Karya: Fikar W Eda -...

17
Aku Tak Bisa Berfikir Karya: Fikar W Eda akal sehatku terjungkir aku fakir fakir fakir ketika engkau memulai pidato di televisi aku menyaksikan wajah negeri yang sesat engkau menjelma raksasa menakutkan penuh darah penuh nanah engkau menyebut “kemerdekaan” dan “kemakmuran” sambil menyeru nama Tuhan engkau menghunus pedang menerabas demi kedamaian demi ketertiban koran-koran menulisnya di halaman depan sebagai pahlawan kebangkitan dan nasihatmu adalah nasihat wangi waktu diterjemahkan sebagai penjelmaan petunjuk agung yang gaib menggumpal-gumpal menjadi awan yang setiap saat menyiramkan bara api memanggang siapa saja membakar apa saja dan doa, doa telah mejadi rongsokan menggumam dari mulut-mulut dungu masjid-masjid kesepian masjid-masjid sendirian dan jiwa, jiwa adalah selongsong dari peluru-peluru bodoh yang ditembakkan

Transcript of Karya: Fikar W Eda -...

Aku Tak Bisa Berfikir

Karya: Fikar W Eda

akal sehatku terjungkir

aku fakir

fakir

fakir

ketika engkau memulai pidato di televisi

aku menyaksikan wajah negeri yang sesat

engkau menjelma raksasa menakutkan

penuh darah penuh nanah engkau menyebut

“kemerdekaan” dan “kemakmuran”

sambil menyeru nama Tuhan

engkau menghunus pedang

menerabas demi kedamaian demi ketertiban

koran-koran menulisnya di halaman depan

sebagai pahlawan kebangkitan

dan nasihatmu adalah nasihat wangi waktu

diterjemahkan sebagai penjelmaan petunjuk agung yang gaib

menggumpal-gumpal menjadi awan

yang setiap saat menyiramkan bara api

memanggang siapa saja membakar apa saja

dan doa, doa telah mejadi rongsokan

menggumam dari mulut-mulut dungu

masjid-masjid kesepian

masjid-masjid sendirian

dan jiwa, jiwa adalah selongsong

dari peluru-peluru bodoh yang ditembakkan

lalu dengan perasaan menyesal yang dibuat-buat

engkau mengalaskan; itu hanya kesalahan!

aku tak bisa berfikir

akal sehatku terjungkir

Banda Aceh, 1996

Penjajah

Karya: Herman RN

dulu sekali

kita melawan dan berperang

mengusir kafir karena menjajah

dulu belum berapa lama

kita melawan dan berperang

merebut tanah rumah dan pemerintah

yang juga kita gelari penjajah

sekarang dan entah sampai kapan

kita masih saja harus melawan dan berperang

tapi kali ini bukan dengan kafir

pun tidak dengan pemerintah

melainkan pada saudara sendiri

sekampung sedarah bahkan sekandung

entah karena kita masih merasa dijajah

atau memang mereka yang mulai jadi penjarah

sampai kapan kita henti melawan?

Sampai kapan kita usai perang?

Aceh, 13 Ramadan, 1432H

Glodok

Karya: Iyut Fitra

matanya nganga. pintu besar itu berbau lampau

tapi ia terus masuk. membawa tahun-tahun yang bertanya

“di mana sumur dari setiap airmata yang dulu tumpah?”

dinding-dinding tersenyum

seolah tak ada yang menyimpan percik darah, orang hilang, dan mayat

gadis-gadis bercelana singkat lewat seraya tertawa

aromanya mengubur kenangan yang telah dilupakan

tempat orang-orang bersorak atas nama bendera. atau entah karena apa

“singgahlah. di sini kami masih menjual masa lalu

apakah kau seorang yang tengah mencari bocah tak tahu bapaknya?”

