Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 1 - UMS

44
Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 1 .

Transcript of Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 1 - UMS

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 1

.

2 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Dari RedaksiDari RedaksiDari RedaksiDari RedaksiDari RedaksiMultikultural adalah Anugerah. 33333

Kalimah UtamaKalimah UtamaKalimah UtamaKalimah UtamaKalimah Utama“EKSTREMITAS KLAIM”, QUO VADIS PENGAKUAN PLURALITASKEBERAGAMAAN? (Riset Redaksi),oleh FFFFFajar Riza Ul Haq. 4ajar Riza Ul Haq. 4ajar Riza Ul Haq. 4ajar Riza Ul Haq. 4ajar Riza Ul Haq. 4LLLLLaporanaporanaporanaporanaporan: KEBERAGAMAN KOMUNITASKEAGAMAAN DI SURAKARTA (T(T(T(T(Tim Lim Lim Lim Lim Laput). 8aput). 8aput). 8aput). 8aput). 8ArtikelArtikelArtikelArtikelArtikelPluralisme: Wacana dan Praktik, oleh JabatinJabatinJabatinJabatinJabatin

BangunBangunBangunBangunBangun. 1212121212Tantangan Humanitas Baru DalamPendidikan Multikultural, oleh ZakiyuddinZakiyuddinZakiyuddinZakiyuddinZakiyuddinBaidhawyBaidhawyBaidhawyBaidhawyBaidhawy. 1515151515KolomKolomKolomKolomKolomMULTIKULTURALISME SEBAGAI ANUGERAH Memperkaya Spiritualitas danIman,oleh Musa AsyMusa AsyMusa AsyMusa AsyMusa Asy’ari. 18’ari. 18’ari. 18’ari. 18’ari. 18Konsep Wahdat al-Adyan ANTARA MONO DANMULTI, sebuah renungan,oleh W W W W Wawan Kawan Kawan Kawan Kawan Kardiyanto. 21ardiyanto. 21ardiyanto. 21ardiyanto. 21ardiyanto. 21

PPPPProfilrofi lrofi lrofi lrofi lFARID MAKRUF, Perlu Komitmen Menjadi Seorang Muslim, RifRifRifRifRif ’atul Khoiriyah.’atul Khoiriyah.’atul Khoiriyah.’atul Khoiriyah.’atul Khoiriyah. 2525252525Hasil PHasil PHasil PHasil PHasil PenelitianenelitianenelitianenelitianenelitianPURPUR SAGE, JALAN REKONSILIASI MELALUI INSTITUSI LOKAL, FFFFFajar Riza Ulajar Riza Ulajar Riza Ulajar Riza Ulajar Riza UlHaqHaqHaqHaqHaq..... 28Hasil DiskusiHasil DiskusiHasil DiskusiHasil DiskusiHasil DiskusiTANTANGAN KEADILAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT MUSLIM, Asih Istikomah. 30Asih Istikomah. 30Asih Istikomah. 30Asih Istikomah. 30Asih Istikomah. 30Kalimah BeritaKalimah BeritaKalimah BeritaKalimah BeritaKalimah Berita 34-3734-3734-3734-3734-37FFFFFeature Budayaeature Budayaeature Budayaeature Budayaeature BudayaPASAR KLIWON, Perkampungan Etnis Arab di kota Solo, Ali Sadli. 38Ali Sadli. 38Ali Sadli. 38Ali Sadli. 38Ali Sadli. 38MuhibahMuhibahMuhibahMuhibahMuhibahKeadilan Gender Dalam Perspektif Agama Dan Budaya Masyarakat, RifRifRifRifRif ’atul Khoiriyah. 41’atul Khoiriyah. 41’atul Khoiriyah. 41’atul Khoiriyah. 41’atul Khoiriyah. 41

Cara mendapatkan Buletin KALIMATUN SAWA’ : Kirimkan identitas institusi/person/media Anda beserta alamat, insya-Allahakan kami kirimkan gratis. Informasi yang kami muat di Buletin ini dapat dikutip atau disiarkan tanpa ijin asal menyebut sumber.Apabila Anda memiliki informasi/ide tentang budaya dan perubahan sosial yang perlu disebarluaskan ke masyarakat, silahkankirim insya-Allah kami muat. Anda dapat menghubungi kami ke alamat : Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (Center forCultural Studies and Social Change), Jl. A. Yani 1, Pabelan, Surakarta 57102, INDONESIA Telp. 62(0271)717417 ext. 191, 158;fax. 62(0271)715448, email: [email protected]., UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA.

SUSUNAN PENGELOLA KALIMATUN SAWA’; Pemimpin Umum: Yayah Khisbiyah, Pimpinan Redaksi: M.Thoyibi, RedakturAhli: Musa Asy’arie, Darojat AR., Mh. Zaelani Tammaka, Zakiyuddin Baidhawy, Redaktur Pelaksana: Wawan Kardiyanto,Sekretaris: Rif ’atul Khoiriyah, Keuangan: Dwi Setyaningsih, Sidang Redaksi: Almuntaqo Zain, Slayer, Ali Moh. Sadli, FajarRiza Ul Haq, Asih Istikomah, Design Lay-out & Tata Letak: Awan Lembayung, Sirkulasi: Farid Darmawan.

Menu Kalimah

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 3

Dari Redaksi

Pasti ada alasan mengapaTuhan menciptakan manusiadalam berbagai suku-bangsa

dengan kekhasan masing-masing,sebagaimana halnya Tuhanmenciptakan keunikan informasigenetik (DNA), sidik jari dan sorotmata setiap individu.

Salah satu rahasia yangdikabarkan oleh Tuhan kepadamanusia di balik penciptaanmanusia dalam berbagai suku-bangsa adalah “li ta`ârafû” yangsering diterjemahkan menjadi “untuksaling mengenal”. Ungkapan“ta`ârafû” merupakan bentuk infleksidari kata dasar “`arafa” denganwazan “tafâ`ala” yang memilikipengertian resiprokal, yang seringditerjemahkan menjadi “saling tahu”,“saling mengetahui”, “salingmengenal”, “saling memahami”atau “saling mengerti”. Kata-katalain yang memiliki pengertian hampirsama dan bisa diinfleksikan serupaadalah “ta`âlamû” dari kata dasar“`alima” atau “tafâhamû” dari katadasar “fahima”.

Yang perlu dikaji adalahbahwa Tuhan secara sengajamemilih diksi “ta`ârafû” daripadaleksika lainnya, dan pertanyaanyang dapat diderivasi dari pemilihandiksi itu adalah apakah tafsirterhadap ungkapan “ta`ârafû”bersifat tunggal dan apakahpengertian yang terkandung dalamkonsep tersebut terbatas pada suaturanah tertentu.

Sebutan “`arif” bagi para sufimenunjukkan bahwa makna katadasar “`arafa” lebih dari sekedarmengetahui secara kognitif, danbarangkali alasan itu pulalah yangmenyebabkan penggunaan kata“arif” dalam bahasa Indonesia

seringkali disejajarkan ataudikombinasi dengan kata“bijaksana”. Para sufi disebut arifkarena mereka dianggapmengetahui sesuatu tidak hanyapada tingkat intelektual ataueksperiensial, melainkan sampai ketingkat “ma`rifat”, yaitu mengerti“hakikat” sesuatu dalam realitasultimnya. Itulah sebabnya, terdapatungkapan populer di kalangan sufi“man ̀ arafa nafsahu fa qad ̀ arafarabbahu” (barangsiapa mengertidirinya sendiri, niscaya dia mengertiTuhannya”) karena bagi merekauntuk dapat mengerti tentang Tuhantak cukup dengan spekulasi intelekdan persepsi inderawi, melainkanharus menggunakan modus intuitif(`irfani).

Bila demikian halnya, makakeanekaragaman jelas lebih darisekedar diskursus atau wacana,melainkan bagian dari bentangan“ayat kauniyah”, sebagai “system ofsigns” (sistem tanda) yang perludipelajari oleh sekalian umatmanusia. Bila demikian halnya,maka pengertian “li ta`ârafû”meliputi suatu spektrum makna yang

Multikulturalsebagai

Anugerah

tidak hanya berada dalam domainkognitif, melainkan juga mencakupdomain afektif dan psikomotorik,sehingga “li ta`ârafû” mencakuprentang dari aspek pengetahuan,pandangan atau persepsi, perilaku,dan bahkan “ideologi”.

Dengan demikian, pengertianyang dapat diambil dari “li ta`ârafû”adalah bahwa keanekaragamanmerupakan sesuatu yang perludiketahui (dalam ranah kognitif),bahwa keanekaragaman merupakansesuatu yang perlu diapresiasi ataudihargai (dalam domain afektif),dan bahwa keanekaragamanmerupakan sesuatu yang perludijalani (dalam domainpsikomotorik). Konsekuensinyaadalah bahwa “ta`ârafû”merupakan sesuatu yang “ma`rûf”,yaitu bahwa terdapat kebajikan didalam bentuk-bentuk tindakan yangmerupakan ekspresi dari “ta`ârafû”,baik dalam domain kognitif, afektif,maupun psikomotorik.

Satu pelajaran kunci yangdapat diambil dari keanekaragamanadalah, setiap komunitas, baik“syu`ûban”, “qabâila”, maupun“jama`ah” adalah setara denganyang lain. Tak ada komunitas yanglebih unggul dalam artisesungguhnya atas komunitaslainnya. Kekhasan suatu komunitas,baik secara fisik, sosial, ekonomi,politik, maupun budaya hanyalahbagian dari teks yang perlu salingdikaji. Harga sejati setiap “nafs”(individu) atau komunitas terletakpada takwa masing-masing.

Akhirnya, mencari jalan keluaruntuk mengatasi persoalan bersamadengan cara-cara yang baik bisajadi adalah suatu “ijtihad sosial”;dan selebihnya “wallâhu a`lam“wallâhu a`lam“wallâhu a`lam“wallâhu a`lam“wallâhu a`lam”””””.

4 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

“EKSTREMITAS KLAIM”,QUO VADIS

PENGAKUANPLURALITAS

KEBERAGAMAAN? (Riset Redaksi)

“The challenge of relations betweenand among people of different reli-gious and cultural traditions is movingto the top of the agenda”(Diane Eck)

Kalimah Utama

Karya monumental al-Milal wa al-Nihal (1128) yang ditulis al-Shahrastani pada abad 12 merupakan dokumentasi pentingkarena memuat pandangan obyektif-ilmiah seorang tokoh

Ilmu Kalam (teologi Islam) terkemuka beraliran Ash‘ariah. Kelebihankitab ini terletak pada keluasan informasi mengenai mazhab-mazhabteologi Islam, sekte-sekte agama lain serta keberadaan aliran-aliranfilsafat Yunani maupun Islam. Karya ini mengabadikan apresiasi satusudut pandang tertentu terhadap keragaman aliran pemikiranmaupun sekte keagamaan yang menjamur pada kala itu. Bagipenulis, al-Milal wa al-Nihal merupakan potret sosiologi gerakan-gerakan pemikiran keagamaan yang tumbuh subur di tengah iklimmetropolis peradaban Islam. Etnografi aliran-aliran teologis tersebutmembentangkan kenyataan adanya pengakuan kebebasan untukmemilih corak pemahaman bahkan sekte teologis sekalipun.

Pada sisi lain, pergesekan pemahaman keislaman yang bersifatamali (praktis) dengan keragaman konteks sosio-kultural masyarakatMuslim memicu perbedaan pandangan dalam menyikapipermasalahan-permasalah keagamaan lokal. Dalam studi fikih,Bidayat al-Mujtahid yang disusun Ibn Rusyd telah memahatkan

sejarah pluralitas pemahamankeagamaan dalam khazanahkeislaman. Sebagai salah satu rujukankitab fikih klasik, kitab inimenguraikan problematika hukumIslam dari berbagai sudut pandangmazhab fikih, baik yang dikatagorikansebagai qaul jumhur (pendapatmayoritas/dominan) sebagai main-stream maupun qaul akhar (baca:the other/the second opinion) yangdipandang minoritas. Sadar atautidak, karya ini merintismultikulturalisme fikih yang membukajendela demokratisasi beragamadalam menentukan pilihan mazhab.Pendekatan yang dipakai Ibn Rusydjelas berusaha menegasikan eksistensiarus “ekstremitas klaim” mazhab yang

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 5

Kalimah Utama

mengusung ego otentisitas.Meski al-Milal wa al-Nihal

dan Bidayat al-Mujtahid telahmengabarkan bahwa betapanarasi panjang sejarah pemikiranIslam diwarnai aliran-aliranpemikiran dan mazhabkeagamaan yang heterogen,namun “ekstremitas klaim”mazhab selalu munculmenginterupsi multikulturalismeekspresi kesalehan untukkemudian mengeras sebagai arusdominan yang lahir dariperselingkuhan kepentingan politikdan dominasi wacana agama.Dialektika politik dan agama inilahyang melandasi sekaligusmengurai akar tragedi mihnah(inkuisisi) oleh penguasa Abasiyyah(al-Makmun, al-Mu`tashim, danal-Wastiq) terhadap pemuka fikih,ahli hadis, hakim dan pejabatnegara yang meyakini “keabadianal-Quran”. Sejarah pun mencatat,Ahmad Ibn Hanbal merupakan

salah seorang korbanintimidasi kepentinganpolitik atas namawacana agama.Dalam perspektif kritiknalar sejarah,terungkap bahwakebijakan mihnah yangmenimpa Ibn Hanbalserta kalangan yangmenentang paham“kemakhlukan al-Quran” yang menjadipegangan birokrasipenguasa Abasiyyahtidak bisa dilepaskan dari dampakpemihakan argumentasi teologisIbn Hanbal terhadap rezimUmayyah ketika berkuasa.

Arus balik hegemonitekstualisme Islam pasca mihnahmeninggalkan atsar (bekas)mendalam terhadap sistempengetahuan dan kesadarankeberagamaan masyarakatMuslim dewasa ini. Kondisi yang

mengemuka ialahperbedaanpemahamankeagamaan dankemajemukanekspresi corakkesalehan padaakhirnya tidakmendapat tempatakomodasi dalampluralitassesungguhnya.Terlebihpengakuan akankesetaraan/keabsahanmanhaj yangdipilih kelompok

lain yang berbeda, ibarat jauhpanggang dari api. Tentunya kitatidak berharap untuk mengulangijejak kelabu peristiwa mihnah,karena logika yang akan berlakuadalah setiap kelompok/aliranpemikiran yang berbeda dengan“mazhab resmi” harus diluruskansesuai dengan parameter-param-eter yang telah lebih dahulu di setup oleh “ekstremitas klaim”mazhabnya. Kalaupun padaakhirnya mereka yang dipandangberbeda itu akan mengancamotoritas keagamaan wacanaresmi, maka pengadilan sepihaktidak jarang menjadi opsi populeruntuk mengamankan otoritasmazhabnya. Klaim primordialismekelompok merupakan sesuatuyang alamiah karena memangdisitulah jantung komitmenkeyakinannya, namun pengerasanklaim yang berujung pada“ekstremitas klaim” kelompoktentunya merupakan parasitmultikulturalisme yang harusdipangkas.

Cita-cita sosial untukKlaim versus Kesucian

Pengerasan klaim yangberujung pada

“ekstremitas klaim”kelompok tentunyamerupakan parasit

multikulturalisme yangharus dipangkas.

6 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Kalimah Utama

Dalam komunitas yangdinilai homogen

sekalipun akan ditemuiunsur-unsur

heterogenitas yang ikutmerajut jaring

kohesivitas sosialnya.

membangun lanskapkeberagamaan yangmengakui kesetaraanartikulasi kesalehan sosialmembutuhkan tinjauansosiologis-antropologis yangberimbang dan empirik.Yang harus menjadi asumsiadalah bahwa setiaptingkatan teksturkeberimanan tidak hanyamengandung nilai-nilaipluralitas tapi juga memilikikeunikan lokalitas yangdinamis. Dalam komunitasyang dinilai homogen sekalipunakan ditemui unsur-unsurheterogenitas yang ikut merajutjaring kohesivitas sosialnya.Beberapa ilustrasi yang merujukpada asumsi di atas penting untukdisampaikan sebagai referensidalam mempertimbangkan prinsipkebebasan, pengakuan, dankesetaraan memilih sertamengekspresikan pemahaman

maupun aliran pemikirankeagamaan.

Penelitian Diane L. Ecktentang dampak arus imigran diAmerika bagi relasi keberagamaanpublik melahirkan karya fenomenalA New Religious America (2002).Buku ini ditulis sebagaisumbangsih Eck dalam upayamembangun lanskapkeberagamaan baru di Amerika.Peristiwa 11 September 2001

ternyata ikut menjadi faktorkondisional yangmengancam masa depaninteraksi ethnic-religiousyang toleran serta inklusif dinegeri Paman Sam tersebut.Fakta diversitaskeberagamaan vis a vissindrom terorisme, dalam halini prejudices, yang melandasebagian masyarakatAmerika telah mengantarkanEck pada satu kesimpulanbahwa tantangan relasi daninteraksi antar masyarakat

beragama yang berbedamerupakan agenda yang harusmendapat prioritas teratas (2002 :xiii).

