kamglob fiiiiiix
-
Upload
randy-brahmantyo -
Category
Documents
-
view
152 -
download
5
Transcript of kamglob fiiiiiix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak pertama kali ditemukan, nuklir telah digunakan sebagai senjata. Senjata
nuklir pertama kali digunakan pada tahun 1945 oleh Sekutu untuk menundukkan
Jepang dalam Perang Dunia II. Namun, sebagai sebuah strategi keamanan, nuklir baru
menemukan tempatnya pada masa Perang Dingin. Pada masa ini, ke dua Blok yang
saling bertikai (Timur dan Barat) menggunakan nuklir sebagai strategi pertahanan
menghadapi kemungkinan serangan musuh.
Walaupun senjata nuklir telah pernah digunakan untuk memenangkan perang,
sejarah memperlihatkan bahwa sebagai sebuah persenjataan, nuklir lebih banyak
digunakan sebagai instrumen penangkalan (deterrence) daripada instrumen untuk
memenangkan perang. Hal ini kemungkinan terjadi karena kedua Blok yang saling
bertikai, pada masa Perang Dingin, memiliki kemampuan nuklir yang relatif
berimbang, sehingga kedua belah pihak sama-sama merasa akan terkena dampak
besar jika terjadi perang nuklir.
Di dalam strategi penangkalan (nuclear deterrence), nuklir digunakan untuk
mencegah negara musuh melakukan serangan, dengan memberikan jaminan bahwa
serangan tersebut akan dibalas menggunakan senjata nulir yang akan menimbulkan
kerugian lebih besar dari tujuan yang hendak dicapai negara lawan.
Dalam menjalankan strategi penangkalan ada dua mekanisme yang dapat
digunakan. Mekanisme pertama adalah punishment yang menitikberatkan pada
penggunaan senjata ofensif dan mengandalkan serangan balik terhadap sasaran non-
militer (countervalue). Keefektifan dari mekanisme ini terletak pada kemampuan
menyelamatkan jumlah senjata ofensif yang dimiliki dari serangan pertama (first
strike) lawan. Mekanisme kedua adalah denial yang melibatkan penggunaan kekuatan
militer secara langsung untuk mencegah negara lawan melakukan serangan pada
kawasan yang dikuasai. Mekanisme ini menitikberatkan pada penggunaan senjata
defensif dan mengandalkan serangan terhadap obyek-obyek militer (counterforce).
Sebagaimana telah disinggung di atas, pada masa perang dingin penggunaan
strategi nuklir didominasi oleh Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok
Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Pada awalnya monopoli senjata nuklir berada
di tangan Amerika Serikat, yaitu sejak tahun 1945 hingga 1949. Uni Soviet baru
menguasai teknologi nuklir pada tahun 1949, namun belum memiliki minat untuk
mengembangkan persenjataan nuklir. Hal ini disebabkan oleh dominasi pemikiran
Joseph Stalin di dalam perumusan strategi militer Uni Soviet. Stalin merupakan
penafsir ortodoks pemikiran Marx dan Engels. Kedua tokoh tersebut menyatakan
bahwa kemenangan di dalam setiap pertempuran hanya ditentukan oleh disiplin moral
pasukan. Oleh Stalin, premis tersebut kemudian dirumuskan dan dibakukan sebagai
unsur utama untuk memenangkan perang. Selain itu, Stalin juga sangat percaya pada
kekuatan konvensional dan tidak percaya pada serangan-pendadakan (surprise
attack).1
Untuk menghadapi Uni Soviet yang telah mampu menguasai teknologi nuklir,
Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1950-an mengembangkan strategi massive
retaliation. Strategi ini menyatakan bahwa kekuatan nuklir strategis dan taktis
Amerika Serikat digunakan tidak saja untuk menangkal serangan nuklir terhadap
Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya melainkan juga untuk menangkal setiap
serangan negara-negara komunis terhadap negara lain di seluruh dunia. Untuk
mendukung strategi tersebut Amerika Serikat mengembangkan bom hidrogen, senjata
nuklir taktis dan pesawat pembom jarak jauh (B-52). Pada tahun 1953 senjata-senjata
nuklir taktis tersebut mulai ditempatkan di Eropa dan pada tahun 1955 pesawat
pembom strategis B-52 mulai beroperasi.2
Pembahasan mengenai strategi nuklir pasca Perang Dingin akan difokuskan
pada strategi nuklir Amerika Serikat. Hal ini didasari oleh fakta bahwa hingga kini
Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara yang memiliki keunggulan nuklir.
Tumbangnya komunisme menyebabkan Amerika Serikat mengubah strategi
nuklirnya. Pada tahun 1991, George Bush mengurangi secara masif jumlah
persenjataan nuklirnya dengan memusnahkan senjata-senjata nuklir yang terpasang di
kapal-kapal perangnya dan ribuan senjata nuklir landas daratnya, terutama yang
1 J. Kusnanto Anggoro, “Strategi Penangkalan Uni Soviet”, Jurnal Analisa, No. 2, Tahun 1986.2 A.R. Sutopo, “Perkembangan Pemikiran Strategi Nuklir Barat”, Jurnal Analisa, No. 2, Tahun 1986.
terdapat di Jerman Barat. Tujuan dari pemusnahan ini adalah, selain merasa
kemungkinan Perang Dunia Ketiga tidak akan terjadi, juga untuk mendorong para
pemimpin di Uni Soviet melakukan hal yang serupa.3
Pasca perang dingin mendorong Amerika Serikat untuk mengembangkan
pengaturan pengontrolan senjata nuklir. Upaya Amerika Serikat ini berpusat pada
perjanjian START (Strategic Arms Reduction Treaty) II yang disepakati tahun 1993.
START II berisikan kesepakatan Amerika Serikat dan Rusia untuk mengurangi
jumlah senjata nuklirnya: dari 12.000 hulu ledak nuklir pada tahun 1990 menjadi
antara 3000 dan 3500 pada tahun 2003. Namun, pada tahun 1997 masa
pengurangannya diperpanjang hingga tahun 2007 karena persoalan politik dan teknis.
