Kajian Teoritik Media dan Kekerasan: Jawaban UAS 2014 Teori Komunikasi Massa Soal 1

18
UNIVERSITAS INDONESIA PERSPEKTIF DAN TEORI KOMUNIKASI MASSA Jawaban Ujian Akhir Semester oleh : Maybi Prabowo 1406518755 No. absensi 15 kelas B FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM PASCA SARJANA DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI JAKARTA DESEMBER 2014

description

Ada yang berpendapat bahwa tayangan-tayangan pemberitaan TV tentang peristiwa-peristiwa yang mengandung "kekerasan" seperti demonstrasi atau unjuk rasa yang disertai dengan kerusuhan antara pendemo dengan aparat keamanan (misalnya: peristiwa unjuk rasa mahasiswa dan buruh yang menentang kenaikan BBM akhir-akhir ini di Indonesia; tawuran antar kelompok warga dengan kelompok warga lainnya di Jakarta dan di daerah-daerah; dan peristiwa-petistiwa kekerasan lainnya) sebaiknya dibatasi dan disaring lebih ketat lagi, karena bisa berakibat negatif yakni memicu terjadinya peristiwa serupa di tempat lain. Bagaimana pandangan anda tentang hal ini? Apabila setuju atau tidak setuju jelaskan alasannya. Penjelasan anda sebaiknya bersifat konseptual (berisikan konsep-konsep teoritis) dengan merujuk ke asumsi-asumsi teoritis yang diajukan para ahli dan menurut anda relevan untuk menjelaskan persoalan ini.

Transcript of Kajian Teoritik Media dan Kekerasan: Jawaban UAS 2014 Teori Komunikasi Massa Soal 1

UNIVERSITAS INDONESIA

PERSPEKTIF DAN TEORI KOMUNIKASI MASSA

Jawaban Ujian Akhir Semester

oleh :Maybi Prabowo1406518755No. absensi 15 kelas B

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM PASCA SARJANA DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI JAKARTA DESEMBER 2014

SOAL 1.Ada yang berpendapat bahwa tayangan-tayangan pemberitaan TV tentang peristiwa-peristiwa yang mengandung "kekerasan" seperti demonstrasi atau unjuk rasa yang disertai dengan kerusuhan antara pendemo dengan aparat keamanan (misalnya: peristiwa unjuk rasa mahasiswa dan buruh yang menentang kenaikan BBM akhir-akhir ini di Indonesia; tawuran antar kelompok warga dengan kelompok warga lainnya di Jakarta dan di daerah-daerah; dan peristiwa-petistiwa kekerasan lainnya) sebaiknya dibatasi dan disaring lebih ketat lagi, karena bisa berakibat negatif yakni memicu terjadinya peristiwa serupa di tempat lain. Bagaimana pandangan anda tentang hal ini? Apabila setuju atau tidak setuju jelaskan alasannya. Penjelasan anda sebaiknya bersifat konseptual (berisikan konsep-konsep teoritis) dengan merujuk ke asumsi-asumsi teoritis yang diajukan para ahli dan menurut anda relevan untuk menjelaskan persoalan ini.

JAWABAN 1Hubungan antara pemberitaan yang mengandung unsur kekerasan di televisi dengan tindakan kekerasan susulan, merujuk kepada literatur Mass Communication Theories karya Dennis McQuail yang mengutip Wartella dkk (1998), bisa dielaborasi dengan melandaskannya kepada tiga teori dasar, yakni teori belajar sosial (social learning) yang dicetuskan oleh Albert Bandura (1977), teori dampak priming (priming effects) yang bertolak dari pandang Leonard Berkowitz (1983), dan teori script yang disodorkan oleh L Rowell Huesmann (1986).[footnoteRef:1] [1: lihat McQuail, Denis, 2010, McQuails Mass Communication Theory: 6th Edition, London: Sage, hal. 480-481]

