Fitoremediasi Imbah Cair Dengan Eceng Gondok Dan Limbah Padat Industri
Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan ...
Transcript of Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan ...
1
Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan Adsorben Fly Ash Termodifikasi Dengan Metode Mixed
Adsorption Drying
Rizky Anggreini Putri
Chemical Engineering Department, Faculty of Engineering, University of Indonesia, Kampus UI Baru Depok, 16424,Indonesia
E-mail: [email protected]
Eceng gondok merupakan gulma perairan dengan pertumbuhan sangat cepat. Berbagai usaha pemanfaatan eceng gondok saat ini belum mampu mengimbangi pertumbuhannya. Eceng gondok mempunyai kandungan serat yang tinggi (mencapai 20% berat) sehingga sangat berpotensi menjadi bahan baku pembuatan komposit dan industri tekstil. Kualitas serat eceng gondok sangat dipengaruhi oleh kadar air di dalamnya. Jika ingin dimanfaatkan sebagai bahan baku komposit dan tekstil, kadar air serat eceng gondok harus di bawah 10%, sedangkan pada keadaan awal kadar airnya dapat mencapai lebih dari 90%. Untuk itu, dibutuhkan pretreatment awal berupa proses pengeringan eceng gondok. Proses pengeringan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode Mixed Adsorption Drying merupakan salah satu inovasi metode yang dapat menggantikan proses pengeringan konvensional. Metode fluidisasi sudah umum digunakan untuk digunakan untuk pengeringan produk pertanian dan farmasi, dapat ditingkatkan kemampuannya jika digabungkan dengan adsorpsi. Pada proses pengeringan dengan sistem fluidisasi-adsorpsi akan terjadi penguapan air dari eceng gondok oleh udara pengering dan di saat yang sama adsorbent akan menjerap uap air di udara ini sehingga kelembaban udara dapat dijaga rendah. Variabel yang diubah dalam penelitian ini berupa suhu dan jumlah adsorben. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semakin tinggi suhu dan jumlah adsorben, maka laju pengeringan juga akan semakin cepat. Suhu optimum dalam penelitian ini adalah 60 ℃ dan rasio eceng gondok: fly ash optimum adalah 50:50.
Kata kunci : eceng gondok; fluidisasi; fly ash; mixed adsorption drying; pelet The Characterization of Water Hyacinth Drying Process by Mixed
Adsorption Drying Method and Modified Fly Ash as An Adsorbent
Water hyacinth is an aquatic weed which is growth very fast. Various utilization of water
hyacinth is not currently able to compensate the growth. Water hyacinth has a high fiber content (up to 20% by weight) so it has the potential to become raw material for making composites and textile industries. The quality of water hyacinth fiber is strongly influenced by the water content in it. As aquatic plant, water hyacinth has high initial moisture content, more than 90%. Drying process is used to reduce high moisture content of water hyacinth and can be used as composite and textile industry raw material, that is below 10%. Drying by Mixed Adsorption Drying method is one of the innovative methods that can replace conventional drying process. Fluidization method is commonly used for used for drying agricultural products and pharmaceuticals, can be enhanced when combined with adsorption. The independent variable in this study are temperature and the amount of adsorbent. The result showed that if the temperature and the amount of adsorbent is higher, the drying rate will also fast. The optimum temperature in this study wis 60 ℃ and the optimum ratio of water hyacinth and fly ash is 50:50.
Keywords : water hyacinth; fluidization; fly ash; mixed adsorption drying; pellet
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
1. Latar Belakang
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan gulma air yang telah banyak dikenal
orang. Penyebarannya yang sangat cepat membuat eceng gondok menjadi sebuah masalah
baru perairan yang dapat mengganggu ekosistem.
Seiring dengan perkembangan waktu, telah ditemukan pemanfaatan baru serat eceng
gondok. Serat eceng gondok merupakan salah satu material natural fibre alternatif dalam
pembuatan komposit. Kualitas serat yang dihasilkan dari eceng gondok tersebut dipengaruhi
oleh kandungan airnya (kadar air mencapai 90%), karena sebagian besar hidup eceng gondok
berada di wilayah perairan. Serat eceng gondok yang basah lebih rentan patah dibanding serat
eceng gondok kering. Oleh karena itu, eceng gondok ditreatment awal perlu di-treatment
dahulu dengan jalan mengeringkannya.
