KAJIAN PENYUSUNAN REGULASI UNTUK ... - neo…neo.kemenperin.go.id/files/filelibrary/LAPORAN...
Transcript of KAJIAN PENYUSUNAN REGULASI UNTUK ... - neo…neo.kemenperin.go.id/files/filelibrary/LAPORAN...
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PENYUSUNAN REGULASI UNTUK
PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN
BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDE
Dr.-Ing. Anton Irawan, MT, IPM
FEBRUARI 2019
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi i
Daftar Gambar ii
Daftar Tabel iii
Dafttar Istilah
Rangkuman Eksekutif iv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 7
1.3 Maksud dan Tujuan 8
1.4 Ruang Lingkup Kajian 8
1.5 Metodologi Kajian 9
BAB II BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDE 10
BAB III INDUSTRI – INDUSTRI PENGGUNAN BAHAN PENGHAMBAT NYALA
17
BAB IV REGULASI BAHAN KIMIA DI INDONESIA 26
BAB V PEMBAHASAN REGULATORY IMPACT ANALYSIS (RIA)
31
BAB VI POKOK – POKOK REGULASI BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDE
36
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 38
7.1 KESIMPULAN 38
7.2 REKOMENDASI 38
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN I REGULATORY IMPACT ANALYSIS (RIA) 41
LAMPIRAN II DRAFT PERATURAN PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDE
53
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Alur Material Bahan Penghambat Nyala dalam
Penggunaan untuk Menghasilkan Produk 2
Gambar 2 XRF Portable untuk Pengecekan Kandungan Brom
dalam Suatu Produk 3
Gambar 3 Metodologi Kajian Regulasi PBDE 8
Gambar 4 Struktur Kerangka Utama difenil eter terbrominasi (PBDEs) 9
Gambar 5 Persentase Industri sebagai Koresponden Kuesioner Identifikasi PBDE 21
Gambar 6 Data Pengetahuan tentang POPs-PBDE 21
Gambar 7 Data Penggunaan Flame Retardant 22
Gambar 8 Data Pengetahuan Jenis Flame Retardant 23
Gambar 9 Data Penggunaan Flame Retardant Jenis Brom 23
Gambar 10 Data Asal Flame Retardant 24
Gambar 11 Pengetahuan tentang ROHs 24
Gambar 12 Keterlibatan Beberapa Kementerian dalam Penerapan Aturan Pengendalian dan Pengawasan Senyawa Penghambat Nyala
32
Gambar 13 Alur Proses Penyusunan Regulasi Bahan Penghambat Nyala PBDE 34
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Data Konsentrasi PCBs, PBDEs dan HCBD pada lumpur,
sediment dan ikan di area TPA Benowo Surabaya 2
Tabel 2 Akivitas dan Output Kajian 8
Tabel 3 Karakteristik fisik dan kimia PBDEs 10
Tabel 4 Komposisi c-PentaBDE 13
Tabel 5 Komposisi c-OctaBDE 14
Tabel 6 Perkiraan total Produksi Campuran Komersil PBDE, 1970-2005 15
Tabel 7 Penggunaan c-PentaPBDE terdahulu pada polimer/resin,
aplikasi, dan produk 17
Tabel 8 Penggunaan pentaPBDE pada busa PUR 18
Tabel 9 Daftar Industri Survey Identifikasi Pengguna PBDE 20
Tabel 10 Hasil Analisa Beberapa Produk yang Menggunakan
Flame Retardant PBDE 25
Tabel 11 Rangkuman Penilaian Cost and Benefit untuk 3
Alternatif 33
Tabel L1 Pertanyaan awal RIA untuk Penyusunan Regulasan
Pengawasan dan Pengendalian PBDE 45
Tabel L2 MATRIK PENILAIAN COST AND BENEFIT
ANALYSIS (CBA) 48
Tabel L3 Analisis manfaat dan biaya opsi pertama tanpa menyusun
regulasi apapun untuk PBDE pada Sektor Industri 49
Tabel L4 Analisis manfaat dan biaya opsi kedua dengan
menyusun regulasi pengawasan dan pengendalian sektor
Industri 50
Tabel L5 Analisis manfaat dan biaya opsi ketiga dengan
menyusun regulasi pengawasan dan pengendalian secara
komprehensif 51
iv
RINGKASAN EKSEKUTIF
Indonesia telah menandatangani Konvensi Stockholm tentang Persistent Organic Pollutans (POPs) atau bahan pencemar organik yang persisten. Pada tahun 2009, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Stockholm melalui UU Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutant. Sebagai negara anggota, Indonesia memiliki kewajban untuk menyusun kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan bahan-bahan POPs yang telah diatur oleh konvensi Stockholm terkait dengan pelarangan dan/atau penghapusan, pembatasan, pengurangan serta impor dan ekspor dalam produksi dan penggunaaanya. Pada tahun 2009, terdapat sembilan bahan POPs tambahan yang disetujui pada Konvensi Stockholm, salah satunya yaitu bahan kimia Polybrominated Diphenyl Ethers (PBDEs) untuk homolog tetra-BDE, penta-BDE, heksa-BDE dan hepta-BDE, namun belum ada kebijakan yang mengaturnya. Tetra-BDE dan penta-BDE dikenal dengan produk komersial c-penta BDE, sedangkan heksa-BDE dan hepta-BDE dikenal dengan produk komersial c-octa BDE. Pada tahun 2017, produk komersial c-decaBDE juga telah terdaftar pada konvensi stockholm. PBDE merupakan bahan aditif sebagai flame retardant (pelambat nyala) yang biasa digunakan untuk produk-produk berbahan plastik seperti elektronika dan otomotif. Sebagai POPs, PBDE memiliki sifat beracun, sulit terurai (persisten), biokamuluasi dan terangkut melalui udara, air dan spesies berpindah dan melintasi batas internasional serta tersimpan jauh dari tempat pelepasan, tempat bahan tersebut berakumulasi dalam ekosistem darat dan air. Ada 4 potensi keberadaan senyawa PBDE di Indonesia yaitu
1. PBDE diimport langsung dalam keadaan murni sebagai bahan baku Industri 2. PBDE terdapat dalam produk yang diimport (Chemical In Product) 3. PBDE terdapat dalam produk – produk lama yang kemudian didaur ulang 4. PBDE terdapat pada produk – produk lama dalam bentuk limbah
Dengan adanya potensi keberadaan PBDE maka perlu dilakukan pelarangan terhadap masuknya PBDE serta penggunaan PBDE di Industri. Pelarangan tersebut dapat dibuat dengan melakukan terlebih dahulu suatu regulatory impact analysis (RIA). Dengan adanya RIA dengan perihal pengendalian dan pengawasan penggunaan bahan penghambat nyala termasuk PBDE maka produk – produk dari Industri diharapkan akan semakin ramah terhadap lingkungan dan penggunaanya.
Pada saat menyusun RIA diperlukan opsi – opsi untuk regulasi yang akan disusun untuk memperlihatkan beberapa kemungkinan pilihan yang bisa dilakukan. Selanjutnya dilakukan Cost and Benefit Analysis(CBA) terhadap beberapa opsi tersebut. Adapun opsi – opsi dari RIA ini yaitu :
1. Tidak adanya peraturan khusus yang melarang, mengendalikan atau mengawasi bahan penghambat nyala termasuk PBDE.
2. Adanya regulasi pelarangan, pengendalian dan pengawasan dalam proses produksi mulai dari penyediaan bahan baku hingga menghasilkan produk terhadap Industri yang menggunakan bahan penghambat nyala.
3. Adanya regulasi secara komprehensif mulai dari impor baik untuk bahan baku maupun produk yang mengandung bahan penghambat nyala termasuk PBDE, kemudian proses produksi yang menggunakan bahan penghambat nyala, labelling terhadap daur ulang plastik serta pengelolaan limbah yang mengandung bahan penghambat nyala PBDE.
v
Hasil CBA menunjukan bahwa pilihan nomor 2 menjadi hal yang bisa diimplementasikan segera dan memberikan dampak terbaik. Adapun isi dari regulasi yang disusun adalah
1. Melarang pengggunaan PBDE untuk sector Industri sesuai dengan konvensi Stockholm
2. Memberikan toleransi waktu bagi Industri yang masih menggunakan PBDE di Industri dengan mempertimbangkan kondisi Industri untuk penyesuaian proses produksnya hingga kualitas produk yang dihasilkan dengan perubahan bahan baku.
3. Meminta kepada Industri yang tidak menggunakan PBDE dalam produknya untuk mendeklarasikan dengan memberikan label bahwa produknya bebas PBDE
4. Melakukan pengecekan secara random terhadap produk -produk yang telah mendeklarasikan bebas PBDE,
Selanjutnya secara bersamaan, pemerintah akan mempercepat hasil penelitian atau rekomendasi alternative terbaik bahan pengganti PBDE dengan mempertimbangkan fungsi yang sama dengan PBDE serta harga yang bersaing dengan PBDE. Kemudian pengguat terhadap kualitas produk dapat juga dilakukan dengan membuat SNI wajib bagi produk -produk tertentu yang mengandung bahan penghambat nyala. Selain itu pada bagian kepabean, perlu segera disusun HS Number untuk bahan kimia penghambat nyala.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Persistant Organic Pollutans (POPs) merupakan senyawa kimia yang memiliki sifat
beracun, sulit terurai, bioakumulasi dan mudah terangkut baik itu melalui udara dan air,
serta mudah berpindah sebelum bioakumulasi. Senyawa tersebut dapat terakumulasi dalam
ekosistem darat dan air termasuk ikan sehingga bisa membahayakan manusia yang
memakan ikan yang mengandung senyawa PoPs. Pada tahun 2001 telah dihasilkan
konvensi Stockholm yang ditanda tangani lebih dari 152 dan 179 pihak yang berpartisipasi
termasuk Indonesia ikut menandatangani konvensi tersebut. Konvensi Stockholm
awalnya mengidentifikasi 12 bahan kimia untuk penghapusan dan pengurangan, kemudian
pada tahun 2009 ditambahkan 11 senyawa baru PoPs termasuk didalamnya PBDE pada
kelompok Annex A yang harus dimusnahkan dan tidak boleh diproduksi.
Polybrominated diphenyl ethers (PBDEs) merupakan suatu kelompok senyawa aromatik
organobromin yang telah digunakan sebagai zat tambahan yang berfungsi sebagai
penghambat nyala di berbagai produk. Zat penghambat nyala (flame retardant) termasuk
PBDE ditambahkan pada suatu produk agar terjadi penghambatan nyala apabila produk
tersebut terbakar. Dengan adanya penghambat nyala diharapkan api dapat dipadamkan
segara atau tidak meluas nyala dari api tersebut. Bahan aditif flame retardant (pelambat
nyala) yang biasa digunakan untuk produk-produk berbahan plastik seperti elektronika dan
otomotif serta produk – produk tekstil yang mudah menyala.
Sebagai POPs, PBDE memiliki sifat beracun, sulit terurai (persisten), biokamuluasi dan
terangkut melalui udara, air dan spesies berpindah dan melintasi batas internasional serta
tersimpan jauh dari tempat pelepasan, tempat bahan tersebut berakumulasi dalam
ekosistem darat dan air. Menurut penelitian-penelitian yang telah dilakukan di berbagai
negara termasuk Indonesia, senyawa PBDE telah terdeteksi pada biota laut (ikan dan
kerang-kerangan), sedimen, tanah, debu, udara, dan air susu ibu (ASI). Dampak negatif
PBDE bagi kesehatan menurut beberapa penelitian dapat menyebabkan kanker, turunnya
berat badan, keracunan ginjal, thyroid dan hati, penyakit kulit, serta penurunan kecerdasan
pada anak.
2
Ada 4 potensi untuk keberadaan dari senyawa PBDE di Indonesia (Gambar 1) yaitu
1. PBDE bisa diimpor langsung dalam kondisi murni
Impor produk PBDE ke Indonesia untuk dipergunakan bagi Industri secara langsung.
Dari hasil diskusi dengan Bea Cukai dan Kementerian Perdagangan Direktorat Import
diperoleh informasi bahwa harmonized system (HS) number untuk PBDE belum ada.
Dengan demikian, potensi impor PBDE dalam kondisi murni belum bisa dipastikan
karena kemungkinan PBDE bisa diimport dalam bentuk senyawa lainnya. Dengan
demikian pengawasan bahan – bahan yang mengandung brom perlu diperketat karena
ada potensi impor secara langsung PBDE dengan nama yang berbeda. Pengawasan ini
Gambar 1 Alur Material Bahan Penghambat Nyala dalam Penggunaan untuk Menghasilkan Produk
3
bisa dilakukan pada wilayah kerja bea cukai dengan terlebih dahulu pihak – pihak yang
langsung terlibat dapat dibekali pemahaman tentang senyawa PBDE.
2. PBDE terdapat dalam product yang diimport.
Dari hasil analisa beberapa komponen yang mengandung PBDE (Tabel 1) dapat diduga
bahwa keberadaaan PBDE pada produk – produk elektronika, tekstil serta biji plastik.
