Karena dia

6
KARENA DIA Aku hanya melihatnya dari kejauhan. Dia mendrible bola oranye itu menuju ring. Tak lama setelah itu, dia menghampiriku meminta sebotol air mineral yang kubawa memang untukknya. Dia memang tidak memintaku untuk menemaninya saat itu. Hanya saja aku ingin. Handuk kecil yang dia selipkan di celana belakangnya, itu dariku. Aku bukan bermaksud menguntitnya, tapi dia membiarkanku ikut dengannya. Setidaknya itu yang ku tangkap dari sikapnya selama ini. Aku merasa dihargai bila bersamanya. Tapi aku tidak bisa menyukainya. “Lo ga ikut kuliahnya bu Hanifah?” tanyanya padaku usai bermain basket. “Lo sendiri?” aku balik bertanya. Dia menggeleng. “Gue ga suka bahasa inggris dia yang ngajar,” jawabnya kemudian. “Kalau gitu gue juga enggak,” Aku merenges saja meliriknya. Dia mengangkat alisnya bertanya. “Beliau kan emang cuma ninggalin tugas tadi,” kataku melanjutkan. “Ah, percuma dong gue bolos, eh, handuk lo masih gue bawa,” dia menyeka keringatnya. “Pake aja lagi, bau gitu gue juga ogah,” “Enak aja, wangi tau,” dia melemparkan handuk kecil itu ke kepalaku. “Ih, rese banget sih, jorok tau,” aku balik melemparkannya, dia hanya tertawa. “Eh, kantin yuk,” “Emmm, mau gak ya…” aku sok mikir. Dan seperti biasa, dia

Transcript of Karena dia

Page 1: Karena dia

KARENA DIA

Aku hanya melihatnya dari kejauhan. Dia mendrible bola oranye itu

menuju ring. Tak lama setelah itu, dia menghampiriku meminta sebotol

air mineral yang kubawa memang untukknya. Dia memang tidak

memintaku untuk menemaninya saat itu. Hanya saja aku ingin.

Handuk kecil yang dia selipkan di celana belakangnya, itu dariku. Aku

bukan bermaksud menguntitnya, tapi dia membiarkanku ikut dengannya.

Setidaknya itu yang ku tangkap dari sikapnya selama ini. Aku merasa

dihargai bila bersamanya. Tapi aku tidak bisa menyukainya.

“Lo ga ikut kuliahnya bu Hanifah?” tanyanya padaku usai bermain basket.

“Lo sendiri?” aku balik bertanya. Dia menggeleng.

“Gue ga suka bahasa inggris dia yang ngajar,” jawabnya kemudian.

“Kalau gitu gue juga enggak,” Aku merenges saja meliriknya. Dia

mengangkat alisnya bertanya.

“Beliau kan emang cuma ninggalin tugas tadi,” kataku melanjutkan.

“Ah, percuma dong gue bolos, eh, handuk lo masih gue bawa,” dia

menyeka keringatnya.

“Pake aja lagi, bau gitu gue juga ogah,”

“Enak aja, wangi tau,” dia melemparkan handuk kecil itu ke kepalaku.

“Ih, rese banget sih, jorok tau,” aku balik melemparkannya, dia hanya

tertawa.

“Eh, kantin yuk,”

“Emmm, mau gak ya…” aku sok mikir. Dan seperti biasa, dia mencubit

pipiku sampai aku mengaduh.

“Sok nolak lagi,” katanya.

“Iya-iya, gue mau,”

Lima bulan yang lalu, dia yang ku temui saat aku harus kehilangan

Ayahku untuk selamanya. Dia yang menguatkanku. Dia yang ada saat aku

tahu pacarku berselingkuh dengan teman SMPku dulu. Dia yang

Page 2: Karena dia

membantuku beres-beres rumah baru, saat aku dan ibu harus pindah

rumah, dan kebetulan dia tetangga baruku, atau sebaliknya. Dia yang

mau mendengarkanku, dan dia yang bisa membuatku mendengarkan. Dia

yang selalu membuatku tersenyum. Tapi, tetap aku tidak bisa

menyukainya.

“Sabtu ini lo ada kencan ya?” tanyanya saat dia bertandang ke rumahku

suatu sore.

“Bisa dibilang gitu sih. Fano ngajak gue jalan. Gimana kalo lo juga ikut?”

“Gila aja. Masa gue disuruh ikut orang pacaran,” tolaknya.

“Gue kan belum jadian sama Fano, pacaran apaan,”

“Belom. Tapi akan,”

“Siapa yang tau bakalan gimana. Emang kenapa sih?”

“Enggak, gue kira lo free. Gue mau ngajak lo jenguk Nenek. Lagi agak ga

enak badan katanya,” aku mengangguk mendengar penjelasannya.

“Nenek lo yang rumahnya deket kebun teh itu?” tanyaku memastikan. Dia

mengangguk.

Aku juga tidak akan pernah melupakan itu. Dia pernah mengajakku ke

sana untuk sekedar berkunjung saat itu. Tempatnya indah, dekat kebun

teh, dan ada sebuah danau yang airnya jernih dan tenang. Bagaimana

aku bisa lupa kalau dulu, pertama kali itu, aku malah membuatnya

tercebur ke danau itu karena kejahilanku. Dan itu bukan hal baik karena

aku tidak tahu dia tidak bisa berenang dan phobia terhadap kolam air.