Pengeringan adalah proses yang menentukan dalam mendapatkan eceng gondok
berkualitas tinggi, secara cepat dan efisien. Selama ini, proses pengeringan sudah dilakukan
dalam berbagai cara, diantaranya adalah pengeringan konvensional yaitu dengan
menggunakan sinar matahari, maupun pengeringan modern dengan metode oven, vacuum
drying, freeze drying, dan mixed adsorption drying. Pengeringan dengan matahari sangat
sederhana, tetapi memerlukan waktu pengeringan yang lama, area yang luas, kualitas produk
hasil pengeringan yang tidak seragam, sangat bergantung pada cuaca, dan memerlukan
ongkos biaya pekerja yang besar. Pengeringan modern dengan metode oven mempunyai
waktu operasi yang jauh lebih singkat, tetapi pengeringan dengan vacuum drying dan freeze
drying memerlukan energi yang sangat besar sehingga efisiensinya masih rendah.
Belakangan ini, telah diterapkan metode pengeringan baru yaitu dengan menggunakan
metode mixed adsorption drying pada unggun terfluidisasi. Metode ini dilakukan dengan
menggunakan adsorben sebagai penyerap air dari bahan-bahan yang akan dikeringkan.
Dengan adanya adsorben, suhu pengeringan tidak perlu terlalu tinggi. Dengan demikian,
metode ini tidak akan menurunkan atau merubah kualitas dari bahan yang dikeringkan akibat
suhu yang terlalu tinggi. Metode pengeringan lain biasanya memiliki efisiensi energi sekitar
50% bahkan dibawahnya, sedangkan metode mixed adsorption drying dapat mencapai
efisiensi energi hingga 80%. Hingga saat ini, metode tersebut baru diterapkan dalam skala
kecil untuk pengeringan biji-bijian seperti jagung dan padi.
Adsorben yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah adsorben fly ash yang
dimodifikasi menjadi bentuk pelet. Fly ash sebagai limbah industri batubara yang berbentuk
serbuk mempunyai kemampuan sebagai adsorbent uap air yang baik karena memiliki
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
kandungan silika dan alumina yang cukup tinggi (50-70%). Namun, karena prinsip
pengeringan ini menerapkan prnsip fluidisasi, adsorben fly ash yang berbentuk serbuk akan
mengalami carry over sehingga dapat mengurangi efisiensi pengeringan tersebut.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Eceng Gondok sebagai Komposit
Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan tumbuhan air yang tumbuh di rawa-
rawa, danau, waduk, dan sungai yang alirannya tenang. Salah satu pemanfaatan eceng gondok
adalah sebagai serat komposit. Serat eceng gondok merupakan salah satu material natural
fibre alternatif dalam pembuatan komposit, dimana hingga saat ini pemanfaatanya belum
banyak dikembangkan.
Pertimbangan yang diambil untuk memanfaatkan serat eceng gondok sebagai bahan
baku komposit adalah
• Sumber bahan baku terbarukan (sustainability resources)
• Ongkos pengembangbiakan bahan baku yang muradan mudah (Jurnal nasional
Ekonomi Mikro 2007 : Pertumbuhan 1,9 % per hari)
• Tidak berkedudukan sebagai komoditas primer masyarakat, sehingga peningkatan
kebutuhan akan eceng gondok tidak akan mengganggu stabilitas papan, sandang, dan
pangan.
• Mengurangi efek negatif dari biota eceng gondok yang tidak terkendali
• Tidak beracun
• Harganya murah dibandingkan serat sintetis
Komposisi kimia eceng gondok terdiri dari protein kasar 13,03% ; serat kasar 20,6% ;
Lemak 1,1% ; BETN 25,98% ; dan abu 23,8% (Soewardidan Utomo, 1975). Selain itu,
kandungan mineral eceng gondok dalam bahan kering adalah K2O (5%), Cl (3-4%), CaO (3-
9%), Mg (0,96%), dan PO4 (0,36%) (Soewardidan Utomo,1975). Eceng gondok merupakan
bahan yang sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan organic karena berdasarkan hasil
analisis di laboratorium mengandung antara lain : 1,681% N; 0,275% P; 14,286% K; 37,654%
C, dengan nisbah C/N sebesar 22,399 (Abdul Rahmi, 1998).
2.2 Mixed Adsorption Drying
Pengeringan adalah proses pemisahan sejumlah air dari suatu bahan padat sehingga
mengurangi kandungan sisa zat cair di dalam zat padat itu sampai suatu nilai tertentu yang
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
dapat diterima. Metode pengeringan dengan mixed adsorption drying merupakan metode
kombinasi antara fluidisasi dan adsorpsi.