angin yang gelisah. suara itu serupa dari pecinan

dan ia melihat tumpukan kalender yang dibakar. angka-angka merintih

“mei. panggil aku mei

kendati asapnya tak begitu hitam. tapi nasib bagiku terasa lebih kelam

teruslah mengenangku!”

tiba-tiba kepalanya dipenuhi oleh teriakan. ia terus saja masuk

karena tahun-tahun. berpuluh tahun terus mengepung

“apakah kau seorang yang dulu membawa api, menyulut hasut,

dan meninggalkan isak iba perempuan?”

kemudian ia berlari

meninggalkan glodok. yang dilihatnya penuh lukisan orang mati

Payakumbuh, 2017

INDONESIA, AKU MASIH TETAP MENCINTAIMU

Puisi Ahmadun Yosi Herfanda

Indonesia, aku masih tetap mencintaimu

Sungguh, cintaku suci dan murni padamu

Ingin selalu kukecup keningmu

Seperti kukecup kening istriku

Tapi mengapa air matamu

Masih menetes-netes juga

Dan rintihmu pilu kurasa?

Burung-burung bernyanyi menghiburmu

Pesawat-pesawat menderu membangkitkanmu

Tapi mengapa masih juga terdengar tangismu?

Apakah kau tangisi hutan-hutan

Yang tiap hari digunduli pemegang hapeha?

Apakah kau tangisi hutang-hutang negara

Yang terus menumpuk jadi beban bangsa?

Apakah kau tangisi nasib rakyatmu

Yang makin tergencet kenaikan harga?

Atau kau sekadar merasa kecewa

Karena rupiahmu terus dilindas dolar amerika

Dan IMF, rentenir kelas dunia itu,

Terus menjerat dan mengendalikan langkahmu?

Ah, apapun yang terjadi padamu

Indonesia, aku tetap mencintaimu

Ingin selalu kucium jemari tanganmu

Seperti kucium jemari tangan ibuku

Sungguh, aku tetap mencintaimu

Karena itulah, ketika orang-orang

Ramai-ramai membeli dolar amerika

Tetap kubiarkan tabunganku dalam rupiah

Sebab sudah tak tersisa lagi saldonya!

Jakarta, 1997/2008

Senjakala di Tanah Aceh

Karya: Abdul Wahid B.S

Para serdadu mainan senapan lagi

Nama-nama lelaki di dusun itu berangsur senyap

Dan udara mencium anyir darah

Tapi Aceh tak pernah menangis

Jika malam larut

Dusun ibu sayup dalam senandung

“Aceh makmur, Serambi Makkah rakyatnya syukur, payung ulama tabah

Tapi kini Aceh dari tenda ke tenda

Sebab rumah dipindah kaphee ke Jakarta

Ranting-ranting menulis

Alang-alang menulis

Pada tanah ketakutan bocah

Tidak untuk hurup tapi yang di balik nama

Tatkala tentara mencuci seragamnya dengan darah

Sebuah hikayat menyelamatkan nama dari rayap waktu

“Aceh makmur, Serambi Makkah rakyatnya syukur”

payungnya ulama tabah

tapi Aceh menolak kekejian

sebab balaran adil dari Ilahi Rabbi

tatkala dingin batu-batu mengarah rencong

di sini kami menangis untuk esok yang lebih matahari

sejak sajak dilumuri darah di dusun

tak ada yang menyebut nama

tulang belulang di kuburan dangkal

leleran darah mungkin bisa sesat

tapi nama-nama tak mungkin karat

hikayat yang dinyanyikan di tiap kemah tahu yang mencecerkan darah

adakah kita memilih orang yang berdalih membunuh adalah sahih?

orang berseragam bukanlah nama, tapi wajah

orang yang berseragam mengatas namakan nama membantai, lalu merasai damai

di sebuah ladang

mereka menghapus jejak jasad

adakah menilai semua ini usai?