Teori Belajar SosialTeori belajar sosial diperkenalkan oleh ilmuwan bidang psikologi, Albert Bandura pada tahun 1977. Teori ini bermula dari eksperimen yang dilakukan Bandura dkk. pada tahun 1961 untuk menyelidiki gejala perilaku sosial pada anak-anak (khususnya agresivitas) yang dianggap sebagai hasil dari proses belajar dengan cara observasi dan imitasi.[footnoteRef:2] Dari penelitian yang terkenal dengan sebutan "Bobo Doll Experiment" tersebut, ditemukan bahwa anak-anak belajar berperilaku sosial, khususnya kelakuan agresif, melalui proses observasi dengan cara melihat perlaku orang lain.[footnoteRef:3] Kesimpulan inilah yang kemudian digunakan Bandura sebagai dasar untuk memperkenalkan teori belajar sosial pada tahun 1977. [2: dikutip dari McLeod, S A, 2011, Bandura - Social Learning Theory, artikel ilmiah, diunduh dari situs http://www.simplypsychology.org/bandura.html] [3: lihat McLeod, S A, 2011, Bobo Doll Experiment, artikel ilmiah, diunduh dari situs http://www.simplypsychology.org/bobo-doll.html]

Di dalam teori belajar sosial, Bandura menyatakan bahwa perilaku dipelajari seseorang dari lingkungan sekitar melalui proses belajar dengan cara mengobservasi.[footnoteRef:4] Bandura kemudian menguraikan tiga model dasar tindakan observasi sebagai proses belajar sosial, yakni:[footnoteRef:5] [4: dikutip dari Cherry, Kendra, 2014, How People Learn By Observation, artikel ilmiah, diunduh dari situs http://psychology.about.com/od/developmentalpsychology/a/sociallearning.htm] [5: ibid]

1. A live model, pembelajaran melibatkan individu yang menunjukkan atau memeragakan suatu perilaku.2. A verbal instructional model, pembelajaran melibatkan deskripsi dan penjelasan tentang suatu perilaku.3. A symbolic model, pembelajaran terhadap karakter nyata maupun rekaan yang menunjukkan perilaku-perilaku melalui buku, film, program televisi, dan media online.Beranjak dari model nomor tiga uraian Bandura tersebut, maka pemberitaan televisi yang mempertontonkan perilaku kekerasan atau agresivitas, memiliki potensi untuk digunakan pemirsanya sebagai symbolic model di dalam proses belajar sosial. Namun Bandura sendiri mendeskripsikan teori belajar sosial ini lebih sebagai social cognitive theory.[footnoteRef:6] Di dalam tindakan observasi sebagai proses belajar sosial, seseorang akan melibatkan penilaian kognitifnya (Bandura menyebutnya sebagai intrinsic reinforcement[footnoteRef:7]) untuk membuka kemungkinan apakah ia akan menerapkan ke dalam perilakunya. [6: ibid] [7: ibid]

Jadi, manakala televisi menayangkan berita yang menunjukkan para mahasiswa pengunjuk rasa melempari aparat keamanan dengan batu di Jakarta, maka perilaku agresif para pengunjuk rasa di televisi tersebut akan menjadi symbolic model dari proses observasi seorang mahasiswa di daerah lain yang menontonnya. Jika si mahasiswa tersebut sependapat dengan sikap para pengunjuk rasa (intrinsic reinforcement), dan kemudian ia dan teman-temannya juga melakukan aksi unjuk rasa dan melempari aparat keamanan setempat dengan batu, maka bisa jadi tindakan agresif tersebut dipengaruhi oleh berita serupa di televisi. Namun jika ternyata si mahasiswa berbeda sikap dengan para pengunjuk rasa di televisi, maka observasinya terhadap perilaku para pengunjuk rasa di televisi kemungkinan besar tidak akan memicu perilaku susulan.Mari kita lihat kejadian faktual tindakan agresif yang menyasar kelompok minoritas Ahmadiyah di beberapa daerah di Indonesia. Sepanjang tahun 2011 lalu, setidaknya tujuh kali kelompok minoritas ini mengalami penyerbuan dan perusakan, diantaranya disertai penganiayaan bahkan pembunuhan, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas.[footnoteRef:8] Seorang pengkaji pluralisme menyebut bahwa penyerangan terhadap warga Ahmadiyah ini sebagai siklus kekerasan yang terus berulang.[footnoteRef:9] Diamati berdasarkan teori belajar sosial, maka ada kemungkinan bahwa agresi susulan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terangsang oleh pemberitaan aksi serupa yang terjadi sebelumnya di tempat lain. Sikap antipati terhadap kelompok minoritas yang dianggap menganut ajaran sesat merupakan salah satu intrinsic reinforcement dan pemberitaan perilaku agresif penyerbu Ahmadiyah bisa ditempatkan sebagai symbolic model bagi individu anggota kelompok mayoritas di tempat lain. [8: Lihat Widiastuti, Rina, 18 Februari 2012, Rentetan Kekerasan terhadap Ahmadiyah 2011, artikel berita dimuat di http://www.tempo.co/read/news/2012/02/18/063384806/Rentetan-Kekerasan-terhadap-Ahmadiyah-2011, Jakarta: Pusat Data & Analisa Tempo.] [9: Lihat Azis, Munawir, 11 Mei 2013, Siklus Kekerasan terhadap Ahmadiyah, artikel opini dimuat di http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/05/11/224353/Siklus-Kekerasan-terhadap-Ahmadiyah, Semarang: Suara Merdeka.]