Fluidisasi adalah operasi dengan menggunakan partikel padatan yang diubah
menjadi keadaan menyerupai fluida melalui suspensi gas atau cairan. Fluidisasi adalah
metode pengontakan butiran-butiran padat dengan fluida, baik cair maupun gas. Pada laju
alir yang cukup rendah, butiran padat akan tetap diam, karena gas hanya mengalir melalui
ruang antar partikel tanpa menyebabkan perubahan susunan partikel tersebut. Keadaan
yang demikian disebut unggun diam atau fixed bed. Kecepatan alir udara pada kolom
yang kosong disebut kecepatan superfisial, sementara kecepatan alir udara di antara
partikel unggun disebut kecepatan interstitial. Ketika laju alir dinaikkan, akan sampai
pada suatu keadaan dimana unggun padatan akan tersuspensi didalam aliran gas yang
melaluinya. Pada keadaan ini, masing-masing butiran akan terpisahkan satu sama lain
sehingga dapat bergerak dengan lebih mudah. Kecepatan superfisial terendah yang
dibutuhkan agar terjadi fluidisasi disebut minimum fluidization velocity (umf). Pada
kondisi butiran yang dapat bergerak ini, sifat unggun akan menyerupai suatu cairan
dengan viskositas tinggi.
Adsorpsi adalah peristiwa penyerapan pada permukaan suatu adsorben, misalnya
adsorpsi zat padat terhadap gas atau zat cair. Zat yang teradsorpsi disebut sebagai
adsorbat dan zat pengadsorpsi disebut sebagai adsorben (Kasmad, 2002). Proses adsorpsi
adalah proses pemisahan molekul terdifusi dari suatu fluida yang terserap pada
permukaan padatan adsorben (Ruthen, Douglas M, 1984).
Berikut merupakan skema peralatan mixed adsorption drying.
Gambar 2.1 Skema peralatan mixed adsorption drying
(sumber: Razanah, 2015)
Berdasarkan Gambar 2.1, fly ash dan eceng gondok akan dicampurkan didalam
kolom fluidisasi. Campuran kemudian akan difluidisasi dengan menggunakan udara
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
pengering di kolom tersebut. Variasi laju alir udara pengering, rasio campuran, dan suhu
operasi akan di variasikan. Hasilnya, kandungan air akna diukur setiap 15 menit selama 2
jam dengan menggunakan metode gravimetri.
2.3 Fly Ash sebagai Adsorben
Fly ash adalah limbah industri yang dihasilkan dari pembakaran batubara dan
terdiri dari partikel halus. Abu terbang batubara umumnya dibuang di landfill atau
ditumpuk begitu saja di dalam area industri seperti pada sektor pembangkit listrik.
Penumpukkan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan.
Beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa abu terbang memiliki kapasitas
adsorpsi yang baik untuk menyerap gas organik, ion logam berat seperti (Fe, Pb, Cu, Cr,
Cd, Cs, Na dan Zn), dan gas polutan. Modifikasi sifat fisik dan kimia perlu dilakukan
untuk meningkatkan kapasitas adsorpsi.
Penggolongan fly ash pada umumnya dilakukan dengan memperhatikan kadar
senyawa kimiawi (SiO2 + Al2O3 + Fe2O3), kadar CaO (high calcium dan low calcium), dan
kadar karbon (high carbon dan low carbon). Fly ash digolongkan menjadi dua jenis oleh
ASTM C 618 berdasarkan komposisi kimianya yaitu fly ash jenis F dan C. Fly ash jenis F
biasanya dihasilkan dari pembakaran batubara antrasit dan bituminous, sedangkan fly ash
jenis C dihasilkan dari pembakaran batubara lignit dan sub-bituminous. Pembakaran
batubara jenis lignit dan subbituminous akan menghasilkan fly ash yang kadar kalsium dan
magnesium oksidanya lebih banyak daripada bituminous. Namun, kandungan silika,
alumina, dan karbonnya lebih sedikit dibandingkan bituminous.
3. Metodologi Penelitian
3.1 Alat dan Bahan Penelitian
Tabel 3.1 Alat penelitian
No. Alat Fungsi
1. Mixed Adsorption Dryer untuk mengeringkan eceng
gondok
2. Oven untuk mengeringkan fly ash
yang telah dibentuk pelet
dan digunakan untuk
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
aktivasi fisik Tabel 3.1 Alat penelitian (lanjutan)
3. Gelas ukur untuk mengukur volume air
yang akan digunakan
sebagai campuran komposisi
pembuatan pelet fly ash
4. Timbangan untuk mengukur massa
eceng gondok
5. Cetakan untuk mencetak hasil
campuran fly ash, aquades
dan tapioka yang
sebelumnya diaduk.
