Karet - Pupuk Dan Air

27
TEKNOLOGI PENGELOLAAN NUTRISI DAN AIR PADA PERKEBUNAN KARET Thomas Wijaya, M.J. Rosyid dan Island Boerhendhy Pusat Penelitian Karet Ringkasan Nutrisi dan air merupakan sumber daya untuk pertumbuhan dan produksi tanaman karet. Umumnya tanaman karet dibudidayakan pada lahan yang miskin hara sehingga pemupukan diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi karet. Diagnosa hara tanaman merupakan cara untuk meningkatkan efisiensi pemupukan. Pengelolaan air pada perkebunan karet di lahan pasang surut bertujuan memperbaiki aerasi tanah sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik. Sebaliknya pada lahan kering, perlu antisipasi terjadinya anomali iklim El Nino yang berakibat kekeringan. Upaya untuk mengurangi dampak kekeringan adalah dengan konservasi air, irigasi di pembibitan, penggunaan klon yang toleran kekeringan dan pengaturan jadwal tanam PENDAHULUAN Nutrisi dan air merupakan sumber daya untuk pertumbuhan tanaman. Pupuk merupakan input penting untuk suplai nutrisi bagi perkebunan karet. Sebagian besar perkebunan karet diusahakan pada lahan podsolik merah kuning dengan tingkat kesuburan yang umumnya rendah sehinga perlu input pupuk untuk memperoleh pertumbuhan yang optimal. Harga pupuk saat ini cenderung meningkat terus sehingga perlu pemupukan yang lebih efisien agar nutrisi tanaman karet tercukupi dan pengusahaan tanaman karet masih memberikan keuntungan yang tinggi. Selain nutrisi, air juga merupakan sumber daya bagi pertumbuhan dan produksi tanaman karet. Tanaman karet secara umum memerlukan curah hujan 1500 mm hingga 3000 mm per tahun dengan distribusi yang merata. Namun adanya anomali iklim El Nino perlu diantisipasi dan diupayakan agar dampak kekeringan menjadi minimum. Dengan juga dengan meningkatnya minat masyarakat untuk menanam karet, daerah pengembangan karet meluas ke daerah non tradisional yaitu daerah beriklim kering dengan air sebagai pembatas utama

Transcript of Karet - Pupuk Dan Air

Page 1: Karet - Pupuk Dan Air

TEKNOLOGI PENGELOLAAN NUTRISI DAN AIR PADA PERKEBUNAN KARET

Thomas Wijaya, M.J. Rosyid dan Island BoerhendhyPusat Penelitian Karet

RingkasanNutrisi dan air merupakan sumber daya untuk pertumbuhan dan produksi tanaman karet. Umumnya tanaman karet dibudidayakan pada lahan yang miskin hara sehingga pemupukan diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi karet. Diagnosa hara tanaman merupakan cara untuk meningkatkan efisiensi pemupukan. Pengelolaan air pada perkebunan karet di lahan pasang surut bertujuan memperbaiki aerasi tanah sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik. Sebaliknya pada lahan kering, perlu antisipasi terjadinya anomali iklim El Nino yang berakibat kekeringan. Upaya untuk mengurangi dampak kekeringan adalah dengan konservasi air, irigasi di pembibitan, penggunaan klon yang toleran kekeringan dan pengaturan jadwal tanam

PENDAHULUAN

Nutrisi dan air merupakan sumber daya untuk pertumbuhan tanaman. Pupuk merupakan input penting untuk suplai nutrisi bagi perkebunan karet. Sebagian besar perkebunan karet diusahakan pada lahan podsolik merah kuning dengan tingkat kesuburan yang umumnya rendah sehinga perlu input pupuk untuk memperoleh pertumbuhan yang optimal. Harga pupuk saat ini cenderung meningkat terus sehingga perlu pemupukan yang lebih efisien agar nutrisi tanaman karet tercukupi dan pengusahaan tanaman karet masih memberikan keuntungan yang tinggi.

Selain nutrisi, air juga merupakan sumber daya bagi pertumbuhan dan produksi tanaman karet. Tanaman karet secara umum memerlukan curah hujan 1500 mm hingga 3000 mm per tahun dengan distribusi yang merata. Namun adanya anomali iklim El Nino perlu diantisipasi dan diupayakan agar dampak kekeringan menjadi minimum. Dengan juga dengan meningkatnya minat masyarakat untuk menanam karet, daerah pengembangan karet meluas ke daerah non tradisional yaitu daerah beriklim kering dengan air sebagai pembatas utama dan daerah pasang surut dengan kondisi kelebihan air sebagai faktor penghambat.

Dalam makalah ini akan disajikan pengelolaan nutrisi dan air pada perkebunan karet dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman karet.

PENGELOLAAN NUTRISI PADA PERKEBUNAN KARET

1. NERACA HARA PADA PERKEBUNAN KARET

Sempat menjadi diskusi di antara pekebun karet yaitu apakah karet TM perlu dipupuk. Atau pertanyaan yang sering muncul yaitu samakah ekologi perkebunan karet dengan hutan alam dalam hal nutrisi. Untuk menjawab pertanyaan tersebut berikut ini disajikan penelitian jangka panjang tentang perubahan kandungan hara pada perkebunan karet yang dilakukan dengan cara membandingkan status hara pada perkebunan karet dengan hutan alami yang lokasinya berdekatan dengan perkebunan karet. Hasil

Page 2: Karet - Pupuk Dan Air

penelitian tersebut menunjukkan bahwa kandungan hara tanah N, K dan C organik dalam kurun waktu 90 tahun (3 siklus tanaman karet) pada perkebunan karet menurun, sedangkan P sebaliknya yaitu terjadi peningkatan dibandingkan dengan kandungan hara tanah di hutan alami (Kartthikakuttayamma et al., 1998). Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan karet bukanlah sistem tertutup seperti hutan yang memiliki neraca hara yang relatif stabil, kandungan hara tanah pada perkebunan karet dan hutan alami dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan hara tanah pada perkebunan karet dan hutan alami

KandunganPerkebunan karet Hutan alami

0-30 cm 30-60 cm

Rata-rata 0-30 cm 30-60 cm

Rata- rata

C organik (%)

Total N (%)

Total P (ppm)

Total K (%)

2.13

0.178

863

0.12

1.59

0.147

627

0.14

1.86

0.163

745

0.13

2.80

0.225

553

0.18

2.13

0.215

480

0.20

2.46

0.235

516

0.19

Sumber : Kartthikakuttayamma et al., 1998

Kehilangan hara pada perkebunan karet disebabkan berbagai faktor diantaranya adalah panen lateks, peremajaan, dan pencucian. Kehilangan nutrisi melalui panen produksi lateks pada tanaman karet dan komoditi lainnya dilaporkan oleh Sivanadyan et al. (1995) seperti yang tertera pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Kehilangan nutrisi karena panen pada berbagai komoditi

Komoditi Hasil Produksi (kg/ha/thn)