Selain itu, Amerika Serikat juga bekerjasama dengan negara-negara eks-Uni Soviet
lainnya untuk mencegah penyebaran senjata-senjata nuklir akibat “kebocoran
nuklir”.4
Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty) adalah
suatu perjanjian yang ditandatangi pada 1 Juli 1968 yang membatasi kepemilikan
senjata nuklir. Sebagian besar negara berdaulat (187) mengikuti perjanjian ini,
walaupun dua di antara tujuh negara yang memiliki senjata nuklir dan satu negara
yang mungkin memiliki senjata nuklir belumlah meratifikasi perjanjian ini. Perjanjian
ini diusulkan oleh Irlandia dan pertama kali ditandatangani oleh Finlandia. Pada
tanggal 11 Mei 1995, di New York, lebih dari 170 negara sepakat untuk melanjutkan
perjanjian ini tanpa batas waktu dan tanpa syarat. Perjanjian ini memiliki tiga pokok
utama, yaitu nonproliferasi, perlucutan, dan hak untuk menggunakan teknologi nuklir
untuk kepentingan damai.5
3 Andrew Butfoy, “The Future of Nuclear Strategy” di dalam Craigh A. Snyder, Contemporary Security and Strategy, London: McMillan, 1999.4 Andrew Butfoy, “The Future of Nuclear Strategy” di dalam Craigh A. Snyder, Contemporary Security and Strategy, London: McMillan, 1999.5 Bipartisan Security Group, Status of Nuclear Non-Proliferation Treaty, Interim Report (Global SecurityInstitute, June 2003), preface.
1.2 Perumusan Masalah
Dalam makalah ini ada beberapa pokok yang menjadi acuan pembahasan. Antara
lain:
Seperti yang kita ketahui, nuklir telah mengakhiri Perang Dunia II. Nuklir
juga telah menjadi acuan perlombaan senjata pada Perang Dingin. Lalu
bagaimanakah perkembangan nuklir pasca Perang Dingin?
Defensive realism menitikberatkan deterrence theory dalam memandang
perkembangan nuklir. Seperti apakah pandangan realisme tentang
perkembangan senjata nuklir pasca Perang Dingin?
Perkembangan senjata nuklir diklaim dapat mengancam perdamaian dunia.
Perjanjian apa saja yang memfokuskan pada pengontrolan perkembangan dan
penggunaan senjata nuklir di dunia internasional?
BAB II
LANDASAN TEORI DAN METODE ANALISIS
2.1 Landasan Teori
Dalam membahas isu tentang nuklir ini kami mengambil pendekatan melalui
pandangan defensive realism karena sifat detterence dari senjata nuklir itu sendiri
yang bersifat defensive. Sebagaimana mengutip dari kaum realist dimana kapabilitas
militer merupakan aspek utama dari power sebagaimana pandangan realist mengenai
perang itu sendiri. Pengertian perang secara formal dipahami sebagai situasi dimana
terjadi pertikaian di antara dua pihak atau lebih yang berlawanan dengan
menggunakan kekuatan militer. Dalam memandang perang, Realis sebagai pandangan
tertua dalam ilmu Hubungan Internasional mengatakan:
a. Perang merupakan fenomena yang harus terjadi dalam situasi yang anarki, hal ini
berangkat dari asumsi dasar Realis tentang Anarkisme Internasional.
b. Perang merupakan hal yang wajar terjadi, tidak hanya dikondisikan oleh struktur
yang anarki tetapi juga dikendalikan oleh sifat dasar manusia. Pemikiran ini
berangkat dari asumsi dasar kaum Realis bahwa manusia adalah makhluk
irasional dan senantiasa memiliki sifat dan keinginan dasar untuk berkelahi
(Hobbes).
c. Perang adalah fenomena wajar dan seringkali tidak dapat dihindari terutama
dalam pembentukan struktur sistem internasional.
d. Perang adalah lambang kejayaan negara.
e. Perang dianggap sebagai hal yang baik dan bermanfaat bagi pencapaian tujuan
dan demi mempertahankan kepentingan nasional dan eksistensi suatu bangsa.
Realis berasumsi bahwa lawan akan selalu menyerang terlebih dahulu dan
segera, sehingga sebelum hal itu terjadi maka perlu disiapkan kekuatan militer baik
untuk kebutuhan pertama maupun untuk penangkalan. Hal inilah yang membuat
Realis memandang strategi perang sebagai bagian penting dari strategi pertahanan
negara. Oleh Realis, perang kemudian juga diartikan sebagai “perlindungan terhadap
kemungkinan serangan pertama lawan”.
Realisme adalah dominan yang teori yang dominan. ia menggambarkan bahwa
struggle of power umumnya pesimis tentang prospek untuk menghilangkan konflik
dan perang. realisme mendominasi karena menyediakan penjelasan yang simple
namun sangat powerful mengenai perang.
Sifat deterrence yang dimiliki oleh Nuklir membuatnya sebagai alat keamanan
yang baik bagi sebuah negara terhadap serangan negara lain. Deterrence ini
meyakinkan lawan dari negara itu dari tindakan tertentu akan lebih besar daripada
aspek potensi keuntungan. ada 3 aspek yang menjadik sifat deterrence dari nuklir itu
berhasil.
a. Komitmen
alasan yang dimiliki oleh negara itu harus dapat memperjelas tindakannya untuk
menghukum lawannya jika tindakannya tidak dapat diterima oleh nedara dan tidak
mempunyai ambiguitas sebelum adanya agresi.
b. Kapabilitas
aspek yang merujuk pada kemampuan untuk melakukan kerusakan yang pada pihak
lawan
c. kredibilitas
resoluasi dan motivasi dari negara untuk membuktikan komitmen untuk membalas
negara lawan.
Adanya sifat deterrence ini menjadikannya sangat cocok untuk dianalisis
mengunakan pendekatan Defensive Realist. Defensive Realist sendiri merupakan
turunan dari Realisme yang menyatakan bahwa setiap negara memiliki fokus pada
pertahanan dirinya yang dilakukan dengan menghalangi dan mempertahankan diri
dari kemungkinan serangan yang datang dari luar. Berbeda dengan Offensive Realist
yang menitik beratkan pada keinginin negara untuk selalu menjadi yang lebih kuat
dari negara lain, mereka selalu berusaha memperluas powernya dengan menyerang
negara lain.