Tabel 3.2 Bahan penelitian
No. Bahan Fungsi
1. Eceng gondok bahan yang akan dikeringkan
dan diukur kandungan airnya
2. Fly ash adsorbent uap air yang akan
dicampurkan bersama
dengan eceng gondok selama
proses pengeringan
berlangsung
3. Aquades untuk mencampur fly ash
agar mudah dibentuk
menjadi fly ash pelet.
4. Tepung tapioka sebagai bahan perekat
3.2 Pengolahan Data dan Analisis
1. Persamaan penentuan kandungan air
!! =!!!!!!!
!100% (3.1)
Dimana
Xi = Kandungan air dalam eceng gondok pada waktu tertentu (%)
Wi = Massa eceng gondok pada waktu tertentu (g)
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
Wo = Massa eceng gondok kering (g)
Ww = Massa eceng gondok awal (g)
2. Persamaan penentuan fluks pengeringan
!! =!!!!!!∆!
!100% (3.2)
Dimana
Ri = Fluks pengeringan (gr air/cm2.menit)
Ww = Massa eceng gondok awal (g)
Wi = Massa eceng gondok pada waktu tertentu (g)
A = Luas permukaan (cm2)
Δt = Perbedaan waktu (menit)
3. Perhitungan difusivitas efektif pengeringan
Dalam menentukan kecepatan pengeringan, terdapat model matematis yang dapat
digunakan untuk mengestimasi difusivitas moisture. Model tersebut diturunkan
berdasarkan beberapa asumsi dibawah ini
-‐ Ukuran eceng gondok adalah silinder dengan diameter 5 mm
-‐ Pressure drop yang melalui kolom fluidisasi diabaikan
-‐ laju alir dan suhu udara pengering dapat dijaga pada nilai yang diinginkan
-‐ pengeringan eceng gondok secara fluidisasi adalah well mixed system
-‐ Kesetimbangan moisture di eceng gondok pada berbagai kondisi dihitung
dengan menggunakan persamaan GAB yang didapat dari Iguaz dan Virseda
(2011)
-‐
Untuk waktu pengeringan yang panjang, terdapat persamaan yang disebut
sebagai Solusi Crank (Z. Pakowski & A.S. Mujumdar , 2006) yang dalam bentuk
logaritmik dituliskan sebagai berikut:
ln !!!!!!!!!
= !" !!!− !!!!"!
!!! (3.3)
Difusivitas ditentukan dengan cara membuat plot data pengeringan yang
diperoleh dari percobaan dalam bentuk ln [(X-Xe)/(Xo-Xe)] terhadap waktu t dalam
persamaan (4). Plot tersebut akan berupa garis lurus dengan slope:
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
!"#$% = !!!!"!!!
(3.4)
4. Perhitungan luas permukaan dengan bilangan iodine
Pada analisis uji bilangan iod, terlebih dahulu iod yang sedikit larut dalam air
ditambahkan Kalium Iodida (KI) sehingga terbentuk ion tri-iodida untuk
mempercepat pelarutan iod dan selanjutnya proses titrasi dilakukan dengan
menggunakan Natrium Tiosulfat dan indikator amilum sesuai persamaan reaksi:
!! + !! → !!!
!!! + 2!!!!!! → 3!! + !!!!!!
Titik akhir terjadi bila warna dari iod hilang saat dititrasi dengan natrium
tiosulfat (Harjadi, 1993). Bilangan iod yang dihasilkan merupakan representasi
terhadap luas permukaan karbon aktif yang dihasilkan. Terdapat korelasi antara
bilangan iod dan luas permukaan karbon aktif.
5. Perhitungan energi untuk proses pengeringan
-‐ Menghitung kadar air eceg gondok
Menghitung kadar air jagung kering yang diperkirakan dengan menggunakan
persamaan berikut ini.
(3.5)
dimana
wf = Kadar air eceng gondok yang diperkirakan (%)
Wek = Massa eceng gondok kering (g)
Wjo = Massa eceng gondok dengan kadar air 0 % (g)
- Nilai total kadar air setelah eceng gondok dikeringkan (wf)
Massa air eceng gondok awal (Wi), g
Wi = Web x wi (3.6)
wi = kadar air awal eceng gondok
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
Web = massa eceng gndk basah hasil panen (g)
!" = !!"!(!!"!!!)!!"