Nutrisi yang terangkut per tahun (kg/ha)

Nitrogen Kalium FosforKaret (RRIM 600)Kelapa sawitKakaoKelapaKopiTehKedelaiPadi

KaretMinyakBijiKopraBiji DaunBijiBiji

18002500105014001000130034001100

17.816221.462386021013

14.521711.4565030604

3.6303.81785224

Dibandingkan dengan komoditi lain seperti kelapa sawit dan kedelai, banyaknya nutrisi yang terangkut panen pada perkebunan karet lebih rendah. Namun demikian, jumlah nutrisi yang terangkut pada waktu peremajaan perlu diperhitungkan. Menurut Watson (1989), nutrisi yang tersimpan pada jaringan tanaman karet klon Tjir 1 dengan kerapatan 267 pohon/ha pada umur 33 tahun mencapai 1233 kg K /ha, 2119 kg Ca/ha,

2

Page 3: Karet - Pupuk Dan Air

417 kg Mg/ha, 1779 kg N/ha, dan 277 kg P/ha. Nutrisi dalam jaringan tanaman ini praktis terambil dari sistem pada waktu peremajaan mengingat penggunaan kayu karet untuk industri yang terus meningkat sehingga biomasa pada peremajaan tidak terdaur ulang di lahan. Kesimpulannya adalah pemupukan diperlukan untuk perkebunan karet dengan tujuan mempertahankan kesuburannya dan mempertahankan produktivitas tanaman.

2. PEMUPUKAN TANAMAN KARET

Upaya peningkatan efisiensi pemupukan pada perkebunan karet dapat dilakukan antara lain melalui diagnosa hara tanaman, waktu (saat) dan tempat (letak tabur) aplikasi pemupukan yang tepat.

a. Diagnosa hara tanaman

Pendekatan untuk menentukan kebutuhan pupuk tanaman karet belum menghasilkan dan menghasilkan adalah dengan melakukan analisa tanah dan daun. Adiwiganda et al. (1994) mengemukakan score kandungan hara tanaman karet pada Tabel 3. Nilai 0 menunjukkan kecukupan hara, sedangkan nilai positif dan negatif masing-masing menunjukkan status hara yang tinggi dan rendah. Karena respon pemupukan sangat nyata pada tanaman yang mengalami defisiensi hara maka dosis yang lebih tinggi dari dosis anjuran umum diperlukan pada tanaman tersebut. Sedangkan untuk tanaman yang kandungan hara yang tinggi dilakukan penurunan dosis anjuran umum.

Tabel 3. Kriteria penilaian status hara daun tanaman karet

Score N (%) P (%) K (%) Mg (%)

+5+4+3+2+1

> 4.314.11 - 4.303.91 - 4.103.71 - 3.903.51 - 3.70

> 0.2910.278 - 0.2910.264 - 0.2770.251 - 0.2630.237 - 0.250

> 1.801.71 - 1.801.61 - 1.701.51 - 1.601.41 - 1.50

> 0.2600.251 - 0.2600.241 - 0.2500.231 - 0.2400.221 - 0.230

0 3.30 - 3.50 0.233 - 0.236 1.31 - 1.40 0.211 - 0.220

-1-2-3-4-5

3.10 - 3.292.90 - 3.092.70 - 2.892.50 - 2.69 < 2.49

0.208 - 0.2320.196 - 0.2070.182 - 0.1950.169 - 0.181 < 0.168

1.21 - 1.301.11 - 1.201.01 - 1.100.90 - 1.00 < 0.90

0.201 - 0.2100.191 - 0.2000.181 - 0.1900.170 - 0.180 < 0.170

Dengan diagnosa hara daun, dapat diketahui unsur hara mana yang menjadi faktor pembatas. Prioritas pemupukan adalah untuk meningkatkan status hara yang paling rendah, sedangkan pemupukan hara lainnya hanya bersifat untuk mempertahankan (maintenance). Pendekatan yang lebih radikal dilakukan dengan

3

Page 4: Karet - Pupuk Dan Air

sistem penyusunan rekomendasi oleh RRIM yaitu apabila status hara P dan Mg tergolong tinggi, maka pemupukan P dan Mg dapat ditiadakan (Dr Yew, personal communication). Puslit Karet menggunakan menggunakan pendekatan yang konservatif yaitu mengurangi dosis pupuk secara proposional apabila status haranya tinggi (Adiwiganda et al., 1994). Secara selektif pemupukan Mg dapat ditunda atau ditiadakan tergantung status hara tanaman. Beberapa kebun di Lampung dan Bengkulu menunjukkan status Mg yang tinggi secara konsisten tinggi dalam kurun waktu yang lama sehingga dapat dipertimbangkan untuk ditiadakan atau ditunda karena kebutuhan pupuk Mg adalah yang paling kecil dibandingkan pupuk N, P dan K. Selain itu status Mg yang tinggi bisa memacu prakoagulasi lateks (Watson, 1989).

Dengan diagnosa hara tanaman, bisa diketahui unsur hara mana yang menjadi pembatas bagi tanaman (minimum Liebig). Unsur hara yang menjadi pembatas perlu mendapatkan prioritas utama, sedangkan unsur hara lainnya apabila statusnya tinggi dapat dikurangi secara proposional. Dengan cara ini pemupukan akan lebih tepat sasaran dan lebih efisien dalam arti tidak memberikan pupuk berlebihan pada saat tanaman dalam kondisi kecukupan hara.

b. Waktu (saat) pemupukan

Beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan saat pemupukan antara lain : saat paling dibutuhkan oleh tanaman, daya larut hara pupuk di dalam tanah, dan keadaan cuaca/curah hujan. Saat pemberian pupuk yang paling tepat pada tanaman karet menghasilkan ialah pada saat tanaman sedang membentuk tunas-tunas baru (flush), setelah tanaman mengalami gugur daun alamiah.

Yang perlu diperhatikan lebih lanjut ialah pola gugur daun tanaman karet. Secara garis besar pola gugur daun tanaman karet dapat digolongan atas dua golongan besar, yaitu pola gugur daun serentak seperti klon seri AVROS, PR, PB, RRIM, dan RRIC, sedangkan klon seri GT 1, BPM, dan TM, pola gugur daunnya bertahap. Keadaan ini dapat dimanfaatkan di dalam menyusun program pemupukan. Tanaman yang mengalami gugur daun serentak dan biasanya lebih awal mengalami gugur daun, dapat dipupuk terlebih dahulu, sedang yang mengalami gugur daun secara bertahap dipupuk belakangan.

Jenis pupuk yang tergolong sangat lambat larut seperti jenis pupuk P (Rock Phosphate), dapat diberikan sekali dalam setahun dan lebih awal yaitu saat menjelang gugur daun atau segera setelah gugur daun berakhir, sedangkan yang lebih mudah larut seperti jenis pupuk N (Urea dan Amonium Sulfat), K (MoP), dan Mg (Kieserite) menyusul kemudian.

c. Tempat (letak tebar) pupuk

Bagian tanaman yang menyerap hara pupuk ialah akar tanaman terutama akar hara. Atas dasar itu, untuk tujuan efisiensi letak tebar pupuk harus bertumpang tindih dengan penyebaran akar hara terbanyak.