Membaca buku Eck, yangkini memimpin Pluralism Project diUniversitas Harvard, akan terasalengkap dari kacamata teorihukum jika kita menyimakelaborasi tentang persamaanperlakuan ekspresi keberagamaandalam Equal Treatment of Religionin a Pluralistic Society (1998).Buku ini memperbincangkansekaligus menimbang duapendekatan dalam menyikapipluralitas keberagamaan, yaitupendekatan equal treatment danpendekatan strict separations.Seperti diulas Carl Esbeck,pendekatan pertama lebihmemberikan ruang kebebasanuntuk mengekspresikan hak-hakkeberagamaan kelompok-kelompok agama dibandingpendekatan kedua yangmemisahkan serta membatasiketerkaitan intitusi-intitusi agamadengan kewajiban maupun hakMelihat diluar pagar adalah sebuah kata bijak dalam menyikapi pluralitas keberagamaan

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 7

Kalimah Utama

lembaga-lembaga publik(1998:202). Adapun pendekatanstrict separations akan berimbaspada keterbatasan kebebasankeberagamaan.

Lanskap keberagamaandalam sosiologi masyarakatmultikultural sangat membutuhkanruang kesadaran untukmembiarkan kelompok lainmenganut dan mengekspresikannilai-nilai keberagamaan yangberbeda. Proses perjumpaanbahkan pada akhirnya kontraksosial yang mempertemukanberbagai unsur etnik, agamamaupun kelompok keagamaan(firqah) akan bermuara padapembangunan ruang publikbersama sebagai arena kontestasigagasan sosial. Amerika yangselama ini diidentikan sebagai

negara Kristiani, padakenyataannya dibangun olehperbedaan keyakinan agama yangsangat heterogen. Satu hal yangingin disampaikan di sini adalahbahwa kohesivitas sebuah

bangunan sosial dalam lokalitastertentu tidak serta mertadidominasi oleh satu entitastertentu apalagi tunggal. Artinya,selalu ada unsur diversitas, differ-ence, dan variasi dalam

mengekspresikanketaatan maupunkesalehan yang diakusetiap kelompok.

Pembacaan Ecksenada dengantemuan Andrew Beatty(2001) ketikamencermatipergerakan teksturagama di Jawa. Padakadar tertentu,kesimpulan yangditarik Beattymementahkantrikotomi agama Jawa

yang didengungkan CliffordGeertz. Menurutnya, masuknyaIslam ke pedesaan melahirkandinamika-dinamika yangmengkerangkakan Islam Jawadalam hibridasi ekspresi

kesalehan. Transisi ekspresikeberagamaan menuju bentukIslam yang lebih “murni” begitumenonjol dalam konstelasiagama Jawa di pedesaan.Ritus keagamaan dalamperspektif diversitas agamatidak bisa dilepaskan darikonteks kebudayaan yangmengkondisikan kehadirankeragaman simbol, ekspresikesalehan sampai variasibentuk-bentuk formal institusikeagamaan itu sendiri.Namun mazhab maupunkelompok keagamaan padagaris mainstream (wacana/mazhab resmi) biasanyamenempatkan variasipemahaman agama Jawadalam kategori kelompok sosialkeagamaan minor. Pandanganseperti ini berdampak padaketiadaan kebebasan danpengakuan kesetaraankelompok-kelompok lain yangjelas berbeda dengankelompok pemikiran yangmemproklamirkan diri sebagimazhab otoritatif.

Pada akhirnya, kitadiingatkan bahwa ekstremitasklaim sebagai mazhab otoritatifsangat mudah terjerumus padaotoritarianisme mazhab.Dengan begitu, gagasan politicof recognition yangmengakomodasi perbedaandan pluralitas pemahamankeagamaan akan (terus)tenggelam di bawah bayang-bayang rezim pemaknaan yangabsolut. (FFFFFajar Rizaajar Rizaajar Rizaajar Rizaajar Riza).

Proses perjumpaan bahkanpada akhirnya kontrak sosial

yang mempertemukanberbagai unsur etnik, agama

maupun kelompokkeagamaan (firqah) akan

bermuara pada pembangunanruang publik bersama

sebagai arenakontestasi gagasan sosial.

8 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Disintegrasi kehidupan antar-umatberagama sering kali lebih dipicu olehadanya stereotip. Gelembungan prasangka

itu kemudian mengembang menjadi rasa saling curiga.Buntutnya hubungan anrar-umat beragama punkurang harmonis.

Dusun Ngruki tampaknya patut diusulkanmasuk Musium Rekor Indonesia (MURI). Pasalnya, jika dihitung

secara statistik, nama dusun itulah yang paling sering disebut dalampemberitaan di media massa sejak beberapa tahun terakhir ini. Bukansaja media nasional, tapi juga internasional. Dusun Ngruki menjaditerkenal, sering menjadi headline pemberitaan media massa, karenadi dusun tersebut berdiri Pondok Pesantren Al Mukmin,

yang sesepuhnya Abu Bakar Ba’asyirdituduh sebagai terlibat terorisme internasional.

Akibat pemberitaan yang demikian itu,bayangan seram pun segera menyembukke permukaan begitu nama Ngruki disebut.Stereotip yang muncul kemudian Ngrukiseakan-akan adalah kawasan yang ekslusif,tertutup dan menjadi “sarang” teroris. Apalagi,ketika peristiwa bom marak di Tanah Air,lagi-lagi orang sering mengaitkan dengan Ngruki

dan Pesantren Al Mukmin. Dan juga entah apa kebetulan,sejumlah tersangka kasus bom, bahkan di antaranya adayang sudah divonis, ternyata alumni Pesantren Al Mukmin Ngruki.

KEBERAGAMANKOMUNITAS KEAGAMAAN

DI SURAKARTA

MembongkarStereotip,

MembangunIntegrasi

Kalimah Utama

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 9

Benarkah demikian? Tentuhanya Allah SWT yang MahaTahu. Namun, kesan seram,tertutup, keras dan sejenisnyatersebut segera sirna begitu kitamemasuki kawasan Ngruki,khususnya ketika masuk kekawasan Pesantren Al Mukmin.Yang muncul justru kesansebaliknya, Ngruki tidak bedadengan dusun-dusun lain disekitarnya. Beberapa penghunipesantren pun, ketika ditemuiKS, juga bersikap ramah,terbuka, santun dan bersahaja.“Orang-orang pondok setiap hariberbaur dengan kita ini, Mas.Mereka sopan, ramah danterbuka,” aku Heru, penduduksetempat.

TTTTToleransi Toleransi Toleransi Toleransi Toleransi TinggiinggiinggiinggiinggiDengan demikian,

sebenarnya, munculnya kesantertutup, angker, eksklusif bagikomunitas Ngruki, termasukpesantrennya, tidak lain hanyalahstereotip, pelabelan belaka.Pemberitaan media yang selalumengait-ngaitkan antaraPesantren Al Mukmin denganperistiwa terorisme dan Islam garis

keras semakin memperkuatpelabelan tersebut. Ibarat pepatahJawa, gebyah uyah pada asine,hanya seseorang yang barangkaliterlibat, yang lainnya dianggapberperilaku sama.

“Bagi kami, penduduksetempat, keberadaan Pondok[Pesantren Al Mukmin] Ngrukiterus terang sangat membantuperubahan masyarakat, khususnyadi bidang agama,” kata Sumarmi,ketua RT setempat. “Dulu, di RT inibelum ada masjid, sekarang sudahberdiri dua masjid. Perkembanganpendidikan keagamaan di siniotomatis juga turut meningkatdengan adanya dua masjid

tersebut.”Salah satu masjid

kepunyaan pondok pesantrenpun dibangun di tengah-tengahmasyarakat. Keberadaanmasjid yang bernamaBaitussalam ini berada di pojoksimpang tiga persis di depanponpes dan dikelilingi olehrumah-rumah penduduk. Padasuasana Jumatan, ketikareporter KS ikut Shalat Jumat disana jamaahnya ternyata jugasangat terbuka dan beragam,

terdiri dari santri maupunpenduduk sekitar dan juga musafir.

Uniknya, biasanya sebelumazan Jumat, setiap masjid hampirselalu mengumandangkan kasetpengajian lewat pengeras suara.Tapi, Masjid Baitussalam tidakmengumandangkannya. Hal initidak lain untuk menghormatiwarga non-muslim. Kenyataan inimenandakan toleransi mayoritasumat Islam terhadap minoritasnon-Islam telah terbangun di sana.

Melindungi Umat LainMelindungi Umat LainMelindungi Umat LainMelindungi Umat LainMelindungi Umat LainMeski dengan latar berbeda,

suasana damai dan penuhkerukunan juga terpotret di

Kom

plek

Ngr

uki d

ok. N

gruk

i.

Kalimah Utama

Repro TEMPO

10 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

komunitas Gereja Keluarga AllahWiduran, Solo. Gereja menempatibekas Gedung Bioskop Star iniberdiri sejak 1983. Sebelumberada dilokasi ini gereja inidahulunya mengambil tempat dirumah salah satu Jemaat yanglokasinya di belakang lokasiGereja Widuran saat ini. Pihakgereja, melalui Humasnya, Sutikno,mengakui memang selalu sajaada respons apabila di negara initerjadi konflik antar-umat agama.Namun dari pihak gereja,senantiasa menekankan bahwa

semangat untuk menyayangi danmencintai meskipun dalamkepedihan itu penting. “Kita hanyaakan mendoakan saudara kitayang di Poso di Ambon supayamereka kuat. Kita yang tidak tahuakar permasalahan sebenarnyaapa tidak perlu untuk ikut panasatau bagaimana,” ungkap Sutikno.

Di Gereja Keluarga Allahpenekanan untuk persatuan antarumat beragama selaludidahulukan. Pembelajaran yangbaik pada umat adalah penting.Jemaah memang senang sekalidengan pengkhotbah yangmenceritakan kejelekan umat laindan kemudian umat diprovokasiuntuk ikut membenci. Namun bagipihak gereja sendiri, kata dia, jikamengalami hal itu, akanmengambil tindakan dengan tidakmengundang pendeta yang tidakmencerdaskan umat. “Bagi umatKristen, akan sia-sia jika kitaberibadah tapi tidak bisa bersosialdengan baik antar manusiasiapapun dia,” tandasnya.

Jemaah Gereja KeluargaAllah tidak akan merasa canggungatau bagaimana, kalau melihatumat lain ikut beribadah dalam

gereja, meskipun dia tetapmengenakan atributkeagamaannya. Karena,sebelumnya, sudah punyapengalaman dari kalanganmahasiswa atau ada beberapaumat lain yang ke sini untuk mintadidoakan. Karena ia merasatenang, kami pun bersediamelayani. Beberapa kali ia datangdan sampai saat ini pun ia masihberpegang pada agamanya.

Bahkan, pernah ada umatagama lain yang mintaperlindungan di gereja, karenatidak mau diberangkatkan untuk“berperang” di daerah konflik. Diaminta didoakan dan pihak gerejapun kemudian mendoakan diadan lalu oleh pihak gereja diadisembunyikan beberapa hari didalam gereja. Setelah itu, diapulang ke rumahnya tanpa haruspindah agama seperti yang dianutgereja. “Dia adalah orang yangsedang terguncang bagaimanamungkin kita menolak, sama-sama makhluk Tuhan yang jugawajib kita kasihi.”

Suasana yang mengarah keajakan damai juga terjadi diGereja Bethel Injil Sepuluh. Heri

Kalimah Utama

Repr

o TE

MPO

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 11

Susanto, aktivis gereja tersebut,berpendapat memang pentingmembangun sikap inklusif dalamberagama. Sikap inklusif, menurutdia, sikap yang berdasarkan padapersamaan, sama-sama wargaIndonesia, sama-sama menghirupudara yang sama, sama-samameminum air yang sama.

“Berpijak dari sikap inklusif iniadalah titik temu dari pluralitasdan akan tertanggulanginyasemua masalah. Orang yangmemiliki faham fundamentaldalam keagamaannya akancenderung baik apabila ia bersikapinklusif. Mereka justru akanberpegang teguh pada keyakinanagamanya untuk menolong oranglain. Orang yang beriman danbertakwa diharapkan juga dapatmemberikan hidayahnya padaorang lain dan memberikanpengaruh positif bagilingkungannya.”

Membangun Sikap PMembangun Sikap PMembangun Sikap PMembangun Sikap PMembangun Sikap PositifositifositifositifositifSikap untuk menerima

perbedaan memang tampaknyasudah jadi keharusan, karenaperbedaan itu sudah jadi realitasyang tidak mungkin dihindari.“Perbedaan antara manusiaadalah suatu keniscayaan, begitujuga perbedaan antara komunitas,bangsa juga agama,” ungkap HMDian Nafi’, aktivis gerakan antar-umat yang juga pengasuh PondokPesantren Al Mu’ayyad CabangWindan.

Etnologi dan studi Etnografijuga menerangkan bahwa semuakomunitas memiliki kekhasanbudayanya sendiri. Oleh karenaitu, kata mantan Ketua TanfidziyahNU Cabang Solo ini, pergaulanantar perbedaan itumenjadi penziarahankehidupan yangmenarik karena adaproses saling belajardan memperkayaperspektif. Karenaperbedaan itulah, kerjasama antar manusiamenjadi mungkin dansedikit demi sedikit bisamembangunperadaban manusia.“Mula-mula perbedaanitu adalah suatukeniscayaan, namunsetelah berproses,perbedaan itumemunculkan banyaksekali manfaat, makakita bisa menemukanperbedaan itu sebagaianugerah,” katanya.

Karena itu,

memang sudah seharusnyadibangun sikap positif dalammemandang agama lain. Segalaprasangka, stereotip, yang seringmenjadi biang keladi konflik antar-umat beragama, sudah selayaknyadikubur dalam-dalam. Bukankahsudah terbukti, di suatu komunitasyang sering diprasangkai sebagaieksklusif, ternyata, setelah didekati,juga bisa menerima perbedaan.Setelah itu, sudah selayaknyadibangun dialog intensif antar-iman. Sehingga, integrasi sosial ditengah indahnya keberagamanpun terbangun.

(Mh. Zaelani T(Mh. Zaelani T(Mh. Zaelani T(Mh. Zaelani T(Mh. Zaelani Tammaka,ammaka,ammaka,ammaka,ammaka,WWWWWawan Kawan Kawan Kawan Kawan Kardiyanto, Rifardiyanto, Rifardiyanto, Rifardiyanto, Rifardiyanto, Rif ’atul’atul’atul’atul’atul

Khoiriyah)Khoiriyah)Khoiriyah)Khoiriyah)Khoiriyah)

Pasar Klewer contoh suasana integrasi sosialdi tengah indahnya keberagaman

Kalimah Utama

Doc

. PS

B-PS

12 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Istilah pluralisme telah populer di berbagai kalangan, walaupundigunakan dengan pemahaman yang plural pula. Istilahpluralisme juga sering ditukar-gantikan dengan istilah

multikulturalisme—di-Indonesiakan menjadi keanekaragaman,sudah tidak ada perbedaan lagi. Dari permukaan kedua istilah itumemang kelihatan sama, walau berasal dari akar kata yangberbeda: plural dan multi-kultural. Apalagi kalau keduanya diberiimbuhan “–isme”, terasa semakin sulit dibedakan. Dilihat lebihdalam maka dapat dibedakan dan memberikan perspektif yangtidak tumpang tindih. Sebagai sebuah pemikiran, saya inginmemberikan konsepsi yang berbeda, karena juga akanmemberikan perspektif yang lebih tajam untuk menganalisis realitasmasyarakat.

Pluralisme merupakan cara pandang dan sebuah sikapindividu, sedangkan multikulturalisme cara pandang secarakomunal, tepatnya kultural yang selalu merupakan konvensibersama. Komunal bisa juga dalam arti yang lain, seperti agama,kelompok penggemar Vespa, dan sebagainya. Tidak semata-matamengacu pada etnisitas. Pandangan individu sangat berbeda

Jabatin Bangun*)*)*)*)*)

dengan kultural, walaupun individudapat—bahkan sebagian besar—belajar dan berkembang dalam kulturtertentu. Jadi pandangan individu bisaberbeda dengan kultur yangmelahirkannya. Individu yang dilahirkansebagai orang Minangkabau belumtentu menganut pandangan kulturMinangkabau, apalagi kalau individutersebut dilahirkan di luar ranahMinangkabau, di Jakarta misalnya.Dengan demikian, perubahanpandangan individu dapat ditentukanoleh individu, sedangkan pandangankultural menghadapi kompleksitastersendiri, karena sulit dilakukanseorang individu.