!100% (3.7)
-‐ Perhitungan kebutuhan energi selama pengeringan
Kebutuhan energi untuk pengeringan eceng gondok (Qd), kal
Qd = Qt + Qw + Ql (3.8)
dimana;
Qd = energi pengeringan eceng gondok,kal
Qt = energi pemanasan eceng gondok, kal
Qw = energi pemanasan air eceng gondok, kal
Ql = energi penguapan air eceng gondok, kal
-‐ Energi untuk pemanasan eceng gondok (Qt),kal
Qt = Wjb . cpEG (Td-Ta) (3.9)
cpEG = Panas jenis eceng gondok(kal/g oC) = 0.00052 kal/g oC
Ta = Temperatur awal eceng gondok = 30 oC
Td = Temperatur rata – rata udara pengering
-‐ Energi pemanasan air eceng gondok (Qw), kal
Qw = Wi x cpair (Td-Ta) (3.10)
cpair = Panas jenis air= 1kal/g oC
-‐ Energi penguapan air jagung (Ql), kal
Ql = Wr × hfg (3.11)
Dimana
Wr = Wi – Wf (3.12)
4. Hasil dan Pembahasan
-‐ Pembuatan Pelet Fly Ash
Dalam membuat pelet fly ash, komposisi yang digunakan adalah 66 gram fly
ash dengan 40 gram air dan 12 gram tapioka. Ketiga campuran tersebut dimasak agar
saling bercampur hingga selanjutnya diaktivasi pada oven dengan kondisi operasi
sebesar 175 ℃ dan waktu 60 menit. Aquades berguna untuk menghapus pengotor
yang ada pada fly ash, sedangkan tepung tapioka berguna untuk merekatkan fly ash
tersebut agar dapat dibentuk.
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
-‐ Uji Komposisi Fly Ash
Uji komposisi fly ash dilakukan dengan menggunakan analisis XRF.
Berdasarkan analisis tersebut, terlihat bahwa komposisi silika dan alumina pada bahan
fly ash yang digunakan sebagai adsorbent cukup tinggi, sehingga fly ash terkategori
sebagai fly ash kelas F pada ASTM C 618. Tabel 4.1 menunjukkan presentase
komposisi kimia dari fly ash.
Tabel 4.1 Komposisi kimia fly ash
No. Komponen Kimia Persentase (%)
1 SiO2 45.99
2 Al2O3 20.99
3 Fe2O3 13.54
4 CaO 11.71
5 MgO 5.69
6 SO3 0.59
7 Na2O 0.74
8 K2O 0.75
Total 100
Pengujian awal pelet fly ash bertujuan untuk melihat besarnya diameter dan
jarak antar pori yang ada pada fly ash. Pengujian adsorben fly ash dilakukan di Pusat
Laboratorium dan Forensik Markas Besar POLRI dengan menggunakan analisis
Scanning Electron Microscope (SEM). Berikut merupakan gambar-gambar permukaan
adsorben fly ash baik dalam bentuk bubuk maupun pelet.
-‐ Uji Kandungan Air Awal Eceng Gondok
Pengujian kandungan air awal eceng gondok dilakukan dengan menggunakan metode
oven yang sudah mengikuti standar AOAC 934.06. Tabel 4.2 Uji kandungan air awal eceng gondok
Besaran Nilai
Massa eceng gondok awal (gram) 10
Massa eceng gondok akhir (gram) 0.53
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
Kandungan air awal basis basah (%) 94.70
-‐ Penyusunan Alat
Alat disusun berdasarkan prinsip fluidisasi dan adsorpsi. Rancangan alat yang
digunakan antara lain adalah blower, electric heater, kolom fluidisasi, pipa, valve,
termometer, dan kontroler suhu. Berikut merupakan spesifikasi dari setiap rangkaian
alat yang digunakan. Tabel 4.3 Spesifikasi rangkaian alat
No. Nama Alat Spesifikasi
1 Blower Jenis : Blower sentrifugal
Rate (maksimum) : 70 m3/h
2 Electric Heater Material pipa: besi
Diameter: 1 inchi
Konduktivitas panas besi: 80 W/m.K
Material kabel koil : tembaga
Material fin: alumunium
Material insulasi: glasswool
Konduktivitas panas glasswool: 0.04 W/m.K
3 Kolom fluidisasi Material: plexi-glass
Ketahanan suhu maksimum: 90 ℃
Diameter : 10 cm
Tinggi Kolom : 30 cm
Ketebalan: 5 mm
Material wadah: hard nilon
Komponen tambahan : screen 20 mesh nilon
4 Pipa Diameter: 1 inci
5 Valve Jenis: ball valve
6 Termometer Jenis : automatic thermometer
Suhu maksimum : 300 ℃
7 Kontroler Suhu Desain temperatur : 25 - 100℃
Komponen tambahan: termocouple dan relay
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
-‐ Perhitungan Kecepatan Minimum Fluidisasi
Kecepatan minimum fluidisasi bergantung dari diameter efektif dan densitas partikel,
porositas fluidisasi, viskositas udara pengering, dan kebulatan partikel.
