Karya: Fikar W Eda -...
Transcript of Karya: Fikar W Eda -...
Aku Tak Bisa Berfikir
Karya: Fikar W Eda
akal sehatku terjungkir
aku fakir
fakir
fakir
ketika engkau memulai pidato di televisi
aku menyaksikan wajah negeri yang sesat
engkau menjelma raksasa menakutkan
penuh darah penuh nanah engkau menyebut
“kemerdekaan” dan “kemakmuran”
sambil menyeru nama Tuhan
engkau menghunus pedang
menerabas demi kedamaian demi ketertiban
koran-koran menulisnya di halaman depan
sebagai pahlawan kebangkitan
dan nasihatmu adalah nasihat wangi waktu
diterjemahkan sebagai penjelmaan petunjuk agung yang gaib
menggumpal-gumpal menjadi awan
yang setiap saat menyiramkan bara api
memanggang siapa saja membakar apa saja
dan doa, doa telah mejadi rongsokan
menggumam dari mulut-mulut dungu
masjid-masjid kesepian
masjid-masjid sendirian
dan jiwa, jiwa adalah selongsong
dari peluru-peluru bodoh yang ditembakkan
lalu dengan perasaan menyesal yang dibuat-buat
engkau mengalaskan; itu hanya kesalahan!
aku tak bisa berfikir
akal sehatku terjungkir
Banda Aceh, 1996
Penjajah
Karya: Herman RN
dulu sekali
kita melawan dan berperang
mengusir kafir karena menjajah
dulu belum berapa lama
kita melawan dan berperang
merebut tanah rumah dan pemerintah
yang juga kita gelari penjajah
sekarang dan entah sampai kapan
kita masih saja harus melawan dan berperang
tapi kali ini bukan dengan kafir
pun tidak dengan pemerintah
melainkan pada saudara sendiri
sekampung sedarah bahkan sekandung
entah karena kita masih merasa dijajah
atau memang mereka yang mulai jadi penjarah
sampai kapan kita henti melawan?
Sampai kapan kita usai perang?
Aceh, 13 Ramadan, 1432H
Glodok
Karya: Iyut Fitra
matanya nganga. pintu besar itu berbau lampau
tapi ia terus masuk. membawa tahun-tahun yang bertanya
“di mana sumur dari setiap airmata yang dulu tumpah?”
dinding-dinding tersenyum
seolah tak ada yang menyimpan percik darah, orang hilang, dan mayat
gadis-gadis bercelana singkat lewat seraya tertawa
aromanya mengubur kenangan yang telah dilupakan
tempat orang-orang bersorak atas nama bendera. atau entah karena apa
“singgahlah. di sini kami masih menjual masa lalu
apakah kau seorang yang tengah mencari bocah tak tahu bapaknya?”
angin yang gelisah. suara itu serupa dari pecinan
dan ia melihat tumpukan kalender yang dibakar. angka-angka merintih
“mei. panggil aku mei
kendati asapnya tak begitu hitam. tapi nasib bagiku terasa lebih kelam
teruslah mengenangku!”
tiba-tiba kepalanya dipenuhi oleh teriakan. ia terus saja masuk
karena tahun-tahun. berpuluh tahun terus mengepung
“apakah kau seorang yang dulu membawa api, menyulut hasut,
dan meninggalkan isak iba perempuan?”
kemudian ia berlari
meninggalkan glodok. yang dilihatnya penuh lukisan orang mati
Payakumbuh, 2017
INDONESIA, AKU MASIH TETAP MENCINTAIMU
Puisi Ahmadun Yosi Herfanda
Indonesia, aku masih tetap mencintaimu
Sungguh, cintaku suci dan murni padamu
Ingin selalu kukecup keningmu
Seperti kukecup kening istriku
Tapi mengapa air matamu
Masih menetes-netes juga
Dan rintihmu pilu kurasa?
Burung-burung bernyanyi menghiburmu
Pesawat-pesawat menderu membangkitkanmu
Tapi mengapa masih juga terdengar tangismu?
Apakah kau tangisi hutan-hutan
Yang tiap hari digunduli pemegang hapeha?
Apakah kau tangisi hutang-hutang negara
Yang terus menumpuk jadi beban bangsa?
Apakah kau tangisi nasib rakyatmu
Yang makin tergencet kenaikan harga?
Atau kau sekadar merasa kecewa
Karena rupiahmu terus dilindas dolar amerika
Dan IMF, rentenir kelas dunia itu,
Terus menjerat dan mengendalikan langkahmu?
Ah, apapun yang terjadi padamu
Indonesia, aku tetap mencintaimu
Ingin selalu kucium jemari tanganmu
Seperti kucium jemari tangan ibuku
Sungguh, aku tetap mencintaimu
Karena itulah, ketika orang-orang
Ramai-ramai membeli dolar amerika
Tetap kubiarkan tabunganku dalam rupiah
Sebab sudah tak tersisa lagi saldonya!