Pemerintah perlu mendalami lebih jauh untuk besaran kandungan PBDE dalam produk
karena hasil analisa pada produk biji plastik polystyrene (PS) pada tabel 1 didapatkan
besaran kandungan Deca PBDE diatas 6000 ppm. Potensi masuknya PBDE melalui
chemical in product sangat besar sehingga perlu langkah – langkah untuk bisa
mengetahui produk – produk yang mengandung PBDE. Pengecekan secara langsung
terhadap produk -produk yang diduga mengandung PBDE bisa dilakukan dengan
menggunakan XRF Portable untuk mendapatkan kandungan Brom dalam suatu
produk.
Gambar 2. XRF Portable untuk Pengecekan Kandungan Brom dalam Suatu Produk
3. Penggunaan material daur ulang dari produk sebelum 2001.
Produk – produk yang menggunakan flame retardant sebelum tahun 2001 seperti TV
tabung diduga masih mengandung PBDE. Apabila produk – produk tersebut dipergunakan
kembali maka PBDE yang terdapat di dalam plastik dari TV tersebut bisa terbawa terus
menerus. Umumnya, plastik daur ulang akan dipergunakan untuk produk -produk yang
lebih rendah seperti kantong atau wadah plastik. Apabila kantong dan wadah plastik
tersebut terkena langsung dengan makanan pada suhu tinggi maka potensi tersebarnya
PBDE akan semakin meluas dan bisa bioakumulasi.
4
4. Masih adanya produk -produk berupa limbah untuk produk khususnya
elektronika yang diduga mengandung PBDE.
Produk – produk tersebut hingga saat ini masih tersimpan pada konsumen yang
menggunakannya seperti TV Tabung atau peralatan listrik lainnya seperti kabel listrik yang
terpasang pada bangunan yang terbangun sebelum adanya larangan penggunaan senyawa
penghambat nyala PBDE. Kondisi ini membahayakan karena masyarakat masih
memakainya atau menyimpannya sehingga potensi terpapar bahaya
Dari alur material bahan penghambat nyala termasuk jenis PBDE terlihat masalah- masalah
yang timbul apabila tidak terjadi pengendalian dan pengawasan senyawa PBDE . Adapun
masalah masalah saat ini yang berhubungan dengan PBDE
• Tidak terlacaknya masuknya PBDE baik dalam kondisi murni atau tercampur dalam
suatu produk. Hal ini terjadi karena belum dimilikinya HS Number untuk bahan
penghambat nyala jenis PBDE.
• Tidak terawasinya keberadaan senyawa penghambat nyala dalam proses produksi di
pabrik – pabrik pengguna penghambat nyala. Pemerintah belum memiliki data-data
jenis industri yang menggunakan bahan penghambat nyala sehingga menyulitkan
dalam proses pengawasan industri penggunaa bahan penghambat nyala.
• Tidak terawasinya penggunaan kembali bahan plastik daur ulang yang kemungkinan
mengandung PBDE. Keberadaan produk produk lama mengandung PBDE sebelum
Konvensi Stockholm bisa didaur ulang untuk mengoptimalkan bahan baku pada industri
pengguna seperti daur ulang produk plastik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti Indonesia dengan Jepang pada tahun 2011-2013
yang telah dipublikasikan menunjukkan ada beberapa kandungan PBDE untuk lokasi sedimen
sungai di Indonesia sebesar 8-36 ng/gram kering (Ilyas et,all, 2011, 2013). Lokasi selanjutnya
yaitu pengambilan sampel air lindi di lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) Kota Surabaya di
Benowo didapatkan kandungan hingga 45 ppb (Tabel 1).
5
Tabel 1. Data Konsentrasi PCBs, PBDEs dan HCBD pada lumpur, sediment dan ikan di area TPA Benowo Surabaya
Sumber: Ilyas et,all, 2011, 2013
6
Dengan ditemukan kandungan PBDE pada lokasi tersebut mengindikasikan potensi adanya
PBDE pada beberapa lokasi lain. Ada beberapa kemungkinan sumber timbulnya PBDE
dari hasil temuan tersebut yaitu bahan plastic yang mengandung PBDE tersebut berasal
dari material lama sebelum adanya konvensi stockhom atau beberapa produk yang
didapatkan dari luar mengandung PBDE.
Temuan kandungan PBDE pada beberapa produk bisa dijadikan dasar untuk pemerintah
dalam menyusun suatu aturan dalam mengendalikan dan mengawasi bahan kimia atau
produk -produk yang berpotensi mengandung PBDE. Dengan adanya peraturan tersebut
maka potensi penyalagunaan dalam penggunaan bahan kimia dengan kandungan PBDE
dapat dicegah dari awal. Pemerintah telah meratifikasi Konvensi Stockholm melalui
Undang Undang No 19 tahun 2009 tentang pengesahan Konvensi Stokholm terkait bahan
pencemar organik yang persisten (POPs). Hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum
memiliki peraturan turunan dari UU NO 19 tahun 2009 untuk mengatur penggunaan PBDE
sehingga peraturan untuk membatasi atau bahkan melarang penggunaan flame retardant
jenis halogen (PBDE) sangat diperlukan. Regulasi pemerintah yang harus segera
dilakukan adalah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan PBDEs mulai dari
penyediaan bahan baku PBDE, proses pembuatan sampai dengan limbah dari proses serta
pengawasan produk yang menggunakan bahan baku flame retardant. Sebelum dibuat suatu
Peraturan yang berhubungan dengan PBDE maka perlu dilakukan suatu Regulatory Impact
Analysis (RIA) sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia
No 40/M-IND/PER/11/2017 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang-
Undangan di Lingkungan Kementerian Perindustrian
1.2 RUMUSAN MASALAH
PBDE merupakan salah satu jenis penghambat nyala yang paling banyak digunakan pada
industri elektronika, alat listrik, otomotif, tekstil dan lain. Pemerintah Indonesia telah
melakukan ratifikasi terhadap konvensi Stockholm dengan adanya Undang – Undang
No 19 tahun 2009. UU Adanya UU No 19 tahun 2009 tersebut maka peraturan turunnya
harus segera dibuat sehingga penerapan aturan untuk penghilangan PBDE di Indonesia
dapat segera diterapkan. Sampai tahun 2018, Pemerintah Indonesia belum memiliki
peraturan turunnnya sehingga penerapan dalam pelarangan penggunaan PBDE di
Indonesia termasuk pada Industri tidak dapat diterapkan.
7
Seperti diketahui bahwa penggunaan PBDE menimbulkan bahaya lingkungan dan
kesehatan maka regulasi yang berhubungan pengendalian dan pengawasan sangat
diperlukan untuk menghilangkan masalah -masalah yang timbul tersebut. Regulasi yang
disusun harus bisa membuat iklim usaha dan perdagangan semakin membaik sehingga
pihak – pihak yang menggunakan bahan penghambat nyala dapat terus berbisnis dengan
baik dan tidak terganggu dengan keberadaaan regulasi tersebut. Selain itu regulasi tersebut
harus bermanfaat buat masyarakat agar mendapatkan produk -produk yang digunakan tidak
mengandung senyawa -senyawa yang membahayakan kesehatan dan lingkungan.
1.3 MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dari pelaksanakan kajian ini yaitu untuk memperkuat regulasi nasional dalam
menghilangkan PBDE dari Indutsri berbahan plastik (elektronika, otomotif, resin). Sedangkan
tujuan dari pelaksanaan kajian ini yaitu :
1. Melakukan analisis data industri yang menggunakan flame retardants (PBDEs) pada sektor
elektronik dan industri plastic.
2. Melakukan risk assement dengan metode regulatory impact analysis (RIA) terhadap
rencana penyusunan regulasi pengendalian dan pengawasan bahan penghambata nyala
PBDE.
3. Menyusun draft regulasi untuk pengendalian dan pengawasan bahan penghambat nyala
PBDE di sector Industri.
1.4 RUANG LINGKUP KAJIAN
Ruang lingkup dari kajian ini yaitu penyusunan draft regulasi untuk pengendalian dan
pengawasan bahan penghambat nyala PBDE di sector Industri. Terdapat dua komponen yang
akan dikaji dengan aktivitas total yang dilakukan dalam kajian ini yaitu delapan aktivitas.
Kompenen beserta aktivitasnya yang akan dikaji dapat dilihat pada Tabel 2.
8
Tabel 2. Aktivitas dan Output Kajian
Aktivitas Output Melakukan analisis data industri yang menggunakan flame retardants (PBDEs) pada sektor elektronik dan industri plastic.
- Mengumpulkan data-data Industri potensi pengguna bahan penghambat nyala
- Melakukan diskusi dengan pemerintah/stakeholders terkait
- Melakukan evaluasi pengolahan data - Review data untuk pemetaan
Melakukan risk assement dengan metode regulatory impact analysis (RIA) terhadap rencana penyusunan regulasi pengendalian dan pengawasan bahan penghambata nyala PBDE.
- Melakukan studi literatur tentang RIA - Menyusun metode untuk pelaksanaan RIA - Menyusun alternative pilihan untuk regulasi - Menentukan regulasi yang akan disusun
Menyusun draft regulasi untuk pengendalian dan pengawasan bahan penghambat nyala PBDE di sector Industri
- Melakukan Analisa terhadap peraturan -peraturan yang sudah ada
- Menyusun pokok- pokok dari regulasi yang akan disusun - Menyusun draft regulasi yang akan dibuat - Menyusun strategi dalam implementasi regulasi
1.5 METODOLOGI KAJIAN
Adapun metodologi kajian untuk penyusunan draft regulasi pengendalian dan pengawasan
bahan penghambat nyala PBDE dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Metodologi Kajian Regulasi PBDE
PERSIAPAN• STUDI LITERATUR UNTUK
KONVENSI STOCKHOLM• STUDI LITERATUR TENTANG
METODE RIA• STUDI LITERATUR PERATURAN
PENGENDALIAN PENGAWASAN BAHAN KIMIA
ANALISA DATA INDUSTRI PENGGUNA BAHAN
PENGHAMBAT NYALA
PENYUSUNAN DOKUMEN REGULATORY IMPACT
ANALYSIS
PENYUSUNAN DRAFT REGULASI
PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN BAHAN PENGHAMBAT NYALA
PBDE
9
BAB II PUSTAKA
BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDE
Gambar 4. Struktur Kerangka Utama difenil eter terbrominasi (PBDEs)
Polybrominated diphenyl ethers (PBDEs) merupakan bahan kimia POPs yang belum diatur
aspek daur hidupnya secara keseluruhan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Terdapat tiga homolog PBDEs yang diperdagangkan yaitu formulasi komersial pentaBDE,
octaBDE dan decaBDE dengan decaBDE merupakan produk PBDE yang paling banyak
digunakan secara global1. Penta-BDE umumnya terdapat dalam busa seperti busa polyuretan
pada jok mobil dan karpet yang menagandung 86% sampai 99% BDE-47, BDE-99, BDE-100
dan BDE-154. Octa-BDE yang berfungsi juga sebagai thermoplastics umumnya digunakan
untuk penghubung listrik dan produk otomotif dengan 70%-80% hepta dan octa-BDE.
Sedangkan deca-BDE biasanya dimanfaatkan dalam casing computer , karpet dan tekstil
dengan 98% deca-BDE (BDE-209)2. Fungsi utama dari PBDE yaitu sebagai bahan pelambat
nyala atau flame retardant yang digunakan pada berbagai aplikasi produk industri dan peralatan
rumah tangga seperti peralatan listrik dan elektronik, kawat, insulasi kabel alat transportasi,
furnitur, tekstil dan karpet dan bahan konstruksi3. Senyawa PBDEs secara umum merupakan
bahan kimia additive yang dicampurkan ke dalam polymer sehingga mudah untuk lepas ke
lingkungan. Karakteristik fisik maupun kimia dari PBDEs ditunjukkan oleh Tabel 3.
1 United States Environmental Protection Agency ( EPA). (2014). Technical Fact Sheet Polybrominated Diphenyl
Ether (PBDEs) and Polybrominated Biphenyls (PBBs). 2 He, J., Robrock, K. R., dan L. Alvarez-Cohen. (2006). Microbial Reductive Debromination of PBDEs.