Banyak pandangan komunal(suku bangsa) memberikan kategori

Pluralisme: Wacanadan Praktik

Artikel

Bagi individu yangtidak mempunyaikesempatan untukmengenal danmengerti pluralisme,maka sulit diharapkanuntuk mengerti prinsippluralisme.

Indahnya Kerukunan

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 13

multikultural yang mengambang,paling tidak bisa dilihat secarabahasa. Dalam bahasa Batak Tobadan Minangkabau misalnya,perbedaan kultural dibedakanhanya dua. Batak Tobamengatakan halak hita (“samadengan kita”) dan Minangkabaumengatakan urang awak. Dalamkedua kata itu tersirat makna kitadan bukan-kita dalammembedakan antara orang TobaMinangkabau dengan yang“lainnya”. Secara anekdot banyakdiartikulasikan juga dalam bahasaIndonesia. “Hanya ada duabangsa di muka bumi ini: BangsaIndonesia dan non-Indonesia.”Tentu sulit untuk menerima itu, tapibanyak suku bangsa di Indonesiayang tidak mengenal banyak sukulainnya, terutama pada suku yangrelatif terisolasi. Pandangan sepertiitu memberikan makna yang bisatidak menerima multikulturalisme,di mana multikultural adalah fakta.Bersamaan dengan pembagianitu, terkandung sisi lain yang sulitbagi perkembanganmultikulturalisme. Secara esensial,sebuah suku bangsa (termasukkomunitas lainnya) untuk menjaga“keutuhannya” harusmempertahankan keunikannya,sehingga menolak untukmeleburkan diri dan menjadi samadengan lain. Kalau tidak menolakpeleburan, akan terjadihomogenisasi, sekaligusmenghilangkan identitaskomunitas itu. Inilah tantanganberat multikulturalisme, walauuntuk bersikap multikulturalismetidak harus menghilangkan

keunikan, tetapi seolahmengancam prinsip keunikan itusendiri.

Pluralisme adalah sebuahpilihan. Setiap individu dapatmengetahui prinsip-prinsip dasarpluralisme, tetapi di sisi lain, dapatjuga menolaknya. Pluralisme padatataran ini masih sebagaipengetahuan, pengertiangampangan dapat dikatakanbagian dari wacana. Sebuahpublikasi, termasuk KalimatunSawa’, memberikan kontribusipada tataran wacana. Danpengetahuan merupakan sebuahpermulaan. Bagi individu yangtidak mempunyai kesempatanuntuk mengenal dan mengertipluralisme, maka sulit diharapkanuntuk mengerti prinsip pluralisme.

Begitupun saya tidak meyakinibahwa pengetahuan (wacana)akan mencapai tujuan dasarpluralisme (maupunmultikulturalisme): melakukansikap pluralis dalam kehidupankeseharian. Setiap orang dapatmengetahui dan menguasaisecara mendalam prinsippluralisme, tapi setiap orang bisamemilih untuk melakukan prinsipitu dalam kehidupannya atautidak. Prinsip pluralisme sering kalijuga tidak secara rinci dapatditerapkan secara mudah(operasional) untuk setiap konteks.Teori Darwin tentang evolusimisalnya, sudah lama sekalidiadopsi oleh ilmuan sosial untukmengamati multikultural. Sampaihari ini kita masih menemukanpandangan bahwa satukebudayaan satu suku bangsalebih maju atau tinggi darikebudayaan lainnya. Bahkan padaawal abad 20 masih merajalelaperkembangan teori evolusi untukmenyusun tingkat kebudayaansuatu masyarakat, mulai dariprimitif, kuno, hingga beradab(maju). Hal ini sering sulitdibedakan antara kebudayaandengan teknologi, tetapi dalamkesenian (mungkin bagi yangmengerti) lebih mudahmemberikan contoh bahwa musikyang diciptakan sekarang ini tidaklebih tinggi dari musik yangdiciptakan ratusan atau seributahun yang lalu. Contoh lain, sulituntuk meyakinkan pandangan diIndonesia sekarang ini, bahwamasyarakat yang tidakmenggunakan pakaian

Artikel

Ramapithecus disebut “penggambaranpertama dari keluarga manusia”

14 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Capaian terberat daripluralisme harus menggapaimultikulturalisme. Kedua halini dapat dilakukan secara

bersamaan, tetapi yang harusdisadari adalah letak dasarpenghalang antara kedua

sikap non-pluralisme individudan non-multikulturalismekomunal. Pada titik inilahpentingnya membedakankonsep pluralisme dan

multikulturalisme

mempunyai posisi yang lebihrendah dari yang berpakaian.Sehingga pernah ada kebijakan diIndonesia untuk memberikanpakaian kepada masyarakat yangtidak berbudaya pakaian, danmemberikan rumah padamasyarakat yang hidup di lautatau di hutan. Kompleksitas sepertiitu bukanlah hal mudah untukdipahami dalam pandanganpluralisme dan multikulturalisme.

Tantangan terberat ke depanyang dihadapi oleh terbitan sepertiKalimatun Sawa’ adalahmengerahkan perkembangangagasan pluralisme(multikulturalisme) dalam tigaaspek. Pertama, gagasan besardan teoritis. Aspek teoritis ditekunioleh banyak lembaga dan individu,karena pluralisme danmultikulturalisme itu mulaimengalami perkembangan di

lembaga pendidikantinggi dan kaumakademisi. Begitupun,aspek ini tidak kurangpemikiran danketerlibatan setiaporang untukmengembangkannya.Kedua, gagasan rincidan kasuistis. Aspekyang masih jarangdigarap, walaupunsering digunakansecara parsial sebagaipenjelas gagasanbesar (teoritis). Melaluikajian yang lebihkhusus dan kasuistikakan menguji berbagaiteori dalam kehidupan

nyata, apakah pluralismemengarah kepada (relativisme)absolut atau titik abu-abu antarayang diterima atau ditolak olehpandanganpluralisme.Ketiga,kehidupanpraktis.Pandanganpluralismeharusdijadikansikapdalambertindak. Kajian mengenaibagaimana mengembangkanbentuk-bentuk kegiatan konkret(dan menuju massal) yang dapatmemberikan ruang gerak untukmelakukan program pluralisme.Secara natur, sebuah terbitan akansulit untuk mencapai tahap ini,tetapi secara konseptual dapat

memberikan gagasan untukmengembangkan program yangmempraktekkan sikap pluralismedalam kehidupan: sebagai tujuanakhir proyek pluralisme danmultikulturalisme.

Secara lebih nyata, terbitanjuga bisa melakukanperpanjangan tangan untukmelakukan program dalamaktivitas praktis, sebagai usahauntuk mengembangkan programkonkret. Dalam istilah stasiunradio, kegiatan konkret praktisdisebut dengan off air. Stasiunradio tidak hanya mengunjungipendengarnya melalui gelombangfrekuensi, tapi mengundangpendengarnya untuk bertemu danmelakukan kegiatan bersama.Model ini bisa dianalogikan dalamkegiatan sebuah terbitan, untukmengembangkan gagasan sebuahprogram dan melaksanakan

sebagian dariprogram itu.

Bagianterakhir adalahcapaian terberatdari pluralismeharus menggapaimultikulturalisme.Menurutpendapat saya,kedua hal ini

dapat dilakukan secarabersamaan, tetapi yang harusdisadari adalah letak dasarpenghalang antara kedua sikapnon-pluralisme individu dan non-multikulturalisme komunal. Padatitik inilah pentingnyamembedakan konsep pluralismedan multikulturalisme.

Artikel

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 15

Zakiyuddin Baidhawy*

Pandangan itu hanya benar dalam konteksnegara-bangsa, atau bahkan dalamrepresentasi kolektif apapun yang sifatnya

eksklusif. Bagi mereka yang setia untuk menciptakandan berpartisipasi dalam pendidikan yang membukasuara-suara otentik yang lain, pendidikanmultikultural melampaui teks nasionalisme danmenciptakan tipe baru globalisme. Inilah pengakuanatas perbedaan dalam kesatuan universal.

Bagi kita, multikulturalisme meyakini bahwaperbedaan harus menjadi bagian dari kurikulum.Pandangan-pandangan kelompok keagamaan dankebudayaan tidak boleh dilihat sebagai ancamanbagi ideologi negara namun sebagai bagian darikekayaan nasional. Perbedaan dapat memperkuatkedirian poskolonial, bukan menghancurkannya.

Kesatuan universal bukanlah dalih sederhanabagi pluralisme. Pluralisme di dunia demokrasiberkenaan dengan banyak suara yang perludiperhatikan. Ide terbaik akan memenangkankompetisi. Peran guru adalah menyajikan perbedaanperspektif secara terbuka. Bagaimanapun, pluralismedi sini masih dikontektualisasi oleh liberalisme. Jadipluralisme bersifat dangkal. Pluralisme terdalam akanbertanya: bagaimana perbedaan budaya

TANTANGANHUMANITAS BARU

DALAMPENDIDIKAN

MULTIKULTURAL

Pernyataan Presiden MegawatiSukarnoputri bahwa Pendidikan

Agama telah melahirkan pemeluk-pemeluk agama yang fanatik, menarik

bila dikaitkan dengan isumultilkulturalisme yang terusmerambah berbagai wacana

kehidupan. Dalam konteks Indonesia,multikulturalisme berarti representasi

yang lebih baik atas semua kelompokmasyarakat dalam sektor privat dan

publik, serta peluang yang samadalam praktik kehidupan. Toleransiatas kelompok-kelompok bahasa,

agama, suku, etnik dan kulturaladalah upaya pencarian suatukebudayaan pelangi. Namun

sebagian dari kita masih curiga.Mereka khawatir bahwa

multikulturalisme akanmenghancurkan gagasan tentangbangsa Indonesia, bahkan bangsa

manapun. Multikulturalisme,khususnya dalam dunia pendidikan,

dipandang sebagai keburukan.

Artikel

16 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Artikel

mengartikulasikan hak-hak oranglain dan apa inti dari kesatuandalam perbedaan ini?

Misalnya, bila dalampluralisme liberal semua nilaiterbuka bagi pilihan individu,dalam kebudayaan Islam terdapatfundamental tertentu yangmembatasi apa yang mungkin.Dalam kebudayaan Tantra,sebelum pendidikan mulai adasaat-saat untuk meditasi. Inisemua membuka jiwa intelektualterhadap intuisi diri yangbermanfaat untuk dapat lebihmemahami suatu topik tertentu.

Pendidikan multikulturalmenciptakan struktur dan prosesyang memperbolehkan ekspresiberbagai kebudayaan, komunitasdan individual. Untuk memulaitugas ini, kita kali pertama harus

menegakkan netralitas nilai dalaminstitusi-institusi pendidikan, sepertiperpustakaan. Pastikan bahwamuatan teks tidak etnosentrik.Ruang-ruang dan rak-rak bukuharus didekonstruksi. Sisteminformasi tidak didominasi olehkebudayaan tertentu.Perpustakaan mulikulturalmenyerupai world wide webbahkan menerima alternatif bagicara-cara lain mengetahui danmenjadi. Homogenitasperpustakaan sebagai sisteminformasi terorganisir harusdirekonstruksi jika kita ingin mulaimengembangkan kerangkakonseptual pendidikanmultikultural. Untukmelakukannya kita perlu lebih jauhmemaknai perbedaan.

Perbedaan bukan hanya

mewakili struktur dalam, yaknibagaimana kebudayaan-kebudayaan memandang diri,orang lain, dan alam. Bahkan jugabagaimana kita membahasakandunia. Bahasa tidaklah netral tapimembawa nilai-nilai kultural, yangsecara aktif menyusun realitas.Bahasa adalah suatu praktikinteraksi dalam mencipta duniabaru. Misal, banyak dari kitasekarang berbahasa Indonesia,lebih dari itu sesungguhnyasedang “meng-indonesiakan”dunia menurut cara kitamengetahui dan belajar.

Jadi, pendidikan multikulturalbukan semata tentang belajar danmengajar lebih dari satu bahasa,bahkan juga melihat bagaimanabahasa-bahasa mengkonstrukpandangan dunia. Untuk

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 17

menghindari jatuh dalamrelativisme kultural, pendidikankritis juga perlu menelisik biayasosial dan kultural berkaitandengan bahasa dan peradabanapapun.

Perbedaan ini penting tidakhanya pada tingkat kulturalnamun juga pada tingkat nasionaldan individu. Cara kita menyusunpengetahuan tidak netral tapiberdasarkanstruktur berbagaikebudayaanpengetahuan.Pengetahuanyang benaradalahmemahamiberbagaimazhabpemikiran.

Caraindividu mencariinformasi dan kebenaran dalamkebudayaan-kebudayaan jugaberbeda. Sebagian mencari padaperguruan tinggi terbaik, sebagianlain pada guru terbaik, dan lainnyapada pemikir terbaik. Kita tahubahwa sebagian orang belajar daripengalaman, sebagian dari kuliahteori, dan lainnya dari mediavisual. Sebagian memilih kuliahprofesor, sebagian memilihkelompok kecil, dan lainnyamemilih interaksi orang perorang.Sebagian belajar secara intuitif,sebagian secara inderawi, danlainnya rasional. Sebagian fokuspada pemikiran, sebagian padapraksis, dan lainnya pada teknik.

Perbedaan cara mengajardan belajar bersifat struktural.

Pendidikan holistik perlumempertimbangkan keragamanini. Maka, mengajarmultikulturalisme lebih dari sekedarmemastikan fakultas pendidikandari berbagai latar belakang.Peradaban, bahasa, gaya etnik,cara mengetahui, dan genderperlu diakomodasi. Perbedaanpendidikan mengundangpluralisme mendalam sesuai

dengan cara kitamengetahui danbelajar. Apakahkita siap untuk ini?Kebanyakan darikita belum siap.Mengajar lintasbudaya dan caramengetahuimelibatkaninteraksi konstandengan diri (gayamengajar) dan

dengan siswa (apa yang terjadidalam pandangan dunia mereka).

Namun mengajarkanperbedaan saja belum cukup. BagiShrii P.R. Sarkar, mengajar danbelajar harus berdasarkanhumanisme baru. Kita harusbelajar tentang perjuanganmanusia berhadapan dengansejarah dan bagaimana merekamengatasi tantangan hidup.Bahkan kita tidak hanyamerefleksikan sejarah kita sendirinamun juga interaksi dengan alamdan Tuhan. Pengetahuan kitatentang alam bukan sebagai yanglain, tapi sebagai makhluk yanghidup dan bernafas. Ketuhanandikonstruksi bukan sebagai entitasyang dapat dimiliki, namun

sebagai inspirasi yang membawapada cinta yang lebih besar danpemahaman yang lebih baiktentang orang lain. Ketuhananmendorong sejarah menciptakankemajuan yang terbebas dariperangkap kulturisme, genderismedan nasionalisme sempit ataubentuk-bentuk identitas eksklusiflainnya.

Ada sejumlah landasan yangharus diajarkan tanpamemandang perbedaan.Meskipun teknologi barumengajarkan cara kita berpikirdan belajar, namun ia tidakmenghentikan proses yang lebihpenting untuk menjadi manusia.Teknologi tidak dapatmenghentikan proses mengetahui.Sebagaimana relativitasposmodernisme yang tidakmendasarkan pada rasionalitaskemajuan, Sarkar dan pakar lainmengajak kita untuk lebih terbukapada berbagai tingkat rasionalitasbaru. Yang benar, yang baik, danyang indah dalam pendidikanmultikultural tidak dibendung.Jalan menuju ketiganya, maknayang diberikan padanya, kerangkapengetahuan dan pembelajaranyang kita peroleh darinya, justrudiperluas. Inilah budayakebijaksanaan yang coba dicaridan ditemukan dalam pendidikanmultikultural. Pendidikanmultikultural yang mendalammenggagas masa depan di manakeragaman bersatu dalamhumanitas baru.

* Mahasiswa S3 UIN Yogya dan peneliti

Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial

UMS.

Artikel

PPPPPendidikanendidikanendidikanendidikanendidikanmultikulturalmultikulturalmultikulturalmultikulturalmultikulturalmenciptakanmenciptakanmenciptakanmenciptakanmenciptakan

struktur dan prosesstruktur dan prosesstruktur dan prosesstruktur dan prosesstruktur dan prosesyangyangyangyangyang

memperbolehkanmemperbolehkanmemperbolehkanmemperbolehkanmemperbolehkanekspresi berbagaiekspresi berbagaiekspresi berbagaiekspresi berbagaiekspresi berbagai

kebudayaan,kebudayaan,kebudayaan,kebudayaan,kebudayaan,komunitas dankomunitas dankomunitas dankomunitas dankomunitas dan

individual.individual.individual.individual.individual.