Jakarta, 1997/2008
Senjakala di Tanah Aceh
Karya: Abdul Wahid B.S
Para serdadu mainan senapan lagi
Nama-nama lelaki di dusun itu berangsur senyap
Dan udara mencium anyir darah
Tapi Aceh tak pernah menangis
Jika malam larut
Dusun ibu sayup dalam senandung
“Aceh makmur, Serambi Makkah rakyatnya syukur, payung ulama tabah
Tapi kini Aceh dari tenda ke tenda
Sebab rumah dipindah kaphee ke Jakarta
Ranting-ranting menulis
Alang-alang menulis
Pada tanah ketakutan bocah
Tidak untuk hurup tapi yang di balik nama
Tatkala tentara mencuci seragamnya dengan darah
Sebuah hikayat menyelamatkan nama dari rayap waktu
“Aceh makmur, Serambi Makkah rakyatnya syukur”
payungnya ulama tabah
tapi Aceh menolak kekejian
sebab balaran adil dari Ilahi Rabbi
tatkala dingin batu-batu mengarah rencong
di sini kami menangis untuk esok yang lebih matahari
sejak sajak dilumuri darah di dusun
tak ada yang menyebut nama
tulang belulang di kuburan dangkal
leleran darah mungkin bisa sesat
tapi nama-nama tak mungkin karat
hikayat yang dinyanyikan di tiap kemah tahu yang mencecerkan darah
adakah kita memilih orang yang berdalih membunuh adalah sahih?
orang berseragam bukanlah nama, tapi wajah
orang yang berseragam mengatas namakan nama membantai, lalu merasai damai
di sebuah ladang
mereka menghapus jejak jasad
adakah menilai semua ini usai?
Darah telah kembali ke tanah
Tapi abadi membasah menorehkan rencong pada kalbu ibu
Sejarah mencatat semuanya bahkan yang tidak tertuliskan
9 September 1999
Hanya Debu Melepas Rindu
Karya: Budi Arianto
I
Barangkali ini cara melepas rindu
Setelah semusim memintal gelisah
Pada penggambaran masing-masing
“kau sedang mabok tarian cinta,
Sedang aku masih membangun rumah
Dalam senyap cahaya”
II
Barangkali ini cara melepas rindu
Beku dalam hening sebelum malam
Selain angin menampar-nampar rerumputan
Mencatat segala resah memaknai perjalanan pulang
“bukan waktu yang membuat kelu,
Tapi kenyataan membuat segala ada”
III
Barangkali ini cara melepas rindu
Semacam kisah pejalan malam di persimpangan
Sepakat tanpa kata
Sementara kebisuan membelenggu sunyi
“tak ada kata, tak ada cinta
Selain kita yang menghamba
Kita yang merindu”
IV
Barangkali ini cara melepas rindu
Diam-diam menggenggam janji
Menenteng gundah sepanjang musim
Sambal mengeja waktu
Kelak bertemu pada sesuatu
“hanya debu tak lebih dari itu
Begitulah kau menyebut aku”
Taman Budaya, Banda Aceh, 2009
Wahai Yang Mendengar Kabar
Karya: Sulaiman Tripa
kepadamu telah terkabarkan kabar
sudah datang pagi dengan penuh gambar warna-warni
lewat tangan Tuhan, yang menyusun
debu dalam kanvas yang terhampar seperti tikar
lalu, siapa saja bisa melihatnya
inilah wajah gampong kami yang lama berhijab
dalam kelambu hitam di dekat pelepuk bunga
yang sama sekali tidak berbingkai
wahai yang mendengar kabar
anak-anak aceh tak mau diajarkan dendam yang membatu
tapi tenaga hampir tak berdaya
menolak warisan yang kerap pecah dalam gulungan waktu
kepadamu telah terkabarkan kabar
kekuasaan itu kini tak ada lagi yang menantang
merobek-robek kelambu dengan penuh liang
lalu gampong-gampong menjadi padang
tempat anak-anak aceh menyulam masa depan dengan pandangan tajam berbagai mata
kini,
gampong kami adalah dunia
bukan karena rambut merahmu
bukan karena kulit hitammu
bukan karena hidung mancungmu
bukan karena tubuh besarmu
bukan karena kuping lebarmu
kini,
gampong kami adalah dunia
kudapatkan kasih sayang dan kalian pasti tahu
kami takkan mampu kalian tukar dengan berbagai jiwa
anak-anak aceh harus bermain
menggapai mimpi dalam senja yang akan segera datang
mentasbihkan wajah dengan penuh cerah
seraya menatap jauh
wahai yang mendengar kabar
anak-anak aceh masih bermain
tapi, jangan biarkan kami bermain-main lagi
dengan api api yang menjalar dalam lidah naga yang memerah seperti saga
dengan salam sepuluh jari sambil menatap Ilahi
kami ingin memberi kalian bunga-bunga
agar semua tahu bagaimana indahnya hidup dengan cinta
anak-anak aceh bisa berjalan tegak
karena orang-orang
diri kami begitu bermakna.