Sebagaimana pendapat para penganut Defensive Realist yakni:
Stephen Walt :
“Sebuah negara akan bereaksi bukan pada power yang dimiliki negara lain
tetapi pada kemungkinan negara lain untuk menjadi ancaman bagi negara
tersebut”
“Dalam sistem yang anarki, negara membentuk aliansi untuk
mempertahankan diri sendiri. Terlepas dari power yang mereka miliki,
aksi mereka ditentukan berdasarkan ancaman yang mereka terima atau
mereka interpretasikan.”6
Fareed Zakaria:
“sistem internasionakl memberikan insentif hanya pada kecenderungan
negara yang bersifat moderat dan beralasan, negara berusaha untuk
memaksimalkan securitynya bukan power karena security sangat penting
dalam sisten internasional”
John Measheimer
“kerjasama yang terjalin diantara great powers dapat mengurangi risiko
dari sistem internasional yang anarki dan akan memperkecil dampak dari
dilema keamanan.”
Kenneth Waltz
“adanya sistem anarki yaitu tidak adanya pusat kewenangan untuk
melindungi negara dari satu sama lain. setiap negara memiliki
kewenangan untuk bertahan hidup sendiri. waltz berpendapat bahwa
kondisi ini akan menyebabkan negara-negara yang lebih hemat untuk
keseimbangan terhadapa bukan ikut-ikutan dengan saingan yang lebih
kuat. dan ia mengklaim bipolaritas yang lebih stabil daripada
multipolaritas.”
6 Stephen Walt on Collin. E . “ Security Studies ; an introduction” , Routledge, New York, 2008. P.21
2.2. Metode Analisis
Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan sistem analisis SWOT
(Strength, Weakness, Opportunities dan Treat) untuk menganilisis isu mengenai
nuklir yang kami ambil untuk penulisan makalah ini. Berikut adalah penjelasannya.
Strenght
Banyaknya konflik-konflik yang tengah terjadi di dunia saat ini memaksa
negara-negara di dunia untuk mengembangkan dan meningkatkan kapabilitas militer
negaranya. Salah satu contoh pengembangan dan peningkatan kapabilitas militer
suatu negara adalah dengan mengembangkan WMD (Weapon Mass Destruction)
agar negara tersebut memiliki daya deterrence yang kuat terhadap negara lain
khususnya bagi negara-negara yang memiliki pengaruh besar terhadap negara-negara
lainnya.
Weakness
Kelemahan dari WMD (Weapon Mass Destruction) ini adalah dapat membunuh
dan melukai non-combatan. Oleh karena itu, penggunaan senjata ini diatur oleh
perjanjian-perjanjian internasional. Selain itu, kelemahan lain dari pengembangan
senjata ini adalah membutuhkan biaya yang sangat mahal dan bahan dasar pembuatan
dasar senjata ini yang menggunakan uranium sangatlah terbatas.
Opportunities
Seiring dengan berkembangnya teknologi, saat ini negara manapun dapat saja
mengembangkan nuklir dengan tujuan apapun. Penggunaan nuklir ini tidak harus
selalu digunakan sebagai senjata, namun bisa juga digunakan sebagai PLTN
(Pembangkit Tenaga Listrik Nuklir) sebagai contoh. Sekalipun ada pihak yang ingin
mengembangkan nuklir untuk dijadikan WMD (Weapon Mass Destruction) saat ini
ada IAEA yang menjaga sekaligus mengontrol pengembangan nuklir sebagai WMD
(Weapon Mass Destruction).
Treat
Premis yang biasa terdapat di sekitar masalah persenjataan adalah semakin
banyak senjata yang tersedia maka semakin banyak yang dapat digunakan. Oleh
karena itu penggunaan senjata nuklir ini dalam strategi militer ini mengubah banyak
pandangan mengenai security dilemma saat ini. Berikut adalah pandangan yang
muncul di dunia saat ini.
1. Kehancuran yang disebabkan oleh penggunaa WMD (Weapon Mass Destruction)
dapat meningkatkan insentif setiap negara untuk saling berlomba mendapatkan
teknologi senjata ini dan mengembangkannya yang berarti meningkatkan arm
race.
2. Jika sampai perang menggunakan senjata nuklir ini terjadi maka tidak ada
pertahanan sehebat apapun yang dapat mencegah akibat penggunaannya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Nuklir Pasca Perang Dingin
Perkembangan nuklir yang begitu pesat dan adanya perubahan revolusioner
dalam tataran strateginya membuat banyak kalangan percaya pada sebuah norm akan
munculnya disappearance of trial, karena dahsyatnya dampak negatif yang akan
ditimbulkan sehingga selama ini nuklir memang diklaim hanya sebagai strategi
penangkalan. Untuk memantapkan hal itu sejumlah negara melakukan suatu
perjanjian bersama yang dikenal dengan Non-Proliferation Treaty (NPT)6 pada 1 Juli
1968. Pada dasarnya perjanjian ini memiliki tiga pokok utama, yaitu non-proliferasi,
pelucutan senjata nuklir, dan hak penggunaan teknologi nuklir untuk kepentingan
damai. Tetapi yang menjadi kecemasan negara-negara penandatanganan perjanjian
tersebut adalah tidak semua negara ternyata ikut terlibat dalam perjanjian itu. Bahkan
kepada kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia dan China, mereka diberikan
keleluasaan untuk tetap memiliki senjata nuklir berdasarkan Perjanjian Non-
Proliferasi itu sendiri, sehingga mereka dikenal dengan sebutan negara pemilik
senjata nuklir atau Nuclear Weapon States.