Environmental Science & Technology, Vol. 40 pages 4429 - 4434 3 Penelaahan dan Pemutakhiran Rencana Penerapan Nasional untuk Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar
Organik yang Persisten (Persistent Organic Pollutant, POPs) di Indonesia tahun 2014
10
Tabel 3. Karakteristik fisik dan kimia PBDEs1
Karakteristik PBDEs
PentaBDE OctaBDE DecaBDE
Chemical Abstracts System (CAS) Numbers
32534-81-9 32536-52-0 1163-19-5
Bentuk fisik pada temperatur ruang Cairan Kuning pucat
Bubuk putih pucat
Bubuk putih pucat
Berat molekul (g/mol) 13,3 Kurang dari 1 Kurang dari 1
Titik didih (°C) Lebih dari 300 Lebih dari 300 Lebih dari 320
Titik lebur (°C) -7 sampai -3 85-89 290-306
Tekanan uap pada 25°C (mmHg) 2,2 x 10-7 – 5,5 x 10-7
9 x 10-10 – 1,7 x 10-9
3,2 x 10-8
Koefisien Octanol-water partition (log Kow)
6,64 – 6,97 6,29 6,265
Koefisien Soil organic carbon-water (log Koc)
4,89 sampai 5,10
5,92 sampai 6,22
6,8
Konstanta Henry pada 25°C (mmHg)
1,2 x 10-5 7,5 x 10-8 1,62 x 10-6
Sumber : EPA, 2014
Senyawa UPOPs maupun POPs seperti PBDE memiliki efek yang negatif bagi kesehatan
manusia seperti pemicu kanker dan tumor, merusak perilaku sistem kerja saraf termasuk
disfungsi sistem belajar dan perubahan temperamen, perubahan sistem kekebalan tubuh, lahir
cacat, kerusakan sistem reporoduksi. Lebih lanjut melalui kajian referensi, diperoleh informasi
bahwa PBDEs di Indonesia telah terdeteksi di berbagai media lingkungan seperti tanah,
sedimen, udara dan debu, ikan, kerang-kerangan, bahan makanan, dan pada manusia1. Hal ini
mengindikasikan bahwa POP-PBDE telah mengontaminasi lingkungan dan manusia di
Indonesia. Berdasarakan penelitian oleh He, dkk., (2006)2bahan kimia PBDEs telah terdeteksi
pada sampel jaringan tubuh manusia, darah dan air susu ibu. Selain itu bahan kimia PBDE juga
1 United States Environmental Protection Agency ( EPA). (2014). Technical Fact Sheet Polybrominated Diphenyl
Ether (PBDEs) and Polybrominated Biphenyls (PBBs). 2 He, J., Robrock, K. R., dan L. Alvarez-Cohen. (2006). Microbial Reductive Debromination of PBDEs.
Environmental Science & Technology, Vol. 40 pages 4429 - 4434
11
dapat menyebabkan turunnya berat badan, keracunan ginjal, thyroid dan hati serta penyakit
kulit1.
PBDEs merupakan kelompok senyawa organik bromin untuk industri yang diproduksi
sejak tahun 1975 sampai tahun 2004 sebagai bahan antinyala. Di antara PBDEs yang
diperdagangkan (formulasi komersial penta-, okta-, dan deka-bdes), komersial penta-dan okta-
bdes mengandung beberapa turunan homolog PBDEs, seperti tetra-, penta-, hexa-, dan hepta-
bromodiphenyl ethers yang telah dimasukkan dalam daftar senyawa POP-PBDEs pada
Konvensi Stockholm. Formulasi POP-PBDEs komersial tersebut telah digunakan di berbagai
aplikasi produk industri dan peralatan rumah tangga seperti peralatan listrik dan elektonik, alat
transportasi, furnitur, tekstil dan karpet, dan bahan konstruksi
Penggunaan Pentabromodiphenyl ether (c-pentabde) Bahan aditif untuk pelambat nyala
(flame retardant) yang ditambahkan pada busa poliuretan yang terdapat pada tempat duduk,
sandaran kepala, langit-langit, system akustik, dll di produk otomotif (sektor transportasi).
Selain itu juga diaplikasikan pada sector lain seperti furniture, matras, rebond materials, bahan
konstruksi, karet, operasi drilling, textile (pakaian kerja, korden) Produk Komersial Konsumsi
Utama Amerika Asia, Amerika Periode Aplikasi 1975~2004 1975~2004 Octabromodiphenyl
ether (c-octabde) Bahan aditif untuk pelambat nyala (flame retardant) yang ditambahkan pada
polimer, terutama plastik ABS, HIPS, PBT, Poliamida-polimer yang terdapat pada; kasing
personal komputer, TV, CRT komputer/tv monitor, LCD monitor, Laptop, Printer, mobile
phone, mesin fotocopy, dll. di produk peralatan elektronik dan listrik Berdasarkan hasil
inventarisasi awal pada 2013 1, tidak ada informasi jumlah produksi, penggunaan, ekspor dan
impor penta- dan okta-bde komersial yang diperoleh. Perhitungan POPs-PBDEs diestimasi
berdasarkan jumlah penta- dan okta-bde komersial pada produk di dua sektor kelompok utama,
yaitu di peralatan listrik dan elektronik (electronic and electrical equipments, EEE) dan di sektor
transportasi 2. Perhitungan ini menggunakan data statistik jumlah pesawat televisi dan tabung
CRT (cathode ray tube) komputer tahun 1975-2012 yang diperoleh dari UNComtrade 3 untuk
sektor EEE, dan data jumlah mobil, bus, dan truk untuk sektor transportasi dari tahun 1975-
2004 yang diperoleh dari GAIKINDO (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) 4.
Estimasi kumulatif kandungan POP-PBDEs yang dihasilkan dari perhitungan jumlah impor
CRTs ditambah produksi lokal dan dikurangi total ekspor pada tahun 1975-2012 adalah sebesar
112.197 kg untuk hepta-bde dan 28.702 kg untuk heksa-bde. Adapun estimasi kandungan POP-
1 Penelaahan dan Pemutakhiran Rencana Penerapan Nasional untuk Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar
Organik yang Persisten (Persistent Organic Pollutant, POPs) di Indonesia tahun 2014
12
PBDEs berdasarkan data jumlah penjualan mobil di dalam negeri tahun 1975-2004 dan jumlah
impor mobil bekas adalah 1 Sudaryanto, A. dan Ilyas, M. 2014. Preliminary Inventory
Persistent Organic Pollutants Polybrominated Diphenyl Ethers (POPs-PBDEs) in Indonesia.
Basel Convention Center Regional Center South East Asia, pp. 96. 2 UNEP. 2012. Guidance
for the inventory of polybrominated diphenyl ethers (PBDEs) listed under the Stockholm
Convention on Persistent Organik Pollutants. pp. 100. 3 UNcomtrade, 2013. United Nations
Commodity Trade Statistics Database. http://comtrade. un.org/db/default.aspx. Access on July
2013. 4 GAIKINDO, 2013. Indonesian Association for Car Manufacturer Home Page.
http//:www.gaikindo.co.id.
Sebesar 19.697 kg untuk tetra-bde, 34.619 kg untuk penta-bde, 4.775 kg untuk heksa-bde
dan 298,7 kg untuk hepta-bde. Perkiraan jumlah POP-PBDEs dari data EEE ini berada pada
kisaran jumlah yang dihitung berdasarkan data tingkat penetrasi CRT kawasan Asia 1 dan
jumlah total penduduk Indonesia pada tahun 2004 2, yaitu sebesar 104.370 kg hingga 304.712
kg untuk hepta-bde, dan 26.699 kg hingga 77.950 kg untuk heksa-bde. Lebih lanjut, melalui
kajian referensi, diperoleh informasi bahwa PBDEs di Indonesia telah terdeteksi di berbagai
media lingkungan seperti tanah, sedimen, udara dan debu, ikan dan kerang-kerangan, bahan
makanan, dan pada manusia. Hal ini mengindikasikan bahwa POP-PBDE telah
mengkontaminasi lingkungan dan manusia di Indonesia. Namun demikian, berkaitan dengan
kebijakan dan peraturan yang berlaku, belum ada peraturan perundang-undangan di Indonesia
yang mengatur tentang POPs-BDEs dan HBB, termasuk bahan kimia sebagai pelambat nyala
lainnya, seperti HBCDs. 2Ada tiga level derajat brominasi PBDEs yang diproduksi dan
dipasarkan dengan nama-nama berikut; commercial PentaBDE (c-PentaBDE), commercial
OctaBDE (c-OctaBDE) dan commercial DecaBDE (c-DecaBDE) (Alaee et al., 2003;
Prevedouros et al., 2004; SFT, 2009). Distribusi homolog dari c-pentaBDE dan c-OctaBDE
dijabarkan di Tabel 4 dan 5.
Walaupun c-DecaBDE belum dideteksi mengandung senyawa organic polutan yang tidak
mudah diuraikan (Persistent Organic Pollutant (POP)-PBDEs), tetapi c-DecaBDE tersebut
dapat menghasilkan POP-PBDEs dari proses debrominasinya yang terjadi pada siklus
hidupnya, sehingga menjadi penyebab timbunan POP-PBDEs yang harus diwaspadai (UNEP,
2010c; Ross et al., 2009). Homolog OktaBDE, nonaBDE, dan dekaBDE yang terdapat dalam
campuran commercial PBDEs tidak disertakan dalam pendataan. Senyawa-senyawa PBDEs
yang memiliki banyak substituent brom ini dapat didegradsi menjadi POP-PBDEs melalui
proses debrominasi (UNEP, 2010b, 2010c).
13
Table 4. Komposisi c-PentaBDE* Kategori
PBDE
Tribromodifenil
eter
Tetrabromodifenil
eter
Pentabromodifenil
eter
Heksabromodifenil
eter
Heptabromodifenil
eter
Congener BDE-17 BDE-28 BDE-47 BDE-99 BDE-
100/85
BDE-153 BDE-154 BDE-183
Kandungan Sedikit
sekali
Sedikit
sekali
Major Major Minor Minor Sedikit
sekali
Sedikit sekali
Dsitribusi
komposisi* 0.5%** 33%*** 58%*** 8%*** 0.5%***
Sumber: La Guardia et al., 2006; SFT, 2009; Schlummer et al., 2011 *Distribusi homolog pada komersial PBDE bervariasi tergantung produser atau production lot. Untuk keperluan pendataan, dipilih nilai rata-rata distribusi homolog PBDE **TriBDE tidak terdafatr sebagai POP sehingga tidak dimasukkan dalam pendataan ***Persentase homolog PBDE yang merupakan POP-PBDEs.
14
Table 5. Komposisi c-OctaBDE*
Kategori
PBDE
Heksabromo-difenil eter Heptabromodifenil eter Oktabromodifenil eter Nonabromodi-fenil
eter
Dekabrom
odi-
fenil eter
Congener BDE-154 BDE-153 BDE-183 BDE-180 BDE-171 BDE-197 BDE-203 BDE-
196
BDE-206 BDE-
207
BDE-209
Kandungan Sedikit sekali Minor Major Sedikit
sekali
Sedikit
sekali
Major Minor Minor Minor Minor Sedikit
sekali
Dsitribusi
komposisi* 11%*** 43%*** 35%** 10% ** 1%**
(La Guardia, 2006; SFT, 2009; Schlummer 2011) * Distribusi homolog pada komersial PBDE bervariasi tergantung produser atau production lot. Untuk keperluan pendataan, dipilih nilai rata-rata distribusi homolog PBDE. **OktaBDE, nonaBDE and dekaBDE tidak terdafatr sebagai POP sehingga tidak dimasukkan dalam pendataan. *** Persentase homolog PBDE yang merupakan POP-PBDEs.
15
2.3. Produksi c-PBDE
C-PentaBDE diproduksi di Cina, Israel, Jepang, Amerika Serikat dan Negara uni Eropa
(EU), (UNEP, 2006a, 2010b; Li, 2012; Li et al., 2014). Produksi di uni Eropa sudah dihentikan
sejak 1997, sehingga diasumsikan bahwa sejak akhir 1990 POP-PBDEs terutama diproduksi di
Amerika Serikat, diikuti oleh Cina, dan produksi di kedua Negara tersebut sudah dihentikan
sejak tahun 2004 (UNEP, 2006a, 2010b; Li, 2012; Li et al., 2014). C-OctaBDE Diproduksi di
Belanda, Perancis, Amerika erikat, Jepang, Inggris, dan Israel. Produksi telah dihentikan sejak
2004, tidak ada informasi tentang indikasi produksi produk tersebut di Negara-negara
berkembang (Annex 3; BSEF 2007).
Data produksi PBDE yang diperoleh sebagai bahan acuan untuk POPs Review
Committee (POPRC) pada Konvensi Stockholm menyatakan bahwa total produksi PBDEs dari
1970 sampai tahun 2005 sebanyak 1.3 juta sampai dengan 1.5 juta ton (Table 3; UNEP, 2010a).
Estimasi jumlah keseluruhan penggunaan c-PentaBDE dan c-OktaBDE sekitar masing-masing
100,000 ton. Produksi c-DecaBDE,1 yang tidak terdaftar di Konvensi tetapi menjadi evaluasi
pada POP Reviewing Committee untuk didaftarkan (UNEP, 2014a), diperkirakan lebih dari
1.1 juta ton sampai tahun 2005 (Tabel 6). Sementara produksi POPs c-PentaBDE dan c-
OctaBDE berakhir pada tahun 2004, produksi DekaBDE tetap berlanjut (2013, 2014a; Li et al.,
2014).
