suami atau isteri yang merupakan hibah atau pemberian

kerabat yang dibawa ke dalam keluarga;

b. Usaha suami atau isteri yang diperoleh sebelum dan sesudah

perkawinan;

c. Harta yang merupakan hadiah kepada suami-isteri pada waktu

perkawinan; dan

d. Harta yang merupakan usaha suami-isteri dalam masa perkawinan.

Pada masyarakat di Nusa Tenggara Timur, menurut Hidayat Z. M.

(1976: 56) harta yang dapat diwariskan adalah:

11 Ibid, hlm. 275.12 Ibid, hlm. 277

15

Page 16: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

a. Harta milik sendiri dari ayah yang berupa pustaka;

b. Harta milik ibu, berupa:

1) milik sendiri,

2) milik “bua fua mua” (“milik bawaan”)

c. Harta Ue Malak (harta milik usaha bersama).

Sedangkan dalam masyarakat Bali, berdasarkan hasil diskusi

Kedudukan Wanita dalam Hukum Waris menurut Hukum Adat Bali, maka

warisan itu terdiri dari:

a. Harta Pusaka, yang terdiri dari:

Harta pusaka yang tidak dapat dibagi, ialah harta warisan yang

mempunyai nilai magis-religius, contohnya adalah tempat ibadah

(pemerjanan, sanggah), alat pemujaan (siwa krana),

harta pusaka yang dapat dibagi ialah harta warisan yang tidak

mempunyai nilai magis-religius, misalnya sawah, ladang, dan lain-

lain.

b. Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa baik oleh mempelai wanita

maupun pria ke dalam perkawinan, misalnya: jiwa dana, tatadan,

akskaya.

c. Harta perkawinan, yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan

(gunakarya).

d. Hak yang didapat dari masyarakat, misalnya: bersembahyang di

kahyangan Tiga, mempergunakan kuburan, melakukan upacara

pitra yadnya (I Gde Wayan Pangkat, dalam V. E. Korn, 1972: 47).

Dari sejumlah data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harta

warisan itu dapat berupa barang-barang berwujud benda maupun barang-

barang yang tidak berwujud benda (immateriale goderen) dan dapat

diwariskan kepada ahli warisnya. Termasuk juga hutang yang merupakan

barang yang tidak berwujud benda yang dibuat dan belum sempat

dilunasi oleh si pewaris.

2.2 Sifat Hukum Adat Waris

16

Page 17: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Kalau kita perhatikan sifat hukum waris adat, tampak jelas

menunjukkan corak-corak yang memang khas yang mencerminkan cara

berpikir maupun semangat dan jiwa dari pikiran tradisional Indonesia yang

didasarkan atas pikiran kolektif/komunal, kebersamaan serta kongkret

bangsa Indonesia. Rasa mementingkan serta mengutamakan keluarga,

kebersamaan, kegotongroyongan, musyawarah dan mufakat dalam

membagi warisan, benar-benar mewarnai dari hukum waris adat. Jarang

kita melihat sengketa-sengketa mengenai pembagian harta kekayaan

(warisan) dibawa ke tingkat pengadilan. Budaya bangsa Indonesia

menganggap tidak baik kalau sampai ada perselisihan antara sesama

keluarga hanya garagara soal warisan.

Proses peralihan harta kekayaan ini dapat dimulai sejak pewaris

itu sendiri masih hidup dan proses itu berjalan terus hingga keturunannya

itu masing-masing menjadi keluarga baru dan berdiri sendiri yang kelak

pada gilirannya juga akan meneruskan proses tersebut kepada generasi

berikutnya (keturunannya). Biasanya proses pewarisan dimulai sejak

harta kekayaan itu meninggal dunia. Hal yang terpenting dalam masalah

pembagian harta warisan ini adalah bahwa pengertian warisan itu

memperlihatkan adanya tiga unsur, yang masing-masing merupakan

unsur esensial (mutlak), yakni:

a. Seseorang atau beberapa orang ahli waris yang hendak menerima

kekayaan yang ditinggalkannya itu.

b. Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “inconcreto”

yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada ahli waris itu.

Masing-masing unsur ini pada proses penerusan serta

pengoperan kepada orang yang menerima kekayaan itu, akan selalu

menimbulkan persoalan sebagai berikut:13

Unsur pertama untuk menimbulkan persoalan, bagaimana dan

sampai di mana hubungan seorang peninggal warisan dengan harta

kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan dimana

si peninggal warisan itu berada.

13 Soerojo Wignjodipoero. Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat. Cetakan 12. CV. Haji

Masagung. Jakarta. 1994

17

Page 18: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Unsur kedua menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai di

mana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli

waris.

Unsur ketiga menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai di

mana wujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat

lingkungan kekeluargaan tempat si peninggal warisan dan si ahli

bersama-sama berada.

Kita harus mengadakan pemisahan yang jelas antara proses

penerusan dan pengoperasian harta kekayaan di masa pemil9iknya

masih hidup yang lazimnya disebut penghibahan dan proses pada waktu

pemiliknya meninggal dunia yang pada umumnya disebut warisan.

Hukum waris adat ini mempunyai corak dan sifat tersendiri yang

memiliki ciri khas bangsa Indonesia dan tentu saja hal ini

membedakannya dari hukum Islam maupun hukum waris perdata.

Perbedaan terutama terletak pada latar belakang alam pikiran bangsa

Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang ber-

Bhineka Tunggal Ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan

bersama yang bersifat kekeluargaan, saling tolong menolong guna

mewujudkan kerukunan, keselarasan, dan kedamaian di dalam hidup.

Alam pikiran bangsa Indonesia yang murni itu berasaskan

kekeluargaan. Kepentingan seluruh masyarakat Indonesia untuk hidup

rukun dan damai lebih diutamakan daripada sifat kebendaan dan

mementingkan diri sendiri. Jika pada beberapa tahun belakangan ini

sudah tampak kecendrungan masyarakat Indonesia yang lebih

mementingkan diri sendiri dan kebendaan disebabkan pengaruh budaya

asing yang masuk ke Indonesia dan telah menjajah alam pikiran bangsa

Indonesia.

Hukum waris adat menunjukkan corak-corak yang khas dari alam

pikiran tradisional bangsa Indonesia. Hukum waris adat ini bersendi atas

prinsip yang timbul dari alam pikiran komunal serta kongkret bangsa

Indonesia.

Menurut Soepomo yang menyatakan: Hukum waris adat,

menunjukkan sifat atau corak-corak yang khas bagi aliran

pikiran tradisional bangsa Indonesia, yang bersendi atas

18

Page 19: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

prinsip-prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran komunal dan

kongkrit bangsa Indonesia.14

Aliran pikiran komunal yang dimaksud adalah bahwa manusia

yang satu dengan yang lainnya saling bergantung, sehingga dalam

kehidupannya selalu memikirkan masyarakat atau individu yang terikat di

dalam suatu masyarakat. Sifat komunal akan tampak pada peristiwa

ditangguhkannya pembagian harta peninggalan para waris yang antara

lain dikarenakan sebagai berikut:

a. Semua atau sebagian harta peninggalan masih tetapi dikuasai oleh

orang tua (duda/janda) yang masih hidup, sehingga pembagian harta

peninggalan ditangguhkan pembagiannya sampai duda/janda itu

wafat.

b. Kesatuan harta masih tetapi dipertaruhkan untuk biaya pemeliharaan

para waris yang belum dewasa atau yang belum mampu melakukan

perbuatan hukum (kesehatannya terganggu dan sebagainya).

c. Wujud, sifat dan fungsi bendanya belum dapat dilakukan pembagian

untuk mempertahankan kehormatan keluarga (harta pusaka tinggi).

d. Harta peninggalan terlalu sedikit tidak seimbang dengan para

warisnya sehingga harta peninggalan itu dititipkan pada salah satu

warisnya.

e. Adanya wasiat dari pewaris untuk menangguhkan pembagian

warisan.

f. Ada di antara para pewaris yang belum hadir dalam pertemuan yang

diadakan para waris dan belum diketahui alamatnya, sehingga

bagiannya dijadikan “gantungan” yang dititipkan kepada salah

seorang waris.

g. Adanya kesepakatan bersama para waris. Apabila ada alasan seperti

yang telah disebutkan di atas, maka penangguhan pembagian harta

peninggalan kepada ahli waris harus dilakukan meskipun salah satu

dari para waris menginginkan agar harta segera dibagi-bagi secara

individual.

Selain itu, aliran pikiran yang kongkret artinya alam pikiran tertentu

dalam pola pikiran, selalu diberi bentuk benda atau tandatanda yang

14 Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta, Pradya Paramita, 1987. hal. 34

19

Page 20: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

kelihatan secara langsung ataupun tidak langsung. Hal ini tampak dalam

peristiwa misalnya pemberian tanah kepada anak lakilaki yang telah

dewasa sebelum si pewaris meninggal dunia atau pemberian perhiasan

kepada anak perempuan yang sudah mentas.

Sedangkan jika kita mengadakan perbandingan dengan hukum

waris menurut Hukum Islam maka akan ditemukan perbedaanperbedaan

prinsip, antara lain:

a. Harta peninggalan bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaan

pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya

sebagian yang dibagi-bagi.

b. Tidak ditentukan secara pasti bagian harta peninggalan bagi para

waris. Pembagiannya dilakukan secara bersama-sama dengan rukun

dan memperhatikan keadaan khusus.

c. Dikenal sistem penggantian waris artinya keturunan dari ahli waris

utama dapat menggantikan kedudukannya sebagai ahli waris apabila

waris utama ini meninggal dunia terlebih dahulu sebelum harta

warisan dibagikan.

d. Anak angkat berhak untuk mendapatkan harta peninggalan dari

orang tua angkat yang berupa harta dari orang tua angkat.

e. Tidak mengenal adanya hibah bagi waris yang sedianya akan

menerima bagian warisan.

f. Untuk anak perempuan tunggal khususnya di Jawa dapat mewaris

semua harta peninggalan sehingga dapat menutup hak untuk

mendapatkan harta peninggalan bagi kakek neneknya dan saudara-

saudara orang tuanya.

g. Harta peninggalan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan,

melainkan wajib dipertahankan sifat/macam, asal dan kedudukan

hukum dari barang masing-masing yang terdapat dalam harta

peninggalan itu.

2.3 Sistem Hukum Waris

20

Page 21: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku

bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan

oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari

sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Dasar hukum

berlakunya hukum adat terdapat dalam pasal 131 I.S (Indische

Staatssregeling) ayat 2 b (Stb 1925 no .415 jo.577), termasuk juga

berlakunya hukum waris adat yaitu :

“Bagi golongan Indonesia asli (Bumi Putra), golongan Timur Asing dan

bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku peraturan hukum

yang didasarkan atas agama dan kebiasaan mereka,…….”

Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur

proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan

barang-barang yang tidak berwujud (Immatereriele Goederen) dari suatu

angkatan manusia (Generatie) kepada turunannya.

Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan

masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat

mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional

dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan dalam

dalam tiga corak yaitu15 :

a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan

bapak dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada

kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias,

Lampung, Buru, Seram,Nusa tenggara, Irian).

b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan

ibu dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada

kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano,

Timor).

c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua

orangtua, atau menurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana

kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan

(Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi).

Di Indonesia faktor sistem kekerabatan mempengaruhi berlakunya

aneka hukum adat, termasuk hukum waris yang mempunyai corak

15 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat , hal.23

21

Page 22: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

sendiri-sendiri berdasarkan masyarakat adatnya masing-masing,

demikian juga halnya hukum adat dalam masyarakat Batak Karo. Hal ini

sejalan dengan pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa “Hukum

waris adat mempunyai corak tersendiri ada didalam pikiran masyarakat

yang tradisional dengan bentuk kekerabatan sistem keturunan

keturunannya matrilineal, patrilineal, parental masih nampak

kebenarannya.”16

Dari hasil penelitian Panitia Kongres Kebudayaan Karo

dikemukakan bahwa masyarakat Batak Karo adalah termasuk

masyarakat yang masih sangat kental dan sangat menjunjung tinggi adat-

istiadatnya. Ketentuan itu semakin terlihat dari dalam mengatur sendi-

sendi kehidupan masyarakat seperti dalam hal proses perkawinan,

kelakuan dan juga dalam hal waris.

Seperti yang diketahui sejak dahulu sampai sekarang pada

masyarakat adat Batak Karo berlaku sistem keturunan dari pihak bapak

(Patrilineal) yaitu didasarkan atas dasar pertalian darah menurut garis

bapak.17 Sehingga hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena

anak perempuan dianggap telah keluar dari kerabat bapaknya, jika ia

telah kawin.

Dalam masyarakat Batak Karo, apabila seseorang anak

perempuan telah menikah maka dianggap tergolong kepada kerabat

suaminya. Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa yang meneruskan

garis keturunan dalam masyarakat Batak Karo adalah anak laki-laki saja,

sedangkan anak perempuan apabila ia telah kawin maka kekerabatannya

akan beralih kepada kerabat suaminya. Garis keturunan dalam masyakat

karo ditarik berdasarkan marga (dalam bahasa Batak Karo disebut

Merga) yang mengakibatkan timbulnya hubungan kekeluargaan yang

hidup dalam masyarakat.

Dalam hal ini masyarakat Batak karo mengenal lima jenis marga

utama yang biasa disebut dengan Merga Si Lima. Setiap anggota

masyarakat Batak karo termasuk kepada salah satu marga ini. Kelima

marga ini masing-masing mempunyai cabang atau submarga pula yaitu :

16 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat , hal.2417 Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada,2001,hal.240

22

Page 23: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

a. Marga Karo-Karo

b. Marga Ginting

c. Marga Tarigan

d. Marga Sembiring

e. Marga Perangin-angin

Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Karo

tersebut diambil berdasarkan pertalian darah maupun dalam hubungan

perkawinan yang dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu Anak Beru,

Senina, dan Kalimbubu. Senina pada umumnya mereka yang bersaudara

karena mempunyai marga yang sama atau karena ibu mereka

bersaudara (Senina Sepemeren) atau karena isteri mereka bersaudara

(Senina Separibanen) atau karena suami mereka bersaudara (Senina

Secimbangen), Kalimbubu yaitu kelompok dari pihak yang anak

perempuannya dikawini, sedangkan Anak Beru adalah kelompok dari

pihak yang mengawini anak perempuan tersebut.

Dalam hal pembagian warisan, masyarakat Batak Karo pada

umumnya melakukan proses pewarisan dengan cara memberikan harta

warisan kepada ahli waris setelah pemilik harta atau pewaris meninggal

dunia, namun ada dijumpai pula pemberian harta waris itu dapat terjadi

pada saat si pewaris masih hidup. Pemberian harta sesudah pewaris

meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum

waris, tetapi pemberian harta warisan sebelum pewaris meninggal dunia

(semasa hidup) adalah hal yang tidak biasa dalam hukum waris pada

umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan

dari salah satu asas atau prinsip pewarisan yaitu : “ menurut hukum adat,

harta warisan itu adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki

oleh si peninggal harta semasa hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas

terhadap harta yang dimiliki pada saat ia mati”.

Harta pemberian merupakan harta warisan yang asalnya bukan

didapat karena jerih payah bekerja sendiri melainkan karena hubungan

cinta kasih, balas budi atau jasa atau karena sesuatu tujuan.

Bentuk-bentuk pemberian harta benda semasa hidup sebenarnya

masih banyak dilakukan di daerah-daerah adat khususnya terhadap

23

Page 24: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

pemberian yang dilakukan oleh orang tua semasa hidupnya seperti di

daerah Tapanuli disebut Holong Ate, Indahan Arian, atau Pambaenan

yang merupakan suatu bentuk pemberian harta benda oleh orang tua

kepada anaknya. Pada masyarakat Lampung ada kemungkinan isteri

dalam perkawinan jujur mendapat pemberian barang tetap dari orang tua

atau kerabatnya disebut Tanoh Sesan atau Saba Bangunan18.

Di lingkungan masyarakat adat Daya-kendayan Kalimantan Barat

kemungkinan pemberian orang tua kepada anak, akan lebih banyak

diberikan kepada Anak Pangkalan yaitu anak yang menjamin memelihara

mengurus orang tua sampai wafatnya. Begitu pula di daerah Banten

pemberian orang tua biasanya dengan cara memberikan rumah kepada

anak wanita dan suami si wanita setelah perkawinan mengikuti si istri.

Pemberian harta benda semasa hidup tersebut tentunya

merupakan suatu bentuk fenomena sosial yang lazim terjadi di kalangan

masyarakat adat pada umumnya, khususnya dalam lingkungan

masyarakat patrilineal seperti pada masyarakat adat Batak Karo.

Dalam sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah

hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya. Akan

tetapi anak laki-laki tidak dapat membantah pemberian harta yang

dilakukan orang tua semasa hidupnya kepada anak perempuan, demikian

juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada prinsip bahwa orang tua

(pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta benda kepada

anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang tua yang tidak

membedakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.

Salah satu bentuk pemberian semasa hidup ini adalah Pemere

yaitu pemberian atas tanah atau ladang dari harta pusaka. Biasanya

Pemere diberikan kepada anak yang sudah berumah tangga sebagai

harta untuk diusahainya dan sebaai tempat untuk mencari nafkah.

Pemberian harta benda semacam ini biasanya bertujuan sebagai bentuk

tanda kasih sayang dari orangtua kepada anaknya atau sebagai modal

18 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : Alumni,1977, hal.161

24

Page 25: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

awal yang diberikan kepada si anak pada saat ingin menikah ataupun

untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya19

Pemberian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan

Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu. Kadang-kadang pemberian itu juga

dihadiri oleh penghulu (Kepala Desa) untuk menambah terangnya

pemberian tersebut.

Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan

suatu bentuk kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang

tua kepada anaknya. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak

menimbulkan permasalahan-permasalahan khususnya terhadap harta

pemberian semasa hidup tersebut. Pemberian harta yang dilakukan

semasa hidup oleh orang tua terkadang pada saat orang tua meninggal

dunia menjadi masalah diantara para ahliwarisnya khususnya bagi para

ahliwaris yang tidak mendapatkan harta pemberian dari orang tuanya.

Keadaan demikian itu tentunya tidak selaras dengan maksud dari

harta pemberian yang sesungguhnya dan juga mengakibatkan kesan

kurang baik. Tidak jarang masalah harta pemberian tersebut ditemukan

setelah orang tua meninggal dunia yang pada akhirnya menjadi sumber

sengketa diantara para ahli warisnya.

Prinsip kekerabatan masyarakat Minangkabau adalah matrilineal

descen yang mengatur hubungan kekerabatan melalui garis ibu. Dengan

prinsip ini, seorang anak akan mengambil suku ibunya. Garis turunan ini

juga mempunyai arti pada penerusan harta warisan, dimana seorang

anak akan memperoleh warisan menurut garis ibu. Warisan yang

dimaksud adalah berupa harta peninggalan yang sudah turun-temurun

menurut garis ibu. Secara lebih luas, harta warisan (pusaka) dapat

dikelompokkan dua macam, yaitu pusaka tinggi dan pusaka rendah.

Pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi dari ibu secara turun-temurun;

sedangkan pusaka rendah adalah warisan dari hasil usaha ibu dan bapak

selama mereka terikat perkawinan. Konsekwensi dari sistem pewarisan

pusaka tinggi, setiap warisan akan jatuh pada anak perempuan; anak laki-

19 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung: Refika Aditama,2005, hal.59

25

Page 26: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

laki tidak mempunyai hak memiliki—hanya hak mengusahakan;

sedangkan anak perempuan mempunyai hak memiliki sampai diwariskan

pula kepada anaknya. Seorang laki-laki hanya boleh mengambil sebagian

dari hasil harta warisan sesuai dengan usahanya—sama sekali tidak

dapat mewariskan kepada anaknya. Kalau ia meninggal, maka harta itu

akan kembali kepada ibunya atau kepada adik perempuan dan

kemenakannya (Yunus, 1990: 39-40).

Dalam sistem kekerabatan matrilineal, satu rumah gadang dihuni

oleh satu keluarga. Rumah ini berfungsi untuk kegiatan-kegiatan adat dan

tempat tinggal. Keluarga yang mendiami rumah gadang adalah orang-

orang yang seketurunan yang dinamakan saparuik (dari satu perut) atau

setali darah menurut garis keturunan ibu. Ibu, anak laki-laki dan anak

perempuan dari ibu, saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu serta

anak-anaknya, atau cucu-cucu ibu dari anak perempuannya disebut

saparuik, karena semua mengikuti ibunya. Sedangkan ayah (suami ibu)

tidak termasuk keluarga di rumah gadang istrinya, akan tetapi menjadi

anggota keluarga dari paruik rumah gadang tempat ia dilahirkan (ibunya)

(Hajizar, 1988:46-47).

Menurut sistem matrilineal, perempuan memiliki hak penuh di

rumah gadang, dan kaum laki-laki hanya menumpang. Anak perempuan

yang berkeluarga atau kawin tinggal pada bilikbilik (kamar-kamar) rumah

gadang bersama suami mereka, sedangkan anak perempuan yang belum

dewasa tidur bersama saudara perempuan yang lain di ruang tengah.

Anak laki-laki yang sudah berumur 7 tahun disuruh belajar mengaji dan

menginap di surau. Pada dasarnya di Minangkabau, anak laki-laki sejak

kecil (usia sekolah) sudah sudah dipaksa hidup berpisah dengan orang

tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok

di surausurau dan tidak lagi hidup di rumah gadang dengan ibunya (Amir,

MS, 1999:26).

Walaupun perempuan memunyai hak penuh di rumah gadang,

namun wewenang untuk memimpin dan membina, serta untuk

memelihara ketentraman hidup berumah tangga di dalam sebuah rumah

gadang dipegang oleh mamak rumah, yaitu salah seorang laki-laki dari

garis keturunan ibu saparuik yang dipilih untuk memimpin seluruh

26

Page 27: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

keturunan saparuik tersebut. Mamak rumah itu disebut tungganai dengan

gelar Datuak sebagai gelar pusaka yang diterima dari paruiknya.

Dalam sistem matrilineal, yang berperan adalah mamak, yaitu

saudara ibu yang laki-laki. Ayah merupakan urang sumando atau orang

yang datang. Haknya atas anak sedikit karena mamak-nya yang lebih

berkuasa (Radjab, 1969:85). Perkawinan di Minangkabau tidaklah

menciptakan keluarga inti (nucleus family) yang baru. Suami atau istri

tetap menjadi anggota dari garis keturunannya masing-masing (Navis,

1984:20). Dalam kehidupan sehari-hari, orang Minangkabau sangat

terikat pada keluarga luas (exented family), terutama keluaga pihak ibu.

Keluarga pihak ayah disebut bako yang perannya sangat kecil dalam

kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, di Minangkabau tidak tampak apa

yang disebut keluarga batih yang menunjukan ayah lebih berperan,

mamak-lah yang lebih berperan. Ayah akan berperan pula sebagai

mamak terhadap kemenakannya di rumah keluarga ibunya dan saudara

perempuannya (Suwondo,1978:19-20).

Di atas telah dijelaskan mengenai sistem hukum waris

berdasarkan sistem kekerabatan, di indonesia kita dapat menjumpai tiga

sistem kewarisan dalam hukum adat, yaitu:

1. Sistem Kewarisan individual yaitu sistem kewarisan dengan

menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan

dengan cirinya harta peninggalan dapat dibagi-bagikan di antara para

ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di jawa, batak, sulawesi

dan lain-lain

2. Sistem kewarisan kolektif yaitu sistem kewarisan yang menentukan

bahwa para ahli waris mewaris harta peninggalan secara bersama-

sama (kolektif) sebab harta peninggalan yang diwarisi tersebut tidak

dapat di bagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris,

biasanya harta peninggalan tersebut berupa harta pusaka yang harta

peninggalan ini hanya boleh di bagi-bagikan pemakaiannya saja

kepada mereka (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti dalam

masyarakat matrilineal minangkabau dengan ”harta pusaka” dan

masyarakat patrilineal ambon dengan ”tanah dati”.

27

Page 28: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

3. Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan

bahwa harta peninggalan pewaris keseluruhan atau sebagian besar

hanya diwarisi oleh seorang anak saja. Sistem mayorat ini ada dua

macam :

Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/suling atau

keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris,

misalnya terdapat di bali, lampung

Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua

merupakan ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya pada

masyarakat tanah semendo di sumsel diman terdapat hak

mayorat anak perempuan yang tertua.

Ketiga sistem kewarisan ini masing-masing tidak lantas merujuk

pada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu di mana

sistem kewarisan itu berlaku, sebab suatu sistem tersebut di

atas dapat diketemukan pula dalam berbagai bentuk susunan

masyarakat ataupun dalam satu bentuk susunan masyarakat

dapat pula di jumpai lebih dari satu sistem kewarisan dimaksud

diatas seperti pada contoh sistem kewarisan kolektif di atas.

2.4 Kedudukan Janda dalam Hukum Waris Adat

Di dalam keluarga , lebih tepatnya dalam rumah tangga suami-

istri, jika suaminya telah meninggal dunia mempunyai kedudukan

istimewa , sebab jika misalkan anaknya telah tinggal terpisah semua , istri

sebagai janda tinggal sendri dalam rumah tangga yang ditinggalkan oleh

almarhum suami tersebut .

Kamar ke-III dari Raad Yustisi Jakarta memutuskan pada tanggal

26 Mei 1939 , bahwa janda tidak dapat dianggap sebagai pewaris

almarhum suaminya , akan tetapi ia berhak menerima penghasilan dari

28

Page 29: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

harta peninggalan sang suami , yang apabila tidak dapat mencukupi ,

janda berhak untuk terus hidup sedapat-dapatnya seperti keadaan saat

perkawinan .

Harta benda keluarga , yaitu rumah tangga suami-istri , terdiri

dari : barang asal si suami , barang asal si istri dan barang gono-gini .

janda tidak akan menguasai bagian harta benda apabila suami-istri

mempunyai anak , segala harta benda akan dialihkan kepada anak ,

sedangkan anak itu wajb memelihara ibunya dengan sebaik-baiknya

Misalkan apabila anak-anak telah dewasa / mencar maka :

a. Harta peninggalan (barang asal dari pihak suami , barang asal dari

pihak istri dan barang gono-gini) di bagi-bagi antara semua anak . si

janda (ibu) berdiam pada salah seorang anaknya dan dipelihara oleh

semua anak atau cukup oleh anak yang ditumpanginya

b. Mungkin pula si janda mendapat sebagian dari harta peninggalan ,

misalnya sebuah rumah dan sebidang sawah , mungkin juga barang

yang dibagikan kepada janda itu masuk golongan barang asal

suami , sedangkan harta lainnya dibagikan ke anak-anak

c. Kemungkinan lain , ialah bahwa suami telah mewariskan sebidang

sawah yang masuk golongan barang asal suami sendiri , dan sebuah

rumah yang masuk golongan barang gono-gini kepada istri ,

sehingga setelah suami itu meninggal , sisa dari harta peninggalan

dibag-bagi antara anak-anak

Dalam ketiga macam pembagian tersebut , wujud hukum adat telah

tercapai karena janda telah terpelihara kehidupannya .

Dengan tepat Ter Haar menulis dalam bukunya : Beginselen ,

enz., halaman 210 , bahwa pangkal pikiran hukum adat ialah bahwa istri

sebagai ‘orang luar’ tidak mempunyai hak sebagai waris , akan tetapi

sebagai istri , ia berhak mendapat nafkah dari harta peninggalan , selama

ia memerlukannya . di Minangkabau misalnya yang sistem

29

Page 30: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

kekerabatannya berdasar dari ibu (matrilineal) , istri tidak memerlukan

nafkah dari harta peninggalan suaminya

Kedudukan janda terhadap barang asal dari suaminya

Apabila barang gono-gini telah mencukupi nafkah janda , waris

dapat menuntut supaya barang asal dari eninggal harta diberikan kepada

mereka . waris itu mungkin terdiri dari anak-anak dari lain ibu , orangtua

suami yang meninggal dan sebagainya . mereka disebut juga waris

pancer .

Menurut putusan kamar ke-III dari Raad Yustisi Jakarta , tanggal

17 Mei 1940 , baran pusaka jatuh kepada silsilah ke bawah (rechte ,

nederlande linie) apabila peninggal harta tidak mempunyai anak , maka

barang pusaka kembali ke tangan silsilah famili , tempat asal barang itu .

namun jika harta gono-gini tidak mencukupi janda berhak menahan

pembagian barang asal suaminya , jikalau dan sekedar serta selama

barang asal itu sungguh diperlukan untuk mencari nafkah . hak janda

untuk menarik penghaslan dari harta peninggalan suaminya berlangsung

seumur hidup , kecuali jikalau janda itu kawin lagi . dengan perkawinan

baru itu janda melepas kedudukannya dalam rumah tangga suaminya

yang telah meninggal dunia , dan menjadi anggota rumah tangga baru .

Kedudukan janda lelaki

Di jawa kedudukan janda lelaki terhadap harta peninggalan pada

dasarnya sama dengan kedudukan janda perempuan , pada dasarnya

berlaku juga bagi kedudukan janda lelaki . ini sesuai dengan sistem

keluarga di jawa , yang berdasar turunan dari kedua belah pihak orangtua

. jadi janda lelaki juga berhak mendapat harta benda keluarga setelah

istrinya meninggal .

Dalam kenyataannya , janda lelaki pada umumnya tidak

mempunyai alasan-alasan yang begitu mendesak seperti halnya dengan

janda perempuan , untuk menahan pembagian harta peninggalan .

padaumumnya janda lelaki yang masih kat bekerja , mempunyai mata

pencaharian sendiri dan kehidupannya tidak terutama tergantung adari

30

Page 31: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

harta peninggalan istrinya . apabila janda lelaki itu sungguh membutuhkan

nafkah dari harta peninggalan istrinya , maka ia dapat menuntut supaya

harta itu disediakan bagi kehidupannya . barang gono-gini yang tidak

dibagi-bagi , setelah salah satu dari suami-istri meninggal dunia , jadi

yang tetap dipegang oleh pihak yang masih hidup , apabila pihak tersebut

meninggal juga dan suami-istri tidak memiliki anak , jatah separuh atau

2/3 kepada famili pihak suami dan separuh atau 1/3 kepada famili pihak

istri

Kedudukan janda baik laki-laki maupun perempuan berbeda di

setiap daerah di indonesia , berikut dijabarkan beberapa contoh :

a. Kedudukan janda di daerah Jambi dan sistem pewarisannya

Pembagian warisan ini dilakukan oleh ninik mamak dari ahli waris

yang akan membagikan harta kekayaan pewaris. Pembagian warisan ini

menurut harta kekayaan tidak ada ketentuan waktu yang tepat, dapat 40

hari setelah pewaris wafat atau 100 harinya. Pembagian harta warisan ini

harus dalam keadan bersih, maksudnya bahwa harta-harta warisan ini

harus dikurangi dengan hutang-hutang pewaris yang ditinggalkannya. Bila

harta dalam keadaan bersih ini barulah dibagi-bagikan kepada ahli

warisnya. Pembagian harta warisan ini dalam masyarakat Sungai Manau

ini dipakai sistem pewarisan kombinasi antara sistem individual dengan

sistem kolektif, harta warisan yang dapat dibagi-bagikan kepada ahli

warisnya ini merupakan milik perorangan, sedangkan terhadap harta

warisan yang tak terbagi-bagikan ini merupakan milik bersama.

Mengenai pembagian warisan ini ada beberapa kemungkinan

terjadi :

1. Bila istri (ibu) yang wafat, maka pembagian warisannya adalah :

Bila suaminya kawin lagi dan tidak mempunyai anak maka suami

berhak setengah dari harta pencahariannya.

Bila suami kawin lagi dan mempunyai anak, maka suami hanya

membawa harta bawaannya sedangkan harta pencaharian

diwarisi kepada anaknya yang perempuan, maka anak

31

Page 32: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

perempuan mewaris harta pencaharian orang tuanya dan harta

pusaka tinggi dari ibunya.

Pembagian ini dapat dilakukan diantara ahli waris bila :

Bila anak perempuan lebih dari 2 orang sedangkan anak laki-laki

hanya satu orang, maka anak laki-laki sebagai pengatur atau

mewarisi harta warisan ini terhadap ahli warisnya, maka semua

harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah (harta pencaharian)

ini diwarisi kepada kedua anak perempuannya. Pembagian

warisan ini harus adil menurut hukum adat, adil itu tidak menurut

perhitungan matematika.

Sebagai contoh : Pewaris meninggalkan harta pusaka

tinggi berupa sawah, ladang (kebun) dan harta pusaka rendah

(harta pencaharian) berupa rumah, pekarangan serta 3 ekor

ternak dan harta ringan lainnya. Pewaris meninggalkan anak 2

orang perempuan dan satu orang anak laki-laki maka harta

warisan ini diwarisi oleh kedua anak-anak perempuannya

sebagai berikut :

Harta pusaka tinggi ini, merupakan harta bersama yang

pemakaiannya secara bergantian atau bergiliran, sedangkan

harta pusaka rendah (harta pencaharian) ini dibagi-bagikan :

yang satu orang mendapat rumah dan 1 ½ ekor ternak, dan satu

orang lagi mendapat pekarangan rumah untuk mendirikan rumah

dan 1 ½ ekor ternak juga.

Sedangkan harta ringan lainnya dapat dibagikan sama

banyak dan anak laki-laki juga bisa mendapat harta warisan ini.

Sebagai pemegang hak pakai, anak perempuan ini harus

memelihara anak laki-laki, seperti kata pepatah adat mengatakan

: “Kok lapa dak dape makan, kok aus dak dape minum”,

maksudnya anak perempuan tidak menghormati anak laki-laki

(saudaranya) lagi. Bila hal ini terjadi maka anak laki-laki sebagai

pengatur dapat menarik harta warisan dan memberikan kepada

ahli waris lainnya atau anak laki-laki memanfaatkan semasa

hidupnya akan tetapi harta warisan ini tidak dapat diwarisi

kepada keturunannya.

32

Page 33: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Bila anak laki-laki lebih dari satu orang, maka disini timbul

persoalan, siapa yang berhak mengatur atau mengawasi harta

warisan tersebut. Sepeti pepatah adat mengatakan : “Tiap-tiap

anak berajo ke bapak, bapak berajo ke mamak, mamak berajo

ke ninik mamak, ninik mamak berajo kepada mufakat. Mufakat

berajo ke kebenaran, kebenaranlah sebenar-benarnya rajo,

karena itu rajo adil rajo disembah, rajo zalom, rajo disanggah,

menjanggah orang alim dengan kitabnya, menjanggah rajo

dengan undang-undangnya.

Ini pepatah untuk seorang pemimpin atau yang memegang

kekuasaan, arti pepatah tersebut adalah bila anak laki-laki lebih

dari satu orang maka sebagai pengatuir / penguasa harta

warisan ini adalah anak laki-laki yang benar dan adil menurut

keputusan ninik mamak.

2. Bila yang wafat suami (bapak) maka harta pembagian warisan

adalah:

a. Bila istri tidak mempunyai anak, maka harta pencaharian dibagi

dua.

b. Bila istri mempunyai anak, maka harta pencaharian ini diwarisi

kepada anak-anak yang perempuan.

c. Bila pewaris tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai cucu,

maka harta warisannya dapat diwarisi oleh ibunya, atau

saudara perempuan pewaris atau kemenakan perempuan

pewaris. Jika ibu, saudara perempuan dan kemenakan pewaris

ini masih hidup maka harta warisan ini dapat diwarisi oleh ahli

waris yang berdasarkan keputusan ninik mamak.

Sedangkan proses pewarisan ini dalam hukum waris adat

masyarakat Sungai Manau ini dapat terjadi dengan dua cara,

yaitu:

Sebelum Pewaris Wafat

Sebelum pewaris wafat, kadang-kadang pembagian warisan

itu dilakukan atau dilaksanakan sebelum pewaris wafat

dengan menunjukkan oleh pewaris kepada ahli warisnya,

33

Page 34: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

misalnya seorang anak perempuan yang telah kawin diberikan

sawah perkarangan rumah dan beberapa perhiasan yang

dipakai sebelum melangsungkan perkawinannya dan harta ini

merupakan harta kekayaan istri, dalam hukum waris adat

masyarakat penghulu ini termasuk juga harta warisan.

Menurut Bapak Ramli (Gelaar Penghulu Sultan Bandaro) :

“Bahwa setiap anak atau keturunan pewaris pernah mendapat

harta warisan berupa barang atau benda dari pewaris

sebelum wafatnya, harta ini sebagai harta tepatan bagi istri

dan harta pembao bagi suami.

Sesudah Pewaris Wafat

Menurut hukum waris adat masyarakat Sungai Manau ini

pada dasarnya tidak ditentukan jangka waktu pembagian

harta warisan. Tetapi menurut kebijaksanaan ninik mamak

dengan para ahli waris, misalnya 40 hari atau 100 hari setelah

pewaris wafat.

Contoh Kasus :

Contoh kasus yang dimaksud dalam hal ini adalah kasus

pembagian harta warisan yang berlaku sekarang dalam

kenyataannya. Siti dan Abdullah sebagai pewaris dengan

meninggalkan empat orang anak dan harta warisan yang

berupa harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah (harta

pencaharian). Anak yang ditinggalkan itu adalah dua orang

anak perempuan dan dua orang anak laki-laki.

Setelah pewaris wafat maka harta yang ditinggalkan dibagi-

bagikan kepada ahli warisnya yaitu anaknya yang perempuan.

Harta yang ditinggalkan berupa harta pusaka tinggi, yaitu lima

petak sawah, harta pusaka rendah (harta pencaharian) ini

berupa : rumah dan pekarangannya, dua bidang kebun, lima

ekor ternak dan harta ringan lainnya.