Siregar dan Nasution (1977) menunjukkan bahwa akar tanaman karet klon R 1036 umur 10 tahun, 70% akar hara tanaman berada pada kedalaman 0 – 30 cm. Jarak jelajah akar juga sejalan dengan umur tanaman. Pada klon GT 1 umur 16 tahun, akar tanaman karet sudah menjelajah sampai 7 m dari batang pohon. Selanjutnya penelitian

4

Page 5: Karet - Pupuk Dan Air

Sugiyanto (1987) bahwa pada klon GT 1 umur 8 tahun, sebagian besar akar hara berada pada kisaran jarak 180 – 270 cm dari pohon, tetapi kerapatan akar tertinggi berada pada kisaran 90 – 120 cm dari pohon.

Berdasarkan hal tersebut, letak tebar pupuk sesuai dengan perkembangan umur tanaman karet diutarakan pada Tabel 4.

Tabel 4. Letak tebar menurut umur tanaman karet

Umur(tahun)

Cara pemberian pupuk

0 – 2 Ditebar merata secara melingkar di sekeliling pohon dengan radius (r) = 25 – 100 cm

3 – 4 Ditebar merata secara larikan mengikuti barisan tanaman dengan jarak 100 – 150 cm dari pohon.

> 5 Ditebar merata secara larikan mengikuti barisan tanaman dengan jarak 150 – 200 cm dari pohon.

Untuk mengoptimalkan penyerapan hara pupuk, letak tebar pupuk harus bebas dari persaingan dengan gulma. Oleh sebab itu diperlukan pengendalian gulma minimal dua minggu sebelum pemupukan.

e. Jenis pupuk

Pupuk yang mudah larut dan diaplikasikan secara berlebihan dapat menyebabkan pencemaran air dan nutrisi yang tidak termanfaatkan dengan baik oleh tanaman (Eberl, 2008). Zeolite dan asam humat merupakan bahan aditif dalam pembuatan pupuk. Zeolite merupakan mineral dengan KTK yang tinggi sehingga dapat mengontrol pelepasan hara pupuk. Hasil penelitian menunjukan bahwa Urea yang dicampur dengan TSP yang bersifat masam dan zeolite lebih efektif dalam mensuplai N. Kehilangan N dalam bentuk NH3 lebih rendah dibandingan dengan pupuk Urea tanpa tambahan TSP dan zeolite (Ahmed et al., 2008).

Asam humat (humic acid) saat ini juga sering digunakan dalam formulasi pupuk dan sebagai pembenah tanah (soil conditioner). Asam humat berperanan dalam meningkatkan serapan hara oleh tanaman khususnya P, dan N, meningkatkan kapasitas menahan air dan menstimulasi aktifitas biologi tanah (Asing, et al., 2005).

Pukalet merupakan pupuk yang disain untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman karet. Pukalet dilengkapi baik dengan zeolit maupun asam humat, dan hasil uji di lapangan menunjukkan pupuk Pukalet lebih efisien dibandingkan dengan pupuk tunggal karena dosis pupuk yang diaplikasikan lebih rendah yaitu hanya 60% dibandingkan dengan dosis pupuk tunggal namun memberikan status hara yang identik (Thomas, 2007).

5

Page 6: Karet - Pupuk Dan Air

3. UPAYA MENGURANGI KEBUTUHAN PUPUK ANORGANIK

Pupuk anorganik cenderung terus meningkat harganya sehingga perlu upaya untuk mengatasinya. Pada perkebunan karet upaya pengurangan kebutuhan pupuk anorganik dapat dilakukan antara lain melalui pemanfaatan bakteri pengikat N dari udara, penggunaan bakteri pelarut Fosfat, dan penggunaan pupuk organik (kompos).

a. Pemanfaatan bakteri pengikat N dari udara

Tanaman leguminosa mempunyai kemampuan mengikat N dari udara dengan simbiose dengan Rhizobium. Pada tanaman kedelai dan kacang hijau, fiksasi N dari udara dapat mencapai lebih dari 70% dari total serapan N oleh tanaman, namun sebagian besar N tersimpan dalam biji yang dipanen sehingga residu tanaman yang ada dilapangan tersisa sedikit (Thomas et al., 2004). Tanaman legum dengan simbiose dengan Rhizobium memiliki kemampuan mengikat Nitrogen udara yang besar yaitu berkisar 100-400 kg N per ha per tahun (Panwar, 2004). Untuk tanaman karet, jumlah N yang difiksasi ini sudah mencukupi kebutuhan N tanaman setiap tahunnya apabila semua hasil fiksasi N udara disimpan dalam tanah. Namun intercroping dengan tanaman legum hanya bisa dilakukan pada dua tahun pertama saja dan setelah itu kanopi karet menutup dan tanaman legum tidak dapat tumbuh karena intensitas cahaya yang rendah.

Pada perkebunan karet biasanya penanaman karet disertai dengan penanaman LCC (Legum Cover Crop). Kemampuan fiksasi N dari udara oleh LCC belum banyak dilaporkan, namun secara umum LCC memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan maupun produksi karet. Mucuna bractetata merupakan jenis LCC baru pada perkebunan karet. Mucuna memiliki pertumbuhan yang cepat dan menghasilkan biomasa yang lebih besar dari tanaman LCC konvensional. Pada umur 3 tahun, biomasa Mucuna mencapai 10 ton/ha sedangkan LCC konvensional hanya sebesar 4.4 ton/ha. Serasah daun yang rontok pada Mucuna mencapai 3-7 ton/ha sedangkan LCC konvensional hanya mencapai 1.5 ton/ha (Mathews, 1998). Mulsa dari serasah daun akan meningkatkan aktivitas mikroba dan menambah kesuburan tanah. Hasil penelitian Punnoose et al. (1994) menunjukkan bahwa dengan adanya LCC, pupuk N dapat dihemat khususnya pada tahun-tahun awal penyadapan dibandingkan dengan kebun karet dengan penutup alami.

Selain itu fiksasi N dari udara dapat dilakukan oleh bakteri non simbiotik seperti Azotobacter, Clostridium dan lainnya. Namun jumlah yang dapat difikasi oleh bakteri non simbiotik ini hanya berkisar 15-55 kg/ha/tahun (Hubbell dan Kidder, 2003). Rendahnya kemampuan bakteri non simbiotik ini karena populasinya yang rendah dan ketersediaan substrat organik untuk sumber energi bakteri. Peningkatan populasi bakteri ini dengan cara inokulasi biasanya hanya bersifat sementara apabila tidak ada sumber energi bagi bakteri. Berbeda dengan Rhizobium yang mendapatkan energi dari tanaman inangnya yaitu tanaman legum sehingga kapasitas fiksasi N lebih besar.

b. Penggunaan bakteri pelarut Fosfat

Ketersediaan P tergantung pada pH tanah. Pada tanah masam, pembentukan Al-P dan Fe-P akan mengurangi kelarutan P sehingga mengurangi ketersediaan P bagi tanaman. Sebaliknya pada tanah yang alkaline, P akan terikat oleh

6

Page 7: Karet - Pupuk Dan Air

Ca. Pada pH 6.5, kelarutan P maksimum (Hopkins dan Ellsworth, 2005). Di Indonesia, umumnya tanaman karet dibudidayakan pada tanah dengan pH <6.5 sehingga kelarutan P tidak optimal bagi tanaman.

Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa beberapa jenis bakteri meliputi Azotobacter, Bacillus, Rhizobium leguminosarum, Rhizobium trifolii dapat melarutkan P yang terikat sebagai Ca-P atau Fe-P (Mikanova, 2002 ; Husen, 2003). Hasil penelitian Kartthikakuttayamma et al. (1998) yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan adanya akumulasi P pada perkebunan karet yang bisa dimanfaatkan dengan penggunaan bakteri pelarut fosfat. Hasil penelitian Hidayati dan Thomas (2008) menunjukkan bahwa pemupukan P lebih efektif dengan adanya inokulasi bakteri pelarut P.

Beberapa produk biofertilizer tersedia secara komersial seperti Pupuk Hayati Emas dan merek lainnya mengandung bakteri pelarut Fosfat maupun bakteri bebas penambat N udara sehingga aplikasi pupuk hayati dalam skala besar memungkinkan untuk mengurangi kebutuhan pupuk anorganik. Pupuk Hayati Emas dalam uji coba pada tanaman karet dapat mengurangi kebutuhan pupuk tunggal sebesar 25% (Adiwiganda, 2005)

c. Penggunaan pupuk organik (kompos)

Kompos saat ini banyak digunakan pada tanaman hortikultura, namun penggunaannya pada perkebunan karet masih sangat terbatas. Kompos dari limbah pabrik pengolahan kelapa sawit berupa tandan kosong merupakan salah satu sumber bahan baku yang potensial untuk dibuat kompos, karena ketersediannya dalam volume yang besar Sebagai gambaran, untuk setiap ton TBS (Tandan Buah Segar) yang diolah akan dihasilkan tandan kosong sebesar 20% atau 200 kg. Kandungan nutrisi kompos dari Tandan Kosong adalah N=2.3%, P=0.31%, K=5.5%, Ca=1.46% dan Mg= 0.96% (PPKS, 2008). Dosis umum pupuk untuk tanaman karet TM per tahun per pohon adalah 350 g Urea, 250 g SP36, 300 g KCl dan 75 g Kieserit. Dalam hal kandungan haranya, kompos dapat mensusbtitusi pupuk K bila diaplikasikan pada dosis 3.5 kg per pohon dan kekurangan hara lainnya dapat ditambahkan dengan pupuk anorganik. Namun demikian ketersediaan hara dari kompos lebih lambat karena memerlukan proses dekomposisi, sehingga perlu kombinasi pupuk kompos dan pupuk anorganik. Beberapa perusahaan kelapa sawit mulai mengolah tandan buah kosong menjadi kompos. Di Malaysia tandan buah kosong diproses menjadi kompos dengan cara dicacah dan kemudian dicampur dengan kotoran ayam dan limbah cair (Palm Oil Mill Effluent) dan proses pembuatan kompos memakan waktu selama 60 hari ( Suhaimi dan Ong, 2008).

PENGELOLAAN AIR PADA PERKEBUNAN KARET

1. PENGELOLAAN AIR PADA LAHAN PASANG SURUT

Areal Lahan pasang surut di Indonesia sangat luas. Di Sumsel dilaporkan bahwa lahan pasang surut yang potensial untuk pertanian mencapai 961.000 ha (Badan Litbang Pertanian, 2000). Di Kalimantan dilaporkan lahan eks proyek PLG yang termasuk daerah pasang surut mencapai 1.457.100 ha (Badan Penelitian dan Pengembangan

7

Page 8: Karet - Pupuk Dan Air

Daerah dan Universitas Palangkaraya, 2006). Pada lahan pasang surut terdapat 4 tipe berdasarkan tata airnya yaitu (Soetjipto et al., 1986)

Tipe A yaitu daerah yang terluapi pada pasang besar dan pasang kecil

Tipe B yaitu daerah yang terluapi pada saat pasang besar

Tipe C yaitu daerah yang tidak terluapi, walupun pasang besar. Kedalaman air tanah <50 cm.

Tipe D yaitu daerah yang tidak terluapi, dan air tanah lebih dalam dari 50 cm dari permukaan tanah.

Kendala dalam pengusahaan tanaman karet pada lahan pasang surut yang perlu diantisipasi adalah air tanah yang dangkal dan pH tanah yang mungkin ekstrim. Air tanah yang dangkal akan menekan pertumbuhan karet. Dalam kondisi tergenang, tanaman karet akan menggugurkan daun. Berdasarkan tingkat kendalanya, air tanah dangkal merupakan kendala kedua terberat setelah gambut. Adanya lapisan sulfur yang teroksidasi menyebabkan pH tanah kurang dari 3.2 (Turner dan Gillbanks, 1982; AARD dan LAWOO, 1992). Apabila lapisan pirit ini letaknya cukup dalam (> 50 cm), maka pengaruhnya tidak akan ekstrim. Secara umum tanaman karet tumbuh dengan baik pada tanah masam, namun dalam kondisi pH yang ekstrim, pertumbuhan dan produksi tanaman karet akan tertekan (Yew, 1991). Pada lahan pasang surut ini petani telah menanam karet seedling, dan beberapa diantaranya telah menanam karet klonal.

Pengaruh perbaikan aerasi tanah dengan pembuatan guludan terhadap pertumbuhan karet pada lahan tipe C di lahan eks PLG di Kalteng mulai terlihat pada 15 bulan dimana pertumbuhan tanaman lebih baik pada lahan dengan guludan (Tabel 5).

Tabel 5. Pengaruh guludan terhadap pertumbuhan karet klon PB 260 pada lahan tipe C

Perlakuan Lilit batang (cm) Rata-rata empat

ulangan (cm)

I II III IV

Guludan baris

Guludan individu

Tanpa guludan

8.9

9.8

8.8

9.0

10.5

7.1

9.8

9.5

8.4

8.4

10.1

9.2

9.0

10.0

8.4

Selain dengan guludan, tinggi permukaan air tanah dapat diturunkan dengan membuat parit drainase dan pintu air. Parit drainase dapat menurunkan tinggi permukaan air tanah. Pintu air berfungsi untuk mencegah masuknya air dari sungai ke lahan pada saat air pasang dan sebaliknya pada saat air sungai surut pintu air dapat berfungsi untuk membuang air yang berlebihan dari lahan.