Table 6. Perkiraan total Produksi Campuran Komersil PBDE, 1970-2005
Campuran Komersil Ton
c-PentaBDE 91,000 - 105,000
c-OctaBDE 102,700 - 118,500
c-DecaBDE 1,100,000 - 1,250,000
Sumber: UNEP, 2010a; Schenker et al., 2008 and Li et al., 2010
1 DecaBDE didegradasi seiring waktu menjadi PBDEs dengan substituen bromin rendah yang termasuk POP-PBDEs (UNEP, 2010b, 2010c).
16
BAB III
INDUSTRI - INDUSTRI PENGGUNA BAHAN PENGHAMBAT NYALA
3.1 Jenis Industri Pengguna Bahan Penghambat Nyala
Beberapa sektor maufaktor utama yang pernah menggunakan POP-PBDEs adalah sebagai
berikut:
• Industri Elektrikal and elektronik;
• Industri Transportasiasi;
• Industri Furniture;
• Industri Tekstil dan karpet;
• Industri Konstruksi;
• Industri Daur ulang.
Sekitar 90%-95% c-PentaBDE digunakan untuk pengolahan busa poliuretan (PUR). Busa ini
digunakan terutama di bidang otomotif dan bahan pelapis pada perabot rumah tangga. Busa ini
juga digunakan secara minor pada industri tekstil, papan sirkuit tercetak, busa insulator, kabel,
ban berjalan, pernis, dan kemungkinan juga di pengeboran minyak (UNEP, 2007a). Jumlah
keseluruhan c-PentaBDE yang digunakan secara minor ini diperkirakan kurang dari 5% dari
keseluruhan penggunaan PBDE (SFT, 2009; UNEP, 2010b). Alcock et al. (2003)
memperkirakan sekitar 85,000 ton c-PentaBDE digunakan di Amerika Serikat dan sisanya
15,000 ton di Eropa. Terdapat kemungkinan adanya produksi dan penggunaan PBDE di
wilayah Asia tetapi data mengenai hal tersebut belum tersedia.
Sebagai perkiraan distribusi penggunaan c-PentaBDE secara global, sebanyak 36% di bidang
transportasiasi, 60% di bidang perlengkapan rumah tangga dan perkantoran dan 4% sisanya di
berbagai kelengkapan lainnya. Perkiraan ini sesuai dengan data hasil analisa beberapa aliran
limbah yang ada (UNEP, 2010b). Table 6 menyimpulkan penggunaan terdahulu dari c-
PentaBDE pada beberapa material dan applikasinya.
17
Kandungan rata-rata c-PentaBDE pada busa PUR sekitar 3-5% (% berat) untuk bahan pelapis,
bantalan, matras, dan pelapisan karpet (ENVIRON, 2003; UNEP, 2010a; lihat tabel 5) yang
digunakan di negara-negara yang menerapkan standar flammabilitas untuk aplikasi tersebut
(contohnya; Amerika Serikat dan Inggris). Busa PUR pada sektor transportasi mungkin terdapat
pada konsentrasi rendah yang diaplikasikan pada sofa jok atau sandaran tangan/kepala yaitu
sekitar 0.5-1 wt % (Ludeka, 2011). Jika diperkirakan 4% penggunaan c-PentaBDE pada busa
PUR adalah 100,000 ton, maka diperkirakan total c-PentaBDE untuk pengolahan busa yang
pernah diproduksi sebesar 2.5 juta ton. Angka tersebut kemungkinan masih terlalu tinggi dari
angka sebenarnya karena penggunaan utama busa PUR pada transportasi di Amerika Serikat
ternyata hanya menggunakan c-PentaBDE pada level yang rendah. Selain itu, pengolahan
kembali busa PUR yang terkontaminasi dan dicampur dengan busa PUR lainnya berakibat
meningkatnya total kuantitas busa PUR yang terkontaminasi POP-PBDEs.
Table 7. Penggunaan c-PentaPBDE terdahulu pada polimer/resin, aplikasi, dan produk
Material/polimer/resin Applikasi Produk Poliuretan (PUR) Material bantalan,
pengemasan, pelapisan, konstruksi
Furnitur, transportasiasi, pengedap suara, pengemasan, pelapisan panel, konstruksi busa rapuh berbasis PUR
Tekstil Penyalutan Pelapisan ulang dan impregnasi untuk karpet, sofa jok pada produk otomotif, furnitur di rumah dan kantor, produk penerbangan, produk pendukung pekerjaan di bawah tanah
Epoksi resin Papan sirkuit, Penyalutan sebagai perlindungan produk
Komputer, interior kapal laut, komponen elektronik
Karet Transportasiasi Ban berjalan, pipa terlapis busa sebagai insulator
Polivinilklorida (PVC) Serat kabel
Kawat, kabel, lapisan lantai, lembaran-lembaran industry
Poliester (UPE) tidak jenuh (Thermoset)
Papan sirkuit, Penyalutan Komponen elektrik, Electrical equipment, Penyalutan untuk proses kimia pada bagian pencetakan, aplikasi militer dan angkatan laut, panel konstruksi
Cat/pernis Penyalutan perlindungan container pada angkatan laut dan industry
Minyak Hidraulik Minyak pengeboran, cairan hidraulik
Lepas pantai, tambang batu bara
Sumber: UNEP 2009
18
Table 8. Penggunaan pentaPBDE pada busa PUR
Sumber: aCambell, 2010; bLudeka, 2011
Penggunaan utama c-OctaBDE adalah pada polimer acrylonitrile-butadiene-styrene (ABS),
yaitu tercatat sekitar 95% c-OctaBDE yang tersedia di Negara-negara Eropa (EU). Pengolahan
ABS terutama diperuntukkan untuk produk-produk elektrikal dan komponen elektronik (EEE),
seperti rangka pelindung cathode ray tube (CRT) dan perlengkapan kantor seperti contohnya
mesin fotokopi dan mesin cetak skala kantor.1 Penggunaan secara minor contohnya pada high
impact polystyrene (HIPS), polybutylene terephthalate (PBT), dan polimer poliamida.
Walaupun pengunaan utama polimer ini pada barang-barang elektronik, beberapa juga tercatat
digunakan di sektor transportasi. Penggunaan minor lainnya tercatat pada literatur termasuk
nilon, polietilena berberat jenis rendah, polikarbonat, resin fenolformaldehida, polyester tak
jenuh, perekat and Penyalut (UNEP, 2010a, 2010b). Pada Table 7 terdapat pemaparan
penggunaan c-OctaBDE pada beberapa material and aplikasi.
Konsentrasi pada aplikasi utama berkisar antara 12% and 18% berat, dengan perkiraan
15% berat setara dengan 100,000 ton c-OctaBDE. Dengan demikian, penggunaan utama pada
pengolahan polimer diperkirakan sebanyak 800,000 ton (Alaee et al. 2003, UNEP 2007b). Data
pengolahan kembali c-OctaBDE pada produk plastik baru (kontaminasi sekunder),
memperkirakan angka yang lebih besar dari yang tercatat, tetapi konsentrasi POP-PBDE pada
1 In some regions such as Europe and Japan, CRT monitor housing and copying machines are already normally treated separately.
Berat jenis PUR foam/luas penggunaan
PentaBDE pada Polimer
(% berat) a19 kg/m3 5.45
a24 kg/m3 4.30
a29 kg/m3 2.77
bPUR (US) transportasi (jok sofa,
sandaran kepala/tangan)
0.5-1
bpelapisan karpet tua 2-5
blaminasi serat utama Lebih dari 15
19
hasil pengolahan kembali plastik ini terdeteksi cukup rendah (Chen et al., 2009; Sindiku et al.,
2014, 2015).
Menurut Laporan WHO 20101 menyebutkan bahwa sebanyak 1,1 juta orang meninggal
karena penyakit tidak menular (PTM) tahun 2008. Jumlah ini merupakan 63,6% daeri seluruh
kematian yang terdiri dari 30,6% akibat penyakit jantung, 14,5% akibat jantung iskemik dan
12,9% akibat kanker. Di Indonesia, kejadian kanker meningkat setiap tahut sejak 1988 dan
cenderung semakin tinggi. Diperkirakan terdapat sekitar 170-190 kasus baru per 100.000
populasi setiap tahunnya. Saat ini, kematian akibat kanker menempati urutan keenam terbanyak
setelah kematian akibat penyakit-penyakit infeksi, penyakit-penyakit jantung, kecelakaan lalu
lintas, defisiensi gizi dan penyakit bawaan. Berdasarkan laporan rumah sakit di beberapa
wilayah regional, kejadian penyakit kanker dilaporkan meningkat 2-8% per tahun dalam kurun
10 tahun terakhir.
Catatan dari berbagai laboratorium patologi di Indonesia tahun 1988-2007 menunjukkan
bahwa secara anatomi lima penyakit kanker terbanyak menyerang servik, payudara, kelenjar
limpa, kulit dan nasoparing. Pada wanita, kasus kanker terbanyak berurutan yaitu servik,
payudara dan ovary. Sedangkan pada pria yaitu kanker kulit, nasoparing dan kelenjar limpa1.
3.2 Survei Pengguna Bahan Penghambat Nyala PBDE
Iventarisasi senyawa flame retardant PBDE dilakukan melalui survei dan penyebaran kuesioner
ke industri kimia hulu, industri elektronik, industri komponen elektronik dan industri
masterbatch bahan kimia pada tahun 2017 oleh tim Fakultas Teknik Untirta. Penyebaran
kuesioner telah dilakukan kepada 65 perusahaan di wilayah Serang, Cilgon, Jabotabek,
Surabaya, Batam dan Kudus. Pada saat melaksanakan survey ada beberapa kendala terutama
adalah akses masuk ke industri. Hal ini terjadi karena kegiatan survey yang dilakukan terkait
dengan bahan kimia dan kompon plastic yang dimiliki oleh perusahaan.. Dari data yang sudah
diolah ditampilkan pada Tabel 9 untuk hasil evaluasi industri dalam menggunakan flame
retardant.
1 WHO. 2010.World Health Statistics 2010. WHO statistical information system dalam Penelaahan dan
Pemutakhiran Rencana Penerapan untuk Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten di Indonesia tahun 2014
20
Tabel 9. Daftar Industri Survey Identifikasi Pengguna PBDE
No
Jenis Industri Pabrik Yang di Survey Produk Flame Retardant
1
Elektronik
PT Changhong Elektrik Indonesia
TV Non PBDE
2 PT Panggung Elektronik TV LED Non PBDE
3 PT Sinar Baja Elektronik Sound, Speaker Non PBDE
4 PT Philips Setrika, Bottle Dots Non PBDE
5 PT Flextronic Technology Indonesia
PCBA Elektronik Non PBDE
6 PT Varta Microbattery Indonesia
Battrai Lithium Non PBDE
7 PT Unisem Semi konduktor Non PBDE
8 PT Shimano Alat Pancing, Komponen Sepeda
Non PBDE
9 PT SBI Harness Non PBDE
10 PT Panasonic AC Non PBDE
11 PT Samsung Electronik Elektronik Non PBDE
12 PT Panasonic Elektronik Non PBDE
13 PT Indomulia Elektronik Non PBDE
14 Sanken Argadwijaya Elektronik Non PBDE
15
Plastik
PT Bioplastik Unggul Packaging dan casing computer
Non PBDE
16 PT Tosin Plastik Packaging untuk elektronik TV
Non PBDE
17 PT Guna Kemas Indonesia Packaging injection molding
Non PBDE
18
Masterbatch
PT Interaneka Masterbatch Polybrominateddiphenyl Ethan
19 PT Achroma Masterbatch Antimony Tioxida, Phosporus
20 PT Advance Stabilindo Industry
Masterbatch Antimony Tioxida, Decabromodiphenyl Ethan
21 PT Bryte Polimer Masterbatch Polybrominateddiphenyl Ethan
Dari hasil survey, kunjungan dan pengisian kuesioner diperoleh data sebagai berikut :
21
1. Koresponden Kuesioner dan Survei
Berikut adalah data koresponden atau industri yang menjadi objek survei. Data
koresponden dibagi menjadi dua yaitu PMA (Penanaman Modal Asing) dan PMDN
(Penanaman Modal Dalam Negeri).
Gambar 5. Persentase Industri sebagai Koresponden Kuesioner Identifikasi PBDE
Survey dilakukan di daerah Serang, Cilegon, Jakarta, Tangerang, Bekasi, Batam dan
Surabaya. Jenis perusahan yang disurvey adalah industri kimia hulu, industri elektronik,
industri komponen elektronik, industri resin plastik dan industri masterbatch. Dari Gambar 5
terlihat bahwa presentasi perusahaan yang disurvey adalah 8 perusahaan milik PMDN dan 15
milik PMA. Industri di kawasan Batam sebagian besar adalah milik PMA.
