Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?
-
Upload
rachmat-gunadi-wachjudi -
Category
Healthcare
-
view
475 -
download
4
Transcript of Kapan kita mulai curiga ada penyakit autoimmune ?
Kondisi klinis yang memerlukan pemeriksaan kearah penyakit autoimmune
Rachmat Gunadi Wachjudi
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Dr Hasan Sadikin Bandung
Abstract Our knowledge of the clinical presentation, etiology, pathogenesis, and treatment of autoimmune disesase grows exponentially every few year. Autoimmunity refers to the misdirected attacks made by the body immune system against itself as a result of a failure in recognizing self antigens correctly. This phenomenon is usually a harmless process, but the potential to lead to a broad spectrum of multiple, complex autoimmune disease. There are a number of pathological conditions in which tissue damage occurs in association with immune activation directed against components of normal tissue. The initial damaging events usually involve cells of the immune system, the T-cells, but the cell damage releases antigens that become targets for an antibody response.
Patients with generalized pain disorders present some of the most diagnostic and management challenges in internal medicine. A thorough assessment at the initial patient encounter is important as although patients may may initially present with localized pain, further investigation may reveal more extensive medical problems. The detection and quantification of autoantibodies has become an important component in the diagnosis and management of autoimmune rheumatic diseases such as rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus, the systemic vasculitides and systemic sclerosis.
Each of these diseases is associated with a particular autoantibody or group of autoantibodies. They are usually detected by their reaction against tissue components using subjective methods such as indirect immunofluorescence. Any positive samples are further analysed using more specific and quantitative methods for the ‘quantification’ of the specific autoantibody concentration.
A number of new clinical trialsperformed over the last decade provide promise that innovative therapies may soon be accepted for these complex diseases. Some of these agent have multiple immunomodulatory effects, whreas others have been designed to interfere with a specific immunologic process in the pathogenetic pathway of the disease activity. Particular attention has been paid not only to the efficacy of these agents, but also to their toxicity and patient tolerability
Keywords: kondisi klinis penyakit autoimmune diagnosis pemeriksaan laboratorium
Perubahan pola penyakit telah berlangsung secara evolusioner di berbagai belahan dunia, sesuai dengan migrasi penduduk, industrialisasi dengan berbagai polusi multiefek yang ditimbulkannya, jenis pekerjaan, keberhasilan penanggulangan infeksi, perbaikan taraf hidup, perubahan gaya hidup dan berbagai faktor lainnya. Penyakit-penyakit infeksi, kekurangan gizi
yang dulu mendominasi permasalahan kesehatan, saat ini sudah bukan masalah di negara maju. Di Indonesia, dimana penyakit infeksi dan gangguan gizi belum sepenuhnya terantisipasi, kini mendapatkan tanntangan baru dengan meningkatnya penyakit metaboloik, degenerative dan berbagai penyakit autoimmune.
Penyakit-penyakit autoimmune meliputi lebih dari 100 penyakit yang terjadi karena gangguan sistim imun yang menyerang organ, jaringan dan sel dirinya sendiri. Walaupun beberapa diantara penyakit ini jarang ditemukan, namun secara keseluruhan kelompok penyakit ini diderita oleh 14,7 – 23,5 juta orang di Amerika atau merupakan 8% penduduk dari jumlah penduduk total, prevalensinya pun terus meningkat. Data-data di Indonesia belum ada yang diperoleh secara komprehensif. Sebagai ilustrasi di Klinik Reumatologi sejak tahun 1999-2010 terdapat 568 penderita Lupus. Jumlah ini merupakan 10 persen dari keseluruhan pasien yang berkunjung ke Klinik Reumatologi RS Dr. Hasan Sadikin Bandung. Sebagian besar dari penyakit autoimmune tak dapat disembuhkan secara tuntas, sehingga penderitanya akan menderita penyakitnya seumur hidup beserta seluruh konsekwensi pengobatannya. Disamping itu, karena sebagian besar penyakit ini mengenai wanita, dan merupakan penyebab terbanyak kematian pada usia muda dan pertengahan, hal ini menimbulkan permasalahan besar bagi penderita maupun keluarganya.
