KAJIAN PUSTAKA Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/44127/3/jiptummpp-gdl-selvianafe-47079... ·...
Transcript of KAJIAN PUSTAKA Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/44127/3/jiptummpp-gdl-selvianafe-47079... ·...
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
1. Skripsi tentang Efektivitas Program Pemberdayaan KAT
Penelitian Wildha Wardhani yang berjudul “ Program Pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil di Kabupaten Bulungan ” tahun 2006, dilakukan
dengan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan meneliti sejauhmana
efektivitas dampak dari pelaksanaan program pemberdayaan KAT. Populasinya
adalah seluruh pegawai Dinas Sosial Kabupaten Bulungan, dan sampelnya adalah
Kepala Dinas Sosial, Kepala Bidang Tata Usaha, Kepala Bidang Pemberdayaan
Sosial, Kepala bidang Kesejahteraan Sosial dan Kepala Rehabilitasi Sosial.
Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa efektivitas dampak dari program
pemberdayaan komunitas adat terpencil di Kabupaten Bulungan ini baik namun
belum maksimal karena terbatasnya tenaga petugas. Hal ini sangat menggangu
dalam proses berjalannya sebuah program.
Dalam penelitiannya, Wildha memberikan saran kepada Dinas Sosial
Kabupaten Bulungan untuk menambah jumlah tenaga kerja dalam bidang
pemberdayaan masyarakat agar tidak terjadi tumpang tindih dalam menjalankan
tugas.
Persamaan dan Perbedaan :
Penelitian di atas dengan penelitian yang peneliti lakukan memiliki
kesamaan yaitu tentang program KAT. Perbedaannya terletak pada fokus yang
diambil dan lokasi penelitian, peneliti di atas mengambil fokus pada program
10
pemberdayaan KAT dengan sumber data pihak Dinas Sosial Kabupaten Bulungan
sedangkan peneliti megambil fokus tentang pelaksanaan program KAT dan
respon sosial masyarakat terhadap pemberian paket rumah tinggal bagi KAT.
Namun, penelitian Wildha memberikan gambaran yang hampir sama dengan tema
penelitian yang peneliti lakukan, sehingga dapat menjadi referensi tentang
program KAT.
2. Skripsi tentang Pelaksanaan Usaha Ekonomi Produktif bagi KAT
Penelitian Rakhmani yang berjudul “ Penguatan Ekonomi Komunitas Adat
Terpencil (KAT) ” tahun 2009, dilakukan dengan metode penelitian kualitatif
dengan meneliti pelaksanaan usaha ekonomi produktif tiga kelompok usaha
bersama bagi KAT, faktor-faktor pendukung dan penghambat serta dampak
pelaksanaan program tersebut. Adapun informan untuk penelitian tersebut adalah
pejabat Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten
Hulu Sungai Selatan, Kepala Bidang Pembinaan dan Pemberdayaan Sosial Dinas
Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kepala
Desa Hamak Utara, para pendamping, Kelompok Pelaksana Usaha Bersama
(pelopor dan ketua), Kepala Kecamatan Telaga Langsat. Teknik pengumpulan
data menggunakan kajian kepustakaan dan dokumentasi, wawancara serta
observasi. Hasil dari penelitian ini adalah tingkat ekonomi KAT desa Hamak
Utara sudah terkendali atau perekonomiannya produktif dengan adanya program
penguatan ekonomi tersebut. Dalam penelitian ini, Rakhmani memberikan saran
kepada para pendamping, pelopor dan ketua agar tetap mengontrol kegiatan
pelaksanaan usaha ekonomi agar tetap stabil dan tetap efektif, sehingga KAT yang
ada di desa Hamak Utara tidak akan mengalami penurunan.
11
Persamaan dan Perbedaan :
Penelitian di atas dengan penelitian yang peneliti lakukan memiliki
kesamaan yaitu membahas tentang KAT. Perbedaannya terletak pada fokus
penelitian yang diambil dari masing-masing peneliti, peneliti di atas mengambil
fokus pada penguatan ekonomi KAT dengan sumber data pihak Dinas Sosial di
Kabupaten Hulu Sungai Selatan sedangkan peneliti mengambil fokus tentang
pelaksanaan program KAT dan respon sosial masyarakat terhadap pemberian
paket rumah tinggal bagi KAT. Namun, penelitian Rakhmani memberikan
gambaran yang hampir sama dengan tema penelitian yang peneliti lakukan,
sehingga dapat menjadi bahan referensi tentang program KAT.
3. Penelitian tentang Pemberdayaan Masyarakat Terpencil di Kawasan
Perbatasan Indonesia - Malaysia
Penelitian Drs. H. Bambang Ipujono Maskun, M.Si yang berjudul
“Pemberdayaan Masyarakat Terpencil di Kawasan Perbatasan Indonesia -
Malaysia (Kalimantan Timur – Sabah – Sarawak)” pada tahun 2006. Penelitian ini
fokus pada permasalahan sosial budaya dan ekonomi KAT yang tinggal di
kawasan perbatasan. Adapun permasalahan sosial budaya dan ekonomi yang ada
di kawasan perbatasan Indonesia dengan Malaysia adalah masih banyak daerah
perbatasan yang terisolasi karena kurangnya prasarana jalan yang memadai,
tingkat pendidikan masyarakat perbatasan masih sangat rendah (dominan tamat
SD) demikian pula tingkat keterlambatan masuk sekolah anak usia sekolah masih
cukup tinggi, ketergantungan pasar bagi masyarakat Kalimantan Timur terhadap
Malaysia masih sangat tinggi karena untuk memenuhi kebutuhan seperti sandang
pangan masih harus ke Malaysia, terbatasnya jenis dan lapangan pekerjaan di
12
wilayah perbatasan, masih sering terjadinya pembalakan kayu secara illegal,
orientasi perkembangan masyarakat dan kebudayaan masih mengandalkan
Malaysia dan besarnya pengaruh serta intervensi Pemerintah Pusat/ Daerah
melalui kebijakan di atas meja terhadap kawasan perbatasan dalam berbagai
bidang kehidupan menyebabkan inisiatif masyarakat lokal kurang berkembang.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini Bambang memberikan rekomendasi sosial
kepada Pemerintah yang bermaksud untuk membangun kawasan perbatasan tidak
lagi sebagai halaman belakang tetapi sebagai beranda depan. Beberapa
rekomendasi yang diberikan oleh Bambang, antara lain perlu adanya penyelarasan
antara pendekatan keamanan dan pendekatan kesejahteraan, perlu dilakukan
pembangunan jaringan jalan terutama jalan antar desa dan jalan untuk menuju ke
kawasan pusat pertumbuhan atau jalan nasional trans Kalimantan, perlunya
adanya beberapa sekolah seperti SLTP dan SLTA, disamping itu Pemerintah juga
dapat membangun SD dengan sistem “tiga lokal” (kelas I, II dan III dibeberapa
dusun), pembangunan pasar tradisional sebagai sentra pemenuhan kebutuhan
masyarakat dan sentra penjualan hasil bumi pada beberapa titik di kawasan
perbatasan, untuk memperkuat nilai-nilai dan tradisi masyarakat asli (Dayak),
maka perlu dipertahankan model-model ketahan sosial dan pembangunan rumah
lamin (rumah panjang) yang secara sosial menjaga kerekatan sosial diantara
mereka serta pembangunan institusi lokal (lembaga adat etnik Dayak atau lintas
adat). Lebih lengkap bisa dilihat pada bagan berikut:
13
Bagan 2.1 Perbedaan Fokus Penelitian tentang KAT
KAT
Peneliti Bambang dalam (Program Pemberdayaa Masyarakat Terpencil di
Kawasan Perbatasan Indonesia – Malaysia di Kalimantan Timur – Sabah –
Sarawak tahun 2006) membahas tentang permasalahan sosial budaya dan
ekonomi KAT yang ada di kawasan perbatasan. Rekomendasi yang diberikan
Bambang kepada Pemerintah yaitu dengan membangun jalan, sekolah, pasar
tradisional, lembaga adat untuk menjaga ketahanan nasional adat Dayak di
Kalimantan Timur. Penelitian ini lebih pada pembangunan infrastuktur.