Teori Dampak PrimingBerulangnya tindakan agresif terhadap kelompok Ahmadiyah, apakah terkait dengan pemberitaannya di televisi, bisa lebih dijelaskan menggunakan teori priming. Teori priming bermula dari pandangan ahli psikologi sosial Leonard Berkowitz yang beranjak dari hasil penelitiannya yang ia rilis pada 1964 silam, tentang hubungan antara terpaan materi berisi tindakan agresif dengan kecenderungan perilaku agresif seseorang. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa penayangan materi audio visual berisikan perilaku agresif telah meningkatkan peluang seseorang yang dilanda rasa marah, dan mungkin juga orang lain, untuk menyerang pihak lain.[footnoteRef:10] [10: Lihat Berkowitz, Leonard, 1964, The Effects of Observing Violence, Scientific American, Vol. 210, No. 2, 1964 (Scientific American Offprint 481), Scientific American, Inc., hal, 313-324]

Menyoroti bagaimana materi pemberitaan bisa menularkan tindakan agresif, Berkowitz mengemukakan fakta menarik dari kasus John Hinckley, Jr., yang banyak mendapatkan sorotan luas dari media karena berusaha membunuh Presiden AS Ronald Reagan. Alasan Hinckley Jr. melakukan usaha pembunuhan pada 30 Maret 1981 silam ini, adalah demi menarik perhatian aktris pujaannya, Jodie Foster. Berkowitz menggarisbawahi, mengutip pernyataan dari juru bicara dinas Secret Service AS, ancaman pembunuhan terhadap Presiden Reagan ternyata meningkat tajam pada hari-hari setelah media secara luas mengulas kasus ini.[footnoteRef:11] [11: lihat Berkowitz, Leonard, 1983, Violence on the Screen and Printed Page: Immediate Effects, bab di dalam Aggression: Its Causes, Consequences, and Control, Philadelphia, PA: Temple University Press.]

Perilaku agresif yang di-primed oleh media melalui ulasan-ulasan pemberitaan memiliki potensi untuk memicu perilaku serupa dari individu-individu lain yang memiliki latar belakang psikologis yang sama. Mengutip dari makalah ilmiah karya pasangan David dan Beverly Roskos Ewoldsen[footnoteRef:12], beberapa penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa kekerasan di televisi dapat mempengaruhi perilaku masyarakat, baik jangka pendek maupun jangka panjang, serta dapat berpengaruh mulai dari menurunkan kepekaan pada kekerasan hinga meningkatkan tindak kekerasan itu sendiri (Potter, 2003). Bahkan Bushman dan Anderson (2001) menyebutkan bahwa kekuatan hubungan antara melihat tayangan kekerasan di televisi dan perilaku agresif hampir setara dengan hubungan antara merokok dua bungkus sehari dan kanker paru-paru. Beberapa studi juga menjelaskan bahwa orang-orang yang sering melihat adegan kekerasan di televisi atau memainkan video game kekerasan lebih sering memikirkan tentang hal-hal yang agresif (Anderson, 2004). [12: Makalah ilmiah berjudul Current Research in Media Priming ini dimuat di Nabi, Robin L dan Mary Beth Oliver (ed.), 2009, The SAGE Handbook Media Processes and Effects, Los Angeles: SAGE, hal. 177-192.]