Pembagian harta warisannya sebagai berikut :

Harta pusaka tinggi berupa sawah lima petak ini tidak

dibagi-bagikan, akan tetapi merupakan harta bersama yang

34

Page 35: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

pemakaiannya secara bergiliran atau bergantian antara ahli

warisnya.

Sedangkan harta pusaka rendah (harta pencaharia) ini

dibagi sama banyak, dimana masing-masing ahli warisnya

mendapat : Si Upik mendapat : rumah, satu bidang kebun,

2½ ekor ternak dan harta ringan dibagi sama banyak.

Sedangkan si Minah mendapat : pekarangan rumah untuk

mendirikan rumah, satu bidang kebun, 21/2 ekor ternak

dan harta ringan lainnya.

Sedangkan anak laki-laki sebagai penguasa atau pengatur

harta warisan ini juga mendapat harta ringan dari

pewarisan seperti : pakaian atau perlengkapan ke sawah.

Sebagai penguasa atau pengatur ini dimusyawarahkan

oleh ninik mamak siapa yang berhak atas penguasaan atau

pengatur terhadap harta warisan tersebut.

b. Kedudukan janda dalam adat batak

Menurut hukum adat batak , janda bukanlah ahli waris dari

suaminya . hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa janda tidak memiliki

hubungan darah dengan suaminya , sehingga janda tidak mempunyai hak

untuk mewaris , karenayang menjadi ahli waris pada masyarakat batak

hanya anak laki-laki . anak laki-laki mempunyai kedudukan yang penting

dalam meneruskan keturunan keluarga , hal ini tentu saja dirasakan tidak

adil , karena di dalam suatu perkawinan hubungan lahir maupun bathin

antara suami dengan istrinya itu sudah sedemikian eratnya , bahkan jauh

melebihi hubungan antara suami dan para keluarga sedarahnya . oleh

karena itu kepada janda harus diberikan suatu kedudukan yang pantas

disamping kedudukan anak-anak keturunan si pewaris . didalam hukum

adat batak yang tradisional , menempatkan kedudukan suami lebih kuat

daripada istri didalam kehidupan rumah tangga

Di Indonesia terdapat 3 bentuk sistem kekerabatan , yang memberi

pengaruh terhadap kedudukan janda

35

Page 36: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

a. Janda dalam sistem patrilineal

Masyarakat patrilineal di batak terikat pada sistem patrilineal

yang mutlak bersifat genealogis , yaitu menarik garis keturunan dari

pihak ayah . corak utama dari masyarakat patrilineal ini adalah

perkawinan dengan jujur , pemberian jujur ini oleh pihak laki-laki

kepada pihak perempuan adalah sebagai lambang diputuskannya

hubungan kekeluargaan si istri dengan kerabatnya dan masuk ke

dalam kerabat suaminya . oleh sebab itu , sepanjang perkawinan

dengan jujur itu masih dianggapsebagai suatu peristiwa memutuskan

pertalian hubungan si istri dengan kerabatnya , maka

kedudukansetelah wafatnya suami , bahwa janda tetap merupakan

bagian dari kerabat suami , sehingga nasibnya tidak akan terlantar ,

serta tetap akan menikmati barang-barang peninggalan suaminya .

Bahkan sering terjadi janda tersebut menjadi istri dari saudara

laki-laki almarhum suaminya . di daerah lampung , jika janda tidak

memiliki keturunan , maka dapat memilih untuk kawin dengan salah

seorang saudara laki-laki dari suami atau anggota kerabat suami

yang lain sehingga tidak akan terlantar dan tetap dapat menikmati

barang-barang yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya .

b. Janda dalam sistem matrilineal

Sistem garis keturunan matrilineal adalah yang menghitung

hubungan kekerabatan melalui perempuan saja , dan hal itu

mengakibatkan tiap individu masuk dalam kerabat ibunya . di

indonesia , contoh dari masyarakat matrilineal adalah masyarakat

minangkabau . biasanya diadakan perbedaan antara harta pusaka

tinggi dan harta pusaka rendah . harta pusaka tersebut lazimnya

terbagi kedalam 4 kelas atau golongan yaitu :

harato pusako tambilang ruyuang atau harato pusako turun tamurun

harato pusako tambilang ameh

Harato pusako tambilang basi

harato pusako tambilang kaitan atau harato hibah

36

Page 37: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Terhadap masalah harta pusaka tinggi sudah jelas akan jatuh

kepada saudara laki-laki dan/ saudara perempuan beserta keturunan

saudara perempuan almarhum suami . sedangkan janda hanya

mendapat sebagian dari harta pusaka rendah (harta pencarian) ,

dengan ketentuan bahwa pembagian hanya dapat dilakukan setelah

dibayar terlebih dahulu hutang bersama . dalam hal ini , ada 4

kemungkinan mengenai kedudukan janda pada sistem matrilineal ini ,

yaitu :

1) Suami tidak mempunyai anak di rumah tempat ia berusaha dan

juga tidak mempunyai anak dan istri di tempat lain

2) Sehingga ahli warisnya adalah istrinya , karena harta yang

diwariskan bukan harta yang berasal dari kaum dan harta

tersebut tidak dapat dituntut olehkaum

3) Suami tidak mempunyai anak ditempat ia berusaha , tetapi

mempunyai anak dan istri di tempat lain . hal ini terjadi apabila

seorang laki-laki mempunyai 2 istri , yang tinggal di rumah

masing-masing . di salah satu rumah ia berusaha dengan istrinya

dan mempunyai anak , tetapi di rumah lain tidak . bila suami

meninggal , maka harta bersama dibagi 2 , sebagian adalah hak

bagi istri yg ikut berusaha dan sebagian lagi untuk ahli warisnya

yang dengan sendirinya diapat oleh anak-anak diluar lingkungan

tempat berusaha itu

4) Suami mempunyai anak di empat ia berusaha dan tidak

mempunyai anak atau istri di tempat lain . hal ini terjadi jika

suami anya hanya mempunyai seorang istri dan mempunyai

anak . janda berhak atas sebagian harta bersama , yang

sebagian untuk harta warisan .

c. Janda dalam sistem parental

Masyarakat jawa adalah masyarakat yang mempunyai sistem

kekerabatan parental/bilateral . yaitu setiap individu menarik garik

keturunannya keatas memlaui garis ayah dan ibu secara serentak

atau bersamaan . menurut hukum adat jawa , para ahli waris dapat

digolongkan dalam urutan sbb :

37

Page 38: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

1. keturunan pewaris

2. orangtua pewarissaudara-saudara pewaris/keturunannya

3. orangtua dari orangtua pewaris

4. didalam urutan tersbut belum termasuk janda , walaupun pada

kenyataannya mereka adalah ahli waris uga . hal ini adalah

lanjutan dari sistem klewarisan bilateral yang menempatkan

kedudukan yang sama antara laki-laki dengan perempuan

sehingga memberi kedudukan yang sama pula terhadap janda

untuk mewarisi harta peninggalan almarhum suaminya

Jangkauan hak mewaris janda , tidak meliputi harta gowan ,

karna harta gowan akan jatuh pada anak-anak . jadi hak mearis janda

terbatas hak gono-gini yang diperoleh selama perkawinan antara

janda dengan almarhum suaminya . sehubungan dengan hak dan

kedudukan janda untuk mewaris terhadap harta bersama , hukum

adat telah menentukan tata cara penyelesaiannya , yaitu :

harta gawon kembali keasal , karna janda tidak berhak

mewarisinya , harta gono-gini , dikuasai sepenuhnya oleh janda

selama masih hidup atau selama janda belum kawin dengan laki-

laki lain . dalam hal initidak menjadi soal apakah harta gono-gini

itu kecil/besar jumlahnya . pokoknya harta gono-gini itu menjadi

hak mutlak janda untuk menguasai harta , selama dia masih

hidup atau belum kawin dengan laki-laki lain .

harta gawon kembali keasal dan harta gono-gini dibagi dua ,

sebagian menjadi hak mutlak janda , dan sebagian lagi jatuh

kepada ahli waris almarhum suami.

2.5 Kedudukan Anak dalam Hukum Waris Adat

1. Anak Kandung

Anak sah adalah anak yang dilahirkan dengan sah, artinya anak

yang lahir dari perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang

wanita berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengertian anak kandung tidak lain adalah anak yang dikandung oleh

ibu akibat dari buah perkawinan yang sah dari ibu dan bapaknya sesuai

dengan undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974.

38

Page 39: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Terdapat suatu perbedaan antara suatu daerah dengan daerah

lainnya tentang para ahli waris secara umum menurut Hilman

Hadikusuma para waris ialah anak termasuk anak dalam kandungan

ibunya jika lahir hidup, tetapi tidak semua anak adalah ahli waris,

kemungkinan para waris lainnya seperti anak tiri, anak angkat, anak

piara, waris balu, waris kemenakan dan para waris pengganti seperti

cucu, ayah-ibu, kakek-kakek, waris anggota kerabat dan waris lainnya.20

Sedangkan Soerojo Wignyodipoero menyatakan bahwa anak-

anak dari sepeninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang

terpenting oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan satu-

satunya golongan ahli waris apabila si peninggal warisan meninggalkan

anak-anak.21 Namun berdasarkan sifat hukum waris adat yang unik

maka setidaknya tidak akan sama siapa-siapa yang menjadi ahli waris

dari harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris itu, dibawah ini sedikit

akan diuraikan pewaris menurut system kekerabatan:

a. Ahli waris atau para ahli waris dalam hukum waris di sistem kekerabatan

matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu,

dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan

pria dalam pewarisan. Contohnya adalah minangkabau. Hukum Waris

menurut hukum adat Minangkabau merupakan masalah yang aktual

yang tidak henti-hentinya diperbincangkan dan dipersoalkan. Seperti kita

ketahui di Minangkabau sejak dahulu sampai sekarang berlaku sistem

keturunan dari pihak ibu (matrilineal), yaitu mereka berasal dari satu ibu

asal yang dihitung menurut garis ibu yakni saudara laki-laki dan saudara

perempuan, ibu dan saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun

perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun

perempuan. Dengan sendirinya, anak-anak itu hanya dapat menjadi ahli

waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi maupun untuk

harta pusaka rendah. Jika yang meninggal itu adalah seorang laki-laki

maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah ahli waris mengenai harta

pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya. Adat

Minangkabau sangat memperhatikan kaum wanita, karena kaum

20 Hilman hadikusuma, Hukum Waris Adat, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 67. 21 Soerojo Wigbyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Mas Agung, Jakarta, 1990, hlm. 182.

39

Page 40: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

wanitalah yang terlemah dibandingkan dengn kaum laki-laki. Sebab itu,

adat Minangkabau memberikan hak istimewa terhadap wanita, sehingga

di Minangkabau yang punya rumah gadang ialah wanita. Yang laki-laki,

mamak, bapak dan dunsanak, adalah mencari, dan semua pencarian itu

semuanya dikumpulkan pada anak kemenakan wanita. Buktinya di

Minangkabau ini kalau ada anak dua orang, satu lakilaki dan satu

perempuan, umpamanya yang perempuan namanya Fatimah dan yang

laki-laki namanya Buyung. Kalau ada di situ rumah gadang dan orang

bertanya: Itu rumah siapa? Lalu orang menjawab: bahwa itu rumah si

Fatimah. Tidak ada orang yang menyebut bahwa itu rumah si Buyung.

Kalau akan disebut juga nama laki-laki harus diberi tambahan,

umpamanya itu rumah gadang kemenakan Datuk Anu atau rumah

dunsanak si Buyung, dan sebagainya. Kalau disebut langsung nama

laki-laki, seperti itu rumah si Buyung, artinya soal lain, yaitu bahwa itu

rumah istrinya, bukan rumah adiknya. Begitulah adat Minangkabau yang

mengagungkan anak wanita.

b. Ahli waris atau para ahli waris dalam hukum waris di sistem kekerabatan

Patrilineal, taitu system keturunan yang ditarik mulai garis bapak dimana

kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita

dalam pewarisan. Contohnya adalah batak. Pada masyarakat adat suku

Batak, anak perempuan tidak mewaris harta peninggalan orang tuanya,

dan harta diwaris atau jatuh kepada saudara kandung laki-laki pewaris.

Hal ini berarti bahwa nilai-nilai dan konsep budaya mengenai

perempuan dan laki-laki pada masyarakat Batak, yang mencerminkan

hubungan kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan,

menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, khususnya dalam

hal waris.

c. Ahli waris atau para ahli waris dalam hukum waris di sistem kekerabatan

Parental, yaitu system keturunan yang ditarik melalui garis orang tua

atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan

wanita tidak dibedakan dalam pewarisan. Contohnya di Jawa. Soepomo

mengatakan bahwa menurut hhukum adat tradisional di Jawa, maka

pada dasarnya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak sama

atas peninggalan orang tuanya. Hak sama itu mengandung hak untuk

40

Page 41: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

diperlakukan sama oleh orang tuanya, didalam proses meneruskan dan

mengoprasikan harta benda keluarga.22 Artinya dimata orang tuanya

semua anak adalah ahli waris, hanya saja kemungkina jumlah bagian

antara laki-laki dan perempuan di beberapa daerah di jawa tengah tida

sama, ada juga yang memperikan bagian sama tapi ada juga yang lebih

banyak laki-laki daripada perempuan maupun sebaliknya. Ahli waris

yang pertama adalah semua anak, ditegaskan lagi oleh Soepomo dalam

bukunya, “Bab-bab tentang Hukum Adat, halaman 88,” Djojo Torto,

Jawa Tengah, hal 378, mengatakan bahwa seorang anak tidak boleh

kehilangan hak waris dalam arti bahwa ia tidak diberi bagian dari harta

benda orang tuanya, yang pantas untuk dijadikan dasar material guna

membentuk harta keluarga baru. Apa yang disebut pantas itu , harus

dipertimbangkan menurut tiap-tiap keadaan konkrit.(4

Menurut hukum waris jawa, bagian yang layak untuk anak laki-laki dan

anak wanita adalah merupakan hal yang patut dilaksanakan. Apakah

suatu warisan itu layak atau tidak maka perlu dipertimbangkan hal-hal

sebagai berikut:

Bahwa seorang anak, istri telah kawin dengan pantas (voordelig)

Seorang anak lain adalah insolide (cacat)

Seorang anak laki-laki yang pelajarannya telah diongkosi dan yang

diharap menyokong saudara-saudaranya

Anak yang tidak diberi apa-apa didalam pewarisan itu telah

menerima warisan dari keluarga lain.

2. Anak Tiri

Anak tiri adalah anak yang dibawa ibunya atau dibawa bapaknya

dalam perkawinan. Oleh karena itu, anak tiri tidak merupakan ahli waris

dari bapak tirinya, demikian pula anak tiri bukan ahli waris dari ibu

tirinya.

“anak tiri yang hidup bersama di satu rumah dengan ibu

kandungnya dan bapak tirinya adalah anggota rumah tangga pula.

Dalam hal demikian, ada kerja sama dan untung bersama yaitu hidup

bersama dalam rumah tangga yang membawa hak-hak dan kewajiban-

22 Soepomo, Bab-bab Hukum Adat, PT pradnya paramita, Jakarta 1989, hlm 80

41

Page 42: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

kewajiban antara anggota yang satu dengan yang lainnya. Terhadap

ibunya atau bapaknya sendiri adalah ahli waris, sedangkan terhadap ibu

atau bapak tirinya anak itu bbukan ahli waris, akan tetapi teman

serumah tangga.23

Sekitar tahun 1937 yaitu sebelum kemerdekaan Landraad

Purworedjo yaitu tepatnya pada tanggal 14 agustus 1937, pernah

memutuskan sebagai berikut, “bahwa anak tiri tidak berhak atas warisan

bapak tirinya, ia ikut mendapat penghasilan dan bagian dari harta

peninggalan bapak tirinya yang diberikan kepada ibunya sebagai nafkah

janda.

Pada buku perdata adat jawa barat, Soepomo menulis: “di

hukum waris adat Jawa Barat, dapat dibenarkan menurut hukum, bapak

tiri memberikan sebidang tanah/sawah kepada anak tiri. Hal ini

menunjukan adanya pertalian rumah tangga (gezinsband) antara bapak

tiri dan anak tiri yang hidup bersama di satu rumah tangga.

Apa yang dikemukakan soepomo diatas memang dapat diterima

dan dimengerti karena telah merupakan budaya bangsa Indonesia,

gotong royong, tolong menolong, bantu membantu, telah membudaya.

Dapat juga anak tiri menjadi anak angkat,. Hal ini dapat terjadi apabila

anak itu diperlakukan sedemikian rupa oleh bapak atau ibu tirinya,

artinya secara lahir batin diperlakukan seolah-olah anak kandungnya

sendiri, disekolahkan, dikhitankan, dan mewakili bapak tiri maupun ibu

tirinya pada pertemuan-pertemuan reuni kekeluargaan maupun

pertemuan desa.

Mahkamah agung dalam keputusan tertanggal 10 november

1972 reg no. 637g/gip/1971, memutuskan; “anak tiri yang dikhitankan

oleh pewaris, mempunyai kedudukan sebagai anak angkat. Hilman

Hadikusuma dalam bukunya Hukum Waris Adat, menulis sebagai

berikut: di lingkungan masyarakat Lampung beradat pepaduan apabila

didalam perkawinan, dimana suami telah mempunyai anak laki-laki dan

anak perempuan, sedang istri belum mempunyai anak dan selama

perkawinan tidak dikaruniai anak, maka ada kemungkinan salah satu

dari anak suaminya dijadikan tegak-tegi dari keturunan istri dengan

23 Ibid hlm 101

42

Page 43: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

suaminya yang telah wafat. Hal ini misalnya terjadi dalam bentuk

perkawinan levirat, dimana istri yang suaminya meninggal dikawin oleh

kakak atau adik dari suaminya yang wafat, anak laki-laki suami yang jika

dijadikan tegak-tegi dari suami yang wafat maka dengan sendirinya ia

berhak atas harta warisan suami pertama yang telah wafat dan berarti

pula berhak sebagai waris dari harta bawaan istri dan harta pencaharian

suami-istri pertama. Sebaliknya ada kemungkinan terjadi perkawinan

antara suami yang telah mempunyai istri tapi tidak punya anak dengan

istri kedua, tetapi istri kedua ini telah punya anak, sedang dengan

suaminya sekarang tidak dikaruniai anak. Dalam hal ini bisa terjadi,

salah satu anak dari istri kedua (anak bawaan), diangkat sebagai

penerus keturunan suami itu.