Walaupun kelima negara pemilik nuklir tersebut telah menyetujui untuk tidak
menggunakan senjata nuklirnya terhadap negara-negara non-nuklir, tetapi tetap saja
mereka memberikan pengecualian untuk merespon jikalau terdapat serangan nuklir
atau serangan konvensional yang ditujukan kepadanya. Hal ini berarti mengisyaratkan
bahwa sebenarnya tidak ada satu negara pun di dunia ini yang terbebas dari ancaman
serangan nuklir. Dengan kata lain, penggunaan nuklir sebagai alat untuk
memenangkan perang akan merubah konstelasi politik internasional karena secara
rasional, negara akan mementingkan national interest dengan instrumen military
power7 termasuk di sini adalah nuklir itu sendiri. Anggapan ini cukup beralasan jika
7 Anak Agung Banyu Perwita (2007). “ Redefinisi Konsep Keamanan: Pandangan Realisme dan Neo-Realisme dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Dalam Yulius P. Hermawan (ed.). dalam “Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Bandnung: Graha Ilmu
kita melihat bahwa pada kenyataannya pengembangan kepemilikan Weapon of Mass
Destruction seperti halnya senjata nuklir memperlihatkan domino effect theory.
Apabila satu pihak disinyalir akan memulai, maka yang lainnya – pesaing atau musuh
– akan mengambil langkah yang sama (mirror- image) untuk bisa mengunggulinya.
Fenomena penggunaan nuklir tidak terhenti hanya pada perjanjian NPT saja.
Pasca perjanjian itu, India yang tidak pernah menjadi anggota NPT tetapi melakukan
uji coba senjata nuklir yang diklaim sebagai senjata nuklir damai dengan sandi
Smiling Buddha pada 1974 dan menjadi uji coba nuklir pertama pasca
ditandatanganinya perjanjian NPT sehingga mendapat pertanyaan dunia bagaimana
teknologi nuklir sipil bisa digunakan untuk kepentingan persenjataan. Bahkan pada
tahun 1998, uji coba kedua dengan sandi Operasi Shakti dilakukan. Disinyalir hal ini
untuk menunjukkan pada RRC bahwa India juga memiliki kemampuan di bidang
nuclear weapons. Kesemuanya itu merupakan hasil kerjasama India dengan Amerika
Serikat. Suatu tindakan yang diharamkan berdasarkan Bab 3 ayat 2 Perjanjian NPT
yang menyebutkan, negara-negara pemilik teknologi nuklir dilarang untuk
mengirimkan peralatan atau mentransfer teknologi ke negara-negara non-NPT8,
bahkan untuk proyek nuklir bertujuan damai sekalipun. Hal ini ditetapkan dengan
alasan bahwa negara-negara non-NPT berada di luar pengawasan IAEA sehingga
aktivitas mereka tidak bisa dikontrol.
Secara teoretik, sebagaimana telah disebutkan di atas, nuklir lebih diarahkan
sebagai deterrence strategy. Apalagi pasca tumbangnya komunisme menyebabkan
Amerika Serikat mengubah strategi nuklirnya9. Pada tahun 1991, George Bush
mengurangi secara masif jumlah persenjataan nuklirnya dengan memusnahkan
senjata-senjata nuklir yang terpasang di kapal-kapal perangnya dan ribuan senjata
nuklir landas daratnya, terutama yang terdapat di Jerman Barat.
Tujuan dari pemusnahan ini adalah, selain merasa kemungkinan Perang Dunia
Ketiga tidak akan terjadi, juga untuk mendorong para pemimpin di Uni Soviet
melakukan hal yang serupa. Pada tahun 1994 dilakukan peninjauan ulang atas sifat,
peran dan jumlah senjata-senjata nuklir Amerika Serikat. Hasil dari peninjauan ulang
ini adalah Nuclear Posture Review (NPR) 1994. Namun, isi dari NPR 1994 ini masih
8 “Resolusi Embargo Iran dan Self Delegitimation PBB”, Harian Padang Ekspress, 26 April 20079 Sebagaimana dipublikasikan oleh Bulletin of the Atomic Scientists, edisi 2006
bersifat konservatif. Amerika Serikat masih mengambil sikap yang terbilang fleksibel
dalam menghadapi perubahan politik internasional yang terjadi.
Pasca Perang Dingin mendorong Amerika Serikat untuk mengembangkan
pengaturan pengontrolan senjata nuklir. Upaya Amerika Serikat ini berpusat pada
perjanjian START (Strategic Arms Reduction Treaty) II yang disepakati tahun 1993.
START II berisikan kesepakatan Amerika Serikat dan Rusia untuk mengurangi
jumlah senjata nuklirnya: dari 12.000 hulu ledak nuklir pada tahun 1990 menjadi
antara 3000 dan 3500 pada tahun 2003.
Perkembangan senjata nuklir saat ini bisa dibilang memang tetap
mengimplikasikan deterrence theory dan masih menjadi sebuah ajang arm-race bagi
negara-negara di dunia, dengan kecenderungan mengejar nilai prestis dan atas dasar
fenomena security dilemma yang terjadi dalam sistem internasional walaupun telah
ada perjanjian-perjanjian dan aturan-aturan yang telah diimplementasikan.
3.2 Pandangan Realisme Terhadap Pengembangan Senjata Nuklir Paska Perang
Dingin.
Penggunaan nuklir sebagai alat untuk memenangkan perang akan merubah
konstelasi politik internasional karena secara rasional, negara akan mementingkan
national interest dengan instrumen military power10 termasuk di sini adalah nuklir itu
sendiri. Anggapan ini cukup beralasan jika kita melihat bahwa pada kenyataannya
pengembangan kepemilikan Weapon of Mass Destruction seperti halnya senjata
nuklir memperlihatkan domino effect theory. Apabila satu pihak disinyalir akan
memulai, maka yang lainnya – pesaing atau musuh – akan mengambil langkah yang
sama (mirror- image) untuk bisa mengunggulinya.
Perlombaan Senjata (Arm Race) yang terjadi di dunia saat ini, memang
mengimplikasikan deterrence theory, yang mana merupakan salah satu empasis dari
perspektif defensive realism. Menurut Stephen Walt, yang merupakan salah satu
pemikir defensive realism, “Sebuah negara akan bereaksi bukan pada power yang
10 Lihat Anak Agung Banyu Perwita (2007). “ Redefinisi Konsep Keamanan: Pandangan Realisme dan Neo-Realisme dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Dalam Yulius P. Hermawan (ed.). dalam “Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Bandnung: Graha Ilmu
dimiliki negara lain tetapi pada kemungkinan negara lain untuk menjadi ancaman
bagi negara tersebut” Dalam sistem yang anarki, negara membentuk aliansi untuk
mempertahankan diri sendiri. Terlepas dari power yang mereka miliki, aksi mereka
ditentukan berdasarkan ancaman yang mereka terima atau mereka interpretasikan.