Pasangan Roskos-Ewoldsen menganggap model neoassociationistic yang diperkenalkan oleh Berkowitz pada awal tahun 1984, menjadi salah satu model untuk menjelaskan bagaimana proses hubungan antara priming media tentang perilaku agresif dengan kecenderungan perilaku agresif audiensnya. Model neoassociationistic menguraikan bagaimana penggambaran kekerasan di media dapat mengaktifkan konsep rasa permusuhan dan sifat agresi dalam sistem memori manusia. Aktivasi konsep ini meningkatkan kecenderungan seseorang untuk bertindak agresif atau bermusuhan.[footnoteRef:13] Brad J Bushman pada 1998 merilis hasil penelitian yang kesimpulannya mengkonfirmasi model ini. Para partisipan penelitian yang sebelumnya menonton video berisi materi kekerasan, cenderung memilih kata-kata agresif, seperti hit (hajar) dan kick (tendang), saat disodori sebuah kata non-agresif: wall (tembok).[footnoteRef:14] [13: ibid] [14: lihat Bushman, Brad J, Mei 1998, Priming Effects of Media Violence on the Accessibility of Aggressive Constructs in Memory, makalah hasil penelitian, PSPB vol. 24 no. 5, Society of Personality and Psychology Inc.]

Penelitian ini kemudian dikembangkan lagi oleh beberapa peneliti, diantaranya tiga peneliti dari Southwest University, Tiongkok; Zhang Qian, Dajun Zhang, dan Lixin Wang (2013), yang melakukan penelitian dampak priming media berisi perilaku agresif terhadap orang dewasa Tiongkok dengan model neoassociationistic. Mereka membagai karakter para partisipan penelitiannya menjadi tiga kategori; high-aggressive, medium-aggressive, dan low-aggressive trait. Hasilnya membuktikan bahwa para partisipan dengan karakter high-aggresive memiliki kecenderungan kogitif-asosiatif lebih kuat terhadap jaringan ingatan yang bersifat agresif dan cenderung menunjukkan agresivitas secara implisit dan lebih mudah terangsang oleh terpaan materi audio visual berisi perilaku agresif.[footnoteRef:15] [15: lihat Qian, Zhang, Dajun Zhang, dan Lixin Wang, 2013, Is Aggressive Trait Responsible for Violence? Priming Effects of Aggressive Words and Violent Movies, makalah hasil penelitian dimuat di jurnal Psychology Vol.4, No.2, 96-100,dipublikasikan secara online oleh SciRes (http://www.scirp.org/journal/psych)]

Teori ScriptL Rowell Huesmann, seorang guru besar pada studi komunikasi dan psikologi dari University of Michigan, AS, pada 1988 memperkenalkan teori script untuk menjelaskan bagaimana script agresif yang dimiliki seseorang akan membawa kecenderungan terhadap perilaku agresif yang ia lakukan di masa depan. Melalui teori ini Heusmann berargumen bahwa anak yang agresif adalah seseorang yang telah memperoleh script agresif sebagai panduan perilaku di awal kehidupannya. Jika sudah menetap, maka script tersebut akan sulit diubah dan kemungkinan bahkan bertahan hingga ia dewasa.[footnoteRef:16] Argumen ini didasarkan atas hasil penelitiannya pada tahun 1984 yang mengamati 632 anak-anak dari usia 8 hingga 30 tahun. Huesmann dan koleganya berusaha mengukur stabilitas agresivitas anak-anak tersebut sepanjang rentang usia tersebut. Penelitian tersebut mampu memberikan prediksi bahwa beberapa kasus tuduhan kriminal yang mereka lakukan di usia 30 tahun terkait dengan tindakan-tindakan agresivitas mereka pada usia 8 tahun[footnoteRef:17]. [16: Huesmann, L. Rowell, 1988, An Information Processing Model for the Development of Aggression, makalah ilmiah, disajikan di depan peserta seminar yang diselenggarakan oleh Midwestern Psychological Association pada 1987 di Chicago, diterbitkan di dalam jurnal Agressive Behavior: volume 14, pages 13-24, AlanR.Liss, Inc.] [17: ibid]