2. Pengetahuan tentang POPs
Gambar 6. Data Pengetahuan tentang POPs-PBDE
22
Gambar 6 menunjukan bahwa perusahaan yang mnegetahui tentang POPs sebesar 55 % dan
yang tidak mengetahui sebesar 10 perusahaan. Hal ini terjadi karena ada beberapa perusahaan
yang tidak mensosialisasikan kepada karyawannya tentang regulasi lingkungan hidup terkait
penggunaan bahan kimai. Data ini bisa menjadi dasar untuk terus mensosialisasikan kepada
perusahaan tentang regulasi yang terkait lingkungan.
3. Penggunaan Flame Retardant
Gambar 7. Data Penggunaan Flame Retardant
Gambar 7 menunjukan bahwa perusahaan yang menggunakan flame retardant sebesar 5
perusahaan sedangkan yang tidak menggunakan flame retardant sebesar 18. Dari hasil survey
semua industry kimia hulu penghasil resin plastic HDPE, LDPE, LLDEP, PP, PS tidak
menggunakan flame retardant. Sebagain industri resin plastik jenis packaging dan injection
molding tidak menggunakan flame retardant. Dan ada beberapa perusahaan yang menggunakan
flame retardant tetapi tidak mengetahui jenis flame retardant yang digunakan.
23
4. Pengetahuan Jenis Flame Retardant Yang digunakan
Gambar 8. Data Pengetahuan Jenis Flame Retardant
Gambar 8 menunjukan bahawa hanya 2 perusahaan yang mengetahui jenis flame
retardant yang digunakan dan 21 tidak mengetahui jenis flame retaradant yang digunakan. Hal
ini terjadi karena di industri yang disurvey tidak melakukan proses mixing pembuatan bahan
kimia flame retardant dan hanya melakukan kegiatan perakitan atau assembling. Sehingga tidak
mengetahui jenis bahan kimia yang ada pada komponen yang dirakit. Terutama untuk
perusahaan milik PMA, kegiatan yang dilakukan adalah perakitan dan hampir semua
produknya dikirim ke luar negeri, sehingga semua bahan dikirim langsung dari perusahaan
induknya.
5. Penggunaan Flame Retardant Jenis Brom
Gambar 9. Data Penggunaan Flame Retardant Jenis Brom
24
Gambar 9 menunjukan bahwa penggunaan flame retardant jenis brom di Indonesia sudah
sedikit. Jenis Flame retardant halogen yang digunakan bukan Polybrominated Ethers tetapi
Polybrominated Ethane. Penggunaan Polybrominated Ethane belum ada aturan yang
melarang, sehingga masih ada perusahaan yang menggunakannya. Tetapi untuk jenis
Polybrominated Ethers sudah tidak ada yang menggunakan secara resmi.
6. Impor Flame Retardant
Gambar 10. Data Asal Flame Retardant
Gambar 10 menunjukan bahwa 19 perusahaan bahan flame retardant yang digunakan
bersal dari impor, sedangkan 4 perusahaan berasal dari lokal. Ini menunjukan bahwa
perusahaan milik PMA hamper sebagian besar bahan kimia berasal dari perusahaan induknya
(mother company).
7. Pengetahuan tentang ROHs
Gambar 11. Pengetahuan tentang ROHs
25
Kemudian hasil analisa dari suatu laboratorium analisa ditampilkan hasil produk - produk
mengandung PBDE hingga lebih dari 6000 ppm (Tabel 10) baik berupa deca dan nona
BDE. Adapun parameter besarnya kandungan PBDE pada suatu produk berdasarkan
standar RoHS maksimum 1000 ppm sehingga nilai lebih dari 1000 ppm menunjukkan
kondisi yang membahayakan. Pada tahun 2017, produk komersial c-decaBDE juga telah
terdaftar pada konvensi stockholm.
Tabel 10. Hasil Analisa Beberapa Produk yang Menggunakan Flame Retardant PBDE
Sumber: Hasil Analisa dari Laboratorium SGS Indonesia
26
BAB IV REGULASI BAHAN KIMIA DI INDONESIA
Dalam penyusunan suatu peraturan maka perlu diidentfikasi peraturan -peraturan terkait
dengan regulasi bahan kimia yang dipergunakan untuk kebutuhan sektor industri. Beberapa
peraturan yang terkait dengan rencana penyusunan regulasi pengawasan dan pengendalian
bahan penghambat nyala PBDE adalah:
a. Undang Undang No 19 tahun 2009 tentang Ratifikasi Konvensi Stockholm
Pada ratifikasi konvensi Stockholm tersebut disampaikan bahwa adopsi konvensi
Stockholm harus diikut dengan langkah-langkah selanjutnya yaitu
• mendorong Pemerintah untuk mengembangkan peraturan nasional dan
kebijakan serta pedoman teknis mengenai pengelolaan bahan POPs
• mempersiapkan kapasitas Daerah untuk mengelola timbunan residu bahan POPs
dan melakukan pengawasan dan pemantauan bahan POPs
• mengembangkan kerja sama riset dan teknologi terkait dengan dampak bahan
POPs sesuai dengan Best Available Techniques (BAT) dan Best Environmental
Practices (BEP) yang disusun oleh Konvensi berdasarkan keputusan Sidang
Para Pihak atau Conference of the Parties (COP)
• mengembangkan upaya penggunaan bahan kimia alternatif yang ramah
lingkungan dalam proses produksi
• meningkatkan upaya untuk mengurangi emisi dioxin dan furan dalam proses
produksi
• memperkuat upaya penegakan hukum berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku atas bahan POPs yang dilarang
• mengembangkan Rencana Penerapan Nasional atau National Implementation
Plan (NIP) untuk pelaksanaan Konvensi Stockholm di Indonesia.
Dengan mengamati tahapan selanjutnya terlihat bahwa peraturan nasional dan
kebijakan sangat diperlukan agar implementasi dari isi konvensi Stockholm dapat
berjalan dengan baik.
27
b. Undang – Undang No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian
Pada pasal 3 ayat c bahwa perindustrian diselenggarahakan dengan tujuan mewujudkan
Industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri Hijau. Kemudian pada
pasal 77 disampaikan bahwa Industri hijau dapat terwujud dengan langkah yang
dilakukan oleh pemerintah yaitu
• perumusan kebijakan • penguatan kapasitas kelembagaan; • standardisasi • pemberian fasilitas.
Salah satu bentuk perumusan kebijakan adalah pembuatan suatu regulasi yang
mendukung terbentuknya industri yang ramah terhadap lingkungan termasuk
penggunaan bahan baku (pasal 79 ayat 2) yang tidak berakibat berbahaya bagi
lingkungan dan manusia.
c. Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup mengatur sanksi secara rinci tentang pencemaran yang timbul yang
dapat menjangkau pencemaran akibat bahan kimia dan pestisida POPs. Peraturan ini
secara tegas menyebutkan bahwa pencemaran lingkungan adalah tindak kejahatan
(crime). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 secara tegas mengatur sanksi tentang
pestisida, mencakup (a) menggunakan cara dan/atau sarana perlindungan tanaman yang
mengganggu kesehatan dan mengancam keselamatan manusia atau menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup, (b) mengedarkan pestisida yang tidak terdaftar atau tidak
sesuai dengan label, dan (c) tidak memusnahkan pestisida yang dilarang peredarannya,
tidak memenuhi standar mutu, rusak atau tidak terdaftar. Kedua peraturan tersebut
mengatur sanksi pidana badan (penjara) maupun pidana denda.
d. Undang – Undang No 7 tahun 2014 tentang Perdagangan
Pada pasal 35 ayat 1 poin d bahwa pemerintah melakukan pelarangan dan pembatasan
perdagangan barang dan/atau jasa untuk kepentingan nasional dengan alasan
melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan dan
lingkungan hidup. Kemudian diperkuat pada pasal 50 ayat 2 poin c bahwa pemerintah
melarang ekspor dan impor untuk kepentingan nasional dengan alasan untuk
28
melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan dan
lingkungan hidup.
e. Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya
dan Beracun
Pada pasal 5 ayat 1 ditunjukan tentang klasifikasi bahan berbahaya dan beracun (B3)
dengan salah poin yaitu beracun (h), berbahaya (i) dan berbahaya terhadap lingkungan
(l). PBDE belum masuk list pada B3 yang diatur dalam PP ini dan rencananya PBDE
akan dimasukan dalam revisi PP 74 tahun 2001 yang rencananya akan dikeluarkan pada
tahun 2018.
f. Peraturan Pemerintah No 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
Salah satu karakteristik limbah B3 pada pasal 5 ayat 2 poin f yaitu beracun sehingga
produk- produk yang mengandung PBDE dan tidak digunakan lagi menjadi limbah
perlu penanganan tertentu sesuai PP 101 tahun 2014. Penanganan tertentu meliputi
fasilitas penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan kembali dan pemusnaaan B3 diatur
dalam PP tersebut.
g. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24/M-IND/PER/5/2006
tentang Pengawasan Produksi dan Penggunaan Bahan Berbahaya
Untuk Industri.
Pada peraturan Menteri perindustrian ini diatur hanya untuk 6 bahan yang diperlihatkan
pada pasal 2 ayat 1 dengan ketentuan bahwa bahan tersebut akan diawasi baik yang
diproduksi di dalam negeri atau impor.
Selain itu pada pasal 6 dan 7 memuat tentang pelaporan yang harus dilakukan oleh
produsen atau pengguna bahan berbahaya tersebut. Kemudian pada pasal 9 terdapat
bagian pembinaan dan pengawasan bagi produsen dan industri pengguna bahan
berbahaya tersebut. Peraturan ini bisa dikembangkan untuk menaungi beberapa bahan
berbahaya lainnya yang termasuk dalam konvensi Stockholm dengan ketentuan bisa
dibuat lebih komprehensif.
29
h. Peraturan Menteri Perdagangan No 75 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Menteri Perdagangan No 44 tahun 2009 tentang Pengadaan, Distribusi
dan Pengawasan Bahan Berbahaya
Pada pasal 2 ayat 1 bahwa Jenis Bahan Berbahaya (B2) yang diatur tata niaga impor
dan distribusinya terdiri dari bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan merusak
kelestarian lingkungan hidup. Bila ditelaah lebih bahwa PBDE termasuk bahan
berbahaya sehingga perlu diatur tata niaga impor dan distribusinya tetapi pada lampiran
permendag tersebut tidak dimuat PBDE termasuk pada revisi kedua Permendag No 75
tahun 2014 dengan adanya tambahan bahan berbahaya menjadi 407 dari sebelumnya
351 bahan pada Permendag 44 tahun 2009.
i. Peraturan Menteri Perindustrian No 41/M-IND/PER/5/2014 tentang Larangan
Penggunaan Hydrichlorofluorocarbon (HCFC) di Bidang Industri.
Peraturan Menteri perindustrian tersebut didasarkan pada hasil konvensi Wina dan
Protocol Montreal bahwa negara berkemabng wajib melaksanakan penghapusan Bahan
Perusak Ozon. Larangan penggunaan HCFC dilakukan bertahap untuk beberapa
kegiatan industri yaitu 1 Januari 2015 untuk pengisian pada mesin pendingin sedangkan
untuk pemeliharaan barang baru dilarang pada 31 Desember 2030. Kemudian bagi
produk yang tidak menggunakan HCFC disarankan menggunakan logo free HCFC.
j. Peraturan Menteri Perdagangan No 94 tahun 2017 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Menteri Perdagangan No 87 tahun 2015 tentang Ketentuan Import
Produk Tertentu
Pada peraturan ini ada ketentuan barang -barang yang dikendalikan impornya termasuk
bahan -bahan yang mengandung bahan penghambat nyala. Adapun contoh barang -
barang yang diduga mengandung bahan penghambatnya nyala yaitu
• HS Number 6114.30.20 yaitu pakaian digunakan untuk pelindung dari
api
• HS Number 85.28 yaitu monitor dan proyektor, tidak digabung dengan
aparatus penerima televisi; aparatus penerima untuk televisi, digabung
dengan penerima siaran radio atau aparatus perekam atau pereproduksi suara
atau video, maupun tidak.
30
k. Peraturan Menteri Perdagangan No 36 tahun 2018 tentang Pelaksanaan
Pengawasan Kegiatan Perdagangan
Pada Bab II tentang ruang lingkup pengawasan kegiatan perdagangan khususnya pada
pasal 2 poin b yaitu pengawasan perdagangan barang yang diawasi, dilarang dan atau
diatur serta poin d tentang pendaftaran barang produk dalam negeri dan asal impor
terkait dengan keamanan, keselamtan , kesehatan, dan lingkungan hidup.
31
BAB V PEMBAHASAN
REGULATORY IMPACT ANALYSIS (RIA)
Regulatory impact analysis (RIA) perlu dilakukan sebelum penyusunan suatu aturan
penggunaan PBDE di bidang Industri. Peraturan yang disusun tersebut akan berhubungan
dengan kementerian terkait sehingga dampak dari peraturan tersebut dapat sesuai dengan
perencananaan. Dari telaah beberapa peraturan tersebut maka instansi – instansi yang terlibat
dalam pengendalian dan pengawasan bahan berbahaya meliputi
1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan titik awal dari
masuknya suatu bahan itu tergolong berbahaya dan beracun. PBDE sebagai salah satu
bahan yang bisa digolongkan berbahaya dan beracun bisa dimasukan ke dalam
list pada perbaikan PP 74 tahun 2001 sehingga langka -langka dalam pengendalian
dan pengawasan terhadap PBDE akan lebih mudah.
2. Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Impor menjadi pintu awal masuk dalam
memberikan ijin impor barang tertentu termasuk kemungkinan bahan penghambat nyala
PBDE. Direktorat impor akan melarang atau mengendalikan bahan tertentu apabila ada
ketentuan dalam suatu peraturan misalkan PBDE masuk list dalam perbaikan PP 74
tahun 2001. Kemudian pada direktorat perdagangan jendral perlindungan
konsumen dan tertib niaga akan melakukan pengawasan atas barang beredar termasuk
bahan berbahaya yang terkandung dalam suatu produk.
3. Kementerian Keuangan melalui Bea Cukai akan melakukan pemeriksaan awal
terhadap kedatangan barang tersebut di border atau post border termasuk PBDE apabila
masuk list dalam bahan berbahaya dan beracun (B3).
4. Kementerian Perindustrian melalui direktorat industri kimia hulu dan hilir,direktorat
elektronika dan direktorat industri tekstil merupakan industri -industri yang
menggunakan bahan penghambat nyala pada produk – produk yang dihasilkan.
Direktorat- direktorat tersebut bersama -sama dengan dinas perindustrian propinsi serta
kabupaten/kota bisa melakukan pengawasan atas penggunaan bahan penghambat nyala
dalam proses produksinya.
32
Gambar 12. Keterlibatan Beberapa Kementerian dalam Penerapan Aturan
Pengendalian dan Pengawasan Senyawa Penghambat Nyala
Hasil dari RIA dapat dilihat pada lampiran I laporan ini bahwa tahapan awal adalah
menjawab10 pertanyaan yang dikembangkan oleh OECD. Dari pertanyaan awal tersebut maka
dikembangkan opsi – opsi untuk rencana penysuuna regulasi dengan mempertimbangkan
kondisi aktual, ruang lingkup regulasi, keterlibatan pemangku kepentingan serta dampak yang
diberikan dari regulasi tersebut. Berdasarkan pertimbangan -pertimbangan tersebut didapatkan
3 opsi untuk pilihan dalam melakuakn RIA ini yaitu
1. Tidak adanya peraturan khusus yang mengendalikan dan mengawasi bahan
penghambat nyala berbahaya (PBDE) seperti kondisi saat ini
2. Adanya peraturan sectoral industri yang menggunakan bahan penghambat nyala
berbahaya (PBDE) dalam proses produksinya dengan kementerian perindustrian
yang melakukan pengawasan dan pengendalian.
3. Adanya peraturan komprehensif yang melibatkan seluruh kementerian terkait mulai
dari pengendalian impor, pengawasan barang beredar , pengawasan sector produksi
dan pengawasan dan pengendalian pada limbah -limbah yang mengandung PBDE.
Pada peraturan komprehensif ini akan melibatkan kementerian
perdagangan,kementerian perindustiran, kementerian KLHK dan kementerian
keuangan.
PENGENDALAIAN DAN
PENGAWASAN SENYAWA
PENGHAMBAT NYALA
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
KEMENTERIAN KEUANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
33
5.1 KANDUNGAN REGULASI PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN
Hasil dari cost and benefit analysis (CBA) pada Tabel 9, memperlihatkan opsi 2 menjadi
pilihan terbaik pada saat ini karena sector industri merupakan pengguna utama dalam
melakukan proses produksi dengan menggunakan bahan penghambat nyala. Penyusunan suatu
regulasi yang berhubungan dengan berbagai instansi terkait seperti pada opsi 3 memerlukan
harmonisasi juga dengan peraturan -peraturan yang sudah ada. Pemerintah dalam hal ini
kementerian lingkungan hidup dan kehutanan sedang melakukan revisi dan perbaikan terhadap
Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2001 tentang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.
Dengan adanya revisi tersebut maka PBDE sebagai salah satu bahan yang berbahaya dan
beracun dapat dimasukan ke dalam list pada perbaikan PP No 74 tahun 2001. Dengan adanya
list PBDE sebagai bahan berbahaya dan beracun maka tahapan selanjutnya adalah membuat
regulasi untuk pengendalian dan pengawasan terhadap bahan penghambat nyala yang
berbahaya termasuk PBDE pada sector Industri sesuai dengan opsi 2.
Tabel 11. Rangkuman Penilaian Cost and Benefit untuk 3 Alternatif
No Alternatif Cost Benefit Total
1 Tidak adanya peraturan khusus tentang PBDE -3 +4 +1
2 Ada peraturan khusus PBDE pada bidang Industri -5 +9 +4
3 Ada peraturan dengan melibatkan beberapa
kementerian terkait -12 +15 +3
34
Gambar 13. Alur Proses Penyusunan Regulasi Bahan Penghambat Nyala PBDE
Bersamaan dengan penyusunan regulasi maka kepastiaan dari ketersediaan bahan alternatif
pengganti PBDE yang lebih ramah terhadap lingkungan dan manusia serta biaya yang
dikeluarkan tidak terlalu membebani sektor industri. Beberapa industri pengguna bahan
penghambat nyala menggunakan bahan alternative berupa Decabromo Diphenyl Ethane
(DBDPE). Bahan ini relative lebih ramah terhadap lingkungan dan belum termasuk yang
dilarang dalam konvensi Stockholm. Pemerintah juga perlu mendukung penelitian dan produksi
bahan alternative yang dapat dihasilkan di dalam negeri sehingga industri memiliki pilihan
dalam penggunaan bahan penghambat nyala sesuai dengan kebutuhannya.
Regulasi pengendalian dan pengawasan bahan penghambat nyala ini akan lebih efektif apabila
didukung dengan standarisasi terhadap produk -produk yang mengandung bahan penghambat
nyala. Bentuk standarisasi bisa Standar Nasional Indonesia sesuai dengan Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 86 tahun 2009 tentang Standar Nasional Indonesia Bidang Industri.
Apabila SNI tentang produk -produk industri telah dibuat maka langkah selanjutnya adalah
pengawasan dari SNI tersebut dengan acuan pada Peraturan Menteri Perindustrian No 4 tahun
2018 tentang Tata Cara Pengawasan Pemberlakuan Standarisasi Industri Secara Wajib.
35
Draft Peraturan Pengendalian dan Pengawasan Bahan Penghambat Nyala serta pembuatan dan
pengawasan terhadap SNI produk -produk mengandung bahan penghambat nyala harus
disosilisasikan terlebih dahulu kepada para pemangku kepentingan. Adapun pemangku
kepentingan dengan bahan penghambat nyala adalah
• Import bahan penghambat nyala
• Industri penguna bahan penghambat nyala (industri compound, industri elektronika dan
alat listrik dan industri tekstil)
• Industri pengolahan daur ulang produk mengandung bahan penghambat nyala
Dari sosialiasi ini akan didapatkan suatu masukan dan perbaikan atas draft regulasi
pengendalian dan pengawasan bahan penghambat nyala. Langkah selanjutnya perbaikan
terhadap regulasi untuk nantinya bisa segera diproses pada biro hukum untuk dijadikan
peraturan resmi dari pemerintah perihal pengendalian dan pengawasan bahan penghambat
nyala.
36
BAB VI
POKOK – POKOK REGULASI
BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDE
Setelah melakukan cost and benefit analysis (CBA) didapat opsi 2 dengan menyusun suatu
regulasi pengawasan dan pengendalian bahan penghambat nyala. Adapun strategi dan
implementasi dari regulasi yang akan disusun sebagai berikut :
1. Pemerintah akan melarang penggunaan bahan PBDE untuk sektor industri sesuai
dengan konvensi Stockholm.
Pelarangan penggunaan bahan penghambat nyala jenis PBDE akan berpengaruh
terhadap industri – industri yang menggunakan PBDE. Bagi Industri yang
menggunakan bahan penghambat non – PBDE akan semakin kompetitif produk yang
dihasilkan dari regulasi tersebut. Kemudian bagi yang menggunakan bahan penghambat
nyala PBDE akan membebani pada sector pembelian bahan penghambat nyala serta
potensi untuk penyesuaian proses produksi yang perlu dilakukan.
2. Pemerintah masih memberikan toleransi dalam jangka waktu tertentu kepada
Industri untuk dapat menyesuaikan bahan baku serta proses produksinya.
Pemerintah dalam hal ini kementerian perindustrian selaku Pembina Industri perlu
memberikan toleransi waktu untuk Industri – industri pengguna bahan penghambat
nyala jenis PBDE. Pada bagian ini juga pemerintah masih memberiakn toleransi hingga
1000 ppm bagi sector elektronika sesuai dengan standar pada RoHS.
3. Industri yang tidak menggunakan bahan PBDE dapat mendeklarasikan bahwa produk
yang dihasilkan bebas terhadap bahan PBDE.
Pemerintah memberikan kebebasan pada Industri untuk dapat mendeklarasikan bahwa
produk yang dihasilkan bebas dari PBDE (free – PBDE). Seiring dari deklarasi tersebut
maka pemerintah perlu juga mensosialisasikan perihal produk – produk bebas PBDE
sehingga masyarakat diedukasi untuk pemahaman akan POPs serta PBDE bagi
kesehatan dan lingkungan.
37
4. Kementerian Perindustrian akan melakukan random cek terhadap produk -produk
yang dihasilkan dari industri dengan kandungan bahan penghambat nyala terutama bagi
produk yang berlabel bebas PBDE (free- PBDE). Dengan adanya produk -produk
dengan label Free- PBDE maka pemerintah perlu mempersiapkan sarana prasarana serta
personal dalam melakukan pengecekan terhadap produk - produk tersebut. Perlu
dibangun suatu sarana laboratorium yang standar serta modern yang dapat melakukan
pengecekan kandungan PBDE hingga ke skala ppb.
38
BAB VII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1 KESIMPULAN
• Kandungn PBDE ditemukan pada beberapa produk baru elektronika serta produk
lama dari elektronika
• Hasil dari RIA menunjukkan bahwa regulasi pengendalian dan pengawasan pada
sector Industri menjadi pilihan dari beberapa opsi.
• Regulasi yang disusun akan melarang penggunan PBDE dan diikuti pemberian
toleransi terhadap Industri yang beralih dari PBDE ke bahan penghambat nyala
lainnya
7.2 REKOMENDASI
• Memfinalkan draft regulasi larangan penggunaan PBDE di bidang Industri.
• Secara bersamaan untuk mendukung penerapan regulasi tersebut bisa dibuat SNI
terhadap produk – produk mengandung bahan penghambat nyala serta pengembangan
produk pengganti PBDE.
39
DAFTAR PUSTAKA
Badan Kepegawaian Negara. (2016). Penggunaan Metode Regulator Impac Assesment (RIA)
dalam Pembentukan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Chai, C.Y., Yu, S.Y., Liu, Y., Tao, S., Liu, W.X. (2018). PBDE emission from E-wastes during
the pyrolytic process: Emission factor, compositional profile, size distribution and gas particle
partitioning. Environmental Pollution, Vol 235, pages 419-428
He, J., Robrock, K. R., dan L. Alvarez-Cohen. (2006). Microbial Reductive Debromination of
PBDEs. Environmental Science & Technology, Vol. 40 pages 4429 – 4434
Ilyas, M., Sudaryanto, A., Setiawan, I.E., Riyadi, A.S., Isobe, T., Ogawa, S., Takahashi, S.,
Tanabe, S. (2011). Charcterization of polychlorinated biphenyls and brominated flame
retardants in surface soils from Surabaya, Indonesia. Chemosphere, Vol: 83, 783-791
Ilyas, M., Sudaryanto, A., Setiawan, I.E., Riyadi, A.S., Isobe, T., Tanabe, S. (2013).
Charcterization of polychlorinated biphenyls and brominated flame retardants in sludge,
sediment and fish from municipal dumpsite at Surabaya, Indonesia. Chemosphere, Vol: 93,
1500 -1510
Parry, E., Zota, A.R., Park, J.S., Woodruff, T.J., (2018). Polybrominated diphenyl ethers
(PBDEs) and hydroxylated PBDE metabolites (OH-PBDEs): A six year temprat trend in
Nothern California pregnant woman, Chemosphere, Vol 195, 777- 783
Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No 40/M-IND/PER/11/2017 tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang – Undangan di Lingkungan Kementerian
Perindustrian
Susanto, D.A., Suprapto., Hadiyanto, J. (2016). Regulatory Impact Analysis Terhadap
Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Biskuit Secara Wajib.
Suska (2012). Prinsip Regulatory Impact Assesment dalam Proses Penyusunan Peraturan
Perundang – Undangan Sesuai UU No 12 tahun 2012.