Dalam hal ini nuklir tidak diinterpretasikan sebagai senjata yang “siap pakai”,
melainkan sebagai instrumen bagi suatu negara untuk menangkal pengaruh serta
potensi ancaman dari negara lain, yang pada beberapa kasus, negara – negara
hegemon. Meskipun sudah tidak ada “dinamika” bipolaritas dalam sistem
internasional seperti pada masa perang dingin, penggunaan senjata nuklir sebagai
instrumen pencegahan (baca : deterrence) tetap diadopsi oleh beberapa negara yang
memiliki kapabilitas dalam mengembangkan nuklir.
Dengan banyaknya negara – negara yang memiliki kapabilitas dalam
mengembangkan nuklir, banyak negara - negara lain yang terpengaruh untuk
memiliki kapabilitas tersebut. Hal ini terjadi karena adanya kesempatan bagi negara –
negara yang juga ternyata memiliki kapabilitas untuk mengembangkan senjata nuklir
guna turut memiliki sifat deterrence tersebut.
Premis yang biasa terdapat di sekitar masalah persenjataan adalah semakin
banyak senjata yang tersedia maka semakin banyak yang dapat digunakan. Oleh
karena itu penggunaan senjata nuklir ini dalam strategi militer ini mengubah banyak
pandangan mengenai security dilemma saat ini. singkatnya, terciptanya WMD tidak
lepas dari konflik – konflik yang terjadi yang terjadi, menyebabkan suatu negara
harus memiliki kapabilitas militer yang kuat, guna memiliki daya deterrence yang
kuat terhadap potensi ancaman eksternal.
3.3 Deterrence Theory
Meskipun senjata nuklir telah pernah digunakan untuk memenangkan perang,
sejarah menunjukkan sebagai sebuah persenjataan, nuklir lebih banyak digunakan
sebagai instrumen penangkalan (deterrence) daripada untuk memenangkan perang.
Hal tersebut kemungkinan terjadi karena kedua Blok baik Barat maupun Timur yang
saling bertikai saat Perang Dingin, memiliki kapasitas nuklir yang relatif berimbang,
sehingga kedua belah pihak merasa akan terkena dampak besar jika sampai terlibat
perang nuklir.
Di dalam nuclear deterrence, nuklir digunakan untuk mencegah negara musuh
melakukan serangan, dengan memberikan jaminan bahwa serangan tersebut akan
dibalas menggunakan senjata nuklir yang akan menimbulkan kerugian lebih besar
dari tujuan yang hendak dicapai negara lawan dan hal ini juga yang membuat bahwa
nuclear strategy lebih bersifat executive decision.
Misalkan kita tahu bahwa negara tetangga kita memiliki senjata nuklir, pasti
dalam kebijakan negara kita akan ada suatu strategi untuk menangkalnya entah itu
dengan mengadakan perjanjian non-agresi ataupun melakukan deterrence dengan cara
mengembangkan persenjataan penangkal lebih lanjut yang kira-kira efektif untuk
menangkal serangan senjata itu dan bahkan kita dapat membalasnya.
Terdapat dua tipe utama deterrence yaitu:
General Deterrence mencoba untuk mengcounter persuasi dari lawan dalam
rangka menghadapi tantangan terhadap national interest.
Sedangkan Immediate Deterrence adalah respon terhadap hal yang lebih spesifik
terahadap resiko atau ancaman untuk masa yang akan datang.
Deterrence yang berhasil dengan baik mensyaratkan “three Cs”:
Commitment
Merupakan langkah awal dalam deterrence, yang harus dimulai dengan jelas dan
tidak mengandung ambiguitas sebelum pihak lawan melakukan tindakan agresi.
Negara yang bersangkutan harus memperjelas tindakannya untuk menghukum pihak
lawan jika mereka melakukan tindakan yang tidak dapat diterima oleh defender.
Capability
Merupakan sebuah aspek yang merujuk pada kemampuan untuk melakukan
kerusakan yang parah pada aggressor.
Credibility
Resolusi dan motivasi dari defending state untuk membuktikan komitmen untuk
membalas Negara aggressor.
Dalam hal ini lawan harus bersikap cukup rasional untuk menyadari perkiraan
biaya yang harus dikeluarkan dan keuntungan dari penyerangan tersebut. Kedua
pihak mengembangkan apa yang disebut sebagai kemampuan ”serangan kedua”
(second strike), yang berarti mereka bisa melancarkan serangan menghancurkan,
bahkan setelah menderita serangan penuh (first strike) dari pihak lawan. Serangan
kedua ini khususnya dilakukan dari kapal selam. Strategi ini dikenal dengan nama
Mutual Assured Destruction (MAD) atau ”Kehancuran Pasti Dua Belah Pihak”.
3.4 Proliferation Treaties
Perjanjian-Perjanjian Senjata Nuklir11
1. Limited Test Ban Treaty, 1963
Negara : United Kingdom, United States, USSR, dan lebih dari 100 negara
lainnya kecuali Perancis dan China.
Komitmen : Meng-ilegal-kan ledakan nuklir diudara, bawah air, dan luar
angkasa. Percobaan bawah tanah masih diperbolehkan.
2. Non-Proliferation Treaty (NPT), 1968
Negara : Lebih dari 100 negara
Komitmen : Melarang “nuclear weapon states” membantu negara lain
untuk mendapatkan senjata nuklir. “non-nuclear weapon state” terlarang
untuk memproduksi atau dengan kata lain mendapatkan senjata nuklir dan
penting untuk memasukkan program nuklir mereka untuk dimonitoring oleh
International Atomic Energy Agency (IAEA).
3. Threshold Test Ban Treaty, 1974
Negara : United States, USSR
11 Steven Spiegel. World Politics in New Era. Belmont. 2002
Komitmen : Membatasi ledakan bawah tanah hingga batas tertinggi
yaitu 150 kilotons.