Penelitian ini difokuskan pada implementasi program pemberian paket
rumah tinggal dalam pemberdayaan pada KAT yang membahas tentang
respon sosial masyarakat terhadap pemberian paket rumah tinggal bagi
KAT di Dusun Sialing Kabupaten Tabalong.
Peneliti Rakhmani dalam (Penguatan Ekonomi Komunitas
Adat Terpencil (KAT) tahun 2009) membahas tentang
pelaksanaan usaha ekonomi produktif tiga kelompok usaha
bagi KAT di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Program
pemberdayaan masyarakat bagi KAT ini berbasis ekonomi
dengan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilaksanakan
oleh KAT. Kegiatan UEP adalah pemberian pupuk SP36
untuk pembekuan karet dan tanaman pangan dan
holtikultural.
Peneliti Wildha dalam (Program Pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Kabupaten
Bulungan tahun 2006) membahas tentang efektivitas
pelaksanaan program pemberdayaan KAT. Adapun
program pemberdayaan KAT di bawah Kementerian
Sosial Republik Indonesia yang ada di Kabupaten
Bulungan, antara lain: PKH, PNPM, rumah tinggal,
usaha ekonomi produktif.
14
B. Pemberdayaan Masyarakat
1. Konsep Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan (empowerment) mulai tampak ke permukaan
sekitar dekade 1970-an dan terus berkembang sepanjang dekade 1980-an hingga
1990-an (akhir abad ke-20). Konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai
bagian atau sejiwa sedarah aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih
dikenal sebagai aliran post-modernisme. Menurut Mardikanto (2015: 49) secara
konspetual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat
dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan
masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah
berkembang dalam literatur di dunia barat, dengan kata lain memberdayakan
adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Sedangkan menurut
Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk
memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka
miliki. Pemberdayaan ini masyarakat pasti memiliki perubahan-perubahan, baik
dalam sistem sosialnya, kehidupannya atau lainnya, sehingga teori yang relevan
dengan komunitas adat terpencil adalah teori tindakan sosial.
Pendapat dari beberapa sosiolog mengatakan bahwa perubahan-perubahan
sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan
keseimbangan masyarakat, seperti misalnya perubahan dalam unsur-unsur
geografis, biologis, ekonomis atau kebudayaan. Pemberdayaan menunjuk pada
kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga memiliki
kekuatan atau kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga
15
memiliki kebebasan, dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat,
melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan dan bebas dari kesakitan;
menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat
meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang
mereka perlukan; berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-
keputusan yang mempengaruhi mereka. Pemberdayaan adalah serangkaian
kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam
masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan.
Jika dilihat sebagai tujuan maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil
yang ingin dicapai oleh sebuah tindakan sosial, dari tindakan sosial ini ialah
masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Suharto, 2010:58-60) .
2. Prinsip – Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Mathews (dalam Mardikanto, 2015:105) menyatakan bahwa
prinsip adalah suatu pernyataan tentang kebijakan yang dijadikan pedoman dalam
pengambilan keputusan dan melaksanakan kegiatan secara konsisten. Oleh karena
itu, prinsip akan berlaku umum, dapat diterima secara umum dan telah diyakini
kebenarannya dari berbagai pengamatan dalam kondisi yang beragam. Dengan
demikian prinsip dapat dijadikan sebagai landasan pokok yang benar bagi
pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan. Bertolak dari pemahaman
pemberdayaan sebagai salah satu sistem pendidikan, maka pemberdayaan
memiliki prinsip-prinsip, sebagai berikut:
a. Mengerjakan, artinya bahwa kegiatan pemberdayaan harus sebanyak mungkin
melibatkan masyarakat untuk mengerjakan/ menerapkan sesuatu, karena
16
melalui “mengerjakan” mereka akan mengalami proses belajar baik dengan
menggunakan pikiran, perasaan dan keterampilannya yang akan terus diingat
untuk jangan waktu yang lebih lama.
b. Akibat, artinya bahwa kegiatan pemberdayaan harus memberikan akibat atau
pengaruh yang baik atau bermanfaat, karena perasaan senang/ puas atau
kecewa akan mempengaruhi semangatnya untuk mengikuti kegiatan belajar
atau pemberdayaan di masa mendatang.
c. Asosiasi, artinya kegiatan pemberdayaan harus dikaitkan dengan kegiatan
lainnya, sebab kegiatan orang cenderung untuk mengaitkan/ menghubungkan
kegiatannya dengan kegiatan atau peristiwa yang lainnya.
3. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Mengacu pada konsep-konsep di atas, maka tujuan pemberdayaan menurut
Mardikanto (2015:111) meliputi beragam upaya perbaikan, sebagai berikut :
a. Perbaikan pendidikan (better education) dalam arti bahwa pemberdayaan
harus dirancang sebagai suatu bentuk pendidikan yang lebih baik. Perbaikan
pendidikan yang dilakukan melalui pemberdayaan, tidak terbatas pada
perbaikan materi, perbaikan metode, perbaikan yang menyangkut tempat dan
waktu, akan tetapi yang lebih penting adalah perbaikan pendidikan yang
mampu menumbuhkan semangat belajar seumur hidup.
b. Perbaikan aksesibilitas (better accessibility), dengan tumbuh dan
berkembangnya semangat belajar seumur hidup, diharapkan akan
memperbaiki aksesibilitasnya, utamanya tentang aksesibilitas dengan sumber
informasi/ inovasi, sumber pembiayaan, penyedia produk dan peralatan serta
lembaga pemasaran.
17
c. Perbaikan tindakan (better action), dengan berbekal perbaikan pendidikan dan
perbaikan aksesibilitas dengan beragam sumberdaya yang lebih baik,
diharapkan akan terjadi tindakan-tindakan yang semakin lebih baik.
d. Perbaikan kelembagaan (better institution), diharapkan akan memperbaiki
kelembagaan, termasuk pengembangan jenjang kemintraan-usaha.
e. Perbaikan usaha (better business), mampu memperbaiki bisnis yang dilakukan
untuk mendapat keuntungan.
f. Perbaikan pendapatan (better income) dengan terjadinya perbaikan bisnis yang
dilakukan, diharapkan dapat memperbaiki pendapatan yang diperolehnya,
termasuk pendapatan keluarga dan masyarakat.
g. Perbaikan lingkungan (better environment), perbaikan pendapatan diharapkan
dapat memperbaiki lingkungan (fisik dan sosial) karena kerusakan lingkungan
seringkali disebabkan oleh kemiskinan atau pendapatan yang terbatas.
h. Perbaikan kehidupan (better living)
i. Perbaikan masyarakat (better community) keadaan kehidupan yang lebih baik
dan didukung oleh lingkungan, maka diharapkan akan terwujud kehidupan
masyarakat yang lebih baik pula.
4. Pemberdayaan sebagai Proses
Sebagai proses, pemberdayaan menurut Mardikanto (2015:61) adalah
serangkaian kegiatan untuk memperkuat dan mengoptimalkan keberdayaan
(dalam arti kemampuan dan keunggulan bersaing) kelompok lemah dalam
masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan.
Sebagai proses, pemberdayaan merujuk pada kemampuan untuk berpartisipasi
memperoleh kesempatan dan mengakses sumberdaya dan layanan yang
18
diperlukan guna memperbaiki mutu hidup baik individu, kelompok dan
masyarakat. Aspek penting dalam suatu program pemberdayaan masyarakat
adalah program yang disusun oleh masyarakat, menjawab kebutuhan dasar
masyarakat, mendukung keterlibatan kaum miskin, perempuan, buta huruf dan
kelompok terabaikan lainnya, dibangun dari sumberdaya lokal, sensitif terhadap
nilai-nilai budaya setempat, memperhatikan dampak lingkungan, tidak
menciptakan ketergantungan berbagai pihak terkait serta berkelanjutan.
5. Perspektif Teori Tindakan Sosial
Tindakan manusia dianggap sebagai sebuah bentuk tindakan sosial
manakala tindakan itu ditujukan pada orang lain. Tindakan sosial menurut Weber
adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti
subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Ritzer, 2006).