Huesmann memaparkan bahwa saat seorang anak mengobservasi perilaku kekerasan di media massa, mereka tengah mempelajari script agresif. Script menggambarkan situasi dan panduan untuk berperilaku. Pada mulanya anak tersebut akan memilih script untuk menggambarkan situasi dan kemudian mengasumsikan sebuah peran di dalam script tersebut. Jika script telah ia pelajari maka kemungkinan di masa depan ia akan mengingat dan menggunakannya kembali sebagai panduan berperilaku.[footnoteRef:18] [18: dikutip dari Anderson, Craig A. and Brad J. Bushman, 2002, Human Aggression, makalah ilmiah, dimuat di dalam jurnal Annu. Rev. Psychol. 2002. 53:2751, AnnualReviews]

Anderson dan Bushman (2002) mengembangkan analisis berdasarkan teori script ini dengan menggabungkannya dengan teori lain, termasuk diantaranya teori belajar sosial, dan neoassociaton dan menghasilkan dua model proses perilaku agresif, yakni; perilaku yang bersifat episodik atau dalam situasi tertentu dan perilaku yang berlangsung dalam jangka panjang yang membentuk kepribadian agresif.[footnoteRef:19] Dari model yang dinamakan General Agression Model (GAM) ini, maka gambaran perilaku agresif di media televis memiliki potensi untuk merangsang reaksi seseorang berperilaku agresif, baik di dalam situasi tertentu maupun di dalam jangka panjang yang membentuk kepribadian. [19: ibid]

Berita Televisi dan Visualisasi Perilaku AgresifMengapa televisi menayangkan berita yang menggambarkan perilaku agresif? Bagaimana para redaksi berita televisi memproduksi tayangan berita berisikan aksi agresif? Bagaimana pola hubungan antara redaksi, para jurnalis di lapangan, dan para pelaku tindakan agresif di dalam menghasilkan berita-berita berunsur kekerasan?Secara teoritis, untuk mununjuk alasan di balik pemuatan berita televisi, bisa dilihat melalui pendekatan terkait prinsip-prinsip ekonomi industri media televisi yang menggantungkan pendapatannya dari pengiklan. Untuk mendapatkan iklan, redaksi televisi harus menarik perhatian pemirsa sebanyak-banyaknya (rating tinggi) dengan cara menampilkan visual-visual sesuai kemauan pemirsanya. Kondisi seperti ini secara umum disimpulkan oleh McQuail dengan menyatakan bahwa media yang memiliki ketergantungan yang tinggi pada iklan akan cenderung mengabaikan isi atau informasi yang disampaikan.[footnoteRef:20] McQuail menambahkan, dengan mengutip Tunstall (1991), bahwa prinsip ekonomi media dalam menghadapi persaingan untuk meraih sumber pendapatan tunggal, mengakibatkan keseragaman.[footnoteRef:21] Jadi jika pemuatan materi dengan unsur kekerasan ternyata menjadi yang paling dimaui pemirsa, maka pola seperti ini akan diikuti redaksi di televisi nasional lainnya. [20: lihat McQuail, Denis, 2010, McQuails Mass Communication Theory: 6th Edition, London: Sage, hal. 222] [21: ibid]

Pandangan teoritik yang mendasari bagaimana televisi bekerja menayangkan berita mengacu kepada teori gatekeeper yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin (1947)[footnoteRef:22]. Berdasarkan perannya sebagai gatekeeper ini, televisi di dalam aktivitas keorganisasiannya melakukan pekerjaan gatekeeping, menyaring informasi-informasi untuk kemudian disebarluaskan dengan tujuan menciptakan perubahan sosial. Pekerjaan menyaring informasi memerlukan kriteria yang dipahami dan diterapkan organisasi gatekeeper seperti televisi, untuk menentukan informasi apa saja yang layak tayang. Informasi harus memiliki kriteria newsworthiness agar layak untuk disebarluaskan dan berdampak sosial seperti yang diharapkan[footnoteRef:23]. [22: lihat Roberts, Chris, August 2005, Gatekeeping theory: An evolution, makalah ilmiah, San Antonio, Texas: Association for Education in Journalism and Mass Communication.] [23: lihat Clayman, Steven E dan Ann Reisner, Apr 1998, Gatekeeping in action: Editorial conferences and assessments of newsworthiness, makalah hasil penelitian dimuat di American Sociological Review; 63, 2; ABI/INFORM Global ]