Dengan pertimbangan tersebut diatas, penelitian-penelitian mengenai penyakit-penyakit autoimmune, harus ditujukan untuk mengurangi dampak penyakitnya. Aspek penting yang menjadi kajian utama adalah data profil epidemiologik yang lebih akurat, penelitian yang membawa kepada pemahaman yang lebih baik mengenai prinsip-prinsip biologi fundamental yang melatarbelakangi munculnya dan progresivitas penyakit, penyempurnaan pemeriksaan diagnostik yang memungkinkan dokter mendiagnosis secara preklinis atau pada saat sebelum timbulnya simptom, ditemukannya intervensi yang lebih efektif dan terlaksananya edukasi masyarakat dan profesi serta program pelatihan.
Kemajuan di bidang diagnostik laboratorik, ditemukannya biomarker dapat membantu diagnosis lebih dini, serta memungkinkan dokter menentukan pengobatan yang tepat serta monitoring terapi.
Patogenesis autoimunitas dan penyakit autoimmune sangat penting dipahami agar dapat menentukan terapi yang paling efektif. Sebagai ilustrasi pathogenesis pada makalah ini akan diwakili oleh salah satu penyakit autoimmune yakni Lupus Eritematosus Sistemik. Lupus merupakan penyakit autoimmune sistemik yang paling banyak dikenal orang.
Lupus ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan episode aktivasi komplemen yang tidak terkendali.
Lupus disebabkan terjadinya interaksi antara gen yang dicurigai berperan pada LES dan faktor lingkungan yang menghasilkan respon imun abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel imfosit B. Terjadi gangguan
mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal antara lain produksi autoantibodi yang beberapa diantaranya membentuk kompleks imun, dan deposit di jaringan menimbulkan kerusakan organ target.
Patogenesis Penyakit Autoimmune
Diagnosis penyakit autoimmune didasarkan pada pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang
Komposisi gejala, tanda serta pemeriksaan penunjang baik laboratories maupun imaging disusun oleh para akhli dalam bentuk criteria klasifikasi untuk berbagai penyakit autoimmune.
Pada makalah ini yang akan dikemukakan adalah beberapa pemeriksaan penunjang yang biasa diperlukan untuk pembuatan diagnosis penyakit autoimmune.
Antinuclear antibodies (ANA)
ANA merupakan antibodi terhadap berbagai antigen inti sel yang terdeteksi dalam serum pasien dengan penyakit rematik dan pada orang sehat. Berbagai teknik imunokimia digunakan untuk mendeteksi antibodi ini, termasuk mikroskop immunofluorescence, hemaglutinasi, imunodifusi, fiksasi komplemen, dan enzim-linked immunosorbent assay (ELISA). Sel yang digunakan adalah human epithelial-2 (Hep-2)
Gambar 1. Pola ANA
Aplikasi Klinis Tes ANA
Tes ANA sangat berguna dalam membuat diagnosis lupus eritematosus sistemik (SLE). Hampir semua pasien dengan SLE memiliki tes ANA positif, dengan sensitivitas 93% sampai 95% dan spesifisitas 57%. Namun, orang sehat dapat memiliki tes ANA positif pada titer yang lebih rendah. Sekitar 25% sampai 30% dari orang sehat memiliki tes positif dengan titer 1: 40, 10% sampai 15% pada titer 1: 80, dan 5% pada titer 1: 160 atau lebih. Frekuensinya meningkat dengan bertambahnya usia, terutama pada wanita.
Tes ANA dengan titer tinggi (> 1: 640) dapat meningkatkan kecurigaan terhadap penyakit autoimun, meskipun tidak didiagnosis penyakit autoimun, tetapi pasien dengan titer tinggi harus diikuti perkembangannya. ANA titer tidak secara rutin digunakan untuk menilai aktivitas penyakit pada lupus, dan serial tes ANA tidak berguna.