Darah telah kembali ke tanah

Tapi abadi membasah menorehkan rencong pada kalbu ibu

Sejarah mencatat semuanya bahkan yang tidak tertuliskan

9 September 1999

Hanya Debu Melepas Rindu

Karya: Budi Arianto

I

Barangkali ini cara melepas rindu

Setelah semusim memintal gelisah

Pada penggambaran masing-masing

“kau sedang mabok tarian cinta,

Sedang aku masih membangun rumah

Dalam senyap cahaya”

II

Barangkali ini cara melepas rindu

Beku dalam hening sebelum malam

Selain angin menampar-nampar rerumputan

Mencatat segala resah memaknai perjalanan pulang

“bukan waktu yang membuat kelu,

Tapi kenyataan membuat segala ada”

III

Barangkali ini cara melepas rindu

Semacam kisah pejalan malam di persimpangan

Sepakat tanpa kata

Sementara kebisuan membelenggu sunyi

“tak ada kata, tak ada cinta

Selain kita yang menghamba

Kita yang merindu”

IV

Barangkali ini cara melepas rindu

Diam-diam menggenggam janji

Menenteng gundah sepanjang musim

Sambal mengeja waktu

Kelak bertemu pada sesuatu

“hanya debu tak lebih dari itu

Begitulah kau menyebut aku”

Taman Budaya, Banda Aceh, 2009

Wahai Yang Mendengar Kabar

Karya: Sulaiman Tripa

kepadamu telah terkabarkan kabar

sudah datang pagi dengan penuh gambar warna-warni

lewat tangan Tuhan, yang menyusun

debu dalam kanvas yang terhampar seperti tikar

lalu, siapa saja bisa melihatnya

inilah wajah gampong kami yang lama berhijab

dalam kelambu hitam di dekat pelepuk bunga

yang sama sekali tidak berbingkai

wahai yang mendengar kabar

anak-anak aceh tak mau diajarkan dendam yang membatu

tapi tenaga hampir tak berdaya

menolak warisan yang kerap pecah dalam gulungan waktu

kepadamu telah terkabarkan kabar

kekuasaan itu kini tak ada lagi yang menantang

merobek-robek kelambu dengan penuh liang

lalu gampong-gampong menjadi padang

tempat anak-anak aceh menyulam masa depan dengan pandangan tajam berbagai mata

kini,

gampong kami adalah dunia

bukan karena rambut merahmu

bukan karena kulit hitammu

bukan karena hidung mancungmu

bukan karena tubuh besarmu

bukan karena kuping lebarmu

kini,

gampong kami adalah dunia

kudapatkan kasih sayang dan kalian pasti tahu

kami takkan mampu kalian tukar dengan berbagai jiwa

anak-anak aceh harus bermain

menggapai mimpi dalam senja yang akan segera datang

mentasbihkan wajah dengan penuh cerah

seraya menatap jauh

wahai yang mendengar kabar

anak-anak aceh masih bermain

tapi, jangan biarkan kami bermain-main lagi

dengan api api yang menjalar dalam lidah naga yang memerah seperti saga

dengan salam sepuluh jari sambil menatap Ilahi

kami ingin memberi kalian bunga-bunga

agar semua tahu bagaimana indahnya hidup dengan cinta

anak-anak aceh bisa berjalan tegak

karena orang-orang

diri kami begitu bermakna.

Banda Aceh, 31 Desember 2005

Matahari Bersatu dengan Rembulan

Oleh: Rahmat Sanjaya

Wahai yang rahmat

Mengapa engkau cepat berlalu

Seperti mimpi semalam

Yang menghiasi kehampaan

Ketika malam menjubahi bumi

Dan rembulan cermin matahari

Tak ada jawaban melainkan kenyataan

Di hari yang menentukan

Aku bersumpah demi hari kebangkitan

Aku bersumpah demi jiwa yang menyesal

Suara-suara itu bergelora dipucuk-pucuk gelombang

Melingkupi seluruh dasar samudra

Memenuhi cakrawala

Suara yang menggerakkan

Tulang-tulang yang serserakan

Menjadikan sempurna kembali

Sediakala dilahirkan

Tiba-tiba mata terbelalak ketakutan

Bulan pucat diatas kafan

Matahari bersatu dengan rembulan

Aku bersumpah demi hari kebangkitan

Aku bersumpah demi jiwa yang menyesal

Tarian Sunyi

Karya: Maskirbi

Ada yang menari di kesunyian malam

Ketika kutanyakan, tarian apa itu

“tarian sunyi,”