Tabel 4.4 Sifat fisik eceng gondok
Sifat Fisika Material Nilai Satuan
Densitas Eceng Gondok Basah (!!) 982,51 kg/m3
Densitas Udara Pengering (!!) 1,2 kg/m3
Kebulatan (Φ!) 0,81
Porositas Minimum Fluidisasi (emf) 0,445
Viskositas Udara Pengering (u) 0,001 kg/m.s
Diameter Efektif Partikel (Dp) 0,0065 m
Kecepatan Minimum Fluidisasi Eceng
Gondok (Umf) 1,87 m/s
Tabel 4.5 Sifat fisik fly ash
Sifat Fisika Material Nilai Satuan
Densitas Fly Ash (!!) 982,51 kg/m3
Densitas Udara Pengering (!!) 1,2 kg/m3
Kebulatan (Φ!) 0,81
Porositas Minimum Fluidisasi (emf) 0,445
Viskositas Udara Pengering (u) 0,0045 kg/m.s
Diameter Efektif Partikel (Dp) 0,003 m
Kecepatan Minimum Fluidisasi Fly Ash
(Umf) 1,79 m/s
Sehingga didapatkanlah kecepatan minimum fluidisasi untuk pelet fly ash dan eceng
gondok masing-masing sebesar 1,28 m/s dan 1,87 m/s.
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
-‐ Pengeringan Eceng Gondok
• Pengaruh Suhu terhadap Waktu Pengeringan
Gambar 4.1 Lama pengeringan dengan variasi suhu
Semakin tinggi suhu, laju pengeringan akan semakin cepat. Perbedaan kadar air antara
eceng gondok dengan udara pengering semakin lama akan semakin kecil atau jenuh. Hal
ini menyebabkan menurunnya driving force difusi uap air dari eceng gondok ke udara
pengering. Jumlah uap air yang berdifusi dari eceng gondok ke udara pengering akan
semakin menurun sehingga humiditas relatif akan ikut menurun secara otomatis. Proses
pengeringan akan terus berlangsung hingga eceng gondok mencapai kadar air
kesetimbangan yang merupakan kadar air minimum sehingga tidak ada lagi uap air yang
berdifusi dari bahan ke udara pengering.
0
5
10
15
20
25
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Massa eceng gon
dok (gram)
Waktu pengeringan (menit)
T = 60
T = 50
T = 40
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
• Pengaruh Jumlah Adsorben terhadap Waktu Pengeringan
Gambar 4.2 Lama pengeringan dengan variasi rasio eceng gondok:fly ash pada suhu 60 C
Gambar 4.3 Lama pengeringan dengan variasi rasio eceng gondok:fly ash pada suhu 50 C
0
2
4
6
8
10
12
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Massa eceng gon
dok (gram)
Waktu pengeringan (menit)
50:50 75:25 100:0
0
2
4
6
8
10
12
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Massa eceng gon
dok (gram)
Waktu pengeringan (menit)
50:50 75:25 100:0
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
0
2
4
6
8
10
12
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Massa eceng gon
dok (gram)
Waktu pengeringan (menit)
50:50 75:25 100:0
Gambar 4.4 Lama pengeringan dengan variasi rasio eceng gondok:fly ash pada suhu 40 C
Berdasarkan ketiga kondisi operasi tersebut (T=60℃,T = 50℃, dan
T=40℃) proses pengeringan dengan jumlah adsorben yang lebih banyak jauh
lebih cepat dibandingkan dengan jumlah adsorben yang lebih sedikit. Hal ini
terjadi karena pada proses pengeringan, udara pengering akan menguapkan air dari
eceng gondok (produk), sedangkan uap air yang ada di udara akan diserap oleh fly
ash. Dengan demikian terjadi proses perpindahan massa uap air dari eceng gondok
ke udara pengering, dan dari udara pengering ke fly ash.
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
• Pengaruh Ukuran Diameter terhadap Waktu Pengeringan
Gambar 4.5 Perbandingan lama pengeringan antara bubuk fly ash dengan pelet fly ash pada suhu 60C
Gambar 4.6 Perbandingan lama pengeringan antara bubuk fly ash dengan pelet fly ash pada suhu 50 C
Pada Gambar 4.5 dan 4.6 dapat dilihat bahwa ukuran pori cukup memberi pengaruh
terhadap daya jerap fly ash. Semakin halus ukuran porinya, maka daya jerapnya akan semakin
tinggi. Pelet fly ash yang memberikan daya jerap optimum pada berbagai suhu. Hal ini terjadi
karena luas permukaannya lebih besar dari pada ukuran fly ash berbentuk serbuk. Serbuk fly
ash akan memiliki jumlah pori yang lebih sedikit dibandingkan dengan pelet fly ash.