Tindakan sosial adalah semua tindakan manusia yang berkaitan dengan
sejauhmana individu yang bertindak itu memberinya suatu makna subjektif bagi
dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Jika dari sudut waktu tindakan
sosial dapat dibedakan menjadi tindakan yang diarahkan untuk waktu sekarang,
masa lalu dan masa yang akan datang. Jika dari sudut sasaran tindakan sosial
dapat berupa seseorang individu atau sekumpulan orang. Suatu tindakan individu
yang diarahkan kepada benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan sosial.
Suatu tindakan akan dikatakan sebagai tindakan sosial ketika tindakan tersebut
benar-benar diarahkan kepada orang lain atau individu lainnya. Kenyataan sosial
didasarkan pada definisi subjektif individu dan penilaiannya, Weber melihat
kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan
tindakan-tindakan sosial. Bagi Weber, dunia terwujud karena tindakan sosial.
19
Manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukannya
dan ditujukan untuk mencapai apa yang mereka inginkan atau kehendaki. Setelah
memilih sasaran, mereka memperhitungkan keadaan, kemudian memilih
tindakan. Jadi, tindakan sosial merupakan suatu proses dimana aktor terlibat
dalam pengambilan keputusan-keputusan subjektif tentang sarana dan cara untuk
mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, yang kesemuannya itu dibatasi
kemungkinan-kemungkinannya oleh sistem kebudayaan dalam bentuk norma-
norma, ide-ide dan nilai-nilai sosial (Ritzer, 2006 : 58). Adapun 5 ciri pokok
tindakan sosial menurut Max Weber, sebagai berikut:
a. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang
subjektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata.
b. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat
subjektif.
c. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang
sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-
diam.
d. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
e. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang
lain itu (Ritzer, 2006:45).
Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya
mengenai tip-tipe tindakan sosial. Pembedaan pokok yang diberikan adalah antara
tindakan rasional dan nonrasional. Singkatnya, tindakan rasional menurut Weber
berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu
dinyatakan. Adapun tipe-tipe tindakan sosial tersebut, sebagai berikut:
20
a. Rasionalitas Instrumental (Zweck rationalitat)
Tingkat rasionalitas yang paling tinggi ini meliputi pertimbangan dan
pilihan yang sadar, berhubungan dengan tujuan tindakan dan alat yang
dipergunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai memiliki macam-
macam tujuan yang mungkin diinginkannya dan atas-atas dasar suatu kriteria
menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersaingan. Individu
tersebut menilai alat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan
yang dipilih tersebut. Hal ini mencakup pengumpulan informasi, mencatat
kemungkinan-kemungkinan serta hambatan-hambatan yang terdapat dalam
lingkungan dan mencoba untuk meramalkan konsekuensi-konsekuensi yang
mungkin dari beberapa alternatif tindakan itu.
b. Rasionalitas yang Berorientasi Nilai (Wert rationalitat)
Sifat rasionalitas yang berorientasi nilai adalah bahwa alat-alat hanya
merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya
sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut
atau merupakan nilai-nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional
dalam hal dimana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara objektif
mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih. Lebih lagi komitmen terhadap
nilai-nilai ini adalah sedemikian sehingga pertimbangan-pertimbangan rasional
mengenai kegunaan, efisensi dan sebagainya tidak relevan.
c. Tindakan Tradisional
Tindakan tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat
nonrasional. Jika individu tersebut memperlihatkan perilaku karena kebiasan,
tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan
21
sebagai tindakan tradisional. Individu itu akan membenarkan atau menjelaskan
tindakan itu, kalau diminta dengan hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak
dengan cara seperti itu atau perilaku seperti itu merupakan kebiasaan baginya.
Apabila kelompok-kelompok atau seluruh masyarakat didominasi oleh orientasi
ini, maka kebiasaan dan institusi mereka diabsahkan atau didukung oleh
kebiasaan atau tradisi yang sudah lama mapan sebagai kerangka acuannya, yang
diterima begitu saja tanpa persoalan.
d. Tindakan Afektif
Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa
refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang
mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, kekuatan atau
kegembiraan dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi,
berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Tindakan itu benar-benar tidak
rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologis atau kriteria rasionalitas
lainnya (Johnson, 1986:220-221).
Weber mengakui bahwa tidak banyak tindakan, kalau ada yang seluruhnya
sesuai dengan salah satu tipe ideal ini. Misalnya, tindakan tradisional mungkin
mencerminkan suatu kepercayaan yang sadar akan nilai sakral tradisi-tradisi
dalam suatu masyarakat dan berarti bahwa tindakan itu mengandung rasionalitas
yang berorientasi pada nilai. Pola perilaku khusus yang sama mungkin bisa sesuai
dengan kategori-kategori tindakan sosial yang berbeda dengan situasi-situasi yang
berbeda, tergantung pada orientasi subjektif dari individu yang terlibat.
22
C. Perumahan dan Permukiman Sosial KAT
1. Konsep Perumahan dan Permukiman Sosial
Menurut UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Kawasan
Permukiman, yang dimaksud dengan rumah adalah bangunan gedung yang
berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga,
cerminan harkat dan martabat penghuninya yang terkoordinasi dan terpadu.
Lingkungan serta desain tempat tinggal; dalam suatu komunitas dengan
ciri-ciri yang khas, melahirkan realitas objektif budaya (arsitektur dan masyarakat
dengan institusi, peranan dan identitasnya). Keberagaman suku dan faktor alam
yang mempengaruhi, menyebabkan Indonesia kaya akan budaya dan arsitektur
dengan bentukan karakter yang kuat, padu, fungsional serta harmoni dengan
lingkungannya. Akan tetapi adanya konsep keterkaitan antara manusia, alam dan
sang pencipta yang saling berhubungan, dari tiap-tiap suku merupakan suatu
benang merah yang menjadi dasar atau pedoman dalam pengembangan pola tata
ruang dan bangunan arsitektur suatu permukiman. Konsep-konsep pemikiran dari
beragamnya suku tentang kehidupan dan dihubungkan dengan berbagai aspek,
termasuk hubungan dengan pola tata ruang, secara garis besar dapat disimpulkan:
a. Manusia hidup di dunia tidak terlepas dari kehidupan kosmik dan manusia
harus tunduk kepada kekuatan yang mengaturnya.
b. Adanya proses timbal balik antar manusia dengan alam dan manusia
bergantung terhadap alam.
c. Adanya keselarasan, keharmonisan hubungan manusia, alam dan Tuhan yang
mengatur semua kejadian-kejadian di dunia.
23
d. Penghargaan terhadap alam sebagai perwujudan pengabdian terhadap sang
pencipta.
2. Tipologi Perumahan dan Permukiman Sosial KAT
Sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun
1999 Tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil (KAT)
dan keputusan Menteri Sosial RI Nomor 06/PegHUK/2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), berdasarkan
lingkungan tempat tinggalnya, perumahan dan permukiman sosial KAT, dapat
dibagi menjadi empat kelompok, sebagai berikut:
a. Perumahan dan permukiman sosial KAT di daerah pegunungan atau dataran
tinggi. Kondisi perumahan dan permukiman sosial KAT di daerah tersebut,
dibagi menjadi tiga kategori:
1) KAT Kategori I: belum mengenal konsep rumah sehingga masih tinggal di
pohon-pohon atau gua, keberadaan tempat tinggal mereka masih sulit
dijangkau, bermukim dalam kelompok-kelompok kecil dan keberadaan
mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
2) KAT Kategori II : sudah mulai mengenal konsep rumah meskipun masih
dalam bentuk sangat sederhana (baik dalam bentuk maupun bahan yang
digunakan, misalnya dari ranting pohon, kulit kayu, rumbia atau alang-
alang), berbentuk rumah panggung atau menempel dengan tanah,
umumnya didirikan di tengah ladang atau sumber mata pencaharian
mereka dan rumah dibangun dalam kelompok kecil terpencar dan
berpindah-pindah mengikuti lahan yang subur.