4. Strategic Arms Limitation Treaty (SALT I), 1972
Negara : United States, USSR
Komitmen : Perjanjian sementara menetapkan batas maksimum dari
pengiriman senjata land and sea based strategic nuclear. Kedua belah pihak
diizinkan untuk memilikinya sementara, dalam negosiasi perjanjian yang lebih
substantive yang akan ditandatangani dalam waktu yang akan datang. Tidak
ada pengorbanan yang penting bagi kedua belah pihak karena hal ini tidak
merupakan perubahan kualitatif yang illegal seperti MIRVs.
5. Anti-Ballistic Missile (ABM) Treaty, 1972
Negara : United States, USSR
Komitmen : Membatasi kedua belah pihak untuk tidak memiliki lebih
dari dua lokasi ABM, dengan tidak lebih dari 100 interceptor misil setiap
lokasinya. Protocol tambahan pada tahun 1947 lebih membatasi penggunaan
ballistic missile defense system kepada sebuah lokasi yang didesain oleh satiap
Negara. United States keluar dari perjanjian ini pada tahun 2002.
6. SALT II, 1979
Negara : United States, USSR, tidak pernah diratifikasi oleh senat US,
karena invansi Soviet ke Afganistan
Komitmen : Walaupun tidak diratifikasi, kedua belah pihak tetap
mempunyai rencana yang besar terhadap perjanjian ini, dimana maksimal
kira-kira 2.400 peluncuran nuklir bagi kedua superpower mulai akhir 1981
sampai perjenjian berakhir 1985.
7. Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) Treaty, 1987
Negara : United States, USSR
Komitmen : Mengeliminasi secara total misil nuklir dengan range 310
menjadi 3.400 mil
8. Strategic Arms Reduction Treaty (START I), 1991
Negara : United States, USSR
Komitmen : perjanjian persenjataan pertama yang memandatkan
pengurangan original dalam senjata strategis. Parameter utama di tetapkan
1.600 peluncuran nuklir dan 6.000 warheads untuk masing-masing Negara.
9. START II, 1993
Negara : United States, USSR
Komitmen : Mengurangi nuklir strtegis antara 3.000 sampai 3.500
warheads pada 2003. mengeliminasi MIRVed ICBMs secara penuh, SLBM
warheads dibatasi hingga 1.750.
10. Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty, 1996
Negara : Lebih dari 100 negara
Komitmen : Melarang percobaan nuklir segala jenis peledak nuklir.
Tidak hingga 2003
11. Strategic Offensive Reduction Treaty (SORT), 2002
Negara : United States, USSR
Komitmen : Mengurangi persediaan persenjataan nuklir hingga antara
1.700 dan 2.200 pada tahun 2012.
Pilar – Pilar Persetujuan NPT 1968
Pilar pertama: Non-Proliferation
5 bangsa yang telah diakui oleh Non-Proliferation Treaties sebagai bangsa yang
memiliki teknologi senjata nuklir, yaitu:
1968 – Uni Soviet (Obligasi dan hak asasi diasumsikan oleh Federasi Rusia),
Inggris dan Amerika Serikat
1992 – Cina dan Perancis
Amerika, Inggris dan Uni Soviet adalah bangsa-bangsa yang hanya terbuka
dalam hal kepemilikannya terhadap senjata nuklir antara perjanjian asli yang telah
diratifikasi, yang mulai diberlakukan pada tahun 1970). 5 bangsa ini setuju untuk
tidak mentransfer senjata nuklir atau perangkat apapun untuk meledakkan nuklir dan
tidak dengan cara apapun untuk membantu, mendorong, atau menyebabkan bangsa-
bangsa yang tidak memiliki senjata nuklir (NNWS – Non-Nuclear Weapon States)
untuk memperoleh senjata nuklir. Anggota NNWS setuju untuk menerima,
mengembangkan, ataupun memperoleh senjata nuklir atau perangkat apapun yang
digunakan untuk meledakkan nuklir dan mereka juga setuju untuk mendapatkan
keamanan dari International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk memferivikasikan
dimana mereka tidak akan mengubah energi nuklir dari penggunaannya yang damai
menjadi senjata nuklir ataupun perangkat apapun yang digunakan untuk meledakkan
nuklir.
Kelima anggota negara yang memiliki senjata nuklir telah membuat usahanya
untuk tidak menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara yang tidak memiliki
senjata nuklir (NNWS), kecuali dalam hal respon terhadap ancaman mengenai
serangan menggunakan senjata nuklir ataupun serangan yang bersifat konvensional di
dalam aliansinya dengan bangsa-bangsa yang memiliki teknologi senjata nuklir.
Bagaimanapun juga, usaha-usaha ini belom dikorporasi secara formal kedalam
sebuah perjanjian dan rincian yang tepat telah bervariasi dari waktu ke waktu.
Amerika Serikat juga memiliki hulu ledak nuklir yang ditargetkan kepada Korea
Utara, sebuah negara NNWS, dari tahun 1959 hingga tahun 1991. Mantan Menteri
Pertahanan Inggris, Geoff Honn, telah secara eksplisit memunculkan kemungkinan
penggunaan negara yang memiliki senjata nuklir di dalam responnya terhadap
serangan non-konvensional “rogue states”. Presiden Perancis Jackues Chirac
mengindikasikan bahwa insiden terorisme yang disponsori oleh sebuah negara di
Prancis dapat memicu sebuah tindakan balasan dengan menggunakan nuklir dalam
skala yang kecil yang mengarah dalam menghancurkan kekuatan utama dari “rogue
states” .
Pilar kedua: pelucutan senjata
Pembukaan atau kata pengantar dari Non-Proliferation Treaties mengandung
bahasa yang menegaskan keinginan penandatangan perjanjian untuk meredakan
ketegangan internasional dan memperkuat kepercayaan internasional dan keinginan
penandatangan perjanjian untuk meredakan ketegangan internasional dan perjanjian
mengenai perlucutan senjata umum dan lengkap yang melikuidasi, khususnya
persenjataan nuklir dan kendaraan-kendaraan yang dipergunakan dalam hal
pengiriman yang mereka punya dari persenjataan tradisional.