Pekerjaan menentukan newsworthiness oleh redaksi di organisasi media adalah aktivitas yang dilakukan sehari-hari, bahkan beberapa kali di dalam sehari. Secara umum aktivitas penentuan newsworthiness dilakukan di dalam forum rapat redaksi (editorial conferences) di mana para redaksi akan menyodorkan dan berargumen tentang berbagai informasi yang mereka dapatkan untuk mendapatkan pertimbangan agar meraih tempat di edisi pemeberitaan yang akan diterbitkan atau ditayangkan. Keputusan rapat redaksi yang dihasilkan melalui assesment terhadap newsworthiness dilakukan melalui proses yang kompleks.[footnoteRef:24] [24: ibid]

Secara khusus, kriteria newsworthiness berita televisi adalah menekankan kepada pertimbangan audio-visual. Bahkan di dalam beberapa kasus, pertimbangan audio-visual lebih utama dibandingkan pertimbangan newsworthiness yang berpijak kepada kriteria-kriteria nilai berita (news value) yang umum (proximity, relevance, immediacy, interest, drama, dan entertainment[footnoteRef:25]). Pemahaman ini tidak ditolak oleh Frank Barnas dan Ted White di dalam karya mereka berjudul Broadcast News Writing, Reporting, and Producing (2013) dengan membenarkan pernyataan: Poor pictures, short stories; good pictures, long stories![footnoteRef:26] [25: lihat Boyd, Andrew, 1988, Broadcast Journalism: Techniques of Radio and Television News. London: Focal Press, hal. 18] [26: Barnas, Frank dan Ted White, 2013, Broadcast News Writing, Reporting, and Producing: sixth edition, Burlington, MA: Focal Press]

Kriteria berita yang ditetapkan redaksi televisi dengan mengedepankan gambar yang dinamis[footnoteRef:27] tentu kemudian menjadi panduan kerja jurnalis televisi pada saat melakukan peliputan di lapangan. Jurnalis akan selalu berkomunikasi dengan redaksi yang berada di dalam maupun di luar newsroom, untuk mendapatkan panduan sebelum, pada saat, ataupun sesudah melakukan peliputan. [27: istilah ini biasa saya gunakan pada saat bekerja sebagai redaksi berita televisi untuk mengkategorikan materi audio visual yang bergerak secara sequential action shots maupun follow shot seiring gerakan subyek visual. ]

Menarik untuk mengamati kebiasaan-kebiasaan para redaksi pemberitaan televisi di Jakarta saat berkomunikasi dengan para jurnalis yang tengah melaporkan situasi peliputannya di lapangan. Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada para jurnalis sebagai penjajakan newsworthiness kejadian berpotensi aksi agresif, mengindikasikan hasrat penayangan visualisasi tindakan agresif. Saat seorang jurnalis di lapangan menelpon seorang redaksi melaporkan kejadian unjuk rasa, sudah biasa si redaksi akan langsung menanyakan: Bentrok nggak? atau Rusuh nggal? Dari pertanyaan ini bisa diproyeksikan bahwa peristiwa unjuk rasa yang diwarnai bentrokan atau kerusuhan akan ditayangkan, namun jika tidak, belum tentu si redaksi menayangkannya.Lebih menarik lagi saat kita amati bagaimana para jurnalis lepas[footnoteRef:28] memahami kriteria newsworthiness peristiwa unjuk rasa dari cara mereka berhubungan dengan redaksi. Sehari-hari mereka menggunakan email untuk menginformasikan berita-berita yang telah mereka liput. Aksi unjuk rasa adalah peristiwa yang jamak terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada era reformasi ini. Tanpa visualisasi aksi agresif, peristiwa-peristiwa ini dianggap sudah tidak memiliki newsworthiness lagi. Sementara para jurnalis lepas bersaing satu sama lain agar peristiwa tersebut ditayangkan di tengah keterbatasan durasi program. Di sisi lain, redaksi juga memiliki keterbatasan waktu untuk mem-preview satu per satu video-video kiriman para jurnalis dari seluruh Indonesia. Para redaksi lebih sering hanya membaca subject (judul) dari email yang dikirim para jurnalis lepas mereka untuk memilih mana yang dianggap layak untuk ditayangkan. Kondisi ini kemudian dipahami oleh para jurnalis lepas dengan cara menuliskan judul email mereka yang mengindikasikan adanya visualisasi aksi agresif, contohnya: Demo BBM Mahasiswa Makassar - Bakar Mobil Tanki, Demo Buruh Surabaya Rusuh, Penertiban PKL di Tegal - Bentrok dengan Satpol PP, dan sebagainya. Para jurnalis lepas menggunakan kata-kata tambahan, seperti bakar, rusuh, bentrok, untuk mengasosiasikan hasil peliputan mereka dengan hasrat para redaksi televisi akan visualisasi tindakan agresif. [28: Beberapa televisi di Indonesia menggunakan sebutan koresponden atau kontributor untuk para jurnalis yang bekerja kepada mereka dengan pola hubungan beli-putus; diberikan honor hanya jika berita mereka ditayangkan.]