24
3) KAT Kategori III : sudah mengenal konsep rumah sebagai tempat tinggal
dan aktivitas sosial lainnya, berbentuk rumah panggung atau menempel
dengan tanah, bentuk dan bahan yang digunkan sudah lebih baik, rumah
dibangun dalam kelompok besar dan relatif dibangun jauh dari ladang
mereka.
b. Perumahan dan permukiman sosial KAT di daerah dataran rendah atau rawa.
Kondisi perumahan dan permukiman sosial KAT di daerah tersebut, dibagi
menjadi tiga kategori:
1) KAT Kategori I : belum mengenal konsep rumah, sehingga masih tinggal
di pohon atau di atas rawa-rawa, tempat tinggal sulit dijangkau, berbentuk
kelompok kecil dan keberadaan berpindah-pindah.
2) KAT Kategori II : sudah mulai mengenal konsep rumah meskipun masih
dalam bentuk yang sangat sederhana baik dalam bentuk maupun
bahannya, fungsi rumah hanya untuk tempat tidur atau tempat istirahat dan
berlindung dari binatang buas, umumnya berbentuk rumah panggung dan
dibangun oleh kelompok kecil, terpencar dan sulit dijangkau.
3) KAT Kategori III : sudah mengenal konsep rumah sebagai tempat tinggal
dan aktivitas keluarga, bermukim dalam kelompok yang relatif besar,
berlokasi di pinggir-pinggir rawa, berbentuk rumah panggung, jenis rumah
yang dibangun umumnya berbentuk rumah tunggal, kecuali pada KAT
suku dayak di Kalimantan berbentuk rumah panjang (rumah betang) yang
dihuni oleh beberapa kepala keluarga yang masih satu garis keturunan,
keberadaan permukiman mereka merupakan bagian dari administrasi
pemerintahan KAT.
25
c. Perumahan dan permukiman sosial KAT di daerah pedalaman atau perbatasan.
Kondisi perumahan dan permukiman sosial KAT di daerah tersebut, dibagi
menjadi tiga kategori:
1) KAT Kategori I : umumnya belum mengenal konsep rumah sehingga
masih tinggal di pohon dengan ditutup ranting-ranting dalam kelompok
kecil, berlokasi di daerah pedalaman dan daerah perbatasan dengan negara
lain, seperti KAT di Papua berbatasan dengan Papua Nugini, KAT di
Kalimantan berbatasan dengan Malaysia, KAT di Riau berbatasan dengan
Singapura, sulit dijangkau dan berpindah-pindah (berkelana).
2) KAT Kategori II : pada umumnya sudah mengenal konsep rumah sebagai
tempat tinggal meskipun dalam bentuk yang masih sangat sederhana,
rumah dibangun secara tidak beraturan di kelompok kecil yang masih satu
keturunan dan dipimpin oleh satu kepala suku, model perumahan
berbentuk rumah panggung, keberadaan kelompok permukiman belum
terintegrasi ke dalam administrasi pemerintahan desa dan lembaga desa
lainnya.
3) KAT Kategori III : sudah mengenal konsep rumah sebagai tempat tinggal
dan aktivitas sosial lainnya yang sifatnya relatif menetap dengan model
rumah semi permanen dengan bahan bangunan kayu balok dan lantai
terbuat dari papan serta atap dari rumbia, bermukim dalam kelompok
relatif besar bahkan sudah ada komunitas lain yang tinggal bersama dan
permukiman yang berlokasi diperbatasan lebih banyak dipengaruhi oleh
komunitas yang berada di negara tetangga KAT bersangkutan.
26
d. Perumahan dan permukiman sosial KAT di atas perahu atau pantai.
Kondisi perumahan dan permukiman sosial KAT di daerah tersebut, dibagi
menjadi tiga kategori:
1) KAT Kategori I : untuk KAT yang tinggal di atas perahu pada umumnya
memiliki kelompok-kelompok kecil dan hidup secara berpindah-pindah
disesuaikan dengan kalender musim yang berkaitan dengan sumber
kehidupan, model rumah yang dibangun di atas perahu yakni berbentuk
tenda dari bahan seadanya termasuk di dalamnya memuat binatang piaraan
dan peralatan rumah tangga.
2) KAT Kategori II : pada umunya sudah mengenal konsep rumah meskipun
sangat sederhana, berlokasi di pantai atau pulau-pulau kecil sehingga
keberadaannya sulit dijangkau, rumah berbentuk panggung yang dibangun
di atas air atau pinggir pantai yang menghadap ke laut.
3) KAT Kategori III : sudah mengenal konsep rumah sebagai tempat tinggal
dan aktivitas sosial lainnya, mereka membuat perkampungan dengan
kelompok relatif besar dan bentuk bangunan lebih permanen, model
perumahan memanjang di pinggir laut pasang surut berbentu panggung
terbuat dari kayu bulat, rumbia tetapi ada sebagian terbuat dari papan dan
seng, pembangunan rumah dilakukan secara swadaya dan sudah
terintegrasi ke dalam administrasi pemerintahan desa.
Selain berdasarkan tipologi sebagaimana disebutkan di atas, kondisi umum
perumahan dan permukiman sosial KAT dibagi pula berdasarkan orbitas dan mata
pencahariannya terdiri dari:
27
a. Kelana (Ketagori I)
Kategori I memiliki ciri dengan kondisi kehidupan KAT yang masih
sederhana, belum mengenal teknologi dan penggunaan alat kerja masih sangat
sederhana yang didapat secara turun temurun, hidup terpencar dan dalam jumlah
yang sangat kecil, belum ada kontak (interaksi) dengan komunitas di luar serta
bentuk komunikasi yang hanya diketahui oleh etnis mereka sendiri.
b. Menetap Sementara (Kategori II)
Kategori II memiliki ciri kondisi kehidupan KAT yang sudah mulai
menetap dalam waktu tertentu (terbatas), sudah mengenal teknologi sederhana
yang di dapat dari luar, hidup masih terpencar dan dalam jumlah kecil serta sudah
mulai melakukan kontak dengan komunitas lainnya walaupun masih sangat
terbatas.
c. Menetap (Kategori III)
Kategori III memiliki ciri pola kehidupan KAT yang sudah menetap di
kawasan tertentu, sudah ada interaksi atau komunikasi dengan komunitas di luar
lingkungan KAT, sudah hidup berkelompok dalam jumlah yang relatif besar,
sudah mengenal teknologi yang sederhana yang berasal dari luar dan sudah
mengenal cara bercocok tanam dengan bibit yang dicari sendiri (Departemen
Sosial RI, 2004: 5-13).
D. Respon Sosial Masyarakat
Menurut paradigma definisi sosial Webber (dalam Ritzer, 2003 : 146)
tentang tindakan sosial, respon adalah tindakan yang penuh arti dari individu
sepanjang tindakan itu memiliki makna subjektif bagi dirinya dan diarahkan pada
orang lain. Tindakan sosial yang dimaksud dapat berupa tindakan yang bersifat
28
membatin atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi karena pengaruh dari
situasi atau dapat juga merupakan tindakan pengulangan dengan sengaja akibat
dari situasi serupa. Respon dibedakan menjadi opini (pendapat) dan sikap, dimana
pendapat atau opini adalah jawaban terbuka (overt) terhadap suatu persoalan
dinyatakan dengan kata-kata yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan sikap
merupakan reaksi yang tertutup (convert) dan bersifat emosional, merupakan
tandensi untuk memberi reaksi positif atau negatif terhadap orang-orang, objek
atau situasi tertentu.
Masyarakat menurut Soemardjan (dalam Soekanto, 2006 : 22) adalah
orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka
mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap,
dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan. Jadi, kesimpulan dari respon
sosial masyarakat adalah tanggapan, atau rangsangan yang diberikan oleh
seseorang atau beberapa orang terhadap sebuah objek atau sebuah fenomena yang
terjadi.