2. PENGELOLAAN AIR PADA LAHAN KERING

Kendala pada lahan kering adalah sering terjadinya kekeringan khususnya pada saat terjadi anomali iklim. Kemarau panjang yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan

8

Page 9: Karet - Pupuk Dan Air

fenomena alam yang diberi nama El Nino. Fenomena El Nino ditandai dengan meningkatnya suhu di lautan tropis Pasifik Tengah dan Timur yang terjadi setiap beberapa tahun (Nicholls, 1991). El Nino disertai dengan perubahan-perubahan sebagai berikut (Australian Bureau of Meteorology, 2009):

- Meningkatnya suhu sepanjang lautan tropis Pasifik Timur dan Tengah- Meningkatnya konveksi atau pembentukan awan di Laut Pasifik Tengah dimana

titik konveksi bergeser dari Indonesia/Australia ke arah Timur Lautan Pasifik sehingga menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia.

- Nilai negatif SOI (Southern Oscillation Index).

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak kemarau panjang adalah sebagai berikut:

a. Pewilayahan agroklimat dan modelling

Usaha perkebunan karet merupakan usaha jangka panjang yang mencapai 30 tahun untuk satu siklus sehingga karakterisasi faktor lingkungan khususnya iklim sangat penting. Kebutuhan iklim, terutama curah hujan tanaman perkebunan dapat diketahui dari hasil-hasil penelitian maupun pengalaman pekebun pada berbagai kondisi iklim di Indonesia. Dari informasi ini dan data base iklim di Indonesia maka daerah-daerah yang optimal untuk pengusahaan tanaman perkebunan tertentu dapat dipetakan. Sebagai contoh adalah program komputer INDO dapat digunakan untuk memetakan daerah-daerah yang memiliki iklim yang sesuai untuk pengusahaan tanaman karet (Thomas et al., 1992). Dengan cara ini, maka pengusahaan tanaman perkebunan dapat direncanakan dengan lebih baik. Model pertumbuhan tanaman banyak dipakai sebagai alat untuk menganalisa dampak kekeringan (Hammer dan Muchow, 1991). Dengan data base iklim dan tanah pada suatu wilayah, model dapat memprediksi produksi yang akan dicapai dan kemudian potensi produksi pada suatu wilayah dapat dipetakan (Meinke dan Hammer, 1995). Namun untuk komoditi karet, studi tentang model pertumbuhan tanaman belum begitu berkembang. Beberapa peneliti mengemukakan suatu model pertumbuhan karet untuk menduga pertumbuhan tanaman berdasarkan indeks panas, indeks defisit air dan indeks radiasi (Thomas, 1996ab; Ortolani et al., 1998), namun model-model tersebut masih belum diuji secara intensif pada berbagai daerah wilayah dengan agroklimat yang berbeda.

b. Prediksi kemarau panjang

SOI merupakan index yang menunjukan indeks yang menunjukan aktivitas El Nino (ENSO). SOI dihitung dengan rumus:

SOI =10 (Pdiff-Pdiffav)/SD(Pdiff)

dimana

P diff= (tekanan udara rata-rata di Tahiti pada bulan tertentu)- (tekanan udara rata-rata di Darwin pada bulan yang sama)

Pdiffav = rata-rata jangka panjang Pdiff pada bulan tertentu

SD (Pdiff) = standard deviasi jangka panjang dari P diff pada bulan tertentu

9

Page 10: Karet - Pupuk Dan Air

Nilai SOI berkaitan dengan variasi curah hujan sehingga sering dipakai untuk memprediksi curah hujan. Australian Bureau of Meteorology menggunakan nilai SOI untuk memprediksi curah hujan 2 atau 3 bulan ke depan berdasarkan hubungan nilai SOI 2 bulan sebelumnya dengan curah hujan pada bulan berikutnya (Nicholls, 1991). Untuk tanaman semusim, pola SOI dapat digunakan untuk memprediksi produksi pada bulan-bulan berikutnya (Rimmington dan Nicholls, 1993). Dari ringkasan prediksi El Nino yang dikompilasi Australian Bureau of Meteorology (2009) menunjukkan bahwa sistim peramalan menunjukkan bahwa sampai akhir 2009 terjadi El Nino. Untuk Sumatera, secara umum daerah-daerah yang terpengaruh oleh El Nino adalah di bagian selatan equator. Berdasarkan kompilasi data iklim diperkebunan Sumatera Utara (Puslitbun Medan, 1991) menunjukkan bahwa pengaruh El Nino pada kurun waktu 1981-1990 sangat kecil. Demikian pula dilaporkan oleh Anderson dan Bowen (2000) bahwa pengaruh El Nino untuk daerah Riau sangat kecil namun daerah Lampung merupakan daerah yang mengalami kekeringan paling serius untuk Sumatera.

Hasil penelitian di wilayah Lampung menunjukkan bahwa SOI berkaitan erat dengan curah hujan sehingga dengan membuat lag correlation, antisipasi kekeringan dapat diketahui. Gambar 1 menunjukkan bahwa curah hujan meningkat dengan meningkatnya SOI demikian pula sebaliknya.

Gambar 1. Hubungan rata-rata SOI dengan curah hujan 3 bulan ke depan di Way Lima, Lampung

10

Page 11: Karet - Pupuk Dan Air

c. Pemilihan klon karet

Penggunanan klon yang berproduksi tinggi dan toleran terhadap kekeringan merupakan hal penting dalam usaha perkebunan karet. Karena siklus pengusahaan tanaman karet yang panjang, pemilihan klon unggul merupakan syarat mutlak. Pemuliaan tanaman perlu diarahkan untuk mendapatkan klon yang toleran terhadap kekeringan. Secara umum tolerasi tanaman terhadap kekeringan dapat ditempuh dengan mekanisme sebagai berikut (Turner, 1986):

"Drought escape" yaitu kemampuan tanaman untuk menyelesaikan siklus hidupnya sebelum stres air menjadi serius.

"Dehydration postponement" yaitu kemapuan tanaman beradaptasi terhadap stress air dengan cara (a) mempertahankan turgor dengan mempertahankan ektrasi air tanah (b) mengurangi kehilangan air melalui transpirasi dan (c) osmotic adjustment.

“Dehydration tolerance” yaitu kemampuan membran sel terhadap degradasi karena kekeringan.

Mekanisme adaptasi kekeringan seperti osmotic adjustment bersifat diturunkan sehingga dapat dipakai dalam program pemuliaan tanaman (Turner, 1986). Beberapa klon karet kaitannya dengan adaptasi terhadap kekeringan telah diteliti dengan rinci dimana mekanisme "dehydration postponement" dengan cara osmotic adjustment dan mengurangi air dengan tahanan stomata yang tinggi dijumpai pada klon RRII 105 ( Devakumar et al., 1988). Demikian pula mekanisme “dehydration tolerance” dijumpai pada klon karet, dimana membran sel pada klon karet GT 1 lebih tahan dibandingkan klon RRIM 600 (Bahari dan Samsudin, 1984). Hasil observasi di Jawa Timur yang memiliki iklim kering menunjukkan bahwa klon PB 260 dan BPM 109 merupakan klon yang memiliki produktivitas paling tinggi dibandingkan klon lainnya (Lasminingsih et al., 2005).