Beberapa pemerintah, terutama yang berasal dari negara yang tidak memiliki
teknologi senjata nuklir yang dimiliki oleh Gerakan Non-Blok, telah
menginterpretasikan bahasa artikel VI menjadi suatu hal yang samar-samar. Dalam
pandangan mereka, Artikel VI mengkonstitusikan sebuah obligasi yang formal dan
spesifik di dalam Non-Proliferation Treaties – menyadari bahwa senjata nuklir yang
dimiliki oleh bangsa-bangsa yang memilikinya melucuti persenjataan nuklir yang
mereka miliki, memiliki pendapat dan berargumen bahwa bangsa-bangsa ini gagal
untuk menemukan atau menentukan obligasinya. Beberapa delegasi kepemerintahan
untuk menghadiri konferensi pelucutan senjata dengan menaruh 4 buah proposal
untuk kebijakan mengenai pulucutan senjata yang final dan bersifat universal.
Namun, tidak ada perjanjian mengenai pelucutan senjata yang telah muncul
sebelumnya dari 4 buah pengajuan proposal tersebut.
Kritik dari Non-Proliferation Treaties – sadar bahwa senjata nuklir yang
dimiliki oleh beberapa bangsa terkadang menjadi sebuah argumen yang mengatakan
dan memiliki pandangan bahwa hal tersebut adalah bukti kekegalan dari Non-
Proliferation Treaties – yang seharusnya menyadarkan bangsa-bangsa yang memiliki
teknologi senjata nuklir untuk melucuti persenjataan nuklir mereka, terutama pada
masa pasca perang dingin, telah membuat geram para anggota Non-Proliferation
Treaties terhadap perjanjian tersebut.
Pengamat yang lainnya telah menyarankan hubungan antara proliferasi dan
pelucutan senjata dapat juga bekerja dalam arah yang berbeda, bahwa kegagalan
untuk memperbaiki ancaman terhadap proliferasi di Iran dan Korea Utara, misalnya,
akan melumpuhkan prospek dari pelucutan senjata.
Pilar Ketiga: Kedamaian Dalam Penggunaan Energi Nuklir
Pilar ketiga mempersilahkan dan setuju terhadap pengiriman teknologi nuklir
dan material-materialnya kepada bangsa-bangsa yang menandatangani Non-
Proliferation Treaties untuk pengembangan energi nuklir untuk masyarakat bangsa-
bangsa tersebut, selama mereka bisa mendemonstrasikan bahkan membuktikan
bahwa pengembangan tersebut tidak digunakan untuk pengembangan teknologi
senjata nuklir.
Bangsa-bangsa yang telah menandatangani perjanjian sebagai bangsa yang tidak
memiliki dan akan mengembangkan teknologi senjata nuklir, akan tetap bahkan harus
menjaga statusnya untuk tidak mengembangkan teknologi senjata nuklir.
Bagaimanapun juga, sebagai contohnya Korea Utara tidak pernah mencapai ke tahap
pemenuhan terhadap perjanjian keamanan sesuai dengan Non-Proliferation Treaties
dan telah dikutip secara berulang-ulang untuk pelanggaran ini.
3.5 Hambatan – hambatan dalam pengendalian pengembangan senjata nuklir
Membatasi atau mengurangi pembuatan senjata nuklir adalah impian setiap
orang, pada kenyataannya hal ini berjalan cenderung lambat. Ada permasalahan
utama yang menjadi hambatan yaitu, security barriers, verification barriers dan
domextic barriers
Security barriers, menjadi penyebab utama dalam sulitnya melucuti negara-
negara pemilik senjata nuklir. Negara tersebut memikirkan kemungkinan konflik di
masa depan dimana dapat saja terjadi serangan dari teroris maupun rough state
dengan senjata pemusnah massal apalagi setelah tragedi 9/11, mereka (khususnya
AS) harus memiliki kemampuan untuk membalas dengan telak. Alasan keamanan
lainnya adalah, mereka ragu terhadap keuntungan ikut serta dalam perjanjian
mengenai senjata nuklir, apakah dengan menandatangani perjanjian tersebut memiliki
keuntungan yang lebih baik daripada mempertahankan sendiri kepemilikan senjata
nuklir tersebut? Pertanyaan seperti itulah yang timbul dalam benak setiap negara
pemilik nuklir yang ‘diajak’ untuk mengurangi senjatanya.
Verification Barriers, sikap ketidakpercayaan terhadap negara lain dan berpikir
bahwa negara lain tersebut akan bertindak curang. Jika suatu negara menandatangani
NPT (non-proliferation nuclear), negara tersebut harus bersedia di inspeksi setiap
fasilitas nuklir yang ada (on-site inspection) baik itu untuk pembangkit listrik maupun
fasilitas senjatanya. Dengan semakin majunya teknologi yang ada, verifikasi terhadap
suatu fasilitas nuklir menjadi lebih mudah.
Domestic barriers, setiap negara memiliki proses pengambilan keputusan yang
berbeda-beda, bisa saja jika suatu pemerintahan menginginkan untuk mengurangi
arsenal nuklir mereka akan tetapi di tentang oleh kaum oposisi atau pihak militer
yang tentunya memiliki kepentingan terhadap senjata tersebut. Hambatan domestik
lainnya adalah bahwa senjata nuklir menjadi kebanggan tersendiri bagi dalam negeri
mereka atau national pride, senjata nuklir menggambarkan kapabilitas tangible militer
mereka terhadap negara lain.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari uraian diatas kami menyimpulkan bahwa terciptanya senjata pemusnah
massal tidak lepas dari ancaman konflik yang mengintai setiap negara di dunia.
Berakhirnya perang dingin bukan lah akhir dari perlombaan persenjataan yang ada
didunia begitu juga dalam hal nuklir ini. Sifat nuklir yang deterrence menyebabkan
banyak negara yang walaupun tidak memiliki otoritas untuk mengembangkan nuklir
tetapi memiliki kapabilitas untuk mengembangkannya terpacu untuk turut memiliki
sifat deterrence ini.