E. Komunitas Adat Terpencil (KAT)
1. Konsep KAT
Menurut Chamber (1996 : 27), yang dimaksud komunitas adat terpencil
(KAT) adalah penanggulangan masalah kemiskinan yang merupakan bagian dari
upaya peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan keluarga miskin untuk
terciptanya kualitas mutu kesejahteraan sosialnya. Komunitas adat merupakan
komunitas-komunitas yang masih menggunakan pola-pola kehidupan tersendiri
yang didapatkan secara turun temurun dari nenek moyangnya. Komunitas adat
yang merupakan warisan nenek moyang ini menempati suatu wilayah tertentu dan
29
sudah terbentuk jauh sebelumnya dari generasi ke generasi dan juga didalamnya
terdapat sistem kepemimpinan atau pimpinan tradisional.
Komunitas adat terpencil (KAT) adalah kelompok sosial budaya yang
bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan
pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik. Pada komunitas adat terpencil ini
terdapat pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Pemberdayaan komunitas
adat terpencil adalah proses pembelajaran sosial dengan menghargai inisiatif dan
kreativitas komunitas adat terpencil terhadap kebutuhan dan permasalahan yang
dihadapi sehingga masyarakat secara mandiri dapat mengaktualisasikan dirinya
dalam memenuhi kebutuhan dasar dan mampu memecahkan permasalahannya
(Departemen Sosial RI, 2004 : 7).
2. Sejarah Perkembangan KAT
Sebelum adanya Keputusan Presiden Nomor 111 tahun 1999 tentang
Pembinaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), KAT semula disebut dengan istilah
Masyarakat Terasing, istilah ini oleh sebagian kalangan masyarakat dianggap
memiliki kesan kurang tepat seperti masyarakat terasing dianggap terisolasi
terkesan terbelakang, tertinggal dari kehidupan masyarakat yang sulit dijangkau
keberadaannya. Oleh karena itu, perlunya penyempurnaan meskipun sebagai
sasarannya masih tetap sama. Atas dasar tersebut istilah masyarakat terasing
dirubah menjadi komunitas adat terpencil (KAT). Berdasarkan Keputusan
Menteri Sosial Nomor 06/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, pemberdayaan KAT ini bertujuan
untuk memberdayakan KAT dari segala aspek kehidupan yang pelaksanaannya
memperhatikan adat istiadat setempat (Departemen Sosial RI, 2003:1).
30
3. Masyarakat Terasing dan Komunitas Adat Terpencil (KAT)
a. Masyarakat Terasing
Berdasarkan SK Menteri Sosial RI Nomor 5/1994, yang disebut
masyarakat terasing adalah kelompok-kelompok masyarakat yang bertempat
tinggal atau berkelana di tempat-tempat yang secara geografis terpencil terisolir
dan secara sosial budaya terasing atau masih terbelakang dibanding dengan
masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya. Kondisi tersebut menyebabkan
terbatas atau tidak adanya akses pelayanan sosial yang diperoleh sehingga mereka
hidup dalam kondisi yang tertinggal. Kriteria dari masyarakat terasing, sebagai
berikut:
1) Memiliki kesamaan ciri fisik, sosial budaya dan tempat tinggal pada
daerah tertentu.
2) Bertempat tinggal pada daerah yang sulit dijangkau karena terpencil,
berpindah-pindah atau terpencar serta hidup dalam kelompok-kelompok
kecil.
3) Pada umumnya hidup sebagai peramu dan peladang, berburu, menangkap
ikan dan bercocok tanam secara tradisional dan berpindah-pindah.
4) Perilaku hidup sehat masih sangat rendah menyangkut kesehatan diri dan
kesehatan lingkungan.
5) Kondisi permukiman kurang layak huni dengan lingkungan yang tidak
teratur.
6) Sangat terikat pada sistem nilai budaya mereka sendiri sehingga bersifat
tertutup.
31
7) Sistem sosial, ideologi dan teknologi yang mereka pergunakan masih
sangat sederhana dan cenderung bersifat statis tradisional.
8) Masih belum atau sangat sedikit terjangkau oleh pelayanan pembangunan.
b. Komunitas Adat Terpencil
Dalam Keputusan Presiden tersebut Komunitas Adat Terpencil (KAT)
adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau
belum terlibat dalam jaringan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik.
Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil (PKSKAT) bertujuan
untuk memberdayakan KAT dalam segala aspek kehiupan dan penghidupan agar
mereka dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani dan sosial sehingga dapat
berperan aktif dalam pembangunan. Pelaksanaan dilakukan dengan
memperhatikan adat istiadat setempat. Dalam rangka pembinaan kesejahteraan
sosial KAT, Departemen Sosial RI, melakukan:
1) Identifikasi dan pemetaan komunitas adat terpencil (KAT)
2) Penyusunan dan penetapan rencana dan program pelaksanaan kesejahteraan
sosial KAT yang dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan
Pemerintah Daerah setempat dan instansi terkait.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas diatur lebih lanjut
oleh Menteri Sosial. Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas
Adat Terpencil (PKSKAT) dilakukan dalam bidang, permukiman, administrasi
kependudukan, kehidupan beragama, pertanian, kesehatan, pendidikan.
Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud di atas dilakukan melalui kegiatan
penyuluhan, bimbingan, pelayanan dan bantuan. Agar pelaksanaan pembinaan
sesuai dengan rencana dan program PKSKAT yang ditetapkan, Menteri Sosial
32
melakukan pemantauan, pengendalian umum, evaluasi dan koordinasi dengan
pemerintah daerah setempat dan instansi terkait (Departemen Sosial RI, 2003:3).
4. Kriteria Komunitas Adat Terpencil (KAT)
Adapun indikator atau kriteria komunitas adat terpencil yang ditentukan
oleh Departemen Sosial Republik Indonesia (2006: 7) sebagai berikut :
a. Berbentuk komunitas relatif kecil, tertutup dan homogen.
Komunitas adat terpencil umumnya hidup dalam kelompok kecil dengan
tingkat komunikasi yang terbatas dengan pihak luar. Kelompok KAT umumnya
hidup dalam satu kesatuan yang sama dan bersifat tertutup.
b. Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan (bersifat informal dan
kental dengan norma adat).
Pranata sosial yang ada dan berkembang dalam KAT umunya bertumpu
pada hubungan kekerabatan dimana mereka sehari-hari masih didasarkan atas
hubungan ikatan tali darah dan perkawinan.
c. Pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau.
Secara geografis KAT umumnya berada di daerah pedalaman, hutan,
pegunungan, perbukitan, laut, rawa, daerah pantai yang sulit dijangkau. Kesulitan
ini diperkuat oleh terbatasnya sarana dan prasarana transportasi.
d. Pada umunya masih hidup dengan sistem ekonomi subsistem.
Aktivitas kegiatan ekonomi warga KAT sehari-hari hanya sebatas
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri (kebutuhan sehari-hari).
e. Peralatan dan teknologi yang sederhana.
33
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan pertanian, berburu
maupun kegiatan lainnya, KAT masih menggunakan peralatan sederhana yang
diwariskan secara turun temurun.
f. Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat
relatif tinggi.
Kehidupan KAT sangat menggantungkan pada kehidupan kesehariannya
baik fisik, mental dan spiritual pada lingkungan alam atau berorientasi dengan
kondisi alam.
g. Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.
Akses yang sulit untuk menjangkau KAT baik dalam pelayanan sosial,
ekonomi maupun politik, hal ini disebabkan oleh geografis.
5. Kebijakan, Strategi dan Program Pemberdayaan Komunitas Adat
Terpencil (KAT)
Kebijakan adalah ketentuan-ketentuan yang disepakati oleh pihak-pihak
terkait dan ditetapkan oleh yang berkewenangan untuk dijadikan pedoman,
pegangan atau petunjuk bagi setiap kegiatan agar tercapai kelancaran dan
keterpaduan dalam mencapai visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi. Kebijakan
teknis pemberdayaan KAT adalah pengembangan kemandirian KAT untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai aspek kehidupan dan
penghidupannya agar mampu menanggapi perubahan sosial budaya dan
lingkungan hidupnya. Arah kebijakan teknis tersebut, sebagai berikut :
a. Meningkatkan profesionalisme pelayanan sosial baik yang dilaksanakan
oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha terhadap KAT.