0
10
20
30
40
50
60
70
0 20 40 60 80 100 120 140
Massa eceng gon
dok (gram)
Waktu pengeringan (menit)
Bubuk fly ash Pelet fly ash
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 20 40 60 80 100 120 140
Massa eceng gon
dok (gram)
Waktu pengeringan (menit)
Pelet fly ash Bubuk fly ash
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
Akibatnya, volume pori juga akan meningkat pada pelet fly ash dibandingkan dengan serbuk.
Selain itu, pelet fly ash juga telah mengalami aktivasi berupa pemanasan dengan oven dan
pencucian pengotor dengan menggunakan aquades. Dengan demikian, luas permukaan pada
pelet fly ash akan lebih besar dibandingkan dengan luas permukaan dari serbuk fly ash.
Kapasitas adsorpsi dan laju adsorpsi bergantung pada luas permukaan internal, distribusi ukuran
dan bentuk pori, serta dipengaruhi juga oleh permukaan kimia dari fly ash.
Luas permukaan fly ash sebagai adsorben merupakan parameter kinerja utama. Nilai luas
permukaan yang semakin besar mengindikasikan kemampuan adsorpsi yang semakin besar pula.
Terdapat beberapa metode untuk mengukur nilai luas permukaan ini. BET adalah metode yang
umumnya digunakan. Namun, selain metode ini dapat juga ditentukan dengan analisis bilangan
iod yang merupakan data penyerapan fly ash terhadap iod (mg iod/ gram fly ash). Fly ash yang
mempunyai daya serap yang tinggi terhadap iod berarti memiliki struktur mikropori yang lebih
besar sehingga luas permukaan juga menjadi lebih besar (Jankowska, 1991). Hasil pengujian
bilangan iod fly ash didasarkan pada ASTM D4607-94 dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Pengujan bilangan iodine Jenis Fly Ash Bilangan Iod (mg/g) Luas Permukaan (m2/g)
Serbuk 405.999 363.901
Pelet 522.660 547,157
-‐ Perhitungan energi berdasarkan pengaruh suhu
Dari tabel berikut, didapatkan hasil perhitungan energi untuk berbagai variasi suhu
pengeringan.
Tabel 4.7 Perhitungan energi untuk variasi suhu
Suhu (℃)
Qt (kal)
Qw (kal)
Ql (kal)
Qd (kal)
40 0,052 71,4377 3542,74 3614,23
50 0,104 156,338 3978,09 4134,53
60 0,156 242,34 4146,96 4389,45
Berdasarkan tabel 4.15, semakin tinggi suhu pengeringan didapatkan bahwa
kebutuhan energi juga semakin besar. Untuk nilai massa per energi dari berbagai
variasi suhu 40, 50, dan 60 ℃ berturut-turut adalah 0,00182 gram/kal, 0,00179
gram/kal, dan 0,00175 gram/kal.
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
-‐ Perhitungan energi berdasarkan pengaruh jumlah adsorben
Tabel-tabel dibawah ini menunjukkan hasil perhitungan energi untuk berbagai variasi
jumlah adsorben pada berbagai kondisi operasi pengeringan.
Tabel 4.8 Perhitungan energi untuk variasi jumlah adsorben pada suhu 60 ℃
Rasio jumlah adsorben :
eceng gondok
Qt (kal) Qw (kal) Ql
(kal) Qd
(kal)
100:0 0,156 279,156 4940,64 5219,95
75:25 0,156 271,245 4770,1 5041,5
50:50 0,156 257,497 4473,7 4731,35
Tabel 4.9 Perhitungan energi untuk variasi jumlah adsorben pada suhu 50 ℃
Rasio jumlah adsorben :
eceng gondok
Qt (kal)
Qw (kal)
Ql (kal)
Qd (kal)
100:0 0,104 185,692 4927,32 5113,12
75:25 0,104 179,407 4724,07 4903,58
50:50 0,104 164,997 4258,1 4423,2
Tabel 4.10 Perhitungan energi untuk variasi jumlah adsorben pada suhu 40 ℃
Rasio jumlah adsorben :
eceng gondok
Qt (kal) Qw (kal) Ql
(kal) Qd
(kal)
100:0 0,052 88,4316 4641,81 4730,3
75:25 0,052 86,2072 4497,96 4584,21
50:50 0,052 74,998 3773 3848,05
Berdasarkan tabel 4.8, 4.9 dan 4.10, didapatkan nilai perhitungan massa per energi
dimana secara berturut-turut untuk kondisi operasi suhu 60 ℃ adalah berkisar 0.176 gram/kal,
sedangkan untuk kondisi operasi suhu 50 ℃ adalah berkisar 0.179 gram/kal, dan 0.182
gram/kal untuk kondisi operasi 40 ℃.