Selain lupus, tes ANA sangat membantu dalam mendiagnosis penyakit rematik lainnya. Sensitivitas ANA dalam mendiagnosis sclerosis sistemik adalah 85% dan spesifisitas adalah 54%. Meskipun ANA tidak termasuk kriteria klasifikasi untuk sindrom Sjögren tahun 2002, tetapi ditemukan pada 80% pasien dengan titer tinggi ( > 1: 320). Pasien dengan fenomena Raynaud juga harus dilakukan tes ANA karena tes ANA positif menunjukkan peningkatan risiko penyakit rematik terkait sistemik dari 19% menjadi 30%, sedangkan tes negatif menunjukkan risiko hanya 7%. Selain itu, tes ANA membantu untuk stratifikasi risiko pada pasien dengan uveitis juvenile idiopathic arthritis.
Tabel 1. Sensitiivitas dan Spesifisitas Tes ANA pada Berbagai Pennyakit Autoimun
DiseaseSystemic lupus erythematosusSclerodermaPolymyositis, dermatomyositisRheumatoid arthritisSjögren's syndromeRaynaud's phenomenonJuvenile chronic arthritisJuvenile chronic arthritis with uveitis
Sensitivity (%)93-9585614148645780
Specificity (%)5754635652413953
Tes ANA pada penyakit autoimun lain
Tes ANA juga dapat menjadi positif pada penyakit autoimun yang tidak terkait dengan penyakit jaringan ikat, seperti hepatitis autoimun, cholangitis autoimun primer, primary biliary cirrhosis, dan penyakit Crohn. Gangguan lain yang terkait dengan titer ANA yang positif diantaranya penyakit infeksi kronis seperti mononukleosis, endokarditis bakteri subakut, TBC, dan penyakit limfoproliferatif. Oleh karena itu, untuk perlu diseleksi pasien apa saja yang perlu diperiksa tes ANA ini.
Pola ANA dan Diagnosis Penyakit
Tes ANA dengan mikroskop imunofloresens dapat memperlihatkan pola ANA yang dapat dihubungkan dengan diagnosis penyakit autoimun tertentu. Pola ANA tertentu hanya didapatkan pada penyakit autoimun tertentu, sehingga tes ANA dengan polanya dapat memperkirakan penyakit apa sebenarnya yang diderita pasien. Akan tetapi apabila didapatkan pola yang tidak khas perlu diperiksa selanjutnya dengan pemeriksaan yang lebih spesifik yaitu panel ANA. Pemeriksaan panel ANA ini dapat lebih spesifik mengarah ke penyakit autoimun tertentu. Pemeriksaan panel ANA memperlihatkan antibodi spesifik yang positif hanya pada satu penyakit autoimun. Anti dsDNA sangat berguna untuk mendukung diagnosis pasien dengan Lupus nefritis dan menentukan prognosisnya.
Tabel 2. Pola ANA dan hubungannya dengan jenis penyakit autoimun
Antigen
Homogenous and DiffuseDNA-histone complex (nucleosome)
Peripheral RimdsDNA
SpeckledRNA polymerase types II and IIIRNPScl-70SmSS-A
SS-B
NucleolarNucleolar RNA, RNA polymerase 1Pm-scl
CentromereCENP
Penyakit
SLE (60%)Drug-induced lupus (95%)
SLE
Systemic sclerosisMCTD (100%)Systemic sclerosis (15%-70%)SLE (25%-30%)Sjögren's syndrome (8%-70%)SLE (35%-40%)Sjögren's syndrome (14%-60%)SLE (15%)
Systemic sclerosisPolymyositis
Limited scleroderma
Rheumatoid Factor (RF)
RF terdeteksi pada berbagai penyakit rematik dan non rematik. Tes ini umumnya digunakan dalam mendiagnosis penyakit rheumatoid arthritis (RA). Sensitivitas RF untuk mendiagnosis rheumatoid arthritis adalah sekitar 50% sampai 80%, dan spesifisitas sekitar 85% sampai 90%, seperti yang dilaporkan oleh beberapa penelitian. RF mungkin negatif pada tahap awal dari penyakit rheumatoid arthritis, dan positif dari waktu ke waktu.