Tapi, untung aku dengan segera menolongnya saat itu. Dia memang tidak

marah karena kejadian itu, tapi Nenek yang marah. Dan dengan segala

cara aku berusaha meminta maaf dan meluluhkan hati Nenek. Dan bubur

tim ayam buatanku ternyata cukup ampuh.

“Sorry ya,” kataku tidak bisa menemaninya pergi.

“Santai aja kali, gue sendiri juga ga papa. Ntar gue agak sorean aja ke

sananya,”

Dan aku tetap tak bisa menyukainya.

Page 3: Karena dia

Bagaimana aku bisa nyaman kencan bersama Fano. Aku tidak

menyukainya.

Pukul 3 sore dia sampai di rumah Nenek, dan,

“Narita, kok lo di sini?” dia terkejut melihatku sedang asyik mengobrol

dengan Nenek yang menyantap bubur buatanku. Aku hanya merenges.

“Kok lo ga bilang mau ke sini? Kan bisa barengan aja tadi,” katanya

sambil berjalan di depanku menyusuri jalan setapak di antara tanaman

teh yang siap panen itu.

“Kalo bilang namanya bukan surprise,” jawabku.

“Fano gimana?”

“Dia gue suruh pulang habis nganter gue ke sini tadi,”

Dia menghentikan langkahnya dan menengok ke arahku sambil

mengernyitkan dahi.

“Dasar, jelek..” dia lantas mencubit pipiku.

“Biarin aja. Emang dari awal gue ga niat. Eh, ini kan jalan ke danau,”

kataku.

“Emang kenapa?” dia melanjutkan langkahnya. Aku mengekor.

“Lo yakin mau ke sana? Lo kan…”

“Takut air? Mau sampe kapan juga gue bakal terus takut kalo gak gue

lawan. Itung-itung terapi lah. Lagian gue belum sempet nunjukkin tempat

maen favorit gue pas kecil ke elo,” jelasnya.

“Tapi kenapa lo dulu ga bilang ke gue kalo lo ada trauma sama kolam air,

danau atau semacamnya? Kalo kayak gitu kan lo malah tambah parah

takutnya,”

“Lo sendiri yang bilang suka tempat itu. Lo suka tempat itu karena wangi,

banyak bunga di sana,”

“Iya sih. Tapi kita kan gak perlu ke sana kalau gak bisa,”

“Gue gak bilang gak bisa,” sahutnya. Aku hanya diam. Aku saja yang

bodoh tidak bisa memahaminya. Dia yang terlalu banyak mengalah

padaku dan karenaku.

Page 4: Karena dia

Dia membawaku ke sebuah pohon rindang betangkai besar tak jauh dari

danau, sekitar 10 meter. Terdapat ayunan dengan tali besar mengikat

dudukan papan kayunya, menghadap persis ke arah danau yang agak

berkabut saat itu.

Hanya nampak beberapa orang menebar jala ikan.

“Gue belum pernah lihat ini ya?” kataku seraya duduk di ayunan dan dia

mengayunku pelan dari belakang.

“Terakhir gue ke sini ya pas gue umur 7 tahun. Itu waktu…”

“Waktu elo tenggelam di danau itu kan,” lanjutku. Dia hanya mengehela

napas.

“Lo mau nemenin gue ke sana gak?” tanyanya menunjuk dermaga kecil di

tepi danau. Itu pun tempatku saat membuatnya tercebur terakhir kali.

“Ih, ogah ah. Ngapain coba, ntar ada apa-apa lagi, gue yang dimusuhin

Nenek lo,”

“Kan ada elo. Ga bakalan kenapa-kenapa kan. Bentaran aja,” pintanya.

Dengan keraguanku yang luluh aku menurutinya. Aku berjalan di

depannya perlahan menggandengnya. Tangannya mulai berkeringat saat

menginjakkan kaki di papan kayu pertama.

“Lo gak perlu maksain diri,” kataku berhenti sejenak.

“Enggak kok,” dia menelan ludah gugup. Aku kembali melangkahkan kaki

pelan. Belum sampai di ujung dermaga, tiba-tiba dia berjongkok. Aku tahu

dia terlalu memaksakan diri. Ku suruh dia memejamkan mata dan terus

berjalan mengikutiku.

Kami lalu duduk di ujung dermaga sebelum akhirnya dia memberanikan

diri membuka matanya. Dengan penuh keraguan. Sekarang dia duduk

begitu dekat dengan air yang pernah membuatnya begitu ketakutan. Air

itu jernih. Dasar danau samar terlihat dengan beberapa ikan nampak

menggerakkan siripnya untuk berenang.

“Enggak seburuk yang lo kira kan?” aku tersenyum. Dia menghela napas

mencoba menenangkan diri.

Page 5: Karena dia

Aku menjulurkan kaki ke bawah dan mengayunkannya hingga menyentuh

permukaan air yang dingin itu. Dia nampaknya ingin melakukannya juga,

tapi tidak. Belum sejauh itu keberaniannya. Paling tidak, saat ini dia bisa

sedikit tenang menghadapinya.

“Danau ini emang wangi ya,” katanya.

“Makasih ya, Ta. Berkat lo,” lanjutnya.

“Berkat kemauan lo yang kuat,” kataku. Dia kemudian menyandarkan

kepalanya di pundakku.

“Gue pengen sama-sama lo terus, Al,” kataku. Dia hanya diam dan

memejamkan matanya. Kuanggap itu berarti iya.

“Gue bakal terus ada buat lo, jadi temen terbaik lo,” katanya kemudian.

Namun sekali lagi aku tidak bisa menyukainya begitu saja. Karena dia

Alfia. Sahabatku.

Fin.