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
5. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa
1. Suhu udara pengering 60oC merupakan kondisi operasi yang paling optimum untuk
menurunkan kandungan eceng gondok dari kandungan air 94.7% menjadi di bawah
10%
2. Rasio eceng gondok dengan fly ash sebanyak 50:50 merupakan komposisi paling baik
dibandingkan rasio komposisi 75:25 dan 100:0
3. Pelet fly ash memiliki diameter pori yang lebih kecil dibandingkan serbuk fly ash,
sehingga kecepatan pengeringan dengan menggunakan pelet fly ash akan lebih cepat
dibanding serbuk
4. Nilai luas permukaan pelet fly ash adalah sebesar 547,157 m2/g jauh lebih besar
dibanding luas permukaan serbuk fly ash yang bernilai 363,901 m2/g dihitung dengan
menggunakan bilangan iodine
5. Nilai difusivitas efektif semakin meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan
jumlah adsorben, sehingga nilai difusivitas efektif tertinggi ada pada kondisi operasi
suhu 60 ℃ dan rasio eceng gondok : adsorben = 50:50 dengan nilai sebesar 6,64E-7
5.2 Saran
Dari penelitian yang dilakukan, saran yang diberikan penulis untuk penelitian selanjutnya
antara lain
1. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai alat pengering yang optimal kinerjanya untuk
setiap cuaca, karena cuaca akan berpengaruh pada kelembaban dimana hal itu sangat
erat kaitannya dengan prinsip pengeringan
2. Perlu di analisis lebih lanjut mengenai porsi uap air yang diserap oleh adsorben dan
udara
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Djaeni, M., Buchori, L., Ratnawati, dkk. (2012). Peningkatan Kecepatan Pengeringan Gabah
Dengan Metode Mixed Adsorption Drying Menggunakan Zeolite Pada Unggun
Terfluidisasi. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia dan Musyawarah Nasional
APTEKINDO
Djaeni, M., Agusniar, A., Setyani, D. (2011). Pengeringan Jagung Dengan Metode Mixed-
Adsorption Drying Menggunakan Zeolite Pada Unggun Terfluidisasi. Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi Hal:49-54
Djaeni, M., Laeli K., Apriliani, P., Setiadi, D. (2010). Activation of Natural Zeolite as Water
Adsorbent for Mixed Adsorption Drying. Proceeding of the 1st International
Conference on Materials Engineering (ICME) and 3rd AUN/SEED-Net Regional
Conference on Material. Jogjakarta.
Djaeni, M., Dewi, A., Nurul, A., Hargono, Ratawati, Jumali, dan Wiratno. (2013). Paddy
Drying in Mixed Adsorption Dryer with Zeolite : Drying Rate and Time Estimation.
Departemen Teknik Kimia UNDIP. Semarang.
Dwiyanti K., Maulia N. (2011). Pengaruh Ukuran Partikel Terhadap Laju Pengeringan
Pupuk ZA di Dalam Tray Dryer. FTI, Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi
Sepuluh Nopember. Surabaya.
Jayawardane, D.L.N.B. (2012). Physical and Chemical Properties of Fly Ash based Portland
Pozzolana Cement. Civil Engineering Symposium
Prasetyaningrum, A. (2010). Rancang Bangun Oven Drying Vaccum Dan Aplikasinya
Sebagai Alat Pengering Pada Suhu Rendah. Riptek Vol.4 No.1 Hal:45-53
Prasetyaningrum, A., Rokhati, N., & Rahayu, A.K. (2009). Optimasi Proses Pembuatan Serat
Eceng Gondok Untuk Menghasilkan Komposit Serat Dengan Kualitas Fisik Dan
Mekanik Yang Tinggi. Riptek Vol. 3 No.1 Hal:45-50
Rezania, S., Ponraj, M., Din, M.F.D. (2014). The Diverse Applications of Water Hyacinth
with Main Focus on Sustainable Energy and Production for New Era : Overview.
Renewable and Sustainable Energy Reviews Vol. 41 Page 943-954
Setyopratomo, Puguh. (2012). Model Matematik Pengering Lapis Tipis Wortel. Berkala
Ilmiah Teknik Kimia Vol 1, No 1
Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016