Dengan demikian terjadilan anak tiri menjadi ahli waris dari

bapak tiri dan ibu tiri dengan jalan pengangkatan anak atau pengakuan

anak dari bapak – ibu tiri yang bersangkutan. Dengan demikian apa

yang ditulis Hilman Hadikusuma diatas dapat dimengerti dann dipahami

karena pada masyarakat yang bersistem patrilineal seperti Lampung,

Bali, Batak, Ambon, dsb, istri karena perkawinannya masuk menjadi

keluarga suaminya, lepas dari keluarga asalnya . kalau suaminya

meningga, kemudian istri menjadi janda dan kemungkinan mempunyai

anak, adalah kewajiban dari keluarga suami untuk menjaga dan

memelihara kelangsungan hidup janda dan anak-anaknya. Kadang-

kadang dianjurkan untuk melangsungkan perkawinan levirate, artinya

saudara laki-laki almarhum suaminya apakah itu kakak atau adiknya dari

almarhum untuk bersedia mengawini jandadari almarhum saudaranya.

Hal ini tidak lain untuk mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan

janda dan anak-anaknya. Hanya saja ini merupakan anjuran bukan

keharusan.

Di Bali jarang sekali seorang wanita dalam perkawinan

membawa anak, sebab wanita tersebut akan menjadi anggota keluarga

suaminya, sedang anak yang dibawa bukan hasil dari perkawinannya

dengan suaminya yang baru. Biasanya anak tersebut dipelihara oleh

orang tua dari wanita itu. Jadi kalau janda akan menikah lagi, anaknya

daoat diserahkan pada keluarga bukan suaminya yang pertama,

43

Page 44: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

melainkan orang tua dari wanita tersebut. Dengan demikian tidak lah

ada persoalan hukum yang terjadi antara anak tiri dengan keluarga baru

dari wanita tersebut karena sistem patrilineal di Bali nampaknya sangat

ketat dan tidak jarang urusan keluarga sering ikut campur keluarga lain.

Selain itu juga ada rasa malu kalau si janda kawin dengan membawa

anak. Sesuai dengan arti patrilineal itu sendiri, anak itu seharusnya

diserahkan pada keluarga bekas suaminy dahulu, karena anak tersebut

ada bertalian darah dengan keluarga bekas/almarhum suaminya. Di Bali

ini disebut garis kepuruse (garis kebapaan) sedang anak tiri di Bali

disebut dengan istilah “pianuk kawalan”

Di Bali tidak diperkenankan menurut hukum adatnya, yaitu perkawinan

antara;

Janda dengan anak atau tanpa anak dengan janda laki-laki

Janda perempuan dengan anak atau tanpa anak dengan jejaka

Yang diperkenankan adalah perkawinan antara:

Gadis dengan jejaka

Gadis dengan janda laki-laki

Perlu pula diingat, bahwa pada keluarga Bali pada umumnya perceraian

itu adala jarang sekali terjadi.

3. Anak Angkat

Pengertian anak angkat tak lain adalah anak orang lain yang

dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai

anak kandungnya sendiri. Dalam hukum adat dikenal adanya dua sistem

pengangkatan anak, yaitu:

a. Pengangkatan anak secara terang-terangan dan tunai, artinya

pengangkatan anak yang dilakukan secara terbuka dihadiri oleh

para anggota keluarga, pejabat desa maupun pemuka agama dan

seketika itu juga dilakukan pembayaran dengan uang adat selaku

simbol. Di Bali, selain pengangkatan anak dihadiri oleh sanak

keluarga dan pejabat desa, juga dilakukan upacara keagamaan,

44

Page 45: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

dilakukan upacara pamit pada sunggah ( tempat persembahyangan

keluarga), pamit kepada roh para leluhur karena akan menjadi

keluarga baru dari orang yang mengangkatnya. Dengan

pengangkatan secara terang dan tunai ini, putuslah sudah hukum

kekeluargaan antara anak yang diangkat itu dengan keluarga

asalnya dan secara hukum pula anak angkat itu masuk menjadi

keluarga orang tua yang mengangkatnya. Di Bali, anak angkat

memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung, oleh karena

itu anak angkat di Bali mewarisi semua harta peninggalan orang tua

angkatnya, baik barang asal, barang barang hasil pencaharian

suami istri bahkan kalau belum ada hata pusakapun anak itu berhak

mewarisinya. Juga anak angkat itu sebagai penerus keturunan

orang tua yang mengangkatnya dan sampai saat ini di Bali yang

dapat diangkat anak adalah anak laki-laki saja.

b. Secara tidak terang dan tidak tunai. Artinya pengangkatan anak

yang dilakukan secara diam-diam, tanpa mengundang keluarga

seluruhnya, biasanya dipilih diantara keluarga orang-orang tertentu

saja yang termasuk sesepuh-sesepuh, tidak diundang pemuka

agama maupun pejabat desa dan tidak pula dengan pembayaran

uang adat. Hal ini biasanya bermotif hanya atas dasar

perikemanusiaan, ingin membantu suami istri yang dalam keadaan

ekonomi lemah dan banyak anak , meringankan biaya kehidupan

anak-anaknya dengan jalan diambil anak oleh pasangan suami istri

yang kebetulan punya perekonomian yang agak kuat. Oleh karena

itu pengangkatan anak semacam ini tidak memutuskan hubungan

hukum antara orang tua asal anak itu dengan anak yang diangkat

oleh orang lain.

Motif dari pengangkatan anak semacam ini hanyalah adanya belas

kasihan semata. Oleh karena antara anak angkat tersebut tidak

putus hubungan hukumnya dengan orang tua asalnya dan ada

hubungan hukum dengan orang tua yang mengangkatnya, maka

anak angkat tersebut dapat mewarisi dari orang tua angkatnya juga

tetap mewarisi dari orang tua asalnya, hanya saja barang-barang

45

Page 46: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

atau benda yang dapat diwarisi dari orang tua angkatnya terbatas

pada harta pencaharian bersama (jawa, gono-gini)

Pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan tidak terang

dan tidak tunai pada perkembangan sekarang ini nampaknya

cenderung kearah pemutusan hubungan hukum antara anak angkat

dengan orang tua yang mengangkat.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh pengadilan negeri Banyumas

yang dilakukan pada tahun 1981, di kecamatan Sumbang

kabupaten Banyumas mengenai anak angkat ini adalah sebagai

berikut:

Di daerah ini dikenal adanya kebiasaan mengangkat anak. Kata-

kata yang lazim dipakai untuk menyebutkan anak angkat adalah

anak pupon.

Caranya mengangkat anak ini ialah dengan adanya persetujuan

kedua orang tua kandung anak maupun orang tua yang akan

mengangkat anak tersebut. Setelah itu baru ke Balai Desa untuk

disaksikan kepala desa, selanjutnya oleh kepala desa dibuatkan

surat pernyataan/perjanjian pengangkatan anak tersebut, yang

mana setelah itu disarankan agar supaya surat perjanjian

pengangkatan anak tersebut diserahkan oleh pengadilan negeri.

Mengenai pengesahan oleh pengadilan negeri untuk desa

karangturi sudah sejak 1965, untuk desa susukan sejak tahun 1960

Pada umumnya baik laki-laki maupun anak perempuan dapat

dijadikan anak angkat

Pada umumnya dapat mengangkat lebih dari seorang

Di daerah ini belum pernah terjadi orang yang belum kawin

mengangkat anak

Dalam hal pengangkatan anak, orang yang mau mengangkat anak

harus ada persetujuan dari orang tua si anak, tidak perlu meminta

dari keluarganya sendiri.

Anak yang diangkat biasanya umur 7 tahun kebawah. Di desa

susukan bahkan pernah terjadi anak yang dijadikan anak angkat

sudah berumah tangga, dimana surat perjanjian pengukuhan anak

46

Page 47: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

tersebut disahkan oleh pengadilan negeri banyumas pada tahun

1970.

Alasan untuk mengangkat umumnya antara suami istri selama

dalam perkawinannya tidak mempunyai keturunan

Disini tidak dikenal anak pungut

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh pengadilan negeri

Banyumas tersebut, jelas kiranya dengan anjuran pengesahan surat

perjanjian pengangkatan anak ke pengadilan, sangat erat kaitanya

dengan kepastian status hukum dari anak angkat tersebut. Dalam

perkembangan masa sekarang ini memang hal ini sangant

diperlukan, karena sering timbulnya masalah untuk anak angkat

setelah orang tua yang mengangkatnya nantinya meninggal dunia,

khususnya yang berkaitan dengan kewarisan.

4. Anak di Luar Nikah

Anak adalah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita baik anak

sah maupun anak diluar perkawinan, hasil hubungannya dengan

seorang laki-laki baik itu sebagai suaminya atau tidak. Setelah dibahas

mengenai anak kandung, anak angkat dan anak tiri kali ini akan dibahas

mengenai anak yang lahir di luar pernikahan. Anak yang lahir di luar

pernikahan ialah anak yang lahir dari seorang wanita yang tidak

mempunyai suami atau anak yang mempunyai bapak dan ibu yang tidak

terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah. Tentang anak diluar

kawin itu ada 2 jenis yaitu:

a. Anak yang lahir dari ayah dan ibu antara orang-orang mana tidak

terdapat larangan untuk kawin.

b. Anak yang lahir dari ayah dan ibu yang dilarang untuk kawin karena

sebab-sebab yang ditentukan oleh undangundang atau jika salah

satu dari ayah ibu di dalam perkawinan dengan orang lain.

47

Page 48: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Proses terjadinya anak luar kawin dapat dikategorikan sebagai berikut:24

1. Anak dari hubungan ibu sebelum terjadinya pernikahan. Jika

dua orang dari 2 jenis kelamin yang berbeda, kedua-duanya

tidak terikat perkawinan dengan orang lain mengadakan

hubungan badan dan mengakibatkan seorang perempuan

hamil, kemudian melahirkan seorang anak dan ada sebagian

darah dari seorang anak laki-laki dan seorang perempuan

yang menghasilkan anak tersebut yang tercampur dalam diri

anak yang bersangkutan. Padahal antara keduanya belum

terikat tali perkawinan yang sah,maka anak tersebut adalah

anak luar kawin.

2. Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dari suaminya.

Apabila seorang wanita mengadakan hubungan badan

dengan bekas suaminya atau seorang laki-laki lain dan

mengakibatkan wanita itu hamil kemudian melahirkan seorang

anak, maka :

Kelahiran anak itu apabila terjadi belum lama dari masa

perceraian dengan suaminya maka anak tersebut masih

dianggap anak dari bekas suaminya itu, dan

Apabila Kelahiran anak tersebut lama setelah masa

perceraian ibunya dengan ayahnya, maka anak tersebut

dapat dinamakan anak luar kawin.

c. Anak dari kandungan ibu karena berbuat zina dengan orang lain.

Apabila seorang istri melahirkan seorang anak karena mengadakan

hubungan badan dengan seorang laki-laki lain bukan suaminya,

maka suaminya itu menjadi bapak dari anak yang dilahirkan

tersebut. Kecuali apabila sang suami ini berdasarkan alasan yang

dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak, anak yang dilahirkan

oleh istrinya karena berbuat zina. Adapun alasannya ialah :

Suami tidak bisa menjalankan kewajibannya memenuhi kebutuhan

biologis istrinya, misalnya impotensi.

24 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 100

48

Page 49: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Dapat dibuktikan oleh suaminya baik karena pengakuan pria yang

melakukan zina dengan istrinya ataupun oleh istrinya sendiri atau

oleh masyarakat.

d. Anak dari kandungan ibu yang tidak diketahui siapa ayahnya.

Apabila seorang perempuan mengadakan hubungan badan dengan

lebih dari seorang laki-laki atau mengadakan hubungan badan

dengan berganti-ganti pasangan dan mengakibatkan seorang

perempuan itu hamil, kemudian melahirkan seorang anak, dan

jelaslah di sini bahwa anak tersebut tidak diketahui siapa ayahnya,

karena ibunya telah mengadakan hubungan badan dengan

berganti-ganti pasangan yang tidak terlibat tali perkawinan yang

sah.

e. Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan sah jika dua

orang dari 2 (dua) jenis kelamin yang berbeda, kedua-duanya tidak

terikat tali perkawinan dengan orang lain mengadakan hubungan

badan dan mengakibatkan seorang perempuan hamil kemudian

melahirkan seorang anak dan ada sebagian darah dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan yang hubungannya menghasilkan

anak tersebut, yang tercampur dalam diri anak yang bersangkutan.

Padahal antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang

kedua-duanya tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain dan

kedua pasangan tersebut telah hidup didalam kehidupan rumah

tangga. Padahal antara keduanya belum terikat tali perkawinan

yang sah.

Pada umumnya menurut hukum adat anak yang lahir dari

perkawinan ayah dan ibunya yang tidak sah, maka tidak berhak sebagai

ahli waris dari orang tuanya. Anak yang tidak sah itu hanya mewaris dari

ibu atau kerabat ibunya.

Di daerah Jawa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah

adalah anak kowar, anak ini hanya dapat mewaris dari ibunya atau

keluarga ibunya. Walaupun demikian apabila kemudian ibunya setelah

anak itu lahir kawin dengan lelaki yang membenih anak tersebut dan

anak itu tinggal bersama ayah kandungnya itu, si anak tetap tidak dapat

49

Page 50: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

mewaris dari bapaknya. Begitu pula anak yang lahir dari ayah ibunya

yang kemudian cerai kemudian rujuk kembali secara diam-diam tanpa

dilakukan di hadapan pejabat negara atau agama, ia tetap anak kowar

dan tidak bersah sebagai ahli waris. Anak Luar Kawin yang tidak layak

menjadi ahli waris apabila :25

Jika oleh hakim ia dihukum karena membunuh pewaris, jadi wajib

ada putusan hakim yang menghukumnya.

Jika ia secara paksa mencegah kemauan pewaris untuk membuat

wasiat.

Jika ia melenyapkan atau memalsu surat wasiat dari pewaris.

Melanggar ketentuan adat yang berlaku bagi pewaris.

Di beberapa daerah menganggap wanita yang melahirkan anak

itu sebagai ibu anak yang bersangkutan, jadi biasa seperti kejadian

normal seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinan yang sah.

Tetapi di beberapa daerah lain ada pendapat yang wajib mencela keras

si ibu yang tidak kawin beserta anaknya, bahkan mereka lazimnya

dibuang dari persekutuan. Untuk mencegah nasib si ibu dan anaknya

yang malang ini, terdapat suatu tindakan adat yang memaksa pria yang

bersangkutan untuk kawin dengan wanita yang telah melahirkan anak

itu. Di samping kawin paksa tersebut di atas, adat mengenal usaha yang

lain yaitu dengan cara mengawinkan wanita yang sedang hamil itu

dengan salah seorang laki-laki lain. Maksudnya supaya anak dapat lahir

dalam perkawinan yang sah. Cara ini banyak dijumpai di desa-desa

Jawa, disebut nikah tambelan. Tetapi meskipun telah dilakukan upaya-

upaya adat seperti tersebut di atas, semuanya itu toh tidak dapat

menghilangkan perasaan dan pandangan tidak baik terhadap anak yang

dilahirkan itu. Anak demikian ini di Jawa disebut “anak haram jadah”10.

Istilah anak haram jadah biasanya banyak digunakan dalam daerah-

daerah pedesaan seperti di desa Agung Mulyo, Kecamatan Juwana

Kabupaten Pati.

25 Oemarsalim, Dasar-dasar hukum waris di Indonesia,Rineka Cipta,1991,halaman 141.

50

Page 51: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

2.6 Harta Waris

Harta Peninggalan yang Tidak Dapat Dibagi-bagi

Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini, berdasarkan

atas alasannya tidak dibagi-bagi, dapat dibeda-bedakan sebagai berikut:

a. Karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk tidak dibagi-

bagi (misalnya barang-barang milik kerabat atau famili).

b. Karena kedudukan hukumnya memang terikat kepada suatu

tempat /jabatan tertentu (cntohnya barang-barang keramat kasepuhan

Cirebon seluruhnya tetap jatuh pada ahli waris yang menjadi sultan

sepuh serta barang-barang itu tetap dsimpan di keraton Kasepuhan).

c. Karena belum bebas dari kekuasaan persekutuan hukum yang

bersangkutan, seperti tanah kasikepan di daerah Cirebon

d. Karena pembagiannya untuk sementara ditunda, seperti banyak

dijumpai di daerah Cirebon, seperti banyak dijumpai di Jawa, misalnya

terdapat anak-anak yang ditinggalkan masih dewasa, maka demi

kepentingan janda beserta anak-anaknya supaya tetap mendapat

nafkah untuk hidup terus harta peninggalan tidak dibagi-bagi. Dan tiap

tuntutan untuk membagi-bagi dari ahli waris yang menurut hakim akan

mengakibatkan terlantarnya janda beserta anak-anak tersebut selalu

akan ditolak oleh hakim.

e. Karena hanya diwaris oleh seorang saja (sistem kewarisan

mayorat), sehingga tidak perlu dibagi-bagi

Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini di beberapa

lingkungan hukum adat disebabkan karena sifatnya memang tidak

memberi kemungkina untuk tidak memiliki barang itu bersama-sama,

dengan ahli waris lain-lainnya, sebab harta dimaksud merupakan

kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi atau barang itu merupakan

lambang persatuan serta kesatuan daripada keluarga yang

bersangkutan

Sebagai contoh daripada harta peninggalan semacam ini dapat disebut:

a. Harta pusaka

51

Page 52: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

b. Tanah dati di semenanjung Hitu (Ambon).

Tiap anak yang lahir dalam keluarga itu turut serta menjadi pemilik,

sedangkan tiap-tiap suami atau istri yang meninggal dunia selalu

membiarkan saja barang-barang itu dalam keadaan yang semula. Harta

pusaka karena sifatnya tidak mungkin dibagi-bagi menimbulkan adanya

sistem kewarisan kolektif

Harta pusaka di Minangkabau

Sifat kekeluargaan di Minangkabau yang matriarchaal ini

memperlihatkan adanya barang-barang keluarga seprti tanah pertanian,

pekarangan dengan rumah dan ternak, perkebunan, keris, dan lain

sebagainya, yang merupakan harta pusaka milik suatu keluarga.

Barang-barang demikian ini hanya dapat dipakai saja “genggam

bauntuiq” oleh segenap warga keluarga yang bersangkutan, tetapi tidak

boleh dimiliki oleh mereka itu masing-masing. Oleh para anggota

keluarga tersebut hanya memiliki hak pakai saja, maka meninggalnya

seorang anggota tidak mempunyai akibat sedikitpun terhadap hubungan

hukum antara para anggota keluarga dimaksud yang masih hidup

dengan harta pusaka yang bersangkutan. Tetapi wafatnya seorang

anggota malahan menambah harta pusaka yang bersangkutan dengan

barang-barang yang diperoleh orang yang wafat itu (harta pencaharian)

setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang si wafat tersebut.

Misalnya di daerah Minangkabau ini ada seorang isteri yang mempunyai

milik perorangan sebidang sawah meninggal dunia, maka sawah ini

memjadi harta pusaka dari anak-anak kandungnya; harta pusaka ini

dinamakan “harta pusaka dalam generasi pertama” juga disebut harta

saka atau “harta pusaka rendah”.