18 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Multikulturalisme adalah kearifan untukmelihat keanekaragaman budaya sebagairealitas fundamental dalam kehidupan

bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jikaseseorang membuka diri untuk menjalani kehidupanbersama dengan melihat realitas plural sebagaikemestian hidup yang kodrati, baik dalam kehidupandirinya sendiri yang multi dimensional, maupundalam kehidupan masyarakat yang lebih kompleks,dan karenanya muncul kesadaran bahwakeanekaragaman dalam realitas dinamik kehidupanadalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak,diingkari apalagi dimusnahkan.

Persoalan muncul ketika dinamika perubahandalam kehidupan masyarakat yang kompleksmemunculkan konflik, yang dengan sendirinya akanmenggoncang tatanan multikulturalisme. Apalagi jikakonflik itu melebar menjadi perebutan hegemonikekuasaan politik, ekonomi, wilayah dan harga diriyang berbasis pada suku, ras, agama dan ideologipolitik, sehingga multikulturalisme akan dilihatsebagai kearifan yang sia-sia, yang tidakbertanggung jawab dan tidak mencerminkankeberpihakan, sikap yang tidak realistik danlemahnya solidaritas.

Multikulturalisme sesungguhnya tidaklah datangtiba-tiba, karena sebagai suatu kearifan, iasesungguhnya merupakan buah dari perjalananintelektual yang panjang, bergulat dan terlibat dalamberbagai gejolak dan konflik. Karena itu,

multikulturalisme bukan barang dagangan untukdiperjual-belikan kepada berbagai funding sepertiyang dituduhkan oleh berbagai pihak yangmencurigainya. Multikulturalisme adalah posisiintelektual yang menyatakan keberpihakannya padapemaknaan terhadap persamaan, keadilan dankebersamaan, untuk memperkecil ruang konflik yangdestruktif.

Kecurigaan terhadap multikulturalisme di tengahmaraknya konflik, ketidak-adilan dan tajamnyakesenjangan dalam berbagai aspek kehidupanmasyarakat, sosial, ekonomi, politik, budaya, hukumdan keagamaan memang bisa dimengerti. Karenadalam setiap konflik sosial, apalagi yang berkembangmenjadi kekerasan yang terbuka, akan munculsikap-sikap yang hitam putih, kita dan mereka atauminna wa minhum. Pada tahap ini, multikulturalisme

Kolom

MULTIKULTURALISMESEBAGAI ANUGERAHMemperkaya Spiritualitasdan Iman

Indahnya aneka aksesoris boneka yang warna-warni

Musa Asy’arie*

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 19

akan dipandang oleh mereka yangterlibat dalam konflik sebagai sikapoportunistik, egoistik, tidak adakepedulian dan pertanda dari“lemahnya iman”.

Karena itu, multikulturalismesesungguhnya memerlukan ruangdinamis untuk menguji kesahihanpemikirannya sendiri denganmengajak dan membuka dialogdengan berbagai pihak dankalangan lintas agama, sosial,ekonomi, politik, budaya, sebagaimanifestasi dari filosofimultikulturalisme itu sendiri yangselalu berusaha menjauh darijebakan penyempitan wawasanparadigmatiknya. Melalui prosesdialog itu, multukulturalisme akanmemperkuat dirinya sendiri dansecara dialektik akan membentukpemikiran sintetik baru yang lebihsahih. Aktualisasi multikulturalismeakan menjadi proses pemikiranintelektual yang terus mengalir

tanpa batas, karenamembatasinya berlawanandengan jiwa dan maknamultikulturalisme sendiri.

Tuntutan untuk mengambilsikap yang berpihak dalam konfliksosial yang multi dimensionalsemakin mengeras, ketika simbol-simbol “agama” mulai terseretdalam konflik itu, sehingga merekayang tidak berpihak akandisudutkan sebagai wujud darilemahnya keimanan seseorang,karena termakan oleh godaankepentingan duniawi yang telahmenguasai kehidupannya.Keberpihakan adalah panggilanagama, dan siapa yang ikhlasmemenuhi panggilannya akanmendapatkan imbalan sorga,karena pengorbanan mereka,apalagi kalau sampai menemukanajalnya, maka mereka matisebagai syahid.

Karena itu, multikulturalisme

harus diletakkan pada posisinyayang tepat, apalagi menghadapikonflik yang berbasis pada ras,suku dan keagamaan.Multikulturalisme seharusnyaditempatkan pada posisi yangbukan untuk keberpihakan negatifyang akan memperparah konflikmakin meluas dan tak terkendali,tetapi pada keberpihakan positifuntuk mencari solusi. Solusi tidakakan mungkin, jika pandanganmultikulturalisme tidak dijiwaidengan baik, karena justru akanmengakibatkan dirinya jatuhtergelincir pada keberpihakanyang negatif.

Multikulturalisme harusdibangun dengan berbasis padapandangan filsafat yangmemandang konflik sebagaifenomena permanen yang lahirbersama-sama dengankeanekaragaman dan perubahanyang dengan sendirinya selalu

Kolom

Mekah denganibadah Hajinya

merupakan salahsatu contoh dari

simbol budayaIslam bernuansa

multikultural yangmembawa anugerah

Illahi

20 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

terbawa oleh kehidupan itu sendiri,di mana pun, kapan pun dansiapa pun. Multikulturalismememandang bahwa adanyakeanekaragaman, perubahan dankonflik sebagai sesuatu yang positifuntuk memperkaya spiritualitasdan memperkuat iman. Dengandemikian, multikulturalisme sepertiburung yang terbangmengangkasa dan melangit keluardari batas-batas keberpihakanyang destruktif, melintasi batas-batas konflik untuk kemudianmenukik kembali dan membumiuntuk memberikan solusi alternatifyang mencerdaskan danmencerahkan.

Pada tahapan ini,multikulturalisme sesungguhnyamenjadi anugerah dan rahmatbagi kehidupan semesta, karenamemungkinkan harmonikehidupan semesta itu tetapterjaga, lestari danberkesinambungan dengansemangat berlomba-lomba dalamkebajikan dan untuk kebajikandengan menumbuhkanpersaingan yang sehat dan kreatifatau fastabiqul-khairat. Al-Quran5:48 menegaskan, yang artinya“Untuk tiap-tiap umat di antarakamu Kami berikan aturan(syir’ah) dan jalan yang terang(minhaj). Sekiranya Allahmenghendaki niscaya kamudijadikan-Nya satu umat (saja),tetapi Allah hendak menguji kamuatas pemberian-Nya kepadamu,maka berlomba-lombalah berbuatkebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, laludiberitahukan-Nya kepadamu apa

yang telah kamu perselisihkan”.Multikulturalisme adalah

ibarat perjalanan mendaki puncakgunung untuk mendapatkancakrawala pandangan yang amatluas sehingga tidak terpenjaradalam pandangan yang sempit.Bisa juga dikatakan sebagaiperjalanan iman untuk menyatudengan kesemestaan Ilahi danmelihat anugerah Nya yang amatluas dan beraneka ragam yangkompleks dalam kehidupan yangdinamis, dan kemudianmembuahkan suatu kesalehansosial yang aktual membangunharmoni kehidupan bersama danbersama-sama menghentikankekerasan, penindasan danfanatisme sempit.

Pada tahapan ini,multikulturalisme sesungguhnyamerupakan proses pengkayaanspiritual dan menjadi penjelmaaniman yang cerdas. Iman bukankata benda, tetapi iman sebagaikata kerja; kreativitas danmoralitas. Iman pada hakikatnya

Kolom

merupakan proses penghayatandan penjiwaan yang cerdas ataskeanekaragaman yangtergenggam dalam sunnatullahyang perkasa, sebagaipenampakan kebesaran Ilahi,sehingga iman tidak berada dalamruang yang seragam, statis dankosong, tetapi berada dalamketerlibatan yang kreatif dalamdinamika keanekaragaman,perubahan dan konflik, untukmenerangi jalan menuju ke masadepan kehidupan bersama yanglebih damai, sejahtera danberkeadilan.

Karena itu, multikulturalismebukanlah sekedar wacana tetapirealitas dinamik, bukan kata-kata,tetapi tindakan, bukan simbolkegenitan intelektual, tetapikeberpihakan yang cerdas untukmencari solusi yangmencerahkan.

*Guru Besar Filsafat Islamdan Direktur Pascasarjana

UIN Sunan Kalijaga

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 21

Pandangan beberapa ulama Islam popular yangkontroversial, seperti al-Hallaj, Rumi, dan IbnArabi tentang konsep wahdat al-adyan, bahwa

pada dasarnya sumber agama adalah satu, Tuhanyang sama, yang juga menghadirkan polemikkontroversi antara monoteisme dan politeisme, cukupmenarik untuk disimak dan direnungan.

Al-Hallaj pernah mengatakan: “Kufur dan imanhanya berbeda dari segi nama, bukan dari segihakikat, karena keduanya tidak ada perbedaan.”Oleh karena itu, al-Hallaj menyalahkan orang yangmenyalahkan agama orang lain (Abd al-HakimHasan. 1954: 375). Barang siapa mencaci makiorang dengan mengatakan agamanya batal, makaberarti ia telah menghukumi agamanya sendiri.Lebih ekstrem lagi, ia mengatakan: “Ketahuilahbahwa Yahudi, Nasrani, Islam dan sebagainyaadalah julukan yang berbeda-beda”. Hal ini tersiratdalam syairnya:

“Aku memikirkan agama-agama dengansungguh-sungguh. Kemudian sampailah padakesimpulan bahwa ia mempunyai banyak sekali

cabang. Maka jangan sekali-kali mengajakseseorang terhadap suatu agama, karenasesungguhnya akan menghalangi untuk sampaipada tujuan yang kokoh. Tetapi ajaklah merekamelihat asal/sumbersegala kemuliaandan makna, makadia akanmemahaminya”(Abd. al-Hafidz binMuhammad MadaniHasyim, t.th. : 39).

Demikianlah,konsep wahdat al-adyan yangmemandang bahwa sumber agama adalah satu,yakni Tuhan yang sama, melihat bahwa wujud agamahanyalah bungkus lahirnya saja.

Selanjutnya al-Hallaj juga berpendapat:“If the well-Guided was pleased with indirect

information how searches the route not sufficehimself with an indirect race. From the Burning Bush

Konsep Wahdat al-AdyanANTARA MONO DAN MULTI

sebuah renungan

... Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orangYahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orangShabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian danberamal saleh, mereka akan menerima pahala dariTuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadapmereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(QS. Al-Baqarah 62)

Kolom

Wawan Kardiyanto*

22 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

on the side of SinaiWhat he heardspeak from theBush was not theBush nor its seed,but Allah. And myrole is like thisBush.” (al-Hallaj,1974 : 28 ).

Pandangan inimerupakankonsekuensi darikesadaran diri atas“kehadiran” Tuhandi setiap tempat,dalam semua agama. Karenapada dasarnya agama yangdipeluk oleh seseorang secaratidak langsung merupakan “bukanhasil pilihan sendiri” (Abu al-Wafaal-Ghanami al-Taftazani, 1983 :132). Senada dengan itu JohnHick berpendapat bahwa 99%keyakinan agama tergantungpada tempat di mana seseorangdilahirkan. Seseorang yang lahir diThailand sangat mungkinberagama Budha, yang lahir diSaudi Arabia sangat mungkinberagama Islam dan sebagainya(John Hick t.th. : 1-2)

Menurut Louis Massignon,faham wahdat al-adyan-nya al-Hallaj ini dilandaskan padapandangan tauhidnya. Banyakorang sulit memahami pemikiranini, karena nampaknya adasesuatu yang kontradiktif.Bagaimana mungkin dapat terjadi,tauhid menghendaki konsepkeesaan Tuhan secara mutlak,sementara wahdat al-adyanmempersilahkan kehadirankonsep ketuhanan vang

bagaimanapunbentuknya(LouisMassignon,t.th. : 316).Bagi al-Hallaj,Tuhan itu satu,unik, sendiri,dan terbuktisatu. Dalamsya’irnya al-Hallaj menulis:

“He isAllah the living.Allah is One.

Unique, Alone and testified asOne. Both the One and theprogession of Unity of the Oneare in Him and from Him. FromHim comes the distance thatseparates others From His Unity.The knowledge if Tawhid is anautonomous abstract cogni-zance.” (al-Hallaj, 1974 : 52-53).

Baginya, Tuhan tidak bisadisifati apapun. Pensifatan pada-Nya hanya akan membatasi-Nya(Louis Massignon, t.th. : 319).Maka konsep Tuhan yang satuharus pula dipahami secara unik,karena Tuhan adalah kesatuanyang mutlak darikeseluruhannya. Menurut al-Hallaj, penyembahan melaluikonsep monoteisme ataupunpoliteisme, tak masalah bagiTuhan. Pada dasarnya keduanyahanya berkaitan dengan logika,yakni antara yang satu dan yangbanyak. Dari situ juga ditelusuriakan dijumpai kepercayaan-kepercayaan yang apabiladitafsirkan akan mengarah kepadasatu Tuhan (Kautsar Azhar Noer,

t.th. : 321).Konsep wahdat al-adyan ini

juga dikembangkan oleh Ibn Arabidengan agama universalnya, yaitusuatu agama yang mistikal danbukan sekedar teistikal, suatupaham bahwa Tuhan tidak dapatdisifati dan dibatasi oleh suatuapapun. Ibnu Arabi mengatakan:

“Sungguh hatiku telahmenerima berbagai bentuk.Tempat penggembalaan bagikijang dan biara bagi pendeta,rumah bagi berhala dan ka’bahbagi yang thawaf, sabak bagitaurat dan cinta… cinta itulahagama dan imanku.” (Ibnu Arabi,1980: 77-78 ).

Pemikiran Ibn Arabi

Kekerasan dan teror mengotori hakekat kesucian aga

Kolom

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 23

mengenai wahdat al-adyan inidapat kita lacak dari pemahamanlogikanya mengenai makna yangsatu (al-wahid) dan yang banyak(al-katsir). Di sini Ibn Arabimemulainya dengan konsepwahdat al-wujud, dasar filosofisdalam memahami Tuhan dalamhubungan-Nya dengan alam.Tuhan tidak bisa dipahami kecualidengan memadukan dua sifatyang berlawanan padanya. Bahwawujud hakiki hanyalah satu, yakniTuhan, Al-Hallaq. Meski wujud-Nyahanya satu, Tuhan menampakkandirinya [tajjala] dalam banyakbentuk yang tidak terbatas padaalam. (Kautsar Azhari Noer, 1995:74)

Lebih lanjut ia berpendapat,hubungan ontologis antara yangsatu dan yang banyakmenggunakan penjelasanmatematis. Bilangan-bilanganberasal dari yang satu (daripengulangannya) menurutpengelompokan yang telahdiketahui. Yang satu mewujudkansatu bilangan. Sedang bilanganmenyebarkan yang satu. Hukumbilangan hanya ada karenaadanya yang dibilang, dihitung.Setiap unit bilangan adalah realitasseperti sembilan dan sepuluhsampai kepada yang terkecil danyang tertinggi hingga tanpa batas.Tak satupun dari unit itu yangmerupakan kumpulan (dari satu-satu) semata, namun pada pihaklain, masing-masing unitmerupakan kumpulan satu-satu(Ibnu Arabi, 1980 : 77-78)

Rumi dengan ekstremmenyatakan:

“Aku seorang Muslim, tetapiaku juga seorang Nasrani,Brahmanisme, danZaratustraisme. Aku pasrahkepada-Mu wahai al-Haqq yang

Mulia ... aku hanya mempunyaisatu tempat ibadah masjid ataugereja atau rumah berhala.Tujuanku hanya pada Dzat YangMulia. (Ahmad Amin, 1993 : xi-xix).

Sisa hidupnya sebagaimanadigambarkan oleh anaknya (SultanWalad) ditandai oleh keintimanmistik untuk mencapai tingkat“manusia sempurna”, yaituseorang dari orang-orang vangmencerminkan sifat-sifat Illahi(Ahmad Amin, 1993 : xi - xix).

Filsafat Rumi diilhami olehgagasan monistik. Diamengatakan “Matsnawi” adalahkedai kesatuan (wahdah): setiapsesuatu yang engkau lihat darisana selain yang Esa adalahberhala. Mengenai medanpertempuran dalam kehidupan,ia pahami bahwa seluruhpertentangan dan perselisihan ituhanya berperan melaksanakantugasnya dalam menjaga fungsikeharmonisan alam semesta yanghanya disadari oleh para sufi(Ahmad Amin, 1993 : xi-xix).

Beberapa pernyataan al-Hallaj, Ibn-Arabi dan Rumi di atasmemang mengandung pengertianyang saling bertolak belakang.Namun kebertolak-belakangannyabukan tidak mungkinmengandung pengertian hakekatkebenaran. Puncak-puncak pikiranorang-orang unik yang didapatdari hasil pengembaraanpengalaman keagamaannya patutmenjadi sebuah harapan hakiki.Paling tidak, dalam merenungikenyataan diciptakannyaperbedaan di muka bumi ini oleh

ama-agama.