Studi lebih lanjut mekanisme adaptasi klon-klon karet terhadap kekeringan khususnya di Indonesia sangat dibutuhkan untuk mengurangi dampak kekeringan periodik.

d. Konservasi air

Soil conditioner, yang terbuat dari senyawa polimer sintetik (acrylamide) yang dapat menyerap air dalam jumlah yang banyak (Anonim, 2002). Hasil uji coba pada bibit karet menunjukkan bahwa soil conditioner dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air terutama karena peningkatan biomasa yang terbentuk (Tabel 6).

Tabel 6. Pertambahan biomasa, konsumsi air dan efisiensi penggunaan air pada perlakuan periodik stres

Perlakuan Pertambahan biomasa (g)

Konsumsi air (kg)

Efisiensi penggunaan air (g/kg)

Kontrol

5 gram soil conditioner

10 gram soil conditioner

32.6a

66.4b

50.3ab

7.84a

8.69b

8.87b

4.15a

7.64b

5.67ab

11

Page 12: Karet - Pupuk Dan Air

Pemakaian serasah atau mulsa dapat menekan kehilangan air lewat proses evaporasi sehingga air tanah dapat lebih dimanfaatkan oleh tanaman. Dalam penelitian rumah kaca, penggunaan mulsa setara dengan 6 ton/ha dapat menekan evapotranspirasi sebesar 30% (Thomas dan Tambunan, 1986).

Penggunaan mulsa pada tanaman karet belum menghasilkan dilaporkan dapat mengurangi dampak kekeringan (Samarappuli, 1992). Mulsa yang berasal dari sisa tanaman dapat memperbaiki status air tanaman serta meningkatkan pertumbuhan tanaman TBM sehingga lebih cepat mencapai matang sadap (Tabel 7)

Tabel 7. Pengaruh mulsa terhadap pertumbuhan lilit batang dan status air tanaman karet belum menghasilkan klon PB 86

Perlakuan % matang sadap pada

akhir tahun ke 6

Potensial air (-bar)

Rumput alami

LCC

Mulsa jerami

13,17

25,58

66,85

25,7

20,7

18,3

Pembuatan rorak untuk menampung air limpasan perlu dipertimbangkan untuk kebun kebun karet yang mengalami kekeringan yang ekstrim. Secara visual rorak berpengaruh positif terhadap pertumbuhan karet. Biaya pembuatan rorak adalah antara Rp 500 sampai Rp 1000 per rorak (Sudiharto, pers comm.). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuatan rorak pada tanaman karet dapat membantu ketersediaan air dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Tabel 8). Ukuran rorak yang digunakan adalah adalah 120 cm x 45 cm x 75 cm (George et al., 2005). Musim kemarau berlangsung selama 3 bulan yaitu dari Desember samapi dengan Februari. Kadar air tanah dengan adanya rorak meningkat sekitar 5% pada kedalaman 0-30 cm. Pengaruh rorak tidak hanya dalam hal konservasi air, tetapi juga mengurangi erosi tanah. Rorak mampu menahan kehilangan nutrisi sebesar 12-29 kg/ha N, 5-12 kg/ha P dan 27-62 kg/ha K.

Tabel 8. Pengaruh rorak terhadap pertumbuhan lilit batang dan produksi klon PB 311.

PerlakuanJumlah rorak/ha

Pertambahan lilit batang (cm)(1998-2004)

Produksi kumulatif (kg/phn)1998-2005

0100150200250Standar Error

8.710.311.6911.8713.800.77

15.5416.0816.8017.1417.950.5

Sumber : George et al.( 2005)

12

Page 13: Karet - Pupuk Dan Air

e. Irigasi pada pembibitan karet

Irigasi pada perkebunan karet hanya dilakukan pada lahan pembibitan dengan skala tidak luas yaitu mencapai puluhan hektar saja. Ketersediaan sumber air menjadi faktor pembatas untuk aplikasi irigasi pada areal TBM maupun TM yang luas. Lokasi pembibitan karet hendaknya dekat dengan sumber air seperti sungai, sehingga pada waktu kemarau dapat dilakukan penyiraman. Alternatif lain adalah memanfaatkan air limpasan (surface runoff) pada lahan yang miring pada musim hujan dimana air ini ditampung pada suatu bendungan kecil atau embung. Irigasi dilakukan dengan cara menghitung neraca air dimana irigasi diperlukan apabila curah hujan kurang dari 60% dari evapotranspirasi potensial atau evaporasi yang diukur dengan panci klas A dan kandungan air tanah dipertahankan di atas 50% air tersedia karena pada umumnya pada level kandungan air tersebut tanaman tidak mengalami stres air (Thomas dan Tambunan, 1996; Thomas, 1995). Cara irigasi yang paling murah adalah dengan membuat alur irigasi pada waktu persiapan lahan atau sebelum tanam. Untuk kemudian irigasi dilakukan dengan memompa air dari embung yang kemudian dialirkan melalui alur irigasi.

f. Pengaturan waktu tanam

Penanaman baru hendaknya memperhatikan perkiraan mulai dan berakhirnya musim kemarau untuk menghindari kekeringan yang serius. Cara lain yang sering digunakan adalah dengan menghitung curah hujan dengan peluang 75% atau curah hujan yang minimal akan diperoleh selama 3 tahun dalam kurun waktu 4 tahun (Thomas et al., 1994). Penggunaan curah hujan dengan peluang tertentu lebih baik dibandingkan dengan penggunaan rata-rata curah hujan karena variasi curah hujan dari tahun ke tahun diperhitungkan. Sebagai ilustrasi disajikan contoh curah hujan yang dihitung berdasarkan rata-rata dan dengan peluang 75% pada Tabel 9. Tabel 9 menunjukkan bahwa berdasarkan data curah hujan jangka panjang, penanaman sebaiknya dilakukan pada bulan November dengan pertimbangan adanya variasi curah hujan yang tinggi pada bulan Mei-Oktober dimana hal ini tidak digambarkan dengan penggunaan curah hujan rata-rata.

Tabel 9. Curah hujan rata-rata dan curah hujan dengan peluang 75% di Sembawa

Bulan Curah hujan rata-rata (mm) Curah hujan dengan peluang 75% (mm)

JanuariFebruariMaretAprilMeiJuniJuliAgustusSeptemberOktoberNovemberDesember

221.6173.9311.6243.6157.185.5101.197.6123.6211.3299.3231.6

121.6116.3191.1121.679.724.455.043.141.767.3216.0158.6

13

Page 14: Karet - Pupuk Dan Air

Jenis bibit juga menentukan ketahanan tanaman karet terhadap kekeringan. Bibit karet dalam polibeg dengan 2 payung lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan stump mata tidur (Krisanap dan Dolkit, 1989).