Tetapi barang-barang pencarian seorang suami, yang di daerah Minang

ini tidak menjadi anggota keluarga isterinya, apabila ia wafat masuk

menjadi menjadi harta pusaka keluarga si suami itu sendiri, jadi

tegasnya menjadi harta pusaka saudara-saudaranya sekandung beserta

52

Page 53: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

anak-anak keturunan dari saudara-saudara perempuan, serta

merupakan “harta pusaka rendah” mereka.

Disamping harta pusaka rendah ini dikenal juga adanya harta pusaka

tinggi, yaitu harta-harta yang telah turun temurun dalam beberapa

keturunan (generasi), semula milik nenek-nenek yang turut serta

membangun nagari yang bersangkutan. Harta pusaka yang tinggi ini

tetap menjadi milik kerabat serta dikuasai ole pengulu andiko atau

mamak kepada ahli waris.

Dengan demikian, maka harta pusaka itu mempunyai tingkatan yang

sesuai dengan tingkatan-tingkatan keluarga, artinya sebagai berikut:

a. Harta pusaka tinggi dikuasai oleh keluarga yang lebih besar atau

kerabat (Ter Haar menyebutnya familie) yang dipimpin oleh seorang

pengulu andiko

b. “harta pusaka rendah” dikuasai oleh keluarga yang lebih kecil,

yang terdiri atas isteri dan anak-anaknya, atau suami dengan saudara-

saudaranya sekandung beserta keturunan saudaranya perempuan yang

sekandung.

Ada kalanya suatu kerabat menjadi terlau besar jumlah anggotanya.

Dalam hal ini ada kemungkinan kerabat itu dipecah menjadi dua dan

dengan ini harta pusaka yang dimiliki kerabat itu dipecah juga menjadi

dua; peristiwa demikian ini disebut “gadang manyimpan.”

Sebaliknya dapat juga terjadi, yaitu suatu kerabat menjadi habis, punah

atau guntung (Minang) karena tidak terdapat lagi orang-orang

keturunannya. Dalam hal ini harta pusaka jatuh ke tangan famili yang

terdekat, artinya mempunyai hubungan kekeluargaan yang terdekat

dengan famili yang punah itu; kalau famili yang terdekat itu juga tidak

ada, maka harta pusaka menjadi milik persekutuan hukum yang

bersangkutan.

Tetapi juga di daerah Minangkabau ini nampak dengan jelas adanya

suatu perubahan dalam perkembangan sosialnya yang menunjukkan

gejala umum yang memperlihatkan hubungan kekeluargaan somah

(suami isteri dan anak-anak makin lama makin mendapatkan tempat

yang lebih penting sehingga kekuasaan serta pengaruh kerabat dengan

53

Page 54: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

sendirinya makin hari makin menjadi kurang. Sudah barang tentu

pergeseran tersebut diatas membawa akibat dan pengaruh yang penting

sekali dalam kedudukan harta pencarian di daerah Minangkabau,

khususnya harta pencarian suami. Harta pencarian suami yang semula

menurut hukum adat tidak diwaris oelh anak-anaknya tetapi oleh

saudara-daudara sekandungnya sebagai harta pusaka, maka dengan

pergeseran tersebut diatas menjadi milik somah dan kemudian akan

diwaris oleh anak-anaknya sendiri.26

Pada umumnya pergeseran dimaksud membawa perubahan yang

prinsipal dalam hukum adat waris di daerah ini. Semula dapat dikatakan,

bahwa di daerah Minangkabau ini tidak ada hukum waris antara orang-

orang perorangan, antara individu dengan individu; yang ada ialah

hukum waris antara beberapa keluarga. Tetapi sekarang setelah ada

pergeseran dimaksud nampak timbulnya hukum waris perseorangan

terhadap harta pencaharian.27

Tanah-dati di semenanjung Hitu (Ambon)

Sifat kekeluaargaan di daerah ini adalah patriarchaal. Tanah-

tanah yang didapat seorang secara membeli atau membuka hutan,

lama-lama menjadi miliknya keluarga dan kemudian menjadi miliknya

famili keturunan pemilik semula. Jadi sepeninggalnya pemilik semula

tanah-tanah dengan tanamannya tetap tinggal tidak dibagi-bagi.28

Seperti halnya tanah pusaka di Minangkabau, maka tanah dati

ini, apabila dati (kerabat) yang menguasai tanah itu lenyap (habis

karena tiada keturunannya lagi), maka tanah itu jattuh ke tangan dati

yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang terdekat.29

Van Vollenhoven meragu-ragukan, apakah tanah dati ini

merupakan tanah milik kerabat, ataukah hanya pembagiannya diantara

para ahli waris saja yang ditangguhkan agak lama. Kalau hanya terjadi

26 “adatrechtbundel XI” hal 14727 Van vollenhoven dalam “het adatrecht van Ned. Indie” jilid I hal 26328 Mr. F.D. Holleman : “Adat Grondenrecht Ambon van Ned. Indie” jilid I hal 263.

29 Ter Haar: “beginselen........dan seterusnya” halaman 199.

54

Page 55: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

pertangguhan saja dari pembagian tanah itu, maka sekiranya akan

mudahlah timbulnya di Ambon pula hukum waris perorangan terhadap

tanah.30

Selain dua contoh tersebut diatas, dalam masyarakat Indonesia

sesungguhnya memang lazim adanya harta peninggalan yang tetap

tinggal tidak dibagi-bagi.

Seperti di Minahasa, barang kelakeran adalah juga milik famili

yang juga tidak boleh dibagi-bagi, keciali jikalau semua anggota famili

yang berhak menghendaki serta menyetujui barang itu dibagi-bagi.

Di Minahasa terdapat juga suatu bidang tanah yang selalu

dipertahankan menjadi milik bersama famili, yaitu yang disebut tanah

wawakes un teranak. Tanah demikian ini menjadi fungsi sebagai tanda

pengikat yang riil terhadap tali kekeluargaan famili. Di samping itu tanah

demikian ini lazimnya merupakan sejengkal tanah yang kurang artinya

apabila akan dibagi-bagi merata diantara para ahli waris.

Penggunaan serta penguasaan tanah yang demikian ini kadang-

kadang dilakukan secara bergilir diantara para ahli waris, kadang-

kadang dipercayakan kepada salah seorang ahli waris.

Hasilnya, apabila tidak ada ketentuan yang ditetapkan bersama

olh para ahli waris, di pungut serta dipakai oelh waris yang memelihara

tanah tersebut; ahli waris ahli waris lainnya tidak berhak menuntut atas

bagiannya terhadap hasil tanah dimaksud.

Ad.b dan ad.c ini akan dibicarakan dalam masalah harta

kekayaan keluarga yang merupakan harta peninggalan. Perikasa no. 7

di bawah ini. Ad.d. karena pembagiannya memang sengaja untuk

sementara ditunda.

Ada pula harta peninggalan yang tidak dibagi-bagi bukan karena

harta itu tidak dapat dibagi-bagi, melainkan karena pembagiannya

memang untuk sementara ditangguhkan.

Hal yang demikian ini dapat dijumpai di daerah-daerah yang

memiliki sifat kekeluargaan parental, seperti misalnya di Jawa.

30 Van Vollenhoven: “het adatrecht” jilid I hal 413

55

Page 56: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Pertangguhan pembagian harta peninggalan disini pada

pokoknya berdasar atas kebutuhan menegakkan langsung hidupnya

atau somah yang terdiri atas suami-isteri dan anak-anak.

Kalau suami atau isteri meninggal dunia, maka dirasakan

keinginan agar keluarga sesomah ini dapat tetap hidup terus dari harta

kekayaan yang ada seperti halnya sebelum peristiwa kematian itu

terjadi. Jadi harta peninggalan tersebut menjadi dasar materiil bagi

kehidupan janda beserta anak-anaknya yang belum mentas, belum

dewasa, belum cukup umur. Selama dan sekedar harta tersebut masih

diperlukan guna kehidupan janda beserta anak-anaknya yang belum

dewasa yang masih tetap tinggal serumah dengannya, maka selama itu

pula pertangguhan pembagian harta peninggalan dibenarkan dan tiap

penuntutan untuk membagi-bagi harta tersebut aan ditolak.31

Ini menimbulkan sistem kewarisan mayorat, seperti yang

dijumpai di Bali, yaitu semua harta peninggalan jatuh kepada anak laki-

laki yang tertua dengan ketentuan, bahwa ia sebagai ganti bapaknya,

wajib memelihara saudara-saudaranya hingga ia mentas. Hal semacam

di dapat pula di Lampung dan anak laki-laki tersebut di daerah tersebut

disebut penyimbang. Kalau di daerah Sumatera selatan sistem

kewarisan mayrat juga, yang menerima sejumlah bagian pokok dari

harta peninggalan yang mencakup semua jenis barang yang ada pada

harta peninggalan, adalah anak perempuan yang tertua yang di daerah

ini disebut tunggu tubang.

Hanya disini seorang tungu tubang itu menguasai harta

peninggalan tadi di bawah pengawasan anak laki-laki yang tertua yang

di daerah ini disebut payung jurai

Fungsi dari harta peninggalan yang tidak dibagi-bagi ini adalah

semacam tempat perlindungan bagi semua anak.

Sama dengan kedudukan tunggu tubang di Sumatera selatan ini

adalah anak pangkalan pada suku Landa Dayak dan suku Tayan Dayak

di Kalimantan.

31 Ter Haar: “beginselen........dan seterusnya” halaman 202

56

Page 57: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

HARTA KEKAYAAN KELUARGA YANG MERUPAKAN HARTA

PENINGGALAN

Harta peninggalan keluarga tidak merupakan suatu kumpulan ataupu

kesatuan harta benda yang semacam dan seasal.

Oleh karena itu maka pelaksanaan pembagiannya kepada para ahli

waris yang berkepentingan tidak dapat begitu saja dilakukan melainkan

wajib diperhatikan sepenuhnya sifat (macam), asal dan kedudukan

hukum daripada barang-barang itu masing-masing. Dan sekarang

tergantung daripada sifat (macam), asak dan kedudukan hukum dari

barang-barang yang ditinggalkan itu, apakah atau bagaimanakah

kekuasaan atas barang-barang itu akan beralih kepada para ahli waris

atau beberapa orang dari mereka.

Disamping perbedaan sifat tersebut diatas, menurut kedudukan

hukumnya d dalam harta peninggalan itu terdapat barang-barang yang

masih terikat oleh kerabat atau famili (barang asal); ada barang yang

termasuk barang pusaka yang keramat; ada barang somah atau

keluarga; barang-barang yang belum beres dari hak pertuanan ataupun

hak ulayat desa.

Barang-barang tersebut dikuasai oleh peraturan-peraturan tersendiri

yang mengatur cara pengoperannya. Peraturan tersendiri yang tentang

mengatur pengoperan itu, tidak hanya berhubungan dengan kedudukan

hukum daripada barang-barang itu saja, melainkan juga oleh karena

perbedaan wujudnya “feitelijke gesteldheid”.

Perlu kiranya diperhatikan juga, bahwasanya harta peninggalan itu tidak

selamanya terdiri atas bagian-bagian yang menguntungkan para ahli

waris saja, tetapi kadang-kadang terdapat pula bagian-bagian yang

merupakan beban kepada ahli waris, yaitu hutang-piutang dari yang

meninggal dunia yang masih belum dilunasi.

Barang-barang keramat atau barang-barang famili

Barang-barang ini biasanya dibawa ke dalam harta kekayaan

keluarga oleh isteri atau suami sebagai barang asal yang diperolehnya

57

Page 58: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

secara warisan dari orang tuanya dan orang tuanya ini memperoleh

barang-barang itu dulu juga secara warisan dan begitu seterusnya;

pokoknya barang-barang itu sudah turun-temurun menjadi barang

warisan.

Apabila peninggal warisan tidak mempunyai anak, maka barang-

barang famili demikian, kembali lagi kepada famili yang bersangkutan,

artinya barang asal dari famili suami kembali kepada famili suami dan

barang asal dari famili isteri kembali kepada famili isteri.

Adapun maksud dari ketentuan ini adalah agar supaya barang-

barang itu tetap menjadi harta milik famili yang bersangkutan dan tidak

hilang, artinya berpindh menjadi milik famili lain.

Kalau ada anak, maka barang-barang dimaksud akan diwarisi

oleh anak-anak tersebut.

Barang-barang pusaka yang keramat

Barang-barang pusaka yang keramat seperti keris, tumbak,

rencong dan lain sebagainya yang dapat dianggap membawa

kebahagiaan kepada keluarga, tidak boleh disamakan dengan barang-

barang biasa rumah tangga lain-lainnya.

Barang-barang keramat ini kadang-kadang terikat kepada kualitas

yang memegangnya, misalnya barang-barang keramat dari keraton

kasepuhan di Cirebon akan tetap selalu diwaris oleh yang akan

mengganti jadi sultan sepuh.

Demikian juga halnya dengan nama, misalnya nama-nama

Hamengkubuwono, Paku Alam, Pakubuwono dan Mangkunegoro, tetap

selalu akan diwaris oleh yang kemudian akan dinobatkan dalam

kedudukan tersebut.

Barang-barang somah atau barang-barang keluarga

Hubungan kekeluargaan di dalam somah (suami-isteri dan anak-

anak) menyebabkan adanya perbedaan hak mewaris terhadap barang

58

Page 59: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

barang somah bagi anak-anak dari perkawinan pertama, bagi anak-anak

dari perkawinan kedua,ketiga, dan seterusnya.

Anak-anak dari perkawinan pertama berhak mewariskan barang-

barang yang diperoleh dalam masa perkawinan pertama, sedangkan

anak-anak dari perkawinan kedua tidak mempunyai hak itu. Ketentuan

inilah yang menyebabkan orang-orang dari Sulawesi selatan (Muna)

berkata “barang-barang somah yang satu tidak boleh berpindah ke

somah yang lain”.

Di Jawa kesulitan-kesulitan yang timbul karena seseorang yang

kawin beberapa kali, lazimnya diatasi dengan jalan menghibahkan

barang-barang yang bersangkutan semasa hidupnya.

Apabila anak-anak dari perkawinan pertama sudah kawin dan

mencar, artinya sudah meninggalkan rumah orang tua dan berdiri

sendiri, sehingga tidak lagi merupakan warga somah yang kemudian

tersusun, karena perkawinan kedua, maka mereka tidak berhak lagi

untuk mendapat bagian dari barang-barang yang diperoleh semasa

perkawinan yang kedua asalkan mereka telah menerima bagiannya

menurut haknya atas barang-barang keluarga yang diperoleh semasa

perkawinan yang pertama. Tetapi mereka masih berhak atas barang

asal bapaknya.

Barang-barang yang belum bebas dari hak pertuanan, hak ulayat

desa

Seperti sawah “kasikepan” di yang tidak bebas dari hak

pertuanan itu, apabila pemegangnya meninggal dunia, maka sawah itu

tidak boleh jatuh kepada orang yang:

a. Bukan warga desa yang bersangkutan

b. Tidak bertempat tinggal di desa di dalam daerah mana sawah

kasikepan dimaksud terletak

c. Telah memiliki sawah kasikepan yang lain

Peninggal sawah kasikepan ini hanya diperbolehkan

mengoperkan sawah itu kepada anak yang tetap tinggal di desanya

dengan persetujuan rapat desa.

59

Page 60: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Barang-barang dengan wujud tertentu

Pengaturan sendiri yang mengatur tentang pengoperan barang

dengan wujud tertentu ini “feitelijke bepalde goederen” bukan peraturan

yang melarang atau mewajibkan, melainkan merupakan suatu ajuran

yang seberapa boleh supaya diturut.

Di Aceh misalnya, pekarangan yang menjadi tempat kediaman

orang tua, pada waktu mereka meninggal dunia, seberapa boleh

“bikworkeur” beralih kepada anak perempuan yang tertua, sedangkan di

Tapanuli pada suku Batak, seberapa boleh justru kepada anak laki-laki

yang tertua atau yang termuda.

Hutang-hutang

Terhadap peninggalan yang merupakan beban ini terdapat

kebiasaan-kebiasaan sebagai berikut:

Di daerah-daerah Tapanuli (suku Batak), Kalimantan (Suku

Dayak), dan di pulau Bali misalnya, para ahli waris wajib membayar

utang pewaris, asal saja penagih hutang memberitahukan haknya

kepada para ahli waris tersebut dalam waktu 40 hari sesudah pewaris

meninggal atau pada waktu nyekah (di Bali), yaitu selamatan bagi si

mati.

Di daerah Gianyar di Pulau Bali rupa-rupanya hutang-hutnag

sepeninggal warisan hanya beralih dar orang tua kepada anak-anaknya

dan dari suami kepada isteri atau sebaliknnya dan tidak kepada lain-lain

warga keluarganya.32

Di jawa, orang menganggap bahwa hanya hrta peninggalan

pewaris dapat dipergunakan untuk membayar utangnya, sehingga harta

itu tidak boleh dibagi-bagi dulu, sebelum hutang pewaris di bayar dari

harta tersebut. Menurut adat apa yang pada hakikatnya beralih tangan

yang meninggla kepada para ahli warisnya itu ialah barang-barang

32 Dr VE Korn: “het adatrecht van Bali” halaman 519

60

Page 61: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

tingglan atau keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan

pembayaran hutang-hutang dan pembayaran-pembayaran lain

(misalnya biaya kubur).

Dalam hukum adat pembagian warisan tidak selalu ditangguhkan

sampai semua hutang pewaris dibayar. Setelah para ahli waris

menerima bagiannya, mereka dapat ditegur oleh para kreditur untuk

membayar utang si peninggal warisan. Dan dikebanyakan daerah di

Indonesia terutama di Jawa, utang-utang ini harus dibayar oleh para ahli

waris sekedar mereka itu menerima bagian harta peninggalan serta

kewajiban mereka membayar itu adalah sepadan dengan jumlah yang

diterima oleh mereka masing-masing.33

Jikalau harta peninggalan itu tidak mencukupi maka para ahli waris tidak

dapat dituntut untuk membayar kekurangannya.34

Putusan Lanraad Purwerejo tgl 23 Maret 1938 di T. 148 halaman 320

berbunyi, bahwa ahli waris bertanggung jawab atas hutang pewaris,

sekedar harta warisannya mencukupi.

Menurut Djojodigueno-Tirtawinata khususnya di Jawa Tengah seringkali

para ahli waris membayar juga kekurangannya dengan maksud agar

supaya tidak memberatkan si mati di dunia akhirat.35

Biaya mengubur mayat (khusus untuk Bali = biaya membakar

mayat)

Biaya untuk menyelenggarakan upacara mayat serta

menguburnya (membakarnya, mengabeni mayat di Bali) memang bukan

termasuk bagian daripada harta peninggalan. Malahan harta yang

masuk menjadi harta peninggalan harus dipakai terutama sekali untuk

membiayai penyelenggaraan upacara mayat beserta penguburan atau

pembakarannya.36

33 Ter Haar : “beginselen en stelsel........dan seterusnya” hal 21734 prof. Soepomo “bab-bab tentang hukum adat” hal 8835 Djojodigueno Tirtawinata “adatprivatrecht van Middle Java” hal 401

36 prof Soepomo “adatprivatrecht van west java” hal 101

61

Page 62: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Kewajiban untuk menyelenggarakan upacara mayat serta

menguburnya itu adalah demikian pentingnya, sehingga seorang waris

dengan tanpa sepengetahuan waris-waris yang lain, boleh menjual

sesuatu bagian dari harta peninggalan untuk membiayai penguburan si

mati.37

Dengan sendirinya pengeluaran itu harus diselenggarakan dalam batas-

batas yang patut.