Meskipun sudah tidak ada lagi pola bipolaritas dalam sistem internasional,
pencarian status deterrence ini telah mengubah pola dalam hubungan internasional
dimana kapabilitas nuklir yang dimiliki oleh negara-negara didunia bukannya
berkurang tetapi menjadi terbagi kedalam kutub-kutub hegemon kawasan. Selain
pencarian atas status deterrence, pengembangan kepemilikan Weapon of Mass
Destruction seperti halnya senjata nuklir memperlihatkan domino effect theory.
Apabila satu pihak disinyalir akan memulai, maka yang lainnya – pesaing atau musuh
– akan mengambil langkah yang sama (mirror- image) untuk bisa menangkalnya.
Nuklir merupakan fenomena yang menjadi dilemma bagi keamanan dunia
sebagai warisan perang dingin, namun permasalahan yang terjadi menjadi lebih
kompleks setelah berakhirnya perang dingin. Membatasi atau mengurangi pembuatan
senjata nuklir adalah impian setiap orang, pada kenyataannya hal ini berjalan
cenderung lambat. Ada permasalahan utama yang menjadi hambatan yaitu, security
barriers, verification barriers dan domextic barrier.
Bahaya dari nuklir ini jika digunakan adalah manusia terancam punah jika
perang nuklir benar-benar terjadi karena efek dari musim dingin nuklir dimana debu
terlontar ke langit dan menutupi sinar matahari sehingga tidak sampai ke bumi.
Menyadari akan hal itu kita semua tentu berharap negara yang tergabung dalam klub
elit nuklir seharusnya menghancurkan atau setidaknya mengurangi arsenal nuklirnya
yang ada demi pertimbangan kelangsungan umat manusia dari ancaman yang
sewaktu-waktu dapat menjadi sebuah bencana teknologi terdahsyat.
Melihat perkembangan teknologi nuklir sekarang, sangat penting sekali bagi
semua pihak mencermatinya dengan bijaksana, terutama tentang kemungkinan
negara-negara non-proliferation akan memiliki senjata nuklir. Sebenarnya cara-cara
Amerika yang mengancam untuk melakukan pre-emptive strike terhadap negara
tersebut sekarang ini sangat tidak efektif, akan lebih baik jika menggunakan jalur
dialog agar menemukan penyelesaian yang lebih bermartabat. Suatu negara bukan
tidak mungkin melucuti senjata nuklirnya, contohnya adalah Afrika Selatan yang
ketika Apharteid berlangsung berhasil menciptakan enam buah senjata nuklir, akan
tetapi dengan kerelaan sendiri membongkar kembali senjata yang dimilikinya. Ketika
suatu negara merasa bahwa senjata nuklir lebih banyak merugikan daripada
menguntungkan maka seketika itu pula seharusnya mereka menghapuskan semua
senjata nuklir yang ada di dunia ini.
International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai otoritas atom tertinggi di
bumi ini harus berani bertindak tegas dalam masalah senjata nuklir dengan selalu
rutin mengadakan inspeksi pada setiap negara yang memiliki fasilitas nuklir baik itu
sebgai senjata ataupun digunakan untuk keperluan lainnya. Akan tetapi peran IAEA
juga harus adil dalam artian tidak terkekang oleh tekanan dari negara maju seperti
Amerika Serikat yang menggunakan tangan IAEA sebagai pengatur monopoli nuklir.
Ada satu hal yang menjadi pertanyaan, haruskah kita melihat tragedi yang lebih
dahsyat dari pemboman Hiroshima-Nagasaki terjadi kembali? walaupun
kapabilitasnya yang sangat besar dalam hal menangkal ancaman dari luar dan sebagai
hard power yang sangat berpengaruh, perlombaan persenjataan nuklir hanya akan
membawa dunia dalam kondisi chaos dan memungkinkan pecahnya perang nuklir
yang akan berujung pada musnahnya umat manusia.
Daftar Pustaka
J. Kusnanto Anggoro, “Strategi Penangkalan Uni Soviet”, Jurnal Analisa, No. 2,
Tahun 1986.
A.R. Sutopo, “Perkembangan Pemikiran Strategi Nuklir Barat”, Jurnal Analisa,
No. 2, Tahun 1986.
Andrew Butfoy, “The Future of Nuclear Strategy” di dalam Craigh A. Snyder,
Contemporary Security and Strategy, London: McMillan, 1999.
Stephen Walt on Collin. E . “ Security Studies ; an introduction” , Routledge,
New York, 2008. P.21
Anak Agung Banyu Perwita (2007). “ Redefinisi Konsep Keamanan: Pandangan
Realisme dan Neo-Realisme dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Dalam
Yulius P. Hermawan (ed.). dalam “Transformasi dalam Studi Hubungan
Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Bandnung: Graha Ilmu
Sebagaimana dipublikasikan oleh Bulletin of the Atomic Scientists, edisi 2006
Steven Spiegel. World Politics in New Era. Belmont. 2002
Pengembangan Nuklir Sebagai Senjata Pemusnah Masal
Pasca Perang Dingin
Tugas Kelompok Mata Kuliah Keamanan Global
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran
Jatinangor
2011
Disusun Oleh :
Boyke Gunawan 170210080011
Azka Yasyfa 170210080012
Triyasa Pratiwi 170210080035
Arterino Propadono 170210080078
Reza Mayhendra 170210080085
Radhi Aufar 170210080095
Rifqi A.P.T.A 170210080096
Randy Brahmantyo 170210080110
Abiyoga 170210080129
Natanael Simbolon 170210080140
Judishtia Esa A.S. 170210080152
M. Jussi T.N. 170210080162
Ardasha S.S. 170210080210
Dipta Oktorefa 170210080227
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Perumusan Masalah
BAB II LANDASAN TEORI DAN METODE ANALISIS
2.1. Landasan Teori
2.2. Metode Analisis
BAB III PEMBAHASAN
3.1. Nuklir Pasca Perang Dingin
3.2. Pandangan Realisme Terhadap Pengembangan Senjata Nuklir Pasca
Perang Dingin.
3.3. Deterrence Theory
3.4. Proliferation Treaties
3.5. Hambatan – hambatan dalam pengendalian pengembangan senjata
nuklir
BAB IV KESIMPULAN