Kolom

24 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Allah, dapat kita dapati hakekattujuan dan maknanya.

Perbedaan multikulturaladalah rahmat Allah. Di manadalam perbedaan itu kitadiwajibkan saling mengenal,bukan saling menghujat danmenyalahkan. Apalagi untukbermusuhan dan salingmembunuh. Setelah kita salingkenal maka kita akan bisa salingmengetahui, memahami danmengasihi satu sama lainnyatanpa syarat. Hanya keimananyang terwujud dalam kepatuhandan kepasrahan serta amalan kitasaja yang nanti akan dinilai olehAllah. Dan Kalimatun Sawa’ yangmengandung kembalinya segalaperbedaan itu ke asalnya yangHakiki adalah wujud puncak darikepatuhan atas segala perbedaanyang diharapkan.

Persepsi kebenaran manusiaadalah nisbi. Kebenaran adalahhanya Haq Allah. Dan penulismengakhiri kolom ini denganpernyataan;

“Kepada orang-orang yangsaleh, baik itu beragama Kristen,Katholik, Islam, Hindu, Budha,Khonghucu, Sintho, Yahudi,Kejawen, aliran dinamismemaupun animisme, dll di segenappenjuru bumi dan di dalam ruangwaktu kapan pun, semoga merekamendapat curahan kebahagiaandan keselamatan Tuhan di hariakhir kelak. Sebab, mereka semuasecara tulus telah berusahaberibadah dan menggapai wajahTuhan dengan mengharap kasih,cinta, dan ridho-Nya. Apakahorang-orang yang begitu tulus dansaleh tersebut tidak terselamatkan,gara-gara klaim setiap agama

yang mengaku bahwa golonganmereka sendirilah yangterselamatkan? Apakah Allah yangkatanya Maha Adil dan MahaKasih akan bertindak demikian,menghukum orang-orang yangsedemikian tulus mengharapkanKasih dan sayang-Nya?”

Sepertinya tidak! QS. Al-Baqarah 62 menyatakan Sbb:

...Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orangYahudi, orang-orang Nasrani danorang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benarberiman kepada Allah, harikemudian dan beramal saleh,mereka akan menerima pahaladari Tuhan mereka, tidak adakekhawatiran terhadap mereka,dan tidak (pula) mereka bersedihhati.

* P* P* P* P* Penulis Penulis Penulis Penulis Penulis Pegiat PSB -PS UMSegiat PSB -PS UMSegiat PSB -PS UMSegiat PSB -PS UMSegiat PSB -PS UMS

GALERI BUDGALERI BUDGALERI BUDGALERI BUDGALERI BUDAAAAAYYYYYAAAAA

Kolom

Doc

.PSB

-PS

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 25

“““““TTTTTudinganudinganudinganudinganudingan dan kecurigaan tentang adanya jaringanterorisme yang berasal dari pemerintah maupun daripemberitaan media dalam dan luar negeri secarapsikologis memang berdampak pada sebagian santri,karena darah muda dan emosi mereka belum stabil”,begitu pernyataan Farid Makruf, mantan DirekturPondok Pesantren Ngruki saat ditanya kabar Pondokakhir-akhir ini oleh reporter KS., RifRifRifRifRif ’atul Khoiriyah’atul Khoiriyah’atul Khoiriyah’atul Khoiriyah’atul Khoiriyah.Ustadz yang pernah memimpin pondok selamakurang lebih 18 tahun ini menceritakan bahwakejadian-kejadian di pondok saat ini tidaklah begituberat seperti yang dialami ketika tahun 1985. Karenasaat itu tidak ada satu ormas Islampun yangmembela institusi itu secara terang- terangan. “Kamiberjuang sendiri saat itu namun segala sesuatu yangterjadi ada hikmahnya malah ada keuntungannya..

Kejadian ini menjadi promosi gratis bagi pondok kamilewat pemberitaan di berbagai media. Dulu kamisempat merasa takut kalau nanti tidak ada yang maumondok di sini, tetapi jumlah santri semakinbertambah dari tahun ke tahun, Dari sekitar 700siswa sekarang menjadi 2000 santri yang mondokdisini,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Di bawah kepemimpinnya sejak tahun 1985sebagai pengganti Abu Bakar Ba’asyir yang saat itupergi ke Malaysia, Pondok Ngruki telah menunjukkankemitmen dalam keIslaman yang gigih dan kuatmenghadapi teror dan ancaman dari berbagai pihakyang menghendaki dibubarkannya institusipendidikan tersebut.

Ustadz Farid Ma’ruf panggilan akrab beliau.Ditemui di kantornya, ustadz yang saat ini menjabatsebagai Ketua Yayasan al-Mukmin Ngruki inimenuturkan bahwa kecurigaan pemerintah terhadappondok adalah tidak beralasan. Seperti kecurigaantentang Pondok melatih kadernya untuk menjadi

FARID MA’RUF

Foto Ali dok. PSB-PS

Profil

Perlu Komitmen Menjadi Seorang Muslim

Setiap kali muncul beritabernada minir tentangseseorang yang di mata

penguasa dianggap“ekstrem” dan “radikal”,

tudingan selaludiarahkan ke Pondok

Pesantren Islam (PPI) al-Mukmin di Dusun

Ngruki, Desa Cemani,Kecamatan Grogol,

Kabupaten Sukoharjo.

26 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

milisi, padahal saat itu para santrisedang berlatih beladiri pencaksilat. “Bagaimanapun pondoktidak bisa dilepaskan dari apayang disebut ilmu bela diri darisejak zaman berdirinya pesantrensampai sekarang. Tujuan darilatihan bela diri tersebut bahwanantinya tugas seorang ustadzadalah mendakwahkan agama keberbagai tempat, maka ia perlumembekali dirinya dengan ilmubeladiri supaya ia lebih yakin danlebih berani dalam menghadapibahaya. Kalau dia tidak beraniatau bernyali kecil bagaimana iaakan mensyiarkan agama?”,ujarnya pada Kalimatun Sawa’.

Pria berusia 63 tahun ini lahirdi Alabio, Kutai, KalimantanSelatan. Sejak kecil ia sudah hidupdi lingkungan Islam yang kental.Pondok Gontor adalah pilihannyaketika ia memutuskan untuksekolah di Jawa. Tamatan FakultasSyariah di Universitas HOSCokroaminoto Solo ini, mengambildoktoral di IAIN WalisongoYogyakarta. Pengalaman mengajarbagi pria kelahiran 2 Maret 1941ini sudah didapat ketika sedangmenamatkan pendidikannya diYogyakarta. Ustadz Farid saat itutelah menjadi asisten dariPembantu Rektor II di UniversitasCokroaminoto di Solo untukmengajar di Fakultas Syariah.

Bagi beliau, pemahamanIslam dengan dasar al-Qur’andan Hadis sangat penting untukdiajarkan sehingga tidak terjadipemahaman yang salah kaprahtentang Islam. Terutama untuksantri pondok yang berasal dari

berbagai daerah di Indonesiadengan bermacam budaya danadat Istiadat sangat rentandengan friksi-friksi paham plural.“Ditanamkan disini sebagai orangMuslim, kita terikat pada aturan-aturan Islam. Dengan patokanaturan Islam maka ukhuwahdapat tercipta dengan kuat.Aturan Islam menjadi sebuahpengikat untuk kesatuan dariberbagai kultur atau budayamasing-masing daerah.Multikultural dan pluralisme yangada khususnya di Indonesia harusbisa kita terima asalkan tidakkeluar dari aturan al-Qur’an dan

sunnah. Mau kultur yangbagaimanapun kalaubertentangan dengan Islam haruskita tolak. Di Wilayah yang lebihglobal kita harus memilah manayang sesuai dengan syar’i manayang tidak.Yang sesuai bisa kitaterima dan yang tidak mesti kita

tolak”.Menurut pria yang masih

tampak tegap walau hampirseluruh rambutnya memutih ini,sejak kecil orang tua sudahmenanamkan prinsip keagamaanyang sangat kental. Kehidupan diSurau dan pendidikan dasar diSekolah Muhammadiyahmenjadikan dia memilih untuklebih mengabdi di jalur pendidikanagama daripada masuk angkatanbersenjata, meskipun kesempatanuntuk menjadi tentara sudah ada.“Setelah saya tidak jadi berangkatitu, saya menerima panggilan,namun seperti yang dirasakan

waktu latihandulu, sayamerasa jiwa sayatidak cocok untukitu”, tambahnya.Ustadz yangmengakuterpengaruhpemikir besarseperti NabiMuhammad SAWbeserta sahabat-sahabatnyamenuturkanbahwa pluralismepaham sendiriyang selama initerjadi dalampondok akan

diterima apabila mempunyaisandaran atau dasar yang bisadipertanggungjawabkan. Sepertiseni musik atau yang lain, adasiswa yang menerima ada yangtidak kita menghargai itu.Ditambahkan olehnya, “Namunapabila konteks dari seni itu

Profil

Multikultural dan pluralisme yangada khususnya di Indonesia harus

bisa kita terima asalkantidak keluar dari aturan al-Qur’an

dan sunnah. Mau kultur yangbagaimanapun kalau bertentangandengan Islam harus kita tolak. Di

Wilayah yang lebih global kita harusmemilah mana yang sesuai dengansyar’i mana yang tidak.Yang sesuai

bisa kita terima dan yangtidak mesti kita tolak.

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 27

akhirnya banyak menimbulkanmadharat maka akan kitahilangkan karena tidak sesuai.Contoh yang lain misalnyagerakan sholat yang kadangantara santri satu dengan yanglain berbeda tidak menjadi soal.Gerakan mana yang mereka pakaikami terima semuanya apabilaada dalil atau nashnya yang bisadipertanggungjawabkan”.

Berbicara mengenaiKalimatun Sawa’ beliauberpendapat bahwa dalamkonteks multikultural danpluralisme, menciptakankehidupan yang damai dansakinah itulah yang dinamakansawa’. Namun terdapatpersyaratan yaitu harus sesuaidengan konsep- konsep akidah.Sebagai umat Muslim kitadiwajibkan komitmen terhadapsyariat dan akidahnya. Tidak adakompromi apapun terhadapkemusyrikan dan kemaksiatan.Lebih lanjut dalam sorotanterhadap perkembangan Islambeliau berpendapat,”Saat kiniposisi Islam sulit, karena ketika kitakomitmen terhadap agamadikatakan fundamentalis, kalaulunak terhadap agama ya tidakbisa jalan”. Dipaparkannya seperti

hukum zakat dan sedekah yangkurang dikaji secara mendalamoleh umat Islam sendirimengakibatkan banyaknyaketimpangan secara ekonomi dinegara ini. Karena jika umat Islamdi Indonesia mau menjalankanhukum zakat dan sedekah secarabenar, masalah kemiskinan bisa diatasi. “Selama ini hanya adaundang-undang untuk yangmembagikan zakat namun tidakada undang-undang yangberzakat, belum ada ahli syariahyang memikirkannya”, ujar beliau.Dicontohkan kembali oleh suamiMukarramah ini tentang hukumpidana yang sebenarnya sangatmudah dalam Islam itu sendiri.Menurut beliau, jika prinsip hukumIslam itu dijalankan dengan benarmaka bangsa ini tidak perlupenjara, siapa yang salah wajibdihukum. Dalam pemahamanbeliau, hukuman itu berfungsiuntuk menjaga agar jangansampai yang berbuat tidakmengulangi perbuatannya danbagi yang melihat tidak ikut-ikutanmelakukannya. Maka hukumqisas, pencurian, jinayat, tandzirharus dijalankan. “Orang mencuri,aturannya sudah pas atau belumkalau sudah ya potong tangan.

Bukannya dipenjarakan, kalaupenjara nanti kasihan keluarga-nya, dalam Islam tidak ada dipen-jarakan. Namun yang berhakmenjalankan hukum itu hanyaNegara, jadi tidak bisa kitamemberlakukannya di pondok.Hukuman bagi santri yangbersalah adalah sangsi peringatanatau dikeluarkan begitu”, jawabUstadz yang saat ini juga menjabatsebagai ketua Majelis Mujahidinini.

Menutup pembicaraan,Ustadz yang berpembawaantenang dan bersahaja itumenceritakan pengalamanorganisasi beliau saat di HMI yangsempat menjabat posisi ketuahanya dalam kurun waktu limamenit. Karena kala itu HMImenentang keputusan Presiden RI,kala itu dijabat oleh Soekarno yangmembagi azas Pancasila menjadiperasan-perasan kecil, saatsebelum meletusnya G 30 S PKI. “Waktu itu yang melantik sayaadalah Yusuf Syakir dan BeduAmang sebagai ketua Badko,setelah dilantik dan disyahkan, dariJakarta keluar keputusan untukmemberhentikan kami, jadi hanyalima menit saya menjabat”,ujarnya sambil melepas tawa.

Profil

Kegiatan rutin santriwan-santriwati pondok AlMukmin Ngruki.

Doc

. N

gruk

i

28 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Pluralisme hukum adalah suatu hal yang melekat pada strukturmasyarakat Indonesia yang majemuk. Kehadiran pluralismehukum dalam pranata sosial masyarakat tersebut dapat dirujuk

pada pengakuan negara terhadap legalitas sumber-sumber normatif diluar hukum positif. Hukum adat dan agama adalah contoh dua sumbernormatif yang diakomodasi negara dalam pranata hukum masyarakat,meski harus diakui bahwa eksistensi pluralisme hukum ini tidak bisadilepaskan dari motif politis kebijakan hukum kolonial pada masapenjajahan.

Derivasi dari kemajemukan hukum yang diakomodasi negaratersebut dapat ditemukan pada Undang-undang No. 30 Tahun 1999tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undangini merupakan landasan yuridis yang memungkinkan diterimanya modelhukum penyelesaian konflik alternatif di luar proses peradilan formal,yang dalam terminologi hukum disebut Alternative Dispute Resolution(ADR). Penelitian “Model Alternatif Penyelesaian Sengketa: Studi KasusLembaga Purpur Sage dalam Kebudayaan Batak Karo”, merupakansalah satu ikhtiar akademik untuk mengungkap keunikan relasi dalamkemajemukan model penyelesaian sengketa alternatif yang biasaditempuh melalui institusi lokal.

Struktur kekerabatan masyarakat Batak Karo terbagi dalam tigakelompok, yang dikenal dengan istilah Dalikan Si Telu atau Daligan SiTelu. Ketiga kelompok kekerabatan tersebut adalah Sembuyak atauSenina, Anak Beru, dan Kalimbubu yang berfungsi sebagai sangkepenggeloh (kelengkapan hidup) orang Batak Karo. Konsep kekerabatansejenis ini juga dapat dijumpai dalam sistem kekerabatan Batak lain,seperti Dalihan Na Tolu. Klasifikasi masyarakat di atas menggambarkanrelasi kekerabatan Batak Karo yang disandarkan pada hubungan darah

PURPUR SAGE, JALAN REKONSILIASIMELALUI INSTITUSI LOKAL

Hasil Penelitian

(genealogis) dan hubunganperkawinan; Senina berkonotasisebagai saudara semarga, baikdalam satu cabang margaataupun berbeda cabang marga;Anak Beru merupakan pihakkeluarga yang menerima anakgadis atau wanita (penerimadara); Kalimbubu adalah pihakkeluarga asal gadis atau wanita(pemberi dara) dalam perkawinan.Keteguhan kultural masyarakatBatak Karo ini juga terlihat darikepatuhan yang kuat terhadapadat istiadat beserta institusi-intitusinya.

Sebagai masyarakat yangmasih kental dengankomunalisme, mekanisme maupuninfrastruktur yang ada dalammasyarakat Batak Karomenekankan aspek harmoni dankebersamaan, termasuk dalammenghadapi sengketa. Jalanmusyawarah (runggu) selaludiambil untuk meluruhkan apikonflik yang menyala melaluiintitusi adat, yaitu purpur sage.Lembaga purpur sage merupakansalah satu bentuk ritual upacaratradisional yang dipakaimasyarakat Batak Karo, berupaupacara saling memaafkan antarkeluarga, atau masyarakatkampung yang bersengketatentang sesuatu.