Pembayaran hutang untuk keperluan ongkos mayat harus didahulukan,

jika ditagih oleh kreditur. Sebelum harta peninggalan itu dibagi-bagi,

maka biaya mayat wajib dibayar lebih dahulu.

Kewajiban mengubur adalah demikian pentingnya sehingga, jika

seorang yang bukan waris yang mengerjakannya, maka ia berhak untuk

mengambil sebagian dari harta peninggalan si mati sebagai ganti biaya

yang dikeluarkannya.38

Harta peninggalan seoran g yang tidak mempunya ahli waris dapat

diberikan kepada orang yang menyelenggarakan penguburannya.39

Selamatan-selamatan untuk arwah yang meninggal pada umumnya

diselenggarakan oleh para ahli waris atas biaya sendiri yang tidak

diperhitungkan pada waktu pembagian harta peninggalan di kemudian

hari. Selamatan-selamatan yang demikian ini diadakan pada hari

meninggalnya pewaris surtanah dan seterusnya pada hari ke-3, ke-7,

ke-40, dan ke-100 sesudah meninggalnya si pewaris. Malahan di Jawa

Tengah dan Jawa Timur juga satu tahun, dua tahun dan seribu hari

sesudah pewaris meninggal dunia. Selamatan-selamatan ini disebut

wilujengan.

Hutang guna membiayai selamatan tersebut tidak bersifat hutang yang

harus dibayar lebih dahulu.40

37 putusan Lanraad purweredjo tanggal 5 April 1935 Indisch tidhrift van het recht 146 hal.

151

38 putusan Lanraad purweredjo tanggal 14 Juni 1937 T 146 hal 15139 Djojodigueno Tirtawinata “adatprivatrecht van Middle Java” hal 397-398

40 prof. Soepomo “bab-bab tentang hukum adat” hal 88

62

Page 63: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Ongkos-ongkos guna menyelenggarakan selamatan-selamatan ini tidak

termasuk biaya upacara mayat dan biaya penguburannya.

Penyelenggaraan selametan-selametan ini terserah kepada para ahli

waris sendiri, apakah akan diadakan secara besar atau lengkap rowa

atau secara seperlunya ringkes, sehingga dapat menekan ongkos-

ongkos pengeluarannya sampai sekecil-kecilnya. Apabila

diselenggarakan secara seperlunya, maka lazimnya upacara itu disebut

kenduren.41

Setelah semua hutang-hutang pewaris dilunasi dari harta peninggalan,

maka jika masih ada sisanya, biaya selamatan tersebut dapat pula

diambilkan dari sisa harta peninggalan itu.

2.7 PEWARISAN DAN HIBAH WASIAT

Mewariskan semasa hidup, yang berakibat pengalihan dengan

seketika barang-barang dari harta benda orang tua kepada waris (dalam

bahasa Jaw, disebut : marisake, di Sulawesi Tengah disebut:

papassang), adalah berlainan daripada wekasan, welingan atau hibat

wasiyat, yaitu pengalihan yang baru akan berlaku setelah orang tua

meninggal dunia.

Maksud hibat wasiat, ialah terutama untuk mewajibkan para waris

untuk membagi-bagi harta warisan dengan cara yang layak menurut

anggapan pewaris. Maksud kedua, ialah untuk mencegah perselisihan.

Selain daripada itu, dengan hibat wasiat itu pewaris menyatakan secara

mengikat (binded) sifat-sifat barang harta yang ditinggalkan, seperti:

barang pusaka, barang yang dipegang dengan hak sende (gadai),

barang yang disewa dan sebagainya

Kadang-kadang hibat wasiat itu ditulis oleh notaris dan disebut

testamen. Meskipun hibat wasiat itu berbentuk akta notaris, sah atau

tidaknya isi hibat wasiat itu dikuasai oleh hukum adat material. Misalnya

41 Djojodigueno Tirtawinata “adatprivatrecht van Middle Java” hal 399

63

Page 64: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

tidak akan sah suatu pemberian sebuah sawah kasikepan kepada

seorang waris yang bukan teman sedesa.

Dengan jalan pewarisan atau hibat wasiat, pewaris dapat

menentukan bagaimana harta bendanya kelak akan dibagi-bagi diantara

anak-anaknya.

Pewarisan atau hibat wasiat dapat mengenai hanya sebagian atau

beberapa bagian yang tertentu dari harta peninggalan, misalnya

mengenai sawah ini dan sawah itu, dapat hanya untuk salah satu atau

beberapa anak atau untuk istri.

Pewarisan atau hibat yang hanya mengenai satu atau beberapa

barang dari harta benda dan yang hanya untuk satu atau beberapa anak

atau untuk istri, berarti bahwa bagaimanapun caranya harta peninggalan

kelak akan dibagi-bagi, barang –barang yang telah diwariskan atau

diwasiatkan itu akan tetap tinggal di tangan anak atau istri yang

menerimanya.42

Mungkin juga pewarisan atau hibat wasiat mengenai seluruh harta

benda orang tua. Hal itu berarti pembagian harta benda seluruhnya oleh

peninggal harta sendiri. Hal tersebut seringkali diperbuat oleh seorang

yang akan pergi naik haji.

Pewarisan dan hibat wasiat mempunyai dua corak:

a. Mereka yang menerima barang-barang harta itu adalah ahli waris,

yaitu istri dan anak-anak. Oleh sebab itu pewarisan atau hibat

wasiat hanya merupakan perpindahan (verschuiving) harta benda

di dalam lingkungan ahli waris.43

b. Orang tua yang mewariskan itu, meskipun terikat oleh peraturan,

bahwa semua anak harus mendapat bagian yang layak, sehingga

tidak diperbolehkan melenyapkan hak waris seorang anak, adalah

bebas di dalam menetapkan barang-barang manakah yang akan

diterimakan kepada anak A dan barang-barang mana kepada anak

42 Soepomo, Jawa Barat, hlm 11743 Teer Haar, Beginselen enz, hlm. 204

64

Page 65: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

B, atau kepada istri. Lagi pula pewarisan atau hibat wasiat

mempunyai fungsi lain, yaitu:

c. Mengadakan koreksi, dimana perlu, terhadap hukum waris

abintestato menurut peraturan-peraturan trdisional atau agama,

yang dianggap tidak memuaskan lagi oleh pewaris.44

Di tanah batak misalnya, peraturan adat yang hanya memberikan

hak waris kepada anak-anak lelaki, dapat di “koreksi” dengan adanya

kebiasaan, bahwa seorang bapak mewariskan sawah atau kerbau

kepada anak perempuan yang kawin (saba bangunan, pauseang,

indahan arian). Di minangkabau, peraturan adat yang berbunyi, bahwa

harta peninggalan seseorang akan diwarisi oleh keturunan dari pihak

ibunya di dalam praktek di “koreksi” dengan adanya kebiasaan, bahwa

seorang bapak mewariskan sebagian atau seluruh harta pencariannya

kepada anak-anaknya. Di jawa terdapat kebiasaan, bahwa orang tua

mewariskan sebagian dari harta bendanya kepada anak angkat,

sehingga anak angkat itu terjamin bagiannya, jika di kemudian hari harta

peninggalan itu dibagi-bagi menurut hukum islam.3)

2.8 Proses Pembagian Warisan

A. Pendahuluan

Proses pembagian warisan di Indonesia tentu berbeda – beda di

setiap daerahnya, hal ini menyangkut adanya perbedaan diantara warga

nya baik itu di dalam hal budaya, suku, dan ras nya. Ini lah yang

menyebabkan semua proses pembagian warisan di indonesia pun ikut

berbeda dengan yang lainnya. Di sini kita akan membahas segala bentuk

proses pembagian warisan di indonesia yang seperti dikatakan tadi

sangat berbeda beda di setiap daerahnya.

44 Ibid hlm 205

65

Page 66: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Warisan di beberapa daerah di Indonesia juga masih terpengaruh

oleh proses pewarisan yang dilakukan oleh hukum islam, dikarenakan

mayoritas penduduk Indonesia yang memeluk agama islam. Tapi tentu

saja masih ada yang mempertahankan adatnya dalam hal apa pun

termasuk itu dalam hal pembagian warisannya. Oleh karena itu mari kita

perhatikan secara seksama hal ini.

B. Pembagian Warisan Menurut Islam

Hukum45 waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. telah

mengubah hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur

hubungan kekerabatannya, bahkan merombak sistem pemilikan

masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka.

Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak

diperkenankan memiliki harta benda --kecuali wanita dari kalangan elite--

bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan.

Islam merinci dan menjelaskan --melalui Al-Qur'an Al-Karim--

bagian tiap-tiap ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan didalam

masyarakat. Meskipun demikian, sampai kini persoalan pembagian harta

waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga.

Ternyata, disamping karena keserakahan dan ketamakan manusianya,

kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahli waris akan

hakikat waris dan cara pembagiannya.

Kekurangpedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu ini memang

tidak kita pungkiri, bahkan Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya:

"Betapa banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu faraid.

Atas dasar itulah kami terpacu untuk menerbitkan buku Pembagian

Waris menurut Islam. Mudah-mudahan apa yang kami persembahkan

kepada pembaca menjadi suatu amal kebajikan dan menjadi bukti

ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ayat – Ayat Tentang Pewarisan

45 Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam bukunya yang berjudul “Pembagian Waris Menurut Islam” diterjemahkan oleh A.M.Basamalah.

66

Page 67: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Berikut ini merupakan ayat – ayat atau firman allah yang

menjelaskan tentang pembagian warisan dalam islam :

ALLAH SWT berfirman

"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)

anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian

dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih

dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika

anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.

Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari

harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika

orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-

bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal

itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.

(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang

ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan

anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih

dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.

SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa':

11)

"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan

oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu

mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang

ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)

sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang

kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai

anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu

tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah

dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun

perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,

tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang

saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua

jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu

67

Page 68: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,

sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar

utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah

menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari

Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun." (an-Nisa': 12)

Dua firman Ini menjadi Penjelasan dalam proses pewarisan yang

menjadi patokkan atau dapat diikuti oleh para kaum muslim di seluruh

dunia baik yang berada di Indonesia juga.

Waris Menurut Pandangan Islam

Syariat46 Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang

sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta

bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang

legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan

seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh

kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan

perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum

yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang

pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan

nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami,

kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah

atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan

penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan

yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat

sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit

sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci,

kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan

salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di

samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi

individu maupun kelompok masyarakat.

46 Muhammad Ali Ash-Shabuni Dalam Bukunya “Proses Pembagian Warisan dalam Islam”

68

Page 69: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Bentuk – Bentuk Waris di Dalam Islam

1. Hak waris secara faradh (yang telah ditentukan bagiannya).

2. Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).

3. Hak waris secara tambahan.

4. Hak waris secara pertalian rahim.

Sebab - sebab Adanya Hak Waris

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:

1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua,

anak, saudara, paman, dan seterusnya.

2. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i)

antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau

tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.

Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi

sebab untuk mendapatkan hak waris.

3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga

wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah

kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka

dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan

berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang

yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan

kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu

Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap

budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris

yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena

adanya tali pernikahan.

Rukun Waris:

Rukun waris ada tiga:

69

Page 70: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

1) Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya

berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.

2) Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau

menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan

kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.

3) Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang

ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

Syarat Waris

Syarat-syarat waris juga ada tiga:

a) Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun

secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).

b) Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris

meninggal dunia.

c) Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian

masing-masing.

Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris

Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki

ataupun secara hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan

diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau

vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui

lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang

keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim

memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.

Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun

keadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk

mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak

dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah ia meninggal.

70

Page 71: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris

Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada

ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang

yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.

Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak

saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan

yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu

meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta

yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan

fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam

suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para

fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat

saling mewarisi.

Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris

Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti,

misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi

mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada

masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan

jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.

Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang

adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia

sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu.

Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak

menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena

'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan

(mahjub), serta ada yang tidak terhalang

71

Page 72: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

C. Proses Pembagian Warisan Adat

Pembagian dalam Hukum Waris Adat pada sistem Patrilineal yang

mencari nafkah adalah istri sendiri, sementara yang berhak atas harta itu

adalah suami. Dimanakah letak keadilannya? Padahal tujuan hukum

adalah untuk menciptakan keadilan.

Sistem patrilineal merupakan sistem keturunan yang ditarik dari

garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari

kedudukan wanita didalam pewarisan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa

tidak adil untuk pembagian harta pencaharian hasil istri sendiri, karna

pada dasarnya bagi masyarakat adat yang menganut sistem patrilineal ini

hal tersebut sudah dikatakan adil. Disini hukum tidak mempersulit

masyarakatnya, apabila dengan hukum adat ada keluarga yang merasa

tidak adil tentunya dapat dimusyawarahkan dengan anggota keluarga

yang lain karna bisa digunakan juga hukum waris barat atau dengan

hukum waris Islam untuk masyarakat yang beragama Islam.

Janda bukan merupakan ahli waris dalam hukum adat

Pada umumnya di Indonesia apabila pewaris wafat meninggalkan

istri dan anak-anak, maka harta warisan, terutama harta bersama suami

istri yang didapat sebagai harta pencaharian selama perkawinan dapat

dikuasai oleh janda almarhum pewaris untuk kepentingan berkelanjutan

hidup anak-anak dan janda yang ditinggalkan.

Pada intinya dimasyarakat patrilineal, matrilineal, maupun parental

ini hampir sama, yaitu janda bisa menjadi penguasa harta warisan

suaminya yang telah wafat. Disini janda memang bukan merupakan ahli

waris, karna sudah ada pembagian yang sudah diatur dalam sistem

tersebut. Janda hanya memiliki hak untuk menguasai dan menikmati harta

warisan selama hidupnya. Akan tetapi, apabila janda tersebut sudah tua

dan anak-anaknya sudah dewasa dan sudah berumah tangga, maka harta

tersebut akan dialihkan kepada anak-anaknya.

Dalam hukum waris adat tidak mengenal asaz Legitieme Portie,

lalu bagaimana pembagiannya?

72

Page 73: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Pembagian hukum waris adat dengan hukum waris barat berbeda.

Disini hukum waris barart mengenal adanya azas Legitieme Portie, yaitu

bagian minimum dari warisan yang dijamin oleh undang-undang sebagai

ahli waris tertentu.

Sedangkan untuk pembagian dalam hukum waris adat tidak

mengenal azas Legitieme Portie. Pembagiannya sebagai berikut:

1) Sistem Patrilineal

Istri sebagai pewaris: tidak ada ahli waris

Suami sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki, tetapi pada

daerah tertentu yang ahli warisnya adalah anak tertua (Bali,

Lampung yang beradat kepadaan, Teluk Yosudarso, dan

Jayapura).

2) Sistem Matrilineal

Istri sebagai pewaris: ahli warisnya anak perempuan

Suami sebagai pewaris: ahli warisnya saudara perempuan

suami.

3) Sistem Parental atau Bilateral

Istri sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki dan anak

perempuan

Suami sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki dan anak

perempuan

Pengkhususan

73

Page 74: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Untuk daerah Gresik, Madura, Tuban apabila yang menjadi

pewaris istri atau suami, maka ahli warisnya anak laki-laki : anak

perempuan= 2 : 1

Untuk daerah Sidoarjo dan Malang, ahli warisnya anak laki-laki :

anak perempuan= 1 : 1

Untuk daerah Jawa apabila yang menjadi pewaris suami, maka

yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, dan apabila yang

menjadi ahli waris istri, maka yang menjadi ahli waris adalah anak

perempuan.

Contoh konkrit tentang hak kebendaan

Hak kebendaan merupakan harta warisan, apabila pewaris

tidak meninggalkan harta warisan bewujud benda, tetapi

kemungkinan harta warisan tidak berwujud benda. Disini biasanya

berupa hak-hak kebendaan, seperti hak pakai, hak tagihan (hutang

piutang) dan atau hak-hak lainnya. Sesuai dengan sistem yang

ada, hak-hak kebendaan yang terbagi-bagi pewarisnya dan ada

yang tidak terbagi-bagi. Hak pakai dimungkinkan terhadap harta

warisan yang seharusnya dibagi-bagi kepada waris tetapi karna

keadaannya tidak atau belum terbagi.

Apabila terjadi perkawinan antara sistem keturunan yang

satu dan yang lain dapat berlaku campuran atau berganti-ganti

diantara sistem patrilineal dan matrilineal alternerend. Akan tetapi,

sebenarnya hal tersebut dapat dilakukan secara musyawarah

dalam keluarga karna pada dasarnya pembagian warisan tidak

hanya dapat ditempuh dengan hukum waris adat

Proses pewarisan menurut hukum waris adat, dikala pewaris masih

74

Page 75: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

hidup dapat berjalan dengan cara penerusan atau pengalihan,

penunjukan dan atau dengan cara berpesan, berwasiat,

beramanat. Ketika pewaris telah wafat berlaku penguasaan yang

dilakukan oleh anak tertentu, oleh anggota keluarga atau kepala

kerabat, sedangkan cara pembagian dapat berlaku pembagian

ditangguhkan. Hukum waris adat tidak mengenal cara pembagian

dengan perhitungan matematika, tetapi didasarkan atas

pertimbangan mengingat wujud benda dan kebutuhan waris

bersangkutan.

Agama Islam menggariskan maksud dan tujuan pewarisan tidak

saja untuk kepentingan kehidupan individual para ahli waris tetapi

juga berfungsi sosial untuk memperhatikan kepentingan anggota

kerabat, tetangga yang yatim dan miskin. Proses pewarisan dalam

hukum Islam sudah ditentukan dalam Al-Quran dan juga telah

dicantumkan dalam kompilasi hukum Islam. Jadi proses pewarisan

dalam hukum islam dapat dilakuakn berdasarkan ketentuan Al-

Quran dan kompilasi hukum Islam atau dengan wasiat secara

tertulis ataupun lisan.

Dalam hukum waris barat/BW cara pewarisan berdasarkan

ab intetato dan testament, cara mewaris dalam ab intestato

bedasarkan undang-undang, yaitu mewaris karna haknya,

kedudukannya sendiri dan karna penggantian tempat. Sedangkan

pewaris yang berdasarkan testament, yaitu pewarisan berdasarkan

suatu akta yang memuat pernyuataan seseorang tentang apa yang

dikhendaki agar terjadi setelah ia meninggal dunia, dan olehnya

dapat dicabut kembali. Jadi proses pewarisan dalam hukum waris

barat atau BW dapat didasarkan pada ketentuan yang telah diatur

dalam BW atau dengan wasiat yang dituangkan dalam surat

wasiat.