RF saja tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis rheumatoid arthritis. Sekitar 15% sampai 20% dari pasien dengan rheumatoid arthritis tidak pernah memiliki positif RF, dan 2% sampai 10% dari orang sehat juga dengan tes RF positif. Oleh karena itu, RF positif saja tidak mengkonfirmasi penyakit rheumatoid arthritis dan RF negatif tidak mengecualikan itu. Tes RF
harus diperiksa lebih selektif dan tes ini tidak dapat digunakan untuk memeantau aktiviitas penyakit.
Tabel 3. Hasil Tes RF positif pada penyakit rematik dan non rematik
Penyakit Rematik (Sensitivitas) Penyakit Non Rematik Cryoglobulinemia (40%-100%) Polymyositis and dermatomyositis (5%-
10%) Rheumatoid arthritis (50%-90%) Sjögren's syndrome (75%-95%) Systemic lupus erythematosus (15%-35%) Systemic sclerosis (20%-30%)
Bacterial endocarditis Infections
o Hepatitiso Leprosyo Parasiteso Syphiliso Tuberculosis
Malignancy Pulmonary disease
o Interstitial pulmonary fibrosis
o Sarcodosiso Silicosis
Primary biliary cirrhosis
Rheumatoid factor (RF) adalah marker biologis pertama yang ditemukan.7 Rheumatoid factor yang merupakan antiglobulin immunoglobulin M (IgM) terhadap bagian Fc dari IgG pasien dapat dideteksi pada sekitar 70% pasien.8 Pasien-pasien dengan RF yang positif memiliki kondisi klinis dan komplikasi yang lebih berat.9 Kelemahan dari RF adalah spesifisitasnya yang rendah dan kemungkinan tidak terdeteksi pada tahun pertama penyakit.7
Beberapa autoantibodi lain yang spesifik terhadap AR juga sudah ditemukan, seperti antibodi terhadap peptida yang mengandung citrulline, misalnya antiperinuclear factor (APF), antibodi antifillagrin, antikeratin antibodies (AKA), dan anti-cyclic citrullinated peptides (anti-CCP).1,7 Proses citrullination protein sendiri merupakan proses yang penting dalam patogenesis AR, dan antibodi terhadap antigen citrullinated telah menjadi patokan diagnostik.10
Citrullination adalah modifikasi kimiawi pasca-translasional pada suatu protein, dalam hal ini konversi peptidilarginin menjadi peptidilcitrulline yang dikatalisasi oleh peptidilarginindeiminase.11 Protein yang dimodifikasi (citrulline) dapat diidentifikasi sebagai zat asing, yang kemudian merangsang respon inflamasi autoimun. Berbagai protein citrullinated telah terdeteksi dalam sendi pasien AR, salah satunya adalah antigen Sa, yang sekarang dikenal sebagai mutated citrullinated vimentin (MCV).6 Antibodi anti-Sa telah dikenal sebagai marker yang spesifik untuk AR, termasuk manifestasi penyakit yang awal.10 Citrullinated protein (seperti MCV) yang diekspresikan dalam sendi reumatoid mungkin lebih relevan sebagai target autoantibodi yang digunakan dalam diagnosis AR. Pemeriksaan antibodi terhadap MCV untuk
mendiagnosis AR berguna pada pasien dengan hasil pemeriksaan anti-CCP yang negatif.7 Dari hasil penelitian, didapatkan sensitivitas untuk pemeriksaan anti-MCV sebesar 82% sedangkan anti-CCP sebesar 72%, dan spesifisitas untuk pemeriksaan anti-MCV sebesar 98% sedangkan anti-CCP sebesar 96%.1 Dalam diagnostik reumatologi, anti-MCV memiliki nilai diagnostik dan prognostik yang penting, dan signifikansinya lebih besar daripada RF. Saat ini terdapat point-of-care-test (POCT) serologis yang dapat digunakan untuk deteksi awal AR. Pemeriksaan ini mengombinasikan deteksi RF dan anti-MCV untuk diagnosis AR dan menunjukkan sensitivitas sebesar 72% dan spesifisitas sebesar 99,7%.6
Anti Cyclic Citrullinated Peptide (Anti CCP)
Anti CCP adalah antibodi yang langsung timbul akibat berhubungan dengan residu citrulline yang terbentuk pasca metabolisme arginin. Tes ini meningkat pada pasien dengan rheumatoid arthritis. Sensitivitasnya 30% sampai 60% dan spesifisitasnya 95% sampai 98% untuk pasien yang memenuhi kriteria untuk rheumatoid arthritis.