Tidak hanya berhenti kepada para jurnalis di lapangan, hasrat akan visualisasi aksi agresif ini juga menjalar kepada pelaku yang menjadi subyek berita. Sudah umum di dalam setiap unjuk rasa, para pelakunya berkeinginan agar tuntutan mereka mendapatkan ekspos yang luas sehingga mempengaruhi pihak yang mereka tuntut. Apa yang terjadi di kota Makassar menarik untuk diamati. Para mahasiswa pelaku unjuk rasa di kota tersebut biasa mengundang para jurnalis untuk meliput aksi unjuk rasa yang hendak mereka lakukan. Ternyata para pengunjuk rasa ini sudah memahami tentang bagaimana aksi unjuk rasa yang menarik perhatian para redaksi di Jakarta untuk memuatnya di dalam berita nasional. Mereka akan menginformasikan secara tidak resmi kepada para jurnalis yang mereka undang tentang rencana aksi agresif di tengah unjuk rasa yang akan mereka lakukan.[footnoteRef:29] [29: Informasi ini saya dapatkan saat beberapa kali menjalankan tugas di Makassar sebagai redaksi berita televisi nasional yang berhubungan langsung dengan para jurnalis lepas di sana.]

Situasi yang hampir sama juga terjadi beberapa tahun lalu pada peristiwa penyerbuan disertai perusakan dan penganiayaan oleh sebuah ormas ke kantor redaksi majalah Tempo dan kantor LSM Kontras. Pada dua kasus ini, ormas-ormas pelaku tindakan agresif mengirimkan undangan kepada para jurnalis secara berantai melalui SMS beberapa saat sebelum melakukan penyerbuan. Di tempat kejadian, para anggota ormas ini tampak mengalami gejala keranjingan untuk menunjukkan aksi agresif mereka di depan kamera televisi yang tengah merekam.[footnoteRef:30] Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Berkowitz terkait kasus Hinckley, Jr. bahwa beberapa pemberitaan yang memuat tindakan agresif memancing tindakan-tindakan serupa baik dari pelaku yang sama maupun pelaku-pelaku lain. [30: Informasi ini saya dapatkan saat menjalankan tugas menjadi jurnalis televisi dan meliput langsung dua kejadian tersebut.]

Pembatasan untuk MelindungiPembatasan dan pengawasan secara khusus oleh pihak internal televisi terhadap materi pemberitaannya perlu diintensifkan di dalam upaya melindungi kelompok-kelompok minoritas yang berpotensi menjadi sasaran tindakan agresif oleh kelompok mayoritas, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Peningkatan pembatasan dan pengawasan ini diterapkan baik pada tataran kebijakan maupun pedoman teknis. Sebenarnya pedoman teknis jurnalistik terkait hal ini banyak tersedia dan sudah dipahami khususnya oleh sebagian redaktur senior. Namun kebanyakan mereka abai di dalam pengawasan dan beberapa kali kecolongan hingga melolos-tayangkan materi yang secara vulgar menggambarkan aksi agresif.Secara legal formal, sebenarnya kita sudah memiliki lembaga dan seperangkat aturan yang membatasi pekerjaan jurnalistik dari pemuatan unsur-unsur kekerasan. Artinya, secara resmi, kita menyetujui adanya pembatasan terhadap pemuatan materi berunsur kekerasan. Namun di dalam praktiknya, tingkat kesadaran dari banyak pekerja jurnalistik televisi belumlah seperti yang diharapkan. Diperlukan usaha berkesinambungan untuk menumbuhkan pemahaman yang kuat agar secara serius mempertimbangkan dampak kepada para pemirsa, pelaku dan sasaran, yang dalam taraf terburuk bisa membentuk dan melanggengkan kepribadian masyarakat yang agresif.