40
USAID. (2016). Regulatory Impac Assesment (RIA) – Dokumentasi Uji Coba Pendekatan RIA
untuk Review Regulasi Air Bersih dan Sanitasi.
United States Environmental Protection Agency (EPA). (2014). Technical Fact Sheet
Polybrominated Diphenyl Ether (PBDEs) and Polybrominated Biphenyls (PBBs).
United States Health and Human Service. (2017). Toxicological Profile Polybrominated
Diphenyl Ethers (PBDEs).
UNEP, Januari – 2017. Guidance on best available techniques and best environmental practices
for the recycling and disposal of wastes containing polybrominated diphenyl ethers
(PBDEs) listed under the Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants.
Unite Nations. January, 2017. Guidance for the inventory of Polybromintate Diphenyl Ethers
(PBDEs) listed under the Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants.
41
LAMPIRAN I
REGULATORY IMPACT ANALYSIS
PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN
BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDE
42
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemerintah telah meratifikasi Konvensi Stockholm melalui Undang Undang No 19
tahun 2009 tentang pengesahan Konvensi Stokholm terkait bahan pencemar organik
yang persisten (POPs). Hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan
turunan dari UU NO 19 tahun 2009 untuk mengatur penggunaan PBDE sehingga
peraturan untuk membatasi atau bahkan melarang penggunaan flame retardant jenis
halogen (PBDE) sangat diperlukan. Regulasi pemerintah yang harus segera dilakukan
adalah larangan untuk penggunaan PBDE serta pengawasan dan pengendalian
penggunaan PBDEs mulai dari penyediaan bahan baku PBDE, proses pembuatan
sampai dengan limbah dari proses serta pengawasan produk yang menggunakan bahan
baku flame retardant. Sebelum dibuat suatu Peraturan yang berhubungan dengan PBDE
maka perlu dilakukan suatu Regulatory Impact Analysis (RIA) sesuai dengan Peraturan
Menteri Perindustrian Republik Indonesia No 40/M-IND/PER/11/2017 tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan di Lingkungan Kementerian
Perindustrian
B. INDENTIFIKASI MASALAH
PBDE merupakan bahan kimia termasuk dalam list konvensi stockholm pada annex A
sehingga PBDE harus dimusnakan dan dilarang untuk diproduksi kembali. Dengan
kondisi tersebut maka pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi konvensi
Stockholm menjadi UU No 19 tahun 2009 perlu segera menyusun peraturan turunnya
berupa peraturan Menteri. Pada peraturan Menteri tersebut harus memuat larangan
penggunaan PBDE pada sektor Industri untuk perusahaan industri baru yang
menggunakan bahan penghambat nyala. Kemudian bagi perusahaan industri lama yang
sudah menggunakan bahan penghambat nyala PBDE perlu diberikan waktu untuk
penyesuaian proses produksinya dengan beralih kepada bahan pengganti PBDE.
43
C. RUMUSAN MASALAH
a. Apakah seluruh bahan penghambat nyala PBDE dilarang untuk digunakan dalam
proses produksi di perusahaan industri
b. Apakah tidak ada masa tenggang bagi industri yang menggunakan PBDE
c. Bagaimana cara mengetahui produk yang mengandung dan tidak mengandung
PBDE
d. Bagaimaan cara mengawasi produk yang mengandung dan tidak mengandung
PBDE
44
BAB II
KERANGKA REGULATORY IMPACT ANALYSIS DAN PEMBAHASAN
2.1 KERANGKA KONSEP Regulatory Impact Analysis (RIA) merpakan suatu cara menganalisis suatu peraturan yang
sudah ada atau baru dengan didudukung data-data empiris agar pengambil keputusan tahu
dampak dari sisi biaya maupun manfaat dari regulasi tersebut. Tujuan dilakukan RIA untuk
peraturan baru agar didapatkan suatu regulasi yang berkualitas. Adapun prinsip dari regulasi
yang berkualitas adalah:
a. Regulasi menunjukkan intervensi dalam suatu aktivitas sehingga alasan -alasan
keterlibatan pemerintah harus jelas
b. Keberadaan regulasi ini akan menjadi suatu kebijakan yang terbaik
c. Melihat dampak dari regulasi dari sisi manfaat dan biaya
d. Dilakukan dengan konsultasi public kepada pemangku kepentingan
e. Tidak ada pihak -pihak yang dirugikan dengan keberadaan dari regulasi tersebut.
Adapun tahapan dalam melakukan RIA adalah
1. Perumusan masalah merupakan tahapa awal untuk membuat suatu hubungan antar
latar belakang dengan tujuan yang akan dicapai.
2. Penetapan Tujuan merupakan negasi dari perumusan masalah
3. Pengembangan Pilihan/Opsi untuk mencapai Tujuan
4. Penilaian Terhadap pilihan dengan memanfaatkan metode Analisa Manfaat dana
Biaya
5. Pemilihan Pilihan Terbaik
6. Penyusunan Strategi Implementasi dari rencana penyusunan regulasi
45
NO PERTANYAAN JAWABAN
1 Apakah masalahnya didefinisikan dengan baik? Kebutuhan industri akan bahan penghambat nyala berpotensi menggunakan bahan
yang bisa membahayakan bagi pengguna yaitu adanya senyawa PBDE dalam bahan
penghambat nyala
2 Apakah keterlibatan pemerintah memang
diperlukan?
Indonesia tidak memproduksi bahan penghambat nyala jenis PBDE sehingga bahan
tersebut didatangkan dari luar negeri. Kondisi ini memerlukan pemerintah untuk
mengawasi datangnya bahan penghambat nyala jenis PBDE yaitu kementerian
perdagangan, bea cukai dan kementerian perindustrian.
3 Apakah regulasi merupakan bentuk terbaik dari
keterlibatan pemerintah?
Regulasi dalam pengawasan dan pengendalian bahan penghambat nyala sangat
diperlukan untuk mengetahui adanya pengguna senyawa PBDE yang digunakan
oleh Industri.
4 Apakah regulasi memiliki dasar hukum? Regulasi tentang pengawasan dan pengendalian bahan penghambat nyala mengacu
kepada Undang – Undang No 19 tentang ratifikasi konvensi Stockholm serta
Undang – Undang No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian khususnya pasal 3 ayat c
tentang Industri Hijau
5 Siapakah para pemangku kepentingan dalam
penyusunan RPermeperin yang dimaksud?
Kemenperin, Kemendag, Bea Cukai, KLHK, Asosiasi Industri Plastik, Asosiasi
Industri Tekstil, Asosiasi Industri Elektronika dan Alat Listrik
6 Apakah manfaat lebih besar dari biayanya? Sangat bermanfaat untuk kesehatan dan keselamatan dalam melakukan aktivitas
produksi di Industri
Tabel L1. Pertanyaan awal RIA untuk Penyusunan Regulasan Pengawasan dan Pengendalian PBDE
46
7 Apakah ada transparasi distribusi dampak? Iya, semua pihak yang terkena dampak dalam penerapan peraturan ini harus
mengetahui sehingga penerapan dari peraturan ini harus dapat diawasi
8 Apakah regulasi jelas, konsisten, komprehensif dan
mudah diakses?
Regulasi tentang pengawasan dan pengendalian bahan penghambat nyala harus
jelas dan komprehensif serta diterapkan secara konsisten
9 Apakah semua pihak terkait punya kesempatan
untuk mengemukakan pandangannya?
RIA ini akan disosialiasikan kepada pihak -pihak terkait agar bisa dikritisi secara
bersama -sama untuk nantinya regulasi yang akan dibuat menjadi lebih berkualitas.
10 Bagaimana pelaksanaan regulasi tersebut? • Pemerintah akan menerapkan secara bertahap peraturan ini untuk
memberikan kesempatan kepada Industri yang masih menggunakan bahan
penghambat nyala berbahaya jenis PBDE. Dengan adanya rentang waktu
tersebut maka tahapan awal dilakukan pembinaan kepada seluruh Industri
yang menggunakan bahan penghambat nyala jenis PBDE.
• Bagi industri yang menyatakan tidak menggunakan bahan penghambat jenis
PBDE dapat mendeklarasikan bahwa produk yang dihasilkan bebas dari
bahan PBDE.
• Pemerintah melalui kementerian perindustrian selaku Pembina industri akan
melakukan pengecekan secara random terhadap berbagai produk dari
industri yang mendeklarasikan bahwa produknya bebas terhadap PBDE.
47
Dari pertanyaan awal tersebut maka dikembangkan opsi – opsi dengan mempertimbangkan
kondisi aktual, ruang lingkup regulasi, keterlibatan pemangku kepentingan serta dampak yang
diberikan dari regulasi tersebut. Berdasarkan pertimbangan -pertimbangan tersebut didapatkan
3 opsi untuk pilihan dalam melakuakn RIA ini yaitu
1. Tidak adanya peraturan khusus yang mengendalikan dan mengawasi bahan
penghambat nyala berbahaya (PBDE) seperti kondisi saat ini
2. Adanya peraturan sectoral industri yang menggunakan bahan penghambat nyala
berbahaya (PBDE) dalam proses produksinya dengan kementerian perindustrian
yang melakukan pengawasan dan pengendalian.
3. Adanya peraturan komprehensif yang melibatkan seluruh kementerian terkait mulai
dari pengendalian impor, pengawasan barang beredar , pengawasan sector produksi
dan pengawasan dan pengendalian pada limbah -limbah yang mengandung PBDE.
Pada peraturan komprehensif ini akan melibatkan kementerian
perdagangan,kementerian perindustiran, kementerian KLHK dan kementerian
keuangan.