D. Pembagian Warisan Menurut Adat Batak

75

Page 76: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Bangsa Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya. Letak

geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan menyebabkan perbedaan

kebudayaan yang mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku masyarakat.

Kita dapat melihat hal ini pada suku-suku yang terdapat di Indonesia.

Salah satu contohnya adalah suku Batak. Suku batak terbagi lagi menjadi

beberapa bagian yaitu batak toba, batak simalungun, batak karo, batak

pakpak dan batak mandailing. Dalam hal ini Saya mengambil pembahasan

tentang batak toba.

Masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah dataran tinggi

Batak bagian Utara merupakan suatu suku yang terdapat di provinsi

Sumatera Utara. Dalam masyarakat Batak Toba, dibagi lagi dalam suatu

komunitas seperti sub suku menurut dari daerah dataran tinggi yang

didiami. Seperti wilayah Silindung yang di dalamnya masuk daerah di

lembah Silindung yaitu Tarutung, Sipahutar, Pangaribuan, Garoga dan

Pahae. Daerah Humbang diantaranya Dolok Sanggul, Onan Ganjang,

Lintong Ni huta, Pakkat dan sekitarnya. Sementara Toba meliputi Balige,

Porsea, Samosir, Parsoburan dan Huta Julu.

Dari ketiga daerah Batak Toba tersebut, juga memiliki perbedaan

dalam hal adat – istiadat juga, diantaranya perbedaan dalam tata adat

perkawinan, pemakaman juga dalam pembagian warisan. Dan dalam adat

– istiadat juga ada beberapa daerah yang sangat patuh terhadap dalam

adat atau dengan kata lain adat – istiadat nya sangat kuat, itu dikarenakan

daerah dan keadaan daerah yang masih menjunjung tinggi sistem adat-

istiadat. Daerah yang sangat menjunjung tinggi adat – istiadat tersebut

adalah masyarakat daerah Humbang dan daerah Toba. Masyarakat ini

biasanya selalu mempertahankan kehidupan dari budaya dan adat –

istiadat mereka.

Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan yang

Patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga

yang dipakai oleh orang Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat

dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau

laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum

76

Page 77: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

wanita. Namun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah. Apalagi

pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita

dan pria terutama dalam hal pendidikan.

Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan

adalah anak laki – laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian

dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan

mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk

anak laki – laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan

tersebut ada kekhususan yaitu anak laki – laki yang paling kecil atau

dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan warisan

yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian

harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan

dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional

kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan

proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada

anak – anak nya dalam pembagian harta warisan.

Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur

dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun

besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat

bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam

keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang

lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian

warisannya.

Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak

anak kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat,

harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang

tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang

mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak

dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun –

temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka turun-

temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan.

77

Page 78: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di

sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal

pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh:

Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari

Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat

Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan adat – istiadatnya lebih

terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak

perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam

mendapat warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu

berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua

dan harta yang lain nya dibagi rata oleh semua anak laki – laki nya. Anak

siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan kampong halaman

nya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus

ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka

itu Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan)

Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka

hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak

perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam

hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan

tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si

pewaris sampai mereka berkeluarga.

Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak

lagi banyak dilakukan oleh masyarakat batak. Khususnya yang sudah

merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata

nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya

persamaan gender dan persamaan hak antara laki – laki dan perempuan

maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini

sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan.

Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau

daerah lah yang masih menggunakan waris adat seperti di atas. Beberapa

hal positif yang dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku

Batak Toba yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya,

78

Page 79: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

hubungan kekerabatan dalam suku batak tidak akan pernah putus karena

adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan keluarga

tersebut. Dimana pun orang batak berada adat istiadat (partuturan) tidak

akan pernah hilang. Bagi orang tua dalam suku batak anak sangatlah

penting untuk diperjuangkan terutama dalam hal Pendidikan. Karena Ilmu

pengetahuan adalah harta warisan yang tidak bisa di hilangkan atau

ditiadakan. Dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan maka seseorang

akan mendapat harta yang melimpah dan mendapat kedudukan yang

lebih baik dikehidupan nya nanti.

E. Adat Istiadat Ranah Minang

Dalam adat istiadat dan khazanah Ranahminang yang memiliki

filosofi Adat basandi Syarat dan Syarak basandi Kitabullah hasil dari

konsensus di Puncak Pato di Daerah Lintau antra kaum adat dan agama.

Menyatakan secara jelas dan gamblang bahwa Adat minangkabau yang

melanggar aturan harus tunduk dan patuh. Maka pada saat itu dimulailah

proses penghilangan adat istiadat yang bertentangan dengan sengenap

Ajaran Islam secara doktrin, ajaran dan bukan budaya hidup orang Arab.

Dalam adat istiadat Ranahminang dibagi dua jenis Pusaka atau

harta kaum (suku) ranah minang. Pertama Pusaka tinggi dan pusaka

rendah. Pusaka tinggi adalah harta yang pengelolaannya diwariskan

secara turun temurun kepada wanita atau bundo kanduang. Sedangkan

harta pusaka rendah, diwariskan sebagai hak suku yang pengelolaannya

oleh warga suku sepengetahuan datuak atau niniak mamak. Jika ada

kelasahan mohon diluruskan.

Pusaka tinggi dalam adat minangkabau berupa, ada mata air,

kolam, sawah, parak (kebun) dan juga pandam pekuburan dan juga

sebuah rumah gadang. Perolehan harta ini berawal dari pembukaan lahan

oleh suatu suku di sebuah perkampungan baru untuk di didiami anak

keturunan. Sedangkan harta pusaka rendah adalah tanah suku yang

merupakan tempat berladang bagi anggota kaum yang memiliki batas-

batas tertentu.

79

Page 80: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Ketentuan pembagian harta pusaka tinggi dan pusaka rendah tidak

boleh dilakukan jual beli, namun boleh digadaikan dengan alasan,

Pertama. Seorang gadis yang tidak laku (atau telah perawan tua) dan

belum memiliki suami, maka sebagian dari harta pusaka boleh di gadaikan

untuk keperluan menikahkan sang gadis. Kedua. Ketika mait (orang

meninggal) terletak dirumah dan tidak ada biaya untuk

menyelenggarakannya.

Hal ini berdasarkan kepada:

Harta tersebut adalah harta bersama yang awalnya telah diberikan

sebagai harta bersama untuk anak keturunan yang diwarikan

berdasarkan anak perempuan dan sebagai harta wak kelola, dan

bukan harta kepemilikan pribadi. Harta kepemilikan bersama atas

nama satu kaum dan orang banyak tidak dapat dibagi secara

hukum Islam. Pembagian waris hanya dapat dilakukan untuk harta

milik perorangan dari pencarian halal dan benar secara Islam.

Harta pusaka tinggi adalah harta yang memiliki hukum qiyas

wakaf yang peruntukannya telah ditentukan oleh oleh beberapa

generasi sebelumnya. Kepemilikan tidak ada pada orang

perorang, namun hak pengelolaannya telah ditentukan.

Harta pusaka tinggi, bukanlah pencarian dari Ayah dan Ibu atau

kakek dan nenek. Maka tiada hukum waris berlaku atas hal

tersebut. Secara ushul fiqih ini masuk dalam ihtihsan dan urf.

Dimana di dalamnya terdapat kebaikan dan adat istiadat yang

tidak bertentangan dengan Islam.

Manfaat dari belakukanya Pusaka Tinggi di ranah minang adalah:

Terpeliharanya kaum suku minangkabau, khusus perempuan

dari terbuang dari kampungnya sendiri. Ketika ia cerai dengan

suami, atau tidak memiliki kekuatan ekonomi maka tanah

pusaka dapat menopang ekonomi dan tidak menjadikan hina.

80

Page 81: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Terpeliharanya tanah kaum muslimin, hal ini tidak beralih

kepada selain muslim. Tiada penguasaan mutlak atas

seseorang dengan luas tanah yang berjuta hektar. Hal ini

menghilangkan monopoli sumber ekonomi utama yakni tanah.

Hal ini mengacu pada ijtihat Umar bin Khattab dalam

mengembalikan tanah rampasan perang di Irak dan Iran

kepada penduduk dan mewajibkan membayar Kharaj dan

Jizyah atas jaminan keamanan.

Terpelihara sistem kekerabatan dan juga silaturrahmi diantara

kaum suku di ranahminang. Dimana setiap peralihan dan juga

alih fungsi memerlukan musyawarah bersama antara Datuak

(kepala kaum) niniak mamak dan juga bundo kanduang (pihak

ibu)

2.9 Fakta Indonesia Belum Memiliki Undang-undang Nasional Hukum

Waris Adat

Berbicara mengenai Hukum Waris Adat, ada baiknya terlebih

dahulu memahami pengertiannya sebagai pegangan / pedoman untuk

dapat melangkah kepada pembahasan selanjutnya. Hukum Waris Adat

81

Page 82: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum

waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana

harta warisan itu dialihkan pengusaha dan pemiliknya dari pewaris

kepada waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan

harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Ter Haar ,

1950 ; 197 menyatakan : “ Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum

yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusab dan

peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari

generasi pada generasi “.

Supomo , 1967 ; 72 menyatakan : “ Hukum adat waris memuat

peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengopor

barang-barang harta benda dan barangbarang yang tidak berwujud

benda ( Immateriele Geoderen ) dari suatu angkatan manusia ( Generatio

) kepada turunannya “. Dengan demikian hukum waris itu menurut

ketentuan-ketentuan yang mengatur cara meneruskan dan pearlihan cara

kekayaan ( berwujud atau tidak berwujud ) dari pewaris kepada ahli

warisnya. Cara penerusan dan peralihana harta kekayaan ini dapat

berlaku sejak pewaris maish hidup atau setelah meninggal dunia. Hal

inilah yang membedakan antara hukum waris barat ( KUH Perdata ) .

Tata cara pengalihan atau penerusan harta kekayaan pewaris kepada ahli

waris menurut hukum adat dapat terjadi penunjukan, penyerahan

kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris

kepada ahli waris. Kemudian didalam hukum waris adat dikenal beberapa

prinsip ( azas umum ) , diantaranya adalah sebagai berikut : “ Jika

pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun , maka warisan ini

dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris

ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka .

kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun , maka warisan itu

jatuh pada ayah , nenek dan seterusnya keatas . Kalau ini juga tidak ada

yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan

mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping , dengan

pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang

jauh”.

82

Page 83: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

“ Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan

seseorang itu langsung dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris

meninggal dunia, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya

ditangguhkan dan adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak

tetap merukan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya “ .

“ Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat ( Plaats

Vervulling ). Artinya seorang anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka

tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia

tadi ( cucu dari sipeninggal harta ) Dan bagaimana dari cucu ini adalah

sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang

diterimanya “ .

“ Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak ( adopsi ), dimana

hak da kedudukan juga bisa seperti anak sendiri ( Kandung ) “. ( Datuk

Usman, 1992: 157-160)

Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut

hukum adat, dimana pada umumnya tidak menentukan kapan waktu harta

warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu

pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya . Menurut adat

kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan

setelah upacara sedekeh atau selamatan yang disebut tujuh hari , empat

puluh hari , seratus hari , atau seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab

pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul. Kalau harta

warisan akan dibagi , maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan

antara lain :

“Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda dari pewaris ) atau Anak

laki-laki tertua atau perempuan

“Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur , adil dan bijaksana

“Anggota kerabat tetangga , pemuka masyarakat adat atau

pemukaagama yang minta , ditunjuk dan dipilih oleh para ahli waris “.

( Hilman Hadikusuma, 1993: 104 –105)

Apabila terjadi konflik ( perselisihan ) , setelah orang tua yang

maish hidup , anak lelaki atau perempuan tertua , serta anggota keluarga

tidak dapat menyelesaikannya walaupun telah dilakukan secara

musyawarah / mufakat maka masalah ini baru diminta bantuan dan

83

Page 84: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

campur tangan pengetua adat atau pemuka agama. Hukum adat tidak

mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika ( angka ) ,

tetapi selalu didasarkan atau pertimbangan mengingat wujud banda dan

kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi walau hukum waris adat

mengenal azas kesamaan hak, tidak berarti bahwa setiap ahli waris akan

mendapat bagian warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga

yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah ditentukan.

Tatacara pembagian itu ada 2 ( dua ) kemungkinan yaitu :

1. Dengan cara segendong sepikul Artinya bagian anak lelaki dua kali

lipat bagian anak perempuan. Atau

2. Dengan cara Dum Dum kupat Artinya dengan anak lelaki dan bagian

anak perempuan seimbang (sama) “. ( Ibid, Halaman, 106 )

Kebanyakan yang berlaku adalah yang pembagian berimbang

sama diantara semua anak. Demikianlah corak dan sifat-sifat tersendiri

yang khas Indonesia yang berbeda dengan Hukum Islam . Ini semua

setelah dari latar belakang alam fikiran bangsa indonesia yang

berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhinika Tunggal Ika ,

yang didasarkan pada kehidupan bersama , bersifar tolong menolong

guna mewujudkan kerukunan , keselarasan dan kedamaian. Untuk

membandungkan antara hukum waris adat dengan hukum kewarisan

Islam : Dibawah ini dapat dilihat beberapa perbedaan antara lain :

a. Harta warisan menurut hukum waris adat yang tidak merupakan

kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan

yang tidak dibagi atau dapat dibagi menurut jenis dan macamnya dan

kepentingan para ahli waris. Harta warisa adat tidak boleh dijual

segabai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada

ahli waris menurut ketentuan yang berlaku

b. Didalam hukum waris Islam , harta peninggalan pewaris langsung

dibagibagi

kepada sesama ahli waris yang tidak berhak berdasarkan

hukum faraidh.

c. Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan

penguasaan dan pemiliknya kepada para ahli waris dan ada yang

84

Page 85: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para

ahli waris , tidak boleh dimiliki secara perorangan, tetapi dapat

dipakai dan dinikmati . Kemudian dia dapat digadaikan jika keadaan

sangat mendesak berdasarkan persetujuan para pengetua adat dan

para anggota kerabat bersangkutan . Bahkan harta warisan yang

terbagi , kalau akan dialihkan ( dijual oleh para ahli waris kepada

orang lain harus dimintakan pendapat antara para anggota kerabat,

agar tidak melanggar hak ketetanggaan dala kerukunan kekerabatan.

d. Hukum waris adat tidak mengenal azas “ Legitieme Portie “ atau

bagian mutlak

e. Hukum kewarisan Islam telah menetapkan hak-hak dan bagian para

ahli waris atas harta peninggalan pewaris sebagaimana yang telah

dtentukan Al – Qur ‘ an Surah Annisa

f. Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk

sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada ahli

waris . Jika ahli waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan ,

sedangkan ia berhak mendapat warisan , maka ia dapat saja

mengajukan permintaan untuk dapat cara bermusyawarah dan

mufakat para ahli waris lainnya.

Hukum Waris Barat

Berbicara mengenai hukum waris barat yang dimaksud adalah

sebagaimana diatur dalam KUH Perdata ( BW ) yang menganut sistem

individual , dimana harta peninggalan pewaris yang telah wafat diadakan

pembagian. Ketentuan aturan ini berlaku kepada warga negara Indonesia

keturunan asing seperti eropah, cina , bahkan keturunan arab & lainnya

yang tidak lagi berpegang teguh pada ajaran agamanya.

Sampai saat ini , aturan tentang hukum waris barat tetap

dipertahankan , walaupun beberapa peraturan yang terdapat di dalam

KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi , seperti hukum perkawainan

menurut BW telah dicabut dengan berlakunya UU No. 1 / 1974 , tentang

perkawinan yang secara unifikasi berlaku bagi semua warga negara. Hal

ini dapat dilihat pada bab XIV ketentuan penutup pasal 66 UU No. 1 /

1974 yang menyatakan : Untuk perkawinan & segala sesuatu yang

85

Page 86: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas UU ini, maka dengan

berlakunya UU ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab undang-

undang hukum perdata ( BW ), ordomensi perkawinan indonesia kristen

( Hoci S. 1993 No. 74 ) , peraturan perkawinan campuran ( Regeling op

de gemengde Huwelijken, S . 1898 No. 158 ) & peraturan-peraturan lain

yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-

undang ini , dinyatakan tidak berlaku. Pokok hukum waris barat dapat

dilihat pada pasal 1066 KUH Perdata yang menyatakan :

1. Dalam hal seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan

harta benda , seorang itu tidak dipaksa mambiarkan harta bendanya

itu tetap di bagi-bagi diantara orang-orang yang bersama-sama

berhak atasnya

2. Pembagian harta benda ini selalu dituntut meskipun ada suatu

perjanjian yang bertentangan dengan itu

3. Dapat diperjanjikan , bahwa pembagian harta benda itu

dipertangguhkan selama waktu tertentu

4. Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun

tetapi dapat diadakan lagi , kalau tenggang lima tahun itu telah lau “.

( Wirjono Prodjodikoro, 1976 : 14 )

Jadi hukum waris barat menganut sistem begitu pewaris wafat ,

harta warisan langsung dibagi-bagi kan kepada para ahli waris . Setiap

ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan ( pusaka ) yang belum

dibagi segera dibagikan , walaupun ada perjanjian yang bertentang

dengan itu , kemungkinan untuk menahan atau menangguhkan

pembagian harta warisan itu disebabkan satu & lain hal dapat berlaku

atas kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat waktu lima

tahun kecuali dalam keadaan luar biasa waktu lima tahun dapat

diperpanjang dengan suatu perpanjangan baru . Sedangkan ahli waris

hanya terdiri dari dua jenis yaitu :

Ahli waris menurut UU disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris

ab intestato. Yang termasuk dalam golongan ini ialah

1. Suami atau isteri (duda atau janda) dari sipewaris (simati)

3. Keluarga sedarah yang sah dari sipewaris

86

Page 87: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

4. Keluarga sedarah alami dari sipewaris

Ahli waris menurut surat wasiat ( ahli waris testamentair ) Yang termasuk

kedala keadaan golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris

diangkat dengan surat wasiat untuk menjadi ahliwarisnya.

Pada dasarnya untuk dapat mengerti & memahami hukum waris

ini , cukup layak bidang-bidang yang ahrus dibahas diantaranya

pengertian keluarga sedarah & semenda , status hukum anak-anak

tentang hak warisan ab intestato keluarga sedarah , dan lain sebagainya.

Untuk itu dalam tulisan ini diambil saja bagian yang dianggap mampunyai

hubungan dengan penjelasan terdahulu yakni mengenai hukum

kewarisan islam & hukum waris adat.