Manajemen gawangan karet berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman karet. Hasil pengukuran evapotranspirasi gawangan karet di KP Balit Sembawa pada periode Mei-Agustus 1994 menunjukkan bahwa LCC mengekstraksi air paling tinggi dibandingkan dengan tanaman lainnya (Tabel 10). Dengan demikian pemangkasan LCC selama musim kemarau perlu dilakukan terutama pada zona dimana akar karet dan LCC berkompetisi dalam penyerapan air tanah (Thomas et al., 1994).

Tabel 10. Evapotranspirasi pada gawangan karet dengan berbagai vegetasi

Jenis vegetasi Evapotranspirasi (mm)

Gawangan kosong

Nenas

Alang-alang

LCC

82.1

104.7

110.2

135.2

Pemupukan juga berperanan penting dalam upaya pengurangan dampak kekeringan. Hasil penelitian Sammarapuli (1992) menunjukkan bahwa pemupukan terumama pupuk K dua kali dari dosis rekomendasi berpengaruh nyata terhadap ketahanan tanaman terhadap kekeringan yang ditunjukkan dengan pertumbuhan lilit batang yang lebih baik dari tanaman yang tanpa dipupuk K maupun tanaman yang dipupuk sesuai dengan dosis rekomendasi. Sebaliknya pemupukan K sebesar 2 kali dosis rekomendasi pada kondisi kecukupan air tidak efisien yang ditujukan dengan pertumbuhan yang setara antara tanaman yang dipupuk satu dosis maupun dua kali dosis rekomendasi.

g. Mengurangi bahaya kebakaran

Kebakaran kebun pada musim kemarau panjang mudah terjadi karena adanya serasah kering di kebun. Kewaspadaan perlu ditingkatkan dengan larangan menyulut api di sembarang tempat. Kebakaran bisa juga terjadi karena sumber api yang menjalar ke kebun berasal dari kegiatan penyiapan lahan dengan metode tebas tebang bakar. Pembuatan jalur pencegah api sekeliling kebun perlu dilakukan sebagai upaya pencegah kebakaran. Informasi tentang daerah-daerah yang mengalami kebakaran yang diambil dari satelit NOAA dimonitor secara rutin oleh Departemen Kehutanan yang berkantor di Palembang perlu dimanfaatkan sehingga dapat dilakukan tindakan yang bersifat pencegahan.

Kondisi kebun juga mepengaruhi resiko kebakaran. Alang-alang dilaporkan bahan bakar yang mudah terbakar sehingga pelu penanganan yang serius. Padang alang-alang yang sudah masak bisa terbakar kalau tidak ada hujan selama 1 minggu, sedangkan semak Eupatorium/Chromolaena memerlukan waktu yang lebih lama untuk bisa terbakar (Wibowo et al., 1997).

14

Page 15: Karet - Pupuk Dan Air

PENUTUP

Perkebunan karet tidak sama dengan sistem hutan, dimana kehilangan hara terjadi pada perkebunan karet. Untuk mempertahankan kesuburan tanah diperlukan pemupukan. Terkait dengan kelangkaan dan mahalnya harga pupuk, perlu peningkatan efisiensi dalam penggunaan pupuk yaitu dengan analisa hara tanah dan daun sebagai dasar perhitungan dosis pupuk dan menetukan prioritas pemupukan, penggunaan pupuk yang bersifat slow relase dengan bahan aditif seperti asam humat dan zeolit yang dapat mengurangi kehilangan hara. Selain itu saat pemupukan yang tepat dan letak tebar pupuk yang disesuaikan dengan perkembangan umur tanaman juga merupakan upaya meningkatkan efisiensi pemupukan. Penggunaan pupuk organik yaitu kompos perlu diteliti untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk anorganik. Selain itu pemanfaatan bakteri penambat N dan bakteri pelarut P akan dapat mengurangi dosis pupuk yang perlu diaplikasikan.

Pengelolaan air pada lahan pasang surut bertujuan memperbaiki aerasi tanah yaitu dengan membuat parit drainase, pintu air dan guludan. Sedangkan pada lahan kering, perlu antisipasi terjadinya kemarau panjang karena El Nino. Upaya yang dapat dilakuan untuk mengurangi dampak kekeringan adalah dengan konservasi air yaitu aplikasi mulsa, soil conditioner dan pembuatan rorak. Khusus di pembibitan karet, kekeringan dapat diatasi dengan irigasi karena arealnya tidak begitu luas.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwiganda, Y.T. 2005. Tanya jawab tentang Pupuk Hayati Emas (PHE) untuk tanaman pertanian dan perkebunan. PT Bio Industri Nusantara, Bandung.

AARD and LAWOO. 1992 Acid sulphate soils in humid tropics: Simulation model of physical and chemical processes to evaluate water management strategies.

Adiwiganda, Y.T., Hardjono, A., Manurung, A., Sihotang, UTB., Darmandono, Sudiharto, Goenadi, D.H., Sihombing, H. 1994. Teknik penyusunan rekomendasi pemupukan tanaman karet. Forum Komunikasi Karet. Pusat Penelitian Karet.

Ahmed, O.H., Husin, A., Mohd Hanif, A.H. 2008. Ammonia volatilization and ammonium accumulation from urea mixed with zeolite and triple superphosphate. Acta Agriculturae Scandinavica, Section B. pp 182-186

Anderson, I,P. and Bowen, M.R. 2000. Fire zones and the threat to the wetlands of Sumatra, Indonesia. European Union and Ministry of Forestry.

Asing, J., Wong, NC., Sim, SF., and Lau, S. 2005. Potential source of humic acids. Proc. Soil Sci. Conf. Malaysia, Sungai Petani, Kedah. Eds Teh, C.B.S, Ahmed, O.H., Fauziah, C.I., Izham, A. Wan Daud, W.D., Zakaria, Z.Z.

Australian Bureau of Meteorology. 2009. Easily understood El Nino and La Nina Forecast. Website : http://www.bom.gov.au/climate/ahead/enso.summary.shtml.

15

Page 16: Karet - Pupuk Dan Air

Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan dan Universitas Palangkaraya. 2006. Potensi Pemanfaatan lahan eks PLG di Kalimantan Tengah.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2000. Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan: Andalan Masa depan untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis.

D.H. Hubbell and Gerald Kidder.2003. Biological Nitrogen Fixation. SL-16, series of fact sheets of the Soil and Water Science Department, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida. http://edis.ifas.ufl.edu.

Devakumar, A.S., Gururaja Rao, G., Rajagopal, R., Sanjeeva Rao, P., George, M.J., Vijayakumar, K.R. and Sethuraj, M.R. 1988. Studies on soil-plant-atmosphere system in Hevea: II. Seasonal Effects on water relations and yield. Indian Journal of Natural Rubber Research, 1(2):45-60.

Eberl, D.D. 2008, Controlled-Release Fertilizers Using Zeolites. www.usgs.gov

George, S., John, J., Joseph, P., Phillip, A., Punnose, K.I. 2005. Effects of conservation pits on growth and latex yield of hevea brasiliensis. International Natural Rubber Conference, India.