Dua dari kegunaan klinis yang paling penting dari tes ini adalah sangat spesifik untuk penyakit RA dan dapat positif pada fase awal rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anti-CCP antibodi dapat muncul dalam sirkulasi beberapa tahun sebelum timbulnya rheumatoid arthritis. Tumbulnya anti-CCP antibodi pada penyakit RA dini sangat berguna untuk memprediksi perubahan radiologis yang lebih cepat, artinya pasien RA dengan anti-CCP positif akan mengalami kerusakan sendi yang signifikan dibandingkan pasien tanpa antibodi ini. Oleh karena itu, anti-CCP antibodi harus diperiksa pada pasien rheumatoid arthritis yang didiagnosis atas dasar klinis.
Pasien dengan infeksi kronis virus hepatitis C kadang-kadang memiliki titer tinggi RF dan berbagai gejala rematik, tapi anti-CCP antibodi jarang ditemukan.
Antineutrophil Cytoplasmic Antibodies (ANCA)
ANCA adalah antibodi yang berguna untuk membuat diagnosis penyakit autoimun tertentu yang bermanivestasi vaskulitis, seperti Wegener granulomatosis dan polyangiitis mikroskopis. Antibodi ini timbul langsung akibat interaksi dengan beberapa komponen sitoplasma neutrofilik.
Antara 70% sampai 90% dari pasien dengan Wegener granulomatosis adalah ANCA positif, tetapi tetap diagnosis didasari pada gambaran klinis. Antara 40% sampai 80% dari pasien dengan polyangiitis mikroskopis adalah ANCA positif.
Complement
Sistem komplemen terdiri dari protein plasma dan membran sel yang berfungsi untuk pertahanan bawaan terhadap mikroba patogen. Aktivitas komplemen biasanya dinilai dengan menentukan kadar C3 dan C4 dan dengan mengukur aktivitas (total hemolitik komplemen) CH50. CH50 adalah panduan yang berguna untuk menilai semua aktivitas sembilan komponen komplemen pada jalur klasik (C1, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8, dan C9). Aktivasi jalur klasik ditandai dengan rendahnya kadar C3 dan C4. Aktivasi jalur alternatif ditandai oleh rendahnya kadar C3 tapi C4 normal.
Pengukuran komplemen merupakan alat diagnostik yang penting dalam banyak penyakit autoimun. Hypocomplementemia dapat berkaitan dengan SLE dan cryoglobulinemia. Ada hubungan yang signifikan antara kadar komplemen rendah dan lupus nephritis. Kegunaan komplemen yang rendah sebagai prediktor flare lupus masih kontroversial.
Antifosfolipid antibodi
Antibodi antifosfolipid termasuk antibodi yang langsung timbul akibat interaksi dengan fosfolipid-protein terkait seperti cardiolipin, β2-glikoprotein 1, dan prothrombin. Antibodi ini biasanya diukur pada pasien dengan SLE, trombosis berulang, dan kehilangan janin berulang, apabila positif dapat meningkatkan kemungkinan sindrom antifosfolipid antibodi. Sindrom antifosfolipid ditandai dengan thrombolism vena, trombosis arteri, atau gangguan kehamilan seperti keguguran berulang, kematian janin atau kematian neonatus. Bersama-sama dengan antibodi antifosfolipid juga dapat diperiksa antikoagulan lupus.