Legitine Portie Anak – Anak & Keturunan

Besarnya bagian mutlak ini ditentukan berdasarkan besarnya

bagian ab intestato dari legitimaris yang bersangkutan dengan perkatan

lain legitine portie adalah merupakan pecahan dari bagian ab intestato.

Untuk mengetahui besarnya bagian mutlak anak-anak & keturunanya

terlebih dahulu harus dilihat dari jumlah anak yang ditinggalkan oleh

pewaris. Untuk lebih jelas hal ini dapat diketahui dari bunyi pasa 914 KUH

Perdata yang pada pokoknya menyebutkan adalah sebagai berikut :

a) Jika yang ditinggalkan hanya seorang anak , maka legitine portie anak itu

adalah ½ dari harta peninggalan.

b) Jika yang ditinggalkan dua orang anak , maka legitine portie masing-

masing anak adalah 2/ 3 dari bagian ab intestato masing-masing anak itu

c) Jika yang ditinggalkan tiga orang anak atau lebih , maka bagian

amsingmasing anak adalah 3/ 4 dari bagian ab intestato masing-masing

anak itu“ .

( Ibid , : 68) .

Jadi yang dimaksud dengan tiga orang anak atau lebih adalah

termasuk pula semua keturunannya , akan tetapi sebagai pengganti.

Demikianlah corak hukum waris di Indonesia saat ini , yang masing-

masing mempunyai warna & karakteristik tersendiri , memiliki kelebihan &

kekurangan sesuai dengan alam pikiran & jiwa pembentukannya , yang

masing-masing hukum waris mempunyai latar belakang sejarah serta

87

Page 88: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

pendangan hidup & keyakinan yang berbeda-beda pula & mengakibatkan

terdajinya pluralisme hukum waris di Indonesia.

Kesimpulan

Dari uraian terdahulu tentang pluralisme hukum waris di Indonesia,

dapatlah dirangkum seperti tersebut dibawah ini :

Bahwa pengertian hukum waris belum terdapat keseragaman sebagai

suatu pedoman atau standar hukum , dimana tiap-tiap golongan

penduduk memberi arti & definisi sendiri-sendiri , seperti terlihat pada

sistem hukum kewarisan Islam , hukum waris barat & hukum waris adat .

Namun demikian berbicara mengenai hukum waris, ketiga sistem hukum

waris itu sepakat bahwa didalamnya terdapat tiga unsur penting yakni,

adanya harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut

warisan, adanya pewaris & adanya ahli waris.

Bahwa tipis sekali kemungkinan ataupun mustahil untuk dapat

menciptakan unifikasi dan kodifikasi hukum waris, mengingat kebutuhan

hukum anggota masyaraka tentang lapangan hukum bersangkutan

adalah beraneka ragam dan sering berbeda satu dengan lainnya

sedemikian rupa sehingga perbedaan tersebut tidak mungkin disamakan.

Disamping itu terkait pula dengan hubungan & didomonasi ole perasaan,

kesadaran, kepercayaan & agama, dengan kata lain bertalian erat denga

pandangan hidup seseorang.

Bahwa dibeberapa daerah sistem pewarisan telah mengarah kepada

susunan kekeluargaan parental & sistem pewarisan individual , walaupun

disana sini masih nampak adanya pengaruh kedudukan anak tertua lelaki

sebagai penggant kedudukan ayah , keluarga-keluarga indonesia

cendrung untuk tidak lag mempertahankan sistem kekerabatan patritineal

atau matrilineal dengan siste pewarisan kolektif atau mayorat. Artinya

didalam kehidupan masyarakat luas, tidak lagi mempertahankan hukum

adatnya yang lama, akan tetapi disesuaikan dengan perkembangan

zaman.

Perlu Tidaknya Dibuat UU Nasional Hukum Waris Adat

Pembangunan di bidang hukum Indonesia diarahkan kepada:

88

Page 89: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

…peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional

dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat

mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta

menempatkan supremasi hukum dalam tatanan bernegara dan

bermasyarakat.

Upaya pembangunan hukum tersebut sesungguhnya bermaksud

mengganti tata hukum yang kini berlaku yang dibuat oleh pemerintahan

kolonial dengan tata hukum yang benar-benar mencerminkan kesadaran

hukum masyarakat Indonesia.

Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting

dalam rangka pembangunan hukum nasional yang menuju ke arah

peraturan perundang-undangan. Unsur-unsur kejiwaan hukum adat

yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu dimasukkan ke

dalam peraturan hukum baru agar hukum yang baru itu sesuai dengan

dasar keadilan dan perasaan hukum masyarakat Indonesia.

Salah satu inti dari unsur-unsur hukum adat guna pembinaan

hukum waris nasional adalah hukum waris adat. Untuk menemukan

unsur-unsur dari hukum waris adat tersebut salah satunya dengan cara

melakukan penelitian, baik penelitian kepustakaan maupun penelitian

lapangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui persamaan dari

berbagai sistem dan asas hukum waris adat yang terdapat di seluruh

Nusantara ini yang dapat dijadikan titik temu dan kesamaannya dengan

kesadaran hukum nasional sehingga apa yang dicita-citakan di dalam

Garis-garis Besar Haluan Negara bahwa untuk seluruh wilayah Republik

Indoinesia hanya ada satu sistem hukum nasional yang mengabdi

kepada kepentingan nasional.

Hukum waris yang berlaku di kalangan masyarakat Indonesia

sampai sekarang masih bersifat pluralistis, yaitu ada yang tunduk

kepada hukum waris dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat. Masyarakat Indonesia

berbhineka yang terdiri dari beragam suku bangsa memiliki adat istiadat

dan hukum adat yang beragam antara yang satu dengan yang lainnya

berbeda dan memiliki karakteristik tersendiri yang menjadikan hukum

adat termasuk di dalamnya hukum waris menjadi pluralistis pula.

89

Page 90: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Permasalahan diatas merupakan beberapa contoh pembaharuan

hukum waris islam di Indonesia yang secara langsung atau tidak

langsung telah dipengaruhi oleh keadaan realita masyarakat Indonesia

dengan hukum waris adatnya. Sehingga dengan memperhatikan

keadaan masyarakat Indonesia ( adat ), hukum waris islam di Indonesia

dapat dilaksannakan dengan semestinya dengan tidak adanya

penyimpangan-penyimpangan terhadap hukum waris baik secara

langsung ataupun tidak langsung. Tentunya semua itu masih dalam

koredor syari?ah dan masih berlandaskan semangat al-qur?an yang

humanis, berkeadilan dan universal.

2.10 Hukum Waris Adat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Tentang Sistem Kekerabatan Patrineal, Matrilineal, dan Parental47

1. CONTOH YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG SISTEM

KEKERABATAN PATRILINEAL

P U T U S A N

No. 461 PK/Pdt/2007

DEMI KEADILAN

47 Prof. Dr. H. R. Otje Salman Soemadinigrat, S. H., Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Penerbit: PT Alumni, Bandung; 2002, hlm. 46

90

Page 91: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

M A H K A M A H A G U N G

Memeriksa perkara perdata dalam peninjauan kembali telah

memutuskan sebagai berikut dalam perkara:

I. NENGAH GINA, bertempat tinggal di Desa Lembean, Kecamatan

Kintanami, Kabupaten Bangli, dalam hal ini memberi kuasa kepada

Ngakan Kompiang Dirga, S. H., Advokat, berkantor di jalan Saandat II

No. Denpasar;

Pemohon peninjauan kembali dahulu Pemohon

Kasasi-Penggugat/Pembanding;

Melawan:

1. I MADE MARSE;

2. I WAYAN WARNA;

3. I WAYAN RANEM;

4. I MADE WINDA, Kesemuanya bertempat tinggal di Desa

Lembean, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli;

Para Termohon Peninjauan Kembali dahulu para Termohon Kasasi-

Para Tergugat/Terbanding;

Putusan Nomor: 461 PK/Pdt/2007 Tanggal 12 Desember 2007

Analisis Kasus:

Bahwa Putusan ini adalah mengenai sengketa tanah waris di daerah

Bangli, Denpasar, Bali;

Sistem Patrilineal (Patrilineal/agnatic descent) adalah sistem

penarikan garis keturunan atau penarikan hubungan kekerabatan

melalui garis keturunan pihak laki-laki (ayah). Dalam hal hukum

pewarisan, sitem pewarisan patrilineal hanya mengenal ank laki-laki

sebagai ahli waris, seperti masyarakat Batak dan Bali.

Bahwa Putusan Pengadilan Negeri Bangli mengabulkan gugatan

Penggugatan sekarang Pemohon Peninjauan Kembali sebagian yaitu

91

Page 92: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

menyatakan Penggugat sebagai ahli waris dari mendiang I Tedun

alias Nang Digdig dan I Mara alias Nang Gantra dan menolak

selebihnya; (461 PK/Pdt/2007 Tanggal 12 Desember 2007, hlm. 7)

Bahwa Pengadilan Tinggi Denpasar menguatkan Putusan PN Bangli,

dan Mahkamah Agung menolak kasasi Permohonan Kasasi sekarang

Permohonan Peninjauan Kembali;

Bahwa Mahkamah Agung Mmenolak Permohonan Peninjauan

Kembali dalam pertimbangannya, “Menimbang, bahwa oleh karena

itu sesuai dengan Pasal 68, 69, 71,dan 72 Undang-undang No. 14

Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang

No. 5 Tahun 2004, permohonan peninjauan kembali a quo beserta

alasan-alasannya yang diajukan dalam tenggang waktu dan dengan

cara yang ditentukan oleh undang-undang formal dapat diterima”;

Bahwa menurut Prof. Dr. H. R. Otje Salman Soemadiningrat, S. H.,

Pengadilan Negeri menggunakan penerapa hukum positif pada

pertimbangan putusannya yaitu pada halaman enam putusan ini,

sehingga tidak mempertimbangkan lagi pertimbangan hukum adat

yang disampaikan oleh penggugat adat atau Pemohon Peninjauan

Kembali.

2. CONTOH YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG SISTEM

KEKERABATAN MATRILINEAL

P U T U S A N

No. 2258 K/Pdt/2006

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN

YANG MAHA ESA

M A H K A M A H A G U N G

Memeriksa perkara perdata dalam tingkat Kasasi telah memutuskan

sebagai berikut dalam perkara:

92

Page 93: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

1. BABADAN DT. PITO ALAM;

2. NALAN Gir. MALIN MALANO, keduanya bertempat tinggal di

Tabu, Kelurahan KTK, Kecamatan Lubuk Sikarah, Kota Solok,

dalam hal ini memberi kuasa kepada SYAMSYURDI NOFRIZAL,

S. H., Advokat, berkantor di KS. Tubun Nomor 119, Kota Solok,

para pemohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Pembanding;

M e l a w a n :

1. YASMI, bertempat tinggal di Tabu, Kelurahan IX Korong,

Kecamatan Lubuk Sikarah, Kota Solok;

2. USMAN DT. NAN BAKUPIAH, bertempat tinggal di Kelurahan

Sinapa Pilang, Kecamatan Lubuk Sikarah, Kota Solok;

3. MARAMIS DT. ANDARO MULIA Pgl. BUYA, bertempat tinggal

di Sawah Piai, Kelurahan Tanah Garam, Kecamatan Lubuk

Sikarah, Kota Solok;

4. GUSMARNI;

5. MARISON DT. MALINTANG SUTAN, nomor 4 dan 5 bertempat

tinggal di Jl. Prof. Dr. Hamka Kelurahan IX, Korong Kecamatan

Lubuk Sikarah, Kota solok;

6. MARNIS, bertempat tinggal di Jl. Adi Negoro By pass, Kelurahan

KTK, Kecamatan Lubuk Sikarah, Kota Solok, dalam hal ini

memberi kuasa kepada YUSMANITA, S. H., Advokat berkantor

di Jl. Pemda II No. 34, Kelurahan IX Korong, Kota Solok;

7. KEPALA KANTOR BADAN PERTANAHAN KOTASOLOK,

berkedudukan di Jl. Lubuk Sikarah, Kota Solok;

8. NURLENA;

9. APJUNELIFA;

10. BAMBANG;

93

Page 94: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

11. PIMPINAN BENGKEL VULKANISIR BAN AGUNG JAYA

PERKASA CABANG SOLOK, No. 8, 9, 10, 11, dan 12

kelimanya bertempat tinggal di Jl. By pass RT 01/RW 02,

Kampung Tabu, Kelurahan KTK, Kecamatan Lubuk Sikarah,

Kota Solok; para Termohon Kasasi dahulu sebagai para

Tergugat/para Terbanding;

Tempat: Pengadila Negeri Solok.

Putusan Nomor: 2258 K/Pdt/2006 Tanggal 25 Juli 2007

Analisis Kasus:

Berdasarkan Putusan tersebut, perkara tersebut berasal dari daerah

Solok, Sumatera Barat yang menggunakan sistem kekerabatan

Matrilineal;

Sistem Matrilineal (matrilineal descent) adalah sistem penarika garis

keturunan atau hubungan kekerabatan hanya dari pihak ibu yang

masuk dalam hubungan kekerabatan, sedangkan semua keluarga

yang berasal dari pihak ayah berada di luar kekerabatan. Dalam

sistem ini hanya anak perempua yang memiliki hak waris. Suku

Minangkabau adalah salah satu suku yang menganut sistem ini

Perkara ini merupakan perkara waris pusoko tinggi;

Dalam putusannya, Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi

para Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/Pembanding;

Dalam pertimbangan hukumnya di halaman 9 putusan ini, Mahkamah

Agung berpendapat bahwa alasan-alasan ini tidak dapat dibenarkan

oleh karena judex factie tidak salah dalam menerapkan hukum, lagi

pula hal ini mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat

penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat

dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena

pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan tidak

dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan hukum atau

pelanggaran hukum yang berlaku, sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana

94

Page 95: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula

ternyata bahwa putusan judex facti dalam perkara ini tidak

bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka

permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi:

BABADAN DT. PITO ALAM dan kawan-kawan tersebut harus

ditolak;

3. CONTOH YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG SISTEM

KEKERABATAN PARENTAL

P U T U S A N

No. 2500 K/Pdt/2003

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN

YANG MAHA ESA

M A H K A M A H A G U N G

Memeriksa perkara perdata dalam tingkat Kasasi telah memutuskan

sebagai berikut dalam perkara:

1. RODIAH binti OESOEP, bertempat tinggal di Desa Dawung,

Ringinrejo, Kabupaten Kediri;

2. MUJIB, bertempat tinggal di Desa Karang Gaam, Kecamatan

Srengat, Kabupaten Blitar;

95

Page 96: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

3. MUDAWARI, bertempat tinggal di Desa Bakung, Kecamatan

Undanawu, Kabupaten Blitar, dalam hali ini memberi kuasa

kepada: MUKIBIN, bertempat tinggal di Desa Dawung,

Kecamatan Ringinrejo, Kabupaten Kediri, berdasarkan Surat

Kuasa Khusus tanggal 28 Februari 2003, Para Pemohon Kasasi,

dahulu Para Tergugat/Pembanding;

M e l a w a n :

1. MAHMUD bin OESOEP, bertempat tinggal di Desa Bakung,

Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar;

2. KATEMI binti OESOEP, bertempat tinggal di Desa Bakung,

Kecamatan Udanawu,Kabupaten Blitar, Para Termohon Kasasi,

dahulu Para Penggugat-Terbanding;

d a n

1. SUPERLIN binti OESOEP, bertempat tinggal di Desa Waktu

Tempeh, Lumajang;

2. SUNDAYAH binti OESOEP, bertempat tinggal di Desa

Dawuhan, Mojosari, Kras Kediri, Turut Termohon Kasasi, dahulu

Turut Tergugat-Pembanding;

Putusan Nomor: 2500 K/Pdt/2003 Tanggal 12 April 2005

Analisis Kasus:

Perkara ini merupakan gugatan harta waris yang terjadi di daerah

Blitar, Jawa Timur;

Di daerah Blitar menganut sistem kekerabatan Parental/Liberal

(parental/bilateral descent), yaitu sistem penarikan garis keturunan

atau hubungan kekerabatan dari pihak laki-laki dan pihak perempuan

(Prof. Dr. H. R. Otje Salman Soemadinigrat, S. H., Rekonseptualisasi Hukum

96

Page 97: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Adat Kontemporer: Telaah Kritis terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum

yang Hidup dalam Masyarakat, Penerbit: PT Alumni, Bandung; 2002, hlm.

46)

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian mengenai hukum waris adat di Indonesia, dapatlah dirangkum

seperti tersebut dibawah ini :

Bahwa pengertian hukum waris belum terdapat keseragaman sebagai

suatu pedoman atau standar hukum , dimana tiap-tiap golongan

penduduk memberi arti & definisi sendiri. Namun demikian berbicar

mengenai hukum waris, ketiga sistem hukum waris itu sepakat bahwa

didalamnya terdapat tiga unsur penting yakni, adanya harta peninggalan

atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan adanya pewaris &

adanya ahli waris.

Bahwa tipis sekali kemungkinan ataupun mustahil untuk dapat

menciptakan unifikasi dan kodifikasi hukum waris, mengingat kebutuhan

hukum anggota masyarakat tentang lapangan hukum bersangkutan

adalah beraneka ragam dan sering berbeda satu dengan lainnya

97

Page 98: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

sedemikian rupa sehingga perbedaan tersebut tidak mungkin disamakan.

Disamping itu terkait pula dengan hubungan & didomonasi oleh perasaan,

kesadaran, kepercayaan & agama, dengan kata lain bertalian erat

dengan pandangan hidup seseorang.

Bahwa dibeberapa daerah sistem pewarisan telah mengarah kepada

susunan kekeluargaan parental & sistem pewarisan individual walaupun

disana sini masih nampak adanya pengaruh kedudukan anak tertua lelaki

sebagai pengganti kedudukan ayah , keluarga-keluarga indonesia

cendrung untuk tidak lagi mempertahankan sistem kekerabatan patritineal

atau matrilineal dengan sistem pewarisa kolektif atau mayorat. Artinya

didalam kehidupan masyarakat luas, tidak lagi mempertahankan hukum

adatnya yang lama, akan tetapi disesuaikan dengan perkembangan

zaman.

3.2 Saran

98

Page 99: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Daftar Pustaka

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat, Bandung : Alumni,1977

_________________, Hukum Waris Adat, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1993

Holleman, F.D : “Adat Grondenrecht Ambon van Ned. Indie” jilid I

Oemarsalim, Dasar-dasar hukum waris di Indonesia,Rineka Cipta,1991

Soemadinigrat, Otje Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer:

Telaah Kritis terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum yang Hidup dalam

Masyarakat, Penerbit: PT Alumni, Bandung; 2002, hlm. 46

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008

Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta, Pradya Paramita, 1987

99

Page 100: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan

BW, Bandung: Refika Aditama,2005

Vollenhoven, Van, het adatrecht jilid I

Wigbyodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Mas Agung,

Jakarta, 1990

100

Page 101: Karya Ilmiah Hukum Waris 2003

101