Katanya

“mari ikut menari,”

Ajaknya

Lalu kami menari dengan irama degup jantung

Kami berputar-putar melingkari angin, semakin

Cepat putaran kami, semakin kecil lngkaran kami

Lenguh nafas, kept jari, hentak kaki; hempas lengan,

Degup jantung menjadi nyanyian.

Ketika kutanya nyanyian apa itu

“nyanyian dzikir”

Ucapnya

“ayo terus menari, ayo nyanyian dzikir”

Ajaknya

Ia peluk tubuhku dan mempercepat tarian kami

Sampai tak ada suara, kecuali angin, kecuali sunyi

Kami menjadi angin terapung di lautan udara, lain

Menjadi sunyi. Aku tak bertanya lagi, kecuali terus

Menari sampai telanjang di dalam sunyi?”

Aku Bertanya Pada-Mu

(Bagi korban tsunami)

Karya: Mohd. Harun Al Rasyid

Tuhan

Kami adalah titik zarrah

Bertaburan di bumi-Mu

Yang berhiaskan kasih dan cinta

Kini menunduk dalam sunyi jiwa

Dengan wajah tanpa cahaya ruh

Setelah kasih dan cinta-Mu tercabut

Meski hanya sekejap

Wahai Tuhan Yang Maha Kudus

Aku bertanya pada-Mu

Mangapa kasih-Mu Kau cabut

Pada pagi ahad 26 Desember 2004

Kala surya melambai dalam damai

Kala bayiku sedang bercanda dengan ibunya

Kala putri kecilku sedang sarapan di beranda

Mengapa gempa dan tsunami

Menenggelamkan tangis puluhan ribu bayi

Menggoyang jantung puluhan ribu anak-anak

Menyirnakan ratapan pilu puluhan ribu ibu hamil

Dan menyusui, serta puluhan ribu orang tua renta

Wahai Khaliqurrahman

Aku bertanya pada-Mu

Mengapa Kau kirim buldozer-Mu

Dari dasar laut yang sunyi dan amis

Buldozer dengan rupa naga

Jemarinya angker meremas-remas alam

Lalu menelan bayi-bayi kami

Anak-anak kami

Istri-istri kami

Suami-suami kami

Ibu-ibu kami

Ayah-ayah kami

Adik-adik kami

Kakak-kakak kami

Saudara-saudara kami

Tanpa memilih dan memilah mangsa?

Tuhan

Sebagai ayah aku hanya ingin bertanya

Karena kutahu anakku yang belia

Belum tahu apa-apa dengan kemunafikan

Belum kenal aneka kemusyrikan

Belum tahu mengenai bibit-bibit dendam

Apalagi dengan nafsu angkara murka

O Tuhan Yang Maha Menjaga

Sebagai hamba aku sadar dalam iman

Aku adalah ciptaan-Mu

Sebagaimana anak-anak dan istriku

Yang telah kau panggil

Bersama lebih dua ratus lima puluh ribu jiwa

Di bawah singgasana-Mu

Perkenan aku memohon

Berilah mereka payung cinta-Mu

Abadi dalam rahmat

Dan aku yang masih bernafas

Sadarkanlah

Sadarkanlah

Sadarkanlah

Agar selalu mampu merangkai rasa sedih

Menjadi untaian tasbih

Merangkai gelisah menjadi sajadah

Tuhan Yang Maha Perencana

Aku bertanya pada-Mu

Karena aku sadar memiliki-Mu

Desember 2004 – Januari 2005