Banda Aceh, 31 Desember 2005
Matahari Bersatu dengan Rembulan
Oleh: Rahmat Sanjaya
Wahai yang rahmat
Mengapa engkau cepat berlalu
Seperti mimpi semalam
Yang menghiasi kehampaan
Ketika malam menjubahi bumi
Dan rembulan cermin matahari
Tak ada jawaban melainkan kenyataan
Di hari yang menentukan
Aku bersumpah demi hari kebangkitan
Aku bersumpah demi jiwa yang menyesal
Suara-suara itu bergelora dipucuk-pucuk gelombang
Melingkupi seluruh dasar samudra
Memenuhi cakrawala
Suara yang menggerakkan
Tulang-tulang yang serserakan
Menjadikan sempurna kembali
Sediakala dilahirkan
Tiba-tiba mata terbelalak ketakutan
Bulan pucat diatas kafan
Matahari bersatu dengan rembulan
Aku bersumpah demi hari kebangkitan
Aku bersumpah demi jiwa yang menyesal
Tarian Sunyi
Karya: Maskirbi
Ada yang menari di kesunyian malam
Ketika kutanyakan, tarian apa itu
“tarian sunyi,”
Katanya
“mari ikut menari,”
Ajaknya
Lalu kami menari dengan irama degup jantung
Kami berputar-putar melingkari angin, semakin
Cepat putaran kami, semakin kecil lngkaran kami
Lenguh nafas, kept jari, hentak kaki; hempas lengan,
Degup jantung menjadi nyanyian.
Ketika kutanya nyanyian apa itu
“nyanyian dzikir”
Ucapnya
“ayo terus menari, ayo nyanyian dzikir”
Ajaknya
Ia peluk tubuhku dan mempercepat tarian kami
Sampai tak ada suara, kecuali angin, kecuali sunyi
Kami menjadi angin terapung di lautan udara, lain
Menjadi sunyi. Aku tak bertanya lagi, kecuali terus
Menari sampai telanjang di dalam sunyi?”
Aku Bertanya Pada-Mu
(Bagi korban tsunami)
Karya: Mohd. Harun Al Rasyid
Tuhan
Kami adalah titik zarrah
Bertaburan di bumi-Mu
Yang berhiaskan kasih dan cinta
Kini menunduk dalam sunyi jiwa
Dengan wajah tanpa cahaya ruh
Setelah kasih dan cinta-Mu tercabut
Meski hanya sekejap
Wahai Tuhan Yang Maha Kudus
Aku bertanya pada-Mu
Mangapa kasih-Mu Kau cabut
Pada pagi ahad 26 Desember 2004
Kala surya melambai dalam damai
Kala bayiku sedang bercanda dengan ibunya
Kala putri kecilku sedang sarapan di beranda
Mengapa gempa dan tsunami
Menenggelamkan tangis puluhan ribu bayi
Menggoyang jantung puluhan ribu anak-anak
Menyirnakan ratapan pilu puluhan ribu ibu hamil
Dan menyusui, serta puluhan ribu orang tua renta
Wahai Khaliqurrahman
Aku bertanya pada-Mu
Mengapa Kau kirim buldozer-Mu
Dari dasar laut yang sunyi dan amis
Buldozer dengan rupa naga
Jemarinya angker meremas-remas alam
Lalu menelan bayi-bayi kami
Anak-anak kami
Istri-istri kami
Suami-suami kami
Ibu-ibu kami
Ayah-ayah kami
Adik-adik kami
Kakak-kakak kami
Saudara-saudara kami
Tanpa memilih dan memilah mangsa?
Tuhan
Sebagai ayah aku hanya ingin bertanya
Karena kutahu anakku yang belia
Belum tahu apa-apa dengan kemunafikan
Belum kenal aneka kemusyrikan
Belum tahu mengenai bibit-bibit dendam
Apalagi dengan nafsu angkara murka
O Tuhan Yang Maha Menjaga
Sebagai hamba aku sadar dalam iman
Aku adalah ciptaan-Mu
Sebagaimana anak-anak dan istriku
Yang telah kau panggil
Bersama lebih dua ratus lima puluh ribu jiwa
Di bawah singgasana-Mu
Perkenan aku memohon
Berilah mereka payung cinta-Mu
Abadi dalam rahmat
Dan aku yang masih bernafas
Sadarkanlah
Sadarkanlah
Sadarkanlah
Agar selalu mampu merangkai rasa sedih
Menjadi untaian tasbih
Merangkai gelisah menjadi sajadah
Tuhan Yang Maha Perencana
Aku bertanya pada-Mu
Karena aku sadar memiliki-Mu
Desember 2004 – Januari 2005