Lembaga purpur sagemerupakan penjelmaan darikesadaran alam pikiran kolektifmasyarakat Batak Karo yangmengidealisasikan tata sosialharmonis yang terintegrasi dengannorma-norma atau kaidah moralperilaku setiap individu Batak Karo.Kaidah-kaidah moral itu memuatperintah, anjuran, pembolehandan larangan. Sosialisasi sertainternalisasi norma-norma tersebut

Natangsa Surbakti

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 29

berlangsung secara turuntemurun, dari generasi kegenerasi, yang disampaikansecara lisan dalam berbagaikesempatan pertemuan keluarga.Rangkaian norma-norma moralyang terhimpun dalam alampikiran masyarakat Batak Karodikenal dengan istilah sumbang sisiwah (pantangan yang sembilan).Kata sumbang merepresentasikanmakna janggal, salah, keliru,ceroboh, tercela, tidak bermoral,asusila, dan berdosa. Dengandemikian, sumbang si siwahmencerminkan sembilan hal yangharus dihindari dalam prilakusosial adat Batak Karo, karenasetiap bentuk pelanggaranatas hal tersebut dapatmencederai harmoni(disharmoni) sistem sosialyang berlaku.

Berdasarkan informasidi lapangan, sumbang sisiwah yang dimaksudmencakup sembilan hal,yakni sumbang dalambicara, sumbang dalammakan, sumbang dalamtertawa, sumbangpendengaran, sumbangduduk, sumbang pandangan,sumbang dalam menari, sumbangberjalan, dan sumbang mandi.Secara umum, sikap-sikapsumbang dalam cakupan di atasbersifat melanggar kebiasaan atautata krama sosial. Berpijak padafalsafah sumbang si siwah inilah,masyarakat Batak Karo memilikikewajiban untuk menjaga diri,menghindari perbuatan-perbuatanmenyimpang sekaligusmeluruskan/membenahi kembalisetiap ada peristiwa sosial yangbersifat disharmoni. Pelanggaranterhadap kaidah-kaidah moralmerupakan pemicu timbulnyaperselisihan, sengketa bahkan

konflik di antara wargamasyarakat, baik masih terikatataupun tidak terikat talikekerabatan satu sama lain. Jikaini yang terjadi, maka masyarakatBatak Karo sedang menghadapidisharmoni sosial.

Disharmoni sosial yangdilakukan anggota adat berimbaspada lingkungan keluarga,terutama lingkup kerabat dekatdalam cakupan sangkepenggeloh. Disharmoni sosialtersebut dapat direfleksikan olehmunculnya kejanggalan-kejanggalan yang dalam tingkattertentu bisa mengakumulasi seriussemacam psikosomatisme.

Kejanggalan ini akan menjadifokus perhatian pihak sangkepenggeloh,utamanya pihak AnakBeru. Dalam beberapa kasus,Anak Beru mengusahakan upayapenyelesaian pelanggaran moralyang terjadi dengan tujuan untukmemulihkan harmoni sosial yangsempat terlukai. Ketika maksud itudinyatakan pihak Anak Berukepada pihak kalimbubu yangsedang dalam perselisihantertentu, maka proses upacaraperdamaian secara adat sedangberlangsung (purpur sage).Pernyataan Anak Beru biasanyadiiringi dengan permintaan kepadakedua pihak kalimbubu yang

sedang berselisih untuk bersediaberkumpul bersama pada hari dantanggal tertentu di salah satukeluarga di lingkungan kalimbubuyang dituakan.

Dalam momen demikian,para pihak yang berselisihbiasanya sampai pada puncakkesadaran atas akibat darimeletupnya sengketa di antaramereka, sehingga pada akhirnyamereka merasa menyesal disertaikesediaan berdamai, salingmemaafkan, dan berjanji untukrukun kembali. Proses perdamaianyang telah sampai pada tahappengakuan dan kesedian darikedua belah pihak untuk merajutharmoni sosial berarti menandaipuncak ritual upacara purpursage, untuk kemudian dilanjutkanmakan bersama.

Pesan yang terkandungdalam praktik lembaga purpursage adalah rekonsiliasi danperdamaian berbasis institusi lokal.Eksperimentasi lembaga purpursage pada kenyataannya tidakhanya diperuntukan bagipenyelesaian sengketa masyarakatBatak Karo secara eksklusif,namun model ini cukup efektifdalam mendamaikan perselisihanyang mengemuka antarakelompok warga desa yangberetnis Jawa dan warga beretnisBatak Karo. Spirit rekonsiliasi yangdiusung purpur sage inimerupakan salah satu potensipenting bagi pengembangan danreformasi sistem hukum nasionalyang selama ini dirasa kering darisentuhan-sentuhan substanstifkeadilan. Pada akhirnya, negaraharus memberi ruang pengakuanyang sama terhadap eksistensipluralisme hukum lokal sebagaimodel alternatif untuk memberikeadilan hukum bagi masyarakatIndonesia yang multietnik. (rizarizarizarizariza)

Hasil Penelitian

purpur sagepurpur sagepurpur sagepurpur sagepurpur sage merupakansalah satu bentuk ritual

upacara tradisional yangdipakai masyarakat Batak

Karo, berupa upacara salingmemaafkan antar keluarga,atau masyarakat kampungyang bersengketa tentang

sesuatu.

30 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Beberapa negara berpenduduk mayoritasMuslim yang memiliki keanekaragaman etnis,agama dan ras seperti Indonesia, menghadapi

kerawanan konflik lintas batas. Stabilitas nasionalmenurun seiring surutnya pamor semangat BhinekaTunggal Ika karena permasalahan ketidakadilansosial yang menghantui.

Persoalan ketidakadilan terutama yangbersentuhan dengan perbedaan etnis, agama, ras,dan jender di negeri ini telah menarik picu sikapfanatisme kelompok yang berpotensi untukberkembang menjadi permusuhan yangmengakibatkan konflik dan kerusuhan. Hal inimenarik sekaligus menantang untuk dikaji terutamauntuk mencari alternatif solusi atas kondisi nasionalyang carut marut.

Melihat pentingnya upaya menelusuri penyebabketidakadilan sosial dan solusinya, Pusat Studi Budayadan Perubahan Sosial UMS menyelenggarakanseminar bertema “Tantangan Keadilan SosialMasyarakat Muslim” pada tanggal 20 Februari 2004

di ruang seminar Pasca Sarjana UMS denganpembicara utama Kemala Chandrakirana.

Kemala memulai paparannya dengan reformasiyang digulirkan di Indonesia, sebuah masa transisiyang tidak terjamin, serta kerusuhan di Maluku danbeberapa daerah lain (dengan korban terbesaradalah wanita dan anak-anak) yang ternyata bukankarena perbedaan visi tentang Indonesia baru atauperbedaan analisis yang menentang rezim OrdeBaru, namun merupakan pertikaian antara Muslimmelawan penganut Kristen, penduduk asli melawanmigran, serta agen “negara kesatuan” dan kaumseparatis yang tidak mau lagi menjadi bagian dariapa yang mereka alami sebagai “Indonesia” yangmenekan dan brutal, yang mana mereka semuaadalah penduduk yang telah bertetangga secaraturun temurun. Semua itu memberikan pesan bahwaidentitas penduduk yang berupa agama, etnik, danras telah menjadi penyebab kerusuhan yang terjadi dinegara yang memiliki 300 kelompok ethno-linguisticdengan populasi sebanyak 200 juta jiwa lebih ini.

Hasil Diskusi

TANTANGANKEADILAN

SOSIAL DALAMMASYARAKAT

MUSLIM

Persoalan ketidakadilan terutamayang bersentuhan denganperbedaan etnis, agama, ras, danjender di negeri ini telah menarikpicu sikap fanatisme kelompok,yang berpotensi untukberkembang menjadipermusuhan yangmengakibatkan konflik dankerusuhan.

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 31

Latar belakang lain adalahketakutan penduduk pada“tetangganya” yang menjadisumber energi dari kerusuhanyang mengerikan itu, dansekaligus mudah dimanfaatkansebagai objek penyalahgunaan“politik takut” oleh aktor politikyang punya tujuan tertentu yangdiproduksi oleh rasa ketidakadilanyang mendalam dan menyakitkan.

Menurut pengamatanKemala, ada tiga penyebabketidakadilan sosial dalammasyarakat Indonesia.Penyebab pertama adalahmelebarnya jurang pemisahantara si kaya dan si miskin,meskipun angka totalkemiskinan mutlak menurun.Gap ini ditunjukkan olehrealitas pengambilan lahanpenduduk untuk perusahaandan pabrik besar, sertapenebangan hutan yangmemberi pemasukan padanegara, perlakuan yangburuk terhadap buruh ketikaekonomi terindustrialisasi,penggerogotan aset milikpenduduk oleh praktek korupsidan pengancaman, dan belumteratasinya krisis ekonomi dikalangan masyarakat miskinsehingga semakin banyak wanitayang terpaksa mencari pekerjaandi luar negeri sebagai buruhmigran. Penyebab kedua adalahkesalahan peradilan. Dalammengatasi ketidaksepakatanantara warga, mengakhirikebebasan pelaku kriminal dankekerasan terhadap buruh, telahterjadi proses peradilan yang

kurang adil ketika administrasiperadilan tergantung pada pejabattertinggi atau kekuatan pemegangkekuasaan politik. Penyebabketiga adalah praktek otoritarianrezim Orde Baru berupa tekananpolitik terhadap penentang(termasuk kelompok Muslimradikal yang menentang kebijakanotoriter Orde Baru), diskriminasisistematis terhadap minoritas

(termasuk Cina) serta kekerasanvulgar terhadap buruh yangdianggap mengancam keutuhannegara.

Dari permasalahan tersebut,Kemala berkesimpulan setidaknyaada empat tantangan yang harusdijawab untuk menciptakankeadilan sosial di Indonesia.Tantangan pertama adalahmengatasi sumber ketidakadilanekonomi, sosial, perundangan danpolitis. Menurutnya, hal ini bisadilakukan dengan caramemunculkan sebuah paradigmabaru perkembangan sosial

ekonomi, mereformasi institusiperundangan, serta menuntutpertanggungjawaban atasketidakadilan dan pelanggaranHAM yang telah terjadi. Namunbegitu, langkah ini belum cukupkarena belum memperhatikanketegangan inter-etnik dan inter-agama yang menyebabkankerusuhan besar-besaran di masapasca Soeharto. Oleh karena itu,

perlu adanya pemahamanmengapa ekspresiketidakadilan ekonomi,sosial dan politik yangmuncul justru kerusuhanantar agama, etnik, danras. Dalammenjelaskannya, Kemalamenggunakan kilas balikke jaman ketika OrdeBaru berkuasa.Munurutnya, saat ituetnisitas dan agamamenjadi kontrol birokrasinegara melalui strategiuntuk memasyarakatkandan mengadopsi

karakteristik kultur Jawa(Jawanisasi) agar diterima ataumungkin dipromosikan, ataumemberi hak istimewa pada orangJawa, strategi untuk menfasilitasipromosi yang cepat bagi pejabatpemerintah berdasarkan agama(Islam), serta mengharuskanstruktur pemerintahan desa untukmengikuti struktur pemerintahandesa-desa Jawa yang tidak sesuaidengan komunitas penduduk asliyang diatur dan dipimpin. Semuaitu menghasilkan pengistimewaanyang sistematis dalam lini etnis danagama. Pengistimewaan ini

Hasil Diskusi

Orde Baru telah mewariskanpotensi konflik berupa tekanan

politik terhadap penentang(termasuk kelompok Muslim

radikal yang menentangkebijakan otoriter Orde Baru),diskriminasi sistematis terhadapminoritas (termasuk Cina) serta

kekerasan vulgar terhadapburuh yang dianggap

mengancam keutuhan negara.

32 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

kemudian terkombinasi dengandepolitisasi kewarganegaraan dimana tidak ada pengorganisasiansecara politis di bawah leveldaerah dan di luar masa pemilihan(parlemen dan presiden). Institusiagama yang ada pun hanyamenjadi sumber untukmenformulasikan ketertarikankolektif. Selain itu jugaterkombinasi dengan militerisasiumum yang memicuperkembangan militansi dalam linietnis dan agama, termasukpasukan jihad yang berperangdalam konflik Maluku. Hasilkombinasi pengistimewaan-depolitisasi kewarganegaraan-militerisasi umum ini adalahterbentuknya pematangan bangsauntuk mobilisasi politis di liniagama dan etnis sehinggamemuncak pada ketegangan inter-

etnik dan inter-agama.Tantangan kedua adalah

mengembangkan sebuah negeriimpian baru dengan dukungantransfomasi institusi sosial danpolitik, termasuk institusipemerintahan dari tingkat desahingga nasional, birokrasi negara,angkatan bersenjata dan polisi,partai politik dan institusi negaramelalui jalan yang mengarah padasebuah “Rezim Toleransi” baru.Menilik memori historis saatIndonesia mampu —meskipunmenghadapi pilihan yang sulit —menentukan bahasa nasional(1928), dan ideologi negara(1945), serta terbinanyakoeksistensi damai institusi lokalseperti Pela Gandong,membangun rezim toleransi bukantidak mungkin dilakukan di negeriini. Cara yang bisa ditempuh

untuk membangun negeri impiantersebut adalah mengatasipersoalan kepemimpinan ketikamasyarakat mengartikulasikanperbedaan antara kaum muda-tua, pemimpin lokal-nasional, pria-wanita, memperkuat gerakansosial lintas batas, danmenggerakkan institusi budayadan lokal untuk mengatasimasalah agar tidak terjerumusdalam pengkotakan.

Tantangan ketiga adalahmemusatkan perhatian pada krisiskepemimpinan untuk menjaminbahwa generasi pemimpinberikutnya bukan merupakansubyek fragmentasi negara danmemiliki kapasitas untukmemimpin lintas batas perbedaanetnis, agama dan ras.

Tantangan keempat adalahberkomitmen penuh pada proses

Hasil Diskusi

Corak Batik kaligrafi

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 33

otonomi daerah sebagai prasyaratproses demokratisasi. Hanya saja,perlu juga mempertimbangkankedudukan otonomi daerah yanghingga saat ini masih sepertipedang bermata dua. Tidak bisadipungkiri bahwa pada tingkatlokal, otonomi daerah ternyatamenyebabkan munculnyaprimordialisme serta menjadiarena konservatisme agama (sertamenjadikan perempuan sebagaipihak yang paling banyaktersingkirkan). Secara politis,otonomi daerah digunakan untukmemecah belah dan merampasdaerah seperti yang diaspirasikanoleh separatis.

Untuk menjawab keempattantangan tersebut diperlukanadanya kekuatan sosial berupagerakan sosial. Gerakan sosial disini adalah perjuangan bersamayang melibatkan masyarakat sipil,para reformer dalampemerintahan, kekuatan angkatanbersenjata dan polisi. Gerakansosial bisa menjadi kekuatan untuk

mengusung visi baruyang melahirkandasar-dasar bagikepemimpinan baru,sumber energi untukmembuat institusibaru, serta bisamenjadi arena untukmembangun kapasitasdan penguatan yangnyata. Selain itugerakan sosial jugamemungkinkanterbangunnyajembatan yangmenghubungkan perbedaan etnik,agama dan ras dalam prosesmenemukan solusi nyata bagipermasalahan ketidakadilan yangkompleks. Pertumbuhan gerakansosial yang dinamis akan sangatpenting untuk mengartikulasikanarti dari puing-puing bekaskerusuhan (yang perlu diawalidengan keberanian negara) untukmenemukan cara mentransformasiinstitusi-institusi danmendefinisikan ulang hubungan

negara-rakyat.Berdasarkan

kajiannyasebagai aktivisgerakanperempuan, iamenemukanfakta bahwaperempuanmerupakanpihak yangmengalamikerugianterbesar karenakerusuhan dan

Gerakan sosial akanGerakan sosial akanGerakan sosial akanGerakan sosial akanGerakan sosial akanmelahirkan kemungkinanmelahirkan kemungkinanmelahirkan kemungkinanmelahirkan kemungkinanmelahirkan kemungkinanterbangunnya jembatanterbangunnya jembatanterbangunnya jembatanterbangunnya jembatanterbangunnya jembatanyang menghubungkanyang menghubungkanyang menghubungkanyang menghubungkanyang menghubungkan

perbedaan etnik, agamaperbedaan etnik, agamaperbedaan etnik, agamaperbedaan etnik, agamaperbedaan etnik, agamadan ras dalam prosesdan ras dalam prosesdan ras dalam prosesdan ras dalam prosesdan ras dalam proses

menemukan solusi nyatamenemukan solusi nyatamenemukan solusi nyatamenemukan solusi nyatamenemukan solusi nyatabagi permasalahanbagi permasalahanbagi permasalahanbagi permasalahanbagi permasalahanketidakadilan yangketidakadilan yangketidakadilan yangketidakadilan yangketidakadilan yang

kompleks.kompleks.kompleks.kompleks.kompleks.

Hasil Diskusi

ekstrimisme agama yang terjadi.Kemala berpendapat bahwakesuksesan transisi Indonesiasangat tergantung pada kekuatandan gerakan perempuan sebagaibagian dari gerakan sosial. Ia jugaberkomentar bahwa ibarat dipersimpangan jalan, Indonesiabisa memilih jalan — suatu versibaru dari rezim Orde Baru, atausebuah transisi murni ke arahdemokrasi, keadilan sosial danmultikulturalisme.