Antibodi anticardiolipin diukur dengan ELISA dan biasanya mencakup tiga serotipe: IgG, IgM, dan IgA. Antibodi ini harus positif sekitar 12 minggu untuk menetapkan diagnosis sindrom antifosfolipid antibodi, bersama dengan beberapa kriteria klinis.
Imaging :
X-ray :
Pemeriksaan radiologis sangat berguna untuk melihat kelainan tulang dan sendi pada beberapa penyakit rematik, seperti Reumatoid Arthritis (RA) dan Ankilosing Spondilitis (AS).
Pada tahap awal penyakit RA mungkin tidak ada perubahan pada x-ray, tetapi pada tahap lanjut akan mulai terlihat beberapa kelainan yang dapat menunjukkan juxta-artikular osteopenia, pembengkakan jaringan lunak dan menghilangnya celah sendi. Progresifitas penyakit RA dapat mengakibatkan adanya erosi tulang dan subluksasi.
Gambar 2. X ray pada RA
Pada AS tahap awal mungkin hanya memperlihatkan sacroileitis dan pada tahap lanjut akan terlihat bamboo spine.
Gambar 3. X ray pada AS
Capilaroscopy :
Kapilaroskopi digunakan untuk mendiagnosis pasien dengan sistemik sklerosis.
Gambar 4. Capilaroscopy
Berbagai pemeriksaan tersebut diatas, dilakukan atas indikasi, sesuai dengan manifestasi klinis dan diagnosis banding dari masing-masing pasien yang diperiksa.
Ringkasan:
Untuk dapat mendiagnosis penyakit-penyakit autoimun, diperlukan pemahaman yang baik mengenai patofisiologi dan sifat evolving pada manifestasi klinisnya. Selain gejala dan tanda yang tercantum dalam kriteria klasifikasi kita perlu mengetahui bahwa banyak variasi manifestasi lain terutama pada kulit dan organ-organ vital. Seingkali penanganan harus segera dilaksanakan pada pasien yang tidak lengkap memenuhi kriteria klasifikasi tapi mengalami life threatening condition semisal CNS lupus, krisis hemolitik, nefritis berat dan poliserositis yang tidak terbukti ada penyebab lain. Dilain fihak kitapun dituntut agar tidak overdiagnostik untuk kasus yang belum jelas. Penanganan penyakit-penyakit autoimun seringkali memerlukan kerjasama intra dan inter disiplin cabang ilmu kedokteran. Sangatlah bijak jika sebagai dokter yang menangani gangguan kesedhatan yang kompleks ini kita sertakan peer group atau support group dalam edukasi dan advokasi kepada pasien-pasien kita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Quismorio FP and Torralba KD : Clinical application of serologic tests, serum protein abnormalities, and other clinical laboratory tests in SLE in : Wallace DJ and Hahn BH : Dubois’ Lupus Erythematosusu and related syndromes. 8th Ed. 2013. Elsevier Saunders Philadelphia. 526-540
2. Schoenfeld Y, Tincani A, and Gershwin E (eds) Gender, Sex Hormones, pregnancy and autoimmunity.2012. Elsevier.Amsterdam
3. Salvarani C, Cantini F, Niccoli L, et al: Acute phase reactants and the risk of relapse/recurrance in polymyalgia rheumatica. A prospective follow up study. Arthritis Rheum. 2005, 53: 33-38.
4. Solomon DH, Kavanaugh AJ, Schur PH. Evidence-based guidelines for the use of immunologic tests: Antinuclear antibody testing. Arthritis Rheum. 2002, 47: 434-444.
5. Nardi N, Brito-Zerón P, Ramos-Casals M, et al: Circulating auto-antibodies against nuclear and non-nuclear antigens in primary Sjögren's syndrome: Prevalance and clinical significance in 335 patients. Clin Rheumatol. 2006, 25: 341-346.