34
b. Meningkatkan dan memeratakan pelayanan sosial yang lebih adil, dalam
arti bahwa setiap KAT berhak untuk memperoleh pelayanan sosial yang
sebaik-baiknya.
c. Memantapkan manajemen pelayanan sosial bagi KAT melalui
penyempurnaan terus menerus dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi dan pelaporan serta koordinaasi atau keterpaduan,
sehingga mencerminkan pengelolaan pelayanan sosial yang semakin
berkualitas dan akuntabilitas.
d. Meningkatkan dan memantapkan partisipasi sosial masyarakat dalam
pelayanan sosial dengan melibatkan semua unsur dan komponen
masyarakat atas dasar swadaya dan kesetiakawanan sosial sehingga
merupakan bentuk usaha-usaha kesejahteraan sosial yang melembaga dan
berkesinambungan.
Strategi permberdayaan KAT yaitu menciptakan kondisi lingkungan yang
mendukung komunitas adat terpencil untuk dapat mengembangkan keterampilan
dan kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan sosial budaya, ekonomi
dan politik. Strategi pemberdayaan komunitas adat terpencil tersebut dilaksanakan
melalui beberapa pendekatan, sebagai berikut :
a. Pemberdayaan, yaitu untuk meningkatkan profesionalisme dan kinerjanya
serta pemberian kepercayaan dan peluang kepada masyarakat, dunia usaha
dan komunitas adat terpencil untuk mencegah dan mengatasi masalah
yang ada dilingkungannya.
b. Kemitraan, yaitu adanya kerjasama sesuai dengan program, yaitu
kepedulian, kesetaraan, kebersamaan, kolaborasi dari jaringan kerja yang
35
menumbuh kembangkan kemanfaatan timbal balik antara pihak-pihak
yang bemitra dengan komunitas adat terpencil.
c. Partisipasi, yaitu adanya prakarsa dan peranan dari komunitas adat
terpencil dan lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan serta
melakukan pilihan terbaik untuk peningkatan kesejahteraan sosialnya.
d. Advokasi sosial, yaitu terhadap berbagai sumber daya yang dimiliki untuk
meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup komunitas adat
terpencil.
Dalam program pemberdayaan KAT adalah penataan perumahan,
permukiman, lingkungan, penataan administrasi kependudukan, kehidupan
beragama/ pembinaan mental spiritual, pertanian, kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan sosial, zona kehidupan atau penyangga (Pedoman Umum
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, 2006 : 13-19) .
6. Dasar Hukum Pelaksanaan Program Pemberdayaan Komunitas Adat
Terpencil (KAT)
Landasan hukum pelaksanaan program pemberdayaan KAT dalam
pedoman umum pemberdayaan komunitas adat terpencil (2006 : 4) sebagai
berikut :
a. Undang- undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
b. Peraturan Pemerintah. Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial
c. Peraturan Presiden RI Nomor 186 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan
Sosial terhadap KAT.
36
d. Permensos No.09 Tahun 2012 tentang Pemberdayaan Komunitas Adat
Terpencil.
7. Kategori KAT
Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 09 tahun
2012 tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), kategori KAT
dibagi menjadi tiga, yakni:
a. Kategori I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan
warga KAT yang pada umumnya hidup dengan cara berburu dan
meramu dari berbagai potensi sumber daya alam setempat, hidup
masih dalam kondisi yang sangat sederhana, berpencar dan berpindah
dalam jumlah tertentu, teknologi relatif masih sederhana,
menggunakan alat kerja yang terbatas, interaksi dengan dunia luar
relatif terbatas.
b. Kategori II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan
warga KAT yang pada umumnya hidup dengan cara peladang
berpindah yang menjadi wilayah orbitasinya dalam mempertahankan
hidup, teknologi yang digunakan relatif lebih bervariasi, dan sudah
mampu berinteraksi dengan dunia luar.
c. Kategori III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, merupakan
warga KAT yang pada umumnya hidup dengan cara bertani,
berkebun atau nelayan yang menetap di tempat tertentu, serta sudah
berinteraksi dengan dunia luar.
37
8. Pendanaan dan Periode Waktu Pelaksanaan Pemberdayaan KAT
a. Pendanaan
Untuk program pemberdayaan KAT di Dusun Sialing, Desa Nawin,
Kecamatan Haruai, Kabupaten Tabalong ini merupakan program yang
diselenggarakan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia, sehingga anggaran
yang diperoleh untuk pemberian paket rumah tinggal berasal dari Kementerian
Sosial Republik Indonesia.
Untuk mendirikan rumah tinggal yang diberikan kepada KAT
menghabiskan dana Rp. 1.400.000.000 sampai Rp. 1.800.000.000 dari dana
APBD 2014 Kabupaten Tabalong. Sehingga untuk dana yang dihabiskan perunit
adalah Rp. 40.000.000. Pembuatan rumah tinggal bagi KAT ini akan berlangsung
sampai akhir tahun 2016 dan akan mulai ditempati oleh KAT pada awal tahun
2017.
b. Periode Waktu Pelaksanaan Pemberdayaan KAT
1) Periode waktu pelaksanaan pemberdayaan KAT, meliputi:
3 (tiga) tahun;
2 (dua) tahun; atau
1 (satu) tahun.
2) Periode waktu pelaksanaan pemberdayaan KAT 3 (tiga) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan periode waktu
pemberdayaan yang dilakukan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut pada
kategori I.
3) Periode waktu pelaksanaan pemberdayaan KAT 2 (dua) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan periode waktu
38
pemberdayaan yang dilakukan selama 2 (dua) tahun berturut-turut pada
kategori II.
4) Periode waktu pelaksanaan pemberdayaan KAT 1 (satu) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan periode waktu
pemberdayaan yang dilakukan selama 1 (satu) tahun pada kategori III.
Untuk program pemberdayaan bagi KAT di Dusun Sialing ini di mulai
dari tahun 2014. Tahun 2014 merupakan tahapan perencanaan dan pelaksanaan
program pemberdayaan KAT di Dusun Sialing tersebut pada tahun 2016. Dari
tahap perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan, warga Dusun Sialing
diberikan pemahaman dan pendampingan untuk dapat berdaya. Sehingga pada
saat rumah tinggal tersebut selesai dibangun dan telah diresmikan untuk siap di
huni oleh warga Dusun Sialing tidak merasa kerepotan dan tidak merasa bingung,
sebab telah mendapatkan pemahaman. Setelah rumah tinggal tersebut telah dihuni
oleh warga Dusun Sialing, pihak Dinas Sosial Kabupaten Tabalong yang bekerja
sama dengan pihak Kantor Desa Nawin dalam program pendampingan-
pendampingan kepada warga Dusun Sialing.
39
9. Persebaran KAT di Indonesia
Data persebaran KAT di Indonesia pada tahun 2012. Untuk tahun 2012 ini
pemberdayaan KAT tersebar di 24 provinsi yang ada di Indonesia. Untuk lebih
lengkapnya, adapun data persebaran KAT sebagai berikut:
Tabel 2.1 Persebaran KAT pada tahun 2012 di Indonesia
NO PROVINSI LOKASI JUMLAH (KK)
1. Nangroe Aceh Darussalam
Ds. Lubok Pusaka, Kec. Langkahan, Kab. Aceh Utara 36 Ds. Buket Makmur, Kec. Julok, Kab. Aceh Timur 25 Ds. Aulie Bilie, Kec. Woyla Timur, Kab. Aceh Barat 15 Ds. Batee Meutodong, Kec. Panga, Kab. Aceh Jaya 15
2. Sumatera Utara Ds. Tuhawaebu, Kec. Idanagawo, Kab. Nias 2 35 Huta Partukkoan, Ds. Salaondolok, Kec. Ronggor Ni Huta, Kab. Samosir
60
Dusun III, Ds. Sihapas, Kec. Suka Bangun, Kab. Tapanuli Tengah
50
Ds. Tuhawaebu, Kec. Idanagawo, Kab. Nias 30 Ds. Pamongan, Kec. Pakkat, Kab. Humbang Hasundutan 50 Ds. Sionom Hudon Selatan, Kec. Parlilitan, Kab. Humbang Hasundutan
50
3. Sumatera Barat Dsn Buttuy, Ds. Madobag, Kec. Siberut Selatan, Kab. Kep. Mentawai
35
Dsn Ugay, Ds. Madobag, Kec. Siberut Selatan, Kab. Kep. Mentawai
15
Dsn. Boboakenen, Kec. Siberut Daya, Kab. Mentawai 77 Dsn. Bolotok, Kec. Siberut Daya , Kab. Mentawai 50
4. Sumatera Selatan Bukit Endap, Ds, Tanah Pilih, Kec. Sungai Are, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan
102
Karang Ali, Ds. Swarna Dwipa, Kec. Semendo Darat Tengah, Kab. Muara Enim
40
Muara Tiku, Kec. Karang Jaya, Kab. Musi Rawas 50 5. Riau Terusan Puyu-puyu, Ds. Kasang Padang, Kec. Bonai
Darussalam, Kab. Rokan Hulu 55
Kasang Salak, Ds. Bonai, Kec. Bonai, Kab. Rokan Hulu 55 6. Kepulauan Riau Pulau Senang, Pulau Gagah, Ds. Tamiang, Kec.