Mengatasi masalahketidakadilan sosial di Indonesia,bagaimanapun, bukan sesuatuyang mudah, namun usaha yangpenuh tantangan dari masa lalu,jebakan serta kelelahan. JikaIndonesia berhasil, hal ini bisamemberikan kontribusi yang besarpada dunia. Namun jika benar-benar gagal, Indonesia akanterisolasi dari penduduk duniayang sama- sama berjuang untukkeadilan sosial dalan komunitasmultikultural.

Asih IstikomahAsih IstikomahAsih IstikomahAsih IstikomahAsih Istikomah

34 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Kalimah Berita

KS, SoloSebagai upaya membuka ruang diskursus,

refleksi, kritik, dan pemaknaan kembali sistem nilaikeislaman yang diperlukan dalam keberagamankontemporer, PSB-PS UMS menyelenggarakanHalaqah Tarjih III dengan tema “Menuju MuslimBerwawasan Multikultural”. Pertemuan yangberlangsung tiga hari, tanggal 16-18 Januari 2004di Hotel Sahid Kusuma Surakarta ini ditujukan untukmemproduksi gagasan dan konseptualisasi IslamMultikultural melalui berbagai pendekatan tauhidsosial, falsafah dan syariah sebagai basis legitimasidan pencerahan bagi keberagaman yang arif dalamkonteks multikulturalisme, serta untuk membangunkomitmen bersama untuk mempromosikan sikapkeberagaman yang multikulturalis di tengahkecenderungan pengerasan sikap dan eksklusivitaspola pikir masyarakat.

Halaqah yang diselenggarakan menggunakanmetode seminar, workshop dan diskusi melingkar ini

dibagi menjadi tiga sesi. Sesi pertama membahasIslam dan multikulturalisme dalam perspektif tauhidsosial dengan Moeslim Abdurrahman dan HaidarBagir sebagai pembicara. Sesi kedua membahasIslam dan multikulturalisme dalam perspektif falsafahdengan pembicara Mulyadhi Kertanegara serta Lies-Marcoes Natsir. Dalam sesi ketiga tentang Islam danmultikulturalisme dalam perspektif syariah, SamsuRizal Panggabean dan Fathurrahman Djamil hadirsebagai pembicara.

Dua target kegiatan yang dihadiri 37 pesertadari kalangan organisasi Muhammadiyah, universitasdan media massa ini adalah: pertama, lahirnyakesadaran individu akan realitas multikulturalismeyang akan mengakumulasi dalam bentuk kesadarankolektif untuk hidup bersama secara berbeda; kedua,terpetakannya respon dan upaya wargaMuhammadiyah dalam memberikan landasantauhidi, falsafah dan syar’iyyah terhadap realitas dantantangan multikulturalisme. (Asih)(Asih)(Asih)(Asih)(Asih)

HALAQAH TARJIH III, MENUJUMUSLIM BERWAWASAN

MULTIKULTURAL

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 35

Kalimah Berita

KS, SoloSebagai perwujudan program

kerjasama eksternal yang telahdiagendakan, PSB-PS UMS telahmenerbitkan beberapa buku baru danbulletin, meluncurkan dan membedahbuku.

Tiga buku yang telah diterbitkanberjudul Agama dan Pluralitas BudayaLokal, cetakan II tahun 2003 (pengantar:M. Amin Abdullah, Zakiyuddin Baidhawydan Mutahharun Jinan sebagai editor)hasil kerjasama dengan Majelis Tarjih danPPI PP Muhammadiyah dan The Ford

Foundation; buku Sinergi Agama danBudaya Lokal: Dialektika Muhammadiyahdan Seni Lokal, cetakan I, Maret 2003(editor: M. Thoyibi, Yayah Khisbiyah, danAbdullah Aly) yang diterbitkan bersamaMUP UMS, Majelis Tarjih dan PPI PPMuhammadiyah yang diluncurkan dandibedah pada 24 Mei 2003 denganpembicara: Moeslim Abdurrahman, A.Charris Zubair dan M.A. Fattah Santoso,serta buku dengan judul Purifikasi danReproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa:Muhammadiyah dan Seni Lokal, cetakanI, Juni 2003 (pengantar: Abdul MunirMulkhan, penulis: Asykuri Chamim,Syamsul Hidayat, M. Sayuti dan Fajar RizaUl-Haq). Selain itu PSB-PS UMS juga telahmenerbitkan bulletin Kalimatun Sawa’edisi Mei 2003.(Asih).(Asih).(Asih).(Asih).(Asih)

PSB-PS UMS TERBITKAN, LUNCURKANDAN BEDAH BUKU BARU

KS, SoloDalam Colloquium yang dise-

lenggarakan PSB-PS UMS pada 26 Maret2004 di ruang seminar Fakultas EkonomiUMS yang bertemakan “HubunganAgama-Politik”, Riaz Hassan, professorpada Department of Sociology, FlinderUniversity, Australia yang hadir sebagaipembicara mengungkapkan hasilpenelitiannya di tujuh negara Muslim (Pa-kistan, Indonesia, Mesir, Kazakhstan, Iran,Turki dan Malaysia) mengenai keperca-yaan masyarakat terhadap institusi-institusi kunci Negara, institusi keagamaan(ulama, imam masjid, ustadz), institusipemerintahan (parlemen, pengadilan,pelayanan umum), media massa (pers,TV), perusahaan besar, dan institusi aka-

demik (universitas dan kaum intelektual).Berdasarkan temuannya, Riaz yang

hadir bersama istri, mengatakan bahwakepercayaan kepada institusi keagamaanberbanding lurus dengan kepercayaanterhadap pemerintahan. Semakin tinggikepercayaan pada agama, semakin tinggipula kepercayaan pada negara.Sedangkan keunikan yang terjadi di In-donesia, menurutnya, institusi keagamaanlebih dipercayai daripada institusipemerintahan, namun demikian keperca-yaan kepada pemerintah masih lebihtinggi dibandingkan di negara-negaralain yang diteliti.

Sebagaimana disampaikan PR IUMS, H. Maryadi sebagai moderatorsekaligus penerjemah, Colloquium yangdihadiri 33 peserta dari kalanganakademisi, pers dan mahasiswa inimenghasilkan beberapa simpulan, antaralain bahwa maju mundurnya suatunegara sangat tergantung pada hu-bungan antara agama dan politik; bahwaperberlakuan Negara Islam belum tentubaik bagi kondisi suatu negara karenaketerpisahan maupun ketidakterpisahanantara agama dan negara bisamenimbulkan dampak yang baik, namunbisa juga berdampak buruk.(Asih).(Asih).(Asih).(Asih).(Asih)

RIAZ HASSANPAPARKAN

HUBUNGANAGAMA-

POLITIK DI UMS

36 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Kalimah Berita

KS, SoloSaat ini belum ada rencana yang jelas untuk

mengatasi permasalahan Aceh. Demikian dikemukakanYayah Khisbiyah saat membuka Road Show for Acehyang diselenggarakan PSB-PS UMS pada 4 Maret 2004di Auditorium UMS.

Kegiatan hasil kerjasama PSB-PS UMS denganATMA (Yayasan Advokasi Transformasi Masyarakat) danSHMI (Suara Hak Asasi Manusia) ini mengusung tema“Penyelesaian Konflik Aceh yang Memenuhi PrinsipKemanusiaan”. Road Show diawali dengan pemutaranfilm dokumenter tentang keadaan masyarakat Acehketika dan pasca DOM, dilanjutkan seminar umumdengan Hilmar Farid dan Bonar Tigor Naipospos sebagaipembicara.

Hilmar yang tampil sebagai pembicara pertamamenjelaskan bahwa selama ini masih terjadikekurangtepatan dalam pemahaman konflik yangterjadi di Aceh. Hilmar kemudian memaparkan sejarah

Aceh dengan harapan para peserta berjumlah 145orang yang hadir akan bisa menempatkanpermasalahan dengan tepat. Adapun Bonarmenyampaikan makalah berjudul Memandang Acehdalam Perspektif Internasional. Bonar berpendapat,wajib bagi seseorang untuk peduli pada permasalahanyang dihadapi orang lain, termasuk yang berada ditempat lain, dan kita jangan langsung berprasangkaburuk terhadap perhatian luar negeri terhadap kasusAceh.

Road Show yang terlaksana selama sekitar limajam ini diakhiri dengan sebuah kesimpulan,sebagaimana disampaikan Natangsa sebagai modera-tor seminar, bahwa konflik Aceh terjadi karena mis-management pemerintahan yang bersumber daripemerintah pusat. Adapun dua alternatif solusi konflikAceh yang dihasilkan dari kegiatan ini adalahdihapuskannya DOM serta perlunya solusidamai.(Asih).(Asih).(Asih).(Asih).(Asih)

ROAD SHOW FOR ACEH UNTUK PENYELESAIANKONFLIK YANG MEMENUHI PRINSIP KEMANUSIAAN

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 37

Kalimah Berita

LIMA RATUS SISWA SEKOLAH DASARSEMARAKKAN PENTAS SENI PAS

KS, SoloSekitar lima ratus siswa dari empat sekolah

dasar: MI Muhammadiyah Karanganyar; SDMuhammadiyah 1 Surakarta; SD Al-IrsyadSurakarta, dan SD Al-Islam 2 Surakarta tampilmenyemarakkan pentas seni Pendidikan ApresiasiSeni (PAS) di pendopo STSI Surakarta pada hariMinggu, 7 Maret 2004. Kegiatan terselenggaraatas kerjasama PSB-PS UMS dan STSI Surakarta.

Masing-masing sekolah dasar menampilkankolaborasi tiga macam kesenian yaitu karawitan(termasuk rebana), pedalangan serta tari yang telahdiberikan melalui PAS selama satu semester.Penampilan para siswa kelas dua, empat dan limayang bukan hanya anak-anak etnis Jawa, namunjuga Arab dan Tionghoa tersebut cukup memukautamu undangan dan para hadirin yang memadatitempat acara berlangsung.

Sebagaimana disampaikan Yayah Khisbiyah,PAS dan pentas ini diselengggarakan untukmemberikan kesempatan pada anak untukmenumbuhkan kreativitas, mengenalkan budayadan menumbuhkan kecerdasan spiritual. Acara inijuga diharapkan dapat mengingatkan bahwa selainsebagai Homo Sapiens, anak adalah juga HomoLudens (mahluk bermain) yang tak hanyamembutuhkan IQ, namun juga SQ.

Beberapa hadirin yang ditemui KS saat acaraberlangsung menyambut positif kegiatan PAS danpentas seni ini. (Asih). (Asih). (Asih). (Asih). (Asih)

LSB-PDM KABUPATEN KLATEN UNDANGPSB-PS UMS SEBAGAI NARASUMBER

Pada tanggal 22 Agustus 2003, Lembaga SeniBudaya (LSB) PDM Kabupaten Klatenmenyelenggarakan kajian dan dialog budaya di kantornya.Dalam kegiatan bertemakan “Muhammadiyah dan SeniBudaya Lokal” tersebut, PSB-PS UMS diwakili olehZakiyuddin Baidhawy berpartisipasi sebagai narasumber.

PSB-PS UMS IKUT SERTA SEMINARNASIONAL PARIWISATA DAN BUDAYA DI

MALANG

Atas undangan Lembaga Kebudayaan (LK)Universitas Muhammadiyah Malang, ZakiyuddinBaidhawy sebagai perwakilan PSB-PS UMS bertolakke Malang pada tanggal 27 Agustus 2003 mengikutiseminar nasional Pariwisata dan Budaya yangdiselenggarakan di kampus III UMM bertemakan “PeranSeni Budaya Lokal untuk Peningkatan Industri PariwisataNasional”.

PSB-PS UMS HADIRI FORUM YKP

Dalam rangka berbagi pengalaman tentangMultikulturalisme dan dialog antar keyakinan(Multiculturalism and Interfaith) dalam memecahkanberbagai persoalan bangsa, para pegiat PSB-PS UMSmenghadiri forum diskusi dan sharing yangdiselenggarakan Yayasan Krida Paramita (YKP) diSurakarta. Forum yang diadakan pada tanggal 8September 2003 ini juga menghadirkan aktivis dariPolandia, Krzysztof Czyewski.

PSB-PS UMS IKUTI SEMINAR FkBA

Pada tanggal 10 September 2003, Almuntaqo Zainsebagai utusan PSB-PS UMS mengikuti seminarbertemakan “ Corporate Culture” yang diselenggarakanForum Kajian Budaya dan Agama (FkBA) di gedungUC Universitas Gadjah Mada.

38 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Feature

Pada edisi kali ini kembali Buletin KalimatunSawa’ menurunkan tulisan tentang sebuahperkampungan yang bernuansa etnis, setelah

sebelumnya menurunkan tulisan yang sama tentangperkampungan etnis Tionghoa dan Banjar. Kali ini,reporter KS Ali menurunkan tulisan tentangperkampungan etnis Arab di Pasar Kliwon, Solo.

Seiring dengan masuknya Agama Islam diNusantara pada sekitar abad 13, berkat parapedagang dari Gujarat, seluruh pesisir pantaimenjadi tempat subur perkembangan Islam. Takterkecuali di wilayah Jawa Tengah. Itu pula yangmenjadikan para pedagang Islam dari seluruh sukubangsa yang ada menjejakkan kakinya di wilayah ini.Seperti kita telah ketahui, para pedagang Islam inidatang tidak hanya dengan misi dagang namun jugamenyebarkan agama mereka. Dalamperkembangannya kemudian agama ini dapatditerima dan bahkan masuk ke dalam kerajaan danmenjadi agama yang dianut oleh para raja.

Bermula dari kerajaan Mataram Islam pada

sekitar tahun 1700-an di Kartasura dan Surakarta,sejak itu pula para bangsa Arab datang dan hidup dikota vorstenlanden ini. Letak perkampungan etnisArab yang tidak jauh dari keraton membuktikanbahwa hubungan harmonis mereka dengan keluargapara raja sudah berlangsung lama.

Hubungan yang mereka jalin adalah hubunganyang saling menghormati. Bangsa Arab dianggapsebagai pembawa agama Islam dan keturunanlangsung dari bangsa yang di mana diturunkanagama yang mereka anut. Bangsa Arabmenghormati mereka sebagai tuan rumah yangmemberikan mereka tempat untuk tinggal dan hiduphingga kini. Itulah pasar Kliwon, sebuah pemukimanyang membentang di sepanjang Jalan KaptenMulyadi, Baluwarti, di sebelah Selatan Keraton atauAlun-alun Kidul.

Kelebihan dari kampung ini adalah selain lebihdari 70% warganya adalah keturunan etnis Arab,juga masih terlihat arsitektur lama yang hampir samadengan kampung-kampung lama yang dihadiahkan

PASAR KLIWON,Perkampungan Etnis Arabdi kota Solo.

Daerah Gladaksebagai pusat kotaSolo masuk di wilayahPasar Kliwon

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 39

Feature

oleh raja pada masanya.Dalam perkembangannya,

kampung ini pun tidak lagi hanyadihuni oleh warga keturunan etnisArab dan Jawa, namun juga olehorang warga keturunan dariPakistan. Dan sekitar duapuluhtahun terakhir ada juga wargaTionghoa, walaupun masihterkonsentrasi pada satu wilayahtertentu.

Seperti yang dituturkan olehlurah Kedung Lumbu Suwinarno,di daerahnya kini sudah ada tigaetnis yang berdomisili, yaitu etnisArab, Jawa, dan etnis Tionghoa disebelah utara.

Walaupun pola pemukimanmereka masih terkotak-kotak tapitidak menunjukkan adanyamasalah yang besar. Hal itu

terbukti ketika terjadi kerusuhanpada tahun 1998, yangmerambah menjadi kerusuhanyang bersentimen SARA, wilayahini terhindar dari kekacauan.

Kegiatan Etnis ArabKegiatan Etnis ArabKegiatan Etnis ArabKegiatan Etnis ArabKegiatan Etnis ArabSesuai kebutuhan kehidupan

manusia, kegiatan sosialmengharuskan setiap orang untukterus berhubungan antara satudengan yang lain. Untuk itu,warga etnis Arab di Pasar Kliwonmendirikan sebuah yayasan yangbersifat sosial kemasyarakatan.Ada beberapa yayasan yangkemudian berkembang menjadibesar. Di antaranya adalahYayasan al-Irsyad, al-Ihya, danMajelis Tafsir al-Qur’an. Duayayasan pertama dikelola oleh

warga keturunan etnis Arab,sedangkan Majelis Tafsir al-Quranatau sering disingkat MTA dikelolaoleh warga keturunan Pakistan.