6. Kavanaugh AF, Solomon DH. Guidelines for immunologic laboratory testing in the rheumatic diseases: Anti-DNA antibody tests. Arthritis Rheum. 2002, 47: 546-555.
7. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Immunologic Testing Guidelines. Guidelines for immunologic laboratory testing in the rheumatic diseases: Anti-Sm and anti-RNP antibody tests. Arthritis Rheum. 2004, 51: 1030-1044.
8. Sheldon J. Laboratory testing in autoimmune rheumatic diseases. Best Pract Res Clin Rheumatol. 2004, 18: 249-269.
9. Reveille DJ, Solomon DH. Evidence-based guidelines for the use of immunologic tests: Anticentromere, Scl-70, and nucleolar antibodies. Arthritis Rheum. 2003, 49: 339-412.
10. Shmerling RH, Delbanco TL. How useful is the rheumatoid factor? An analysis of sensitivity, specificity, and predictive value. Arch Intern Med. 1992, 152: 2417-2420.
11. Shovman O, Gilburd B, Shoenfeld Y, et al: The diagnostic utility of anti-cyclic citrullinated peptide antibodies, matrix metalloproteinase-3, rheumatoid factor, erythrocyte sedimentation rate, and C-reactive protein in patients with erosive and non-erosive rheumatoid arthritis. Clin Devel Immunol. 2005, 12: (3): 197-202.
12. Wener M, Hutchinson K, Morishima C, Gretch DR. Absence of antibodies to cyclic citrullinated peptide in sera of patient with hepatitis C virus infection and cryoglobulinemia. Arthritis Rheum. 2004, 50: 2305-2308.
13. Hoffman GS, Specks U. Antineutrophil cytoplasmic antibodies. Arthritis Rheum. 1998, 41: 1521-1537.
14. Kerr GS, Fleisher TA, Hallahan CW, et al: Limited prognostic value of changes in antineutrophil cytoplasmic antibody titer in patients with Wegener's granulomatosis. Arthritis Rheum. 1993, 36: 365-371.
15. Ramos-Casals M, Campoamor MT, Font J, et al: Hypocomplementemia in systemic lupus erythematosus and primary antiphospholipid syndrome: Prevalance and clinical significance in 667 patients. Lupus. 2004, 13: 777-783.
16. Belmont HM. Lupus Clinical Overview. 2007. Available at: http://www.cerebl.com/lupus/nephritis.php
17. Brent LH. Lupus Nephritis. 2007. Available at: http://www.eMedicine.com/med/tipe1957.htm
18. Kalunian KC. Definition, Classification, Activity and Damage Indices. In: Wallace DJ, Hahn BV. Dubois’ Lupus Erythematosus. 5th ed. Williams & Wilkins; 1997. p.19-30.
19. Watts RA. Autoantibodies in Autoimmune Disease. Medical progress, 2004; 31: 228-232.
20. Houssiau FA. Management of Lupus Nephritis: An Update. J Am Soc Nephrol, 2004; 15: 2694-2704.
21. Schwartz MV, D’Agati VD, Weening JJ, Seshan SV, Alpers CE, et al. The Classification of Glomerulonephritis In Systemic LupusEythematosus Revisited. J Am Soc Nephrol, 2004; 15: 241-250.
22. Wachjudi RG, Dewi S. R Pramudyo: Diagnosis dan Terapi Penyakit Reumatik. Edisi 1 tahun 2006. Sagung Seto. Jakarta
23. Saragih P. Gambaran Klinis Penderita Lupus rawat inap di Rumah Sakit dr Hasan Sadikin In: KOPAPDI 2009. Jakarta; 2009.
24. Wachjudi RG, Pramudiyo R. Diagnosis dan Terapi Lupus. Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung. 2006.
25. Hahn BV. Systemic Lupus Erythematosus. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci S, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005. p.19601967.
26. Wachjudi RG and Kusumagiri RSRK . Diagnosis dan penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik . Buku Makalah Lengkap Peralmuni 2013