Senayang, Kab. Lingga 62
P. Kongki, Ds. Senayang, Kec Senayang, Kab. Lingga 12 P. Akad, Ds. Senayang, Kec Senayang, Kab. Lingga 23 P. Pongok, Ds. Senayang, Kec Senayang, Kab. Lingga 30
7. Jambi Sungai Putih, Ds. Mudo, Kec. Bangko, Kab. Merangin 34 Sungai Geger, Ds. Padang Kelapo, Kec Maro Sebo Ulu, Kab. Batanghari
55
40
Sungai Sei Mensio, Ds. Lubuk Beodoro, Kec. Limun, Kab. Sarolangun
16
Sekamis, Ds. Kampung Tujuh, Kec. Cermin Nan Gadang Kab. Sarolangun
16
8. Banten Dsn. Cipinang, Cijaha, Namprak, Ds. Citeluk, Kec. Cibitung, Kab. Pandeglang
75
Dsn. Rancecet, Cegog, Madur, Ds. Rancapinang, Kec. Cimanggu, Kab. Pandeglang
50
9. Kalimantan Barat Dsn. Sekasih, Ds. Sekasih, Kec. Ketunggau Hulu, Kab. Sintang
39
Dsn.Senggoang, Ds.Tahu, Kec.Meranti Kab.Landak 81 Ds. Muhi Bersatu, Kec. Suti Semarang, Kab. Bengkayang 100 Ds. Sei Seria, Kec. Ketungau Hulu, Kab, Sintang 140
10. Kalimantan Tengah Teronoi, Ds. Tumbang Jojang, Kec. Seribu Riam, Kab. Murung Raya
55
Ds. Tb. Apat, Kec. Sungai Babuat, Kab. Murung Raya 68 Tumbang Saluang, Ds. Tumbang Salung, Kec. Bukit Santui , KTW Timur
50
11. Kalimantan Timur Ds.Pulau Keras, Kec.Sembakung Kab.Nunukan 77 Ds Tetaban & Bebanas, Kec. Sebuku, Kab. Nunukan 60 Ds. Merang & Mung, Kec. Nyuatan, Kab. Kutai Barat 60
12. Kalimantan Selatan Ds. Datar Ajab, Kec. Hantakan, Kab. Hulu Sungai Tengah 42 Ds. Binuang Santang, Kec. Halong, Kab. Balanga 35 Dsn. Wanan, Ds. Dambung Raya, Kec. Bintang Ara, Kab. Tabalong
72
Ds. Bumi Makmur, Kec. Bintong, Kab. Tabalong 42 Ds. Binuang Santang, Kec. Halong. Kab. Balangan 42
13. Sulawesi Selatan Ds. Lilikira Ao'gading, Kec. Balusu, Kab. Toraja Utara 47 Ds. Kayuadi, Kec. Takabonerate, Kab. Kep. Selayar 48 Ds. Kayuadi, Kec. Takabonerate, Kab. Selayar 55 Ds. Lilikira Ao'gading, Kec. Balusu, Kab. Toraja Utara 55 Ds. Mattiro Kaji, Kec. Liukang Tupa'biring, Kab. Pangkep
65
14. Sulawesi Utara Ds. Lahu, Kec. Gemeh, Kab. Kep. Talaud 62 Ds.Kahuku, Kec.Likupang, Kab.Minahasa Utara 84 Ds. Toppe, Kec Biaro, Kab. Kep. Sitaro 56
Ds. Kakorotan, Kec. Nanusa, Kab. Kepl. Talaud 40 Ds. Ganalo, Kec. Tampan Amma, Kab. Kepl. Talaud 65
15. Sulawesi Tengah Kampung Sea-sea, Ds. Osan, Kec. Bulagi, Kab. Banggai Kepulauan
65
Dusun III (Pompa), Ds.Ongulara, Kec.Banawa Selatan, Kab.Donggala
75
Dsn. Lado-lado, Ds. Ogoalas, Kec. Tinombo, Kab. Parigi Moutong
35
Ds. Bonemarawa, Kec. Rio Pakava, Kab. Donggala 90 Ds. Maleo Jaya, Kec. Batui Sleatan, Kab. Banggai 35 Dsn Simoi'e, Ds. Ogoalos, Kec. Tinombo, Kab. Parigi 65
41
Moutong Mokoto, Ds. Opo, Kec. Bungku Utara, Kab. Morowali 40 Ds. Labuan Toposo, Kec. Labuan, Kab. Donggala 50
16. Sulawesi Tenggara Dsn. Laboran, Ds. Oempu, Kec. Tongkuno, Kab. Muna 53 Dsn Lantagi, Ds Bonelipu, Kec. Kulisusu, Kab. Buton Utara
55
Desa Bangun Jaya, Kec. Lainea, Kab. Konawe Selatan 65 17. Sulawesi Barat Ds. Kasuloang, Bambaira, Kec. Pasangkayu, Kab.