2.1.2 Cost and Benefit Analysis (CBA)
Dari 3 pilihan tersebut dilakukan Cost and Benefit Analysis (CBA) untuk mendapatkan pilihan
terbaik. Adapun yang dimaksud dengan Cost atau biaya adalah pengeluaran yang harus
dikeluarkan oleh pemangku kepentingan dalam mengimplementasikan peraturan tersebut
sedangan Benefit atau manfaat merupakan sisi positif yang didapatkan dari implementasi
peraturan tersebut. CBA dilakukan terhadap seluruh pemangku kepentingan yang akan terlibat
dalam opsi tersebut dengan memberiakn penilaian kuantitatif dari perkiraan Cost atau Benefit
yang didapatkan pada setiap pemangku kepentingan. Adapun penilaian kuantitaif dinilai mulai
-3, -2, -1,+1,+2 dan +3 untuk setiap Cost and Benefit pemangku kepentingan. Kemudian nilai
total akan menjadi acuan dalam memilih opsi terbaik. Adapun kriteria terhadap cost and benefit
analysis bisa dilihat pada Tabel L.1
48
TABEL L2 MATRIK
PENILAIAN COST AND BENEFIT ANALYSIS (CBA)
TAHAPAN UNTUK COST AND BENEFIT ANALYSIS SEBAGAI BERIKUT
1. Identifikasi pemangku kepentingan dari setiap alternatif
2. Buat parameter biaya dan manfaat dari setiap pemangku kepentingan
3. Berikan penilaian parameter dari pemangku kepentingan baik untuk biaya dan manfaat
4. Adapun penilaiannya dari rentang -3 hingga +3
5. Buatlah total penilaian baik untuk biaya dan manfaat
6. Total penilaian yang tertinggi akan menjadi alternative terbaik dari beberapa pilihan
alternatif
No Nilai Keterangan Cost/Benefit
1 -3 Memerlukan biaya lebih besar kepada kelompok
masyarakat, perusahaan atau pemerintah
Cost
2 -2 Memerlukan biaya sedang hanya pada perusahaan saja Cost
3 -1 Memerlukan biaya kecil hanya pada pemerintah saja Cost
4 0 Tidak berdampak dan berbiaya Cost/Benefit
5 +1 Memberikan dampak kecil bagi perusahan atau
pemerintah
Benefit
6 +2 Memberikan dampak sedang bagi perusahaan Benefit
7 +3 Memberikan dampak besar bagi masyarakat khususnya
lingkungan dan kesehatan
Benefit
49
Tabel L3. Analisis manfaat dan biaya opsi pertama tanpa menyusun regulasi apapun untuk PBDE pada Sektor Industri
No Kelompok Biaya Nilai
Biaya Manfaat
Nilai
Manfaat
1 PEMERINTAH
KEMENTERIAN
PERINDUSTRIAN
Tidak memerlukan biaya apapun
dengan kondisi saat ini 0
Kementerian Perindustrian tidak melakukan peranan
apapun meskipun kondisi lapangan terdapat Industri
mengunakan bahan penghambat nyala PBDE
0
2 INDUSTRI/PELAKU USAHA
INDUSTRI
Tidak memerlukan biaya apapun
dengan tidak berubah jenis bahan
penghambat nyala
0
Industri tetap menggunakan bahan penghambat nyala
yang digunakan termasuk kemungkinan menggunaan
bahan penghambat nyala PBDE
+1
3 MASYARAKAT
MASYARAKAT
Masyarakat memerlukan biaya
kesehataanya dalam jangka panajgn
dengan keberadaan PBDE dalam
tubuh melalui produk yang
mengandung bahan penghambat
nyala PBDE
-3 Masyarakat mendapatkan produk yang murah +3
Total Manfaat -3 Total Biaya +4
50
Tabel L4. Analisis manfaat dan biaya opsi kedua dengan menyusun regulasi pengawasan dan pengendalian sektor Industri
No Kelompok Biaya Nilai
Biaya Manfaat
Nilai
Manfaat
1 PEMERINTAH
KEMENTERIAN
PERINDUSTRIAN
Biaya untuk melatih dalam
melakukan pengawasan dan
pengendalian produk -produk
Industri yang mengandung bahan
penghambat nyala
-1
Kementerian Perindustrian mengendalikan kualitas
produk termasuk pada sisi kesehatan dan dampak
bahaya bagi masyarakat
+3
2 INDUSTRI/PELAKU USAHA
INDUSTRI
Industri akan memerlukan
tambahan biaya karena harga bahan
penghambat nyala selain PBDE
lebih mahal
-2 Industri menghasilkan produk – produk berkualitas serta
aman bagi konsumen +3
3 MASYARAKAT
MASYARAKAT
Masyarakat membeli produk
dengan harga lebih tinggi dari
sebelumnya
-1 Masyarakat mendapatkan produk yang aman bagi
kesehatan dan lingkungan +3
Total Manfaat -5 Total Biaya +9
51
Tabel L5. Analisis manfaat dan biaya opsi ketiga dengan menyusun regulasi pengawasan dan pengendalian secara komprehensif
No Kelompok Biaya Nilai
Biaya Manfaat
Nilai
Manfaat
1 PEMERINTAH
KEMENTERIAN
PERINDUSTRIAN
Biaya untuk melatih dalam melakukan
pengawasan dan pengendalian produk
-produk Industri yang mengandung
bahan penghambat nyala
-1
Kementerian Perindustrian mengendalikan
kualitas produk termasuk pada sisi kesehatan
dan dampak bahaya bagi masyarakat
+3
KEMENTERIAN
PERDAGANGAN
Biaya untuk melatih dalam melakukan
pengawasan dan pengendalian produk
-produk Industri yang mengandung
bahan penghambat nyala
-1
Kementerian Perdagangan dapat melakukan
pengendalian barang -barang mengandung bahan
penghambat nyalas sehingga produk berbahaya
tidak masuk
+1
KEMENTERIAN
LINGKUNGAN
HIDUP DAN
KEHUTANAN
KLHK harus mempersiapkan alat-alat
uji serta kemampuan personal dalam
melakukan analisa dari bahan baku
serta bahan buangan yang
mengandung PBDE
-2 Lingkungan semakin membaik terbebas dari
bahan yang mengandung bahaya bagi masyarakat +2
BEA CUKAI Biaya untuk melatih dalam melakukan
pengawasan dan pengendalian produk -2
Barang -barang yang masuk ke Indonesia lebih
selektif dan aman bagi masyarakat penggunanya +1
52
-produk Industri yang mengandung
bahan penghambat nyala
Beban kerja semakin meningkat
dengan adanya tambahan HS Code
untuk pengawasan bahan penghambat
nyala
2 INDUSTRI/PELAKU USAHA
INDUSTRI
Industri akan memerlukan tambahan
biaya karena harga bahan penghambat
nyala selain PBDE lebih mahal
-2 Industri menghasilkan produk – produk
berkualitas serta aman bagi konsumen +3
PELAKU USAHA
Importir produk -produk yang
mengandung bahan penghambat nyala
akan melalui tahapan lebih Panjang
yang memerlukan tambahan biaya
-2 Barang yang masuk ke Indonesia lebih aman +2
3 MASYARAKAT
MASYARAKAT Masyarakat membeli produk dengan
harga lebih tinggi dari sebelumnya -1
Masyarakat mendapatkan produk yang aman
bagi kesehatan dan lingkungan +3
Total Manfaat -12 Total Biaya +15
53
LAMPIRAN II
DRAFT REGULASI LARANGAN PENGGUNAAN BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDE
DI SEKTOR INDUSTRI
54
MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA
DRAFT PERATURAN
MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: …../M-IND/PER/…../2019
TENTANG
LARANGAN PENGGUNAAN BAHAN PENGHAMBAT NYALA POLYBROMINATED DIPHENYL ETHERS (PBDE) DI BIDANG PERINDUSTRIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi Konvensi Stockholm
pada Undang Undang No 19 tahun 2009 tentang Polutan Organik Persisten
yang bertujuan untuk menghilangkan dan membatasi produksi dan
penggunaan polutan yang persisten.;
b. bahwa bahan penghambat nyala PBDE termasuk bahan organic persisiten
pada Konvensi Stockholm pada Annex A yaitu PBDE harus dimusnakan dan
tidak boleh diproduksi lagi;
c. bahwa bahan penghambat nyala PBDE merupakan salah satu jenis bahan
tambahan pada bidang industri, yang pemenuhannya secara keseluurahannya
berasal dari impor;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf c,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Perindustrian tentang pelarangan
penggunaan bahan penghambat nyala PBDE di sektor Industri
55
Mengingat : 1. Undang Undang No 19 tahun 2009 tentang Ratifikasi Konvensi Stockholm
2. Undang – Undang No 3 tahun 2013 tentang Perindustrian
3. Undang – Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
4. Undang – Undang No 7 tahun 2014 tentang Perdagangan
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian
Kesesuaian
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
7. Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan
Berbahaya dan Beracun
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 tahun 2018 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2015 tentang
Kementerian Perindustrian
9. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24/M-
IND/PER/5/2006 tentang Pengawasan Produksi dan Penggunaan
Bahan Berbahaya untuk Industri
10. Peraturan Menteri Perdagangan No 75 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Menteri Perdagangan No 44 tahun 2009 tentang Pengadaan,
Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN TENTANG LARANGAN PENGGUNAAN BAHAN PENGHAMBAT NYALA POLYBROMINATED DIPHENYL ETHERS (PBDE) DI BIDANG PERINDUSTRIAN
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Bahan Penghambat Nyala yang selanjutnya disingkat BPN adalah senyawa yang ditambahkan kepada suatu produk tekstil, elektronika, alat listrik dan lainnya yang berfungsi untuk menghambat terbentuknya api.
2. Polybrominated diphenyl ethers (PBDEs) adalah salah satu kelompok BPN
yang paling umum digunakan untuk membuat beragam bahan-bahan tahan api dan termasuk jenis BPN yang dilarang untuk digunakan dan diproduksi dalam Konvensi Stockholm.
56
3. Barang adalah produk yang dihasilkan dari Industri yang menggunakan dan/atau mengandung BPN PBDE
4. MSDS (Material Safety Data Sheet) adalah dokumen yang berisi informasi
tentang potensi bahaya (kesehatan, kebakaran, reaktivitas dan lingkungan) dan bagaimana bekerja dengan aman dengan produk kimia.
5. Perusahaan Industri adalah setiap orang yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri yang berkedudukan di Indonesia
6. Direktur Jenderal Pembina Industri adalah Direktur Jenderal di lingkungan
Kementerian Perindustrian yang melaksanakan pembinaan Industri sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Pasal 2
(1) PBDE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dapat digunakan sebagai bahan penolong proses produksi sebagai berikut:
a. pembuatan masterbatch dan compound pada industri plastik;
b. menyatu pada saat impor bahan baku dalam bentuk masterbatch dan compound untuk industri elektronika, alat listrik, tekstil dan otomotif;
c. menyatu dengan produk -produk komponen untuk industri elektronika, alat listrik, tekstil dan otomotif.
(2) Uraian PBDE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
Pasal 3
(1) Mulai 1 Januari 2020 PBDE dilarang digunakan untuk Industri baru yang
menggunakan bahan penghambat nyala.
(2) Mulai 31 Desember 2030 PBDE dilarang digunakan untuk seluruh Industri
baik sebagai bahan baku atau bahan yang berada pada produk saat
dilakukan proses produksi termasuk dari bahan daur ulang.
57
Pasal 4
(1) Produk – produk yang sudah diproduksi dan mengandung BPN PBDE maka Industri yang memproduksi produk tersebut wajib melakukan pemusnaan sebelum 31 Desember 2030
(2) Prosedur untuk pemusnaan disamakan dengan pemusnaan barang yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3).
Pasal 5
(1) Produk yang dihasilkan dari proses produksi di perusahaan industri yang menggunakan bahan penghambat nyala wajib mencantumkan logo bahwa produknya yang dihasilkan bebas dari PBDE (Free PBDE).
(2) Bentuk dan format logo tercantum dalam lampiran II Peraturan Menteri ini
Pasal 6 (1) Menteri melalui Direktur Jenderal Pembina Industri akan melakukan
pengawasan hingga 31 Desember 2030 kepada industri yang menggunakan
bahan penghambat nyala meliputi
a. Pengawasan di pabrik; dan
b. koordinasi pengawasan di pasar dengan kementerian dan Lembaga
pemerintah nonkementerian terkait.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan
pengawasan di pabean.
(3) Kewenangan pengawasan di daerah pabean sebagaimana di ayat (2)
dilakukan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kepabenan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
58
Pasal 7
(1) Dalam melakukan pengawasan di pabrik sebagaimana dimaksud dalam
pasal 6 ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal Pembina Industri menugaskan
petugas pengawasan industri di daerah.
(2) Pengawasan di pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pemeriksaaan dokumen; dan
b. pelaksanaan uji petik.
Pasal 8
(1) Pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2)
huruf a meliputi pemeriksanaan:
a. Dokumen legalitas perusahaan, berupa:
1. Akta pendirian perusahaan dan perubahaannya;
2. Izin Usaha Industri (IUI); dan
3.Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b. Dokumen MSDS terhadap bahan baku atau bahan penolong yang
digunakan dalam proses produksi bagi industri yang menggunakan
BPN.
(2) Pelaksanaan uji petik sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) huruf
b dilakukan terhadap
a. Pemeriksaaan fisik bahan baku dan atau bahan penolong yang
mengandung BPN
b. Pemeriksaan fisik produk yang dihasilkan dari perusahaan industri
tersebut.
c. Pengujian kesesuaian kandungan bahan baku, bahan penolong dan
produk secara wajib ke Laboratorium Penguji Terakreditasi yang
ditunjuk oleh pemerintah.
(3) Pengawasan di pabrik dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun
59
Pasal 9
(1) Dalam melakukan pengawasan produk yang mengandung bahan
penghambat nyala sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b,
Direktur Jenderal Pembina Industri melakukan koordinasi melalui
penyampaian surat pemberitahuan tertulis kepada pimpina unit Eselon I pada
kementerian/Lembaga pemerintahan nonkementerian terkait.
(2) Pengawasan di pasar terhadap produk hasil produksi yang mengandung
BPN dapat dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun.
(3) Pengawasan di pasar sebagai dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
pelaksanaan uji petik terhadap produk mengandung BPN.
(4) Pengujian produk mengandung BPN dengan mengirimkan ke laboratorium
pengujian PBDE yang terakreditasi yang ditunjuk oleh pemerintah.
Pasal 10
(1) Pengawasan kepabean terhadap larangan penggunaan PBDE termasuk
import sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3).
(2) Importasi PBDE dapat dilakukan hingga 31 Desember 2030 dan harus
berdasarkan Surat Pertimbangan Teknis dari Direktur Jenderal Pembina
Industri.
(3) Pengajuan permohonan surat pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri
melalui Unit Pelayan Publik (UP2) Kementerian Perindustrian.
(4) Produsen dan importir BPN PBDE wajib melaporkan realisasi impor PBDE
setiap 6 (enam) bulan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri.
Pasal 11
(1) Pengawasan atas perlaksanaan peraturan Menteri ini dilakukan oleh
Direktur Jenderal Pembina Inudstri berkoordinasi dengan instansi
terkait.
(2) Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pembina Industri.
60
Pasal 12
Perusahaan Industri yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Menteri ini
dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan Izin Usaha Industri (IUI)
atau Tanda Daftar Industri (TDI).
Pasal 13
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal ………..
MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA
AIRLANGGA HARTARTO
61
LAMPIRAN 1 PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : /M-IND/PER/…./2019
TANGGAL :
DAFTAR BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDE
No Zat Kimia URAIAN BARANG CAS NUMBER
1 Tetra-PBDE Tetrabromodiphenyl ethers 40088-47-9
2 Penta- PBDE Pentabromodiphenyl ethers 32534-81-9
3 Hexa- PBDE Hexabromodiphenyl ethers 36483-60-0
4 Hepta- PBDE Heptabromodiphenyl ethers 68928-80-3
5 Octa – PBDE Octabromodiphenyl ethers 32536-52-0
6 Nona- PBDE Nonabromodiphenyl ethers 63936-56-1
7 Deca- PBDE Decabromodiphenyl ethers 1163-19-5
MENTERI PERINDUSTRIAN
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
AIRLANGGA HARTARTO
62
LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : /M-IND/PER/…./2019
TANGGAL :