Hidayati, U. dan Thomas Wijaya. 2008. The use of phosphate solubilizing bacteria to improve rubber growth. Paper presented in IRRDB Confrerence, Kuala Lumpur.

Husen, E. 2003. Screening of Soil Bacteria for Plant growth Promotion Activities in Vitro. Indonesian Journal of Agriculture Science. 4(1), 27-31.

Karthikakuttyamma, M., Suresh, P.R., Prasannakumari, P., George, V., Aiyer, R.S. 1998. Effect of continuous cultivation of rubber (Hevea brasiliensis) on morphological features and organic carbon, total nitrogen, phosporous and potassium content of soil. Indian Journal of Naural Rubber Research,11(1&2):73-79.

Krisanap, S and Dolkit, P. 1989. Rubber new-plantings in the semi-arid zone in Thailand. Rubber growers’conference. Rubber Research Institute of Malaysia.

Lasminingsih, M., H. Hadi, Aidi-Daslin, dan Thomas. 2005. Produksi dan pertumbuhan klon karet pada berbagai agroekosistem. Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet. Pusat Penelitian Karet.

Mathews, C. 1998. The Introduction and Establishment of a New Leguminous Cover Plant, Mucuna bracteata under Oil Palm in Malaysia.* The Planter 74 (860): 359 - 368

Meinke, H. and Hammer, G.L. 1995. A peanut simulation model: II. Assesing regional production potential. Agronomy Journal, 87:1093-1099.

Meinke, H., Pollock, K., Hammer, G.L., Wang, C., Stone, R.C., Potgieter, A. and Howden, M. 2001. Understanding climate variability to improve agricultural decision making. Proceeding of the 10 th Australian Agronomy Conference, Hobart.

16

Page 17: Karet - Pupuk Dan Air

Mikanova, O. and J.Novakova. (2002) Evaluation of The P-solubilizing Activity of Soil Microorganisms and Its Sensitivity to Soluble Phosphate. Rostlinna Vyroba, 48 (9), 397-400.

Nicholls, N. 1991. Advances in long-term weather forecasting. In Climatic risk in Crop production: Models and management for the semiarid tropics and tropics. Eds. Muchow, R.C and Bellamy, J.A. CAB.

Ortolani, A.A., Sentelhas, P.C., Camargo, M.B.P., and Varghese, Y.A. 1998. Agrometeorological model for seasonal rubber tree yield. Indian Journal of Natural Rubber Research, 11(1&2): 8-14.

Panhwar, F. 2004. The role of Nitrogen Fertilizer in Agricultur. ECO Services International.

PPKS. 2008. Produksi kompos dari tandan kosong sawit.

Punnoose, K.I., Mathew, M., Pothen, J., George, E.S. and Lekshmanan. 1994. Response of rubber to fertilizer application in relation to type of ground covewr maintained during immature phase. Indian Journal of Natural Rubber Research, 7 (1):38-45.

Pusat Penelitian Perkebunan Medan (RISPA). 1991. Data curah hujan. Kumpulan data stasiun perkebunan Sumatera Utara 1981-1990.

Rimmington, G.M. and Nicholls, N. 1993. Forecasting wheat yields in Australia with the Southern Oscillation Index. Australian Journal of Agricultural Research, 44:625-632.

Samarappuli, L. 1992. Some agronomic practises to overcome moisture stress in Hevea brasiliensis. Indian Journal of Natural Rubber Research, 5(1&2), 127-132.

Siregar, M dan U. Nasution. 1977. Penyebaran akar hara tanaman karet dan hubungannya dengan persoalan pemeliharaan tanaman. Lokakarya Karet PNP/PTP Wilayah I.

Sivanadyan, K., Ghandimathi, H. and Haridas, G. 1995. Rubber, a unique crop: The mature hevea stand as nutritionally self-sustaining ecosystem in relation to latex yield. Rubber Research Institute of Malaysia.

Sugiyanto, Y.B. 1987. Sifat-sifat fisik tanah penentu sebaran akar tanaman karet dewasa di tanah Podsolik Merah-kuning Sumatera Utara. Tesis Fakultas Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada.

Suhaimi, M. and Ong, H.K. 2008. Composting Empty Fruit Bunches of Oil Palm. Food & Fertilizer Technology Center.Taiwan

Thomas dan Tambunan, D. 1996. Pengaruh irigasi dan pemupukan terhadap pertumbuhan, intersepsi cahaya, dan efisiensi penggunaan cahaya pada semaian karet. Jurnal Penelitian Karet, 14(1):16-26.

Thomas dan Tambunan. 1986. Pengaruh mulsa dan periode pemebrian air terhadap pertumbuhan bibit karet klon AVROS 2037. Buletin Perkebunan Rakyat, 3(1):33-36.

Thomas Wijaya. 2007. Evaluasi Aplikasi Pupuk Pukalet di PT. Perkebunan Nusantara VII. DOK. 27.2007. Balai Penelitian Sembawa

17

Page 18: Karet - Pupuk Dan Air

Thomas, Booth, T and Jovanovic, 1996. Aplikasi program komputer INDO untuk pemetaan kesesuaian iklim bagi tanamn karet . Warta Perkaretan 15(2) 129-138.

Thomas, Lasmingsih, M., Junaidi, U., Wibawa, G., Amypalupy, K dan Sihombing, H. 1994. Pengaruh kekeringan dan usaha mengatasinya pada tanaman karet. Warta Perkaretan, 13(2):1-7

Thomas, Robertson, M.J. Fukai, S and Peoples, M. 2004. The effect of timing and severity of water deficit on growth, development, yield accumulation and nitrogen fixation of mungbean. Field Crops Research, 86: 67-80.

Thomas. 1995. Perhitungan kebutuhan air irigasi pada pembibitan karet. Warta Pusat penelitian karet, 13(3):186-190.

Thomas. 1996a. Estimasi potensi pertumbuhan tanaman karet dengan menggunakan indeks kelengasan tanah pada berbagai lokasi di Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Karet , 14(1):45-55.

Thomas. 1996b. Simulasi potensi pertumbuhan tanaman karet berdasarkan unsur-unsur iklim di beberapa lokasi di Maluku. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. 208-217.

Turner, N.C. 1986. Crop water deficits: A decade of progress. Advances in Agronomy, 39: 1-45.

Vanderlip, R.L., Hammer, G.L., and Muchow, R.C. 1996. Assesing planting opportunities in semiarid subtropical environments. Agricultural systems, 51:97-122.

Watson, G.A. 1989. Nutrition. In Rubber. Eds Webster, C.C and Baulkwill, W.J. Longman Scientific&Technical.

Wibowo, A., Suharti, M., Sagala, A.P.S., Hibani, H. and Noordwijk, M. V. 1997. Fire management on Imperata grasslands as a part of agroforestry development in Indonesia. Agroforestry systems, 36:203-217.

18