Mamuju Utara 32
Dsn. Kalibamba, Ds. Polewali, Kec. Bambalamuto, Kab. Mamuju Utara
19
Ds. Katimbang, Kec. Matangnga Kab. Polman 50 Ds. Pakava, Kec. Bambalamotu, Kab. Mamuju Utara 50
18. Gorontalo Ds. Hutamoputih Kec. Dengio Kab. Pohuwato 40 Ds. Molintugupo, Kec. Suwawa Selatan, Kab. Bone Bolango
55
Ds. Bulango Timur, Kec. Bulango, Kab. Bone Bolango 30 Ds. Hutamoputih Kec. Dengio Kab. Pohuwato 60 Ds.Dulukapa, Kec. Sumalata, Kab.Gorontalo Utara 40 Desa Rumbia Kec. Botumito, Kab. Boalemo 42 Desa Buhu, Kec. Tibawa, Kab. Gorontalo
19. Nusa Tenggara Timur Sekot-Lehot, Ds. Ndiwar, Kec. Lelak, Kab. Manggarai 30 Ds. Lodotodohowa, Kec. Lebatukan, Kab. Lembata 30 Ds.Fatu Suki, Kec.Amfoang Selatan, Kab.Kupang 60 Dsn. Tiga Wua Bunga, Ds. Tanah Werang, Kec. Solar Timur, Kab. Flores Timur
60
Labapu Alat, Ds. Kenari Bala, Kec. Alor Timur Laut, Kab. Alor
50
Sekot-Lehot, Ds. Ndiwar, Kec. Lelak, Kab. Manggarai 30 Ds. Lodotodohowa, Kec. Lebatukan, Kab. Lembata 30 Ds. Wae-wae, Kec. Bajawa Utara, Kab. Ngada 50 Ds. Tunbesi, Kec. Lo Kufeu, Kab. Belu 50 Ds. Tedamude, Kec. Aesesa, Kab. Nagekeo 50
20. Nusa Tenggara Barat Nanga Lidam, Ds. Olat Rawa, Kec. Mayo Hilir, Kab. Sumbawa
30
Dusun Kopo, Ds. Mungkin, Kec. Orang Telu, Kab. Sumbawa
105
Dsn. Jamu, Ds. Krida, Kec. Lunyuk, Kab. Sumbawa 48 Dsn. Bang Bako, Ds. Jotang Beru, Kec. Empang, Kab. Sumbawa
30
21. Maluku Bati Kelusi, Ds. Kian Darat, Kec.Seram Timur, Kab. Seram Bagian Timur
23
Bati Tabalen, Ds. Kian Darat, Kec. Seram Timur, Kab. Seram Bagian Timur
24
Dsn. Watimpuli, Ds. Lele, Kec. Walapo, Kab. Buru 50 Ds. Nuniari Gunung, Kec. Taniwel, Kab. SBB 50
22. Maluku Utara Ds. Pangeo, Kec. Morotai Jaya, Kab. Pulau Morotai 85
42
(sumber : www.kemensos.go.id/ di akses 30 Oktober 2016, 19.45 WIB)
10. Kondisi Sosial dan Budaya KAT
Dilihat dari sistem teknologi dan peralatan, sebagian besar KAT baru
mengenal teknologi sederhana, baik untuk aktivitas nafkah (pertanian sawah,
perkebunan karet, ladang) maupun untuk aktivitas kerumah tanggaan seperti alat
memasak, alat penerangan. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa ibu
atau bahasa daerah, seperti KAT yang ada di Dusun Sialing, mereka
Ds. Lusuo, Kec. Morotai Utara, Kab. Pulau Morota 65 Ds.Gonga, Kec. Tobelo Timur, Kab. Halmahera Utara (TP Kabupaten
28
Ds. Kilo Kec. Taliabu Selatan Kab. Kep. Sula (TP Kabupaten
45
Ds. Tasye, Kec. Loloda, Kab. Halmahera Barat 80 Ds. Kilo, Kec. Taliabu Timur, Kab. Kep. Sula (TP Kabupaten)
53
Ds. Gela, Kec. Taliabu Utara, Kab. Kep. Sula (TP Kabupaten)
25
Ds. Gonga, Kec. Tobelo Timur, Kab. Halmahera Utara (TP Kabupaten)
50
Ds. Talaga Paca, Kec. Tobelo Selatan, Kab. Halmahera Utara
71
23. Papua Maniwo, Distrik Waipaga, Kab. Nabire 60 Kamp. Bua, Distrik Siriwo, Kab. Paniai (TP Kabupaten 45 Kamp. Basman, Rt. Tawar, Dist. Kaibar, Kab. Mappi (TP Kabupaten)
40
Kamp. Baygon, Distrik Sawaerma,Kab. Asmat 50 Kamp. Yotapuga, Distrik Kamu Timur, Kab. Dogiyai (TP
Kabupaten 60
Maibul, Distrik Suator, Kab. Asmat 60 Kp. Basman, Rt. Muu, Dist. Kaibar, Kab. Mappi (TP Kabupaten)
64
Serebu, Kamp. Siskotek, Distrik Kaureh, Kab. Jayapura 35 Piramat, Diistrik Fajit, Kab. Asmat 60
24. Papua Barat Kamp. Ayatan dan Suswa, Kec. Aipat Timur, Kab. Maybrat
72
Kamp. Yompa, Distrik Rasieli, Kab. Teluk Wondama (TP Kabupaten
36
Kamp. Suswa, Distrik Mare & Kp. Ayata, Distrik Aifat Timur, Kab. Maybrat
80
Kamp. Yomba, Dist. Rasiei, Kab. Teluk Wondama (TP Kabupaten)
45
43
menggunakan bahasa adat yaitu bahasa Dayak tetapi mereka juga menggunakan
bahasa Banjar. Sistem dan organisasi kemasyarakatan terkait dengan adat istiadat
(hukum adat dan kebiasaan) yang sudah berlangsung sejak lama. Pada Suku
Dayak Dusun Sialing masih memegang erat aturan adat karena yang menjadi
panutannya adalah tokoh adat Dayak Daeh. Masyarakat Dusun Sialing memiliki
agama etnik yang telah diamalkan sejak zaman nenek moyang mereka, yaitu
agama Kaharingan. Akan tetapi, masyarakat Dusun Sialing saat ini sudah ada
yang beragam Kristen dan Islam.
F. Pemberdayaan Masyarakat bagi Komunitas Adat Terpencil dalam
Perspektif Ilmu Kesejahteraan Sosial
1. Konsep Kesejahteraan Sosial
Menurut Wilensky dan Lebeaux (dalam Pujileksono, 2015:15)
mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang terorganisir
daripada usaha-usaha pelayanan sosial dan lembaga-lembaga sosial untuk
membantu individu-individu dan kelompok-kelompok dalam mencapai tingkat
hidup serta kesehatan yang memuaskan, sedangkan menurut Friedlander:
“social welfare is the organized system of social services and institutions, designed to aid individuals and group to attain satisfying standard of life and health (kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dan institusi dan pelayanan sosial yang dirancang untuk membantu individu ataupun kelompok agar dapat mencapai standard hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan)”.
Pengertian kesejahteraan sosial juga menunjuk pada segenap aktivitas
pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok
masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntung, dengan demikian
kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna yang relatif berbeda, meskipun
44
substansinya tetap sama. Kesejahteraan sosial pada intinya mencakup tiga
konsepsi, antara lain sebagai berikut:
a. Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial.
b. Institusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga
kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang
menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial.
c. Aktivitas, yakni suatu kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk
mencapai kondisi sejahtera (Suharto, 2010).
2. Pemberdayaan Masyarakat dan KAT
Dalam perspektif ilmu kesejahteraan sosial, KAT merupakan salah satu
jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial yang ada di Indonesia. KAT
merupakan kelompok orang atau masyarakat yang hidup dalam kesatuan kesatuan
sosial kecil yang bersifat lokal dan terpencil, dan masih sangat terikat pada
sumber daya alam dan habitatnya secara sosial budaya terasing dan terbelakang
dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, sehingga memerlukan
pemberdayaan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu PMKS yang
memerlukan perhatian khusus oleh negara, ada beberapa alasan mendasar
mengapa pemberdayaan KAT menjadi penting yang dapat mempengaruhi proses
pembangunan, yaitu: secara kuantitas, populasi KAT yang belum tersentuh
pembangunan cukup tinggi, keberadaan KAT akan berkaitan dengan masalah
harkat dan martabat sebagai suatu bangsa dan isu Hak Asasi Manusia, KAT
belum menggambarkan pencapaian tujuan pembangunan nasional bagi bangsa dan
KAT akan berkaitan dengan masalah ketahanan nasional. Pemberdayaan
45
masyarakat bagi KAT secara umum bertujuan untuk mengurangi angka
kemiskinan atau menanggulangi masalah kemiskinan secara terpadu. Akan tetapi,
tujuan lainnya adalah agar masyarakat yang termasuk dalam kategori KAT
tersebut dapat menghadapi permasalahan secara mandiri, dapat memenuhi
kebutuhan dasar dalam kehidupannya dan mampu berdaya dengan kreativitas
yang dimiliki.
3. Peran Pekerja Sosial bagi Komunitas Adat Terpencil
Menurut Parsons, Jorgensen dan Hernandez (dalam Suharto, 2010:97) ada
beberapa peran pekerja sosial dalam pembimbingan sosial. Berdasarkan konsep
pemberdayaan masyarakat dan konsep KAT, maka peran pekerja sosial yang
relevan dalam konteks pemberdayaan KAT ialah sebagai fasilitator, memfasilitasi
atau memungkinkan klien mampu melakukan perubahan yang telah ditetapkan
dan disepakati bersama. Sebagai fasilitator, pekerja sosial bertanggungjawab
membantu klien mampu menangani tekanan situsional atau transisional. Beberapa
acuan mengenai tugas-tugas yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial, antara lain
sebagai berikut:
a. Mendefinisikan keanggotaan atau siapa yang akan dilibatkan dalam
pelaksanaan kegiatan.
b. Mengidentifikasi masalah-masalah yang akan dipecahkan.
c. Memfasilitasi penetapan tujuan.
d. Memberikan model atau contoh dan memfasilitasi pemecahan masalah
bersama: mendorong kegiatan kolektif.
e. Mendorong komunikasi dan relasi serta menghargai pengalaman dan
perbedaan-perbedaan.