Yayasan al-Ihya dan MTAlebih menekankan padaperkembangan moral masyarakat,melakukan pengajian danberkembang menjadi lembagapendidikan, salah satunya adalahSMU MTA. Dan yayasan Al Irsyadberkembang menjadi lembagayang lebih umum. Bahkanlembaga ini memiliki sebuah radioyang bernama radio ABC. Radioini tetap memilih bidang syiarIslam, selain juga membawa misibudaya dan Arab. Bahkan radio inisekarang telah berdiri sendiri,demikian jelas direktur radio ABCMuhammad Tamrin Ghozali yang

Pasar Gede di suatu sudut tengah kota dikawasan Pasar Kliwon dihuni olehsaudagar-saudagar etnis Arab danpribumi yang berbaur harmoni

Generasi muda yanglebih multikultural

40 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

Feature

Dulu keturunan etnis Arabdihormati karena hubungan

yang sangat erat dengan pihakkerajaan, kini lebih banyak

karena kesamaan agama danmata pencaharian mereka yangkebanyakan adalah pedagangdan pengusaha batik, konveksi,

tekstil.

asli keturunan Jawa. Kita teringatpula pada sebuah lagu yangbernuansa Timur Tengah berjudul“Cinta Rasul”, karya Hadad Alwi,berkolaborasi dengan gadis kecilbernama Sulis.

Betapa seni budaya bisamempersatukan mereka dari latarbudaya yang berbeda. Hadad Alwiseorang pemuda warga keturunanetnis Arab dan Sulis gadis kecilputri dari seorang warga orangbiasa suku Jawa. Mereka adalahseorang guru dan murid padasebuah taman pendidikan al-Quran.

PPPPPola Hubungan Sosialola Hubungan Sosialola Hubungan Sosialola Hubungan Sosialola Hubungan SosialPola hubungan sosial

kemasyarakatan yang terjadi daridulu hingga kini telah sedikitbanyak berubah. Kalau duluketurunan etnis Arab dihormatikarena hubungan yang sangaterat dengan pihak kerajaan, kinilebih banyak karena kesamaanagama dan mata pencaharian

mereka yangkebanyakan adalahpedagang danpengusaha batik,konveksi, tekstil. Polahubungan kerjaantara wargaketurunan etnis Arabdan Jawa adalahhubungan yang salingmenguntungkanantara juragan dankaryawan, dan antarapedagang danpembeli.

Pola hubungan ini punlambat laun berubah menjadihubungan kesetaraan. Dan dalamperkembangannya para wargaketurunan etnis Arab ini tidak maulagi disebut “Arab”. Merekameminta dan lebih senangdipanggil dengan sebutan jamaah,karena menurut mereka, sebutanitu lebih enak kedengarannya,demikian kata seorang tokohmasyarakat warga keturunan etnis

Arab yang enggan disebutnamanya.

Seiring denganperkembangan zaman, polahubungan sosial kemasyarakatansemacam ini terus dijaga oleh parawarga di sana, tidak meluludilakukan oleh para wargaketurunan etnis Arab tapi jugaketurunan Tionghoa, Jawa dansedikit suku dari daerah lain negeriini.

Jika siang hari wargaketurunan etnis Arabmendominasi, maka pada malamharinya para pedagang makanandari suku Jawa mengambil giliranmereka. Perkembanganinfrastruktur juga berpengaruhbesar, berdirinya Rumah SakitKustati mempengaruhi polakehidupan dan hubunganmasyarakat. Pasca kerusuhan1998, makin menyadarkanmasyarakat daerah itu bahwaperbedaan suku bukan suatuhambatan, tapi itu jadi sebuahrahmat dari Allah SWT yang harusdisyukuri. Ali Ali Ali Ali Ali

PasarKlewer

pusatperdaganganbatik yang

kebanyakandikuasai

oleh etnisArab

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 41

Muhibah

Denyut perjuanganperempuan dalammenempatkan eksistensi

dirinya supaya sejajar dengan kaumpria semakin mengabsurdkeberadannya. Perlawanan darikaum wanita seakan menjadibumerang yang pada akhirnyaperjuangan wanita yang menolaksegala bentuk eksploitasi, dikriminasidan kekerasan yang terjadi padamereka semakin memperbesarbillboard wanita sebagai sebuahkomoditi masyarakat. Perlawanantersebut semakin membuat jarakantara laki- laki dan perempuansehingga pada akhirnya lahirlahkaum feminis yang banyakmemproklamirkan dirinya sebagaikaum independen yang tidakmembutuhkan kehadiran pria.

Ironis rasanya ketika wanitamerangkak untuk memintakesempatan yang samapun pada

akhirnya terjebak pada sistem yangmembuat posisi perempuan terjepitdalam kungkungan budaya danpaham keagamaan. Perempuanyang menginginkan kedudukan yangsama dengan kaum laki- laki adalahbentuk perlawanan terhadap dotrinkeagamaan dan terhadapkeadiluhungan suatu budaya yangberkembang di masyarakat. Kasusseperti ini berkembang bahkan dinegara barat yang notabenenyaadalah negara maju pusat industridan tehnologi.

Di Asia terutama Asia Tenggaraperempuan diperlakukan layaknyabarang yang dapat dengan mudahdialihtangankan di bawahkekuasaan feudal dam pahamkesukuan. Sementara agamamenjadi legitimasi untuk menindasperempuan melalui praktikkebudayaan dan tradisi masyarakatyang berkembang.

Budaya patriarki salah satunyaterbentuk karena adanya fahamgender atau paham kelamin yangtumbuh dalam masyarakat kita.Pada budaya ini, kedudukanperempuan menjadi second classdari laki-laki. Struktur darimasyarakat patriarkhi inimengandung tiga asumsi dasar.Pertama, manusia awal adalah laki-

Keadilan GenderDalam Perspektif

Agama Dan BudayaMasyarakat

Diskursus perbedaanDiskursus perbedaanDiskursus perbedaanDiskursus perbedaanDiskursus perbedaanlaki-laki denganlaki-laki denganlaki-laki denganlaki-laki denganlaki-laki dengan

perempuan selaluperempuan selaluperempuan selaluperempuan selaluperempuan selaluaktual untukaktual untukaktual untukaktual untukaktual untuk

dibicarakan, baik daridibicarakan, baik daridibicarakan, baik daridibicarakan, baik daridibicarakan, baik darisisi substansi kejadiansisi substansi kejadiansisi substansi kejadiansisi substansi kejadiansisi substansi kejadianmaupun peran yangmaupun peran yangmaupun peran yangmaupun peran yangmaupun peran yang

diemban dalamdiemban dalamdiemban dalamdiemban dalamdiemban dalammasyarakat. Pmasyarakat. Pmasyarakat. Pmasyarakat. Pmasyarakat. Posisiosisiosisiosisiosisidan eksistensi kaumdan eksistensi kaumdan eksistensi kaumdan eksistensi kaumdan eksistensi kaumperempuan dalamperempuan dalamperempuan dalamperempuan dalamperempuan dalam

dinamika kebudayaan,dinamika kebudayaan,dinamika kebudayaan,dinamika kebudayaan,dinamika kebudayaan,haruslah diakui tidakharuslah diakui tidakharuslah diakui tidakharuslah diakui tidakharuslah diakui tidak

sebaik posisi yangsebaik posisi yangsebaik posisi yangsebaik posisi yangsebaik posisi yangdimiliki para laki-laki.dimiliki para laki-laki.dimiliki para laki-laki.dimiliki para laki-laki.dimiliki para laki-laki.Dikotomi pembagianDikotomi pembagianDikotomi pembagianDikotomi pembagianDikotomi pembagiankerja kerja kerja kerja kerja (job division)(job division)(job division)(job division)(job division)seringkali secaraseringkali secaraseringkali secaraseringkali secaraseringkali secara

empirik menempatkanempirik menempatkanempirik menempatkanempirik menempatkanempirik menempatkanperempuan di sisiperempuan di sisiperempuan di sisiperempuan di sisiperempuan di sisi

sekundersekundersekundersekundersekunder, perempuan, perempuan, perempuan, perempuan, perempuancenderung menempaticenderung menempaticenderung menempaticenderung menempaticenderung menempatiwilayah domestik danwilayah domestik danwilayah domestik danwilayah domestik danwilayah domestik dan

wilayah publikwilayah publikwilayah publikwilayah publikwilayah publikdiperuntukkan bagidiperuntukkan bagidiperuntukkan bagidiperuntukkan bagidiperuntukkan bagi

laki-laki. laki-laki. laki-laki. laki-laki. laki-laki. Sebuahcatatan perjalanan Meet-ing Gender Justice WongSanit Ashram, Thailand14- 19 Mei 2004, yangdilaporkan oleh Rif’atul

Khoiriyah.

42 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004

laki; dan perempuan diciptakandarinya, sehingga ia adalahmakhluk sekunder. Kedua, meskipunperempuan adalah makhluk keduadalam proses penciptaan, ia adalahmakhluk pertama yang berbuatdosa, dialah yang menggoda Adamsehingga terusir dari surga. Ketiga,perempuan bukan saja dari laki-lakitetapi untuk laki-laki. Adanya ketigaasumsi ini berakibat pada munculnyapersepsi bahwa perempuan tidakmempunyai hak untuk mendefinisikanstatus, hak dan martabat, kecualiapa yang telah disediakan kaumlaki-laki. Kehadiran perempuan didunia ini bersifat instrumental bagikepentingan laki-laki, dan bukanfundamental.

Budaya patriarkhi secaradoktrinal banyak dipengaruhi olehfaham keagamaan. Tradisi Hinduyang berkembang di Pakistanmisalnya, untuk status perempuandikaitkan dengan status sosial,perempuan adalah teman seoranglaki-laki (Sumangali Manual bab1,4). Perempuan ideal ialah sati,yaitu perempuan yang sudahmenikah (sumangali), siap berkorban

untuk suami, membawakeberuntungan bagi suami agarmencapai tujuan hidup manusia,yaitu: dharma (kewajiban), artha(kesuburan dan kekayaan), sertakama (kenikmatan seksual).

Kasus yang lebih mengerikanyang terjadi pada perempuanmuslim Pakistan adalah adanyatradisi stereotype Karo Kari, yangpada akhirnya menimbulkankesengsaraan yang berlebih padaperempuan. Perempuan menjaditumbal akan sebuah nama baikkeluarga. Tak sedikit wanita- wanitatak berdosa harus rela untukmenyerehkan kegadisannya untukmempertahankan nama baikkeluarga.

Varahamihara, hukum agamayang ada pada abad ke-6menyatakan bahwa dharma danartha tergantung pada perempuan,dari mereka laki-laki diberi kamadan memberkati anak laki-laki.Dengan fungsi tersebut otomatisperempuan tidak pernah bisamandiri, sebagai figur ideal merekadibebani tugas serta tanggungjawab yang berat.

Pada perspektif agama Budhayang mulanya berkonsentrasi pada“kesucian jiwa”, telah terpengaruhetika Confusianisme yangmemposisikan dominasi laki-lakidengan penentuan garis keturunanpada anak laki-laki. Hal ini terlihatdari perubahan sistem masyarakatBudha di Jepang yang mulanyamatrilenial (dipengaruhi olehShintoisme kepercayaan kunoJepang) menjadi patrilenial(dipengaruhi oleh Confusianismedari Cina). Bahkan menurutManusmurti, Hukum Manu, statusperempuan ternyata dinisbahkankepada laki-laki.

Secara paralel kesekunderanperempuan juga dapat dilacakpada struktur patriarkhi dalamGereja Katolik. Beberapa perikopadalam Kitab Suci seperti 1 Kor.14:34-35, di mana perempuan tidakdiberi hak untuk bicara dalamjemaat. Apabila perikopa inidinterpretasikan secara tekstual saja,maka mitos bahwa perempuanbicara dalam pertemuan jemaattidak sopan akan terus hidup. Sepertiditegaskan lagi dalam 1 Tim 2:8-15.Di sini hirarki laki-laki sangatdominan, perempuan memangterlibat dalam pelayanan tetapihampir tidak pernah dilibatkandalam mengambil keputusan.Walaupun Kitab Suci mengatakanbahwa gereja adalah tubuh Kristus(Efesus 4:16), namun yangdianggap tubuh hanya laki-laki saja.Pengangkatan Maria sebagai IbuGereja belum berhasil mengubahstruktur Gereja Katolik.

Relevan dengan legitimasiteologis yang terkesan diskriminatif,Alquran pun tidak terlepas dari bias-bias gender. Sebagai Kitab Suciyang diakui absolut otentik (hudan li

Muhibah

Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004 43

an-nas) oleh umat Islam, ditemukansejumlah ayat yang bersifat maskulin,baik secara filologis ataupunsemantik, yang menjustifikasieksistensi gender. Hal ini tersiratdalam soal-soal kewarisanpersaksian, poligami. Bahkan ayatal-Rijaalu qawwamuna’ala an-Nisa’(kaum laki-laki itu adalah pemimpinbagi kaum perempuan) surat an-Nisa’ ayat 34, interpretasi ayat inisering difahami sebagai doktrinteologis yang menempatkanperempuan di bawah laki-laki.Sekalipun menurut Riffat Hassan -tokoh feminis Muslim - melihat kata“qawwamuna” di sini adalah sebuahterm ekonomis, dan bukan biologis.

Secara epistimologis, bebangender (gender assignment) yangterjadi dalam masyarakat - sepertilegitimasi-legitimasi teologis -selamaini menurut Kay Deaux dan Mary EKite dalam “Thinking About Gen-der”, sangat dipengaruhi oleh sistemkepercayaan gender (gender belief

system) yang mengacu padaserangkaian persepsi tentang kualitasmaskulin dan feminin. Sistem inimenyangkut streotipe perempuan-laki-laki, sikap terhadap individuyang dianggap elemen deskriptifdan preskriptif, yaitu kepercayaantentang “bagaimana” seharusnyalaki-laki dan perempuan itu.

Mengacu pada fenomenasosial, atas sistem pembagian kerjaantara laki-laki dengan perempuan,yaitu relasi yang berhubungan padastruktur masyarakat nomaden dipadang pasir, yang meniscayakanperan dominan laki-laki, atau dalammasyarakat agraris, yang mulaimengakomodasi kemandirian peranserta perempuan, dan polahubungan dari masyarakatindustrialis, di mana progresifitassains dan teknologi yang sangatmembutuhkan kualitas skill/profesionalitas kesetaraan laki-lakidan perempuan pada setiap sektorkerja, maka anggapan bakusupremasi laki-laki terhadap

perempuan denganmenyandarkan atas legitimasidoktrin teologis, perlu untukkaji ulang.

Secara umum dapatdikatakan, legitimasi daridoktrin teologis tentang relasi(kemitraan) laki-laki danperempuan terkesandiskriminatif. Hal inidisebabkan oleh ajaran-ajaran agama tersebutdiformulasikan danditransmisikan dalamkonfigurasi budayamasyarakat patriarkhi. Selainitu mayoritas dari teks-tekskeagamaan pada masaformatif agama-agamadikodifikasi oleh para ulama

yang berjenis kelamin laki-laki. Darisalah satu asumsi itu, emansipasidan diskursus tentang gendermenjadi isu sentral belakangan ini diberbagai negara.

Relasi (kemitraan) ini bukansesama manusia an sich, ia jugamerengkuh dunia mikrokosmos,makrokosmos, dan Tuhan. Beberapaistilah Alquran diderivasi dari polakemitraan ini, misalnya pada suratal-Thariq, “langit dan bumi”diumpamakan sebagai suami danisteri. Konsep tersebut merupakankritik terhadap pola hidup masa pra-Islam yang bercorak kesukuan.Promosi karier hanya bergulir diantara laki-laki, sedang pada polaUmmah, laki-laki dan perempuansama-sama memiliki peluang untukmemperoleh kesempatan secara fair.Karena itulah, Alquran bersifatholistik dan egalitarian. NasaruddinUmar, memberikan peringatan untukkehati-hatian dalam memahamirelasi seksual dan relasi gender.Menurutnya di dalam menafsirkanayat-ayat Alquran, kita seringmencampuradukkan dua kategoriyang jelas berbeda.

Harus diakui, paradigmaemansipasi dan ideologi gender,merupakan studi yang menarik,terutama jika itu selalu dikaitkandengan legitimasi dari doktrinteologis. Menyongsong eramillenium ke 3 ini kita akandihadapkan secara sporadis padaarus keterbukaan (globalisasi).Sudah saatnya agenda-agenda inimenjadi bahan kontemplasi ulanguntuk menata pola kemitraan yangharmonis (mawaddah wa rahmah)antara laki-laki dan perempuan,tanpa menafikan fungsi satu danlainnya yang bersandarkan padalegitimasi-legitimasi apapun.

Muhibah

Pratiwi SudarmonoAstronot wanitaIndonesia pertama

44 Kalimatun Sawa’ , Vol. 02, No. 01, 2004